Anda di halaman 1dari 37

DISCLAIMER : MASASHI KISHIMOTO

WARNING : AU, OOC, Typo's, EYD berantakan, no edited.

#Republish

Seorang wanita paruh baya terlihat sedang asyik berkutat dengan kegiatannya di sebuah kamar
yang bernuansa turquise. Wanita yang bernama Kurenai tersebut sedang menyapu dan
membersihkan kamar itu sambil sekali-kali menyenandungkan sebuh lagu.

Sedikit peluh terlihat di pelipis wanita yang paruh baya tersebut, tapi itu bukanlah suatu masalah
baginya. Kurenai mencabut seprei pink yang membalut bed yang berukuran sedang tersebut
kemudian ia menaruhnya di keranjang. Kurenai membuka lemari dan mengambil sebuah seprei
yang berwarna senada dengan dengan warna cat dinding kamar tersebut, kemudian
menggelarnya dan menarik setiap ujung seprei. Setelah tertata rapi ia juga mengganti bed cover-
nya dengan warna turquise, warna favorit putrinya.

Kurenai melihat sekeliling kamar tersebut, ia tersenyum puas melihat hasil kerjanya. Kurenai
keluar dari kamar tersebut sambil membawa sebuah keranjang yang berisi pakaian dan kain-kain
kotor untuk dicuci.

Kurenai tersenyum memikirkan bagaimana nanti reaksi putrinya melihat kamarnya yang sudah
tertata rapi dan bersih, juga peralatan sekolah dan gadget baru yang dibeli Kurenai khusus
untuknya.

"Sakura pasti akan sangat senang," gumam Kurenai sambil senyum-senyum sendiri
membayangkan wajah ceria Sakura.

Sasuke menatap papan tulis di depannya dengan tatapan kosong, walaupun Kakashi sensei
sedang menjelaskan rumus-rumus trigonometri tapi sedikitpun materi itu tidak ada yang
nyangkut di otak jeniusnya.

Sasuke mengalihkan pandangannya ke meja Hinata yang duduk sendiri dengan tatapan sendu.
Sudah menjadi pemandangan rutin baginya melihat helaian rambut merah jambu di sana dengan
berbagaiai ekspresi yang menurutnya lucu. Sasuke tersenyum tipis, ia menggali memorinya
tentang gadis itu.
Tanpa sadar Sasuke memang sering memperhatikan Sakura, kadang ia tersenyum tipis melihat
Sakura mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri jika pelajaran mereka sudah ada kaitannya dengan
rumus-rumus, gadis pink itu juga akan sering menguap dan mengucek matanya kalau giliran Gai-
sensei yang sedang mendongeng tentang sejarah Konoha. Sakura juga sering menyelipkan komik
di dalam buku pelajarannya, kemudian asyik tenggelam dengan bacaannya –komik.

Sasuke terkesiap ketika ia melihat sosok Sakura tengah sibuk mencatat pelajaran yang diberikan
oleh Kakashi, ia melihat gadis itu mengetuk-ngetuk jidatnya dengan pulpen yang ia genggam.
Gadis itu menoleh ke arahnya kemudian tersenyum lebar, dengan reflek Sasuke mengangkat
sudut-sudut bibirnya membentuk senyum yang sangat jarang ia perlihatkan.

"Baiklah, selamat siang anak-anak," ucap Kakashi kemudian ia melangkah keluar kelas.

Keadaan kelas langsung ribut seketika membuat Sasuke mengalihkan pandangannya ke depan
kelas, ia melihat Kakashi sudah tidak berada di sana dan teman-teman sekelasnya sudah
berhamburan ke luar kelas sambil menenteng tas masing-masing.

Sasuke kembali menoleh ke arah bangku yang biasa ditempati Hinata dan Sakura dengan
senyum tipis yang terukir di wajah tampannya, tapi senyum itu langsung luntur saat ia tidak
melihat gadis itu lagi di sana. Sasuke memandang bangku di sebelah Hinata dengan tatapan
kosong, gadis itu sudah tidak ada di sana atau memang yang tadi itu hanya halusinasinya belaka.

Hinata yang sudah selesai memasukkan semua perlengkapan sekolahnya bersiap untuk keluar
dari kelas untuk pulang. Mata lavendernya melihat tatapan sendu Sasuke ke arahnya, lebih tepat
ke bangku sebelahnya.

"Sasuke…" panggil Hinata membuyarkan lamunan Sasuke.

"Hn…"

"Ayo pulang," ajak Hinata.

"Kau duluan saja Hinata."

Hinata mengangguk kemudian melangkahkan kakinya keluar kelas, dan ternyata di luar sudah
menunggu seorang pemuda ceria dengan rambut kuning durennya.

"Tadaima…" ucap Karin ketika ia memasuki rumahnya.

"Okaeri," balas Kurenai yang masih sibuk di dapur menyiapkan makan siang untuk keluarganya.
Karin langsung melesat menuju kamarnya, saat melewati kamar Sakura ia berhenti di depannya.
Karin menatap pintu kamar dengan tatapan sedih, tangan kanannya bergerak memegang handle
pintu yang berwarna emas.

Pintu terbuka menampakkan kamar yang sangat rapi dengan aroma cherry, juga nuansa kamar
yang bernuansa serba turquise. Dengan perlahan, kaki jenjang Karin melangkah ke dalam kamar
tersebut. Di meja belajar ia bisa melihat setumpuk komik yang berjejer rapi.

Ia tahu kalau adiknya itu sangat senang membaca komik, jadi tidak heran kalau koleksinya bisa
dibilang banyak. Karin melihat-lihat komik yang di atas meja tersebut yang kebanyakan jenis
komik shounen, tetapi ada komik yang menarik perhatiannya. Dua buah buah komik dengan
cover biru dan satunya lagi berwarna orange. Setelah melihat sinopsisnya ternyata komik itu bisa
dibilang ber-genre family. Karin kemudian memasukkan komik tersebut ke dalam tas
selempangannya dan berbalik menuju arah pintu. Sebelum pintu benar-benart tertutup, ia tidak
sengaja melihat beberapa benda yang ternyata adalah gadget di atas sebuah buffet di dekat
ranjang, ia tersenyum tipis. Ia tahu itu adalah barang-barang yang sangat diinginkan Sakura,
tetapi sekarang barang-barang itu sudah tidak berguna.

Asuma dan Karin duduk di meja makan untuk makan siang, mereka merasakan sesak ketika
melihat makanan yang tersaji di atas meja bundar tersebut. Kurenai datang dari dapur sambil
membawa soft drink dan beberapa susu kotak dingin dengan nampan.

Kurenai menarik kursi di samping suaminya, ia sedikit bingung karena suami dan putrinya itu
belum menyentuh apapun sama sekali.

"Kalian tidak suka dengan menunya ya?" tanya Kurenai.

"B-bukan begitu, hanya saja tumben kaa-san masak sebanyak ini."

Asuma yang mendengar pertanyaan istrinya dengan sigap langsung mengambil makanan dan
memindahkan ke piringnya.

Kurenai tersenyum lebar sampai matanya menyipit, "Kaa-san hanya ingin memasak makanan
kesukaan Sakura, dia kan sangat suka ini semua. Tapi kenapa sampai sekarang anak itu belum
pulang juga, padahal kaa-san berniat untuk memberikannya kejutan."

Karin menggigit bibirnya menahan tangis, sedangkan Asuma mengalihkan perhatiannya pada
hidangan di depannya.

"Kita makan saja dulu, mungkin Sakura ada kegiatan di kelasnya," tambah Kurenai. Ia
mengambil piring dan mengambil tempura udang.
Karin juga melakukan hal yang sama, mereka bertiga makan dengan damai –sunyi. Tidak ada
suara dari mereka, yang terdengar hanyalah bunyi sendok yang beradu dengan piring
menimbulkan suara khasnya.

Disinilah Sasuke sekarang, di sebuah taman bermain. Tempat ini memang menjadi tujuan untuk
berlibur, apalagi sekarang hari minggu bisa dipastikan pengunjung akan lebih banyak daripada
hari biasanya.

Sasuke yang notabene adalah orang yang sangat benci keramaian, tiba-tiba sekarang ia bisa
berdiri di depan salah satu wahana. Setelah membeli tiket ia melangkah masuk ke dalam sebuah
bangunan bergaya tradisional jepang. Sebuah bangunan tua dengan nuansa menyeramkan, rumah
hantu –wahana sebagai tempat adu nyali.

baru saja ia masuk ke dalam bangunan tersebut, Sasuke langsung disambut dengan suara-suara
aneh dan menyeramkan bagi sebagian orang –dirinya tidak termasuk.

Setiap langkah yang ia buat, memorinya seperti kembali memutar ulang beberapa momen
kebersamaannya dengan gadis rambut merah jambu yang sekarang sudah meninggalkannya.

Sasuke ingat saat dua minggu setelah ia meminta Sakura menjadi pacarnya, Sakura mengajak
Sasuke untuk pergi kesini. Mungkin niat Sakura ingin melakukan kencan perdana mereka hanya
berdua tapi Sasuke menolaknya jika Hinata tidak ikut. Dengan sedikit kecewa Sakura menyetujui
syarat Sasuke, bagaimanapun Sakura juga sangat menyayangi sahabat indigo-nya.

Sasuke melangkahkan kakinya semakin jauh ke dalam bangunan, sedikitpun tidak ada rasa sakut
walaupun ia terkadang mendengar suara-suara ataupun penampakan tiba-tiba dari hantu-hantu
palsu. Ketika ia mendengar suara jeritan perempuan dari pengunjung lainnya, tubuhnya sedikit
menegang bukan karena takut tetapi seperti mendengar suara Sakura yang menjerit seperti waktu
mereka dulu di sini.

Sasuke memejamkan matanya sebentar sebelum melanjutkan perjalanan, ia tidak mendengar


suara apapun lagi. Sasuke seolah hanyut dengan kepingan masa lalunya, waktu itu ia dan Sakura
juga Hinata melakukan hal yang sama seperti dirinya saat ini. Awalnya Sakura terlihat sangat
antusias, tetapi setelah sampai di dalam ia mencengkram erat kemeja Sasuke karena melihat
hantu-hantu yang memang sengaja mengejutkan mereka.

Sasuke sangat ingat bagaimana Sakura yang awalnya sangat antusias sekarang menjadi penakut
seprti ini, itu membuatnya tersenyum tipis. Ketika tiba-tiba ada sebuah kepala yang berlumuran
darah jatuh tepat di kaki Sakura, ia berteriak kencang dan langsung dan refleks Sakura
memeluknya. 'dasar penakut' itulah kata yang diucapkan Sasuke pada Sakura waktu itu dan
dengan agak kasar ia melepas tangan Sakura yang melingkar di lengannya. Sejak kejadian
kejadian itu Sakura kemudian berjalan di depan mereka berdua, beberapa kali ia mendengar
Sakura menjerit karena kaget tetapi gadis itu tetap berjalan di depan. Lain halnya ketika Hinata
yang tiba-tiba kaget dan menjerit Sasuke langsung menenangkannya dan melingkarkan
lengannya di bahu gadis pemalu itu.

"Sakura," desisnya lirih.

Sasuke tiba di luar bangunan tersebut, ia menghela nafas panjang. Waktu tadi masih di dalam ia
seolah sedang menonton sebuah 'film kenangan' saat sakura masih ada.

Perhatian Sasuke tertuju pada seorang pemuda yang sedang menenangkan gadisnya yang
menangis sehabis keluar dari wahana yang sama denga Sasuke. Sasuke sedikit tersentak melihat
gadis itu mengeluarkan air matanya, mata onyx-nya seperti melihat Sakura seperti waktu itu.
Dulu, waktu mereka sudah sampai diluar gedung ini Sakura sempat sesenggukan dan matanya
sedikit merah. Waktu itu Sasuke mengira kalau Sakura menangis mungkin karena ia ketakutan
tadi di dalam.

Sasuke menggigit bibir bawahnya mengingat Sakura dengan mata merah seperti itu, ia tahu kalau
waktu itu Sakura habis menangis, tetapi ia baru menyadarinya sekarang. Waktu itu Sakura
sempat memandangnya dengan tatapan sendu ketika tangan kanan Sasuke masih melingkar di
bahu Hinata, Sasuke memang tidak menyadarinya.

Dan sekarang ketika ia baru menyadarinya, semuanya terlambat. "Sakura menangis karena
diriku" batinnya menyesal.

Sasuke seharian ini mengelilingi taman bermain, ia menaiki wahana-wahana yang dulu pernah ia
dan Sakura naiki –bersama Hinata juga tentunya.

Ia mencoba untuk menggali setidaknya sedikit kenangan manisnya bersama Sakura, tetapi nihil.
Dia baru menyadarinya, ia hanya membuat Sakura menangis. Dulu, waktu mereka bertiga
bermain sepuasnya di sini, Sakura selalu mengalah dari Hinata. Sama seperti waktu Sakura ingin
Sasuke menemaninya naik sebuah wahana yang sedikit memacu adrenalin, tetapi Sasuke
menolaknya karena saat itu Hinata ingin naik wahana lainnya. Tentu saja Sasuke lebih memilih
menemani Hinata dengan alasan kondisi tubuh Hinata.

.
Seorang gadis terlihat baru keluar dari kamar mandinya, rambut merah panjangnya masih
menteskan air. Gadis itu –Karin –mengambil hair drayer untuk mengeringkan rambutnya.
Setelah kering, ia kemudian mengganti baju mandinya degan sebuah T-shirt putih dan celana
selutut.

Hari ini adalah hari minggu, ia sama sekali tidak berniat keluar. Semenjak kepergian Sakura,
Karin yang memang jarang keluar untuk bermain bersama teman-temannya. Dulu waktu masih
ada Sakura, adiknya itu selalu mengajaknya ke taman hanya untuk sekedar jalan-jalan atau
membeli es krim. Kalau sekarang tidak ada yang akan menemaninya lagi, tentu saja orang tuanya
juga pasti tidak akan mengijinkannya keluar tanpa pengawasan.

Karin teringat dengan komik yang diambilnya di kamar Sakura, ia memang tidak terlalu suka
membaca komik tetapi ia sangat penasaran dengan komik itu. Karin membuka tas
selempangannya yang ia taruh di atas meja belajarnya, lalu mengambil komik yang berwarna
biru dan orange.

Karin naik ke ranjangnya, ia duduk bersila dengan sebuah guling yang menjadi penyangga
tangannya. Ia mulai membuka satu persatu lembar komik tersebut dan tenggelam dalam
bacaannya.

Di kamar sebelahnya, Kurenai memandang sendu foto seorang gadis dengan rambut soft pink
yang sedang tersenyum lebar. Gadis dengan seragam SMP itu terlihat sangat bahagia, ya hari itu
adalah hari kelulusannya dan artinya ia bisa melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya.

Kurenai mendekap foto tersebut, ia kemudian membaringkan dirinya di ranjang yang biasa
Sakura tempati. Kurenai menyapu pandangannya ke seluruh ruangan yang bernuansa turquise
tersebut, ia tersenyum miris.

Wanita itu menyiapkan dua buah bantal dan menaruhnya berhimpitan, ia kemudian merebahkan
kepalanya di salah satu bantal dan menaruh bingkai foto Sakura di bantal sebelahnya. Kurenai
memejamkan matanya, ia berharap kala membuka matanya yang berbaring di sebelahnya adalah
Sakura.

Air mata merembes dari kelopak matanya yang terkatup rapat, entah sudah berapa liter air mata
yang dikeluarkan wanita itu. Ia memang terlalu mengabaikan keberadaan Sakura dan sekarang
sudah sangat terlambat untuk memperbaikinya.

.
Karin menaruh sembarangan komik yang baru selesai di bacanya, ia memang menghabiskan
membaca kedua komik tersebut. Iris ruby-nya tidak berhenti mengalirkan cairan bening yang
bersumber entah darimana. Perasaan menyesal dan rasa bersalah semakin membuatnya sulit
bernafas. Kembali ia membaca sebuah catatan kecil yang ia temukan terselip di salah satu komik
yang dibacanya, tentu saja itu adalah tulisan tangan Sakura.

Apa kisahku akan berakhir sama seperti Ai yang bisa merasakan kehangatan sebuah keluarga,
atau aku akan menjadi seperti Kyou yang selalu tidak terlihat dan diabaikan. Kadang aku
sendiri meragukan eksistensiku di dunia ini.

Karin sudah tidak bisa menahan tangisnya dan terdengar semakin jelas, ia memang selalu
menjadi yang nomor satu bagi orang tuanya. Ia ingat bagimana dulu ia menangis karena
menginginkan sebuah boneka beruang milik adiknya, karena Sakura tidak mau memberikannya
ia langsung mengadu pada ibunya. Sudah dipastikan ia mendapatkan keinginannya dan Sakura
hanya menagis sesenggukan di kamarnya.

Apapun keinginannya pasti langsung dipenuhi, lain halnya dengan Sakura walaupun ia sampai
menangis meraung-raung belum tentu orang tua mereka memenuhi keinginan putri bungsunya.

Dari kecil Karin memang mendapat perhatian lebih dari orangtuanya –sangat malah –dan itu ia
dapatkan juga dari Sakura. Adiknya itu selalu berusaha memberikan apapun yang dimintanya,
Sakura juga sering menutupi kesalahannya yang akhirnya adiknya itulah yang kena marah dari
ibu mereka. Sebagai seorang kakak sehausnya dialah yang menjaga dan melindungi adiknya,
tetapi ini malah sebaliknya.

Kurenai membuka kelopak matanya dan mengusap liquid bening yang tidak berhenti mengalir.
Ia menajamkan telinganya dan tidak salah lagi, itu memang suara tangis seseorang dan pastinya
Kurenai sangat mengenali siapa itu.

Kurenai membuka pintu kamar Karin dan melihat putrinya tersebut duduk dengan menekuk
kedua lututnya dan menenggelamkan kepalanya di sana. Ia kemudian menghampiri gadis itu dan
duduk di ranjang di samping Karin.

Kurenai mengusap lembut helaian merah putrinya, "Sudah, jangan menangis lagi," hiburnya.

Karin mendongak menatap ibunya, tapi air mata masih saja mengalir keluar. Dengan tangan
sedikit gemetar ia memberikan catatan kecil milik Sakura.

Kurenai sedikit bingung, tapi ia tetap menerima kertas yang sudah lusuh yang mungkin akibat
remasan karin kemudian membacanya.

"Maafkan kaa-san Saku," lirih Kurenai seraya menahan isak tangisnya.


.

Kepergian Sakura membawa kesedihan yang mendalam bagi keluarga dan juga teman-temannya,
mereka semua sama sekali tidak menyangka Sakura akan meninggalkan mereka secepat itu.

Sama seperti gadis indigo ini, kepergian sahabatnya itu sama saja seperti ia kehilangan separuh
nyawanya. Sakura yang selalu mengerti dirinya, memperhatikannya, memarahinya jika ia
melakukan hal-hal yang membuat dirinya dalam bahaya, sahabat yang ada untuknya dan selalu
mengalah demi dirinya.

Hinata sadar tanpa Sakura ia idak akan bisa menjadi seprti sekarang ini, ia adalah penyemangat
nomor satu baginya. Sekarang Hinata sangat menyesalinya karena dulu ia sering bersikap egois
pada Sakura tapi Sakura selalu tersenyum padanya dan tidak pernah.

Hinata merasa ia adalah sahabat paling jahat, selama ini Sakuralah yang selalu membantunya
jika ia mengalami kesulitan tapi ia sendiri tidak pernah melakukan apa-apa untuk sahabatnya itu.
Sampai di saat terakhir pun ia tidak ada di sana menemaninya. Walaupun tiap malam ia
menangisinya tapi tetap saja kenyataan tidak akan berubah, sahabatnya itu telah pergi untuk
selamanya.

Hinata ingat bagaimana dulu Sakura yang selalu di marahi Sasuke jika terjadi sesuatu padanya,
padahal itu bukan salah Sakura. Intinya Sakura akan selalu menjadi pihak yang di salahkan,
walaupun mereka bertiga sahabat tapi Sasuke lebih memperhatikan dirinya daripada Sakura dan
dulu ia sempat merasa senang. Hinata memang sempat menyukai Sasuke dan sedikit cemburu
pada Sakura kalau Sasuke memberi sedikit perhatian lebih pada Sakura. Sampai Sasuke
memberitahunya kalau ternyata ia menyukai Sakura dan ia memilih untuk mencoba melupakan
perasaannya tersebut. Tapi, Hinata selalu mencoba untuk mencari kesempatan untuk berduaan
dengan Sasuke, mengajak Sasuke untuk menemaninya membeli buku, pergi chek up, inilah,
itulah, hal-hal yang tidak pernah Sakura dapatkan dari Sasuke.

Dan ketika sekarang Sakura sudah pergi dari hidupnya, sepertinya rasa penyesalannya saja tidak
cukup. Ia merasa sangat hina, menghianati kepercayaan sahabatnya yang selalu ada untuknya.

Kurenai membuka album foto keluarganya, ia masih menggenggam kertas yang sudah tidak
berbentuk pemberian Karin. Kelopak matanya sedikit membengkak dengan kantung mata yang
tercetak jelas. Kurenai mulai membuka lembar demi lembar album foto tersebut, ia tersenyum
tipis saat melihat foto Sakura yang masih bayi dan mencium gambar bayi lucu tersebut.
Tangannya kembali membuka lembar lainnya dan begitu seterusnya. Kadang ia tersenyum tipis,
tak jarang pula ia menangis. Layar televisi yang menayangkan sebuah acara musik tidak
dihiraukannya, ia seperti tengggelam dalam dunianya sendiri.

Kurenai menutup album foto tersebut dengan tangan gemetar, tangisnya sudah tidak terbendung
lagi dan isakan mulai terdengar. Cairan bening tersebut jatuh di atas album foto yang berada di
pangkuannya, nafasnya tercekat. Foto tersebut seolah menjadi bukti ketidak adilan yang
didapatkan Sakura. Foto Sakura masih dihitung dengan jari, dan sisanya dipenuhi oleh foto-foto
Karin. Dan lebih mirisnya lagi, foto-foto Sakura kebanyakan adalah foto saat gadis itu
menggunakan seragam dan yang paling terbaru adalah foto kelulusan Sakura waktu SMP.

Ada tangan lain yang menyentuh album foto yang ada di pangkuan Kurenai, ia mendongak dan
melihat suaminya sudah berdiri di depannya. Asuma kemudian duduk di samping Kurenai dan
membawa kepala istrinya ke dadanya, ia menangis tanpa suara.

Angin berhembus kencang membuat daun-daun yang sudah mengering jatuh dari dahannya.
Sasuke duduk sendirian di sebuah bangku yang penuh kenangan bersama Sakura. Mungkin ini
hanyalah sedikit bagian dari memori manisnya bersama Sakura, dan Sasuke mulai memejamkan
matanya untuk menggalinya. Perlahan, bayangan Sakura muncul di kepalanya. Saat gadis itu
tersenyum, kesal, marah, ngambek dan ketika emerald-nya mengeluarkan liquid bening.

Sasuke kembali menampakkan onyx kelamnya, tatapannya tertuju pada sepasang remaja yang
sepertinya sedang berkencan. Ia tersenyum miris melihat mereka, gadis tersebut tersenyum malu-
malu setelah pemuda di sampingnya membisikkan sesuatu di telinganya. Waktu dia bersama
Sakura, sekali pun Sasuke tidak pernah bersikap selayaknya seperti sepasang kekasih. Walaupun
sebenarnya dia sendiri sangat mencintai gadis itu, tapi dia tidak pernah menununjukkannya
secara nyata. Tidak heran kalau sakura menyangkanya ia tidak benar-benar mencintai gadis itu.

Hari sudah semakin sore, Sasuke memasuki salah satu tempat favorit Sakura, apalagi kalau
bukan book store, biasanya setiap akhir pekan Sakura selalu mengunjungi tempat ini karena di
sini semua buku favoritnya tersedia, lebih tepat komik-komik favoritnya dan sakura memang
seorang maniak manga.

Sasuke berjalan di bagian khusus yang memajang berbagai jenis komik, dengan langkah pelan ia
menyusuri setiap rak dan lorong yang khusus untuk cerita yang dilengkapi dengan gambar
tersebut. Saat melewati bagian komik khusus cerita shounen, tangan kanannya mengambil salah
satu komik yang yang menjadi salah satu favorit Sakura. Sekitar tiga minggu yang lalu, Sakura
memintanya untuk ditemani ke sini tetapi ia malah menolaknya karena saat itu ia ada rapat
dengan klubnya. Berbeda dengan Hinata yang memintanya untuk menemani gadis itu, ia
langsung saja mengiyakannya dan meminta izin untuk tidak mengikuti rapat klub.

Mengingat hal itu Sasuke menggigit bibir bawahnya, ternyata itu adalah permintaan terakhir
Sakura dan ia sama sekali tidak bisa memenuhinya untuk yang terakhir.

Setelah sekitar setengah jam Sasuke melihat-lihat koleksi komik di tempat itu, ia kemudian
membayar sebuah komik dan keluar dari toko tersebut. Sasuke melewati area parkir berniat
untuk mencari taxi, hari ini cukup menguras tenaga. Sebuah taxi berhenti di depannya, Sasuke
langsung masuk dan menghempaskan dirinya di kursi penumpang. Setelah memberitahukan
tujuannya, taxi tersebut langsung meluncur ke tempat tujuan.

Sasuke memandang keluar jendela dengan tatapan datar, ia terlihat sangat tenang tapi tidak
dengan keadaan hatinya. Lihat saja bagaimana ia menggenggam komik yang ada dipangkuannya,
ia marah, kesal, dan benci pada dirinya sendiri. Ia terlalu mengabaikan Sakura, memang benar
selamai ini Hinata seperti menjadi prioritas utamnya. Sebagai seorang sahabat ia selalu bersikap
tidak adil pada Sakura, begitu juga saat mereka resmi menjadi sepasang kekasih atas
permintaannya.

"Maaf…"

Suara laki-laki di depannya yang sekaligus sopir taxi membuyarkan lamuann Sasuke.

"Hn…"

"Sepertinya kamu masih SMA, apa benar?" tanya pria dengan rambut minim di bagian depannya.

"Ada apa?"

Pria paruh baya tersebut merasa sedikit tidak enak, ia cepat-cepat meminta maaf. "Sekali lagi
maaf, saya hanya ingin tahu apa anda itu salah satu siswa di KHS."

Sasuke menautkan alisnya, "Memangnya kenapa?" tanyanya sedikit penasaran dengan orang ini.

"Bukan apa-apa, hanya saja saya ingin mengembalikan barang penumpang saya yang tertinggal
di mobil saya. Sekitar tiga minggu yang lalu, gadis itu meninggalkan ini di mobilku," kata pria
itu sambil menunjukkan sebuah benda persegi panjang. "Di sini tertulis atas nama Haruno
Sakura" lanjutnya.

Sasuke tertunduk lemah, "Aku sangat mengenalnya."

"Kalau begitu bisa anda mengembalikan ini padanya," ujar orang itu tersenyum lega sambil
menyerahkan benda yang ternyata adalah sebuah kartu pelajar.
Sasuke mengambil kartu pelajar Sakura, ia memandangnya sendu. "Kapan barang ini tertinggal?"
tanya Sasuke.

"Itu, kira-kira tiga minggu yang lalu –jeda sejenak –kalau saya tidak salah ingat, gadis itu naik
taxi saya di tempat anda naik tadi."

Tubuh Sasuke sedikit menegang, apa mungkin Sakura melihatnya menemani Hinata di sana
padahal Sakura sudah memintanya untuk menemani gadis itu tetapi menolaknya.
Kemungkinannya sangat besar karena toko tersebut adalah toko yang biasa Sakura kunjungi
kalau ingin membeli buku pelajaran ataupun komik. Ditambah setelah ia menolak menemani
Sakura hari itu, sikap sakura sedikit berbeda dari biasanya dan seolah seperti menghindarinya.
Sakura sering melamun di kelas, dan gadis itu tidak lagi bersikap manja padanya.

"Anda mengantarnya kemana?"

"Rumah sakit Konoha."

Bugh…

Sasuke menghajar tembok kamarnya untuk melampiaskan emosinya. Ia kesal, marah, benci pada
dirinya sendiri. Walaupun jari tangannya terlihat mengeluarkan darah tapi ia tidak peduli, rasa
sakit di tangannya tidak terasa.

Sasuke duduk bersandar di tembok yang dihajarnya tadi, kedua lengannya memeluk lututnya
yang ditekuk dan menyembunyikan wajahnya di sana. Sayup-sayup terdengar suara isakan dan
bahunya sedikit bergetar. Lagi, malam itu sasuke menangis, itu sekarang sudah seperti menjadi
kebiasaannya. Kejadian sore tadi seperti sebuah hantaman keras baginya, otak jeniusnya bisa
langsung tanggap.

Waktu itu, Sakura memintanya untuk ditemani ke toko buku tapi menolaknya malah saat Hinata
yang memintanya ia langsung setuju. Yang ada dipikiran Sasuke sekarang adalah mungkin saja
waktu itu Sakura melihatnya bersama Hinata, dan hari itu juga Sakura pergi ke rumah sakit.
Keterangan dokter yang menangani sakura di rumah sakit juga bisa menjadi bukti kalau pada
hari itu hasil chek up Sakura keluar dan sorenya gadis pink itu datang mengambilnya.

Isakan Sasuke semakin keras kala ia mengingat hari itu. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana
hancurnya sakura saat ia tahu tentang penyakitnya dan kekasihnya sendiri menghianatinya –yang
ini hanya pikiran sakura.

.
Suara ketukan pintu membangunkan Sasuke, ternyata itu adalah Itachi yang menyuruhnya untuk
makan malam. Awalnya Sasuke tidak berniat untuk keluar tapi perutnya sudah mengeluarkan
suara beberapa kali minta diisi, akhirnya ia turun setelah membasuh muka tentunya.

Mikoto, Fugaku dan Itachi hanya memandang iba Sasuke yang menyantap makan malamnya.
Semenjak kepergian Sakura, Sasuke memang menjadi semakin pendiam dan sering melamun.
Mereka juga sering mendengar isakan dari dalam kamar Sasuke, yeah sekarang menangis
bukanlah menjadi hal yang tabu baginya. Mereka bertiga bisa melihat jelas mata Sasuke yang
sedikit bengkak dan merah.

"Mau tambah Sasuke?" tanya Mikoto melihat piring sasuke yang sudah kosong.

"Tidak, aku mau tidur dulu." Sasuke langsung meninggalkan meja makan kemudian masuk ke
kamarnya meninggalkan orang tuanya dan Itachi.

Sasuke langsung naik ke ranjangnya, ia berbaring miring. Sebelum ia terjatuh dalam tidurnya,
cairan bening mengalir di sudut matanya. Untuk malam ini dan malam-malam seterusnya ia
sepertinya akan mempunyai kebiasaan baru.

Naruto©Masashi Kishimoto

Don't Like Don't Read

Warning: This is The End Sequel, AU, Typo(s), dll

A/N: Fic ini adalah sequel fic saya yang judulnya This is The End, jadi penyebab
meninggalnya Sakura itu ada di fic itu, karena ada pembaca yang masih menanyakan
penyebab meninggalnya Sakura. Jadi, sebelum membaca ini, mungkin lebih dulu baca fic
'This is The End' terlebih dahulu, kalau berkenan juga sih^^

Italic : Flashback

Karin dan Kurenai tersenyum sendu ketika membereskan gudang di belakan rumah. Mereka
menemukan begitu banyak barang-barang yang berhubungan dengan Sakura. Mulai dari sepatu
berbentuk ikan favoritnya, topi baseball yang bertuliskan namanya, sepeda roda tiga yang
rantainya sudah putus dan benda-benda lainnya yang merupakan barang-barang Sakura ketika
masih kecil. Tetapi yang paling menarik perhatian Karin dan Ibunya adalah satu set boneka
barbie yang masih terbungkus rapi walaupun kondisi boneka tersebut sebagian besar sudah
rusak.

"Kaa-san, Saki juga ingin boneka sepelti nee-chan," rengek gadis kecil dengan surai merah
jambu sambil menarik-narik ujung celemek ibunya.

"Iya, nanti kita pergi membelinya," ujar Kurenai seraya melepas genggaman Sakura di ujung
celemeknya yang sudah kusut. Wanita itu melanjutkan kegiatannya memasak makan malam
setelah sempat terganggu oleh putri bungsunya.

"Kapan, Kaa-chan?" desak Sakura, "Kaa-chan pasti bohong," lanjut gadis pink itu dengan
tekukan di wajahnya.

Kurenai mendesah pelan, "Nanti kalau Kaa-san ada waktu," jelasnya sambil memasukkan
beberapa bumbu di dalam panci, "dan sekarang jangan mengganggu, Kaa-san sedang sibuk,"
lanjutnya tanpa melihat ke arah Sakura.

Gadis lima tahun itu mengerucutkan bibirnya, ia marah pada ibunya yang membelikan boneka
baru pada kakaknya sedangkan ia tidak. Masih dengan wajah sebal, Sakura menghampiri
ayahnya dan mengungkapkan kekesalannya.

"Tou-san, Sakula tidak dibelikan boneka tapi Karin-nee dibelikan," ujar Sakura seraya duduk di
pangkuan ayahnya. Wajahnya masih cemberut tingkat akut, ia lalu memainkan remote televisi
yang tergeletak disamping ayahnya.

Asuma mentap putrinya, "Nanti kita pergi membelinya," kata Asuma persis seperti yang
dikatakan istrinya kemudian memalingkan kembali wajahnya ke arah televisi.

"Tadi, Kaa-chan juga bilang sepelti itu," tutur Sakura.

"Kalau Kaa-san sudah bilang begitu, nanti kita akan membelinya," jelas Asuma sambil
mengusap pelan pucuk kepala putrinya.

Tidak puas dengan jawaban yang diberikan ayahnya, Sakura mulai memencet tombol-tombol
benda yang berbentuk persegi panjang tersebut.

"Sakura, jangan memainkan remote-nya," tegur Asuma pada putrinya, ia lalu menurunkan
Sakura dari pangkuannya dan mengambil remote tersebut. Pria paruh baya yang asyik
menonton acara olahraga favoritnya itu segera mengganti ke channel semula setelah sempat
berganti karena ulah Sakura.
Sakura bertambah kesal, "Tou-chan pelit!" seru Sakura sambil turun dari sofa dan berlari
menuju kamarnya.

Kaki mungilnya menghentak di setiap langkahnya, wajahnya masih tertekuk sempurna. Sakura
mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam kamarnya saat mendengar suara ceria kakaknya
yang tengah bermain dengan boneka baru yang dibelikan ibu mereka.

Dari luar pintu yang sedikit terbuka, Sakura memperhatikan kakaknya yang tengah
menggendong boneka dengan rambut pirang dan gaun pink. Tangan mungilnya menempel di
daun pintu, mendorong sedikit pintu berwarna coklat tersebut agar lebih terbuka. Awalnya
Sakura berniat untuk ikut bermain, tetapi diurungkan niatnya karena sebelumnya ia sudah
meminta satu boneka pada kakaknya, tapi tidak diberikan. Kurenai memang membeli satu set
boneka tersebut, lengkap dengan segala aksesorisnya.

Jadi di sinilah Sakura, memperhatikan kakaknya yang asyik bermain. Walaupun pintu kamar
Karin terbuka cukup lebar, Karin tidak menyadari kehadiran Sakura karena gadis kecil dengan
surai merah itu posisinya membelakangi pintu.

Iris virdian Sakura tidak lepas dari boneka-boneka yang sedang dimainkan kakaknya. Karin
mengganti baju boneka-boneka tersebut lalu menududukkannya di kursi kecil dengan meja
bundar yang warnanya sama seperti gaun yang dipakaikannya dengan boneka tersebut.
"Waktunya minum teh," ujar Karin gembira lalu menuangkan teh imajiner ke dalam cangkir-
cangkir kecil di depan bonekanya. Hal inipun tidak luput dari perhatian Sakura, gadis itu ikut
tersenyum, "Mmm~ tehnya wangi," gumam Sakura seolah ia ikut bermain bersama kakaknya.

Sakura masih setia memperhatikan kakaknya di balik pintu, ketika kakaknya tertawa riang, ia
ikut tertawa. Saat Karin bernyanyi, gadis itu juga ikut menyanyikan lagu yang dinyanyikan
kakaknya. Apapun yang dilakukan kakaknya, ia setia mengikutinya. Gadis kecil itu memang
sangat ingin ikut bermain, karena itu ia mendorong daun pintu di depannya sehingga terbuka
sepenuhnya.

"Saki boleh ikut?" tanya Sakura penuh harap.

Karin menoleh ke belakang dan melihat adiknya, ia lalu mengangguk dan menyuruh Sakura
duduk di sebelahnya. Gadis yang lebih tua satu tahun dari Sakura itu memberikan sebuah
boneka dengan gaun hijau.

Mereka berdua sibuk dengan keceriaannya, Sakura terus tertawa riang sambil memainkan
boneka yang dipegangnya.

"Sakula boleh minta yang ini?" tanya Sakura seraya mengancungkan boneka yang daritadi
dimainkannya.

Karin yang tengah sibuk menyisir rambut bonekanya menggeleng pelan, "Tidak boleh, nanti
punyaku tidak ada temannya," ujarnya tanpa mengalihkan perhatiannya dari surai pirang
bonekanya.
Sakura terlihat kecewa, "Tapi Nee-chan sudah punya banyak," kata Sakura menunjuk setumpuk
boneka dengan jenis yang sama, berharap kakaknya mengizinkannya mengambil satu.

"Kau minta saja sama Kaa-san," jawab Karin.

Sakura menundukkan kepalanya sambil mendekap boneka yang sangat diinginkannya, "Satu
saja, apa tidak boleh?" gumamnya.

Karin ingin memberikan satu bonekanya, tapi karena dia berpikir jika boneka-bonekanya
terpisah mereka pasti akan sangat sedih. "Nanti minta sama Kaa-san saja, Sakura," ujar Karin
dengan penyebutan huruf 'r' yang masih samar.

Sakura menggeleng keras, "Pokoknya, aku minta ini!" serunya sambil berlari menuju kamarnya.

Karin yang melihat Sakura kabur sambil membawa bonekanya mengejar Sakura, "Sakura!
kembalikan Nona Daisy," teriak Karin sambil menggedor-gedor pintu kamar adiknya.

"Tidak mau!" seru Sakura dari dalam.

Duk Duk Duk…

"Sakura!" teriak Karin masih memukul daun pintu tersebut dengan tangan mungilnya. "Buka
pintunya Sakura!"

Sakura mengabaikan teriakan kakaknya, gadis pink itu meringkuk di tempat tidurnya sambil
mendekap erat boneka yang ia minta paksa dari kakaknya. Sakura merasa takut, ia tahu setelah
ini ibu mereka pasti akan memarahi dirinya karena hal ini. Tapi, ia benar-benar menginginkan
boneka ini. Sakura sudah tidak peduli kalau ibunya akan benar-benar memarahinya.

"Sakura, buka pintunya!" kali ini Kurenai yang memanggil Sakura. Wanita itu memang berniat
untuk memanggil kedua putrinya untuk makan malam saat melihat putri sulungnya tengah
menggedor pintu adiknya.

Sakura sedikit terkejut mendengar suara ibunya, tetapi tidak berniat untuk melakukan apa yang
diperintahkan ibunya.

"Sakura, ayo buka pintunya. Jangan bertingkah seperti ini," ujar Kurenai membujuk putrinya
dengan sedikit kesal.

Sakura masih diam, liquid bening sudah merembes melewati pipi pucatnya.

Di luar pintu kamar Sakura, Kurenai tengah menenangkan Karin yang masih ngambek karena
bonekanya yang diambil Sakura.

Kurenai mendesah pelan, "Sakura, kalau kau tidak mau membuka pintunya kamu tidak akan
dapat makan malam," kata Kurenai agar Sakura mau membuka pintunya.
Sakura sendiri merasa sangat takut atas perkataan ibunya yang bisa dibilang ancaman, karena
kalau ibunya sudah berkata seperti itu, artinya ia akan benar-benar tidak akan mendapat makan
malam. Dan ia memang sangat lapar.

Ragu-ragu, Sakura turun dari ranjangnya lalu melangkah ke arah pintu. tangan kanannya
menggaapai handle pintu yang letaknya memang sedikit berada di atas kepalanya tapi masih
bisa dijangkau, sedangkan tangan kirinya masih memegang erat boneka yang merupakan
sumber masalahnya kali ini.

"Kaa-san," gumam Sakura dengan wajah takut setelah pintu terbuka sedikit. Sakura lalu
mengulurkan tangannya menyerahkan boneka yang tadi ia ambil dari kakaknya dengan berat
hati.

Kurenai tersenyum pada Karin di gendongannya, "Nah, jangan menangis lagi," ujarnya sayang.

Karin mengangguk lalu ikut tersenyum, "Lapar, Kaa-chan," ungkapnya.

"Karena itu Kaa-san memanggilmu untuk makan malam," ucap Kurenai tersenyum pada
putrinya yang sedang ia gendong.

Kurenai lalu mengajak kedua putrinya untuk makan malam, "Ayo, Saki," ajaknya pada Sakura
sambil menggenggam sebelah tangan Sakura, "lain kali, jangan melakukan hal seperti itu lagi,"
nasihatnya pada Sakura.

Sakura mengangguk, "Hai, Kaa-san," jawabnya seraya mengusap pipi ranumnya dengan
punggung tangan untuk menghilangkan jejak air matanya.

Mungkin karena terlalu terpaku pada Karin, Kurenai benar-benar tidak menyadari kalau putri
bungsunya habis menangis.

Satu bulan telah berlalu semenjak kepergian Sakura, tapi jauh dalam hatinya, Sasuke masih
belum bisa merelakannya. Setiap ada waktu luang, pemuda yang merupakan sahabat sekaligus
kekasih Sakura selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi makamnya. Bisa dibilang, makam
Sakura adalah salah satu destinasi hangout baru baginya.

Seperti sore ini, setelah pulang sekolah ia memutuskan untuk berada di tempat yang menurutnya
paling menenangkan sekaligus membuatnya merasakan penyesalan mendalam. Ia duduk dan
mulai mencabuti beberapa rumput liar yang tumbuh, rumputnya memang tidak terlalu banyak
karena Sasuke selalu membersihkannya setiap kali ia datang ke sini. Berhubung intensitas
kedatangannya bisa dibilang sangat tinggi, bisa dipastikan keadaan makam Sakura sangat
terawat.

Sudah dua jam lebih Sasuke berada di makam Sakura, tapi ia masih belum berniat untuk
beranjak dari sana walaupun matahari perlahan-lahan mulai tenggelam. Dering ponsel yang telah
berbunyi beberapa kali pun tidak ia pedulikan, dia seperti tenggelam dalam dunianya sendiri.

"Sasuke-kun, apa kau akan mengingatku jika nanti aku menghilang?" tanya Sakura acuh tak
acuh pada pemuda di sampingnya. Yeah, gadis itu hanya sekedar iseng saja bertanya seperti itu.

Pemuda di sampingnya mendengus mendengar pertanyaan Sakura, "Bodoh!"

Sakura memasang wajah cemberut mendengar jawaban yang diberikan Sasuke, "Jadi aku tidak
berarti apa-apa bagimu," ujarnya seraya menunduk melihat kakinya, "bukannya kita sahabat,"
lirihnya. Sakura yang awalnya hanya iseng malah memikirkannya jika itu akan benar-benar
terjadi.

Sasuke mendesah pelan lalu menarik lengan gadis Sakura masuk ke dalam bis yang sudah
berhenti di depan mereka, mereka memang baru pulang dari sekolah.

"Jangan memasang wajah menyedihkan seperti itu," gumam Sasuke setelah mereka mendapat
tempat duduk.

Sakura melirik sekilas pada Sasuke, lalu kembali melihat keluar jendela, "Entah kenapa aku jadi
kepikiran," gumamnya, "bagaimana kalau aku bentul-betul mati dan kalian sama sekali tidak
ada yang merasa kehilangan," lanjutnya dengan pandangan menerawang ke luar jendela bis.

"Sakura—"

"Hidupku benar-benar menyedihkan," desah Sakura tanpa sadar memotong ucapan Sasuke.

Hening, yang terdengar hanya suara klakson mobil yang kadang-kadang saling bersahutan.

Gadis pink yang tadinya tengah memandang ke luar jendela kini mengernyit heran melihat
Sasuke yang tengah menatapnya serius. "Kenapa Sasuke-kun?" tanya Sakura dengan menautkan
kedua alisnya.

Sasuke langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain, "Tidak ada," gumam Sasuke rendah.
Sasuke masih tidak bersedia memandang Sakura walaupun gadis itu tengah menarik-narik ujung
bajunya. Itu memang kebiasaan Sakura saat ia menginginkan sesuatu.
Ketika bis berhenti, Sasuke menarik pergelangan tangan Sakura untuk keluar dari bis. Sakura
hanya mengikuti Sasuke dengan heran, pasalnya ini bukan halte dekat rumah mereka.

"Sasuke, kita mau ke—"

"Makan siang," potong Sasuke cepat lalu menyeret Sakura masuk ke dalam sebuah kedai
sederhana yang menawarkan makanan yang cocok dengan saku anak sekolahan seperti mereka.

Sakura mengikuti Sasuke pasrah, lagipula perutnya memang belum terisi apa-apa dari pagi.
Dan Sasuke tahu akan hal ini, karenanya pemuda empat belas tahun itu membawa sahabatnya
ke sini.

Beberapa kali, Sasuke tersenyum tipis melihat Sakura yang sedang menikmati makan siangnya
dengan lahap. Tentu saja Sakura tidak menyadari hal ini, karena ia sibuk dengan santapannya.

Sasuke tersenyum sendu memandang nisan Sakura, ia lalu berdiri dan mengambil tasnya yang
tergeletak di samping makam. Sejenak ia mendongak ke arah langit, beberapa bintang sudah
mulai nampak menandakan malam akan mulai menyelimuti sebagian bumi. Dengan langkah
berat, Sasuke meninggalkan area pemakaman.

Bulan mulai menampakkan dirinya lebih awal, cahayanya seolah menemani Sasuke di setiap
langkahnya. Iris gelapnya menatap kosong setiap objek yang dilewatinya. Angin malam mulai
terasa dingin membuat kulitnya yang tidak tertutup menggigil, tetapi Sasuke sama sekali tidak
mempedulikannya. Ketika melewati sebuah taman, Sasuke langsung tersentak kaget saat
mendengar suara tawa yang sangat familiar. Sejenak, ia berhenti untuk sekedar memastikan
kalau yang ia dengar bukan khayalannya belaka. Onyx gelapnya menyapu seluruh sudut-sudut
taman, tetapi ia tidak menemukan apapun. Sasuke lalu melanjutkan langkahnya, sesekali
menggelengkan kepalanya untuk menyingkirkan pikiran konyol yang timbul di kepalanya.

Baru beberapa langkah, suara itu terdengar lagi. Sasuke merasakan jantungnya berdetak lebih
cepat, bukannya ia percaya hantu atau apa tetapi suara tawa ini memang sangat mirip dengannya.
Tanpa sadar kakinya langsung melangkah memasuki taman, walaupun otaknya menyuruhnya
untuk mengabaikannya. Ia takut jika sesuatu yang ia dengar semata-mata hanyalah ilusi.

Ketika irisnya menangkap suatu bayangan di balik pohon kecil dekat lampu taman, ia lalu berlari
mendekatinya dan langkahnya langsung terhenti melihat siapa yang tengah duduk di balik pohon
tersebut. ia sama sekali tidak mempercayai apa yang dilihatnya, perutnya terasa aneh,
eksprersinya kosong dan tidak bisa berpikir.

Sasuke seperti tanpa jiwa selama lima menit, ia berharap apa yang dilihatnya adalah nyata tetapi
ia tahu bahwa itu tidak mungkin. Apakah ia sedang mengalami delusi?
"Sakura…" gumam Sasuke menatap lekat gadis yang tengah sibuk dengan seekor kelinci putih di
pangkuannya.

Gadis itu pun menodongak, kedua alisnya bertautan, "Apa aku mengenalmu?" tanyanya sambil
berdiri dengan kelinci di pelukannya.

Sasuke masih membeku, sejujurnya ia takut kalau ia hanyalah sedang bermimpi. Bagimana kalau
ia bangun, ia akan menemukan dirinya di ranjang kamarnya. Ia tahu kalau Sakura sudah tidak
ada dunia lagi, tapi hati kecilnya mengatakan kalau gadis yang berada di depannya ini benar-
benar Sakura.

"Hei," ujar gadis pink yang terlihat bingung dengan pemuda di depannya, "bagaimana kau tahu
namaku?" tanyanya lagi.

Sasuke mengerjap beberapa kali karena gadis itu melambaikan tangan di depan wajah kakunya,
"Sakura," ulang Sasuke untuk kedua kalinya.

Gadis itu menatap Sasuke kesal," Namaku memang Sakura, bagaimana kau tahu namaku sih,"
ucapnya kesal, "dan kurasa aku tidak mengenalmu," tambahnya seraya berjalan melewati Sasuke
yang masih berdiri mematung.

Sasuke yang sudah bisa mengajak otak dan tubuhnya bekerja sama, langsung mengejar gadis
pink yang sudah sampai di trotoar bagian luar taman.

"Kuantar," kata Sasuke yang lebih mirip perintah dari pada tawaran.

Sesekali Sasuke melirik gadis yang tengah berjalan di sisinya, dia tidak tahu ia sedang bermimpi
atau ini hanya khayalannya saja. Tapi untuk saat ini, ia tidak peduli akan hal itu.

Tsuzuku

Naruto©Masashi Kishimoto

Warning: This is The End Sequel, AU, Typo(s), dll

Don't Like Don't Read

Italic : Flashback
"Wah~ taman barunya keren," komentar gadis kecil dengan mata berbinar. Dengan antusias, ia
berkeliling memeriksa ke setiap sudut taman. Langkah kakinya terlihat ringan saat berlari kecil
dan melompat-lompat, rambut sepunggungnya berkilauan akibat terpaan matahari sore.

"Hinata-chan! Kita main ini saja," Sakura melambaikan tangannya pada gadis yang seumuran
dengannya itu. Tentunya setelah mengeksplorasi seluruh mainan di taman tersebut, dan gadis itu
memilih perosotan.

Taman ini letaknya tidak jauh dari rumah mereka, makanya Sakura dan Hinata bisa bermain
sesuka hati mereka di taman yang baru kemarin di buka tersebut.

"Sakura-chan, apa ini tidak berbahaya?" Hinata agak ragu untuk menaiki perosotan yang untuk
ukuran anak tujuh tahun seperti dirinya dan Sakura terlihat sedikit menakutkan.

Sakura menepuk pundak Hinata, "Ini akan sangat keren, Hina-chan," ujar Sakura meyakinkan.
Dengan semangat, Sakura membimbing Hinata untuk naik tangga agar bisa meluncur dari atas.

Hinata memang tidak pernah bermain permainan itu, keluarganya selalu melarangnya karena
menurut mereka itu berbahaya bagi Hinata yang tubuhnya agak lemah. Tetapi, ia benar-benar
ingin mencobanya dan merasakan rasanya meluncur bebas seperti anak-anak lainnya.

"Siap, Hinata-chan?"

Hinata mengangguk, ia tidak sadar kalau dirinya sudah duduk manis dan siap meluncur. Sakura
memberikan aba-aba dan mereka langsung meluncur bersamaan.

Hinata menahan nafasnya, ia merasa sedikit pusing tapi senyum lebar terpatri di bibirnya, "I-
Ini, rasanya seperti…" ia tidak tahu harus mendeskripsikannya seperti apa, jadi ia memilih
untuk mengatakan satu kata yang biasa Sakura ucapkan, "keren," lanjutnya.

Sakura berdiri dan mulai menghapus pasir yang menempel di sekitar wajahnya, "Ayo," ajak
Sakura mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Hinata.

Mereka berdua tertawa riang menikmati aktivitas mereka, kadang Hinata akan menertawakan
Sakura ketika begitu banyak pasir yang menempel di wajah gadis itu bahkan sampai ada yang
masuk ke mulutnya.

Setelah puas dengan perosotan, Sakura dan Hinata mencoba permainan lainnya sampai
menjelang petang.

"Hah hah…" Hinata mencoba untuk mengatur nafasnya yang mulai terasa berat. Pandangannya
menjadi sedikit kabur.

Sakura yang melihat keadaan sahabatnya menjadi sedikit panik, "Hinata, kau tidak apa-apa?"
Sakura menahan tubuh Hinata yang hampir ambruk.
"…"

Hinata masih bergeming membuat Sakura semakin panik.

Hati-hati, Sakura membawa tubuh lemah Hinata ke sebuah bangku yang tidak jauh dari mereka.
kepala Hinata terkulai lemah di pundak Sakura.

"Kenapa dengannya?"

Sakura sedikit terkejut, tapi langsung bernafas lega setelah melihat siapa yang datang. "Aku
tidak tahu,Sasuke-kun," ia lalu mengusap peluh di sekitar pelipis Hinata, "kamu baru saja
selesai bermain," jelasnya.

Sasuke kemudian mengambil posisi di sebelah kiri Hinata. "Kau kan sudah tahu bagaimana
Hinata," ujar Sasuke dengan sedikit marah karena kecerobohan Sakura.

Sakura menggumamkan kata maaf, dan tidak lama setelahnya Hinata mulai pulih.

"Jangan memarahi Sakura," gumam Hinata. sejujurnya gadis itu merasa sangat bersalah, selalu
karena dirinyalah Sakura mendapat teguran dari Sasuke.

Tapi bagi Sakura, ini adalah hal biasa. Ia sudah sangat terbiasa dengan sifat protektif Sasuke
terhadap Hinata. Walapun mereka bertiga adalah sahabat, tapi terkadang Sakura sering
memandang iri terhadap Hinata yang begitu mendapat perhatian yang berlimpah dari Sasuke
juga teman-teman mereka lainnya.

Sasuke membimbing Hinata berdiri, mengajak gadis itu pulang. "Aku yang akan mnegantarnya,
pulanglah!"

Sakura mengangguk, tidak ingin melawan apa yang dikatakan Sasuke. Baru beberapa langkah
mereka berjalan, tiba-tiba Hinata berhenti sambil meraba lehernya.

"Kalung ibuku tidak ada," gusar Hinata. Ia bisa merasakan air mata sudah mulai berkumpul di
sudut matanya.

Mereka semua tahu, bagaimana berharganya benada itu bagi Hinata. karena itu Sakura
memutuskan untuk mencari kalung tersebut. Ini adalah tanggung jawab dirinya.

"Tenang saja Hinata-chan, aku pasti akan menemukannya," ujar Sakura meyakinkan gadis itu.

"Sebentar lagi hujan," kata Sasuke memperingatkan sebelum ia dan Hinata berjalan pulang.

Petang telah berubah menjadi malam, udara terasa semakin lembab dan dingin. Sakura masih
belum menemukan barang dicarinya. Ia telah menyisir hampir semua tempatnya bermain
dengan Hinata, tapi belum juga menemukan kalung tersebut. Tubuh kecilnya mulai bergetar
karena dingin, langitpun semakin gelap, bukan karena malam tetapi hujan akan segera melanda
daerah itu.

Berkali-kali Sakura menggosok kedua telapak tangannya, berharap mendapat sedikit


kehangatan. Tapi itu tidak sebanding dengan rasa dingin yang mulai menjalar, apalagi angin
mulai berhembus kencang dan ditambah Sakura hanya mengenakan celana pendek selutut dan
kaus lengan pendek.

Srashh…

Hujan mulai turun membuat Sakura basah kuyup, tapi gadis itu masih tetap mencari kalung
Hinata. Mengabaikan tubuhnya yang sudha bergetar hebat, ia masih saja berkeliling ke setipa
sudut-sudut taman.

Mungkin bagi anak lain seusianya, berada di taman sepi sendirian dan ditambah dengan hujan
lebat adalah suatu yang menakutkan. Bagi Sakura saat ini, rasa bersalah mengalahkan rasa
takut. jadi ia terus menyisir semua tempat yang kiranya pernah mereka hampiri.

Di sisi lain, Sasuke tengah berbaring sambil memandang hujan lebat melalui jendela kamarnya
yang tirainya masih terbuka. Kristal-kristal bening terlihat menempel dan perlahan membentuk
garis-garis semu di daun jendela.

Suara gemuruh dan kilatan cahaya membuatnya sedikit terkejut, lantas pikirannya langsung
tertuju pada Sakura. Ia sedikit khawatir dengan gadis itu, bagaimana kalau Sakura belum
menemukan kalung itu dan masih mencarinya hingga sekarang. Sasuke mendesah, 'tidak
mungki' pikirnya. Gadis itu pasti sudah pulang dan berbaring nyaman di rumahnya —seperti
dirinya. Tidak mungkin ia masih berkeliaraan di bawah hujan deras begini.

Suara gemuruh dan kilat saling bersahutan, Sasuke masih merasa gelisah. Akhirnya ia
memutuskan untuk keluar dari tempat tidur dan mengambil jaket di lemarinya. Dengan tergesa-
gesa, ia melangkah ke luar rumah tentunya setelah mengambil payung terlebih dahulu.
Untunglah kedua orang tuanya belum pulang, kalau tidak ia pasti tidak diijinkan untuk keluar.

Baru saja Sasuke mencapai pintu gerbang, matanya menangkap sosok gadis yang tengah
berjalan sambil memeluk tubuhnya. Sasuke bisa melihat tubuhnya bergetar hebat akibat
kedinginan, tentu saja karena gadis itu sudah basah kuyup.

"Sakura!" panggil Sasuke.

Sakura tidak tahu kalau Sasuke tengah memangilnya karena disamarkan oleh suara hujan, ia
terus berjalan menuju rumahnya. Ia lelah, kedinginan, dan kepalanya terasa pusing. Tapi
syukurlah, kalung Hinata telah ia temukan. Setidaknya ia bisa tidur tenang nanti, tidak di hantui
rasa bersalah.
Sudah beberapa kali Sasuke memanggil Sakura, tapi tidak ada tanggapan. Sasuke memutuskan
untuk mengikutinya sampai di depan pagar rumah Sakura. Setelah memastikan gadis itu masuk
ke dalam rumah, ia baru berbalik arah untuk pulang.

Sasuke sempat melihat benda berkilauan yang di pegang Sakura, "Bodoh," gumam Sasuke,
sekilas kembali melirik pintu rumah Sakura yang tertutup sebelum benar-benar pulang.

Sakura bersin berkali-kali malam itu, tubuh ringkihnya tersembunyi di balik selimut tebal, tapi
tetap membuatnya masih merasa dingin. Setelah pulang dari taman, Sakura langsung mandi air
hangat setelah sebelumnya menerima ceramah dari ibunya. Untunglah ada nenek Chiyo yang
dengan sigap menyediakan air hangat dan membawakan makan malam ke kamarnya.

Pagi harinya, Sakura bangun dengan kepala pusing dan hidung mampet. Matanya sedikit berair
dan suhu tubuhnya lebih hangat dari biasanya. Dengan langkah gontai, Sakura keluar dari
tempat tidurnya. Saat kakinya menyentuh lantai, rasa dingin langsung menjalar sampai ke
tulang belakangnya.

Baru Sakura akan memegang handle pintunya, Kurenai sudah terlebih dahulu membukanya dan
berdiri menjulang di depan Sakura.

"Kenapa baru bangun sekarang, ini sudah hampir hampir jam tujuh. Kalau begini kau bisa
terlambat ke sekolah, contohlah kakakmu Sakura. Jadi anak jangan—"

"Saki tidak enak badan, kaa-san," potong Sakura.

Kurenai memperhatikan keadaan Sakura sejenak, lalu menempelkan tangannya pada kening
putrinya. "Kalau begitu istirahat saja, aku akan menyuruk nenek Chiyo untuk membuatkanmu
sarapan," ujar Kurenai lalu membimbing Sakiyra ke tempat tidur.

Sakura naik perlahan, kembali berbaring dengan selimut tebal yang menutupi seluruh tubuhnya.
"Apa hari ini Kaa-san bisa menemani Sakura di rumah?" tanya Sakura menahan lengan ibunya.

Kurenai berbalik, lalu melepas pelan pegangan anaknya. "Aku tidak bisa, hari ini Kaa-san ada
pertemuan di sekolah kakakmu, setelah itu kakakmu akan melakukan chek up," Kurenai memberi
alasan dengan sedikit kebohongan. Hari ini ia memang ada pertemuan di sekolah Karin, tetapi
mengenai chek up ia sengaja berbohong pada Sakura. Tidak mungkin kan ia mengatakan kalau
ia dan Karin akan pergi ke pusat perbelanjaan. Kurenai juga tidak mungkin membatalkan
janjinya dengan putri sulungnya, bisa-bisa Karin bisa ngambek seharian dan mogok makan
seperti biasa. Dan akhirnya bisa membuat tubuhnya kurang stabil. Yang pasti Kurenai tidak
akan membiarkan kondisi karin drop.

Sakura memasukkan tangannya ke dalam selimut, ia merasa sedikit kecewa tapi tidak tahu harus
berbuat apa. Satu-satunya yang ia lakukan adalah mencoba menghilangkan rasa sedih yang
tiba-tiba melanda dirinya. "Sou ka…" gumamnya pelan tidak sampai di dengar oleh ibunya.
Kurena melangkah keluar dari kamar putrinya, sebelum menutup pintu ia melihat sekilas ke
arah Sakura. "Istirahatlah, aku akan menelpon dokter."

Sakura menatap sendu pintunya yang tertutup, helaan nafas lirih terdengar samar. "Kaa-san,"
gumamnya sebelum jatuh tertidur.

Setelah mendapat asupan obat dari dokter, Sakura sudah merasa sedikit lebih baik. Panasnya
juga sudah menurun dan flunya agak ringan, hanya kepalanya saja yang terasa agak berat.

Karena bosan, Sakura keluar dari kamarnya. Kaki mungilnya membawa dirinya menuju ruang
tengah, sekarang ia sendirian di rumah. Nenek Chiyo sedang pergi ke rumah Hinata untuk
mengembalikan kalung gadis Hyuuga tersebut atas permintaan dirinya, Sakura tidak punya
tenaga untuk pergi sendiri.

Sakura duduk berselonjor di sofa ruang tengah, matanya terpejam. Suara mesin mobil membuat
Sakura kembali membuka matanya. Iris virdiannya sedikit berbinar melihat ibunya yang sudah
pulang. "Kaa-san!" serunya bersemangat.

Kurenai yang awalnya ingin masuk ke kamarnya berbalik arah, lalu menghampiri Sakura di
yang berbaring di sofa.

"Bagaimana keadaanmu?" Kurenai duduk di sofa yang sama dengan Sakura dan menaruh
kepala putrinya di pangkuannya.

Sakura tersenyum," Sudah mendingan," jawabnya. Sakura memejamkan mata, belaian lembut
ibunya membuatnya merasa sangat nyaman dan seolah semua rasa sakitnya langsung
menghilang.

Dengan hal sederhana seperti itu saja sudah membuat Sakura merasa bahagia, gadis itu
memang sangat jarang menerima perhatian seperti ini dari ibunya. Mungkin untuk materi,
Sakura selalu terpenuhi, tapi tidak dengan perhatian orang tuanya yang lebih condong ke
kakaknya. Sakura tahu ia tidak harus iri terhadap kakaknya, ia juga tahu bagaimana kondisi
kakaknya yang menyebabkan semua perhatian bertumpu pada Karin. Tapi jujur, rasa marah dan
kecewa sering ia alamai manakala kedua orang tuanya lebih menunjukkan perhatian untuk
kakaknya dibandingkan dirinya.

Sakura merasakan belaian di kepalanya terhenti, ia kemudian membuka matanya. "Kaa-san mau
pergi lagi?" Sakura bertanya pelan, nada sedih terdengar kentara.

Kurenai menghela nafas, ia juga tidak ingin meninggalkan Sakura yang sedang sakit. Tapi di
sisi lain juga, wanita paruh baya itu tidak bisa membatalkan janjinya dengan Karin. "Kaa-san
harus menjemput kakakmu di sekolahnya, dia harus chek up juga," ujarnya sambil tersenyum.
Sakura kemudian beranjak dari posisinya semula, sekarang ia duduk dan langsung berdiri dan
pergi ke kamarnya tanpa sekatah katapun. Kurenai mengernyit heran, tapi tidak memikirkan
sikap Sakura lebih lanjut. Ia harus segera menjemput putri sulungnya.

Sakura kembali berbaring di ranjangnya untuk yang ke sekian kalinya hari itu, cairan bening
sudah mulai mengalir di sekitar pipinya. Ia tidak bisa menahan lagi, setidaknya dengan
menangis ia akan merasa sedikit lega setelahnya.

Sasuke yang tidak bertemu Sakura di sekolah merasa sedikit khawatir, karena itu ia memutuskan
untuk mencari Sakura ke rumahnya.

Setelah sampai di rumah, Sasuke dengan sigap mengganti baju seragamnya dan langsung
berlari menuju rumah Sakura. Setelah mengetuk beberapa kali, pintu langsung terbuka. Chiyo
langsung menyuruh Sasuke menmeui Sakura di kamarnya setelah sebelumnya memberitahukan
keaadaan Sakura.

Sasuke membuka pelan pintu kamar Sakura, lalu menghampiri sahabatnya yang berbaring di
tempat tidur dengan punggung membelakangi dirinya.

"Sakura," panggilnya pelan.

Merasa ada yang memanggilnya, Sakura langsung berbalik dan melihat Sasuke yang tengah
berdiri menatapnya. "Kalau kau menanyakan soal kalung itu, aku sudah mengembalikannya
pada Hinata," ujar Sakura. Ia kembali memunggungi Sasuke.

Sasuke hanya diam, rasa bersalah langsung menghampirinya. Ia kemudian duduk di samping
Sakura yang berbaring karena masih ada cukup ruang untuknya.

"Aku mengkhawatirkanmu," kata Sasuke pelan.

Sasuke berkata yang sesungguhnya, ia benar-benar khawatir tentang gadis di sampingnya


apalagi saat melihat matanya yang sembab dan masih mengeluarkan liquid bening.

"Sakura, "panggil Sasuke lagi, "kenapa kau menangis," tanyanya.

Sakura tidak menjawab, bukannya tidak mau tapi ia bingung harus menjawab apa.

Sasuke menghela nafas, ia sangat tidak suka melihat Sakura menangis. Sasuke berjanji pada
dirinya sendiri untuk membuat Sakura tetap tersenyum dan tidak akan pernah membiarkannya
menangis.

.
.

Sasuke terbangun dengan peluh di sekitar wajahnya, ia kembali memimpikan Sakura. Kedua
tangannya mengacak-acak rambutnya mengingat mimpi yang dialaminya barusan. Ia ingat
tentang janjinya untuk tidak membiarkan Sakura menangis. Tapi kenyataannya, Sakura sering
menangis karena dirinya.

Setelah bergumul dengan pikirannya selama beberapa menit, Sasuke memutuskan untuk mandi
agar dirinya merasa lebih segar. Saat melewati meja belajarnya, sebuah benda menarik
perhatiannya. Itu hanya sebuah saputangan putih dengan bercak noda merah. Tubuhnya
membeku, tangan kanannya memegang saputangan tersebut. kejadian malam sebelumnya
langsung bermain di otaknya, ia ingat gadis itu mengembalikan sapu tangan miliknya setelah
meminjamkannya untuk membersihkan luka kelinci putih yang ada di gendongan gadis pink
yang ditemuinya di taman tadi malam.

"Sakura," gumamnya lalu melempar saputangan putih itu sembarangan. Ia bergegas untuk mandi
karena ia harus sesegera mungkin untuk mencari Sakuranya.

Matahari sudah mulai agak tergelincir, Sasuke masih menunggu 'Sakura' yang ditemuinya tadi
malam. Iris kelamnya menatap setiap orang yang datang dan pergi, berharap melihat sosok gadis
pink yang sangat dirindukannya.

Sudah empat jam lebih Sasuke berada di taman, tapi tidak juga menemukan tanda-tanda
keberadaan gadis yang dicarinya. Demi Sakura, Sasuke rela berada di keramaian seperti ini.

Merasa tidak ada harapan, Sasuke memutuskan untuk pergi ke halte tempatnya mengantar
Sakura. Malam itu, Sasuke ingin sekali mengantar Sakura sampai ke rumahnya tapi ditolak oleh
gadis itu. Alasannya karena dia tidak meneganl Sasuke. Sasuke sempat memaksa tapi gadis itu
terus menolak dan mencurigai Sasuke sebagai penculik, karena Sakura yang ditemuinya tadi
malam langsung mencegat taxi dan pergi meninggalkan Sasuke, jadi sekarang Sasuke tidak tahu
harus menemuinya dimana.

Sasuke masih setia duduk di halte tersebut setelah beberapa jam, tidak mempedulikan perutnya
yang sudah berontak minta diisi. Cuaca mulai mendung dan langit semakin gelap, tapi Sasuke
mengabaikan hal itu. Ia masih sangat berharap untuk bertemu dengan gadis itu lagi, untuk
memastikan kalau yang tadi malam bukanlah khayalannya belaka.

Sasuke mengeratkan blazzernya, udara sudah semakin dingin dan gerimis mulai turun. Tidak
lama stelahnya, hujan lebat langsung membasahi bumi. Sasuke mendesah kecewa karena tidak
menemukan apa yang diharapkannya, dan dengan sangat terpaksa Sasuke beranjak dari kursi
yang sudah beberapa jam di dudukinya dan meninggalkan halte bisa tersebut.

Sasuke merasa kepalanya sedikit pusing, perutnya kosong dan ia sangat kedinginan. Bagaimana
tidak, dari pagi ia tidak pernah makan apapun ditambah sekarang Sasuke berjalan di tengah
hujan lebat begini. Miris dengan keadaannya, ingatannya kembali ke masa lalu saat Sakura yang
rela hujan-hujanan mencari kalung Hinata. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana Sakura
waktu masih bocah, berada di taman sendirian ditemani hujan lebat seperti ini. Perasaan bersalah
kembali menggerogoti benaknya, "Sakura," gumamnya lirih.

Sasuke yang tidak tahan dengan kondisinya akhirnya menyerah, membiarkan dirinya ambruk di
tengah trotoar. Sebelum tenggelam dalam kegelapan, Sasuke bisa mendengar suara seseorang
memanggilnya. Suara seorang gadis yang sangat dirindukannya.

"Sakura," gumam Sasuke sebelum benar-benar pingsan.

Tbc

Naruto©Masashi Kishimoto

Warning: This is The End Sequel, AU, Typo(s), dll

Don't Like Don't Read

Erangan rendah keluar dari mulut Sasuke, kelopak matanya yang mengatup perlahan terbuka
menampakkan iris sekelam malam. Dia meneliti dimana dirinya sekarang, dan ternyata sedang
berada di sebuah ruangan yang hampir seluruh catnya berwarna putih. Kepalanya terasa berat,
matanya juga panas.

Suara pintu terbuka menarik perhatiannya, seorang wanita dengan rambut hitam panjang
langsung berlari ke arahnya. "Syukurlah, kau sudah sadar," ujar wanita tersebut, lalu memeluk
Sasuke.

Sasuke hanya diam, dia masih belum ingat kenapa bisa berada di sini. "Apa yang terjadi?"
tanyanya dengan suara serak.

Mikoto menatap putra bungsunya sendu, "Kau ditemukan pingsan di jalan," jawabnya lirih.
Mikoto mengelus rambut Sasuke sayang. "Bagaimana perasaanmu, Nak?"
Sasuke menatap ibunya sebentar, lalu mengalihkan pandangannya ke dinding polos di depannya.
"Baik, hanya sedikit pusing," jawabnya.

Mikoto mendesah lega, "Aku akan menemui dokter," kata Mikoto pamit pergi pada Sasuke.

Sasuke mengangguk lemah, dia kembali merebahkan diri di kasur. Pikirannya menerawang saat
menunggu gadis itu di halte. Sasuke memijat pelan kepalanya yang terasa sakit, ia menggigit
bibirnya hingga sedikit berdarah, menahan rasa sakit di kepalan juga hatinya. Meskipun dia
seharian menunggu di sana, tetapi gadis itu tidak kunjung menampakkan diri. Atau mungkin
gadis yang mirip Sakura hanyalah ilusi yang diciptakan pikirannya, karena rasa kehilangan yang
mendalam. Sasuke menggeleng lemah, berusaha untuk menghilangkan pemikiran itu. Dia tidak
ingin kehilangan harapan.

Sasuke tahu hidupnya tidak akan pernah sama lagi, kepergian Sakura ikut membawa setengah
hidupnya. Sakura memang sangat berarti baginya, karena gadis itu selalu ada untuknya.
Bagaimana dulu saat-saat krisis dalam hidupnya, Sakura selalu mendampinginya. Waktu orang
tuanya sempat berpisah, Sakura mengatakan untuk tidak perlu khawatir karena semuanya akan
baik-baik saja. Saat perusahaan orang tuanya tengah mengalami kebangkrutan, Sakura selalu di
sisinya saat anak-anak lain menjauhi dan mengejeknya.

Dan sekarang, setelah gadis itu tidak di sisinya lagi. Ia sudah seperti tidak punya tujuan hidup.
Karena baginya, Sakura bukan hanya sekedar sosok pacar yang kapan saja status tersebut bisa
menjadi mantan pacar. Sakura lebih dari itu, dia adalah sahabat, kekasih, dan teman hidupnya.

"Sakura," gumam Sasuke lirih. Matanya lambat laun kembali terpejam, akibat rasa using dan
kantuk yang menyerangnya. Semenjak kepergian Sakura, Sasuke memang sering insomnia.
Bahkan hampir setiap malam. Dulu, kalau dia sedang mengalami susah tidur. Cukup dengan
menelpon Sakura dan membiarkan gadis itu mengoceh semaunya, ia akan tidur. Dan bisa
dipastikan paginya, Sakura akan marah karena dibiarkan berbicara sendiri.

"Bagaimana Sasuke, Kaa-san?" Itachi mengerutkan kening saat melihar raut wajah ibunya.
Apakah ada sesuatu yang yang tidak beres dengan Sasuke.

"Dia sudah siuman, kau bisa menjenguknya. Kasian dia sendirian," kata Mikoto menyuruh putra
pertamanya untuk menemani adiknya.

Itachi mengangguk mengiyakan, tapi dia melihat raut wajah ibunya yang sedikit berbeda, "Apa
ada sesuatu yang salah?" tanyanya. Itachi memandang wajah ibunya yang terlihat tegang.

Mikoto menghela nafas, mencoba untuk menenangkan dirinya. "Tidak apa-apa, aku hanya sangat
khawatir dengan adikmu." Mikoto kembali mengambil nafas pelan dan menghembuskannya,
"Kau tahu kan, semenjak Sakura meninggal, kondisi Sasuke…" Air mata mengalir melewati pipi
pucatnya, tidak sanggup untuk mneeruskan kalimatnya. Dia juga yakin, Itachi mengerti dengan
kondisi adiknya.
Itachi menarik lengan ibunya, memeluk wanita yang sudah melahirkan dan merawatnya dengan
seluruh hidupnya. "Aku akan berbicara dengan Sasuke, Kaa-san jangan khawatir," ujarnya.
Mengusap sisa rembesan air mata ibunya.

Mikoto tersenyum, "Terima kasih, Nak. Selain Sakura, Sasuke mungkin bisa berbicara
denganmu."

Itachi mengangguk, lalu meninggalkan Mikoto di ruangan dokter. Karena ibunya masih harus
bertemu dengan dokter pribadinya itu, yang saat ini tengah menangani pasien lain.

Itachi melangkah cepat menuju kamar adiknya, tidak mempedulikan lirikan-lirikan dan tatapan
memuja dari gadis-gadis yang dilewatinya. Di balik wajah datarnya, Itachi menyimpan begitu
banyak emosi saat ini. Seolah bisa merasakan rasa sakit dan kehilanagan yang tengah dialami
adiknya. Dia sangat tahu, bagaimana sayangnya Sasuke sama Sakura. Saat mereka berdua masih
anak-anak, bahkan saat balita mereka tidak bisa dipisahkan. Bagaimana dulu Sasuke akan
ngambek seharian jika hari itu tidak bertemu Sakura, adiknya itu akan uring-uringan tidak jelas.
Perhatian Sasuke pada Sakura semakin tumbuh hingga mereka beranjak remaja, meskipun
caranya agak sedikit berbeda.

Memang, saat orang tua mereka sempat berpisah, Sasuke mulai sedikit berubah. Mungkin karena
kecewa dengan orang tuanya, Sasuke menjadi lebih pendiam dan anti sosial. Ia hanya akan
bergaul dengan Sakura, kadang-kadang juga Hinata. Tetapi kebanyakan waktunya, akan
dihabiskan di kamarnya dengan Sakura. Meskipun mereka hanya mengerjakan tugas sekolah,
atau sekedar menonton film. Dan saat Sasuke menginjak kelas tiga sekolah menengah, ia melihat
perubahan jelas pada Sasuke. Sasuke mulai jarang terlihat bersama Sakura, mengajak gadis itu
ke rumahnya. Walaupun begitu, Itachi tahu Sasuke tidak pernah berhenti peduli pada Sakura. Dia
bisa melihat tatapan Sasuke akan sangat berbeda jika sudah berhadapan dengan Sakura. Mungkin
Sasuke sedang mencari tahu tentang perasaan sebenarnya pada Sakura.

Kriet…

Suara pintu yang terbuka membuat Sasuke kembali terbangun. Mata kelamnya kembali ia
tampakkan saat mendengar langkah kaki yang semakin mendekat ke arahnya. Menengok sedikit,
Sasuke melihat Itachi dengan tas ransel di punggungnya, dia mengasumsikan kakaknya baru
selesai kuliah.

"Kau terlihat mengerikan, Sasuke," ujar Itachi. Inilah cara ia menyapa adiknya.

Sasuke mendengus, "terima kasih," gumamnya sarkastik.

Itachi nyengir, ia lalu menaruh tasnya sembarangan di atas sofa coklat di ruangan tersebut. Dia
lalu mengambil tempat di kursi yang ada di samping adiknya berbaring.
"Sasuke…" Itachi menatap adiknya prihatin, "apa yang kau lakukan di sana?"Pertanyaan Itachi
ini merujuk pada apa yang dilakukan Sasuke di tempat ia ditemukan pingsan.

Sasuke menggigit bibir bawahnya, ia menatap langit-langit seolah itu adalah sesuatu yang sangat
menarik. "Tidak ada," jawabnya.

Itachi tahu, Sasuke tidak akan melakukan sesuatu jika tidak ada alasannya. "Apa ini tentang
Sakura?" tanyanya. Meskipun Itachi tidak mendapat jawaban dari Sasuke, tapi ia bisa tahu dari
raut wajah adiknya. Memangnya siapa lagi yang bisa membuat Sasuke kacau seperti ini, kecuali
gadis itu. Itachi bukannya tidak merasa kehilangan, ia sudah meganggap Sakura sudah seperti
adiknya. Tetapi kasus Sasuke berbeda, adiknya itu sudah terlalu terbiasa dengan kehadiran
Sakura, ia bisa mengatakan hidup Sasuke seperti bergantung pada gadis itu. "Kau selalu bisa
berbicara denganku, Sasuke. Kau tahu, 'kan?" bujuk Itachi.

Sasuke masih enggan menanggapi kakaknya, pandangan matanya masih setia tertuju pada langit-
langit ruangan yang berwarna putih tersebut.

"Sasuke…"

"Aku menunggu Sakura," gumam Sasuke.

Itachi menatap Sasuke sendu, "Tapi, kau tahu kalau Sakura sudah…" katanya lirih tidak bisa
melanjutkan ucapannya.

Sasuke menutup matanya, "Tapi aku benar-benar pernah bertemu dengannya, apa menurutmu itu
adalah hantu Sakura?" tanyanya sinis, "kalaupun iya, aku tidak peduli dia itu hantu atau bukan,"
geramnya rendah.

Sasuke tahu, tidak akan ada orang yang percaya padanya. Saat dia mengatakan apa yang ia lihat
kepada ibunya, Mikoto menanggapinya sama seperti Itachi.

Itachi mendesah, "Sasuke, kau harus mencoba untuk merelakannya," nasehatnya. "Sakura pasti
sudah tenang di sana," tambahnya.

Sasuke tertawa sinis, "Kau bukan aku, Itachi," geramnya. "Aku tidak bisa… tidak pernah bisa,"
lanjutnya rendah. Sasuke munutup matanya dengan lengan kanannya, tidak ingin membiarkan
Itachi melihat setetes air mata yang memaksa keluar dari sumbernya.

Itachi tersenyum lirih, dia sangat mengerti apa yang tengah dialaminya adiknya. Kalau dulu, dia
selalu bisa melakukan apa saja untuk membantu adiknya, tapi untuk yang satu ini, itu di luar
kemampuannya. Tidak ada yang bisa dilakukannya, semua bergantung pada Sasuke sendiri.

"Permisi…"

Itachi yang langsung menoleh ke sumber suara, ia melihat Hinata yang tengah berdiri gugup di
depan pintu. Itachi tersenyum mempersilakannya masuk," Masuklah, Hinata."
"Apa aku menganggu?" tanya gadis yang masih mengenakan seragam sekolahnya.

Itachi menggeleng, "Tidak," katanya lalu menyuruh Hinata duduk di tempatnya. "Aku akan
meninggalkan kalian, mau mengisi perut dulu," tambahnya lalu meninggalkan ruangan Sasuke.

Baik Hinata maupun sasuke tidak ada yang membuka suara, Hinata tidak tahu harus berbicara
apa melihat kondisi Sasuke yang terlihat kacau. Sedangkan Sasuke terlalu malas untuk membuka
mulutnya.

"Sasuke-kun," panggil Hinata pelan, "apa kau baik-baik saja?" Hinata menggigit bibir bawahnya
atas pertanyaan bodoh yang dilontarkannya. Tentu saja Sasuke tidak baik-baik saja.

"…"

"Maaf, baru menjengukmu," ujar Hinata lirih, ia merasa sedikit kecewa karena Sasuke
mengabaikannya.

"Hn," Sasuke bergumam pelan, tetapi tidak berniat untuk membuka mata dan lengannya juga
masih dengan posisi yang sama saat Itachi pergi.

Hinata menunduk, tidak tahu harus melakukan apa. Jadi, dia hanya diam dan duduk
memperhatikan dada Sasuke yang naik dan turun karena pernafasan. Dia tahu, dirinya tidak
berbuat apa-apa. Tidak pernah ada yang bisa menggantikan Sakura di hati Sasuke, karena Hinata
tahu Sakura selalu punya tempat khusus di hati sahabat yang ditaksirnya. Baik sebagai sahabat,
Sasuke selalu menganggap Sakura sahabat baiknya melebihi dirinya. Meskipun mereka bertiga
adalah sahabat, tetapi Hinata tahu Sasuke selalu melihat Sakura lebih daripada dirinya. Dan
sekarang, Hinata mengerti kenapa Sakura sangat berarti bagi Sasuke, bukan hanya Sasuke tetapi
bagi dirinya juga.

Sasuke akhirnya memutuskan untuk membuka matanya, ia masih melihat Hinata Hinata yang
duduk tertunduk. Dia mengira Hinata sudah pergi karena tidak mendengar adanya kehadiran
seseorang. "Pulanglah Hinata," katanya memerintahkan.

Hinata sedikit terkejut, "S-Sasuke-kun," kagetnya karena tiba-tiba Sasuke tengah menatap ke
arahnya, "a-aku masih ingin menemanimu," balasnya.

Sasuke mengalihkan perhatiannya ke luar jendela, "Pulanglah!" perintahnya kembali, "kau harus
istirahat," tambahnya memberikan alasan.

Hinata menggigit bibirnya, ia tahu ini adalah cara Sasuke mengusirnya secara halus. "Baiklah,
aku pulang," kata Hinata beranjak dari kursi, tangan kirinya menggemnggam erat tali tas
selempangannya, "cepat sembuh, Sasuke-kun," imbuhnya.

Hinata melangkah pelan, suara sepatu berbentur ubin terdengar jelas di ruangan yang sunyi itu.
Sesaat, Hinata berhenti untuk melihat Sasuke dari bahunya. Ia menghela nafas pelan saat melihat
Sasuke yang masih memandang keluar jendela, lalu kembali berjalan menuju pintu.
Sasuke yang mendengar suara langkah kaki semakin menjauh, lalu diiringi dengan suara pintu
yang terbuka kemudian tertutup mengubah posisinya. Sasuke yang awalnya berbaring kini
duduk, pandangannya tetap kosong. Sasuke bukannya tidak suka dijenguk oleh sahabatnya,
tetapi sekarang dia hanya ingin sendirian.

"Apa Sasuke mengalami gangguan psikologi?" tanya Mikoto. Saat ini ia dan Itachi tengah berada
di apotek untuk menebus obat.

Itachi menggeleng, "Aku tidak tahu, Kaa-san," jawab Itachi. "Mungkin dia hanya masih merasa
kehilangan dan belum bisa menerima keadaan," tambah Itachi, "Kaa-san tahu sendiri, bagaimana
Sakura bagi Sasuke," imbuhnya.

Mikoto mengiyakan dengan mengangguk, ia sangat tahu bagaimana pentingnya sosok Sakura
bagi anaknya. Meskipun sasuke tidak pernah menceritakan hal itu, tapi ia tahu dari pandangan
anaknya terhadap gadis yang sejak kecil menjadi sahabat putranya.

"Sasuke bilang dia bertemu Sakura di taman," gumam Mikoto, "Kaa-san tahu kalau Sasuke
hanya berhalusinasi, karena ibu melihat sendiri malam itu Sasuke tidak bersama siapapun," ujar
rendah Mikoto. Dia sangat takut kalau anak bungsunya akan mengalami gangguan kejiwaan.

Itachi merangkul pundak ibunya, "Sasuke akan baik-baik saja, dia pasti bisa melewati semua
ini," kata Itach mencoba untuk tidak membuat ibunya terlalu khawatir, meskipun ia tidak terlalu
mempercayai kata-katanya sendiri.

Mikoto mengangguk, "Semoga saja, " gumamnya dalam pelukan Itachi. Putra sulungya itu selalu
bisa menjadi sandaran bagi dirinya.

Setelah menerima obat, mereka keluar dari apotek. Itachi menuju ruangan adiknya di rawat,
sedangkan Mikoto ke parkiran karena Itachi menyuruh ibunya untuk pulang istirahat di rumah.

Itachi kembali ke kamar Sasuke, sesampainya di sana ia sudah tidak melihat Hinata, begitu juga
dengan Sasuke. Setelah menaruh obat di atas meja, ia segera berlari keluar untuk mencari
adiknya. Gusar, Itachi bertanya kepada beberapa suster yang ditemuinya, tetapi tak satupun dari
mereka yang pernah melihat Sasuke. Tidak bisa ia pungkiri, Itachi merasa sangat khawatir pada
adiknya. Bagaimana kalau adiknya kembali berhalusinasi, lalu melakukan hal-hal yang
berbahaya bagi dirinya. Itachi mencoba untuk berpikir positif, Sasuke pasti tidak akan
melakukan hal bodoh.

.
"Sial," geram pemuda dengan pakaian pasien di sebuah taman di belakang gedung rumah sakit.
Sasuke duduk berselonjor di bawah pohon pinus, sesekali ia melempari kerikil yang ditemuinya
ke dalam kolam kecil yang terletak tepat di depannya. Meskipun kepalanya terasa pusing, ia
tidak suka hanya tidur di ruang rawat tanpa melakukan apa-apa. Ia benci rumah sakit, karena itu
mengingatkannya pada Sakura. menampakkan kembali memori saat Sakura menghembuskan
nafas terakhirnya di rumah sakit. Terkadang Sasuke bingung, kenapa begitu banyak orang yang
sakit pergi ke rumah sakit. Padahal namanya sudah jelas, rumah sakit yang artinya rumah orang
sakit. Kalau mereka ingin datang ke rumah sakit untuk menyembuhkan penyakit agar sehat
kembali, kenapa rumah sakit tidak diganti saja menjadi rumah sehat?

Sasuke menggeleng pelan dengan pemikiran bodoh dan tidak ada gunanya. Kenapa otaknya bisa
memikirkan hal tidak penting seperti itu? Iris kelamnya ia pejamkan sejenak, menikmati angin
lembut yang membelai kulitnya yang terbuka. Dingin, Sasuke merasa dingin meksipun cuaca
cerah dan masih sore. Dulu, saat dia sakit, Sakura selalu menemaninya. Gadis itu tidak peduli
jika ia menyuruhnya pulang, dan dengan keras kepala Sakuratidak akan mendengarkan apapun
perkataannya.

Sasuke menerawang, kenangan dengan Sakura seolah memutar jelas di benaknya seperti sebuah
film. Dia sangat ingat, Sakura akan tiba-tiba datang membawakannya bubur hangat dan
memaksanya untuk menyantapnya meskipun ia sedang tidak berselera. Saat Sasuke terkena flu,
Sakura terus mengomelinya karena kecerobohan dirinya yang main-main saat hujan, padahal
waktu itu Sakura-lah yang memaksa dirinya untuk bermain di bawah hujan. Sudut bibir Sasuke
sedikit terangkat mengngat hal ini, dan saat itu Sakura memaksa untuk menemaninya semalaman
karena kedua orang tuanya sedang ada pekerjaan di luar kota. Karena di kamarnya memang
hanya mempunyai satu tempat tidur, jadi dia dan berbagi kasur malam itu. Dan hebatnya,
paginya Sasuke sembuh dari flu yang menderanya. Tapi, gadis yang masih meringkuk di
sampingnya terdengar beberapa kali bersin-bersin. Entah kenapa, setiap langkah atau sesuatu
yang terjadi dalam hidupnya seolah selalu mengingatkannya pada Sakura. Baik saat dia sakit
seperti ini, waktu Sasuke melakukan rutinitasnya seperti makan di sebuah kedai ramen, melihat
paman penjual permen kapas, dan hal-hal lainnya.

Sasuke mendesah, kembali teringat perkataan Itachi yang mneyuruhnya untuk merelakan Sakura.
itu adalah hal yang sangat tidak mungkin baginya, karena dia sendiri tidak ingin melakukannya.
Sasuke tidak pernah bisa dan tidak pernah ingin untuk merelakan bahkan melupakan gadis itu.
dia tidak akan pernah mampu, sampai kapanpun.

Puas berdiam diri di taman tersebut, Sasuke perlahan bangun dan mengusap kotoran yang
menempel di celananya. Kaki jenjangnya melangkah pelan menyusuri taman rumah sakit.
Pandangan matanya lurus kedepan, dengan wajah datar tanpa ekspresi dengan kedua tangan yang
tersembunyi di dalam saku. Meskipun mengenakan pakaian rumah sakit, Sasuke masih terlihat
keren seperti biasa. Itu terbukti dari lirikan gadis-gadis yang dilewatinya.

Akhirnya, kaki jenjangnya berhenti di depan sebuah lorong yang sepi. Sasuke yang berniat
kembali ke kamarnya, ternyata tidak tahu dimana dirinya berada. Sasuke mengumpat kesal,
menyalahkan rumah sakit ini yang terlalu besar dan hampir semua bangunannya terlihat sama.
"Menyebalkan," gumam Sasuke sambil terus berjalan. Langkah demi langkah yang dilewatinya
membawanya melewati kamar mayat, ruang operasi, bahkan toilet. Sasuke mendengus, saat ini ia
berada di lantai dua. Masih belum bisa menemukan kamarnya.

Merasa sedikit pusing, Sasuke berhenti untuk istarahat di sebuah bangku panjang. Beberapa
perawat yang melewatinya bertanya kenapa pasien seperti dirinyabisa berada di sana, Sasuke
hanya bilang kalau dia hanya mencari udara segar karena bosan di kamar. Tidak berniat untuk
menceritakan kepada dunia kalau dirinya tengah tersesat. Yeah, pride of an Uchiha berlaku
kapan saja dan dimana saja.

Di sisi lain, Itachi masih mencari adiknya. Dia masih belum bisa menemukannya. Saat beberapa
orang bilang kalau mereka melihatnya di taman, tapiia tidak menemukannya di sana. Dia telah
mencari hampir di setiap sudut taman. Tapi sosok Sasuke masih belum juga kelihatan. Itachi
mendesah, ia merasa seperti tengah mencari seorang anak kecil yang tersesat. Kalau saja Itachi
tahu, adiknya itu memang tengah tersesat.

Hati-hati, Sasuke turun melewati anak tangga. Tangan kanannya memijit pelipis kirinya karena
kepalanya terasa pusing. Dia mengambil nafas dalam dan menghembuskannya pelan, mencoba
untuk membuat perasaannya lebih baik. Pada lima anak tangga yang terakhir, Sasuke merasakan
kedua kakinya seolah dipasung. Selama beberapa saat ia tidak bisa bernafas normal, jantungnya
berdetak sangat cepat. Mulutnya menggumamkan sebuah nama yang selalu di kepala juga
hatinya. Dia ingin meneriakkan namanya tapi tidak bisa, ia membisu.

Iris kelamnya membulat seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia ingin menjangkau
gadis pink yang berlalu di depan matanya. Apakah ini hanya halusinasinya belaka? Tetapi ini
terlihat nyata, sangat nyata. Apa mungkin gadis itu kembaran Sakura, karena dilihat dari bentuk
fisik mereka sangat mirip. Tetapi mana mungkin, selama hidupnya ia tidak pernah tahu kalau
Sakura mempunyai kembaran. Orang tua Sakura juga tidak pernah mengatakan kalau gadis itu
terlahir kembar, yang dia tahu Sakura hanyalah anak bungsu. Sasuke mengabaikan semua
pertanyaan yang di kepalanya. Dia ingin memastikan siapa gadis itu, karenanya ia mencoba
untuk mengajak seluruh tubuhnya untuk bekerjasama.

Setelah berhasil menguasai diri, Sasuke langsung berlari menuruni sisa anak tangga.
Mengabaikan rasa sakit yang mendera kepalanya, ia tetap fokus untuk mengejar Sakura.

"Sakura!" teriak Sasuke. Dia terus memanggil nama Sakura, mengabaikan tenggorokannya yang
sakit seolah tertusuk jarum.

Sasuke melihat Sakura yang di dorong dengan kursi roda oleh seorang perawat berbelok di
tikungan di depannya. Tidak memperhatikan jalan, Sasuke menabrak beberapa orang hingga
membuatnya terjatuh. Tetapi dengan sigap, ia langsung bangkit untuk mengejar gadis pink
tersebut. Mengabaikan teriakan orang-orang ke arahnya, mungkin mereka mengira Sasuke
adalah pasien yang kabur.

Terengah-engah, Sasuke berhenti berlari. Dia kehilangan jejak, ini membuatnya frustasi. Lalu,
matanya menangkap sosok gadis tersebut di parkiran rumah sakit. Sasuke langsung memacu
langkahnya, melewati dua nsekaligus anak tangga. Nafasnya memburu, antara takut kehilangan
jejak gadis yang diyakininya adalah Sakura dan harapan jikalau gadis itu benar-benar memang
Sakura, entah bagaimana caranya.

Matanya melesat ke segala arah, mencoba untuk menemukan sosok gadis pink di antara begitu
banyak orang yang berlalu lalang. Setelah beberapa saat mencari, mata kelamnya menangkap apa
yang dicarinya. Ia melihat gadis itu tengah di bopong masuk oleh seorang lelaki ke dalam sebuah
mobil hitam, diikuti seorang wanita yang mengenakan baju perawat. Sasuke langsung berlari ke
arah mereka, melewati mobil-mobil yang terparkir rapi.

"Sakura!" teriaknya.

Sasuke seperti kehilangan harapan saat melihat mobil tersebut mulai keluar dari tempat parkir.
Tapi ia tidak menyerah, dia terus mengejarnya hingga ke jalan raya. Matanya mulai berkunang-
kunang, kepalanya terasa sangat berat dan sakit. Tidak mempedulikan kondisinya, Sasuke
berbelok ke arah kanan dimana mobil tersebut pergi. Dia sudah tidak melihat mobil itu lagi, ada
begitu banyak kendaraan yang berlalu lalang di jalan tersebut. Sasuke merasa lututnya lemah,
tidak kuat menopang berat badannya sendiri. nafasnya juga mulai pendek, seluruh tubuhnya
terasa seperti jelly. Lemah, tidak berdaya.

Dan hal terakhir yang bisa di dengar adalah suara Itachi yang terdengar sangat khawatir, "Apa
yang kau lakukan di sini?"

Setelah itu semuanya gelap, tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.

"Mungkin itu hanya halusinasimu saja, Nak," gumam Mikoto dengan air mata yang sudah
membasahi pipinya.

Itachi hanya menatap adiknya prihatin, tidak tahu harus melakukan apa.

"Tapi aku benar-benar melihatnya, Kaa-san. Dia terlihat persis seperti Sakura," bantah Sasuke
karena orangtua dan kakaknya mengira kalau yang dilihatnya hanya sebatas halusinasi belaka.

Kali ini Fugaku angkat bicara, "Mungkin dia orang lain Sasuke," katanya tegas, "kita semua tahu
Sakura sudah tidak ada," lanjutnya dengan sedikit penekanan agar anaknya bisa mengerti dan
mau menerima kenyataaan.
Sasuke tetap keras kepala, ia masih berkeyakinan kalau gadis yang dilihatnya itu memang
Sakura. Sasuke bukannya tidak waras, menganggap orang yang sudah mati bisa hidup kembali.
Tetapi hatinya mengatakan kalau gadis itu benar-benar Sakura, dia sendiri tidak memahami hal
itu. Tapi, ia memilih untuk meyakini apa kata hatinya sekarang. Mungkin masih ada harapan
untuk bertemu Sakura lagi, entah kapan dan dimana. Setidaknya sekarang, dia masih punya
harapan dan tujuan untuk hidup.

"Terserah kalian, mau percaya atau tidak, " geram Sasuke lalu membalik tubuhnya menghadap
dinding, "aku mau tidur," imbuhnya dan mulai memejamkan mata.

Mikoto masih terisak, perlahan Fugaku menarik istrinya untuk keluar dari kamar anaknya.
Begitu juga dengan Itachi.

Setelah menutup pintu kamar Sasuke, Fugaku membawa istrinya dan Itachi ke ruang keluarga.
Setelah memberikan ibunya segelas air, Itachi menanyakan tentang rencana yang pernah
dilontarkan Fugaku beberapa hari yang lalu.

"Jadi… bagaimana dengan rencana Tou-san, apa kita semua jadi pindah?" Itachi menatap
ayahnya serius, dia rencana ini pasti akan ditentang oleh Sasuke.

Fugaku menghela nafas, "Untuk sekarang, sepertinya itu adalah jalan yang terbaik untuk kita,
khususnya bagi Sasuke," ujarnya. Dia sangat prihatin dengan keadaan anaknya sekarang, "Tentu,
anak itu pasti akan menolak keras rencana ini, tapi kita harus tetap melakukannya." Fugaku
menerawang, membayangkan penolakan putra bungsunya. Dia sudah memastikan hal itu, tetapi
hal ini ia lakukan demi anaknya juga. Orang tua mana yang tega melihat anaknya kacau seperti
itu.

Itachi mendesah, "Kita coba saja, mungkin di tempat yang baru Sasuke bisa menemukan
hidupnya kembali," kata Itachi menyetujui rencana ayahnya.

Sedangkan Mikoto hanya mengikuti keinginan suaminya, selama ini demi kebaikan anaknya.
"Aku akan mencoba berbicara pada Sasuke," kata Mikoto pelan, "Tapi, dia pasti akan
menolaknya," tambahnya.

"Kita akan memaksanya," kata Fugaku, "demi kebaikannya sendiri," ujarnya kemudian
meyakinkan istrinya.

Mikoto mengangguk diam, semoga saja langkah yang mereka ambil ini benar. Dia sangat takut,
Sasuke akan lebih terguncang dengan keputusan yang telah dibuat Fugaku. Tetapi semoga saja
dia putra bungsunya itu bisa menerimanya.

Di sisi lain, Sasuke yang mulai masuk ke alam mimpinya bergumam pelan, "Kita akan bertemu
lagi, Sakura," gumamnya, lalu mulai terlelap.

.
.

TBC

Anda mungkin juga menyukai