1. Latar Belakang
Peranan guru sangat menentukan dalam usaha peningkatan mutu pendidikan formal. Untuk itu
guru sebagai agen pembelajaran dituntut untuk mampu menyelenggarakan proses pembelajaran
dengan sebaik-baiknya, dalam kerangka pembangunan pendidikan. Guru merupakan orang yang
paling bertanggung jawab atas terlaksananya pembelajaran di kelas karena gurulah yang terjun
langsung dan berhadapan langsung dengan peserta didik. Guru mempunyai fungsi dan peran
yang sangat strategis dalam pembangunan pendidikan. Undang-Undang No. 14 tahun 2005
tentang Guru dan Dosen Pasal 4 menegaskan bahwa guru sebagai agen pembelajaran berfungsi
untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan
baik, guru wajib untuk memiliki syarat tertentu, salah satu di antaranya adalah kompetensi.
Salah satu tugas seorang guru adalah membuat peserta didik mau belajar. Dalam kegiatan belajar
guru harus mencari, memilih, dan menggunakan bahan ajar. Bahan ajar tersebut harus tepat serta
sesuai dengan tujuan dan materi pelajaran. Penggunaan bahan ajar yang tepat akan memberikan
sumbangan posistif terhadap kefektifan pembelajaran.
Pengembangan bahan ajar tidak lepas dari pemahaman tentang keutuhan desain pembelajaran.
Pengembangan bahan ajar harus mempertimbangkan sifat materi ajarnya, jumlah peserta
didiknya, dan ketersediaan material untuk pengembangan bahan ajar tersebut.
Selama ini proses pembelajaran sudah banyak menggunakan variasi media, tetapi untuk memberi
kelengkapan yang utuh tentang pembelajaran harus disampaikan kepada peserta didik, guru
masih mengandalkan buku paket, padahal kemampuan guru untuk mengembangkan dan
membuat bahan ajar sendiri sesuai kondisi tempat belajar merupakan potensi yang dapat
meningkatkan professionalisme guru itu sendiri.
Pemanfaatan kondisi lingkungan dimana lembaga pendidikan tersebut berada merupakan salah
satu strategi yang dapat digunakan untuk mengembangkan bahan ajar yang menyebabkan proses
pembelajaran dapat dinikmati dengan baik. Kondisi ini memengaruhi pengalaman belajar dan
pada akhirnya tujuan pembelajaran dapat dicapai secara maksimal.
Pengembangan bahan ajar perlu dilakukan secara sistematik berdasarkan langkah-langkah yang
saling terkait untuk menghasilkan bahan ajar yang bermanfaat. Praktisi seringkali mengabaikan
prosedur pengembangan bahan ajar yang sistematik ini karena berasumsi jika sudah dibuat
dengan baik sesuai dengan materi yang akan diajarkan, maka bahan ajar dapat digunakan dengan
efektif dalam proses pembelajaran. Padahal ada beberapa langkah yang harus dilakukan praktisi
sebelum sampai pada kesimpulan bahwa bahan ajar sudah dikembangkan dengan baik, serta
bahan ajar yang digunakan memang baik.
Mengembangkan bahan ajar selayaknya merupakan kemampuan yang harus terus menerus
ditingkatkan oleh setiap guru. Jika seorang guru tidak memiliki kemampuan mengembangkan
bahan ajar yang bervariasi maka guru akan terjebak pada situasi pembelajaran yang monoton dan
cenderung membosankan bagi peserta didik.
Maka pada makalah ini akan dibahas mengenai pemahaman tentang pengembangan bahan ajar,
dimana nantinya pengetahuan dasar mengenai pemilihan bahan ajar ini dapat memberikan
pengetahuan sehingga mampu nantinya menerapkan pengetahuan yang ada ditengah
menjalankan profesi kependidikan di masa mendatang.
1. Rumusan Masalah
2. Apa pengertian guru?
3. Apa kompetensi yang harus dimiliki seorang guru profesional?
4. Apa prinsip dan aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam pengembangan bahan ajar?
5. Bagaimana langkah-langkah dalam mengembangkan bahan ajar?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Guru
Guru dalam bahasa jawa adalah menunjuk pada seorang yang harus digugu dan ditiru oleh semua
peserta didik dan bahkan masyarakat. Harus digugu artinya segala sesuatu yang disampaikan
olehnya senantiasa dipercaya dan diyakini sebagai kebenaran oleh semua peserta didik.
Sedangkan ditiru artinya seorang guru harus menjadi suri teladan (panutan) bagi semua peserta
didik.
Guru sebagai pendidik dan pengajar anak, guru diibaratkan seperti ibu kedua yang mengajarkan
berbagai macam hal yang baru dan sebagai fasilitator anak supaya dapat belajar dan
mengembangkan potensi dasar dan kemampuannya secara optimal, hanya saja ruang lingkupnya
guru berbeda, guru mendidik dan mengajar di sekolah negeri ataupun swasta.
Adapun pengertian guru menurut para ahli:
1. Menurut Noor Jamaluddin (1978: 1) Guru adalah pendidik, yaitu orang dewasa yang
bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam
perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu berdiri
sendiri dapat melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah khalifah di muka bumi,
sebagai makhluk sosial dan individu yang sanggup berdiri sendiri.
2. Menurut Peraturan Pemerintah, Guru adalah jabatan fungsional, yaitu kedudukan yang
menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang PNS dalam suatu
organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan keahlian atau keterampilan
tertentu serta bersifat mandiri.
3. Menurut Keputusan Menpan, Guru adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas,
wewenang dan tanggung jawab oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan
pendidikan di sekolah.
4. Menurut Undang-undang No. 14 tahun 2005 Guru adalah pendidik profesional dengan
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
2. Kemampuan yang Harus dimiliki Seorang Guru Profesional
Kemampuan merupakan perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan
sesuai kondisi yag diharapkan. Perilaku yang rasional merupakan wujud dari kemampuan
seseorang. Berarti orang yang memiliki suatu kemampuan adalah benar-benar orang yang
mempunyai keahlian dibidangnya atau dikenal dengan istilah profesional.
Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global karena guru memiliki tugas
dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi
melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi.
Guru sebagai salah satu komponen dalam sistem pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan
siswa, memiliki peranan penting dalam menentukan arah dan tujuan dari suatu proses
pembelajaran. Oleh karena itu seorang guru dituntut menguasai sejumlah kemampuan dan
keterampilan yang berkaitan dengan proses pembelajaran,antara lain :
1. Kemampuan menguasai bahan ajar
2. Kemampuan dalam mengelola kelas
3. Kemampuan dalam menggunakan metode, media dan sumber belajar
4. Kemampuan untuk melakukan penilaian baik proses maupun hasil.
Sebagaimana yang dikutip oleh Dedi Supriadi (1998) dalam Jurnal Manajemen Pendidikan
memaparkan bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut memiliki 5 hal :
1. Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya
2. Guru menguasai secara mendalam materi pelajaran yang diajarkannya serta cara
membelajarkannya kepada para siswa.
3. Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi,
mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes hasil belajar.
4. Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari
pengalamannya.
5. Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan
profesinya.
Disamping itu, guru hendaknya juga memiliki kemampuan dalam memberikan motivasi. Prinsip
motivasi agar siswa senang berada dalam lingkungan belajar, sehingga terbangun kondisi psikis
kemampuan diri yang membawa kepuasan belajar dan mengacu pada percaya diri untuk menjadi
mandiri dan secara bertanggung jawab dalam mengambil keputusannya sendiri (Conny
Semiawan, 2002).
Kemampuan yang harus dimiliki serta dikuasai oleh seorang guru agar pembelajaran bisa
berjalan secara efektif dan bermakna yaitu :
1. Menguasai Materi Pembelajaran.
Materi pembelajaran adalah substansi yang akan disampaikan dalam proses pembelajaran. Ada
dua persoalan dalam penguasaan materi pelajaran yakni penguasaan materi pelajaran pokok dan
materi pelajaran pelengkap. Materi pelajaran pokok adalah materi pelajaran yang menyangkut
bidang studi yang dipegang oleh guru sesuai dengan profesinya (disiplin ilmunya). Sedangkan
materi pelajaran pelengkap atau petunjang adalah materi pelajaran yang dapat membuka
wawasan seorang guru agar dalam membelajarkan dapat menunjang penyampaian materi
pelajaran pokok. (Sukmadinata, 2009)
1. Menguasai Ilmu Mendidik
Beberapa hal yang termasuk dalam kawasan ilmu mendidik yang harus dikuasai oleh seorang
guru,berikut ini :
Ilmu tentang dasar-dasar pendidikan
Ilmu tentang metode pembelajaran
Ilmu tentang media pembelajaran
Ilmu mengelola kelas
Ilmu manajemen waktu
Ilmu tentang karakteristik siswa
Ilmu tentang evaluasi
Ilmu-ilmu lain yang mendukung guru dalam mewujudkan tugas profesinya.
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru diatas terpenuhi akan mengubah peran guru yang
tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Dalam rangka peningkatan mutu
pendidikan,guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator,
komunikator, transformator, change agent, innovator, konselor, evaluator dan administrator
(Soewondo, 1972 dan Arifin, 2000).
3. Prinsip dan Aspek Dalam Pengembangan Bahan Ajar
Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru dalam
melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Bahan yang dimaksud bisa berupa bahan tertulis
maupun bahan tidak tertulis. Dengan bahan ajar memungkinkan siswa dapat mempelajari suatu
kompetensi atau kompetensi dasar secara runtut dan sistematis sehingga secara akumulatif
mampu menguasai semua kompetensi secara utuh dan terpadu.
Bahan ajar merupakan informasi, alat dan teks yang diperlukan guru untuk perencanaan dan
penelaahan implementasi pembelajaran (Majid, 2008).
Pengembangan bahan ajar pada dasarnya dapat ditinjau dari dua dimensi yaitu dimensi
keterlibatan tenaga pendidik dalam kegiatan pembelajaran dan dimensi bahan ajar yang
digunakan dalam pembelajaran (Badiklat, 2009).
Dimensi keterlibatan tenaga pendidik dalam kegiatan pembelajaran
Keterlibatan tenaga pendidik dalam kegiatan pembelajaran dipengaruhi oleh berbagai kondisi,
baik internal mapun eksternal. Ada tiga bentuk kegiatan dalam pembelajaran yang
mempengaruhi keterlibatan tenaga pendidik:
Tenaga pendidik sebagai fasilitator
Bentuk kegiatan ini disebut pembelajaran mandiri karena tenaga pendidik hanya sebagai
fasilitator. Bahan ajar yang digunakan didesain secara khusus tanpa kehadiran tenaga pendidik.
Jenis bahan ajar ini adalah program media dalam bentuk film, program radio.
Tugas dan tanggung jawab tenaga pendidik sebagai fasilitator untuk mengetahui kemajuan
peserta didik, memberi motivasi, memberi petunjuk pemecahan masalah.
Tenaga pendidik sebagai sumber tunggal
Biasanya disebut dengan pembelajaran konvensional. Tenaga pendidik sebagai satu-satunya
sumber belajar dan sekaligus sebagai penyaji isi pelajaran.
Tenaga pendidik sebagai penyaji bahan belajar
Tenaga pendidik memanfaatkan bahan ajar yang telah ada di lingkungannya, bahan ajar akan
dipilih sesuai dengan strategi pembelajaran yang telah disusun dengan menambah dan
mengurangi materi bahan ajar yang digunakan.
Dimensi bahan ajar yang digunakan
Pengembangan bahan ajar mandiri.
Ciri-cirinya adalah
1. Kalimat yang dibuat mampu menjelaskan sendiri, tidak bermakna ganda sehingga tidak
perlu penjelasan dari tenaga pendidik lainnya.
2. Mengakomodasi kecepatan belajar peserta didik. Ada petunjuk bagi peserta didik kapan
boleh melanjutkan dan kapan harus mengulang.
3. Dapat dipelajari sesuai waktu dan tempat yang dibutuhkan oleh peserta didik.
4. Mampu meningkatkan aktivitas peserta didik untuk belajar, praktik, mengerjakan soal
latihan maupun tes.
5. Membuat bahan ajar mandiri.
Langkah-langkahnya adalah:
1. Pilih dan kumpulkan bahan pembelajaran yang tersedia di lingkungan.
2. Adaptasikan ke dalam bahan pembelajaran yang dibuat.
3. Periksa kembali konsistensi isi bahan ajar dengan strategi pembelajaran yang telah
ditentukan.
4. Periksa kembali teknis pembuatannya
5. Buat desain fisik yang menarik untuk meningkatkan motivasi pengguna.
Pengembangan bahan ajar konvensional
Bahan ajar konvensional sangat tergantung pada kemampuan tenaga pendidik sebagai bahan ajar
itu sendiri. Bahan ajar lainnya sebagai tambahan jika diperlukan.
Langkah menyusun bahan ajar konvensional:
1. Menulis deskripsi singkat isi pembelajaran sampai SKKD
2. Menulis topik dan jadwal pelajaran berdasarkan kebutuhan setiap subkomponen
3. Menyususn jadwal dan bahan evaluasi baik tes maupun latihan bagi peserta didik
4. Menyusun informasi cara-cara pemberian nilai hasil evaluasi
5. Menyiapkan bahan ajar lain yang digunakan untuk melengkapi pembelajaran.
Pengembangan bahan ajar penyaji
Bahan ajar penyaji kekuatannya ada pada ketersediaan bahan ajar di lingkungannya dan
kemampuan pengembang untuk memadukan kedua sumber yang sesuai dengan tujuan
pembelajarannya.
Langkah-langkah yang digunakan dalam menyusun bahan ajar adalah
1. Memilih dan mengumpulkan bahan yang relevan dan tersedia di lingkungannya
2. Menyusun dan mengurutkan sesuai dengan urutan materinya
3. Identifikasi bahan-bahan yang tidak ada di lingkungannya dengan bahasa dan
kemampuan penyaji
4. Menysuusn program pembelajaran
5. Membuat petunjuk penggunaan bahan ajar yang dibagikan pada peserta didik.
6. Menambah bahan lain yang diperlukan dalan suatu susunan dengan pembelajaran
utamanya.
KD
Mampu membaca QS. Al-lahab dan al kafirun.
Kesimpulan
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Guru dituntut menguasai sejumlah kemampuan dan keterampilan yang berkaitan dengan proses
pembelajaran,antara lain :
1. Kemampuan menguasai bahan ajar
2. Kemampuan dalam mengelola kelas
3. Kemampuan dalam menggunakan metode, media dan sumber belajar
4. Kemampuan untuk melakukan penilaian baik proses maupun hasil
Di dalam penyusunan bahan ajar terdapat tiga prinsip yang harus diperhatikan yaitu prinsip
relevansi, prinsip konsep konsistensi dan prinsip kecukupan. Dan untuk menyusun materi yang
ada di dalam bahan ajar perlu diperhatikan aspek berikut (1) aspek konsep yaitu arti akan suatu,
(2) aspek prinsip yaitu menjadikan kebenaran sebagai landasan berfikir, (3) aspek fakta dimana
materi tersebut harus berisikan fakta dengan bukti yang jelas, (4) aspek proses artinya untuk
materi yang berupa proses harus dijelaskan tiap tahap-tahapnya sesuai dengan kenyaataan yang
ada, kemudian aspek nilai dan aspek keterampilan yang harus ada didalam suatu materi
pelajaran.
Materi pembelajaran yang dipilih untuk diajarkan oleh guru dan harus dipelajari siswa
hendaknya berisikan materi atau bahan ajar yang benar-benar menunjang tercapainya standar
kompetensi dan kompetensi dasar. Secara garis besar langkah-langkah pemilihan bahan ajar
meliputi pertama, Mengidentifikasi aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi dan
kompetensi dasar. Kedua, Mengidentifikasi jenis-jenis materi bahan ajar. Ketiga, Memilih bahan
ajar dan keempat Memilih Sumber Bahan Ajar.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Samsul. 2007. Sukses Menulis Buku Ajar & Referensi. Jakarta: PT Grasindo.
Depdiknas. (2008). Panduan Pengembangan Bahan Ajar. Ditjen Manajemen Dikdasmen.
Gafur, A. (2004). Pedoman Penyusunan Materi Pembelajaran (Instructional Material). Jakarta:
Depdiknas.
Hamalik, Oemar. (2006). Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta:
Bumi Aksara.
Jasmadi, dkk. 2008. Panduan Menyusun Bahan Ajar Berbasis Kompetensi. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo.
Majid, Abdul. (2008). Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nurgiyantoro, Burhan. (2008). Pengembangan Bahan Pembelajaran BSI. Klaten: UNY.
Sukmadinata, Nana Syaodih. (2009). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Suroto. (2009). Materi Pelatihan KTSP 2009. Tegal: Departemen Pendidikan Nasional.
Triyono, Bruri, Budi Tri Siswanto, Hariyanto, Wagiran. (2009). Materi Diklat Training Of
Trainer Calon Tenaga Pengajar/Dosen Lingkungan BADIKLAT Perhubungan Tahun 2009:
Pengembangan Bahan Ajar. Magelang: Kerjasama Badan Diklat Departemen Perhubungan
dengan UGM dan Akmil.
Latar Belakang
Dalam model pengembangan desain pembelajaran terutama pada Geografi adalah
merupakan model yang dapat digunakan oleh pendidik dalam rangka bagaimana strategi mereka
untuk dapat lebih mudah mencapai tujuan pembelajaran yang dikehendaki. Ciri pokok dari
tujuan desain instruksional yang dirumuskan secara operasional ialah bahwa respon yang
menandakan tercapainya tujuan secara memuaskan dalam hal lain diuraikan secara jelas. Apabila
tujuan sudah dirumuskan secara tepat, maka seharusnya tidak ada lagi kesulitan dalam
menentukan apakah siswa telah mencapai tujuan secara memuaskan atau belum. Jadi desain
instruksional adalah disiplin yang berhubungan dengan pemahaman dan perbaikan satu aspek
dalam pendidikan yaiutu pembelajaran. Tujuan kegiatan membuat desain pembelajaran adalah
menciptakan sarana yang optimal untuk mencapai tujuan desain pembelajaran yang dikehendaki,
sehingga disiplin desain pembelajaran terutama berkenaan dengan pembuatan perumusan metode
– metode pembelajaran yang menghasilkan perubahan yang diinginkan dalam pengetahuan dan
keterampilan siswa. Desain pembelajaran ini merupakan perwujudan yang lebih kongkrit dari
Teknologi Pembelajaran. Ada beberapa model yang dapat digunakan dalam mengembangkan
desain pembelajaran, mulai dari model pengembangan desain pembelajaran menurut Banathy,
Kemp, Dick dan Carey, Prosedur Pengembangan Sistem Intruksional, Gerlach dan Ely, Gagne
dan Briggs, Wong dan Roulerson, dan menurut Pekerti (Pengembangan Keterampilan Dasar
Teknik Instruksional). Dari model pengembangan desain pembelajaran yang dikemukakan oleh
beberapa tokoh tersebut dapat kita garis bawahi adalah model yang baik yaitu model yang
memiliki kriteria yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam memilih model pengembangan
desain pembelajaran diantaranya model tersebut haruslah sederhana, lengkap, mungkin
diterapkan, luas, dan teruji.
PEMBAHASAN
Pengembangan pembelajaran menurut Banathy dapat dilakukan dalam enam langkah sebagai
berikut :
· Langkah pertama : Merumuskan Tujuan (Formulate Objectives)
Langkah ini menjelaskan apa yang kita harapkan dan dapat dikerjakan oleh siswa sebagai
hasil dari belajarnya.
Model PPSI
Perbandingan Model Pengembangan Desain Instruksional
Bela H. Banathy, Robert Mills Gagne dan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional ( PPSI )
Pada model pengembangan desain instruksional menurut Banathy ini terdiri dari 6 langkah,
yakni langkah pertama merumuskan tujuan ( formulate objectives) langkah ini menjelaskan apa
yang akan kita harapkan dan dapat dikerjakan oleh siswa sebagai hasil dari belajarnya, kemudian
mengembangkan tes ( develop test ) langkah ini didasarkan pada tujuan yang diinginkan dan
digunaka untuk mengetahui kemampuan yang diharapkan dapat dicapai sebagai hasil dari
pengalaman belajarnya, pada langkah ini dapat langsung menuju pelaksanaan kegiatan,kemudian
menganalisis kegiatan belajar ( analyze learning task ) langkah ini dirumuskan apa yang harus
dipelajari sehingga dapat menunjukan tingkah laku seperti yang digambarkan dalam tujuan yang
telah dirumuskan, langkah selanjutnya mendesain sistem instruksional ( design system ) langkah
ini perlu mempertimbangkan alternatif – alternatif dan identifikasi apa yang harus dikerjakan
untuk menjamin bahwa siswa akan menguasai kegiatan – kegiatan yang telah dianalisis pada
langkah ketiga, kemudian melaksanakan kegiatan dan mengetes hasil ( implement and test output
) langkah ini sistem yang sudah didesain tadi sekarang dapat diujicobakan atau dites dan
dilaksanakan, dan langkah yang terakhir mengadakan perbaikan ( change to improve ) Hasil –
hasil yang diperoleh dari evaluasi merupakan umpan balik (..Feedbeck ) untuk keseluruhan
sistem sehingga perubahan – perubahan jika diperlukan dapat dilakukan untuk memperbaiki
sistem instruksional.
A. Kelebihan
Model Bela H. Banathy ini mempunyai beberapa kelebihan antara lain sebagai berikut :
· Menganalisis dan merumuskan tujuan dengan baik, baik tujuan umum maupun tujuan khusus
yang lebih spesifik, yang merupakan sasaran dan arah yang harus dicapai peserta didik.
· Mengembangkan kriteria tes yang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai Hal ini dilakukan
agar setiap tujuan yang dirumuskan tersedia alat untuk menilai keberhasilannya.
· Menganalisis dan merumuskan kegiatan belajar, yakni merumuskan apa yang harus dipelajari
(kegiatan belajar yang harus dilakukan siswa dalam rangka mencapai tujuan belajar).
Kemampuan awal siswa harus dianalaisis atau dinilai agar mereka tidak perlu mempelajari apa
yang telah mereka kuasai.
· Mengadakan perbaikan dan perubahan berdasarkan hasil evaluasi. Jadi model ini didasarkan
pada hasil test peserta didik.
· Langkah – langkahnya yang hanya sedikit sehingga kita bisa lebih efektif untuk membuatnya.
B. Kelemahan
Ada beberapa kelemahan yang dimiliki oleh model perencanaan Bela H. Banathy ini antara lain:
· Sedikit langkah sehingga di khawatirkan akan tidak efesien.
· Model cenderung lebih fokus pada materi yang belum dikuasai oleh peserta didik sehingga
mengabaikan materi yang sudah di pelajari yang bisa lupa apabila tidak pernah di kaji ulang.
Gagne (1965) mengemukakan adanya taraf – taraf untuk mengklasifikasikan tugas – tugas,
yaitu yaitu tujuan – tujuan yang berupa perilaku dan isinya. Taraf- taraf ini disusun sedemikian
rupa sehingga semakin tinggi tarafnya akan semakin kompleks. Secara tidak langsung Gagne (
1965 ) menyatakan bahwa urutan tersebut bersifat hirarkis, siapa menguasai taraf yang lebih
tinggi berarti menguasai semua taraf dibawahnya, seperti yang diterapkan yaitu diferensiasi
respon, asosiasi, diskriminasi ganda, rangkaian perilaku, konsep-kelas, prinsip – prinsip, strategi
pemecahan masalah. Gagne dan Briggs (1974) mengemukakan 12 langkah dalam pengembangan
desain instruksional, yaitu analisis dan identifikasi kebutuhan, Penetapan tujuan umum dan
khusus, Identifikasi altenatif cara memenuhi kebutuhan, merancang komponen dari sistem,
analisis (a) sumber – sumber yang diperlukan (b) sumber – sumber yang tersedia (c) kendala –
kendala, kegiatan untuk mengisi kendala, memilih atau mengembangkan materi pelajaran,
merancang prosedur penelitian murid, uji coba lapangan : evaluasi formatif dan pendidikan guru,
penyesuaian, revisi dan evaluasi lanjut, evaluasi sumatif, dan pelaksanaan operasional. Model
pengembangan desain intsruksional menurut Gagne ini merupakan model yang paling lengkap
yang melukiskan bagaimana suatu proses pembelajaran dirancang secara sistematis dari awal
sampai akhir. Kegiatan seperti ini cocok untuk diterapkan pada suatu program pendidikan yang
relatif baru. Di Indonesia prosedur tersebut mencakup mulai dari simposium dan pengembangan
kurikulum yang dilakukan mulai dari tingkat sekolah (KTSP).
A. Kelebihan :
· Sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan kebiasaan yang
mengandung unsur-unsur seperti kecepatan spontanitas kelenturan reflek, dan daya tahan Contoh
: Percakapan bahasa Asing, menari, mengetik, olah raga, dll.
· Cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominasi peran orang
dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk
penghargaan langsung seperti diberi hadiah atau pujian.
· Dapat dikendalikan melalui cara mengganti mengganti stimulus alami dengan stimulus yang
tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak
menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
B. Kekurangan :
Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered learning), dimana guru
bersifat otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa
yang harus dipelajari murid.
Bersifat meanistik
Hanya berorientasi pada hasil yang diamati dan diukur
Peserta didik hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa
yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif
Model PPSI ( Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional )
Langkah - langkah pengembangan dan pelaksanaan pembelajaran dalam model PPSI ini mirip
dengan langkah - langkah pengembangan yang terdapat dalam model Banathy. Ada lima langkah
pokok dalam PPSI, yaitu : Merumuskan tujuan instruksional langkah ini merupakan rumusan
yang jelas tentang kemampuan atau tingkah laku yang diharapkan dimiliki siswa sesudah
mengikuti suatu program pembelajaran tertentu, dalam hal ini TIK. Menyusun alat evaluasi,
langkah ini didasarkan atas prinsip yang berorientasi pada tujuan/hasil, yaitu penilaian terhadap
suatu sistem instruksional didasarkan atas hasil yang dicapai; Menentukan kegiatan belajar dan
materi pelajaran, langkah ini menetapkan kegiatan belajar siswa yang perlu ditempuh agar
nantinya mereka dapat melakukan apa yang telah dirumuskan dalam tujuan instruksional khusus;
Merencanakan program kegiatan, dalam langkah ini titik tolak dalam merencanakan program
kegiatan adalah suatu pelajaran yang diambil dari kurikulum yang telah tertentu jumlah jam
pelajarannya; dan Melaksanakan program, dalam langkah ini terdapat fase – fase yang dapat
dilakukan yakni mengadakan tes awal, menyampaikan materi, dan mengadakan tes akhir.
A. Kelebihan :
a. Penyampaian materi bias disesuaikan dengan kemampuan awal siswa
b. Adanya perbaikan post-test yang bias mengukur daya tangkap dan sejauh mana konsentrasi
siswa
c. Adanya perbaikan untuk siswa yang mendapat nilai buruk
d. Lebih tepat digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan sistem pembelajaran.
B. Kekurangan :
a. Alokasi waktu untuk penyampaian materi terkurangi untuk pre-test dan post-test
b. Pendidik harus menyiapkan soal untuk pre test dan post test
KESIMPULAN
Dari ketiga model pengembangan desain instruksional tersebut dapat kita tarik
kesimpulan yaitu:
Desain pembelajaran mempunyai ragam yang banyak. Setiap ragam memiliki cirri tersendiri,
keunggulan dan keterbatasan masing – masing. Pada model pengembangan desain instruksional
menurut Banathy ini terdiri dari 6 langkah, yakni langkah pertama merumuskan tujuan (
formulate objectives), kemudian mengembangkan tes ( develop test ), menganalisis kegiatan
belajar(analyze learning task), langkah selanjutnya mendesain sistem instruksional (design
system), kemudian melaksanakan kegiatan dan mengetes hasil (implement and test output ), dan
langkah yang terakhir mengadakan perbaikan (change to improve) Hasil – hasil yang diperoleh
dari evaluasi merupakan umpan balik (..Feedbeck ) untuk keseluruhan sistem sehingga
perubahan – perubahan jika diperlukan dapat dilakukan untuk memperbaiki sistem instruksional.
Gagne dan Briggs mengemukakan 12 langkah dalam pengembangan desain instruksional.
Model pengembangan desain intsruksional menurut Gagne ini merupakan model yang paling
lengkap yang melukiskan bagaimana suatu proses pembelajaran dirancang secara sistematis dari
awal sampai akhir. Kegiatan seperti ini cocok untuk diterapkan pada suatu program pendidikan
yang relatif baru. Di Indonesia prosedur tersebut mencakup mulai dari simposium dan
pengembangan kurikulum yang dilakukan mulai dari tingkat sekolah (KTSP).
Model pengembangan desain pembelajaran menurut PPSI ini digunakan sebagai metode
penyampaian dalam kurikulum 1975 untuk SD, SMP, SMA dan kurikulum 1976 untuk sekolah –
sekolah kejuruan. Ada lima langkah pokok dalam PPSI, pertama merumuskan tujuan
instruksional khusus, menyusun alat evaluasi, menentukan kegiatan belajar dan materi pelajaran,
merencanakan program kegiatan, dan yang terakhir melaksanakan program.
DAFTAR PUSTAKA
Dahar, Ratna Wilis. 2011. Teori – Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.
Murdiati, Santi,dkk. 2007. Buku Kerja Prinsip Pembelajaran( Instructional Design principles ). Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Popham W. James dan Eva L Baker. 1981. Bagaimana Mengajar Secara Sistematis. Yogyakarta:
Kanisius.
Popham W. James dan Eva L Baker. 1992. Teknik Mengajar Secara Sistematis. Solo: Rineka Cipta.
Roestiyah N.K. 2008. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Roestiyah N.K. 1982. Didaktik/Metodik. Jakarta: Bina Aksara Jakarta.
http://images.search.yahoo.com/search/images;_ylt=A0SO8xkS2JJSMm8AGzNXNyoA?p=gambar+mo
del+banathy&fr=&fr2=piv-web
http://www.google.com/search?q=gambar+model+PPSI&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ei=FyeQUuf
QEuSv4QSLg4HwBg&ved=0CAcQ_AUoAQ&biw=1366&bih=667
Sebuah badan nasional, Joint Dissemination Review Panel (JDRP), bertemu secara
berkala untuk meninjau bukti efektivitas produk pendidikan yang diidentifikasi berpotensi
“sebagai percontohan”dan tepat penyebarannya. Ini adalah bentuk evaluasi sumatif, di mana
sebuah tim dari evaluator mengaudit sebuah proyek percontohan untuk menilai bukti
efektivitasnya. Bukti itu harus menunjukkan valid dan dapat diandalkan, efeknya harus cukup
besar terhadap kepentingan pendidikan, dan memungkinkan berintervensi dalam produksi dan
pengaruhnya di tempat lain "(Tallmadge, 1977; hal 2). Proyek melewati pemeriksaan panel,
mungkin memenuhi syarat untuk mendapatkan dana dukungan penyebaran dari National
Diffusion Network.
PERTANYAAN:
Berdasarkan pemaparan mengenai desain sistem instruksional, desain sistem intruksional
dapat terjadi dengan tingkat kebutuhan yang berbeda. Sebagaimana yang diketahui bahwa
Negara kita Indonesia, terdiri dari beberapa pulau/daerah yang memiliki tingkat kebutuhan dan
karakteristik daerah yang khas dan berbeda-beda. Apakah menurut anda komponen desain sistem
instruksional kurikulum yang berlaku saat ini (kurikulum 2013 edisi revisi) telah didasarkan
kebutuhan dan karakteristik yang khas dari setiap daerah atau hanya secara nasional? Berikan
saran dan pendapat anda mengenai upaya penyesuaian dan pengembangan desain instruksional
kurikulum Nasional di tiap daerah, agar selain tujuan pendidikan dapat tercapai, kualitas
pendidikan di Indonesia dapat merata, dan mencerminkan karakteristik/potensi yang berbeda-
beda dari setiap daerah?
IMPLEMENTASI KURIKULUM
Oktober 05, 2017
Sejak sebuah kurikulum dikembangkan, kurikulum tersebut harus diimplementasikan
secepatnya jika ingin mengetahui sejauh mana kebutuhan siswa dan masyarakat saat ini yang
tentunya semakin meningkat seiring perkembangan zaman. Apabila sebuah kurikulum
diterapkan dalam waktu yang lama, dan beresiko kurikulum yang anda terapkan tersebut kurang
relevan atau tidak sesuai/sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan baru. Pemerataan
(penyebaran) dan jumlah (daftar) semua pendidik dan masyarakat sangat penting diperhatikan
sebelum kurikulum apa yang baru dikembangkan kehilangan nilai pendidikannya. Padahal,
banyak yang direncanakan dan dikembangkan dalam kurikulum tidak dilaksanakan atau
diimplementasikan dengan tepat karena kurikulum hanya sebuah rancangan sedangkan untuk
mengintegrasikannya ke dalam program pendidikan sekolah hasilnya belum tentu. Pada tahun
2007, Jon Wiles dan Joseph Bondi mencatat bahwa lebih dari 90 persen kurikulum baru gagal
diimplementasikan; Dalam pandangan mereka, para pendidik tidak memiliki keterampilan dan
pengetahuan manajerial yang diperlukan untuk menyampaikan kurikulum baru.
Namun, mungkin bukan karena pendidik kekurangan keterampilan manajerial dan
pengetahuan; sebaliknya, mungkin mereka kaku (monoton) dalam strategi berpikir tentang
bagaimana memahami implementasi kurikulum. Selain itu, pendidik mungkin kewalahan dengan
tingkat perubahan yang terus meningkat. Atau, seperti yang dikatakan John P. Kotter, tentang
sudut pandang pendidik secara personal, "jangan merasa kesibukan terus berlanjut di sekitar
mereka, yang merupakan bagian dari masalahnya. "Kami merasakan bahwa kebanyakan orang
merasakan perubahan angin yang cepat sehingga mencoba "berlayar" ke pelabuhan yang aman
daripada menguji keterampilan mereka di pusaran” yang terjadi di abad baru ini.
Singkatnya, dalam beberapa kali terjadi perubahan yang cepat dan berkembang ini,
sebagian besar pendidik di semua tingkat sekolah tidak hanya harus mengembangkan
pengetahuan tentang kurikulum dan kreativitas serta penyampaian, tetapi juga pola pikir
(mindset) mereka, dan bahkan mungkin juga kepribadian mereka. Mereka harus merasa nyaman
dengan risiko, agar bisa berkembang mendorong batas-batas sosial dan pendidikan. Orang-orang
ini harus haus akan tindakan.Dengan begitu, seperti yang diungkapkan Kotter, bahwa "tindakan
adalah pencarian peluang dan pengambilan risiko, semua dipandu dengan visi yang menjanjikan
bagi orang lain (memiliki nilai jual untuk dibeli orang).” Tentu saja, kesiapan yang guru dan
orang lain terima dalam kurikulum baru sebagiannya bergantung pada kualitas perencanaan awal
dan ketepatannya, dimana langkah-langkah pengembangan kurikulum telah dilakukan.
Implementasi menjadi perhatian utama pendidikan sejak sekitar tahun 1980. Jutaan dolar
dikembangkan orang untuk mengembangkan proyek kurikulum, terutama untuk membaca dan
matematika; namun masih banyak proyek yang tidak berhasil. Seymour Sarason mengemukakan
bahwa banyak reformasi pendidikan telah gagal karena mereka yang bertanggung jawab atas
usaha tersebut hanya memiliki sedikit kemampuan atau pengalaman yang terdistorsi dari budaya
sekolah.
Sarason mencatat dua jenis pemahaman dasar yang penting untuk implementasi. Yang
pertama, pemahaman tentang perubahan sistem dan bagaimana informasi dan gagasan masuk ke
dalam konteks dunia nyata. Yang kedua adalah pemahaman tentang hubungan antara kurikulum
dan konteks kelembagaan sosial di mana mereka akan diperkenalkan. Pendidik harus memahami
struktur sekolah, tradisi, dan hubungan kekuasaannya serta bagaimana anggota menempatkan
diri dan peran mereka. Pelaksana kurikulum yang berhasil, akan menyadari bahwa
pelaksanaannya harus menarik peserta (target kurikulum/peserta didik) tidak hanya secara
logika, tapi juga emosional dan moral. Memang, Fullan mencatat bahwa kebanyakan guru
termotivasi untuk bertindak terutama karena pertimbangan moral.
Pandangan seseorang terhadap konteks sosial-institusional dipengaruhi oleh apakah
seseorang merasakan kehadiran kurikulum dalam dunia pendidikan sebagai teknik (modern) atau
nonteknis (postmodern). Mereka yang memiliki teknis, pandangan modern percaya bahwa
implementasi dapat direncanakan secara spesifik; mereka dengan nonteknis, postmodern,
berpandangan bahwa implementasi itu tidak pasti dan tiba-tiba (spontan). Sikap yang paling
produktif dalam menyikapi kedua pandangan mengenai implementasi adalah dengan
memandangnya sebagai kombinasi teknis (modern) dan nonteknis (postmodern).
Bagaimana kita bisa meyakinkan pendidik untuk menerima dan menerapkan kurikulum?
Pertama, kita bisa meyakinkan mereka bahwa menerapkan kurikulum baru akan memberikan
beberapa manfaat. Kedua, kita bisa menunjukkan konsekuensi negatif dari ketertinggalan
misalnya, sekolah tidak akan sesuai dengan mandat negara bagian, atau siswa akan gagal lulus
tes standar. Ketiga, kita bisa menunjuk dengan cara-cara di mana kurikulum tertentu yang ingin
kita terapkan sesuai dengan kondisi tempat kurikulum akan diberlakukan. Bagaimanapun, kami
mungkin ingin menerapkan program baru yang belum pernah ada dan bahkan lebih unggul dari
yang ada.
Implementasi kurikulum yang sukses dihasilkan dari perencanaan yang cermat, yang
berfokus pada tiga faktor: orang, program, dan proses. Untuk menerapkan perubahan kurikulum,
pendidik harus membuat orang mengubah beberapa kebiasaan mereka dan, mungkin, pandangan
mereka. Banyak sekolah gagal untuk melaksanakan program mereka karena mereka
mengabaikan faktor orang dan menghabiskan waktu dan uang hanya untuk memodifikasi
program atau proses.
Kotter menunjukkan bahwa untuk mengatasi tantangan "melahirkan" dalam
"kompleksitas pemasangan dan percepatan perubahan "abad ini, kita membutuhkan sebuah
sistem baru. Dia menyarankan sebuah sistem individu yang terorganisir sebagai jaringan- "lebih
seperti sebuah sistem tata surya. "Dia mengemukakan bahwa sistem semacam itu sedikit lebih
baik seperti jaring laba-laba, bisa menghasilkan dan memberikan inovasi, dalam kasus kami,
kurikulum baru dengan "Kelincahan dan kecepatan." Jaringan tidak menghilangkan hierarki; Ini
melengkapi mereka dengan strategi berpikir yang lebih dinamis diluar lingkup dan menghasilkan
inovasi dengan efisiens maksimal. Seperti jaring laba-laba, setiap spesies laba-laba memiliki
desain web sendiri, jadi setiap sekolah harus menyesuaikan sistemnya dengan implementasi
kurikulum terhadap latar belakang sosial-budaya sekolahnya yang unik(khas) di dalamnya.
ü Inkrementalisme
Banyak pendidik, dan juga anggota masyarakat umum, mengutamakan pemikiran pada
perubahan saat merenungkan pelaksanaan. Mereka melihat implementasi sebagai prosedur untuk
mengelola perubahan. Namun, seperti yang disarankan oleh Richard E. Elmore, pelaksana harus
mencari tahu terkait tujuan perubahan sebenarnya dalam dipertimbangkan focus perubahan pada
perubahan kurikulum dan budaya sekolah sehingga memberikan penekanan pada manajemen
perubahan.
ü Komunikasi
Untuk memastikan komunikasi yang memadai, spesialis/ahli kurikulum harus memahami
sekolah (atau sistem sekolah). Saluran komunikasi bersifat vertikal (antara orang-orang pada
tingkat yang berbeda dari hirarki sekolah) atau horizontal (antara orang pada tingkat yang sama
dari hirarki). Misalnya, komunikasi antara kepala sekolah dan guru bersifat vertikal; komunikasi
antara dua guru adalah horisontal. Pemimpin kurikulum yang efektif mendorong kelimpahan
saluran komunikasi mereka bekerja untuk membangun komunitas sekolah kohesif yang terdiri
dari guru, administrator, pelajar, dan bahkan anggota masyarakat. Komunikasi yang efektif
sebenarnya membutuhkan keseimbangan, sinkronisasi, kolaborasi formal dan informal.
Kurikulum tidak dibuat dan kemudian diimplementasikan, tapi selalu mengacu pada
sebuah keadaan yang ingin dibuat. Kurikulumnya tidak statis; namun dinamis, berkembang di
banyak tingkatan.
Implementasi Sebagai Proses Perubahan
Implementasi, merupakan bagian penting dari pengembangan kurikulum, terwujud dalam
kenyataan perubahan. Sederhananya, aktivitas kurikulum adalah aktivitas perubahan. Menurut
penelitian, agar perubahan kurikulum berhasil dilaksanakan, terdapat lima pedoman harus
diikuti:
1. Inovasi yang dirancang untuk meningkatkan prestasi belajar siswa harus terdengar secara
teknis. Perubahan harus mencerminkan temuan penelitian mengenai apa dan mengapa tidak
terlaksana, bukan karena desain/rancangan itu cukup popular.
2. Inovasi yang sukses membutuhkan perubahan struktur sekolah tradisional. Cara agar siswa dan
guru ditugaskan dalm lingkungan belajar/kelas dan berinteraksi satu sama lain harus secara
signifikan diubah.
3. Inovasi harus bisa diatur dan layak untuk rata-rata guru. Misalnya, suatu guru tidak bisa
berinovasi mengenai ide tentang pemikiran kritis atau pemecahan masalah bila siswa tidak bisa
membaca atau menulis bahasa Inggris dasar.
4. Penerapan upaya perubahan yang berhasil harus bersifat organik ketimbang birokrasi.
Pendekatan birokrasi terhadap peraturan dan pengawasan ketat tidak kondusif untuk berubah.
Seperti itu sebuah pendekatan harus diganti dengan pendekatan organik dan adaptif yang
memungkinkan beberapa orang menyimpang dari rencana semula dan mengenali akar
permasalahan dan kondisi sekolah.
5. Hindari sindrom "melakukan sesuatu, apapun itu". Rencana kurikulum yang pasti diperlukan
memfokuskan usaha, waktu, dan uang untuk konten, rasional, dan aktivitas yang masuk akal.
Jenis Perubahan
Kurikuler juga perlu memastikan apakah mereka mendekati implementasi kurikulum,
perubahan, dalam kerangka modern atau postmodern atau kombinasi kedua konfigurasi. Dua
pendekatan untuk studi kurikulum ini, yang meliputi pengembangan dan implementasi,
menambah dinamika yang membawa kurikulum ke kehidupan.
Kita juga bisa mempertimbangkan perubahan dalam hal kompleksitasnya. John McNeil
mendaftar semakin banyak tipe perubahan yang kompleks:
1. Pergantian. Ini menggambarkan perubahan di mana satu elemen dapat diganti dengan yang lain.
Dari seorang guru, misalnya mengganti satu buku teks dengan buku yang lain. Sejauh ini, ini
yang paling mudah dan jenis perubahan yang paling umum.
2. Perubahan. Jenis perubahan ini terjadi saat seseorang memperkenalkan, ke materi dan program
yang ada meliputi, konten baru, item, materi, atau prosedur yang tampaknya hanya kecil dan
dengan demikian kemungkinan akan diadopsi dengan mudah.
3. Perturbasi. Perubahan ini awalnya bisa mengganggu program tapi kemudian bisa disesuaikan
oleh pemimpin kurikulum untuk program yang sedang berlangsung dalam rentang waktu yang
singkat. Sebuah Contoh perturbasi adalah jadwal kelas menyesuaikan siswa, yang akan
mempengaruhi waktu yang diizinkan untuk mengajar subjek tertentu.
4. Restrukturisasi. Perubahan ini menyebabkan modifikasi sistem itu sendiri; yaitu, dari sekolah
atau sekolah kabupaten. Konsep baru tentang peran mengajar, seperti pembedaan kepegawaian
atau mengajar tim, akan menjadi semacam restrukturisasi perubahan.
5. Perubahan orientasi nilai. Ini adalah pergeseran filosofi dasar para peserta atau orientasi
kurikulum. Pialang daya utama sekolah atau termasuk peserta Kurikulum harus menerima dan
mengupayakan tingkat perubahan ini agar terjadi. Namun, jika guru tidak menyesuaikan domain
penilaian mereka, perubahan apa pun yang berlaku kemungkinan besar akan terjadi tidak akan
berlagsung lama.
Implementasi Kurikulum
Implementasi kurikulum jauh lebih dari sekedar menyerahkan keluar bahan baru dan
studi pelatihan. Agar implementasi berhasil, mereka yang terlibat harus mengerti tujuan
programnya, peran orang yang bermain dalam sistem, dan jenis individu yang akan terkena
dampak interaksi implementasi kurikulum baru. Agar implementasi kurikulum sukses, sekolah
pada dasarnya harus membangun pembelajaran masyarakat. Penekanan utama adalah membuat
sekolah sebagaimana yang ingin dihasilkan pada implementasi kurikulum, pembelajaran
diperkaya untuk semua orang yang terlibat, terutama untuk guru dan siswa. Implementasi yang
efektif tidak akan terjadi tanpa perencanaan yang serius. Proses perubahan menuntut
perencanaan, tapi rencanakan dengan fleksibilitas sehingga bisa dilaksanakan dengan keadaan
yang terkondisikan. Seiring pemberlakuannya, prosedur harus disesuaikan. Orang yang membuat
kurikulum/ahli kurikulum atau pelatihan baru sangat diarahkan untuk melirik distrik sekolah atau
sekolah dengan antusias dapat menerapkannya. Namun penerapannya tidak menuntut bahwa
pendidik menerima kurikulum tanpa pertanyaan. Pihak sekolah butuh waktu untuk "mencoba"
kurikulum baru atau pelatihan dan untuk menempatkan karakter/ciri khas mereka sendiri di
atasnya. Guru butuh kesempatan untuk melibatkan rekan mereka dalam berdiskusi tentang
kurikulum atau pelatihan yang dipresentasikan. Interaksi "feels" hubungan guru dengan
kurikulum yang akan dilaksanakan. Kurikuler bisa dan memang membawa berbagai perspektif
untuk implementasi dan mengintegrasikan banyak strategi. Bahkan postmodernis pun punya ide
strategi untuk mengintegrasikannya sebagai upaya menciptakan dan menerapkan kurikulum yang
mampu memjawab masalah mereka. Implementasi yang berhasil membutuhkan sebuah
komunitas kepercayaan. Kepercayaan mengambil waktu serta kolaborasi antar pemain
kurikulum. yang dibutuhkan adalah pendidik mengembangkan etika bersama tanggung
jawabnya. Hal ini membutuhkan mpenciptaan lingkungan di mana berbagai pendekatan dan
pendekatan pendidikan untuk pengembangan kurikulum dan implementasinya bisa dilaksanakan
dengan jujur melaluididiskusikan dengan hormat untuk semua peserta terkait. Mereka yang
bertanggung jawab atas perubahan, harus memahami perubahan dinamika strategi dan dinamika
proses kelompok Mereka harus menyadari kompleksitasnya di dalam sekolah dan masyarakat.
Mereka harus menyadari bahwa postur pendidikan dianalisis, dikritisi, disempurnakan, dan
ditantang. Instigator perubahan, Implementasi kurikulum, harus menyadari bahwa gejolak itu
masih ada di masyarakat lokal dan nasional hal ini tercermin dalam komunitas sekolah dan
sekolah itu sendiri. Kita hidup dalam masa yang kompleks dan kacau. Kita perlu bersemangat
dan termotivasi untuk menjadi agen perubahan aktif.
Mike Schmoker menekankan bahwa program sekolah yang efektif harus dilaksanakan,
Sekolah harus membangun komunitas belajar. Komunitas semacam itu memberi dukungan
kepada guru, staf dan dengan peluang terjadwal untuk membahas isu-isu yang muncul sebagai
hasil inovasi. Kesuksesan implementasi membutuhkan kerja sama tim. Implementasi
membutuhkan kolaborasi guru; ini menuntut guru untuk bertukar gagasan, mendukung tindakan
baru, mengatur ulang pemikiran, dan menilai kenyamannya tentang program bau. Fullan
menegaskan bahwa "kolegialitas, komunikasi terbuka, kepercayaan, dukungan dan bantuan,
belajar di tempat kerja, mendapatkan hasil dan kepuasan kerja dan semangat saling terkait erat. "
Implementasi berusaha membuat sekolah "belajar memperkaya/berkembang" untuk semua
pemain: administrator, guru dan Murid.
Pemeliharaan adalah pemantauan inovasi setelah diperkenalkan. Pemeliharaan mengacu
pada tindakan yang diperlukan untuk kelanjutan inovasi. Kecuali perawatannya direncanakan,
inovasi sering memudar atau diubah sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi. Tantangan untuk
melanjutkan program pendidikan baru ini terlepas dari apakah dorongan untuk program baru itu
bersifat eksternal atau internal. Pemeliharaan harus direncanakan, namun perencanaan semacam
itu bukan hanya memecahkan masalah teknis atau memperkenalkan diagram alur. Untuk
menjaga inovasi, kita harus mengatasi atau bahkan membangun domain afektif guru dan lain-
lain. Kita harus membangkitkan indera. Kita harus membangkitkan semangat. Komitmen
membutuhkan keterikatan emosional terhadap petualangan inovasi. Emosi yang respon positif
terhadap perubahan kurikulum inilah yang menumbuhkan kesuksesan. Guru harus mengalami
keterikatan emosional yang positif terhadap semua dimensi kurikulum. Mereka harus
bersemangat dengan tujuannya dan tujuan kurikulum. Mereka harus menanggapi secara afektif
isi dan pedagogies yang akan diterapkan. Pendidik harus melihat moralitas dari inovasi kurikuler.
Juga, tentu saja, seharusnya siswa juga memiliki emosional diri dan moral mereka yang
diaktifkan agar inovasi dapat mengakar.
Model Implementasi Kurikulum
Penulis- Jenis Perubahan
Model Asumsi Pemain kunci
Pencipta Proses Terlibat
Model Modernis
Mengatasi Neal Perlawanan terhadap Administrator, Strategi
resistansi Gross perubahan itu wajar. direktur, guru, perubahan
untuk mengubah Perlu mengatasi resistensi Pengawas. empiris
(ORC) sejak awal Strategi
kegiatan inovasi. perubahan yang
Harus mengatasi masalah staf. direncanakan.
Pengembangan Richard Pendekatan top-down Administrator, Empiris,
organisasi Schmuck (organisasi vertikal) direktur, perubahan
(OD) dan Stres pada budaya organisasi. pengawas rasional strategi.
Matius Implementasi bersifat Strategi
Mil interaktif proses. perubahan yang
direncanakan.
Konsumsi berbasis F. F. Pemilihan bersifat pribadi. Guru Strategi
adopsi Fuller Stres pada budaya sekolah. perubahan
(CBA) empiris.
Strategi
perubahan yang
direncanakan.
Model sistem Rensis Organisasi ini terdiri dari Administrator, Normatif,
Likert dan bagian, direktur, guru, rasional
Chris unit, dan departemen. pengawas strategi
Argyris Kaitan antara orang dan perubahan
kelompok. Strategi
Implementasi terdiri dari perubahan yang
perbaikan direncanakan
tindakan.
Perubahan Michael Perubahan yang berhasil Administrator, Perubahan
pendidikan Fullan melibatkan kebutuhan, guru, siswa, rasional
kejelasan, dewan sekolah, strategi
beberapa kompleksitas, dan masyarakat
kualitas program. anggota, dan
pemerintah
Model Postmodernis
Kurikulum-dalam- Wolff- Kurikulum selalu dalam Kurikulum Dasar teori
pembuatan Michael pembuatan, tidak pernah direksi, guru, chaos
Roth lengkap. siswa, anggota Teori
Kurikulumnya adalah "hidup." masyarakat perubahan
Hasil tak terbatas selalu hadir kuantum
kurikulum diterapkan. dasar
Berbagai model Patrick Setiap individu ditantang untuk Guru, siswa, Prosedural
pendekatan Slattery menghasilkan anggota absolut
Individu Memiliki pendekatan unik masyarakat proses
dikonseptualisasikan terhadap kurikulum Perubahan
proses implementasi pengembangan dan implementasi. kompleksitas
menekankan praksis teori
membebaskan
Teori kompleksitas William Kompleks tidak dapat disuling ke Guru, siswa, Perubahan
dipengaruhi E. Doll Jr. dalam anggota interaktif
pendekatan insiden sederhana masyarakat Jaringan
Hubungan Kompleksitas berhubungan meningkat
dengan dinamika interaktif kompleksitas
sistem.
Guru
Guru harus menjadi pusat perbaikan kurikuler. Henry Giroux mengemukakan bahwa para
guru merupakan bagian integral dari pemikiran yang mendorong pembuatan dan implementasi
program. Guru adalah terlibat langsung dengan implementasi di kelas. Mereka memiliki keahlian
klinis.Seperti yang Elizabeth Campbell tunjukkan, harapan kurikulum muncul dari kemampuan
guru memberlakukan tindakan kurikuler dan pedagogik "dengan kebijaksanaan, penilaian, dan
kemampuan." Guru memodifikasi dan menyempurnakan karya desain rekan mereka dan
profesional luar. Kunci untuk mendapatkan guru yang berkomitmen terhadap inovasi adalah
keterlibatan. Selain menjadi anggota komite penasehat kurikulum, guru harus memiliki
kesempatan untuk berpartisipasi dalam komunitas belajar kurikulum dimana mereka dapat
mengembangkan identitas sebagai kurikulum innovator.
Pengawas
Implementasi kurikulum harus diawasi dan dipantau. Baik cara mengajar maupun konten
yang dialamatkan perlu pengawasan. Pengawas memberikan arahan dan bimbingan serta
memastikan guru memiliki keterampilan untuk melakukan perubahan. Supervisor yang efektif
menyadari bahwa mereka harus menyesuaikan taktik mereka dengan situasi dan situasi peserta.
Pengawas bisa memberi guru berpengalaman banyak tanggung jawab. Namun, mereka mungkin
harus memberi guru awal lebih banyak struktur; mereka mungkin perlu menjadwalkan lebih
banyak pengawas hingga konferensi guru dan lebih banyak pelatihan in-service untuk anggota
staf kurikulum baru. Supervisor dapat melaksanakan tanggung jawab mereka dengan berbagai
cara. Beberapa cara yang populer adalah observasi kelas, pengajaran demonstrasi, konferensi
pengawas guru, pengembangan staf pertemuan, dan hibah dana. Jika supervisor efektif, guru
cenderung berkomitmen, dan merasa nyaman dengan program baru yang sedang dilaksanakan.
Kepala sekolah
Kepemimpinan kepala sekolah sangat penting bagi keberhasilan implementasi kurikulum.
Kepala sekolah menentukan iklim organisasi dan mendukung orang-orang yang terlibat dalam
perubahan. Jika prinsipal menciptakan suasana di mana hubungan kerja yang baik ada di antara
guru dan antar guru dan staf pendukung, perubahan program lebih mungkin diterapkan. Prinsipal
yang efektif membantu perkembangan antusiasme untuk program baru. Saat ini, prinsipal tidak
hanya menjadi administrator dengan pemahaman kurikulum yang mendalam dan implementasi.
Selain menjadi pemimpin sekolah, kepala sekolah harus menjadi aktivis masyarakat. Kepala
sekolah harus berbicara dan bertindak untuk guru, siswa, dan masyarakat. Kepala sekolah harus
memfasilitasi tindakan yang berarti di antara semua pihak yang terlibat dalam implementasi
kurikulum.
Direktur Kurikulum
Direktur kurikulum berkonsentrasi pada keseluruhan proses pengembangan kurikulum,
termasuk implementasi dan evaluasi. Distrik sekolah besar memiliki direktur penuh waktu yang
mengawasi kurikulum kegiatan. Di beberapa distrik sekolah, para direktur mengawasi
keseluruhan program K-13; masing-masing kabupaten memiliki direktur pendidikan dasar dan
direktur pendidikan menengah terpisah. Di distrik sekolah kecil, pengawas atau asisten pengawas
(asisten) bertanggung jawab soal kurikulum. Idealnya, direktur kurikulum atau asisten pengawas
yang bertugas mengilhami kurikulum kepercayaan dan kepercayaan diri dan berpengetahuan
luas, mengartikulasikan, dan karismatik. Direktur kurikulum atau asisten pengawas yang
bertanggung jawab atas kurikulum harus membantu guru dan kepala sekolah mendapatkan
keuntungan pengetahuan pedagogik dan kurikuler yang dibutuhkan untuk implementasi
kurikulum. Mereka harus akrab dengan penelitian terbaru dan teori tentang inovasi dan harus
memiliki keterampilan untuk mengkomunikasikan pengetahuan mereka kepada staf sekolah.
Konsultan Kurikulum
Kadang-kadang, sebuah distrik sekolah mungkin ingin membawa seorang fasilitator atau
koordinator eksternal. Umumnya jarang ditemukan distrik sekolah yang tidak memiliki pakar
internal untuk berkonsultasi mengenai inovasi. Bahkan kabupaten besar pun mungkin
membutuhkan fasilitator luar. Distrik sekolah biasanya tidak menggunakan konsultan kurikulum
selama periode yang panjang. Sebaliknya, sekolah membawa konsultan untuk melakukan
lokakarya satu atau dua hari. Namun, lokakarya semacam itu tidak efektif karena diperlukan
penerapan kurikulum kerangka waktu yang jauh lebih lama. Konsultan juga membantu sekolah
menganalisa program, menilai mereka, dan mendapatkan sebagian besar dana hibah konsultan
tersebut berbasis di perguruan tinggi dan universitas.
Orangtua dan Anggota Komunitas
Sekolah ada di dalam masyarakat, seringkali di masyarakat yang semakin beragam.
Pendidik harus menyadari bahwa siswa benar-benar menghabiskan lebih banyak waktu di
komunitas mereka daripada di sekolah. Pendidik juga harus memahami bahwa kurikulum ada di
luar tembok sekolah; belajar siswa tidak terjadi saat siswa keluar dari sekolah. Dalam
pengembangan dan implementasi kurikulum, pendidik harus berusaha untuk fokus pada
masyarakat dan mengembangkan sarana untuk melibatkan orang tua dan masyarakat anggota
dalam kegiatan sekolah, termasuk implementasi. Ini tidak berarti bahwa orang tua dan anggota
masyarakat akan melakukan pekerjaan guru, tapi sebuah kemitraan harus ada. Pendidik harus
melihat anggota masyarakat sebagai mitra. Guru tidak bisa mendidik siswa sendiri dalam isolasi
kelas. Bahkan dengan home schooling mulai populer, orang tua tidak dapat mendidik anak-anak
mereka sendirian. Menambah kompleksitas kerja dengan orang tua dan anggota masyarakat
adalah menyadari bahwa walaupun sekolah dan rumah memiliki kurikulum dan sekolah yang
dapat dilihat dan terukur, rumah, dan komunitas yang lebih besar semuanya memiliki berbagai
kurikulum tersembunyi yang dapat digunakan untuk maju atau menghambat total pembelajaran
akademis.
Sumber pengetahuan meliputi (a) konten (misalnya, media digital, buku pelajaran, ceramah
oleh guru), (b) bahan (misalnya, bahan kimia untuk percobaan, cat dan kanvas), dan (c) media
yang digunakan siswa saat mengerjakan mereka aktivitas (misalnya, media-media laboratorium,
kuas, kalkulator, penggaris, perangkat lunak analisis statistik, kata proses-software). Ketika
mengintegrasikan sumber daya teknologi dalam mengajar, itu harus dilakukan dengan cara yang
mengarah siswa untuk belajar dengan, bukan hanya belajar dari sumber daya tersebut. Dengan
cara ini, siswa dapat mengembangkan unsur-unsur semua kemahiran baru mereka berlebihan.
Ada berbagai perangkat lunak yang dapat digunakan siswa dalam belajar (misalnya, media Mind
Mapping seperti Pikiran Meister, media gambar / video editing seperti iMovie, media profesional
seperti AutoCAD dan Mathematica, dan model bangunan dan eksperimen media-media seperti
Interaktif Fisika dan Stella).
Jenis sumber daya digital konten mungkin efektif untuk ilmu pengetahuan dan
pembelajaran teknik, khususnya untuk konsep ilmu pembelajaran, dan ment mengembangkan-
kemahiran baru? Kami berpendapat bahwa 'Konseptual Model Pembelajaran Objects' harus
diberikan pertimbangan oleh ilmu pengetahuan dan rekayasa pendidik. Selama dekade terakhir,
kami telah melakukan pekerjaan penelitian yang luas pada desain dan penggunaan tional educa-
learning (lihat Churchill, 2005, 2007, 2008, 2010, 2011a, 2011b, dalam pers; Churchill &
Hedberg, 2008; Jonassen & Churchill, 2004).
Sebuah konsep secara luas dipahami sebagai bentuk spesifik dari struktur kognitif yang
memungkinkan berpengetahuan untuk memahami informasi baru, dan terlibat dalam pemikiran
disiplin tertentu, pemecahan masalah dan pembelajaran lebih lanjut. literatur menggarisbawahi
pentingnya pembelajaran konseptual, dan mengacu pada bukti bahwa pengetahuan konseptual
yang tidak lengkap dan kesalahpahaman menjadi penghambat yang serius dalam belajar (lihat
Mayer, 2002; Smith et al., 1993; Vosniadou, 1994). Model telah dijelaskan dalam literatur
sebagai media yang efektif untuk belajar konseptual. Penggunaan pendidikan mereka telah
berpusat pada model instruksional dan pembelajaran (misalnya, Dawson, 2004; Gibbons, 2008;
Johnson & Lesh, 2003; Lesh & Do-err, 2003; Mayer, 1989; Norman, 1983; Seel, 2003; van
Someren et al., 1998). Sebuah objek model pembelajaran konseptual dirancang untuk mewakili
konsep tertentu (atau serangkaian konsep terkait) dan sifat-sifatnya, parameter dan hubungan.
Seorang pelajar dapat memanipulasi sifat-sifat dan parameter dengan komponen interaktif
(misalnya, slider, tombol, hotspot area, kotak input teks) dan mengamati perubahan yang
ditampilkan dalam berbagai mode (misalnya, numerik, tekstual, pendengaran dan visual).
Sumber daya ini membutuhkan sedikit waktu kontak untuk belajar maksimal dan pengetahuan
konseptual yang akan dibangun.
Gambar 2 menunjukkan contoh dari konseptual objek model pembelajaran. objek belajar
ini merupakan representasi interaktif dan visual dari suatu konsep transfer kekuasaan melalui
sistem katrol. Hal ini memungkinkan siswa untuk memanipulasi sejumlah parameter dan
mengamati dampak dari konfigurasi pada sistem katrol. Dalam rangka mewujudkan potensi
pendidikan penuh obyek pembelajaran ini, guru perlu membuat tugas (kegiatan) di mana dia
akan terlibat dalam penyelidikan dan eksplorasi terutama yang berhubungan dengan penanaman
dalam objek pembelajaran. Seorang siswa bisa memposisikan dua slider untuk mengubah nilai-
nilai beban yang akan diangkat dan usaha yang akan diberikan untuk mengangkat beban ini, atau
sebaliknya. Mengungkap hubungan ini harus mengarah ke pemahaman yang lebih dalam konsep-
konsep kunci yang diwakili oleh objek pembelajaran.
Contoh lain dari objek pembelajaran disajikan pada Gambar 3. objek pembelajaran ini
menggambarkan parameter pemesinan kunci dalam mesin (memutar). Kami menggunakan
teknik untuk menunjukkan relevansi ide untuk domain lainnya. Peserta didik dapat memanipulasi
parameter ini dan menjelajahi kombinasi optimal diperlukan untuk menyelesaikan tugas mesin.
Skenario berikut, telah dijelaskan padapenelitian sebelumnya, yakni menggambarkan
bagaimana konseptual objek model pembelajaran mungkin mendukung pembelajaran sains:
(1) Pengamatan: Sebuah model konseptual dapat mendukung siswa untuk membuat
hubungan antara dunia nyata dan sifat mewakili suatu konsep. Hal ini dapat dirancang agar
peserta didik dapat mengenali sifat dari lingkungan nyata dalam antarmuka dari model
konseptual, serta sebaliknya. representasi ini dari properti tidak hanya salinan dari dunia nyata.
Sebaliknya, realitas diwakili melalui ilustrasi, representasi diagrammatical, analogi, metafora,
tanda-tanda, isyarat, simbol, dan ikon.
(2) Menggunakan analisis: Sebuah model konseptual akan memungkinkan siswa untuk
mengimpor Data dari lingkungan nyata dan percobaan untuk pengolahan analisis (misalnya,
tujuan kalkulator khusus). fitur desain (misalnya, slider, dialer, daerah tempat panas dan kotak
input teks) memungkinkan input parameter. Hasil interaksi dapat ditampilkan dalam berbagai
format seperti nomor, grafik, audio, lisan / pernyataan tertulis, representasi bergambar, dan
animasi.
(3) Percobaan: Sebuah model konseptual akan memungkinkan peserta didik untuk
memanipulasi parameter dan properti, dan mengamati perubahan yang dihasilkan dari
manipulasi tersebut. Juga, mungkin memungkinkan manipulasi hasil analisis penggunaan untuk
memungkinkan siswa untuk memeriksa bagaimana perubahan ini mempengaruhi parameter
terkait. Perubahan dapat disorot untuk memberikan isyarat dan mendorong generalisasi. fitur
desain sebuah model konseptual ini memungkinkan muncul secara umum untuk diuji.
(4) Berpikir: Sebuah model konseptual mungkin termasuk fitur yang memulai dan
mendukung pemikiran ilmiah. Sehubungan dengan konsep-konsep ilmu pengetahuan, hal ini
dapat dicapai dengan mengintegrasikan pemicu (misalnya, sinyal dan isyarat) yang menangkap
perintah dan memulai rasa ingin tahu. Selain itu, model konseptual mungkin mendukung
kegiatan kognitif menghubungkan model mental dari konsep (verbal dan visual) dikembangkan
melalui interaksi dengan isinya.
Model konseptual dapat digunakan kembali dalam lingkungan yang berbeda dan hubungan
aktivitas. Sebagai contoh, penggunaan kembali mungkin termasuk kelas atau presentasi
laboratorium, atau digunakan oleh beberapa peserta didik karena mereka berkolaborasi pada
tugas-tugas ilmu pengetahuan. Akhir-akhir ini, telah ada peningkatan model konseptual dan
benda-benda belajar lainnya tersedia melalui teknologi mobile seperti iPad. Penulis mengacu
pada ini sebagai Belajar Obyek Apps. teknologi mobile memungkinkan sumber daya tersebut
untuk dibawa ke authen- konteks tic, pindah antara ruang kelas, laboratorium dan dunia nyata
dan digunakan oleh siswa secara mandiri di luar sekolah dan kapanpun mereka dibutuhkan.
pembaca diingatkan bahwa sumber daya hanya salah satu komponen dari sebuah unit
pembelajaran. Pertimbangan juga perlu diberikan untuk aktivitas, dukungan dan evaluasi.
AKTIVITAS
Kegiatan adalah komponen penting untuk pencapaian penuh hasil belajar. Suatu kegiatan
memberikan siswa dengan pengalaman di mana belajar terjadi dalam konteks pemahaman yang
muncul, menguji ide, generalisasi dan menerapkan pengetahuan. Sumber daya, seperti
konseptual obyek model pembelajaran, media yang digunakan siswa saat menyelesaikan
aktivitas mereka. Berikut ini adalah dua karakteristik kunci dari suatu kegiatan yang efektif: (1)
Suatu kegiatan harus “Berpusat pada siswa”: yakni berfokus pada apa yang siswa akan lakukan
untuk belajar, bukan pada apa yang siswa akan ingat, Sumber daya adalah media di tangan siswa,
Guru fasilitator yang berpartisipasi dalam proses tersebut, Mahasiswa menghasilkan produk yang
menunjukkan kemajuan belajar mereka, Siswa belajar tentang proses, Siswa mengembangkan
kemahiran baru. (2) Suatu kegiatan harus “otentik”: yakni berisi skenario nyata dan masalah-
terstruktur, Ini pengulangan praktek profesional, Menggunakan media khusus untuk praktek
profesional, Hasilnya produk yang menunjukkan kompetensi profesional, tidak hanya
pengetahuan. Berikut ini adalah contoh dari apa suatu kegiatan mungkin: (1) Sebuah proyek
desain (misalnya, merancang percobaan untuk menguji hipotesis ilmiah), (2) Studi kasus
(misalnya, kasus bagaimana seorang ilmuwan mengidentifikasi fisika baru keteraturan), (3)
pemecahan masalah tugas belajar (misalnya, meminimalkan gesekan di daerah yang bertanda),
(4) Mengembangkan sebuah film dokumenter tentang isu tertentu yang menarik (misalnya, GM
pro makanan dan kontra), (5) Sebuah poster untuk mempromosikan isu kontroversial ilmiah
(misalnya, energi nuklir), (6) hari ilmu Perencanaan di sekolah Anda, (7) Mengembangkan
perangkat lunak untuk mengontrol perpindahan mekanik kekuasaan, (8) Peran-play (misalnya,
membela percobaan sains dengan hewan kecil). Hasil dari suatu kegiatan dapat menjadi produk
konseptual (misalnya, ide atau kecuali bahwa konsep disajikan dalam laporan tertulis), prangkat
keras (misalnya, model sebuah sirkuit listrik), atau prangkat lunak (misalnya, penciptaan berbasis
komputer). Perangkat yang dihasilkan oleh siswa seharusnya berdasarkan pendapat sejawat dan
review ahli dan revisi sebelum penyerahan akhir. Proses ini mungkin juga melibatkan presentasi
mahasiswa dan rekan / umpan balik ahli. Perangkat yang dihasilkan seharusnya dievaluasi
dengan cara agar siswa dapat merenungkan umpan balik dan mengambil tindakan lebih lanjut
terhadap prestasi lebih koheren dari hasil belajar.
Mendukung Tujuan dari dukungan adalah untuk memberikan siswa dengan perancah
penting sementara memungkinkan pengembangan keterampilan belajar dan kemandirian. Bagi
para guru, salah satu tujuannya adalah untuk mengurangi redundansi dan beban kerja. Dukungan
mungkin mengantisipasi kesulitan, seperti memahami suatu kegiatan, dengan menggunakan
media atau bekerja dalam kelompok. Selain itu, guru harus melacak dan merekam kesulitan yang
terus berlangsung dan isu-isu yang perlu ditangani selama belajar, dan berbagi dengan siswa.
Tiga mode dukungan yang mungkin: guru-murid, siswa-siswa, dan siswa-perangkat (sumber
daya tambahan). Dukungan dapat berlangsung di ruang kelas dan di lingkungan online seperti
melalui forum, wiki, Blog dan ruang jejaring sosial. Dukungan juga dapat dilihat sebagai
antisipasi kebutuhan siswa. Tergantung di lapangan, struktur pendukung proaktif seperti
TANYA JAWAB dapat direncanakan dan dilaksanakan dalam kebutuhan tersebut. Tujuan dari
dukungan antisipatif adalah untuk memastikan siswa memiliki akses ke sumber daya ketika
mereka membutuhkan bantuan, bukannya bergantung pada guru untuk bantuan.
Berikut adalah beberapa strategi spesifik dengan spesialisasi: (1) Membangun sumber daya
dan bahan yang merupakan FAQ Page, (2) Buat “Bagaimana saya?” Atau “Help Me” Forum, (3)
Buat Daftar istilah yang berhubungan dengan kursus, (4) Gunakan daftar periksa dan rubrik
untuk kegiatan, (5) Gunakan platform jaringan sosial lainnya dan media-media sinkron seperti
chat dan Skype. Secara keseluruhan, dukungan harus bertujuan mengarah siswa untuk menjadi
lebih peserta didik independen. Guru harus memberikan sering, awal, umpan balik positif yang
mendukung keyakinan siswa bahwa mereka dapat melakukannya dengan baik. Selain itu, siswa
juga perlu aturan dan parameter untuk pekerjaan mereka. Misalnya, sebelum siswa dapat
meminta guru untuk membantu, mereka harus terlebih dahulu meminta teman sekelas mereka
melalui salah satu Forum dan / atau mencari di Internet untuk solusi untuk masalah mereka (s).
Dengan cara ini, siswa diharapkan untuk mengambil tanggung jawab untuk pembelajaran mereka
dan untuk menunjang pelabuhan siswa lain dalam kelompok mereka.
EVALUASI
Evaluasi belajar siswa selama semester merupakan bagian penting dari pengalaman belajar
yang berpusat pada siswa yang efektif. Evaluasi formatif dalam rangka untuk memungkinkan
siswa untuk terus meningkatkan pembelajaran mereka. Suatu kegiatan harus memerlukan siswa
untuk bekerja pada tugas-tugas, dan mengembangkan dan perangkat Duce pro yang bukti belajar
mereka. Ini bukti belajar siswa memungkinkan guru untuk memantau kemajuan siswa dan
memberikan panduan lebih lanjut formatif untuk membantu meningkatkan prestasi belajar siswa.
Siswa juga perlu mencatat kemajuan mereka dalam menyelesaikan rangkaian tugas, sehingga
mereka juga dapat memantau cara belajar mereka dan perbaikan yang mereka buat. Rubrik dapat
diberikan untuk memungkinkan siswa untuk melakukan evaluasi diri juga. Selain itu, evaluasi
mungkin dilakukan oleh rekan-rekan juga. Berikut adalah beberapa poin mengapa evaluasi
penting untuk belajar siswa: (1) Menawarkan umpan balik pada pekerjaan dan mengidentifikasi
di mana siswa di mereka pembelajaran, (2) Menawarkan kesempatan bagi siswa untuk
meningkatkan pekerjaan mereka, (3) Memungkinkan siswa untuk menjadi pembelajar yang lebih
efektif dan termotivasi, (4) Membantu siswa menjadi lebih mandiri dan peserta didik mandiri.
Berikut perlengkapan rekomendasi mungkin berguna untuk guru untuk mengembangkan
unit pembelajaran mereka didasarkan pada model Desain Pembelajaran Rase. Sebelum memulai
untuk membangun unit pembelajaran, guru perlu: (1) Memastikan bahwa hasil belajar kursus
tertentu selaras dengan berlebihan semua hasil program pembelajaran, (2) Mengidentifikasi unit
yang dibutuhkan untuk mencapai hasil belajar pembelajaran, (3) Menyelaraskan penilaian, unit
pembelajaran dan hasil belajar. Ini harus disajikan dalam dokumen Outline Course keseluruhan
di mana rincian tentu saja, termasuk hasil belajar, jadwal dan topik, dan informasi tentang
evaluasi/tugas secara jelas disajikan dan selaras. Hanya kemudian adalah guru mampu
mengembangkan dan unit pembelajaran hadir sebagai berikut: (1) Jelaskan topik, (2) hasil Hadir
belajar, (3) Jelaskan apa yang diharapkan dan apa yang harus dilakukan jika dukungan
diperlukan, (4) Jelaskan prasyarat dan bagaimana untuk membangun pembelajaran sebelumnya,
(5) Jelaskan suatu kegiatan, (6) Jelaskan tugas dalam kegiatan, (7) Memberikan petunjuk tentang
bagaimana untuk melanjutkan awalnya, (8) Jelaskan kiriman (perangkat yang akan diproduksi),
menyediakan template jika apapun, memberikan contoh kiriman jika ada, (9) standar kehadiran
untuk Evaluasi dan menyediakan rubrik, (10) Menyediakan memeriksa diri dan bentuk evaluasi
rekan jika diperlukan, (11) Jelaskan pilihan dukungan. Selanjutnya, kita perlu menyediakan
Sumber daya seperti: (1) Catatan, artikel dan buku, (2) Presentasi, demonstrasi dan dicatat
kuliah/nyata, (3) materi Interaktif seperti model konseptual dan bentuk lain dari objek belajar, (4)
Video, (5) Perangkat lunak, (6) media Dukungan. Kita juga perlu secara jelas menentukan apa
yang diharapkan dari evaluasi dan bagaimana hal itu akan dilakukan, sehingga siswa memiliki
titik acuan yang jelas untuk pekerjaan mereka.
Sumber: Churchill, D., King, M., and Fox, B. (2013). Learning Design For Science Educationin
The 21st Century. IPI.
ISSN 0579-6431. DOI: 10.2298/ZIPI1302404C
PERTANYAAN
Apakah model pedagogik Rase cocok diterapkan dalam pembelajaran kimia terutama pada
materi kimia yang bersifat abstrak, dan analitis? Berikan alasannya dan contoh penerapannya?
Sebuah badan nasional, Joint Dissemination Review Panel (JDRP), bertemu secara
berkala untuk meninjau bukti efektivitas produk pendidikan yang diidentifikasi berpotensi
“sebagai percontohan”dan tepat penyebarannya. Ini adalah bentuk evaluasi sumatif, di mana
sebuah tim dari evaluator mengaudit sebuah proyek percontohan untuk menilai bukti
efektivitasnya. Bukti itu harus menunjukkan valid dan dapat diandalkan, efeknya harus cukup
besar terhadap kepentingan pendidikan, dan memungkinkan berintervensi dalam produksi dan
pengaruhnya di tempat lain "(Tallmadge, 1977; hal 2). Proyek melewati pemeriksaan panel,
mungkin memenuhi syarat untuk mendapatkan dana dukungan penyebaran dari National
Diffusion Network.
PERTANYAAN:
Berdasarkan pemaparan mengenai desain sistem instruksional, desain sistem intruksional
dapat terjadi dengan tingkat kebutuhan yang berbeda. Sebagaimana yang diketahui bahwa
Negara kita Indonesia, terdiri dari beberapa pulau/daerah yang memiliki tingkat kebutuhan dan
karakteristik daerah yang khas dan berbeda-beda. Apakah menurut anda komponen desain sistem
instruksional kurikulum yang berlaku saat ini (kurikulum 2013 edisi revisi) telah didasarkan
kebutuhan dan karakteristik yang khas dari setiap daerah atau hanya secara nasional? Berikan
saran dan pendapat anda mengenai upaya penyesuaian dan pengembangan desain instruksional
kurikulum Nasional di tiap daerah, agar selain tujuan pendidikan dapat tercapai, kualitas
pendidikan di Indonesia dapat merata, dan mencerminkan karakteristik/potensi yang berbeda-
beda dari setiap daerah?
Model Pembelajaran
MODEL DESAIN PEMBELAJARAN SISTEMIK
OLEH: SRI HENDRAWATI
Model desain pembelajaran sistemik atau systematic design of instruction ( Dick dan
Carey, 1990) seperti yang diperlihatkan dalam gambar meliputi Sembilan langkah, yaitu :
1. Mengidentifikasi tujuan umum instruksional
2. Melaksanakan analisis instruksional
3. Mengindenstifikasi perilaku dan karasteritik awal siswa
4. Menuliskan tujuan khusus performa
5. Mengembangkan butir tes acuan patokan
6. Mengembangkan strategi instruksional
7. Mengembangkan dan memilih materi atau bahan instruksional
8. Mendesain dan melaksanakan evaluasi formatif (Evaluasi sumatif tidak dimasukan dalam
komponen desain system instruksional ini ) dan
9. Melakukan revisi instruksional
1. Identifikasi Tujuan Instruksional
Proses desain instrusional dimulai dengan identifikasi satu atau lebih permasalahan.
Proses identifikasi pemasalahan tersebut biasanya disebut needs assessment. Dalam identifikasi
permasalahan ,pengembang sistem instruksional harus menangani proses yang sangart luas
dalam menggabungkan sudut pandang siswa , orang tua dan masyarakat.
2. Analisis Instruksional
Analisis instruksional merupakan prose untuk menguraikan perilaku umum menjadi perilaku
khusus yang tersusun secara logis dan sistematis dan sesuai dengan tuntutan lingkungan , dalam
hal ini customers. Terdapat empat macam struktur perilaku, yaitu hierarkikal, pengelompokkan,
dan kombinasi. Adapun langah-langkah dalam melakukan analisis instruksional adalah sebagai
berikut :
Menuliskan perilaku umum yang telah dituliskan dalam tujuan instruksional umum
menjadi tuntutan lingkungan tau pelanggan ;
Menuliskan setiap perilaku khusus yang menjadi bagian dari perilaku umum
Menyusun perilaku khusus tersebut ke dalam suatu daftar dalam urutan yang logis ,
dimulai dengan perilaku umum yang disesuai dengan kondisi lingkungan;
Menambah perilaku khusus tersebut , atau menguranginya jika perlu;
Menuliskan setiap perilaku khusus dalam dalam suatu lembar kartu;
Menyusun kartu tersebut di atas meja atau lantai dengan menempatkannya dalam
struktur yang hierarkikal, prosedural atau pengelompokan, menurut kedudukan kartu
masing-masing terhadap kartu lain
Kalau perlu tambahkan dengan perilaku khusus lain atau jika pelu kurangi jika dianggap
lebih.
Menggambarkan letak perilaku tersebut dalam kotak, kemudian menghubungkan
masing-masing kotak tersebut;
Meneliti kemungkinan untuk menghubungkan perilaku umum yang satu dengan yang
lainnya, atau perilaku khusus di bawah perilaku umum
Memberi nomor urut dari setiap perilaku khusus, mulai dari terjauh sampai yang terdekat
dari perilaku umum. Urutan tersebut menunjukkan perilaku yang diajarkan kepada siswa
; dan
Mendiskusikan bagan yang telah disusun dengan teman untuk mendapatkan masukan
Ada beberapa istilah yang sering kita jumpai yang memiliki kemiripan dengan berpikir
sistemik (systemic thinking), yaitu Systematic thinking (berpikir sistematik), Systemic thinking
(berpikir sistemik), dan Systems thinking (berpikir serba-sistem). Jika dikaji, maka semua istilah
itu berakar dari kata yang sama yaitu “sistem” dan “berpikir”, namun menunjukkan konotasi
yang berbeda, karena itu memiliki tujuan yang berbeda pula.
Konsep sistem setidaknya menyangkut pengertian adanya elemen atau unsur yang
membentuk kesatuan, lalu ada atribut yang mengikat mereka, yaitu tujuan bersama. Karena itu,
setiap elemen berhubungan satu sama lain (relasi) berdasarkan suatu aturan main yang disepakati
bersama. Kesatuan antar elemen (sistem) itu memiliki batas (boundary) yang memisahkan dan
membedakannya dari sistem lain di sekitarnya.
Berpikir sistematik (sistematic thinking), artinya memikirkan segala sesuatu berdasarkan
kerangka metode tertentu, ada urutan dan proses pengambilan keputusan. Di sini diperlukan
ketaatan dan kedisiplinan terhadap proses dan metoda yang hendak dipakai. Metoda berpikir
yang berbeda akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda, namun semuanya dapat
dipertanggungjawabkan karena sesuai dengan proses yang diakui luas.
Berpikir sistemik (systemic thinking), maknanya mencari dan melihat segala sesuatu
memiliki pola keteraturan dan bekerja sebagai sebuah sistem. Misalnya, bila kita melihat otak,
maka akan terbayangkan sistem syaraf dalam tubuh manusia atau hewan. Bila kita melihat
jantung akan terbayangkan sistem peredaran darah di seluruh tubuh.
Sementara itu berpikir sistemik (systemic thinking) adalah menyadari bahwa segala sesuatu
berinteraksi dengan perkara lain di sekelilingnya, meskipun secara formal-prosedural mungkin
tidak terkait langsung atau secara spasial berada di luar lingkungan tertentu. Systemic thinking
lebih menekankan pada kesadaran bahwa segala sesuatu berhubungan dalam satu rangkaian
sistem. Cara berpikir seperti berseberangan dengan berpikir fragmented-linear-cartesian.
Setelah itu, kita melakukan sintesis, yakni proses untuk memahami bagaimana elemen-
elemen itu berfungsi secara bersama-sama. Di sini kita dituntut memahami elemen-elemen
tersebut secara mendasar sebelum memadukannya. Kita bisa melihat hubungan yang jelas antara
curah hujan yang tinggi dengan kondisi hutan atau gunung yang gundul, lalu menyebabkan aliran
sungai yang sangat deras dan akhirnya menyembur ke daerah tertentu. Kondisi makin parah,
apabila saluran air di daerah sangat buruk, sehingga tak bisa menampung aliran air yang
melimpah (banjir) dan kondisi tanah yang rawan hingga menyebabkan longsor.
Dalam interaksi antar elemen itu kita memahami bahwa segala hal merupakan bagian dari
suatu sistem, dengan kata lain segala hal berinteraksi satu sama lain. Tak ada suatu perkara di
atas muka bumi ini yang berdiri sendiri, sebab semuanya saling terkait. Memahami proses
interaksi ini sulit karena selain banyak ragamnya, juga terkadang tidak tampak kasat mata, dan
satu sama lain saling mempengaruhi, sehingga tak jelas faktor mana yang lebih dulu muncul.
Kita perlu pola dari interaksi antar elemen dalam suatu Sistem. Untuk memahami
bekerjanya suatu sistem akan lebih mudah pada tingkat pola, bukan pada detailnya. Jika kita
ingin memahami hutan, maka kita pandang secara keseluruhan, bukan mengamati pohonnya satu
per satu. Berpikir serba-sistem adalah cara agar kita menemukan pola secara sadar dan proaktif.
Dalam satu persoalan yang kompleks, kita membutuhkan cara berpikir sistemik yang
berbeda dengan cara konvensional. Ada dua langkah dalam menerapkan berpikir sistemik.
Pertama, kita mendaftar dan menemukan elemen-elemen permasalahan yang ada. Kedua,
menemukan tema atau pola umumnya. Hal ini berbeda jauh dengan mereka yang menerapkan
berpikir non-sistemik, sebab mereka mungkin menemukan dan mendaftar sejumlah elemen
permasalahan, tapi kemudian memilih elemen tertentu untuk menjadi fokus perhatian. Dalam hal
itu, mereka mengabaikan elemen lain yang dipandang tak berpengaruh, padahal mungkin saja
justru paling menentukan pola yang berkembang di dalam sistem.
Sistems thinking sedikit berbeda systemic thinking. Berpikir sistemik lebih menekankan
pada pencarian pola-hubungan (Pattern), maka berpikir serba-sistem lebih menekankan pada
pemahaman bagaimana (How) elemen-elemen itu berhubungan. Dengan pemahaman How
tersebut, maka kita dapat menemukan elemen mana yang memiliki pengaruh vital dan solusi
yang komprehensif, sehingga tidak menimbulkan masalah baru.
Cara berpikir serba-sistem juga akan membentuk sikap yang sistemik dalam merespon
permasalahan (systemic attitude), yakni suatu pola perilaku yang tidak menabrak aturan main
(rule of game) yang sudah disepakati dalam satu sistem tertentu. Sebuah aturan yang ditetapkan
dalam sistem memang bersifat membatasi ruang gerak (self constraining), namun pada saat yang
sama memampukan (self enabling) setiap elemen untuk bekerja sesuai fungsinya dan
berinteraksi dengan elemen lain. Jika tak ada batasan fungsi yang jelas, maka setiap elemen itu
akan saling bertabrakan dan malah berpotensi menghancurkan sistem secara keseluruhan. Di
sinilah pentingnya, berpikir dan bertindak serba-sistem demi menjaga kesinambungan sistem
sendiri. Pengubahan aturan main dimungkinkan dan dapat diperjuangkan melalui cara-cara legal-
rasional, sehingga sistem itu tumbuh semakin sehat dan matang.
Metode-Metode Membaca Menulis Permulaan (MMP) di Sekolah Dasar
Metode –Metode Membaca Menulis Permulaan (MMP) di Sekolah Dasar
Oleh:
Sri Hendrawati, M.Pd
Tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia adalah siswa terampil berbahasa. Dalam kehidupan
sehari-hari, kegiatan berbahasa tercermin dalam empat aspek keterampilan berbahasa yakni
keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Pemerolehan keempat keterampilan
berbahasa tersebut bersifat hirarkhis. Artinya pemerolehan keterampilan berbahasa yang satu
akan mendasari keterampilan lainnya. Ada dua kategori keterampilan berbahasa, yakni pertama
adalah menyimak dan berbicara diperoleh seseorang untuk pertama kalinya di lingkungan rumah.
Dua keterampilan berbahasa berikutnya yakni membaca dan menulis diperoleh seseorang setelah
mereka memasuki sekolah. Menurut Supriyadi 1995, kategori keterampilan berbahasa yang
kedua ini merupakan sajian pembelajaran yang utama dan pertama bagi murid-murid sekolah
dasar kelas awal. Selanjutnya, kategori keterampilan berbahasa ini dikemas dalam satu paket
pembelajaran yang dikenal dengan paket MMP (Membaca Menulis Permulaan). Adapun
metode-metode yang digunakan bervariasi diantaranya adalah metode Eja, Bunyi, Suku Kata,
Global, dan SAS (Struktur Analitik Sintetik). Penjelasan berikutnya dapat dicermati pada uraian
berikut.
a.Metode Eja
Pembelajaran membaca dan menulis permulaan dengan metode ini memulai pengajarannya
dengan memperkenalkan huruf-huruf alpabetis. Huruf-huruf tersebut dihafalkan dan dilafalkan
peserta didik sesuai dengan bunyinya menurut abjad. Sebagai contoh:
A a, B b, C c, D d, E e, F f, G g,
Dilafalkan sebagai: a, be, ce, de, e, ef, ge, dan seterusnya.
Setelah melalui tahapan ini, para siswa diajak untuk berkenalan dengan suku kata dengan cara
merangkaikan beberapa huruf yang sudah dikenalnya
Misalnya: b, a, ba (dibaca be, a ba)
d, u du (dibaca de, u du)
ba – du dilafalkan badu
b, u, k, u menjadi:
b, u bu (dibaca be, u bu)
k, u ku (dibaca ke, u ku)
Proses ini seiring dengan menulis permulaan, setelah anak-anak bisa menulis huruf-huruf lepas.
Setelah itu dilanjutkan dengan belajar menulis rangkaian huruf yang berupa suku kata. Proses
pembelajaran selanjutnya adalah pengenalan kalimat-kalimat sederhana, misalnya huruf menjadi
suku kata, suku kata menjadi kata, dan kata menjadi kalimat yang diupayakan mengikuti prinsip
pendekatan spiral, pendekatan komunikatif, dan pendekatan pengalaman berbahasa. Artinya
pemilihan bahan ajar untuk pembelajaran MMP hendaknya dimulai dari hal-hal yang konkret
menuju pada hal yang abstrak, yaitu dari hal-hal yang mudah, akrab, familiar dengan kehidupan
peserta didik menuju hal-hal yang sulit, dan mungkin merupakan sesuatu yang baru bagi peserta
didik. Berdasarkan pengamatan, metode ini memiliki kelemahan-kelemahan antara lain kesulitan
dalam mengenal rangkaian-rangkaian huruf yang berupa suku kata atau pun kata. Kelemahan
lain dalam metode ini adalah dalam kesulitan pelafalan diftong dan fonem – fonem rangkap,
seperti ng, ny, kh, au, oi, dan sebagainya.
Bertolak dari kedua kelemahan tersebut, proses pembelajaran melalui sistem tubian dan hafalan
akan mendominasi proses pembelajaran MMP jenis ini, padahal pendekatan cara belajar siswa
aktif (CBSA) merupakan ciri utama dari pelaksanaan kurikulum SD yang saat ini prinsipnya
masih berlaku.
b.Metode bunyi
Proses pembelajaran membaca permulaan pada sistem pelafalan abjad atau huruf dengan metode
bunyi adalah:
b dilafalkan /eb/
d dilaflakan /ed/ : dilafalkan dengan e pepet seperti pengucapan pada kata; benar, keras, pedas,
lemah dan sebagainya
c dilafalkan /ec/
g dilafalkan /eg/
p dilafalkan /ep/ dan sebagainya
Dari penjelasan metode di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran MMP melalui metode
bunyi adalah bagian dari metode eja. Prinsip dasar dan proses pembelajaran tidak jauh berbeda
dengan metode eja/abjad di atas. Demikian juga dengan kelemahan-kelemahannya,
perbedaannya terletak hanya pada cara atau sistem pembacaan atau pelafalan abjad.
Proses pembelajaran MMP dengan metode ini diawali dengan pengenalan suku kata, seperti
ba, bi, bu, be, bo, ca, ci, cu, ce, co,
da, di, du, de, do, ka, ki, ku, ke, ko
Suku-suku kata tersebut kemudian dirangkaikan menjadi kata-kata bermakna. Sebagai contoh,
dari daftar suku kata tadi guru dapat membuat berbagai variasi paduan suku kata menjadi kata-
kata bermakna untuk bahan ajar MMP. Kata-kata tadi misalnya:
ba – bi cu – ci da – da ka – ki
ba – bu ca – ci du – da ku – ku
bi - bi ci - ca da – du ka – ku
ba – ca ka – ca du – ka ku – da
Kegiatan ini dapat dilanjutkan dengan proses perangkaian kata menjadi kalimat sederhana.
Contoh perangkaian kata menjadi kalimat seperti tampak pada contoh di bawah ini.
ka – ki ku – da
ba – ca bu – ku
cu – ci ka – ki
Proses perangkaian suku kata mejadi kata, kata menjadi kalimat sederhana, kemudian
ditindaklanjuti dengan proses pengupasan atau penguraian bentuk-bentuk tersebut menjadi
satuan-satuan bahasa terkecil di bawahnya, yakni dari kalimat ke dalam kata dan dari kata ke
dalam suku kata. Proses pembelajaran MMP yang melibatkan merangkai dan mengupas
kemudian melahirkan istilah lain yaitu Metode Rangkai-kupas.
Jika kita simpulkan langkah-langkah pembelajaran dengan metode suku kata adalah:
(1) tahap pertama, pengenalan suku-suku kata;
(2) tahap kedua, perangkaian suku-suku kata menjadi kata;
(3) tahap ketiga perangkaian kata menjadi kalimat sederhana;
(4) tahap keempat, pengintegrasian kegiatan perangkaian dan pengupasan;
(kalimat ---------> kata-kata ---------> suku-suku kata)
Metode suku kata/silaba, saat ini tampaknya sedang populer dalam pembelajaran baca tulis Al-
Quran yang disebut dengan metode Iqra. Proses pembelajaran MMP seperti yang digambarkan
ke dalam langkah-langkah di atas, dapat pula dimodifikasi dengan mengubah objek pengenalan
awalnya. Sebagai contoh pembelajaran diawali dengan pengenalan sebuah kata tertentu,
kemudian kata ini dijadikan lembaga tertentu sebagai dasar untuk pengenalan suku kata dan
huruf. Artinya kata dimaksud diuraikan atau dikupas menjadi suku kata, suku kata menjadi
huruf-huruf. Selanjutnya dilanjutkan proses perangkaian huruf menjadi suku kata, dan suku kata
menjadi kata. Dengan kata lain hasil pengupasan tadi dikembalikaan lagi ke bentuk asalnya
sebagai kata lembaga (kata semula).
d.Metode Global
Metode ini disebut juga sebagai “Metode Kalimat” karena alur proses pembelajaran MMP yang
diperlihatkan melalui metode ini diawali dengan penyajian beberapa kalimat global. Untuk
membantu pengenalan kalimat dimaksud biasanya digunakan gambar. Di bawah gambar tersebut
ditulis sebuah kalimat yang kira-kira merujuk pada makna gambar tersebut. Sebagai contoh, jika
kalimat yang diperkenalkan berbunyi ‘ini nani”, maka gambar yang cocok untuk menyertai
kalimat itu adalah gambar seorang anak perempuan.
Setelah anak diperkenalkan dengan beberapa kalimat, barulah proses pembelajaran MMP
dimulai. Mula-mula guru mengambil sebuah kalimat dari beberapa kalimat yang diperkenalkan
kepada anak pertama kali tadi. Kalimat ini dijadikan dasar/alat untuk pembelajaran MMP.
Melalui proses degloblalisasi selanjutnya anak mengalami proses belajar MMP.
e.Metode SAS
Pembelajaran MMP dengan metode ini mengawali pembelajarannya dengan menampilkan dan
memperkenalkan sebuah kalimat utuh. Mula-mula anak disuguhi sebuah struktur yang memberi
makna lengkap, yakni struktur kalimat yang bertujuan membangun konsep-konsep
kebermaknaan pada diri anak. Selanjutnya melalui proses analitik, anak-anak diajak untuk
mengenal konsep kata. Kalimat utuh yang dijadikan tonggak dasar diuraikan ke dalam satuan-
satuan bahasa yang lebih kecil yang disebut kata. Proses penganalisisan atau penguraian ini terus
berlanjut hingga sampai pada wujud satuan bahasa terkecil yang tidak bisa diuraikan lagi, yakni
huruf-huruf. Dengan demikian proses penguraian dan penganalisisan dalam pembelajaran MMP
dengan metode SAS meliputi;
1) kalimat menjadi kata-kata
2) kata menjadi suku-suku kata; dan
3) suku kata menjadi huruf-huruf
Pada tahap berikutnya anak-anak didorong melakukan kerja sintetis (menyimpulkan). Satuan
bahasa yang telah terurai dikembalikan lagi kepada satuannya semula, yakni dari huruf-huruf
menjadi suku kata, dari suku kata menjadi kata, dari kata menjadi kalimat lengkap. Dengan
demikian, melalui proses sintesis ini, anak-anak akan menemukan kembali wujud struktur
semula, yakni sebuah kalimat utuh. Melihat prosesnya, metode ini merupakan campuran dari
metode-metode membaca permulaan seperti yang telah kita bicarakan di atas. Oleh karena itu,
penggunaan metode SAS dalam pengajaran MMP pada sekolah-sekolah kita di tingkat sekolah
dasar pernah dianjurkan, bahkan diwajibkan pemakaiannya oleh pemerintah. Beberapa manfaat
yang dianggap sebagai kelebihan metode ini diantaranya sebagai berikut:
1) Metode ini sejalan dengan prinsip linguistik (ilmu bahasa) yang memandang satuan bahasa
terkecil yang bermakna untuk berkomunikasi adalah kalimat. Kalimat dibentuk oleh satuan-
satuan bahasa di bawahnya, yakni kata, suku kata dan huruf.
2) Metode ini mempertimbangkan pengalaman berbahasa anak. Oleh karena itu, pengajaran akan
lebih bermakna bagi anak karena bertolak dari sesuatu yang dikenal dan diketahui anak. Hal ini
akan memberikan dampak positif terhadap daya ingat dan pemahaman anak.
3) Metode ini sesuai dengan prinsip inkuiri (menemukan sendiri). Anak mengenal dan
memahami sesuatu berdasarkan hasil temuannya sendiri. Dengan begitu anak akan merasa lebih
percaya diri atas kemampuannya sendiri.
Penerapan pembelajaran membaca dan menulis permulaan dengan metode ini tampak dapat
diamati dalam contoh berikut:
ini mama
ini mama
i ni ma ma
inimama
i ni ma ma
ini mama
ini mama