Anda di halaman 1dari 29

Apa itu Instructional Design

Pasti anda pernah mengikuti suatu training, baik


training ruangan maupun e-learning, dalam karir
pekerjaan anda. Diantara training tersebut ada
yang menurut anda sangat bagus sehingga anda
masih merasa anda memperoleh sesuatu yang
bermanfaat dan anda masih bisa menerapkan
materi training tersebut dalam pekerjaan anda.
Namun di sisi lain ada training yang anda merasa
tidak mendapat banyak manfaat karena gagal
memahami apa yang disampaikan, padahal
menurut anda materi yang disajikan dalam
training tersebut penting bagi pekerjaan anda.
Perbedaan antara training bagus dan tidak adalah terletak pada Instructional Design.
Instructional Design adalah proses untuk merancang proses penyampaian materi dalam sebuah proses
pembelajaran untuk menciptakan pengalaman pembelajaran (learning experience) yang mampu membuat
pemahaman materi dan pengetahuan lebih menarik, efektif dan efisien.
Diantara sekian banyak model Instructional Design, hanya ada 2 yang paling sering digunakan di
Indonesia. Kedua model tersebut adalah ADDIE dan SAM :
ADDIE
Model ini paling sering digunakan dalam menerapkan Instructional Design pada proses pembelajaran.
Sehingga terkadang Instructional Design identik dengan ADDIE. Terdapat 5 tahap dalam model ini
Analysis, Design, Develop, Implement, Evaluation. Model ini cocok bagi mereka yang masih awam
dalam Instructional Design. Penjelasan lebih lanjut tentang ADDIE saya sajikan dalam tulisan tersendiri.
SAM atau Rapid Prototyping
Bagi mereka yang sudah familiar dengan Instructional Designer, tahap Design dan Develop seringkali
sengaja dilewatkan dan langsung masuk ke Implement. Pada tahap Evaluation maka akan diketahui hal-
hal yang perlu diperbaiki, setelah diperbaiki langsung kembali implementasi. Proses Evaluation dan
Implementasi ini terus berulang sampai diperoleh proses pembelajaran yang paling ideal. Model ini
disebut sebagai successive approximation model (SAM) atau disebut juga Rapid Prototyping.
Dalam dunia kerja, orang yang ahli dalam bidang Instructional Design disebut dengan Instructional
Designer. Bagaimana seorang Instructional Designer bekerja dalam membuat sebuah proses
pembelajaran akan saya tulis di posting mendatang.
Contoh konten E-learning yang telah melalui proses ADDIE dengan baik bisa dilihat pada tautan ini.
Buku: PRINCIPLES OF INSTRUCTIONAL DESIGN, (Robert M. Gagne, Walter W. Wager, Katherine
C. Golas, John M. Keller)

Posted on Juni 15, 2013 by zulrahmattogala Buku Principles Of Instructional Design ini memberikan
penjelasan kepada kita bagaimana prinsip mengembangakan dan mendesain sebuah pembelajaran yang
efektif. Dengan mendefenisikan pembelajaran sebagai rangkaian peristiwa dalam suatu kegiatan yang
bertujuan memfasilitasi pembelajaran, seorang guru yang memiliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip
desain instruksional, memiliki visi yang lebih luas tentang apa yang dibutuhkan untuk membantu siswa
belajar. Pembelajaran akan lebih efektif jika guru melibatkan para siswa dalam peristiwa-peristiwa dan
kegiatan yang memfasilitasi pembelajaran. Dengan
menggunakan prinsip-prinsip dari desain instruksional, guru
dapat memilih atau merencanakan dan mengembangkan
kegiatan terbaik untuk membantu siswa belajar.
A. Asumsi Dasar Tentang Desain Pembelajaran
Tidak satu model desain instruksioan yang cocok untuk semua
situasi dan kondisi pembelajaran. Menciptaan model-model
desain instruksional yang bervariasi tersebut menunjukkan
bahwa ada prinsip dan peristiwa yang mempengaruhi belajar,
dan bagaimana menciptakan strategi pembelajaran yang
terbaik. Namun demikian, ada beberapa asumsi dasar yang
menjadi acuan dalam mendesain sebuah pembelajaran, yaitu:
1. Desain instruksional lebih bertujuan untuk membentuk
proses belajar dari pada mengajar.
2. Disadari karena belajar adalah proses kompleks yang
dipengaruhi oleh banyak variable.
3. Model desain instruksional dapat diterapkan pada berbagai tingkatan.
4. Desain instruksional merupakan proses berulang-ulang.Mengingat pemahaman kita tentang
bagaimana orang belajar, kita tidak dapat merancang pembelajaran tanpa melibatkan peserta didik
dalam proses.
5. Desain instruksional itu sendiri adalah proses yang terdiri dari sejumlah sub proses yang
diidentifikasi dan terkait.
6. Berbagai jenis pembelajaran yang disebutkan akan menghasilkan berbagai jenis
pembelajaran.Tidak ada cara terbaik untuk mengajarkan segala sesuatu, dan kondisi pembelajaran
yang sesuai dengan jenis hasil yang kita inginkan akan mempengaruhi pemikiran kita tentang
desain kegiatan pembelajaran dan bahan.
B. Prosedur langkah-langkah
Setiap individu memiliki keyakinan pribadi tentang bagaimana belajar. Dan bagi setiap individu belajar
berasal dari pengalaman pribadi, refleksi diri, pengamatan orang lain, dan melalui pengalaman mencoba
untuk mengajar atau mengajak orang lain untuk dapat berpikir seperti cara kita. Belajar, seperti yang
didefinisikan oleh Robert Gagne (1985), adalah sebuah proses yang mengarah ke perubahan dalam diri
pemelajar dan kemampuan yang dapat tercermin dalam perilaku. Sebagai manusia kita memandang dan
memproses informasi disetiap menit. Beberapa informasi ini kemudian disaring dan beberapa dijadikan
masukkan untuk diketahui dan ingat. Perubahan dalam kemampuan adalah hasil dari apa yang kita sebut
dengan situasi belajar. Situasi belajar memiliki dua bagian yakni situasi belajar eksternal dan situasi
belajar internal. Bagian internal dari situasi belajar, nampaknya berasal dari memori yang disimpan dan
keinginan dari pemelajar. Sedangkan Situasi belajar eksternal berkaitan kondisi lingkungan dimana
pembelajaran berlangsung.
Proses pembelajaran telah diselidiki oleh metode ilmu pengetahuan selama bertahun-tahun. Seperti
ilmuwan yang meneliti tentang belajar, pada dasarnya tertarik untuk menjelaskan bagaimana
pembelajaran terjadi. Dengan kata lain, mereka ingin ada hubungan baik secara eksternal dan internal
dalam situasi belajar untuk proses perubahan perilaku yang disebut belajar. Hubungan ini kemudian
menjadi dasar untuk menyambungkan antara situasi belajar dan perubahan perilaku yang mungkin lebih
tepat disebut “kondisi belajar” (Gagne, 1985). Ini adalah kondisi, baik eksternal dan internal untuk
pemelajar, yang memungkinkan proses belajar itu terjadi. Jadi jika seseorang memiliki keinginan proses
pembelajaran terjadi, maka dalam merancang pembelajaran, salah satunya harus mengatur kondisi
eksternal dan internal belajar.
C. Beberapa Contoh Dari Prinsip Belajar
Ada beberapa prinsip yang berasal dari teori belajar dan pembelajaran yang relevan dengan desain
instruksional. Prinsip-prinsipnya adalah sebagai berikut:
1. Contiguity, Prinsip Kedekatan yang menyatakan bahwa situasi stimulus harus akan disajikan
bersamaan dengan respon yang diinginkan.
2. Repetition, Prinsip pengulangan menyatakan bahwa situasi stimulus dan respon perlu diulang,
atau dipraktekkan, untuk belajar ditingkatkan dan retensi menjadi lebih terjamin.
3. Reinforcement, secara histories Prinsip penguatan ini secara telah dinyatakan sebagai berikut:
Belajar dari tindakan baru yang diperkuat ketika terjadinya tindakan diikuti oleh sesuatu yang
memuaskan (Thorndike, 1913).
4. Social-Cultural Principles of Learning Prinsip Belajar berdasarkan sosial-budaya. Sebagian
besar psikolog pendidikan sejak awal mempelajari bagaimana individu belajar dari
instuksi/petunjuk tanpa mempertimbangan lingkungan sosial-budaya pemelajar. seperti faktor
tingkatan pada pembelajaran, penggunaan ilustrasi, dan cara presentasi, antara lain, menentukan
perbedaan yang diisolasikan dalam upaya untuk memberikan kontribusi terhadap perbedaan dalam
situasi belajar. Namun, penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa konteks sosial-budaya dari
belajar merupakan factor yang mungkin sama pentingnya lebih dari komponen lainnya.
Prinsip-prinsip yang berasal dari sosial-budaya termasuk model-model berikut ini adalah:
1. Negotiated Meaning, belajar adalah proses sosial dari membangun makna. Prinsip ini, bila
diterapkan, akan disebut sebagai konteks di mana pemelajar akan bekerjasama dengan pemelajar
lain dan menentukan pengetahuan yang lain dalam arti informasi. Implikasinya adalah bahwa
lingkungan belajar dapat dikolaborasikan untuk memfasilitasi proses ini.
2. Situated Cognition, Kemampuan belajar diperoleh dalam konteks tertentu, dan kegunaannya
dirasakan pada konteks sebagai implikasi dari belajar. Prinsip yang harus perhatikan adalah
pembelajaran yang terjadi dalam konteks otentik dapat diterapkan lebih bermakna sehingga dapat
diingat dan mengingat bila diperlukan.
Mencantumkan sosial-budaya sebagai prinsip-prinsip dalam desain instruksional sebagai langkah logis
dalam pengembangan model desain dengan sifat belajar yang sangat multidimensi, dan pasti sesuai
dengan kondisi belajar. Kondisi ini mungkin lebih bersifat umum dari jenis pemelajaran tertentu. Prinsip-
prinsip tersebut, kemudian, akan menginformasikan praktek dari sejumlah besar situasi belajar.
1. Activity Theory, Prinsip teori kegiatan atau aktivitas termasuk gagasan dari belajar yang terjadi
sebagai akibat dari aktivitas. Semua aktivitas dilakukan dengan maksud tertentu, dan dengan
berpartisipasi dalam kegiatan, pembelajaran bisa terjadi. Salah satu hipotesis yang diusulkan oleh
Brown, Collins, dan Duguid (1989) adalah pembelajaran yang terbaik terjadi apabila kegiatan-
kegiatan itu secara otentik merupakan bagian dari karya budaya. Belajar adalah proses yang
mentransformasikan pengetahuan dan praktek budaya. Meskipun ini merupakan penyederhanaan
besar dari satu set kompleks proposisi dan kerangka teori aktivitas, prinsip pembelajaran secara
aktif adalah penting bagi perancang instruksional, terutama dalam pemilihan hasil pembelajaran,
dan desain dari kegiatan belajar.
D. Kondisi Belajar
Pembelajaran yang mempertimbangkan faktor eksternal dan internal untuk peserta didik yang secara
kolektif dapat disebut kondisi pembelajaran (Gagne, 1985). Faktor eksternal, seperti lingkungan belajar,
sumber daya dalam lingkungan tersebut, dan pengelolaan kegiatan belajar berinteraksi dengan kondisi
internal, seperti keadaan pikiran bahwa pemelajar membawa tugas untuk belajar, kemampuan dipelajari
sebelumnya, dan tujuan pribadi para pemelajar secara individu. Kemampuan internal ini nampak sangat
penting dalam satu set dari faktor-faktor yang mempengaruhi belajar.
The Processes of learning
Dalam menjelaskan kondisi pembelajaran, baik eksternal dan internal, harus dimulai dengan suatu
kerangka atau model, dari proses yang memperlihatkan adanya tindakan pembelajaran. Suatu model
diterima secara luas oleh para peneliti modern yang menggabungkan ide-ide utama teori pembelajaran
secara kontemporer yang dikembangkan awalnya oleh Atkinson dan Shiffrin (1968), Memahami
pembelajaran sebagai pengolahan informasi yang terdiri dari beberapa tahap antara persepsi dan memori.
Dalam tahapan proses informasi pengolahan model, reseptor sensorik mengirimkan informasi dari
lingkungan ke sistem saraf pusat. Informasi mencapai pendaftaran singkat di salah satu register sensorik
dan kemudian diubah menjadi pola yang dikenali dengan memori jangka pendek Perubahan yang terjadi
pada saat itu disebut persepsi selektif atau persepsi fitur. Penyimpanan informasi dalam memori jangka
pendek memiliki durasi yang relatif singkat, kurang dari 20 detik, kecuali berlatih. Aspek lain dari
memori jangka pendek yang cukup penting untuk belajar adalah kapasitas yang terbatas. Hanya beberapa
item yang terpisah beberapa, mungkin sedikitnya empat sampai tujuh, dapat “diselenggarakan dalam
pikiran” pada satu waktu. Karena penyimpanan jangka pendek merupakan salah satu tahap dari proses
pembelajaran, batas kapasitasnya bisa sangat mempengaruhi kesulitan dalan tugas belajar.
Informasi dari salah satu memori kerja atau memori jangka panjang, ketika diambil, lolos ke generator
respon dan ditransformasikan menjadi tindakan. Aktivitas pesan kemudian berefek pada (otot),
menghasilkan kinerja yang dapat diamati terjadi di lingkungan pemelajar.Tindakan ini yang
memungkinkan pengamatan eksternal untuk memberitahu bahwa stimulasi awal telah memiliki efek yang
diharapkan. Informasi kemudian telah “diproses” dalam semua cara, dan pemelajar telah, benar-benar
belajar.
Control Processes
Dua struktur penting yang yang mengatur arus informasi selama pembelajaran adalah Executive Control
dan Expectancies. Misalnya, peserta didik memiliki harapan dari apa yang akan mereka dapat lakukan
setelah mereka belajar, dan pada gilirannya apakah ini dapat mempengaruhi bagaimana situasi eksternal
yang dirasakan, bagaimana itu disandikan dalam memori, dan bagaimana hal itu transformasikan menjadi
prestasi. Struktur kontrol eksekutif mengatur penggunaan strategi kognitif, yang dapat menentukan
bagaimana informasi dikodekan ketika memasuki memori jangka panjang, atau bagaimana proses
pengambilan dilakukan .
Instruction and Learning Processes
Pembelajaran akan memfasilitasi belajar bila didukung oleh kejadian internal dari pengolahan informasi.
Kejadian eksternal yang disebut pembelajaran, kemudian, harus diselaraskan dengan kejadian internal
untuk mendukung tahapan yang berbeda dalam proses. Pembelajaran, kemudian, dapat dipahami sebagai
usaha sengaja dalam mengatur kejadian eksternal yang dirancang untuk mendukung proses pembelajaran
internal.
Keseluruh isi buku ini untuk merujuk pada peristiwa pembelajaran (Gagne, 1985). Tujuannya adalah
untuk menjelaskan tentang jenis proses internal yang akan mengarah pada pembelajaran yang efisien.
Peristiwa pembelajaran melibatkan jenis kegiatan berikut dengan berbagai urutan dan terkait dengan
proses pembelajaran sebelumnya yakni:
1. Stimulasi untuk mendapatkan perhatian dengan memastikan adanya penerimaan rangsangan
2. Menginformasikan kepada peserta didik tujuan dari pembelajaran untuk menetapkan harapan yang
sesuai
3. Mengingatkan peserta didik dari materi yang sebelumnya dipelajari dengan mengambil dari LTM
4. Jelas dan khas penyajian materi untuk memastikan persepsi selektif
5. Bimbingan belajar dengan encoding semantik yang sesuai
6. Memunculkan prestasi, yang melibatkan bangkitnya respon
7. Memberikan umpan balik tentang kinerja
8. Menilai kinerja yang melibatkan adanya kesempatan terjadi respon umpan balik tambahan
9. Mengatur berbagai praktek untuk membantu pengambilan dan pemindahan
Kapabilitas belajar dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu dari lima domain kemampuan. Secara
singkat, lima jenis kemampuan belajar dengan yang ditawarkan dalam buku ini adalah sebagai berikut:
1. Intellectual Skill: Yang memungkinkan pemelajar untuk melaksanakan prosedur secara simbolis
dikendalikan menggunakan diskriminasi, konsep, aturan, dan keterampilan dalam pemecahan
masalah
2. Cognitive Strategies: sarana yang digunakan oleh peserta didik dikontrol berdasarkan proses
belajar mereka sendiri
3. Verbal Information: Fakta dan terorganisir “pengetahuan tentang dunia” yang tersimpan dalam
memori pembelajar
4. Attitudes: keadaan internal yang dinyatakan mempengaruhi pilihan terhadap tindakan pribadi
yang dibuat oleh seorang pemelajar
5. Motor Skill: Gerakan otot yang terorganisir dalam rangka mencapai tujuan dalam bentuk
tindakan.
Yang menarik adalah bagaimana berbagai jenis kemampuan belajar memfasilitasi jenis belajar lainnya.
Dalam menggunakan menggunakan prinsip-prinsip desain instruksional untuk merancang pelajaran
mungkin diperlukan sebuah model sederhana untuk perencanaan pelajaran. Jika tujuan yang diinginkan
telah ditetapkan, dan materi kurikulum dikembangkan, guru mungkin hanya untuk (1) mengelola materi
yang nantinya disampaikan kepada pemelajar, (2) membimbing kegiatan belajar siswa, dan (3) menilai
pembelajaran dan memberikan umpan balik korektif.
Langkah-langkah pengembangan model dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut:
1. Tentukan tujuan untuk instruksional. Kebutuhan instruksional diselidiki sebagai langkah pertama.
Ini kemudian dipertimbangkan oleh suatu kelompok yang bertanggung jawab untuk mencapai
konsensus pada tujuan pengajaran. Sumber daya yang tersedia untuk memenuhi tujuan-tujuan ini
juga harus dipertimbangkan secara hati-hati, karena dengan situasi yang memaksakan perencanaan
instruksional akan mengalami kendala. Contoh dari kendala adalah
waktu yang diperbolehkan untuk pembelajaran.
2. Tujuan pengajaran dapat diterjemahkan ke dalam sebuah kerangka
kerja sebagai bagian dari kurikulum. Demikian juga tujuan dari
program yang dibuat oleh individu mencerminkan tujuan
instruksional ditentukan pada berbagai tipe keerhasilan yang
dihasilkan berdasarkan deskripsi tujuan.
3. Tujuan tersebut kemudian dianalisis dan unit utama pembelajaran
diidentifikasi. Tujuan Unit berasal dari tujuan mata pelajaran,
dengan memperhatikan bagaimana mereka mendukung jenis hasil
diwakili pada program.
4. Penentuan jenis kemampuan yang harus dipelajari, dan memberikan
kesimpulan berdasarkan kondisi pembelajaran yang diperlukan,
sehingga memungkinkan untuk merencanakan urutan pelajaran.
Urutan ini memfasilitasi pembelajaran kumulatif.
5. Pelajaran selanjutnya dipecah menjadi kejadian atau kegiatan belajar. Pusat perhatian pada
pengaturan kondisi eksternal yang paling efektif dalam mencapai hasil yang diinginkan.
Pertimbangan juga harus diberikan kepada karakteristik peserta didik, karena ini akan menentukan
banyak kondisi internal yang terlibat dalam bekerja sama. Perencanaan ini juga melibatkan
teknologi
6. Unsur tambahan yang dibutuhkan untuk penyelesaian desain instruksional adalah seperangkat
prosedur penilaian apa yang telah dipelajari pemelajar. Dalam konsep, komponen ini secara alami
diikuti berdasarkan tujuan instruksional. Tujuan menggambarkan domain dari item yang dipilih.
Penilaian prosedur dan instrumen yang dirancang untuk menyediakan pengukuran kriteria-
referenced hasil belajar (Popham, 1981).
7. Desain pelajaran dan kursus, dengan teknik yang menyertainya akan menilai hasil pembelajaran,
memungkinkan perencanaan sistem secara keseluruhan. Sistem instruksional bertujuan untuk
mencapai tujuan yang komprehensif di sekolah-sekolah dan program pendidikan di semua
tingkatan. Sebuah cara harus ditemukan agar sesuai dengan berbagai komponen bersama-sama
dalam suatu sistem manajemen, kadang-kadang disebut sistem pengiriman instruksional. Tentu,
guru atau instruktur memainkan peran kunci dalam pengoperasian sistem tersebut.
8. Akhirnya, perhatian harus diberikan pada evaluasi upaya pembelajaran. Prosedur untuk evaluasi
dipergunakan terlebih dahulu untuk usaha desain itu sendiri. Bukti yang dicari untuk revisi yang
akan meningkatkan dan memperbaiki pembelajaran (evaluasi formatif). Pada tahap selanjutnya,
evaluasi sumatif dilakukan untuk mencari bukti efektivitas belajar dari apa yang telah dirancang.
Kelebihan dan keterbatasan penggunaan
Buku ini memberikan dampak positif bagi para penulis buku teks (ajar), pengembang materi kurikulum,
pendesainer latihan berbasis web, perancang system manajemen pengetahuan, penceramah, pelatih, guru
tapi juga peserta didik.
Buku: Instructional Design: The ADDIE Approach, Robert Maribe Branch

Istilah ADDIE merupakan singkatan dari Analyze, Design, Develop, Implement dan Evaluation. ADDIE
telah banyak diterapkan dalam lingkungan belajar yang telah dirancang sesuai dengan tujuan
pembelajaran. Berdasarkan landasan filosofi pendidikan penerapan ADDIE harus bersifat student center,
inovatif, otentik dan inspriratif. Konsep pengembangannya sudah diterapkan sejak terbentuknya
komunitas sosial. Pembuatan sebuah produk pembelajaran dengan menggunakan ADDIE merupakan
sebuah kegiatan yang menggunakan perangkat yang efektif. ADDIE yang membantu menyelesaikan
permasalah pembelajaran yang komplek dan juga mengembagkan produk-produk pendidikan dan
pembelajaran Tujuan penulisan buku ini adalah untuk memperkenalkan pendekatan ADDIE sebagai
landasan proses dalam membuat sumber-sumber belajar secara efektif.
1. Langah-langkah Desain Model ADDIE
1. Analyze – Analisis
Langkah-Langkah Analisis
1. Validasi kesenjangan kinerja
2. Merumuskan tujuan instruksional
3. Mengidentifikasi karakteristik peserta didik
4. Mengidentifikasi sumber-sumber yang dibutuhkan
5. Menentukan strategi pembelajaran yang tepat
6. Menyusun rencana pengelolaan program/proyek
Langkah-langkah tersebut diuraikan lebih terperinci sebagai berikut:
 Menilai Kinerja: Mengukur kinerja actual, Menetapkan kinerja yang ingin dicapai,
Mengidentifikasi penyebab
 Merumuskan tujuan Instruksional: Menggunakan taksonomi Bloom, Taksonomi lain.
 Mengidentifikasi karakter peserta didik: Kemampuan, pengalaman, motivasi, Sikap dan Lain-lain
 Mengidentifikasi sumber-sumber: Mengidentifikasi pilihan-pilihan, Pertimbangan waktu, Konten,
teknologi, fasilitas dan manusia
 Menentukan strategi pembelajaran yang tepat: Mengidentifikasi pilihan-pilihan, Pertimbangan
waktu, Biaya setiap fase ADDIE, Biaya keseluruhan.
 Menyusun rencana kegiatan: Anggota Tim, batas-batas yang berarti, jadwal, Laporan akhir.
a. Design – Desain
Tujuan: Memverifikasi kinerja yang akan dicapai dan pemilihan metode tes yang sesuai.
Langkah-langkah umum yang ditempuh dalam mendisain pembelajaran adalah:
1. Menyusun daftar tugas-tugas
2. Menyusun tujuan kinerja
3. Menyusun strategi tes
4. Menghitung investasi/biaya yang dikeluarkan
Komponen Disain: Diagram susunan tugas, Perangkat pelengkap tentang tujuan pembelajaran, Perangkat
tes lengkap, Strategi Tes, Proposal investasi/biaya yang dikeluarkan
3. Develop – Pengembangan
Tujuan: Menghasilkan dan memvalidasi sumber-sumber belajar
Fase Pengembangan
1. Generate Content
2. Select or develop Supporting Madia
3. Develop guidance for the student
4. Develop guidance for the teacher
5. Conduct formative revisions
6. Conduct a pilot tes
Tahapan ini merupakan tahapan produksi dimana segala sesuatu yang telah dibuat dalam tahapan desain
menjadi nyata. Langkah-langah dalam tahapan ini diantaranya adalah: membuat objek-objek belajar
(learning objects) seperti dokumen teks, animasi, gambar, video dan sebagainya; membuat dokumen-
dokumen tambahan yang mendukung. Pengembangan merupakan langkah ketiga dalam
mengimplementasikan model desain sistem pembelajaran ADDIE. Langkah pengembangan meliputi
kegiatan membuat, membeli, dan memodifikasi bahan ajar. Dengan kata lain mencakup kegiatan memilih,
menentukan metode, media serta strategi pembelajaran yang sesuai untuk digunakan dalam
menyampaikan materi atau substansi program.
4. Implement – Implementasi
Pada tahapan ini sistem pembelajaran sudah siap untuk digunakan oleh pemelajar. Kegiatan yang
dilakukan dalam tahapan ini adalah mempersiapkan dan memasarkannya ke target pemelajar
1. Menyiapkan Guru
2. Menyiakan Pemelajar
Implementasi atau penyampaian materi pembelajaran merupakan langkah keempat dari model desain
sistem pembelajaran ADDIE. Tujuan utama dari langkah ini antara lain sebagai berikut.
 Membimbing pemelajar untuk mencapai tujuan atau kompetensi.
 Menjamin terjadinya pemecahan masalah/ solusi untuk mengatasi kesenjangan hasil belajar yang
dihadapi oleh pemelajar.
 Memastikan bahwa pada akhir program pembelajaran, pemelajar perlu memilki kompetensi
pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang diperlukan.
5. Evaluate – Evaluasi
Tujuan dari fase evaluasi adalah mengukur kualitas dari produk dan proses sebelum dan setelah
pelaksanaan kegiatan.
Prosedur utama dari proses evaluasi adalah :
1. Menentukan kriteria evaluasi
2. Memilih alat untuk evaluasi
3. Mengadakan evaluasi itu sendiri
Hasil dari evaluasi adalah perencanaan evaluasi.
Komponen dari perencanaan evaluasi adalah :
 Sebuah ringkasan tentang tujuan, alat pengumpul data, tanggung jawab terhadap waktu dan
perorangan/group untuk setiap level evaluasi
 Satu set kriteria penilaian evaluasi
 Satu set alat untuk evaluasi
Konsep Penting Dalam Desain Instruksional Model ADDIE
1. Tahap Analisis
Kosep menarik dari tahap ini adalah bagaimana seorang perancang instruksional melakukan analisis
kinerja untuk mengetahui dan mengklarifikasi apakah masalah kinerja yang dihadapi memerlukan solusi
berupa penyelenggaraan program pembelajaran atau perbaikan manajemen, apakah masalah tersebut
adalah benar-benar masalah dan membutuhkan upaya untuk penyelesaian. Disamping itu kemampuan
menganalisis kebutuhan, juga merupakan langkah yang sangat penting untuk menentukan kemampuan-
kemampuan atau kompetensi yang perlu dipelajari oleh pemelajar untuk meningkatkan kinerja atau
prestasi belajar.
2. Tahap Desain
Langkah penting yang dilakukan dalam tahap desain adalah bagaimana seorang perancang instruksional
mampu menetapkan pengalaman belajar atau learning experience seperti apa yang perlu dimiliki oleh
pemelajar selama mengikuti aktivitas pembelajaran. Hal tersebut berkaitan juga dengan akltifitas
mendesain, daftar tugas, Perangkat pembelajaran, dan penyusunan strategi tes, dan rancangan investasi
program.
3. Tahap Pengembangan
Konsep penting dalam tahap ini adalah bahwa seorang perancang instruksional harus memiliki
kemampuan mencakup kegiatan memilih dan menentukan metode, media, serta strategi pembelajaran
yang sesuai untuk digunakan dalam menyampaikan materi atau substansi program pembelajaran.
4. Tahap Implementasi
Konsep penting pada tahap implementasi, adalah bagaimana perancang instruksional mampu memilih
metode pembelajaran seperti apa yang yang paling efektif dalam menyampaikan bahan atau materi
pembelajaran. Bagaimana upaya menarik dan memelihara minat pemelajar agar mampu memusatkan
perhatian pada penyampaian materi.
5. Tahap Evaluasi
Konsep penting dari tahapan evaluasi model ADDIE adalah bagaimana seorang perancang instruksional
mampu melakukan evaluasi keseluruhan model, dari tahap awal sampai akhir. Langkah-langkah yang
penting dalam evaluasi model ADDIE adalah bagaimana menentukan kriteria evaluasi, memilih alat
untuk evaluasi, dan mengadakan Evaluasi itu sendiri. Kegiatan evaluasi setidaknya mampu menjawab
pertanyaan sebagai berikut: bagaimana sikap pemelajar terhadap kegiatan pembelajaran secara
keseluruhan, bagaimana peningkatan kompetensi dalam diri pemelajar yang merupakan dampak dari
keikutsertaan dalam program pembelajaran, dan keuntungan apa yang dirasakan oleh sekolah akibat
adanya peningkatan kompetensi pemelajar setelah mengikuti program pembelajaran.
3. Kendala dalam Implementasi di tempat kerja
Kendala yang mungkin dihadapai dalam implementasi ditempat kerja.
1. Pada tahap analisis: dimana pada saat melakukan anailisis kinerja dan analisis kebutuhan,
kekhawatiran tidak fokusnya guru dalam menganalisis kinerja dan kebutuhan, apakah analisis
yang dilakukan memang benar-benar suatu hal yang sangat urgen. Jika hal tersebut terjadi maka
akan sangat berpengaruh terhadap tahapan desain selanjutnya.
2. Pada tahap desain: Kendala yang mungkin dihadapi adalah menetapkan pengalaman belajar
kepada pemelajar, hal ini terkait dengan desain tes, perangkat pembelajaran, yang membutuhkan
biaya, kendala utama adalah jika dalam mengembangkan program tidak didukung oleh dana yang
cukup dari sekolah.
3. Pada tahap pengembangan: Kendala yang mungkin dihadapi adalah tidak tersedianya media yang
sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, dan karakteristik pemelajar, padahal media yang
dimaksudkan sangat menunjang ketercapaian kompetensi bagi pemelajar.
4. Pada tahap Implementasi: Kendala yang dihadapi pada tahap ini, bisa datang dari pembelajar
maupun dari pemelajar itu sendiri, dari pihak pembelajar, adanya ketidak sesuaian metode yang
sudah dirancang sejak awal dengan metode yang dilakukan dilapangan, hal ini mungkin saja
terjadi jika kondisi dilapangan tidak mendukung untuk menerapkan metode yang telah ditetapkan.
Sementara dari pihak pemelajar, adalah menurunnya minat belajar pada saat penyampaian materi.
5. Pada tahap evaluasi: kendala yang mungkin dihadapi adalah bagaimana menentukan kriteria
evaluasi, memilih alat untuk evaluasi, dan mengadakan evaluasi secara akurat yang sesuai dengan
kondisi yang diharapkan.

Buku: THE SYSTEMATIC DESIGN OF INSTRUCTION, by Walter Dick, Lou Carey, James O’Carey
Posted on Juni 15, 2013 by zulrahmattogala
Desain instruksional model Dick and Carey dikembangan
berdasarkan pemikiran dan karya besar Robert M. Gagne “The
Condition of Learning”, Gagne mengemukakan bahwa perilaku
manusia sangat kompleks dan lebih banyak dikontrol oleh proses
mental internal daripada rangsangan dan penguatan dari luar. Proses
belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menyatukan rencana
dan informasi baru ke dalam memorinya sehingga memungkinkan
munculnya kemampuan yang baru. Model ini menggunakan
pendekatan system karena: a) pendekatan system merupakan alat
yang sangat baik untuk menjamin keberhasilan perencanaan
pembelajaran karena adanya ikatan dan keterkaitan antara dampak
pembelajaran, karakteristik pemelajar, aktifitas instruksional dan
penilaian b) adanya ikatan dan keterkaitan yang khusus antara
Strategi pembelajaran dan dampak pembelajaran c) adanya empiris
dan proses pengulangan. Model Dick and Carey ini dapat digunakan
dalam dunia bisnis, industri, pemerintahan dan pelatihan.

1. Langkah-langkah Model The Systematic Design Of Instruction


a. Mengidentifikasi tujuan pembelajaran
Langkah pertama dalam model ini adalah menentukan kemampuan atau kompetensi yang perlu dimiliki
oleh peserta didik setelah mengikuti progam pembelajaran. Perumusan tujuan pembelajaran dapat
dikembangkan dari rumusan tujuan pembelajaran yang sudah ada pada silabus maupun hasil analisis
kinerja dan analisis kebutuhan, refleksi berkaitan dengan kesulitan-kesulitan belajar yang dihadapi oleh
peserta didik, hasil analisis tentang cara seseorang melakukan suatu pekerjaan/tugas dan persyaratan yang
diperlukan untuk melakukan pekerjaan, maupun untuk tujuan pembelajaran yang baru.
b. Melakukan analisis instruksional
Langkah kedua ini adalah suatu prosedur untuk menentukan keterampilan dan pengetahuan yang
mempunyai relevansi dan diperlukan oleh pemelajar untuk mencapai kompetensi dan tujuan
pembelajaran, seperti pengetahuan, keterampilan dan sikap yang perlu dimiliki oleh pemelajar. Pada
langkah ini akan di hasilkan “peta” yang menggambarkan keterkaitan dan hubungan seluruh keterampilan
dan kemampuan yang diperlukan untuk mencapai kompetensi atau tujuan pembelajaran.
c. Menganalisis karakteristik Peserta Didik dan konteks Pembelajaran
Analisis karakteristik siswa meliputi analisis untuk mengetahui kemampuan awal peserta didik, preferensi
atau gaya belajar dan sikap terhadap aktivitas pembelajaran. analisisi karakteristik peserta didik yang
tepat dan akurat akan sangat membantu dalam pemilihan dan penggunaan strategi pembelajaran.
Sedangkan analisis konteks pembelajaran meliputi analisis situasi dan kondisi peserta didik, yang
meliputi situasi yang terkait dengan tugas yang dihadapi peserta didik dalam menerapkan pengetahuan
dan keterampilan serta kondisi yang terkait dengan keterampilan yang dipelajari oleh peserta didik.
d. Merumuskan tujuan pembelajaran khusus
Setelah melakukan analisis instruksional langkah selanjutnya adalah mengembangkan kompetensi atau
tujuan pembelajaran spesifik (instruksional objectives) yang perlu dikuasai oleh peserta didik. Perumusan
tujuan pembelajaran khusus ini perlu diperhatikan pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki oleh
peserta didik setelah proses pembelajaran selesai, kondisi yang diperlukan agar peserta didik dapat
melakukan unjuk kemampuan atas pengetahuan yang telah dipelajarinya, Indikator dan kriteria yang
dapat digunakan untuk menentukan keberhasilan peserta didik dalam menempuh proses pembelajaran.
e. Mengembangkan Instrumen Penilaian
Berdasarkan tujuan atau kompetensi khusus yang telah dirumuskan sebelumnya, langkah selanjutnya
adalah melakukan pengembangan alat/instrument penilaian hasil belajar. Instrumen penilaian
pembelajaran ini harus mampu mengukur performa siswa baik dari sisi pengetahuan/kognitif,
keterampilan/psikomotor maupun sikap. Jenis instrument yang dapat dikembangkan meliputi tes
obyektif, tes performen, tes unuk mengukur sikap, potofolio maupun tes yang lain.
f. Mengembangkan Strategi Pembelajaran
Berdasarkan Informasi yang telah sebelumnya, dapat dikembangkan strategi pembelajaran yang akan
digunakan agar program pembelajaran dapat tercapai. Strategi pembelajaran meliputi aktifitas pra-
pembelajaran untuk meningkatkan motivasi, penyajian materi pembelajaran dengan menggunakan contoh
dan demonstrasi, dan tindak lanjut dari proses pembelajaran. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam
pengembangan strategi pembelajaran adalah: Teori dan hasil penelitian pembelajaran terbaru,
Karakteristik media pembelajaran, materi atau substansi yang perlu dipelajari, dan karakteristik peserta
didik. Pemilihan strategi pembelajaran yang tepat akan mampu mendukung berbagai aktifitas
pembelajaran.
g. Mengembangkan Dan Memilih Bahan Ajar
Pengembangan bahan ajar dapat berarti segala sesuatu yang digunakan untuk membawa dan
menyampaikan informasi serta pesan dari sumber belajar kepada pemelajar. Contoh bahan ajar yang
dapat digunakan adalah buku teks, buku panduan, modul, program audio video, bahan ajar berbasis
computer, program multimedia, bahan ajar untuk system pembelajaran jarak jauh. Bahan ajar yang
digunakan dapat juga berasal dari produk komersial maupun memodifikasi bahan ajar yang sudah ada.
h. Merancang dan mengembangkan evaluasi formatif
Evaluasi formatif dilakukan untuk mengumpulkan data yang terkait dengan kekuatan dan kelemahan
program pembelajaran. Hasil proses evaluasi formatif digunakan sebagai masukkan untuk memperbaiki
rancangan proses atau hasil pembelajaran. Tiga jenis evaluasi formatif yang dapat digunakan untuk
mengembangkan proses atau hasil pembelajaran adalah: Evaluasi perorangan, Evaluasi kelompok kecil,
Evaluasi lapangan
1. i. Melakukan revisi terhadap program pembelajaran
Revisi terhadap program pembelajaran merupakan langkah terakhir dalam proses disain dan
pengembangan program pembelajaran. Data yang diperoleh dari prosedur evaluasi formatif dirangkum
dan ditafsirkan untuk mengetahui kesulitan yang dihadapi serta kelemahan-kelemahan dan selanjutnya
dilakukan revisi. Prosedur evaluasi perlu dilakukan terhadap semua tahapan program pembelajaran.
Tujuan utama langkah ini adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas program pembelajaran.
j. Merancang dan mengembangkan evaluasi sumatif
Evaluasi sumatif ini merupakan puncak evaluasi untuk mengukur efesiensi dan efektifitas pembelajaran
tetapi langkah terakhir ini sering dipandang sebagai bagian diluar disain pembelajaran karena evaluasi ini
dilakukan setelah seluruh komponen lengkap dan dilakukan evaluasi formatif serta telah dilakukan revisi
secukupnya sesuai dengan standar yang digunakan oleh perancang pembelajaran dan evaluasi sumatif
tidak melibatkan perancang program tetapi melibatkan penilai independen.
2. Konsep yang menarik pada langkah-langkah dari model.
1.
1. Dalam mengidentifikasi tujuan pembelajaran salah satu metode yang dapat digunakan
adalah analisis kebutuhan. Melakukan analisis kebutuhan memerlukan ketrampilan
berpikir terstruktur, rasional dan kritis. Proses pelaksanaan analisis kebutuhan akan
berlangsung dengan lancar apabila perancang instruksional mampu mengidentifikasi apa
yang sudah ada dan dipunyai, apa yang diinginkan, apakah keinginan tersebut benar-benar
suatu kebutuhan bukan suatu keinginan. Pelaksanaa proses ini memerlukan kemampuan
ketrampilan berkomunikasi, kerjasama dan keterbukaan sikap dan pemikiran untuk
menerima informasi baru maupun kritik dan saran yang kadang berbeda jauh dengan
kondisi yang ada.
2. Konsep yang menarik pada langkah analisis instruksional ini adalah bagaimana penentuan
aspek pengetahuan/ kognitif, ketrampilan/ psikomotor dan sikap atau attitude yang perlu
dimiliki oleh pemelajar setelah mengikuti proses pembelajaran. Penentuan tiga aspek tsb
memerlukan kedalaman dan keluasan cara berpikir.
3. Konsep yang menarik pada saat melakukan analisis karakteristik pemelajar adalah
kemampuan mengidentifikasi, merumuskan dan mengelompokkan berbagai jenis
informasi yang berkaitan dengan kemampuan aktual siswa, gaya belajar dan sikap
pemelajar serta menemukan sumber dan metode untuk mengumpulkan informasi yang
dimaksud. Konsep yang menarik pada analisis konteks adalah kemampuan menemukan,
mengidentifikasi dan merumuskan situasi dan kondisi yang bakal dihadapi oleh pemelajar
untuk menerapkan pengetahuan dan ketrampilan yang dipelajarinya.
4. Dalam merumuskan tujuan pembelajaran khusus adalah bagaimana seorang perancang
instruksional mampu merumuskan tujuan pembelajaran menjadi sub-bagian sub-bagian
yang lebih khusus dan dikaitkan dengan: pengetahuan dan ketrampilan yang perlu dimiliki
pemelajar setelah proses pembelajaran, situasi dan kondisi yang diperlukan pemelajar
untuk menunjukkan penguasaan pengetahuan yang telah dipelajari serta indikator atau
kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat keberhasilan pemelajar dalam
menempuh pembelajaran
5. Mengembangkan instrumen pembelajaran
Dalam mengembangkan instrument pembelajaran menuntut penguasaan keterampilan menyusun
instrument penilaian hasil belajar. Menganalisis dan menentukan jenis penilaian dengan kompetensi yang
ingin di capai oleh pemelajar.
Mengembangkan strategi pembelajaran
Yang menarik berkaitan dengan pemilihan strategi pembelajaran yakni: 1). Aktifitas pra pembelajaran
yang bertujuan untuk memotivasi pemelajar dan juga mengingatkan kembali ketrampilan yang akan
digunakan dan sudah dikuasai pemelajar 2). Materi pembelajaran 3).Pertisipasi pemelajar selama
pembelajaran 4).Penilaian dan aktifitas tindak lanjut dari kegiatan pembelajaran.
Mengembangkan dan memilih bahan ajar
Model Dick and Carey menyarankan agar menyusun bahan ajar sendiri melalui beberapa sumber,
tujuannya adalah agar siswa dalam memperoleh informasi materi pembelajaran tidak pada orang lain
yang tidak terlibat langsung dengan pembelajaran. Konsep yang selama ini dilakukan adalah dalam
penentuan bahan ajar mempertimbangkan buku yang ada di perpustakaan yang materinya tidak begitu
relevan dengan tujuan pembelajaran kita.
3. Kesulitan yang dihadapi untuk menerapkan Model Dick and Carey di tempat kerja
1. Kesulitan yang akan dijumpai pada saat identifikasi tujuan pembelajaran adalah melakukan
analisis kebutuhan, Bagaimana membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Merumuskan
kebutuhan itu sendiri, dalam arti bagaimana tujuan pembelajaran dapat dirumuskan dalam suatu
kalimat yang mudah dipahami dan terukur.
1. Kesulitan yang ditemui dalam melaksanakan analisis instruksional adalah menentukan
prasyarat tertentu seperti pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang perlu dimiliki oleh
pemelajar setelah mengikuti proses pembelajaran.
2. Dalam menganalisis karakteristik pemelajar dan konteks pembelajaran akan menjadi hal
yang cukup menyulitkan karena harus mengenali kondisi yang menyangkut kemampuan
yang sudah dimiliki pemelajar, analisisnya mungkin tidak akan akurat karena latar
belakang pengetahuan dan gaya belajar peserta didik akan sangat sulit diidentifikasi.
3. Kesulitan dalam merumuskan tujuan pembelajaran khusus adalah bagaimana menguraikan
tujuan pembelajaran menjadi sub-bagian sub-bagian yang lebih kecil dan
mengidentifikasinya sesuai dengan ranah psikologi pembelajaran, serta menuliskan tujuan
pembelajaran khusus tersebut dengan kalimat operasional yang jelas, terukur dan mudah
dipahami.
4. Kesulitan dalam mengembangkan instrument pembelajaran berkaitan dengan
pengembangan instrument instrument pembelajaran berbentuk essai sehingga untuk
mengukur validitas dan reliabilitas instrument bukan hal yang mudah.
5. Kesulitan dalam pengembangan starategi pembelajaran adalah menentukan strategi
pembelajaran terbaik yang akan dapat diterapkan selama proses pembelajaran. Kurangnya
informasi tentang gaya belajar masing-masing pemelajar akan berdampak pada ketidak
akuratan pemilihan strategi pembelajaran.
6. Sulitnya mendapatkan sumber belajar yang dapat digunakan untuk menyusun dan
mengembangkan bahan ajar akan menjadi kendala. Pencarian melalui internet, juga bisa
mengalami kendala karena untuk beberapa materi yang cukup penting tidak tersedia secara
gratis.
7. Kesulitan yang akan dijumpai pada saat melakukan evaluasi formatif dan revisi adalah
tidak mudah mendapatkan data yang terkait dengan kekuatan dan kelemahan program
pembelajaran, baik perorangan, kelompok kecil maupun evaluasi lapangan.
8. Implementasi dalam model Dick and Carey membutuhkan waktu yang lama dalam
implementasinya, sampai pendidik terbiasa melakukannya, hal ini akan mengakibatkan
evaluasi sumatif tidak dilakukan, karena sudah terlupakan, atau pelakunya sudah pindah
tugas.
Sumber: Walter Dick, Lou Carey, James O’Carey, 2009, The Systematic Design Of Instruction, 7th
Editions, Pearson Education Ltd., London.

Buku: Survey of Iistructional Development Models, by Kent L. Gustafson & Robert Maribe Branch

Tujuan penulisan buku ini adalah untuk mengklasifikasikan model-model, dan


membahas tren terbaru dalam pengembangan instruksional. Dalam menyiapkan
penulisan buku ini para penulis merasa kesulitan memilih model yang akan di bahas,
namun criteria yang diambil untuk memilih beberapa model meliputi: makna sejarah
dari model, struktur yang unik atau perspektif, atau kutipan yang ada dalam literatur.
Model yang mewakili dalam buku ini hanya sebagian kecil dari model yang sudah ada
dan sangat banyak jumlahnya. Penulis berfokus pada proses ID secara keseluruhan,
yang mencakup unsur-unsur analisis, desain, pengembangan, implementasi, dan
evaluasi. Akibatnya, banyak model yang sangat baik tidak termasuk dalam survei ini.
Namun, ID yang dipilih diyakini secara umum dapat mewakili literatur dan di antaranya mengandung
semua konsep utama yang ditemukan pada model lain.

Gustafon dan Branch mengkategorikan model Desain


Instruksional didasarkan pada sejumlah asumsi
penciptanya tentang pengaturan yang diterapkan dan
bagaimana proses itu terjadi. Dari sekian banyak model
Desain Instruksional yang telah diciptakan, Gustafon dan
Branch membaginya kedalam tiga kategori terkait
dengan penggunaannya, yakni: 1). Classroom-Model
Oriented, 2) Product-Oriented Models, 3) System-
Oriented Models. Sebuah matriks, terkait tiga kategori
dengan sembilan karakteristik diperlihatkan pada gambar
di atas. Komentar-komentar di setiap sel dari matriks
menunjukkan bagaimana karakteristik penggunaan terhadap kategori masing-masing model.
1. Model Classroom-Oriented
Model Desain Instruksional yang berorientasi pada kelas sangat cocok bagi guru profesional yang
memerlukan beberapa bentuk variasi pembelajaran. Model desain kategori ini dapat digunakan pada
semua jenjang sekolah termasuk perguruan tinggi. Bahkan beberapa program pelatihan dalam bisnis dan
industri juga menganggap bahwa kategori model orientasi kelas cocok digunakan.
Ada berbagai macam pengaturan kelas untuk dipertimbangkan ketika memilih model ID yang tepat untuk
digunakan. Guru perlu menganalisis pemilihan konten yang sesuai, merencanakan strategi instruksional,
mengidentifikasi media yang tepat, memberikan instruksi, dan mengevaluasi peserta didik, sifat
berkelanjutan pembelajaran dalam kelas, sering disertai dengan beban mengajar yang berat, dan
menyisihkan waktu untuk pengembangan bahan ajar secara komprehensif. Oleh karena itu guru biasanya
perlu mengidentifikasi dan beradaptasi dengan sumber daya yang sudah ada dan tersedia, untuk memilih
model desain instruksional yang cocok diterapkan dalam kelas, Guru perlu mengidentifikasi karakteristik
model yang akan digunakan untuk dipertimbangkan dan disesuaikan dengan karakteristik kelas secara
keseluruhan. Ada empat model desain yang sering dan cocok digunakan di lingkungan kelas yaitu :
Model Gerlach dan Ely (1980); Model ASSURE (Heinich, Molenda, Russell dan Smaldino;1999); Model
Newby, Stepich, Lehman dan Russell (2000), dan Model Morrison , Ross dan Kemp (2001).
2. Model Product-Oriented
Model pengembangan produk, biasanya disesuaikan dengan jumlah produk yang akan dikembangkan,
akan beberapa jam, atau mungkin beberapa hari, dalam durasi. Jumlah analisis front-end untuk model
berorientasi produk juga bervariasi. Pengguna mungkin tidak memiliki kontak dengan para pengembang
kecuali selama pengujian model. Namun, dalam beberapa model prototyping cepat, interaksi awal dan
berkesinambungan dengan pengguna dan / atau klien merupakan ciri utama dari proses kategori model
ini.
Model pengembangan produk dicirikan oleh empat asumsi utama: (1) Produk instruksional yang
dibutuhkan, (2) Apa yang perlu diproduksi dan bukan dipilih atau dimodifikasi dari bahan yang ada, (3)
Adanya penekanan pada ujicoba dan revisi, dan (4) Digunakan oleh peserta didik dengan fasilitator.
Asumsi kebutuhan seharusnya tidak perlu dianggap sebagai keterbatasan model ini. Dalam beberapa
pengaturan, analisis front-end sudah dilakukan dan kebutuhan sudah ditentukan untuk berbagai produk
secara efisien dan efektif. Selain itu, dalam beberapa situasi, kebutuhan tersebut sudah sangat jelas tidak
perlu ada analisis kebutuhan , tetapi penitng unutk merancang apa yang perlu dilakukan.
Kategori model yang berorientasi produk seringkali mengandung unsur-unsur yang dapat digolongkan
sebagai model sistem, Menurut Gustafson dan Branch kategori model ini terutama berfokus pada
menciptakan produk instruksional daripada sistem instruksi yang lebih komprehensif. Ada lima kategori
model yang ditawarkan yakni: 1) Model Bergman dan Moore (1990), 2) Model de Hoog. dc Jong dan de
Vries (1994), 3) Model Bates (1995), 4) Model Nicveen (1997), dan 5) Model Seels dan Glasgow (1998).
3. Model Systems-Oriented
Kategori model orientasi system adalah model yang ditujukan untuk pengembangan pembelajaran yang
berskala besar/luas, kategori model ini biasanya dimulai dengan tahap pengumpulan data untuk
menentukan kelayakan dan keinginan mengembangkan solusi instruksional. Banyak model berorientasi
system mengharuskan masalah ditentukan dalam format yang diberikan sebelum melanjutkan
perencanaan pembelajaran.
Thomas Gilbert (1978) dan Mager dan Pipe (1984) mengemukakan bahwa front-end analyze sangat
relevan dengan kategori model ini. Mereka mengambil posisi bahwa, meskipun masalah mungkin
memiliki solusi instruksional, yang pertama harus mempertimbangkan kurangnya motivasi dan faktor
lingkungan sebagai domain alternatif untuk tindakan. Model system, sebagai sebuah kelas, berbeda dari
model pengembangan produk dalam jumlah penekanan pada analisis tujuan organisasi sebelum
menentukan untuk pembangunan. Model system juga biasanya menganggap lingkup yang lebih besar
daripada model-model usaha pengembangan produk. Enam model yang termasuk dalam konteks system
adalah sebagai berikut: 1) IPPSI (Interservice Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional Branson,
1975); 2) Model Gentry (1994), 3) Model Dorsey, Goodrum dan Schwen (1997); 4) Model Diamond
(1989) , Model Smith dan Ragan (1999) dan Model Dick, Carey dan Carey (2001).
2. Konsep Penting dari Buku Survey Instructional Development Models.
Konsep menarik dari buku ini adalah penulis berusaha untuk memetakan sekian banyak model
instruksional yang telah diciptakan berdasarkan tiga kategori yakni, model yang berorientasi ruang kelas,
model yang berorientasi pada produk, dan model yang berorientasi pada system. Dalam memilih mana
model yang tepat yang akan digunakan dalam situasi kerja yang bersangkutan, dibutuhkan analisis yang
menunjukkan kesesuaian kategori model yang ada di atas.
Jika penggunaannya hanya untuk dilingkungan kelas yang kecil dan terbatas, sangat cocok digunakan
kategori yang berorientasi pada ruang kelas. Guru perlu menganalisis pemilihan konten yang sesuai,
merencanakan strategi instruksional, mengidentifikasi media yang tepat, memberikan instruksi, dan
mengevaluasi peserta didik, sifat berkelanjutan pembelajaran dalam kelas, sering disertai dengan beban
mengajar yang berat, dan menyisihkan waktu untuk pengembangan bahan ajar secara komprehensif. Oleh
karena itu guru biasanya perlu mengidentifikasi dan beradaptasi dengan sumber daya yang suda ada dan
tersedia, untuk memilih model desain instruksional yang cocok diterapkan dalam kelas.
Jika instruksional itu menuntut adanya produk yang dihasilkan/target utama dari instruksional untuk
menghasilkan produk maka kategori yang diugunakan cocok dengan model product-oriented. Model
pengembangan produk dicirikan oleh empat asumsi utama: (1) Produk instruksional yang dibutuhkan, (2)
Apa yang perlu diproduksi dan bukan dipilih atau dimodifikasi dari bahan yang ada, (3) Adanya
penekanan pada ujicoba dan revisi, dan (4) Digunakan oleh peserta didik dengan fasilitator.
Apabila kondisi penggunaannya berskala besar, maka sangat cocok digunakan kategori model yang
berorientasi pada system. , kategori model ini biasanya dimulai dengan tahap pengumpulan data untuk
menentukan kelayakan dan keinginan mengembangkan solusi instruksional. Model berorientasi system
mengharuskan menganalisis tujuan pembelajaran sebelum melanjutkan perencanaan pembelajaran sampai
[pada tahap implementasi atau evaluasi.

Buku: Motivational Design For Learning And Performance: The ARCS Model Approach

(John M. Keller)
ARCS merupakan akronim dari: Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction. ARCS sebagai model
pendekatan dalam pembelajaran dikembangkan oleh Keller dan Kopp (1987) sebagai jawaban pertanyaan
“bagaimana merancang pembelajaran yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi dan hasil belajar”.
Model ARCS berakar pada banyak teori dan konsep motivasi, khasnya adalah teori harapan-nilai
(expectancy-value).

1. Langkah-langkah Desain Model ARCS


Langkah 1: Obtain Course Information/Memperoleh Informasi Kursus
Langkah ini dilakukan untuk memilih dan membangkan taktik motivasi yang sesuai dalam pembelajaran,
hal-hal yang perlu diperhatikan dalam langkah ini adalah karakteristik peserta didik, tujuan yang ingin di
capai, serta kesesuaian waktu dan biaya. Untuk menghindari efek yang kontraproduktif dari pengaruh
diatas maka perlu untuk mengumpulkan informasi tentang tujuan dari pembelajaran yang akan
dilaksanakan. Langkah 1 berfokus pada karakteristik belajar dan bagaimana mengim-plementasikannya,
gambaran kegiatan dan tujuan pembelajarannya, perencanaan waktu, perencanaan pelajaran dan desain
sebelum mengajarkannya. Ini akan membantu memutuskan berapa banyak usaha dalam merancang
strategi motivasi yang akan dilakukan. Demikian halnya dengan Karakteristik dari pembelajar harus
dipertimbangan ketika merancang dan mengembangkan materi pembelajaran, seperti gaya kepribadian,
pengetahuan, dan pengalaman memiliki pengaruh yang kuat di lapangan dan penentuan strategi motivasi
yang akan dikembangkan. Tidak ada satu cara terbaik untuk meningkatkan motivasi siswa, pendekatan
terbaik adalah untuk memahami kepribadian dan preferensi individu pembelajar dan untuk
mengembangkan metode dan gaya yang nyaman sebagai pembelajar.
Langkah 2 : Obtain Audience Information/Memperoleh Informasi Pemelajar.
Langkah ini berfokus pada beberapa faktor yang memiliki pengaruh kuat pada motivasi awal pemelajar
dan bagaimana mereka akan menanggapi isi dan strategi pembelajaran yang akan diterapkan, misalnya,
karakteristik pemelajar, sejauh mana kesamaan dan perbedaan kemampuan akademik mereka, memilih
metode dengan menugaskan pemelajar untuk membantu mengantisipasi entry-level motivasi peserta
didik. Informasi dari langkah pertama dan kedua ini akan memberikan dasar untuk menganalisis
pemelajar yang akan dilakukan pada Langkah 3.
Langkah 3: Analyze Audience/Analisis Pemelajar
Analisis pemelajar merupakan langkah penting dalam proses mendesain model ARCS. Keputusan yang
diambil akan memiliki pengaruh langsung dalam mendefinisikan tujuan dan memilih strategi motivasi
dalam pembelajaran. Tujuan dari langkah ini adalah untuk memperkirakan strategi motivasi apa yang
cocok untuk seluruh kelas atau sub-kelompok atau individu dalam kelas. Salah satu tantangan dalam
memecahkan masalah motivasi adalah bahwa motivasi awal peserta didik bisa terlalu tinggi serta terlalu
rendah. Jika terlalu rendah, prestasi mereka akan rendah karena mereka memiliki sedikit motivasi
berpresatasi dan mereka tidak akan mengerahkan usaha yang cukup. Jika tingkat motivasi mereka terlalu
tinggi, maka kualitas kinerja mereka menurun karena stres yang berlebihan yang menyebabkan mereka
tidak dapat mengingat informasi. Dengan melakukan analisis pemelajar dapat ditentukan secara spesifik
jenis masalah motivasi yang ada. Hal ini juga membantu menghindari masalah yang timbul karena
memiliki terlalu sedikit atau terlalu banyak strategi motivasi.
Langkah 4: Analyze Existing Materials/Menganalisis Bahan yang Ada
Tujuan dari langkah ini adalah untuk menganalisis materi pembelajaran saat ini, yang bisa menjadi
sebuah unit, modul, program pembelajaran, atau apapun segmen instruksi yang ditujukan untuk
mengidentifikasi kekurangan dan kelebihan strategi motivasi. Hal yang penting untuk dipertimbangkan
adalah memeriksa bahan-bahan instruksi untuk menentukan strategi motivasi apa yang diperlukan,
termasuk karakteristik pemelajar, materi pembelajaran yang sedang digunakan, atau dipertimbangkan
untuk diadopsi.
Di sisi lain, perlu juga dipertimbangkan apakah bahan yang ada memiliki kekurangan yang akan
menyebabkan demotivasi. Pertama, jika materi yang ada tidak relevan, maka perlu dilakukan
penambahan, bagian mana yang perlu. Kedua, jika materi mengandung elemen motivasional terlalu
banyak atau kegiatan yang tidak pantas, seperti permainan yang tidak cocok untuk pemelajar, maka perlu
perbaikan seperlunya. Dalam situasi di mana siswa sangat termotivasi untuk siap mengikuti pembelajaran
termasuk penilaian dalam waktu yang sempit, diupayakan untuk tidak menyisipkan kegiatan yang tidak
perlu seperti, game atau simulasi.
Langkah 5 : List Objectives and Assessments / Daftar Tujuan Motivasi dan Penilaian
Langkah ini dilakukan untuk menulis tujuan desain motivasi dan penilaian. Dalam tujuan akan
digambarkan perilaku motivasi yang ingin diamati dalam pemelajar. Saat menulis tujuan, pertimbangkan
perbedaan antara menutup kesenjangan motivasi dan menjaga motivasi. Dalam beberapa pengaturan,
seperti yang ditunjukkan oleh analisis audiens, akan ada masalah motivasi tertentu yang memerlukan
perhatian. Upayakan menyertakan strategi motivasi yang cukup untuk menghindari pembelajaran menjadi
membosankan, seperti meningkatkan kepercayaan pemelajar dengan kegiatan yang menantang.
Langkah 6: List Potential Tactics/Daftar Strategi Potensial
Langkah ini dibutuhgkan kemampuan pembelajar untuk menganalisis melalui diskusi/brainstorming,
bukan hanya yang berhubungan dengan tujuan pada Langkah 5, tetapi juga termasuk strategi yang akan
membantu mempertahankan motivasi pemelajar pada kegiatan pembelajaran. Hasil langkah ini adalah
adanya daftar sebanyak mungkin strategi motivasi sesuai dengan pemikiran kreatif pembelajar.
Selanjutnya pada langkah berikutnya akan diinjau kembali kemungkinan strategi yang paling sesuai yang
akan digunakan.
Langkah dalam memilih strategi. Dapat dilakukan dengan seleksi awal dengan menyiapkan daftar rencana
atau solusi strategi motivasi yang akan dikembangkan, yang berkaitan dengan tujuan spesifik dan situasi
umum. Kemudian, pada Langkah 7, akan diterapkan satu set kriteria seleksi untuk memilih,
menggabungkan, dan mengatur strategi yang benar-benar akan digunakan.
Langkah 7: Select and Design Tactics/Memilih dan Mendesain Strategi
Dalam langkah ini pembelajar akan memilih strategi motivasi untuk benar-benar dimasukkan ke dalam
bahan ajar. Selain beragam strategi potensial yang baru saja di buat, juga pembelajar telah memiliki
informasi tentang lingkungan instruksional, karakteristik pemelajar, analisis bahan, dan tujuan motivasi ,
termasuk kriteria yang akan membantu memilih strategi yang paling dibutuhkan dalam proses
pembelajaran. Biasanya, dalam memilih dan mendesain strategi yang akan dimasukkan dalam kegiatan
pembelajaran tidak hanya memilih salah satu strategi yang ada tetapi dilakukan dengan menggabungkan
satu atau lebih strategi menjadi sebuah strategi tunggal yang memenuhi beberapa kebutuhan
pembelajaran.
Langkah 8 : Integrate with Instructional Design Overview/ Mengintegrasikan Strategi Motivasi
dengan Desain Pembelajaran
Langkah ini dilakukan untuk mengintegrasikan strategi motivasi yang sudah dirancang kedalam unsur-
unsur utama pengajaran, yang meliputi tujuan pembelajaran, isi, dan kegiatan belajar. Saran pertama
adalah meninjau unit instruksi yang sedang dikembangkan dan daftar semua unsur-unsurnya. Kemudian,
meninjau strategi motivasi yang dipilih dan dan menempatkannya dalam situasi pembelajaran dengan
tepat. Hal ini dibutuhkan kesiapan dalam membuat keputusan. LAngkah ini sangat berguna karena
merupakan kompinasi dari keseluruhan langkah sebelumnyayang dilakukan secara bersama-sama.
Pengajar yang telah memiliki banyak pengalaman akan sangat mempertimbangkan langkah ini secara
lebih serius. Mereka biasanya akan lebih mempertimbangkan kondisi internal dan eksternal lingkungan
belajarnya secara komprehensif.
Langkah 9 : Select and Develop Materials/Memilih dan Mengembangkan Bahan
Dalam langkah ini, akan dilakukan identifikasi jenis strategi motuivasi yang akan dimasukkan kedalam
bahan pembelajaran. Beberapa strategi mungkin tidak akan memerlukan mencari strategi karena dapat
diterapkan secara langsung, atau hanya memerlukan modifikasi pada konten pembelajaran yang ada. Tapi,
jika Anda ingin menggunakan permainan, simulasi, atau kegiatan pengalaman belajar dan belum memiliki
strategi tertentu dalam pikiran, maka dapat dilakukan dengan mencari strategi bisa disesuaikan atau,
setidaknya dapat berfungsi sebagai model untuk dikembangkan. Dalam langkah ini jangan lupa untuk
mencatat (sebagai dokumentasi) hasil keputusan yang sudah diambil yakni strategi yang sebenarnya akan
dikembangkan dan diintegrasikan ke dalam pelajaran.
Langkah 10: Evaluation and Revision/Evaluasi dan Revisi
Dalam merancang desain pembelajaran formal, langkah ini bagian dari proses yang tujuannya untuk
mengevaluasi materi seberapa baik strategi motivasional yang dilakukan memiliki pengaruh terhasdap
pemelajar. Tetapi kadang-kadang, evaluasi yang berkaitan dengan aktifitas mungkin tidak diperlukan. Jika
sedang mengembangkan sebuah pembelajaran yang akan digunakan di kelas, maka pembelajar akan
mengetahui seberapa baik berimplikasi kepada pemelajar, untuk itu bisa dilakukan diskusi dengan
mereka. Jika Rancangan kegiatan pembelajaran dilakukan oleh orang lain, atau ingin bukti konkret dari
reaksi hasil desain motivasional yang telah dirancang maka evaluasi formal perlu dilakukan.
2. Konsep Penting Dalam Desain Model ARCS.
Model ARCS mengidentifikasi ada empat Kondep Penting untuk memotivasi pembelajaran:
a. Attention (perhatian): adalah bentuk pengarahan untuk memusatkan tenaga dan energi psikis dalam
menghadapi suatu obyek. Munculnya perhatian di dorong oleh rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu seseorang
ini muncul karena dirangsang melalui elemen-elemen baru, aneh, lain dengan yang sudah ada, dan
kontradiktif. Peserta didik diharap dapat menimbulkan minat yaitu kecenderungan untuk merasa tertarik
pada pelajaran atau pokok pelajaran tertentu dan merasa senang mempelajari materi itu melahirkan
semangat yang baru dan dapat berperan positif dalam proses belajar mengajar selanjutnya.
b. Relevance (relevansi): yaitu adanya hubungan yang ditunjukkan antara materi pembelajaran,
kebutuhan dan kondisi pesrta didik. Ada tiga strategi yang dapat digunakan untuk menunjukkan relevansi
dalam pembelajaran, yaitu:
 Menyampaikan tujuan yang ingin dicapai setelah mempelajari materi pembelajaran.
 Jelaskan manfaat pengetahuan/ketermpilan yang akan dipelajari.
 Berikan contoh, latihan/tes yang langsung berhubungan dengan kondisi peserta didik atau profesi
tertentu.
Relevansi menunjukkan adanya hubungan antara materi yang dipelajari dengan kebutuhan kondisi peserta
didik. Peserta didik akan termotivasi bila mereka merasa bahwa apa yang akan dipelajari memenuhi
kebutuhan pribadi atau bermanfaat bagi mereka.
c. Confidence (kepercayaan diri): yaitu merasa diri kompeten atau mampu merupakan potensi untuk
dapat berinteraksi dengan lingkungan. Motivasi akan meningkat sejalan dengan meningkatnya harapan
untuk berhasil. Ada sejumlah strategi untuk meningkatkan kepercayaan diri, yaitu sebagai berikut:
 Meningkatkan harapan peserta didik untuk berhasil dengan memperbanyak pengalaman.
 Menyusun pembelajaran menjadi bagian yang lebih kecil, sehingga peserta didik tidak di tuntut
mempelajari banyak konsep sekaligus.
 Meningkatkan harapan untuk berhasil dengan menggunakan persyaratan untuk berhasil.
 Menggunakan strategi yang memungkinkan kontrol keberhasilan di tangan peserta didik.
 Tumbuh kembangkan kepercayaan diri peserta didik dengan pernyataan-pernyataan yang
membangun.
 Berikan umpan balik konstruktif selama pembelajaran, agar peserta didik mengetahui sejauh mana
pemahaman dan prestasi belajar mereka.
d. Satisfaction (kepuasan): adalah perasaan gembira, perasan ini dapat positif yaitu timbul kalau orang
mendapatkan penghargaan dalam dirinya. Perasaan ini meningkat kepada perasaan harga diri kelak,
membangkitkan semangat belajar di antaranya dengan:
 Mengucapkan baik, bagus dan memberikan senyum bila peserta didik menjawab atau mengajukan
pertanyaan.
 Menunjukkan sikap non verbal positif pada saat menanggapi pertanyaan atau jawaban peserta
didik.
 Memuji dan memberi dorongan dengan senyuman, anggukan dan pandangan yang simpatik atas
prestasi peserta didik.
 Memberi tuntunan pada peserta didik agar dapat memberi jawaban yang benar.
 Memberi pengarahan sederhana agar peserta didik memberi jawaban yang benar.
1. 3. Kesulitan yang dihadapi untuk menerapkan ARCS di tempat kerja
Kesulitan yang dihadapi dalam menerapkan model ARCS di tempat kerja yaitu:
1. Penilaian perilaku peserta didik sulit dinilai secara kuantitatif
2. Model ARCS ditujukan bagaimana meningkatkan motivasi belajar siswa. Hal ini akan
membutuhkan waktu tersendiri untuk menilai prestasi belajar siswa dari segi pengetahuannya, jika
bisa dilakukan secara beriringan akan sulit karena membutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi
dalam menilai prestasi belajar dan mengstabilkan kondisi pembelajaran tetap berada dalam situasi
yang diinginkan.
3. Akan sangat sulit menemukan dan menentukan startegi motivasi yang tepat diintegrasikan
kedalam kegiatan pembelajaran jika motivasi individu dari setiap peserta didik sangat bervariasi.

Pendekatan Saintifik, Berpikir Divergen, dan Interaksi Guru – Siswa dalam Pross Pembelajaran

Oleh: Zulrahmat Togala


Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk menggali hubungan konseptual pendekatan pembelajaran saintifik,
kemampuan berpikir divergen, dan pentingnya interaksi guru dan siswa dalam proses pembelajaran.
Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang merangkul pengalaman belajar tanpa batas serta
bagaimana gagasan dan emosi berinteraksi dengan suasana kelas yang juga terus berubah. Pembelajaran
adalah proses yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti sifat-sifat individu,
kemampuan guru, bahan ajar dan kualitas interaksi antara guru dan siswa. Pendekatan pembelajaran
saintifik dapat mengantar mental siswa secara aktif melakukan kegiatan mengamati fenomena dan fakta,
bertanya, menjelaskan, memberi komentar, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, dan sejumlah
kegiatan mental lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut membutuhkan pola berpikir divergen dimana
seseorang mampu merespon dan mengolah informasi yang diterimanya untuk menghasilkan berbagai
solusi jawaban dalam menyelesaikan suatu masalah. Pada akhirnya kegiatan pembelajaran akan semakin
bermakna jika interaksi guru dan siswa dalam proses pembelajaran lebih optimal.
Kata kunci: pendekatan saintifik, berpikir divergen, interaksi belajar
PENDAHULUAN
Banyak praktek pembelajaran yang dilakukan guru dewasa ini tidak membiasakan siswa untuk
mendapatkan sendiri pengetahannya, proses komunikasi hanya terjadi satu arah saja yaitu dari guru ke
siswa, guru mengangap bahwa siswa adalah sebuah ember kosong yang harus diisi dengan sesuatu yang
penting yakni materi pembelajaran yang sudah terencana sejak awal, bagi guru penguasaan materi lebih
penting dari pada mengembangkan kemampuan berpikir. Dampak dari kondisi pembelajaran yang seperti
ini menyebabkan siswa tidak memiliki minat dan motivasi dalam belajar, pembelajaran membosankan,
kreativitas mereka terbelenggu, mereka tidak dilibatkan dalam kegiatan pembelajaran, dan pada akhirnya
akan berpengaruh terhadap prestasi belajar mereka.
Pada dasarnya pendidikan adalah bagaimana membangun gagasan dan emosi manusia secara
terus-menerus, yang berimplikasi pada perubahan kesadaran manusia yang juga berlangsung tanpa henti
sehingga menyebabkan terciptanya karakter khusus bagi proses pendidikan. Joyce, Weil, dan Calhoun
(2011: 6-7) mengemukakan bahwa pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang merangkul
pengalaman belajar tanpa batas tentang bagaimana gagasan dan emosi berinteraksi dengan suasana kelas
dan bagaimana keduanya dapat berubah sesuai dengan suasana kelas yang juga terus berubah. Cara guru
menerapkan suatu pembelajaran akan berpengaruh besar terhadap kemampuan siswa dalam mendapatkan
pengetahuan. Demikian halnya dengan Swennen dan Marcel (2009: 134) mengemukakan bahwa belajar
merupakan proses yang kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti sifat-sifat individu
pembelajar, kemampuan guru, bahan ajar dan kualitas interaksi antara guru dan siswa. Selanjutnya
Suparman (2012: 6) mengemukakan bahwa pembelajaran harus berorientasi pada siswa, artinya
diselenggarakan untuk kebutuhannya, disesuaikan dengan karakteristiknya, dan diutamakan mengaktifkan
dirinya selama proses pembelajaran berlangsung. Pendapat beberapa pakar di atas mengindikasikan
bahwa tujuan dari keseluruhan proses pembelajaran adalah melibatkan mental siswa ke dalam berbagai
pengalaman belajar yang sengaja diciptakan oleh guru. Pengalaman belajar sebagai sebuah kondisi yang
sengaja diciptakan, juga harus dapat mendukung siswa dalam memperoleh pengetahuan, keterampilan
dan sikap.
Keberhasilan proses pembelajaran siswa dapat disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal.
Faktor internal antara lain berkaitan dengan kemampuan siswa memahami konsep, minat, motivasi, sikap
terhadap mata pelajaran, gaya belajar, kemampuan awal yang dimiliki siswa, dan kreativitas. Sedangkan
faktor eksternal antara lain kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran, kualitas bahan ajar, metode,
strategi, dan pendekatan pembelajaran yang digunakan, media pembelajaran, lingkungan belajar, alokasi
waktu, dan manajemen. Namun dari beberapa faktor tersebut di atas menarik untuk dikaji faktor yang
disebabkan oleh proses pembelajaran, khususnya pendekatan pembelajaran, karakteristik individu/siswa,
dan sejauhmana interaksi antara guru dan siswa sebagai suatu kondisi yang sengaja diciptakan.
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengkaji secara teoritis sekaligus menjawab pertanyaan tentang
bagaimanakah langkah-langkah pendekatan pembelajaran saintifik?, sejauhmana kecenderungan berpikir
divergent seorang siswa mempengaruhi hasil belajar? dan bagaimanakah model interaksi antara guru dan
siswa dalam proses pembelajaran.
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Belajar
Para psikolog dan peneliti telah mengemukakan banyak teori untuk menjelaskan bagaimana individu
belajar. Namun tidak ada satu definisi belajar yang diterima secara universal. Mereka memiliki padangan
yang berbeda-beda tentang penyebab, proses, dan akibat dari belajar. Sementara itu, teori belajar telah
mengalami perubahan mendasar, berkembang dari behaviorisme, kognitivisme, dan konstruktivisme.
Perubahan inilah yang menjadi dasar para peneliti dalam mengembangkan pembelajaran.
Menurut Gagne (1977: 3) “Learning is a change human disposition or capability, which persist over a
period of time, and which is not simply ascribable to processes of growth”. Menurutnya belajar ialah
perubahan dalam disposisi manusia atau kapabilitas yang berlangsung selama satu masa waktu dan tidak
semata-mata disebabkan oleh proses pertumbuhan. Lebih lanjut Gagne mengemukakan bahwa perubahan
yang terjadi pada belajar adalah berupa perubahan tingkah laku dengan inferensi sebelum individu
ditempatkan dalam situasi belajar, ataupun perubahan berupa peningkatan kapabilitas, dan juga perubahan
pada sikap, minat dan nilai. Perubahan yang dimaksudkan di atas harus dapat bertahan lama dan akhirnya
perubahan itu bukan disebabkan oleh pertumbuhan fisik seperti tinggi badan atau perkembangan otot
melalui latihan.
Driscoll seperti yang dikutip Reiser dan Dempsey (2012: 36); Smaldino, Lowther dan Russel (2011: 11)
mendefinisikan belajar sebagai konsekuensi dari perubahan kemampuan yang berasal dari pengalaman
dan interaksi pemelajar dengan dunia. Sementara menurut Dale (2012: 39), belajar merupakan perubahan
perilaku atau perubahan dalam kapasitas perilaku dengan cara tertentu yang bertahan lama, perubahan
yang dimaksud dihasilkan dari praktek atau bentuk-bentuk pengalaman lainnya. Definisi ini
mengindikasikan tiga kriteria yang harus dipenuhi oleh belajar yakni: (1) perubahan perilaku, artinya
seseorang dikatakan belajar ketika mereka mampu melakukan suatu hal dengan cara yang berbeda; (2)
perubahan perilaku itu bertahan lama seiring dengan waktu. Perubahan perilaku yang sifatnya sementara
(pengaruh alkohol atau obat-obatan) bukan merupakan perubahan perilaku yang dimaksud, karena jika
pengaruh obat-obatan atau alkohol hilang, perilakunya akan kembali ke keadaan semula; (3) perubahan
perilaku terjadi melalui pengalaman seperti melakukan kegiatan praktek dari mengamati orang lain,
sementara perubahan perilaku yang disebabkan oleh perubahan sifat fisik tidak termasuk dalam kriteria
belajar.
Richey, Klein dan Tracey (2011: 61) mengemukakan bahwa “Learning is the relatively permanent
change in a person’s knowledge or behavior due to experience. This definition has three components: (1)
the duration of the change is long-term rather than short-term; (2) the locus of the change is the content
and structure of knowledge in memory or the behavior of the learner; (3) the cause of the change is the
learner’s experience in the environment rather than fatigue, motivation, drugs, physical condition, or
psychological intervention”. Belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam pengetahuan atau
perilaku seseorang karena pengalaman. Definisi ini memiliki tiga komponen yakni: (a) durasi dari
perubahan tersebut adalah jangka panjang; (b) lokus perubahan adalah isi dan struktur pengetahuan dalam
memori atau perilaku siswa; (c) penyebab perubahan disebabkan oleh pengalaman dan lingkungan siswa.
Snelbecker (1974: 11-15) menyimpulkan bahwa belajar adalah kemampuan suatu organisme untuk tampil
dengan cara yang berbeda dari cara sebelumnya. Menurutnya belajar harus mampu menjelaskan
perubahan perilaku sebagai hasil dari belajar dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks
dan perilaku tersebut tidak dimodifikasi atau dikendalikan oleh organisme atau oleh agen eksternal lain.
Pendekatan Pembelajaran
Sanjaya (2006: 127) mengemukakan bahwa pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau
sudut pandang kita terhadap pembelajaran. Istilah ini merujuk kepada cara pandang tentang terjadinya
suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, oleh karenanya strategi dan metode pembelajaran yang
digunakan dapat bersumber atau tergantung dari pendekatan tertentu. Sejalan dengan itu Sani (2013: 91)
berpendapat bahwa pendekatan pembelajaran adalah sekumpulan asumsi yang saling berhubungan dan
terkait dengan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran merupakan sudut pandang guru terhadap proses
pembelajaran secara umum berdasarkan teori tertentu yang kemudian mendasari pemilihan strategi dan
metode pembelajaran. Pendapat diatas menjelaskan bahwa pendekatan dalam pembelajaran merupakan
cara pandang tentang bagaimana terjadinya proses pembelajaran, yang menjadi landasan bagi guru dalam
memilih metode dan strategi penyampaiannya.
Roy Killen (2009: 116-117) mengemukakan dua pendekatan dalam pembelajaran yaitu pendekatan yang
berpusat pada guru (teacher-centred approaches) dan pendekatan yang berpusat pada siswa (student-
teacher centred). Demikian halnya Edward Anthony (1963: 63-67) menjelaskan bahwa pendekatan adalah
seperangkat asumsi korelatif yang berhubungan dengan sifat pengajaran dan pembelajaran. Sebuah
pendekatan aksiomatik yang menggambarkan sifat materi pelajaran yang akan diajarkan. Selanjutnya
Corcoran dan Silander (2009: 165) mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran ditandai dengan
keteraturan tertentu dalam cara di mana guru dan siswa berinteraksi satu sama lain dan dengan bahan ajar
yang dapat digambarkan, dievaluasi, dan direplikasi. Lebih lanjut dikemukakan bahwa pendekatan
pembelajaran yang baik harus mempertimbangkan partisipasi, ketekunan, dan kesuksesan dalam
akademis siswa pada umumnya.
Dilihat dari perspektif teknologi pendidikan, pembelajaran merupakan sebuah sistem dengan komponen-
komponen yang saling berkaitan untuk melakukan suatu sinergi, yakni mencapai tujuan pembelajaran
yang telah ditetapkan. Memandang pembelajaran sebagai sebuah sistem dikenal dengan istilah
pendekatan sistem (system approach). Miarso (2009: 528-529) mencontohkan pendekatan sistem yang
paling sederhana yang dikemukakan oleh Briggs yang disebut “three anchor points” dan Kaufman yang
disebut “system analysis steps”. Pendekatan itu meliputi tiga konsep dasar yakni: (1) adanya arah serta
tujuan yang ingin dicapai; (2) dengan merumuskan strategi, teknik, media; (3) menentukan
ukuran/kriteria keberhasilan. Selanjutnya Reigeluth dan Merril (1983: 18) mengatakan bahwa
pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang didasari teori pembelajaran yang bersifat preskriptif,
yaitu teori yang memberikan jalan keluar dalam mengatasi masalah belajar. Mereka mengidentifikasi tiga
variabel yang harus di masukkan dalam kerangka teori instruksional yaitu variabel kondisi, metode, dan
hasil belajar. Kerangka teorinya seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka teori pembelajaran


Berdasarkan kerangka teori tersebut setiap metode pembelajaran harus mengandung rumusan
pengorganisasian bahan pelajaran, strategi penyampaian, dan pengelolaan kegiatan, dengan tidak
mengesampingkan tujuan belajar, hambatan belajar, karakteristik siswa, agar dapat diperoleh efektifitas,
efisiensi, dan daya tarik pembelajaran.
Pendekatan Pembelajaran Saintifik
Kata Saintifik berasal dari kata dasar “Science” dan berasal dari bahasa Latin “scientia,” yang berarti
pengetahuan. Menurut Webster New Collegiate Dictionary, definisi science adalah pengetahuan yang
diperoleh melalui studi atau praktek, atau pengetahuan meliputi kebenaran umum yang dilandasi beberapa
aturan umum, yang diperoleh dan diuji melalui metode ilmiah dan berkaitan dengan alam. Elemen dasar
dari ilmu pengetahuan adalah bagaimana mengetahui dan menjelaskan tentang alam ini. Menurut Bybee
(2006: 2-3) bahwa pengetahuan ilmiah harus didasarkan oleh pengamatan dan data eksperimen, artinya
bahwa penjelasan tentang fenomena yang terjadi harus dibuktikan dengan data empiris. Beberapa literatur
menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan dimulai dengan pengamatan, selanjutnya berdasarkan pengamatan
mereka menyatakan hipotesis, biasanya dinyatakan dengan bentuk proposisi “jika…maka…” artinya
hipotesis tersebut memiliki kualitas prediksi yang bisa dikonfirmasi melalui pengamatan lebih lanjut
melalui eksperimentasi. Jika pengamatan atau percobaan mengkonfirmasi prediksi, hipotesis bertahan dan
investigasi terus berlanjut. Lebih lanjut mereka menjelaskan bahwa tidak ada kesepakatan umum tentang
metode atau cara para ilmuwan melakukannya, namun sebuah metode ilmiah perpegang pada hukum
bahwa pemerolehan pengetahuan ilmiah harus logis, obyektif, dan imparsial. Mereka juga sepakat bahwa
dalam menjelaskan dan memahami fenomena, menggunakan penalaran, data empiris, menghindari
prasangka, dan menyajikan penjelasan sebagai proses ilmiah.
Semiawan (2007: 4) mengemukakan bahwa pengetahuan memiliki tiga ciri yang harus dimiliki untuk bisa
disebut ilmu pengetahuan. Pertama, dasar pembenaran, artinya pemerolehan pengetahuan tersebut
menuntut pengaturan kerja ilmiah yang diarahkan pada perolehan derajat kepastian sebesar mungkin.
Pernyataan harus diarahkan pada dua cara berpikir ilmiah yakni berpikir deduktif dan induktif; kedua,
sistematis artinya susunan pengetahuan didasarkan pada penyelidikan ilmiah yang terencana, teratur, dan
terarah, sistemik menunjuk pada adanya hubungan yang merupakan suatu kebulatan melalui komparasi
dan generalisasi, dan ketiga, sifat intersubyektif ilmu artinya pengetahuan ilmiah tidak didasarkan atas
intuisi dan sifat subyektif seseorang, namun adanya kesepakatan dan pengakuan akan adanya kebenaran.
Dengan kata lain pendekatan ilmiah adalah proses berpikir dimana kita bergerak secara induktif dari
pengamatan menuju pembentukan hipotesis dan kemudian berbalik secara deduktif membuat verifikasi
atas hipotesis kita tadi pada penerapan logis.
Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmiah, syarat yang harus dipenuhi pengetahuan agar dapat
disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan dengan metode ilmiah. Menurut Abruscato (1992: 6),
Pengetahuan merujuk pada sebuah proses dimana kita memperoleh dan mengumpulkan informasi secara
sistematis tentang alam disekitar kita, ditandai dengan nilai-nilai dan sikap yang dimiliki oleh orang-
orang yang menggunakan proses ilmiah untuk mengumpulkan pengetahuan. Pendekatan ilmiah
merupakan gabungan antara penalaran induktif dan penalaran deduktif, Kerlinger (1986: 37) memberi
definisi pendekatan ilmiah sebagai “penyelidikan yang sistematik, terkontrol, empiris, dan kritis tentang
fenomena-fenomena alami dengan dipandu oleh teori dan hipotesis-hipotesis tentang hubungan yang
dikira terdapat antara fenomena itu.”
Dalam pengajaran tradisional guru melibatkan para siswa dalam serangkaian tugas yang tidak
memberikan mereka kesempatan untuk mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana
membangun argumentasi ilmiah yang meyakinkan melalui pengumpulan bukti-bukti. Pemerolehan
pengetahuan harus dibangun melalui pengalaman hidup, khususnya melalui partisipasi dan interaksi
dengan orang lain dalam kegiatan yang berarti. Guru perlu melibatkan siswa dalam kegiatan
pembelajaran di mana mereka benar-benar melakukan sendiri dengan pengalaman-pengalaman yang
diciptakan guru.
Berkaitan dengan proses belajar penemuan, Bruner dalam Dale (2012: 372-371) mengemukakan bahwa
belajar menemukan mengacu pada penguasaan pengetahuan untuk diri sendiri. Lebih lanjut dikemukakan
bahwa proses belajar penemuan melibatkan perumusan dan pengujian hipotesis-hipotesis, bukan sekedar
membaca dan mendengarkan guru menerangkan. Penemuan adalah sebuah tipe penalaran induktif karena
siswa mengamati dan mempelajari contoh spesifik kemudian merumuskan aturan-aturan, konsep-konsep,
dan prinsip-prinsip umumnya. Belajar menemukan juga dikenal sebagai pembelajaran berbasis masalah,
penelitian, eksperiensial, dan konstruktivis. Selanjutnya menurut Carin dan Sund (1989: 11),
penyelidikan ilmiah didefinisikan sebagai cara mencari kebenaran dan pengetahuan. Agar pengetahuan
tersebut ilmiah dilakukan dengan mengidentifikasi masalah, membuat hipotesis, dan melakukan
penyelidikan yang berhubungan dengan permasalahan. Kata kunci dalam melakukan proses penyelidikan
menurut mereka adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang signifikan, membentuk perilaku yang
diarahkan pada sikap ilmiah dengan menggunakan metode-metode tertentu yang sering disebut scientific
processes.
Suchman seperti yang dikutip Joyce, Weil, dan Calhoun (2009: 213-214), mengemukakan bahwa
pembelajaran melalui penyelidikan ilmiah dapat mengantarkan siswa pada kebiasaan melakukan strategi-
strategi, nilai-nilai, sikap dan keterampilan seperti mengobservasi, mengumpulkan dan mengolah data,
mengidentifikasi dan mengontrol variabel, merumuskan dan menguji hipotesis, serta menarik kesimpulan.
Dengan melakukan pembelajaran yang mengacu pada proses ilmiah juga menjadikan pembelajaran lebih
aktif, mandiri, serta membiasakan siswa untuk berpikir logis.
Berpikir Divergen
Spector (2012: 100) memberikan saran bahwa satu hal yang patut dipertimbangkan bagi seorang guru
dalam merencanakan kegiatan pembelajaran adalah pentingnya mengetahui karakteristik siswa, tujuannya
adalah untuk mengetahui lebih awal dukungan yang paling mungkin dan relevan untuk diberikan. Salah
satu cara mengetahui karakteristik siswa yang memiliki implikasi terhadap perencanaan pembelajaran
adalah gaya berpikir siswa. Demikian halnya dengan Elliott, et. el. (2000: 294-295), mengemukakan
bahwa menyadari pentingnya mengidentifikasi dan menggunakan pengetahuan tentang gaya berpikir di
dalam kelas, seorang guru dapat memperluas teknik mengajar sekaligus mengakomodasi karakteristik
siswa. Sementara itu Santrock (2009: 7) menjelaskan bahwa berpikir melibatkan kegiatan memanipulasi
dan mentransformasi informasi dalam memori untuk membentuk konsep, menalar, membuat keputusan,
dan memecahkan masalah. Seorang anak misalnya mampu berpikir mengenai hal-hal konkret,
memikirkan subyek yang abstrak, mereka juga dapat berpikir mengenai masa lampau dan membayangkan
masa depan, dan juga berpikir mengenai kenyataan dan fantasi.
Istilah gaya berpikir menurut Witkin dalam Riding dan Rayner (2012: 15) “is understood to be an
individual’s preferred and habitual approach to organising and representing information.” Menurutnya
gaya berpikir adalah pendekatan yang dipilih seseorang dalam mengatur dan mengolah informasi.
Pendapat lain tentang gaya berpikir juga dikemukakan oleh Miller dalam Zang (2006: 99), menurutnya
gaya berpikir adalah perbedaan individu dalam pemrosesan informasi. Pemrosesan informasi sebagai
proses kognitif menurutnya terdiri dari tiga komponen yiatu persepsi, memori, dan berpikir. Selanjutnya
Messick (1996: 9) mengemukakan bahwa Gaya berpikir biasanya dikonseptualisasikan sebagai
karakteristik individu dalam mempersepsi, mengingat, berpikir, dan penilaian reflektif dari keteraturan
pemrosesan informasi. Gaya berpikir adalah perbedaan individu dalam cara pengorganisasian atau
pengolahan informasi dan pengalaman. Demikian halnya dengan Sternberg (1997: 134) mengemukakan
bahwa istilah gaya berpikir mengacu pada cara individu memproses informasi dalam melakukan
pemecahan masalah.
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa gaya berpikir adalah
kecenderungan seseorang dalam merespon dan mengolah informasi untuk menyelesaikan tugas-tugas
yang dibebankan kepadanya. Dalam konteks pembelajaran gaya berpikir adalah cara siswa dalam
menyesuaikan respon informasi kemudian menghubungkan dengan kemampuan yang ada dalam dirinya
untuk untuk menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran.
Guilford seperti yang dikutip De Cecco (1968: 455) mengemukakan bahwa aspek yang khas dari
kreativitas adalah berpikir divergent dengan kemampuan memberikan beragam respon untuk satu
permasalahan yang diberikan. Selanjutnya Munandar (1999: 91) mengemukakan bahwa berpikir divergen
identik dengan kreativitas yang menuntut penggunaan kemampuan berpikir lancar, lentur, orisinal, dan
terperinci. Pola berpikir divergen adalah memberikan bermacam-macam kemungkinan jawaban
berdasarkan informasi yang diberikan dengan penekanan pada keragaman kuantitas dan kesesuaian.
Guilford menguraikan teori tentang bagaimana berpikir kreatif bekerja, dan menggunakan pengujian
kecerdasan sebagai panduan, kemudian mengusulkan serangkaian tes yang dapat digunakan untuk
mengukur kemampuan berpikir kreatif serta mengidentifikasi individu yang memiliki potensi kreatif.
Lebih lanjut Ia menjelaskan bahwa orang-orang kreatif adalah mereka yang sensitif terhadap masalah,
fasih dalam pemikiran dan ekspresi serta fleksibel (spontan dan mudah beradaptasi) dengan pemecahan
masalah baru.
Menurut Kolb dalam Reid (1995: 58), individu dengan gaya berpikir divergen memiliki dua
kecenderungan berpikir yakni mereka lebih suka melibatkan diri sepenuhnya dalam suatu pengalaman
baru (concrete experience), dan mereka lebih suka mengobservasi dan merefleksi atau memikirkan
pengalamannya dari berbagai segi (reflection observation). Kekuatan mereka terletak pada kemampuan
imajinasi. Mereka suka memandang sesuatu dari berbagai segi dan menjalin berbagai hubungan menjadi
satu keseluruhan yang bulat. Mereka mampu melahirkan berbagai ide baru dan terampil dalam
“brainstorming”. Salah satu komponen penting dari kreativitas adalah kemampuan untuk melihat
permasalahan dilingkungannya. Sebagai contoh, jika dua orang menggunakan alat yang sama dan salah
seorang diantara mereka tidak puas dengan kinerja alat yang digunakannya, ia mungkin mencoba untuk
membuat inovasi yang lebih baik dari fungsi sebelumnya, dengan demikian orang itu telah menunjukkan
kepekaan terhadap masalah, yang mungkin diperlukan untuk mengatur proses kreatif sehingga Ia
melakukan tindakan. Seseorang yang tidak memiliki kemampuan melihat masalah berkaitan denga alat
yang digunakannya, tidak akan memiliki kesempatan untuk menciptakan sesuatu (Weisberg, 2006: 95-
97).
Menurut Santrock (2009: 21) berpikir divergent adalah pemikiran dengan tujuan menghasilkan banyak
jawaban terhadap pertanyaan yang sama sebagai karakteristik dari kreatifitas. Wolkflok (2004: 21)
menegaskan bahwa berpikir divergen adalah kemampuan untuk mengusulkan bayak ide atau jawaban
yang berbeda. Selanjutnya Sattler seperti yang dikutip Woolflok bahwa ciri siswa yang memiliki gaya
berpikir divergen adalah mereka memiliki rasa ingin tahu, konsentrasi tinggi, adaptibilitas, memiliki
energy yang tinggi, humoris, independensi, memiliki ketertarikan pada hal-hal kompleks dan misterius,
tidak menoleransi kebosanan dan inventiveness. Selanjutnya Nevid (2012: 235) mengemukakan bahwa
berpikir divergen adalah “the wellspring of invention; it is the ability to conceive of new ways of viewing
situations and new uses for familiar object.” Menurutnya berpikir divergen adalah sumber penemuan,
individu yang berpikir divergen memiliki kemampuan untuk memahami dan melihat situasi dalam cara
yang berbeda pada objek yang dikenal.
Menurut Eggen & Kauchak (2007: 150); Cohean & Swerdlik (2010: 342); Kauffman, Plucker dan Baer
(2008: 18), bahwa berpikir divergen memiliki empat dimensi yakni: kefasihan (fluency), adalah
kemampuan untuk menghasilkan banyak ide-ide yang relevan dengan masalah, fleksibilitas (flexibility)
adalah kemampuan untuk menghasilkan perspektif baru dari berbagai sudut pandang, orisinalitas
(originality) adalah kemampuan untuk menghasilkan ide-ide baru dan berbeda, tidak seperti yang
dipikirkan orang lain, elaborasi (elaboration) kemampuan menambahkan aneka kekayaan atau sebuah
detail dalam penjelasan lisan atau tampilan bergambar. Sebagai contoh, jika seseorang sedang
merencanakan acara sosial di sebuah restoran untuk merayakan acara khusus, dia mungkin membuat
banyak daftar lokasi restoran yang mungkin bisa dijadikan rujukan (kefasihan tinggi), daftar yang
mencakup restoran yang tidak diketahui dan tidak pernah dipikirkan oleh teman-temannya (orisinalitas
tinggi), daftar dengan berbagai jenis restoran (fleksibilitas yang tinggi), daftar restoran tersebut tidak
hanya berada dalam satu wilayah tetapi mungkin berada di daerah (elaborasi tinggi).
METODE
Penelitian ini bertujuan mengkaji keterkaitan antara konsep teoritis pendekatan pembelajaran
saintifik, dan gaya berpikir divergen dihubungkan dengan interaksi guru dan siswa dalam pembelajaran,
sehingga metode penelitian yang digunakan adalah kajian pustaka. Dalam tulisan ini penulis
menganalisis sekaligus mengkomparasi kajian tentang pendekatan saintifik atau metode ilmiah dari
beberapa ahli dengan berbagai macam tahapan yang berbeda untuk disintesis sehingga dihasilkan satu
tahapan yang merupakan kolaborasi dari beberapa pendapat yang nantinya menjadi konsep tersendiri.
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Belajar merupakan sebuah proses mental yang kompleks, dimana didalamnya terjadi perubahan perilaku
individu berdasarkan pengalaman dan cenderung bertahan lama. Perubahan perilaku dapat diartikan
sebagai pemerolehan pengetahuan, keterampilan dan sikap. Perubahan perilaku dari individu tersebut
harus bisa terukur untuk memastikan adanya perubahan “perilaku belajar” dan bukan perubahan yang
disebabkan oleh pertumbuhan fisik. Perubahan perilaku dalam disposisi manusia atau kapabilitas yang
berlangsung selama satu masa waktu tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh proses pertumbuhan.
Perubahan yang terjadi adalah berupa perubahan tingkah laku dengan inferensi sebelum individu
ditempatkan dalam situasi belajar. Ada dua kata kunci dari konsep yang telah dikemukakan di atas yakni
bahwa belajar membutuhkan pengalaman langsung oleh individu yang mengalami belajar dan adanya
perubahan tingkah laku sebagai akibat dari proses pembelajaran. Oleh karena itu pendekatan
pembelajaran yang harusnya dipilih oleh guru dalam mengajar adalah pendekatan yang berorientasi pada
siswa (student- center).
Pendekatan pembelajaran dipandang sebagai titik awal dalam merencanakan sebuah proses
pembelajaran secara umum yang dilandasi teori pembelajaran dengan melibatkan seperangkat asumsi
serta karakteristik kondisi pembelajaran. Ketepatan dalam memilih pendekatan yang sesuai dapat
memberikan arah yang jelas terhadap proses pengajaran. Disamping itu, guru dapat merancang dan
menetapkan aturan atau prinsip umum sehingga pembelajaran berjalan sesuai yang diinginkan.
Pembelajaran pada dasarnya adalah interaksi antara guru, siswa, lingkungan belajar serta konten
pembelajaran. Oleh karena itu guru sebagai fasilitator seyogyanya memiliki upaya yang lebih
komprehensif dalam rangka menciptakan lingkungan belajar yang sebaik-baiknya bagi siswa. Pemilihan
pendekatan pembelajaran yang tepat tidak sekedar memberikan arah yang jelas terhadap proses
pengajaran tetapi juga dapat menjamin pembelajaran menunjukkan hasil seperti yang diinginkan.
Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran dapat mengantarkan siswa pada kebiasaan melakukan
strategi-strategi, nilai-nilai, sikap dan keterampilan seperti mengobservasi, mengumpulkan dan mengolah
data, mengidentifikasi dan mengontrol variabel, merumuskan dan menguji hipotesis, serta menarik
kesimpulan. Kegiatan pembelajaran yang demikian dapat menciptakan pembelajaran yang lebih aktif,
kolaboratif, serta membiasakan siswa untuk menyelesaikan masalah dengan beragam solusi.
Berpikir divergen adalah kemampuan seseorang dalam merespon dan mengeksplorasi informasi dengan
menghasilkan berbagai solusi jawaban dalam menyelesaikan suatu masalah, ciri orang yang memiliki
gaya berpikir seperti ini adalah memiliki rasa ingin tahu, konsentrasi tinggi, mudah beradaptasi, selalu
bersemangat, kelihatan ceria, percaya diri, tertarik pada hal yang kompleks dan misterius, tidak
menoleransi kebosanan dan berdaya cipta (kreatif). Dalam pembelajaran kadang-kadang siswa dituntut
untuk menyelesaikan masalah dengan kemampuan mensintesis seperti menunjukkan kemampuan untuk
merakit bagian-bagian menjadi satu kesatuan yang baru, merumuskan hipotesis baru atau rencana aksi,
dan membangun solusi untuk masalah yang tidak diketahui. Banyak proses sintesis melibatkan berpikir
divergen yang memiliki kemampuan melakukan eksplorasi ke berbagai arah. Iindividu dengan gaya
berpikir divergen memiliki dua kecenderungan berpikir yakni mereka lebih suka melibatkan diri
sepenuhnya dalam suatu pengalaman baru (concrete experience), dan mereka lebih suka mengobservasi
dan merefleksi atau memikirkan pengalamannya dari berbagai segi (reflection observation).
Langkah-langkah pendekatan pembelajaran saintifik divisualisasikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Langkah-langkah pendekatan pembelajaran saintifik


Sintaks model interaksi guru dan siswa dalam pembelajaran saintifik diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Model Interaksi Guru dan Siswa dalam pembelajaran Saintifik
KESIMPULAN
Pembejaran dengan pendekatan saintifik merupakan pendekatan yang mengacu pada proses pemerolehan
pengetahuan, keterampilan dan sikap berdasarkan metode ilmiah. Dengan kata lain bahwa siswa
diarahkan untuk mengkonstruksi atau menemukan sendiri pengetahuannya. Pendekatan saintifik
dilakukan dengan mengidentifikasi masalah, membuat hipotesis, dan melakukan penyelidikan yang
berhubungan dengan permasalahan. Kata kunci dalam melakukan proses penyelidikan adalah mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang signifikan, membentuk perilaku yang diarahkan pada sikap ilmiah dengan
menggunakan metode-metode tertentu, dalam melakukan penyeledikan terkait permasalahan yang
diajukan dibutuhkan kreativitas tinggi dalam mengeksplorasi lingkungan pembelajaran. Berpikir divergen
sebagai kemampuan seseorang dalam merespon dan memproses informasi untuk mengembangkan ide-ide
dengan menemukan berbagai solusi alternatif untuk menyelesaikan satu permasalahan, identik dengan
ciri berpikir kreatif. Individu yang memiliki gaya berpikir divergen akan cepat menyesuaikan diri dalam
lingkungan pembelajaran saintifik, dengan kreatifitas yang dimilikinya, Ia mampu mengeksplorasi
pembelajarannya untuk menemukan sendiri pengetahuan, namun tentu saja atas bimbingan, arahan, dan
petunjuk dari guru.
REFEENSI
Abruscato, J. (1992). Teaching Children Science Third Edition. Boston: Allyn & Bacon.
Anthony, E. M. ( 1963). Approach, Method, and Technique, originally published in English Language
Teaching Journal, Vol. 17, 63-67, dikases dari http://www.sala.org.br/index.php/artigos/615-approach-
method-and-technique.
Bybee, R. W. (2006). Scientific Inquiry And Nature Of Science: Implications for Teaching, Learning,
and Teacher Education, ed. Flick Lawrence B. and Lederman Norman G. Springer, Netherland.
Carin, A. A., Sund, R. B. (1989). Teaching Science Through Discovery 6th Edition. Ohio: Merrill
Publishing Company.
Cohean, R. J. dan Swerdlik, M. E. (2010). Psychology Testing and Assessment 7th edition. New York:
McGraw-Hill Companies, Inc.
Corcoran, T., Silander, M. (2009). Instruction in High Schools: The Evidence and the Challenge. Journal
Issue America’s High Schools:Volume 19 Number 1 Spring 2009, 165. Diakses dari
http://futureofchildren.org.
Dale, H. S. (2012). Learning Theories: An Educational Perspective 6th Editions, Terjemahan: Hamidah
dan Fajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
De Cecco, J. P. (1968). The Psychology of Learning and Instruction: Educational Psychology. New York:
Prentice-Hall, Inc.
Eggen, P., Kauchak, D. (2007). Educational psychology: windows on classrooms 7th edition. New Jersey:
Pearson Education, Inc.
Elliott, S. E., et. al., (2000). Educational Psychology: Effective Teaching, Effective Learning 3th Edition.
New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
Gagne, R. M. (1977). The Conditions Of Learning 3th Edition. New York: Rinehart And Winston.
Joyce B., Weil M., Calhoun E. (2011). The Model Of Teaching Eighth Edition, terjemahan Fawaid, A.,
Mirza, A. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kaufman, J. C., Plucker, J. A., Baer, J. (2008). Essentials of Creativity Assessment. New Jersey: Wiley &
Sons, Inc.
Kerlinger, F. E. (1986). Asas-Asas penelitian behavioral. New York: Yogyakara.
Killen, R. (2009). Effective Teaching Strategies: Lessons from Research and Practice 5th ed. Melbourne:
Chengange Learning.
Messick, S., (1996). Report Research: Bridging Cognition and Personality in Education: The Role of
Style in Performance and Developmen. New Jersey: Educational Testing Service. 9. Diakses dari
http://vvw.ets.org/Meclia/Research/pdf/RR-96-22.pdf.
Miarso, Y. (2004). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.
Munandar, U. (1999). Kreativitas dan Keberbakatan: Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat.
Jakarta: Gramedia.
Nevid, J. S. (2012). Essentials of Psychology: Concepts and Applications Third Edition. Wadsworth.
Reid, J. M. (1995). Learning Style in the ESL/EFL Classroom. Massacusetts: Heinle & Heinle Publisher.
Reigeluth, C. M. (1983). Instructional-Design Theories and Models: An Overview of their Current
Status. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Reiser, R. A., Dempsey, J. V. (2012). Trend And Issue In Instructional Design And Technology. Boston:
Pearson Education, Inc.
Richey, R. C., Klein, J. D., Tracey, M. W. (2011). The Instructional Design Knowledge Base: Theory,
Research, and Practice. New York: Routledge.
Riding, R and Rayner, S. (2012). Understanding Style Differences in Learning and Behavior. New York:
Routledge.
Sani, R. A. (2013). Inovasi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Sanjaya, W. (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Perdana
Media Group.
Santrock, J. W. (2009). Educational Psychology, 3th ed. Buku 2, terjemahan Angelica D. Jakarta: Salemba
Humanika.
Semiawan, C.R. (2007). Catatan Kecil tentang Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Jakarta:
Kencana.
Smaldino, S. E. Lowther, D.L., Russell, J. D. (2011). Instructional Technology And Media For Learning
9th Editions, Terjemahan Arif Rahman. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Snelbecker, G. E. (1974). Learning Theory, Instructional Theory And Psychoeducational Design. New
York: McGraw-Hill.
Spector, M. J. (2012). Foundations of Educational Technology: Integrative Approaches and
Interdisciplinary Perspectives. New York: Routledge.
Sternberg, R.J. (1997). Thinking Styles. New York: Cambridge University Press.
Suparman, A. (2012). Desain Instruksional Moderen: Panduan Para Pengajar dan Inovator Pendidikan.
Jakarta: Penerbir Erlangga.
Swennen, A. & Van der Klink, M. (Editors). (2009). Becoming a Teacher Educator: Theory and Practice
for Teacher Educators. New York: Springer.
Weisberg, R. W. (2006). Creativity: Understanding Innovation in Problem Solving, Science, Invention
and The Arts. New Jersey: John Wiley & Sons.
Woolfolk, A. (2004). Educational Psychology. Nedham Heights: Allyn and Bacon, Inc.
Zang, L. F., Sternberg, R. J. (2006). The Nature of Intellectual Style. Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

METANOIA PROFESIONALISME GURU PEMBELAJAR

Oleh: Zulrahmat
A. PENGANTAR
Pemerintah menempatkan pembangunan pendidikan sebagai program yang sangat strategis dalam
pembangunan Nasional. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan
bahwa “pemerintah dalam menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional untuk meningkatkan
keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa. Sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan serta peningkatan mutu, relevansi, dan efisiensi manajemen pendidikan dalam rangka
menghadapi tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global”.
Sebagai salah satu unsur penting dari pembangunan pendidikan, peran guru sangat penting dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa. Peran itu semakin kuat dengan pencanangan guru sebagai profesi oleh
Presiden Republik Indonesia pada tanggal 4 Desember 2004. Selanjutnya Undang–Undang Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen secara eksplisit mengamanatkan adanya
pembinaan dan pengembangan profesi guru secara berkelanjutan sebagai aktualisasi dari sebuah profesi
pendidik. Pengembangan keprofesian berkelanjutan dilaksanakan bagi semua guru, baik yang sudah
bersertifikat maupun belum bersertifikat. Sasarannya antara lain adalah meningkatnya kompetensi guru
dan tenaga kependidikan dan pada akhir diharapkan akan berdampak pada kualitas pembelajaran di kelas
dan adanya peningkatan hasil belajar siswa.
B. PERMASALAHAN
Tujuan ideal yang telah diprogramkan oleh pemerintah saat ini sudah terlaksana meskipun belum
sepenuhnya sempurna, diantaranya adalah program pembinaan dan pengembangan profesionalisme guru
melalui pendidikan dan pelatihan singkat maupun berkesinambungan (Continuous Professional
Development) dan dalam penyelenggaraannya diberdayakan unsur-unsur lain seperti; Kelompok Kerja
(KKG); Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP); Kelompok Kerja Kepala Sekolah (KKKS);
Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS); Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP); dan
Perguruan Tinggi (LPTK).
Selain itu Uji Kompetensi Guru (UKG) yang telah dilaksanakan juga bertujuan untuk pemetaan
kompetensi dan untuk mengetahui materi pelatihan yang akan diberikan kepada guru guna meningkatkan
kemampuan mengajar. Meskipun pada kenyataannya UKG belum dapat menggambarkan kompetensi
guru secara utuh, karena yang diujikan hanya kompetensi paedagogik dan profesional, dan hasilnyapun
belum dimanfaatkan.
Tulisan ini ditujukan untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan pendidikan kita,
khususnya yang berkaitan dengan pengembangan profesionalisme guru. Pertanyaan yang penting untuk
dijawab diantaranya adalah; (1) Bagaimana peran guru dan kualitas pembelajaran?; (2) Apa urgensi
pengembangan profesionalisme guru?; dan (3) Bagaimana model pengembangan profesionalisme
Individual guru?.
C. PEMBAHASAN & SOLUSI
1. Peran Guru dan Kualitas Pembelajaran
Guru adalah komponen yang menentukan dalam menerapkan strategi pembelajaran. Tanpa guru,
bagaimanapun bagus dan idealnya suatu strategi, maka strategi itu tidak mungkin bisa diaplikasikan.
Keberhasilan implementasi suatu strategi pembelajaran akan tergantung pada kemampuan guru dalam
menggunakan metode, teknik, dan taktik pembelajaran. Setiap guru memiliki pengalaman, pengetahuan,
kemampuan, gaya, dan pandangan yang berbeda dalam mengajar. Guru yang menganggap mengajar
hanya sebatas menyampaikan materi pelajaran akan berbeda dengan guru yang menganggap mengajar
adalah suatu proses pemberian bantuan kepada siswa.
Guru dalam proses pembelajaran memegang peran yang sangat penting. Guru tidak hanya berperan
sebagai model atau teladan bagi siswa yang diajarnya, namun juga sebagai pembimbing, pengayom, dan
pengajar. Secanggih apapun perkembangan perangkat teknologi dalam mendukung pembelajaran tak
mungkin dapat menggantikan peran guru, sebab siswa adalah organisme yang sedang berkembang yang
memerlukan bimbingan dan bantuan orang dewasa.
Penelitian yang dilakukan oleh Timperley et al. (2007) menyimpulkan bahwa peningkatan kualitas guru
akan berdampak terhadap praktek mengajar. Menurut mereka guru harus seorang profesional yang dapat
mengatur diri sendiri, mampu membangun pengalaman belajar mereka sendiri dan mampu bekerja efektif
bagi keberhasilan siswa mereka.
Sementara itu Tilaar (2015) mengemukakan bahwa pada abad 21 guru harus seorang yang memiliki
kemampuan profesional, seorang yang profesional pada suatu masyarakat yang moderen tidak cukup
dilahirkan secara alamiah, tetapi perlu mendapatkan pendidikan formal. Sorang guru profesional harus
memiliki sifat jujur, bekerja keras, disiplin, memiliki sikap sosial yang tinggi, inovatif-kreatif, dan
demokratis. Guru profesional juga harus menguasai ilmu pengetahuan baik pengetahuan umum yang
diperlukan untuk menghadapi dunia yang juga semakin terbuka sebagai akibat dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, maupun ilmu pengetahuan yang secara khusus wajib dikuasai oleh seorang
guru, yaitu ilmu pedagogik.
 Efektivitas dan Intensionalitas Guru
Cruickshank dan Haefele (2001) mengemukakan bahwa “guru yang baik adalah guru yang ideal, analitis,
perhatian, kompeten, ahli, reflektif, memuaskan, memiliki responsifitas, dan dihormati”. Stronge (2007)
mengemukakan bahwa “guru efektif meliputi karakteristik dari guru sebagai individu, bagaimana Ia
melakukan perencanaan, mengajar, mengelola kelas, dan memonitor kemajuan siswanya”.
Kedua pendapat di atas menegaskan bahwa guru efektif adalah guru memandang pembelajaran yang
dilakukannya ideal dan memuaskan karena dilakukan dengan perencanaan dan pengelolaan serta
perhatian yang tinggi.
Selain efektifitas mengajar yang perlu diperhatikan seorang guru, ada konsep lain yang tidak kalah
penting yakni Intensionalitas guru dalam melakukan proses pembelajaran. Artinya bahwa efektifitas
seorang guru bisa tergambar ketika melakukan proses pembelajaran. Epstein (2007) mengemukakan
bahwa guru yang intensional adalah guru yang terus menerus memikirkan hasil terbaik bagi siswa mereka
dan bagaimana keputusan yang mereka ambil dapat mengantar siswa menuju hasil yang terbaik.
Sementara itu, Slavin (2011) mengemukakan bahwa “guru yang intensional adalah guru yang
memperhatikan kebutuhan siswa, mereka berharap dan belajar untuk menguasai strategi yang dapat
mendorong siswa mereka berhasil. Lebih jauh dijelaskan bahwa guru yang intensional selalu memikirkan
kualitas pengajaran mereka dengan mempertimbangkan banyak komponen pembelajaran lainnya”.
Hal ini berarti bahwa seorang guru harus memiliki pemahaman bahwa terjadinya kondisi pembelajaran
yang maksimal tidak terjadi secara kebetulan, tetapi peristiwa belajar harus dilakukan dengan
perencanaan yang matang sehingga pemerolehan pengetahuan pada siswa juga tidak terjadis ecara
kebetulan.
 “Metanoia” Profesionalisme Guru
Metanoia berarti perubahan pola pikir atau konsep berpikir yang diperbaharui. Metanoia adalah
transformasi yang radikal dari seluruh proses mental seseorang yang menghasilkan arah pemikiran baru
tentang siapa dirinya dan bagaimana cara melihat diri sendiri.
Metanoia secara harfiah berarti “lompatan pikiran” atau “melampaui pikiran”. Metanoia adalah sebuah
kekuatan pembaharuan pola pikir yang membawa perubahan total dalam perspektif kehidupan, perubahan
dalam tujuan hidup dan perubahan dalam kehidupan itu sendiri.
Melalui “Metanoia Profesionalisme”, seorang guru diharapkan menyediakan sebuah ”kotak baru” dalam
alam pikirannya untuk menuju kearah perubahan yang mendasar tentang bagaimana melihat pembelajaran
yang dilakukannya.
Paradigma baru pembelajaran menuntut guru tidak hanya berperan sebagai model atau teladan bagi siswa
yang diajarnya, memahami keempat kompetensi yang diwajibkan kepadanya secara tekstual dan
mengimplementasikannya ke dalam kegiatan pembelajaran sekadar “menggugurkan kewajiban”, tetapi
juga harus bisa menjadi pengelola pembelajaran.
Oleh karenanya, keberhasilan suatu proses pembelajaran sangat ditentukan oleh kualitas atau kemampuan
guru. Untuk itulah guru harus belajar secara terus-menerus untuk meningkatkan kemampuannya.
2. Urgensi pengembangan profesionalisme guru
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (1994), profesional berkaitan dengan mutu, kualitas, dan tindak
tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang professional, sedangkan menurut Chambridge
Dictionary kata profesional bersangkutan dengan profesi, memerlukan kepandaian khusus untuk
menjalankannya. (http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/professional,). Dengan demikian
profesionalisme guru berarti kemampuan atau kompetensi seorang guru untuk melaksanakan tugas dan
fungsinya secara baik dan benar dengan komitmen yang kuat.
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 1 menjelaskan bahwa
profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar
mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Di Indonesia dewasa ini, pengembangan perofesional sangat jarang dilakukan dan tidak merangkul guru
secara keseluruhan, peningkatan pemahaman pedagogis yang dangkal, tidak memiliki relevansi dengan
kurikulum dan pembelajaran, dilakukan secara parsial, dan tidak terakumulatif. Untuk itu perlu konsep
yang lebih menyentuh untuk mengarahkan guru pada model peningkatan keprofesian berkelanjutan yang
lebih baik.
Yoon et al. (http://ies.ed.gov/ncee/edlabs) mengemukakan bahwa pengembangan profesional bagi guru
adalah mekanisme kunci untuk meningkatkan pembelajaran dan prestasi siswa. Lebih jauh dijelaskan
bahwa meskipun pengembangan profesional yang dilakukan dipercaya memiliki kualitas yang sangat
baik, namun masih memiliki kekurangan dan perlu perbaikan, diantaranya adalah: (1) koherensi
kurikulum; (2) minimnya pemahaman pembelajaran aktif; (3) ketersediaan waktu; dan (4) tingkat
partisipasi kolektif guru.
Menurut Chambridge International Examination (2015) pengembangan profesionalisme guru paling
tidak memiliki dua manfaat: (1) melalui peningkatan profesionalisme guru yang efektif dapat
meningkatkan pengetahuan guru yang bersangkutan, yang pada gilirannya meningkatkan pembelajaran;
(2) meningkatan partisipasi: Menurut Survey Teaching And Learning International Survey (2008), Guru
yang menggunakan praktek pengajaran yang beragam dan berpartisipasi lebih aktif dalam pembelajaran,
menerima lebih banyak umpan balik dan penilaian yang positif dalam pembelajaran mereka. Kedua
pendapat di atas mengindikasikan bahwa meskipun penyelenggaraan pengembangan profesi yang
dilakukan terhadap guru telah maksimal, namun masih perlu terus ditingkatkan.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Agama perlu
memikirkan pentingnya pengembangan profesi bagi guru. Menurut penulis pengembangan profesi bagi
guru harusnya fokus pada: (1) peningkatan pemahaman konsep pedagogis; (2) peningkatan pengetahuan
dan keterampilan guru dalam perencanaan, desain, dan implementasi pengajaran; (3) peningkatan
pemahaman variasi strategi pembelajaran; (4) peningkatkan kemampuan prestasi belajar siswa.
3. Model Pengembangan Profesionalisme Individual
Menurut Swenen et al. (2009) mengajar adalah profesi yang sangat kompleks. Menjadi seorang guru
adalah proses transformasional dan oleh karena itu yang terpenting adalah bagaimana mengembangkan
motivasi, identitas pribadi, dan profesionalisme individual dari guru yang bersangkutan. Itu semua hanya
dapat diperoleh dan diperkaya dengan berkomitmen menjadi bagian terpenting dari sebuah manajemen
sekolah secara keseluruhan.
Berkaitan dengan peningkatan motivasi individual dalam membangun komitmen sebagai guru
profesional, penulis akan kemukakan beberapa pemikiran dalam membangun komitmen pribadi sebagai
seorang guru, yang penulis sebut sebagai “Model Pengembangan Profesional Individual”.
Peran guru dalam mengelola pembelajaran begitu sentral, tugas-tugas yang meliputi, melakukan analisis
kebutuhan, mengidentifikasi karakteristik peserta didik, merencanakan strategi instruksional, pemilihan
konten yang sesuai, mengidentifikasi media yang tepat, mengajarkan, dan mengevaluasi peserta didik,
oleh karena itu kata “perubahan” belum cukup untuk menuju kearah yang lebih baik. Guru harus
melakukan lompatan revolusioner dengan menempatkan sebuah ”kotak baru” dalam alam pikirannya
kearah perubahan yang mendasar.
Langkah langkah pengembangan individual yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:

 Pemahaman Pedagogis
Seorang guru harus memiliki pemahaman konsep pedagosi. Dengan pemahaman pedagogis guru akan
mampu memahami kondisi internal dan eksternal pembelajaran yang akan dilakukannya, tujuannya
adalah agar guru dapat menyediakan layanan yang paling dibutuhkan oleh siswanya.
 Desainer Pembelajaran
Jika guru telah memiliki pemahaman pedagogis yang baik, hal ini akan mendorong guru menciptakan
desain pembelajaran yang tepat, mengembangkan metode dan strategi pembelajaran yang sesuai dengan
karakteristik peserta didik dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.
 Guru Pembelajar
Tugas Guru bukan semata-mata menjadi pengajar tetapi juga sebagai pendidik. Sebagai pendidik guru
harus memiliki berbagai kemampuan professional, harus mampu menyajikan proses pembelajaran yang
menarik, memberi motivasi, dan menginspirasi, oleh karena itu pengetahuan dan pengalaman guru harus
senantiasa diperbaharui dengan berbagai masukan positif yang didapat dari berbagai sumber belajar.
 Refleksi dan Revisi
Setelah semua kewajiban dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas profesinya, seorang guru
selanjutnya diharapkan menuju ke proses pengenalan akan diri sendiri melalui refleksi dan revisi. Proses
pengenalan diri melalui refleksi dan revisi akan membentuk guru menyadari apakah tanggungjawab
keprofesiannya telah benar-benar dilaksanakan dengan baik atau hanya setengah-setengah. Dibutuhkan
keberanian dan kejujuran dalam proses pengenalan diri melalui refleksi dan revisi, sebab jika tidak ada
keberanian dan kejujuran, maka refleksi dan revisi yang sebenarnya akan sia-sia, yang ada hanyalah rasa
egositas pada diri sendiri, dan ini berarti tidak ada kesadaran akan tanggungjawab sebagai seorang yang
professional. Tujuan dari refleksi dan revisi adalah teridentifikasinya beberapa kekurangan untuk
dilakukan perbaikan seperlunya.
D. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan kajian yang telah dikemukakan di atas, disimpukan sebagai berikut:
1. Peran guru dalam proses pembelajaran bukan hanya sebagai model dan teladan bagi siswa, namun
juga mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
siswanya. Secanggih apapun perkembangan perangkat teknologi tak mungkin dapat menggantikan
peran guru dalam pembelajaran.
2. Pengembangan profesionalisme guru di Indonesia jarang dilakukan, belum mampu merangkul
guru secara keseluruhan, pemahaman pedagogis yang dangkal, dan dilakukan secara parsial.
Untuk itu perlu kebijakan yang lebih kuat untuk mengarahkan guru arah pengembangan profesi
yang lebih baik.
3. Dibutuhkan komitmen pribadi sebagai guru untuk melakukan reformasi dengan melakukan
peningkatan profesionalisme individual dengan cara: (1) meningkatkan pemahaman pedagogis;
(2) mengembangkan desain pembelajarannya sendiri sesuai dengan karakteristik siswa dan materi
pembelajarannya; (3) menyadari bahwa belajar terus-menerus adalah cara mengatasi kelemahan;
dan (4) senantiasa mengntospeksi diri sendiri dengan melakukan refleksi terhadap pembelajaran
yang dilakukannya.
Saran dari penulis sebagai bahan masukan bagi sesama guru maupun pengambil kebijakan kita sebagai
berikut:
1. Dibutuhkan transformasi individual dari guru dalam melihat profesinya sebagai guru. Melalui
konsep “metanoia profesionalisme”, guru diharapkan mampu membuat lompatan baru dengan
menyediakan “kotak baru” menuju kearah perubahan yang mendasar bagaimana melihat
pembelajaran dan mengarahkan pembelajaran ke arah yang lebih baik.
2. Pengembangan profesionalisme guru harusnya fokus pada: (1) peningkatan pemahaman ilmu
pedagogis; (2) peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru dalam perencanaan, desain,
implementasi dan evaluasi pengajaran; dan (3) peningkatan pemahaman variasi strategi
pembelajaran.
3. Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran guru, maka kata kuncinya adalah peningkatan kualitas
pembelajaran guru dengan kebijakan pengembangan profesionalisme berkelanjutan.
E. DAFTAR PUSTAKA
1. Chambridge International Examinations, Professional Development, www.cie.org.uk/events,
diakses, 4 November 2016.
2. Chambridge Dictionary, http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/professional, diakses, 4
November 2016.
3. Cruickshank, D. R., & Haefele, D., Good teachers, plural. Educational Leadership 58 no8 F,
2001. http://www83.homepage.villanova.edu/richard.jacobs/EDU%208869/Cruickshank-
Hafele.pdf. diakses 3 November 2016.
4. Epstein, Ann S., The Intentional Teacher: Choosing the Best Strategies for Young Children’s
Learning, Washington: NAYC, 2007.
5. OECD, Creating Effective Teaching and Learning Environments: Firs Result Form TALIS, 2009,
http://www.oecd.org/edu/school/43023606.pdf, diakses, 12 November 2016.
6. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta,
2008.
7. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 1.
8. Slavin, Robert E., Educational Psychology: Theory and Practice, 9th edition, New Jersey: Pearson
Education Inc., 2009.
9. Stronge, James H., Qualities of effective teachers 2nd editions, Association for Supervision and
Curriculum Development, Alexandria, Virginia USA, 2007.
10. Swennen, Anja, Klink, Marcel van der, Becoming a Teacher Educator: Theory and Practice for
Teacher Educators, Amsterdam: Springer, 2009.
11. Tilaar, H. A. R., Pedagogik Teoritis untuk Indonesia, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2015.
12. Timperley, Helen, Wilson, Aaron, Barrar, Heather, Fung, Irene, Teacher Professional Learning
and Development Best Evidence Synthesis Iteration [BES], 2007, www.minedu.govt.nz. Diakses 3
November 2016.
13. Yoon, KS., Duncan T, Lee, SWY., Scarloss B., Shapley, KL.. Reviewing the evidence on how
teacher professional development af fec ts student achievement, National Center for Education
Evaluation and Regional Assistance, (2007). http://ies.ed.gov/ncee/edlabs. Diakses 12, November/
2016.

Anda mungkin juga menyukai