Kunci Paket Soal Latihan Komputer
Kunci Paket Soal Latihan Komputer
E3M6V5
Glasgow Coma Scale (GCS) adalah skala yang dipakai untuk menentukan/menilai tingkat
kesadaran. Terdiri dari penilaian terhadap tiga komponen respon yang ditunjukkan oleh
pasien setelah diberi stimulus tertentu, yakni:
- Respon buka mata
- Respon motorik
- Respon verbal
Setiap penilaian mencakup poin-poin, dengan nilai total 3-15
Jenis Pemeriksaan Nilai
Respon buka mata (Eye Opening, E)
Respon spontan (tanpa stimulus) 4
Respon terhadap suara/perintah 3
Respon terhadap nyeri 2
Tidak ada respon 1
Respon verbal (V)
Orientasi baik 5
Berbicara mengacau (bingung/disoriented) 4
Kata terucap jelas dengan substansi tidak jelas, tidak 3
membentuk kalimat (misalnya, “aduh… bapak..”)
Suara tidak jelas (tanpa arti, mengerang) 2
Tidak ada suara 1
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah 6
Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus 5
saat diberi rangsang nyeri) 4
Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang) 3
Fleksi abnormal (dekortikasi: tangan satu atau
keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat 2
diberi rangsang nyeri)
Ekstensi abnormal (deserebrasi: tangan satu atau 1
keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal &
kaki extensi saat diberi rangsang nyeri)
Tidak ada respon
Interpretasi hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol:
E…V…M…
Berdasar Advanced Trauma Life Support, GCS digunakan untuk menentukan derajat cedera
kepala
Derajat Cedera Kepala Skor GCS
Cedera Kepala Ringan (CKR) 14 – 15
Cedera Kepala Sedang (CKS) 9 – 13
Cedera Kepala Berat (CKB) 3–8
Referensi:
Committee on Trauma, American College of Surgeons.2008. ATLS: Advanced Trauma Life
Support Program for Doctors (8th ed.). Chicago: American College of Surgeons.
Referensi:
Ilyas, Sidarta. 2002. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran.
Jakarta: CV Agung Seto.
Sumber:
Sosialisman et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 58.
Delayed Puberty
Seorang anak dinyatakan mengalami delayed puberty atau pubertas yang terlambat jika
dirinya belum menunjukkan perkembangan payudara menjelang usia 13 atau belum
mengalami menarche menjelang usia 16 tahun, untuk anak perempuan dan belum
mengalami pembesaran pada alat kelamin menjelang usia 14 tahun, untuk anak laki-laki.
Jika melihat pilihan jawaban pada kasus ini: Pubertas prekoks independen gonadotropin,
Pubertas prekoks parsial, Hipertrofi adrenal kongenital (yang dimaksud adalah hiperplasi
adrenal kongenital), merupakan satu istilah yang sama sehingga bukan merupakan jawaban
yang tepat.
Referensi:
1. Pulungan AB. 2010. Pubertas dan gangguannya. Dalam : Jose RL Batubara dkk, penyunting. Buku
Ajar Endokrinologi Anak Edisi I. Jakarta: Balai Penerbit IDAI.
2. Styne DM. 1998. Pubertas.Dalam: Greenspan FS, Baxter JD, penyunting.Endokrinologi Dasar dan
Klinik Edisi ke-4. Jakarta: EGC.
3. Setiyohadi B. 2007. Kesehatan Remaja. Dalam: Sudoyo, A.W., dkk, penyunting. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Universitas Indonesia.
6. B. Pirazinamid
Pirazinamid merupakan obat TB yang bersifat bakterisidal. Efek samping pirazinamid
adalah hepatotoksisitas dengan peningkatan serum SGOT dan SGPT. Pada pasien
dengan dengan hepatitis akut atau klinis ikterik maka pemberian OAT ditunda sampai
hepatitis akut mengalami penyembuhan.
Pada keadaan di mana obat TB sangat diperlukan, maka diberikan streptomisin dan
etambutol selama 3 bulan sampai hepatitis menyembuh dan dilanjutkan dengan
pemberian rifampisin dan isoniazid. Tidak diberikan pirazinamid.
Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, SGOT dan SGPT meningkat 3 kali lipat, maka
OAT tidak diberikan, dan apabila dalam pengobatan maka harus dihentikan.
Jika peningkatan kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan
dengan pengawasan. Pasien dengan kelainan hati tidak boleh menggunakan
pirazinamid.
Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.
Sumber:
Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.
2. Parafimosis
Parafimosis adalah keadaan di mana prepusium tidak dapat ditarik ke depan (distal)/menutup.
Pada keadaan ini, glans penis atau batang penis dapat terjepit oleh prepusium yang bengkak.
Keadaan ini paling sering oleh peradangan. Pada parafimosis sebaiknya kita melakukan reduksi
sebelum disirkumsisi (Bachsinar, tahun 1993).
Pengobatan:
Preputium dikembalikan secara manual dengan memijat glans penis selama 3-5 menit
Gagal insisi dorsum
Setelah edema dan proses inflamasi menghilang sirkumsisi
Referensi:
Browne, RFJ; O'Reilly G, McInerney D (June 2004). "Extraction of the Two-Dimensional
Cardiothoracic Ratio from Digital PA Chest Radiographs: Correlation with Cardiac
Function and the Traditional Cardiothoracic Ratio" (PDF). Journal of Digital
Imaging 17 (2): 120–3
Gambar diperoleh dari http://www.crkirk.com/thumbnail/investigations/cxr.htm
9. E. Scurvy
Defisiensi vitamin:
Beri-beri Defisiensi vitamin B1 (thiamine)
Manifestasi Klinis:
berat badan turun drastis, gangguan
syaraf, lemah dan lesu,
pembengkakan tungkai bawah,
sesak napas, gangguan denyut
jantung dan tak jarang
menimbulkan kematian karena
gagal jantung
Daftar Pustaka:
1. Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
2. http://www.pennmedicine.org/encyclopedia/em_PrintArticle.aspx?gcid=000342
3. http://img.wikinut.com/img/3dp3.ai3ty0adjde/jpeg/0/Scurvy.jpeg
4. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/438830
5. http://www.redorbit.com/news/health/110093/gastrointestinal_beriberi_a_previously_unreco
gnized_syndrome/
- Miliaria pustolosa
Berasal dari miliaria rubra dimana
vesikelnya berubah menjadi pustule.
Gambaran histopatologi menunjukkan obstruksi kelenjar keringat di stratum spinosum.
- Miliaria profunda
Merupakan kelanjutan miliaria rubra berbentuk
papul, mirip folikulitis, dapat disertai pustule.
Gambaran histopatologi menunjukkan obstruksi
kelenjar keringat di dermo epidermal junction.
Referensi:
Ralston, Stuart H. (Feb 14, 2013). "Paget's Disease of Bone". New England Journal of
Medicine 368 (7): 644–650.
12. B. Abortus inkomplit
Klasifikasi Abortus
Abortus dapat dibagi atas dua golongan, yaitu:
Menurut terjadinya dibedakan atas:
1. Abortus spontan, yaitu abortus yang terjadi dengan sendirinya tanpa disengaja atau
dengan tidak didahului faktor-faktor mekanis atau medisinalis, semata-mata disebabkan
oleh faktor-faktor alamiah.
2. Abortus provokatus (induksi abortus) adalah abortus yang disengaja tanpa indikasi medis,
baik dengan memakai obat-obatan maupun dengan alat-alat.
Abortus ini terbagi lagi menjadi:
1) Abortus medisinalis (abortus therapeutica), yaitu abortus karena tindakan kita sendiri, dengan
alasan bila kehamilan dilanjutkan, dapat membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi medis).
Biasanya perlu mendapat persetujuan 2 sampai 3 tim dokter ahli.
2) Abortus kriminalis, yaitu abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal
atau tidak berdasarkan indikasi medis dan biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh
tenaga tradisional.
Pembagian abortus secara klinis adalah sebagai berikut:
1. Abortus Iminens merupakan tingkat permulaan dan ancaman terjadinya abortus, ditandai
perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam
kandungan.
2. Abortus Insipiens adalah abortus yang sedang mengancam ditandai dengan serviks telah
mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri
dan dalam proses pengeluaran.
3. Abortus Inkompletus adalah sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih
ada yang tertinggal.
4. Abortus Kompletus adalah seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan
kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.
5. Missed Abortion adalah abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal
dalam kehamilan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi seluruhnya masih tertahan
dalam kandungan.
6. Abortus Habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut-turut.
7. Abortus Infeksious ialah abortus yang disertai infeksi pada alat genitalia.
8. Abortus Terapeutik adalah abortus dengan induksi medis.
13. E. Terdapat kumpulan cairan di alveoli pada kanan dan kiri lapang paru
14. A. 10
Pembahasan:
Dari data tersebut dapat dibuat tabel berikut:
Campak
Jumlah
Positif Negatif
Vaksin (-) 100 (A) 990 (B) 1000
Vaksin (+) 10 (C) 900 (D) 1000
Total 110 1890 2000
Untuk menentukan faktor resiko kasus tersebut dengan menggunakan rumus :
RR = (A/A+B)
(C/C+D)
= (100/1000)
(10/1000)
= 10
15. D. Autonomy
Autonomi: prinsip tentang kemandirian, kebebasan, dan membiarkan inividu bebas
menentukan pilihn dan tindakan yang diinginkan.
Dalam kasus di atas pasien berhak menolak saran dokter untuk tidak dilakukan rawat inap.
Sehingga dokter harus menghormati dasar etika autonomi dalam menanggapi keputusan
pasien.
Sumber:
Hanafiah, MJ. 2009. Etika kedokteran dan Hukum Kesehatan. Edisi ke-4. Jakarta: EGC.
16. B. Kuning
Pembagian Triage:
Segera-Immediate (merah): pasien mengalami cedera mengancam jiwa yang
kemungkinan besar dapat hidup bila ditolong segera. Misalnya: Tension pneumothorax,
distress pernapasan (RR < 30x/mnt), perdarahan internal, dsb.
Tunda-Delayed (kuning): pasien memerlukan tindakan defintif tetapi tidak ada ancaman
jiwa segera. Misalnya: pendarahan laserasi terkontrol, fraktur tertutup pada ekstrimitas
dengan pendarahan terkontrol, luka bakar < 25% luas permukaan tubuh, dsb.
Minimal (hijau): pasien mendapat cedera minimal, dapat berjalan dan menolong diri
sendiri atau mencari pertolongan. Misalnya: Laserasi minor, memar dan lecet, luka bakar
superfisial.
Expextant (hitam): pasien mengalami cedera mematikan dan akan meninggal meski
mendapat pertolongan. Misalnya: luka bakar derajat 3 hampir di seluruh tubuh, kerusakan
organ vital, dsb.
Penderita/korban mendapatkan prioritas pelayanan dengan urutan warna: merah, kuning,
hijau, hitam.
1. Astigmatisme Myopia Simplek, atau simple atau sederhana, yaitu kondisi astigmatisme di
mana sinar yang jatuh ke mata satu meredian jatuh di retina dan satu lagi jatuh di depan
retina. Misal resepnya C-1.00×90
2. Astigmatisme Hypermetropia Simplek, di mana sinar yang jatuh ke mata satu meredian
jatuh di retina dan satunya jatuh di belakang retina. Misal resepnya C+1.00×90
3. Astigmatisme myopia kompositus, di mana kedua meredian sinar itu jatuh di depan retina.
Misal resepnya S-1.00-1.00×90
4. Astigmatisme hypermetropia kompositus, di mana kedua meredian sinar itu jatuh di
belakang retina. Misal resepnya S+1.00+1.00×90
5. Astigmatisme Mixtus, di mana sinar jatuh dengan satu meredian di depan retina dan satu
lagi di belakang retina. Misal resepnya S +1.00-1.00×90
Referensi:
Ilyas, Sidarta. dkk. 2002. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran.
Jakarta.
Profil farmakokinetik insulin kerja pendek (short acting). Terlihat lama kerja relatif 5-8
jam, dengan awitan kerja 30 – 60 menit, dan puncak kerja 2-4 jam.
Sesuai dengan penjelasan di atas dan informasi yang ada pada soal, maka insulin
yang tepat untuk anak ini adalah insulin intermediete.
Referensi:
Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 1. Ukk Endokrinologi Anak Dan Remaja,
Ikatan Dokter Anak Indonesia World Diabetes Foundation 2009.
Pada kasus di atas pemeriksaan karakteristik feses dan pemeriksaan fisik menunjukkan
adanya tanda dehidrasi, maka mengarah pada diare akut yang disebabkan oleh vibrio kolera.
Transmisi penularan kolera menularkan kolera adalah air atau makanan yang terkontaminasi
oleh bakteri Vibrio cholera. Vibrio cholera berkoloni pada mukosa usus halus. Setelah
mencapai usus halus, maka bakteri tersebut akan mengeluarkan toksin. Toksin yang
dilepaskan berupa enterotoksin. Toksin kolera dapat memengaruhi transpor cairan pada usus
halus dengan meningkatkan cAMP, sekresi, dan menghambat absorbs cairan.
Manifestasi klinis yang muncul adalah:
Diare cair dan muntah setelah masa inkubasi 6-72 jam
Diare cair dalam jumlah banyak
Konsistensi seperti air cucian beras
Berbau amis
Tenesmus (-)
Demam tidak tinggi
Tanda-tanda dehidrasi berat segera muncul: kesadaran menurun, takikardi, takipneu,
mata cekung, turgor kulit kembali lambat, oliguria. Kehilangan cairan dapat berlangsung
selama 7 hari.
Diagnosis pasti kolera ditegakkan dengan kultur tinja ditemukan adanya V.cholerae O1 atau
O139.
Rotavirus
Virus merupakan penyebab infeksi pada anak-anak. Rotavirus menyebabkan infeksi pada
epitel mukosa usus, infeksi sel-sel radang di lamina propia, pemendekan jonjot usus,
pembengkakan mitokondria, dan bentuk mikrovili tidak teratur, sehingga hal tersebut
mengakibatkan terjadinya gangguan absorbs cairan/elektrolit pada usus halus dan terjadinya
gangguan pencernaan makanan akibat kerusakan epitel mukosa.
Eschericia coli
Eschericia coli memiliki 5 golongan yang dapat meyebabkan diare, yaitu:
Enterotoxic E.coli (ETEC)
Memiliki 2 faktor virulensi yang penting, yaitu faktor kolonisasi yang menyebabkan
bakteri ini melekat pada eritrosit usus halus dan enterotoksin, yaitu heat labile (HL) dan
heat stabile (ST) yang menyebabkan sekresi cairan dan elektrolit yang menghasilkan
watery diarrhea. ETEC tidak menginvasi mukosa usus atau merusak mikrovili.
Enteropathogenic E.coli (EPEC)
Bakteri membentuk koloni di usus dan tidak mampu menembus dinding usus. Bakteri ini
sering menimbulkan manifestasi diare berair, disertai muntah, dan demam pada bayi dan
anak di bawah usia 2 tahun terutama bagi yang tidak minum ASI (proong diarrhea).
Enteroinvasive E.coli (EIEC)
Sering menyebabkan KLB karena keracunan makanan (food borne). Bakteri dapat
menembus mukos usus halus, berkoloni dan menyebabkan disentri basiler. Dalam
pemeriksaan feses sering ditemukan eritrosit dan leukosit.
Enteroadherent E.coli (EAEC)
Bakteri ini mengeluarkan sitotoksin yang menyebabkan diare berair sampai lebih dari 7
hari (prolonged diarrhea).
Enterohemoragic E.coli (EHEC)
Transmisi berupa daging yang kurang matang dimasak. Diare disertai nyeri perut hebat
(kolik, kram) tanpa atau disertai sedikit panas, diare cair, darah (+).
Sumber:
1. Sudoyo, A.W et al. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. Goldfinger SE: Constipation, Diarrhea, and Disturbance of Anorectal Function, In:
Barunwald, E, Isselbacher, K. J., Petersdorf, R. G., Wilson, J.D., Martin, J.B., Fauci AS
(Eds) : Harrison’s Principle of Internal Medicine, 11th Ed. McGrawHill book Company.
Sumber:
- Kaplan.H.I, Sadock. B.J, Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis,
edisi ketujuh, jilid satu. Binarupa Aksara, Jakarta 1997. hal 502-540.
- Ingram.I.M, Timbury.G.C, Mowbray.R.M, Catatan Kuliah Psikiatri, Edisi keenam,
cetakan ke dua, Penerbit Buku kedokteran, Jakarta 1995. hal 28-42.
- Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, Rusdi
Maslim.1993. hal 3
Referensi:
Headache Classification Subcommittee of the International Headache Society (2004). "The
International Classification of Headache Disorders: 2nd edition". Cephalalgia 24 (Suppl 1):
9–160.
Martin V, Elkind A. (2004) Diagnosis and classification of primary headache disorders. In:
Standards of care for headache diagnosis and treatment. Chicago (IL): National Headache
Foundation.
Gambar diperoleh dari https://uvahealth.com/services/neurosciences/conditions-and-
treatments/11515
Sumber:
Swento, R. et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 31- 42.
Referensi:
Madaio MP, Harrington JT. The diagnosis of glomerular diseases: acute glomerulonephritis and
the nephrotic syndrome. Arch Intern Med. 2001;161(1):25-34.
Rodriguez B, Mezzano S. Acute postinfectious glomerulonephritis. Dalam: Avner ED, Harmon
WE, Niaudet P, Yashikawa N, penyunting. Pediatric nephrology. edisi ke-6. Berlin: Springer;
2009. h. 743-55.
Smith JM, Faizan MK, Eddy AA. The child with acute nephritis syndrome. Dalam: Webb N,
Postlethwaite R, penyunting. Clinical paediatric nephrology. edisi ke-3. New York: Oxford;
2003. h. 367-80.
Hricik DE, Chung-Park M, Sedor JR. Glomerulonephritis. N Engl J Med. 1998;339(13):888-99.
25. C. STEMI
Infark myokard akut dengan elevasi segmen ST (ST-Elevation Myocardial Infarction)
merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari STEMI, Non
STEMI, dan Unstable angina. Diagnosis infark myokard akut ditegakkan berdasar
anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi segmen ST ≥ 2 mm,
minimal pada 2 sadapan prekordial yang berdampingan, atau ≥ 1mm pada 2 sadapan
ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat
diagnosis meskipun tanpa pemeriksaan cardiac enzym sekalipun diagnosis STEMI dapat
ditegakkan, mengingat terapi harus diberikan pada penderita sesegera mungkin. Prinsip
penatalaksanaan infark miokard adalah time is muscle.
Sebagian besar penderita STEMI akan mengalami evolusi pada pemeriksaan EKG dengan
munculnya gelombang Q, dan disebut sebagai Q-wave Myocardial Infarction, dan sebagian
kecil menetap menjadi Non Q-wave MI.
Normal ST Elevasi ST Elevasi; T T Inversi Q Patologis
inversi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak oleh oklusi
trombus pada plak aterosklerosis yang telah ada sebelumnya. Stenosis arteri yang
berkembang lambat biasanya tidak memicu STEMI, karena tumbuhnya pembuluh darah
kolateral yang mengompensasi. Jika obstruksi trombus bersifat parsial, sementara, atau
sirkulasi kolateral telah terbentuk maka pasien akan mengalami Non ST-Elevatin Acute
Coronary Syndrome (Non STEMI, Unstabla angina)
Referensi:
Alwi. I. 2006. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi Keempat – Jilid III. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
26. B. Rehidrasi 30 cc/kgBB/1 jam pertama di puskesmas, lalu dirujuk ke rumah sakit
Anak usia < 1 tahun keluhan buang air besar cair, frekuensi 5x/hari, muntah (+), malas minum.
Pemeriksan fisik: mata cekung, turgor kembali lambat, nadi lambat. Sesuai dengan definisinya,
anak ini mengalami diare cair akut, yaitu buang air besar lembek atau cair bahkan dapat berupa
air saja dengan frekuensi lebih dari 3 kali atau lebih sering dari biasanya dalam 24 jam dan
berlangsung kurang dari 14 hari.
Terdapat lima lintas tatalaksana diare yang direkomendasikan IDAI:
1. Rehidrasi
2. Dukung nutrisi
3. Suplemen zinc
4. Antibiotik selektif
5. Edukasi orang tua
Salah satu komplikasi diare yang paling sering adalah dehidrasi sehingga dalam pemberian
cairan yang tepat perlu disesuaikan dengan derajat diare:
KATEGORI TANDA DAN GEJALA
Dehidrasi berat 2 atau lebih tanda berikut:
Letargi atau penurunan kesadaran
Mata cowong
Tidak bisa minum atau malas
minum
Cubitan kulit kembali dengan sangat
lambat (> 2 detik)
Dehidrasi tak berat 2 atau lebih tanda berikut:
Gelisah
Mata cowong
Kehausan
Cubitan kulit kembali dengan sangat
lambat (> 2 detik)
Tanpa dehidrasi Tidak ada tanda gejala yang cukup untuk
mengelompokkan dalam dehidrasi berat
atau tak berat
Daftar pustaka:
Modul Diare. UKK Gastro-Hepatologi IDAI Edisi Pertama 2009.
27. E. Dermatografisme
Pembahasan:
Urtikaria adalah reaksi vaskuler di kulit yang ditandai dengan adanya edema setempat yang
timbul cepat dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, bagian tepi
meninggi, sekitarnya dapat dikelilingi halo. Keluhan subjektif berupa sensasi gatal disertai rasa
tertusuk atau tersengat.
Klasifikasi berdasrkan lamanya serangan dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Urtikaria akut (bila berlangsung < 6 minggu)
2. Urtikaria kronis (bila berlangsung > 6 minggu)
Kriteria diagnostik
- Keluhan subjektif: gatal, rasa panas, tersengat, terbakar atau tertusuk
- Predileksi: kulit dan mukosa, lokal maupun generalisata
- Urtikaria dengan atau tanpa angioedema, bila dengan angioedema dapat sulit bernapas,
juga dengan atau tanpa kelainan sistemik
- Bila mengenai submukosa, subkutis, dan organ lainnya dapat angioedema.
- Bentuk urtikaria: teratur atau tak beraturan
- Ukuran: bervariasi dari miliar, lentikuler sampai plakat
- Pada urtikaria fisik dapat berbentuk linear (dermografism) atau bentuk yang mengikuti
bentuk tekanan.
- Urtikaria akibat penyinaran biasanya berbentuk popular urtikaria, terjadi 18-72 jam
setelah paparan.
- Urtikaria kolinergik, timbul setelah berkeringat, gatal, ukurannya kecil kemudian meluas
dan melebar.
- Gejala sistemik yang menyertai: pusing, sakit kepala, mual dan muntah, nyeri perut dan
diare, serta dapat kesulitan bernapas.
Pemeriksaan penunjang:
- Pemeriksaan laboratorium darah rutin, urine, feses untuk mencari infeksi lokal
- Pemeriksaan jumlah eosinofil dalam darah tepi, kadar IgE dalam darah
- Pada dugaan urtikaria dingin: cyroglobulin, cold hemolysin
- Uji kulit dilakukan secara bertahap setelah tidak ada erupsi kulit (minimal 6 minggu
setelah lesi kulit hilang) dan memenuhi syarat uji kulit. Dilakukan ditahap lanjut: uji
dermografism, uji ice cube, uji temple tertutup, uji tusuk bila uji temple negative, uji
provokasi peroral bila uji tusuk negative, uji serum autolog. Tes foto temple dilakukan
pada urtikaria akibat fotosensitivitas.
- Tes mecholyl intradermal bila diduga urtikaria kolinergik.
- Uji eliminasi makanan bila diduga alergi terhadap makanan.
Sehingga pemeriksaan yang dapat dilakukan pada skenario tersebut adalah dengan
dermatografisme.
28. C. Mengatakan bahwa tidak terjadi apa-apa dengan pasien, hal ini wajar pada setiap wanita
dan berlangsung fisiologis
Klimakterium merupakan masa peralihan antara masa reproduksi dan masa senium.
Menopause adalah haid terakhir atau saat terjadinya haid terakhir. Bagian klimakterium sebelum
menopause disebut premenopause dan sesudah menopause adalah pascamenopause.
Senium adalah masa sesudah pascamenopause, ketika telah tercapai keseimbangan baru dalam
kehidupan wanita, sehingga tidak ada lagi gangguan vegetatif maupun psikis.
Klimakterium bukan suatu keadaan patologik, melainkan suatu masa peralihan yang normal,
yang berlangsung beberapa tahun sebelum dan beberapa tahun sesudah menopause. Pada wanita
dalam klimakterium terjadi perubahan-perubahan tertentu yang dapat menimbulkan gangguan-
gangguan ringan atau kadang-kadang berat. Perubahan dan gangguan itu sifatnya berbeda-beda
menurut waktunya klimakterium. Pada permulaan klimakterium kesuburan menurun, pada masa
pramenopause terjadi kelainan pendarahan, sedangkan terutama pada masa pascamenopause
terdapat gangguan vegetatif, psikis, dan organis. Gangguan vegetatif biasanya berupa rasa panas
dengan keluarnya keringat malam, dan perasaan jantung berdebar-debar. Dalam masa
pascamenopause, dan seterusnya dalam senium, terjadi atrofi alat-alat genital.
Referensi: Hanifa Wiknjosatro, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2005. Ilmu
Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Berdasarkan hasil pemeriksaan di atas didapatkan bahwa bayi tersebut mengalami sindrom
gawat napas yang dapat disebabkan karena bayi lahir saat umur kehamilan ibu 34 minggu
sehingga paru-paru belum matur sehingga menyebabkan bayi mengalami gawat napas.
Sindrom gawat napas (juga dikenal sebagai idiopathic respiratory distress syndrome)
Respiratory Distress Syndrome adalah penyakit yang disebabkan oleh ketidakmaturan dari sel
tipe II dan ketidakmampuan sel tersebut untuk menghasilkan surfaktan yang memadai.
Gangguan pernapasan ini sering terjadi pada bayi premature dengan tanda-tanda takipnoe (> 60
x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara kamar, yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam
kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik. Tanda-tanda klinik sesuai dengan besarnya bayi,
berat penyakit, adanya infeksi dan ada tidaknya shunting darah melalui PDA.
Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila didapatkan sesak napas berat
(dyspnea), frekuensi napas meningkat (tachypnea), sianosis yang menetap dengan terapi oksigen,
penurunan daya pengembangan paru,adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata pada foto
thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular, pendarahan, edema paru, dan adanya hyaline
membran pada saat otopsi.
Sindrom gawat napas (RDS) (juga dikenal sebagai idiopathic respiratory distress syndrome)
adalah sekumpulan temuan klinis, radiologis, dan histologis yang terjadi terutama akibat
ketidakmaturan paru dengan unit pernapasan yang kecil dan sulit mengembang dan tidak
menyisakan udara di antara usaha napas. Istilah-istilah Hyaline Membrane Disease (HMD)
sering kali digunakan saling bertukar dengan RDS.
Etiologi
RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya produksi surfaktan.
Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, makin muda usia kehamilan,
makin besar pula kemungkinan terjadi RDS. Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan
pada RDS, yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesarea. Surfaktan
biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli
tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur di mana surfaktan masih belum
berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak napas.
Gejala tersebut biasanya muncul segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.
RDS merupakan penyebab utama kematian bayi prematur. Sindrom ini dapat terjadi karena ada
kelainan di dalam atau diluar paru, sehingga tindakan disesuaikan dengan penyebab sindrom ini.
Kelainan dalam paru yang menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum,
penyakit membran hialin (PMH).
Patofisiologi
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli
masih kecil sehingga kesulitan berkembang, pengembangan kurang sempurna kerana dinding
thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan
kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan
fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal,
pernapasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat,
hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik.
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein , lipoprotein ini
berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara
makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh
sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara
histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bahagian distal menyebabkan edema
interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel
alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi
surfaktan ini.
Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan keracunan
oksigen, menyebabkan kerosakan pada endothelial dan epithelial sel jalan pernapasan bagian
distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline
yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik
dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah
komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari
ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD).
Manifestasi Klinis
Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat dipengaruhi oleh tingkat
maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia kehamilan, semakin berat gejala klinis yang
ditujukan.
Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerosakan sel dan
selanjutnya menyebabkan kebocoran serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat
fungsi surfaktan. Gejala klinis yang timbul yaitu : adanya sesak napas pada bayi prematur segera
setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/minit), pernapasan cuping hidung, grunting,
retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir.
Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS, yaitu:
1) Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara.
2) Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran
airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi
bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
3) Alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat lebih opaque dan
bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih luas.
4) Seluruh thorax sangat opaque (white lung) sehingga jantung tak dapat dilihat.
0 1 2
Frekuensi < 60x/menit 60-80 x/menit > 80x/menit
Napas
Retraksi Tidak ada Retraksi ringan Retraksi berat
retraksi
Sianosis Tidak sianosis Sianosis hilang dengan O2 Sianosis menetap
walaupun diberi
O2
Air Entry Udara masuk Penurunan ringan udara masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar dengan Dapat didengar
stetoskop tanpa alat bantu
Penunjang/Diagnostik
Laboratory Evaluation for Respiratory Distress in the Newborn
Test Indication
Blood culture May indicate bacteremia Not helpful initially because results may
take 48 hours
Blood gas Used to assess degree of hypoxemia if arterial sampling, or
acid/base status if capillary sampling (capillary sample usually
used unless high oxygen requirement)
Blood glucose Hypoglycemia can cause or aggravate tachypnea
Chest radiography Used to differentiate various types of respiratory distress
Complete blood Leukocytosis or bandemia indicates stress or infection
count with
differential
Neutropenia correlates with bacterial infection
Low hemoglobin level shows anemia
High hemoglobin level occurs in polycythemia
Low platelet level occurs in sepsis
Lumbar puncture If meningitis is suspected
Pulse oximetry Used to detect hypoxia and need for oxygen supplementation
Komplikasi Penyakit
Komplikasi jangka pendek dapat terjadi:
1. Kebocoran alveoli: apabila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak,
pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema interstisial), pada bayi dengan RDS yang
tiba-tiba memburuk dengan gejala klinikal hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis
yang menetap.
2. Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya perubahan jumlah
leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana tindakan invasiv seperti pemasangan
jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi.
3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular: pendarahan intraventrikuler terjadi
pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi
mekanik.
Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh keracunan oksigen, tekanan yang tinggi dalam
paru, memberatkan penyakit dan kekurangan oksigen yang menuju ke otak dan organ lain.
Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi:
1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan
pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan
tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik,
adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya
masa gestasi.
2. Retinopathy of Premature (ROP)
3. Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan masa
gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.
Referensi:
HanifaWiknjosatro, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2006. Ilmu Kebidanan.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta
Arief Mansjoer. 2008. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI.
30. B. 5/10
Pembahasan:
- Case Fatality Rate
adalah persentase angka kematian oleh sebab penyakit tertentu, untuk menentukan
kegawatan/keganasan penyakit tersebut.
jumlah kematian penyakit X
CFR 100%
jumlah kasus penyakit X
Sehingga berdasarkan kasus tersebut CFR = 5/10
- Crude Death Rate
adalah angka kematian kasar atau jumlah seluruh kematian selama satu tahun dibagi
jumlah penduduk pada pertengahan tahun.
jumlah semua kematian
CDR k (konstanta)
jumlah semua penduduk
jumlah semua kematian
CDR k (konstanta)
jumlah semua penduduk
- Maternal Mortality Rate
Angka kematian ibu adalah jumlah kematian ibu oleh sebab kehamilan/melahirkan/nifas
(sampai 42 hari post partum) per 100.000 kelahiran hidup.
jumlah kematian ibu
MMR 100.000
jumlah kelahiran hidup
Kontraksi otot normalnya terjadi setelah aktivasi reseptor acetylcholin post sinap
menyebabkan influx ion Na+ ke dalam sel sehingga terjadi depolarisasi sel otot diikuti
terbukanya kanal natrium, diikuti keluarnya kalsium dari retikulum sarkoplasma. Ketika
jumlah kalsium dalam otot telah mencapai threshold, maka terjadi kontraksi otot. Penurunan
jumlah reseptor acetylcholin karena antibodi yang terbentuk pada MG mengakibatkan
gangguan kontraksi karena depolarisasi tidak terjadi.
Otot-otot kecil seperti otot ocular dan bulbar merupakan bagian yang paling umum terimbas
dan paling berat gejalanya, meskipun kebanyakan penderitanya mengalami kelemahan
umum dengan berbagai tingkat keparahan. Myasthenia gravis dapat berevolusi menjadi
kegawatan yang mengancam jiwa apabila terjadi perburukan akut menyebabkan kelemahan
generalisata terutama otot-otot pernapasan.
Myasthenia Gravis kini merupakan keadaan yang dapat diobati bahkan disembuhkan, terapi
farmakologi seperti anticholinesterase yang mencegah degradasi acetylcholin, obat-obat
antisupresan untuk mencegah terbentuknya antibodi, dan terapi plasmapharesis serta
imunoglobulin intravena (IVIG) telah tersedia pada masa sekarang.
Referensi:
Grob D, Brunner N, Namba T, Pagala M. 2008. Lifetime course of myasthenia
gravis. Muscle Nerve;37(2):141-9.
McGrogan A, Sneddon S, de Vries CS. 2010. "The incidence of myasthenia gravis: a
systematic literature review".Neuroepidemiology 34 (3): 171–183
Gambar diperoleh dari http://jama.jamanetwork.com/article.aspx?articleid=200734
Sumber:
- Anonima, Mental Health: Factitious Disorder, August 08th, 2006, available at
http://www.webmd.com/content/article/60/67132.htm
- Elwyn, Todd S., Factitious Disorders, April 13th, 2006, available at
http://www.emedicine.com/cgi-bin/foxweb.exe
33. A. Keratitis
Bakteri gram negatif
Disebut bakteri gram negatif karena bakteri ini mempunyai sifat kebalikan dari bakteri gram
positif, yaitu apabila bakteri tersebut diberi pewarna gram dan diamati dengan menggunakan
mikroskop maka warnanya akan berubah menjadi merah. Hal ini terjadi karena bakteri gram
negatif memiliki struktur lapisan peptidoglikan yang sangat tipis serta kandungan lemak
penyusun dindingnya sangat tinggi. Beberapa contoh bakteri yang termasuk bakteri gram negatif
adalah Salmonella typhi, Eschericia coli, Pseudomonas aeruginosa, dan Klebsiella pneumonia.
Kelompok Obat
Amikacin, Astromicin, Dibekacin, Dihydrostreptomycin,
Framycetin, Gentamicin, Isepamicin, Kanamycin,Micronomicin,
Aminoglycosides
Neomycin, Netilmicin, Paromomycin, Sisomicin, Streptomycin,
Tobramycin
Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada kornea yang akan
mengakibatkan kornea menjadi keruh. Akibat terjadinya kekeruhan pada media kornea ini, maka
tajam penglihatan akan menurun. Mata merah pada keratitis terjadi akibat injeksi pembuluh
darah perikorneal yang dalam atau injeksi siliar.
Keratitis biasanya diklasifikasikan dalam lapis yang terkena seperti keratitis superfisial dan
profunda atau interstisial (Ilyas, 2004)
Menurut Biswell (2010), keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal.
1. Berdasarkan lapisan yang terkena.
Keratitis dibagi menjadi:
a. Keratitis Pungtata (Keratitis Pungtata Superfisial dan Keratitis Pungtata Subepitel)
Keratitis pungtata adalah keratitis dengan infiltrat halus pada kornea yang dapat terletak
superfisial dan subepitel (Ilyas, 2004).
b. Keratitis Marginal
Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan limbus. Penyakit infeksi
lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis kataral atau keratitis marginal ini. Keratitis
marginal kataral biasanya terdapat pada pasien setengah umur dengan adanya
blefarokonjungtivitis (Ilyas, 2004).
c. Keratitis Interstisial
Keratitis interstitial adalah kondisi serius di mana masuknya pembuluh darah ke dalam
kornea dan dapat menyebabkan hilangnya transparansi kornea. Keratitis interstitial dapat
berlanjut menjadi kebutaan. Sifilis adalah penyebab paling sering dari keratitis interstitial
(Hollwich, 1993).
2. Berdasarkan penyebabnya
Keratitis diklasifikasikan menjadi:
a. Keratitis Bakteri
Etiologi
Menurut American Academy of Ophthalmology (2009).
Gejala klinis
Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada mata yang terinfeksi,
penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan menjadi kabur (Kanski, 2005). Pada
pemeriksaan bola mata eksternal ditemukan hiperemis perikornea, blefarospasme, edema kornea,
infiltrasi kornea.
Pemeriksaan laboratorium
Menurut Kanski (2005) pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan menggores ulkus kornea
dan bagian tepinya dengan menggunakan spatula steril kemudian ditanam di media cokelat
(untuk Neisseria, Haemophillus dan Moraxella sp), agar darah (untuk kebanyakan jamur, dan
bakteri kecuali Neisseria) dan agar Sabouraud (untuk jamur, media ini diinkubasi pada suhu
kamar). Kemudian dilakukan pewarnaan Gram (Biswell, 2010).
b. Keratitis Jamur
Infeksi jamur pada kornea yang dapat disebut juga mycotic keratitis (Dorland, 2000).
Etiologi
Menurut Susetio (1993), secara ringkas dapat dibedakan:
1) Jamur berfilamen (filamentous fungi): bersifat multiseluler dengan cabang-cabang hifa.
2) Jamur bersepta: Furasium sp., Acremonium sp., Aspergillus sp., Cladosporium sp.,
Penicillium sp., Paecilomyces sp., Phialophora sp., Curvularia sp., Altenaria sp..
3) Jamur tidak bersepta: Mucor sp., Rhizopus sp., Absidia sp.
4) Jamur ragi (yeast), yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas: Candida albicans,
Cryptococcus sp., Rodotolura sp.
5) Jamur difasik. Pada jaringan hidup membentuk ragi sedang media pembiakan membentuk
miselium : Blastomices sp., Coccidiodidies sp., Histoplastoma sp., Sporothrix sp.
Gejala klinis
Menurut Susetio (1993) untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut:
1) Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.
2) Lesi satelit.
3) Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti hifa di bawah
endotel utuh.
4) Plak endotel.
5) Hipopion, kadang-kadang rekuren.
6) Formasi cincin sekeliling ulkus.
7) Lesi kornea yang indolen.
Pengenceran CES
Referensi:
Ganong, W.F. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 20. EGC.
Guyton, Arthur C. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta: EGC.
Info tambaha : Seringkali muncul pertanyaan mengenai hernia inguinalis dan membedakan
antara hernia inguinalis direk dan indirek. Berikut dilampirkan pembahasan singkat.
Sumber:
1. Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Jakarta, EGC,
Hal: 523-537
2. Sabiston. 1995. Buku Ajar Ilmu Bedah, bagian I, cetakan ke-dua. Jakarta : EGC. Hal :
228, 243.
3. Henry MM, Thompson JN. 2005. Principles of Surgery, 2nd edition, Elsevier Saunders,
page 431-445.
37. A. Paraphimosis
Parafimosis adalah keadaan di mana preputium tidak dapat ditarik ke depan (distal)/menutup.
Pada keadaan ini, glans penis atau batang penis dapat terjepit oleh prepusium yang bengkak.
Keadaan ini paling sering oleh peradangan. Pada parafimosis sebaiknya kita melakukan reduksi
sebelum disirkumsisi (Bachsinar, tahun 1993).
Balanitis adalah infeksi pada glans penis (kepala penis) yang dapat terjadi pada mereka yang
tidak bersunat karena masalah higiene yang buruk. Gejalanya berupa bengkak pada kepala penis
dan bisa disertai nyeri. Umum dialami pada pria, khususnya pria yang tidak disunat. Biasanya
infeksi ini disebabkan oleh preputium atau kulup yang menutupi glans penis dan jarang
dibersihkan dan menjadi tempat berkumpulnya smegma, suatu lapisan pelumas bersifat lemak
yang karena bercampur dengan tetesan urine dapat menimbulkan bau tak sedap. Akumulasi
smegma yang berlebihan dapat menciptakan suatu kondisi bernama balanitis, suatu peradangan
akibat keikutsertaan bakteri dalam tumpukan smegma menginfeksi glans penis.
Hidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan di antara lapisan parietalis dan viseralis
tunika vaginalis. Dalam keadaan normal, cairan yang berada di dalam rongga itu memang ada
dan berada dalam keseimbangan antara produksi dan reabsorbsi oleh sistem limfatik di
sekitarnya.
Pasien mengeluh adanya benjolan di kantong skrotum yang tidak nyeri. Pada pemeriksaan fisis
didapatkan adanya benjolan di kantong skrotum dengan konsistensi kistus dan pada pemeriksaan
penerawangan menunjukkan adanya transiluminasi.
Orchitis (orkitis) adalah infeksi pada salah satu atau kedua testis.
Penyebab Orchitis, antara lain:
Sebagian orchitis berhubungan dengan penyakit Gondongan (Mumps, Parotitis).
Disebutkan bahwa 30 % penderita Gondongan dapat mengalami Orchitis pada hari ke 4
hingga hari ke 7. Ini terjadi karena penjalaran infeksi melalui aliran getah bening.
Virus-virus lain yang berbungan dengan Orchitis di antaranya Coxsackievirus, Varicella,
dan Echovirus.
Bakteri: Orchitis oleh bakteri pada umumnya merupakan penyebaran epididymitis, yakni
infeksi epididimis (saluran sperma yang menempel di bagian atas testis).
Referensi:
Kumar, V., Abbas, A. K., Fausto, N. & Aster, J. C. 2010. Robbins and Cotran Pathological
Basis of Disease. 8 edn, (Saunders Elseveir).
McConnell, T. H. 2007. The Nature of Disease: Pathology for the Health Professional.
(Lippincott Williams & Wilkins).
39. D. 5 cc/KgBB/jam
Pendekatan diagnosis demam:
Algoritma Kasus (Susyanto,2011)
Demam 1-7 hari
Tidak Ya
Ya Tidak ada
Ya Tidak ada
DF
DHF
Tentukan derajat
DHF
Tentukan tatalaksana
Trombositopenia (100 000/μl atau
kurang)
Adanya kebocoran plasma karena
peningkatan permeabilitas kapiler, dengan
manifestasi sebagai berikut:
Kriteria Laboratorium - Peningkatan hematokrit ≥ 20% dari
nilai standar
- Penurunan hematokrit ≥ 20%, setelah
mendapat terapi cairan
- Efusi pleura/perikardial, asites,
hipoproteinemia.
DIAGNOSIS DITEGAKKAN JIKA MEMENUHI KRITERIA:
2 DARI KRITERIA KLINIS + THROMBOSITOPENIA DAN HEMOKONSENTRASI
ATAU PENINGKATAN HEMATOKRIT HEMATOKRIT
Berdasarkan analisis di atas, anak dalam kasus ini mengalami Anemia Defisiensi Besi,
(thalasemia disingkirkan karena tidak ada hepatosplemomegali) sesuai teori pada anamnesa
ditemukan gejala dan tanda sebagai berikut:
a. Keluhan anemia pada umumnya: iritabel, lesu, cepat lelah, kurang perhatian,
perkembangan kepandaian lambat, Hb rendah.
b. Kardiomegali, bising sistolik, gangguan pertumbuhan epitel.
c. Glositis, stomatitis, atropi papil lidah, sudut bibir pecah-pecah.
Penatalaksanaan anemia:
Berdasarkan WHO (2013), Anak (umur < 6 tahun) menderita anemia jika kadar Hb < 9,3 g/dl
(kira-kira sama dengan nilai Ht < 27%) tanpa gizi buruk, maka anemia diterapi dirumah
dengan zat besi (tablet besi/folat atau sirup setiap hari) selama 14 hari.
Indikasi transfusi:
Beri transfusi darah sesegera mungkin untuk:
Semua anak dengan kadar Ht ≤ 12% atau Hb ≤ 4 g/dl
anak dengan anemi tidak berat (haematokrit 13–18%; Hb 4–6 g/dl) dengan beberapa
tampilan klinis berikut:
o Dehidrasi yang terlihat secara klinis
o Syok
o Gangguan kesadaran
o Gagal jantung
o Pernapasan yang dalam dan berat
o Parasitemia malaria yang sangat tinggi (>10% sel merah berparasit).
Derajat bising, yang dibagi dalam skala 1-6:
1. Derajat I, bising sangat lemah yang hanya terdengar oleh pemeriksa yang berpengalaman
di tempat yang tenang.
2. Derajat II, bising lemah tapi mudah di dengar, penjalaran terbatas.
3. Derajat III, bising cukup keras, tidak disertai dengan getaran bising, penjalaran sedang
sampai luas.
4. Derajat IV, bising yang keras dengan disertai getaran bising, penjalaran luas.
5. Derajat V, bising keras, yang juga terdengar meskipun stetoskop tidak seluruhnya
menempel di dinding thoraks, penjalaran luas.
6. Derajat VI, bising sangat keras, terdengar bila stetoskop diangkat 1 cm dari dinding
thoraks, Penjalaran sangat luas.
Daftar Pustaka:
1. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid I, 2010.
2. World Health Organization.2013.Pocket book of hospital care for children: guidelines for the
management of common childhood illnesses – 2nd ed
3. Schrier SL. 2011. Approach to the adult patient with anemia. www.uptodate.com
4. Perkins S. Diagnosis of anemia. Sneek Peek Prac Diag of Hem Disorders, p : 3-16.
5. Markum. H.M.S. 2005. Anamnesis dan Pemriksaan Fisis. Hal; 95-100, Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
6. Nathan DG, Orkin SH, Oski FA, Ginsburg D. 2008. Nathan and Oski’s Hematology of Infancy
and Childhood. 7th ed. Philadelphia: Saunders.
41. C. Pemberian cairan intravena 250 cc dalam 1 jam pertama, dilanjutkan 600 cc dalam 5 jam
pertama
Pada kasus di atas anak mengalami diare dengan dehidrasi berat. Hal tersebut ditunjukkan
dengan adanya anak tampak lemas, tidak mau menyusu, dan turgor elastisitas kulit kembali
sangat lambat ≥ 2 detik.
Sumber:
World Health Organization. 2013. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit
Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten. Jakarta: WHO Indonesia.
42. C. Karbunkel
Pembahasan:
Folikulitis adalah suatu infeksi epidermis
pada folikel rambut yang disebabkan oleh
Staphylococus aureus gram positif.
Terdapat dua tipe, yaitu folikulitis
superfisialis dan folikulitis profunda. Lesi
berupa pustul dengan dasar eritematosa dan
predileksi paling sering pada kulit kepala
dan ekstremitas. Faktor yang
mempengaruhi timbulnya folikulitis
diantaranya adalah paparan senyawa kimia
ditempat kerja, penggunaan steroid topikal
yang berdosis tinggi, higiene yang buruk,
DM, kelelahan dan kurang gizi.
43. B. Kondom
Pada umumnya klien pascapersalinan ingin menunda kehamilan berikutnya paling sedikit 2
tahun lagi, atau tidak ingin tambahan anak lagi. Konseling tentang keluarga berencana atau
metode kontrasepsi sebaiknya diberikan sewaktu asuhan antenatal maupun pascapersalinan.
Klien pascapersalinan dianjurkan:
Memberi ASI eksklusif (hanya memberi ASI saja) kepada bayi sejak lahir sampai berusia
6 bulan. Sesudah bayi berusia 6 bulan diberikan makanan pendamping ASI, dengan
pemberian ASI diteruskan sampai anak berusia 2 tahun.
Tidak menghentikan ASI untuk mulai suatu metode kontrasepsi.
Metode kontrasepsi pada klien menyusui dipilih agar tidak mempengaruhi ASI atau
kesehatan bayi.
INFERTILITAS PASCAPERSALINAN
Pada klien pascapersalinan yang tidak menyusui, masa infertilitas rata-rata berlangsung
sekitar 6 minggu.
Pada klien pascapersalinan yang menyusui, masa infertilitas lebih lama. Namun,
kembalinya kesuburan tidak dapat diperkirakan.
METODE AMENOREA LAKTASI (MAL)
Menyusui secara eksklusif merupakan suatu metode kontrasepsi sementara yang cukup
efektif, selama klien belum mendapat haid, dan waktunya kurang dari 6 bulan
pascapersalinan. Efektivitas dapat mencapai 98%.
Efektif bila menyusui lebih dari 8 kali sehari dan bayi mendapat cukup asupan per
laktasi.
SAAT MULAI MENGGUNAKAN KONTRASEPSI
Waktu mulai kontrasepsi pasca persalinan tergantung dari status menyusui. Metode yang
langsung dapat digunakan adalah:
Spermisida
Kondom
Koitus interuptus
Klien menyusui:
Klien menyusui tidak memerlukan kontrasepsi pada 6 minggu pascapersalinan. Pada
klien yang menggunakan MAL waktu tersebut dapat sampai 6 bulan.
Jika klien menginginkan metode selain MAL, perlu didiskusikan efek samping metode
kontrasepsi tersebut terhadap laktasi dan kesehatan bayi. Sebagai contoh pil kombinasi
dan suntikan kombinasi merupakan pilihan terakhir. Pil kombinasi, meskipun dengan pil
dosis rendah (30-35 µg EE) akan mengurangi produksi ASI, dan secara teoritis akan
berpengaruh terhadap pertumbuhan normal bayi pada 6-8 minggu pascapersalinan.
Tunggulah 8-12 minggu pascapersalinan sebelum mulai pil kombinasi atau suntikan
kombinasi.
Referensi: Abdul Bari Saifuddin, dkk. 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi Edisi
2. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
44. C. Pertusis
Diagnosis Banding Batuk Kronik
Pertusis yang berat terjadi pada bayi muda yang belum pernah diberi imunisasi. Setelah masa
inkubasi 7-10 hari, anak timbul demam, biasanya disertai batuk dan keluar cairan hidung yang
secara klinik sulit dibedakan dari batuk dan pilek biasa. Pada minggu ke-2, timbul batuk
paroksismal yang dapat dikenali sebagai pertusis. Batuk dapat berlanjut sampai 3 bulan atau
lebih. Anak infeksius selama 2 minggu sampai 3 bulan setelah terjadinya penyakit.
Diagnosis
Curiga pertusis jika anak batuk berat lebih dari 2 minggu, terutama jika penyakit diketahui
terjadi lokal. Tanda diagnostik yang paling berguna:
Batuk paroksismal diikuti suara whoop saat inspirasi, sering disertai muntah
Perdarahan subkonjungtiva
Anak tidak atau belum lengkap diimunisasi terhadap pertusis
Bayi muda mungkin tidak disertai whoop, akan tetapi batuk yang diikuti oleh berhentinya
napas atau sianosis, atau napas berhenti tanpa batuk. Periksa anak untuk tanda pneumonia
dan tanyakan tentang kejang.
45. B. M. leprae
Pembahasan:
Kriteria diagnosis Morbus Hansen (lepra, kusta), berdasarkan kriteria WHO 1997 terdapat
tanda cardinal berupa:
- Kelainan kulit hipopigmentasi atau eritematosa dengan anestesi yang jelas.
- Kelainan syaraf tepi berupa penebalan syaraf dengan anastesi.
- Hapusan kulit positif untuk kuman tahan asam.
Diagnosis ditegakkan bila dijumpai 1 tanda utama tersebut.
Penyebab MH adalah Mycobacterium leprae yang bersifat interseluler obligat, basil tahan
asam, 1 – 8 x 0,2 – 0,5 mikron. Pada pemeriksaan histopatologik akan didapatkan sel
Virchow (sel lepra, sel busa)
Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)
Pausi Basiler (PB) Multi Basiler (MB)
1. Lesi Kulit - 1-5 lesi - >5
- Distribusi tidak - Distribusi lebih
simetris simetris
- Hilangnya - Hilangnya
sensasi yang sensasi kurang
jelas jelas
2. Kerusakan saraf (menyebabkan - Hanya 1 - Banyak cabang
hilangnya sensansi / kelemahan otot cabang saraf saraf
yang dipersarafi oleh saraf yang
terkena)
3. BTA - +
Penatalaksanaan:
Diberikan berdasarkan regimen Multi Drug Therapy (MDT)
1. Pausibasiler
- Rifampisin 600 mg/bulan, diminum di depan petugas
- DDS 100 mg/bulan
A. Pengobatan diberikan teratur selama 6 bulan dan diselesaikan dalam waktu
maksimal 9 bulan.
2. Multibasiler
- Rifampisin 600 mg/bulan, dosis tunggal
- Lamprene 300 mg/hari, dosis tunggal
Ditambahkan
- Lamprene 50 mg/hari
- DDS 100/hari
A. Pengobatan dilakukan secara teratur sebanyak 12 dosis (bulan) dan
diselesaikan dalam waktu maksimal 18 bulan. Setelah selesai 12 dosis
dinyatakan Release From Treatment (RTF), meskipun secara klinis lesinya
masih aktif dan BTA (+).
Sumber:
- Kokasih, A et all. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edn. Jakrta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 73-88
- Barakbah, Jusuf et all. 2008. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Surabaya: Airlangga
University Press. Hal 41-54
- WHO, diambil dari: http://www.who.int/lep/resources/Guide_Int_E.pdf
46. D. Hookworm
Hookworm
Telur cacing tambang sulit dibedakan, karena itu apabila ditemukan dalam tinja disebut sebagai
telur hookworm atau telur cacing tambang. Telur cacing tambang besarnya ±60 x 40 mikron,
berbentuk oval, dinding tipis dan rata, warna putih. Di dalam telur terdapat 4-8 sel. Dalam waktu
1-1,5 hari setelah dikeluarkan melalui tinja maka keluarlah larva rhabditiform. Larva pada
stadium rhabditiform dari cacing tambang sulit dibedakan. Panjangnya 250 mikron, ekor runcing
dan mulut terbuka. Larva pada stadium filariform (Infective larvae) panjangnya 600-700
mikron, mulut tertutup ekor runcing dan panjang oesophagus 1/3 dari panjang badan.
(Gandahusada 2006; Prasetyo, 2003)
Trichuris trichiura
Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3.000-10.000 butir.
Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam
penonjolan pada kedua kutub dan dilengkapi dengan tutup (operkulum) dari bahan mucus yang
jernih. Kulit telur bagian luar berwarna kekuningan dan bagian dalamnya jernih. Telur yang
dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut matang dalam waktu 3-6 minggu
dalam lingkungan yang sesuai, yaitu tanah yang lembap dan tempat yang teduh. (Gandahusada,
2006 dan Prasetyo, 2003)
47. A. Ergotamin
Migrain merupakan sebuah gangguan kompleks yang ditandai oleh perulangan episode nyeri
kepala, unilateral, dan dalam beberapa keadaan berhubungan dengan gejala visual dan sensori-
dikenal dengan aura, yang sering muncul mendahului nyeri kepala namun dapat pula terjadi
setelah serangan. Secara epidemiologi, migraine lebih banyak terjadi pada perempuan dan
diduga kuat berhubungan dengan faktor genetik.
Pengobatan migraine terdiri dari terapi pada keadaan akut (abortive) dan preventif
(profilaktik). Pasien dengan serangan berulang seringnya memerlukan keduanya.
Penelusuran faktor pencetus migrain juga harus diidentifikasi untuk meminimalkan serangan
ulang.
Pengobatan dalam keadaan akut, bertujuan untuk membalikkan atau setidaknya
menghentikan progresivitas nyeri kepala yang berlangsung. Pengobatan preventif tidak
diberikan pada saat serangan, bertujuan untuk mengurangi frekuensi dan keparahan serangan
migraine, dan apabila terjadi episode serangan maka penderita akan lebih responsive
terhadap pengobatan abortive.
Prioritas pengobatan pada keadaan serangan seperti pada kasus selain terapi farmakologi
juga meliputi menyediakan lingkungan yang mendukung seperti ruang istirahat yang gelap
dan sunyi, karena penderita migrain dalam serangan serin mengalami photophobia dan
phonophobia. Sejumlah pengobatan abortive dapat digunakan dalam keadaan serangan baik
berupa analgesik tunggal ataupun dalam kombinasi dengan senyawa lain, selain itu terdapat
pula golongan obat migraine-specific seperti triptan dan ergot alkaloid.
Ergot dan dihydroergotamine merupakan pengobatan yang telah lama ada untuk migraine,
dan terbukti memiliki efektivitas yang setara, dan harga yang lebih murah dibandingkam
golongan triptan yang lebih baru.
Referensi:
American Academy of Neurology. 1995. Practice parameter: appropriate use of
ergotamine tartrate and dihydroergotamine in the treatment of migraine and status
migrainosus (summary statement). Report of the Quality Standards Subcommittee of the
American Academy of Neurology. Neurology;45(3 Pt 1):585-7.
Bartleson JD, Cutrer FM. 2010. "Migraine update. Diagnosis and treatment". Minn
Med 93 (5): 36–41.
Referensi:
Ahmed Z, Spencer S.S 2004. An Approach to the Evaluation of a Patient for Seizures and
Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 103(1) : 49-55.
Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors). 2003.: Pedoman Tatalaksana
Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi.
50. B. Anticholinergik
Pembahasan:
Gejala ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu kelompok atau reaksi yang ditimbulkan
oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik. Gejala
ekstrapiramidal sering di bagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia akut, tardiv
diskinesia, akatisia, dan parkinsonism (Sindrom Parkinson).
a) Reaksi Distonia Akut (ADR)
Keadaan ini merupakan spasme atau kontraksi involunter, akut dari satu atau lebih
kelompok otot skelet yang lazimnya timbul dalam beberapa menit. Kelompok otot yang
paling sering terlibat adalah otot wajah, leher, lidah atau otot ekstraokuler,
bermanifestasi sebagai tortikolis, disastria bicara, krisis okulogirik dan sikap badan yang
tidak biasa. Suatu ADR lazimnya mengganggu sekali bagi pasien. Dapat nyeri atau
bahkan dapat mengancam kehidupan dengan gejala-gejala seperti distonia laring atau
diafragmatik. Reaksi distonia akut sering sekali terjadi dalam satu atau dua hari setelah
pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Keadaan ini terjadi pada kira-kira
10% pasien, lebih lazim pada pria muda, dan lebih sering dengan neuroleptik dosis
tinggi yang berpotensi lebih tinggi, seperti haloperidol dan flufenazine.
b) Akatisia
EPS ini merupakan yang paling sering terjadi. Kemungkinan terjadi pada sebagian
besar pasien yang diobati dengan medikasi neuroleptik, terutama pada populasi pasien
lebih muda. Terdiri dari perasaan dalam yang gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk
tetap bergerak. Juga telah dilaporkan sebagai rasa gatal pada otot. Pasien dapat
mengeluh karena anxietas atau kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai
gejala psikotik yang memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi
gejala psikotik akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim.
c) Sindrom Parkinson
Merupakan EPS lain yang agak lazim yang dapat dimulai berjam-jam setelah dosis
pertama neuroleptik atau dimulai secara berangsur-angsur setelah pengobatan bertahun-
tahun. Manifestasinya meliputi:
Akinesia: yang meliputi wajah topeng, kejedaan dari gerakan spontan, penurunan
ayunan lengan pada saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyahyang
dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada bentuk yang yang lebih ringan, akinesia
hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas,
apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan
dengan gejala negative skizofrenia.
Tremor: khususnya saat istirahat, secara klasik dari tipe penggulung pil. Tremor dapat
mengenai rahang yang kadang-kadang disebut sebagai “sindrom kelinci”. Keadaan ini
dapat dikelirukan dengan diskenisia tardiv, tapi dapat dibedakan melalui karakter lebih
ritmik, kecerendungan untuk mengenai rahang daripada lidah dan responya terhadap
medikasi antikolinergik.
Gaya berjalan membungkuk: menyeret kaki dengan putaran huruf en cetak dan
hilangnya ayunan lengan.
Kekakuan otot: terutama dari tipe cogwheeling.
d) Tardive Diskinesia
Merupakan sindrom yang terjadi lambat dalam bentuk gerakan koreoatetoid
abnormal, gerakan otot abnormal, involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik. Hal
ini disebabkan defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor dopamine
di puntamen kaudatus. Wanita tua yang diobati jangka panjang mudah mendapatkan
gangguan tersebut walaupun dapat terjadi di perbagai tingkat umur pria ataupun wanita.
Prevalensi bervariasi tetapi tardive diskinesia diperkirakan terjadi 20-40% pasien yang
berobat lama. Tetapi sebagian kasus sangat ringan dan hanya sekitar 5% pasien
memperlihatkan gerakan berat nyata. Namun, kasus-kasus berat sangat melemahkan
sekali, yaitu memengaruhi berjalan, berbicara, bernapas, dan makan. Faktor predisposisi
dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan berdosis tinggi atau
jangka panjang. Pasien dengan gangguan afektif atau organik juga lebih
berkemungkinan untuk mengalami diskinesia tardive. Gejala hilang dengan tidur, dapat
hilang timbul dengan berjalannya waktu dan umumnya memburuk dengan penarikan
neuroleptik. Diagnosis banding jika mempertimbangkan diskinesia tardive meliputi
penyakit Hutington, Khorea Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang
ditimbulkan obat (contohnya levodopa, stimulant dan lain-lain). Perlu dicatat bahwa
diskinesia tardive yang diduga disebabkan oleh kesupersensitivitasan reseptor dopamine
pasca sinaptik akibat blockade kronik dapat ditemukan bersama dengan sindrom
Parkinson yang diduga disebabkan karena aktivitas dopaminergik yang tidak
mencukupi.
Penatalaksanaan:
a) Reaksi Distonia Akut (ADR)
Medikasi antikolinergik merupakan terapi ADR bentuk primer dan praterapi
dengan salah satu obat-obat ini biasanya mencegah terjadinya penyakit. Paduan obat
yang umum meliputi benztropin (Congentin) 0,5-2 mg dua kali sehari (BID) sampai tiga
kali sehari (TID) atau triheksiphenidil (Artane) 2-5 mg TID. Seorang pasien yang
ditemukan dengan ADR berat, akut harus diobati dengan cepat dan secara agresif. Bila
dilakukan jalur intravena (IV) dapat diberikan benztropin 1 mg dengan dorongan IV.
Umumnya lebih praktis untuk memberikan difenhidramin (Benadryl) 50 mg
intramuskuler (IM) atau bila obat ini tidak tersedia gunakan benztropin 2 mg IM.
Remisi ADR dramatis terjadi dalam waktu 5 menit.
b) Akatisia
Agen yang paling umum dipakai adalah antikolinergik dan amantadin (Symmetrel);
obat ini dapat juga dipakai bersama. Penelitian terakhir bahwa propanolol (Inderal)
sangat efektif dan benzodiazepine, khususnya klonazepam (klonopin) dan lorazepam
(Ativan) mungkin sangat membantu.
c) Sindrom Parkinson
Aliran utama pengobatan sindrom Parkinson terinduksi neuroleptik terdiri atas agen
antikolinergik. Amantadin juga sering digunakan. Levodopa yang dipakai pada
pengobatan penyakit Parkinson idiopatik umumnya tidak efektif akibat efek
sampingnya yang berat.
d) Tardive Diskinesia
Pencegahan melalui pemakaian medikasi neuroleptik yang bijaksana merupakan
pengobatan sindrom ini yang lebih disukai. Ketika ditemukan pergerakan involunter
dapat berkurang dengan peningkatan dosis medikasi antipsikotik tetapi ini hanya
mengeksaserbasi masalah yang mendasarinya. Setelah permulaan memburuk,
pergerakan paling involunter akan menghilang atau sangat berkurang, tetapi keadaan ini
memerlukan waktu sampai dua tahun. Benzodiazepine dapat mengurangi pergerakan
involunter pada banyak pasien, kemungkinan melalui mekanisme asam gamma-
aminobutirat-ergik. Baclofen (lioresal) dan propanolol dapat juga membantu pada
beberapa kasus. Reserpin (serpasil) dapat juga digambarkan sebagai efektif tetapi
depresi dan hipotensi merupakan efek samping yang umum. Pengurangan dosis
umumnya merupakan perjalanan kerja terbaik bagi pasien yang tampaknya mengalami
diskinesia tardive tetapi masih memerlukan pengobatan. Penghentian pengobatan dapat
memacu timbulnya dekompensasi yang berat, sementara pengobatan pada dosis efektif
terendah dapat mempertahankan pasien sementara meminimumkan risiko, tetapi kita
harus pasti terhadap dokumen yang diperlukan untuk penghentian pengobatan.
51. B. Oftalmoskopi
Perimeter dan kampimeter: alat pengukur atau pemetaan lapang pandangan terutama daerah
sentral atau parasentral.
Oftalmoskop: merupakan alat yang mempunyai sumber cahaya untuk melihat fundus okuli.
Terdapat 2 kegunaan, yaitu memeriksa adanya kekeruhan pada media penglihatan yang keruh
seperti pada kornea, lensa dan badan kaca, serta memeriksa fundus okuli terutama retina dan
papil saraf optik.
Gonioskopi: dapat melihat keadaan sudut bilik mata yang dapat menimbulkan glaukoma.
Penentuan gambaran sudut bilik mata dilakukan pada setiap kasus yang dicurigai adanya
glaukoma. Pemeriksaan ini dilakukan dengan meletakkan lensa sudut.
Tonometri: suatu tindakan untuk melakukan pemeriksaan tekanan intraokular dengan alat yang
disebut tonometer. Dikenal beberapa alat tonometer seperti alat tonometer Schiotz dan tonometer
aplanasi Goldman.
Referensi:
Ilyas, Sidarta. 2009. Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai penerbit FK UI.
52. D. BPPV
BPPV adalah gangguan keseimbangan perifer yag sering dijumpai. Gejala yang dikeluhkan
adalah vertigo yang datang tiba-tiba pada perubahan posisi kepala, beberapa pasien dapat
mengatakan dengan tepat posisi tertentu yang menimbulkan keluhan vertigonya. Diagnosis
BPPV dapat dilakukan dengan melakukan tindakan provokasi dan menilai timbulnya nistagmus
pada posisi tersebut. Pemeriksaan untuk memprovokasi timbulnya nistagmus adalah perasat Dix
Hallpike, perasat side lying, dan perasat roll. Pemeriksa dapat mengidentifikasi jenis kanal yang
terlibat arah fase cepat nistagmus yang abnormal:
Fase cepat ke atas, berptar ke kanan : BPPV kanalis posterior kanan
Fase cepat ke atas, berputar ke kiri : BPPV kanalis posterior kiri
Fase cepat ke bawah, berputar ke kanan : BPPV kanalis anterior kanan
Fase cepat ke bawah, berputar ke kiri : BPPV kanalis anterior kiri
Pada umumnya BPPV timbul pada kanalis posterior sebanyak 49% dan kanalis anterior
sebanyak 12%.
PERBEDAAN VERTIGO CENTRAL DAN PERIFER
Gejala dan Tanda Perifer Sentral
Onset Mendadak/bertahap Mendadak/bertahap
Tingkat keparahan Berat Sedang
Paroksismal/Terus Paroksismal Konstan
menerus
Berkaitan dengan perbahan Ya Tidak
gerakan
Mual, muntah Sering dan mencolok Jarang dan ringan
Tipe nistagmus Horizontal atau torsional, Horizontal, torsional,
tidak pernah vertikal vertikal
Intensitas nistagmus Intensitas menurun Tidak terpengaruh
Penurunan pendengaran Kadang-kadang Sering
Gejala berkaitan CNS Tidak ada Ada
Sumber:
Bashiruddin, J. (2009). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher, 6th edn. Jakarta : Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 104-113.
Info:
Perbandingan kriteria Sindroma Metabolik menurut beberapa konsensus dirangkum dalam tabel
berikut:
Unsur NCEP ATP WHO AHA IDF
Sindrom III
Metabolik
Hipertensi Dalam Dalam Dalam Dalam pengobatan
pengobatan pengobatan pengobatan antihipertensi atau
antihipertensi antihipertensi antihipertensi TD ≥130/85 mmHg
atau TD atau atau TD
≥130/85 TD ≥ 140/90 ≥130/85
mmHg mmHg mmHg
Dislipidemia Plasma TG Plasma TG ≥150 Plasma TG Plasma TG≥150
≥150 mg/dL, mg/dL dan atau ≥150 mg/dL, mg/dL
Referensi:
1. Alberti, KGMM; Zimmet .1999. "Definition, Diagnosis, and Classification of Diabetes Mellitus
and its Complications". World Health Organization. pp. 32–33.
2. Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (May
2001). "Executive Summary of the Third Report of the National Cholesterol Education Program
(NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in
Adults (Adult Treatment Panel III)". JAMA: the Journal of the American Medical
Association 285 (19): 2486–97. doi:10.1001/jama.285.19.2486.PMID 11368702
3. Grundy SM, Brewer HB, Cleeman JI, Smith SC, Lenfant D, for the Conference Participants.
2004. Definition of metabolic syndrome: report of the National, Heart, Lung, and Blood
Institute/American Heart Association conference on scientific issues related to
definition. Circulation.
Sumber:
1. Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, Wim. 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:
EGC. Hal: 623.
2. Sutton, David. 2003. Textbook of Radiology and Imaging Volume 1. Edisi 7. London:
Churchill Livingstone.
Sumber:
Jawetz E., J. L. Melnick, E. A. Adelberg, G. F. Brooks, J. S. Butel, L. N. Ornston. 1995.
Mikrobiologi Kedokteran, ed. 20, San Francisco: University of California.
56. A. Ruptur uretra
Ruptur uretra anterior disebabkan oleh straddle injury (cedera selangkangan), di mana terjadi
kontusio dinding uretra, ruptur uretra parsial atau ruptur totalis dinding uretra.
Uretra anterior dibungkus corpus spongiosum. Di mana corpus spongiosum bersama
dengan corpus kavernosum dibungkus fascia buck dan fascia colles. Jika ruptur beserta corpus
spongiosum, darah dan urine keluar dari uretra tapi masih berbatas pada fascia Buck yang secara
klinis tampak hematoma pada penis. Jika fascia buck robek, ekstravasasi darah dan urine dibatasi
fascia colles yang klinisnya tampak sebagai hematoma sampai skrotum dan dinding abdomen.
Robekan ini memberikan gambaran Butterfly apperiance, yang merupakan tanda khas dari ruptur
uretra.
57. E. Hipospadia
58. C. AV blok
Gangguan konduksi nodus AV (AV Blok) tampak pada pemeriksaan EKG sebagai abnormalitas
interval PR, gambaran ini menunjukkan kelainan impuls listrik dari atrium menuju nodus AV
dan Bundle of His serta cabang-cabangnya di ventrikel. Interval PR normal berkisar 0.12 – 0.20
detik.
Berdasar pemeriksaan EKG AV blok dibagi 3, yaitu:
AV blok derajat I: interval PR memanjang lebih dari 0.20 detik
AV blok derajat II: terjadi kegagalan impuls dari atrium untuk mencapai ventrikel
secara intermiten sehingga denyut ventrikel berkurang. AV blok derajat II dibagi
menjadi 2 tipe, yaitu:
Mobitz I Interval PR memanjang secara progresif sampai suatu ketika kompleks
QRS menghilang.
Mobitz II interval PR tetap namun didapatkan denyut ventrikel/komplek QRS
menghilang (drop beat) dapat terjadi reguler seperti 2:1, 3:1 atau tidak teratur.
AV blok derajat III: blok jantung komplit di mana terjadi blok total di nodus AV
sehingga impuls dari atrium tidak mencapai ventrikel, sehingga masing-masing berjalan
sendiri sesuai impuls intrinsiknya.
Referensi:
Trisnohadi H. R. 2006. Gangguan Irama Jantung yang Spesifik. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi Keempat – Jilid III. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Pemeriksaan fisik
- Gejala klinis DBD diawali demam mendadak tinggi, facial flush, muntah, nyeri kepala,
nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri d ibawah lengkung
iga kanan. Gejala penyerta tersebut lebih mencolok pada DD daripada DBD.
- Perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD terjadi peningkatan permeabilitas
kapiler sehingga menyebabkan perembesan plasma, hipovolemia, dn syok.
- Perembesan plasma mengakibatkan ekstravasasi cairan kedalam rongga pleura dan
peritoneal selama 24-48 jam.
- Perdarahan dapat berupa petekie (terprovokaasi uji RL (+), hematemessis,dan
melena, ataupun hematuria.
Kasus ini tidak menunjukkan tanda-tanda syok di mana denyut nadi dan frekuensi
pernapasannya masih baik, sehingga anak ini dapat didiagnosis sebagai suspek demam dengue
berdasarkan klinisnya. Hal ini juga sesuai dengan kriteria klinis demam dengue berdasarkan
WHO (2013), yaitu : Demam tinggi mendadak, ditambah gejala penyerta 2 atau lebih:
- Nyeri kepala
- Nyeri retro orbita
- Nyeri otot dan tulang
- Ruam kulit
- Meski jarang dapat disertai manifestasi perdarahan
- Leukopenia
- Uji HI >1280 atau IgM/IgG positif.
- Tidak ditemukan tanda kebocoran plasma (hemokonsentrasi, efusi pleura, asites,
hipoproteinemia).
Terapi medikamentosa yang dianjurkan:
- Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian paracetamol bukan aspirin ataupun
ibuprofen karena obat-obatan ini dapat merangsang pendarahan. Dosis paracetamol yang
dianjurkan adalah 10-15mg/kgBB/kali per 6 jam.
- Diusahakan tidak memberika obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid,
antiemetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.
- Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati, apabila terdapat perdarahan saluran
cerna kortikosteroid tidak diberikan.
- Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.
Anak dalam soal ini memiliki berat 12 kg sehingga dosis paracetamol yang diperlukan adalah
120-180 mg/kali beri.
Referensi:
1. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid I, 2010.
2. World Health Organization.2013.Pocket book of hospital care for children: guidelines for the
management of common childhood illnesses – 2nd ed.
Pada anak, hipotensi biasanya baru terjadi pada syok yang telah lanjut, oleh karena itu
hipotensi tidak merupakan keharusan untuk diagnosis syok. Syok pada kasus ini termasuk syok
hipovolemik dimana faktor resiko untuk kasus ini selain kebocoran plasma juga adanya keluhan
klinis muntah. Pada fase awal, terjadi kompensasi tubuh, secara klinis dapat dijumpai takikardi
(usia 10 tahun normalnya 60-110 denyut/menit), ekstremitas dingin, capllary refill yang mulai
memanjang, pulsasi perifer melemah, sementara tekanan darah masih normal. Tanda awal yang
utama adalah takikardi dan penurunan perfusi perifer.
Referensi:
1. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid I, 2010.
2. World Health Organization.2013.Pocket book of hospital care for children: guidelines for the
management of common childhood illnesses – 2nd ed.
61. B. Pemfigus vulgaris
Pembahasan:
Pemfigus Vulgaris Pemfigoid Bulosa
Etiologi autoimun Disangka autoimun
Usia 30-60th Biasanya usia tua
Keluhan Tidak gatal Tidak gatal
Kelainan kulit Bula, dinding kendur, krusta Bula berdinding tegang
bertahan lama
Nikolsky Sign + -
Predileksi generalisata Perut, lengan bagian fleksor,
lipat paha, tungkai medial
Kelainan Mukosa Mulut 60% 10-40%
Histopatologi Bula intraepidermal, Celah diantara dermal-
akantolisis epidermal, bula
subepidermal, sebukan
terutama eosinofil
Imunoflouresensi langsung Ig G dan komplemen di Ig G seperti pita di membran
epidermis basal
Terapi Kortikosteroid (prednison Kortikosteroid (prednison
60-150 mg/hr, sitostatika) 40-60 mg/hr)
Referensi:
Khanna et. al., 2012. 2012 American College of Rheumatology Guidelines for Management
of Gout. Part 2: Therapy and Antiinflammatory Prophylaxis of Acute Gouty Arthritis.
Arthritis Care & Research Vol. 64, No. 10, pp 1447–1461
Tehupeiroy. E. S. 2006. Artritis Pirai (Gout). Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi
Keempat – Jilid II. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Pada pasien di atas terdapat dua kemungkinan penyebab perdarahan pasca salin, yaitu atonia
uteri dan laserasi jalan lahir akibat penggunaan forsep. Tetapi pada kasus di atas memiliki faktor
resiko paling banyak terjadinya atonia uteri, yaitu multiparitas, kala 1 lama, dan bayi yang cukup
besar.
Perdarahan pasca salin (PPS) adalah perdarahan yang mencapai 500-1000 cc setelah anak lahir
yang bisa diakibatkan oleh atonia uteri, perlukaan jalan lahir, sisa jaringan plasenta, dan kelainan
faktor pembekuan. Secara klasik WHO mengklasifikasikan PPS sebagai:
Perdarahan pasca salin primer/dini yaitu perdarahan ≥ 500 cc dalam 24 jam pertama
setelah bayi lahir.
Perdarahan pasca salin sekunder/lanjut, yaitu perdarahan ≥ 500 cc sesudah 24 jam
pertama setelah persalinan.
Penyebab PPS adalah 1 atau lebih dari 4 faktor di bawah ini:
Tone (gangguan kontraksi uterus)
Tissue (sisa produk konsepsi)
Trauma (robekan jalan lahir)
Thrombin (gangguan fungsi koagulasi)
Penyebab terbanyak PPS dini adalah atonia uteri. Akan tetapi pemeriksaan klinis harus dilakukan
dengan seksama untuk menyingkirkan sebab lain atau penyebab plasenta lainnya, seperti:
Sisa jaringan (plasenta, membran, bekuan darah)
Laserasi vagina/serviks atau hematom
Ruptur uteri
Hematom ligamentum latum
Perdarahan ekstragenital (misalnya ruptur subkapsula hepar)
Inversio uteri
Gejala dan tanda Gejala dan tanda yang Diagnosis kemungkinan
yang selalu ada kadang-kadang ada
Uterus tidak Syok Atonia uteri
berkontraksi dan
lembek
Perdarahan segera
setelah anak lahir
Perdarahan segera Pucat Robekan jalan lahir
Darah segar yang Lemah
mengalir segera Menggigil
setelah bayi lahir
Uterus kontraksi baik
Plasenta lengkap
Plasenta belum lahir Tali pusat putus Retensio plasenta
setelah 30 menit akibat traksi
Perdarahan segera berlebihan
Uterus kontraksi baik Inversio uteri akibat
tarikan
Perdarahan lanjutan
Plasenta atau Uterus berkontraksi tetapi Tertinggalnya sebagian
sebagian selaput tinggi fundus tidak berkurang plasenta
(mengandung
pembuluh darah)
tidak lengkap
Perdarahan segera
Uterus tidak teraba Syok neurogenik Inversio uteri
Lumen vagina terisi Pucat dan limbung
massa
Tampak tali pusat
(jika plasenta belum
lahir)
Perdarahan segera
(inversi komplit
mungkin tidak
menimbulkan
perdarahan)
Nyeri sedikit atau
berat
Subinvolusi uterus Anemia Perdarahan terlambat
Nyeri tekan perut Demam Endometritis atau sisa
bawah plasenta (terinfeksi atau
Perdarahan > 24 jam tidak)
setelah persalinan.
Perdarahan sekunder.
Perdarahan bervariasi
(ringan atau berat,
terus menerus atau
tidak teratur) dan
berbau (jika disertai
infeksi)
Perdarahan segera Syok Robekan dinding uterus
(perdarahan Nyeri tekan perut (ruptura uteri)
intraabdominal Denyut nadi ibu cepat
dan/atau vaginum)
Nyeri perut berat
(kurangi dengan
ruptur)
Referensi:
Abdul Bari Saifuddin dkk. 2002. Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Made Kornia Karkata dkk. 2012. Panduan Penatalaksanaan Kasus Obstetri. Himpunan
Kedokteran Fetomaternal POGI.
65. C. Oligoasthenozoospermia
Analisis Sperma adalah suatu pemeriksaan yang penting untuk menilai fungsi organ reproduksi
pria (untuk mengetahui apakah seorang pria fertil atau infertil). Semen harus diperiksa dari
seluruh ejakulat. Karena itu mengambilnya dari tubuh harus dengan masturbasi atau coitus
interuptus (bersetubuh dan waktu ejakulasi, persetubuhan dihentikan dan mani ditampung
semua). Ada juga bersetubuh dengan menggunakan kondom khusus. Sebelum melakukan
pemeriksaan disarankan untuk berpuasa bersetubuh (abstinensi) terbaik sekitar 3-5 hari.
Pemeriksaan semen terbaik selambatnya sejam sesudah ejakulasi.
Semen adalah cairan putih atau abu-abu, terkadang kekuningan, yang dikeluarkan dari uretra
(pipa di dalam penis) pada saat ejakulasi. Fungsi semen adalah membawa jutaan sperma ke
dalam saluran reproduksi wanita.
Karakteristik Semen
Menurut WHO, berikut adalah empat kriteria yang dilihat dalam pengujian semen:
1. Volume
Pria subur rata-rata mengeluarkan 2 hingga 5 cc semen dalam satu kali ejakulasi. Secara
konsisten mengeluarkan kurang dari 1,5 cc (hypospermia) atau lebih dari 5,5 cc (hyperspermia)
dikatakan abnormal. Volume lebih sedikit biasanya terjadi bila sangat sering berejakulasi,
volume yang lebih banyak terjadi setelah lama “berpuasa”.
2. Konsentrasi sperma
Pria subur memiliki konsentrasi sperma di atas 20 juta per cc atau 40 juta secara keseluruhan.
Jumlah di bawah 20 juta/cc dikatakan konsentrasi sperma rendah dan di bawah 10 juta/cc
digolongkan sangat rendah. Istilah kedokteran untuk konsentrasi sperma rendah adalah
oligospermia. Bila sama sekali tidak ada sperma disebut azoospermia. Semen pria yang tidak
memiliki sperma secara kasat mata terlihat sama dengan semen pria lainnya, hanya pengamatan
melalui mikroskoplah yang dapat membedakannya.
3. Morfologi sperma
Sperma normal memiliki bentuk kepala oval beraturan dengan ekor lurus panjang di tengahnya.
Sperma yang bentuknya tidak normal (disebut teratozoospermia) seperti kepala bulat, kepala
pipih, kepala terlalu besar, kepala ganda, tidak berekor, dll, adalah sperma abnormal dan tidak
dapat membuahi telur. Hanya sperma yang bentuknya sempurna yang disebut normal. Pria
normal memproduksi paling tidak 30% sperma berbentuk normal.
4. Motilitas (pergerakan) sperma
Sperma terdiri dari dua jenis, yaitu yang dapat berenang maju dan yang tidak. Hanya sperma
yang dapat berenang maju dengan cepatlah yang dapat mencapai sel telur. Sperma yang tidak
bergerak tidak ada gunanya. Menurut WHO, motilitas sperma digolongkan dalam empat
tingkatan:
Kelas a : sperma yang berenang maju dengan cepat dalam garis lurus seperti peluru
kendali.
Kelas b: sperma yang berenang maju tetapi dalam garis melengkung atau bergelombang,
atau dalam garis lurus tetapi lambat.
Kelas c : sperma yang menggerakkan ekornya tetapi tidak melaju.
Kelas d: sperma yang tidak bergerak sama sekali.
Sperma kelas c dan d adalah sperma yang buruk. Pria yang subur memproduksi paling tidak 50%
sperma kelas a dan b. Bila proporsinya kurang dari itu, kemungkinan akan sulit memiliki anak.
Motilitas sperma juga dapat terkendala bila sperma saling berhimpitan secara kelompok sehinga
menyulitkan gerakan mereka menuju ke sel telur.
Prolapsus uteri adalah pergeseran letak uterus ke bawah sehingga serviks berada di dalam
orifisium vagina (prolapsus derajat 1), serviks berada di luar orifisium (prolapsus derajat 2), atau
seluruh uterus berada di luar orifisium (prolapsus derajat 3).
Prolapsus uteri disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya karena kelemahan jaringan ikat di
rongga panggul, perlukaan jalan lahir. Menopause juga faktor pemicu terjadinya prolapsus uteri.
Pada prolapsus uteri gejala sangat berbeda-beda dan bersifat individual. Kadang kala penderita
dengan prolaps yang sangat berat tidak mempunyai keluhan apapun, sebaliknya penderita lain
dengan prolaps ringan mempunyai banyak keluhan.
Juga di Indonesia sejak zaman dahulu telah lama dikenal istilah peranakan turun dan peranakan
terbalik. Dewasa ini penentuan letak alat genital bertambah penting artinya bukan saja untuk
menangani keluhan-keluhan yang ditimbulkan olehnya, namun juga oleh karena diagnosis letak
yang tepat perlu sekali guna menyelenggarakan berbagai tindakan pada uterus.
Prolapsus uteri adalah keadaan dimana turunnya uterus melalui hiatus genitalis yang disebabkan
kelemahan ligamen-ligamen (penggantung), fasia (sarung) dan otot dasar panggul yang
menyokong uterus. sehingga dinding vagina depan jadi tipis dan disertai penonjolan kedalam
lumen vagina. Sistokel yang besar akan menarik utero vesical junction dan ujung ureter kebawah
dan keluar vagina, sehingga kadang-kadang dapat menyebabkan penyumbatan dan kerusakan
ureter. Normalnya uterus tertahan pada tempatnya oleh ikatan sendi dan otot yang membentuk
dasar panggul. Faktor penyebab lain yang sering adalah melahirkan dan menopause, persalinan
lama dan sulit, meneran sebelum pembukaan lengkap, laserasi dinding vagina bawah pada kala
II, penatalaksanaan pengeluaran plasenta, reparasi otot-otot dasar panggul menjadi atrofi dan
melemah. Oleh karena itu prolapsus uteri tersebut akan terjadi bertingkat-tingkat.
Anatomi
ANATOMI PANGGUL dan STRUKTUR PENYANGGA ORGAN PANGGUL
Secara anatomis, organ panggul seperti vagina – uterus – kandung kemih dan rectum
dipertahankan pada posisi yang normal dalam panggul oleh sepasang muskulus levator
ani bilateral yang kearah posterior mengalami fusi.
Celah muskulus levator ani di bagian anterior disebut sebagai hiatus levator ani.
Ke arah inferior, hiatus levator ani tertutup dengan diafragma urogenitalis.
Saat masuk kedalam panggul, urethra – vagina dan rektum melintas hiatus levator ani dan
diafragma urogenitalis. Fascia endopelvikum adalah fascia organ visera panggul yang
membentuk kondensasi bilateral dalam bentuk ligamentum (yaitu ligamentum pubourethralis –
kardinalis dan uterosakralis). Ligamentum tersebut menempelkan organ dengan fascia dinding
lateral pelvis dan tulang panggul.
Corpus Perineal adalah titik pusat seluruh otot panggul. Meskipun saat meneran isi cavum
abdomen mendesak organ panggul, organ panggul akan tetap berada pada tempatnya dan berada
diatas “levator sling” dan corpus perinealis.
Normalnya uterus tertahan pada tempatnya oleh ikatan sendi dan otot yang membentuk dasar
panggul. Prolapsus uteri terjadi ketika ikatan sendi atau otot-otot dasar panggul meregang atau
melemah, membuat sokongan pada uterus tidak adekuat. Faktor penyabab lain yang sering
adalah melahirkan dan menopause. Persalinan lama dan sulit, meneran sebelum pembukaan
lengkap, laserasi dinding vagina bawah pada kala II, penatalaksanaan pengeluaran plasenta,
reparasi otot-otot dasar panggul menjadi atrofi dan melemah
Etiologi
Etiologi dari prolapsus uteri terdiri dari: kelemahan jaringan ikat pada daerah rongga panggul,
terutama jaringan ikat tranversal. Pertolongan persalinan yang tak terampil sehingga meneran
terjadi pada saat pembukaan belum lengkap. Terjadi perlukaan jalan lahir yang dapat
menyebabkan lemahnya jaringan ikat penyangga vagina. Serta ibu yang banyak anak
sehingga jaringan ikat di bawah panggul kendor. Menopause juga dapat menyebabkan turunnya
rahim karena produksi hormon estrogen berkurang sehingga elastisitas dari jaringan ikat
berkurang dan otot-otot panggul mengecil yang menyebabkan melemahnya sokongan pada
rahim
Dasar panggul yang lemah oleh kerusakan dasar panggul pada partus (rupture perinea atau
regangan) atau karena usia lanjut. Menopause, hormon estrogen telah berkurang sehingga otot
dasar panggul menjadi atrofi dan melemah. Tekanan abdominal yang meninggi karena ascites,
tumor, batuk yang kronis atau mengejan (obstipasi atau strictur dari tractus urinalis). Partus yang
berulang dan terjadi terlampau sering. Partus dengan penyulit. Tarikan pada janin sedang
pembukaan belum lengkap. Ekspresi menurut creede yang berlebihan untuk mengeluarkan
placenta.
Jadi, tidaklah mengherankan jika prolapsus genitalis terjadi segera setelah partus atau dalam
masa nifas. Ascites dan tumor-tumor didaerah pelvis mempermudah terjadinya hal tersebut. Bila
prolapsus uteri dijumpai pada nullipara, factor penyebabnya adalah kelainan bawaan berupa
kelemahan jaringan penunjang uterus.
Fisiologi
Posisi serta letak uterus dan vagina dipertahankan oleh ligament, fascia serta otot-otot dasar
panggul. Te Linde (1966) membagi atas 4 golongan, yaitu :
Ligamen-ligamen yang terletak dalam rongga perut dan ditutupi oleh peritonium :
ligamentum rotundum (lig teres uteri): ligamentum yang menahan uterus dalam antefleksi dan
berjalan dari sudut fundus uteri kiri dan kanan ke daerah inguinal kiri dan kanan.
Ligamentum sacrouterina : ligamentum yang juga menahan uterus supaya tidak banyak bergerak,
berjalan melengkung dari bagian belakang serviks kiri dan kanan melalui dinding rektum ke arah
os sacrum kiri dan kanan.
Ligamentum cardinale (Mackenrodt): ligamentum yang terpenting untuk mencegah agar uterus
tidak turun. Ligamentum ini terdiri atas jaringan ikat tebal dan berjalan dari serviks dan puncak
vagina ke arah lateral ke dinding pelvis. Di dalamnya ditemukan banyak pembuluh darah a v
uterina.
Ligamentum latum: ligamentum yang berjalan dari uterus ke arah lateral dan tidak banyak
mengandung jaringan ikat. Sebetulnya ligamentum ini adalah bagian peritoneum visceral yang
meliputi uterus dan kedua tuba dan berbentuk sebagai lipatan. Di bagian lateral dan belakang
ligamentum ini ditemukan indung telur (ovarium sinistrum dan dekstrum). Untuk memfiksasi
uterus ligamentum ini tidak banyak artinya.
Ligamentum infundibulopelvikum (lig. Suspensorium ovarii): ligamentum yang menahan tuba
fallopii, berjalan dari arah infundibulum ke dinding pelvis. Didalamnya ditemukan urat saraf,
saluran-saluran limfe, a v ovarika. Sebagai alat penunjang ligamentum ini tidak banyak artinya.
Jaringan-jaringan yang menunjang vagina
Fasia puboservikalis (antara dinding depan vagina dan dasar kandung kemih) membentang dari
belakang simfisis ke serviks uteri melalui bagian bawah kandung kencing, lalu melingkari
urethra menuju ke dinding depan vagina. Kelemahan fasia ini menyebabkan kandung kencing
dan juga uretra menonjol ke arah lumen vagina.
Fasia rektovaginalis (antara dinding belakang vagina dan rectum). Kelemahan fasia ini
menyebabkan menonjolnya rektum ke arah lumen vagina.
Kantong Douglas
Dilapisi peritonium yang berupa kantong buntu yang terletak antara ligamentum sacrouterinum
di sebelah kanan dan kiri, vagina bagian atas di depan dan rektum di belakang. Di daerah ini,
oleh karena tidak ada otot atau fasia, tekanan intraabdominal yang meninggi dapat menyebabkan
hernia (enterokel).
Otot-otot dasar panggul, terutama otot levator ani
Dasar panggul terdiri dari:
- diafragma pelvis
- diafragma urogenital
- otot penutup genitalia eksterna
Diafragma pelvis:
- otot levator ani: iliokoksigeus, pubokoksigeus dan puborektalis
- koksigeus
- fasia endopelvik
Fungsi levator ani:
mengerutkan lumen rektum, vagina, urethra dengan cara menariknya ke arah dinding tulang
pubis, sehingga organ-organ pelvis di atasnya tidak dapat turun (prolaps).
mengimbangkan tekanan intraabdominal dan tekanan atmosfer, sehingga ligamen-ligamen tidak
perlu bekerja mempertahankan letak organ-organ pelvis diatasnya.
Sebagai sandaran dari uterus, vagina bagian atas, rectum dan kantung kemih. Bila otot levator
rusak atau mengalami defek maka ligamen seperti ligamen cardinale, sacrouterina dan fasia akan
mempunyai beban kerja yang berat untuk mempertahankan organ-organ yang digantungnya,
sebaliknya selama otot-otot levator ani normal, ligamen-ligamen dan fasia tersebut otomatis
dalam istirahat atau tidak berfungsi banyak.
M. Pubovaginalis berfungsi sebagai:
- Penggantung vagina. Karena vagina ikut menyangga uterus serta adnexa, vesica urinaria
serta urethra dan rectum, maka otot ini merupakan alat penyangga utama organ-organ dalam
panggul wanita.
- Robekan atau peregangan yang berlebihan merupakan predisposisi terjadinya prolapsus
cystocele dan rectocele.
- Sebagai sphincter vaginae dan apabila otot tersebut mengalami spasme maka keadaan ini
disebut vaginismus.
M. puborectalis berfungsi sebagai:
- penggantung rectum
- mengontrol penurunan feces
- memainkan peranan kecil dalam menahan struktur panggul.
M. iliococcygeus berfungsi sebagai:
- Sebagai lapisan musculofascial.
Diafragma urogenital
Fungsi diafragma urogenital:
- memberi bantuan pada levator ani untuk mempertahankan organ-organ pelvis
Patologi
Prolapsus uteri terdapat dalam berbagai tingkat dari yang paling ringan sampai prolapsus uteri
kompleta atau totalis. Sebagai akibat persalinan, khususnya persalinan yang susah terdapat
kelemahan-kelemahan ligament yang tergolong dalam fascia endopelvika dan otot-otot serta
fasia-fasia dasar panggul. Dalam keadaan demikian tekanan intraabdominal memudahkan
penurunan uterus, terutama apabila tonus oto-otot berkurang.
Jika serviks uteri terletak di luar vagina, maka ia menggeser dengan celana yang dipakai oleh
wanita dan lambat laun bias berbentuk ulkus, yang dinamakan ulkus dekubitus.
Jika fascia didepan dinding vagina kendor oleh suatu sebab, biasanya trauma obstetric, ia
terdorong oleh kandung kencing ke belakang dan menyebabkan menonjolnya dinding depan
vagina ke belakang, hal ini dinamakan sistokel.
Sistokel ini pada mulanya hanya ringan saja, dapat menjadi besar kar\ena persalinan berikutnya,
terutama jika persalinan itu berlangsung kurang lancar, atau harus diselesaikan dengan
menggunakan peralatan. Urethra dapat pula ikut serta dalam penurunan itu den menyebabkan
urethrokel. Uretherokel ini harus dibedakan dari divertikulum urethra. Pada divertikulum
keadaan urethra dan kandung kencing normal, hanya dibelakang urethra ada lubang yang menuju
ke kantong antara urethra dan vagina.
Kekendoran fascia dibelakang vagina oleh trauma obstetric atau sebab-sebab lain dapat
menyebabkan turunnya rectum ke depan dan menyebabkan dinding belakang vagina menonjol
ke lumen vagina, ini dinamakan rectokel.
Enterokel adalah suatu hernia dari cavum douglasi. Dinding vagina atas bagian belakang turun,
oleh karena itu menonjol kedepan, isi kantong hernia ini adalah usus halus atau sigmoid.
Klasifikasi
Friedman dan Little (1961) mengemukakan beberapa macam klasifikasi yang dikenal, yaitu:
A)
Prolapsus uteri tingkat I, di mana serviks uteri turun sampai introitus vagina
Prolapsus uteri tingkat II, di mana serviks menonjol keluar dari introitus vagina
Prolapsus uteri tingkat III, seluruh uterus keluar dari vagina; prolapsus ini juga disebut
prosidensia uteri
B)
Prolapsus uteri tingkat I, serviks mencapai introitus vagina
Prolapsus uteri tingkat II, uterus keluar dari introitus kurang dari setengah bagian
Prolapsus uteri tingkat III, uterus keluar dari introitus lebih besar dari setengah bagia
C)
Prolapsus uteri tingkat I, serviks mendekati prosesus spinosus
Prolapsus uteri tingkat II, serviks terdapat antara prosesus spinosus dan introitus vagina
Prolapsus uteri tingkat III, serviks keluar dari introitus. Klasifikasi ini sama dengan
klasifikasi D
ditambah dengan prolapsus uteri tingkat IV (prosidensia uteri).
Prosidensia uteri adalah suatu penyimpangan anatomi yang paling kompleks. Dapat
menjadi sistokel karena kendornya fasia dinding depan vagina (misal trauma obstetrik)
sehingga vesika urinaria terdorong ke belakang dan dinding depan vagian terdorong ke
belakang. Dapat terjadi rektokel, karena kelemahan fasia di dinding belakang vagina,
oleh karena trauma obstetrik atau lainnya, sehingga rekrum turun ke depan dan
menyebabkan dinding vagina atas belakang menonjol ke depan.
Diagnosa
Diagnosa ditegakkan melalui pemeriksaan vaginal dengan menggunakan Spekulum Sim yang
berdaun tunggal. Pasien diminta meneran dan pada saat yang bersamaan dokter menekan dinding
posterior vagina. Dengan cara ini dapat terlihat penurunan dinding depan vagina
beserta sistokel dan pergeseran muara urethra.
Selanjutnya mintalah pasien meneran sambil menekan dinding anterior vagina, dengan cara ini
dapat terlihat enterokel dan rektokel. Pemeriksaan rektal sering berguna untuk menunjukkan
adanya rektokel dan membedakannya dengan enterokel.
Keluhan-keluhan penderita, kehamilan, fisik dan pemeriksaan ginekologik umumnya dengan
mudah dapat menegakkan diagnosis prolapsus genitalia.
Referensi:
Hanifa Wiknjosatro, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2005.
Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Arief Mansjoer. 2008. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI.
Junizaf. 2002. Buku Ajar Uroginekologi. Jakarta: Subbagian Uroginekologi-
Rekonstruksi Bagian Obstetri dan Ginekologi. FKUI/RSUPN-CM.
Referensi:
1. Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Binarupa Aksara, Jakarta,
1996.
2. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan
Tindakan Medik.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran.
70. B. Laringomalasia
Laringomalasia merupakan penyebab utama stridor pada bayi. Kelainan ini ditandai dengan
adanya kolaps struktur epiglotis pada saat inspirasi akibat memendeknya plika
ariepiglotika, prolaps mukosa kartilago aritenoid yang tumpang tindih, atau melekuknya
epiglotis ke arah posterior.
Laringomalasia merupakan suatu proses jinak yang dapat sembuh spontan pada 70% bayi saat
usia 1-2 tahun. Gejala stridor inspirasi kebanyakan timbul segera setelah lahir atau dalam usia
beberapa minggu atau bulan ke depan. Stridor dapat disertai dengan retraksi sternum,
interkostal, dan epigastrium akibat usaha pernapasan. Pada beberapa bayi tidak
menimbulkan gejala sampai anak mulai aktif (sekitar 3 bulan) atau dipicu oleh infeksi
saluran napas. Stridor yang terjadi bersifat bervibrasi dan bernada tinggi. Stridor akan
bertambah berat sampai usia 8 bulan, menetap sampai usia 9 bulan dan bersifat intermitten dan
hanya timbul bila usaha bernapas bertambah seperti saat anak aktif, menangis, makan, kepala
fleksi atau posisi supinasi. Setelah itu keadaan makin membaik. Rata-rata stridor terjadi adalah
selama 4 tahun 2 bulan. Tidak ada korelasi antara lama berlangsungnya stridor dengan derajat
atau waktu serangan.
Masalah makan sering terjadi akibat obstruksi napas yang berat. Penderita laringomalasia
biasanya lambat bila makan yang kadang-kadang disertai muntah sesudah makan. Keadaan ini
dapat menimbulkan masalah gizi kurang dan gagal tumbuh. Berdasarkan pemeriksaan radiologi,
refluks lambung terjadi pada 80% dan regurgitasi pada 40% setelah usia 3 bulan. Masalah makan
dipercaya sebagai akibat sekunder dari tekanan negatif yang tinggi di esofagus intratorak pada
saat inspirasi. Ostructive sleep apnea (23%) dan central sleep apnea (10%) juga ditemukan pada
laringomalasia. Keadaan hipoksia dan hiperkapnia akibat obstruksi napas atas yang lama akan
berisiko tinggi untuk terjadinya serangan apnea yang mengancam jiwa dan timbul hipertensi
pulmonal yang dapat menyebabkan kor pulmonal, aritmia jantung, penyakit paru obstruksi
kronis, masalah kognitif dan personal sebagai akibat sekunder dari laringomalasia. Berdasarkan
letak prolaps dari struktur supraglotis, Olney dkk membuat klasifikasi untuk laringomalasia.
Klasifikasinya adalah:
Tipe 1, yaitu prolaps dari mukosa kartilago aritenoid yang tumpang tindih
Tipe 2, yaitu memendeknya plika ariepiglotika
Tipe 3, yaitu melekuknya epiglotis ke arah posterior.
Referensi :
Stern RC. Congenital anomalies. In: Behrman RE, Kilegman RM, Jensen HB editors. Nelson
textbook of pediatric. 16th ed, Philadelphia: WB Saunders, 2000: p. 1271-2.
Vicencio AG, Parikh S, Adam HM. Laryngomalacia and tracheomalacia: common dynamic
airway lessions. Pediatr Rev. 2006; 27: 33-5
Lusk R. Congenital anomalies of the larynx. In: Snow JB editors. Otorhinolaryngology head and
neck surgery. Ontario: BC Decker Inc; 2003: p. 1049-51
Herman B, Kartosoediro S. Disfonia. Dalam: Iskandar N, Soepardi EA editor. Buku ilmu
kesehatan telinga tenggorok kepala & leher. Edisi ke 6. Jakarta: BalaiPenerbit FK-UI. 2007: p.
231-236
Bye MR. Laryngomalacia. Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/1002527.
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia luasnya proses yang tampak pada foto toraks dapat
dibagi sebagai berikut:
Lesi minimal (Minimal Lesion): Bila proses tuberkulosis paru mengenai sebagian kecil
dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dengan volume paru yang terletak diatas
chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV
atau korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas.
Lesi luas (FarAdvanced): Kelainan lebih luas dari lesi minimal
Pedoman Nasional Tuberkulosis dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011
menyebutkan secara tegas bahwa: “Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas
pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis”.
DIAGNOSIS TUBERKULOSIS
Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki gejala:
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk
dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak
napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat
malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti
bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi
TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Fasyankes
dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB,
dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
Diagnosis TB paru
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi -
sewaktu (SPS).
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB.
Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji
kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto
toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering
terjadi overdiagnosis.
ALUR DIAGNOSIS TB
Keterangan:
· Suspek TB Paru: Seseorang dengan batuk berdahak selama 2 - 3 minggu atau lebih disertai
dengan atau tanpa gejala lain.
· Antibiotik non OAT: Antibiotik spektrum luas yang tidak memiliki efek anti TB (jangan
gunakan fluorokuinolon).
Gambaran hipodensitas (gelap) menunjukkan evolusi area yang mengalami iskemik, dalam
gambar menunjukkan area yang divaskularisasi Arteri Cerebri Medialis.
(A) Gambaran hari ke-2 setelah serangan
(B) Gambaran hari ke-4 setelah serangan
More info
1. Gambaran ring enhancement pada pencitraan otak (CT Scan dan MRI) paling baik
dilakukan menggunakan kontras. Lesi ini dapat terlihat pada beberapa keadaan patologis
seperti limfoma yang melibatkan susunan saraf pusat, abses otak, dan khas pada
penderita HIV yang mengalami toxoplasmosis.
2. Terminologi ‘hyperintens’ dan ‘hypointens’ digunakan dalam interpretasi hasil
pencitraan menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Referensi:
Ekayuda, Iwan, Sjahriar Rasad, editor. Radiologi Diagnostik. Edisi 2. Jakarta : Divisi
Radiodiagnostik, Departmen Radioligi FK UI-RSCM, 2005
Yock-Corrales A, Mackay MT, Mosley I, Maixner W, Babl FE. Acute childhood arterial
ischemic and hemorrhagic stroke in the emergency department. Ann Emerg Med. Aug
2011;58(2):156-63.
Gambar diperoleh dari
http://posterng.netkey.at/esr/viewing/index.php?module=viewing_poster&task=viewsection
&pi=108919&ti=341796&searchkey=
http://www.ebmedicine.net/topics.php?paction=showTopicSeg&topic_id=117&seg_id=229
0
Sumber:
Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, Rusdi Maslim.1993.
Sumber:
1. Rusmarjono et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm
226-221-222.
2. Gambar diambil dari: http://biomedicalephemera.tumblr.com
75. A. Peritonitis
Demam tifoid adalah infeksi yang disebabkna oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditularkan
melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi feses atau urin orang yang terinfeksi. Masa
inkubasi berlangsung 7-21 hari. Manifestasi klinis khas pada demam tifoid adalah:
Minggu 1 (awal infeksi)
Demam tinggi yang berkepanjangan
Pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah
Nadi 80-100 kali/menit
Akhir minggu lebih sering timbul diare
Lidah kotor dan tremor
Rose spot muncul lebih sering pada kulit putih
Splenomegali
Minggu 2
Delirium
Diare lebih sering kadang berwarna gelap
Bradikardi relative
Hepatomegali dan splenomegali
Minggu 3
Suhu tubuh berangsur normal
Delirium atau stupor
Meteorismus
Inkontinensia alvi dan inkontinensia urin
Nyeri perut
Peritonitis local
Minggu 4
Stadium penyembuhan
Diagnosis defiitif ditegakkan denggan kultur gal. Pemeriksaan kultur gal memiliki
sensitivitas rendah dan membutuhkan waktu yang lama. Uji widal digunakan sebagai
penunjang diagnosis. Uji widal menggunakan titer agglutinin O dan H. Titer O yang tinggi (
≥ 160) menunjukkan adanya infeksi akut. Titer H yang tinggi (≥ 160) menunjukkan telah
mendapat imunisasi atau pernah terinfeksi. Namun mengingat Indonesia adalah Negara
endemis, maka titer yang dibutuhkan harus melebihi angka tersebut. Antigen ) muncul
setelah hari ke-6 sedangkan antigen H muncul setelah hari ke-10. Pemeriksaan tunggal
dengan Widal dievaluasi kurang baik.
Pemeriksaan lain adalah pemeriksaan IgM anti Salmonella dengan reagen TubexRTF.
Pemeriksaan ini spesifik terhadap bakteri Salmonella typhii. Anttibodi IgM dapat muncul
setelah 3-4 hari munculnya demam.
Komplikasi yang muncul adalah:
Perdarahan Usus
Terjadi sebanyak 25% pada penderita. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga pasien
mengalami syok.
Perforasi Usus
Terjadi sebanyak 3% pada penderita. Muncul pada akhir minggu ke-3. Tanda-tanda
terjadinya perforasi usus adalah nyeri abdomen yang tidak tertahankan (akut
abdomen) atau nyeri perut yang mengalami perburukan. Adanya cairan atau darah
dalam rongga peritoneum akan memberikan rangsangan peritoneum yang
menimbulkan nyeri dan defans muscular. Pekak hepar akan menghilang karena
adanya udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus akan menurun bahkan
sampai menghilang. Bila telah terjadi peritonitis bacterial maka akan muncul suhu
badan naik dan terjadi takikardia, hipotensi, penurunan kesadaran, dan syok.
Pentalaksanaan diberikan kloramfenikol 50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis po atau
iv selama 10-14 hari. Jika tidak dapat diberikan kloramfenikol dapat diberikan amoksisilin
100mg/kgBB/hari po atau ampisilin iv selama 10 hari atau kotrimoksazol 48mg/kgBB/hari
dibagi 2 dosis diberikan selama po selama 10 hari.
Bila klinis tidak ada perbaikan maka diberikan generasi ketiga sefalosporin seperti
seftriakson 80mg/kgBb IV/IM sekali sehari selama 507 hari atau sefiksim oral
20mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 10 hari.
Pada peritonitis prinsip penatalaksanaan adalah penggantian cairan dan elektrolit yang
hilang dilakukan secara IV. Resusitasi dilakukan dengan larutan isotonic.
Sumber:
1. World Health Organization. 2013. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit
Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten. Jakarta: WHO Indonesia.
2. Schwartz, M.A. 2005. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC.
Sumber:
1. Sudoyo, A.W et al. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. Jurnalis, Y.D et al. 2007. Sirosis Hepatis dengan Hipertensi Portal dan Pecahnya Varises
Esofagus. Majalah Kedokteran Andalas. No.2 Vol.31, Juli-Desember.
Pasien pada skenario menunjukkan gambaran kecurigaan aktivitas hormon thyroid yang
meningkat didukung dengan adanya eksoftalmus yang merupakan salah satu tanda
hiperthyroidisme, dengan demikian gambaran EKG berupa sinus takikardia yang terjadi
bukan disebabkan proses konduksi yang terjadi dalam jantung namun sebagai akibat
peningkatan hormon thyroid.
Hormon thyroid dibutuhkan oleh hampir semua proses metabolisme tubuh, sehingga
perubahan kadar hormon dalam sirkulasi akan berpengaruh terhadap berbagai sistem organ
di antaranya
Efek kardiovaskular: meningkatkan kontraktilitas myokard, dan tonus diastolik
(Inotropik dan kronotropik positif) secara klinis nampak sebagai peningkatan curah
jantung dan denyut nadi .
Efek Autonom (Simpatis dan Parasimpatis): Hormon thyroid merangsang
ekspresi reseptor beta-adrenergik myokard, serta otot-otot polos dan skelet lainnya.
Sehingga sensitivitas terhadap katekolamin meningkat yang mengakibatkan
peningkatan aktivitas jantung.
Referensi:
Trisnohadi H. R. 2006. Gangguan Irama Jantung yang Spesifik. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi Keempat – Jilid III , Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia :
Jakarta.
Djokomoeljanto. R. 2006. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme. Dalam :
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat – Jilid III , Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia : Jakarta.
Gambar diperoleh dari
http://www.ceufast.com/courses/viewcourse.asp?id=239#Sinus_Tachycardia
78. C. trichomoniasis
Pembahasan:
Herpes Simpleks
Penyakit yang disebabkan oleh virus Herpes Simpleks (HSV) tipe 1 atau 2, sering
bersifat rekurens, bersifat seumur hidup, virus berdiam di jaringan syaraf tepatnya di
ganglia dorsalis.
Klasifikasi: Herpes simpleks episode pertama lesi primer, herpes simpleks episode
pertama lesi non primer, herpes simpleks rekuren, herpes simpleks asimtomatik.
- Herpes simpleks episode pertama lesi primer
Kelainan kulit berupa vesikel/erosi/ulkus dangkal berkelompok, dengan dasar
eritematosa disertai rasa nyeri. Dapat disertai disuria, duh tubuh vagina atau uretra,
dapat disertai keluhan sistematik, demam, sakit kepala, nyeri otot, nyeri dan
pembengkakan inguinal. Terdapat keluhan neuropati, pembengkakan lesi baru masih
berlangsung selama 10 hari.
- Herpes simpleks episode pertama lesi non primer
Umumnya lebih sedikit dan lebih ringan dibandingkan dengan infeksi primer.
Lesi yang tidak diobati dapat berlangsung 10-14 hari serta jarang disertai duh tubuh
genital atau disuria, keluhan sistemik dan neuropati.
- Herpes Simpleks rekuren
Lesi lebih sedikit, bersifat lokal, unilateral, lebih singkat dan menghilang
selama 5 hari, dapat didahului oleh keluhan parastesia 1-2 hari sebelum timbul lesi
dan umumnya mengenai daerah yang sama yaitu penis, vulva, anus, atau bokong.
- Herpes Simpleks Asimptomatik
Tidak ada gejala klinis, reaksi serologis antibody herpes positif.
Terapi: antivirus acyclovir 5x200mg selama 5 hari
Vaginosis bacterial Candidiasis Trichomoniasis Gonorhoe
vulvovaginal
Etiologi Gadnerella Candida Trichomonas Neisseria
vaginalis Albicans Gonorhoe
Keluhan Gatal, terasa tidak Gatal pada Gatal di bagian Keluarnya sekret
nyaman, nyeri saat genitalia labia mayora, purulen dan nyeri
berhubungan interna dan nyeri BAK dan BAK
seksual dan BAK eksterna terkadang sakit
pinggang
Discharge Sekret berwarna Sekret Sekret encer Sekret purulen
putih homogen, berwarna putih berwarna kuning atau
melekat pada susu, kehijauan, berbau mukopurulen
dinding vagina dan bergumpal dan berbusa
vestibulum, berbau menyerupai
amis seperti ikan susu basi,
tidak berbau
Pemeriksaan Clue cells + Eritem dan Cerviks: Edema dan
(squamous epitelial edema, strawberry red eritem pada
cell yang dilapisi sediaan apus appearance OUE, sediaan
oleh bakteri), sniff dengan gram Sniff test + apus gram
test + dan sediaan ditemukan
(mengeluarkan bau basah dengan diplokokus gram
amis setelah KOH negatif intrasel
ditambahka ditemukan
pottasium blastospora
hidroxide) dan
pseudohifa
Terapi Metronidazol 2gr Ketokonazol Metronidazol 2gr Sefiksim 400mg
dosis tunggal atau 2x200mg dosis tunggal atau peroral dosis
metronidazol selama 7hari metronidazol tunggal
2x500mg selama 7 2x500mg selama 7
hari hari
79. C. VDRL
Pembahasan:
Sifilis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Treponema pallidum bersifat
kronis dan menahun. Bakteri ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui selaput lendir
(misalnya di vagina atau mulut) atau melalui kulit.
Sifilis mempunyai beberapa stadium infeksi, yaitu:
Stadium pertama dari gejala penyakit sifilis bisa ada sebuah luka terbuka yang disebut
chancre di daerah genital, rektal, atau mulut. Luka terbuka ini tidak terasa sakit.
Pembesaran kelenjar limfe bisa saja muncul. Seorang penderita bisa saja tidak merasakan
sakitnya dan biasanya luka ini sembuh dengan sendirinya dalam waktu 4-6 minggu, maka
dari itu penderita biasanya tidak akan datang ke dokter untuk berobat, tetapi bukan berarti
sifilis ini menghilang, tapi tetap beredar di dalam tubuh. Jika tidak diatasi dengan baik,
akan berlanjut hingga stadium selanjutnya.
Stadium kedua dari gejala penyakit sifilis muncul sekitar 1-6 bulan (rata-rata sekitar 6-8
minggu) setelah infeksi pertama, ada beberapa manifestasi yang berbeda pada stadium
kedua ini. Suatu ruam kemerahan bisa saja timbul tanpa disertai rasa gatal di bagian-
bagian tertentu, seperti telapak tangan dan kaki, atau area lembab, seperti skrotum dan
bibir vagina. Selain ruam ini, timbul Gejala Penyakit Sifilis lainnya, seperti demam,
pembesaran kelenjar getah bening, sakit tenggorokan, sakit kepala, kehilangan berat
badan, nyeri otot, dan perlu diketahui bahwa gejala dan tanda dari infeksi kedua sifilis ini
juga akan bisa hilang dengan sendirinya, tapi juga perlu diingat bahwa ini bukan berarti
sifilis hilang dari tubuh Anda, tapi infeksinya berlanjut hingga stadium laten.
Stadium laten adalah stadium di mana jika diperiksa dengan tes laboratorium, hasilnya
positif, tetapi gejala penyakit sifilis bisa ada ataupun tidak. Stadium laten ini juga dibagi
sebagai stadium awal dan akhir laten. Dinyatakan sebagai sifilis laten awal ketika sifilis
sudah berada di dalam badan selama dua tahun atau kurang dari infeksi pertama dengan
atau tanpa gejala. Sedangkan sifilis laten akhir jika sudah menderita selama dua tahun
atau lebih dari infeksi pertama tanpa adanya bukti gejala klinis. Pada praktiknya, sering
kali tidak diketahui kapan mulai terkena sehingga sering kali harus diasumsikan bahwa
Hasil kualitatif:
o REAKTIF : Bila tampak gumpalan sedang atau besar
o REAKTIF LEMAH : Bila tampak gumpalan kecil-kecil
o NON REAKTIF : Bila tidak tampak flokulasi/gumpalan
- TPHA: Test TPHA (Treponema pallidum hemaglutination). Tindakan ini untuk
mengetahui secara spesifik apakah ada reaksi antibodi terhadap kuman treponema. Jika
di dalam tubuh ditemukan adanya kuman ini, maka hasil tes positif. Pasien dinyatakan
positif tertular.
Berdasarkan kasus tersebut, maka pemeriksaan skrening yang dilakukan pada wanita
tersebut adalah dengan pemeriksaan VDRL, jika hasilnya positif dapat dilanjutkan dengan
pemeriksaan TPHA
Sumber: http://www.penyakitkelamin.net/mengetahui-gejala-penyakit-sifilis/
Referensi: Judi Januadi Endjun. Ultrasonografi Dasar Obstetri dan Ginekologi. Jakarta : FKUI.
2009.
Pada pasien di atas gejala-geja yang dialami, yaitu nyeri hebat pada perut bawah dan amenorea
mengarahkan kepada gejala kehamilan ektopik terganggu. Hal tersebut dikuatkan dengan hasil
pemeriksaan yang menunjukkan bahwa tes kehamilan (+), Hb rendah, dan adanya nyeri goyang
portio.
Kehamilan Ektopik
Implantasi dan pertumbuhan hasil konsepsi di luar endometrium kavum uteri. Kehamilan
ekstrauterin tidak sinonim dengan kehamilan ektopik karena kehamilan pada pars interstisialis
tuba dan kanalis servikalis termasuk dalam uterus, tetapi jelas bersifat ektopik.
Etiologi:
Faktor tuba, yaitu salpingitis, perlekatan tuba, kelainan kongenital tuba, pembedahan
sebelumnya, endometriosis, tumor yang mengubah bentuk tuba, dan kehamilan ektopik
sebelumnya.
Kelainan zigot, yaitu kelainan kromosom dan malformasi.
Faktor ovarium, yaitu migrasi luar ovum (perjalanan ovum dari ovarium kanan ke tuba
kiri atau sebaliknya), pembesaran ovarium, dan unextruded ovum.
Penggunaan hormon eksogen (estrogen) seperti pada kontrasepsi oral.
Faktor lain, antara lain aborsi tuba dan pemakaian IUD.
Patogenesis :
Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba. Sangat jarang terjadi implantasi pada
ovarium, rongga perut, kanalis servikalis uteri, tanduk uterus yang rudimenter, dan divertikel
pada uterus. Berdasarkan implantasi hasil konsepsi pada tuba, terdapat kehamilan pars
interstisialis tuba, kehamilan pars ismika tuba, kehamilan pars ampullaris tuba, dan kehamilan
infundibulum tuba.
Kehamilan diluar tuba ialah kehamilan ovarial, kehamilan intraligamenter, kehamilan servikal,
dan kehamilan abdominal yang bisa primer atau sekunder.
Kehamilan intrauterin dapat terjadi bersamaan dengan kehamilan ektopik. Disebut combined
ectopic pregnancy bila terjadi bersamaan dan compound ectopic pregnancy bila kehamilan
ektopik terjadi lebih dahulu dengan janin sudah mati dan menjadi litopedion.
Hasil konsepsi bernidasi kolumnar atau interkolumnar dan biasanya akan terganggu pada
kehamilan 6-10 minggu, berupa :
Hasil konsepsi mati dan diresorpsi
Abortus ke dalam lumen tuba
Ruptur dinding tuba
Uterus menjadi besar dan lembek; endometrium dapat berubah menjadi desidua karena pengaruh
estrogen dan progesteron dari korpus luteum graviditatis dan trofoblas. Pada endometrium juga
dapat ditemukan fenomena Arias-Stella.
Manifestasi klinis:
Amenore.
Gejala kehamilan muda
Nyeri perut bagian bawah. Pada ruptur tuba nyeri terjadi tiba-tiba dan hebat,
menyebabkan penderita pingsan sampai syok. Pada abortus tuba nyeri mula-mula pada
satu sisi, menjalar ke tempat lain. Bila darah sampai ke diafragma bisa menyebabkan
nyeri bahu, dan bila terjadi hematokel retrouterina terdapat nyeri defekasi.
Perdarahan pervaginam berwarna coklat tua.
Pada pemeriksaan vagina terdapat nyeri goyang bila serviks digerakkan, nyeri pada
perabaan, dan kavum Douglas menonjol karena ada bekuan darah.
Diagnosis:
Penegakan diagnosis pada kehamilan ektopik belum terganggu sulit sehingga memerlukan
pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis, yaitu USG, laparoskopi, dan kuldoskopi.
Penegakan diagnosis pada kehamilan ektopik terganggu dapat didapatkan dari:
Anamnesis: amenorea dan kadang terdapat tanda hamil muda, nyeri perut bagian bawah,
nyeri bahu, tenesmus, dan perdarahan pervaginam setelah nyeri perut bagian bawah.
Pemeriksaan umum: penderita tampak kesakitan dan pucat; pada perdarahan dalam
rongga perut dapat ditemukan tanda-tanda syok.
Pemeriksaan ginekologi: ditemukan tanda-tanda kehamilan muda, rasa nyeri pada
pergerakan serviks; uterus dapat teraba agak membesar dan kadang teraba tumor di
samping uterus dengan batas yang sukar ditentukan; kavum Douglas menonjol, berisi
darah, dan nyeri bila diraba.
Pemeriksaan laboratorium: hemoglobin menurun setelah 24 jam dan jumlah sel darah
merah dapat meningkat.
Referensi:
Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Kapita Selekta
Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Arif Mansjoer dkk. Media Aesculapius FKUI Jakarta 2008.
82. E. Depresi
Teori penerimaan (acceptance) Kubbler Ross, yakni:
Tahap Denial (penolakan)
Reaksi respon: menolak mempercayai bahwa kehilangan terjadi secara nyata dan
mengisolasi diri. Reaksi fisik: letih, lemah, diare, gelisah, sesak napas dan nadi cepat.
Contoh: "tidak mungkin, berita kematian itu tidak benar. Saya tidak percaya suami saya
pasti nanti kembali".
Tahap anger (marah)
Reaksi respon: timbul kesadaran akan kenyataan kehilangan. kemarahan meningkat
kadang diproyeksi ke orang lain, tim kesehatan atau lingkungan.Reaksi fisik: nadi cepat,
tangan mengepal, susah tidur, muka merah, bicara kasar, dan agresif. Contoh: “Ini terjadi
karena dokter tidak sungguh-sungguh dalam pengobatannnya".
Tahap Bargainning (tawar-menawar)
Reaksi respon: Pasien berunding dengan cara halus untuk mencegah kehilangan dan
perasaan bersalah. Memohon pada Tuhan. Pasien juga mempunyai keinginan untuk
melakukan apa saja untuk mengubah apa yang sudah terjadi. Contoh: "Kalau saja saya
sakit, bukan anak saya....", "Kenapa saya ijinkan pergi. Kalau saja dia dirumah ia tidak
akan kena musibah ini"., "Seandainya saya hati-hati, pasti hal ini tidak akan terjadi".
Tahap Depresi
Reaksi respon: sikap menarik diri, perasaan kesepian, tidak mau bicara dan putus
asa. Individu bisa melakukan percobaan bunuh diri atau penggunaan obat
berlebihan. Reaksi fisik: susah tidur, letih, menolak makan, dorongan libido menurun.
Contoh: "Biarkan saya sendiri"., "Tidak usah bawa ke rumah sakit, sudah nasib saya".
Tahap Acceptance (Penerimaan)
Reaksi respon: reorganisasi perasaan kehilangan, mulai menerima kehilangan. Pikiran
tentang kehilangan mulai menurun. Mulai tidak tergantung dengan orang lain. Mulai
membuat perencanaan. Contoh: “Ya sudah, saya iklaskan dia pergi.", "Apa yang harus
saya lakukan supaya saya cepat sembuh". "Ya pasti dibalik bencana ini ada hikmah yang
tersembunyi"
ABSES PARU
Abses paru diartikan sebagai kematian jaringan paru-paru dan pembentukan rongga yang berisi
sel-sel mati atau cairan akibat infeksi bakteri.
Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, Abses Paru terjadi karena:
Abses paru timbul bila parenkim paru obstruksi, infeksi kemudian proses supurasi dan nekrosis.
Perubahan reaksi radang pertama dimulai dari suppurasi dan trombosis pembuluh darah lokal,
yang menimbulkan nekrosis dan likuifikasi.
Pembentukan jaringan granulasi terjadi mengelilingi abses, melokalisir proses abses dengan
jaringan fibrotik. Suatu saat abses pecah, lalu jaringan nekrosis keluar bersama batuk, kadang
terjadi aspirasi pada bagian lain bronkus terbentuk abses baru. Sputumnya biasanya berbau
busuk, bila abses pecah ke rongga pleura maka terjadi empyema.
Etiologi
Kuman atau bakteri penyebab terjadinya Abses paru bervariasi sesuai dengan peneliti dan teknik
penelitian yang digunakan. Finegolal dan fisliman mendapatkan bahwa organisme penyebab
abses paru lebih dari 89 % adalah kuman anaerob. Asher dan Beandry mendapatkan bahwa pada
anak-anak kuman penyebab abses paru terbanyak adalah stapillococous aureus.
Patofisiologi
Merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bakteria pada penderita dengan faktor predisposisi.
Bakteri mengadakan multiplikasi dan merusak parenkim paru dengan proses nekrosis. Bila
berhubungan dengan bronkus, maka terbentuklah air fluid level bakteria masuk kedalam
parenkim paru selain inhalasi bisa juga dengan penyebaran hematogen (septik emboli) atau
dengan perluasan langsung dari proses abses ditempat lain (nesisitatum) misal abses hepar.
Kavitas yang mengalami infeksi. Pada beberapa penderita tuberkolosis dengan kavitas, akibat
inhalasi bakteri mengalami proses keradangan supurasi. Pada penderita emphisema paru atau
polikisrik paru yang mengalami infeksi sekunder. Obstruksi bronkus dapat menyebabkan
pneumonia berlajut sampai proses abses paru.
Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker bronkogenik. Gejala yang sama juga terlihat
pada aspirasi benda asing yang belum keluar. Kadang-kadang dijumpai juga pada obstruksi
karena pembesaran kelenjar limphe peribronkial. Pembentukan kavitas pada kanker paru.
Pertumbuhan massa kanker bronkogenik yang cepat tidak diimbangi peningkatan suplai
pembuluh darah, sehingga terjadi likuifikasi nekrosis sentral. Bila terjadi infeksi dapat terbentuk
abses.
Manifestasi Klinis
1. Gejala klinis
Gejala klinis yang ada pada abses paru hampir sama dengan gejala pneumonia pada umumnya,
yaitu:
a. Panas badan berkisar 70% – 80% penderita abses paru. Kadang dijumpai dengan temperatur >
400oC.
b. Batuk, pada stadium awal non produktif. Bila terjadi hubungan rongga abses dengan bronkus
batuknya menjadi meningkat dengan bau busuk yang khas (Foetor ex oroe (40-75%).
c. Produksi sputum yang meningkat dan Foetor ex oero dijumpai berkisar 40 – 75% penderita
abses paru.
d. 50% kasus Nyeri dada
e. 25% kasus Batuk darah
f. Gejala tambahan lain seperti lelah, penurunan nafsu makan dan berat badan. Pada pemeriksaan
dijumpai tanda-tanda proses konsolidasi seperti redup, suara napas yang meningkat, sering
dijumpai adanya jari tabuh serta takikardi.
2. Pemeriksaan Radiologis
Pada foto torak terdapat kavitas dengan dinding tebal dengan tanda-tanda konsolidasi
disekelilingnya. Kavitas ini bisa multipel atau 2 – 20 cm. dengan ukuran ini sering
dijumpai pada paru kanan lebih dari paru kiri. Bila terdapat hubungan dengan bronkus
maka didalam kavitas terdapat air fluid level. Tetapi bila tidak ada hubungan maka hanya
dijumpai tanda-tanda konsolidasi (opasitas).
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Pada pemeriksaan darah rutin. Ditentukan leukositosis, meningkat lebih dari 12.000/mm3.
bahkan pernah dilaporkan peningkatan sampai dengan 32.700/mm3. Laju endap darah
ditemukan meningkat > 58 mm / 1 jam. Pada hitung jenis sel darah putih didapatkan shit to the
left
b. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan gram tahan asam dan KOH merupakan pemeriksaan
awal untuk menentukan pemilihan antibiotik secara tepat.
c. Pemeriksaan kultur bakteri dan test kepekaan antibiotikan merupakan cara terbaik dalam
menegakkan diagnosa klinis dan etiologis.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan fisik
Rontgen dada
CT scan
Drainage postural
Fisioterapi dada
Pemeriksaan mikrobiologi
Terapi medik
Pemberian antibiotika merupakan pilihan utama disamping terapi bedah dan terapi
suportif fisio terapi.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan abses paru harus berdasarkkan pemeriksaan mikrobiologi dan data penyakit
dasar penderita serta kondisi yang mempengaruhi berat ringannya infeksi paru. Ada beberapa
modalitas terapi yang diberikan pada abses paru.
1. Medika Mentosa
Pada era sebelum antibiotika tingkat kematian mencapai 33% pada era antibiotika maka tingkat
kkematian dan prognosa abses paru menjadi lebih baik.
Pilihan pertama antibiotika adalah golongan Penicillin pada saat ini dijumpai peningkatan Abses
paru yang disebabkan oleh kuman anaerobs (lebih dari 35% kuman gram negatif anaerob). Maka
bisa dipikrkan untuk memilih kombinasi antibiotika antara golongan penicillin G dengan
clindamycin atau dengan Metronidazole, atau kombinasi clindamycin dan Cefoxitin.
Alternatif lain adalah kombinasi Imipenem dengan B Lactamase inhibitase, pada penderita
dengan pneumonia nosokomial yang berkembang menjadi Abses paru.
Waktu pemberian antibiotika tergantung dari gejala klinis dan respon radiologis penderita.
Penderita diberikan terapi 2-3 minggu setelah bebas gejala atau adanya resolusi kavitas, jadi
diberikan antibiotika minimal 2-3 minggu.
2. Drainage
Drainase postural dan fisiotherapi dada 2-5 kali seminggu selama 15 menit diperlukan untuk
mempercepat proses resolusi Abses paru. Pada penderita Abses paru yang tidak berhubungan
dengan bronkus maka perlu dipertimbangkan drainase melalui bronkoskopi.
3. Bedah
Reseksi segmen paru yang nekrosis diperlukan bila:
a. Respon yang rendah terhadap therapi antibiotika.
b. Abses yang besar sehingga mengganggu proses ventilasi perfusi
c. Infeksi paru yang berulang
d. Adanya gangguan drainase karena obstruksi.
Referensi:
Assegaff H. dkk. Abses Paru dalam Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. AUP. Surabaya,
136 – 41.
Finegold SM, Fishman JA. Empyema and Lung Abscess in Fishman’s pulmonary
Diseases and disorders 3rd ed, Philadelphia. 1998, 2021 – 32.
Garry et al. Lung Abscess in a Lange Clinical Manual Internal Medicina Diagnosis and
Therapy 3rd, Oklahoma. 199. 119 – 120.
Hammond JMJ et al ; The Ethiology and Anti Microbial Susceptibility Patterns of
Microorganism in acute Commuity – Acquired Lung Abscess. Chest. 108, 4, 1995, 937 –
41.
Hirshberg B et al. Factors predicting mortality of patients with lung Abscsess, Chest. 115.
3-1999, 746 – 52
84. B. Hematothoraks
Trauma thorax
Semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau
tumpul.
Trauma dada atau thorax adalah trauma tajam atau tembus thoraks yang dapat menyebabkan
tamponade jantung, perdarahan, pneumothoraks, hematothoraks, hematopneumothoraks.
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan
kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam
atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut.
Cedera pada dada sering mengancam jiwa dan mengakibatkan satu atau lebih mekanisme
patologi berikut:
1. Hipoksia akibat gangguan jalan napas, cedera pada parenkim paru, sangkar uga, dan otot
pernapasan, kolaps paru dan pnemotoraks
2. Hipovolemia akibat kehilangan cairan pasif dari pembuluh besar, rupture jantung, atau
hemotoraks
Gagal jantung akibat tamponade jantung, kontusio jantung, atau tekanan intratoraks yang
meningkat.
Di dalam toraks terdapat dua organ yang sangat vital bagi kehidupan manusia, yaitu paru-paru
dan jantung. Paru-paru sebagai alat pernapasan dan jantung sebagai alat pemompa darah. Jika
terjadi benturan atau trauma pada dada, kedua organ tersebut bisa mengalami gangguan atau
bahkan kerusakan.
Etiologi
1. Trauma tembus (penetrating trauma).
1. Luka Tembak
2. Luka Tikam / Tusuk
Pada trauma tusuk biasanya diakibatkan oleh luka tembak, atau luka tusuk, dengan penyebaran
tenaga pada area yang kecil, tidak seluas trauma tumpul. Pada luka tembak, arah tembakan
peluru, tidak dapat dipredikisi dengan jelas, sehingga seluruh organ dada memiliki risiko tinggi.
2. Trauma tumpul (blunt trauma)
1. Kecelakaan kendaraan bermotor
2. Jatuh
3. Pukulan pada dada
Pada trauma tumpul, kekuatan hantaman didistribusikan ke area yang luas, dan kerusakan
visceral terjadi akibat tahanan, penyebaran kekuatan hantaman, tekanan
Pneumothoraks
Pneumothoraks merupakan salah satu kelainan pada rongga pleura ditandai dengan adanya udara
yang terperangkap dalam rongga pleura sehingga akan menyebabkan peningkatan tekanan
negatif intrapleura dan akan mengganggu proses pengembangan paru. Pneumothoraks
merupakan salah satu akibat dari trauma tumpul yang sering terjadi akibat adanya penetrasi
fraktur iga pada parenkim parudan laserasi paru. Pneumothoraks terbagi atas tiga yaitu:
Simple pneumothoraks
Simple pneumothoraks yaitu pneumothoraks yang tidak disertai peningkatan tekanan
intrathoraks yang progresif. Ciri-cirinya adalah paru pada sisi yang terkena akan kolaps
(parsia latau total), tidak ada mediastinal shift. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bunyi
napas melemah, hyperresonance (perkusi), pengembangan dada menurun.
Tension pneumothoraks
Tension Pneumothoraks adalah pneumothoraks yang disertai peningkaan tekanan intra
thoraks yang semakin lama, semakin bertambah (progresif). Pada tension pneumothoraks
ditemukan mekanisme ventil yaitu udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak
dapat keluar. Ciri-cirinya yaitu terjadi peningkatan intra thoraks yang progresif, sehingga
terjadi kolaps paru total, mediastinal shift (pendorongan mediastinum ke kontralateral),
deviasi trakea. Pada pemeriksaan fisik didapatkan sesak yang bertambah berat dengan
cepat, takipneu, hipotensi.
Open Pneumothorak
Timbul karena trauma tajam, ada hubungan dengan rongga pleura sehingga paru menjadi
kuncup. Seringkali terlihat sebagai luka pada dinding dada yang menghisap pada setiap
inspirasi (sucking chest wound). Apabila lubang ini lebih besar dari pada2/3 diameter
trachea, maka pada inspirasi udara lebih mudah melewati lubang dada dibandingkan
melewati mulut sehingga terjadi sesak napas yang hebat.
Flail chest
Flail chest jarang terjadi, tapi merupakan cedera tumpul dinding dada yang serius. Prevalensi
flail chest pada pasien-pasien dengan cedera dinding dada diperkirakan antara 5%
sampai13%.Flail chest adalah area thoraksyang “melayang” (flail) oleh sebab adanya fraktur iga
multipel berturutan lebih dari 3 iga , dan memiliki garisfraktur lebih dari 2 (segmented) pada tiap
iganya dapat tanpa atau dengan fraktur sternum. Akibatnya adalah:terbentuk area “flail” segmen
yang mengambang akan bergerak paradoksal (kebalikan) dari gerakan mekanik pernapasan
dinding dada. Area tersebut akan bergerak masuk saat inspirasi dan bergerak keluar pada
ekspirasi, sehingga udara inspirasi terbanyak memasuki paru kontralateral dan banyak udara ini
akan masuk pada paru ipsilateral selama fase ekspirasi, keadaan ini disebut dengan respirasi
pendelluft. Fraktur pada daerah iga manapun dapat menimbulkan flailchest. Dinding dada
mengambang (flail chest) ini sering disertai dengan hemothoraks, pneumothoraks,
hemoperikardium maupun hematoma paru yang akan memperberat keadaan penderita.
Komplikasi yang dapat ditimbulkan yaitu insufisiensi respirasidan jika korban trauma masuk
rumah sakit, atelectasis dan berikut pneumonia dapat berkembang.
Diagnosis flail chest ditetapkandengan mengobservasi gerakan paradoksal dari tempat yang
dicurigai pada keadaan napas spontan. Pada inspirasi, segmen flail ditarik kedalamoleh tekanan
negative intrathoraks. Dengan ekshalasi, kekuatan tekanan positif segmen akan menonjol kearah
luar.
Tamponade jantung
Tamponade jantung terdapat pada 20% penderita dengan trauma thoraks yang berat, trauma
tajam yangmengenai jantung akan menyebabkan tamponade jantung dengan gejala trias Beck
yaitu distensi vena leher, hipotensidan menurunnya suara jantung. Kontusiomiokardium tanpa
disertai ruptur dapat menjadi penyebab tamponade jantung. Patut dicurigai seseorang mengalami
trauma jantung bila terdapat: trauma tumpul di daerah anterior, fraktur pada sternum, trauma
tembus/tajam pada area prekordial (parasternal kanan, sela iga IIkiri, garis mid klavikula kiri,
arkus kostakiri). Pada otopsi ditemukan sebuah daerah yang terbatas dan tersering pada ventrikel
kanan dan menyerupai suatu infark, perdarahan yang mencolok. Kontusio Jantung cedera ini
mengacu pada luka atau memar pada miokardium (otot jantung). Kontusio (memar)
miokardiumadalah hasil dari cedera yang melibat kankekuatan tumpul yang mengarah ke dada
(misalnya kecelakaan lalu lintas). Contusio miokard mungkin berhubungan dengan
pneumothoraks, fraktur sternum, fraktur iga, contusio paru atau hemothoraks. Luka
memar jantung menyebabkan detak jantung tidak beraturan (aritmia) yang dapat mengancam
nyawa. Diagnosistik klasik adalah adanya Trias Beck yang terdiri dari peningkatan tekanan
vena, penurunan tekanan arteri dan suara jantung menjauh.
Fraktur klavikula
Klavikula adalah salah satu tulang pada tubuh yang paling sering mengalami cedera dan
merupakan fraktur yang paling sering berhubungan dengan proses kelahiran. Klavikula, atau
tulang kerah, adalah tulang yang relativelurus yang menghubungkan sternum dengan tulang
scapula. Klavikula dapat mengalami fraktur melalui pukulan langsung ke daerah tersebut, atau
lebih umum, karena terjatuh pada ujung bahu. Gejala umum termasuk bengkak dan nyeri di
dada, yaitu posisi pertengahan antara leher dan bahu. Tanda-tanda fraktur klavikula meliputi:
titik perlunakan, krepitasi dan bengkak di tempat fraktur (biasanya di pertengahan klavikula pada
anak-anak dan didekat ujung bahu pada orangdewasa). Pasien biasanya merasakan sakit
sementara pada saat istirahat yang diperhebat dengan adanya gerakan sendi bahu.
Ruptur Trakeobronkial
Ruptur trakea dan bronkus utama (rupture trakeobronkial) dapat disebabkan oleh trauma tajam
maupun trauma tumpul dimana angka kematian akibat penyulit ini adalah 50%. Pada trauma
tumpul ruptur terjadi pada saat glottis tertutup dan terdapat peningkatan hebat dan mendadak dari
tekanan saluran trakeobronkial yang melewati batas elastisitas saluran trakeobron kialini.
Kemungkinan kejadian ruptur bronkus utama meningkat pada trauma tumpul thoraks yang
disertai dengan fraktur iga 1 sampai 3, lokasi tersering adalah pada daerah karina
dan percabangan bronkus. Pneumothoraks, pneumomediatinum, emfisema subkutan dan
hemoptisis, sesak napas,dan sianosis dapat merupakan gejala dari ruptur ini.
Ruptur esophagus
Ruptur esofagus lebih sering terjadi pada trauma tajam dibanding trauma tumpul thoraks dan
lokasi ruptur oleh karena trauma tumpul paling sering pada 1/3 bagian bawah esofagus. Akibat
ruptur esofagus akan terjadi kontaminasi rongga mediastinum oleh cairan saluran pencernaan
bagian atas sehingga terjadi mediastinitis yang akan memperburuk keadaan penderitanya.
Keluhan pasien berupa nyeri tajam yang mendadak di epigastrium dan dada yang menjalar
ke punggung. Sesak napas, sianosis dan syok muncul pada fase yang sudah terlambat
Ruptur Aorta
Aorta thorakalis sering bermasalah terhadap kekuatan deselerasi cepat, yang sering terjadi pada
suatu kecelakaan kendaraan bermotor (cedera depan), ketika dada terbentur dengan alat kemudi.
Ruptur aorta sering menyebabkan kematian penderitanya, diperkirakan penyebab kedua tersering
kematian pada pasien dengan ceder adada dan lokasi ruptur tersering adalah di bagian proksimal
arteri subklavia kiridekat ligamentum arteriosum. Hanyakira-kira 15% dari penderita trauma
dada dengan ruptur aorta ini dapat mencapai rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.
Kecurigaan adanya ruptur aorta dari foto thoraks bila didapatkan mediastinum yang melebar,
fraktur iga 1dan 2, trakea terdorong ke kanan, gambaran aorta kabur, dan penekanan bronkus
utama kiri.
Ruptur diafragma
Ruptur diafragma pada trauma thoraks biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada daerah
thoraks inferior atau abdomen atas yang tersering disebabkan oleh kecelakaan. Trauma tumpul
didaerah thoraks inferior akan mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal mendadak
yangditeruskan ke diafragma. Ruptur terjadi bila diafragma tidak dapat menahan tekanan
tersebut, herniasi organ intrathoraks dan strangulasi organ abdomen dapat terjadi. Dapat pula
terjadi ruptur diafragma akibat trauma tembus pada daerah thoraks inferior. Pada keadaan ini
trauma tembus juga akan melukai organ-organ lain (intrathoraks atau intra abdominal).
Ruptur umumnya terjadi di “puncak” kubah diafragma, ataupun kita bisa curigai bilaterdapat
luka tusuk dada yang didapat kan pada: dibawah ICS 4 anterior, di daerah ICS 6 lateral, didaerah
ICS 8 posterior. Kejadian ruptur diafragma lebih sering terjadi di sebelah kiri daripada sebelah
kanan. Kematian dapat terjadi dengan cepat setelah terjadinya trauma oleh karena shock
dan perdarahan pada cavum pleura kiri.
Referensi:
Bagus, Risang.2009.Gawat Darurat Panduan Kesehatan Wajib Di Rumah Anda.Yogyakarta:
Aulia Publishing.
Basic Trauma-Cardiac Life Support. Jakarta: Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118
PMI. 2005. Pedoman Pertolongan Pertama.Jakarta : Markas Pusat Palang Merah Indonesia
Klasifikasi Anisometropia
1. Simple anisometropia: di mana refraksi satu mata adalah normal (emetropia) dan mata yang
lainnya miopia (simple miopia anisometropia) atau hipermetropia (simple miopia
anisometropia).
2. Coumpound anisometropia: di mana pada kedua mata hipermetropia (coumpound
hipermetropic anisometropia) atau miopia (coumpound miopia anisometropia), tetapi sebelah
mata memiliki gangguan refraksi lebih tinggi dari pada mata yang satunya lagi.
3. Mixed anisometropia: dimana satu mata adalah miopia dan yang satu lagi hipermetropia,
ini juga disebut antimetropia.
4. Simple astigmmatic anisometropia: di mana satu mata normal dan yang lainnya baik simple
miopia atau hipermetropi astigamatisma.
5. Coumpound astigmatismatic anisometropia: di mana kedua mata merupakan astigmatism
tetapi berbeda derajatnya.
Sloane membagi anisometropia menjadi 3 tingkat, yaitu:
1. anisometropia kecil, beda refraksi lebih kecil dari 1,5 D
2. anisometropia sedang, beda refraksi antara 1,5-2,5 D
3. anisometropia besar, beda refraksi lebih besar dari 2,5 D
Penatalaksanaan
Anisometropia merupakan salah satu gangguan penglihatan, yaitu suatu keadaan dimana kedua
mata terdapat perbedaan kekuatan refraksi, sehingga penatalaksanaan anisometropia adalah
memperbaiki kekuatan refraksi kedua mata. Adapun beberapa penatalaksanan baik
menggunakan alat maupun tindakan, yaitu:
1. Kaca mata. Kacamata koreksi bisa mentoleransi sampai maksimum perbedaan
refraksi kedua mata 4D. lebih dari 4D koreksi dengan menggunakan kacamata dapat
menyebabkan munculnya diplopia.
2. Lensa kontak. Lensa kontak disarankan untuk digunakan untuk anisometropia yang
tingkatnya lebih berat.
3. Kacamata aniseikonia. Hasil kliniknya sering mengecewakan.
4. Modalitas lainnya dari pengobatan, termasuk diantaranya:
a) Implantasi lensa intraokuler untuk aphakia uniokuler
b) Refractive cornea surgery untuk miopia unilateral yang tinggi, astigmata, dan
hipermetropia
c) Pengangkatan dari lensa kristal jernih untuk miopia unilateral yang sangat tinggi
(operasi fucala)
86. C. Hiperkortisolisme
Kondisi ini mengarah pada keadaan hiperkortisolism. Dalam skenario ini yang menjadi faktor
resiko adalah pemakaian obat kuat dimana kandungannya dapat berisi sex steroid.
Manifestasi klinis Cushing syndrome:
Smart Recall:
Untuk mempermudah mengingat gejala dan komplikasi cushing syndrome, digunakan
mnemonic "CUSHINGOID"
Cataracts
Ulcers
Skin: striae, thinning, bruising
Hypertension/Hirsutism/hyperglycemia
Infections
Necrosis, avascular necrosis of the femoral head
Glycosuria
Osteoporosis, obesity
Immunosuppression
Diabetes
Diagnosis
Diagnosis berdasarkan manifestasi klinis dan ditemukan peningkatan kortisol plasma.
Etiologi dari penyakit ini dapat dijelaskan melalui :
1. Test supresi dexamethasone ( Supresi kortisol pada cushing syndrome karena supresi
sekresi ACTH oleh hipofisis)
2. MRI dan CT scan
3. Analisi ACTH dalam darah ( tinggu=adenoma piituitary atau sumber ACTH ektopik;
rendah = tumor adrenal primer)
Referensi:
1. O’Connor, Jones.2004. Pathology of the Endocrine System:Disorder of the pituitary in Crash
Course Pathologi 2nd edition. Elsevier.
2. http://www.medicalmnemonics.com/
Referensi:
Purnomo, Basuki. 2007. Dasar-dasar urologi. Sagung seto. Jakarta.
88. A. Sistisis
Sistitis: adalah infeksi pada kandung kemih. Infeksi kandung kemih umumnya terjadi pada
wanita, terutama pada masa reproduktif. Beberapa wanita menderita infeksi kandung kemih
secara berulang.
Gambaran Klinik
Infeksi kandung kemih biasanya menyebabkan desakan untuk buang air kecil dan
rasa terbakar atau nyeri selama buang air kecil.
Nyeri biasanya dirasakan diatas tulang kemaluan dan sering juga dirasakan di
punggung sebelah bawah.
Gejala lainnya adalah nokturia (sering buang air kecil di malam hari).
Urin tampak berawan dan mengandung darah.
Kadang infeksi kandung kemih tidak menimbulkan gejala dan diketahui pada saat
pemeriksaan urin (urinalisis untuk alasan lain.)
Sistitis tanpa gejala terutama sering terjadi pada usia lanjut, yang bisa menderita
inkontinensia uri sebagai akibatnya.
Adneksitis atau Salpingo-ooforitis adalah radang pada tuba falopi dan radang ovarium yang
terjadi secara bersamaan, biasa terjadi karena infeksi yang menjalar ke atas sampai uterus,
atau akibat tindakan post kuretase maupun post pemasangan alat kontrasepsi (IUD)
(Sarwono.Winkjosastro, Hanifa.Hal 287.2007).
Adnexa atau salpingo-ooporitis terbagi atas:
1.Salpingo ooporitis akuta: disebabkan oleh gonorroe sampai ke tuba dari uterus
sampai ke mukosa
2.Salpingo ooporitis kronika: dibedakan menjadi:
a. Hidrosalping
b. Piosalping
c. Salpingitis interstisialis kronika
d. Kista tubo ovarial, abses tubo ovarial.
e. Salpingitis tuberkulosa
Referensi:
1. Rahardjo E, Sunatrio, Mustafa I, Gatot D. 2003. Indikasi Transfusi Komponen Darah dalam:
Transfusi Komponen Darah: Indikasi dan Skrining. HTA Indonesia.
2. Bakta I, Ketut, Tjokro. 2007. Anemia Defisiensi Besi dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam.PDPERSI.FKUI
3. Cielsa ,B. 2007. Hematology in Practice. Philadelphia: FA Davis Company
4. Schrier SL. 2011.Approach to the adult patient with anemia..Available from: www.uptodate.com
90. C. Thalassemia
Penegakan diagnosis pada pasien ini didapatkan dari :
Anamnesis
Menunjukan adanya tanda-tanda anemia, yaitu tampak pucat dan lemas 2 minggu ini.
Pasien terlihat rewel, minum ASI sedikit, perut buncit, pertumbuhan dan perkembangan
terganggu.
Pemeriksaan fisik menunjukkan:
Bising jantung yang terjadi merupakan bising yang fisiologis yang disebabkan oleh
kondisi anemia.
Hepatosplenomegali merupakan manifestasi klinis yang terjadi karena terjadi
eritropoiesis ekstrameduler yang memberatkan hati dan limpa. Pada awal-awal
kelahiran diperkirakan hepar adalah organ yang berfungsi untuk eritropoiesis,
sehingga ketika sumsum tulang tidak mampu memberikan suplai oksigen ke
jaringan-jaringan tubuh, maka hepar kembali memproduksi eritrosit. Karena kerja
berat dan ditambah eritropoiesis maka terjadi pembengkakkan hati.
Pada limpa juga terjadi eritropoiesis ekstrameduler karena sumsum tulang tidak
mampu memberikan suplai yang cukup. Limpa juga berfungsi tidak hanya untuk
destruksi eritrosit tetapi juga sebagai screening eritrosit normal atau tidak.
Mengakibatkan eritrosit yang tidak normal didetruksi. Karena penghancuran
berlangsung jauh lebih cepat dan dalam jumlah yang jauh lebih banyak
mengakibatkan limpa harus bekerja lebih keras dan akibatnya terjadi
pembengkakkan.
Anak dengan kelainan hemoglobin (thalasemia) memiliki gejala
hepatosplenomegali, dan kelainan tersebut harus disingkirkan dari hemolitik anemia
lain nya.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan
Hb 14,6 g/dl, Ht 32% rendah anemia
Icterus - +
Splenomegali - +
Perubahan morfologi Sebanding dengan Tidak sebanding
eritrosit derajat anemia dengan derajat anemia
Klasifikasi
Secara klinis:
Thalasemia mayor memberikan gambaran klinis yang jelas
Thalasemia minor memberikan gambaran klinis yang tidak jelas
Berdasarkan kelainan struktur Hb yang terjadi:
ThalasemiaAlpha
ThalasemiaBeta
ThalasemiaBeta Mayor (Anemia Cooley)
ThalasemiaBeta Minor (ThalasemiaTrait)
Referensi:
1. Permono B, Sutaryo, Ugrasena I, Windiastuti E, Abdulsalam M. 2006. Buku Ajar
Hematologi-Onkologi Anak. Cetakan Kedua. Jakarta : IDAI.
2. Nathan DG, Orkin SH, Oski FA, Ginsburg D. Nathan and Oski’s Hematology of Infancy
and Childhood. 7th ed. Philadelphia: Saunders; 2008
3. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins.Vol. 2. Ed.7.
Jakarta.Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Bakta IM. 2006. Hematologi Klinis Ringkas. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC
Referensi:
1. American Academy of Pediatrics Subcommittee on Hyperbilirubinemia. 2004. Guideline:
Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of
gestation. Pediatrics. Newman TB, Liljestrand P, Escobar GJ. 2005.Combining clinical
risk factors with serum bilirubin levels to predict hyperbilirubinemia in newborns. Arch
Pediatr Adolesc Med.
2. Bhutani VK, Johnson LH, Keren R. 2004. Diagnosis and management of
hyperbilirubinemia in the term neonate: for a safer first week. Pediatr Clin North Am.
92. B. Os Calcaneus
Tendon achilles disebut juga tendo calcaneus, adalah jaringan ikat fibrous yang
menghubungkan antara otot dengan tulang (tendon), yang terletak pada tungkai posterior.
Tendon achiles berasal gabungan dari tiga otot yaitu gastrocnemius, soleus, dan otot
plantaris pedis. Pada manusia, letaknya tepat di bagian pergelangan kaki. Tendon
Achilles adalah tendon paling tebal dan terkuat pada badan manusia. Panjangnya sekitar
15 cm, dimulai dari pertengahan tungkai bawah. Kemudian strukturnya kian mengumpul
dan melekat pada bagian tengah-belakang tulang calcaneus.
Referensi:
Maffulli, N.; Khan, K. M.; and Puddu, G., (1998), "Overuse Tendon Conditions: Time to
Change a Confusing Terminology, Arthroscopy 14(8):840-3.
93. C. Keracunan CO
Penyebab utama keracunan dalam mobil kebanyakan dari keluarnya gas karbon monoksida
(CO) pada sistem pembuangan yang tidak berfungsi baik karena pipa pembuangan yang tidak
dirawat alias bocor. Hanya sedikit sekali keracunan di mobil yang diakibatkan oleh zat-zat
yang terdapat dalam perabotan mobil.
Ketika seseorang menghidupkan AC dalam waktu lama saat mobil diam dan kondisinya
tertutup rapat akan membuat sirkulasi udara tidak berjalan. Akibatnya gas karbon monoksida
akan terakumulasi di dalam mobil. Orang yang terpapar gas karbon monoksida yang lama
kebanyakan berakhir dengan kematian.
Karbon monoksida sangat cepat menyingkirkan oksigen sehingga menghalangi hemoglobin
darah mengikat oksigen dan mengalirkannya ke seluruh tubuh hingga ke paru-paru dan otak.
Suplai oksigen yang berkurang ini bisa berbahaya bagi jaringan dalam tubuh dan
mengakibatkan kematian.
Referensi:
Sentra Informasi Keracunan Badan POM, Pedoman Penatalaksanaan Keracunan Untuk
Rumah Sakit, Karbon Monoksida, Jakarta, 2001.
94. D. Cross-sectional
Pembahasan:
- Penelitian Analitik adalah penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan
mengapa fenomena kesehatan itu terjadi. Kemudian melakukan analis dinamika
korelasi antara fenomena, baik antara faktor resiko dengan efek, antar faktor resiko,
maupun antar faktor efek
- Penelitian kohort atau sering disebut penelitian prospektif adalah suatu penelitian
survey (non eksperimen) yang paling baik dalam mengkaji hubungan antara factor
resiko dengan efek (penyakit). Faktor resiko yang akan dipelajari diidentifikasi dulu
kemudian diikuti ke depan secara prospektif timbulnya efek yaitu penyakit atau salah
satu indicator status kesehatan.
Sakit (+)
Kelompok Studi Paparan (+)
Sakit (-)
Sakit (+)
Kelompok Control Paparan (-)
Prospektif Sakit (-)
Pada skenario tersebut terjadi keracunan masal yang diakibatkan oleh Escherchia coli.
Karena kejadian tersebut terjadi pada saat itu juga kemudian diketahui penyebabnya,
maka desain penelitian yang cocok untuk menilai hubungan antara pajanan dan penyakit
tersebut dalam waktu yang singkat adalah desain cross sectional.
More Info
Subarachnoid Hemorrhage (SAH), yaitu perdarahan yang terjadi pada ruang antara
membran Arachnoid dan Pia mater merupakan salah satu bentuk stroke yang terjadi
sekitar 1-7% dari seluruh kasus stroke. SAH menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial diikuti kegagalan regulasi autocerebral, keadaan tersebut bersama dengan
vasokonstriksi akut, dan agregasi trombosit mikrovaskular menyebabkan penurunan
aliran darah setempat dan iskemia jaringan otak. Tingkat mortalitas SAH mencapai
sekitar 50% dan lebih dari 10% penderita meninggal sebelum mendapatkan penanganan
di rumah sakit. Sedangkan bagi yang tertolong kemungkinan besar akan mengalami
gangguan neurologik dan kognitif permanen.
Gejaladan tanda Subarachnoid Hemorrhage adalah berikut:
Nyeri kepala sangat hebat terjadi mendadak (khas pada SAH)
Tanda rangsang menigeal seperti kaku kuduk
Photophobia dan nyeri menyertai pergerakan bola mata
Mual dan muntah (menyertai nyeri kepala)
Kehilangan kesadaran (sesaat ataupun berkepanjangan)
Stroke cardioembolik dan aterotrombotik merupakan bagian dari stroke non
perdarahan.
Referensi:
Kim EY, Na DG, Kim SS, Lee KH, Ryoo JW, Kim HK. 2005. Prediction of hemorrhagic
transformation in acute ischemic stroke: role of diffusion-weighted imaging and
early parenchymal enhancement. AJNR Am J Neuroradiol. May 2005; 26(5): 1050-
5.
Lamsudin. R., 1996. Algoritma stroke Gadjah Mada Penyusunan dan validasi untuk
membedakan stroke perdarahan intraserebral dengan stroke iskemik akut atau stroke
infark. Berkala Ilmu Kedokteran 1996, XXVIII(4).
Referensi:
Wheeless C. R., (2013) Radial Nerve Palsy following Frx of the Humerus. Wheeless'
Textbook of Orthopaedics.
Mehne DK, Jupiter JB. Fractures of the distal humerus. In: Browner BD, Jupiter JB,
Levine AM, et al, eds.Skeletal Trauma. vol 2. Philadelphia, Pa: WB Saunders Co;
1992:1146.
97. B. Retinopatidiabetikun
Retinopati diabetika merupakan salah satu komplikasi penyakit diabetes mellitus pada
yang paling sering ditemukan dan berpotensi menyebabkan kebutaan. Retinopati diabetika ini
adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai kerusakan dan sumbatan pembuluh-
pembuluh darah kecil, biasanya ditemukan bilateral, simetris dan progresif, dan
diklasifikasikan sebagai:
- Retinopati diabetika nonproliferatif / retinopati background
- Retinopati diabetika proliferatif.
Makulopati diabetika yang berupa makulopati eksudatif, edema macula dan makulopati
iskemik dapat ditemukan pada setiap tingkatan retinopati diabetika.
Gambaran klinis retinopati diabetika nonproliferatid berupa mikroaneurisma yang
merupakan tonjolan-tonjolan kecil bulat pada kapiler. Pada vena terlihat mengalami dilatasi
dan berkelok-kelok, venous beading. Dapat dilihat berbagai macam perdarahan, baik
berbentuk bintik (dot hemorrhages) maupun berbentuk bercak (blot hemorrhages). Kapiler-
kapiler yang bocor mengakibatkan edema retina terutama di macula, sehingga retina menebal
dan terlihat berawan. Walaupun cairan serosa diserap, masih akan tetap ada presipitat lipid
kekuning-kuningan dalam bentuk eksudat keras (hard exudate). Jika fovea menjadi edema
atau iskemik atau terdapat hard exudates, maka tajam penglihatan sentral akan menurun
sampai derajat tertentu. Dengan bertambahnya progresinya sumbatan mikrovaskuler, gejala
iskemik mungkin menjadi lebih hebat yaitu ditandai adanya sejumlah bercak mirip kapas
(cotton wool spots) atau soft exudate.
Sedangkan pada retinopati diabetika proliferatif dengan adanya iskemik retina yang
progresif maka merangsang terbentuknya pembuluh-pembuluh darah baru (neovascularisasi)
yang rapuh baik intra retinal dan pre retinal sehingga dapat mengakibatkan kebocoran serum
dan protein dalam jumlah banyak.Neovaskularisasi ini dapat berproliferasi di permukaan
posterior korpus vitreus dan terangkat bila korpus vitreus berkontraksi dan terlepas dari
retina. Perdarahan yang berasal dari pembuluh darah ini bisa menyebabkan perdarahan
korpus vitreus yang massif. Neovaskularisasi yang terangkat ini mengalami perubahan
fibrosa membentuk fibrous retinitis proliferans yang bisa menarik retina sehingga dapat
terjadi retinal detachment.
98. D. Endophtalmitis
Endophthalmitis merupakan infeksi atau luka yang terdapat di dalam mata seorang penderita
yang disebabkan oleh organisme yang beredar melalui aliran darah menuju mata.
Endoftalmitis dapat diklasifikasikan menurut cara masuknya:
1. Endoftalmitis endogen diakibatkan penyebaran bakteri dari tempat lain di tubuh kita
melalui aliran darah. Utamanya jamur. Factor predisposisi yang lazim yaitu status
imunokompromais, septikimia atau IV drug abuse.
2. Endoftalmitis eksogen dapat terjadi akibat trauma tembus atau infeksi pada tindakan
pembedahan yang membuka bola mata. Endoftalmitis endogen sangat jarang, hanya
2-15% dari seluruh endoftalmitis. Utamanya bakteri.
Penyebab terjadinya endoftalmitis antara lain:
1. Tindakan pembedahan.
2. Luka yang menembus mata.
3. Bakteri. Penyebab paling banyak adalah Staphylococcus epidermidis,
Staphylococcus aureus, dan spesies Streptococcus.
4. Jamur. Penyebab paling banyak adalah Aspergillus, fitomikosis dan aktinomises.
Peradangan yang disebabkan bakteri akan memberikan gambaran klinik rasa sakit yang
sangat, kelopak merah dan bengkak, kelopak sukar dibuka, konjungtiva kemotik dan merah,
kornea keruh, bilik mata depan keruh. Selain itu akan terjadi penurunan tajam penglihatan
dan fotofobia (takut cahaya). Endoftalmitis akibat pembedahan biasa terjadi setelah 24 jam
dan penglihatan akan semakin memburuk dengan berlalunya waktu. Bila sudah memburuk,
akan terbentuk hipopion, yaitu kantung berisi cairan putih, di depan iris.
Gejalanya seringkali berat, yaitu berupa:
1. nyeri mata
2. kemerahan pada sclera
3. fotofobia (peka terhadap cahaya)
4. gangguan penglihatan.
Tanda seringkali muncul:
1. Kelopak merah,
2. Bengkak, dan sukar dibuka,
3. Kornea keruh,
4. Bilik mata keruh
Endophthalmitis pascaoperasi - sebagian besar endophthalmitis adalah infeksi bakteri
setelah operasi katarak. Ini masalah serius dapat menyebabkan kehilangan penglihatan
permanen. Gejala sedikit bervariasi, tergantung pada apakah infeksi tersebut terjadi awal
(enam minggu atau kurang) atau akhir (bulan atau tahun) setelah operasi.
Gejala awal dapat termasuk penurunan dramatis dalam visus di mata terkena, sakit
mata yang menjadi lebih buruk setelah operasi, mata merah dan kelopak mata
bengkak.
Akhir gejala cenderung lebih ringan dari gejala awal dan mungkin termasuk
penglihatan kabur, peningkatan kepekaan terhadap cahaya terang (fotofobia) dan sakit
mata ringan.
99. C. Prophyltiourasil
Resume dari kasus ini adalah:
- Wanita 24 th, primigravida, trimester II
- Keluhan utama: dada berdebar-debar, sering berkeringat
- Pemeriksaan fisi : eksoftalmus, tekanan darah 130/80 mmHg, HR 114 x/menit
Dari gejala-gejala yang ditampilkan pada kasus ini mengarah pada kondisi hipertiroid
dalam kehamilan. Secara klinis diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan dengan
mempertimbangkan gejala dan tanda-tanda umum hipertiroid seperti : takikardi, tekanan nadi
meningkat (vasodilatasi perifer), adanya struma difusa, dan kulit yang halus. Terkait dengan
kehamilan, penyakit Grave (Grave’s disease) merupakan penyebab hipertiroidism tersering.
Tanda-tanda penyakit ini pada umumnya sama dengan hipertiroidism kecuali adanya
eksoftalmus (dan pretibial miksedema) yang termasuk ciri khas dari Grave’s disease yang
disebut dengan trias Basedow (Hipertiroidisme dengan hiperfungsi kelenjar tiroid, infiltrative
ophthalmopathy dengan akibat exophthalmus, infiltrative dermopathy(berupa pre-tibial
myxedema)). Namun kepastian diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium
karena gambaran klinis hipertiroid sering susah dibedakan dengan status hiperdinamik dalam
kehamilan sehingga penilain berdasarkan index wyne termasuk toksik padahal sebenarnya
keadaan pasien eutiroid.
TERAPI
Prinsip pengobatan ialah mengendalikan hipertiroidism ibu tanpa menggaggu fungsi
tiroid janin. Pengobatan yang dapat dilakukan pada hipertiroidisme dalam kehamilan ada dua
macam: Obat anti tiroid (OAT) atau pembedahan. OAT yang diberikan pada pengobatan
hipertiroidism adalah golongan tionamid yaitu propiltiourasil (PTU) dan metimazole (MMI).
Iodida merupakan kontraindikasi untuk diberikan karena dapat menembus langsung sawar
plasenta.
Perbandingan PTU dengan Metimazol:
MMI transfernya melalui plasenta dan dieksresikan melalui ASI lebih besar dibandingan
PTU
Bioavailibilitas pada janin, MMI lebih tinggi 4x lipat daripada PTU sehingga lebih
menyebabkan efek hipotiroid pada janin.
Efek samping MMI dalam penelitian dilaporkan menyebabkan aplasia scalp janin.
Dengan perbandingan diatas maka terapi medikamentosa yang lebih dipilih untuk
hipertiroidism dalam kehamilan adalah PTU. Keadaan dimana MMI lebih dipilih
daripada PTU adalah pada kondisi penyakit graves yang berat.
Referensi:
1. Hartini,S dan Kariadi. 2009. The 2nd Thyroidology Update 2009. PERKENI: Kelompok Studi
Tiroidologi Indonesia. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
2. Marx, H; Amin, P; Lazarus, JH (Mar 22, 2008). "Hyperthyroidism and pregnancy.".BMJ (Clinical
research ed.) 336 (7645): 663–
7. doi:10.1136/bmj.39462.709005.AE.PMC 2270981. PMID 18356235.
Indeks Wayne
No. Gejala Yang Baru Timbul Dan Atau Bertambah Berat Nilai
1. Sesak saat kerja +1
2. Berdebar +2
3. Kelelahan +3
4. Suka udara panas -5
5. Suka udara dingin +5
6. Keringat berlebihan +3
7. Gugup +2
8. Nafsu makan naik +3
9. Nafsu makan turun -3
10. Berat badan naik -3
11. Berat badan turun +3
GEJALA HIPERTIROID
Tabel di bawah ini menjelaskan secara singkat tentang gangguan hormon tiroid.
HIPERTIROID HIPOTIROID
PRIMER SEKUNDER PRIMER SEKUNDER
Hipersekresi Overstimulasi Kegagalan dari Kegagalan
hormon tiroid yang kelenjar tiroid kelenjar tiroid itu memproduksi
tidak berdampak karena produksi sendiri TSH
DEFINISI
terhadap TSH berlebih (lebih sering)
peningkatan TSH
(lebih sering)
- Kehilangan berat badan dengan - Keterlambatan mental dan fisik
tanpa atau peningkatan nafsu makan - Mudah lelah
MANIFES
- Goiter (pembesaran kelenjar tiroid - Intoleransi terhadap dingin
TASI
- Gemetar dan mudah tersinggung - kulit dan rambut kering
TERSERING
- Intoleransi terhadap panas
- Keringat berlebih (hiperhidrosis)
PEMERIK T3 dan free T4 T3 dan free T4 T3 dan free T4 T3 dan free T4
SAAN TSH TSH TSH TSH
LABORATO
RIUM
- Grave’s disease - Pituitary tumour - Autoimmune - Pituitary disease
- Toxic thyroiditis
multinodulsr (Hashimoto’s
goitre thyroiditis)
PENYEBAB
(Plummer’s - Grave’s disease
disease (sekitar 5%, dari
- Toxic adenoma tirotoksikosis
- Konsumsi dosis menjadi
tinggi hormon hipotiroid
tiroid ( karena
thyrotoxicosis antibodynya dan
factitia) kerusakan)
- Dampak terapi
hipertiroid (
ablasi
pembedahan,
radioiodine, dan
obat)
- Defisiensi
iodine berat
Hipertiroid adalah sindrom yang disebabkan oleh meningkatnya kadar T3 dan T4 bebas
terutama disebabkan oleh hiperfungsi kelenjar tiroid.
Hal yang perlu diperhatikan adalah mengenai prinsip tirotoksikosis dan hipertiroidisme,
yaitu:
Tirotoksikosis: hormon tiroid berlebih
Hipertiroidisme: sekresi tiroid berlebih
Tirotoksik tidak selalu hipertiroid, namun hipertiroid selalu tirotoksik
Diagnosis didasarkan pada gambaran klinis dan data laboratorium. Pengukuran konsentrasi
TSH dengan pemeriksaan TSH yang sensitif merupakan uji penapisan yg paling bermanfaat.
Kadar TSH yang rendah biasanya dengan pengukuran T4 bebas, yang diperkirakan
meningkat. Kadang disebabkan karena peningkatan T3 darah (toksikosis T3).
Referensi:
1. Sherwood, L. 2002. Human Physiology: From Cells to Systems. Penerbit buku kedokteran: EGC.
2. Maitra A, Kumar V. Sistem endokrin. Dalam: Kumar V, Cotran R, Robbins SL. 2007.Buku ajar
patologi. 7th ed. Penerjemah: Prasetyo A, Pendit BU, Priliono T. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
3. Jameson JL, Weetman AP. 2008.Disorders of the thyroid gland. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo
DL, et al. Harrison’s principles of internal medicine. 17th ed. USA: McGraw Hill Medical.
4. O’Connor, Jones.2004. Pathology of the Endocrine System:Disorder of the pituitary in Crash
Course Pathologi 2nd edition. Elsevier.
Pada kasus di soal anak menderita tonsillitis kronis dilihat dari onset munculnya gejala
selama 1 tahun dan berulang. Tonsilitis kronik merupakan peradangan tonsila palatina
yang sifatnya menahun. Tonsilitis kronik dapat berasal dari tonsillitis akut yang
mendapatkan pengobatan tidak sempurna, dapat juga karena penyebaran infeksi tempat
lain. Tanda klinis tonsillitis kronika adalah:
Pilar/plika anterior hiperemis
Kripte tonsil melebar
Pembesaran kelenjar sub angulus mandibula teraba
Muara kripte terisi debris/pus
Tonsil tertanam/embedded atau membesar
Pembagian pembesaran tonsil menurut Thane & Cody dalam ukuruan T1-T4 sebgai
berikut:
T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarakpilar anterior-uvula
T2: batas medial tonsi melewati ¼ pilr anterior-uvula sampai ½ jarak pilar anterior-
uvula
T3: batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar
anterior-uvula
T4: batas medial tonsil melewati ¾ jaral anterior-uvula sampai uvula atau lebih
Ukuran tonsil menurut Brodsky (2006)
Indikasi tonsilektomi menrut The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck
Surgery Clinical Indicators Compendium adalah:
Indikasi absolute:
Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas, disfagia
berat, gangguan tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal.
Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase,
kecuali jika dilakukan fase akut
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
Tonsil yang akan dilakukan biopsy untuk pemeriksaan patologi
Indikasi relative
Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun telah diberikan
pengobatan edik yang adekuat
Halitosis akibat tonsillitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan
medic
Tonsilitis kronik atau berulang pada infeksi yang disebabkan Streptococcus grup
A betahemolitikus yang tidak membaik dengan pemberian β-laktamase
Referensi:
1. Rusmarjono et all. (2009). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta : Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hlm 226-221-222.
2. Gambar diambil dari : http://www.meddean.luc.edu
Sumber:
- Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, Rusdi
Maslim.1993.
Referensi;
Jawetz E., J. L. Melnick, E. A. Adelberg, G. F. Brooks, J. S. Butel, L. N. Ornston, 1995,
Mikrobiologi Kedokteran, ed. 20, University of California, San Francisco.
Pada kasus diatas pemeriksaan ditemukan clinites (+). Clinitest merupakan skrin untuk
mengetahui adanya gula pereduksi dalam feses. Tes ini menunjukkan intoleransi
karbohidrat. Gejala muncul akibat respon terhadap asupan laktosa yang terdapat dalam
susu. Hasil clinitest sebagai berikut:
Normal : tidak terdapat gula dalam feses
Positif 1 : gula dalam feses 0,5%
Positif 2 : gula dalam feses 0,75%
Positif 3 : gula dalam feses 1%
Positif 4 : gula dalam feses 2%
Referensi:
1. World Health Organization. 2013. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten. Jakarta: WHO Indonesia.
2. Schwartz, M.A. 2005. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC.
106. B. Beta blocker
Terapi farmakologis yang direkomendasikan pada kasus gagal jantung dengan penurunan
Ejection Fraction (NYHA I-IV) meliputi beberapa golongan obat dengan indikasi dan
target masing-masing. ACE Inhibitor direkomendasikan pada pasien gagal jantung
dengan gejala yang masih berlangsung ataupun telah membaik (Class I, Level of
Evidence (LOE) : A), Angiotensin Receptor Blocker direkomendasikan pada pasien
gagal jantung yang tidak bisa mendapatkan terapi ACE Inhibitor (Class I, LOE : A).
β-Blocker
Direkomendasikan pada semua stadium gagal jantung (ringan-berat) yang stabil, baik
karena proses iskemik atau non iskemik dengan syarat tidak terdapat kontra indikasi beta
bloker seperti hipotensi. Pengobatan beta bloker sangat penting dan tidak boleh ditunda
pemberiannya karena terbukti mengurangi progresivitas penyakit, perburukan klinis
(morbiditas) dan mortalitas gagal jantung (Class I, LOE : A).
Nitrat (nitroglycerin)
Diberikan sebagai tambahan apabila terdapat keluhan angina atau sesak, pemberian
jangka panjang tidak terbukti memperbaiki simtom gagal jantung. Pemakaian yan g
terlalu sering dapat menimbulkan toleransi (Class IIa, LOE : C).
Morfin
Morfin dan analog morfin diindikasikan pada stadium awal saja, apabila pasien gelisah
dan sesak napas ( Class IIb, LOE : B).
Calcium channel blocker
Obat penyekat kalsium tidak direkomendasikan sebagai pengobatan rutin pada psien
gagal jantung karena terbukti tidak memberikan manfaat. Dapat dipertimbangkan
penggunaanya sebagai tambahan obat hipertensi apabila tekanan darah sulit dikontrol
dengan penggunaan ACE inhibitor, ARB, dan Beta bloker (Class III, LOE : A).
Referensi:
Ghanie A.;(2006). Gagal Jantung kronik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi
Keempat – Jilid III , Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.
Yancy C. W., et al.; (2013). 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of Heart
Failure: A Report of the American College of Cardiology Foundation/American
Heart Association Task Force on Practice Guidelines. Circulation. 2013;128:e240-
e327
107. B. Permetrin 5%
Pembahasan:
Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh Sarcoptes scabei varian
hominis, yang penularannya terjadi secara kontak langsung. Skabies dapat ditularkan
melalui kontak langsung maupun kontak tidak langsung. Yang paling sering adalah
kontak langsung dan erat atau dapat pula melalui alat-alat seperti tempat tidur, handuk,
dan pakaian. Bahkan penyakit ini dapat pula ditularkan melalui hubungan seksual antara
penderita dengan orang yang sehat. Penularan skabies terjadi ketika orang-orang tidur
bersama di satu tempat tidur yang sama di lingkungan rumah tangga, sekolah-sekolah
yang menyediakan fasilitas asrama dan pemondokan, serta fasiltas-fasilitas kesehatan
yang dipakai oleh masyarakat luas. Terdapat 4 tanda cardinal:
1. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas
tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.
2. Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok, misalnya dalam sebuah
keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam
sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang
berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi,
yang seluruh anggota keluarganya terkena, walaupun mengalami infestasi tungau,
tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier).
3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna
putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok dengan rata-rata
panjang 1 cm, pada ujung terowongan ini ditemukan papul atau vesikel. Jika
timbul infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimarf (pustule, ekskoriasi dan
lainlain). Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum
korneum yang tipis, yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar,
siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilicus,
bokong, genitalia eksterna (pria) dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat
menyerang telapak tangan dan telapak kaki.
4. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostic. Dapat ditemukan satu
atau lebih stadium hidup tungau ini.
Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda cardinal tersebut.
Pengobatan:
Semua keluarga yang berkontak dengan penderita harus diobati termasuk pasangan
hidupnya. Beberapa macam obat yang dapat dipakai pada pengobatan skabies yaitu:
1. Permetrin
Merupakan obat pilihan untuk saat ini, tingkat keamanannya cukup tinggi, mudah
pemakaiannya dan tidak mengiritasi kulit. Dapat digunakan di kepala dan leher
anak usia kurang dari 2 tahun.
2. Krotamiton
Krotamiton 10% dalam krim atau losio juga merupakan obat pilihan, memiliki dua
efek sebagai antiskabies dan anti pruritus. Harus dijauhkan dari mata, mulut dan
uretra.
3. Emulsi Benzil Benzoas
Emulsi Benzil Benzoas 20-25% efektif terhadap semua stadium, diberikan setiap
malam selama tiga hari.
4. Sulfur
Dengan kadar 4-20% dalam bentuk salep atau krim. Preparat ini kurang efektif
pada stadium telur, maka penggunaannya tidak boleh kurang dari tiga hari.
5. Gama Benzena Heksa Klorida (Gameksan)
Kadarnya 1% dalam krim atau losio, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap
semua stadium, mudah digunakan dan jarang menimbulkan iritasi.
Pada kasus tersebut terdiagnosis scabies berdasarkan 2 tanda cardinal, yaitu terdapatnya
pruritus nocturna serta terdapat gatal-gatal di sela jari tangan, pantat, dan sekitar pusar.
Sehingga penatalaksanaan yang aman untuk anak usia 1,5 tahun, yaitu permetrine 5%.
Gejala Klinis:
Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula – mula , pada point
of entry, akan timbul papul, kemudian diikuti oleh bentuk yang khas, yakni lesi
berbentuk linear atau berkelok – kelok (snakelike appearance – bentuk seperti ular) yang
terasa sangat gatal, menimbul dengan lebar 2 – 3 mm, panjang 3 – 4 cm dari point of
entry, dan berwarna kemerahan. Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan
larva tersebut telah berada dikulit selama beberapa jam atau hari4. Rasa gatal dapat
timbul paling cepat 30 menit setelah infeksi, meskipun pernah dilaporkan late onset dari
CLM.
Diagnosis
Berdasarkan bentuk yang khas, yakni terdapatnya kelainan seperti benang yang lurus
atau berkelok – kelok, menimbul dan terdapat papul atau vesikel di atasnya.
Penatalaksanaan
Topikal:
1. Cryotherapy dengan CO2 snow (dry ice) dengan penekanan selama 45 detik sampai
1 menit, selama 2 hari berturut – turut.
2. Nitrogen liquid
3. Kloretil spray, yang disemprotkan sepanjang lesi. Agak sulit karena tidak diketahui
secara pasti dimana larva berada, dan bila terlalu lama dapat merusak jaringan
disekitarnya.
4. Direkomendasikan pula penggunaan Benadryl atau krim anti gatal (Calamine lotion
atau Cortisone) untuk mengurangi gatal.
Sistemik
Tiabendazol (Mintezol), antihelmintes spektrum luas. Dosis 50 mg/kgBB/hari, sehari 2
kali, diberikan berturut- turut selama 2 hari. Dosis maksimum 3 gram sehari, jika belum
sembuh dapat diulangi setelah beberapa hari. Sulit didapat. Efek sampingnya mual,
pusing, dan muntah. Albendazol (Albenza), dosis 400mg dosis tunggal, diberikan tiga
hari berturut-turut.
Sumber:
- Aisah S. Creeping Eruption dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima.
Penerbit Fakultas Kedokteran FKUI. 125-6 (2007)
- Jusych, LA. Douglas MC.Cutaneous Larva Migrans: Overview, Treatment and
Medication. Diunduh dari www.emedicine.com.
Sindrom nefrotik adalah suatu penyakit atau sindrom yang mengenai glumerulus yang
ditandai dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia.
Edema merupakan gejala klinis yang menonjol, kadang-kadang mencapai 40% daripada berat
badan dan didapatkan anasarka. Selama beberapa minggu mungkin terdapat hematuria,
azotemia dan hipertensi ringan. Terdapat proteinuria terutama albumin (85 – 95%) sebanyak
10 – 15 gr/hari. Selama edema masih banyak, biasanya produksi urin berkurang, berat jenis
urin meninggi. Pasien juga mengeluh sesak napas (hidrotoraks, asites) dan dapat disertai
keluhan diare, nyeri perut, anoreksia.
Kimia darah menunjukkan hipoalbuminemia, hipoproteinemia, hiperlipidemia
hiperkolesteronemia. Anak dapat pula menderita anemia defisiensi besi karena transferin
banyak keluar dengan urin
Referensi:
Konsensus IDAI Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus. 2012. Jakarta.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin: Standar
Pelayanan Medik Anak. Makassar. 2009
110. B. Leptospirosis
Resume kasus:
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam) dan harus segera
dilanjutkan dengan imunisasi aktif. HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka.
Berikut ini adalah pedoman pemberian profilaksis terhadap tetanus:
Keterangan :
Td: difteri adult-type dan vaksin tetanus toksoid: TIG: tetanus immune globulin; TdaP:
booster tetanus toksoid, toksoid difteri dengan dosis lebih kecil dan pertusis aselular.
1. Antara lain (tidak terbatas hanya): luka yang terkontaminasi oleh kotoran/feses, tanah, dan
air liur; tusukan; avulsi; dan luka akibat tembakan, tabrakan, luka bakar, dan frostbite
2.TdaP lebih baik dibandingkan Td untuk remaja yang belum pernah mendapat imunisasi
TdaP. Td lebih baik dibandingkan TT untuk remaja yang telah diimunisasi TdaP atau TdaP
memang tidak tersedia di Indonesia.
3.Imun globulin i.v. Diberikan bilamana TIG tidak tersedia. TIG: 250 U i.m. di sisi
ekstremitas lain dari pemberian tetanus toksoid
4. Bilamana telah diberikan 3 dosis toxoid fluid, dosis keempat tetap diberikan dan sebaiknya
berupa adsorbed toxoid
5.Ya, jika >10 tahun mendapat imunisasi yang mengandung tetanus
6.Ya, jika >5 tahun mendapat imunisasi yang mengandung tetanus dan tidak diperlukan
booster lagi.
Referensi:
1. CDC. Tetanus. http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf
2. Health Technology Assessment Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
2008. Penalaksanaan Tetanus Pada Anak.
112. E. Quinin + Klindamisin
Pada prinsipnya pengobatan malaria pada ibu hamil sama dengan pengobatan pada orang
dewasa lainnya. Perbedaannya adalah pada pemberian obat malaria berdasarkan umur
kehamilan. Pada ibu hamil tidak diberikan Primakuin.
Referensi:
Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Gebrak Malaria. Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Departemen Kesehatan Indonesia. 2012.
Jakarta.
Penyebab:
Penyebab tersering dari amenorea primer adalah:
Pubertas terlambat
Kegagalan dari fungsi indung telur
Agenesis uterovaginal (tidak tumbuhnya organ rahim dan vagina)
Gangguan pada susunan saraf pusat
Himen imperforata yang menyebabkan sumbatan keluarnya darah menstruasi dapat
dipikirkan apabila wanita memiliki rahim dan vagina normal
Penyebab terbanyak dari amenorea sekunder adalah kehamilan, setelah kehamilan, menyusui,
dan penggunaan metode kontrasepsi disingkirkan, maka penyebab lainnya adalah:
Stress dan depresi
Nutrisi yang kurang, penurunan berat badan berlebihan, olahraga berlebihan, obesitas
Gangguan hipotalamus dan hipofisis
Gangguan indung telur
Obat-obatan
Penyakit kronik dan Sindrom AshermanGambar 2. Komplek hipotalamus-hipofisi-
aksis indung telur
114.B. Denial
Reaksi respon: menolak mempercayai bahwa kehilangan terjadi secara nyata dan
mengisolasi diri. Reaksi fisik: letih, lemah, diare, gelisah, sesak napas dan nadi cepat.
Contoh: "tidak mungkin, berita kematian itu tidak benar. Saya tidak percaya suami saya
pasti nanti kembali".
116. B. Eritromisin
Diagnosis Banding Batuk Kronik
Pertusis yang berat terjadi pada bayi muda yang belum pernah diberi imunisasi. Setelah masa
inkubasi 7-10 hari, anak timbul demam, biasanya disertai batuk dan keluar cairan hidung
yang secara klinik sulit dibedakan dari batuk dan pilek biasa. Pada minggu ke-2, timbul batuk
paroksismal yang dapat dikenali sebagai pertusis. Batuk dapat berlanjut sampai 3 bulan atau
lebih. Anak infeksius selama 2 minggu sampai 3 bulan setelah terjadinya penyakit.
Diagnosis
Curiga pertusis jika anak batuk berat lebih dari 2 minggu, terutama jika penyakit diketahui
terjadi lokal. Tanda diagnostik yang paling berguna:
Batuk paroksismal diikuti suara whoop saat inspirasi, sering disertai muntah.
Perdarahan subkonjungtiva.
Anak tidak atau belum lengkap diimunisasi terhadap pertusis.
Bayi muda mungkin tidak disertai whoop, akan tetapi batuk yang diikuti oleh
berhentinya napas atau sianosis, atau napas berhenti tanpa batuk. Periksa anak untuk
tanda pneumonia dan tanyakan tentang kejang.
Tatalaksana
Kasus ringan pada anak-anak umur ≥ 6 bulan dilakukan secara rawat jalan dengan perawatan
penunjang. Umur < 6 bulan dirawat di rumah sakit, demikian juga pada anak dengan
pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti napas lama, atau kebiruan setelah batuk.
Antibiotik
Beri eritromisin oral (12,5 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari) selama 10 hari atau jenis makrolid
lainnya. Hal ini tidak akan memperpendek lamanya sakit tetapi akan menurunkan periode
infeksius.
Oksigen
Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti napas atau batuk
paroksismal berat. Gunakan nasal prongs, jangan kateter nasofaringeal atau kateter nasal,
karena akan memicu batuk. Selalu upayakan agar lubang hidung bersih dari mukus agar tidak
menghambat aliran oksigen. Terapi oksigen dilanjutkan sampai gejala yang disebutkan di atas
tidak ada lagi. Perawat memeriksa sedikitnya setiap 3 jam, bahwa nasal prongs berada pada
posisi yang benar dan tidak tertutup oleh mukus dan bahwa semua sambungan aman.
Tatalaksana jalan napas
Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan posisi kepala lebih rendah dalam posisi
telungkup, atau miring, untuk mencegah aspirasi muntahan dan membantu pengeluaran
sekret.
- Bila anak mengalami episode sianotik, isap lendir dari hidung dan tenggorokan dengan
lembut dan hati-hati.
- Bila apnu, segera bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan manual atau dengan
pompa ventilasi dan berikan oksigen.
Perawatan penunjang
• Hindarkan sejauh mungkin segala tindakan yang dapat merangsang terjadinya batuk, seperti
pemakaian alat isap lendir, pemeriksaan tenggorokan dan penggunaan NGT.
• Jangan memberi penekan batuk, obat sedatif, mukolitik atau antihistamin.
• Obat antitusif dapat diberikan bila batuk amat sangat mengganggu. Jika anak demam (≥ 390
C) yang dianggap dapat menyebabkan distres, berikan parasetamol. Beri ASI atau cairan per
oral. Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan makanan cair porsi
kecil tetapi sering untuk memenuhi kebutuhan harian anak. Jika terdapat distres pernapasan,
berikan cairan rumatan IV untuk menghindari risiko terjadinya aspirasi dan mengurangi
rangsang batuk. Berikan nutrisi yang adekuat dengan pemberian makanan porsi kecil dan
sering. Jika penurunan berat badan terus terjadi, beri makanan melalui NGT.
Pemantauan
Anak harus dinilai oleh perawat setiap 3 jam dan oleh dokter sekali sehari. Agar dapat
dilakukan observasi deteksi dan terapi dini terhadap serangan apnu, serangan sianotik, atau
episode batuk yang berat, anak harus ditempatkan pada tempat tidur yang dekat dengan
perawat dan dekat dengan oksigen. Juga ajarkan orang tua untuk mengenali tanda serangan
apnu dan segera memanggil perawat bila ini terjadi.
Komplikasi
Pneumonia merupakan komplikasi tersering dari pertusis yang disebabkan oleh infeksi
sekunder bakteri atau akibat aspirasi muntahan. Tanda yang menunjukkan pneumonia bila
didapatkan napas cepat di antara episode batuk, demam dan terjadinya distres pernapasan
secara cepat.
Kejang. Hal ini bisa disebabkan oleh anoksia sehubungan dengan serangan apnu atau
sianotik, atau ensefalopati akibat pelepasan toksin. Jika kejang tidak berhenti dalam 2 menit,
beri antikonvulsan.
Gizi kurang. Anak dengan pertusis dapat mengalami gizi kurang yang disebabkan oleh
berkurangnya asupan makanan dan sering muntah. Cegah gizi kurang dengan asupan
makanan adekuat, seperti yang dijelaskan pada perawatan penunjang.
Perdarahan dan hernia
Perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis sering terjadi pada pertusis. Tidak ada terapi
khusus. Hernia umbilikalis atau inguinalis dapat terjadi akibat batuk yang kuat. Tidak perlu
dilakukan tindakan khusus kecuali terjadi obstruksi saluran pencernaan, tetapi rujuk anak
untuk evaluasi bedah setelah fase akut.
Tindakan Kesehatan Masyarakat
Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam keluarga yang imunisasinya
belum lengkap. Beri DPT ulang untuk anak yang sebelumnya telah diimunisasi. Beri
eritromisin suksinat (12.5 mg/kgBB/kali 4 kali sehari) selama 14 hari untuk setiap bayi yang
berusia di bawah 6 bulan yang disertai demam atau tanda lain dari infeksi saluran pernapasan
dalam keluarga.
117.E. Streptomycin
Pasien di atas termasuk ke dalam pasien TB dengan riwayat putus pengobatan atau kategori
default. Oleh karena itu, pasien seharusnya mendapatkan pengobatan TB kategori 2, yaitu
2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3. Pada beberapa keadaan, terdapat kontraindikasi terhadap obat
TB, salah satunya kehamilan seperti pada pasien ini. Pada keadaan hamil, obat TB yang
menjadi kontraindikasi adalah streptomisin.
119.B. L5
Drop foot adalah keadaan ketidakmampuan dorsofleksi dan ekstensi jari-jari kaki akibat
cedera pada nervus fibularis comunis, atau paralisis otot-otot tungkai bawah bgaian
anterior. Drop foot merupakan sebuah gejala yang dapat muncul karena berbagai
penyebab seperti trauma otot dan saraf, cedera medulla spinalis, atau sebagai manifestasi
akibat toksin dan penyebab sistemik lain.
Gejala drop foot yang melibatkan kelainan saraf pusat biasanya disebabkan oleh
kompresi L5 pada vertebra lumbosakral, gejala lain yang dapat timbul adalah kelemahan
pada area yang dipersarafi nervus peroneal sampa dengan tibialis posterior. Nyeri
pinggang dan ischialgia juga dapat terjadi oleh karena proses patologis yang sama.
Kelainan pada struktur perifer dapat terjadi spontan, proses trauma dapat dibedakan
dengan penyebab sentral di mana kelemahan yang terjadi perifer tidak menyebabkan
nyeri pinggang, dan ischialgia.
Referensi:
Berry H, Richardson PM. Common peroneal nerve palsy: a clinical and
electrophysiological review. J Neurol Neurosurg Psychiatry. Dec
1976;39(12):1162-71.
Pritchett J. W., Porembski M. A., (2013). Foot Drop. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/1234607
Gambar diperoleh dari http://emedicine.medscape.com/article/1234607
Refrensi:
Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, Rusdi
Maslim.1993.
123. D. Etambutol
Efek samping Ethambutol yang tersering adalah toksisitas yang terjadi pada mata dan
pencegahan terhadap munculnya efek samping ini masih merupakan kontroversi. Penelitian
pada hewan ditemukan bahwa ethambutol memiliki efek toksik pada serabut saraf di ganglion
retina. Onset terjadinya keluhan pada mata biasanya lambat, bisa berbulan-bulan setelah
mulai terapi (rata-rata antara 3-5 bulan, bahkan ada yang sampai 12 bulan), jarang sekali yang
muncul secara akut. Pasien yang terkena akan mengeluh penurunan tajam penglihatan pada
kedua mata tanpa disertai rasa sakit, penurunan terhadap kontras dan sensitivitas warna serta
gangguan lapang pandang. Pada pemeriksaan fisik, gangguan yang terjadi pada kedua mata
didapatkan simetris.
2. Rifampisin
• Warna kemerahan pada urine.
• Gangguan saluran pencernaan seperti mual dan muntah.
• Gangguan fungsi hati.
• Reaksi hipersensitivitas atau alergi.
• Trombositopenia dan leukopinia.
• Abdominal distress (ketidaknyamanan pada perut).
• Keluhan influenza (flu syndrom), demam, nyeri otot dan sendi.
3. Ethambutol
• Gangguan penglihatan, neuritis optik (peradangan saraf mata), buta warna
• Peradangan saraf tepi
• Penyakit asam urat
• Ruam
• Gatal-gatal
• Urtikaria
• Penurunan jumlah trombosit
4. Streptomisin
• Efek samping yang paling utama adalah kerusakan saraf ke delapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran
• Tuli
• Gangguan keseimbangan
• Demam
• Sakit kepala
5. Pirazinamid
• Gangguan yang utama adalah hepatitis
• Nyeri sendi
• Reaksi hipersensitas seperti demam, mual kemerahan , dan reaksi kulit yang lain
125.B. Mastoidektomi
Pasien pada soal menunjukkan gejala adanya keluhan keluar cairan yang dirasakan
kambuhan dan berlangsung lama. Pada pemeriksaan terdapat jaringan granulasi dan
kolesteatoma pad marginal atau atik yang mengarahkan diagnosis pada OMSK Maligna.
OMSK benigna OMSK maligna
Proses letak peradangan Terbatas pad mukosa, tidak Mengenai tulang
mengenai tulang
Kolesteatoma - +
Letak perforasi Sentral (terdapat di pars Marginal (sebagian
tensa, sedangkan di seluruh tepi perforasi
tepi perforasi masih ada sisa langsung
membrane timpani) berhubungan
dengan annulus atau
sulkus timpanikum.
Atau di atik (di pars
flaksida)
Terapi Konservatif/medikamentosa Mastoidektomi
Prinsip terapi OMSK maligna adalah pembedahan yaitu mastoidektomi dengan atau
tanpa timpanoplasti. Terapi konservatif dengan pengobatan dilakukan sebelum
pembedahan. Mastoidektomi yang dapat dilakukan adalah:
Mastoidektomi sederhana
Dilakukan pada OMSK benigna.Pada kondisi ini fungsi pendengaran tidak
diperbaiki.
Mastoidektomi radikal
Operasi ini dilakukan pada OMSK maligna dengan infeksi atau kolesteatoma yang
meluas. Pada operasi ini rongga mastoid dan kavum timpani dibersihkan dari semua
jaringan patologik. Dinding batas antara liang telinga luar dan telinga tengah dengan
rongga mastoid dihilangkan sehinggga ketoga daerah anatomi tersebut menjadi satu
ruangan. Fungsi pendengaran tidak diperbaiki.
Mastoidektomi radikal dengan modifikasi
Dilakukan pada pasien dengan OMSK maligna dan kolesteatoma.
Sumber:
1. Djaafar, Zainul A et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hlm 69-74.
2. Boies, Lawrence R. 1997. Buku Ajar penyakit THT, Jakarta: EGC. Hlm 107-118.
Untuk menentukan usia kehamilan dapat digunakan rumus Naegele sebagai berikut:
Tanggal ditambah 7
Bulan dikurang 3
Tahun ditambah 1
Keterangan: (1 bulan = 30 hari)
Metode ini merupakan metode perhitungan usia kehamilan yang sangat umum dilakukan.
Biasanya terdapat range hari lahir dengan selisih hingga 7 hari yang dihitung dari tanggal
perhitungan kelahiran berdasarkan hari terakhir menstruasi.
Preeklampsia ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang
timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan,
tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa.
Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai kejang dan/atau koma yang timbul bukan akibat
kelainan neurologi.
Superimposed preeklampsia-eklampsia adalah timbulnya pre-eklampsia atau eklampsia pada
pasien yang menderita hipertensi kronik.
Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya dua dari tiga gejala, yaitu edema,
hipertensi, dan proteinuria.
Edema ialah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam jaringan tubuh,
dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan kaki, jari
tangan, dan muka. Kenaikan berat badan ½ kg setiap minggu dalam kehamilan masih
dapat dianggap normal, tetapi bila kenaikan 1 kg seminggu beberapa kali, hal ini perlu
menimbulkan kewaspadaan terhadap timbulnya preeklampsia.
Tekanan darah ≥140/90 mmHg atau tekanan sistolik meningkat >30 mmHg atau
tekanan diastolik >15 mmHg yang diukur setelah pasien beristirahat selama 30 menit.
Proteinuria bila terdapat protein sebanyak 0,3 g/l dalam air kencing 24 jam atau
pemeriksaan kualitatif menunjukkan +1 atau +2; atau kadar protein ≥ 1 g/l dalam urin
yang dikeluarkan dengan kateter atau urin porsi tengah, dimabil minimal 2 kali
dengan jarak waktu 6 jam.
Preeklampsia dibagi dalam golongan ringan dan berat. Penyakit digolongkan berat bila satu
atau lebih tanda/gejala di bawah ini ditemukan:
1) Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik 110 mmHg atau lebih
2) Proteinuria 5 g atau lebih dalam 24 jam; +3 atau +4 pada pemeriksaan kualitatif
3) Oliguria, air kencing 400 ml atau kurang dalam 24 jam
4) Keluhan serebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah epigastrium
5) Edema paru-paru atau sianosis.
Diagnosis eklampsia ditegakkan berdasarkan gejala-gejala preeklampsia disertai kejang atau
koma. Sedangkan, bila terdapat gejala preeklampsia berat disertai salah satu atau beberapa
gejala dari nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan
kenaikan tekanan darah progresif, dikatakan pasien tersebut menderita impending
preeklampsia. Impending preeklampsia ditangani sebagai kasus eklampsia.
Referensi:
Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. HanifaWiknjosatro,
Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2006.
Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Arief Mansjoer. 2008. Jakarta : Media
Aesculapius FKUI.
128.B. 400
Formula Friedewald:
Menghitung kolesterol LDL dengan rumus:
LDL Cholesterol = TOTAL Cholesterol – (HDL Cholesterol + Trigliserida/5)
= 500 - (25 + 375/5)
= 500 – 100 = 400 mg/dL
More info:
Cara ini tidak akurat bila TG diatas 400 mg/dL
Friedewald tidak direkomendasikan karena variabilitas 3 pengukuran independen
(kolesterol total, kolesterol HDL, dan trigliserida)
Referensi :
Warnick GR, Knopp RH, Fitzpatrick V, Branson L (January 1990). "Estimating low-density
lipoprotein cholesterol by the Friedewald equation is adequate for classifying patients on the basis of
nationally recommended cutpoints". Clinical Chemistry
129.B. Osteokondroma
Osteokondroma adalah tumor jinak tulang dengan penampakan adanya penonjolan
tulang yang berbatas tegas sebagai eksostosis yang muncul dari metafisis, penonjolan
tulang ini diliputi oleh cartilago hialin. Tumor ini berasal dari komponen tulang
(osteosit) dan komponen tulang rawan (chondrosit). Sepuluh persen dari penderita yang
memiliki osteokondroma multipel akan mengalami keganasan tulang yang disebut
kondrosarkoma, tetapi penderita yang hanya memiliki
satu osterokondroma (soliter), kecil kemungkinan
untuk berkembang menjadi kondrosarkoma.
Terdapat 2 tipe osteokondroma, yaitu bertangkai
(pedunculated) dan tidak bertangkai (sesile). Pada tipe
pedunculated, pada foto polos tampak penonjolan
tulang yang menjauhi sendi dengan korteks dan
spongiosa masih normal. Penonjolan ini berbentuk
seperti bunga kol (cauliflower) dengan komponen
osteosit sebagai tangkai dan komponen kondrosit
sebagai bunganya. Densitas penonjolan tulang
inhomogen (opaq pada tangkai dan lusen pada bunga).
Terkadang tampak adanya kalsifikasi berupa bercak
opaq akibat komponen kondral yang mengalami
kalsifikasi.
Gejala pada osteokondroma dapat bermanifestasi sebagai berikut:
Benjolan yang terletak dekat persendian terutama lutut dan bahu, tidak menekan
struktur yang peka nyeri sehingga tidak menimbulkan keluhan.
Nyeri pada saat beraktifitas apabila osteokondroma terletak dekat dengan tendon
sehingga pada saat beraktivitas tendon akan berbenturan dan menyebabkan nyeri.
Kesemutan dan baal dapat terjadi apabila osteokondroma terletak dekat dengan
saraf seperti pada bagian belakang lutut, apabila terjadi penekanan saraf akan
menimbulkan sensasi kesemutan atau baal.
Referensi:
Panagiotis. K., et al.; (2008). "Osteochondromas: Review of the Clinical, Radiological
and Pathological Features". In Vivo 22 (5): 633–646.
Gambar diperoleh dari
http://www.orthopaedicsone.com/download/attachments/42271006/oc5.jpg
Sumber:
1. Jawetz, Melnick & Adelberg’s. Medical Microbiology. McGraw-Hill Companies Inc.
Twenty Second Edition. 2001. Pp 235-237.
2. Staf Pengajar FK UI. Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa Aksara. 1993. Hal 174-175
Sumber :
Sudoyo, A.W et al. (2006). Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Pembahasan:
Iktiosis terkait kromosom X: merupakan iktiosis
terbanyak ke-2. Saat lahir biasanya skuama halus tidak
terlihat nyata, mulai usia 2-6 bulan hiperkeratosis tebal
berwarna coklat gelap sampai kuning kecoklatan menutupi
badan, ektremitas dan leher. Skuama tidak didapatkan pada
wajah namun didapatkan di periaurikuler. Palmar dan
plantar normal, hal ini yang biasanya untuk membedakan
dengan iktiosis vulgaris.
133.C. Erisipelas
Pembahasan:
Selulitis adalah suatu penyakit infeksi atau
peradangan di daerah jaringan bawah kulit
(Subkutis). Gambaran klinis eritema lokal
pada kulit dan system vena dan limfatik
pada kedua ektrimitas atas dan bawah. Pada
pemeriksaan ditemukan kemerahan yang
karakteristik hangat, nyeri tekan, demam
dan bakterimia.
Istilah SNA sering digunakan bergantian dengan Glomerulonefritis Akut (GNA). GNA ini
adalah suatu istilah yang sifatnya lebih umum dan lebih menggambarkan proses histopatologi
berupa proliferasi dan inflamasi sel glomeruli akibat proses imunologik. Jadi, SNA
merupakan istilah yang bersifat klinik dan GNA merupakan istilah yang lebih bersifat
histologik.
Glomerulonefritis sering ditemukan pada anak berumur antara 3-7 tahun dan lebih sering
mengenai anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Perbandingan antara anak laki-laki
dan perempuan adalah 2 : 1 dan jarang menyerang anak dibawah usia 3 tahun.
Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau secara menahun
(kronis) seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. Gejalanya dapat berupa
mual-mual, kurang darah (anemia), atau hipertensi. Gejala umum berupa sembab kelopak
mata, kencing sedikit, dan berwarna merah, biasanya disertai hipertensi. Penyakit ini
umumnya (sekitar 80%) sembuh spontan, 10% menjadi kronis, dan 10% berakibat fatal.
GEJALA KLINIS
SNA sering terjadi pada anak laki-laki usia 2-14 tahun, gejala yang pertama kali muncul
adalah penimbunan cairan disertai pembengkakan jaringan (edema) di sekitar wajah dan
kelopak mata (infeksi post streptokokal). Pada awalnya edema timbul sebagai pembengkakan
di wajah dan kelopak mata, tetapi selanjutnya lebih dominan di tungkai dan bisa menjadi
hebat. Berkurangnya volume air kemih dan air kemih berwarna gelap karena mengandung
darah, tekanan darah bisa meningkat. Gejala tidak spesifik seperti letargi, demam, nyeri
abdomen, dan malaise.
Gejalanya:
Onset akut (kurang dari 7 hari)
Hematuria baik secara makroskopik maupun mikroskopik. Gross hematuria 30%
ditemukan pada anak-anak.
Oliguria
Edema (perifer atau periorbital), 85% ditemukan pada anak-anak; edema bisa
ditemukan sedang sampai berat.
Sakit kepala, jika disertai dengan hipertensi.
Dyspnea, jika terjadi gagal jantung atau edema pulmo; biasanya jarang.
Kadang disertai dengan gejala spesifik; mual dan muntah, purpura pada Henoch-
Schoenlein, artralgia yang berbuhungan dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
Pemeriksaan urine terdapat sedimen eritrosit (+) sampai (++++), juga torak eritrosit (+) pada
60-85% kasus. Pada pemeriksaan darah, didapatkan titer ASO meningkat dan kadar C3
menurun. Pada pemeriksaan ‘throat swab’ atau ‘skin swab’ dapat ditemukan streptokokkus.
Pemeriksaan foto thorax PA tegak dan lateral dekubitus kanan dapat ditemukan kelainan
berupa kardiomegali, edema paru, kongesti paru, dan efusi pleura (nephritic lung).
ABNORMALITAS
PEMERIKSAAN DARAH
ORGANOMEGALI: anemia
hepatomegali leukopenia/leokositosis
splenomegali trombositopenia
Karakteristik khas:
LEUKEMIA
AKUT: KRONIS:
- hepatomegali dan splenomegali - hepatomegali dan splenomegali berat
ringan - Jarang ditemukasn manifestasi
- ditemukan manifestasi perdarahan dan infeksi
perdarahan dan infeksi - Neutropenia, trombositopenia, limfopenia
- Onset cepat jarang ditemukan
LEUKEMIA MIELOBLASTIK
AKUT
More Info:
Perbedaan LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT dan LEUKEMIA LIMFOBLASTIK
AKUT
LEUKEMIA LIMFOBLASTIK LEUKEMIA
AKUT MIELOBLASTIK AKUT
Epidemiologi Terutama menyerang anak < 14 th Menyerang segala usia,
(90%) bentuk leukemia paling
Peningkatan insidensi ke-2 pada usia sering pada dewasa
pertengahan (paruh baya)
Tipe Proliferasi Sel Neoplasia limfoblastik (Prekusor sel Neoplasia mieloblas
limfosit) (Prekusor sel granulosit dan
monosit)
Derajat diferensiasi Sel blast tidak menunjukkan Sel blast biasanya
diferensiasi menunjukkan diferensiasi
Prognosis Anak 2-9 th angka kesembuhan 20-25% sembuh dengan
50-75% kemoterapi
Dewasa 35% sembuh dengan
kemoterapi
Referensi:
Sesuai dengan kasus ini di mana pasien merupakan penderita gagal ginjal kronis
sehingga anemia pada kasus ini termasuk anemia penyakit kronis.
2. Pendekatan kinetik: Pendekatan ini didasarkan pada mekanisme yang berperan dalam
turunnya Hb. Anemia dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari 3 mekanisme independen:
Berkurangnya produksi sel darah merah
Anemia disebabkan karena kecepatan produksi sel darah merah lebih rendah dari
destruksinya. Penyebab berkurangnya produksi sel darah merah:
- Kekurangan nutrisi: Fe, B12, atau folat; dapat disebabkan oleh kekurangan diet,
malaborpsi (anemia pernisiosa, sprue) atau kehilangan darah (defi siensi Fe)
- Kelainan sumsum tulang (anemia aplastik, pure red cell aplasia, mielodisplasia,
infl itrasi tumor)
- Supresi sumsum tulang (obat, kemoterapi, radiasi)
- Rendahnya trophic hormone untuk stimulasi produksi sel darah merah
(eritropoietin pada gagal ginjal, hormon tiroid [hipotiroidisme] dan androgen
[hipogonadisme])
- Anemia penyakit kronis/anemia inflamasi, yaitu anemia dengan karakteristik
berkurangnya Fe yang efektif untuk eritropoiesis karena berkurangnya absorpsi Fe
dari traktus gastrointestinal dan berkurangnya pelepasan Fe dari makrofag,
berkurangnya kadar eritropoietin (relatif) dan sedikit berkurangnya masa
hidup erirosit.
Meningkatnya destruksi sel darah merah
Anemia hemolitik merupakan anemia yang disebabkan karena berkurangnya masa
hidup sel darah merah (kurang dari 100 hari). Pada keadaan normal, umur sel darah
merah 110-120 hari. Anemia hemolitik terjadi bila sumsum tulang tidak dapat
mengatasi kebutuhan untuk menggganti lebih dari 5% sel darah merah/hari yang
berhubungan dengan masa hidup sel darah merah kira-kira 20 hari.
Kehilangan darah.
Dari penjelasan di atas maka jawaban yang paling sesuai adalah defisiensi eritropoietin.
Referensi:
1. Schrier SL. 2011.Approach to the adult patient with anemia.www.uptodate.com
2. Schrier SL.2011.Approach to the diagnosis of hemolytic anemia in the adult. January
2011. www.uptodate.com
3. Teff eri A.2003. Anemia in adults : A contemporary approach to diagnosis. Mayo Clin
Proc.
More Info
Hyaline membrane disease (HMD) juga dikenal sebagai sindrom gawat napas
(respiratory distress syndrome / RDS) Kondisi ini biasanya terjadi pada bayi prematur.
HMD terjadi pada sekitar 25% neonatus yang lahir pada usia kehamilan 32 minggu.
Insidens meningkat dengan semakin prematurnya neonatus.
Transient Tachypnea of the Newborn (TTN) adalah suatu penyakit ringan pada
neonatus yang mendekati cukup bulan atau cukup bulan, yang mengalami gawat napas
segera setelah lahir dan hilang dengan sendirinya dalam waktu 3-5 hari. Penyakit ini
bersifat self- limiting disease dan tidak ada risiko kekambuhan atau disfungsi paru lebih
lanjut. Gejala respirasi membaik sejalan dengan mobilisasi cairan dengan diuresis.
*Apabila anda menjumpai soal dyspnea pada neonatus yang muncul pada soal exit
exam, biasanya secara sederhana dapat dibagi menjadi prematur (Hyaline membrane
disease) dan post matur (Meconium aspiration syndrome).
Referensi:
Falk. R., (2012). APPROACH TO PEDIATRIC DYSPNEA. Learn Pediatric. The
University of British Columbia.
Kliegman, RM, HB Jenson, KJ Marcdante, & RE Behrman. 2006. Nelson Essentials of
Pediatrics. Elsevier Saunders: Philadelphia.
Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi segera eksaserbasi
yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah menjadi gagal napas segera atasi
untuk mencegah kematian. Beberapa hal yang harus diperhatikan meliputi:
1. Diagnosis beratnya eksaerbasi
Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal
Kesadaran
Tanda vital
Analisis gas darah
Pneomonia
5. Ventilasi mekanik
Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaerbasi berat akan mengurangi mortaliti dan
morbiditi, dan memperbaiki simptom. Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan
penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi
139.E. 2RHZE/HRZE/5R3H3E3
140.A. Proporsi
Pembahasan:
Macam variabel penelitian:
Variabel Nominal, yaitu variabel yang ditetapkan berdasar atas proses
penggolongan; variabel ini bersifat diskret dan saling pilah (mutually exclusive)
antara kategori yang satu dan kategori yang lain; contoh: jenis kelamin, status
perkawinan, jenis pekerjaan.
Variabel Ordinal, yaitu variabel yang disusun berdasarkan atas jenjang dalam atribut
tertentu. Jenjang tertinggi biasa diberi angka 1, jenjang di bawahnya diberi angka 2,
lalu di bawahnya di beri angka 3 dan seterusnya.
Variabel Interval, yaitu variabel yang dihasilkan dari pengukuran, yang di dalam
pengukuran itu diasaumsikan terdapat satuan (unit) pengukuran yang sama. Contoh:
variabel interval misalnya prestasi belajar, sikap terhadap sesuatu program
dinyatakan dalam skor, penghasilan dan sebagainya.
Variabel ratio, adalah variabel yang dalam kuantifikasinya mempunyai nol mutlak.
Contoh Berat Badan, Tinggi Badan.
Pada skenario tersebut responden dapat memberikan pendapat melalui 5 kategori pilihan
jawaban yg terdiri dari "sangat tidak setuju", "tidak setuju", "ragu ragu", setuju, " sangat
setuju", sehingga ini termasuk dalam variabel ordinal dan untuk menghitung jumlah
respons/penilaian masyarakat adalah dengan cara menghitung frekuensi proporsi setiap
kategori. Misalnya: Sangat setuju = 20 orang, Setuju = 15 orang dan seterusnya.
141.A. Asam folat
Asam folat adalah salah satu vitamin yang termasuk dalam kelompok vitamin B, yaitu
vitamin B9, merupakan salah satu unsur penting dalam sintesis DNA (deoxyribo nucleic
acid). Unsur ini diperlukan sebagai koenzim dalam sintesis pirimidin. Kebutuhan meningkat
pada saat terjadi peningkatan pembentukan sel seperti pada kehamilan, keganasan dan bayi
prematur.
Pada ibu hamil, asam folat berperan penting dalam pembentukan satu per tiga sel darah
merah. Itu sebabnya, ibu hamil yang mengalami kekurangan asam folat umumnya juga
mengalami anemia dengan segala konsekuensinya (terlihat pucat dan mudah letih, lesu dan
lemas). Bahkan, juga berisiko mengalami persalinan prematur, plasenta lepas sebelum
waktunya (solusio plasentae) dan keguguran. Meskipun asam folat dapat dipenuhi oleh nutrisi
sehari-hari, ibu hamil tetap memerlukan tambahan asam folat. Itulah sebabnya suplementasi
asam folat dianjurkan meskipun status gizi ibu hamil tersebut berada pada “jalur hijau” Kartu
Menuju Sehat (KMS) ibu hamil.
Kekurangan asam folat juga sangat berpengaruh pada perkembangan sistem saraf utama otak
dan tulang belakang janin seperti pada cacat tabung saraf janin (neural tube defect/NTD).
Cacat tabung saraf janin sendiri dibagi menjadi 3 bentuk yaitu spina bifida, anensefali,
dan encephalocele.
Spina bifida adalah adanya celah pada tulang belakang sehingga tidak bisa tertutup
sempurna akibat beberapa ruas tulang gagal bertaut. Cacat jenis ini banyak terjadi di
antara ibu hamil yang mengalami kekurangan asam folat, yakni 65%. Meski bisa
bertahan hidup, namun bayi spina bifida sering disertai kelainan lain seperti
kelumpuhan dan tidak ada kontrol untuk buang air besar dan kecil.
Anensefali adalah tidak sempurnanya pertumbuhan tengkorak kepala dan otak. Jenis
yang sering membawa kematian begitu bayi dilahirkan ini, dialami sekitar 25% dari
ibu hamil yang kekurangan asam folat.
Encephalocele adalah adanya tonjolan di belakang kepala. Jenis ini diderita sekitar
10% dari ibu yang kekurangan asam folat.
142.C. Kepala
Leopold I
Pemeriksa berdiri dikanan dan menghadap ke arah muka pasien.
Kedua telapak tangan ditempatkan pada fundus uteri.
Untuk menentukan tinggi fundus uteri dan ditentukan bagian janin yang berada di fundus
uteri.
LEOPOLD II
Leopold II
Pemeriksa berdiri dikanan dan menghadap ke arah muka pasien.
Kedua telapak tangan ditempatkan pada sisi kiri dan kanan uterus setinggi umbilikus.
Untuk menentukan lokasi bagian punggung janin dan bagian-bagian kecil janin.
LEOPOLD III
Leopold III
Pemeriksaan ini dilakukan dengan perlahan oleh karena dapat menyebabkan perasaan tak
nyaman bagi pasien.
Pemeriksa berdiri di kanan dan menghadap ke arah muka pasien, bagian terendah janin
dipegang di antara ibu jari dan telunjuk tangan kanan.
Untuk menentukan apa yang menjadi bagian terendah janin dan apakah sudah mengalami
engagement atau belum.
LEOPOLD IV
Leopold IV
Pemeriksa berdiri dikanan dan menghadap ke arah kaki pasien.
Kedua telapak tangan ditempatkan disisi kiri dan kanan bagian terendah janin.
Digunakan untuk menentukan sampai berapa jauh derajat desensus janin.
2. Letak janin
Bila janin pada posisi posterior (occiput berputar kearah sacrum dan muka janin berputar ke
depan), maka persalinan akan berlangsung lebih lama.
Pada presentase belakang kepala (vertex) yang terjadi pada proses persalinan normal per
vaginam, maka ubun ubun kecil berada di bagian anterior.
Engagement biasanya terjadi saat inpartu dan apakah bagian terendah sudah masuk dalam
pintu atas panggul atau belum dan sampai berapa jauh masuknya bagian terendah janin
(presentasi) dalam pintu atas panggul digunakan pemeriksaan Leopold IV.
Referensi:
Hanifa Wiknjosatro, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2006. Ilmu
Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Mochtar, Rustam.1998. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fiologi/Obstetri Patologi jilid 1. Jakarta:
ECG.
Vander, Sherman, Luciano. 2005.Parturition: Human Physiology, Ed. 9, McGraw-Hill, New
York: 677-678.
Cuningham dkk. Normal Labor and Delivery: William’s Obstetrics. 22nd Ed. USA.
McGraw-Hill: 410-440, 2005.
Lukas, Efendi. 2009. Bahan kuliah: Fisiologi Kehamilan. Makassar: Universitas Hasanuddin
Sumber:
- Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In:
Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139
- Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd edition.
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002.
p:139-142
Referensi:
1. Regional Guideline on The Management of Severe Falcifarum Malaria in Level II Hospital.
World Health Organization South East-Asia Regional Office New Delhi 2004.
2. Paul NH. 2007.Malaria. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.FKUI: 1732-44.
3. Iskandar Z, Budi S. 2007.Malaria berat. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. FKUI:1745-48
Kriteria Batasan
Malar rash Erythema yang fixed,datar/meninggi.
Letaknya pada malar, biasanya tidak
mengenai lipatan nasolabial.
Referensi:
1. Current Medical Diagnosis and Treatment .2004. Chapter 20:Arthritis and Musculosceletal
disorder.
2. Perhimpunan Reumatologi Indonesia.2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus
Sistemik.
147.C. Salbutamol
Salbutamol adalah obat golongan β2-adrenergic receptor agonist kerja singkat yang
ditujukan untuk mengurangi bronkospasme pada penyakit seperti asthma dan PPOK.
Reseptor β2-adrenergic terdapat di seluruh tubuh pada organ-organ otot polos dan skelet,
jantung serta pembuluh darah, saluran pencernaan, dan mata.
Pada sistem kardiovaskular, aktivasi reseptor β2-adrenergic menyebabkan peningkatan
kontraktilitas dan frekuensi denyut jantung (Chronotropic dan Inotropic positif), dan
pada pembuluh darah menyebabkan dilatasi, sehingga dapat menyebabkan gejala-gejala
sebagaimana yang terjadi pada kasus.
Efek samping paling sering yang ditimbulkan salbutamol adalah tremor, anxietas, nyeri
kepala, kram otot, dan palpitasi. Efek lain yang mungkin terjadi dengan frekuensi lebih
jarang adalah takikardia, aritmia, iskemik myokard, dan gangguan tidur.
Referensi:
Selective beta2 agonists–side effects". British National Formulary (57 ed.).
London: BMJ Publishing Group Ltd and Royal Pharmaceutical Society Publishing.
March 2008.
148.C. 1 – 2 tahun
149.D. Silicosis
PNEUMOCONIOSIS
Pneumoconiosis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh adanya partikel
(debu) yang masuk atau mengendap di dalam paru-paru. Pneumoconiosis terdiri atas
beberapa jenis, tergantung dari jenis partikel yang masuk atau terhisap ke dalam paru-paru.
Beberapa contohnya adalah:
1. Silicosis
Penyakit ini disebabkan oleh debu silika bebas, berupa SiO2 yang terisap masuk ke
dalam paru-paru kemudian mengendap. Debu silika bebas ini banyak terdapat pada
pabrik besi dan baja, keramik, pengecoran beton, bengkel yang mengerjakan besi
(mengikir, menggerinda, dll). Silicosis ditandai dengan sesak napas yang disertai
batuk tidak berdahak. Silicosis merupakan penyakit yang terparah di antara
semua pneumoconiosis, karena bersigat progresif, yaitu jika pajanan dihentikan maka
pneumoconiosis tetap akan berlanjut.
2. Asbestosis
Adalah penyakit kerja yang diakibatkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari
udara. Asbes adalah campuran dari berbagai macam silikat, namun yang paling utama
adalah Magnesium silikat. Asbes dapat menyebabkan tumor pada pleura yang
disebutmesotelioma. Mesotelioma bersifat ganas, tidak dapat disembuhkan dan
biasanya terjadi setelah pemaparan selama 30-40 tahun. Debu asbes banyak dijumpai
pada pabrik dan industri yang menggunakan asbes, pabrik beratap asbes, dsb.
3. Bissynosis
Adalah penyakit pneumoconiosis yang disebabkan oleh debu kapas atau serat kapas di
udara yang kemudian terhisap ke dalam paru-paru. Banyak dijumpai pada pabrik
pemitalan kapas, pabrik tekstil, perusahaan dan pergudangan kapas.
4. Anthracosis
Adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh debu karbon
(anthracit).Anthracit bersifat inert dengan kata lain hampir tidak bereaksi dengan
paru-paru (Antaruddin, 2003 dalam Wibawa, 2008). Penyakit ini biasanya dijumpai
pada pekerja-pekerja tambang batu bara atau pada pekerja yang banyak melbatkan
penggunaan batu-bara.
SILIKOSIS
Silikosis (Silicosis) adalah suatu penyakit saluran pernapasan akibat menghirup debu
silika, yang menyebabkan peradangan dan pembentukan jaringan parut pada paru-paru.
Silikon dioksida (silika, SiO2) merupakan senyawa yang umum ditemui dalam
kehidupan sehari-hari dan banyak digunakan sebagai bahan baku industri elektronik. Silikon
dioksida kristalin dapat ditemukan dalam berbagai bentuk yaitu sebagai quarsa, kristobalit
dan tridimit. Pasir di pantai juga banyak mengandung silika. Silikon dioksida terbentuk
melalui ikatan kovalen yang kuat, serta memiliki struktur lokal yang jelas: empat atom
oksigen terikat pada posisi sudut tetrahedral di sekitar atom pusat yaitu atom silikon.
Terdapat 3 jenis silikosis:
1. Silikosis kronis simplek, terjadi akibat pemaparan sejumlah kecil debu silika dalam jangka
panjang (lebih dari 20 tahun). Nodul-nodul peradangan kronis dan jaringan parut akibat
silika terbentuk di paru-paru dan kelenjar getah bening dada.
2. Silikosis akselerata, terjadi setelah terpapar oleh sejumlah silika yang lebih banyak
selama waktu yang lebih pendek (4-8 tahun). Peradangan, pembentukan jaringan parut
dan gejala-gejalanya terjadi lebih cepat.
3. Silikosis akut, terjadi akibat pemaparan silikosis dalam jumlah yang sangat besar, dalam
waktu yang lebih pendek. Paru-paru sangat meradang dan terisi oleh cairan, sehingga
timbul sesak napas yang hebat dan kadar oksigen darah yang rendah.
Pada silikosis simplek dan akselerata bisa terjadi fibrosis masif progresif. Fibrosis ini
terjadi akibat pembentukan jaringan parut dan menyebabkan kerusakan pada struktur paru
yang normal.
PENYEBAB
Silikosis terjadi pada orang-orang yang telah menghirup debu silika selama beberapa
tahun. Silika adalah unsur utama dari pasir, sehingga pemaparan biasanya terjadi pada:
buruh tambang logam
pekerja pemotong batu dan granit
pekerja pengecoran logam
pembuat tembikar.
Biasanya gejala timbul setelah pemaparan selama 20-30 tahun. Tetapi pada peledakan
pasir, pembuatan terowongan dan pembuatan alat pengampelas sabun, dimana kadar silika
yang dihasilkan sangat tinggi, gejala dapat timbul dalam waktu kurang dari 10 tahun.
Bila terhirup, serbuk silika masuk ke paru-paru dan sel pembersih (misalnya
makrofag) akan mencernanya. Enzim yang dihasilkan oleh sel pembersih menyebabkan
terbentuknya jaringan parut pada paru-paru. Pada awalnya, daerah parut ini hanya
merupakan bungkahan bulat yang tipis (silikosis noduler simplek). Akhirnya, mereka
bergabung menjadi massa yang besar (silikosis konglomerata). Daerah parut ini tidak dapat
mengalirkan oksigen ke dalam darah secara normal. Paru-paru menjadi kurang lentur dan
penderita mengalami gangguan pernapasan.
GEJALA
Penderita silikosis noduler simpel tidak memiliki masalah pernapasan, tetapi mereka
bisa menderita batuk berdahak karena saluran pernapasannya mengalami iritasi (bronkitis).
Silikosis konglomerata bisa menyebabkan batuk berdahak dan sesak napas. Mula-
mula sesak napas hanya terjadi pada saat melakukan aktivitas, tapi akhirnya sesak timbul
bahkan pada saat beristirahat.
Keluhan pernapasan bisa memburuk dalam waktu 2-5 tahun setelah penderita berhenti
bekerja. Kerusakan di paru-paru bisa mengenai jantung dan menyebabkan gagal jantung yang
bisa berakibat fatal. Jika terpapar oleh organisme penyebab tuberkulosis (Mycobacterium
tuberculosis, penderita silikosis mempunyai resiko 3 kali lebih besar untuk
menderita tuberkulosis. Gejala tambahan yang mungkin ditemukan, terutama pada silikosis
akut:
demam
batuk
penurunan berat badan
gangguan pernapasan yang berat.
DIAGNOSA
o Pemeriksaan yang dilakukan:
Rontgen dada (terlihat gambaran pola nodul dan jaringan parut)
Tes fungsi paru
o Tes PPD (untuk TBC).
PENGOBATAN
Tidak ada pengobatan khusus untuk silikosis. Untuk mencegah semakin
memburuknya penyakit, sangat penting untuk menghilangkan sumber pemaparan. Terapi
suportif terdiri dari obat penekan batuk, bronkodilator dan oksigen. Jika terjadi infeksi, bisa
diberikan antibiotik. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah:
membatasi pemaparan terhadap silika
berhenti merokok
menjalani tes kulit untuk TBC secara rutin.
Penderita silikosis memiliki resiko tinggi menderita tuberkulosis (TBC), sehingga dianjurkan
untuk menjalani tes kulit secara rutin setiap tahun. . Silika diduga mempengaruhi sistem
kekebalan tubuh terhadap bakteri penyebab TBC. Jika hasilnya positif, diberikan obat anti
TBC.
PENCEGAHAN
Silicosis dapat dicegah dengan memastikan kadar silika selalu di bawah ambang
batas. Itu sebab, dust sampling (uji debu) perlu dilakukan berkala untuk memantau kadar
silika pada suatu area kerja. Jika ditemukan kadar di atas ambang batas, tindakan perbaikan
mesti dilakukan.
Tindakan pencegahan paling umum adalah dengan membasahi permukaan tanah dan
bijih. Mesin-mesin yang berpotensi menimbulkan debu (mis: belt conveyor) juga mesti diberi
pelindung agar debu tidak tersebar. Sedang di tambang bawah tanah, ventilasi yang cukup
merupakan prasyarat penting untuk mengurangi kadar debu.
Agar perlindungan menjadi maksimal, pekerja mesti dibekali dengan respirator
(masker anti debu). Respirator dilengkapi dengan filter hingga mampu mencegah partikel
debu terhirup ke dalam paru-paru.
Referensi:
Sudoyo, A.W et al. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Referensi:
1. Muliwan, S.W. 2009. Bakteri Anaerob Yang Erat Kaitannya Dengan Problem di
Klinik : Diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta: EGC
2. Badan POM RI. Keracunan Pangan Akibat bakteri Patogen. Diunduh dari:
http://ik.pom.go.id/v2012/wp-content/uploads/2011/11/Keracunan-Pangan-Akibat-
Bakteri-Patogen3.pdf
Sumber:
1. Soetirto, I et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm
17-18.
2. Djaafar, Zainul A et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hlm 69-74.
3. Boies, Lawrence R. 1997. Buku Ajar penyakit THT, Jakarta: EGC. Hlm 107-118.
Referensi:
Ilyas S, Tanzil M, Salamun dkk. Sari Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
2003:5.
155.B. Denial
Pembahasan:
Mekanisme koping adalah suatu pola untuk menahan ketegangan yang mengancam
dirinya (pertahanan diri/maladaptif) atau untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi
(mekanisme koping/adaptif).
- Denial (Fase Penyangkalan dan Pengasingan Diri)
Reaksi pertama setelah mendengar, bahwa penyakitnya diduga tidak dapat
disembuhkan lagi adalah, "Tidak, ini tidak mungkin terjadi dengan saya."
Penyangkalan ini merupakan mekanisme pertahanan yang biasa ditemukan pada
hampir setiap pasien pada saat pertama mendengar berita mengejutkan tentang
keadaan dirinya. Hampir tak ada orang yang percaya, bahwa kematiannya sudah
dekat, dan mekanisme ini ternyata memang menolong mereka untuk dapat mengatasi
shock khususnya kalau peyangkalan ini periodik. Normalnya, pasien itu akan
memasuki masa-masa pergumulan antara menyangkal dan menerima kenyataan,
sampai ia dapat benar-benar menerima kenyataan, bahwa kematian memang harus ia
hadapi.
- Anger (Fase Kemarahan)
Jarang sekali ada pasien yang melakukan penyangkalan terus menerus. Masanya tiba
dimana ia mengakui, bahwa kematian memang sudah dekat. Tetapi kesadaran ini
seringkali disertai dengan munculnya ketakutan dan kemarahan. "Mengapa ini terjadi
dengan diriku?", "Mengapa bukan mereka yang sudah tua, yang memang hidupnya
sudah tidak berguna lagi?" Kemarahan ini seringkali diekspresikan dalam sikap rewel
dan mencari-cari kesalahan pada pelayanan di rumah sakit atau di rumah. Bahkan
kadang-kadang ditujukan pada orang-orang yang dikasihinya, dokter, pendeta,
maupun Tuhan. Seringkali anggota keluarga menjadi bingung dan tidak mengerti apa
yang harus dilakukan. Umumnya mereka tidak menyadari, bahwa tingkah laku pasien
tidak masuk akal, meskipun normal, sebagai ekspresi dari frustasi yang dialaminya.
Sebenarnya yang dibutuhkan pasien adalah pengertian, bukan argumentasi-
argumentasi dari orang-orang yang tersinggung oleh karena kemarahannya.
- Bargaining (Fase Tawar Menawar)
Ini adalah fase di mana pasien akan mulai menawar untuk dapat hidup sedikit lebih
lama lagi atau dikurangi penderitaannya. Mereka bisa menjanjikan macam-macam
hal kepada Tuhan, "Tuhan, kalau Engkau menyatakan kasih-Mu, dan keajaiban
kesembuhan-Mu, maka aku akan mempersembahkan seluruh hidupku untuk
melayaniMu."
- Depression (Fase Depresi)
Setelah ternyata penyakitnya makin parah, tibalah fase depresi. Penderita merasa
putus asa melihat masa depannya yang tanpa harapan. Sebagai orang percaya
memang mungkin dia mengerti adanya tempat dan keadaan yang jauh lebih baik
yang telah Tuhan sediakan di surga. Namun, meskipun demikian perasaan putus asa
masih akan dialami.
- Acceptance (Fase Menerima)
Tidak semua pasien dapat terus menerus bertahan menolak kenyataan yang ia alami.
Pada umumnya, setelah jangka waktu tertentu mereka akan dapat menerima
kenyataan, bahwa kematian sudah dekat, sehingga mereka mulai kehilangan
kegairahan untuk berkomunikasi dan tidak tertarik lagi dengan berita dan persoalan-
persoalan di sekitarnya. Pasien-pasien seperti ini biasanya membosankan dan mereka
seringkali dilupakan oleh teman-teman dan keluarganya, padahal kebutuhan untuk
selalu dekat dengan keluarga pada saat- saat terakhir justru menjadi sangat besar.
156.A. Trunkus superior pleksus brachialis
Trauma lahir pada pleksus brakialis dapat dijumpai pada persalinan yang mengalami
kesukaran dalam melahirkan kepala atau bahu. Pada kelahiran yang mengalami
kesukaran melahirkan bahu, dapat terjadi penarikan balik cukup keras ke lateral yang
berakibat terjadinya trauma di pleksus brakialis. Trauma lahir ini dapat pula terjadi pada
kelahiran letak sungsang yang mengalami kesukaran melahirkan kepala bayi.
Sesuai dengan letak pangkal serabut saraf pleksus brakialis, trauma lahir pada saraf
tersebut dapat dibagi menjadi
1. Trunkus superior pleksus brachialis (C.5-C6): Paralisis
Duchene-Erb menyebabkan adduksi dan endorotasi sendi bahu;
dan lengan bawah pronasi-ekstensi. serta hilangnya reflek radial
dan biseps. Pada waktu dilakukan abduksi pasif, terlihat lengan
akan jatuh lemah di samping badan dengan posisi yang khas
disebut sebagai waiter’s tip.
Secara lengkap anatomi dari pleksus brachialis dibagi menjadi: Roots, Trunks, Divisions,
Cords, dan Branches maka cedera di masing-masing level ini akan memberikan kelainan
yang berbeda-beda.
1. Roots: berasal dari akar saraf di leher dan thorax pada level C5-C8, T1
2. Trunks: dari Roots bergabung menjadi 3 thrunks
3. Divisions: dari 3 thrunks masing-masing membagi 2 menjadi 6 division
4. Cords: 6 division tersebut bergabung menjadi 3 cords
5. Branches: cords tersebut bergabung menjadi 5 branches, yaitu : n.musculocutaneus,
n.axilaris,n.radialis,n. medianus, dan n.ulnaris
Referensi:
Solomon L., Warwick D. J., Selvadurai N.; (2010). Apley’s System of Orthopaedics and
Fractures. United Kingdom : Holder Arnold
Gambar diperoleh dari http://pediatricneuro.com/alfonso/pg220.htm
157.A. Baru
1) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT
kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif.
159.B. Rifampicin
Pasien TB dengan Diabetes Melitus harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat
mengurangiefektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti
diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah
selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan antidiabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus
sering terjadi komplikasiretinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian
etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut.
Jadi obat TB yang harus diperhatikan pada penderita DM adalah Rifampicin dan
Ethambutol. Masalah yang muncul pada kasus ini lebih menekankan interaksi obat TB
dengan obat antidiabetik, sehingga jawaban yang tepat adalah Rifampicin.
Referensi:
Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia Edisi II Tahun 2011.
Referensi:
1. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di Indonesia
2011. PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) 2011.
2. Acarbose (Rx). http://reference.medscape.com/drug/precose-acarbose-342701#0
Menurut panduan kursus bantuan hidup dasar, tanda-tanda klinis kematian yang
irreversible seperti kaku mayat, lebam mayat, dan pembusukan merupakan keadaan di
mana RJP tidak dilaksanakan.
Referensi:
PERKI (2013), Kursus bantuan Hidup Jantung Lanjut. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia: Jakarta.
PERKI (2013), Kursus bantuan Hidup Jantung Dasar. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia: Jakarta.
162.C. Cairan RL 600 cc dalam ½ jam
Pada kasus di atas pasien anak mengalami diare dengan dehidrasi berat yang ditandai
dengan adanya mata cowong dan turgor kembali sangat lambat. Anak dengan dehidrasi
berat harus diberi rehidrasi intravena secara cepat yang diikuti dengan terapi
rehidrasi oral.
Pada kasus di atas usia anak 3 tahun dengan berat badan 20 kg sehingga cairan yang
dibutuhkan adalah : (30 ml x 20 ) = 600 ml dalam 30 menit dan selanjutnya diberikan
(70 ml x 20 ) = 1.400 ml dalam 2,5 jam.
Sumber:
World Health Organization. 2013. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit
Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten. Jakarta: WHO Indonesia.
164.A. Hidrokel
Hidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan di antara lapisan parietalis dan viseralis
tunika vaginalis. Dalam keadaan normal, cairan yang berada di dalam rongga itu memang ada
dan berada dalam keseimbangan antara produksi dan reabsorbsi oleh sistem limfatik di
sekitarnya.
Pasien mengeluh adanya benjolan di kantong skrotum yang tidak nyeri. Pada pemeriksaan
fisis didapatkan adanya benjolan di kantong skrotum dengan konsistensi kistus dan pada
pemeriksaan penerawangan menunjukkan adanya transiluminasi.
Torsio testis intravaginal terjadi karena korda spermatikus, juga testis, terpuntir bersama
tunika vaginalis. Torsio testis intravaginal lebih sering terjadi pada sisi kiri karena korda
spermatikus kiri lebih panjang daripada yang kanan sehingga lebih mudah terjadi puntiran.
Gejala yang timbul adalah rasa sakit yang sedang sampai berat pada testis yang torsio.
Kadang-kadang rasa sakit menjalar sepanjang korda spermatikus ke panggul atau abdomen
bagian bawah. Gejala penting yang sangat membantu adalah adanya nyeri testis yang hilang
timbul dengan hilangnya rasa sakit secara spontan dalam waktu singkat. Keluhan biasanya
disertai mual dan muntah.
Orchitis (orkitis) adalah infeksi pada salah satu atau kedua testis.
Penyebab Orchitis, antara lain:
Sebagian orchitis berhubungan dengan penyakit Gondongan (Mumps, Parotitis).
Disebutkan bahwa 30 % penderita Gondongan dapat mengalami Orchitis pada hari ke
4 hingga hari ke 7. Ini terjadi karena penjalaran infeksi melalui aliran getah bening.
Virus-virus lain yang berbungan dengan Orchitis di antaranya coxsackievirus,
varicella, dan echovirus.
Bakteri: Orchitis oleh bakteri pada umumnya merupakan penyebaran epididymitis,
yakni infeksi epididimis (saluran sperma yang menempel di bagian atas testis).
Tumor testis berasal dari sel germinal atau jaringan stroma testis. Lebih dari 90% berasal
dari sel germinal. Tumor ini mempunyai derajat keganasan tinggi, tetapi dapat sembuh bila
diberi penanganan adekuat.
Pasien biasanya mengeluh adanya pembesaran testis yang seringkali tidak nyeri, namun 30%
mengeluh nyeri dan terasa berat pada kantung skrotum, sedang 10% mengeluh nyeri akut
pada skrotum.
165.E. E. Coli
Pielonefritis akut: adalah reaksi inflamasi akibat infeksi yang terjadi pada pielum dan
parenkim ginjal. Pada umumnya kuman ini ascending dari bagian bawah ke atas. Kuman-
kuman yang sering adalah Escheria coli, Proteus, Klebsiella spp., dan kokus gram positif.
Adapun gejala dan tanda dari pielonefritis akut adalah demam tinggi yang disertai menggigil
nyeri di daerah perut dan pinggang, mual maupun muntah. Dapat pula terjadi disuria,
frekuensi, dan urgensi. Pemeriksaan yang dilakukan adalah menilai adanya nyeri pinggang
pada regio flank. pemeriksaan darah yang menunjukkan adanya leukositosis disertai
meningkatnya LED, urinalisis terdapat piuria, bakteriuria dan hematuria.
Organisme penyebab infeksi tractus urinarius yang paling sering ditemukan adalah
Eschericia coli, (80% kasus). E.coli merupakan penghuni normal dari kolon. Organisme-
organisme lain yang juda dapat menyebabkan infeksi saluran perkemihan adalah: Golongan
Proteus, Klebsiela, Pseudomonas, Enterococcus, dan Staphylococcus.
Jenis kokus Gram-positif lebih jarang sebagai penyebab ISK sedangkan Enterococcus dan
Staphylococcus aureus sering ditemukan pada pasien dengan batu saluran kemih, lelaki usia
lanjut dengan hipertrofi prostat atau pada pasien yang menggunakan kateter. Bila ditemukan
Staphylococcus aureus dalam urine harus dicurigai adanya infeksi hematogen melalui ginjal.
Demikian juga Pseudomonas aeroginosa dapat menginfeksi saluran kemih melalui jalur
hematogen dan pada kira-kira 25% pasien demam tifoid dapat diisolasi Salmonella pada urin.
Referensi:
Suyono, Slamet. 2001. “Ilmu Penyakit Dalam”, edisi 3: Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
166.A. Otitis eksterna difusa
Otitis Eksterna Otitis Eksterna Difusa
Sirkumkripta
Lokasi Mengenai kulit liang telinga Mengenai kulit liang
1/3 luar telinga 2/3 dalam
Kuman penyebab Staphylococcus aureus atau Pseudomonas
Staphylococcus albus Staphylococcus albus
Eschericia coli
Gejala Nyeri hebat tidak sesuai Nyeri tekan tragus
besar bisul Liang telinga sangat
Liang telinga sempit sempit
Nyeri muncul saat KGB regional
membuka mulut membesar dan nyeri
Gangguan pendengaran tekan
Jika furunkel besar Sekret berbau
maka menyumbat liang
telinga
Pengobatan Antibiotika lokal Membersihkan liang
Jika dinding tebal: telinga
dilakuka insisi Tampon antibiotic
kemudian dipasang
drain untuk mengalirkan
nanah
Sumber:
Djaafar, Zainul A et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hlm 64-77.
167.E. Sampo selenum sulfida 1,8% 10 menit sebelum mandi, 2x/seminggu, selama 7 hari
Pada kasus di atas, pasien terdiagnosis Pitiriasis Versikolor. Hal ini sesuai dengan
keluhan pasien berupa gatal, kelainan kulit yang terjadi, yaitu ditandai dengan adanya
makula hipo atau hiperpigmentasi dengan skuama halus di atasnya, serta predileksi
terutama pada daerah seboroik, yaitu tubuh bagian atas, leher, wajah dan lengan atas.
Pada pemeriksaan penunjang dengan KOH 10% tampak spora, blastospora dan hifa
pendek.
Penatalaksaan Pitiriasis Versikolor:
Topikal: sampo selenium sulfida 1,8% dioleskan diseluruh daerah yang terinfeksi selama
15-30menit sebelum mandi, 2-3x perminggu. Atau dengan sampo ketokonazol 2%,
sampo zinc pyrithione dengan cara pemakaian yang sama.
Sistemik: hal ini diberikan apabila lesi luas atau sulit untuk disembuhkan, yaitu dengan
ketokonazol 200mg/hari selama 10 hari.
168.A. Psoriasis
Psoriasis: peradangan kulit yang kronik residif yang ditandai dengan plak eritematosa,
diataasnya tertutup skuama kasar, transparan, berlapis-lapis disertai dengan adanya
fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan Koebner.
» Fenomena tetesan lilin ialah skuama yang warnanya berubah menjadi putih pada
goresan, seperti lilin yang digores, hal ini disebabkan terjadi perubahan indeks
bias. Menggores dapat dilakukan dengan pinggir gelas alas. (Istilah ini hanya
dikenal di Indonesia)
» Pada fenomena Auspitz tampak serum atau darah berbintik-bintik yang disebabkan
oleh papilomatosis. Cara mengerjakannya yaitu skuama yang berlapis-lapis
tersebut dikerok, misalnya dengan pinggir gelas alas. Setelah skuamanya habis,
pengerokan harus dilakukan perlahan-lahan, jika terlalu dalam tidak akan terlihat
bintik perdarahan.
» Fenomena Koebner terlihat pada letak lesi kulit pada psoriasis yang bersesuaian
dengan bagian tubuh yang sering terpajan trauma/gesekan (lutuu, siku,
lumbosakral).
Tinea Corporis: merupakan penyakit jamur superfisial yang disebabkan oleh kelompok
dermatofita (Trychopyton sp., Epidermophyton sp., dan Microsporum). Biasanya
mengenai pada kulit yang tidak berambut dengan keluhan gatal terutama saat berkeringat
dan secara klinis tampak lesi berbatas tegas, polisiklik, tepi aktif karena tanda
peradangan lebih jelas dan polimorfik yang terdiri atas eritema, skuama, dan kadang
papul dan vesikel di tepi, serta terdapat penyembuhan di tengah. Pada pemeriksaan
mikroskopis kerokan kulit dengan KOH tampak hifa panjang atau artrospora.
Pitiriasis Rosea: erupsi kulit yang akut dan sering dijumpai, bersifat swasirna, secara
khas dapat diawali dengan lesi pertama (herald patch) dan sering tanpa disertai gejala.
Heral patch biasanya berbatas tegas, berdiameter 2-4cm, berbetuk oval/bulat, berwarna
salmon/eritematosa atau hiperpigmentasi dengan skuama halus di bagian tepi perifer
plak. Lesi primer ini biasanya terletak dibagian badan yang tertutup baju, tetapi kadang
di leher atau ekstremitas proksimal. Lesi sekunder antara 2 hari-2 bulan setelah lesi awal,
tetapi umumnya dalam 2 minggu setelah plak primer. Erupsi simetris terutama pada
badan, leher dan ekstremitas proksimal. Morfologi lesi sekunder tidak khas , dapat
berupa makula tanpa skuama, maupun plak tidak khas. Terdapat 2 tipe utama lesi
sekunder, yaitu:
(1) Plak kecil menyerupai plak primer tetapi berukuran lebih kecil, sejajar dengan
aksis panjang lines of cleavage dengan distribusi seperti pola pohon cemara.
(2) Papul kecil, kemerahan, biasanya tanpa skuama yang secara bertahap bertambah
jumlahnya dan menyebar ke perifer.
Dermatitis Seboroik: penyakit kulit yang didasari oleh faktor konstitusi dengan
predileksi di daerah seboroik. Dermatitis ini dapat dimulai pada masa bayi berusia 2
minggu, menyembuh sebelum usia 1 tahun. Kelainan kulit berupa eritema dan
papuloskuama membentuk plakat eritemaskuamosa di tempat predileksi (daerah
seboroik), yaitu wajah, terutama alis dan nasolabial, skalp, retroaurikuler, sternal. Pada
bayi dan anak, relatif tidak gatal, dapat menyerupai dermatitis atopik tettapi skuama dan
krusta lebih berminyak. Di skalp krusta dapat menebal dan menyerupai topi. Pada orang
dewasa, kelainan kulit lebih kering tempat predileksi terutama daerah berambut atau
kepala dan gatal dirasakan bila berkeringat atau udara panas.
Tinea Intertriginosa: merupakan salah satu bentuk tinea pedis, keluhan yang tampak
berupa maserasi, skuamasi serta erosi, di celah-celah jari terutama jari IV dan jari V. Hal
ini terjadi disebabkan kelembaban di celah-ceIah jari tersebut membuat jamur-jamur
hidup lebih subur. Bila menahun dapat terjadi fisura yang nyeri bila kena sentuh. Bila
terjadi infeksi dapat menimbulkan selulitis atau erisipelas disertai gejala-gejala umum.
Konjungtivitis bacterial: dengan gejala mata merah, sekret mata dan iritasi mata. Organisme
penyebab tersering adalah konjungtivitis bakteri (gram positif), Neisseria gonorrhoea,
Herpes simpleks dan Clamidia.
Referensi:
Ilyas, Sidarta. 2002. dkk. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa
Kedokteran. Jakarta: Sagung Seto.
171.A. Atropin
Penanganan keracunan organofosfat selanjutnya adalah pemberian antidotum.
Antidotum yang diberikan adalah sulfas atropin 2 mg IV atau IM. Dosis besar ini
tidak berbahaya pada keracunan organofosfat dan harus dulang setiap 10–15 menit
sampai terlihat gejala-gejala keracunan atropin yang ringan berupa wajah merah, kulit
dan mulut kering, midriasis dan takikardi. Kemudian atropinisasi ringan ini harus
dipertahankan selama 24 – 48 jam, karena gejala-gejala keracunan organofosfat biasanya
muncul kembali. Pada hari pertama mungkin dibutuhkan sampai 50 mg atropin.
Kemudian atropin dapat diberikan oral 1 – 2 mg selang beberapa jam, tergantung
kebutuhan.
Atropin akan menghialngkan gejala-gejala muskarinik perifer (pada otot polos dan
kelenjar eksokrin) maupun sentral. Pernapasan diperbaiki karena atropin melawan
brokokonstriksi, menghambat sekresi bronkus dan melawan depresi pernapasan di otak,
tetapi atropin tidak dapat melawan gejala kolinergik pada otot rangka yang berupa
kelumpuhan otot-otot rangka, termasuk kelumpuhan otot-otot pernapasan.
Sumber:
1. Frank C. Lu. Toksikologi Dasar. Edisi kedua. U.I. Press. Jakarta. 1995 : 266 – 268.
2. T. A. Gossel dkk. Principle of Clinical Toxicology. Second Ed. Raven Press. New
York. 1990 : 133 –139.
3. Budiyanto, A. et all. (1997). Ilmu Kedokteran Forensik : Keracunan insektisida.
Jakarta : Bagian Kedokteran forensic Fakultas Keokteran Universitas Indonesia.
172.C. Artesunat 100 mg + Amodiakuin 400 mg dibagi 4 dosis selama 3 hari + Primakuin
hari I
Dalam kasus ini memenuhi Trias malaria, yaitu Dingin (menggigil), Demam, dan
Berkeringat.
Dari tetes darah tebalnya didapatkan gambaran:
Accole form
Khas Plasmodium Falciparum
stadium cincin (ring)
Pengobatan Lini Pertama Malaria falsiparum menurut berat badan dengan Artesunat +
Amodiakuin dan Primakuin:
*Tablet mengandung 50 mg sodium artesunat; Tablet 200 mg Amodiakuin basa
*Dosis obat:
Amodiakuin basa = 10mg/kgBB dan
Artesunat = 4mg/kgBB
Primakuin = 0,75mg/kgBB (P. falciparum untuk hari I)
Pada soal tidak didapatkan informasi mengenai berat badan sehingga pemberian terapi
didasarkan pada tabel menurut umurnya ( dalam kotak merah) yaitu Artesunat 2 tablet+
Amodiakuin 2 tablet perhari selama 3 hari, karena eliminasi waktu paruh adalah 2- 5 jam
maka dapat terbagi menjadi 4 dosis. Terapi artesunat harus dikombinasikan dengan
amodiakuin.
Daftar Pustaka :
Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman
Tata Laksana Malaria.
Daftar Pustaka :
Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever
Revised and expanded edition. World Health Organization 2011.
174.A. Polio
Jadwal Imunisasi Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), untuk bayi dan
anak berusia 0 hingga 18 tahun, edisi tahun 2011 yang masih baku dan ditampilkan dalam
situs resmi IDAI yang diunduh pada Maret 2014, hingga ada pembaharuan lebih lanjut.
Referensi:
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).http://idai.or.id/. Diakses Maret 2014.
Pembahasan :
Pada kasus diatas, pasien terdiagnosis Dermatitis Kontak Iritan dimana UKK sesuai
dengan dermatitis dan pasien merasakan keluhan setelah mencuci pakaian secara manual.
Hal ini berarti akibat pasien terpajan bahan iritan seperti detergen.
Dermatitis Kontak Dermatitis Dermatitis Atopik
Iritan Kontak Alergi
Etiologi Terpajan bahan Terpajan alergen Multifaktorial, seperti faktor
iritan genetik, imunologik, lingkungan,
sawar kulit dan farmakologik.
Konsep dasar terjadinya DA
adalah melalui reaksi imunologik.
Keluhan Gatal, terbakar/nyeri Gatal Gatal, kulit kering, peradangan dan
eksudasi
Klinis Terjadi reaksi Terjadi reaksi Secara klinis pada
dermatitis (eritem, dermatitis setelah - fase infantil (0-2 tahun): di
kering, sering terjadi pajanan kedua pipi, leher, ekstremitas
terdapat likenifikasi, alergen. ekstensor, fosa cubiti, fosa
papul), bila iritan Lesi membaik poplitea, simetris, bersifat akut,
kuat dermatitis bila pajanan ditandai makula eritematosa
akut, iritan lema h dihentikan, lesi yang gatal dapat diikuti dengan
dermatitis kronis dapat lesi papulovesikuler, bila pecah
setelah pajanan generalisata atau menjadi basah dan membentuk
berulang lokalisata, krusta.
Lesi membaik bila efloresensi - Pada fase anak (2-12 tahun) :
pajanan dihentikan, polimorf. di fosa cubiti, fosa poplitea
lesi lokalisata, (dapat meluas), simetris,
berbatas tegas, luas bersifat subakut sampai kronik,
sesuai kontak bahan bekas garukan menyebabkan
penyebab, lebih banyak erosi dan
efloresensi ekskoriasi.
monomorf. - Fase remaja dan dewasa (usia
>12 tahun) bersifat kronik,
hilang timbul, hiperpigmentasi,
hiperkeratosis, likenifikasi,
terutama ekstensor ekstremitas
dan tengkuk serta biasanya
simetris.
Pemeriksaan Tes tempel guna Tes tempel untuk Diagnosis DA ditegakkan bila
penunjang membedakan mencari mempunyai minimal 3 kriteria
dengan DKA penyebab mayor dan 3 kriteria minor.
Kriteria Mayor
Pruritus
Dermatitis di muka atau
ekstensor bayi dan anak
Dermatitis di fleksura pada
dewasa
Dermatitis kronis atau residif
Riwayat atopi pada penderita
atau keluarganya
Kriteria Minor
Xerosis
Infeksi kulit (khususnya oleh
S. aureus dan virus H.
simpleks)
Dermatitis non spesifik pada
tangan dan kaki
Iktiosis/hiperlinearis
palmaris/keratosis pilaris
Pitiriasis alba
Dermatitis di papila mame
White dermatografism dan
delayed blanched response
Keilitis
Lipatan infra orbital Dennie –
Morgan
Konjungtivitis berulang
Keratokonus
Katarak subkapsular anterior
Orbita menjadi gelap
Muka pucat dan eritema
Gatal bila berkeringat
Intolerans perifolikular
Hipersensitif terhadap
makanan
Perjalanan penyakit
dipengaruhi oleh faktor
lingkungan atau emosi
Tes alergi kulit tipe dadakan
positif
Kadar IgE dalam serum
meningkat
Awitan pada usia dini
Terapi Pemberian Pemberian Topikal
antihistamin antihistamin - Hidrasi kulit
generasi kedua generasi kedua - Kortikosteroid topikal
(untuk mengurangi (untuk - Imunomodulator topikal
gatal) mengurangi Sistemik
Pemberian gatal) - Kortikosteroid (untuk
kortikosteroid oral Pemberian mengendalikan eksaserbasi
(prednison kortikosteroid akut)
20mg/hari selama 3 oral (prednison - Antihistamin (untuk
hari) berat 20mg/hari mengurangi rasa gatal)
selama 3 hari) - Anti Infeksi (Eritromisin,
sedang-berat Kaltromisin), bila ada infeksi
virus asiklovir 3x400 mg/hari
selama 10 hari
177.D. Frank breech
Referensi: Cunningham FG. William Obstetrics 22nd ed. Mc Grawhill Companies. 2005.
Prinsip metode IVA adalah melihat perubahan warna menjadi putih (acetowhite) pada lesi
prakanker jaringan ektoserviks rahim yang diolesi larutan asam asetoasetat (asam cuka). Bila
ditemukan lesi makroskopik yang dicurigai kanker, pengolesan asam asetat tidak dilakukan
namun segera dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. Beberapa kategori temuan IVA tampak
seperti tabel berikut:
Kategori temuan IVA
1. Normal Licin, merah muda, bentuk porsio
normal
2. Infeksi Servisitis (inflamasi, hiperemis)
Banyak fluor
Ektropion
Polip
3. Positif IVA Plak putih
Epitel acetowhite (bercak putih)
4. Kanker leher rahim Pertumbuhan seperti bunga kol
Pertumbuhan mudah berdarah
Kategori temuan IVA
1. Negatif Tak ada lesi bercak putih (acetowhite
lesion)
Bercak putih pada polip endoservikal
atau kista nabothi
Garis putih mirip lesi acetowhite pada
sambungan skuamokolumnar
2. Positif 1 (+) Samar, transparan, tidak jelas,
terdapat lesi bercak putih yang
irregular pada serviks
Lesi bercak putih yang tegas,
membentuk sudut (angular),
geographic acetowhite lessions yang
terletak jauh dari sambungan
skuamokolumnar.
3. Positif 2 (++) Lesi acetowhite yang buram, padat,
dan berbatas jelas sampai ke
sambungan skuamokolumnar
Lesi acetowhite yang luas,
circumorificial, berbatas tegas, tebal,
dan padat
Pertumbuhan pada leher rahim
menjadi acetowhite
Baku emas untuk penegakan diagnosis lesi prakanker leher rahim adalah biopsi yang dipandu
oleh kolposkopi.
Referensi: Skrining Kanker Leher Rahim dengan Metode Inspeksi Visual dengan Asam
Asetat (IVA). 2008. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Anak (umur < 6 tahun) menderita anemia jika kadar Hb < 9,3 g/dl (kira-kira sama
dengan nilai Ht < 27%). Jika timbul anemia,maka segera atasi.
Beri pengobatan (di rumah) dengan zat besi (tablet besi/folat atau sirup setiap hari)
selama 14 hari.
Minta orang tua anak untuk datang lagi setelah 14 hari. Jika mungkin,pengobatan
harus diberikan selama 3 bulan (Dalam panduan WHO tahun 2009 pengobatan
diberikan selama 2 bulan). Dibutuhkan waktu 2 – 4 minggu untuk menyembuhkan
anemia dan 1-3 bulan setelah kadar Hb kembali normal untuk mengembalikan
persediaan besi tubuh.
Jika anak berumur ≥ 2 tahun dan belum mendapatkan mebendazol dalam kurun waktu 6
bulan, berikan satu dosis mebendazol (500 mg) untuk kemungkinan adanya infeksi
cacing cambuk atau cacing pita.
Referensi:
1. World Health Organization.2013.Pocket book of hospital care for children: guidelines for the
management of common childhood illnesses – 2nd ed.
2. Lanzkowsky P. 2005.Manual of Pediatric Hematology and Oncology. 4th ed. Philadelphia:
Elsevier
180.C. >103
Dalam kasus sederhana, diagnosis infeksi saluran kemih dapat ditegakkan dan pengobatan
diberikan berdasarkan gejalanya saja tanpa konfirmasi laboratorium lebih lanjut. Dalam kasus
yang kompleks atau meragukan, mungkin berguna untuk memastikan diagnosis dengan
urinalisis, mencari adanya nitrit urin, sel darah putih (leukosit), atau esterase leukosit.
Pemeriksaan lain, mikroskopi urin, mencari adanya sel darah merah, sel darah putih, atau
bakteri. kultur urin dianggap positif bila menunjukkan jumlah koloni bakteri lebih besar atau
sama dengan 103 unit pembentuk koloni (colony forming unit/CFU) per mL organisme
saluran kemih biasa. Sensitivitas antibiotik juga dapat diuji dengan kultur ini, sehingga
berguna dalam pemilihan pengobatan antibiotik.
Gejala sesuai ISK bagian bawah akut > 103 CFU/mL uropatogen
Referensi:
Nicolle LE. 2008. "Uncomplicated urinary tract infection in adults including uncomplicated
pyelonephritis". UrolClin North Am 35 (1): 1–12, v.
Richardson JP. Infection in the urinary tract. In: Adelman AM, Daly MP (eds). Twenty
common problems in geriatrics. Singapore: McGraw-Hill; 2001.p.349-55.
181.E. Terbinafin
Terbinafin tidak direkomendasikan bagi pasien dengan penyakit liver kronik ataupun
akut (aktive). Idealnya pemberian terbinafin dilakukan setelah pemeriksaan fungsi liver,
karena hepatotoksisitas dapat terjadi pada pasien dengan atau tanpa kelainan liver
sebelumnya. Pemakaian terbinafin harus segera dihentikan apabila terjadi peningkatan
pada pemeriksaan laboratorium fungsi liver, pemeriksaan fungsi liver direkomendasikan
dilakukan berkala bagi pasien yang mendapat terapi terbinafin.
Telah dilaporkan kasus terjadinya liver failure, bahkan kematian pada pasien yang
mendapatkan terapi terbinafin dengan atau tanpa riwayat penyakit liver sebelumnya.
Derajat keparahan penyakit berhubungan positif dengan keparahan penyakit sistemik
yang telah ada sebelumnya.
Pasien yang memperoleh terapi terbinafin harus diberikan penjelasan untuk segera
menghentikan minum obat dan menemui dokter apabila mengalami gejala mual,
anoreksia, urin berwarna gelap, dan feses pucat.
*Apabila menemui soal seperti pada kasus, melihat pilihan jawaban akan cukup
membantu karena dari 5 pilihan hanya 1 jawaban (Terbinafin) yang tidak berasal dari
golongan azole.
Referensi:
http://www.drugs.com/pro/terbinafine.html
Diperkirakan 10% bayi baru lahir membutuhkan bantuan untuk bernapas pada saat lahir dan
1% saja yang membutuhkan resusitasi yang ekstensif. Penilaian awal saat lahir harus
dilakukan pada semua bayi. Penilaian awal itu ialah: apakah bayi cukup bulan, apakah bayi
menangis atau bernapas, dan apakah tonus otot bayi baik. Jika bayi lahir cukup bulan,
menangis, dan tonus ototnya baik, bayi dikeringkan dan dipertahankan tetap hangat. Hal ini
dilakukan dengan bayi berbaring di dada ibunya dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi yang
tidak memenuhi kriteria tersebut, dinilai untuk dilakukan satu atau lebih tindakan secara
berurutan di bawah ini:
A. Langkah awal stabilisasi (memberikan kehangatan, membersihkan jalan napas jika
diperlukan, mengeringkan, merangsang)
B. Ventilasi
C. Kompresi dada
D. Pemberian epinefrin dan/atau cairan penambah volume
Diberikan waktu kira-kira 60 detik (the Golden Minute) untuk melengkapi langkah awal,
menilai kembali, dan memulai ventilasi jika dibutuhkan. Penentuan ke langkah berikut
didasarkan pada penilaian simultan dua tanda vital yaitu pernapasan dan frekuensi denyut
jantung. Setelah ventilasi tekanan positif (VTP) atau setelah pemberian oksigen tambahan,
penilaian dilakukan pada tiga hal yaitu frekuensi denyut jantung, pernapasan, dan status
oksigenasi.
Setelah publikasi tahun 2005, telah diidentifikasi beberapa kontroversi dan pada tahun 2010
dibuat kesepakatan. Berikut ini adalah rekomendasi utama untuk resusitasi neonatus:
1. Penilaian setelah langkah awal ditentukan oleh penilaian simultan dua tanda vital
yaitu frekuensi denyut jantung dan pernapasan. Oksimeter digunakan untuk menilai
oksigenasi karena penilaian warna kulit tidak dapat diandalkan.
2. Untuk bayi yang lahir cukup bulan sebaiknya resusitasi dilakukan dengan udara
dibanding dengan oksigen 100%.
3. Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan udara (blended oxygen),
dan pangaturan konsentrasi dipandu berdasarkan oksimetri.
4. Bukti yang ada tidak cukup mendukung atau menolak dilakukannya pengisapan
trakea secara rutin pada bayi dengan air ketuban bercampur mekonium, bahkan pada bayi
dalam keadaan depresi (lihat keterangan pada langkah awal).
5. Rasio kompresi dada dan ventilasi tetap 3:1 untuk neonatus kecuali jika diketahui
adanya penyebab jantung. Pada kasus ini rasio lebih besar dapat dipertimbangkan.
6. Terapi hipotermia dipertimbangkan untuk bayi yang lahir cukup bulan atau mendekati
cukup bulan dengan perkembangan kearah terjadinya ensefalopati hipoksik iskemik
sedang atau berat, dengan protokol dan tindak lanjut sesuai panduan.
7. Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi detak jantung selama 10
menit. Banyak faktor ikut berperan dalam keputusan melanjutkan resusitasi setelah 10
menit.
8. Penjepitan talipusat harus ditunda sedikitnya sampai satu menit untuk bayi yang tidak
membutuhkan resusitasi. Bukti tidak cukup untuk merekomendasikan lama waktu untuk
penjepitan talipusat pada bayi yang memerlukan resusitasi.
Langkah Awal
Langkah awal resusitasi ialah memberikan kehangatan dengan meletakkan bayi di bawah
pemancar panas, memposisikan bayi pada posisi menghidu/sedikit tengadah untuk membuka
jalan napas, membersihkan jalan napas jika perlu, mengeringkan bayi, dan stimulasi napas.
Membersihkan jalan napas:
a. Jika cairan amnion jernih.
Pengisapan langsung segera setelah lahir tidak dilakukan secara rutin, tetapi hanya
dilakukan bagi bayi yang mengalami obstruksi napas dan yang memerlukan VTP.
b. Jika terdapat mekonium.
Bukti yang ada tidak mendukung atau tidak menolak dilakukannya pengisapan rutin pada
bayi dengan ketuban bercampur mekonium dan bayi tidak bugar atau depresi. Tanpa
penelitian (RCT), saat ini tidak cukup data untuk merekomendasikan perubahan praktek
yang saat ini dilakukan. Praktek yang dilakukan ialah melakukan pengisapan endotrakeal
pada bayi dengan pewarnaan mekonium yang tidak bugar. Namun, jika usaha intubasi
perlu waktu lama dan/atau tidak berhasil, ventilasi dengan balon dan sungkup dilakukan
terutama jika terdapat bradikardia persisten.
Menilai kebutuhan oksigen dan pemberian oksigen
Tatalaksana oksigen yang optimal pada resusitasi neonatus menjadi penting karena adanya
bukti bahwa baik kekurangan ataupun kelebihan oksigen dapat merusak bayi. Persentil
oksigen berdasarkan waktu dapat dilihat pada gambar algoritma.
Penggunaan oksimetri nadi (pulse oximetry) direkomendasikan jika:
1. Resusitasi diantisipasi
2. VTP diperlukan lebih dari beberapa kali napas
3. Sianosis menetap
4. Oksigen tambahan diberikan.
Pemberian oksigen tambahan
Target saturasi oksigen dapat dicapai dengan memulai resusitasi dengan udara atau oksigen
campuran (blended oxygen) dan dilakukan titrasi konsentrasi oksigen untuk mencapai SpO2
sesuai target. Jika oksigen campuran tidak tersedia, resusitasi dimulai dengan udara kamar.
Jika bayi bradikardia (kurang dari 60 per menit) setelah 90 detik resusitasi dengan oksigen
konsentrasi rendah, konsentrasi oksigen ditingkatkan sampai 100% hingga didapatkan
frekuensi denyut jantung normal.
Ventilasi Tekanan Positif (VTP)
Jika bayi tetap apnu atau megap-megap, atau jika frekuensi denyut jantung kurang dari 100
per menit setelah langkah awal resusitasi, VTP dimulai.
Pernapasan awal dan bantuan ventilasi
Bantuan ventilasi harus diberikan dengan frekuensi napas 40 – 60 kali per menit untuk
mencapai dan mempertahankan frekuensi denyut jantung lebih dari 100 per menit. Penilaian
ventilasi awal yang adekuat ialah perbaikan cepat dari frekuensi denyut jantung.
Tekanan akhir ekspirasi
Banyak ahli merekomendasikan pemberian continuous positive airway pressure (CPAP) pada
bayi yang bernapas spontan tetapi mengalami kesulitan setelah lahir. Penggunaan CPAP ini
baru diteliti pada bayi prematur. Untuk bayi cukup bulan dengan gawat napas, tidak ada
cukup bukti untuk mendukung atau tidak mendukung penggunaan CPAP di ruang bersalin.
Alat untuk ventilasi
Alat untuk melakukan VTP untuk resusitasi neonatus adalah Balon Tidak Mengembang
Sendiri (balon anestesi), Balon Mengembang Sendiri, atau T-piece resuscitator. Laryngeal
Mask Airway (LMA; sungkup larings) disebutkan dapat digunakan dan efektif untuk bayi
>2000 gram atau ≥ 34 minggu. LMA dipertimbangkan jika ventilasi dengan balon sungkup
tidak berhasil dan intubasi endotrakeal tidak berhasil atau tidak mungkin. LMA belum diteliti
untuk digunakan pada kasus air ketuban bercampur mekonium, pada kompresi dada, atau
untuk pemberian obat melalui trakea.
Pemasangan intubasi endotrakeal
Indikasi intubasi endotrakeal pada resusitasi neonatus ialah:
1. Pengisapan endotrakeal awal dari bayi dengan mekonium dan tidak bugar.
2. Jika ventilsi dengan balon-sungkup tidak efektif atau memerlukan waktu lama.
3. Jika dilakukan kompresi dada.
4. Untuk situasi khusus seperti hernia diafragmatika kongenital atau bayi berat lahir
amat sangat rendah.
Kompresi dada
Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60 per menit setelah
ventilasi adekuat dengan oksigen selama 30 detik. Untuk neonatus, rasio kompresi:ventilasi
tetap 3:1. Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan oksigenasi harus dinilai secara periodik
dan kompresi – ventilasi tetap dilakukan sampai frekuensi denyut jantung sama atau lebih
dari 60 per menit.
Medikasi
Obat-obatan jarang digunakan pada resusitasi bayi baru lahir. Namun, jika frekuensi denyut
jantung kurang dari 60 per menit walaupun telah diberikan ventilasi adekuat dengan oksigen
100% dan kompresi dada, pemberian epinefrin atau pengembang volume atau ke duanya
dapat dilakukan.
Epinefrin
Epinefrin direkomendasikan untuk diberikan secara intravena dengan dosis intrvena 0,01 –
0,03 mg/kg. Dosis endotrakeal 0,05 – 1,0 mg/kg dapat dipertimbangkan sambil menunggu
akses vena didapat, tetapi efektifitas cara ini belum dievaluasi. Konsentrasi epinefrin yang
digunakan untuk neonatus ialah 1:10.000 (0,1 mg/mL).
Pengembang volume
Pengembang volume dipertimbangkan jika diketahui atau diduga kehilangan darah dan
frekuensi denyut jantung bayi tidak menunjukkan respon adekuat terhadap upaya resusitasi
lain. Kristaloid isotonik atau darah dapat diberikan di ruang bersalin. Dosis 10 mL/kg, dapat
diulangi.
Perawatan pasca resusitasi
Bayi setelah resusitasi dan sudah menunjukkan tanda-tanda vital normal, mempunyai risiko
untuk perburukan kembali. Oleh karena itu setelah ventilasi dan sirkulasi adekuat tercapai,
bayi harus diawasi ketat dan antisipasi jika terjadi gangguan.
Nalokson
Nalokson tidak diindikasikan sebagai bagian dari usaha resusitasi awal di ruang bersalin
untuk bayi dengan depresi napas.
Glukosa
Bayi baru lahir dengan kadar glukosa rendah mempunyai risiko yang meningkat untuk
terjadinya perlukaan (injury) otak dan akibat buruk setelah kejadian hipoksik iskemik.
Pemberian glukosa intravena harus dipertimbangkan segera setelah resusitasi dengan tujuan
menghindari hipoglikemia.
Hipotermia untuk terapi
Beberapa penelitian melakukan terapi hipotermia pada bayi dengan umur kehamilan 36
minggu atau lebih, dengan ensefalopatia hipoksik iskemik sedang dan berat. Hasil penelitian
ini menunjukkan mortalitas dan gangguan perkembangan neurologik yang lebih rendah pada
bayi yang diberi terapi hipotermia dibanding bayi yang tidak diberi terapi hipotermia.
Penggunaan cara ini harus menuruti panduan yang ketat dan dilakukan di fasilitas yang
memadai.
Penghentian resusitasi
Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi detak jantung selama 10 menit.
Banyak faktor ikut berperan dalam keputusan melanjutkan resusitasi setelah 10 menit.
Referensi :
Wyllie J, et al. Part 11: Neonatal Resuscitation. 2010 International Consensus on
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Science with Treatment
Recommendations. Resuscitation 2010;81S:e260-e287.
Kattwinkel J et al. Special Report Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.
Pediatrics 2010;126:e1400-e1413.
Gejala klasik PSA adalah nyeri kepala hebat seperti tersengat listrik (thunderclap
headache) sering terasa pada bagian occipital. Gejala penyerta yang sering muncul
adalah muntah, kejang, dan perubahan status mental sampai dengan koma keseluruhan
gejala ini muncul karena proses peningkatan tekanan intra kranial. Gejala-gejala yang
menunjukkan terjadinya rangsang meningeal yang terjadi pada PSA meliputi kaku dan
nyeri kuduk, nyeri punggung dan nyeri kedua tungkai muncul dalam beberapa jam
setelah onset perdarahan, terjadi pada 80% kasus PSA.
Diagnosis klinis PSA harus dicurigai apabila terdapat satu atau lebih dari 6 karakteristik
di bawah ini pada pasien yang mengalami nyeri kepala akut hebat non traumatik dalam 1
jam sejak onset nyeri kepala.
Usia ≥ 40 tahun
Hilang kesadaran
Keluhan kaku dan nyeri kuduk
Keluhan yang memberat dengan aktivitas
Muntah
Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg, diastolik ≥ 110 mmHg
Referensi:
Perry JJ, Stiell IG, Sivilotti ML, Bullard MJ, Lee JS, Eisenhauer M. High risk clinical
characteristics for subarachnoid haemorrhage in patients with acute headache:
prospective cohort study. BMJ. 2010;341:c5204.
Gambar diperoleh dari http://www.mayfieldclinic.com/PE-SAH.HTM#.U2IsQ-SrDgE
Sumber:
- Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, Rusdi
Maslim.1993.
Enterobius vermicularis
Enterobius vermicularis atau Oxyuris vermicularis atau cacing kremi adalah parasit yang
menyebabkan infeksi usus yang disebut sebagai oxyuriasis atau enterobiasis. Anak
berumur 5-14 tahun lebih sering mengalami infeksi dibandingkan dengan orang dewasa.
Morfologi cacing adalah:
Telur
Berbentuk asimetris, tidak berwarna, mempunyai dinding yang tembus sinar. Telur
memiliki kulit dua lapisan, yaitu: lapisan luar berupa albuminous, translusen, bersifat
mechanical protection. Di dalam telur terdapat bentuk larva.
Cacing dewasa
Cacing dewasa berukuran kecil, berwarna putih. Cacing jantan memiliki sayap dan
ekornya melingar seperti tanda Tanya. Cacing betina memiliki sayap, bulbus
esophagus nampak jelas, ekor panjang dan runcing. Bentuk khas adalah tidak
terdapat rongga mulut tetapi dijumpai 3 buah bibir, double bulb oesophagus, terdapat
cervical alae.
Cacing dewasa betina mengandung banyak telur pada malam hari dan akan melakukan
migrasi keluar melalui anus ke daerah perianal dan perineum. Migrasi tersebut disebut
sebagai nocturnal migration.
Gejala klinis yang menonjol adalah iritasi di sekitar anus, perineum, dan vagina oleh
cacing betina gravid. Penderita sering menggaruk daerah tersebut. Gejala klinis yang lain
adalah kurang nafsu makan, berat badan turun, insomnia. Pemeriksaan yang mudah dan
sering digunakan adalah Graham Scotch Tape. Waktu pengambilan spesimen adalah
pagi hari sebelum penderita BAB dan malam hari sebelum tidur saat gejala rasa gatal
muncul di sekitar anus.
Sumber:
1. Jawetz, Melnick & Adelberg’s. Medical Microbiology. McGraw-Hill Companies Inc.
Twenty Second Edition. 2001.
2. Staf Pengajar FK UI. Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa Aksara. 1993.
3. Gmbar diambil dari : http://itg.content-
e.eu/Generated/pubx/173/helminthiasis/intestinal_nematodes.htm
188. E. Syok Septik
Syok merupakan keadaan di mana terjadi gangguan sirkulasi yang menyebabkan perfusi
jaringan menjadi tidak adekuat sehingga mengganggu metabolism sel/jaringan. Syok
septic adalah sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan secara
adekuat atau memerlukan vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi
organ.
Sepsis adalah keadaan klinis berkaitan dengan infeksi dengan manifestasi SIRS. Sindrom
respons inflamasi sistemik (SIRS) adalah respon tubuh terhadap inflamasi sistemik
mencakup 2 atau lebih gejala:
Suhu > 38oC atau < 36oC
Frekuensi nadi > 90 x/menit
RR > 20 x/menit atau PaCO2 <32 mmHg
Leukosit darah > 12.000 /mm3 , < 4.000 / mm3 atau batang > 10%
Sumber:
Sudoyo, A.W et al. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
189.A. Diuretik
Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar dan
pengobatan non-spesifik untuk mengurangi protenuria, mengontrol edema dan mengobati
komplikasi. Etiologi sekunder dari sindrom nefrotik harus dicari dan diberi terapi, da obat-
obatan yang menjadi penyebabnya disingkirkan.
a). Diuretik
Diuretik ansa henle (loop diuretic) misalnya furosemid (dosis awal 20-40 mg/hari) atau
golongan tiazid dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretic
(spironolakton) digunakan untuk mengobati edema dan hipertensi. Penurunan berat badan
tidak boleh melebihi 0,5 kg/hari.
b). Diet
Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgbb./hari, sebagian besar terdiri dari karbohidrat. Diet
rendah garam (2-3 gr/hari), rendah lemak harus diberikan. Penelitian telah menunjukkan
bahwa pada pasien dengan penyakit ginjal tertentu, asupan yang rendah protein adalah aman,
dapat mengurangi proteinuria dan memperlambat hilangnya fungsi ginjal, mungkin dengan
menurunkan tekanan intraglomerulus. Derajat pembatasan protein yang akan dianjurkan pada
pasien yang kekurangan protein akibat sindrom nefrotik belum ditetapkan. Pembatasan
asupan protein 0,8-1,0 gr/ kgBB/hari dapat mengurangi proteinuria. Tambahan vitamin D
dapat diberikan kalau pasien mengalami kekurangan vitamin ini.
c) Terapi antikoagulan
Bila didiagnosis adanya peristiwa tromboembolisme, terapi antikoagulan dengan heparin
harus dimulai. JUmlah heparin yang diperlukan untuk mencapai waktu tromboplastin parsial
(PTT) terapeutik mungkin meningkat karena adanya penurunan jumlah antitrombin III.
Setelah terapi heparin intravena, antikoagulasi oral dengan warfarin dilanjutkan sampai
sindrom nefrotik dapat diatasi.
d) Terapi Obat
Terapi khusus untuk sindroma nefrotik adalah pemberian kortikosteroid yaitu
prednisone 1 – 1,5 mg/kgBB/hari dosis tunggal pagi hari selama 4 – 6 minggu. Kemudian
dikurangi 5 mg/minggu sampai tercapai dosis maintenance (5 – 10 mg) kemudian diberikan 5
mg selang sehari dan dihentikan dalam 1-2 minggu. Bila pada saat tapering off, keadaan
penderita memburuk kembali (timbul edema, protenuri), diberikan kembali full dose selama 4
minggu kemudian tapering off kembali. Obat kortikosteroid menjadi pilihan utama untuk
menangani sindroma nefrotik (prednisone, metil prednisone) terutama pada minimal
glomerular lesion (MGL), focal segmental glomerulosclerosis (FSG) dan sistemik lupus
glomerulonephritis. Obat antiradang nonsteroid (NSAID) telah digunakan pada pasien
dengan nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal untuk mengurangi sintesis
prostaglandin yang menyebabkan dilatasi. Ini menyebabkan vasokonstriksi ginjal,
pengurangan tekanan intraglomerulus, dan dalam banyak kasus penurunan proteinuria sampai
75 %.
Sitostatika diberikan bila dengan pemberian prednisone tidak ada respon, kambuh yang
berulang kali atau timbul efek samping kortikosteroid. Dapat diberikan siklofosfamid 1,5
mg/kgBB/hari. Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin dan
lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliserida dan meningkatkan kolesterol HDL.
Obat anti proteinurik misalnya ACE inhibitor (Captopril 3*12,5 mg), kalsium antagonis
(Herbeser 180 mg) atau beta bloker. Obat penghambat enzim konversi angiotensin
(angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin II dapat
menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam
menurunkan proteinuria.
Referensi:
Wiguno Prodjosudjadi, Divisi Ginjal Hipertensi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi ke-4,
Aru W.Sudoyo, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, 2006
Gunawan, C.A, Sindrom Nefrotik Patogenesis dan Penatalaksanaan, Bagian/ SMF Ilmu
Penyakit Dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Universitas Mulawarman / RSUD
A.Wahab Sjahranie Samarinda
Sukandar E, Sulaeman R. Sindroma nefrotik. Dalam : Soeparman, Soekaton U, Waspadji S et
al (eds). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 1990. p. 282-305.
190.C. Kista lutein
Kista teka lutein: pada mola hidatidosa, koriokarsinoma, dan kadang-kadang tanpa
adanya kelainan tersebut, ovarium dapat membesar dan menjadi kistik. Kista biasanya
bilateral dan bisa menjadi sebesar tinju. Pada pemeriksaan mikroskopik terlihat
luteinisasi sel-sel teka. Sel-sel granulosa dapat pula menunjukkan luteinisasi,
akan tetapi seringkali sel-sel menghilang karena atresia. Tumbuhnya kista ini
ialah akibat pengaruh hormon koriogonadotropin yang berlebihan, dan dengan
hilangnya mola atau koriokarsinoma, ovarium mengecil spontan.
Kista folikel: kista ini berasal dari folikel de Graaf yang tidak sampai berovulasi,
namun tumbuh terus menjadi kista folikel, atau dari beberapa folikel primer yang
setelah bertumbuh di bawah pengaruh estrogen tidak mengalami proses atresia yang
lazim, melainkan membesar menjadi kista. Kista yang berdiri sendiri bisa menjadi
sebesar jeruk nipis. Bagian dalam dinding kista yang tipis terdiri atas beberapa lapisan
sel granulosa, akan tetapi karena tekanan di dalam kista, terjadilah atrofi pada lapisan
ini.
Kista dermoid: tidak ada ciri-ciri yang khas pada kista dermoid. Dinding kista
kelihatan putih, keabu-abuan, dan agak tipis. Konsistensi tumor sebagian kistik
kenyal, di bagian lain padat. Tumor mengandung elemen-elemen ektodermal,
mesodermal, dan entodermal. Maka dapat ditemukan kulit, rambut, kelenjar sebasea,
gigi (ektodermal), tulang rawan, serat otot jaringan ikat (mesodermal), dan mukosa
traktus gastrointestinalis, epitel saluran pernapasan, dan jaringan tiroid (entodermal).
Bahan yang terdapat dalam rongga kista ialah produk dari kelenjar sebasea berupa
massa lembek seperti lemak, bercampur dengan rambut. Rambut ini terdapat beberapa
serat saja, tetapi dapat pula merupakan gelondongan seperti konde.
Kista cokelat (endometriosis): gambaran mikroskopik dari endometriosis sangat
bervariabel. Lokasi yang sering terdapat ialah pada ovarium, dan biasanya di sini
didapati pada kedua ovarium. Pada ovarium tampak kista-kista biru kecil samapi kista
besar (kadang-kadang sebesar tinju) berisi darah tua menyerupai coklat (kista coklat
atau endometrioma). Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan ciri-ciri khas pada
endometriosis, yakni kelenjar-kelenjar dan stroma endometrium, dan perdarahan
bekas dan baru berupa eritrosit, pigmen hemosiderin, dan sel-sel makrofag berisi
hemosiderin. Di sekitarnya tampak sel-sel radang dan jaringan ikat, sebagai reaksi
dari jaringan normal disekelilingnya (jaringan endometriosis).
Referensi: Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Hanifa
Wiknjosatro, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2005.
191.D. Hitung jumlah platelet
Anak perempuan 5 tahun dengan bintik-bintik merah di tangan:
Tidak gatal, tidak ada riwayat keluarga menyingkirkan diagnosis dermatitis atopi.
Riwayat demam disangkal menyingkirkan adanya perdarahan karena infeksi atau
keganasan dan tidak ada nyeri sendi menyingkirkan adanya infeksi yang
menyebabkan petekie seperti Sindrom Henoch-Schonlein Purpura.
Riwayat tanpa demam, nyeri sendi, tidak ada gejala anemia dapat menyingkirkan
Leukimia Akut.
Referensi:
1. Behrman, Kliegman, Jensen. 2000. Nelson Text Book of Pediatrics; 16th Edition.
2. Hoffbrand.A.V, Pettit.J.E, Moss.H.A.P.2005. Kapita selekta Hematologi Edisi 4. EGC:
Jakarta
3. William W. Hay,Jr, Anthony R Hayward, Myron J.Levin, Judith M
Sondheimer.2001,Current Pediatric Diagnosisand Treatmen, Lange, 15th
Edition, International Edition.
192.E. Malaria
Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosa pasti malaria apabila ditemukan
parasit malaria dalam darah.
Anamnesis:
Keluhan utama pada malaria adalah demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit
kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal. Pada anamnesis juga perlu
ditanyakan:
1. riwayat berkunjung ke daerah endemik malaria;
2. riwayat tinggal di daerah endemik malaria;
3. riwayat sakit malaria/riwayat demam;
4. riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir;
5. riwayat mendapat transfusi darah
Pemeriksaan Fisik
1. Demam (>37,5 ºC aksila)
2. Konjungtiva atau telapak tangan pucat
3. Pembesaran limpa (splenomegali)
4. Pembesaran hati (hepatomegali)
5. Manifestasi malaria berat dapat berupa penurunan kesadaran, demam tinggi,
konjungtiva pucat, telapak tangan pucat, dan ikterik, oliguria, urine berwarna coklat
kehitaman (Black Water Fever), kejang dan sangat lemah (prostration).
Pemeriksaan Laboratorium
Untuk mendapatkan kepastian diagnosis malaria harus dilakukan pemeriksaan sediaan darah.
Pemeriksaan dengan mikroskop merupakan gold standard (standar baku) untuk diagnosis
pasti malaria. Pemeriksaan mikroskop dilakukan dengan membuat sediaan darah tebal dan
tipis.
Pada soal ini informasi mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak ada sehingga
analisis terhadap kasus tidak dapat dilakukan secara ideal. Untuk menjawab soal seperti ini
hanya dapat dikerjakan secara praktis melalui kata kunci yang diberikan, yaitu pasien
sepulang bepergian dari Kalimantan dalam artian pasien memiliki riwayat berkunjung ke
daerah endemik malaria.
More info:
Diagnosis Banding Malaria
Malaria tanpa komplikasi harus dapat dibedakan dengan penyakit infeksi lain sebagai berikut.
Referensi:
Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 Tentang
Pedoman Tata Laksana Malaria.
Referensi:
Irawati, Nina et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher, 6th edn. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm
135-138.
194.C. Urtikaria Pigmentosa
Urtikaria pigmentosa adalah suatu erupsi pada kulit berupa hiperpigmentasi yang
berlangsung sementara, kadang-kadang disertai pembengkakan dan rasa gatal yang khas
terjadi pada anak-anak. Penyebabnya adalah infiltrasi mastosit pada kulit. Lokalisasi
terutama pada badan, tapi dapat juga mengenai ekstrimitas, kepala, dan leher. Efloresensi
berupa makula coklat-kemerahan atau papula-papula kehitaman tersebar pada seluruh
tubuh, dapat juga berupa nodula-nodula atau bahkan vesikel.
Darier’s sign digunakan pada pemeriksaan fisik diagnosis urtikaria pigmentosa,
prisnipnya dilakukan dengan merangsang pelepasan histamin sehingga menimbulkan
reaksi alergi lokal. Darier’s sign dapat dimunculkan dengan menggosok dengan sedikit
penekanan, atau dengan perangsangan thermal akan memunculkan urtika pada area yang
diperiksa.
Lentiginosis adalah keadaan terbentuknya makula coklat atau coklat kehitaman
berbentuk bulat atau polisiklik dengan jumlah yang banyak dan distribusi tertentu.
Penyakit ini disebabkan karena bertambahnya melanosit pada taut dermo-epidermal
tanpa adanya proliferasi fokal. Klasifikasi lentiginosis dibagi menjadi 3 sebagai berikut :
Lentiginosis Generalisata: umumnya multipel, timbul satu demi satu atau dalam
kelompok kecil sejak sama anak-anak. Timbul pada waktu lahir dan bertambah
sampai masa pubertas, ditemukan pada daerah leher pada bagian atas, tetapi dapat
juga ditemukan diseluruh tubuh, sering disertai kelainan jantung, stenosis pembuluh
nadi paru dan sub aorta.
Lentiginosis Sentrofasial diturunkan secara autosomal dominan, timbul pada
waktu tahun pertama kehidupan bertambah jumlahnya pada umur 8-9 tahun.
Efloresensi berupa makula kecil berwarna coklat atau hitam dengan distribusi
terbatas pada garis horisontal melalui sentral muka tanpa mengenai membran
mukosa.
Sindrom Peutz-Jegher hampir selalu terjadi pada laki-laki, merupakan kelainan
genetik yang diturunkan secara autosomal dominan. berupa makula hiperpigmentasi
yang timbul sejak lahir dan berkembang pada masa anak-anak. Efloresensi berupa
makula diselaput lendir mulut berbentuk bulat dan oval, tidak teratur, berwarna
coklat kehitaman berukursn 1-5 mm. Dengan predileksi pada bukal, gusi, palatum
durum, bibir.
Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi yang
menempel pada kulit pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu
alergen. Penderita umumnya mengeluh gatal. Semua bagian tubuh dapat terkena. Pada
fase akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti
edema, papulovesikel, vesikel, atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan
erosindan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul,
likenifikasi, dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas.
Makula café au lait (CAL) adalah makula atau bercak (patch) hiperpigmentasi berwarna
seperti kopi susu, biasanya berbentuk bulat atau oval berbatas tegas dengan permukaan
halus dan ukuran yang bervariasi. Makula CAL dapat timbul secara kongenital atau
didapat pada saat lahir, segera setelah lahir atau saat masa kanak-kanak. Pengobatan pada
makula CAL umumnya tidak diperlukan.
Neurofibromatosis tipe 1 (NF-1) adalah sebuah gangguan genetik pada sistem syaraf
yang menyebabkan tumor tumbuh pada syaraf di seluruh tubuh. NF dapat mempengaruhi
otak, syaraf tulang belakang, atau kulit. NF-1 merupakan spektrum klinis makula CAL
stadium lanjut, bahkan makula CAL dapat merupakan satu-satunya tanda awal penyakit
ini. Penyakit ini pertama kali menyerang saat masa kanak-kanak, terutama masa
pubertas. NF kadang-kadang didiagnosa pada masa bayi, tapi lebih sering pada anak-
anak antara 3-16 tahun.
Referensi:
Siregar, R.S. (2005). Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC.
Berdasarkan riwayat pasien yang pernah menjalani gastrektomi 4 tahun yang lalu dan juga
gejala klinis khas adanya gejala neurologis yang tampak, maka pada pasien ini termasuk
anemia defisiensi cobalamin (B12)
Referensi:
1. Schrier SL. 2011. Approach to the adult patient with anemia. 2011. www.uptodate.com
2. Soenarto. 2007. Anemia Megaloblastik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.PDPERSI.FKUI
3. Schrier SL. 2011. Macrocytosis. January 2011. www.uptodate.com
- Limfedema
Pada infeksi Wuchereria brancofti terjadi pembesaran kelenjar limfe, hydrocele, dan
elefantiasis. Hanya mereka yang hipersensitif, elefantiasis dapat terjadi. Elefantiasis
kebanyakan terjadi di daerah genital dan tungkai bawah sedangkan pada infeksi Brugia,
terjadi pembengkakan kaki di bawah lutut, lengan di bawah siku dimana siku dan lutut
masih normal.
- Pembesaran Scrotum
1. Lymph Scrotum
Pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit skrotum, kadang-kadang pada kulit
penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe mengalir keluar
dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan kecil pada kulit,
yang dapat pecah dan membasahi pakaian, ini mempunyai risiko tinggi terjadinya
infeksi ulang oleh bakteri dan jamur, serangan akut berulang dan dapat berkembang
menjadi limfedema skrotum. Ukuran skrotum kadang-kadang normal kadang-kadang
sangat besar
2. Hidrokel
Hidrokel terjadi karena terkumpulnya cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis.
Hidrokel dapat terjadi pada satu atau kedua scrotum, dengan gambaran klinis dan
epidemiologis sebagai berikut:
Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang sangat besar sekali,
sehingga penis tertarik dan tersembunyi .
Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus.
Kadang-kadang akumulasi cairan limfe disertai dengan komplikasi, yaitu
komplikasi dengan chyle (chylocele), darah (haematocele) atau nanah (pyocele).
Uji transiluminasi dapat digunakan untuk membedakan hidrokel dengan komplikasi
dan hidrokel tanpa komplikasi.
Tanda paling khas adalah pembesaran kaki dan scrotum yang disertai nyeri atau
panas, sehingga pada pasien ini kemungkinan cacing yang menjadi penyebab filariasis adalah
Wuchereria brancofti (keterlibatan organ genitourinaria).
Untuk mendukung kecurigaan terhadap filariasis maka diperlukan pemeriksaan
penunjang diagnosis arasitologi. Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam
darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik
konsentrasi Knott. Mikrofilaria aktif pada malam hari terutama pukul 22.00-02.00 sehingga
pengambilan spesimen darah untuk pemeriksaan mikrofilaria harus sesuai dengan waktu
tersebut. Pengambilan spesimen darah lebih baik diambil dari kapiler dibanding dengan
darah vena.
More info:
Manifestasi klinis sebagai infeksi Wuchereria bancrofti terbentuk beberapa bulan
hingga beberapa tahun setelah infeksi, tetapi beberapa orang yang hidup di daerah endemis
tetap asimptomatik selama hidupnya. Gejala akut yang tampak biasanya mengeluh demam,
lymphangitis, lymphadenitis, orchitis, sakit pada otot, anoreksia, dan malaise. Mula–mula
cacing dewasa yang hidup dalam pembuluh limfe menyebabkan pelebaran pembuluh limfe
terutama di daerah kelenjar limfe, testis, dan epididimis, kemudian diikuti dengan penebalan
sel endothel dan infiltrasi sehingga terjadi granuloma.
Pada keadaan kronis, terjadi pembesaran kelenjar limfe, hydrocele, dan elefantiasis.
Hanya mereka yang hipersensitif, elefantiasis dapat terjadi. Elefantiasis kebanyakan terjadi di
daerah genital dan tungkai bawah, biasanya disertai infeksi sekunder dengan fungi dan
bakteri. Suatu sindrom yang khas terjadi pada infeksi dengan Wuchereria bancrofti
dinamakan Weingartner’s syndrome atau Tropical pulmonary eosinophilia.
Penatalaksanaan:
Pengobatan massal menggunakan kombinasi Diethyl Carbamazine Citrate (DEC)
dosis tunggal 6 mg/kg berat badan, Albendazol 400 mg (1 tablet) dan Paracetamol (sesuai
takaran) yang diberikan sekali setahun selama 5 tahun pada penduduk yang berusia 2 tahun
ke atas. Sasaran pengobatan massal adalah seluruh penduduk yang tinggal di daerah endemis,
kecuali:
1. Anak-anak berusia < 2tahun
2. Ibu hamil dan menyusui
3. Orang yang sedang sakit
4. Orang tua yang lemah
5. Penderita serangan epilepsi
Obat lain yang juga dipakai adalah ivermektin. Ivermektin adalah antibiotik
semisintetik dari golongan makrolid yang mempunyai aktivitas luas terhadap nematode dan
ektoparasit. Obat ini hanya membunuh mikrofilaria. Efek samping yang ditimbulkan lebih
ringan dibanding DEC.
Referensi:
1. Kumar, Abbas, Fausto, 2005. Pathologic Basic of Disease : 7th edition, Elsevier
Saunders, 8: 409-410
2. Departemen Kesehatan RI DirJen PPM & PL. 2004. Buku 4. Pedoman Pengobatan
Massal Penyakit Kaki Gajah. Jakarta.
3. Widoyono.2008.Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasannya. Jakarta : Penerbit Erlangga.
4. http://content.nejm.org/cgi/content/full/347/23/1885
5. Tim Editor Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002. Parasitologi Kedokteran
Edisi Ketiga, cetakan ketiga. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.
197.E. Luka yang menyebabkan keterbatasan fisik dan aktivitas atau hambatan pekerjaan
Hukum pidana Indonesia mengenal delik penganiayaan yang terdiri dari tiga tingkatan
dengan hukuman yang berbeda yaitu penganiayaan ringan (pidana maksimum 3 bulan
penjara), penganiayaan (pidana maksimum 2 tahun 8 bulan), dan penganiayaan yang
menimbulkan luka berat (pidana maksimum 5 tahun). Ketiga tingkatan penganiayaan tersebut
diatur dalam pasal 352 (1) KUHP untuk penganiayaan ringan, pasal 351 (1) KUHP untuk
penganiayaan, dan pasal 352 (2) KUHP untuk penganiayaan yang menimbulkan luka berat.
Setiap kecederaan harus dikaitkan dengan ketiga pasal tersebut. Untuk hal tersebut seorang
dokter yang memeriksa cedera harus menyimpulkan dengan menggunakan bahasa awam,
termasuk pasal mana kecederaan korban yang bersangkutan.
Rumusan hukum tentang penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam pasal 352 (1)
KUHP menyatakan bahwa “penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan
ringan”. Jadi bila luka pada seorang korban diharapkan dapat sembuh sempurna dan tidak
menimbulkan penyakit atau komplikasinya, maka luka tersebut dimasukkan ke dalam
kategori tersebut.
Selanjutnya rumusan hukum tentang penganiayaan (sedang) sebagaimana diatur dalam pasal
351 (1) KUHP tidak menyatakan apapun tentang penyakit. Sehingga bila kita memeriksa
seorang korban dan didapati “penyakit” akibat kekerasan tersebut, maka korban dimasukkan
ke dalam kategori tersebut.
Akhirnya, rumusan hukum tentang penganiayaan yang menimbulkan luka berat diatur dalam
pasal 351 (2) KUHP yang menyatakan bahwa Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka
berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”. Luka berat
itu sendiri telah diatur dalam pasal 90 KUHP secara limitatif. Sehingga bila kita memeriksa
seorang korban dan didapati salah satu luka sebagaimana dicantumkan dalam pasal 90
KUHP, maka korban tersebut dimasukkan dalam kategori tersebut.
Luka berat menurut pasal 90 KUHP adalah:
• jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau
yang menimbulkan bahaya maut;
• tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian;
• kehilangan salah satu panca indera;
• mendapat cacat berat;
• menderita sakit lumpuh;
• terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;
• gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Referensi:
Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Indonesia. Pedoman
teknik pemeriksaan dan interpretasi luka dengan orientasi medikolegal atas kecederaan.
Jakarta, 2005.
Herkutanto, Pusponegoro AD, Sudarmo S. Aplikasi trauma-related injury severity score
(TRISS) untuk penetapan derajat luka dalam konteks mediklegal. J I Bedah Indones.
2005;33(2):37- 43.
Referensi:
Spicher, C.; Kohut, G.; Miauton, J. 1999. "At which stage of sensory recovery can a
tingling sign be expected? A review and proposal for standardization and
grading". Journal of hand therapy : official journal of the American Society of Hand
Therapists 12 (4): 298–308.
Gambar diperoleh dari http://www.drwolgin.com/Pages/carpaltunnel.aspx
Referensi:
WHO Indonesia. (2013). Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan
Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota.
Referensi:
1. Harijanto PN. 2007. Malaria Dalam: Sudoyo AW,et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III Edisi IV. Jakarta:FKUI
2. Matteelli A, Castelli F, Caligaris S. 1997.Life cycle of malaria parasites. In Carosi G,
Castelli F. (Ed) Handbook of Malaria Infection in the Tropics. Associazione Italiana
‘Amici di R Follereau’ Organizzazione per la Cooperazione Sanitaria Internazionale.
Bologna.
3. Centers for Disease Control and Prevention (CDC).2013.Malaria.
http://www.cdc.gov/dpdx/malaria/