Anda di halaman 1dari 21

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL 1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG 3
1.3 RUMUSAN MASALAH 3
1.2 TUJUAN 3
1.2.1 Tujuan Umum 3
1.2.2 Tujuan Khusus 3
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1 Kepemimpinan 5
2.2 Konflik 8
2.3 Pengaruh Kepemimpinan dalam Manajemen Konflik 13
BAB III PEMBAHASAN 15
BAB IV PENUTUP
4.1 KESIMPULAN 20
4.2 SARAN 20
DAFTAR PUSTAKA 21

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perawat adalah salah satu profesi yang menyediakan pelayanan jasa keperawatan
dan langsung berinteraksi dengan banyak orang dalam hal ini adalah klien. Profesi
perawat juga menjalin hubungan kolaboratif antar tim kesehatan, baik itu dengan dokter,
laboran, ahli gizi, apoteker, dan semua yang terlibat dalam pelayanan kesehatan. Dalam
menjalankan pekerjaannya, perawat akan saling berinteraksi dengan tim kesehatan
tersebut dan ketika tim ini memandang suatu masalah atau situasi dari sudut pandang
yang berbeda maka dapat terjadi sebuah konflik (CNO, 2009). Perawat seringkali
mengambil tindakan menghindar dalam menyelesaikan permasalahan atau konflik yang
terjadi dengan tujuan mempertahankan status nyaman dan mencegah perpecahan dalam
kelompok (Hudson, 2005). Ironisnya, strategi tersebut memberikan dampak destruktif
terhadap perkembangan individu dan organisasi.
Perawat sebagai pengelola, dalam hal ini sebagai manajer, memegang peranan
penting dalam menentukan strategi penyelesaian konflik antar anggotanya. Seorang
pemimpin yang dianggap berkompeten dalam menyelesaikan konflik (a conflict-
competent leader) adalah pemimpin yang mampu memahami dinamika terjadinya suatu
konflik, memahami reaksi yang ditimbulkan dari suatu konflik, mendorong respon
konstruktif, dan membangun suatu organisasi yang mampu menangani konflik secara
efektif (a conflict-competent organization) (Runde and Flanagan,2007).
Penyelesaian konflik diharapkan bersifat sealami mungkin dengan tujuan
meningkatkan proses belajar dan pemahaman individu atau organisasi dalam
menyelesaikan konflik saat ini ataupun yang akan datang (Shetach, 2012). Menurut
Rahim (2002), gaya kepemimpinan (demokratis, autokratis, dan Laissez faire) sangat
mempengaruhi pemilihan strategi penyelesaian konflik (integrating (problem solving),
obliging, compromising, dominating (forcing, avoiding), dimana setiap strategi tersebut
memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing tergantung pada batasan dan sumber
konflik, serta tujuan yang ingin dicapai apakah berorientasi pada hubungan antar anggota
(concern for others) atau berorientasi pada diri sendiri (concern for self). Oleh karena itu
seorang pemimpin perlu memiliki pemahaman yang cukup tentang pengaruh gaya
kepemimpinan terhadap penyelesaian konflik individu ataupun organisasi.

1.2 Rumusan masalah


1.2.1 Apa yang dimaksud dengan kepemimpinan?
1.2.2 Apa yang dimaksud dengan konflik?
1.2.3 Pengaruh Kepemimpinan dalam Manajemen Konflik?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Setelah menyusun makalah ini, diharapkan mahasiswa mampu memahami
tentang penerapan manajemen konflik di seluruh tatanan.

1.3.2 Tujuan Khusus


Mahasiswa diharapkan mampu :
a. Menjelaskan tentang konsep dasar kepemimpinan dan manajemen konflik.

3
b. Menjelaskan pengaruh kepemimpinan dalam manajemen konflik.
c. Membuat kasus konflik dan melakukan analisa terkait gaya kepemimpinan dan
strategi penyelesaian konflik yang tepat.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepemimpinan
2.1.1 Definisi
Kepemimpinan adalah suatu seni untuk memotivasi sekelompok orang
untuk bertindak dalam mencapai tujuan bersama (Marquis & Huston, 2012).

2.1.2 Teori Kepemimpinan


Ada beberapa macam teori kepemimpinan yaitu:
a. The Great Man Theory
The Great Man Theory menyimpulkan bahwa pemimpin sejati sudah
mempunyai bakat sejak lahir. Menurut teori ini, seorang pemimpin harus
memiliki karisma, kecerdasan, dan kebijaksanaan (Russel, 2011).
b. Trait Theories
Trait Theories merupakan cabang dari Great Man Theory. Teori ini
menyimpulkan bahwa sifat-sifat tertentu dari seorang individu memberikan
kecenderungan yang lebih baik untuk menjadi pemimpin. Teori ini
menekankan bahwa para pemimpin mempunyai ciri-ciri umum dan
karakteristik yang membuat mereka sukses (Russel, 2011).
c. Contingency Theories
Contingency Theories menyimpulkan bahwa seorang pemimpin
menjadi besar karena dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain seperti situasi,
kualitas para pengikut atau sejumlah variabel lainnya. Dalam teori ini tidak
ada satu cara yang tepat untuk memimpin karena faktor internal dan eksternal
dari lingkungan memerlukan pemimpin untuk beradaptasi dengan situasi
tertentu (Fiedler, 1967 cit Waworuntu, 2003).
d. Situasional Theories
Teori Situasional sangat mirip dengan teori contingency. Teori ini
menyimpulkan bahwa kinerja yang baik ditentukan oleh gaya kepemimpinan
yang baik. Kepemimpinan yang efektif ditentukan oleh pemimpin, kelompok
yang dipimpin dan kinerja yang baik (Russel, 2011) .
e. Behavioral Theories
Teori ini bertolak belakang dengan Great Man Theory, Behavioral
Theories menyimpulkan bahwa seorang pemimpin menjadi besar karena
dibuat, tidak dilahirkan. Teori ini berfokus pada tindakan atau ciri-ciri prilaku
para pemimpin. Pemimpin dapat menjadi seorang pemimpin yang efektif
melalui pengamatan, pengalaman dan pembelajaran (Waworuntu, 2003).
f. Participative Theories
Teori Partisipatif menyimpulkan bahwa pemimpin yang baik
mempertimbangkan apa yang orang lain miliki sebagai masukan. Jenis
kepemimpinan pada teori ini memberikan kepercayaan terhadap bawahan
dengan maksud untuk mengumpulkan partisipasi kolaboratif aktif dalam
organisasi. Dengan membiarkan bawahan untuk terlibat dalam suatu
pekerjaan, maka akan meningkatkan pengetahuan mereka tentang cara kerja
dalam organisasi dan membantu mereka untuk memahami bagaimana proses
pengambilan keputusan oleh pemimpin. Jenis kepemimpinan ini dapat
mengakibatkan konsekuensi negatif jika pemimpin sering meminta pendapat

5
kepada bawahan kemudian mengabaikan masukan dari bawahan (Russel,
2011) .
g. Management Theories
Teori Manajemen (sering disebut Teori Transaksional) menyimpulkan
bahwa kinerja yang optimal dapat dicapai melalui pemberian reward and
punisment. Teori-teori ini sering digunakan dalam manajemenperusahaan
atau institusi di mana karyawan diberikan reward berupa bonus/insentif dan
cuti ketika kinerja mereka dianggap baik oleh atasan dan diberi punishment
berupa teguran, penggantian jam kerja/lembur ketika kinerja mereka sangat
di bawah ekspektasi (Zagorsek at all, 2009).
h. Relationship theories
Teori Hubungan (Teori Transformasional) menyimpulkan bahwa
pemimpin harus membuat perubahan positif kepada bawahan sehingga dapat
meningkatkan motivasi dan kinerja bawahan (Konorti, 2008). Pemimpin
harus memotivasi dan menginspirasi bawahan dengan membantu mereka
untuk memahami pentingnya tugas atau tujuan yang akan dicapai. Pemimpin
dalam model teoritis ini biasanya memiliki standar etika dan moral yang
tinggi dan berusaha untuk memastikan organisasi, kelompok dan
keberhasilan individu (Buckley & Brown, 2005)

2.1.3 Gaya Kepemimpinan


Beberapa gaya kepemimpinan menurut beberapa para ahli adalah:
a. Autocratic leadership
Kepemimpinan otokratis adalah bentuk paling ekstrim dari
kepemimpinan transaksional. Pemimpin memiliki kontrol mutlak dan tidak
membiarkan bawahan untuk memberikan masukan. Namun, jenis
kepemimpinan ini dapat menjadi efektif bila tenaga kerja tidak terampil atau
dalam situasi stres yang tinggi dan perlu dilakukan tindakan cepat.
Beberapa karakteristik autocratic leadership, yaitu:
1) Atasan memiliki kontrol mutlak
2) Bawahan bekerja karena adanya paksaan
3) Bawahan bekerja harus sesuai perintah atasan
4) Komunikasi dari atas ke bawah
5) Pengambilan keputusan tidak melibatkan bawahan
6) Penekanan pada perbedaan status “saya” dan “kamu”
7) Kritik bersifat destruktif
b. Democratic/participative leadership
Kepemimpinan demokratis atau partisipatif adalah pemimpin
mendorong partisipasi bawahan untuk berkontribusi pada proses
pengambilan keputusan. Kepemimpinan jenis ini memotivasi bawahan untuk
bekerja lebih keras agar mereka benar-benar merasa memiliki. Pemimpin
masih membuat keputusan akhir tapi semua orang terlibat dalam
brainstorming dan diskusi. Jenis kepemimpinan bekerja sangat baik ketika
fokusnya adalah kualitas, bukan kuantitas atau kecepatan. Bawahan harus
mampu mengkomunikasikan ide-ide atau pendapat mereka secara efektif
sehingga pemimpin memahami dan dapat menggunakan input bawahan
untuk membantu menyelesaikan tugas.
Beberapa karakteristik democratic leadership, yaitu:
1) Kontrol kurang dipertahankan

6
2) Reward diberikan untuk memotivasi bawahan
3) Atasan hanya memberikan arahan dan petunjuk
4) Komunikasi ke atas dan ke bawah
5) Pengambilan keputusan merupakan kesepakatan bersama
6) Penekanan pada “kami” bukan “saya” dan “kamu”
7) Kritik bersifat konstruktif
c. Laissez faire leadership
Kepemimpinan Laissez-faire menjelaskan bahwa semua tanggung
jawab untuk pengambilan keputusan diserahkan kepada bawahan. Atasan
memberikan bimbingan, melakukan monitoring dan memberikan bahan
kepada bawahan untuk dapat mengembangkan program dan akhirnya
membuat keputusan. Jenis kepemimpinan ini dapat diterapkan dengan efektif
jika bawahan mempunyai pengetahuan dan pengalaman.
Beberapa karakteristik laissez-faire leadership:
1) Permisif, dengan sedikit atau tanpa ada kontrol
2) Motivasi yang diberikan hanya ketika ada permintaan dari kelompok
atau individu
3) Memberikan sedikit atau tanpa arahan
4) Menggunakan komunikasi dari atas ke bawah antar anggota kelompok
5) Pengambilan keputusan diserahkan kepada kelompok
6) Penekanan pada kelompok
7) Tidak ada kritik

2.1.4 Peran Kepemimpinan


Menurut Mulyadi, dkk (2013) ada beberapa peran dari kepemimpinan yaitu:
a. Peran Interpersonal (The Interpersonal Roles)
Peran interpersonal terbagi menjadi 3, yaitu :
1) Simbol Organisasi (Figurehead).
Kegiatan yang dilakukan biasanya bersifat resmi, seperti menjamu
makan siang pelanggan.
2) Pemimpin (Leader).
Seorang pemimpin menggunakan pengaruhnya untuk memotivasi
dan mendorong karyawannya untuk mencapai tujuan organisasi.
3) 3) Penghubung (Liaison).
Seorang pemimpin berperan sebagai penghubung dengan orang
diluar organisasinya dan penghubung antara manajer dalam berbagai
level dengan bawahannya.
b. Peran Informasional (The Informational Roles)
Peran informasional terbagi menjadi 3, yaitu:
1) Pengawas (Monitor)
Pemimpin harus melakukan pengamatan dan pemeriksaan secara
kontinyu terhadap lingkungannya untuk mendapatkan informasi yang
valid, yakni terhadap bawahan, atasan, dan selalu menjalin hubungan
dengan pihak luar.
2) Penyebar (Disseminator)
Pemimpin juga harus mampu menyebarkan informasi kepada
pihak-pihak yang memerlukannya.
3) Juru Bicara (Spokesperson)
Pemimpin berperan untuk menyediakan informasi bagi pihak luar.

7
c. Peran Pembuat Keputusan (The Decisional Roles)
1) Pengusaha (Entrepreneurial)
Pemimpin harus memiliki sikap pro aktif dalam mengembangkan
suatu proyek dan menyusun sumberdaya yang dibutuhkan.
2) Penghalau Gangguan (Disturbance Handler)
Pemimpin harus bersikap reaktif terhadap masalah dan tekanan
situasi.
3) Pembagi Sumber Dana (Resource Allocator)
Pemimpin harus dapat mendistribusikan sumber dana ke bagian-
bagian dari organisasinya yang aling membutuhkan baik berupa uang,
waktu, perbekalan, tenaga kerja dan reputasi.
4) Pelaku Negosiasi (Negotiator)
Pemimpin harus mampu melakukan negosiasi pada setiap
tingkatan, baik dengan bawahan, atasan maupun pihak luar.

2.2 Konflik
2.2.1 Definisi Konflik
Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari perbedaan ide,
nilai-nilai, dan perasaan antara dua orang atau lebih (Marquis & Huston, 1996
dalam Hendel dkk, 2005). Menurut Kazimoto (2013), konflik adalah adanya
perselisihan yang terjadi ketika tujuan, keinginan, dan nilai bertentangan terhadap
individu atau kelompok.
2.2.2 Sumber Konflik
Shetach (2012) menyatakan bahwa konflik terjadi disebabkan karena: (1)
perbedaan interpersonal pada setiap dimensi-umur, jenis kelamin, ras,pandangan,
perasaan, pendidikan, pengalaman, tingkah laku, pendapat,budaya, kebangsaan,
keyakinan, dll, (2) perbedaan kepentingan dalam hubungan antar manusia karena
perbedaan budaya, posisi, peran, status, dan tingkat hirarki.
Menurut Robbins (2008), konflik muncul karena ada kondisi yang
melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga
sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu : komunikasi,
struktur, dan variabel pribadi.
a. Komunikasi
Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan
kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber
konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik,
pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran
komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi
kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
b. Struktur
Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang
mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada
anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara
tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem
imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian
menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan
variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan
makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan
terjadinya konflik.

8
c. Variabel Pribadi
Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi,
yangmeliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu,
karakteristikkepribadian yang menyebabkan individu memiliki
keunikan(idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan
menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yangsangat
otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan sumber
konflik yang potensial.

2.2.3 Jenis-jenis Konflik


Menurut Rigio (2003) jenis-jenis konflik yang ada antara lain konflik
intrapersonal, konflik interpersonal, konflik intra kelompok dan konflik antar
kelompok.
a. Konflik Intrapersonal
Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi pada individu
sendiri.Keadaan ini merupakan masalah internal untuk mengklasifikasi nilai
dan keinginan dari konflik yang terjadi. Hal ini sering dimanifestasikan
sebagai akibat dari kompetisi peran. Misalnya seorang manajer mungkin
merasa konflik intrapersonal dengan loyalitas terhadapprofesi keperawatan,
loyalitas terhadap pekerjaan, dan loyalitas kepada pasien.
b. Konflik Interpersonal
Konflik interpersonal terjadi antara dua orang atau lebih, dimana nilai,
tujuan, dan keyakinan berbeda. Konflik ini sering terjadi karena seseorang
secara konstan berinteraksi dengan orang lain sehingga ditemukan
perbedaan-perbedaan. Sebagai contoh seorang manajer sering mengalami
konflik dengan teman sesame manajer, atasan, dan bawahannya.
c. Konflik Intra kelompok
Konflik ini terjadi ketika seseorang didalam kelompok melakukan kerja
berbeda dari tujuan, dengan contoh seorang perawat tidak
mendokumentasikan rencana tindakan perawatan pasien sehingga akan
mempengaruhi kinerja perawat lainnya dalam satu tim untuk mencapai
tujuan perawatan di ruangan tersebut.
d. Konflik Antar Kelompok
Konflik ini dapat timbul ketika masing-masing kelompok bekerjauntuk
mencapai tujuan kelompoknya. Sumber konflik jenis ini adalah hambatan
dalam mencapai kekuasaan dan otoritas (kualitas jasa layanan), keterbatasan
prasarana.
2.2.4 Manajemen Konflik
a. Definisi Manajemen Konflik
Manajeman konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para
pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah
penyelesaian yang konstruktif atau destruktif (Ross, 1993).
b. Gaya Penyelesaian Konflik
Terdapat 2 hal yang memegang peranan penting dalam keberhasilan
penyelesaian konflik, yaitu menentukan besarnya konflik dan gaya
penanganan konflik (Rahim, 2002). Yang dimaksud dengan besarnya
konflik terkait dengan jumlah individu yang terlibat, apakah konflik
mengarah pada intrapersonal, interpersonal, intra kelompok, atau antar
kelompok. Kreitner dan Kinicki (2005) mengungkapkan lima gaya
penanganan konflik (Five Conflict Handling Styles). Model ini ditujukan

9
untuk menangani konflik disfungsional dalam organisasi. Menggambarkan
sisi pemecahan masalah yang berorientasi pada orang lain (concern for
others) dan pemecahan masalah yang berorientasi pada diri sendiri (concern
for self). Kombinasi dari kedua variabel ini menghasilkan lima gaya
penanganan masalah yang berbeda, yaitu: integrating, obliging, dominating,
avoiding, dan compromising.
1) Integrating (Problem Solving)
Proses integrasi berkaitan dengan mekanisme pemecahan
masalah(problem solving), seperti dalam menentukan diagnosis dan
intervensi yang tepat dalam suatu masalah. Dalam gaya ini pihak-
pihakyang berkepentingan secara bersama-samamengidentifikasikan
masalah yang dihadapi, bertukar informasi, kemudian mencari,
mempertimbangkan dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah.
Gaya ini cocok untuk memecahkan isu-isu kompleks yang disebabkan
oleh salah paham (misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk
memecahkan masalah yang terjadi karena sistem nilai yang berbeda.
Kelemahan utamanya adalah memerlukan waktu yang lama dalam
penyelesaian masalah (Rahim, 2002). Langkah-langkah untuk mencapai
solusi ini antara lain adalah mulai dengan berdiskusi, dengan waktu dan
tempat yang kondusif, menghargai perbedaan individu, bersikap empati
dengan semua pihak, menggunakan komunikasi asertif dengan
mamaparkan isu dan fakta dengan jelas, membedakan sudut pandang,
meyakinkan bahwa tiap individu dapat menyampaikan idenya masing-
masing, membuat kerangka isu utama berdasarkan prinsip yang umum,
menjadi pendengar yang baik. Setuju terhadap solusi yang
menyeimbangkan kekuatan dan memuaskan semua pihak sehingga
dicapai “win-win solution”.
2) Obliging (Smoothing)
Seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatianpada
upaya untuk memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Gaya ini sering
pula disebut smothing (melicinkan), karena berupaya mengurangi
perbedaan-perbedaan dan menekankan pada persamaan atau
kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Kekuatan strategi ini
terletak pada upaya untuk mendorong terjadinya kerjasama.
Kelemahannya, penyelesaian bersifat sementara dan tidak menyentuh
masalah pokok yang ingin dipecahkan.
3) Dominating (Forcing)
Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian
terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang
untukmenggunakan taktik “saya menang, kamu kalah”. Gaya ini sering
disebut memaksa (forcing) karena menggunakan legalitas formal dalam
menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok digunakan jika cara-cara yang
tidak populer hendak diterapkan dalam penyelesaian masalah, masalah
yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan harus mengambil keputusan
dalam waktu yang cepat. Namun, teknik ini tidak tepat untuk menangani
masalah yang menghendaki adanya partisipasi dari mereka yang terlibat
dan juga tidak tepat untuk konflik yang bersifat kompleks . Kekuatan
utama gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan konflik. Kelemahannya, sering menimbulkan

10
kejengkelan atau rasa berat hati untuk menerima keputusan oleh mereka
yang terlibat.
4) Avoiding
Teknik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk
menyelesaikan masalah yang sederhana, atau jika biaya yang harus
dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar daripada keuntungan
yang akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk menyelesaikan
masalah-malasah yang sulit atau “buruk”. Teknik ini kurang tepat pada
konflik yang menyangkut isu-isu penting, dan adanya tuntutan tanggung
jawab untuk menyelesaikan masalah secara tuntas (Rahim, 2002).
Kekuatan dari strategi penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi
yang membingungkan atau mendua (ambiguous situations). Sedangkan
kelemahannya, penyelesaian masalah hanya bersifat sementara dan tidak
menyelesaikan pokok masalah.
5) Compromising
Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yangsecara
seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang
lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi dan menerima (give and
take approach) dari pihak-pihak yang terlibat. Kompromi cocok
digunakan untuk menangani masalah yang melibatkan pihak-pihak yang
memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan yang sama. Kekuatan
utama dari kompromiadalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak
ada pihak yang merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang
bersifat sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam
penyelesaian masalah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Hendel (2005), gaya ini merupakan gaya yang paling banyak dipilih oleh
perawat dalam menyelesaikan konflik yang terjadi.

Gambar 1. Gaya Penyelesaian Konflik

c. Proses Manajemen Konflik


Proses manajemen konflik meliputi proses dari diagnosis, intervensi,
dan evaluasi (feedback). Penentuan diagnosis merupakan dasar dari
keberhasilan suatu intervensi. Berikut adalah skema proses manajemen
konflik menurut Rahim (2002):

11
Gambar 2. Proses Manajemen Konflik (Rahim, 2002)

Dalam proses diagnosis yang perlu dilakukan adalah pengupulandata-


data antara lain identifikasi batasan konflik, besarnya konflik, sumber
konflik, kemudian mengkaji sumber daya yang ada apakah menjadi
penghalang atau dapat dioptimalkan untuk membantu penyelesaian konflik
(Huber, 2010). Setelah proses identifikasi (measurement), selanjutnya
dilakukan proses analisis terhadap datadata yang telah dikumpulkan, hal ini
bertujuan untuk menentukan strategi resolusi konflik yang akan diambil
disesuaikan berdasarkan besarnya konflik dan gaya manajemen konflik yang
akan dipakai (integrating, obliging, dominating, avoiding, dan
compromising).
Proses selanjutnya adalah intervensi. Terdapat bermacam-macam
strategi intervensi konflik, antara lain negosiasi, fasilitasi, konsiliasi, mediasi,
arbitrasi, litigasi, dan force. Intervensi ditentukan berdasarkan dua hal, yaitu
proses dan struktural. Proses yang dimaksud adalah intervensi yang
dilaksanakan harus mampu memperbaiki keadaan dalam suatu organisasi,
seperti misalnya intervensi mampu memfasilitasi keterlibatan aktif dari
individu yang berkonflik, dan juga penggunaan gaya penyelesaian konflik
diharapkan bersifat sealami mungkin dengan tujuan meningkatkan proses
belajar dan pemahaman individu atau organisasi dalam menyelesaikan
konflik saat ini ataupun yang akan datang (Shetach, 2012). Proses ini juga
diharapkan dapat merubah pola kepemimpinan seseorang dan budaya dalam
menyelesaikan konflik. Dengan demikian organisasi atau individu akan
memperoleh keterampilan baru dalam penanganan konflik. Selain itu,
intervensi juga diharapkan dapat memperbaiki struktur organisasi, seperti
dalam hal mekanisme integrasi dan diferensiasi, hirarki, prosedur, reward
system, dan lain sebagainya. Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan suatu organisasi untuk menyelesaikan konflik berdasarkan
berbagai sudut pandang individu yang terlibat di dalamnya menuju ke arah
konstruktif (Rahim, 2002).
Manajemen konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya
proses kreativitas di dalamnya, penyelesaian masalah dilakukan secara
bersama-sama, dimana konflik dianggap sebagai suatu masalah yang
berkualitas terhadap perkembangan individu atau suatu organisasi yang harus
ditemukan pemecahan masalahnya (Hendel, 2005). Setelah intervensi,
dilaksanakan suatu evaluasi terhadap setiap tindakan yang dilakukan,

12
sekaligus hal ini sebagai feedback proses diagnosing padakonflik yang sudah
ada ataupun konflik yang baru.
d. Outcome Resolusi Konflik
Menurut Huber (2010) outcome conflict adalah hasil dari proses
manajemen konflik antara lain:
1) Win-lose
Salah satu pihak mendominasi dan pihak yang lain terabaikan.
Yang menduduki porsi lebih besar mendapatkan kemenangan dan
sebaliknya yang lebih sedikit mengalami kekalahan.
2) Lose-lose
Semua pihak yang bertentangan mengalami kerugian. Teknik
penyuapan, memperjualbelikan, menggunakan pihak ketiga untuk
mengancam dapat memuncullkan hasil resolusi ini.
3) Win-win
Resolusi ini dicapai saat semua pihak menyetujui dan
mendapatkan manfaat dari penyelesaian konflik.

2.3 Pengaruh Kepemimpinan dalam Manajemen Konflik


Pemimpin yang dikatakan mampu menerapkan manejemen konflik (a
conflictcompetent leader) adalah pemimpin yang mampu memahami dinamika terjadinya
suatu konflik. Diversitas atau keragaman pihak yang terlibat dalam suatu konflik juga
perlu diidentifikasi karena merupakan sumber potensial terjadinya konflik, antara lain
budaya, gender, posisi (jabatan), dan umur (Ayoko and Hartel, 2006). Menurut Ayoko
(2007) keragaman budaya yang tidak mendapatkan perhatian dari pemimpin akan
menimbulkan dampak destruktif pada suatu organisasi, seperti terhambatnya komunikasi
dan koordinasi. Pemimpin juga harus mampu memahami reaksi yang ditimbulkan dari
suatu konflik, mendorong respon konstruktif, dan membangun suatu organisasi yang
mampu menangani konflik secara efektif (a conflict-competent organization) (Runde and
Flanagan, 2007).
Manajemen konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya proses
kreativitas di dalamnya, penyelesaian masalah dilakukan secara bersama-sama, dimana
konflik dianggap sebagai suatu masalah yang berkualitas terhadap perkembangan
individu atau suatu organisasi yang harus ditemukan pemecahan masalahnya (Hendel,
2005). Menurut Ayoko dan Hartel (2006) untuk meningkatkan respon konstruktif,
seorang pemimpin juga harus mampu memanajemen timbulnya konflik emosional
karena akan menghambat terbentuknya persatuan dan perkembangan organisasi.
Gaya kepemimpinan sangat mempengaruhi pengambilan strategi penyelesaian
masalah atau konflik, seperti misalnya gaya kepemimpinan demokratis cenderung
memilih strategi integrating (problem solving), obliging, dan compromising yang lebih
menekankan pada kepentingan bersama, gaya kepemimpinan autokratis cenderung
memilih dominating (forcing), sedangkan gaya kepemimpinan Laissez faire cenderung
memilih strategi avoiding (Rahim, 2002). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Brewer (2002) dalam jurnal The International Journal of Conflict Management, gender
juga memegang peranan penting dalam pemilihan strategi penyelesaian konflik, dimana
berdasarkan kuisioner yang dibagikan, feminine group cenderung memilih strategi
avoiding, masculine group memilih dominating, dan androgynous group (transgender)
cenderung memilih strategi integrating. Dalam penelitian tersebut tidak ditemukan
kelompok gender tertentu yang khusus memilih strategi compromising dan obliging.
Selain itu pemilihan strategi penyelesaian konflik juga dipengaruhi oleh suasana
saat berkomunikasi. Bila suasana komunikasi terjalin baik, strategi yang bisa digunakan

13
adalah obliging, integrating, dan compromising. Sebaliknya, bila suasana komunikasi
bersifat defensive, dominating dan avoiding menjadi pilihan (Hassan, B. et al, 2011).
Pengaruh kepemimpinan dalam pemecahan masalah konflik juga bisa dilihat dalam
model “CAPI” yang dirumuskan oleh Shetach (2012). Dengan menerapkan CAPI
(Coaleshing Authority, Power, and Influence) model’s dalam manajemen kelompok,
diharapkan pemimpin mampu menggunakan kekuatan, otoritas, dan pengaruhnya dalam
memutuskan strategi penyelesaian konflik yang tepat.

14
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Contoh Kasus


Perawat R (wanita) 48 tahun (S2 Keperawatan, pengalaman bekerja 18 tahun)
adalah manajer keperawatan di unit perawatan neuroscience di sebuah rumah sakit di
Chicago. Beliau memiliki keinginan untuk melakukan renovasi pada unit perawatan yang
dipimpinnya dan perawat R pun menemui direktur keperawatan di RS tersebut. Ketika
bertemu dan menyampaikan keinginannya, ternyata menurut direktur keperawatan, RS
hanya memiliki biaya untuk merenovasi 1 unit saja untuk tahun ini, dan direktur
mengatakan sudah ada perawat J (laki-laki) 56 tahun (S1 Keperawatan, pengalaman
bekerja 30 tahun) yang merupakan manajer keperawatan di unit perawatan bedah
ortopedi yang juga mengajukan proposal untuk renovasi. Direktur menyarankan mereka
untuk bertemu satu sama lain untuk membahas masalah yang terjadi agar mendapatkan
keputusan yang tepat. Perawat R dan Perawat J sebelumnya juga pernah berkonflik
tentang penyusunan standar tindakan keperawatan sehingga mereka jarang menjalin
komunikasi secara langsung. Perawat R pun merasa terpaksa harus menemui Perawat J,
dan dalam pertemuan tersebut terjadi perbedaan pendapat antara keduanya, dimana
kedua belah pihak beranggapan bahwa renovasi di unit perawatan mereka lebih penting
dari renovasi di unit perawatan lainnya. Perawat J juga menganggapperawat R tidak
berkewenangan untuk melakukan negosiasi dengannya, yangmemiliki kewenangan
tersebut adalah direktur keperawatan. Konflik ini berdampak pula pada kinerja staf
perawat yang bekerja di unit masing-masing terutama dalam hal kolaborasi. Direktur
keperawatan merasa bertanggung jawab terhadap kondisi ini, dan ingin segera
menyelesaikannya.
3.2 Analisa Kasus
3.2.1 Analisa Gaya Kepemimpinan
Konflik terjadi dari suatu ketidaksetujuan antara dua orang atau lebih dalam
suatu organisasi dimana seseorang tersebut merasa ada yang akan mengancam
kepentingannya. Sumber-sumber konflik di organisasi dapat ditemukan pada
kekuasaan, komunikasi, tujuan seseorang dan organisasi, ketersediaan sarana,
perilaku kompetisi dan personaliti serta peran yang membingungkan.
Seorang pemimpin harus bisa mempengaruhi orang lain sebagai modal
utama pemimpin dalam menyelesaikan konflik, untuk memperoleh kesan, rasa
hormat, kepatuhan, loyalitas, dan kerjasama serta menimbulkan harapan. Dengan
kemampuan ini pula seorang pemimpin dapat mengubah kepercayaan, nilai-nilai,
pendapat, sikap, dan prilaku orang lain. Tanpa kemampuan ini seorang pemimpin
tidak dapat menyelesaikan konflik dengan efektif (Harsono, 2010). Pemimpin
juga harus mampu menggunakan kekuatan, otoritas, dan pengaruhnya dalam
memutuskan strategi penyelesaian konflik yang tepat. Hal ini sesuai dengan
model “CAPI” (Coaleshing Authority, Power, and Influence) yang dicetuskan
oleh Shetach (2012).
Menurut Hudson, dkk (2005), pemimpin, dalam kasus ini adalah direktur
keperawatan, harus memiliki kemampuan untuk memahami sumbersumber
konflik dan mengelola konflik tersebut agar konflik bisa dijadikan sebagai
ekplorasi ide-ide yang kreatif, sehingga bisa meningkatkan kualitas dalam
pemberian asuhan keperawatan kepada klien.

15
Dalam kasus diatas teori keperawatan yang dapat diterapkan adalah
participative theories dimana pemimpin yang baik mempertimbangkan apa yang
orang lain miliki sebagai masukan. Jenis kepemimpinan pada teori ini
memberikan kepercayaan terhadap bawahan untuk bersama-sama menyelesaikan
konflik. Sedangkan gaya kepemimpinan yang sesuai dipakai oleh direktur
keperawatan untuk menyelesaikan kasus di atas adalah democratic style dimana
pemimpin mendorong partisipasi bawahan untuk berkontribusi pada proses
pengambilan keputusan. Direktur keperawatan tetap membuat keputusan akhir
tetapi kedua manajer keperawatan terlibat dalam brainstorming dan diskusi.
Direktur keperawatan juga harus menjalankan perannya sebagai
seorangpemimpin dalam menyelesaikan konflik pada kasus di atas, yaitu:
a. Peran interpersonal
Untuk menyelesaikan konflik pada kasus diatas, seorang direktur
keperawatan harus bisa menjalankan fungsinya sebagai seorang leader,
dimana direktur keperawatan harus bisa mengajak perawat R sebagai
manajer keperawatan ruangan neuroscience dan perawat J sebagai manajer
ruangan orthopedic untuk duduk bersama dalam menyelesaikan konflik.
Selain itu direktur keperawatan harus menjadi fasilitator antara kedua
manager keperawatan dalam menyelesaikan konflik tersebut.
b. Peran informasional
Direktur keperawatan harus melakukan pengamatan dan pemeriksaan
langsung ke ruangan neuroscience dan ruangan orthopedic untuk
mendapatkan informasi yang valid, yakni melihat ruangan mana yang lebih
prioritas untuk dilakukan renovasi.
c. Peran pembuat keputusan
Direktur keperawatan harus menjalankan fungsinya sebagai pembuat
keputusan, dimana direktur keperawatan harus memilih ruangan manayang
akan di renovasi terlebih dahulu agar tidak salah dalammendistribusikan
sumber dana yang ada. Direktur keperawatan harus mampu melakukan
negosiasi kepada perawat R dan perawat J selaku manager keperawatan
terkait sumber dana yang ada, sehingga dihasilkan keputusan yang win-win
solution antara kedua belah pihak.
3.2.2 Analisa Strategi Penyelesaian Konflik
Pemimpin yang dikatakan mampu menerapkan manejemen konflik (a
conflict-competent leader) adalah pemimpin yang mampu memahami dinamika
terjadinya suatu konflik, memahami reaksi konflik, respon konstruktif, dan
membangun suatu organisasi yang mampu menangani konflik secara efektif (a
conflict-competent organization) (Runde and Flanagan, 2007). Menurut Rahim
(2002) proses manajemen konflik meliputi proses dari diagnosis, intervensi, dan
evaluasi (feedback). Berdasarkan kasus di atas, berikut adalah langkah-langkah
yang dilakukan sebagai bentuk strategi penyelesaian konflik.
a. Diagnosis (Measurement dan analisis)
1) Identifikasi batasan konflik
Menurut Rigio (2003) jenis-jenis konflik yang ada antara lain
konflik intrapersonal, konflik interpersonal, konflik intra kelompok dan
konflik antar kelompok. Berdasarkan kasus di atas, terdapat 2 jenis
konflik yang terjadi antara lain konflik interpersonal dan konflik antar
kelompok. Konflik interpersonal yang terjadi adalah antara Perawat J
dan Perawat R yang sebelumnya sudah pernah berkonflik dan jarang
menjalin komunikasi satu sama lain. Konflik kedua adalah konflik antar

16
kelompok. Konflik ini dapat timbul ketika masing-masing kelompok
bekerja untuk mencapai tujuan kelompoknya masingmasing, dalam
kasus ini kelompok yang dimaksud adalah kelompok perawat yang
bekerja di unit perawatan neuroscience dan perawat yang bekerja di unit
perawatan bedah ortopedi yang sama-sama menuntut adanya renovasi di
unit perawatan masing-masing.
2) Identifikasi penyebab konflik
Konflik dapat muncul karena ada kondisi yang
melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang
sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu : komunikasi,
struktur, dan variabel pribadi (Robbins, 2008). Dalam kasus di atas
sumber terjadinya konflik adalah 3 kategori tersebut. Kurangnya
komunikasi yang terjalin antara Perawat J dan Perawat R menyebabkan
komunikasi dua arah sulit tercapai. Perbedaan jenis kelamin menjadi
salah satu penghambat dalam berkomunikasi asertif, dimana laki-laki
cenderung agresif, independen, dan jarang melibatkan emosi, sebaliknya
wanita cenderung pasif, dependen, dan melibatkan emosi (Brewer et al,
2002). Istilah struktur dalam konteks ini mencakup adanya perbedaan
tujuan dan kepentingan masing-masing kelompok, sedangkan variabel
pribadi yang dimaksud adalah tipe kepribadian masing-masing pimpinan
kelompok berbeda satu dengan yang lainnya. Menurut Shetach (2012)
konflik juga dapat disebabkan oleh perbedaan interpersonal dan
perbedaan kepentingan. Dalam kasus ini perbedaan interpersonal yang
terjadi terkait pada dimensi-umur, jenis kelamin, latar belakang
pendidikan, dan pengalaman bekerja. Hal ini juga sesuai dengan
pendapat Ayoko and Hartel, 2006 yang mengatakan bahwa diversitas
atau keragaman yang menjadi sumber konflik potensial adalah budaya,
gender, posisi (jabatan), pengalaman, dan umur. Kemudian untuk
perbedaan kepentingan dapat dilihat dari adanya dua kelompok perawat
yang memiliki tujuan dan kepentingan yang berbeda (terkait posisi,
peran, status, dan tingkat hirarki).
3) Identifikasi sumber daya yang dapat dioptimalkan dan yang dapat
menjadi penghalang untuk manajemen konflik
Sebelum menentukan strategi-strategi dalam penyelesaian konflik,
Direktur keperawatan harus melakukan pengkajian faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi penyelesaian konflik, salah satunya sumber daya
manusia. Sumber daya manusia yang dimaksud adalah pemimpin terkait
kemampuan, peran dan fungsi kepemimpinan, serta gaya
kepemimpinannya yang selanjutnya mempengaruhi pilihan strategi
manajemen konflik yang dihadapi.
4) Identifikasi strategi penyelesaian konflik
Konflik dapat menjadi konstruktif atau destruktif tergantung dari
cara menyelesaikan atau memanajemen konflik. Kondisi konstruktif
dapat dirasakan ketika solusi yang diambil memuaskan dan
menguntungkan pihak-pihak yang mengalami konflik. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan Brewer (2002), penentuan gaya penyelesaian
konflik ditentukan dari gender, yaitu feminine group cenderung memilih
gaya avoiding, masculine group memilih dominating, dan androgynous
group (transgender) cenderung memilih strategi integrating. Dalam
penelitian tersebut tidak ditemukan kelompok gender tertentu yang

17
khusus memilih strategi compromising dan obliging. Sedangkan menurut
Hassan (2011) pemilihan strategi penyelesaian konflik adalah
berdasarkan suasana komunikasi. Bila suasana komunikasi terjalin baik,
strategi yang bisa digunakan adalah obliging, integrating, dan
compromising. Sebaliknya, bila suasana komunikasi bersifat defensif,
dominating dan avoiding menjadi pilihan. Berdasarkan kasus di atas,
gaya penyelesaian konflik yang dipilih adalah berdasarkan suasana
komunikasi bukan berdasarkan gender, yaitu compromising. Gaya ini
menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang
memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini
merupakan pendekatan saling memberi dan menerima (give and take
approach) dari pihak-pihak yang terlibat. Kompromi cocok digunakan
untuk menangani masalah yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki
tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan yang sama, dan penyelesaian
masalah dianggap sebagai prioritas agar tidak berkembang menjadi
konflik baru yang melibatkan pihak lain (Hoffmann, 2005). Kekuatan
utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak
ada pihak yang merasa dikalahkan. Outcome resolusi konflik yang
diharapkan dari kasus di atas adalah win-win solution.

b. Intervensi
Strategi intervensi penanganan konflik yang dipakai dalam kasus di
atas adalah fasilitasi, mediasi, dan arbitrasi. Ketiga strategi itu melibatkan
pihak ketiga yang dalam hal ini adalah direktur keperawatan. Fasilitasi
dilakukan dengan cara mempertemukan kedua pihak yang berkonflik untuk
membangun komunikasi dua arah, misalnya dalam suatu rapat. Mediasi
dimana pihak ketiga membantu menjalin hubungan yang baik antara kedua
belah pihak yang berkonflik. Kemudian arbitrasi adalah proses selanjutnya
dari mediasi, dimana pihak ketiga akan mendengarkan persepsi atau sudut
pandang kedua pihak. Hal ini juga membantu pemimpin untuk menentukan
prioritas tindakan dan membantu untuk tercapainya suatu kesepakatan yang
adil. Ketiga proses ini juga menjamin terbentuknya komunikasi yang baik
sehingga kompromi merupakan hal yang tepat untuk dipilih. Dalam hal ini
kesepakatan yang mungkin ditawarkan dengan menggunakan prinsip
kompromi adalah :
- Melakukan renovasi tahap pertama di kedua unit dengan biaya operasional
dibagi 2, yaitu 50% untuk unit neuroscience, kemudian 50% untuk unit
bedah ortopedi, kemudian di tahun selanjutnya renovasi dilanjutkan
kembali.
- Unit perawatan bedah ortopedi melakukan renovasi fisik dengan biaya
75%, sedangkan unit neuroscience membeli perlengkapan sekunder untuk
unitnya dengan biaya 25%, di tahun berikutnya dilakukan barter, unit
neuroscience mendapatkan 75% untuk renovasi fisik, dan unit bedah
ortopedi mendapat 25% untuk melengkapi sarana dan prasarana lainnya.
c. Evaluasi
Setelah strategi-strategi manajemen konflik dilaksanakan, pemimpin
melakukan evaluasi:
1) Evaluasi proses
Evaluasi terhadap keseluruhan proses manajemen konflik yang
terdiri dari:

18
- Bagaimana proses berjalan?
- Terdapat progress atau tidak?
- Berapa orang yang terlibat?
- Apakah option yang ditawarkan diterima oleh pihak yang berkonflik?
- Bagaimana reaksi pihak yang berkonflik (negatif/positif,
verbal/nonverbal)?
- Apakah strategi yang dipilih mengarah pada penyelesaian masalah
atau memunculkan masalah baru?
- Apakah terdapat hambatan dalam implementasi strategi yang
direncanakan dalam intervensi?
2) Evaluasi hasil
Membandingkan hasil yang didapatkan dengan indikator yang
telah direncanakan dalam intervensi. Hal yang perlu dievaluasi adalah
apakah hasil manajemen konflik mengarah pada proses yang konstruktif
atau destruktif. Manajemen konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi
dari adanya proses kreativitas di dalamnya, penyelesaian masalah
dilakukan secara bersama-sama, dimana konflik dianggap sebagai suatu
masalah yang berkualitas terhadap perkembangan individu atau suatu
organisasi yang harus ditemukan pemecahan masalahnya (Hendel,
2005). Sedangkan konflik bersifat destruktif bila berfokus hanya pada
satu individu saja, menggunakan emosi yang bersifat negatif, dan
menurunkan fungsi suatu grup atau organisasi (Runde and Flanagan,
2007).

19
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
1. Kepemimpinan adalah suatu seni untuk memotivasi sekelompok orang untuk
bertindak dalam mencapai tujuan bersama.
2. Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari perbedaan ide, nilainilai,
keyakinan, dan perasaan antara dua orang atau lebih.
3. Pemimpin yang dikatakan mampu menerapkan manejemen konflik (a
conflictcompetent leader) adalah pemimpin yang mampu memahami dinamika
terjadinya suatu konflik. Menurut Ayoko (2007) keragaman budaya yang tidak
mendapatkan perhatian dari pemimpin akan menimbulkan dampak destruktif pada
suatu organisasi, seperti terhambatnya komunikasi dan koordinasi. Manajemen
konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya proses kreativitas di
dalamnya, penyelesaian masalah dilakukan secara bersama-sama, dimana konflik
dianggap sebagai suatu masalah yang berkualitas terhadap perkembangan individu
atau suatu organisasi yang harus ditemukan pemecahan masalahnya. Gaya
kepemimpinan, gender, dan suasana saat berkomunikasi sangat mempengaruhi
pengambilan strategi penyelesaian masalah atau konflik

4.2 Saran
Perlu adanya kegiatan pelatihan dasar kepemimpinan yang berkelanjutan bagi
profesi keperawatan, khususnya sebagai perawat pengelola (manajer) untuk dapat
menerapkan gaya kepemimpinan yang baik dalam menentukan strategi penyelesaian
konflik.

20
DAFTAR PUSTAKA
Ayoko, O.B. & Hartel C.E. (2006). Cultural diversity and leadership “a conceptual model of
leader intervention in conflict events in culturally heterogenous workgroups. Cross
Cultural Management: An International Journal, 13(4), 345-360.
Ayoko, O.B. (2007). Communication openness, conflict events and reactions to conflict in
culturally diverse workgroups. Cross Cultural Management: An International Journal,
14 (2), 105-124.
Brewer, N., Mitchell, P., Weber, N. (2002). Gender role, organizational status, and conflict
management styles. The International Journal of Conflict Management. 13(1), 78-94.
Buckley M.R & Brown J.A. (2005). Barnard on conflicts of responsibility “implications for
today’s perspectives on transformational and authentic leadership”. Management
Decision Journal, 43(10), 1396.
CNO. (2009). Practice Guidelines Conflict prevention and management. Retrieved from:
http://www.cno.org/global/docs/prac/47004_conflict_prev.pdf.
Harsono. (2010). Paradigma ”Kepemimpinan Ketua” dan Kelemahannnya. Makara, Sosial
Humaniora. 14(1), 56-64.
Hassan, B., Maqsood, A., & Muhammad, N. R. (2011). Relationship between organizational
communication climate and interpersonal conflict management style. Pakistan Journal
of Physicology, 42(2), 23-41.
Hendel, T., Fish, M..,Galon, V. (2005). Leadership style and choice of strategy in conflict
management among Israeli nurse managers in general hospitals. Journal of Nursing
Management, 13, 137-146.
Hoffmann, M.H.G. (2005). Logical argument mapping: a method for overcoming cognitive
problems of conflict management. The International Journal of Conflict Management,
16(4), 304-334.
Huber, D. L. (2010). Leaderhip and Nursing Care Management ed. 4. Maryland Heights:
Saunders/Elsevier.
Hudson, K., Grisham, T. Srinivasan, P. (2005). Conflict management, negotiation, and
effective communication: esential skill for project managers. Retrieved from:
http://thomasgrisham.com/file/Conflict_Management_AIPM_Australia.pdf.
Kreitner & Angelo Kinicki. (2005). Organizational Behaviour. Chicago: Irwin.
Konorti. (2008). The 3D Transformational leadership model. The Journal of American
Academy of Business, 14, 10-20.
Marquis, B. L. & Huston, C. J. (2010). Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan: Teori
dan Aplikasi. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Mulyadi, dkk. (2013). Analisis Peran Kepemimpinan terhadap Motivasi Kerja Pegawai pada
Departemen Fasilitas Umum dan Penataan Lingkungan Perum
Peruri. Jurnal Managemen. 10 (3), 1305-1318
Rahim, M. Afzalur. (2002). Toward a theory of managing organizational conflict. The
International Journal of Conflict Management, 13 (3), 206-235.
Riggio, R.E. (2003). Introduction to Industrial/ Organizational Psychology. (4th Ed.). Upper
Saddle River, NJ: Prentice Hall.
Robbins, S. P. (2008). Perilaku Organisasi. Buku 2. Jakarta: Salemba Empat.
Russel, E. (2011). Leadership theories and style: a transitional approach. Retrieve from
http://usacac.army.mil/cac2/cgsc/repository/dcl_secondplaceessay_1102.pdf.
Runde, C. E. & Flanagan, T. A. (2007). Effective leadership stems from ability to handle
conflict. (2007). Dispute Resolution Journal, 62(2), 92.
Shetach, A. (2012). Conflict leadership: Navigating toward effective and efficient team
outcomes. The Journal for Quality and Participation, 35(2), 25-30.
Waworuntu, B. (2003). Determinan Kepemimpinan. Makara, Sosial Humaniora. 7 (2), 71-81.

21
Zagorsek, H., Dimovski, V., Skerlavai, M. (2009). Transactional and transformational
leadership impacts on organizational learning. Journal for East European Management
Studies, 14, 144-165.

22

Anda mungkin juga menyukai