Anda di halaman 1dari 21

BAB IV

PEMBAHASAN

Setelah penulis membaca, menguraikan, menyajikan, konsep teori apendisitis,

selanjutnya penulis akan membahas kesenjangan-kesenjangan yang terjadi antara

teori dengan aplikasi Asuhan Keperawatan pada Tn.A dengan post operasi

apendiktomi di ruang rawat inap Rumah Sakit Santo Yusup Bandung.

A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dalam proses keperawatan. Fungsi

dan kegunaan pengkajian adalah untuk mendapatkan data yang lengkap dan

akurat baik yang diperoleh dari hasil wawancara dengan pasien dan keluarga

atau petugas kesehatan yang terkait. Data juga diperoleh dari dokumentasi

rekam medik pasien atau catatan perawatan, observasi dan pemeriksaan fisik

pasien.
Fokus pengkajian pada apendisitis menurut Doenges, Moorhouse, dan

Geissler (2000) dari wawancara diperoleh data nyeri pada daerah perut bagian

kanan bawah, anoreksia, dan pasien mengalami keterbatasan gerak karena

adanya luka bekas operasi. Sedangkan pada pemeriksaan fisik inspeksi

abdomen terdapat terdapat luka post operasi dari region II sampai diatas

simpisis.
Pada pemeriksaan penunjang tidak dicantumkan data pemeriksaan

laboratorium setelah operasi. Tidak diketahuinya nilai leukosit menyebabkan

kesulitan dalam menentukan respon tubuh terhadap mikroorganisme yang

menandakan terjadinya infeksi. Pada pasien dengan post operasi apendiktomi,

47
2

pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan antara lain observasi tanda-

tanda vital, pemeriksaan leukosit, urinalisis, foto abdomen (Mansjoer,

Suprohaita, Wardhani, & Setiowulan, 2000). Namun pada pasien Ny. T

pemeriksaan penunjang post operasi tidak ada, yang ada hanya pemeriksaan

penunjang pre operasi diantaranya pemeriksaan laboratorium dengan hasil Hb

(Hemoglobin) 15,5 g/dl, Ht (Hematokrit) 45%, Leukosit 12.280/uL, LED

(Laju endap darah) 6 mm/jam, eritrosit 5,2 10 6/uL, trombosit 343.000/uL,

MCV (Mean corpuscular volume) 85,7 fl, MCH (Mean corpuscular

hemoglobin) 29,6 pq, MCHC (Mean corpuscular hemoglobin concentration)

34,6 %, basofil 0,2 %, eosinofil 4,4 %, limfosit 17,7 %, PT (Protrombin time)

13,3 dtk, APTT (activated partial thromboplastin time) 30,4 dtk, ureum darah

12,5 mg/dl, kreatinin darah 0,72 mg/dl, glukosa sewaktu 104 mg/dl.

Pemeriksaan penunjang yang lain yaitu foto polos abdomen dengan hasil

tampak kontras mengisi striktur appendiks, dinding regular, tak tampak

identasi, filling defek maupun additional shadow, dengan kesan filling

apendiks pada kolon in Lopp. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui

keadaan umum pasien saat pre operasi apendiktomi.


Pengkajian yang penulis lakukan saat asuhan keperawatan pada pasien

dengan post operasi apendiktomi hari ke-3 adalah pengkajian dasar meliputi

identitas pasien dimaksudkan untuk memudahkan pendekatan dalam menjalin

hubungan antara pasien dengan penulis, serta memudahkan mengidentifikasi

permasalahan yang ada pada pasien. Sedang data identitas penanggung jawab

dimaksudkan untuk mendukung keakuratan data yang diperoleh.


3

Riwayat kesehatan meliputi keluhan utama didapatkan adanya nyeri

pada luka post operasi di region II sampai diatas simpisis seperti teriris-iris,

skala nyeri 4, bertambah nyeri jika bergerak terutama saat ambulasi miring ke

kiri. Riwayat penyakit dahulu pasien belum pernah menderita penyakit yang

sama seperti yang sekarang diderita, belum pernah dirawat di rumah sakit dan

belum pernah operasi. Pasien dulu memiliki riwayat penyakit maag, tapi tidak

diketahui sejak kapan pasien memiliki riwayat penyakit maag.


Pada pemeriksaan fisik didapatkan data keadaan umum pasien

composmentis, tanda-tanda vital 110/70 mmHg, nadi 82 kali per menit,

respirasi 22 kali per menit, suhu 36,6 OC. Pada pemeriksaan head to toe

didapatkan data pada dada simetris, auskultasi pernafasan tidak terdengar

ronchi maupun wheezing, suara pernafasan vesikuler, auskultasi jantung tidak

terdengar suara gallop, suara jantung reguler. Inspeksi abdomen terlihat

adanya luka post operasi, keadaan luka bersih dan kering. Auskultasi

abdomen tidak dikaji, sehingga tidak diketahui keadaan bising ususnya

normal atau tidak. Pada tangan kiri terpasang infus RL 20 tetes per menit.

Pada pemeriksaan kulit terlihat bersih, turgor kulit cukup. Pada pemeriksaan

kulit, tidak dikajinya warna dan kelembaban kulit sehingga data kurang

mendukung tentang keadaan nutrisi pasien.


Teknik operasi yang digunakan adalah apendiktomi secara biasa yaitu

laparatomi dengan sayatan mulai dari regio II sampai di atas simpisis, hal ini

berbeda dengan teknik operasi apendiktomi secara umum dalam teori yang

melalui titik Mc.Burney.


4

Pada pengkajian fungsional menurut Gordon didapatkan data pola

persepsi kesehatan pasien dan keluarga menyadari pentingnya kesehatan,

pada pola nutrisi didapatkan nafsu makan pasien berkurang sehingga

menyebabkan pasien tampak pucat dan lemas, dalam mengkaji pola nutrisi ini

tidak dicantumkan data intake dan output, tidak mengkaji turgor kulit, warna

dan kelembaban kulit dan tidak mengkaji BB, TB dan LILA pasien, sehingga

data yang didapat kurang mendukung. Pada pola eliminasi BAB dan BAK

pasien lancar, tidak mengalami gangguan. Pada pola aktivitas dan latihan

pasien belum bisa melakukan aktivitas secara mandiri dan mengalami

keterbatasan gerak karena pasien merasa nyeri pada luka post operasi bila

bergerak terutama saat ambulasi miring ke kiri. Pada pola istirahat dan tidur

pasien tidak mengalami gangguan tidur, pasien biasa tidur 4-5 jam/hari. Pada

pola persepsi kognitif pasien kurang paham dengan kondisi penyakit yang

sekarang diderita. Pada pola persepsi dan konsep diri pasien berharap cepat

sembuh, ingin cepat pulang dan berkumpul bersama keluarga. Pada pola

peran dan hubungan tidak ada masalah. Pada pola reproduksi seksualitas

pasien berjenis kelamin perempuan. Pada pola koping dan pertahanan jika ada

masalah pasien selalu membicarakan bersama keluarga. Pada pola nilai dan

keyakinan pasien beragama islam.


Pada pengkajian disertai terapi medis yang diberikan pada pasien.

Untuk terapy tanggal 5 Juli 2010 diberikan Vitamin K 3x1 amp, Fosmicin 2x2

gr dan Ketorolac 2x3 mg. Dalam mencantumkan terapi ini tidak lengkap

karena tidak disertai dengan penulisan dosis terutama pada terapi pemberian
5

vitamin K, sehingga data kurang tepat. Seharusnya tertulis terapi vitamin K

3x10 mg.

B. Diagnosa keperawatan yang ada dalam teori dan muncul dalam

kasus
Dalam penyusunan asuhan keperawatan pada pasien dengan post

operasi apendiktomi, penulis menemukan beberapa diagnosis keperawatan

sebagai berikut:
1. Nyeri (akut) berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan.
Menurut NANDA (2005), nyeri akut adalah pengalaman emosional dan

sensori yang tidak menyenangkan dan muncul dari kerusakan jaringan

secara aktual atau potensial atau menunjukkan adanya kerusakan,

serangan mendadak atau perlahan dari intensitas ringan sampai berat

yang dapat diantisipasi atau diprediksi durasi nyeri kurang dari 6 bulan.
Batasan karakteristik mayor nyeri yaitu adanya laporan secara verbal

maupun non verbal, gerakan melindungi, tingkah laku berhati-hati, muka

topeng dan tingkah laku ekspresif, posisi untuk mengurangi nyeri

(NANDA, 2005).
Diagnosa ini ditegakkan atas dasar pasien mengatakan nyeri pada luka

post operasi pada perut bagian kanan bawah sampai simfisis yang

diekspresikan dengan wajah menyeringai menahan sakit, pengkajian

skala nyeri 4, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 82 kali per menit,

respirasi 22 kali per menit dan menurunnya aktivitas yang dilakukan

karena pasien merasa nyeri pada luka post operasi apabila bergerak.
Masalah keperawatan ini diprioritaskan pada urutan pertama karena

merupakan masalah aktual yang harus segera ditangani karena dalam

penyusunan diagnosis keperawatan dapat diurutkan dengan prioritas


6

tinggi, sedang dan rendah. Masalah dengan prioritas tinggi

mencerminkan situasi yang mengancam kehidupan dan memerlukan

penanganan segera. Masalah dengan prioritas sedang berhubungan

dengan situasi yang tidak gawat dan tidak mengancam kehidupan pasien.

Masalah dengan prioritas rendah yaitu masalah yang tidak mengancam

kehidupan dan tidak memerlukan penanganan segera. Pada kasus yang

dikelola pasien, nyeri dengan skala 4 termasuk dalam skala sedang yang

disertai ekspresi wajah menahan nyeri dan merasa nyeri bila bergerak

dapat digolongkan dalam masalah dengan prioritas tinggi karena dapat

mengancam kehidupan pasien. Terbebas dari rasa nyeri merupakan

kebutuhan rasa aman dan nyaman, dimana kebutuhan rasa aman dan

nyaman merupakan kebutuhan dasar manusia kedua setelah kebutuhan

fisiologis.
Menurut Wilkinson (2000), intervensi prioritas dari diagnosa nyeri akut

antara lain lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif (lokasi, skala

dan intensitas), observasi ketidaknyamanan non verbal, gunakan

pendekatan yang positif terhadap pasien (hadir dekat pasien untuk

memenuhi kebutuhan rasa nyamannya dengan cara massase, perubahan

posisi, berikan perawatan yang tidak terburu-buru), kendalikan faktor

lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap

ketidaknyamanan, anjurkan pasien untuk istirahat dan menggunakan

teknik relaksasi, kolaborasi medis dalam pemberian analgetik.


Tindakan yang telah dilakukan dalam mengatasi masalah ini antara lain:
7

a. Mengkaji nyeri secara komprehensif meliputi lokasi,

karakteristik, skala nyeri dan intensitas nyeri.


b. Mengobservasi ketidaknyamanan non verbal.
c. Menggunakan pendekatan yang positif terhadap pasien, hadir

dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa nyamannya dengan

cara massase, mengatur posisi senyaman mugkin (semifowler),

memberikan perawatan yang tidak terburu-buru.


d. Mengendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi

respon pasien terhadap ketidaknyamanan.


e. Menganjurkan pasien untuk istirahat dan mengajarkan teknik

relaksasi dengan cara menarik nafas dalam dan menghembuskannya

secara perlahan-lahan.
f. Mengkaji tanda-tanda vital dan keadaan umum,
g. Berkolaborasi medis dalam memberikan ketorolac 3 mg per

IV.
Penulisan intervensi mengacu pada NIC NOC. Pada penulisan

tujuan intervensi tidak memenuhi pedoman SMART, dibuktikan

dalam penulisan intervensi tidak dicantumkan batasan waktu sehingga

data kurang tepat. Seharusnya penulisan tujuan intervensi pada

diagnosa pertama yaitu: setelah dilakukan tindakan keperawatan

selama 1x30 menit diharapkan nyeri berkurang atau hilang.


Pada intervensi juga tidak dicantumkan skala awal dan skala

yang diharapkan dari semua kriteria hasil sehingga tidak ada acuan

dalam menentukan evaluasi dan tidak ada data yang muncul secara

tiba-tiba. Kekuatan dalam mengatasi masalah ini adalah pasien

kooperatif dan mau melaksanakan anjuran yang diberikan penulis.

Sedangkan kendala yang dialami penulis adalah pada saat jam besuk,
8

ruangan agak ramai sehingga pasien tidak dapat istirahat dan pasien

masih takut nyeri bila bergerak. Adapun data yang menunjang dari

diagnosis diatas secara teori yaitu adanya perilaku melindungi diri,

memfokuskan pada diri sendiri dan perubahan pada tekanan darah

(NANDA, 2005).
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama satu hari,

maka penulis melakukan evaluasi tindakan yang telah dilakukan dan

didapatkan data bahwa pasien mengatakan nyeri berkurang, pasien

terlihat sedikit rileks, skala nyeri 3. Berdasarkan data yang diperoleh

penulis, maka masalah keperawatan nyeri belum teratasi. Rencana

tindakan tetap melanjutkan rencana tindakan yang telah dilakukan

sebelumnya yaitu kaji skala nyeri, anjurkan teknik relaksasi dengan

cara menarik nafas dalam dan menghembuskannya secara perlahan-

lahan, atur posisi pasien senyaman mungkin, ciptakan lingkungan

yang tenang dan kolaborasi medis pemberian analgetik sesuai

indikasi. Tindakan selanjutnya penulis mendelegasikan kepada

perawat ruangan. Dalam penulisan evaluasi hanya dicantumkan skala

akhir dan skala awal, sedangkan tujuan dari skala yang diharapkan

tidak dicantumkan, sehingga penulisan evaluasi kurang tepat.


2. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
Menurut NANDA (2005), resiko infeksi adalah suatu keadaan dimana

seorang individu beresiko terserang agen pathogenik atau oportunistik (virus,

bakteri, jamur, protozoa dan penyakit lain) dari sumber-sumber eksternal,

sumber endogen atau eksogen.


9

Secara teori untuk memunculkan diagnosa tersebut harus terdapat salah satu

diantara faktor resiko yang berhubungan dengan berbagai masalah

keperawatan yang dapat menciptakan kondisi peningkatan perkembangan

infeksi berdasarkan patofisiologisnya setiap melemahnya daya tahan penjamu

sekunder akibat penyakit kronis (kanker, gagal ginjal, gangguan hepatik,

gangguan pernafasan dan lain-lain), alkoholisme, imunoserasi, perubahan

leukosit, perubahan integumen penyakit perodental, sedangkan melemahnya

sirkulasi sekunder akibat limpodema, obesitas, penyakit vaskuler perifer

(Carpenito, 2000).
Diagnosa keperawatan ini ditegakkan atas dasar respirasi 22 kali per menit,

suhu 36,6 OC, terdapat luka jahitan post operasi bagian perut dari region II

sampai diatas simpisis, keadaan luka kering dan bersih, luka pada

pemasangan infus. Pada pasien post operasi apendiktomi terdapat luka jahitan

dan merupakan pintu masuk organisme patogen kedalam tubuh. Sehingga

beresiko terjadinya infeksi.


Masalah resiko infeksi diprioritaskan sebagai diagnosa keperawatan kedua

sebagai masalah resiko (ancaman) karena menurut analisa penulis dengan

adanya luka operasi yang termasuk kategori besar bilamana tidak diantisipasi

dengan baik dapat terjadi infeksi yang mengakibatkan keterlambatan dalam

proses penyembuhan juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan, hipotensi,

demam dan secara sistemik akan mengakibatkan sepsis dan dapat

menyebabkan kematian (Rab, 2000). Namun kondisi luka pasien sudah

membaik yang ditandai dengan tidak adanya tanda-tanda infeksi seperti rubor,

kalor, dan dolor serta luka baik terlihat bersih dan kering. Atas dasar itulah
10

penulis memprioritaskan masalah resiko infeksi sebagai diagnosa

keperawatan yang kedua.


Menurut Wilkinson (2006), intervensi dari prioritas diagnosa resiko infeksi

meliputi pantau tanda dan gejala infeksi, instruksikan untuk menjaga higiene

pribadi untuk melindungi tubuh terhadap infeksi, lindungi pasien dari

kontaminasi silang dengan pemakaian set ganti balut yang steril.


Untuk mencegah terjadinya infeksi, tindakan yang telah dilakukan untuk

mengatasi masalah ini adalah:


a. Mengkaji keadaan luka.
b. Memantau tanda dan gejala infeksi.
c. Menginstruksikan untuk menjaga higiene pribadi untuk melindungi

tubuh terhadap infeksi


d. Melindungi pasien dari kontaminasi silang dengan memberikan

perawatan luka dengan teknik steril.


e. Menganjurkan keluarga dan pasien untuk menjaga kebersihan sekitar

luka dan balutan agar tetap kering.


f. Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan

luka.
g. Berkolaborasi memberikan antibiotik secara IV yaitu Fosmicin 2x2 gr.

Penulisan intervensi mengacu pada NIC NOC. Pada penulisan tujuan

intervensi, tidak sesuai dengan pedoman SMART, dibuktikan pada penulisan

tujuan intervensi tidak dicantumkan batasan waktu sehingga data kurang

tepat. Seharusnya penulisan tujuan intervensi pada diagnosa kedua yaitu

setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x60 menit diharapkan tidak

terjadi infeksi pada luka bedah.


11

Pada intervensi juga tidak dicantumkan skala awal dan skala yang

diharapkan dari semua kriteria hasil, sehingga tidak ada acuan dalam

menentukan evaluasi dan tidak ada data yang muncul secara tiba-tiba.

Kekuatan dalam mengatasi masalah ini adalah penulis merawat luka dengan

hati-hati dan memperhatikan prinsip steril, didukung dengan kondisi luka

yang bersih dan kering, tersedianya sarana dan prasarana seperti alat-alat

yang steril, obat-obat antibiotik yang berkualitas dan pasien tidak ada faktor

alergi. Kendala yang dihadapi yaitu kurangnya peran serta keluarga dalam

menjaga prinsip sterilitas balutan serta kurangnya pencahayaan ruangan yang

menyulitkan penulis dalam melakukan tindakan keperawatan.

Hasil yang telah dicapai setelah pelaksanaan asuhan keperawatan pada hari

pertama adalah luka dalam keadaan bersih, tidak ada tanda-tanda infeksi,

suhu badan 36,6 OC. Berdasarkan data yang penulis dapat, maka masalah

resiko infeksi belum teratasi. Rencana tindakan tetap melanjutkan rencana

tindakan yang telah dilakukan yaitu kaji keadaan luka, berikan perawatan

luka dengan teknik aseptik, kolaborasi medis pemberian obat antibiotik.

Dalam hal ini penulis mendelegasikan tindakan selanjutnya pada perawat

ruangan. Dalam penulisan evaluasi hanya dicantumkan skala akhir dan skala

awal, sedangkan tujuan dari skala yang diharapkan tidak dicantumkan,

sehingga penulisan evaluasi kurang tepat.

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan anoreksia.
12

Menurut NANDA (2005), ketidakseimbangan nutrisi adalah suatu keadaan

dimana individu yang tidak puasa atau beresiko mengalami penurunan berat

badan yang berhubungan dengan masukan yang tidak adekuat atau

metabolisme yang tidak adekuat untuk kebutuhan metabolik.


Anoreksia menyebabkan masukan oral menurun sehingga terjadi

ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (Carpenito, 2000).


Diagnosa ini ditegakkan karena pada pasien batasan karakteristik untuk

ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yaitu pasien

melaporkan secara verbal adanya penurunan nafsu makan, habis ¼ porsi,

keadaan umum lemah, membran mukosa sedikit kering dan wajah sedikit

pucat. Untuk BB, nilai albumin dan keadaan kulit tidak dicantumkan,

sehingga data kurang lengkap. Sedangkan faktor yang menghubungkannya

adalah anoreksia.
Masalah ini ditempatkan pada prioritas ketiga karena merupakan masalah

potensial kekurangan nutrisi yang ditandai dengan pasien mau makan sedikit

demi sedikit. Namun masalah nutrisi merupakan kebutuhan dasar manusia

yang begitu mendasar dan penting. Sehingga masalah ini tidak luput untuk

ditangani agar tidak terjadi masalah kekurangan nutrisi. Apabila masalah ini

terjadi, hal ini akan menghambat proses penyembuhan luka karena kurangnya

intake protein dalam nutrisi yang berfungsi untuk mengganti sel-sel yang

rusak. Jadi tindakan yang dilakukan hanya bersifat pencegahan.


Menurut Wilkinson (2006), intervensi prioritas dari diagnosa

ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan yaitu tentukan kemampuan

pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi, pantau kandungan nutrisi dan


13

kalori pada catatan asupan, berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan

nutrisi, pertahankan higiene mulut sebelum dan sesudah makan.


Untuk mengatasi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan, maka

penulis melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasinya, yaitu


a. Menentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi

dengan menganjurkan pasien makan sedikit tetapi sering menyajikan

makanan selagi hangat.


b. Memantau kandungan nutrsi dan kalori pada catatan asupan dengan

berkolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet yang tepat.


c. Memberikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan

menciptakan lingkungan yang tenang saat makan.


d. Mempertahankan higiene mulut sebelum dan sesudah makan.

Penulisan intervensi mengacu pada NIC NOC. Pada penulisan tujuan

intervensi, penulisan tidak sesuai dengan pedoman SMART, dibuktikan

waktu dilakukannya intervensi tidak dicantumkan sehingga data kurang

tepat. Seharusnya penulisan tujuan intervensi pada diagnosa ketiga yaitu

setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x30 menit diharapkan

nutrisi pasien adekuat. Penulisan juga tidak mencantumkan skala awal dan

skala yang diharapkan dari semua kriteria hasil, sehingga tidak ada acuan

dalam menentukan evaluasi dan tidak ada data yang muncul secara tiba-tiba.

Untuk pelaksanaan tindakan keperawatan sesuai dengan rencana yang telah

disusun dalam intervensi keperawatan. Kekuatan saat dilakukan tindakan

keperawatan yaitu tersedianya sarana dan prasarana di rumah sakit, pasien

mau makan sedikit demi sedikit dan tidak adanya respon alergi dalam

pemberian nutrisi parenteral maupun per oral. Sedangkan kelemahan dalam


14

pelaksanaannya yaitu pasien kurang nafsu makan sehingga pemenuhan

kebutuhan nutrisi kurang adekuat. Tidak adanya data pendukung antara

intake dan output sehingga kesulitan untuk mencari data yang adekuat.

Hasil yang telah dicapai setelah pelaksanaan asuhan keperawatan pada hari

pertama adalah pasien mau makan sedikit demi sedikit, nafsu makan pasien

bertambah, habis ½ porsi, wajah tidak terlihat pucat, infus RL 20 tetes per

menit masuk lancar. Berdasarkan data yang penulis dapat, maka masalah

ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh masih belum

teratasi. Rencana tindakan tetap melanjutkan rencana tindakan yang telah

dilakukan yaitu anjurkan pasien makan sedikit tapi sering, kolaborasi dengan

ahli gizi dalam pemberian diet yang tepat, sajikan makanan selagi hangat,

ciptakan lingkungan yang tenang saat makan. Tindakan selanjutnya penulis

mendelegasikan kepada perawat ruangan. Penulisan evaluasi hanya

dicantumkan skala akhir dan skala awal, sedangkan tujuan dari skala yang

diharapkan tidak dicantumkan sehingga penulisan evaluasi kurang tepat.

4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan adanya luka post

operasi.
Menurut NANDA (2005), gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan

dalam pergerakan fisik pada bagian tubuh tertentu atau pada satu atau lebih

ekstremitas.
Batasan karakteristik mayor gangguan mobilitas fisik yaitu keterbatasan

ROM, perubahan gaya berjalan (menjadi pelan), gerakan menjadi napas

pendek, usaha yang kuat untuk perubahan gerak (peningkatan perhatian


15

dalam aktivitas lain, mengontrol perilaku, fokus dalam tidak mampu

beraktivitas), gerak lambat (NANDA, 2005).


Menurut NANDA (2005), etiologi dari masalah keperwatan mobilitas fisik

adalah kelemahan fisik. Namun berdasarkan kondisi pasien, etiologi dari

gangguan mobilitas fisik yang tepat karena adanya luka post operasi.

Sehingga menurut analisa penulis, masalah keperawatan yang muncul yaitu

gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan adanya luka post operasi.


Diagnosa ini ditegakkan atas dasar pasien mengatakan gerakan mengalami

keterbatasan karena adanya luka post operasi. Setiap kali pasien melakukan

ambulasi miring kiri, pasien merasa sakit pada daerah post operasi. Ambulasi

jalan pasienpun terganggu. Pasien belum mampu melaksanakan aktivitas

secara mandiri, masih memerlukan bantuan keluarga terutama saat akan

toileting di kamar mandi.


Masalah keperawatan ini diprioritaskan pada urutan keempat karena

merupakan masalah resiko rendah yang tidak mengancam kehidupan dan

tidak memerlukan penanganan segera. Dibuktikannya data yang diperoleh

pada pasien tidak ditemukannya tanda-tanda adanya kerusakan mobilitas

secara permanen, pasien mau berlatih ambulasi miring kiri secara bertahap

dan mau latihan jalan perlahan-lahan secara mandiri.


Walaupun diagnosa ini bersifat resiko, tetapi bila tidak diperhatikan dan

diangkat dalam tindakan keperawatan maka akan mengakibatkan kerusakan

mobilitas fisik bahkan juga mengakibatkan kerusakan kecacatan mobilitas

secara permanen atau bisa menyebabkan kekakuan otot maupun sendi karena

tidak adanya usaha dalam latihan ambulasi jalan, gerakan ROM, ambulasi

miring kiri secara mandiri.


16

Menurut Wilkinson (2006), intervensi dari prioritas masalah gangguan

mobilitas fisik meliputi bantu pasien untuk menggunakan fasilitas alat bantu

jalan, tempatkan tempat tidur pada posisi yang mudah dijangkau, monitor

pasien dalam menggunakan alat bantu jalan, instruksikan pasien tentang

teknik ambulasi, instruksikan keluarga pasien untuk membantu aktivitas

pasien secara mandiri.


Untuk mencegah terjadinya gangguan mobilitas fisik, adapun tindakan yang

telah dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah


a. Membantu pasien dalam ambulasi jalan secara bertahap.
b. Menempatkan tempat tidur pada posisi yang mudah dijangkau.
c. Memonitor pasien dalam menggunakan alat bantu jalan.
d. Menginstruksikan pasien tentang teknik ambulasi jalan yang tepat

post operasi.
e. Menginstruksikan keluarga pasien untuk membantu aktivitas pasien

secara mandiri.

Penulisan intervensi mengacu pada NIC NOC. Pada penulisan tujuan

intervensi, penulisan tidak sesuai dengan pedoman SMART, dibuktikan

waktu dilakukannya intervensi tidak dicantumkan sehingga data kurang

tepat. Seharusnya penulisan tujuan intervensi pada diagnosa keempat yaitu

setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x60 menit diharapkan tidak

mengalami gangguan dalam mobilitas.

Pada penulisan kriteria hasil dari diagnosa gangguan mobilitas seharusnya

tidak disebutkan semua, cukup 3 kriteria hasil yang bisa dicapai dalam

jangka waktu pendek diantaranya gerakan otot, gerakan sendi dan ambulasi

jalan.
17

Penulisan intervensi juga tidak mencantumkan skala awal dan skala yang

diharapkan dari semua kriteria hasil, sehingga tidak ada acuan dalam

menentukan evaluasi dan tidak ada data yang muncul secara tiba-tiba. Faktor

pendukung kekuatan dalam tindakan ini adalah pasien kooperatif, mengikuti

semua yang dianjurkan penulis, adanya tabel cheklist untuk mengetahui

tingkat aktivitas pasien. Sedangkan kelemahan dalam tindakan ini adalah

penulis tidak secara langsung memperhatikan semua aktivitas yang dilakukan

pasien selama satu hari, hanya penulis menganjurkan pada keluarga pasien

dalam membantu segala aktivitas pasien sehingga penulis kesulitan

mengontrol mobilitas fisik pasien.

Pada diagnosa keempat ini setelah dilakukan tindakan keperawatan hasil

yang dicapai dalam tindakan keperawatan pada hari pertama didapatkan

pasien mau latihan jalan walaupun secara perlahan, pasien mau berlatih

miring kiri secara pelan, dan pasien mau melakukan aktivitas secara mandiri

seperti makan dan toileting walaupun masih dalam pengawasan keluarga

pasien. Maka masalah gangguan mobilitas fisik belum teratasi. Rencana

tindakan tetap melanjutkan rencana tindakan yang telah dilakukan yaitu

bantu pasien dalam ambulasi jalan, latih pasien dalam gerakan ROM pasif

dan aktif, instruksikan keluarga pasien untuk membantu aktivitas pasien

secara mandiri. Tindakan selanjutnya penulis mendelegasikan kepada

perawat ruangan. Dalam penulisan evaluasi penulis hanya mencantumkan

skala akhir dan skala awal, sedangkan tujuan dari skala yang diharapkan

tidak dicantumkan, sehingga penulisan evaluasi kurang tepat.


18

5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan informasi

tentang penyakit, perawatan, dan pengobatan.


Menurut NANDA (2005), kurang pengetahuan adalah tidak ada atau kurang

informasi kognitif berhubungan dengan topik yang spesifik. Batasan

karakteristik mayor dari kurang pengetahuan yaitu mengungkapkan adanya

masalah, mengikuti instruksi tidak akurat, perilaku berlebihan atau tidak

sesuai (NANDA, 2005).


Diagnosa ini ditegakkan atas dasar pasien mengatakan kurang mengetahui

tentang penyakit yang sekarang diderita, bagaimana perawatan dan

pengobatannya.
Masalah keperawatan ini diprioritaskan pada urutan kelima karena

merupakan masalah potensial. Menurut analisa penulis, kurangnya

pengetahuan merupakan masalah dengan prioritas rendah yang ditandai

dengan saat penulis memberikan penyuluhan pasien dan keluarga dengan

mudah dapat memahami penjelasan penulis dan kooperatif. Masalah kurang

pengetahuan merupakan masalah yang berpotensi untuk terjadinya perubahan

tingkat pengetahuan.
Walaupun diagnosa ini bersifat potensial bila tidak diperhatikan dan diangkat

dalam tindakan keperawatan maka akan mengakibatkan kesalahpahaman

dalam mendefinisikan proses penyakit yang sekarang diderita bahkan bisa

menimbulkan hal yang fatal karena kurangnya pengetahuan tentang kondisi

penyakit yang diderita pasien. Atau kemungkinan penyakit menjadi parah

karena ketidaktahuan dalam perawatan dan pengobatan setelah di rumah.


Menurut Wilkinson (2006), intervensi dari prioritas diagnosa kurang

pengetahuan diantaranya observasi kesiapan pasien untuk mendengar,


19

menentukan tingkat pengetahuan pasien sebelumnya, jelaskan proses

penyakit, diskusikan tentang terapi dan perawatan.


Untuk mencegah terjadinya masalah kurang pengetahuan, tindakan yang telah

dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah


a. Mengobservasi kesiapan klien untuk mendengar.
b. Menentukan tingkat pengetahuan klien sebelumnya.
c. Menjelaskan proses penyakit (pengertian, tanda dan gejala,

manifestasi klinis).
d. Mendiskusikan tentang terapi dan perawatan.

Penulisan intervensi mengacu pada NIC NOC. Pada penulisan tujuan

intervensi, penulisan tidak sesuai dengan pedoman SMART, dibuktikan pada

penulisan tujuan intervensi tidak dicantumkan batasan waktu sehingga data

kurang tepat. Seharusnya penulisan tujuan intervensi pada diagnosa kelima

yaitu setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x15 menit diharapkan

pengetahuan pasien tentang penyakit yang diderita bertambah.

Penulisan intervensi juga tidak dicantumkan skala awal dan skala yang

diharapkan dari semua kriteria hasil, sehingga tidak ada acuan dalam

menentukan evaluasi dan tidak ada data yang muncul secara tiba-tiba. Faktor

pendukung kekuatan dalam tindakan ini adalah adanya media yang

disediakan penulis, pasien dan keluarga pasien kooperatif saat jalannya

penyuluhan. Sedangkan kelemahannya, penulis tidak menemukan kendala

yang berarti.

Pada diagnosa kelima ini setelah dilakukan tindakan keperawatan hasil yang

dicapai dalam tindakan keperawatan pada hari pertama didapatkan adanya


20

peningkatan pengetahuan pasien tentang penyakit, perawatan, dan

pengobatan terkait dengan proses penyakit yang diderita pasien. Maka

masalah kurang pengetahuan teratasi. Dalam diagnosa ini, penulis tidak perlu

mendelegasikan tindakan selanjutnya kepada perawat ruangan karena

masalah telah teratasi. Dalam penulisan evaluasi hanya mencantumkan skala

akhir dan skala awal, sedangkan tujuan dari skala yang diharapkan tidak

dicantumkan, sehingga penulisan evaluasi kurang tepat.

C. Diagnosa keperawatan yang tidak muncul dalam kasus


1. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan cairan

yang tidak adekuat.


Menurut NANDA (2005), resiko kekurangan volume cairan adalah resiko

untuk mengalami dehidrasi intraselular, selular, atau vaskular.


Batasan karakteristik mayor dari resiko kekurangan volume cairan yaitu

adanya kelemahan, haus, penurunan turgor kulit, membran mukosa atau

kulit kering, nadi meningkat, tekanan darah menurun, penurunan

pengisian kapiler, peningkatan suhu tubuh, dan hematokrit meningkat

(NANDA, 2005).
Dari data pengkajian didapatkan membran mukosa sedikit kering, pasien

tampak lemah, nadi dalam batas normal, tekanan darah menurun, suhu

dan nilai hematokrit masih dalam batas normal. Pada pengkjian, data

tentang status cairan pasien seperti keadaan turgor kulit, pengisian

kapiler, tidak dikaji berakibat tidak ditegakkannya diagnosa resiko

kekurangan volume cairan yang seharusnya diagnosa ini dapat diangkat.


Dampak yang terjadi apabila diagnosa tersebut tidak ditegakkan adalah

tidak terkontrolnya status cairan pasien sehingga bisa menimbulkan


21

dehidrasi yang bisa berakibat pada keadaan syok hipovolemik. Dengan

adanya pemantauan keadaan cairan pasien, resiko dehidrasi dapat dicegah

dengan dilakukannya tindakan keperawatan diantaranya memonitor vital

sign dan status hidrasi, kolaborasi dalam pemberian cairan intravena

sesuai terapi, sehingga masalah yang dihadapi klien dapat diatasi

(Doenges, Moorhouse, & Geissler 2000).

Anda mungkin juga menyukai