56/DIKTI/Kep/2005
Alex Sobur
ABSTRACT
In spite of the celebration of Harry Potter, JK Rowling as the author was accused as teaching
and disseminating occultism among her readers. It is said that Harry Potter could turn children
to become demons. This accusation raised concerns among parents and educators, especially
Christians. Furthermore, a priest from New Mexico, Jack Brock, was threatening to burn
Harry Potter volumes. Responding to the threat, JK Rowling was reported calm. Harry Potter
still wins the heart of thousands children all over the world. A semiotic analysis toward Harry
Potter books concludes that reality and imagination were created (not depicted, or mirrored) in
the world of wizardry. Furthermore, an ideological analysis has successfully disclosed some
imperialism signs being downplayed in the story plot.
saya heran, kalau ada pembaca yang berpikiran dalam karya monumentalnya, The Pleasure of the
saya penganjur sihir yang serius,” katanya. “Saya Text (1975), jika sebuah teks tidak menggetarkan
sendiri justru tidak percaya kepada ilmu sihir, dalam buhul-buhul darah para pembacanya, tidaklah
arti sebagaimana yang mereka bicarakan!” memiliki meaning apa pun. Ia harus menggelinjang
Menurut pengakuannya, ia tertarik kepada keluar dari bahasa yang dipergunakan.
dunia sihir, hanya sebatas pada ‘keajaibannya’. Dalam suatu penelitian yang telah dilakukan
Atau pada sensasi yang dibuatnya. “Saya pikir di Indonesia terhadap sejumlah ahli psikologi dalam
sumber ini (dunia sihir ini) sangat menyenangkan. rangka mengetahui ciri-ciri manakah menurut
Merupakan seni. Sihir selalu menjadi tema literatur pendapat mereka, yang paling mencerminkan
anak-anak sepanjang manusia ada!” katanya kepribadian kreatif, diperoleh urutan ciri-ciri sebagai
penuh keyakinan. berikut (Munandar, 1977, dalam Sobur, 2003:161-
Terlepas dari semua kontroversi itu, buku- 162): (a) mempunyai daya imajinasi yang kuat; (b)
buku seri Harry Potter memang menawarkan mempunyai inisiatif; (c) mempunyai minat yang
pelbagai imajinasi dunia anak yang sangat luar luas; (d) bebas dalam berpikir (tidak kaku atau
biasa. Problema dalam berimajinasi inilah, menurut terhambat); (e) bersifat ingin tahu; (f) selalu ingin
Audifax (2006:10), yang juga menimbulkan polemik mendapat pengalaman-pengalaman baru; (g)
di kalangan mereka yang kontra-Harry Potter. Lalu, percaya pada diri sendiri; (h) penuh semangat (en-
katanya lagi, muncullah kecemasan-kecemasan ergetic); (i) berani mengambil risiko (tidak takut
bahwa kisah ini mengajarkan okultisme. membuat kesalahan); dan (j) berani dalam pendapat
Maka dari itu, saya mencoba menelaah dan dan keyakinan (tidak ragu-ragu dalam menyatakan
menguraikan pesan-pesan dalam mite Harry Pot- pendapat meskipun mendapat kritik dan berani
ter pada penelitian saya dalam konteks simbol dan mempertahankan pendapat yang menjadi
imajinasi terhadapnya. Hasilnya menarik, ternyata keyakinannya). Di sini jelas bahwa “daya imajinasi
justru Harry Potter bisa menyampaikan pesan- yang kuat” menempati urutan pertama di antara
pesan kehidupan dengan lebih luwes ketimbang sejumlah ciri yang paling mencerminkan
khotbah-khotbah keagamaan yang seringkali justru kepribadian kreatif, yang, menurut hemat saya,
kontradiktif dengan realita. Salah satunya yang penting untuk membangun karakter manusia,
akan coba saya ketengahkan di sini adalah pesan utamanya kepribadian anak.
yang ada pada tema ‘kematian-kelahiran- Itu pula, tampaknya, yang membuat seorang
kebangkitan kembali’. Tema ini saya rasa cukup ‘perakit’ buku Quantum Reading dan Quantum
familiar dalam cerita-cerita agama (Audifax, Writing, Hernowo, coba berandai-andai, “Saya
2006:10). membayangkan apabila kita, dan terutama anak-
Kenikmatan membaca Harry Potter adalah anak kita, dapat membaca buku apa saja—baik itu
kenikmatan menemukan dunia imajinasi dalam teks. buku matematika maupun buku sejarah yang
Kelebihan-kelebihan fiksi (rekaan) yang bersumber ‘diwajibkan’ oleh sekolah untuk dibaca—bagaikan
pada imajinasi ialah bahwa ia mampu tidak hanya membaca tuturan J.K. Rowling saat mengisahkan
menjadi model identifikasi, tetapi juga mendorong petualangan Harry Potter .... Atau ketika kita dan
orang membuat konstruksi mengenai “diri” lebih anak-anak kita membaca buku sekolah, maka
luas dari kerangka model-model psikologi (yang kenikmatan yang diperoleh bagaikan kenikmatan
terbatas menunjuk siapa saya seadanya). Rekaan, membaca buku yang mengalir lancar dan penuh
kata Mudji Sutrisno (1999:84) mampu membentuk keajaiban-keajaiban .... Apa kira-kira yang akan
penokohan yang lebih kaya hingga orang bisa terjadi?” (Hernowo, 2004:32).
menyusup ke sana, mengidentifikasikan dirinya Mengapa cerita mengenai penyihir kecil yatim
yang ada sekaligus diri idealnya. Inilah kelebihan piatu itu begitu fenomenal? Inilah barangkali
fiksi. persoalan inti yang ingin coba dijawab Audifax
Bagi Barthes, sebagaimana dapat kita baca (2005) dalam bukunya, Mite Harry Potter. Buku
memberikan beberapa catatan sederhana terhadap puisi “12 Mei, 1998”, atau sebuah buku The Ori-
pemikiran dan hasil analisis Audifax yang tertuang gin of Species, semua dapat dikatakan tanda
dalam karyanya Mite Harry Potter; Psikosemiotika sepanjang memenuhi ciri-ciri untuk disebut
dan Mistery Simbol di Balik Kisah Harry Potter, tanda—mengacu pada sebuah objek sebagai
terutama yang berkenaan dengan persoalan rujukannya dan ada proses penafsiran pemaknaan,
semiotika, tanda, makna, dan mite atau mitos. interpretant.
Singkat kata, istilah tanda, sebagaimana yang
Semiotika, Tanda, dan Makna dipergunakan Saussure, bersifat sangat umum, bisa
Apa itu semiotika? Semiotika adalah ilmu berarti apa yang orang lain disebut kalimat, klausa,
tentang tanda (sign) dan segala yang berhubungan frasa, kata, atau morfem (Kridalaksana, 2005:29).
dengannya: cara berfungsinya, hubungannya Bahkan, dalam studi semiotika, objek kajian
dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan semiotika bukan hanya tanda linguistik, melainkan
penerimaannya oleh mereka yang juga meliputi semua objek yang secara sepintas
menggunakannya (Zoest dalam Hamad, 1993:1-2). bukan merupakan tanda (Sunardi, 2002:50).
Semiotika dapat juga diartikan sebagai teori atau Untuk membedakan tanda yang dipelajari oleh
analisis berbagai tanda (signs) dan pemaknaan semiotika dari tanda “sejati” sebagaimana
(signification). Semiotika sebagai suatu model dari dipelajari dalam linguistik, dipakailah istilah sign-
ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai function. Dalam praktiknya, dalam analisis semiotik
sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang tetap dipakai istilah tanda (sign), sehingga orang
disebut dengan ‘tanda’. Dengan demikian, semiotik melupakan bahwa objek itu sebenarnya bukan
mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda melainkan sebuah nilai guna atau fungsi.
tanda (Sobur, 2001:87). Pada dasarnya, para Mengapa kita bisa meloncat dari objek sebagai nilai
semiotisian atau semiotikus melihat kehidupan guna ke objek sebagai tanda? Mengapa topi yang
sosial dan budaya sebagai pemaknaan, bukan semula untuk melindungi kepala dari terik matahari
sebagai hakikat esensial objek. berubah menjadi tanda gaya hidup (lifestyle)?
Tanda itu sendiri dalam semiotika adalah Mengapa pula sebuah keluarga makan di restoran
segala sesuatu yang dapat diamati, atau dibuat karena sedang ditinggal pembantunya, mudik
dapat teramati, mengacu pada hal yang dirujuknya lebaran, ditafsirkan sebagai tanda gaya hidup kelas
(object), dan dapat diinterpretasikan (interpretant). menengah? Mengapa sepeda yang semula
Anak laki-laki yang bertahan hidup, kaca yang mempunyai nilai guna untuk berolah raga menjadi
lenyap, surat dari entah siapa, si pemegang kunci, tanda gaya hidup? Mengapa juga kaum muda kita
Diagon Alley, perjalanan dari peron Sembilan Tiga harus repot-repot antri semalam suntuk untuk
Perempat, topi seleksi, ahli ramuan, duel tengah memperoleh buku seri Harry Potter terbaru berubah
malam, Hallowe’en, Quidditch, cermin Tarsah, menjadi budaya-pop? Serangkaian pertanyaan ini
Nicolas Flamel, Nobert Si Naga Punggung Bersirip tentu sudah menyentuh persoalan antropologis-
Norwegia, hutan terlarang, menembus pintu filosofis tentang status tanda dalam hidup manusia.
jebakan, dan laki-laki dengan dua wajah, seperti Memang, suatu hal yang penting dalam
yang dapat kita baca pada buku seri Harry Potter lapangan semiotika, lapangan sistem tanda, adalah
and the Sorcerer’s Stone, semuanya merupakan pengertian tanda itu sendiri. Dalam pengertian
tanda. Jelasnya, sederet nama tokoh dalam cerita tanda, ada dua prinsip, yaitu penanda (signifier)
rekaan, sebuah kata, sebuah keheningan, suatu atau yang menandai, yang merupakan bentuk
kebiasaan makan, sebuah bendera kecil, isyarat tanda, dan petanda (signified) atau yang ditandai,
tangan, sebuah gejala mode, sebuah sikap, wajah yang merupakan arti tanda.
yang memerah, perangko terbalik, setangkai bunga Kemudian, berdasarkan hubungan antara
mawar, sebuah nyanyian “Melati dari Jayagiri”, penanda dan petanda, terdapat tiga jenis tanda
peristiwa kehilangan di istana presiden, sebuah yang pokok, yaitu ikon (icon), indeks (index), dan
pengkajian karya sastra. Tokoh utamanya adalah pada 1916 oleh para muridnya, pemahaman kita
Roland Barthes (1985) yang menekuni makna kedua tentang dunia tempat kita hidup, dan bahkan
di balik bentuk tertentu. Berdasarkan dikhotomi tentang diri kita sendiri, tidak lagi sama seperti
Saussure, dia mengusulkan teori bahwa di tingkat sebelumnya. “Dunia” sebagai sebuah ujaran ver-
kedua ada tanda lain yang lengkap dengan petanda bal tidak lagi mempunyai suatu hubungan yang
dan penandanya. Sejak Barthes, tidak cuma karya natural dengan dunia di luar sana, dan “kita”
sastra yang dikaji lewat semiotika jenis ini, tetapi sebagai sebuah penanda verbal diri kita juga tak
juga merambah ke pelbagai gejala sosial lain seperti lagi terkait secara alamiah dengan kita yang
mode, foto, film. ditandainya. Tak hanya sebatas itu, sebagai
Selain kedua jenis semiotika tersebut, masih konsekuensi dikotomi antara dua komponen
ada jenis semiotika lain, yang sebenarnya pembangun tanda, yakni penanda dan petanda,
merupakan aliran di dalam semiotika konotasi, “dunia” dan “kita” yang verbal itu pun tak punya
yakni semiotika ekspansif dengan tokohnya yang hubungan apa-apa dengan pasangan konseptual
paling terkenal Julia Kristeva (Hidayat, 2001:7-8). atau maknawinya yang hadir dalam benak ketika
Dalam semiotika jenis ini, pengertian tanda “dunia” atau “kita” diujarkan. Diceraikannya tanda
kehilangan tempat sentralnya karena digantikan dari objek yang ditandainya serta penanda dari
oleh pengertian produkasi arti. Penelitian yang petandanya merupakan momen-momen penting
semula statis dan nonhistoris digantikan oleh yang menandai kelahiran semiologi, atau yang
praktik arti. Sebenarnya, semiotika konotatif belakangan lebih akrab dengan sebutan
dengan sangat berani mencampurkan, dalam strukturalisme.
semiotikanya, berbagai konsep dari dua aliran Besarnya paham strukturalisme tidak terlepas
hermeneutik yang tengah populer pada masa itu, dari jasa tokoh-tokoh seperti Ferdinand de
yaitu psikoanalisis dan Marxisme. Tujuan Saussure dalam linguistik, yang kemudian dikenal
semiotika ekspansif adalah mengejar ilmu total dan sebagai ‘Russian Formalist’ dalam kritik sastra;
bahkan bermimpi menggantikan filsafat. Claude Levi-Strauss dalam bidang antropologi;
Apakah semiotika dapat disebut sebagai Louis Althusser dalam teori sosial dan filsafat;
bidang ilmu? Tak semua ahli sepakat. Sebagian Michel Foucault dalam sejarah pemikiran; Jacques
orang mengatakan semiotika itu tidak dapat disebut Lacan dalam psikologi analisis; Roland Barthes
bidang ilmu karena fungsinya adalah sebagai alat dalam kritik sastra; Christian Metz dalam kritik film,
analisis, cara mengurai suatu gejala. Oleh karena dan Jacques Derrida dalam filsafat (Sachari,
itu sebagian orang menganggap semiotika sebagai 2005:63).
pendekatan atau ancangan (approach), sementara Dalam Semiotika Negativa-nya, St Sunardi
yang lain menggunakannya sebagai metode. (2002) begitu serius berbicara tentang seorang
Namun, terlepas dari perdebatan itu, jelas bahwa tokoh post-strukturalisme bidang semiotika,
semiotika bersifat lintas disiplin, seperti yang Roland Barthes. Posisi penting Roland Barthes,
digunakan Audifax dalam Mite Harry Potter-nya. tampaknya, boleh disejajarkan dengan tokoh-
Boleh dikata semiotika itu mirip dengan filsafat dan tokoh seperti Michel Foucault, Jacques Lacan, atau
logika. Yang jelas, semiotika dapat dimanfaatkan Jacques Derrida. Meski Barthes tidak pernah
oleh berbagai bidang ilmu: psikologi, komunikasi, menerbitkan buku sebanyak dan setebal Foucault,
arsitektur, kedokteran, sinematografi, linguistik, pendekatan yang dirintisnya telah mampu
kesusastraan, bahkan hukum dan antropologi membelah frigiditas semiotika-positivistik atau
untuk memahami tanda. analisis struktural yang dimiliki Claude Levi-
Strauss, misalnya, yang selama ini menjadi rujukan
Semiotika dalam Tafsir Harry Potter standar penelitian antropologi atau etnografi. Lebih
Harus kita akui, sejak ide-ide Ferdinand de pas jika dikatakan Barthes sebagai penafsir ulang
Saussure (1857-1913) mengenai bahasa diterbitkan seluruh gagasan semiotika Saussurean.
dialami secara langsung, melainkan melalui mediasi sementara orang dianggap menjadi era kematian
dua struktur yang lain. buku. Harry Potter tidak hanya membalik asumsi
Itu pula yang dikatakan Carl Gustav Jung bahwa buku telah mati oleh kemajuan multimedia,
dalam psikoanalitisnya, “Sebuah kata atau tetapi juga memunculkan fenomena yang luar biasa
gambaran bersifat simbolis bila ia mengandung ketika anak-anak kecil dengan suka cita melahap
makna lebih daripada arti yang jelas dan langsung buku novel setebal lebih dari seribu halaman
(Jung, 1989:44). Ini, tampaknya, kian dipertegas (Audifax, 2005:31).
oleh Berger dan Luckmann (1966:53). “Language
Dalam analisis tokoh dan latar cerita, Audifax
originated in and has its primary reference to
melukiskan Harry Potter bukan sekadar penyihir
every day life; it refers above all to the reality I
yatim piatu. Ia juga adalah seorang hero, seorang
expereince in wide awake consciousness,” begitu
saviour. Ia adalah sosok yang tengah melakukan
kata mereka, “Bahasa lahir dalam—dan terutama
perjalanan pencarian diri. Simbolisme proses
sekali mengacu kepada—kehidupan sehari-hari: ia
individuasi (hlm. 238).
terutama sekali mengacu kepada kenyataan yang
Dalam menganalisis sebuah novel seperti
saya alami dalam keadaan sadar sepenuhnya.” Jadi
Harry Potter, tampaknya kita layak
jelas, bahasa bukan imitasi kenyataan, tetapi
mempertimbangkan semiotika (semiologi)-nya
mengacu kepada kenyataan.
Roland Barthes. Ini bukan tanpa alasan. Saya
Ferdinand de Saussure, sarjana Swiss, peletak
melihat cakupan kajian kebudayaan Barthes
dasar strukturalisme dan linguistik modern, menjadi
sedemikian luas, mulai dari kesusastraan, film,
termasyhur karena Cours de Linguistique
busana, dan berbagai fenomena kebudayaan
Generale-nya—sebuah buku yang tidak pernah
lainnya. Menurut Barthes (1988:158),
ditulisnya. Karya yang sangat berpengaruh itu
merupakan kumpulan catatan kuliah yang disusun “The world is full of signs, but these signs do
oleh para bekas mahasiswanya. Ada beberapa edisi not all have the fine simplicity of the letters of the
yang beredar di dunia linguistik; yang paling luas alphabet, of highway signs, or of military uni-
beredar didasarkan pada 2 rangkaian kuliah forms: they are infinitely more complex.” (Dunia
pertama Saussure di Universitas Jenewa. Pada ini penuh dengan tanda-tanda, namun tanda-
tahun 1993 terbitlah rangkaian kuliah ke-3 tanda ini tidak semuanya punya kesederhaan murni
berdasarkan catatan kuliah salah satu mahasiswa dari huruf-huruf, alfabet, tanda lalu lintas, atau
Saussure, Troiseme Cours de Linguitique seragam militer: mereka secara tak terbatas lebih
Generale (1910-1911) d’apres les cahiers d’Emile kompleks).
Constantin, yang berisi butir-butir teoretis yang Dalam S/Z-nya, Barthes (1974) mengulas
berlainan dengan 2 rangkaian kuliah pertama, secara panjang-lebar apa yang kerap disebut
khususnya mengenai hakikat tanda bahasa dengan sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang
(Kridalaksana, 2005:6). dibangun di atas sistem lain yang telah ada
Semiotika Ideologi Harry Potter sebelumnya. Keseluruhan seri Harry Potter adalah
contoh yang paling jelas sistem pemaknaan tataran
Sejak awal, kita telah diundang Audifax lewat ke-dua yang dibangun di atas bahasa sebagai
cara sosok tokoh Harry Potter dibangun. sistem yang pertama. Sistem ke-dua ini oleh
Disebutkan, Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam
Kisah Harry Potter bukan hanya Mythologies (1972) secara tegas ia bedakan dari
pemberontakan yang sukses pada berbagai denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama.
pemikiran rasional, konvensional, dan konvergen, Barthes mengilustrasikannya sebagai berikut:
namun ada pula fenomalitas pada kemunculannya Pada dasarnya, tanda konotatif tidak sekadar
di tengah kemajuan teknologi multimedia yang oleh memiliki makna tambahan, tetapi juga mengandung
Selama itu pula, teh dibawa ke Inggris serta menjadi pertama itu taraf denotasi, dan lapisan kedua taraf
minuman kesukaan orang di sana, meskipun konotasi: penanda-penanda konotasi terjadi dari
kondisi tanah dan iklim di Inggris tidak tanda-tanda sistem denotasi. Dengan demikian,
memungkinkan tanaman itu tumbuh di negeri konotasi dan kesusastraan pada umumnya,
tersebut. Kini, ada sesuatu yang cukup solid yang merupakan salah satu sistem penandaan lapisan
menghubungkan teh dan imperialisme, sehingga kedua yang ditempatkan di atas sistem lapisan
ia menjadi penanda konotatif bagi imperialisme, pertama dari bahasa.
yang dalam kasus ini berperan sebagai penanda Namun, ada juga situasi yang terbalik: tanda
konotatif. Hubungan tersebut dimotivasi oleh dari lapisan pertama menjadi petanda lapisan
ideologi dan tidak lagi manasuka seperti pada saat kedua. Dalam hal ini, sistem lapisan kedua itu
masih berada pada tataran denotatif. menjadi metabahasa. Jadi, bisa kita bedakan semio-
Bagaimana sesungguhnya hubungan antara sis dan semiotika. Yang pertama itu merupakan
mite atau mitos, bahasa, dan tanda-tanda? Bagi bahan kajian bagi yang kedua; dan yang kedua itu
Barthes, komponen-konponen tanda, yakni merupakan metabahasa bagi yang pertama.
penanda (Saussure: signifiant) dan petanda
(Saussure: signifie), terdapat juga pada tanda- Mitos dan Usaha Manusia Rasional
tanda bukan bahasa; antara lain terdapat pada mite,
Apa itu mitos? Sebagai manusia rasional
yakni keseluruhan sistem citra dan kepercayaan
bisakah kita menghilangkan mitos? Secara
yang dibentuk masyarakat untuk mempertahankan
etimologis, mitos atau mite (Inggris: myth), berasal
dan menonjolkan identitasnya. (Mite bagi Barthes
dari kata Yunani mythos yang memiliki banyak arti:
bukan mitos dalam pengertian klasik, sebagaimana
mitos, mite, kisah, fabula, hikayat, legenda,
akan kita bicarakan kemudian). Hanya mite
percakapan, ucapan, pembicaraan.
merupakan sistem semiotis lapisan kedua, yang
Mitos di sini pertama-tama harus dipahami
dibentuk berdasarkan rangkaian semiotis yang ada
sebagai percobaan manusia untuk mencari
sebelumnya. Apa yang berstatus sebagai tanda
jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya
dalam lapisan pertama berfungsi sebagai penanda
tentang alam semesta, termasuk dirinya sendiri,
bagi lapisan kedua. Untuk lebih jelasnya kita lihat
seperti termaktub dalam mitologi Yunani. Dalam
gambar berikut:
mitologi Yunani, pertanyaan-pertanyaan manusia
tentang kejadian alam semesta sudah dijawab, tapi
jawaban itu diberikan justru dalam bentuk mitos,
artinya suatu bentuk penjelasan yang sama sekali
meloloskan diri dari setiap kontrol pihak rasio
manusia. Jadi, dalam pengertian ini, mitos
dilawankan dengan logos (akal budi, rasio). Maka
itu, secara lebih umum dapat dikatakan bahwa mitos
itu adalah keirasionalan atau tahayul atau khayalan.
Pendeknya, sesuatu yang tak berada dalam kontrol
kesadaran dan rasio manusia.
Dalam amatan Barthes, hubungan antara mite Filsafat lahir ketika manusia untuk pertama
dengan bahasa terdapat pula dalam hubungan kalinya berusaha menghilangkan mitos dan
antara penggunaan bahasa literer dan estetis menggantinga dengan logos. Dan saat kelahiran
dengan bahasa biasa. Dalam fungsi ini yang filsafat itulah awal mula usaha manusia rasional
diutamakan adalah konotasi, yakni penggunaan muncul. Sejak mula usaha manusia rasional
bahasa untuk mengungkapkan sesuatu yang lain bermaksud untuk menghilangkan mitos.
daripada apa yang diucapkan. Baginya, lapisan Meski begitu, usaha manusia rasional,
di sana. Ia memang menjadi marjinal dalam alam secara rohani dan untuk membangun hubungan
rasional, namun di sisi lain ia terus memikat dan yang hidup dengan kenyataan (Bagus, 2002:659).
bertambah kaya pengertiannya. “Harry Potter adalah mite baru yang muncul
Dalam Kamus Filsafat (Bagus, 2002:658-659), dari industri novel,” begitu kata Audifax (2005:233).
mitos, antara lain, dianggap sebagai pandangan Menurut amatannya, tokoh-tokoh dalam kisah
hidup atau weltanchauung yang intuitif, imajiner, Harry Potter ini menginspirasi kehidupan pembaca
yang lazimnya dipersonifikasikan. Di sini yang dari kalangan anak-anak melalui aktivasi arketipal.
imajiner bukan sekadar alegori eksternal bagi Dibandingkan dengan tokoh-tokoh mitologi lama
tatanan konseptual. Yang imajiner membenatuk (Peter Pan, Cinderella, Snow White, Sinbad, Abu
suatu kesatuan primer, tidak terbagi dengan Nawas, Aladdin) ataupun tokoh superhero (Su-
tatanan konseptual, yang dialami secara khusus perman, Batman, Wonder Woman, Spiderman),
sebagai kenyataan itu sendiri oleh orang-orang Harry Potter memiliki perbedaan dengan tidak
primitif. memfokuskan cerita pada pertempuran antara
Mitos dapat juga dikatakan sebagai cerita kontinum kebaikan dan kejahatan. Penekanan
yang asal-usulnya sudah dilupakan. Ia menyajikan utama kisah Harry Potter adalah pengambilan
sejarah pemikiran yang tidak ilmiah dari seorang keputusan dan integrasi diri di antara kekuatan-
yang menjelaskan dalam bentuk antropomorfis kekuatan yang mewakili kebaikan dan kejahatan.
serta animistik hal-hal seperti: penciptaan alam Sosok seperti ini, dalam pandangan Audifax, lebih
semesta (kosmogoni); struktur alam semesta sesuai untuk mewakili anak-anak di zaman modern
(kosmologi), sumber dan hakikat gejala-gejala alam (Audifax, 2005:233).
dan manusia (kebanggaan, kecemburuan, dosa, Sejalan dengan pernyataan Audifax di atas,
pohon-pohon, sungai-sungai, dan sebagainya). Ia terkait pula dengan fenomena Harry Potter, menarik
mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang lontaran pertanyaan-pertanyaan kritis yang
menyangkut orang-orang penting dalam disodorkan Mudji Sutrisno dalam harian Kompas
masyarakat dan yang mempunyai kesadaran sosial. (9 April 2006), sejak kapan, katanya, fenomena-
Ia menyatakan dan menguatkan, dengan cara-cara fenomena budaya populer atau budaya aksesori
ritual dan cara-cara lain, ikatan-ikatan sosial, adat- dalam bacaan-bacaan buku Harry Potter menjadi
istiadat, dan ikatan-ikatan budaya dari seorang gaya hidup yang dipacu dan disediakan jalan tol-
pribadi. nya oleh perkembangan amat dahsyat kapital (baca
Penafsiran modern yang simpatik tentang modal) yang bekerja sama dengan teknologi
mitos-mitos tidak memandangnya sebagai benar informasi serta kekuatan iklan dan pasar menjadi
atau salah, tetapi sebagai memiliki insight penentu, bahkan ikon “berbudaya-nya” manusia?
(pemahaman) puitis tentang realitas. (Sejauh mitos Sejak kapan pula fenomena-fenomena studi lesbi,
demikian, sejauh itu ia dapat disebut sebagai mitos studi gay, atau sastra remaja ABG kota, dan lain-
yang baik, relevan, atau tepat.) Juga, mitos-mitos lain; yang dalam bingkai besar globalisasi
dipandang sebagai menyatakan simbolisme kebudayaan yang disumberkan pada menangnya
arketipe yang terus menerus berulang disebabkan kapital dalam mengolah hasrat dan konsumsi
ketidaksadaran kolektif umat manusia. Menurut generasi kini menjadi teks-teks yang dikaji dan
beberapa pandangan modern mengenai soal ini, dibaca sebagai cultural studies?
mitos merupakan akumulasi gambaran-gambaran Barangkali salah satu hipotesisnya adalah
paralel—akumulasi yang bertumbuh dalam munculnya kritik terhadap teori-teori besar
ketidaksadaran yang di dalamnya aspek-aspek kebudayaan yang hanya mampu merangkum gejala
tertentu eksistensi manusia mendapatkan besar kebudayaan, seperti peradaban, kebudayaan
ungkapannya secara simbolis. Mitos tidak banyak huruf besar, serta bingkai teoretik yang logis
membantu untuk menjelaskan kenyataan. Ia lebih rasional menaruh manusia sebagai sang pencari
banyak membantu untuk menguasai kenyataan makna hidupnya dalam komunitasnya atau
Audifax. 2005. Mite Harry Potter; Psikosemiotika Frye, Northrop. 1976. The Secular Scripture: A
dan Misteri Simbol di Balik Kisah Harry Study of Romance. Cambridge: Harvard Uni-
Potter. Yogyakarta: Jalasutra. versity Press
———————.2006. “Harry Potter dan Piala Hamad, Ibnu. 2003. “Berkomunikasi dengan Tanda;
Simbol.” Makalah “Diskusi Buku Mite Harry Analisis Semiotika Karikatur GM. Sudarta.”
Potter & Pemutaran Film ‘Harry Potter and the Makalah pada Seminar ‘Karikatur: Kekuatan
Goblet of Fire’” Keluarga Mahasiswa Semiotika dalam Media Massa”, Uhamka,
Manajemen Komunikasi Fikom Unisba, Jakarta: 9 Oktober.
Bandung: 9 Mei 2006. Hamzah, Hadjid. 2006. Rahasia Sukses Bestseller
Awuy, Tommy F. 2000. “Membaca Mitos, Merajut Dunia. Yogyakarta: Grafindo Litera Media.
Identitas Manusia Indonesia” dalam Ninok Hardjana, Andre A. 1999. “Perkembangan
Leksono (ed.), Indonesia Abad XXI; Di Penelitian Ilmu Komunikasi di Perguruan
Tengah Kepungan Perubahan Global. Tinggi: Catatan Pendahuluan.” Jurnal Ikatan
Jakarta: Penerbit Harian Kompas. Hlm. 505- Sarjana Komunikasi Indonesia. Vol III/April,
513. Hlm. 6-16.
Bagus, Lorens. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Hernowo. 2004. Langkah Mudah Membuat Buku
Gramedia Pustaka Utama. yang Menggugah. Bandung: Penerbit MLC.
Barthes, Roland. 1988. The Semiotic Challenge. Hidayat, Rahayu Surtiati. 2001. “Semiotik dan
New York: Hill and Wang. Bidang Ilmu”. Makalah pada ‘Pelatihan
———————. 1975. The Pleasure of the Text. Semiotika’ Pusat Penelitian Kemasyarakatan
Tr. Richard Miller. N.Y.: Hill and Wang. dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas
Indonesia, Jakarta, 23-26 September.
———————. 1974. S/Z. Penerjemah Richard
Miller. New York: Hill and Wang. Hoed, Benny H. 2001. Dari Logika Tuyul ke
Erotisme. Magelang: Indonesia Tera.
———————. 1972. Mythologies. Penerjemah
Annete Lavers. New York: Noonday Press. Jung, Carl Gustav. 1989. Memperkenalkan
Psikoanalitis; Pendekatan terhadap
Berger, Peter L. & Thomas Luckmann. 1966. The Ketaksadaran. Penerjemah G. Cremers.
Social Construction of Reality. Victoria, Aus- Jakarta: PT Gramedia.
tralia: Penguin Books.
Kridalaksana, Harimurti. 2005. Mongin-Ferdinand
Budiman, Manneke. 2001. “Semiotika dalam Tafsir de Saussure (1957-1913); Peletak Dasar
Sastra: Antara Riffaterre dan Barthes”. Dalam Strukturalisme dan Linguistik Modern.
Bahan Pelatihan Semiotika. Jakarta: Pusat Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya
Lembaga Penelitian Universitas Indonesia. Kurniasih. 2005. “Esai Penutup: Lacan dan Cermin
Djajasudarma, T. Fatimah. 1999. Semantik 1; Hasrat Cala Ibi,” dalam Mark Bracher. Jacques
Lacan, Diskursus, dan Perubahan Sosial: ———————. 2001. Analisis Teks Media;
Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis. Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Yogyakarta: Jalasutra. Hlm. 297-310. Analisis Semiotik, dan Analisis Framing.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Littlejohn, Stephen W. 1996. Theories of Human
Communication. Fifth Edition. Belmont, Cali- ———————. 2003. Psikologi Umum.
fornia: Wadsworth Publishing Company. Bandung: Pustaka Setia.
Rowling, J.K. 2000. Harry Potter and the Sorcerer’s Sunardi, St. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta:
Stone. Alih bahasa Listiana Srisanti. Jakarta: Kanal.
PT Gramedia Pustaka Utama.
Sutrisno, Mudji. 2006. “Posisi Cultural Studies ‘Di
Sachari, Agus. 2005. Pengantar Metodologi Manakah?’” Kompas, 9 April.
Penelitian Budaya Rupa. Jakarta: Penerbit
———————. 1999. Kisi-Kisi Estetika.
Erlangga.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sindhunata. 1983. Dilema Usaha Manusia
Trim, Bambang. 2002. Menggagas Buku; Langkah
Rasional; Kritik Masyarakat Modern oleh
Efektif dan Sistemik Menuliskan Ide Anda
Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah
ke dalam Buku. Bandung: Bunaya.
Frankfurt. Jakarta: PT Gramedia.
van Zoest, Aart. 1991. Fiksi dan Nonfiksi dalam
Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Cetakan
Kajian Semiotik. Penerjemah Manoekmi
Kedua. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sardjoe. Jakarta: Intermasa.***