Pengelompokan siswa. Untuk menambah tingkat keterlibatan, para siswa mungkin dikelompokkan
dalam beberapa cara: dalam satu kelompok besar, dipimpin oleh guru atau siswa lain; dalam kelompok-
kelompok kecil, baik mengerjakan pekerjaan sendiri maupun aktivitas instruksional dengan guru; atau
mandiri.
Di dalam kelompok-kelompok kecil, tingkat kemampuan dan keterampilan siswa di dalam suatu bidang
bisa homogen atau heterogen. Pengelompokan bisa berpasangan, bertiga, atau dalam konfigurasi lain
yang dibuat oleh siswa maupun guru.
Keputusan-keputusan guru tentang pengelompokan siswa didasarkan pada sejumlah pertimbangan. Yang
paling penting, jenis kelompok pembelajaran harus merefleksikan apa yang ingin dicapai oleh guru dan
harus mendukung tujuan.
Di beberapa kasus, kelompok homogen yang mengerjakan tugas sendiri akan menjadi yang paling efektif.
Pada saat yang lain, sebuah presentasi kelompok besar, diikuti oleh kelompok-kelompok heterogen,
mungkin sudah memadai.
Perlu dicatat bahwa guru biasanya memvariasikan pengelompokan instruksional dalam satu pelajaran
tunggal, dan mereka pasti mengubahnya dari hari ke hari berikutnya. Kerja kelompok kecil, meskipun
strategis dan efektif untuk berbagai keperluan, akan menjadi membosankan apabila digunakan secara
eksklusif.
Tingkat performa terbaik: Kelompok pembelajaran produktif dan sesuai untuk siswa atau tujuan
pembelajaran. Siswa mengambil inisiatif untuk mempengaruhi pembentukan dan pengaturan kelompok-
kelompok pembelajaran.
Bahan ajar dan sumber belajar. Bahan ajar dapat meliputi materi apa saja yang membantu siswa
terlibat dengan konten: buku teks (buku pelajaran), bacaan, peralatan laboratorium, peta, chart, internet,
film, video, matematika manipulatif, dan lain-lain.
Sumber belajar mungkin meliputi pengunjung dari luar atau materi dari musium lokal.
Bahan ajar dan sumber belajar sendiri bukanlah melibatkan atau tidak melibatkan; tetapi adalah
penggunaan siswa atau guru atas bahan ajar atau sumber belajar tersebut yang menentukan.
Adalah penting bahwa bahan ajar dan sumber belajar tersebut sesuai dengan siswa dan dapat
diaplikasikan untuk mencapai hasil belajar.
Misalnya, siswa dapat menggunakan materi laboratorium untuk merumuskan dan menguji hipotesis
tentang suatu fenomena, atau seorang guru dapat menggunakannya untuk menyajikan eksperimen, dengan
siswa sebagai pengamat.
Tingkat performa terbaik: Bahan ajar dan sumber belajar sesuai untuk tujuan pembelajaran dan
melibatkan siswa secara mental. Siswa memulai pemilihan, penyesuaian, atau penciptaan bahan ajar
untuk meningkatkan belajar mereka.
Struktur dan ketersediaan waktu. Pelajaran yang dirancang dengan baik memiliki struktur yang jelas,
dan siswa tahu di mana mereka berada dalam struktur itu. Beberapa pelajaran memiliki awal, tengah, dan
akhir yang mudah dikenali, dengan pembukaan dan penutupan yang jelas.
Ketersediaan waktu berhubungan dengan struktur. Di kelas yang ditandai dengan keterlibatan siswa,
waktu yang cukup untuk pelaksanaan yang sesuai dengan siswa dan isi kegiatan sekaligus kesempatan
yang sesuai untuk penutupan harus tersedia.
Siswa tidak merasa tergesa-gesa dalam pekerjaan mereka, namun juga tidak terlalu lama “beristirahat”
sementara beberapa siswa lain menyelesaikan pekerjaan mereka.
Tingkat performa terbaik: Struktur pelajaran benar-benar jelas, bertalian secara logis, memungkinkan
untuk refleksi dan penutupan. Waktu untuk pelaksanaan tidak lebih dan tidak kurang, sehingga siswa
tidak tergesa-gesa sekaligus tidak berleha-leha dalam mengerjakan kegiatan pembelajaran. Ketersediaan
waktu pelaksanaan pelajaran harus cukup untuk seluruh siswa.
Sumber: Enhancing Professional Practice: A Framework for Teaching (Charlotte Danielson).
Berdasarkan kedua rujukan terakhir tersebut, maka guru harus melakukan sesuatu secara sengaja
(berusaha secara sadar dan terencana) untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran. Guru
wajib menciptakan situasi atau kondisi yang memungkinkan siswa berkembang dalam suasana belajar
atau proses pembelajaran.
Yang harus dilakukan guru terkait pembelajaran di kelas
Terkait dengan pembelajaran di kelas, guru harus kreatif untuk menciptakan lingkungan belajar yang
menantang rasa ingin tahu siswa, membangkitkan gairah siswa untuk belajar, sekaligus menyediakan
pembelajaran yang membuat siswa merasa butuh untuk belajar.
Baca juga: Menciptakan Lingkungan Kelas Yang Bersahabat Dan Saling Menghargai
Jika guru mengajar hanya menyampaikan pelajaran (berceramah, misalnya), maka wajar jika siswa tidak
tertarik dan tidak merasa membutuhkan ilmu yang diajarkan oleh guru. Akibatnya, siswa tidak mengikuti
pembelajaran secara baik.
Padahal, siswa harus menguasai kompetensi-kompetensi tertentu untuk dapat dikatakan sebagai
memenuhi kriteria — kita mengenal istilah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) — berarti ada target
yang harus dicapai oleh anak (siswa) dalam proses pembelajaran.
Jika guru hanya menunggu hingga siswa merasa butuh, maka tujuan pembelajaran tidak akan tercapai,
dan ini berarti kompetensi tidak dapat dikuasai oleh siswa.
Selanjutnya, jika guru tidak dapat membantu siswa mencapai kompetensi yang ditetapkan dalam
pembelajaran, maka berarti pembelajaran tidak berhasil. Jika pembelajaran tidak berhasil, maka guru
dapat pula dikatakan sebagai tidak berhasil menjalankan tugasnya, alias gagal!
Patut direnungkan
Apakah seorang guru profesional rela membiarkan siswanya gagal mencapai target kompetensi yang
harus dikuasai, yang pada gilirannya juga akan berdampak pada kegagalan guru dalam menjalankan
tugas? Tentu saja tidak.
Sebab itu guru akan berusaha dengan sekuat tenaga dan pikiran demi keberhasilan siswa yang menjadi
tanggung jawabnya.
Keberhasilan siswa adalah keberhasilan guru, dan keberhasilan siswa akan memberikan kepuasan batin
bagi guru. Dengan logika yang sama, maka kegagalan siswa adalah kegagalan guru, dan kegagalan siswa
akan mendatangkan kekecewaan bagi guru.
Jadi, jangan biarkan siswa acuh tak acuh dalam belajar. Lakukan sesuatu untuk membuat mereka belajar
secara benar!
Memang ada yang memiliki indera dominan untuk belajar (akan mendapatkan hasil belajar terbaik bila
dilakukan dengan indera tertentu), namun semua yang dilakukan dalam proses belajar harus dilanjutkan
sampai pada proses internalisasi, yang oleh Dryden disebut menciptakan makna.
Proses internalisasi inilah yang akan menentukan apakah seseorang akan berhasil atau gagal dalam
belajar.
Sayangnya, proses internalisasi ini masih membutuhkan dasar yang kuat yaitu pemahaman. Tanpa
pemahaman, proses internalisasi tidak ada artinya. Lebih jauh, pemahaman ini harus pula dilandasi
dengan ingatan yang baik. Anak ingat dahulu, baru kemudian dapat memahami, dan akhirnya dapat
menciptakan makna.
Berdasarkan pengamatan penulis, guru jarang menggunakan tahapan-tahapan yang berupa proses belajar
tersebut, sehingga wajar jika siswa sulit berhasil.
Banyaknya siswa yang mengikuti proses bimbingan belajar di luar sekolah (untuk mendapatkan nilai
bagus di sekolah) menunjukkan bahwa proses pembelajaran di sekolah belum dapat memenuhi kebutuhan
siswa.
Padahal, menurut Rusda Koto Sutadi, pembelajaran pada hakikatnya adalah usaha sadar guru agar siswa
dapat belajar sesuai kebutuhan dan minatnya. Jika demikian, apakah itu tidak berarti bahwa pembelajaran
yang dilakukan guru lebih banyak yang gagal daripada yang berhasil?
Latih Siswa Untuk Membaca Bijaksana
Sesungguhnya, untuk belajar yang benar (belajar sejati) diperlukan kesiapan dari si pebelajar. Kesiapan
itu bernama keterampilan dasar. Apabila belajar visual dilakukan melalui membaca, maka kepada siswa
harus dilatihkan bagaimana membaca yang benar.
Untuk membaca sendiri ada bermacam-macam sesuai tujuan membaca. Misalnya ada membaca indah,
membaca teknik, membaca cepat, membaca pemahaman, dan lain-lain. Dan membaca untuk mempelajari
sesuatu tentunya juga perlu teknik khusus.
Kecepatan membaca dengan jumlah kata per menit saja belum cukup, karena ini tidak memasuki wilayah
pemahaman. Siswa harus dapat membaca secara bijaksana, yaitu membaca dengan kecepatan ide per
menit, bukan kata per menit.
Dengan kemampuan membaca cepat banyaknya ide per menit, siswa bukan saja cepat membaca tetapi
juga cepat memahami.
Persoalannya, apakah guru sempat secara sengaja meningkatkan kecepatan IPM (ide per menit) siswa?
Selain itu, proses belajar juga tidak terlepas dari proses mengingat. Meskipun mengingat ini merupakan
tingkatan kognitif paling rendah, sesungguhnya tingkatan ini memegang peranan penting dalam proses
belajar.
Bagaimana orang bisa memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, hingga mengevaluasi jika
mengingat saja tidak sanggup? Mudah lupa, misalnya!
Maka dengan memiliki dasar mengingat yang baik, orang akan dapat meningkatkan kemampuannya
secara lebih cepat dan berhasil.
Tingkatkan Kemampuan Siswa Untuk Mengkomunikasikan
Setelah kemampuan mengingat hingga mengevaluasi dimiliki, seseorang harus dapat
mengkomunikasikan kepada orang lain. Ini dari kemampuan berbicara. Pada umumnya, siswa di kota
lebih mampu berbicara (yang baik dan benar) dalam proses pembelajaran daripada siswa di desa.
Mengapa?
Pasalnya, guru di kota lebih terbuka pada inovasi, sedangkan guru di desa lebih tertutup.
Keterbukaan guru pada inovasi akan mempengaruhi perilaku mengajarnya. Guru akan mencari tahu
bagaimana mengatasi kesulitannya dalam membantu siswa agar dapat belajar secara benar (ingat,
membantu siswa agar dapat belajar secara benar, bukan mengajar menghabiskan materi pelajaran!).
Sementara guru di desa justru merasa dirinya sudah nyaman dan sudah benar dengan cara mengajarnya,
dari waktu ke waktu hanya begitu-begitu saja, tanpa inovasi, sehingga wajar jika kegagalan lebih banyak
dialami oleh siswa di desa daripada siswa di kota (ini kalau proses pengukuran dilakukan secara objektif).
Mengapa guru di kota lebih terbuka pada inovasi? Jawabannya karena fasilitas lebih memadai. Mau ke
toko buku mudah, akses ke pengetahuan lebih mudah. Mau ke warnet atau pasang speedy sendiri juga
mudah.
Sekarang, akses internet jauh lebih mudah. Hanya dengan smartphone yang dilengkapi dengan “paketan”
data, anak-anak sudah pandai berselancar di dunia maya.
Bagi siswa tipe Visual, mereka akan lebih mudah belajar apabila menggunakan grafik, gambar, chart,
model, dan semacamnya. Sementara bagi siswa tipe Auditorial, mereka akan lebih mudah belajar melalui
pendengaran atau sesuatu yang diucapkan.
Sedangkan siswa tipe Kinestetik, mereka akan mudah belajar sambil melakukan kegiatan tertentu,
misalnya membongkar dan memasang kembali, membuat model, memanipulasi benda, dan sebagainya.
Bagaimana guru memfasilitasi siswa yang beragam potensi dasarnya itu untuk bisa belajar dengan mudah
dan mencapai tujuan pembelajaran secara optimal?
Tentu saja, hal pertama yang harus dilakukan guru adalah mengenali kemudian memahami indera belajar
seluruh siswanya di kelas yang diampunya. Setelah itu, baru guru dapat menentukan media dan metode
apa yang digunakan dalam pembelajaran agar sesuai dengan kebutuhan siswa.
Yang pasti, seorang guru tidak akan berhasil memfasilitasi seluruh siswa di dalam kelasnya mencapai
hasil belajar secara optimal apabila guru tersebut hanya menggunakan satu macam metode saja dalam
pembelajaran.
Satu macam metode, misalnya metode ceramah, hanya cocok bagi siswa tipe auditorial. Begitu pula,
grafik atau chart hanya cocok bagi tipe visual, sementara anak-anak kinestetik juga tidak cocok apabila
selama pembelajaran hanya duduk dan mendengarkan ceramah guru.
Oleh karena itu, guru perlu memvariasikan metode dan media dalam pembelajaran. Ketiga tipe siswa
sesuai V-A-K tadi harus mendapatkan porsi fasilitasi yang sama dalam belajar.
Ini berarti guru harus, paling sedikit, menggunakan tiga bentuk fasilitasi, yakni: yang cocok buat tipe
visual, cocok buat tipe auditorial, dan cocok buat tipe kinestetik tadi.
Taruhlah misalnya guru ingin mengajarkan materi sejarah perjuangan bangsa (IPS SD dengan topik
“Detik-detik Proklamasi”).
Untuk topik ini, guru dapat membuat variasi misalnya dengan ceramah tentang Peristiwa Detik-detik
Proklamasi diikuti dengan chart atau peta pikiran yang dibuat di kertas manila atau di papan tulis,
memperdengarkan rekaman kaset rekorder tentang topik bersangkutan.
Atau memutar CD perjuangan sesuai topik, menyuruh sebagian siswa untuk melakukan simulasi atau
bermain peran, dan menyusun skenario drama satu babak terkait dengan topik untuk dimainkan oleh
siswa di kelas itu atau oleh siswa lain.
Dengan cara ini, maka siswa-siswa yang beragam potensi dasarnya sesuai V-A-K tadi akan terpenuhi
kebutuhannya dalam belajar, sehingga mereka menjadi lebih berhasil.
Satu hal lagi, guru harus mengusahakan agar tidak ada siswa yang stress atau tertekan dalam proses
pembelajara. Mereka harus diusahakan tetap bersemangat dan enjoy, karena hal ini sangat membantu
proses belajar mereka.
Ada ungkapan, “Siswa akan belajar sangat baik jika dalam keadaan fun.”
Apabila indera belajar V-A-K siswa sudah terpenuhi, maka sebagian besar siswa di kelas itu akan
mendapatkan yang terbaik dari hasil belajarnya.
Guru tinggal melanjutkan dengan kegiatan penguatan, misalnya dengan memberikan tugas kepada siswa
untuk menceritakan ulang atau mengajar teman-temannya yang belum berhasil, atau melalui kuiz, dan
lain-lain.
Jika ini bisa dilakukan guru dan siswa berhasil dengan apa yang dilakukan guru itu, maka mengajar tidak
akan lagi menjadi beban yang kadang membuat kepala tuing-tuing karena siswa seolah tidak bisa diajak
berkomunikasi oleh gurunya.
Jadi, sekali lagi, kenali dan pahami indera belajar siswa, penuhi kebutuhan mereka agar dapat belajar
dengan cara yang terbaik sesuai kemampuan dasarnya sehingga mencapai hasil belajar yang optimal.
Apabila sudah demikian, maka predikat menjadi guru yang sukses akan segera dapat dinikmati.