Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA ANAK I.M DENGAN GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN : DEMAM


TIFOID DI RUANG IRENE 2

R.S SANTO BORROMEUS

Diajukan untuk memenuhi tugas Praktik Klinik Keperawatan I dengan dosen pembimbing
Linda Sari Barus., M.Kep., Ns.,Sp. Kep. An.

Disusun Oleh:

Charles Ananta Adi

30140116001

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS
Jalan Parahyangan Kav. 8 Blok B/1, Kota Baru Parahyangan
2019
BAB II

TINJAUAN TEORI

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN TIFOID

A. Konsep Dasar Teori Thypus / Tifoid

1. Pengertian

Tifus Abdominalis merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada usus halus

yang disebabkan oleh salmmonella thypii, yang ditularkan melalui makanan,

mulut atau minuman yang terkontaminasi oleh kuman salmmonella thypii.

(Hidayat, 2006)

Demam tipoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran

pencernaan dan gangguan kesadaran. (Nursalam, 2008)

Jadi, tipoid adalah penyakit infeksi pada usus halus yang disebabkan oleh

virus salmmonella thypii.

2. Anatomi Fisiologi Usus Halus

Usus halus merupakan saluran yang berlipat lipat terletak di daerah

umbilikus, dengan diameter +- 2.5 cm dan panjang 3.5 m. Berdasarkan fungsinya

usus halus dibagi menjadi: 1) Duodenum panjangnya 1/4 m, padanya bermuara

saluran empedu, saluran pankreas (hepatopankreastika), kelenjar brunner

(mengeluarkan sekret alkali) yang memungkinkan terjadinya proses pencernaan

secara kimiawi, memiliki pH usus 9. 2) Jejunum panjangnya 7 m dan 3) lleum

panjangnya 1 m.

Lapisan Dinding Usus Terdiri Dari:

a. Lapisan luar tersusun oleh membran serosa yang merupakan lapisan peri

toneum yang terdiri dari lapisan visceral dan parietal. Peritoneum melipat

dan meliputi usus dan seluruh lapisan visera abdomen. Lipatan lipatan
peritoneum ada yang disebut dengan mesenterium, omentum majus, dan

omentum minus, Fungsi pentoneum adalah menyokong pembuluh darah

dan limfe ke usus, melindungi rongga peritoneum terhadap infeksi,

menghindari friksi (gesekan) antara organ yang berdekatan.

b. Lapisan berotot terdiri dari 2 lapis serabut lapisan luar terdiri atas serabut

longitudinal dan dibawahnya terdapat lapisan tebal terdiri dari serabut

sirkuler. Diantara kedua lapisan serabut berotot ini terdapat pembuluh

darah. pembuluh limfe dan plexus saraf

c. Mukosa bagian dalam tebal serta banyak mengandung pembuluh darah dan

lenjar.

d. Dinding submukosa terdapat otot sirkuler dan lapisan yang terdalam yang

merupakan perbatasannya. Dinding submukosa ini terdiri atas jaringan

areoral dan berisi banyak pembuluh darah, saluran limfe, kelenjar dan

flexus saraf yang disebut plexus meissner.

Secara mikrokopis usus halus memiliki tiga struktur yang sangat menambah

luas permukaan dan membantu fungsi utama untuk mengabsorpsi nutrien di usus

hingga 16 juta cm2 meningkat sekitar 1000 kali lipat (bila permukaannya rata

sekitar 2 000 cm2)

a. Lapisan mukosa dan submukosa membentuk lipatan-lipatan sirkular seperti

jala yang disebut sebagai valvula koniventes (ipatan kerckning) yang

menonjol ke dalam lumen sekitar 3 sampai 10 mm. Adanya lipatan-lipatan

ini menyebabkan gambaran usus halus menyerupai bulu pada pemeriksaan

radiografi

b. Vili merupakan tonjolan tonjolan mukosa seperti jari jari yang jumlahnya
sekitar 4 atau 5 juta di sepanjang usus halus. Vili panjangnya 0,5 sampai 1,5

mm (dapat terlihat secara makroskopis) dan menyebabkan gambaran

mukosa menyerupai beludru

c. Mikrovili merupakan tonjolan menyerupai jari-jari yang panjangnya sekitar

1 mm pada permukaan luar setiap vili. Mikrovili berfungsi sebagai brush

border. Penyakit penyakit usus halus dapat menyebabkan atrofi dan

pendataran vili sehingga sangat mengurangi luas permukaan absorpsi dan

terjadilah malabsorpsi. Makrovil sebagai sel absorptif bertanggung jawab

atas absorpsi bahan makanan di usus halus. Enzim pada brush border

membantu menyelesaikan proses pencernaan saat berlangsungnya absorpsi.

Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum),

usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum).

1) Usus dua belas jari (Duodenum)

Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang

terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong

(jejunum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari usus

halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum Treitz.

Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak

terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang

normal berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua

muara saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu. Nama duodenum

berasal dari bahasa Latin duodenum digitorum, yang berarti dua belas jari.

Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari

(duodenum), yang merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan


masuk ke dalam duodenum melalui sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa

di cerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan megirimkan sinyal

kepada lambung untuk berhenti mengalirkan makanan.

2) Usus Kosong (jejenum)

Usus kosong atau jejunum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah

bagian kedua dari usus halus, di antara usus dua belas jari (duodenum) dan

usus penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus

antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan

usus penyerapan digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium.

Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan terdapat

jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus. Secara histologis

dapat dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni berkurangnya kelenjar

Brunner. Secara hitologis pula dapat dibedakan dengan usus penyerapan,

yakni sedikitnya sel goblet dan plak Payeri. Sedikit sulit untuk

membedakan usus kosong dan usus penyerapan secara makroskopis.

Jejunum diturunkan dari kata sifat jejune yang berarti “lapar” dalam

bahasa Inggris modern. Arti aslinya berasal dari bahasa Laton, jejunus,

yang berarti “kosong”.

3) Usus Penyerapan (illeum)

Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus.

Pada sistem pencernaan manusia, ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan

terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu.

Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi

menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu.


Fungsi Usus Halus

Usus halus Mempunyai fungsi, yaitu:

1) Fungsi Pergerakan, yaitu: gerakan segmentasi dan gerakan peristaltic.

2) Fungsi Sekresi

3) Digesti

4) Absorbsi

3. Etiologi Tipoid

Tipoid/Typhus abdominalis disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi),

paratyphi A, paratyphi B and paratyphi C. Salmonella thypi merupakan basil

gram negatif, berfagel, dan tidak berspora, anaerob fakultatif, masuk dalam

keluarga enterobacteriaceae, panjang 1-3 um, dan lebar 0.5-0.7um, berbentuk

batang single atau berpasangan. Salmonella hidup dengan baik pada suhu 37oc

dan dapat hidup pada air yang beku dan dingin, air tanah, air laut dan debu

selama berminggu-minggu, dapat hidup berbulan-bulan dalam sel yang

terkontaminasi dan tiram beku. Parasit hanya pada tubuh manusia. Dapat

dimatikan pada suhu 60oC selama 15 menit. Hidup subur pada medium yang

mengandung garam empedu. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O


(Somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagella), dan antigen Vi.

Dalam serum penderita demam typhoid akan terbentuk antibody terhadap ketiga

macam antigen tersebut.

Mekanisme Transmisi Typhus

Penyakit typhoid ini sangat mudah teriadi pada lingkungan dengan sanitasi

yang buruk. Berikut ini beberapa mekanisme penularan salmonella typhii.

a. Food (makanan/minuman) yang tercemar. Makanan yang diolah dengan

tidak bersih atau disajikan mentah berisiko mengandung salmonella seperti

salad, karedok atau asinan.

b. Fingers/Jari-jari tangan, seseorang yang pernah menderita typoid dapat

menjadi karier dan menularkan typoid kepada orang lain melalui jari-jari

tangannya maka menurut Ismail (2006) di daerah endemis, seseorang yang

tidak pernah menderita typoid dapat menularkan typoid dalam urin dan

fasesnya.

c. Feses dapat menularkan salmonella ke orang lain melalui rute fecal oral.

Artinya penularan dari feses dan masuk ke mulut. Sebagai contoh seorang

ibu rumah tangga yang menjadi karier dapat menularkan salmonella kepada

anggota keluarga lainnya dengan mengolah makanan dan minuman atau

memberi makanan kepada anak-anaknya sementara tangannya dalam

keadaan terkontaminasi salmonella karena kurang bersih mencuci tangan

ketika BAB atau BAK.

d. Fly (Lalat) dapat menjadi vektor mekanisme penularan typoid. Lalat, dapat

menghinggapi feses yang mengandung salmonella dan menghinggapi

makanan atau minuman dan mengkontaminasinya.

e. Hubungan seksual. Transmisi penularan salmonella melalui hubungan


seksual melalui rute oral anal, oral-penis atau anal intercourse. Sehingga

dapat dikatakan bahwa manusia menjadi host dan vector penularan penyakit

ini.

f. Instrumen Kesehatan. Petugas kesehatan berisiko tertular salmonella karena

kontak langsung dengan cairan tubuh pasien (darah, urin) dan feses yang

dapat mengandung salmonella, peralatan kesehatan yang terkontaminasi.

bahan untuk pemeriksaan laboratorium, alas kasur (sprey) yang

mengandung feses atau urin terkontaminasi salmonella.

4. Manifestasi Klinis Typhus Abdominalis

Manifestasi klinis demam typhoid yang disebabkan oleh S. Paratyphi lebih

ringan daripada S. Typhi.

Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya

adalah 10-14 hari. Masa awal penyakit, tanda dan gejala penyakit berupa

anoreksia, rasa malas, sakit kepala bagian depan, nyeri otot, lidah kotor (putih

ditengah dan tepi lidah kemerahan, kadang disertai tremor lidah), nyeri perut

sehingga dapat tidak terdiagnosis karena gejala mirip dengan penyakit lainnya.

Gambaran klinis typhus abdominalis terbagi atas 4 fase yaitu :

a. Minggu pertama (awal terinfeksi, setelah masa inkubasi 10-14 hari, gejala

penyakit berupa demam tinggi berkisar 39oC hingga 40oC, sakit kepala dan

pusing, pegal pada otot, mual, muntah, batuk, nadi meningkat, denyut

lemah, perut kembung (distensi abdomen), dapat terjadi diare atau konsti-

pasi, lidah kotor, epistaksis. Pada akhir minggu pertama lebih sering terjadi

diare, namun demikian biasanya diare lebih sering terjadi pada anak-anak

sedangkan konstipasi lebih sering terjadi pada orang dewasa. Bercak-bercak

merah yang berupa makula papula disebut roseolae karena adanya trombus
emboli basil pada kulit terjadi pada hari ke-7 dan berlangsung kemudian

menghilang. Penderita typhoid di Indonesia jarang menunjukkan adanya

roseolae dan umum dapat terlihat dengan jelas pada berkulit putih yaitu

berupa makula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul pada kulit

perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan.

b. Minggu kedua, suhu badan tetap tinggi, bradikardia relatif, terjadi ganguan

pendengaran, lidah tampak kering dan merah mengkilat. Diare lebih sering,

perhatikan adanya darah di feses karena perforasi usus, terdapat

hepatomegali dan splenomegali.

c. Minggu ketiga. Suhu tubuh berangsung angsur turun dan normal kembali di

akhir minggu. Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati.

Jika keadaan makin memburuk, dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa

delirium atau stupor, otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan

inkontinensia urin, perdarahan dari usus, meteorismus, timpani dan nyeri

abdomen. Jika denyut nadi meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun

umum, pertanda terjadinya perforasi usus. Sedangkan keringat dingin,

gelisah, sukar bernapas dan nadi menurun menunjukkan terjadinya

perdarahan. Degenerasi miokard merupakan penyebab umum kematian

penderita demam typhoid pada minggu ketiga

d. Minggu keempat. Merupakan stadium penyembuhan, pada awal minggu

keempat dapat dijumpai adanya pneumonia lobaris atau tro vena femoralis

5. Patofisiologi Tifoid

Kuman masuk ke dalam mulut melalui makanan/minuman yang tercemar

oleh salmonella biasanya >10. 000 basil kuman. Sebagian kuman dapat

dimusnahkan oleh HCl larnburg dan sebagian lagi masuk ke usus halus. Jika
hurnoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka basil salmonella akan menembus

sel-sel epitel (sel M) dan selanjutnya ke lamina propia dan berkembang biak di

jaringan limfoid plak peyeri di ileum distal dan kelenjar getah bening

mesenterika. Jaringan Limfoid plak peyeri dan kelenjar bening mesenterika

mengalami hiperplasia. Basil tersebut masuk ke airan darah (bakterimia) melalui

duktus thoracicus dan menyebar ke seluruh organ terutama hati, sumsum tulang

dan limfa melalui sirkulasi portal dari usus. Hati membesar (hepatomegali)

dengan infiltrasi limfosit, zat plasma dan sel mononuclear, serta terdapat nekrosis

fokal dan pembesaran limpa (splenomegali). Di organ ini kuman S. Typhi

berkembang biak dan masuk sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia,

kedua disertai tanda dan gejala infeksi sistemik (demam, malaise, mialgia, sakit

kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental dan koagulasi).

Pendarahan saluran cerna terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak

peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia. Proses patologis ini

dapat berlangsung hingga ke lapisan otot, serosa usus dan mengakibatkan

perforasi usus. Endotoksin basil menempel di reseptor sel endotel kapiler dan

dapat mengakibatkan komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik

kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ lainnya. Pada minggu pertama

penyakit terjadi hyperplasia (pembesaran sel-sel plak peyeri), disusul minggu

kedua terjadi nekrosis dan dalam minggu ketiga ulserasi plak peyeri dan

selanjutnya dalam minggu keempat penyembuhan ulkus dengan meninggalkan

sikatriks (jaringan parut).


6. Pathway

Salmonella typhii

Saluran pencernaan

Diserap oleh usus halus

Bakteri memasuki aliran darah sistemik

Kelenjar limfoid Hati Limpa Endotoksin


usus halus

Tukak Hepatomegali Splenomegali Demam

Pendarahan dan Nyeri perabaan


perforasi Mual/tidak nafsu makan

Perubahan nutrisi

Resiko kurang volume cairan

(Suriadi & Rita Y, 2001)


7. Pemeriksaan Penunjang Pada Pasien Typhus / Tifoid

1) Pemeriksaan darah tepi

a. Eritrosit Kemungkinan terdapat anemia karena terjadi gangguan absorpsi fe

di usus halus karena adanya inflamasi, hambatan pembentukan eritrosit

dalam sumsum tulang atau adanya perforasi usus,

b. Leukopenia (PMN) dengan jumlah lekosit antara 3000-4000/mm3, dan

jarang terjadi kadar lekosit <3000/mm3. Leukopenia teryadi sebagai akibat

penghancuran lekosit oleh endotoksin dan hilangnya eosinofil dari darah

tepi (eosinofilia). Namun dapat juga teradi lekositosis, limfositosis relatif


pada hari ke sepuluh demam, dan peningkatan laju endap darah.

c. Trombositopenia, biasanya terjadi pada minggu pertama (depresi fungsi

sumsum tulang dan limpa)

2) Pemeriksaan urin, didapatkan proteinuria ringan (<2 gr/liter) dan leukosit

dalam urine.

3) Pemeriksaan tinja, kemungkinan terdapat lendir dan darah karena terjadi

perdarahan usus dan perforasi. Biakan tinja untuk menemukan salmonella

dilakukan pada minggu kedua dan ketiga, serta biakan urin pada minggu

ketiga dan ke empat.

4) Pemeriksaan bakteriologis, diagnosis pasti bila dijumpai kuman salmonella

pada biakan darah tinja, urine, cairan empedu atau sumsum tulang.

5) Pemeriksaan serologis yakni pemeriksaan widal. Test widal merupakan reaksi

aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Selain itu tes widal (O dan H

agglutinin) mulai positif pada hari ke sepuluh dan titer akan semakin

meningkat sampai berakhirnya penyakit.

6) Pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah ada kelainan

atau komplikasi akibat demam typhoid.

8. Komplikasi Typhus Abdominalis

Komplikasi yang dapat terjadi meliputi:

1) Komplikasi intestinal meliputi perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik

intestinal

a. Perdarahan usus. Bila perdarahan yang terjadi banyak dan berat dapat

terjadi melena disertai nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.

b. Perforasi usus. Biasanya dapat timbul pada ileus di minggu ketiga atau

lebih. Merupakan komplikasi yang sangat serius terjadi 1-3% pada


pasien hospitalisasi

c. Peritonitis biasanya menyertai perforasi atau tanpa perforasi usus dengan

ditemukannya gejala akut abdomen, yaitu nyeri perut yang hebat,

dinding abdomen tegang (defans musculair) dan nyeri tekan.

2) Komplikasi ekstraintestinal meliputi:

a. Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan, sepsis)

miokarditis, trombosis, dan trombofebitis.

b. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi

intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemolitik.

c. Komplikasi paru: pneumonia, empiema, dan pleuritis.

d. Komplikasi hepar: hepatitis.

e. Kompliksi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.

f. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.

g. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis,

polineuritis perifer, sindrom guillain-barre, psikosis, dan sindrom

katatonia.

9. Penatalaksanaan Typhus / Tifoid

Pengobatan/penatalaksaan pada penderita typus abdominalis adalah sebagai

berikut:

a. Bed rest, untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan.

Minimal 7 hari bebas demam/ +- 14 hari. Mobilisasi bertahap, sesuai

dengan pulihnya kekuatan pasien. Tingkatkan hygiene perseorangan,

kebersihan tempat tidur, pakaian, dan peralatan yang dipakai oleh pasien

dan ubah posisi minimal tiap 2 jam untuk menurunkan risiko terjadi

dekubitus dan pneumonia hipostatik. Defekasi dan air kecil perlu


diperhatikan karena kadang- kadang terjadi obstipasi dan retensi urin,

isolasi penderita dan desinfeksi pakaian dan ekskreta pasien,

b. Diet dan terapi penunjang. Diet makanan harus mengandung cukup cairan

dan tinggi protein, serta rendah serat. Diet bertahap mulai dari bubur saring,

bubur kasar hingga nasi. Diet tinggi serat akan meningkatkan kerja usus

sehingga risiko perforasi usus lebih tinggi.

c. Pemberian antibiotika, anti radang anti inflamasi dan anti piretik.

1) Pemberian antibiotika

 Amoksisilin 100 mg/kgbb/hari, oral selama 10 hari.

 Kotrimoksazol 6 mg/kgbb/hari, oral. Dibagi dalam 2 dosis selama

10 hari

 Seftriakson 80 mg/kgbb/hari, IV atau lM, sekali sehari selama 5

hari.

 Sefiksim 10 mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis selama 10

hari.

 Untuk anak pilihan antibiotika yang utama adalah kloramfenikol

selama 10 hari dan diharapkan terjadi pemberantasan/eradikasi

kuman serta waktu perawatan dipersingkat.

2) Golongan Fluorokuinolon
 Norfloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
 Siprofloksasin: dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
 Ofloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
 Pefloksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari
 Fleroksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari
3) Anti radang (antiinflamasi). Kortikosteroid diberikan pada kasus berat

dengan gangguan kesadaran, Deksametason 1-3 mg/kgbb/hari dibagi 3


dosis hingga kesadaran membaik.

4) Antipiretik untuk menurunkan demam seperti parasetamol.

5) Antiemetik untuk menurunkan keluhan mual dan muntah pasien.

10. Pencegahan Typhus Abdominalis

1) Meningkatkan sanitasi lingkungan dengan penyediaan air minum yang

memenuhi syarat (melalui proses chlorinasi), pembuangan kotoran manusia

yang benar, pemberantasan lalat dan pengawasan terhadap produk

makanan/minuman dari pabrik, home industry, rumah makan dan penjual

makanan keliling.

2) Usaha terhadap manusia dengan meningkatkan personal hygine misalnya

dengan gerakan mencuci tangan; imunisasi efektif menurunkan risiko

penyakit hingga 50-75%. Meskipun telah mendapatkan imunisasi tetap harus

memperhatikan kebersihan makanan dan lingkungan. Di Indonesia

vaksinasinya bernama chotipa atau tipa (typhoid.para-typhoid). Dapat

dilakukan pada anak.usia 2 tahun yang masih rentan; menemukan dan

mengawasi karier typoid dan pendidikan kesehatan kepada masyarakat

tentang typoid pencegahan dan pengobatan typoid.


B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Typhoid

1. Pengkajian

a. Riwayat keperawatan
b. Kaji adanya gejala dan tanda meningkatnya suhu tubuh terutama pada malam
hari, nyeri kepala, lidah kotor, tidak nafsu makan, epistaksis, penurunan
kesadaran
2. Diagnosa Keperawatan

1) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake

makanan yang tidak adekuat karena klien tidak nafsu makan, mual dan kembung

2) Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.

3) Risiko tinggi terjadi kekurangan volume cairan berhubungan dengan kurangnya

intake cairan dan peningkatan suhu tubuh

4) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tidak adekuatnya masukan nutrisi (mual

dan muntah), pembatasan aktifitas.

5) Kurang pengetahuan tentang penyakitnya berhubungan dengan kurang informasi

3. Rencana Asuhan Keperawatan

Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi


Rasional
Keperawatan Hasil Keperawatan

1. Perubahan nutrisi Tujuan: 1. Kaji pola makan 1. Sebagai dasar

kurang dari Pemenuhan kebutuhan dan status nutrisi untuk menentukan

kebutuhan tubuh nutrisi adekuat. Kriteria klien. intervensi.

berhubungan hasil 2. Berikan makan 2. Mencegah iritasi

dengan intake a. Tidak ada mual yang tidak usus dan distensi

makanan yang dan kembung merangsang abdomen.

tidak adekuat b. Nafsu makan (pedas, asam dan 3. Mencegah

karena klien tidak meningkat. mengandung gas). terjadinya iritasi

nafsu makan, c. Makan habis 1 3. Berikan makanan usus dan


mual dan porsi. lunak selama fase komplikasi

kembung d. Berat badan akut (masih ada perforasi usus.

meningkat/norm panas/suhu lebih 4. Mencegah

al. dari normal) rangsangan mual/

4. Berikan makan muntah.

dalam porsi kecil 5. Untuk mengetahui

tapi sering. masukan

5. Timbang berat makanan/penambah

badan klien Setiap an BB.

hari dengan alat 6. Meningkatkan

ukur yang sama. nafsu makan.

6. Lakukan 7. Agar klien

perawatan mulut kooperatif dalam

secara teratur dan pemenuhan nutrisi.

sering. 8. Untuk mengontrol

7. Jelaskan mual dan muntah

pentingnya intake sehingga dapat

nutrisi yang meningkatkan

adekuat. masukan makanan.

8. Berikan terapi 9. Untuk

antiemetik sesuai mengistirahatkan

program medik. gastrointestinal,

9. Berikan nutrisi dan memberikan

parenteral sesuai nutrisi penting

program terapi untuk metabolisme

medik, jika tubuh.

pemberian
makanan oral

tidak dapat

diberikan.

2. Hipertermi Tujuan 1. Kaji dan catat suhu 2. Sebagai dasar

berhubungan Hipertermi teratasi. tubuh setiap 2 jam untuk menentukan

dengan proses Kriteria hasil atau 4 jam. intervensi

infeksi. a. Suhu dalam batas 2. Observasi membran 3. Untuk identifikasi

normal (36- mukosa, pengisian tanda-tanda

37°C). kapiler, turgor kulit. dehidrasi akibat

b. Tidak ada tanda 3. Berikan minum 2- panas.

tanda dehidrasi. 2,5 liter sehari 24 4. Kebutuhan cairan

Turgor kulit jam. dalam tubuh cukup

elastis Pengisian 4. Berikan kompres mencegah

kapiler <3" hangat pada dahi, terjadinya panas. 4.

Membran mokosa ketiak dan lipat Kompres hangat

lembab paha. memberi efek

5. Anjurkan klien vasodilatasi

untuk tirah pembuluh darah,

baring/pembatasan sehingga

aktifitas selama fase mempercepat

akut. penguapan panas

6. Anjurkan klien tubuh.

menggunakan 5. Menurunkan

pakaian yang tipis kebutuhan

dan menyerap metabolisme tubuh,

keringat. sehingga

7. Berikan terapi menurunkan panas.


antipiretik sesuai 6. Pakaian tipis

program medik dan memudahkan

evaluasi penguapan panas,

kefektifannya. saat penurunan

8. Pemberian panas klien akan

antibiotik sesuai banyak

program medik. mengeluarkan

9. Pemberian cairan keringat.

parenteral sesuai 7. Untuk

program medik. menurunkan/

10.Observasi hasil mengontrol panas.

pemeriksaan darah 8. Untuk mengatasi

(widal kultur) dan infeksi dan

feses mencegah

11.Observasi adanya penyebaran infeksi

peningkatan suhu 9. Penggantian cairan

terus menerus, akibat penguapan

distensi abdomen, panas tubuh.

nyeri abdomen. 10. Untuk mengetahui

perkembangan

penyakit typhus

dan efektifitas

terapi.

11. Peningkatan suhu

terus menerus

setelah pemberian

antipiretik dan
antibiotik

kemungkinan

terjadinya

komplikasi

perforasi usus.

3. Risiko tinggi Tujuan 1. Observasi tanda- 1. Hipotensi,

terjadi kurang Keseimbangan cairan tanda vital setiap 4 jam. takikardia, demam

volume cairan adekuat Kriteria hasil 2. Monitor tanda-tanda menunjukkan respon

berhubungan a. Intake dan output kekurangan cairan terhadap kehilangan

dengan seimbang. (turgor kulit tak elastis, cairan.

kurangnya b. Tanda-tanda vital produksi urine 2. Tanda tersebut

intake cairan dalam batas normal. menurun, membran menunjukkan

dan c. Membran mukosa mukosa kering, bibir kehilangan cairan

peningkatan lembab. pecah-pecah, pengisian berlebihan/ dehidrasi.

suhu tubuh d. Pengisian kapilar baik kapiler lambat). 3. untuk mendeteksi

(kurang dari 3 detik). 3. Observasi dan catat keseimbangan cairan

e. Produksi urine normal. intake dan output dan eletrolit..

f. Berat badan normal g. cairan setiap 8 jam 4. Untuk pemenuhan

Hematokrit dalam batas 4. Berikan cairan kebutuhan cairan

normal peroral 2-2,5 liter tubuh.

perhari, jika klien tidak 5. BB merupakan

muntah indikator kekurangan

5. Timbang berat badan cairan dan status nutrisi

(BB) setiap hari dengan 6. Untuk memperbaiki

alat ukur yang sama. kekurangan volume

6. Berikan cairan cairan.

parenteral sesuai 7. Indikator status


program medik. cairan klien, evaluasi

7. Awasi data adanya

laboratorium hemokonsentrasi.

(hematokrit)

4. Intoleransi Tujuan 1. Kaji tingkat toleransi 1. Sebagai dasar untuk

aktivitas Toleran terhadap klien terhadap aktivitas. menetukan intervensi.

berhubungan dengan aktivitas Kriteria hasil 2. Kaji jumlah makanan 2. Untuk identifikasi

tidak adekuatnya a." Tidak ada keluhan yang dikonsumsi klien intake nutrisi klien.

masukan nutrisi lelah. setiap hari. 3. Untuk menurunkan

(mual dan muntah), b. Tidak ada takikardia 3. Anjurkan klien untuk metabolisme tubuh dan

pembatasan aktifitas. dan takipnea bila tirah baring selama fase mencegah iritasi usus.

melakukan aktivitas akut. 4. Untuk mengurangi

c. Kebutuhan aktivitas 4. Jelaskan pentingnya peristaltik usus,

klien terpenuhi. pembatasan aktivitas sehingga mencegah

selama perawatan. iritasi usus.

5. Bantu klien 5. Kebutuhan aktivitas

melakukan aktivitas klien terpenuhi, dengan

sehari-hari sesuai energi minimal

kebutuhan sehingga mengurangi

6. Libatkan keluarga peristaltik usus.

dalam pemenuhan 6. Partisipasi keluarga

kebutuhan aktivitas meningkatkan

sehari-hari. kooperatif klien dalam

7. Berikan kesempatan perawatan. 7.

pada klien melakukan Meningkatkan

aktivitas sesuai kondisi partisipasi klien dapat

klien (jika telah bebas meningkatkan harga


panas beberapa hari, diri klien dan

hasil laboratorium meningkatkan toleransi

menunjukkan aktivitas.

perbaikan) 8. Meningkatkan daya

8. Berikan terapi tahan tubuh, sehingga

multivitamin sesuai meningkatkan aktivitas

program terapi medik. klien

5.Kurang Tujuan 1. Kaji tingkat 1. Sebagai dasar

pengetahuan tentang Pemehaman tentang pengetahuan klien menentukan intervensi

penyakitnya penyakitnya Kriteria tentang penyakitnya. 2. Klien mendapat

berhubungan dengan hasil Klien dapat 2. Jelaskan klien kejelasan tentang

kurang informasi menjelaskan: tentang penyakit typhus penyakitnya.

a. Penyakitnya abdominalis: pengetian, 3. Klien mendapat

b. Perawatan penyebab, tanda dan kejelasan tetntang

penyakitnya. gejala, pengobatan dan perawatan di rumah

c. Pengobatan komplikasi penyakit. setelah pulang dari

d. Waktu kontrol ulang 3. Jelaskan klien rumah sakit.

tentang perawatan 4. Untuk mencegah

penyakit pentingnya terulangnya infeksi

banyak istirahat usus yang berasal dari

menghindari makanan makanan, alat makan,

yang merangsang, kebersihan diri yang

hindari jajan kurang.

disembarang tempat, 5. Agar klien mudah

Makanan lunak jika mengingat kapan waktu

masih ada panas, kontrol yang tepat.

hindari aktivitas yang


dapat meningkatkan

peristaltik usus.

4. Jelaskan klien

tentang pentingnya

menjaga kebersihan

makan dan kebersihan

diri. Seperti makanan

yang langsung (buah-

buahan) dimakan harus

dicuci dahulu, makanan

harus ditutup agar

terhindar dari debu dan

lalat, peralatan makan

harus bersih,cuci

tangan sebelum kanan.

5. Berikan catatan

tertulis waktu kontrol

ulang setelah sakit.


DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, A. A. A. (2006). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika.

Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan

Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta:

Salemba Medika.

Suriadi & Rita Yuliani. Buku Pegangan Praktek Klinik Asuhan Keperawatan pada Anak.
Edisi I. CV Sagung Seto. Jakarta. 2001.

Anda mungkin juga menyukai