Anda di halaman 1dari 12

1

Keratitis
Definisi
Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada
kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Akibat terjadinya
kekeruhan pada media kornea ini, maka tajam penglihatan akan menurun. Mata
merah pada keratitis terjadi akibat injeksi pembuluh darah perikorneal yang dalam
atau injeksi siliar.
Keratitis biasanya diklasifikasikan dalam lapis yang terkena seperti
keratitis superfisial dan profunda atau interstisial.

Etiologi
Keratitis dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya :
1. Virus.
2. Bakteri.
3. Jamur.
4. Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari.
5. Iritasi dari penggunaan berlebihan lensa kontak.
6. Mata kering yang disebabkan oleh kelopak mata robek atau tidak
cukupnya pembentukan air mata.
7. Adanya benda asing di mata.
8. Reaksi terhadap obat seperti neomisin, tobramisin, polusi, atau partikel
udara seperti debu, serbuk sari
2

Klasifikasi
Menurut Biswell (2010), keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal.

Berdasarkan lapisan yang terkena Keratitis dibagi menjadi:

a. Keratitis Pungtata. Keratitis pungtata adalah keratitis dengan infiltrat halus


pada kornea yang dapat terletak superfisial dan subepitel.

Etiologi

Keratitis Pungtata ini disebabkan oleh hal yang tidak spesifik dan dapat terjadi
pada Moluskum kontangiosum, Akne rosasea, Herpes simpleks, Herpes zoster,
Blefaritis neuroparalitik, infeksi virus, vaksinisia, trakoma, trauma radiasi, dry
eye, keratitis lagoftalmos, keracunan obat seperti neomisin, tobramisin dan
bahaya pengawet lainnya.

Gambar 2.2. Keratitis Pungtata

Gejala klinis dapat berupa rasa sakit, silau, mata merah, dan merasa kelilipan.
3

Pemeriksaan laboratorium
Penyakit ini ditandai kekerutan epitel yang meninggi berbentuk
lonjong dan jelas yang menampakkan bintik-bintik pada pemulasan dengan
fluoresein, terutama di daerah pupil. Uji fluoresein merupakan sebuah tes
untuk mengetahui terdapatnya kerusakan epitel kornea. Dasar dari uji ini
adalah bahwa zat warna fluoresein akan berubah berwarna hijau pada media
alkali. Zat warna fluoresein bila menempel pada epitel kornea maka bagian
yang terdapat defek akan memberikan warna hijau karena jaringan epitel yang
rusak bersifat lebih basa. Kekeruhan subepitelial dibawah lesi epitel sering
terlihat semasa penyembuhan epitel ini, uji sensibilitas kornea juga diperiksa
untuk mengetahui fungsi dari saraf trigeminus dan fasial. Pada umumnya
sensibilitas kornea juga akan menurun.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada keratitis pungtata superfisial pada prinsipnya
adalah diberikan sesuai dengan etiologi. Untuk virus dapat diberikan
idoxuridin, trifluridin atau asiklovir. Untuk bakteri gram positif pilihan
pertama adalah cafazolin, penisilin G atau vancomisin dan bakteri gram
negatif dapat diberikan tobramisin, gentamisin atau polimixin B. Pemberian
antibiotik juga diindikasikan jika terdapat sekret mukopurulen yang
menunjukkan adanya infeksi campuran dengan bakteri. Untuk jamur pilihan
terapi yaitu natamisin, amfoterisin atau fluconazol. Selain terapi berdasarkan
etiologi, pada keratitis pungtata superfisial ini sebaiknya juga diberikan terapi
simptomatisnya agar dapat memberikan rasa nyaman seperti air mata buatan,
sikloplegik dan kortikosteroid.
b. Keratitis Marginal

Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan


limbus. Penyakit infeksi lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis
kataral atau keratitis marginal ini. Keratitis marginal kataral biasanya terdapat
pada pasien setengah umur dengan adanya blefarokonjungtivitis.
4

Etiologi
Strepcoccus pneumonie, Hemophilus aegepty, Moraxella lacunata dan
Esrichia.

Gejala klinis
Penderita akan mengeluhkan sakit, seperti kelilipan, lakrimasi, disertai
fotofobia berat. Pada mata akan terlihat blefarospasme pada satu mata,
injeksi konjungtiva, infiltrat atau ulkus yang memanjang, dangkal
unilateral dapat tunggal ataupun multipel, sering disertai neovaskularisasi
dari arah limbus.

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas dengan pewarnaan Gram
maupun Giemsa dapat mengidentifikasi organisme, khususnya bakteri.

Penatalaksanaan
Pengobatan yang diberikan adalah antibiotika yang sesuai dengan
penyebab infeksi lokalnya dan steroid dosis ringan. Pada pasien dapat
diberikan vitamin B dan C dosis tinggi.

c. Keratitis Interstisial

Keratitis interstitial adalah kondisi serius dimana masuknya pembuluh


darah ke dalam kornea dan dapat menyebabkan hilangnya transparansi
kornea. Keratitis interstitial dapat berlanjut menjadi kebutaan. Sifilis
adalah penyebab paling sering dari keratitis interstitial

Etiologi

Keratitis Interstisial dapat terjadi akibat alergi atau infeksi spiroket ke


dalam stroma kornea dan akibat tuberkulosis
5

Gejala klinis
Biasanya akan memberikan gejala fotofobia, lakrimasi, dan menurunnya visus.
Menurut Hollwich (1993) keratitis yang disebabkan oleh sifilis
kongenital biasanya ditemukan trias Hutchinson (mata: keratitis
interstisial, telinga: tuli labirin, gigi: gigi seri berbentuk obeng),
sadlenose, dan pemeriksaan serologis yang positif terhadap sifilis.

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas dengan pewarnaan gram
maupun Giemsa dapat mengidentifikasi organisme, khususnya bakteri.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaannya dapat diberikan kortikosteroid tetes mata jangka
lama secara intensif setiap jam dikombinasi dengan tetes mata atropin
dua kali sehari dan salep mata pada malam hari.

Berdasarkan penyebabnya :
a. Keratitis Bakteri

Etiologi
Menurut American Academy of Ophthalmology (2009).
6

Tabel Penyebab Keratitis Bakterial


Causes of Bacterial Keratitis
Common Organisms Uncommon Organisms
Staphylococcus aureus Neisseria spp
Staphylococcus epidermidis Moraxella spp
Streptococcus pneumoniae and other Mycobacterium spp
Streptococcus spp
Pseudomonas aeruginosa (most Nocardia spp
common organism in soft contact lens
wearers)
Enterobacteriaceae (Proteus, Non-spore-forming anaerobes
Enterobacter, Serratia) Corynebacterium spp

Gejala klinis
Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada mata
yang terinfeksi, penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan menjadi
kabur. Pada pemeriksaan bola mata eksternal ditemukan hiperemis
perikornea, blefarospasme, edema kornea, infiltrasi kornea.

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan menggores ulkus kornea
dan bagian tepinya dengan menggunakan spatula steril kemudian ditanam
di media cokelat (untuk Neisseria, Haemophillus dan Moraxella sp), agar
darah (untuk kebanyakan jamur, dan bakteri kecuali Neisseria) dan agar
Sabouraud (untuk jamur, media ini diinkubasi pada suhu kamar).
Kemudian dilakukan pewarnaan Gram.

Penatalaksanaan
Diberikan antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil kultur bakteri.
Berikut tabel pengobatan inisial antibiotik yang dapat diberikan
(American Academy of Ophthalmology, 2009):
14

Penatalaksanaan Awal untuk Keratitis Bakterial


Initial Therapy for Bacterial Keratitis
Organism Antibiotic Topical Dose Subconjunctival
Dose
Gram-positive Cefazolin 50 mg/mL 100 mg in 0,5 mL
cocci Vancomycin* 25-50 mg/mL 25 mg in 0,5 mL
Moxifloxacin or 5or 3 mg/mL, Not available
gatifloxacin respectively
Gram-negative Tobramycin 9-14 mg/mL 20 mg in 0,5 mL
rods Ceftazimidine 50 mg/mL 100 mg in 0,5 mL
Fluoroquinolones 3 mg/mL Not available
No organism or Cefazolin with 50 mg/mL 100 mg in 0,5 mL
multiple types of Tobramycin or 9-14 mg/mL 20 mg in 0,5 mL
organisms fluoroquinolones 3 or 5 mg/mL
Gram-negative Ceftriaxone 50 mg/mL Not available
cocci Ceftazimidine 50 mg/mL 100 mg in 0,5 mL
Mycobacteria Clarithromycin 10 mg/mL 0,03%
Moxifloxacin or 5 or 3 mg/mL,
gatifloxacin respectively

b. Keratitis Jamur
Infeksi jamur pada kornea yang dapat disebut juga mycotic keratitis (Dorland,
2000).
Etiologi
Menurut Susetio (1993), secara ringkas dapat dibedakan :
1) Jamur berfilamen (filamentous fungi) : bersifat multiseluler dengan
cabang-cabang hifa.
2) Jamur bersepta : Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp,
Cladosporium sp, Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp,
Curvularia sp, Altenaria sp.
3) Jamur tidak bersepta : Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.
4) Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas :
Candida albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp.
5) Jamur difasik. Pada jaringan hidup membentuk ragi sedang media
pembiakan membentuk miselium : Blastomices sp, Coccidiodidies sp,
Histoplastoma sp, Sporothrix sp.
15

Gejala klinis :
1) Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.
2) Lesi satelit.
3) Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan
seperti hifa di bawah endotel utuh.
4) Plak endotel.
5) Hipopion, kadang-kadang rekuren.
6) Formasi cincin sekeliling ulkus.
7) Lesi kornea yang indolen.

Pemeriksaan laboratorium
Diagnosis laboratorik sangat membantu diagnosis pasti, walaupun
negatif belum dapat menyingkirkan diagnosis keratomikosis. Hal yang utama
adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya dengan spatula
Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop. Kemudian dapat
dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan
angka keberhasilan masing-masing ± 20-30%, 50-60%, 60-75% dan 80%.
Sebaiknya melakukan biopsi jaringan kornea dan diwarnai dengan
Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver, tetapi memerlukan biaya yang
besar. Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski differential interference
contrast microscope untuk melihat morfologi jamur dari kerokan kornea
(metode Nomarski) yang dilaporkan cukup memuaskan. Selanjutnya dilakukan
kultur dengan agar Sabouraud atau agar ekstrak maltosa.

Penatalaksanaan
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat
komersial yang tersedia, tampaknya diperlukan
16

kreativitas dalam improvisasi pengadaan obat. Hal yang utama dalam terapi
keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis yang dihadapi, dapat dibagi:

1) Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.


Topikal amphotericin B 1,02,5 mg/ml, thiomerosal (10 mg/ml), natamycin
> 10 mg/ml, golongan imidazole.
2) Jamur berfilamen.
Untuk golongan II : Topikal amphotericin B, thiomerosal, natamycin (obat
terpilih), imidazole (obat terpilih).
3) Ragi (yeast).
Amphoterisin B, natamycin, imidazole
4) Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.
Golongan sulfa, berbagai jenis antibiotik.

c. Keratitis Virus
 Etiologi
Herpes simpleks virus (HSV) merupakan salah satu infeksi virus tersering
pada kornea. Virus herpes simpleks menempati manusia sebagai host, merupakan
parasit intraselular obligat yang dapat ditemukan pada mukosa, rongga hidung,
rongga mulut, vagina dan mata. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan
cairan dan jaringan mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung
virus.

 Gejala klinis
Pasien dengan HSV keratitis mengeluh nyeri pada mata, fotofobia,
penglihatan kabur, mata berair, mata merah, tajam penglihatan turun terutama jika
bagian pusat yang terkena.
Infeksi primer Herpes simpleks pada mata biasanya berupa konjungtivitis
folikularis akut disertai blefaritis vesikuler yang ulseratif, serta pembengkakan
kelenjar limfe regional. Kebanyakan penderita juga disertai keratitis epitelial dan
dapat mengenai stroma tetapi jarang. Pada dasarnya infeksi primer ini dapat
17

sembuh sendiri, akan tetapi pada keadaan tertentu dimana daya tahan tubuh sangat
lemah akan menjadi parah dan menyerang stroma.

 Pemeriksaan laboratorium
Menurut Biswell (2010) dilakukan kerokan dari lesi epitel pada keratitis
HSV dan cairan dari lesi kulit mengandung sel-sel raksasa. Virus ini dapat
dibiakkan pada membran korio-allantois embrio telur ayam dan pada banyak jenis
lapisan sel jaringan (misal sel HeLa, tempat terbentuknya plak-plak khas).

 Terapi
a. Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epithelial,
karena virus berlokasi didalam epitel. Debridement juga mengurangi beban
antigenik virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea namun
epitel yang terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator
berujung kapas khusus. Obat siklopegik seperti atropin 1% atau homatropin 5%
diteteskan kedalam sakus konjungtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien
harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya
sembuh umumnya dalam 72 jam

b. Terapi Obat :
 IDU (Idoxuridine) analog pirimidin (terdapat dalam larutan 1% dan
diberikan setiap jam, salep 0,5% diberikan setiap 4 jam).
 Vibrabin: sama dengan IDU tetapi hanya terdapat dalam bentuk salep.
 Trifluorotimetidin (TFT): sama dengan IDU, diberikan 1% setiap 4 jam.
 Asiklovir (salep 3%), diberikan setiap 4 jam.
 Asiklovir oral dapat bermanfaat untuk herpes mata berat, khususnya pada
orang atopi yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif.
18

c. Terapi Bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi
penglihatan pasien yang mempunyai parut kornea yang berat, namun hendaknya
dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes nonaktif.

d. Keratitis Acanthamoeba
 Etiologi
Keratitis yang berhubungan dengan infeksi Acanthamoeba yang biasanya
disertai dengan penggunaan lensa kontak

 Gejala klinis
Rasa sakit yang tidak sebanding dengan temuan kliniknya yaitu
kemerahan, dan fotofobia. Tanda klinik khas adalah ulkus kornea
indolen, cincin stroma, dan infiltrat perineural. Bentuk-bentuk awal pada
penyakit ini, dengan perubahan-perubahan hanya terbatas pada epitel
kornea semakin banyak ditemukan. Keratitis Acanthamoeba sering
disalah diagnosiskan sebagai keratitis herpes.

 Pemeriksaan laboratorium
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan kerokan dan biakan di atas
media khusus. Biopsi kornea mungkin diperlukan. Sediaan histopatologik
menampakkan bentuk-bentuk amuba (kista atau trofozoit). Larutan dan
kontak lensa harus dibiak. Sering kali bentuk amuba dapat ditemukan
pada larutan kotak penyimpan lensa kontak

 Penatalaksanaan
Terapi dengan obat umumnya dimulai dengan isetionat, propamidin
topikal (larutan 1%) secara intensif dan tetes mata neomisin. Bikuanid
19

poliheksametilen (larutan 0,01-0,02%) dikombinasi dengan obat lain atau


sendiri, kini makin populer. Agen lain yang mungkin berguna adalah
paromomisin dan berbagai imidazol topikal dan oral seperti ketokonazol,
mikonazol, itrakonazol. Terapi juga dihambat oleh kemampuan organisme
membentuk kista didalam stroma kornea, sehingga memerlukan waktu
yang lama. Kortikosteroid topikal mungkin diperlukan untuk
mengendalikan reaksi radang dalam kornea. Keratoplasti mungkin
diperlukan pada penyakit yang telah lanjut untuk menghentikan
berlanjutnya infeksi atau setelah resolusi dan terbentuknya parut untuk
memulihkan penglihatan. Jika organisme ini sampai ke sklera, terapi obat
dan bedah tidak berguna

Anda mungkin juga menyukai