Anda di halaman 1dari 25

SEJARAH EKONOMI ISLAM

Ekonomi Syariah adalah ekonomi yang berdasarkan dengan ketentuan syariah. Lahirnya ekonomi
syariah ini bermula ketika Rasulullah SAW melakukan aktifitas perdagangannya, yaitu ketika berusia
sekitar 16 - 17 Tahun. Rasulullah SAW ketika itu melakukan perdagangan disekitar masjidil haram
dengan sistem murabahah, yaitu jual beli yang harga pokoknya diinformasikan dan marginnya dapat
dinegosiasikan.

Rasulullah SAW memulai aktifitas perdagangan karena pada saat itu perekonomian Abu Thalib
mengalami kesulitan. Ketika Rasulullah SAW berusia 20-an, Rasulullah SAW memulai bisnis kongsi
dagang (bermusyarokah) dengan Khodijah. Bisnis Rasulullah SAW berkembang dengan pesat, sampai
- sampai Rasulullah SAW dapat memberikan mahar kepada Khodijah sebesar 100 ekor unta merah
(pada saat itu unta merah adalah kendaraan termahal).

Pada sejarah ini, hal yang kita dapat pelajaran dari hal ini adalah :

1. Akad - akad syariah telah ada ketika Rasulullah SAW belum diangkat menjadi Nabi dan Rasul.

2. Sistem Ekonomi Syariah baru ada ketika Rasulullah SAW diangkat menjadi Nabi dan Rasul.

Akad - akad syariah seperti Murabahah, Mudharabah, Musyarokah, Salam, Istisna, dan Ijaroh telah
ada dan biasa dilakukan oleh Bangsa Arab ketika itu karena memang mereka melakukan perdagangan
sebagaimana di jabarkan dalam Al-quran dalam Surat Quraisy.

Macam-macam Akad :

Konsep Akad

Akad secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dari segi
bahasa, akad adalah segala sesuatu yang dikerjakan seseorang berdasarkan keinginan sendiri.
Pengertian secara khusus adalah perikatan yang ditetapkan dengan ijab dan qabul berdasarkan
ketentuan syara yang berdampak pada objeknya. Jadi akad dapat disimpulkan adalah suatu yang
sengaja dilakukan oleh kedua belah pihak berdasarkan persetujuan masing-masing.[1]

Aspek legalitas pelaku muamalah (transaksi) dalam ber akad harus memenuhi ketentuan akad itu
sendiri yang memenuhi rukun dan syarat akad seperti :

Rukun : adanya penjual, pembeli, barang, harga dan ijab kabul.

Syarat : barang dan jasa harus halal, harga harus jelas, tempat penyerahan harus jelas, barang yang
ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan.[2]

Landasan dalam ber akad adalah keridaan[3] sebagaimana di sebutkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa
ayat 29

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka
di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.
Konsekuensi hukum dari suatu akad adalah :

Terjadi perpindahan hak dan kewajiban dari para pihak (timbal balik)
Terjadi Perpindahan kepemilikan dari satu pihak kepada pihak lain

Berubahnya status hukum ( Dari Haram menjadi Halal).[4]

Akad dibagi menjadi beberapa jenis, yang setiap jenisnya sangat bergantung pada sudut pandangnya.
Jenis akad tersebut adalah :

Berdasarkan pemenuhuan syarat dan rukun, seperti sah atau tidak sahnya suatu akad.

Berdasarkan apakah syara’ telah memberi nama atau belum, seperti contoh akad yang telah dinamai
syara’, seperti jual-beli, hibah, gadai dan lain-lain. Sedangkan akad yang belum dinamai syara’, tetapi
disesuaikan dengan perkembangan jaman.

Berdasarkan barang diserahkan atau tidak , ( dibaca: zatnya), baik berupa benda yang berwujud
(al-‘ain) maupun tidak berwujud ( ghair al-‘ain).[5]

Akad-Akad Transaksi Syariah

Islam merumuskan suatu sitem ekonomi yang sama sekali berbeda dengan sistem ekonomi lain, yang
selama ini kita kenal. Hal ini karena ekonomi Islam memiliki akar dari Syariah yang menjadi sumber
dan panduan bagi setiap muslim dalam melaksanakan aktivitasnya. Dari dasar tersebut, maka sistem
ekonomi syariah dalam membangun jaringan transaksinya yang disebut “akad-akad syariah” memiliki
suatu standar istilah yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis.[6]

Dalam transaksi lembaga keuangan syariah, khususnya perbangkan syariah ada dua jenis yang dikenal
yaitu :

Tabungan/penghimpun dana (Funding), seperti Wadiah dan Mudharobah,

– Wadi’ah artinya Titipan, dalam terminologi, artinya menitipkan barang kepada orang lain tanpa ada
upah. Jika Bank meminta imbalan (ujrah) atau mensyaratkan upah, maka akad berubah
menjadi ijaroh. Pada bank Syariah seperti Giro berdasarkan prinsif wadi’ah

– Mudharobah adalah Kerja sama antara dua pihak di mana yang satu sebagai penyandang dana
(shohib al-maal) dan yang kedua sebagai pengusaha (mudhorib) sementara keuntungan dibagi
bersama sesuai nisbah yang disepakati dan kerugian finansial ditanggung pihak penyandang
dana.[7] Dalam bank syariah seperti Tabungan maunpun Deposito berdasarkan prinsip mudharobah

Pembiayaan/Penyaluran dana (Financing), pembiayaan ini dikelompokkan menjadi 4 yaitu :

berbasis jual beli (al- bay) seperti murabahan, salam dan istishna. Murabahahadalah jual beli
barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati,

Salam adalah pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sementara


pembayarannya dilakukan di muka.[8]

Istishna, adalah merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as-salam yang merupakan akad
penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam akad ini pembuat barang menerima pesanan
dari pembeli, pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang
menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir.[9]
Berbasis bagi hasil (syirkah) seperti mudharobah, dan musyarokah

Mudharobah, adalah akad antara pihak pemilik modal (shahibul mal) dengan pengelola (mudharib)
untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan.[10]

Musyarokah, adalah perjanjian (akad) antara dua pihak atau lebih dalam suatu usaha tertentu, yaitu
masing-masing pihak akan memberikan kontribusi berdasarkan kesepakatan, misalnya : kalau adaa
keuntungan atau kerugian masing-masing pihak mendapat margin dan menangung risiko
bersama.[11]

Berbasis Sewa Menyewa, seperti Ijarah dan Ijarah Muntahiiyah Bit-Tamlik

Ijarah adalah, pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk memiliki suatu
barang/jasa dengan kewajiban menyewa barang tersebut sampai jangka waktu tertentu sesuai
dengan kesepakatan akad. Atau kata istilah lain akad untuk mendapatkan manfaat dengan
pembayaran.[12] Aplikasinya dalam perbankan berupa leasing

Ijarah Muntahiiyah Bit-Tamlik, adalah akad sewa menyewa barang antara bank dengan penyewa
yang diikuti janji bahwa pada saat ditentukan kepemilikan barang sewaan akan berpindah kepada
penyewa, ringkasnya adalah Sewa yang berakhir dengan kepemilikan.[13]

Berbasis Upah/Jasa Pelayanan, seperti Kafalah, Wakalah, Hiwalah, Rahn dan

Kafalah adalah yaitu jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul ‘anhu, ashil). Dalam produk
perbankan kafalah dipakai untuk LC, Bank guarantee dll.

Wakalah yaitu pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh
diwakilkan. Dalam perbankan wakalah biasanya dengan upah (ujroh) dan dipakai dalam fee based
income seperti pembayaran rekening listrik, telpon dll.

Hiwalah yaitu akad pengalihan hutang dari satu pihak yang berhutang kepada pihak lain yang wajib
menanggung (membayar)-nya. Dalam industri perbankan hawalah dengan upah (fee, ujroh)
dipergunakan untuk pengalihan utang dan bisa juga untuk LC.[14]

Rahn (gadai) yaitu adalah menyimpan sementara harta milik si peminjam sebagai jaminan atas
pinjaman yang diberikan oleh si piutang, perbedaan gadai syariah dengan kpnvensional adalah hal
pengenaan bunga. Gadai Syariah menerapkan beberapa sistem pembiayaan, antara lain qardhun
hasan (pinjaman kebajikan), mudharobah ( bagi hasil) dan muqayyadah ( jual beli).[15]
Jualah, yaitu jasa pelayanan pesanan/permintaan tertentu dari nasabah, misalnya untuk pemesanan
tiket pesawat atau barang dengan menggunakan kartu debit/cek/transfer. Atas jasa pelayanan ini
bank memperoleh fee.[16]

Selain di dunia perbankan, akad juga dikenal dalam perasuransian syariah atau dikenal dengan akad
takaful, yaitu akad dimana saling menanggung. Para peserta asuransi takaful memiliki rasa tanggung
jawab bersama untuk membantu dan menolong peserta lain yang mengalami musibah atau kerugian
dengan niat ikhlas, karena memikul tanggung jawab dengan niat ikhlas adalah ibadah.[1
Pengertian dan Dasar Hukum Akad. Akad menurut bahasa artinya ikatan atau persetujuan, sedangkan
menurut istilah akad adalah transaksi atau kesepakatan antara seseorang (yang menyerahkan) dengan
orang lain (yang menerima) untuk pelaksanaan suatu perbuatan. Contohnya : akad jual beli, akad sewa
menyewa, akad pernikahan.
ُ ُْ ُ ْ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ َ
Dasar hukum dilakukannya akad adalah : ‫ود‬ ِ ‫“ يا أيها ال ِذين آمنوا أوفوا ِبالعق‬Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Maidah : 1)

Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami bahwa melakukan isi perjanjian atau akad itu hukumnya
wajib.

Rukun Akad dan Syarat Akad.

Rukun Akad. Adapun rukun akad adalah :

a. Dua orang atau lebih yang melakukan akad (transaksi) disebut Aqidain.

b. Sighat (Ijab dan Qabul).

c. Ma’qud ‘alaih (sesuatu yang diakadkan).

Syarat Akad. Sementara itu syarat akad adalah sebagai berikut :

a. Syarat orang yang bertransaksi antara lain : berakal, baligh, mumayis dan orang yang dibenarkan
secara hukum untuk melakukan akad.

b. Syarat barang yang diakadkan antara lain : bersih, dapat dimanfaatkan, milik orang yang melakukan
akad dan barang itu diketahui keberadaannya.

c. Syarat sighat: dilakukan dalam satu majlis, ijab dan qabul harus ucapan yang bersambung, ijab dan
qabul merupakan pemindahan hak dan tanggung jawab.

Macam-macam Akad. Ada beberapa macam akad, antara lain:

a. Akad lisan, yaitu akad yang dilakukan dengan cara pengucapan lisan.

b. Akad tulisan, yaitu akad yang dilakukan secara tertulis, seperti perjanjian pada kertas bersegel atau
akad yang melalui akta notaris.

c. Akad perantara utusan (wakil), yaitu akad yang dilakukan dengan melalui utusan atau wakil kepada
orang lain agar bertindak atas nama pemberi mandat.

d. Akad isyarat, yaitu akad yang dilakukan dengan isyarat atau kode tertentu.

e. Akad Ta’at (saling memberikan), akad yang sudah berjalan secara umum. Contoh: beli makan di
warung, harga dan pembayaran dihitung pembeli tanpa tawar menawar.

Hikmah Akad. Ada beberapa hikmah dengan disyariatkannya akad dalam muamalah, antara lain:

a. Munculnya pertanggung jawaban moral dan material.

b. Timbulnya rasa ketentraman dan kepuasan dari kedua belah pihak.

c. Terhindarnya perselisihan dari kedua belah pihak.

d. Terhindar dari pemilikan harta secara tidak sah. e. Status kepemilikan terhadap harta menjadi jelas.
Berakhirnya Akad dalam Islam
1. Berakhirnya akad karena fasakh (pembatalan), pembatalan akad kadang terjadi secara total, dalam
arti mengabaikan apa yang sudah disepakati, seperti dalam khiyar, dan kadang-kadang dengan
menetapkan batas waktu ke depan, seperti dalam ijarah (sewa-menyewa) dan ‘iarah (pinjaman) dan
inilah arti fasakh dalam pengertian yang umum. pembatalan dalam akad ghair lazimah terjadi
karena watak akadnya itu sendiri, baik akadnya dilakukan oleh dua pihak, maupun satu pihak. adapun
pembatalan (fasakh) dalam akad-akad lazimah terdapat beberapa bentuk :

a. Fasakh karena akadnya rusak

b. Fasakh (batal) karena khiyar

c. Fasakh (batal) karena iqalah

d. Fasakh (batal) karena tidak bisa dilaksanakan

e. Fasakh (batal) karena habisnya masa yang disebutkan dalam akad atau karena tujuan akad telah
terwujud.

2. Berakhirnya akad karena kematian, akad bisa fasakh (batal) karena meninggalnya salah satu pihak
yang melakukan akad. diantara akad yang berakhir karena meninggalnya salah satu dari dua pihak
adalah sebagai berikut :

a. Ijarah (sewa-menyewa), berakhir karena meninggalnya salah satu pihak yang melakukan akad,
meskipun akad ini termasuk akad yang lazim (mengikat) yang dilakukan oleh dua pihak. alasan mereka
adalah bahwa orang yang menyewa memiliki manfaat sejat terjadinya akad dengan sedikit demi
sedikit. maka manfaat yang tersisa setelah meninggalnya salah satu pihak bukan miliknya lagi,
sehingga dengan demikian akad sudah berakhir dan tidak boleh dilanjutkan lagi.

b. Kafalah (jaminan), kafalah ada dua macam, yaitu kafalah (jaminan) terhadap harta dan kafalah
(jaminan) terhadap jiwa. dari kedua jenis kifalah tersebut, kafalah bin nafs dapat batal karena
mninggalnya ashil atau meninggalnya penjamin (kafil).

c. syirkah dan wakalah termasuk akad ghair lazim yang dilakukan oleh dua pihak. kedua akad tersebut
berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak yang melakukan akad.

d. Muzara’ah dan musaqah, apabila pemilik lahan meninggal sebelum tanaman matang untuk di
panen maka tanaman tetap pada penggarapnya sampai setelah dipanen.

3. Berakhirnya Akad karena tidak ada izin dalam akad mauquf, akad yang mauquf (ditangguhkan)
dapat berakhir apabila orang yang berhak tidak memberikanpersetujuannya.

Bukan hanya akad - akad yang syariah saja yang ada, akan tetapi juga akad - akad yang dilarang syariah
pun juga dilakukan oleh mereka seperti mengambil riba, penipuan, dan perjudian. Sebagaimana dalam
benak mereka, ketika mereka melakukan praktik riba mereka beranggapan
Syarat-syarat akad, secara global syarat dilihat dari sumbernya terbagi kepada dua bagian :
1. syarat syar’i, yaitu suatu syarat yang ditetapkan oleh syara’, yang harus ada untuk bisa
terwujudnya suatu akad.
2. syarat ja’li, syarat yang ditetapkan oleh orang yang berakad sesuai dengan kehendaknya,
untuk mewujudkan suatu maksud tertentu dari suatu akad . syarat tersebut bisa berbarengan
dengan akad, atau digantungkan(dikaitkan) dengan akad seperti mengaitkan kafalah dengan
talak.

Berikut syarat-syarat dalam suatu akad :


1. Syarat In’iqad, adalah sesuatu yang disyaratkan terwujudnya untuk menjadikan suatu kad
dalam zatnya sah menurut syara’. apabila syarat tidak terwujud maka akad menjadi batal.
syarat ini ada dua macam yaitu : (a) syarat umum, yaitu syarat yang harus dipenuhi dalam
setiap akad, (b) syarat khusus, yaitu syarat yang dipenuhi dalam sebagian akad, bukan dalam
akad lainnya. contohnya akad syarat saksi dalam akad nikah.

2. Syarat Sah, adalah syarat yang ditetapkan oleh syara’ untuk timbulnya akibat-akibat hukum
dari suatu akad. apabila syarat tersebut tidak ada maka akadnya menjadi fasid, tetapi tetap
sah dan eksis. contohnya seperti dalam jual beli disyaratkan oleh Hanafiah, terbebas dari
salah satu ‘aib (cacat) yang enam, yaitu : (1) jahalah (ketidakjelasan), (2) ikrah (paksaan),
(3) tauqid(pembatasan waktu), (4) gharar (tipuan/ketidakpastian), (5) dharar, (6) syarat
yang fasid.

3. Syarat Nafadz (kelangsungan akad), untuk kelangsungan akad diperlukan dua syarat :
a. adanya kepemilikan atau kekuasaan. artinya orang yang melakukan akad harus pemilik
barang yang menjadi objek akad, atau mempunyai kekuasaan (perwakilan). apabila tidak ada
kepemilikan dan tidak ada kekuasaan (perwakilan), maka akad tidak bisa dilangsungkan,
melainkan mauquf (ditangguhkan), bahkan menurut Asy-syafi’i dan ahmad akad yang sedang
dilangsungkan batal.
b. di dalan objek akad tidak ada hak orang lain. apabila di dalam barang yang menjadi objek
akad terdapat hak orang lain, maka akadnya mauquf tidak nahfidz. hak orang lain tersebut
ada tiga macam yaitu : (1) hak orang lain tersebut berkaitan dengan jenis barang yang
menjadi objek akad, seperti menjual barang milik orang lain, (2) hak tersebut berkaitan
dengan nilai harta yang menjadi objek akad, seperti tasarruf orang yang pailit yang belum
dinyatakan mahjur ‘alaih terhadap hartanya yang mengakibatkan kerugian para kreditor, dan
(3) hal tersebut berkaitan dengan kemaslahatan si aqid, bukan dengan barang yang menjadi
objek akad. seperti tasarruf orang yang memiliki ahliyatul ada yang tidak sempurna yang tidak
dinyatakan mahjur ‘alaih.
4. Syarat Luzum, pada dasarnya setiap akad itu sifatnya mengikat (lazim). untuk mengiktnya
suatu akad seperti jual beli dan ijarah disyaratkan tidak adanya kesempatan khiyar yang
memungkinkan di fasakh-nya akad oleh salah satu pihak. apabila di dalan akad tersebut
terdapat khiyar, seperti khiyar syarat, khiyar aib, atau khiyar ru’yat maka akad tersebut tidak
mengikat bagi orang yang memiliki hak khiyar tersebut. dalam kondisi seperti itu ia boleh
membatalkan akad ataupun menerimanya.

Macam-macam akad, akad dapat dibagi kepada berharap bagian dengan menjauhnya dari
beberapa segi. peninjauan tersebut antar lain :
1. Segi hukum dan sifatnya, menurut jumhur ulama terbagi kepada dua bagian
a. akad shahih, timbulnya akibat hukum secara spontan antar kedua belah pihak yang
melakukan akad, yakni hak dan kewajiban sebagai contoh, jual beli yang dilakukan oleh
orang-orang yang memiliki ahliyatul ada yang sempurna, dengan objek mal
mutaqawwin untuk tujuan yang dibenarkan oleh syara’, menimbulkan akibat hukum berupa
tetapnya hak milik atas barang yang dijual bagi pembeli dan uang harga barang bagi penjual.

b. akad ghair shahih, suatu akad rukun dan syaratnya tidak terpenuhi. misalnya jual beli yang
dilakukan oleh anak di bawah umur, atau jual beli babi, dan minuman keras. dilihat dari aspek
hukumnya akad ghair shahih ini tidak menimbulkan akibat hukum, yakni tidak ada hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak, sebagai akibat dari akad tersebut.

2. Segi maksud dan tujuannya, akad dibagi pada tujuh tujuan yaitu :
a. akad At-tamlikat, yaitu suatu akad yang dimaksudkan untuk memiliki suatu benda baik jenis
nya maupun manfaatnya. apabila pemilikan tersebut dengan imbalan maka akadnya
disebut akad mu’awadhah, seperti jual beli, ijarah, shulh (perdamaian), istisnha, dan lain-
lainnya, yang didalamnya terdapat mu’awadhah antara dua pihak. apabila pemilikan
terjadi tanpa imbalan (i’wadh) maka akadnya disebut akad tabarru’, seperti hibah, shadaqah,
wakaf, i’arah dan hiwalah.

b. akad isqathat, yang dimaksudkan untuk menggugurkan suatu hak, baik dengan pengganti
maupun tanpa pengganti. apabila isqath (pengguguran) dilakukan tanpa penggantian dari
pihak lain, maka akadnya disebut “al-isqath al mahdh” atau pengguguran murni, seperti talak
tanpa imbalan mal.
c. akad ithlaqat, yaitu dilepaskan oleh seseorang kepada tangan dalam mengerjakan suatu
pekerjaan.

d. At-taqyidat, yaitu akad yang membatasi atau mencegah seseorang untuk


melakukan tasarruf, seperti pemberhentian sebagai hakim atau pejabat.

e. at-tautsiqat atau at-ta’minat atau ‘uqud adh-dhaman, yaitu suatu akad yang dimaksudkan
untuk menanggung utang bagi pemiliknya, dan mengamankan orang yang memiliki piutang
atas utangnya, yaitu akad kafalah, hiwalah, dan rahm (gadai).

f. Al-isytirak, suatu akad yang dimaksudkan untuk bekerja sama dalam pekerjaan dan
keuntungan, seperti akad syirkah dengan berbagai jenisnya, akad mudharabah, muzara’ah
dan musaqah.

g. Al-hifzhu, suatu akad yang dimaksudkan untuk menjaga dan memelihara harta bagi
pemiliknya, seperti akad wadi’ah (penitipan).

bahwa mereka sedang Taqarub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT, ketika mereka melakukan
perjudian anggapan mereka adalah kedermawanan.

Pada saat itulah telah terjadi misinterpersepsi masyarakat yang sangat jauh dari nilai kebenaran (kalau
kita amati pada zaman sekarang, sepertinya gejala seperti ini mulai ada). Anggapan - anggapan yang
salah dianggap benar dan yang benar dianggap salah.

Pada saat kesimpangsiuran persepsi manusia kian membuncah maka pada saat itulah Islam
memberikan pencerahan kembali dan mengembalikan semua itu pada tempat awalnya, seperti Riba
yang dianggap Taqarub kepada Allah maka Allah SWT balas dengan Riba itu tidak menambah apapun
disisi Allah SWT, dan bahkan dikatakan dalam Alquran surat Al - baqoroh ayat 275 - 279 orang - orang
yang memakan riba seperti orang yang kerasukan dan bahkan dianggap mengajak perang kepada Allah
dan Rasul-Nya.

Inilah yang menjadi dasar dalam praktik muamalah yaitu berawal dari yang mubah kecuali kalau ada
larangannya. Segala sesuatu dalam muamalah itu adalah boleh kecuali ada dalil pelarangannya dan
yang dilarang itu hanya sedikit sedangkan yang halal itu banyak.
Sejarah Pemikiran Ekonomi Dalam Islam.
Pada pembahasan sebelumnya dijelaskan bahwa ekonomi Islam merupakan derivasi dari Islam dan
bagian integral daripada Islam itu sendiri. Oleh karena itu, sejatinya pemikiran ekonomi Islam tidaklah
pernah lepas dari sumber nilai dan dasar hukum Islam yakni Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Perkembangan pemikiran ekonomi Islam dimulai dari diturunkannya ayat-ayat tentang ekonomi
dalam Al-Qur’an, seperti : QS. Al-Baqarah: 275 tentang jual beli dan riba; QS. Al-Baqarah: 282 tentang
pembukuan transakso; QS. Al-Maidah: 1 tentang akad; QS. Al-A’raf: 31, QS. An-Nisa’: 5 dan 10 tentang
pengaturan pencarian, penitipan dan membelanjakan harta. Dali-dalil pada ayat tersebut
menunjukkan bahwa Islam sudah memberikan ketetapan-ketetapan pokok ekonomi sejak masa
Rasulullah SAW (pensyariatan Islam) dan dilanjutkan secara metodis oleh para penggantinya
(Khulafaur Rasyidin). Sampai saat ini, perkembangan pemikiran ekonomi Islam masih terus berlanjut
yang dipelopori oleh beberapa Ulama, cendekiawan, pemikir maupun intelektual Muslim. Meskipun
pada saat ini, masih ada beberapa permasalahan seperti belum variatifnya teori-teori yang lahir,
komitmen dan konsistensi dalam realisasi visi Islam melalui ekonomi untuk mewujudkan Islam yang
rahmatan lil ‘alamin dan permasalahan lainnya.

Perkembangan pemikiran ekonomi Islam sampai sejauh ini, sudah memasuki tahap yang cukup baik
meskipun juga pernah mengalami pasang surut seperti halnya Islam yang juga mengalami
perkembangan yang pasang surut setelah sempat menikmati masa kejaannya. Para pakar juga telah
mengklasifikasikan beberapa fase dalam perkembangan ekonomi Islam dimana dari setiap fase
memperlihatkan beberapa tokoh dengan pemikirannya yang sanggup menandai zaman dengan
sumbangsihnya terhadap perkembangan pemikiran ekonomi Islam. Sudarsono telah membagi
perkembangan pemikiran ekonomi Islam dalam 6 fase (tahapan) sejak masa Rasulullah SAW.
Sebagaimana berikut:

REPORT THIS AD
1. Tahap Pertama (632-656 M)

Tahap atau fase ini merupakan fase yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Perkembangan
pemikiran ekonomi pada masa ini memiliki intensitas yang tinggi pada periode Madinah, hal ini
dikarenakan pada periode Makkah Rasulullah dan masyarakat Muslim masih belum sempat
membangun perekonomian, sebab pada periode Makkah umat Islam masih disibukkan dengan
dakwah awal Islam serta penuh dengan perjuangan mempertahankan diri dari represifitas dan
intimidasi orang-orang Quraisy yang notabene belum bisa menerima agama Islam.

Barulah perkembangan dan pembangunan tatanan kehidupan masyarakat Islam tersebut bisa
direalisasikan pada periode Madinah, dimana poin pentingnya adalah umat Islam sudah mampu
membangun sebuah peradaban masyarakat yang baik, sejahtera dan beradab atau yang dalam istilah
sekarang disebut dengan Masyarakat Madani yang juga ditandai dengan lahirnya Piagam Madinah
sebagai konstitusi pertama dalam sejarah manusia. Perkembangan tersebut juga terjadi para
kehidupan perekonomian masyarakat kala itu.

Pada masa ini, Rasulullah SAW dan umat Islam telah mampu memberikan prinip-prinsip dasar
mengenai perekonomian. Strategi yang digunakan adalah : a) Membangun Masjid, b) Merehabilitasi
Kaum Muhajirin, c) Membangun Konstitusi Negara, dan d) Meletakkan dasar-dasar sistem keuangan
Negara. Meskipun sistem perekonomian yang dijalankan waktu itu masih sederhana, tapi dengan
meletakkan dasar-dasar ekonomi tentunya sudah merupakan bentuk pembangunan dan kemajuan
yang luar biasa pada zamannya.
REPORT THIS AD
Sistem ekonomi Islam yang digunakan berakar pada prinsip bahwa kekuasaan tertinggi hanya milik
Allah SWT semata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Perekonomian pada
masa Rasulullah ini juga sudah mengenal sistem pajak seperti kharaj (pajak yang dibayarkan oleh
penduduk non-muslim), Ushr (pajak pertanian), dan Jizyah (pajak perlindungan dan pengecualian
orang-orang non muslim dari wajib militer).

Disamping itu, pada masa ini juga sudah muncul ketentuan terkait zakat yang juga merupakan
instrumen fiskal dalam distribusi pendapatan yang lebih merata selain juga merupakan bagian
daripada rukun Islam. Baitul Mal sebagai lembaga keuangan yang digunakan untuk menyimpan
ketersediaan harta serta untuk memenuhi kebutuhan pemerintahan dan masyarakat juga dibentuk
pada masa ini. Namun pada saat itu, baitul mal masih terbatas pada pengertian sebagai pihak yang
menangani setiap harta benda kaum Muslimin, baik berupa pendapatan meupun pengeluaran. Harta
yang didapatkan juga masih belum banyak, dan selalu habis dibagi-bagikanj kepada kaum muslimin
serta dibelanjakn untuk pemeliharaan urusan mereka. Pada masa ini juga sudah mengenal adanya
penyusunan anggaran, penerimaan dan alokasinya.

2. Tahap Kedua (656-661 M)

Tahap kedua merupakan runtutan waktu pada masa khulafaur rasyidin. Khulafaur rasyidin ialah empat
orang khalifah pertama agama Islam, yang dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus kepemimpinan
setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Empat orang tersebut adalah sahabat dekat Nabi
Muhammad yang tercatat paling dekat dan paling dikenal dalam membela ajaran yang dibawanya di
saat masa kerasuan Muhammad. Keempat khalifah tersebut dipilih bukan berdasarkan keturunannya,
melainkan berdasarkan konsensus bersama umat Islam.

Tahap ini dimulai pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar r.a (11-13 H/ 632-634 M),
perkembangan pemikiran ekonomi Islam pada masa ini lebih banyak ditunjukkan dengan optimalisasi
dan pengembangan Baitul Maal, menerapkan konsep budget policy pada Baitul Maal, serta
optimalisasi zakat. Dengan masa kepemimpinan yang relatif singkat, memang tidak begitu banyak hal
yang dapat dilakukan oleh Beliau terkait perkembangan perekonomian umat waktu itu, sehingga fokus
kegiatan ekonomi daripada kebijakan fiskal yang dijalankan oleh beliau adalah pada penegakan
kembali zakat sebagai instrumen keuangan publik yang diwajibkan kepada lapisan masyarakat yang
terhitung mampu dikarenakan mulai banyaknya pergeseran sosial masyarakat serta nilai-nilai
keagamaan (salah satunya adalah pembangkangan zakat) pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW.

Selanjutnya adalah masa pemerintahan Umar bin Khattab r.a (13-23 H/634-644 M), masa
pemerintahan khalifah Umar bin Khattab merupakan masa yang paling cerah dalam sejarah
kepemimpinan khulafaur rasyidin. Pada masa ini, banyak kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh umat
Islam dalam berbagai aspek, yang paling menonjol adalah kemajuan pada setiap kebijakan yang
cenderung memiliki nilai reformasi di dalamnya. Seperti halnya pada kebijakan perluasan wilayah yang
luar biasa masif, sehingga wilayah kekuasaan Islam sudah mencapai Jazirah Arabia, Palestina, Syiria,
sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir. Percepatan perluasan wilayah ini memberikan dampak pada
pembentukan kebijakan-kebijakan yang visioner terutama pada wilayah administrasi negara.

REPORT THIS AD
Dalam aspek ekonomi, kebijakan atau sistem ekonomi yang dikembangkan berdasarkan keadilan dan
kebersamaan, sistem ini berdasarkan pada prinsip pengembalian sebagian kekayaan orang-orang kaya
untuk dibagikan kepada orang-orang miskin. Beliau juga menyusun tiga dasar kebijakan ekonomu
yang berkaitan dengan fiskal, yakni : 1) Negara Islam megambil kekayaan umum dengan benar dan
tidak mengambil dari kharaj atau fa’i yang diberikan oleh Allah kecuali dengan mekanisme yang benar,
2) Negara memberikan hak atau kekayaan umum, dan tidak ada pengeluaran kecuali sesuai dengan
haknya dan Negara menambahkan subsidi serta menutup hutang, 3) Negara tidak menerima kekayaan
dari harta yang kotor. Sedangkan untuk kebijakan fiskal, khalifah Umar menetapkan beberapa
kebijakan terkait: 1) Baitul Maal (didirikan di setiap provinsi dan berperang dalam bidang militer), 2)
Zakat, 3) Kepemilikan tanah, 4) Ushr, 5) Shodaqah untuk non-Muslim, 6) Koin, 7) Klasifikasi
pendapatan Negara, 8) Pengeluaran Negara.

Pada masa Khalifah Ustman bin Affan (23-35 H/644-656 M), pada masa khalifah Ustman dalam kurun
waktu enam tahun terakhir hampir tidak ada perubahan yang signifikan pada situasi ekonomi secara
keseluruhan. Pada masa ini (paruh kedua/enam tahun terakhir), juga sudah mulai banyak perselisihan
ummat, ketidakpuasan, kekecewaan, pemberontakan dan perebutan kekuasaan. Meskipun pada
paruh pertama sebenarnya telah mengalami banyak kemajuan dan kejayaan seperti pada perluasan
wilayah, pengukuhan angkatan laut, dan penyeragaman penulisan Al-Qur’an. Sedangkan dalam
ekonomi, terjadi perubahan penghitungan zakat, yakni zakat dihitung sendiri-sendiri demi
menghindari kecurangan dari oknum pengumpul zakat, pembentukan organisasi polisi untuk menjaga
keamanan perdagangan.

Salah satu faktor yang mengakibatkan ketidakpuasan dan kekecewaan umat Islam adalah tindakan
Nepotisme yang dilakukan dalam pemerintahan Beliau, dan banyak yang beranggapan bahwa khalifah
Usman hanyalah berstatus sebagai khalifah dan dikendalikan oleh Marwan bin Hakam, sehingga hal
in yang kemudian dibesar-besarkan oleh tukang fitnah yang rakus akan kekuasaan dan keinginan
untuk memecah belah kesatuan umat Islam seperti Abdullah bin Saba. Abdullah bin Saba berkeliling
di berbagai kota untuk menaburkan keraguan aqidah, mengecam khalifah Usman dan gubenurnya,
serta mengajak semua orang utnuk menurunkan Usman dan menggantikannya dengan Ali bin Abi
Thalib sebagai usaha menaburkan bibit fitnah dan perpecahan. Sampai berakhir pada pembunuhan
beliau khalifah Usman bin Affan. Dia dibunuh oleh Muhammad bin Abu Bakar selaku kepala
pemberontak dan al-Ghifari ketika sedang membaca al-Qur’an pada waktu shubuh tepatnya pada
tanggal 17 Juni 651 M dalam usia 84 tahun.

REPORT THIS AD
Terakhir adalah masa Khalifah Ali bin Abi Thalib ( 35-40 H/ 656-661 M), pada masa ini, kebijakan
ekonomi yang dikeluarkan lebih kepada pemerataan distribusi uang yang dibagikan utuk rakyat. Selain
itu juga ada kebijakan lainnya seperti : 1) Pendistribusian seluruh pendapatan yang ada pada baitul
maal berbeda dengan khalifah Umar yang menyisihkan cadangan, 2) pengeluaran angkatan laut
dihilangkan, 3) adanya kebijakan pengetatan anggaran, 4) pencetakan mata uang sendiri atas nama
pemerintahan Islam, yang sebelumnya hanya menggunakan mata uang dinar dari Romawi dan dirham
dari Persia.

3. Tahap Ketiga atau Periode Awal (738-1037)

Periode ini juga bisa dikenal dengan abad klasik dalam perkembangan pemikiran ekonomi Islam,
periode ini menandai munculnya pemikir-pemikir Muslim yang telah berhasil meletakkan pondasi
atau dasar-dasar ekonomi Islam. Banyak sarjana Muslim yang pernah hidup bersama para sahabat
Rasulullah dan para tabi’in sehingga dapat memperoleh referensi ajaran Islam yang autentik. Tokoh-
tokoh yang lahir pada periode ini seperti diwakili oleh Zaid bin Ali (738 M), Abu Hanifah (787 M), Awzai
(774 M), Imam Malik (798 M), Abu Yusuf ( 798 M), Muhammad bin Hasan Al Syaibani (804 M), Yahya
bin Dam (818 M), Yahya bin Umar (902 M), Qudama bin Jafar (948 M), Abu Jafar al Dawudi (1012 M),
Mawardi (1058), Hasan Al Basri (728 M), Ibrahim bin Dam (874 M), Fudayl bin Ayad (802 M), Makruf
Karkhi (815 M), Dzun Nun Al Misri (859 M), Ibnu Maskawih (1030 M), Al Farabi (950 M), dan Ibnu Sina
(1037).

4. Tahap Keempat atau Periode Kedua (1058-1448 M)

Periode ini juga bisa dikenal dengan abad pertengahan dalam perkembangan pemikiran ekonomi
Islam, dimulai pada abad 11 – 15 M. Periode ini juga bisa disebut dengan periode/ fase cemerlang
dikarenakan banyak sekali warisan intelektual yang bisa ditemukan khususnya terkait pemikiran
ekonomi Islam. Pada periode ini, para tokoh-tokoh pemikir telah mampu meyusun suatu konsep
tentang bagaimana kegiatan ekonomi yang seharusnya berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Tokoh-
tokoh yang muncul pada periode ini seperti Al-Ghozali (1111 M), Ibnu Taimiyah (1328 M), Ibnu
Khaldun (1040 M), Syamsudin Al Sarakhsi (1090 M), Nizamu Mulk Tusi (1093 M), Ibnu Masud Al Kasani
(1182 M), Fakhruddin al Razi (1210 M), Najmudin Al Razi (1256 M), Ibnul Ukhuwa ( 1329 M), Ibnul
Qayyim (1350 M), Muhammad bin Abdul Rahman Al Habshi (1300 M), Abu Ishaq Al Shatibi (1388 M),
Al Maqrizi (1441 M), Al Hujwary ( 1096 M), Abdul Qadir Al Jailani (1169 M), Al Attar (1252 M), Ibnu
Arabi (1240), Jalaluddin Rumi (1274 M), Ibnu Baja (1138 M), dan Ibnu Rusyd (1198 M).

5. Tahap Kelima atau Peridoe Ketiga (1446-1931 M)

Periode ini juga bisa disebut dengan periode/fase kemerosotan. Periode ini juga ditandai dengan
lenyapnya sistem Islam yang menaungi ekonomi Islami. Kekhilafahan Ustmani Turki tercatat runtuh
pada 03 Maret 1924 M dengan diproklamirkannya sistem kenegaraan yang baru yakni Republik Turki.
Sejak saat itu, tidak ada lagi penerapan ekonomi Islam sebagai sebuah sistem. Yang ada hanya
penerapan ekonomi Islam bagi individu masyarakat yang berkenan menerapkannya untuk dirinya saja.
Namun yang paling penting dari kemerosotan pemikiran ekonomi Islam pada peridoe ini adalah
disebabkan oleh adanya asumsi yang mengatakan bahwa telah tertutupya pintu ijtihad pada waktu
itu.

Akan tetapi, pada periode ini juga masih bisa ditemukan beberapa tokoh yang berusaha melakukan
pembaharuan selama dua abad terakhir yang menyeru untuk kembali pada Al-Qur’an dan Hadits,
yakni Syeh Ahmad Sirhindi (1526 M), Ibnu Nujaim (1562 M), Shah Waliyullah Al Delhi (1726 M),
Muhammad bin Abdul Wahab (1787 M), Ibnu Abidin (1836 M), Jamaluddin Al Afghani (1897 M), Mufti
Muhammad Abduh (1905 M), dan Muhammad Iqbal (1938 M).

6. Tahap Keenam atau Periode Lanjut (1931 M- Sekarang)

Periode ini juga bisa dikenal dengan abad atau fase kontemporer. Sebenarnya setelah tahun 1930-an,
kebangkitan kembali melanda intelektualitas cendekiawan Muslim. Yang dibuktikan salah satunya
dengan kemerdekaan beberapa negara-negara Muslim dari kolonialisme Barat. Tokoh-tokoh yang
muncul pada periode ini, diantaranya adalah Muhammad Nejatullah Siddiqi (1931 M), Syed Nawad
Haider Naqvi ( 1935 M), Muhammad Abdul Mannan (1938 M), Monzer Kahf, Sayyid Mahmud
Taleghani, Muhammad Baqir as Sadr, Umer Chapra, dan lain-lain.

Topik kajian pada periode ini terbagi menjadi tiga kelompok seperti yang dikemukakan oleh Zarqa
pada tahun 1980, yakni : 1) Perbandingan sistem ekonomi Islam dengan sistem lainnya, khususnya
kapitalisme dan sosialime, 2) Kritik terhadap sistem ekonomi konvensional, baik dalam tatanan filosofi
maupun praktik, 3) pembahasan yang mendalam tentang ekonomi Islam itu sendiri, baik secara mikro
maupun secara makro.
PEMIKIRAN EKONOMI CENDEKIAWAN MUSLIM ABAD KLASIK, PERTENGAHAN DAN
KONTEMPORER

1. Abad Klasik
Pemikiran ekonomi Islam para cendekiawan Muslim pada abad klasik diwakili dengan pemikiran dari
:

a. Zaid bin Ali


Zaid bin Ali merupakan penggagas awal penjualan suatu komiditi secara kredit dengan harga yang
lebih tinggi dari harga kontan/ tunai. Beliau berpandangan bahwa penjualan secara kredit tersebut
merupakan salah satu bentuk transaksi yang sah selama didasari oleh ‘aqad atau prinsip saling ridho
antar kedua belah pihak. Keuntungan yang didapatkan oleh penjualan bukanlah merupakan riba
karena keuntungan tersebut adalah murni dari bagian perniagaan. Keuntungan tersebut merupakan
suatu bentuk kompensasi atas kemudahan yang diperoleh pembeli. Meskipun demikian, penjualan
secara kredit tidak serta merta mengindikasikan bahwa harga lebih tinggi selalu berkaitan dengan
jangka waktu, melainkan menjual secara kredit dapat pula ditetapkan dengan harga rendah, sehingga
lebih mempermudah dan menambah kepuasan pembeli/ konsumen.

b. Abu Hanifah
Beliau lebih dikenal sebagai imam madzhab hukum yang sangat rasionalistis. Beliau meragukan
transaksi ba’i as-salam dan juga muzara’ah karena dianggap bisa menimbulkan perselisihan, sehingga
beliau kemudian menggagas keabsahan dan kesahihan hukum kontrak tersebut. Terkait ba’i as salam,
beliau berusaha merinci lebih khusus tentang apa yang harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas
dalam akad. Beliau menyatakan bahwa komoditi yang dijual harus tersedia dalam pasar selama waktu
kontrak dan tanggal pengiriman yang telah disepakati. Beliau juga tidak memperkenankan muzara’ah
dalam kasus tanah yang tidak berpenghasilan apapun, hal ini dimaksudkan untuk melindungi para
penggarap tanah yang umumnya adalah orang lemah. Disamping itu, beliau juga sangat
memperhatikan orang yang lemah. Beliau tidak membebaskan zakat wajib zakat pada perhiasan,
sebaliknya beliau membebaskan zakat bagi para pemilik harta yang terlilit hutang yang tidak sanggup
menebusnya.

c. Imam Malik
Pemikiran beliau pada bidang ekonomi antara lain yakni : beliau menganggap bahwa raja atau
penguasa bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya. Para penguasa harus peduli terhadap
pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Teori istislah dalam ilmu hukum Islam yang diperkenalkannya
mengandung analisis nilai kegunaan atau teori utility dalam filsafat Barat yang dikemukakan oleh
Jeremy Benthan dan J.S. Mill. Beliau juga mengakui hak negara Islam untuk menarik pajak demi
terpenuhinya kebutuhan bersama.

REPORT THIS AD
d. Abu Yusuf
Beliau lebih cenderung memiliki tema pemikiran yang ditekankan pada tanggungjawab penguasa,
meskipun juga ada beberapa perhatian lainnya seperti terhadap keuangan umum, pekerjaan umum
dan perkembangan pertanian. Beliau lebih menyetujui jika negara mengambil bagian dari hasil
pertanian, dari pada menarik sewa dari hasil pertanian. Dalam hal pajak beliau telah meletakkan
prinsip-prinsip yang jelas, yang selanjutnya pada kemudian hari dikenal dengan canons of taxation.
Prinsipnya adalah : a) Kesanggupan membayara, b) Pemberian waktu yang longgar kepada pembayar
pajak, dan c) Sentralisasi pembuatan keputusan adalah hal-hal yang ditetapkannya.
Beliau menentang penguasa yang menetapkan harga, dengan argumen bahwa hasil panen yang
melimpah bukanlah alasan untuk merendahkan harga komoditi, dan sebaliknya kelangkaan komiditi
tidak selalu mengakibatkan harga yang melambung tinggi. Namun sesungguhnya beliau juga tidak
menolah peranan pemerintah dalam penawaran dan penentuan harga (intervensi pasar).

2. Abad Pertengahan
Pemikiran ekonomi Islam para cendekiawan Muslim pada abad pertengahan diwakili dengan
pemikiran dari :

a. Al-Ghazali
Beliau berpandangan bahwa seseorang harus memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya dalam rangka
beribadah kepada Allah SWT. Seluruh aktifitas sehari-hari termasuk ekonomi harus dilaksanakan
sesuai dengan syariah Islam. Beliau bisa menoleransi pengambilan pajak jika pengeluaran untuk
pertahanan dan lain sebagainya tidak dapat tercukupi oleh kas pemerintah. Beliau sangat melarang
adanya riba karena hal terseut melanggar sifat dan fungsi uang, serta mengutuk mereka yang
melakukan penimbunan uang dengan argumen bahwa uang itu sendiri dibuat untuk memudahkan
pertukaran. Secara garis besar, ekonomi dapat dikelompokkan menjadi lima bagian : a) Pertukaran
dan evolusi pasar, b) Produksi, c) Barter, d) Evolusi uang, serta e) Peranan negara dan keuangan publik.

b. Ibnu Taimiyah
Beliau membahas masalah perekonomian ditinjau dari segi sosial maupun hukum fiqh. Beliau telah
membahas pentingnya persaingan dalam pasar bebas, peranan masket superisordan lingkup dari
negara. Dalam transaksi beliau juga mensyaratkan kesepakatan antara semua pihak, kesepakatan ini
harus berdasarkan informasi yang akurat dan memadai agar lebih bermakna. Moralitas diharuskan
tanpa adanya paksaan sedikitpun. Sehingga syari’at bisa berjalan sesuai dengan maksud dan
tujuannya.

Beliau juga berpendapat bahwa negara harus mempraktikkan aturan aturan perekonomian yang
Islami hingga para pelaku ekonomi melakukan transaksi mereka dengan jujur dan saling ridho. Negara
juga haru mengawasi pasar dari tindakan-tindakan merugikan yang memanfaatkan kelemahan pasar.

REPORT THIS AD
c. Ibnu Khaldun
Beliau menekankan sistem pasar yang bebas dan juga menentang intervensi pemerintah/ negara
terhadap masalah ekonomi dan percaya akan sistem pasar bebas. Beliau berpendapat bahwa
perkembangan dan penuruna ekonomi pada suatu negara dapat terjadi dengan faktor utama yakni
pemasukan dan pengeluaran negara yang kadang tidak seimbang juga berat sebelah, sehingga
pertumbuhan dan penuruan ekonomi dapat saja berbeda pada satu negara dengan
negara lainnya.Ibnu Khaldun juga mengemukakan tentang perdagangan internasional dan hubungan
internasional, bahwa adanya hubungan antara perbedaan tingkat harga antar negara dengan
ketersediaan faktor produksi seperti halnya dalam teori perdagangan modern.

Penduduk merupakan faktor utama dalam mendorong perdagangan dan perekonomian internasional.
Jika jumlah penduduk besar maka akant terjadi pemerataan tenaga kerja sesuai dengan keahlian
masing-masing, sehingga dapat mengakibatkan meningkatnya surplus dan perdagangan
internasional. Pembagian tenaga kerja internasional akan lebih bergantung pada keahlian masing-
masing individu daripada natural endowment( sumber daya alam).

d. Al-Maqrizi (766-845 H)
Beliau merupakan ilmuwan atau cendekiawan terakhir pada abad pertengahan yang meneliti
terhadap uang. Beliau menjelaskan tentang korelasi antara uang dengan inflasi yang melanda suatu
negeri.

REPORT THIS AD
3. Abad Kontemporer
Pada abad kontemporer ini, terbagi menjadi dua zaman ataupun fase perkembangan pemikiran
ekonomi Islam, yakni pada fase kemrosotan dan fase kebangkitan kembali.
Adapun pada fase kemrosotan, akan diwakili dengan pemikiran tokoh-tokoh yang tetap bisa hadir
dengan pembaharuan pemikirannya, yakni antara lain:

a. Syah Waliyullah
Beliau berpendapat bahwa manusia secara alamiah adalah makhluk sosial, kenyataan ini
mengharuskan manusia untuk saling berinteraksi dan bekerjasama satu sama lain termasuk dalam
perekonomian seperti pertukaran barang dan jasa, mudharabah, musyarakah, dan lain-lain. Beliau
juga melarang segala sesuatu yang bisa menyebabkan kerusakan semangat kerjasama seperti riba,
perjudian, dan lain sebagainya.

Beliau berpendapat untuk pengelolaan negara bahwa diperlukannya suatu pemerintahan yang
mampu menyediakan sarana pertahanan, membuat hukum serta menegakkan dan
mempertahankannya, menegakkan keadilan, serte menyediakan sarana publik. Dan untuk memenuhi
kebutuhan tersebut maka negara harus memiliki pendapatan/ income. Dalam konteks negara income
bisa didapatkan melalui penerimaan pajak , namun pajak juga harus memperhatikan pemanfaatan
serta kemampuan masyarakat dalam membayarnya.

REPORT THIS AD
b. Muhammad Iqbal
Pemikiran Muhammad Iqbal terkait ekonomi Islam lebih terfokus pada konsep-konsep umum yang
mendasar, beliau menganalisa dengan tajam kelemahan kapitalisme dan komunisme kemudian
menampilkan suatu pemikiran yang mengambil “jalan tengah” yang sebenarnya terlah dibuka oleh
Islam. Beliau sangat memperhatikan aspek sosio kemasyarakatan, beliau menyatakan bahwa keadilan
sosial masyarakat adalah tugas besar yang harus diemban oleh suatu negara. Beliau juga berpedapat
mengenai urgensi dan eksistensi zakat yang dianggap memiliki posisi strategis untuk mewujudkan
keadilan sosial disamping zakat juga merupakan bagian daripada kewajiban umat Islam sebagaimana
kedudukannya dalam rukun Islam.
Sejarah Bank Muamalat Indonesia
PT Bank Muamalat Indonesia Tbk didirikan atas ide awal yang tercetus pada lokakarya Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dengan tema : Masalah Bunga Bank dan Perbankan. Saat itu MUI memutuskan agar
memprakarsasi berdirinya bank tanpa bunga. Sehingga dibentuklah kelompok kerja yang diketuai oleh
HS. Prodjokusumo yang saat itu menjabat sebagai sekjen MUI.

Kelompok kerja ini melakukan lobi melalui bapak Prof.Dr.B.J. Habibie. Salah satu nama bank yang
diusulkan oleh kelompok kerja tersebut adalah “Bank Syariat Islam” namun dengan pertimbangan
perdebatan pemakaian kata syariat islam pada piagam Jakarta di masa lalu sehingga nama tersebut
tidak dipilih. Nama yang kemudian diusulkan adalah “Bank Muamalat Islam Indonesia”. Presiden
Soeharto (Alm) akhirnya menyetujui dengan menghilangkan kata “Islam” dan dipakailah nama “Bank
Muamalat Indonesia”

Secara resmi, pada tanggal 24 Rabius Tsani 1412 Hijriah atau tanggal 1 Nopember 1991 berdiri dan
mengawali kegiatan operasinya pada tanggal 27 Syawwal 1412 H atau 1 Mei 1992. Ikatan
Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha Muslim serta masyarakat
sepenuhnya mendukung kehadiran BMI yang dibuktikan adanya komitmen pembelian saham
Perseroan pada saat penandatanganan akta pendirian Perseroan senilai Rp. 84 miliar. Selanjutnya,
ada tambahan komitmen masyarakat Jawa Barat melalui penanaman modal senilai Rp. 106 miliar pada
momen acara silaturahmi peringatan pendiriannya di Istana Bogor.

Hanya berselang 2 tahun setelah pendiriannya, pada tanggal 27 Oktober 1994, Bank Muamalat
berhasil menyandang predikat sebagai Bank Devisa. Ini makin memperkokoh posisinya sebagai bank
syariah pertama dan terkemuka di Indonesia dengan beragam jasa dan produk yang terus
dikembangkan. Di akhir tahun 1990-an, Indonesia mengalami krisis moneter dan Bank Muamalat
merasakan imbas dampak krisis tersebut yang ditunjukkan dengan rasio pembiayaan macet (NPF)
mencapai lebih dari 60% di tahun 1998. Perseroan mengalami kerugian sebesar Rp 105 miliar. Inilah
masa-masa penuh hikmah pada Sejarah Bank Muamalat dan dalam sejarah bank syariah di
indonesia.

Dalam upaya memperkuat permodalannya, BMI mencari pemodal potensial dan mendapat tanggapan
positif dari Islamic Development Bank (IDB) yang berkedudukan di Jeddah, Arab Saudi. Pada Rapat
Umum Pemegang Sahan (RUPS) tanggal 21 Juni 1999, IDB resmi menjadi salah satu pemegang saham
Bank Muamalat. Sehingga kurun waktu tahun 1999-2002 merupakan masa-masa penuh tantangan
sekaligus keberhasilan bagi Bank Muamalat. Di rentang waktu itu, Bank Muamalat ditunjang oleh
manajemen yang kuat, strategi pengembangan usaha yang tepat, serta ketaatan terhadap
pelaksanaan perbankan syariah secara murni berhasil membalikkan kondisi kerugian menjadi laba.

Bank Muamalat Indonesia berhasil bangkit dari keterpurukan. Berawal dengan pengangkatan
kepengurusan baru dimana seluruh anggota Direksi diangkat dari dalam tubuh Muamalat, Bank
Muamalat kemudian menggelar rencana kerja lima tahun dengan lima pertimbangan penekanan yakni
:

Tidak mengandalkan setoran modal tambahan dari para pemegang saham.

Tidak melakukan PHK satu pun terhadap sumber daya insani yang ada, dan dalam hal pemangkasan
biaya, tidak memotong hak Kru Muamalat sedikitpun.

Pemulihan kepercayaan dan rasa percaya diri Kru Muamalat menjadi prioritas utama di tahun pertama
kepengurusan Direksi baru

Peletakan landasan usaha baru dengan menegakkan disiplin kerja Muamalat menjadi agenda utama
di tahun kedua, dan

Pembangunan tonggak-tonggak usaha dengan menciptakan sertamenumbuhkan peluang usaha


menjadi sasaran Bank Muamalat pada tahun ketiga dan seterusnya.

Saat ini Bank Mumalat saat ini melayani lebih dari 2,5 juta nasabah melalui 275 gerai yang tersebar di
33 provinsi. Jaringan BMI didukung juga oleh aliansi melalui lebih dari 4000 Kantor Pos Online/SOPP
yang tersebar di seluruh Indonesia, 32.000 ATM, serta 95.000 merchant debet. BMI juga menjadi satu-
satunya bank syariah yang telah membuka cabang luar negeri yaitu di Malaysia. Malaysia. Sebagai
upaya peningkatan aksesibilitas nasabah di Kualalumpur, kerjasama berjalan dengan jaringan
Malaysia Electronic Payment System (MEPS) sehingga pelayanan Bank Muamalat bisa diakses di lebih
dari 2000 ATM di Malaysia. Sebagai Bank Pertama Murni Syariah, bank muamalat berkomitmen untuk
menghadirkan layanan perbankan yang tidak hanya comply terhadap syariah, namun juga kompetitif
dan aksesibel bagi masyarakat hingga pelosok nusantara. Komitmen tersebut diapresiasi oleh
pemerintah, lembaga nasional dan internasional, media massa termasuk segenap masyarakat luas
melalui lebih dari 70 award bergengsi yang diterima oleh BMI dalam 5 tahun Terakhir. Penghargaan-
penghargaan yang sudah berhasil diterima oleh Bank Muamalat Indonesia yakni :

The Best Islamic Bank in Indonesia 2009 oleh Islamic Finance News (Kuala Lumpur)

The Best Islamic Financial Institution in Indonesia 2009 oleh Global Finance (New York)

The Best Islamic Finance House in Indonesia 2009 oleh Alpha South East Asia (Hong Kong).

Dari segi produk dan jasa yang ditawarkan oleh BMI dapat dibagi menjadi : Giro, Tabungan, Deposito
dan Pembiayaan yang diuraikan sebagai berikut :

1. Giro

Giro Perorangan

Giro Institusi

2. Tabungan

Tabungan Muamalat

Tabungan Haji Arafah

Tabungan Haji Arafah Plus

Tabungan Muamalat Umroh


Tabungan iB Muamalat Wisata

Tabungan iB Muamalat Prima

Tabungan Muamalat Dollar

TabunganKu

3. Deposito

Deposito Mudharabah

Deposito Fulinves

Dana Talangan Porsi Haji

KPR Muamalat iB

AutoMuamalat

4. Pembiayaan

Pembiayaan Muamalat Umroh

Pembiayaan Anggota Koperasi

Pembiayaan Rekening Koran Syariah

Pembiayaan Investasi

Pembiayaan Hunian Syariah Bisnis

Pembiayaan LKM Syariah

Tabungan Nusantara

Remittance BMI - MayBank

Remittance BMI - BMMB

Remittance BMI - NCB

Bank Garansi

Ekspor

Impor

Ekspor Impor Non LC Financing

Investment Service

Letter Of Credit

Cash Management System

SKBDN

Standby LC

Transfer
MuamalatMobile

SMS Banking

PC Banking

SalaMuamalat

Internet Banking

Kepemilikan Saham
Saat ini saham Bank Muamalat terdiri atas 32,74% dimiliki oleh Islamic Development Bank, 22%
dimiliki oleh Bank Boubyan, 17,91% dimiliki oleh Atwill Holdings Limited, 8,45% dimiliki
oleh National Bank of Kuwait, 3,48% dimiliki oleh IDF Investment Foundation, 2,84% dimiliki oleh
BMF Holdings Limited, 1,67% dimiliki oleh Reza Rhenaldi Syaiful, 1,67% dimiliki oleh Dewi Monita,
1,66% dimiliki oleh Andre Mirza Hartawan, 1,39% dimiliki oleh Koperasi Perkayuan Apkindo - MPI
(KOPKAPINDO), dan 6,19% dimiliki oleh pemegang saham lainnya.

Jaringan[sunting | sunting sumber]


Sejak kehadirannya pada 27 Syawwal 1412 Hijriah, Bank Muamalat telah membuka pintu kepada
masyarakat yang ingin memanfaatkan layanan bank syariah. Kehadiran Bank Muamalat tidak hanya
untuk memposisikan sebagai bank pertama murni syariah, namun dilengkapi dengan keunggulan
jaringan Real Time On Line terluas di Indonesia. Saat ini Bank Muamalat memberikan layanan melalui
312 gerai yang tersebar di 33 provinsi, didukung jaringan lebih dari 3.800 Kantor Pos Online/SOPP di
seluruh Indonesia, serta merupakan satu-satunya bank syariah yang telah membuka cabang luar
negeri, yaitu di Kuala Lumpur, Malaysia.

Manajemen[sunting | sunting sumber]


Dewan Pengawas Syariah

Ketua Dewan Pengawas : KH Ma'ruf Amin

Anggota Dewan Pengawas : Sholahudin Al-Aiyub

Anggota Dewan Pengawas : Oni Sahroni

Dewan Komisaris

Komisaris Utama : Ilham A. Habibie* *) Efektif setelah Lulus Penilaian Kemampuan dan Kepatuhan
dari OJK

Komisaris : Iggi H. Achsien

Komisaris : Abdulsalam Mohammad Joher Al-Saleh*)

Komisaris : Mohamed Hedi Mejai*)

Komisaris : Edy Setiadi

Dewan Direksi
Direktur Utama : Achmad Kusna Permana

Direktur Bisnis Ritel : Purnomo B. Soetadi

Direktur Keuangan : Hery Syafril

Direktur Operasi : Awaldi

Direktur Kepatuhan : Andri Donny

Demikian secara singkat sejarah bank muamalat Indonesia termasuk rincian produk dan jasa yang
ditawarkannya. Majulah bank syariah majulah indonesiaku.

RIBA

Pengertian Riba adalah pemberlakuan bunga atau penambahan jumlah pinjaman saat
pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan
kepada peminjam.

Secara etimologis, istilah riba berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna ziyadah atau
tambahan. Dengan kata lain, arti riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau
modal secara batil, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam meminjam.

Dalam agama Islam, Riba adalah praktik yang diharamkan. Bagi umat Islam, pemberlakuan
bunga dengan persentase tertentu pada pinjaman Bank Konvensional atau lembaga
keuangan lainnya dianggap sebagai praktik riba.

Pengertian Riba Menurut Para Ahli Fiqih

Agar lebih memahami apa arti riba, maka kita dapat merujuk pada pendapat beberapa ahli.
Berikut ini adalah pengertian riba menurut para ahli fiqih:

1. Al-Mali

Menurut Al-Mali pengertian riba adalah akad yang terjadi atas pertukaran barang atau
komoditas tertentu yang tidak diketahui perimbangan menurut syara’, ketika berakad atau
mengakhiri penukaran kedua belah pihak atau salah satu dari keduanya.
2. Rahman Al-Jaziri

Menurut Rahman Al-Jaziri arti riba adalah akad yang terjadi dengan pertukaran tertentu, tidak
diketahui sama atau tidak menurut syara’ atau terlambat salah satunya.

3. Syeikh Muhammad Abduh

Menurut Syeikh Muhammad Abduh pengertian riba adalah penambahan-penambahan yang


disyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya),
karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.

Baca juga: Pengertian Pajak

Jenis-Jenis Riba

Secara umum riba dapat dibedakan menjadi dua, yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli.
Berikut penjelasan mengenai kedua jenis riba tersebut:

1. Riba Hutang-Piutang

Pengertian riba hutang-piutang adalah tindakan mengambil manfaat tambahan dari suatu
hutang. Riba hutang-piutang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Riba Qardh, yaitu mengambil manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang
diisyaratkan kepada penerima hutang (muqtaridh).

2. Riba Jahiliah, yaitu penambahan hutang lebih dari nilai pokok karena penerima
hutang tidak mampu membayar hutangnya tepat waktu.

2. Riba Jual-Beli

Apa itu riba jual-beli? Riba jual-beli seringkali terjadi ketika konsumen membeli suatu barang
dengan cara mencicil. Penjual menetapkan penambahan nilai barang karena konsumen
membelinya dengan mencicil.

Riba jual-beli dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:


 Riba Fadhl, yaitu praktik pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran
yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan tersebut masih termasuk
dalam jenis barang ribawi.

 Riba Nasi’ah, yaitu penangguhan penyerahan/ penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah terjadi karena
adanya perbedaan, perubahan, atau penambahan antara barang yang diserahkan
saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

Baca juga: Pengertian Koperasi Simpan Pinjam

Landasan Hukum Riba

Seperti yang telah disebutkan pada paragraf awal, praktik riba diharamkan dalam Islam. Hal
tersebut dijelaskan dalam Al-Quran berikut ini:

1. Q.S. Al-Baqarah: 276


َ َّ َ ُ َّ َ َ
‫الرَبوا للا َي ْم َحق‬
ِّ ‫دق ِت َوي ْرب‬
ِ ‫ا ِث ْيم كفار ك َّل الي ِحب وللا الص‬

Artinya: “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah SWT tidak menyukai
setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa. ” (Q.S. Al-Baqarah: 276).

2. Q.S. Al-Baqarah : 275


َّ َ َ ُ ُ ْ ِّ ‫الش ْي َطن َي َت َخبطه َّال ِذ ْي َيق ْوم َك َما إ ّال َال َيقم ْو َن‬
َّ َ ِّ َ ْ َ َ ْ َّ َ ُ َ َ َّ ْ َ ْ ْ ّ
‫الرَبوا َيأ كل ْون ال ِذ ْي َن‬ ِ ‫َمن‬
ِ ‫س‬ ‫َبواََِالر ِمثل البيع ِانما قالو ِبأنهم ذ ِلك الم‬
َ ْ
‫الرَبوا َو َح َّر َم ال َب ْي َع للا َوا َح َّل‬
ِّ

Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit jiwa (gila). Keadaan mereka
yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba . . . (Q.S.
Al-Baqarah: 275).

3. Q.S. Al-Baqarah : 278


َ َ َّ َ َّ ‫ق َما َو َذروا‬
َ ‫اّلل َّاتقوا‬ ِّ ‫ي ُك ْنت ْم إ ْن‬
َ ‫م ْؤمن‬
‫ين أي َها َيا‬ ‫آمنوا ال ِذ‬ َ ِ ‫الر َبا ِم َن َب‬
ِ ِ ِ ِ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (Q.S. Al-Baqarah : 278).

4. Q.S Ali ‘Imran : 130


َ َ َّ
‫ين أي َها َيا‬ َ ‫الرَبا َت ْأ ُك ُلوا َال‬
‫آمنوا ال ِذ‬ ِّ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba…” (Ali ‘Imran/3: 130)”.

5. Q.S Ar-Ruum 39
َ َ َّ َ َ ْ َ َ ْ َّ
‫اس أ ْم َو ِال ِ ِف ِل َ ْيب َو ِ ًربا ِم ْن آت ْيت ْم َو َما‬
ِ ‫اّلل ِعند يربو فل الن‬
ِ

Artinya : Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah…” (Ar-Ruum/30: 39).

Contoh Riba Dalam Masyarakat

Setelah memahami apa itu riba dan landasan hukumnya, tentu kita juga perlu mengetahui apa
saja contoh riba yang pernah dilakukan sehari-hari. Adapun contoh praktik riba adalah sebagai
berikut:

1. Bunga Bank Konvensional

Bunga yang diterapkan oleh Bank konvensional ternyata termasuk dalam praktik riba. Ketika
kita meminjam dana dari Bank, maka kita akan dikenakan bunga setiap kali membayar
angsuran pinjaman tersebut.

Hal ini (riba) juga terjadi pada lembaga keuangan lainnya, misalnya lembaga pembiayaan.
Ketika kita membeli kendaraan bermotor atau properti secara mencicil maka kita akan
dikenakan bunga, dan ini termasuk praktik riba.

2. Pinjaman Dengan Syarat

Ketika kita ingin meminjam uang dari pihak lain, seringkali pinjaman tersebut disertai dengan
syarat. Misalnya bunga atau hal lainnya sebagai syarat agar pemilik uang mau
meminjamkannya pada orang lain.
Contoh lain, misalnya seorang kerabat ingin meminjam uang dari kamu, lalu kamu memberikan
syarat memberikan pinjaman yaitu harus bersedia menjemput dan mengantar kamu setiap
hari. Hal-hal seperti ini ternyata sudah termasuk dalam praktik riba yang dilarang.

Perbedaan Investasi dengan Membungakan Uang


Ada dua perbedaan mendasar antara investasi dengan mem-bungakan uang. Perbedaan tersebut
dapat ditelaah dari definisi hingga makna masing-masing.

Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko karena berhadapan dengan unsur
ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak tetap.

Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko karena perolehan
kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap.

Islam mendorong masyarakat ke arah usaha nyata dan produktif. Islam mendorong seluruh
masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang membungakan uang. Sesuai dengan definisi di
atas, menyimpan uang di bank Islam termasuk kategori kegiatan investasi karena perolehan
kembaliannya (return) dari waktu ke waktu tidak pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya perolehan
kembali itu ter-gantung kepada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai
mudharib atau pengelola dana.

Dengan demikian, bank Islam tidak dapat sekadar menyalurkan uang. Bank Islam harus terus
berupaya meningkatkan kembalian atau return of investment sehingga lebih menarik dan lebih
memberi kepercayaan bagi pemilik dana.

Perbedaan Hutang Uang dan Hutang Barang


Ada dua jenis hutang yang berbeda satu sama lainnya, yakni hutang yang terjadi karena pinjam-
meminjam uang dan hutang yang terjadi karena pengadaan barang. Hutang yang terjadi karena
pinjam-meminjam uang tidak boleh ada tambahan, kecuali dengan alasan yang pasti dan jelas,
seperti biaya materai, biaya notaris, dan studi kelayakan. Tambahan lainnya yang sifatnya tidak pasti
dan tidak jelas, seperti inflasi dan deflasi, tidak diperbolehkan. Hutang yang terjadi karena
pembiayaan pengadaan barang harus jelas dalam satu kesatuan yang utuh atau disebut harga jual.
Harga jual itu sendiri terdiri dari harga pokok barang plus keuntungan yang disepakati. Sekali harga
jual telah disepakati, maka selamanya tidak boleh berubah naik, karena akan masuk dalam kategori
riba fadl. Dalam transaksi perbankan syariah yang muncul adalah kewajiban dalam bentuk hutang
pengadaan barang, bukan hutang uang.

Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil


Sekali lagi, Islam mendorong praktik Bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama
memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat
nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

Bunga Bagi Hasil

Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil


Penentuan bunga dibuat pada waktu akad
dibuat pada waktu akad dengan berpedoman
dengan asumsi harus selalu untung
pada kemungkinan untung rugi
Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada
uang (modal) yang dipinjamkan jumlah keuntungan yang diperoleh

Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan Tergantung pada keuntungan proyek yang
tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan
dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi ditanggung bersama oleh kedua belah pihak

Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat


Jumlah pembagian laba meningkat sesuai
sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau
dengan peningkatan jumlah pendapatan
keadaan ekonomi sedang “booming”

Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam)


Tidak ada yang meragukan
oleh beberapa kalangan

Anda mungkin juga menyukai