PEDAHULUAN
1.2 Tujuan
Mahasiswa mengetahui bagaimana konsep teori serta asuhan keperawatan yang tepat
untuk klien inkontinensia urine pada lansia. Dan dapat menerapkannya dalam praktek pemberian
asuhan keperawatan kepada pasien.
BAB II
KONSEP TEORI
2.1.5 WOC
Persalinan pervaginan
Proses menua
ISK
hiperglikemia
glukosuria
poliuria
Refluks urtrovesikal
INKOTINENSIA URINE
MK: Kelelahan
urgensi
nokturia
mengompol
Desakan berkemih
2.1.6 Klasifikasi
1. Inkontinensia Urin Akut Reversibel
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet
sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin
umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat
memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia
persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya. Resistensi urin
karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia
urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis) mungkin akan
memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut.
Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia
urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat
menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya
inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinya
inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic alfa,
analgesicnarcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic. Untuk mempermudah
mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat dilihat akronim di bawah
ini :
Delirium
Restriksi mobilitas, retensi urin
Infeksi, inflamasi, Impaksi
Poliuria, pharmasi
2. Inkontinensia Urin Persisten
Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi
anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih
bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis. Kategori klinis
meliputi :
Inkontinensia akibat stress
Merupakan eliminasi urine diluar keinginan melalui uretra sebagai akibat dari
peningkatan mendadak pada tekanan intra-abdomen. seperti pada saat batuk, bersin
atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul,
merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia dibawah 75 tahun. Lebih
sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada
sfingter urethra setelah pembedahan trans urethral dan radiasi. Pasien mengeluh
mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar
dapat sedikit atau banyak.
Urge Incontinence
Terjadi bila pasien merasakan drongan atau keinginan untuk urinasi tetapi tidak mampu
menahannya cukup lama sebelum mecapai toilet. Inkontinensia urin jenis ini umumnya
dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overactivity). Masalah-
masalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini, meliputi
stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh tak
cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga
timbul peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab
tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi inkontinensia urgensi
adalah hiper aktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami
kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama sekali.
Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh
karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai
inkontinensia urine tipe lain sehingga penanganannya tidak tepat.
Overflow Incontinence
Ditandai oleh eliminasi urine yang sering dan kadang-kadang terjadi hampir terus-
menerus terjadi. Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan kansdung
kemih tidak dapat mengosongkan isinya secara normal dan megalami distensi yang
berlebihan. Meskipun eliminasi urine sering terjadi, kandug kemih tidak pernah kosong.
Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor
neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan
berkurang atau tidak berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-obatan.
Pasien umumnya mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa
kandung kemih sudah penuh.
Inkontinensia urin fungsional
Merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi
ada factor lain, seperti angguan kognitif berat yang membuat pasien sulit untk
mengidentifkasi perlunya miksi (demensia alzhimer) atau gangguan fisik yang
menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau toilet untuk melakukan
urinasi. Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran
urine akibat faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia
berat, masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang menyebabkan kesulitan
unutk pergi ke kamar mandi, dan faktor psikologis. Seringkali inkontinensia urin pada
lansia muncul dengan berbagai gejala dangan membran urodinamik lebih dari satu tipe
inkontinensia urin. Penatalaksanaan yang tepat memerlukan identifikasi semua
komponen.
2.1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor
resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi
lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut
di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
1) Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar,
baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu
catat waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
2) Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urine,
seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-
lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan
teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari.
Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya.
Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam,
selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan
kebiasaan lansia.
Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih
mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih.
Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul
secara berulang-ulang.
3) Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah:
antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine
Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu :
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
2.2.3 NCP
NO Diagnosa Tujuan kriteria hasil Intervensi Rasional
keperawatan
Kolaborasi:
Berikan terapi cairan
sesuai indikasi
Berikan cairan IV
Memenuhi
kebutuhan cairan
tubuh
Mempertahankan
volum sirkulasi,
meningkatkan
fungsi ginjal
3. Resiko tinggi Mandiri:
infeksi b/d glukosa Berikan perawatan Untuk mencegah
darah yang tinggi perineal dengan air kontaminasi
(hiperglikemia) sabun setiap shift. uretra.
Jika pasien
inkontinensia, cuci
daerah perineal
sesegera mungkin.
Jika di pasang
kateter indwelling,
berikan perawatan
kateter 2x sehari
(merupakan bagian
dari waktu mandi Kateter
pagi dan pada memberikan jalan
waktu akan tidur) pada bakteri
dan setelah buang untuk memasuki
air besar kandung kemih
Kecuali dan naik ke
dikontraindikasika saluran
n, ubah posisi perkemihan
pasien setiap 2jam
dan anjurkan
masukan sekurang-
kurangnya 2400 ml
/ hari. Bantu
melakukan Untuk mencegah
ambulasi sesuai stasis urine.
dengan kebutuhan.
Berikan terapi
antibiotoik
Mungkin diberikan
secara profilaktik
sehubungan
dengan
peningkatn resiko
infeksi
2.2.4 Imlementasi
Dilaksanakan sesuai dengan rencana tindakan, menjelaskan setiap tindakan yang akan dilakukan
sesuai dengan pedoman atau prosedur tekhnis yang telah ditentukan.
2.2.5 Evaluasi
Pengukuran efektifitas intervensi askep yang telah disusun dan tujuan yang ingin dicapai ada 3
kemungkinan:
1) Tujuan tercapai
2) Tujuan tercapai sebagian
3) Tujuan tidak tercapai
BAB III
ASKEP KASUS
3.1. Pengkajian
1.Identitas klien
Nama : Ny. Y
Umur : 67 th
Jenis Kelamin : perempuan
Agama : islam
Status Perkawinan : kawin
Suku Bangsa : serawai
Pendidikan : SD
Pekerjaan : tidak bekerja
Tgl masuk RS : 4 April 2012
No. Register : 15665
Penanggung Jawab
Nama : Tn. F
Umur : 60 th
Pekerjaan : swasta
Alamat : Hibrida 10
2. Riwayat Kesehatan
Alasan kunjungan/keluhan utama :
Klien datang dengan keluarganya ke RS dengan keluhan ingin BAK terus-menerus dan tidak bisa
ditahan sampai ke toilet.
Riwayat kesehatan sekarang
Klien mengatakan kencingnya lebih dari 10 kali dalam sehari. Klien juga mengatakan dia tidak
bisa menahan kencingnya, karena dia tidak sempat lagi untuk sampai toilet. klien mengaku dia
mengurangi minum agar tidak mengompol lagi. Klien mengatakan sering menahan haus. Klien
mengatakan lecet-lecet pada kulitnya. Klien mengatakan malu apabila keluar rumah, karena
mengompol dan bau air kencingnya yang menyengat. sehingga hanya diam dirumah.
1
Kesadaran : Inkontinensia :
Kompos mentis 4 Tidak 4
Apatis 3 Kadang-kadang 3
2 Sering 2
Strupor/koma 1 Alvi dan urine 1
Mobilitas:
Bergerak bebas 4
Sedikit tebatas 3 SKOR TOTAL 14
Sangat terbatas 2
Tidak bisa bergerak 1
Nilai < 12 : RESIKO TINGGI
Nilai <16 : BERESIKO
Skor total pasien Ny. Y adalah 14. Jadi Ny.Y beresiko.
Keterangan :
a. 130 : mandiri
b. 65-125 : ketergantungan
c. 60 : ketergantungan total
Skor penilaian yang diperoleh adalah 83. Klien merupakan klien dengan ketergantungan.
7. SCREENING FALLS
Fungtional Reach (FR) test
Usia 67 nilai < 5 inci risiko roboh
The timed Up and Go (TUG) test
Berdiri dari kursi, berjalan 10 langkah, kembali kekursi, ukur waktu dalam detik
28 detik : variable mobility
8. Pengkajian status kognitif / afektif (status mental)
Pengkajian status mental gerontik
Identifikasi tingkat kerusakan intelektual dengan menggunakan Short Portable Mental
Status Questioner (SPMSQ)
BENAR SALAH NO PERTANYAAN
01 Tgl berapa hari ini?
02 Hari apa sekarang ini?
03 Apa nama tempat ini?
04 Dimana alamat anda?
05 Berapa umur anda?
06 Kapan anda lahir?
07 Siapa presiden Indonesia sekarang?
08 Siapa presiden Indonesia sebelumya?
09 Siapa nama ibu anda?
10 20-3, 10-3, 5-3
Jumlah : 6 Jumlah : 4
Score total : 10
Interpretasi hasil :
Salah 4 : kerusakan inelektual ringan
Identifikasi aspek kognitif dari fungsi mental dengan menggunakan MMSE (Mini Mental Status
Exam)
Orientasi
Registrasi
Perhatian
Kalkulasi
Mengingat kembali
Bahasa
NILAI NILAI
NO ASPEK KOGNITIF KRITERIA
MAKS KLIEN
d) Mata tertutup
Klien menggerakkan kaki dan memegang objek untuk dukungan. (1)
e) Perputaran leher
Menggenggam objek untuk dukungan, pusing/keadaan tidak stabil.(1)
f) Gerakan menggapai sesuatu
Tidak stabil (1)
g) Membungkuk
Memegang objek untuk bisa berdiri lagi (1)
Mungkin diberikan
secara profilaktik
sehubungan
dengan peningkatn
resiko infeksi
Kolaborasi:
Ambil urine untuk
kultur dan sensivitas
P:
Intervensi dilanjutkan
pantau masukan dan
pengeluaran urine
memberikan terapi cairan
sesuai indikasi
memberikan cairan IV
2. Resiko tinggi infeksi Jam 12.00 WIB Jam 14.00 WIB
berhubungan dengan Mandiri: S:
pemasangan kateter memberikan perawatan Klien mengatakan
perineal dengan air sabun nyerinya berkurang pada
setiap shift. Jika pasien saat mengeluarkan urine
inkontinensia, cuci daerah O:
perineal sesegera mungkin. Klien tampak rileks,
Jika di pasang kateter meskipun terkadang
indwelling, memberikan masih terlihat meringis
perawatan kateter 2x sehari A:
(merupakan bagian dari Masalah teratasi sebagian
waktu mandi pagi dan pada P :
waktu akan tidur) dan Intervensi dilanjutkan
setelah buang air besar ubah posisi pasien setiap
Kecuali dikontraindikasikan,2jam dan anjurkan
mengubah posisi pasienmasukan sekurang-
setiap 2jam dan anjurkankurangnya 2400 ml / hari.
masukan sekurang-memberikan antibiotic
kurangnya 2400 ml / hari. sesuai indikasi
membantu melakukan
ambulasi sesuai dengan
kebutuhan.
Kolaborasi:
memberikan antibiotic sesuai
indikasi
3. Perubahan pola eliminasi Jam 20.00 WIB Jam 22.00 WIB
berhubungan dengan sering Mandiri : S:
berkemih, urgensi menentukan pola berkemih Klien mengatakan belum
normal pasien dan tentukan berani minum banyak
variasi agar tidak mengompol
mendorong mningkatkan Klien mengatakan
pemasukan cairan terkadang masih
menyelidiki keluhan menahan haus
kandung kemih penuh, O:
palpasi untuk daerah klien masih tampak
suprapubik sedikit lemas
Kolaborasi: kulit klien masih terlihat
mengambil urine untuk kering
kultur dan sensivitas
A:
Masalah teratasi sebagian
P:
Intervensi dilanjutkan
tentukan pola berkemih
normal pasien dan
tentukan variasi
dorong meningkatkan
pemasukan cairan
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan kencing. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang baik, dengan beberapa prosedur diagnostik yang diperlukan mempunyai
hasil yang baik untuk menegakkan diagnosis gangguan ini. Jenis inkontinensia urine yang utama
yaitu inkontinensiastres, urgensi, luapan dan fungsional. Penatalaksanaan konservatif
dilakukanpada kasus inkompetem sfingter uretra sebelum terapi bedah. Bila dasar inkontinensia
neurogen atau mental maka pengobatan disesuaikan dengan faktor penyebab.
4.2 Saran
Agar penderita inkontinensia urine tetap menjaga kebersihan diri agar terhindar dari
infeksi pada saluran kemih bagian bawah dan tetap menjaga keseimbangan intake dan output
cairan, agar tidak terjadi deficit volum cairan.
DAFTAR PUSTAKA
FKUI. 2006. Ilmu Penyakit Dalam jilid III, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI
Brunner & Suddarth, 2002. Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : EGC
Doengoes, E Marilynn, 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC