Anda di halaman 1dari 62

LAPORAN KASUS

SINDROM NEFROTIK PADA ANAK USIA 2 TAHUN

Disusun oleh :

Nur Rahmadina 1102014200

Rita Pantiana 1102014229

Shalma Destiany Ganar 1102014246

Pembimbing :

dr. Bambang Suharto, Sp.A, MH.Kes

KEPANITRAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RSUD ARJAWINANGUN – KAB. CIREBON

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

JAKARTA

2018

i
Lembar Pengesahan

Laporan Kasus

Sindrom Nefrotik pada Anak usia 2 Tahun

Nama dokter muda:

Nur Rahmadina 1102014200

Rita Pantiana 1102014229

Shalma Destiany Ganar 1102014246

Telah diajukan dan disahkan oleh dr. Bambang Suharto, Sp.A, MH.Kes di
Arjawinangun, Cirebon pada bulan Mei tahun 2018

Mengetahui:

Kepala SMF Ilmu Kesehatan Anak Dosen Pembimbing

RSUD Arjawinangun Cirebon

dr. Isyanto, Sp.A dr. Bambang Suharto, Sp.A, MH.Kes

ii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan laporan
kasus dengan judul “Sindrom Nefrotik pada Anak usia 2 Tahun”, sebagai tugas
kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Arjawinangun. Tidak lupa shalawat
serta salam kami panjatkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW.

Pada kesempatan ini, izinkan kami selaku penulis untuk mengucapkan


terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami untuk menyelesaikan
laporan kasus ini, terimakasih kepada dr. Bambang Suharto,Sp.A,MH.Kes selaku
pembimbing yang telah meluangkan waktu dalam membimbing dan memberi
masukan-masukan kepada penulis mengenai laporan kasus ini dan kepada
dr. Isyanto,Sp.A dan dr. Dani Kurnia, Sp.A yang turut membantu dan
membimbing penulis, dan juga kepada seluruh dokter, staf bagian anak, orang tua
kami yang telah mendukung secara moril maupun materil demi terwujudnya cita-
cita kami, dan teman-teman sejawat lainnya yang turut membantu penyusun
selama kepanitraan di bagian Ilmu Kesehatan Anak. Semoga Allah SWT
memberikan balasan yang sebesar-besarnya atas bantuan yang diberikan selama
ini.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
terdapat kekurangan. Oleh sebab itu kami mengharapkan saran serta kritik yang
dapat membangun dalam laporan presentasi kasus ini untuk perbaikan di
kemudian hari. Semoga presentasi kasus ini dapat berguna dan bermanfaat bagi
kita semua baik sekarang maupun di hari yang akan datang. Amin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Arjawinangun, Mei 2018

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii


DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
BAB I
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
BAB II
LAPORAN KASUS ................................................................................................ 3
2.1 IDENTITAS .................................................................................................. 3
2.2 PEMERIKSAAN FISIS ............................................................................... 5
2.3 PEMERIKSAAN LABORATORIUM ......................................................... 7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 22
3.1 DEFINISI .................................................................................................... 22
3.2 EPIDEMIOLOGI ........................................................................................ 22
3.3 ETIOLOGI .................................................................................................. 23
3.4 PATOFISIOLOGI ....................................................................................... 25
3.5 PATOGENESIS .......................................................................................... 30
3.6 MANIFESTASI KLINIS ............................................................................ 31
3.7 DIAGNOSIS ............................................................................................... 32
3.8 TATALAKSANA ....................................................................................... 35
3.9 KOMPLIKASI ............................................................................................ 51
3.10 PROGNOSIS ............................................................................................. 52
BAB IV
PEMBAHASAN ................................................................................................... 55
BAB V
KESIMPULAN ..................................................................................................... 57

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindrom nefrotik merupakan kumpulan manifestasi klinis yang ditandai
dengan hilangnya protein urin secara masif (albuminuria), diikuti dengan
hipoproteinuemia (hipoalbuminemai) dan akhirnya mengakibatkan edema. Dan
hal ini berkaitan dengan timbulnya hiperlipdemia, hiperkolesterolemia dan
lipiduria.
Sindrom nefrotik pad anak dapat terjadi pada semua usia, tetapi lebih
banyak terjadi pada usia 1-2 tahun dan 8 tahun. Pada anak-anak yang onsetnya
dibawah usia 8 tahun, ratio antara anak laki-laki dan perempuan bervariasi dari
2:1 hingga 3:2. Pada anak yang lebih tua, remaja dan dewasa, prevalensi antara
laki-laki dan perempuan kira-kira sama. Data dari International Study of Kidney
Disease in Children (ISKDC) menunjukkan bahwa 66% pasien dengan minal
change nephrotic syndrome (MCNS) dan focal segmental glomerulosclerosis
(FSGS) adalah laki-laki dan membrano proliferative glomerulonephritis (MPGN)
65% nya adalah perempuan.
Insidens sindrom nefrotik pada naka dalam kepustakaan di Amerika
Serikat dan Inggir adalah 2-7 kasusu beru per 100.000 anak per tahun, dengan
prevalensi berkisar 12-16 kasus per 100.000 anak. Di ngera berkembang
insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada
anak berusia kurang dari 14 tahun.
Sindrom nefrotik bukan meripakan penyakit yang berdiri sendiri, tetapi
merupakan suatu petunjuk awal adanya kerusakan pada unit filtrasi darah terkecil
(glomerulus) pada ginjalm dimana urine dibentuk. Sekitar 20% anak dengan
sindrom nefrotik dari hasil biopsy ginjalnya menunjukkan adanya skar atau
deposit pada glomerulus. Dua macam penyakit yang paling sering mengakibatkan
keusakan pada unit filtrasi adalah Glomerulosklerosis Fokal Segmental (GSFS)

1
dan Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP). Seorang anak yang
lahir dengan kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya Sindrom nefrotik.
Etiologi sindrom nefrotik secara garis besar dapat dibagi 3, yaitu
kongenital, glomerulopati primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit
sistemik seperti pada purpura Henoch-Schonlein dan lupus eritematosus sitemil.
Sindrom nefrotik pada tahun pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia
kurang dari 6 bulan, merupakan kelanian kongenital (umumnya herediter) dan
mempunyai prognosis buruk.
1.1 Tujuan Penulisan
Penyajian laporan kasus ini bertujuan untuk menjelaskan kasus Sindrom
Nefrotik pada Anak Usia 2 tahun dan memenuhi sebagian syarat Program
Pendidikan Profesi Kepanitraan Bagian Ilmu Kesehatan Anak di RSUD
Arjawinangun.

2
BAB II

LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS
Nama : An. A

Usia : 2 Tahun

Agama : Islam

Alamat : Cikarang

Pendidikan : Belum sekolah

Masuk RS : 02 Mei 2018

Tanggal Pemeriksaan : 07 Mei 2018

I. ANAMNESIS

(anamnesis secara allo-anamnesis terhadap kedua orang tua pasien)

1. Keluhan Utama
Bengkak pada mata dan kaki ±15 hari sebelum masuk rumah sakit
2. Keluhan Tambahan
Batuk (+), Pilek (+), Demam (+)
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki usia 2 tahun datang ke RSUD Arjawinangun pada tanggal
02 Mei 2018, dengan keluhan bengkak pada mata dan kaki ±15 hari
sebelum masuk rumah sakit. Keluhan dengan demam naik turun, batuk
berdakah namun tidak keluar, dan pilek. Pasien sebelumnya berobat ke
Puskesmas dan diberikan obat racikan, cefixim dan parasetamol keluhan
berkurang namun masih bengkak pada kaki tanpa mengetahui diagnosis
kerja.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah muntah berak saat bulan September 2017 namun tidak
dirawat. Bulan April 2018 pasien bengkak pada mata dan kaki.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang pernah mengalami sakit seperti ini
6. Silsilah/Iktisar keturan

3
Keterangan :

: ayah pasien

: ibu pasien

: pasien

7. Riwayat Pribadi
- Riwayat kehamilan

Kehamilan ini merupakan kehamilan yang diinginkan merupakan kehamilan


pertama (G1P1A0) Ibu pasien pernah mengalami bengkak dan mimisan pada usia
kehamilan memasuki 7 bulan. Riwayat merokok dan mengonsumsi alkohol
disangkal oleh pasien.

- Riwayat persalinan

Pasien lahir dengan persalinan spontan dibantuk oleh bidan. Pasien lahir
cukup bulan, langsung menangis, berat lahir 3600 gram.

- Riwayat pasca lahir

Tidak ada

8. Riwayat Makanan
Ibu pasien mengatakan sejak anaknya lahir sampai usia 2 bulan di berikan
ASI. Setelah itu diberikan susu formula sampai usia 18 bulan. Saat usia 6
bulan pasien sudah diberikan makanan tambahan. Usia 12 bulan makan
nasi tim, suka makan telur, nasi, mie satu minggu sekali, coklat, es krim,
teh botol, sirup, dan minuman seduh serbuk.

4
9. Perkembangan

Usia Motorik Motorik Bicara Sosial


kasar halus
Pasien sudah Pasien belum Pasien
bisa berjalan bisa bicara belum
seperti anak mampu
seusianya bersosialisasi
seperti anak
seusianya

10. Imunisasi

 BCG : lengkap
 DPT : lengkap
 Polio : lengkap
 Campak : lengkap
 Hepatitis B : lengkap
 Ulangan / booster : -
 Imunisasi lain :-
11. Sosial Ekonomi dan Lingkungan
 Sosial Ekonomi :

Menurut keterangan ibu pasien, ayah pasien sehari-hari bekerja sebagai


buruh pabrik. Sedangkan ibu pasien sebagai ibu rumah tangga.

 Lingkungan :

Pasien tinggal di rumah kontrakan di Cikarang.

2.2 PEMERIKSAAN FISIS :


A. Keadaan umum :
1. Kesan umum : TSS
2. Kesadaran : CM
3. Tanda umum
Frekuensi nadi :141 x/menit, teratur
Frekuensi napas : 45 x/menit
Suhu : 37°Celcius

5
Tekanan darah : 110/90 mmHg
Status gizi :
Klinis : edema (+)
Antropometri :
Berat badan : 13,5 kg
Tinggi badan : 83 cm
Lingkar lengan atas : kanan : 16 cm
Kiri : 13 cm
𝐵𝐵 13,5
= 12,6 = 107%
𝑈
𝑇𝐵 83
= 87 = 95%
𝑈
𝐵𝐵 13,5
= 11,8 = 114%
𝑇𝐵

Simpulan status gizi: Berat badan normal, gizi baik


B. Pemeriksaan khusus
1. Kulit : bekas gigitan nyamuk di kedua ekstremitas bawah,
menguning
2. Kepala : normal
3. Mata : kelompok mata bengkak
4. Leher : normal
5. Telinga : normal
6. Hidung : normal (PCH (-))
7. Tenggorokan : normal
8. Mulut : normal
9. Dada :
a. Jantung
Inspeksi : normal
Perkusi : batas kanan atas : tidak dapat ditentukan
Batas kanan bawah : tidak dapat ditentukan
Batas kiri atas : tidak dapat ditentukan

b. Paru

6
Kanan Kiri
Depan
Inspeksi normal
Palpasi normal
Perkusi sonor
Auskultasi ronki +/+
Belakangan
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
10. Abdomen : perkusi redup, hepar tidak teraba

2.3 PEMERIKSAAN LABORATORIUM


2 Mei 2018- 10 Mei 2018
LAB HASIL SATUAN NILAI METODE
RUJUKAN
02-05-2018
Darah lengkap
Hemoglobin 14,0 g/dL 10,8-12,8 Flowcytometri
Lekosit 7,75 10^3/uL 5,5-15,5 Flowcytometri
Trombosit 336 10^3/uL 217-497 Flowcytometri
Hematocrit 39,7 % 35-43 Flowcytometri
Eritrosit 5,59 10^6/uL 3,6-5,2 Flowcytometri
MCV 71,0 fL 73-101 Flowcytometri
MCH 25,0 pg 23-31 Flowcytometri
MCHC 35,2 g/dL 26-31 Flowcytometri
RDW 14,4 % 11,5-14,5 Flowcytometri
MPV 8,2 fL 7,0-11,0 Flowcytometri
PDW 39,0 fL 15,0-17,0 Kalkulasi
hitung jenis

7
Segmen 28,3 % 28,0-78,0 Flowcytometri
Limfosit 53,9 % 20-50 Flowcytometri
Monosit 10,3 % 1-6 Flowcytometri
Eosinophil 0,4 % 1-5 Flowcytometri
Basophil 1,2 % 0-1 Flowcytometri
Luc 6,0 % 3-6 -
Kimia klinik
Glukosa waktu 98 mg/dL 60-100 GHOD-PAP
Ureum 29,4 mg/dL 10-50 GLOH
Creatinine 0,28 Mg/dL <1,0 Jaffe
Urine
lengkap
Makroskopis :
Warna Kuning Visual
Kejernihan Agak keruh Visual
Berat Jenis >=1,030 g/dL 1,015-1,025 Cark celup
pH/reaksi 6,0 4,8-7,4 Cark celup
Blood Negative Negative
Lekosit Negative Negative
esterase
Nitrit Negative Negative Cark celup
Protein 3+ <10 Cark celup
Bilirubin Negative <0,2 Cark celup
Keton Negative <0,5 Cark celup
Glukosa Negative <15 Cark celup
Urobilinogen Normal <1 Cark celup
Mikroskopis :
Eritrosit (+) 1-4 /LPB 0-1 Mikroskopis
Lekosit (+) 1-4 /LPB 1-4 Mikroskopis
Sel epitel (+) 0-1 /LPK 5-15 Mikroskopis

8
Silinder Negative /IPK Negative Mikroskopis
Kristal Negative /LPB Negative Mikroskopis
Bakteri Negative Negative Mikroskopis
Lain-lain Negative Mikroskopis
03-05-2018
Feces
Makroskopis :
Warna Coklat
Bau Khas
Konsistensi Padat
Lendir Negative
Darah Negative
Nanah Negative
Mikroskopis :
Lekosit (+) 0-1
Eritrosit (+) 0-1
Amoeba Negative
Bakteri Negative
Telur cacing Negative
Parasite Negative
Sel lemak Negative
Sisa makanan Negative
Lain-lain
Kimia klinik
Kolesterol 270 mg/dL 114-203 CHOD-PAP
total
Ureum 28,6 mg/dL 10-50 GLDH
Creatinine 0,24 mg/dL <1,0 Jaffe
Albumin 1,14 g/dL 3,5-5,2 BCG
Serologi

9
ASTO Negative IU/ml Aglutinase
Urine
lengkap
Makroskopis :
Warna Kuning Visual
Kejernihan Jernih Visual
Berat jenis 1,025 g/mL 1,015-10,25 Cark celup
pH/reaksi 6,0 4,8-7,4 Cark celup
Blood Negative Negative
Lekosit Negative Negative
esterase
Nitrit Negative Negative Cark celup
Protein 3+ <10 Cark celup
Bilirubin Negative <0.2 Cark celup
Keton Negative <0,5 Cark celup
Glukosa Negative <15 Cark celup
Urobilinogen Normal <1 Cark celup
Mikroskopis :
Eritrosit (+)0-1 /LPB 0-1 Mikroskopis
Lekosit (+)0-2 /LPB 1-4 Mikroskopis
Sel epitel (+)0-2 /LPK 5-15 Mikroskopis
Silinder Negative /IPK Negative Mikroskopis
Kristal Negative /LPB Negative Mikroskopis
Bakteri Negative Negative Mikroskopis
Lain-lain Menyusul Mikroskopis
04-05-2018
Urine
lengkap
Makroskopis :
Warna Kuning Visual

10
Kejernihan Jernih Visual
Berat jenis 1,020 g/mL 1,015-10,25 Cark celup
pH/reaksi 5,5 4,8-7,4 Cark celup
Blood Negative Negative
Lekosit Negative Negative
esterase
Nitrit Negative Negative Cark celup
Protein 1+ <10 Cark celup
Bilirubin Negative <0.2 Cark celup
Keton Negative <0,5 Cark celup
Glukosa Negative <15 Cark celup
Urobilinogen Normal <1 Cark celup
Mikroskopis :
Eritrosit (+)1-2 /LPB 0-1 Mikroskopis
Lekosit (+)0-2 /LPB 1-4 Mikroskopis
Sel epitel (+)1-2 /LPK 5-15 Mikroskopis
Silinder Negative /IPK Negative Mikroskopis
Kristal Negative /LPB Negative Mikroskopis
Bakteri Negative Negative Mikroskopis
Lain-lain Negative Mikroskopis
05-05-2018
Urine
Protein urine 3+
06-05-2018
Urine
lengkap
Makroskopis :
Warna Kuning Visual
Kejernihan Jernih Visual
Berat jenis 1,015 g/mL 1,015-10,25 Cark celup

11
pH/reaksi 7,5 4,8-7,4 Cark celup
Blood Negative Negative
Lekosit Negative Negative
esterase
Nitrit Negative Negative Cark celup
Protein 3+ <10 Cark celup
Bilirubin Negative <0.2 Cark celup
Keton Negative <0,5 Cark celup
Glukosa Negative <15 Cark celup
Urobilinogen Normal <1 Cark celup
Mikroskopis :
Eritrosit (+)1-2 /LPB 0-1 Mikroskopis
Lekosit (+)0-3 /LPB 1-4 Mikroskopis
Sel epitel (+)0-3 /LPK 5-15 Mikroskopis
Silinder Negative /IPK Negative Mikroskopis
Kristal Negative /LPB Negative Mikroskopis
Bakteri Negative Negative Mikroskopis
Lain-lain Negative Mikroskopis
07-05-2018
Urine
lengkap
Makroskopis :
Warna Kuning Visual
Kejernihan Jernih Visual
Berat jenis 1,010 g/mL 1,015-10,25 Cark celup
pH/reaksi 7,5 4,8-7,4 Cark celup
Blood Negative Negative
Lekosit Negative Negative
esterase
Nitrit Negative Negative Cark celup

12
Protein 1+ <10 Cark celup
Bilirubin Negative <0.2 Cark celup
Keton Negative <0,5 Cark celup
Glukosa Negative <15 Cark celup
Urobilinogen Normal <1 Cark celup
Mikroskopis :
Eritrosit (+)1-2 /LPB 0-1 Mikroskopis
Lekosit (+)0-2 /LPB 1-4 Mikroskopis
Sel epitel (+)0-2 /LPK 5-15 Mikroskopis
Silinder Negative /IPK Negative Mikroskopis
Kristal Negative /LPB Negative Mikroskopis
Bakteri Negative Negative Mikroskopis
Lain-lain Menyusul Mikroskopis
08-05-2018
Urine
lengkap
Makroskopis :
Warna Kuning Visual
Kejernihan Jernih Visual
Berat jenis 1,010 g/mL 1,015-10,25 Cark celup
pH/reaksi 8 4,8-7,4 Cark celup
Blood Negative Negative
Lekosit Negative Negative
esterase
Nitrit Negative Negative Cark celup
Protein Negative <10 Cark celup
Bilirubin Negative <0.2 Cark celup
Keton Negative <0,5 Cark celup
Glukosa Negative <15 Cark celup
Urobilinogen Normal <1 Cark celup

13
Mikroskopis :
Eritrosit - /LPB 0-1 Mikroskopis
Lekosit (+)0-2 /LPB 1-4 Mikroskopis
Sel epitel (+)0-2 /LPK 5-15 Mikroskopis
Silinder Negative /IPK Negative Mikroskopis
Kristal Negative /LPB Negative Mikroskopis
Bakteri Negative Negative Mikroskopis
Lain-lain Negative Mikroskopis
09-05-2018
Urine
lengkap
Makroskopis :
Warna Kuning Visual
Kejernihan Jernih Visual
Berat jenis 1,010 g/mL 1,015-10,25 Cark celup
pH/reaksi 7 4,8-7,4 Cark celup
Blood Negative Negative
Lekosit Negative Negative
esterase
Nitrit Negative Negative Cark celup
Protein Negative <10 Cark celup
Bilirubin Negative <0.2 Cark celup
Keton Negative <0,5 Cark celup
Glukosa Negative <15 Cark celup
Urobilinogen Normal <1 Cark celup
Mikroskopis :
Eritrosit (+)0-1 /LPB 0-1 Mikroskopis
Lekosit (+)1-2 /LPB 1-4 Mikroskopis
Sel epitel (+)0-1 /LPK 5-15 Mikroskopis
Silinder Negative /IPK Negative Mikroskopis

14
Kristal Negative /LPB Negative Mikroskopis
Bakteri Negative Negative Mikroskopis
Lain-lain Negative Mikroskopis
10-05-2018
Urine
lengkap
Makroskopis :
Warna Kuning Visual
Kejernihan Jernih Visual
Berat jenis 1,010 g/mL 1,015-10,25 Cark celup
pH/reaksi 7 4,8-7,4 Cark celup
Blood Negative Negative
Lekosit Negative Negative
esterase
Nitrit Negative Negative Cark celup
Protein Negative <10 Cark celup
Bilirubin Negative <0.2 Cark celup
Keton Negative <0,5 Cark celup
Glukosa Negative <15 Cark celup
Urobilinogen Normal <1 Cark celup
Mikroskopis :
Eritrosit (+)1-2 /LPB 0-1 Mikroskopis
Lekosit (+)1-2 /LPB 1-4 Mikroskopis
Sel epitel (+)0-1 /LPK 5-15 Mikroskopis
Silinder Negative /IPK Negative Mikroskopis
Kristal Negative /LPB Negative Mikroskopis
Bakteri Negative Negative Mikroskopis
Lain-lain Negative Mikroskopis

15
waktu Follow up
02/05/2018 S:Bengkak pada kedua tungkai, demam
+, batuk +, pilek +, mual +
O:kesadaran : CM TD : 100/60 P :
150x/menit RR : 30x/menit SpO2 : 96%
S : 37,6º C LP : 55cm BB : 13,5 kg,
terdapat sklera ikterik conjungtiva
anemis pada kedua mata
A: edema anasarka susp sindrom
nefrotik
P:IUFDN s 10 tpm
Ranitidin 2x13 mg IV
Antrain 2x130 mg IV
Pemeriksaan : Darah lengkap, GDS,
ureum, creatinine, urine lenglap
03/05/2018 S:Bengkak pada kedua tungkai, kedua
mata, perut, demam +, batuk +, pilek +,
mual +
O:kesadaran : CM TD : 100/60 P :
141x/menit RR : 36x/menit SpO2 : 94%
S : 37,9º C LP : 55 cm BB : 13,5kg
piting udem pada kedua tungkai, asites
terlihat pada pemeriksaan ballotement
dan shifting dullnes + menandakan
adanya cairan pada rongga peritoneum
A: edem anasarka susp sindrom nefrotik
P:D5% 14 tpm
Vit B kompleks 2x ½ tab
Vit C 2x ½ tab
TKTP Rendah Garam

16
Pemeriksaan : kolestrol total, Ureum,
kreatinin, albumin, Urine Lengkap,
tampung urin 24 jam, ASTO
04/05/2018 S:Bengkak pada kedua tungkai, kedua
mata, perut, demam +, batuk +, pilek +,
mual +
O:kesadaran : CM TD : 100/60 P :
145x/menit RR : 36x/menit SpO2 : 91%
S : 36,3º C LP : 55cm BB : 14kg
Piting udem pada kedua tungkai, asites
terlihat pada pemeriksaan ballotement
dan shifting dullnes + menandakan
adanya cairan pada rongga peritoneum
A: edem anasarka susp sindrom nefrotik
P:D5% 14 tpm
Vit B kompleks 2x ½ tab
Vit C 2x ½ tab
Prednisolon II,I,II
Inj sefotaxim 2x500 mg
Inj Antrain 3x0,3 cc
TKTP Rendah Garam
Pemeriksaan : Urin Lengkap, tampung
urin 24 jam
05/05/2018 S:Bengkak pada kedua tungkai, kedua
mata bengkak berkurang , perut, demam
+, batuk +, pilek +, mual +
O:kesadaran : CM TD : 110/90 P :
126x/menit RR : 40x/menit SpO2 : 96%
S : 36,5º C LP : 55cm BB : 13,5kg
piting udem pada kedua tungkai, asites

17
terlihat pada pemeriksaan ballotement
dan shifting dullnes + menandakan
adanya cairan pada rongga peritoneum
A: edem anasarka susp sindrom nefrotik
P:D5% 14 tpm
Vit B kompleks 2x ½ tab
Vit C 2x ½ tab
Prendnisolon II,I,II
Inj sefotaxim 2x500 mg
Inj Antrain 3x0,3 cc
TKTP Rendah Garam
Pemeriksaan : protein urine
06/05/2018 S:Bengkak pada kedua tungkai,
bengkak kedua mata sedikit berkurang,
perut, demam +, batuk +, pilek +, mual
+
O:kesadaran : CM TD : 100/60 P :
124x/menit RR : 24x/menit SpO2 : 96%
S : 38,6º C LP : 55 cm BB :13,5 kg
Piting udem pada kedua tungkai, asites
terlihat pada pemeriksaan ballotement
dan shifting dullnes + menandakan
adanya cairan pada rongga peritoneum
A: edem anasarka susp sindrom nefrotik
P:KCL 6 cc dalam D5% 14 tpm
Inj Furosemid 1x10 mg/hari
Vit B kompleks 2x ½
Vit C 2x ½
Prendnisolon II,I,I
Inj sefotaxim 2x500

18
Inj Antrain 3x0,3 cc
TKTP Rendah Garam
Pemeriksaan : Urine lengkap, tampung
urin 24 jam
07/05/2018 S:Bengkak pada kedua tungkai,
bengkak pada kedua mata menghilang,
pada perut sedikit berkurang , demam
+, batuk +, pilek +, mual +
O:kesadaran : CM TD : 100/60 P :
112x/menit RR : 40x/menit SpO2 : 93%
S : 36,9º C LP : 55cm BB : 13,5kg
Piting udem pada kedua tungkai, asites
terlihat pada pemeriksaan ballotement
dan shifting dullnes + menandakan
adanya cairan pada rongga peritoneum,
udem pada skrotum
A: edem anasarka susp sindrom nefrotik
P: KCL 6 cc dalam D5% 14 tpm makro
Inj Furosemid 1x10 mg/hari
Vit B kompleks 2x ½ tab
Vit C 2x ½ tab
Prendnisolon II,I,II
Inj sefotaxim 2x500 mg
Inj Antrain 3x0,3 cc
TKTP Rendah Garam
Pemeriksaan : Urin Lengkap, tampung
urin 24 jam
08/05/2018 S:Bengkak pada kedua tungkai
berkurang, bengkak pada kedua mata
menghilang, pada perut sedikit

19
berkurang , demam +, batuk +, pilek +,
mual +
O:kesadaran : CM TD : 110/60 P :
103x/menit RR : 40x/menit SpO2 : 95%
S : 36,6º C LP : 55 cm BB :12 kg
Piting udem pada kedua tungkai, asites
terlihat pada pemeriksaan ballotement
dan shifting dullnes + menandakan
adanya cairan pada rongga peritoneum,
udem pada skrotum
A: edem anasarka susp sindrom nefrotik
P:Vit B kompleks 2x ½ tab
Vit C 2x ½ tab
Prendnisolon II,I,II
Inj sefotaxim 2x500 mg
Inj Antrain 3x0,3 cc
TKTP Rendah Garam
Pemeriksaan : Urin Lengkap, tampung
urin 24 jam
09/05/2018 S:Bengkak pada kedua tungkai
berkurang, bengkak pada kedua mata
menghilang, pada perut sedikit
berkurang , demam +, batuk +, pilek +,
mual +, skrotum seedikit berkurang
O:kesadaran :, CM TD : 110/60 P :
103x/menit RR : 40x/menit SpO2 : 95%
S : 36,6º C LP : 55cm BB :12 kg
A: edem anasarka susp sindrom nefrotik
P: KCL 6 cc dalam D5% 14 tpm
Inj Furosemid 1x10 mg/hari

20
Vit B kompleks 2x ½ tab
Vit C 2x ½ tab
Prendnisolon II,I,II
Inj sefotaxim 2x500 mg
Inj Antrain 3x0,3 cc
TKTP Rendah Garam
Pemeriksaan : Urin Lengkap, tampung
urin 24 jam
10/05/2018 S:Bengkak pada kedua tungkai
berkurang, bengkak pada kedua mata
menghilang, pada perut sedikit
berkurang , demam +, batuk +, pilek +,
mual +
O:kesadaran : CM TD : 110/60 P :
103x/menit RR : 40x/menit SpO2 : 95%
S : 36,6º C LP : 55 cm BB :12 kg
A: edem anasarka susp sindrom nefrotik
P:Pasien dipulangkan
Prendnisolon II,I,II
Kontrol poli tanggal 16 Mei 3018

21
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala dan manifestasi klinik dari
proteinuria massif, hypoalbuminemia, edema dengan tanpa disertai
hyperlipidemia. Proteinuria massif ditentukan berdasar atas ekskresi protein
dalam urine melebihi 40 mg/m2LPT (Luas Permukaan Tubuh)/jam. Kepustakaan
lain menyatakan bahwa proteinuria masif dapat juga dinyatakan dengan ekskresi
protein urine melebihi 50 mg/kgBB/24 jam atau rasio protein. Kreatinin urine
melebihi 2,5. Hilangmya makromolekul seperti albumin melalui urine
mencerminkan gangguan fungsi barrier filtrasi glomerulus yang bersifat sangat
selektif.

Sindrom nefrotik atau nefrtosis bukan satu penyakit, tetapi sekelompok


gejala, termasuk albuminuria, hypoalbuminemia, edema, hyperlipidemia, dan
lipiduria. Sindrom nefrotik dikaitkan dengan reaksi alergi (gigitan serangga,
serbuk sari, dan glomerulonephritis akut), infeksi (herpes zoster), penyakit
sistemik (diabetes mellitus), masalah sirkulasi (gagal jantung kongestif berat),
kanker (penyakit Hodgkin, paru, kolon, dan mamma), transplantasi ginjal, dan
kehamilan. Sekitar 50-75% individu dewasa dengan sindrom nefrotik akan
mengalami kegagalan ginjal dalam lima tahun. Etiologi sindrom nefroti’k pada
anak-anak adalah idiopatik. Sindrom nefrotik paling sering ditemukan pada anak-
anak. Sekitar 70-80% kasus nefrotik terdiagnosis sebelum mereka mencapai usia
16 tahun. Insiden tertinggi adalah pada usia 6-8 tahun.

3.2 EPIDEMIOLOGI
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang
paling sering ditemukan insiden SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika
Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak pertahun, dengan
prevalensi berkisar 12-16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang insidens
lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia

22
kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak lahi-laki dan perempuan 2:1.

Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi


minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat
diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang
dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50
tahun dan perbandingan laki- laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3
kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun.

3.3 ETIOLOGI
Menurut Nurarif & Kusuma (2013), Penyebab Sindrom Nefrotik yang
pasti belum diketahui. Akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakir autoimun,
yaitu suatu reaksi antigen antibody. Umumnya etiologi dibagi menjadi:

1. Sindrom nefrotik primer


Faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik
primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat
kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan
ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik
primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom
nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.
Penyakit ini diturunkan secara resesif autosom atau karena reaksi
fetomaternal. Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah
edema pada masa neonatus. Pencangkokan ginjal pada masa neonatus
telah dicoba, tapi tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya pasien
meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.

Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer


dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of
Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar
ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila
diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan

23
imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi
histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan
terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International Study of Kidney
Diseases in Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht (1971).

Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer

Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)


Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentrik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe I dengan deposit intramembran
GNMP tipe I dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa
Glomerulonefritis kronik lanjut

Hasil patologi anatomi yang didapatkan dari sebagian besar


sindrom nefrotik pada anak adalah kelainan minimal, maka ISKDC tidak
lagi merekomendasi dilakukan biopsi pada semua pasien sindrom nefrotik.
Biopsi ginjal dianjurkan dilakukan pada kasus sindrom nefrotik yang
resisten terhadap steroid atau pada presentasi awal terdapat komponen
nefritis yaitu, hematuria nyata, peningkatan kadar ureum kreatinin atau
penurunan fungsi ginjal, dijumpai hipertensi yang menetap, serta
penurunan kadar C3. Selanjutnya karena ternyata penentuan prognosis
lebih baik dilakukan dengan penilaian respons terhadap steroid daripada
gambaran PA, maka akhirnya pembagian klasifikasi sindrom nefrotik

24
adalah sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) dan sindrom nefrotik
resisten steroid (SNRS).

2. Sindrom nefrotik sekunder


Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari
berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab
yang sering dijumpai adalah :

 Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis,


sindrom Alport, miksedema.
 Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS.
 Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun
serangga, bisa ular..
 Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik,
purpura, Henoch-Schönlein, sarkoidosis.

 Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.

3.4 PATOFISIOLOGI
Reaksi antigen antibody menyebabkan permeabilitas membrane basalis
glomerulus meningkat dan diikuti kebocoran sejumlah protein (albumin). Tubuh
kehilangan albumin lebih dari 3,5 gram/hari menyebabkan hipoalbuminemia,
diikuti gambaran klinis sindrom nefrotik seperti sembab, hiperliproproteinemia
dan lipiduria. Patofisiologi beberapa gejala dari sindrom nefrotik :


PROTEINURIA

Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom


nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah
satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya
terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya
muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik
keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Terdapat peningkatan permeabilitas

25
membrane basalis kapiler-kapiler glomeruli, disertai peningkatan filtrasi protein
plasma dan akhirnya terjadi proteinuria(albuminuria). Beberapa faktor yang turut
menentukan derajat proteinuria(albuminuria) sangat komplek.

- Konsentrasi plasma protein 


- Berat molekul protein 


- Electrical charge protein 


- Integritas barier membrane basalis 


- Electrical charge pada filtrasi barrier 


- Reabsorpsi, sekresi dan katabolisme sel tubulus 


- Degradasi intratubular dan urin 


HIPOALBUMINEMIA
Plasma mengandung macam-macam protein, sebagian besar menempati
ruangan ekstra vascular(EV). Plasma terutama terdiri dari albumin yang
berat molekul 69.000.
Hepar memiliki peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh
kehilangan sejumlah protein, baik renal maupun non renal. Mekanisme
kompensasi dari hepar untuk meningkatkan sintesis albumin, terutama
untuk mempertahankan komposisi protein dalam ruangan ekstra
vascular(EV) dan intra vascular(IV).

26
Gambar 1. Sintesis albumin di dalam hepar

Walaupun sintesis albumin meningkat dalam hepar, selalu terdapat


hipoalbuminemia pada setiap sindrom nefrotik. Keadaan hipoalbuminemia ini
mungkin disebabkan beberapa factor :

- kehilangan sejumlah protein dari tubuh melalui urin


(prooteinuria) dan usus 
(protein losing enteropathy) 


- Katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena


nafsu makan 
menurun dan mual-mual 


Utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal 
Bila


kompensasi sintesis albumin dalam hepar tidak adekuat, plasma albumin
menurun, keadaan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia ini akan diikuti oleh
hipovolemia yang mungkin menyebabkan uremia pre-renal dan tidak jarang
terjadi oligouric acute renal failure. Penurunan faal ginjal ini akan mengurangi
filtrasi natrium Na+ dari glomerulus (glomerular sodium filtration) tetapi keadaan
hipoalbuminemia ini akan bertindak untuk mencegah resorpsi natrium Na+
kedalam kapiler-kapiler peritubular. Resorpsi natrium na+ secara peasif sepanjang
Loop of Henle bersamaan dengan resorpsi ion Cl- secara aktif sebagai akibat

rangsangan dari keadaan hipovolemia. Retensi natrium dan air H2O yang
berhubungan dengan system rennin-angiotensin-aldosteron (RAA) dapat terjadi
bila sindrom nefrotik ini telah memperlihatkan tanda-tanda aldosteronisme
sekunder. Retensi natrium dan air pada keadaan ini (aldosteronisme) dapat
dikeluarkan dari tubuh dengan pemberian takaran tinggi diuretic yang
mengandung antagonis aldosteron.

27
EDEMA

Berdasarkan atas teori underfill, edema pada penderita SNSS terjadi


karena penuruanan tekanan onkotik plasma sebagai akibat dari kadar albumin
serum yang rendah yang menyebabkan ekstravasasi cairan plasma ke dalam
rongga intertisial. Keadaan ini menyebablan volume plasma menjadi rendah.
Selanjutnya, penurunan volume plasma tersebut akan merangsang aksis renin-
angiotensin-aldoseron dan hormone hormone antidiuretic sehingga terjadi retensi
natrium dan air oleh tubuli ginjal yang memperberat edema. Meskipun teori ini
terlihat logis, hasil penelitian klinis dan eksperimental tidak sepenuhnya
mendukung teori tersebut. Hal ini karena tidak seluruh anak dengan SNSS
menunjukkan penurunan volume plasma.

Selain itu, sebagian besar penelitian tidak menunjukkan peningkatan renin,


angiotensin, atau aldosterone, bahkan pada saat terjadi retensi natrium. Reabsorpsi
natrium terus berlanjut meskipun terdapat keadaan yang seharusnya menekan
pengaruh renin (misalnya infus albumin atau pemberian inhibitor angiotensin-
converting enzyme (ACE).

Teori lain yang dikemukakan untuk menerangkan terjadi edema adalah


teori overfill yang mengungkapkan dugaan kerusakan primer dalam pengaturan
natrium oleh ginjal. Peningkatan reabsorpsi natrium akan menyebabkan retensi
garam dan air, selanjutkan mengakibatkan hipertensi.

Atrial natriuretic peptide (ANP) mungkin berperan dalam mekanisme ini.


Berbagai penelitian memperlihatkan gangguan respons ANP pada penderita
sindrom penderita. Gangguan respons ANP ini mungkin disebablan oleh aktivitas
sarat simpatis eferen yang berlebihan serta peningkatan penguraian guanosin
monofosfat siklik pada tubuli.

Mekanisme lain yang berperan terhadap peningkatan retensi natrium


adalah aktivitas berlebihan Na+-K+-ATPase dan kanal sodium epitel ginjal
(RENaC) pada duktus koligentes menjadi kumpulan aktif pada tubuli proksimal.

28
Teori yang lebih baru mengenai terjadi edema proteinuria masif pada
penderita sindrom nefrotik menyebaban inflamasi tubulointerstisial dan pelepasan
vasokonstriktor local, serta juga penghambat vasodilatasi. Keadaan ini
mengakibatkan penuruan kecepatan filtrasi glomerulus serta retensi natrium dan
air.

Berdasarkan atas teori-teori tersebut dapat disimpulkan bahwa penyebab


pasti terjadi edema pada penderita sindrom nefrotik masih belum jelas. Meskipun
demikian, berbagai faktor di bawah ini mungkin dalam proses terjadi edema pada
penderita sindrom nefrotik, yaitu

 Penurunan tekanan onkotik


 Peningkatan aktivitas aldosterone dan vasopressin
 Hormone natriuretic atrial semakin berkurang
 Pelepasan berbagai sitokin dan faktor-faktor fisik di dalam vasa rekti.

HIPERLIPDEMIA

Pada penderita sindrom nefrotik terjadi peningkatan lipoprotein, seperti


apolipoprotein-B, very-low-density lipoprotein (VLDL), intermediate-density
lipoprotein (IDL), low-density lipoprotein (LDL), dan lipoprotein yang
mengakibatkan peningkatan kolesterol total dan kolesterol LDL. Kadar kolesterol
high-density lipoprotein (HDL) normal atau rendah. Mekanisme yang
menerangkan hyperlipidemia pada penderita sindrom nefrotik adalah terjadinya
peningkatan sintesis lipoprotein mengikuti peningkatan sintesis albumin oleh hati,
sebagai kompensasi dari hypoalbuminemia. Meskipun demikian, hasil penelitian
menunjukkan bahwa kadar kolesterol serum tidak berhubungan dengan kecepatan
sintesis albumin.

Penurunan tekanan onkotik plasma mungkin berperan dalam peningkatan


sintesis lipoprotein oleh hati. Keadaan ini diperlihatkan oleh penurunan kadar
lipid darah sesudah pasien sindrom nefrotik menerima infus albumin atau dekstan.
Selain itu, enzim-enzim regulator mungkin juga berperan terhadap kejadian

29
hiperlipdemia pada penderita sindrom nefrotik, seperti lesitin-kolesterol
asiltransferase, lipoprotein lipase, dan kolesterol ester transfer protein.

3.5 PATOGENESIS
Perubahan fisiologis awal sindrom nefrotik adalah perubahan sel pada
membrane dasar glomerular. Hal ini mengakibatkan membran tersebut menjadi
hiperpermeabel (karena berpori-pori) sehingga banyak protein yang terbuang
dalam urine (proteinuria). Banyaknya protein yang terbuang dalam urine
mengakibatkan albumin serum menurun (hypoalbuminemia). Kurangnya albumin
serum mengakibatkan berkurangnya tekanan osmotik serum. Tekanan hidrostatik
kapiler dalam jaringan seluruh tubuh menjadi lebih tinggi daripada tekanan
osmotik kapiler. Oleh karena itu, terjadi edema di seluruh tubuh. Semakin banyak
cairan yang terkumpul dalam jaringan (edema), semakin berkurang volume
plasma yang menstimulasi sekresi aldosterone untuk menahan natrium dan air.
Air yang ditahan ini juga akan keluar dari kapiler dan memperberat edema.

Menurut Betz & Sowden (2009), Sindrom Nefrotik adalah keadaan klinis
yang disebabkan oleh kerusaan glomerulus. Peningkatan permeabilitas glomerulus
terhadap protein plasma menimbulkan protein, hipoalbumin, hyperlipidemia dan
edema. Hilangnya protein dari rongga vaskuler menyebbakan penurunan tekanan
osmotic plasma dan peningkatan tekanan hidrostatik, yang menyebabkan
terjadinya akumulasi cairan dalam rongga interstisial dan rongga abdomen.
Penurunan volume cairan vaskuler menstimulasi system renin-angiotensin yang
mengakibatkan diskresikannya hormon antidiuretic dan aldosterone. Reabsorbsi
tubular terhadap natrium (Na) dan air mengalami peningkatan dan akhirnya
menambah volume intravaskuler. Retensi cairan ini mengarah pada peningkatan
edema. Koagulasi dan thrombosis vena dapat terjadi karena penurunan volume
vaskuler yang mengakibatkan hemokonsentrasi dan hilangnya urine dari koagulasi
protein. Kehilangan immunoglobulin pada urine dapat mengarah pada
peningkatan kerentanan terhadap infeksi.

30
Manifestasi klinis sindrom nefrotik adalah edema berat di seluruh tubuh
(anasarca), proteinuria berat, hipoalbuminermia, dan hyperlipidemia. Pasien juga
mengalami anoreksia, dan merasa cepat lelah. Pasien wanita dapat mengalami
amenorea.

Patofisiologi dan manifestasi klinis sindrom nefrotik


Fungsi normal Patofisiologi Manifestasi klinis
Kapiler glomerular tidak Kapiler glomerular Edema anasarka,
permeable terhadap menjadi permeable proteinuria berat,
protein serum. Plasma (berpori-pori) terhadap hypoalbuminemia, dan
protein membentuk protein serum dan hyperlipidemia.
tekanan osmotik koloid mengakibatkan
untuk menahan cairan proteinuria dan tekanan
intraseluler. osmotik serum menurun.
Filtrasi glomerular juga
menurun.

3.6 MANIFESTASI KLINIS


Manifestasi klinis utama sindrom nefrotik adalah edema anasarka dan
terjadi pada daerah-daerah di tubuh sesuai dengan gaya gravitasi. Edema mulai
muncul di wajah, khususnya daerah periorbita yang terlihat teruatama pada pagi
hari dan berkurang sore hari. Efusi pleura dan asites tanpa disertai edema yang
luas sering terlihat, khususnya pada anak usia muda dan bayi.

Penderita sindrom nefrotik yang tidak diobati atau tidak memberi respons
terhadap pengobatan dapat berkembang menjadi edema anasarka masif yang
disertai edema scrotal atau vulva. Pada edema yang sangat berat, trauma kecil
dapat menyebabkan kebocoran cairan dari jaringan yang mengalami edema.

Tekanan darah biasanya normal atau rendah, tetapi dapat meningkatkan


secara paradoksal pada 21% penderita yang mengalami hypovolemia berat akibat

31
sekresi renin yang berlebiham, aldosterone, dan hormone-hormoon vasokostriktor
sebagai kompensasi tubuh terhadap hypovolemia.

3.7 DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis berdasarkan Konsensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik
Pada Anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia 2012:

1. Proteinuria masif (>40 mg/m2LPB/ jam 
atau 50 mg/kg/hari atau rasio


protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+); 

2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL; 

3. Edema; 

4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL

GAMBAR LABORATORIUM

 Urine

Sedimen urine

Hematuria mikroskopis ditemukan sebanyak 23% pada anak SNSS.


Hematuria makroskopis jarang ditemukan pada anak SNSS dan lebih sering
didapatkan pada penyakit glomerulonefitis dan sering tampak sebagai cast
granular atau seluler.

Protein urine

Albumin ditemukan dalam jumlah yang besar di dalam urin, biasanya


lebih dari 50 mg/kgBB/hari (40 mg/m2/jam), bahkan kadang-kadang lebih dari
jumlah tersebut (mencapai 20-30 g/hari). Proteinuria yan terjadi pada penderita
SNSS umumnya bersifat selektif, hanya terdiri dari albumin, tetapi dapat juga
bersifat nonselektif, terdiri dari beberapa protein lain dengan berat molekul yang
lebih besar. Selektivitas protein dalam urine dapat ditentukan dengan menghitung
perbandingan kadar protein transferrin dan albumin dalam urin dan plasma
(klirens ginjal) dalam rumus sebagai berikut:

32
U:P (trasnferin) / U:P (albumin)

Semakin tinggi derajat selektivitasnya, pasien cenderung mengalami


SNKM pada pemeriksaan histopatologis. Meskipun demikian, untuk
memperkirakan sensitivitas terhadap pengobatan steroid, perhitungan klirens
ginjal sebaiknya digabungkan dengan rasio ekskresi fraksional ꞵ 2 mikroglobulin.

Lipid urine

Pada pemeriksa SNI dapat ditemukan lipiduria, fat-globules, dan fat-


macrophage

Elektrolit urine

Pengukuran kadar natrium di dalam urine (UNa) dapat menentukan


hipovolemi pada pasien. Nilai kurang dari 10 mmol/L menunjukkan hypovolemia.

 Darah

Protein

Kriteria hipoalbumenia (albumin dalam plasma <2,5 g/L) diperlukan untuk


menegakkan diagnosis sindrom nefrotik. Pada penderita SNI kadar IgG menurun,
sedangkan kadar IgM meningkat. Kadar antitrombin III di dalam darah penderita
SNI juga menurun.

Lipid

Pada penderita SNI ditemukan kadar kolesterol total, low-density


lipoprotein (LDL), dan very-low density lipoprotein (VLDL) meningkat,
sedangkan kadar high-density lipoprotein (HDL) normal.

Elektrolit, ureum, dan kreatinin

Pada tahap awal SNKM dan GSFS kadar ureum dan kreatinin plasma
dalam batas normal, kemudian meningkat pada beberapa kasus karena

33
hypovolemia dan perfusi ke ginjal yang menurun. Kadar elektrolit di dalam
plasma umumnua normal, meskipun kadang-kadang ditemukan hyponatremia.

Pada saat terjadi pengurangan volume plasma, hormone antidiuretic


(antidiuretic hormone/ADH) akan disekresikan sebagai respons terhadap
rangsangan baroreseptor meskipun osmolalitas plasma masih dalam batas normal.
Dalam diet normal sehari-hari secara proporsional lebih banyak mengandung air
daripada garam sehingga gangguan sekresi air yang terjadi akan menyebabkan
hyponatremia dilusional.

Bentuk hyponatremia lain yang mungkin terjadi adalah


pseudohiponatremia. Bentuk hyponatremia ini terjadi bila plasma elektrolit akan
mengalami disosiasi, sedangkan di sisi lain hyperlipidemia yang berat akan
menurunkan volume plasma sehingga natrium akan terlihat rendah.

Pada penderita SNI mungkin didapatkan peningkatan kadar kreatinin


plasma. Peningkatan kadar kreatinin plasma pada tahap awal penyakit SNI
menggambarkan kerusakn struktur glomerulus. Kadar kreatinin plasma pada tahap
awal penyakit SNI menggambarkan kerusakan struktur glomerulus. Kadar
kreatinin plasma yang semakin meningkat menggambarkan filtrasi glomerulus
yang semakin buruk.

Kalsium

Di dalam darah kalsium terikat dengan albumin. Penurunan kadar albumin


dalam darah penderita SNI menyebabkan penurunan kadar kalsium di dalam
darah. Meskipun kdara kalsium total di dalam rendah, tetapi keadaan ini
umumnya tidak memerlukan terapi karena nilai tersebut akan kembali normal
sesudah hypoalbuminemia diatasi.

Hematologi

Kadar hemoglobin dan hematocrit dapat meningkat atau menurun,


bergantung pada proporsi perubahan volume di dalam plasma. Kadar hemoglobin

34
dan hematokrit di dalam darah dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, sepereti
keadaan anemia sebelumnya. Perubahan yang cepat dari nilai hemoglobin dan
hematocrit menunjukkan perubahan dalam volume darah.

Pada anak dengan SNKM atau GSFS yang disertai penurunan volume
darah menunjukkan kadar hemoglobin dah hematocrit yang meningkat. Kadar
trombosit dan kemampuan agregrasinya juga meningkat. Pada hitung jenis darah
tidak didapatkan kelainan yang khas.

3.8 TATALAKSANA
Untuk kepentingan pengobatan sindrom nefrotik dapat diklasifikasikan
berdasar atas respons awal terhadap pengobatan steroid. Klasifikasi sindrom
nefrotik berdasar atas respon terhadap pengobatan steroid lebih dianjurkan pada
anak karena dapat menggambarkan prognosis serta kemungkinan terjadi penyakit
ginjal kronik. Sebagian besar anak yang menderita sindrom nefrotik tergolong ke
dalam sindrom nefrotik sensitive steroid (SNSS) dan hanya sekitar 20% anak
tergolong ke dalam sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) karena SNKM
sebagian besar memberikan respons yang baik terhadap pengobatan steroid.

Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid

Insidensi tahunan sindrom nefrotik idiopatik pada anak di Amerika Serikat


dan Eropa diperkirakan sebesar 1-3 per 100.000 anak dengan prevalensi kumulatif
sebesar 16 per 100.000 anak. Sekitar 90% penderita memberikan respon yang
baik terhadap pemberian steroid.

Publikasi ISKDC melaporkan bahwa SNKM (SN kelainan minimal) 80-


90% mengalami remisi total dengan pengobatan steroid 8 minggu. Meskipun
SNSS memberikan respons yang baik terhadap pengobatan steroid, tetapi sekitar
60-70% akan mengalami kambuh yang setengah di antaranya berupa kambuh
sering atau ketergantungan steroid. Sindrom nefrotik yang mengalami kambuh
sering atau ketergantungan steroid memiliki prognosis yang kurang baik karena
pemberian steroid dalam jangka waktu lama dan dosis yang besar akan
menimbulkan efek samping yang penderita SNSS adalah dengan memberikan

35
pengobatan yang benar, baik dosis maupun lama pengobatan pada saat anak
melamai episode pertama dari sindrom nefrotik.

Skema pengobatan ISKDC di adopsi oleh semua pusat pendidikan


nefrologi di seluruh dunia. Mula-mula dipakai batasan resisten bila dalam 8
minggu pemberian steroid tidak terjadi remisi kemudian diubah menjadi 4
minggu, karena yang remisi pada 4 minggu kedua jumlahnya sedikit.

Pengobatan kortikosteroid (prednisone atau prednisolone) diberikan paling


sedikit selama 12 minggu. Pemberian prednisone dengan lama pemberian paling
sedikit 12 minggu terbukti dapat mencegah kambuh sering lebih baik dibanding
dengan pemberian selama pemberian selama 8 minggu. Prednisone oral diberikan
dengan dosis 60 mg/m2 LPT/hari atau 2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 60
mg/hari. Pemberian prednisone dosis tersebut dilakukan dengan dosis tunggal
setiap hari selama 4-6 minggu, diikuti dengan pengobatan selang sehari
(alternate-day) dosis tunggal mulai dari 40 mg/m2 LPT atau 1,5 mg/kgBB
(maksimal 40 mg pada pengobatan selang sehari) selama 2-5 bulan dengan dosis
obat yang diturunkan secara bertahap (tapering). Untuk pemberian dosis
prednison sesuai berat badan ideal (BB terhadap TB).

Rekomendasi KDIGO dipublikasikan dalam Kidney International Supplement


2012 dan J Pediatric Nephrology 2013. Dalam rekomendasi KDIGO tersebut,
pengobatan inisial sindrom nefrotik dengan prednison/prednisolone, memberi dua
pilihan,

 Prednison oral dosis penuh (full dose) selama 6 minggu (maksimal 60


mg/m2 /hari), dilanjutkan 6 minggu dengan dosis alternating, diberikan
single dose pagi hari (1B)
 Pemberian prednison dosis penuh 4 minggu, dilanjutkan dengan 4 minggu
kedua 40 mg/m2 atau 1,5 mg/kgbb/hari alternating, jadi tetap 8 minggu
seperti sebelumnya, tetapi dilanjutkan 3 bulan dosis diturunkan (tapering
off) sebelum prednison dihentikan (Gambar 2)

36
Gambar 2. Skema pengobatan inisial dan relaps pada sindrom nefrotik.

Pengobatan inisial sindrom nefrotik dengan prednisone 6-6 minggu pernah


dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RS Cipto Mangunkusumo Jakarta
dengan hasil jumlah remisi lebih banyak namun secara statistik tidak signifikan.
Pemberian prednison 6-6 minggu dilakukan juga di Jerman dan berhasil
membuktikan secara signifikan mengurangi relaps dibandingkan skema ISKDC 4-
4 minggu.

Preparat kortikosteroid boleh diberikan secara single dose, sebaiknya


dipergunakan metil prednisolon yang mempunyai tablet dosis tinggi yaitu 16
mg/tablet, sehingga tidak terlalu banyak tablet yang diminum sekaligus. Jika di
poliklinik kita berikan tablet prednison yang lebih murah dengan dosis 1 tablet
berisi 5 mg, maka untuk satu kali minum jika berat badan pasien 20-30 kg,
sekaligus minum 8-12 tablet. Dalam hal ini kepatuhan minum obat akan
berkurang. Oleh karena itu diberi kesempatan memberikan dosis terbagi per hari
dalam 4 minggu pertama. Di RS Dr Sutomo Surabaya telah dicoba pemberian
dosis tunggal prednison dengan hasil yang tidak berbeda dengan dosis terbagi dan
kepatuhan minum obat baik.

Pemberian steroid jangka panjang pada terapi inisial sudah banyak


dilaporkan. Pemberian selama 3-7 bulan dan dimulai dengan dosis penuh jangka
pendek 4-6 minggu dilanjutkan dosis alternating dengan tapering off dapat

37
mengurangi jumlah relaps, dan relaps sering.13 Pada pemberian dosis inisial
prednison lebih dari 3 bulan akan mengurangi relaps sampai 30% dibandingkan
pemberian hanya 2 bulan, dalam pengamatan selama 12-24 bulan.

Rekomendasi lain KDIGO meliputi,

 Pemberian kortikosteroid pada pasien sindrom nefrotik relaps, sama


dengan panduan lama. Hal ini berlaku juga pada pasien sindrom nefrotik
yang relaps jarang (2A) (Gambar 2 bawah)
 Pada sindrom nefrotik yang sudah remisi namun sedang mengalami
infeksi (antara lain ISPA) diberi prednison tiap hari selama infeksi untuk
mencegah relaps, juga jika infeksi terjadi pada saat pemberian dosis
alternating (2C).

Kidney International 2015 dan Japanese Study Group of Kidney Disease


in Children (JSKDC) membuat publikasi untuk membandingkan pemberian
prednisolon 4–4 minggu dengan 6 bulan sebagai diusulkan KDIGO 2013 dan
mendapatkan hasil sebagai berikut,

 Pemberian prednisolon pada terapi inisial sindrom nefrotik anak 4–4


minggu tidak lebih inferior daripada yang dianjurkan KDIGO 2013
selama 6 bulan (4–4 minggu + tapering off) .
 Pemberian prednisolon 6 bulan tidak mengurangi relaps dibandingkan
pemberian 4-4 minggu.

Hal ini didasarkan pada studi open label, multisenter RCT pada 246 pasien
sindrom nefrotik anak (128 pasien mendapat 4-4 minggu dan 127 mendapat
prednisolon 6 bulan). Maka disimpulkan bahwa tetap dipergunakan cara lama
yaitu pemberian prednison/prednisolon 4-4 minggu pada terapi inisial sindrom
nefrotik

38
Pengobatan sindrom nefrotik sering relaps atau dependen steroid
Pada sindrom nefrotik yang sering relaps atau dependen steroid
pengobatan lanjutan adalah pemberian steroid jangka panjang dan penggunaan
kortikosteroid sparing agent.
Jika terjadi relaps sering diberi prednison dosis penuh sampai terjadi
remisi (paling sedikit 2 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating bersama
dengan obat kortikosteroid sparing agent (2C). Skema pengobatan relaps sering
dan dependen steroid tidak berubah. Skema pengobatan SN relaps frekuen dan
dependen steroid dengan obat kortikosteroid sparing agent (1B) tertera pada
Gambar ... Di sampng itu KDIGO juga menganjurkan pemberian CPA
(siklofosfamid) selama 8-12 minggu (2C). Apabila siklofosfamid oral tidak ada,
maka pada sindrom nefrotik yang sering relaps juga diberikan CPA seperti pada
dependen steroid selama 6 bulan (Gambar 3).
Preparat kortikosteroid sparing agent yang dianjurkan pada sindrom nefrotik
adalah,
 Siklofosfamid atau klorambusil (2C) dengan dosis siklofosfamid 2
mg/kg/hari selama 8-12 minggu (2C), dosis kumulatif maksimal 168
mg/kg. Siklofosfamid diberikan setelah pasien mengalami remisi dengan
steroid dosis penuh (full dose). Sedangkan dosis klorambusil 0,1-0,2
mg/kg/hari, dosis kumulatif maksimal 11,2 mg/kg (2C)
 Levamisol, dosis 2,5 mg/kgbb/hari diberikan bersamaan dengan prednison
alternating (selang sehari) selama 12 bulan (2C). Apabila obat dihentikan,
seringkali pasien relaps kembali (2B)
 Kalsineurin inhibitor siklosporin atau takrolimus, dosis 4-5 mg/kg/hari 2x
sehari (2C). Dosis takrolimus 0,1 mg/kgbb/hari, 2x sehari diberikan jika
ditemukan efek samping kosmetik pada pemberian siklosporin. Lama
pemberian kalsineurin inhibitor 12 bulan (2D), pada umumnya akan terjadi
relaps jika obat dihentikan.
 Mikofenolat mofetil (MMF) dengan dosis 1200 mg/m2 /hari 2x sehari
selama 12 bulan, obat ini juga jika pemberiannya dihentikan pasien akan
relaps (2C).

39
 Rituximab hanya diberikan pada kasus dependen steroid yang terus
menerus relaps jika sudah mendapat kalsineurin inhibitor dengan dosis
optimal atau menderita efek samping.
 Mizoribin tidak dianjurkan untuk pengobatan pasien relaps
sering/dependen steroid (2C). Azatioprin juga tidak dianjurkan untuk
diberikan pada sindrom nefrotik anak

Pemberian siklofosfamid pada pasien SN relaps sering atau dependen steroid,


menghasilkan luaran yang sama dalam mengurangi relaps. Siklofosfamid dapat
diberikan per oral 8-12 minggu atau intravena (CPA puls) satu kali per bulan,
selama 6 bulan. Pemberian secara oral maupun intravena tidak didapatkan
perbedaan yang signifikan pada jumlah relaps dalam 12- 24 bulan pasca terapi.
Pemberian siklofosfamid hanya diberikan 1x dalam setahun karena efek kumulatif
untuk mengurangi kejadian azospermia/keganasan.

Gambar 3. Pengobatan SN relaps sering dan Dependen Steroid dengan Siklofosfamid

Sindrom nefrotik yang mendapat terapi awal lebih lama (12 minggu)
mempunyai kecenderungan lebih jarang kambuh bila dibandingkan dengan kasus
yang mendapat terapi steroid awal lebih pendek (8 minggu)

40
Batasan

Sindrom nefrotik sensitive steroid ialah sindrom nefrotik yang menunjukkan


remisi lengkap dalam kurun waktu 4 minggu pertama sejak pengobatan steroid
diberikan
Tabel 2. Beberapa batasan terkait dengan sindrom nefrotik pada anak

Klasifikasi Definisi
Sindrom nefrotik Edema, uPCR ≥2.000 mg/g (≥200 mg/mmol) atau ≥300
mg/dL atau 3+ protein pada urine dipstick, hypoalbuminemia
≤2,5 mg/L (≤25 g/L)
Remisi lengkap uPCR <200mg/g (<20 mg/mmol) atau 1+ pada urine dipstick
selama 3 hari berturut-turut.
Remisi sebagian Proteinuria berkurang sebesar 50% atau lebih dari kadar
sebelumnya dan nilai absolut UPCR berada di antara 20 mg/g
dan 2.000 mg/g (20-200 mg/mmol)
Tidak ada remisi Tidak terjadi penurunan ekskresi protein dalam urin 50% dari
nilai awal atau eksresi uPCR menetap >2.000 mg (>200
mg/mmol)
Responder awal Tercapai remisi lengkap dalam kurun waktu 4 minggu
pertama sejak pemberian steroid.
Nonresponder Tidak terjadi remisi lengkap sesudah 8 minggu pemberian
awal/resistensi steroid. uPCR ≥2.000 mg/g (≥200 mg/mmol) atau proteinuria
steroid kambuh ≥3+ dengan urine dipstick selama 3 hari berturut-turut
sesudah mengalami remisi.
Kambuh jarang Satu kali kambuh dalam kurun waktu 6 bulan sejak serangan
awalan atau 1 sampai 3 kali kambuh dalam periode 12 bulan.
Kambuh sering Relaps terjadi ≥2 kali dalam 6 bulan pertama sesudah respons
awal, atau ≥4 kali dalam periode 1 tahun.
Dependen steroid Dua kali kambuh berturut-turut sesudah dosis steroid
diturunkan atau dalam kurun waktu 14 hari ketika dosis
steroid dihentikan.

41
Nonresponder Proteinuria menetap selama 4 minggu atau lebih sesudah
lanjut pemberian kortikosteroid, tetapi pernah mengalami remisi
sebelumnya.
Sumber : KDIGO

Catatan : uPCR ialah rasio protein/kreatinin dalam urine

Kortikosteroid

Prednisone merupakan obat pilihan utama penderita sindrom nefrotik


serangan awal unutk mempercepat resmisi tercapai. Obat steroid lain seperti
deksametason, betametason, dan hidrokortison tidak direkomendasikan pada
penderita sindrom nefrotik.

Biopsy ginjal tidak selalu dilakukan pada anak yang menderita sindrom
nefrotik. Kriteria berikut ini digunakan untuk memberikan pengobatan steroid
pada anak yang menderita sindrom nefrotik tanpa perlu dilakukan biopsy ginjal.

a. Usia 1-8 bulan.


b. Fungsi ginjal normal.
c. Tidak ada hematuria makroskopis.
d. Tidak ada gejala penyakit sistemik (demam, ruam, nyeri sendi, berat badan
turun)
e. Nilai komplemen normal
f. Antinuclear antibody negative
g. Skrining virus negative (HIV, hepatitis B, hepatitis C)
h. Tidak ada riwayat keluarga dengan penyakit ginjal.

Sebaliknya, biopsy ginjal perlu dilakukan sebelum mendapat penggobatan


dengan immunosupresif termasuk steroid pada pasien yang memenuhi satu atau
lebih kriteria berikut :

a. Usia kurang dari satu tahun atau lebih dari delapan tahun
b. Terdapat gross hematuria

42
c. Terdapat riwayat keluarga dengan penyakit ginjal
d. Terdapat gejala penyakit sistemik
e. Skirining virus positive

Siklofosfamid

Siklofosfamid merupakan alkylating agent yang berfungsi sebagai


penghambat transkripsi DNA dengan cara melakatkan rantai alkil pada basa purin
sehingga memiliki efek sitotoksik dan imnunosupresan. Siklofosfamid memiliki
dua gugus akil yang dapat mencegah pembelahan sel dengan cara berpasangan
secara cross-link dengan heliks SNA> berdasar atas penelitian siklofosfamid lebih
sering digunakan karena memiliki toksisitas yang realatif lebih rendah dibanding
dengan imunosupresan yang lain.

Klorambusil

Klorambusil diberikan dengan dosisi 0,1-0,2 mg/kgBB/hari selama 8 minggu


(dosis kumulatif maksimal 11,2 mg/kgBB)

Siklosporin A

Siklosporin merupakan penghambat kalsineurin yang sering bersifat


imunosupresif, bekerja dengan cara memodifikasi fungsi sel T. siklosporin
menginhibisi pelepasan interleukin-2 (IL-2) dari sel T-helper yang teraktivasi dan
juga mencegah induksi dan proliferasi sel T efektor. Siklosporin A juga bekerja
langsung pada podosit melalui defosforilasi sinapropodin yang diperantai oleh
kalsineurin sehingga akan menyebabkan aktin dan sitoskeleton podosit tidak
stabil. Ketidakstabilan aktin dan sitoskeleton podosit akan mengurangi kebocoran
protein melalui membrane filtrasi glomerulus.

Levamisole

Levamisole merupakan agen imunosupresif dengan mekanisme kerja yang


menyerupai siklosporin, tetapi lebih kuat. Levamisole merupakan golongan obat

43
antihelmintik, turunan dari imidazotiazol sintetik yang mempengaruhi fungsi sel
T. meskipun demikian, berbeda dengan imunosupresan yang sudah dijelaskan
sebelumnya, levamisole merangsang fungsi sel T. levamisole terbukti
meningkatkan respons sitokin tipe 2. Seperti diketahui sitokin tipe 2 berperan
dalam pathogenesis SNI melalui pembentukan IgG4 dan IgE oleh sel B.

Mikrofenolat mofetil (MMF)

Mikrofenolat mofetil (MMF) diberikan dengan dosisi permulaan 1.200


mg/m2 LPT/hari dalam dua dosis paling sedikit selama 12 bulan karena umumnya
anak akan kambuh saat pemberian MMF dihentikan.

Rituximab

Rituximab merupakan antibody monoclonal anti-CD20 yang menghambat


proliferasi dan diferensiasi sel B yang diperantai oleh CD20 sehingga
menyebabkan penurunan jumalh sel B di darah tepi. Rituximab sudah lama
digunakan sebagai agen kemoterapi pada limfoma sel B, tetapi saat ini juga mulai
digunakan sebagai pengobatan kelainan autoimun seperti SNSS. Rituximab
tersebut dapat digunakan pada anak SNSS yang mengalami ketergantungan
terhadap obat penghambat kalsineurin dan steroid, serta juga dapat mengurangi
gejala withdrawal obat imunosupresan.

Rituximab bekerja dengan cara menghambat proliferasi sel B dan


apoptosis sel B. mekanisme tersebut menyebabkan penurunan jumlah sel B dan
menekan interaksi rituximab juga dapat menginduksi peningkatan jumlah dan
fungsi sel T regulator. Laamanaya masa remisis pada penderita sindrom nefrotik
yang diberi pengobatan rituximab mungkin disebabkan oleh perbaikan fungsi sel
T regulator.

Penelitian Fornoni dkk. Melaporkan bahwa rituximab berikatan secara


langsung dengan asam fosfodiesterase 3b yang menyerupai spingomielinase pada
permukaan podosit sehingga struktur dan fungsi podosit menjadi stabil.

44
Mekanisme ini menerangkan terjadinya kekambuhan pada GSFS. Meskipun
demikian, peran rituximab pada sindrom nefrotik kambuh sering dan
ketergantungan steroid masih harus diteliti lebih lanjut.

Rituxumab dipertimbangkan untuk diberikan hanya pada anak dengan


SNSS ketergantungan steroid yang menunjukkan kekambuhan sering meskipun
sudah diberikan prednisone dan obat alternative lain dengan kombinasi optimal,
dan/atau anak mengalami efek samping obat yang serius.

Efek samping obat

Kortikosteroid

Perubahan perilaku, nafsu makan yang meningkat, tanda cushingoid (muka


membulat, “moon face”) sering terjadi pada 6 minggu pertama terapi harian, tetapi
biasanya mulai berkurang selama periode terapi dengan dosis selang-seling dan
jika steroid dihentikan biasanya akan menghilang dalam 3-6 bulan.

Alkylating agent

Siklofosfamid, klorambusil dapat menyebabkan infertilitas (termasuk


azoospermia, oligospermia, dan amenorrhea), mual, dan rambut rontok
tergantung pada dosis. Risiko infertilias meningkat jika dosis kumulatid
sklofosfamid 200 mg/kgBB.

Alkylating agents juga dapat menyebabkan mielosupresi dan


meningkatkan risiko infeksi. Siklofosfamid dapat menyebabkan perdarahan
sintitis dan meningkatkan insidensi keganasan kandung kemih.

Efek samping yang mungkin timbul pada penggunaan siklofosfamid


adalah depresi sumsum tulang, sistitis hemoragik, tosksisitas kelenjar gonad,
infeksi berat, alopesia, mual dan muntah. Sistitis hemoragik dapat dicegah dengan
meningkatkan asupan cairan. Pemeriksaan jumlah leukosit harus dilakukan setiap
2 minggu dan pengobatan harus dihentukan bila jumlah leukosit <4.000 mm3.

45
Selama terjadi infeksi berat, pemberian siklofosfamid harus dihentikan sementara.
Efek samping yang mungin muncul sesudah penggunaan jangka waktu lama
adalah gangguan fertilitas dan keganasan.

Efek samping pemberian siklosporin adalah tremor, hipertrikosis, dan


hyperplasia gusi. Kejadian efek samping tersebut bergantung pada dosis
siklosporin yang diberikan dan dapat dikurangi atau dicegah dengan melakukan
penyesuaian dosis obat sesuai dengan kadar siklosporin di dalam darah. Efek
samping lain yang dapat terjadi dengan pemakaian obat ini adalah nefrotoksisitas,
berupa kerusakan ginjal permanen dan penyakit ginjal kronik bila obat diberikan
dengan dosis tingii dalam jangka waktu yang cukup lama.

Untuk mencegah terjadi efek samping nefrotoksisistas pada pasien,


siklosporin dapat diberikan dengan dosis awal yang rendah, yaitu 4 mg/kgBB/hari
dibagi dua dosis, selanjutnya dosis perlahan-lahan dinaikan dengan
mempertahankan kadar obat di dalam darah (12-16 jam sesudah dosis terakhir) di
bawah batas atas target kadar obat di dalam darah utnuk pasien penerima
transplantasi (150 ng/mL). sesudah 1-2 tahun obat diberikan, siklosporin dapat
dihentikan atau dilakukan biopsy ginjal. Jika hasil biopsy ginjal tidak
menunjukkan adanya toksisitas siklosporin obat dapat dilanjutkan satu sampai dua
tahun, lalu dilakukan monitoring yang sama dengan sebelumnya.

Efek samping MMF diantaranya kejang, diare, gangguan gastrointestinal,


mielposupresi, dan meningkatkan risiko infeksi.

Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS)

Definisi SNRS ialah bila tidak terjadi remisi sesudah pemberian 8 minggu
predinison 60/mg/m2 LPT/hari atau 2 mg/kgBB/hari untuk 4 minggu diikuti oleh
40 mg/m2LPT atau 1,5 mg/kgBB pemberian alternative selama 4 minggu.
Pendapat lain menyebutkan SNRS bila penderita tidk mengalami remisi 4-6
minggu. Penentuan SNRS lebih awal didasarkan pertimbangan pada pemberian
obat tambahan yang lebih agresif agar remisis cepat tercapai sehingga dapat

46
menguragi toksisitas dari obat-obatan. Penderita dengan SNRS terbagi dua
kategori, yaitu resisten steroid primer (nonrespinder inisial) bila penderita tidak
menunjukkan respons terhadap terapi awal dan resisten steroid sekunder
(nonresponder lanjutan) bula sebeumnya penderita menunjukkan respons pada
terapi awal selanjutnya menjadi resisten. Respons terhadap pengobatan steroid
merupakan indikator penting untuk prognosis sindrom nefrotik. Sindrom nefrotik
pada anak 85-0% merupakan SNSS, hanya 10-15% yang merupakan SNSS.
Walaupun presentase SNRS relative kecil, tetapi 50% penderita SNRS ini akan
berkembang menajadi gagal ginjal terminal dalam waktu 1-4 tahun. SNRS
merupakan salah satu penyebab gagal ginjal terminal yang sukar diatasi pada
penderita berusia kurang dari 20 tahun.

Mekanisme resistensi terhadap steroid pada penderita sindrom neferotik


melalui dua hal, yaitu nongen yang berkaitan erat dengan dasar umunologis dapat
berupa menurunnya jumlah reseptor glukokortikois, afinitas yang berkurang
akibat peranan beberapa interleukin terutama IL-2 dan IL-4, fosforilasi resepotr
yang memengaruhi sensitivitas dan selektivitas terhadap glukokortikoid ataupun
peningkatan isoform respon glukokortikoid yang akan menghambat pengikatan
glukokortikoid oleh reseptor α glukokortikoid. Mekanisme resistensi terhadap
steroid yang berkaitan dengan gen berupa mutasi gen NPHS1, NPHS2, ACTN4,
CD2AP WT1, TRP6, LAMB2, dan yang paling akhir diketehui, yaitu gen
menyebabkan diffuse mesangial sclerosis (DMS).

Sindrom nefrotik resisten steroid terdiri dari resisten primer dan sekunder.
Resisten primer apabila terjadi pada pengobatan inisial (awal) yaitu setelah diberi
preparat kortikosteroid selama 8-12 minggu tidak terjadi remisi. Sedangkan
resisten sekunder jika pada pasien sindom nefrotik yang telah berulang kali
mendapat steroid (relaps frekuen) atau dependen steroid.
Pada sindrom nefrotik resisten steroid dianjurkan, (1) melakukan biopsi
ginjal untuk mengevaluasi gambaran patologi anatomi, pada umumnya FSGS atau
yang lainnya, (2) melakukan evaluasi fungsi ginjal dengan mengukur GFR atau
e.GFR, dan (3) pemeriksaan protein kuantitatif

47
Pemeriksaan histopatologi

Pemeriksaan histopatologis ginjal pada penderita SNRS dapat ditemukan


berbagai pola morfologi, yaitu lesi minimal dan lesi nonminimal seperti
proliferasi difus mesangial, FSGS, mesangioproliferatif glomerulonephritis
(MPGN) dan membranous glomerulonephritis (MSGN). Sebagain besar SN pada
anak 75% menunjukkan gambaran lesi minimal dan FSGS. Sebagian besar
penderita pada anka 75% menunjukkan gambaran lesi minimal, sesudah
pengamatan dalam biopsi selanjutnya menunjukkan perubahan morfologi menjadi
FSGS,

1. Kelainan minimal

Pada kelainan minimal, glomerulis dapat terlihat normal dengan dinding


kapiler yag normal dan seluleritas yang normal. Bengkak dan vakulolisasi sel
epitel dan sedikit peningkatan matriks mesangial sering ditemukan.
Hiperselulereitas ringan mesangial serta focus lesi tubular dan fibrosis intertisial
yang tersebar dapat ditemukan. Perubahan ultrastruktur selalu ditemukan
berkenaan dengan podosit parietal. Glomerular basal membrane (GBM) biasnaya
normal dan tidak terdapat deposit parietal. Sel endotel membengkak. Perubahan
mesangial meliputi hiperaktivitas sel mesangial dan peningkatan matriks.
Perubahan ultrastruktur ini berkaitan dengan proteinuria masif.

2. Proliferasi mesangial difus

Beberapa pasien SNRS memperlihatkan peningakatan matriks mesangial


karena hiperseluleritas, tetapi dinding kapiler masih normal. Mokroskop electron
memperlihatkan proses penyatuan kaki podosit seperti pada lesi minimal. Ada
hiperseluleritas mesangial menunjukkan prognosis buruk ke arah gagal ginjal.

3. FSGS

48
Lesi glomerular terlihat dnegan sclerosis pada daerah fokal dan
keselurahan sering berhubungan dengan kerusakan interstitial dan tubular. Lesi
biasnaya predominan pada daerah corticomedularry junction. Materi hialin sering
ditemukan pada lesi sklerotik. Suatu gambaran zona “halo” ditemukan pada
segmen sklerotik perifer. FSGS juga ditemukan pada hypoplasia ginjal dengan
oligomeganefronia sesudah nefrektomi pasrial dan pada kondisi reduksi jumlah
nefron, termasuk refluks nefropati dan uropati obstruktif. Lesi FSGS berhubungan
erat dnegan kejadian SNRS, seperti yang dilaporkan ISKDC di antara 55 pasien
SNRS, 47,5% FSGS, 45,5% memiliki lesi minimal dan 7% proliferasi difus
mesangial.

Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) tidak


menganjurkan pemberian siklofosfamid pada sindrom nefrotik resisten steroid
oleh karena penelitian randomized control trial yang dilakukan oleh ISKDC tidak
menunjukkan perbedaaan antara CPA+prednison dengan prednison tersendiri
(56% dibanding 46%). Namun berdasarkan pengalaman di RS Dr Cipto
Mangunkusumo Jakarta26 dan studi Rio dkk masih banyak yang melaporkan
pemakaian siklofosfamid pada pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid
dengan hasil baik. Sedangkan CPA masih dipakai sebagai pengobatan lini
pertama jika terjadi resisten dengan kortikosteroid (Gambar 4). Pemberian CPA
hanya dilakukan satu kali dalam setahun karena ditakutkan melampaui dosis
kumulatif. Rangkaian CPA berikutnya diberikan sesudah melewati satu tahun dari
CPA sebelumnya.
Obat imunosupresan yang dianjuran oleh KDIGO 2013 pada sindrom
nefrotik resisten steroid adalah kalsineurin inhibitor (2C), MMF (2C), dan
tambahan pemberian ACE-inhibitor dan/atau angiotensin II reseptor bloker (ARB)
(1B).

49
Gambar 4. Skema pengobatan SNRS (resisten steroid) dengan siklofosfamid (CPA)

Pengobatan sindrom nefrotik steroid resisten primer/ sekunder meliputi,


a. Kalsineurin inhibitor, diberikan selama 6 bulan bersama dosis rendah
kortikosteroid. Apabila dalam 6 bulan terjadi remisi partial (atau total)
dapat dilanjutkan 6 bulan lagi (2C).

b. Mikofenolat mofetil, diberikan apabila dengan CNI tidak remisi (2D).


Cara penggunaan MMF sama dengan kalsineurin inhibitor yaitu 6
bulan pertama bila terjadi remisi partial atau total dilanjutkan 6 bulan
lagi. Dilaporkan pada pemberian MMF selama minimal 6 bulan
menghasilkan remisi komplit 23%-62%, remisi partial 25%-37%, dan
tanpa remisi 8%-40%.

Apabila pasien sindrom nefrotik steroid resisten mengalami relaps kembali


setelah pengobatan maka dianjurkan diberikan preparat kortikosteroid oral (2D)
seperti pengobatan relaps, pada umumnya remisi cepat tercapai. Dapat juga
kembali ke imunosupresan yang sebelumnya (2D), kecuali jika dipergunakan
CPA untuk menghindari efek kumulatif (2D), atau menggantikan dengan obat
imunupresan yang lain. Rituximab tidak dimasukkan dalam rekomendasi KDIGO
karena sampai saat ini belum ada randomized control trial dan adanya efek
samping yang berat.

50
3.9 KOMPLIKASI
1. kelainan koagulasi dan timbulnya thrombosis. Dua mekanisme kelainan
hemostasis pada sindrom nefrotik :
i. peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan:
a. meningkatkan degradasi renal dan hilangnya protein di dalam urin
seperti antithrombin III (AT III), protein S bebas, plasminogen dan 
antiplasmin.
b. Hipoalbunemia menimbulkan aktivasi trombosit lewat tromboksan A2.
c. Meningkatkan sintesis protein prokoagulan dan tertekannya fibrolisis.
2. aktivasi system hemostatic di dalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan
monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerulus
yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi
trombosit.
3. Infeksi sekunder terutama infeksi kulit oleh streptococcus, staphylococcus,
bronkopneumonia, TBC. Erupsi erysipelas pada kulit perut atau paha
sering ditemukan. Pinggiran kelainan kulit ini batasnya tegas, tapi kurang
menonjol seperti erisipleas dan biasanya tidak ditemukan organisme
apabila kelainan kulit dibiakan.
4. Gangguan klirens renali pada pasien sindrom nefrotik mungkin disebabkan
kurangnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan berkurangnya
hantaran natriu dan air ke ansa henle tebal. Gangguan pengasaman urin
ditandai dengan ketidakmampuan menurunkan pH urin sesudah pemberian
beban asam.
5. Gagal ginjal akut terjadi bukan karena nekrosis tubulus atau fraksi filtrasi
berkurang, tapi karena edema intertisial dengan akibatnya meningkatnya
tekanan tubulus proksimalis yang menyebabkan penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG).
6. Anemia yang disebabkan protein pengangkut Fe yaitu transferrin serum
yang menurun akibat proteinuria. Anemia hipokrom mikrositik, karena
defisiensi besi yang tipikal, namun resisten besi yang tipikal, namun
resisten terhadap pengobatan preparat Fe.

51
7. Peritonitis karena adanya edema di mukosa usus membentuk media yang
baik untuk perkembangan kuman-kuman komensal usus. Biasanya akibat
infeksi sterptokokus pneumonia, E.coli.
8. Ganguan keseimbangan hormone dan mineral.
I. karena protein pengikat hormone hilang melalui urin. Hilangnya
globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada beberapa pasien
sindrom nefrotik dan laju ekskresi globulin umumnya berkaitan
dengan beratnya proteinuria.
II. Hipokalsemia disebabkan albumin serum yang rendah, dan
berakibat menurunkan kalsium terikat, tetapi fraksi yang terionisasi
normal dan menetap. Disamping itu pasien sering mengalami
hipokalsiuria, yang kembali menjadi normal dengan membaiknya
proteinuria. Absorbs kalsium yang menurun di GIT, dengan eksresi
kalsium dalam feses lebih besar daripada pemasukan.
Hal-jal seperti di atas dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan serta mental anak pada fasa pertumbuhan. Hubungan antara
hipokalsemina, hipokalsiuria, dan menurunnya absorpsi kalsium dalam GIT
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan metabolism vitamin D namun
penyakit tulang yang nyata pada penderita sindrom nefrotik jarang ditemukan
(Rauf, 2002).

3.10 PROGNOSIS
Sindrom Nefrotik pada anak, sebagian besar (80-90%) mempunyai
gambaran patologi anatomi berupa kelainan minimal (SNKM). Pada pengobatan
dengan kortikosteroid inisial, sebagian besar SNKM (94%) mengalami remisi
total (responsif). Prognosis jangka panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun
menunjukkan hanya 4 – 5% menjadi gagal ginjal terminal dan sebagian besar
lainnya disertai penurunan fungsi ginjal. Dalam perjalanan penyakitnya, 76 – 93%
akan mengalami relaps, 30% diantaranya akan mengalami relaps sering / frekuen,
10 – 20% akan mengalami relaps jarang. Sedangkan 40 – 50% sisanya akan
mengalami dependen steroid.

52
Pada berbagai penelitian jangka panjang ternyata respon terhadap
pengobatan steroid lebih dapat dipakai untuk menentukan prognosis dibandingkan
dengan gambaran patologi anatomi. Oleh karena itu, pada saat ini klasifikasi SN
lebih didasarkan pada respon klinik yaitu sindrom nefrotik senstitif steroid
(SNSS) dimana proteinuria dengan cepat menghilang dan sindrom nefrotik
resisten steroid (SNRS) dimana steroid tidak mampu menginduksi terjadinya
remisi.

Dari 91 penderita SN yang diamati secara prospektif selama 1 tahun,


didapatkan komplikasi infeksi pada SNRS lebih tinggi daripada SNSS. Penelitian
sebelumnya, Emilia (2004) melaporkan bahwa SNRF, SNDS, dan SNRS
kemungkinan lebih besar untuk mengalami infeksi sehingga diputuskan perlu
tindakan untuk pencegahan infeksi.

Pada penelitian ini, 92,3% penderita mengalami ISPA, ISK (28,6%),


pnemonia (5,4%). Hanya 1 (6,25%) penderita dengan komplikasi GGK dari
kelompok SNRS. Angka kejadian ISPA pada penelitian ini lebih tinggi
dibandingkan penelitian sebelumnya, Gulati S dkk (1995), melaporkan komplikasi
ISPA pada penderita SN sebesar 5,2%.

SN pada anak, terutama SNRS lebih mudah terjadi infeksi. Beberapa


faktor yang mempermudah anak SN mengalami infeksi kuman adalah rendahnya
kadar IgG karena sintesis yang tidak sempurna, lepasnya faktor B dalam urin, dan
tidak sempurnanya fungsi limfosit T. Faktor B adalah cofactor dari C3b dalam
jalur alternatif dari komplemen, yang berperan penting dalam opsonisasi kuman.
Disamping itu pengobatan kortikosteroid atau imunosupresif menambah risiko
infeksi.

Prognosis sindrom nefrotik berdasarkan gelaja klinis

Prognosis makin baik jika dapat didiagnosis segara. Pengobatan segera dapat
mengurangi kerusakan glomerulus lebih lanjut akibat mekanisme kompensasi
ginjal maupun proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit memberikan

53
respons yang baik terhadap korikosteroid dan jarang terjadi relaps. Pada
umumnya sebagian besar (+/- 80%) pasien sindrom nefrotik memberi respon yang
baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya
akan relaps berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan
pengobatan steroid.

Penyembuhan klinis kadang-kadang teradapat setelah pengobatan


bertahun-tahun dengan kortikosteroid. Tetapi antibakteri dapat mengurani
kematian akibat infeksi, tetapi tidak berdaya terhadap kelainan ginjal sehinggan
akhirnya dapat terjadi gagal ginjal.

Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :

I. menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau


di atas 6 tahun.
II. Disertai oleh hipertensi.
III. Disertai hematuria.
IV. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder
V. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal
VI. Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari
timbulnya gambaran klinis penyakit (Donna, 2004).

54
BAB IV

PEMBAHASAN

Manifestasi klinis utama sindrom nefrotik adalah edema anasarka dan


terjadi pada daerah-daerah di tubuh sesuai dengan gaya gravitasi. Edema mulai
muncul di wajah, khususnya daerah periorbita yang terlihat teruatama pada pagi
hari dan berkurang sore hari. Penderita sindrom nefrotik yang tidak diobati atau
tidak memberi respons terhadap pengobatan dapat berkembang menjadi edema
anasarka masif yang disertai edema scrotal atau vulva. Pada edema yang sangat
berat, trauma kecil dapat menyebabkan kebocoran cairan dari jaringan yang
mengalami edema. (nefrologi idai)

Pada pasien ini bengkak dimulai dari kelopak mata yang berlanjut hingga terjadi
edema pada kaki. Hal ini menunjukan bahwa bengkak pada pasien ini mengarah
pada kelainan ginjal. Untuk membantu menegakkan diagnosa maka dibutuhkan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium darah lengkap, kimia
darah dan urin lengkap.

Dari hasil pemerikasaan laboratorium didapatkan albumin 1,14 g/dl, , ureum 29,4
mg/dl, kreatinin 0,28 mg/dl, kolesterol total 270 mg/dl, protein urin +3.

Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium, pasien ini
didapatkan edema anaksarka, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia, dan
proteinuria masif. Maka pasien ini didiagnosa Sindrom Nefrotik karena memenuhi
semua Kriteria diagnosis berdasarkan Konsensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik
Idiopatik Pada Anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia 2012:

1. Proteinuria masif (>40 mg/m2LPB/ jam 
atau 50 mg/kg/hari atau rasio


protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+); 

2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL; 

3. Edema; 

4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL

55
Untuk pengobatan pada pasien ini diberikan steroid full dose, diberikan

prednison 60 mg/m2LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari


dalam dosis terbagi untuk menginduksi remisi). Untuk pemberian dosis
prednison sesuai berat badan ideal (BB terhadap TB). Pada pasien TB 83 cm
dan BB 13,5 kg, sehingga dosis prednison yang diberikan adalah 13,5 kg x 2
mg/kgBB/hari = 27 mg/hari, dibulatkan menjadi 25 mg/hari dikarenakan:

a. Satu tablet prednison mengandung 5 mg sehingga mempermudah dalam


penentuan jumlah tablet yang akan diberikan dan mempermudah dalam
pengkonsumsian obat;

b. Dosis pembulatan menjadi 25 mg masih dalam dosis aman prednison yaitu


maksimal 80 mg/hari.

Sehingga pasien ini menggunakan prednison sebanyak 5 tablet sehari dengan


dosis terbagi 2-1-2.

Lalu, untuk mengatasi edema pada pasein ini diberikan diuretik furosemid
dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari sehingga dosis yang diberikan pada pasien ini
adalah 13,5 kg x 1 mg mg/kgBB/hari jadi 13,5 mg/hari dengan 1x pemberian.
Pemberian furosemid ini diindikasikan untuk edema berat seperti yang terjadi
pada pasien ini.

56
BAB V

KESIMPULAN

Anak dengan manifestasi klinis sindrom nefrotik pertama kali, sebaiknya


dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan
evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid,
dan edukasi orangtua. Pasien ini dirawat inap selama sembilan hari dan dilakukan
pemantauan terhadap respon terapi yang dinilai dari diuresis yang meningkat,
berkurangnya edema, penurunan protein urin, dan penurunan berat badan. Selama
lima hari, berat badan pasien yang semula 13,5 kg menjadi 12 kg serta protein
urin +3 menjadi negatif. Hal tersebut membuktikan bahwa pasien masih
memberikan respon yang baik terhadap terapi sehingga pasien disarankan untuk
melakukan rawat jalan.

Pada kasus ini prognosisnya dubia ad bonam dikarenakan pasien didiagnosis


Sindrom Nefrotik yang dalam perjalanan penyakitnya masih sensitif terhadap
pengobatan steroid ditandai dengan kondisi pasien sampai pulang mengalami
perbaikan.

57
DAFTAR PUSTAKA

Sekarwana, N., Sambas, D.P., Hilmanto, D., Garna, H. 2017. Buku Ajar
Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FK UI

Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO. Konsensus Tata Laksana


Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. Edisi-2. Balai Penerbit IDAI.
2008, h.1- 22.

Trihono P, Marwali EM, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO. Pengaruh lama


pengobatan awal sindrom nefrotik terhadap terjadinya kekambuhan. Sari
Pediatri 2002;4:2-4

Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO, Hidayanti Pengobatan Terkini


Sindrom Nefrotik (SN) pada Anak. Sari Pediatri 2015:17:155-162

Baradewo, M. et al. Klien Gangguan Ginjal: Seri Asuhan Keperawatan.


Jakarta:EGC. 2009

Rauf, S., 2002, Hematuria, dalam Alatas, H., Tambunan, T., Trihono, P., dan
Pardede, S. (Editor), Buku Ajar Nefrologi Anak: Jakarta, Balai Penerbit
FKUI, hal. 114-25.

Elizabeth, R. Sindrom Nefrotik Kasus Baru Pada Anak Usia 2 Tahun: J Agromed
Unila. Lampung 2015:2:3:217-221

58

Anda mungkin juga menyukai