Anda di halaman 1dari 6

Musibah Pertama

Rocki Budiman menatap nanar pada bangunan yang tinggi menjulang di


hadapannya. Bermandikan cahaya bulan dan lampu - lampu sorot hijau dan kuning,
bangunan itu tampak lebih seram daripada sebelumnya. Tanpa terasa ia bergidik.

Di sampingnya, dalam posisi berjongkok, adalah Yudho Adhiputra.

Di Universitas Millenia, ia adalah bintang rugby sekolah sekaligus penabuh drum


sebuah band. Demikian pula halnya dengan Rocki, sahabatnya. Ia adalah bintang basket
pujaan setiap anggota tim pemandu sorak dan jagoan yang disegani teman - teman putra.

Itu adalah salah satu alasan mengapa mereka tidak boleh mundur.

“Kita jadi masuk?” tanya Rocki dengan ketegangan yang dipaksakan.

“Iyalah,” sahut Yudho. “Seluruh sekolah sudah bertaruh apakah kita berani masuk
atau tidak.”

“Tapi . . .,” Rocki mulai ragu - ragu. Firasatku buruk, Dho! Amat sangat buruk!”

Yudho menebar pandangannya pada area gedung di hadapannya. Sekilas, gedung


area X memang tampak seperti Gedung Pusat Penelitian Uranium pada umumnya, tetapi
bagi para penduduk Bekasi, mereka tahu ada sesuatu yang lain pada gedung itu.

Sinar - sinar dengan intensitas tinggi yang sering muncul di malam hari, ditambah
dengan suara rintih dan lolong yang aneh, serta sosok - sosok gelap yang modar - mandir di
bangunan itu membuat mereka yakin area X adalah tempat yang menyeramkan.

Gedung yang terletak di batas kota itu menjulang tinggi, berwarna abu - abu dengan
kubah yang besar dan dikelilingi tiang - tiang dan beberapa cerobong. Gedung itu dijaga
ketat oleh orang - orang bersenapan dan berpakaian serba hijau yang mondar - mandir
seperti tentara.

Padahal gedung itu sudah dikelilingi oleh pagar kawat setinggi enam meter yang
atasnya runcing. Yudho dan Rocki semakin yakin, pastilah area X bukanlah tempat biasa.

“Ayo, Rocki! Kita masuk!” paksa Yudho, mulai tak sabar. Ia membayangkan akan
ditraktir teman - teman satu sekolah apabila ia berhasil merangkumkan misinya malam ini.
“Hanya menyelinap, mengambil buku, lalu keluar. Apa, sih, susahnya?”

“A - aku,” Rocki meneguk ludah dengan sulit. “Kupikir sebaiknya kita batalkan saja,
Dho! Atau kita pura - pura saja . . . . “

“Oke - oke,” sahut Yudho enteng. “Kau seharusnya bilang dari tadi kalau kau takut!”
Rocki tersentak dan menatap Yudho dengan pandangan sedingin es. “Apa katamu?”
sergah Rocki, “Aku? Takut? Enak saja . . . .”

“Kalau begitu buktikan!” tantang Yudho. “Kau mau masuk atau pulang saja?”

“Ayo, masuk!” ia mengambil keputusan. Meskipun hatinya terasa dingin, tetapi rasa
ego telah menguasainya. Pemuda itu langsung melompat ke pagar kawat dan mulai
memanjat.

Di bawah, Yudho tertawa tertahan. “Rock, pagar itu tingginya enam meter! Kau yakin
bisa memanjatnya?

“Kenapa enggak?”

Yudho berjalan beberapa langkah ke arah semak - semak dan menyingkapnya.


Tangannya menunjuk ke sebuah lubang akibat pagar kawat yang sudah putus. “Aku mau
lewat sini saja, bagaimana denganmu?” Sebuah senyum nakal mengembang di bibirnya.

Rocki mendengus dan melompat turun, “Sial kau!” gerutunya lalu berjongkok di
belakang sahabatnya. Ia mengikuti Yudho merangkak masuk.

Yudho dan Rocki berdiri menyusuri bagian pekarangan yang paling terlindungi oleh
bayang - bayang gedung. Mereka bergerak sambil menunduk, berjongkok, dan berguling,
hingga akhirnya mereka dapat merangkak ke dinding belakang gedung yang terasa dingin di
punggung mereka.

Kedua remaja itu menempelkan tubuh mereka ke dinding. “Oke, sekarang


bagaimana?” tanya Rocki dengan napas terengah – engah. Malam sangat dingin, tetapi
kedua anak itu bersimbah peluh.

“Kita masuk lewat pintu sampah, ingat?” kata Yudho sambil berusaha mengatur
napasnya.

Di depan pintu sampah itu, Rocki bertanya lagi. “Kau yakin itu Cuma pintu sampah
biologis? Bagaimana kalau itu pintu sampah radioaktif? Bisa - bisa kita . . . .”

“Sssstttt!” Yudho menempelkan telunjuknya ke bibir. “Diamlah! Nanti, kita


ketahuan!

“Tapi . . . .”

“Percayalah saja kepadaku, oke?”

“Ya, oke”
Yudho mulai berjalan beringsut - ingsut ke tempat sampah yang ia maksud. Pintu itu
menyerupai tingkap persegi empat berwarna hitam. Setelah Yudho membukanya, tampak
lorong yang menanjak, sempit, rendah, dan bau.

“Yaik!” Rocki mengernyitkan seluruh wajahnya. “Bau apa ini?”

“Ini justru pertanda baik,” sahut Yudho. “Ini tandanya ini lorong sampah biologis.”

Kedua anak itu lantas melompat masuk ke lorong tersebut. Pintu persegi itu lantas
menutup kembali di belakang mereka. Mereka merayap dan beringsut - ingsut di lorong
gelap itu. Meskipun lorongnya menanjak, tampaknya mereka tidak mengalami banyak
kesulitan. Dengan tubuh atletis seperti itu, Yudho dan Rocki memang terbiasa melakukan
berbagai aktivitas fisik.

Tiba - tiba, saat mereka sudah hampir mencapai puncak, mereka disergap bau yang
amat tidak sedap. “Hei!” jerit Rocki, “bau apa ini?”

Yudho tidak menjawab. Ia mulai melihat seberkas cahaya redup di atas. Ia


mempercepat gerakan merayapnya hingga dilihatnya akhir lorong itu. Ia melongok dan
tersentak.

“ Ada apa, Dho?”

“Lihat sini!”

Rocki menyusul Yudho dan ikut melongok ke bawah. “Oh Tuhan”, ucapnya ngeri.

Lorong itu berakhir di sebuah terowongan vertikal berdinding kusam. Di dasarnya


menggenang cairan hitam keunguan yang aneh dan bedegup - degup seolah hidup.

“Itu pasti limbah radioaktif!” kata Rocki ketakutan. “Ini mulai kelihatan tidak bagus,
Dho!”

Yudho diam, matanya kembali menerawang. Ia melihat pijakan - pijakan dari besi
tergantung di dinding, bermula di dekatnya, dan berakhir di dekat pintu tingkap di
seberangnya.

“Kita lewat situ!” kata Yudho.

Rocki langsung protes “Kamu gila apa? Kalau kita jatuh ke cairan itu . . .,” suaranya
hilang, tak mampu meneruskan.

“Takut amat, sih!” Yudho kembali mengeluarkan senjata rahasianya. Ia menengok ke


bawah untuk terakhir kalinya sebelum akhirnya ia memanjat dinding ruangan itu.
Rocki bergabung dengannya beberapa saat kemudian. Di teguknya ludah dengan
sulit. Kedua pemuda nekat itu beringsut - ingsut, berpindah dari satu pijakan ke pijakan lain.
Hingga makin dekat ke pintu itu. Tubuh mereka terasa panas.

Tiba - tiba terdengar suara menyedot yang amat keras. SROOTT . . . .

Yudho tercengang. Ia menatap heran ke bawah, cairan itu sedang bereaksi


tampaknya. Bagian tengahnya tersedot ke dalam.

Rocki menahan napas. Seluruh tubuhnya bersimpah peluh. Suhu ruangan itu menjadi
tinggi sekali dan baunya semakin menyengat.

Tiba - tiba, bunyi sedot itu berubah. Mereka melotot ketakutan. Seketika cairan aneh
itu bergerak naik dengan cepat, lalu memuncrat lagi.

Yudho dan Rocki merapatkan tubuh mereka sebisa mungkin ke tembok, seakan ingin
meyatu dengannya.

Hanya sedetik . . . lalu cairan itu tenang kembali.

“Rocki!” panggil Yudho dengan suara bergetar yang kentara, walaupun ia sudah
berusaha menyembunyikannya. “Kamu kena?”

Rocki tidak menjawab. Ia masih sibuk mengatur nafasnya.

“Rocki, kamu tidak apa - apa?” ulang Yudho.

Akhirnya ia berhasil menjawab, “Yeah, kamu sendiri?”

Yudho beringsut mendekatinya, “Aku tidak apa - apa. Aku heran, cairan tadi itu apa
sih, sebenarnya?”

Muka Rocki amat pucat, ia menggeleng. “Entah. Radioaktif mungkin. Limbah


uranium, entahlah! Aku ingin kembali!”

Tiba - tiba, Yudho tergelitik untuk kembali mengejeknya, “Kamu takut, Rock?”

Di luar dugaannya, Rocki mengakuinya, “Ya.”

Yudho berdecak, “Kita sudah di sini! Ayo, kita lihat saja sebentar!”

Akhirnya, Rocki menurut. Mungkin karena takut diejek. Ia mengikuti Yudho sambil
sesekali menengok ke bawah. “Tempat ini seram, Dho!”

Yudho tidak mendengarnya. Ia sudah menyingkap pintu itu dan masuk ke dalamnya.
Tanda di luar aman.
Rocki dengan senang hati mengikutinya. Mereka sampai di sebuah ruangan mirip
lorong putih semitransparan dengan langit - langit tinggi berventilasi steril dan lantai berkisi
- kisi.

Yudho berjalan dengan mantap di lorong itu. Pandangannya tersita pada dindingnya.
Ia menempelkan wajah dan kedua tangannya ke dinding. Ia memperhatikan dengan
saksama. Rupanya ada dinding kaca pembatas.

Rocki menghampirinya. “Apa sih, Dho?”

“Lihat!” kata Yudho tanpa mengalihkan pandangannya. “Sosok - sosok itu . . . .”

Rocki memperhatikan. Dalam ruangan di balik tembok kaca itu tampak sosok - sosok
kabur dalam posisi aneh. Entah hewan atau apa. Ia tak dapat memastikan. Ia juga melihat
benda - benda mirip selang - selang gelap, tetapi tak yakin apakah itu selang. Bagi Rocki,
ruangan panjang itu bagai akuarium raksasa yang sudah tidak dikuras selama seratus tahun
sehingga menjadi cokelat dan buram sekali. Dan ikan - ikannya mati di tempat.

“Oh Tuhan,” ucap Rocki, “apa sih itu?” Ia bergerak maju, terlalu terpesona terhadap
apa yang dilihatnya. Hingga ia sama sekali tidak memperhatikan bahwa kakinya sedang
melangkah tepat ke tengah sebuah sinar laser alarm. Ia melanggarnya.

Seketika alarm keamanan berbunyi keras. Sirene berdering di mana - mana. Lampu -
lampu peringatan berkedip - kedip.

“Celaka!” pekik Yudho. Ia segera berbalik, “ayo, lari!”

Kedua pemuda itu lari pontang - panting ke arah mereka datang. Sialnya, gedung itu
memiliki sistem pengamanan yang sangat canggih. Lorong itu dilengkapi dengan pintu -
pintu geser pengaman yang kini mulai menutup satu persatu.

Yudho dan Rocki berlari sekencang - kencangnya, meloloskan diri dari pintu - pintu
yang menutup. Lolos dari satu pintu. Lalu mengejar pintu yang lainnya.

Napas memburu, peluh bercucuran, debar jantung yang menggila, dan raung sirene
yang memekakkan telinga membuat mereka bergerak semakin cepat. Kerlip lampu
pengaman seakan mencekik mereka. Hingga akhirnya, tampaklah pintu terakhir.

Pintu itu sudah mulai menutup. Tinggal satu meter lagi.

“Kita tak mungkin berhasil!” jerit Yudho.

“Harus!” pekik Rocki lalu ia maju dan mendorong Yudho sekuat tenaga hingga
sahabatnya itu terlempar jauh ke depan melewati pintu terakhir.

Yudho tersentak. Ia sadar, ia sudah selamat, tetapi Rocki belum. Serta merta ia
berbalik dan menatap ngeri pada sahabatnya yang berjuang menyelamatkan hidupnya.
“Tidaaaaa . . . kk!” jerit Yudho, frustasi. Air matanya menggenang dan seluruh
tubuhnya gemetar.

Hanya kesadaran yang tersisalah yang membuatnya mampu kembali ke pintu tempat
ia masuk tadi. Beringsut - ingsut mencapai pintu sampah dan meluncur turun. Lalu berlari ke
luar lewat lubang tempat ia masuk tadi. Di luar pagar, ia menatap nanar ke dalam.
Jemarinya mencengkeram erat kawat - kawat seolah hendak menghancurkannya.

“Rocki . . . .” rintihnya.

Ia bisa saja tinggal di sana selamanya, tetapi derap langkah para penjaga yang mulai
berdatangan membuat kakinya yang gemetar mampu membuat tubuhnya berbalik dan lari
sejauh mungkin dari area X yang misterius itu hingga tak mampu lagi . . . . Hilang oleh jarak
dan gelapnya malam.

Anda mungkin juga menyukai