Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PEDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Inkontinensia urin merupakan salah satu masalah besar di bidang gerontik yang perlu
mendapat perhatian serius. Masalah itu tampaknya akan menjadi salah satu masalah kesehatan
dan psikososial yang sering dijumpai di masa mendatang seiring dengan makin banyaknya
jumlah usia lanjut di Indonesia.
Data di luar negeri menyebutkan bahwa 15 – 30 % usia lanjut yang tinggal di masyarakat
dan 50 % usia lanjut yang di rawat menderita inkontinensia urun. Pada tahun 1999, dari semua
pasien yang di rawat di RSUPN Cipto Mangunkusumo di dapatkan angka kejadian inkontinensia
urin sebesar 10%, dan pada tahun 2000, angka kejadian inkontinensia urin meningkat menjadi
12%.
Inkontinensia urin seringkali menyebabkan pasien dan atau keluarganya frustasi, bahkan
depresi. Bau yang tidak sedap, perasaan kotor, tidak suci untuk beribadah tentu menimbulkan
masalah sosial dan psikologis. Selain itu, adanya inkontinensia urin juga akan mengganggu
aktivitas fisik, seksual, dan pekerjaan. Secara tidak langsung masalah itu juga dapat
menyebabkan dehidrasi karena umumnya pasien akan mengurangi minumnya karena khawatir
mengompol. Dekubitus, infeksai saluran kemih berulang, jatuh, dan tidak kalah pentingnya
adalah biaya perawatan yang tinggi untuk pembelianpampers, kateter adalah masalah yang juga
dapat timbul akibat inkontinensia urin.

1.2 Tujuan
Mahasiswa mengetahui bagaimana konsep teori serta asuhan keperawatan yang tepat
untuk klien inkontinensia urine pada lansia. Dan dapat menerapkannya dalam praktek pemberian
asuhan keperawatan kepada pasien.

BAB II
KONSEP TEORI

2.1 Inkontinensia Urine


2.1.1 Pengertian
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002).
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak terkendali
pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan
jumlahnya,yang mengakibatkan masalah social dan higienis pendeitanya (FKUI, 2006).
Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine adalah kondisi keluarnya
urin tak terkendali yg dpt didemonstrasikan secara obyektif dan menimbulkan gangguan hygiene
dan social.
Inkontinensia urine adalah pelepasan urine secara tidak terkontrol dalam jumlah
yang cukup banyak. Sehingga dapat dianggap masalah bagi seseorang.
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Inkontinensia urine
merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada pasien geriatri.
Inkontinensia urine adalah ketidakampuan mengendalikan evakuasi urine. (kamus
keperawatan).
Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15 – 30% usialanjut di
masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami
inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30%
saa tberumur 65-74 tahun. Masalah inkontinensia urin ini angka kejadiannya meningkat
dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Perubahan-perubahan akibat
proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian bawah. Perubahan tersebut
merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami inkontinensia, tetapi tidak
menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan bagian normal proses menua.
2.1.2 Etiologi
1) Persalinan pervaginan
Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan
jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya
inkontinensia urine.
2) Proses menua
Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas),
akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga
menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih
dan otot dasar panggul.
3) Gangguan urologi (peningkatan pada produksi urine (DM))
4) Infeksi saluran kemih
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih
bisa menyebabkan inkontinensia urine
2.1.3 Patofisiologi
Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian
koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase. Pada keadaan
normal selama fase pengisian tidak terjadi kebocoran urine, walaupun kandung kemih penuh
atau tekanan intra-abdomen meningkat seperti sewaktu batuk, meloncat-loncat atau kencing dan
peningkatan isi kandung kemih memperbesar keinginan ini. Pada keadaan normal, dalam hal
demikian pun tidak terjadi kebocoran di luar kesadaran. Pada fase pengosongan, isi seluruh
kandung kemih dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat mempercepat atau memperlambat
miksi menurut kehendaknya secara sadar, tanpa dipengaruhi kuatnya rasa ingin kencing. Cara
kerja kandung kemih yaitu sewaktu fase pengisian otot kandung kemih tetap kendor sehingga
meskipun volume kandung kemih meningkat, tekanan di dalam kandung kemih tetap rendah.
Sebaliknya otot-otot yang merupakan mekanisme penutupan selalu dalam keadaan tegang.
Dengan demikian maka uretra tetap tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di dalam kandung kemih
meningkat karena kontraksi aktif otot-ototnya, sementara terjadi pengendoran mekanisme
penutup di dalam uretra. Uretra membuka dan urine memancar keluar. Ada semacam kerjasama
antara otot-otot kandung kemih dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun sewaktu fase
pengeluaran. Pada kedua fase itu urine tidak boleh mengalir balik ke dalam ureter (refluks).
Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali. Sfingter
uretra eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah control volunter dan disuplai oleh saraf
pudenda, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah
kontrol sistem safar otonom,yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak. Kandung kemih terdiri
atas 4 lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan submukosa dan lapisanmukosa.
Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi dan bila otot kandung kemih
berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses berkemih berlangsung. otot detrusor
adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung kemih. Mekanisme detrusor
meliputi otot detrusor,saraf pelvis, medula spinalis dan pusat saraf yang mengontrol berkemih.
Ketikakandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsangan saraf diteruskan melalui saraf
pelvis dan medula spinalis ke pusar saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada
ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi
tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian kandung
kemih berlanjut,rasa penggebungan kandung kemih disadari, dan pusat kortikal (pada
lobusfrontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikaldan
subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin.
Komponen penting dalam mekanisme sfingter adalah hubungan urethra dengan kandung kemih
dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan agulasi yang tepat antara urethra
dan kandung kemih.Fungsi sfingter urethra normal juga tergantung pada posisi yang tepat dari
urethra sehiingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara efektif ditrasmisikan ke
uretre. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar pada saat tekanan atau batuk
yang meningkatkan tekanan intra-abdomen. Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh
refleks-refleks yang berpusat dimedula spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat
berkemih. Pada fase pengisian kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom
simpatis yang mengakibatkan penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih
serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inversisomatik pada otot dasar
panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan
parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung
kemih. Proses reflek ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak,
korteks serebri dan serebelum. Pada usia lanjut biasanya ada beberapa jenis inkontinensia urin
yaitu ada inkontinensia urin tipe stress, inkontinensia tipe urgensi, tipe fungsional dan tipe
overflow..
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:
Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin.
Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine banyak dalam
kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa
perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain : melemahnya otot dasar panggul
akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini
mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan)
abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit,
sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait
dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat
atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah
bisa karena infeksi. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urine berlebih karena
berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus
dipantau
Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan
otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia
lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan
dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan.
Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan
jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya
inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause
(50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih
(uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah
obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan
inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia
urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.
2.1.4 Manifestasi Klinis
1) Desakan berkemih, di sertai ketidakmampuan mencapai kamar mandi karena telah berkemih
2) Frekuensi, dan nokturia.
3) Inkontinensia stres, dicirikan dengan keluarnya sejumlah kecil urin ketika tertawa, bersin,
melompat, batuk atau membungkuk.
4) Inkontinensia overflow, dicirikan dengan aliran urin buruk atau melambat dan merasa menunda
atau mengedan.
5) Inkontinensia fungsional, dicirikan dengan volume dan aliran urin yang adekuat
6) Higiene buruk atau tanda- tanda infeksi

2.1.5 WOC

Persalinan pervaginan

Proses menua

Peningkatan produksi urine (DM)

ISK

Peregangan otot jaringan/ robekan jalan lahir

Melemahnya otot dasar panggul

Tidak dapat menahan air kencing

Kadar hormone menurun

Otot dasar panggul rusak

Posisi kandung kemih prolap


Melemahkan tekanan/ tekanan akhiran kemih keuar

hiperglikemia

Perpindahan cairan intraseluler secara osmotik

Ginjal reobsorpsi kelebihan glukosa

glukosuria

MK: Resti infeksi

poliuria

MK: Kekurangan volum cairan

Refluks urtrovesikal

Menyebarnya infeksi dari uretra

Melemahnya otot detrusor

Sfingter dan otot dasar panggul terganggu

Pengosongan kandung kemih tidak sempurna

INKOTINENSIA URINE

MK: Gg rasa nyaman nyeri

MK: Kelelahan

urgensi

nokturia

mengompol

Desakan berkemih

MK: Isolasi social

Cara Perawatan Inkontinensia Urin


Masukan cairan / minum cukup
Latihan buang air kecil (BAK) teratur
Biasakan buang air besar (BAB) secara teratur
Latihan otot dasar panggul
Kurangi minum kopi dan teh

2.1.6 Klasifikasi
1. Inkontinensia Urin Akut Reversibel
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet
sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin
umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat
memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia
persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya. Resistensi urin
karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia
urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis) mungkin akan
memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut.
Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia
urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat
menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya
inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinya
inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic alfa,
analgesicnarcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic. Untuk mempermudah
mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat dilihat akronim di bawah
ini :
 Delirium
 Restriksi mobilitas, retensi urin
 Infeksi, inflamasi, Impaksi
 Poliuria, pharmasi
2. Inkontinensia Urin Persisten
Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi
anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih
bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis. Kategori klinis
meliputi :
 Inkontinensia akibat stress
Merupakan eliminasi urine diluar keinginan melalui uretra sebagai akibat dari
peningkatan mendadak pada tekanan intra-abdomen. seperti pada saat batuk, bersin
atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul,
merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia dibawah 75 tahun. Lebih
sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada
sfingter urethra setelah pembedahan trans urethral dan radiasi. Pasien mengeluh
mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar
dapat sedikit atau banyak.
 Urge Incontinence
Terjadi bila pasien merasakan drongan atau keinginan untuk urinasi tetapi tidak mampu
menahannya cukup lama sebelum mecapai toilet. Inkontinensia urin jenis ini umumnya
dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overactivity). Masalah-
masalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini, meliputi
stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh tak
cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga
timbul peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab
tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi inkontinensia urgensi
adalah hiper aktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami
kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama sekali.
Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh
karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai
inkontinensia urine tipe lain sehingga penanganannya tidak tepat.
 Overflow Incontinence
Ditandai oleh eliminasi urine yang sering dan kadang-kadang terjadi hampir terus-
menerus terjadi. Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan kansdung
kemih tidak dapat mengosongkan isinya secara normal dan megalami distensi yang
berlebihan. Meskipun eliminasi urine sering terjadi, kandug kemih tidak pernah kosong.
Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor
neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan
berkurang atau tidak berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-obatan.
Pasien umumnya mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa
kandung kemih sudah penuh.
 Inkontinensia urin fungsional
Merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi
ada factor lain, seperti angguan kognitif berat yang membuat pasien sulit untk
mengidentifkasi perlunya miksi (demensia alzhimer) atau gangguan fisik yang
menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau toilet untuk melakukan
urinasi. Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran
urine akibat faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia
berat, masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang menyebabkan kesulitan
unutk pergi ke kamar mandi, dan faktor psikologis. Seringkali inkontinensia urin pada
lansia muncul dengan berbagai gejala dangan membran urodinamik lebih dari satu tipe
inkontinensia urin. Penatalaksanaan yang tepat memerlukan identifikasi semua
komponen.

2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik


1) Tes diagnostik pada inkontinensia urin
(Menurut Ouslander), tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan
untuk mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia,
mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia. Mengukur sisa
urine setelah berkemih, dilakukan dengan cara :
Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau
menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti
pengosongan kandung kemih tidak adekuat. Urinalisis, dilakukan terhadap spesimen
urine yang bersih untuk mendeteksi adanya factor yang berperan terhadap terjadinya
inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes
diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes
lanjutan tersebut adalah :
 Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium
glukosa sitologi.
 Tes urodinamik adalah untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian
bawah
 Tes tekanan urethra adalah mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat
dinamis
 Imaging adalah tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.
2) Pemeriksaan penunjang Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa
menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urine pasca berkemih perlu diperkirakan pada
pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau
kateterisasi urine. Merembesnya urin pada saatdilakukan penekanan dapat juga
dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan
ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa
dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin sering kali dapat dilihat. Informasi
yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak
adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.
3) Laboratorium Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk
menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuri.
4) Catatan berkemih (voiding record) Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola
berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami
inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, dan gejala berkaitan dengan
inkontinensia urin. Pencatatan pola berkemih tersebut dilakukan selama 1-3 hari.
Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau respon terapi dan juga dapat
dipakai sebagai intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan pasien faktor-faktor
yang memicu terjadinya inkontinensia urin pada dirinya.

2.1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor
resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi
lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut
di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
1) Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar,
baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu
catat waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
2) Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urine,
seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-
lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
 Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan
teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari.
 Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya.
 Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam,
selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
 Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan
kebiasaan lansia.
 Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih
mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih.
Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
 Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul
secara berulang-ulang.
3) Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah:
 antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine
Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu :
 pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.

Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti :


 Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi,
dan terapidiberikan secara singkat.
4) Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi
non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya
memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini
dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic
(pada wanita).
Penatalaksanaan pembedahan
Ada berbagai macam tindakan bedah yang dapat dilakukan : perbaikan vagina,
suspensi kandung kemih pada abdomen dan elevasi kolum vesika urinaria. Sfingter
artificial yang dimodifikasi dengan megunakan balon karet-silikon sebagai mekanisme
penekanan swa-regulasi dpat digunakan untuk menutup uretra. Metode lain untuk
mengontrol inkontinensia stress adalah aplikasi stimulasi elektronik pada dasar panggul
dengan bantuan pulsa generator miniature yang dilengakapi electrode yang dipasang
pada sumbat intra-anal.
5) Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan
inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang
mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu
toilet sepertiurinal, komod dan bedpan
6) Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karenadapat menyebabkan
infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukanbatu. Selain kateter menetap, terdapat kateter
sementara yang merupakanalat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung
kemih.Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkankandung kemih. Namun
teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi padasaluran kemih.
7) Alat bantu toilet
Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjutyang tidak mampu
bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebutakan menolong lansia terhindar dari jatuh
serta membantu memberikankemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.
8) Latihan Otot Dasar Panggul
 Posisi tidur telentang dengan kedua kaki ditekuk sehingga otot panggul sejajar dengan lantai.
 Tahan otot panggul seperti menahan kencing selama sepuluh hitungan atau sesanggupnya.
 Lepaskan dan relaks selama sepuluh hitungan.
 Lakukan lagi dan lepaskan lagi lebih kurang 5x latihan.
 Lakukan sebanyak 3x sehari (pagi, siang dan malam)

2.2 ASKEP Teori


2.2.1 Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, alamat, suku bangsa,
tanggal, jam MRS, nomor registrasi, dan diagnosa medis.
2. Riwayat kesehatan
 Riwayat kesehatan sekarang
Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului inkonteninsia (stres,
ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik, kekuatan dorongan/aliran
jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin
berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.
 Riwayat kesehatan dahulu
Apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan
eliminasi klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi
saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
 Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa dengan klien dan
apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.
3. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari terjadinya
inkontinensia
4. Pemeriksaan Sistem :
B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun. kaji
ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
B4 (bladder)
Inspeksi : periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya aktivitas
mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi
pada bladder, pembesaran daerah suprapubik lesi pada meatus uretra, banyak kencing dan nyeri
saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter
sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu
kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen, adanya
ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri
pada persendian.
5. Pengkajian Psikososial
 Bersedih
 Murung
 Mudah tersinggung
 Mudah marah
 Isolasi social
 Perubahan peran
2.2.2 Diagnose keperawatan Yang Mungkin Muncul
 Gangguan rasa nyaman nyeri b/d penyebaran infeksi dari uretra
 Kekurangan Volum cairan b/d diuresis osmotic
 Resiko tinggi infeksi b/d glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia)
 Kelelahan b/d kelemahan otot
 Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat mengompol dan bau urine

2.2.3 NCP
NO Diagnosa Tujuan kriteria hasil Intervensi Rasional
keperawatan

1. Gangguan rasa Setelah  Nyeri Mandiri :


nyaman nyeri b/d dilakukan terkntrol Kaji nyeri,  Memberi kan
penyebaran infeksi tindakan atau hilang perhatikan lokasi, informasi untuk
dari uretra kepeawatan  Klien dapatintensitas atau membantu dalam
selama 2x24 kembali skala nyeri dan menentukan
jam tenang danlamanya nyeri pilihan dan
diharapakan rileks keefektifan
nyeri dapat  Klien intervensi
teratasi atau mampu Catat lamanya Membantu
berkurang beristirahat intensitas (skala 0- mengevaluasi
seperti 10) dan penyebarantempat obstruksi
biasanya dan kemajuan
gerakan kalkulus
Berikan Meningkat-kan
tindakan
keyamanan. relaksasi,
Contoh : memfokus-kan
Membantu pasie kembali perhatian
memberikan posisi dan dapat
yang nyaman, meningkat-kan
mendorong kembali
penggunaan kemampuan
relaksasi atau koping
latihan nafas dalam
Kolaborasi
Berikan obat sesuai
indikasi.
Contoh: analgesik
 Meng-hilangkan
nyeri,
menentukan obat
yang tepat untuk
mencegah
fluktuasi nyeri
Berikan pemanasanber-hubungan
local sesuaidengan tegangan
indikasi Digunakan untuk
me-ningkatkan
relaksasi, dan
sirkulasi
Kekurangan Klien  TTV stabil Mandiri :
Volum cairan b/d menunjukkan Membrane Dapatkan riwayat Untuk memperoleh
diuresis osmotic hidrasi yang mukosa pasien/ orang data tentang
adekuat/ bibir lembab terdekat penyakit pasien,
kekurangan  Turgor kulitsehubungan agar dapat
cairan dapat elastic dengan lamanya melakukan
diatasi  Intake dangejala seperti tindakan sesuai
output muntah dan yang dibutuhka
seimbang pengeluaran urine
yang berlebihan
Pantau TTV, catat  Indicator
adanya perubahan hidrasi/volum
TD sirkulasi dan
warna kulit dan kebutuhan
kelembaban-nya intervensi.
Pantau masukan dan
pengeluaran urine
Membandingkan
keluaran actual
dan yang
diantisipasi
membantu dalam
evaluasi adanya/
derajat stasis/
kerusakan ginjal
Timbang BB setiapPeningkatan BB
hari yang cepat
mungkin
berhubungan
dengan retensi
Pertahankan untuk  Memper-tahankan
memberikan cairan keseimbangan
paling sedikit 2500 cairan
ml/hari dalam batas
yang dapat
ditoleransi jantung

Kolaborasi:
Berikan terapi cairan
sesuai indikasi
Berikan cairan IV
Memenuhi
kebutuhan cairan
tubuh
Mempertahankan
volum sirkulasi,
meningkatkan
fungsi ginjal
3. Resiko tinggi Mandiri:
infeksi b/d glukosa Berikan perawatan Untuk mencegah
darah yang tinggi perineal dengan air kontaminasi
(hiperglikemia) sabun setiap shift. uretra.
Jika pasien
inkontinensia, cuci
daerah perineal
sesegera mungkin.
Jika di pasang
kateter indwelling,
berikan perawatan
kateter 2x sehari
(merupakan bagian
dari waktu mandi Kateter
pagi dan pada memberikan jalan
waktu akan tidur) pada bakteri
dan setelah buang untuk memasuki
air besar kandung kemih
Kecuali dan naik ke
dikontraindikasika saluran
n, ubah posisi perkemihan
pasien setiap 2jam
dan anjurkan
masukan sekurang-
kurangnya 2400 ml
/ hari. Bantu
melakukan Untuk mencegah
ambulasi sesuai stasis urine.
dengan kebutuhan.
Berikan terapi
antibiotoik

Mungkin diberikan
secara profilaktik
sehubungan
dengan
peningkatn resiko
infeksi
2.2.4 Imlementasi
Dilaksanakan sesuai dengan rencana tindakan, menjelaskan setiap tindakan yang akan dilakukan
sesuai dengan pedoman atau prosedur tekhnis yang telah ditentukan.

2.2.5 Evaluasi
Pengukuran efektifitas intervensi askep yang telah disusun dan tujuan yang ingin dicapai ada 3
kemungkinan:
1) Tujuan tercapai
2) Tujuan tercapai sebagian
3) Tujuan tidak tercapai
BAB III
ASKEP KASUS

3.1. Pengkajian
1.Identitas klien
 Nama : Ny. Y
 Umur : 67 th
 Jenis Kelamin : perempuan
 Agama : islam
 Status Perkawinan : kawin
 Suku Bangsa : serawai
 Pendidikan : SD
 Pekerjaan : tidak bekerja
 Tgl masuk RS : 4 April 2012
 No. Register : 15665
Penanggung Jawab
 Nama : Tn. F
 Umur : 60 th
 Pekerjaan : swasta
 Alamat : Hibrida 10
2. Riwayat Kesehatan
 Alasan kunjungan/keluhan utama :
Klien datang dengan keluarganya ke RS dengan keluhan ingin BAK terus-menerus dan tidak bisa
ditahan sampai ke toilet.
 Riwayat kesehatan sekarang
Klien mengatakan kencingnya lebih dari 10 kali dalam sehari. Klien juga mengatakan dia tidak
bisa menahan kencingnya, karena dia tidak sempat lagi untuk sampai toilet. klien mengaku dia
mengurangi minum agar tidak mengompol lagi. Klien mengatakan sering menahan haus. Klien
mengatakan lecet-lecet pada kulitnya. Klien mengatakan malu apabila keluar rumah, karena
mengompol dan bau air kencingnya yang menyengat. sehingga hanya diam dirumah.

 Riwayat kesehatan dulu


Klien mengatakan tidak pernah mengalami penyakit yang sama sebelumya. Klien mengatakan
pernah dirawat di RS dan dipasang kateter.
 Riwayat penyakit keluarga
Klien mengatakan keluarganya tidak pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya dan
tidak ada penyakit keturunan.
3. Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum : klien tampak lemas, dan gelisah
b) Tanda-Tanda Vital :
 TD : 160/90 mmHg
 ND : 90x/i
 RR : 18x/i
 S : 370C
c) Integumen
 Kulit kering dan keriput
 Terdapat luka tekan (dekubitus)
d) Kepala
 Simetris dan tidak ada benjolan, warna rambut putih, distribusi rambut merata
e) Mata
 Konjungtiva
 Pupil : an isokor
f) Telinga
 Bersih, tidak ada serumen
g) Mulut dan gigi
 Gigi tanggal
 Mulut kering, air liur mudah mengental
 Bibir pecah-pecah
h) Leher
 Tidak ada pembesaran kelenjar tyroid atau pembesaran limpa nodi
i) Kardiovaskuler
 Peningkatan TD
j) Abdomen
 Bising usus (+), Pulsasi, nyeri tekan abdomen
k) Perkemihan
 Inkontinensia urine, BAK .> 10 kali, Lebih dari 1500-1600 ml dalam 24 jam
 Nyeri saat mengeluarkan urine
l) Genetalia
 Kelemahan otot vagina dan uterus
m) Ekstremitas
 Kelemahan
n) System endokrin
 Penurunan produksi hormon estrogen
4. Pengkajian psikososial
 Murung
 Mudah tersinggung
 Mudah marah
 Depresi
 Dimensia
 Isolasi social
 Perubahan peran
5. Pengkajian lingkungan
 Kondisi rumah :
 Penerangan : penerangan baik, pada siang hari ada cahaya dari ventilasi rumah
 Lantai : lantai tidak licin
 Keadaan rumah datar
 Tata ruang
 Tata ruang tidak sering diubah
 Kamar mandi jauh, didekat dapur
 Peralatan yang diperlukan tidak jauh dari jangkauan

Pengkajian skala resiko


Skala Norton
skor skor
Keadaan umum: Aktivitas :
Baik 4 Ambulan 4
Lumayan 3 Ambulan dengan bantuan
Buruk 2 Hanya bisa duduk 3
Sangat buruk 1 Tiduran
2

1
Kesadaran : Inkontinensia :
Kompos mentis 4 Tidak 4
Apatis 3 Kadang-kadang 3
2 Sering 2
Strupor/koma 1 Alvi dan urine 1
Mobilitas:
Bergerak bebas 4
Sedikit tebatas 3 SKOR TOTAL 14
Sangat terbatas 2
Tidak bisa bergerak 1
Nilai < 12 : RESIKO TINGGI
Nilai <16 : BERESIKO
Skor total pasien Ny. Y adalah 14. Jadi Ny.Y beresiko.

6. Metode penilaian kemampuan fungsional


INDEX KATZ
 Continence
 Tidak mampu mengendalikan BAK
 Tidak bisa menahan BAK
 Bathing
 Kesulitan toileting
 Tidak mampu menahan urinasi untuk mencapai toilet
 Doing personal toileting
 Mencuci muka
 Membasahi rambut, tangan, telinga
 Mencuci tangan hanya setelah makan
 Setelah BAK/BAB tidak mencuci tangan dengan sabun
 Tidak ada perawatan khusus
 Dressing
 Mengenakan pakaian dalam, rok, celana
 Mengenakan baju yang mudah digunakan apabila ingin urinasi, tidak menggunakan jaket
 Mengancingkan baju
 Tidak mengenakan kaos kaki, tidak menggunakan sepatu, atau menali sepatu
 Tidak menggunakan sarung tangan, menggunakan tutup kepala
 Feeding
 Memegang, mengambil, memasukkan makanan/minum dalam mulut sendiri
 Pasien bisa mengunyah
 Pasien bisa menelan
 Walking and transferring
 Pasien mengalami keterbatasan berjalan
 Tidak menaiki dan menuruni tangga
 Tidak mampu untuk lari
 Tidak berjalan menggunakan kursi roda, tetapi memegang objek untuk menahan
 Mampu merubah posisi dari berbaring ke duduk dan sebaliknya, memegang objek untuk menahan
 Mampu merubah posisi dari duduk ke berdiri dari kursi roda, memegang objek utuk menahan
 Perpindahan dari dan ke tempat tidur posisi berdiri
 Mendekati kursi roda/tempat tidur
Klasifikasi INDEX KATZ
C : Mandiri kecuali bathing dan 1 fungsi lain

Modifikasi dari Barthel indeks, termasuk yang manakah klien


NO Krteria Dgn bantuan Mandiri ket
1. Makan 5 10 Frekuensi: sering
Jumlah: sedikit-
sedikit
Jenis: nasi, lauk,
sayur
2. Minum 5 10 Frekuensi: jarang
Jumlah: sedikit
Jenis:air putih
3. Berpindah dari kursi roda 5-10 15 8
ketempat tidur
4. Personal toilet (cuci muka, 0 5 Frekuensi: 2kali
menyisir rambut, gosok sehari
gigi)
5. Keluar masuk toilet 5 10 5
(mencuci pakaian, menyeka
tubuh, menyiram)
6. Mandi 5 15 5
7. Jalan dipermukaan datar 0 5 5
8. Naik turun tangga 5 10 5
9. Mengenakan pakaian 5 10 10
10. Control bowel (BAB) 5 10 Fekuensi : sering
Konsistensi:
encer
11. Control bladder (BAK) 5 10 Frekuensi: sering
Warna: keruh
12. Olahraga/latihan 5 10 Frekuensi: 1
minggu 2kali
Jenis: senam
santai,
peregangan otot
agar relaksasi
13. Rekreasi atau pemanfaatan 5 10 Frekuensi: sering
waktu luang Jenis: nonton tv,
liburan dengan
keluarga

Keterangan :
a. 130 : mandiri
b. 65-125 : ketergantungan
c. 60 : ketergantungan total
Skor penilaian yang diperoleh adalah 83. Klien merupakan klien dengan ketergantungan.

7. SCREENING FALLS
 Fungtional Reach (FR) test
Usia 67 nilai < 5 inci risiko roboh
 The timed Up and Go (TUG) test
Berdiri dari kursi, berjalan 10 langkah, kembali kekursi, ukur waktu dalam detik
 28 detik : variable mobility
8. Pengkajian status kognitif / afektif (status mental)
Pengkajian status mental gerontik
Identifikasi tingkat kerusakan intelektual dengan menggunakan Short Portable Mental
Status Questioner (SPMSQ)
BENAR SALAH NO PERTANYAAN
01 Tgl berapa hari ini?
 02 Hari apa sekarang ini?
 03 Apa nama tempat ini?
 04 Dimana alamat anda?
05 Berapa umur anda?
06 Kapan anda lahir?
 07 Siapa presiden Indonesia sekarang?
08 Siapa presiden Indonesia sebelumya?
 09 Siapa nama ibu anda?
 10 20-3, 10-3, 5-3
Jumlah : 6 Jumlah : 4

Score total : 10
Interpretasi hasil :
Salah 4 : kerusakan inelektual ringan

Identifikasi aspek kognitif dari fungsi mental dengan menggunakan MMSE (Mini Mental Status
Exam)
 Orientasi
 Registrasi
 Perhatian
 Kalkulasi
 Mengingat kembali
 Bahasa

NILAI NILAI
NO ASPEK KOGNITIF KRITERIA
MAKS KLIEN

1. Orientasi 5 3 Menyebutkan dengan benar:


Tahun
Musim
Tanggal
Hari
Bulan
2. Orientasi 5 5 Dimana kita sekarang berada?
 Negara Indonesia
 Propinsi Bengkulu
 Kota Bengkulu
3. Registrasi 3 3 Sebutkan nama 3 objek (oleh
pemeriksa) detik untuk mengatakan
masing-masing objek. Kemudian
tanyakan kepada klien ke3 objek
tadi (untuk disebutkan)
 Anak
 Cucu
 Rumah
4. Perhatian dan kalkulasi 5 3 Minta klien untuk memulai dari
angka 10 kemudian dikurang7
sampai 5 kali/ tingkat
93
86
79
72
65
5. Mengingat 3 3 Minta klien untuk mengulangi ke 3
objek pada no 2 (registrasi) tadi,
bila benar 1 point untuk masing-
masing objek
6. Bahasa 9 1 Tunjukan pada klien suatu benda
dan tanyakan namanya pada klien
 (buku)
 (meja)
Minta klien untuk mengulang kata
berikut : “tak ada, jika, dan, ada,
atau, tetapi” bila benar nilai satu
point
Minta klien untuk mengikuti
perintah berikut yang terdiri dari 3
langkah : “ambil kertas ditangan
anda, lipat dua dan taruh dilantai”
 Ambilkertas ditangan anda
 Lipat dua
 Taruh dilantai
Perintahkan pada klien untuk hal
berikut (bila aktifitas sesuai perntah
nilai satu point)
 Tutup mata anda
Perintahkan pada klien untuk
menulis satu kalimat dan menyalin
gambar
Tulis satu kalimat
Menyalin gambar
Total nilai 18 Kerusakan aspek f/ mental ringan

9. Pengkajian keseimbangan untuk klien lansia


Pengkajian posisi/gerakan keseimbangan
a) Bangun dari kursi
Tidak bangun dari duduk dengan satu kali gerakan, tetapi mendorong tubuhnya keatas dengan
tangan, tidak stabil pada saat berdiri pertama sekali. (1)
b) Duduk ke kursi
Menjatuhkan diri ke kursi, tidak duduk ketengah kursi (1)
c) Menahan dorongan pada sternum (pemeriksa mendorong sternum perlakan-lahan sebanyak 3
kali
Klien memegang objek untuk dukungan (1)

d) Mata tertutup
Klien menggerakkan kaki dan memegang objek untuk dukungan. (1)
e) Perputaran leher
Menggenggam objek untuk dukungan, pusing/keadaan tidak stabil.(1)
f) Gerakan menggapai sesuatu
Tidak stabil (1)
g) Membungkuk
Memegang objek untuk bisa berdiri lagi (1)

Komponen gaya berjalan/gerakan


Minta klien untuk berjalan kearah yang ditentukan
Klien ragu-ragu (1)
Ketinggian langkah kaki
Kaki tidak naik dari lantai secara konsisten.(1)
Analisa Data

NO Data Etiologi Masalah


1. DS : Sering berkemih, Perubahan pola
Klien mengatakan ingin BAK terusurgensi eliminansi
menerus
Klien mengatakan kencingnya lebih dari
10 kali dalam sehari.
Klien juga mengatakan dia tidak bisa
menahan kencingnya
DO:
Klien sering mengompol
2. DS : Pemasangan kateter Resiko tinggi infeksi
Klien mengatakan nyeri pada saat
mengeluarkan urine
Klien mengatakan pernah dirawat di RS
dan dipasang kateter.
DO:
Klien tampak meringis menahan sakit
apabila berkemih
3. DS : Intake dan output yangKekurangan volum
Klien mengatakan jarang minum agartidak adekuat cairan
tidak mengompol
Klien mengatakan sering menahan haus
DO :
Jumlah urine lebih dari 1500-1600 mm
dalam 24 jam
klien tampak lemas
kulit klien kering

3.3 Diagnosa Keperawatan


1) Kekurangan volum cairan berhubungan dengan intake dan output yang tidak adekuat
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter
3) Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan sering berkemih, urgensi
3.4 Proses Asuhan Keperawatan
NO Dx Tujuan Kriteria hasil Intervensi Rasional
keperawatan
1. Kekurangan Setelah  TTV stabil Mandiri :
volum cairan dilakukan  Membrane mukosaDapatkan riwayat Untuk memperoleh
berhubungan intervensi bibir lembab pasien/ orang data tentang
dengan intake selama  Turgor kulit elastic terdekat sehubungan penyakit pasien,
2x24
dan output  Intake dan output dengan lamanya
jam diharapkan agar dapat
yang tidak Klien seimbang gejala seperti melakukan
adekuat menunjukkan muntah dan tindakan sesuai
hidrasi yang pengeluaran urine yang dibutuhkan
adekuat/ yang berlebihan
kekurangan Pantau TTV, catat  Indicator
cairan dapat adanya perubahan hidrasi/volum
diatasi TD warna kulit dan sirkulasi dan
kelembaban-nya kebutuhan
Pantau masukan dan intervensi.
pengeluaran urine
Membandingkan
keluaran actual
dan yang
diantisipasi
membantu dalam
evaluasi adanya/
derajat stasis/
kerusakan ginjal
Timbang BB setiap  Peningkatan BB
hari yang cepat
mungkin
berhubungan
dengan retensi
 Memper-tahankan
keseimbangan
Pertahankan untuk cairan
memberikan cairan
paling sedikit 2500
ml/hari dalam batas
yang dapat
ditoleransi jantung
Kolaborasi:
Berikan terapi cairan
sesuai indikasi  Memenuhi
Berikan cairn IV kebutuhan cairan
tubuh
Mempertahankan
volum sirkulasi,
meningkatkan
fungsi ginjal
2. Resiko tinggi Setela Tidak mengalami Mandiri:
infeksi dilakukan tanda nfeksi Berikan perawatan  Untuk mengah
berhubungan intervensi perineal dengan air kontaminasi uretra
dengan selama 2x24 sabun setiap shift.
pemasangan jam diharapkan Jika pasien
kateter infeksi dapat inkontinensia, cuci
teratasi daerah perineal Kateter
sesegera mungkin. memberikan jalan
Jika di pasang kateter pada bakteri untuk
indwelling, berikan memasuki
perawatan kateter 2x kandung kemih
sehari (merupakan dan naik ke
bagian dari waktu saluran
mandi pagi dan pada perkemihan
waktu akan tidur)
dan setelah buang
air besar
Kecuali
dikontraindikasikan,
ubah posisi pasien Untuk mencegah
setiap 2jam dan stasis urine
anjurkan masukan
sekurang-kurangnya
2400 ml / hari.
Bantu melakukan
ambulasi sesuai
dengan kebutuhan.
Kolaborasi:
Berikan antibiotic
sesuai indikasi

Mungkin diberikan
secara profilaktik
sehubungan
dengan peningkatn
resiko infeksi

3. Perubahan polaMengurangi Individu akan Mandiri :


eliminasi atau mengatasiMenjadi kontinen Tentukan pola  Kalkulus dapat
berhubungan pola eliminasi(terutama selama berkemih menyebabkan
dengan seringagar dapatsiang hari, malam, normalpsien dan eksitalitas saraf,
berkemih, berkemih 24 jam) dan tentukan variasi yang
urgensi normal mampu menyebabkan
mengidentifikasi sensasi berkemih
penyebab segera. Biasanya
inkontinens dan frekuensi dan
rasional untuk urgensi meningkat
pengobatan bila kalkulus
mendekati
pertemuan
uretrovesikal
 Peningkatan
hidrasi membilas
bakteri, darah,dan
Dorong debris dan dapat
mningkatkan membantu
pemasukan cairan lewatnya batu
 Retensi urine
dapat terjadi
menyebabkan
distensi jaringan
dan potensial
resiko infeksi,
Selidiki keluhan gagal ginjal
kandung kemih
 Menentukan
penuh, palpasi untuk
daerah suprapubik adanya ISK, yang
penyebab atau
gejala komplikasi

Kolaborasi:
Ambil urine untuk
kultur dan sensivitas

3.4 Catatan perkembangan


NO Diagnosa keperawatan Implementasi Evaluasi
1. Kekurangan volum cairan Jam 8.00 WIB Jam 10.00 WIB
berhubungan dengan sering Mandiri : S:
berkemih, urgensi mendapatkan riwayat pasien/ Klien mengatakan masih
orang terdekat sehubungan BAK terus menerus,
dengan lamanya gejala tetapi sudah berkurang
seperti muntah dan frekuensinya
pengeluaran urine yang Klien mengatakan
berlebihan kencingnya sudah kurang
memantau TTV, catat adanya dari 10 kali dalam sehari.
perubahan TD warna kulit  Klien mengatakan dia
dan kelembaban-nya masih tidak bisa menahan
memantau masukan dan kencingnya
pengeluaran urine
menimbang BB setiap hari O:
mempertahankan untuk  Klien terlihat masih
memberikan cairan paling mengompol tetapi sudah
sedikit 2500 ml/hari dalam berkurang frekuensinya

batas yang dapat ditoleransi TTV:
jantung TD : 150 mmHg
Kolaborasi: ND : 70x/i
memberikan terapi cairan S : 370C
sesuai indikasi RR : 18x/i
memberikan cairn IV
A:
Masalah belum teratasi

P:
Intervensi dilanjutkan
pantau masukan dan
pengeluaran urine
memberikan terapi cairan
sesuai indikasi
memberikan cairan IV
2. Resiko tinggi infeksi Jam 12.00 WIB Jam 14.00 WIB
berhubungan dengan Mandiri: S:
pemasangan kateter memberikan perawatan  Klien mengatakan
perineal dengan air sabun nyerinya berkurang pada
setiap shift. Jika pasien saat mengeluarkan urine
inkontinensia, cuci daerah O:
perineal sesegera mungkin. Klien tampak rileks,
Jika di pasang kateter meskipun terkadang
indwelling, memberikan masih terlihat meringis
perawatan kateter 2x sehari A:
(merupakan bagian dari Masalah teratasi sebagian
waktu mandi pagi dan pada P :
waktu akan tidur) dan Intervensi dilanjutkan
setelah buang air besar ubah posisi pasien setiap
Kecuali dikontraindikasikan,2jam dan anjurkan
mengubah posisi pasienmasukan sekurang-
setiap 2jam dan anjurkankurangnya 2400 ml / hari.
masukan sekurang-memberikan antibiotic
kurangnya 2400 ml / hari. sesuai indikasi
membantu melakukan
ambulasi sesuai dengan
kebutuhan.
Kolaborasi:
memberikan antibiotic sesuai
indikasi
3. Perubahan pola eliminasi Jam 20.00 WIB Jam 22.00 WIB
berhubungan dengan sering Mandiri : S:
berkemih, urgensi menentukan pola berkemih Klien mengatakan belum
normal pasien dan tentukan berani minum banyak
variasi agar tidak mengompol
mendorong mningkatkan  Klien mengatakan
pemasukan cairan terkadang masih
menyelidiki keluhan menahan haus
kandung kemih penuh, O:
palpasi untuk daerah  klien masih tampak
suprapubik sedikit lemas
Kolaborasi:  kulit klien masih terlihat
mengambil urine untuk kering
kultur dan sensivitas
A:
Masalah teratasi sebagian

P:
Intervensi dilanjutkan
tentukan pola berkemih
normal pasien dan
tentukan variasi
dorong meningkatkan
pemasukan cairan
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan kencing. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang baik, dengan beberapa prosedur diagnostik yang diperlukan mempunyai
hasil yang baik untuk menegakkan diagnosis gangguan ini. Jenis inkontinensia urine yang utama
yaitu inkontinensiastres, urgensi, luapan dan fungsional. Penatalaksanaan konservatif
dilakukanpada kasus inkompetem sfingter uretra sebelum terapi bedah. Bila dasar inkontinensia
neurogen atau mental maka pengobatan disesuaikan dengan faktor penyebab.
4.2 Saran
Agar penderita inkontinensia urine tetap menjaga kebersihan diri agar terhindar dari
infeksi pada saluran kemih bagian bawah dan tetap menjaga keseimbangan intake dan output
cairan, agar tidak terjadi deficit volum cairan.

DAFTAR PUSTAKA

FKUI. 2006. Ilmu Penyakit Dalam jilid III, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI
Brunner & Suddarth, 2002. Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : EGC
Doengoes, E Marilynn, 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai