‘Alaihimasssalam (bag. 1)
BY ADMIN · AUGUST 29, 2012
Di zaman dahulu, negeri Mesir dipimpin oleh raja yang zalim dan kejam dikenal
dengan sebutan “Fir’aun,” ia memperbudak kaumnya dan menindas mereka, bersikap
sewenang-wenang di bumi, dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan
menindas segolongan dari mereka dan mempekerjakan mereka dengan kerja paksa.
Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.
Mereka yang tertindas ini adalah bani Israil; suatu kaum yang nasab mereka sampai
kepada Nabi Israil atau Ya’qub ‘alaihissalam. Bani Israil menempati negeri Mesir
ketika Nabi Yusuf ‘alaihissalam menjabat sebagai menterinya.
Suatu ketika Fir’aun bermimpi, bahwa ada sebuah api yang datang dari Baitul Maqdis
lalu membakar negeri Mesir selain rumah-rumah Bani Israil. Saat bangun, maka
Fir’aun langsung terkejut, kemudian ia mengumpulkan para peramal dan pesihir untuk
meminta takwil terhadap mimpinya itu, lalu mereka memberitahukan bahwa akan
lahir seorang anak dari kalangan Bani Israil yang akan menjadi sebab binasanya
penduduk Mesir. Maka Fir’aun merasa takut terhadap mimpi tersebut, ia pun
memerintahkan untuk menyembelih anak-anak laki-laki Bani Israil karena takut
terhadap kelahiran orang tersebut[1].
Hari pun berlalu, bulan dan tahun berganti sehingga penduduk asli Mesir melihat
bahwa jumlah Bani Israil semakin sedikit karena dibunuhnya anak laki-laki yang
masih kecil, mereka khawatir jika orang-orang dewasanya wafat, sedang anak-
anaknya dibunuh nantinya tidak ada lagi yang mengurus tanah mereka, sehingga
mereka pergi mendatangi Fir’aun dan memberitahukan masalah itu, lalu Fir’aun
berpikir ulang, kemudian ia pun memerintahkan untuk membunuh laki-laki secara
umum dan membiarkan mereka secara umum.
Harun lahir pada tahun ketika anak-anak tidak dibunuh, sedangkan Musa lahir pada
tahun terjadinya pembunuhan, maka ibunya takut kalau anaknya dibunuh sehingga ia
memilih untuk menaruh anaknya di tempat yang jauh dari jangkauan mata tentara
Fir’aun yang senantiasa menanti anak-anak Bani Israil untuk dibunuhnya, maka Allah
mengilhamkan kepadanya untuk menyusuinya dan meletakkannya ke dalam peti, lalu
peti itu ditaruh ke sungai saat tentara Fir’aun datang. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman,
“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir
terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir
dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan
mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para
rasul.” (QS. Al Qashash: 7)
Maka ia pun menyiapkan peti kecil yang terikat dengan tali dan menyusui anaknya,
dan pada saat tentara Fir’aun datang, maka ia menaruhnya ke dalam peti dan
meletakkannya ke dalam sungai Nil. Ketika tentara Fir’aun pergi, maka ia menarik
kembali peti itu. Hingga suatu ketika, ibu Nabi Musa lupa mengikat peti itu dengan
tali, maka peti itu terbawa oleh air dan terus berjalan, sedangkan saudari Musa
diperintahkan untuk memperhatikannya dan berjalan di sampingnya sambil melihat ke
mana peti ini berhenti. Peti tersebut tetap mengambang di atas sungai bergoyang ke
kanan dan ke kiri dan digerakkan oleh ombaknya, hingga kemudian peti itu terbawa
ke arah istana Fir’aun yang berada di dekat sungai Nil. Ketika saudari Musa melihat
peti itu mengarah ke istana Fir’aun, maka ia segera menyampaikan kepada ibunya
untuk memberitahukan perkara itu sehingga hati ibu Musa menjadi kosong, hampir
saja ia menyatakan keadaan yang sebenarnya bahwa Musa adalah anaknya sendiri.
Ketika itu, Asiyah istri Fir’aun seperti biasa berjalan di kebun istana dan berjalan pula
di belakangnya para pelayannya, lalu Asiyah melihat sebuah peti di pinggir sungai Nil
di ujung istana, lalu ia menyuruh para pelayannya untuk membawanya dan mereka
tidak berani membukanya sampai meletakkan peti itu di hadapan Asiyah. Kemudian
Asiyah melihat peti itu dan dilihatnya ada seorang anak bayi yang manis dan Allah
menanamkan dalam hatinya rasa cinta kepada anak itu.
Di samping itu, Asiyah adalah seorang wanita yang mandul, lalu ia mengambilnya
dan memeluknya dan bertekad untuk menjaganya dari pembunuhan dan
penyembelihan, lalu ia membawanya ke suaminya dan berkata dengan penuh rasa
kasihan, “(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu
membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia
menjadi anak.” (QS. Al Qashash: 9).
Yang diucapkan Asiyah sungguh benar, karena keberadaan Musa memberikan
manfaat baginya, di dunia ia memperoleh hidayah dengannya dan di akhirat ia masuk
surga dengan sebabnya.
Ketika Fir’aun melihat istrinya begitu kuat menjaga anak bayi ini, maka Fir’aun
menyetujui permintaannya dan tidak menyuruh dibunuh dan diangkatlah ia sebagai
anak.
Ibu Nabi Musa pun pergi bersama putrinya ke istana Fir’aun. Ketika telah masuk ke
istana dan menemui istri Fir’au, maka ibu Nabi Musa segera menyodorkan teteknya,
bayi Musa segera menyusu hingga kenyang. Lalu Asiyah meminta Ibu Musa untuk
tinggal di istana, tetapi ia menolak karena ia mempunyai suami dan anak-anak yang
perlu dilayaninya, maka Asiyah pun melepas bayi Musa itu bersama ibu itu yang tidak
lain adalah ibu Nabi Musa sendiri.
Ibunya membawa bayinya ke rumah tempat Musa dilahirkan dengan hati yang penuh
kebahagiaan, di samping ia memperoleh upah dari istana, demikian pula nafkah dan
pemberian lainnya, sehingga hiduplah Nabi Musa dengan ibu dan ayahnya serta
saudarinya. Saat Musa telah kembali ke istana Fir’aun, maka keluarga Musa telah
mendidiknya dengan pendidikan yang baik, sehingga Nabi Musa tumbuh seperti anak
raja dan pemerintah, yaitu sebagai orang yang kuat, pemberani dan berpendidikan.
Ketika itu, Bani Israil menjadi lebih terhormat, karena dari kalangan mereka yang
menyusukan Musa.
Musa mendekat kepada keduanya dan bertanya tentang sebab keduanya berdiri jauh
dari keramaian orang, maka keduanya memberitahukan, bahwa keduanya tidak dapat
memberi minum kambing-kambingnya melainkan setelah orang-orang selesai
memberi minum kambing-kambing mereka. Keduanya terpaksa melakukan demikian,
karena orang tuanya sudah sangat tua; tidak sanggup melakukan pekerjaan ini, maka
Nabi Musa pun maju lalu mengangkat batu besar sendiri yang biasa diangkat oleh
sepuluh orang yang menutupi sumur itu, kemudian memberi minum kambing-
kambing milik keduanya.
Setelah itu, Musa kembali ke tempat semula di bawah naungan pohon untuk dapat
beristirahat setelah merasakan kelelahan perjalanan jauh. Lalu ia merasakan lapar dan
berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang
Engkau turunkan kepadaku.”
Ketika kedua wanita itu kembali kepada orang tuanya, keduanya menceritakan
kejadian yang mereka alami, sehingga orang tua itu heran dengan orang asing yang
kuat dan memiliki sopan santun yang tinggi. Lalu orang tua ini menyuruh salah
seorang anaknya untuk mendatanginya dan mengundangnya menemui ayahnya untuk
diberikan balasan.
Lalu salah satu wanita itu mendatangi Musa dengan rasa malu dan memberitahukan
tentang undangan ayahnya, maka Musa memenuhi undangan itu dan mendatangi ayah
wanita itu dengan berjalan di depan, sedangkan wanita ini berjalan di belakang sambil
mengisyaratkan jalannya dengan melempar batu kecil.
Ketika sampai di tempat orang tua itu, maka ia bertanya kepada Musa tentang nama
dan perihal yang terjadi pada dirinya, Musa pun menceritakan kejadiannya, lalu orang
tua itu menenangkannya.
Ketika itu, salah seorang dari kedua wanita itu meminta kepada ayahnya agar
mengangkat Musa sebagai pekerja untuk membantu keduanya karena keadaanya yang
kuat lagi amanah. Maka orang tua itu, menawarkan kepada Musa untuk menikahi
salah satu putrinya itu dengan mahar mau bekerja kepadanya selama delapan tahun
atau sepuluh tahun jika Musa mau. Maka Nabi Musa setuju terhadap tawaran itu, dan
menikah dengan salah satu dari wanita itu. Ia pun mulai menggembala kambing
selama sepuluh tahun. Setelah itu, Musa ingin pulang menemui keluarganya di Mesir,
lalu orang tua itu menyetujuinya dan memberinya bekal selama perjalanan pulangnya
ke Mesir.
Bersambung…
Oleh: Marwan bin Musa
Maraaji’:
Al Qur’anul Karim
Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an (Abu Yahya Marwan)
Mausu’ah Al Usrah Al Muslimah (dari situs www.islam.aljayyash.net)
Shahih Qashashil Anbiya’ (Ibnu Katsir, takhrij Syaikh Salim Al Hilaaliy)
dll.
[1] Ada pula yang berpendapat, bahwa yang mendorong Fir’aun melakukan tindakan
keji ini adalah karena berita yang sampai kepadanya dari Bani Israil bahwa nanti akan
muncul dari kalangan mereka seorang anak yang menjadi penyebab hancurnya
kerajaan Mesir. Berita ini masyhur di kalangan Bani Israil hingga tersebar di kalangan
orang-orang asli Mesir dan sampailah berita itu ke telinga Fir’aun, lihat Shahih
Qashashil Anbiya’ hal. 254.
Kisah Nabi Musa dan Harun
‘Alaihimasssalam (bag. 2)
BY ADMIN · AUGUST 31, 2012
Lebih dari seorang mufassir baik dari kalangan salaf maupun khalaf berkata, “Nabi
Musa pergi menuju api yang dilihatnya itu dan setelah sampai di sana, didapatinya api
itu menyala-nyala di sebuah pohon hijau, yaitu pohon Ausaj (jenis pohon yang
berduri), apinya semakin menyala, kehijaun pohon itu juga semakin bertambah, maka
Musa berdiri dalam keadaan takjub dan ketika itu pohon tersebut di kaki gunung di
sebelah Barat dan berada di sebelah kanan Nabi Musa sebagaimana firman
AllahTa’ala, “Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi yang sebelah Barat
ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan tidak pula kamu termasuk
orang-orang yang menyaksikan.” (QS. Al Qashshash: 44)
Saat itu Musa berada di lembah yang bernama Thuwa, sambil menghadap kiblat,
sedangkan pohon itu berada di kanannya di sebelah Barat, lalu Tuhannya
memanggilnya,
Musa menjawab, “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa yang ada di antara
keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya”.
Fir’aun berkata kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya, “Apakah kamu tidak
mendengarkan?”
Musa berkata (pula), “Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang
dahulu”.
Fir’aun berkata, “Sesungguhnya Rasulmu yang diutus kepada kamu sekalian benar-
benar orang gila.”
Musa berkata, “Tuhan yang menguasai Timur dan Barat dan apa yang ada di antara
keduanya; (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal.”
Fir’aun berkata: “Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selainku, aku akan
menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan.” (Lihat Asy Syu’araa: 23-29)
Tibalah hari pertunjukan itu dalam keadaan ramai dihadiri oleh banyak manusia,
mereka ingin melihat apakah Musa yang menang ataukah para penyihir?
Sebelum Fir’aun keluar mendatangi Musa, ia berkumpul terlebih dahulu dengan para
penyihir dan memberikan dorongan kepada mereka, dimana jika mereka menang,
maka ia akan memberikan berbagai kesenangan berupa harta dan kedudukan.
Sesaat kemudian, Fir’aun keluar menuju lapangan pertandingan, sedangkan di
belakangnya terdapat para penyihir, lalu ia duduk di tempat khusus baginya dengan
didampingi para pelayannya, kemudian para penyihir berdiri di hadapan Nabi Musa
dan Harun.
Para penyihir pun melempar tali dan tongkat, sambil menyihir mata manusia sehingga
menurut pandangan manusai bahwa tongkat dan tali tersebut berubah menjadi ular
yang gesit dan bergerak di hadapan mereka, sehingga orang-orang takut terhadapnya,
bahkan Nabi Musa dan Harun merasa takut terhadapnya, lalu Alllah memberikan
wahyu kepada Musa agar ia tidak takut dan melempar tongkatnya, maka Nabi Musa
dan saudaranya (Nabi Harun) tenang karena perintah Allah itu.
Nabi Musa pun melempar tongkatnya, maka tongkat itu berubah menjadi ular yang
besar yang menelan tali para penyihir dan tongkat mereka. Ketika para penyihir
melihat apa yang ditunjukkan Nabi Musa‘alaihissalam, maka mereka pun mengakui,
bahwa itu adalah mukjizat dari Allah dan bukan sihir. Kemudian Allah melapangkan
hati mereka untuk beriman kepada Allah dan membenarkan apa yang dibawa Nabi
Musa‘alaihissalam, mereka pun akhirnya hanya bersujud kepada Allah sambil
menyatakan keimanan mereka kepada Tuhan Musa dan Harun.
Ketika itulah Fir’aun semakin geram dan mulai mengancam para penyihir, ia berkata
kepada mereka, “Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku
memberi izin kepadamu sekalian. Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang
mengajarkan sihir kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya aku akan memotong
tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara bertimbal balik, dan
sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma dan
sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih
kekal siksanya.”(QS. Thaahaa: 71)
Meskipun begitu, para penyihir tidak takut terhadap ancaman itu setelah Allah
mengaruniakan keimanan kepada mereka, mereka berkata, “Kami sekali-kali tidak
akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mukjizat) yang telah
datang kepada kami dan daripada Tuhan yang telah menciptakan kami; maka
putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat
memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja.–Sesungguhnya kami telah beriman
kepada Tuhan kami, agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami dan sihir yang
telah kamu paksakan kepada kami melakukannya. Dan Allah lebih baik (pahala-Nya)
dan lebih kekal (azab-Nya).– Sesungguhnya barangsiapa datang kepada Tuhannya
dalam keadaan berdosa, maka sesungguhnya baginya neraka Jahannam. Ia tidak
mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.–Dan barang siapa datang kepada Tuhannya
dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh telah beramal saleh, maka mereka
Itulah orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang Tinggi (mulia),–(yaitu)
surga ‘Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya.
Dan itu adalah balasan bagi orang yang bersih (dari kekafiran dan
kemaksiatan).”(QS. Thaahaa: 72-76)
Bersambung…
Lihat artikel sebelumnya:
Maraaji’:
1. Al Qur’anul Karim
2. Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an (Abu Yahya Marwan)
3. Mausu’ah Al Usrah Al Muslimah (dari situs www.islam.aljayyash.net)
4. Shahih Qashashil Anbiya’ (Ibnu Katsir, takhrij Syaikh Salim Al Hilaaliy)
5. dll.
Artikel www.KisahMuslim.com
Ketika Nabi Musa ‘alaihissalam melihat kaumnya merasakan ketakutan yang sangat,
maka Beliau berkata kepada kaumnya, “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan
bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada
siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah
bagi orang-orang yang bertakwa.”
Maka Kaum Musa berkata, “Kami telah ditindas (oleh Fir’aun) sebelum kamu datang
kepada Kami dan setelah kamu datang.”
Fir’aun juga semakin bertambah penentangannya dan kekafirannya kepada Allah dan
senantiasa mendustakan semua ayat yang dibawa oleh Nabi Musa ‘alaihissalam,
hingga akhirnya Nabi Musa berdoa kepada Allah agar Dia melepaskan Bani Israil dari
cengkeraman Fir’an serta mengadzab orang-orang kafir dengan adzab yang pedih.
Nabi Musa berkata, “Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi
kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam
kehidupan dunia. Wahai Tuhan kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari
jalan Engkau. Wahai Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci
matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang
pedih.” (QS. Yunus: 88)
Maka Allah Subhaanahu wa Ta’ala mengabulkan doa Nabi-Nya dan Rasul-Nya
Musa ‘alaihissalam dan datanglah perintah dari Allah kepada Nabi Musa untuk
membawa Bani Israil pergi di malam hari serta memberitahukan, bahwa Fir’aun akan
menyusul mereka.
Nabi Musa ‘alaihissalam Membawa Pergi Bani Israil dan
Disusulnya Mereka oleh Fir’aun
Maka Nabi Musa membawa Bani Israil pada malam hari dan berangkatlah Musa
bersama Bani Israil ke arah laut, mereka berjalan kaki ke sana, namun berita
kepergian Nabi Musa dan Bani Isaril ternyata diketahui Fir’aun, maka Fir’aun marah
besar dan mengirim orang untuk mengumpulkan (tentaranya) ke kota-kota. Fir’aun
berkata, “Sesungguhnya mereka (Bani Israil) benar-benar golongan kecil. Dan
sesungguhnya mereka membuat hal-hal yang menimbulkan amarah kita. Dan
sesungguhnya kita benar-benar golongan yang selalu waspada.”
Maka keluarlah Fir’aun dan kaumnya dalam jumlah besar untuk mengejar Nabi Musa
dan Bani Israil, hingga akhirnya Fir’aun dan bala tentaranya dapat menyusul mereka
di waktu matahari terbit. Kedua golongan itu pun saling melihat, dan saat itu
pengikut-pengikut Musa berkata, “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul.”
Tetapi Musa menenangkan mereka dan mengingatkan mereka, bahwa
AllahSubhaanahu wa Ta’ala akan menolong mereka, Beliau berkata, “Sekali-kali
tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi
petunjuk kepadaku.”
Penenggelaman Fir’aun
Selanjutnya, Allah memerintahkan Nabi Musa untuk memukul tongkatnya ke laut,
maka dengan izin Allah laut pun terbelah, dimana setiap belahan seperti gunung yang
besar (QS. Asy Syu’araa: 52-63). Ketika itulah, Bani Israil segera melintasi laut
hingga sampai di seberang, sedangkan Fir’aun berada di tepi sebelumnya, dan ketika
Fir’aun melihat jalan-jalan di tengah laut senantiasa terbuka, maka ia bersama
tentaranya pun melewati jalan itu untuk mengejar Bani Israil. Dan ketika mereka telah
sampai di tengah laut, maka laut pun kembali seperti biasa sehingga mereka semua
tenggelam. Dan saat Fir’aun telah merasakan dirinya akan tenggelam, ia pun berusaha
menyelamatkan dirinya dengan berkata,“Saya percaya bahwa tidak ada tuhan yang
berhak disembah melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya
termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (Lihat Yunus: 90)
Akan tetapi, saat untuk bertaubat tidak lagi berguna karena nyawa telah sampai di
tenggorokan.
Setelah Fir’aun menghebuskan nafasnya, maka ombak laut membawa jasadnya dan
melemparnya ke pinggir pantai agar dilihat oleh orang-orang Mesir, agar menjadi
pelajaran bagi mereka, bahwa orang yang mereka sembah selama ini serta mereka
taati tidak mampu menolak kematian sedikit pun dari dirinya serta menjadi pelajaran
bagi setiap orang yang sombong lagi kejam.
Penenggalaman Fir’aun ini terjadi pada hari Asyura (10 Muharram). Ibnu Abbas
berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, sedangkan orang-orang
Yahudi melakukan puasa pada hari Asyura, lalu Beliau bertanya, “Hari apa yang
kalian berpuasa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari dimana Musa pernah
mengalahkan Fir’aun.” Maka Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (kepada
para sahabat), “Kalian lebih berhak dengan Nabi Musa daripada mereka, maka
berpuasalah.” (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i dalam Al Kubra, Ibnu Majah, dan lain-
lain).
Setelah Bani Israil melintasi lautan, maka mereka berjalan ke negeri yang suci
(Palestina), namun di tengah perjalanan, mereka melihat orang-orang yang
menyembah patung, lalu mereka meminta kepada Nabi Musa‘alaihissalam agar
mengadakan buat mereka sesembahan seperti yang mereka miliki, maka Nabi Musa
berkata, “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat
Tuhan)”– Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya
dan akan batal apa yang seIalu mereka kerjakan.” (QS. Al A’raaf: 138-139)
Nabi Musa juga berkata, “Patutkah aku mencari Tuhan untuk kamu selain Allah,
padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat (pada masa itu).” (QS.
Al A’raaf: 140)
Beberapa Nikmat Allah kepada Bani Israil
Nabi Musa ‘alaihissalam pun melanjutkan perjalanannya di bawah terik matahari
yang menyengat wajah mereka, hingga akhirnya mereka mengadukan masalah itu
kepada Beliau, maka Allah menundukkan untuk mereka awan yang berjalan di atas
mereka yang mengikuti perjalanan mereka sehingga mereka tidak merasa kepanasan.
Dan pada saat mereka kehausan, Allah mewahyukan kepada Nabi
Musa ‘alaihissalam agar Beliau memukulkan tongkat yang dibawanya itu ke batu,
maka terpancarlah daripadanya dua belas mata air sesuai dengan jumlah suku Bani
Israil yang bersamanya sehingga Nabi Musa ‘alaihissalam menjadikan untuk setiap
suku satu mata air.
Dan ketika mereka kelaparan, mereka juga diberi nikmat oleh AllahSubhaanahu wa
Ta’ala, Dia berikan untuk mereka Manna (makanan yang manis seperti madu) dan
Salwa (daging burung seperti burung puyuh), maka mereka memakannya, akan tetapi
mereka cepat bosan terhadap makanan itu sehingga mereka mendatangi Nabi
Musa ‘alaihissalammengeluhkan makanan itu, mereka berkata, “Wahai Musa, Kami
tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. sebab itu mohonkanlah
untuk Kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang
ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang
adasnya, dan bawang merahnya.”
Maka Nabi Musa berkata, “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti
yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu
minta.” Yakni Permintaanmu ini bukanlah perkara sulit, bahkan makanan itu banyak
di kota mana pun, yang jika kamu mendatangi tentu kamu akan menemukannya.
(Lihat Al Baqarah: 61).
Bersambung…
Lihat artikel sebelumnya:
Maraaji’:
1. Al Qur’anul Karim
2. Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an (Abu Yahya Marwan)
3. Mausu’ah Al Usrah Al Muslimah (dari situs www.islam.aljayyash.net)
4. Shahih Qashashil Anbiya’ (Ibnu Katsir, takhrij Syaikh Salim Al Hilaaliy)
5. dll.
Kisah Nabi Musa dan Harun
‘Alaihimasssalam (bag. 4)
BY ADMIN · SEPTEMBER 10, 2012
Beliau pun pergi ke gunung yang Beliau pernah mendapat wahyu pertama kali ketika
Beliau pulang dari Madyan ke Mesir dan ketikan itulah diturunkan kepada Beliau
kitab Taurat. Dan ketika Nabi Musa ‘alaihissalammenyaksikan bahwa Allah telah
memuliakannya serta diberi kelebihan, maka ia meminta kepada Allah agar diberi
kesempatan untuk melihat-Nya karena mengira bahwa Allah dapat dilihat di dunia,
maka Allah menolak permintaan itu dan menerangkan bahwa Beliau tidak akan
sanggup melihat Allah ‘Azza wa Jalla. Disebutkan kejadian ini di surat Al A’raaf:
143, Allah Ta’ala berfirman,
“Dan ketika Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami
tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa, “Ya
Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.”
Allah berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi lihatlah ke bukit
itu, maka jika ia tetap di tempatnya (seperti semula) niscaya kamu dapat melihat-
Ku.” Ketika Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung
itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. maka setelah Musa sadar kembali, dia
berkata, “Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang
pertama beriman.”
Kemudian Nabi Musa ‘alaihissalam mengambil lauh-lauh yang berisi Taurat, di
dalam kitab itu terdapat nasihat dan hukum-hukum untuk mengatur kehidupan Bani
Israil.
Bani Israil Menyembah Patung Anak Sapi
Sepeninggal Musa, ternyata Bani Israil telah disimpangkan oleh seorang yang
bernama Samiri, ia mengumpulkan perhiasan dan emas mereka serta membuatkan
patung yang berongga dalam bentuk anak sapi, dimana jika angin masuk ke dalamnya
dari lubang yang satu dan keluar dari lubang yang lain, maka akan keluar suara yang
mirip suara anak sapi, lalu Samiri memberitahukan mereka, bahwa itu adalah tuhan
mereka dan tuhan Musa, akhirnya Bani Israil percaya dan menyembah patung tersebut
meninggalkan menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Nabi Harun menasihati
dan mengingatkan mereka, tetapi mereka tetap saja di atas kebodohan itu, tidak sadar
dan tidak memperhatikan nasihat Harun, bahkan mereka menyanggahnya dan hampir
saja membunuhnya. Mereka juga memberitahukan, bahwa mereka tidak akan
meninggalkan penyembahan kepada patung itu sampai Musa kembali.
Ketika Nabi Musa ‘alaihissalam kembali, ia mendapati kaumnya dalam keadaan
seperti itu, ia pun marah dengan marah yang besar karena kecewa bercampur sedih,
hingga ia pun melempar lauh-lauh (lembaran) yang berisi Taurat itu dari tangannya,
lalu ia mendatangi Nabi Harun, memegang kepala dan janggutnya sambil menariknya
dan berkata,“Wahai Harun! Apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat
mereka telah sesat,–(sehingga) kamu tidak mengikuti Aku? Maka Apakah kamu telah
(sengaja) mendurhakai perintahku?” (QS. Thaahaa: 92-93)
Harun pun berkata, “Wahai putera ibuku! Janganlah kamu pegang janggutku dan
jangan (pula) kepalaku, “Sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata
(kepadaku), “Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara
amanatku.”
Beliau juga memberitahukan Nabi Musa bahwa kaumnya hampir saja membunuhnya,
maka Musa pun meninggalkannya dan pergi mendatangi Samiri; orang yang membuat
patung tersebut dan bertanya tentang alasannya, lalu Samiri memberitahukan
alasannya, kemudian Musa membakar patung itu hingga habis dan membuang
ampasnya ke laut.
Bersambung…
Lihat artikel sebelumnya:
Musa pun berangkat bersama muridnya Yusya’ bin Nun dengan membawa ikan dalam
keranjang, sehingga ketika mereka berdua berada di sebuah batu besar, keduanya
merebahkan kepala dan tidur (di atas batu itu), lalu ikan itu lepas dari keranjang dan
mengambil jalannya ke laut dan cara perginya membuat Musa dan muridnya merasa
aneh.
Keduanya kemudian pergi pada sisa malam yang masih ada hingga tiba pagi hari.
Ketika pagi harinya, Musa berkata kepada muridnya, “Bawalah kemari makanan kita,
sungguh kita telah merasa letih karena perjalanan ini.” Musa tidaklah merasakan
keletihan kecuali setelah melalui tempat yang diperintahkan untuk didatangi.
Muridnya kemudian berkata kepadanya, “Tahukah engkau ketika kita mecari tempat
berlindung di batu tadi, aku lupa menceritakan tentang ikan itu, dan tidak ada yang
membuatku lupa untuk mengingatnya kecuali setan,” Musa berkata, “”Itulah (tempat)
yang kita cari.”
Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Ketika mereka sampai di
batu besar itu, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menutup dirinya dengan kain atau
tertutup dengan kain, lalu Musa memberi salam kepadanya. Kemudian Khadhir
berkata, “Dari mana ada salam di negerimu?” Musa berkata, “Aku Musa.” Khadhir
berkata, “Apakah Musa (Nabi) Bani Israil?” Ia menjawab, “Ya.” Musa berkata,
“Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar
yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?” Khadhir berkata,
“Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku, wahai Musa?”
Sesungguhnya aku berada di atas ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadaku
yang engkau tidak mengetahuinya, demikian pula engkau berada di atas ilmu yang
Dia ajarkan kepadamu dan aku tidak mengetahuinya.” Musa berkata, “Engkau akan
mendapatiku insya Allah sebagai orang yang sabar dan aku tidak akan mendurhakai
perintahmu.”
Keduanya pun pergi berjalan di pinggir laut, sedang mereka berdua tidak memiliki
perahu, lalu ada sebuah perahu yang melintasi mereka berdua, maka keduanya
berbicara dengan penumpangnya agar mengangkutkan mereka berdua, dan ternyata
diketahui (oleh para penumpangnya) bahwa yang meminta itu Khadhir, maka mereka
pun mengangkut keduanya tanpa upah.
Tiba-tiba ada seekor burung lalu turun ke tepi perahu kemudian mematuk sekali atau
dua kali patukan ke laut. Khadhir berkata, “Wahai Musa, ilmuku dan ilmumu yang
berasal dari Allah tidak lain seperti patukan burung ini ke laut (tidak ada apa-apanya
di hadapan ilmu Allah), lalu Khadhir mendatangi papan di antara papan-papan perahu
kemudian dicabutnya.” (Melihat keadaan itu) Musa berkata, “Orang yang telah
membawa kita tanpa meminta imbalan, namun malah engkau lubangi perahunya agar
penumpangnya tenggelam.” Khadhir berkata, “Bukankah aku telah mengatakan
kepadamu, bahwa engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku.” Musa berkata,
“Janganlah engkau hukum aku karena lupaku dan janganlah engkau bebankan aku
perkara yang sulit.”
Untuk yang pertama Musa lupa, maka keduanya pun pergi, tiba-tiba ada seorang anak
yang sedang bermain dengan anak-anak yang lain, kemudian Khadhir memegang
kepalanya dari atas, lalu menarik kepalanya dengan tangannya. Musa berkata,
“Apakah engkau hendak membunuh seorang jiwa yang bersih bukan karena ia
membunuh orang lain.” Khadhir berkata, “Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup
bersabar bersamaku.”
Keduanya pun berjalan, sehingga ketika mereka sampai ke penduduk suatu kampung,
keduanya meminta agar penduduknya menjamu mereka, namun tidak diberi.
Keduanya pun mendapatkan sebuah dinding yang hampir roboh, maka Khadhir
menegakkannya, Khadhir melakukannya dengan tangannya. Musa pun berkata,
“Sekiranya engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu.” Maka
Khadhir berkata, “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu.”
“Adapun kapal itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan
aku bertujuan merusakkan kapal itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja
yang merampas setiap kapal.–Dan adapun anak muda itu, maka kedua(orang
tuanya)nya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan
mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.–Dan kami
menghendaki, agar Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang
lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu
bapaknya).–Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota
itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang
ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar mereka
sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat
dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.
Itulah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”. (QS.
Al Kahfi: 79-82).
Kisah Sapi Betina
Di zaman Nabi Musa ‘alaihissalam terjadi beberapa perkara aneh, di antaranya kisah
terbunuhnya salah seorang Bani Israil yang tidak diketahui siapa pembunuhnya.
Mereka telah mencari siapa pembunuhnya namun tetap saja tidak mengetahui siapa
pembunuhnya. Ketika mereka telah bosan mencarinya, maka mereka ingat, bahwa di
tengah-tengah mereka ada Nabi Musa ‘alaihissalam, lalu sebagian mereka
mendatanginya dan memintanya untuk berdoa kepada Allah agar Dia
memberitahukan siapa pembunuhnya.
Lalu Nabi Musa ‘alaihissalam berdoa kepada Allah agar menyelesaikan masalah itu,
kemudian Allah mewahyukan kepada Nabi Musa‘alaihissalam agar ia memerintahkan
mereka menyembelih seekor sapi betina.
Saat mereka mendengar perintah itu, mereka heran dan menyangka bahwa hal itu
hanya mengolok-olok mereka, sehingga Bani Israil tidak segera melaksanakan
perintah itu, bahkan kembali bertanya tentang sifat-sifat sapi betina itu dan meminta
penjelasan lebih rinci tentang sifat-sifatnya.
Karena mereka tidak segera melaksanakan perintah itu bahkan membebani diri
dengan bertanya lebih rinci sifat-sifatnya sehingga mereka diberi beban dengan beban
yang lebih berat, diberitahukan kepada mereka sifat-sifatnya yang berbeda dengan
sapi betina lainnya.
Allah menyuruh mereka menyembelih sapi yang tidak muda dan tidak tua yang sudah
banyak melahirkan, tetapi sapi itu masih kuat yang baru melahirkan sekali atau dua
kali. Kalau mereka langsung mengerjakan, tentu akan mudah mendapatkannya, tetapi
mereka malah bertanya lagi kepada Nabi Musa sifat-sifatnya; mereka bertanya apa
warnanya, maka Nabi Musa ‘alaihissalam berkata, “Sesungguhnya Allah berfirman
bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi
menyenangkan orang-orang yang memandangnya.”
Mereka pun terus bertanya tentang sapi betina itu sehingga mereka dibebani dengan
beban yang lebih berat lagi, yaitu perintah Nabi Musa‘alaihissalam berikutnya,
“Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum
pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak
bercacat, tidak ada belangnya.”
Mereka pun berkata, “Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang
sebenarnya”.
kemudian mereka mencari sapi itu dengan susah payah hingga akhirnya mereka
menemukannya dan membelinya dengan harga yang cukup mahal, mereka pun
menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu.” (Lihat.
QS. Al Baqarah: 69-71)
Selanjutnya Nabi Musa ‘alaihissalam mendekati sapi itu dan mengambil bagian
anggota badannya, kemudian ia gunakan untuk memukul orang yang terbunuh itu,
maka tiba-tiba orang yang terbunuh itu dapat bergerak setelah Allah mengembalikan
ruhnya kepadanya, kemudian ia memberitahukan siapa pembunuhnya, yaitu putra
saudaranya, kemudian ia pun mati lagi. Ini termasuk mukjizat besar dari Allah untuk
menunjukkan kebenaran Nabi Musa ‘alaihissalam.
Kisah Nabi Musa dengan Qarun
Qarun termasuk kaum Nabi Musa ‘alaihissalam. Ia adalah seorang yang kaya, harta
dan simpanannya banyak, bahkan kunci-kunci simpanan kekayaannya tidak dapat
dibawa kecuali oleh orang-orang yang kuat.
Akan tetapi, Qarun mendurhakai Nabi Musa dan Harun, ia tidak menerima nasihat
keduanya, dan ia menyangka bahwa harta dan kenikmatan yang didapatkannya adalah
karena ia berhak memilikinya dan bahwa ia memperolehnya karena ilmunya.
Suatu hari, Qarun keluar ke Madinah dengan perhiasan yang besar dan perlengkapan
yang banyak sambil memakai pakaian yang bagus. Ketika ia melewati manusia, maka
sebagian manusia mendekatinya untuk memberinya nasihat dengan
berkata, “Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang terlalu membanggakan diri.–Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang
lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan. (QS. Al Qashash: 76-77)
Maka Qarun menolak nasihat itu dengan sombong, ia berkata, “Sesungguhnya aku
hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.”
Suatu ketika Qarun keluar ke hadapan manusia dengan satu iring-iringan yang
lengkap dengan pengawal, hamba sahaya dan segala kemewahannya untuk
memperlihatkan kemegahannya kepada kaumnya. Saat itu, sebagian manusia ada
yang terfitnah (terpukau) dengan kekayaan dan perhiasan Qarun, mereka ingin
sekiranya mereka mempunyai seperti yang dimiliki Qarun, tetapi orang-orang saleh di
antara mereka berkata, “Pahala Allah lebih baik bagi orang yang beriman dan
beramal saleh.”
Ketika Qarun terus bersikap sombong dan congkak, maka Allah benamkan Qarun dan
rumahnya ke dalam bumi, dan tidak ada seorang pun yang mampu menolongnya, dan
ketika itu, orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Qarun itu,
berkata, “Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki
dari hamba-hambanya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan
karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Wahai, tidak
beruntung orang- orang yang mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Al Qashash: 82)
Wafatnya Nabi Musa ‘Alaihissalam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang wafatnya Nabi
Musa ‘alaihissalam sebagai berikut:
،ت فَفَقَأَهَا ِ س ََل ُم َعيْنَ َملَ ِك ْال َم ْو َّ سى َعلَ ْي ِه ال َ ط َم ُمو َ َ أ َ ِجبْ َربَّكَ قَا َل فَل:ُ فَقَا َل لَه.س ََل ُم َّ علَ ْي ِه ال
َ سى َ ت إِلَى ُمو ِ َجا َء َملَكُ ْال َم ْو
ُ قَا َل فَ َردَّ هللاُ ِإلَ ْي ِه َع ْينَه، َوقَ ْد فَقَأ َ َع ْينِي، َس ْلتَنِي ِإلَى َع ْب ٍد لَكَ ََل يُ ِريدُ ْال َم ْوت َ ِإنَّكَ أ َ ْر:َهللا تَعَالَى فَقَالِ قَا َل فَ َر َج َع ْال َملَكُ ِإلَى
ت يَد ُكَ ِم ْن ْ ارَ فَ َما ت ََو،ض ْع يَدَكَ َعلَى َمتْ ِن ث َ ْو ٍر َ َ ْال َحيَاة َ ت ُ ِريدُ؟ فَإِ ْن ُك ْنتَ ت ُ ِريدُ ْال َحيَاة َ ف:ار ِج ْع ِإلَى َع ْبدِي فَقُ ْل ْ :ََوقَال
َ َّض ْال ُمقَد
،س ِة ِ ب أ َ ِمتْنِي ِمنَ ْاْل َ ْر ِ َر،ب ٍ فَ ْاْلنَ ِم ْن قَ ِري:َ قَال، ُ ث ُ َّم ت َ ُموت:َ ث ُ َّم َمهْ؟ قَال:َ قَال،ًسنَة َ يش بِ َهاُ فَإِنَّكَ ت َ ِع،ٍش ْع َرة
َ
ِ ِع ْندَ ْال َكثِي،ق
ب َّ ب
ِ الط ِري ِ ِ « َوهللاِ لَ ْو أَنِي ِع ْندَهُ َْل َ َر ْيت ُ ُك ْم قَب َْرهُ إِلَى َجان:سلَّ َم َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َ ِسو ُل هللا ُ قَا َل َر،َر ْميَةً بِ َح َج ٍر
»ْاْلَحْ َم ِر
“Malaikat maut datang kepada Nabi Musa ‘alaihissalam, lalu malaikat itu berkata
kepadanya, “Penuhilah Tuhanmu.” Maka Nabi Musa segera memukul mata malaikat
maut dan mencoloknya, kemudian malaikat itu kembali kepada Allah Ta’ala dan
berkata, “Engkau mengirimku kepada seorang hamba yang tidak mau mati.” Dan ia
telah mencolok mataku, lalu Allah mengembalikan matanya dan berfirman,
“Kembalilah kepada hamba-Ku dan katakan, “Apakah engkau ingin hidup?” Jika
engkau ingin hidup, maka letakkanlah tanganmu di atas punggung sapi, maka
hidupmu sampai waktu sebanyak bulu yang tertutup tanganmu. Engkau masih dapat
hidup setahun.” Kemudian Musa berkata, “Selanjutnya apa?” Allah berfirman,
“Selanjutnya engkau mati.” Musa berkata, “Kalau begitu sekaranglah segera.”
Wahai Tuhanku, matikanlah aku di dekat negeri yang suci yang jaraknya sejauh
lemparan batu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah,
kalau sekiranya aku berada dekat sana, tentu aku akan memberitahukan kalian
kuburnya di pinggir jalan, di dekat bukit pasir merah.” (HR. Muslim)
Disebutkan dalam riwayat, bahwa para malaikat yang mengurus pemakamannya dan
yang menyalatkannya. Ketika itu, usianya 120 tahun.