Anda di halaman 1dari 16

Merancang Pembelajaran Yang Menjamin Keterlibatan Siswa

Pengelompokan siswa. Untuk menambah tingkat keterlibatan, para siswa mungkin dikelompokkan
dalam beberapa cara: dalam satu kelompok besar, dipimpin oleh guru atau siswa lain; dalam kelompok-
kelompok kecil, baik mengerjakan pekerjaan sendiri maupun aktivitas instruksional dengan guru; atau
mandiri.
Di dalam kelompok-kelompok kecil, tingkat kemampuan dan keterampilan siswa di dalam suatu bidang
bisa homogen atau heterogen. Pengelompokan bisa berpasangan, bertiga, atau dalam konfigurasi lain
yang dibuat oleh siswa maupun guru.
Keputusan-keputusan guru tentang pengelompokan siswa didasarkan pada sejumlah pertimbangan. Yang
paling penting, jenis kelompok pembelajaran harus merefleksikan apa yang ingin dicapai oleh guru dan
harus mendukung tujuan.
Di beberapa kasus, kelompok homogen yang mengerjakan tugas sendiri akan menjadi yang paling efektif.
Pada saat yang lain, sebuah presentasi kelompok besar, diikuti oleh kelompok-kelompok heterogen,
mungkin sudah memadai.
Perlu dicatat bahwa guru biasanya memvariasikan pengelompokan instruksional dalam satu pelajaran
tunggal, dan mereka pasti mengubahnya dari hari ke hari berikutnya. Kerja kelompok kecil, meskipun
strategis dan efektif untuk berbagai keperluan, akan menjadi membosankan apabila digunakan secara
eksklusif.
Tingkat performa terbaik: Kelompok pembelajaran produktif dan sesuai untuk siswa atau tujuan
pembelajaran. Siswa mengambil inisiatif untuk mempengaruhi pembentukan dan pengaturan kelompok-
kelompok pembelajaran.
Bahan ajar dan sumber belajar. Bahan ajar dapat meliputi materi apa saja yang membantu siswa
terlibat dengan konten: buku teks (buku pelajaran), bacaan, peralatan laboratorium, peta, chart, internet,
film, video, matematika manipulatif, dan lain-lain.
Sumber belajar mungkin meliputi pengunjung dari luar atau materi dari musium lokal.
Bahan ajar dan sumber belajar sendiri bukanlah melibatkan atau tidak melibatkan; tetapi adalah
penggunaan siswa atau guru atas bahan ajar atau sumber belajar tersebut yang menentukan.
Adalah penting bahwa bahan ajar dan sumber belajar tersebut sesuai dengan siswa dan dapat
diaplikasikan untuk mencapai hasil belajar.
Misalnya, siswa dapat menggunakan materi laboratorium untuk merumuskan dan menguji hipotesis
tentang suatu fenomena, atau seorang guru dapat menggunakannya untuk menyajikan eksperimen, dengan
siswa sebagai pengamat.
Tingkat performa terbaik: Bahan ajar dan sumber belajar sesuai untuk tujuan pembelajaran dan
melibatkan siswa secara mental. Siswa memulai pemilihan, penyesuaian, atau penciptaan bahan ajar
untuk meningkatkan belajar mereka.
Struktur dan ketersediaan waktu. Pelajaran yang dirancang dengan baik memiliki struktur yang jelas,
dan siswa tahu di mana mereka berada dalam struktur itu. Beberapa pelajaran memiliki awal, tengah, dan
akhir yang mudah dikenali, dengan pembukaan dan penutupan yang jelas.
Ketersediaan waktu berhubungan dengan struktur. Di kelas yang ditandai dengan keterlibatan siswa,
waktu yang cukup untuk pelaksanaan yang sesuai dengan siswa dan isi kegiatan sekaligus kesempatan
yang sesuai untuk penutupan harus tersedia.
Siswa tidak merasa tergesa-gesa dalam pekerjaan mereka, namun juga tidak terlalu lama “beristirahat”
sementara beberapa siswa lain menyelesaikan pekerjaan mereka.
Tingkat performa terbaik: Struktur pelajaran benar-benar jelas, bertalian secara logis, memungkinkan
untuk refleksi dan penutupan. Waktu untuk pelaksanaan tidak lebih dan tidak kurang, sehingga siswa
tidak tergesa-gesa sekaligus tidak berleha-leha dalam mengerjakan kegiatan pembelajaran. Ketersediaan
waktu pelaksanaan pelajaran harus cukup untuk seluruh siswa.
Sumber: Enhancing Professional Practice: A Framework for Teaching (Charlotte Danielson).

Penilaian Pembelajaran Yang Ideal


Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan awal tentang penilaian pembelajaran berdasarkan
Permendikbud No. 22 Tahun 2016. Tulisan awal tersebut membahas materi tentang apa dan mengapa.
Tulisan lanjutan ini membahas tentang bagaimana merancang penilaian pembelajaran yang ideal.
Elemen Penting Dalam Penilaian Pembelajaran Yang Ideal
Untuk penilaian yang ideal, Charlotte Danielson dalam bukunya Enhancing Professional Practice: A
Framework for Teaching menunjukkan empat element penting dalam penilaian, meliputi: kriteria
penilaian, pemantauan belajar siswa, umpan balik kepada siswa, serta penilaian diri siswa dan
pemantauan kemajuan.
Kriteria penilaian. Sebuah penilaian dikatakan lemah apabila siswa tidak mengetahui kriteria dan standar
kinerja dimana pekerjaan mereka akan dinilai. Sebuah penilaian dikatakan cukup apabila siswa
mengetahui beberapa kriteria dan standar kinerja dimana pekerjaan mereka akan dinilai.
Sebuah penilaian dikatakan baik apabila siswa sepenuhnya menyadari kriteria dan standar kinerja dimana
pekerjaan mereka akan dinilai. Dan, penilaian dikatakan ideal apabila siswa sepenuhya menyadari kriteria
dan standar kinerja dimana pekerjaan mereka akan dinilai dan berkontribusi dalam pengembangan
kriteria.
Pemantauan belajar siswa. Sebuah penilaian dikatakan lemah apabila guru tidak memantau belajar
siswa. Sebuah penilaian dikatakan cukup apabila guru memantau kemajuan kelas secara keseluruhan
tetapi tidak memperoleh informasi diagnostik.
Sebuah penilaian dikatakan baik apabila guru memantau kemajuan kelompok siswa dalam kurikulum,
menggunakan petunjuk diagnostik secara terbatas untuk mendapatkan informasi.
Sebuah penilaian dikatakan ideal apabila guru secara aktif dan sistematik memperoleh informasi
diagnostik dari siswa secara perorangan mengenai pemahaman mereka tentang kemajuan siswa secara
perorangan.
Umpan balik kepada siswa. Sebuah penilaian dikatakan lemah apabila kualitas umpan balik guru
terhadap siswa rendah dan tidak diberikan pada waktu yang tepat. Sebuah penilaian dikatakan cukup
apabila umpan balik guru kepada siswa tidak merata, dan ketepatan waktunya tidak konsisten.
Sebuah penilaian dikatakan baik apabila umpan balik guru kepada siswa tepat waktu dan secara konsisten
berkualitas tinggi. Sebuah penilaian dikatakan ideal apabila umpan balik guru kepada siswa tepat waktu
dan secara konsisten berkualitas tinggi, dan siswa memanfaatkan umpan balik dalam belajar mereka.
Penilaian diri siswa dan pemantauan kemajuan. Sebuah penilaian dikatakan lemah apabila siswa tidak
terlibat dalam penilaian diri dan pemantauan kemajuan.
Sebuah penilaian dikatakan cukup apabila siswa kadang-kadang menilai pekerjaan mereka sendiri
terhadap kriteria penilaian dan ukuran kinerja. Sebuah penilaian dikatakan baik apabila siswa sering
menilai dan memantau kualitas pekerjaan mereka sendiri terhadap kriteria penilaian dan ukuran kinerja.
Sebuah penilaian dikatakan ideal apabila siswa bukan saja sering menilai dan memantau kualitas
pekerjaan mereka sendiri terhadap kriteria penilaian dan ukuran kinerja tetapi juga aktif menggunakan
informasi tersebut dalam belajar mereka.
Bagaimana Merancang Penilaian Pembelajaran Yang Ideal?
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian pembelajaran yang ideal, setidaknya
meliputi elemen di bawah ini:
 Ada kriteria penilaian dan standar kinerja, seluruh siswa mengetahui kriteria penilaian dan standar
kinerja dimana pekerjaan mereka akan dinilai; lebih baik jika siswa dilibatkan dalam penyusunan
kriteria dan standar kinerja tentang penilaian pekerjaan mereka;
 Kriteria penilaian dan standar kinerja disusun dengan mempertimbangkan hasil pemantauan
belajar siswa yang dilakukan oleh guru secara aktif dan sistematik;
 Guru memberikan umpan balik kepada siswa tepat waktu dan secara konsisten berkualitas tinggi
(berdasarkan hasil penilaian), siswa memanfaatkan umpan balik dalam belajar mereka;
 Siswa sering melakukan penilaian diri dan memantau kualitas pekerjaan sendiri mengacu kriteria
penilaian dan standar kinerja, sekaligus menggunakan informasi yang diperoleh dalam belajar
mereka.

Penilaian Pembelajaran – Apa Dan Mengapa Ada Penilaian Pembelajaran?


Salah satu cara untuk mengukur keberhasilan pembelajaran adalah melalui penilaian pembelajaran.
Penilaian pembelajaran ini merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dari sebuah kegiatan
pembelajaran.
Dalam standar proses (Permendikbud No. 22 Tahun 2016) disebutkan bahwa kegiatan guru dalam
pengelolaan pembelajaran meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran,
dan penilaian hasil pembelajaran.
Tulisan ini akan membahas dua hal penting, yakni: (1) pengertian penilaian pembelajaran, dan (2) alasan
yang mendasari perlunya penilaian pembelajaran. Mari kita mulai.
Apa itu Penilaian Pembelajaran?
Sumber yang kita jadikan acuan dalam membahas topik ini adalah Permendibud No. 23 tahun 2016
tentang Standar Penilaian Pendidikan. Menurut Permendikbud tersebut, yang dimaksud dengan penilaian
adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta
didik.
Penilaian pendidikan pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah terdiri atas:
a. penilaian hasil belajar oleh pendidik;
b. penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan
c. penilaian hasil belajar oleh Pemerintah.
Tulisan ini khusus membahas penilaian yang pertama, yakni penilaian hasil belajar oleh pendidik.
Penilaian hasil belajar peserta didik pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah meliputi aspek: a.
sikap; b. pengetahuan; dan c. keterampilan.
Penilaian sikap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
pendidik untuk memperoleh informasi deskriptif mengenai perilaku peserta didik.
Penilaian pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kegiatan yang dilakukan
untuk mengukur penguasaan pengetahuan peserta didik.
Penilaian keterampilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kegiatan yang dilakukan
untuk mengukur kemampuan peserta didik menerapkan pengetahuan dalam melakukan tugas tertentu.
Ragam dan bentuk penilaian hasil belajar siswa adalah sebagai berikut:
1. Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan dalam bentuk ulangan, pengamatan, penugasan,
dan/atau bentuk lain yang diperlukan; dan
2. Penilaian hasil belajar oleh pendidik digunakan untuk:
 mengukur dan mengetahui pencapaian kompetensi peserta didik;
 memperbaiki proses pembelajaran; dan
 menyusun laporan kemajuan hasil belajar harian, tengah semester, akhir semester, akhir tahun
dan/atau kenaikan kelas.
Tulisan ini hanya membahas penilaian pembelajaran aspek pengetahuan.
Tahapan Penilaian Aspek Pengetahuan
Penilaian aspek pengetahuan dilakukan melalui tahapan: (1) menyusun perencanaan penilaian; (2)
mengembangkan instrumen penilaian; (3) melaksanakan penilaian; (4) memanfaatkan hasil penilaian; dan
(5) melaporkan hasil penilaian dalam bentuk angka dengan skala 0-100 dan deskripsi.
Merancang penilaian pembelajaran dimulai dari menyusun perencanaan penilaian. Sumber yang dijadikan
acuan adalah Silabus. Dalam silabus telah ditetapkan indikator penilaian.
Dari indikator keberhasilan inilah kemudian disusun kisi-kisi soal, untuk selanjutnya disusun instrumen
penilaian (soal atau tugas) untuk mengukur keberhasilan pembelajaran.
Mengapa Ada Penilaian Pembelajaran?
Di awal tulisan telah disebutkan bahwa salah satu cara untuk mengukur keberhasilan pembelajaran adalah
melalui penilaian pembelajaran. Dan, penilaian pembelajaran ini merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan dari sebuah kegiatan pembelajaran (Permendikbud No. 22 Tahun 2016).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka alasan perlunya penilaian pembelajaran dapat disebutkan sebagai
berikut:
 Untuk mengukur keberhasilan pembelajaran yang dikelola guru;
 Untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran;
 Untuk memberikan umpan balik bagi siswa dan guru;
 Sebagai pertimbangan bagi lembaga dan pemerintah untuk mengambil kebijakan tentang
pendidikan;
 Untuk evaluasi diri guru dan sekolah dalam mengelola pembelajaran.

Bagaimana Menyelenggarakan Pembelajaran Yang Bermutu Di kelas?


Salah satu kewajiban guru terkait tugas profesinya adalah melaksanakan proses pembelajaran yang
bermutu. Pelaksanaan proses pembelajaran yang bermutu ini diawali dengan perencanaan pembelajaran
dan diakhiri dengan penilaian dan evaluasi hasil pembelajaran (UU No. 14 Tahun 2005 pasal 20 huruf a).
Sementara itu pengertian pembelajaran menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 1 ayat (20) adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar.
Dengan demikian pembelajaran yang bermutu adalah pembelajaran di mana terjadi interaksi maksimal
peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar dalam suatu lingkungan belajar.
Terjadinya interaksi maksimal dari peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar tersebut tentunya
dimaksudkan agar peserta didik dapat mencapai tujuan pembelajaran secara optimal.
Kita paham bahwa setiap pembelajaran memiliki tujuan pembelajaran yang harus dapat dicapai atau
dikuasai oleh peserta pembelajaran (peserta didik).
Jika dalam suatu proses pembelajaran peserta didik dapat mencapai tujuan pembelajaran secara optimal
(dilihat dari hasil tes atau penilaian), maka pembelajaran itu dikatakan berhasil.
Sebaliknya, jika setelah mengikuti proses pembelajaran ternyata peserta didik tidak dapat mencapai
tujuan pembelajaran, maka pembelajaran tersebut dikatakan gagal alias tidak berhasil. Jadi, ukuran
keberhasilannya adalah capaian peserta didik.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, tentunya, kebermutuan pembelajaran diukur bukan hanya dari proses
melainkan juga dari hasil pembelajaran.
Proses pembelajaran yang bermutu dapat diamati dari keterlibatan peserta didik (siswa) selama mengikuti
proses pembelajaran.
Jika selama proses pembelajaran seluruh siswa terlibat secara aktif (terutama keterlibatan emosional dan
pikiran), maka kemungkinannya adalah bahwa siswa akan dapat mencapai tujuan pembelajaran secara
optimal.
Pencapaian tujuan pembelajaran oleh siswa dapat diketahui dari hasil unjuk kerja siswa, atau hasil
penilaian terhadap siswa terkait materi pembelajaran.
Jelas, yang diamati dalam proses pembelajaran adalah aktivitas siswa dan yang diukur keberhasilannya
dari proses pembelajaran adalah juga keberhasilan siswa dalam menyelesaikan tugas atau menjawab soal
secara benar.
Dapat dipahami bahwa pembelajaran yang bermutu akan terselenggara atau terwujud apabila seluruh
siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran dan sekaligus dapat mencapai tujuan pembelajaran secara
optimal.
Bukan guru yang aktif berceramah (menjelaskan materi pelajaran) sementara siswa tidak peduli dengan
apa yang disampaikan guru (siswa yang tidak sungguh-sungguh memperhatikan guru, corat-coret buku,
memandang ke luar, bergurau, atau mengganggu teman di sebelahnya).
Menyelengarakan Pembelajaran Yang Bermutu Di Kelas
Telah disebutkan bahwa pembelajaran bermutu akan terjadi apabila siswa secara aktif terlibat dalam
pembelajaran dan mencapai tujuan pembelajaran secara optimal.
Untuk hal ini, tugas guru adalah menyiapkan skenario pembelajaran, menyediakan sumber belajar yang
mudah diakses, mengelola pembelajaran yang melibatkan seluruh siswa, menyiapkan soal atau tugas
terkait kompetensi yang diharapkan dicapai, melaksanakan tes akhir kepada siswa dan memberikan
penilaian.
Yang sangat penting harus diperhatikan oleh guru dalam penyelenggaraan pembelajaran yang bermutu di
kelas adalah bahwa seluruh siswa harus terlibat secara aktif atau sengaja dilibatkan secara aktif dalam
proses pembelajaran.
Tanpa keterlibatan aktif seluruh siswa, maka pembelajaran tidak akan berhasil.
Mengapa? Karena ukuran keberhasilan pembelajaran adalah keberhasilan siswa. Siswa yang harus belajar
dan siswa yang harus berhasil menguasai kompetensi belajar atau mencapai tujuan pembelajaran. Maka,
siswa yang harus aktif bekerja atau aktif belajar atau aktif terlibat dalam pembelajaran.
Jadi, pastikan siswa terlibat secara penuh dalam pembelajaran di kelas, maka siswa akan berhasil
mencapai tujuan pembelajaran secara optimal.

Implikasi Tugas Guru Berdasarkan Prinsip-prinsip Pembelajaran Menurut Permendikbud Nomor


22 Tahun 2016
Menurut Permendikbud No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah,
sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Isi (SI), terdapat 14 prinsip pembelajaran
yang harus digunakan dalam penyelenggaraan proses pembelajaran di kelas.
Sehubungan hal tersebut, maka guru dalam menyusun perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan
proses pembelajaran, dan penilaian hasil pembelajaran harus benar-benar mempertimbangkan 14 prinsip
pembelajaran dimaksud.
Dengan kata lain, dalam mengelola proses pembelajaran, guru harus melakukan perubahan dari yang
biasanya dilakukan, sejak penyusunan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran hingga
penilaian pembelajaran.
Di bawah ini adalah contoh implikasi tugas atau kegiatan siswa dan guru dalam pelaksanaan proses
pembelajaran di kelas berdasarkan 14 prinsip pembelajaran.
No. Prinsip Pembelajaran Siswa Guru
Menyediakan fasilitas, sumber
Dari peserta didik diberi tahu Membaca, mengamati,
belajar, mengajarkan teknik atau
1 menuju peserta didik mencari mempertanyakan, melakukan
cara menemukan sumber,
tahu. percobaan.
membuat prosedur.
Dari guru sebagai satu-
Mencari sumber belajar, Membuat tugas, memberikan
satunya sumber belajar
2 mencari nara sumber, arahan, menyediakan sumber
menjadi belajar berbasis
melakukan wawancara. belajar.
aneka sumber belajar.
Dari pendekatan tekstual
Melakukan kajian, demonstrasi,
menuju proses sebagai Mengajarkan cara, membuat
3 percobaan, membuat sinopsis,
penguatan penggunaan langkah-langkah, prosedur.
parafrase.
pendekatan ilmiah.
Menjadikan konten sebagai
sarana untuk mengembangkan
kompetensi siswa, bukan sebagai
Dari pembelajaran berbasis Mencari konten dari berbagai
tujuan. Guru tidak mengajarkan
4 konten menuju pembelajaran sumber sebagai sarana untuk
konten kepada siswa, tetapi
berbasis kompetensi. mencapai kompetensi.
menggunakan konten sebagai
sarana untuk membantu siswa
mencapai kompetensi.
Menyelenggarakan pembelajaran
Membuat jalinan
tematik terpadu. Pembelajaran
Dari pembelajaran parsial antarpengetahuan untuk menjadi
5 tidak berbasis mata pelajaran
menuju pembelajaran terpadu. pengetahuan yang lebih
tetapi berbasis tema, dan
menyeluruh.
dilaksanakan secara terpadu.
Menyusun soal yang
menghasilkan jawaban multi
dimensi, bukan jawaban tunggal.
Contoh: Berapa lima ditambah
Dari pembelajaran yang tiga? Jawabnya: delapan (jawaban
menekankan jawaban tunggal Berpikir kreatif, berdasarkan tunggal). Diganti: Pilihlah dua
6 menuju pembelajaran dengan praktik atau percobaan, proses angka yang apabila dijumlahkan
jawaban yang kebenarannya penemuan. hasilnya delapan! Atau: berapa
multi dimensi. ditambah berapa sama dengan
delapan? Jawabnya: 0+8, 8+0,
1+7, 7+1, 2+6, 6+2, 3+5, 5+3,
4+4 (ada sembilan jawaban benar
yang berbeda).
Siswa mempraktikkan dan Membuat soal yang memerlukan
menggunakan pengetahuan atau jawaban berpikir tingkat tinggi.
Dari pembelajaran verbalisme keterampilan untuk keperluan Misalnya: pemecahan masalah
7 menuju keterampilan sehari-hari. Misalnya: sampah, lingkungan kotor, dll.
aplikatif. menggunakan teori, prinsip, Menyediakan referensi untuk
generalisasi atau rumus untuk memandu siswa mengatasi
mengatasi masalah sehari-hari. permasalahan.
Melakukan, Menyelenggarakan pembelajaran
Peningkatan dan
mendemonstrasikan, yang demonstratif dan menantang
8 keseimbangan antara
mempraktikkan, menganalisis, kreativitas dan pemikiran tingkat
keterampilan fisikal
mencari solusi. tinggi.
(hardskills) dan keterampilan
mental (softskills).
Pembelajaran yang Menciptakan lingkungan belajar
mengutamakan pembudayaan Membiasakan diri untuk selalu yang kondusif, pembinaan
9 dan pemberdayaan peserta belajar secara mandiri, karakter, pembiasaan,
didik sebagai pembelajar menguatkan rasa ingin tahu. pembudayaan, pemberdayaan
sepanjang hayat. siswa.
Pembelajaran yang
menerapkan nilai-nilai dengan
memberi keteladanan (ing
ngarso sung tulodo), Menjadi teladan, memotivasi,
Menerapkan nilai-nilai agama,
membangun kemauan (ing menginspirasi, memberikan
10 budaya, masyarakat dalam
madyo mangun karso), dan dorongan, mendukung kreativitas
kehidupan sehari-hari.
mengembangkan kreativitas siswa.
peserta didik dalam proses
pembelajaran (tut wuri
handayani).
Pembelajaran yang Membangun mindset untuk selalu
Membiasakan diri untuk belajar
11 berlangsung di rumah di belajar di mana pun berada
di mana pun berada.
sekolah, dan di masyarakat. (rumah, sekolah, masyarakat).
Pembelajaran yang
menerapkan prinsip bahwa Belajar lebih banyak (termasuk
Belajar, mengajar teman, di
12 siapa saja adalah guru, siapa dari siswa) untuk mengajar yang
mana saja.
saja adalah peserta didik, dan lebih baik.
di mana saja adalah kelas.
Pemanfaatan teknologi
Berlatih teknologi, Belajar teknologi, menggunakan
informasi dan komunikasi
13 menggunakan teknologi untuk teknologi untuk pembelajaran
untuk meningkatkan efisiensi
belajar yang efektif dan efisien. yang efektif dan efisien.
dan efektivitas pembelajaran.
Pengakuan atas perbedaan Menghargai perbedaan, lebih
Belajar sesuai kemampuan,
14 individual dan latar belakang mengenal perbedaan individu
percaya diri.
budaya peserta didik. siswa.
Berdasarkan contoh Implikasi tugas atau kegiatan siswa dan guru dalam proses pembelajaran tersebut,
maka penyusunan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, termasuk penilaian
pembelajaran harus disesuaikan.
Dengan demikian proses pembelajaran akan berjalan secara efektif dan efisien dalam pencapaian
kompetensi yang sudah ditetapkan.

Mengelola Pembelajaran Berdasarkan Permendikbud 22 Tahun 2016


Permendikbud (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) Nomor 22 Tahun 2016 ini merupakan
satu dari empat Permendikbud yang ditetapkan tahun 2016, yakni Permendikbud Nomor 20, 21, 23, dan
24.
Penting untuk dicek dulu yang ini: Model Pembelajaran Kuantum – Bagian 2
Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016 ini ditetapkan tanggal 6 Juni 2016, dan diundangkan tanggal 28
Juni 2016, mengatur tentang Standar Proses untuk Pendidikan Dasar dan Menengah.
Dengan diberlakukannya Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016 ini, maka Permendibud Nomor 65 Tahun
2013 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dicabut, dan dinyatakan tidak
berlaku.
Menurut Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016 tersebut, yang dimaksud dengan Standar Proses adalah
kriteria mengenai pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai Standar Kompetensi
Lulusan.
Standar Proses dikembangkan mengacu pada Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi yang telah
ditetapkan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
Dalam Permendikbud No. 22 tahun 2016 dinyatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan
diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian
sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Untuk itu setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses
pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
ketercapaian kompetensi lulusan.
Berdasarkan SKL (Standar Kompetensi Lulusan) dan SI (Standar Isi), maka pembelajaran harus
diselenggarakan dengan menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Dari peserta didik diberi tahu menuju peserta didik mencari tahu;
2. Dari guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis aneka sumber belajar;
3. Dari pendekatan tekstual menuju proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan ilmiah;
4. Dari pembelajaran berbasis konten menuju pembelajaran berbasis kompetensi;
5. Dari pembelajaran parsial menuju pembelajaran terpadu;
6. Dari pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menuju pembelajaran dengan jawaban
yang kebenarannya multi dimensi;
7. Dari pembelajaran verbalisme menuju keterampilan aplikatif;
8. Peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan fisikal (hardskills) dan keterampilan mental
(softskills);
9. Pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sebagai
pembelajar sepanjang hayat;
10. Pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan (ing ngarso sung
tulodho), membangun kemauan (ing madyo mangun karso), dan mengembangkan kreativitas
peserta didik dalam proses pembelajaran (tut wuri handayani);
11. Pembelajaran yang berlangsung di rumah di sekolah, dan di masyarakat;
12. Pembelajaran yang menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah guru, siapa saja adalah peserta
didik, dan di mana saja adalah kelas;
13. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
pembelajaran; dan
14. Pengakuan atas perbedaan individual dan latar belakang budaya peserta didik.
Karakteristik Pembelajaran
Karakteristik pembelajaran pada setiap satuan pendidikan terkait erat pada Standar Kompetensi Lulusan
dan Standar Isi. Standar Kompetensi Lulusan memberikan kerangka konseptual tentang sasaran
pembelajaran yang harus dicapai.
Standar Isi memberikan kerangka konseptual tentang kegiatan belajar dan pembelajaran yang diturunkan
dari tingkat kompetensi dan ruang lingkup materi.
Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan, sasaran pembelajaran mencakup pengembangan ranah sikap,
pengetahuan, dan keterampilan yang dielaborasi untuk setiap satuan pendidikan. Ketiga ranah kompetensi
tersebut memiliki lintasan perolehan (proses psikologis) yang berbeda.
Sikap diperoleh melalui aktivitas “menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan”.
Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas “mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis,
mengevaluasi, mencipta”.
Keterampilan diperoleh melalui aktivitas “mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan
mencipta”.
Rincian gradasi sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai berikut:
Sumber: Permendikbud No. 22 tahun 2016
Karaktersitik kompetensi beserta perbedaan lintasan perolehan turut serta mempengaruhi karakteristik
standar proses.
Untuk memperkuat pendekatan ilmiah (scientific), tematik terpadu (tematik antar mata pelajaran), dan
tematik (dalam suatu mata pelajaran) perlu diterapkan pembelajaran berbasis penyingkapan/penelitian
(discovery/inquiry learning).
Untuk mendorong kemampuan peserta didik untuk menghasilkan karya kontekstual, baik individual
maupun kelompok maka sangat disarankan menggunakan pendekatan pembelajaran yang menghasilkan
karya berbasis pemecahan masalah (project based learning).
Berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi pula, maka karakteristik proses pembelajaran
disesuaikan dengan karakteristik kompetensi. Pembelajaran tematik terpadu di SD/MI/SDLB/Paket A
disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik.
Karakteristik Pembelajaran tematik terpadu di SMP/MTs/SMPLB/Paket B disesuaikan dengan tingkat
perkembangan peserta didik.
Proses pembelajaran di SMP/MTs/SMPLB/Paket B disesuaikan dengan karakteristik kompetensi yang
mulai memperkenalkan mata pelajaran dengan mempertahankan tematik terpadu pada IPA dan IPS.
Karakteristik proses pembelajaran di SMA/MA/SMALB/SMK/MAK/Paket C/Paket C Kejuruan secara
keseluruhan berbasis mata pelajaran, meskipun pendekatan tematik masih dipertahankan.
Perlunya Perubahan Mindset Guru Dalam Mengajar
Standar proses tersebut menuntut para guru untuk melakukan perubahan paradigma dalam pembelajaran.
Dan untuk itu guru harus segera mengubah mindset-nya dalam mengajar, sebagaimana disebutkan dalam
prinsip-prinsip pembelajaran di atas.
Selama ini guru sering menjadikan dirinya sebagai satu-satunya sumber, cenderung memberi tahu siswa
dengan menjelaskan materi pelajaran, pendekatan tekstual, berbasis konten.
Guru cenderung menuntut jawaban tunggal yang disiapkan kunci jawabannya oleh guru. Pembelajaran
cenderung verbalistik, terbiasa menggunakan metode belajar ceramah atau tugas untuk menguasai materi
pelajaran.
Berdasarkan Permendikbud di atas, guru harus melakukan perubahan yang berarti. Lakukan pembelajaran
sesuai prinsip-prinsip pembelajaran seperti disebutkan.
Hal tersebut tentunya bukan perkara yang mudah bagi guru karena kebiasaan mengajar yang dilakukan
selama bertahun-tahun.
Sebagai contoh, misalnya, guru ingin agar siswa mencari tahu informasi yang dibutuhkan untuk mencapai
kompetensi yang harus dikuasai. Banyak guru yang merasa tidak sabar menunggu siswa berproses.
Akibatnya, guru mengambil jalan pintas, memberi tahu siswa atau menjelaskan langsung kepada siswa.
Begitu juga misalnya guru ingin mengetahui penguasaan kompetensi oleh siswa tentang penjumlahan
atau perkalian bilangan. Guru cenderung memilih soal seperti ini: 15 + 9 = …. atau 15 x 8 = ….
Dengan soal seperti itu, maka jawaban satu kelas akan sama, yakni 24 (untuk penjumlahan) dan 120
(untuk perkalian). Yang tidak sama jawaban dianggap salah.
Bagaimana jika soalnya diubah, misalnya: … + … = 24 atau … x … = 120. Jika soalnya dibuat seperti
ini, maka jawaban siswa akan beragam, tidak harus sama seluruh kelas, tetapi jawaban mereka benar.
Misalnya untuk soal … + … = 24, siswa dapat mengisi, misalnya: 12 + 12, 10 + 14, 6 + 18, dan
seterusnya. Begitu juga untuk soal … x … = 120, maka siswa dapat membuat jawaban, misalnya: 10 x
12, 12 x 10, 3 x 40, 5 x 24, dan seterusnya.
Melalui pengelolaan pembelajaran yang sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran sebagaimana
disebutkan di atas, ditambah cara menguji kompetensi siswa yang memungkinkan siswa menjawab secara
bervariasi, maka proses pembelajaran yang interaktif, menginspirasi, menyenangkan, menantang,
memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian seperti disebutkan akan terwujud.
Jika selama ini kita mengajar agar siswa menguasai materi pelajaran, maka berdasarkan Permendikbud 22
Tahun 2016, materi adalah sebagai sarana untuk mencapai kompetensi (sebab pembelajarannya berbasis
kompetensi).
Sumber materi beragam, tidak hanya dari buku pelajaran, tetapi dapat diperoleh dari berbagai macam
sumber: lingkungan, koran, majalah, internet, atau bertanya kepada nara sumber.
Yang harus diperhatikan adalah: siswa harus dilatih untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan,
bukan sekedar diberi tahu oleh guru.
Akhirnya, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (termasuk komputer dan internet) yang
pesat seperti sekarang ini telah memberikan banyak kemudahan bagi kita dalam melaksanakan tugas
sehari-hari termasuk tugas mengajar.
Rasanya sangat disayangkan jika kita para guru tidak dapat mengambil manfaat dari teknologi tersebut
untuk pelaksanaan tugas sehari-hari kita, sekaligus membekali siswa dengan keterampilan-keterampilan
yang dibutuhkan agar mereka dapat mengakses informasi secara benar.

Bagaimana Menyelenggarakan Pembelajaran Yang Bermutu Di kelas?


Salah satu kewajiban guru terkait tugas profesinya adalah melaksanakan proses pembelajaran yang
bermutu. Pelaksanaan proses pembelajaran yang bermutu ini diawali dengan perencanaan pembelajaran
dan diakhiri dengan penilaian dan evaluasi hasil pembelajaran (UU No. 14 Tahun 2005 pasal 20 huruf a).
Sementara itu pengertian pembelajaran menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 1 ayat (20) adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar.
Dengan demikian pembelajaran yang bermutu adalah pembelajaran di mana terjadi interaksi maksimal
peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar dalam suatu lingkungan belajar.
Terjadinya interaksi maksimal dari peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar tersebut tentunya
dimaksudkan agar peserta didik dapat mencapai tujuan pembelajaran secara optimal.
Kita paham bahwa setiap pembelajaran memiliki tujuan pembelajaran yang harus dapat dicapai atau
dikuasai oleh peserta pembelajaran (peserta didik).
Jika dalam suatu proses pembelajaran peserta didik dapat mencapai tujuan pembelajaran secara optimal
(dilihat dari hasil tes atau penilaian), maka pembelajaran itu dikatakan berhasil.
Sebaliknya, jika setelah mengikuti proses pembelajaran ternyata peserta didik tidak dapat mencapai
tujuan pembelajaran, maka pembelajaran tersebut dikatakan gagal alias tidak berhasil. Jadi, ukuran
keberhasilannya adalah capaian peserta didik.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, tentunya, kebermutuan pembelajaran diukur bukan hanya dari proses
melainkan juga dari hasil pembelajaran.
Proses pembelajaran yang bermutu dapat diamati dari keterlibatan peserta didik (siswa) selama mengikuti
proses pembelajaran.
Jika selama proses pembelajaran seluruh siswa terlibat secara aktif (terutama keterlibatan emosional dan
pikiran), maka kemungkinannya adalah bahwa siswa akan dapat mencapai tujuan pembelajaran secara
optimal.
Pencapaian tujuan pembelajaran oleh siswa dapat diketahui dari hasil unjuk kerja siswa, atau hasil
penilaian terhadap siswa terkait materi pembelajaran.
Jelas, yang diamati dalam proses pembelajaran adalah aktivitas siswa dan yang diukur keberhasilannya
dari proses pembelajaran adalah juga keberhasilan siswa dalam menyelesaikan tugas atau menjawab soal
secara benar.
Dapat dipahami bahwa pembelajaran yang bermutu akan terselenggara atau terwujud apabila seluruh
siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran dan sekaligus dapat mencapai tujuan pembelajaran secara
optimal.
Bukan guru yang aktif berceramah (menjelaskan materi pelajaran) sementara siswa tidak peduli dengan
apa yang disampaikan guru (siswa yang tidak sungguh-sungguh memperhatikan guru, corat-coret buku,
memandang ke luar, bergurau, atau mengganggu teman di sebelahnya).
Menyelengarakan Pembelajaran Yang Bermutu Di Kelas
Telah disebutkan bahwa pembelajaran bermutu akan terjadi apabila siswa secara aktif terlibat dalam
pembelajaran dan mencapai tujuan pembelajaran secara optimal.
Untuk hal ini, tugas guru adalah menyiapkan skenario pembelajaran, menyediakan sumber belajar yang
mudah diakses, mengelola pembelajaran yang melibatkan seluruh siswa, menyiapkan soal atau tugas
terkait kompetensi yang diharapkan dicapai, melaksanakan tes akhir kepada siswa dan memberikan
penilaian.
Yang sangat penting harus diperhatikan oleh guru dalam penyelenggaraan pembelajaran yang bermutu di
kelas adalah bahwa seluruh siswa harus terlibat secara aktif atau sengaja dilibatkan secara aktif dalam
proses pembelajaran.
Tanpa keterlibatan aktif seluruh siswa, maka pembelajaran tidak akan berhasil.
Mengapa? Karena ukuran keberhasilan pembelajaran adalah keberhasilan siswa. Siswa yang harus belajar
dan siswa yang harus berhasil menguasai kompetensi belajar atau mencapai tujuan pembelajaran. Maka,
siswa yang harus aktif bekerja atau aktif belajar atau aktif terlibat dalam pembelajaran.
Jadi, pastikan siswa terlibat secara penuh dalam pembelajaran di kelas, maka siswa akan berhasil
mencapai tujuan pembelajaran secara optimal.

Siswa Acuh Tak Acuh Dalam Belajar, Haruskah Dibiarkan?


Seorang pengunjung halaman Guru Sukses Dot Com mengirim pesan seperti ini: “Menurut fsikolog siswa
akan belajar saat dia membutuhkan , maka jangan risau saat siswa acuh rak acuh dalam belajar
mungkin saat itu mereka belum membutuhkaan ilmu tsb , namun saat dia membutuhkan ilmu mungkin
sudah bekerja diaa akan mencarinya sendiri ,” (pesan sengaja tidak diedit).
Agaknya pesan tersebut ditujukan kepada para guru berdasarkan kata-kata, “maka jangan risau saat
siswa acuh tak acuh dalam belajar.”
Sebuah pertanyaan jika Anda adalah seorang guru: “Apakah Anda setuju dengan pernyataan tersebut?”
Tulisan ini akan menyajikan informasi bagaimana seharusnya guru bersikap terkait dengan siswa yang
acuh tak acuh dalam belajar (proses pembelajaran di kelas).
Setuju sebagian namun tidak setuju pada bagian lainnya
Kami setuju dengan sebagian pernyataan namun tidak setuju dengan bagian pernyataan yang lain.
Pendapat ini sengaja kami tulis di gurusukses, dengan harapan dapat menginspirasi sahabat guru yang
lain.
Kami setuju bahwa “siswa akan belajar saat dia membutuhkan.” Tetapi, kami tidak setuju dengan
pernyataan lanjutannya, yang berbunyi, “maka jangan risau saat siswa acuh rak acuh dalam belajar
mungkin saat itu mereka belum membutuhkaan ilmu tsb , namun saat dia membutuhkan ilmu mungkin
sudah bekerja dia akan mencarinya sendiri.”
Guru harus risau ketika melihat murid-muridnya tidak belajar dengan baik. Ketika guru tidak risau
melihat siswa acuh tak acuh dalam belajar, maka itu berarti bahwa guru tidak melakukan apa-apa
terhadap siswa yang acuh tak acuh dalam belajar tersebut.
Dalam proses pembelajaran di kelas, maka, kemungkinannya, guru akan tetap melaksanakan
pembelajaran tanpa mempedulikan siswa yang acuh tak acuh tersebut.
Jika ini terjadi, pembelajaran menjadi tidak kondusif sekaligus tidak efektif. Tidak kondusif, karena siswa
yang acuh tak acuh tadi akan melakukan kegiatan apa pun selain belajar, yang pada gilirannya justru akan
mengganggu proses pembelajaran itu sendiri.
Selanjutnya, karena proses pembelajaran tidak kondusif, maka proses pembelajaran menjadi tidak efektif.
Mungkin hanya sebagian siswa yang berhasil mencapai target pembelajaran tetapi tidak seluruh siswa di
kelas (terutama siswa yang acuh tak acuh dalam belajar).
Pembelajaran yang tidak memberikan dampak hasil belajar tentunya tidak dapat dikatakan sebagai
pembelajaran yang efektif.
Baca: Bersikap Inklusif dalam Mengajar.
Lebih dari itu, guru yang membiarkan proses pembelajaran tidak kondusif tersebut sesungguhnya telah
melalaikan tugasnya sebagai pendidik.
Guru bukan sekedar sebagai pengajar melainkan juga sebagai pendidik
Dalam PP 74 tahun 2008 disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Sebagai pendidik, guru harus berusaha secara sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (lihat UU No. 20 Tahun 2003 pasal
1 angka 1).

Berdasarkan kedua rujukan terakhir tersebut, maka guru harus melakukan sesuatu secara sengaja
(berusaha secara sadar dan terencana) untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran. Guru
wajib menciptakan situasi atau kondisi yang memungkinkan siswa berkembang dalam suasana belajar
atau proses pembelajaran.
Yang harus dilakukan guru terkait pembelajaran di kelas
Terkait dengan pembelajaran di kelas, guru harus kreatif untuk menciptakan lingkungan belajar yang
menantang rasa ingin tahu siswa, membangkitkan gairah siswa untuk belajar, sekaligus menyediakan
pembelajaran yang membuat siswa merasa butuh untuk belajar.
Baca juga: Menciptakan Lingkungan Kelas Yang Bersahabat Dan Saling Menghargai
Jika guru mengajar hanya menyampaikan pelajaran (berceramah, misalnya), maka wajar jika siswa tidak
tertarik dan tidak merasa membutuhkan ilmu yang diajarkan oleh guru. Akibatnya, siswa tidak mengikuti
pembelajaran secara baik.
Padahal, siswa harus menguasai kompetensi-kompetensi tertentu untuk dapat dikatakan sebagai
memenuhi kriteria — kita mengenal istilah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) — berarti ada target
yang harus dicapai oleh anak (siswa) dalam proses pembelajaran.
Jika guru hanya menunggu hingga siswa merasa butuh, maka tujuan pembelajaran tidak akan tercapai,
dan ini berarti kompetensi tidak dapat dikuasai oleh siswa.
Selanjutnya, jika guru tidak dapat membantu siswa mencapai kompetensi yang ditetapkan dalam
pembelajaran, maka berarti pembelajaran tidak berhasil. Jika pembelajaran tidak berhasil, maka guru
dapat pula dikatakan sebagai tidak berhasil menjalankan tugasnya, alias gagal!
Patut direnungkan
Apakah seorang guru profesional rela membiarkan siswanya gagal mencapai target kompetensi yang
harus dikuasai, yang pada gilirannya juga akan berdampak pada kegagalan guru dalam menjalankan
tugas? Tentu saja tidak.
Sebab itu guru akan berusaha dengan sekuat tenaga dan pikiran demi keberhasilan siswa yang menjadi
tanggung jawabnya.
Keberhasilan siswa adalah keberhasilan guru, dan keberhasilan siswa akan memberikan kepuasan batin
bagi guru. Dengan logika yang sama, maka kegagalan siswa adalah kegagalan guru, dan kegagalan siswa
akan mendatangkan kekecewaan bagi guru.
Jadi, jangan biarkan siswa acuh tak acuh dalam belajar. Lakukan sesuatu untuk membuat mereka belajar
secara benar!

Ajarkan Kepada Siswa Belajar Bagaimana Caranya Belajar


Perubahan yang begitu cepat akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), menuntut
usaha maksimal manusia untuk senantiasa belajar dan memperbaiki kualitas dirinya agar tidak
ketinggalan zaman.
Jika orang tidak meng-update dirinya, maka ia akan tertinggal dan menghadapi banyak masalah dalam
hidup.
Hal yang sama juga terjadi di dunia pendidikan. Dalam pendidikan, iptek berkembang begitu pesat. Siswa
dituntut untuk menguasainya. Tetapi begitu keluar dari bangku sekolah, ilmu yang diperoleh itu sudah
tidak lagi relevan dengan kebutuhan.
Konsekuensinya, ia harus belajar lagi sesuatu yang baru, dan proses belajar itu pun harus dilakukan secara
cepat. Sebab jika proses belajar dilakukan dengan santai, maka ketika ia sudah menguasai ilmu yang
dipelajarinya itu, ilmu itu sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan hidup.
Proses semacam itu berlanjut sepanjang waktu. Kepada siswa di sekolah selalu diajarkan ilmu atau
pengetahuan yang baru. Tetapi ketika siswa berhasil menguasai ilmu atau pengetahuanitu, perkembangan
di luar sudah melesat lebih jauh. Akibatnya, sekolah selalu ketinggalan jika dibandingkan dengan
perkembangan di luar sekolah.
Pertanyaannya, “Bagaimana membekali peserta didik agar selalu siap menghadapi perubahan zaman?”
Belajar Bagaimana Caranya Belajar
Satu hal penting yang perlu dimiliki oleh setiap orang adalah kemampuan untuk mempelajari sesuatu
yang baru. Dengan kata lain, orang perlu memiliki keterampilan belajar agar dapat cepat tanggap terhadap
perubahan zaman. Dengan keterampilan belajar, orang akan dapat belajar apa saja secara cepat.
Dengan demikian, ia akan selalu dapat menyesuaikan diri dan melakukan tindakan antisipatif terhadap
perubahan, sehingga ia merasa nyaman dengan perubahan tersebut.
Dalam proses pembelajaran, misalnya, siswa yang telah menguasai keterampilan belajar, akan lebih cepat
menyesuaikan diri dengan perkembangan dan tuntutan hidup. Ia akan cepat beradaptasi dengan
perubahan, sehingga perubahan itu tidak membuatnya stres. Bahkan, ia akan menikmati perubahan itu
seraya meningkatkan kualitas dirinya.
Dengan keterampilan belajar, seorang siswa akan mampu menyelesaikan tugas dan tantangan yang
diberikan gurunya secara cepat dan akurat. Dengan keterampilan belajar pula, siswa lebih berhasil
daripada yang tidak memilki keterampilan belajar. Sebab itu setiap guru perlu memberikan keterampilan
penting ini kepada siswa.
Namun, dari sejumlah guru yang berada di suatu sekolah, berapa persen guru yang mengajarkan
keterampilan belajar kepada siswa? Ini perlu penelitian. Tetapi berdasarkan pengamatan, jarang sekali
guru yang secara sengaja melatih siswa dengan keterampilan belajar yang diperlukan.
Pada umumnya, guru hanya menyuruh siswa untuk belajar giat. Tetapi guru jarang (kalau tidak boleh
dikatakan tidak pernah) mengajarkan kepada siswa bagaimana caranya belajar.
Akibatnya, siswa hanya belajar sesuai dengan pemahaman dirinya: membaca tanpa mengerti yang dibaca.
Akibat lebih jauh, pembelajaran menjadi tidak bermakna dan tidak berhasil.
Kenali Indera Belajar Siswa
Pada dasarnya setiap orang belajar melalui indera belajarnya, yaitu visual, auditorial, kinestetik. Dari
ketiga jenis indera belajar itu kemudian ditingkatkan pada proses internalisasi pada tataran intelektual.
Maka tidak mengherankan jika Dryden menyebut gaya belajar seseorang menjadi empat macam yaitu
visual, auditorial, kinestetik, dan intelektual.
Belajar visual artinya belajar melalui indera penglihat (mata). Bentuk belajar ini misalnya membaca,
mengamati, observasi, dan lain-lain. Belajar auditorial adalah belajar melalui indera pendengaran
(telinga). Belajar jenis ini misalnya dengan mendengarkan atau mengucapkan.
Sedangkan belajar kinestetik berarti belajar dengan cara memanipulasi (gerakan). Belajar jenis ini
misalnya belajar praktik, melakukan sesuatu, mengoperasikan alat, dan lain-lain.
Ada beberapa jenis indera belajar, dan seseorang pada umumnya tidak hanya menggunakan salah satu
indera.

Memang ada yang memiliki indera dominan untuk belajar (akan mendapatkan hasil belajar terbaik bila
dilakukan dengan indera tertentu), namun semua yang dilakukan dalam proses belajar harus dilanjutkan
sampai pada proses internalisasi, yang oleh Dryden disebut menciptakan makna.
Proses internalisasi inilah yang akan menentukan apakah seseorang akan berhasil atau gagal dalam
belajar.
Sayangnya, proses internalisasi ini masih membutuhkan dasar yang kuat yaitu pemahaman. Tanpa
pemahaman, proses internalisasi tidak ada artinya. Lebih jauh, pemahaman ini harus pula dilandasi
dengan ingatan yang baik. Anak ingat dahulu, baru kemudian dapat memahami, dan akhirnya dapat
menciptakan makna.
Berdasarkan pengamatan penulis, guru jarang menggunakan tahapan-tahapan yang berupa proses belajar
tersebut, sehingga wajar jika siswa sulit berhasil.
Banyaknya siswa yang mengikuti proses bimbingan belajar di luar sekolah (untuk mendapatkan nilai
bagus di sekolah) menunjukkan bahwa proses pembelajaran di sekolah belum dapat memenuhi kebutuhan
siswa.
Padahal, menurut Rusda Koto Sutadi, pembelajaran pada hakikatnya adalah usaha sadar guru agar siswa
dapat belajar sesuai kebutuhan dan minatnya. Jika demikian, apakah itu tidak berarti bahwa pembelajaran
yang dilakukan guru lebih banyak yang gagal daripada yang berhasil?
Latih Siswa Untuk Membaca Bijaksana
Sesungguhnya, untuk belajar yang benar (belajar sejati) diperlukan kesiapan dari si pebelajar. Kesiapan
itu bernama keterampilan dasar. Apabila belajar visual dilakukan melalui membaca, maka kepada siswa
harus dilatihkan bagaimana membaca yang benar.
Untuk membaca sendiri ada bermacam-macam sesuai tujuan membaca. Misalnya ada membaca indah,
membaca teknik, membaca cepat, membaca pemahaman, dan lain-lain. Dan membaca untuk mempelajari
sesuatu tentunya juga perlu teknik khusus.
Kecepatan membaca dengan jumlah kata per menit saja belum cukup, karena ini tidak memasuki wilayah
pemahaman. Siswa harus dapat membaca secara bijaksana, yaitu membaca dengan kecepatan ide per
menit, bukan kata per menit.
Dengan kemampuan membaca cepat banyaknya ide per menit, siswa bukan saja cepat membaca tetapi
juga cepat memahami.
Persoalannya, apakah guru sempat secara sengaja meningkatkan kecepatan IPM (ide per menit) siswa?
Selain itu, proses belajar juga tidak terlepas dari proses mengingat. Meskipun mengingat ini merupakan
tingkatan kognitif paling rendah, sesungguhnya tingkatan ini memegang peranan penting dalam proses
belajar.
Bagaimana orang bisa memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, hingga mengevaluasi jika
mengingat saja tidak sanggup? Mudah lupa, misalnya!
Maka dengan memiliki dasar mengingat yang baik, orang akan dapat meningkatkan kemampuannya
secara lebih cepat dan berhasil.
Tingkatkan Kemampuan Siswa Untuk Mengkomunikasikan
Setelah kemampuan mengingat hingga mengevaluasi dimiliki, seseorang harus dapat
mengkomunikasikan kepada orang lain. Ini dari kemampuan berbicara. Pada umumnya, siswa di kota
lebih mampu berbicara (yang baik dan benar) dalam proses pembelajaran daripada siswa di desa.
Mengapa?
Pasalnya, guru di kota lebih terbuka pada inovasi, sedangkan guru di desa lebih tertutup.
Keterbukaan guru pada inovasi akan mempengaruhi perilaku mengajarnya. Guru akan mencari tahu
bagaimana mengatasi kesulitannya dalam membantu siswa agar dapat belajar secara benar (ingat,
membantu siswa agar dapat belajar secara benar, bukan mengajar menghabiskan materi pelajaran!).
Sementara guru di desa justru merasa dirinya sudah nyaman dan sudah benar dengan cara mengajarnya,
dari waktu ke waktu hanya begitu-begitu saja, tanpa inovasi, sehingga wajar jika kegagalan lebih banyak
dialami oleh siswa di desa daripada siswa di kota (ini kalau proses pengukuran dilakukan secara objektif).
Mengapa guru di kota lebih terbuka pada inovasi? Jawabannya karena fasilitas lebih memadai. Mau ke
toko buku mudah, akses ke pengetahuan lebih mudah. Mau ke warnet atau pasang speedy sendiri juga
mudah.
Sekarang, akses internet jauh lebih mudah. Hanya dengan smartphone yang dilengkapi dengan “paketan”
data, anak-anak sudah pandai berselancar di dunia maya.

Memahami Indera Belajar Siswa

Pada dasarnya orang mengenal dunia luar melalui


inderanya. Bagi orang kebanyakan, lima indera yang
dikenal dengan sebutan pancaindera merupakan alat
yang dianugerahkan Tuhan untuk mengenali dunia luar.
Kelima indera itu adalah penglihat (mata), pendengar
(telinga), pembau (hidung), pengecap (lidah), dan peraba
(kulit).

Bagaimana dengan siswa belajar? Bagi siswa, umumnya


mereka belajar melalui visual (yang dapat dilihat atau diamati), auditorial (yang dapat didengar), atau
kinestetik (yang dapat digerakkan atau dimanipulasi), meskipun kadang-kadang juga menggunakan
pengecap dan peraba.
Ketiga indera belajar siswa yang sering digunakan ini dikenal dengan sebutan V-A-K (Visual-Auditorial-
Kinestetik).

Bagi siswa tipe Visual, mereka akan lebih mudah belajar apabila menggunakan grafik, gambar, chart,
model, dan semacamnya. Sementara bagi siswa tipe Auditorial, mereka akan lebih mudah belajar melalui
pendengaran atau sesuatu yang diucapkan.

Sedangkan siswa tipe Kinestetik, mereka akan mudah belajar sambil melakukan kegiatan tertentu,
misalnya membongkar dan memasang kembali, membuat model, memanipulasi benda, dan sebagainya.

Bagaimana guru memfasilitasi siswa yang beragam potensi dasarnya itu untuk bisa belajar dengan mudah
dan mencapai tujuan pembelajaran secara optimal?

Tentu saja, hal pertama yang harus dilakukan guru adalah mengenali kemudian memahami indera belajar
seluruh siswanya di kelas yang diampunya. Setelah itu, baru guru dapat menentukan media dan metode
apa yang digunakan dalam pembelajaran agar sesuai dengan kebutuhan siswa.
Yang pasti, seorang guru tidak akan berhasil memfasilitasi seluruh siswa di dalam kelasnya mencapai
hasil belajar secara optimal apabila guru tersebut hanya menggunakan satu macam metode saja dalam
pembelajaran.
Satu macam metode, misalnya metode ceramah, hanya cocok bagi siswa tipe auditorial. Begitu pula,
grafik atau chart hanya cocok bagi tipe visual, sementara anak-anak kinestetik juga tidak cocok apabila
selama pembelajaran hanya duduk dan mendengarkan ceramah guru.

Oleh karena itu, guru perlu memvariasikan metode dan media dalam pembelajaran. Ketiga tipe siswa
sesuai V-A-K tadi harus mendapatkan porsi fasilitasi yang sama dalam belajar.
Ini berarti guru harus, paling sedikit, menggunakan tiga bentuk fasilitasi, yakni: yang cocok buat tipe
visual, cocok buat tipe auditorial, dan cocok buat tipe kinestetik tadi.

Taruhlah misalnya guru ingin mengajarkan materi sejarah perjuangan bangsa (IPS SD dengan topik
“Detik-detik Proklamasi”).

Untuk topik ini, guru dapat membuat variasi misalnya dengan ceramah tentang Peristiwa Detik-detik
Proklamasi diikuti dengan chart atau peta pikiran yang dibuat di kertas manila atau di papan tulis,
memperdengarkan rekaman kaset rekorder tentang topik bersangkutan.

Atau memutar CD perjuangan sesuai topik, menyuruh sebagian siswa untuk melakukan simulasi atau
bermain peran, dan menyusun skenario drama satu babak terkait dengan topik untuk dimainkan oleh
siswa di kelas itu atau oleh siswa lain.
Dengan cara ini, maka siswa-siswa yang beragam potensi dasarnya sesuai V-A-K tadi akan terpenuhi
kebutuhannya dalam belajar, sehingga mereka menjadi lebih berhasil.

Satu hal lagi, guru harus mengusahakan agar tidak ada siswa yang stress atau tertekan dalam proses
pembelajara. Mereka harus diusahakan tetap bersemangat dan enjoy, karena hal ini sangat membantu
proses belajar mereka.
Ada ungkapan, “Siswa akan belajar sangat baik jika dalam keadaan fun.”

Apabila indera belajar V-A-K siswa sudah terpenuhi, maka sebagian besar siswa di kelas itu akan
mendapatkan yang terbaik dari hasil belajarnya.

Guru tinggal melanjutkan dengan kegiatan penguatan, misalnya dengan memberikan tugas kepada siswa
untuk menceritakan ulang atau mengajar teman-temannya yang belum berhasil, atau melalui kuiz, dan
lain-lain.

Jika ini bisa dilakukan guru dan siswa berhasil dengan apa yang dilakukan guru itu, maka mengajar tidak
akan lagi menjadi beban yang kadang membuat kepala tuing-tuing karena siswa seolah tidak bisa diajak
berkomunikasi oleh gurunya.
Jadi, sekali lagi, kenali dan pahami indera belajar siswa, penuhi kebutuhan mereka agar dapat belajar
dengan cara yang terbaik sesuai kemampuan dasarnya sehingga mencapai hasil belajar yang optimal.
Apabila sudah demikian, maka predikat menjadi guru yang sukses akan segera dapat dinikmati.

Tips Menghadapi Siswa Yang Beragam


Prestasi (hasil) belajar siswa di kelas
sangat ditentukan oleh cara guru
memperlakukan siswa di dalam
pembelajaran. Ketika guru berhasil
membuat seluruh kelas fokus dengan
gairah yang tinggi pada pembelajaran,
maka proses pembelajaran akan
berlangsung lancar dan mencapai hasil
yang optimal.
Kapan Anda sebagai guru terakhir kali
mengalami situasi pembelajaran seperti
disebutkan di atas?
Sering terjadi, dalam sebuah proses pembelajaran di kelas, lebih-lebih kelas rendah, hanya sebagian kecil
siswa yang sanggup bertahan untuk fokus dalam waktu yang cukup lama (tiga puluh menit, misalnya).
Sebagian besar siswa tidak bisa fokus dalam pembelajaran.
Ada-ada saja yang lebih menarik perhatian mereka daripada memperhatikan guru yang sedang
menjelaskan materi pembelajaran. Bahkan, mengganggu teman sebelah ternyata lebih menarik perhatian
mereka. Buktinya? Mereka menganggu teman di saat pembelajaran! Apakah Anda juga pernah
mengalami kejadian serupa?
Memahami Keunikan Pribadi Siswa
Kita percaya pada informasi yang mengatakan bahwa masing-masing siswa di kelas kita memiliki pribadi
yang unik. Kita juga menerima pendapat bahwa untuk dapat mengajar siswa dengan baik, syarat utama
dan pertama adalah mengenal karakteristik siswa.
Tetapi tidak jarang, ketika tiba saatnya kita ACTION mengajar di kelas, informasi dan pendapat tentang
keunikan siswa yang sudah kita terima sebagai sesuatu yang benar, hilang terbang entah ke mana. Kita
mengajar sesuai dengan versi kita, menggunakan cara yang menurut kita efektif, mudah, dan menarik–
bukan menurut siswa.
Padahal, kita sadar sesadar-sadarnya bahwa dalam proses pembelajaran itu, siswalah yang harus belajar.
BUKAN GURU YANG MENGAJAR! Dan siswa belajar dengan keunikannya sendiri!
Jadi, kita perlu memahami keunikan pribadi siswa–dan menyesuaikan cara kita mengajar dengan
keunikan masing-masing siswa tersebut. Prinsipnya: Guru yang harus menyesuaikan teknik pembelajaran
menurut kebutuhan (keunikan, karakteristik) siswa agar pembelajaran berhasil, bukan siswa yang
menyesuaikan.
Buat Pembelajaran Seperti Fragmen
Ketika kita sudah menyadari dan memahami bahwa siswa itu beragam, serta memiliki komitmen bahwa
siswa harus berhasil, maka kita akan selalu berusaha untuk memberi kebebasan kepada siswa untuk
belajar dengan cara mereka sendiri.
Targetnya adalah siswa berhasil mencapai hasil belajar yang ditentukan.
Agar siswa berhasil melaksanakan tugas atau berhasil mencapai tujuan yang diharapkan, maka guru harus
membuat siswa kuat–membuat siswa mampu. Caranya?
Latih mereka dengan keterampilan-keterampilan khusus yang dibutuhkan, misalnya: cara membaca
(membaca cepat, membaca indah, membaca untuk pemahaman), cara mencatat (membuat peta pikiran,
menemukan inti paragraf untuk disalin).
Latih juga mereka tentang cara menghafal (mnemonik, jembatan keledai), cara cepat menyelesaikan
persoalan-persoalan matematika, dan cara-cara praktis lainnya yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
tugas dengan cepat dan tepat.
Jadikan pembelajaran berupa fragmen-fragmen kecil. Misalnya, contoh di SD, dalam pembelajaran tatap
muka dengan waktu 70 menit (dua jam pembelajaran), kegiatannya harus dibuat bervariasi, minimal lima
macam kegiatan dengan perkiraan waktu rata-rata setiap kegiatan 10 dan 15 menit.
Ada ceramah (pengantar, penjelasan sin gkat, simpulan), kegiatan membaca sendiri bagi siswa,
menceritakan dengan kalimat sendiri oleh siswa, membuat catatan poin-poin penting, menjelaskan
catatan, mengajar teman sebaya, membuat lagu, mengamati objek tertentu dan menyampaikan laporan
pengamatan, dan penilaian.
Dalam kegiatan yang bervariasi tersebut, guru harus memastikan bahwa semua siswa terpenuhi
kebutuhannya.
Misalnya siswa yang visual harus mendapatkan kesempatan yang baik untuk menggunakan penglihatnnya
dalam belajar (bacaan, gambar, grafik, dan lain-lain).
Siswa auditorial harus mendapatkan kesempatan untuk berbicara atau mendengar dalam belajar
(mendengarkan cerita, menceritakan kembali, mendengarkan penjelasan atau menjelaskan kepada teman
sebaya, diskusi dan laporan lisan, dan lain-lain).
Yang kinestetik juga harus mendapatkan kesempatan untuk melakukan tindakan (memanipulasi, belajar
ambil menggerakkan anggota tubuhnya, membaca sambil bersuara atau berjalan-jalan, membuat isyarat-
isyarat gerakan tertentu untuk menghafal poin-poin penting, dan lain-lain).
Dengan cara ini, maka seluruh siswa akan dapat menyelesaikan tugas dan mencapai hasil sesuai
kemampuan. Jika dengan cara tersebut ternyata masih ada siswa yang tidak akif, guru perlu mencari tahu
penyebabnya.
Bisa bertanya kepada siswa yang bersangkutan mengapa tidak aktif, bertanya kepada teman-teman di
kelas, mengamati secara khusus.
Hilangkan penyebab ketidakaktifan siswa (gangguan yang berasal dari keadaan di luar pembelajaran),
maka mereka selanjutnya akan aktif.
Simpulan
Siswa beragam harus dilayani secara beragam dalam pembelajaran, dengan memenuhi kebutuhan (cara
belajar) siswa. Salah satu caranya adalah membuat pembelajaran dalam bentuk fragmen-fragmen kecil
dengan kegiatan yang memenuhi tipe-tipe siswa belajar.

Anda mungkin juga menyukai