Halaman
HALAMAN JUDUL 1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG 3
1.3 RUMUSAN MASALAH 3
1.2 TUJUAN 3
1.2.1 Tujuan Umum 3
1.2.2 Tujuan Khusus 3
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1 Kepemimpinan 5
2.2 Konflik 8
2.3 Pengaruh Kepemimpinan dalam Manajemen Konflik 13
BAB III PEMBAHASAN 15
BAB IV PENUTUP
4.1 KESIMPULAN 20
4.2 SARAN 20
DAFTAR PUSTAKA 21
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Setelah menyusun makalah ini, diharapkan mahasiswa mampu memahami
tentang penerapan manajemen konflik di seluruh tatanan.
3
b. Menjelaskan pengaruh kepemimpinan dalam manajemen konflik.
c. Membuat kasus konflik dan melakukan analisa terkait gaya kepemimpinan dan
strategi penyelesaian konflik yang tepat.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepemimpinan
2.1.1 Definisi
Kepemimpinan adalah suatu seni untuk memotivasi sekelompok orang
untuk bertindak dalam mencapai tujuan bersama (Marquis & Huston, 2012).
5
kepada bawahan kemudian mengabaikan masukan dari bawahan (Russel,
2011) .
g. Management Theories
Teori Manajemen (sering disebut Teori Transaksional) menyimpulkan
bahwa kinerja yang optimal dapat dicapai melalui pemberian reward and
punisment. Teori-teori ini sering digunakan dalam manajemenperusahaan
atau institusi di mana karyawan diberikan reward berupa bonus/insentif dan
cuti ketika kinerja mereka dianggap baik oleh atasan dan diberi punishment
berupa teguran, penggantian jam kerja/lembur ketika kinerja mereka sangat
di bawah ekspektasi (Zagorsek at all, 2009).
h. Relationship theories
Teori Hubungan (Teori Transformasional) menyimpulkan bahwa
pemimpin harus membuat perubahan positif kepada bawahan sehingga dapat
meningkatkan motivasi dan kinerja bawahan (Konorti, 2008). Pemimpin
harus memotivasi dan menginspirasi bawahan dengan membantu mereka
untuk memahami pentingnya tugas atau tujuan yang akan dicapai. Pemimpin
dalam model teoritis ini biasanya memiliki standar etika dan moral yang
tinggi dan berusaha untuk memastikan organisasi, kelompok dan
keberhasilan individu (Buckley & Brown, 2005)
6
2) Reward diberikan untuk memotivasi bawahan
3) Atasan hanya memberikan arahan dan petunjuk
4) Komunikasi ke atas dan ke bawah
5) Pengambilan keputusan merupakan kesepakatan bersama
6) Penekanan pada “kami” bukan “saya” dan “kamu”
7) Kritik bersifat konstruktif
c. Laissez faire leadership
Kepemimpinan Laissez-faire menjelaskan bahwa semua tanggung
jawab untuk pengambilan keputusan diserahkan kepada bawahan. Atasan
memberikan bimbingan, melakukan monitoring dan memberikan bahan
kepada bawahan untuk dapat mengembangkan program dan akhirnya
membuat keputusan. Jenis kepemimpinan ini dapat diterapkan dengan efektif
jika bawahan mempunyai pengetahuan dan pengalaman.
Beberapa karakteristik laissez-faire leadership:
1) Permisif, dengan sedikit atau tanpa ada kontrol
2) Motivasi yang diberikan hanya ketika ada permintaan dari kelompok
atau individu
3) Memberikan sedikit atau tanpa arahan
4) Menggunakan komunikasi dari atas ke bawah antar anggota kelompok
5) Pengambilan keputusan diserahkan kepada kelompok
6) Penekanan pada kelompok
7) Tidak ada kritik
7
c. Peran Pembuat Keputusan (The Decisional Roles)
1) Pengusaha (Entrepreneurial)
Pemimpin harus memiliki sikap pro aktif dalam mengembangkan
suatu proyek dan menyusun sumberdaya yang dibutuhkan.
2) Penghalau Gangguan (Disturbance Handler)
Pemimpin harus bersikap reaktif terhadap masalah dan tekanan
situasi.
3) Pembagi Sumber Dana (Resource Allocator)
Pemimpin harus dapat mendistribusikan sumber dana ke bagian-
bagian dari organisasinya yang aling membutuhkan baik berupa uang,
waktu, perbekalan, tenaga kerja dan reputasi.
4) Pelaku Negosiasi (Negotiator)
Pemimpin harus mampu melakukan negosiasi pada setiap
tingkatan, baik dengan bawahan, atasan maupun pihak luar.
2.2 Konflik
2.2.1 Definisi Konflik
Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari perbedaan ide,
nilai-nilai, dan perasaan antara dua orang atau lebih (Marquis & Huston, 1996
dalam Hendel dkk, 2005). Menurut Kazimoto (2013), konflik adalah adanya
perselisihan yang terjadi ketika tujuan, keinginan, dan nilai bertentangan terhadap
individu atau kelompok.
2.2.2 Sumber Konflik
Shetach (2012) menyatakan bahwa konflik terjadi disebabkan karena: (1)
perbedaan interpersonal pada setiap dimensi-umur, jenis kelamin, ras,pandangan,
perasaan, pendidikan, pengalaman, tingkah laku, pendapat,budaya, kebangsaan,
keyakinan, dll, (2) perbedaan kepentingan dalam hubungan antar manusia karena
perbedaan budaya, posisi, peran, status, dan tingkat hirarki.
Menurut Robbins (2008), konflik muncul karena ada kondisi yang
melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga
sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu : komunikasi,
struktur, dan variabel pribadi.
a. Komunikasi
Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan
kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber
konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik,
pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran
komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi
kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
b. Struktur
Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang
mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada
anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara
tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem
imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian
menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan
variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan
makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan
terjadinya konflik.
8
c. Variabel Pribadi
Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi,
yangmeliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu,
karakteristikkepribadian yang menyebabkan individu memiliki
keunikan(idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan
menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yangsangat
otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan sumber
konflik yang potensial.
9
untuk menangani konflik disfungsional dalam organisasi. Menggambarkan
sisi pemecahan masalah yang berorientasi pada orang lain (concern for
others) dan pemecahan masalah yang berorientasi pada diri sendiri (concern
for self). Kombinasi dari kedua variabel ini menghasilkan lima gaya
penanganan masalah yang berbeda, yaitu: integrating, obliging, dominating,
avoiding, dan compromising.
1) Integrating (Problem Solving)
Proses integrasi berkaitan dengan mekanisme pemecahan
masalah(problem solving), seperti dalam menentukan diagnosis dan
intervensi yang tepat dalam suatu masalah. Dalam gaya ini pihak-
pihakyang berkepentingan secara bersama-samamengidentifikasikan
masalah yang dihadapi, bertukar informasi, kemudian mencari,
mempertimbangkan dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah.
Gaya ini cocok untuk memecahkan isu-isu kompleks yang disebabkan
oleh salah paham (misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk
memecahkan masalah yang terjadi karena sistem nilai yang berbeda.
Kelemahan utamanya adalah memerlukan waktu yang lama dalam
penyelesaian masalah (Rahim, 2002). Langkah-langkah untuk mencapai
solusi ini antara lain adalah mulai dengan berdiskusi, dengan waktu dan
tempat yang kondusif, menghargai perbedaan individu, bersikap empati
dengan semua pihak, menggunakan komunikasi asertif dengan
mamaparkan isu dan fakta dengan jelas, membedakan sudut pandang,
meyakinkan bahwa tiap individu dapat menyampaikan idenya masing-
masing, membuat kerangka isu utama berdasarkan prinsip yang umum,
menjadi pendengar yang baik. Setuju terhadap solusi yang
menyeimbangkan kekuatan dan memuaskan semua pihak sehingga
dicapai “win-win solution”.
2) Obliging (Smoothing)
Seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatianpada
upaya untuk memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Gaya ini sering
pula disebut smothing (melicinkan), karena berupaya mengurangi
perbedaan-perbedaan dan menekankan pada persamaan atau
kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Kekuatan strategi ini
terletak pada upaya untuk mendorong terjadinya kerjasama.
Kelemahannya, penyelesaian bersifat sementara dan tidak menyentuh
masalah pokok yang ingin dipecahkan.
3) Dominating (Forcing)
Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian
terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang
untukmenggunakan taktik “saya menang, kamu kalah”. Gaya ini sering
disebut memaksa (forcing) karena menggunakan legalitas formal dalam
menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok digunakan jika cara-cara yang
tidak populer hendak diterapkan dalam penyelesaian masalah, masalah
yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan harus mengambil keputusan
dalam waktu yang cepat. Namun, teknik ini tidak tepat untuk menangani
masalah yang menghendaki adanya partisipasi dari mereka yang terlibat
dan juga tidak tepat untuk konflik yang bersifat kompleks . Kekuatan
utama gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan konflik. Kelemahannya, sering menimbulkan
10
kejengkelan atau rasa berat hati untuk menerima keputusan oleh mereka
yang terlibat.
4) Avoiding
Teknik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk
menyelesaikan masalah yang sederhana, atau jika biaya yang harus
dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar daripada keuntungan
yang akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk menyelesaikan
masalah-malasah yang sulit atau “buruk”. Teknik ini kurang tepat pada
konflik yang menyangkut isu-isu penting, dan adanya tuntutan tanggung
jawab untuk menyelesaikan masalah secara tuntas (Rahim, 2002).
Kekuatan dari strategi penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi
yang membingungkan atau mendua (ambiguous situations). Sedangkan
kelemahannya, penyelesaian masalah hanya bersifat sementara dan tidak
menyelesaikan pokok masalah.
5) Compromising
Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yangsecara
seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang
lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi dan menerima (give and
take approach) dari pihak-pihak yang terlibat. Kompromi cocok
digunakan untuk menangani masalah yang melibatkan pihak-pihak yang
memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan yang sama. Kekuatan
utama dari kompromiadalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak
ada pihak yang merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang
bersifat sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam
penyelesaian masalah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Hendel (2005), gaya ini merupakan gaya yang paling banyak dipilih oleh
perawat dalam menyelesaikan konflik yang terjadi.
11
Gambar 2. Proses Manajemen Konflik (Rahim, 2002)
12
sekaligus hal ini sebagai feedback proses diagnosing padakonflik yang sudah
ada ataupun konflik yang baru.
d. Outcome Resolusi Konflik
Menurut Huber (2010) outcome conflict adalah hasil dari proses
manajemen konflik antara lain:
1) Win-lose
Salah satu pihak mendominasi dan pihak yang lain terabaikan.
Yang menduduki porsi lebih besar mendapatkan kemenangan dan
sebaliknya yang lebih sedikit mengalami kekalahan.
2) Lose-lose
Semua pihak yang bertentangan mengalami kerugian. Teknik
penyuapan, memperjualbelikan, menggunakan pihak ketiga untuk
mengancam dapat memuncullkan hasil resolusi ini.
3) Win-win
Resolusi ini dicapai saat semua pihak menyetujui dan
mendapatkan manfaat dari penyelesaian konflik.
13
adalah obliging, integrating, dan compromising. Sebaliknya, bila suasana komunikasi
bersifat defensive, dominating dan avoiding menjadi pilihan (Hassan, B. et al, 2011).
Pengaruh kepemimpinan dalam pemecahan masalah konflik juga bisa dilihat dalam
model “CAPI” yang dirumuskan oleh Shetach (2012). Dengan menerapkan CAPI
(Coaleshing Authority, Power, and Influence) model’s dalam manajemen kelompok,
diharapkan pemimpin mampu menggunakan kekuatan, otoritas, dan pengaruhnya dalam
memutuskan strategi penyelesaian konflik yang tepat.
14
BAB III
PEMBAHASAN
15
Dalam kasus diatas teori keperawatan yang dapat diterapkan adalah
participative theories dimana pemimpin yang baik mempertimbangkan apa yang
orang lain miliki sebagai masukan. Jenis kepemimpinan pada teori ini
memberikan kepercayaan terhadap bawahan untuk bersama-sama menyelesaikan
konflik. Sedangkan gaya kepemimpinan yang sesuai dipakai oleh direktur
keperawatan untuk menyelesaikan kasus di atas adalah democratic style dimana
pemimpin mendorong partisipasi bawahan untuk berkontribusi pada proses
pengambilan keputusan. Direktur keperawatan tetap membuat keputusan akhir
tetapi kedua manajer keperawatan terlibat dalam brainstorming dan diskusi.
Direktur keperawatan juga harus menjalankan perannya sebagai
seorangpemimpin dalam menyelesaikan konflik pada kasus di atas, yaitu:
a. Peran interpersonal
Untuk menyelesaikan konflik pada kasus diatas, seorang direktur
keperawatan harus bisa menjalankan fungsinya sebagai seorang leader,
dimana direktur keperawatan harus bisa mengajak perawat R sebagai
manajer keperawatan ruangan neuroscience dan perawat J sebagai manajer
ruangan orthopedic untuk duduk bersama dalam menyelesaikan konflik.
Selain itu direktur keperawatan harus menjadi fasilitator antara kedua
manager keperawatan dalam menyelesaikan konflik tersebut.
b. Peran informasional
Direktur keperawatan harus melakukan pengamatan dan pemeriksaan
langsung ke ruangan neuroscience dan ruangan orthopedic untuk
mendapatkan informasi yang valid, yakni melihat ruangan mana yang lebih
prioritas untuk dilakukan renovasi.
c. Peran pembuat keputusan
Direktur keperawatan harus menjalankan fungsinya sebagai pembuat
keputusan, dimana direktur keperawatan harus memilih ruangan manayang
akan di renovasi terlebih dahulu agar tidak salah dalammendistribusikan
sumber dana yang ada. Direktur keperawatan harus mampu melakukan
negosiasi kepada perawat R dan perawat J selaku manager keperawatan
terkait sumber dana yang ada, sehingga dihasilkan keputusan yang win-win
solution antara kedua belah pihak.
3.2.2 Analisa Strategi Penyelesaian Konflik
Pemimpin yang dikatakan mampu menerapkan manejemen konflik (a
conflict-competent leader) adalah pemimpin yang mampu memahami dinamika
terjadinya suatu konflik, memahami reaksi konflik, respon konstruktif, dan
membangun suatu organisasi yang mampu menangani konflik secara efektif (a
conflict-competent organization) (Runde and Flanagan, 2007). Menurut Rahim
(2002) proses manajemen konflik meliputi proses dari diagnosis, intervensi, dan
evaluasi (feedback). Berdasarkan kasus di atas, berikut adalah langkah-langkah
yang dilakukan sebagai bentuk strategi penyelesaian konflik.
a. Diagnosis (Measurement dan analisis)
1) Identifikasi batasan konflik
Menurut Rigio (2003) jenis-jenis konflik yang ada antara lain
konflik intrapersonal, konflik interpersonal, konflik intra kelompok dan
konflik antar kelompok. Berdasarkan kasus di atas, terdapat 2 jenis
konflik yang terjadi antara lain konflik interpersonal dan konflik antar
kelompok. Konflik interpersonal yang terjadi adalah antara Perawat J
dan Perawat R yang sebelumnya sudah pernah berkonflik dan jarang
menjalin komunikasi satu sama lain. Konflik kedua adalah konflik antar
16
kelompok. Konflik ini dapat timbul ketika masing-masing kelompok
bekerja untuk mencapai tujuan kelompoknya masingmasing, dalam
kasus ini kelompok yang dimaksud adalah kelompok perawat yang
bekerja di unit perawatan neuroscience dan perawat yang bekerja di unit
perawatan bedah ortopedi yang sama-sama menuntut adanya renovasi di
unit perawatan masing-masing.
2) Identifikasi penyebab konflik
Konflik dapat muncul karena ada kondisi yang
melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang
sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu : komunikasi,
struktur, dan variabel pribadi (Robbins, 2008). Dalam kasus di atas
sumber terjadinya konflik adalah 3 kategori tersebut. Kurangnya
komunikasi yang terjalin antara Perawat J dan Perawat R menyebabkan
komunikasi dua arah sulit tercapai. Perbedaan jenis kelamin menjadi
salah satu penghambat dalam berkomunikasi asertif, dimana laki-laki
cenderung agresif, independen, dan jarang melibatkan emosi, sebaliknya
wanita cenderung pasif, dependen, dan melibatkan emosi (Brewer et al,
2002). Istilah struktur dalam konteks ini mencakup adanya perbedaan
tujuan dan kepentingan masing-masing kelompok, sedangkan variabel
pribadi yang dimaksud adalah tipe kepribadian masing-masing pimpinan
kelompok berbeda satu dengan yang lainnya. Menurut Shetach (2012)
konflik juga dapat disebabkan oleh perbedaan interpersonal dan
perbedaan kepentingan. Dalam kasus ini perbedaan interpersonal yang
terjadi terkait pada dimensi-umur, jenis kelamin, latar belakang
pendidikan, dan pengalaman bekerja. Hal ini juga sesuai dengan
pendapat Ayoko and Hartel, 2006 yang mengatakan bahwa diversitas
atau keragaman yang menjadi sumber konflik potensial adalah budaya,
gender, posisi (jabatan), pengalaman, dan umur. Kemudian untuk
perbedaan kepentingan dapat dilihat dari adanya dua kelompok perawat
yang memiliki tujuan dan kepentingan yang berbeda (terkait posisi,
peran, status, dan tingkat hirarki).
3) Identifikasi sumber daya yang dapat dioptimalkan dan yang dapat
menjadi penghalang untuk manajemen konflik
Sebelum menentukan strategi-strategi dalam penyelesaian konflik,
Direktur keperawatan harus melakukan pengkajian faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi penyelesaian konflik, salah satunya sumber daya
manusia. Sumber daya manusia yang dimaksud adalah pemimpin terkait
kemampuan, peran dan fungsi kepemimpinan, serta gaya
kepemimpinannya yang selanjutnya mempengaruhi pilihan strategi
manajemen konflik yang dihadapi.
4) Identifikasi strategi penyelesaian konflik
Konflik dapat menjadi konstruktif atau destruktif tergantung dari
cara menyelesaikan atau memanajemen konflik. Kondisi konstruktif
dapat dirasakan ketika solusi yang diambil memuaskan dan
menguntungkan pihak-pihak yang mengalami konflik. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan Brewer (2002), penentuan gaya penyelesaian
konflik ditentukan dari gender, yaitu feminine group cenderung memilih
gaya avoiding, masculine group memilih dominating, dan androgynous
group (transgender) cenderung memilih strategi integrating. Dalam
penelitian tersebut tidak ditemukan kelompok gender tertentu yang
17
khusus memilih strategi compromising dan obliging. Sedangkan menurut
Hassan (2011) pemilihan strategi penyelesaian konflik adalah
berdasarkan suasana komunikasi. Bila suasana komunikasi terjalin baik,
strategi yang bisa digunakan adalah obliging, integrating, dan
compromising. Sebaliknya, bila suasana komunikasi bersifat defensif,
dominating dan avoiding menjadi pilihan. Berdasarkan kasus di atas,
gaya penyelesaian konflik yang dipilih adalah berdasarkan suasana
komunikasi bukan berdasarkan gender, yaitu compromising. Gaya ini
menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang
memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini
merupakan pendekatan saling memberi dan menerima (give and take
approach) dari pihak-pihak yang terlibat. Kompromi cocok digunakan
untuk menangani masalah yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki
tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan yang sama, dan penyelesaian
masalah dianggap sebagai prioritas agar tidak berkembang menjadi
konflik baru yang melibatkan pihak lain (Hoffmann, 2005). Kekuatan
utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak
ada pihak yang merasa dikalahkan. Outcome resolusi konflik yang
diharapkan dari kasus di atas adalah win-win solution.
b. Intervensi
Strategi intervensi penanganan konflik yang dipakai dalam kasus di
atas adalah fasilitasi, mediasi, dan arbitrasi. Ketiga strategi itu melibatkan
pihak ketiga yang dalam hal ini adalah direktur keperawatan. Fasilitasi
dilakukan dengan cara mempertemukan kedua pihak yang berkonflik untuk
membangun komunikasi dua arah, misalnya dalam suatu rapat. Mediasi
dimana pihak ketiga membantu menjalin hubungan yang baik antara kedua
belah pihak yang berkonflik. Kemudian arbitrasi adalah proses selanjutnya
dari mediasi, dimana pihak ketiga akan mendengarkan persepsi atau sudut
pandang kedua pihak. Hal ini juga membantu pemimpin untuk menentukan
prioritas tindakan dan membantu untuk tercapainya suatu kesepakatan yang
adil. Ketiga proses ini juga menjamin terbentuknya komunikasi yang baik
sehingga kompromi merupakan hal yang tepat untuk dipilih. Dalam hal ini
kesepakatan yang mungkin ditawarkan dengan menggunakan prinsip
kompromi adalah :
- Melakukan renovasi tahap pertama di kedua unit dengan biaya operasional
dibagi 2, yaitu 50% untuk unit neuroscience, kemudian 50% untuk unit
bedah ortopedi, kemudian di tahun selanjutnya renovasi dilanjutkan
kembali.
- Unit perawatan bedah ortopedi melakukan renovasi fisik dengan biaya
75%, sedangkan unit neuroscience membeli perlengkapan sekunder untuk
unitnya dengan biaya 25%, di tahun berikutnya dilakukan barter, unit
neuroscience mendapatkan 75% untuk renovasi fisik, dan unit bedah
ortopedi mendapat 25% untuk melengkapi sarana dan prasarana lainnya.
c. Evaluasi
Setelah strategi-strategi manajemen konflik dilaksanakan, pemimpin
melakukan evaluasi:
1) Evaluasi proses
Evaluasi terhadap keseluruhan proses manajemen konflik yang
terdiri dari:
18
- Bagaimana proses berjalan?
- Terdapat progress atau tidak?
- Berapa orang yang terlibat?
- Apakah option yang ditawarkan diterima oleh pihak yang berkonflik?
- Bagaimana reaksi pihak yang berkonflik (negatif/positif,
verbal/nonverbal)?
- Apakah strategi yang dipilih mengarah pada penyelesaian masalah
atau memunculkan masalah baru?
- Apakah terdapat hambatan dalam implementasi strategi yang
direncanakan dalam intervensi?
2) Evaluasi hasil
Membandingkan hasil yang didapatkan dengan indikator yang
telah direncanakan dalam intervensi. Hal yang perlu dievaluasi adalah
apakah hasil manajemen konflik mengarah pada proses yang konstruktif
atau destruktif. Manajemen konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi
dari adanya proses kreativitas di dalamnya, penyelesaian masalah
dilakukan secara bersama-sama, dimana konflik dianggap sebagai suatu
masalah yang berkualitas terhadap perkembangan individu atau suatu
organisasi yang harus ditemukan pemecahan masalahnya (Hendel,
2005). Sedangkan konflik bersifat destruktif bila berfokus hanya pada
satu individu saja, menggunakan emosi yang bersifat negatif, dan
menurunkan fungsi suatu grup atau organisasi (Runde and Flanagan,
2007).
19
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Kepemimpinan adalah suatu seni untuk memotivasi sekelompok orang untuk
bertindak dalam mencapai tujuan bersama.
2. Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari perbedaan ide, nilainilai,
keyakinan, dan perasaan antara dua orang atau lebih.
3. Pemimpin yang dikatakan mampu menerapkan manejemen konflik (a
conflictcompetent leader) adalah pemimpin yang mampu memahami dinamika
terjadinya suatu konflik. Menurut Ayoko (2007) keragaman budaya yang tidak
mendapatkan perhatian dari pemimpin akan menimbulkan dampak destruktif pada
suatu organisasi, seperti terhambatnya komunikasi dan koordinasi. Manajemen
konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya proses kreativitas di
dalamnya, penyelesaian masalah dilakukan secara bersama-sama, dimana konflik
dianggap sebagai suatu masalah yang berkualitas terhadap perkembangan individu
atau suatu organisasi yang harus ditemukan pemecahan masalahnya. Gaya
kepemimpinan, gender, dan suasana saat berkomunikasi sangat mempengaruhi
pengambilan strategi penyelesaian masalah atau konflik
4.2 Saran
Perlu adanya kegiatan pelatihan dasar kepemimpinan yang berkelanjutan bagi
profesi keperawatan, khususnya sebagai perawat pengelola (manajer) untuk dapat
menerapkan gaya kepemimpinan yang baik dalam menentukan strategi penyelesaian
konflik.
20
DAFTAR PUSTAKA
Ayoko, O.B. & Hartel C.E. (2006). Cultural diversity and leadership “a conceptual model of
leader intervention in conflict events in culturally heterogenous workgroups. Cross
Cultural Management: An International Journal, 13(4), 345-360.
Ayoko, O.B. (2007). Communication openness, conflict events and reactions to conflict in
culturally diverse workgroups. Cross Cultural Management: An International Journal,
14 (2), 105-124.
Brewer, N., Mitchell, P., Weber, N. (2002). Gender role, organizational status, and conflict
management styles. The International Journal of Conflict Management. 13(1), 78-94.
Buckley M.R & Brown J.A. (2005). Barnard on conflicts of responsibility “implications for
today’s perspectives on transformational and authentic leadership”. Management
Decision Journal, 43(10), 1396.
CNO. (2009). Practice Guidelines Conflict prevention and management. Retrieved from:
http://www.cno.org/global/docs/prac/47004_conflict_prev.pdf.
Harsono. (2010). Paradigma ”Kepemimpinan Ketua” dan Kelemahannnya. Makara, Sosial
Humaniora. 14(1), 56-64.
Hassan, B., Maqsood, A., & Muhammad, N. R. (2011). Relationship between organizational
communication climate and interpersonal conflict management style. Pakistan Journal
of Physicology, 42(2), 23-41.
Hendel, T., Fish, M..,Galon, V. (2005). Leadership style and choice of strategy in conflict
management among Israeli nurse managers in general hospitals. Journal of Nursing
Management, 13, 137-146.
Hoffmann, M.H.G. (2005). Logical argument mapping: a method for overcoming cognitive
problems of conflict management. The International Journal of Conflict Management,
16(4), 304-334.
Huber, D. L. (2010). Leaderhip and Nursing Care Management ed. 4. Maryland Heights:
Saunders/Elsevier.
Hudson, K., Grisham, T. Srinivasan, P. (2005). Conflict management, negotiation, and
effective communication: esential skill for project managers. Retrieved from:
http://thomasgrisham.com/file/Conflict_Management_AIPM_Australia.pdf.
Kreitner & Angelo Kinicki. (2005). Organizational Behaviour. Chicago: Irwin.
Konorti. (2008). The 3D Transformational leadership model. The Journal of American
Academy of Business, 14, 10-20.
Marquis, B. L. & Huston, C. J. (2010). Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan: Teori
dan Aplikasi. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Mulyadi, dkk. (2013). Analisis Peran Kepemimpinan terhadap Motivasi Kerja Pegawai pada
Departemen Fasilitas Umum dan Penataan Lingkungan Perum
Peruri. Jurnal Managemen. 10 (3), 1305-1318
Rahim, M. Afzalur. (2002). Toward a theory of managing organizational conflict. The
International Journal of Conflict Management, 13 (3), 206-235.
Riggio, R.E. (2003). Introduction to Industrial/ Organizational Psychology. (4th Ed.). Upper
Saddle River, NJ: Prentice Hall.
Robbins, S. P. (2008). Perilaku Organisasi. Buku 2. Jakarta: Salemba Empat.
Russel, E. (2011). Leadership theories and style: a transitional approach. Retrieve from
http://usacac.army.mil/cac2/cgsc/repository/dcl_secondplaceessay_1102.pdf.
Runde, C. E. & Flanagan, T. A. (2007). Effective leadership stems from ability to handle
conflict. (2007). Dispute Resolution Journal, 62(2), 92.
Shetach, A. (2012). Conflict leadership: Navigating toward effective and efficient team
outcomes. The Journal for Quality and Participation, 35(2), 25-30.
Waworuntu, B. (2003). Determinan Kepemimpinan. Makara, Sosial Humaniora. 7 (2), 71-81.
21
Zagorsek, H., Dimovski, V., Skerlavai, M. (2009). Transactional and transformational
leadership impacts on organizational learning. Journal for East European Management
Studies, 14, 144-165.
22