DISUSUN OLEH :
SEMESTER : 3 (TIGA)
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
ENREKANG
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
rahmat, inayah, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini tepat pada waktunya. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk, maupun pedoman bagi pembaca
untuk memperdalam ilmu agama.
Enrekang,Sabtu 23 Okt. 21
ii
DAFTAR ISI
Kata pengantar...................................................................................................ii
Daftar Isi...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1
A. Latar belakang masalah..........................................................................1
B. Permasalahan ........................................................................................2
C. Tujuan penulisan makalah.....................................................................3
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................4
A. Pengertian pemerolehan bahasa kedua..................................................4
B. Faktor yang mempengaruhi proses belajar bahasa kedua......................7
C. Cara peningkatan agar proses belajar bahasa kedua berhasil..............13
BAB III PENUTUP ........................................................................................16
A. Kesimpulan..........................................................................................16
B. Saran ...................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................18
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Komunikasi terputus yang menyebabkan pesan tidak tersampaikan. Untuk
mencegah hal ini, kita mulai mempelajari adanya bahasa lain diluar
bahasa yang sudah kita kuasai sekarang yang dikenal dengan istilah
Akuisisi Bahasa Kedua (Second Language Acquisition). Menurut Saville-
Troike (2006: 12), Second Language Acquisition (SLA) mengacu kepada
pembelajaran sebuah individu atau kelompok terhadap suatu bahasa
setelah bahasa utama mereka sejak kecil, dan juga proses
pembelajarannya. Bahasa tambahan yang dipelajari disebut sebagai second
language (biasa disingkat L2), walaupun dalam prakteknya bahasa yang
dipelajari mungkin bahasa ketiga atau keempat.
Dalam mempelajari second language,Linse (2005: 27) berpendapat
bahwa aspek penting pertama adalah kemampuan menyimak. Semua
proses mempelajari bahasa diawali dengan mendengarkan seorang
penutur asli berbicara. Dari sana, pembelajar akan memiliki pengalaman
awal terhadap bahasa yang akan dipelajari yang kemudian menuntunnya
untuk mempelajarinya dan berucap selayaknya penutur asli. Tolok ukur
kemahiran berbahasa juga didasari oleh kemampuan pendengaran
seseorang dan bagaimana dia bereaksi terhadap apa yang dia dengarkan.
Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran second language, dikenal
aspek pembelajaran menyimak (atau dalam bahasa Inggrisnya, listening).
Menurut Mustafa (2012: 4), menyimak adalah kemampuan untuk
mengidentifikasi dan mengerti apa yang orang lain ucapkan.
B. PERMASALAHAN
1. Pemerolehan dan pembelajaran bahasa kedua
2. Faktor yang mempengaruhi perolehan bahasa kedua
2
C. TUJUAN PENULISAN MAKALAH
1 Untuk mengetahui cara pemerolehan dan cara pembelajaran bahasa
kedua/second language dari setiap orang
2 Untuk mengetahui faktor faktor yang mempengaruhi perolehan bahasa
kedua/second language
3 Unyuk mengetahui cara peningkatan agar proses belajar bahasa kedua
dapat berhasil
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
kedua menurut Depdikbud (Pateda, 2004:89) yaitu proses yang
mempersyaratkan seseorang mengakuisisi sebuah bahasa lain setelah lebih
dahulu menguasai sampai batas tetrtentu bahasa pertamanya. Kesimpulan
yang dapat di ambil dari pendapat diatas adalah belajar bahasa kedua
merupakan suatu proses yang haarus dilakukan oleh seorang peserta didik
untuk menguasai sebiuah bahasa yang baru selain bahasa ibunya dengan
syarat ia telah harus menguasai bahasa ibu tersebut dengan baik.
Jika dikaitkan dengan pengajaran bahasa, di inggris misalnya ada
TESL (teaching of english as a second language) yang dibedakan dari
pengajaran bahasa inggris sebagai bahasa asing (teaching of english as a
foreign language) atau TEFL. Tujuan pengajaran bahasa asing kadang-
kadang berbeda dengan pengajaran bahasa kedua. Bahasa kedua biasanya
merupakan bahasa resmi dinegara tertentu. Oleh sebab itu bahasa kedua
sangat diperlukan untuk kepentingan politik, ekonomi, dan pendidikan.
Proses mengakuisisi bahasa yang disinggung pada batasan di atas
meliputi perkembangan kemampuan peserta didik untuk: memahami
lingkungannya, dan menyampaikan pikirannya. Belajar bahasa kedua tentu
sangat berbeda dengan belajar bahasa kedua. Misalkan motivasi ketika
proses pembelajaran bahasa pertama sangat kuat namun motivasi peserta
didik untuk mempelajari bahasa kedua tidak sekuat mempelajari bahasa
pertama. Bahkan waktu yang digunakan pada saat proses belajar bahasa
akan berbeda, jangka waktu belajar bahasa pertama cenderung lebih lama
jika dibandingkan dengan proses belajar bahasa kedua.
Menurut Ellis (1986) Pemerolehan bahasa kedua ini, terjadi dalam
dua setting yang berbeda, yaitu secara naturalistik (naturalistic SLA) dan
dalam lingkungan kelas (classroom SLA). Pemerolehan secara naturalistik
adalah pemerolehan yang terjadi secara alamiah dan tanpa disadari
sebagaimana terjadi dalam pemerolehan bahasa pertama, sedangkan
pemerolehan dalam lingkungan kelas berlangsung secara formal di dalam
ruang kelas dan keformalannya ditandai dengan adanya pengajar,
pembelajar, kurikulum, silabus, materi dan tujuan serta evaluasi.
5
Contoh pemerolehan secara naturalistik dapat diilustrasikan berikut
ini. Seorang anak yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga
berbahasa Sunda akan memperoleh Bahasa Sunda sebagai bahasa
pertamanya, tapi karena dia tinggal di lingkungan sekitar yang tidak
menggunakan Bahasa Sunda, misalnya Bahasa Jawa, maka lambat laun dia
juga akan memperoleh Bahasa Jawa sebagai bahasa keduanya. Disini
pemerolehan bahasa kedua terjadi hampir secara bersamaan dengan bahasa
pertama. Contoh lain, seorang dewasa yang berasal dari lingkungan
Bahasa Jawa dan telah menguasai Bahasa Jawa dengan baik berpindah
domisili ke lingkungan yang menggunakan Bahasa Sunda sebagai bahasa
komunikasi sehari-hari. Dalam interaksinya dengan penduduk setempat,
lambat laun orang ini akan memperoleh Bahasa Sunda sebagai bahasa
keduannya. Di sini pemerolehan bahasa kedua terjadi dalam jeda waktu
yang cukup panjang setelah pemerolehan bahasa pertama. Sementara itu,
contoh classroom SLA dapat dijumpai pada para imigran yang datang ke
Australia kemudian ditampung dan belajar Bahasa Inggris di dalam ruang
kelas.
Ellis (1986) menggunakan istilah acquisition dan learning untuk
membedakan apakah seseorang memiliki kemampuan berbahasa melalui
pemerolehan atau pembelajaran. Acquisition mengacu pada pemerolehan
bahasa secara tak sadar, sedangkan learning mengacu pada pemerolehan
bahasa secara sadar. Contoh-contoh pada naturalistic SLA di atas
merupakan pemerolehan bahasa kedua melalui acquisition karena bahasa
kedua itu diperoleh tidak dari lingkungan kelas dan diperoleh secara tak
sadar. Sementara itu, learning mengacu pada pemerolehan bahasa kedua
secara sadar dan tidak terjadi secara alamiah. Contoh pada classroom SLA
di atas merupakan contoh pemerolehan bahasa kedua melalui learning.
6
B. FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES
BELAJAR BAHASA KEDUA
Banyak faktor yang mempengaruhi pembelajaran bahasa kedua
(PBK). Menurut Brown (1987), ada faktor yang tergolong dalam ranah
kognititif (cognitive domain ) dan ada pula yang tergolong dalam ranah
afektif (affective domain). Faktor dalam ranah kognitif adalah faktor yang
berkaitan dengan cara manusia belajar dan variasi lain dalam pembelajaran
bahasa, sedangkan faktor dalam ranah afektif adalah faktor yang berkaitan
dengan faktor pribadi pembelajar (personal factors) dan faktor
sosiokultural (sociocultural factors). Senada dengan Brown, Ellis (1986)
membedakan faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran bahasa
kedua menjadi faktor pribadi (personal factor) dan faktor umum (general
factor).
Pada umumnya pengajaran bahasa kedua di indonesia secara
formal dimulai ketika anak memasuki pendidikan dasar (kira-kira usia 6
tahun) untuk bahasa nasional, dan ketika anak memasuki pendidikan
menengah (kira-kira berusia 13 tahun) untuk bahasa asing (dalam hal ini
bahasa inggris). Menurut pei (chaer, 2010:216) anak-anak usia 5 tahun
telah dapat menguasai pola bahasa pertamanya, betapa punpola bahasa itu
sangat susah bagi orang asing. Dengan demikian ketika anak indonesia
(yang bahasa pertamanya bahasa daerah) mulai mempelajari bahasa
indonesia mereka sudah terbiasa dengan pola-pola bahasa pertamanya.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar bahasa
kedua. Seperti yang Theresia Rettob (dalam Nurhadi, 1990) meringkas
faktor-faktor itu sebagai berikut:
1 FAKTOR INTERNAL
a) Pandangan seseorang tentang bahasa yang sedang dipelajari. Jika
pembelajar berpandangan positif terhadap bahasa yang dipelajari
maka ia akan memiliki motivasi yang positif. Dalam kaitannya
dengan hal ini, penulis melihat semakin banyak orang yang tertarik
belajar Bahasa Jepang, Bahasa Korea dan Bahasa Mandarin karena
7
adanya pandangan bahwa ketiga bahasa ini semakin banyak
digunakan dalam dunia usaha. Hal ini didukung dengan semakin
banyaknya ekspatriat yang berasal dari ketiga latar belakang
bahasa tersebut.
b) Sikap seseorang terhadap bahasa yang dipelajari. Sikap dan
motivasi sangat berkaitan dan mengacu pada keterarahan tingkah
laku
2 FAKTOR EKSTERNAL
a) Faktor orang tua yang digolongkan pada peran aktif dan pasif
terhadap anaknya yang belajar bahasa kedua. Orang tua yang
berperan aktif akan bersikap mendorong anaknya untuk belajar
dengan baik.
b) Lingkungan sosial tempat pembelajar itu berada.
c) Faktor sosial psikologis lingkungan pembelajar bahasa.
8
bagaimana penggunaan artikel a dan an, bagaimana penggunaan
preposisi at, in, on, atau bagaimana menggunakan kata some dan
any, dan sebagainya. Namun penguasaan kompotensi ini sangat
dipengaruhi oleh peran yang dimainkan oleh pembelajar dalam
lingkuang formal pembelajaran itu. Maksudanya dalam proses
pembelajaran pembelajar harus berperan aktif dalam menggunakan
bahasa yang dipelajarinya baik dalam proses pembelajara itu
sendiri maupun setelah proses pembelajaran itu selesai sehingga
akan memberikan hasil dalam penguasan bahasa yang
dipelajarinya.
Pengaruh terhadap kualitas performasi
Seperti sudah disebutkan bahwa performasi merupakan realisasi
kompetensi kebahasan yang dimiliki seseorang (ellis, 1986) yang
dikutip Chaer (2003:255). Pembelajaran bahasa secara formal di
dalam kelas dapat menjamin kualitas input yang diterima
pembelajar ellis (1986) (Chear, 2003: 255). Lalu apabila input
Yng diterima itu bekualitas tinggi, maka menurut satu hipotesis,
keluaran (performasi) yang dihasilkan juga menpunyai kualitas
tinggi, meskipun diakui adanya variasi individual.
Pengaruh terhadap urutan pemerolehan
Yang dimaksud dengan urutan pemerolehan disini adalah
pemerolehan merfem gramatikan. Dari hasi penelitian beberappa
pakar menyebutkan bahwa pembelajaran secara formal akan
mengakibatkan hasi yang berbeda dengan proses belajar secara
naturalisti.
Pengaruh terhadap kecepatan pemerolehan
Kecepatan pemerolehan adalah kecepatan menangkap masukan
dan menjadikan masukan itu sebagai perbendaharaan
kebahasaannya. Kecepatan pemerolehan ini sebenarnya bersifat
relatif, dan banyak tergantung pada faktor lain seperti inteligensi,
9
sikap, bakat, motivasi, dan faktor internal lainnya, ellis (1986)
(Chear, 2003:225).
2 FAKTOR BAHASA PERTAMA
Pada penelitian bahasa kedua ini, bahasa pertama dianggap sebagai
pengganggu pada proses pemerolehan bahasa kedua, karena dalam hal ini
seorang pembelajar bahasa kedua secara sadar dan tidak melakukan
transfer unsur-unsur bahasa pertamanya ketika menggunakan bahasa
keduanya. Akibatnya, terjadilah yang disebut dengan interferensi, alih
kode, campur kode, atau juga kesalahan. Hal ini mungkin saja dapat
dikurangi dengan beberapa hipotesis yang ada dalam melakukan
peningkatan pembelajaran bahasa kedua mungkin hal ini dapat dijelaskan
(Chear, 2003:256-257).
Penjelasan pertama dapat dilihat dari teori stimulus-respons yang
dikemukakan oleh kaum behaviorisme, bahasa adalah hasil dari perilaku
stimulus-respons. Maka apabila seorang pembelajar ingin memperbanyak
penggunaan ujaran, dia harus memperbanyak penerimaan stimulus. Selain
itu kaum behaviorisme juga berpendapat bahwa proses pemerolehan
bahasa adalah proses pembiasaan. Itulah sebabnya, semakin seorang
pembelajar terbiasa merespons stimulus yang datang padanya, semakin
memperbesar kemungkinan aktivitas perolehan bahasanya, abdul hamid
(1987) (Chear, 2003:256).
Jadi, pengaruh bahasa pertama dalam bentuk transfer ketika
berbahasa kedua akan besar sekali apabila si pembelajar tidak terus
menerusdiberikan stimulus bahasa kedua. Secra teoritis pengaruh ini
memang tidak bisa dihilangkan karena bahasa pertama sudah merupakan
intake atau sudah “dinuranikan” dalam diri sipembelajar. Namun, dengan
pembiasaan-pembiasaan dan pemberian stimulus terus menerus dalam
bahasa kedua, pengaruh itu bisa dikurangi (Chear, 2003:257).
Selanjutnya dapat dijelaskan melalui teori kontrastif. Teori ini
menyatakan bahwa keberhasilan belajar bahasa kedua ditentukan oleh
10
keadaan linguistik bahasa yang telah dikuasai sebelumnya oleh si
pembelajar, klein (1986) (Chear, 2003:257).
Melalui analisis ini akan diketahui kesamaan dan perbedaan antara
bahasa pertama dan bahasa kedua. Lalu kita dapat menentukan strategi
pembelajaran yang paling tepat untuk digunakan, Dulay, 1982 (Chear,
2003:257). Dari analisis kontratif dapat diketahui bahwa bahasa pertama
memiliki pengaruh terhadap proses penguasaan bahasa kedua. Mengetahui
keadaan linguitik bahasa pertama sangat penting bagi usaha menentukan
strategi pembelajaran bahasa kedua, sebab belajar bahasa kedua tidak lain
dari pada mentrasfer bahasa baru diatas bahasa yang sudah ada, Banathy
(1969) (Chear, 2003:257).
3 FAKTOR LINGKUNGAN
Dulay (Chear, 2003:257-258) menjelaskan bahwa kualitas
lingkungan bahasa sangat penting bagi seorang pembelajar untuk dapat
berhasil dalam mempelajari bahasa kedua. Yang dimaksud dengan
lingkungan bahasa adalah segala hal yang didengar dan dilihat oleh
pembelajar sehubungan dengan bahasa kedua yang sedang ia pelajari,
Tjohjono (1990) (Chear, 2003:258). Lingkungan berbahasa dibedakan
menjadi dua yaitu lingkungan formal dan lingkungan informal.
Lingkungan formal biasanya berlangsung dalam lingkungan belajar
mengajar di dalam kelas, dan lingkungan formal bahasa memiliki ciri-ciri
seperti besifat artifisial, merupakan lingkungan keseluruhan pengajaran
bahasa yang dilakukan dilingkungan sekolah dan di kelas yang
mengarhkan si pembelajar untuk menguasai kaidah-kaidah bahasa yang
telah dipelajarinya.
Sebenarnya lingkungan fomal bahasa tidaklah terbatas hanya
didalam kelas, karena yang penting dalam lingkungan formal ini para
pembelajar dapat secara sadar mengetahui kaidah-kaidah bahasa kedua
yang dipelajari baik dari guru di dalam kelas, dari buku-buku, maupun dari
orang lain diluar kelas. Yang penting lingkungan tersebut menekankan
pada penguasaan kaidah bahasa pada pembelajaran secara sadar.
11
Sedangkan lingkungan informal biasanya bersifat alami atau
natural, tidak dibuat-buat, yang termasuk dalam lingkungan informal ini
antara lain bahasa yang digunakan kawan-kawan sebaya, bahasa pengasuh
atau orang tua, bahasa yang digunakan anggota kelompok etnis
pembelajar, yang digunakan media masa, bahasa para guru, baik dikelas
maupun diluar kelas. Secara umum dapat dikatakan bahwa lingkungan ini
memberikan pengaruh dalam proses pembelajaran bahasa kedua. Hal ini
dapat dibuktikan dengan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para
ahli, seperti penelitian yang dilakukan oleh milon dan plann (1977)
menunjukkan bahwa penaruh bahasa teman sebaya lebih besar
pengaruhnya pada bahasa guru. Dan masih banyak lagi penelitian yang
membuktikan bahwa lingkungan informal juga memberikan pengaruh
terhadap pembelajaran bahasa kedua
Beberapa faktor di atas, akan bepengaruh kuat jika si pembelajar
sendiri tidak melakukan perbaikan pada bahasa kedua yang mereka
pelajari, dalam proses pembelajaran bahasa kedua dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang datangnya dari luar dan dari dalam diri si pembelajar
bahasa tersebut. Hasil dalam penguasaan bahasa kedua tergantung pada
diri pembelajar itu sendiri.
12
C. CARA PENINGKATAN AGAR PROSES BELAJAR
BAHASA KEDUA DAPAT BERHASIL
Dalam melakukan pembelajaran bahasa dapat dilakukan beberapa
pendekatan. Seperti yang ditulis oleh hakuta dan cancino (1977) yang
dikutip oleh hamied (1987:28) (dalam Pateda, 2004:96) membedakan 4
pendekatan agar proses belajar bahasa kedua berhasil. Pendekatan yang di
maksud adalah sebagai berikut:
a) Analisis konstratif
Analisis konstratif dilaksanakan dengan cara membandingkan
secara sistematis ciri-ciri lingiustik yang spesifik pada dua bahasa atau
lebih. Penedkatan analisis kontraktif membandingkan persamaan dan
perbedaan yang terdapat diantara dua bahasa atau lebih yang dikontraskan.
Berdasarkan perbandingan itu ditemukan unsur yang susah dipelajari oleh
si pendidik. Unsur-unsur yang susah di pelajari dikemudiankan dalam
proses belajar mengajar. Analisi ini muncul karena adanya kenyataan
peserta didik yang mempelajari bahasa yang bukan bukan bahasa ibunya.
Para penganut analisis kontrastif mengasumsikan bahassa ibu
mempengaruhi peserta didik ketia iamempelajari bahasa kedua wilkins
(1972) (Pateda, 2004:96-97).
b) Analisis kesalahan (error analysis)
Analisis kesalahan memusatkan perhatian pada proses belajar
bahasa kedua. Padawaktu peserta didik mempelajari bahasa kedua, terjadi
banyak penyimpangan. Penyimpangan ini dianalisis baik yang
berhubungan dengan penyebabnya, daerah linguistik mana yang
menyimpang, dan sifat penyimangannya. Dengan kata lain analisis
kesalahan adalah suatu teknik untuk mengidentifikasika,
mengklasifikasikan dan menginterpretasikan secara sistematis kesalahan-
kesalahan yang dibuat oleh peserta didik yang sedang belajar bahasaasing
atau bahasa kedua dengan menggunakan teori-teori dan proses-proses
berdasarkan linguistik, Ruru dan Ruru (1985) (Pateda, 2004:97).
13
c) Analisis performasi
Analaisis performasi memusatkan perhatian pada tingkah laku
belajar bahasa kedua secara keseluruhan. Pendekatannya bersifat prosedural
dengan menajukan pertanyaan, misalnya apa yang boleh dan yang tidak
boleh diperbuat oleh peserta didik yang belajar bahasa kedua. Pada analisis
performansi ini, bukan penyimpangan atau kesalahan peserta didik yang
diperhatikan, tetapi tingkah laku berbahasanya. Tentu saja performasi terjadi
penyimpangan-penyimpangan karena performasi bergantung juga pada
kompetensi dan faktor lingkungan. Kadang-kadang peserta didik tidak
merasa menyimpang dalam performasinya karena apa yang ia gunakan,
digunakan pula oleh orang-orang terdekat yang bisa kita sebut anutan
masyarakat. Contoh yang jelas penggunaan kata daripada. Peserta didik
yang mengatakan “pendapatan dari pada petani meningkat”, tidak merasa
bahwa penggunaan kata daripada pada konteks ini salah. Mengapa? Ia tidak
merasa bersalah karena umum sudah biasa menggunakan kontruksi seperti
itu.
d) Analisis wacana
Analisis wacana berpusat perhatian pada ditujukan pada
penggunaan bahasa dalam percakapan. Dalam percakapan, bukan kalimat
yang dianggap sebagai satuan tertinggi, tetapi wacana, yakni satuan-satuan
berupa kalimat yang secara koherensi berisi suatu pesan inti dan beberapa
pesan periperal. Dalil dasar analisis wacana adalah study bahasa dalam
konteks akan memberikan wawasan yang lebih dalam terhadap bagaimana
makna itu dikaitkan dengan tuturan.
Dari keempat pendekatan diatas dapat didimpulkan bahwa analisis
konstratif menjadikan peserta didik mengetahui perbedaan dan persamaan
bahasa yang sedang dipelajarinya dengan bahasa yang telah dikuasainya.
Unsur yang sama dipelajari terlebih dahulu, sedangkan unsur yang berbeda
dikemudiankan. Unsur yang sama dipelajari lebih dulu karena unsur
tersebut lebih mudah. Analisis kesalahan membuat peserta didik mengetahui
kesalahan yang dibuatnya. Berdasarkan pengenalan itu peserta didik
14
diharapkan tidak akan mengulangi kesalahannya. Analisis performasi
mengharuskan peserta didik untuk memilih mana bentuk yang gramatikal
dan mana bentuk yang tidak gramatikal. Tingkah laku peserta didik akan
berubah kalau ia mengetahui bahwa bentuk yang digunakannya tidak
gramatikal. Akhirnya analisis wacana mengisyaratkan agar peserta didik
memperhatikan wacana yang ia gunakan. Dalam kaitan ini situasi turut
menentukan. Peserta didik belajar dari wacana, apa yang harus dan yang
tidak harus dalam percakapannya.
Namun dari semua upaya yang telah disebutkan diatas, yang
terpenting adalah melakukan evaluasi terhadap hasil performasi siswa dalam
proses pembelajaran bahasa kedua. Karena umumnya bahasa kedua yang
peserta didik pelajari berlangsung di sebuah instansi pendidikan seperti
sekolah. Evaluasi ini bertujuan agar siswa dapat mengetahui batas dari
kemampuan mereka. Sehingga melalui feedback yang guru berikan kepada
peserta didik, peserta didik akan lebih termotivasi untuk meningkatkan
kemampuan mereka dalam menguasai bahasa kedua atau bahkan bahasa
ketiga mereka.
15
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar
bahasa kedua merupakan suatu proses yang dilakukan oleh seorang
pembelajar untuk menguasai bahasa baru (bahasa kedua atau bahakan
bahasa ketiga) dengan syarat ia telah mengasai bahasa bahasa pertamanya
dengan lancar.
Dalam belajar bahasa kedua terdapat beberapa faktor yang
menpengaruhi keberhasilan tersebut, faktor tersebut antara lain: faktor
lingkungan, faktor usia, faktor faaktor bahasa pertama, faktor motivasi.
Semua faktor tesebut dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor yang
datang dari dalam diri si pembelajar dan faktor yang datang dari luar diri si
pembelajar bahasa kedua.
Untuk meningkatkan keberhasilan proses pembelajaran bahasa
kedua dapat dilakukan beberapa analisis dalam proses pembelajarannya
bahasa tersebut. analisis yang pertama adalah kontrastif, analisis
kesalahan, analisis performasi dan yang terakhir yaitu analisis wacana.
Semua analisis tersebut dilakukan untuk melihat, mengidentifikasi
permasalahan yang dihadapi, kesalahan yang dilakukan oleh pembelajar
bahasa kedua tersebut.
Namun keberhasilan pembelajaran bahasa kedua sangat bergantung
pada diri si pembelajar itu seniri. Bagaimana usaha si pembelajar dalam
belajar bahasa tersebut, apakah ia hanya menunggu stimulus yang
diberikan oleh orang disekitarnya, atau mencari informasi tambahan
tentang bahasa yang ia pelajari dari berbagai sumber lainnya seperti buku
yang menyangkut bahasa yang ia pelajari.
16
B. SARAN
Demikianlah makalah ini di buat diharapkan kepada saudara
pembaca makalah ini agar menambah yang kurang dan memperbaiki
yang belum sempurna. Semoga penyusunan berikutnya dapat lebih
baik dari apa yang diharapkan. Semoga dapat bermanfaat untuk
pembaca, pengajar, guru dan lain lain. Kurang dan lebihnya mohon di
maafkan , wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
17
DAFTAR PUSTAKA
18