LAPORAN PENDAHULUAN
A. Pengertian
CKD atau biasa dikenal sebagai gagal ginjal kronik adalah progresifitas la
mbat dari fungsi ginjal selama beberapa tahun yang akhirnya pasien memiliki gag
al ginjal permanen. Menurut Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI)
, gagal ginjal kronik adalah kerusakan pada organ ginjal dimana terjadi penurunan
tingkat filtraasi glomerulus (Glomerular Filtration Rate GFR) kurang dari 60 ml/
min/1,73 m2 dalam kurun waktu 3 bulan atau lebih. Hasil akhir dari kehilangan
fungsi ginjal secara bertahap. Jarang menunjukkan gejala hingga kerusakan filtrasi
glomerulus lebih dari 75% yang memburuk seiring penurunan fungsi ginjal.
(Billota, 2012: 262).
B. Etiologi
Etiologi gagal ginjal kronik yang paling umum (USRDS, 2008) menurut
Lemon (2016: 106)
1) Nefropati diabetik
2) Hipertensi
3) Glomerulonefritis
4) Penyakit ginjal kistik
5) Nefrosklerosis hipertensi
6) Glomerulonefritis kronik
7) Pielonefritis kronik
8) Penyakit ginjal polisistik
9) Eritematosa lupus kompleks. (Lemon, 2016: 1064)
C. Anatomi Fisiologi
c. Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran
darah melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi
tidak terjadi secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang
secara alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion
hidrogen.
d. Augmentasi
Augmentasi adalah proses penambahan zat sisa dan urea yang mulai
terjadi di tubulus kontortus distal. Urine yg telah terbentuk (urine sekunder),
daritubulus kontortus distal akan turun menuju saluran pengumpul (duktus
kolektivus), selanjutnya urine dibawa ke pelvis renalis. Dari pelvis renalis, urine
mengalir melalui ureter menuju vesika urinaria (kantong kemih) yang
merupakan tempat penyimpanan sementara bagi urine. Jika kantong kemih telah
penuh terisi urin, dinding kantong kemih akan tertekan sehingga timbul rasa
ingin buang air kecil. Urin akan keluar melalui uretra. Komposisi urine yang
dikeluarkan meliputi air, garam, urea, dan sisa substansi lainnya seperti pigmen
empedu yang berfungsi memberi warna dan bau pada urine. Warna urine setiap
orang berbeda dan biasanya dipengaruhi oleh jenis makanan yang dikonsumsi,
aktivitas yang dilakukan, ataupun penyakit. Warna normal urine adalah bening
hingga kuning pucat.
D. Patofisiologi
Patofisiologi CKD beragam, bergantung pada proses penyebab penyakit.
Proses patologi umum yang menyebabkan kerusakan nefron, CKD, dan gagal
ginjal. Tanpa melihat penyebab awal, glomerulosklerosis dan inflamasi interstisial
dan fibrosis adalah ciri khas CKD dan menyebabkan penurunan fungsi
ginjal (Copstead& banasik, 2010). Seluruh unit nefron secara bertahap hancur.
Pada tahap awal, saat nefron hilang , nefron fungsional yang masih ada
mengalami hipertrofi. Aliran kapiler glomerulus dan tekanan meningkat dalam
nefron ini dan lebih banyak pertikel zat terlarut disaring untuk mengkompensasi
massa ginjal yang hilang. Kebutuhan yang meningkat ini menyebabkan nefron
yang masih ada mengalami sklerosis (jaringan parut) glomerulus, menimbulkan
kerusakan nefron pada akhirnya. Proteinuria akibat kerusakan glomerulus di duga
menjadi penyebab cedera tubulus. Proses hilangnya nefron yang kontiunu ini terus
berlangsung meskipun setelah proses penyakit awal telah teratasi (Fauci et al.,
2008). Perjalanan CKD beragam, berkembang selama periodebulanan hingga
tahunan. Pada tahap awal, sering kali disebut penurunan cadangan ginjal, nefron
yang tidak terkena mengkompensasi nefron yang hilang. GFR sedikit turun dan
pada pasien asimtomatik disertai BUN dan kadar kreatin serum normal. Ketika
penyakit berkembang dan GFR turun lebih lanjut, hipertensi dan ebberapa
manifestasi insufisiensi ginjal dapat muncul. Serangan berikutnya pada ginjal di
tahap ini (misalnya infeksi, dehidrasi atau obstruksi saluran kemih) dapat
menurunkan fungsi dan dapat memicu awitan gagal ginjal atau uremia nyata lebih
lanjut. Kadar serum kratinin dan BUN naik secara tajam, pasien menjadi uliguria,
dan manifestasi uremia muncul. Pada ESRD, tahap akhir CKD, GFR kurang dari
10% normal dan terapi penggantian ginjal diperlukan untuk mempertahankan
hidup. (Lemon, 2016: 1063).
Patofosiologi berdasarkan penyebab menurut Lemon, 2016: 1064
1) Nefropati diabetik : Peningkatan awal laju aliran glomerulus
menyebabkan hiperfiltrasi dengan akibat kerusakan glomerulus, penebalan
dan sklerosis membran basalis glomerulus dan glomerulus kerusakan bertahap
nefron menyebabkan penurunan GFR
2) Nefrosklerosis hipertensi : Hipertensi jangka panjang menyebabkan
skelrosis dan penyempitan arteriol ginjal dan arteri kecil dengan akibat
penurunan aliran darah yang menyebabkan iskemia, kerusakan glomerulus,
dan atrofi tubulus.
3) Glomerulonefritis kronik : Inflamasi interstisial kronik pada parenkim
ginjal menyebabkan obstruksi dan kerusakan tubulus dan kapiler yang
mengelilinginya, memengaruhi filtrasi glomerulus dan sekresi dan reabsorbsi
tubulus,dengan kehilangan seluruh nefron secara bertahap.
4) Pielonefritis kronik : Infeksi kronik yang biasa dikaitkan dengan
obstruksi atau reluks vesikoureter menyebabkan jaringan parut dan deformitas
kaliks dan pelvis ginjal , yang menyebabkan refluks intrarenal dan nefropati
5) Penyakit ginjal polisistik : kista bilateral multipel menekan jaringan
ginjal yang merusak perfusi ginjal dan menyebabkan iskemia, remodeling
vaskular ginjal, dan pelepasan mediator inflamasi, yang merusak dan
menghancurkan jaringan ginjal normal.
6) Eritematosa lupus kompleks : kompleks imun terbentuk di membaran basalis
kapiler yang menyebabkan inflamasi dan sklerosis dengan glomerulonefritis
fokal, lokal, atau difus.
E. WOC
F. Manifestasi Klinis
Penyakit gagal ginjal kronik (Chronic kidney disease, CKD) ditandai
dengan adanya kerusakan ginjal selama tiga bulan atau lebih dan tingkat fungsi
ginjal (National Kidney Foundation [NKF], 2002). Akhirnya, ginjal tidak dapat
mengsekresikan sisa metabolik dan mengatur keseimbangan cairan dan eletrolit
secara adekuat, kondisi yang disebut sebagai gagal ginjal atau gagal ginjal
stadium akhir (ERSD), tahap akhir CKD. Kondisi yang mneyebabkan CKD
biasanya melibatkan penyakit ginjal bilateral difus dengan kerusakan progresif
dan jaringan parut. (Lemon, 2016: 1062).
2. Wanita.
Pada wanita sedikit berbeda,
G. Komplikasi
1) Efek Cairan dan Elektrolit
Hilangnya jaringan ginjal fungsional merusak kemampuannya untuk
mengatur keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa. Pada tahap awal
CKD, kerusakan filtrasi dan reabsorpsi menyebabkan protinuria, hematuria,
dan penurunan kemampuan memekatakan urin. Garam dan air tidak dapat
disimpan dengan baik dan risiko dehidrasi meningkat. Poliuria, nokturia, dan
berat jenis tetap 1, 008 – 1, 012 bisa terjadi. Ketika GFR turun dan fungsi
ginjal menurun lebih lanjut, reteni natrium dan air biasa terjadi, yang
membutuhkan batasan air dan garam. Ekskresi fosfat juga rusak,
menyebabkan hipofosfatemia dan hipokalsemia. Penrunan absorbsi kalsium
akibat kerusakan aktifasi vitamin D juga menyebabkan hipokalsemia. Ketika
gagal hginjal terus berlanjut, ekskresi ion hidrogen dan produksi dapat rusak,
menyebabkan asidosis metabolik. (Lemon, 2016: 1063-1064).
2) Efek Kardiovaskular
Hipertensi sistemik adalah manifestasi umum CKD. Hipertensi terjadi
akibat kelebihan volume cairan, peningkatan aktifitas renin angiotensin,
peningkatan resistensi vaskular dan penurunan prostaglandin. Peningkatan
volume cairan ekstraselular juga dapat menyebabkan edema dan gagal
jantung. Edema paru dapat terjadi akibat gagal jantung dan peningkatan
permeabelitas membrane kapiler alveolus.
Toksin metabolik yang tertahan dapat mengiritasi kantong
perikardium, menyebabkan respon inflamasi dan tanda
perikarditis.Tamponade jantung, kemungkinan komplikasi perikarditis, terjadi
bila cairan inflamasi dalam kantong perikardium mengganggu pengisian
ventrikel dan curah jantung. Ketika komplikasi umum uremia, perikarditis
jarang terjadi bila dialisis dilakukan dini. (Lemon, 1064-1065).
3) Efek Hematologi
Anemia bisa muncul pada CKD, disebabkan oleh banyak faktor. Ginjal
memproduksi eritropoetin, hormon yang mengontrol produksi sel darah
merah. Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin menurun. Toksin metabolik
yang tertahan lebih lanjut menekan produksi sel darah merah dan meyebabkan
pemendekan masa hidup sel darah merah. Kekeruagan nutrisi (besi dan folat)
dan peningkatan resiko kehilangan darah dari saluran gastrointestinal juga
menyebabkan anemia.
Gagal ginjal merusak fungsi trombosit, meningkatkan resiko gangguan
perdarahan seperti epsitaksis dan perdarahan gastrointestinal. Mekanisme
kerusakan fungsi trombosit terkait dengan gagal ginjal tidak di pahami dengan
baik. (Lemon, 2016: 1065).
4) Efek Sistem imun
Uremia meningkatkan resiko infeksi. Kadar tinggi urea dan sisa
metabolik tertahan merusak semua aspek inflamasi dan fungsi imun.
Penurunan SDP, imunitas lantaran sel dan humoral rusak, serta fungsi fagosit
rusak. Baik respon inflamasi akut maupun respon hipersensitivitas lambat
terganggu (Porth& Matfin, 2009). Demam ditekan, seringkali memperlambat
diagnosa infeksi. (Lemon, 2016: 1065).
5) Efek Gastrointestinal
Anoreksia, mual, muntah adalah gejala awal uremia. Cegukan biasa
dialami. Gastroenteritis sering muncul. Ulserasi juga memengaruhi tiap level
saluran GI dan menyebabkan peningkatan risiko perdarahan GI. Penyakit
ulkus peptikum khususnya umum pada pasien uremik. Fetor uremik, bau
napas seperti urine seringkali dikaitkan dengan rasa logam dalam mulut, dapat
terjadi. Fetor uremik semakin dapat menyebabkan anoreksia. (Lemon, 2016:
1065).
6) Efek Neurologis
Uremia menguah fungsi sistem syaraf pusat dan perifer. Manisfestasi’
SSP terjadi lebih awal dan mencakup perubahan mental, kesulitan
berkonsentrasi, keletihan, insomnia. Gejala psikotik, kejang, dan koma
dikaitkan dengan ensefalopati uremik lanjut.
Neuropati perifer juga umum terjadi pada uremia lanjut. Jbaik jaras
sensorik maupun motorik terkena. Ekstremitas bawah terkena pada awalnya.
“restless leg syndrome” atau rasa merayap atau menjalar, seperti tertusuk, atau
gatal pada tungkai bawah dengan gerakan tungkai sering, meningkat selama
istirahat. Parestesia dan kehilangan sesorik biasanya terjadi pada pola
“stocking glove”. Ketika uremia memburuk, fungsi motorik juga rusak,
menyebabkan kelemahan otot, penurunan rekleks tendon dalam, dan gangguan
berjalan. (Lemon, 2016: 1065).
7) Efek Muskuloskeletal
Hiperfosfatemia dan hipokalsemia yang terkait dengan uremia
mensimulasi sekresi hormon paratiroid. Hormon paratiroid menyebabkan
peningkatan resorbsi kalsium dari tulang. Selain itu, aktifitas sel osteoblast
(pembentuk tulang) dan osteoklast (penghancur tulang) terkena. Resorbsi dan
remodeling tulang ini, bersamaan dengan penurunan sintesis vitamin D dan
penurunan absorbsi kalsium dari saluran GI, menyebabkan osteodistrofi
ginjal, yang disebut juga riketsia ginjal. Osteodistrofi ditandai
dengan osteomalasia, pelunakan tulang, dan osteoporosis, penurunan masa
tulang. Kista pada tulang dapat terjadi. Manifestasi osteodistrofi mencakup
nyeri tekan pada tulang, nyeri, dan kelemahan otot. Pasien beresiko tinggi
mengalami fraktur spontan.
H. Pemeriksaan diagnosis
Pemeriksaan diagnostik menurut Billota (2012: 262)
1) Laboratorium
a. Kadar BUN kreatinin serum, natrium, dan kalsium meningkat
b. Analisa gas darah arteri menunjukkan penurunan PH arteri dan kadar
bikarbonat.
c. Kadar hematokrit dan hemoglobin rendah, masa hidup sel darah merah
berkurang.
d. Muncul defek trombositomia dan trombosit ringan.
e. Sekresi aldosteron meningkat.
f. Terjadi hiperglikemia dan hipertligiseridemia.
g. Penurunan kadar high density lipoprotein (HDL)
h. Analisa gas darah menunjukkan asidosis metabolic.
i. Berat jenis urine tetap pada angka 1,010.
j. Pasien mengalami proteinuria, glikosuria, dan pada urine ditemukan
sedimentasi, leokosit, sel darah merah, dan kristal.
2) Pencitraan
Radiografi KUB, urografi ekskretorik, nefrotomografi, scan ginjal,
dan arteriografi ginjal menunjukkan penurunan ukuran ginjal.
3) Prosedur diagnostik
a. Biopsi ginjal memungkinkan identifikasi histologis dari prposes
penyakit yang mendasari
b. EEG menunjukkan dugaan perubahan ensefalopati metabolik.
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan menurut Billota (2012: 263)
1) Umum
a. Hemodialisis atau dialisis peritoneum
b. Diet rendah protein (dengan dialisis peritonium, tinggi protein), tingggi
kalori, rendah natrium, rendah fosfor, rendah kalium.
c. Pembatasan cairan
d. Tirah baring jika letih
2) Pengobatan
a. Diuretik
b. Glikosida jantung
c. Antihipertensif
d. Antiemetik
e. Suplemen zat besi dan folat
f. Eritropoetin
g. Antipluritik
h. Suplemen vitamin dan asam amino esensial
3) Pembedahan
a. Pembuatan akses vaskular untuk dialisis
b. Kemungkinan transpalntasi ginjal
BAB 2
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1) Anamnesa
a. Usia
Penyakit ginjal kronis ditemukan pada orang darisegala usia.
b. Jenis Kelamin
Gagal ginjal kronis dapat menyerang pria maupun wanita.
c. Keluhan Utama
Letih, penuruna haluaran urine, peningkatan edema, ketidak
seimbangan elektorilit, kelebihan cairan. (Billota, 2012: 262).
d. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengalami mulut kering, letih, mual, kram otot, impotensi,
aminore, vasikulasi, kedutan otot. (Billota, 2012: 262).
e. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat infeksi saluran kemih, penyakit peradangan, vaskuler
hipertensif, gangguan saluran penyambung, gangguan kongenital dan
herediter, penyakit metabolik, nefropati toksik dan nefropati obstruktif.
f. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit vaskuler hipertensif, penyakit metabolik, riwayat
menderita penyakit gagal ginjal kronik.
g. Riwayat Psikososial
Pasien akan merasakan perasaan tidak berdaya, tak ada harapan,
menolak, ansietas, takut, marah, tidak mampu mempertahankan fungsi
peran.
2) ADL
a. Nutrisi : peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat
badan (malnutrisi), anoreksia, nyri uluhati, mual/ muntah, rasa tak
sedap pada mulut (pernafasan amonia). (Doenges, 2012: 627).
b. Aktivitas : Kelemahan yang ekstrim, malaise,gangguan tidur
(insominia/ gelisah atau samnolen) (Doenges, 2012: 626)
c. Pola Eliminasi : penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal
tahap lanjut), abdomen kembung, diare, atau konstipasi. (Doenges,
2012: 626).
d. Neurosensori : sakit kepala, pengelihatan kabur, kram otot/ kejang,
sindorm “kaki gelisah”; kebas rasa terbakar pada telapak kaki. Kebas/
kesemutan dan kelemahan, kususnya ekstremitas bawah (neuropati
perifer). (Doenges, 2012: 627).
e. Nyeri/ kenyamanan : Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot/ nyeri kaki
(memburuk saat malam hari). (Doenges, 2012: 627).
f. Pernafasan : nafas pendek; dipsnea nekturnal paroksismal; batuk
dengan/ tanpa sputum kental dan banyak. (Doenges, 2012: 627).
g. Keamanan : kulit gatal, ada/ berulangnya infeksi (Doenges, 2012:
627).
3) Pemeriksaan Fisik
a. B1 (breathing) : takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi/ kedalaman
(perneapasan kusmaul), batuk produktif dengan sputum merah muda
encer (edema paru). (Doenges, 2012: 627).
b. B2 (Blood) : hipertensi; nadi kuat, disritmia jantung, pitting pada kaki,
telapak tangan. Nadi lemah halus, hipotensi ortostatik menunjukkan
hipovolemia. Friction rub perikardial (respon terhadap akumulasi sisa).
(Doenges, 2012: 626).
c. B3 (Brain) : gangguan status mental contoh penurunan lapang
perhatian, tidakmampuan berkonsentrasi, kacau, penurunan tingkat
kesadaran, stupor, koma. (Doenges, 2012: 627).
d. B4 (Bladder) : perubahan warna urin contoh kuning pekat, merah,
coklat, oliguria, dapat menjadi anuria. (Doenges, 2012: 626- 627).
e. B5 (Bowel) : distensi abdomen, konstipasi, diare (Doenges, 2012:
626).
f. B6 (Bone) : kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang
gerak. (Doenges, 2012: 626).
4) Diagnosa Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan
1 Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan heluaran
urine, diet berlebih, dan retensi cairan dan natrium
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan membrane
mukosa mulut.
3. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi
produk sampah dan prosedur dialysis
4. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan anemia
5. Resiko Penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidak
seimbangan cairan
6 Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kondisi dan penanganan
5) Intervensi Keperawatan
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan heluaran
urine, diet berlebih, dan retensi cairan dan natrium.
Tujuan : mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan.
Intervensi :
1. Kaji Status Cairan
a) Timbang berat badan harian.
b) Keseimbangan masukan dan haluran.
c) Turgor kulit dan adanya edema.
d) Distensi vena leher.
e) Tekanan darah, denyut dan irama nadi.
R/ pengkajian merupakan dasar dan data dasar berkelanjutan
untuk memantau perubahan dan mengevaluasi intervensi.
2. Batasi masukan cairan
R/ pembatasan cairan akan menentukan berat tubuh ideal,
haluaran urin, dan respons terhadap penyakit.
3. Identifikasi sumber potensial cairan:
a) Medikasi dan cairan yang digunakan untuk pengobatan: oral
dan intravena
b) Makanan.
R/ Sumber kelebihan cairan yang tidak diketahui dapat
diidentifikasi.
4. Jelaskan pada pasien dan keluarga rasional pembatasan
R/ Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga
dalam pembatasan cairan.
5. Bantu pasien dalam menghadapi ketidaknyamanan akibat
pembatasan cairan.
R/ Kenyamanan pasien meningkatkan kepatuhan terhadap
pembatasan diet.
6. Tingkatkan dan anjurkan oral higiene dengan sering.
R/ Higiene oral mengurangi kekeringan membran mukosa mulut.