Posted on Juni 15, 2013 by zulrahmattogala Buku Principles Of Instructional Design ini memberikan
penjelasan kepada kita bagaimana prinsip mengembangakan dan mendesain sebuah pembelajaran yang
efektif. Dengan mendefenisikan pembelajaran sebagai rangkaian peristiwa dalam suatu kegiatan yang
bertujuan memfasilitasi pembelajaran, seorang guru yang memiliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip
desain instruksional, memiliki visi yang lebih luas tentang apa yang dibutuhkan untuk membantu siswa
belajar. Pembelajaran akan lebih efektif jika guru melibatkan para siswa dalam peristiwa-peristiwa dan
kegiatan yang memfasilitasi pembelajaran. Dengan
menggunakan prinsip-prinsip dari desain instruksional, guru
dapat memilih atau merencanakan dan mengembangkan
kegiatan terbaik untuk membantu siswa belajar.
A. Asumsi Dasar Tentang Desain Pembelajaran
Tidak satu model desain instruksioan yang cocok untuk semua
situasi dan kondisi pembelajaran. Menciptaan model-model
desain instruksional yang bervariasi tersebut menunjukkan
bahwa ada prinsip dan peristiwa yang mempengaruhi belajar,
dan bagaimana menciptakan strategi pembelajaran yang
terbaik. Namun demikian, ada beberapa asumsi dasar yang
menjadi acuan dalam mendesain sebuah pembelajaran, yaitu:
1. Desain instruksional lebih bertujuan untuk membentuk
proses belajar dari pada mengajar.
2. Disadari karena belajar adalah proses kompleks yang
dipengaruhi oleh banyak variable.
3. Model desain instruksional dapat diterapkan pada berbagai tingkatan.
4. Desain instruksional merupakan proses berulang-ulang.Mengingat pemahaman kita tentang
bagaimana orang belajar, kita tidak dapat merancang pembelajaran tanpa melibatkan peserta didik
dalam proses.
5. Desain instruksional itu sendiri adalah proses yang terdiri dari sejumlah sub proses yang
diidentifikasi dan terkait.
6. Berbagai jenis pembelajaran yang disebutkan akan menghasilkan berbagai jenis
pembelajaran.Tidak ada cara terbaik untuk mengajarkan segala sesuatu, dan kondisi pembelajaran
yang sesuai dengan jenis hasil yang kita inginkan akan mempengaruhi pemikiran kita tentang
desain kegiatan pembelajaran dan bahan.
B. Prosedur langkah-langkah
Setiap individu memiliki keyakinan pribadi tentang bagaimana belajar. Dan bagi setiap individu belajar
berasal dari pengalaman pribadi, refleksi diri, pengamatan orang lain, dan melalui pengalaman mencoba
untuk mengajar atau mengajak orang lain untuk dapat berpikir seperti cara kita. Belajar, seperti yang
didefinisikan oleh Robert Gagne (1985), adalah sebuah proses yang mengarah ke perubahan dalam diri
pemelajar dan kemampuan yang dapat tercermin dalam perilaku. Sebagai manusia kita memandang dan
memproses informasi disetiap menit. Beberapa informasi ini kemudian disaring dan beberapa dijadikan
masukkan untuk diketahui dan ingat. Perubahan dalam kemampuan adalah hasil dari apa yang kita sebut
dengan situasi belajar. Situasi belajar memiliki dua bagian yakni situasi belajar eksternal dan situasi
belajar internal. Bagian internal dari situasi belajar, nampaknya berasal dari memori yang disimpan dan
keinginan dari pemelajar. Sedangkan Situasi belajar eksternal berkaitan kondisi lingkungan dimana
pembelajaran berlangsung.
Proses pembelajaran telah diselidiki oleh metode ilmu pengetahuan selama bertahun-tahun. Seperti
ilmuwan yang meneliti tentang belajar, pada dasarnya tertarik untuk menjelaskan bagaimana
pembelajaran terjadi. Dengan kata lain, mereka ingin ada hubungan baik secara eksternal dan internal
dalam situasi belajar untuk proses perubahan perilaku yang disebut belajar. Hubungan ini kemudian
menjadi dasar untuk menyambungkan antara situasi belajar dan perubahan perilaku yang mungkin lebih
tepat disebut “kondisi belajar” (Gagne, 1985). Ini adalah kondisi, baik eksternal dan internal untuk
pemelajar, yang memungkinkan proses belajar itu terjadi. Jadi jika seseorang memiliki keinginan proses
pembelajaran terjadi, maka dalam merancang pembelajaran, salah satunya harus mengatur kondisi
eksternal dan internal belajar.
C. Beberapa Contoh Dari Prinsip Belajar
Ada beberapa prinsip yang berasal dari teori belajar dan pembelajaran yang relevan dengan desain
instruksional. Prinsip-prinsipnya adalah sebagai berikut:
1. Contiguity, Prinsip Kedekatan yang menyatakan bahwa situasi stimulus harus akan disajikan
bersamaan dengan respon yang diinginkan.
2. Repetition, Prinsip pengulangan menyatakan bahwa situasi stimulus dan respon perlu diulang,
atau dipraktekkan, untuk belajar ditingkatkan dan retensi menjadi lebih terjamin.
3. Reinforcement, secara histories Prinsip penguatan ini secara telah dinyatakan sebagai berikut:
Belajar dari tindakan baru yang diperkuat ketika terjadinya tindakan diikuti oleh sesuatu yang
memuaskan (Thorndike, 1913).
4. Social-Cultural Principles of Learning Prinsip Belajar berdasarkan sosial-budaya. Sebagian
besar psikolog pendidikan sejak awal mempelajari bagaimana individu belajar dari
instuksi/petunjuk tanpa mempertimbangan lingkungan sosial-budaya pemelajar. seperti faktor
tingkatan pada pembelajaran, penggunaan ilustrasi, dan cara presentasi, antara lain, menentukan
perbedaan yang diisolasikan dalam upaya untuk memberikan kontribusi terhadap perbedaan dalam
situasi belajar. Namun, penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa konteks sosial-budaya dari
belajar merupakan factor yang mungkin sama pentingnya lebih dari komponen lainnya.
Prinsip-prinsip yang berasal dari sosial-budaya termasuk model-model berikut ini adalah:
1. Negotiated Meaning, belajar adalah proses sosial dari membangun makna. Prinsip ini, bila
diterapkan, akan disebut sebagai konteks di mana pemelajar akan bekerjasama dengan pemelajar
lain dan menentukan pengetahuan yang lain dalam arti informasi. Implikasinya adalah bahwa
lingkungan belajar dapat dikolaborasikan untuk memfasilitasi proses ini.
2. Situated Cognition, Kemampuan belajar diperoleh dalam konteks tertentu, dan kegunaannya
dirasakan pada konteks sebagai implikasi dari belajar. Prinsip yang harus perhatikan adalah
pembelajaran yang terjadi dalam konteks otentik dapat diterapkan lebih bermakna sehingga dapat
diingat dan mengingat bila diperlukan.
Mencantumkan sosial-budaya sebagai prinsip-prinsip dalam desain instruksional sebagai langkah logis
dalam pengembangan model desain dengan sifat belajar yang sangat multidimensi, dan pasti sesuai
dengan kondisi belajar. Kondisi ini mungkin lebih bersifat umum dari jenis pemelajaran tertentu. Prinsip-
prinsip tersebut, kemudian, akan menginformasikan praktek dari sejumlah besar situasi belajar.
1. Activity Theory, Prinsip teori kegiatan atau aktivitas termasuk gagasan dari belajar yang terjadi
sebagai akibat dari aktivitas. Semua aktivitas dilakukan dengan maksud tertentu, dan dengan
berpartisipasi dalam kegiatan, pembelajaran bisa terjadi. Salah satu hipotesis yang diusulkan oleh
Brown, Collins, dan Duguid (1989) adalah pembelajaran yang terbaik terjadi apabila kegiatan-
kegiatan itu secara otentik merupakan bagian dari karya budaya. Belajar adalah proses yang
mentransformasikan pengetahuan dan praktek budaya. Meskipun ini merupakan penyederhanaan
besar dari satu set kompleks proposisi dan kerangka teori aktivitas, prinsip pembelajaran secara
aktif adalah penting bagi perancang instruksional, terutama dalam pemilihan hasil pembelajaran,
dan desain dari kegiatan belajar.
D. Kondisi Belajar
Pembelajaran yang mempertimbangkan faktor eksternal dan internal untuk peserta didik yang secara
kolektif dapat disebut kondisi pembelajaran (Gagne, 1985). Faktor eksternal, seperti lingkungan belajar,
sumber daya dalam lingkungan tersebut, dan pengelolaan kegiatan belajar berinteraksi dengan kondisi
internal, seperti keadaan pikiran bahwa pemelajar membawa tugas untuk belajar, kemampuan dipelajari
sebelumnya, dan tujuan pribadi para pemelajar secara individu. Kemampuan internal ini nampak sangat
penting dalam satu set dari faktor-faktor yang mempengaruhi belajar.
The Processes of learning
Dalam menjelaskan kondisi pembelajaran, baik eksternal dan internal, harus dimulai dengan suatu
kerangka atau model, dari proses yang memperlihatkan adanya tindakan pembelajaran. Suatu model
diterima secara luas oleh para peneliti modern yang menggabungkan ide-ide utama teori pembelajaran
secara kontemporer yang dikembangkan awalnya oleh Atkinson dan Shiffrin (1968), Memahami
pembelajaran sebagai pengolahan informasi yang terdiri dari beberapa tahap antara persepsi dan memori.
Dalam tahapan proses informasi pengolahan model, reseptor sensorik mengirimkan informasi dari
lingkungan ke sistem saraf pusat. Informasi mencapai pendaftaran singkat di salah satu register sensorik
dan kemudian diubah menjadi pola yang dikenali dengan memori jangka pendek Perubahan yang terjadi
pada saat itu disebut persepsi selektif atau persepsi fitur. Penyimpanan informasi dalam memori jangka
pendek memiliki durasi yang relatif singkat, kurang dari 20 detik, kecuali berlatih. Aspek lain dari
memori jangka pendek yang cukup penting untuk belajar adalah kapasitas yang terbatas. Hanya beberapa
item yang terpisah beberapa, mungkin sedikitnya empat sampai tujuh, dapat “diselenggarakan dalam
pikiran” pada satu waktu. Karena penyimpanan jangka pendek merupakan salah satu tahap dari proses
pembelajaran, batas kapasitasnya bisa sangat mempengaruhi kesulitan dalan tugas belajar.
Informasi dari salah satu memori kerja atau memori jangka panjang, ketika diambil, lolos ke generator
respon dan ditransformasikan menjadi tindakan. Aktivitas pesan kemudian berefek pada (otot),
menghasilkan kinerja yang dapat diamati terjadi di lingkungan pemelajar.Tindakan ini yang
memungkinkan pengamatan eksternal untuk memberitahu bahwa stimulasi awal telah memiliki efek yang
diharapkan. Informasi kemudian telah “diproses” dalam semua cara, dan pemelajar telah, benar-benar
belajar.
Control Processes
Dua struktur penting yang yang mengatur arus informasi selama pembelajaran adalah Executive Control
dan Expectancies. Misalnya, peserta didik memiliki harapan dari apa yang akan mereka dapat lakukan
setelah mereka belajar, dan pada gilirannya apakah ini dapat mempengaruhi bagaimana situasi eksternal
yang dirasakan, bagaimana itu disandikan dalam memori, dan bagaimana hal itu transformasikan menjadi
prestasi. Struktur kontrol eksekutif mengatur penggunaan strategi kognitif, yang dapat menentukan
bagaimana informasi dikodekan ketika memasuki memori jangka panjang, atau bagaimana proses
pengambilan dilakukan .
Instruction and Learning Processes
Pembelajaran akan memfasilitasi belajar bila didukung oleh kejadian internal dari pengolahan informasi.
Kejadian eksternal yang disebut pembelajaran, kemudian, harus diselaraskan dengan kejadian internal
untuk mendukung tahapan yang berbeda dalam proses. Pembelajaran, kemudian, dapat dipahami sebagai
usaha sengaja dalam mengatur kejadian eksternal yang dirancang untuk mendukung proses pembelajaran
internal.
Keseluruh isi buku ini untuk merujuk pada peristiwa pembelajaran (Gagne, 1985). Tujuannya adalah
untuk menjelaskan tentang jenis proses internal yang akan mengarah pada pembelajaran yang efisien.
Peristiwa pembelajaran melibatkan jenis kegiatan berikut dengan berbagai urutan dan terkait dengan
proses pembelajaran sebelumnya yakni:
1. Stimulasi untuk mendapatkan perhatian dengan memastikan adanya penerimaan rangsangan
2. Menginformasikan kepada peserta didik tujuan dari pembelajaran untuk menetapkan harapan yang
sesuai
3. Mengingatkan peserta didik dari materi yang sebelumnya dipelajari dengan mengambil dari LTM
4. Jelas dan khas penyajian materi untuk memastikan persepsi selektif
5. Bimbingan belajar dengan encoding semantik yang sesuai
6. Memunculkan prestasi, yang melibatkan bangkitnya respon
7. Memberikan umpan balik tentang kinerja
8. Menilai kinerja yang melibatkan adanya kesempatan terjadi respon umpan balik tambahan
9. Mengatur berbagai praktek untuk membantu pengambilan dan pemindahan
Kapabilitas belajar dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu dari lima domain kemampuan. Secara
singkat, lima jenis kemampuan belajar dengan yang ditawarkan dalam buku ini adalah sebagai berikut:
1. Intellectual Skill: Yang memungkinkan pemelajar untuk melaksanakan prosedur secara simbolis
dikendalikan menggunakan diskriminasi, konsep, aturan, dan keterampilan dalam pemecahan
masalah
2. Cognitive Strategies: sarana yang digunakan oleh peserta didik dikontrol berdasarkan proses
belajar mereka sendiri
3. Verbal Information: Fakta dan terorganisir “pengetahuan tentang dunia” yang tersimpan dalam
memori pembelajar
4. Attitudes: keadaan internal yang dinyatakan mempengaruhi pilihan terhadap tindakan pribadi
yang dibuat oleh seorang pemelajar
5. Motor Skill: Gerakan otot yang terorganisir dalam rangka mencapai tujuan dalam bentuk
tindakan.
Yang menarik adalah bagaimana berbagai jenis kemampuan belajar memfasilitasi jenis belajar lainnya.
Dalam menggunakan menggunakan prinsip-prinsip desain instruksional untuk merancang pelajaran
mungkin diperlukan sebuah model sederhana untuk perencanaan pelajaran. Jika tujuan yang diinginkan
telah ditetapkan, dan materi kurikulum dikembangkan, guru mungkin hanya untuk (1) mengelola materi
yang nantinya disampaikan kepada pemelajar, (2) membimbing kegiatan belajar siswa, dan (3) menilai
pembelajaran dan memberikan umpan balik korektif.
Langkah-langkah pengembangan model dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut:
1. Tentukan tujuan untuk instruksional. Kebutuhan instruksional diselidiki sebagai langkah pertama.
Ini kemudian dipertimbangkan oleh suatu kelompok yang bertanggung jawab untuk mencapai
konsensus pada tujuan pengajaran. Sumber daya yang tersedia untuk memenuhi tujuan-tujuan ini
juga harus dipertimbangkan secara hati-hati, karena dengan situasi yang memaksakan perencanaan
instruksional akan mengalami kendala. Contoh dari kendala adalah
waktu yang diperbolehkan untuk pembelajaran.
2. Tujuan pengajaran dapat diterjemahkan ke dalam sebuah kerangka
kerja sebagai bagian dari kurikulum. Demikian juga tujuan dari
program yang dibuat oleh individu mencerminkan tujuan
instruksional ditentukan pada berbagai tipe keerhasilan yang
dihasilkan berdasarkan deskripsi tujuan.
3. Tujuan tersebut kemudian dianalisis dan unit utama pembelajaran
diidentifikasi. Tujuan Unit berasal dari tujuan mata pelajaran,
dengan memperhatikan bagaimana mereka mendukung jenis hasil
diwakili pada program.
4. Penentuan jenis kemampuan yang harus dipelajari, dan memberikan
kesimpulan berdasarkan kondisi pembelajaran yang diperlukan,
sehingga memungkinkan untuk merencanakan urutan pelajaran.
Urutan ini memfasilitasi pembelajaran kumulatif.
5. Pelajaran selanjutnya dipecah menjadi kejadian atau kegiatan belajar. Pusat perhatian pada
pengaturan kondisi eksternal yang paling efektif dalam mencapai hasil yang diinginkan.
Pertimbangan juga harus diberikan kepada karakteristik peserta didik, karena ini akan menentukan
banyak kondisi internal yang terlibat dalam bekerja sama. Perencanaan ini juga melibatkan
teknologi
6. Unsur tambahan yang dibutuhkan untuk penyelesaian desain instruksional adalah seperangkat
prosedur penilaian apa yang telah dipelajari pemelajar. Dalam konsep, komponen ini secara alami
diikuti berdasarkan tujuan instruksional. Tujuan menggambarkan domain dari item yang dipilih.
Penilaian prosedur dan instrumen yang dirancang untuk menyediakan pengukuran kriteria-
referenced hasil belajar (Popham, 1981).
7. Desain pelajaran dan kursus, dengan teknik yang menyertainya akan menilai hasil pembelajaran,
memungkinkan perencanaan sistem secara keseluruhan. Sistem instruksional bertujuan untuk
mencapai tujuan yang komprehensif di sekolah-sekolah dan program pendidikan di semua
tingkatan. Sebuah cara harus ditemukan agar sesuai dengan berbagai komponen bersama-sama
dalam suatu sistem manajemen, kadang-kadang disebut sistem pengiriman instruksional. Tentu,
guru atau instruktur memainkan peran kunci dalam pengoperasian sistem tersebut.
8. Akhirnya, perhatian harus diberikan pada evaluasi upaya pembelajaran. Prosedur untuk evaluasi
dipergunakan terlebih dahulu untuk usaha desain itu sendiri. Bukti yang dicari untuk revisi yang
akan meningkatkan dan memperbaiki pembelajaran (evaluasi formatif). Pada tahap selanjutnya,
evaluasi sumatif dilakukan untuk mencari bukti efektivitas belajar dari apa yang telah dirancang.
Kelebihan dan keterbatasan penggunaan
Buku ini memberikan dampak positif bagi para penulis buku teks (ajar), pengembang materi kurikulum,
pendesainer latihan berbasis web, perancang system manajemen pengetahuan, penceramah, pelatih, guru
tapi juga peserta didik.
Buku: Instructional Design: The ADDIE Approach, Robert Maribe Branch
Istilah ADDIE merupakan singkatan dari Analyze, Design, Develop, Implement dan Evaluation. ADDIE
telah banyak diterapkan dalam lingkungan belajar yang telah dirancang sesuai dengan tujuan
pembelajaran. Berdasarkan landasan filosofi pendidikan penerapan ADDIE harus bersifat student center,
inovatif, otentik dan inspriratif. Konsep pengembangannya sudah diterapkan sejak terbentuknya
komunitas sosial. Pembuatan sebuah produk pembelajaran dengan menggunakan ADDIE merupakan
sebuah kegiatan yang menggunakan perangkat yang efektif. ADDIE yang membantu menyelesaikan
permasalah pembelajaran yang komplek dan juga mengembagkan produk-produk pendidikan dan
pembelajaran Tujuan penulisan buku ini adalah untuk memperkenalkan pendekatan ADDIE sebagai
landasan proses dalam membuat sumber-sumber belajar secara efektif.
1. Langah-langkah Desain Model ADDIE
1. Analyze – Analisis
Langkah-Langkah Analisis
1. Validasi kesenjangan kinerja
2. Merumuskan tujuan instruksional
3. Mengidentifikasi karakteristik peserta didik
4. Mengidentifikasi sumber-sumber yang dibutuhkan
5. Menentukan strategi pembelajaran yang tepat
6. Menyusun rencana pengelolaan program/proyek
Langkah-langkah tersebut diuraikan lebih terperinci sebagai berikut:
Menilai Kinerja: Mengukur kinerja actual, Menetapkan kinerja yang ingin dicapai,
Mengidentifikasi penyebab
Merumuskan tujuan Instruksional: Menggunakan taksonomi Bloom, Taksonomi lain.
Mengidentifikasi karakter peserta didik: Kemampuan, pengalaman, motivasi, Sikap dan Lain-lain
Mengidentifikasi sumber-sumber: Mengidentifikasi pilihan-pilihan, Pertimbangan waktu, Konten,
teknologi, fasilitas dan manusia
Menentukan strategi pembelajaran yang tepat: Mengidentifikasi pilihan-pilihan, Pertimbangan
waktu, Biaya setiap fase ADDIE, Biaya keseluruhan.
Menyusun rencana kegiatan: Anggota Tim, batas-batas yang berarti, jadwal, Laporan akhir.
a. Design – Desain
Tujuan: Memverifikasi kinerja yang akan dicapai dan pemilihan metode tes yang sesuai.
Langkah-langkah umum yang ditempuh dalam mendisain pembelajaran adalah:
1. Menyusun daftar tugas-tugas
2. Menyusun tujuan kinerja
3. Menyusun strategi tes
4. Menghitung investasi/biaya yang dikeluarkan
Komponen Disain: Diagram susunan tugas, Perangkat pelengkap tentang tujuan pembelajaran, Perangkat
tes lengkap, Strategi Tes, Proposal investasi/biaya yang dikeluarkan
3. Develop – Pengembangan
Tujuan: Menghasilkan dan memvalidasi sumber-sumber belajar
Fase Pengembangan
1. Generate Content
2. Select or develop Supporting Madia
3. Develop guidance for the student
4. Develop guidance for the teacher
5. Conduct formative revisions
6. Conduct a pilot tes
Tahapan ini merupakan tahapan produksi dimana segala sesuatu yang telah dibuat dalam tahapan desain
menjadi nyata. Langkah-langah dalam tahapan ini diantaranya adalah: membuat objek-objek belajar
(learning objects) seperti dokumen teks, animasi, gambar, video dan sebagainya; membuat dokumen-
dokumen tambahan yang mendukung. Pengembangan merupakan langkah ketiga dalam
mengimplementasikan model desain sistem pembelajaran ADDIE. Langkah pengembangan meliputi
kegiatan membuat, membeli, dan memodifikasi bahan ajar. Dengan kata lain mencakup kegiatan memilih,
menentukan metode, media serta strategi pembelajaran yang sesuai untuk digunakan dalam
menyampaikan materi atau substansi program.
4. Implement – Implementasi
Pada tahapan ini sistem pembelajaran sudah siap untuk digunakan oleh pemelajar. Kegiatan yang
dilakukan dalam tahapan ini adalah mempersiapkan dan memasarkannya ke target pemelajar
1. Menyiapkan Guru
2. Menyiakan Pemelajar
Implementasi atau penyampaian materi pembelajaran merupakan langkah keempat dari model desain
sistem pembelajaran ADDIE. Tujuan utama dari langkah ini antara lain sebagai berikut.
Membimbing pemelajar untuk mencapai tujuan atau kompetensi.
Menjamin terjadinya pemecahan masalah/ solusi untuk mengatasi kesenjangan hasil belajar yang
dihadapi oleh pemelajar.
Memastikan bahwa pada akhir program pembelajaran, pemelajar perlu memilki kompetensi
pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang diperlukan.
5. Evaluate – Evaluasi
Tujuan dari fase evaluasi adalah mengukur kualitas dari produk dan proses sebelum dan setelah
pelaksanaan kegiatan.
Prosedur utama dari proses evaluasi adalah :
1. Menentukan kriteria evaluasi
2. Memilih alat untuk evaluasi
3. Mengadakan evaluasi itu sendiri
Hasil dari evaluasi adalah perencanaan evaluasi.
Komponen dari perencanaan evaluasi adalah :
Sebuah ringkasan tentang tujuan, alat pengumpul data, tanggung jawab terhadap waktu dan
perorangan/group untuk setiap level evaluasi
Satu set kriteria penilaian evaluasi
Satu set alat untuk evaluasi
Konsep Penting Dalam Desain Instruksional Model ADDIE
1. Tahap Analisis
Kosep menarik dari tahap ini adalah bagaimana seorang perancang instruksional melakukan analisis
kinerja untuk mengetahui dan mengklarifikasi apakah masalah kinerja yang dihadapi memerlukan solusi
berupa penyelenggaraan program pembelajaran atau perbaikan manajemen, apakah masalah tersebut
adalah benar-benar masalah dan membutuhkan upaya untuk penyelesaian. Disamping itu kemampuan
menganalisis kebutuhan, juga merupakan langkah yang sangat penting untuk menentukan kemampuan-
kemampuan atau kompetensi yang perlu dipelajari oleh pemelajar untuk meningkatkan kinerja atau
prestasi belajar.
2. Tahap Desain
Langkah penting yang dilakukan dalam tahap desain adalah bagaimana seorang perancang instruksional
mampu menetapkan pengalaman belajar atau learning experience seperti apa yang perlu dimiliki oleh
pemelajar selama mengikuti aktivitas pembelajaran. Hal tersebut berkaitan juga dengan akltifitas
mendesain, daftar tugas, Perangkat pembelajaran, dan penyusunan strategi tes, dan rancangan investasi
program.
3. Tahap Pengembangan
Konsep penting dalam tahap ini adalah bahwa seorang perancang instruksional harus memiliki
kemampuan mencakup kegiatan memilih dan menentukan metode, media, serta strategi pembelajaran
yang sesuai untuk digunakan dalam menyampaikan materi atau substansi program pembelajaran.
4. Tahap Implementasi
Konsep penting pada tahap implementasi, adalah bagaimana perancang instruksional mampu memilih
metode pembelajaran seperti apa yang yang paling efektif dalam menyampaikan bahan atau materi
pembelajaran. Bagaimana upaya menarik dan memelihara minat pemelajar agar mampu memusatkan
perhatian pada penyampaian materi.
5. Tahap Evaluasi
Konsep penting dari tahapan evaluasi model ADDIE adalah bagaimana seorang perancang instruksional
mampu melakukan evaluasi keseluruhan model, dari tahap awal sampai akhir. Langkah-langkah yang
penting dalam evaluasi model ADDIE adalah bagaimana menentukan kriteria evaluasi, memilih alat
untuk evaluasi, dan mengadakan Evaluasi itu sendiri. Kegiatan evaluasi setidaknya mampu menjawab
pertanyaan sebagai berikut: bagaimana sikap pemelajar terhadap kegiatan pembelajaran secara
keseluruhan, bagaimana peningkatan kompetensi dalam diri pemelajar yang merupakan dampak dari
keikutsertaan dalam program pembelajaran, dan keuntungan apa yang dirasakan oleh sekolah akibat
adanya peningkatan kompetensi pemelajar setelah mengikuti program pembelajaran.
3. Kendala dalam Implementasi di tempat kerja
Kendala yang mungkin dihadapai dalam implementasi ditempat kerja.
1. Pada tahap analisis: dimana pada saat melakukan anailisis kinerja dan analisis kebutuhan,
kekhawatiran tidak fokusnya guru dalam menganalisis kinerja dan kebutuhan, apakah analisis
yang dilakukan memang benar-benar suatu hal yang sangat urgen. Jika hal tersebut terjadi maka
akan sangat berpengaruh terhadap tahapan desain selanjutnya.
2. Pada tahap desain: Kendala yang mungkin dihadapi adalah menetapkan pengalaman belajar
kepada pemelajar, hal ini terkait dengan desain tes, perangkat pembelajaran, yang membutuhkan
biaya, kendala utama adalah jika dalam mengembangkan program tidak didukung oleh dana yang
cukup dari sekolah.
3. Pada tahap pengembangan: Kendala yang mungkin dihadapi adalah tidak tersedianya media yang
sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, dan karakteristik pemelajar, padahal media yang
dimaksudkan sangat menunjang ketercapaian kompetensi bagi pemelajar.
4. Pada tahap Implementasi: Kendala yang dihadapi pada tahap ini, bisa datang dari pembelajar
maupun dari pemelajar itu sendiri, dari pihak pembelajar, adanya ketidak sesuaian metode yang
sudah dirancang sejak awal dengan metode yang dilakukan dilapangan, hal ini mungkin saja
terjadi jika kondisi dilapangan tidak mendukung untuk menerapkan metode yang telah ditetapkan.
Sementara dari pihak pemelajar, adalah menurunnya minat belajar pada saat penyampaian materi.
5. Pada tahap evaluasi: kendala yang mungkin dihadapi adalah bagaimana menentukan kriteria
evaluasi, memilih alat untuk evaluasi, dan mengadakan evaluasi secara akurat yang sesuai dengan
kondisi yang diharapkan.
Buku: THE SYSTEMATIC DESIGN OF INSTRUCTION, by Walter Dick, Lou Carey, James O’Carey
Posted on Juni 15, 2013 by zulrahmattogala
Desain instruksional model Dick and Carey dikembangan
berdasarkan pemikiran dan karya besar Robert M. Gagne “The
Condition of Learning”, Gagne mengemukakan bahwa perilaku
manusia sangat kompleks dan lebih banyak dikontrol oleh proses
mental internal daripada rangsangan dan penguatan dari luar. Proses
belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menyatukan rencana
dan informasi baru ke dalam memorinya sehingga memungkinkan
munculnya kemampuan yang baru. Model ini menggunakan
pendekatan system karena: a) pendekatan system merupakan alat
yang sangat baik untuk menjamin keberhasilan perencanaan
pembelajaran karena adanya ikatan dan keterkaitan antara dampak
pembelajaran, karakteristik pemelajar, aktifitas instruksional dan
penilaian b) adanya ikatan dan keterkaitan yang khusus antara
Strategi pembelajaran dan dampak pembelajaran c) adanya empiris
dan proses pengulangan. Model Dick and Carey ini dapat digunakan
dalam dunia bisnis, industri, pemerintahan dan pelatihan.
Buku: Survey of Iistructional Development Models, by Kent L. Gustafson & Robert Maribe Branch
Buku: Motivational Design For Learning And Performance: The ARCS Model Approach
(John M. Keller)
ARCS merupakan akronim dari: Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction. ARCS sebagai model
pendekatan dalam pembelajaran dikembangkan oleh Keller dan Kopp (1987) sebagai jawaban pertanyaan
“bagaimana merancang pembelajaran yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi dan hasil belajar”.
Model ARCS berakar pada banyak teori dan konsep motivasi, khasnya adalah teori harapan-nilai
(expectancy-value).
Pendekatan Saintifik, Berpikir Divergen, dan Interaksi Guru – Siswa dalam Pross Pembelajaran
Oleh: Zulrahmat
A. PENGANTAR
Pemerintah menempatkan pembangunan pendidikan sebagai program yang sangat strategis dalam
pembangunan Nasional. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan
bahwa “pemerintah dalam menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional untuk meningkatkan
keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa. Sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan serta peningkatan mutu, relevansi, dan efisiensi manajemen pendidikan dalam rangka
menghadapi tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global”.
Sebagai salah satu unsur penting dari pembangunan pendidikan, peran guru sangat penting dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa. Peran itu semakin kuat dengan pencanangan guru sebagai profesi oleh
Presiden Republik Indonesia pada tanggal 4 Desember 2004. Selanjutnya Undang–Undang Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen secara eksplisit mengamanatkan adanya
pembinaan dan pengembangan profesi guru secara berkelanjutan sebagai aktualisasi dari sebuah profesi
pendidik. Pengembangan keprofesian berkelanjutan dilaksanakan bagi semua guru, baik yang sudah
bersertifikat maupun belum bersertifikat. Sasarannya antara lain adalah meningkatnya kompetensi guru
dan tenaga kependidikan dan pada akhir diharapkan akan berdampak pada kualitas pembelajaran di kelas
dan adanya peningkatan hasil belajar siswa.
B. PERMASALAHAN
Tujuan ideal yang telah diprogramkan oleh pemerintah saat ini sudah terlaksana meskipun belum
sepenuhnya sempurna, diantaranya adalah program pembinaan dan pengembangan profesionalisme guru
melalui pendidikan dan pelatihan singkat maupun berkesinambungan (Continuous Professional
Development) dan dalam penyelenggaraannya diberdayakan unsur-unsur lain seperti; Kelompok Kerja
(KKG); Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP); Kelompok Kerja Kepala Sekolah (KKKS);
Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS); Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP); dan
Perguruan Tinggi (LPTK).
Selain itu Uji Kompetensi Guru (UKG) yang telah dilaksanakan juga bertujuan untuk pemetaan
kompetensi dan untuk mengetahui materi pelatihan yang akan diberikan kepada guru guna meningkatkan
kemampuan mengajar. Meskipun pada kenyataannya UKG belum dapat menggambarkan kompetensi
guru secara utuh, karena yang diujikan hanya kompetensi paedagogik dan profesional, dan hasilnyapun
belum dimanfaatkan.
Tulisan ini ditujukan untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan pendidikan kita,
khususnya yang berkaitan dengan pengembangan profesionalisme guru. Pertanyaan yang penting untuk
dijawab diantaranya adalah; (1) Bagaimana peran guru dan kualitas pembelajaran?; (2) Apa urgensi
pengembangan profesionalisme guru?; dan (3) Bagaimana model pengembangan profesionalisme
Individual guru?.
C. PEMBAHASAN & SOLUSI
1. Peran Guru dan Kualitas Pembelajaran
Guru adalah komponen yang menentukan dalam menerapkan strategi pembelajaran. Tanpa guru,
bagaimanapun bagus dan idealnya suatu strategi, maka strategi itu tidak mungkin bisa diaplikasikan.
Keberhasilan implementasi suatu strategi pembelajaran akan tergantung pada kemampuan guru dalam
menggunakan metode, teknik, dan taktik pembelajaran. Setiap guru memiliki pengalaman, pengetahuan,
kemampuan, gaya, dan pandangan yang berbeda dalam mengajar. Guru yang menganggap mengajar
hanya sebatas menyampaikan materi pelajaran akan berbeda dengan guru yang menganggap mengajar
adalah suatu proses pemberian bantuan kepada siswa.
Guru dalam proses pembelajaran memegang peran yang sangat penting. Guru tidak hanya berperan
sebagai model atau teladan bagi siswa yang diajarnya, namun juga sebagai pembimbing, pengayom, dan
pengajar. Secanggih apapun perkembangan perangkat teknologi dalam mendukung pembelajaran tak
mungkin dapat menggantikan peran guru, sebab siswa adalah organisme yang sedang berkembang yang
memerlukan bimbingan dan bantuan orang dewasa.
Penelitian yang dilakukan oleh Timperley et al. (2007) menyimpulkan bahwa peningkatan kualitas guru
akan berdampak terhadap praktek mengajar. Menurut mereka guru harus seorang profesional yang dapat
mengatur diri sendiri, mampu membangun pengalaman belajar mereka sendiri dan mampu bekerja efektif
bagi keberhasilan siswa mereka.
Sementara itu Tilaar (2015) mengemukakan bahwa pada abad 21 guru harus seorang yang memiliki
kemampuan profesional, seorang yang profesional pada suatu masyarakat yang moderen tidak cukup
dilahirkan secara alamiah, tetapi perlu mendapatkan pendidikan formal. Sorang guru profesional harus
memiliki sifat jujur, bekerja keras, disiplin, memiliki sikap sosial yang tinggi, inovatif-kreatif, dan
demokratis. Guru profesional juga harus menguasai ilmu pengetahuan baik pengetahuan umum yang
diperlukan untuk menghadapi dunia yang juga semakin terbuka sebagai akibat dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, maupun ilmu pengetahuan yang secara khusus wajib dikuasai oleh seorang
guru, yaitu ilmu pedagogik.
Efektivitas dan Intensionalitas Guru
Cruickshank dan Haefele (2001) mengemukakan bahwa “guru yang baik adalah guru yang ideal, analitis,
perhatian, kompeten, ahli, reflektif, memuaskan, memiliki responsifitas, dan dihormati”. Stronge (2007)
mengemukakan bahwa “guru efektif meliputi karakteristik dari guru sebagai individu, bagaimana Ia
melakukan perencanaan, mengajar, mengelola kelas, dan memonitor kemajuan siswanya”.
Kedua pendapat di atas menegaskan bahwa guru efektif adalah guru memandang pembelajaran yang
dilakukannya ideal dan memuaskan karena dilakukan dengan perencanaan dan pengelolaan serta
perhatian yang tinggi.
Selain efektifitas mengajar yang perlu diperhatikan seorang guru, ada konsep lain yang tidak kalah
penting yakni Intensionalitas guru dalam melakukan proses pembelajaran. Artinya bahwa efektifitas
seorang guru bisa tergambar ketika melakukan proses pembelajaran. Epstein (2007) mengemukakan
bahwa guru yang intensional adalah guru yang terus menerus memikirkan hasil terbaik bagi siswa mereka
dan bagaimana keputusan yang mereka ambil dapat mengantar siswa menuju hasil yang terbaik.
Sementara itu, Slavin (2011) mengemukakan bahwa “guru yang intensional adalah guru yang
memperhatikan kebutuhan siswa, mereka berharap dan belajar untuk menguasai strategi yang dapat
mendorong siswa mereka berhasil. Lebih jauh dijelaskan bahwa guru yang intensional selalu memikirkan
kualitas pengajaran mereka dengan mempertimbangkan banyak komponen pembelajaran lainnya”.
Hal ini berarti bahwa seorang guru harus memiliki pemahaman bahwa terjadinya kondisi pembelajaran
yang maksimal tidak terjadi secara kebetulan, tetapi peristiwa belajar harus dilakukan dengan
perencanaan yang matang sehingga pemerolehan pengetahuan pada siswa juga tidak terjadis ecara
kebetulan.
“Metanoia” Profesionalisme Guru
Metanoia berarti perubahan pola pikir atau konsep berpikir yang diperbaharui. Metanoia adalah
transformasi yang radikal dari seluruh proses mental seseorang yang menghasilkan arah pemikiran baru
tentang siapa dirinya dan bagaimana cara melihat diri sendiri.
Metanoia secara harfiah berarti “lompatan pikiran” atau “melampaui pikiran”. Metanoia adalah sebuah
kekuatan pembaharuan pola pikir yang membawa perubahan total dalam perspektif kehidupan, perubahan
dalam tujuan hidup dan perubahan dalam kehidupan itu sendiri.
Melalui “Metanoia Profesionalisme”, seorang guru diharapkan menyediakan sebuah ”kotak baru” dalam
alam pikirannya untuk menuju kearah perubahan yang mendasar tentang bagaimana melihat pembelajaran
yang dilakukannya.
Paradigma baru pembelajaran menuntut guru tidak hanya berperan sebagai model atau teladan bagi siswa
yang diajarnya, memahami keempat kompetensi yang diwajibkan kepadanya secara tekstual dan
mengimplementasikannya ke dalam kegiatan pembelajaran sekadar “menggugurkan kewajiban”, tetapi
juga harus bisa menjadi pengelola pembelajaran.
Oleh karenanya, keberhasilan suatu proses pembelajaran sangat ditentukan oleh kualitas atau kemampuan
guru. Untuk itulah guru harus belajar secara terus-menerus untuk meningkatkan kemampuannya.
2. Urgensi pengembangan profesionalisme guru
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (1994), profesional berkaitan dengan mutu, kualitas, dan tindak
tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang professional, sedangkan menurut Chambridge
Dictionary kata profesional bersangkutan dengan profesi, memerlukan kepandaian khusus untuk
menjalankannya. (http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/professional,). Dengan demikian
profesionalisme guru berarti kemampuan atau kompetensi seorang guru untuk melaksanakan tugas dan
fungsinya secara baik dan benar dengan komitmen yang kuat.
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 1 menjelaskan bahwa
profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar
mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Di Indonesia dewasa ini, pengembangan perofesional sangat jarang dilakukan dan tidak merangkul guru
secara keseluruhan, peningkatan pemahaman pedagogis yang dangkal, tidak memiliki relevansi dengan
kurikulum dan pembelajaran, dilakukan secara parsial, dan tidak terakumulatif. Untuk itu perlu konsep
yang lebih menyentuh untuk mengarahkan guru pada model peningkatan keprofesian berkelanjutan yang
lebih baik.
Yoon et al. (http://ies.ed.gov/ncee/edlabs) mengemukakan bahwa pengembangan profesional bagi guru
adalah mekanisme kunci untuk meningkatkan pembelajaran dan prestasi siswa. Lebih jauh dijelaskan
bahwa meskipun pengembangan profesional yang dilakukan dipercaya memiliki kualitas yang sangat
baik, namun masih memiliki kekurangan dan perlu perbaikan, diantaranya adalah: (1) koherensi
kurikulum; (2) minimnya pemahaman pembelajaran aktif; (3) ketersediaan waktu; dan (4) tingkat
partisipasi kolektif guru.
Menurut Chambridge International Examination (2015) pengembangan profesionalisme guru paling
tidak memiliki dua manfaat: (1) melalui peningkatan profesionalisme guru yang efektif dapat
meningkatkan pengetahuan guru yang bersangkutan, yang pada gilirannya meningkatkan pembelajaran;
(2) meningkatan partisipasi: Menurut Survey Teaching And Learning International Survey (2008), Guru
yang menggunakan praktek pengajaran yang beragam dan berpartisipasi lebih aktif dalam pembelajaran,
menerima lebih banyak umpan balik dan penilaian yang positif dalam pembelajaran mereka. Kedua
pendapat di atas mengindikasikan bahwa meskipun penyelenggaraan pengembangan profesi yang
dilakukan terhadap guru telah maksimal, namun masih perlu terus ditingkatkan.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Agama perlu
memikirkan pentingnya pengembangan profesi bagi guru. Menurut penulis pengembangan profesi bagi
guru harusnya fokus pada: (1) peningkatan pemahaman konsep pedagogis; (2) peningkatan pengetahuan
dan keterampilan guru dalam perencanaan, desain, dan implementasi pengajaran; (3) peningkatan
pemahaman variasi strategi pembelajaran; (4) peningkatkan kemampuan prestasi belajar siswa.
3. Model Pengembangan Profesionalisme Individual
Menurut Swenen et al. (2009) mengajar adalah profesi yang sangat kompleks. Menjadi seorang guru
adalah proses transformasional dan oleh karena itu yang terpenting adalah bagaimana mengembangkan
motivasi, identitas pribadi, dan profesionalisme individual dari guru yang bersangkutan. Itu semua hanya
dapat diperoleh dan diperkaya dengan berkomitmen menjadi bagian terpenting dari sebuah manajemen
sekolah secara keseluruhan.
Berkaitan dengan peningkatan motivasi individual dalam membangun komitmen sebagai guru
profesional, penulis akan kemukakan beberapa pemikiran dalam membangun komitmen pribadi sebagai
seorang guru, yang penulis sebut sebagai “Model Pengembangan Profesional Individual”.
Peran guru dalam mengelola pembelajaran begitu sentral, tugas-tugas yang meliputi, melakukan analisis
kebutuhan, mengidentifikasi karakteristik peserta didik, merencanakan strategi instruksional, pemilihan
konten yang sesuai, mengidentifikasi media yang tepat, mengajarkan, dan mengevaluasi peserta didik,
oleh karena itu kata “perubahan” belum cukup untuk menuju kearah yang lebih baik. Guru harus
melakukan lompatan revolusioner dengan menempatkan sebuah ”kotak baru” dalam alam pikirannya
kearah perubahan yang mendasar.
Langkah langkah pengembangan individual yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:
Pemahaman Pedagogis
Seorang guru harus memiliki pemahaman konsep pedagosi. Dengan pemahaman pedagogis guru akan
mampu memahami kondisi internal dan eksternal pembelajaran yang akan dilakukannya, tujuannya
adalah agar guru dapat menyediakan layanan yang paling dibutuhkan oleh siswanya.
Desainer Pembelajaran
Jika guru telah memiliki pemahaman pedagogis yang baik, hal ini akan mendorong guru menciptakan
desain pembelajaran yang tepat, mengembangkan metode dan strategi pembelajaran yang sesuai dengan
karakteristik peserta didik dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.
Guru Pembelajar
Tugas Guru bukan semata-mata menjadi pengajar tetapi juga sebagai pendidik. Sebagai pendidik guru
harus memiliki berbagai kemampuan professional, harus mampu menyajikan proses pembelajaran yang
menarik, memberi motivasi, dan menginspirasi, oleh karena itu pengetahuan dan pengalaman guru harus
senantiasa diperbaharui dengan berbagai masukan positif yang didapat dari berbagai sumber belajar.
Refleksi dan Revisi
Setelah semua kewajiban dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas profesinya, seorang guru
selanjutnya diharapkan menuju ke proses pengenalan akan diri sendiri melalui refleksi dan revisi. Proses
pengenalan diri melalui refleksi dan revisi akan membentuk guru menyadari apakah tanggungjawab
keprofesiannya telah benar-benar dilaksanakan dengan baik atau hanya setengah-setengah. Dibutuhkan
keberanian dan kejujuran dalam proses pengenalan diri melalui refleksi dan revisi, sebab jika tidak ada
keberanian dan kejujuran, maka refleksi dan revisi yang sebenarnya akan sia-sia, yang ada hanyalah rasa
egositas pada diri sendiri, dan ini berarti tidak ada kesadaran akan tanggungjawab sebagai seorang yang
professional. Tujuan dari refleksi dan revisi adalah teridentifikasinya beberapa kekurangan untuk
dilakukan perbaikan seperlunya.
D. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan kajian yang telah dikemukakan di atas, disimpukan sebagai berikut:
1. Peran guru dalam proses pembelajaran bukan hanya sebagai model dan teladan bagi siswa, namun
juga mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
siswanya. Secanggih apapun perkembangan perangkat teknologi tak mungkin dapat menggantikan
peran guru dalam pembelajaran.
2. Pengembangan profesionalisme guru di Indonesia jarang dilakukan, belum mampu merangkul
guru secara keseluruhan, pemahaman pedagogis yang dangkal, dan dilakukan secara parsial.
Untuk itu perlu kebijakan yang lebih kuat untuk mengarahkan guru arah pengembangan profesi
yang lebih baik.
3. Dibutuhkan komitmen pribadi sebagai guru untuk melakukan reformasi dengan melakukan
peningkatan profesionalisme individual dengan cara: (1) meningkatkan pemahaman pedagogis;
(2) mengembangkan desain pembelajarannya sendiri sesuai dengan karakteristik siswa dan materi
pembelajarannya; (3) menyadari bahwa belajar terus-menerus adalah cara mengatasi kelemahan;
dan (4) senantiasa mengntospeksi diri sendiri dengan melakukan refleksi terhadap pembelajaran
yang dilakukannya.
Saran dari penulis sebagai bahan masukan bagi sesama guru maupun pengambil kebijakan kita sebagai
berikut:
1. Dibutuhkan transformasi individual dari guru dalam melihat profesinya sebagai guru. Melalui
konsep “metanoia profesionalisme”, guru diharapkan mampu membuat lompatan baru dengan
menyediakan “kotak baru” menuju kearah perubahan yang mendasar bagaimana melihat
pembelajaran dan mengarahkan pembelajaran ke arah yang lebih baik.
2. Pengembangan profesionalisme guru harusnya fokus pada: (1) peningkatan pemahaman ilmu
pedagogis; (2) peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru dalam perencanaan, desain,
implementasi dan evaluasi pengajaran; dan (3) peningkatan pemahaman variasi strategi
pembelajaran.
3. Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran guru, maka kata kuncinya adalah peningkatan kualitas
pembelajaran guru dengan kebijakan pengembangan profesionalisme berkelanjutan.
E. DAFTAR PUSTAKA
1. Chambridge International Examinations, Professional Development, www.cie.org.uk/events,
diakses, 4 November 2016.
2. Chambridge Dictionary, http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/professional, diakses, 4
November 2016.
3. Cruickshank, D. R., & Haefele, D., Good teachers, plural. Educational Leadership 58 no8 F,
2001. http://www83.homepage.villanova.edu/richard.jacobs/EDU%208869/Cruickshank-
Hafele.pdf. diakses 3 November 2016.
4. Epstein, Ann S., The Intentional Teacher: Choosing the Best Strategies for Young Children’s
Learning, Washington: NAYC, 2007.
5. OECD, Creating Effective Teaching and Learning Environments: Firs Result Form TALIS, 2009,
http://www.oecd.org/edu/school/43023606.pdf, diakses, 12 November 2016.
6. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta,
2008.
7. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 1.
8. Slavin, Robert E., Educational Psychology: Theory and Practice, 9th edition, New Jersey: Pearson
Education Inc., 2009.
9. Stronge, James H., Qualities of effective teachers 2nd editions, Association for Supervision and
Curriculum Development, Alexandria, Virginia USA, 2007.
10. Swennen, Anja, Klink, Marcel van der, Becoming a Teacher Educator: Theory and Practice for
Teacher Educators, Amsterdam: Springer, 2009.
11. Tilaar, H. A. R., Pedagogik Teoritis untuk Indonesia, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2015.
12. Timperley, Helen, Wilson, Aaron, Barrar, Heather, Fung, Irene, Teacher Professional Learning
and Development Best Evidence Synthesis Iteration [BES], 2007, www.minedu.govt.nz. Diakses 3
November 2016.
13. Yoon, KS., Duncan T, Lee, SWY., Scarloss B., Shapley, KL.. Reviewing the evidence on how
teacher professional development af fec ts student achievement, National Center for Education
Evaluation and Regional Assistance, (2007). http://ies.ed.gov/ncee/edlabs. Diakses 12, November/
2016.