Anda di halaman 1dari 72

MAKALAH TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh Kelompok I :
Rachmat Sesario (Ketua Kelompok) (1802010162)
Rachman Hakim (1802010159)
Heriadi (1802010161)
Randy Pratama (1802010158)
Sofyan Abdullah (1802010163)
Masduki (1802010160)

UNIVERSITAS ISLAM SYEIKH YUSUF


TANGERANG
FAKULTAS HUKUM
2020

Page 1 of 72
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan kekuatan dan kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada
waktunya. Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata
Kuliah Tindak pidana korupsi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan
mendukung dalam penyusunan makalah ini. Penulis sadar makalah ini belum sempurna
dan memerlukan berbagai perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun
sangat dibutuhkan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
dan semua pihak.
Tangerang, 17 November 2020

Penulis

Page 2 of 72
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang merajalela di tanah air


selama ini tidak saja merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian
Negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
sosial dan ekonomi masyarakat, menghambat pertumbuhan dan
kelangsungan pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat
adil dan makmur. Tipikor tidak lagi dapat digolongkan sebagai
kejahatan biasa, tetapi telah menjadi kejahatan luar biasa.1 Metode
konvensional yang selama ini digunakan terbukti tidak bisa
menyelesaikan persoalan korupsi yang ada di masyarakat, maka
penanganannya pun juga harus menggunakan cara-cara luar biasa.2
Mengingat bahwa salah satu unsur Tipikor di dalam Pasal 2 dan
Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU
Tipikor) adalah adanya unsur kerugian keuangan negara, unsur tersebut
memberi konsekuensi bahwa pemberantasan Tipikor tidak hanya
bertujuan untuk membuat jera para Koruptor melalui penjatuhan pidana
penjara yang berat, melainkan juga memulihkan keuangan negara
akibat korupsi sebagaimana ditegaskan dalam konsideran dan
penjelasan umum UU Tipikor.3 Kegagalan pengembalian aset hasil

1
Penjelasan Umum tentang Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemeberantasan Korupsi.

2
Basrief Arief, Korupsi dan Upaya Penegakan Hukum (Kapita Selekta) (Jakarta: Adika Remaja
Indonesia, 2006). Hlm. 87

3
Nur Syarifah, ―Mengupas Permasalahan Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti Dalam
Perkara Korupsi,‖ Lembaga Kajian & Advokasi Indenpendensi Peradilan, terakhir diubah
tahun 2015, http://leip.or.id/mengupas-permasalahan-pidana-tambahan-pembayaran-uang pengganti-
dalam-perkara- korupsi/#_ftn1.

Page 3 of 72
korupsi dapat mengurangi ‗makna‘ penghukuman terhadap para
koruptor.4
Pada dasarnya pengembalian aset adalah sistem penegakan
hukum yang dilakukan oleh negara korban Tipikor untuk mencabut,
merampas, menghilangkan hak atas aset hasil Tipikor dari pelaku
Tipikor melalui rangkaian proses dan mekanisme baik secara pidana
dan perdata. Aset hasil Tipikor baik yang ada di dalam maupun di Luar
Negeri dilacak, dibekukan, dirampas, disita, diserahkan dan
dikembalikan kepada negara yang diakibatkan oleh Tipikor dan untuk
mencegah pelaku Tipikor menggunakan aset hasil Tipikor sebagai alat
atau sarana tindak pidana lainnya dan memberikan efek jera bagi
pelaku/calon pelaku.5
UU Tipikor mengatur mekanisme atau prosedur yang dapat
diterapkan dapat berupa pengembalian aset melalui jalur pidana, dan
pengembalian aset melalui jalur perdata. Di samping UU Tipikor,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi Konvensi
Anti Korupsi (UNCAC) 2003 yang mengatur juga bahwa pengembalian
aset dapat dilakukan melalui jalur pidana (aset recovery secara tidak
langsung melalui criminal recovery) dan jalur perdata (aset recovery
secara langsung melalui civil recovery). Secara teknis, UNCAC
mengatur pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi dapat melalui
pengembalian secara langsung dari proses pengadilan yang
dilandaskan kepada sistem
―negotiation plea” atau ―plea bargaining system” dan melalui
pengembalian secara tidak langsung yaitu dengan proses penyitaan

4
Saldi Isra, Aset Recovery Tindak Pidana Korupsi Melalui Kerjasama Internasional, Lokakarya tentang

Kerjasama Internasional dalam Pemberantasan Korupsi (Semarang,2008)


,https://www.saldiisra.web.id/index.php/21makalah/makalah1/47-asset-recovery-tindak-pidana-korupsi-
melalui-kerjasama-internasional.html#_ftn1.

5
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Korupsi Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam
Sistem Hukum Indonesia (Bandung: Alumni, 2007). Hlm. 104

Page 4 of 72
berdasarkan keputusan pengadilan.6
Pengembalian aset Tipikor melalui jalur perdata terdapat pada
ketentuan-ketentuan pada Pasal 32 ayat (1), Pasal 34, Pasal 38B ayat (2)
dan (3) UU Tipikor. Pertama, Ketentuan Pasal 32 ayat (1) mengatur
bahwa dalam hal penyidik berpendapat tidak terdapat cukup bukti pada
satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi sedangkan secara nyata
telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera
menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa
Pengacara Negara. Jaksa Pengacara Negara berdasarkan berkas yang
diserahkan oleh penyidik melakukan gugatan perdata atau
diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan
gugatannya. Kedua, penguatan pengembalian kerugian negara
dilakukan dengan mewajibkan pelaku untuk membuktikan harta benda
miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak
pidana korupsi. Pada kondisi dimana terdakwa tidak dapat
membuktikan bahwa harta benda yang diperoleh bukan karena tindak
pidana korupsi maka hakim atas dasar kewenangannya dapat memutus
seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara.
Ketiga tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan
tuntutannya pada perkara pokok.
Pengajuan gugatan perdata dinilai seperti senjata yang sangat
ampuh untuk langsung menyerang para pelaku tindak pidana dalam
upaya pengembalian aset- aset hasil tindak pidana korupsi selain
mendapatkan hukuman pidana. Hal tersebut harus dilaksanakan apabila
aset yang disebutkan dalam putusan sebelumnya ditemukan lagi adanya
aset lain yang belum teridentifikasi sebagai hasil tindak pidana korupsi.7

6
Lilik Mulyadi, ―Pengembalian Aset (Aset Recovery) Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-
Undang Korupsi Indonesia Pasca Konvensi PBB Anti Korupsi 2003,‖ terakhir diubah tahun 2009,
http://halamanhukum.blogspot. co.id/2009/08/asset- recovery.html.

7
Himawan Ahmed Sanusi, ―Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi,‖ Majalah

Page 5 of 72
Gugatan perdata dalam rangka perampasan aset hasil tipikor, memiliki
karakter yang spesifik, yaitu hanya dapat dilakukan ketika upaya pidana
tidak lagi memungkinkan untuk digunakan dalam upaya pengembalian
kerugian negara pada kas negara. Keadaan dimana pidana tidak dapat
digunakan lagi antara lain tidak ditemukan cukup bukti; meninggal
dunianya tersangka, terdakwa, terpidana; terdakwa diputus bebas;
adanya dugaan bahwa terdapat hasil korupsi yang belum dirampas
untuk negara walaupun putusan pengadilan telah berkekuatan hukum
tetap. Dengan adanya pengaturan gugatan perdata untuk perampasan
aset dalam Undang-Undang Tipikor dalam Pasal 32, 33, 34, 38C.
Undang-Undang Tipikor dapat disimpulkan bahwa tanpa adanya
pengaturan tersebut maka perampasan aset hasil tipikor dengan
menggunakan mekanisme perdata tidak dapat dilakukan.8
Pengembalian aset dari jalur kepidanaan dilakukan melalui proses
persidangan dimana hakim di samping menjatuhkan pidana pokok juga
dapat menjatuhkan pidana tambahan. Menurut Lilik Mulyadi, apabila
diperinci maka pidana tambahan dapat dijatuhkan hakim dalam
kapasitasnya yang berkorelasi dengan pengembalian aset melalui
prosedur pidana ini dapat berupa:9
1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud
atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik
terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula

Keadilan, 2012. Hlm. 34-35

8
Marfuatul Latifah, ―Urgensi Pembentukan Undang- Undang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Di
Indonesia,‖ Jurnal Negara Hukum Vol. 6, no. 1 (2015).
Hlm. 25

9
Lilik Mulyadi, ―Pengembalian Aset (Aset Recovery) Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-
Undang Korupsi Indonesia Pasca Konvensi PBB Anti Korupsi 2003,‖ terakhir diubah tahun 2009,
http://halamanhukum.blogspot.co.id/ 2009/08/asset- recovery.html.

Page 6 of 72
harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
(Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Tipikor);
2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya
sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu)
bulan sesudah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang
untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak
mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana
dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman
maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam
UU ini lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan
pengadilan. (Pasal 18 ayat (1) huruf
3. b, ayat (2), (3) UU Tipikor); Pidana denda dimana aspek ini dalam
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mempergunakan
perumusan sanksi pidana (strafsoort) bersifat kumulatif (pidana
penjara dan atau pidana denda), kumulatif-alternatif (pidana penjara
dan/atau pidana denda) dan perumusan lamanya sanksi pidana
(strafmaat) bersifat determinate sentence dan indifinite sentence;
4. Penetapan perampasan barang-barang yang telah disita dalam hal
terdakwa meninggal dunia (peradilan in absentia) sebelum putusan
dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa pelaku telah
melakukan tindak pidana korupsi. Penetapan hakim atas
perampasan ini tidak dapat dimohonkan upaya hukum banding dan
setiap yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada
pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan tersebut dalam waktu
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman. (Pasal 38
ayat (5), (6), (7) UU Tipikor);
5. Putusan perampasan harta benda untuk negara dalam hal terdakwa

Page 7 of 72
tidak dapat membuktikan bahwa harta benda tersebut diperoleh
bukan karena tindak pidana korupsi yang dituntut oleh Penuntut
Umum pada saat membacakan tuntutan dalam perkara pokok.
(Pasal 38B ayat (2), (3) UU Tipikor).

Pada prakteknya tindakan perampasan yang dilakukan


berdasarkan putusan peradilan pidana itu dapat menemui beberapa
kendala bahkan penghentian dalam rangka tindakan perampasan tersebut.
Perkara tersebut diantaranya :10
a. Pelaku kejahatan melakukan pelarian (buronan). Pengadilan pidana
tidak dapat dilakukan jika si tersangka adalah buron atau dalam
pengejaran;
b. Pelaku kejahatan telah meninggal dunia atau meninggal sebelum
dinyatakan bersalah. Kematian menghentikan proses sistem
peradilan pidana yang berlangsung;
c. Pelaku kejahatan memiliki kekebalan hukum (immune);
d. Pelaku kejahatan memiliki kekuatan dan kekuasaan sehingga
pengadilan pidana tidak dapat melakukan pengadilan terhadapnya;
e. Si pelaku kejahatan tidak diketahui akan tetapi aset hasil
kejahatannya diketahui/ditemukan;
f. Aset kejahatan dikuasai oleh pihak ketiga yang dalam kedudukan
secara hukum pihak ketiga tidak bersalah dan bukan pelaku atau
tidak terkait dengan kejahatan utamanya;
g. Tidak adanya bukti yang cukup untuk diajukan dalam pengadilan
pidana.

Setelah berlakunya UU Tipikor selama 17 tahun, telah banyak


pelaku Tipikor yang diajukan ke persidangan dan memperoleh putusan

10
Wahyudi Hafiludin Saledi, ―Implikasi Perampasan Aset Terhadap Pihak Ketiga Yang Terkiat Dengan
Tindak Pidana Korupsi‖ (Universitas Indonesia, 2010).Hlm. 65-66

Page 8 of 72
dari pengadilan. Berdasarkan Laporan Kinerja Mahkamah Agung
mencatat pemulihan aset negara sepanjang tahun 2016 sebesar Rp.1,5
Triliun diantaranya berasal dari 356 perkara korupsi, berupa uang
pengganti sebesar Rp.647.373.468.339,- (enam ratus empat puluh tujuh
miliar tiga ratus tujuh puluh tiga juta empat ratus enam puluh delapan
ribu tiga ratus tiga puluh sembilan rupiah) dan denda senilai
Rp.75.956.400.000,- (tujuh puluh lima miliar sembilan ratus lima puluh
enam juta empat ratus ribu rupiah), jika dibandingkan dengan kerugian
keuangan yang diderita negara sepanjang tahun 2015 akibat Tindak
Pidana Korupsi adalah sebesar Rp.31.077.000.000.000,- (tiga puluh
satu triliun tujuhpuluh tujuh miliyar rupiah), sebagaimana
disampaikan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW)11 maka
sesungguhnya perampasan aset hasil Tipikor dalam rangka
pengembalian kerugian keuangan negara tidak cukup berhasil.
Aparat penegak hukum sangat sulit untuk melakukan perampasan
aset hasil tindak pidana yang telah dikuasai oleh pelaku tindak pidana.
Kesulitan yang ditemui dalam upaya perampasan aset hasil tindak
pidana sangat banyak, seperti kurangnya instrumen dalam upaya
perampasan aset hasil tindak pidana. Sistem dan mekanisme yang ada
mengenai perampasan aset tindak pidana pada saat ini belum mampu
mendukung upaya penegakan hukum yang berkeadilan dan
meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.12
Selain itu juga menjadi sebabnya adalah belum adanya kerja sama
internasional yang memadai, dan kurangnya pemahaman terhadap
mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana oleh aparat penegak
hukum, serta lamanya waktu yang dibutuhkan sampai dengan aset hasil

11
Dyah Dwi A,―ICW:Korupsi 2015 Rugikan Negara Rp31,077 Triliun,Antara News, last modified 2016, accessed
February16,2016, http://www.antaranews.com/berita/546929/icw-korupsi-2015-rugikan negararp31077-triliun.
12
Konsideran Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Hasil Tindak

Pidana.

Page 9 of 72
tindak pidana dapat disita oleh negara, yaitu setelah mendapatkan
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.13
Sebagai perwujudan dari keinginan parlemen untuk mendukung
upaya pengembalian aset, saat ini muncul wacana untuk melakukan
pengaturan mengenai perampasan aset hasil tindak pidana dalam
undang- undang tersendiri. Usulan untuk membentuk undang- undang
mengenai perampasan aset hasil tindak pidana terlihat dengan adanya
persetujuan untuk memasukkan Rancangan Undang-Undang tentang
Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana tersebut terdapat paradigma baru
terkait dengan mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana yang
mengacu pada beberapa konvensi internasional, khususnya
UNCAC yang di dalamnya menggunakan mekanisme perampasan
aset tanpa pemidanaan. Hal ini tentu saja adalah berbeda dengan
ketentuan penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana yang
dipraktekan di Indonesia selama ini. Karena selama ini perampasan aset
di dalam sistem hukum Indonesia dapat dilakukan setelah proses
penegakan hukum memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan
tetap.14 Dalam konteks ini maka perlu dikaji tentang urgensi dan
mekanisme pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang penelitian tentang “Urgensi dan


Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi”
tersebut maka ada tiga permasalahan dalam pengkajian ini, sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan mengenai pengembalian aset

13
Latifah, ―Urgensi Pembentukan Undang-Undang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana di

Indonesia.‖ p. 18

14
Ibid. p. 19

Page 10 of 72
hasil tindak pidana korupsi dalam hukum positif?
2. Bagaimanakah kendala dalam pelaksanaan pengembalian aset
hasil tindak pidana korupsi selama ini?
3. Bagaimanakah urgensi dan mekanisme pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi dalam ius constituendum?

C. Tujuan Penelitian

Atas perumusan beberapa masalah sebagaimana tersebut di atas


maka tujuan penelitian tentang ―Urgensi dan Mekanisme Pengembalian
Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi‖, diantaranya:

1. Untuk mengetahui, menganalisis dan menjawab masalah tentang


pengaturan mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi dalam hukum positif;
2. Untuk mengetahui, menganalisis dan menjawab masalah kendala
dalam pelaksanaan
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi selama ini; dan

3. Untuk mengetahui, menganalisis dan menjawab masalah tentang


urgensi dan mekanisme pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi dalam ius constituendum.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian tentang “Urgensi dan Mekanisme Pengembalian


Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi” ini memiliki dua aspek kegunaan
yaitu secara teoritis dan praktis. Secara teoritis, penelitian ini berguna
bagi kalangan akademisi dalam hal pengembangan ilmu hukum pidana
khususnya yang terkait dengan perampasan aset terpidana korupsi
sebagai upaya pengembalian kerugian negara.
Adapun secara praktis, penelitian ini dapat digunakan sebagai
tambahan referensi bagi para penegak hukum maupun para hakim pada

Page 11 of 72
peradilan Tipikor, baik pada tingkat pertama, banding dan Mahkamah
Agung RI.
Selain itu juga dapat dimanfaatkan sebagai referensi bagi Dewan
Perwakilan Rakyat dalam menyusun dan membahas Rancangan
Undang-Undang tentang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana
Korupsi.

Page 12 of 72
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DAN LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Tindak Pidana Korupsi


Korupsi berasal dari bahasa latin “corruptio” atau “corruptus”,
yang kemudian muncul dalam banyak bahasa Eropa, Inggris,
Prancis “corruption” bahasa Belanda “corruptie” yang kemudian
muncul pula dalam bahasa Indonesia “korupsi”.15 Di Indonesia, kita
menyebut korupsi dalam satu tarikan nafas sebagai “KKN” (korupsi,
kolusi,nepotisme). “Korupsi” selama ini mengacu kepada berbagai
“tindakan gelap dan tidak sah” (illicit or illegal activities) untuk
mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Definisi ini
kemudian berkembang sehingga pengertian korupsi menekankan
pada “penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk
keuntungan pribadi”.16

Philip mengidentifikasi tiga pengertian luas yang paling sering


digunakan dalam berbagai pembahasan tentang korupsi:17
a) Korupsi yang berpusat pada kantor publik (public Office centered
corruption). Philip mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku dan
tindakan pejabat publik yang menyimpang dari tugas-tugas publik
formal. Tujuannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau
orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengannya seperti
keluarga, kerabat dan teman. Pengertian ini juga mencakup kolusi
dan nepotisme: pemberian patronase karena alasan hubungan
kekeluargaan (ascriptive), bukan merit.
b) Korupsi yang berpusat pada dampaknya terhadap kepentingan

15
Andi Hamzah, Delik-Delik Tersebar di Luar KUHP (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982).

16
Azyumardi Azra, ―Korupsi Dalam Perspektif Good Governance,‖ Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 2, no. 1

(2002). Hlm. 31

17
Ibid. Hlm.31-32

Page 13 of 72
umum (public interest-centered). Dalam kerangka ini, korupsi
sudah terjadi ketika pemegang
kekuasaan atau fungsionaris pada kedudukan publik, melakukan tindakan-
tindakan tertentu dari orang- orang dengan imbalan (apakah uang atau materi
lain). Akibatnya, tindakan itu merusak kedudukannya dan kepentingan
publik.

c) Korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered) yang berdasarkan analisa


korupsi menggunakan teori pilihan publik dan sosial, dan pendekatan
ekonomi dalam kerangka analisa politik. Menurut pengertian ini, individu
atau kelompok menggunakan korupsi sebagai ―lembaga‖ ekstra legal untuk
mempengaruhi kebijakan dan tindakan birokrasi. Hanya individu dan
kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang lebih
mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak lain.

Menurut ACFE, korupsi terbagi ke dalam pertentangan kepentingan


(conflict of interest), suap (bribery), pemberian ilegal (illegal gratuity),
dan pemerasan (economic extortion). Pengertian korupsi ini tentu saja
berbeda dengan pengertian korupsi yang terkandung dalam UU Tipikor.
Dalam bahasa hukum positif tersebut, pengertian korupsi secara umum,
adalah perbuatan yang diancam dengan ketentuan pasal-pasal UU
Tipikor. Misalnya salah satu pasal, korupsi terjadi apabila memenuhi
tiga kriteria yang merupakan syarat bahwa seseorang bisa dijerat
dengan undang-undang korupsi, ketiga syarat tersebut adalah: 1)
melawan hukum; 2) memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi; 3) merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Dengan kriteria tersebut maka orang yang dapat dijerat dengan undang-
undang korupsi, bukan hanya pejabat Negara saja melainkan pihak
swasta yang ikut terlibat dan badan usaha/korporasi pun dapat dijerat
dengan ketentuan UU Tipikor.18

18
Eddy Mulyadi Soepardi,”Peran BPKP Dalam Penanganan Kasus Berindikasi Korupsi Pengadaan Barang Dan Jasa
Konsultasi Instansi Pemerintah” Universitas Indonesia dengan INKINDO, 2010). hlm. 5

Page 14 of 72
Pengertian korupsi dapat diperluas dengan perbuatan pegawai negeri atau
penyelenggara Negara yang karena jabatannya menerima sesuatu (gratifikasi)
dari pihak ketiga, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf B ayat (1) UU Tipikor
dan Pasal 16 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Definisi secara lengkap, telah dijelaskan
dalam 13 buah pasal dalam UU Tipikor. Berdasarkan pasal-pasal tersebut,
korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk atau jenis tindak pidana korupsi.
Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang
bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi. Ketiga puluh bentuk/jenis tindak
pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi: Kerugian
keuangan Negara; Suap menyuap; Penggelapan dalam jabatan; Pemerasan;
Perbuatan curang; Benturan kepentingan dalam pengadaan; dan Gratifikasi.19

2. Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi


Kata “aset” berasal dari bahasa Inggris, yaitu asset, yang berarti 1) mutable
person or quality, 2) thing owned, esp property, that can be sold to pay I debt.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, aset adalah, 1) sesuatu yang
mempunyai nilai tukar modal. Kata “aset” dalam bahasa Indonesia sinonim
dengan kata “modal, kekayaan”. Menurut Black‘s Law Dictionary,”asset” berarti
“1) An item that is owned and has value. 2. (pl.) The entries of property owned,
including cash, inventory, real estate, accounts receivable, and goodwill. 3. (pl.).
All the property of a person (esp. A bankrupt or defeased person) available for
paying debts”.20

Pada dasarnya lingkup pengertian aset diatur dalam Kitab Undang-Undang


Hukum Perdata (KUHPer) pasal 499 yang dinamakan kebendaan, yaitu tiap-
tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik. Kebendaan

19
Ibid. 20http://www.hariandialog.com

20
KPK,”Aset Koruptor, Mengapa Harus Disita? terakhir diubah tahun 2016, https://acch.kpk.go.id/id/ragam/fokus/aset

koruptor- mengapa-harus-disita.

Page 15 of 72
menurut bentuknya, dibedakan menjadi benda bertubuh dan tak bertubuh.
Sedangkan menurut sifatnya, benda dibedakan menjadi benda bergerak yaitu
yang dihabiskan dan tidak dapat dihabiskan, serta benda tidak bergerak. Hal ini
sesuai dengan pengertian harta kekayaan yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang, yaitu “Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau
benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang
diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung.”21

Aset hasil kejahatan biasanya diartikan sebagai setiap harta kekayaan, baik
yang berwujud atau tidak berwujud, baik benda bergerak maupun tidak bergerak,
yang merupakan hasil tindak pidana, atau diperoleh dari hasil tindak pidana, atau
sebagai bentuk keuntungan dari suatu tindak pidana. Lebih jauh dari itu, harta
kekayaan yang dapat dirampas tidak hanya terbatas pada sesuatu yang diperoleh
atau suatu bentuk keuntungan yang diperoleh dari suatu tindak pidana. Harta
kekayaan yang digunakan untuk membiayai (sebagai “modal”), atau sebagai
alat, sarana, atau prasarana, bahkan setiap harta kekayaan yang terkait dengan
tindak pidana atau seluruh harta kekayaan milik pelaku tindak pidana juga dapat
dirampas, sesuai dengan jenis tindak pidana yang terkait dengan harta kekayaan
tersebut. Dengan demikian, pelaku tindak pidana atau setiap orang yang terlibat
atau yang ingin melibatkan diri dalam suatu kejahatan atau organisasi kejahatan
akan menyadari bahwa selain kemungkinan keuntungan yang akan mereka
peroleh, ternyata mereka juga berhadapan dengan besarnya risiko kehilangan
harta kekayaan mereka.22

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan


Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menggunakan istilah “hasil

21
Arge Arif Suprabowo, ”Perampasan Dan Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Indonesia
Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Korupsi” (Universitas Pasundan, 2016). Hlm.6
22
Yudi Kristiana, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang: Perspektif Hukum Progresif, Yogyakarta. Thafamedia,

2015, hlm.22

Page 16 of 72
tindak pidana” untuk mendeskripsikan aset yang diperoleh dari tindak pidana
maupun aset yang terkait dengan tindak pidana, meskipun istilah yang lebih
tepat adalah “aset tindak pidana”. Penggunaan istilah ―hasil tindak pidana”
sebenarnya terkesan membatasi ruang lingkup dari ―aset yang terkait dengan
tindak pidana”, karena sebenarnya asset yang terkait dengan tindak pidana itu
mempunyai makna yang lebih luas dari sekedar hasil tindak pidana. 23 Dalam
konteks yang sama, juga dapat diberlakukan pengertian yang demikian terhadap
aset hasil tindak pidana korupsi.

3. Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi

Pengembalian aset yang diperoleh dari tindak pidana korupsi menurut


Purwaning juga dilandaskan atas prinsip-prinsip keadilan sosial sehingga institusi
negara dan institusi hukum mendapat tugas dan tanggung jawab menjamin
terwujudnya kesejahteraan bagi setiap individu- individu atau masyarakat. Atas
dasar itu, dalam konteks tindak pidana korupsi yang menghilangkan kemampuan
negara untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya maka negara wajib
menuntut pemulihan atas kekayaan yang diambil secara melawan hak.24

Fleming dalam bukunya Asset Recovery and Its Impact on Criminal


Behavior, An Economic Taxonomy: Draft for Comments, melihat pengembalian
aset sebagai: pertama, pengembalian aset sebagai proses pencabutan,
perampasan, penghilangan; kedua, yang dicabut, dirampas, dihilangkan adalah
hasil atau keuntungan dari tindak pidana; ketiga, salah satu tujuan pencabutan,
perampasan, penghilangan adalah agar pelaku tindak pidana tidak dapat
menggunakan hasil serta keuntungan- keuntungan dari tindak pidana sebagai alat
atau sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya.25

Pengembalian aset menurut Paku Utama adalah sistem penegakan hukum

23
Purwaning. M. Yanuar, Pengembalian Aset Korupsi Berdasarkan Konvensi PBB anti korupsi 2003
24
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19356/terob osan-uncac-dalam-pengembalian-aset-korupsi-melalui-
kerjasama-internasional.
25
Www.hukumonline.com, terakhir diubah tahun 2008

Page 17 of 72
yang dilakukan oleh negara korban (victim state) tindak pidana korupsi untuk
mencabut, merampas, menghilangkan hak atas aset hasil
tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana korupsi melalui rangkaian
proses dan mekanisme. Baik secara pidana maupun perdata, aset yang berada di
dalam maupun disimpan di luar negeri, yang dilacak, dibekukan, dirampas, disita,
dan dikembalikan kepada negara korban hasil tindak pidana korupsi, sehingga
dapat mengembalikan kerugian keuangan akibat tindak pidana korupsi. Juga
termasuk untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan/ atau calon pelaku
tindak pidana korupsi.26

Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER- 013/A/JA/06/2014 menggunakan


nomenklatur istilah Pemulihan Aset yang berarti yaitu proses yang meliputi
penelusuran, pengamanan, pemeliharaan, perampasan, pengembalian, dan
pelepasan aset tindak pidana atau barang milik Negara yang dikuasai pihak lain
kepada korban atau yang berhak pada setiap tahap penegakan hukum. Pemulihan
aset yang dimaksudkan dalam Peraturan Jaksa Agung ini dilakukan terhadap:
1. Aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana
termasuk yang telah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan
pribadi, orang lain, atau korporasi baik berupa modal, pendapatan maupun
keuntungan ekonomi lainnya yang diperoleh dari kekayaan tersebut atau aset
yang diduga kuat digunakan atau telah digunakan untuk melakukan tindak
pidana;
2. Barang temuan;
3. Aset Negara yang dikuasai pihak yang tidak berhak;
4. Aset-Aset lain sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan termasuk
yang pada hakikatnya merupakan kompensasi kepada korban dan/atau
kepada yang berhak.

Sangat disadari bahwa dalam strategi pemberantasan korupsi, upaya


pemidanaan bukan merupakan satu-satunya jalan efektif, tetapi perlu disusun
strategi yang lebih progresif. Pidana penjara yang merupakan jenis pidana pokok

26
Ibid.

Page 18 of 72
yang paling popular di antara pidana pokok lainnya (berdasarkan Pasal 10 KUHP)
memang dapat memberi pembalasan kepada para terpidana atas tindak pidana
korupsi yang terbukti dilakukannya. Akan tetapi, pidana penjara tidak selalu
menyelesaikan masalah, malah dapat menimbulkan masalah seperti over
capacity, ketidakjeraan koruptor, dan kerugian negara tidak kunjung
terselesaikan. Konsep tujuan pemidanaan yang berkembang selama ini dianggap
memiliki berbagai kelemahan terutama karena dianggap sama sekali tidak
memberikan keuntungan apapun bagi korban dan masyarakat.27

Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi telah menempati posisi


penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Artinya, keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi tidak hanya diukur


berdasarkan keberhasilan memidana pelaku tindak pidana korupsi, namun juga
ditentukan oleh tingkat keberhasilan mengembalikan aset negara yang telah
dikorupsi.
Tindakan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai upaya
meminimalisasi kerugian negara yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi
merupakan upaya yang tidak kalah penting dibanding pemberantasan tindak
pidana korupsi dengan vonis seberat-beratnya bagi pelaku.
Langkah untuk meminimalkan kerugian negara tersebut di samping
harus dilakukan sejak awal penanganan perkara juga mutlak dilakukan
melalui kerja sama dengan berbagai lembaga negara.28

27
https://news.okezone.com/read/2016/12/06/337/1559716/o pini-hari-antikorupsi-dan-etos-pengembalian-aset-korupsi
28
Ibid.

Page 19 of 72
B. Landasan Teori

1. Teori Negara Hukum


Indonesia telah mendasarkan dirinya sebagai Negara hukum. Sebagaimana
yang tercantum pada Pasal 1 ayat (3) Amandemen Undang-Undang Dasar 1945
(UUD 1945) menyebutkan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.

Dalam kepustakaan Indonesia istilah rechtsstaat dan the rule of law sering
diterjemahkan dengan negara hukum. Secara historis kedua istilah rechtsstaat
dan the rule of law lahir dari sistem hukum yang berbeda.
Istilah rechtsstaat mulai populer di Eropa sejak abad XIX, meskipun
pemikiran tentang itu sudah lama ada.29

Sedangkan istilah rule of the law mulai populer dengan terbitnya sebuah
buku dari Albert Van Diceytahun 1885, dengan judul Introduction to the Study
of the Law of the Constitution.30
Paham rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme
sehingga sifatnya revolusioner dan bertumpu pada Civil law system dengan
karakteristik administratif.
Sebaliknya paham the rule of law berkembang secara evolusioner dan
bertumpu pada Common law sistem dengan karakteristik judisial.31
Perbedaan karakteristik tersebut disebabkan karena pada zaman Romawi,
kekuasaan yang menonjol dari raja adalah membuat peraturan melalui dekrit.
Kekuasaan itu kemudian didelegasikan kepada pejabat-pejabat
administratif sehingga pejabat-pejabat administratif yang membuat
pengarahan-pengarahan tertulis bagi hakim tentang bagaimana memutus suatu
sengketa.
Sebaliknya di Inggris kekuasaan utama dari Raja adalah memutus perkara.

29
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia Sebuah Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya,

Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum Dan Pembentukan Peradilan Administrasi
Negara (Surabaya: Bina Ilmu, 1987). Hlm. 72.

30
Ibid.
31
Ibid.

Page 20 of 72
Peradilan oleh Raja kemudian berkembang menjadi suatu sistem peradilan
sehingga hakim-hakim peradilan adalah delegasi dari raja, akan tetapi bukan
melaksanakan kehendak Raja.
Walaupun demikian, perbedaan keduanya dalam perkembangan
selanjutnya tidak dipersoalkan lagi karena mengarah pada tujuan yang sama,
yaitu perlindungan terhadap hak asasi manusia.32
Pada konsep negara hukum secara umum, diidealkan bahwa yang harus
dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum.33

Karena hukum pada dasarnya sangat berkaitan dengan sistem hukum yang dianut
oleh negara yang bersangkutan dan merupakan dasar utama berdirinya suatu
negara.
Hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi hukum) dalam mengatur
dan menentukan mekanisme hubungan hukum antara negara dan masyarakat atau
antar anggota masyarakat yang satu dengan yang lain.34
Hakikat negara hukum adalah menjunjung tinggi sistem hukum yang
menjamin kepastian hukum (rechts zekerheids) dan perlindungan terhadap hak
asasi manusia (human rights).
Suatu negara yang berdasarkan atas hukum harus menjamin persamaan
(equality) setiap individu, termasuk kemerdekaan individu untuk menggunakan
hak asasinya.
Hal ini merupakan conditio sine quanon, mengingat bahwa negara hukum
lahir sebagai hasil perjuangan individu untuk melepaskan dirinya dari keterikatan
serta tindakan sewenang-wenang penguasa.
Atas dasar itulah, penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang
terhadap individu dan kekuasaannya pun harus dibatasi.35

32
Ibid.
33
Jimly Asshiddiqie,Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007).

Hlm.297
34
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi (Jakarta: UII Press, 2003). Hlm. 238-239
35
Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum (Bandung: Alumni, 1983). Hlm. 3

Page 21 of 72
Sri Soemantri Martosoewignjo menyebutkan empat unsur Negara hukum
yaitu: Pertama, pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus
berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan; Kedua, adanya
jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara); Ketiga, adanya
pembagian kekuasaan dalam negara; dan Keempat, adanya pengawasan dari
badan- badan peradilan (rechtsterlijke controle).36 Adapun Bagir Manan tentang
ciri suatu negara berdasarkan atas hukum, yaitu:37
a. Semua tindakan harus berdasarkan atas hukum;
b. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya;
c. Ada kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa terhadap
masyarakat (badan peradilan yang bebas);
d. Ada pembagian kekuasaan.

2. Teori Kebijakan Hukum Pidana


Tidaklah sah dan bertentangan dengan esensi negara hukum, bilamana
terdapat suatu kejahatan yang tidak ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan pengaturannya (khususnya pemidanaannya) tetapi dilakukan
penghukuman terhadapnya.

Pada asasnya, menjatuhkan pidana secara sewenang- wenang atau berlebihan


merupakan suatu kekejian terhadap hak asasi manusia38 dan sangat bertentangan
dengan nilai negara hukum. Ditentukan dalam Pasal 1 ayat
(1) KUHP yaitu tiada suatu perbuatan boleh dihukum,
melainkan atas kekuatan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu
daripada perbuatan itu.39 Olehnya diperlukan terlebih dahulu penetapan proses

36
Sri Soemantri Martosoewignjo, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut UUD 1945

(Bandung: Alumni, 1992). Hlm. 29


37
Bagir Manan, ―Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut UUD 1945‖ (Bandung, 1994).

Hlm. 19
38
Bagir Manan dan Susi Harijanti, Dwi, Memahami Konstitusi: Makna Dan Aktualisasi (Jakarta: Rajawali
Pers, 2014). Hlm.164-165
39
H.R. Abdussalam and Andri Desasfuryanto, Sistem Peradilan Pidana (Jakarta: PTIK, 2012). Hlm.389

Page 22 of 72
kriminalisasi yang mengandung pertimbangan politik hukum berupa kebijakan
hukum pidana.

Termasuk dalam hal penanggulangan korupsi, kebijakan atau upaya


penanggulangannya melalui hukum pidana sangat strategis. Pada dasarnya
penanggulangan kejahatan korupsi melalu kebijakan hukum pidana merupakan
bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (sosial defence) dan upaya
mencapai kesejahteraan masyarakat (sosial welfare). Dapat dikatakan, bahwa
tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah “perlindungan
masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”.40 Wajar pulalah apabila
kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari
kebijakan atau politik sosial (sosial policy). Kebijakan sosial (sosial policy) dapat
diartikan sebagai usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat
dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi di dalam pengertian
“sosial policy” sekaligus tercakup di dalamnya “sosial welfar” dan “sosial defence
policy”.41

Ditinjau dari sudut politik hukum, menjalankan politik hukum pidana juga
mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang
paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. 42 Selain itu
usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga
merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum
pidana). Sering pula dikatakan, bahwa politik atau kebijakan hukum pidana
merupakan bagian pula dari kebijakan penegakkan hukum (law enforcement
policy).

A. Mulder berpendapat bahwa politik hukum pidana (strafrechtpolitiek)

40
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi Indonesia (Bandung: CV

Utomo, 2004). Hlm 142

41
Ibid.
42
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1977). Hlm. 161

Page 23 of 72
adalah garis kebijakan untuk menentukan yaitu:
1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu
diubah atau diperbaharui;
2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
dan
3. Bagaimana cara penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan
pidana harus dilaksanakan.43
Dalam perspektif kebijakan, penggunaan hukum pidana sebagai sarana
penanggulangan kejahatan bukan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam
bidang kebijakan, karena pada hakikatnya, dalam memilih sebuah kebijakan
orang dihadapkan pada berbagai macam alternatif.44 Namun apabila hukum
pidana dipilih sebagai sarana penanggulangan kejahatan, maka kebijakan penal
harus dibuat secara terencana dan sistematis ini berarti bahwa memilih dan
menetapkan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan harus
memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya dan
bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya.45
Masalah kebijakan kriminal menurut Sudarto46 harus memperhatikan hal-
hal yang pada intinya sebagai berikut:
a) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan
nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata
material dan spiritual berdasarkan Pancasila. Dalam hal ini penggunaan
hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan
pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi
kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;
b) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan
hukum pidana harus merupakan ―perbuatan yang tidak dikehendaki‖, yaitu

43
Yesmil Anwar and Adang, Pembaharuan Hukum Pidana (Reformasi Hukum Di Indonesia) (Jakarta: Grasindo, 2008).

Hlm. 59.
44
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana (Bandung: Alumni, 1992).Hlm 89.
45
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996). Hlm 37.
46
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana (Jakarta: Rajawali Pers, 1997). Hlm 30.

Page 24 of 72
perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan/atau spiritual) atas
warga masyarakat;
c) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip “biaya
dan hasil” (cost-benefit principle). Untuk itu perlu diperhitungkan antara
besarnya biaya yang dikeluarkan dengan hasil yang diharapkan akan
dicapai;
d) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas (over blasting).

3. Teori Asset Recovery


Perspektif kebijakan kriminal menegaskan bahwa dalam hal
penanggulangan kejahatan, sangat penting untuk mempertimbangkan hal utama
terkait perbaikan dampak dari kejahatan serta bentuk pencegahan yang efektif
dan ekonomis. Termasuk dalam hal penanggulangan Tipikor, pertimbangan
kebijakan berkaitan pemulihan dampak kejahatan berupa pengembalian kerugian
Negara harus diakselerasikan dalam proses kriminalisasi. Merupakan tugas dan
Tanggung jawab negara untuk mewujudkan keadilan sosial dipandang dari sudut
teori keadilan sosial, memberikan justifikasi moral bagi negara untuk melakukan
upaya-upaya pengembalian aset hasil Tipikor.47
Cita-cita pemberantasan korupsi yang terkandung dalam peraturan
perundang-undangan, untuk saat ini setidaknya memuat tiga isu utama, yaitu
pencegahan, pemberantasan dan pengembalian aset hasil korupsi (asset
recovery). Amanat undang-undang itu bermakna, pemberantasan korupsi tidak
hanya terletak pada upaya pencegahan maupun pemidanaan para koruptor saja,
tetapi juga meliputi pengembalian aset Tipikor. Tetapi, jika kegagalan terjadi
dalam pengembalian aset hasil Tipikor, maka dapat mengurangi rasa jera
terhadap para koruptor.48 Dalam konteks ini Romli Atmasasmita mengemukakan

47
Arief, Korupsi dan Upaya Penegakan Hukum (Kapita Selekta). Hlm. 101
48
Sanusi, ―Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi.‖ Hlm. 25-26

Page 25 of 72
tindak pidana korupsi sebagai kejahatan terhadap kesejahteraan bangsa dan
negara yang ditandai dengan hilangnya aset hasil Tipikor merupakan bagian
penting dan strategis dalam upaya pemberantasan Tipikor.49
Upaya pengembalian aset negara ‗yang dicuri‘ (stolen asset recovery)
melalui Tipikor cenderung tidak mudah untuk dilakukan. Para pelaku Tipikor
memiliki akses yang luar biasa luas dan sulit dijangkau dalam menyembunyikan
maupun melakukan pencucian uang (money laundering) hasil tindak pidana
korupsinya. Permasalahan menjadi semakin sulit untuk upaya recovery
dikarenakan tempat penyembunyian (safe heaven) hasil kejahatan tersebut yang
melampaui lintas batas wilayah negara dimana Tipikor itu sendiri dilakukan. Bagi
negara- negara berkembang untuk menembus pelbagai permasalahan
pengembalian aset yang menyentuh ketentuan-ketentuan hukum negara-negara
besar akan terasa teramat sulit, apalagi negara berkembang tersebut tidak
memiliki hubungan kerja sama yang baik dengan negara tempat aset curian
disimpan.50
Brenda Grantland menjelaskan bahwa perampasan aset (asset forfeiture)
adalah suatu proses dimana pemerintah secara permanen mengambil properti dari
pemilik tanpa membayar kompensasi yang adil, sebagai hukuman untuk
pelanggaran yang dilakukan oleh properti atau pemilik. Dari definisi tersebut
dapat dilihat bahwa perampasan aset merupakan suatu perbuatan permanen yang
berbeda dengan penyitaan yang merupakan perbuatan sementara, karena barang
yang disita akan ditentukan dalam putusan apakah akan dikembalikan pada yang
berhak, dirampas atau untuk negara dimusnahkan atau akan digunakan bagi
pembuktian perkara lain.51

49
Yanuar, Pengembalian Aset Korupsi Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia.

Hlm. 21
50
Isra, Aset Recovery Tindak Pidana Korupsi Melalui Kerjasama Internasional.
51
Hangkoso Satrio W., ―Perampasan Aset Penangan Tindak Pidana Korupsi Dan Tindak Pidana

Pencucian Uang (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 1454K/Pid.Sus/2011 DenganTerdakwa
Bahasuim Assifie)‖ (Universitas Indonesia, 2012). Hlm. 21

Page 26 of 72
Terminologi perampasan dalam KUHAP dikenal dengan kata ―rampas‖
yang diatur dalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP bahwa dalam hal putusan
pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan
menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang
paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan
tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus
dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga
tidak dapat dipergunakan lagi. Menurut Marjono Reksodiputro bahwa konsep
hukum (Legal concept) perampasan aset menurut hukum pidana Indonesia adalah
tindakan perampasan bentuk sanksi pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh
hakim, bersama-sama dengan pidana pokok.52

Peraturan Jaksa Agung (PERJA) Nomor 013/A/JA/06/2014 tentang


Pedoman Pemulihan Aset, menyatakan bahwa perampasan adalah tindakan paksa
yang dilakukan oleh negara untuk memisahkan hak atas aset berdasarkan putusan
pengadilan, sedangkan penyitaan aset para pelaku korupsi merupakan langkah
antisipatif yang bertujuan untuk menyelamatkan atau mencegah larinya harta
kekayaan. Harta kekayaan inilah yang kelak oleh pengadilan, apakah harus
diambil sebagai upaya untuk pengembalian kerugian keuangan negara atau
sebagai pidana tambahan berupa merampas hasil kejahatan. Sehingga proses
penyitaan adalah suatu upaya paksa yang menjadi bagian dari tahap penyidikan,
berkekuatan hukum tetap (in kracht).
Terdapat dua jenis perampasan aset dalam kaitannya dengan upaya
pengembalian aset yang berasal dari tindak pidana, yaitu perampasan aset dengan
mekanisme hukum perdata (inrem) dan perampasan aset secara pidana yang
mendasar dalam hal prosedur dan penerapannya dalam melakukan perampasan
aset yang merupakan hasil dari suatu tindak pidana. Kedua jenis perampasan aset
tersebut mempunyai dua tujuan yang sama, pertama: mereka yang melakukan

52
Mardjono Reksodiputro, Masukan Terhadap RUU Tentang Perampasan Aset, Sosialisasi RUU (Jakarta,

2009).

Page 27 of 72
pelanggaran hukum tidak diperbolehkan untuk mendapatkan keuntungan dari
pelanggaran hukum yang ia lakukan. Hasil dan instrumen dari suatu
tindak pidana harus dirampas dan digunakan untuk korban (negara atau subjek
hukum). Kedua, pencegahan pelanggaran hukum dengan cara menghilangkan
keuntungan ekonomi dari kejahatan dan mencegah perilaku jahat.

Page 28 of 72
BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Pada dasarnya, penelitian hukum terbagi dalam beberapa jenis berdasarkan


fokus penelitiannya diantaranya yaitu penelitian hukum normatif, penelitian
hukum normatif-empiris, dan penelitian hukum empiris.53 Metode penelitian
yang digunakan dalam penelitian tentang “Urgensi dan Mekanisme Perampasan
Aset Terpidana Korupsi Sebagai Upaya Pengembalian Kerugian Negara” ini
adalah metode penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif (normative law research) menggunakan studi
kasus hukum normatif berupa produk perilaku hukum, misalnya mengkaji
rancangan undang-undang. Pokok kajiannya adalah hukum yang dikonsepkan
sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi acuan
perilaku setiap orang.
Penelitian hukum normatif berfokus pada inventarisasi hukum positif, asas-
asas dan doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara in konreto, sistematika
hukum, taraf sinkronisasi, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.54

B. Pendekatan Penelitian

Pendekatan adalah keseluruhan unsur yang dipahami untuk mendekati


suatu bidang ilmu dan memahami pengetahuan yang teratur, bulat, mencari
sasaran yang ditelaah oleh ilmu tersebut.55 Setiap permasalahan yang ada
mempunyai cara pendekatan masalah yang berbeda-beda. Pada umumnya dalam
penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Macam- macam pendekatan
yang digunakan di dalam penelitian hukum diantaranya: (a). Pendekatan undang-
undang (statute approach);(b).Pendekatan kasus (case approach);

53
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Huku (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004). Hlm. 52
54
Ibid.
55
The Liang Gie, Ilmu Politik: Suatu Pembahasan Tentang Pengertian, Kedudukan, Lingkup Metodologi (Yogyakarta:

UGM Press, 1982). Hlm.47

Page 29 of 72
(c).Pendekatan historis (historical approach); (d).Pendekatan komparatif
(comparative approach); dan (e).Pendekatan konseptual (conseptual
approach).56

Sesuai dengan permasalahan penelitian yang ada maka digunakan beberapa


pendekatan masalah yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach)
dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan (statute
approach) digunakan dalam mengkaji hierarki dan asas-asas untuk menjawab
rumusan masalah pertama dan ketiga. Pendekatan kasus (case approach)
dimaksudkan untuk menelusuri ratio legis dan dasar ontologis lahirnya peraturan
perundang-undangan.57 Dengan mempelajari ratio legis dan dasar ontologis suatu
undang-undang, maka peneliti akan mampu menangkap kandungan filosofis
yang ada di belakang undang-undang itu. Atas pemahaman dari kandungan
filosofis yang ada di belakang undang-undang itu, maka peneliti akan dapat
menyimpulkan mengenai ada tidaknya benturan filosofis antara undang-undang
dengan isi yang dihadapi.58

Adapun pendekatan kasus digunakan untuk menjawab permasalahan kedua dalam


penelitian ini yaitu terkait eksistensi dan dinamika perkembangan hukum
perampasan aset terpidana Tipikor dalam hukum positif di Indonesia. Pendekatan
Kasus (case approach) digunakan dalam rencana penelitian ini adalah dengan
menganalisis putusan-putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap (inkracht van gewijsde) yang substansinya, baik secara langsung maupun
tidak langsung, menyangkut dan terkait dengan hukum perampasan aset terpidana
Tipikor. Melalui dokumen berupa putusan pengadilan tersebut dapat ditemukan
apakah hakim benar-benar berperan sebagai corong undang-undang dan
mengikatkan diri secara teguh pada tata prosedural formal. Ataukah di dalamnya
dapat ditemukan juga adanya terobosan hukum, inisiatif baru dari hakim yang

56
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2014). Hlm. 93
57
Ibid
58
Ibid, hlm.94

Page 30 of 72
bertujuan untuk dapat lebih memberi akses keadilan kepada para pihak.59
C. Data Penelitian
Terdapat dua jenis data dalam suatu penelitian yaitu data primer dan data
sekunder. Adapun untuk penelitian tentang “Urgensi dan Mekanisme
Perampasan Aset Terpidana Korupsi Sebagai Upaya Pengembalian Kerugian
Negara” menggunakan sumber utama berupa data sekunder atau bahan pustaka.60
Data sekunder yang dimaksud meliputi bahan hukum. Adapun sumber bahan
hukum dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:61

a. Bahan hukum primer (primary resource atau authooritative records), berupa


UUD 1945, Ketetapan MPR, peraturan perundang-undangan dan peraturan
pelaksanaanya;

b. Bahan hukum sekunder (secondary resource atau not authoritative records),


berupa bahan-bahan hukum yang dapat memebrikan kejelasan terhadap
bahan hukum primer, seperti literatur, hasil-hasil penelitian, makalah-
makalah dalam seminar, artikel- artikel dan lain sebagainya; dan
c. Bahan hukum tersier (tertiary resource), berupa bahan-bahan hukum yang
dapat memberi petunjuk dan kejelasan terhadap bahan hukum primer
maupun bahan hukum sekunder seperti berasal dari kamus/leksikon,
ensiklopedia dan sebagainya.

Melalui data dan bahan hukum di atas tim peneliti berupaya untuk
menemukan hukum inconcerto yang bertujuan untuk menemukan hukum yang
sesuai dan yang diterapkan di dalam suatu permasalahan tertentu,62 terutama yang

59
Sulistyowati Irianto dan Lim Sing Meiji. 2011. Praktek Penegakan Hukum: Arena Penelitian Sosiolegal Yang Kaya.

Dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi Dan Refleksi (Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2011). Hlm. 191
60
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Rajawali Pers, 1999). Hlm.13
61
Soerjono Soekanto and Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Rajawali Pers, 2006). Hlm. 13. lihat pula

Marzuki, Penelitian Hukum. Hlm. 14 dalam Lilik Mulyadi Op Cit. Hlm. 14


62
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum Dan Juri Metri (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990).

Page 31 of 72
berkaitan dengan hukum pengembalian aset terpidana Tipikor. Untuk
menambahkan dan melengkapi data sekunder dibutuhkan instrumen penelitian
berupa wawancara dengan responden yang telah ditentukan sesuai dengan
keperluan dan tujuan penelitian, berdasarkan kewenangan, pengetahuan,
pengalaman dan pemahaman terhadap permasalahan penelitian. Para responden
terdiri dari para Hakim Agung pada Mahkamah Agung, Hakim pada Pengadilan
Tingkat Banding dan Hakim pada Pengadilan Negeri di wilayah Jakarta,
Bandung dan Surabaya serta melibatkan juga para ahli di bidang hukum pidana
(akademisi) pada Fakultas Hukum Universitas di sekitar wilayah penelitian.

D. Analisis Data
Analisis data merupakan upaya untuk menjelaskan dan memaknai data,
dengan menggunakan alat bantu berupa teori. Pada dasarnya analisis data adalah
pertama, kegiatan melakukan klasifikasi/kategorisasi data berdasarkan tema-
tema yang muncul dari catatan lapangan dan temuan penelitian. Kedua, kegiatan
melakukan konfirmasi antara teori dan data.63

Secara teknis, beberapa bahan-bahan hukum dari berbagai peraturan


perundang-undangan dan konsep hukum serta hasil wawancara yang relevan
dengan penelitian ini akan dianalisis. Analisis dilakukan dengan menelaah dasar
ontologis dan ratio legis dari ketentuan perundang-undangan untuk dapat
memahami kandungan filosofis yang menjiwai undang-undang yang terkait dan
penafsiran hakim dalam pemidanaan pencucian uang pada setiap putusan
pengadilan yang telah dikaji.

Penarikan kesimpulan dari hasil analisis pembahasan yang sudah terkumpul


dilakukan dengan metode analisis kualitatif-normatif, yaitu dengan cara melakukan
penafsiran, korelasi, dan perbandingan terhadap bahan-bahan hukum dan
perbandingan konstruksi hukum yang relevan dengan kajian ini. Kemudian

63
Sulistyowati Irianto. 2011. Praktek Penelitian Hukum: Perspektif Sosiolegal dalam Irianto and Shidarta, Metode

Penelitian Hukum: Konstelasi Dan Refleksi. Hlm.310

Page 32 of 72
penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul dilakukan dengan
metode analisis normatif-kualitatif64 dan disajikan secara deskriptif.

64
Maria W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,

1989). Hlm. 25

Page 33 of 72
BAB IV
HASIL PEMBAHASAN

A. Pengaturan Mengenai Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi


Dalam Hukum Positif
Penegakan hukum melalui pengungkapan tindak pidana, menemukan
pelaku, serta memasukkan pelakunya ke dalam penjara (follow the suspect)
semata belum efektif dalam menekan terjadinya kejahatan jika tidak dibarengi
dengan upaya menyita dan merampas hasil dan instrumen tindak pidana.65
Keadaan tersebut semakin menemukan kebenarannya jika dihubungkan dengan
kejahatan yang bermodus ekonomi seperti korupsi. Dalam tindak pidana korupsi
keuntungan materiil merupakan salah satu karakteristik tindak pidananya. Hal itu
secara gamblang terlihat dari rumusan-rumusan pasal dalam Undang- Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seperti memperkaya, menguntungkan,
menerima pemberian, menggelapkan uang atau surat berharga serta beberapa
terminologi lain yang menunjukkan karakteristik modus ekonominya. 66 Oleh
karenanya, penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi juga harus berfokus
pada sisi keuntungan ekonomi sehingga dapat memulihkan kerugian yang
dialami negara akibat korupsi.

Upaya menyita dan merampas hasil serta instrumen tindak pidana yang
khususnya dalam tindak pidana korupsi sebelumnya sudah diinisiasi dalam
beberapa peraturan perundang-undangan. Antara lain dalam Peraturan Penguasa
Perang Pusat Nomor: PRT.PEPERPU/013/1958 Tentang Pengusutan, Penuntuan,
dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda yang mengatur
bahwa terdapat kekuasaan bagi pemilik harta benda untuk menyita harta benda
seseorang atau suatu badan apabila setelah mengadakan penyelidikan yang
seksama berdasarkan keadaan tertentu dan bukti-bukti lainnya memperoleh

65
Muhammad Yusuf, Merampas Aset Koruptor: Solusi Pemberantasan Korupsi Di Indonesia (Jakarta: Kompas, 2013).

Hlm. 4
66
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Page 34 of 72
dugaan yang kuat, bahwa harta benda itu termasuk dalam harta yang dapat disita
dan dirampas.67
Selain itu, pengaturan yang mendasarinya juga termuat dalam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Dalam perppu
tersebut mengatur bahwa segala harta benda yang diperoleh dari korupsi di
rampas, dan terdakwa dapat juga diwajibkan membayar uang pengganti yang
jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi. Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
juga menjadi salah satu dasar untuk melakukan perampasan aset atas seseorang
yang meninggal dunia, sebelum atas perkaranya ada putusan yang tidak dapat
diubah lagi telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan
Penuntut Umum memutus perampasan atas barang-barang yang telah disita
melalui putusan pengadilan.68
Berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 merupakan hukum positif
sebagai landasan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Undang-Undang ini telah mencakup pula ketentuan-ketentuan terkait upaya
pemulihan aset atas kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. Diantara upaya
yang termuat dalam pengaturan tersebut selain melalui penyitaan dan perampasan
juga terdapat ketentuan pembalikan beban pembuktian terhadap kekayaan pelaku
yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.69
Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam hukum positif adalah
sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara sebagai korban tindak
pidana korupsi untuk mencabut, merampas, menghilangkan hak atas aset hasil
tindak pidana korupsi melalui rangkaian proses dan mekanisme, baik secara
pidana dan perdata, aset hasil tindak pidana korupsi, baik yang ada di dalam

67
Ibid. Hlm. 5
68
Ibid.
69
Ibid. Hlm. 6

Page 35 of 72
maupun di luar negeri dilacak, dibekukan, dirampas, disita, diserahkan dan
dikembalikan kepada negara sebagai korban tindak pidana korupsi, sehingga
dapat mengembalikan kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh tindak
pidana korupsi, dan untuk mencegah pelaku tindak pidana korupsi menggunakan
aset hasil tindak pidana korupsi sebagai alat atau sarana untuk melakukan tindak
pidana lainnya dan memberikan efek jera bagi pelaku dan/atau calon pelaku
tindak pidana korupsi.70 Pengembalian aset-aset atau dapat dikatakan dengan
pengembalian keuangan negara dari hasil tindak pidana korupsi menarik untuk
dicermati.
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, dijelaskan bahwa
pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak akan
menghapuskan pidana pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 dan Pasal 3. Meskipun begitu dalam Penjelasan Pasal 4 disebutkan bahwa
pengembalian keuangan atau perekonomian negara merupakan salah satu faktor
yang meringankan pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana
korupsi. Namun pertanyaan yang timbul adalah bagaimana proses pelaksanaan
atau penegakan hukum terhadap asset recovery tersebut. Terdapat beberapa
bentuk langkah penegakan hukum pidana yang bisa diarahkan untuk tujuan dan
dalam rangka mengembalikan aset atau harta kekayaan yang berasal dari tindak
pidana korupsi. Di antara langkah tersebut yaitu melalui perampasan, pembuktian
terbalik, gugatan perdata, dan penerapan pidana pembayaran uang pengganti.
Langkah-langkah tersebut dapat diuraikan secara rinci sebagai berikut:

1. Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi

Ketentuan mengenai Perampasan Aset sudah lama dikenal dalam peraturan


perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia. Peraturan Penguasa
Perang Pusat Nomor: PRT/PEPERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan
dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda, yang
merupakan ketentuan yang pertama kali menggunakan istilah korupsi, terdapat

70
Indri Oktaviani,” Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam Tentang Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi
(Studi Putusan Nomor: 01/Pid.sus/2011/PN.Tipikor.SMG)”(UIN Walisongo, 2014). Hlm.88

Page 36 of 72
pengaturan yang memberikan kekuasaan kepada pemilik harta benda untuk
menyita harta benda seseorang atau suatu badan apabila setelah mengadakan
penyelidikan yang seksama berdasarkan keadaan tertentu dan bukti- bukti lainnya
memperoleh dugaan yang kuat, bahwa harta benda itu termasuk dalam harta yang
dapat disita dan dirampas.71
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960
tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi
mengatur segala harta benda yang diperoleh dari korupsi dirampas, dan terdakwa
dapat juga diwajibkan membayar uang pengganti yang jumlahnya sama dengan
harta benda yang diperoleh dari korupsi. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memberikan kewenangan kepada
Hakim untuk melakukan perampasan aset atas seorang yang meninggal dunia,
sebelum atas perkaranya ada putusan yang tidak dapat diubah lagi, telah
melakukan suatu tindak pidana korupsi, maka Hakim atas tuntutan Penuntut
Umum, dengan putusan Pengadilan dapat memutuskan perampasan barang-
barang yang telah disita.72
Pada dasarnya mengenai penyitaan telah diatur dalam KUHAP. Penyitaan
adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan
di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan
peradilan (Pasal 1 angka 16). Selain dalam rangka dijadikan alat operasionalisasi
penyidikan dan penuntutan serta peradilan, penyitaan dalam konteks
pengembalian aset tindak pidana merupakan bagian terpenting di awal proses
penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebagaimana diketahui
begitu lihainya modus operandi korupsi yang dengan mudah menyembunyikan
aset- asetnya dari tindak pidana korupsi. Jika penegak hukum tidak secara cepat
menyita maka ada kemungkinan aset tersebut dilarikan ke suatu tempat atau
bahkan dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain.

71
Suprabowo, ―Perampasan dan Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Indonesia Sebagai

Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Korupsi.‖ Hlm.4


72
Ibid. Hal 4-5

Page 37 of 72
Tindakan penyitaan ini merupakan salah satu upaya paksa (dwang
middelen) yang dimiliki oleh Penyidik. Sebagai bagian dari upaya paksa, maka
keberadaannya sangat sensitif dan berpotensi disalahgunakan atau berlebihan
dalam penggunaannya sehingga menyebabkan terganggunya hak asasi dari
Tersangka atau Terdakwa. Oleh karenanya KUHAP menentukan bahwa
penyitaan hanya dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan
Negeri setempat (Pasal 38 ayat (1). Dalam keadaan yang sangat perlu dan
mendesak bilamana Penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk
mendapatkan surat izin terlebih dahulu maka Penyidik dapat melakukan
penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan
kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuannya
(Pasal 38 ayat (2)).
KUHAP merinci benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan diantaranya
yaitu: Pertama, benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau
sebagai diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil dari tindak
pidana; Kedua, benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan
tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; Ketiga, benda yang dipergunakan
untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana; Keempat, benda yang
khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; dan Kelima, benda
lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Adapun benda-benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau
karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan
mengadili perkara pidana sepanjang memenuhi kelima prasyarat yang ada
tersebut (Pasal 39)
Benda-benda yang dikenakan penyitaan tersebut, dikembalikan kepada
orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau
kepada mereka yang paling berhak apabila: Pertama, kepentingan penyidikan
dan penuntutan tidak memerlukan lagi; Kedua, perkara tersebut tidak jadi dituntut
karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana; dan
Ketiga, perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara

Page 38 of 72
tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu
tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
selanjutnya apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan
dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan
tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara,
untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi
atau, jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara
lain (Pasal46 KUHAP). Namun, jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa
barang bukti yang dirampas untuk negara (selain pengecualian sebagaimana
diatur dalam Pasal 46), Jaksa menguasakan benda tersebut kepada kantor lelang
negara untuk dijual lelang, hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas
nama Jaksa. (Pasal 273 ayat (3) KUHAP).
Pada perkembangannya, khusus tindak pidana korupsi yang memiliki
tambahan pengaturan terkait penyitaan yaitu dalam hal penetapan perampasan
barang- barang yang telah disita dalam hal terdakwa meninggal dunia (peradilan
in absentia) sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat
bahwa pelaku telah melakukan tindak pidana korupsi. Penetapan hakim atas
perampasan ini tidak dapat dimohonkan upaya hukum banding dan setiap
orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan
yang telah menjatuhkan penetapan tersebut dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal pengumuman. (Pasal 38 ayat (5), (6), (7) UU Tipikor).
Peran dari penyitaan aset sangat penting dalam proses pembayaran uang
pengganti, yaitu untuk mengunci harta kekayaan pelaku agar tidak
dipindahtangankan sampai dengan putusan inkracht. Melalui penerapan pidana
tambahan berupa pembayaran uang pengganti dengan diperkuat penyitaan
tersebut maka diharapkan mampu memberikan deterent effect secara konkret,
karena tidak akan ada lagi terpidana yang masih dapat berfoya- foya
menggunakan hasil korupsinya di dalam penjara.73 Dalam konteks ini UU Tipikor

73
KPK,”Aset Koruptor, Mengapa Harus Disita?” terakhir diperbaharui tahun 2016,

https://acch.kpk.go.id/id/ragam/fokus/aset-koruptor-mengapa-harus-disita.

Page 39 of 72
mengatur secara relatif lebih melengkapi aturan mengenai penyitaan dan
perampasan hasil dan instrumen tindak pidana korupsi.

2. Pembuktian Terbalik Dalam Rangka Optimalisasi Pengembalian Aset


Hasil Tindak Pidana Korupsi
Dihubungkan dengan upaya optimalisasi pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi, UU Tipikor memiliki instrumen pembuktian terbalik. Pada
dasarnya UU Tipikor telah mengatur ketentuan mengenai pembalikan beban
pembuktian terhadap perolehan harta kekayaan. Dalam hal terdakwa tidak dapat
membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya
atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat
digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37 (4)). Ketentuan pembebanan bukti
terbalik dalam UU Tipikor ini dilakukan dalam proses perkara pidana dan
dikaitkan dengan proses pidana itu sendiri. Apabila terdakwa dibebaskan atau
dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan
perampasan harta benda harus ditolak oleh hakim (Pasal 37 B).
Adapun terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan tetapi
diduga berasal dari tindak pidana korupsi maka juga harus pula dibuktikan
sebaliknya. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda
tersebut diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut
dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang
memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara
(Pasal 38 B ayat (1) dan (2) UU Tipikor). Apabila terdakwa dibebaskan atau
dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan
perampasan harta benda tersebut harus ditolak oleh hakim (Pasal 38 B ayat (6)
UU Tipikor).

Pada dasarnya pembuktian terbalik merupakan bentuk penyimpangan dari


pembuktian dalam KUHAP. Namun demikian, pembuktian terbalik tersebut
masih memiliki sifat terbatas dimana Jaksa Penuntut Umum masih diwajibkan
untuk melakukan pembuktian atas dakwaan yang diajukannya (vide Pasal 37 A

Page 40 of 72
ayat (3) UU Tipikor). Jadi undang-undang tidak semata-mata memberikan
Terdakwa kesempatan untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Perumusan
pembuktian terbalik dalam pembuktian tindak pidana korupsi ini sendiri telah
mengalami penyempurnaan dari rumusan semula, sehingga menunjukkan sifat
berimbang antara pembuktian yang dilakukan dengan akibat hukum dari
pembuktian bagi si Terdakwa itu sendiri.
Pada asasnya, ditinjau dari dimensi filosofis mengapa kebijakan legislasi
menerapkan adanya eksistensi pembalikan beban pembuktian dalam tindak
pidana korupsi disebabkan ada kesulitan dalam sistem hukum pidana Indonesia
untuk melakukan pembuktian terhadap perampasan harta kekayaan pelaku
(offender) apabila dilakukan dengan menggunakan teori pembuktian
negatif. Akibatnya, diperlukan ada aspek yuridis luar biasa dan perangkat hukum
luar biasa pula berupa sistem pembalikan beban pembuktian sehingga tetap
menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah dengan tetap memperhatikan hak
asasi manusia.74

3. Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Melalui Gugatan


Perdata
Pada dasarnya, penegakan tindak pidana korupsi melalui hukum
keperdataan lazim dilaksanakan di Italia, Irlandia dan Amerika Serikat melalui
penyitaan (confiscation) terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.
Dimensi ini secara tegas dikatakan Oliver Stolpe bahwa:“Countries such as Italy,
Ireland and the United States provide, under varying contitions, for the
possibility of civil or preventive confiscation of assets suspected to be derived
from certain criminal activity. Unlike confiscation in criminal proceedings, such
forfeiture laws do not require proof of illicit origin “beyond reasonable doublt”.
Instead, the consider proof on a balance of pribabilities or demand a high

74
Lilik Mulyadi, ―Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana

Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi,‖ Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 4,
no. 1 (2015). Hlm.111

Page 41 of 72
probability of illicit origin combined the inability of the owner to prove the
contrary”.75
Berkaitan dengan tindak pidana korupsi, UU Tipikor menentukan bahwa dalam hal
penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana
korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil
penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan
perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan
(Pasal 32 ayat (1)). Konstruksi ketentuan pasal ini banyak menimbulkan
problematika. Salah satu yang esensial adalah tidak jelasnya status dari orang yang
digugat perdata tersebut apakah sebagai pelaku, tersangka atau terdakwa.76
Apabila mengikuti alur polarisasi pemikiran pembentuk Undang-Undang
maka berkas hasil penyidikan yang diserahkan kepada Jaksa Pengacara Negara
untuk digugat perdata adalah selain bagian inti delik telah adanya kerugian
keuangan negara yang telah terbukti maka walaupun bagian inti delik lainnya
ataupun putusan bebas walaupun tidak terbukti tetap dapat dilakukan gugatan
perdata. Selintas ketentuan pasal tersebut mudah dilakukan akan tetapi pada
prakteknya banyak mengandung kompleksitas. Tegasnya, yang paling elementer
apabila dilakukan gugatan perdata tentu berdasarkan adanya perbuatan melawan
hukum dari tergugat, akan tetapi kompleksitasnya dapatkah negara melalui Jaksa
Pengacara Negara membuktikan tentang adanya kerugian negara tersebut
berdasarkan alat-alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal 164 HIR, 284 RBg dan
Pasal 1866 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP).77
UU Tipikor mengatur bahwa apabila setelah putusan pengadilan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik
terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi
yang belum dikenakan perampasan untuk negara (sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 B ayat (2)), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap

75
Rustam,”Asset Recovery Hasil Tindak Pidana Korupsi” Opini Cendekia (n.d.).Rustam. Hlm.18
76
Ibid
77
Ibid. Hal-19

Page 42 of 72
terpidana dan atau ahli warisnya (Pasal 38 C). Dasar pemikiran ketentuan dalam
Pasal ini adalah untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat terhadap pelaku
tindak pidana korupsi yang menyembunyikan harta benda yang diduga atau patut
diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Harta benda tersebut diketahui setelah
putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal tersebut,
negara memiliki hak untuk melakukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau
ahli warisnya terhadap harta benda yang diperoleh sebelum putusan pengadilan
memperoleh kekuatan tetap, baik putusan tersebut didasarkan pada Undang-
undang sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau setelah berlakunya Undang-
undang tersebut. Untuk melakukan gugatan tersebut negara dapat menunjuk
kuasanya untuk mewakili negara.
Ditegaskan dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004, Pasal 30 ayat (1)
yaitu bahwa di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a).
melakukan penuntutan, b).Melaksanakan penetapan hakim dan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, c).melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana
pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat, d). melakukan penyidikan terhadap
tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang, e).Melengkapi berkas
perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum
dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan
penyidik. Lebih lanjut dalam Pasal 30 ayat (2) sudah jelas tertera tugas dan
wewenang lain selain dalam bidang pidana yaitu tugas dan wewenang Kejaksaan
dalam bidang perdata dan tata usaha negara. Jaksa pengacara negara dalam
pengembalian keuangan dan atau aset negara hasil tindak pidana korupsi maupun
atas dasar kerugian keperdataan merupakan kegiatan jaksa dalam bidang bantuan
hukum yang diperuntukkan kepada instansi pemerintah atau lembaga negara,
BUMN/BUMD dalam kedudukan selaku penggugat. Jaksa mewakili
pemerintah/BUMN/BUMD menggugat pihak lain baik swasta maupun
masyarakat yang berkaitan dengan perdata, pendapatan/kekayaan negara/daerah

Page 43 of 72
atau pemulihan hak-hak demi kesejahteraan rakyat.78
Penggunaan instrumen perdata oleh Jaksa Pengacara Negara dalam
pengembalian kerugian keuangan Negara mengakibatkan prosedur pengembalian
aset sepenuhnya tunduk kepada ketentuan hukum perdata yang berlaku, baik
materiil maupun formil. Hubungan antara aset-aset dengan seseorang, apakah
ia pelaku atau bukan pelaku tindak pidana, diatur dalam hukum kebendaan yang
masuk dalam wilayah hukum perdata. Dengan meletakkan tanggung jawab
perdata kepada pelaku tindak pidana korupsi dan ahli warisnya diharapkan
kerugian keuangan negara yang terjadi akibat perbuatan tersebut dapat
dikembalikan seutuhnya dan sekaligus merupakan shok therapy bagi calon–calon
koruptor lainnya karena jika koruptor tersebut meninggal dunia sebelum ia
sempat melunasi dan mengembalikan uang negara yang dikorupsinya maka
pelunasannya masih dapat dituntut kepada ahli warisnya.79

4. Pidana Pembayaran Uang Pengganti Dalam Rangka Pengembalian Aset


Hasil Tindak Pidana Korupsi
Selain mengatur pidana denda sebagai bagian dari upaya penghukuman dan
menjerakan pelaku tindak pidana korupsi, UU Tipikor mengatur pula pidana
tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang memiliki tujuan untuk
memulihkan kerugian keuangan Negara yang diakibatkan oleh adanya tindak
pidana korupsi. Pasal 17 UU Tipikor menyatakan bahwa “selain dapat dijatuhi
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, 3, 5 s/d Pasal 14. Terdakwa dapat
dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18”. Selanjutnya
Pasal 18, menyebutkan bahwa:
(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam KUHP, sebagai
pidana tambahan adalah: (a). Perampasan barang bergerak yang berwujud
atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk

78
Ahmad Busro, ―Optimalisasi Peran Jaksa Pengacara Negara Dalam Pengembalian Keuangan dan/atau Aset Negara

Hasil Tindak Pidana Korupsi Maupun Atas Dasar Kerugian Keperdataan‖ (Universitas Diponegoro, 2011). Hlm.xii
79
Franz Rudy Putra Zebua, Iman Jauhari dan Taufik Siregar, Op Cit, hlm.156

Page 44 of 72
atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik
terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari
barang yang menggantikan barang-barang tersebut. (b). Pembayaran uang
pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda
yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. (c).Penutup seluruh atau
sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun. Pencabutan
seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau
sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh
Pemerintah kepada terpidana.
(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta
bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang
pengganti tersebut.
(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman
maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-
undang ini lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan
pengadilan.
Sesungguhnya jauh sebelum UU Tipikor (UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo.
UU Nomor 20 Tahun 2001). Dasar hukum pengembalian keuangan negara
pertama kali diatur di dalam Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957,
tanggal 9 April 1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Dalam Pasal 5 disebutkan
bahwa:
“Barang siapa melakukan korupsi dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya 5 (lima) tahun, segala harta benda yang diperoleh dari korupsi
itu dirampas atau diwajibkan membayar uang pengganti sejumlah sama dengan
harga harta benda yang diperoleh dari korupsi”. Dari pasal ini dapat diketahui
bahwa, undang- undang ini menggunakan asumsi bahwa hasil yang dikorupsi
adalah sebanding dengan segala harga benda yang diperoleh dari korupsi,

Page 45 of 72
sehingga jumlah uang pengganti sama dengan segala harta benda yang diperoleh
dari korupsi. Pengembalian kerugian keuangan negara ini baru menjadi
kewajiban terpidana bila segala harta benda yang diperoleh dari korupsi tidak
dirampas.80

Selanjutnya pengaturan tentang pengembalian kerugian keuangan negara


juga terdapat di dalam Peraturan Penguasa Militer No. Prt/Perpu/013/1958
tanggal 16 April 1958 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan
Perbuatan Pidana Korupsi dan Penilikan Harta Benda. Jika ditilik lebih jauh,
ketentuan ini tidak berbeda jauh dengan ketentuan sebelumnya yang ada di dalam
Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957, tanggal 9 April 1957 tentang
Pemberantasan Korupsi. Pada perkembangan berikutnya lagi, pengembalian
kerugian keuangan negara diatur di dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 34 menyatakan bahwa
selain ketentuan-ketentuan pidana yang dimaksud dalam KUHP, maka sebagai
hukuman tambahan, salah satunya adalah uang pengganti yang jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dengan korupsi.
Kemudian di dalam penjelasan pasal tersebut, disebutkan bahwa apabila
pembayaran uang pengganti tidak dipenuhi oleh terdakwa, maka berlaku
ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan hukum denda.81
Dalam rangka penyelamatan keuangan negara akibat tindak pidana korupsi,
jaksa penyidik sejak dimulainya penyidikan wajib melakukan penyitaan terhadap
harta benda tersangka, istri/ suami, anak dan setiap orang atau badan yang
mempunyai hubungan dengan perkara tersangka. Penyitaan ini dilakukan
berdasarkan hasil penelitian yang cermat dari kegiatan- kegiatan penyidikan yang
dilakukan sebelumnya. Lebih lanjut mengenai hal ini dalam Surat Edaran Jaksa
Agung No. SE-04/JA/8/1998 tentang Pelaksanaan Pidana Tambahan Pembayaran
Uang Pengganti menjelaskan, dalam rangka melaksanakan putusan hakim, jika

80
Rustam,”Asset Recovery Hasil Tindak Pidana Korupsi” Hlm.9
81
Ibid. Hlm.9-10

Page 46 of 72
pembayaran uang pengganti belum mencukupi, jaksa eksekutor melakukan
penyitaan terhadap harta benda lainnya dari terpidana tanpa memerlukan
campur tangan dari pihak pengadilan dalam bentuk izin penyitaan yang
dituangkan dalam bentuk penetapan dan lain-lain.
Apabila pengadilan menjatuhkan pidana tambahan pembayaran uang
pengganti, sekaligus ditetapkan juga maksimum penjara pengganti yang harus
dijalani terpidana jika tidak melunasi uang pengganti tersebut. Tidak ada
pengaturan yang jelas mengenai penentuan besaran penjara pengganti dari uang
pengganti tersebut sehingga terjadi disparitas penentuan maksimum penjara
pengganti. Berdasarkan hal tersebut maka Mahkamah Agung menerbitkan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan
Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi. Perma ini mengatur bahwa dalam
hal menentukan jumlah pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi,
adalah sebanyak- banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi dan bukan semata-mata sejumlah kerugian keuangan Negara yang
diakibatkan. Dalam hal harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi
tidak dinikmati oleh Terdakwa dan telah dialihkan kepada pihak lain, uang
pengganti tetap dapat dijatuhkan kepada terdakwa sepanjang terhadap pihak lain
tersebut tidak dilakukan penuntutan, baik dalam tindak pidana korupsi maupun
tindak pidana lainnya, seperti tindak pidana pencucian uang. Adapun lama
penjara pengganti yang dapat dijatuhkan adalah setinggi-tingginya ancaman
pidana pokok atas pasal yang dinyatakan terbukti.

Lebih lanjut Perma mengatur bahwa apabila dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, terpidana tidak melunasi
pembayaran uang pengganti maka Jaksa wajib melakukan penyitaan terhadap
harta benda yang dimiliki terpidana. Jika setelah dilakukan penyitaan, terpidana
tak kunjung melunasi pembayaran uang pengganti maka Jaksa wajib melelang
harta benda tersebut dengan berpedoman pada Pasal 273 ayat (3) KUHAP.
Penjara pengganti yang harus dijalankan terpidana ditetapkan oleh Jaksa setelah
memperhitungkan uang pengganti yang telah dibayarkan sebelum pidana penjara

Page 47 of 72
pokoknya selesai dijalani. Terpidana dapat melakukan pelunasan sisa uang
pengganti yang telah dibayarkan setelah selesai menjalankan pidana penjara
pokok maupun pada saat menjalankan penjara pengganti. Adapun pelunasan
tersebut mengurangi sisa penjara pengganti sesuai dengan bagian yang
dibayarnya.

B. Kendala Dalam Pelaksanaan Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana


Korupsi
Korupsi adalah salah satu masalah terbesar yang dihadapi Indonesia dewasa
ini. Meski konon pemberantasannya semakin meningkat dalam sepuluh tahun
terakhir, belum terlihat tanda-tanda yang meyakinkan bahwa masalah ini dapat
segera diatasi. Indonesia tetap negara yang paling tinggi tingkat korupsinya di
seluruh dunia. Memberantas korupsi tidak mudah, karena sudah menjadi budaya
yang berurat berakar dalam segala level masyarakat. Namun berbagai
pemberantasannya tetap dilakukan secara bertahap. Jika tidak bisa dilenyapkan
sama sekali, paling tidak dikurangi.82 Demikian halnya dengan usaha-usaha
memulihkan kerugian keuangan Negara akibat perbuatan korupsi, juga harus
diupayakan seoptimal mungkin dengan menggunakan sarana-sarana normatif
yang ada. Jika tidak bisa dilaksanakan seluruhnya maka jangan pula “patah
arang” melepaskan penjeratan penggantian atau pengejaran aset hasil tindak
pidana korupsi.
Adanya beberapa pengaturan mengenai perampasan aset hasil tindak
pidana korupsi yang mengacu kepada KUHP, KUHAP, dan UU Tipikor belum
dirasa memadai untuk memberikan dasar pijakan dalam melakukan perampasan
dan pengembalian aset. Sehingga pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi dalam sistem hukum di Indonesia belum dapat diberlakukan dan
dilakukan secara efektif. Sejauh ini UU Tipikor hanya bisa menjatuhkan pidana
perampasan kebebasan, perintah pengembalian kerugian atau uang pengganti
yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh

82
Azra, “Korupsi Dalam Perspektif Good Governance.” Hlm.31

Page 48 of 72
dari tindak pidana korupsi sebagai diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, namun
ketentuan ini tidak serta merta kita berharap uang hasil korupsi bisa kembali
karena adanya ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3).83

Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1
satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi
uang pengganti tersebut (vide Pasal 18 ayat (2) UU Tipikor). Dalam hal terpidana
tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti,
maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman
maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang- undang
ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan
(Pasal 18 ayat (3) UU Tipikor). Kedua ketentuan ini menjadi celah yang sangat
mudah disiasati oleh koruptor untuk tidak mengembalikan atau membayar uang
pengganti.

Pidana uang pengganti tidak memiliki pidana alternatif (subsidiary) seperti


pidana denda yang dapat disubsider dengan pidana kurungan, dan karenanya
menurut Nur Syarifah adalah bukan menjadi kesempatan bagi terpidana untuk
memilih pidana mana yang akan dijalankannya. Parahnya, rumusan tersebut oleh
Kejaksaan justru dimaknai sebagai sebuah pilihan. Hal ini sebagaimana diakui
oleh Direktur Upaya Hukum dan Eksekusi Kejaksaan Agung Puji Basuki yang
menegaskan bahwa penggunaan kata “subsider” pada pidana penjara pengganti
dimaknai Jaksa Penuntut Umum sebagai sebuah pilihan. Pendapat sejalan juga
diadopsi dalam peraturan internal Kejaksaan yaitu dalam Keputusan Jaksa Agung
(Kepja) Nomor KEP-518/J.A/11/2001. Dalam Kepja tersebut disebutkan bahwa
salah satu tahapan eksekusi uang pengganti adalah menanyakan sanggup
tidaknya terpidana membayar uang pengganti. Kalimat “menanyakan sanggup
tidaknya terpidana membayar uang pengganti” tersebut jelas menegaskan bahwa

83
Yenti Ganarsih, Penegakan Hukum Anti Pencucian Uang Dan Permasalahannya Di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers,

2016). Hlm.114

Page 49 of 72
terpidana dapat memilih antara menyatakan sanggup atau tidak sanggup
membayar uang pengganti. Pemilihan ini jelas telah menyimpang dari arti
subsider yang sebenarnya, yaitu dari sebuah pengganti apabila hal pokok tidak
terjadi, menjadi sebuah pilihan. Kondisi ini pun pada akhirnya dimanfaatkan oleh
para terpidana” yang didukung dengan kondisi dan keterbatasan penanganan
perkara korupsi- untuk dapat dengan mudahnya mengaku tidak lagi mempunyai
harta untuk membayar uang pengganti, dan “memilih” pidana penjara pengganti
sebagai yang lebih menguntungkan baginya, terlebih didukung dengan adanya
kemungkinan terpidana bebas lebih cepat karena pemberian remisi pada waktu-
waktu tertentu. Jika penjatuhan uang pengganti dianggap sebagai sebuah pilihan,
maka upaya memulihkan keuangan Negara sebagai tujuan penegakan tindak
pidana korupsi tidak akan tercapai.84
Selain itu ketiadaan acuan dalam merumuskan pidana penjara pengganti
dalam hal uang pengganti tidak dibayar dalam jangka waktu tertentu telah
menimbulkan banyak disparitas dalam penjatuhan lamanya pidana penjara
pengganti. Misalnya pidana penjara pengganti selama 12 (dua belas) bulan
dijatuhkan oleh Putusan Nomor 655 K/Pid.Sus/2010 sebagai pengganti jika tidak
membayar uang sejumlah Rp.378.116.230.813,-. Hal ini sangat timpang dengan
Putusan Nomor 50 K/Pid.Sus/2010 yang juga menetapkan pidana penjara
pengganti selama 12 (dua belas) bulan atas tidak terbayarkannya uang
pengganti sejumlah Rp.2.800.000,-. Disparitas ini memperlihatkan bahwa
penjatuhan uang pengganti dalam jumlah besar tidak serta merta diikuti dengan
pidana penjara pengganti dalam waktu yang sepadan dengan nilai uang
pengganti, begitu pula sebaliknya. Jika uang pengganti yang dijatuhkan cukup
besar namun penjara pengganti yang ditetapkan tidak terlalu besar maka terdapat
celah permainan antara jaksa eksekutor dengan terpidana untuk berkolusi agar
harta hasil korupsi tidak dieksekusi namun langsung dikonversi menjadi pidana

84
Nur Syarifah,”Mengupas Permasalahan Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara

Korupsi,”Lembaga Kajian & Advokasi Indenpendensi Peradilan,terakhir diubah tahun2015, http://leip.or.id/mengupas-


permasalahan-pidana- tambahan-pembayaran-uang-pengganti-dalam-perkara- korupsi/#_ftn1.

Page 50 of 72
pengganti. Hal ini mengingat dalam perkara yang pidana penjara penggantinya
tidak sepadan dengan nilai uang pengganti, akan lebih ekonomis untuk terpidana
jika ia menjalani pidana penjara pengganti tersebut dibanding membayar uang
pengganti.85

Uang pengganti dalam perkara korupsi masih banyak mengandung


persoalan dalam proses pelaksanaannya oleh jaksa setelah mendapatkan
keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan mengikat, dimana belum
lengkapnya tentang regulasi mengaturnya dalam hal terdakwa meninggal dunia.
Artinya belum ada aturan secara jelas mengatur tentang apakah perbuatan korupsi
dapat ditanggung oleh ahli waris. Sebagai contoh Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 685K/Pid/2006 jo Putusan Pengadilan Tinggi
Manado Nomor 01/Pen.Pid/2005/PT.Mnd jo Putusan Pengadilan Negeri
Tondano Nomor 12/Pid.B/2001/PN.Tdo, dalam amar putusannya menerangkan
yang pada pokoknya: Menghukum pula terdakwa membayar uang pengganti
sebesar Rp.941.247.000,- (sembilan ratus empat puluh satu juta dua ratus empat
puluh ribu rupiah). Selanjutnya disebutkan juga bahwa Penetapan Pengadilan
Tinggi Manado Nomor 01/Pen.Pid/2005/ PT. Mnd tanggal 21 Februari 2005 yang
amarnya menetapkan sebagai berikut:
a. Menyatakan gugur hak menuntut hukuman terhadap diri terdakwa yang telah
meninggal dunia; b. Menghukum ahli
waris terdakwa yang telah meninggal dunia membayar uang pengganti sebesar
Rp.941.247.000,- (sembilan ratus empat puluh satu juta dua ratus empat puluh
tujuh ribu rupiah).86
Berdasarkan putusan di atas terpidana wajib membayarkan sejumlah uang
pengganti terhadap kerugian negara yang ditimbulkan oleh perbuatan korupsi
yang dilakukan oleh terpidana akan tetapi sebelum terpidana tersebut

85
Ibid.
86
Evans Emanuel Sinulingga,”Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Melalui Mekanisme Gugatan

Perdata,”Jurnal Lex Administratum Vol. 5, no. 4 (2017). Hlm.123-124

Page 51 of 72
membayarkan uang pengganti, terpidana telah meninggal dunia dan mewajibkan
ahli waris untuk membayar uang pengganti tersebut. Dalam hal ini pelaksanaan
putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, menurut Pasal 270
KUHAP serta Pasal 30 huruf b UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, dilakukan oleh Jaksa selaku eksekutor, dalam hal tersebut
pihak kejaksaan masih mengalami kesulitan karena uang pengganti dibebankan
kepada ahli waris. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberadaan pidana
tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti bagi terpidana korupsi
dinilai berjalan kurang efektif.87

Adapun masalah lain daripada dalam menerapkan pidana pembayaran uang


pengganti, yaitu dihadapi oleh Jaksa dalam hal gugatan perdata. Pasal 32 ayat (1)
UU Tipikor mengatur bahwa dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat
bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti,
sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik
segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa
Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada
instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Meskipun sudah ada
landasan yang demikian, akan tetapi Jaksa selaku pengacara negara dalam
melakukan penuntutan pertanggung-jawaban perdata terhadap pelaku tindak
pidana korupsi dan ahli warisnya sering kali terkendala oleh 2 (dua) faktor,
antara lain: Pertama, Faktor yuridis tindak pidana korupsi, yaitu tidak adanya
surat kuasa dari negara c/q instansi yang dirugikan kepada Jaksa pengacara
negara karena kesulitan dalam pembuktian, terpidana pelaku korupsi
mempergunakan upaya hukum dan grasi, dan jaksa penyidik tidak melakukan
penyitaan terhadap harta benda pelaku tindak pidana korupsi; dan Kedua, Faktor
non yuridis tindak pidana korupsi, terdiri dari : harta terpidana tidak mencukupi
untuk membayar uang pengganti kerugian negara, tidak tersedianya anggaran
biaya untuk mengajukan gugatan dan kurangnya sumber daya manusia yang

87
Ibid. Hlm.124

Page 52 of 72
potensial.88
Mengingat juga bahwa gugatan perdata dalam rangka perampasan aset hasil
tipikor, memiliki karakter yang spesifik, yaitu hanya dapat dilakukan ketika
upaya pidana tidak lagi memungkinkan untuk digunakan dalam upaya
pengembalian kerugian negara pada kas negara. Keadaan dimana pidana tidak
dapat digunakan lagi antara lain tidak ditemukan cukup bukti; meninggal
dunianya tersangka, terdakwa, terpidana; terdakwa diputus bebas; adanya dugaan
bahwa terdapat hasil korupsi yang belum dirampas untuk negara walaupun
putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap. Dengan adanya pengaturan
gugatan perdata untuk perampasan aset dalam Undang- Undang Tipikor dalam
Pasal 32, 33, 34, 38C, Undang- Undang Tipikor dapat disimpulkan bahwa tanpa
adanya pengaturan tersebut maka perampasan aset hasil tipikor dengan
menggunakan mekanisme perdata tidak dapat dilakukan.89

Pada sisi lain, tersedianya mekanisme perdata dalam upaya perampasan


aset hasil tipikor seperti yang terdapat dalam UU Tipikor juga belum maksimal
karena proses perdata menganut sistem pembuktian formil yang dalam
prakteknya bisa lebih sulit daripada pembuktian materiil. Dengan demikian
penerapan perampasan aset berdasarkan UU Tipikor belum berhasil secara
maksimal untuk mengembalikan kerugian keuangan negara sehingga diperlukan
suatu alternatif kebijakan hukum dalam upaya pengembalian kerugian keuangan
Negara, antara lain pengadopsian ketentuan perampasan aset tanpa tuntutan
pidana sesuai dengan Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003 dengan
melakukan beberapa penyesuaian dengan kondisi yang ada dalam sistem hukum
di Indonesia.90
Kendala kepada Jaksa lainnya yaitu dalam hal pelacakan aset hasil tindak

88
Frans Rudy Putra Zebua, Iman Jauhari, and Taufik Siregar, ―Tanggung jawab Pelaku Tindak Pidana Korupsi dan Ahli

Warisnya Dalam Pembayaran Uang Pengganti Kerugian Keuangan Negara Ditinjau dari Aspek Hukum Perdata (Studi Kasus
pada Pengadilan Negeri Medan),‖ Jurnal Mercatoria Vol. 1, no. 2 (2008). Hlm.160-161
89
Latifah,”Urgensi Pembentukan Undang-Undang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Di Indonesia”.Hlm.25
90
Ibid. Hlm.25-26

Page 53 of 72
pidana korupsi. Fungsi asset tracing adalah melacak dan mengidentifikasi harta
kekayaan tersangka maupun pihak yang terkait dalam tindak pidana korupsi, serta
memberikan dukungan data kepada penyidik dalam upaya penyiapan
pembayaran uang pengganti. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 ayat
(1) huruf b UU Tipikor bahwa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi. kegiatan pelacakan aset ini diarahkan untuk mendeteksi sejak awal (sejak
tahap penyidikan) seluruh harta kekayaan tersangka dan atau keluarga yang
mencurigakan dan tidak sesuai dengan profilnya yang diduga sebagai hasil tindak
pidana korupsi.91 Pelacakan aset adalah hal yang kompleks karena merupakan hal
yang tidak mudah untuk melacak apalagi untuk memperoleh kembali aset
tersebut sehingga Negara-negara berkembang dimana grand corruption
umumnya terjadi sangat merasakan kenyataan tersebut sebagai kesulitan dalam
upaya memperoleh kembali aset yang dicuri dan disembunyikan pada sentra-
sentra finansial dunia.92
Tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah nasional, melainkan
sudah menjadi fenomena transnasional.93 Kerja sama internasional menjadi hal
yang esensial dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi,
khususnya dalam upaya koruptor menyembunyikan hasil korupsinya melalui
pencucian uang dengan menggunakan transfer-transfer internasional yang
efektif. Tidak sedikit aset publik yang berhasil dikorup telah dilarikan dan
disimpan pada sentra finansial di Negara-negara maju yang terlindungi oleh
sistem hukum yang berlaku di negara tersebut dan oleh jasa para profesional yang
dibawa oleh koruptor.94

91
KPK,”Aset Koruptor,Mengapa Harus Disita?”
92
Jamin Ginting,”Perjanjian Internasional Dalam Pengembalian Aset Hasil Tindak Korupsi di Indonesia,”Jurnal Dinamika
Hukum Vol. 11, no. 3 (2011). Hlm.450
93
Melani,”Problematika Prinsip Double Criminality Dalam Hubungannya dengan Kerjasama Pencegahan dan
Pemberantasan Kejahatan Transnasional,‖ Jurnal Ilmu Hukum Litigasi Vol. 6, no. 2 (2005). Hlm.169

94
Nurmalawaty,”Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) dan Upaya
Pencegahannya”

Page 54 of 72
Upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar
negeri ini lebih sulit pelaksanaannya. Purwaning berpendapat bahwa berdasarkan
pada sudut pandang keadilan sosial Internasional, suatu negara yang menampung
aset negara lain dari hasil tindak pidana korupsi merupakan tanggung jawab
eksternal dalam melaksanakan kedaulatan suatu negara untuk menjaga
hubungannya dengan negara lain.95
Terdapat beberapa kendala dalam melaksanakan upaya pengembalian aset
hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri. Kejaksaan sebagai
lembaga yang diberi tugas dan kewenangan untuk melaksanakan putusan
pengadilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan. Kejaksaan telah melaksanakan tugas dan kewenangannya
perihal pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri
dengan menempuh beberapa upaya diantaranya dengan membentuk tim khusus
untuk melacak dan mengembalikan aset dan meningkatkan hubungan diplomasi
dengan beberapa negara yang sering menjadi tujuan pemindahan aset. Upaya
yang dilakukan menemui kendala, kendala-kendala yang dimaksud adalah
perbedaan sistem hukum, adanya pihak ketiga yang menghambat proses
pengembalian, dan lambannya proses hukum di Indonesia.96
Kesulitan yang dialami oleh penyidik ialah bagaimana melacak aset ini,
karena korupsinya dilakukan tidak pada saat ini, tapi dalam waktu yang telah
lama artinya cukup memakan waktu. Hampir rata-rata, tidak ada kasus korupsi
yang kita tangani yang baru 1-2 tahun dilakukan. Sehingga menimbulkan
kesulitan lebih lanjut, karena aset itu sudah berganti nama, di antaranya dilarikan
ke luar negeri. Karena kesulitan-kesulitan yang ditempuh, tepatnya pada Hari anti
korupsi sedunia, tanggal 9 Desember 2004, dicetuskan langkah-langkah
mengamankan aset yang sudah dikorupsi dan mengoptimalkan mencari

95
Yanuar, Pengembalian Aset Korupsi Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia.

Hlm. 108
96
Beniharmoni Harefa, ―Upaya Pengembalian Aset (Asset Recovery) Hasil Tindak Pidana Korupsi yang Berada di Luar

Negeri‖ (Universitas Gadjah Mada, 2011).

Page 55 of 72
terpidananya. Selain itu Sistem hukum yang berbeda juga merupakan hambatan
dalam mengejar terpidana maupun aset hasil korupsi. Contoh: sulitnya
mengekstradisi Hendra Rahardja (terpidana korupsi) dan asetnya dari Australia,
hingga yang bersangkutan meninggal dunia. Untuk kasus David N. Widjaja,
pemerintah Indonesia berhasil menangkap David N. Widjaja di Amerika karena
secara kebetulan hubungan kita baik dengan Amerika yaitu karena Indonesia
sering membantu informasi terkait masalah teroris, jadi Amerika pun memberi
kesempatan kepada Indonesia untuk menangkap David N. Widjaja. Itu juga
karena UU Imigrasi mereka yang dilanggar. Kalau karena sekedar hubungan baik
kedua negara, tidak mungkin mereka mengizinkan.97

C. Urgensi dan Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana


Korupsi Dalam Ius Constituendum
Adanya tindak pidana korupsi menyebabkan kerugian pada sektor
keuangan/kekayaan Negara yang berimplikasi terhadap program-program
pemerintah untuk menyejahterakan rakyat menjadi terhambat. Penegakan
korupsi yang sekarang diterapkan oleh penegak hukum di Indonesia hanya
menekankan kepada menjebloskan pelaku ke dalam penjara, tidak menekankan
kepada pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Ketiadaan aturan
mengenai pemiskinan koruptor menyebabkan lambatnya pengembalian aset dan
turunannya yang sudah dikuasai oleh para pelaku tindak pidana korupsi. Melihat
dampak dari perilaku serakah para pelaku tindak pidana korupsi seharusnya yang
menjadi fokus utama dari adanya penegak hukum pemberantasan korupsi
adalah pengembalian aset korupsi dan juga turunannya karena banyak pelaku
tindak pidana korupsi meskipun sudah mendekam akan tetapi bisnis yang berasal
dari hasil tindak pidana korupsi semakin berkembang seakan tidak ada efek jera.98

97
Basrief Arief, disampaikan dalam diskusi ahli tentang Implementasi Stolen Asset Recovery (StAR) dalam Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional, Jakarta, 28 Januari 2008 dalam Ramelan, Naskah
Akademik Rancangan Undang- Undang Tentang (Jakarta, 2012). Hlm. 12
98
A.F.Triwijaya,”Pengembalian Asset Hasil Tindak Pidana Korupsi Sebagai Solusi Pemberantasan Korupsi” diubah

terakhir tahun 2017,https://aftriwijaya.wordpress.com/2017/02/13/pengembalian-asset-hasil-tindak-pidana-korupsi


sebagai-solusi-pemberantasan- korupsi/.

Page 56 of 72
Berkembangnya pemahaman bahwa mencegah para pelaku tindak pidana
korupsi dapat mengubah dana hasil tindak pidana dari haram menjadi halal serta
menyita hasil tindak pidana korupsi, merupakan cara yang efektif untuk
memerangi tindak pidana korupsi itu sendiri disandingkan dengan pencucian
uang.99 Bilamana penegakan hukum terhadap koruptor juga dijeratkan tindak
pidana pencucian uang dan penegak hukumnya profesional serta terjaga
integritasnya maka peluang untuk hilangnya uang pengganti sangat kecil, bahkan
pelakunya pun akan mendapatkan pidana yang jauh lebih berat dan semua pihak
yang menerima atau menikmati hasil korupsi tersebut juga terjerat hukum sebagai
pelaku tindak pidana pencucian uang pasif.100
Mengenai pelaku pasif sendiri di dalam Undang- Undang No. 8 Tahun 2010
Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sudah
diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) yang merumuskan: ―Setiap Orang yang menerima
atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan,
penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).‖
Proses kriminalisasi terhadap tindak pidana pencucian uang pasif adalah inisiasi
Presiden selaku kepala pemerintahan dengan latar belakang masih terlalu multi
tafsirnya rumusan tindak pidana dalam undang-undang yang lama dan adanya
perluasan pihak yang berwajib untuk melakukan pelaporan. Hal ini
diperkuat dengan dasar yaitu;
1. Perbuatan tindak pidana pencucian uang pasif adalah kejahatan yang dapat
mengganggu tercapainya tujuan nasional terutama dalam sektor ekonomi
atau keuangan, hal ini berkaitan dengan terganggunya tujuan negara yaitu

99
Zebua, Jauhari, and Siregar,”Tanggung jawab Pelaku Tindak Pidana Korupsi dan Ahli Warisnya Dalam Pembayaran

Uang Pengganti Kerugian Keuangan Negara Ditinjau dari Aspek Hukum Perdata (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri
Medan).” Hlm.154
100
Ganarsih, Penegakan Hukum Anti Pencucian Uang dan Permasalahannya di Indonesia. Hlm.115

Page 57 of 72
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
2. Tindak pidana pencucian uang pasif tidak dikehendaki oleh masyarakat dan
menimbulkan kerugian yang dapat mendatangkan korban, sekalipun dalam
hal ini korban tidak secara langsung menyadari jika bagian dari korban tindak
pidana pencucian uang pasif (it seem to be a victimless crime).
3. Dengan dikiriminalisasinya tindak pidana pencucian uang pasif maka negara
mendapatkan banyak keuntungan (benefit) dibandingkan biaya (cost),
sebagaimana perubahan paradigma penegakan hukum tindak pidana
pencucian uang ialah follow the money, sehingga negara melalui aparat
penegak hukumnya dapat melacak dan menindak pelaku tindak pidana
pencucian uang melalui aliran uangnya.
4. Kriminalisasi terhadap tindak pidana pencucian uang pasif tidak akan
menyebabkan overbelasting aparat penegak hukum, dalam hal ini aparat
penegak hukum dibantu oleh financial intelligence unit (FIU) yaitu
PPATK.101
Selain penting untuk dilakukan upaya pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi melalui penjeratan tindak pidana pencucian uang, tak kalah
penting juga mengambil langkah teknis untuk mengatasi persoalan kemandekan
eksekusi pembayaran uang pengganti. Mandeknya eksekusi pembayaran
uang pengganti pada kenyataannya disebabkan oleh faktor kebijakan selain
karena faktor komitmen penegak hukum. Untuk mengoptimalkan pembayaran
uang pengganti tersebut diperlukan perubahan dan/atau penyempurnaan
kebijakan dalam penanganan perkara korupsi yaitu dengan menyeragamkan
tujuan pembayaran uang pengganti dan acuan dalam menetapkan uang pengganti.
Penyeragaman ini perlu ditegaskan dalam UU Tipikor agar tidak
menimbulkan kerancuan dan dualisme dalam penerapannya. Misalnya dalam hal
tujuan dan acuan yang didasarkan pada faktor kerugian negara, dibandingkan

101
Ahmad Bangun Sujiwo,”Kebijakan Kriminalisasi Tindak Pidana Pencucian Uang Pasif Dalam Tindak Pidana

Pencucian Uang “(Universitas Gadjah Mada, 2015).

Page 58 of 72
harta hasil korupsi yang dinikmati, dengan pertimbangan menghindari kesulitan
dalam pemilahan harta dan kemudahan dalam penghitungan. Demikian halnya
dengan perlunya menetapkan acuan dalam menghitung pidana penjara pengganti
dalam hal uang pengganti tidak dibayar atau dibayar sebagian oleh terpidana.
Selain itu perlu juga meluruskan kembali sifat dan makna pidana tambahan yang
melekat dalam pidana pembayaran uang pengganti untuk menghindari
misinterpretasi dalam memahami dan menjatuhkan pidana uang pengganti, serta
menyebabkan keragu-raguan dalam mengeksekusi uang pengganti. Pelurusan ini
dilakukan melalui putusan pengadilan yang konsisten dan perbaikan kebijakan
internal yang lebih memperlihatkan komitmen penegak hukum.102

Sangat penting juga adanya upaya memperbaiki mekanisme pengembalian


aset melalui jalur gugatan perdata. Pada realitanya, kesulitan yang dihadapi
adalah penerapan hukum acara perdata yang digunakan sepenuhnya tunduk pada
hukum acara perdata biasa yang menganut asas pembuktian formal. Beban
pembuktian terletak pada pihak yang mendalilkan (jaksa pengacara negara yang
harus membuktikan) kesetaraan para pihak, kewajiban hakim untuk
mendamaikan para pihak, dan sebagainya. Sedangkan jaksa pengacara
negara (JPN) sebagai penggugat harus membuktikan secara nyata bahwa telah
ada kerugian negara. Yakni, kerugian keuangan negara akibat atau berkaitan
dengan perbuatan tersangka, terdakwa, atau terpidana, adanya harta benda milik
tersangka, terdakwa, atau terpidana yang dapat digunakan untuk pengembalian
kerugian keuangan negara, Selain itu, seperti umumnya penanganan kasus
perdata, membutuhkan waktu yang sangat panjang sampai ada putusan hukum
yang berkekuatan hukum tetap. Hambatan tersebut harus segera diatasi untuk
mengoptimalkan pengembalian kerugian negara melalui pembuatan hukum acara
perdata khusus perkara korupsi, yang keluar dari pakem-pakem hukum acara
konvensional.103
Gugatan perdata perlu ditempatkan sebagai upaya hukum yang utama di

102
Syarifah,”Mengupas Permasalahan Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi.”
103
Ramelan, Naskah Akademik Rancangan Undang- Undang Tentang. Hlm.13

Page 59 of 72
samping upaya secara pidana, bukan sekedar bersifat fakultatif atau komplemen
dari hukum pidana, sebagaimana diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Oleh karena itu, diperlukan konsep pengembalian keuangan negara
yang progresif, misalnya dengan mengharmonisasikan pada Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi (United Nations Convention
Against Corruption/UNCAC) Tahun 2003.104 Sayangnya, Selama ini menurut
Eddy OS Hiariej, Pemerintah kurang tanggap dengan amanat konvensi PBB
mengenai Anti Korupsi yang meminta Negara pihak a quo Indonesia yaitu
menyesuaikan perubahan undang-undang pemberantasan korupsi setelah satu
tahun diratifikasi. Pergeseran fundamental menurut konvensi adalah
mengidentifikasi korupsi tidak hanya di sektor publik tapi juga swasta. Salah satu
tujuan konvensi tersebut adalah pengembalian aset hasil korupsi.105
Menurut UNCAC, pengembalian aset hasil korupsi sendiri terbagi dalam
empat tahap, yaitu tahap pelacakan aset, tahap tindakan pencegahan untuk
menghentikan perpindahan aset-aset melalui mekanisme pembekuan dan
penyitaan, tahap penyitaan, dan tahap penyerahan aset dari negara penerima
kepada negara korban tempat aset diperoleh secara tidak sah. Dalam rangkaian
pengembalian aset hasil korupsi, maka dapat ditempuh beberapa tahapan,
yaitu:106
1. Tahap pelacakan aset. Tahap ini merupakan tahap dimana dikumpulkannya
informasi mengenai aset yang dikorupsi dan alat-alat bukti. Untuk menjaga
lingkup dan arah tujuan investigasi menjadi fokus, menurut John
Conyngham, otoritas yang melakukan investigasi atau melacak aset-aset
tersebut bermitra dengan firma-firma hukum dan firma akuntansi. Untuk

104
Ibid. Hlm.13-14
105
Pendapat Eddy O.S Hiariej dalam sesi diskusi penelitian lapangan Puslitbang Kumdil MA di Pengadilan Tinggi

Yogyakarta

106
Dave Akbarshah Fikarno Laksono, ―Hari Antikorupsi dan Etos Pengembalian Aset Korupsi,‖ Okezone.com, diubah

terakhir tahun 2016, https://news.okezone.com/read/2016/12/06/337/1559716/o pini-hari-antikorupsi-dan-etos-pengembalian-


aset-korupsi.

Page 60 of 72
kepentingan investigasi dirumuskan praduga bahwa pelaku tindak pidana
akan menggunakan dana-dana yang diperoleh secara tidak sah untuk
kepentingan pribadi dan keluarganya.
2. Tahap pembekuan atau perampasan aset. Kesuksesan investigasi dalam
melacak aset-aset yang diperoleh secara tidak sah memungkinkan
pelaksanaan tahap pengembalian aset berikutnya, yaitu pembekuan atau
perampasan aset. Menurut UNCAC 2003, pembekuan atau perampasan
berarti larangan sementara untuk mentransfer, mengkonversi, mendisposisi
atau memindahkan kekayaan atau untuk sementara dianggap sebagai ditaruh
di bawah perwalian atau di bawah pengawasan berdasarkan perintah
pengadilan atau badan yang berwenang lainnya. Mengingat tindak pidana
korupsi merupakan salah satu kejahatan transnasional atau tidak jarang
terjadi melibatkan atau antara negara lain karena aset hasil korupsi disimpan
di negara lain, maka kerja sama antar negara dalam proses perampasan aset
sangat perlu diperhatikan. Jika aset-aset yang dikorupsi berada di luar
yurisdiksi Negara korban maka pelaksanaan perintah pembekuan dan
perampasan hanya dapat dilakukan melalui otoritas yang berkompeten dari
negara penerima.

3. Tahap penyitaan aset-aset. Penyitaan merupakan perintah pengadilan atau


badan yang berwenang untuk mencabut hak-hak pelaku tindak pidana
korupsi atas aset-aset hasil tindak pidana korupsi. Biasanya perintah
penyitaan dikeluarkan oleh pengadilan atau badan yang berwenang dari
negara penerima setelah ada putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana
pada pelaku tindak pidana. Penyitaan dapat dilakukan tanpa adanya putusan
pengadilan dalam hal pelaku tindak pidana telah meninggal atau menghilang
atau tidak ada kemungkinan bagi jaksa selaku penuntut umum melakukan
penuntutan.
4. Tahap penyerahan aset-aset hasil tindak pidana korupsi kepada korban atau
negara korban. Agar dapat melakukan pengembalian aset-aset, baik negara
penerima maupun negara korban perlu melakukan tindakan legislatif dan

Page 61 of 72
tindakan lainnya menurut prinsip-prinsip hukum nasional masing- masing
negara sehingga badan yang berwenang dapat melakukan pengembalian
aset-aset tersebut. Kebanyakan negara tidak mengatur secara khusus
ketentuan pembagian aset-aset yang dibekukan dan disita, sehingga pada
umumnya masalah pembagian aset-aset yang diatur dalam perjanjian
bantuan hukum timbal balik antara negara korban dengan negara penerima.
Kebijakan nasional di bidang perampasan aset tindak pidana harus
memiliki visi holistik berdasarkan kebutuhan yang nyata dan memenuhi standar
internasional, baik yang telah ditentukan oleh PBB, FATF, maupun lembaga atau
organisasi internasional lain yang kompeten di bidang pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana. Untuk dapat mewujudkan peraturan
perundang-undangan yang efektif di bidang perampasan aset tindak pidana
maka diperlukan komitmen politik, peraturan perundang-undangan yang
proporsional, intelijen di bidang keuangan yang kuat, pengawasan sektor
keuangan, penegakan hukum, dan kerja sama internasional.107 Mengingat
perampasan aset merupakan bagian penting dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana, khususnya tindak pidana korupsi, dan juga
pertimbangan akan kebutuhan perangkat hukum yang memadai dalam
memerangi tindak pidana korupsi, serta kebutuhan penyelarasan paradigma dan
ketentuan- ketentuan serta instrumen internasional secara maksimal dalam
peraturan perundang-undangan, maka perlu disusun dan segera disahkannya
RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.108
Menurut Romli Atmasasmita, kebutuhan atas Rancangan Undang-Undang
Perampasan Aset, berdasarkan kenyataan upaya penegakan hukum khususnya
terhadap tindak pidana korupsi tidak juga membuahkan hasil yang signifikan
terhadap kas negara. Selain itu, Romli menyatakan juga bahwa perangkat hukum
yang berlaku di Indonesia saat ini belum mampu secara maksimal mengatur dan
menampung kegiatan- kegiatan dalam rangka pengembalian aset hasil korupsi

107
Ramelan, Naskah Akademik Rancangan Undang- Undang Tentang. Hlm.184
108
Ibid. Hlm.185

Page 62 of 72
dan kejahatan di bidang keuangan dan perbankan pada umumnya. Senada dengan
itu, Mudzakkir, menyatakan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset perlu
disahkan karena cukup strategis untuk memberantas tindak pidana pencucian
uang di Indonesia. Selain itu, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset juga
berguna untuk pemulihan kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana yang
dilakukan oleh pelaku. Lebih lanjut Mudzakkir juga menegaskan bahwa
Rancangan Undang- Undang Perampasan Aset harus disusun secara proporsional
dan tetap mengedepankan unsure keadilan.109
Pada RUU Perampasan Aset dijawab sejumlah persoalan dan kendala
sebagaimana dijelaskan sebelumnya khususnya terkait dengan kepastian
hukum atas belum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Dalam Pasal 17 diatur bahwa sebelum terdapat putusan Perampasan Aset yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Menteri (yang menyelenggarakan
urusan Pemerintahan di bidang keuangan) dapat memberikan izin sementara
kepada pihak ketiga yang telah menggunakan atau memanfaatkan Aset tersebut
dengan persyaratan sebagai berikut: (a). tidak mengubah bentuk fisik Aset; (b).
tidak dialihkan penggunaan atau pemanfaatannya; (c). dilakukan pemeliharaan
dan perawatan; dan (d). tidak dipergunakan untuk melakukan perbuatan melawan
hukum. Adapun segala biaya perawatan, pajak, rekening tagihan, dan
pengeluaran lain yang diperlukan selama menggunakan atau memanfaatkan Aset
tersebut, dibebankan kepada pihak ketiga yang menggunakan atau memanfaatkan
Aset tersebut.
Secara terperinci RUU Perampasan Aset mengatur perampasan aset
dilakukan dalam hal: (a). tersangka atau terdakwanya meninggal dunia,
melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya; atau (b).
terdakwanya diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Untuk perampasan aset
dari keduanya, dapat juga dilakukan terhadap aset yang perkara pidananya
dimana tidak dapat disidangkan atau telah diputus bersalah oleh pengadilan yang

109
Latifah,”Urgensi Pembentukan Undang-Undang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Di Indonesia.”Hlm.19

Page 63 of 72
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan di kemudian hari ternyata diketahui
terdapat aset dari tindak pidana yang belum dinyatakan dirampas. Adapun
perampasan aset tersebut tidak berlaku terhadap kekayaan yang tidak wajar yang
akan dirampas. Perampasan Aset tidak menghapuskan kewenangan untuk
melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana. Aset yang telah dirampas
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam penuntutan terhadap pelaku tindak
pidana.
Diterangkan dalam Naskah Akademik RUU Perampasan Aset bahwa
dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan, hakim memerintahkan pemilik, pihak
yang menguasai aset, atau pihak ketiga yang keberatan terhadap permohonan
perampasan aset agar membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan
permohonan perampasan aset dimaksud bukan berasal atau terkait dengan tindak
pidana. Pemilik, pihak yang menguasai aset, atau pihak ketiga yang keberatan
terhadap permohonan perampasan aset membuktikan bahwa harta kekayaan yang
terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana dengan
cara mengajukan alat bukti yang cukup. Dalam hal pemilik, pihak yang
menguasai aset, atau pihak ketiga yang tidak dapat membuktikan bahwa aset
tersebut bukan berasal dari tindak pidana, hakim memutuskan aset tersebut
dirampas untuk Negara atau dikembalikan kepada yang berhak. Dalam hal
pemilik, pihak yang menguasai aset, atau pihak ketiga tidak hadir di persidangan
atau menolak memberikan bukti, hakim memutuskan aset tersebut dirampas
untuk Negara atau dikembalikan kepada yang berhak. 110
Pada dasarnya menyita dan merampas hasil dan instrumen tindak pidana
dari pelaku tindak pidana tidak saja memindahkan sejumlah harta kekayaan dari
pelaku kejahatan kepada masyarakat tetapi juga akan memperbesar kemungkinan
masyarakat untuk mewujudkan tujuan bersama yaitu terbentuknya keadilan dan
kesejahteraan bagi semua anggota masyarakat. Hal ini yang pada akhirnya
mendorong Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan terkait upaya

110
Ramelan, Naskah Akademik Rancangan Undang- Undang Tentang (Jakarta, 2012). Hlm.176-178

Page 64 of 72
percepatan pemberantasan tindak pidana korupsi. Salah satu kebijakan yang
menjadi prioritas Pemerintah Indonesia adalah pembuatan instrumen hukum yang
mampu merampas seluruh harta kekayaan yang dihasilkan dari suatu tindak
pidana serta seluruh sarana yang memungkinkan terlaksananya tindak pidana
terutama tindak pidana bermotif ekonomi.
Penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana, selain
mengurangi atau menghilangkan motif ekonomi pelaku kejahatan juga
memungkinkan pengumpulan dana dalam jumlah yang besar yang dapat
digunakan untuk mencegah dan memberantas kejahatan. Secara keseluruhan, hal
tersebut akan menekan tingkat kejahatan di Indonesia. Pendekatan untuk
menekan tingkat kejahatan melalui penyitaan dan perampasan hasil dan
instrumen tindak pidana sejalan dengan prinsip peradilan yang cepat, sederhana
dan berbiaya ringan.111

111
Ibid. Hlm.166

Page 65 of 72
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penegakan hukum melalui pengungkapan tindak pidana, menemukan
pelaku, serta memasukkan pelakunya ke dalam penjara (follow the suspect)
semata belum efektif menekan terjadinya tindak pidana korupsi jika tidak
dibarengi dengan upaya menyita dan merampas hasil dan instrumen
kejahatannya. Selain itu, penanganan tindak pidana korupsi tidak semata untuk
memidana pelaku namun juga harus memulihkan keuangan negara. Upaya yang
telah termuat dalam peraturan perundang-undangan untuk menjamin
terpulihkannya kerugian negara antara lain melalui: 1) perampasan aset hasil
tindak pidana korupsi; 2) pembuktian terbalik dalam rangka optimalisasi
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi 3) pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi melalui gugatan perdata serta 4) pidana pembayaran uang
pengganti dalam rangka pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.

Upaya-upaya yang telah diakomodir dalam peraturan perundang-undangan


untuk memaksimalkan pemulihan kerugian negara terkendala beberapa aspek
baik dari sisi personal penegak hukum maupun pengaturan. Dari sisi regulasi,
aturan terkait perampasan aset hasil tindak pidana korupsi yang mengacu kepada
KUHP, KUHAP maupun dalam UU Tipikor belum dirasa memadai untuk
memberikan dasar pijakan dalam melakukan perampasan dan pengembalian aset.
Sehingga pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam sistem hukum di
Indonesia belum dapat diberlakukan dan dilakukan secara efektif.
Sedangkan pada sisi personal penegak hukum masih terjadi
misinterpretasi. Diantaranya dalam memaknai Pasal 18 Ayat (1) huruf a UU
Tipikor. Ketentuan tersebut menyebutkan bahwa perampasan dilakukan terhadap
barang yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Karenanya penyidik maupun hakim terperangkap ketentuan tersebut sehingga
sangat berhati-hati melakukan penyitaan. Padahal dalam rangka penyelamatan
keuangan negara akibat tindak pidana korupsi, jaksa penyidik sejak dimulainya

Page 66 of 72
penyidikan telah diwajibkan melakukan penyitaan terhadap harta benda
tersangka, istri/suami, anak dan setiap orang atau badan yang mempunyai
hubungan dengan perkara tersangka. Imbas tidak adanya penyitaan selama proses
peradilan berlangsung menjadikan putusan uang pengganti menjadi tumpul saat
eksekusinya. Terdapatnya ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU Tipikor menjadi celah
untuk mengkonversi pembayaran uang pengganti menjadi pidana badan dengan
alasan terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar
uang pengganti.

B. Saran
Penekanan pada pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai
bentuk memulihkan kerugian negara sudah seharusnya dimaksimalkan.
Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dapat melalui beberapa cara yaitu
perampasan aset hasil tipikor, beban pembuktian terbalik, melalui gugatan
perdata, dan optimalisasi pembayaran uang pengganti serta upaya penjeratan
melalui ketentuan tindak pidana pencucian uang. Selain itu yang tak kalah
penting juga mengatasi persoalan kemandekan eksekusi pembayaran uang
pengganti dengan pembaruan kebijakan dan penguatan komitmen penegak
hukum untuk mengoptimalkan pengembalian akibat kerugian negara dari tindak
pidana korupsi.

Page 67 of 72
DAFTAR PUSTAKA

A, Dyah Dwi. “ICW: Korupsi 2015 Rugikan Negara Rp31,077 Triliun” Antara
News. Last modified 2016. Accessed February 16, 2016.
http://www.antaranews.com/berita/546929/icw- korupsi-2015-rugikan-
negara-rp31077-triliun.
Abdussalam, H.R., and Andri Desasfuryanto. Sistem Peradilan Pidana. Jakarta:
PTIK, 2012.
Anwar, Yesmil, and Adang. Pembaharuan Hukum Pidana (Reformasi Hukum Di
Indonesia). Jakarta: Grasindo, 2008.
Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Hukum Pidana.
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
Arief, Basrief. Korupsi Dan Upaya Penegakan Hukum (Kapita Selekta). Jakarta:
Adika Remaja Indonesia, 2006.
Asshiddiqie, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007.
Azra,Azyumardi.”Korupsi Dalam Perspektif Good Governance.” Jurnal
Kriminologi Indonesia Vol. 2, no. 1 (2002).
Busro,Ahmad.”Optimalisasi Peran Jaksa Pengacara Negara Dalam
Pengembalian Keuangan Dan Atau Aset Negara Hasil Tindak Pidana
Korupsi Maupun Atas Dasar Kerugian Keperdataan.” Universitas
Diponegoro, 2011.
Ganarsih,Yenti. Penegakan Hukum Anti Pencucian Uang Dan Permasalahannya
Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Gautama, Sudargo. Pengertian Tentang Negara Hukum. Bandung: Alumni,
1983.
Gie,The Liang. Ilmu Politik: Suatu Pembahasan Tentang Pengertian,
Kedudukan, Lingkup Metodologi. Yogyakarta: UGM Press, 1982.
Ginting,Jamin.”Perjanjian Internasional Dalam Pengembalian Aset Hasil
Tindak Korupsi Di Indonesia.” Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11, no. 3
(2011).

Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia Sebuah

Page 68 of 72
Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam
Lingkungan Peradilan Umum Dan Pembentukan Peradilan Administrasi
Negara. Surabaya: Bina Ilmu, 1987.
Hafiludin Saledi,Wahyudi.”Implikasi Perampasan Aset Terhadap Pihak Ketiga
Yang Terkiat Dengan Tindak Pidana Korupsi.” Universitas Indonesia, 2010.
Hamdan, M. Politik Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers, 1997.
Hamzah, Andi. Delik- Delik Tersebar Di Luar KUHP. Jakarta: Pradnya Paramita,
1982.
Harefa,Beniharmoni.”Upaya Pengembalian Aset (Asset Recovery) Hasil Tindak
Pidana Korupsi Yang Berada Di Luar Negeri.” Universitas Gadjah Mada,
2011.
Irianto, Sulistyowati, and Shidarta. Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan
Refleksi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.
Isra,Saldi.Aset Recovery Tindak Pidana Korupsi Melalui Kerjasama
Internasional. Lokakarya tentang KerjasamaInternasional dalam
Pemberantasan Korupsi.Semarang,2008.
https://www.saldiisra.web.id/index.php/21-makalah/makalah1/47-asset-recovery-
tindak- pidana-korupsi-melalui-kerjasama- internasional.html#_ftn1.
KPK.”Aset Koruptor, Mengapa Harus Disita” Last modified 2016.
https://acch.kpk.go.id/id/ragam/fokus/aset-koruptor-mengapa-harus-
disita.Laksono,Dave Akbarshah Fikarno.”Hari Antikorupsi Dan Etos
Pengembalian Aset Korupsi.”Okezone.com. Last modified 2016.
https://news.okezone.com/read/2016/12/06/337/1559716/opini-hari-
antikorupsi-dan-etos- pengembalian-aset-korupsi.
Latifah,Marfuatul.”Urgensi Pembentukan Undang- Undang Perampasan Aset
Hasil Tindak Pidana Di Indonesia.”Jurnal Negara Hukum Vol. 6, no. 1
(2015).
Manan,Bagir.Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut
UUD 1945.Bandung, 1994.
Teori Dan Politik Konstitusi. Jakarta: UII Press, 2003.
Manan, Bagir, and Susi Harijanti, Dwi. Memahami Konstitusi: Makna Dan
Aktualisasi. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Page 69 of 72
Martosoewignjo, Sri Soemantri. Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia Menurut UUD 1945. Bandung: Alumni, 1992.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2014.
Melani.”Problematika Prinsip Double Criminality Dalam Hubungannya
Dnegan Kerjasama Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan
Transnasional.” Jurnal Ilmu Hukum Litigasi Vol. 6, no. 2 (2005).
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2004.
Muladi, and Barda Nawawi Arief. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana. Bandung:
Alumni, 1992.
Mulyadi,Lilik.”Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana
Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan Dengan
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi.” Jurnal Hukum dan
Peradilan Vol. 4, no. 1 (2015).
“Pengembalian Aset (Aset Recovery) Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut
Undang-Undang Korupsi Indonesia Pasca Konvensi PBB Anti Korupsi
2003.”Lastmodified 2009. http://halamanhukum.blogspot.co.id/2009/08/asse
t-recovery.html.Nurmalawaty.”Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana
Pencucian Uang (Money Laundering) Dan Upaya Pencegahannya.”Jurnal
Equality Vol. 11, no. 1 (2006).
Oktaviani,Indri.”Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam Tentang
Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor: 01/
Pid.sus/ 2011/ PN.Tipikor.SMG).” UIN Walisongo, 2014.
Priyatno, Dwidja. Kebijakan Legislasi Tentang System Pertanggung Jawaban
Pidana Korporasi Indonesia. Bandung: CV Utomo, 2004.
Ramelan. Naskah Akademik Rancangan Undang- Undang Tentang. Jakarta,
2012.
Reksodiputro, Mardjono. Masukan Terhadap RUU Tentang Perampasan Aset.
Sosialisasi RUU. Jakarta, 2009.
Rustam.”Asset Recovery Hasil Tindak Pidana Korupsi.” Opini Cendekia
(n.d.).

Page 70 of 72
Sanusi, Himawan Ahmed.”Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana
Korupsi.” Majalah Keadilan, 2012.
Sinulingga, Evans Emanuel.”Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi
Melalui Mekanisme Gugatan Perdata.”Jurnal Lex Administratum Vol. 5, no.
4 (2017).
Soekanto, Soerjono. Penelitian Hukum Normatif.
Jakarta: Rajawali Pers, 1999.
Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:
Rajawali Pers, 2006.
Soemitro, Ronny Hanitijo. Metode Penelitian Hukum Dan Juri Metri. Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1990.
Soepardi,Eddy Mulyadi.”Peran BPKP Dalam Penanganan Kasus Berindikasi
Korupsi Pengadaan Barang Dan Jasa Konsultasi Instansi Pemerintah.”
Seminar Nasional Permasalahan Hukum Pada Pelaksanaan Kontrak Jasa
Konsultansi Dan Pencegahan Korupsi Di Lingkungan Instansi
Pemerintah. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan
INKINDO, 2010.
Sudarto. Hukum Dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1977.
Sujiwo,Ahmad Bangun. “Kebijakan Kriminalisasi Tindak Pidana Pencucian
Uang Pasif Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang.” Universitas Gadjah
Mada, 2015.
Sumardjono, Maria W. Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian. Yogyakarta:
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1989.
Suprabowo,Arge Arif.”Perampasan Dan Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana
Korupsi Dalam Sistem Hukum Indonesia Sebagai Upaya Pencegahan Dan
Pemberantasan Tindak Korupsi.” Universitas Pasundan, 2016.
Syarifah,Nur. “Mengupas Permasalahan Pidana Tambahan Pembayaran Uang
Pengganti Dalam Perkara Korupsi.”Lembaga Kajian & Advokasi
IndenpendensiPeradilan.2015.
http://leip.or.id/mengupas-permasalahan-pidana- tambahan-pembayaran-
uang-pengganti-dalam- perkara-korupsi/#_ftn1.

Page 71 of 72
Triwijaya, A.F.”Pengembalian Asset Hasil Tindak Pidana Korupsi Sebagai
Solusi Pemberantasan Korupsi.”Last modified 2017.
https://aftriwijaya.wordpress.com/2017/02/13/pengembalian-asset-hasil-
tindak-pidana-korupsi- sebagai-solusi-pemberantasan-korupsi/.
Utama,Paku.”Terobosan UNCAC Dalam Pengembalian Aset Korupsi Melalui
Kerjasama Internasional.”Www.hukumonline.com. Last modified
2008.http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19356/terobosan-uncac-
dalam-pengembalian-aset- korupsi-melalui-kerjasama-internasional.
W.,Hangkoso Satrio.”Perampasan Aset Penangan Tindak Pidana Korupsi
Dan Tindak Pidana Pencucian Uang (Studi Kasus Putusan Mahkamah
Agung No. 1454K/Pid.Sus/2011 Dengan Terdakwa Bahasuim
Assifie).”Universitas Indonesia, 2012.
Yanuar, Purwaning M. Pengembalian Aset Korupsi Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia. Bandung: Alumni, 2007.
Yusuf, Muhammad. Merampas Aset Koruptor: Solusi Pemberantasan Korupsi
Di Indonesia. Jakarta: Kompas, 2013.
Zebua, Frans Rudy Putra, Iman Jauhari, and Taufik Siregar.”Tanggung jawab
Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dan Ahli Warisnya Dalam Pembayaran Uang
Pengganti Kerugian Keuangan Negara Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata
(Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Medan).” Jurnal Mercatoria Vol. 1,
no. 2 (2008).
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.

Page 72 of 72

Anda mungkin juga menyukai