DAFTAR PUSTAKA
A. Definisi
Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan
kimia dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam
(Guyton & Hall, 1997).
B. Insiden
Perawatan luka bakar mengalami perbaikan / kemajuan dalam dekade terakhir
ini, yang mengakibatkan menurunnya angka kematian akibat luka bakar. Pusat-
pusat perawatan luka bakar telah tersedia cukup baik, dengan anggota team yang
menangani luka bakar terdiri dari berbagai disiplin yang saling bekerja sama untuk
melakukan perawatan pada klien dan keluarganya. Di Amerika kurang lebih 2 juta
penduduknya memerlukan pertolongan medik setiap tahunnya untuk injuri yang
disebabkan karena luka bakar. 70.000 diantaranya dirawat di rumah sakit dengan
injuri yang berat.
Luka bakar merupakan penyebab kematian ketiga akibat kecelakaan pada
semua kelompok umur. Laki-laki cenderung lebih sering mengalami luka bakar
dari pada wanita, terutama pada orang tua atau lanjut usia ( diatas 70 th) (Rohman
Azzam, 2008).
C. Etiologi
Etiologi dari luka bakar (Guyton & Hall, 1997) :
1. Luka Bakar Suhu Tinggi(Thermal Burn)
a. Gas
b. Cairan
c. Bahan padat (Solid)
2. Luka Bakar Bahan Kimia (hemical Burn)
3. Luka Bakar Sengatan Listrik (Electrical Burn)
4. Luka Bakar Radiasi (Radiasi Injury)
D. Fase Luka Bakar
Fase – fase luka bakar (Guyton & Hall, 1997) yaitu :
1. Fase akut.
Disebut sebagai fase awal atau fase syok. Dalam fase awal penderita akan
mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas), breathing (mekanisme
bernafas), dan circulation (sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi
segera atau beberapa saat setelah terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi
saluran pernafasan akibat cedera inhalasi dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera
inhalasi adalah penyebab kematian utama penderita pada fase akut. Pada fase akut
sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat cedera termal
yang berdampak sistemik.
2. Fase sub akut.
Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan atau
kehilangan jaringan akibat kontak denga sumber panas. Luka yang terjadi
menyebabkan:
1. Proses inflamasi dan infeksi.
2. Problem penutupan luka dengan titik perhatian pada luka telanjang atau tidak
berbaju epitel luas dan atau pada struktur atau organ – organ fungsional.
3. Keadaan hipermetabolisme.
3. Fase lanjut.
Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat luka dan
pemulihan fungsi organ-organ fungsional. Problem yang muncul pada fase ini
adalah penyulit berupa parut yang hipertropik, keloid, gangguan pigmentasi,
deformitas dan kontraktur.
E. Klasifikasi luka bakar (Hudak & Gallo, 1997)
1. Dalamnya luka bakar
Kedalaman Penyebab Penampilan Warna Perasaan
Ketebalan Jilatan api, Kering tidak ada Bertambah Nyeri
partial sinar gelembung, edema merah
superfisial ultraviolet minimal atau tidak
(tingkat I) (terbakar ada, pucat bila
oleh ditekan dengan
matahari) ujung jari, berisi
kembali bila
tekanan dilepas
Lebih dalam Kontak Blister besar dan Berbintik Sangat
dari partial dengan bahan lembab yang – bintik nyeri
(tingkat II) air atau ukurannya yang
- bahan padat. bertambah besar. kurang
Superfi Jilatan api Pucat bila ditekan jelas,
sial kepada dengan ujung jari, putih,
- Dalam pakaian. bila tekanan dilepas coklat,
Jilatan berisi kembali pink,
langsung daerah
kimiawi, merah
sinar coklat
ultraviolet
Ketebalan Kontak Kering disertai kulit Putih, Tidak
sepenuhnya dengan bahan yang mengelupas. kering, sakit,
cair atau Pembuluh darah hitam, sedikit
padat. Nyala seperti arang coklat sakit,
api, kimia, terlihat dibawah tua, rambut
kontak kulit yang hitam, mudah
dengan arus mengelupas. merah lepas bila
listrik Gelembung jarang, dicabut
dindingnya sangat
tipis, tidak
membesar, tidak
pucat bila ditekan
( 3-x) x 80 x BB gr/hr
100
(Albumin 25% = gram x 4 cc) à 1 cc/mnt.
Anak : Diberi sesuai kebutuhan faal.
D. Monitor urine dan CVP.
E. Topikal dan tutup luka
- Cuci luka dengan savlon : NaCl 0,9% ( 1 : 30 ) + buang jaringan nekrotik.
- Tulle.
- Silver sulfadiazin tebal.
- Tutup kassa tebal.
- Evaluasi 5 – 7 hari, kecuali balutan kotor.
F. Obat – obatan:
o Antibiotika : tidak diberikan bila pasien datang < 6 jam sejak kejadian.
o Bila perlu berikan antibiotika sesuai dengan pola kuman dan sesuai hasil kultur.
o Analgetik : kuat (morfin, petidine)
o Antasida : kalau perlu
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito,J,L. (1999). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2.
PT EGC. Jakarta.
Guyton & Hall. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit Buku
Kedoketran EGC. Jakarta
Hudak & Gallo. (1997). Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik.Volume I.
Penerbit Buku Kedoketran EGC. Jakarta.
Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan).
Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.
Marylin E. Doenges. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Penerbit Buku
Kedoketran EGC. Jakarta.
Anonim. (2009). Kumpulan Artikel Keperawatan Asuhan Keperawatan Pada
Pasien Dengan Luka Bakar (Combustio). (Online) http://www.artanto.com.
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN
DENGAN INTOKSIKASI INSEKTISIDA (IFO)
A. Pengertian
Intoksikasi (keracunan) adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh
manusia yang menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya.
Istilah peptisida pada umumnya dipakai untuk semua bahan yang dipakai manusia
untuk membasmi hama yang merugikan manusia. Termasuk peptisida ini adalah
insektisida. Ada dua macam insektisida yang paling banyak digunakan dalam
pertanian adalah :
1. insektisida hidrokarbo khlorin (IHK = chlorinated hydrocarbon)
2. insektisida fosfat organic (IFO = organo phosphate insecticide).
Yang paling sering digunakan adalah IFO yang pemakaiannya terus menerus
meningkat. Sifat - sifat dari IFO adalah insektisida poten yang paling banyak
digunakan dalam pertanian dengan toksisitas yang tinggi. Salah satu derivatnya
adalah Tabun dan Sarin. Bahan ini menembus kulit yang normal (intact), juga
dapat diserap di paru dan saluran makanan, namun tidak berakumulasi dalam
jaringan tubuh seperti halnya golongan IHK.
Macam – macam IFO adalah Malathion (Tolly), Paraathion, Diazinon, Basudin,
Paraoxon dan lain – lain. IFO sebenarnya dibagi 2 macam yaitu IFO murni dan
golongan carbamate. Salah satu contoh golongan carbamate adalah baygon.
B. Patogenesis
IFO bekerja dengan cara menghambat (inaktivasi) enzim asetilkolinesterase
tubuh (KhE). Dalam keadaan normal enzim KhE bekerja untuk menghidrolisis
Akh dengan jalan mengadakan ikatan Akh- KhE yang bersifat inaktif. Bila
konsentrasi racun lebih tinggi ikatan IFO – KhE lebih banyak terjadi. Akibatnya
akan terjadi penumpukan AKh di tempat – tempat tertentu, sehingga timbul gejala
– gejala rangsangan AKh yang berlebihan, yang akan menimbulkan efek
muscarinik, nikotinik dan SSP (menimbulkan stimulasi kemudian depresi SSP).
Pada keracunan IFO, ikatan IFO –KhE bersifat menetap (irreversible),
sedangkan pada keracunan carbamate ikatan ini bersifat sementara (reversible).
Secara farmakologis efek AKh dapat dibagi dalan 3 bagian, yaitu :
1. Muskarini, terutama pada saluran pencernaan, kelenjar ludah dan keringat, pupil,
bronkus dan jantung.
2. Nikotinik, terutama pada otot – otot skeletal, bola mata, lidah, kelopak mata dan
otot pernapasan.
3. SSP, menimbulkan nyeri kepala, perubahan emosi, kejang – kejang (konvulsi)
sampai koma.
C. Gambaran klinik
Yang paling menonjol adalah kelainan visus, hiperaktivitas kelenjar ludah, keringat
dan saluran pencernaan, serta kesukaran bernapas.
Keracunan ringan : anoreksia, nyeri kepala, rasa lemah, rasa takut, tremor lidah,
kelopak mata, pupil miosis.
Keracunan sedang : nausea, muntah – muntah, kejang atau kram perut, hipersaliva,
hiperhidrosis, fasikulasi otot dan bradikardi.
Keracunan berat : diare, pupil pi – point, reaksi cahaya negatif, sesak napas,
sianosis, edema paru, inkontinensia urine dan feses, konvulsi, koma, blokade
jantung, akhirnya meninggal.
D. Pemeriksaan .
1. Laboratorik.
Pengukuran kadar KhE dalam sel darah merah dan plasma, penting untuk
memastikan diagosis keracunan IFO akut maupun kronik (menurun sekian % dari
harga normal).
Keracunan akut : ringan : 40 – 70 %
sedang : 20 – 40 %
berat : < 20 %.
Keracunan kronik bila kadar KhE menurun sampai 25 - 50 %, setiap
individu yang berhubungan dengan insektisida ini harus segera disingkirkan dan
baru diizinkan bekerja kembali bila kadar KhE telah meningkat > 75 % N.
E. Penatalaksanaan
1. Resusitasi
Setelah jalan napas dibebaskan dan dibersihkan, periksa pernapasan dan
nadi. Infus dextrose 5 % kecepatan 15 – 20 tts/mnt, napas buatan + oksigen, hisap
lendir dalam saluran napas, hindari obat – obat depresan saluran napas, kalau perlu
respirator pada kegagalan napas berat. Hindar pernapasan buatan dari mulut ke
mulut sebab racun organofosfat akan meracuni lewat mulut penolong. Pernapasan
buatan hanya dilakukan dengan meniup face mask atau menggunakan alat bag –
valve – mask.
2. Eliminasi
Emesis, merangsang penderita supaya muntah pada penderita yang sadar
atau dengan pemberian sirup ipecac 15 –30 ml. Dapat diulan setelah 20 menit bila
tidak berhasil. Katarsis (intestinal lavage), dengan pemberian laksans bila diduga
racun telah sampai di usus halus dan tebal. Kumbah lambung (KL atau gastric
lavage), pada penderita yang kesadaran yang menurun, atau pada mereka yang
tidak kooperatif. Hasil paling efektif bila KL dikerjakan dalam 4 jam setelah
keracunan.
Keramas rambut dan mandikan seluruh tubuh dengan sabun.
Emesis, katarsis dan KL sebaiknya hanya dilakukan bila keracunan terjadi kurang
daari 4 – 6 jam. Pada koma derajat sedang hingga berat tindakan KL sebaiknya
dikerjakan dengan bantuan pemasangan pipa endotrakeal berbalon, untuk
mencegah aspirasi pneumonia.
3. Antidotum
Atropin sulfat (SA) bekerja dengan menghambat efek akumulasi AKh pada tempat
penumpukan.
a. Mula –mula diberikan bolus iv 1 – 2,5 mg
b. Dilanjutkan dengan 0,5 – 1 mg setiap 5 – 10 – 15 menit sampai timbul gejala –
gejala atropinisasi (muka merah, mulut kering, takikardi, midriasis, febris, dan
psikosis).
c. Kemudian interval diperpanjang setiap 15 – 30 – 60 menit, selanjutnya setiap 2
– 4 – 6 – 8 dan 12 jam
d. Pemberian SA dihentikan minimal setelah 2 X 24 jam. Penghentian yang
mendadak dapat menimbulkan rebound effect berupa edema paru dan kegagalan
pernapasan akut yang sering fatal.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian difokuskan pada masalah yang mendesak seperti jalan napas dan
sirkulasi yang mengancam jiwa, adaya gangguan asam basa, keadaan status
jantung, status kesadaran. Riwayat kesehatan : riwayat keracunan, bahan racun
yang digunakan, berapa lama diketahui setelah keracunan, ada masalah lain
sebagai pencetus keracunan dan sindroma toksis yang ditimbulkan dan kapan
terjadinya.
B. Masalah keperawatan
Masalah keperawatan yang bisa timbul adalah tidak efektifnya pola napas, resiko
tinggi kekurangan cairan tubuh, gangguan kesadaran, tidak efektifnya koping
indicidu.
C. Intervensi
Pertolongan pertama yang dilakukan meliputi tindakan umum yang bertujuan
untuk keselamatan hidup, mencegah penyerapan dan penawar racun (antidotum)
yang meliputi resusitasi : air way, breathing dan circulation, eliminasi untuk
menghambat absorbsi melalui pencernaan dengan cara kumbah lambung, emesis
atau katartasis dan keramas rambut.
Berikan antidotum sesuai pesanan dokter minimal 2 X 24 jam yaitu Atropin sulfat
(SA).
Perawatan suportif meliputi pertahankan agar pasien tidak sampai demam atau
mengigil, monitor perubahan – perubahan fisik seperti perubahan nadi yang cepat,
distress pernapasan, sianosis, diaphoresis, dan tanda – tanda lain kolaps pembuluh
darah dan kemungkinan fatal atau kematian. Monitor tanda vital setiap 15 menit
untuk beberapa jam dan laporkam perrubahannya segera kepada dokter. Catat
tanda – tanda seperti muntah, mual dan nyeri abdomen serta monitor semua
muntah akan adanya darah. Observasi feses dan urine serta pertahankan cairan
intravenous sesuai pesanan.
Jika pernapasan depresi, berikan oksigen dan lakukan suction. Ventilator mungkin
bias diperlukan. Jika keracunan sebagai suatu usaha untuk membunuh diri maka
lakukan safety precautions. Konsultasi psikiatri atau perawat psikiatris klinis.
Pertimbangkan juga masalah kelainan kepribadian, reaksi depresi, psikosis,
neurosis, mental retardasi dan lain – lain.
SUMBER :
1. Lab./UPF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo, (1994), “Pedoman
Diagnosis dan Terapi”,Surabaya
2. Phipps, etc. (1991), ”Medical Surgical Nursing ; Cencept and Clinical
Practice”, 4th, Mosby Year Book, Toronto.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial
paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah
atau melalui saluran limfatik. Edema paru dibedakan oleh karena sebab
Kardiogenik dan NonKardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena
pengobatannya sangat berbeda. Edema Paru Kardiogenik disebabkan oleh adanya
Payah Jantung Kiri apapun sebabnya. Edema Paru Kardiogenik yang akut
disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri Akut. Tetapi dengan adanya faktor ,
dapat terjadi pula pada penderita Payah Jantung Kiri Khronik.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan respiratory distress syndrome ?
2. Apa penyebab dari respiratory distress syndrome?
3. Bagaimana manifestasi klinis dari respiratory distress syndrome?
4. Bagaimana patofisiologi dari respiratory distress syndrome?
5. Apa pemeriksaan penunjang untuk respiratory distress syndrome?
6. Bagaimana komplikasi respiratory distress syndrome?
7. Bagaimana penatalaksanaan respiratory distress syndrome ?
8. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan respiratory
distress syndrome?
C. Tujuan
Tujuan Umum
Menjelaskan tentang RDS dan Asuhan Keperawatan pada klien dengan kasus
RDS.
Tujuan Khusus
1. Menjelaskan tentang respiratory distress syndrome.
2. Menjelaskan tentang penyebab dari respiratory distress syndrome.
3. Menjelaskan tentang manifestasi klinis dari respiratory distress syndrome.
4. Menjelaskan tentang patofisiologi dari respiratory distress syndrome.
5. Menjelaskan tentang pemeriksaan penunjang untuk respiratory distress
syndrome.
6. Menjelaskan tentang komplikasi respiratory distress syndrome.
7. Menjelaskan tentang penatalaksanaan respiratory distress syndrome.
8. Menjelaskan tentang asuhan keperawatan pada klien dengan respiratory distress
syndrome.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. DEFINISI
Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat
peningkatan tekanan intravaskular. (Elizabeth J Corwin, 2001)
Edema paru adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya cairan ekstravaskular
yang patologis pada jaringan parenkim paru. (Titin Suprihatin, 2000)
B. ETIOLOGI
1. Ketidak-seimbangan Starling Forces :
a. Peningkatan tekanan kapiler paru :
1) Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri
(stenosis mitral).
2) Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi
ventrikel kiri.
3) Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan
arteria pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).
b. Penurunan tekanan onkotik plasma.
Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, penyakit
dermatologi atau penyakit nutrisi.
c. Peningkatan tekanan negatif intersisial :
1) Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).
2) Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut
bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).
d. Peningkatan tekanan onkotik intersisial.
Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.
2. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress
Syndrome)
a. Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
b. Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon®, NO2, dsb).
c. Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-
naphthyl thiourea).
d. Aspirasi asam lambung.
e. Pneumonitis radiasi akut.
f. Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
g. Disseminated Intravascular Coagulation.
h. Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.
i. Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
j. Pankreatitis Perdarahan Akut.
3. Insufisiensi Limfatik :
a. Post Lung Transplant.
b. Lymphangitic Carcinomatosis.
c. Fibrosing Lymphangitis (silicosis).
4. Tak diketahui/tak jelas
a. High Altitude Pulmonary Edema.
b. Neurogenic Pulmonary Edema.
c. Narcotic overdose.
d. Pulmonary embolism.
e. Eclampsia
f. Post Cardioversion.
f. Post Anesthesia.
g. Post Cardiopulmonary Bypass.
C. PATOFISIOLOGI
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi ketika
cairan dari bagian dalam pembuluh-pembuluh darah merembes keluar pembuluh
darah kedalam jaringan-jaringan sekelilingnya, menyebabkan pembengkakan. Ini
dapat terjadi karena terlalu banyak tekanan dalam pembuluh-pembuluh darah atau
tidak ada cukup protein-protein dalam aliran darah untuk menahan cairan dalam
plasma (bagian dari darah yang tidak megandung segala sel-sel darah).
Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru-paru. Area
yang langsung diluar pembuluh-pembuluh darah kecil pada paru-paru ditempati
oleh kantong-kantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah
dimana oksigen dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbon
dioksida dalam darah dikeluarkan kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar.
Alveoli normalnya mempunyai dinding yang sangat tipis yang mengizinkan
pertukaran udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-
dindig ini kehilangan integritasnya.
Edema Paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan kelebihan cairan yang
merembes keluar dari pembuluh-pembuluh darah dalam paru sebagai gantinya
udara. Ini dapat menyebabkan persoalan-persoalan dengan pertukaran gas (oksigen
dan karbon dioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan pengoksigenan darah
yang buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai “air dalam paru-paru” ketika
menggambarkan kondisi ini pada pasien-pasien. Pulmonary edema dapat
disebabkan oleh banyak faktor-faktor yang berbeda. Ia dapat dihubungkan pada
gagal jantung, disebut cardiogenic pulmonary edema, atau dihubungkan pada
sebab-sebab lain, dirujuk sebagai non-cardiogenic pulmonary edema.
D. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan radiografi (foto
toraks). Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun kenyataannya secara klinik
sukar dideteksi dini.
1. Stadium 1.
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan
pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja.
Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya
ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat
inspirasi.
2. Stadium 2.
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru
menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis
menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor inter-
sisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh
karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering
terdapat takhipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel
kiri, tetapi takhipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan
cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit
perubahan saja.
3. Stadium 3.
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi
hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih
kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi
right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi
pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia.
Pada keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-hati (Ingram and
Braunwald, 1988).
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Elektrokardiografi
Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium, tergantung
penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia bisa
ditemukan,
2. Laboratorium
a. Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian
hiperkapnia.
b. Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
c. Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim
jantung (CK-MB, Troponin T), angiografi koroner
3. Foto thoraks
Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada. Radiograph (X-ray)
dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang menyinggung jantung dan
pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang dari vertebral column,
dengan bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-bidang yang lebih
gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur tulang dari dinding
dada.
X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih
banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-
kasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan opacification
(pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari
bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli
sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi
yang minimal tentang penyebab yang mungkin mendasarinya.
F. PENATALAKSANAAN
1. Posisi ½ duduk.
2. Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika
memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa
dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2,
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka
dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
3. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
4. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5
– 10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin
intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka
dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak
memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis
atau sampai tekanan darah sistolik 85 – 90 mmHg pada pasien yang tadinya
mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang
adekuat ke organ-organ vital.
5. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg
(sebaiknya dihindari).
6. Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan
tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1
ml/kgBB/jam.
7. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5
ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan
hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
8. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
9. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak
berhasil dengan oksigen.
10. Atasi aritmia atau gangguan konduksi.
11. Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan
ruptur dinding ventrikel / corda tendinae.
G. KOMPLIKASI
Kebanyakan komplikasi-komplikasi dari pulmonary edema mungkin timbul dari
komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan penyebab yang mendasarinya.
Lebih spesifik, pulmonary edema dapat menyebabkan pengoksigenan darah yang
dikompromikan secara parah oleh paru-paru. Pengoksigenan yang buruk (hypoxia)
dapat secara potensial menjurus pada pengantaran oksigen yang berkurang ke
organ-organ tubuh yang berbeda, seperti otak.
H. PENCEGAHAN
Dalam hal tindakan-tindakan pencegahan, tergantung pada penyebab dari
pulmonary edema, beberapa langkah-langkah dapat diambil. Pencegahan jangka
panjang dari penyakit jantung dan serangan-serangan jantung, kenaikan yang
perlahan ke ketinggian-ketinggian yang tinggi, atau penghindaran dari overdosis
obat dapat dipertimbangkan sebagai pencegahan. Pada sisi lain, beberapa sebab-
sebab mungkin tidak sepenuhnya dapat dihindari atau dicegah, seperti ARDS yang
disebabkan oleh infeksi atau trauma yang berlimpahan.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Data umum:
1. Identitas :
Umur : Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan remaja/dewasa
muda
2. Riwayat Masuk
Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis atau batuk-
batuk disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang sudah menurun dan
dapat terjadi dengan tiba-tiba pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar
dengan masing-masik tanda klinik mungkin menyertai klien
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis, pancreatitis,
Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta penyakit ginjal
mungkin ditemui pada klien
Pemeriksaan fisik
1. Sistem Integumen
Subyektif : -
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder),
banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan
2. Sistem Pulmonal
Subyektif : sesak nafas, dada tertekan, cengeng
Obyektif : Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan,
pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan meningkat, terdengar
stridor, ronchii pada lapang paru.
3. Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit kepala
Obyektif : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi, kualitas darah
menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan
4. Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
5. Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan penggunaan
otot aksesoris pernafasan
6. Sistem genitourinaria
Subyektif :
Obyektif : produksi urine menurun/normal.
7. Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feses normal/diare
Pemeriksaan Laboratorium :
1. Hb : menurun/normal
2. Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah, kadar
karbon darah meningkat/normal.
3. Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal.
B. PRIORITAS MASALAH
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d intubasi, ventilasi, proses penyakit,
kelemahan dan kelelahan.
2. Gangguan pertukaran Gas b.d sekresi tertahan, proses penyakit, atau
pengesetan ventilator tidak tepat.
3. Gangguan komunikasi verbal b.d pemasangan selang endotrakeal.
4. Resiko tinggi infeksi b.d pemasangan selang endotrakeal.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan :
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d intubasi, ventilasi, proses penyakit,
kelemahan dan kelelahan
Tujuan : Jalan nafas dapat dipertahankan kebersihannya
Kriteria : Suara nafas bersih, ronchii tidak terdengar pada seluruh lapang paru
Rencana Tindakan
a. Auskultasi bunyi nafas tiap 2-4 jam
b. Lakukan hisap lendir bila ronchii terdengar
c. Monitor humidivier dan suhu ventilator
d. Monitor status hidrasi klien
e. Monitor ventilator tekanan dinamis
f. Beri Lavase cairan garam faali sesuai indikasi
g. Beri fisioterapi dada sesuai indikasi
h. Beri bronkodilator
i. Ubah posisi, lakukan postural drainage
Rasional
a. Monitor produksi secret
b. Tekanan penghisapan tidak lebih 100-200 mmHg. Hiperoksigenasi dengan 4-5
kali pernafasn dengan O2 100 % dan hiperinflasi dengan 1 ½ kali VT
menggunakan resusitasi manual atau ventilator. Auskultasi bunyi nafas setelah
penghisapan
c. Oksigen lembab merangasang pengenceran sekret. Suhu ideal 35-37,8OC
d. Mencegah sekresi kental
e. Peningkatan tekanan tiba-tiba mungkin menunjukkan adanya perlengketan jalan
nafas
f. Fasilitasi pembuangan sekret.
g. Fasilitasi pengenceran dan penge-luaran sekret menuju bronkus utama.
h. Fasilitasi pengeluaran sekret menuju bronkus utama.
2. Gangguan pertukaran Gas b.d sekresi tertahan, proses penyakit, atau
pengesetan ventilator tidak tepat
Tujuan : Pertukaran gas jaringan paru optimal
Kriteria : Gas Darah Arteri dalam keadaan normal
Rencana Tindakan
a. Periksa AGD 10-30 menit setelah pengesetan ventilator atau setelah adanya
perubahan ventilator
b. Monitor AGD atau oksimetri selama periode penyapihan
c. Kaji apakah posisi tertentu menimbulkan ketidaknyamanan pernafasan
d. Monitor tanda hipoksia dan hiperkapnea
Rasional
a. AGD diperiksa sebagai evaluasi status pertukaran gas; menunjukkan
konsentrasi O2 & CO2 darah.
b. Periode penyapihan rawan terhadap perubahan status oksigenasi.
c. Dalam berbagai kondisi, ketidak-nyamanan dapat mempengaruhi klinis
penderita.
d. Hipoksia dan hiperkapnea ditandai adanya gelisah dan penurunan kesadaran,
asidosis, hiperventilasi, diaporesis dan keluhan sesak meningkat.
3. Gangguan komunikasi verbal b.d pemasangan selang endotrakeal
Tujuan : Klien dan petugas kesehatan dapat berkomunikasi secara efektif selama
pemasangan selang endotrakeal
Kriteria : Klin dan perawat menentukan dan menggunakan metodayang tepat untuk
berkomunikasi, tidak terjadi hambatan komunikasi berarti, menggunakan metode
yang tepat
Rencana Tindakan:
a. Jelaskan lingkungan, semua prosedur, tujuan dan alat yang berhubungan
dengan klien
b. Berikan bel atau papan catatan serta alat tulis untuk momunikasi
c. Ajukan pertanyaan tertutup
d. Yakinkan pasien bahwa suara akan kembali bila endotrakela dilepas.
Rasional
a. Mengurangi kebingungan klien dan meminimalisasi adanya komunikasi yang
sulit antara klien dan perawat
b. Sebagai media komunikasi antara klien dan perawat
c. Menghindari komunikasi tidak efektif
d. Mengurangi kecemasan yang mungkin timbul akibat kehilangan suara
4. Resiko tinggi infeksi b.d pemasangan selang endotrakeal
Tujuan : Klien tidak mengalami infeksi nosokomial
Kriteria : tidak terdapat tanda-tanda infeksi nosokomial
Rencana Tindakan
a. Evaluasi warna, jumlah, konsistensi dan bau sputum tiap kali penghisapan
b. Tampung spesimen untuk kultur dan sensitivitas sesuai indikasi
c. Pertahankan teknis steril selama penghisapan lender
d. Ganti selang ventilator tiap 24 – 72 jam
Rasional
a. Infeksi traktus respiratorius dapat mengakibatkan sputum bertambah banyak,
bau lebih menyengat, warna berubah lebih gelap
b. Memastikan adanya kuman dalam sputum/jalan nafas
c. Mengurangi resiko infeksi nosokomial
d. Mengurangai resiko infeksi nosokomial
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall (2000), Buku saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC,
Jakarta
INTOKSIKASI NAPZA
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang kasus keracunan NAPZA (Overdosis)
1.2.2 Tujuan Khusus
Untuk mengetahui tentang definisi NAPZA
Untuk mengetahui tentang penyebab penyalahgunaan NAPZA
Untuk mengetahui tentang manifestasi klinis pengguna NAPZA
Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan pada penyalahgunaan NAPZA
Untuk mengetahui tentang definisi Overdosis
Untuk mengetahui tentang penyebab Overdosis
Untuk mengetahui tentang manifestasi klinis Overdosis
Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan pada Overdosis
BAB II
PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan
Narkoba atau NAPZA adalah bahan / zat yang dapat mempengaruhi kondisi
kejiwaan / psikologi seseorang ( pikiran, perasaan dan perilaku ) serta dapat
menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologi. Yang termasuk dalam NAPZA
adalah : Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya. Overdosis (OD) atau
kelebihan dosis terjadi apabila tubuh mengabsorbsi obat lebih dari ambang batas
kemampuannya (lethal doses).
Penyalahgunaan narkoba disebabkan oleh banyak faktor, baik faktor internal
(keluarga, ekonomi, kepribadian) maupun eksternal (pergaulan,
sosial/masyarakat). Sedangkan penyebab overdosis adalah pemakaian yang
berlebihan setelah berhenti menggunakan narkoba, karena pemakaian napza
dicampur dengan jenis napza yang lain, penggunaan NARKOBA golongan narkotik
bersamaan dengan alkohol dan obat tidur/anti depresan, misalnya golongan
barbiturat luminal, valium, xanax, mogadon/BK, dan lain-lain.
Secara umum gejala-gejala pada pengguna NAPZA dapat diamati dengan
terjadinya perubahan fisik, emosi dan perilaku. Namun ada pula tanda-tanda yang
diperlihatkan sesuai dengan narkoba yang dikonsumsi oleh pengguna, sedangkan
gejala overdosis dapat juga diketahui menurut narkoba yang digunakan.
Pada dasarnya penatalaksanaan pada pengguna Napza adalah
dengan detoksifikasi dan rehabilitasi, sedangkan pada overdosis, harus dibawa ke
RS jika pertolongan pertama tidak berhasil dilakukan.
3.2 Saran
Kita sebagai petugas kesehatan harus berusaha untuk mencegah penyebaran
narkoba di masyarakat.
Sebagai perawat seharusnya kita meningkatkan ilmu pengetahuan agar dapat
menurunkan angka kematian akibat narkoba.
DAFTAR PUSTAKA
ORIS
CAVUM ORIS
DENTS
GLANDULA SALIVATORIUS
1. Glandula parotis: paling besar, terletak di bagian depan bawah telinga, jika
infeksi menimbulkan penyakit parotitis (gondongen)
2. Glandula sublingualis: terletak di bawah lidah
3. Glandula submandibularis: terletak di bawah tulang rahang bawah (os
mandibula)
LINGUA
OESOFAGUS
GASTER
PLIKA GASTRIKA
Plika gastrika merupakan lipatan mukosa pada ruang dalam gaster yang
berfungsi sebagai kelenjar dan menghasilakan getah lambung
Lapisan Lambung: terdiri 3 lapisan
1. Tunica mucosa
2. Tunica submucosa
3. Tunica muscularis (otot)
M. sircularis (internal) berfungsi untuk gerak menyempit
INTESTINUM TINUE
1. Duodenum
2. Jejunum
3. Ilium
Secara anatomis ketiganya sama, bedanya hanya ada pada besarnya lumen,
makin kebawah makin besar, dan setiap tambah besar diberi nama
berbeda, secara fisiologis ketiganya mempunyai fungsi yang sama
INTESTINUM CRASUM
Tempat pertemuan antara ileum dan colon, terdapat sfinkter yang disebut:
sfinkter ileosecal, yang berfungsi mencegah refluk sisa makanan yang sudah
masuk colon kembali ke ileum
ANUS
Anus merupakan pintu keluar dari colon, anus selalu tertutup karena dijaga
oleh dua sfinkter, yaitu:
1. Melalui kulit
4. Melalui suntikan
2.5 Patofisiologi
Pada keracunan IFO ,ikatan Ikatan IFO – KhE bersifat menetap (ireversibel)
,sedangkan keracunan carbamate ikatan ini bersifat sementara (reversible).Secara
farmakologis efek Akh dapat dibagi 3 golongan :
2.7 Patoflow
IFO
depresi SSP
Muskarini Nikotinik
Efek pada saluran pencernaan Efek pada otot-otot skeletal
kelenjar ludah
dan keringat bola mata, lidah
Mual muntah
Gangguan
pemenuhan nutrisi
perubahan emosi
Cidera fisik
kejang-kejang (Konvulsi)
koma
Analisis toksikologi harus dilakukan sedini mungkin, hal ini selain dapat
membantu penegakan diagnosis juga berguna untuk kepentingan
penyidikan polisi pada kasusu kejahatan. Sampel yang dikirim ke
laboratorium adalah 50 ml urin, 10 ml serum, bahan muntahan dan feses.
1. Pemeriksaan radiologi
2. Laboratorium klinik
1. Pemeriksaan EKG
1. Stabilisasi
Penatalaksanaan keracunan pada waktu pertama kali berupa tindakan
resusitasi kardiopulmoner yang dilakukan dengan cepat dan tepat berupa
pembebasan jalan napas, perbaikan fungsi pernapasan, dan perbaikan
sistem sirkulasi darah.
2. Dekontaminasi
3. Dekontaminasi pulmonal
4. Dekontaminasi mata
6. Dekopntaminasi gastrointestinal
7. Eliminasi
Tindakan eliminasi adalah tindakan untuk mempercepat pengeluaran racun
yang sedang beredar dalam darah, atau dalam saluran gastrointestinal
setelah lebih dari 4 jam
8. Antidotum
Pada kebanyakan kasus keracunan sangat sedikit jenis racun yang ada obat
antidotumnya dan sediaan obat antidot yang tersedia secara komersial sangat
sedikit jumlahnya
A. Pengkajian
Pengkajian.
Pengkajian difokusakan pada masalah yang mendesak seperti jalan nafas dan
sirkulasi yang mengancam jiwa,adanya gangguan asam basa,keadaan status
jantung,status kesadran.
Apabila menemukan pasien dalam keadaan tidak sadar maka pertama kali
amankan lingkungan pasien atau bila memungkinkan pindahkan pasien ke tempat
yang aman. Selanjutnya posisikan pasien ke dalam posisi netral (terlentang) untuk
memudahkan pertolongan.
Penilaian airway dan breathing dapat dilakukan dengan satu gerakan dalam waktu
yang singkat dengan metode LLF (look, listen dan feel).
AIRWAY
Jalan nafas adalah yang pertama kali harus dinilai untuk mengkaji kelancaran
nafas. Keberhasilan jalan nafas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
proses ventilasi (pertukaran gas antara atmosfer dengan paru-paru. Jalan nafas
seringkali mengalami obstruksi akibat benda asing, serpihan tulang akibat fraktur
pada wajah, akumulasi sekret dan jatuhnya lidah ke belakang.
- tidak adanya hembusan udara (menandakan obstuksi total jalan nafas atau henti
nafas)
BREATHING
Kebersihan jalan nafas tidak menjamin bahwa pasien dapat bernafas secara
adekwat. Inspirasi dan eksprasi penting untuk terjadinya pertukaran gas,
terutama masuknya oksigen yang diperlukan untuk metabolisme tubuh. Inspirasi
dan ekspirasi merupakan tahap ventilasi pada proses respirasi. Fungsi ventilasi
mencerminkan fungsi paru, dinding dada dan diafragma.
- pergerakan dada
CIRCULATION
- tingkat kesadaran
- nadi
- warna kulit
Pemeriksaan nadi dilakukan pada arteri besar seperti pada arteri karotis
dan arteri femoral.
B. Masalah keperawatan. Yang mungkin timbul adalah :
3. Gangguan kesadaran
5.
C. Intervensi
Berikan anti dotum sesuai advis dokter minimal 2 x 24 jam yaitu pemberian
SA.
diperlukan.
2. Jika keracunan sebagai uasaha untuk mebunuh diri maka lakukan safety precautions
. Konsultasi psikiatri atau perawat psikiatri klinis. Pertimbangkan juga masalah
kelainan kepribadian,reaksi depresi,psikosis .neurosis, mental retardasi dan lain-
lain.
DIAGNOSA I
AKTIVITAS KOLABORASI
12) Konsultasikan dengan dokter atau ahli pernapasan tentang kebutuhan untuk
perkusi dan atau alat pendukung
13) Berikan oksigen yang telah dihumidifikasi sesuai protap
14) Bantu dengan memberikan aerosol, nebulizer dan perawatan paru lain sesuai
kebijakan institusi
15) Beritahu dokter ketika analisa gas darah arteri abnormal
DIAGNOSA II
Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual dan muntah
5. Perencanaan pulang
DIAGNOSA III
Kelemahan umum
Karakteristik :
NOC :
memelihara aktivitas
yang dimiliki
Kriteria evaluasi :
NIC :
sosial, dan spiritual yang spesifik untuk menentukan rentang frekuensi dan
durasi
banyak
relaksasi