Anda di halaman 1dari 32

Kisah Nabi Musa dan Harun

‘Alaihimasssalam (bag. 1)
BY ADMIN · AUGUST 29, 2012

Di zaman dahulu, negeri Mesir dipimpin oleh raja yang zalim dan kejam dikenal
dengan sebutan “Fir’aun,” ia memperbudak kaumnya dan menindas mereka, bersikap
sewenang-wenang di bumi, dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan
menindas segolongan dari mereka dan mempekerjakan mereka dengan kerja paksa.
Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.

Mereka yang tertindas ini adalah bani Israil; suatu kaum yang nasab mereka sampai
kepada Nabi Israil atau Ya’qub ‘alaihissalam. Bani Israil menempati negeri Mesir
ketika Nabi Yusuf ‘alaihissalam menjabat sebagai menterinya.
Suatu ketika Fir’aun bermimpi, bahwa ada sebuah api yang datang dari Baitul Maqdis
lalu membakar negeri Mesir selain rumah-rumah Bani Israil. Saat bangun, maka
Fir’aun langsung terkejut, kemudian ia mengumpulkan para peramal dan pesihir untuk
meminta takwil terhadap mimpinya itu, lalu mereka memberitahukan bahwa akan
lahir seorang anak dari kalangan Bani Israil yang akan menjadi sebab binasanya
penduduk Mesir. Maka Fir’aun merasa takut terhadap mimpi tersebut, ia pun
memerintahkan untuk menyembelih anak-anak laki-laki Bani Israil karena takut
terhadap kelahiran orang tersebut[1].
Hari pun berlalu, bulan dan tahun berganti sehingga penduduk asli Mesir melihat
bahwa jumlah Bani Israil semakin sedikit karena dibunuhnya anak laki-laki yang
masih kecil, mereka khawatir jika orang-orang dewasanya wafat, sedang anak-
anaknya dibunuh nantinya tidak ada lagi yang mengurus tanah mereka, sehingga
mereka pergi mendatangi Fir’aun dan memberitahukan masalah itu, lalu Fir’aun
berpikir ulang, kemudian ia pun memerintahkan untuk membunuh laki-laki secara
umum dan membiarkan mereka secara umum.

Harun lahir pada tahun ketika anak-anak tidak dibunuh, sedangkan Musa lahir pada
tahun terjadinya pembunuhan, maka ibunya takut kalau anaknya dibunuh sehingga ia
memilih untuk menaruh anaknya di tempat yang jauh dari jangkauan mata tentara
Fir’aun yang senantiasa menanti anak-anak Bani Israil untuk dibunuhnya, maka Allah
mengilhamkan kepadanya untuk menyusuinya dan meletakkannya ke dalam peti, lalu
peti itu ditaruh ke sungai saat tentara Fir’aun datang. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman,
“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir
terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir
dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan
mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para
rasul.” (QS. Al Qashash: 7)
Maka ia pun menyiapkan peti kecil yang terikat dengan tali dan menyusui anaknya,
dan pada saat tentara Fir’aun datang, maka ia menaruhnya ke dalam peti dan
meletakkannya ke dalam sungai Nil. Ketika tentara Fir’aun pergi, maka ia menarik
kembali peti itu. Hingga suatu ketika, ibu Nabi Musa lupa mengikat peti itu dengan
tali, maka peti itu terbawa oleh air dan terus berjalan, sedangkan saudari Musa
diperintahkan untuk memperhatikannya dan berjalan di sampingnya sambil melihat ke
mana peti ini berhenti. Peti tersebut tetap mengambang di atas sungai bergoyang ke
kanan dan ke kiri dan digerakkan oleh ombaknya, hingga kemudian peti itu terbawa
ke arah istana Fir’aun yang berada di dekat sungai Nil. Ketika saudari Musa melihat
peti itu mengarah ke istana Fir’aun, maka ia segera menyampaikan kepada ibunya
untuk memberitahukan perkara itu sehingga hati ibu Musa menjadi kosong, hampir
saja ia menyatakan keadaan yang sebenarnya bahwa Musa adalah anaknya sendiri.
Ketika itu, Asiyah istri Fir’aun seperti biasa berjalan di kebun istana dan berjalan pula
di belakangnya para pelayannya, lalu Asiyah melihat sebuah peti di pinggir sungai Nil
di ujung istana, lalu ia menyuruh para pelayannya untuk membawanya dan mereka
tidak berani membukanya sampai meletakkan peti itu di hadapan Asiyah. Kemudian
Asiyah melihat peti itu dan dilihatnya ada seorang anak bayi yang manis dan Allah
menanamkan dalam hatinya rasa cinta kepada anak itu.

Di samping itu, Asiyah adalah seorang wanita yang mandul, lalu ia mengambilnya
dan memeluknya dan bertekad untuk menjaganya dari pembunuhan dan
penyembelihan, lalu ia membawanya ke suaminya dan berkata dengan penuh rasa
kasihan, “(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu
membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia
menjadi anak.” (QS. Al Qashash: 9).
Yang diucapkan Asiyah sungguh benar, karena keberadaan Musa memberikan
manfaat baginya, di dunia ia memperoleh hidayah dengannya dan di akhirat ia masuk
surga dengan sebabnya.

Ketika Fir’aun melihat istrinya begitu kuat menjaga anak bayi ini, maka Fir’aun
menyetujui permintaannya dan tidak menyuruh dibunuh dan diangkatlah ia sebagai
anak.

Kembalinya Bayi Musa kepada Ibunya


Setelah berlalu beberapa saat, sedang Asiyah menggendong bayi Musa dengan penuh
kegembiraan, namun ibu Nabi Musa menangis dengan sedihnya, hatinya kosong
terhadap urusan dunia selain urusan Musa, maka Asiyah merasakan perlunya anak ini
disusukan, ia pun segera menghadirkan ibu susu untuk menyusukannya dan
mengurusnya, sehingga datanglah sejumlah ibu susu ke istana untuk menyusukannya,
tetapi bayi Musa menolak semuanya. Hal ini membuat penghuni istana sibuk
memikirkannya dan berita ini tersebar di kalangan manusia, sehingga saudari Musa
mengetahui hal itu, ia pun pergi ke istana dan menemui Asiyah istri Fir’aun dan
memberitahukan, bahwa ia mengetahui ibu susu yang cocok untuk anak ini, maka
Asiyah bergembira sekali dan meminta kepadanya agar ibu susu itu dibawa segera ke
hadapannya.
Saudari Musa pun pulang dan menemui ibunya yang sedang dalam keadaan menangis
karena kehilangan anaknya, lalu saudari Musa memberitahukan hal yang terjadi antara
dirinya dengan istri Fir’aun sehingga tenanglah ibu Nabi Musa dan lega hatinya.

Ibu Nabi Musa pun pergi bersama putrinya ke istana Fir’aun. Ketika telah masuk ke
istana dan menemui istri Fir’au, maka ibu Nabi Musa segera menyodorkan teteknya,
bayi Musa segera menyusu hingga kenyang. Lalu Asiyah meminta Ibu Musa untuk
tinggal di istana, tetapi ia menolak karena ia mempunyai suami dan anak-anak yang
perlu dilayaninya, maka Asiyah pun melepas bayi Musa itu bersama ibu itu yang tidak
lain adalah ibu Nabi Musa sendiri.

Ibunya membawa bayinya ke rumah tempat Musa dilahirkan dengan hati yang penuh
kebahagiaan, di samping ia memperoleh upah dari istana, demikian pula nafkah dan
pemberian lainnya, sehingga hiduplah Nabi Musa dengan ibu dan ayahnya serta
saudarinya. Saat Musa telah kembali ke istana Fir’aun, maka keluarga Musa telah
mendidiknya dengan pendidikan yang baik, sehingga Nabi Musa tumbuh seperti anak
raja dan pemerintah, yaitu sebagai orang yang kuat, pemberani dan berpendidikan.

Ketika itu, Bani Israil menjadi lebih terhormat, karena dari kalangan mereka yang
menyusukan Musa.

Musa di Masa Dewasa


Demikianlah Nabi Musa ‘alaihissalam menjadi dewasa sebagai seorang yang kuat dan
pemberani. Maka pada suatu hari, Musa berjalan di kota Memphis dan dilihatnya ada
dua orang yang bertikai, yang satu dari kalangan kaumnya Bani Israil, sedangkan
yang satu lagi dari penduduk asli Mesir, yaitu orang Qibthi yang kafir. Lalu orang
Bani Israil meminta bantuan kepada Musa, kemudian Musa pun datang dan hendak
mencegah orang Mesir itu melakukan kezaliman, ia pun memukulnya dengan
tangannya sehingga orang Qibthi itu langsung tersungkur ke tanah dan mati.
Musa pun merasakan bahwa dirinya dalam kesulitan, padahal maksud Beliau
bukanlah untuk membunuhnya tetapi untuk membela orang yang terzalimi, maka
Nabi Musa pun bersedih, bertobat kepada Allah dan kembali kepada-Nya serta
meminta ampunan-Nya, (lihat QS. Al Qashash: 15-16).
Akan tetapi, berita itu ternyata sudah tersebar luas di kota itu dan orang-orang Mesir
mencari-cari siapa pembunuhnya untuk menghukumnya, tetapi mereka tidak
mengetahuinya. Hari pun berlalu dan saat Nabi Musa berjalan di kota itu, ia pun
menemukan orang Bani Israil yang pernah dibelanya bertengkar lagi dengan orang
Mesir dan meminta bantuan lagi kepada Nabi Musa ‘alaihissalam, namun Musa
marah terhadap permintaannya itu, ia pun maju untuk melerai pertikaian, tetapi orang
Bani Israil itu mengira bahwa Musa hendak mendatanginya untuk memukulnya
karena marah kepadanya, ia pun berkata, “Wahai Musa! Apakah kamu bermaksud
hendak membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang
manusia?“
Mendengar kata-kata itu, maka orang-orang Mesir pun mengetahui bahwa yang
membunuh orang Qibthi itu adalah Nabi Musa ‘alaihissalam. Maka tentara Fir’aun
mulai berpikir tentang hukuman yang harus ditimpakan kepadanya, lalu ada seorang
yang datang kepada Nabi Musa menasihatinya agar ia pergi dari Mesir, maka Musa
keluar darinya dalam keadaan takut kalau ada yang menangkapnya sambil berdoa
kepada Allah agar diselamatkan dari orang-orang yang zalim (lihat Al Qashash: 17-
21).
Musa Meninggalkan Mesir Menuju Madyan
Nabi Musa pun pergi meninggalkan Mesir, namun ia tidak mengetahui ke mana ia
harus pergi, ia berharap kepada Allah agar Dia mengarahkan ke tempat yang tepat,
dan ia terus berjalan hingga sampai di sebuah kota bernama Madyan. Ketika tiba di
kota Madyan, Nabi Musa mendatangi sebuah pohon yang berada di dekat sumur lalu
duduk di bawahnya. Ia pun mendapati dua orang wanita yang membawa kambing-
kambing gembalaannya, dimana keduanya berdiri jauh dari sumur menunggu orang-
orang selesai mengambil air.

Musa mendekat kepada keduanya dan bertanya tentang sebab keduanya berdiri jauh
dari keramaian orang, maka keduanya memberitahukan, bahwa keduanya tidak dapat
memberi minum kambing-kambingnya melainkan setelah orang-orang selesai
memberi minum kambing-kambing mereka. Keduanya terpaksa melakukan demikian,
karena orang tuanya sudah sangat tua; tidak sanggup melakukan pekerjaan ini, maka
Nabi Musa pun maju lalu mengangkat batu besar sendiri yang biasa diangkat oleh
sepuluh orang yang menutupi sumur itu, kemudian memberi minum kambing-
kambing milik keduanya.
Setelah itu, Musa kembali ke tempat semula di bawah naungan pohon untuk dapat
beristirahat setelah merasakan kelelahan perjalanan jauh. Lalu ia merasakan lapar dan
berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang
Engkau turunkan kepadaku.”
Ketika kedua wanita itu kembali kepada orang tuanya, keduanya menceritakan
kejadian yang mereka alami, sehingga orang tua itu heran dengan orang asing yang
kuat dan memiliki sopan santun yang tinggi. Lalu orang tua ini menyuruh salah
seorang anaknya untuk mendatanginya dan mengundangnya menemui ayahnya untuk
diberikan balasan.

Lalu salah satu wanita itu mendatangi Musa dengan rasa malu dan memberitahukan
tentang undangan ayahnya, maka Musa memenuhi undangan itu dan mendatangi ayah
wanita itu dengan berjalan di depan, sedangkan wanita ini berjalan di belakang sambil
mengisyaratkan jalannya dengan melempar batu kecil.

Ketika sampai di tempat orang tua itu, maka ia bertanya kepada Musa tentang nama
dan perihal yang terjadi pada dirinya, Musa pun menceritakan kejadiannya, lalu orang
tua itu menenangkannya.

Ketika itu, salah seorang dari kedua wanita itu meminta kepada ayahnya agar
mengangkat Musa sebagai pekerja untuk membantu keduanya karena keadaanya yang
kuat lagi amanah. Maka orang tua itu, menawarkan kepada Musa untuk menikahi
salah satu putrinya itu dengan mahar mau bekerja kepadanya selama delapan tahun
atau sepuluh tahun jika Musa mau. Maka Nabi Musa setuju terhadap tawaran itu, dan
menikah dengan salah satu dari wanita itu. Ia pun mulai menggembala kambing
selama sepuluh tahun. Setelah itu, Musa ingin pulang menemui keluarganya di Mesir,
lalu orang tua itu menyetujuinya dan memberinya bekal selama perjalanan pulangnya
ke Mesir.

Bersambung…
Oleh: Marwan bin Musa

Maraaji’:
 Al Qur’anul Karim
 Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an (Abu Yahya Marwan)
 Mausu’ah Al Usrah Al Muslimah (dari situs www.islam.aljayyash.net)
 Shahih Qashashil Anbiya’ (Ibnu Katsir, takhrij Syaikh Salim Al Hilaaliy)
 dll.

[1] Ada pula yang berpendapat, bahwa yang mendorong Fir’aun melakukan tindakan
keji ini adalah karena berita yang sampai kepadanya dari Bani Israil bahwa nanti akan
muncul dari kalangan mereka seorang anak yang menjadi penyebab hancurnya
kerajaan Mesir. Berita ini masyhur di kalangan Bani Israil hingga tersebar di kalangan
orang-orang asli Mesir dan sampailah berita itu ke telinga Fir’aun, lihat Shahih
Qashashil Anbiya’ hal. 254.
Kisah Nabi Musa dan Harun
‘Alaihimasssalam (bag. 2)
BY ADMIN · AUGUST 31, 2012

Kembalinya Musa ke Mesir dan Diangkatnya


Beliau Sebagai Nabi
Maka berangkatlah Musa menuju Mesir bersama keluarganya, sehingga ketika mereka
merasakan kegelapan, mereka duduk beristirahat agar dapat melanjutkan perjalanan
lagi. Ketika itu, cuaca sangat dingin sekali, maka Musa pun mencari sesuatu untuk
dapat menghangatkan badannya, ia pun melihat api dari jauh, lalu meminta
keluarganya menunggu di situ agar ia dapat mengambil sesuatu untuk menghangatkan
badan. Maka Musa pun pergi mendatangi api itu dengan membawa tongkatnya.

Lebih dari seorang mufassir baik dari kalangan salaf maupun khalaf berkata, “Nabi
Musa pergi menuju api yang dilihatnya itu dan setelah sampai di sana, didapatinya api
itu menyala-nyala di sebuah pohon hijau, yaitu pohon Ausaj (jenis pohon yang
berduri), apinya semakin menyala, kehijaun pohon itu juga semakin bertambah, maka
Musa berdiri dalam keadaan takjub dan ketika itu pohon tersebut di kaki gunung di
sebelah Barat dan berada di sebelah kanan Nabi Musa sebagaimana firman
AllahTa’ala, “Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi yang sebelah Barat
ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan tidak pula kamu termasuk
orang-orang yang menyaksikan.” (QS. Al Qashshash: 44)
Saat itu Musa berada di lembah yang bernama Thuwa, sambil menghadap kiblat,
sedangkan pohon itu berada di kanannya di sebelah Barat, lalu Tuhannya
memanggilnya,

“Wahai Musa.–sesungguhnya aku Inilah Tuhanmu, maka lepaskanlah kedua


sandalmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci; Thuwa.– Dan Aku telah
memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu).–
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain
Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.–
Segungguhnya hari kiamat itu akan datang, Aku merahasiakan (waktunya) agar
setiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan.–Maka sekali-kali janganlah
kamu dipalingkan daripadanya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh
orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu menjadi
binasa.” (QS. Thaahaa: 11-16)
Kemudian Allah ‘Azza wa Jalla bertanya kepadanya tentang tongkat yang
dipegangnya –dan Dia lebih tahu-, Musa menjawab, “Ini adalah tongkatku, aku
bersandar kepadanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku
ada lagi keperluan yang lain padanya.” (QS. Thaahaa: 18)
Maka Allah menyuruhnya untuk melempar tongkatnya. Musa pun melemparnya,
maka tongkat itu berubah menjadi ular yang besar dan bergerak dengan cepat, lalu
Musa berpaling lari karena takut, lalu Allah menyuruhnya kembali dan tidak takut,
karena ular itu akan kembali menjadi tongkat seperti sebelumnya, kemudian Musa
mengulurkan tangannya ke ular itu untuk mengambilnya, ternyata ular itu langsung
berubah menjadi tongkat.
Nabi Musa kulitnya berwarna coklat, lalu Allah memerintahkan kepadanya untuk
memasukkan tangannya ke dalam bajunya kemudian mengeluarkannya, Musa pun
melakukannya, lalu tampaklah warna putih yang jelas. Keduanya Allah jadikan
sebagai mukjizat untuk Nabi Musa‘alaihissalam di samping mukjizat-mukjizat yang
lain untuk menguatkan kerasulannya ketika berhadapan dengan Fir’aun dan para
pembesarnya.
Dakwah Nabi Musa ‘Alaihissalam kepada Fir’aun
Selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nabi Musa pergi
mendatangi Fir’aun untuk mendakwahinya, maka Nabi Musa mau memenuhinya,
akan tetapi sebelum ia berangkat, ia berdoa kepada Tuhannya meminta taufiq dan
meminta kepada-Nya bantuan, Musa berkata, “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku
dadaku–Dan mudahkanlah untukku urusanku,–Dan lepaskanlah kekakuan dari
lidahku,–Agar mereka mengerti perkataanku,–Dan Jadikanlah untukku seorang
pembantu dari keluargaku,–(yaitu) Harun, saudaraku,–Teguhkanlah dengannya
kekuatanku,–Dan jadikankanlah dia sekutu dalam urusanku,–agar kami banyak
bertasbih kepada Engkau,–dan banyak mengingat Engkau.–Sesungguhnya Engkau
adalah Maha melihat (keadaan) kami.” (QS. Thaahaa: 25-35)
Maka Allah mengabulkan permohonannya, lalu Musa ingat bahwa ia pernah
membunuh orang Mesir, ia takut kalau nanti mereka membunuhnya, maka Allah
menenangkannya, bahwa mereka tidak akan dapat menyakitinya sehingga Musa pun
tenang (lihat Al Qashash: 35).

Musa pun melanjutkan perjalanannya ke Mesir dan memberitahukan kepada Harun


apa yang terjadi antara dirinya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Harun ikut
serta menyampaikan risalah kepada Fir’aun dan kaumnya dan membantunya
mengeluarkan Bani Israil dari Mesir, maka Harun pun bergembira atas berita itu, ia
pun ikut berdakwah bersama Musa.
Fir’aun adalah seorang yang kejam dan berlaku zalim terhadap Bani Israil, sehingga
Nabi Musa dan Nabi Harun berdoa kepada Allah agar menyelamatkan keduanya dari
tindakan aniaya dari Fir’aun, lalu AllahTa’ala berfirman meneguhkan hati
keduanya, “Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu
berdua, Aku mendengar dan melihat”.–Maka datanglah kamu berdua kepadanya
(Fir’aun) dan Katakanlah, “Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Tuhanmu,
maka lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka.
Sesungguhnya kami telah datang kepadamu dengan membawa bukti (atas kerasulan
Kami) dari Tuhanmu. Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti
petunjuk.–Sesungguhnya telah diwahyukan kepada Kami bahwa siksa itu
(ditimpakan) atas orang-orang yang mendustakan dan berpaling.” (QS. Thaahaa: 46-
48)
Maka ketika Musa dan harun berangkat, mulailah keduanya mengajak mereka kepada
Allah dan berusaha membawa Bani Israil dari penindasan Fir’aun, akan tetapi Fir’aun
mengejek keduanya dan mengolok-olok apa yang mereka berdua bawa serta
mengingatkan Musa, bahwa dirinyalah yang mengurus Musa di istananya dan terus
membesarkannya hingga ketika dewasa Musa membunuh orang Mesir dan pergi
melarikan diri. Maka Nabi Musa ‘alaihissalam berkata, “Aku telah melakukannya,
sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf.–Lalu aku lari
meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan
kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul.—Budi
baik yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah
memperbudak Bani Israil.” (Lihat Asy Syu’araa: 20-22)
Fir’aun pun bertanya, “Siapa Tuhan semesta alam itu?”

Musa menjawab, “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa yang ada di antara
keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya”.

Fir’aun berkata kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya, “Apakah kamu tidak
mendengarkan?”

Musa berkata (pula), “Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang
dahulu”.
Fir’aun berkata, “Sesungguhnya Rasulmu yang diutus kepada kamu sekalian benar-
benar orang gila.”

Musa berkata, “Tuhan yang menguasai Timur dan Barat dan apa yang ada di antara
keduanya; (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal.”

Fir’aun berkata: “Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selainku, aku akan
menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan.” (Lihat Asy Syu’araa: 23-29)

Kemudian Nabi Musa menawarkan kepadanya bukti yang membenarkan


kerasulannya. Maka Fir’aun meminta ditunjukkan buktinya jika Musa memang benar.
Nabi Musa pun melempar tongkatnya dan berubahlah tongkat itu menjadi ular yang
besar sehingga orang-orang terkejut dan takut terhadap ular itu. Kemudian Musa
menjulurkan tangannya ke ular itu, maka ular itu kembali seperti biasa menjadi
tongkat. Kemudian Musa memasukkan tangannya ke leher bajunya, lalu ia keluarkan,
tiba-tiba tampak warna putih berkilau.

Perlawanan Nabi Musa ‘Alaihissalam dengan Para


Penyihir dan Masuk Islamnya Para Penyihir
Ketika ditunjukkan bukti-bukti itu, Fir’aun malah menuduhnya sebagai penyihir, lalu
ia meminta untuk dikumpulkan para penyihirnya dari segenap tempat untuk melawan
Musa. Maka ditetapkanlah hari raya sebagai hari pertunjukan itu yang dimulai pada
waktu dhuha di tempat yang lapang di hadapan Fir’aun. Fir’aun juga mengumumkan
pertemuan itu kepada kaumnya agar mereka semua hadir menyaksikan.

Tibalah hari pertunjukan itu dalam keadaan ramai dihadiri oleh banyak manusia,
mereka ingin melihat apakah Musa yang menang ataukah para penyihir?

Sebelum Fir’aun keluar mendatangi Musa, ia berkumpul terlebih dahulu dengan para
penyihir dan memberikan dorongan kepada mereka, dimana jika mereka menang,
maka ia akan memberikan berbagai kesenangan berupa harta dan kedudukan.
Sesaat kemudian, Fir’aun keluar menuju lapangan pertandingan, sedangkan di
belakangnya terdapat para penyihir, lalu ia duduk di tempat khusus baginya dengan
didampingi para pelayannya, kemudian para penyihir berdiri di hadapan Nabi Musa
dan Harun.

Selanjutnya Fir’aun mengangkat tangannya untuk memberitahukan bahwa


pertandingan siap dimulai, lalu para penyihir menawarkan dua hal kepada Musa, yaitu
apakah Musa yang pertama kali melempar tongkatnya ataukah merela lebih dulu?
Maka Nabi Musa membiarkan mereka dulu yang memulai.

Para penyihir pun melempar tali dan tongkat, sambil menyihir mata manusia sehingga
menurut pandangan manusai bahwa tongkat dan tali tersebut berubah menjadi ular
yang gesit dan bergerak di hadapan mereka, sehingga orang-orang takut terhadapnya,
bahkan Nabi Musa dan Harun merasa takut terhadapnya, lalu Alllah memberikan
wahyu kepada Musa agar ia tidak takut dan melempar tongkatnya, maka Nabi Musa
dan saudaranya (Nabi Harun) tenang karena perintah Allah itu.

Nabi Musa pun melempar tongkatnya, maka tongkat itu berubah menjadi ular yang
besar yang menelan tali para penyihir dan tongkat mereka. Ketika para penyihir
melihat apa yang ditunjukkan Nabi Musa‘alaihissalam, maka mereka pun mengakui,
bahwa itu adalah mukjizat dari Allah dan bukan sihir. Kemudian Allah melapangkan
hati mereka untuk beriman kepada Allah dan membenarkan apa yang dibawa Nabi
Musa‘alaihissalam, mereka pun akhirnya hanya bersujud kepada Allah sambil
menyatakan keimanan mereka kepada Tuhan Musa dan Harun.
Ketika itulah Fir’aun semakin geram dan mulai mengancam para penyihir, ia berkata
kepada mereka, “Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku
memberi izin kepadamu sekalian. Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang
mengajarkan sihir kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya aku akan memotong
tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara bertimbal balik, dan
sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma dan
sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih
kekal siksanya.”(QS. Thaahaa: 71)
Meskipun begitu, para penyihir tidak takut terhadap ancaman itu setelah Allah
mengaruniakan keimanan kepada mereka, mereka berkata, “Kami sekali-kali tidak
akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mukjizat) yang telah
datang kepada kami dan daripada Tuhan yang telah menciptakan kami; maka
putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat
memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja.–Sesungguhnya kami telah beriman
kepada Tuhan kami, agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami dan sihir yang
telah kamu paksakan kepada kami melakukannya. Dan Allah lebih baik (pahala-Nya)
dan lebih kekal (azab-Nya).– Sesungguhnya barangsiapa datang kepada Tuhannya
dalam keadaan berdosa, maka sesungguhnya baginya neraka Jahannam. Ia tidak
mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.–Dan barang siapa datang kepada Tuhannya
dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh telah beramal saleh, maka mereka
Itulah orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang Tinggi (mulia),–(yaitu)
surga ‘Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya.
Dan itu adalah balasan bagi orang yang bersih (dari kekafiran dan
kemaksiatan).”(QS. Thaahaa: 72-76)
Bersambung…
Lihat artikel sebelumnya:

 Kisah Nabi Musa dan Harun ‘Alaihimasssalam (bag. 1)


Oleh: Marwan bin Musa

Maraaji’:
1. Al Qur’anul Karim
2. Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an (Abu Yahya Marwan)
3. Mausu’ah Al Usrah Al Muslimah (dari situs www.islam.aljayyash.net)
4. Shahih Qashashil Anbiya’ (Ibnu Katsir, takhrij Syaikh Salim Al Hilaaliy)
5. dll.
Artikel www.KisahMuslim.com

Kisah Nabi Musa dan Harun


‘Alaihimasssalam (bag. 3)
BY ADMIN · SEPTEMBER 3, 2012

Penindasan Fir’aun kepada Bani Israil untuk


yang Kedua Kalinya
Mendengar kata-kata para penyihir itu Fir’aun pun semakin marah, dan orang-orang
sesat dari kaumnya juga mendorong Fir’aun untuk menghukum Musa dan Harun.
Ketika itulah, Fir’aun mengeluarkan ketetapannya, yaitu membunuh anak-anak orang-
orang yang beriman dari kalangan Bani Israil dan membiarkan wanita. Dengan adanya
keputusan ini, maka Fir’aun berhasil membuat takut kaum lemah Bani Israil dan
mereka yang ada penyakit dalam hatinya, mereka tidak beriman kepada Musa karena
takut akan ancamannya, bahkan orang yang beriman saja sampai tidak masuk ke
dalam Islam secara sempurna karena takut terhadap Fir’aun.

Ketika Nabi Musa ‘alaihissalam melihat kaumnya merasakan ketakutan yang sangat,
maka Beliau berkata kepada kaumnya, “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan
bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada
siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah
bagi orang-orang yang bertakwa.”
Maka Kaum Musa berkata, “Kami telah ditindas (oleh Fir’aun) sebelum kamu datang
kepada Kami dan setelah kamu datang.”

Musa menjawab, “Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan


kamu khalifah di bumi-(Nya), Maka Allah akan melihat bagaimana
perbuatanmu.” (QS. Al A’raaf: 128-129)
Fir’aun juga mulai mencari cara untuk menyingkirkan Nabi Musa, maka pada suatu
hari ia mengumpulkan para pembantu dan keluarganya serta memberitahukan
usulnya, yaitu membunuh Musa. Namun di tengah-tengah mereka ada seorang yang
menyembunyikan keimanannya dan berkata, “Apakah kamu akan membunuh seorang
laki-laki karena Dia menyatakan, “Tuhanku ialah Allah,” padahal dia telah datang
kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. Dan jika ia
seorang pendusta maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia
seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu
akan menimpamu.” (QS. Al Mu’min: 28)
Lalu ia mengajak orang-orang Mesir untuk beriman kepada Allah dan
memperingatkan mereka dari adzab Allah, tetapi Fir’aun berpaling darinya dan tidak
mau mendengar nasihatnya.

Musibah-musibah yang Ditimpakan kepada Fir’aun dan Kaumnya dan


Bagaimana Fir’aun Tetap Tidak Mau Bertaubat
Hari pun berlalu, Fir’aun dan para pembantunya terus menyiksa Bani Israil dan
membebankan mereka dengan kerja-kerja yang berat, ia juga tidak mau
mendengarkan nasihat Nabi Musa untuk membiarkan dirinya dan kaumya pergi
meninggalkan Mesir, sehingga Allah menimpakan kepada mereka kemarau panjang
dan kekurangan, dimana air sungai Nil surut, buah-buahan berkurang, dan manusia
banyak yang kelaparan, sehingga mereka merasakan tidak sanggup menghadapi
cobaan dari Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Subhaanahu wa Ta’ala juga menimpakan
kepada mereka berbagai macam adzab di samping yang disebutkan, seperti banjir
yang menenggelamkan tanaman dan rumah-rumah mereka, mengirimkan belalang
yang memakan sisa tanaman dan pepohonan mereka, demikian pula mengirimkan
kutu (ulat) sehingga memakan makanan yang mereka simpan, mengirimkan katak
sehingga membuat mereka sulit istirahat, serta menjadikan air yang datang kepada
mereka dari sungai Nil, sumur dan mata air yang ada menjadi darah.
Semua musibah ini menimpa Fir’aun dan kaumnya, adapun Musa dan Harun serta
orang-orang yang beriman bersamanya, maka tidak mendapatkannya. Hal ini
merupakan bukti kebenaran apa yang dibawa Nabi Musa dan Nabi
Harun ‘alaihimassalam.
Hari pun berlalu dan musibah itu terus belanjut, bahkan semakin hari semakin
bertambah, maka orang-orang Mesir mendatangi Fir’aun mengusulkan kepadanya
untuk melepaskan Bani Israil sambil meminta kepada Nabi Musa agar ia berdoa
kepada Tuhannya agar Tuhannya menghilangkan musibah itu dari mereka. Mereka
berkata, “Wahai Musa! Mohonkanlah untuk kami kepada Tuhamnu dengan
(perantaraan) kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika
kamu dapat menghilangkan adzab itu dan pada Kami, pasti Kami akan beriman
kepadamu dan akan Kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu.”
Namun ketika Allah telah menghilangkan adzab itu dari mereka hingga batas waktu
yang mereka sampai kepadanya, tiba-tiba mereka mengingkarinya. (Lihat Al A’raaf:
134-135)

Fir’aun juga semakin bertambah penentangannya dan kekafirannya kepada Allah dan
senantiasa mendustakan semua ayat yang dibawa oleh Nabi Musa ‘alaihissalam,
hingga akhirnya Nabi Musa berdoa kepada Allah agar Dia melepaskan Bani Israil dari
cengkeraman Fir’an serta mengadzab orang-orang kafir dengan adzab yang pedih.
Nabi Musa berkata, “Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi
kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam
kehidupan dunia. Wahai Tuhan kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari
jalan Engkau. Wahai Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci
matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang
pedih.” (QS. Yunus: 88)
Maka Allah Subhaanahu wa Ta’ala mengabulkan doa Nabi-Nya dan Rasul-Nya
Musa ‘alaihissalam dan datanglah perintah dari Allah kepada Nabi Musa untuk
membawa Bani Israil pergi di malam hari serta memberitahukan, bahwa Fir’aun akan
menyusul mereka.
Nabi Musa ‘alaihissalam Membawa Pergi Bani Israil dan
Disusulnya Mereka oleh Fir’aun
Maka Nabi Musa membawa Bani Israil pada malam hari dan berangkatlah Musa
bersama Bani Israil ke arah laut, mereka berjalan kaki ke sana, namun berita
kepergian Nabi Musa dan Bani Isaril ternyata diketahui Fir’aun, maka Fir’aun marah
besar dan mengirim orang untuk mengumpulkan (tentaranya) ke kota-kota. Fir’aun
berkata, “Sesungguhnya mereka (Bani Israil) benar-benar golongan kecil. Dan
sesungguhnya mereka membuat hal-hal yang menimbulkan amarah kita. Dan
sesungguhnya kita benar-benar golongan yang selalu waspada.”

Maka keluarlah Fir’aun dan kaumnya dalam jumlah besar untuk mengejar Nabi Musa
dan Bani Israil, hingga akhirnya Fir’aun dan bala tentaranya dapat menyusul mereka
di waktu matahari terbit. Kedua golongan itu pun saling melihat, dan saat itu
pengikut-pengikut Musa berkata, “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul.”
Tetapi Musa menenangkan mereka dan mengingatkan mereka, bahwa
AllahSubhaanahu wa Ta’ala akan menolong mereka, Beliau berkata, “Sekali-kali
tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi
petunjuk kepadaku.”
Penenggelaman Fir’aun
Selanjutnya, Allah memerintahkan Nabi Musa untuk memukul tongkatnya ke laut,
maka dengan izin Allah laut pun terbelah, dimana setiap belahan seperti gunung yang
besar (QS. Asy Syu’araa: 52-63). Ketika itulah, Bani Israil segera melintasi laut
hingga sampai di seberang, sedangkan Fir’aun berada di tepi sebelumnya, dan ketika
Fir’aun melihat jalan-jalan di tengah laut senantiasa terbuka, maka ia bersama
tentaranya pun melewati jalan itu untuk mengejar Bani Israil. Dan ketika mereka telah
sampai di tengah laut, maka laut pun kembali seperti biasa sehingga mereka semua
tenggelam. Dan saat Fir’aun telah merasakan dirinya akan tenggelam, ia pun berusaha
menyelamatkan dirinya dengan berkata,“Saya percaya bahwa tidak ada tuhan yang
berhak disembah melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya
termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (Lihat Yunus: 90)
Akan tetapi, saat untuk bertaubat tidak lagi berguna karena nyawa telah sampai di
tenggorokan.
Setelah Fir’aun menghebuskan nafasnya, maka ombak laut membawa jasadnya dan
melemparnya ke pinggir pantai agar dilihat oleh orang-orang Mesir, agar menjadi
pelajaran bagi mereka, bahwa orang yang mereka sembah selama ini serta mereka
taati tidak mampu menolak kematian sedikit pun dari dirinya serta menjadi pelajaran
bagi setiap orang yang sombong lagi kejam.

Penenggalaman Fir’aun ini terjadi pada hari Asyura (10 Muharram). Ibnu Abbas
berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, sedangkan orang-orang
Yahudi melakukan puasa pada hari Asyura, lalu Beliau bertanya, “Hari apa yang
kalian berpuasa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari dimana Musa pernah
mengalahkan Fir’aun.” Maka Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (kepada
para sahabat), “Kalian lebih berhak dengan Nabi Musa daripada mereka, maka
berpuasalah.” (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i dalam Al Kubra, Ibnu Majah, dan lain-
lain).
Setelah Bani Israil melintasi lautan, maka mereka berjalan ke negeri yang suci
(Palestina), namun di tengah perjalanan, mereka melihat orang-orang yang
menyembah patung, lalu mereka meminta kepada Nabi Musa‘alaihissalam agar
mengadakan buat mereka sesembahan seperti yang mereka miliki, maka Nabi Musa
berkata, “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat
Tuhan)”– Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya
dan akan batal apa yang seIalu mereka kerjakan.” (QS. Al A’raaf: 138-139)
Nabi Musa juga berkata, “Patutkah aku mencari Tuhan untuk kamu selain Allah,
padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat (pada masa itu).” (QS.
Al A’raaf: 140)
Beberapa Nikmat Allah kepada Bani Israil
Nabi Musa ‘alaihissalam pun melanjutkan perjalanannya di bawah terik matahari
yang menyengat wajah mereka, hingga akhirnya mereka mengadukan masalah itu
kepada Beliau, maka Allah menundukkan untuk mereka awan yang berjalan di atas
mereka yang mengikuti perjalanan mereka sehingga mereka tidak merasa kepanasan.
Dan pada saat mereka kehausan, Allah mewahyukan kepada Nabi
Musa ‘alaihissalam agar Beliau memukulkan tongkat yang dibawanya itu ke batu,
maka terpancarlah daripadanya dua belas mata air sesuai dengan jumlah suku Bani
Israil yang bersamanya sehingga Nabi Musa ‘alaihissalam menjadikan untuk setiap
suku satu mata air.
Dan ketika mereka kelaparan, mereka juga diberi nikmat oleh AllahSubhaanahu wa
Ta’ala, Dia berikan untuk mereka Manna (makanan yang manis seperti madu) dan
Salwa (daging burung seperti burung puyuh), maka mereka memakannya, akan tetapi
mereka cepat bosan terhadap makanan itu sehingga mereka mendatangi Nabi
Musa ‘alaihissalammengeluhkan makanan itu, mereka berkata, “Wahai Musa, Kami
tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. sebab itu mohonkanlah
untuk Kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang
ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang
adasnya, dan bawang merahnya.”
Maka Nabi Musa berkata, “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti
yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu
minta.” Yakni Permintaanmu ini bukanlah perkara sulit, bahkan makanan itu banyak
di kota mana pun, yang jika kamu mendatangi tentu kamu akan menemukannya.
(Lihat Al Baqarah: 61).

Bersambung…
Lihat artikel sebelumnya:

 Kisah Nabi Musa dan Harun ‘Alaihimasssalam (bag. 1)


 Kisah Nabi Musa dan Harun ‘Alaihimasssalam (bag. 2)
Oleh: Marwan bin Musa

Maraaji’:
1. Al Qur’anul Karim
2. Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an (Abu Yahya Marwan)
3. Mausu’ah Al Usrah Al Muslimah (dari situs www.islam.aljayyash.net)
4. Shahih Qashashil Anbiya’ (Ibnu Katsir, takhrij Syaikh Salim Al Hilaaliy)
5. dll.
Kisah Nabi Musa dan Harun
‘Alaihimasssalam (bag. 4)
BY ADMIN · SEPTEMBER 10, 2012

Nabi Musa ‘Alaihissalam Menerima Taurat


Bani Israil hidup dalam keamanan dan ketenteraman, dan mereka butuh kepada
undang-undang yang dapat mereka gunakan sebagai aturan hidup serta syariat yang
mengatur mereka, maka Allah mewahyukan kepada Nabi Musa untuk keluar sendiri
ke tempat tertentu untuk menerima syariat yang nanti akan dijadikan rujukan oleh
Bani Israil, maka Beliau mengangkat Harun sebagai penggantinya; menasihatinya dan
mengingatkannya kepada Allah serta memperingatkannya agar tidak menjadi orang-
orang yang berusaha mengadakan kerusakan di bumi.

Beliau pun pergi ke gunung yang Beliau pernah mendapat wahyu pertama kali ketika
Beliau pulang dari Madyan ke Mesir dan ketikan itulah diturunkan kepada Beliau
kitab Taurat. Dan ketika Nabi Musa ‘alaihissalammenyaksikan bahwa Allah telah
memuliakannya serta diberi kelebihan, maka ia meminta kepada Allah agar diberi
kesempatan untuk melihat-Nya karena mengira bahwa Allah dapat dilihat di dunia,
maka Allah menolak permintaan itu dan menerangkan bahwa Beliau tidak akan
sanggup melihat Allah ‘Azza wa Jalla. Disebutkan kejadian ini di surat Al A’raaf:
143, Allah Ta’ala berfirman,
“Dan ketika Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami
tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa, “Ya
Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.”
Allah berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi lihatlah ke bukit
itu, maka jika ia tetap di tempatnya (seperti semula) niscaya kamu dapat melihat-
Ku.” Ketika Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung
itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. maka setelah Musa sadar kembali, dia
berkata, “Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang
pertama beriman.”
Kemudian Nabi Musa ‘alaihissalam mengambil lauh-lauh yang berisi Taurat, di
dalam kitab itu terdapat nasihat dan hukum-hukum untuk mengatur kehidupan Bani
Israil.
Bani Israil Menyembah Patung Anak Sapi
Sepeninggal Musa, ternyata Bani Israil telah disimpangkan oleh seorang yang
bernama Samiri, ia mengumpulkan perhiasan dan emas mereka serta membuatkan
patung yang berongga dalam bentuk anak sapi, dimana jika angin masuk ke dalamnya
dari lubang yang satu dan keluar dari lubang yang lain, maka akan keluar suara yang
mirip suara anak sapi, lalu Samiri memberitahukan mereka, bahwa itu adalah tuhan
mereka dan tuhan Musa, akhirnya Bani Israil percaya dan menyembah patung tersebut
meninggalkan menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Nabi Harun menasihati
dan mengingatkan mereka, tetapi mereka tetap saja di atas kebodohan itu, tidak sadar
dan tidak memperhatikan nasihat Harun, bahkan mereka menyanggahnya dan hampir
saja membunuhnya. Mereka juga memberitahukan, bahwa mereka tidak akan
meninggalkan penyembahan kepada patung itu sampai Musa kembali.
Ketika Nabi Musa ‘alaihissalam kembali, ia mendapati kaumnya dalam keadaan
seperti itu, ia pun marah dengan marah yang besar karena kecewa bercampur sedih,
hingga ia pun melempar lauh-lauh (lembaran) yang berisi Taurat itu dari tangannya,
lalu ia mendatangi Nabi Harun, memegang kepala dan janggutnya sambil menariknya
dan berkata,“Wahai Harun! Apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat
mereka telah sesat,–(sehingga) kamu tidak mengikuti Aku? Maka Apakah kamu telah
(sengaja) mendurhakai perintahku?” (QS. Thaahaa: 92-93)
Harun pun berkata, “Wahai putera ibuku! Janganlah kamu pegang janggutku dan
jangan (pula) kepalaku, “Sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata
(kepadaku), “Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara
amanatku.”
Beliau juga memberitahukan Nabi Musa bahwa kaumnya hampir saja membunuhnya,
maka Musa pun meninggalkannya dan pergi mendatangi Samiri; orang yang membuat
patung tersebut dan bertanya tentang alasannya, lalu Samiri memberitahukan
alasannya, kemudian Musa membakar patung itu hingga habis dan membuang
ampasnya ke laut.

Kemudian Nabi Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku! Sesungguhnya


kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu
(sembahanmu), maka bertobatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan
bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan
kamu; maka Allah akan menerima tobatmu. Sesungguhnya Dialah yang Maha
Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (Lihat Al Baqarah: 54)
Kemudian Allah ‘Azza wa Jalla memberitahukan kepada Musa, bahwa Harun telah
berlepas diri dari mereka dan ia telah berusaha keras untuk menjauhkan mereka dari
menyembah patung anak sapi, maka hati Nabi Musa pun tenang karena ternyata
saudaranya tidak ikut serta dalam perbuatan dosa itu, maka Nabi
Musa ‘alaihissalam menghadapkan dirinya kepada Allah ‘Azza wa Jalla memintakan
ampunan untuk dirinya dan saudaranya, Beliau berkata, “Ya Tuhanku, ampunilah aku
dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmat Engkau, dan Engkau adalah
Maha Penyayang di antara para penyayang.” (lihat Al A’raaf: 151)
Kemudian Nabi Musa ‘alaihissalam memilih tujuh puluh orang yang terbaik dari
kalangan mereka untuk pergi bersamanya ke sebuah tempat yang ditentukan
Allah ‘Azza wa Jalla. Pada saat mereka telah sampai di tempat tersebut, mereka malah
meminta untuk melihat Allah secara nyata, maka Nabi Musa marah kepada mereka
dengan keras, dan Allah menurunkan halilintar yang membinasakan mereka hingga
ruh-ruh mereka melayang. Lalu Nabi Musa ‘alaihissalam berdoa kepada Allah dan
merendahkan diri kepada-Nya meminta agar Dia memberikan rahmat kepada mereka
itu. Maka Allah mengabulkan permohonan Nabi Musa ‘alaihissalam dan Dia
menghidupkan mereka yang mati karena tersambar halilintar agar mereka bersyukur
kepada Allah ‘Azza wa Jalla karena telah menghidupkan mereka setelah matinya
(lihat Al Baqarah: 55-56).
Kemudian Nabi Musa membawa mereka kembali kepada kaumnya dan membacakan
kitab Taurat kepada mereka serta menerangkan nasihat dan hukum-hukum yang
terkandung di dalamnya. Beliau juga mengambil perjanjian dari mereka untuk mau
mengamalkan isinya, mereka pun mau berjanji dengan terpaksa setelah Allah
mengangkat gunung di atas mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat bukit
(Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman), “Peganglah teguh-teguh apa yang
Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!” Mereka menjawab, “Kami mendengar
tetapi tidak mentaati.” Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu (kecintaan
menyembah) anak sapi karena kekafirannya. Katakanlah, “Sangat jahat perbuatan
yang telah diperintahkan imanmu kepadamu jika betul kamu beriman (kepada
Taurat).” (QS. Al Baqarah: 93)
Perintah Allah kepada Bani Israil untuk Masuk ke Negeri
Palestina
Selanjutnya Allah memberikan wahyu kepada Nabi Musa ‘alaihissalam, bahwa telah
tiba saatnya bagi Bani Israil untuk masuk dan menempati negeri yang diberkahi, yaitu
Palestina, maka Nabi Musa ‘alaihissalamsenang sekali, akan tetapi Bani Israil
ternyata sebagai orang-orang yang pengecut dan penakut, mereka berkata kepada
Nabi Musa ‘alaihissalam,“Wahai Musa! Sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-
orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya
sebelum mereka keluar daripadanya. Jika mereka keluar daripadanya, pasti Kami
akan memasukinya.” (lihat Al Maa’idah: 22)
Ketika itulah ada dua orang mukmin di antara mereka yang berkata, “Serbulah
mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka jika kamu memasukinya
niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal,
jika kamu benar-benar orang yang beriman.”
Tetapi Bani Israil tetap menolaknya dan berkata dengan perkataan yang sangat buruk,
“Wahai Musa! Kami sekali sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi
mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan
berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.”
(QS. Al Maa’idah: 23-24)
Maka bertambahlah kemarahan Nabi Musa kepada kaumnya yang lupa kepada nikmat
Allah. Ketika itulah Nabi Musa berdoa kepada Allah agar menjauhkan dirinya dengan
kaumnya yang fasik itu, Beliau berkata, “Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali
diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-
orang yang fasik itu.” (Terj. QS. Al Maa’idah: 25)
Hukuman kepada Bani Israil karena Menolak Perintah
Allah Subhanahu wa Ta’ala
Kemudian datanglah jawaban dari Allah ‘Azza wa Jalla yang isinya, “(Jika
demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat
puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang
sahara) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang
yang fasik itu.” (QS. Al Maa’idah: 26).
Demikianlah hukuman Allah kepada Bani Israil, mereka tersesat terus selama empat
puluh tahun di padang sahara, hingga generasi yang penakut ini meninggal dan
digantikan oleh generasi yang pemberani yang kemudian mereka mau berperang di
bawah pimpinan Nabi Yusya’ bin Nun setelah Nabi Musa wafat.

Bersambung…
Lihat artikel sebelumnya:

 Kisah Nabi Musa dan Harun ‘Alaihimasssalam (bag. 1)


 Kisah Nabi Musa dan Harun ‘Alaihimasssalam (bag. 2)
Oleh: Marwan bin Musa
Maraaji’:
1. Al Qur’anul Karim
2. Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an (Abu Yahya Marwan)
3. Mausu’ah Al Usrah Al Muslimah (dari situs www.islam.aljayyash.net)
4. Shahih Qashashil Anbiya’ (Ibnu Katsir, takhrij Syaikh Salim Al Hilaaliy)
5. dll.
Kisah Nabi Musa dan Harun
‘Alaihimasssalam (bag. 5 – Selesai)
BY ADMIN · SEPTEMBER 13, 2012

Kisah Nabi Musa dan Khadhir (Nabi Khidir)


Suatu ketika Nabi Musa berkhutbah di tengah-tengah Bani Israil, lalu ia ditanya,
“Siapakah manusia yang paling dalam ilmunya?” Ia menjawab, “Sayalah orang yang
paling dalam ilmunya.” Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menyalahkannya karena
tidak mengembalikan ilmu kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian
mewahyukan kepadanya yang isinya, “Bahwa salah seorang hamba di antara hamba-
hamba-Ku yang tinggal di tempat bertemunya dua lautan lebih dalam ilmunya
daripada kamu.” Musa berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimana cara menemuinya?”
Maka dikatakan kepadanya, “Bawalah ikan (yang sudah mati) dalam sebuah
keranjang. Apabila engkau kehilangan ikan itu, maka orang itu berada di sana.”

Musa pun berangkat bersama muridnya Yusya’ bin Nun dengan membawa ikan dalam
keranjang, sehingga ketika mereka berdua berada di sebuah batu besar, keduanya
merebahkan kepala dan tidur (di atas batu itu), lalu ikan itu lepas dari keranjang dan
mengambil jalannya ke laut dan cara perginya membuat Musa dan muridnya merasa
aneh.
Keduanya kemudian pergi pada sisa malam yang masih ada hingga tiba pagi hari.
Ketika pagi harinya, Musa berkata kepada muridnya, “Bawalah kemari makanan kita,
sungguh kita telah merasa letih karena perjalanan ini.” Musa tidaklah merasakan
keletihan kecuali setelah melalui tempat yang diperintahkan untuk didatangi.

Muridnya kemudian berkata kepadanya, “Tahukah engkau ketika kita mecari tempat
berlindung di batu tadi, aku lupa menceritakan tentang ikan itu, dan tidak ada yang
membuatku lupa untuk mengingatnya kecuali setan,” Musa berkata, “”Itulah (tempat)
yang kita cari.”

Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Ketika mereka sampai di
batu besar itu, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menutup dirinya dengan kain atau
tertutup dengan kain, lalu Musa memberi salam kepadanya. Kemudian Khadhir
berkata, “Dari mana ada salam di negerimu?” Musa berkata, “Aku Musa.” Khadhir
berkata, “Apakah Musa (Nabi) Bani Israil?” Ia menjawab, “Ya.” Musa berkata,
“Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar
yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?” Khadhir berkata,
“Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku, wahai Musa?”
Sesungguhnya aku berada di atas ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadaku
yang engkau tidak mengetahuinya, demikian pula engkau berada di atas ilmu yang
Dia ajarkan kepadamu dan aku tidak mengetahuinya.” Musa berkata, “Engkau akan
mendapatiku insya Allah sebagai orang yang sabar dan aku tidak akan mendurhakai
perintahmu.”

Keduanya pun pergi berjalan di pinggir laut, sedang mereka berdua tidak memiliki
perahu, lalu ada sebuah perahu yang melintasi mereka berdua, maka keduanya
berbicara dengan penumpangnya agar mengangkutkan mereka berdua, dan ternyata
diketahui (oleh para penumpangnya) bahwa yang meminta itu Khadhir, maka mereka
pun mengangkut keduanya tanpa upah.

Tiba-tiba ada seekor burung lalu turun ke tepi perahu kemudian mematuk sekali atau
dua kali patukan ke laut. Khadhir berkata, “Wahai Musa, ilmuku dan ilmumu yang
berasal dari Allah tidak lain seperti patukan burung ini ke laut (tidak ada apa-apanya
di hadapan ilmu Allah), lalu Khadhir mendatangi papan di antara papan-papan perahu
kemudian dicabutnya.” (Melihat keadaan itu) Musa berkata, “Orang yang telah
membawa kita tanpa meminta imbalan, namun malah engkau lubangi perahunya agar
penumpangnya tenggelam.” Khadhir berkata, “Bukankah aku telah mengatakan
kepadamu, bahwa engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku.” Musa berkata,
“Janganlah engkau hukum aku karena lupaku dan janganlah engkau bebankan aku
perkara yang sulit.”

Untuk yang pertama Musa lupa, maka keduanya pun pergi, tiba-tiba ada seorang anak
yang sedang bermain dengan anak-anak yang lain, kemudian Khadhir memegang
kepalanya dari atas, lalu menarik kepalanya dengan tangannya. Musa berkata,
“Apakah engkau hendak membunuh seorang jiwa yang bersih bukan karena ia
membunuh orang lain.” Khadhir berkata, “Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup
bersabar bersamaku.”

Keduanya pun berjalan, sehingga ketika mereka sampai ke penduduk suatu kampung,
keduanya meminta agar penduduknya menjamu mereka, namun tidak diberi.
Keduanya pun mendapatkan sebuah dinding yang hampir roboh, maka Khadhir
menegakkannya, Khadhir melakukannya dengan tangannya. Musa pun berkata,
“Sekiranya engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu.” Maka
Khadhir berkata, “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu.”

Kemudian Khadhir menyampaikan alasan terhadap tindakan yang dilakukannya, ia


berkata:

“Adapun kapal itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan
aku bertujuan merusakkan kapal itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja
yang merampas setiap kapal.–Dan adapun anak muda itu, maka kedua(orang
tuanya)nya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan
mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.–Dan kami
menghendaki, agar Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang
lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu
bapaknya).–Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota
itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang
ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar mereka
sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat
dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.
Itulah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”. (QS.
Al Kahfi: 79-82).
Kisah Sapi Betina
Di zaman Nabi Musa ‘alaihissalam terjadi beberapa perkara aneh, di antaranya kisah
terbunuhnya salah seorang Bani Israil yang tidak diketahui siapa pembunuhnya.
Mereka telah mencari siapa pembunuhnya namun tetap saja tidak mengetahui siapa
pembunuhnya. Ketika mereka telah bosan mencarinya, maka mereka ingat, bahwa di
tengah-tengah mereka ada Nabi Musa ‘alaihissalam, lalu sebagian mereka
mendatanginya dan memintanya untuk berdoa kepada Allah agar Dia
memberitahukan siapa pembunuhnya.
Lalu Nabi Musa ‘alaihissalam berdoa kepada Allah agar menyelesaikan masalah itu,
kemudian Allah mewahyukan kepada Nabi Musa‘alaihissalam agar ia memerintahkan
mereka menyembelih seekor sapi betina.
Saat mereka mendengar perintah itu, mereka heran dan menyangka bahwa hal itu
hanya mengolok-olok mereka, sehingga Bani Israil tidak segera melaksanakan
perintah itu, bahkan kembali bertanya tentang sifat-sifat sapi betina itu dan meminta
penjelasan lebih rinci tentang sifat-sifatnya.

Karena mereka tidak segera melaksanakan perintah itu bahkan membebani diri
dengan bertanya lebih rinci sifat-sifatnya sehingga mereka diberi beban dengan beban
yang lebih berat, diberitahukan kepada mereka sifat-sifatnya yang berbeda dengan
sapi betina lainnya.

Allah menyuruh mereka menyembelih sapi yang tidak muda dan tidak tua yang sudah
banyak melahirkan, tetapi sapi itu masih kuat yang baru melahirkan sekali atau dua
kali. Kalau mereka langsung mengerjakan, tentu akan mudah mendapatkannya, tetapi
mereka malah bertanya lagi kepada Nabi Musa sifat-sifatnya; mereka bertanya apa
warnanya, maka Nabi Musa ‘alaihissalam berkata, “Sesungguhnya Allah berfirman
bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi
menyenangkan orang-orang yang memandangnya.”
Mereka pun terus bertanya tentang sapi betina itu sehingga mereka dibebani dengan
beban yang lebih berat lagi, yaitu perintah Nabi Musa‘alaihissalam berikutnya,
“Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum
pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak
bercacat, tidak ada belangnya.”
Mereka pun berkata, “Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang
sebenarnya”.

kemudian mereka mencari sapi itu dengan susah payah hingga akhirnya mereka
menemukannya dan membelinya dengan harga yang cukup mahal, mereka pun
menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu.” (Lihat.
QS. Al Baqarah: 69-71)

Selanjutnya Nabi Musa ‘alaihissalam mendekati sapi itu dan mengambil bagian
anggota badannya, kemudian ia gunakan untuk memukul orang yang terbunuh itu,
maka tiba-tiba orang yang terbunuh itu dapat bergerak setelah Allah mengembalikan
ruhnya kepadanya, kemudian ia memberitahukan siapa pembunuhnya, yaitu putra
saudaranya, kemudian ia pun mati lagi. Ini termasuk mukjizat besar dari Allah untuk
menunjukkan kebenaran Nabi Musa ‘alaihissalam.
Kisah Nabi Musa dengan Qarun
Qarun termasuk kaum Nabi Musa ‘alaihissalam. Ia adalah seorang yang kaya, harta
dan simpanannya banyak, bahkan kunci-kunci simpanan kekayaannya tidak dapat
dibawa kecuali oleh orang-orang yang kuat.
Akan tetapi, Qarun mendurhakai Nabi Musa dan Harun, ia tidak menerima nasihat
keduanya, dan ia menyangka bahwa harta dan kenikmatan yang didapatkannya adalah
karena ia berhak memilikinya dan bahwa ia memperolehnya karena ilmunya.

Suatu hari, Qarun keluar ke Madinah dengan perhiasan yang besar dan perlengkapan
yang banyak sambil memakai pakaian yang bagus. Ketika ia melewati manusia, maka
sebagian manusia mendekatinya untuk memberinya nasihat dengan
berkata, “Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang terlalu membanggakan diri.–Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang
lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan. (QS. Al Qashash: 76-77)
Maka Qarun menolak nasihat itu dengan sombong, ia berkata, “Sesungguhnya aku
hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.”

Ia menyangka bahwa harta yang diperolehnya ini karena kecerdasan dan


kemampuannya.

Suatu ketika Qarun keluar ke hadapan manusia dengan satu iring-iringan yang
lengkap dengan pengawal, hamba sahaya dan segala kemewahannya untuk
memperlihatkan kemegahannya kepada kaumnya. Saat itu, sebagian manusia ada
yang terfitnah (terpukau) dengan kekayaan dan perhiasan Qarun, mereka ingin
sekiranya mereka mempunyai seperti yang dimiliki Qarun, tetapi orang-orang saleh di
antara mereka berkata, “Pahala Allah lebih baik bagi orang yang beriman dan
beramal saleh.”
Ketika Qarun terus bersikap sombong dan congkak, maka Allah benamkan Qarun dan
rumahnya ke dalam bumi, dan tidak ada seorang pun yang mampu menolongnya, dan
ketika itu, orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Qarun itu,
berkata, “Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki
dari hamba-hambanya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan
karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Wahai, tidak
beruntung orang- orang yang mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Al Qashash: 82)
Wafatnya Nabi Musa ‘Alaihissalam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang wafatnya Nabi
Musa ‘alaihissalam sebagai berikut:
،‫ت فَفَقَأَهَا‬ ِ ‫س ََل ُم َعيْنَ َملَ ِك ْال َم ْو‬ َّ ‫سى َعلَ ْي ِه ال‬ َ ‫ط َم ُمو‬ َ َ‫ أ َ ِجبْ َربَّكَ قَا َل فَل‬:ُ‫ فَقَا َل لَه‬.‫س ََل ُم‬ َّ ‫علَ ْي ِه ال‬
َ ‫سى‬ َ ‫ت إِلَى ُمو‬ ِ ‫َجا َء َملَكُ ْال َم ْو‬
ُ‫ قَا َل فَ َردَّ هللاُ ِإلَ ْي ِه َع ْينَه‬،‫ َوقَ ْد فَقَأ َ َع ْينِي‬، َ‫س ْلتَنِي ِإلَى َع ْب ٍد لَكَ ََل يُ ِريدُ ْال َم ْوت‬ َ ‫ ِإنَّكَ أ َ ْر‬:َ‫هللا تَعَالَى فَقَال‬ِ ‫قَا َل فَ َر َج َع ْال َملَكُ ِإلَى‬
‫ت يَد ُكَ ِم ْن‬ ْ ‫ار‬َ ‫ فَ َما ت ََو‬،‫ض ْع يَدَكَ َعلَى َمتْ ِن ث َ ْو ٍر‬ َ َ‫ ْال َحيَاة َ ت ُ ِريدُ؟ فَإِ ْن ُك ْنتَ ت ُ ِريدُ ْال َحيَاة َ ف‬:‫ار ِج ْع ِإلَى َع ْبدِي فَقُ ْل‬ ْ :َ‫َوقَال‬
َ َّ‫ض ْال ُمقَد‬
،‫س ِة‬ ِ ‫ب أ َ ِمتْنِي ِمنَ ْاْل َ ْر‬ ِ ‫ َر‬،‫ب‬ ٍ ‫ فَ ْاْلنَ ِم ْن قَ ِري‬:َ‫ قَال‬، ُ‫ ث ُ َّم ت َ ُموت‬:َ‫ ث ُ َّم َمهْ؟ قَال‬:َ‫ قَال‬،ً‫سنَة‬ َ ‫يش بِ َها‬ُ ‫ فَإِنَّكَ ت َ ِع‬،ٍ‫ش ْع َرة‬
َ
ِ ‫ ِع ْندَ ْال َكثِي‬،‫ق‬
‫ب‬ َّ ‫ب‬
ِ ‫الط ِري‬ ِ ِ‫ « َوهللاِ لَ ْو أَنِي ِع ْندَهُ َْل َ َر ْيت ُ ُك ْم قَب َْرهُ إِلَى َجان‬:‫سلَّ َم‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫سو ُل هللا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬،‫َر ْميَةً بِ َح َج ٍر‬
»‫ْاْلَحْ َم ِر‬

“Malaikat maut datang kepada Nabi Musa ‘alaihissalam, lalu malaikat itu berkata
kepadanya, “Penuhilah Tuhanmu.” Maka Nabi Musa segera memukul mata malaikat
maut dan mencoloknya, kemudian malaikat itu kembali kepada Allah Ta’ala dan
berkata, “Engkau mengirimku kepada seorang hamba yang tidak mau mati.” Dan ia
telah mencolok mataku, lalu Allah mengembalikan matanya dan berfirman,
“Kembalilah kepada hamba-Ku dan katakan, “Apakah engkau ingin hidup?” Jika
engkau ingin hidup, maka letakkanlah tanganmu di atas punggung sapi, maka
hidupmu sampai waktu sebanyak bulu yang tertutup tanganmu. Engkau masih dapat
hidup setahun.” Kemudian Musa berkata, “Selanjutnya apa?” Allah berfirman,
“Selanjutnya engkau mati.” Musa berkata, “Kalau begitu sekaranglah segera.”
Wahai Tuhanku, matikanlah aku di dekat negeri yang suci yang jaraknya sejauh
lemparan batu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah,
kalau sekiranya aku berada dekat sana, tentu aku akan memberitahukan kalian
kuburnya di pinggir jalan, di dekat bukit pasir merah.” (HR. Muslim)
Disebutkan dalam riwayat, bahwa para malaikat yang mengurus pemakamannya dan
yang menyalatkannya. Ketika itu, usianya 120 tahun.

Selesai dengan pertolongan Allah dan taufiq-Nya, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa


Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Baca kisah sebelumnya:

 Kisah Nabi Musa dan Harun ‘Alaihimasssalam (bag. 1)


 Kisah Nabi Musa dan Harun ‘Alaihimasssalam (bag. 2)
 Kisah Nabi Musa dan Harun ‘Alaihimasssalam (bag. 3)
 Kisah Nabi Musa dan Harun ‘Alaihimasssalam (bag. 4)
Oleh: Marwan bin Musa
Maraaji’:
 Al Qur’anul Karim
 Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an (Abu Yahya Marwan)
 Mausu’ah Al Usrah Al Muslimah (dari situs www.islam.aljayyash.net)
 Shahih Qashashil Anbiya’ (Ibnu Katsir, takhrij Syaikh Salim Al Hilaaliy)
 dll.

Anda mungkin juga menyukai