Anda di halaman 1dari 52

1

Skenario 1
Penurunan Kesadaran
Seorang laki-laki berusia 54 tahun datang ke IGD diantar keluarganya karena
penurunan kesadaran. Dalam 3 bulan ini pasien memiliki riwayat DM tipe 2. Pasien
juga jarang berolahraga. Ibu pasien memiliki riwayat DM tipe 2. Pada pemeriksaan
fisik TD 110/80 mmHg, nadi 118x/menit teraba lemah. Suhu 36,7oC, RR 22x/menit.
Turgor kulit kembali lambat. Pada pemeriksaan laboratorium di dapatkan GDS 900
mg/dL, pH 7,4, osmolaritas serum 420 mOsm/kg, anion gap 9, keton urin (+). Dokter
kemudian memberikan tatalaksana awal pada pasien tersebut.

STEP 1 Klasifikasi Masalah


1. Anion gap : perbedaan anion & kation pada ekstraseluler.
2. Diabetes Mellitus : penyakit metabolic yang ditandai dengan gejala
klasik.
3. GDS : salah satu pemeriksaan untuk diabetes mellitus.

STEP 2 Rumusan Daftar Masalah


1. Mengapa pasien mengalami gejala pada kasus tersebut dan apa hubungan
kebiasaan pasien jarang berolahraga?
2. Apa hubungan penurunan kesadaran dengan riwayat DM tipe 2?
3. Bagaimana penegakan diagnosis pada pasien?
4. Bagaimana tatalaksana pada DM tipe 2?
5. Bagaimana pencegahan & komplikasi pada kasus tersebut?

STEP 3 Analisis
1. Pada penderita DM tipe 2, resptor insulin kurang sensitive sehingga insulin
tidak membawa glukosa ke seluruh tubuh, dan insulin tidak meregulasi ke
otak sehingga terjadinya penurunan kesadaran.
Turgor kulit disebabkan karena hiperglikemi yang menyebabkan poliuri
sehingga penderita akan kehilangan cairan dan elektrolit yang menyebabkan
dehidrasi, sheingga turgor kulit kembali lambat.
2

Nadi lemah tapi cepat karena terjadi penurunan oksigen sehingga suplai ke
perifer menjadi menurun.
Nadi lemah terjadi karena penurunan volume, nadi cepat karena
merupakan kompensasi drai tubuh.
Jarang berolahraga sehingga menurunkan metabolisme yang akan
membuat glukosa disimpan kembali sehingga kadar glukosa meningkat dan
membuat obesitas dan akan terjadi resistensi insulin yang membuat glukosa
tidak bias masuk dalam sel.
2. Insulin terganggu sehingga glukosa terganggu dan akan menyebabkan
hiperglikemia yang membuat glikosuria dan poliuri, sehingga pasien
mengalami dehidrasi yang membuat cairan ekstraseluler berukurang dan
membuat penurunan kesadaran.
Sel beta pancreas terganggu sehingga meningkatkan glikogenolisis yang
akan meningkatkan proteolysis sehingga meningkatkan glukosa yang
membuat keadaan hiperglikemia dan membuat dehidrasi sehingga terjadi
hiperosmotik dan terjadi penurunan kesadaran.
Hiperglikemia akan menarik cariran dari sel, lipolysis akan meningkatkan
asam lemak dan meningkatkan asam lemak.
3. - DM tipe 1 (4P) tipe klasik
1) Polidipsi
2) Poliuri
3) Polifagi
4) Penurunan BB
5) Pusing
- DM tipe 2
1) Gejala DM tipe 1 (4P)
2) Infeksi
3) Kesemutan
4) GDS >200
5) Gejala klasik
3

6) G2PP
7) HbA1C >6,5%
4. 1) Diet
2) Olahraga
3) Pemberian obat
4) Tipe 1 : diberi insulin
5) Tipe 2 : metformin
6) FPG + PPG
<200 <250 : terapi nutrisi
<300 <300 : terapi oral
>300 >300 : insulin
5. Pencegahan : primer, sekunder, dan tersier
Komplikasi :
1) Akut : hiperglikemia, hipoglikemia, ketoasidosis metabolic, hyperosmolar
non ketotik
2) Kronik : retina, ginjal, jantung, pembuluh darah perifer, dan otak.

STEP 4 Sistematika Masalah


1. Pasien mengalami syok karena hiperglikemia yang membuat penurunan dari
tekanan osmotic sehingga pasien mengalami hipovolemi dan membuat
nadinya lemah.
Menurunnya metabolisme glukosa membuat peningkatan glukosa yang
akan disimpan di dalam tubuh sehingga membuat resistensi insulin yang
membuat hiperglikemia sehingga glukosa dalam darah meningkat yang
membuat viskositas darah terganggu sehingga penurunan suplai darah ke otak.
Resistensi insulin membuat keadaan hiperglikemia yang membuat darah
lebih kental sehingga terjadi gangguan suplai darah yang membuat penurunan
kesadaran.
4

Nadi lemah dan cepat terjadi karena air banyak terbuang membuat volume
sirkulasi menurun tetapi tubuh harus memenuhi kebutuhannya sehingga akan
terjadi kompensasi dengan nadi ya g cepat.
2. Insulin terganggu sehingga glukosa terganggu dan akan menyebabkan
hiperglikemia yang membuat glikosuria dan poliuri, sehingga pasien
mengalami dehidrasi yang membuat cairan ekstraseluler berukurang dan
membuat penurunan kesadaran.
Sel beta pancreas terganggu sehingga meningkatkan glikogenolisis yang
akan meningkatkan proteolysis sehingga meningkatkan glukosa yang
membuat keadaan hiperglikemia dan membuat dehidrasi sehingga terjadi
hiperosmotik dan terjadi penurunan kesadaran.
Hiperglikemia akan menarik cariran dari sel, lipolysis akan meningkatkan
asam lemak dan meningkatkan asam lemak.
3. - GDS >200
- GDP >126
- 4P
- Riwayat DM keluarga
- Prediabetes : HbA1C 5,7-6,4
- Diabetes : HbA1C >6,5
4. - Monoterapi : metformin 3 x 500 mg
-Tes HbA1C terlebih dahulu (normal <7), apabila >7 maka dilakukan
pengobatan kombinasi (metformin + sulfonylurea 1 x 8 ml) tahap 2
-Farmakologi : OHO
-Nonfarmakologi : Diet dan olahraga
-Gaya hidup sehat + kombinasi 2 OHO
-GHS + kombinasi 2 OHO + basal insulin
-GHS + kombinasi 3 OHO + insulin intensif.
5. -Primer : gaya hidup
-Sekunder : deteksi dini
-Tersier : komplikasi.
5

MIND MAP

Faktor
Risiko
Tipe
Komplikasi

Tipe 1 Tipe
2
Diabetes Mellitus Akut Kronis

Penegakan
Diagnosis Tatalaksana
Patofisiologi

Anamnesis PF PP
Farmakolog Nonfarmakolog
i i

STEP 5 Sasaran Belajar


1. Patofisiologi DM
a. DM tipe 1 dan tipe 2
b. Terjadinya manifestasi klinis
2. Penegakan diagnosis DM
3. Tatalaksana DM
a. Farmakologi
b. Nonfarmakologi
4. Komplikasi
Kegawatdaruratan DM
a. Akut
b. Kronis
6

STEP 6 Belajar Mandiri


BELAJAR MANDIRI
STEP 7 Penjelasan
1. Patofisiologi pada Diabetes Melitus
Patofisiologi DM (Tipe I)
Pada diabetes tipe I terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan
insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun.
Hiperglikemia puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh
hati. Disamping itu, glukosa yang berasal dari makanan yang tidak dapat
disimpan dalam hati, meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan
hiperglikemia postprandial (sesudah makan).1
Jika konsentarsi darah yang mengandung glukosa terlalu tinggi, ginjal
tidak mampu menyarap kembali semua glukosa yang tersaring keluar,
akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa
yang berlebihan diekskresi ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dianamakan
diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebih, pasien
akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus
(polidipsi).1
Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak
yang dapat menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami
peningkatan selera makan (polifagia) akibat menurunnya simpanan kalori.
Gejala lainnya mencakup kelelahan. Dalam keadaan normal insulin
mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan)
glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari asam-asam amino serta
7

Gambar 1.1 patofisiologi DM yang memepengaruhi organ sekitar.1

substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi
tanpa hambatan dan lebih lanjut turut menimbulkan hiperglikemia. Di
samping itu akan terjadi pemecahan lemak peningkatan produksi badan keton
yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan
asam yang mengganggu keseimbangan asam-basa tubuh apabila jumlahnya
berlebihan. Ketoasidosis diabetik yang diakibatkannya dapat menyebabkan
tanda-tanda dan gejala seperti nteri abdomen, mual-muntah, hiperventilasi,
nafas berbau aseton, dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan
kesadaran, koma bahkan kematian.
8

Gambar 1.2 patofisilogi DM tipe 1 dan tipe 2


9

Patofisiologi Diabetes (Tipe II)

Merupakan bentuk diabetes Melitus yang ringan, kadang-kadang asimtomatik


dengan awitan puncak setelah usia 40 tahun. Cadangan insulin pankreas berkurang,
tetapi selalu cukup untuk mencegah ketoasidosis diabetic dan pengawasan diet
biasanya aktif.. pada diabetes melitus tipe 2 ini memiliki 2 permasalahan utama yang
berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel.

Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu


rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada
diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel. Dengan demikian insulin
menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk
mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus
terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi
glukosa yang terganggu, keadaan in terjadi akibat dipertahankan  pada tingkat yng
normal atau sedikit meningkat.

Namun demikian, jika sel – sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan
kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe
II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes tipe
II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah
pemecahan lemak dan produksi bahan keton yang menyertainya, oleh karena
itu, ketoasidosis  diabetic tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian,
diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang
dinamakan “sindrom hiperglikemik hiperosmolar non ketotik(HHNK).2
10

2. Penegakan Diagnosis pada Diabetes Melitus

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar


glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah
vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya
glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang
DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat
keluhan seperti:

a. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan


penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya.
b. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada
wanita.1

1. Riwayat Penyakit

a) Usia dan karakteristik saat onset diabetes.


b) Pola makan, status nutrisi, status aktifitas fisik, dan
riwayat perubahan berat badan.
c) Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa
muda.
d) Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara
lengkap, termasuk terapi gizi medis dan Konsensus.
e) Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe
11

f) Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang


digunakan, perencanaan makan dan program latihan
jasmani.
g) Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik,
hiperosmolar hiperglikemia, hipoglikemia).
h) Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi,
dan traktus urogenital.
i) Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik pada
ginjal, mata, jantung dan pembuluh darah, kaki, saluran
pencernaan, dll.
j) Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap
glukosa darah. 1
k) Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit
jantung koroner, obesitas, dan riwayat penyakit
keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin lain).
l) Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM.
m) Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan
status ekonomi. 1

2. Pemeriksaan Fisik

a. Pengukuran tinggi dan berat badan.


b. Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran
tekanan darah dalam posisi berdiri untuk mencari
kemungkinan adanya hipotensi ortostatik.
c. Pemeriksaan funduskopi.
d. Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid.
e. Pemeriksaan jantung. § Evaluasi nadi baik secara
palpasi maupun dengan stetoskop.
f. Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi
kelainan vaskular, neuropati, dan adanya deformitas).
12

g. Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka,


hiperpigmentasi, necrobiosis diabeticorum, kulit kering,
dan bekas lokasi penyuntikan insulin).
h. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM
tipe lain.1

3. Pemeriksaan Penunjang

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria


normal atau kriteria DM digolongkan ke dalam kelompok
prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa terganggu
(TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT). 1

• Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil


pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100-
13

125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-


jam <140 mg/dl;

• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil


pemeriksaan glukosa plasma 2-jam setelah TTGO
antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100
mg/dl

• Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT

• Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan


berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c yang
menunjukkan angka 5,7-6,4%.1

Penjelasan HbA1c
HbA1c (hemoglobin A1c) atau glycated
hemoglobin adalah hemoglobin yang berikatan dengan
glukosa (gula). Di dalam darah, secara alami glukosa
akan saling mengikat dengan hemoglobin yang berada
di dalam sel darah merah.

Jumlah HbA1c memang seimbang dengan kadar


gula darah. Jadi, semakin tinggi kadar gula darah, maka
kadar HbA1c akan semakin meningkat. HbA1c bisa
mengukur rata-rata kadar gula darah Anda selama tiga
bulan. 2

Pemeriksaan HbA1c bisa memonitor kedisiplinan


pasien diabetes dalam mengendalikan gula darah
Pemeriksaan HbA1c sangat berguna untuk
memantau ketidakdisiplinan pasien dalam menjalani
terapi/diet dan tidak mencerminkan perubahan kadar
glukosa harian sehingga tidak dapat menggantikan
14

pemeriksaan kadar glukosa darah tetapi lebih


merupakan indikator derajat kontrol diabetes melitus
jangka panjang karena sifat HbA1c yang relative stabil
sepanjang umur eritrosit dan tidak dipengaruhi oleh
faktor yang mempengaruhi metabolisme seperti
diet,olah raga dan waktu pengambilan. 2
sel darah merah di dalam tubuh manusia umurnya
adalah dua hingga tiga bulan. Sel darah merah yang mati,
termasuk yang telah berikatan dengan glukosa, akan
digantikan oleh sel darah merah baru yang belum berikatan
dengan glukosa. 2
pasien diabetes baru biasanya akan menjalani
pemeriksaan HbA1c pertama kali sebagai patokan awal.
Kemudian pemeriksaan HbA1c akan diulang dalam
waktu tiga bulan. 2
Jika kadar gula darah pasien terkendali dengan
baik selama tiga bulan, maka kadar HbA1c akan
menurun dibandingkan 3 bulan sebelumnya. Jika pasien
tidak disiplin menjaga pola makan yang baik dan rutin
minum obat, tentu kadar HbA1c akan tetap tinggi. 2

Tabel.1.1. Hubungan HbA1c dengan glukosa darah.2

HbA1c (%) Rata-rata glukosa darah


(mg/dl)
6 126
15

7 154
8 183
9 212
10 240
11 269
12 298

Data ini kemudian digunakan untuk menentukan


perkiraan kadar glukosa ratarata dari pengukuran
HbA1c. KadarHbA1c 6% sama dengan konsentrasi
glukosa rata-rata 126 mg/dl dan setiap peningkatan
kadar HbA1c1% sama dengan peningkatan kadar
glukosa rata-rata 29 mg/dl.

Tabel.1.2. Tingkat HbA1c pasien DM Tipe 2 2

Tingkat HbA1c Interval


Baik < 6,5 %
sedang 6,5-8 %
Buruk >8%

Tabel.1.3. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis


diabetes dan prediabetes1
16

Tabel.1.4. Cara Pelaksanaan TTGO

Cara Pelaksanaan TTGO.1

Penapisan Komplikasi Penapisan komplikasi harus dilakukan


pada setiap penderita yang baru terdiagnosis DMT2 melalui
pemeriksaan:

a) Profil lipid pada keadaan puasa: kolesterol total, High


Density Lipoprotein (HDL), Low Density Lipoprotein
(LDL), dan trigliserida
b) Tes fungsi hati
c) Tes fungsi ginjal: Kreatinin serum dan estimasi-GFR
d) Tes urin rutin § Albumin urin kuantitatif
e) Rasio albumin-kreatinin sewaktu.
f) Elektrokardiogram.
g) Foto Rontgen thoraks (bila ada indikasi: TBC, penyakit
jantung kongestif).
h) Pemeriksaan kaki secara komprehensif.
17

i) Penapisan komplikasi dilakukan di Pelayanan Kesehatan


Primer. Bila fasilitas belum tersedia, penderita dirujuk
ke Pelayanan Kesehatan Sekunder dan/atau Tersier.1

Gambar.2.1. Alur Diagnositik Diabetes Melitus3

3. Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi


nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis dengan
18

obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti hiperglikemia oral
dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada keadaan emergensi
dengan dekompensasi metabolik berat, misalnya: ketoasidosis, stres berat, berat
badan yang menurun dengan cepat, atau adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke
Pelayanan Kesehatan Sekunder atau Tersier.
Terapi Nonfarmakologi
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan
cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pengetahuan tentang pemantauan
mandiri tersebut dapat dilakukan setelah mendapat pelatihan khusus. 1
a. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian
dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan
DM secara holistik. Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi
edukasi tingkat lanjutan. 1
1) Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan Primer
yang meliputi: 1
 Materi tentang perjalanan penyakit DM.
 Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara berkelanjutan.
 Penyulit DM dan risikonya.
 Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target pengobatan.
 Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat antihiperglikemia
oral atau insulin serta obat-obatan lain.
 Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin
mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia).
 Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.
 Pentingnya latihan jasmani yang teratur.
 Pentingnya perawatan kaki.
 Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.
2) Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan
19

Sekunder dan / atau Tersier, yang meliputi: 1


 Mengenal dan mencegah penyulit akut DM.
 Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM.
 Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain.
 Rencana untuk kegiatan khusus (contoh: olahraga prestasi).
 Kondisi khusus yang dihadapi (contoh: hamil, puasa, hari-hari sakit).
 Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir tentang
DM.
 Pemeliharaan/perawatan kaki.
Tabel (3-1) Elemen perawatan kaki.

Perilaku hidup sehat bagi penyandang Diabetes Melitus adalah memenuhi anjuran: 1
 Mengikuti pola makan sehat.
 Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang teratur
 Menggunakan obat DM dan obat lainya pada keadaan khusus secara aman dan
teratur.
 Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan
hasil pemantauan untuk menilai keberhasilan pengobatan.
20

 Melakukan perawatan kaki secara berkala.


 Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit akut
dengan tepat.
 Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau
bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga
untuk mengerti pengelolaan penyandang DM.
 Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.
Prinsip yang perlu diperhatikan pada proses edukasi DM adalah: 1
 Memberikan dukungan dan nasehat yang positif serta hindari terjadinya
kecemasan.
 Memberikan informasi secara bertahap, dimulai dengan hal-hal yang
sederhana dan dengan cara yang mudah dimengerti.
 Melakukan pendekatan untuk mengatasi masalah dengan melakukan simulasi.
 Mendiskusikan program pengobatan secara terbuka, perhatikan keinginan
pasien. Berikan penjelasan secara sederhana dan lengkap tentang program
pengobatan yang diperlukan oleh pasien dan diskusikan hasil pemeriksaan
laboratorium.
 Melakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat diterima.
 Memberikan motivasi dengan memberikan penghargaan.
 Melibatkan keluarga/pendamping dalam proses edukasi.
 Perhatikan kondisi jasmani dan psikologis serta tingkat pendidikan pasien dan
keluarganya.
 Gunakan alat bantu audio visual.
b. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DM secara
komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan
keluarganya). Guna mencapai sasaran terapi TNM sebaiknya diberikan sesuai dengan
kebutuhan setiap penyandang DM. 1
21

Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran


makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu
diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan
jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang
meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri. 1
1) Komposisi Makanan yang Dianjurkan terdiri dari:
a) Karbohidrat1
 Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi. Terutama
karbohidrat yang berserat tinggi.
 Pembatasan karbohidrat total
 <130 g/hari tidak dianjurkan.
 Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat
makan sama dengan makanan keluarga yang lain.
 Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
 Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti glukosa, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake/ADI).
 Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan makanan
selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori
sehari.
b) Lemak1
 Asupan lemak dianjurkan sekitar 20- 25% kebutuhan kalori, dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
 Komposisi yang dianjurkan:
o lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori.4
o lemak tidak jenuh ganda < 10 %.
o selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
 Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak
jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu fullcream.
22

 Konsumsi kolesterol dianjurkan


 < 200 mg/hari.
c) Protein1
 Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi.
 Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak,
ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan
tempe.
 Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan protein
menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan 65%
diantaranya bernilai biologik tinggi. Kecuali pada penderita DM yang sudah
menjalani hemodialisis asupan protein menjadi 1-1,2 g/kg BB perhari.
d) Natrium1
 Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan orang sehat
yaitu <2300 mg perhari(B).
 Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu dilakukan pengurangan
natrium secara individual(B).
 Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
e) Serat1
 Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang- kacangan, buah
dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat.
 Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari yang berasal dari berbagai
sumber bahan makanan.
f) Pemanis Alternatif1
 Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
(Accepted Daily Intake/ADI).
 Pemanis alternatif dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
berkalori.
 Pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai bagian
23

dari kebutuhan kalori, seperti glukosa alkohol dan fruktosa.


 Glukosa alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan
xylitol.
 Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang DM karena dapat
meningkatkan kadar LDL, namun tidak ada alasan menghindari makanan
seperti buah dan sayuran yang mengandung fruktosa alami.
 Pemanis tak berkalori termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame potassium,
sukralose, neotame.
2) Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang DM, antara lain dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 25-30 kal/kgBB ideal. Jumlah kebutuhan tersebut ditambah atau dikurangi
bergantung pada beberapa faktor yaitu: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan,
dan lain-lain. Beberapa cara perhitungan berat badan ideal adalah sebagai berikut: 1
 Perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus Broca yang
dimodifikasi:
o Berat badan ideal =
o 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
o Bagi pria dengan tinggi badan di bawah
o 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi:
o Berat badan ideal (BBI) =
o (TB dalam cm - 100) x 1 kg. BB Normal: BB ideal ± 10 % Kurus: kurang
dari BBI - 10 % Gemuk: lebih dari BBI + 10 %
 Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).
Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT*
o BB Kurang <18,5
o BB Normal 18,5-22,9
24

o BB Lebih ≥23,0
o Dengan risiko 23,0-24,9
o Obes I 25,0-29,9
o Obes II ≥30
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain: 1
 Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori basal perhari untukperempuan sebesar 25 kal/kgBB
sedangkan untuk pria sebesar 30 kal/kgBB.
 Umur
o Pasien usia diatas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk setiap
dekade antara 40 dan 59 tahun.
o Pasien usia diantara 60 dan 69 tahun, dikurangi 10%.
o Pasien usia diatas usia 70 tahun, dikurangi 20%.
 Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
o Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.
o Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan
istirahat.
o Penambahan sejumlah 20% pada pasien dengan aktivitas ringan: pegawai
kantor, guru, ibu rumah tangga.
o Penambahan sejumlah 30% pada aktivitas sedang: pegawai industri
ringan, mahasiswa, militer yang sedang tidak perang.
o Penambahan sejumlah 40% pada aktivitas berat: petani, buruh, atlet,
militer dalam keadaan latihan.
o Penambahan sejumlah 50% pada aktivitas sangat berat: tukang becak,
tukang gali.
 Stres Metabolik
Penambahan 10-30% tergantung dari beratnya stress metabolik (sepsis,
operasi, trauma).
25

 Berat Badan
o Penyandang DM yang gemuk, kebutuhan kalori dikurangi sekitar 20- 30%
tergantung kepada tingkat kegemukan.
o Penyandang DM kurus, kebutuhan kalori ditambah sekitar 20-30% sesuai
dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB.
o Jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kal perhari untuk
wanita dan 1200-1600 kal perhari untuk pria.
Secara umum, makanan siap saji dengan jumlah kalori yang terhitung dan
komposisi tersebut di atas, dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%),
siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di
antaranya. Tetapi pada kelompok tertentu perubahan jadwal, jumlah dan jenis
makanan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang DM yang
mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit
penyerta. 1
c. Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DMT2
apabila tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan
jasmani dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama
sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu. Jeda antar latihan tidak
lebih dari 2 hari berturut-turut (A). Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
glukosa darah sebelum latihan jasmani. Apabila kadar glukosa darah <100
mg/dL pasien harus mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu dan bila >250
mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan jasmani. Kegiatan sehari-hari atau
aktivitas sehari- hari bukan termasuk dalam latihan jasmani meskipun dianjurkan
untuk selalu aktif setiap hari. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran
juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin,
sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang
(50- 70% denyut jantung maksimal)(A) seperti: jalan cepat, bersepeda santai,
26

jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara


mengurangi angka 220 dengan usia pasien. 1
Pada penderita DM tanpa kontraindikasi (contoh: osteoartritis, hipertensi
yang tidak terkontrol, retinopati, nefropati) dianjurkan juga melakukan resistance
training (latihan beban) 2-3 kali/perminggu (A) sesuai dengan petunjuk dokter.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani. Intensitas latihan jasmani pada penyandang DM yang relatif sehat bisa
ditingkatkan, sedangkan pada penyandang DM yang disertai komplikasi intesitas
latihan perlu dikurangi dan disesuaikan dengan masing-masing individu.
Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.
1. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat anti-hiperglikemia oral dibagi menjadi 5
golongan:
- Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
- Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
- Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan
- Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
- Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter)
27

Tabel.3.1. Golongan Obat Hipoglikemi Oral.


28

Tabel.3.2. Pilihan Obat Hipoglikemi Oral


29
30

INSULIN
Insulin diperlukan pada keadaan : 1
 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis Hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
 Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Jenis dan Lama Kerja Insulin
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :
 Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
 Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
 Insulin kerja menengah (Intermediate- acting insulin)
 Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
 Insulin kerja ultra panjang (Ultra long- acting insulin)
 Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat dengan
menengah (Premixed insulin)
Efek samping terapi insulin:
 Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia
 Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bagian komplikasi akut DM
 Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin
31

Tabel 3-2. Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu Kerja. 1


Jenis Insulin Awitan Puncak Lama Kemasan
(onset) Efek Kerja
Insulin analog Kerja Cepat (Rapid-Acting)
Insulin Lispro
(Humalog®) 5-15 Pen
Insulin Aspartmenit 1-2 jam 4-6 jam /cartridge
(Novorapid®) Pen, vial
Insulin Pen
Glulisin
(Apidra®)
Insulin manusia kerja pendek = Insulin Reguler (Short-
Acting)
Humulin® R30-60 2-4 jam 6-8 jam Vial, pen /
Actrapid® menit cartridge
Insulin manusia kerja menengah = NPH (Intermediate-
Acting)
Humulin N® Vial, pen /
Insulatard® 1,5–4 jam 4-10 jam 8-12 jam cartridge
Insuman
Basal®
Insulin analog kerja panjang (Long-Acting)
Insulin
Glargine 1–3 jam Hampir 12-24 Pen
(Lantus®) tanpa jam
Insulin puncak
Detemir
(Levemir®)
Lantus 300

Dasar pemikiran terapi insulin:


32

 Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi
insulin diupayakan mampu menyerupai pola sekresi insulin yang fisiologis
 Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau
keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada
keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan
 Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap
defisiensi yang terjadi.
 Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah basal
(puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun insulin.
Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah
insulin basal (insulin kerja sedang atau panjang)
 Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan
menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai.
 Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan HbA1c
belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial
(meal- related). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa
darah prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) yang disuntikan 5-10
menit sebelum makan atau insulin kerja pendek (short acting) yang disuntikkan
30 menit sebelum makan.
 Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan obat antihiperglikemia oral
untuk menurunkan glukosa darah prandial seperti golongan obat peningkat
sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapan
karbohidrat dari lumen usus (acarbose), atau metformin (golongan biguanid)
 Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian.

Cara penyuntikan insulin: 1


 Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan
33

arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit


 Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau drip
 Insulin campuran (mixed insulin) merupakan kombinasi antara insulin kerja
pendek dan insulin kerja menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu,
namun bila tidak terdapat sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan
perbandingan dosis yang lain, dapat dilakukan pencampuran sendiri antara kedua
jenis insulin tersebut.
 Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus dilakukan
dengan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.
 Penyuntikan insulin dengan menggunakan semprit insulin dan jarumnya
sebaiknya hanya dipergunakan sekali, meskipun dapat dipakai 2-3 kali oleh
penyandang diabetes yang sama, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin.
Penyuntikan insulin dengan menggunakan pen, perlu penggantian jarum suntik
setiap kali dipakai, meskipun dapat dipakai 2-3 kali oleh penyandang diabetes
yang sama asal sterilitas dapat dijaga.
 Kesesuaian konsentrasi insulin dalam kemasan (jumlah unit/mL) dengan semprit
yang dipakai (jumlah unit/mL dari semprit) harus diperhatikan, dan dianjurkan
memakai konsentrasi yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya U100 (artinya 100
unit/ml).
 Penyuntikan dilakukan pada daerah: perut sekitar pusat sampai kesamping, kedua
lengan atas bagian luar (bukan daerah deltoid), kedua paha bagian luar.

4. Komplikasi Diabetes Melitus


a. Hiperglikemi
34

a) Definisi
Salah satu kendala dalam laporan mengenai insidensi, epidemiologi
dan angka kematian KAD adalah belum ditemukannya kesepakatan
tentang definisi KAD. Sindroma ini mengandung triad yang terdiri dari
hiperglikemia, ketosis dan asidemia. Konsensus diantara para ahli
dibidang ini mengenai kriteria diagnostik untuk KAD adalah pH arterial <
7,3, kadar bikarbonat < 15 mEq/L, dan kadar glucosa darah > 250 mg/dL
disertai ketonemia dan ketonuria moderate.5
SHH pertama kali dilaporkan oleh Sament dan Schwartz pada tahun
1957. SHH didefinisikan sebagai hiperglikemia extrim, osmolalitas
serum yang tinggi dan dihidrasi berat tanpa ketosis dan asidosis yang
signifikan.5
Osmolalitas serum dihitung dengan rumus sebagai berikut : 2(Na)
(mEq/L) + glucosa (mg/dL) / 18 + BUN (mg/dL) / 2,8. Nilai
normalnya adalah 290 ± 5 mOsm/kg air.5
Pada umumnya keton serum negatif dengan pemeriksaan metoda
nitroprusid pada dilusi 1:2, bikarbonat serum > 20 mEq/L, dan pH
arterial > 7,3. Hiperglikemia pada SHH biasanya lebih berat dari pada
KAD; kadar glucosa darah > 600 mg/dL biasanya dipakai sebagai
kriteria diagnostik. SHH lebih sering terjadi pada usia tua atau pada
mereka yang baru didiagnosis sebagai diabetes dengan onset lambat.5

b) Epidemiologi

Insidensi KAD berdasarkan suatu penelitian population-based adalah


antara 4.6 sampai 8 kejadian per 1,000 pasien diabetes. Adapun angka
kejadian SHH < 1%. (2) Pada penelitian retrospektif oleh Wachtel dan
kawan-kawan ditemukan bahwa dari 613 pasien yang diteliti, 22% adalah
pasien KAD, 45% SHH dan 33% merupakan campuran dari kedua
keadaan tersebut. Pada penelitian tersebut ternyata sepertiga dari mereka
yang presentasi kliniknya campuran KAD dan SHH, adalah mereka yang
35

berusia lebih dari 60 tahun.5


Tingkat kematian pasien dengan ketoasidosis (KAD) adalah < 5%
pada sentrum yang berpengalaman, sedangkan tingkat kematian
pasien dengan hiperglikemia hiperosmoler (SHH) masih tinggi yaitu
15%. Prognosis keduanya lebih buruk pada usia ekstrim yang disertai
koma dan hipotensi.5
Bila mortalitas akibat KAD distratifikasi berdasarkan usia maka
mortalitas pada kelompok usia 60-69 tahun adalah 8%, kelompok usia
70-79 tahun 27%, dan 33% pada kelompok usia > 79 tahun. Untuk
kasus SHH mortalitas berkisar antara 10% pada mereka yang berusia <
75 tahun, 19% untuk mereka yang berusia 75-84 tahun, dan 35% pada
mereka yang berusia >84 tahun.5

c) Patogenesis

Pada semua krisis hiperglikemik, hal yang mendasarinya adalah


defisiensi insulin, relatif ataupun absolut, pada keadaan resistensi insulin
yang meningkat. Kadar insulin tidak adekuat untuk mempertahankan
kadar glukosa serum yang normal dan untuk mensupres ketogenesis.
Hiperglikemia sendiri selanjutnya dapat melemahkan kapasitas sekresi
insulin dan menambah berat resistensi insulin sehingga membentuk
lingkaran setan dimana hiperglikemia bertambah berat dan produksi
insulin makin kurang.5

Pada KAD dan SHH, disamping kurangnya insulin yang efektif dalam
darah, terjadi juga peningkatan hormon kontra insulin, seperti glukagon,
katekholamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan. Hormon-hormon ini
menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh ginjal dan hepar dan
gangguan utilisasi glukosa dijaringan, yang mengakibatkan hyperglikemia
dan perubahan osmolaritas extracellular. 5

Kombinasi kekurangan hormon insulin dan meningkatnya hormon


kontrainsulin pada KAD juga mengakibatkan penglepasan/release asam
36

lemak bebas dari jaringan adipose (lipolysis) ke dalam aliran darah dan
oksidasi asam lemak hepar menjadi benda keton (ß- hydroxybutyrate [ß-
OHB] dan acetoacetate) tak terkendali, sehingga mengakibatkan
ketonemia dan asidosis metabolik.5
Pada sisi lain, SHH mungkin dsi ebabkan oleh konsentrasi
hormon insulin plasma yang tidak cukup untuk membantu ambilan
glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin, tetapi masih
cukup adekuat ( dibuktikan dengan C-peptide) untuk mencegah
terjadinya lipolisis dan ketogenesis; akan tetapi bukti-bukti untuk teori
ini masih lemah. KAD dan SHH berkaitan dengan glikosuria, yang
menyebabkan diuresis osmotik, sehingga air, natrium, kalium, dan
elektrolit lain keluar.5
d) Faktor Pencetus
Krisis hiperglikemia pada diabetes tipe 2 biasanya terjadi karena ada
keadaan yang mencetuskannya. Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini
antara lain :5
1.Infeksi : meliputi 20 – 55% dari kasus krisis hiperglikemia
dicetuskan oleh Infeksi. Infeksinya dapat berupa :
PneumoniaInfeksi traktus urinarius Abses Sepsis Lain-lain.
2. Penyakit vaskular akut: Penyakit serebrovaskuler Infark miokard akut
Emboli paru Thrombosis V.Mesenterika
3. Trauma, luka bakar, hematom subdural.
4. Heat stroke
5. Kelainan gastrointestinal: Pankreatitis akut Kholesistitis akut Obstruksi
intestinal
6. Obat-obatan : Diuretika Steroid Lain-lain

Pada diabetes tipe 1, krisis hiperglikemia sering terjadi


karena yang bersangkutan menghentikan suntikan insulin ataupun
37

pengobatannya tidak adekuat. Keadaan ini terjadi pada 20-40% kasus


KAD. Pada pasien muda dengan DM tipe 1, permasalahan
psikologis yang diperumit dengan gangguan makan berperan sebesar
20% dari seluruh faktor yang mencetuskan ketoasidosis. Faktor yang
bisa mendorong penghentian suntikan insulin pada pasien muda
meliputi ketakutan akan naiknya berat badan pada keadaan kontrol
metabolisme yang baik, ketakutan akan jatuh dalam hypoglikemia,
pemberontakan terhadap otoritas, dan stres akibat penyakit kronis .5

e) Diagnosis

Presentasi klinik

Keadaan dekompensasi metabolik akut biasanya didahului oleh gejala


diabetes yang tidak terkontrol. Gejala-gejalanya antara lain lemah badan,
pandangan kabur, poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan.5

KAD berkembang dengan cepat dalam waktu beberapa jam, sedangkan


SHH cenderung berkembang dalam beberapa hari yang mengakibatkan
hiperosmolalitas. Dehidrasi akan bertambah berat bila disertai pemakaian
diurétika.Gejala tipikal untuk dehidrasi adalah membran mukosa yang
kering, turgor kulit menurun, hipotensi dan takhikardia.Pada pasien tua
mungkin sulit untuk menilai turgor kulit. Demikian juga pasien dengan
neuropati yang lama mungkin menunjukkan respons yang berbeda
terhadap keadaan dehidrasi. Status mental dapat bervariasi dari sadar
penuh , letargi, sampai koma. Bau nafas seperti buah mengindikasikan
adanya aseton yang dibentuk dengan ketogenesis. Mungkin terjadi
pernafasan Kussmaul sebagai mekanisme kompensasi terhadap asidosis
metabolik. Pada pasien-pasien SHH tertentu, gejala neurologi fokal atau
kejang mungkin merupakan gejala klinik yang dominan.5

Walaupun infeksi adalah faktor presipitasi yang sering untuk DKA


dan SHH, pasien dapat normotermik atau bahkan hipotermik terutama
38

oleh karena vasodilatasi perifer. Hipotermia, jika ada, adalah suatu


petanda buruknya prognosis. 5
Nyeri abdomen lebih sering terjadi pada KAD dibandingkan dengan
SHH. Diperlukan perhatian khusus untuk pasien yang mengeluh nyeri
abdomen, sebab gejala ini bisa merupakan akibat ataupun faktor
penyebab (terutama pada pasien muda) DKA. Evaluasi lebih lanjut
harus dilakukan jika keluhan ini tidak berkurang dengan perbaikan
dehidrasi dan asidosis metabolik.5
f) Pemeriksaan Laboratorik

Evaluasi Laboratorium awal pasien dengan kecurigaan KAD atau


SHH meliputi penentuan kadar glukosa plasma, urea nitrogen/kreatinin
serum, keton, elektrolit (dengan anion gap), osmolaritas, analisa urine,
benda keton urin dengan dipstik, analisa gas darah pemeriksaan sel
darah lengkap dengan hitung jenis, dan elektrokardiogram. Kultur
bakteri dari air seni, darah, dan tenggorokan dan lain-lain harus
dilakukan dan antibiotik yang sesuai harus diberikan jika dicurigai ada
infeksi.5
HbA1c mungkin bermanfaat untuk menentukan apakah episode akut
ini adalah akumulasi dari suatu proses evolusiner yang tidak didiagnosis
atau DM yang tidak terkontrol ,atau suatu episode akut pada pasien
yang terkendali dengan baik. Foto thorax harus dikerjakan jika ada
indikasi.5
Konsentrasi natrium serum pada umumnya berkurang oleh karena
perubahan osmotik yang terjadi terus menerus dari intrasellular ke
extracellular dalam keadaan hiperglikemia. Konsentrasi kalium serum
mungkin meningkat oleh karena pergeseran kalium extracellular yang
disebabkan oleh kekurangan hormon insulin, hypertonisitas, dan
asidemia. Pasien dengan konsentrasi kalium serum rendah atau low-
normal pada saat masuk, mungkin akan kekurangan kalium yang berat
39

pada saat perawatan sehingga perlu diberi kalium dan perlu


monitoring jantung yang ketat, sebab terapi krisis hiperglikemia akan
menurunkan kalium lebih lanjut dan dapat menimbulkan disritmia
jantung.5
Adanya stupor atau koma pada pasien DM tanpa peningkatan
osmolalitas efektif ( > 320 mOsm/kg) perlu pertimbangan kemungkinan
lain penyebab perubahan status mental.5
Pada mayoritas pasien DKA kadar amilase meningkat, tetapi ini
mungkin berkaitan dengan sumber nonpankreatik. Serum lipase
bermanfaat untuk menentukan diagnosa banding dengan pankreatitis.
Nyeri abdominal dan peningkatan kadar amilase dan enzim hati lebih
sering terjadi pada DKA dibandingkan dengan SHH.5
g) Terapi

Kebehasilan pengobatan KAD dan SHH membutuhkan koreksi


dehidrasi, hiperglikemia dan gangguan keseimbangan elektrolit;
identifikasi komorbid yang merupakan faktor presipitasi; dan yang
sangat penting adalah perlu dilakukan monitoring pasien yang ketat.5
Faktor presipitasi diobati, serta langkah-langkah pencegahan rekurensi
perlu dilaksanakan dengan baik.5

h) Terapi cairan:

Pasien Orang dewasa.


Terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk memperbaiki
volume intravascular dan extravascular dan mempertahankan perfusi
ginjal. Terapi cairan juga akan menurunkan kadar glukosa darah tanpa
bergantung pada insulin, dan menurunkan kadar hormon kontra insulin
(dengan demikian memperbaiki sensitivitas terhadap insulin).5
Pada keadaan tanpa kelainan jantung, NaCl 0.9% diberikan sebanyak
15–20 ml/kg berat badan/jam atau lebih besar pada jam pertama ( 1–1.5
l untuk rata-rata orang dewasa). Pilihan yang berikut untuk mengganti
40

cairan tergantung pada status hidrasi, kadar elektrolit darah, dan


banyaknya urin. Secara umum, NaCl 0.45% diberikan sebanyak 4–14
ml/kg/jam jika sodium serum meningkat atau normal; NaCl 0.9%
diberikan dengan jumlah yang sama jika Na serum rendah. Selama
fungsi ginjal diyakinkini baik, maka perlu ditambahkan 20–30 mEq/l
kalium ( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai pasien stabil dan dapat
diberikan secara oral. Keberhasilan penggantian cairan dapat dilihat
dengan pemantauan hemodinamik (perbaikan dalam tekanan darah),
pengukuran input/output cairan, dan pemeriksaan fisik. Penggantian
cairan diharapkan dapat mengkoreksi defisit dalam 24 jam pertama.
Perbaikan osmolaritas serum mestinya tidak melebihi 3 mOsm· kg-1
H2O· h-1 ( 14–20,22). Pada pasien dengan gangguan ginjal atau
jantung, pemantauan osmolaritas serum dan penilaian jantung, ginjal,
dan status mental harus sering dilakukan selama pemberian cairan untuk
menghindari overload yang iatrogenic.5
Pasien berusia < 20 tahun terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk
memperbaiki volume intravascular dan extravascular ,dan
mempertahankan perfusi ginjal. Kebutuhan untuk mempertahankan
volume vaskuler harus disesuaikan untuk menghindari risiko edema
cerebral karena pemberian cairan yang terlalu cepat. Dalam 1 jam pertama
cairan yang bersifat isotonik (NaCl 0.9%) sebanyak 10–20 ml/kgbb/jam.
Pada pasien dengan dehidrasi berat, pemberian ini perlu diulang, tetapi
awal pemberian kembali mestinya tidak melebihi 50 ml/kg pada 4 jam
pertama therapy. Terapi Cairan selanjutnya untuk menggantikan defisit
cairan dilakukan dalam 48 jam. Secara umum NaCl, 0.45–0.9%
( tergantung pada kadar sodium serum) diberikan dengan kecepatan 1.5
kali dari kebutuhan pemeliharaan selama 24-h ( 5 ml/kg/jam) akan
mencukupi kebutuhan rehidrasi, dengan penurunan osmolaritas tidak
melebihi 3 mOsm· kg-1 H2O· h-1. Sekali lagi jika fungsi ginjal diyakini
baik dan kalium serum diketahui, maka perlu diberikan 20–40 mEq/l
41

kalium ( 2/3 KCl atau potassium-acetate dan 1/3 KPO4). Jika glukosa
serum mencapai 250 mg/dl, cairan harus diubah menjadi dextrose 5% dan
NaCl 0.45–0.75%, dengan kalium seperti diuraikan di atas.5

Terapi Insulin

Pada keadaan KAD ringan ( tabel 1), insulin reguler diberikan


dengan infus intravena secara kontinu adalah terapi pilihan. Pada pasien
dewasa, jika tidak ada hipokalemia ( K+ < 3.3 mEq/l, maka pemberian
insulin intravena secara bolus dengan dosis 0.15 unit/kg bb, diikuti
pemberian insulin reguler secara infus intravena yang kontinu dengan
dosis 0.1 unit· kg-1· h-1 ( 5–7 unit/jam pada orang dewasa). Pemberian
insulin secara bolus tidak dianjurkan pada pasien pediatrik; pemberian
insulin reguler dengan infus intravena secara kontinu dengan dosis 0.1
unit· kg-1· h-1 dapat diberikan pada pasien- pasien tersebut. Dosis
insulin rendah ini pada umumnya dapat menurunkan konsentrasi glukosa
plasma sebanyak 50–75 mg· dl-1· h-1, sebanding dengan pemberian
insulin dosis tinggi (1-5) . Jika plasma glukosa tidak turun sebanyak 50
mg/dl dari awal pada jam pertama, periksa dulu status hidrasi; jika
baik, infus insulin dapat digandakan tiap jam sampai tercapai
penurunan glukosa yang stabil antara 50 dan 75 mg/jam dicapai.
Ketika glukosa plasma mencapai 250 mg/dl untuk KAD atau 300
mg/dl untuk SHH, mungkin dosis insulin perlu diturunkan menjadi
0.05–0.1 unit· kg-1· h-1 ( 3–6 units/jam), dan dextrose ( 5–10%)
ditambahkan pada cairan intravena. Sesudah itu, dosis insulin atau
konsentrasi dextrose perlu disesuaikan untuk memelihara rata-rata kadar
glukosa sampai asidosis pada KAD atau status mental dan
hyperosmolaritas pada SHH membaik.5
Ketonemia biasanya lebih lama hilang dibandingkan dengan
hiperglikemia. Pengukuran ß-OHB dalam darah secara langsung adalah
metoda yang lebih disukai untuk pemantauan KAD. Metoda
42

Nitroprusside hanya mengukur aseton dan asam acetoacetic.


Bagaimanapun, ß-OHB, asam yang paling banyak dan paling kuat pada
KAD, tidaklah terukur dengan metoda nitroprusside. Selama therapy, ß-
OHB dikonversi ke asam asetoacetik, yang membuat para klinisi
percaya bahwa ketosis memperburuk keadaan. Oleh karena itu,
penilaian benda keton dari urin atau serum dengan metoda nitroprusside
tidak digunakan sebagai suatu indikator terapi.5
Selama terapi untuk KAD atau SHH, darah harus diperiksa tiap 2–4
jam untuk memeriksa elektrolit serum, glukosa, urea-N, creatinine,
osmolaritas, dan pH vena ( untuk DKA). Biasanya, analisa gas darah
tidak perlu dilakukan berulang-ulang ; pH vena (pada umumnya 0.03
unit lebih rendah dari pH arteri) dan gap anion dapat diikuti, untuk
memonitor resolusi asidosis.5
Pada KAD yang ringan, insulin reguler baik secara subkutan
maupun intramuskular tiap jam adalah sama efektif seperti
pemberian intravena dalam menurunkan glukosa darah dan benda
keton . Pertama-tama diberikan dosis dasar sebanyak 0.4–0.6 units/kg
bb, separuh sebagai suntikan bolus intravena, dan setengah secara
subkutan atau intramuskular . Sesudah itu, 0.1 unit· kg-1· h-1 insulin
reguler diberi secara subkutan atau intramuscular.5
Kriteria untuk resolusi KAD meliputi kadar glukosa < 200 mg/dl,
bikarbonat serum > 18 mEq/l, dan pH vena > 7.3. Bila KAD membaik,
dan pasien masih NPO (Nothing Per Oral), insulin intravena yang
kontinyu dan penggantian cairan dilanjutkan dan ditambah dengan
suplemen insulin subcutan sesuai kebutuhan tiap 4 jam.5
Ketika pasien sudah bisa makan, jadwal multiple-dose harus dimulai
menggunakan kombinasi insulin kerja pendek/singkat dengan insulin
kerja menengah atau lama untuk mengendalikan glukosa plasma.
Pemberian insulin intravena tetap diberikan untuk 1–2 jam setelah
regimen campuran insulin dimulai untuk memastikan hormon insulin
43

plasma cukup. Suatu penghentian mendadak insulin intravena dengan


penundaan insulin subcutan akan memperburuk keadaan; oleh karena
itu, perlu diberikan insulin intravena dan inisiasi subkutan secara
bersamaan.5
Pasien yang telah diketahui menderita diabetes dapat diberikan
insulin dengan dosis seperti sebelum mereka terkena serangan KAD
atau SHH dan jika dibutuhkan dilakukan penyesuaian. Pada pasien
diabetes yang baru, total insulin awal mungkin berkisar antara 0.5–1.0
unit· kg - 1· day-1, dibagi menjadi sedikitnya dua dosis dalam bentuk
campuran insulin kerja pendek dan panjang sampai mencapai suatu
dosis optimal yang diinginkan.Akan tetapi perlu diingat bahwa dosis
insulin ini sangat individual. Pada akhirnya, ada penderita-penderita
DM tipe 2 yang bisa diberi obat antihiperglikemia oral dan pengaturan
diit. 5

Kalium

Untuk mencegah hipokalemia, penambahan kalium diindikasikan pada


saat kadar dalam darah dbi awah 5.5 mEq/l, dengan catatan output
urin cukup. Biasanya, 20–30 mEq kalium ( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada
setiap liter cairan infus cukup untuk mempertahankan konsentrasi kalium
serum antara 4–5 mEq/l. Penderita dengan KAD jarang menunjukkan
keadaan hipokalemia yang berat. Pada kasus-kasus demikian, kalium
penggantian harus dimulai bersamaan dengan cairan infus, dan terapi
insulin harus ditunda sampai konsentrasi kalium > 3.3 mEq/l untuk
menghindari aritmia atau cardiac arrest dan kelemahan otot pernapasan.5

Di samping kekurangan kalium dalam tubuh, hiperkalemia ringan


sampai sedang sering terjadi pada penderita dengan krisis hiperglikemia.
Terapi insulin, koreksi asidosis, dan penambahan volume cairan akan
menurunkan konsentrasi kalium serum .5

Bikarbonat
44

Penggunaan larutan bikarbonat pada KAD masih merupakan


kontroversi ( 28). Pada pH > 7.0, aktifitas insulin memblok lipolysis dan
ketoacidosis dapat hilang tanpa penambahan bikarbonat. Beberapa
penelitian prospektif gagal membuktikan adanya keuntungan atau
perbaikan pada angka morbiditas dan mortalitas dengan pemberian
bikarbonat pada penderita KAD dengan pH antara 6.9 dan 7.1 (10). Tidak
ada laporan randomized study mengenai penggunaan bikarbonat pada
KAD dengan pH < 6.9.5
Asidosis yang berat menyebabkan efek vaskuler yang kurang baik,
jadi sangat bijaksana pada pasien orang dewasa dengan pH < 6.9,
diberikan sodium bikarbonat. Tidak perlu tambahan bikarbonat jika pH
> 7.0.5
Pemberian insulin, seperti halnya bikarbonat, menurunkan kalium
serum; oleh karena itu supplemen Kalium harus diberikan dalam cairan
infus seperti diuraikan di atas dan harus dimonitor dengan ketat.
Sesudah itu, pH aliran darah vena harus diukur tiap 2 jam sampai pH
mencapai 7.0, dan terapi bikarbonat harus diulangi tiap 2 jam jika
perlu.5

Fosfat

Pada KAD serum fosfat biasanya normal atau meningkat. Konsentrasin


fosfat berkurang dengan pemberian terapi insulin. Beberapa penelitian
prospektif gagal membuktikan adanya keuntungan dengan penggantian
fosfat pada KAD ( 32), dan pemberian fosfat yang berlebihan dapat
menyebabkan hypocalcemia yang berat tanpa adanya gejala tetani .
Bagaimanapun, untuk menghindari kelainan jantung dan kelemahan otot
dan depresi pernapasan oleh karena hipofosfatemia, penggantian fosfat
kadang- kadang diindikasikan pada pasien dengan kelainan jantung,
anemia, atau depresi pernapasan dan pada mereka dengan konsentrasi
fosfat serum < 1.0 mg/dl. Blia diperlukan, 20–30 mEq/l kalium fosfat
45

dapat ditambahkan ke larutan pengganti.Tidak ada studi mengenai


penggunaan fosfat dalam HHS.5
b. Hipoglikemi

Hipoglikemia yang berkepanjangan dapat menyebabkan kerusakan


irreversibel dari otak sampai kematian, oleh karena itu setelah kadar glukosa
darah bebas (GDS) sudah didapatkan (GDS < 70 mg/dL) penangananan yang
difokuskan untuk meningkatkan kadar glukosa plasma harus segera
dilaksanakan, baik dengan asupan makanan oral, dekstrosa intravena, atau
glukagon intramuskular. Penanganan secara oral harus sebisa mungkin
dilakukan. Jumlah asupan oral yang dianjurkan pada orang dewasa adalah
sekitar 20 gram;2,7 setiap 5 gram glukosa meningkatkan sekitar 15 mg/dL
kadar glukosa darah. Asupan oral yang dapat diberikan antara lain, pisang,
madu, permen, tablet glukosa atau 100-150 ml minuman manis (non-diet cola,
teh manis, atau minuman berglukosa lainnya). Konsumsi protein bukan
penanganan yang efektif untuk hipoglikemia dan konsumsi makanan manis
yang juga tinggi lemak (seperti es krim) dapat menghambat absorbsi
karbohidrat, oleh karena itu sebaiknya yang diberikan adalah glukosa murni.4

Intravena dekstrosa merupakan terapi lini pertama pada pasien dengan


penurunan kesadaran yang tidak dapat menerima asupan oral. Pemberian
glukosa secara intravena harus diberikan dengan perhatian.4

Hal utama yang harus diperhatikan adalah total kuantitas glukosa (dalam
gram) yang diberikan. Pemberian 50 ml dekstrosa 50% dinilai toksik untuk
jaringan, oleh karena itu pemberian 75- 100 ml dekstrosa 20% atau 150-200
dekstrosa 10% lebih dianjurkan. Walaupun terdapat laporan nekrosis jaringan
yang menyebabkan amputasi akibat ektravasasi cairan glukosa 50% yang
diberikan secara intravena, beberapa pedoman tatalaksana hipoglikemia tetap
menggunakan kadar glukosa tersebut. Selain terapi dekstrosa intravena,
pemberian 1 mg glukagon secara intramuskular atau subkutan dapat diberikan
terutama pada pasien dengan DM tipe 1. Terapi glukagon merupakan terapi
46

yang diterima oleh FDA (Food and Drug Administration) sebagai terapi
alternatif hipoglikemi dalam keadaan absen dari akses intravena. Glukagon
menyebabkan gluconeogenesis dari glikogen yang terdapat di liver dan
meningkatkan kadar glukosa darah sekitar 36 mg/dl dalam 15 menit. Pada
penderita DM tipe 2, pemberian glukagon juga menstimulasi pengeluaran
insulin sehingga relatif tidak efektif. Literatur lain menyatakan penggunaan
glukagon dikontraindikasikan pada hipoglikemia yang disebabkan oleh
sulfonilurea karena dapat meningkatkan kadar insulin darah. Efek samping
pemberian glukagon yaitu mual dan muntah.4

Perbaikan klinis biasanya terjadi 15-20 menit setelah pemberian glukosa.


Pemberian glukosa baik secara oral maupun intravena umumnya memiliki
durasi aksi lebih rendah daripada obat pencetus ataupun insulin yang
menyebabkan iatrogenik hipoglikemia, oleh karena itu pasien dianjurkan
untuk makan untuk mengisi kembali glikogen tubuh. . Penilaian kadar glukosa
perlu untuk dilakukan setiap 30 menit dalam 2 jam pertama untuk melihat
adanya rebound hypoglycemia atau minimal 1 jam sekali. Hipoglikemia yang
terjadi akibat dari obat hipoglikemik oral (OHO) jangka panjang atau karena
insulin jangka menengah (NPH) dan panjang (insulin detemir atau glargine)
dosis tinggi, diindikasikan untuk rawat inap dengan penanganan glukosa
intravena continuous (D10%W dengan kecepatan untuk menjaga efektif untuk
hipoglikemia dan konsumsi makanan manis yang juga tinggi lemak (seperti es
krim) dapat > 100 mg/dL) monitor kadar glukosa secara reguler.4

Octeotride, analog somatostatin, dapat diberikan untuk menekan sekresi


insulin. Pemberian obat ini terutama pada penanganan hipoglikemi yang
disebabkan golongan sulfonylurea. Pengobatan ini superior dibandingkan
glukosa dan diazoxide dalam mencegah hipoglikemi rekuren. Dosis ideal and
interval pemberian octeotride belum terdefinisi dengan baik. Rekomendasi
pemberian octeotride bervariasi dari dosis tunggal 50-100 mcg injeksi
subkutan setelah episode hipoglikemik sampai injeksi subkutan serial (50-100
47

mcg setiap 6-8 jam) atau pemberian secara konstan melalui intravena (125
mcg/jam) setelah episode hipoglikemik kedua. Pemberian octeotride hanya
direkomendasikan setelah terapi pemberian glukosa pada hipoglikemi yang
disebabkan oleh sulfonylurea. Pengobatan ini bertujuan untuk menurunkan
resiko terjadinya hipoglikemi rekuren.4

Adapun tatalaksana hipoglikemia sebagaimana dikutip langsung dari


buku Clinical Pathway yang diterbitkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) tahun 2015 adalah pemberian gula murni
sebesar 30 gram (2 sendok makan) atau siruppermen gula murni pada pasien
sadar atau stadium permulaan, dan penggunaan protokol sebagai berikut untuk
pasien tidak sadar:4

1) Pemberian larutan Dekstrosa 40% sebanyak 50 ml dengan bolus intravena


(IV)
2) Pemberian cairan Dekstrosa 10% per infus, 6 jam per kolf (500 cc).
3) Periksa GDS, bila: GDS < 50 mg/dl, berikan bolus Dekstrosa 40% 50 ml
IV GDS.
4) Periksa GDS setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40%, bila: GDS
200 mg/dl, pertimbangkan menurunkan kecepatan drip Dekstrosa 10%.
5) Setelah poin no (4), dilakukan 3 kali berturut-turut hasil GDS > 100 mg/dl,
lakukan pemantauan GDS setiap 2 jam dengan protokol no (4).
6) Setelah poin no (5) dilakukan 3 kali berturut-turut hasil GDS > 100 mg/dl,
lakukan pemantauan GDS setiap 4 jam dengan protokol no (5).
7) Bila GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, sliding scale setiap 6
jam: GDS < 200 mg/dl, jangan berikan insulin GDS 200-250 mg/dl,
berikan 5 unit insulin GDS 250-300 mg/dl, berikan 10 unit insulin GDS
300-350 mg/dl, berikan 15 unit insulin GDS > 350 mg/dl, berikan 20 unit
insulin.
8) Bila hipoglikemia belum teratasi, pertimbangka pemberian antagonis
insulin, seperti: Deksametason 10 mg IV bolus, dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam
48

dan Manitol 1,5-2 g/KgBB IV setiap 6-8 jam. Cari penyebab lain
penurunan kesadaran.
c. Komplikasi kronik

Seperti telah diungkapkan, hiperglikemia merupakan peran sentran terjadi


komplikasi pada DM. Pada keadaan hiperglikemia, akan terjadi peningkatan
jalur polyol, peningkatan pembentukan Protein Glikasi non enzimatik serta
peningkatan proses glikosilasi itu sendiri, yang menyebabkan peningkatan
stress oksidatif dan pada akhirnya menyebabkan komplikasi baik vaskulopati,
retinopati, neuropati ataupun nefropati diabetika.6

Komplikasi kronis ini berkaitan dengan gangguan vaskular, yaitu:6

1. Komplikasi Mikrovaskular

a) Retinopati diabetik
Pada retinopati diabetik prolferatif terjadi iskemia retina yang
progresif yang merangsang neovaskularisasi yang menyebabkan
kebocoran protein-protein serum dalam jumlah besar. Neovaskularisasi
yang rapuh ini berproliferasi ke bagian dalam korpus vitreum yang bila
tekanan meninggi saat berkontraksi maka bisa terjadi perdarahan masif
yang berakibat penurunan penglihatan mendadak. Hal tersebut pada
penderita DM bisa menyebabkan kebutaan.6

b) Nefropati diabetik
Nefropati diabetik adalah penyebab utama penyakit ginjal
stadium akhir di seluruh dunia dan berhubungan dengan peningkatan
risiko penyakit kardiovaskular. Manifestasi klinis awal adalah
mikroalbuminuria. Setelah terdeteksi adanya mikroalbuminuria, laju
perkembangan dari penyakit ginjal stadium akhir dan penyakit
kardiovaskular dapat ditunda oleh manajemen tekanan darah, glukosa,
dan lipid.6
49

Nefropati diabetik ditandai dengan albuminura menetap > 300 mg/24


jam atau > 200 ig/menit pada minimal 2x pemeriksaan dalam waktu 3-
6 bulan. Berlanjut menjadi proteinuria akibat hiperfiltrasi patogenik
kerusakan ginjal pada tingkat glomerulus.6
Nefropati diabetik juga sering didefinisikan sebagai sebuah
sindroma klinis yang ditandai dengan albuminuria persisten (> 300 mg
/ d atau > 200 mcg / min) yang dikonfirmasi sedikitnya 2 kali berturut-
turut dalam 3-6 bulan terpisah, adanya penurunan laju filtrasi
glomerolus (LFG). Progresi umum dari mikroalbuminuria menjadi
nefropati menyebabkan banyak yang menganggap mikroalbuminuria
sebagai tanda nefropati tahap awal. Kelainan ginjal sering terjadi
sekunder pada penderita diabetes yang lama terutama penderita
diabetes tipe I. Secara klinis nefropati diabetik ditandai dengan adanya
peningkatan proteinuria yang progresif, penurunan LFG, hipertensi,
dan risiko tinggi untuk menderita penyakit kardiovaskular.6
Perjalanan alamiah nefropati diabetik merupakan sebuah proses
dengan progresivitas bertahap setiap tahun. Diabetes fase awal ditandai
dengan hiperfiltrasi glomerulus dan peningkatan LFG. Hal ini
berhubungan dengan peningkatan perkembangan sel dan ekspansi
ginjal, yang mungkin dimediasi oleh hiperglikemia. Mikroalbuminuria
biasanya terjadi setelah 5 tahun menderita penyakit Diabetes tipe 1
sedangkan nefropati yang ditandai dengan ekskresi protein urin lebih
dari 300 mg/hari, biasanya terjadi dalam waktu 10-15 tahun. Penyakit
ginjal stadium terminal terjadi pada sekitar 50% penderita DM tipe I,
yang akan mengalami nefropati dalam 10 tahun.6
DM tipe II memiliki patogenesis yang lebih bervariasi. Penderita
sering didiagnosis sudah dengan mikroalbuminuria yang disebabkan
karena keterlambatan diagnosis dan faktor lain yang mempengaruhi
ekskresi protein. Sebagian kecil penderita dengan mikroalbuminuria
akan berkembang menjadi penyakit ginjal tahap lanjut. Tanpa
50

intervensi, sebanyak 30% penderita akan berkembang menjadi


nefropati dengan proteinuria yang nyata, dan setelah 20 tahun
mengalami nefropati, sekitar 20% akan berkembang menjadi penyakit
ginjal tahap akhir. Diabetes yang lama menyebabkan perubahan pada
pembuluh darah kecil yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal
dimana kerusakan ginjal tersebut dapat menyebabkan kegagalan ginjal
yang berat. Kerusakan ginjal dapat dimulai sejak tahun pertama setelah
terdiagnosis menderita DM tipe I dan dapat ditemukan pada saat
terdiagnosis DM tipe II. Namun diperlukan waktu sekitar 5-10 tahun
untuk menjadi masalah kerusakan ginjal yang bermakna.6

2. Komplikasi Makrovaskular

a) Penyakit Jantung Koroner


Berdasarkan studi epidemiologis, maka diabetes merupakan suatu
faktor risiko koroner. Ateroskierosis koroner ditemukan pada 50-70%
penderita diabetes. Akibat gangguan pada koroner timbul insufisiensi
koroner atau angina pektoris (nyeri dada paroksismal serti tertindih
benda berat dirasakan didaerah rahang bawah, bahu, lengan hingga
pergelangan tangan) yang timbul saat beraktifiras atau emosi dan akan
mereda setelah beristirahat atau mendapat nitrat sublingual. Akibat yang
paling serius adalah infark miokardium, di mana nyeri menetap dan
lebih hebat dan tidak mereda dengan pembenian nitrat. Namun gejala-
gejala mi dapat tidak timbul pada pendenita diabetes sehigga perlu
perhatian yang lebih teliti.6
b) Stroke
Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua
tersering pada penderita diabetes. Kira-kira sepertiga penderita stroke
juga menderita diabetes. Stroke lebih sering timbul dan dengan
prognosis yang lebih serius untuk penderita diabetes. Akibat
51

berkurangnya aliran atrteri karotis interna dan arteri vertebralis timbul


gangguan neurologis akibat iskemia, berupa:
1) Pusing, sinkop
2) Hemiplegia: parsial atau total
3) Afasia sensorik dan motorik
4) Keadaan pseudo-dementia.6
c) Penyakit pembuluh darah
Proses awal terjadinya kelainan vaskuler adalah adanya
aterosklerosis, yang dapat terjadi pada seluruh pembuluh darah.
Apabila terjadi pada pembuluh darah koronaria, maka akan
meningkatkan risiko terjadi infark miokar, dan pada akhirnuya terjadi
payah jantung. Kematian dapat terjadi 2-5 kali lebih besar pada
diabetes disbanding pada orang normal. Risiko ini akan meningkat
lagi apabila terdapat keadaan keadaan seperti dislipidemia, obes,
hipertensi atau merokok. Penyakit pembuluh darah pada diabetes lebih
sering dan lebih awal terjadi pada penderita diabetes dan biasanya
mengenai arteri distal (di bawah lutut). Pada diabetes, penyakit
pembuluh darah perifer biasanya terlambat didiagnosis yaitu bila sudah
mencapai fase IV. Faktor factor neuropati, makroangiopati dan
mikroangiopati yang disertai infeksi merupakan factor utama
terjadinya proses gangrene diabetik. Pada penderita dengan gangrene
dapat mengalami amputasi, sepsis, atau sebagai factor pencetus koma,
ataupun kematian.6
52

DAFTAR PUSTAKA

1. Price, S. A. And Wilson, L, M., 2005, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-


Proses Penyakit, edisi 6, EGC: Jakarta.
2. PERKENI, 2015, Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia,PERKENI, Jakarta.
3. Putra, WN. Berawi, KN. Empat Pilar Penatalaksanaan Pasien Diabetes
Melitus Tipe 2. Fakultas Kedokteran. Universitas Lampung. Lampung ; 2015
4. Huang I. Tatalaksana Penurunan Kesadaran Pada Penderita Diabetes Mellitus.
1Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Tangerang : 2016
5. Semarawima G. Status Hiperosmolar Hiperglikemik. Vol. 48. No.1.
Bali:Universitas Udayana.2017
6. Setiati S, Alwi I, Sudoyo A.W. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ke-3. Jakarta:
Interna Publishing.2017

Anda mungkin juga menyukai