ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN An. S DENGAN GANGGUAN
SISTEM PERNAFASAN: BRONKOPNEUMONIA
DI RUANG IRENE 3
Disusun oleh:
Erya Oktavianty
30140116021
Puji dan syukur penulis mengucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas
rahmat dan pertolongan-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Asuhan Keperawatan Pada Pasien An. S Dengan Gangguan Sistem Pernafasan:
Bronkopneumonia”. Dalam penulisan makalah ini penulis juga tidak lupa
mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Keperawatan
Anak Linda Sari Barus., M.Kep., Ns.,Sp.Kep.An.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan.
Untuk itu, penulis mengaharapkan adanya kritikan dan saran yang membangun
guna kesempurnaan makalah ini. Selanjutnya penulis berharap dapat menambah
wawasan teman-teman dengan adanya materi ini, akhir kata penulis mengucapkan
terima kasih.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pneumonia sebenarnya bukan penyakit baru. American Lung
Association misalnya, menyebutkan hingga tahun 1936 pneumonia menjadi
penyebab kematian nomor satu di Amerika. Penggunaan antibiotik
membuat penyakit bisa di kontrol beberapa tahun kemudian. Namun, tahun
2000 kombinasi pneumonia dan influenza kembali merajalela dan menjadi
penyebab kematian ke tujuh di negara itu (Setiawan, 2009).
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-
paru (alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan
dengan proses infeksi akut pada bronkus ( biasa disebut bronchopneumonia
). Gejala penyakit ini berupa napas cepat dan sesak, karena paru meradang
secara mendadak. Batas napas cepat adalah frekuensi pernapasan sebanyak
50 kali per menit atau lebih pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 1
tahun, dan 40 kali per menit atau lebih pada anak usia 1 tahun sampai kurang
dari 5 tahun. Pada anak usia di bawah 2 bulan tidak dikenal diagnosa
pneumonia (Setiawan, 2009).
Secara global, sekitar 1,6 juta kematian setiap tahun disebabkan oleh
penyakit yang disebabkan oleh 'Streptokokus pneumoiae' (pneumococcal
disease), di dalamnya 700.000 hingga satu juta Balita terutama berasal dari
negara berkembang. Dilaporkan, di kawasan Asia - Pasifik diperkirakan
sebanyak 860.000 Balita meninggal setiap tahunnya atau sekitar 98 anak
setiap jam. Secara nasional angka kejadian Pneumonia belum diketahui
secara pasti, data yang ada baru berasal dari laporan Subdit ISPA Ditjen
P2M-PL Depkes RI tahun 2007. Dalam laporan tersebut disebutkan, dari 31
provinsi ditemukan 477.429 anak Balita dengan pneumonia atau 21,52
persen dari jumlah seluruh Balita di Indonesia. Proporsinya 35,02 persen
pada usia di bawah satu tahun dan 64,97 persen pada usia satu hingga empat
tahun. Jika dirata-ratakan, sekitar 2.778 anak meninggal setiap harinya
akibat pneumonia (Suriani, 2009).
Pneumonia merupakan masalah kesehatan di dunia karena angka
kematiannya tinggi, tidak saja di negara berkembang,tapi juga di negara
maju seperti AS, Kanada dan negara – negara Eropa.Di AS misalnya,
terdapat dua juta sampai tiga juta kasus pneumonia per tahun dengan jumlah
kematian rata – rata45.000 orang dan angka kematian akibat pneumonia
mencapai 25 % di Spanyol dan 12 % atau 25. 30 per 100.000 penduduk di
Inggris. Dari data SEMIC Healt Statistik 2001 influenza dan pneumonia
merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei,
nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapora,nomor 6 di Thailand dan nomor
3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian
tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran nafas akut
temtasuk pneumonia (Setiawan, 2009).
Di Indonesia, pneumonia merupakan penyebab kematian nomor tiga
setelah kardiovaskuler dan tuberkolosis. Faktor social ekonomi yang rendah
memper tinggi angka kematian. Penanggulangan penyakit pneumonia
menjadi fokus ketiga dari program P2ISPA (Penanggulangan Penyakit
Infeksi saluran Pernapasan Akut). Program ini mengupayakan agar istilah
Pneumonia lebih dikenal masyarakat, sehingga memudahkan kegiatan
penyuluhan dan penyebaran informasi tentangpenangulangan Pneumonia
(Setiawan, 2009).
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Keperawatan Anak dan mengetahui tentang asuhan keperawatan
pada gangguan sistem pernafasan akibat peradangan pada paru-paru salah
satunya Bronchopneumonia.
C. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah dengan metode
perpustakaan, juga berdasarkan teori dan dengan metode tinjauan kasus.
D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada makalah ini terdiri dari BAB I yaitu Latar
Belakang, Tujuan Penulisan, dan Sistematika Penulisan. BAB II terdiri dari
Konsep Dasar Kasus yang berisi Pengertian, Anatomi & Fisiologi, Etiologi,
Patofisiologi, Manifestasi Klinis, Komplikasi, Test Diagnostik, dan
Penatalaksanaan. Konsep Asuhan Keperawatan pada Bronchopneomonia
berisi Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, Perencanaan Keperawatan,
Implementasi Keperawatan, dan Evaluasi Keperawatan. BAB IV berisi
mengenai pembahasan dan BAB V terdiri dari Simpulan, Saran, dan
lampiran Daftar Pustaka.
BAB II
TINJAUAN TEORI
3. Fisiologi Pernafasan
Pernafasan paru merupakan pertukaran oksigen dan karbon dioksida
yang terjadi pada paru-paru. Pernafasan melalui paru-paru atau
pernafasan eksterna, oksigen diambil lewat mulut dan hidung pada
waktu bernafas yang oksigen masuk melalui trakea sampai ke alveoli
berhubungan dengan darah dalam kapiler pulmonar. Alveoli
memisahkan oksigen dari darah oksigen menembus membran, diambil
oleh sel darah merah dibawa ke jantung dan dari jantung dipompakan
seluruh tubuh.
Berikut adalah proses pernafasan yang terjadi setiap kali bernafas.
a. Ventilasi Pulmoner, gerakan pernapasan yang menukar udara dalam
alveoli dengan udara luar.
b. Difusi, proses pertukaran gas antara darah pada kapiler paru dengan
alveoli. Proses difusi ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan,
gas berdifusi dari tekanan tinggi ke tekanan rendah.
c. Transportasi, pendistribusian oksigen yang telah berikatan dengan
hemoglobin di aliran darah ke seluruh tubuh.
d. Perfusi, pertukaran O2 dan CO2 ke sel jaringan.
4. Etiologi
a. Bakteri: Diploccus pneumonia, Pneumococcus, Streptococcus,
Staphylococcus.
b. Virus: Rerspiratory syntical virus, virus influenza, virus
sitomegalik.
c. Jamur: Citoplasma Capsulatum, Criptococcus Nepromas,
Blastomices Dermatides, Aspergillus Sp, Candinda Albicans,
Mycoplasma Pneumonia. Aspirasi benda asing.
d. Faktor pencetus
1) Gizi buruk/kurang
2) Berat badan lahir rendah(BBLR).
3) Tidak mendapatkan ASI yang memadai.
4) Imunisasi yang tidak lengkap.
5) Polusi udara.
6) Kepadatan tempat tinggal.
5. Patofisiologi
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme
pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme
dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit.
Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat
melalui berbagai cara, antara lain:
a. Inhalasi langsung dari udara.
b. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring.
c. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain.
d. Penyebaran secara hematogen.
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat
efisien untuk mencegah infeksi yang terdiri dari:
a. Susunan anatomis rongga hidung.
b. Jaringan limfoid di nasofaring.
c. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius
dan sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang
terinfeksi. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe
regional. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama
dari IgA. Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-
bronkial yang bekerja sebagai antimikroba yang non spesifik. Bila
pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan
nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli
dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli
membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium,
yaitu :
a. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan
permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal
ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas
kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat
pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah
pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator
tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel
mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja
sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot
polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam
ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan
alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen
dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel
darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host)
sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi
padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan,
sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti
hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
c. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah
putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan
terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli
mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan
leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak
lagi mengalami kongesti.
d. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon
imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis
dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke
strukturnya semula.
Jika bakteri telah menginfeksi saluran nafas dan sudah masuk ke
dalam aliran pembuluh darah, bakteri tersebut akan menginfeksi
sistem vaskuler sehingga dapat menyebabkan gangguan pada sistem
pencernaan dan dapat menimbulkan sepsis pada penderita.
7. Komplikasi
a. Atelektasis (colaps,tidak ada udara masuk ke alveoli). Atelektasis
dapat terjadi pada satu atau satu bagian lobus. Daerah ini biasanya
bersih dengan batuk efektif dan pernafasan dalam.
b. Abses paru. Abses paru bukan komplikasi yang umum pada
pneumonia. Akan tetapi itu dapat terjadi pada pneumonia karena
Saureus dan organisme gram-negatif.
c. Emphyema. Akumulasi eksudat purulent di dalam ruang pleura.
Terjadi kurang dari 5% dan memerlukan terapi antibiotic dan
pembuangan eksudat oleh pembuluh dada atau pembedahan terbuka.
d. Meningitis. Meningitis dapat terjadi karena S.pneumoniae . Dimana
pasien dengan pneumonia biasanya bingung,susah memahami
sesuatu,atau mengantuk.
e. Sepsis. Sepsis dapat terjadi ketika bakteri dalam alveoli masuk ke
pembuluh darah. Sepsis hebat dapat mengakibatkan syok dan
Multisystem Organ Dysfunction Syndrome (MODS).
8. Tes Diagnostik
a. Riwayat dan pemeriksaan fisik,sering menyatakan sejumlah
informasi untuk membuat keputusan yang paling tepat tanpa tes
laboratorium yang mahal.
b. X-ray dada, sering digunakan untuk menunjukkan sebuah tipikal
karakteristik organisme yang menginfeksi dan penting untuk
memastikan diagnosa mengenai.
c. Gram stain pada sputum
d. Pengkulturan sputum dan test sensivitas
e. Pulse oximetry
f. Darah rutin
g. Kultur darah
9. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan medis
Pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi. Akan
tetapi, karena hal itu perlu waktu dan pasien perlu terapi secepatnya
maka biasanya diberikan:
1) Penisilin ditambah dengan cloramfenikol atau diberikan
antibiotic yang mempunyai spectrum luas seperti ampisilin.
Pengobatan ini diteruskan sampai bebas demam 4-5 hari.
2) Pemberian O2
3) Karena sebagian besar pasien jatuh kedalam asidosis metabolic
akibat kurang makan dan hipoksia, maka dapat diberikan koreksi
sesuai dengan hasil analisis gas darah arteri
4) Pasien pneumonia ringan tidak perlu dirawat di RS
b. Penatalaksnaan Keperawatan
1) Menjaga kelancaran pernafasan
Klien pneumonia berada dalam keadaan dispnea dan sianosis
karena adanya radang paru dan banyak lendir didalam bronkus
atau paru. Agar klien dapat bernafas secara lancer, lendir
tersebut harus dikeluarkan dan untuk memenuhi kebutuhan O2
perlu dibantu dengan memberikan O2 2l/mnt secara rumat.
2) Kebutuhan istirahat
Klien pneumonia adalah klien paya, suhu tubuhnya tinggi, sering
hiperpireksia maka klien perlu cukup istirahat, semua kebutuhan
klien harus ditolong ditempat tidur. Usahakan pemberian obat
secara tepat, usahakan keadaan tenang dan nyaman agar pasien
dapat istirahat sebaik baiknya.
3) Kebutuhan nutrisi dan cairan
Pasien bronkopneumonia hamper selalu mengalami masukan
makanan yang kurang. Suhu tubuh yang tinggi selama beberapa
hari dan masukan cairan yang kurang dapat menyebabkan
dehidrasi. Untuk mencegah dehidrasi dan kekurangan kalori
dipasang infuse dengan cairan glukosa 5% dan NaCl 0,9%
4) Mengontrol suhu tubuh
Pasien bronkopneumonia sewaktu waktu dapat mengalami
hipereksia untuk itu maka harus dikontrol suhu tiap jam dan
dilaksanakan kompres serta obat obatan satu jam setelah
dikompres dicek kembali apakah suhu turun.
c. Penatalaksanaan Lingkungan
1) Sanitasi lingkungan
Sanitasi lingkungan yang baik dapat mencegah terjadinya
penyakit bronkopneumoni.
2) Ventilasi udara yang cukup
Ventilasi udara yang cukup dapat meminimalisir penularan
penyakit bronkopneumoni dikarenakan pergantian/sirkulasi
udara menjadi lebih mudah sehingga tidak pengap.
3) Rumah terpapar sinar matahari yang cukup
4) Terhindar dari polusi udara
Keadaan lingkungan yang memiliki udara yang cukup baik akan
memberikan dampak positif bagi kesehatan sistem pernapasan.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem Respirasi
Inspeksi : adanya pernapaasn cuping hidung, sianosis sekitar
hidung dan mulut, retraksi sela iga serta penggunaan otot bantu
pernapasan.
Palpasi : stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit.
Perkusi : sonor memendek.
Auskultasi : suara pernapasan krekles lembab, kasar.
b. Sistem Kardiovaskuler
Inspeksi : kulit terlihat abu-abu/sianosis perifer, pucat dapat
menandakan anemia, peningkatan tekanan darah.
Perkusi : redup
Austultasi : peningkatan frekuensi jantung/takikardi.
c. Sistem Gastrointestinal
Auskultasi : dapat ditemukan bising usus tidak normal < 5 -
>30x/menit
Inspeksi : turgor kulit buruk, berkeringat.
Gejala :Mual/muntah Nafsu makan buruk/anoreksia
(emfisema) Ketidakmampuan untuk makan karena distress
pernafasan
Tanda : Turgor kulit buruk, berkeringat, palpitasi abdominal dapat
menyebabkan hepatomegali.
d. Aktifitas/istirahat
Gejala : Keletihan, malaise
Ketidakmampuan melakukan aktifitas sehari-hari karena sulit
bernafas.
Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi
Dispnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktifitas atau
istirahat.
Tanda: Keletihan, Gelisah/insomnia, kelemahan umum/kehilangan
masa otot.
3. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
produksi sputum.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
alveolus kapiler, gangguan kapasitas pembawa oksigen.
c. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan proses inflamasi dalam
alveoli.
d. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
kehilangan cairan berlebih.
e. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan
proses infeksi.
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan insufisiensi oksigen.
4. Implementasi
Melakukan tindakan yang di intervensikan/direncanakan.
5. Evaluasi
Respon atau hasil dari implementasi atau tindakan yang telah di
bererikan.
C. KONSEP DASAR TUMBUH KEMBANG ANAK USIA 2 TAHUN
1. Definisi
Pertumbuhan merupakan perubahan kuantitatif yaitu peningkatan
jumlah dan ukuran sel yang akan menghasilkan peningkatan ukuran dan
berat seluruh atau sebagian bagian sel sedangkan perkembangan
merupakan perubahan kualitatif yaitu perubahan fungsi tubuh yang
terjadi secara bertahap dari tingkat yang paling rendah ke tingkat yang
paling tinggi melalui proses kematangan dan belajar (Wong, 2009).
Pertumbuhan dan perkembangan mempunyai arti yang berbeda.
Pertumbuhan berdampak terhadap aspek fisik sedangkan perkembangan
berkaitan dengan pematangan fungsi organ dan individu. Kedua kondisi
tersebut saling berkaitan dan berpengaruh pada tumbuh kembang pada
setiap anak.
Pertumbuhan masa prasekolah pada anak yaitu pada
pertumbuhan fisik, khususnya berat badan mengalami kenaikan rata-
rata pertahunnya adalah 2 kg, kelihatan kurus, akan tetapi aktivitas
motoriknya tinggi, dimana sistem tubuh sudah mencapai kematangan,
seperti berjalan, melompat, dan lain -lain. Sedangkan pada
pertumbuhan tinggi badan anak kenaikannya rata-rata akan mencapai
6,75-7,5 cm setiap tahunnya (Hidayat, 2009).
Perkembangan merupakan proses yang tidak akan berhenti.
Masa prasekolah merupakan fase perkembangan individu dapat usia
2-6 tahun, perkembangan pada masa ini merupakan masa
perkembangan yang pendek tetapi merupakan masa yang sangat
penting (Fikriyanti, 2013).