Anda di halaman 1dari 18

Daftar Isi

Daftar Isi................................................................................................................... i

1. Masalah I ............................................................ Error! Bookmark not defined.

1.1 Identitas Subjek ................................................ Error! Bookmark not defined.

1.2 Kronologis Masalah ......................................... Error! Bookmark not defined.

1.3 Latar Belakang Masalah .................................................................................... 2

1.4 Dampak ke Lingkungan Sekitar ........................................................................ 3

1.5 Gejala Kesehatan Mental yang Ditampilkan..................................................... 3

1.6 Analisis Konseptual .......................................................................................... 5

1.6.1 Agama ............................................................................................................ 5

1.6.2 Penyesuaian Diri ............................................................................................ 6

2. Masalah II............................................................................................................ 8

2.1 Identitas Subjek ................................................................................................. 8

2.2 Kronologis Masalah .......................................................................................... 8

2.3 Latar Belakang Masalah .................................................................................... 9

2.4 Dampak ke Lingkungan Sekitar ...................................................................... 10

2.5 Gejala Kesehatan Mental yang Ditampilkan................................................... 10

2.6 Analisis Konseptual ......................................... Error! Bookmark not defined.

2.6.1 Sosial ............................................................................................................ 11

2.6.2 Penyesuaian Diri .......................................................................................... 13

Daftar Pustaka ....................................................................................................... 17


1. Masalah I : Mudah cemas ketika ditunjuk untuk berbicara di depan umum.

1.1 Identitas Subjek

Inisial : MI

Umur : 21 Tahun

Jenis kelamin : Laki-Laki

1.2 Kronologis Masalah

MI merupakan seorang mahasiswa jurusan Teknik Perkapalan di salah satu

perguruan tinggi negeri di Makassar. MI biasanya berkuliah dari pagi sampai sore

setiap hari senin sampai jumat. MI biasa ditunjuk untuk presentasi dan menjawab

pertanyaan dari dosennya di kelas dan itu membuat MI cemas. MI resah dengan

dirinya yang mudah merasa cemas karena kecemasan yang dialaminya sudah lama

terjadi bahkan semenjak ia masih menginjak bangku Sekolah Dasar.

Pada waktu MI menginjak bangku Sekolah Dasar, ia sangat mudah cemas

ketika ditunjuk untuk menjawab pertanyaan dari gurunya. Salah satu dampak yang

ditimbulkan ketika MI cemas adalah

VTA baru mulai bisa keluar dari masa-masa sulitnya setelah dirinya terus

berusaha berpikir jernih dan kemudian menerima kenyataan. VTA juga mencoba

untuk menyukuri keadaannya dengan memikirkan bahwa masih banyak yang

memiliki masalah yang lebih berat dari dirinya. VTA juga memutuskan untuk

mulai kuliah di universitas yang dilulusi sebelumnya. VTA pun saat ini

menyibukkan dirinya dengan aktivitas perkuliahan. Walaupun motivasinya masih


rendah untuk kuliah namun VTA tetap rajin mengikuti dan mengerjakan tugasnya

di perkuliahan.

1.3 Latar Belakang Masalah

VTA dari dulu bercita-cita ingin masuk IPDN. Orang tuanya juga sangat

mendukung hal tersebut. Berbagai persiapan dilakukan VTA sebelum mengikuti

tes IPDN. Orang tua VTA juga turut membantu selama proses persiapan sampai

proses tes. VTA cukup yakin akan melulusi tes IPDN. Namun setelah mengikuti

beberapa tahapan tes, VTA dinyatakan tidak lulus. Karena harapannya sejak lama

tidak tercapai, VTA pun merasa sedih. VTA juga merasa telah mengecewakan

kedua orang tuanya. Oleh karena itulah aktivitas keseharian VTA mulai terganggu

dan berlangsung selama kurang lebih 2-3 bulan.

1.4 Dampak ke Lingkungan Sekitar

Dampak ke keluarganya adalah komunikasi antara VTA dan keluarganya

terganggu dikarenakan VTA lebih sering menyendiri dan juga merasa malas

berkomunikasi dengan keluarganya.

Dampak ke teman-temannya adalah mereka menjadi memberi atensi lebih ke

VTA dengan sering menemani jalan, menyemangati agar segera bangkit, intens

mendengarkan curhatan dan keluhan VTA, dll.

1.5 Gejala Kesehatan Mental yang Ditampilkan


Hammad (2008) mengemukakan bahwa gejala umum yang sering dialami oleh

penderita gangguan mental dan penyakit mental pada dasarnya diklasifikasikan ke

dalam tiga kondisi, yaitu:

A. Kondisi fisik

Gejala-gejala yang nampak dari kondisi fisik, yaitu suhu badan naik, denyut

nadi menjadi lebih cepat, berkeringat banyak, nafsu makan berkurang, dan

gangguan sistem organ dalam tubuh.

B. Kondisi mental

Gejala-gejala yang nampak dari kondisi mental, yaitu ilusi, halusinasi, obsesi,

kompulsi, phobia, dan delusi.

C. Kondisi emosi

Gejala-gejala yang nampak dari kondisi emosi, yaitu sering merasa sedih,

sering merasa tegang, dan sering merasa girang.

Yusuf (Hammad, 2008) mengemukakan bahwa gejala-gejala gangguan mental,

yaitu mudah tersinggung, memperhatikan diri sendiri secara berlebihan, ego ideal

yang tidak sesuai dengan kenyataan, bersikap kaku dan cemas, suka menyendiri,

bersikap agresif terhadap diri sendiri, memiliki konflik mental, kemampuan

mengatur perasaan dan pikiran berkurang, mudah terpengaruh, kurang memiliki

rasa tanggung jawab, rasa humor berkurang, dan emosi labil.

Hammad (2008) mengemukakan bahwa terdapat dua penyakit mental, salah

satunya yaitu maniak-depresi. Pada tulisan kali ini peneliti hanya akan membahas

depresi. Lubis (2016) mengemukakan bahwa depresi adalah gangguan perasaan

yang ditandai dengan kehilangan kegembiraan disertai dengan gejala lain, seperti
gangguan tidur dan menurunnya selera makan. Trisna (Lubis, 2016)

mengemukakan bahwa depresi adalah perasaan sendu atau sedih yang biasanya

disertai dengan berkurangnya kemampuan gerak dan fungsi tubuh. Semiun (2016)

mengemukakan bahwa simtom-simtom utama depresi adalah sebagai berikut:

A. Perasaan sedih dan putus asa, banyak menangis, mengerang atau

mengeluh, merasa tidak berharga, apatis terhadap keadaan sekitar. Walaupun

rangsangan dari lingkungan kuat, namun individu kesulitan untuk keluar dari

keadaan ini.

B. Kesulitan dalam berpikir, proses pikirannya lambat, dan merasa sulit untuk

melakukan aktivitas berpikir. Individu juga kesulitan untuk berbicara, cara

bicaranya lambat, ragu-ragu untuk berbicara, bahkan tidak mau bicara.

C. Retardasi psikomotor, yaitu individu merasa sulit melakukan aktivitas,

walaupun hanya aktivitas sederhana seperti duduk atau berbaring.

D. Individu mengalami delusi dan halusinasi.

E. Selera makan menurun, sembelit, tekanan darah menurun, menstruasi

berhenti, susah tidur, dll.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan VTA. Gejala kesehatan yang

ditampilkan yaitu sering merasa sedih, suka menyendiri, halusinasi ringan, delusi

ringan, sering merasa tegang, susah tidur, malas berkomunikasi, merasa tidak

berguna, mudah tersinggung, sering merasa cemas, sering memaki diri sendiri,

kesulitan mengatur suasana hati, kesulitan mengatur pikiran, sering mengeluh,

tidak memperdulikan atau memikirkan keadaan sekitar, sulit untuk melakukan

aktivitas berpikir, merasa lelah walaupun hanya melakukan aktivitas ringan.


1.6 Analisis Konseptual

1.6.1 Agama

Leuba (Sururin, 2004) mengemukakan bahwa agama adalah cara bertingkah

laku, sebagai sistem kepercayaan atau sebagai emosi yang bercorak khusus.

Thouless (Sururin, 2004) mengemukakan bahwa agama adalah hubungan praktis

yang dirasakan individu dengan hal yang dianggap sebagai mahkluk atau wujud

yang lebih tinggi dari manusia.

Jalaluddin (2010) mengemukakan bahwa hubungan antara agama dan

kesehatan mental terletak pada sikap penyerahan diri individu terhadap kekuasaan

Yang Maha Tinggi. Sikap tersebut akan memunculkan perasaan positif seperti

rasa bahagia, puas, sukses, merasa dicintai, atau merasa aman. Dalam kondisi

tersebut manusia berada dalam keadaan tenang dan normal.

Sundari (2005) mengemukakan bahwa individu memiliki kebutuhan spiritual,

yaitu kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Sang Maha Ada, Sang Maha

Kuasa. Individu yang menyerahkan diri kepada-Nya dengan kepercayaan masing-

masing niscaya akan mendapatkan ketenteraman. Individu yang mengalami

penderitaan dapat rela menerima kenyataan.

VTA mengalami masa-masa sulit selama 2-3 bulan karena keadaan mental

yang terganggu akibat tidak melulusi tes IPDN. Dalam rentang waktu tersebut

VTA mengalami berbagai gejala-gejala gangguan mental. Dari penjelasan di atas

mengenai hubungan agama dengan kesehatan mental terletak pada penyerahan

diri kepada Tuhan. Individu yang menyerahkan diri kepada Tuhan akan mendapat

ketenteraman. Bagi individu yang mengalami penderitaan dapat menerima


kenyataan. VTA mulai mampu keluar dari masa-masa sulitnya setelah mulai

menyerahkan diri kepada Tuhan.

“Coba buat berpikir jernih, soalnya saya tipe org yang kalau udah sedih sama
down kek udah ga mikir jernih, terus ngerasa kek saya ini orang paling tersedih di
dunia. Padahal tu engga, di luar sana bahkan banyak yang masalahnya lebih besar
daripada saya. dari itulah saya lebih kayak belajar bersyukur, dibawa shalat. Lama
lama yaudah kaya nerima kenyataan walaupun emang pahit.”

“Banyak-banyak sabar aja udah, sama bener-bener nerima takdir sama kenyataan
kalo jalan yang Tuhan kasih emang gini. Gak bisa di lawan. Mungkin saya emang
udah usaha, tapi mungkin Tuhan belum kasih rejeki di saya aja tahun ini.”

VTA semakin mendekatkan diri kepada Tuhan saat dirinya dalam masa-masa

sulit.

“Ga kok. Ibadah ga terganggu. Malah kek ngerasa dapat cobaan kayak gini makin
deketin diri sama Yang di atas. Walaupun saya masih bolong-bolong juga
shalatnya.”

Hal tersebut membuat peraaannya menjadi sedikit lebih baik.

“lumayan kak, agak mendingan perasaan saya”

1.6.2 Penyesuaian Diri

Thorndike dan Hogen (Sundari, 2005) mengemukakan bahwa penyesuaian diri

adalah kemampuan individu untuk mendapatkan ketenteraman secara internal dan

hubungan dengan lingkungan sekitar. Sundari (2005) mengemukakan bahwa

penyesuaian diri adalah kemampuan individu untuk bereaksi karena tuntutan

dalam memenuhi dorongan ataupun kebutuhan, dan mencapai ketenteraman batin

dalam hubungan dengan lingkungan sekitar. Sundari (2005) mengemukakan

bahwa proses penyesuaian diri terus terjadi sepanjang kehidupan. Individu harus

terus menyesuaikan diri untuk mengatasi rintangan, tekanan, dan tantangan untuk
mencapai pribadi yang seimbang. Penyesuaian diri adalah proses menuju

hubungan harmonis antara tuntutan internal dan eksternal.

Penjelasan di atas menyatakan bahwa individu terus menyesuaikan diri setiap

waktu. Individu harus terus menyesuaikan diri agar dapat mengatasi tekanan dan

mendapatkan keseimbangan secara pribadi. VTA setelah mengalami kegagalan

dalam tes IPDN mengalami masalah dalam penyesuaian dirinya. VTA mengalami

kesulitan dalam menyesuaikan dirinya dengan tekanan dari dalam dirinya karena

dirinya tidak melulusi tes IPDN. Oleh karena itu VTA tidak dapat mencapai diri

yang seimbang dan berdampak ke kesehatan mentalnya yang terus mengalami

gangguan dalam rentang waktu 2-3 bulan setelah pengumuman ketidaklulusannya.

Penjelasan di atas juga menyatakan bahwa penyesuaian diri adalah proses

menuju hubungan harmonis antara tuntutan internal dan eksternal. VTA mulai

bisa keluar dari masa-masa sulitnya karena mulai bisa membuat hubungan antara

tuntutan internal dan eksternalnya menjadi lebih harmonis. Hubungan harmonis

antara tuntutan internal dan eksternal yang dimaksudkan adalah VTA mulai bisa

menerima kegagalannya (internal) dan mulai berusaha untuk bangkit (eskternal).

2. Kasus II: Perilaku Menyakiti Diri Sendiri

2.1 Identitas Subjek

Inisial: APT

Umur: 22 tahun

2.2 Kronologis Masalah


Pada saat mengalami masalah APT seringkali melakukan perilaku self injury

untuk menenangkan dirinya. APT pertama kali melakukan perilaku self injury

pada saat dirinya berumur 17 tahun. Pada saat itu APT merasa orang tuanya pilih

kasih dan mengesampingkan APT. Bentuk self injury yang dilakukannya saat itu

adalah menjambak rambutnya sekuat tenaga, sambil berbaring di bawah kolong

kursi. Hal tersebut dilakukan APT untuk menarik perhatian dari keluarganya. APT

terinspirasi melakukan hal tersebut karena melihat dari adegan di film. APT

melihat di film para pelaku self injury akan didengarkan masalahnya oleh orang

disekitarnya. Namun pada nyatanya APT malah dihardik oleh keluarganya.

Setelah melakukan self injury untuk pertama kalinya APT kemudian seringkali

melakukan self injury kembali pada saat mengalami masalah yang membuat

dirinya stress atau frustasi. APT berulang kali melakukan self injury karena APT

merasa sendirian, dan tidak ada tempat untuk menyalurkan masalahnya. Baik itu

orang lain atau kegiatan yang menyibukkan. Ditambah setelah melakukan self

injury APT merasa lega membuat APT sering melakukan self injury.

APT terakhir kali melakukan self injury sekitar tiga minggu sebelum

wawancara penulis dengan APT. Perilaku self injury yang terakhir kali dilakukan

sampai membuat APT harus dirawat di rumah sakit. APT sampai saat ini belum

bisa mengetahui apakah dia akan berhenti melakukan self injruy karena APT

merasa hanya self injury yang membuat dirinya enjoy. APT merasa lebih baik

melakukan self injury daripada dirinya menyentuh obat-obatan terlarang.

2.3 Latar Belakang Masalah


APT merupakan anak ke 2 dari 2 bersaudara. APT sangat dekat dengan

keluarganya. Walaupun dekat dengan keluarga APT tidak terbuka dengan

keluarganya mengenai persoalan pribadinya. APT seringkali hanya berbicara

bersama keluarganya mengenai masalah kuliah, pekerjaan, dan juga posisi APT di

rumah. Posisi di rumah yang dimaksudkan adalah APT selalu mempertanyakan

keadaan dirinya yang masih dianggap belum dewasa, dianggap belum bisa

mengambil keputusan sendiri, masih sering disbanding-bandingkan, dan

perlakuan yang diterimanya dibedakan dari segala aspek. APT selalu merasa

dirinya menerima pilih kasih karena orang tuanya selalu lebih mengedepankan

kakaknya, apalagi pada saat dirinya dihadapkan dengan pilihan yang sama oleh

kakaknya. Persoalan inilah yang membuat APT melakukan self injury untuk

pertama kalinya, yaitu APT merasa adanya pilih kasih yang diterimanya.

APT lebih terbuka mengenai persoalan pribadinya ke teman-teman. APT bisa

bercerita kepada mereka sekitar 10 kali sebulan. APT merasa lega setiap selesai

bercerita ke temannya. Namun tetap saja APT masih merasa teman berceritanya

masih kurang mengerti dengan perasaan dan keadaannya. Makanya APT selalu

merasa sendirian, tidak memiliki sebaik-baiknya teman bercerita, dan kemudian

tidak tau bisa melampiaskan kemana selain self injury. Oleh karena itu APT

semakin terdorong untuk terus melakukan self injury.

2.4 Dampak ke Lingkungan Sekitar

Dampak ke keluarga adalah komunikasi antara keluarganya dan APT

terganggu karena APT lebih sering mengurung diri di kamar. Dampak ke

lingkungan kerja adalah menurunnya peforma kerja dari APT. Dampak ke


lingkungan teman adalah APT menarik diri dari teman-temannya sehingga

kesulitan untuk berinteraksi dengan APT.

2.5 Gejala Kesehatan Mental yang Ditampilkan

Hammad (2008) mengemukakan bahwa gejala umum yang sering dialami oleh

penderita gangguan mental dan penyakit mental pada dasarnya diklasifikasikan ke

dalam tiga kondisi, yaitu:

A. Kondisi Fisik

Gejala-gejala yang nampak dari kondisi fisik, yaitu suhu badan naik, denyut

nadi menjadi lebih cepat, berkeringat banyak, nafsu makan berkurang, dan

gangguan sistem organ dalam tubuh.

B. Kondisi mental

Gejala-gejala yang nampak dari kondisi mental, yaitu ilusi, halusinasi, obsesi,

kompulsi, phobia, dan delusi.

C. Kondisi emosi

Gejala-gejala yang nampak dari kondisi emosi, yaitu sering merasa sedih,

sering merasa tegang, dan sering merasa girang.

Yusuf (Hammad, 2008) mengemukakan bahwa gejala-gejala gangguan mental,

yaitu mudah tersinggung, memperhatikan diri sendiri secara berlebihan, ego ideal

yang tidak sesuai dengan kenyataan, bersikap kaku dan cemas, suka menyendiri,

bersikap agresif terhadap diri sendiri, memiliki konflik mental, kemampuan

mengatur perasaan dan pikiran berkurang, mudah terpengaruh, kurang memiliki

rasa tanggung jawab, rasa humor berkurang, dan emosi labil.


Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan APT gejala kesehatan mental

yang ditampilkan yaitu mudah tersinggung, sering cemas, suka menyendiri,

bersikap agresif kepada diri sendiri, kesulitan mengatur perasaan dan pikiran,

mudah terpengaruh, suhu badan sering naik, sering berkeringat banyak, nafsu

makan sering berkurang, sering merasa sedih, sering merasa tegang (susah tidur),

sering tiba-tiba merasa girang.

2.6 Analisis Konseptual

2.6.1 Sosial

Notosoedirjo dan Latipun (2005) mengemukakan bahwa lingkungan sosial

sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan mental. Lingkungan sosial tertentu

dapat menopang bagi kuatnya kesehatan mental sehingga membentuk kesehatan

mental yang positif, namun pada aspek lain kehidupan sosial itu dapat pula

menjadi stressor yang dapat mengganggu kesehatan mental. Aspek sosial yang

dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental, yaitu sebagai berikut:

A. Stratifikasi sosial

Masyarakat tentunya terbagi berdasarkan kelompok-kelompok tertentu.

Pengelompokan di masyarakat dapat dilakukan secara demografis, yaitu dari segi

jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, dan status sosial. Stratifikasi sosial ini

dapat memengaruhi kondisi kesehatan mental individu. Contohnya yaitu kaum

minoritas cenderung mengalami gangguan mental daripada kaum mayoritas. Pada

aspek ini APT merasa terkucilkan karena perbedaan usia dengan keluarganya.

B. Interaksi sosial
Ada dua pandangan mengenai hubungan interaksi sosial dengan kesehatan

mental. Pertama teori psikodinamik mengemukakan bahwa individu yang

mengalami gangguan kesehatan mental dapat mengakibatkan berkurangnya

interaksi sosial. Kedua adalah bahwa rendahnya interaksi sosial yang

menyebabkan terjadi gangguan kesehatan mental. Dalam aspek ini APT dapat

memenuhi kedua pandangan di atas. APT pada saat mengalami permasalahan

mental interaksi sosialnya berkurang. Rendahnya interaksi sosial juga

menyebabkan APT mengalami gangguan kesehatan mental, karena APT merasa

sendirian dan tidak ada tempat bercerita.

C. Keluarga

Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampu membuat lingkungan yang

seimbang akan dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota keluarganya,

dan juga dapat meningkatkan ketahanan dari hal-hal yang menyebabkan

terjadinya gangguan kesehatan mental. Dalam aspek ini APT tidak mendapatkan

fungsional keluarga dalam hal berbagi cerita. APT tidak mampu terbuka mengenai

permasalahan pribadinya ke keluarganya.

D. Perubahan sosial

Terdapat dua kemungkinan hubungan antara perubahan sosial dan kesehatan

mental. Pertama perubahan sosial yang sesuai dengan harapan dapat

meningkatkan kesehatan mental masyarakat. Kedua perubahan sosial yang tidak

sesuai dengan harapan dapat menyebabkan masyarakat tidak dapat menyesuaikan

terhadap perubahan dan kemudian berdampak kepada gangguan pada kesehatan

mental. Dalam aspek ini tidak banyak berpengaruh terhadap APT.


E. Sosial budaya

Sosial budaya memiliki makna yang luas. Namun konteks budaya yang

dimaksudkan adalah pada aspek nilai, norma, dan religiusitas dan segenap

aspeknya. Kebudayaan pada prinsipnya memberikan aturan terhadap anggota

masyarakatnya. Hal yang seharusnya dilakukan, dapat dilakukan, atau tidak dapat

dilakukan telah diatur. Tindakan yang bertentangan dengan system budaya

kemudian akan dipandang sebagai penyimpangan, dan bahkan dapat

menimbulkan gangguan mental. Dalam aspek ini tidak berpengaruh banyak

kepada APT.

F. Stressor psikososial lainnya

Situasi dan kondisi peran sosial sehari-hari dapat menjadi masalah atau sesuatu

yang tidak dikehendaki. Stressor psikososial secara umum dapat menimbulkan

efek negatif bagi yang mengalaminya. Kondisi sosial masyarakat memengaruhi

variasi stressor psikososial. Dalam aspek ini kondisi peran sosial yang diterima

APT menimbulkan efek negatif bagi dirinya. APT terhambat dalam menerima

peran sosialnya sebagai adik. Sebagai adik, dia merasa perlakuan yang

diterimanya tidak adil karena berbeda dari yang diterima kakaknya

2.6.2 Penyesuaian diri

Thorndike dan Hogen (Sundari, 2005) mengemukakan bahwa penyesuaian diri

adalah kemampuan individu untuk mendapatkan ketenteraman secara internal dan

hubungan dengan lingkungan sekitar. Sundari (2005) mengemukakan bahwa

penyesuaian diri adalah kemampuan individu untuk bereaksi karena tuntutan

dalam memenuhi dorongan ataupun kebutuhan, dan mencapai ketenteraman batin


dalam hubungan dengan lingkungan sekitar. Sundari (2005) mengemukakan

bahwa proses penyesuaian diri terus terjadi sepanjang kehidupan. Individu harus

terus menyesuaikan diri untuk mengatasi rintangan, tekanan, dan tantangan untuk

mencapai pribadi yang seimbang.

Dalam hal ini APT terhambat dalam penyesuain dirinya. APT kesulitan untuk

menyesuaikan diri menghadapi permasalahan di dalam dirinya. APT terhambat

dalam menyesuaikan diri dengan tekanan yang diterima dari masalah-masalah

yang dialaminya. Salah satunya adalah pada saat APT merasa dirinya menerima

perlakuan pilih kasih.

Sundari (2005) mengemukakan bahwa terdapat beberapa macam penyesuaian

diri, yaitu penyesuaian terhadap keluarga, penyesuaian terhadap sosial,

penyesuaian terhadap sekolah, penyesuaian terhadap perguruan tinggi,

penyesuaian terhadap jabatan, penyesuaian terhadap perkawinan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan APT penulis beranggapan bahwa APT

mengalami hambatan dalam penyesuaian diri terhadap keluarga. Sundari (2005)

mengemukakan bahwa terdapat beberapa usaha penyesuaian diri di dalam

keluarga, yaitu:

A. Memiliki relasi yang sehat dengan segenap anggota keluarga. Pada aspek

ini APT memiliki relasi yang baik dalam berbagai aspek dengan keluarga.

B. Memiliki solidaritas dan loyalitas keluarga serta membantu usaha keluarga

dalam mencapai tujuan tertetu. Pada aspek ini APT dididik dengan baik oleh

keluarganya dalam aspek pendidikan. Sejauh ini APT terus menjalankan


pendidikannya agar memenuhi tujuan orangtuanya agar APT dapat menjadi

individu yang berpendidikan.

C. Memiliki kesadaran adanya emansipasi secara bertahap serta kemerdekaan

dalam taraf kedewasaan. APT mengalami hambatan dalam aspek memiliki

kedasaran adanya emansipasi secara bertahap serta kemerdekaan dalam taraf

kedewasaan. APT merasa selalu menerima pilih kasih. APT beranggapan bahwa

kakaknya selalu dikedepankan. APT merasa seharusnya sudah menerima

emansipasi dalam tahap setara dengan kakaknya. Namun orang tuanya tidak

memperlakukannya seperti itu. Oleh karena itu APT mengalami hambatan dalam

penyesuaian dengan keluarganya.

D. Memiliki kesadaran adanya otoritas orang tua. Pada aspek ini APT

cenderung kurang menyesuaikan diri dengan otoritas orang tua. APT selalu

mempertanyakan posisinya di rumah.

E. Memiliki kesadaran bertanggung jawab menjalankan aturan-aturan

larangan secara disiplin. Pada aspek ini APT tetap disiplin tidak melanggar

aturan-aturan di dalam keluarga.

Berdasarkan pemaparan di atas APT terhambat dalam beberapa aspek

penyesuaian diri. Dampaknya kemudian tidak berhasil melakukan penyesuaian

diri yang positif. Sundari (2005) mengemukakan bahwa bentuk penyesuaian diri

yang positif adalah sebagai berikut:

A. Tidak adanya ketegangan emosi, bila menghadapi masalah emosinya tetap

tenang, tidak panik, sehingga dalam memecahkan masalah dengan menggunakan

rasio dan emosi yang terkendali. Pada aspek ini APT menghadapi masalah dengan
keadaan tidak tenang, panik, dan pemecahan masalahannya menggunakan emosi

yang tidak terkendali.

B. Dalam memecahkan masalah tidak menggunakan mekanisme psikologis

baik mekanisme pertahanan diri maupun mekanisme pelarian, melainkan

berdasarkan pertimbangan rasional, mengarah dari masalah yang dihadapi secara

langsung dengan segala akibatnya. Pada aspek ini APT menggunakan pemecahan

masalah dengan cara mekanisme pelarian. APT melakukan tindakan self injury

untuk menyelesaikan permasalahan di dalam dirinya dahulu. APT tidak

melakukan penyelesaian secara langsung terhadap masalah.

C. Dalam memecahkan masalah bersikap realistis dan objektif. Apapun yang

dihadapi secara wajar, tidak menjadi frustasi, konflik ataupun kecemasan. Pada

aspek ini APT dalam memecahkan masalah seringkali menjadi frustasi dan cemas.

D. Mampu belajar ilmu pengetahuan yang digunakan untuk membantu

menghadapi timbulnya masalah. Pada aspek ini APT hanya mencoba membaca

cerita fiksi yang sejalan dengan masalahnya.

F. Dalam menghadapi masalah butuh kesanggupan untuk membandingkan

pengalaman diri dan pengalaman orang lain. Dalam aspek ini APT tidak

membanding-bandingkan masalah yang dialaminya dengan masalah orang lain.

Daftar Pustaka
Lubis, N.L. (2016) Depresi: Tinjauan Psikologi. Jakarta: Kencana.
Semiun, Y. (2006) Kesehatan Mental 3. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Hammad, A.E. (2008) Kesehatan Mental Orang Dewasa. Jakarta: Restu Agung.
Sundari, S. (2005) Kesehatan Mental Dalam Kehidupan. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Sururin (2004) Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Jalaluddin (2010) Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Notosoedirjo & Latipun. (2005). Kesehatan Mental, Konsep, dan Penerapan.
Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai