Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Laki-laki berbeda dengan perempuan. Pernyataan itu dapat dikatakan berlaku
universal. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak saja terbatas pada perbedaan
biologis. Perempuan misalnya, sering digambarkan sebagai sosok yang lembut, tidak
asertif, dan cenderung mengalah. Sebaliknya laki-laki lebih sering ditampilkan sebagai
seseorang yang besar, esertif dan dominan. Dikotomi laki-laki dan perempuan juga
tercermin dalam pengkotak-kotakan “pekerjaan laki-laki” pekerjaan perempuan” yang
dikenal dengan istilah pembagian kerja secara seksual. Jelaslah disini bahwa perbedaan
antara laki-laki dan perempuan tidak saja ditentukan oleh factor biologis, melainkan juga
oleh factor social dan budaya.1
Saat ini, topic atau kajian tentang masalah kewanitaan di Indonesia sangat
banyak. Berbagai diskusi, seminar serta penelitian-penelitian banyak dilakukan karena
masyarakat semakin sadar dengan adanya kedudukan wanita serta peranannya dalam
mendukung kemajuan dalam berumah tangga. Terkadang wanita dipandang lebih rendah
kedudukannya dibandingkan laki-laki. Apalagi pada zaman dahulu wanita tidak
mempunyai wewenang dalam mengatur anak-anaknya, seperti yang telah ada dalam kitab
Negara Kertagama. Topic ini sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Sehingga penulis
tergugah untuk mengkaji lebih lanjut mengenai kedudukan wanita, hak dan kewajiban
wanita serta tata cara perkawinan berdasarkan kitab Negara Kertagama.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan wanita berdasar pada kitab Negarakertagama?
2. Bagaimana hak dan kewajiban wanita berdasar pada kitab Negarakertagama?
3. Bagaimana tata perkawinan berdasar pada kitab Negarakertagama?
C. Tujuan
1. Mengetahui kedudukan wanita berdasar pada kitab Negarakertagama
2. Mengetahui hak dan kewajiban wanita berdasar pada kitab Negarakertagama
3. Mengetahui tata cara perkawinan berdasar pada kitab Negarakertagama

1
Lusi Margiyani dkk. 1993. Dinamika Perempuan di Indonesia. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya (hal:29-30)
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kedudukan Wanita berdasar pada kitab Negara Kertagama


Kewajiban wanita dalam rumah tangga seolah-olah hanya untuk melayani dan
menyenangkan hati suaminya saja. Menurut undang-undang ia tidak diizinkan untuk
bercakap-cakap atau bersendau gurau dengan laki-laki selain suaminya, tidak pandang
apakah orang itu sahabat suaminya, iparnya atau seorang pendeta, apalagi di tempat
sunyi. Pihak laki-laki pun dilarang keras untuk menegur atau bercakap-cakap degan
wanita yang telah bersuami di tempat sepi. Pelanggaran terhadap peraturan itu akan
dikenakan denda sepuluh ribu. Peraturan yang sekeras itu dimaksudkan terutama untuk
melindungi para wanita dari kejahatan-kejahatan yang dapat timbul dari pergaulan bebas
antara kaum laki-laki dan kaum wanita.2
Dalam perspektif atau cakrawala pandangan orang Jawa (Kejawen), keberadaan
wanita (istri, pasangan hidup) ini sangat penting dalam kehidupan seorang laki-laki.
Sebab, seorang suami atau laki-laki akan menjadi terhormat jika didampingi oleh istri
atau pasangan hidupnya; lebih-lebih jika istrinya sholihah (baik).3 Dalam hal ini, dapat
dikatakan bahwa seorang istri sangat berperan dalam kesuksesan suaminya. Pepatah
mengatakan bahwa dibalik kesuksesan laki-laki selalu terdapat wanita dibelakangnya.
Seorang wanita yang dapat mendukung atau mendorong pasangannya untuk meraih
kesuksesannya. Hal ini menunjukkan bahwa seorang wanita tentunya memiliki peranan
yang sangat penting. Wanita yang baik tentu akan selalu menjaga keharmonisan dalam
rumah tangganya. Namun, ketika seorang laki-laki atau suami tidak memperhatikan sikap
baik istrinya, tentunya akan merusak rumah tangga yang telah susah payah dibangun.
Menurut kitab Negara Kertagama, jika seorang wanita yang telah bersuami
berlaku sedeng, berjinak-jinakan dengan lelaki lain, suaminya berhak untuk membunuh
kedua-duannya tanpa takut akan adanya tuntutan atau pengaduan, telah dijelaskan dalam
undang-undang bahwa barang siapa melakukantindak sedeng, jika terbukti akan dijatuhi
hukuman mati. Terhadap anak-anaknya, terutama dalam soal mncarikan jodoh, ibu tidak
mempunyai wewenang. Hal itu adalah wewenang penuh suaminnya seperti dijelaskan
dalam fasal 188 yang bunyinya seperti berikut: jika setelah lama kawin dan dari
perkawinan itu lahirlah anak, maka bapa yang berhak atas itu; ibunya tidak mempunyai
hak atas anaknya. Jika anak itu dikawinkan oleh ibunya tanpa perintah ayahnya, maka
ayahnya berhak menceraikan anaknya perempuan itu, kalau ia tidak suka kepada
menantunya. Dalam hal itu ibunya harus mengembalikan tukon kepada pemuda yang
ditolak oleh ayahnya.4

2
Slametmulyana. 1979. Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara (hal:211)
3
Wawan Susetya.2007. Ular-Ular Manten. Yogyakarta: Penerbit Narasi (hal:8-9)
4
Slametmulyana. 1979. Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara (hal:211)
B. Hak dan Kewajiban Wanita
1. Perceraian
Pernikahan sesungguhnya adalah suatu awal. Awal dari sebuah hubungan yang
berlanjut, keduanya terus tumbuh dan berubah, demikian pula hubungan itu sendiri.
Kadang-kadang keduanya tumbuh menjauh, tetapi dengan komunikasi dan saling
berbagi yang baik, mereka masih dapat tumbuh sebagai bagian dari suatu
kesatuan.5Namun, terkadang jika keduanya tidak berjalan beriringan maka pernikahan
tersebut dapat mengakibatkan suatu perceraian. Menurut Kitab Negara Kertagama,
suami mempunyai hak penuh untuk menceraikan istrinya setiap masa dengan dalih
apapun. Perceraian itu baru sah setelah melakukan upacara seperti yang tercatat
dalam undang-undang Kutura Manawa fasal 191 yang bunyinya seperti berikut:
Perceraian menghendaki empat macam tanda bukti: 1. Saksi; 2. Memecah Mata
Uang; 3. Memberi air untuk cuci muka; 4. Memberikan butir beras, itulah tanda bukti
perceraian yang disebut siddha atadin.6Dengan demikian, ketika empat tand bukti
tersebut tidak dipenuhi maka perkawinan tersebut belum berpisah, karena apabila
perceraian tanpa saksi dapat menyulitkan seorang wanita ketika hendak menikah
dengan laki-lain lain dan wanita tersebut dapat dikenakan denda sebesar empat puluh
ribu rupiah. Jika keempat syarat tersebut dipenuhi maka masing-masing pihak bebas
untuk melakukan perkawinan dengan orang lain yang dipilihnya.
Menurut kitab Negara Kertagama, seorang wanita atau istri juga memiliki hak
untuk menceraikan suaminya dengan alas an bahwa ia sudah tidak lagi cinta
kepadanya. Namun dengan syarat isteri tersebut harus mengembalikan tukon dua kali
lipat. Maka ketika istri tersebut sanggup mengembalikan tukon, dengan sendirinya
telah berpisah dari suaminya, dan selanjutnya ia dapat menikah lagi dengan laki-laki
lain.
Seorang isteri berhak kawin dengan laki-laki lain dengan dalih-dalih yang tersebut
dalam fasal 193-195, seperti berikut:
Jika suami menderita penyakit gila, merana, ayan, impoten, banci, sehingga
istrinya tidak suka, suami itu disuruh berobat dan isterinya menunggu selama tiga
tahun. Jika selama tiga tahun tidak sembuh, isterinya tidak boleh disalahkan, jika ia
kawin lagi. Dalam hal itu tukon tidak usah dikembalikan dan sikap isteri diibaratkan
dengan orang yang menunggu dahan bertunas: anunggu pang asemi.
Jika suami pergi berlayar, batasnya sampai sepuluh tahun; jika merantau ke desa
lain untuk mencari ujang, batasnya empat tahun; jika pergi belajar, batasnya enam
tahun. Jika suami meninggalkan isterinya tidak untuk belajar, tidak untuk mencari
uang untuk menambah kekayaan bersama, maka isterinya boleh kawin dengan laki-
laki lain. Demikian ajaran kitab undang-undang Manawa. Menurut kitab undang-

5
Nancy Van Vuuren. 1991. Wanita dan Karier. Yogyakarta: Kanisius (hal:99)
6
Slametmulyana. 1979. Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara (hal:212)
undang Kutara batas waktu tunggu itu hanya tiga tahun. Selewatnya isterinya boleh
kawin lagi dengan laki-laki lain; suaminya tidak berhak untuk menyalahkannya.
Dalam hal yang demikian perceraian itu disebut pinisah ing hyang artinya: diceraikan
oleh dewa.7
2. Perwarisan
Perkara pembagian warisan antara anak laki-laki yang lahir dari isteri tunggal
ditetapkan dalam undang-undang fasal218 demikian: jika dari perkawinan tunggal
diperoleh anak banyak, kemudian suami meinggal, anak laki-laki sulung boleh
mengambil harta milik orang tuanya lebih dahulu. Bagian yang dipilih itu disebut
uddhara. Pembagian warisan tersebut diatur seperti berikut. jika harta milik tinggalan
itu besar (jumlah atau nilainya), anak laki-laki sulung itu boleh mengambil dahulu
yang banyak, jika harta milik tinggalan itu sedikit, hanya boleh mengambil sedikit.
Setahil, dua tahil, empat tahil, bergantung kepada (besar-kecilnya) harta milikyang
akan dibagi. Jadi ada batas-batasnya. Harta milik hendaknya dibagi lima untuk
kepentingan anak laki-laki sulung.8 Namun, jika seorang laki-laki atau suami
memiliki istri lebih dari satu, maka anak-anak yang dilahirkan dari isteri yang
berwarna tinggi, maka akan mendapat bagian yang lebih banyak dari pada anak yang
lahir dari isteri berwarna rendah. Semakin tinggi warna ibunya, semakin tinggi pula
bagian atau harta warisannya.
Undang-undang Kutara Manawa pasal 217 memberikan perincian tentang anak-
anak yang mempunyai hak waris dan tidak, dalam golongan A dan Golongan B
demikian:
Golongan A
1. Anak yang lahir dari perkawinan pertama; ketika ibu-bapanya masih sama-
sama muda dan sejak kecil telah dipertunangkan,
2. Anak yang lahir dari dari isteri dari perkawinan yang kedua kali. Tidak
pandang miskin/tidaknya, asal perkawinannya dilangsungkan dengan
persetujkuan orang tuanya, tidak jadi pocapan buruk dan tidak bercacad.
3. Anak pemberian saudaranya.
4. Anak yang diminta dari orang lain.
5. Anak yang diperoleh dari isteri akibat percampurannya dengan ipar laki-laki
atas perintah suaminya.
6. Anak buangan yang dipungut dan diaku sebagai anak
Itulah enam macam anak yang mempunyai hak waris.

Golongan B

1. Anak yang tidak diketahui siapa bapanya, karena diperoleh ibunya sebelum
kawin.

7
Slametmulyana. 1979. Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara (hal:213)
8
Ibid
2. Anak campuran laki-laki banyak.
3. Anak seorang isteri yang diceraikan dan rujuk kembali, setelah bercampur
dengan laki-laki lain.
4. Anak yang diperoleh karena pembelian.
5. Anak orang lain yang minta diaku anak.
6. Anak hamba, yang diaku anak.
Itulah enam macam anak yang tidak mempunyai hak waris.

Fasal 219 menyebutkan bahwa anak tiri dapat mempunyai hak waris atas
harta tinggalan bapa tirinya, jika dari perkawinan antara ibuu dan bapa tirinya itu
tidak diperoleh anak. Fasal ini juga menyatakan bahwa anak yang kena kutuk
(tidak disukai) ayahnya akibat kesalahan ibunya atatu karena ibunya bukan orang
keturunan tinggi, mempunyai hak waris sama dengan anak-anak lainnya yang
disayangi ayahnya. Anak itu disebut putra anumpak artinya anak yang dinaikan
derajatnya.9

C. Tata Perkawinan
Berdasarkan Undang-Undang No. 1/1974 pasal 1 dijelaskan tentang definisi
perkawinan yaitu:“perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seaorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.10 Perkawinan merupakan
sebuah peralihan kehidupan manusia dari masa remaja ke masa berkeluarga. Peristiwa
tersebut sangat penting dalam proses pengintegrasian manusia di alam semesta ini.
Sehingga perkawinan disebut juga taraf kehidupan baru bagi manusia.11
Sedangkan perkawinan adalah pangkal pembentukan rumah tangga yang menjadi
sendi masyarakat. Undang-undang Kutara Manawa memang menyediakan peraturan-
peraturan sipil yang bertalian dengan kehidupan rumah tangga seperti tukon (mahar),
perkawinan, perceraian dan pewarisan. Perkawinan yang ideal ialah perkawinan dalam
warna, dimana pihak laki-laki dan perempuan sama derajatnya, biasanya dilambangkan
dengan perkawinan antara Rama dan Sita. Perkawinan dalam warna memberikan jaminan
kepada kelangsungan hidup warna, karena tidak menimbulkan kekeruhan atau
kegoncangan.
Kegoncangan dalam warna kebanyakan disebabkan oleh perkawinan antar-warna,
terutama perkawinan patriloma, dimana warna pihak perempuan lbih tinggi dari pihak
laki-laki. Perkawinan auloma, dimana warna pihak laki-laki lebih tinggi dari pihak
perempuan, biasa dilakukan tanpa menimbulkan kegoncangan dalam warna, karena anak-
anaknya mempunyai warna yang sama dengan ayahnya. Menurut undang-undang Kutara
9
Slametmulyana. 1979. Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara (hal:214)
10
Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No 1. L.N. No.1 tahun 1974, ps.1 Tersedia pada
WWW.libary.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum09/205711040/BAB2.pdf diakses pada tanggal 27 September 2014
11
Kuswa Endah. 2006. Petung, Prosesi dan Sesaji dalam Ritual Manten Masyarakat Jawa. Jurnal Kejawen,
Vol.1.No.2 (hal:138)
Manawa perkawinan pratiloma tidak dilarang, asal dilakukan dengan persetujuan orang
tua pihak perempuan, tetapi tidak dianjurkan. Dalam perkawinan pratiloma pihak
perempuan disebut Jawi Kapateh: Lembu yang terkendali. Bunyi undang-undang itu
demikian: Jika ada orang yang berketurunan tinggi dilamar oleh seorang gadis (dari
keturunan rendah), orang yang dilamar itu jangan dikenakan denda. Tetapi jika ada orang
bawahan yang tidak berketurunan, dilamar oleh seorang gadis dari keturunan tinggi,
supaya dicegah dan gadis dipisah dari orang yang dilamarnya. Sesudahnya supaya orang
tua gadis itu didengar keterangannya. Jika ia tidak menghendaki menantu laki-laki dari
keturunan rendah, laki-laki itu akan dikenakn pidana mati. Gadis dikembalikan kepada
orang tuanya. Tetapi jika orang tuanya setuju, laki-laki itu wajib membayar tukon kepada
ayah gadis itu. Gadis itu disebut jawi kapateh.12
Tidak ada ketentuan apakah poligami atau monogami yang jadi dasar undang-
undang perkawinan. Tetapi poligami jelas diizinkan mengingat bahwa banyak diantara
para pembesar yang mempunyai lebih dari pada seorang istri; istri tambahan itu biasa
disebut dengan istilah selir. Sebagai contoh ialah perkawinan antara raja Kertarajasa
Jayawardhana dan empat orang puteri Kertanagara. Undang-undang Kutara Manawa
juga berulang kali menyebutkan tentang adanya poligami, misalnya fasal 215. Fasal ini
menyebutkan seorang Brahmana yang mempunyai empat orang istri. Perkawinan yang
ideal ialah perkawinan dalam warna, dilangsungkan dengan persetujuan orang tua dan
disahkan dengan upacara keagamaan, disebut perkawinan Brahma. Perkawinan Brahma
itu biasanya dilakukan enam bulan setelah penyerahan tukon oleh pihak laki-laki kepada
orang tua gadis, pada hari yang menurut perhitungan adalah hari baik, ditetapkan oleh
orang tua pihak gadis dengan persetujuan orang tua pihak laki-laki. Jika orang tua gadis
tidak suka kepada calon menantu, ada kemungkinan bahwa gadis itu akan dilarikan pada
suatu saat. Tentang hal yang demikian, bunyi undang-undang Kutara Manawa fasal 177
seperti berikut: Lelaki yang melarikan gadis, menyembunyikan di dalam hutan dan
menjaganya, jika diketahui oleh orang tua gadis, bapa gadis itu berhak membunuhnya.
Namun, jika kedua-duanya kedapatan ditempat tertentu pada siang hari, bapa gadis itu
tidak berhak membunuhnya. Namun,pemilik rumah yang ditempati, dikenakan denda dua
laksa. Perkawinan dengan cara melarikan gadis disebut perkawinan raksaksa.
Undang-undang Kutara-Manawa tidak menyebut delapan macam perkawinan
seperti yang termuat dalam kitab Arthasastra dan undang-undang Manawa:
1) Perkawinan Brahma: perkawinan, dimana warna pihak laki-laki sama dengan
pihak perepuan dan dilakukan menurut upacara agama.
2) Perkawinan Daiwa, dimana seorang bapa mengawinkan anaknya dengan
pendeta sebagai upah upacara.
3) Perkawinan Arsa, dimana tukon berupa sapi atau kerbau.
4) Gandharwa, dimana pihak laki-laki tidak member tukon dan telah melakukan
persetubuhan dengan pihak gadis secara sukarela.

12
Slametmulyana. 1979. Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara (hal:209)
5) Prajapatya, dimana pihak orang tua gadis tidak menghendaki tukon.
6) Asura, dimana perkawinan dilangsungkan setelah pihak orang tua gadis
menerima hadiah berlimpah-limpah dari pihak laki-laki.
7) Raksaksa, di mana pihak laki-laki melarikan gadis.
8) Paisaca, di mana pihak gadis dilarikan waktu sedang tidur, dalam keadaan
pingsan atau mabuk.

Mahar atau tukon mempunyai peranan penting dalam perkawinan; pada dasarnya
digunakan oleh pihak laki-laki sebagai pengikat pihak gadis sebagai tanda bahwa
gadis itu telah laku. Oleh karena ituu setelah orang tua gadis menerima tukon,
gadis itu ibarat dagangan yang telah terjual. Hanya laki-laki yang telah
menyerahkan tukon itu sajalah, yang berhak mengawininya. Sejak itu gadis pun
disebut wanita larangan, diperlakukan sama dengan wanita yang telah bersuami.

Pada hari baik yang telah ditentukan, biasanya enam bulan sehabis menerima
tukon, perkawinan akan dilangsungkan. Jika pada hari itu perkawinan tidak
dilangsungkan, karena pihak orang tua gadis sengaja membatalkannya, ia harus
membayar dua kali lipat tukon dan mengembalikan segala pemberian yang telah
diterima, kepada pihak laki-laki. Lagi pula dikenakan denda sebesar empat ribu.
Jika gadis itu dikawinkan dengan laki-laki lain, pasangan suami istri itu masing-
masing dikenakan denda empat ribu. Kebalikannya jika pihak laki-laki tidak
dating pada hari yang telah ditentukan, ia kehilangan hak kawin dan kehilangan
uang tukon.13

13
Slametmulyana. 1979. Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara (hal:209)
BAB III

PENUTUP

SIMPULAN

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan seperti dibawah ini:

1. Pada dasarnya seorang wanita memiliki peranan yang sangat penting, karena
dalam Kitab Negara kertagama kedudukan wanita pada zaman dahulu masih
dipandang rendah. Hal ini dibuktikan dengan adanya pembatasan hak atau
wewenang terhadap anak-anaknya, terutama dalam soal mencarikan jodoh,
ibu tidak mempunyai wewenang. Hal itu adalah wewenang penuh suaminnya
seperti dijelaskan dalam fasal 188 yang bunyinya seperti berikut: jika setelah
lama kawin dan dari perkawinan itu lahirlah anak, maka bapa yang berhak
atas itu; ibunya tidak mempunyai hak atas anaknya. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa masih kedudukan wanita dinilai sangat rendah.
2. Dalam Kitab Negara Kertagama hak dan kewajiban sebagai seorang wanita
telah ditetapkan dalam Undang-undang. Begitupun dengan hak waris ataupun
hak yang ia peroleh ketika ia telah menikah lalu menghendaki perceraian.

3. Dalam kehidupan bermasyarakat, kita hidup membutuhkan makhluk lain.


Begitu pula dalam berumah tangga. Terdapat laki-laki dan perempuan. Untuk
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan perlu dilaksanakan sebuah
perkawinan. Undang-undang Kutara Manawa memang menyediakan
peraturan-peraturan sipil yang bertalian dengan kehidupan rumah tangga
seperti tukon (mahar), perkawinan, perceraian dan pewarisan. Perkawinan
yang ideal ialah perkawinan dalam warna, dimana pihak laki-laki dan
perempuan sama derajatnya, biasanya dilambangkan dengan perkawinan
antara Rama dan Sita. Perkawinan dalam warna memberikan jaminan kepada
kelangsungan hidup warna, karena tidak menimbulkan kekeruhan atau
kegoncangan.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Franz Magnis Suseno. 1996. Etika Jawa. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama

Lusi Margiyani dkk. 1993. Dinamika Perempuan di Indonesia. Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana Yogya

Nancy Van Vuuren. 1991. Wanita dan Karier. Yogyakarta: Kanisius

Slametmulyana. 1979. Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya


Aksara

Wawan Susetya.2007. Ular-Ular Manten. Yogyakarta: Penerbit Narasi

Jurnal

Kuswa Endah. 2006. Petung, Prosesi dan Sesaji dalam Ritual Manten Masyarakat Jawa.
Jurnal Kejawen, Vol.1.No.2

Internet

WWW.libary.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum09/205711040/BAB2.pdf

Anda mungkin juga menyukai