Anda di halaman 1dari 16

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No.

56/DIKTI/Kep/2005

Membincang “Harry Potter”,


Membaca Mitos

Alex Sobur

ABSTRACT

In spite of the celebration of Harry Potter, JK Rowling as the author was accused as teaching
and disseminating occultism among her readers. It is said that Harry Potter could turn children
to become demons. This accusation raised concerns among parents and educators, especially
Christians. Furthermore, a priest from New Mexico, Jack Brock, was threatening to burn
Harry Potter volumes. Responding to the threat, JK Rowling was reported calm. Harry Potter
still wins the heart of thousands children all over the world. A semiotic analysis toward Harry
Potter books concludes that reality and imagination were created (not depicted, or mirrored) in
the world of wizardry. Furthermore, an ideological analysis has successfully disclosed some
imperialism signs being downplayed in the story plot.

Kata kunci: Harry Potter, analisis semiotika, mitos, imperialisme

Pintu langsung membuka. Seorang penyihir berkeliling dengan cemas.


wanita jangkung memakai jubah hijau zamrud “Selamat datang di Hogwartas,” kata Profesor
berdiri di sana. Wajahnya sangat galak dan pikiran McGonagall. “Pesta awal tahun ajaran baru akan
pertama Harry adalah, jangan sampai membuat segera dimulai, tetapi sebelum kalian mengambil
penyihir ini marah. tempat duduk di Aula Besar, kalian akan diseleksi
masuk rumah asrama mana. Seleksi ini upacara yang
“Kelas satu, Profesor McGonagall,” kata
sangat penting karena, selama kalian berada di sini,
Hagrid.
asrama kalian akan menjadi semacam keluarga kalian
“Terima kasih, Hagrid. Biar aku ambil alih
di Hogwarts. Kalian akan belajar dalam satu kelas
sekarang.”
dengan teman-teman se asrama kalian, tidur di
Dibukanya pintu lebar-lebar. Aula di belakang asrama kalian, dan melewatkan waktu luang di
pintu luas sekali, seluruh rumah keluarga Dursley rumah rekreasi kalian....”
bisa dipindahkan ke situ. Dinding batunya diterangi
obor-obor menyala seperti di Gringotts. Langit-
Begitulah salah satu cuplikan dari Harry Pot-
langitnya tinggi sekali sehingga tak bisa dilihat, dan ter and the Sorcerer’s Stone buah tangan J.K.
ada tangga pualam megah di depan mereka, menuju Rowling (2000:142-143).
ke lantai atas. Harry Potter, demikian singkat cerita, belum
Anak-anak mengikuti Profesor McGonagall pernah jadi tim Quidditch, mencetak angka sembari
membawa murid-murid kelas satu ke kamar kwcil terbang naik sapu. Dia tak tahu mantra sama sekali.
kosong di luar aula. Mereka bergerombol, berdiri Pun, belum pernah membantu menetaskan naga
lebih berdekatan daripada biasanya, memandang ataupun memakai Jubah Gaib yang bisa bikin dia

Alex Sobur. Membincang “Harry Potter”, Membaca Mitos 25


tidak kelihatan. diterbitkan 6 seri, antara lain seperti yang disebut-
Selama ini, dia hidup menderita bersama paman sebut Audifax (2005) dalam Mite Harry Potter-nya:
dan bibinya, serta Dudley, anak mereka yang The Sorcerer’s Stone, The Chamber of Secrets, The
gendut dan manja. Kamar Harry adalah lemari Prisoner of Azkaban, The Goblet of Fire, dan The
sempit di bawah tangga loteng, dan selama sebelas Order of the Phoenix. Jadi, masih ada satu seri lagi
tahun, belum pernah sekali pun dia merayakan buku Harry Potter yang mesti diselesaikan Rowling.
ulang tahun. Tetapi, dari 4 buku saja sudah terjual 270 juta
Tetapi, semua itu berubah dengan datangnya eksemplar. Diterjemahkan ke dalam 47 bahasa, dan
surat misterius yang dibawa oleh burung hantu. dicetak di lebih dari 200 negara. Maka itu, wajar
Surat yang mengundangnya datang ke tempat luar jika kemudian hingga buku keempatnya itu,
biasa, tempat yang tak terlupakan bagi Harry— Rowling sudah mengantungi royalti sekitar 40 juta
dan siapa saja yang membaca kisahnya. Karena di dolar, atau lebih dari 400 miliar. Ini belum termasuk
tempat itu dia tak hanya menemukan teman, dari buku-bukunya yang difilmkan Warner Bros.
olahraga udara, dan sihir dalam segala hal, dari Di tengah hiruk pikuk sambutan luar biasa
pelajaran sampai makanan, melainkan juga terhadap buku dan film Harry Potter, mencuat berita
takdirnya untuk menjadi penyihir besar... kalau mengejutkan: JK Rowling didakwa mengajarkan
Harry berhasil selamat berhadapan dengan musuh okultisme (Audifax, 2005:xiii). Harry Potter bisa
bebuyutannya. mengubah karakter anak menjadi karakter setan
Buku yang bercerita tentang dunia sihir ini (Trim, 2002:6). Itulah sebabnya buku ini sempat
benar-benar telah “menyihir” jutaan anak di seluruh menimbulkan kekhawatiran, terutama di kalangan
dunia, termasuk di Indonesia, untuk membacanya. umat Kristiani. Disebutkan, Pastor Jack Brock dari
Wajar jika kemudian penulisnya, J.K. Rowling, New Mexico, Amerika, siap membakar buku-buku
banyak disebut-sebut sebagai penulis cerita fiksi Harry Potter itu, karena dinilai ‘sangat
anak paling populer pada awal abad ke-21 ini. membahayakan’ pendidikan anak-anak.
Boleh jadi benar apa yang dikatakan Hamzah “Buku-buku Harry Potter telah
(2006:16), tidak ada buku, juga film, yang menghancurkan kehidupan anak-anak!” kata Brock
menghebohkan sedemikian ‘dahsyat’, seperti sengit. “Mendorong mereka (anak-anak) percaya
karya janda satu anak J.K. Rowling ini. Ketika di- pada sihir dan mantra. Dan itu berarti menghina
premier-kan di London, misalnya, film Harry Pot- Tuhan!” (Hamzah, 2006:19).
ter and the Sorcerer’s Stone ini dihadiri oleh para Kemungkinan besar, seperti disinggung
selebriti dunia. Termasuk, di antaranya, penyanyi Hamzah, Jack Brock adalah orang pertama yang
Sting, Duchess of York (istri Pangeran Andrew) memberikan reaksi sangat keras terhadap buku
dengan dua putrinya (Princess Beatride dan maupun film Harry Potter. Namun, Rowling
Eugenie). Jerry Hall yang mantan istri rocker andal sepertinya tidak gusar pada reaksi keras itu.
Mick Jagger, penyanyi Cher yang tahan karier, dan Barangkali karena yang bereaksi negatif nyatanya
bintang Spice Girl, Emma Bunton. tidak banyak. Boleh jadi juga karena Rowling telah
Konon, film yang dibuat dengan biaya 120 bertemu dengan ribuan anak pembaca bukunya,
juta dolar itu telah menghasilkan miliaran dolar. Di dan tak seorang pun yang mengindikasikan mereka
Amerika Serikat, film itu diputar lebih dari 4.000 telah ‘menyembah setan’ hanya karena membaca
gedung bioskop atau theater. Melebihi rekor film Harry Potter. Yang bikin Rowling lebih percaya diri,
Shrek yang ‘hanya’ 3.715 theater. Harry Potter tampaknya diterima dengan baik oleh
Apa sebetulnya yang menyebabkan publik dunia. Terbukti, seri-seri terbarunya selalu
kehebohan yang sungguh luar biasa itu? disambut lebih hebat dan lebih antusias dibanding
Tentu saja, karena bukunya sendiri yang seri-seri sebelumnya.
fenomenal. Buku seri Harry Potter, menurut rencana Rowling sendiri menolak dituduh sebagai
akan dibuat 7 seri. Sekarang, 2006, sudah ‘penganjur klenik’ atau ‘dunia setan’. “Sungguh

26 M EDIATOR, Vol. 8 No.1 Juni 2007


Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

saya heran, kalau ada pembaca yang berpikiran dalam karya monumentalnya, The Pleasure of the
saya penganjur sihir yang serius,” katanya. “Saya Text (1975), jika sebuah teks tidak menggetarkan
sendiri justru tidak percaya kepada ilmu sihir, dalam buhul-buhul darah para pembacanya, tidaklah
arti sebagaimana yang mereka bicarakan!” memiliki meaning apa pun. Ia harus menggelinjang
Menurut pengakuannya, ia tertarik kepada keluar dari bahasa yang dipergunakan.
dunia sihir, hanya sebatas pada ‘keajaibannya’. Dalam suatu penelitian yang telah dilakukan
Atau pada sensasi yang dibuatnya. “Saya pikir di Indonesia terhadap sejumlah ahli psikologi dalam
sumber ini (dunia sihir ini) sangat menyenangkan. rangka mengetahui ciri-ciri manakah menurut
Merupakan seni. Sihir selalu menjadi tema literatur pendapat mereka, yang paling mencerminkan
anak-anak sepanjang manusia ada!” katanya kepribadian kreatif, diperoleh urutan ciri-ciri sebagai
penuh keyakinan. berikut (Munandar, 1977, dalam Sobur, 2003:161-
Terlepas dari semua kontroversi itu, buku- 162): (a) mempunyai daya imajinasi yang kuat; (b)
buku seri Harry Potter memang menawarkan mempunyai inisiatif; (c) mempunyai minat yang
pelbagai imajinasi dunia anak yang sangat luar luas; (d) bebas dalam berpikir (tidak kaku atau
biasa. Problema dalam berimajinasi inilah, menurut terhambat); (e) bersifat ingin tahu; (f) selalu ingin
Audifax (2006:10), yang juga menimbulkan polemik mendapat pengalaman-pengalaman baru; (g)
di kalangan mereka yang kontra-Harry Potter. Lalu, percaya pada diri sendiri; (h) penuh semangat (en-
katanya lagi, muncullah kecemasan-kecemasan ergetic); (i) berani mengambil risiko (tidak takut
bahwa kisah ini mengajarkan okultisme. membuat kesalahan); dan (j) berani dalam pendapat
Maka dari itu, saya mencoba menelaah dan dan keyakinan (tidak ragu-ragu dalam menyatakan
menguraikan pesan-pesan dalam mite Harry Pot- pendapat meskipun mendapat kritik dan berani
ter pada penelitian saya dalam konteks simbol dan mempertahankan pendapat yang menjadi
imajinasi terhadapnya. Hasilnya menarik, ternyata keyakinannya). Di sini jelas bahwa “daya imajinasi
justru Harry Potter bisa menyampaikan pesan- yang kuat” menempati urutan pertama di antara
pesan kehidupan dengan lebih luwes ketimbang sejumlah ciri yang paling mencerminkan
khotbah-khotbah keagamaan yang seringkali justru kepribadian kreatif, yang, menurut hemat saya,
kontradiktif dengan realita. Salah satunya yang penting untuk membangun karakter manusia,
akan coba saya ketengahkan di sini adalah pesan utamanya kepribadian anak.
yang ada pada tema ‘kematian-kelahiran- Itu pula, tampaknya, yang membuat seorang
kebangkitan kembali’. Tema ini saya rasa cukup ‘perakit’ buku Quantum Reading dan Quantum
familiar dalam cerita-cerita agama (Audifax, Writing, Hernowo, coba berandai-andai, “Saya
2006:10). membayangkan apabila kita, dan terutama anak-
Kenikmatan membaca Harry Potter adalah anak kita, dapat membaca buku apa saja—baik itu
kenikmatan menemukan dunia imajinasi dalam teks. buku matematika maupun buku sejarah yang
Kelebihan-kelebihan fiksi (rekaan) yang bersumber ‘diwajibkan’ oleh sekolah untuk dibaca—bagaikan
pada imajinasi ialah bahwa ia mampu tidak hanya membaca tuturan J.K. Rowling saat mengisahkan
menjadi model identifikasi, tetapi juga mendorong petualangan Harry Potter .... Atau ketika kita dan
orang membuat konstruksi mengenai “diri” lebih anak-anak kita membaca buku sekolah, maka
luas dari kerangka model-model psikologi (yang kenikmatan yang diperoleh bagaikan kenikmatan
terbatas menunjuk siapa saya seadanya). Rekaan, membaca buku yang mengalir lancar dan penuh
kata Mudji Sutrisno (1999:84) mampu membentuk keajaiban-keajaiban .... Apa kira-kira yang akan
penokohan yang lebih kaya hingga orang bisa terjadi?” (Hernowo, 2004:32).
menyusup ke sana, mengidentifikasikan dirinya Mengapa cerita mengenai penyihir kecil yatim
yang ada sekaligus diri idealnya. Inilah kelebihan piatu itu begitu fenomenal? Inilah barangkali
fiksi. persoalan inti yang ingin coba dijawab Audifax
Bagi Barthes, sebagaimana dapat kita baca (2005) dalam bukunya, Mite Harry Potter. Buku

Alex Sobur. Membincang “Harry Potter”, Membaca Mitos 27


tersebut merupakan hasil penelitian terhadap kelima yang komprehensif atas keanekaragaman
buku Harry Potter: The Sorcerer’s Stone, The Cham- pandangan terhadap realitas komunikasi ini
ber of Secrets, The Prisoner of Azkaban, The Gob- seyogianya menyadarkan kita untuk tidak dogmatik
let of Fire, dan The Order of the Phoenix. dengan suatu perspektif komunikasi, sebagai satu-
Dalam pandangan Audifax, Harry Potter adalah satunya metode yang benar untuk melakukan
salah satu mite yang hadir di era posmodern. penelitian dalam bidang komunikasi.
Sebagai mite, Harry Potter memiliki banyak Penelitian akademik dalam bentuk karya
kesamaan dengan mite-mite terdahulu; dia juga kesarjanaan formal, sebagaimana terekam dalam
menawarkan penyadaran akan nilai-nilai hasil amatan salah seorang pakar komunikasi kita,
kehidupan. Hasil analisis dalam buku ini Andre A. Hardjana (1999), cenderung kaku, karena
menunjukkan, Harry Potter adalah mite baru dan lebih mengutamakan faktor-faktor t e k n i s
merupakan simbol yang lekat dengan kehidupan metodologis dan format penulisan. Selain itu,
keseharian. ketajaman pemahaman tentang komunikasi sebagai
Yang menarik dari penelitian ini adalah Audifax bidang ilmu yang interdisipliner kurang mendapat
mencoba menawarkan sebuah kerangka analisis tempat, karena dua hal.
yang menggabungkan psikoanalitik Jung, Pertama, konsep-konsep dan teori-teori dasar
psikoanalisis Lacanian, serta semiotika. Ia yang “membentuk” ilmu komunikasi, seperti
menyebut pendekatan ini sebagai psikosemiotika psikologi, sosiologi, bahasa, filsafat, budaya, dan
(Audifax, 2005:xiv). Diakuinya bahwa ketertarikan ekonomi cenderung diperlakukan sebagai bidang
besar dia pada psikoanalitik Carl Gustav Jung yang terpisah-pisah, sehingga lebih membebani
membuat gaya analisis Jungian amat kental daripada membantu pemahaman yang lebih baik
mewarnai bukunya. Kedekatan semiotik dan lagi mendalam. Hal ini dengan mudah dapat dilihat
psikoanalitik Jung pada psikoanalisis, membuat dalam penyusunan kurikulum dan silabus mata
pemikiran-pemikiran psikoanalisis juga tampak kuliahnya. Kedua, pengembangan pendidikan
kental mewarnai nuansa tulisannya. Dalam umumnya terhambat oleh proses inbreeding. Para
pengembangannya, Audifax mengombinasikan dosen, karena iklim akademik yang tersekat-sekat,
psikoanalisis Jung dan semiotika dengan bak katak di bawah tempurung cenderung
pemikiran-pemikiran neopsikoanalisis seperti mengajarkan apa yang sudah dipelajari dalam iklim
pemikiran Lacan. yang sama. Perkembangan-perkembangan baru,
Terlepas dari keterbatasan hasil analisisnya, baik dalam teori maupun metodologi ilmu
saya ingin memberikan apresiasi yang tinggi komunikasi, kurang diperhatikan, karena
mengenai tawaran pemikirannya yang cukup jenial kurangnya kompetensi maupun kurangnya acuan
dalam turut memperkaya khasanah interdisipliner, yang dapat dijadikan teladan (Hardjana, 1999:8-9).
psikologi-semiotika-komunikasi, yang masih Pada gilirannya, kata Hardjana, penyakit “in-
terbilang langka itu. Setidaknya, pelbagai breeding” itu secara sistematik membuat riset
pemikiran yang terekam dalam karya Audifax ini akademik terisolasi dari konteks yang multidimen-
dapat memberikan inspirasi sekaligus sional.
menyadarkan kita, bahwa istilah ilmu sosial, seperti Harus kita akui, selama hampir satu dasawarsa
halnya ilmu komunikasi, bukanlah istilah yang ketat terakhir ini jelas telah terjadi banyak perkembangan
dan tidak pula berlandaskan metodologi ilmiah teori dan konsep ataupun area permasalahan yang
seperti yang ditemukan dalam ilmu-ilmu alam. diteliti. Perkembangan tersebut selain disebabkan
Dengan kata lain, istilah ilmu sosial tidak berarti oleh studi-studi berkelanjutan terhadap substansi
bahwa teknik-teknik penelitian yang humanistik- ilmu komunikasi, dipacu pula oleh pesatnya
interpretif (fenomenologis, interaksi simbolik, kritis, pertumbuhan teknologi informasi dan industri
historis) sebagai tidak penting, tidak sah, lebih media.
mudah, atau lebih rendah. Maka itu, pemahaman Tulisan ini, sebetulnya, sekadar ingin

28 M EDIATOR, Vol. 8 No.1 Juni 2007


Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

memberikan beberapa catatan sederhana terhadap puisi “12 Mei, 1998”, atau sebuah buku The Ori-
pemikiran dan hasil analisis Audifax yang tertuang gin of Species, semua dapat dikatakan tanda
dalam karyanya Mite Harry Potter; Psikosemiotika sepanjang memenuhi ciri-ciri untuk disebut
dan Mistery Simbol di Balik Kisah Harry Potter, tanda—mengacu pada sebuah objek sebagai
terutama yang berkenaan dengan persoalan rujukannya dan ada proses penafsiran pemaknaan,
semiotika, tanda, makna, dan mite atau mitos. interpretant.
Singkat kata, istilah tanda, sebagaimana yang
Semiotika, Tanda, dan Makna dipergunakan Saussure, bersifat sangat umum, bisa
Apa itu semiotika? Semiotika adalah ilmu berarti apa yang orang lain disebut kalimat, klausa,
tentang tanda (sign) dan segala yang berhubungan frasa, kata, atau morfem (Kridalaksana, 2005:29).
dengannya: cara berfungsinya, hubungannya Bahkan, dalam studi semiotika, objek kajian
dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan semiotika bukan hanya tanda linguistik, melainkan
penerimaannya oleh mereka yang juga meliputi semua objek yang secara sepintas
menggunakannya (Zoest dalam Hamad, 1993:1-2). bukan merupakan tanda (Sunardi, 2002:50).
Semiotika dapat juga diartikan sebagai teori atau Untuk membedakan tanda yang dipelajari oleh
analisis berbagai tanda (signs) dan pemaknaan semiotika dari tanda “sejati” sebagaimana
(signification). Semiotika sebagai suatu model dari dipelajari dalam linguistik, dipakailah istilah sign-
ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai function. Dalam praktiknya, dalam analisis semiotik
sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang tetap dipakai istilah tanda (sign), sehingga orang
disebut dengan ‘tanda’. Dengan demikian, semiotik melupakan bahwa objek itu sebenarnya bukan
mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda melainkan sebuah nilai guna atau fungsi.
tanda (Sobur, 2001:87). Pada dasarnya, para Mengapa kita bisa meloncat dari objek sebagai nilai
semiotisian atau semiotikus melihat kehidupan guna ke objek sebagai tanda? Mengapa topi yang
sosial dan budaya sebagai pemaknaan, bukan semula untuk melindungi kepala dari terik matahari
sebagai hakikat esensial objek. berubah menjadi tanda gaya hidup (lifestyle)?
Tanda itu sendiri dalam semiotika adalah Mengapa pula sebuah keluarga makan di restoran
segala sesuatu yang dapat diamati, atau dibuat karena sedang ditinggal pembantunya, mudik
dapat teramati, mengacu pada hal yang dirujuknya lebaran, ditafsirkan sebagai tanda gaya hidup kelas
(object), dan dapat diinterpretasikan (interpretant). menengah? Mengapa sepeda yang semula
Anak laki-laki yang bertahan hidup, kaca yang mempunyai nilai guna untuk berolah raga menjadi
lenyap, surat dari entah siapa, si pemegang kunci, tanda gaya hidup? Mengapa juga kaum muda kita
Diagon Alley, perjalanan dari peron Sembilan Tiga harus repot-repot antri semalam suntuk untuk
Perempat, topi seleksi, ahli ramuan, duel tengah memperoleh buku seri Harry Potter terbaru berubah
malam, Hallowe’en, Quidditch, cermin Tarsah, menjadi budaya-pop? Serangkaian pertanyaan ini
Nicolas Flamel, Nobert Si Naga Punggung Bersirip tentu sudah menyentuh persoalan antropologis-
Norwegia, hutan terlarang, menembus pintu filosofis tentang status tanda dalam hidup manusia.
jebakan, dan laki-laki dengan dua wajah, seperti Memang, suatu hal yang penting dalam
yang dapat kita baca pada buku seri Harry Potter lapangan semiotika, lapangan sistem tanda, adalah
and the Sorcerer’s Stone, semuanya merupakan pengertian tanda itu sendiri. Dalam pengertian
tanda. Jelasnya, sederet nama tokoh dalam cerita tanda, ada dua prinsip, yaitu penanda (signifier)
rekaan, sebuah kata, sebuah keheningan, suatu atau yang menandai, yang merupakan bentuk
kebiasaan makan, sebuah bendera kecil, isyarat tanda, dan petanda (signified) atau yang ditandai,
tangan, sebuah gejala mode, sebuah sikap, wajah yang merupakan arti tanda.
yang memerah, perangko terbalik, setangkai bunga Kemudian, berdasarkan hubungan antara
mawar, sebuah nyanyian “Melati dari Jayagiri”, penanda dan petanda, terdapat tiga jenis tanda
peristiwa kehilangan di istana presiden, sebuah yang pokok, yaitu ikon (icon), indeks (index), dan

Alex Sobur. Membincang “Harry Potter”, Membaca Mitos 29


simbol (symbol). Ikon adalah tanda hubungan menjelaskan tentang segala macam tanda dan
antara penanda dan petandanya bersifat makna serta pemaknaannya. Justru karena tanda
persamaan bentuk alamiah, misalnya potret orang itu bermakna (atau dimaksudkan memiliki makna
menandai orang yang dipotret (berarti orang yang tertentu oleh pemakainya), maka kita, sadar atau
dipotret), gambar kucing itu menandai kucing yang tidak, sering (bahkan selalu) berkomunikasi
nyata. Indeks adalah tanda yang menunjukkan dengan menggunakan tanda. Maka itu, tidaklah
adanya hubungan alamiah antara tanda dan berlebihan kalau kemudian Littlejohn (1996:64)
petanda yang bersifat kausal atau hubungan menandaskan bahwa “tanda-tanda adalah basis
sebab-akibat. Misalnya, asap itu menandai api, dari seluruh komunikasi.”
suara itu menandai orang atau sesuatu yang Studi semiotika hingga kini telah membedakan
mengeluarkan suara. Simbol itu tanda yang tidak dua jenis semiotika, yakni semiotika komunikasi
menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan semiotika signifikasi (lihat, antara lain, Eco,
dan petandanya. Hubungan antaranya bersifat 1979:8-9; Hoed, 2001:140; Sobur, 2004:15).
arbitrer atau semau-maunya, hubungannya Semiotika komunikasi menekankan pada
berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. teori tentang produksi tanda yang salah satu di
Sebuah sistem tanda yang utama yang antaranya mengasumsikan adanya beberapa faktor
menggunakan lambang adalah bahasa. Arti simbol dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode
ditentukan oleh masyarakat. Misalnya kata ibu (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan
berarti “orang yang melahirkan kita” itu terjadinya acuan (hal yang dibicarakan). Pada jenis yang
atas konvensi atau perjanjian masyarakat pertama ini, tanda hanya dianggap tanda
pengguna bahasa Indonesia, masyarakat bahasa sebagaimana yang dimaksudkan pengirim dan
Inggris menyebutnya mother, Prancis: la mere, sebagaimana yang diterima oleh penerima.
masyarakat Sunda menyebutnya indung. Misalnya, rambu lalu lintas dapat ditelaah dengan
Teori tanda dikembangkan oleh Perre pada semiotika komunikasi karena tanda-tanda itu harus
abad ke-18 yang dipertegas dengan munculnya dipahami secara denotatif oleh penerima. Dengan
buku The Meaning of Meaning, karangan Ogden kata lain, semiotika komunikasi hanya
dan Richards pada tahun 1923 (Djajasudarma, memperhatikan denotasi suatu tanda.
1999:21). Dalam perkembangannya, teori tanda Semiotika signifikasi memberikan tekanan
kemudian dikenal dengan semiotik, yang dibagi pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu
dalam tiga cabang, yakni: (1) semantik, (2) sintaktik, konteks tertentu. Pada jenis yang kedua ini tidak
dan (3) pragmatik. dipersoalkan adanya tujuan berkomunikasi.
Semantik berhubungan dengan tanda-tanda; Sebaliknya, yang diutamakan adalah segi
sintaktik berhubungan dengan gabungan tanda- pemahaman suatu tanda sehingga proses
tanda (susunan tanda-tanda); sedangkan kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan
pragmatik berhubungan dengan asal-usul, daripada proses komunikasinya.
pemakaian, dan akibat pemakaian tanda-tanda di Semiotika signifikasi ini kerap diidentikkan
dalam tingkah laku berbahasa. dengan jenis semiotika lain, yakni semiotika
Dengan kata lain, semantik adalah telaah konotasi, yaitu yang mempelajari makna konotatif
mengenai hubungan antara tanda-tanda dan dari tanda. Dalam hubungan antarmanusia, sering
denotatumnya; sintaktik atau sintaksis adalah terjadi tanda yang diberikan oleh seseorang
kajian mengenai hubungan antartanda; dan dipahami secara berbeda oleh penerimanya.
pragmatik adalah telaah mengenai hubungan Misalnya, kedipan mata yang dimaksudkan oleh
antara tanda dan pemakai tanda (van Zoest, 1991:3). pengirim laki-laki sebagai bermakna “tahu sama
Memang, satu hal penting yang tak pernah tahu mengenai masalah ini” dapat diartikan sebagai
terlewatkan ketika kita berbicara soal tanda adalah “pelecehan seksual” oleh penerima perempuan.
makna (meaning). Sebagai teori, semiotika Semiotika konotatif sangat berkembang dalam

30 M EDIATOR, Vol. 8 No.1 Juni 2007


Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

pengkajian karya sastra. Tokoh utamanya adalah pada 1916 oleh para muridnya, pemahaman kita
Roland Barthes (1985) yang menekuni makna kedua tentang dunia tempat kita hidup, dan bahkan
di balik bentuk tertentu. Berdasarkan dikhotomi tentang diri kita sendiri, tidak lagi sama seperti
Saussure, dia mengusulkan teori bahwa di tingkat sebelumnya. “Dunia” sebagai sebuah ujaran ver-
kedua ada tanda lain yang lengkap dengan petanda bal tidak lagi mempunyai suatu hubungan yang
dan penandanya. Sejak Barthes, tidak cuma karya natural dengan dunia di luar sana, dan “kita”
sastra yang dikaji lewat semiotika jenis ini, tetapi sebagai sebuah penanda verbal diri kita juga tak
juga merambah ke pelbagai gejala sosial lain seperti lagi terkait secara alamiah dengan kita yang
mode, foto, film. ditandainya. Tak hanya sebatas itu, sebagai
Selain kedua jenis semiotika tersebut, masih konsekuensi dikotomi antara dua komponen
ada jenis semiotika lain, yang sebenarnya pembangun tanda, yakni penanda dan petanda,
merupakan aliran di dalam semiotika konotasi, “dunia” dan “kita” yang verbal itu pun tak punya
yakni semiotika ekspansif dengan tokohnya yang hubungan apa-apa dengan pasangan konseptual
paling terkenal Julia Kristeva (Hidayat, 2001:7-8). atau maknawinya yang hadir dalam benak ketika
Dalam semiotika jenis ini, pengertian tanda “dunia” atau “kita” diujarkan. Diceraikannya tanda
kehilangan tempat sentralnya karena digantikan dari objek yang ditandainya serta penanda dari
oleh pengertian produkasi arti. Penelitian yang petandanya merupakan momen-momen penting
semula statis dan nonhistoris digantikan oleh yang menandai kelahiran semiologi, atau yang
praktik arti. Sebenarnya, semiotika konotatif belakangan lebih akrab dengan sebutan
dengan sangat berani mencampurkan, dalam strukturalisme.
semiotikanya, berbagai konsep dari dua aliran Besarnya paham strukturalisme tidak terlepas
hermeneutik yang tengah populer pada masa itu, dari jasa tokoh-tokoh seperti Ferdinand de
yaitu psikoanalisis dan Marxisme. Tujuan Saussure dalam linguistik, yang kemudian dikenal
semiotika ekspansif adalah mengejar ilmu total dan sebagai ‘Russian Formalist’ dalam kritik sastra;
bahkan bermimpi menggantikan filsafat. Claude Levi-Strauss dalam bidang antropologi;
Apakah semiotika dapat disebut sebagai Louis Althusser dalam teori sosial dan filsafat;
bidang ilmu? Tak semua ahli sepakat. Sebagian Michel Foucault dalam sejarah pemikiran; Jacques
orang mengatakan semiotika itu tidak dapat disebut Lacan dalam psikologi analisis; Roland Barthes
bidang ilmu karena fungsinya adalah sebagai alat dalam kritik sastra; Christian Metz dalam kritik film,
analisis, cara mengurai suatu gejala. Oleh karena dan Jacques Derrida dalam filsafat (Sachari,
itu sebagian orang menganggap semiotika sebagai 2005:63).
pendekatan atau ancangan (approach), sementara Dalam Semiotika Negativa-nya, St Sunardi
yang lain menggunakannya sebagai metode. (2002) begitu serius berbicara tentang seorang
Namun, terlepas dari perdebatan itu, jelas bahwa tokoh post-strukturalisme bidang semiotika,
semiotika bersifat lintas disiplin, seperti yang Roland Barthes. Posisi penting Roland Barthes,
digunakan Audifax dalam Mite Harry Potter-nya. tampaknya, boleh disejajarkan dengan tokoh-
Boleh dikata semiotika itu mirip dengan filsafat dan tokoh seperti Michel Foucault, Jacques Lacan, atau
logika. Yang jelas, semiotika dapat dimanfaatkan Jacques Derrida. Meski Barthes tidak pernah
oleh berbagai bidang ilmu: psikologi, komunikasi, menerbitkan buku sebanyak dan setebal Foucault,
arsitektur, kedokteran, sinematografi, linguistik, pendekatan yang dirintisnya telah mampu
kesusastraan, bahkan hukum dan antropologi membelah frigiditas semiotika-positivistik atau
untuk memahami tanda. analisis struktural yang dimiliki Claude Levi-
Strauss, misalnya, yang selama ini menjadi rujukan
Semiotika dalam Tafsir Harry Potter standar penelitian antropologi atau etnografi. Lebih
Harus kita akui, sejak ide-ide Ferdinand de pas jika dikatakan Barthes sebagai penafsir ulang
Saussure (1857-1913) mengenai bahasa diterbitkan seluruh gagasan semiotika Saussurean.

Alex Sobur. Membincang “Harry Potter”, Membaca Mitos 31


Konsepsi yang paling kontroversial dari kaum “Oh, aku senang sekali kita tahu nama tanaman
strukturalis adalah kematian subjek: ‘aku ada’. ini, sungguh sangat membantu,” cemooh Ron sambil
Manusia dianggap sebagai ‘boneka’ atas ide- memiringkan tubuhnya ke belakang, berusaha
idenya, dan setiap tindakan yang dilakukannya mencegah tanaman itu membelit lehernya.
Diam, aku sedang berusaha mengingat
merupakan struktur dari ide utama dan logikanya
bagaimana membunuhnya!” kata Hermione.
belaka. Manusia bukan lagi titik pusat yang paling “Cepat kalau begitu, aku tak bisa bernapas!”
otonom, karena manusia takluk kepada sistem. kata Harry tersengal, berkutat dengan sulur yang
Sebagaimana diucapkan oleh Lacan—sebagai membelit dadanya.
perpanjangan dari Freud—bahwa manusia telah “Jerat Setan, Jerat Setan... Apa yang dikatakan
tergeser dari ‘pusatnya’. Manusia sebenarnya tidak Profesor Sprout? Tanaman ini suka kegelapan dan
‘berbicara’, tetapi mereka lebih ‘dibicarakan’. Dalam kelembapan...”
konteks yang lebih luas, kita tidak ‘menciptakan’ “Kalau begitu nyalakan api!” Harry tersedak.
masyarakat, tetapi ‘diciptakan’ oleh masyarakat. “Ya—tentu saja—tapi tak ada kayu!” seru
Hermione, meremas-remas tangannya.
Dengan cara berpikir seperti itu, maka “dunia”
“KAU INI GILA?” Ron menggeram. “KAU
yang diciptakan—meminjam ungkapan Manneke PENYIHIR APA BUKAN?”
Budiman (2001)—(bukan dipantulkan atau “Oh, betul!” kata Hermione, dan dia mencabut
digambarkan) oleh bahasa tidak dapat tongkatnya. Menggoyangnya, menggumamkan
diasumsikan setia dan taat kepada versi dunia yang sesuatu dan berhasil memancarkan api biru—sama
riil, dunia realitas, yang mencakupi segenap kita seperti yang digunakannya pada Snape di stadion—
dan kehidupan kita itu. Bahasa, dalam hal ini, ke arah tanaman itu. Dalam beberapa detik saja,
membangun versi dunianya sendiri, namun karena kedua anak laki-laki itu merasa belitan sulur-sulur
bahasa telah sedemikian lekat dengan kehidupan itu mengendur ketika tanaman itu menjauh
ketakutan dari nyala terang dan kehangatan.
kita, kita tak lagi menyadari kenyataan tersebut lalu
Menggeliat-geliat dan melambai-lambai, tanaman
menerima begitu saja mitos adanya hubungan satu itu melepaskan belitannya dan mereka berhasil
lawan satu antara bahasa dan dunia sebagai sebuah membebaskan diri.
kenyataan. Tidak heran jika dalam banyak cerita
rakyat dan dongeng anak-anak sering terdapat Namun, menurut Budiman (2001:20), dalam
tokoh-tokoh sakti atau tukang-tukang sihir yang mitos-mitos yang secara analogis (bukan logis)
ujaran bertuahnya, seperti dapat kita baca pada membayangkan adanya hubungan natural antara
buku-buku seri Harry Potter, mampu mengubah bahasa dan dunia itu tersirat juga suatu
kenyataan. Perhatikan, misalnya, salah satu kebijaksanaan, yaitu bahwa kata menciptakan
cuplikan kisahnya (Rowling, 2000:343-344): kenyataan, yang juga menjadi salah satu inti
pelajaran ilmu bahasa Saussure. Yang
Hermione melompat dan berusaha menuju membedakannya dari Saussure dan menjadi
dinding yang lembab. Dia harus berkutat karena persoalan adalah bahwa “kenyataan” yang
begitu dia mendarat, tanaman itu langsung melilitkan
diciptakan oleh bahasa itu, dari sudut pandang
sulur-sulur seperti ular di sekeliling pergelangan
kakinya. Sedangkan Harry dan Ron, tanpa mereka semiotika, tidak serta-merta serupa dengan
sadari, kaki mereka sudah dililit kencang oleh sulur- kenyataan yang sesungguhnya (jika ada sesuatu
sulur panjang tanaman merambat itu. yang semacam itu) karena memang bahasa bukan
Hermione berhasil membebaskan diri sebelum medium, atau refleksi, atau imitasi kenyataan. Atau
tanaman itu membelitnya dengan ketat. Sekarang dalam bahasa Lacan, “Yang real adalah realitas yang
dia memandang ngeri pada kedua temannya yang tidak pernah kita ketahui—kenyataan ini berada di
berkutat melepaskan tanaman itu dari tubuh luar bahasa, suatu realitas yang harus kita
mereka, tetapi semakin mereka berusaha, semakin asumsikan karena tidak pernah kita ketahui”
kuat tanaman itu membelit.
(Kurniasih, dalam Bracher, 2005:301). Struktur ini
“Berhenti bergerak!” perintah Hermione.
“Aku tahu apa ini—ini Jerat Setan!” adalah struktur paling problematis dibandingkan
dua struktur yang lain, karena tidak pernah dapat

32 M EDIATOR, Vol. 8 No.1 Juni 2007


Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

dialami secara langsung, melainkan melalui mediasi sementara orang dianggap menjadi era kematian
dua struktur yang lain. buku. Harry Potter tidak hanya membalik asumsi
Itu pula yang dikatakan Carl Gustav Jung bahwa buku telah mati oleh kemajuan multimedia,
dalam psikoanalitisnya, “Sebuah kata atau tetapi juga memunculkan fenomena yang luar biasa
gambaran bersifat simbolis bila ia mengandung ketika anak-anak kecil dengan suka cita melahap
makna lebih daripada arti yang jelas dan langsung buku novel setebal lebih dari seribu halaman
(Jung, 1989:44). Ini, tampaknya, kian dipertegas (Audifax, 2005:31).
oleh Berger dan Luckmann (1966:53). “Language
Dalam analisis tokoh dan latar cerita, Audifax
originated in and has its primary reference to
melukiskan Harry Potter bukan sekadar penyihir
every day life; it refers above all to the reality I
yatim piatu. Ia juga adalah seorang hero, seorang
expereince in wide awake consciousness,” begitu
saviour. Ia adalah sosok yang tengah melakukan
kata mereka, “Bahasa lahir dalam—dan terutama
perjalanan pencarian diri. Simbolisme proses
sekali mengacu kepada—kehidupan sehari-hari: ia
individuasi (hlm. 238).
terutama sekali mengacu kepada kenyataan yang
Dalam menganalisis sebuah novel seperti
saya alami dalam keadaan sadar sepenuhnya.” Jadi
Harry Potter, tampaknya kita layak
jelas, bahasa bukan imitasi kenyataan, tetapi
mempertimbangkan semiotika (semiologi)-nya
mengacu kepada kenyataan.
Roland Barthes. Ini bukan tanpa alasan. Saya
Ferdinand de Saussure, sarjana Swiss, peletak
melihat cakupan kajian kebudayaan Barthes
dasar strukturalisme dan linguistik modern, menjadi
sedemikian luas, mulai dari kesusastraan, film,
termasyhur karena Cours de Linguistique
busana, dan berbagai fenomena kebudayaan
Generale-nya—sebuah buku yang tidak pernah
lainnya. Menurut Barthes (1988:158),
ditulisnya. Karya yang sangat berpengaruh itu
merupakan kumpulan catatan kuliah yang disusun “The world is full of signs, but these signs do
oleh para bekas mahasiswanya. Ada beberapa edisi not all have the fine simplicity of the letters of the
yang beredar di dunia linguistik; yang paling luas alphabet, of highway signs, or of military uni-
beredar didasarkan pada 2 rangkaian kuliah forms: they are infinitely more complex.” (Dunia
pertama Saussure di Universitas Jenewa. Pada ini penuh dengan tanda-tanda, namun tanda-
tahun 1993 terbitlah rangkaian kuliah ke-3 tanda ini tidak semuanya punya kesederhaan murni
berdasarkan catatan kuliah salah satu mahasiswa dari huruf-huruf, alfabet, tanda lalu lintas, atau
Saussure, Troiseme Cours de Linguitique seragam militer: mereka secara tak terbatas lebih
Generale (1910-1911) d’apres les cahiers d’Emile kompleks).
Constantin, yang berisi butir-butir teoretis yang Dalam S/Z-nya, Barthes (1974) mengulas
berlainan dengan 2 rangkaian kuliah pertama, secara panjang-lebar apa yang kerap disebut
khususnya mengenai hakikat tanda bahasa dengan sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang
(Kridalaksana, 2005:6). dibangun di atas sistem lain yang telah ada
Semiotika Ideologi Harry Potter sebelumnya. Keseluruhan seri Harry Potter adalah
contoh yang paling jelas sistem pemaknaan tataran
Sejak awal, kita telah diundang Audifax lewat ke-dua yang dibangun di atas bahasa sebagai
cara sosok tokoh Harry Potter dibangun. sistem yang pertama. Sistem ke-dua ini oleh
Disebutkan, Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam
Kisah Harry Potter bukan hanya Mythologies (1972) secara tegas ia bedakan dari
pemberontakan yang sukses pada berbagai denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama.
pemikiran rasional, konvensional, dan konvergen, Barthes mengilustrasikannya sebagai berikut:
namun ada pula fenomalitas pada kemunculannya Pada dasarnya, tanda konotatif tidak sekadar
di tengah kemajuan teknologi multimedia yang oleh memiliki makna tambahan, tetapi juga mengandung

Alex Sobur. Membincang “Harry Potter”, Membaca Mitos 33


bagian seri Harry Potter and the Sorcerer’s Stone
(Rowling, 2000:40-41):
Direktur kebun binatang sendiri yang
membuatkan secangkir teh kental manis untuk bibi
Petunia sambil tak henti-hentinga minta maaf. Piers
dan Dudley Cuma bisa merepet. Sejauh sang Harry
lihat, ular itu tidak melakukan apa-apa, kecuali
dengan main-main mengatup-ngatupkan mulutnya
di dekat tumit Dudley dan Piers saat dia lewat....
kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
Atau, perhatikan pula teks berikut (hlm. 65):
keberadaannya. Saya kira, inilah sumbangan
Barthes yang amat berarti bagi penyempurnaan Dia mengulurkan tangan yang besar sekali dan
semiologi Ferdinand de Saussure, yang berhenti mengguncang seluruh tangan Harry.
pada penandaan pada tataran denotatif. Dibukanya “Bagaimana teh-nya tadi, eh?” katanya, seraya
menggosok-gosokkan tangannya. “Aku juga tidak
medan pemaknaan konotatif ini memungkinkan kita
tolak minuman yang lebih keras, kalau memang ada.”
berbicara mengenai metafora dan gaya bahasa
kiasan lainnya yang hanya bermakna jika dipahami Kata “teh” dalam kutipan yang sengaja saya
pada tataran konotatif. Lebih jauh lagi, skema cetak tebal merupakan sebuah penanda. Dalam
pemaknaan Barthes juga membuat kita bisa konteks ini, imperialisme Inggris, misalnya, ditandai
melakukan pembacaan semiotis terhadap karya- oleh berbagai ragam penanda, seperti “teh” (yang
karya prosa, seperti novel Harry Potter, yang akan menjadi minuman wajib bangsa Inggris, namun di
sulit ditelaah secara leluasa dari perspektif lain. negeri itu tak ada satu pun pohon teh yang
Latar dalam novel Harry Potter, seperti dalam ditanam).
Harry Potter and the Chamber of Secrets, Jadi, “teh” yang kita temukan dalam cerita
misalnya, yang secara denontatif merupakan Harry Potter secara konotatif dapat menjadi
tempat terjadinya suatu peristiwa dalam cerita, pada penanda imperialisme Inggris. Apabila “teh” dibaca
tataran konotatif dapat merujuk pada suatu sebagai sebuah penanda denotatif, ia merujuk pada
persoalan atau konflik yang menjadi jiwa cerita. konsep tanaman teh yang daunnya dapat diolah
Demikian pula dengan tokoh, yang pada tataran menjadi salah satu jenis minuman yang paling
denotatif adalah seorang pelaku peristiwa dalam digemari manusia di muka bumi. Hubungan antara
cerita, pada tataran berikutnya dapat berkonotasi penanda dan petanda pada tanda “teh”,
dengan sebuah kelompok sosial tertentu yang ada sebagaimana telah kita ketahui dari Saussure,
dalam masyarakat. sifatnya arbitrer atau manasuka. Tanda “teh”, dalam
Dalam kerangka Barthes, konotasi, identik hal ini, terjadi tanpa motivasi (unmotivated). Pada
dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai pemaknaan ideologis, apabila “teh” kemudian
mitos, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan dibaca sebagai penanda imperialisme Inggris,
memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan hubungan antara penanda dan petandanya lalu
yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam menjadi suatu hubungan yang termotivasi (moti-
mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, vated).
petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem Begitulah, agar teh bisa dikaitkan dengan
yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai imperialisme Inggris, diperlukan suatu analogi atau
pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, identifikasi antara keduanya. Dalam hal ini, teh
dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem yang disukai orang Inggris dan dijadikan ‘minuman
pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos Harry nasional’ itu dapat sampai di Inggris karena negeri
Potter pula sebuah petanda dapat memiliki itu pernah menjajah India, penghasil teh nomor
beberapa penanda. Kita baca, misalnya, salah satu satu di dunia, selama kurun waktu yang cukup lama.

34 M EDIATOR, Vol. 8 No.1 Juni 2007


Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

Selama itu pula, teh dibawa ke Inggris serta menjadi pertama itu taraf denotasi, dan lapisan kedua taraf
minuman kesukaan orang di sana, meskipun konotasi: penanda-penanda konotasi terjadi dari
kondisi tanah dan iklim di Inggris tidak tanda-tanda sistem denotasi. Dengan demikian,
memungkinkan tanaman itu tumbuh di negeri konotasi dan kesusastraan pada umumnya,
tersebut. Kini, ada sesuatu yang cukup solid yang merupakan salah satu sistem penandaan lapisan
menghubungkan teh dan imperialisme, sehingga kedua yang ditempatkan di atas sistem lapisan
ia menjadi penanda konotatif bagi imperialisme, pertama dari bahasa.
yang dalam kasus ini berperan sebagai penanda Namun, ada juga situasi yang terbalik: tanda
konotatif. Hubungan tersebut dimotivasi oleh dari lapisan pertama menjadi petanda lapisan
ideologi dan tidak lagi manasuka seperti pada saat kedua. Dalam hal ini, sistem lapisan kedua itu
masih berada pada tataran denotatif. menjadi metabahasa. Jadi, bisa kita bedakan semio-
Bagaimana sesungguhnya hubungan antara sis dan semiotika. Yang pertama itu merupakan
mite atau mitos, bahasa, dan tanda-tanda? Bagi bahan kajian bagi yang kedua; dan yang kedua itu
Barthes, komponen-konponen tanda, yakni merupakan metabahasa bagi yang pertama.
penanda (Saussure: signifiant) dan petanda
(Saussure: signifie), terdapat juga pada tanda- Mitos dan Usaha Manusia Rasional
tanda bukan bahasa; antara lain terdapat pada mite,
Apa itu mitos? Sebagai manusia rasional
yakni keseluruhan sistem citra dan kepercayaan
bisakah kita menghilangkan mitos? Secara
yang dibentuk masyarakat untuk mempertahankan
etimologis, mitos atau mite (Inggris: myth), berasal
dan menonjolkan identitasnya. (Mite bagi Barthes
dari kata Yunani mythos yang memiliki banyak arti:
bukan mitos dalam pengertian klasik, sebagaimana
mitos, mite, kisah, fabula, hikayat, legenda,
akan kita bicarakan kemudian). Hanya mite
percakapan, ucapan, pembicaraan.
merupakan sistem semiotis lapisan kedua, yang
Mitos di sini pertama-tama harus dipahami
dibentuk berdasarkan rangkaian semiotis yang ada
sebagai percobaan manusia untuk mencari
sebelumnya. Apa yang berstatus sebagai tanda
jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya
dalam lapisan pertama berfungsi sebagai penanda
tentang alam semesta, termasuk dirinya sendiri,
bagi lapisan kedua. Untuk lebih jelasnya kita lihat
seperti termaktub dalam mitologi Yunani. Dalam
gambar berikut:
mitologi Yunani, pertanyaan-pertanyaan manusia
tentang kejadian alam semesta sudah dijawab, tapi
jawaban itu diberikan justru dalam bentuk mitos,
artinya suatu bentuk penjelasan yang sama sekali
meloloskan diri dari setiap kontrol pihak rasio
manusia. Jadi, dalam pengertian ini, mitos
dilawankan dengan logos (akal budi, rasio). Maka
itu, secara lebih umum dapat dikatakan bahwa mitos
itu adalah keirasionalan atau tahayul atau khayalan.
Pendeknya, sesuatu yang tak berada dalam kontrol
kesadaran dan rasio manusia.
Dalam amatan Barthes, hubungan antara mite Filsafat lahir ketika manusia untuk pertama
dengan bahasa terdapat pula dalam hubungan kalinya berusaha menghilangkan mitos dan
antara penggunaan bahasa literer dan estetis menggantinga dengan logos. Dan saat kelahiran
dengan bahasa biasa. Dalam fungsi ini yang filsafat itulah awal mula usaha manusia rasional
diutamakan adalah konotasi, yakni penggunaan muncul. Sejak mula usaha manusia rasional
bahasa untuk mengungkapkan sesuatu yang lain bermaksud untuk menghilangkan mitos.
daripada apa yang diucapkan. Baginya, lapisan Meski begitu, usaha manusia rasional,

Alex Sobur. Membincang “Harry Potter”, Membaca Mitos 35


menurut Horkheimer, takkan pernah berhasil perhatian utama masyarakatnya, hukum, struktur
menghilangkan mitos, malah secara niscaya usaha sosial, lingkungan, sejarah, dan dunia kosmos.
itu pasti akan mengakibatkan mitos. Sebab Perbedaan antara mitos dengan cerita biasa
berdasarkan dialektika usaha manusia rasional terletak pada kewibawaan dan fungsi sosialnya
sendiri, usaha manusia rasional adalah mitos. (Frye, 1976:8; Esten, 1999:101).
Horkheimer (dalam Sindhunata, 1983:124) Taufik Abdullah (1974), sebagaimana dikutip
menyingkatkan dialektika usaha manusia rasional Esten (1999:102), menyebut kata “Cinduo Mato”
itu sebagai berikut: sebagai mitos utama masyarakat Minangkabau. Di
dalam kaba itu terlihat pandangan duniawi suku
Pada hakikatnya, usaha manusia rasional
Minangkabau dan dasar-dasar falsafah
adalah mitos, sebab usaha manusia rasional tidak
Minangkabau. Menurutnya, kaba “Cindua Mato”
dapat berdiri sendiri, tidak otonom, tidak dapat
melukiskan suatu dunia yang teratur dan tertib
mengenal dirinya sendiri: usaha manusia rasional
dengan setiap aspek kehidupan diatur berdasarkan
itu terjadi, ada, dan mengenal dirinya hanya berkat
patokan pokok tertentu. Kaba “Cindua Mato”
dan di dalam mitos. Dengan kata lain, usaha
memperlihatkan bahwa bencana timbul disebabkan
manusia rasional itu niscaya, atau tidak dapat tidak,
adanya para pemuka masyarakat yang tidak lagi
adalah mitos sendiri.
mengindahkan patokan tersebut, akhirnya mereka
Dialektika di atas dapat juga dikatakan secara
dihina atau dihancurkan. Jalan cerita menekankan
sebaliknya, yakni pada hakikatnya mitos itu adalah
betapa pentingnya peran keseimbangan dan
usaha manusia rasional, sebab tanpa usaha
keserasian dalam kehidupan serta peran kebesaran
manusia rasional, mitos takkan mengenal dirinya
dalam membawa diri. Karena itu juga
sebagai mitos. Baru dengan usaha manusia
memperlihatkan susunan politik dan sosial
rasional mitos terjadi, ada dan mengenal dirinya
masyarakat Mingakabau secara ideal, dengan
sebagai mitos. Jadi, mitos juga tidak otonom, tidak
mufakat sebagai jalan utama dalam pengambilan
dapat berdiri sendiri, tak dapat mengenal dirinya
keputusan.
sendiri: mitos terjadi, ada dan mengenal dirinya
Di kalangan tertentu, terutama di lingkungan
sendiri hanya berkat dan di dalam usaha manusia
kaum adat, sampai sekarang ada kepercayaan
rasional. Dengan kata lain, mitos niscaya atau tidak
bahwa peristiwa-peristiwa yang diceritakan di
dapat tidak adalah usaha manusia rasional sendiri.
dalam kaba “Cindua Mato” betul-betul terjadi. Ada
Berdasarkan pendapat Horkheimer di atas,
yang menunjukkan “batu basurek” (batu bersurat)
maka jelas bahwa sebenarnya dialektika usaha
sebagai bukti, ada pula yang menunjukkan tempat
manusia rasional adalah dialektika mitos. Dan
tertentu sebagai tempat peristiwa di dalam kaba
dilema usaha manusia rasional adalah dilema mitos.
itu terjadi, dan bahkan ada pula yang menunjukkan
Inilah yang menyebabkan kegagalan usaha
siapa orang yang menjadi keturunan Bundo
manusia rasional niscaya terjadi sehingga tak dapat
Kanduang, ratu Minangkabau yang ada di dalam
dihindari lagi.
mitos itu (Penghulu, 1980, dalam Esten 1999:102).
Sesungguhnya, mitos membentuk cara berada
Kaba itu juga dianggap berisi hikmah (petunjuk)
manusia. Dalam pengertian klasik, mitos adalah
dan kebenaran (Madjoindo, 1954, dalam Esten
cerita legenda tentang asal-usul terjadinya
1999:102). Jelasnya, kaba “Cindua Mato” menjadi
sesuatu. Bagi masyarakat tradisional, mitos
rujukan para ahli adat Minangkabau untuk
merupakan inti kehidupan (Awuy, 2000:505). Kaba
menjelaskan berbagai masalah adat.
“Cindua Mato” di dalam masyarakat
Para filsuf Yunani Kuno sangat yakin bahwa
Minangkabau, misalnya, merupakan sebuah mitos.
dengan filsafat, manusia baru dapat menemukan
Mitos, sebagaimana dikatakan Frye (1976:6),
peradaban agung secara revolusioner
merupakan kelompok cerita yang lebih penting di
sebagaimana Socrates dan Plato membuang mitos.
dalam budaya verbal suatu masyarakat. Sebagai
Namun demikian, mitos tidak serta merta berhenti
mitos, cerita itu menggambarkan apa yang menjadi

36 M EDIATOR, Vol. 8 No.1 Juni 2007


Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

di sana. Ia memang menjadi marjinal dalam alam secara rohani dan untuk membangun hubungan
rasional, namun di sisi lain ia terus memikat dan yang hidup dengan kenyataan (Bagus, 2002:659).
bertambah kaya pengertiannya. “Harry Potter adalah mite baru yang muncul
Dalam Kamus Filsafat (Bagus, 2002:658-659), dari industri novel,” begitu kata Audifax (2005:233).
mitos, antara lain, dianggap sebagai pandangan Menurut amatannya, tokoh-tokoh dalam kisah
hidup atau weltanchauung yang intuitif, imajiner, Harry Potter ini menginspirasi kehidupan pembaca
yang lazimnya dipersonifikasikan. Di sini yang dari kalangan anak-anak melalui aktivasi arketipal.
imajiner bukan sekadar alegori eksternal bagi Dibandingkan dengan tokoh-tokoh mitologi lama
tatanan konseptual. Yang imajiner membenatuk (Peter Pan, Cinderella, Snow White, Sinbad, Abu
suatu kesatuan primer, tidak terbagi dengan Nawas, Aladdin) ataupun tokoh superhero (Su-
tatanan konseptual, yang dialami secara khusus perman, Batman, Wonder Woman, Spiderman),
sebagai kenyataan itu sendiri oleh orang-orang Harry Potter memiliki perbedaan dengan tidak
primitif. memfokuskan cerita pada pertempuran antara
Mitos dapat juga dikatakan sebagai cerita kontinum kebaikan dan kejahatan. Penekanan
yang asal-usulnya sudah dilupakan. Ia menyajikan utama kisah Harry Potter adalah pengambilan
sejarah pemikiran yang tidak ilmiah dari seorang keputusan dan integrasi diri di antara kekuatan-
yang menjelaskan dalam bentuk antropomorfis kekuatan yang mewakili kebaikan dan kejahatan.
serta animistik hal-hal seperti: penciptaan alam Sosok seperti ini, dalam pandangan Audifax, lebih
semesta (kosmogoni); struktur alam semesta sesuai untuk mewakili anak-anak di zaman modern
(kosmologi), sumber dan hakikat gejala-gejala alam (Audifax, 2005:233).
dan manusia (kebanggaan, kecemburuan, dosa, Sejalan dengan pernyataan Audifax di atas,
pohon-pohon, sungai-sungai, dan sebagainya). Ia terkait pula dengan fenomena Harry Potter, menarik
mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang lontaran pertanyaan-pertanyaan kritis yang
menyangkut orang-orang penting dalam disodorkan Mudji Sutrisno dalam harian Kompas
masyarakat dan yang mempunyai kesadaran sosial. (9 April 2006), sejak kapan, katanya, fenomena-
Ia menyatakan dan menguatkan, dengan cara-cara fenomena budaya populer atau budaya aksesori
ritual dan cara-cara lain, ikatan-ikatan sosial, adat- dalam bacaan-bacaan buku Harry Potter menjadi
istiadat, dan ikatan-ikatan budaya dari seorang gaya hidup yang dipacu dan disediakan jalan tol-
pribadi. nya oleh perkembangan amat dahsyat kapital (baca
Penafsiran modern yang simpatik tentang modal) yang bekerja sama dengan teknologi
mitos-mitos tidak memandangnya sebagai benar informasi serta kekuatan iklan dan pasar menjadi
atau salah, tetapi sebagai memiliki insight penentu, bahkan ikon “berbudaya-nya” manusia?
(pemahaman) puitis tentang realitas. (Sejauh mitos Sejak kapan pula fenomena-fenomena studi lesbi,
demikian, sejauh itu ia dapat disebut sebagai mitos studi gay, atau sastra remaja ABG kota, dan lain-
yang baik, relevan, atau tepat.) Juga, mitos-mitos lain; yang dalam bingkai besar globalisasi
dipandang sebagai menyatakan simbolisme kebudayaan yang disumberkan pada menangnya
arketipe yang terus menerus berulang disebabkan kapital dalam mengolah hasrat dan konsumsi
ketidaksadaran kolektif umat manusia. Menurut generasi kini menjadi teks-teks yang dikaji dan
beberapa pandangan modern mengenai soal ini, dibaca sebagai cultural studies?
mitos merupakan akumulasi gambaran-gambaran Barangkali salah satu hipotesisnya adalah
paralel—akumulasi yang bertumbuh dalam munculnya kritik terhadap teori-teori besar
ketidaksadaran yang di dalamnya aspek-aspek kebudayaan yang hanya mampu merangkum gejala
tertentu eksistensi manusia mendapatkan besar kebudayaan, seperti peradaban, kebudayaan
ungkapannya secara simbolis. Mitos tidak banyak huruf besar, serta bingkai teoretik yang logis
membantu untuk menjelaskan kenyataan. Ia lebih rasional menaruh manusia sebagai sang pencari
banyak membantu untuk menguasai kenyataan makna hidupnya dalam komunitasnya atau

Alex Sobur. Membincang “Harry Potter”, Membaca Mitos 37


peziarah nilai hidup yang dirajut dalam perjalanan Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung:
untuk menjalani hidup dalam tingkatan-tingkatan Refika.
common sense (akal sehat). Hipotesis selebihnya,
Eco, Umberto. 1979. A Theory of Semiotics.
terserah Anda.
Bloomington: Indiana University Press.
Esten, Mursal. 1999. Kajian Transformasi Budaya.
Daftar Pustaka Bandung: Angkasa.

Audifax. 2005. Mite Harry Potter; Psikosemiotika Frye, Northrop. 1976. The Secular Scripture: A
dan Misteri Simbol di Balik Kisah Harry Study of Romance. Cambridge: Harvard Uni-
Potter. Yogyakarta: Jalasutra. versity Press

———————.2006. “Harry Potter dan Piala Hamad, Ibnu. 2003. “Berkomunikasi dengan Tanda;
Simbol.” Makalah “Diskusi Buku Mite Harry Analisis Semiotika Karikatur GM. Sudarta.”
Potter & Pemutaran Film ‘Harry Potter and the Makalah pada Seminar ‘Karikatur: Kekuatan
Goblet of Fire’” Keluarga Mahasiswa Semiotika dalam Media Massa”, Uhamka,
Manajemen Komunikasi Fikom Unisba, Jakarta: 9 Oktober.
Bandung: 9 Mei 2006. Hamzah, Hadjid. 2006. Rahasia Sukses Bestseller
Awuy, Tommy F. 2000. “Membaca Mitos, Merajut Dunia. Yogyakarta: Grafindo Litera Media.
Identitas Manusia Indonesia” dalam Ninok Hardjana, Andre A. 1999. “Perkembangan
Leksono (ed.), Indonesia Abad XXI; Di Penelitian Ilmu Komunikasi di Perguruan
Tengah Kepungan Perubahan Global. Tinggi: Catatan Pendahuluan.” Jurnal Ikatan
Jakarta: Penerbit Harian Kompas. Hlm. 505- Sarjana Komunikasi Indonesia. Vol III/April,
513. Hlm. 6-16.
Bagus, Lorens. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Hernowo. 2004. Langkah Mudah Membuat Buku
Gramedia Pustaka Utama. yang Menggugah. Bandung: Penerbit MLC.
Barthes, Roland. 1988. The Semiotic Challenge. Hidayat, Rahayu Surtiati. 2001. “Semiotik dan
New York: Hill and Wang. Bidang Ilmu”. Makalah pada ‘Pelatihan
———————. 1975. The Pleasure of the Text. Semiotika’ Pusat Penelitian Kemasyarakatan
Tr. Richard Miller. N.Y.: Hill and Wang. dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas
Indonesia, Jakarta, 23-26 September.
———————. 1974. S/Z. Penerjemah Richard
Miller. New York: Hill and Wang. Hoed, Benny H. 2001. Dari Logika Tuyul ke
Erotisme. Magelang: Indonesia Tera.
———————. 1972. Mythologies. Penerjemah
Annete Lavers. New York: Noonday Press. Jung, Carl Gustav. 1989. Memperkenalkan
Psikoanalitis; Pendekatan terhadap
Berger, Peter L. & Thomas Luckmann. 1966. The Ketaksadaran. Penerjemah G. Cremers.
Social Construction of Reality. Victoria, Aus- Jakarta: PT Gramedia.
tralia: Penguin Books.
Kridalaksana, Harimurti. 2005. Mongin-Ferdinand
Budiman, Manneke. 2001. “Semiotika dalam Tafsir de Saussure (1957-1913); Peletak Dasar
Sastra: Antara Riffaterre dan Barthes”. Dalam Strukturalisme dan Linguistik Modern.
Bahan Pelatihan Semiotika. Jakarta: Pusat Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya
Lembaga Penelitian Universitas Indonesia. Kurniasih. 2005. “Esai Penutup: Lacan dan Cermin
Djajasudarma, T. Fatimah. 1999. Semantik 1; Hasrat Cala Ibi,” dalam Mark Bracher. Jacques

38 M EDIATOR, Vol. 8 No.1 Juni 2007


Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

Lacan, Diskursus, dan Perubahan Sosial: ———————. 2001. Analisis Teks Media;
Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis. Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Yogyakarta: Jalasutra. Hlm. 297-310. Analisis Semiotik, dan Analisis Framing.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Littlejohn, Stephen W. 1996. Theories of Human
Communication. Fifth Edition. Belmont, Cali- ———————. 2003. Psikologi Umum.
fornia: Wadsworth Publishing Company. Bandung: Pustaka Setia.
Rowling, J.K. 2000. Harry Potter and the Sorcerer’s Sunardi, St. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta:
Stone. Alih bahasa Listiana Srisanti. Jakarta: Kanal.
PT Gramedia Pustaka Utama.
Sutrisno, Mudji. 2006. “Posisi Cultural Studies ‘Di
Sachari, Agus. 2005. Pengantar Metodologi Manakah?’” Kompas, 9 April.
Penelitian Budaya Rupa. Jakarta: Penerbit
———————. 1999. Kisi-Kisi Estetika.
Erlangga.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sindhunata. 1983. Dilema Usaha Manusia
Trim, Bambang. 2002. Menggagas Buku; Langkah
Rasional; Kritik Masyarakat Modern oleh
Efektif dan Sistemik Menuliskan Ide Anda
Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah
ke dalam Buku. Bandung: Bunaya.
Frankfurt. Jakarta: PT Gramedia.
van Zoest, Aart. 1991. Fiksi dan Nonfiksi dalam
Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Cetakan
Kajian Semiotik. Penerjemah Manoekmi
Kedua. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sardjoe. Jakarta: Intermasa.***

Alex Sobur. Membincang “Harry Potter”, Membaca Mitos 39


40 M EDIATOR, Vol. 8 No.1 Juni 2007

Anda mungkin juga menyukai