Anda di halaman 1dari 13

Tak pernah ada dalam pikiran Juniari bahwa ada sebuah sekolah menengah atas bernama Akademi

Antakara. Seminggu lalu dirinya tak sengaja melihat gurat acak-acakan yang setelah diuraikan dengan
hati-hati ternyata membentuk denah suatu wilayah. Sketsa itu ia temui terpajang pada dinding ruang
kerja ibunya, dengan bangga wanita itu bahkan membingkai karyanya menggunakan kaca transparan,
sangat percaya diri. Siapa yang menyangka gambar tak beraturan itu malah menjadi lokasi dimana Juni
akan pindah dari sekolah normalnya, menuju keanehan demi keanehan yang tak pernah ia duga.

Penyebabnya dimulai Jum'at lalu saat Jungkook berkelahi dengan seorang tukang rundung kelas. Ia
memang melepaskan amarah, tapi tidak pada orangnya langsung. Lebih memilih menghantam sesuatu
yang ada di samping lawan. Kebetulan sesuatu itu adalah dinding, pembatas antar kelas bahasa dengan
ruang bimbingan konseling. Barangkali karena angkara yang membara di hati, hal yang bahkan tidak
Jungkook prediksi terlepas begitu saja. Pukulan yang ia layangkan teruntuk tembok seolah mengirimkan
bom. Dinding itu meledak, seiring dengan kepalan tangannya yang bahkan belum menyentuh seujung
buku jari pun.

Juniari adalah putra tunggal dari pasangan unik yang bekerja di bidang desain dan fashion. Sesekali
ibunya juga menulis buku fiksi, dan menurut Juni keduanya bekerja cukup kompak.

Ibunya sangat suka berimajinasi. Ada begitu banyak ide fantastis di kepalanya yang berkaitan dengan
busana, akan tetapi di sisi lain sketsa yang dia buat terlalu mengerikan, sangat sulit menentukan apakah
itu gambar tangan atau ubi jalar.

Bagai takdir cinta, entah bagaimana ada seorang pria yang bisa mengerti apa yang ibu Juni ingin
sampaikan. Bahkan hanya dengan ocehan aneh yang beliau hempaskan dalam saru tarikan napas pria itu
dengan sigap mampu merealisasikan setiap detail dengan tepat. Maka begitulah mereka akhirnya
menjadi pasangan suami istri yang saling bahu membahu.

ANTAKARA

1| Awal Yang Berasap


Dia langsung dikeluarkan dari sekolah begitu duduk di kursi ruang guru.

Segalanya menjadi semakin gila manakala ibunya menjelaskan bahwa keluarga besarnya berasal dari
keturunan sang Lycaon, Raja Arkadia yang diubah oleh Zeus menjadi serigala karena dosanya.
Sedangkan ayahnya hanya manusia biasa yang rendah hati, mau menerima apapun keadaan ibunya dan
mereka akhirnya menikah. Secara tidak langsung Jungkook juga berasal dari garis keturunan ibunya.

Setelah mengetahui itu hati kecil Jungkook mendadak tersentuh saat melihat anjing tetangganya.
"Selama ini kita bersaudara, kawan. Maaf terlambat menyadari."

Matanya kini nyalang menatap gerbang terbesar yang pernah ia lihat selama hidup tujuh belas tahun.
Ujung atasnya runcing, membentuk anak panah di setiap jeruji. Sedangkan di bagian tengah gerbang,
wujud matahari besar terbuat dari kuningan menjadi penyatu antar gerbang kanan dan kiri.

Ada jembatan beton berbentuk trapesium terbalik, dengan di bawahnya aliran air mengalir yang
Jungkook ingat melingkar mengelilingi keseluruhan terluar bangunan. Parit mungkin, Jungkook tidak
terlalu yakin karena lebarnya cukup luas. Terlebih itu terlihat sangat dalam.

Ketika kakinya melangkah mendekati satu undakan jembatan, sesosok makhluk mendadak muncul dari
air sebatas kepala sampai pinggang. Hampir membuat Jungkook kelabakan. Ditambah desisan
mengerikan serta sekembar onix tajam yang teliti memindai figurnya.

Jungkook otomatis diam. Sosok tersebut memiliki telinga lebar yang melambai, juga kulit bening
berlendir. Tampak juga jari berselaput pada telapak tangan yang sosok itu silangkan di dada. Mulutnya
lebih maju, mungkin pengaruh gigi, tapi jelas terlihat sangat ganjil.
Maka rasa terkejut Jungkook semakin parah kala ekor belut muncul setelah kepala dan badan si makhluk
berlendir kembali tercebur ke dalam air. Mencipta kecipak lembut usai raga itu lenyap. Seolah memberi
sinyal bahwa inilah tahap awal kehidupan baru Jungkook.

•••

Semisal diantar oleh ibu mungkin beliau akan ikut masuk dan menemani Jungkook, mengenalkan banyak
hal mengingat pribadinya merupakan alumni Antakara. Tapi dia memiliki permasalahan naskah dengan
sang editor, alhasil ayahnya-lah yang mengantar. Tidak sampai depan gerbang, tapi jauh nun di ujung
sana di antara rerimbun pohon karena letak akademi berada di bagian terluar hutan, dengan hutan
buatan sebagai kamuflase pada sekitarannya. Saat ditanya alasan mengapa ia diturunkan di sana, ayah
hanya berucap bahwa Jungkook akan paham sendiri nantinya.

Cukup menjadikan ia mengomel sepanjang jalan, sendirian, terpaksa menyeret kakinya seperti orang
yang baru tahu cara berjalan.

Setelah masuk melalui gerbang megah tadi, matanya mengedar, menemukan hall besar dengan dua
jalur di serong kanan dan kiri. Tidak ada satu pun orang di sana. Jungkook melirik jam di pergelangan
tangan, setengah delapan, mungkin pelajaran masih berlangsung.

''Tidak ada orang? Harus kemana dulu ini?'' Kepalanya mendongak guna memperhatikan sekeliling lebih
baik. Bentuk hall ini setengah lingkaran, temboknya adalah susunan balok batu berwarna hitam pekat
dengan beberapa kemilau di sana sini. Batu alam candi mungkin. Yang menarik perhatian Jungkook
adalah seni tipografi timbul di tengah sana, tereja kata 'antakara' menggunakan huruf kapital berukuran
besar. Ada juga guratan wujud manusia yang tengah berperang, makhluk mengerikan berukuran
raksasa, hewan, tombak-tombak melayang, bahkan ada manusia setengah kuda terpampang penuh
filosofi dari ujung ke ujung, dengan sentuhan warna abstrak pada gambar-gambarnya.

Mewah juga berkarisma, penuh dengan hal elegan namun bermakna sejarah. Jungkook dibuat berdecak
kagum dalam seketika.
Masih terfokus pada keindahan dinding, dari arah jalur serong sebelah kanan muncul seorang laki-laki.
Sepatu pantofelnya menimbulkan gema dalam sunyi, mengenakan celana kain abu-abu sebatas mata
kaki, dengan almamater ungu gelap sebagai luaran kaos hitam polos.

Kulitnya yang pucat, berbaur dengan ekspresi lembut, entah kenapa nampak terurai sempurna
menampakkan lara.

Siapa?

•••

Memprihatinkan ketika anak dari Dewa Penguasa Laut Sang Poseidon Yang Agung, nyaris pingsan di
tengah lapangan. Terlebih lagi, kejadiannya saat ujian fisik bulanan. Jadi tak ada satu pun siswa yang
heran kalau dirinya dijadikan ketua OSIS sejak awal. Menjadikan ia lebih banyak menggunakan otak
dibanding otot.

Huang Renjun, Salah satu anak Poseidon hasil peranakan dengan manusia murni Asia bagian Timur.

Seluruh keturunan Dewa-Dewi dan makhluknya mengetahui, bahwasannya manakala seorang putra
terlahir dari garis keturunan tiga penguasa dunia, maka tidak ada satu pun tandingan yang setara
dengannya kala usianya genap 17 tahun. Kecuali apabila mereka berada pada level yang sama.

Tapi fakta seolah membodohi akal. Renjun bahkan tak sanggup mengendalikan air laut yang disediakan
pihak sekolah sebagai elemen pertarungan.

Maka begitu mudahnya putra Zeus mendepak dirinya hingga tersungkur menggenaskan. Hampir pingsan
andai Sir Jo—pengawas ujian hari ini—tak segera memberi viribus penyembuhan teruntuk retakan di
tulang rusuknya.
Perjalanannya menuju unit kesehatan sekolah terhenti. Tanpa sengaja saling bertukar tatap dengan
seseorang di hall akademi. Jeans belel, sepatu kulit, kemeja kotak-kotak tanpa dikancing. Apa-apaan
manusia ini?

•••

Penguasa/Dewa langit: Zeus.

Penguasa/Dewa laut: Poseidon.

Penguasa/Dewa dunia bawah: Hades.

•••

Ada sedikit jeda terjadi sebelum Renjun berucap; ''Ini hari senin, siswa-siswi wajib memakai almamater
dan sepatu pantofel."

Di luar dugaan, Jungkook menjawab sambil mengedik snobis, ''Pikirmu aku peduli?'' kelewat cuek dan
terlihat amat sangat mengesalkan di mata Renjun. Menjadikan si ketua OSIS mengulas senyum kecil.

''Kalau begitu kamu dapat tiga poin. Dua untuk ke-tidak lengkapan seragam, dan satu karena terlalu
acuh pada aturan. Tujuh poin maka kamu angkat kaki dari Antakara.''

Ketika Renjun kembali akan melanjutkan langkah, Jungkook meraih pergelangannya lumayan kencang,
merematnya, menjadikan ia reflek menoleh.

''Aku baru masuk masa sudah diberi poin?'' Jungkook menatap langsung ke dalam mata orang pucat di
depannya, dan yang ia dapati dari Renjun hanya raut dingin tanpa kesan.

''Oh, anak baru? Di depan sudah bertemu Uola belum?''


''Jadi yang berlendir dan punya tangan seperti bebek tadi bernama Uola? Mengobrol dengan orang tuli
bahkan jauh lebih baik daripada dipelototi oleh makhluk semacam itu.''

Renjun memutar bola mata, persetan. ''Terserah apa katamu. Kalau begitu ayo ku antar ke gedung kaca,
merekalah yang mengurus segala hal terkait akademi.''

Jungkook hanya diam kala sosok pucat tersebut melepaskan cengkramannya. Justru mengekor,
melangkah menuju jalur serong kiri setelah berhenti sebentar di bibir jalan sekadar meraih kertas yang
Renjun sebut peta akademi, lantas melangkah sunyi selama beberapa saat. Karena tiba-tiba si pucat
bersuara.

''Hei,'' panggilnya.

''Apa?'' Jungkook menyahut, mengalihkan atensi dari memperhatikan pohon-pohon pada sisi kanan
jalan, sedang sisi kirinya adalah ruang-ruang kelas.

''Aku Huang Renjun, panggil Renjun saja,'' katanya memperkenalkan diri, vokalnya santai.

''Jungkook Jeon,'' balasnya sambil berjalan agak membungkuk, meraih daun ketapang yang gugur.
Seketika teringat ikan cupang di rumah lalu tergelak tanpa suara.

''Aku produk gagal yang kebetulan lahir di garis keturunan Poseidon. Kau?"

"Kata ibuku kita masih saudaranya anjing, dan aku baru mengetahui fakta itu setelah berhasil
menghancurkan dinding sekolah."

Renjun terkekeh sebentar, paham apabila entitas sosok di sampingnya merupakan keturunan manusia
serigala.
Sunyi kembali melingkup hingga kali ini Jungkook duluan yang bersuara.

''Tadi kau mempertanyakan si makhluk berlendir. Memang apa korelasinya dengan aku si anak baru?''

''Sebelum menjawab itu, katakan, kau benar-benar tidak mengetahui sedikit pun tentang mitologi
Yunani?'' Mereka berdua terus memperlebar langkah.

''Sedikit. Ibuku baru menceritakannya setelah aku dikeluarkan dari sekolah. Mengakui bahwa dirinya dan
ayah berasal dari dua garis keturuan berbeda, juga sejumlah cerita lain yang masih sulit kupahami.''

Renjun mengangguk. ''Yang pasti, makhluk di depan adalah salah satu dari banyaknya jenis mutan
ciptaan para dewa. Uola, itu tercatat diciptakan akhir abad ke-18 khusus untuk menjaga Antakara,'' jeda,
Renjun menoleh menatap sisi wajah Jungkook, membatin sejenak tentang betapa tegas wajah itu. Lalu
kembali melanjutkan, ''Mereka akan kembali ke dalam air setelah memastikan kau adalah bagian dari
Antakara. Tapi jika kau manusia murni, mereka bakal menyembur air lewat mulut. Maka seolah ada yang
mengendalikan tubuhmu untuk segera berjalan menjauh dari sekitaran akademi, dan ingatan tentang
melihat bangunan besar di tengah hutan bakal terhapus.''

Jungkook mengangguk paham. Pantas ayahnya tidak mengantar sampai gerbang. Beliau paling benci
disembur-sembur, apalagi jika yang melakukannya adalah makhluk antah berantah.

Mereka berhenti tepat di depan bangunan kaca lima lantai. Sempat membiarkan Jungkook melihat
sekeliling sebentar, Renjun lantas mengajaknya ke dalam. Menuju meja resepsionis.

Tiba di hadapan, Jungkook disambut seorang wanita usia matang. Dengan sigap membuka buku, siap
mencatat menggunakan bolpoin biru di tangan kanan. ''Saya Agatha, sebutkan identitas anda.''

Renjun membuka mulut, berniat menjelaskan. Tapi mungkin ia tidak tahu bahwa Jungkook bukannya
sebodoh itu untuk mengerti maksud dari pertanyaan wanita tersebut. ''Jungkook Jeon, ayah manusia
murni, ibu keturunan sang Lycaon."
Bu Agatha tertegun sejenak. Keningnya mengukir kernyit, sedikit meragukan perkataan sosok di
seberang meja. ''Jujurlah, Nak, siapa nama ibumu?''

Sempat memutar bola mata, Jungkook membalas cuek, ''Loen, begitu julukannya. Padahal nama aslinya
Lailaorion.''

Saat jawaban itu terlontar, Bu Agatha entah bagaimana terdiam—kaku. Pandangannya mengabur tiba-
tiba, indra penglihatannya dihapus paksa, otaknya berhenti bekerja kala fokusnya tertuju pada adegan
demi adegan yang melintas.

Di sisi lain Jungkook dan Renjun dibuat tak mengerti akan tatapan kosong sosok di hadapan mereka. Tak
mengetahui bahwa dimensi waktu tengah mengajak Agatha menuju masa demi masa. Menyaksikan
dengan jantung berdebar pertunjukan perang di masa depan. Sebab eksistensi Jungkook yang
mengangkat pedang, menebas raga seseorang tanpa ragu. Bahkan saat darah mengenai wajah itu,
kedua mata cokelatnya tetap mengkilat sarat angkara juga dendam.

Sementara itu di belakang sosoknya ada putra Hades; tersenyum licik dengan tatapan jenaka juga alis
tebal yang terangkat. Terdapat selarik ancaman dari kerutan di dahi, tapi Agatha bukan seorang yang
mengerti isi kepala Demigod Agung hanya berdasarkan raut wajah.

Pandangannya kembali pada rasionalitas ketika teriakan di luar gedung menembus gendang telinga.
Renjun dan Jungkook yang ingin mempertanyakan keadaan Bu Agatha sontak memandang keluar pintu.

Di seberang jalan, tepatnya pada lapangan utama, seorang pria mendadak terkapar. Mengejang hebat
dengan kepulan asap keluar dari mulut.

3|
Sementara Jungkook dan Renjun berlari menuju lokasi kejadian, petugas jaga menara utama bergegas
menghubungi kepala sekolah. Menelpon untuk memberitahukan kecurigaannya sejak si pria berjalan
melewati gerbang.

''Sepertinya kabar burung itu benar, Sir. Saat ini satu bukti nyatanya terkapar di lapangan utama,
dan ... lumayan berasap.''

Di ruangannya, kepala sekolah Lam mendecak, ''Tetap amati setiap perubahan sekitar akademi,
bunyikan lonceng lima kali, dan jangan lengah.'' Usai mengatakan itu, beliau melakukan teleportasi,
segera menyingkap kerumunan siswa yang ikut menonton. Menyaksikan dengan penuh amarah atas
kejanggalan di depan.

Hingga detik manakala lonceng pertama disuarakan, tubuh si pria dengan cepat membiru. Terus
mengejang sembari mengocehkan hal-hal dalam bahasa asing yang sulit dimengerti.

Dentangan kedua, pelan-pelan tubuhnya berhenti bergerak, tapi itu bukan akhir yang baik ketika
tubuhnya menua lebih cepat. Wajah dan badan usia tiga puluh tahun itu berubah keriput, kurus kering.
Gigi-gigi di mulutnya seolah menghilang begitu saja, terganti oleh bibir mengkerut yang menjorok ke
dalam. Layaknya seseorang yang sudah luar biasa tua.

Dentang ketiga, perlahan badannya menyusut, sedikit demi sedikit, dengan asap yang terus keluar dari
mulut.

Sampai ketika dua dentang terakhir diayun cepat, adalah saat di mana tubuh si pria menghilang,
menyisakan kaos hijau lumut dengan bawahan jeans selutut.

Dari situ para siswa mengetahui bahwa keadaan sedang tidak baik-baik saja.

••• •••

Jungkook meringis kecil, merasa ngilu berkepanjangan sebab melihat akhir si pria berasap dari jarak
dekat. Terus mengamati bahkan ketika kepala sekolah maju untuk mengangkat baju yang tersisa.
''Siapa pria naas ini?''

Renjun melirik Jungkook sekilas. ''Pengurus konsumsi.''

''Kenapa dia?''

Renjun mendesau pelan, menggeleng. ''Belum pernah terjadi.'' Dan hanya ditanggapi anggukan sekali
oleh Jungkook.

Pak Lam juga mendesau, berat. Kemudian berucap; ''Renjun, adakan pertemuan anggota osis sore ini.
Saya yang memimpin,'' tanpa menoleh. Lantas melakukan teleportasi, hilang dalam sekejap.

Renjun mengangguk samar, mengulurkan sebelah tangan menarik lengan Jungkook —menyeretnya
keluar dari kerumunan untuk kembali ke gedung kaca. Dan Jungkook tak membantah tatkala mendapati
iris mata sosok tersebut berubah tajam kala ia berujar, ''Mari selesaikan urusanmu, entah kenapa aku
merasa muak tiba-tiba.''

••• •••

Selesai mengisi formulir standar juga menandatangani dokumen kamar, Agatha menyerahkan dua kunci
perak. Inti dan cadangan. ''Lantai enam, kelas pride, kamar 103. Perlu diantar?''

Saat itu Renjun berbalik, mulai melangkah meninggalkan gedung untuk melakukan perintah kepala
sekolah Lam. Sempat mendengar Jungkook menjawab ''aku tidak bodoh'' sampai akhirnya bunyi
hentakan langkah yang terasa semakin nyaring muncul ketika Renjun selesai menuruni tangga.

Dan tiba-tiba saja Jungkook menubruknya.


''Ya, kau sangat bodoh. Begitu bodoh sampai aku ingin menendangmu.'' Mereka baru tiba di depan pintu
kamar 103 saat Renjun mengatakan itu. Bocah tidak tahu malu macam Jungkook baru menyombongkan
diri, tapi kemudian memohon-mohon padanya minta diantar. Alasannya karena tidak tahu jalan.

Jungkook hanya meringis, menggaruk belakang kepalanya seperti bocah idiot.

''Kau cuma tidak tahu, aku punya alasan untuk ini. Nanti-nanti kuberitahu.''

Renjun mengibaskan tangannya, ''Terserah, aku Renjuns pergi, malam nanti kau jadi ikut ke
perpustakaan?'' Jungkook mengangguk. Dan tanpa sepatah kata lagi, Renjun berjalan kembali ke lift.
Pergi.

••• •••

Jungkook tidak segera masuk. Lama ia mengamati permukaan pintu, tatapannya kosong. Masih merasa
terombang-ambing dalam lingkaran baru yang aneh ini. Pukulan bom, lendir Oula, asap, dan Renjun.
Laki-laki itu tampak begitu misterius hanya dari matanya.

Sejak usia lima kedua orangtua Jungkook menyadari bahwa bocah itu pintar membaca sekitar. Mungkin
jika dilihat dari tampangnya di usia 17 ini, ia seperti seseorang yang langsung bertindak tanpa berpikir.
Hanya mengandalkan tempramental, kesombongan dan memamerkan tampang idiot setelahnya.

Tapi perlu diketahui bahwa Jungkook adalah orang yang sederhana, kehidupannya tidak begitu
kompleks, ia jarang menyulitkan orang, bahkan ibunya sendiri, Lailaorion bersaksi bahwa ketika
melahirkan Jungkook anak itu bahkan keluar begitu saja tanpa perjuangan yang berarti.

Maka tidak mungkin seorang Jungkook meminta bantuan semudah menemukan kamar, disaat peta ia
pegang dan ingatan yang luar biasa kuat. Tentu ada alasan. Sekalipun Renjuns membuat dirinya terlihat
bodoh, Jungkook hanya ingin memastikan satu hal tentang Renjun. Kira-kira hal menarik apa dari gerak-
geriknya yang bisa terbaca apabila ia disulitkan.
Akan tetapi reaksinya barusan berbeda dari yang ia lihat di lapangan. Kesal, tapi tidak marah —sedikit
pun tak menunjukkan rasa jengah atau dendam. Iris matanya bosan, mengisyaratkan dengan pasti ia
benar-benar hanya menganggap Jungkook bodoh. Ia hanya... malas meladeni Jungkook, mungkin?

Suara gemeletak pergerakan lift menyadarkan pikirannya. Sebelah tangan mengulurkan tangan
memutar kenop pintu, yang lain memperbaiki posisi tas pada pundak. Terpekur beberapa saat usai pintu
menutup, ''Apa alasan keduanya saling lempar keanehan?'' lalu membuang tasnya ke pojok ruangan.
Memutuskan berbaring di salah satu ranjang —satu lagi entah milik siapa. Memejamkan mata, telampau
lelah untuk berpikir lebih jauh tentang sosok yang lebih tua setahun darinya itu.

4|

Jungkook tidak berbohong tentang ayahnya yang benci disembur-sembur. Saat itu mereka bertiga
berada di sebuah tempat makan ketika seorang pria datang. Mengaku dirinya dukun, menatap dari
kepala hingga kaki dan yakin bahwa dia menemukan kesialan dalam tubuh ayahnya. Kemudian tanpa
alasan yang jelas ia meminum air lalu menyemburkannya tepat di wajah. Shok juga bimbang, apakah
ayah Renjuns marah atau heran. Tapi yang Jungkook ingat, setelahnya ada gempa ringan, dukun
tersebut sedikit oleng yang berakibat perutnya terantuk ujung meja. Dan di perpustakaan Antakara yang
beraroma suram, Jungkook menyadari bahwa gempa terjadi setelah ibunya menghentakkan kaki. Jadi
yang bisa Jungkook lakukan kini hanya menarik napas dalam. Bertanya-tanya kenapa orangtuanya
merahasiakan fakta sebesar ini.

Renjun datang tepat setelah Jungkook menghembuskan napasnya kasar, dengan dua gelas alumunium
di masing-masing tangan. Raut wajahnya masih sama, tak ada yang bisa dijelaskan dari
kemisteriusannya.

''Kau kenapa?'' meletakkan gelas kopi di sebelah Jungkook, Renjun duduk di kursi seberang meja,
''Memikirkan sesuatu?''

Jungkook tak langsung menjawab, justru meraih gelasnya dan menikmati satu teguk kafein panas yang
lumayan membakar tenggorokan, ''Apa kau tahu sesuatu tentang ras Bumandhala? Setidaknya, bisakah
kau memikirkan alasan kenapa orang tuamu merahasiakan masa depan besar darimu?''
Memahami bahwa pengetahuan Jungkook masih terlalu kosong tentang ketiga golongan, Renjun
memposisikan duduk serileks mungkin. ''Dari yang aku baca, Loen adalah murid terakhir dari ras
Bumandhala yang bersekolah di Antakara, dan itu sudah sekitar 18 tahun lalu. Alasannya aku tidak tahu,
tidak tertulis di buku manapun yang sudah kubaca di Antakara, jadi tanyakan sendiri pada ras-mu,
ibumu.''

Anda mungkin juga menyukai