Anda di halaman 1dari 23

ABSES HEPAR

A. PENDAHULUAN

Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau
sel darah didalam parenkim hati .(1)

Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan
abses hati piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk
Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess,
bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP ini merupakan
kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400 SM) dan
dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936. (1)

Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang


jelek, status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus
urbanisasi menyebabkan bertambahnya kasus abses hati di daerah perkotaan. Di
negara yang sedang berkembang abses hati amuba lebih sering didapatkan secara
endemik dibandingkan dengan abses hati piogenik. Dalam beberapa dekade
terakhir ini telah banyak perubahan mengenai aspek epidemiologis, etiologi,
bakteriologi, cara diagnostik maupun mengenai pengelolaan serta prognosisnya.
(2)

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI HATI

Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar 1.500gr
atau 2 % berat badan orang dewasa normal. Letaknya sebagian besar di regio
hipokondria dekstra, epigastrika, dan sebagian kecil di hipokondria sinistra. Hati
memiliki dua lobus utama yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen
anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan. Lobus kiri dibagi menjadi segmen
medial dan lateral oleh ligamentum falsiformis. Di bawah peritonium terdapat jaringan

1
ikat padat yang disebut kapsula Glisson yang meliputi seluruh permukaan hati. Setiap
lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang disebut sebagai lobulus, yang
merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ yang terdiri atas lempeng-
lempeng sel hati dimana diantaranya terdapat sinusoid. Selain sel-sel hati,
sinusoid vena dilapisi oleh sel endotel khusus dan sel Kupffer yang merupakan
makrofag yang melapisi sinusoid dan mampu memfagositosis bakteri dan benda
asing lain dalam darah sinus hepatikus. Hati memiliki suplai darah dari saluran
cerna dan limpa melalui vena porta hepatika dan dari aorta melalui arteria
hepatika. (2,3,4)

Hati mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Beberapa di antaranya


yaitu: (3,4,5,6)
 Pembentukan dan ekskresi empedu
Dalam hal ini terjadi metabolisme pigmen dan garam empedu. Garam empedu
penting untuk pencernaan dan absopsi lemak serta vitamin larut-lemak di dalam
usus.

2
 Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak,
protein) setelah penyerapan dari saluran pencernaan
a. Metabolisme karbohidrat : menyimpan glikogen dalam jumlah besar,
konversi galaktosa dan friktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, serta
pembentukan banyak senyawa kimia dari produk antara metabolisme
karbohidrat.
b. Metabolisme lemak : oksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi
fungsi tubuh yang lain, sintesis kolesterol,fosfolipid,dan sebagian besar
lipoprotein, serta sintesis lemak dari protein dan karbohidrat
c. Metabolisme protein : deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk
mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma, serta
interkonversi beragam asam amino dan sintesis senyawa lain dari asam
amino.

 Penimbunan vitamin dan mineral


Vitamin larut-lemak ( A,D,E,K ) disimpan dalam hati, juga vitamin B12,
tembaga, dan besi dalam bentuk ferritin. Vitamin yang paling banyak disimpan
dalam hati adalah vitamin A, tetapi sejumlah besar vitamin D dan B12 juga
disimpan secara normal.
 Hati menyimpan besi dalam bentuk ferritin
Sel hati mengandung sejumlah besar protein yang disebut apoferritin, yang
dapat bergabung dengan besi baik dalam jumlah sedikit maupun banyak.
Oleh karena itu, bila besi banyak tersedia dalam cairan tubuh, maka besi
akan berikatan dengan apoferritin membentuk ferritin dan disimpan dalam
bentuk ini di dalam sel hati sampai diperlukan. Bila besi dalam sirkulasi
cairan tubuh mencapai kadar rendah, maka ferritin akan melepaskan besi.

 Hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam


jumlah banyak
Zat-zat yang dibentuk di hati yang digunakan pada proses koagulasi
meliputi fibrinogen, protrombin, globulin akselerator, faktor VII, dan

3
beberapa faktor koagulasi lainnya. Vitamin K dibutuhkan oleh proses
metabolisme hati, untuk membentuk protrombin dan faktor VII, IX, dan X.

 Hati mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon, dan zat


lain
Medium kimia yang aktif dari hati dikenal kemampuannya dalam melakukan
detoksifikasi atau ekskresi berbagai obat-obatan meliputi sulfonamid,
penisilin, ampisilin, dan eritromisin ke dalam empedu. Beberapa hormon yang
disekresi oleh kelenjar endokrin diekskresi atau dihambat secara kimia oleh
hati meliputi tiroksin dan terutama semua hormon steroid seperti estrogen,
kortisol, dan aldosteron.

 Hati berfungsi sebagai gudang darah dan filtrasi


Hati adalah organ venosa yang mampu bekerja sebagai tempat penampungan
darah yang bermakna saat volume darah berlebihan dan mampu menyuplai
darah ekstra di saat kekurangan volume darah. Sinusoid hati merupakan depot
darah yang mengalir kembali dari vena cava (gagal jantung kanan). kerja
fagositik sel Kupffer membuang bakteri dan debris dari darah.

C. EPIDEMIOLOGI
Di negara – negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara
endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di seluruh
dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene /sanitasi yang
kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8 – 15 per 100.000 kasus AHP yang
memerlukan perawatan di RS, dan dari beberapa kepustakaan Barat,
didapatkan prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29 – 1,47% sedangkan
prevalensi di RS antara 0,008 – 0,016%. AHP lebih sering terjadi pada pria
dibandingkan perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih dari 40 tahun,
dengan insidensi puncak pada dekade ke – 6. (1)
Abses hati piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal
setelah otopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG, CT
Scan dan MRI lebih mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi otopsi

4
berkisar antara 0,29-1,47 % sedangkan insidennya 8-15 kasus/100.000
penderita. (2)
Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi
E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens
amubiasis hati di rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17 % sedangkan di
berbagai rumah sakit di Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun.
Penelitian di Indonesia menunjukkan perbandingan pria dan wanita berkisar
3:1 sampai 22:1, yang tersering pada dekade keempat. Penularan umumnya
melalui jalur oral-fekal dan dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan yang
menderita amubiasis hati adalah pria dengan rasio 3,4-8,5 kali lebih sering dari
wanita. Usia yang sering dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama dewasa
muda dan lebih jarang pada anak. Infeksi E.histolytica memiliki prevalensi
yang tinggi di daerah subtropikal dan tropikal dengan kondisi yang padat
penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk. (2,7)

D. ETIOLOGI

D.1 Abses Hati Amebik

Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai


parasit non-patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba
histolytica yang dapat menyebabkan penyakit. Hanya sebagian kecil
individu yang terinfeksi Entamoeba histolytica yang memberikan gejala
amebiasis invasif, sehingga diduga ada 2 jenis Entamoeba histolytica yaitu
strain patogen dan non-patogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain
Entamoeba histolytica ini berbeda berdasarkan kemampuannya
menimbulkan lesi pada hati. (2)

5
Amuba bentuk trofozoit dengan pseupoda ukuran besar (8)

Entamoeba histolytica adalah protozoa usus kelas Rhizopoda yang


mengadakan pergerakan menggunakan pseupodia/kaki semu. Terdapat 3
bentuk parasit, yaitu tropozoit yang aktif bergerak dan bersifat invasif,
mampu memasuki organ dan jaringan, bentuk kista yang tidak aktif
bergerak dan bentuk prakista yang merupakan bentuk antara kedua stadium
tersebut. Tropozoit adalah bentuk motil yang biasanya hidup komensal di
dalam usus. Dapat bermultiplikasi dengan cara membelah diri menjadi 2
atau menjadi kista. Tumbuh dalam keadaan anaerob dan hanya perlu bakteri
atau jaringan untuk kebutuhan zat gizinya. Tropozoit ini tidak penting untuk
penularan karena dapat mati terpajan hidroklorida atau enzim pencernaan.
Jika terjadi diare, tropozoit dengan ukuran 10-20 um yang berpseudopodia
keluar, sampai yang ukuran 50 um.Tropozoit besar sangat aktif bergerak,
mampu memangsa eritrosit, mengandung protease yaitu hialuronidase dan
mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan destruksi jaringan.
Bentuk tropozoit ini akan mati dalam suasana kering atau asam. Bila tidak
diare/disentri tropozoit akan membentuk kista sebelum keluar ke tinja. (2,9)
Kista akan berinti 4 setelah melakukan 2 kali pembelahan dan
berperan dalam penularan karena tahan terhadap perubahan lingkungan,
tahan asam lambung dan enzim pencernaan. Kista infektif mempunyai 4 inti
merupakan bentuk yang dapat ditularkan dari penderita atau karier ke
manusia lainnya. Kista berbentuk bulat dengan diameter 8-20 um, dinding

6
kaku. Pembentukan kista ini dipercepat dengan berkurangnya bahan
makanan atau perubahan osmolaritas media. (2,9)

D.2 Abses Hati Piogenik

Etiologi AHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic


streptococci, anaerobic streptococci, klebsiella pneumoniae, bacteriodes,
fusobacterium, staphylococcus aureus, staphylococcus milleri, candida
albicans, aspergillus, actinomyces, eikenella corrodens, yersinia
enterolitica, salmonella typhi, brucella melitensis, dan fungal. Organisme
penyebab yang paling sering ditemukan adalah E.Coli, Klebsiella
pneumoniae, Proteus vulgaris, Enterobacter aerogenes dan spesies dari
bakteri anaerob ( contohnya Streptococcus Milleri ). Staphylococcus aureus
biasanya organisme penyebab pada pasien yang juga memiliki penyakit
granuloma yang kronik. Organisme yang jarang ditemukan sebagai
penyebabnya adalah Salmonella, Haemophillus, dan Yersinia. Kebanyakan
abses hati piogenik adalah infeksi sekunder di dalam abdomen. Bakteri
dapat mengivasi hati melalui :
1. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal atau bisa
menyebabkan fileplebitis porta
2. Arteri hepatika sehingga terjadi bakteremia sistemik
3. Komplikasi infeksi intra abdominal seperti divertikulitis, peritonitis,
dan infeksi post operasi
4. Komplikasi dari sistem biliaris, langsung dari kantong empedu atau
saluran-saluran empedu. Obstruksi bilier ekstrahepatik
menyebabkan kolangitis. Penyebab lainnya biasanya berhubungan
dengan choledocholithiasis, tumor jinak dan ganas atau pascaoperasi
striktur.
5. Trauma tusuk atau tumpul. Selain itu embolisasi transarterial dan
cryoablation massa hati sekarang diakui sebagai etiologi baru abses
piogenik.

7
6. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada
orang lanjut usia. Namun insiden meningkat pada pasien dengan
diabetes atau kanker metastatik. (1,7,10,11)

E. PATOGENESIS

E.1 Abses Hepar Amebik

Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista,


baik melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi
langsung pada orang dengan higiene yang buruk. Kasus yang jarang terjadi
adalah penularan melalui seks oral ataupun anal. (11,12)
E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang
menyebabkan penyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat
ditemukan pada lumen usus. Bentuk kista tahan terhadap asam lambung
namun dindingnya akan diurai oleh tripsin dalam usus halus. Kemudian
kista pecah dan melepaskan trofozoit yang kemudian menginvasi lapisan
mukosa usus. Amuba ini dapat menjadi patogen dengan mensekresi enzim
cysteine protease, sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan
menyebar keseluruh organ secara hematogen dan perkontinuinatum.
Amoeba yang masuk ke submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam
aliran darah melalui vena porta ke hati. Di hati E.hystolitica mensekresi
enzim proteolitik yang melisis jaringan hati, dan membentuk abses. Di hati
terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan
infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu, dan granuloma diganti
dengan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan
fibrosa. Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70% - 90%) karena lobus
kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal
sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan
aliran limfatik. Dinding abses bervariasi tebalnya,bergantung pada
lamanya penyakit. Secara klasik, cairan abses menyerupai ”achovy
paste” dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan
hepar serta sel darah merah yang dicerna. (2,8,12,13)

8
E.2 Abses Hepar Piogenik

Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari
suatu studi di Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses
viseral. Abses hati dapat berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini dapat
terjadi dari penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat
terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum. Hati menerima darah
secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini
memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri yang
berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid hati
akan menghindari terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Bakteri
piogenik dapat memperoleh akses ke hati dengan ekstensi langsung dari
organ-organ yang berdekatan atau melalui vena portal atau arteri
hepatika. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi
aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya
tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari vena
portal dan limfatik sehingga akan terbentuk formasi abses fileflebitis.
Mikroabses yang terbentuk akan menyebar secara hematogen sehingga
terjadi bakteremia sistemik. Penetrasi akibat trauma tusuk akan
menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati sehingga terjadi
AHP. Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan nekrosis hati,
perdarahan intrahepatik dan terjadinya kebocoran saluran empedu
sehingga terjadi kerusakan dari kanalikuli. Kerusakan kanalikuli
menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan terjadi pembentukan pus.
Lobus kanan hati lebih sering terjadi AHP dibanding lobus kiri, kal ini
berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus kanan menerima darah dari arteri
mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus kiri menerima
darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran limfatik. (1,10)

9
F. GAMBARAN KLINIS

F.1 Abses Hepar Amebik (2,8,9,13,)

Gejala :
a. Demam internitten ( 38-40 oC)
b. Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri epigastrium dan dapat menjalar
hingga bahu kanan dan daerah skapula
c. Anoreksia
d. Nausea
e. Vomitus
f. Keringat malam
g. Berat badan menurun
h. Batuk
i. Pembengkakan perut kanan atas
j. Ikterus
k. Buang air besar berdarah
l. Kadang ditemukan riwayat diare
m. Kadang terjadi cegukan (hiccup)

Kelainan fisis :

a. Ikterus
b. Temperatur naik
c. Malnutrisi
d. Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai komplikasi
e. Nyeri perut kanan atas
f. Fluktuasi

F.2 Abses hati piogenik (1,2,8,15)

Gambaran klinis abses hati piogenik menunjukkan manifestasi sistemik yang


lebih berat dari abses hati amuba.
Keluhan :

10
a. Demam yang sifatnya dapat remitten, intermitten atau kontinyu yang
disertai menggigil
b. Nyeri spontan perut kanan atas ditandai dengan jalan membungkuk ke
depan dan kedua tangan diletakkan di atasnya.
c. Mual dan muntah
d. Berkeringat malam
e. Malaise dan kelelahan
f. Berat badan menurun
g. Berkurangnya nafsu makan
h. Anoreksia

Pemeriksaan fisis :

a. Hepatomegali
b. Nyeri tekan perut kanan
c. Ikterus, namun jarang terjadi
d. Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura
e. Buang air besar berwarna seperti kapur
f. Buang air kecil berwarna gelap
g. Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik

G. DIAGNOSIS

G.1 Abses hati amebik (2,9)

Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan


trofozoit amuba. Diagnosis abses hati amebik di daerah endemik dapat
dipertimbangkan jika terdapat demam, nyeri perut kanan atas, hepatomegali
yang juga ada nyeri tekan. Disamping itu bila didapatkan leukositosis,
fosfatase alkali meninggi disertai letak diafragma yang tinggi dan perlu
dipastikan dengan pemeriksaan USG juga dibantu oleh tes serologi. Untuk
diagnosis abses hati amebik juga dapat menggunakan kriteria Sherlock
(1969), kriteria Ramachandran (1973), atau kriteria Lamont dan Pooler.
a. Kriteria Sherlock (1969)

11
1. Hepatomegali yang nyeri tekan
2. Respon baik terhadap obat amebisid
3. Leukositosis
4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang.
5. Aspirasi pus
6. Pada USG didapatkan rongga dalam hati
7. Tes hemaglutinasi positif
b. Kriteria Ramachandran (1973)
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Riwayat disentri
3. Leukositosis
4. Kelainan radiologis
5. Respons terhadap terapi amebisid
c. Kriteria Lamont Dan Pooler
Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Kelainan hematologis
3. Kelainan radiologis
4. Pus amebik
5. Tes serologi positif
6. Kelainan sidikan hati
7. Respons terhadap terapi amebisid

G.2 Abses hati piogenik

Menegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis


dan laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP kadang-
kadang sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik.
Diagnosis dapat ditegakkan bukan hanya dengan CT-Scan saja, meskipun
pada akhirnya dengan CT-Scan mempunyai nilai prediksi yang tinggi untuk
diagnosis AHP, demikian juga dengan tes serologi yang dilakukan. Tes
serologi yang negatif menyingkirkan diagnosis AHA, meskipun terdapat

12
pada sedikit kasus, tes ini menjadi positif beberapa hari kemudian.
Diagnosis berdasarkan penyebab adalah dengan menemukan bakteri
penyebab pada pemeriksaan kultur hasil aspirasi, ini merupakan standar
emas untuk diagnosis. (1)

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

H.1 Pemeriksaan Laboratorium

Pada pasien abses hati amebik, pemeriksaan hematologi didapatkan


hemoglobin 10,4-11,3 g% sedangkan lekosit 15.000-16.000/mL3 . pada
pemeriksaan faal hati didapatkan albumin 2,76-3,05 g%, globulin 3,62-3,75
g%, total bilirubin 0,9-2,44 mg%, fosfatase alkali 270,4-382,0 u/L, SGOT
27,8-55,9 u/L dan SGPT 15,7-63,0 u/L. Jadi kelainan yang didapatkan pada
amubiasis hati adalah anemia ringan sampai sedang, leukositosis berkisar
15.000/mL3. Sedangkan kelainan faal hati didapatkan ringan sampai
sedang. Uji serologi dan uji kulit yang positif menunjukkan adanya Ag atau
Ab yang spesifik terhadap parasit ini, kecuali pada awal infeksi. Ada
beberapa uji yang banyak digunakan antara lain hemaglutination (IHA),
countermunoelectrophoresis (CIE), dan ELISA. Real Time PCR cocok
untuk mendeteksi E.histolityca pada feses dan pus penderita abses hepar.
(2,7,9)

Pada pasien abses hati piogenik, mungkin didapatkan leukositosis


dengan pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah, gangguan
fungsi hati seperti peninggian bilirubin, alkalin fosfatase, peningkatan
enzim transaminase, serum bilirubin, berkurangnya konsentrasi albumin
serum dan waktu protrombin yang memanjang menunjukkan bahwa
terdapat kegagalan fungsi hati. Kultur darah yang memperlihatkan bakterial
penyebab menjadi standar emas untuk menegakkan diagnosis secara
mikrobiologik. Pemeriksaan biakan pada permulaan penyakit sering tidak
ditemukan kuman. Kuman yang sering ditemukan adalah kuman gram
negatif seperti Proteus vulgaris, Aerobacter aerogenes atau Pseudomonas

13
aeruginosa, sedangkan kuman anaerib Microaerofilic sp, Streptococci sp,
Bacteroides sp, atau Fusobacterium sp. (1,2)

H.2 Pemeriksaan Radiologi

Pada pasien abses hati amebik, foto thoraks menunjukkan


peninggian kubah diafragma kanan dan berkurangnya pergerakan
diafragma efusi pleura kolaps paru dan abses paru. Kelainan pada foto polos
abdomen tidak begitu banyak. Mungkin berupa gambaran ileus,
hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas hati. Jarang didapatkan air
fluid level yang jelas, USG untuk mendeteksi amubiasis hati, USG sama
efektifnya dengan CT atau MRI. Gambaran USG pada amubiasis hati adalah
bentuk bulat atau oval tidak ada gema dinding yang berarti ekogenitas lebih
rendah dari parenkim hati normal bersentuhan dengan kapsul hati dan
peninggian sonic distal. Gambaran CT scan : 85 % berupa massa soliter
relatif besar, monolokular, prakontras tampak sebagai massa hipodens
berbatas suram. Densitas cairan abses berkisar 10-20 H.U. Pasca kontras
tampak penyengatan pada dinding abses yang tebal. Septa terlihat pada 30
% kasus. Penyengatan dinding terlihat baik pada fase porta. (2)

Gambaran CT Scan pada abses hati amebic(8)

Pada pasien abses hati piogenik, foto polos abdomen kadang-kadang


didapatkan kelainan yang tidak spesifik seperti peninggian diafragma
kanan, efusi pleura, atelektasis basal paru, empiema, atau abses paru. Pada
foto thoraks PA, sudut kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral sudut
kostofrenikus anterior tertutup. Secara angiografik abses merupakan daerah
avaskuler. Kadang-kadang didapatkan gas atau cairan pada subdiafragma

14
kanan. Pemeriksaan USG, radionuclide scanning, CT scan dan MRI
mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. CT scan dan MRI dapat menetapkan
lokasi abses lebih akurat terutama untuk drainase perkutan atau tindakan
bedah. Gambaran CT scan : apabila mikroabses berupa lesi hipodens kecil-
kecil < 5 mm sukar dibedakan dari mikroabses jamur, rim enhancement
pada mikroabses sukar dinilai karena lesi terlalu kecil. Apabila mikroabses
> 10 mm atau membentuk kluster sehingga tampak massa agak besar maka
prakontras kluster piogenik abses tampak sebagai masa low density berbatas
suram. Pasca kontras fase arterial tampak gambaran khas berupa masa
dengan rim enhancement dimana hanya kapsul abses yang tebal yang
menyengat. Bagian tengah abses terlihat hipodens dengan banyak septa-
septa halus yang juga menyengat, sehingga membentuk gambaran
menyerupai jala. Fase porta penyengatan dinding kapsul abses akan
semakin menonjol dan sekitar dinding abses tampak area yang hipodens
sebagai reaksi edema di sekitar abses. Sebagian kecil piogenik bersifat
monokuler, tidak bersepta, dan menyerupai abses amoebiasis. Pembentukan
gas di dalam abses biasanya pada infeksi oleh kuman Klebsiella. (1,2,)

Gambaran CT Scan dengan multifokal abses hati piogenik pada segmen IV. Abses lainnya terdapat pada segmen VII
dan VIII.(8)

Karateristik abses pada pemeriksaan MRI adalah lesi dengan


penyengatan kontras yang berbentuk cincin dan bagian sentral yang tidak
tampak penyengatan. Cincin penyengatan tetap terlihat pada fase tunda.(2)
Sangat sukar dibedakan gambaran USG antara abses piogenik dan amebik.
Biasanya sangat besar, kadang-kadang multilokular. Struktur eko rendah
sampai cairan ( anekoik ) dengan adanya bercak-bercak hiperekoik (debris)

15
di dalamnya. Tepinya tegas, ireguler yang makin lama makin bertambah
tebal. (16)

I. PENATALAKSANAAN

I.1 Abses hati amebik (2,12,14,17)

1. Medikamentosa
Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan
penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba.
Pengobatan yang dianjurkan adalah:
a. Metronidazole
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk
amubiasis intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping yang paling
sering adalah sakit kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap logam.
Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amoeba adalah 3 x 750
mg per hari selama 5 – 10 hari. Sedangkan untuk anak ialah 35-50
mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis. Derivat nitroimidazole lainnya
yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800 mg perhari
selama 5 hari, untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari dalam dosis
tunggal selama 3-5 hari.
b. Dehydroemetine (DHE)
Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang direkomendasikan
untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari
atau 1-1,5 mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10
hari. DHE relatif lebih aman karena ekskresinya lebih cepat dan
kadarnya pada otot jantung lebih rendah. Sebaiknya tidak digunakan
pada penyakit jantung, kehamilan, ginjal, dan anak-anak
c. Chloroquin
Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis ekstraintestinal
ialah 2x300 mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150
mg/hari selama 2 atau 3 minggu. Dosis untuk anak ialah 10
mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi selama 3 minggu. Dosis yang

16
dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan diikuti 500 mg/hari selama
20 hari.
2. Aspirasi
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di
atas tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada
ancaman ruptur atau bila terapi dcngan metronidazol merupakan
kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi. Aspirasi
dilakukan dengan tuntunan USG.
3. Drainase Perkutan
Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur
atau diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi
campuran, letak abses dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda
perforasi dan abses pada lobus kiri hati. Selain itu, drainase perkutan
berguna juga pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan
perikardial.
4. Drainase Bedah
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil
mcmbaik dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis
susah dicapai dengan aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah
diindikasikan juga untuk perdarahan yang jarang tcrjadi tetapi
mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses.
Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami
infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila
usaha dekompresi perkutan tidak berhasil Laparoskopi juga
dikedepankan untuk kemungkinannya dalam mengevaluasi tcrjadinya
ruptur abses amuba intraperitoneal.

I.2 Abses hati piogenik (1,2,7,10)

 Pencegahan
Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses
hati piogenik yaitu dengan cara:

17
a. Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu
ataupun tumor dengan rute transhepatik atau dengan
melakukan endoskopi
b. Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal
 Terapi definitif
Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang adekuat
dan menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari
saluran cerna. Pemberian antibiotika secara intravena sampai 3
gr/hari selama 3 minggu diikuti pemberian oral selama 1-2 bulan.
Antibiotik ini yang diberikan terdiri dari:
a. Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan
beberapa jenis bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya
sefalosporin generasi ketiga seperti cefoperazone 1-2
gr/12jam/IV
b. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk
bakteri anaerob terutama B. fragilis. Dosis metronidazole
500 mg/6 jam/IV
c. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.
d. Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisin-
metronidazole, aminoglikosida dan siklosporin.
 Drainase abses
Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase
terbuka terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan
konservatif. Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan
drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan
abdomen ultrasound atau tomografi komputer.
 Drainase bedah
Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi
perkutan, drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen
yang memerlukan manajemen operasi.
J. KOMPLIKASI
J.1 Abses Hepar Amoeba

18
Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6 %.
Ruptur dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau
kulit. Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau
drainase. Infeksi pleuropneumonal adalah komplikasi yang paling umum
terjadi. Mekanisme infeksi termasuk pengembangan efusi serosa simpatik,
pecahnya abses hati ke dalam rongga dada yang dapat menyebabkan empiema,
serta penyebaran hematogen sehingga terjadi infeksi parenkim. Fistula
hepatobronkial dapat menyebabkan batuk produktif dengan bahan nekrotik
mengandung amoeba. Fistula bronkopleural mungkin jarang terjadi.
Komplikasi pada jantung biasanya dikaitkan pecahnya abses pada lobus kiri
hati dimana ini dapat menimbulkan kematian. Pecah atau rupturnya abses dapat
ke organ-organ peritonium dan mediastinum. Kasus pseudoaneurysm arteri
hepatika telah dilaporkan terjadi sebagai komplikasi. (12,13,14)

J.2 Abses Hepar Piogenik


Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit berat seperti
septikamia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati disertai
peritonitis generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan pleuropulmonal,
gagal hati, perdarahan ke dalam rongga abses, hemobilia, empiema, fistula
hepatobronkial, ruptur ke dalam perikard atau retroperineum. Sesudah
mendapatkan terapi, sering terjadi diatesis hemoragik, infeksi luka, abses
rekuren, perdarahan sekunder dan terjadi rekurensi atau reaktifasi abses. (1)

K. PROGNOSIS
Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin,
metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah
sakit dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas
memadai sekitar 2% dan pada fasilitas yang kurang memadai mortalitasnya
10%. Pada kasus yang membutuhkan tindakan operasi mortalitas sekitar 12%.
Jika ada peritonitis amuba, mortalitas dapat mencapai 40-50%. Kematian yang
tinggi ini disebabkan keadaan umum yang jelek, malnutrisi, ikterus, dan
renjatan. Sebab kematian biasanya sepsis atau sindrom hepatorenal. Selain itu,

19
prognosis penyakit ini juga dipengaruhi oleh virulensi penyakit, status imunitas,
usia lanjut, letak serta jumlah abses dan terdapatnya komplikasi. Kematian
terjadi pada sekitar 5% pasien dengan infeksi ektraintestinal, serta infeksi
peritonial dan perikardium. (2,13)
Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang
akurat dengan ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur
anaerob, pemberian antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase
secara bedah. Faktor utama yang menentukan mortalitas antara lain umur,
jumlah abses, adanya komplikasi serta bakterimia polimikrobial dan gangguan
fungsi hati seperti ikterus atau hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir
mortalitas terjadi pada keadaan sepsis abses subfrenik atau subhepatik, ruptur
abses ke rongga peritonium, ke pleura atau ke paru, kegagalan hati, hemobilia,
dan perdarahan dalam abses hati. Penyakit penyerta yang menyebabkan
mortalitas tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan sirosis hati. Mortalitas
abses hati piogenik yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial
penyebab dan dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila:
terjadi umur di atas 70 tahun, abses multipel, infeksi polimikroba, adanya
hubungan dengan keganasan atau penyakit immunosupresif, terjadinya sepsis,
keterlambatan diagnosis dan pengobatan, tidak dilakukan drainase terhadap
abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit lain.
(1,2)

L. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS (18)

Differential Diagnosis Manifestasi Klinis


Hepatoma Merupakan tumor ganas hati primer.
Anamnesis: penurunan berat badan, nyeri perut kanan
atas, anoreksia, malaise, benjolan perut kanan atas.
Pemeriksaaan fisik : hepatomegali berbenjol-benjol,
stigmata penyakit hati kronik.
Laboratorium : peningkatan AFP, PIVKA II, alkali
fosatase

20
USG : lesi lokal/ difus di hati
Kolesistitis akut Merupakan reaksi inflamasi kandung empedu akibat
infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut
kanan atas, nyeri tekan, dan panas badan.
Anamnesis : nyeri epigastrium atau perut kanan atas
yang dapat menjalar ke daerah scapula kanan, demam.
Pemeriksaan fisik : teraba massa kandung empedu,
nyeri tekan disertai tanda-tanda peritoitis lokal, Murphy
sign (+), ikterik biasanya menunjukkan adanya batu di
saluran empedu ekstrahepatik.
Laboratorium: leukositosis
USG : penebalan dining kandung empedu, sering
ditemukan pula sludge atau batu.

DAFTAR PUSTAKA

21
1. Wenas,Nelly Tendean. Waleleng,B.J. Abses hati piogenik. Dalam :
Sudoyo,Aru W. Setiyohadi,Bambang. Alwi,Idrus. Simadibrata,Marcellus.
Setiati,Siti. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007. Hal 460-461.
2. Sofwanhadi, Rio. Widjaja, Patricia. Koan, Tan Siaw. Julius. Zubir, Nasrul.
Anatomi hati. Gambar tomografi dikomputerisasi (CT SCAN). Magnetic
resonance imaging (MRI) hati. Abses hati. Penyakit hati parasit. Dalam :
Sulaiman, Ali. Akbar, Nurul. Lesmana, Laurentius A. Noer, Sjaifoellah M.
Buku ajar ilmu penyakit hati edisi pertama. Jakarta : Jayabadi. 2007. Hal 1,
80-83, 93-94, 487-491, 513-514.
3. Lindseth, Glenda N. Gangguan hati, kandung empedu, dan pankreas. Dalam
: Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi konsep klinis proses-
proses penyakit vol.1 edisi 6. Jakarta : EGC. 2006. Hal 472-476.
4. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Hati sebagai suatu organ. Dalam : Buku
ajar fisiologi kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC. 2008. Hal 902-906.
5. Sherwood, Lauralee. Sistem pencernaan. Dalam : Fisiologi manusia dari sel
ke sistem edisi 2. Jakarta : EGC. 2001. Hal 565.
6. Keshav, Satish. Structure and function. In : The gastrointestinal system at a
glance. United Kingdom : Ashford Colour Press, Gosport. 2004. Chapter
27-28.
7. Friedman, Lawrence S. Rosenthal, Philip J. Goldsmith, Robert S. Liver,
biliary tract and pancreas. Protozoal and helminthic infections. In :
Papadakis, Maxine A. McPhee, Stephen J. Tierney, Lawrence M. Current
medical diagnosis and treatment 2008 forty-seventh edition. Jakarta : PT.
Soho Industri Pharmasi. 2008. Page 596, 1304-1306.
8. Krige,J. Beckingham, I.J. Liver abscesses and hydatid disease. In :
Beckingham, I.J. ABC of Liver, Pancreas, and Gall Bladder. Spain :
GraphyCems,Navarra. 2001. Chapter 40-42
9. Soedarto. Penyakit protozoa. Dalam : Sinopsis kedokteran tropis. Surabaya
: Airlangga University Press. 2007. Hal 23-24, 27-29.

22
10. Nickloes, Todd A. Pyogenic liver abcesses. January 23th, 2009. November
1st, 2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/193182-
overview#showall.
11. Crawford, James M. Hati dan saluran empedu. Dalam : Kumar. Cotran.
Robbins. Robbins buku ajar patologi vol.2 edisi 7. Jakarta : EGC. 2007. Hal
684.
12. Fauci. et all. Infectious disease. In : Harrison’s principles of internal
medicine 17th edition. USA. 2008. Chapter 202.
13. Brailita, Daniel. Amebic liver abscesses. September 19th, 2008. November
1st, 2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/183920-
overview#showall.
14. Junita,Arini. Widita,Haris. Soemohardjo,Soewignjo. Beberapa kasus abses
hati amuba. Dalam : Jurnal penyakit dalam vol. 7 nomor 2. Mei 2006. 1
November 2011. Diunduh dari :
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/beberapa%20kasus%20abses%20hati%2
0amuba%20(dr%20arini).pdf.
15. Kliegman. Behrman. Jenson. Stanton. The digestive system. In : Nelson
textbook of pediatric 18th edition. USA. 2007. Chapter 356.
16. Iljas, Mohammad. Ultrasonografi hati. Dalam : Rasad, Sjahriar. Radiologi
diagnostik edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal 469.
17. Syarif, Amir. Elysabeth. Amubisid. Dalam : Gunawan, Sulistia Gan.
Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta : Balai
Penerbit UI. 2008. Hal 551-554.
18. Rani, Aziz. Soegondo, Sidartawan. Nasir, Anna Uyainah. Wijaya, Ika
Prasetya. Nafrialdi. Mansjoer, Arif. Abses hati. Kolesistitis akut. Dalam :
Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam
Indonesia. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Hal 321-
324.
19. Almatsier, Sunita. Diet penyakit hati dan kandung empedu. Dalam :
Penuntun diet edisi baru. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 2010. Hal
120-122.

23

Anda mungkin juga menyukai