Penghasilan(PPh)
Presented by Kelompok 1 - Perpajakan G
Nama Anggota Kelompok:
Angelia Rahmawati M. Abiyyu Basuki
041911233250 042111233114
Subjek PPh
Badan adalah subjek pajak yang merupakan
orang dan/atau modal sebagai satu kesatuan,
baik yang melakukan usaha maupun tidak
melakukan usaha. Badan bisa berupa Perseroan
Terbatas (PT), perseroan komanditer (CV),
perseroan lainnya, firma, kongsi, koperasi, dan
lainnya.
Perubahan Keenam (UU Nomor 7 Tahun 2021) Tanggal Berlaku: 1 Januari 2022
Biaya yang tidak
diperbolehkan
(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak
boleh dikurangkan:
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang
polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan
konsumen, dan perusahaan anjak piutang yang dihitung berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku dengan batasan tertentu setelah berkoordinasi
dengan Otoritas Jasa Keuangan;
2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang memenuhi persyaratan
tertentu;
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi,
kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
e. dihapus;
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
h. Pajak Penghasilan;
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k. sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan. ******)
Perubahan Keenam (UU Nomor 7 Tahun 2021) Tanggal Berlaku: 1 Januari 2022
Faktor pengurangan (zakat,
kompensasi kerugian, dam PTKP)
Zakat
Zakat dapat sebagai pengurang pajak penghasilan diatur dalam Peraturan Pemerintah
(PP) No. 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya
Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.
Ketentuan mengenai zakat jadi pengurang zakat juga terdapat dalam Undang-Undang
No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat pasal 22.
“Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari
penghasilan kena pajak”.
(Bab III pasal 4 ayat 3 UU no 07 Tahun 2021)
Faktor pengurangan (zakat,
kompensasi kerugian, dam PTKP)
Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha
tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan;
e. kerugian selisih kurs mata uang asing;
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANGNOMOR 7 TAHUN 1991
(2) Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal
terjadi tukar‐menukar harta adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan atau diterima
berdasarkan harga pasar.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANGNOMOR 7 TAHUN 1991
Pasal 10 ayat (3) Nilai perolehan atau pengalihan harta yang
Harga dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan,
peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan
Perolehan atau
usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau
Nilai Penjualan diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain
dalam Hal oleh Menteri Keuangan.
Pengalihan, Contoh:
Peleburan, PT A menggabungkan usaha dengan PT B. Pada saat
Penggabungan, penggabungan, Mobil yang dimiliki PT A memiliki nilai
Pemekaran buku Rp150.000.000,-, sedangkan harga pasarnya adalah
Rp175.000.000,-. Maka PT A memperoleh keuntungan
sebesar Rp25.000.000,-.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANGNOMOR 7 TAHUN 1991
Pasal 10 ayat (4)
a. Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, maka dasar
Harga penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai sisa buku
dari pihak yang melakukan pengalihan atau nilai yang ditetapkan oleh
Perolehan atau Direktur Jenderal Pajak.
Pengalihan, PT A menghibahkan mobil kepada Yayasan Panti Jompo. Nilai buku mobil
tersebut bagi PT A adalah Rp100.000.000,- dan harga pasarnya
Peleburan, Rp150.000.000,-. Harga pengalihan mobil tersebut adalah sebesar nilai bukunya
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANGNOMOR 7 TAHUN 1991
Pasal 10 ayat (4)
b. Apabila terjadi pengalihan harta yang tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, maka dasar
Harga penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar
Perolehan atau dari harta tersebut.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANGNOMOR 7 TAHUN 1991
Pasal 10 ayat (5)
a. (5) Apabila terjadi pengalihan harta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c, maka dasar penilaian harta bagi
Harga badan yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari
Perolehan atau harta tersebut.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANGNOMOR 7 TAHUN 1991
Metode
Penilaian
Persediaan
Metode penilaian persediaan merupakan praktik
akutansi yang digunakan untuk menghitung nilai
persediaan yang tidak terjual pada akhir periode
akuntansi. Angka ini diperlukan untuk menentukan besar
harga pokok penjualan (HPP) dan saldo persediaan akhir,
Nilai persediaan akhir ini nantinya akan dicatat saat
perusahaan menyusun laporan keuangan dan laporan
neracanya.
Cara perhitungan
PPh dengan NPPN
1. Besaran norma penghitungan penghasilan neto ini tidaklah sama. Jumlah persentase NPPN
ini terbagi atas:
a. Persentase NPPN Dikelompokkan menurut wilayah sebagai berikut:
b. Sepuluh ibukota provinsi, yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang,
Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak.
c. Ibukota provinsi lainnya.
d. Daerah lainnya.
2. Persentase NPPN untuk wajib pajak orang pribadi yang menghitung penghasilan neto
menggunakan NPPN.
3. Persentase NPPN untuk wajib pajak orang pribadi yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya
menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkannya.
4. Persentase NPPN untuk wajib pajak badan yang tidak atau tidak sepenuhnya
menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkannya.
Sumber: https://www.online-pajak.com/tentang-efiling/norma-penghitungan-penghasilan-neto
Cara perhitungan
PPh dengan NPPN
Secara sederhana, rumusnya adalah:
Penghasilan neto: Peredaran/Penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
dalam 1 tahun pajak x tarif persentase NPPN
Selanjutnya untuk mendapatkan PPh terutang, wajib pajak harus mengalikan penghasilan
neto dengan tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh.
Khusus untuk wajib pajak orang pribadi, penghasilan neto tersebut harus dikurangi dengan
penghasilan tidak kena pajak, baru dikalikan dengan tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh.
PPh Terutang Wajib Pajak Orang Pribadi: (Penghasilan neto – penghasilan tidak kena pajak) x
tarif umum Pasal 17 Undang-Undang PPh
Sumber: https://www.online-pajak.com/tentang-efiling/norma-penghitungan-penghasilan-neto
Contoh
Anton merupakan salah satu dokter umum yang membuka praktik di Kota Surabaya.
Selama masa tahun pajak 2023, Anton memiliki penghasilan bruto sebesar
Rp900.000.000. Bila Anton menggunakan perhitungan dengan norma penghitungan
penghasilan neto (NPPN). Hitunglah berapa penghasilan neto dan PPh Pasal 21
terutangnya bila status Anton adalah belum kawin tanpa tanggungan?
Berdasarkan kasus di atas, maka perlu dilihat terlebih dahulu berapa tarif penghasilan
neto yang terdapat dalam lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
17/PJ/2015 (PER 17/2015) untuk pekerjaan praktik dokter umum. Oleh karena tempat
praktik Anton adalah di Kota Surabaya yaitu sebagai ibukota provinsi, maka tarif yang
digunakan adalah 50%. Adapun penghitungan penghasilan neto dan pajak terutangnya
adalah sebagai berikut:
PPh 21 Terutang
5% x Rp60.000.000 : Rp3.000.000
15% x 250.000.000 : Rp37.500.000
25% x Rp86.000.000 : Rp21.500.000
Omzet usaha Budi sebesar Rp 50juta pada bulan Juni 2019. Terhadap
Budi hanya diterbitkan NPWP domisili, tidak perlu diterbitkan NPWP
cabang.
Di KPP A, Tegar tidak memiliki kewajiban PPh Pasal 25. Tegar memiliki
kewajiban PPh Pasal 25 di KPP B. Omzet usaha Tegar di wilayah B senilai
Rp 100juta. Pembayarannya adalah 0,75% dari peredaran bruto/omzet.