TOPIK PEMBELAJARAN :
“AKULTURASI KEBUDAYAAN NUSANTARA DAN HINDU-BUDDHA” (Hal.130)
B. TUJUAN PEMBELAJARAN
Menganalisis berbagai contoh bentuk seni bangunan pada masa Hindu-Buddha.
Menganalisis perkembangan Seni ukir pada masa Hindu-Buddha.
Menganalisis perkembangan seni sastra dan aksara pada masa Hindu-Buddha.
Menganalisis proses akulturasi pada system pemerintahan.
Menganalisis perkembangan social ekonomi pada masa Hindu-Buddha
Menyajikan dalam bentuk tulisan tentang tinggalan kebudayaan pada masa Hindu-Buddha
Catatan: Sebelum mempelajari topic tentang akulturasi budaya Nusantara dengan Hindu-Buddha,
diharapkan untuk terlebih dahulu membaca dan melihat gambar artikel pada buku paket Sejarah Indonesia
halaman 90-92.
2. Wujud dari akulturasi kebudayaan Hindu-Buddha dengan kebudayaan Indonesia asli berupa seni rupa
dan seni ukir
Pengaruh Hindhu-Buddha juga berkembang dalam bidang seni rupa, seni pahat, dan seni ukir. Hal
ini dapat dilihat pada relief atau seni ukir yang dipahatkan pada bagian dinding candi. Misalnya, relief
yang dipahatkan pada dinding-dinding pagar langkan di Candi Borobudur yang berupa pahatan riwayat
sang Buddha. Di sekitar relief Sang Buddha terdapat relief lingkungan alam Indonesia seperti rumah
panggung dan burung merpati. Di samping itu, terdapat hiasan perahu bercadik. Relief tersebut
merupakan asli Indonesia dan tidak pernah ditemukan pada candi-candi yang terdapat di India. Juga
relief pada candi Prambanan yang memuat cerita Ramayana.
Pada relief kala makara yang dasarnya adalah motif binatang dan tumbuh-tumbuhan. Hal ini sudah
di kenal sejak masa sebelum Hindu. Binatang-binatang tersebut dianggap suci, maka sering diabadikan
dengan cara dilukis.
3. Wujud dari akulturasi kebudayaan Hindu-Buddha dengan kebudayaan Indonesia asli berupa seni sastra
dan aksara
Seni sastra pada waktu Hindu-Buddha ada yang berbentuk prosa dan ada yang berbentuk tembang
(puisi). Berdasarkan isinya kasusteraan dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu tutur (pitutur kitab
keagamaan), kitab hukum, dan wiracarita (kepahlawanan).
Bentuk wiracarita sangat terkenal di Indonesia, terutama kitab Ramayana dan Mahabarata.
Kemudian muncul wiracarita hasil gubahan para pujangga Indonesia. Misalnya, Baratayuda yang
digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Juga munculnya cerita Carangan.
Berkembangnya karya sastra Ramayana dan Mahabarata, melahirkan seni pertunjukan wayang
kulit (wayang purwa). Isi dan cerita wayang banyak mengandung nilai-nilai yang bersifat edukatif.
Cerita wayang berasal dari budaya Hindu-Buddha, tapi wayangnya asli dari Indonesia.
Di samping bentuk dan ragam hias wayang, muncul pula tokoh-tokoh pewayangan yang khas
Indonesia. Misalnya tokoh-tokoh punakawan seperti Semar, Gareng, dan Petruk. Tokoh-tokoh ini tidak
ditemukan di India.
Wujud akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya penggunaan bahasa Sansekerta
yang dapat Anda temukan sampai sekarang dimana bahasa Sansekerta memperkaya perbendaharaan
bahasa Indonesia.
Penggunaan bahasa Sansekerta pada awalnya banyak ditemukan pada prasasti (batu bertulis)
peninggalan kerajaan Hindu – Budha pada abad 5 – 7 M, contohnya prasasti Yupa dari Kutai, prasasti
peninggalan Kerajaan Tarumanegara. Tetapi untuk perkembangan selanjutnya bahasa Sansekerta di
gantikan oleh bahasa Melayu Kuno seperti yang ditemukan pada prasasti peninggalan kerajaan
Sriwijaya 7 – 13 M. Untuk aksara, dapat dibuktikan adanya penggunaan huruf Pallawa, kemudian
berkembang menjadi huruf Jawa Kuno (kawi) dan huruf (aksara) Bali dan Bugis. Hal ini dapat
dibuktikan melalui Prasasti Dinoyo (Malang) yang menggunakan huruf Jawa Kuno.
4. Wujud dari akulturasi kebudayaan Hindu-Buddha dengan kebudayaan Indonesia asli berupa system
pemerintahan
Wujud akulturasi dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan dapat dilihat dalam organisasi
politik yaitu sistem pemerintahan yang berkembang di Indonesia setelah masuknya pengaruh India.
Dengan adanya pengaruh kebudayaan India tersebut, maka sistem pemerintahan yang berkembang
di Indonesia adalah bentuk kerajaan yang diperintah oleh seorang raja secara turun temurun.
Raja di Indonesia ada yang dipuja sebagai dewa atau dianggap keturunan dewa yang keramat,
sehingga rakyat sangat memuja Raja tersebut, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya raja-raja yang
memerintah di Singosari seperti Kertanegara diwujudkan sebagai Bairawa dan R Wijaya Raja
Majapahit diwujudkan sebagai Harihari (dewa Syiwa dan Wisnu jadi satu).
Permerintahan Raja di Indonesia ada yang bersifat mutlak dan turun-temurun seperti di India dan
ada juga yang menerapkan prinsip musyawarah. Prinsip musyawarah diterapkan terutama apabila raja
tidak mempunyai putra mahkota yaitu seperti yang terjadi pada masa berlangsungnya kerajaan
Majapahit, dalam hal pengangkatan Wikramawardana.
5. Wujud dari akulturasi kebudayaan Hindu-Buddha dengan kebudayaan Indonesia asli berupa system
kepercayaan
Sistem kepercayaan yang berkembang di Indonesia sebelum agama Hindu-Budha masuk ke
Indonesia adalah kepercayaan yang berdasarkan pada Animisme dan Dinamisme.
Dengan masuknya agama Hindu – Budha ke Indonesia, maka masyarakat Indonesia mulai
menganut/mempercayai agama-agama tersebut.
Tetapi agama Hindu dan Budha yang berkembang di Indonesia sudah mengalami perpaduan
dengan kepercayaan Animisme dan Dinamisme, atau dengan kata lainmengalami Sinkritisme.
Sinkritisme adalah bagian dari proses akulturasi, yang berarti perpaduan dua kepercayaan yang
berbeda menjadi satu.
Untuk itu agama Hindu dan Budha yang berkembang di Indonesia, berbeda dengan agama Hindu –
Budha yang dianut oleh masyarakat India. Perbedaaan-perbedaan tersebut misalnya dapat dilihat
dalam upacara ritual yang diadakan oleh umat Hindu atau Budha yang ada di Indonesia. Contohnya,
upacara Nyepi yang dilaksanakan oleh umat Hindu Bali, upacara tersebut tidak dilaksanakan oleh umat
Hindu di India.