Anda di halaman 1dari 37

Pajak

Penghasilan(PPh)
Presented by Kelompok 1 - Perpajakan G
Nama Anggota Kelompok:
Angelia Rahmawati M. Abiyyu Basuki
041911233250 042111233114

La Ode Alif Idrus Bayu Wisnu Putra


042111233002 042111233169

Lailatul Ilma Gusti Putu Ngurah Arya Pertama


042111233077 042111233143

Rizqiyah Laily Ahad M Sulthan Hayyu G


042111233080 042111233202

Muh. Ahda Maulana Alif Haryo Anugerah


042111233102 042111233237
Pengertian PPh

PPh atau pajak penghasilan adalah pajak


yang dikenakan kepada orang pribadi atau
badan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh dalam suatu tahun pajak.
Penghasilan yang dimaksud dapat berupa
keuntungan usaha, gaji, honorarium,
hadiah, dan yang lainnya.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983


TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI
DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 07 TAHUN 2021
Subjek PPh Orang Pribadi
Wajib Pajak Orang pribadi adalah subjek
pajak penghasilan bagi yang mencakup
orang pribadi yang bertempat tinggal atau
berada di Indonesia maupun di luar
Indonesia.

Subjek PPh OP Dalam Negeri


Subjek PPh Subjek PPh OP Dalam Negeri ini berlaku bagi
yang telah menerima atau memperoleh
penghasilan yang besarnya melebihi
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Subjek PPh OP Luar Negeri


Subjek PPh OP Luar Negeri ini berlaku bagi
yang menerima atau memperoleh
penghasilan yang bersumber dari Indonesia
maupun melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
Subjek PPh Warisan yang belum terbagi
Masih merujuk pada UU PPh No. 36/2008, yang
dimaksud warisan belum terbagi sebagai subjek
pajak PPh di sini agar pengenaan pajak atas
penghasilan yang berasal warisan tersebut tetap
dilaksanakan.

Subjek PPh Badan

Subjek PPh
Badan adalah subjek pajak yang merupakan
orang dan/atau modal sebagai satu kesatuan,
baik yang melakukan usaha maupun tidak
melakukan usaha. Badan bisa berupa Perseroan
Terbatas (PT), perseroan komanditer (CV),
perseroan lainnya, firma, kongsi, koperasi, dan
lainnya.

Subjek PPh Badan Usaha Tetap (BUT)


Subjek PPh Bentuk Usaha Tetap adalah subjek
pajak penghasilan yang perlakuan perpajakannya
dipersamakan dengan subjek pajak padan badan
dalam negeri.
Penggantian atau imbalan
Hadiah
Laba usaha
Keuntungan karena penjualan atau karena
pengalihan harta
Penerimaan kembali
Bunga
Dividen
Objek PPh Royalti
Sewa
Penerimaan atau perolehan pembayaran
berkala
Keuntungan karena pembebasan utang
Keuntungan selisih kurs mata uang asing
Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva
Premi asuransi
Iuran
Penghasilan yang belum dikenakan pajak
Penghasilan dari usaha berbasis industry
Imbalan bunga
Surplus Bank Indonesia.
Tarif PPh
Tarif PPh 21 Tarif PPh 22
Tarif PPh 22 sebesar 2,5% dan 7,5% atas Impor
PKP Rp60 juta dikenai tarif Tarif PPh Pasal 22 sebesar 1,5% atas Pembelian
PPh 5 persen Tarif PPh 22 atas Penjualan Hasil Produksi
PKP Rp60 juta-Rp250 juta Tertentu Kertas: 0.1% dari DPP PPN
dikenai tarif PPh 15 persen Semen: 0.25% dari DPP PPN
PKP Rp250 juta-Rp500 juta Baja: 0.3% dari DPP PPN
dikenai tarif PPh 25 persen Otomotif: 0.45% dari DPP PPN
PKP Rp500 juta-Rp5 miliar Semua jenis obat: 0,3% dari DPP PPN
dikenai tarif PPh 25 persen Tarif PPh Pasal 22 Hasil Produksi Migas :
PKP di atas Rp5 miliar 0,25% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan
dikenai tarif PPh 35 persen kepada stasiun pengisian bahan bakar umum yang menjual BBM
yang dibeli dari Pertamina atau anak usaha Pertamina
0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan kepada
stasiun pengisian bahan bakar umum yang menjual bakar
minyak yang dibeli selain dari Pertamina atau anak perusahaan
Pertamina
0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan kepada
pihak yang dibeli dari Pertamina maupun selain dari Pertamina
atau anak usaha Pertamina.
Tarif PPh
Tarif PPh 22 Tarif PPh 23
Tarif 15% untuk Dividen & Hadiah, penghargaan, bonus, dan
Tarif PPh 22 sebesar 0,25% sejenisnya selain yang telah dipotong PPh pasal 21
atas Pembelian Bahan Tarif PPh 2% dari jumlah bruto untuk sewa dan penghasilan lain
untuk Industri yang berkaitan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah
Tarif PPh Pasal 22 sebesar atau bangunan.
0,5% atas Impor Komoditas Tarif PPh 2% dari jumlah bruto untuk imbalan jasa teknik, jasa
Tarif PPh 22 sebesar 1,5% manajemen, jasa konstruksi dan jasa konsultan.
atas Ekspor Komoditas Tarif PPh 2% dari jumlah bruto untuk imbalan jasa lainnya
Tambang seperti yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan No.
Tarif PPh 22 sebesar 0,45% 141/PMK.03/2015 dan tarif PPh 2% efektif mulai berlaku pada
atas Penjualan Kendaraan tanggal 24 Agustus 2015.
Bermotor
Tarif PPh 22 sebesar 0,45%
atas Penjualan Emas
Batangan
Tarif PPh
Tarif PPh 26 Tarif PPh 29
Tarif 15% untuk Dividen & Hadiah, penghargaan, bonus, dan
Tarif umum PPh pasal 26 sejenisnya selain yang telah dipotong PPh pasal 21
adalah 20% Tarif PPh 2% dari jumlah bruto untuk sewa dan penghasilan lain
Tarif 10% dari jumlah bruto yang berkaitan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah
Tarif 20% dari perkiraan atau bangunan.
penghasilan neto Tarif PPh 2% dari jumlah bruto untuk imbalan jasa teknik, jasa
Tarif 20% dari laba bersih manajemen, jasa konstruksi dan jasa konsultan.
penjualan atau pengalihan Tarif PPh 2% dari jumlah bruto untuk imbalan jasa lainnya
saham perusahaan seperti yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan No.
Tarif 20% dari Penghasilan 141/PMK.03/2015 dan tarif PPh 2% efektif mulai berlaku pada
Kena Pajak Setelah tanggal 24 Agustus 2015.
Dikurangi Pajak dari BUT di
Indonesia (PPh Pasal 26
ayat 4)
Pengecualian PPh
PPh Pasal 21 atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP): Wajib pajak yang memiliki penghasilan
di bawah batas PTKP tertentu (Rp 54 juta per tahun) tidak dikenakan PPh Pasal 21.
PPh Pasal 4 ayat (2) atas bunga deposito pada Bank: PPh Pasal 4 ayat (2) tidak dikenakan pada
bunga deposito di bank yang jumlahnya kurang dari Rp 10 juta dalam satu tahun pajak.
PPh Pasal 22 atas barang kena cukai atau barang impor tertentu yang telah ditentukan oleh
pemerintah: Beberapa barang tertentu yang masuk dalam kategori barang kena cukai atau
barang impor tertentu yang telah ditentukan oleh pemerintah dapat dibebaskan dari PPh Pasal
22.
PPh Pasal 23 atas penghasilan dari luar negeri yang dikenakan pajak di luar negeri: Penghasilan
dari luar negeri yang telah dikenakan pajak di luar negeri dapat dikecualikan dari PPh Pasal 23.
PPh Pasal 25 atas penghasilan yang diperoleh oleh lembaga sosial atau agama: Penghasilan
yang diperoleh oleh lembaga sosial atau agama yang bersifat non-profit dan digunakan untuk
kepentingan umum dapat dikecualikan dari PPh Pasal 25.
PPh Pasal 26 atas penghasilan yang diterima oleh pegawai pemerintah atau anggota TNI/Polri:
Penghasilan yang diterima oleh pegawai pemerintah atau anggota TNI/Polri dari negara dapat
dikecualikan dari PPh Pasal 26.
Biaya yang boleh
(1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan
penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:
1. biaya pembelian bahan;
2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
3. bunga, sewa, dan royalti;
4. biaya perjalanan;
5. biaya pengolahan limbah;
6. premi asuransi;
7. biaya promosi dan penjualan;
8. biaya administrasi; dan
9. pajak kecuali Pajak Penghasilan;
b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan;
e. kerugian selisih kurs mata uang asing;
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia; g. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian
tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan
umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) huruf k;
i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan
n. biaya penggantian atau imbalan yang diberikan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan. ******)

Perubahan Keenam (UU Nomor 7 Tahun 2021) Tanggal Berlaku: 1 Januari 2022
Biaya yang tidak
diperbolehkan
(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak
boleh dikurangkan:

a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang
polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan
konsumen, dan perusahaan anjak piutang yang dihitung berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku dengan batasan tertentu setelah berkoordinasi
dengan Otoritas Jasa Keuangan;
2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang memenuhi persyaratan
tertentu;
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi,
kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
e. dihapus;
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
h. Pajak Penghasilan;
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k. sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan. ******)

Perubahan Keenam (UU Nomor 7 Tahun 2021) Tanggal Berlaku: 1 Januari 2022
Faktor pengurangan (zakat,
kompensasi kerugian, dam PTKP)
Zakat
Zakat dapat sebagai pengurang pajak penghasilan diatur dalam Peraturan Pemerintah
(PP) No. 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya
Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.
Ketentuan mengenai zakat jadi pengurang zakat juga terdapat dalam Undang-Undang
No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat pasal 22.
“Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari
penghasilan kena pajak”.
(Bab III pasal 4 ayat 3 UU no 07 Tahun 2021)
Faktor pengurangan (zakat,
kompensasi kerugian, dam PTKP)

Kompensasi kerugian (pasal 6 ayat 1)

Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha
tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan;
e. kerugian selisih kurs mata uang asing;

Sehingga apabila dalam suatu tahun pajak didapat


kerugian karena penjualan harta atau karena selisih
kurs, kerugian tersebut dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto.
Faktor pengurangan (zakat,
kompensasi kerugian, dam PTKP)

UU no 36 tahun 2008 pasal 6 ayat 2.


Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian, kerugian tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya
berturut‐turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

Kompensasi kerugian fiskal merupakan sebuah skema untuk ganti


rugi yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi maupun wajib
pajak badan yang mengalami kerugian dalam hal pembukuannya.
Faktor pengurangan (zakat,
kompensasi kerugian, dam PTKP)
PTKP
Pasal 6 ayat 3 Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(pasal 7ayat 1)
Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak.
tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang.
Faktor pengurangan (zakat,
kompensasi kerugian, dam PTKP)
Contoh:
Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri dengan tanggungan 4 (empat) orang
anak.
Apabila isterinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja yang sudah
dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada
hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A
adalah sebesar Rp72.000.000,00 {Rp54.000.000,00 + Rp4.500.000,00 + (3 x
Rp4.500.000,00)}, sedangkan untuk isterinya, pada saat pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 oleh pemberi kerja diberikan Penghasilan Tidak Kena
Pajak sebesar Rp54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah).
Apabila penghasilan isteri harus digabung dengan penghasilan suami,
besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A
adalah sebesar Rp126.000.000,00 (Rp72.000.000,00 + Rp54.000.000,00).
Harga perolehan/ harga
penjualan dalam hal terjadi jual
beli, tukar menukar, pengalihan,
peleburan, penggabungan dan
pemekaran
(1) Harga perolehan atau harga penjualan dalam
hal terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi
hubungan istimewa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (4) adalah jumlah yang
sesungguhnya dikeluarkan atau diterima,
sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa
adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau
diterima

Perolehan harta bagi seorang pembeli merupakan suatu


harga yang sesungguhnya dibayar serta harga penjual
merupakan harga yang sesunggahnya diterima oleh
penjual. Hal ini termasuk serta berlaku juga untuk harga
beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka
memperoleh harta tersebut, seperti bea masuk, biaya
pengangkutan dan biaya pemasangan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANGNOMOR 7 TAHUN 1991
(2) Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal
terjadi tukar‐menukar harta adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan atau diterima
berdasarkan harga pasar.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANGNOMOR 7 TAHUN 1991
Pasal 10 ayat (3) Nilai perolehan atau pengalihan harta yang
Harga dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan,
peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan
Perolehan atau
usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau
Nilai Penjualan diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain
dalam Hal oleh Menteri Keuangan.

Pengalihan, Contoh:
Peleburan, PT A menggabungkan usaha dengan PT B. Pada saat
Penggabungan, penggabungan, Mobil yang dimiliki PT A memiliki nilai
Pemekaran buku Rp150.000.000,-, sedangkan harga pasarnya adalah
Rp175.000.000,-. Maka PT A memperoleh keuntungan
sebesar Rp25.000.000,-.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANGNOMOR 7 TAHUN 1991
Pasal 10 ayat (4)
a. Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, maka dasar

Harga penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai sisa buku
dari pihak yang melakukan pengalihan atau nilai yang ditetapkan oleh
Perolehan atau Direktur Jenderal Pajak.

Nilai Penjualan (Bantuan, Sumbangan, Hibah, dan Warisan)

dalam Hal Contoh:

Pengalihan, PT A menghibahkan mobil kepada Yayasan Panti Jompo. Nilai buku mobil
tersebut bagi PT A adalah Rp100.000.000,- dan harga pasarnya
Peleburan, Rp150.000.000,-. Harga pengalihan mobil tersebut adalah sebesar nilai bukunya

Penggabungan, Rp100.000.000,-, sehingga tidak ada keuntungan yang diakui oleh PT A.


Demikian juga bagi Yayasan Panti Jompo, harga perolehan mobil adalah sebesar
Pemekaran Rp100.000.000,-
Pak Andii mewariskan mobil kepada anaknya. Nilai buku mobil tersebut bagi Pak
Andi adalah Rp100.000.000,- dan harga pasarnya Rp150.000.000,. Harga
pengalihan mobil tersebut adalah sebesar nilai bukunya Rp100.000.000,-.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANGNOMOR 7 TAHUN 1991
Pasal 10 ayat (4)
b. Apabila terjadi pengalihan harta yang tidak memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, maka dasar
Harga penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar
Perolehan atau dari harta tersebut.

Nilai Penjualan Contoh:


dalam Hal PT A menghibahkan mobil kepada Pak Andi yang merupakan salah satu

Pengalihan, mitra bisnis PT A. Nilai buku mobil tersebut bagi PT A adalah


Rp100.000.000,- dan harga pasarnya Rp150.000.000,-. Mobil tersebut
Peleburan, bagi Pak Andi merupakan objek pajak, karena antara PT A dan Pak Budi
Penggabungan, terdapat hubungan usaha. Harga pengalihan mobil tersebut adalah

Pemekaran sebesar harga pasarnya Rp150.000.000,-, sehingga keuntungan yang


diakui oleh PT A sebesar Rp50.000.000,-. Bagi Pak Andi, harga perolehan
mobil adalah sebesar Rp150.000.000,-.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANGNOMOR 7 TAHUN 1991
Pasal 10 ayat (5)
a. (5) Apabila terjadi pengalihan harta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c, maka dasar penilaian harta bagi
Harga badan yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari
Perolehan atau harta tersebut.

Nilai Penjualan (Penyertaan Modal)


dalam Hal
Pengalihan, Contoh:
Pak Andi menyerahkan sebuah mobil sebagai penyertaan modal pada PT A.
Peleburan, Mobil tersebut sebelumnya digunakan untuk usaha rental milik Pak Andi. Harga

Penggabungan, pasar mobil adalah Rp100.000.000,-, sedangkan nilai bukunya adalah


Rp80.000.000,-. Dari transaksi tersebut keuntungan atas pengalihan mobil bagi
Pemekaran Pak Andi sebesar Rp20.000.000,- dan harga perolehan mobil bagi PT A sebesar
Rp100.000.000.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANGNOMOR 7 TAHUN 1991
Metode
Penilaian
Persediaan
Metode penilaian persediaan merupakan praktik
akutansi yang digunakan untuk menghitung nilai
persediaan yang tidak terjual pada akhir periode
akuntansi. Angka ini diperlukan untuk menentukan besar
harga pokok penjualan (HPP) dan saldo persediaan akhir,
Nilai persediaan akhir ini nantinya akan dicatat saat
perusahaan menyusun laporan keuangan dan laporan
neracanya.
Cara perhitungan
PPh dengan NPPN
1. Besaran norma penghitungan penghasilan neto ini tidaklah sama. Jumlah persentase NPPN
ini terbagi atas:
a. Persentase NPPN Dikelompokkan menurut wilayah sebagai berikut:
b. Sepuluh ibukota provinsi, yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang,
Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak.
c. Ibukota provinsi lainnya.
d. Daerah lainnya.
2. Persentase NPPN untuk wajib pajak orang pribadi yang menghitung penghasilan neto
menggunakan NPPN.
3. Persentase NPPN untuk wajib pajak orang pribadi yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya
menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkannya.
4. Persentase NPPN untuk wajib pajak badan yang tidak atau tidak sepenuhnya
menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkannya.

Sumber: https://www.online-pajak.com/tentang-efiling/norma-penghitungan-penghasilan-neto
Cara perhitungan
PPh dengan NPPN
Secara sederhana, rumusnya adalah:

Penghasilan neto: Peredaran/Penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
dalam 1 tahun pajak x tarif persentase NPPN

Selanjutnya untuk mendapatkan PPh terutang, wajib pajak harus mengalikan penghasilan
neto dengan tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh.

PPh Terutang: Penghasilan neto x tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh

Khusus untuk wajib pajak orang pribadi, penghasilan neto tersebut harus dikurangi dengan
penghasilan tidak kena pajak, baru dikalikan dengan tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh.

PPh Terutang Wajib Pajak Orang Pribadi: (Penghasilan neto – penghasilan tidak kena pajak) x
tarif umum Pasal 17 Undang-Undang PPh

Sumber: https://www.online-pajak.com/tentang-efiling/norma-penghitungan-penghasilan-neto
Contoh
Anton merupakan salah satu dokter umum yang membuka praktik di Kota Surabaya.
Selama masa tahun pajak 2023, Anton memiliki penghasilan bruto sebesar
Rp900.000.000. Bila Anton menggunakan perhitungan dengan norma penghitungan
penghasilan neto (NPPN). Hitunglah berapa penghasilan neto dan PPh Pasal 21
terutangnya bila status Anton adalah belum kawin tanpa tanggungan?

Berdasarkan kasus di atas, maka perlu dilihat terlebih dahulu berapa tarif penghasilan
neto yang terdapat dalam lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
17/PJ/2015 (PER 17/2015) untuk pekerjaan praktik dokter umum. Oleh karena tempat
praktik Anton adalah di Kota Surabaya yaitu sebagai ibukota provinsi, maka tarif yang
digunakan adalah 50%. Adapun penghitungan penghasilan neto dan pajak terutangnya
adalah sebagai berikut:

Penghasilan Neto : 50% x Rp900.000.000 = Rp450.000.000


PTKP : Rp54.000.000
PKP : Rp450.000.000 - Rp54.000.000 = Rp396.000.000
Contoh

PPh 21 Terutang
5% x Rp60.000.000 : Rp3.000.000
15% x 250.000.000 : Rp37.500.000
25% x Rp86.000.000 : Rp21.500.000

Total PPh 21 Terutang Tahun 2023 : Rp62.000.000


Perhitungan PPh Pasal 25
bagi Pengusaha Tertentu

Apa itu Pengusaha Tertentu?

Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP-OPPT)


merupakan pedagang pengecer yang memiliki 1 atau lebih tempat
usaha. Dalam hal ini, tempat domisili berbeda dengan tempat
kegiatan usaha, bisa dalam satu wilayah KPP atau berbeda wilayah
KPP.
Perhitungan PPh Pasal 25
bagi Pengusaha Tertentu

Apa itu PPh Pasal 25?

PPh Pasal 25 adalah pembayaran pajak atas penghasilan yang


dibayarkan secara angsuran tiap bulannya dengan tujuan untuk
meringkankan beban Wajib Pajak yang kesulitan untuk melunasi
pajak terutang dalam rentang waktu satu tahun.
Perhitungan PPh bagi
Pengusaha Tertentu

Perhitungan PPh Pasal 25 bagi Pengusaha Tertentu


dibedakan menjadi 3 kondisi:

1 Tempat Tinggal & Tempat Usaha Berada dalam Satu KPP

2 Tempat Tinggal & Tempat Usaha berbeda KPP

3 Tempat Tinggal & Tempat Usaha di Lebih dari Satu KPP


Tempat Tinggal & Tempat Usaha
berada dalam satu KPP
Budi memiliki tempat tinggal sekaligus tempat usaha sebagai pedagang
pengecer di KPP A dan tidak memilih untuk dikenakan PPh Final.
Berdasarkan PP 23/2018 sehingga wajib mendaftarkan NPWP di KPP A.

Omzet usaha Budi sebesar Rp 50juta pada bulan Juni 2019. Terhadap
Budi hanya diterbitkan NPWP domisili, tidak perlu diterbitkan NPWP
cabang.

Maka, pembayarannya adalah 0,75% dari peredaran bruto/omzet

0,75% x Rp 50.000.000 = Rp 375.000


*nilai tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak pada saat perhitungan pajak
Budi pada akhir tahun.
Tempat Tinggal & Tempat Usaha
berbeda KPP
Tegar memiliki tempat tinggal di wilayah KPP A dan tempat usaha
sebagai pedagang pengecer di wilayah KPP B dan tidak memilih untuk
dikenakan PPh final nerdasarkan PP 23/2018 sehingga Tegar wajib
mendaftarkan NPWP di KPP sebagai NPWP domisili dan juga
mendaftarkan NPWP di KPP B sebagai NPWP Cabang/NPWP Lokasi.

Di KPP A, Tegar tidak memiliki kewajiban PPh Pasal 25. Tegar memiliki
kewajiban PPh Pasal 25 di KPP B. Omzet usaha Tegar di wilayah B senilai
Rp 100juta. Pembayarannya adalah 0,75% dari peredaran bruto/omzet.

0.75% x Rp 100.000.000 = Rp 750.000


*nilai tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak pada saat perhitungan pajak
Tegar pada akhir tahun. Sedangkan pelaporan SPT tahunan dilakukan di KPP A
Tempat Tinggal & Tempat Usaha di
Lebih dari Satu KPP
Abiyyu mempunyai tempat tinggal di KPP A, mempunyai 2 tempat usaha
sebagai pedagang pengecer di KPP B dan 1 tempat usaha di wilayah KPP
C. Abiyyu memilih tidak dikenakan PPh final berdasarkan PP 23/2018.

Di KPP A, Abiyyu mendapatkan NPWP domisili dan tidak ada kewajiban


PPh pasal 25.

Di KPP B diterbitkan 2 NPWP cabang atas masing-masing tempat usaha


dan memiliki kewajiban PPh Pasal 25 sebesar 0,75% dari peredaran
bruto/omzet dari masing-masing tempat usaha.

Di KPP C diterbitkan 1 NPWP cabang atas 1 tempat usaha dan dikenakan


PPh Pasal 25 sebesar 0,75% dari peredaran bruto.
Tempat Tinggal & Tempat Usaha
berbeda KPP

Perhitungan PPh yang harus dibayar Abiyyu di masing-masing KPP:

Lokasi Omzet Sebulan PPh Pasal 25


Usaha 1 di KPP B Rp 50.000.000 Rp 375.000
Usaha 2 di KPP B Rp 100.000.000 Rp 750.000
Usaha3 di KPP C Rp 200.000.000 Rp 1.500.000
Terima kasih!

Anda mungkin juga menyukai