Anda di halaman 1dari 9

PERATURAN ROKOK

Pada prinsipnya, berdasarkan Pasal 115 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”), tempat kerja merupakan salah satu
Kawasan Tanpa Rokok (“KTR”).

Penetapan KTR merupakan salah satu bentuk pengamanan zat adiktif agar tidak mengganggu
dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.[1]

Adapun pengaturan soal tempat khusus merokok terdapat di dalam Penjelasan Pasal 115
ayat (1) UU Kesehatan yang berbunyi:

Khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya dapat menyediakan tempat
khusus untuk merokok.

Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 57/PUU-IX/2011 telah


mengabulkan pengujian kata “dapat” pada penjelasan Pasal 115 ayat (1) UU Kesehatan dan
menyatakan kata “dapat” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan artikel Pemerintah Wajib Sediakan
Tempat Khusus Merokok, dengan putusan tersebut, MK mewajibkan pemerintah daerah
menyediakan tempat khusus merokok di tempat kerja, di tempat umum, dan di tempat
lainnya.

Pengaturan lebih lanjut mengenai pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif terutama
rokok mengacu pada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang
Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi
Kesehatan (“PP 109/2012”). Menurut Pasal 50 ayat (4) dan Pasal 51 PP 109/2012,
disebutkan:

Pasal 50 ayat (4) PP 109/2012


Pimpinan atau penanggung jawab tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menerapkan Kawasan Tanpa Rokok.

Pasal 51 PP 109/2012

1. Kawasan Tanpa Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf f (tempat kerja)
dan huruf g (tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan) menyediakan tempat
khusus untuk merokok.
2. Tempat khusus untuk merokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merupakan
ruang terbuka yang berhubungan langsung dengan udara luar.

Dalam Penjelasan Pasal 50 ayat (1) huruf f PP 109/2012, dijelaskan juga yang dimaksud
dengan “tempat kerja” adalah tiap ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka, bergerak atau
tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan
suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya.
Selain itu, dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (2) PP 109/2012, yang dimaksud dengan “ruang
terbuka” adalah ruangan yang salah satu sisinya tidak ada dinding ataupun atapnya sehingga
asap rokok dapat langsung keluar di udara bebas.

Senada dengan peraturan tersebut, di dalam peraturan lain yaitu Pasal 3 ayat (1) huruf f
Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor
188/MENKES/PB/I/2011; 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan
Tanpa Rokok (“Peraturan Bersama 188/2011”), tempat kerja termasuk ke dalam KTR dan
pimpinan/penanggung jawab tempat kerja wajib menetapkan dan menerapkan KTR.

Tempat kerja dapat menyediakan tempat khusus untuk merokok dengan memenuhi
persyaratan:[2]

a. merupakan ruang terbuka atau ruang yang berhubungan langsung dengan udara luar
sehingga udara dapat bersirkulasi dengan baik:
b. terpisah dari gedung/tempat/ruang utama dan ruang lain yang digunakan untuk
beraktivitas;
c. jauh dari pintu masuk dan keluar; dan
d. jauh dari tempat orang berlalu-lalang.

Bagaimana jika ada orang yang merokok di dalam tempat kerja? Oleh karena tempat kerja
termasuk KTR, setiap orang yang melakukan pelanggaran atas KTR diancam dengan denda
paling banyak Rp50 juta.[3]

Pengaturan lebih lanjut mengenai KTR termasuk sanksi atas pelanggaran KTR di provinsi
maupun kabupaten/kota diatur dengan peraturan daerah masing-masing, sanksi untuk
perorangan berupa sanksi tindak pidana ringan, sementara untuk badan hukum atau badan
usaha dikenakan sanksi administratif dan/atau denda.[4]

Jadi, tempat kerja merupakan salah satu KTR. Pimpinan atau penanggung jawab tempat kerja
wajib menyediakan tempat khusus untuk merokok dengan memenuhi persyaratan
sebagaimana disebutkan di atas.
KEUNTUNGAN ROKOK UNTUK NEGARA

1. Penambahan Kas Negara

Rokok juga menjadi salah satu sumber utama pemasukan kas negara melalui cukai yang
setiap tahun mencapai triliunan rupiah.

Selama 10 tahun terakhir, penerimaan negara dari cukai semakin meningkat. Data Badan
Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan tren positif ini sejak 2007 dengan total penerimaan dari
cukai sebesar Rp44,68 triliun dan terus bertambah hingga Rp145,53 triliun pada 2016.

Proporsi penerimaan cukai terhadap total penerimaan negara sebesar 6,31 persen pada 2007.
Porsi ini meningkat menjadi 7,10 persen pada 2012 dengan total penerimaan cukai sebesar
Rp95,03 triliun. Pada 2015, proporsinya sebesar 9,59 persen dari total penerimaan negara
sebesar Rp144,64 triliun.

Pada 2016, realisasi penerimaan negara dari cukai sebesar Rp143,53 triliun, atau menurun
sekitar 0,76 persen dibanding tahun sebelumnya, yang dipengaruhi oleh penurunan produksi
industri rokok. Tahun lalu, produksi rokok sebanyak 342 miliar batang atau turun sekitar 1,67
persen dibanding produksi tahun 2015.

Rata-rata proporsi penerimaan cukai tembakau terhadap cukai negara mencapai 95 persen.
Pada 2007, penerimaan negara dari cukai tembakau sebesar Rp43,54 triliun atau setara 97,45
persen terhadap total penerimaan cukai. Pada 2016, penerimaan negara dari cukai tembakau
sebesar Rp137,94 triliun. Nilai ini setara 96,11 persen dari total penerimaan cukai dan 8,87
persen dari penerimaan negara.
Meningkatnya proporsi penerimaan cukai tembakau terhadap penerimaan negara menjadi
tanda besarnya peran industri rokok bagi perekonomian. Tingginya kontribusi industri rokok
bagi perekonomian tak lepas dari besarnya jumlah perokok di Indonesia. Dari data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi merokok di Indonesia sangat tinggi, khususnya pada
laki-laki.

Pada 2013, prevalensi perokok laki-laki tercatat 66 persen atau lebih tinggi 9 kali bila
dibandingkan perokok perempuan (sekitar 6,7 persen). Selain itu, kecenderungan merokok
terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 1995 ada 27 persen dari total 197 juta penduduk
Indonesia yang merokok. Angka ini meningkat menjadi 36,3 persen dari total 252 juta
populasi Indonesia pada 2013.

2. Menyerap Tenaga Kerja yang Besar

Satu hal lagi yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun mengenai keistimewaan sektor rokok
dalam menyerap tenaga kerja yang besar. Siapapun pemerintahannya, pasti mengakui bahwa
ada penyerapan tenaga kerja yang besar pada sektor rokok.

Jumlah tenaga kerja untuk industri rokok secara keseluruhan melibatkan sebanyak 6,1 juta
orang. Tentunya ini adalah angka kasarnya saja yang kalau mau diteliti lebih lanjut dari hulu
ke hilirnya kita pasti akan menemukan angka yang lebih besar lagi jumlahnya. Dari hulu
misalnya, jumlah petani tembakau dan cengkeh saja, berdasarkan data Direktorat Jendral
Perkebunan, Kementerian Pertanian menunjukan jumlahnya sudah hampir 3 juta Rumah
Kepala Keluarga (KK).

Belum lagi berbicara di sektor pengolahannya, sirkulasi, pedagangnya, hingga pekerja


advertising dan medianya. Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dakhiri pun menyebutkan bahwa
jumlah pekerja sektor rokok lebih dari enam juta. Dari pertanian tembakau sampai industri
rokok. Distribusi dan segala macamnya. Jumlah pekerja dalam industri rokok, Konfederasi
Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) juga memperkirakan sekitar 6,1 juta orang pekerja di
dalamnya.

Industri rokok yang juga disebut sebagai Industri Hasil Tembakau (IHT) ini telah membentuk
rangkaian lapisan pekerja, mulai dari perkebunan dan pengolahan tembakau sampai industri
rokok. Sebagian besar pekerja terserap dalam industri kecil yang masih menggunakan tangan
atau sigaret kretek tangan (SKT). Lapisan ini masih ditopang dengan pekerja dagang untuk
memasarkan tembakau dan rokok baik untuk pasar domestik (domestic demand) maupun
pasar ekspor.

Maka tak heran jika pemerintah selalu menegaskan apabila sektor rokok ini mati akan
berdampak signifikan kepada ketenagakerjaan di Indonesia. Dan penyerapan tenaga kerja
yang besar inilah selalu menjadi pertimbangan pemerintah dalam setiap perbincangan terkait
sektor rokok.
KERUGIAN ROKOK

berdasarkan rilis Kementerian Kesehatan, beban pemerintah akibat rokok dan tembakau lebih
tinggi ketimbang besaran kontribusi cukai tembakau terhadap penerimaan negara. Kerugian
ekonomi secara makro akibat penggunaan tembakau dinilai Kemenkes menunjukkan tren
meningkat.

Pada 2010, kerugian ekonomi ini sebesar Rp245,41 triliun atau 4 kali penerimaan negara dari
cukai tembakau. Ia meningkat menjadi Rp378,75 triliun pada 2013 atau 3 kali dari
penerimaan negara.

Data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan menunjukkan jumlah perokok


dari kalangan keluarga miskin meningkat dari 30 persen menjadi 43 persen selama enam
sampai tujuh tahun terakhi. Rokok menjadi pengeluaran terbesar kedua kelompok hampir
miskin dan miskin di Indonesia. Di daerah perkotaan, pengeluaran rokok mencapai 11,79
persen. Sementara di pedesaan, angkanya 11,53 persen.

Peningkatan konsumsi rokok juga dinilai berdampak terhadap beban penyakit akibat rokok
dan angka kematian akibat rokok. Setidaknya 16 persen dari seluruh penyakit yang tidak
dapat dikomunikasikan, atau noncommunicable diseases, merupakan sumbangan dari
tembakau.

Salah satu laporan WHO menyatakan pada 2030 angka kematian perokok di dunia ditaksir
mencapai 8 juta jiwa dan sebagian besar di antaranya dari negara berpendapatan rendah
hingga menengah.
Menurut riset-riset ini, pengeluaran merokok sama signifikannya, atau bahkan melebihi,
dengan pengeluaran untuk makan, pendidikan, dan perawatan kesehatan. Kasus di Indonesia,
mengingat industri rokok sudah terlampau besar, sulit bahkan pelik untuk membicarakan soal
"penyelesaian masalah akibat merokok."

Pemerintah Indonesia mengambil langkah setiap tahun terus menaikkan tarif cukai tembakau,
yang ujungnya bikin harga rokok naik. Namun, dengan skema ini, harga rokok yang naik
sudah pasti berpengaruh pada pabrikan. Jika pabrikan bermasalah, otomatis petani dan buruh
terkena dampak paling besar. Kenaikan cukai, di antara hal lain, telah mengurangi ratusan
pabrik rokok, dan mendorong PHK ribuan buruh industri rokok
Tembakau adalah satu-satunya penyebab kematian yang dapat dicegah. Tapi longgarnya
regulasi pengendalian tembakau di Indonesia membuat jumlah perokok terus meroket
sehingga menempati urutan ketiga terbesar setelah Cina dan India.

Konsumsi rokok yang meningkat makin memperberat beban penyakit akibat rokok dan
bertambahnya angka kematian akibat rokok. Penyakit terkait rokok menyebabkan defisit
keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Riset kami menunjukkan kerugian makro ekonomi akibat konsumsi rokok di Indonesia pada
2015 mencapai hampir Rp600 triliun atau empat kali lipat lebih dari jumlah cukai rokok pada
tahun yang sama. Kerugian ini meningkat 63% dibanding kerugian dua tahun sebelumnya.

Konsumsi tembakau di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 30 tahun terakhir


disebabkan oleh beberapa faktor: tingginya angka pertumbuhan penduduk, harga rokok yang
relatif murah, pemasaran yang leluasa dan intensif oleh industri rokok, dan kurangnya
pengetahuan masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan tembakau.

“Keberhasilan” bisnis rokok di negeri ini terlihat dari meningkatnya persentase jumlah
perokok di kalangan anak-anak dan remaja. Indikasinya, antara 1995 sampai 2013, perokok
berusia 10-14 tahun meningkat dari 0,5% menjadi 4,8% dan perokok berusia 15-19 tahun
meningkat dari 13,7% menjadi 37,3%. Prevalensi perokok aktif di perdesaan berjumlah dua
kali di perkotaan.

Ironisnya, belanja rumah tangga kelompok masyarakat miskin untuk rokok, menempati
urutan ketiga tertinggi setelah makanan siap saji dan beras, di atas pengeluaran untuk
kesehatan dan pendidikan.

Pendekatan biaya kesakitan


Sebagian besar studi tentang biaya merokok dan konsekuensi ekonomi dari penyakit dan
cedera akibat merokok mengadopsi pendekatan biaya kesakitan (cost-of-illness approach).
Konsekuensi ekonomi dari sakit terdiri dari (1) biaya yang ditimbulkan karena penyakit dan
biaya terkait lainnya dan (2) nilai kerugian produksi karena berkurangnya atau hilangnya jam
kerja.

Dampak ekonomi dari merokok menyebabkan dampak buruk terhadap masyarakat karena
kematian prematur, produktivitas yang hilang, dan beban keuangan yang ditanggung oleh
perokok dan keluarga mereka, penyedia jasa kesehatan, penyedia layanan asuransi, dan
perusahaan pemberi kerja.

Biaya ekonomi merokok terdiri dari biaya langsung dan tidak langsung. Biaya langsung
meliputi barang atau jasa yang melibatkan transaksi moneter seperti biaya penggunaan
pelayanan kesehatan (perawatan di rumah dan rumah sakit, jasa dokter, dan obat penyakit
terkait dengan rokok) dan biaya tidak langsung dari merokok meliputi kehilangan sumber
daya lain, seperti waktu dan produktivitas yang hilang akibat sakit dan disabilitas, serta
kematian prematur karena penyakit terkait rokok. Orang yang sakit mungkin tidak bisa
bekerja atau bahkan tidak mampu melakukan kegiatan rumah tangga dan perawatan anak.
Biaya morbiditas diperkirakan dengan menentukan berapa yang mampu dihasilkan orang
tersebut (dengan pekerjaan berupah) dan juga memperkirakan nilai untuk produksi rumah
tangga yang hilang.

Kemungkinkan perokok meninggal karena beberapa jenis penyakit yang terkait dengan
kebiasaan merokok akan meningkat. Nilai hilangnya nyawa dikenal sebagai biaya mortalitas.
Satu ukuran yang digunakan untuk mengikuti nilai kehidupan yang dibuat berdasarkan nilai
moneter kehidupan. Perhitungan bisa dilakukan menggunakan human capital approach, yang
menghargai nyawa berdasarkan apa yang dihasilkan oleh individu. Ada pula pendekatan
keinginan untuk membayar (willingness to pay approach), yang menghargai nyawa
berdasarkan apa yang mereka berani tanggung untuk menghindari penyakit atau kematian.

Pengukuran lain yang digunakan adalah nilai kerugian akibat kematian prematur dihitung
dengan menggunakan kehilangan tahun produktif, dengan memperhitungkan sisa usia
berdasarkan harapan hidup (years of potential life lost/YPLL). Disability Adjusted Life Years
(DALYs) Loss alias Tahun Produktif yang Hilang menggabungkan sakit dan atau disabilitas
karena merokok dan kematian prematur dalam satu pengukuran.

Tahun produktif yang hilang


Sebagai faktor risiko, tembakau bertanggung jawab atas lebih dari 30 penyakit, sebagian
besar penyakit tidak menular. Dalam studi ini, kami menggunakan pengukuran 33 penyakit
berdasarkan data WHO, mulai dari kanker, jantung koroner, tuberkulosis paru, hingga radang
sendi.

Data dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dalam tiga tahun terakhir
menunjukkan tingginya beban penyakit tidak menular yang terkait tembakau telah menguras
keuangan BPJS.

Meningkatnya jumlah perokok aktif di kalangan generasi muda akan membahayakan kualitas
generasi mendatang dan mempengaruhi kualitas bonus demografi yang diharapkan terjadi di
Indonesia.

Karena nikotin pada tembakau bersifat adiktif, belanja tembakau pada tingkat rumah tangga
mengalahkan semua prioritas belanja rumah tangga lainnya, termasuk keperluan makanan
bergizi dan pendidikan anak. Situasi ini dapat melanggengkan atau memperburuk tingkat
sosial-ekonomi keluarga miskin.

Melihat pentingnya tembakau sebagai salah satu risiko utama terhadap kesehatan,
pemantauan terhadap distribusi dan intensitas penggunaan tembakau menjadi penting dalam
mengidentifikasi prioritas intervensi dan mengevaluasi kemajuan upaya pengendalian
tembakau.

Anda mungkin juga menyukai