Anda di halaman 1dari 10

Kelainan Refraksi dan Penatalaksanaannya

Elma Eka F Husain


102014055
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

Email : elma.2014fk055@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Kelainan media refraksi pada mata dapat menyebabkan penurunan tajam penglihatan atau
disebut juga dengan visus. Kelainan tersebut mengakibatkan bayangan benda yang dibiaskan oleh
media refraksi seperti kornea dan pupil tidak jatuh tepat di makula lutea, sehingga dapat mengalami
kelainan yang disebut rabun jauh atau miopi jika fokus bayangan berada di depan makula lutea, dan
jika fokus bayangan berada di belakang makula lutea, maka akan terjadi yang namanya rabun dekat
atau hipermetropi. Jika fokus nya menjadi banyak, maka dapat terjadi kelainan yang namanya
astigmat.

Kata kunci : miopi, hipermetropi, astigmat

Abstract

Media refraction abnormality can decrease visual acuity or vision. These abnormalities
caused by object that is refracted by the media refraction such as the cornea and pupil are not falling
right in the macula lutea, so that they can experience the disorder called myopia if the object focus
was in front of the macula lutea, and if the object focus is behind the macula lutea, it will be called
hypermetropia. If the object focus has a lot of focus, they can lead to astigmat disorder.

Keywords : myopia, hypermetropia, astigmat

Pendahuluan

Mata adalah salah satu organ vital bagi manusia, dimana mata adalah sumber penglihatan. Jika
mata mengalami kelainan, tentu kita tidak bisa melihat secara normal lagi, dan mata memiliki banyak
kelainan yang dapat menimpa organ tersebut, mulai dari bagian luar yang memang sering terekspos
sampai dengan bagian dalam. Salah satu kelainan mata yang perlu diwaspadai adalah kelainan yang
sampai menyebabkan penurunan visus pada mata. Penurunan visus dapat terjadi jika kelainan
mengenai media refraksi pada mata. Media refraksi tersebut adalah bagian-bagian dari mata, seperti
kornea, camera oculi anterior, juga lensa. Kelainan pada media refraksi dapat menyebabkan
penurunan visus sehingga dapat mengakibatkan apa yang sering kita kenal dengan rabun dekat, rabun
jauh, atau silinder. Untuk itu, penulis ingin memaparkan lebih jelas dan spesifik apa yang dapat
menyebabkan kelainan refraksi tersebut, mengapa kelainan tersebut bisa terjadi, dan
penatalaksanaannya.

Skenario :

Laki-laki 17 tahun datang ke poli dengan keluhan penglihatan jarak jauh makin lama makin
kabur dan perlu memicingkan mata agar dapat melihat dengan jelas atau memajukan badan.

Anatomi
Mata secara anatomis terdiri dari beberapa bagian, yaitu kelopak mata, sistem lakrimal,
konjungtiva, dan bola mata.

Anatomi Kelopak Mata

Kelopak mata mempunyai lapis kulit yang tipis pada bagian depan sedang di bagian belakang
ditutupi selaput lender tarsus yang disebut konjugntiva tarsal. Konjungtiva tarsal hanya dapat dilihat
dengan melakukan eversi kelopak. Konjungtiva tarsal melalui forniks menutup bulbus okuli.
Konjungtiva merupakan membrane mukosa yang mempunyai sel Goblet yang menghasilkan musin.
Pada kelopak terdapat bagian-bagian seperti kelenjar, yaitu kelenjar sebasea, kelenjar Moll (keringat),
kelenjar Zeis pada pangkal rambut, dan kelenjar Melbom pada tarsus.1
Kelopak mata juga mempunyai otot-otot, yaitu M.orbikularis okuli yang berjalan melingkar di
dalam kelopak atas dan bawah, terletak di bawah kulit kelopak. Pada dekat tepi margo palpebral
terdapat otot orbicularis okuli yang disebut sebagai M.Rioland. M.orbikularis berfungsi menutup bola
mata yang dipersarafi N.fasial. M.levator palpebra, yang berorigo pada annulus foramen orbita dan
berinsersi pada tasus atas dengan sebagian menembus M.orbikularis okuli menuju kulit kelopak
bagian tengah. Bagian kulit tempat insersi M.levator palpebra terlihat sebagai sulkus palpebra.
Pembuluh darah yang memperdarahinya adalah a.palpebra.1

Anatomi Sistem Lakrimal

Sistem sekresi air mata atau lakrimal terletak di daerah temporal bola mata. Sistem ekskresi
mulai pada pungtum lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus lakrimal, duktus nasolacrimal, meatus
inferior. Sistem lakrimal terdiri atas 2 bagian, yaitu system produksi atau glandula lakrimal, yang
terletak di temporo antero superior rongga orbita, dan sistem ekskresi yang terdiri atas pungtum
lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus lakrimal, dan duktus nasolacrimal. Sakus lakrimal terletak
dibagian depan rongga orbita. Air mata dari duktus lakrimal akan mengalir ke dalam rongga hidung di
dalam meatus inferior.1

Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian belakang.
Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet yang berfungsi membasahi
bola mata terutama kornea. Konjungtiva terdiri atas 3 bagian, yaitu konjungtiva tarsal yang menutupi
tarsus, konjungtiva bulbi yang menutupi sklera, dan konjungtiva forniks yang merupakan tempat
peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan
dengan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.1

Anatomi Bola Mata

Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata di bagian depan
(kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat bentuk dengan 2
kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkus oleh 3 lapis jaringan, yaitu sklera yang merupakan
jaringan ikat yang kenyal dan memberikan bentuk pada mata, dan juga merupakan bagian terluar yang
melindungi bola mata, dimana bagian terdepan sklera disebut kornea yang bersifat transparan yang
memudahkan sinar masuk ke dalam bola mata.1
Lapis jaringan kedua adalah jaringan uvea, yang merupakan jaringan vaskular. Jaringan sklera
dan uvea dibatasi oleh ruang yang potensial mudah dimasuki darah bila terjadi perdarahan pada ruda
paksa yang disebut perdarahan suprakoroid. Jaringan uvea ini terdiri atas iris, badan siliar, dan koroid.
2
Pada iris didapatkan pupil yang oleh 3 susunan otot dapat mengatur jumlah sinar masuk ke dalam bola
mata. Otot dilator terdiri atas jaringan ikat jarang yang tersusun dalam bentuk yang dapat berkontraksi
yang disebut sebagai sel mioepitel. Sel ini dirangsang oleh sistem saraf simpatetik yang
mengakibatkan sel berkontraksi yang akan melebarkan pupil sehingga lebih banyak cahaya masuk.
Badan siliar yang terletak di belakang iris menghasilkan cairan bilik mata (akuos humor), yang
dikeluarkan melalui trabekulum yang terletak pada pangkal iris di batas kornea dan sklera.1
Lapis ketiga adalah retina, yang terletak paling dalam dan mempunyai susunan lapis sebanyak
10 lapis yang merupakan lapis membrane neurosensoris yang akan merubah sinar menjadi rangsangan
pada saraf optik dan diteruskan ke otak. Terdapat rongga yang potensial antara retina dan koroid
sehingga retina dapat terlepas dari koroid yang disebut ablasi retina. Badan kaca mengisi rongga di
dalam bola mata dan bersifat gelatin yang hanya menempel papil saraf optik, makula, dan pars plana.
Bila terdapat jaringan ikat di dalam badan kaca disertai dengan tarikan pada retina, maka akan robek
dan terjadi ablasi retina. Lensa terletak di belakang pupil yang dipegang di daerah ekuatornya pada
badan siliar melalui Zonula Zinn. Lensa mata mempunyai peranan pada akomodasi atau melihat dekat
sehingga sinar dapat difokuskan di daerah makula lutea.1
Terdapat 6 otot penggerak bola mata, dan terdapat kelenjar lakrimal yang terletak di daerah
temporal atas di dalam rongga orbita.1

Histologi Kornea

Kornea memiliki 5 lapisan secara mikroskopis, yaitu epitel yang tebalnya 550 mikrometer dan
terdiri atas sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih, dimana satu lapis sel basal, sel
polygonal, dan sel gepeng. Lapisan kedua adalah membran Bowman, yaitu membrane yang terletak di
bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti
stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapisan ketiga adalah stroma, yang menyusun 90% dari
ketebalan kornea. Lapisan keempat adalah membran Descement, yaitu membran aselular dan
merupakan batas belakang stroma kornea yang dihasilkan sel endotel. Membran ini bersifat sangat
elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40 mikrometer. Lapisan kelima adalah
endotel, yang berasal dari mesotelium, berlapis satu, berbentuk heksagonal, dan besarnya 20-40
mikrometer.1,2

Anamnesis

Anamnesis merupakan wawancara riwayat kesehatan pasien baik secara langsung atau tidak
langsung yang memiliki tiga tujuan utama, yaitu mengumpulkan informasi, membagi informasi, dan
membina hubungan saling percaya untuk mendukung kesejahteraan pasien. Informasi atau data yang
dokter dapatkan dari wawancara merupakan data subjektif berisi hal yang diutarakan pasien kepada
dokter mulai dari keluhan utama hingga riwayat pribadi dan sosial.3
Riwayat kesehatan yang perlu dikumpulkan secara komprehensif khususnya untuk individu
yang sudah dewasa meliputi (1) Identifikasi data meliputi nama, usia, jenis kelamin, alamat, agama,
suku bangsa, pekerjaan, dan status perkawinan; (2) Keluhan utama, yaitu satu atau lebih gejala yang
menyebabkan pasien pergi ke dokter; (3) Riwayat penyakit sekarang yang meliputi perincian tentang
tujuh karakteristik gejala dari keluhan utama yaitu lokasi, kualitas, kuantitas, waktu terjadinya gejala,
kondisi saat gejala terjadi, faktor yang meredakan atau memperburuk penyakit, dan manifestasi terkait
(hal-hal lain yang menyertai gejala); (4) Riwayat kesehatan masa lalu yaitu seperti pemeliharaan
kesehatan (imunisasi dan tes skrining), riwayat penyakit yang diderita pada masa kanak-kanak,
penyakit yang dialami saat dewasa lengkap dengan waktunya yang mencakup empat kategori, yaitu
medis (contohnya penyakit asma, diabetes, dan hipertensi), pembedahan (tanggal pembedahan,
3
indikasi, dan jenisnya), obstetrik (riwayat haid, keluarga berencana, dan fungsi seksual), dan psikiatrik
(meliputi tanggal, diagnosis, perawatan di rumah sakit dan pengobatannya); (5) Riwayat keluarga,
yang meliputi usia dan status kesehatan, atau usia dan penyebab kematian dari setiap hubungan
keluarga yang paling dekat mencakup kakek-nenek, orang tua, saudara kandung, anak, cucu dan (6)
Riwayat pribadi dan sosial yang mencakup aktivitas dan gaya hidup sehari-hari, situasi rumah dan
orang terdekat, sumber stres jangka pendek dan panjang, pekerjaan dan pendidikan.4
Pada kasus, didapatkan keluhan penglihatan jarak dekat makin lama makin kabur.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat temuan-temuan
dalam anamnesis, karena data yang diperoleh dari anamnesis adalah data subjektif, sehingga harus
diperkuat dengan data objektif, yang bisa didapatkan dari pemeriksaan fisik.5
Pemeriksaan fisik merupakan pemeriksaan dengan memeriksa tanda-tanda vital. Pemeriksaan
tanda-tanda vital mencakup pemeriksaan nadi, pernapasan, suhu, dan tekanan darah, serta
pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi pada bagian-bagian tubuh tertentu. Semua
komponen harus diukur dalam setiap pemeriksaan yang lengkap. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut
vital karena mengandung ukuran-ukuran klinis kuantitatif.5 Yang pertama adalah (1) Intensitas nadi,
yaitu berhubungan dengan karakteristik pembuluh darah dan tekanan nadi dimana kecepatan denyut
nadi normal pada dewasa yang sehat berkisar dari 50-100 denyut/menit; (2) Kecepatan pernapasan,
dimana pada orang normal, peningkatan konsentrasi karbondioksida dan ion hidrogen dalam darah
merangsang peningkatan ventilasi dan juga pemeriksa harus waspada bahwa, peningkatan kecepatan
pernapasan involunter sering terjadi bila subjek menyadari bahwa pernapasannya sedang diamati
sehingga penghitungan kecepatan pernapasan dilakukan secara diam-diam. Kecepatan pernapasan
normal adalah 12-18x/menit pada orang dewasa; (3) Suhu tubuh, dimana suhu tubuh manusia konstan
pada keadaan sehat, suhu fisiologis manusia rata-rata yaitu 37oC; dan (4) Tekanan darah, dimana
tekanan darah normal pada kebanyakan orang dewasa sehat yaitu 120/80.5
Pemeriksaan fisik selanjutnya adalah dengan melakukan inspeksi, yaitu melakukan observasi
pada bagian-bagian tubuh pasien, contohnya observasi pada kelopak mata dan sklera serta konjungtiva
tiap-tiap mata. Selain inspeksi, ada pemeriksaan palpasi, yaitu pemeriksaan dengan cara menyentuh
secara lembut dan dalam, contohnya palpasi abdomen, selanjutnya pemeriksaan perkusi, yaitu
pemeriksaan dengan mengetuk menggunakan jari tengah terhadap jari tengah tangan lainnya sebagai
tumpuan, dapat digunakan contohnya untuk pemeriksaan hepar dan lien. Pemeriksaan berikutnya
adalah dengan auskultasi yaitu pemeriksaan menggunakan stetoskop untuk mendengar suara-suara,
contohnya suara jantung dan paru.4,5
Pemeriksaan fisik pada mata dapat dilakukan salah satunya dengan oftalmoskop, yang
merupakan alat untuk melihat bagian dalam mata atau fundus okuli. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
menyinari bagian fundus okuli kemudian bagian yang terang di dalam fundus okuli dilihat dengan
satu mata melalui celah alat pada oftalmoskopi langsung dan dengan kedua mata pada oftalmoskopi
tidak langsung.1

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendukung diagnosis yang
ingin didapatkan, salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan darah
rutin yang terdiri dari pemeriksaan (1) Hemoglobin (Hb) dimana saat pengambilan, tourniquet
dipasangkan dan harus terpasang dalam kurun waktu kurang dari satu menit. Untuk pengambilan
darah lewat vena, darah yang diambil biasanya berjumlah 3 sampai 5 ml. Kadar normal Hb untuk pria
4
dewasa adalah 13.5-17 g/dl, wanita dewasa 12-15 g/dl, anak 11-16 g/dl, dan bayi 10-17 g/dl; (2)
Hematokrit (Ht), yaitu saat pengambilan tourniquet yang terpasang harus kurang dari kurun waktu
dua menit. Untuk pengambilan darah lewat vena, darah yang diambil biasanya berjumlah 3 sampai 5
ml. Kadar normal Ht pada pria dewasa adalah 40-54%, wanita dewasa 36-46%, usia 4-10 tahun 31-
43%, dan usia 1-3 tahun 29-40%; (3) Sel darah putih (Leukosit), untuk perhitungan sel darah putih
dapat diketahui dari pemeriksaan darah lengkap dan diperlukan rumus tertentu, perhitungan leukosit
bertujuan untuk menentukan adanya infeksi atau tidak. Jumlah normal sel darah putih pada dewasa
sehat adalah 5.000-10.000 l, usia 10 tahun 5.000-13.500 l, usia 2 tahun 6.000-17.000 l, dan bayi
9.000-30.000 l; (4) Trombosit, cara pengambilan darah sama seperti perhitungan Hb dan Ht, yaitu
jika yang diambil darah vena, maka biasanya diambil 3-5 ml. Jumlah normal trombosit pada dewasa
adalah 150.000-400.000 l dan pada bayi 200.000-475.000 l.6
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada mata adalah pemeriksaan visus, yaitu
pemeriksaan tajam penglihatan yang dilakukan pada mata, dan biasanya setiap mata diperiksa secara
terpisah. Pemeriksaan ini menggunakan kartu Snellen, dengan gambar kartu maka ditentukan tajam
penglihatan dimana mata hanya dapat membedakan 2 titik tersebut membentuk sudut 1 menit. Satu
huruf hanya dapat dilihat bila seluruh huruf membentuk sudut 5 menit dan setiap bagian dipisahkan
dengan sudut 1 menit. Makin jauh huruf harus terlihat, maka makin besar huruf tersebut harus dibuat
karena sudut yang dibentuk harus tetap 5 menit. Pemeriksaan tajam penglihatan sebaiknya dilakukan
pada jarak 5 atau 6 meter, karena pada jarak ini mata akan melihat benda dalam keadaan beristirahat
atau tanpa akomodasi.1
Bila seseorang diragukan apakah penglihatannya berkurang akibat kelainan refraksi, maka
dilakukan uji pinhole, dimana bila dengan pinhole penglihatan lebih baik, maka berarti ada kelainan
refraksi yang masih dapat di koreksi dengan kacamata. Bila penglihatan berkurang dengan
diletakkannya pinhole di depan mata berarti ada kelainan organic atau kekeruhan media penglihatan
yang mengakibatkan penglihatan menurun.1
Pada kasus, pemeriksaan fisik yang sudah dilakukan adalah pemeriksaan tonometri ODS
dengan hasil tekanan 17 mmHg, lalu segmen anterior ODS dalam batas normal, VOD 6/40 Pinhole
6/10 dengan koreksi +3,50:6/6, VOS 6/40 Pinhole 6/10 dengan koreksi +1,50:6/6.

Diagnosis Kerja

Diagnosis kerja yang dapat disimpulkan setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang pada kasus ini adalah Hipermetropia ODS.

 Hipermetropia
Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata
dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina.
Pada hipermetropia sinar sejajar difokuskan di belakang makula lutea. Terdapat 3 bentuk
hipermetropi, yaitu hipermetropi kongenital yang diakibatkan bola mata terlalu pendek atau kecil,
hipermetropi simpleks yang biasanya merupakan lanjutan hipermetropi anak yang tidak berkurang
pada perkembangannya dan jarang melebihi >5 dioptri, dan hipermetropi didapat yang umumnya
didapat setelah bedah pengeluaran lensa pada katarak (afakia).1
Etiologi hipermetropi ada 3 hal, yaitu hipermetropi sumbu / aksial, yang merupakan kelainan
refraksi akibat bola mata pendek, atau sumbu anteroposterior yang pendek. Kedua adalah
hipermetropi kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau lensa lemah sehingga bayangan difokuskan
di belakang retina. Ketiga adalah hipermetropi refraktif, dimana terdapat indeks bias yang lemah
kurang pada sistem optik mata.1 Manifestasi klinis hipermetropia adalah pada anak-anak biasanya
5
tidak ada keluhan, tapi pada orang dewasa keluhan yang dikeluhkan berupa penglihatan dekat dan
jauh kabur, sakit kepala, silau, dan kadang ada rasa juling atau lihat ganda. Pasien sering mengeluh
matanya lelah dan sakit karena harus terus menerus berakomodasi untuk melihat atau memfokuskan
bayangan yang terletak di belakang makula agar terletak di daerah makula lutea. Keadaan ini disebut
astenopia akomodatif. Akibat terus menerus berakomodasi, maka bola mata bersama-sama melakukan
konvergensi dan mata akan sering terlihat mempunyai kedudukan esotropia atau juling ke dalam.1
Mata dengan hipermetropia sering akan memperlihatkan ambliopia akibat mata tanpa akomodasi tidak
pernah melihat obyek dengan baik dan jelas. Bila terdapat perbedaan kekuatan hipermetropia antara
kedua mata, maka terjadi ambliopia pada salah satu mata. Mata ambliopia sering menggulir ke arah
temporal.1

Pengobatan hipermetropia adalah diberikan koreksi hipermetropia manifes dimana tanpa


sikloplegia didapatkan ukuran lensa positif maksimal yang memberikan tajaman penglihatan normal
(6/6). Bila terdapat juling ke dalam atau esotropia diberikan kacamata koreksi hipermetropia total.
Bila terdapat tanda atau bakat juling keluar (eksoforia) maka diberikan kacamata koreksi positif
kurang. Pada pasien dengan hipermetropia sebaiknya diberikan kacamata sferis positif terbesar yang
masih memberikan tajam penglihatan maksimal. Bila pasien dengan +3.0 ataupun dengan +3.50
memberikan ketajaman penglihatan 6/6, maka diberikan kacamata +3.50, hal ini bertujuan untuk
memberikan istirahat pada mata. Pada pasien dengan akomodasi yang sangat kuat atau pada anak-
anak, maka sebaiknya pemeriksaan dilakukan dengan memberikan sikloplegik atau melumpuhkan otot
akomodasi. Komplikasi hipermetropia adalah esotropia dan glaukoma. Esotropia atau juling ke dalam
terjadi akibat pasien selamanya melakukan akomodasi. Glaukoma sekunder terjadi akibat hipertrofi
otot siliar pada badan siliar yang akan mempersempit sudut bilik mata.1

Diagnosis Banding

Diagnosis kerja yang dapat disimpulkan setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang pada kasus ini astigmat miopia compositus , anisometropia, dan ambliopia
OS.

 Astigmat
Pada keadaan astigmat, berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam pada retina
akan tetapi pada 2 garis titik api yang saling tegak lurus yang terjadi akibat kelainan kelengkungan
permukaan kornea. Pada mata dengan astigmat lengkungan jari-jari meridian yang tegak lurus
padanya. Bayi baru lahir biasanya mempunyai kornea yang bulat atau sferis yang di dalam
perkembangannya terjadi keadaan apa yang disebut sebagai astigmatisme lazim yang berarti
kelengkungan kornea pada bidang vertikal bertambah atau lebih kuat atau jari-jarinya lebih pendek
dibanding jari-jari kelengkungan kornea di bidang horizontal. Pada keadaan ini diperlukan lensa
silinder negatif dengan sumbu 180 derajat untuk memperbaiki kelainan refraksi yang terjadi.1
Pada usia pertengahan, kornea menjadi lebih sferis kembali sehingga astigmat menjadi tidak
lazim. Astigmat tidak lazim merupakan keadaan kelainan refraksi astigmat dimana koreksi dengan
silinder negatif dilakukan dengan sumbu tegak lurus (60-120 derajat) atau dengan silinder positif
sumbu horizontal (30-150 derajat). Keadaan ini terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian
horizontal lebih kuat dibandingkan kelengkungan kornea vertikal. Hal ini sering ditemukan pada usia
lanjut.1 Astigmat memiliki beberapa bentuk, yaitu astigmat regular, dimana astigmat ini
memperlihatkan kekuatan pembiasan bertambah atau berkurang perlahan-lahan secara teratur dari satu
meridian ke meridian berikutnya. Bayangan yang terjadi pada astigmat regular dengan bentuk yang
teratur dapat berbentuk garis, lonjong, atau lingkaran. Bentuk kedua adalah astigmat irregular, yaitu
6
astigmat yang terjadi tidak punya 2 meridian yang saling tegak lurus. Astigmat iregular dapat terjadi
akibat kelengkungan kornea pada meridian yang sama berbeda sehingga bayangan menjadi irregular.
Astigmatisme irregular terjadi akibat infeksi kornea, trauma, dan distrofi atau akibat kelainan
pembiasan pada meridian lensa yang berbeda.1

Manifestasi klinis pada astigmat adalah penglihatan buram, diperlukan adanya tengokan agar
bisa lebih jelas, dan seringkali membaca harus lebih dekat. Pengobatan yang dilakukan dengan lensa
kontak keras bila epitel tidak rapuh atau lensa kontak lembek bila disebabkan infeksi, trauma, dan
distrofi untuk memberikan efek permukaan yang iregular.1

 Miopia
Pada miopi panjang bola mata anteroposterior dapat terlalu besar atau kekuatan pembiasan
media refraksi terlalu kuat.
Manifestasi klinis pada pasien dengan miopia akan memberikan keluhan sakit kepala sering
disertai dengan juling dan celah kelopak yang sempit, serta mempunyai kebiasaan menyipitkan
matanya untuk mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole. Pasien miopia
mempunyai pungtum remotum yang dekat sehingga mata selalu dalam atau berkedudukan
konvergensi yang akan menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata ini
menetap maka penderita akan terlihat juling ke dalam atau esotropia.1
Pada pemeriksaan funduskopi terdapat miopik kresen, yaitu gambaran bulan sabit yang terlihat
pada polus posterior fundus mata miopia, sklera oleh koroid. Pada mata dengan miopia tinggi akan
terdapat pula kelainan pada fundus okuli seperti degenerasi makula dan degenerasi retina bagian
perifer. Pengobatan pasien dengan miopia adalah dengan memberikan kacamata sferis negatif terkecil
yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal. Sebagai contoh bila pasien dikoreksi dengan -3.0
memberikan visus 6/6, dan demikian juga bila diberi S-3.25, maka sebaiknya diberikan lensa koreksi -
3.0 agar untuk memberikan istirahat mata dengan baik sesudah dikoreksi.

Komplikasi yang dapat timbul pada pasien dengan miopia adalah terjadinya ablasi retina dan
juling. Juling biasanya esotropia atau juling ke dalam akibat mata berkonvergensi terus-menerus. Bila
terdapat juling keluar mungkin fungsi satu mata telah berkurang atau terdapat ambliopia.1

 Ambliopia
Ambliopia adalah suatu keadaan mata dimana tajam penglihatan tidak mencapai optimal
sesuai dengan usia dan intelegensinya walaupun sudah dikoreksi kelainan refraksinya. Pada ambliopia
terjadi penurunan tajam penglihatan unilateral atau bilateral disebabkan karena kehilangan pengenalan
bentuk, interaksi binokular abnormal, atau keduanya, dimana tidak ditemukan kausa organik pada
pemeriksaan fisik mata dan pada kasus yang keadaan baik, dapat dikembalikan fungsinya dengan
pengobatan. Ambliopia dapat terjadi tanpa kelainan organik dan dapat pula dengan kelainan organik
yang tidak sebanding dengan visus yang ada.1
Etiologi ambliopia adalah kurangnya rangsangan untuk meningkatkan perkembangan
penglihatan. Suatu kausa ekstraneural yang menyebabkan menurunnya tajam penglihatan (seperti
katarak, astigmat, strabismus, atau suatu kelainan refraksi unilateral atau bilateral yang tidak
dikoreksi) merupakan mekanisme pemicu yang mengakibatkan suatu penurunan fungsi visual pada
orang yang sensitif. Beratnya ambliopia berhubungan dengan lamanya kurang rangsangan untuk
perkembangan penglihatan makula.1 Selain itu, ambliopia juga dapat disebabkan oleh anisometropia,
juling, oklusi, katarak, atau kekeruhan media penglihatan lainnya.1
Pemeriksaan ambliopia dapat dilakukan dengan uji crowding, dimana penderita diminta
7
membaca huruf kartu Snellen sampai huruf terkecil yang dibuka satu persatu atau yang diisolasi,
kemudian isolasi huruf dibuka dan pasien disuruh melihat sebaris huruf yang sama. Bila terjadi
penurunan tajam penglihatan dari huruf isolasi ke huruf dalam baris maka ini disebut dengan
fenomena crowding pada mata tersebut, dan dapat disimpulkan bahwa mata ini menderita ambliopia.1
Manifestasi klinis ambliopia adalah berkurangnya penglihatan pada satu mata, menurun
tajamnya penglihatan terutama pada fenomena crowding, sensitivitas kontras hilang, mata mudah
mengalami fiksasi eksentrik, anisokoria, daya akomodasi turun.1
Pengobatan yang dapat dilakukan untuk memulihkan ambliopia adalah dilakukannya
antisupresi aktif yang menyingkirkan faktor ambliopiagenik, oklusi mata yang sehat, penalisasi dekat
(mata ambliopia dibiasakan melihat dekat dengan memberi lensa +2,5D sedang mata yang baik diberi
atropin), penalisasi jauh (mata ambliopia dipaksa melihat jauh dengan memberi atropin pada mata
yang baik serta diberi lensa +2.5.1
Pencegahan ambliopia dapat dilakukan jika diketahui sejak dini, sehingga tidak terjadi secara
permanen. Pada anak berusia kurang dari 5 tahun perlu pemeriksaan tajam penglihatan terutama bila
memperlihatkan tanda-tanda juling, dan perlu adanya latihan untuk perbaikan penglihatan. Perlu
diingat bahwa saat yang rentan adalah pada bayi usia 6 bulan pertama dan ambliopia tidak akan terjadi
sesudah usia lebih dari 5 tahun.1

 Anisometropia
Anisometropia adalah terdapatnya kelainan refraksi kedua mata yang berbeda jauh. Akibat
anisometropik, bayangan benda pada kedua mata tidak sama besar yang menimbulkan bayangan pada
retina secara relatif di luar fokus dibanding dengan mata lainnya, sehingga mata akan memfokuskan
dengan melihat memakai satu mata. Bayangan yang lebih suram akan di supres, biasanya pada mata
yang lebih ametropik. Beda refraksi yang besar antara kedua mata menyebabkan terbentuknya
bayangan kabur pada satu mata. Biasanya anisometropia akan terjadi bersamaan dengan ambliopia,
sehingga dinamakan dengan ambliopia anisometropik.1

Patofisiologi

Pada dasarnya, terjadi kelainan refraksi yang menyebabkan terjadinya kelainan mata seperti
miopia, hipermetropia, dan astigmat. Hasil pembiasan pada mata ditentukan oleh media penglihatan
yang terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, badan kaca, dan panjangnya bola mata. Pada orang
normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola mata demikian seimbang
sehingga bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea.
Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat di
retinanya pada keadaan mata tidak melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh. Dikenal
beberapa titik di dalam bidang refraksi, seperti Pungtum Proksimum yang merupakan titik dimana
seseorang masih dapat melihat dengan jelas, serta Pungtum Remotum yaitu titik terjauh dimana
seseorang masih dapat melihat dengan jelas, titik ini merupakan titik dalam ruang yang berhubungan
dengan retina atau foveola bila mata istirahat. Pada emetropia, pungtum remotum terletak di depan
mata sedangkan pada mata hipermetropia titik semu berada di belakang mata.1
Keseimbangan dalam pembiasan juga dipengaruhi oleh dataran depan dan kelengkungan
kornea, karena kornea mempunyai daya pembiasan sinar terkuat dibanding bagian mata lainnya.
Lensa memegang peranan membiaskan sinar terutama pada saat melakukan akomodasi atau bila
melihat benda yang dekat. Seperti yang sudah disebutkan diatas, panjang bola mata juga berpengaruh.
Panjang bola mata seseorang berbeda-beda, dimana bila terdapat kelainan pembiasan sinar oleh
8
kornea (mendatar, mencembung) atau adanya perubahan panjang (lebih panjang, lebih pendek) bola
mata maka sinar normal tidak dapat terfokus pada makula. Keadaan ini disebut sebagai ametropia
yang dapat berupa miopia, hipermetropia, atau astigmat, dimana definisi dari ametropia sendiri adalah
keadaan pembiasan mata dengan panjang bola mata yang tidak seimbang.1
Ametropia dibagi menjadi dua bagian, yaitu ametropia aksial yang terjadi akibat sumbu optik
bola mata lebih panjang atau lebih pendek sehingga bayangan benda difokuskan di depan atau di
belakang retina, dimana pada miopia aksial, fokus akan terletak di depan retina karena bola mata lebih
panjang dan pada hipermetropia aksial fokus bayangan terletak dibelakang retina. Jenis ametropia
kedua adalah ametropia refraktif yang terjadi akibat kelainan sistem pembiasan sinar di dalam mata,
dimana jika daya bias kuat maka bayangan benda terletak di depan retina (miopia) atau bila daya bias
kurang maka bayangan benda akan terletak di belakang retina (hipermetropia refraktif). 1 Pada
astigmat, kelainan tersebut terjadi karena adanya asimetri dari berbagai struktur di mata seperti
contohnya yang paling umum adalah kornea anterior, dimana struktur asimetris ini akan mengubah
optik mata dan menciptakan distorsi visual.7

Epidemiologi

Prevalensi global kelainan refraksi diperkirakan sekitar 800 juta sampai 2,3 milyar. Di
Indonesia prevalensi kelainan refraksi menempati urutan pertama pada penyakit mata. Kasus kelainan
refraksi dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Ditemukan jumlah penderita kelainan
refraksi di Indonesia hampir 25% populasi penduduk atau sekitar 55 juta jiwa.8,9

Penatalaksanaan (Farmako & Non-farmako)

Resep kacamata :

Vitrum Vitrum Prisma Vitrum Vitrum Prisma Forma Colr Distant


Spher Cylndr Axis Basis Spher Cylndr Axis Basis Vitor Vitror Vitror
Pro Login
Quitat +3.50 - - - +1.50 - - - - - -
Pro Domo
Pro Propin
Quitata

Prognosis

Prognosis baik jika ditangani dengan segera sebelum terjadi komplikasi lebih lanjut. Pada
umumnya, kelainan media refraksi tidak menimbulkan komplikasi yang berbahaya dan menyebabkan
kematian, tetapi dapat menimbulkan turunnya penglihatan atau bahkan kebutaan.

Kesimpulan

Hipotesis diterima bahwa anak tersebut menderita kelainan refraksi pada mata kanan dan kirinya
dengan diagnosis kerja hipermetropia ODS atau rabun dekat pada kedua matanya. Hipermetropia
merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup
dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina. Pada pasien dengan hipermetropia
sebaiknya diberikan kacamata sferis positif terbesar yang masih memberikan tajam penglihatan

9
maksimal. Bila pasien dengan +3.0 ataupun dengan +3.50 memberikan ketajaman penglihatan 6/6,
maka diberikan kacamata +3.50, hal ini bertujuan untuk memberikan istirahat pada mata

Daftar Pustaka

1. Ilyas HS, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2017.h.1-6, 73-83, 266-70.
2. James B, Chew C, Bron A. Oftalmologi. Edisi ke-9. Jakarta: EMS; 2006.h.181.
3. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga; 2006.h.286-7.
4. Bickley LS, Szilagyi PG. Pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates: buku saku. Edisi ke-
5. Jakarta: EGC; 2008.h.1-6,11-2.
5. Willms JL, Schneiderman H, Algranati PS. Diagnosis fisik: evaluasi diagnosis dan fungsi di
bangsal. Jakarta: EGC; 2006.h.30-1.
6. Kee JL. Pedoman pemeriksaan laboratorium dan diagnostik. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2008.
7. Hardten DR. Lasik astigmatism. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1220489-overview#a9, Diakses 18 Maret 2017.
8. James B, Chew C and Bron A. Lecture notes on ophthalmology. New York: Blackwell
Publishing; 2011.h.20-6.
9. Whitcher JP and Eva PR. Low Vision. Vaughan & asbury’s general ophtalmology. New York:
Mc Graw Hill; 2007.

10

Anda mungkin juga menyukai