Anda di halaman 1dari 88

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA KLIEN YANG

MENGALAMI PENURUNAN KESADARAN


A. PENGERTIAN
Kesadaran adalah pengetahuan penuh atas diri, lokasi dan waktu. ( Corwin, 2001 )
Penurunan kesadaran adalah keadaan dimanapenderita tidak sadar dalam arti tidak
terjaga / tidak terbangun secara utuh sehingga tidak mampu memberikan respons
yang normal terhadap stimulus.
Kesadaran secara sederhana dapat dikatakan sebagai keadaan dimana seseorang
mengenal / mengetahui tentang dirinya maupun lingkungannya. ( Padmosantjojo,
2000 )
Dalam menilai penurunan kesadaran dikenal beberapa istilah yaitu :
1. Kompos mentis
Kompos mentis adalah kesadaran normal, menyadari seluruh asupan dari panca
indra dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar
maupun dalam.
2. Somnelen / drowsiness / clouding of consciousness
Mata cenderung menutup, mengantuk, masih dapat dibangunkan dengan perintah,
masih dapat menjawab pertanyaan walau sedikit bingung, tampak gelisah dan
orientasi terhadap sekitarnya menurun.
3. Stupor / Sopor
Mata tertutup dengan rangsang nyeri atau suara keras baru membuka mata atau
bersuara satu dua kata . Motorik hanya berupa gerakan mengelak terhadap
rangsang nyeri.
4. Soporokoma / Semikoma
Mata tetap tertutup walaupun dirangsang nyeri secara kuat, hanya dapat mengerang
tanpa arti, motorik hanya gerakan primitif.
5. Koma
Dengan rangsang apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka
mata, bicara maupun reaksi motorik. ( Harsono , 1996 )
B. ETIOLOGI
Untuk memudahkan mengingat dan menelusuri kemungkinan – kemungkinan
penyebab penurunan kesadaran dengan istilah “ SEMENITE “ yaitu :
1. S : Sirkulasi
Meliputi stroke dan penyakit jantung
2. E : Ensefalitis
Dengan tetap mempertimbangkan adanya infeksi sistemik / sepsis yang mungkin
melatarbelakanginya atau muncul secara bersamaan.
3. M : Metabolik
Misalnya hiperglikemia, hipoglikemia, hipoksia, uremia, koma hepatikum
4. E : Elektrolit
Misalnya diare dan muntah yang berlebihan.
5. N : Neoplasma
Tumor otak baik primer maupun metastasis
6. I : Intoksikasi
Intoksikasi berbagai macam obat maupun bahan kimia dapat menyebabkan
penurunan kesadaran
7. T : Trauma
Terutama trauma kapitis : komusio, kontusio, perdarahan epidural, perdarahan
subdural, dapat pula trauma abdomen dan dada.
8. E : Epilepsi
Pasca serangan Grand Mall atau pada status epileptikus dapat menyebabkan
penurunan kesadaran.( Harsono , 1996 )
C. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinik yang terkait dengan penurunan kesadaran adalah :
1. Penurunan kesadaran secara kwalitatif
2. GCS kurang dari 13
3. Sakit kepala hebat
4. Muntah proyektil
5. Papil edema
6. Asimetris pupil
7. Reaksi pupil terhadap cahaya melambat atau negatif
8. Demam
9. Gelisah
10. Kejang
11. Retensi lendir / sputum di tenggorokan
12. Retensi atau inkontinensia urin
13. Hipertensi atau hipotensi
14. Takikardi atau bradikardi
15. Takipnu atau dispnea
16. Edema lokal atau anasarka
17. Sianosis, pucat dan sebagainya
D. PATHWAYS ( terlampir )
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menentukan penyebab penurunan
kesadaran yaitu :
1. Laboratorium darah
Meliputi tes glukosa darah, elektrolit, ammonia serum, nitrogen urea darah ( BUN
), osmolalitas, kalsium, masa pembekuan, kandungan keton serum, alcohol, obat-
obatan dan analisa gas darah ( BGA ).
2. CT Scan
Pemeriksaan ini untuk mengetahui lesi-lesi otak
3. PET ( Positron Emission Tomography )
Untuk meenilai perubahan metabolik otak, lesi-lesi otak, stroke dan tumor otak
4. SPECT ( Single Photon Emission Computed Tomography )
Untuk mendeteksi lokasi kejang pada epilepsi, stroke.
5. MRI
Untuk menilai keadaan abnormal serebral, adanya tumor otak.
6. Angiografi serebral
Untuk mengetahui adanya gangguan vascular, aneurisma dan malformasi
arteriovena.
7. Ekoensefalography
Untuk mendeteksi sebuuah perubahan struktur garis tengah serebral yang
disebabkan hematoma subdural, perdarahan intraserebral, infark serebral yang luas
dan neoplasma.
8. EEG ( elektroensefalography )
Untuk menilai kejaaang epilepsy, sindrom otak organik, tumor, abses, jaringan
parut otak, infeksi otak
9. EMG ( Elektromiography )
Untuk membedakan kelemahan akibat neuropati maupun akibat penyakit lain.
F. PENGKAJIAN PRIMER
1. Airway
a. Apakah pasien berbicara dan bernafas secara bebas
b. Terjadi penurunan kesadaran
c. Suara nafas abnormal : stridor, wheezing, mengi dll
d. Penggunaan otot-otot bantu pernafasan
e. Gelisah
f. Sianosis
g. Kejang
h. Retensi lendir / sputum di tenggorokan
i. Suara serak
j. Batuk
2. Breathing
a. Adakah suara nafas abnormal : stridor, wheezing, mengi dll
b. Sianosis
c. Takipnu
d. Dispnea
e. Hipoksia
f. Panjang pendeknya inspirasi ekspirasi
3. Circulation
a. Hipotensi / hipertensi
b. Takipnu
c. Hipotermi
d. Pucat
e. Ekstremitas dingin
f. Penurunan capillary refill
g. Produksi urin menurun
h. Nyeri
i. Pembesaran kelenjar getah bening
G. PENGKAJIAN SEKUNDER
1. Riwayat penyakit sebelumnya
Apakah klien pernah menderita :
a. Penyakit stroke
b. Infeksi otak
c. DM
d. Diare dan muntah yang berlebihan
e. Tumor otak
f. Intoksiaksi insektisida
g. Trauma kepala
h. Epilepsi dll.
2. Pemeriksaan fisik
a. Aktivitas dan istirahat
Data Subyektif:
kesulitan dalam beraktivitas
kelemahan
kehilangan sensasi atau paralysis.
mudah lelah
kesulitan istirahat
nyeri atau kejang otot
Data obyektif:
Perubahan tingkat kesadaran
Perubahan tonus otot ( flasid atau spastic), paraliysis ( hemiplegia ) , kelemahan
umum.
gangguan penglihatan
b. Sirkulasi
Data Subyektif:
Riwayat penyakit stroke
Riwayat penyakit jantung
Penyakit katup jantung, disritmia, gagal jantung , endokarditis bacterial.
Polisitemia.
Data obyektif:
Hipertensi arterial
Disritmia
Perubahan EKG
Pulsasi : kemungkinan bervariasi
Denyut karotis, femoral dan arteri iliaka atau aorta abdominal
c. Eliminasi
Data Subyektif:
Inkontinensia urin / alvi
Anuria
Data obyektif
Distensi abdomen ( kandung kemih sangat penuh )
Tidak adanya suara usus( ileus paralitik )
d. Makan/ minum
Data Subyektif:
Nafsu makan hilang
Nausea
Vomitus menandakan adanya PTIK
Kehilangan sensasi lidah , pipi , tenggorokan
Disfagia
Riwayat DM, Peningkatan lemak dalam darah
Data obyektif:
Obesitas ( faktor resiko )
e. Sensori neural
Data Subyektif:
Syncope
Nyeri kepala : pada perdarahan intra serebral atau perdarahan sub arachnoid.
Kelemahan
Kesemutan/kebas
Penglihatan berkurang
Sentuhan : kehilangan sensor pada ekstremitas dan pada muka
Gangguan rasa pengecapan
Gangguan penciuman
Data obyektif:
Status mental
Penurunan kesadaran
Gangguan tingkah laku (seperti: letargi, apatis, menyerang)
Gangguan fungsi kognitif
Ekstremitas : kelemahan / paraliysis genggaman tangan tidak imbang, berkurangnya
reflek tendon dalam
Wajah: paralisis / parese
Afasia ( kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa, kemungkinan ekspresif/ kesulitan
berkata kata, reseptif / kesulitan berkata kata komprehensif, global / kombinasi dari
keduanya. )
Kehilangan kemampuan mengenal atau melihat, stimuli taktil
Kehilangan kemampuan mendengar
Apraksia : kehilangan kemampuan menggunakan motorik
Reaksi dan ukuran pupil : reaksi pupil terhadap cahaya positif / negatif, ukuran pupil
isokor / anisokor, diameter pupil
f. Nyeri / kenyamanan
Data Subyektif:
Sakit kepala yang bervariasi intensitasnya
Data obyektif:
Tingkah laku yang tidak stabil
Gelisah
Ketegangan otot
g. Respirasi
Data Subyektif : perokok ( faktor resiko )
h. Keamanan
Data obyektif:
Motorik/sensorik : masalah dengan penglihatan
Perubahan persepsi terhadap tubuh
Kesulitan untuk melihat objek
Hilang kewaspadaan terhadap bagian tubuh yang sakit
Tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan wajah yang pernah dikenali
Gangguan berespon terhadap panas, dan dingin/gangguan regulasi suhu tubuh
Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap keamanan
Berkurang kesadaran diri
i. Interaksi sosial
Data obyektif:
Problem berbicara
Ketidakmampuan berkomunikasi
3. Menilai GCS
Ada 3 hal yang dinilai dalam penilaian kuantitatif kesadaran yang menggunakan
Skala Coma Glasgow :
Respon motorik
Respon bicara
Pembukaan mata
Ketiga hal di atas masing-masing diberi angka dan dijumlahkan.
Penilaian pada Glasgow Coma Scale
Respon motorik
Nillai 6 : Mampu mengikuti perintah sederhana seperti : mengangkat tangan, menunjukkan
jumlah jari-jari dari angka-angka yang disebutkan oleh pemeriksa, melepaskan
gangguan.
Nilai 5: Mampu menunjuk tepat, tempat rangsang nyeri yang diberikan seperti tekanan
pada sternum, cubitan pada M. Trapezius
Nilai 4 : Fleksi menghindar dari rangsang nyeri yang diberikan , tapi tidak mampu
menunjuk lokasi atau tempat rangsang dengan tangannya.
Nilai 3 : fleksi abnormal .
Bahu aduksi fleksi dan pronasi lengan bawah , fleksi pergelangan tangan dan tinju
mengepal, bila diberi rangsang nyeri ( decorticate rigidity )
Nilai 2 : ekstensi abnormal.
Bahu aduksi dan rotasi interna, ekstensi lengan bawah, fleksi pergelangan tangan
dan tinju mengepal, bila diberi rangsang nyeri ( decerebrate rigidity )
Nilai 1 : Sama sekali tidak ada respon
Catatan :
- Rangsang nyeri yang diberikan harus kuat
- Tidak ada trauma spinal, bila hal ini ada hasilnya akan selalu negatif
Respon verbal atau bicara
Respon verbal diperiksa pada saat pasien terjaga (bangun). Pemeriksaan ini tidak
berlaku bila pasien :
- Dispasia atau apasia
- Mengalami trauma mulut
- Dipasang intubasi trakhea (ETT)
Nilai 5 : pasien orientasi penuh atau baik dan mampu berbicara . orientasi waktu, tempat
, orang, siapa dirinya , berada dimana, tanggal hari.
Nilai 4 : pasien “confuse” atau tidak orientasi penuh
Nilai 3 : bisa bicara , kata-kata yang diucapkan jelas dan baik tapi tidak menyambung
dengan apa yang sedang dibicarakan
Nilai 2 : bisa berbicara tapi tidak dapat ditangkap jelas apa artinya (“ngrenyem”), suara-
suara tidak dapat dikenali makna katanya
Nilai 1 : tidak bersuara apapun walau diberikan rangsangan nyeri
Respon membukanya mata :
Perikasalah rangsang minimum apa yang bisa membuka satu atau kedua matanya
Catatan:
Mata tidak dalam keadaan terbalut atau edema kelopak mata.
Nilai 4 : Mata membuka spontan misalnya sesudah disentuh
Nilai 3 : Mata baru membuka bila diajak bicara atau dipanggil nama atau diperintahkan
membuka mata
Nilai 2 : Mata membuka bila dirangsang kuat atau nyeri
Nilai 1 : Tidak membuka mata walaupaun dirangsang nyeri
4. Menilai reflek-reflek patologis :
a. Reflek Babinsky
Apabila kita menggores bagian lateral telapak kaki dengan suatu benda yang
runcing maka timbullah pergerakan reflektoris yang terdiri atas fleksi kaki dan jari-
jarinya ke daerah plantar
b. Reflek Kremaster :
Dilakukan dengan cara menggoreskan kulit dengan benda halus pada bagian dalam
(medial) paha. Reaksi positif normal adalah terjadinya kontrkasi M.kremaster
homolateral yang berakibat tertariknya atau mengerutnya testis. Menurunnya atau
menghilangnya reflek tersebut berarti adanya ganguan traktus corticulspinal
5. Uji syaraf kranial :
NI.N. Olfaktorius – penghiduan diperiksa dengan bau bauhan seperti tembakau, wangi-
wangian, yang diminta agar pasien menyebutkannya dengan mata tertutup
N.II. N. Opticus
Diperiksa dengan pemerikasaan fisus pada setiap mata . digunakan optotipe
snalen yang dipasang pada jarak 6 meter dari pasien . fisus ditentukan dengan
kemampuan membaca jelas deretan huruf-huruf yang ada
N.III/ Okulomotoris.
N.IV/TROKLERIS , N.VI/ABDUSEN
Diperiksa bersama dengan menilai kemampuan pergerakan bola mata kesegala
arah , diameter pupil , reflek cahaya dan reflek akomodasi
N.V. Trigeminus berfungsi sensorik dan motorik,
Sensorik diperiksa pada permukaan kulit wajah bagian dahi , pipi, dan rahang
bawah serta goresan kapas dan mata tertutup
Motorik diperiksa kemampuan menggigitnya, rabalah kedua tonus
muskulusmasketer saat diperintahkan untuk gerak menggigit
N.VII/ Fasialis fungsi motorik N.VII diperiksa kemampuan mengangkat alis,
mengerutkan dahi, mencucurkan bibir , tersentum , meringis (memperlihatkan gigi
depan )bersiul , menggembungkan pipi.fungsi sensorik diperiksa rasa pengecapan
pada permukaan lidah yang dijulurkan (gula , garam , asam)
N.VIII/ Vestibulo - acusticus
Fungsi pendengaran diperiksa dengan tes Rinne , Weber , Schwabach dengan
garpu tala.
N.IX/ Glosofaringeus,
N.X/vagus : diperiksa letak ovula di tengah atau deviasi dan kemampuan menelan pasien
N.XI / Assesorius diperiksa dengan kemampuan mengangkat bahu kiri dan kanan (
kontraksi M.trapezius) dan gerakan kepala
N.XII/ Hipoglosus diperiksa dengan kemampuan menjulurkan lidah pada posisi lurus ,
gerakan lidah mendorong pipi kiri dan kanan dari arah dalam

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI


1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia jaringan, ditandai
dengan peningkatan TIK, nekrosis jaringan, pembengkakan jaringan otak, depresi
SSP dan oedema
Tujuan : gangguan perfusi jaringan berkurang/hilang setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 jam.
Kriteria hasil :
- Tidak ada tanda – tanda peningkatan TIK
- Tanda – tanda vital dalam batas normal
- Tidak adanya penurunan kesadaran
Intervensi :
Mandiri :
- Tentukan faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu, yang dapat
menyebabkan penurunan perfusi dan potensial peningkatan TIK
- Catat status neurologi secara teratur, bandingkan dengan nilai standart
- Kaji respon motorik terhadap perintah sederhana
- Pantau tekanan darah
- Evaluasi : pupil, keadaan pupil, catat ukuran pupil, ketajaman pnglihatan dan
penglihatan kabur
- Pantau suhu lingkungan
- Pantau intake, output, turgor
- Beritahu klien untuk menghindari/ membatasi batuk,muntah
- Perhatikan adanya gelisah meningkat, tingkah laku yang tidak sesuai
- Tinggikan kepala 15-45 derajat
Kolaborasi :
- Berikan oksigen sesuai indikasi
- Berikan obat sesuai indikasi
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d obstruksi jalan nafas oleh sekret
Tujuan : bersihan jalan nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1 jam.
Kriteria hasil:
- Pasien memperlihatkan kepatenan jalan napas
- Ekspansi dada simetris
- Bunyi napas bersih saat auskultasi
- Tidak terdapat tanda distress pernapasan
- GDA dan tanda vital dalam batas normal
Intervensi:
Mandiri :
- Kaji dan pantau pernapasan, reflek batuk dan sekresi
- Posisikan tubuh dan kepala untuk menghindari obstruksi jalan napas dan
memberikan pengeluaran sekresi yang optimal
- Penghisapan sekresi
- Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi jalan napas setiap 4 jam
Kolaborasi :
- Berikan oksigenasi sesuai advis
- Pantau BGA dan Hb sesuai indikasi
3. Pola nafas tak efektif berhubungan dengan adanya depresan pusat pernapasan
Tujuan :
Pola nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam
Kriteria hasil:
- RR 16-24 x permenit
- Ekspansi dada normal
- Sesak nafas hilang / berkurang
- Tidak suara nafas abnormal
Intervensi :
Mandiri :
- Kaji frekuensi, irama, kedalaman pernafasan.
- Auskultasi bunyi nafas.
- Pantau penurunan bunyi nafas.
- Berikan posisi yang nyaman : semi fowler
- Berikan instruksi untuk latihan nafas dalam
Catat kemajuan yang ada pada klien tentang pernafasan
Kolaborasi :
- Berikan oksigenasi sesuai advis
- Berikan obat sesuai indikasi
4. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-perfusi
sekunder terhadap hipoventilasi
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan keperawatan selaama 1 jam, pasien dapat
mempertahankan pertukaran gas yang adekuat
Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan :
-Bunyi paru bersih
-Warna kulit normal
-Gas-gas darah dalam batas normal untuk usia yang diperkirakan
Intervensi :
Mandiri :
-Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksia dan hiperkapnia
-Kaji TD, nadi apikal dan tingkat kesadaran setiap[ jam dan prn, laporkan perubahan
tinmgkat kesadaran pada dokter.
-Pantau dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya kecenderungan kenaikan dalam
PaCO2 atau penurunan dalam PaO2
-Bantu dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi, kaji perlunya CPAP atau
PEEP.
-Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap jam
-Tinjau kembali pemeriksaan sinar X dada harian, perhatikan peningkatan atau
penyimpangan
-Evaluasi AKS dalam hubungannya dengan penurunan kebutuhan oksigen.
-Pantau irama jantung
Kolaboraasi :
-Berikan cairan parenteral sesuai pesanan
-Berikan obat-obatan sesuai pesanan : bronkodilator, antibiotik, steroid.

DAFTAR PUSTAKA

1. Carolyn M. Hudak. Critical Care Nursing : A Holistic Approach. Edisi VII.


Volume II. Alih Bahasa : Monica E. D Adiyanti. Jakarta : EGC ; 1997
2. Susan Martin Tucker. Patient Care Standarts. Volume 2. Jakarta : EGC ; 1998
3. Lynda Juall Carpenito. Handbook Of Nursing Diagnosis. Edisi 8. Jakarta : EGC ;
2001
4. Long, B.C. Essential of medical – surgical nursing : A nursing process approach.
Volume 2. Alih bahasa : Yayasan IAPK. Bandung: IAPK Padjajaran; 1996 (Buku
asli diterbitkan tahun 1989)
5. Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. Brunner and Suddarth’s textbook of medical –
surgical nursing. 8thEdition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta: EGC; 2000 (Buku
asli diterbitkan tahun 1996)
6. Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta:
EGC; 2001 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)
7. Price, S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Clinical concept of disease
processes. 4th Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC; 1994 (Buku asli
diterbitkan tahun 1992)
8. Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines
for planning and documenting patients care. Alih bahasa: Kariasa, I.M. Jakarta:
EGC; 1999 (Buku asli diterbitkan tahun 1993)
9. Harsono, Buku Ajar Neurologi Klinis, Yokyakarta, Gajah Mada University Press,
1996 )
10. Padmosantjojo, Keperawatan Bedah Saraf, Jakarta, Bagian Bedah Saraf FKUI,
2000
11. Markum, Penuntun Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis, Jakarta, Pusat Informasi
dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2000

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA KLIEN DENGAN


NYERI DADA
A. PENGERTIAN
 Nyeri dada adalah perasaan nyeri / tidak enak yang mengganggu daerah dada
dan seringkali merupakan rasa nyeri yang diproyeksikan pada dinding dada
(referred pain)
 Nyeri Coroner adalah rasa sakit akibat terjadinya iskemik miokard karena suplai
aliran darah koroner yang pada suatu saat tidak mencukupi untuk kebutuhan
metabolisme miokard.
 Nyeri dada akibat penyakit paru misalnya radang pleura (pleuritis) karena
lapisan paru saja yang bisa merupakan sumber rasa sakit, sedang pleura viseralis
dan parenkim paru tidak menimbulkan rasa sakit (Himawan, 1996)
B. ETIOLOGI
Nyeri Dada:
a. Cardial
- Koroner
- Non Koroner
b. Non Cardial
- Pleural
- Gastrointestinal
- Neural
- Psikogenik (Abdurrahman N, 1999)
C. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala yang biasa menyertai nyeri dada adalah :
- Nyeri ulu hati
- Sakit kepala
- Nyeri yang diproyeksikan ke lengan, leher, punggung
- Diaforesis / keringat dingin
- Sesak nafas
- Takikardi
- Kulit pucat
- Sulit tidur (insomnia)
- Mual, Muntah, Anoreksia
- Cemas, gelisah, fokus pada diri sendiri
- Kelemahan
- Wajah tegang, m erintih, menangis
- Perubahan kesadaran
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. EKG 12 lead selama episode nyeri
- Takhikardi / disritmia
- Rekam EKG lengkap : T inverted, ST elevasi / depresi, Q Patologis
b. Laboratorium
- Kadar enzim jantung : CK, CKMB, LDH
- Fungsi hati : SGOT, SGPT
- Fungsi Ginjal : Ureum, Creatinin
- Profil Lipid : LDL, HDL
c. Foto Thorax
d. Echocardiografi
e. Kateterisasi jantung
E. PENGKAJIAN
1. Pengkajian Primer
a. Airway
- Bagaimana kepatenan jalan nafas
- Apakah ada sumbatan / penumpukan sekret di jalan nafas?
- Bagaimana bunyi nafasnya, apakah ada bunyi nafas tambahan?
b. Breathing
- Bagaimana pola nafasnya ? Frekuensinya? Kedalaman dan iramanya?
- Aapakah menggunakan otot bantu pernafasan?
- Apakah ada bunyi nafas tambahan?
c. Circulation
- Bagaimana dengan nadi perifer dan nadi karotis? Kualitas (isi dan tegangan)
- Bagaimana Capillary refillnya, apakah ada akral dingin, sianosis atau oliguri?
- Apakah ada penurunan kesadaran?
- Bagaimana tanda-tanda vitalnya ? T, S, N, RR, HR?
2. Pengkajian Sekunder
Hal-hal penting yang perlu dikaji lebih jauh pada nyeri dada (koroner) :
a. Lokasi nyeri
Dimana tempat mulainya, penjalarannya (nyeri dada koroner : mulai dari sternal
menjalar ke leher, dagu atau bahu sampai lengan kiri bagian ulna)
b. Sifat nyeri
Perasaan penuh, rasa berat seperti kejang, meremas, menusuk, mencekik/rasa
terbakar, dll.
c. Ciri rasa nyeri
Derajat nyeri, lamanya, berapa kali timbul dalam jangka waktu tertentu.
d. Kronologis nyeri
Awal timbul nyeri serta perkembangannya secara berurutan
e. Keadaan pada waktu serangan
Apakah timbul pada saat-saat / kondisi tertentu
f. Faktor yang memperkuat / meringankan rasa nyeri misalnya sikap/posisi tubuh,
pergerakan, tekanan, dll.
g. Gejala lain yang mungkin ada atau tidaknya hubungan dengan nyeri dada.
F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan kenyamanan nyeri (nyeri akut) b.d iskemia jaringan sekunder
terhadap sumbatan arteri, inflamasi jaringan
2. Perubahan perfusi jaringan (otot jantung) b.d penurunan aliran darah
3. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai O2 dan kebutuhan
metabolisme jaringan
G. INTERVENSI KEPERAWATAN
Prinsip-prinsip Tindakan :
1. Tirah baring (bedrest) dengan posisi fowler / semi fowler
2. Melakukan EKG 12 lead kalau perlu 24 lead
3. Mengobservasi tanda-tanda vital
4. Kolaborasi pemberian O2 dan pemberian obat-obat analgesik, penenang,
nitrogliserin, Calcium antagonis dan observasi efek samping obat.
5. Memasang infus dan memberi ketenangan pada klien
6. Mengambil sampel darah
7. Mengurangi rangsang lingkungan
8. Bersikap tenang dalam bekerja
9. Mengobservasi tanda-tanda komplikasi
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdurrahman, N, Anamnesa dan pemeriksaan Jasmani Sistem Kardiovaskuler
dalam IPD Jilid I, Jakarta: FKUI, 1999.
2. Doenges, Marilynn E,Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta : EGC, 2000.
3. Himawan, Buku Kuliah Gangguan Sistem Kardiovaskuler,1994.
4. Hudak&Gallo, Keperawatan Kritis cetakan I, Jakarta : EGC, 1995

ASKEP KEGAWATDARURATAN AKIBAT ASMA


A. Pengertian
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversible dimana
trakea dan bronkus berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli
tertentu, dan dimanifestasikan dengan penyempitan jalan napas, yang
mengakibatkan dispnea, batuk dan mengi. (Brunner & Suddarth, Edisi 8,
Vol. 1, 2001. Hal. 611).
Asma adalah suatu penyakit peradangan kronik pada jalan napas yang
mana peradangan ini menyebabkan perubahan derajat obstruksi pada jalan
napas dan menyebabkan kekambuhan.(Lewis, 2000, hal. 660).
Status asmatikus adalah asma yang berat dan persisten yang tidak
berespons terhadap terapi konvensional. Serangan dapat berlangsung lebih
dari 24 jam. Ini merupakan situasi yang mengancam kehidupan dan
memerlukan tindakan segera.
Jenis-jenis Asma :
a) Asma alergik
Yaitu asma yang disebabkan oleh alergen, misalnya: serbuk sari binatang,
marah, makanan dan jamur. Biasanya mempunyai riwayat keluarga yang
alergen dan riwayat medis masa lalu, iskemia dan rhinita alergik.
b) Asma idiopatik atau non alergik
Yaitu tidak berhubungan dengan alergen spesifik, faktor-faktor seperti
common cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi dan lingkungan
pencetus serangan. Serangan menjadi lebih berat dan dapat berkembang
menjadi bronkitis kronis dan empisema.
c) Asma gabungan
Yaitu bentuk asma yang paling umum, mempunyai karakteristik dari
bentuk alergik maupun bentuk idiopatik atau non alergik.
Klasifikasi Asma:
1. Mid Intermiten
Yaitu kurang dari 2 kali seminggu dan hanya dalam waktu yang pendek;
tanpa gejala, diantara serangan-serangan pada waktu malam kurang dari 2
kali sebulan. Fungsi paru-paru FEV dan PEF diperkirakan lebih dari 80%.
2. Mid Persistent
Yaitu serangan lebih ringan tetapi tidak setiap hari, serangan pada waktu
malam timbul lebih dari 2 kali sebulan. Fungsi paru-paru FEV atau PEF
diperkirakan sebesar 80%.
3. Moderat Persistent
Yaitu serangan timbul setiap hari dan memerlukan penggunaan
bronkodilator serangan timbul 2 kali atau lebih dalam seminggu dan pada
waktu malam timbul gejala berat setiap minggu. Fungsi paru-paru FEV
atau PEF diperkirakan 60-80%.
4. Severe Persistent
Yaitu gejala muncul terus menerus dengan aktivitas yang terbatas,
peningkatan frekuensi serangan dan peningkatan frekuensi gejala pada
waktu malam.
Penyebab / Faktor resiko serangan asma
1. Faktor Ekstrinsik
Ditemukan pada sejumlah kecil pasien dan disebabkan oleh alergen
yang diketahui karena kepekaan individu, biasanya protein, dalam bentuk
serbuk sari yang hidup, bulu halus binatang, kain pembalut atau yang lebih
jarang terhadap makanan seperti susu atau coklat, polusi.
2. Faktor Intrinsik
Faktor ini sering tidak ditemukan faktor-faktor pencetus yang jelas.
Faktor-faktor non spefisik seperti flu biasa, latihan fisik atau emosi dapat
memicu serangan asma. Asma instrinsik ini lebih biasanya karena faktor
keturunan dan juga sering timbul sesudah usia 40 tahun. Dengan serangan
yang timbul sesudah infeksi sinus hidung atau pada percabangan
trakeobronchial.
Patofisiologi
Asma adalah obstruksi jalan nafas difus revesible yang disebabkan oleh
satu atau lebih dari faktor berikut ini.
1. Kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkhi yang menyempitkan jalan nafas.
2. Pembengkakan membran yang melapisi bronchi.
3. Pengisian bronchi dengan mukus yang kental.
Selain itu, otot-otot bronchial dan kelenjar membesar. Sputum yang kental,
banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflamasi dengan udara
terperangkap di dalam paru.
Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam
paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen
dengan antibodi menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (mediator)
seperti: histamin, bradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari
suptamin yang bereaksi lambat.
Pelepasan mediator ini mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan nafas
menyebabkan broncho spasme, pembengkakan membran mukosa dan
pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem syaraf otonom mempengaruhi paru, tonus otot bronchial diatur oleh
impuls syaraf pagal melalui sistem para simpatis. Pada asthma
idiopatik/non alergi, ketika ujung syaraf pada jalan nafas dirangsang oleh
faktor seperti: infeksi, latihan, udara dingin, merokok, emosi dan polutan.
Jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat.
Pelepasan astilkolin ini secara langsung menyebabkan bronchikonstriksi
juga merangsang pembentukan mediator kimiawi.
Pada serangan asma berat yang sudah disertai toxemia, tubuh akan
mengadakan hiperventilasi untuk mencukupi kebutuhan O2. Hiperventilasi
ini akan menyebabkan pengeluaran CO2berlebihan dan selanjutnya
mengakibatkan tekanan CO2 darah arteri (pa CO2) menurun sehingga
terjadi alkalosis respiratorik (pH darah meningkat). Bila serangan asma
lebih berat lagi, banyak alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak ikut
sama sekali dalam pertukaran gas. Sekarang ventilasi tidak mencukupi lagi,
hipoksemia bertambah berat, kerja otot-otot pernafasan bertambah berat
dan produksi CO2 yang meningkat disertai ventilasi alveolar yang menurun
menyebabkan retensi CO2 dalam darah (Hypercapnia) dan terjadi asidosis
respiratori (pH menurun). Stadium ini kita kenal dengan gagal nafas.
Hipotermi yang berlangsung lama akan menyebabkan asidosis metabolik
dan konstruksi jaringan pembuluh darah paru dan selanjutnya
menyebabkan sunting peredaran darah ke pembuluh darah yang lebih
besar tanpa melalui unit-unit pertukaran gas yang baik. Sunting ini juga
mengakibatkan hipercapni sehingga akan memperburuk keadaan.
Tanda dan Gejala
- Batuk produktif
- Wheezing
- Dispnea
- Mengi
- Ekspirasi memanjang
- Barrel chest (dada tong)
- Orthopnea
- Berkeringat
- Tachypnea
- Tachycardia.
Pemeriksaan Diagnostik
a) Test Fungsi paru ( spirometri)
Pemeriksaan fungsi paru adalah cara yang paling akurat dalam mengkaji
obstruksi jalan napas akut. Fungsi paru yang rendah mengakibatkan dan
menyimpangkan gas darah ( respirasi asidosis) , mungkin menandakan
bahwa pasien menjadi lelah dan akan membutuhkan ventilasi mekanis,
adalah criteria lain yang menandakan kebutuhan akan perawatan di rumah
sakit. Meskipun kebanyakan pasien tidak membutuhkan ventilasi mekanis,
tindakan ini digunakan bila pasien dalam keadaan gagal napas atau pada
mereka yang kelelahan dan yang terlalu letih oleh upaya bernapas atau
mereka yang kondisinya tidak berespons terhadap pengobatan awal.
b) Pemeriksaan gas darah arteri
Dilakukan jika pasien tidak mampu melakukan maneuver fungsi
pernapasan karena obstruksi berat atau keletihan, atau bila pasien tidak
berespon terhadap tindakan. Respirasi alkalosis ( CO2 rendah ) adalah
temuan yang paling umum pada pasien asmatik. Peningkatan PCO2 ( ke
kadar normal atau kadar yang menandakan respirasi asidosis ) seringkali
merupakan tanda bahaya serangan gagal napas. Adanya hipoksia berat,
PaO2 < 60 mmHg serta nilai pH darah rendah.
c) Arus puncak ekspirasi
APE mudah diperiksa dengan alat yang sederhana, flowmeter dan
merupakan data yang objektif dalam menentukan derajat beratnya
penyakit. Dinyatakan dalam presentase dari nilai dungaan atau nilai
tertinggi yang pernah dicapai. Apabila kedua nilai itu tidak diketahui
dilihat nilai mutlak saat pemeriksaan.
d) Pemeriksaan foto thoraks
Pemeriksaan ini terutama dilakukan untuk melihat hal – hal yang ikut
memperburuk atau komplikasi asma akut yang perlu juga mendapat
penangan seperti atelektasis, pneumonia, dan pneumothoraks. Pada
serangan asma berat gambaran radiologis thoraks memperlihatkan suatu
hiperlusensi, pelebaran ruang interkostal dan diagfragma yang menurun.
Semua gambaran ini akan hilang seiring dengan hilangnya serangan asma
tersebut.
e) Elektrokardiografi
Tanda – tanda abnormalitas sementara dan refersible setelah terjadi
perbaikanklinis adalah gelombang P meninggi ( P pulmonal ), takikardi
dengan atau tanpa aritmea supraventrikuler, tanda – tanda hipertrofi
ventrikel kanan dan defiasi aksis ke kanan.
Penanganan Asma
1. Agenis Beta : untuk mendilatasi otot-otot polos bronkial dan meningkatkan
gerakan sililaris. Contoh obat : epinefrin, albutenol, meta profenid, iso proterenoli
isoetharine, dan terbutalin. Obat-obat ini biasa digunakan secara parenteral dan
inhalasi.
2. Metil salin untuk bronkodilatasi, merilekskan otot-otot polos, dan meningkatkan
gerakan mukus dalam jalan nafas. Contoh obat: aminophyllin, teophyllin,
diberikan secara IV dan oral.
3. Antikolinergik, contoh obat : atropin, efeknya : bronkodilator, diberikan secara
inhalasi.
4. Kortikosteroid, untuk mengurangi inflamasi dan bronkokonstriktor. Contoh
obat: hidrokortison, dexamethason, prednison, dapat diberikan secara oral dan IV.
5. Inhibitor sel mast, contoh obat: natrium kromalin, diberikan melalui inhalasi
untuk bronkodilator dan mengurangi inflamasi jalan nafas.
6. Oksigen, terapi diberikan untuk mempertahankan PO2 pada tingkat 55 mmHg.
7. Fisioterapi dada, teknik pernapasan dilakukan untuk mengontrol dispnea dan
batuk efektif untuk meningkatkan bersihan jalan nafas, perkusi dan postural
drainage dilakukan hanya pada pasien dengan produksi sputum yang banyak.
KAJIAN KEPERAWATAN KRITIS
Pengkajian
a. Keluhan :
– Sesak nafas tiba-tiba, biasanya ada faktor pencetus
– Terjadi kesulitan ekspirasi / ekspirasi diperpanjang
– Batuk dengan sekret lengket
– Berkeringat dingin
– Terdengar suara mengi / wheezing keras
– Terjadi berulang, setiap ada pencetus
– Sering ada faktor genetik/familier
AIRWAY
Pengkajian:
Pada pasien dengan status asmatikus ditemukan adanya penumpukan
sputum pada jalan nafas. Hal ini menyebabkan penyumbatan jalan napas
sehingga status asmatikus ini memperlihatkan kondisi pasien yang sesak
karena kebutuhan akan oksigen semakin sedikit yang dapat diperoleh.
Diagnosa keperawatan :
Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d penumpukan sputum
Intervensi :
a. Amankan pasien ke tempat yang aman
R/ lokasi yang luas memungkinkan sirkulasi udara yang lebih banyak
untuk pasien
b. Kaji tingkat kesadaran pasien
R/ dengan melihat, mendengar, dan merasakan dapat dilakukan untuk
mengetahui tingkat kesadaran pasien
c. Segera minta pertolongan
R/ bantuan segera dari rumah sakit memungkinkan pertolongan yang
lebih intensif
d. Auskultasi bunyi napas dengan mendekatkan telinga ke mulut pasien
R/ mengetahui tingkat pernapasan pasien dan mengetahui adanya
penumpukan sekret
e. Berikan teknik membuka jalan napas dengan cara memiringkan pasien
setengah telungkup dan membuka mulutnya
R/ memudahkan untuk mengeluarkan sputum pada jalan napas
BREATHING
Pengkajian :
Adanya sumbatan pada jalan napas pasien menyebabkan bertambahnya
usaha napas pasien untuk memperoleh oksigen yang diperlukan oleh
tubuh. Namun pada status asmatikus pasien mengalami nafas lemah
hingga adanya henti napas. Sehingga ini memungkinkan bahwa usaha
ventilasi pasien tidak efektif. Disamping itu adanya bising mengi dan sesak
napas berat sehingga pasien tidak mampu menyelesaikan satu kalimat
dengan sekali napas, atau kesulitan dalam bergerak. Pada pengkajian ini
dapat diperoleh frekuensi napas lebih dari 25 x / menit. Pantau adanya
mengi.
Diagnose keperawatan :
Ketidakefektifan pola napas b/d penurunan kemampuan bernapas
Intervensi :
a. Kaji usaha dan frekuensi napas pasien
R/ mengetahui tingkat usaha napas pasien
b. Auskultasi bunyi napas dengan mendekatkan telinga pada hidung
pasien serta pipi ke mulut pasien
R/ mengetahui masih adanya usaha napas pasien
c. Pantau ekspansi dada pasien
R/ mengetahui masih adanya pengembangan dada pasien
CIRCULATION
Pengkajian :
Pada kasus status asmatikus ini adanya usaha yang kuat untuk
memperoleh oksgien maka jantung berkontraksi kuat untuk memenuhi
kebutuhan tersebut hal ini ditandai dengan adanya peningkatan denyut
nadi lebih dari 110 x/menit. Terjadi pula penurunan tekanan darah sistolik
pada waktu inspirasi, arus puncak ekspirasi ( APE ) kurang dari 50 % nilai
dugaan atau nilai tertinggi yang pernah dicapai atau kurang dari 120
lt/menit. Adanya kekurangan oksigen ini dapat menyebabkan sianosis yang
dikaji pada tahap circulation ini.
Diagnosa Keperawatan :
Perubahan perfusi jaringan perifer b/d kekurangan oksigen
Intervensi :
- pantau tanda – tanda vital ( nadi, warna kulit ) dengan menyentuh nadi
jugularis
R/ mengetahui masih adanya denyut nadi yang teraba
DAFTAR PUSTAKA
1. Hudak & Gallo, Keperawatan Kritis, Edisi VI,Vol I, Jakarta, EGC, 2001
2. Tucker S. Martin, Standart Perawatan Pasien, Jilid 2, Jakarta, EGC,
1998
3. Reeves. Keperawatan Medikal Bedah. Ed 1. Jakarta : Salemba Medika;
2001
4. Halim Danukusantoso, Buku Saku Ilmu Penyakit Paru, Jakarta,
Penerbit Hipokrates , 2000
5. Smeltzer, C . Suzanne,dkk, Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8
Vol 1. Jakarta , EGC, 2002
6. Krisanty Paula, dkk. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Cetakan
Pertama, Jakarta, Trans Info Media, 2009.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN LUKA BAKAR

A. Definisi
Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan
kimia dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam
(Guyton & Hall, 1997).
B. Insiden
Perawatan luka bakar mengalami perbaikan / kemajuan dalam dekade terakhir
ini, yang mengakibatkan menurunnya angka kematian akibat luka bakar. Pusat-
pusat perawatan luka bakar telah tersedia cukup baik, dengan anggota team yang
menangani luka bakar terdiri dari berbagai disiplin yang saling bekerja sama untuk
melakukan perawatan pada klien dan keluarganya. Di Amerika kurang lebih 2 juta
penduduknya memerlukan pertolongan medik setiap tahunnya untuk injuri yang
disebabkan karena luka bakar. 70.000 diantaranya dirawat di rumah sakit dengan
injuri yang berat.
Luka bakar merupakan penyebab kematian ketiga akibat kecelakaan pada
semua kelompok umur. Laki-laki cenderung lebih sering mengalami luka bakar
dari pada wanita, terutama pada orang tua atau lanjut usia ( diatas 70 th) (Rohman
Azzam, 2008).
C. Etiologi
Etiologi dari luka bakar (Guyton & Hall, 1997) :
1. Luka Bakar Suhu Tinggi(Thermal Burn)
a. Gas
b. Cairan
c. Bahan padat (Solid)
2. Luka Bakar Bahan Kimia (hemical Burn)
3. Luka Bakar Sengatan Listrik (Electrical Burn)
4. Luka Bakar Radiasi (Radiasi Injury)
D. Fase Luka Bakar
Fase – fase luka bakar (Guyton & Hall, 1997) yaitu :
1. Fase akut.
Disebut sebagai fase awal atau fase syok. Dalam fase awal penderita akan
mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas), breathing (mekanisme
bernafas), dan circulation (sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi
segera atau beberapa saat setelah terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi
saluran pernafasan akibat cedera inhalasi dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera
inhalasi adalah penyebab kematian utama penderita pada fase akut. Pada fase akut
sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat cedera termal
yang berdampak sistemik.
2. Fase sub akut.
Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan atau
kehilangan jaringan akibat kontak denga sumber panas. Luka yang terjadi
menyebabkan:
1. Proses inflamasi dan infeksi.
2. Problem penutupan luka dengan titik perhatian pada luka telanjang atau tidak
berbaju epitel luas dan atau pada struktur atau organ – organ fungsional.
3. Keadaan hipermetabolisme.
3. Fase lanjut.
Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat luka dan
pemulihan fungsi organ-organ fungsional. Problem yang muncul pada fase ini
adalah penyulit berupa parut yang hipertropik, keloid, gangguan pigmentasi,
deformitas dan kontraktur.
E. Klasifikasi luka bakar (Hudak & Gallo, 1997)
1. Dalamnya luka bakar
Kedalaman Penyebab Penampilan Warna Perasaan
Ketebalan Jilatan api, Kering tidak ada Bertambah Nyeri
partial sinar gelembung, edema merah
superfisial ultraviolet minimal atau tidak
(tingkat I) (terbakar ada, pucat bila
oleh ditekan dengan
matahari) ujung jari, berisi
kembali bila
tekanan dilepas
Lebih dalam Kontak Blister besar dan Berbintik Sangat
dari partial dengan bahan lembab yang – bintik nyeri
(tingkat II) air atau ukurannya yang
- bahan padat. bertambah besar. kurang
Superfi Jilatan api Pucat bila ditekan jelas,
sial kepada dengan ujung jari, putih,
- Dalam pakaian. bila tekanan dilepas coklat,
Jilatan berisi kembali pink,
langsung daerah
kimiawi, merah
sinar coklat
ultraviolet
Ketebalan Kontak Kering disertai kulit Putih, Tidak
sepenuhnya dengan bahan yang mengelupas. kering, sakit,
cair atau Pembuluh darah hitam, sedikit
padat. Nyala seperti arang coklat sakit,
api, kimia, terlihat dibawah tua, rambut
kontak kulit yang hitam, mudah
dengan arus mengelupas. merah lepas bila
listrik Gelembung jarang, dicabut
dindingnya sangat
tipis, tidak
membesar, tidak
pucat bila ditekan

2. Luas luka bakar


Wallace membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatan 9 yang terkenal dengan
nama rule of nine atua rule of wallace yaitu:
3. Berat ringannya luka bakar
Untuk mengkaji beratnya luka bakar harus dipertimbangkan beberapa faktor antara
lain :
1) Persentasi area (Luasnya) luka bakar pada permukaan tubuh.
2) Kedalaman luka bakar.
3) Anatomi lokasi luka bakar.
4) Umur klien.
5) Riwayat pengobatan yang lalu.
6) Trauma yang menyertai atau bersamaan.
American college of surgeon membagi dalam:
A. Parah – critical:
a) Tingkat II : 30% atau lebih.
b) Tingkat III : 10% atau lebih.
c) Tingkat III pada tangan, kaki dan wajah.
d) Dengan adanya komplikasi penafasan, jantung, fractura, soft tissue yang luas.
B. Sedang – moderate:
a) Tingkat II : 15 – 30%
b) Tingkat III : 1 – 10%
C. Ringan – minor:
a) Tingkat II : kurang 15%
b) Tingkat III : kurang 1%
F. Patofisilogi
WOC terlampir (http://www.artanto.com)
G. Perubahan Fisiologis Pada Luka Bakar (Guyton & Hall, 1997)
Tingkatan hipovolemik (s/d Tingkatan diuretik (12 jam –
48-72 jam pertama) 18/24 jam pertama
Perubahan
Mekanisme Dampak dari Interstitial ke Hemodilusi
vaskuler
Fungsi renal Aliran darah Oliguri Peningkatan Diuresis
renal aliran darah
berkurang renal karena
karena desakan darah
desakan darah meningkat
turun dan CO
berkurang
Kadar Na+ direabsorb Defisit sodium Kehilangan Defisit sodium
+
sodium / si oleh ginjal, Na melalui
natrium tapi diuresis
kehilangan (normal
+
Na melalui kembali setelah
eksudat dan 1 minggu)
tertahan dalam
cairan edema
Kadar K+ dilepas Hiperkalemi K+ bergerak Hipokalemi
potassium sebagai akibat kembali dalam
cidera sel, K+
jaringan sel – terbuang
sel darah melalui diuresis
merah, (mulai 4-5 hari
K+berkurang setelah luka
ekskresi bakar)
karena fungsi
renal
berkurang
Kadar Kehilangan
protein protein ke
dalam
Hipoproteinem
jaringan
ia
akibat
kenaikan
permeabilitas
Keseimbang Katabolisme Keseimbangan Katabolisme Keseimbangan
an nitrogen jaringan, nitrogen jaringan, nitrogen
kehilangan negatif kehilangan negatif
protein dalam protein,
jaringan, lebih immobilitas
banyak
kehilangan
dari masukan
Keseimbang Metabolisme Asidosis Kehilangan Asidosis
an asam basa anaerob metabolik sodium metabolik
karena perfusi bicarbonas
jaringan melalui
berkurang, diuresis,
peningkatan hipermetabolis
asam dari me disertai
produk akhir, peningkatan
fungsi renal produk akhir
berkurang metabolisme
(menyebabkan
retensi produk
akhir
tertahan),
kehilangan
bikarbonas
serum
Terjadi karena Stres karena
sifat cidera luka
Aliran darah berlangsung
renal lama dan
berkurang terancam
psikologi
pribadi
Eritrosit Terjadi karena Luka bakar Tidak terjadi Hemokonsentra
panas, pecah termal pada hari – hari si
menjadi fragil pertama
Lambung Curling ulcer Rangsangan Akut dilatasi Peningkatan
(ulkus pada central di dan paralise jumlah cortison
gaster), hipotalamus usus
perdarahan dan
lambung, peningkatan
nyeri jumlah
cortison
Jantung MDF Disfungsi Peningkatan zat CO menurun
meningkat 2x jantung MDF (Miokard
lipat, Depresant
merupakan Factor) sampai
glikoprotein 26 unit,
yang toxic bertanggung
yang jawab terhadap
dihasilkan syok septic
oleh kulit
yang terbakar
H. Indikasi Rawat Inap Luka Bakar (Guyton & Hall, 1997)
A. Luka bakar grade II :
1) Dewasa > 20%
2) Anak/orang tua > 15%
B. Luka bakar grade III
C. Luka bakar dengan komplikasi: jantung, otak dll.
I. Penatalaksanaan (Long, Barbara C, 1996)
A. Resusitasi A, B, C.
1) Pernafasan
a) Udara panas mukosa rusak oedem obstruksi.
b) Efek toksik dari asap: HCN, NO2, HCL, Bensin iritasi Bronkhokontriksi obstruksi
gagal nafas.
2) Sirkulasi:
Gangguan permeabilitas kapiler: cairan dari intra vaskuler pindah ke ekstra
vaskuler hipovolemi relatif syok ATN gagal ginjal.
B. Infus, kateter, CVP, oksigen, Laboratorium, kultur luka.
C. Resusitasi cairan Baxter.
Dewasa : Baxter.
RL 4 cc x BB x % LB/24 jam.
Anak: jumlah resusitasi + kebutuhan faal:
RL : Dextran = 17 : 3
2 cc x BB x % LB.
Kebutuhan faal:
< 1 tahun : BB x 100 cc
1 – 3 tahun : BB x 75 cc
3 – 5 tahun : BB x 50 cc
½ à diberikan 8 jam pertama
½ à diberikan 16 jam berikutnya.
Hari kedua:
Dewasa : Dextran 500 – 2000 + D5% / albumin.

( 3-x) x 80 x BB gr/hr
100
(Albumin 25% = gram x 4 cc) à 1 cc/mnt.
Anak : Diberi sesuai kebutuhan faal.
D. Monitor urine dan CVP.
E. Topikal dan tutup luka
- Cuci luka dengan savlon : NaCl 0,9% ( 1 : 30 ) + buang jaringan nekrotik.
- Tulle.
- Silver sulfadiazin tebal.
- Tutup kassa tebal.
- Evaluasi 5 – 7 hari, kecuali balutan kotor.
F. Obat – obatan:
o Antibiotika : tidak diberikan bila pasien datang < 6 jam sejak kejadian.
o Bila perlu berikan antibiotika sesuai dengan pola kuman dan sesuai hasil kultur.
o Analgetik : kuat (morfin, petidine)
o Antasida : kalau perlu
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito,J,L. (1999). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2.
PT EGC. Jakarta.
Guyton & Hall. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit Buku
Kedoketran EGC. Jakarta
Hudak & Gallo. (1997). Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik.Volume I.
Penerbit Buku Kedoketran EGC. Jakarta.
Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan).
Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.
Marylin E. Doenges. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Penerbit Buku
Kedoketran EGC. Jakarta.
Anonim. (2009). Kumpulan Artikel Keperawatan Asuhan Keperawatan Pada
Pasien Dengan Luka Bakar (Combustio). (Online) http://www.artanto.com.
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN
DENGAN INTOKSIKASI INSEKTISIDA (IFO)

A. Pengertian
Intoksikasi (keracunan) adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh
manusia yang menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya.
Istilah peptisida pada umumnya dipakai untuk semua bahan yang dipakai manusia
untuk membasmi hama yang merugikan manusia. Termasuk peptisida ini adalah
insektisida. Ada dua macam insektisida yang paling banyak digunakan dalam
pertanian adalah :
1. insektisida hidrokarbo khlorin (IHK = chlorinated hydrocarbon)
2. insektisida fosfat organic (IFO = organo phosphate insecticide).
Yang paling sering digunakan adalah IFO yang pemakaiannya terus menerus
meningkat. Sifat - sifat dari IFO adalah insektisida poten yang paling banyak
digunakan dalam pertanian dengan toksisitas yang tinggi. Salah satu derivatnya
adalah Tabun dan Sarin. Bahan ini menembus kulit yang normal (intact), juga
dapat diserap di paru dan saluran makanan, namun tidak berakumulasi dalam
jaringan tubuh seperti halnya golongan IHK.
Macam – macam IFO adalah Malathion (Tolly), Paraathion, Diazinon, Basudin,
Paraoxon dan lain – lain. IFO sebenarnya dibagi 2 macam yaitu IFO murni dan
golongan carbamate. Salah satu contoh golongan carbamate adalah baygon.

B. Patogenesis
IFO bekerja dengan cara menghambat (inaktivasi) enzim asetilkolinesterase
tubuh (KhE). Dalam keadaan normal enzim KhE bekerja untuk menghidrolisis
Akh dengan jalan mengadakan ikatan Akh- KhE yang bersifat inaktif. Bila
konsentrasi racun lebih tinggi ikatan IFO – KhE lebih banyak terjadi. Akibatnya
akan terjadi penumpukan AKh di tempat – tempat tertentu, sehingga timbul gejala
– gejala rangsangan AKh yang berlebihan, yang akan menimbulkan efek
muscarinik, nikotinik dan SSP (menimbulkan stimulasi kemudian depresi SSP).
Pada keracunan IFO, ikatan IFO –KhE bersifat menetap (irreversible),
sedangkan pada keracunan carbamate ikatan ini bersifat sementara (reversible).
Secara farmakologis efek AKh dapat dibagi dalan 3 bagian, yaitu :
1. Muskarini, terutama pada saluran pencernaan, kelenjar ludah dan keringat, pupil,
bronkus dan jantung.
2. Nikotinik, terutama pada otot – otot skeletal, bola mata, lidah, kelopak mata dan
otot pernapasan.
3. SSP, menimbulkan nyeri kepala, perubahan emosi, kejang – kejang (konvulsi)
sampai koma.
C. Gambaran klinik
Yang paling menonjol adalah kelainan visus, hiperaktivitas kelenjar ludah, keringat
dan saluran pencernaan, serta kesukaran bernapas.
Keracunan ringan : anoreksia, nyeri kepala, rasa lemah, rasa takut, tremor lidah,
kelopak mata, pupil miosis.
Keracunan sedang : nausea, muntah – muntah, kejang atau kram perut, hipersaliva,
hiperhidrosis, fasikulasi otot dan bradikardi.
Keracunan berat : diare, pupil pi – point, reaksi cahaya negatif, sesak napas,
sianosis, edema paru, inkontinensia urine dan feses, konvulsi, koma, blokade
jantung, akhirnya meninggal.

D. Pemeriksaan .
1. Laboratorik.
Pengukuran kadar KhE dalam sel darah merah dan plasma, penting untuk
memastikan diagosis keracunan IFO akut maupun kronik (menurun sekian % dari
harga normal).
Keracunan akut : ringan : 40 – 70 %
sedang : 20 – 40 %
berat : < 20 %.
Keracunan kronik bila kadar KhE menurun sampai 25 - 50 %, setiap
individu yang berhubungan dengan insektisida ini harus segera disingkirkan dan
baru diizinkan bekerja kembali bila kadar KhE telah meningkat > 75 % N.

2. Patologi Anatomi (PA)


Pada keracunan akut, hasil pemeriksaan patologi biasanya tidak khas. Sering hanya
ditemukan edema paru, dilatasi kapiler, hiperemi paru, otak dan organ – organ lain.

E. Penatalaksanaan
1. Resusitasi
Setelah jalan napas dibebaskan dan dibersihkan, periksa pernapasan dan
nadi. Infus dextrose 5 % kecepatan 15 – 20 tts/mnt, napas buatan + oksigen, hisap
lendir dalam saluran napas, hindari obat – obat depresan saluran napas, kalau perlu
respirator pada kegagalan napas berat. Hindar pernapasan buatan dari mulut ke
mulut sebab racun organofosfat akan meracuni lewat mulut penolong. Pernapasan
buatan hanya dilakukan dengan meniup face mask atau menggunakan alat bag –
valve – mask.
2. Eliminasi
Emesis, merangsang penderita supaya muntah pada penderita yang sadar
atau dengan pemberian sirup ipecac 15 –30 ml. Dapat diulan setelah 20 menit bila
tidak berhasil. Katarsis (intestinal lavage), dengan pemberian laksans bila diduga
racun telah sampai di usus halus dan tebal. Kumbah lambung (KL atau gastric
lavage), pada penderita yang kesadaran yang menurun, atau pada mereka yang
tidak kooperatif. Hasil paling efektif bila KL dikerjakan dalam 4 jam setelah
keracunan.
Keramas rambut dan mandikan seluruh tubuh dengan sabun.
Emesis, katarsis dan KL sebaiknya hanya dilakukan bila keracunan terjadi kurang
daari 4 – 6 jam. Pada koma derajat sedang hingga berat tindakan KL sebaiknya
dikerjakan dengan bantuan pemasangan pipa endotrakeal berbalon, untuk
mencegah aspirasi pneumonia.
3. Antidotum
Atropin sulfat (SA) bekerja dengan menghambat efek akumulasi AKh pada tempat
penumpukan.
a. Mula –mula diberikan bolus iv 1 – 2,5 mg
b. Dilanjutkan dengan 0,5 – 1 mg setiap 5 – 10 – 15 menit sampai timbul gejala –
gejala atropinisasi (muka merah, mulut kering, takikardi, midriasis, febris, dan
psikosis).
c. Kemudian interval diperpanjang setiap 15 – 30 – 60 menit, selanjutnya setiap 2
– 4 – 6 – 8 dan 12 jam
d. Pemberian SA dihentikan minimal setelah 2 X 24 jam. Penghentian yang
mendadak dapat menimbulkan rebound effect berupa edema paru dan kegagalan
pernapasan akut yang sering fatal.

ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian difokuskan pada masalah yang mendesak seperti jalan napas dan
sirkulasi yang mengancam jiwa, adaya gangguan asam basa, keadaan status
jantung, status kesadaran. Riwayat kesehatan : riwayat keracunan, bahan racun
yang digunakan, berapa lama diketahui setelah keracunan, ada masalah lain
sebagai pencetus keracunan dan sindroma toksis yang ditimbulkan dan kapan
terjadinya.

B. Masalah keperawatan
Masalah keperawatan yang bisa timbul adalah tidak efektifnya pola napas, resiko
tinggi kekurangan cairan tubuh, gangguan kesadaran, tidak efektifnya koping
indicidu.

C. Intervensi
Pertolongan pertama yang dilakukan meliputi tindakan umum yang bertujuan
untuk keselamatan hidup, mencegah penyerapan dan penawar racun (antidotum)
yang meliputi resusitasi : air way, breathing dan circulation, eliminasi untuk
menghambat absorbsi melalui pencernaan dengan cara kumbah lambung, emesis
atau katartasis dan keramas rambut.
Berikan antidotum sesuai pesanan dokter minimal 2 X 24 jam yaitu Atropin sulfat
(SA).
Perawatan suportif meliputi pertahankan agar pasien tidak sampai demam atau
mengigil, monitor perubahan – perubahan fisik seperti perubahan nadi yang cepat,
distress pernapasan, sianosis, diaphoresis, dan tanda – tanda lain kolaps pembuluh
darah dan kemungkinan fatal atau kematian. Monitor tanda vital setiap 15 menit
untuk beberapa jam dan laporkam perrubahannya segera kepada dokter. Catat
tanda – tanda seperti muntah, mual dan nyeri abdomen serta monitor semua
muntah akan adanya darah. Observasi feses dan urine serta pertahankan cairan
intravenous sesuai pesanan.
Jika pernapasan depresi, berikan oksigen dan lakukan suction. Ventilator mungkin
bias diperlukan. Jika keracunan sebagai suatu usaha untuk membunuh diri maka
lakukan safety precautions. Konsultasi psikiatri atau perawat psikiatris klinis.
Pertimbangkan juga masalah kelainan kepribadian, reaksi depresi, psikosis,
neurosis, mental retardasi dan lain – lain.

SUMBER :
1. Lab./UPF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo, (1994), “Pedoman
Diagnosis dan Terapi”,Surabaya
2. Phipps, etc. (1991), ”Medical Surgical Nursing ; Cencept and Clinical
Practice”, 4th, Mosby Year Book, Toronto.

3. Departemen Kesehatan RI, (2000), “Resusistasi Jantung – Paru – Otak ;


Bantuan Hidup Lanjut (Advanced Life Support)”, Jakarta.

4. Emerton, D.M., (1989), “Principles and Practice of Nursing”, University of


Queensland Press, Australia

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWAT DARUTATAN PADA KLIEN


DENGAN EDEMA PARU

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial
paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah
atau melalui saluran limfatik. Edema paru dibedakan oleh karena sebab
Kardiogenik dan NonKardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena
pengobatannya sangat berbeda. Edema Paru Kardiogenik disebabkan oleh adanya
Payah Jantung Kiri apapun sebabnya. Edema Paru Kardiogenik yang akut
disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri Akut. Tetapi dengan adanya faktor ,
dapat terjadi pula pada penderita Payah Jantung Kiri Khronik.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan respiratory distress syndrome ?
2. Apa penyebab dari respiratory distress syndrome?
3. Bagaimana manifestasi klinis dari respiratory distress syndrome?
4. Bagaimana patofisiologi dari respiratory distress syndrome?
5. Apa pemeriksaan penunjang untuk respiratory distress syndrome?
6. Bagaimana komplikasi respiratory distress syndrome?
7. Bagaimana penatalaksanaan respiratory distress syndrome ?
8. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan respiratory
distress syndrome?
C. Tujuan
Tujuan Umum
Menjelaskan tentang RDS dan Asuhan Keperawatan pada klien dengan kasus
RDS.
Tujuan Khusus
1. Menjelaskan tentang respiratory distress syndrome.
2. Menjelaskan tentang penyebab dari respiratory distress syndrome.
3. Menjelaskan tentang manifestasi klinis dari respiratory distress syndrome.
4. Menjelaskan tentang patofisiologi dari respiratory distress syndrome.
5. Menjelaskan tentang pemeriksaan penunjang untuk respiratory distress
syndrome.
6. Menjelaskan tentang komplikasi respiratory distress syndrome.
7. Menjelaskan tentang penatalaksanaan respiratory distress syndrome.
8. Menjelaskan tentang asuhan keperawatan pada klien dengan respiratory distress
syndrome.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. DEFINISI
Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat
peningkatan tekanan intravaskular. (Elizabeth J Corwin, 2001)
Edema paru adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya cairan ekstravaskular
yang patologis pada jaringan parenkim paru. (Titin Suprihatin, 2000)
B. ETIOLOGI
1. Ketidak-seimbangan Starling Forces :
a. Peningkatan tekanan kapiler paru :
1) Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri
(stenosis mitral).
2) Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi
ventrikel kiri.
3) Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan
arteria pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).
b. Penurunan tekanan onkotik plasma.
Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, penyakit
dermatologi atau penyakit nutrisi.
c. Peningkatan tekanan negatif intersisial :
1) Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).
2) Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut
bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).
d. Peningkatan tekanan onkotik intersisial.
Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.
2. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress
Syndrome)
a. Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
b. Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon®, NO2, dsb).
c. Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-
naphthyl thiourea).
d. Aspirasi asam lambung.
e. Pneumonitis radiasi akut.
f. Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
g. Disseminated Intravascular Coagulation.
h. Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.
i. Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
j. Pankreatitis Perdarahan Akut.
3. Insufisiensi Limfatik :
a. Post Lung Transplant.
b. Lymphangitic Carcinomatosis.
c. Fibrosing Lymphangitis (silicosis).
4. Tak diketahui/tak jelas
a. High Altitude Pulmonary Edema.
b. Neurogenic Pulmonary Edema.
c. Narcotic overdose.
d. Pulmonary embolism.
e. Eclampsia
f. Post Cardioversion.
f. Post Anesthesia.
g. Post Cardiopulmonary Bypass.
C. PATOFISIOLOGI
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi ketika
cairan dari bagian dalam pembuluh-pembuluh darah merembes keluar pembuluh
darah kedalam jaringan-jaringan sekelilingnya, menyebabkan pembengkakan. Ini
dapat terjadi karena terlalu banyak tekanan dalam pembuluh-pembuluh darah atau
tidak ada cukup protein-protein dalam aliran darah untuk menahan cairan dalam
plasma (bagian dari darah yang tidak megandung segala sel-sel darah).
Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru-paru. Area
yang langsung diluar pembuluh-pembuluh darah kecil pada paru-paru ditempati
oleh kantong-kantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah
dimana oksigen dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbon
dioksida dalam darah dikeluarkan kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar.
Alveoli normalnya mempunyai dinding yang sangat tipis yang mengizinkan
pertukaran udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-
dindig ini kehilangan integritasnya.
Edema Paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan kelebihan cairan yang
merembes keluar dari pembuluh-pembuluh darah dalam paru sebagai gantinya
udara. Ini dapat menyebabkan persoalan-persoalan dengan pertukaran gas (oksigen
dan karbon dioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan pengoksigenan darah
yang buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai “air dalam paru-paru” ketika
menggambarkan kondisi ini pada pasien-pasien. Pulmonary edema dapat
disebabkan oleh banyak faktor-faktor yang berbeda. Ia dapat dihubungkan pada
gagal jantung, disebut cardiogenic pulmonary edema, atau dihubungkan pada
sebab-sebab lain, dirujuk sebagai non-cardiogenic pulmonary edema.
D. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan radiografi (foto
toraks). Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun kenyataannya secara klinik
sukar dideteksi dini.
1. Stadium 1.
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan
pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja.
Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya
ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat
inspirasi.
2. Stadium 2.
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru
menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis
menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor inter-
sisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh
karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering
terdapat takhipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel
kiri, tetapi takhipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan
cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit
perubahan saja.
3. Stadium 3.
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi
hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih
kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi
right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi
pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia.
Pada keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-hati (Ingram and
Braunwald, 1988).
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Elektrokardiografi
Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium, tergantung
penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia bisa
ditemukan,
2. Laboratorium
a. Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian
hiperkapnia.
b. Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
c. Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim
jantung (CK-MB, Troponin T), angiografi koroner
3. Foto thoraks
Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada. Radiograph (X-ray)
dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang menyinggung jantung dan
pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang dari vertebral column,
dengan bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-bidang yang lebih
gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur tulang dari dinding
dada.
X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih
banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-
kasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan opacification
(pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari
bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli
sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi
yang minimal tentang penyebab yang mungkin mendasarinya.
F. PENATALAKSANAAN
1. Posisi ½ duduk.
2. Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika
memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa
dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2,
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka
dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
3. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
4. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5
– 10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin
intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka
dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak
memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis
atau sampai tekanan darah sistolik 85 – 90 mmHg pada pasien yang tadinya
mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang
adekuat ke organ-organ vital.
5. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg
(sebaiknya dihindari).
6. Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan
tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1
ml/kgBB/jam.
7. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5
ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan
hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
8. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
9. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak
berhasil dengan oksigen.
10. Atasi aritmia atau gangguan konduksi.
11. Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan
ruptur dinding ventrikel / corda tendinae.
G. KOMPLIKASI
Kebanyakan komplikasi-komplikasi dari pulmonary edema mungkin timbul dari
komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan penyebab yang mendasarinya.
Lebih spesifik, pulmonary edema dapat menyebabkan pengoksigenan darah yang
dikompromikan secara parah oleh paru-paru. Pengoksigenan yang buruk (hypoxia)
dapat secara potensial menjurus pada pengantaran oksigen yang berkurang ke
organ-organ tubuh yang berbeda, seperti otak.
H. PENCEGAHAN
Dalam hal tindakan-tindakan pencegahan, tergantung pada penyebab dari
pulmonary edema, beberapa langkah-langkah dapat diambil. Pencegahan jangka
panjang dari penyakit jantung dan serangan-serangan jantung, kenaikan yang
perlahan ke ketinggian-ketinggian yang tinggi, atau penghindaran dari overdosis
obat dapat dipertimbangkan sebagai pencegahan. Pada sisi lain, beberapa sebab-
sebab mungkin tidak sepenuhnya dapat dihindari atau dicegah, seperti ARDS yang
disebabkan oleh infeksi atau trauma yang berlimpahan.

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Data umum:
1. Identitas :
Umur : Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan remaja/dewasa
muda
2. Riwayat Masuk
Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis atau batuk-
batuk disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang sudah menurun dan
dapat terjadi dengan tiba-tiba pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar
dengan masing-masik tanda klinik mungkin menyertai klien
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis, pancreatitis,
Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta penyakit ginjal
mungkin ditemui pada klien

Pemeriksaan fisik
1. Sistem Integumen
Subyektif : -
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder),
banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan
2. Sistem Pulmonal
Subyektif : sesak nafas, dada tertekan, cengeng
Obyektif : Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan,
pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan meningkat, terdengar
stridor, ronchii pada lapang paru.
3. Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit kepala
Obyektif : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi, kualitas darah
menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan
4. Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
5. Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan penggunaan
otot aksesoris pernafasan
6. Sistem genitourinaria
Subyektif :
Obyektif : produksi urine menurun/normal.
7. Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feses normal/diare
Pemeriksaan Laboratorium :
1. Hb : menurun/normal
2. Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah, kadar
karbon darah meningkat/normal.
3. Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal.
B. PRIORITAS MASALAH
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d intubasi, ventilasi, proses penyakit,
kelemahan dan kelelahan.
2. Gangguan pertukaran Gas b.d sekresi tertahan, proses penyakit, atau
pengesetan ventilator tidak tepat.
3. Gangguan komunikasi verbal b.d pemasangan selang endotrakeal.
4. Resiko tinggi infeksi b.d pemasangan selang endotrakeal.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan :
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d intubasi, ventilasi, proses penyakit,
kelemahan dan kelelahan
Tujuan : Jalan nafas dapat dipertahankan kebersihannya
Kriteria : Suara nafas bersih, ronchii tidak terdengar pada seluruh lapang paru
Rencana Tindakan
a. Auskultasi bunyi nafas tiap 2-4 jam
b. Lakukan hisap lendir bila ronchii terdengar
c. Monitor humidivier dan suhu ventilator
d. Monitor status hidrasi klien
e. Monitor ventilator tekanan dinamis
f. Beri Lavase cairan garam faali sesuai indikasi
g. Beri fisioterapi dada sesuai indikasi
h. Beri bronkodilator
i. Ubah posisi, lakukan postural drainage
Rasional
a. Monitor produksi secret
b. Tekanan penghisapan tidak lebih 100-200 mmHg. Hiperoksigenasi dengan 4-5
kali pernafasn dengan O2 100 % dan hiperinflasi dengan 1 ½ kali VT
menggunakan resusitasi manual atau ventilator. Auskultasi bunyi nafas setelah
penghisapan
c. Oksigen lembab merangasang pengenceran sekret. Suhu ideal 35-37,8OC
d. Mencegah sekresi kental
e. Peningkatan tekanan tiba-tiba mungkin menunjukkan adanya perlengketan jalan
nafas
f. Fasilitasi pembuangan sekret.
g. Fasilitasi pengenceran dan penge-luaran sekret menuju bronkus utama.
h. Fasilitasi pengeluaran sekret menuju bronkus utama.
2. Gangguan pertukaran Gas b.d sekresi tertahan, proses penyakit, atau
pengesetan ventilator tidak tepat
Tujuan : Pertukaran gas jaringan paru optimal
Kriteria : Gas Darah Arteri dalam keadaan normal
Rencana Tindakan
a. Periksa AGD 10-30 menit setelah pengesetan ventilator atau setelah adanya
perubahan ventilator
b. Monitor AGD atau oksimetri selama periode penyapihan
c. Kaji apakah posisi tertentu menimbulkan ketidaknyamanan pernafasan
d. Monitor tanda hipoksia dan hiperkapnea
Rasional
a. AGD diperiksa sebagai evaluasi status pertukaran gas; menunjukkan
konsentrasi O2 & CO2 darah.
b. Periode penyapihan rawan terhadap perubahan status oksigenasi.
c. Dalam berbagai kondisi, ketidak-nyamanan dapat mempengaruhi klinis
penderita.
d. Hipoksia dan hiperkapnea ditandai adanya gelisah dan penurunan kesadaran,
asidosis, hiperventilasi, diaporesis dan keluhan sesak meningkat.
3. Gangguan komunikasi verbal b.d pemasangan selang endotrakeal
Tujuan : Klien dan petugas kesehatan dapat berkomunikasi secara efektif selama
pemasangan selang endotrakeal
Kriteria : Klin dan perawat menentukan dan menggunakan metodayang tepat untuk
berkomunikasi, tidak terjadi hambatan komunikasi berarti, menggunakan metode
yang tepat
Rencana Tindakan:
a. Jelaskan lingkungan, semua prosedur, tujuan dan alat yang berhubungan
dengan klien
b. Berikan bel atau papan catatan serta alat tulis untuk momunikasi
c. Ajukan pertanyaan tertutup
d. Yakinkan pasien bahwa suara akan kembali bila endotrakela dilepas.
Rasional
a. Mengurangi kebingungan klien dan meminimalisasi adanya komunikasi yang
sulit antara klien dan perawat
b. Sebagai media komunikasi antara klien dan perawat
c. Menghindari komunikasi tidak efektif
d. Mengurangi kecemasan yang mungkin timbul akibat kehilangan suara
4. Resiko tinggi infeksi b.d pemasangan selang endotrakeal
Tujuan : Klien tidak mengalami infeksi nosokomial
Kriteria : tidak terdapat tanda-tanda infeksi nosokomial
Rencana Tindakan
a. Evaluasi warna, jumlah, konsistensi dan bau sputum tiap kali penghisapan
b. Tampung spesimen untuk kultur dan sensitivitas sesuai indikasi
c. Pertahankan teknis steril selama penghisapan lender
d. Ganti selang ventilator tiap 24 – 72 jam
Rasional
a. Infeksi traktus respiratorius dapat mengakibatkan sputum bertambah banyak,
bau lebih menyengat, warna berubah lebih gelap
b. Memastikan adanya kuman dalam sputum/jalan nafas
c. Mengurangi resiko infeksi nosokomial
d. Mengurangai resiko infeksi nosokomial

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall (2000), Buku saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC,
Jakarta

Corwin, Elizabeth J, (2001), Buku saku Patofisiologi, Edisi bahasa Indonesia,


EGC, Jakarta

Doengoes, E. Marilyn (1989), Nursing Care Plans, Second Edition, FA Davis,


Philadelphia

Mansjoer Arif:1999: Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga jilid I: Medi


Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta

Suprihatin, Titin (2000), Bahan Kuliah Keperawatan Gawat Darurat PSIK


Angkatan I, Universitas Airlangga,

INTOKSIKASI NAPZA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya
(NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA
(Narkotika dan Bahan/Obat berbahanya) merupakan masalah yang sangat
kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan
melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat
secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan
konsisten. Meskipun dalam Kedokteran, sebagian besar golongan Narkotika,
Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) masih bermanfaat bagi pengobatan,
namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi medis atau
standar pengobatan terlebih lagi bila disertai peredaran dijalur ilegal, akan
berakibat sangat merugikan bagi individu maupun masyarakat luas khususnya
generasi muda.
Maraknya penyalahgunaan NAPZA tidak hanya dikota-kota besar saja, tapi
sudah sampai ke kota-kota kecil, mulai dari tingkat sosial ekonomi menengah
bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas. Dari data yang ada, penyalahgunaan
NAPZA paling banyak berumur antara 15–24 tahun. Bahkan anak sekolah dasar
(SD) pun sekarang sudah menggunakan narkoba. Berdasarkan data Badan
Narkotika Nasional (BNN), kasus pemakaian narkoba oleh pelaku dengan tingkat
pendidikan SD hingga tahun 2007 berjumlah 12.305. Data ini begitu
mengkhawatirkan karena seiring dengan meningkatnya kasus narkoba (khususnya
di kalangan usia muda dan anak-anak, penyebaran HIV/AIDS semakin meningkat
dan mengancam. Penyebaran narkoba menjadi makin mudah karena anak SD juga
sudah mulai mencoba-coba mengisap rokok. Tidak jarang para pengedar narkoba
menyusup zat-zat adiktif (zat yang menimbulkan efek kecanduan) ke dalam
lintingan tembakaunya.
Tampaknya generasi muda adalah sasaran strategis perdagangan gelap
NAPZA. Oleh karena itu kita semua perlu mewaspadai bahaya dan pengaruhnya
terhadap ancaman kelangsungan pembinaan generasi muda. Sektor kesehatan
memegang peranan penting dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan
NAPZA.
Promotif, Preventif, Terapi dan Rehabilitasi.
Peran penting sektor kesehatan sering tidak disadari oleh petugas kesehatan itu
sendiri, bahkan para pengambil keputusan, kecuali mereka yang berminat
dibidang kesehatan jiwa, khususnya penyalahgunaan NAPZA. Bidang ini perlu
dikembangkan secara lebih profesional, sehingga menjadi salah satu pilar yang
kokoh dari upaya penanggulangan penyalahgunaan NAPZA. Kondisi diatas
mengharuskan pula Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan dapat
berperan lebih proaktif dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan NAPZA di
masyarakat.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang kasus keracunan NAPZA (Overdosis)
1.2.2 Tujuan Khusus
 Untuk mengetahui tentang definisi NAPZA
 Untuk mengetahui tentang penyebab penyalahgunaan NAPZA
 Untuk mengetahui tentang manifestasi klinis pengguna NAPZA
 Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan pada penyalahgunaan NAPZA
 Untuk mengetahui tentang definisi Overdosis
 Untuk mengetahui tentang penyebab Overdosis
 Untuk mengetahui tentang manifestasi klinis Overdosis
 Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan pada Overdosis
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi NAPZA


Narkoba atau NAPZA adalah bahan / zat yang dapat mempengaruhi kondisi
kejiwaan / psikologi seseorang ( pikiran, perasaan dan perilaku ) serta dapat
menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologi. Yang termasuk dalam NAPZA
adalah : Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya.
Menurut UU RI No 22 / 1997, Narkotika adalah: zat atau obat yang berasal
dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Narkotika terdiri dari 3 golongan :
1. Golongan I : Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta
mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh :
Heroin, Kokain, Ganja.
2. Golongan II : Narkotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan
sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan / atau untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi
mengakibatkan ketergantungan. Contoh : Morfin, Petidin.
3. Golongan III : Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak
digunakan dalam terapi dan / atau tujuan pengebangan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh :
Codein.
Menurut UU RI No 5 / 1997, Psikotropika adalah : zat atau obat, baik alamiah
maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktifitas mental dan perilaku.

Psikotropika terdiri dari 4 golongan :


1. Golongan I : Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan
ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai
potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Ekstasi,
shabu, LSD
2. Golongan II : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat
digunakan dalan terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh: Amphetamine, metilfenidat atau ritalin
3. Golongan III : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak
digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh : Phenobarbital, flunitrazepam
4. Golongan IV : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat
luas digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh : Diazepam, Nitrazepam ( BK, DUM ), bromazepam, fenobarbital,
klonazepam, klordiazepoxide, seperti pil BK, pil Koplo, Rohipnol, Dumolid,
Mogadon
Yang termasuk Zat Adiktif lainnya adalah : bahan / zat yang berpengaruh
psikoaktif diluar Narkotika dan Psikotropika, meliputi :
1. Minuman Alkohol : mengandung etanol etil alkohol, yang
berpengaruh menekan susunan saraf pusat, dan sering menjadi bagian dari
kehidupan manusia sehari – hari dalam kebudayaan tertentu. Jika
digunakan bersamaan dengan Narkotika atau Psikotropika akan
memperkuat pengaruh obat / zat itu dalam tubuh manusia. Ada 3 golongan
minuman beralkohol :
a. Golongan A : kadar etanol 1 – 5 % ( Bir ).
b. Golongan B : kadar etanol 5 – 20 % ( Berbagai minuman anggur
)
c. Golongan C : kadar etanol 20 – 45 % ( Whisky, Vodca, Manson
House, Johny Walker ).
2. Jenis alkohol lain, Contoh: Metanol, terdapat pada: Spiritus,
desinfektan, zat pelarut atau pembersih. Jika disalahgunakan, dapat
berakibat fatal meskipun dalam konsentrasi rendah.
2. Inhalasi ( gas yang dihirup ) dan solven ( zat pelarut ) mudah
menguap berupa senyawa organik, yang terdapat pada berbagai barang
keperluan rumah tangga, kantor, dan sebagai pelumas mesin. Yang sering
disalahgunakan adalah : Lem, Tiner, Penghapus Cat Kuku, Bensin.
3. Tembakau : pemakaian tembakau yang mengandung nikotin sangat
luas di masyarakat.
Dalam upaya penanggulangan NAPZA di masyarakat, pemakaian rokok dan
alkohol terutama pada remaja, harus menjadi bagian dari upaya
pencegahan, karena rokok dan alkohol sering menjadi pintu masuk
penyalahgunaan NAPZA lain yang berbahaya.
4. Kafein: merupakan zat stimulansia, dapat menimbulkan
ketergantungan jika dikonsumsi melebihi 100 mg /hari atau lebih dari dua
cangkir kopi, dapat menyebabkan ketergantungan psikologis. Minuman
energi sering kali menambahkan kafein dalam komposisinya.
Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan dari NAPZA dapat
digolongkan menjadi 3 golongan :
1. Golongan Depresan ( Downer ). Adalah jenis NAPZA yang berfungsi
mengurangi aktifitas fungsional tubuh. Jenis ini membuat pemakainya
menjadi tenang dan bahkan membuat tertidur bahkan tak sadarkan diri.
Contohnya: Opioda ( Morfin, Heroin, Codein ), sedative ( penenang ),
Hipnotik (obat tidur) dan Tranquilizer (anti cemas ).
2. Golongan Stimulan ( Upper ). Adalah jenis NAPZA yang merangsang
fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan kerja. Jenis ini menbuat
pemakainnya menjadi aktif, segar dan bersemangat. Contoh: Amphetamine
(Shabu, Ekstasi), Kokain.
3. Golongan Halusinogen. Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan
efek halusinasi yang bersifat merubah perasaan, pikiran dan seringkali
menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga seluruh persaan dapat
terganggu. Contoh: Kanabis ( ganja ).

Penyalahgunaan adalah : penggunaan salah satu atau beberapa jenis NAPZA


secara berkala atau teratur diluar indikasi medis, sehingga menimbulkan
gangguan kesehatan fisik, psikis dan gangguan fungsi sosial.
Ketergantungan adalah : keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik
dan psikis, sehingga tubuh memerlukan jumlah NAPZA yang makin bertambah
(toleransi), apabila pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala
putus obat (withdrawal symptom).
Di dalam masyarakat NAPZA / NARKOBA yang sering disalahgunakan adalah :
1. Opioda, terdapat 3 golongan besar :
a. Opioda alamiah ( Opiat ) : Morfin, Opium, Codein.
b. Opioda semisintetik : Heroin / putauw, Hidromorfin.
c. Opioda sintetik : Metadon.
Nama jalanan dari Putauw : ptw, black heroin, brown sugar.
Heroin yang murni berbentuk bubuk putih, sedangkan yang tidak murni berwarna
putih keabuan. Dihasilkan dari getah Opium poppy diolah menjadi morfin dengan
proses tertentu dihasilkan putauw, yang kekuatannya 10 kali melebihi
morfin. Sedangkan opioda sintetik mempunyai kekuatan 400 kali lebih kuat dari
morfin. Morfin, Codein, Methadon adalah zat yang digunakan oleh dokter sebagai
penghilang sakit yang sangat kuat, misalnya pada operasi, penderita cancer.
Reaksi dari pemakaian ini sangat cepat yang kemudian menimbulkan perasaan
ingin menyendiri untuk menikmati efek rasanya dan pada taraf kecanduan
pemakai akan kehilangan percaya diri hingga tak mempunyai keinginan untuk
bersosialisasi. Pemakai akan membentuk dunianya sendiri, mereka merasa bahwa
lingkungannya menjadi musuh.
2. Kokain :
Kokain berupa kristal putih, rasanya sedikit pahit dan lebih mudah larut. Nama
jalanan: koka, coke, happy dust, chalie, srepet, snow / salju.
Cara pemakaiannya : membagi setumpuk kokain menjadi beberapa bagian
berbaris lurus diatas permukaan kaca atau alas yang permukaannya datar
kemudian dihirup dengan menggunakan penyedot seperti sedotan atau dengan
cara dibakar bersama dengan tembakau. Penggunaan dengan cara dihirup akan
beresiko kering dan luka pada sekitar lubang hidung bagian dalam. Efek pemakain
kokain : pemakai akan merasa segar, kehilangan nafsu makan, menambah
percaya diri, dan dapat menghilangkan rasa sakit dan lelah.
3. Kanabis :
Nama jalanan : cimeng, ganja, gelek, hasish, marijuana, grass, bhang.
Berasal dari tanaman kanabis sativa atau kanabis indica.
Cara penggunaan : dihisap dengan cara dipadatkan menyerupai rokok atau
dengan menggunakan pipa rokok. Efek rasa dari kanabis tergolong cepat, pemakai
cenderung merasa lebih santai, rasa gembira berlebihan ( euphoria ), sering
berfantasi / menghayal, aktif berkomunikasi, selera makan tinggi, sensitive, kering
pada mulut dan tenggorokan.
4. Amphetamine :
Nama jalanan : seed, meth, crystal, whiz.
Bentuknya ada yang berbentuk bubuk warna putih dan keabuan dan juga tablet.
Cara penggunaan : dengan cara dihirup. Sedangkan yang berbentuk tablet
diminum dengan air.
Ada 2 jenis Amphetamine :
a. MDMA ( methylene dioxy methamphetamine )
Nama jalanan : Inex, xtc.
Dikemas dalam bentuk tablet dan capsul.
b. Metamphetamine ice
Nama jalanan : SHABU, SS, ice.
Cara penggunaan dibakar dengan mengunakan alumunium foil dan asapnya
dihisap atau dibakar dengan menggunakan botol kaca yang dirancang khusus
(boong).
4. LSD ( Lysergic Acid ) :
Termasuk dalam golongan halusinogen.
Nama jalanan : acid, trips, tabs, kertas.
Bentuk : biasa didapatkan dalam bentuk kertas berukuran kotak kecil sebesar
seperempat perangko dalam banyak warna dan gambar. Ada juga yang berbentuk
pil dan kapsul. Cara penggunaan : meletakkan LSD pada permukaan lidah, dan
bereaksi setelah 30 – 60 menit kemudian, menghilang setelah 8 – 12 jam. Efek
rasa : terjadi halusinasi tempat, warna, dan waktu sehingga timbul obsesi yang
sangat indah dan bahkan menyeramkan dan lama – lama menjadikan
penggunaanya paranoid.
5. Sedatif – Hipnotik (Benzodiazepin) :
Termasuk golongan zat sedative ( obat penenang ) dan hipnotika ( obat tidur ).
Nama jalanan : Benzodiazepin : BK, Dum, Lexo, MG, Rohyp.
Cara pemakaian : dengan diminum, disuntikan, atau dimasukan lewat anus.
Digunakan di bidang medis untuk pengobatan pada pasien yang mengalami
kecemasan, kejang, stress, serta sebagai obat tidur.
6. Solvent / Inhalasi :
Adalah uap gas yang digunakan dengan cara dihirup. Contohnya : Aerosol, Lem, Isi
korek api gas, Tiner, Cairan untuk dry cleaning, Uap bensin.
Biasanya digunakan dengan cara coba – coba oleh anak di bawah umur, pada
golongan yang kurang mampu.
Efek yang ditimbulkan : pusing, kepala berputar, halusinasi ringan, mual, muntah
gangguan fungsi paru, jantung dan hati.
7. Alkohol :
Merupakan zat psikoaktif yang sering digunakan manusia
Diperoleh dari proses fermentasi madu, gula, sari buah dan umbi – umbian yang
mengahasilkan kadar alkohol tidak lebih dari 15 %, setelah itu dilakukan proses
penyulingan sehingga dihasilkan kadar alkohol yang lebih tinggi, bahkan 100 %.
Nama jalanan : booze, drink.
Efek yang ditimbulkan : euphoria, bahkan penurunan kesadaran

2.2 Penyebab Penyalahgunaan NAPZA


Penyalahgunaan narkoba disebabkan oleh banyak faktor, baik faktor internal
maupun eksternal.
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri seseorang. Faktor
internal yang dapat mempengaruhi seseorang menyalahgunakan narkoba, antara
lain faktor keluarga, ekonomi dan kepribadian.
a. Keluarga
Jika hubungan antar anggota keluarga kurang harmonis (broken home), dapat
mengakibatkan seseorang mudah merasa putus asa dan frustasi. Sehingga orang
tersebut mencari kompensasi di luar rumah dengan menjadi konsumen narkoba.
Kurangnya perhatian dari anggota keluarga juga akan membuat seseorang merasa
kesepian, dan tidak berguna, sehingga menjadi lebih suka untuk berteman dengan
kelompok sebaya, yang mungkin saja mereka mengkonsumsi narkoba dan
mempengaruhi untuk mencoba-coba.
b. Ekonomi
Sempitnya lapangan pekerjaan sering menimbulkan keinginan untuk menjadi
pengedar narkoba. Dan sebaliknya, seseorang dengan ekonomi cukup mampu,
tapi kurang mendapatkan perhatian dari keluarga, dapat menjadi pengguna
narkoba.
c. Kepribadian
Kepribadian seseorang sangat berpengaruh terhadap tingkah laku orang
tersebut. Apabila kepribadian seseorang kurang baik, labil, dan mudah sekali
dipengaruhi orang lain, maka akan lebih mudah untuk menjadi pengguna
narkoba. Bagus tidaknya kepribadian seseorang, juga dipengaruhi oleh dasar
pemahaman agama dan keyakinan seseorang, semakin taat seseorang beribadah,
maka akan semakin sulit untuk menyalahgunakan narkoba.
Berikut merupakan beberapa hal yang dapat menyeret seseorang yang
kepribadiannya kurang kuat ke dalam narkoba:
 Adanya kepercayaan bahwa narkoba dapat mengatasi masalah/semua
persoalan
 Harapan dapat memperolah kenikmatan dari efek narkoba yang ada untuk
menghilangkan rasa sakit atau ketidaknyamanan yang dirasakan
 Merasa kurang/tidak percaya diri
 Bagi generasi muda, adanya tekanan kelompok sebaya untuk dapat
diterima/diakui dalam kelompoknya
 Pada usia remaja, kemampuan mereka untuk menolak ajakan negatif dari
teman umumnya masih rendah. Mereka kurang mampu menghindari ajakan
tersebut, apalagi keinginan yang sangat kuat untuk mencoba hal baru
 Sebagai pernyataan sudah dewasa atau ikut zaman (mode)
 Coba-coba ingin tahu
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal cukup kuat mempengaruhi seseorang untuk
menyalahgunakan narkoba. Faktor ini berasal dari luar seseorang, seperti faktor
pergaulan dan sosial/masyarakat.
a. Pergaulan
Salah memilih teman dapat berakibat fatal. Teman sebaya dapat memberikan
pengaruh yang positif dan negatif. Pengaruh yang negatif dapat membawa
seseorang menjadi pemakai narkoba.
b. Sosial/masyarakat
Sebagaimana faktor pergaulan, faktor sosial masyarakat juga memiliki peran
penting menjadi penyebab penyalahgunaan narkoba. Lingkungan masyarakat
yang baik, terkontrol dan memiliki organisasi yang baik akan dapat mencegah
terjadinya penyalahgunaan narkoba, sebaliknya jika seseorang yang tinggal di
masyarakat yang sebagian besar bukan orang baik-baik, dapat membawa
seseorang kepada penyalahgunaan narkoba.

2.3 Manifestasi Klinis Pengguna NAPZA


Secara umum gejala-gejala pada pengguna NAPZA dapat diamati dengan
terjadinya perubahan fisik, emosi dan perilaku.
1. Fisik
 Berat badan turun drastis.
 Mata terlihat cekung dan merah, muka pucat, dan bibir kehitam-hitaman.
 Tangan penuh dengan bintik-bintik merah, seperti bekas gigitan nyamuk dan
ada tanda bekas luka sayatan. Goresan dan perubahan warna kulit di tempat
bekas suntikan.
 Buang air besar dan kecil kurang lancar.
 Sembelit atau sakit perut tanpa alasan yang jelas.
2. Emosi
 Sangat sensitif dan cepat bosan.
 Bila ditegur atau dimarahi, dia malah menunjukkan sikap membangkang.
 Emosinya naik turun dan tidak ragu untuk memukul orang atau berbicara kasar
terhadap anggota keluarga atau orang di sekitarnya.
 Nafsu makan tidak menentu.
3. Perilaku
 Malas dan sering melupakan tanggung jawab dan tugas-tugas rutinnya.
 Menunjukkan sikap tidak peduli dan jauh dari keluarga.
 Sering bertemu dengan orang yang tidak dikenal keluarga, pergi tanpa pamit
dan pulang lewat tengah malam.
 Suka mencuri uang di rumah, sekolah ataupun tempat pekerjaan dan
menggadaikan barang-barang berharga di rumah. Begitupun dengan barang-
barang berharga miliknya, banyak yang hilang.
 Selalu kehabisan uang.
 Waktunya di rumah kerapkali dihabiskan di kamar tidur, kloset, gudang, ruang
yang gelap, kamar mandi, atau tempat-tempat sepi lainnya.
 Takut air, jika terkena akan terasa sakit, karena itu mereka jadi malas mandi.
 Sering batuk-batuk dan pilek berkepanjangan, biasanya terjadi pada saat gejala
“putus zat”.
 Sikapnya cenderung jadi manipulatif dan tiba-tiba tampak manis bila ada
maunya, seperti saat membutuhkan uang untuk beli obat.
 Sering berbohong dan ingkar janji dengan berbagai macam alasan.
 Bicara cedal atau pelo.
 Jalan sempoyongan
 Mengalami jantung berdebar-debar.
 Sering menguap.
 Mengeluarkan air mata berlebihan.
 Mengeluarkan keringat berlebihan.
 Sering mengalami mimpi buruk.
 Mengalami nyeri kepala.
 Mengalami nyeri/ngilu sendi-sendi
Gejala penyalahgunaan narkoba berdasarkan jenis narkoba yang digunakan
adalah sebagai berikut:
1. Kelompok Narkotika
a. Jenis Opiat
Narkoba yang termasuk jenis opiat adalah opium, morfin, heroin dan kodein.
Penyalahgunaan obat jenis ini ditandai dengan gejala-gejala berikut ini:
 Perasaan senang dan bahagia
 Acuh tak acuh (apatis)
 Malas bergerak
 Mengantuk
 Rasa mual
 Pupil mata mengecil sehingga pandangan menjadi kabur
 Gangguan perhatian dan daya ingat
 Nafas lemah
 Bicara cadel
b. Jenis Koka
Narkoba yang termasuk jenis koka adalah kokain dan papaverin.
Tanda-tanda penyalahgunaan koka sebagai berikut:
 Rasa senang berlebihan
 Semangat tinggi
 Pupil mata melebar
 Tekanan darah meningkat
 Jantung berdebar-debar
 Insomnia (sulit tidur)
 Kehilangan nafsu makan
 Agitasi psikomotor/gelisah
 Euforia/rasa gembira berlebihan
 Rasa harga diri meningkat
 Banyak bicara
 Kewaspadaan meningkat
 Kejang
 Berkeringat, tetapi merasa dingin
 Mual/muntah
 Mudah tersinggung sehingga mudah bertengkar dan berkelahi
c. Jenis Ganja
Ganja termasuk salah satu narkoba yang sudah cukup lama dikenal. Nama lain
ganja adalah mariyuana.
Tanda-tanda penyalahgunaan narkoba jenis ini sebagai berikut:
 Rasa senang dan bahagia
 Acuh tak acuh
 Mata merah
 Pengendalian diri kurang
 Konsentrasi melemah/menurun
 Selalu merasa mengantuk
 Selalu merasa malas, lemah dan santai
 Mengalami insomnia (sulit tidur)
 Tidak tahu apa yang harus dikerjakan
 Mengalami depresi
 Sulit mengendalikan diri dan hiperaktif
2. Kelompok Psikotropika
a. Golongan I (Jenis Halusinogen/Psikomimetika)
Narkoba yang tergolong di dalam kelompok ini adalah obat-obatan yang dapat
menimbulkan khayalan, ilusi dan imajinasi. Contoh: DOM, Lisergid dan Psilosibin.
Tanda-tanda penyalahgunaan obat-obatan ini sebagai berikut:
 Terjadi ilusi dan halusinasi
 Kemampuan melihat dan mengingat menjadi berubah. Misalnya kepala orang
terlihat sebagai bola atau sebaliknya, hewan yang dilihat jadi berubah bentuk dan
lain sebagainya
 Hilangnya kesadaran diri
 Tertawa atau menangis tanpa sebab
b. Golongan II (Jenis Psikostimulan)
Contoh narkoba jenis ini adalah amphetamin dan turunannya, termasuk
ekstasi dan shabu-shabu, metamfetamin, fenitilin, amfepramon dan fenfluramin.
Tanda-tanda penyalahgunaan narkoba jenis ini sebagai berikut:
 Terlalu waspada sampai timbul rasa curiga yang berlebihan
 Bergairah dan meraa senang
 Pupil mata melebar
 Jantung berdebar dan tekanan darah meningkat
 Lesu, kurang nafsu makan dan insomnia (sulit tidur)
c. Golongan III dan IV (Jenis Antidepresant)
Contoh narkoba jenis ini adalah fenobarbital, prazepan, nitrazepan, barbiturat,
benzodiazepin, (pil nipam, BK dan mogadon)
Tanda-tanda penyalahgunaan yang dialami pemakai narkoba jenis ini sebagai
berikut:
 Kehilangan konsentrasi
 Banyak bicara serta bicaranya kacau dan cadel
 Tingkah laku kacau seperti orang mabuk dan jalan sempoyongan
 Wajah kemerahan
 Mudah marah
 Gangguan pemusatan perhatian

2.4 Penatalaksanaan pada Penyalahgunaan NAPZA


Pertolongan pertama penderita dimandikan dengan air hangat, minum
banyak, makan makanan bergizi dalam jumlah sedikit dan sering dan dialihkan
perhatiannya dari narkoba. Bila tidak berhasil perlu pertolongan dokter.
Upaya kuratif bagi pemakai narkoba secara lebih rinci dilaksanakan melalui
beberapa tahapan berikut:
1. Detoksifikasi
Detoksifikasi adalah proses menghilangkan racun (zat narkotika atau adiktif
lain) dari tubuh dapat dilakukan secara medis dan nonmedis. Secara medis, terapi
detoksifikasi dilakukan menggunakan berbagai macam cara. Cara pertama dengan
melakukan pengurangan dosis secara bertahap dan mengurangi tingkat
ketergantungan. Cara yang kedua dengan menggunakan antagonis morfin, yaitu
suatu senyawa yang dapat mempercepat proses neuroregulasi (pengaturan kerja
saraf). Cara yang ketiga dengan penghentian total. Tetapi, cara yang ketiga ini
cukup berbahaya untuk dilakukan karena penghentian total pemakaian obat akan
dapat menimbulkan gejala putus obat (sakaw) sehingga pada cara ini perlu diberi
terapi untuk menghilangkan gejala-gejala yang timbul. Detoksifikasi bisa dilakukan
dengan berobat jalan atau dirawat di rumah sakit. Biasanya proses detoksifikasi
dilakukan terus menerus selama satu sampai tiga minggu, hingga hasil tes urin
menjadi negatif dari zat adiktif. Detoksifikasi nonmedis yang sering dilakukan
adalah dengan cara-cara yang kurang manusiawi, seperti disiram air dingin,
dipasung dan lain sebagainya.
2. Rehabilitasi
Setelah menjalani detoksifikasi hingga tuntas (tes urin sudah negatif), tubuh
secara fisik memang tidak “ketagihan” lagi. Namun secara psikis, pada bekas
pemakai narkoba biasanya sering timbul keinginan terhadap zat tersebut yang
terus membuntuti alam pikiran dan perasaannya. Sehingga sangat rentan dan
sangat besar kemungkinan kembali mencandu dan terjerumus lagi.Untuk itu
setelah detoksifikasi perlu juga dilakukan proteksi lingkungan dan pergaulan yang
bebas dari lingkungan pecandu, misalnya dengan memasukkan mantan pecandu
ke pusat rehabilitasi.
Rehabilitasi dilakukan agar pasien yang telah menempuh proses pengobatan,
dapat kembali ke dalam kondisi seperti semula. Rehabilitasi atau pemulihan ini
mencakup rehabilitasi secara fisik dan mental/psikis serta rehabilitasi secara sosial
seperti memperbaiki hubungan dengan keluarga, teman-teman dan orang-orang
lain di lingkungan sekitar.

2.5 Definisi Overdosis


Overdosis (OD) atau kelebihan dosis terjadi apabila tubuh mengabsorbsi obat
lebih dari ambang batas kemampuannya (lethal doses). Biasanya, hal ini terjadi
akibat adanya proses toleransi tubuh terhadap obat yang terjadi terus menerus,
baik yang digunakan oleh para pemula maupun para pemakai yang kronis.

2.6 Penyebab Overdosis


Penyebab overdosis / intoksikasi bermacam – macam, yaitu pemakaian yang
berlebihan setelah berhenti menggunakan narkoba karena dipenjara, dirawat
detoksifikasi, rehabilitasi, bisa juga karena pemakaian napza dicampur dengan
jenis napza yang lain dan masih banyak lagi.Overdosis sering terjadi pada
penggunaan NARKOBA golongan narkotik bersamaan dengan alkohol dan obat
tidur/anti depresan, misalnya golongan barbiturat luminal, valium, xanax,
mogadon/BK, dan lain-lain.
Bahkan ada yang over dosis karena tidak merasakan efek dari napza yang
digunakan, sehingga karena tidak merasakan efek yang diharapkan penggunanya
menambah takaran dosisnya bahkan sampai dosis lethal ( berbahaya
menyebakan kematian )

2.7 Manifestasi Klinis Overdosis


Gejala overdosis berdasarkan jenis narkoba yang dikonsumsi sebagai berikut:
1. Kelompok Narkotika
a. Jenis Opiat
Narkoba yang termasuk jenis opiat adalah opium, morfin, heroin dan kodein.
Overdosis obat jenis ini ditandai dengan gejala-gejala berikut ini:
 Nafas tersengal-sengal
 Kulit lembab
 Pupil mata melebar
 Tertawa tidak wajar
 Koma sampai meninggal dunia
b. Jenis Koka
Narkoba yang termasuk jenis koka adalah kokain dan papaverin.
Gejala overdosis koka sebagai berikut:
 Perdarahan pada otak
 Penyumbatan pembuluh darah
 Mata bergerak tidak terkendali (Nystagmus horizontal)
 Perasaan labil dan selalu berubah-ubah (Distonia)
 Suhu badan naik (demam)
 Tertawa tidak wajar
 Muncul ilusi dan halusinasi serta sering berkhayal
 Gelisah dan cemas
 Dalam kondisi parah dapat meninggal dunia
c. Jenis Ganja
Ganja termasuk salah satu narkoba yang sudah cukup lama dikenal. Nama lain
ganja adalah mariyuana.
Gejala overdosis narkoba jenis ini sebagai berikut:
 Kemampuan otak melemah
 Rasa letih yang berlebihan
 Takut yang berlebihan dan tidak terkendali
 Bisa terjadi gangguan kejiwaan (schizoprenia)
 Organ reproduksi kurang berfungsi dengan baik
2. Kelompok Psikotropika
a. Golongan I (Jenis Halusinogen/Psikomimetika)
Narkoba yang tergolong di dalam kelompok ini adalah obat-obatan yang dapat
menimbulkan khayalan, ilusi dan imajinasi. Contoh: DOM, Lisergid dan Psilosibin.
Gejala overdosis obat-obatan ini sebagai berikut:
 Berkhayal
 (schizoprenia) (terjadi gangguan jiwa/gila)
 Koma (tidak sadarkan diri), sampai meninggal dunia
b. Golongan II (Jenis Psikostimulan)
Contoh narkoba jenis ini adalah amphetamin dan turunannya, termasuk
ekstasi dan shabu-shabu, metamfetamin, fenitilin, amfepramon dan fenfluramin.
Gejala overdosis narkoba jenis ini sebagai berikut:
 Gelisah dan cemas
 Demam
 Timbul ilusi dan khayalan
 Tertawa tidak wajar
 Dalam kondisi parah dapat meninggal dunia
c. Golongan III dan IV (Jenis Antidepresant)
Contoh narkoba jenis ini adalah fenobarbital, prazepan, nitrazepan, barbiturat,
benzodiazepin, (pil nipam, BK dan mogadon)
Gejala overdosis yang dialami pemakai narkoba jenis ini sebagai berikut:
 Jantung berdebar, denyut nadi cepat, dan melemah
 Nafas tersengal-sengal
 Pupil mata melebar
 Koma, sampai meninggal dunia

Ciri-ciri korban Overdosis:


 Tidak ada respon
 Tidur mendengkur
 Bibir dan kuku membiru
 Tubuh dingin dan kulit lembab
 Kejang-kejang
Gejala klinis pada kegawatdaruratan yang muncul akibat Overdosis adalah
sebagai berikut:
 Penurunan kesadaran
 Frekuensi pernafasan < 12 kali/menit
 Pupil miosis (sering kali pin point)
 Adanya riwayat pemakaian morfin/ heroin/ terdapat tanda bekas jarum
suntik (needle track sign)

2.8 Penatalaksanaan pada Overdosis


Prosedur Penanganan Overdosis Opiat Di Instalasi Gawat Darurat Rumah
Sakit. Sekitar 70% pengguna narkoba menggunakan suntikkan sebagai alat/media
(Intravena Drug User/ IDU). 2% pengguna narkoba dengan suntikan meninggal
setiap tahunnya karena mengalami overdosis atau terinfeksi penyakit berbahaya.
1. Pertolongan pertama:
 Baringkan penderita di tempat tidur dan angkat dagunya.
 Tekan hidungnya dengan jari.
 Tiup napas bantuan sebanyak dua kali secara perlahan.
 Pastikan dadanya bergerak naik turun.
 Goyangkan badannya untuk mendapatkan respon.
 Bila tidak ada respon, bawa penderita ke rumah sakit terdekat.
 Jangan panik dan jangan menunda waktu.
2. Tindakan yang dapat dilakukan pada kegawatdaruratan:
a. Penanganan Kegawatan
 Bebaskan jalan nafas
 Berikan oksigen 100% sesuai kebutuhan
 Pasang infus D5% emergensi atau NaCl 0,9%; cairan koloid bila diperlukan
b. Pemberian Antidotum Nalokson.
 Tanpa hipoventilasi : Dosis awal diberikan 0,4 mgiv
 Dengan hipoventilasi : Dosis awal diberikan 1-2 mgiv
 Bila tidak ada respon dalam 5 menit, diberikan nalokson 1-2 mgiv hingga
timbul respon perbaikan kesadaran dan hilangnya depresi pernapasan, dilatasi
pupil, atau telah mencapai dosis maksimal 10 mg. Bila tidak ada respon lapor
konsulen ke Tim Narkoba.
 Efek nalokson akan berkurang 20 - 40 menit dan pasien dapat jatuh dalam
keadaan overdosis kembali, sehingga perlu pemantauan ketat tanda-tanda
penurunan kesadaran, pernapasan dan perubahan pada pupil serta tanda vital
lainnya selama 24 jam. Untuk pencegahan dapat diberikan drip nalokson satu
ampul dalam 500cc D5% atau NaCl 0,9% diberikan dalam 4 - 6 Jam
c. Simpan sampel urin dan lakukan foto toraks
d. Pertimbangan pemasangan ETT (endotracheal tube) bila penanganan dengan
pemberian nalokson lebih dari 3 jam masih terjadi hal-hal sebagai berikut:
 Pernapasan tidak adekuat
 Oksigenasi kurang meski ventilasi cukup
 Hipoventilasi menetap setelah pemberian nalokson ke-2
e. Pasien dipuasakan selama 6 jam untuk menghindari aspirasi akibat spasme
pirolik
Pasien dirawat dan dikonsultasikan ke Tim Narkoba Bagian Ilmu Penyakit
Dalam untuk penilaian keadaan klinis dan rencana rehabilitasi.
Dalam menjalankan semua tindakan, harus tetap diperhatikan prinsip-prinsip
kewaspadaan universal oleh karena tingginya angka prevalensi hepatitis C dan
HIV/AIDS. Dianjurkan setiap IGD mempunyai persediaan 5 ampul nalokson untuk
tindakan segera.
BAB III
KESIMPULAN dan SARAN

3.1 Kesimpulan
Narkoba atau NAPZA adalah bahan / zat yang dapat mempengaruhi kondisi
kejiwaan / psikologi seseorang ( pikiran, perasaan dan perilaku ) serta dapat
menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologi. Yang termasuk dalam NAPZA
adalah : Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya. Overdosis (OD) atau
kelebihan dosis terjadi apabila tubuh mengabsorbsi obat lebih dari ambang batas
kemampuannya (lethal doses).
Penyalahgunaan narkoba disebabkan oleh banyak faktor, baik faktor internal
(keluarga, ekonomi, kepribadian) maupun eksternal (pergaulan,
sosial/masyarakat). Sedangkan penyebab overdosis adalah pemakaian yang
berlebihan setelah berhenti menggunakan narkoba, karena pemakaian napza
dicampur dengan jenis napza yang lain, penggunaan NARKOBA golongan narkotik
bersamaan dengan alkohol dan obat tidur/anti depresan, misalnya golongan
barbiturat luminal, valium, xanax, mogadon/BK, dan lain-lain.
Secara umum gejala-gejala pada pengguna NAPZA dapat diamati dengan
terjadinya perubahan fisik, emosi dan perilaku. Namun ada pula tanda-tanda yang
diperlihatkan sesuai dengan narkoba yang dikonsumsi oleh pengguna, sedangkan
gejala overdosis dapat juga diketahui menurut narkoba yang digunakan.
Pada dasarnya penatalaksanaan pada pengguna Napza adalah
dengan detoksifikasi dan rehabilitasi, sedangkan pada overdosis, harus dibawa ke
RS jika pertolongan pertama tidak berhasil dilakukan.

3.2 Saran
 Kita sebagai petugas kesehatan harus berusaha untuk mencegah penyebaran
narkoba di masyarakat.
 Sebagai perawat seharusnya kita meningkatkan ilmu pengetahuan agar dapat
menurunkan angka kematian akibat narkoba.
DAFTAR PUSTAKA

Handoyo, Ida Listyarini. 2004. NARKOBA Perlukah Mengenalnya?. PT.Pakar Raya.


Yogyakarta
http://gilar-remaja.webnode.com/news/mengenal-jenis-dan-faktor-penyebab-
penyalahgunaan -napza/
http://korananakindonesia.wordpress.com/2009/11/18/masalah-narkoba-pada-anak-
dan-remaja/
http://zenc.wordpress.com/2007/06/13/napza-narkotika-psikotropika-dan-zat-aditif/
http://ictjogja.net/kesehatan/D2_3.htm
http://www.mediaindonesia.com/webtorial/ycab_old/?ar_id=NDk5
Asuhan Keperawatan pada Intoksikasi
2.1 Definisi
Intoksikasi bahan kimia adalah suatu kondisi keracunan akibat masuknya
bahan kimia tertentu ke dalam tubuh yang menyebabkan timbulnya kelainan
pada tubuh. (Akatsuki, 2010).
Intoksikasi obat dapat timbul akut atau kronis. Dapat terjadi akibat bunuh
dini ( tentamen suicide ) atau pembunuhan ( homicide ), maupun kecelakaan
tidak sengaja (accidental ).
Pada orang dewasa keracunan obat umumnya akibat usaha bunuh diri,
kebanyakandilakukan oleh wanita muda ( usia 10 – 30 tahun ). Sedang pada
anak-anak kebanyakan karena kecelakaan
2.2 Klasifikasi
1. Mencerna (menelan) racun
Tindakan yang dilakukan adalah menghilangkan atau menginaktifkan racun
sebelum diabsorbsi, untuk memberikan perawatan pendukung, untuk
memelihara system organ vital, menggunakan antidote spesifik untuk
menetralkan racun, dan memberikan tindakan untuk mempercepat
eliminasi racun terabsorbsi.
2. Keracunan melalui inhalasi
3. Keracunan makanan
Keracunan makanan adalah penyakit yang tiba-tiba dan mengejutkan yang
dapat terjadi setelah menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi
4. Gigitan ular
Bisa (racun) ular terdiri dari terutama protein yang mempunyai efek
fisiologik yang luas atau bervariasi. Sisitem multiorgan, terutama
neurologic, kardiovaskuler, sisitem pernapasan mungkin terpengaruh.
5. Sengatan serangga
Manifestasi klinis bervariasi dari urtikaria umum, gatal, malaise, ansietas,
sampai edema laring, bronkhospasme berat, syok dan kematian. Umumnya
waktu yang lebihpendek diantara sengatan dan kejadian dari gejala yang
berat merupakan prognosis yang paling buruk.

Anatomi dan Fisiologi Sistem Digestivus


1. Cavum oris (rongga mulut)
2. Farink (tekak)
3. Oesofagus (kerongkongan)
4. Gaster (lambung)
5. Intestinum tinue (usus halus)
6. Intestinum crasum (usus besar)
7. Anus

ORIS

 Philtrum: cekungan yang terletak di tengah di bibir atas


 Labium superior: bibir atas
 Labium inferior: bibir bawah
 Rima oris: garis yang terbentuk pada tautan bibir atas dan bibir bawah

CAVUM ORIS

 Palatum durum (langit-langit keras, terbuat dari tulang)


 Palatum molle (langit-langit lunak, terbuat dari membran)
 Uvula (Jawa: intil-intil)
 Arcus palatofaringius anterior: lengkung yang membatasi antara palatum
dan farink, bagian depan
 Arcus palatofaringius posterior: lengkung yang membatasi antara palatum
dan farink, bagian belakang
 Tonsila palatine (amandel)
 Lingua (lidah)
 Dents (gigi)

DENTS

 Dents dibagi menjadi empat kuadran: superior dextra, superior sinistra,


inferior dextra dan inferior sinistra
 Dents diberi nomor mulai dari depan ke belakang, nomor 1 s/d 8
 Dents permanent: gigi sulung, jumlahnya 32 buah
 Dents deciduas: gigi susu, jumlahnya 20 buah (tidak ada geraham besar-
molar)
 Dents insicivus: gigi seri, nomor 1 dan 2
 Dents caninus: gigi taring, nomor 3
 Dents premolar: gigi geraham kecil, nomor 4, 5 dan 6
 Dents molar: gigi geraham besar, nomor 7 dan 8

GLANDULA SALIVATORIUS

 Glandula salivatorius: kelenjar ludah, terdiri 3 kelenjar

1. Glandula parotis: paling besar, terletak di bagian depan bawah telinga, jika
infeksi menimbulkan penyakit parotitis (gondongen)
2. Glandula sublingualis: terletak di bawah lidah
3. Glandula submandibularis: terletak di bawah tulang rahang bawah (os
mandibula)

LINGUA

 Permukaan lidah kasar karena ada tonjolan-tonjolan yang tersebar di


permukaan lidah, tonjolan ini merupakan tempat receptor gustatorius,
tonjolan ini disebut: papilla lingualis, diberi nama berdasarkan bertuknya:
a. Papilla lingualis sircumvalata: berbentuk bundar seperti sircuit
b. Papilla lingualis fungiformis: berbentuk seperti jamur
c. Papilla lingualis filiformis: mempunyai fili
d. Tonsila lingualis: tonsil duduk

OESOFAGUS

 Merupakan saluran yang menghubungkan farink dan gaster


 Terdapat 3 tempat penyempitan di oesofagus
a. Atas: selalu menutup, karena ada sfinkter oesofagus superior
b. Tengah: pada percabangan bronkus
c. Bawah: selalu menutup, karena ada sfinkter oesofagus inferior

GASTER

 Lambung merupakan tempat penyimpanan makanan, bagian dari lambung:


 Kardia: tempat pertemuan antara gaster dan esofagus
 Fundus: bagian dari lambung yang berbentuk seperti kubah (bagian atas)
 Corpus: badan lambung
 Pilorus: bagian ujung (ekor) lambung
 Kurvatura major: lengkung lambung yang panjang
 Kurvatura minor: lengkung lambung yang pendek
 Antrum piloricum: ruangan dalam pilorus

 Pada kardia terdapat sfinkter oesofagus inferior berfungsi mencegah refluk


makanan ke oesofagus
 Pada antrum pilorikum terdapat Sfinkter pilorikum yang berfungsi
mengatur makanan ke duodenum (satu porsi akan habis selama 6 jam)
 Plika gastrika merupakan lapisan mucosa bagian dalam lambung yang
berfungsisebagai kelenjar yang menghasilkan getah lambung

PLIKA GASTRIKA

 Plika gastrika merupakan lipatan mukosa pada ruang dalam gaster yang
berfungsi sebagai kelenjar dan menghasilakan getah lambung
 Lapisan Lambung: terdiri 3 lapisan

1. Tunica mucosa
2. Tunica submucosa
3. Tunica muscularis (otot)
M. sircularis (internal) berfungsi untuk gerak menyempit

M. longitudinal (eksternal) berfungsi untuk gerak memendek

INTESTINUM TINUE

 Usus halus dibagi 3 bagian

1. Duodenum
2. Jejunum
3. Ilium

 Secara anatomis ketiganya sama, bedanya hanya ada pada besarnya lumen,
makin kebawah makin besar, dan setiap tambah besar diberi nama
berbeda, secara fisiologis ketiganya mempunyai fungsi yang sama

SALURAN EMPEDU DAN PANKREAS

 Empedu Dan pancreas menghasilkan getah yang dialirkan kedalam


duodenum, salurannya adalah sbb:

1. Ductus hepaticus sinistra (saluran hati kiri)


2. Ductus hepaticus dextra (saluran hati kanan)
3. Ductus hepaticus communis (saluran gabungan antara ductus hepaticus
dextra dan sinistra)
4. Ductus sisticus (saluran empedu)
5. Ductus choleducus (saluran gabungan antara ductus sisticus dan ductus
hepaticus communis)
6. Vesica biliaris/felea (kandung empedu)
7. Ductus pancreaticus (saluran pancreas)
8. Ampula vateri (pertemuan antara ductus choleducus dan ductus
pankreaticus)
9. Papilla vateri (tonjolan ampula Vateri, tempat bermuaranya getah empedu
dan pancreas kedalam duodenum

 Duodenum (usus dua belas jari)

INTESTINUM CRASUM

 Intestinum crasum atau colon hádala usus besar, permukaannya


bergelombang yang disebut Haustra, bagian dari usus besar hádala:

1. Caecum: bagian colon yang terletak dibawah ileum, didalam cecum


terdapat appendix vermicularis (usus buntu)
2. Colon ascenden: bagian colon yang naik keatas, diatas ileum
3. Colon transversum: bagian colon yang berjalan mendatar
4. Colon descenden: bagian colon yang berjalan menurun, terletak disebelah
kiri
5. Colon sigmoid: bagian colon yang berbelok, membentuk huruf s (sigmoid)
6. Rectum; bagian terakhir dari colon yang terletak pada ujung coclon
sebelum anus
7. Anus: merupakan pintu keluar dari colon

 Permukaan colon yang menggembung disebut haustra, serta ada


bentukan seperticacing pada permukaan colon yang disebut: taenia coli, ini
merupakan kumpulan otot colon longitudinal (tidak semua permukaan
colon ada otot tsb, hanya ada di tiga tempat)
 Sepanjang taenia coli terdapat tonjolan jaringan yang disebut: appendix
epiploika

 Tempat pertemuan antara ileum dan colon, terdapat sfinkter yang disebut:
sfinkter ileosecal, yang berfungsi mencegah refluk sisa makanan yang sudah
masuk colon kembali ke ileum

ANUS
 Anus merupakan pintu keluar dari colon, anus selalu tertutup karena dijaga
oleh dua sfinkter, yaitu:

1. Sfinkter ani internum, yang terletak sebelah dalam, sifatnya involunter


(tidak sadar, artinya diluar kendali otak) dan membuka secara reflek, jika
ada feses masuk rectum, terjadi reflek defekasi
2. Sfinkter ani eksternum, yang terletak disebelah luar sfinkter ani internum,
sifatnya volunter (sadar, artinya gerakannya atas perintah otak)
2.3 Etiologi

Keracunan dapat disebabkan oleh beberapa hal, berdasarkan


wujudnya, zat yang dapat menyebabkan keracunan antara lain : zat padat
(obat-obatan, makanan), zat gas (CO2), dan zat cair (alkohol, bensin,
minyak tanah, zat kimia, pestisida, bisa/ racun hewan)

Racun racun tersebut masuk ke dalam tubuh manusia melalui beberapa


cara, diantaranya :

1. Melalui kulit

2. Melalui jalan napas (inhalasi)

3. Melalui saluran pencernaan (mulut)

4. Melalui suntikan

5. Melalui mata (kontaminasi maata)

2.4 Manifestasi Klinis

Penilaian keadaan klinis yang paling awal adalah status kesadaran.


Alat ukur yang paling sering digunakan adalah GCS (Glasgow Coma
Scale). Apabila pasien tidak sadar dan tidak ada keterangan apapun,
maka diagnosis keracunan dapat dilakukan pereksklusionam dan
semua penyebab penurunan kesdaran seperti meningoensefalitis,
trauma, perdarahan subaraknoid/ intrakranial, subdural/ ekstradural
haematom, hipoglikemia, diabetik ketoasidosis, uremia, ensefalopati.
Penemuan klinis seperti ukuran pupil mata, frekuensi napas dan
denyut nadi mungkin dapat membantu penegakan diagnosis pada
pasien dengan penurunan kesadaran.

Tanda dan Gejala

Yang paling menonjol adalah kelainan visus,hiperaktifitas kelenjar


ludah,keringat dan ggn saluran pencernaan,serta kesukaran bernafas. Gejala
ringan meliputi : Anoreksia, nyeri kepala, rasa lemah,rasa takut, tremor pada
lidah,kelopak mata,pupil miosis.Keracunan sedang : nausea, muntah-muntah,
kejang atau kram perut, hipersaliva, hiperhidrosis,fasikulasi otot dan
bradikardi. Keracunan berat : diare, pupil pi- poin, reaksi cahaya negatif ,sesak
nafas, sianosis, edema paru .inkontenesia urine dan feces, kovulsi,koma,
blokade jantung akhirnya meninggal.

2.5 Patofisiologi

IFO bekerja dengan cara menghabat (inaktivasi) enzim asetikolinesterase


tubuh (KhE).Dalam keadaan normal enzim KhE bekerja untuk menghidrolisis
arakhnoid (AKH) dengan jalan mengikat Akh –KhE yang bersifat inaktif.Bila
konsentrasi racun lebih tinggi dengan ikatan IFO- KhE lebih banyak terjadi.
Akibatnya akan terjadi penumpukan Akh ditempat-tempat tertentu, sehingga
timbul gejala gejal;a ransangan Akh yang berlebihan ,yang akan menimbulkan
efek muscarinik, nikotinik dan SSP (menimbulkan stimulasi kemudian depresi
SSP).

Pada keracunan IFO ,ikatan Ikatan IFO – KhE bersifat menetap (ireversibel)
,sedangkan keracunan carbamate ikatan ini bersifat sementara (reversible).Secara
farmakologis efek Akh dapat dibagi 3 golongan :

1. Muskarini,terutama pada saluran pencernaan,kelenjar ludah dan


keringat,pupil,bronkus dan jantung.

2. Nikotinik,terutama pada otot-otot skeletal,bola mata,lidah,kelopak mata dan


otot pernafasan.
3. SSP, menimbulkan nyeri kepala,perubahan emosi,kejang-kejang (Konvulsi)
sampai koma.

2.7 Patoflow

IFO

( inaktivasi ) enzim asetikolinesterase tubuh (KhE).

Penumpukan Akh (arakhnoid) ditempat-tempat tertentu,

sehingga timbul gejala-gejala ransangan Akh yang berlebihan

efek muscarinik, nikotinik

depresi SSP

Muskarini Nikotinik
Efek pada saluran pencernaan Efek pada otot-otot skeletal

kelenjar ludah
dan keringat bola mata, lidah

pupil, bronkus dan jantung kelopak mata dan otot pernafasan

Mual muntah

menimbulkan nyeri kepala


Intoleransi
aktivitas

Gangguan
pemenuhan nutrisi

perubahan emosi

Cidera fisik

kejang-kejang (Konvulsi)
koma

2.8 Pemeriksaan Diagnostik

Analisis toksikologi harus dilakukan sedini mungkin, hal ini selain dapat
membantu penegakan diagnosis juga berguna untuk kepentingan
penyidikan polisi pada kasusu kejahatan. Sampel yang dikirim ke
laboratorium adalah 50 ml urin, 10 ml serum, bahan muntahan dan feses.

1. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi perlu dilakukan terutama bila curiga adanya


aspirasi zat racun melalui inhilasi atau adanya dugaan perforasi
lambung.

2. Laboratorium klinik

Pemeriksaan ini penting dilakukan terutama analisis gas darah.


Beberapa gangguan gas darah dapat membantu penegakan diagnosis
penyebab keracunan. Pemeriksaan fingsi hati, ginjal dan sedimen urin
harus pula dilakukan karena selain berguna untuk mengetahui dampak
keracunan juga dapat dijadiakan sebagai dasar diagnosis penyebab
keracunan seperti keracunan parasetamol atau makanan yang
mengandung asam jengkol.

1. Pemeriksaan EKG

Pemeriksaan ini juga perlu dilakukan pada kasus keracunan karena


sering diikuti terjadinya gangguan irama jantung yang berupa sinus
takikardi, sinus bradikardi, takikardi supraventrikuler, takikardi
ventrikuler, fibrilasi ventrikuler, asistol, disosiasi elektromekanik.
Beberapa faktor predosposisi timbulnya aritmia pada keracunan adalah
keracunan obat kardiotoksik, hipoksia, nyeri dan ansietas, hiperkarbia,
gangguan elektrolit darah, hipovolemia, dan penyakit dasar jantunmg
iskemik.

2.9 Penatalaksanaan Medis

1. Stabilisasi
Penatalaksanaan keracunan pada waktu pertama kali berupa tindakan
resusitasi kardiopulmoner yang dilakukan dengan cepat dan tepat berupa
pembebasan jalan napas, perbaikan fungsi pernapasan, dan perbaikan
sistem sirkulasi darah.

2. Dekontaminasi

Dekontaminasi merupakan terapi intervensi yang bertujuan untuk


menurunkan pemaparan terhadap racun, mengurangi absorpsi dan
mencegah kerusakan.

3. Dekontaminasi pulmonal

Dekontaminasi pulmonal berupa tindakan menjauhkan korban dari


pemaparan inhalasi zat racun, monitor kemungkinan gawat napas dan
berikan oksigen lembab 100% dan jika perlu beri ventilator.

4. Dekontaminasi mata

Dekontaminasi mata berupa tindakan untuk membersihkan mata dari racun


yaitu posisi kepala pasiem ditengadahkan dan miring ke posisi mata yang
terburuk kondisinya. Buka kelopak matanya perlahan dan irigasi larutan
aquades atau NaCL 0,9% perlahan sampai zat racunnya diperkirakan
sudah hilang.

5. Dekontaminasi kulit (rambut dan kuku)

Tindakan dekontaminasi paling awal adalah melepaskan pakaian, arloji,


sepatu dan aksesorisd lainnnya dan masukkan dalam wadah plastik yang
kedap air dan tutup rapat, cuci bagian kulit yang terkena dengan air
mengalir dan disabun minimal 10 menit selanjutnya keringkan dengan
handuk kering dan lembut.

6. Dekopntaminasi gastrointestinal

Penelanan merupakan rute pemaparan yang tersering, sehingga tindakan


pemberian bahan pengikat (karbon aktif), pengenceran atau mengeluarkan
isi kambung dengan cara induksi muntah atau aspirasi dan kumbah
lambung dapat mengurangi jumlah paparan bvahan toksik

7. Eliminasi
Tindakan eliminasi adalah tindakan untuk mempercepat pengeluaran racun
yang sedang beredar dalam darah, atau dalam saluran gastrointestinal
setelah lebih dari 4 jam

8. Antidotum

Pada kebanyakan kasus keracunan sangat sedikit jenis racun yang ada obat
antidotumnya dan sediaan obat antidot yang tersedia secara komersial sangat
sedikit jumlahnya

2.10 Penatalaksanaan Keperawatan

A. Pengkajian
Pengkajian.

Pengkajian difokusakan pada masalah yang mendesak seperti jalan nafas dan
sirkulasi yang mengancam jiwa,adanya gangguan asam basa,keadaan status
jantung,status kesadran.

Riwayat kesadaran : riwayat keracunan,bahan racun yang digunakan,berapa


lama diketahui setelah keracunan,ada masalah lain sebagi pencetus keracunan
dan sindroma toksis yang ditimbulkan dan kapan terjadinya.

Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan dengan terlebih dahulu


melakukan survei primer untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang
mengancam hidup pasien, barulah selanjutnya dilakukan survei sekunder.
Tahapan kegiatan meliputi :
A: Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai
control servikal.
B: Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan agar
oksigenasi adekwat.
C: Circulation, mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol perdarahan.
D: Disability, mengecek status neurologis
E: Exposure, enviromental control, buka baju penderita, tapi cegah hipotermia.
Survei primer bertujuan mengetahui dengan segera kondisi yang
mengancam nyawa pasien. Survei primer dilakukan secara sekuensial sesuai
dengan prioritas. Tetapi dalam prakteknya dilakukan secara bersamaan dalam
tempo waktu yang singkat (kurang dari 10 detik). Apabila teridentifikasi henti
nafas dan henti jantung maka resusitasi harus segera dilakukan.

Apabila menemukan pasien dalam keadaan tidak sadar maka pertama kali
amankan lingkungan pasien atau bila memungkinkan pindahkan pasien ke tempat
yang aman. Selanjutnya posisikan pasien ke dalam posisi netral (terlentang) untuk
memudahkan pertolongan.

Penilaian airway dan breathing dapat dilakukan dengan satu gerakan dalam waktu
yang singkat dengan metode LLF (look, listen dan feel).
AIRWAY

Jalan nafas adalah yang pertama kali harus dinilai untuk mengkaji kelancaran
nafas. Keberhasilan jalan nafas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
proses ventilasi (pertukaran gas antara atmosfer dengan paru-paru. Jalan nafas
seringkali mengalami obstruksi akibat benda asing, serpihan tulang akibat fraktur
pada wajah, akumulasi sekret dan jatuhnya lidah ke belakang.

Selama memeriksa jalan nafas harus melakukan kontrol servikal, barangkali


terjadi trauma pada leher. Oleh karena itu langkah awal untuk membebaskan
jalan nafas adalah dengan melakukan manuver head tilt dan chin lift seperti pada
gambar di bawah ini :

Data yang berhubungan dengan status jalan nafas adalah :

- sianosis (mencerminkan hipoksemia)

- retraksi interkota (menandakan peningkatan upaya nafas)

- pernafasan cuping hidung

- bunyi nafas abnormal (menandakan ada sumbatan jalan nafas)

- tidak adanya hembusan udara (menandakan obstuksi total jalan nafas atau henti
nafas)
BREATHING

Kebersihan jalan nafas tidak menjamin bahwa pasien dapat bernafas secara
adekwat. Inspirasi dan eksprasi penting untuk terjadinya pertukaran gas,
terutama masuknya oksigen yang diperlukan untuk metabolisme tubuh. Inspirasi
dan ekspirasi merupakan tahap ventilasi pada proses respirasi. Fungsi ventilasi
mencerminkan fungsi paru, dinding dada dan diafragma.

Pengkajian pernafasan dilakukan dengan mengidentifikasi :

- pergerakan dada

- adanya bunyi nafas

- adanya hembusan/aliran udara

CIRCULATION

Sirkulasi yang adekwat menjamin distribusi oksigen ke jaringan dan


pembuangan karbondioksida sebagai sisa metabolisme. Sirkulasi tergantung dari
fungsi sistem kardiovaskuler.
Status hemodinamik dapat dilihat dari :

- tingkat kesadaran

- nadi

- warna kulit

Pemeriksaan nadi dilakukan pada arteri besar seperti pada arteri karotis
dan arteri femoral.
B. Masalah keperawatan. Yang mungkin timbul adalah :

1. Tidak efektifnya pola nafas

2. Resiko tinggi kekurangan cairan tubuh.

3. Gangguan kesadaran

4. Tidak efektifnya koping individu.

5.
C. Intervensi

1. Pertolongan pertama yang dilakukan meliputi : tindakan umum yang bertujuan


untuk keselamatan hidup,mencegah penyerapan dan penawar racun (antidotum)
yang meliputi resusitasi, : Air way, breathing, circulasi eliminasi untuk
menghambat absorsi melalui pencernaaan dengan cara kumbah lambung,emesis,
atau katarsis dan kerammas rambut.

Berikan anti dotum sesuai advis dokter minimal 2 x 24 jam yaitu pemberian
SA.

2. Perawatan suportif; meliputi mempertahankan agar pasien tidak samapi demamatau


mengigil,monitor perubahan-perubahan fisik seperti perubahan nadi yang
cepat,distress pernafasan, sianosis, diaphoresis, dan tanda-tanda lain kolaps
pembuluh darah dan kemungkinan fatal atau kematian. Monitir vital sign setiap 15
menit untuk bebrapa jam dan laporkan perubahan segera kepada dokter.Catat
tanda-tanda seperti muntah,mual,dan nyeri abdomen serta monotor semua muntah
akan adanya darah. Observasi fese dan urine serta pertahankan cairan intravenous
sesuai pesanan dokter.
3. Jika pernafasan depresi ,berikan oksigen dan lakukan suction. Ventilator
mungkin bisa

diperlukan.

2. Jika keracunan sebagai uasaha untuk mebunuh diri maka lakukan safety precautions
. Konsultasi psikiatri atau perawat psikiatri klinis. Pertimbangkan juga masalah
kelainan kepribadian,reaksi depresi,psikosis .neurosis, mental retardasi dan lain-
lain.

DIAGNOSA I

3. Ketidakefektifan bersihan jalan napas


a. Definisi:
ketidakmampuan utk membersihkan sekresi atau obstruksi saluran pernapasan
guna empertahankan jalan napas yg bersih
b. Batasan karakteristik
1) Bunyi napas tambahan (contoh: ronki basah halus,ronki basah kasar)
2) Perubahan irama dan frekuensi pernpasan
3) Tidak mampu/tidak efektifnya batuk
4) Sianosis
5) Sulit bersuara
6) Penurunan bunyi napas
7) Gelisah
c. Faktor yang berubungan
1. Obstruksi jalan napas: spasme jalan napas, pengumpulan sekresi, mukus
berlebih, adanya jalan napas buatan, terdapat benda asing, sekresi pada bronki dan
eksudat pada alveoli.

2. Fisiologi: disfungsi neuromuskuler, hiperplasia dinding bronkial, PPOK, infeksi,


asma, alergi jalan napas dan trauma.
d. NOC
1) Status pernapasan: pertukaran gas: SaO2 dalam batas normal, mudah bernapas,
tidak ada dispnea/sianosis/gelisah, temuan sinar X dada dalam rentang yang
diharapkan, pertukaran CO2 atau O2 alveolar untuk memertahankan konsentrasi
gas darah arteri.
2) Ventilasi: pergerakan udara masuk dan keluar paru
Contoh penulisan tujuan berdasar Nursing Outcome Classification:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4x24 jam, pasien akan:
1) Mempunyai jalan napas paten
2) Dapat mengeluarkan sekret secara efektif
3) Irama dan frekuensi napas dalam rentang normal
4) Mempunyai fungsi paru dalam batas normal
5) Mampu mendiskripsikan rencana untuk perawatan di rumah
e. NIC prioritas
1) Pengelolaan jalan napas: fasilitas untuk kepatenan jalan udara
2) Pengisapan jalan napas: memindahkan sekresi jalan napas dengan memasukkan
sebuah kateter penghisap ke dalam jalan napas oral dan atau trakea.
AKTIVITAS:
1) Kaji dan dokumentasikan keefektifan pemberian oksigen, pengobatan yang
diresepkan dan kaji kecenderungan pada gas darah arteri
2) Auskultasi bagian dada anterior dan posterior untuk mengetahui adanya
penurunan atau tidak adanya ventilasi dan adanya bunyi tambahan
3) Tentukan kebutuhan pengisapan oral dan atau trakea
4) Pantau status oksigen pasien dan status hemodinamik (tingkat Mean Arterial
Pressure dan irama jantung) segera sebelum, selama dan setelah pengisapan
5) Catat tipe dan jumlah sekret yang dikumpulkan.
PENDIDIKAN UNTUK PASIEN/KELUARGA:
6) Jelaskan pengunaan peralatan pendukung dengan benar (misalnya oksigen,
pengisapan, spirometer, inhaler)
7) Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa merokok merupakan kegiatan
yang dilarang di dalam ruang perawatan
9) Instruksikan kepada pasien tentang batuk efektif dan teknik napas dalam untuk
memudahkan keluarnya sekresi
10) Ajarkan untuk mencatat dan mencermati perubahan pada sputum seperti:
warna, karakter, jumlah dan bau
11) Ajarkan pada pasien atau keluarga bagaimana cara melakukan pengisapan
sesuai denan kebutuhan.

AKTIVITAS KOLABORASI
12) Konsultasikan dengan dokter atau ahli pernapasan tentang kebutuhan untuk
perkusi dan atau alat pendukung
13) Berikan oksigen yang telah dihumidifikasi sesuai protap
14) Bantu dengan memberikan aerosol, nebulizer dan perawatan paru lain sesuai
kebijakan institusi
15) Beritahu dokter ketika analisa gas darah arteri abnormal

DIAGNOSA II
Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual dan muntah

1. Meningkatkan /merangsang nafsu makan

– Menghilangkan/mengurangi kondisi / gejala yg menyebabkan penurunan


nafsu makan: menjaga kebersihan dan kesehatan kulit, memberikan
analgetik dan antipiretik, menganjurkan istirahat untuk mengurangi
kelelahan.
– Memberikan makanan yg disukai sedikit demi sedikit dgn memperhatikan
kalori dan kontraindikasi.
– Membebaskan ruangan dari bau obat dan bau lain ygmenggangu nafsu
makan
– Menurunkan stress psikologi

2. Memberikan makanan sesuai dg penyakit khusus (diet ginjal, jantung, DM)


3. Konseling tentang manfaat nutrisi
4. Membantu pasien memenuhi kebutuhan Nutrisi

1. Memberi makan secara oral.


2. Nutrisi enteral dan parenteral

5. Perencanaan pulang

Pendidikan kesehatan tentang memperpersiapkan makanan (nilai gizi setiap jenis


makanan, cara memasak, diet pada penyakit ttt)

DIAGNOSA III

Intoleransi aktivitas : penurunan fungsi fisiologi atau psikologi untuk


memenuhi

kebutuhan aktivitas sehari-hari

Faktor yang berhubungan :


Bed rest atau immobilitas

Kelemahan umum

Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen

Gaya/pola hidup yang menetap

Karakteristik :

Melaporkan kelemahan secara verbal

Nadi abnormal atau perubahan tekanan darah saat beraktivitas

Perubahan EKG yang menunjukkan adanya aritmia atau iskemi

Ketidaknyamanan saat latihan atau dispnea

NOC :

• Konservatif energi : tingkat pengelolaan energi aktif untuk memulai dan

memelihara aktivitas

• Daya tahan :tingkat dimana energi memampukan klien untuk beraktivitas

• Toleransi aktivitas : tingkat dimana aktiivitas dapat dilakukan klien sesuai


energi

yang dimiliki

Kriteria evaluasi :

• Bertoleransi terhadap sktivitas yang biasanya dapat


didemonstrasikan dengan

daya tahan, konservasi energi,dan perawatan diri : aktivitas sehari-hari (


ADL )

• Mendemonstrasikan konservasi energi ditandai dengna :

- Mneyadari keterbatasan energi

- Menyeimbangkan aktivitas dan istirahat

- Tingkat daya tahan adekuat untuk aktivitas

NIC :

1. Terapi Aktivitas : petunjuk rentang dan bantuan dalam aktivitas fisik,


kognitif,

sosial, dan spiritual yang spesifik untuk menentukan rentang frekuensi dan
durasi

aktivitas individu atau kelompok.

• Kaji tanda dan gejala yang menunjukkan ketidaktoleransi terhadap


aktivitas dan

memerlukan pelaporan terhadap perawat dan dokter

• Tingkatkan pelaksanaan ROM pasif sesuai indikasi

• Jelaskan pla peningkatan terhadap aktivitas

• Buat jadawal latihan aktivitas secara bertahap untuk pasien dan


berikan periode istirahat

• Berkan suport dan libatkan keluarga dalam program terapi

• Berikan reinforcemen untuk pencapaian aktivitas sesuai program latihan

• Kolaborasi ahli fisioterapi


2. Pengelolaan energi : pengaturan penggunaan energi untuk merawat dan

mencegah kelelahan dan mengoptimalkan fungsi

• Bantu klien untuk mengidentifikasi pilihan-pilihan aktivitas

• Rencanakan aktivitas untuk periode dimana klien mempunyai energi paliing

banyak

• Bantu dengan aktivitas fisik teratur ( misalnya ambulasi, transfer, perubahan

posisi, perawatan personal ) sesuai kebutuhan

• Batasi rangsangan lingkungan ( kebisisngan dan cahaya ) untuk


meningkatkan

relaksasi

• Bantu klien untuk memonitor diri dengan mengembangkan dan


menggunakan

dokumetasi tertulis tentang intake kalori dan energi sesuai kebutuhan.

Anda mungkin juga menyukai