Anda di halaman 1dari 22

Referat

ESOFAGITIS KOROSIF

Disusun oleh :
Izzy Vikrat

DEPARTEMEN ILMU THT - KL

RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2019
BAB I
PENDAHULUAN

Esofagus merupakan saluran yang menghubungkan dan menyalurkan makanan dari


rongga mulut ke lambung. Di dalam rongga dada, esofagus berada di mediastinum posterior
mulai dari belakang lengkung aorta dan bronkus cabang utama kiri kemudian agak membelok
ke kanan berada di samping kanan depan aorta torakalis bawah dan masuk dalam rongga
perut melalui hiatus esofagus dari diafragma dan berakhir di kardia lambung.
Esofagitis korosif adalah peradangan di daerah esofagus yang disebabkan oleh
luka bakar karena tertelannya zat kimia yang bersifat korosif misalnya asam kuat,
basa kuat, dan zat organik. Zat kimia yang tertelan dapat bersifat toksik atau korosif.
Zat kimia yang bersifat korosif ini akan menimbulkan gejala keracunan bila telah
diserap oleh darah. Kasus yang terjadi pada anak-anak biasanya karena tertelan zat korosif,
sedangkan pada orang dewasa karena percobaan bunuh diri.
Esofagitis korosif mempunyai keluhan gejala atau timbulnya manifestasi
klinis sangat tergantung pada jenis zat korosif, konsentrasi zat korosif, jumlah zat
korosif, lama kontaknya dengan dinding esofagus, sengaja diminum atau tidak dan
dimuntahkan atau tidak. Akibatnya esofagitis korosif ini bisa menimbulkan beberapa
keadaan, seperti pada fase akut, fase laten dan fase kronis. Pada fase akut, esofagitis
akut mudah dikenali karena berlansung cepat dan biasanya penyebabnya lebih mudah
dikenali. Sedangkan pada fase laten dan fase kronis yang membutuhkan waktu yang
lebih lama juga lebih sulit dikenali dan biasanya sudah menimbulkan komplikasi.
Akibatnya penanganan esofagitis korosif pada fase laten dan kronis juga lebih sulit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi Esofagus
Tabung otot yang menghubungkan hipopharynx dengan gaster. Panjang
esofagus dewasa sekitar 25 cm,yaitu setinggi C VI – Th XI. Anak-anak antara 8-10
cm, yaitu setinggi C IV-V sampai Th IX. Diameter esofagus bervariasi tergantung
ada tidaknya bolus makanan atau cairan. Pada keadaan istirahat ± 20 mm - 30 mm.
Pada bayi diameter esofagus ± 5 mm. Pada umur 5 tahun adalah 15 mm.

Dinding esofagus terdiri dari 4 lapisan, yaitu :


1. Mukosa
Terbentuk dari epitel berlapis gepeng bertingkat yang berlanjut ke faring
bagian atas, dalam keadaan normal bersifat basa dan tidak tahan terhadap isi
lambung yang sangat asam.
2. Sub Mukosa
Mengandung sel-sel sekretoris yang menghasilkan mukus yang dapat
mempermudah jalannya makanan sewaktu menelan dan melindungi mukosa dari
cedera akibat zat kimia.
Gambar 2. Lapisan dinding esofagus

3. Muskularis
Otot bagian esofagus merupakan otot rangka. Sedangkan otot pada separuh
bagian bawah merupakan otot polos, bagian yang diantaranya terdiri dari
campuran antara otot rangka dan otot polos.

Gambar 3. Lapisan esofagus dengan potongan longitudinal


4. Lapisan bagian luar (Serosa)
Terdiri dari jaringan ikat yang jarang menghubungkan esofagus dengan struktur-
struktur yang berdekatan, tidak adanya serosa mengakibatkan penyebaran sel-sel tumor
lebih cepat (bila ada kanker esofagus) dan kemungkinan bocor setelah operasi lebih besar.

Fisiologi Esofagus
Dalam proses menelan terjadi hal-hal berikut :
1. Pembentukan bolus makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik.
2. Upaya sfingter mencegah terhamburnya bolus ini dalam fase-fase menelan
3. Mempercepat masuknya bolus makanan ke faring saat respirasi.
4. Mencegah masuknya makanan dan minuman ke dalam nasofaring dan laring
5. Kerjasama yang baik dari otot-otot di rongga mulut untuk mendorong bolus
makanan ke arah lambung
6. Usaha untuk membersihkan kembali esofagus

Proses Menelan dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu :


1. Fase Oral
Makanan yang dikunyah dan bercampur liur akan membentuk bolus.
Perpindahan bolus makanan dan atau cairan dari mulut ke pharynx. Terjadi secara
sadar akibat kontraksi otot intrinsik lidah. Kontraksi m. Levator velli palatini
mengakibatkan rongga pada lekukan dorsum lidah diperluas, palatum molle
terangkat dan bagian atas di bidang posterior faring juga akan terangkat
(passavant’s Ridge). Bolus terdorong ke posterior karena lidah terangkat ke atas.
Bersamaan ini terjadi penutupan nasofaring akibat kontraksi m. levator veli
palatine, selanjutnya terjadi kontraksi m. palatoglosus menyebabkan isthmus
faucium tertutup diikuti kontraksi m. Palatopharingeus bolus makanan tidak akan
berbalik ke rongga mulut.
2. Fase Pharyngeal
Perpindahan bolus makanan dan atau cairan dari pharynx ke esofagus.
Terjadi secara reflex dan berlangsung singkat selama 1-2 detik. Pada akhir fase
oral faring dan laring bergerak ke atas oleh kontraksi m. stilofaring, m.
salfingofaring, m. tirohioid, dan m. palatofaring. Aditus laring tertutup oleh
epiglotis. Ketiga sfingter laring, yaitu plika ariepiglotika, plika ventrikularis, dan
plika vokalis tertutup karena kontraksi m. aryepiglotica, m. arytenoideus obligus.
Bersamaan ini terjadi penghentian aliran udara ke laring karena refleks yang
menghambat pernafasan, sehingga bolus makanan tidak akan masuk ke dalam
saluran nafas. Selanjutnya bolus makanan akan meluncur ke arah esofagus karena
valikula dan sinus piriformis sudah dalam keadaan lurus.

3. Fase Oesophageal
Perpindahan bolus makanan dari oesophagus ke gaster, dengan gerakan
peristaltik oesophagus. Berlangsung sekitar 5 – 10 detik. Dalam keadaan istirahat
introitus esofagus selalu tertutup. Dengan adanya rangsangan bolus makanan pada
akhir fase faringal maka terjadi relaksasi m krikofaring, sehingga introitus
esofagus terbuka dan bolus masuk ke dalam esofagus.
Setelah bolus makanan lewat, maka sfingter akan berkontraksi lebih kuatm
melebihi tonus introitus esofagus pada waktu istirahat sehingga makanan tidak
akan kembali ke faring. Dengan demikian refluks dapat dihindari. Gerak bolus di
esofagus bagian atas masih dipengaruhi oleh kontraksi m. Konstriktor faring
inferior pada kahir fase faringal. Selanjutnya didorong ke distal oleh peristaltik
esofagus.
Dalam keadaan istirahat sfingter esofagus bagian bawah selalu tertutup
dengan tekana 8 milimeter Hg lebih dari tekanan di dalam lambung sehingga tidak
terjadi regurgitasi lambung. Pada akhir fase esofageal sfingter ini akan terbuka
secara refleks ketika dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk mendorong
bolus makanan ke distal. Selanjutnya setelah bolus makanan lewat, maka sfingter
ini akan menutup kembali.
Esofagitis Korosif
Definisi
Esofagitis korosif adalah peradangan pada esofagus yang disebabkan oleh luka
bakar karena zat kimia yang bersifat korosif, misalnya asam kuat, basa kuat dan zat
organik.
Zat kimia yang tertelan dapat bersifat toksik atau korosif. Zat kimia yang
bersifat korosif akan menimbulkan kerusakan pada saluran yang dilaluinya,
sedangkan zat kimia yang bersifat toksik hanya menimbulkan gejala keracunan bila
telah diserap oleh darah.

Epidemiologi
Angka kejadian esofagitis korosif tertelan asam kuat, basa kuat, cairan pemutih
diperkirakan sekitar 3-5 % dari kasus kecelakaan dan bunuh diri atau sekitar 5.000-
10.000 kasus pertahun di Amerika Serikat. Anak di bawah 5 tahun dilaporkan sering
tertelan zat yang bersifat korosif akibat ketidaksengajaan dan kelalaian. Sedangkan
pada remaja dan dewasa dilaporkan kasus cukup sering pada remaja sebagai
percobaan bunuh diri. Tidak ada perbedaan jenis kelamin dan ras yang
mempengaruhi terjadinya esofagitis korosif.
Berdasarkan penelitian, 95% kejadian tertelan korosif terjadi di rumah,
biasanya di dapur atau kamar mandi. Hampir 73% terjadi saat produk lagi digunakan
dan 24% terjadi saat produk dalam penyimpanan.

Etiologi
Esofagitis korosif paling sering ditimbulkan oleh tertelannya zat pembersih
rumah tangga, biasanya oleh anak-anak. Zat yang paling merusak adalah natrium
hidroksida, atau lye, yang menyebabkan lisisnya jaringan serta seringkali menembus
dinding esofagus. Cairan pembersih saluran dapat merusak esofagus atau
menimbulkan lesi gastrik yang serupa. Zat tertentu tidak hanya membakar terhadap
esofagus tetapi mempunyai akibat sistemik berat, seperti gagal ginjal. . Anak di bawah
5 tahun dilaporkan sering tertelan zat yang bersifat korosif akibat ketidaksengajaan dan
kelalaian. Sedangkan pada remaja dan dewasa dilaporkan kasus cukup sering pada remaja
sebagai percobaan bunuh diri.
Diperkirakan, 70% dari kasus esofagitis korosif adalah disebabkan oleh basa
dengan natrium hidroksida merupakan kasus yang paling sering ditemukan. Terdapat
juga kasus melibatkan kalium hidroksida dan ammonium hidroksida. Pembersih
saluran, pembersih oven, detergen baju dan detergen piring semuanya mengandung
basa. Konsentrasi basa berbeda berdasarkan agen; cairan (10-15%), industri (30-35%
dan granuler (50-95%). Basa tidak mempunyai rasa yang menyebabkan anak-anak
mengkonsumsi dengan banyak.
Kira-kira 20% kasus esofagitis korosif lainnya adalah disebabkan oleh asam
seperti hidroklorida, sulfurik, oksalik dan nitrit. Pembersih toilet, pembersih selokan,
dan penghapus karatan merupakan beberapa produk yang mengandungi asam di
antara 8-65%. Asam biasanya mempunyai rasa pahit yang menyebabkan anak-anak
tidak mengkonsumsi dengan banyak.
Selain disebabkan oleh asam dan basa, esofagitis korosif juga bisa disebabkan
oleh bahan lain seperti detergen, bateri, makanan panas dan susu.
Zat yang sering menimbulkan terbakar pada esofagus 2
Pembersih saluran (NaOH)
Cairan Plumbum
Drano (cairan atau kristal)
Pembersih open
Easy off
Amonia
Tablet klinitest
Pemutih
Fosfat
Asam
Sulfat
Nitrat
Fenol
Iodine
Kalium permanganate

Patofisiologi
 Basa kuat menyebabkan terjadinya nekrosis mencair (liquifactum necrosis).
Secara histologik dinding esofagus sampai lapisan otot seolah-olah mencair.
Basa yang dalam bentuk kristal biasanya menyebabkan luka bakar linear
sedangkan basa dalam bentuk cairan menyebabkan luka bakar sirkular.
 Asam kuat yang tertelan akan menyebabkan nekrosis menggumpal
(coagulation necrosis). Secara histologik dinding esofagus sampai lapisan otot
seolah-olah menggumpal.
 Zat organik misalnya lisol dan karbol biasanya tidak menyebabkan kelainan
yang hebat, hanya terjadi edema di mukosa atau submukosa.
 Asam kuat menyebabkan kerusakan pada lambung lebih berat dibandingkan
dengan kerusakan esofagus, sedangkan basa kuat menimbulkan kerusakan di
esofagus lebih berat dari pada lambung.

Manifestasi Klinis
Keluhan dan gejala yang timbul akibat tertelan zat korosif tergantung pada jenis
zat korosif, konsentrasi zat korosif, jumlah, lamanya kontak dengan dinding esofagus,
sengaja diminum atau tidak dan dimuntahkan atau tidak.
Gejala klinik esofagitis kronik dibagi menjadi 5 bentuk klinis berdasarkan
beratnya luka bakar yang ditemukan yaitu:
1. Esofagitis korosif tanpa ulserasi
Pasien mengalami gangguan menelan yang ringan. Pada esofagoskopi tampak
mukosa yang hiperemis tanpa disertai ulserasi.
2. Esofagitis korosif dengan ulserasi ringan
Pasien mengeluh disfagia ringan. Pada esofagoskopi tampak ulkus yang tidak
dalam yang mengenai mukosa esofagus saja.
3. Esofagitis korosif dengan ulserasi sedang
Ulkus sudah mengenai lapisan otot. Biasanya ditemukan satu ulkus atau lebih
(multipel).
4. Esofagitis korosif dengan ulserasi berat tanpa komplikasi
Terdapat pengelupasan mukosa serta nekrosis yang letaknya dalam, dan telah
mengenai seluruh lapisan esofagus. Keadaan ini jika dibiarkan akan
menimbulkan striktur esofagus.
5. Esofagitis korosif ulseratif berat dengan komplikasi
Terdapat perforasi esofagus yang dapat menimbulkan mediastinitis dan
peritonitis. Kadang-kadang ditemukan tanda-tanda obstruksi jalan nafas atas
dan gangguan keseimbangan asam dan basa.

Berdasarkan gejala klinis dan perjalanan penyakitnya esofagitis korosif dibagi dalam
3 fase, yaitu fase akut, fase laten (intermediate), dan fase kronik (obstruktif).
Fase Akut
Keadaan ini berlansung 1-3 hari. Pada pemeriksaan fisik ditemukan luka bakar
di daerah mulut, bibir, faring dan kadang-kadang disertai perdarahan. Gejala yang
ditemukan pada pasien ialah disfagia hebat, odinofagia, serta suhu badan yang
meningkat.
Gejala klinis akibat tertelan zat organik dapat berupa perasaan terbakar di
saluran cerna bagian atas, mual, muntah, erosi pada mukosa, kejang otot, kegagalan
sirkulasi, dan pernafasan.

Fase Laten
Berlansung selama 2-6 minggu. Pada fase ini keluhan pasien berkurang, suhu
badan menurun. Pasien merasa ia telah sembuh, sudah dapat menelan dengan baik
akan tetapi prosesnya sebetulnya masih berjalan terus dengan pembentukan jaringan
parut (sikatriks).

Fase Kronis
Setelah 1-3 tahun akan terjadi disfagia lagi oleh karena telah terbentuk jaringan
parut, sehingga terjadi striktur esofagus. Tempat tersering terbakar adalah tingkat
krikofaringeus dan kardia. Terbakarnya pada bagian bawah esofagus disertai refluks.

Diagnosis
1. Anamnesis
Berdasarkan anamnesis ditegakkan dengan adanya riwayat tertelan zat
korosif atau zat organik, serta ditunjukkan dengan keluhan utama pasien rasa
terbakar pada daerah kerongkongan, rasa nyeri yang hebat didalam mulut dan
regio substernal, serta bisa juga mengeluhkan susah menelan dan hipersaliva.
Sedangkan demam dan perdarahan dapat terjadi serta sering diiringi dengan
muntah

2. Pemeriksaan Fisik
Selain penegakan diagnosis dari autoanamnesis atau alloanamnesis yang
cermat serta diperlukan bukti-buki yang diperoleh ditempat kejadian. Masuknya
zat korosif melalui mulut dapat diketahui dengan bau mulut ataupun muntahan.
Adanya luka bakar keputihan pada mukosa mulut atau keabuan pada bibir dan
dagu menunjukkan akibat bahan kaustik atau korosif baik yang bersifat asam kuat
maupun basa kuat. Perbedaaan pada dampak luka bakarnya yaitu nekrosis
koagulatif akibat paparan asam kuat sedangkan basa kuat mengakibatkan nekrosis
likuitaktif. Kerusakan korosif hebat akibat basa (basa) kuat pada esofagus lebih
berat dibandingkan akibat asam kuat, kerusakan terbesar bila PH > 12, akan tetapi
tergantung juga konsentrasi bahan tersebut.

3. Pemeriksaan penunjang
Untuk menegakkan diagnosis, selain berdasarkan hasil anamnesis serta
gambaran keluhan dan gejala seperti yang diuraikan di atas juga diperlukan
pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan laboratorium, radiologik,
esofagoskopi.
Pemeriksaan laboratorium
Peranan pemeriksaan laboratorium sangat sedikit, kecuali bila terdapat
tanda-tanda gangguan elektrolit, diperlukan pemeriksaan elektrolit darah.

Pemeriksaan radiologik
Foto Rontgen toraks postero-anterior dan lateral perlu dilakukan mendeteksi
adanya mediastinitis atau aspirasi pneumonia.
Pemeriksaan Rontgen esofagus dengan kontras barium (esofagogram) tidak
banyak menunjukkan kelainan pada stadium akut. Esofagus mungkin terlihat
normal. Jika ada kecurigaan akan adanya perforasi akut esofagus atau lambung
serta rupture esofagus akibat trauma tindakan, esofagogram perlu dibuat.
Esofagogram perlu dibuat setelah minggu kedua untuk melihat ada tidaknya
striktur esofagus dan dapat diulang setelah 2 bulan dievaluasi.
Pada kasus esofagitis korosif zat asam, penelitian telah dilakukan oleh
Muhletaler dan didapatkan hasil 6-50% penderita memperlihatkan adanya striktur,
sebagian lain memperlihatkan edema dan ulserasi mukosa esophagus dengan atau
tanpa pendarahan esophagus pada rontgen esofagogram.
Pemeriksaan esofagoskopi
Esofagoskopi diperlukan untuk melihat adanya luka bakar di esofagus.
Pada esogoskopi akan tampak mukosa yang hiperemis, edema dan kadang-kadang
ditemukan ulkus. Esofagoskopi sendiri akan membuat dokter lebih pasti dalam
menegakkan diagnosis dan membuat perencanaan pengobatan sesuai dengan
patolohi yang ada.
Esofagoskopi yang dilakukan segera memiliki 2 keuntungan, yaitu: pasien
tanpa eosophageal burns, pada lebih dari 50% kasus, dapat terhindar dari
perawatan yang lama dirumah sakit; esofagoskopi sendiri memperlihatkan besar
dan keparahan dari kerusakan esophagus. Esofagoskopi biasanya dilakukan pada
hari ke tiga setelah kejadian atau bila luka bakar di bibir, mulut dan faring sudah
tenang. Berikut derajat esofagitis korosif yang dilihat dari esofagoskopi :

Tabel 1. Derajat esofagitis korosif yang dilihat dengan esofagoskopi


Derajat Klinis
I Hiperemia mukosa dan udema
II Perdarahan terbatas, eksudat, ulserasi dan pseudomembran
III Pengelupasan mukosa, ulkus dalam dan perdarahan masif, obstruksi
lumen
4. Diagnosis Banding
GERD (Gastro Esophageal Reflux Disease)
Refluks Gastro Esofagus (RGE) didefinisikan sebagai aliran retrograde isi
lambung ke dalam esofagus. Gejala tipikal atau klasik pada orang dewasa adalah:
a. Rasa panas di dada terjadi setelah makan (postprandial heart burn),
didefinisikan sebagai rasa panas substernal di bawah tulang dada, rasa
terbakar/panas menjalar ke atas sampai tenggorok atau mulut 1-2 jam setelah
makan atau setelah mengangkat berat atau posisi bungkuk.
b. Regurgitasi isi lambung secara spontan ke esofagus atau mulut.
5. Penatalaksanaan
Tujuan pemberian terapi pada esofagitis korosif adalah untuk mencegah
pembentukan striktur.
Terapi esofagitis korosif dibedakan antara tertelan zat korosif dan zat
organik. Terapi esofagitis korosif akibat tertelan zat korosif dibagi dalam fase akut
dan fase kronis. Pada fase akut dilakukan perawatan umum dan terapi khusus
berupa terapi medik dan esofagoskopi.

Perawatan umum
Perawatan umum dilakukan dengan cara memperbaiki keadaan umum
pasien, menjaga keseimbangan elektrolit, serta menjaga jalan nafas. Jika terdapat
gangguan keseimbangan elektrolit diberikan infuse aminofusin 600 2 botol,
glukosa 10% 2 botol, NaCl 0,9 % + KCl 5 meq/liter 1 botol.
Untuk melindungi selaput lendir esofagus bila muntah dapat diberikan susu
atau putih telur. Jika zat korosif yang tertelan diketahui jenisnya dan terjadi
sebelum 6 jam, dapat dilakukan netralisasi (bila zat korosif basa kuat diberi susu
atau air, dan bila asam kuat diberi antasida).

Terapi medik
Protokol pengobatan secara medis pada fase awal kasus ini masih terbatas
pada penggunaan steroid, antibiotik serta penggunaan zat penetral (antidotum) dari
agen penyebab.
Antibiotika diberikan selama 2-3 minggu atau 5 hari bebas demam jika
diberikan dengan steroid. Antibiotik dapat dilanjutkan selama 4-8 minggu dengan
harapan telah terjadinya reepitalisasi, sesuai dengan derajat luka esofagus jika
diberikan tanpa steroid. Antibiotik tidak akan mencegah pembentukan striktur,
tetapi akan membantu mengoptimalkan proses penyembuhan. Biasanya diberikan
penisilin dosis tinggi 1-1,2 juta unit/hari.
Kortikosteroid diberikan untuk mencegah pembentukan striktur. Pemberian
steroid pada grade 2 dan grade 3 telah terbukti akan mengurangi kemungkinan
terbentuknya striktur esofagus. Kortikosteroid harus diberikan sejak hari pertama
dengan dosis 200-300 mg sampai hari ketiga. Setelah itu dosis diturunkan
perlahan-lahan tiap 2 hari (tappering off). Dosis yang dipertahankan (maintenance
dose) ialah 2x50 mg perhari. Steroid, idealnya dilanjutkan sampai seluruh reaksi
inflamasi menghilang dan telah terjadi reepitalisasi sempurna selama kurang lebih
1-3 bulan, tergantung pada derajat luka. Pasien dengan terapi steroid ini harus di
follow up secara berkala terutama pada 2 bulan pertama karena hampir 80% kasus
akan mengalami gejala klinis striktur esofagus.
Analgesik diberikan untuk mengurangi rasa nyeri. Morfin dapat diberikan,
jika pasien sangat kesakitan.
Esofagoskopi
Biasanya dilakukan esofagoskopi pada hari ke tiga setelah kejadian atau bila
luka bakar di bibir, mulut, dan faring sudah tenang.
Jika pada waktu melakukan esofagoskopi ditemukan ulkus, esofagoskop
tidak boleh dipaksa melalui ulkus tersebut karena ditakutkan terjadinya perforasi.
Pada keadaan demikian sebaiknya dipasang pipa hidung lambung (pipa
nasogaster) dengan hati-hati dan terus menerus (dauer) selama 6 minggu. Setelah 6
minggu esofagoskopi diulang kembali.
Pada fase kronik biasanya sudah terdapat striktur esofagus. Untuk ini
dilakukan dilatasi dengan bantuan esofagoskop. Dilatasi dilakukan sekali
seminggu, bila keadaan pasien lebih baik dilakukan sekali 2 minggu, setelah
sebulan, sekali 3 bulan, dan demikian seterusnya sampai pasien dapat menelan
makanan biasa. Jika selama 3 kali dilatasi hasilnya kurang memuaskan sebaiknya
dilakukan reseksi esofagus dan dibuat anastomosis ujung ke ujung (end to end).

Diet
Pasien disarankan untuk mengkonsumsi makanan lembut atau cair hingga
keluhan menelan hilang. Sebaiknya dihindari makanan pedas yang bisa mengiritasi
esofagus. Pasien dinasehatkan tidak mengkonsumsi alkohol.

6. Komplikasi
Komplikasi esofagitis korosif dapat berupa syok, koma, edema laring,
pneumonia aspirasi, perforasi esofagus, mediastinitis, dan kematian.
Komplikasi tersering dari esofagitis korosif adalah mediastinitis dan
perforasi esofagus. Mediastinitis terjadi akibat kontaminasi jaringan mediastinum
oleh isi dari esofagus yang mengalami perforasi esofagus. Robekan kecil biasanya
akan tertutup secara spontan tanpa ada infeksi mediastinum yang signifikan.
Perforasi yang lebih serius yang ditandai dengan kebocoran yang terus menerus
megakibatkan respon inflamasi dan infeksi pada jaringan di mediastinum. Perlu
diketahui bahwa menegakkan diagnosis perforasi esofagus agak sulit karena
lambatnya perkembangan gejala yang muncul.
Apnea, penyakit pernapasan kronia (contohnya asma) dan gagal tumbuh
merupakan komplikasi yang sering didapatkan pada anak-anak. Pada kasus
esofagitis yang dinyatakan sembuh, bisa juga timbul komplikasi berupa obstruksi
karena terbentuknya striktur.
7. Prognosis
Prognosis dari esofagitis korosif tergantung pada jenis bahan yang terkena,
konsentrasi, lama kontak, adanya kelainan sebelumnya, kerusakan pada esophagus
dan penatalaksanaan awal.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Esofagitis Korosif ialah Peradangan di esofagus yang disebabkan oleh luka
bakar karena zat kimia bersifat korosif misalnya asam kuat, basa Kuat,dan zat
organik.
2. Zat kimia yang bersifat korosif akan menimbulkan kerusakan pada saluran
yang dilaluinya, sedangkan zat kimia yang bersifat toksik hanya menimbulkan
gejala keracunan bila telah diserap oleh darah.
3. Penyebab dari esofagitis korosif adalah asam kuat, basa kuat dan zat organik.
4. Keluhan dan gejala yang timbul akibat tertelan zat korosif tergantung pada
jenis zat korosif, konsentrasi zat korosif, jumlah zat korosif, lamanya kontak
dengan dinding esofagus, sengaja diminum atau tidak dan dimuntahkan atau
tidak.
5. Esofagitis korosif dibagi dalam 5 bentuk klinis berdasarkan beratnya luka
bakar yang ditemukan, yaitu Esofagitis korosif tanpa ulserasi, esofagitis
korosif dengan ulserasi ringan, esofagitis korosif dengan ulserasi sedang,
esofagitis korosif dengan ulserasi berat tanpa komplikasi, esofagitis korosif
dengan ulserasi berat dengan komplikasi.
6. Berdasarkan gejala klinis dan perjalanan penyakitnya esofagitis korosif dibagi
dalam 3 fase yaitu fase akut, fase laten (intermediate) dan fase kronik
(obstruktif).
7. Diagnosis ditegakkan dari adanya riwayat tertelan zat korosif atau zat organik,
gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan esofagoskopi.
8. Terapi esofagitis korosif dibedakan antara tertelan zat korosif dan zat organik.
Terapi esofagitis korosif akibat tertelan zat korosif dibagi dalam fase akut dan
fase kronis. Pada fase akut dilakukan perawatan umum dan terapi khusus
berupa terapi medik dan esofagoskopi.
9. Penatalaksanaan esofagitis korosif bertujuan untuk untuk mencegah
pembentukan striktur.
10. Komplikasi esofagitis korosif dapat berupa syok, koma, edema laring,
pneumonia aspirasi, perforasi esofagus, mediastinitis, dan kematian.

Saran
Esofagitis korosif sering terjadi pada anak-anak di bawah 5 tahun dan remaja
atau dewasa yang melakukan percobaan bunuh diri. Diagnosis dini perlu segera
ditegakkan berdasarkan autoanamnesis atau alloanamnesis yang cermat serta
diperlukan bukti-buki yang diperoleh ditempat kejadian. Hal ini bertujuan agar
penatalaksanaan segera dapat dilakukan. Penatalaksanaan segera perlu dilakukan
untuk menghindari berbagai komplikasi yang tidak diinginkan di kemudian hari.
Diharapkan dengan meningkatnya penemuan kasus dini, penanggulangan terhadap
penyakit ini dapat diperbaiki, sehingga angka kematian dapat ditekan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hadjat F. Penyakit dan Kelainan Esofagus. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung dan Tenggorokan Edisi 6. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.2007;
293-95
2. Siegel LG. Penyakit Jalan Nafas Bagian Bawah, Esofagus, dan Mediastinum.
Dalam : Buku Ajar Penyakit THT BOIES Edisi 6. Jakarta : EGC. 1997;455-73
3. Dhingra PL. Disorders of Oesophagus. Disease of Ear, Nose and Throat. 4th
Edition. India. Elsevier. 2009; 303-04
4. Huang YC, Ni YH et al. Corrosive Esophagitis in Children. Pediatric Surgery.
2004; 207-10 (diakses di http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1508333 tanggal
1 januari 2012)
5. Sandeep M. Esophagitis. 2011 (diakses di
http://emedicine.medscape.com/article/174223 pada 1 Januari 2012)
6. Jayant D. Pediatric Esophagitis Treatment and Management. 2011 (diakses di
http://emedicine.medscape.com/article/928891 pada 31 Desember 2011)
Anonymous. Esophgaeal Stricture or Corrosive Esophagitis. Elsevier.1998; 167
7. Yuksel G, Emre K et al. The Efficiency of Sucralfate in Corrosive Esophagitis: A
Randomized, Prospective Study. Turk J Gastroenterol. Istanbul. 2010; 7-11
8. Muhletaer CA, Gerlock AJ et al. Acid Corrosive Esophagitis: Radiographic
Findings.AM J Roentgenol. 1980. (diakses di:
www.ajronline.org/content/134/6/1137.full.pdf pada 2 Januari 2012)
9. de Jong AL, Macdonald R et al. Corrosive esophagitis in children: a 30-year
review. Int J Pediatry Otorhinolaryngol. 2001 Mar;57(3):203-11. (diakses di
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11223452 pada 3 Januari 2012)
10. Gumurdulu Y, Karakoc E et al. The efficiency of sucralfate in corrosive
esophagitis: A randomized, prospective study. 2010. Turk J Gastroenterol; 21
(1): 7-11.
11. Collin S, Dafoe et al. Acute corrosive oesophagitis. 1969. Thorax (1969), 24,
291. Canada.

Anda mungkin juga menyukai