Anda di halaman 1dari 79

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR

ROGRAM STUDI MAGISTER PENGEMBANGAN KURIKULUM


UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2016
BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Peranan guru sangat menentukan dalam usaha peningkatan mutu pendidikan formal. Untuk itu
guru sebagai agen pembelajaran dituntut untuk mampu menyelenggarakan proses pembelajaran
dengan sebaik-baiknya, dalam kerangka pembangunan pendidikan. Guru merupakan orang yang
paling bertanggung jawab atas terlaksananya pembelajaran di kelas karena gurulah yang terjun
langsung dan berhadapan langsung dengan peserta didik. Guru mempunyai fungsi dan peran
yang sangat strategis dalam pembangunan pendidikan. Undang-Undang No. 14 tahun 2005
tentang Guru dan Dosen Pasal 4 menegaskan bahwa guru sebagai agen pembelajaran berfungsi
untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan
baik, guru wajib untuk memiliki syarat tertentu, salah satu di antaranya adalah kompetensi.
Salah satu tugas seorang guru adalah membuat peserta didik mau belajar. Dalam kegiatan belajar
guru harus mencari, memilih, dan menggunakan bahan ajar. Bahan ajar tersebut harus tepat serta
sesuai dengan tujuan dan materi pelajaran. Penggunaan bahan ajar yang tepat akan memberikan
sumbangan posistif terhadap kefektifan pembelajaran.
Pengembangan bahan ajar tidak lepas dari pemahaman tentang keutuhan desain pembelajaran.
Pengembangan bahan ajar harus mempertimbangkan sifat materi ajarnya, jumlah peserta
didiknya, dan ketersediaan material untuk pengembangan bahan ajar tersebut.
Selama ini proses pembelajaran sudah banyak menggunakan variasi media, tetapi untuk memberi
kelengkapan yang utuh tentang pembelajaran harus disampaikan kepada peserta didik, guru
masih mengandalkan buku paket, padahal kemampuan guru untuk mengembangkan dan
membuat bahan ajar sendiri sesuai kondisi tempat belajar merupakan potensi yang dapat
meningkatkan professionalisme guru itu sendiri.
Pemanfaatan kondisi lingkungan dimana lembaga pendidikan tersebut berada merupakan salah
satu strategi yang dapat digunakan untuk mengembangkan bahan ajar yang menyebabkan proses
pembelajaran dapat dinikmati dengan baik. Kondisi ini memengaruhi pengalaman belajar dan
pada akhirnya tujuan pembelajaran dapat dicapai secara maksimal.
Pengembangan bahan ajar perlu dilakukan secara sistematik berdasarkan langkah-langkah yang
saling terkait untuk menghasilkan bahan ajar yang bermanfaat. Praktisi seringkali mengabaikan
prosedur pengembangan bahan ajar yang sistematik ini karena berasumsi jika sudah dibuat
dengan baik sesuai dengan materi yang akan diajarkan, maka bahan ajar dapat digunakan dengan
efektif dalam proses pembelajaran. Padahal ada beberapa langkah yang harus dilakukan praktisi
sebelum sampai pada kesimpulan bahwa bahan ajar sudah dikembangkan dengan baik, serta
bahan ajar yang digunakan memang baik.
Mengembangkan bahan ajar selayaknya merupakan kemampuan yang harus terus menerus
ditingkatkan oleh setiap guru. Jika seorang guru tidak memiliki kemampuan mengembangkan
bahan ajar yang bervariasi maka guru akan terjebak pada situasi pembelajaran yang monoton dan
cenderung membosankan bagi peserta didik.
Maka pada makalah ini akan dibahas mengenai pemahaman tentang pengembangan bahan ajar,
dimana nantinya pengetahuan dasar mengenai pemilihan bahan ajar ini dapat memberikan
pengetahuan sehingga mampu nantinya menerapkan pengetahuan yang ada ditengah
menjalankan profesi kependidikan di masa mendatang.
1. Rumusan Masalah
2. Apa pengertian guru?
3. Apa kompetensi yang harus dimiliki seorang guru profesional?
4. Apa prinsip dan aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam pengembangan bahan ajar?
5. Bagaimana langkah-langkah dalam mengembangkan bahan ajar?

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Guru
Guru dalam bahasa jawa adalah menunjuk pada seorang yang harus digugu dan ditiru oleh semua
peserta didik dan bahkan masyarakat. Harus digugu artinya segala sesuatu yang disampaikan
olehnya senantiasa dipercaya dan diyakini sebagai kebenaran oleh semua peserta didik.
Sedangkan ditiru artinya seorang guru harus menjadi suri teladan (panutan) bagi semua peserta
didik.
Guru sebagai pendidik dan pengajar anak, guru diibaratkan seperti ibu kedua yang mengajarkan
berbagai macam hal yang baru dan sebagai fasilitator anak supaya dapat belajar dan
mengembangkan potensi dasar dan kemampuannya secara optimal, hanya saja ruang lingkupnya
guru berbeda, guru mendidik dan mengajar di sekolah negeri ataupun swasta.
Adapun pengertian guru menurut para ahli:
1. Menurut Noor Jamaluddin (1978: 1) Guru adalah pendidik, yaitu orang dewasa yang
bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam
perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu berdiri
sendiri dapat melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah khalifah di muka bumi,
sebagai makhluk sosial dan individu yang sanggup berdiri sendiri.
2. Menurut Peraturan Pemerintah, Guru adalah jabatan fungsional, yaitu kedudukan yang
menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang PNS dalam suatu
organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan keahlian atau keterampilan
tertentu serta bersifat mandiri.
3. Menurut Keputusan Menpan, Guru adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas,
wewenang dan tanggung jawab oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan
pendidikan di sekolah.
4. Menurut Undang-undang No. 14 tahun 2005 Guru adalah pendidik profesional dengan
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
2. Kemampuan yang Harus dimiliki Seorang Guru Profesional
Kemampuan merupakan perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan
sesuai kondisi yag diharapkan. Perilaku yang rasional merupakan wujud dari kemampuan
seseorang. Berarti orang yang memiliki suatu kemampuan adalah benar-benar orang yang
mempunyai keahlian dibidangnya atau dikenal dengan istilah profesional.
Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global karena guru memiliki tugas
dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi
melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi.
Guru sebagai salah satu komponen dalam sistem pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan
siswa, memiliki peranan penting dalam menentukan arah dan tujuan dari suatu proses
pembelajaran. Oleh karena itu seorang guru dituntut menguasai sejumlah kemampuan dan
keterampilan yang berkaitan dengan proses pembelajaran,antara lain :
1. Kemampuan menguasai bahan ajar
2. Kemampuan dalam mengelola kelas
3. Kemampuan dalam menggunakan metode, media dan sumber belajar
4. Kemampuan untuk melakukan penilaian baik proses maupun hasil.
Sebagaimana yang dikutip oleh Dedi Supriadi (1998) dalam Jurnal Manajemen Pendidikan
memaparkan bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut memiliki 5 hal :
1. Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya
2. Guru menguasai secara mendalam materi pelajaran yang diajarkannya serta cara
membelajarkannya kepada para siswa.
3. Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi,
mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes hasil belajar.
4. Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari
pengalamannya.
5. Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan
profesinya.
Disamping itu, guru hendaknya juga memiliki kemampuan dalam memberikan motivasi. Prinsip
motivasi agar siswa senang berada dalam lingkungan belajar, sehingga terbangun kondisi psikis
kemampuan diri yang membawa kepuasan belajar dan mengacu pada percaya diri untuk menjadi
mandiri dan secara bertanggung jawab dalam mengambil keputusannya sendiri (Conny
Semiawan, 2002).
Kemampuan yang harus dimiliki serta dikuasai oleh seorang guru agar pembelajaran bisa
berjalan secara efektif dan bermakna yaitu :
1. Menguasai Materi Pembelajaran.
Materi pembelajaran adalah substansi yang akan disampaikan dalam proses pembelajaran. Ada
dua persoalan dalam penguasaan materi pelajaran yakni penguasaan materi pelajaran pokok dan
materi pelajaran pelengkap. Materi pelajaran pokok adalah materi pelajaran yang menyangkut
bidang studi yang dipegang oleh guru sesuai dengan profesinya (disiplin ilmunya). Sedangkan
materi pelajaran pelengkap atau petunjang adalah materi pelajaran yang dapat membuka
wawasan seorang guru agar dalam membelajarkan dapat menunjang penyampaian materi
pelajaran pokok. (Sukmadinata, 2009)
1. Menguasai Ilmu Mendidik
Beberapa hal yang termasuk dalam kawasan ilmu mendidik yang harus dikuasai oleh seorang
guru,berikut ini :
 Ilmu tentang dasar-dasar pendidikan
 Ilmu tentang metode pembelajaran
 Ilmu tentang media pembelajaran
 Ilmu mengelola kelas
 Ilmu manajemen waktu
 Ilmu tentang karakteristik siswa
 Ilmu tentang evaluasi
 Ilmu-ilmu lain yang mendukung guru dalam mewujudkan tugas profesinya.
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru diatas terpenuhi akan mengubah peran guru yang
tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Dalam rangka peningkatan mutu
pendidikan,guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator,
komunikator, transformator, change agent, innovator, konselor, evaluator dan administrator
(Soewondo, 1972 dan Arifin, 2000).
3. Prinsip dan Aspek Dalam Pengembangan Bahan Ajar
Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru dalam
melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Bahan yang dimaksud bisa berupa bahan tertulis
maupun bahan tidak tertulis. Dengan bahan ajar memungkinkan siswa dapat mempelajari suatu
kompetensi atau kompetensi dasar secara runtut dan sistematis sehingga secara akumulatif
mampu menguasai semua kompetensi secara utuh dan terpadu.
Bahan ajar merupakan informasi, alat dan teks yang diperlukan guru untuk perencanaan dan
penelaahan implementasi pembelajaran (Majid, 2008).
Pengembangan bahan ajar pada dasarnya dapat ditinjau dari dua dimensi yaitu dimensi
keterlibatan tenaga pendidik dalam kegiatan pembelajaran dan dimensi bahan ajar yang
digunakan dalam pembelajaran (Badiklat, 2009).
Dimensi keterlibatan tenaga pendidik dalam kegiatan pembelajaran
Keterlibatan tenaga pendidik dalam kegiatan pembelajaran dipengaruhi oleh berbagai kondisi,
baik internal mapun eksternal. Ada tiga bentuk kegiatan dalam pembelajaran yang
mempengaruhi keterlibatan tenaga pendidik:
Tenaga pendidik sebagai fasilitator
Bentuk kegiatan ini disebut pembelajaran mandiri karena tenaga pendidik hanya sebagai
fasilitator. Bahan ajar yang digunakan didesain secara khusus tanpa kehadiran tenaga pendidik.
Jenis bahan ajar ini adalah program media dalam bentuk film, program radio.
Tugas dan tanggung jawab tenaga pendidik sebagai fasilitator untuk mengetahui kemajuan
peserta didik, memberi motivasi, memberi petunjuk pemecahan masalah.
Tenaga pendidik sebagai sumber tunggal
Biasanya disebut dengan pembelajaran konvensional. Tenaga pendidik sebagai satu-satunya
sumber belajar dan sekaligus sebagai penyaji isi pelajaran.
Tenaga pendidik sebagai penyaji bahan belajar
Tenaga pendidik memanfaatkan bahan ajar yang telah ada di lingkungannya, bahan ajar akan
dipilih sesuai dengan strategi pembelajaran yang telah disusun dengan menambah dan
mengurangi materi bahan ajar yang digunakan.
Dimensi bahan ajar yang digunakan
Pengembangan bahan ajar mandiri.
Ciri-cirinya adalah
1. Kalimat yang dibuat mampu menjelaskan sendiri, tidak bermakna ganda sehingga tidak
perlu penjelasan dari tenaga pendidik lainnya.
2. Mengakomodasi kecepatan belajar peserta didik. Ada petunjuk bagi peserta didik kapan
boleh melanjutkan dan kapan harus mengulang.
3. Dapat dipelajari sesuai waktu dan tempat yang dibutuhkan oleh peserta didik.
4. Mampu meningkatkan aktivitas peserta didik untuk belajar, praktik, mengerjakan soal
latihan maupun tes.
5. Membuat bahan ajar mandiri.
Langkah-langkahnya adalah:
1. Pilih dan kumpulkan bahan pembelajaran yang tersedia di lingkungan.
2. Adaptasikan ke dalam bahan pembelajaran yang dibuat.
3. Periksa kembali konsistensi isi bahan ajar dengan strategi pembelajaran yang telah
ditentukan.
4. Periksa kembali teknis pembuatannya
5. Buat desain fisik yang menarik untuk meningkatkan motivasi pengguna.
Pengembangan bahan ajar konvensional
Bahan ajar konvensional sangat tergantung pada kemampuan tenaga pendidik sebagai bahan ajar
itu sendiri. Bahan ajar lainnya sebagai tambahan jika diperlukan.
Langkah menyusun bahan ajar konvensional:
1. Menulis deskripsi singkat isi pembelajaran sampai SKKD
2. Menulis topik dan jadwal pelajaran berdasarkan kebutuhan setiap subkomponen
3. Menyususn jadwal dan bahan evaluasi baik tes maupun latihan bagi peserta didik
4. Menyusun informasi cara-cara pemberian nilai hasil evaluasi
5. Menyiapkan bahan ajar lain yang digunakan untuk melengkapi pembelajaran.
Pengembangan bahan ajar penyaji
Bahan ajar penyaji kekuatannya ada pada ketersediaan bahan ajar di lingkungannya dan
kemampuan pengembang untuk memadukan kedua sumber yang sesuai dengan tujuan
pembelajarannya.
Langkah-langkah yang digunakan dalam menyusun bahan ajar adalah
1. Memilih dan mengumpulkan bahan yang relevan dan tersedia di lingkungannya
2. Menyusun dan mengurutkan sesuai dengan urutan materinya
3. Identifikasi bahan-bahan yang tidak ada di lingkungannya dengan bahasa dan
kemampuan penyaji
4. Menysuusn program pembelajaran
5. Membuat petunjuk penggunaan bahan ajar yang dibagikan pada peserta didik.
6. Menambah bahan lain yang diperlukan dalan suatu susunan dengan pembelajaran
utamanya.

Fungsi bahan ajar


Menurut panduan pengembangan bahan ajar Depdiknas (2007) bahan ajar berfungsi sebagai:
1. Pedoman bagi guru yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses
pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya diajarkan
kepada siswa.
2. Pedoman bagi siswa yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses
pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya
dipelajari/dikuasai.
3. Alat evaluasi pencapaian/penguasaan hasil pembelajaran.
Dengan demikian, fungsi bahan ajar sangat akan terkait dengan kemampuan guru dalam
membuat keputusan yang terkait dengan perencanaan (planning), aktivitas-aktivitas
pembelajaran dan pengimplementasian (implementing), dan penilaian (assessing). Menurut
David A. Jacobsen dkk dalam bukunya “Methods for Teaching” memaparkan bahwa di era
standar-standar pengajaran, pendekatan yang dilaksanakan guru dalam mengembangkan
aktivitas pembelajaran apapun, yang harus mereka lakukan pertama kali adalah merencanakan,
kemudian menerapkan rencana-rencana yang telah dibuat, dan akhirnya menilai keberhasilan
aktivitasnya.
Manfaat Bahan Ajar
Untuk peserta didik (Depdiknas, 2009)
1. Kegiatan pembelajaran menjadi lebih menarik.
2. Kesempatan untuk belajar secara mandiri dan mengurangi ketergantungan terhadap
kehadiran guru.
3. Mendapatkan kemudahan dalam mempelajari setiap kompetensi yang harus dikuasainya.
Manfaat bagi guru
1. Diperoleh bahan ajar yang sesuai tuntutan kurikulum dan sesuai dengan kebutuhan
belajar peserta didik.
2. Tidak lagi tergantung kepada buku teks yang terkadang sulit untuk diperoleh.
3. Memperkaya karena dikembangkan dengan menggunakan berbagai referensi.
4. Menambah khasanah pengetahuan dan pengalaman guru dalam menulis bahan ajar.
5. Membangun komunikasi pembelajaran yang efektif antara guru dengan peserta didik
karena peserta didik akan merasa lebih percaya kepada gurunya.
6. Menambah angka kredit jika dikumpulkan menjadi buku dan diterbitkan.
Jenis bahan Ajar
Bentuk bahan ajar dikelompokkan menjadi 4 (Majid, 2008):
1. Bahan cetak. Contoh: handout, buku, modul, lembar kerja siswa, brosur, leaflet,
wallchart, foto, maket.
2. Bahan ajar audio. Contoh: kaset, radio, compact disk audio.
3. Bahan ajar audio visual. Contoh: film, video.
4. Bahan ajar interaktif. Contoh: CD interaktif.
Perbedaan bahan ajar dengan buku teks.
Bahan ajar adalah materi pembelajaran yang disusun secara sistematis yang digunakan guru dan
siswa dalam pembelajaran.
Buku teks adalah sumber informasi yang disusun dengan struktur dan urutan berdasar bidang
ilmu tertentu.
Bahan ajar Buku teks
Ditulis dan dirancang untuk siswa
Ditulis untuk pembaca (guru, dosen)
Belum tentu menjelaskan tujuan
Menjelaskan tujuan instruksional
instruksional
Disusun secara linear
Disusun berdasarkan pola belajar yang
fleksibel
Stuktur berdasar logika bidang ilmu
Struktur berdasarkan kebutuhan siswa
dan kompetensi akhir yang akan
dicapai.
Belum tentu memberikan latihan
Memberi kesempatan pada siswa untuk
berlatih
Tidak mengantisipasi kesukaran
Mengakomodasi kesulitan siswa
belajar siswa
Belum tentu memberikan rangkuman
Memberikan rangkuman
Gaya penulisan naratif tetapi tidak
komunikatif
Gaya penulisan komunikatif dan semi
Sangat padat
formal
Tidak memilki mekanisme untuk
Kepadatan berdasar kebutuhan siswa
mengumpulkan umpan balik dari
Mempunyai mekanisme untuk
pembaca.
mengumpulkan umpan balik dari siswa
Prinsip Pengembangan Bahan Ajar
Pengembangan bahan ajar ini memiliki tujuan.
Kemendiknas (2007) merumuskan tiga tujuan, yaitu :
1. Memperjelas dan mempermudah penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbal,
2. Mengatasi keterbatasan waktu, ruang, dan daya indera, baik peserta didik maupun
pengajar, dan
3. Dapat digunakan secara tepat dan bervariasi.
Pengembangan bahan ajar hendaklah memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran
(Sukmadinata, 2009). Di antara prinsip pembelajaran tersebut adalah:
1. Mulai dari yang mudah untuk memahami yang sulit, dari yang kongkret untuk
memahami yang abstrak.
Siswa akan lebih mudah memahami suatu konsep tertentu apabila penjelasan dimulai dari yang
mudah atau sesuatu yang kongkret, sesuatu yang nyata ada di lingkungan mereka. Misalnya
untuk menjelaskan konsep pasar, maka mulailah siswa diajak untuk berbicara tentang pasar yang
terdapat di tempat mereka tinggal. Setelah itu, kita bisa membawa mereka untuk berbicara
tentang berbagai jenis pasar lainnya.
1. Pengulangan akan memperkuat pemahaman.
Dalam pembelajaran, pengulangan sangat diperlukan agar siswa lebih memahami suatu konsep.
Sesuatu informasi yang diulang-ulang, akan lebih berbekas pada ingatan siswa. Namun
pengulangan dalam penulisan bahan belajar harus disajikan secara tepat dan bervariasi sehingga
tidak membosankan.
1. Umpan balikpositif akan memberikan penguatan terhadap pemahaman siswa.
Seringkali kita menganggap enteng dengan memberikan respon yang sekedarnya atas hasil kerja
siswa. Padahal respon yang diberikan oleh guru terhadap siswa akan menjadi penguatan pada diri
siswa. Perkataan seorang guru seperti ’ya benar’ atau ‚’ya kamu pintar’ atau,’itu benar, namun
akan lebih baik kalau begini…’ akan menimbulkan kepercayaan diri pada siswa bahwa ia telah
menjawab atau mengerjakan sesuatu dengan benar. Sebaliknya, respon negatif akan mematahkan
semangat siswa.
1. Motivasi belajar yang tinggi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan belajar.
Seorang siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi akan lebih berhasil dalam belajar. Untuk
itu, maka salah satu tugas guru dalam melaksanakan pembelajaran adalah memberikan dorongan
(motivasi) agar siswa mau belajar. Banyak cara untuk memberikan motivasi, antara lain dengan
memberikan pujian, memberikan harapan, menjelas tujuan dan manfaat, memberi contoh,
ataupun menceritakan sesuatu yang membuat siswa senang belajar.
1. Mencapai tujuan ibarat naik tangga, setahap demi setahap, akhirnya akan mencapai
ketinggian tertentu.
Pembelajaran adalah suatu proses yang bertahap dan berkelanjutan. Untuk mencapai suatu
standard kompetensi yang tinggi, perlu dibuatkan tujuan-tujuan. Ibarat anak tangga, semakin
lebar anak tangga semakin sulit kita melangkah, namun juga anak tangga yang terlalu kecil
terlampau mudah melewatinya. Untuk itu, maka guru perlu menyusun anak tangga tujuan
pembelajaran secara pas, sesuai dengan karakteristik siswa. Dalam bahan ajar, anak tangga
tersebut dirumuskan dalam bentuk indikator-indikator kompetensi.
1. Mengetahui hasil yang telah dicapai akan mendorong siswa untuk terus mencapai tujuan.
Ibarat menempuh perjalanan jauh, untuk mencapai kota yang dituju, sepanjang perjalanan kita
akan melewati kota-kota lain. Kita akan senang apabila pemandu perjalanan kita
memberitahukan setiap kota yang dilewati, sehingga kita menjadi tahu sudah sampai di mana dan
berapa jauh lagi kita akan berjalan. Demikian pula dalam proses pembelajaran, guru ibarat
pemandu perjalanan. Pemandu perjalanan yang baik, akan memberitahukan kota tujuan akhir
yang ingin dicapai, bagaimana cara mencapainya, kota-kota apa saja yang akan dilewati, dan
memberitahukan pula sudah sampai di mana dan berapa jauh lagi perjalanan. Dengan demikian,
semua peserta dapat mencapai kota tujuan dengan selamat. Dalam pembelajaran, setiap anak
akan mencapai tujuan tersebut dengan kecepatannya sendiri, namun mereka semua akan sampai
kepada tujuan meskipun dengan waktu yang berbeda-beda. Inilah sebagian dari prinsip belajar
tuntas.
Aspek-aspek materi bahan ajar:
1. Konsep adalah suatu ide atau gagasan atau suatu pengertian yang umum, seperti definisi.
2. Prinsip adalah suatu kebenaran dasar sebagai titik tolak untuk berpikir atau merupakan
suatu petunjuk untuk berbuat/melaksanakan sesuatu.
3. Fakta adalah sesuatu yang telah terjadi atau yang telah dikerjakan/dialami. Mungkin
berupa hal, objek atau keadaan. Jadi bukan sesuatu yang diinginkan atau pendapat atau
teori. Contoh : Proklamasi Kemerdekaan RI adalah pada tanggal 17 Agustus 1945.
4. Proses adalah serangkaian perubahan, gerakan-gerakan perkembangan. Suatu proses
dapat terjadi secara sadar atau tidak disadari. Dapat juga merupakan cara melaksanakan
kegiatan operasional (misalnya di pabrik) atau proses pembuatan tempe, proses peubahan
warna pada daun yang kena hama wereng dan sebagainya.
5. Nilai adalah suatu pola, ukuran atau merupakan suatu tipe atau model. Umumnya nilai
bertalian dengan pengakuan atau kebenaran yang bersifat umum, tentang baik atau buruk
misalnya: hukum jual beli, hukum koperasi unit desa, Bimas dan sebagainya.
6. Keterampilan adalah kemampuan berbuat sesuatu dengan baik. Berbuat dapat berarti
secara jasmaniah (menulis, berbicara dan sebagainya) dan dapat juga berarti rohaniah
(membedakan, menganaliss dan sebagainya). Biasanya kedua aspek tersebut tidak
terlepas satu sama lain, kendatipun tidak selalu demikian adanya. (Hamalik, 2006).
7. Langkah-langkah Mengembangkan Bahan Ajar
Prinsip-prinsip dalam memilih bahan ajar
1. Relevansi: keterkaitan, ada kaitan, hubungan, atau bahkan ada jaminan bahwa bahan ajar
yang dipilih itu menunjang tercapainya kompetensi yang dibelajarkan (SKKD).
2. Konsistensi: keajegan, ada kesesuaian (jumlah/banyaknya) antara kompetensi dan bahan
ajar; jika kompetensi dasar yang ingin dibelajarkan mencakup keempat keterampilan
berbahasa, bahan yang dipilih/dikembangkan juga mencakup keempat hal itu.
3. Kecukupan: memadai keluasannya, ketercukupannya; bahan ajar yang dipilih/
dikembangkan ada jaminan memadai/ mencukupi untuk mencapai kompetensi yang
dibelajarkan; tidak terlalu sedikit sehingga kurang menjamin tercapainya
Aspek-aspek pemilihan bahan ajar
1. Menentukan cakupan bahan ajar
Keluasan cakupan materi berarti menggambarkan berapa banyak materi-materi yang dimasukkan
ke dalam suatu materi pembelajaran, sedangkan kedalaman materi menyangkut seberapa detail
konsep-konsep yang terkandung di dalamnya harus dipelajari/dikuasai oleh siswa. Prinsip
berikutnya adalah prinsip kecukupan (adequacy). Kecukupan atau memadainya cakupan materi
juga perlu diperhatikan dalam pengertian cukup tidaknya aspek materi dari suatu materi
pembelajaran akan sangat membantu tercapainya penguasaan kompetensi dasar yang telah
ditentukan. Cakupan atau ruang lingkup materi perlu ditentukan untuk mengetahui apakah materi
yang harus dipelajari oleh murid terlalu banyak, terlalu sedikit, atau telah memadai sehingga
sesuai dengan kompetensi dasar yang ingin dicapai.
1. Menentukan urutan bahan ajar
Urutan penyajian (sequencing) bahan ajar sangat penting untuk menentukan urutan mempelajari
atau mengajarkannya. Tanpa urutan yang tepat, jika di antara beberapa materi pembelajaran
mempunyai hubungan yang bersifat prasyarat (prerequisite) akan menyulitkan siswa dalam
mempelajarinya. Misalnya materi operasi bilangan penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan
pembagian. Siswa akan mengalami kesulitan mempelajari perkalian jika materi penjumlahan
belum dipelajari. Siswa akan mengalami kesulitan membagi jika materi pengurangan belum
dipelajari. Materi pembelajaran yang sudah ditentukan ruang lingkup serta kedalamannya dapat
diurutkan melalui dua pendekatan pokok, yaitu: pendekatan prosedural, dan hierarkis.
 Pendekatan prosedural yaitu urutan materi pembelajaran secara prosedural
menggambarkan langkah-langkah secara urut sesuai dengan langkah-langkah
melaksanakan suatu tugas. Misalnya langkah-langkah menelpon, langkah-langkah
mengoperasikan peralatan kamera video.
 Pendekatan hierarkis menggambarkan urutan yang bersifat berjenjang dari bawah ke atas
atau dari atas ke bawah. Materi sebelumnya harus dipelajari dahulu sebagai prasyarat
untuk mempelajari materi berikutnya.

Prosedur Pengembangan Bahan Ajar


Depdiknas (2009) merinci prosedur pengembangan bahan ajar, yaitu diantaranya sebagai berikut
1. Mengidentifikasi aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi dan
kompetensi dasar. Sebelum menentukan materi pembelajaran terlebih dahulu perlu
diidentifikasi aspek-aspek standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dipelajari
atau dikuasai siswa. Aspek tersebut perlu ditentukan, karena setiap aspek standar
kompetensi dan kompetensi dasar memerlukan jenis materi yang berbeda-beda dalam
kegiatan pembelajaran (Ghafur, 1987). Sejalan dengan berbagai jenis aspek standar
kompetensi, materi pembelajaran juga dapat dibedakan menjadi jenis materi aspek
kognitif, afektif, dan psikomotorik.
2. Identifikasi jenis-jenis bahan ajar. Memilih jenis materi yang sesuai dengan standar
kompetensi dan kompetensi dasar. Materi yang akan diajarkan perlu diidentifikasi apakah
termasuk jenis fakta, konsep, prinsip, prosedur, afektif, atau gabungan lebih daripada satu
jenis materi (Reigeluth, 1987). Dengan mengidentifikasi jenis-jenis materi yang akan
diajarkan, maka guru akan mendapatkan kemudahan dalam cara mengajarkannya.
3. Memilih jenis materi yang sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi
dasar. Identifikasi jenis materi pembelajaran juga penting untuk keperluan
mengajarkannya. Sebab, setiap jenis materi pembelajaran memerlukan strategi
pembelajaran atau metode, media, dan sistem evaluasi/penilaian yang berbeda-beda.
Misalnya, metode mengajarkan materi fakta atau hafalan adalah dengan menggunakan
jembatan keledai, jembatan ingatan (mnemonics), sedangkan metode untuk mengajarkan
prosedur adalah demonstrasi.
4. Memilih sumber bahan ajar. Setelah jenis materi ditentukan langkah berikutnya adalah
menentukan sumber bahan ajar. Materi pembelajaran atau bahan ajar dapat kita temukan
dari berbagai sumber seperti buku pelajaran, majalah, jurnal, koran, internet, media
audiovisual.
Perbanyaklah sumber materi bahan ajar karena dengan demikian maka bahan ajar yang terlahir
akan mempunyai banyak referensi dan data yang adapun lebih akurat. Jangan hanya
mengandalkan materi-materi dari referensi internet saja, perkaya pengetahuan dengan buku.
Bahan ajar yang akan dibuat harus disesuaikan dengan kemampuan lembaga, keterampilan
pembuatnya serta teknologi yang diterapkan.
Sumber Bahan Ajar
Dalam pembelajaran konvensional sering guru menentukan buku teks sebagai satu-satunya
sumber materi pelajaran. Namun selain buku teks, guru seharusnya memanfaatkan berbagai
sumber belajar yang lain. sumber materi pelajaran yang dapat dimanfaatkan untuk proses
pembelajaran dapat dikategorikan sebagai berikut:
 Tempat atau lingkungan
Lingkungan merupakan sumber yang sangat kaya sesuai dengan tuntunan kurikulum. Ada dua
bentuk lingkungan belajar, pertama, lingkungan atau tempat yang sengaja di desain untuk belajar
siswa seperti laboratorium, perpustakaan, ruang internat, dan lain sebagainya. Kedua, lingkungan
yang tidak di desain untuk proses pembelajaran tetapi keberadaannya dapat dimanfaatkan
misalnya halaman sekolah, taman sekolah, kantin, kamar mandi, mushola atau masjid, dan lain
sebagainya. Kedua bentuk lingkungan ini dapat dimanfaatkan oleh setiap guru karena memang
selain memiliki informasi yang sangat kaya untuk mempelajari materi pembelajaran, juga dapat
secara langsung dijadikan tempat belajar siswa.
 Orang atau nara sumber
Pengetahuan itu tidak statis akan tetapi bersifat dinamis yang terus berkembang secara cepat oleh
karena itu, kadang-kadang apa yang disajikan dalam buku teks tidak sesuai lagi dengan
perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir. Oleh karena itu, untuk mempelajari konsep-konsep
baru guru dapat menggunakan orang-orang yang lebih menguasai persoalan misalnya dokter,
polisi dan sebagainya.
 Objek
Objek atau benda yang sebenarnya merupakan sumber informasi yang akan membawa siswa
pada pemahaman yang lebih sempurna tentang sesuatu.
 Bahan cetak dan non cetak
Bahan cetak adalah berbagai informasi sebagai materi pelajaran yang disimpan dalam berbagai
bentuk tercetak seperti buku, majalah, koran dan sebagainya. Sedangkan bahan ajar non cetak
adalah informasi sebagai materi pelajaran, yang disimpan dalam berbagai bentuk alat
komunikasi elektronik yang biasanya berfungsi sebagai media pembelajaran misalnya dalam
bentuk kaset, video, komputer, CD (Sukmadinata, 2009).

ALUR PENYUSUNAN BAHAN AJAR


SK
Memahami al-qur’an surat pendek pilihan.
Materi Pembelajaran
Surat al lahab
Surat al kafirun
Hukum bacaan qolqolah
Kegiatan pembelajaran
Membaca QS al lahab dan al kafirun dengan benar.
Membaca QS al lahab dan al kafirun dengan menerapkan hukum bacaan
Bahan Ajar
LKS, Kaset, juz amma
Indikator
Membaca QS. Al lahab dan al kafirun dengan makhroj yang benar.
Membaca QS. Al lahab dan al kafirun dengan menerapkan hukum bacaan tajwid dengan benar

KD
Mampu membaca QS. Al-lahab dan al kafirun.

Kelengkapan bahan ajar


Kelengkapan bahan ajar cetak (hand out dan work sheet) terdiri atas:
 Judul, mata pelajaran, SK,KD, Indikator
 Petunjuk belajar
 Tujuan yang akan dicapai
 Informasi pendukung
 Latihan-latihan
 Prtunjuk kerja
 Penilaian
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Guru dituntut menguasai sejumlah kemampuan dan keterampilan yang berkaitan dengan proses
pembelajaran,antara lain :
1. Kemampuan menguasai bahan ajar
2. Kemampuan dalam mengelola kelas
3. Kemampuan dalam menggunakan metode, media dan sumber belajar
4. Kemampuan untuk melakukan penilaian baik proses maupun hasil
Di dalam penyusunan bahan ajar terdapat tiga prinsip yang harus diperhatikan yaitu prinsip
relevansi, prinsip konsep konsistensi dan prinsip kecukupan. Dan untuk menyusun materi yang
ada di dalam bahan ajar perlu diperhatikan aspek berikut (1) aspek konsep yaitu arti akan suatu,
(2) aspek prinsip yaitu menjadikan kebenaran sebagai landasan berfikir, (3) aspek fakta dimana
materi tersebut harus berisikan fakta dengan bukti yang jelas, (4) aspek proses artinya untuk
materi yang berupa proses harus dijelaskan tiap tahap-tahapnya sesuai dengan kenyaataan yang
ada, kemudian aspek nilai dan aspek keterampilan yang harus ada didalam suatu materi
pelajaran.
Materi pembelajaran yang dipilih untuk diajarkan oleh guru dan harus dipelajari siswa
hendaknya berisikan materi atau bahan ajar yang benar-benar menunjang tercapainya standar
kompetensi dan kompetensi dasar. Secara garis besar langkah-langkah pemilihan bahan ajar
meliputi pertama, Mengidentifikasi aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi dan
kompetensi dasar. Kedua, Mengidentifikasi jenis-jenis materi bahan ajar. Ketiga, Memilih bahan
ajar dan keempat Memilih Sumber Bahan Ajar.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Samsul. 2007. Sukses Menulis Buku Ajar & Referensi. Jakarta: PT Grasindo.
Depdiknas. (2008). Panduan Pengembangan Bahan Ajar. Ditjen Manajemen Dikdasmen.
Gafur, A. (2004). Pedoman Penyusunan Materi Pembelajaran (Instructional Material). Jakarta:
Depdiknas.
Hamalik, Oemar. (2006). Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta:
Bumi Aksara.
Jasmadi, dkk. 2008. Panduan Menyusun Bahan Ajar Berbasis Kompetensi. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo.
Majid, Abdul. (2008). Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nurgiyantoro, Burhan. (2008). Pengembangan Bahan Pembelajaran BSI. Klaten: UNY.
Sukmadinata, Nana Syaodih. (2009). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Suroto. (2009). Materi Pelatihan KTSP 2009. Tegal: Departemen Pendidikan Nasional.
Triyono, Bruri, Budi Tri Siswanto, Hariyanto, Wagiran. (2009). Materi Diklat Training Of
Trainer Calon Tenaga Pengajar/Dosen Lingkungan BADIKLAT Perhubungan Tahun 2009:
Pengembangan Bahan Ajar. Magelang: Kerjasama Badan Diklat Departemen Perhubungan
dengan UGM dan Akmil.

MODEL PENGEMBANGAN DESAIN PEMBELAJARAN MENURUT BEBERAPA


TOKOH
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Dalam model pengembangan desain pembelajaran terutama pada Geografi adalah
merupakan model yang dapat digunakan oleh pendidik dalam rangka bagaimana strategi mereka
untuk dapat lebih mudah mencapai tujuan pembelajaran yang dikehendaki. Ciri pokok dari
tujuan desain instruksional yang dirumuskan secara operasional ialah bahwa respon yang
menandakan tercapainya tujuan secara memuaskan dalam hal lain diuraikan secara jelas. Apabila
tujuan sudah dirumuskan secara tepat, maka seharusnya tidak ada lagi kesulitan dalam
menentukan apakah siswa telah mencapai tujuan secara memuaskan atau belum. Jadi desain
instruksional adalah disiplin yang berhubungan dengan pemahaman dan perbaikan satu aspek
dalam pendidikan yaiutu pembelajaran. Tujuan kegiatan membuat desain pembelajaran adalah
menciptakan sarana yang optimal untuk mencapai tujuan desain pembelajaran yang dikehendaki,
sehingga disiplin desain pembelajaran terutama berkenaan dengan pembuatan perumusan metode
– metode pembelajaran yang menghasilkan perubahan yang diinginkan dalam pengetahuan dan
keterampilan siswa. Desain pembelajaran ini merupakan perwujudan yang lebih kongkrit dari
Teknologi Pembelajaran. Ada beberapa model yang dapat digunakan dalam mengembangkan
desain pembelajaran, mulai dari model pengembangan desain pembelajaran menurut Banathy,
Kemp, Dick dan Carey, Prosedur Pengembangan Sistem Intruksional, Gerlach dan Ely, Gagne
dan Briggs, Wong dan Roulerson, dan menurut Pekerti (Pengembangan Keterampilan Dasar
Teknik Instruksional). Dari model pengembangan desain pembelajaran yang dikemukakan oleh
beberapa tokoh tersebut dapat kita garis bawahi adalah model yang baik yaitu model yang
memiliki kriteria yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam memilih model pengembangan
desain pembelajaran diantaranya model tersebut haruslah sederhana, lengkap, mungkin
diterapkan, luas, dan teruji.
PEMBAHASAN

Model – model pengembangan desain Pembelajaran.


1. Model Pengembangan Desain Pembelajaran menurut Bela H. Banathy.

Pengembangan pembelajaran menurut Banathy dapat dilakukan dalam enam langkah sebagai
berikut :
· Langkah pertama : Merumuskan Tujuan (Formulate Objectives)
Langkah ini menjelaskan apa yang kita harapkan dan dapat dikerjakan oleh siswa sebagai
hasil dari belajarnya.

· Langkah kedua : Mengembangkan Tes ( Develop Test )


Langkah ini bertujuan mengembangkan suatu tes yang didasarkan pada tujuan yang
diinginkan dan digunakan untuk megnetahui kemampuan yang diharapkan dapat dicapai sebagai
hasil dari pengalaman belajarnya.
· Langkah ke-tiga : Menganalisis Kegiatan Belajar ( Analyze Learning Task )
Dalam langkah ini dirumuskan apa yang harus dipelajari sehingga dapat menunjukan tingkah
laku seperti yang digambarkan dalam tujuan yang telah dirumuskan. Dalam kegiatan ini,
kemampuan awal siswa harus juga dianalisis atau dinilai karena mereka tidak perlu mempelajari
apa yang telah diketahui atau dikuasai.
· Langkah ke-empat : Mendesain Sistem Instruksional ( Design System )
Setelah langkah ketiga kemudian perlu dipertimbangkan alternatif – alternatif dan identifikasi
apa yang harus dikerjakan untuk menjamin bahwa siswa akan menguasai kegiatan – kegiatan
yang telah dianalisis pada langkah ketiga ( halini disebut oleh Banathy dengan istilah Functions
Analysis ). Juga perlu ditentukan siapa atau apa yang mempunyai potensi paling baik untuk
mencapai fungsi – fungsi tersebut ( disebut Component Analysis ) dan ditentukan pula kapan dan
dimana fungsi – fungsi tersebut harus dilaksanakan. ( Desain of the System ).
· Langkah ke-lima : Melaksanakan Kegiatan dan Mengetes Hasil ( Implement and Test Output )
Dalam langkah ini sistem yang didesain sekarang dapat diujicobakan atau di tes dan
dilaksanakan. Apa yang dapat dilaksanakan atau dikerjakan siswa sebagai hasil implementasi
sistem harus dinilai agar dapat diketahui seberapa jauh mereka telah menunjukan tingkah laku
seperti yang dimaksudkan dalam rumusan tujuan.

· Langkah ke-enam : Mengadakan Perbaikan ( Change to Improve )


Hasil – hasil yang diperoleh dari evaluasi merupakan umpan balik (..Feedbeck ) untuk
keseluruhan sistem sehingga perubahan – perubahan jika diperlukan dapat dilakukan untuk
memperbaiki sistem instruksional.
2. Model Pengembangan Desain Pembelajaran Menurut Robert Mills Gagne
Dalam model pengembangan desain pembelajaran menurut Gagne disini yakni tugas guru
yang pertama adalah dapat dengan baik mengenali perilaku – perilaku siswa – siswinya yang
akan memperlihatkan apakah tujuan tertentu sudah tercapai. Perilaku – perilaku ini hampir selalu
bergantung pada berhasil tidaknya tujuan atau bagian itu tercapai. Sebenarnya dalam pencapaian
tiap – tiap individu pastilah berbeda, karena tingkat daya tangkap, analisis tiap – tiap siswa
pastilah berbeda pula. Misalnya seorang siswa tidak akan dapat membaca apabila ia belum
memiliki kosa kata yang yang belum cukup. Seorang siswa tidak akan menuliskan nama dirinya
apabila ia tidak dapat menulis huruf – huruf yang mereka perlukan, ataupun seorang siswa tidak
aka mampu memecahkan soal yang dalam tingkatannya itu soal – soal persamaan ganda sebelum
ia dapat memecahkan soal – soal persamaan yang sederhana.
Robert Mills Gagne (1967) berpendapat bahwa perilaku kognitif yang kompleks selalu
merupakan perpaduan dari tugas – tugas yang lebih sederhana, dan tugas – tugas ini perlu
dikuasai lebih dahulu sebelum perilaku yang kompleks itu dapat diperlihatkan. Gagne
menganalisis perilaku menjadi bentuk suatu hirarki mulai dari jenis belajar yang sederhana ke
yang paling kompleks. Ia berhipotesis bahwa untuk mempelajari tugas tertentu itu ada
strukturnya. Struktur ini meliputi tugas – tugas bagian yang penting, yang harus dikuasai oleh
siswa untuk mencapai prestasi akhir yang diharapkan.
Dari segi pengajaran adalah bijaksana jika tugas – tugas bagian ini dikenali untuk mencapai
setiap tujuan instruksional, agar kegagalan – kegagalan dapat dihindari. Gagne (1965)
mengemukakan adanya taraf – taraf untuk mengklasifikasikan tugas – tugas, yaitu yaitu tujuan –
tujuan yang berupa perilaku dan isinya. Taraf – taraf ini disusun sedemikian rupa sehingga
semakin tinggi tarafnya akan semakin kompleks. Secara tidak langsung Gagne ( 1965 )
menyatakan bahwa urutan tersebut bersifat hirarkis, siapa menguasai taraf yang lebih tinggi
berarti menguasai semua taraf dibawahnya, seperti yang diterapkan dibawah ini :
1. Diferensiasi Respon.
Apabila dihadapkan pada stimulasi tertentu, dan tidak disertai stimulasi lain, maka siswa akan
memberikan respon yang berupa salinan dari stimulus tertentu, tetapi tidak desertai oleh respon
lain. Misalnya siswa dapat mengulang – ulangi sebuah kata yang diucapkan.
2. Asosiasi
Apabila dihadapkan pada stimulus tertentu, dan tidak disertai stimulus lain, maka siswa akan
memberikan respon bukan salinan yang berupa pengenalan ( menyebutkan, menandai ) terhadap
stimulus tersebut, tetapi tidak disertai oleh respon lain. Misalnya siswa mampu menyebutkan
“Jawa” apabila ditanya manakah pulau yang paling padat penduduknya.
3. Diskriminasi Ganda
Apabila dihadapkan pada dua stimulus atau lebih yang dapat membingungkan, maka siswa akan
menunjukan berbagai respon, sejalan dengan jenis – jenis stimulus yang dihadapi tetapi tidak
disertai oleh stimulus lain. Misalnya siswa menggarisbawahi sebuah segitiga sesuai dengan yang
diminta dan tidak menggarisbawahi jajran genjang atau lingkaran.
4. Rangakaian Perilaku
Apabila dihadapkan pada stimulus tertentu, maka siswa akan dapat memperlihatkan dua respon
atau lebih dengan urutan tertentu atau tidak menggunakan urutan maupun respon yang lain.
Misalkan siswa dapat menyebutkan dari “luar kepala “ Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
“ apabila diminta.
5. Konsep – kelas
Apabila dihadapkan pada stimulus – stimulus yang jauh berbeda sifatnya, maka siswa akan
memberikan respon yang menunjukan bahwa ia mengenal stimulus – stimulus tersebut
merupakan anggota – anggota suatu kelas, bukan anggota – anggota kelas lain. Misalnya siswa
dapat menerangkan bahwa “3/4” adalah suatu pecahan sedangkan “5” bukan merupakan suatu
pecahan.
6. Prinsip – prinsip
Apabila dihadapkan pada situasi yang berisi stimulus – stimulus yang dapat diklasifikasikan
sebagai konsep a dan perintah untuk membentuk konsep b, maka siswa dapat menerapkan urutan
a------b. Misalnya siswa dapat menerapkan kaidah tertentu (a) dengan tepat pada situasi yang
baru(b).
7. Strategi pemecahan Masalah
Sesudah menemukan prinsip – prinsip yang dapat diterapkan pada serangkaian situasi baru,
maka siswa dapat menggunakan urutan a’---- b’ , dimana a’ adalah sejumlah konsep yang harus
diperhatikan secara selektif dan b’ adalah sejumlah respon antara unuk sampai pada respon akhir.
Misalnya siswa dapat membuktikan bahwa suatu pernyataan aljabar adalah benar menggunakan
prinsip – prinsip ynag telah dipelajari sebelumnya.
Analisis tugas – tugas berdasarkan model semacam itu jelas merupakan suatu pekerjaan
yang rumit, meskipun jalan pikiran yang mendasarinya tidaklah sukar. Gagne menegaskan
bahwa kesulitan – kesulitan dalam belajar mungkin paling sering disebabkan oleh diabaikannya
prasyarat – prasyarat. Dapat dicek diagnosis dari siswa – siswi untuk menentukan apakah mereka
kekurangan prasyarat - prasyarat tertentu atau tidak. Tes akhir yang ditelitipun dapat juga
dipergunakan untuk memperoleh data prestasi siswa dalam mencapai tujuan-bagian (tujuan-
antara), informasi ini dapat menjelaskan kesulitan utama dalam mengajar sejumlah siswa
tertentu. Bagaimanapun juga adanya persiapan yang terperinci dan penjabaran tujuan – tujuan
bagian kiranya merupakan tuntutan yang mendesak terhadap guru yang betul ingin menyiapkan
suatu pengajaran yang efisien dan ingin bertindak bijaksana.
Gagne dan Briggs (1974) mengemukakan 12 langkah dalam pengembangan desain instruksional
sebagai berikut :
1. Analisis dan identifikasi kebutuhan
2. Penetapan tujuan umum dan khusus
3. Identifikasi altenatif cara memenuhi kebutuhan
4. Merancang komponen dari system
5. Analisis (a) sumber – sumber yang diperlukan (b) sumber – sumber yang tersedia (c) kendala –
kendala
6. Kegiatan untuk mengisi kendala
7. Memilih atau mengembangkan materi pelajaran
8. Merancang prosedur penelitian murid
9. Uji coba lapangan : evaluasi formatif dan pendidikan guru
10. Penyesuaian, revisi dan evaluasi lanjut
11. Evaluasi sumatif
12. Pelaksanaan operasional.
Model tersebut di atas merupakan model yang paling lengkap yang melukiskan bagaimana
suatu proses pembelajaran dirancang secara sistematis dari awal sampai akhir. Kegiatan seperti
ini cocok untuk diterapkan pada suatu program pendidikan yang relatif baru. Di Indonesia
prosedur tersebut mencakup mulai dari simposium dan pengembangan kurikulum yang
dilakukan mulai dari tingkat sekolah ( KTSP ). Kemudian guru diberikan kewenangan untuk
mengembangkan standar kompetensi menjadi sejumlah kompetensi dasar yang dituangkan
secara eksplisit dalam silabus dan RPP.
3. Model PPSI ( Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional )
Model tersebut digunakan sebagai metode penyampaian dalam Kurikulum 1975 untuk SD,
SMP, SMA, dan Kurikulum 1976 untuk sekolah-sekolah kejuruan. PPSI menggunakan
pendekatan sistem yang mengutamakan adanya tujuan yang jelas sehingga dapat dikatakan
bahwa PPSI menggunakan pendekatan yang berorientasi pada tujuan. Istilah “sistem
intruksional” dalam PPSI menunjuk kepada pengertian pembelajaran sebagai suatu sistem, yaitu
sebagai kesatuan yang terorganisasi, yang terdiri atas sejumlah komponen yang saling
berhubungan satu dengan yang lainnya dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan. Sebagai
suatu sistem, pembelajaran mengandung sejumlah komponen, antara lain materi, metode, alat,
evaluasi yang kesemuannya berinteraksi satu dengan lainnya untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang telah dirumuskan. PPSI merupakan langkah-langkah pengembangan dan
pelaksanaan pembelajaran sebagai suatu sistem untuk mencapai tujuan secara efisien dan efektif.
Sesungguhnya apabila diamati dengan seksama, langkah - langkah pengembangan dan
pelaksanaan pembelajaran dalam model PPSI ini mirip dengan langkah - langkah pengembangan
yang terdapat dalam model Banathy.
Ada lima langkah pokok dalam PPSI, yaitu :
a. Merumuskan tujuan instruksional, dalam hal ini TIK.
b. Menyusun alat evaluasi;
c. Menentukan kegiatan belajar dan materi pelajaran;
d. Merencanakan program kegiatan; dan
e. Melaksanakan program.
Langkah pertama sampai ke-empat adalah langkah pengembangan, sedangkan langkah
kelima merupakan langkah pelaksanaan program yang telah tersusun. Secara rinci langkah-
langkah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
· Langkah 1 : Merumuskan Tujuan Instruksional Khusus
Tujuan instruksional khusus adalah rumusan yang jelas tentang kemampuan atau tingkah
laku yang diharapkan dimiliki siswa sesudah mengikuti suatu program pembelajaran tertentu.
Kemampuan atau tingkah laku tersebut harus dirumuskan secara spesifik dan operasional
sehingga dapat diamati atau diukur.
· Langkah 2 : Menyusun alat Evaluasi
Setelah tujuan - tujuan instruksional dirumuskan, langkah berikutnya adalah
mengembangkan tes yang fungsinya untuk menilai sampai di mana siswa telah menguasai
kemampuan - kemampuan yang telah dirumuskan dalam tujuan instruksional khusus. Berbeda
dari apa yang biasanya dilakukan, pengembangan alat evaluasi tidak dilakukan pada langkah
kegiatan terakhir dari kegiatan instruksional, melainkan pada langkah kedua sesudah tujuan
instruksional khusus dirumuskan. Hal ini didasarkan atas prinsip yang berorientasi pada
tujuan/hasil, yaitu penilaian terhadap suatu sistem instruksional didasarkan atas hasil yang
dicapai. Untuk mengecek apakah rumusan tujuan instruksional tersebut dapat diukur maka perlu
dikembangkan alat evaluasinya sebelum melangkah lebih jauh.
Dalam mengembangkan alat evaluasi ini perlu ditentukan terlebih dahulu jenis jenis tes yang
akan digunakan, tes tertulis, lisan, atau perbuatan. Untuk menilai sejumlah tujuan instruksional
yang telah dirumuskan, mungkin hanya digunakan satu jenis tes, atau dua jenis tes, atau ke tiga
tiganya. Hal ini bergantung pada hakikat tujuan yang hendak dicapai.
· Langkah 3 : Menentukan Kegiatan Belajar dan Materi Pelajaran
Langkah selanjutnya, sesudah tujuan instruksional khusus dirumuskan dan alat evaluasi
disusun, adalah menetapkan kegiatan belajar siswa yang perlu ditempuh agar nantinya mereka
dapat melakukan apa yang telah dirumuskan dalam tujuan instruksional khusus. Untuk itu perlu
diperhatikan hal-hal berikut.
a. Merumuskan semua kemungkinan kegiatan belajar yang diperlukan untuk mencapai tujuan;
b. Menetapkan mana dari sekian kegiatan belajar tersebut yang tidak perlu ditempuh lagi oleh
siswa; dan
c. Menetapkan kegiatan belajar yang masih perlu dilaksanakan oleh siswa.
Pada langkah ketiga ini, sesudah kegiatan-kegiatan belajar siswa ditetapkan, perlu dirumuskan
pokok - pokok materi pelajaran yang akan diberikan kepada siswa sesuai dengan jenis - jenis
kegiatan belajar yang telah ditetapkan. Apabila dipandang perlu, setiap materi pelajaran tersebut
dilengkapi dengan uraian singkat agar memudahkan guru menyampaikan materi tersebut kepada
siswa.
· Langkah 4 : Merencanakan Program Kegiatan
Setelah semua langkah tersebut di atas diselesaikan, selanjutnya perlu dimantapkan dalam
satu program pembelajaran. Titik tolak dalam merencanakan program kegiatan adalah suatu
pelajaran yang diambil dari kurikulum yang telah tertentu jumlah jam pelajarannya, dan
diberikan pada kelas dalam semester tertentu. Pada langkah ini perlu disusun strategi
pembelajaran dengan jalan merumuskan peranan dan kegiatan mengajar dan kegiatan belajar
yang disusun secara sistematis sesuai dengan situasi kelas. Metode mengajar yang akan
digunakan dipilih sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Termasuk ke dalam langkah ini ialah
menyusun proses pelaksanaan evaluasi.
· Langkah 5 : Melaksanakan Program
Langkah-langkah yang dilakukan dalam fase ini adalah sebagai berikut :
a. Mengadakan Tes Awal
Tes yang diberikan kepada siswa adalah tes yang telah disusun dalam langkah ke-2. Fungsi
tes awal ini adalah untuk memperoleh informasi tentang kemampuan-kemampuan yang
tercantum dalam tujuan instruksional, sebelum mereka mengikuti pembelajaran yang telah
disiapkan. Apabila siswa telah menguasai kemampuan yang tercantum dalam tujuan
instruksional yang ingin dicapai maka hal itu tidak perlu diberikan lagi oleh pengajar dalam
program pembelajaran yang akan diberikan.
b. Menyampaikan Materi Pelajaran
Dalam menyampaikan materi pelajaran ini, pada prinsipnya, harus berpegang pada rencana
yang telah disusun dalam langkah ke-4, yaitu “merencanakan program kegiatan”, baik materi,
metode maupun alat yang akan digunakan. Selain itu, sebelum menyampaikan materi pelajaran,
hendaknya pengajar menjelaskan dulu kepada siswa tujuan instruksional khusus yang akan
dicapai sehingga mereka mengetahui kemampuan-kemampuan yang diharapkan setelah selesai
pelajaran.
c. Mengadakan tes akhir
Kalau tes awal diberikan sebelum siswa mengikuti pelajaran maka tes akhir diberikan setelah
selesai mengikuti pembelajaran. Tes yang diberikan dalam tes akhir ini identik dengan yang
diberikan pada tes awal. Bedanya terletak pada waktu dan fungsinya. Tes awal berfungsi untuk
menilai kemampuan siswa mengenai materi pelajaran sebelum pembelajaran diberikan,
sedangkan tes akhir berfungsi untuk menilai kemampuan siswa mengenai materi pelajaran
sesudah pembelajaran diberikan. Dengan demikian dapat diketahui seberapa jauh keberhasilan
pembelajaran yang diberikan dapat dicapai. Langkah - langkah yang dilakukan dalam model
PPSI tersebut, digambarkan dalam bagan berikut.

Model PPSI
Perbandingan Model Pengembangan Desain Instruksional
Bela H. Banathy, Robert Mills Gagne dan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional ( PPSI )

Pada model pengembangan desain instruksional menurut Banathy ini terdiri dari 6 langkah,
yakni langkah pertama merumuskan tujuan ( formulate objectives) langkah ini menjelaskan apa
yang akan kita harapkan dan dapat dikerjakan oleh siswa sebagai hasil dari belajarnya, kemudian
mengembangkan tes ( develop test ) langkah ini didasarkan pada tujuan yang diinginkan dan
digunaka untuk mengetahui kemampuan yang diharapkan dapat dicapai sebagai hasil dari
pengalaman belajarnya, pada langkah ini dapat langsung menuju pelaksanaan kegiatan,kemudian
menganalisis kegiatan belajar ( analyze learning task ) langkah ini dirumuskan apa yang harus
dipelajari sehingga dapat menunjukan tingkah laku seperti yang digambarkan dalam tujuan yang
telah dirumuskan, langkah selanjutnya mendesain sistem instruksional ( design system ) langkah
ini perlu mempertimbangkan alternatif – alternatif dan identifikasi apa yang harus dikerjakan
untuk menjamin bahwa siswa akan menguasai kegiatan – kegiatan yang telah dianalisis pada
langkah ketiga, kemudian melaksanakan kegiatan dan mengetes hasil ( implement and test output
) langkah ini sistem yang sudah didesain tadi sekarang dapat diujicobakan atau dites dan
dilaksanakan, dan langkah yang terakhir mengadakan perbaikan ( change to improve ) Hasil –
hasil yang diperoleh dari evaluasi merupakan umpan balik (..Feedbeck ) untuk keseluruhan
sistem sehingga perubahan – perubahan jika diperlukan dapat dilakukan untuk memperbaiki
sistem instruksional.
A. Kelebihan
Model Bela H. Banathy ini mempunyai beberapa kelebihan antara lain sebagai berikut :
· Menganalisis dan merumuskan tujuan dengan baik, baik tujuan umum maupun tujuan khusus
yang lebih spesifik, yang merupakan sasaran dan arah yang harus dicapai peserta didik.
· Mengembangkan kriteria tes yang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai Hal ini dilakukan
agar setiap tujuan yang dirumuskan tersedia alat untuk menilai keberhasilannya.
· Menganalisis dan merumuskan kegiatan belajar, yakni merumuskan apa yang harus dipelajari
(kegiatan belajar yang harus dilakukan siswa dalam rangka mencapai tujuan belajar).
Kemampuan awal siswa harus dianalaisis atau dinilai agar mereka tidak perlu mempelajari apa
yang telah mereka kuasai.
· Mengadakan perbaikan dan perubahan berdasarkan hasil evaluasi. Jadi model ini didasarkan
pada hasil test peserta didik.
· Langkah – langkahnya yang hanya sedikit sehingga kita bisa lebih efektif untuk membuatnya.
B. Kelemahan
Ada beberapa kelemahan yang dimiliki oleh model perencanaan Bela H. Banathy ini antara lain:
· Sedikit langkah sehingga di khawatirkan akan tidak efesien.
· Model cenderung lebih fokus pada materi yang belum dikuasai oleh peserta didik sehingga
mengabaikan materi yang sudah di pelajari yang bisa lupa apabila tidak pernah di kaji ulang.

Gagne (1965) mengemukakan adanya taraf – taraf untuk mengklasifikasikan tugas – tugas,
yaitu yaitu tujuan – tujuan yang berupa perilaku dan isinya. Taraf- taraf ini disusun sedemikian
rupa sehingga semakin tinggi tarafnya akan semakin kompleks. Secara tidak langsung Gagne (
1965 ) menyatakan bahwa urutan tersebut bersifat hirarkis, siapa menguasai taraf yang lebih
tinggi berarti menguasai semua taraf dibawahnya, seperti yang diterapkan yaitu diferensiasi
respon, asosiasi, diskriminasi ganda, rangkaian perilaku, konsep-kelas, prinsip – prinsip, strategi
pemecahan masalah. Gagne dan Briggs (1974) mengemukakan 12 langkah dalam pengembangan
desain instruksional, yaitu analisis dan identifikasi kebutuhan, Penetapan tujuan umum dan
khusus, Identifikasi altenatif cara memenuhi kebutuhan, merancang komponen dari sistem,
analisis (a) sumber – sumber yang diperlukan (b) sumber – sumber yang tersedia (c) kendala –
kendala, kegiatan untuk mengisi kendala, memilih atau mengembangkan materi pelajaran,
merancang prosedur penelitian murid, uji coba lapangan : evaluasi formatif dan pendidikan guru,
penyesuaian, revisi dan evaluasi lanjut, evaluasi sumatif, dan pelaksanaan operasional. Model
pengembangan desain intsruksional menurut Gagne ini merupakan model yang paling lengkap
yang melukiskan bagaimana suatu proses pembelajaran dirancang secara sistematis dari awal
sampai akhir. Kegiatan seperti ini cocok untuk diterapkan pada suatu program pendidikan yang
relatif baru. Di Indonesia prosedur tersebut mencakup mulai dari simposium dan pengembangan
kurikulum yang dilakukan mulai dari tingkat sekolah (KTSP).
A. Kelebihan :
· Sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan kebiasaan yang
mengandung unsur-unsur seperti kecepatan spontanitas kelenturan reflek, dan daya tahan Contoh
: Percakapan bahasa Asing, menari, mengetik, olah raga, dll.
· Cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominasi peran orang
dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk
penghargaan langsung seperti diberi hadiah atau pujian.
· Dapat dikendalikan melalui cara mengganti mengganti stimulus alami dengan stimulus yang
tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak
menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
B. Kekurangan :
 Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered learning), dimana guru
bersifat otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa
yang harus dipelajari murid.
 Bersifat meanistik
 Hanya berorientasi pada hasil yang diamati dan diukur
 Peserta didik hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa
yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif
Model PPSI ( Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional )
Langkah - langkah pengembangan dan pelaksanaan pembelajaran dalam model PPSI ini mirip
dengan langkah - langkah pengembangan yang terdapat dalam model Banathy. Ada lima langkah
pokok dalam PPSI, yaitu : Merumuskan tujuan instruksional langkah ini merupakan rumusan
yang jelas tentang kemampuan atau tingkah laku yang diharapkan dimiliki siswa sesudah
mengikuti suatu program pembelajaran tertentu, dalam hal ini TIK. Menyusun alat evaluasi,
langkah ini didasarkan atas prinsip yang berorientasi pada tujuan/hasil, yaitu penilaian terhadap
suatu sistem instruksional didasarkan atas hasil yang dicapai; Menentukan kegiatan belajar dan
materi pelajaran, langkah ini menetapkan kegiatan belajar siswa yang perlu ditempuh agar
nantinya mereka dapat melakukan apa yang telah dirumuskan dalam tujuan instruksional khusus;
Merencanakan program kegiatan, dalam langkah ini titik tolak dalam merencanakan program
kegiatan adalah suatu pelajaran yang diambil dari kurikulum yang telah tertentu jumlah jam
pelajarannya; dan Melaksanakan program, dalam langkah ini terdapat fase – fase yang dapat
dilakukan yakni mengadakan tes awal, menyampaikan materi, dan mengadakan tes akhir.

A. Kelebihan :
a. Penyampaian materi bias disesuaikan dengan kemampuan awal siswa
b. Adanya perbaikan post-test yang bias mengukur daya tangkap dan sejauh mana konsentrasi
siswa
c. Adanya perbaikan untuk siswa yang mendapat nilai buruk
d. Lebih tepat digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan sistem pembelajaran.

B. Kekurangan :
a. Alokasi waktu untuk penyampaian materi terkurangi untuk pre-test dan post-test
b. Pendidik harus menyiapkan soal untuk pre test dan post test

KESIMPULAN

Dari ketiga model pengembangan desain instruksional tersebut dapat kita tarik
kesimpulan yaitu:
Desain pembelajaran mempunyai ragam yang banyak. Setiap ragam memiliki cirri tersendiri,
keunggulan dan keterbatasan masing – masing. Pada model pengembangan desain instruksional
menurut Banathy ini terdiri dari 6 langkah, yakni langkah pertama merumuskan tujuan (
formulate objectives), kemudian mengembangkan tes ( develop test ), menganalisis kegiatan
belajar(analyze learning task), langkah selanjutnya mendesain sistem instruksional (design
system), kemudian melaksanakan kegiatan dan mengetes hasil (implement and test output ), dan
langkah yang terakhir mengadakan perbaikan (change to improve) Hasil – hasil yang diperoleh
dari evaluasi merupakan umpan balik (..Feedbeck ) untuk keseluruhan sistem sehingga
perubahan – perubahan jika diperlukan dapat dilakukan untuk memperbaiki sistem instruksional.
Gagne dan Briggs mengemukakan 12 langkah dalam pengembangan desain instruksional.
Model pengembangan desain intsruksional menurut Gagne ini merupakan model yang paling
lengkap yang melukiskan bagaimana suatu proses pembelajaran dirancang secara sistematis dari
awal sampai akhir. Kegiatan seperti ini cocok untuk diterapkan pada suatu program pendidikan
yang relatif baru. Di Indonesia prosedur tersebut mencakup mulai dari simposium dan
pengembangan kurikulum yang dilakukan mulai dari tingkat sekolah (KTSP).
Model pengembangan desain pembelajaran menurut PPSI ini digunakan sebagai metode
penyampaian dalam kurikulum 1975 untuk SD, SMP, SMA dan kurikulum 1976 untuk sekolah –
sekolah kejuruan. Ada lima langkah pokok dalam PPSI, pertama merumuskan tujuan
instruksional khusus, menyusun alat evaluasi, menentukan kegiatan belajar dan materi pelajaran,
merencanakan program kegiatan, dan yang terakhir melaksanakan program.

DAFTAR PUSTAKA

Dahar, Ratna Wilis. 2011. Teori – Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.
Murdiati, Santi,dkk. 2007. Buku Kerja Prinsip Pembelajaran( Instructional Design principles ). Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Popham W. James dan Eva L Baker. 1981. Bagaimana Mengajar Secara Sistematis. Yogyakarta:
Kanisius.
Popham W. James dan Eva L Baker. 1992. Teknik Mengajar Secara Sistematis. Solo: Rineka Cipta.
Roestiyah N.K. 2008. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Roestiyah N.K. 1982. Didaktik/Metodik. Jakarta: Bina Aksara Jakarta.
http://images.search.yahoo.com/search/images;_ylt=A0SO8xkS2JJSMm8AGzNXNyoA?p=gambar+mo
del+banathy&fr=&fr2=piv-web
http://www.google.com/search?q=gambar+model+PPSI&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ei=FyeQUuf
QEuSv4QSLg4HwBg&ved=0CAcQ_AUoAQ&biw=1366&bih=667

DESAIN SISTEM INSTRUKSIONAL


Oktober 11, 2017
Sistem instruksional dapat didefinisikan sebagai suatu pengaturan sumber daya dan
prosedur yang digunakan untuk mempromosikan pembelajaran. Perancangan sistem
instruksional adalah proses perencanaan sistem instruksional dengan sistematis dan
pengembangan instruksional adalah proses penerapan rencana. Seiring dengan kedua fungsi ini,
meliputi komponen dari apa yang disebut sebagai teknologi instruksional. Teknologi
instruksional adalah istilah yang lebih luas daripada sistem instruksional dan dapat didefinisikan
sebagai aplikasi teori dan teori pengetahuan yang sistematis serta terorganisir dengan lainnya
untuk tugas desain dan pengembangan instruksional. Teknologi instruksional juga mencakup
pencarian pengetahuan baru tentang bagaimana caranya orang belajar dan cara terbaik untuk
merancang sistem atau bahan pembelajaran (Heinich, 1984).
Harus dibuktikan bahwa desain sistem instruksional dapat terjadi pada tingkat kebutuhan
yang berbeda. Kita bisa membayangkan sebuah usaha nasional dalam perencanaan dan
pengembangan sistem instruksional, seperti halnya dengan Kurikulum bidang studi Biologi dan
Kurikulum bidang studi Intermediate yang didanai oleh National Science Foundation. Upaya ini
berpusat pada pengembangan materi dalam area subjek. Hal ini juga layak dicatat bahwa
beberapa program untuk instruksi individual di beberapa bidang studi telah dilakukan. Sistem ini
berupa, RENCANA PROYEK (Program Pembelajaran Sesuai Kebutuhan), IPI (Instruksi yang
Ditentukan secara Individu), dan IGE (Instruksi yang Dipandu Secara Individual), dijelaskan
dalam sebuah buku yang diedit oleh Weisgerber (1971).
Perancang instruksional tidak selalu memiliki kesempatan untuk mengerjakan proyek
lingkup nasional. Mereka umumnya merancang sistem instruksional yang lebih kecil seperti
kursus, unit dalam kursus, atau pelajaran individu. Terlepas dari perbedaan ukuran dan ruang
lingkup, proses perancangan sistem instruksional memiliki fitur umum di semua tingkat
kurikulum. Desain sistems instruksional memiliki komponen yang lebih kecil dikenal sebagai
desain instruksional karena fokusnya adalah bagian dari instruksi itu sendiri, bukan keseluruhan
sistem instruksional.
DESAIN INSTRUKSIONAL
Beberapa model cocok untuk desain pengajaran unit kursus dan pelajaran. Salah satu
model yang banyak dikenal adalah model Dick dan Carey (1990) pada Gambar 2-1. Semua
tahapan dalam model sistem instruksional yang dapat diterapkan dikategorikan menjadi satu dari
tiga fungsi: (1) mengidentifikasi hasil dari instruksi, (2) mengembangkan instruksi, dan (3)
mengevaluasi keefektifannya dari instruksi. Kita akan fokus pada kegiatan desain instruksional
yang terjadi dalam sembilan tahap yang ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Ø Tahap 1: Tujuan Instruksional
Tujuan dapat didefinisikan sebagai keadaan yang diinginkan. Pada tahap ini, perancang
instruksional harus bertanya, “Tujuan apa yang akan mewakili keadaan yang diinginkan?”
Setelah tujuan telah dinyatakan, perancang dapat melakukan analisis kebutuhan. Ahli (Burton
dan Merrill, 1977; Kaufman, 1976) mendefinisikan kebutuhan sebagai sebuah perbedaan atau
kesenjangan antara keadaan yang diinginkan (tujuan) dan keadaan saat ini. Oleh karena itu,
kebutuhan bisa ditentukan setelah menyatakan tujuan dan analisis keadaan sekarang. Kebutuhan
dan tujuan selanjutnya disempurnakan pada tahap 2 dan 3 dari proses perancangan, analisis
instruksional dan analisis pembelajar (karakteristik siswa).
Ø Tahap 2: Analisis Instruksional
Tahapan 2 dan 3 pada Gambar 2-1 dapat terjadi baik dalam urutan maupun serentak.
Kami telah memilih untuk mendiskusikan analisis instruksional terlebih dahulu. Tujuan analisis
instruksional adalah untuk mengetahui keterampilan yang terlibat dalam mencapai suatu tujuan.
Dalam hal ini, sang perancang akan menggunakan analisis tugas (atau analisis prosedural),
produknya akan menjadi daftar langkah dan keterampilan yang digunakan pada setiap langkah
dalam prosedur (Gagne, 1977).
Jenis analisis instruksional lainnya adalah analisis pemrosesan informasi, yang dirancang
untuk mengungkapkan operasi mental yang digunakan oleh orang yang memiliki keterampilan
belajar yang kompleks. Analisis ini dapat diartikan sebagai analisis proses internal yang terlibat
dalam keterampilan yang diinginkan. Perkiraan penting yang dibuat untuk setiap keputusan dan
tindakan yang diungkapkan oleh proses informasi. Analisis apakah peserta didik yang dimaksud
sesuai dengan kemampuan ini atau apakah mereka perlu membelajarinya (tahap 3).
Hasil analisis instruksional yang penting adalah klasifikasi tugas. Klasifikasi tugas adalah
kategorisasi hasil belajar menjadi domain atau subdomain jenis/model pembelajaran. Gagne
(1985) menggambarkan lima jenis utama hasil belajar dan beberapa subtipe. Tugas Klasifikasi
dapat membantu perancangan pembelajaran dalam beberapa cara. Target klasifikasi tujuan
memungkinkan untuk memeriksa apakah tujuan yang dimaksudkan dari sebuah unit
instruksional sedang diabaikan. Briggs and Wager (1981) telah mempresentasikan contoh
bagaimana sasaran-sasaran dapat diklasifikasikan dan kemudian dikelompokkan menjadi unit
kursus berupa peta instruksional kurikulum. Peta yang dihasilkan kemudian dapat ditinjau ulang
untuk memeriksa apakah informasi verbal, sikap, dan keterampilan intelektual termasuk dalam
unit instruksional. Klasifikasi hasil belajar juga menyediakan kondisi yang paling efektif untuk
berbagai jenis hasil pembelajaran.
Jenis analisis akhir yang akan disebutkan adalah analisis tugas belajar. Sebuah analisis
perangkat belajar yang tepat untuk tujuan pengajaran yang melibatkan keterampilan intelektual.
Tujuan dari analisis tugas belajar adalah untuk mengungkapkan tujuan yang memungkinkan ada
dan untuk mengambil keputusan urutan/langkah pengajaran yang perlu dibuat. Kemungkinan
hasil analisis tugas pembelajaran adalah peta instruksional kurikulum (ICM) mirip dengan yang
ditunjukkan pada Gambar 2-2. ICM ini menunjukkan tujuan targetnya dan tujuan bawahan
mereka untuk unit instruksional pada kata pengolahan. Perancang mungkin perlu menerapkan
salah satu atau semua jenis analisis ini dalam merancang satu unit instruksi.
Ø Tahap 3: Urutan Perilaku dan Karakteristik Pembelajar
Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, langkah ini sering dilakukan secara paralel dengan
tahap 2. Tujuannya adalah untuk menentukan keterampilan yang memungkinkan yang
dibutuhkan peserta didik untuk tugas belajar. Beberapa peserta didik akan tahu lebih banyak dari
yang lain, jadi perancangnya harus memilih dari mana memulai instruksi, mengetahui bahwa itu
akan berlebihan untuk beberapa tapi perlu bagi orang lain. Perancang juga harus bisa
mengidentifikasi para peserta didik untuk siapa instruksi itu tidak sesuai sehingga mereka dapat
diberikan instruksi yang remediates. Biasanya tidak cukup bagi seorang desainer untuk menebak
keterampilan apa yang dibutuhkan dari audiens yang dituju. Prosedur yang lebih baik adalah
mewawancarai dan menguji keterampilan populasi sasaran sampai Anda cukup tahu tentang
mereka untuk merancang instruksi dengan tepat.
Selain kualitas pembelajar seperti keterampilan intelektual yang jelas, perancang instruksi
mestinya merasa perlu untuk membuat beberapa ketentuan untuk kemampuan dan sifat
pembelajar, yang biasanya dianggap kurang mudah dan bisa berubah melalui pembelajaran.
Kemampuan mencakup kualitas seperti pemahaman verbal dan orientasi spasial. Sifat
kepribadian adalah aspek lain dari kemampuan belajar yang mungkin perlu dipertimbangkan
dalam desain instruksional. Kemampuan dan sifat kontras dengan karakteristik pelajar sebagai
keterampilan dan pengetahuan verbal; memiliki efek spesifik pada isi instruksi yang efektif.
Ø Tahap 4: Tujuan Kinerja
Pada tahap ini, perlu merumuskan kebutuhan dan sasaran ke dalam kinerja tujuan yang
cukup spesifik dan rinci untuk menunjukkan kemajuan menuju tujuan. Ada dua alasan untuk
memulai dari tujuan umum hingga semakin meningkat ke objek spesifik. Yang pertama adalah
bisa berkomunikasi pada level orang yang berbeda. Beberapa orang (misalnya, orang tua atau
dewan direksi) adalah hanya tertarik pada tujuan, dan tidak dalam rincian, sedangkan yang lain
(guru, siswa) membutuhkan tujuan kinerja yang terperinci untuk menentukan apa yang akan
mereka ajarkan dan pelajari. Alasan kedua untuk meningkatkan rincian adalah memungkinkan
perencanaan dan pengembangan dari bahan ajar dan sistem penyampaian. Berbagai jenis hasil
belajar memerlukan perawatan instruksional yang berbeda. Untuk merancang bahan ajar yang
efektif dan memilih sistem pengiriman yang efektif, perancang harus benar-benar menentukan
kondisi belajar yang diperlukan untuk memperoleh informasi dan keterampilan baru. Alasan
terakhir untuk akhirnya menyatakan semua tujuan dalam hal kinerja (bukan isi garis besar atau
kegiatan guru) adalah untuk dapat mengukur kinerja siswa untuk menentukan kapan tujuan telah
tercapai.
Fungsi tujuan kinerja adalah untuk (1) menyediakan sarana untuk menentukan apakah
instruksi berhubungan dengan pencapaian tujuan, (2) menyediakan sarana untuk memfokuskan
perencanaan pelajaran pada kondisi yang sesuai pembelajaran, (3) membimbing pengembangan
ukuran kinerja pelajar, dan (4) membantu peserta didik dalam usaha belajar mereka. Dengan
demikian, hubungan intim antar tujuan, instruksi, dan evaluasi ditekankan. Briggs (1977) disebut
Ketiga aspek desain instruksional ini sebagai anchorpoint dalam perencanaan, dan dia
menekankan kebutuhan untuk memastikan bahwa ketiganya sesuai dengan kesepakatan lain.
Gambar 2-1 menempatkan pengembangan item uji sebelum pengembangan strategi instruksional
Briggs (1977) juga menempatkan desain penilaian instrumen sebelum pengembangan pelajaran,
dengan alasan bahwa (1) pemula adalah lebih mungkin untuk menyimpang dari tujuan dalam
mengembangkan tes daripada dalam mempersiapkan pelajaran, dan (2) perancang yang baru saja
selesai mengembangkan materi pelajaran mungkin secara tidak sengaja fokus pada konten
daripada kinerja dalam membangun tes. Perancang berpengalaman, bagaimanapun, mungkin
memilih untuk mengembangkan pelajaran sebelum mengembangkan ukuran kinerja.
Ø Tahap 5: Kriteria-Referensi Tes Item
Ada banyak kegunaan untuk ukuran kinerja. Pertama, mereka bisa digunakan untuk
diagnosis dan penempatan dalam kurikulum. Tujuan pengujian diagnostic adalah untuk
memastikan bahwa seseorang memiliki prasyarat yang diperlukan untuk keterampilan belajar
baru. Uji item memungkinkan guru untuk menentukan kebutuhan individu siswa agar
berkonsentrasi pada keterampilan yang kurang dan harus dihindari instruksi yang tidak perlu.
Tujuan lainnya adalah untuk mengecek hasil belajar siswa selama kemajuan pelajaran.
Pemeriksaan semacam itu memungkinkan untuk mendeteksi kesalahpahaman yang mungkin
dimiliki siswa dan memulihkannya sebelum melanjutkan. Selain itu, tes kinerja diberikan pada
akhir pelajaran atau unit instruksi dapat digunakan untuk mendokumentasikan kemajuan siswa
untuk orang tua atau administrator. Tingkat penilaian kinerja ini dapat berguna dalam
mengevaluasi sistem pembelajaran itu sendiri, atau keseluruhannya.
Evaluasi dirancang untuk menyediakan data, instruksi untuk diperbaiki, disebut evaluasi
formatif. Mereka biasanya dilakukan saat bahan ajar masih dibentuk dan direformasi. Bila tidak
ada perubahan lebih lanjut terhadap yang direncanakan dan kapan saatnya menentukan
keberhasilan dan nilai kursus di akhir, evaluasi sumatif dilakukan. Beberapa perencanaan ukuran
kinerja sebaiknya dilakukan sebelum pengembangan rencana pelajaran dan bahan ajar karena
seseorang menginginkan tes untuk fokus pada tujuan kinerja (apa yang harus dimiliki peserta
didik) daripada pada apa yang pelajar telah baca atau apa yang telah dilakukan guru. Demikian
ukuran kinerja dimaksudkan untuk menentukan apakah siswa telah memperoleh keterampilan
yang diinginkan, bukan untuk menentukan apakah mereka hanya mengingat instruksionalnya
presentasi.
Ø Tahap 6: Strategi Instruksional
Penggunaan istilah strategi kami bersifat nonrestrictive. Kami tidak bermaksud
menyiratkan semua instruksi harus dalam bentuk modul instruksional mandiri atau materi yang
dimediasi. Instruksi yang dipimpin oleh guru atau yang berpusat pada guru juga bisa mendapat
manfaat dari desain sistem pembelajaran. Melalui Strategi instruksional, dimaksudkan agar
sebuah rencana dibuat untuk membantu peserta didik dengan usaha studinya untuk setiap tujuan
kinerja. Ini mungkin terjadi bentuk rencana pelajaran (dalam hal instruksi yang dipimpin guru)
atau satu set spesifikasi produksi untuk bahan yang dimediasi. Tujuan strategi pengembangan
sebelum mengembangkan materi itu sendiri adalah untuk menguraikan bagaimana kegiatan
instruksional akan berhubungan dengan pencapaian tujuan. Saat instruksi yang dipimpin oleh
guru, diatur instruksi kelompok, para guru menggunakan proses desain instruksionalnya untuk
menghasilkan panduan untuk membantu menerapkan maksud rencana pelajaran tanpa harus
menyampaikan isi pastinya kepada peserta didik. Guru memberi arahan, mengarahkan peserta
didik ke materi yang sesuai, memimpin atau mengarahkan aktivitas kelas, dan melengkapi bahan
yang ada dengan instruksi langsung. Di sisi lain, ketika pelajaran yang berpusat pada pelajar,
pelajar dengan pembelajaran yang direncanakan, sebuah modul dipresentasikan kepada pelajar.
Biasanya menyajikan suatu tujuan belajar, panduan aktivitas, materi yang akan dilihat atau
dibaca, praktek/latihan, dan tes kompetensi untuk pelajar.
Tujuan dari semua instruksi adalah untuk menyediakan langkah instruksi. Mereka
mencakup fungsi yang diakui secara luas seperti mengarahkan perhatian, menginformasikan
pelajar tentang tujuan, menyajikan bahan stimulus, dan penyediaan umpan balik. Tidak masalah
apakah kegiatan ini dilakukan oleh guru atau bahan ajar, asalkan berhasil dilakukan. Bisa dicatat
lebih lanjut bahwa peristiwa instruksi ini berlaku untuk semua domain hasil pembelajaran.
Perencanaan strategi instruksional adalah bagian penting dari proses desain pembelajaran. Pada
titik inilah perancang harus bisa menggabungkan pengetahuan tentang teori belajar dan desain
dengan pengalaman peserta didik dan tujuan. Tak perlu disyukuri, kreativitas dalam perancangan
pelajaran akan meningkatkan pengetahuan dan pengalaman lainnya. Mungkin komponen
kreativitas ini memisahkan seni desain instruksional dari ilmu desain instruksional. Jelas bahwa
desain pelajaran terbaik akan menunjukkan pengetahuan tentang peserta didik, tugas tercermin
dalam tujuan, dan efektivitas strategi pengajaran.
Ø Tahap 7: Instruksional Materi/Bahan Ajar
Kata materi disini mengacu pada media cetak atau media lain yang dimaksudkan untuk
menyampaikan kegiatan instruksi. Dalam kebanyakan sistem pengajaran tradisional, guru tidak
merancang atau mengembangkan materi pelajaran mereka sendiri. Sebaliknya, mereka diberikan
bahan (atau mereka memilih materi) yang mereka integrasikan ke dalam rencana pelajaran
mereka. Sebaliknya, desain sistem instruksional menggarisbawahi pemilihan dan pengembangan
bahan ajar sebagai bagian penting dari usaha perancangan. Beberapa prinsip umum mulai
muncul. Pertama, yang lebih inovatif tujuannya, semakin besar kemungkinan bahwa sebagian
besar materi harus dikembangkan karena mereka tidak mungkin tersedia secara komersial.
Kedua, materi berkembang untuk sistem penyampaian tertentu hampir selalu lebih mahal
daripada membuat pilihan dari yang tersedia. Ketiga, adalah mungkin untuk meminimaliasir
biaya pengembangan dengan memilih bahan ajar yang tersedia dan mengintegrasikannya ke
dalam sebuah modul yang menyediakan cakupan semua tujuan instruksi yang diinginkan.
Keempat, peran guru dipengaruhi oleh pilihan sistem penyampaian dan kelengkapan materi
karena guru harus memberikan apapun peristiwa yang hilang yang mungkin dibutuhkan oleh
peserta didik.
Beberapa kurikulum dan sistem instruksional baru telah direncanakan dengan sengaja
sejak awal baik untuk mengembangkan semua bahan baru atau untuk memanfaatkannya
sebanyak mungkin materi yang ada. Alasan pertama adalah pastikan bahwa konsep, metode,
tema, atau isi utama secara hati-hati dipertahankan. Karena program semacam itu sering dikenali
sebagai percobaan, tambahnya biaya pengembangan dapat dibenarkan untuk menjaga kemurnian
konsep asli. Di kasus keputusan untuk memaksimalkan penggunaan bahan yang ada,
kemungkinan biaya menjadi pertimbangan utama dalam Proyek RENCANA (Flanagan, 1975).
Pengembangan material menurut Carey dan Briggs (1977) dan Branson and Grow (1987)
memberikan penjelasan umum tentang proses, dan Weisgerber (1971) memberikan beberapa dari
rincian untuk sistem tertentu.
Ø Tahap 8: Evaluasi Formatif
Evaluasi formatif menyediakan data untuk merevisi dan memperbaiki bahan
pembelajaran. Dick dan Carey (1990) memberikan prosedur rinci untuk tiga tingkatan proses
evaluasi formatif. Pertama, bahan prototipe dicoba pada satu-persatu (satu evaluator duduk
dengan satu pelajar) dengan perwakilan peserta didik sesuai kriteria. Langkah ini memberikan
banyak informasi secara terstruktur dan masalah logistik yang mungkin dimiliki peserta didik
dalam pelajaran. Perancang bisa mewawancarai pelajar atau memintanya "berbicara melalui"
pikirannya terhadap materi. Sudah diperkirakan keefektifannya bahan ajar bisa ditingkatkan 50%
hanya melalui penggunaan beberapa evaluasi satu per satu. Tingkat kedua adalah percobaan
kelompok kecil, yang bahannya diberikan kepada sekelompok 6-8 siswa. Fokus ini adalah
bagaimana siswa menggunakan materi dan berapa banyak bantuan yang diminta. Informasi ini
dapat digunakan untuk membuat pelajaran lebih mandiri. Ini juga akan memberi rancangan ide
yang lebih baik tentang efektivitas materi pada kelompok besar, nilai rata-rata siswa lebih
representatif daripada nilai dari percobaan siswa satu lawan satu. Langkah terakhir adalah uji
coba lapangan di mana instruksi, direvisi berdasarkan percobaan satu lawan satu dan kelompok
kecil, kemudian diberikan ke seluruh kelas. Tujuan dari evaluasi formatif adalah merevisi
instruksi seefektif mungkin untuk jumlah siswa terbesar. Tahapan pengembangan bahan ini
mungkin salah satu yang paling sering diabaikan karena tahap akhir dalam proses desain dan
merupakan upaya yang signifikan dalam perencanaan dan pelaksanaan. Namun, penggunaan
sistem umpan balik untuk memperbaiki sistem merupakan inti dari filosofi sistem. Desain
instruksional tanpa evaluasi formatif tidak lengkap. Lingkaran umpan balik pada Gambar 2-1
menunjukkan data evaluasi formatif dapat meminta revisi atau peninjauan produk karena
informasi berasal dari tahap desain sebelumnya.
Ø Tahap 9: Evaluasi Sumatif
Studi tentang keefektifan suatu sistem secara keseluruhan disebut evaluasi sumatif.
Istilahnya menyiratkan, evaluasi sumatif biasanya dilakukan setelah sistem melewati tahap
formatifnya-bila tidak lagi menjalani point-bypoint revisi. Hal ini mungkin terjadi pada saat uji
lapangan pertama atau sebanyak lima tahun kemudian, ketika sejumlah besar siswa telah diajar
oleh sistem yang baru. Jika ada harapan bahwa sistem akan banyak digunakan di sekolah atau
ruang kelas di seluruh negeri, evaluasi sumatif perlu dilakukan di bawah kisaran kondisi yang
bervariasi.

Sebuah badan nasional, Joint Dissemination Review Panel (JDRP), bertemu secara
berkala untuk meninjau bukti efektivitas produk pendidikan yang diidentifikasi berpotensi
“sebagai percontohan”dan tepat penyebarannya. Ini adalah bentuk evaluasi sumatif, di mana
sebuah tim dari evaluator mengaudit sebuah proyek percontohan untuk menilai bukti
efektivitasnya. Bukti itu harus menunjukkan valid dan dapat diandalkan, efeknya harus cukup
besar terhadap kepentingan pendidikan, dan memungkinkan berintervensi dalam produksi dan
pengaruhnya di tempat lain "(Tallmadge, 1977; hal 2). Proyek melewati pemeriksaan panel,
mungkin memenuhi syarat untuk mendapatkan dana dukungan penyebaran dari National
Diffusion Network.

Sumber: Gagne. M. Robert, Briggs. J. Leslie, and Wager.W. Walter. Principles Of


Instructional Design Fourth Edition. Harcourt Brace College Publishers.
ISBN: 0-03-034757-2

PERTANYAAN:
Berdasarkan pemaparan mengenai desain sistem instruksional, desain sistem intruksional
dapat terjadi dengan tingkat kebutuhan yang berbeda. Sebagaimana yang diketahui bahwa
Negara kita Indonesia, terdiri dari beberapa pulau/daerah yang memiliki tingkat kebutuhan dan
karakteristik daerah yang khas dan berbeda-beda. Apakah menurut anda komponen desain sistem
instruksional kurikulum yang berlaku saat ini (kurikulum 2013 edisi revisi) telah didasarkan
kebutuhan dan karakteristik yang khas dari setiap daerah atau hanya secara nasional? Berikan
saran dan pendapat anda mengenai upaya penyesuaian dan pengembangan desain instruksional
kurikulum Nasional di tiap daerah, agar selain tujuan pendidikan dapat tercapai, kualitas
pendidikan di Indonesia dapat merata, dan mencerminkan karakteristik/potensi yang berbeda-
beda dari setiap daerah?

IMPLEMENTASI KURIKULUM
Oktober 05, 2017
Sejak sebuah kurikulum dikembangkan, kurikulum tersebut harus diimplementasikan
secepatnya jika ingin mengetahui sejauh mana kebutuhan siswa dan masyarakat saat ini yang
tentunya semakin meningkat seiring perkembangan zaman. Apabila sebuah kurikulum
diterapkan dalam waktu yang lama, dan beresiko kurikulum yang anda terapkan tersebut kurang
relevan atau tidak sesuai/sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan baru. Pemerataan
(penyebaran) dan jumlah (daftar) semua pendidik dan masyarakat sangat penting diperhatikan
sebelum kurikulum apa yang baru dikembangkan kehilangan nilai pendidikannya. Padahal,
banyak yang direncanakan dan dikembangkan dalam kurikulum tidak dilaksanakan atau
diimplementasikan dengan tepat karena kurikulum hanya sebuah rancangan sedangkan untuk
mengintegrasikannya ke dalam program pendidikan sekolah hasilnya belum tentu. Pada tahun
2007, Jon Wiles dan Joseph Bondi mencatat bahwa lebih dari 90 persen kurikulum baru gagal
diimplementasikan; Dalam pandangan mereka, para pendidik tidak memiliki keterampilan dan
pengetahuan manajerial yang diperlukan untuk menyampaikan kurikulum baru.
Namun, mungkin bukan karena pendidik kekurangan keterampilan manajerial dan
pengetahuan; sebaliknya, mungkin mereka kaku (monoton) dalam strategi berpikir tentang
bagaimana memahami implementasi kurikulum. Selain itu, pendidik mungkin kewalahan dengan
tingkat perubahan yang terus meningkat. Atau, seperti yang dikatakan John P. Kotter, tentang
sudut pandang pendidik secara personal, "jangan merasa kesibukan terus berlanjut di sekitar
mereka, yang merupakan bagian dari masalahnya. "Kami merasakan bahwa kebanyakan orang
merasakan perubahan angin yang cepat sehingga mencoba "berlayar" ke pelabuhan yang aman
daripada menguji keterampilan mereka di pusaran” yang terjadi di abad baru ini.
Singkatnya, dalam beberapa kali terjadi perubahan yang cepat dan berkembang ini,
sebagian besar pendidik di semua tingkat sekolah tidak hanya harus mengembangkan
pengetahuan tentang kurikulum dan kreativitas serta penyampaian, tetapi juga pola pikir
(mindset) mereka, dan bahkan mungkin juga kepribadian mereka. Mereka harus merasa nyaman
dengan risiko, agar bisa berkembang mendorong batas-batas sosial dan pendidikan. Orang-orang
ini harus haus akan tindakan.Dengan begitu, seperti yang diungkapkan Kotter, bahwa "tindakan
adalah pencarian peluang dan pengambilan risiko, semua dipandu dengan visi yang menjanjikan
bagi orang lain (memiliki nilai jual untuk dibeli orang).” Tentu saja, kesiapan yang guru dan
orang lain terima dalam kurikulum baru sebagiannya bergantung pada kualitas perencanaan awal
dan ketepatannya, dimana langkah-langkah pengembangan kurikulum telah dilakukan.
Implementasi menjadi perhatian utama pendidikan sejak sekitar tahun 1980. Jutaan dolar
dikembangkan orang untuk mengembangkan proyek kurikulum, terutama untuk membaca dan
matematika; namun masih banyak proyek yang tidak berhasil. Seymour Sarason mengemukakan
bahwa banyak reformasi pendidikan telah gagal karena mereka yang bertanggung jawab atas
usaha tersebut hanya memiliki sedikit kemampuan atau pengalaman yang terdistorsi dari budaya
sekolah.
Sarason mencatat dua jenis pemahaman dasar yang penting untuk implementasi. Yang
pertama, pemahaman tentang perubahan sistem dan bagaimana informasi dan gagasan masuk ke
dalam konteks dunia nyata. Yang kedua adalah pemahaman tentang hubungan antara kurikulum
dan konteks kelembagaan sosial di mana mereka akan diperkenalkan. Pendidik harus memahami
struktur sekolah, tradisi, dan hubungan kekuasaannya serta bagaimana anggota menempatkan
diri dan peran mereka. Pelaksana kurikulum yang berhasil, akan menyadari bahwa
pelaksanaannya harus menarik peserta (target kurikulum/peserta didik) tidak hanya secara
logika, tapi juga emosional dan moral. Memang, Fullan mencatat bahwa kebanyakan guru
termotivasi untuk bertindak terutama karena pertimbangan moral.
Pandangan seseorang terhadap konteks sosial-institusional dipengaruhi oleh apakah
seseorang merasakan kehadiran kurikulum dalam dunia pendidikan sebagai teknik (modern) atau
nonteknis (postmodern). Mereka yang memiliki teknis, pandangan modern percaya bahwa
implementasi dapat direncanakan secara spesifik; mereka dengan nonteknis, postmodern,
berpandangan bahwa implementasi itu tidak pasti dan tiba-tiba (spontan). Sikap yang paling
produktif dalam menyikapi kedua pandangan mengenai implementasi adalah dengan
memandangnya sebagai kombinasi teknis (modern) dan nonteknis (postmodern).
Bagaimana kita bisa meyakinkan pendidik untuk menerima dan menerapkan kurikulum?
Pertama, kita bisa meyakinkan mereka bahwa menerapkan kurikulum baru akan memberikan
beberapa manfaat. Kedua, kita bisa menunjukkan konsekuensi negatif dari ketertinggalan
misalnya, sekolah tidak akan sesuai dengan mandat negara bagian, atau siswa akan gagal lulus
tes standar. Ketiga, kita bisa menunjuk dengan cara-cara di mana kurikulum tertentu yang ingin
kita terapkan sesuai dengan kondisi tempat kurikulum akan diberlakukan. Bagaimanapun, kami
mungkin ingin menerapkan program baru yang belum pernah ada dan bahkan lebih unggul dari
yang ada.
Implementasi kurikulum yang sukses dihasilkan dari perencanaan yang cermat, yang
berfokus pada tiga faktor: orang, program, dan proses. Untuk menerapkan perubahan kurikulum,
pendidik harus membuat orang mengubah beberapa kebiasaan mereka dan, mungkin, pandangan
mereka. Banyak sekolah gagal untuk melaksanakan program mereka karena mereka
mengabaikan faktor orang dan menghabiskan waktu dan uang hanya untuk memodifikasi
program atau proses.
Kotter menunjukkan bahwa untuk mengatasi tantangan "melahirkan" dalam
"kompleksitas pemasangan dan percepatan perubahan "abad ini, kita membutuhkan sebuah
sistem baru. Dia menyarankan sebuah sistem individu yang terorganisir sebagai jaringan- "lebih
seperti sebuah sistem tata surya. "Dia mengemukakan bahwa sistem semacam itu sedikit lebih
baik seperti jaring laba-laba, bisa menghasilkan dan memberikan inovasi, dalam kasus kami,
kurikulum baru dengan "Kelincahan dan kecepatan." Jaringan tidak menghilangkan hierarki; Ini
melengkapi mereka dengan strategi berpikir yang lebih dinamis diluar lingkup dan menghasilkan
inovasi dengan efisiens maksimal. Seperti jaring laba-laba, setiap spesies laba-laba memiliki
desain web sendiri, jadi setiap sekolah harus menyesuaikan sistemnya dengan implementasi
kurikulum terhadap latar belakang sosial-budaya sekolahnya yang unik(khas) di dalamnya.
ü Inkrementalisme
Banyak pendidik, dan juga anggota masyarakat umum, mengutamakan pemikiran pada
perubahan saat merenungkan pelaksanaan. Mereka melihat implementasi sebagai prosedur untuk
mengelola perubahan. Namun, seperti yang disarankan oleh Richard E. Elmore, pelaksana harus
mencari tahu terkait tujuan perubahan sebenarnya dalam dipertimbangkan focus perubahan pada
perubahan kurikulum dan budaya sekolah sehingga memberikan penekanan pada manajemen
perubahan.
ü Komunikasi
Untuk memastikan komunikasi yang memadai, spesialis/ahli kurikulum harus memahami
sekolah (atau sistem sekolah). Saluran komunikasi bersifat vertikal (antara orang-orang pada
tingkat yang berbeda dari hirarki sekolah) atau horizontal (antara orang pada tingkat yang sama
dari hirarki). Misalnya, komunikasi antara kepala sekolah dan guru bersifat vertikal; komunikasi
antara dua guru adalah horisontal. Pemimpin kurikulum yang efektif mendorong kelimpahan
saluran komunikasi mereka bekerja untuk membangun komunitas sekolah kohesif yang terdiri
dari guru, administrator, pelajar, dan bahkan anggota masyarakat. Komunikasi yang efektif
sebenarnya membutuhkan keseimbangan, sinkronisasi, kolaborasi formal dan informal.
Kurikulum tidak dibuat dan kemudian diimplementasikan, tapi selalu mengacu pada
sebuah keadaan yang ingin dibuat. Kurikulumnya tidak statis; namun dinamis, berkembang di
banyak tingkatan.
Implementasi Sebagai Proses Perubahan
Implementasi, merupakan bagian penting dari pengembangan kurikulum, terwujud dalam
kenyataan perubahan. Sederhananya, aktivitas kurikulum adalah aktivitas perubahan. Menurut
penelitian, agar perubahan kurikulum berhasil dilaksanakan, terdapat lima pedoman harus
diikuti:
1. Inovasi yang dirancang untuk meningkatkan prestasi belajar siswa harus terdengar secara
teknis. Perubahan harus mencerminkan temuan penelitian mengenai apa dan mengapa tidak
terlaksana, bukan karena desain/rancangan itu cukup popular.
2. Inovasi yang sukses membutuhkan perubahan struktur sekolah tradisional. Cara agar siswa dan
guru ditugaskan dalm lingkungan belajar/kelas dan berinteraksi satu sama lain harus secara
signifikan diubah.
3. Inovasi harus bisa diatur dan layak untuk rata-rata guru. Misalnya, suatu guru tidak bisa
berinovasi mengenai ide tentang pemikiran kritis atau pemecahan masalah bila siswa tidak bisa
membaca atau menulis bahasa Inggris dasar.
4. Penerapan upaya perubahan yang berhasil harus bersifat organik ketimbang birokrasi.
Pendekatan birokrasi terhadap peraturan dan pengawasan ketat tidak kondusif untuk berubah.
Seperti itu sebuah pendekatan harus diganti dengan pendekatan organik dan adaptif yang
memungkinkan beberapa orang menyimpang dari rencana semula dan mengenali akar
permasalahan dan kondisi sekolah.
5. Hindari sindrom "melakukan sesuatu, apapun itu". Rencana kurikulum yang pasti diperlukan
memfokuskan usaha, waktu, dan uang untuk konten, rasional, dan aktivitas yang masuk akal.

Jenis Perubahan
Kurikuler juga perlu memastikan apakah mereka mendekati implementasi kurikulum,
perubahan, dalam kerangka modern atau postmodern atau kombinasi kedua konfigurasi. Dua
pendekatan untuk studi kurikulum ini, yang meliputi pengembangan dan implementasi,
menambah dinamika yang membawa kurikulum ke kehidupan.
Kita juga bisa mempertimbangkan perubahan dalam hal kompleksitasnya. John McNeil
mendaftar semakin banyak tipe perubahan yang kompleks:
1. Pergantian. Ini menggambarkan perubahan di mana satu elemen dapat diganti dengan yang lain.
Dari seorang guru, misalnya mengganti satu buku teks dengan buku yang lain. Sejauh ini, ini
yang paling mudah dan jenis perubahan yang paling umum.
2. Perubahan. Jenis perubahan ini terjadi saat seseorang memperkenalkan, ke materi dan program
yang ada meliputi, konten baru, item, materi, atau prosedur yang tampaknya hanya kecil dan
dengan demikian kemungkinan akan diadopsi dengan mudah.
3. Perturbasi. Perubahan ini awalnya bisa mengganggu program tapi kemudian bisa disesuaikan
oleh pemimpin kurikulum untuk program yang sedang berlangsung dalam rentang waktu yang
singkat. Sebuah Contoh perturbasi adalah jadwal kelas menyesuaikan siswa, yang akan
mempengaruhi waktu yang diizinkan untuk mengajar subjek tertentu.
4. Restrukturisasi. Perubahan ini menyebabkan modifikasi sistem itu sendiri; yaitu, dari sekolah
atau sekolah kabupaten. Konsep baru tentang peran mengajar, seperti pembedaan kepegawaian
atau mengajar tim, akan menjadi semacam restrukturisasi perubahan.
5. Perubahan orientasi nilai. Ini adalah pergeseran filosofi dasar para peserta atau orientasi
kurikulum. Pialang daya utama sekolah atau termasuk peserta Kurikulum harus menerima dan
mengupayakan tingkat perubahan ini agar terjadi. Namun, jika guru tidak menyesuaikan domain
penilaian mereka, perubahan apa pun yang berlaku kemungkinan besar akan terjadi tidak akan
berlagsung lama.
Implementasi Kurikulum
Implementasi kurikulum jauh lebih dari sekedar menyerahkan keluar bahan baru dan
studi pelatihan. Agar implementasi berhasil, mereka yang terlibat harus mengerti tujuan
programnya, peran orang yang bermain dalam sistem, dan jenis individu yang akan terkena
dampak interaksi implementasi kurikulum baru. Agar implementasi kurikulum sukses, sekolah
pada dasarnya harus membangun pembelajaran masyarakat. Penekanan utama adalah membuat
sekolah sebagaimana yang ingin dihasilkan pada implementasi kurikulum, pembelajaran
diperkaya untuk semua orang yang terlibat, terutama untuk guru dan siswa. Implementasi yang
efektif tidak akan terjadi tanpa perencanaan yang serius. Proses perubahan menuntut
perencanaan, tapi rencanakan dengan fleksibilitas sehingga bisa dilaksanakan dengan keadaan
yang terkondisikan. Seiring pemberlakuannya, prosedur harus disesuaikan. Orang yang membuat
kurikulum/ahli kurikulum atau pelatihan baru sangat diarahkan untuk melirik distrik sekolah atau
sekolah dengan antusias dapat menerapkannya. Namun penerapannya tidak menuntut bahwa
pendidik menerima kurikulum tanpa pertanyaan. Pihak sekolah butuh waktu untuk "mencoba"
kurikulum baru atau pelatihan dan untuk menempatkan karakter/ciri khas mereka sendiri di
atasnya. Guru butuh kesempatan untuk melibatkan rekan mereka dalam berdiskusi tentang
kurikulum atau pelatihan yang dipresentasikan. Interaksi "feels" hubungan guru dengan
kurikulum yang akan dilaksanakan. Kurikuler bisa dan memang membawa berbagai perspektif
untuk implementasi dan mengintegrasikan banyak strategi. Bahkan postmodernis pun punya ide
strategi untuk mengintegrasikannya sebagai upaya menciptakan dan menerapkan kurikulum yang
mampu memjawab masalah mereka. Implementasi yang berhasil membutuhkan sebuah
komunitas kepercayaan. Kepercayaan mengambil waktu serta kolaborasi antar pemain
kurikulum. yang dibutuhkan adalah pendidik mengembangkan etika bersama tanggung
jawabnya. Hal ini membutuhkan mpenciptaan lingkungan di mana berbagai pendekatan dan
pendekatan pendidikan untuk pengembangan kurikulum dan implementasinya bisa dilaksanakan
dengan jujur melaluididiskusikan dengan hormat untuk semua peserta terkait. Mereka yang
bertanggung jawab atas perubahan, harus memahami perubahan dinamika strategi dan dinamika
proses kelompok Mereka harus menyadari kompleksitasnya di dalam sekolah dan masyarakat.
Mereka harus menyadari bahwa postur pendidikan dianalisis, dikritisi, disempurnakan, dan
ditantang. Instigator perubahan, Implementasi kurikulum, harus menyadari bahwa gejolak itu
masih ada di masyarakat lokal dan nasional hal ini tercermin dalam komunitas sekolah dan
sekolah itu sendiri. Kita hidup dalam masa yang kompleks dan kacau. Kita perlu bersemangat
dan termotivasi untuk menjadi agen perubahan aktif.
Mike Schmoker menekankan bahwa program sekolah yang efektif harus dilaksanakan,
Sekolah harus membangun komunitas belajar. Komunitas semacam itu memberi dukungan
kepada guru, staf dan dengan peluang terjadwal untuk membahas isu-isu yang muncul sebagai
hasil inovasi. Kesuksesan implementasi membutuhkan kerja sama tim. Implementasi
membutuhkan kolaborasi guru; ini menuntut guru untuk bertukar gagasan, mendukung tindakan
baru, mengatur ulang pemikiran, dan menilai kenyamannya tentang program bau. Fullan
menegaskan bahwa "kolegialitas, komunikasi terbuka, kepercayaan, dukungan dan bantuan,
belajar di tempat kerja, mendapatkan hasil dan kepuasan kerja dan semangat saling terkait erat. "
Implementasi berusaha membuat sekolah "belajar memperkaya/berkembang" untuk semua
pemain: administrator, guru dan Murid.
Pemeliharaan adalah pemantauan inovasi setelah diperkenalkan. Pemeliharaan mengacu
pada tindakan yang diperlukan untuk kelanjutan inovasi. Kecuali perawatannya direncanakan,
inovasi sering memudar atau diubah sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi. Tantangan untuk
melanjutkan program pendidikan baru ini terlepas dari apakah dorongan untuk program baru itu
bersifat eksternal atau internal. Pemeliharaan harus direncanakan, namun perencanaan semacam
itu bukan hanya memecahkan masalah teknis atau memperkenalkan diagram alur. Untuk
menjaga inovasi, kita harus mengatasi atau bahkan membangun domain afektif guru dan lain-
lain. Kita harus membangkitkan indera. Kita harus membangkitkan semangat. Komitmen
membutuhkan keterikatan emosional terhadap petualangan inovasi. Emosi yang respon positif
terhadap perubahan kurikulum inilah yang menumbuhkan kesuksesan. Guru harus mengalami
keterikatan emosional yang positif terhadap semua dimensi kurikulum. Mereka harus
bersemangat dengan tujuannya dan tujuan kurikulum. Mereka harus menanggapi secara afektif
isi dan pedagogies yang akan diterapkan. Pendidik harus melihat moralitas dari inovasi kurikuler.
Juga, tentu saja, seharusnya siswa juga memiliki emosional diri dan moral mereka yang
diaktifkan agar inovasi dapat mengakar.
Model Implementasi Kurikulum
Penulis- Jenis Perubahan
Model Asumsi Pemain kunci
Pencipta Proses Terlibat
Model Modernis
Mengatasi Neal Perlawanan terhadap Administrator, Strategi
resistansi Gross perubahan itu wajar. direktur, guru, perubahan
untuk mengubah Perlu mengatasi resistensi Pengawas. empiris
(ORC) sejak awal Strategi
kegiatan inovasi. perubahan yang
Harus mengatasi masalah staf. direncanakan.
Pengembangan Richard Pendekatan top-down Administrator, Empiris,
organisasi Schmuck (organisasi vertikal) direktur, perubahan
(OD) dan Stres pada budaya organisasi. pengawas rasional strategi.
Matius Implementasi bersifat Strategi
Mil interaktif proses. perubahan yang
direncanakan.
Konsumsi berbasis F. F. Pemilihan bersifat pribadi. Guru Strategi
adopsi Fuller Stres pada budaya sekolah. perubahan
(CBA) empiris.
Strategi
perubahan yang
direncanakan.
Model sistem Rensis Organisasi ini terdiri dari Administrator, Normatif,
Likert dan bagian, direktur, guru, rasional
Chris unit, dan departemen. pengawas strategi
Argyris Kaitan antara orang dan perubahan
kelompok. Strategi
Implementasi terdiri dari perubahan yang
perbaikan direncanakan
tindakan.
Perubahan Michael Perubahan yang berhasil Administrator, Perubahan
pendidikan Fullan melibatkan kebutuhan, guru, siswa, rasional
kejelasan, dewan sekolah, strategi
beberapa kompleksitas, dan masyarakat
kualitas program. anggota, dan
pemerintah
Model Postmodernis
Kurikulum-dalam- Wolff- Kurikulum selalu dalam Kurikulum Dasar teori
pembuatan Michael pembuatan, tidak pernah direksi, guru, chaos
Roth lengkap. siswa, anggota Teori
Kurikulumnya adalah "hidup." masyarakat perubahan
Hasil tak terbatas selalu hadir kuantum
kurikulum diterapkan. dasar
Berbagai model Patrick Setiap individu ditantang untuk Guru, siswa, Prosedural
pendekatan Slattery menghasilkan anggota absolut
Individu Memiliki pendekatan unik masyarakat proses
dikonseptualisasikan terhadap kurikulum Perubahan
proses implementasi pengembangan dan implementasi. kompleksitas
menekankan praksis teori
membebaskan
Teori kompleksitas William Kompleks tidak dapat disuling ke Guru, siswa, Perubahan
dipengaruhi E. Doll Jr. dalam anggota interaktif
pendekatan insiden sederhana masyarakat Jaringan
Hubungan Kompleksitas berhubungan meningkat
dengan dinamika interaktif kompleksitas
sistem.

 Guru
Guru harus menjadi pusat perbaikan kurikuler. Henry Giroux mengemukakan bahwa para
guru merupakan bagian integral dari pemikiran yang mendorong pembuatan dan implementasi
program. Guru adalah terlibat langsung dengan implementasi di kelas. Mereka memiliki keahlian
klinis.Seperti yang Elizabeth Campbell tunjukkan, harapan kurikulum muncul dari kemampuan
guru memberlakukan tindakan kurikuler dan pedagogik "dengan kebijaksanaan, penilaian, dan
kemampuan." Guru memodifikasi dan menyempurnakan karya desain rekan mereka dan
profesional luar. Kunci untuk mendapatkan guru yang berkomitmen terhadap inovasi adalah
keterlibatan. Selain menjadi anggota komite penasehat kurikulum, guru harus memiliki
kesempatan untuk berpartisipasi dalam komunitas belajar kurikulum dimana mereka dapat
mengembangkan identitas sebagai kurikulum innovator.
 Pengawas
Implementasi kurikulum harus diawasi dan dipantau. Baik cara mengajar maupun konten
yang dialamatkan perlu pengawasan. Pengawas memberikan arahan dan bimbingan serta
memastikan guru memiliki keterampilan untuk melakukan perubahan. Supervisor yang efektif
menyadari bahwa mereka harus menyesuaikan taktik mereka dengan situasi dan situasi peserta.
Pengawas bisa memberi guru berpengalaman banyak tanggung jawab. Namun, mereka mungkin
harus memberi guru awal lebih banyak struktur; mereka mungkin perlu menjadwalkan lebih
banyak pengawas hingga konferensi guru dan lebih banyak pelatihan in-service untuk anggota
staf kurikulum baru. Supervisor dapat melaksanakan tanggung jawab mereka dengan berbagai
cara. Beberapa cara yang populer adalah observasi kelas, pengajaran demonstrasi, konferensi
pengawas guru, pengembangan staf pertemuan, dan hibah dana. Jika supervisor efektif, guru
cenderung berkomitmen, dan merasa nyaman dengan program baru yang sedang dilaksanakan.
 Kepala sekolah
Kepemimpinan kepala sekolah sangat penting bagi keberhasilan implementasi kurikulum.
Kepala sekolah menentukan iklim organisasi dan mendukung orang-orang yang terlibat dalam
perubahan. Jika prinsipal menciptakan suasana di mana hubungan kerja yang baik ada di antara
guru dan antar guru dan staf pendukung, perubahan program lebih mungkin diterapkan. Prinsipal
yang efektif membantu perkembangan antusiasme untuk program baru. Saat ini, prinsipal tidak
hanya menjadi administrator dengan pemahaman kurikulum yang mendalam dan implementasi.
Selain menjadi pemimpin sekolah, kepala sekolah harus menjadi aktivis masyarakat. Kepala
sekolah harus berbicara dan bertindak untuk guru, siswa, dan masyarakat. Kepala sekolah harus
memfasilitasi tindakan yang berarti di antara semua pihak yang terlibat dalam implementasi
kurikulum.
 Direktur Kurikulum
Direktur kurikulum berkonsentrasi pada keseluruhan proses pengembangan kurikulum,
termasuk implementasi dan evaluasi. Distrik sekolah besar memiliki direktur penuh waktu yang
mengawasi kurikulum kegiatan. Di beberapa distrik sekolah, para direktur mengawasi
keseluruhan program K-13; masing-masing kabupaten memiliki direktur pendidikan dasar dan
direktur pendidikan menengah terpisah. Di distrik sekolah kecil, pengawas atau asisten pengawas
(asisten) bertanggung jawab soal kurikulum. Idealnya, direktur kurikulum atau asisten pengawas
yang bertugas mengilhami kurikulum kepercayaan dan kepercayaan diri dan berpengetahuan
luas, mengartikulasikan, dan karismatik. Direktur kurikulum atau asisten pengawas yang
bertanggung jawab atas kurikulum harus membantu guru dan kepala sekolah mendapatkan
keuntungan pengetahuan pedagogik dan kurikuler yang dibutuhkan untuk implementasi
kurikulum. Mereka harus akrab dengan penelitian terbaru dan teori tentang inovasi dan harus
memiliki keterampilan untuk mengkomunikasikan pengetahuan mereka kepada staf sekolah.
 Konsultan Kurikulum
Kadang-kadang, sebuah distrik sekolah mungkin ingin membawa seorang fasilitator atau
koordinator eksternal. Umumnya jarang ditemukan distrik sekolah yang tidak memiliki pakar
internal untuk berkonsultasi mengenai inovasi. Bahkan kabupaten besar pun mungkin
membutuhkan fasilitator luar. Distrik sekolah biasanya tidak menggunakan konsultan kurikulum
selama periode yang panjang. Sebaliknya, sekolah membawa konsultan untuk melakukan
lokakarya satu atau dua hari. Namun, lokakarya semacam itu tidak efektif karena diperlukan
penerapan kurikulum kerangka waktu yang jauh lebih lama. Konsultan juga membantu sekolah
menganalisa program, menilai mereka, dan mendapatkan sebagian besar dana hibah konsultan
tersebut berbasis di perguruan tinggi dan universitas.
 Orangtua dan Anggota Komunitas
Sekolah ada di dalam masyarakat, seringkali di masyarakat yang semakin beragam.
Pendidik harus menyadari bahwa siswa benar-benar menghabiskan lebih banyak waktu di
komunitas mereka daripada di sekolah. Pendidik juga harus memahami bahwa kurikulum ada di
luar tembok sekolah; belajar siswa tidak terjadi saat siswa keluar dari sekolah. Dalam
pengembangan dan implementasi kurikulum, pendidik harus berusaha untuk fokus pada
masyarakat dan mengembangkan sarana untuk melibatkan orang tua dan masyarakat anggota
dalam kegiatan sekolah, termasuk implementasi. Ini tidak berarti bahwa orang tua dan anggota
masyarakat akan melakukan pekerjaan guru, tapi sebuah kemitraan harus ada. Pendidik harus
melihat anggota masyarakat sebagai mitra. Guru tidak bisa mendidik siswa sendiri dalam isolasi
kelas. Bahkan dengan home schooling mulai populer, orang tua tidak dapat mendidik anak-anak
mereka sendirian. Menambah kompleksitas kerja dengan orang tua dan anggota masyarakat
adalah menyadari bahwa walaupun sekolah dan rumah memiliki kurikulum dan sekolah yang
dapat dilihat dan terukur, rumah, dan komunitas yang lebih besar semuanya memiliki berbagai
kurikulum tersembunyi yang dapat digunakan untuk maju atau menghambat total pembelajaran
akademis.

DESAIN PEMBELAJARAN UNTUK ILMU PENDIDIKAN DI ABAD 21


Oktober 25, 2017
Perkembangan dalam dunia pendidikan abad 21 harus sejalan dengan perkembangan
teknologi, sosial, ekonomi dan politik. Hal ini berpengaruh bagi perubahan kebutuhan warga
negara, pelajar, guru, pemerintah, sumber informasi, pengetahuan, dan sebagainya. Oleh karena
itu, dibutuhkan model desain pembelajaran yang berpusat pada siswa dan pengembangan literasi
baru dalam pendidikan sains. Aspek penting dari model desain pembelajaran ini adalah untuk
membimbing guru dalam: (a) mengubah praktek mengajar mereka ke arah yang berpusat pada
siswa, dan (b) mengintegrasikan penggunaan teknologi pendidikan yang efektif dalam praktek
belajar-mengajar mereka. Kedua aspek penting tersebut terkandung dalam Model Desain
Pembelajaran Rase yang menekankan kepada empat komponen pembelajaran, yakni: Resources
(sumber daya), Activity (kegiatan), Support (dukungan) dan Evaluation (evaluasi).
Selain itu, model ini digunakan untuk menekankan pentingnya konsep pembelajaran dalam
pendidikan sains. Masalah yang sering muncul dalam pendidikan dan sains adalah siswa tidak
didukung oleh pengalaman yang memadai dan sumber daya yang memadai dalam kegiatan
pembelajaran untuk memungkinkan pengembangan pengetahuan konseptual yang diperlukan
untuk memahami dan berpikir dalam ilmu. Guru sering berkonsentrasi pada pengajaran fakta,
mengekspos siswa untuk di formasi yang mereka butuhkan untuk mengingat (sebagai subjek
pemahaman yang mendalam) mempersiapkan pada hasil ujian dan tugas-tugas penilaian lainnya.
Pendidik sains perlu fokus pada mendukung siswa untuk mengembangkan basis yang cukup
pengetahuan konseptual yang diperlukan tidak hanya untuk masalah berpikir dan pemecahan,
tetapi juga untuk menetapkan keputusan, dan merancang, rekayasa dan menerapkan teknologi.
Semakin berkembangnya teknologi dunia, menggiring siswa pada pendekatan saintifik.
Sehingga secara otomatis konten kurikuler akan berkembang terus bersama dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, diperlukan solusi yang akan
mempromosikan cara belajar siswa pada tingkat pemahaman konseptual yang lebih dalam dan
dengan waktu yang lebih efisien.
Model Pedagogik Rase
Model Desain Pembelajaran Rase dapat dilihat dari dua perspektif: (1) instruksional dan
(2) pembelajaran. Dari perspektif instruksional, model ini akan membantu guru dalam
mengembangkan pendekatan yang berpusat pada siswa serta berbasis teknologi pendidikan. Dari
perspektif pembelajaran, model ini mendukung siswa untuk belajar konten disiplin dan
mengembangkan keahlian baru. Model ini dibangun berdasarkan dasar teoritis penting dan
menjelaskan konsep-konsep.
Constructivist learning environment atau Lingkungan belajar konstruktivis (Jonassen,
1999). Dalam pandangan ini, pembelajaran harus diatur dalam kegiatan-kegiatan dan terjadi
dalam suatu lingkungan yang mendukung konstruksi pengetahuan, karena bertentangan dengan
transmisi pengetahuan. Konstruksi pengetahuan adalah proses di mana siswa secara individu
membangun pemahaman mereka tentang isi kurikulum berdasarkan eksplorasi, keterlibatan
sosial, pengujian pemahaman dan pertimbangan berbagai perspektif. Menggarisbawahi
lingkungan belajar konstruktivis adalah Activity Theory, pada awalnya diusulkan oleh Lev
Vygotsky (1978) dan para pengikutnya seperti Leont'ev (1978), dan diartikulasikan dalam
kerangka yang lebih spesifik oleh para ahli lain seperti Engeström (1987). Teori aktivitas ini
menentukan komponen yang spesifik berupa aktivitas dalam sistem yang penting untuk
dipertimbangkan dalam perencanaan, pengelolaan dan memfasilitasi kinerja dalam pembelajaran,
seperti memahami secara spesifik suatu kegiatan, serta media-media yang digunakan.
Problem solving atau penyelesaian masalah (Jonassen, 2000). Untuk Jonassen, belajar
dapat dikatakan efektif ketika terjadi dalam konteks suatu kegiatan yang melibatkan siswa untuk
mampu memecahkan masalah secara terstruktur, masalah otentik, kompleks dan dinamis. Jenis
masalah berbeda-beda secara signifikan dari yang logis, terstruktur dengan baik dan dengan
solusi tunggal. Masalah jenis ini termasuk fenomena, studi kasus, strategi pengambilan
keputusan dan desain, yang semuanya memerlukan peserta didik untuk terlibat dalam pemikiran
yang mendalam, pemeriksaan beberapa kemungkinan, penyebaran berbagai perspektif teoritis,
menggunakan media, penciptaan produk, dan eksplorasi solusi yang memungkinkan. Siswa
belajar dengan memecahkan masalah kompleks daripada menyerap aturan dan prosedur siap
pakai.
Engaged learning atau Pembelajaran yang sedang dipakai ( Dwyer et al., 1985-1998).
Dwyer, Ringstaff dan Sand- Holtz melakukan studi longitudinal untuk menyelidiki pengadopsian
yang paling efektif dari teknologi Apple dalam lingkungan belajar yang berpusat pada siswa
(yaitu, Apple Kelas of Tomorrow). Para ahli ini berpendapat bahwa teknologi harus berfungsi
sebagai media untuk belajar, yang mendukung keterlibatan dalam kegiatan, kolaborasi dan
pembelajaran yang mendalam. Pusat pekerjaan mereka adalah konsep 'pergeseran pembelajaran,
yang penting dalam membuat siswa lebih aktif dalam pembelajaran dan penggunaan teknologi.
Problem-based learning (PBL) atau pembelajaran berbasis masalah ( Savery & Duffy,
1995). Savery dan Duffy mengusulkan PBL sebagai model desain yang optimal untuk belajar
yang berpusat pada siswa. Seiringan dengan hal tersebut, PBL dibangun berdasarkan filosofi
konstruktivis dan pembelajaran cenderung pada suatu proses konstruksi pengetahuan dan sosial.
Salah satu gambaran dari PBL adalah bahwa siswa aktif bekerja pada hubungan aktivitasyang
otentik dengan lingkungan di mana mereka akan secara alami diterapkan, yaitu, siswa
mengkonstruksi pengetahuan dalam konteks yang mengkonstruk kembali di mana mereka akan
menggunakan pengetahuan itu. Kreativitas, berpikir kritis, metakognisi, negosiasi sosial, dan
kolaborasi dari semua dianggap sebagai komponen penting dari proses PBL. Salah satu
karakteristik kunci dari PBL adalah bahwa guru bukan sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan, tetapi juga harus berfokus pada perintah metakognitif.
Rich environments for active learning atau Lingkungan pembelajaran aktif/Pembelajaran
aktif berbasis lingkungan ( Grabinger & Dunlap, 1997). ILAR, Savery dan Duffy, Grabinger dan
Dunlap mengusulkan PBL sebagai intervensi pendidikan yang efektif. Namun, dalam pendekatan
mereka perhatian lebih lanjut diberikan kepada konteks lingkungan di mana PBL terjadi,
mengingat aspek lebih lanjut dari komponen dan kompleksitas bahwa kegiatan seperti memang
dibutuhkan. Secara khusus, penekanan ditempatkan pada bagaimana membuat siswa lebih
bertanggung jawab, bersedia untuk memberikan inisiatif, reflektif dan kolaboratif dalam konteks
belajar yang dinamis, otentik dan generatif. Pendekatan ini juga menekankan pentingnya
pengembangan keterampilan belajar sepanjang hayat.
Technology-based learning environments and conceptual change atau Lingkungan
pembelajaran berbasis teknologi dan perubahan konseptual ( Vosniadou et al., 1995). Dalam
pandangan ini, peran sentral teknologi adalah untuk mendukung siswa dalam perubahan
konseptual dan konsep belajar daripada transfer pengetahuan sederhana. Siswa membangun
model mental dan representasi internal lainnya melalui upaya untuk menjelaskan dunia luar.
Siswa sering membawa kesalahpahaman sebelum situasi belajar. Oleh karena itu, instruksi
seharusnya dirancang untuk memperbaiki kesalahpahaman tersebut. Teknologi akan dirancang
tidak hanya presentasi representasi eksternal yang efektif dari pengetahuan konseptual, tetapi
juga eksternalisasi representasi internal sehingga guru dapat memperoleh wawasan pengetahuan
dan pemahaman siswa. Mengambil lebih perspektif konstruktif, teknologi dan representasi akan
menempatkan peran tertentu dalam kegiatan pembelajaran.
Interactive learning environments atau Lingkungan interaktif pembelajaran (Harper &
Hedberg, 1997; Oliver, 1999). Dalam rangka untuk melayani kompleksitas diperlukan untuk
belajar, Oliver mengusulkan bahwa modul pembelajaran harus mengandung sumber daya, tugas
dan dukungan. Agar pembelajaran terarah, harus melibatkan tugas siswa untuk menentukan
tujuan spesifik sumber daya. Peran guru adalah untuk mendukung pembelajaran. Komponen-
komponen yang terintegrasi akan menyebabkan interaktivitas penting agar pembelajaran dapat
terjadi. Harper dan Hedberg sangat menekankan filsafat konstruktivis, dan berpendapat bahwa
teknologi itu sendiri harus menyediakan sebuah lingkungan di mana peserta didik dapat
berkolaborasi dengan media dan satu sama lain. Mirip dengan Jonassen (2000), Hedberg
mendukung pendekatan berbasis masalah sebagai intervensi pendidikan yang paling efektif.
Meskipun perspektif ini dirintis pada tahap awal adopsi multitafsir media, pendidikan dan
pengembangan perangkat lunak.
Collaborative knowledge building atau membangun kolaborasi pengetahuan ( Bereiter &
Scardamalia, di tekan). Konstruksi pengetahuan adalah konstruksi teoritis yang dikembangkan
oleh Bereiter dan Scardamalia untuk memberikan interpretasi dari apa yang dibutuhkan dalam
konteks kegiatan pembelajaran kolaboratif. Pengetahuan pribadi dipandang sebagai fenomena
diamati secara internal dan satu-satunya cara untuk mendukung pembelajaran dan memahami
apa yang sedang terjadi yakni untuk berurusan dengan pengetahuan masyarakat disebut (yang
mewakili apa sebuah komunitas pelajar tahu). pengetahuan masyarakat ini tersedia untuk
memperluas kinerja siswa dan memodifikasinya melalui wacana, negosiasi, dan ide-ide kolektif.
Situated learning atau situasi pembelajaran (Brown et al., 1989). Brown dan koleganya
membangun perspektif Teori Kegiatan untuk menekankan peran sentral suatu kegiatan dalam
belajar. Kegiatan adalah di mana pengetahuan konseptual dikembangkan dan digunakan.
Dikatakan bahwa situasi ini menghasilkan pembelajaran dan kognisi. Dengan demikian,
kegiatan, media-media dan pembelajaran tidak harus dianggap sebagai terpisah. Belajar adalah
suatu proses enkulturasi dimana siswa menjadi akrab dengan penggunaan media-media kognitif
dalam konteks kinerja pada suatu kegiatan yang otentik. Kedua aktivitas dan bagaimana media
ini digunakan khusus untuk budaya praktek. Konsep tidak hanya terletak dalam suatu kegiatan,
tetapi secara progresif dikembangkan melalui hal tersebut, dibentuk oleh makna yang ada,
budaya dan keterlibatan sosial. Dalam istilah Vygotsky, konsep memiliki sejarah, baik pribadi
dan budaya. Konsep hanya dapat dipahami dan dipelajari pada tingkat pribadi melalui
penggunaan mereka dalam sebuah aktivitas. Penggunaan media aktif dan interaksi antara media
dan kegiatan mengarah ke peningkatan dan selalu berubah pemahaman dari kedua kegiatan dan
konteks penggunaan media, dan media itu sendiri. Penggunaan media mungkin berbeda antara
komunitas yang berbeda dari praktek, jadi belajar bagaimana menggunakan media khusus untuk
masyarakat adalah suatu proses enkulturasi. Bagaimana media yang digunakan mencerminkan
bagaimana masyarakat melihat dunia. Konsep ini juga memiliki sejarah mereka sendiri dan
produk dari perkembangan sosial budaya dan pengalaman anggota dari Tengoklah praktek.
Dengan demikian, Brown dan koleganya sangat menyarankan bahwa aktivitas, konsep dan
budaya saling bergantung, bahwa “budaya dan penggunaan media menentukan cara praktisi
melihat dunia, dan cara menghadirkan dunia kepada mereka menentukan pemahaman budaya
tentang dunia dan media. Untuk belajar menggunakan media sebagai praktisi menggunakannya,
mahasiswa, harus memasukkannya kedalam masyarakat dan budaya”. Oleh karena itu, belajar
adalah proses enkulturasi, dimana siswa belajar untuk menggunakan media konseptual domain
dalam suatu aktivitas otentik.
Inquiry-based learning supported by technology (Pembelajaran berbasis inquiry didukung
oleh teknologi). Bekerja di bawah konsep umum ini termasuk berorientasi praktis kerangka kerja
dan pedoman desain untuk membangun modul pembelajaran berbasis teknologi. Ini termasuk
pendekatan seperti Quest Atlantis (Barab et al., 2005), Micro Pelajaran (Divaharan & Wong,
2003), Pelajaran Aktif (Churchill, 2006), dan Web Quest (Dodge, 1995). Mirip dengan karya
teoritis yang dibahas sebelumnya, pendekatan ini mengangkat pentingnya kegiatan belajar
sebagai intervensi pendidikan efektif. Belajar dimulai dengan penyelidikan atau masalah
(didukung dengan presentasi multimedia) yang disajikan kepada siswa dengan cara yang
menarik. Para siswa kemudian ditugaskan untuk tugas (s), disediakan dengan template untuk
membantu mereka dalam penyelesaian tugas (s), diarahkan ke berbasis Web dan sumber daya
lainnya untuk membantu mereka dan media-media kolaborasi seperti platform diskusi. Paling
sering, siswa menggunakan media berbasis teknologi dalam menyelesaikan tugas-tugas mereka
dan diarahkan untuk menyerahkan hasil melalui sarana elektronik. Sebagai model desain,
pendekatan ini membuat langkah signifikan dalam mengarahkan guru untuk menjauh dari,
penggunaan teknologi tradisional, konten-driven berpusat pada guru. Apa yang dapat diamati
dari ide-ide ini adalah kegiatan yang dan pengetahuan konseptual adalah pusat untuk belajar.
Berdasarkan model-model tual teoritis dan mengkonsep, kami mengembangkan model Desain
Pembelajaran Rase sebagai media penting untuk mendukung kegiatan perencanaan instruksional.
Ide utama di balik Rase adalah konten yang sumber tidak cukup untuk pencapaian penuh
hasil belajar. Selain sumber daya, guru perlu mempertimbangkan hal berikut:
· Kegiatan bagi siswa untuk terlibat dalam penggunaan sumber daya dan kinerja pada tugas-
tugas seperti eksperimen dan memecahkan masalah melalui pengalaman terhadap hasil belajar
masalah.
· Dukungan untuk memastikan bahwa siswa diberikan bantuan, dan jika mungkin dengan media
untuk secara mandiri atau bekerja sama dengan siswa lain, memecahkan kesulitan yang muncul.
· Evaluasi untuk menginformasikan para siswa dan guru tentang kemajuan dan untuk melayani
sebagai media untuk memahami apa lagi yang perlu dilakukan dalam rangka untuk memastikan
hasil belajar yang dicapai.
Gambar 1 adalah representasi visual dan ringkasan dari model pembelajaran Rase. Pembaca
didesak untuk mempertimbangkan semua komponen dan berpikir tentang cara bagaimana ini
dapat diintegrasikan dalam lingkungan belajar holistik dalam praktek mereka sendiri.

Sumber pengetahuan meliputi (a) konten (misalnya, media digital, buku pelajaran, ceramah
oleh guru), (b) bahan (misalnya, bahan kimia untuk percobaan, cat dan kanvas), dan (c) media
yang digunakan siswa saat mengerjakan mereka aktivitas (misalnya, media-media laboratorium,
kuas, kalkulator, penggaris, perangkat lunak analisis statistik, kata proses-software). Ketika
mengintegrasikan sumber daya teknologi dalam mengajar, itu harus dilakukan dengan cara yang
mengarah siswa untuk belajar dengan, bukan hanya belajar dari sumber daya tersebut. Dengan
cara ini, siswa dapat mengembangkan unsur-unsur semua kemahiran baru mereka berlebihan.
Ada berbagai perangkat lunak yang dapat digunakan siswa dalam belajar (misalnya, media Mind
Mapping seperti Pikiran Meister, media gambar / video editing seperti iMovie, media profesional
seperti AutoCAD dan Mathematica, dan model bangunan dan eksperimen media-media seperti
Interaktif Fisika dan Stella).
Jenis sumber daya digital konten mungkin efektif untuk ilmu pengetahuan dan
pembelajaran teknik, khususnya untuk konsep ilmu pembelajaran, dan ment mengembangkan-
kemahiran baru? Kami berpendapat bahwa 'Konseptual Model Pembelajaran Objects' harus
diberikan pertimbangan oleh ilmu pengetahuan dan rekayasa pendidik. Selama dekade terakhir,
kami telah melakukan pekerjaan penelitian yang luas pada desain dan penggunaan tional educa-
learning (lihat Churchill, 2005, 2007, 2008, 2010, 2011a, 2011b, dalam pers; Churchill &
Hedberg, 2008; Jonassen & Churchill, 2004).
Sebuah konsep secara luas dipahami sebagai bentuk spesifik dari struktur kognitif yang
memungkinkan berpengetahuan untuk memahami informasi baru, dan terlibat dalam pemikiran
disiplin tertentu, pemecahan masalah dan pembelajaran lebih lanjut. literatur menggarisbawahi
pentingnya pembelajaran konseptual, dan mengacu pada bukti bahwa pengetahuan konseptual
yang tidak lengkap dan kesalahpahaman menjadi penghambat yang serius dalam belajar (lihat
Mayer, 2002; Smith et al., 1993; Vosniadou, 1994). Model telah dijelaskan dalam literatur
sebagai media yang efektif untuk belajar konseptual. Penggunaan pendidikan mereka telah
berpusat pada model instruksional dan pembelajaran (misalnya, Dawson, 2004; Gibbons, 2008;
Johnson & Lesh, 2003; Lesh & Do-err, 2003; Mayer, 1989; Norman, 1983; Seel, 2003; van
Someren et al., 1998). Sebuah objek model pembelajaran konseptual dirancang untuk mewakili
konsep tertentu (atau serangkaian konsep terkait) dan sifat-sifatnya, parameter dan hubungan.
Seorang pelajar dapat memanipulasi sifat-sifat dan parameter dengan komponen interaktif
(misalnya, slider, tombol, hotspot area, kotak input teks) dan mengamati perubahan yang
ditampilkan dalam berbagai mode (misalnya, numerik, tekstual, pendengaran dan visual).
Sumber daya ini membutuhkan sedikit waktu kontak untuk belajar maksimal dan pengetahuan
konseptual yang akan dibangun.
Gambar 2 menunjukkan contoh dari konseptual objek model pembelajaran. objek belajar
ini merupakan representasi interaktif dan visual dari suatu konsep transfer kekuasaan melalui
sistem katrol. Hal ini memungkinkan siswa untuk memanipulasi sejumlah parameter dan
mengamati dampak dari konfigurasi pada sistem katrol. Dalam rangka mewujudkan potensi
pendidikan penuh obyek pembelajaran ini, guru perlu membuat tugas (kegiatan) di mana dia
akan terlibat dalam penyelidikan dan eksplorasi terutama yang berhubungan dengan penanaman
dalam objek pembelajaran. Seorang siswa bisa memposisikan dua slider untuk mengubah nilai-
nilai beban yang akan diangkat dan usaha yang akan diberikan untuk mengangkat beban ini, atau
sebaliknya. Mengungkap hubungan ini harus mengarah ke pemahaman yang lebih dalam konsep-
konsep kunci yang diwakili oleh objek pembelajaran.
Contoh lain dari objek pembelajaran disajikan pada Gambar 3. objek pembelajaran ini
menggambarkan parameter pemesinan kunci dalam mesin (memutar). Kami menggunakan
teknik untuk menunjukkan relevansi ide untuk domain lainnya. Peserta didik dapat memanipulasi
parameter ini dan menjelajahi kombinasi optimal diperlukan untuk menyelesaikan tugas mesin.
Skenario berikut, telah dijelaskan padapenelitian sebelumnya, yakni menggambarkan
bagaimana konseptual objek model pembelajaran mungkin mendukung pembelajaran sains:
(1) Pengamatan: Sebuah model konseptual dapat mendukung siswa untuk membuat
hubungan antara dunia nyata dan sifat mewakili suatu konsep. Hal ini dapat dirancang agar
peserta didik dapat mengenali sifat dari lingkungan nyata dalam antarmuka dari model
konseptual, serta sebaliknya. representasi ini dari properti tidak hanya salinan dari dunia nyata.
Sebaliknya, realitas diwakili melalui ilustrasi, representasi diagrammatical, analogi, metafora,
tanda-tanda, isyarat, simbol, dan ikon.
(2) Menggunakan analisis: Sebuah model konseptual akan memungkinkan siswa untuk
mengimpor Data dari lingkungan nyata dan percobaan untuk pengolahan analisis (misalnya,
tujuan kalkulator khusus). fitur desain (misalnya, slider, dialer, daerah tempat panas dan kotak
input teks) memungkinkan input parameter. Hasil interaksi dapat ditampilkan dalam berbagai
format seperti nomor, grafik, audio, lisan / pernyataan tertulis, representasi bergambar, dan
animasi.
(3) Percobaan: Sebuah model konseptual akan memungkinkan peserta didik untuk
memanipulasi parameter dan properti, dan mengamati perubahan yang dihasilkan dari
manipulasi tersebut. Juga, mungkin memungkinkan manipulasi hasil analisis penggunaan untuk
memungkinkan siswa untuk memeriksa bagaimana perubahan ini mempengaruhi parameter
terkait. Perubahan dapat disorot untuk memberikan isyarat dan mendorong generalisasi. fitur
desain sebuah model konseptual ini memungkinkan muncul secara umum untuk diuji.
(4) Berpikir: Sebuah model konseptual mungkin termasuk fitur yang memulai dan
mendukung pemikiran ilmiah. Sehubungan dengan konsep-konsep ilmu pengetahuan, hal ini
dapat dicapai dengan mengintegrasikan pemicu (misalnya, sinyal dan isyarat) yang menangkap
perintah dan memulai rasa ingin tahu. Selain itu, model konseptual mungkin mendukung
kegiatan kognitif menghubungkan model mental dari konsep (verbal dan visual) dikembangkan
melalui interaksi dengan isinya.
Model konseptual dapat digunakan kembali dalam lingkungan yang berbeda dan hubungan
aktivitas. Sebagai contoh, penggunaan kembali mungkin termasuk kelas atau presentasi
laboratorium, atau digunakan oleh beberapa peserta didik karena mereka berkolaborasi pada
tugas-tugas ilmu pengetahuan. Akhir-akhir ini, telah ada peningkatan model konseptual dan
benda-benda belajar lainnya tersedia melalui teknologi mobile seperti iPad. Penulis mengacu
pada ini sebagai Belajar Obyek Apps. teknologi mobile memungkinkan sumber daya tersebut
untuk dibawa ke authen- konteks tic, pindah antara ruang kelas, laboratorium dan dunia nyata
dan digunakan oleh siswa secara mandiri di luar sekolah dan kapanpun mereka dibutuhkan.
pembaca diingatkan bahwa sumber daya hanya salah satu komponen dari sebuah unit
pembelajaran. Pertimbangan juga perlu diberikan untuk aktivitas, dukungan dan evaluasi.
AKTIVITAS
Kegiatan adalah komponen penting untuk pencapaian penuh hasil belajar. Suatu kegiatan
memberikan siswa dengan pengalaman di mana belajar terjadi dalam konteks pemahaman yang
muncul, menguji ide, generalisasi dan menerapkan pengetahuan. Sumber daya, seperti
konseptual obyek model pembelajaran, media yang digunakan siswa saat menyelesaikan
aktivitas mereka. Berikut ini adalah dua karakteristik kunci dari suatu kegiatan yang efektif: (1)
Suatu kegiatan harus “Berpusat pada siswa”: yakni berfokus pada apa yang siswa akan lakukan
untuk belajar, bukan pada apa yang siswa akan ingat, Sumber daya adalah media di tangan siswa,
Guru fasilitator yang berpartisipasi dalam proses tersebut, Mahasiswa menghasilkan produk yang
menunjukkan kemajuan belajar mereka, Siswa belajar tentang proses, Siswa mengembangkan
kemahiran baru. (2) Suatu kegiatan harus “otentik”: yakni berisi skenario nyata dan masalah-
terstruktur, Ini pengulangan praktek profesional, Menggunakan media khusus untuk praktek
profesional, Hasilnya produk yang menunjukkan kompetensi profesional, tidak hanya
pengetahuan. Berikut ini adalah contoh dari apa suatu kegiatan mungkin: (1) Sebuah proyek
desain (misalnya, merancang percobaan untuk menguji hipotesis ilmiah), (2) Studi kasus
(misalnya, kasus bagaimana seorang ilmuwan mengidentifikasi fisika baru keteraturan), (3)
pemecahan masalah tugas belajar (misalnya, meminimalkan gesekan di daerah yang bertanda),
(4) Mengembangkan sebuah film dokumenter tentang isu tertentu yang menarik (misalnya, GM
pro makanan dan kontra), (5) Sebuah poster untuk mempromosikan isu kontroversial ilmiah
(misalnya, energi nuklir), (6) hari ilmu Perencanaan di sekolah Anda, (7) Mengembangkan
perangkat lunak untuk mengontrol perpindahan mekanik kekuasaan, (8) Peran-play (misalnya,
membela percobaan sains dengan hewan kecil). Hasil dari suatu kegiatan dapat menjadi produk
konseptual (misalnya, ide atau kecuali bahwa konsep disajikan dalam laporan tertulis), prangkat
keras (misalnya, model sebuah sirkuit listrik), atau prangkat lunak (misalnya, penciptaan berbasis
komputer). Perangkat yang dihasilkan oleh siswa seharusnya berdasarkan pendapat sejawat dan
review ahli dan revisi sebelum penyerahan akhir. Proses ini mungkin juga melibatkan presentasi
mahasiswa dan rekan / umpan balik ahli. Perangkat yang dihasilkan seharusnya dievaluasi
dengan cara agar siswa dapat merenungkan umpan balik dan mengambil tindakan lebih lanjut
terhadap prestasi lebih koheren dari hasil belajar.
Mendukung Tujuan dari dukungan adalah untuk memberikan siswa dengan perancah
penting sementara memungkinkan pengembangan keterampilan belajar dan kemandirian. Bagi
para guru, salah satu tujuannya adalah untuk mengurangi redundansi dan beban kerja. Dukungan
mungkin mengantisipasi kesulitan, seperti memahami suatu kegiatan, dengan menggunakan
media atau bekerja dalam kelompok. Selain itu, guru harus melacak dan merekam kesulitan yang
terus berlangsung dan isu-isu yang perlu ditangani selama belajar, dan berbagi dengan siswa.
Tiga mode dukungan yang mungkin: guru-murid, siswa-siswa, dan siswa-perangkat (sumber
daya tambahan). Dukungan dapat berlangsung di ruang kelas dan di lingkungan online seperti
melalui forum, wiki, Blog dan ruang jejaring sosial. Dukungan juga dapat dilihat sebagai
antisipasi kebutuhan siswa. Tergantung di lapangan, struktur pendukung proaktif seperti
TANYA JAWAB dapat direncanakan dan dilaksanakan dalam kebutuhan tersebut. Tujuan dari
dukungan antisipatif adalah untuk memastikan siswa memiliki akses ke sumber daya ketika
mereka membutuhkan bantuan, bukannya bergantung pada guru untuk bantuan.
Berikut adalah beberapa strategi spesifik dengan spesialisasi: (1) Membangun sumber daya
dan bahan yang merupakan FAQ Page, (2) Buat “Bagaimana saya?” Atau “Help Me” Forum, (3)
Buat Daftar istilah yang berhubungan dengan kursus, (4) Gunakan daftar periksa dan rubrik
untuk kegiatan, (5) Gunakan platform jaringan sosial lainnya dan media-media sinkron seperti
chat dan Skype. Secara keseluruhan, dukungan harus bertujuan mengarah siswa untuk menjadi
lebih peserta didik independen. Guru harus memberikan sering, awal, umpan balik positif yang
mendukung keyakinan siswa bahwa mereka dapat melakukannya dengan baik. Selain itu, siswa
juga perlu aturan dan parameter untuk pekerjaan mereka. Misalnya, sebelum siswa dapat
meminta guru untuk membantu, mereka harus terlebih dahulu meminta teman sekelas mereka
melalui salah satu Forum dan / atau mencari di Internet untuk solusi untuk masalah mereka (s).
Dengan cara ini, siswa diharapkan untuk mengambil tanggung jawab untuk pembelajaran mereka
dan untuk menunjang pelabuhan siswa lain dalam kelompok mereka.
EVALUASI
Evaluasi belajar siswa selama semester merupakan bagian penting dari pengalaman belajar
yang berpusat pada siswa yang efektif. Evaluasi formatif dalam rangka untuk memungkinkan
siswa untuk terus meningkatkan pembelajaran mereka. Suatu kegiatan harus memerlukan siswa
untuk bekerja pada tugas-tugas, dan mengembangkan dan perangkat Duce pro yang bukti belajar
mereka. Ini bukti belajar siswa memungkinkan guru untuk memantau kemajuan siswa dan
memberikan panduan lebih lanjut formatif untuk membantu meningkatkan prestasi belajar siswa.
Siswa juga perlu mencatat kemajuan mereka dalam menyelesaikan rangkaian tugas, sehingga
mereka juga dapat memantau cara belajar mereka dan perbaikan yang mereka buat. Rubrik dapat
diberikan untuk memungkinkan siswa untuk melakukan evaluasi diri juga. Selain itu, evaluasi
mungkin dilakukan oleh rekan-rekan juga. Berikut adalah beberapa poin mengapa evaluasi
penting untuk belajar siswa: (1) Menawarkan umpan balik pada pekerjaan dan mengidentifikasi
di mana siswa di mereka pembelajaran, (2) Menawarkan kesempatan bagi siswa untuk
meningkatkan pekerjaan mereka, (3) Memungkinkan siswa untuk menjadi pembelajar yang lebih
efektif dan termotivasi, (4) Membantu siswa menjadi lebih mandiri dan peserta didik mandiri.
Berikut perlengkapan rekomendasi mungkin berguna untuk guru untuk mengembangkan
unit pembelajaran mereka didasarkan pada model Desain Pembelajaran Rase. Sebelum memulai
untuk membangun unit pembelajaran, guru perlu: (1) Memastikan bahwa hasil belajar kursus
tertentu selaras dengan berlebihan semua hasil program pembelajaran, (2) Mengidentifikasi unit
yang dibutuhkan untuk mencapai hasil belajar pembelajaran, (3) Menyelaraskan penilaian, unit
pembelajaran dan hasil belajar. Ini harus disajikan dalam dokumen Outline Course keseluruhan
di mana rincian tentu saja, termasuk hasil belajar, jadwal dan topik, dan informasi tentang
evaluasi/tugas secara jelas disajikan dan selaras. Hanya kemudian adalah guru mampu
mengembangkan dan unit pembelajaran hadir sebagai berikut: (1) Jelaskan topik, (2) hasil Hadir
belajar, (3) Jelaskan apa yang diharapkan dan apa yang harus dilakukan jika dukungan
diperlukan, (4) Jelaskan prasyarat dan bagaimana untuk membangun pembelajaran sebelumnya,
(5) Jelaskan suatu kegiatan, (6) Jelaskan tugas dalam kegiatan, (7) Memberikan petunjuk tentang
bagaimana untuk melanjutkan awalnya, (8) Jelaskan kiriman (perangkat yang akan diproduksi),
menyediakan template jika apapun, memberikan contoh kiriman jika ada, (9) standar kehadiran
untuk Evaluasi dan menyediakan rubrik, (10) Menyediakan memeriksa diri dan bentuk evaluasi
rekan jika diperlukan, (11) Jelaskan pilihan dukungan. Selanjutnya, kita perlu menyediakan
Sumber daya seperti: (1) Catatan, artikel dan buku, (2) Presentasi, demonstrasi dan dicatat
kuliah/nyata, (3) materi Interaktif seperti model konseptual dan bentuk lain dari objek belajar, (4)
Video, (5) Perangkat lunak, (6) media Dukungan. Kita juga perlu secara jelas menentukan apa
yang diharapkan dari evaluasi dan bagaimana hal itu akan dilakukan, sehingga siswa memiliki
titik acuan yang jelas untuk pekerjaan mereka.
Sumber: Churchill, D., King, M., and Fox, B. (2013). Learning Design For Science Educationin
The 21st Century. IPI.
ISSN 0579-6431. DOI: 10.2298/ZIPI1302404C

PERTANYAAN
Apakah model pedagogik Rase cocok diterapkan dalam pembelajaran kimia terutama pada
materi kimia yang bersifat abstrak, dan analitis? Berikan alasannya dan contoh penerapannya?

DESAIN SISTEM INSTRUKSIONAL


Oktober 11, 2017
Sistem instruksional dapat didefinisikan sebagai suatu pengaturan sumber daya dan
prosedur yang digunakan untuk mempromosikan pembelajaran. Perancangan sistem
instruksional adalah proses perencanaan sistem instruksional dengan sistematis dan
pengembangan instruksional adalah proses penerapan rencana. Seiring dengan kedua fungsi ini,
meliputi komponen dari apa yang disebut sebagai teknologi instruksional. Teknologi
instruksional adalah istilah yang lebih luas daripada sistem instruksional dan dapat didefinisikan
sebagai aplikasi teori dan teori pengetahuan yang sistematis serta terorganisir dengan lainnya
untuk tugas desain dan pengembangan instruksional. Teknologi instruksional juga mencakup
pencarian pengetahuan baru tentang bagaimana caranya orang belajar dan cara terbaik untuk
merancang sistem atau bahan pembelajaran (Heinich, 1984).
Harus dibuktikan bahwa desain sistem instruksional dapat terjadi pada tingkat kebutuhan
yang berbeda. Kita bisa membayangkan sebuah usaha nasional dalam perencanaan dan
pengembangan sistem instruksional, seperti halnya dengan Kurikulum bidang studi Biologi dan
Kurikulum bidang studi Intermediate yang didanai oleh National Science Foundation. Upaya ini
berpusat pada pengembangan materi dalam area subjek. Hal ini juga layak dicatat bahwa
beberapa program untuk instruksi individual di beberapa bidang studi telah dilakukan. Sistem ini
berupa, RENCANA PROYEK (Program Pembelajaran Sesuai Kebutuhan), IPI (Instruksi yang
Ditentukan secara Individu), dan IGE (Instruksi yang Dipandu Secara Individual), dijelaskan
dalam sebuah buku yang diedit oleh Weisgerber (1971).
Perancang instruksional tidak selalu memiliki kesempatan untuk mengerjakan proyek
lingkup nasional. Mereka umumnya merancang sistem instruksional yang lebih kecil seperti
kursus, unit dalam kursus, atau pelajaran individu. Terlepas dari perbedaan ukuran dan ruang
lingkup, proses perancangan sistem instruksional memiliki fitur umum di semua tingkat
kurikulum. Desain sistems instruksional memiliki komponen yang lebih kecil dikenal sebagai
desain instruksional karena fokusnya adalah bagian dari instruksi itu sendiri, bukan keseluruhan
sistem instruksional.
DESAIN INSTRUKSIONAL
Beberapa model cocok untuk desain pengajaran unit kursus dan pelajaran. Salah satu
model yang banyak dikenal adalah model Dick dan Carey (1990) pada Gambar 2-1. Semua
tahapan dalam model sistem instruksional yang dapat diterapkan dikategorikan menjadi satu dari
tiga fungsi: (1) mengidentifikasi hasil dari instruksi, (2) mengembangkan instruksi, dan (3)
mengevaluasi keefektifannya dari instruksi. Kita akan fokus pada kegiatan desain instruksional
yang terjadi dalam sembilan tahap yang ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Ø Tahap 1: Tujuan Instruksional
Tujuan dapat didefinisikan sebagai keadaan yang diinginkan. Pada tahap ini, perancang
instruksional harus bertanya, “Tujuan apa yang akan mewakili keadaan yang diinginkan?”
Setelah tujuan telah dinyatakan, perancang dapat melakukan analisis kebutuhan. Ahli (Burton
dan Merrill, 1977; Kaufman, 1976) mendefinisikan kebutuhan sebagai sebuah perbedaan atau
kesenjangan antara keadaan yang diinginkan (tujuan) dan keadaan saat ini. Oleh karena itu,
kebutuhan bisa ditentukan setelah menyatakan tujuan dan analisis keadaan sekarang. Kebutuhan
dan tujuan selanjutnya disempurnakan pada tahap 2 dan 3 dari proses perancangan, analisis
instruksional dan analisis pembelajar (karakteristik siswa).
Ø Tahap 2: Analisis Instruksional
Tahapan 2 dan 3 pada Gambar 2-1 dapat terjadi baik dalam urutan maupun serentak.
Kami telah memilih untuk mendiskusikan analisis instruksional terlebih dahulu. Tujuan analisis
instruksional adalah untuk mengetahui keterampilan yang terlibat dalam mencapai suatu tujuan.
Dalam hal ini, sang perancang akan menggunakan analisis tugas (atau analisis prosedural),
produknya akan menjadi daftar langkah dan keterampilan yang digunakan pada setiap langkah
dalam prosedur (Gagne, 1977).
Jenis analisis instruksional lainnya adalah analisis pemrosesan informasi, yang dirancang
untuk mengungkapkan operasi mental yang digunakan oleh orang yang memiliki keterampilan
belajar yang kompleks. Analisis ini dapat diartikan sebagai analisis proses internal yang terlibat
dalam keterampilan yang diinginkan. Perkiraan penting yang dibuat untuk setiap keputusan dan
tindakan yang diungkapkan oleh proses informasi. Analisis apakah peserta didik yang dimaksud
sesuai dengan kemampuan ini atau apakah mereka perlu membelajarinya (tahap 3).
Hasil analisis instruksional yang penting adalah klasifikasi tugas. Klasifikasi tugas adalah
kategorisasi hasil belajar menjadi domain atau subdomain jenis/model pembelajaran. Gagne
(1985) menggambarkan lima jenis utama hasil belajar dan beberapa subtipe. Tugas Klasifikasi
dapat membantu perancangan pembelajaran dalam beberapa cara. Target klasifikasi tujuan
memungkinkan untuk memeriksa apakah tujuan yang dimaksudkan dari sebuah unit
instruksional sedang diabaikan. Briggs and Wager (1981) telah mempresentasikan contoh
bagaimana sasaran-sasaran dapat diklasifikasikan dan kemudian dikelompokkan menjadi unit
kursus berupa peta instruksional kurikulum. Peta yang dihasilkan kemudian dapat ditinjau ulang
untuk memeriksa apakah informasi verbal, sikap, dan keterampilan intelektual termasuk dalam
unit instruksional. Klasifikasi hasil belajar juga menyediakan kondisi yang paling efektif untuk
berbagai jenis hasil pembelajaran.
Jenis analisis akhir yang akan disebutkan adalah analisis tugas belajar. Sebuah analisis
perangkat belajar yang tepat untuk tujuan pengajaran yang melibatkan keterampilan intelektual.
Tujuan dari analisis tugas belajar adalah untuk mengungkapkan tujuan yang memungkinkan ada
dan untuk mengambil keputusan urutan/langkah pengajaran yang perlu dibuat. Kemungkinan
hasil analisis tugas pembelajaran adalah peta instruksional kurikulum (ICM) mirip dengan yang
ditunjukkan pada Gambar 2-2. ICM ini menunjukkan tujuan targetnya dan tujuan bawahan
mereka untuk unit instruksional pada kata pengolahan. Perancang mungkin perlu menerapkan
salah satu atau semua jenis analisis ini dalam merancang satu unit instruksi.
Ø Tahap 3: Urutan Perilaku dan Karakteristik Pembelajar
Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, langkah ini sering dilakukan secara paralel dengan
tahap 2. Tujuannya adalah untuk menentukan keterampilan yang memungkinkan yang
dibutuhkan peserta didik untuk tugas belajar. Beberapa peserta didik akan tahu lebih banyak dari
yang lain, jadi perancangnya harus memilih dari mana memulai instruksi, mengetahui bahwa itu
akan berlebihan untuk beberapa tapi perlu bagi orang lain. Perancang juga harus bisa
mengidentifikasi para peserta didik untuk siapa instruksi itu tidak sesuai sehingga mereka dapat
diberikan instruksi yang remediates. Biasanya tidak cukup bagi seorang desainer untuk menebak
keterampilan apa yang dibutuhkan dari audiens yang dituju. Prosedur yang lebih baik adalah
mewawancarai dan menguji keterampilan populasi sasaran sampai Anda cukup tahu tentang
mereka untuk merancang instruksi dengan tepat.
Selain kualitas pembelajar seperti keterampilan intelektual yang jelas, perancang instruksi
mestinya merasa perlu untuk membuat beberapa ketentuan untuk kemampuan dan sifat
pembelajar, yang biasanya dianggap kurang mudah dan bisa berubah melalui pembelajaran.
Kemampuan mencakup kualitas seperti pemahaman verbal dan orientasi spasial. Sifat
kepribadian adalah aspek lain dari kemampuan belajar yang mungkin perlu dipertimbangkan
dalam desain instruksional. Kemampuan dan sifat kontras dengan karakteristik pelajar sebagai
keterampilan dan pengetahuan verbal; memiliki efek spesifik pada isi instruksi yang efektif.

Ø Tahap 4: Tujuan Kinerja


Pada tahap ini, perlu merumuskan kebutuhan dan sasaran ke dalam kinerja tujuan yang
cukup spesifik dan rinci untuk menunjukkan kemajuan menuju tujuan. Ada dua alasan untuk
memulai dari tujuan umum hingga semakin meningkat ke objek spesifik. Yang pertama adalah
bisa berkomunikasi pada level orang yang berbeda. Beberapa orang (misalnya, orang tua atau
dewan direksi) adalah hanya tertarik pada tujuan, dan tidak dalam rincian, sedangkan yang lain
(guru, siswa) membutuhkan tujuan kinerja yang terperinci untuk menentukan apa yang akan
mereka ajarkan dan pelajari. Alasan kedua untuk meningkatkan rincian adalah memungkinkan
perencanaan dan pengembangan dari bahan ajar dan sistem penyampaian. Berbagai jenis hasil
belajar memerlukan perawatan instruksional yang berbeda. Untuk merancang bahan ajar yang
efektif dan memilih sistem pengiriman yang efektif, perancang harus benar-benar menentukan
kondisi belajar yang diperlukan untuk memperoleh informasi dan keterampilan baru. Alasan
terakhir untuk akhirnya menyatakan semua tujuan dalam hal kinerja (bukan isi garis besar atau
kegiatan guru) adalah untuk dapat mengukur kinerja siswa untuk menentukan kapan tujuan telah
tercapai.
Fungsi tujuan kinerja adalah untuk (1) menyediakan sarana untuk menentukan apakah
instruksi berhubungan dengan pencapaian tujuan, (2) menyediakan sarana untuk memfokuskan
perencanaan pelajaran pada kondisi yang sesuai pembelajaran, (3) membimbing pengembangan
ukuran kinerja pelajar, dan (4) membantu peserta didik dalam usaha belajar mereka. Dengan
demikian, hubungan intim antar tujuan, instruksi, dan evaluasi ditekankan. Briggs (1977) disebut
Ketiga aspek desain instruksional ini sebagai anchorpoint dalam perencanaan, dan dia
menekankan kebutuhan untuk memastikan bahwa ketiganya sesuai dengan kesepakatan lain.
Gambar 2-1 menempatkan pengembangan item uji sebelum pengembangan strategi instruksional
Briggs (1977) juga menempatkan desain penilaian instrumen sebelum pengembangan pelajaran,
dengan alasan bahwa (1) pemula adalah lebih mungkin untuk menyimpang dari tujuan dalam
mengembangkan tes daripada dalam mempersiapkan pelajaran, dan (2) perancang yang baru saja
selesai mengembangkan materi pelajaran mungkin secara tidak sengaja fokus pada konten
daripada kinerja dalam membangun tes. Perancang berpengalaman, bagaimanapun, mungkin
memilih untuk mengembangkan pelajaran sebelum mengembangkan ukuran kinerja.
Ø Tahap 5: Kriteria-Referensi Tes Item
Ada banyak kegunaan untuk ukuran kinerja. Pertama, mereka bisa digunakan untuk
diagnosis dan penempatan dalam kurikulum. Tujuan pengujian diagnostic adalah untuk
memastikan bahwa seseorang memiliki prasyarat yang diperlukan untuk keterampilan belajar
baru. Uji item memungkinkan guru untuk menentukan kebutuhan individu siswa agar
berkonsentrasi pada keterampilan yang kurang dan harus dihindari instruksi yang tidak perlu.
Tujuan lainnya adalah untuk mengecek hasil belajar siswa selama kemajuan pelajaran.
Pemeriksaan semacam itu memungkinkan untuk mendeteksi kesalahpahaman yang mungkin
dimiliki siswa dan memulihkannya sebelum melanjutkan. Selain itu, tes kinerja diberikan pada
akhir pelajaran atau unit instruksi dapat digunakan untuk mendokumentasikan kemajuan siswa
untuk orang tua atau administrator. Tingkat penilaian kinerja ini dapat berguna dalam
mengevaluasi sistem pembelajaran itu sendiri, atau keseluruhannya.
Evaluasi dirancang untuk menyediakan data, instruksi untuk diperbaiki, disebut evaluasi
formatif. Mereka biasanya dilakukan saat bahan ajar masih dibentuk dan direformasi. Bila tidak
ada perubahan lebih lanjut terhadap yang direncanakan dan kapan saatnya menentukan
keberhasilan dan nilai kursus di akhir, evaluasi sumatif dilakukan. Beberapa perencanaan ukuran
kinerja sebaiknya dilakukan sebelum pengembangan rencana pelajaran dan bahan ajar karena
seseorang menginginkan tes untuk fokus pada tujuan kinerja (apa yang harus dimiliki peserta
didik) daripada pada apa yang pelajar telah baca atau apa yang telah dilakukan guru. Demikian
ukuran kinerja dimaksudkan untuk menentukan apakah siswa telah memperoleh keterampilan
yang diinginkan, bukan untuk menentukan apakah mereka hanya mengingat instruksionalnya
presentasi.
Ø Tahap 6: Strategi Instruksional
Penggunaan istilah strategi kami bersifat nonrestrictive. Kami tidak bermaksud
menyiratkan semua instruksi harus dalam bentuk modul instruksional mandiri atau materi yang
dimediasi. Instruksi yang dipimpin oleh guru atau yang berpusat pada guru juga bisa mendapat
manfaat dari desain sistem pembelajaran. Melalui Strategi instruksional, dimaksudkan agar
sebuah rencana dibuat untuk membantu peserta didik dengan usaha studinya untuk setiap tujuan
kinerja. Ini mungkin terjadi bentuk rencana pelajaran (dalam hal instruksi yang dipimpin guru)
atau satu set spesifikasi produksi untuk bahan yang dimediasi. Tujuan strategi pengembangan
sebelum mengembangkan materi itu sendiri adalah untuk menguraikan bagaimana kegiatan
instruksional akan berhubungan dengan pencapaian tujuan. Saat instruksi yang dipimpin oleh
guru, diatur instruksi kelompok, para guru menggunakan proses desain instruksionalnya untuk
menghasilkan panduan untuk membantu menerapkan maksud rencana pelajaran tanpa harus
menyampaikan isi pastinya kepada peserta didik. Guru memberi arahan, mengarahkan peserta
didik ke materi yang sesuai, memimpin atau mengarahkan aktivitas kelas, dan melengkapi bahan
yang ada dengan instruksi langsung. Di sisi lain, ketika pelajaran yang berpusat pada pelajar,
pelajar dengan pembelajaran yang direncanakan, sebuah modul dipresentasikan kepada pelajar.
Biasanya menyajikan suatu tujuan belajar, panduan aktivitas, materi yang akan dilihat atau
dibaca, praktek/latihan, dan tes kompetensi untuk pelajar.
Tujuan dari semua instruksi adalah untuk menyediakan langkah instruksi. Mereka
mencakup fungsi yang diakui secara luas seperti mengarahkan perhatian, menginformasikan
pelajar tentang tujuan, menyajikan bahan stimulus, dan penyediaan umpan balik. Tidak masalah
apakah kegiatan ini dilakukan oleh guru atau bahan ajar, asalkan berhasil dilakukan. Bisa dicatat
lebih lanjut bahwa peristiwa instruksi ini berlaku untuk semua domain hasil pembelajaran.
Perencanaan strategi instruksional adalah bagian penting dari proses desain pembelajaran. Pada
titik inilah perancang harus bisa menggabungkan pengetahuan tentang teori belajar dan desain
dengan pengalaman peserta didik dan tujuan. Tak perlu disyukuri, kreativitas dalam perancangan
pelajaran akan meningkatkan pengetahuan dan pengalaman lainnya. Mungkin komponen
kreativitas ini memisahkan seni desain instruksional dari ilmu desain instruksional. Jelas bahwa
desain pelajaran terbaik akan menunjukkan pengetahuan tentang peserta didik, tugas tercermin
dalam tujuan, dan efektivitas strategi pengajaran.
Ø Tahap 7: Instruksional Materi/Bahan Ajar
Kata materi disini mengacu pada media cetak atau media lain yang dimaksudkan untuk
menyampaikan kegiatan instruksi. Dalam kebanyakan sistem pengajaran tradisional, guru tidak
merancang atau mengembangkan materi pelajaran mereka sendiri. Sebaliknya, mereka diberikan
bahan (atau mereka memilih materi) yang mereka integrasikan ke dalam rencana pelajaran
mereka. Sebaliknya, desain sistem instruksional menggarisbawahi pemilihan dan pengembangan
bahan ajar sebagai bagian penting dari usaha perancangan. Beberapa prinsip umum mulai
muncul. Pertama, yang lebih inovatif tujuannya, semakin besar kemungkinan bahwa sebagian
besar materi harus dikembangkan karena mereka tidak mungkin tersedia secara komersial.
Kedua, materi berkembang untuk sistem penyampaian tertentu hampir selalu lebih mahal
daripada membuat pilihan dari yang tersedia. Ketiga, adalah mungkin untuk meminimaliasir
biaya pengembangan dengan memilih bahan ajar yang tersedia dan mengintegrasikannya ke
dalam sebuah modul yang menyediakan cakupan semua tujuan instruksi yang diinginkan.
Keempat, peran guru dipengaruhi oleh pilihan sistem penyampaian dan kelengkapan materi
karena guru harus memberikan apapun peristiwa yang hilang yang mungkin dibutuhkan oleh
peserta didik.
Beberapa kurikulum dan sistem instruksional baru telah direncanakan dengan sengaja
sejak awal baik untuk mengembangkan semua bahan baru atau untuk memanfaatkannya
sebanyak mungkin materi yang ada. Alasan pertama adalah pastikan bahwa konsep, metode,
tema, atau isi utama secara hati-hati dipertahankan. Karena program semacam itu sering dikenali
sebagai percobaan, tambahnya biaya pengembangan dapat dibenarkan untuk menjaga kemurnian
konsep asli. Di kasus keputusan untuk memaksimalkan penggunaan bahan yang ada,
kemungkinan biaya menjadi pertimbangan utama dalam Proyek RENCANA (Flanagan, 1975).
Pengembangan material menurut Carey dan Briggs (1977) dan Branson and Grow (1987)
memberikan penjelasan umum tentang proses, dan Weisgerber (1971) memberikan beberapa dari
rincian untuk sistem tertentu.
Ø Tahap 8: Evaluasi Formatif
Evaluasi formatif menyediakan data untuk merevisi dan memperbaiki bahan
pembelajaran. Dick dan Carey (1990) memberikan prosedur rinci untuk tiga tingkatan proses
evaluasi formatif. Pertama, bahan prototipe dicoba pada satu-persatu (satu evaluator duduk
dengan satu pelajar) dengan perwakilan peserta didik sesuai kriteria. Langkah ini memberikan
banyak informasi secara terstruktur dan masalah logistik yang mungkin dimiliki peserta didik
dalam pelajaran. Perancang bisa mewawancarai pelajar atau memintanya "berbicara melalui"
pikirannya terhadap materi. Sudah diperkirakan keefektifannya bahan ajar bisa ditingkatkan 50%
hanya melalui penggunaan beberapa evaluasi satu per satu. Tingkat kedua adalah percobaan
kelompok kecil, yang bahannya diberikan kepada sekelompok 6-8 siswa. Fokus ini adalah
bagaimana siswa menggunakan materi dan berapa banyak bantuan yang diminta. Informasi ini
dapat digunakan untuk membuat pelajaran lebih mandiri. Ini juga akan memberi rancangan ide
yang lebih baik tentang efektivitas materi pada kelompok besar, nilai rata-rata siswa lebih
representatif daripada nilai dari percobaan siswa satu lawan satu. Langkah terakhir adalah uji
coba lapangan di mana instruksi, direvisi berdasarkan percobaan satu lawan satu dan kelompok
kecil, kemudian diberikan ke seluruh kelas. Tujuan dari evaluasi formatif adalah merevisi
instruksi seefektif mungkin untuk jumlah siswa terbesar. Tahapan pengembangan bahan ini
mungkin salah satu yang paling sering diabaikan karena tahap akhir dalam proses desain dan
merupakan upaya yang signifikan dalam perencanaan dan pelaksanaan. Namun, penggunaan
sistem umpan balik untuk memperbaiki sistem merupakan inti dari filosofi sistem. Desain
instruksional tanpa evaluasi formatif tidak lengkap. Lingkaran umpan balik pada Gambar 2-1
menunjukkan data evaluasi formatif dapat meminta revisi atau peninjauan produk karena
informasi berasal dari tahap desain sebelumnya.
Ø Tahap 9: Evaluasi Sumatif
Studi tentang keefektifan suatu sistem secara keseluruhan disebut evaluasi sumatif.
Istilahnya menyiratkan, evaluasi sumatif biasanya dilakukan setelah sistem melewati tahap
formatifnya-bila tidak lagi menjalani point-bypoint revisi. Hal ini mungkin terjadi pada saat uji
lapangan pertama atau sebanyak lima tahun kemudian, ketika sejumlah besar siswa telah diajar
oleh sistem yang baru. Jika ada harapan bahwa sistem akan banyak digunakan di sekolah atau
ruang kelas di seluruh negeri, evaluasi sumatif perlu dilakukan di bawah kisaran kondisi yang
bervariasi.

Sebuah badan nasional, Joint Dissemination Review Panel (JDRP), bertemu secara
berkala untuk meninjau bukti efektivitas produk pendidikan yang diidentifikasi berpotensi
“sebagai percontohan”dan tepat penyebarannya. Ini adalah bentuk evaluasi sumatif, di mana
sebuah tim dari evaluator mengaudit sebuah proyek percontohan untuk menilai bukti
efektivitasnya. Bukti itu harus menunjukkan valid dan dapat diandalkan, efeknya harus cukup
besar terhadap kepentingan pendidikan, dan memungkinkan berintervensi dalam produksi dan
pengaruhnya di tempat lain "(Tallmadge, 1977; hal 2). Proyek melewati pemeriksaan panel,
mungkin memenuhi syarat untuk mendapatkan dana dukungan penyebaran dari National
Diffusion Network.

Sumber: Gagne. M. Robert, Briggs. J. Leslie, and Wager.W. Walter. Principles Of


Instructional Design Fourth Edition. Harcourt Brace College Publishers.
ISBN: 0-03-034757-2

PERTANYAAN:
Berdasarkan pemaparan mengenai desain sistem instruksional, desain sistem intruksional
dapat terjadi dengan tingkat kebutuhan yang berbeda. Sebagaimana yang diketahui bahwa
Negara kita Indonesia, terdiri dari beberapa pulau/daerah yang memiliki tingkat kebutuhan dan
karakteristik daerah yang khas dan berbeda-beda. Apakah menurut anda komponen desain sistem
instruksional kurikulum yang berlaku saat ini (kurikulum 2013 edisi revisi) telah didasarkan
kebutuhan dan karakteristik yang khas dari setiap daerah atau hanya secara nasional? Berikan
saran dan pendapat anda mengenai upaya penyesuaian dan pengembangan desain instruksional
kurikulum Nasional di tiap daerah, agar selain tujuan pendidikan dapat tercapai, kualitas
pendidikan di Indonesia dapat merata, dan mencerminkan karakteristik/potensi yang berbeda-
beda dari setiap daerah?

Model Pembelajaran
MODEL DESAIN PEMBELAJARAN SISTEMIK
OLEH: SRI HENDRAWATI
Model desain pembelajaran sistemik atau systematic design of instruction ( Dick dan
Carey, 1990) seperti yang diperlihatkan dalam gambar meliputi Sembilan langkah, yaitu :
1. Mengidentifikasi tujuan umum instruksional
2. Melaksanakan analisis instruksional
3. Mengindenstifikasi perilaku dan karasteritik awal siswa
4. Menuliskan tujuan khusus performa
5. Mengembangkan butir tes acuan patokan
6. Mengembangkan strategi instruksional
7. Mengembangkan dan memilih materi atau bahan instruksional
8. Mendesain dan melaksanakan evaluasi formatif (Evaluasi sumatif tidak dimasukan dalam
komponen desain system instruksional ini ) dan
9. Melakukan revisi instruksional
1. Identifikasi Tujuan Instruksional

Proses desain instrusional dimulai dengan identifikasi satu atau lebih permasalahan.
Proses identifikasi pemasalahan tersebut biasanya disebut needs assessment. Dalam identifikasi
permasalahan ,pengembang sistem instruksional harus menangani proses yang sangart luas
dalam menggabungkan sudut pandang siswa , orang tua dan masyarakat.

Identifikasi kebutuhan instruksional merupakan suatu proses untuk :


 Menemukan kesenjangan penampilan siswa , yang disebabkan oleh kurangnya
kesempatan mendapatkan pedidikan dan pelatihan pada masa lalu akibat keadaan
lingkungannya
 Mengidentifikasi bentuk kegiatan instruksional yang paling sesuai dengan kondisi
lingkungan ; dan
 Menentukan populasi sasaran yang dapat mengikuti kegiatan instruksional.

Langkah yang dilakukan dalam identifikasi tujuan instruksional ini adalah :


1. Mengidentifikasi kesenjangan hasil produk atau prestasi siswa saat ini, dengan hasil
yang seharusnya tau yang diharapkan.
2. Menilai kesenjangan tersebut dari aspek : a. tingkat signifikasi, b. luas ruang
lingkupnya, dan c. pentingnya peranan kesenjangan tersebut terhadap masa depan
lembaga atau program.
3. Menganalisis kemungkinan penyebab kesenjangan melalui pelaksanaan observasi,
wawancara, dan analis logis.
4. Mewawancari siswa untuk memisahkan antara mereka yang sudah dan belum pernah
memperoleh pendidikan atau latihan . Siswa yang sudah pernah memperoleh pendidikan
tersebut kemudian melanjutkan ke langkah ( 5 ) , sedangkan siswa yang belum
pernah mendapatkan pendidikan meneruskan ke langkah (7)
5. Mengelompokan siswa yang pernah mendapatkan pendidikan dan latihan ke dalam dua
kelompok , yaitu kelompok mereka yang sering dan jarang mendapatkannya
6. Kelompok yang sering ,endapatka pendidikan dan latihan memberikan umpan balik atas
kekurangan yang ada, dan diminta mempraktekan kembali sampai dapat melakukan
tugasnya seperti yang diharapkan.
7. Bagi mereka yang belum mepelajarinya, dirumuskan dalam tujuan instruksional umum.

2. Analisis Instruksional
Analisis instruksional merupakan prose untuk menguraikan perilaku umum menjadi perilaku
khusus yang tersusun secara logis dan sistematis dan sesuai dengan tuntutan lingkungan , dalam
hal ini customers. Terdapat empat macam struktur perilaku, yaitu hierarkikal, pengelompokkan,
dan kombinasi. Adapun langah-langkah dalam melakukan analisis instruksional adalah sebagai
berikut :
 Menuliskan perilaku umum yang telah dituliskan dalam tujuan instruksional umum
menjadi tuntutan lingkungan tau pelanggan ;
 Menuliskan setiap perilaku khusus yang menjadi bagian dari perilaku umum
 Menyusun perilaku khusus tersebut ke dalam suatu daftar dalam urutan yang logis ,
dimulai dengan perilaku umum yang disesuai dengan kondisi lingkungan;
 Menambah perilaku khusus tersebut , atau menguranginya jika perlu;
 Menuliskan setiap perilaku khusus dalam dalam suatu lembar kartu;
 Menyusun kartu tersebut di atas meja atau lantai dengan menempatkannya dalam
struktur yang hierarkikal, prosedural atau pengelompokan, menurut kedudukan kartu
masing-masing terhadap kartu lain
 Kalau perlu tambahkan dengan perilaku khusus lain atau jika pelu kurangi jika dianggap
lebih.
 Menggambarkan letak perilaku tersebut dalam kotak, kemudian menghubungkan
masing-masing kotak tersebut;
 Meneliti kemungkinan untuk menghubungkan perilaku umum yang satu dengan yang
lainnya, atau perilaku khusus di bawah perilaku umum
 Memberi nomor urut dari setiap perilaku khusus, mulai dari terjauh sampai yang terdekat
dari perilaku umum. Urutan tersebut menunjukkan perilaku yang diajarkan kepada siswa
; dan
 Mendiskusikan bagan yang telah disusun dengan teman untuk mendapatkan masukan

3. Identifikasi Perilaku dan Karakteristik Awal


Untuk mengatasi heterogennitas siswa sehingga pembealjaran dapat dilaksanakan secara
maksimal, langkah-langkah berikut perlu menjadi bahan pertimbangan ;
 Menyeleksi penerimaan siswa atas dasar latar belakang pendidikan siswa
 Melaksanakan tes untuk mengetahui kemampuan dan karakteristis awal siswa
 Menyusun bahan instruksional yang sesuai dengan kemampuan karakteristik awal siswa
disesuaikandengan kondisi lungkungan setempat
 Menggunakan system instruksinal yang memungkinkan siswa untuk maju menurut
kecepatan dan kemampuan masing-masing, dan
 Memberi supervisi kepada siswa secara individual
Indentifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa ditunjukkan agar pendesain kurikulum
dapat merumuskan populasi sasaran instruksional. Terdapat tiga macam sumber yang dapat
member informasi , yaitu siswa, guru dan pengelola program. Teknik yang digunakan dalam
proses identifikai tersebut adalah kuesioner,wawancara, observasi, dan tes.

4. Penulisan Tujuan Performa atau Instruksional Khusus


Tujuan instruksional khusus digunakan dalam penyusunan tes. Oleh karena itu , tujuan
harus mengandung unsur-unsur yang dapat memberikan petunjuk kepada penyusun tes agar ia
dapat mengembangkan tes, yang dapat mengukur perilaku yang terdapat di dalamnya.
Dalam mengembangkan tujuan khusus, harus diperhatikan unsur behavioral atau perilaku
yang akan dicapai, batasan yang dikenakan kepada siswa atau alat yang digunakan siswa ketika
ia tes, dan tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai perilaku tersebut.

5. Pengembangan Butir Tes Acuan


Butir tes acua adalah butir tes yang digunakan untuk mengukur tingkat penguasaan siswa
terhadap perilaku yang terdapat dalam tujuan instruksional khusus. Prosedur pengembangan tes
adalah sebagai berikut :
a. Menuliskan berbagai arahan;
b. Mengembangkan instumen yang meliputi ;
1. Identifikasi unsure-unsur yang akan dievaluasi
2. Membuat penulisan dalam bentuk baru dari unsure-unsur tersebut
3. Membuat sekuens unsur-unsur pada instrumennya
4. Memilih tipe penilaian yang dibuat oleh penilai, dan
5. Menentukan bagaiman instrument diberi skor.
c. Memutuskan dan memastikan unsure-unsur dapat diobservasi
d. Mengembangkan daftar cek
e. Membuat skala penilaian
f. Membuat respon format perhitungan
g. Membuat prosedur penilaian skor; dan
h. Mengevaluasi instrumen

6. Pengembangan Strategi Instruksional


Suatu strategi instruksional menggambar komponen umum dari sejumlah materi
instruksional dan prosedur yang akan digunakan pada materi agar menghasilkan outcome dan
hasil tertentu sesuai dengan yang telah ditetapkan.
Strategi instruksional terbagi menjadi empat komponen utama yaitu urutan kegiatan
instruksional, metode, media, dan waktu. Adapun tahap kegiatan instruksional terdiri atas ;
 Pendahuluan , yaitu mengarahkan perhatian siswa terhadap tugas pembelajaran
dengan menjelaskan keuntungan dalam mencapai tujuan , dan menghubungkan
pembelajaran sebelumnya;
 Presentasi , yaitu mengiformasikan sejumlah fakta , konsep, prosedur. Isi
presentasi dapat beragam , tergantung jenis tugas yang harus dicapai dan perilaku awal
siswa , misalnya dengan mengadakan pra –tes;
 Latihan transisi, yaitu menjembatani jurang antara perilaku awal siswa dengan perilaku
yang ditetapkan ( patokan)
 Bimbingan, yaitu melatih dan mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahan;
 Umpan balik
 Praktik ; dan
 Tes Formatif
7. Pengembangan Bahan Instruksional
Bahan atau materi instruksional yang dikembangkan bergantung pada kegiatan
instruksional yang dilaksanakan berserta implementasinya . Pada dasarnya , pengembangan
materi instruksional dilakukan berdasarkan bentuk kegiatan instruksional yang dapat dibedakan
menjadi tiga bentuk , yaitu :
a. Pengajar sebagai fasilitator dan siswa belajar sendiri
b. Pengajar sebagai sumber tunggal dan siswa belajar darinya ; dan
c. Pengajar sebagai penyaji bahan belajar yang dipilihnya
Dalam pengembangan dan implementasi materi instruksional ini harus diperhatikan
sumber daya yang terdapat di lingkungan sehingga dapat digunakan dengan seluas-luasnya agar
pembelajaran menjadi bermakna.

8. Desain dan Pelaksanaan Evaluasi Formatif


Evaluasi ini dipergunakan untuk memperoleh data agar dapat merevisi pengajaan
menjadi efektif dan efesien dalam mencapai tujuan instruksional yang ditetapkan.
BERPIKIR SISTEMIK

SYSTEMIC THINKING, SYSTEMATIC THINKING DAN SYSTEM THINKING


Berpikir sistemik (Systemic Thinking) adalah sebuah cara untuk memahami sistem yang
kompleks dengan menganalisis bagian-bagian sistem tersebut untuk kemudian mengetahui pola
hubungan yang terdapat didalam setiap unsur atau elemen penyusun sistem tersebut. Pada
prinsipnya berpikir sistemik mengkombinasikan dua kemampuan berpikir, yaitru kemampuan
berpikir analis dan berfikir sintesis.

Ada beberapa istilah yang sering kita jumpai yang memiliki kemiripan dengan berpikir
sistemik (systemic thinking), yaitu Systematic thinking (berpikir sistematik), Systemic thinking
(berpikir sistemik), dan Systems thinking (berpikir serba-sistem). Jika dikaji, maka semua istilah
itu berakar dari kata yang sama yaitu “sistem” dan “berpikir”, namun menunjukkan konotasi
yang berbeda, karena itu memiliki tujuan yang berbeda pula.

Konsep sistem setidaknya menyangkut pengertian adanya elemen atau unsur yang
membentuk kesatuan, lalu ada atribut yang mengikat mereka, yaitu tujuan bersama. Karena itu,
setiap elemen berhubungan satu sama lain (relasi) berdasarkan suatu aturan main yang disepakati
bersama. Kesatuan antar elemen (sistem) itu memiliki batas (boundary) yang memisahkan dan
membedakannya dari sistem lain di sekitarnya.
Berpikir sistematik (sistematic thinking), artinya memikirkan segala sesuatu berdasarkan
kerangka metode tertentu, ada urutan dan proses pengambilan keputusan. Di sini diperlukan
ketaatan dan kedisiplinan terhadap proses dan metoda yang hendak dipakai. Metoda berpikir
yang berbeda akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda, namun semuanya dapat
dipertanggungjawabkan karena sesuai dengan proses yang diakui luas.

Berpikir sistemik (systemic thinking), maknanya mencari dan melihat segala sesuatu
memiliki pola keteraturan dan bekerja sebagai sebuah sistem. Misalnya, bila kita melihat otak,
maka akan terbayangkan sistem syaraf dalam tubuh manusia atau hewan. Bila kita melihat
jantung akan terbayangkan sistem peredaran darah di seluruh tubuh.

Sementara itu berpikir sistemik (systemic thinking) adalah menyadari bahwa segala sesuatu
berinteraksi dengan perkara lain di sekelilingnya, meskipun secara formal-prosedural mungkin
tidak terkait langsung atau secara spasial berada di luar lingkungan tertentu. Systemic thinking
lebih menekankan pada kesadaran bahwa segala sesuatu berhubungan dalam satu rangkaian
sistem. Cara berpikir seperti berseberangan dengan berpikir fragmented-linear-cartesian.

Berpikir sistemik (systemic thinking) mengkombinasikan antara analytical thinking


(kemampuan mengurai elemen-elemen suatu masalah) dengan synthetical thinking (memadukan
elemen-elemen tersebut menjadi kesatuan). Kita harus memahami dan akhirnya memadukan dua
kemampuan dasar ini: melakukan Analisis dan Synthesis. Analisis adalah alat untuk memahami
elemen-elemen suatu permasalahan. Misalnya, mengapa terjadi banjir dan longsor di suatu
daerah? Maka, kita perlu meneliti: saluran air, kondisi tanah, aliran sungai, kondisi gunung atau
hutan di hulu, dan curah hujan yang terjadi.

Setelah itu, kita melakukan sintesis, yakni proses untuk memahami bagaimana elemen-
elemen itu berfungsi secara bersama-sama. Di sini kita dituntut memahami elemen-elemen
tersebut secara mendasar sebelum memadukannya. Kita bisa melihat hubungan yang jelas antara
curah hujan yang tinggi dengan kondisi hutan atau gunung yang gundul, lalu menyebabkan aliran
sungai yang sangat deras dan akhirnya menyembur ke daerah tertentu. Kondisi makin parah,
apabila saluran air di daerah sangat buruk, sehingga tak bisa menampung aliran air yang
melimpah (banjir) dan kondisi tanah yang rawan hingga menyebabkan longsor.

Dalam interaksi antar elemen itu kita memahami bahwa segala hal merupakan bagian dari
suatu sistem, dengan kata lain segala hal berinteraksi satu sama lain. Tak ada suatu perkara di
atas muka bumi ini yang berdiri sendiri, sebab semuanya saling terkait. Memahami proses
interaksi ini sulit karena selain banyak ragamnya, juga terkadang tidak tampak kasat mata, dan
satu sama lain saling mempengaruhi, sehingga tak jelas faktor mana yang lebih dulu muncul.

Kita perlu pola dari interaksi antar elemen dalam suatu Sistem. Untuk memahami
bekerjanya suatu sistem akan lebih mudah pada tingkat pola, bukan pada detailnya. Jika kita
ingin memahami hutan, maka kita pandang secara keseluruhan, bukan mengamati pohonnya satu
per satu. Berpikir serba-sistem adalah cara agar kita menemukan pola secara sadar dan proaktif.

Dalam satu persoalan yang kompleks, kita membutuhkan cara berpikir sistemik yang
berbeda dengan cara konvensional. Ada dua langkah dalam menerapkan berpikir sistemik.
Pertama, kita mendaftar dan menemukan elemen-elemen permasalahan yang ada. Kedua,
menemukan tema atau pola umumnya. Hal ini berbeda jauh dengan mereka yang menerapkan
berpikir non-sistemik, sebab mereka mungkin menemukan dan mendaftar sejumlah elemen
permasalahan, tapi kemudian memilih elemen tertentu untuk menjadi fokus perhatian. Dalam hal
itu, mereka mengabaikan elemen lain yang dipandang tak berpengaruh, padahal mungkin saja
justru paling menentukan pola yang berkembang di dalam sistem.

Sistems thinking sedikit berbeda systemic thinking. Berpikir sistemik lebih menekankan
pada pencarian pola-hubungan (Pattern), maka berpikir serba-sistem lebih menekankan pada
pemahaman bagaimana (How) elemen-elemen itu berhubungan. Dengan pemahaman How
tersebut, maka kita dapat menemukan elemen mana yang memiliki pengaruh vital dan solusi
yang komprehensif, sehingga tidak menimbulkan masalah baru.

Cara berpikir serba-sistem juga akan membentuk sikap yang sistemik dalam merespon
permasalahan (systemic attitude), yakni suatu pola perilaku yang tidak menabrak aturan main
(rule of game) yang sudah disepakati dalam satu sistem tertentu. Sebuah aturan yang ditetapkan
dalam sistem memang bersifat membatasi ruang gerak (self constraining), namun pada saat yang
sama memampukan (self enabling) setiap elemen untuk bekerja sesuai fungsinya dan
berinteraksi dengan elemen lain. Jika tak ada batasan fungsi yang jelas, maka setiap elemen itu
akan saling bertabrakan dan malah berpotensi menghancurkan sistem secara keseluruhan. Di
sinilah pentingnya, berpikir dan bertindak serba-sistem demi menjaga kesinambungan sistem
sendiri. Pengubahan aturan main dimungkinkan dan dapat diperjuangkan melalui cara-cara legal-
rasional, sehingga sistem itu tumbuh semakin sehat dan matang.
Metode-Metode Membaca Menulis Permulaan (MMP) di Sekolah Dasar
Metode –Metode Membaca Menulis Permulaan (MMP) di Sekolah Dasar
Oleh:
Sri Hendrawati, M.Pd

Tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia adalah siswa terampil berbahasa. Dalam kehidupan
sehari-hari, kegiatan berbahasa tercermin dalam empat aspek keterampilan berbahasa yakni
keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Pemerolehan keempat keterampilan
berbahasa tersebut bersifat hirarkhis. Artinya pemerolehan keterampilan berbahasa yang satu
akan mendasari keterampilan lainnya. Ada dua kategori keterampilan berbahasa, yakni pertama
adalah menyimak dan berbicara diperoleh seseorang untuk pertama kalinya di lingkungan rumah.
Dua keterampilan berbahasa berikutnya yakni membaca dan menulis diperoleh seseorang setelah
mereka memasuki sekolah. Menurut Supriyadi 1995, kategori keterampilan berbahasa yang
kedua ini merupakan sajian pembelajaran yang utama dan pertama bagi murid-murid sekolah
dasar kelas awal. Selanjutnya, kategori keterampilan berbahasa ini dikemas dalam satu paket
pembelajaran yang dikenal dengan paket MMP (Membaca Menulis Permulaan). Adapun
metode-metode yang digunakan bervariasi diantaranya adalah metode Eja, Bunyi, Suku Kata,
Global, dan SAS (Struktur Analitik Sintetik). Penjelasan berikutnya dapat dicermati pada uraian
berikut.

a.Metode Eja

Pembelajaran membaca dan menulis permulaan dengan metode ini memulai pengajarannya
dengan memperkenalkan huruf-huruf alpabetis. Huruf-huruf tersebut dihafalkan dan dilafalkan
peserta didik sesuai dengan bunyinya menurut abjad. Sebagai contoh:
A a, B b, C c, D d, E e, F f, G g,
Dilafalkan sebagai: a, be, ce, de, e, ef, ge, dan seterusnya.
Setelah melalui tahapan ini, para siswa diajak untuk berkenalan dengan suku kata dengan cara
merangkaikan beberapa huruf yang sudah dikenalnya
Misalnya: b, a,  ba (dibaca  be, a  ba)
d, u  du (dibaca de, u  du)
ba – du dilafalkan badu
b, u, k, u menjadi:
b, u  bu (dibaca be, u  bu)
k, u  ku (dibaca ke, u ku)

Proses ini seiring dengan menulis permulaan, setelah anak-anak bisa menulis huruf-huruf lepas.
Setelah itu dilanjutkan dengan belajar menulis rangkaian huruf yang berupa suku kata. Proses
pembelajaran selanjutnya adalah pengenalan kalimat-kalimat sederhana, misalnya huruf menjadi
suku kata, suku kata menjadi kata, dan kata menjadi kalimat yang diupayakan mengikuti prinsip
pendekatan spiral, pendekatan komunikatif, dan pendekatan pengalaman berbahasa. Artinya
pemilihan bahan ajar untuk pembelajaran MMP hendaknya dimulai dari hal-hal yang konkret
menuju pada hal yang abstrak, yaitu dari hal-hal yang mudah, akrab, familiar dengan kehidupan
peserta didik menuju hal-hal yang sulit, dan mungkin merupakan sesuatu yang baru bagi peserta
didik. Berdasarkan pengamatan, metode ini memiliki kelemahan-kelemahan antara lain kesulitan
dalam mengenal rangkaian-rangkaian huruf yang berupa suku kata atau pun kata. Kelemahan
lain dalam metode ini adalah dalam kesulitan pelafalan diftong dan fonem – fonem rangkap,
seperti ng, ny, kh, au, oi, dan sebagainya.
Bertolak dari kedua kelemahan tersebut, proses pembelajaran melalui sistem tubian dan hafalan
akan mendominasi proses pembelajaran MMP jenis ini, padahal pendekatan cara belajar siswa
aktif (CBSA) merupakan ciri utama dari pelaksanaan kurikulum SD yang saat ini prinsipnya
masih berlaku.

b.Metode bunyi

Proses pembelajaran membaca permulaan pada sistem pelafalan abjad atau huruf dengan metode
bunyi adalah:
b dilafalkan /eb/
d dilaflakan /ed/ : dilafalkan dengan e pepet seperti pengucapan pada kata; benar, keras, pedas,
lemah dan sebagainya
c dilafalkan /ec/
g dilafalkan /eg/
p dilafalkan /ep/ dan sebagainya

Dengan demikian, kata “nani” dieja menjadi:


en,a  na
en, i  ni  dibaca  na-ni

Dari penjelasan metode di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran MMP melalui metode
bunyi adalah bagian dari metode eja. Prinsip dasar dan proses pembelajaran tidak jauh berbeda
dengan metode eja/abjad di atas. Demikian juga dengan kelemahan-kelemahannya,
perbedaannya terletak hanya pada cara atau sistem pembacaan atau pelafalan abjad.

c.Metode Suku Kata dan Metode Kata

Proses pembelajaran MMP dengan metode ini diawali dengan pengenalan suku kata, seperti
ba, bi, bu, be, bo, ca, ci, cu, ce, co,
da, di, du, de, do, ka, ki, ku, ke, ko

Suku-suku kata tersebut kemudian dirangkaikan menjadi kata-kata bermakna. Sebagai contoh,
dari daftar suku kata tadi guru dapat membuat berbagai variasi paduan suku kata menjadi kata-
kata bermakna untuk bahan ajar MMP. Kata-kata tadi misalnya:
ba – bi cu – ci da – da ka – ki
ba – bu ca – ci du – da ku – ku
bi - bi ci - ca da – du ka – ku
ba – ca ka – ca du – ka ku – da

Kegiatan ini dapat dilanjutkan dengan proses perangkaian kata menjadi kalimat sederhana.
Contoh perangkaian kata menjadi kalimat seperti tampak pada contoh di bawah ini.
ka – ki ku – da
ba – ca bu – ku
cu – ci ka – ki

Proses perangkaian suku kata mejadi kata, kata menjadi kalimat sederhana, kemudian
ditindaklanjuti dengan proses pengupasan atau penguraian bentuk-bentuk tersebut menjadi
satuan-satuan bahasa terkecil di bawahnya, yakni dari kalimat ke dalam kata dan dari kata ke
dalam suku kata. Proses pembelajaran MMP yang melibatkan merangkai dan mengupas
kemudian melahirkan istilah lain yaitu Metode Rangkai-kupas.
Jika kita simpulkan langkah-langkah pembelajaran dengan metode suku kata adalah:
(1) tahap pertama, pengenalan suku-suku kata;
(2) tahap kedua, perangkaian suku-suku kata menjadi kata;
(3) tahap ketiga perangkaian kata menjadi kalimat sederhana;
(4) tahap keempat, pengintegrasian kegiatan perangkaian dan pengupasan;
(kalimat ---------> kata-kata ---------> suku-suku kata)
Metode suku kata/silaba, saat ini tampaknya sedang populer dalam pembelajaran baca tulis Al-
Quran yang disebut dengan metode Iqra. Proses pembelajaran MMP seperti yang digambarkan
ke dalam langkah-langkah di atas, dapat pula dimodifikasi dengan mengubah objek pengenalan
awalnya. Sebagai contoh pembelajaran diawali dengan pengenalan sebuah kata tertentu,
kemudian kata ini dijadikan lembaga tertentu sebagai dasar untuk pengenalan suku kata dan
huruf. Artinya kata dimaksud diuraikan atau dikupas menjadi suku kata, suku kata menjadi
huruf-huruf. Selanjutnya dilanjutkan proses perangkaian huruf menjadi suku kata, dan suku kata
menjadi kata. Dengan kata lain hasil pengupasan tadi dikembalikaan lagi ke bentuk asalnya
sebagai kata lembaga (kata semula).

d.Metode Global
Metode ini disebut juga sebagai “Metode Kalimat” karena alur proses pembelajaran MMP yang
diperlihatkan melalui metode ini diawali dengan penyajian beberapa kalimat global. Untuk
membantu pengenalan kalimat dimaksud biasanya digunakan gambar. Di bawah gambar tersebut
ditulis sebuah kalimat yang kira-kira merujuk pada makna gambar tersebut. Sebagai contoh, jika
kalimat yang diperkenalkan berbunyi ‘ini nani”, maka gambar yang cocok untuk menyertai
kalimat itu adalah gambar seorang anak perempuan.
Setelah anak diperkenalkan dengan beberapa kalimat, barulah proses pembelajaran MMP
dimulai. Mula-mula guru mengambil sebuah kalimat dari beberapa kalimat yang diperkenalkan
kepada anak pertama kali tadi. Kalimat ini dijadikan dasar/alat untuk pembelajaran MMP.
Melalui proses degloblalisasi selanjutnya anak mengalami proses belajar MMP.

e.Metode SAS

Pembelajaran MMP dengan metode ini mengawali pembelajarannya dengan menampilkan dan
memperkenalkan sebuah kalimat utuh. Mula-mula anak disuguhi sebuah struktur yang memberi
makna lengkap, yakni struktur kalimat yang bertujuan membangun konsep-konsep
kebermaknaan pada diri anak. Selanjutnya melalui proses analitik, anak-anak diajak untuk
mengenal konsep kata. Kalimat utuh yang dijadikan tonggak dasar diuraikan ke dalam satuan-
satuan bahasa yang lebih kecil yang disebut kata. Proses penganalisisan atau penguraian ini terus
berlanjut hingga sampai pada wujud satuan bahasa terkecil yang tidak bisa diuraikan lagi, yakni
huruf-huruf. Dengan demikian proses penguraian dan penganalisisan dalam pembelajaran MMP
dengan metode SAS meliputi;
1) kalimat menjadi kata-kata
2) kata menjadi suku-suku kata; dan
3) suku kata menjadi huruf-huruf
Pada tahap berikutnya anak-anak didorong melakukan kerja sintetis (menyimpulkan). Satuan
bahasa yang telah terurai dikembalikan lagi kepada satuannya semula, yakni dari huruf-huruf
menjadi suku kata, dari suku kata menjadi kata, dari kata menjadi kalimat lengkap. Dengan
demikian, melalui proses sintesis ini, anak-anak akan menemukan kembali wujud struktur
semula, yakni sebuah kalimat utuh. Melihat prosesnya, metode ini merupakan campuran dari
metode-metode membaca permulaan seperti yang telah kita bicarakan di atas. Oleh karena itu,
penggunaan metode SAS dalam pengajaran MMP pada sekolah-sekolah kita di tingkat sekolah
dasar pernah dianjurkan, bahkan diwajibkan pemakaiannya oleh pemerintah. Beberapa manfaat
yang dianggap sebagai kelebihan metode ini diantaranya sebagai berikut:
1) Metode ini sejalan dengan prinsip linguistik (ilmu bahasa) yang memandang satuan bahasa
terkecil yang bermakna untuk berkomunikasi adalah kalimat. Kalimat dibentuk oleh satuan-
satuan bahasa di bawahnya, yakni kata, suku kata dan huruf.
2) Metode ini mempertimbangkan pengalaman berbahasa anak. Oleh karena itu, pengajaran akan
lebih bermakna bagi anak karena bertolak dari sesuatu yang dikenal dan diketahui anak. Hal ini
akan memberikan dampak positif terhadap daya ingat dan pemahaman anak.
3) Metode ini sesuai dengan prinsip inkuiri (menemukan sendiri). Anak mengenal dan
memahami sesuatu berdasarkan hasil temuannya sendiri. Dengan begitu anak akan merasa lebih
percaya diri atas kemampuannya sendiri.
Penerapan pembelajaran membaca dan menulis permulaan dengan metode ini tampak dapat
diamati dalam contoh berikut:
ini mama
ini mama
i ni ma ma
inimama
i ni ma ma
ini mama
ini mama

PRINSIP-PRINSIP PENGEMBANGAN KURIKULUM

Kurikulum di Indonesia mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan


perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan dalam masyarakat. Penerapan prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum salah satunya dijelaskan oleh Dr. Wina Sanjaya dalam kurikulum
berbasis kompetensi dimana dalam prinsip pengembangan ini juga memperhatikan beberapa
aspek mendasar tentang karakteristik bangsa. Dalam makalah ini juga disebutkan prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum yang harus dijadikan acuan oleh pendidik dalam kurikulum tingkat
satuan pendidikan yang telah ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), serta
prinsip-prinsip pengembangan kurikulum pada pendidikan anak usia dini.
Prinsip-prinsip dalam pengembangan kurikulum menurut Prof. Dr. Nana Syaodih
Sukmadinata terdiri dari dua hal yaitu prinsip-prinsip umum dan prinsip-prinsip khusus. Prinsip-
prinsip umum meliputi :
· Relevansi
Dalam hal ini dapat dibedakan relevansi keluar yang berarti bahwa tujuan, isi, dan proses belajar
harus relevan dengan tuntutan, kebutuhan dan perkembangan masyarakat dan relevansi ke dalam
berarti bahwa terdapat kesesuaian atau konsistensi antara komponen-komponen kurikulum, yaitu
antara tujuan, isi, proses penyampaian dan penilaian yang menunjukkan keterpaduan kurikulum.
· Fleksibilitas
Kurikulum harus dapat mempersiapkan anak untuk kehidupan sekarang dan yang akan datang, di
sini dan di tempat lain, bagi anak yang memiliki latar belakang dan kemampuan yang berbeda.
Hal ini berarti bahwa kurikulum harus berisi hal-hal yang solid, tetapi dalam pelaksanaannya
memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi daerah, waktu maupun
kemampuan, dan latar belakang anak.
· Kontinuitas
Terkait dengan perkembangan dan proses belajar anak yang berlangsung secara
berkesinambungan, maka pengalaman belajar yang disediakan kurikulum juga hendaknya
berkesinambungan antara satu tingkat kelas dengan kelas lainnya, antara satu jenjang pendidikan
dengan jenjang lainnya, serta antara jenjang pendidikan dengan pekerjaan.
· Praktis/efisiensi
Kurikulum harus praktis, mudah dilaksanakan, menggunakan alat-alat sederhana dan biayanya
murah. Dalam hal ini, kurikulum dan pendidikan selalu dilaksanakan dalam keterbatasan-
keterbatasan, baik keterbatasan waktu, biaya, alat, maupun personalia.
· Efektifitas
Efektifitas berkenaan dengan keberhasilan pelaksanaan kurikulum baik secara kuantitas maupun
kualitasnya. Kurikulum merupakan penjabaran dari perencanaan pendidikan dari kebijakan-
kebijakan pemerintah. Dalam pengembangannya, harus diperhatikan kaitan antara aspek utama
kurikulum yaitu tujuan, isi, pengalaman belajar, serta penilaian dengan kebijakan pemerintah
dalam bidang pendidikan.
Prinsip-prinsip khusus dalam pengembangan kurikulum meliputi:
· Prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan merupakan pusat dan arah semua kegiatan pendidikan sehingga perumusan
komponen pendidikan harus selalu mengacu pada tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Tujuan ini bersifat umum atau jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Perumusan
tujuan pendidikan bersumber pada ketentuan dan kebijakan pemerintah, survey mengenai
persepsi orangtua / masyarakat tentang kebutuhan mereka, survey tentang pandangan para ahli
dalam bidang-bidang tertentu, survey tentang manpower, pengalaman-pengalaman negara lain
dalam masalah yang sama, dan penelitian.
· Prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan
Dalam perencanaan kurikulum perlu mempertimbangkan beberapa hal, yaitu perlunya
penjabaran tujuan pendidikan ke dalam bentuk perbuatan hasil belajar yang khusus dan
sederhana, isi bahan pelajaran harus meliputi segi pengetahuan, sikap, dan keterampilan, dan
unit-unit kurikulum harus disusun dalam urutan yang logis dan sistematis.
· Prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar-mengajar
Pemilihan proses belajar mengajar hendaknya mempertimbangkan beberapa hal, yaitu apakah
metode yang digunakan cocok, apakah dengan metode tersebut mampu memberikan kegiatan
yang bervariasi untuk melayani perbedaan individual siswa, apakah metode tersebut juga
memberikan urutan kegiatan yang bertingkat-tingkat, apakah penggunaan metode tersebut dapat
mencapai tujuan kognitif, afektif dan psikomotor, apakah metode tersebut lebih menaktifkan
siswa, apakah metode tersebut mendorong berkembangnya kemampuan baru, apakah metode
tersebut dapat menimbulkan jalinan kegiatan belajar di sekolah dan rumah sekaligus mendorong
penggunaan sumber belajar di rumah dan di masyarakat, serta perlunya kegiatan belajar yang
menekankan learning by doing, bukan hanya learning by seeing and knowing.
· Prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pengajaran
Proses belajar mengajar perlu didukung oleh penggunaan media dan alat-alat bantu pengajaran
yang tepat. Untuk itu perlu diperhatikan beberapa hal berikut, yaitu alat/media apa yang
dibutuhkan, bila belum ada apa penggantinya, bagaimana pembuatannya, siapa yang membuat,
bagaimana pembiayaannya, dan kapan dibuatnya, bagaimana pengorganisasiannya dalam
keseluruhan kegiatan belajar, serta adanya pemahaman bahwa hasil terbaik akan diperoleh
dengan menggunakan multi media
· Prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan kegiatan penilaian meliputi kegiatan
penyusunan alat penilaian harus mengikuti beberapa prosedur mulai dari perumusan tujuan
umum, menguraikan dalam bentuk tingkah laku siswa yang dapat diamati, menghubungkan
dengan bahan pelajaran dan menuliskan butir-butir tes. Selain itu, terdapat bebarapa hal yang
perlu juga dicermati dalam perencanaan penilaian yang meliputi bagaimana kelas, usia, dan
tingkat kemampuan siswa yang akan dites, berapa lama waktu pelaksanaan tes, apakah tes
berbentuk uraian atau objective, berapa banyak butir tes yang perlu disusun, dan apakah tes
diadministrasikan guru atau murid. Dalam kegiatan pengolahan haisl penilaian juga perlu
mempertimbangkan beberapa hal yaitu norma apa yang digunakan dalam pengolahan hasil tes,
apakah digunakan formula guessing bagaimana pengubahan skor menjadi skor masak, skor
standar apa yang digunakan, serta untuk apa hasil tse digunakan
Menurut Drs. Subandijah, prinsip-prinsip dalam pengembangan kurikulum meliputi:
1. Prinsip relevansi
Lulusan pendidikan harus memiliki nilai relevansi dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat
dan dunia kerja karena pendidikan merupakan invested of man power resources. Untuk itu
diperlukan kurikulum yang dapat mengantisipasi apa yang terjadi pada masa yang akan dating.
Relevansi adalah kesesuaian dan keserasian pendidikan dengan tuntutan masyarakat (Subandijah,
1993; 48). Relevansi pendidikan dalam hal ini berkenaan dengan:
· Relevansi pendidikan dengan lingkungan kehidupan peserta didik
Dalam hal ini, pengembangan kurikulum harus disesuaikan dengan kehidupan nyata di sekitar
peserta didik, sehingga peserta didik tidak merasa asing dengan kehidupan di sekitarnya.
· Relevansi pendidikan dengan kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang
Dalam kegiatan pengembangan kurikulum harus memperhatikan bahwa apa yang diajarkan
kepada peserta didik pada saar ini bermanfaat baginya untuk menghadapi kehidupannya di masa
yang akan datang, atau dengan kata lain kurikulum harus bersifat anticipatory.
· Relevansi pendidikan dengan tuntutan dunia kerja
Hasil pendidikan juga harus sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Dalam hal ini tidak saja terkait
dengan segi bahan atau isi tetapi juga menyangkut segi belajar dan pengalaman belajar.
· Relevansi pendidikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Pendidikan harus menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang berjalan
sangat cepat dan dapat memberi sumbangan terhadap perkembangan tersebut. Pendidikan harus
menyiapkan peserta didik baik sebagai produsen ilmu pengetahuan, tidak hanya sebagai
konsumen iptek.
2. Prinsip efektitifas dan efisiensi
· Prinsip efektifitas
Efektifitas dalam dunia pendidikan berkenaan dengan sejauh mana apa yang direncanakan atau
diinginkan dapat dilaksanakan atau dicapai. Hal ini terkait dengan efektifitas mengajar guru dan
efektifitas belajar murid. Efektifitas mengajar guru dapat dicapai dengan menguasai keahlian dan
keterampilan dalam mengelola dan melaksanakan proses belajar-mengajar yang dapat
ditingkatkan dengan kegiatan pembinaan baik melalui penataran maupun penyediaan buku-buku.
Efektifitas belajar murid terkait dengan sejauhmana tujuan pelajaran yang diinginkan telah
dicapai melalui kegiatan belajar-mengajar. Hal ini sangat tergantung pada kemampuan guru
dalam menyediakan suasana pembelajaran yang kondusif, yang dapat dicapai dengan
menyesuaikan bahan pengajaran dengan minat, kemampuan dan kebutuhan peserta didik serta
lingkungan, dan adanya dukungan sarana prasarana yang memadai serta metode yang tepat.
· Prinsip efisiensi
Efisiensi dalam proses belajar-mengajar berarti bahwa waktu, tenaga dan biaya yang digunakan
untuk menyelesaikan program pengajaran dapat merealisasikan hasil yang optimal.
3. Prinsip kesinambungan
Kesinambungan dalam pengembangan kurikulum menyangkut kesaling hubungan antara
berbagai tingkat dan jenis program pendidikan atau bidang studi. Untuk mencapai
kesinambungan, kurikulum harus disusun dengan mempertimbangkan :
 Bahan pelajaran yang diperlukan untuk sekolah yang lebih tinggi harus sudah
diajarkan di sekolah sebelumnya
 Bahan yang sudah diajarkan di sekolah yang lebih rendah tidak perlu diajarkan
lagi di sekolah yang lebih tinggi
Kesinambungan antar berbagai bidang studi berarti bahwa dalam mengembangkan kurikulum
harus mempertimbangkan keterkaitan antara bidang suti yang satu dengan bidang studi lainnya.
4. Prinsip fleksibilitas
Kurikulum harus memberikan ruang gerak yang memberikan kebebasan guru dalam
mengembangkan program pengajaran. Guru dalam hal ini memiliki otoritas dalam
pengembangan kurikulum yang sesuai dengan minat, kebutuhan peserta didik dan kebutuhan
daerah lingkungannya. Disamping itu, peserta didik harus diberi kebebasan dalam memilih
program pendidikan yang sesuai dengan minat, bakat, kebutuhan dan lingkungan dengan
membuka program-program pendidikan pilihan misalnya jurusan, program spesialisasi, atau
program keterampilan.
5. Prinsip berorientasi pada tujuan
Guru harus menentukan tujuan pengajaran sebelum menentukan bahan. Hal ini berarti bahwa
guru dapat menentukan dengan tepat metode mengajar, alat pengajaran dan evaluasi yang
digunakan dalam proses belajar-mengajar.
6. Prinsip pendidikan seumur hidup
Dalam hal ini, pendidikan harus dapat memberi pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan
pada saat peserta didik tamat dari sekolah dan memberikan bekal kemampuan untuk dapat
menumbuh-kembangkan dirinya sendiri.
7. Prinsip dan model pengembangan kurikulum
Pengembangan kurikulum dilakukan secara bertahap dan terus-menerus dengan mengadakan
perbaikan terhadap pelaksanaan dan hasil yang telah dicapai untuk melakukan perbaikan,
pemantapan dan pengembangan lebih lanjut.
Dalam kegiatan pengembangan kurikulum, Drs. Hendyat Soetopo dan Drs. Wasty
Soemanto mengemukakan adanya prinsip-prinsip dasar yang utama yang harus diperhatikan,
yaitu meliputi;
1. Relevansi
Relevansi pendidikan meliputi tiga hal yaitu relevansi dengan lingkungan hidup murid, relevansi
dengan perkembangan kehiudpan sekarang dan yang akan datang, serta relevansi dengan
tuntutan dunia kerja.
2. Efektifitas
Kegiatan efektifitas terkait dengan efektifitas mengajar guru dan efektifitas belajar murid.
3. Efisiensi
Prinsip efisiensi perlu diperhatikan utamanya terkait dengan efisiensi waktu, tenaga, peralatan
yang akan menghasilkan efisiensi biaya.
4. Kesinambungan dan fleksibilitas
Kesinambungan terkait dengan dua hal yaitu adanya kesinambungan antara berbagai tingkat
sekolah dan kesinambungan antara berbagai bidang studi. Sedangkan fleksibilitas terkait dengan
pemilihan program pendidikan, dan dalam pengembangan program pendidikan.
Dr. Wina Sanjaya, M.Pd mengemukakan terdapat beberapa prinsip yang harus
dipertimbangkan dalam mengembangkan kurikulum berbasis kompetensi. Prinsip-prinsip
tersebut, meliputi:
 Peningkatan keimanan, budi pekerti luhur, dan penghayatan nilai-nilai budaya
Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional dan filsafat bangsa
 Keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestetika
Keseimbangan ini terkait dengan tujuan utama pendidikan untuk membentuk manusia yang utuh
yaitu manusia yang seimbang antara kemampuan intelektual, sikap dan moral, serta
keterampilan.
 Penguatan integritas nasional
Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai suku dengan latar belakang budaya yang
sangat beragam. Pendidikan harus dapat menanamkan pemahaman dan penghargaan terhadap
perkembangan budaya dan peradaban bangsa yang majemuk.
 Perkembangan pengetahuan dan teknologi informasi
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang begitu cepat, anak
diharapkan memilik kemampuan berpikir dan belajar dengan cara mengakses, memilih, dan
menilai pengetahuan untuk mengatasi situasi yang cepat berubah dan penuh tantangan serta
ketidakpastian melalui perkembangan pengetahuan dan teknologi informasi
 Pengembangan kecakapan hidup
Kecakapan hidup terdiri dari personal skill, social skill, academic skill, dan vocational skill.
Kurikulum mengembangkan kecakapan hidup melalui pembudayaan membaca, menulis,
berhitung, sikap dan perilaku adaptif, kreatif, kooperatif, dan kompetitif.
 Pilar pendidikan
Kurikulum mengorganisasikan fondasi belajar dalam empat pilar pendidikan yaitu
1. belajar untuk memahami
2. belajar untuk berbuat kreatif
3. belajar hidup dalam kebersamaan
4. belajar untuk membangun dan mengekspresikan jati diri yang dilandasi oleh
ketiga pilar sebelumnya
 Komprehensif dan berkesinambunga
Komprehensif mencakup keseluruhan dimensi kemampuan dan substansi yang disajikan secara
berkesinambungan mulai dari usia Taman Kanak-kanak hingga pendidikan menengah.
Kemampuan mencakup pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap, pola pikir dan perilaku.
Substansi mencakup norma, nilai-nilai, konsep, serta fenomena dan kenyataan yang berkembang
dalam kehidupan masyarakat.
 Belajar sepanjang hayat
Pendidikan diarahkan pada proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang
berlangsung sepanjang hayat.
 Diversifikasi kurikulum
Kurikulum dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi
daerah, dan peserta didik.
Badan Standar Nasional Pendidikan menetapkan prinsip-prinsip pengembangan
kurikulum tingkat satuan pendidikan yang meliputi :
 Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik
dan lingkungannya
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki potensi sentral
untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut,
pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan,
dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
 Beragam dan terpadu
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi
daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya, dan adat-
istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan
wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam
keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antar substansi.
 Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta
didik utnuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni.
 Relevan dengan kebutuhan kehidupan
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholder)
untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya
kehidupan masyarakat, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan
keterampilan pribadi, keterampilan berfikir, sosial, akademik dan vokasioanl merupakan
keniscayaan.
 Menyeluruh dan berkesinambungan
Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan, dan
mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antar semua jenjang
pendidikan.
 Belajar sepanjang hayat
Kurikulum diarahkan pada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta
didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-
unsur pendidikan formal, nonformal, dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan
lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
 Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah
untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional
dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka
Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada pendidikan anak usia dini, dalam Laporan Eksekutif Seminar dan Lokakarya
Pendidikan Anak Usia Dini disebutkan bahwa kurikulum pada pendidikan anak usia dini
dikembangkan berdasarkan pada prinsip-prinsip :
 Relevansi
Kurikulum anak usia dini harus relevan dengan kebutuhan dan perkembangan anak secara
individual
 Adaptasi
Kurikulum anak usia dini harus memperhatikan dan mengadaptasi perubahan psikososial,
IPTEK, dan seni
 Kontinuitas
Kurikulum anak usia dini harus disusun secara berkelanjutan antara satu tahapan perkembangan
ke tahapan perkembangan berikutnya dalam rangka mempersiapkan anak memasuki pendidikan
selanjutnya
 Fleksibilitas
Kurkulum anak usia dini harus dipahami, dipergunakan dan dikembangkan secara fleksibel
sesuai dengan keunikan dan kebutuhan anak serta kondisi lembaga penyelenggara
 Kepraktisan dan akseptabilitas
Kurikulum anak usia dini harus memberi kemudahan bagi praktisi dan masyarakat dalam
melaksanakan pendidikan pada anak usia dini
 Kelayakan (feasibility)
Kurikulum anak usia dini harus menunjukkan kelayakan dan keberpihakkan pada anak usia dini
 Akuntabilitas
Kurikulum anak usia dini harus dapat dipertanggung jawabkan pada masyarakat sebagai
pengguna jasa pendidikan anak usia dini

PENGEMBANGAN DESAIN PEMBELAJARAN


Oleh : Taman Firdaus, Banu Hasta, Sholahuddin & Evi Roni
1. PENGERTIAN
Istilah pengembangan sistem instruksional (instructional system development) dan desain
instruksional (instructional design) sering dianggap sama, atau setidak-tidaknya tidak dibedakan
secara tegas dalam penggunaannya, meskipun menurut arti katanya ada perbedaan antara
“desain” dan “pengembangan”. Kata “desain” berarti membuat sketsa atau pola atau outline atau
rencana pendahuluan. Sedang “Pengembangan” berarti membuat tumbuh secara teratur untuk
menjadikan sesuatu lebih besar, lebih baik, lebih efektif dan sebagainya (Harjanto, 2008 : 95).
Beberapa definisi yang menunjukkan persamaan antara keduanya adalah sebagai berikut :
1. Pengembangan sistem intruksional adalah suatu proses secara sistematis dan logis untuk
mempelajari problem-problem pembelajaran, agar mendapatkan pemecahan yang teruji
validitasnya dan praktis bisa dilaksanakan (Ely, 1979 : 4).
2. Sistem Intruksional adalah semua materi pelajaran dan metode yang telah diuji dalam praktek
yang dipersiapkan untuk mencapai tujuan dalam keadaan senyatanya (Baker, 1971 : 16). Dengan
kata lain bahwa sistem intruksional merupakan tatanan aktifitas belajar mengajar.
3. Desain intruksional adalah keseluruhan proses analisis kebutuhan dan tujuan belajar serta
pengembangan tekhnik mengajar dan materi pengajarannya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Termasuk di dalamnya adalah pengembangan paket pembelajaran, kegiatan mengajar, uji coba,
revisi dan kegiatan mengevaluasi hasil belajar (Briggs, 1979 : 20).
4. Desain sistem instruksional ialah pendekatan secara sistematis dalam perencanaan dan
pengembangan sarana serta alat untuk mencapai kebutuhan dan tujuan intruksional. Semua
konsep sistem ini (tujuan, materi, metode, media, alat, evaluasi) dalam hubungannya satu sama
lai dipandang sebagai kesatuan yang teratur sistematis. Komponen-komponen tersebut lebih
dahulu diuji coba efektifitasnya sebelum disebarluaskan penggunaannya (Briggs, 1979 : XXI).
5. Pengembangan sistem intruksional adalah suatu proses menentukan dan menciptakan situasi
dan kondisi tertentu yang menyebabkan siswa dapat berinteraksi sedemikian rupa sehingga
terjadi perubahan di dalam tingkah lakunya (Carrey 1977 : 6).
Desain Pembelajaran adalah disiplin yang berhubungan dengan pemahaman dan perbaikan satu
aspek dalam pendidikan yaitu proses pembelajaran. Tujuan kegiatan membuat desain
pembelajaran adalah menciptakan sarana yang optimal untuk mencapai tujuan pembelajaran
yang dikehendaki. Sehingga disiplin desain pembelajaran terutama berkenaan dengan perumusan
metode-metode pembelajaran yang menghasilkan perubahan yang diinginkan dalam pengetahuan
dan keterampilan siswa.
John Dewey (1900) menyatakan bahwa pendidikan memerlukan “linking science” antara teori
belajar dan praksis pendidikan. Desain pembelajaran dianggap sebagai penghubung antara
keduanya karena desain pembelajaran adalah pengetahuan yang merumuskan tindakan
pembelajaran untuk mencapai outcome pembelajaran.
Aspek desain pembelajaran meliputi dua wilayah utama yaitu (1) psikologi, khususnya teori
belajar, dan (2) media dan komunikasi. Tetapi media dan komunikasi seakan memberikan
kontribusi prinsip dan strategi secara terpisah pada desain pembelajaran, tidak seperti teori
belajar yang memberikan model terintegrasi. Desain pembelajaran lebih banyak didukung oleh
teori belajar.
HUBUNGAN ANTARA DESAIN PEMBELAJARAN DENGAN PENDIDIKAN:
Secara umum bidang pendidikan terdiri dari kurikulum, konseling, administrasi, evaluasi, dan
pembelajaran. Nampaknya terdapat overlap antara kurikulum dan pembelajaran. Namun kita
dapat membedakan keduanya. Kurikulum terutama berkenaan dengan apa yang akan diajarkan,
sementara pembelajaran adalah bagaimana mengajarkannya.
Report this ad
Di bawah ini penjelasan hubungan antara pembelajaran dengan kelima kawasan pembelajaran:
Pembelajaran
Bidang pembelajaran terdiri dari lima kegiatan pokok: desain, pengembangan, pemanfaatan,
pengelolaan, dan evaluasi. Masing-masing kegiatan dilakukan oleh orang yang kompeten dalam
bidang pembelajaran. Kegiatan ini berkenaan dengan pemahaman dan perbaikan cara-cara untuk
mencapai hasil yang optimal.
Desain Pembelajaran
Desain pembelajaran berhubungan dengan pemahaman, perbaikan, dan penerapan metode-
metode pembelajaran. Desain pembelajaran merupakan proses penentuan metode pembelajaran
yang tepat untuk menghasilkan perubahan yang diinginkan dalam diri siswa yang berkaitan
dengan pengetahuan dang keterampilan sesuai dengan isi pembelajaran dan siswa tertentu. Ibarat
orang yang akan membuat rumah, desain pembelajaran adalah blueprint yang dibuat oleh
seorang arsitek. Blueprint ini menyatakan metode apa yang seharusnya digunakan untuk materi
dan siswa tertentu. Desain pembelajaran menuntut pengetahuan tentang berbagai metode
pembelajaran, bagaimana memadukan metode-metode yang ada, dan situasi-situasi yang
memungkinkan penggunaan metode-metode tersebut secara optimal.
Pengembangan Pembelajaran
Pengembangan pembelajaran berkenaan dengan pemahaman, perbaikan, dan penerapan metode-
metode dalam menciptakan pembelajaran (methods of creating instruction). Pengembangan
pembelajaran merupakan proses perumusan dan penggunaan prosedur yang optimal untuk
menciptakan pembelajaran baru dalam situasi tertentu. Pengembangan pembelajaran
menghasilkan sumber-sumber pembelajaran yang siap pakai, diktat, dan rencana pembelajaran.
Pemanfaatan Pembelajaran
Pemanfaatan pembelajaran berhubungan dengan pemahaman, perbaikan, dan penerapan serta
penggunaan metode-metode pembelajaran yang telah dikembangkan. Pemanfaatan pembelajaran
merupakan proses penentuan dan penggunaan prosedur-prosedur yang optimal untuk mencapai
outcome yang optimal. Hasil dari pemanfaatan pembelajaran adalah program pembelajaran yang
telah dimodifikasi sedemikan rupa sehingga menghasilkan efektivitas program yang optimal.
Pemanfaatan pembelajaran menuntut pengetahuan tentang berbagai prosedur pemanfaatan,
perpaduan prosedur yang optimal, dan situasi-situasi yang memungkinkan optimalisasi model-
model pemanfaatan.
Pengelolaan Pembelajaran
Pengelolaan pembelajaran terkait dengan pemahaman, perbaikan, dan penerapan metode-metode
pengelolaan penggunaan program pembelajaran yang diimplementasikan. Pengelolaan yang
dimaksud hanya berkenaan dengan satu program pembelajaran dalam sebuah lembaga.
Pengelolaan pembelajaran merupakan proses penentuan dan penggunaan jadwal yang optimal,
teknik pengumpulan data tentang kemajuan siswa dan kelemahan program, prosedur penilaian,
revisi program, dan lain-lain. Hasil yang diharapkan adalah penggunaan dan pemeliharaan
program pembelajaran yang diimplementasikan.
Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi pembelajaran berkaitan dengan pemahaman, perbaikan, dan penerapan metode-metode
penilaian efektivitas dan efisiensi kegiatan-kegiatan sebelumnya: seberapa baik program
pembelajaran didesain, seberapa jauh program ini dikembangkan, apakah dimanfaatkan dengan
baik, dan seberapa baik program ini dikelola. Hasil dari evaluasi ini adalah deskripsi kekurangan
yang ada, konsekuensi-konsekuensinya, dan rekomendasi untuk perbaikan.
Report this ad
2. MODEL-MODEL PENGEMBANGAN DESAIN INTRUKSIONAL
Desain Pembelajaran (Instructional Design), merupakan perwujudan yang lebih konkrit dari
Teknologi Pembelajaran. Terdapat sejumlah istilah lain yang setara diantaranya istilah Desain
Sistem Pembelajaran (Instructional System Design). Demikian juga dengan istilah
Pengembangan Sistem Pembelajaran (Instructional System Development).
A. Asumsi dasar yang melandasi perlunya desain pembelajaran:
1. Diarahkan untuk membantu proses belajar secara individual
2. Desain pembelajaran mempunyai fase-fase jangka pendek dan jangka panjang
3. Dapat mempengaruhi perkembangan individu secara maksimal
4. Didasarkan pada pengetahuan tentang cara belajar manusia
5. Dilakukan dengan menerapkan pendekatan sistem (System Approach)
B. Model yang desain pembelajaran yang dikembangkan:
1. Model Desain Pembelajaran Gagne dan Briggs
Gagne dan Briggs (1974: 212-213) mengemukakan 12 langkah dalam pengembangan desain
intruksional sebagai berikut :
1. Analisis dan identifikasi kebutuhan
2. Penetapan tujuan umum dan khusus
3. Identifikasi alternatif cara memenuhi kebutuhan
4. Merancang komponen dari sistem
5. Analisis (a) sumber-sumber yang diperlukan (b) sumber-sumber yang tersedia (c) kendala-
kendala.
6. Kegiatan untuk mengatasi kendala
7. Memilih atau mengembangkan materi pelajaran
8. Merancang prosedur penelitian murid
9. Uji coba lapangan : evaluasi formatif dan pendidikan guru.
10. Penyesuaian, revisi dan evaluasi lanjut
11. Evaluasi sumatif
12. Pelaksanaan operasional
Model tersebut di atas merupakan model yang paling lengkap yang melukiskan bagaimana suatu
proses pembelajaran dirancang secara sistematis dari awal sampai akhir. Kegiatan seperti ini
cocok untuk diterapkan pada suatu program pendidikan yang relatif baru. Di Indonesia prosedur
tersebut mencakup mulai dari simposium dan pengembangan kurikulum yang dilakukan mulai
dari tingkat sekolah (KTSP). Kemudian guru diberikan kewenangan untuk mengembangkan
standar kompetensi menjadi sejumlah kompetensi dasar yang dituangkan secara eksplisit dalam
silabus dan RPP.
2. Model Desain Pembelajaran Wong dan Roulerson
Wong dan Roulerson (1974) mengemukakan 6 langkah pengembangan desain intruksional yaitu:
1. Merumuskan tujuan
2. Menganalisis tujuan tugas belajar
3. Mengelompokkan tugas-tugas belajar dan memilih kondisi belajar yang tepat.
4. Memilih metode dan media
5. Mensintesiskan komponen-komponen pembelajaran
6. Melakasanakan rencana, mengevaluasi dan memberi umpan balik.
3. Model Pengembangan Desain Sistem Intruksional PPSI
PPSI merupakan singkatan dari prosedur pengembangan sistem intruksional. Istilah sistem
instruksional mengandung pengertian bahwa PPSI menggunakan pendekatan sistem dimana
pembelajaran adalah suatu kesatuan yang terorganisasi, yang terdiri dari seperangkat komponen
yang saling berhubungan dan bekerjasama satu sama lain secara fungsional dan terpadu dalam
rangka mencapai tujuan yang diharapkan.
Dengan demikian PPSI adalah suatu langkah-langkah pengembangan dan pelaksanaan
pembelajaran sebagai suatu sistem dalam rangka untuk mencapai tujuan yang diharapkan secara
efektif dan efisien (Harjanto, 2008 : 75). Model pengembangan intruksional PPSI ini memiliki 5
langkah pokok yaitu:
1. Perumusan tujuan/kompetensi
Merumuskan tujuan/kompetensi beserta indicator ketercapaiannya yang harus memenuhi 4
kriteria sebagai berikut:
a. Menggunakan istilah yang operasional
b. Berbentuk hasil belajar
c. Berbentuk tingkah laku
d. Hanya satu jenis tingkah laku
2. Pengembangan alat penilaian
a. Menentukan jenis tes/intrumen yang akan digunakan untuk menilai tercapai tidaknya tujuan
b. Merencanakan pertanyaan (item) untuk menilai masing-masing tujuan
3. Kegiatan belajar
a. Merumuskan semua kemungkinan kegiatan belajar untuk mencapai tujuan
b. Menetapkan kegiatan belajar yang tak perlu ditempuh
c. Menetapkan kegiatan yang akan ditempuh
4. Pengembangan program kegiatan
a. Merumuskan materi pelajaran
b. Menetapkan model yang dipakai
c. Alat pelajaran/buku yang dipakai
d. Menyusun jadwal
5. Pelaksanaan
a. Mengadakan pretest
b. Menyampaikan materi pelajaran
c. Mengadakan posttest
d. Perbaikan
Report this ad
4. Model J.E. Kemp
Menurut Kemp (1977) pengembangan intruksional atau desain intruksional itu terdiri dari 8
langkah yaitu :
1. Menentukan tujuan intruksional umum (TIU) atau Standar Kompetensi.
2. Menganalisis karakteristik peserta didik
3. Menentukan TIK atau Kompetensi Dasar.
4. Menentukan materi pelajaran
5. Menetapkan penjajagan awal (pre test)
6. Menentukan strategi belajar mengajar
7. Mengkoordinasi sarana penunjang, yang meliputi tenaga fasilitas, alat, waktu dan tenaga.
8. Mengadakan evaluasi
5. Model Briggs
Pengembangan desain intruksional model Briggs ini berorientasi pada rancangan sistem dengan
sasaran guru yang bekerja sebagai perancang atau desainer kegiatan intruksional maupun tim
pengembang intruksional yang anggotanya meliputi guru, administrator, ahli bidang studi, ahli
evaluasi, ahli media, dan perancang intruksional.
Model pengembangan intruksional Briggs ini bersandarkan pada prinsip keselarasan antara a)
tujuan yang akan dicapai, b) strategi untuk mencapainya, dan c) evaluasi keberhasilannya.
Langkah pengembangan dimaksud dirumuskan kedalam 10 langkah pengembangan yaitu :
1. Identifikasi kebutuhan/penentuan tujuan
2. Penyusunan garis besar kurikulum/rincian tujuan kebutuhan instruksional yang telah
dituangkan dalam tujuan-tujuan kurikulum tersebut pengujiannya harus dirinci, disusun dan
diorganisasi menjadi tujuan-tujuan yang lebih spesifik.
3. Perumusan tujuan
4. Analisis tugas/tujuan
5. Penyiapan evaluasi hasil belajar
6. Menentukan jenjang belajar
7. Penentuan kegiatan belajar.
8. Pemantauan bersama
9. Evaluasi formatif
10. Evaluasi sumatif
6. Model Gerlach dan Ely
Model pengembangan desain intruksional yang dikembangkan oleh Gerlach dan Ely (1971) ini
dimaksudkan untuk pedoman perencanaan mengajar.. Menurut Gerlach dan Ely (1971), langkah-
langkah dalam pengembangan desain intruksional terdiri dari :
1. Merumuskan tujuan instruksional
2. Menentukan isi materi pelajaran
3. Menentukan kemampuan awal peserta didik
4. Menentukan teknik dan strategi
5. Pengelompokan belajar
6. Menentukan pembagian waktu
7. Menentukan ruang
8. Memilih media intruksional yang sesuai
9. Mengevaluasi hasil belajar
10. Menganalisis umpan balik
7. Model Bela H. Banathy
Menurut Banathy, secara garis besar pengembangan desain intruksional meliputi enam langkah
pokok yaitu :
1. Merumuskan tujuan
2. Mengembangkan tes
3. Menganalisis kegiatan belajar
4. Mendesain sistem intruksional
5. Melakasanakan kegiatan dan mengetes hasil
6. Merumuskan tujuan intruksional
8. Model Dick and Carey
Tahapan model pengembangan sistem pembelajaran menurut Dick and Carey (1937 : 1) dibagi
menjadi 10 tahapan yaitu:
1. Menganalisis Tujuan Pembelajaran.
2. Melakukan Analisis Pembelajaran.
3. Menganalisis siswa dan konteks.
4. Merumuskan tujuan khusus.
5. Mengembangkan instrumen penilaian.
6. Mengembangkan strategi pembelajaran.
7. Mengembangkan materi pembelajaran.
8. Merancang & Mengembangkan Evaluasi Formatif.
9. Merevisi Pembelajaran.
10. Merancang dan Mengembangkan Evaluasi Summatif
9. Model Desain Pembelajaran Versi Pekerti (2001)
Dikti, melalui Program Pekerti (Pengembangan Ketrampilan Dasar Teknik Instruksional), yang
dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di lingkungan
Pendidikan Tinggi mengembangkan model desain pembelajaran yang dikenal dengan MPI
(Model Pengembangan Instruksional), dimana untuk mengembangkan sebuah desain
pembelajaran diperlukan 8 langkah sebagai berikut:
1. Identifikasi kebutuhan instruksional dan menulis tujuan instruksional umum (TIU)
2. Melakukan analisis instruksional
3. Mengidentifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa
4. Menuliskan tujuan instruksional khusus (TIK)
5. Menulis tes acuan patokan
6. Menyusun strategi instruksional
7. Mengembangkan bahan ajar
8. Menyusun desain dan melaksanakan evaluasi formatif
Model Pengembangan Instruksional (MPI) versi Pekerti, 2001
Dalam rangka implementasi kurikulum yang sedang berlaku, sejumlah istilah yang menyangkut
langkah-langkah tersebut sudah harus disesuaikan dengan perkembangan (trend) yang terjadi.
Namun, secara konseptual, sebagai referensi model-model tersebut kiranya sangat bermanfaat
untuk dikaji dan diimplementasikan dimana konsep-konsep tertentu masih relevan.
C. Memilih Model Desain Pembelajaran
Oleh karena begitu banyaknya model biasanya kita lalu dihadapkan pada pertanyaan mau pakai
model yang mana? Dalam hal memilih model ini setidaknya ada lima criteria yang dapat dipakai
sebagai pedoman dalam memilih model pengembangan desain pembelajaran. Model yang baik
adalah model yang:
1. Sederhana: bentuk yang sederhana akan mempermudah untuk mengerti, mengikuti dan
menggunakannya
2. Lengkap: suatu model pengembangan desain pembelajaran yang lengkap haruslah
mengandung 3 unsur pokok yaitu: identifikasi, pengembangan dan evaluasi
3. Mungkin diterapkan: artinya model yang dipilih hendaklah dapat diterima dan dapat
diterapkan (applicable), sesuai dengan situasi dan kondisi setempat
4. Luas: jangkauan model tersebut hendaklah cukup luas, tidak saja berlaku untuk pola belajar
mengajar yang konvensional, tetapi juga proses belajar mengajar yang lebih luas, baik yang
menghendaki kehadiran guru secara fisik maupun yang tidak
5. Teruji: model yang bersangkutan telah dipakai secara luas dan teruji/terbukti dapat
memberikan hasil yang baik.
Apabila model-model yang sudah ada ternyata tidak ada yang memenuhi kelima criteria tersebut
maka masih ada kemungkinan untuk mengembangkan model yang baru yang sesuai dengan
sikon kita. Bisa dengan menciptakan yang baru atau cukup dengan memodifikasi model yang
sudah ada.
Report this ad
3. PENGEMBANGAN DESAIN PEMBELAJARAN
Pengembangan desain pembelajaran dipengaruhi oleh prosedur-prosedur desain pembelajaran,
namun prinsip-prinsip umumnya berasal dari aspek-aspek komunikasi disamping proses belajar.
Perkembangannya selain dipengaruhi oleh teori komunikasi juga oleh teori-teori proses auditori
dan visual, proses berpikir visual, dan estetika. Teori berfikir sangat berguna dalam
pengembangan materi pembelajaran terutama dalam mencari ide untuk perlakuan visual. Berfikir
visual merupakan reaksi internal. Berfikir visual ini meliputi lebih banyak manipulasi bayangan
mental dan asosiasi sensor dan emosi daripada tahap berpikir yang lain (Seels, 1993). Arnheim
(1972) menjelaskan berfikir visual sebagai fikiran kiasan, dan dibawah sadar. Berfikir visual
menuntut kemampuan mengorganisasi bayangan sekitar unsur-unsur visual digunakan untuk
membuat pernyataan visual yang memberikan dampak besar terhadap proses belajar orang pada
semua usia.
Aplikasi teori belajar visual berfokus pada perancangan visual yang merupakan bagian penting
dalam berbagai tipe pembelajaran yang menggunakan media. Dalam hal ini, prinsip-prinsip
estetika juga merupakan dasar proses pengembangan (Schwier, 1987). Heinich, Molenda, dan
Russel (1993) mengidentifikasi unsur kunci seni yang digunakan dalam perancangan visual
(pengaturan, keseimbangan, dan kesatuan). Kecuali ini masih banyak lagi daftar unsur dan
prinsip perancangan visual yang lain. (Curtis, 1987; Dondis, 1973). Prinsip komunikasi visual
juga memberi arah yang mendasar dalam pengembangan materi pembelajaran. Prinsip-prinsip ini
digunakan sebagai panduan dalam merancang dan mengedit grafik (Petterson, 1993; Wilson dan
Houghton, 1987). Dalam perkembangannya selama beberapa abad, desain komunikasi visual
menurut Cenadi (1999:4) mempunyai tiga fungsi dasar, yaitu sebagai sarana identifikasi, sebagai
sarana informasi dan instruksi, dan yang terakhir sebagai sarana presentasi dan promosi.
a. Desain Komunikasi Visual Sebagai Sarana Identifikasi
Fungsi dasar yang utama dari desain komunikasi visual adalah sebagai sarana identifikasi.
Identitas seseorang dapat mengatakan tentang siapa orang itu, atau dari mana asalnya. Demikian
juga dengan suatu benda, produk ataupun lembaga, jika mempunyai identitas akan dapat
mencerminkan kualitas produk atau jasa itu dan mudah dikenali, baik oleh baik oleh
produsennya maupun konsumennya. Kita akan lebih mudah membeli minyak goreng dengan
menyebutkan merek X ukuran Y liter daripada hanya mengatakan membeli minyak goreng saja.
Atau kita akan membeli minyak goreng merek X karena logonya berkesan bening, bersih, dan
“sehat”.
Jika desain komunikasi visual digunakan untuk identifikasi lembaga seperti sekolah, misalnya.
Maka orang akan lebih mudah menentukan sekolah A atau B sebagai favorit, karena sering
berprestasi dalam kancah nasional atau meraih peringkat tertinggi di daerah itu.
b. Desain Visual Sebagai Sarana Informasi dan Instruksi
Sebagai sarana informasi dan instruksi, desain komunikasi visual bertujuan menunjukkan
hubungan antara suatu hal dengan hal yang lain dalam petunjuk, arah, posisi dan skala,
contohnya peta, diagram, simbol dan penunjuk arah. Informasi akan berguna apabila
dikomunikasikan kepada orang yang tepat, pada waktu dan tempat yang tepat, dalam bentuk
yang dapat dimengerti, dan dipresentasikan secara logis dan konsisten.
Simbol-simbol yang kita jumpai sehari-hari seperti tanda dan rambu lalu lintas, simbol-simbol di
tempat-tempat umum seperti telepon umum, toilet, restoran dan lain-lain harus bersifat
informatif dan komunikatif, dapat dibaca dan dimengerti oleh orang dari berbagai latar belakang
dan kalangan. Inilah sekali lagi salah satu alasan mengapa desain komunikasi visual harus
bersifat universal.
c. Desain Komunikasi Visual Sebagai Sarana Presentasi dan Promosi
Tujuan dari desain komunikasi visual sebagai sarana presentasi dan promosi adalah untuk
menyampaikan pesan, mendapatkan perhatian (atensi) dari mata (secara visual) dan membuat
pesan tersebut dapat diingat; contohnya poster. Penggunaan gambar dan kata-kata yang
diperlukan sangat sedikit, mempunyai satu makna dan mengesankan. Umumnya, untuk mencapai
tujuan ini, maka gambar dan kata-kata yang digunakan bersifat persuasif dan menarik, karena
tujuan akhirnya adalah menjual suatu produk atau jasa.
Report this ad
D. Dasar Perancangan Desain Komunikasi Visual
Pujiyanto (1998) dalam makalahnya berjudul Kreativitas dalam Merancang Desain Komunikasi
Visual mengemukaan bahwa dalam penciptaan karya desain komunikasi visual terdapat berbagai
masalah yang kompleks antara desainer dan klien, yang satu sama lain saling berhubungan dan
mempengaruhi dalam pengambilan keputusan untuk menghasilkan desain yang menarik, efektif,
dan fungsional. Untuk itu diperlukan beberapa pedoman mendasar, yaitu:
a. Pangsa Pasar
Pangsa pasar merupakan kelompok yang dituju dalam menginformasikan sebuah pesan. Hal
terpenting dalam hal ini adalah mengetahui latar belakang khalayak tersebut, baik dari segi usia,
jenis kelamin, tingkat sosial, pendidikan, dan lainnya guna mendukung penetapan sebuah bentuk
desain yang sesuai dan tepat bagi khalayak yang dituju sehingga dapat dimengerti dan dipahami.
b. Konsep Desain
Konsep desain disebut sebagai inti pesan yang berfungsi sebagai tema utama dalam sebuah
desain. Konsep desain merupakan jabaran lengkap mengenai isi desain beserta gambarannya dan
alasan-alasan yang kuat dalam pemilihan sebuah bentuk desain.
c. Pesan Desain
Pesan desain merupakan kesimpulan akhir dari pengolahan data pangsa pasar dan konsep desain.
Kesimpulan ini mencerminkan tema utama yang menyeluruh dan mewakili desain yang
disampaikan agar dapat diterima atau merupakan titik pandang utama sebuah desain bagi
khalayak yang dituju.
d. Media Desain
Media desain merupakan alat atau sarana yang dapat dipakai untuk memuat pesan sebagai
bentuk akhir perancangan yang meliputi berbagai media untuk menyampaikan suatu desain agar
dapat didengar atau dilihat oleh khalayak yang kemudian direspon. Dalam menentukan
pemilihan media desain dipengaruhi oleh faktor-faktor pendukungnya yang berkaitan dengan
sasaran yang ingin dituju, waktu, lokasi penempatan, dan efektivitas serta efisiensinya, karena
masing-masing media memiliki karakteristik, kelebihan dan kekurangan.
E. Elemen-elemen Desain Komunikasi Visual
Christine Suharto Cenadi (1999:5) menyebutkan bahwa elemen-elemen desain komunikasi
visual diantaranya adalah tipografi, ilustrasi, dan simbolisme. Elemen-elemen ini dapat
berkembangan seiring dengan perkembangan teknologi dan penggunaan media.
a. Tata Letak Perwajahan (Layout)
Pengertian layout menurut Graphic Art Encyclopedia (1992:296) “Layout is arrangement of a
book, magazine, or other publication so that and illustration follow a desired format”. Layout
adalah merupakan pengaturan yang dilakukan pada buku, majalah, atau bentuk publikasi lainnya,
sehingga teks dan ilustrasi sesuai dengan bentuk yang diharapkan.
Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa: “Layout includes directions for marginal data, pagination,
marginal allowances, center headings and side head, placement of illustration.” Layout juga
meliputi semua bentuk penempatan dan pengaturan untuk catatan tepi, pemberian gambar,
penempatan garis tepi, penempatan ukuran dan bentuk ilustrasi. Menurut Smith (1985) dalam
Sutopo (2002:174) mengatakan bahwa proses mengatur hal atau pembuatan layout adalah
merangkaikan unsur tertentu menjadi susunan yang baik, sehingga mencapai tujuan.
b. Tipografi
Menurut Frank Jefkins (1997:248) tipografi merupakan:
“Seni memilih huruf, dari ratusan jumlah rancangan atau desain jenis huruf yang tersedia,
menggabungkannya dengan jenis huruf yang berbeda, menggabungkan sejumlah kata yang
sesuai dengan ruang yang tersedia, dan menandai naskah untuk proses typesetting, menggunakan
ketebalan dan ukuran huruf yang berbeda. Tipografi yang baik mengarah pada keterbacaan dan
kemenarikan, dan desain huruf tertentu dapat menciptakan gaya (style) dan karakter atau menjadi
karakteristik subjek yang diiklankan.”
Wirya (1999:32) mengatakan bahwa beberapat tipe huruf mengesankan nuansa-nuansa tertentu,
seperti kesan berat, ringan, kuat, lembut, jelita, dan sifat-sifat atau nuansa yang lain.
c. Ilustrasi
Ilustrasi dalam karya desain komunikasi visual dibagi menjadi dua, yaitu ilustrasi yang
dihasilkan dengan tangan atau gambar dan ilustrasi yang dihasilkan oleh kamera atau fotografi.
Menurut Wirya (1999:32) ilustrasi dapat mengungkapkan sesuatu secara lebih cepat dan lebih
efektif daripada tekas.
Fungsi ilustrasi menurut Pudjiastuti (1997:70) adalah:
“Ilustrasi digunakan untuk membantu mengkomunikasikan pesan dengan tepat dan cepat serta
mempertegas sebagai terjemahan dari sebuah judul, sehingga bisa membentuk suatu suasana
penuh emosi, dari gagasan seakan-akan nyata. Ilustrasi sebagai gambaran pesan yang tak terbaca
dan bisa mengurai cerita berupa gambar dan tulisan dalam bentuk grafis informasi yang
memikat. Dengan ilustrasi, maka pesan menjadi lebih berkesan, karena pembaca akan lebih
mudah mengingat gambar daripada kata-kata.
d. Simbolisme
Simbolisme sangat efektif digunakan sebagai sarana informasi untuk menjembatani perbedaan
bahasa yang digunakan karena sifatnya yang universal dibanding kata-kata atau bahasa. Bentuk
yang lebihh kompleks dari simbol adalah logo. Logo merupakan identifikasi dari sebuah
perusahaan karena logo harus mampu mencerminkan citra, tujuan, jenis, serta objektivitasnya
agar berbeda dari yang lainnya. Farbey (1997:91) mengatakan bahwa banyak iklan memiliki
elemen-elemen grafis yang tidak hanya terdapat ilustrasi, tetapi juga terdapat muatan grafis yang
penting seperti logo perusahaan atau logo merek, simbol perusahaan, atau ilustrasi produk.
e. Warna
Warna merupakan elemen penting yang dapat mempengaruhi sebuah desain. Pemilihan warna
dan pengolahan atau penggabungan satu dengan lainnya akan dapat memberikan suatu kesan
atau image yang khas dan memiliki karakter yang unik, karena setiap warna memiliki sifat yang
berbeda-beda. Danger (1992:51) menyatakan bahwa warna adalah salah satu dari dua unsur yang
menghasilkan daya tarik visual, dan kenyataannya warna lebih berdaya tarik pada emosi
daripada akal.
f. Animasi
Penggunaan unsur-unsur gerak atau disebut animasi khususnya dalam multimedia akan
menimbulkan kesan tersendiri bagi yang melihatnya. Istanto (2001:61) mengatakan bahwa
konsep dari animasi menggambarkan gerak sehingga dapat mendukung tampilan secara lebih
dinamis.
Berdasarkan teknis pembuatannya, animasi dibagi menjadi dua, yaitu:
• Animasi dua dimensi (2D), adalah animasi yang berkesan datar (flat), baik itu karakter maupun
warnanya.
• Animasi tiga dimensi (3D), adalah karakter yang dibuat dapat dilihat dari berbagai sudut
pandang dan adanya kesan mendalam atau berdimensi ruang.
Penggunaan animasi dalam sebuah desain multimedia dapat menjadikan tampilan menjadi lebih
menarik dan dinamis. Pemilihan jenis animasi yang digunakan bergantung pada kebutuhannya
sehingga desaian yang dihasilkan dapat lebih efektif dan efisien.
g. Suara
Suara merupakan elemen pendukung yang digunakan untuk lebih menghidupkan suasana
interaksi. Dalam multimedia interaktif, suara dibedakan menjadi dua, yaitu suara utama dan
suara pendukung. Suara utama adalah suara yang mengiringi pengguna selama interaksi
berlangsung, sedang suara pendukung merupakan suara yang terdapat pada tombol-tombol
navigasi.
DAFTAR PUSTAKA
Harjanto, 2008,”Perencanaan Pengajaran”, Jakarta : Rineka Cipta
Ely, Donal P. 1978,,”Instruksional Design & Development”, New York : Syracuse University
Publ.
Report this ad
Baker, Robert L & Richard R Schutz, 1971,”Instructional Product Development”, New York :
Van Nostrand Reinhold Company.
Briggs, Leslie, J. 1979,”Instruksional Design : Prinsiples and Aplication”, Educational
Technology Publicatios : Englewood Cliffs, N.J.
Dick, Walter & Carey, Lou. 1937,”The Systematic design of Intrustion”, Boston : Library of
Congress Cataloging-in-Publication Data
Reigeluth, Charles M. 1983, “Instructional Design Theories and Models: An Overview of their
Current Status”, London, Lawrence Erlbaum Associates Publishers
Mukminan, 2004, “Desain Pembelajaran: Bahan Ajar untuk Mendukung Perkuliahan Desain
Pembelajaran”, Yogyakarta, Program Pasca Sarjana UNY
Cenadi, Christine Suharto. 1999. Elemen-elemen dalam Desain Komunikasi Visual. Nirmana
Vol. 1, No. 1, Januari 1999: 1-11.
Farbey, A.D. 1997. How to Produce Succesfull Advertising (Kiat Sukses Membuat Iklan).
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Jefkins, Frank. 1997. Periklanan. Jakarta: Erlangga
Kusmiati, A, S. Pudjiastuti & P. Suptandar. 1999. Teori Dasar Desain Komunikasi Visual.
Jakarta: Djambatan
Pujiyanto, 2005. Strategi Pemasaran dalam Iklan. Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri
Malang.
Sachari, Agus. 2005. Metodologi Penelitian Budaya Rupa. Jakarta: Erlangga.
Seels, Barbara B. and Richey, Rita C. 1994. Instuctional Technology : The Definition and
Domain of The Field. Washington DC : AECT,

Anda mungkin juga menyukai