Anda di halaman 1dari 18

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendahuluan
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara
maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan lebih dari separuh kematian
terjadi sebelum pasien mencapai Rumah Sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30%
dalam 2 dekade terakhir, sekitar 1 di antara 24 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal,
meninggal dalam tahun pertama setelah IMA.1

Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang
menyebabkan sel otot jantung mati.Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi
sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di sekitarnya.
Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau alirannya sangat
sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark.1

Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial Infarct)
merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri atas angina pektoris tak
stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST.2 Infark miokard akut dengan elevasi
ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus
pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat
pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok,
hipertensi, dan akumulasi lipid.2

B. Isi
Anamnesis
Dalam anamnesis harus di cari gejala-gejala umum iskemia dan infark miokard yaitu
seperti nyeri dada retrosternal. Yang perlu diperhatikan dalam evaluasi keluhan nyeri dada iskemik
SKA adalah:
1. Lokasi nyeri : di daerah retrosternal dan pasien sulit melokalisasi rasa nyeri

1
2. Deskripsi nyeri : pasien mengeluh rasa berat seperti dihimpit, ditekan, diremas, panas
atau dada terasa penuh. Keluhan tersebut lebih dominan dibandingkan rasa nyeri yang
sifatnya tajam. Perlu diwaspadai juga bila pasien mengeluh nyeri epigastrik, sinkope,
atau sesak napas (angina equivalent)
3. Penjalaran nyeri : penjalaran ke lengan kiri, bahu, punggung, epigastrium, leher rasa
tercekik atau rahang bawah ( rasa ngilu) kadang enjalaran kelengan kanan atau kedua
lengan
4. Lama nyeri : nyeri pada SKA dapat berlangsung lama, lebih dari 20 menit. Pada
STEMI, nyeri lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan istirahat atau nitrat
sebulingual.
5. Gejala sistemik : disertai keluhan seperti mual, muntah, atau keringat dingin. 2
Ada hal-hal yang dapat menyerupai nyeri dada iskemia seperti diseksi aorta, emboli paru
akut, tamponade jantung, tension pneumothorax, percarditis, GERD. 2,3

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menegakkan diagnosis, menyingkirkan kemungkinan
penyebab nyeri dada lainnya dan mengevaluasi adanya komplikasi SKA. Pemeriksaan fisik pada
SKA umumnya normal. Terkadang pasien terlihat cemas, keringat dingin atau didapat tanda
komplikasi berupa takipnea, takikardia – bradikardia, adanya gallop S3, ronki basah halus di paru,
atau terdengar bising jantung (murmur). Bila tidak ada komplikasi hampir tidak ditemukan
kelainan yang berarti. 2,3

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang digunakan adalah: (1) EKG, (2) serum cardiac
biomarkers, dan (3) radiologi jantung.3
EKG pada STEMI
Pemeriksaan EKG pra rumah sakit (prehospital) menjadi perhatian utama, untuk
mengidentifikasi lebih awal adanya SKA, sehingga dapat mendeteksi lebih awal adanya SKA
dengan Elevasi ST sebelum sampai ke RS. Dengan mengetahui lebih awal, diharakan Rumah Sakit
yang dituju dapat mempersiapkan tindakan reperfusi (fibrinolisis atau PCI Primer) sehingga dapat
mempersingkat waktu dari onset hingga reperfusi pada STEMI (First Medical Contact-to-Ballin

2
time, First medical contact-to-needle time, door-to-balloon time, door-to-needle time).
Pengurangan waktu reperfusi di RS, transportasi segera dan pengobatan segera harus terjadi
bersamaan dengan persiapan RS saat menerima pasien di emergensi. 3
Pemeriksaan EKG pra RS dan kesiapan laboratorium kateterisasi akan mempercepat
dilakukannya reperfusi IKP primer (primary PCI) sehingga akan menurunkan angkat kematian.
Dengan adanya EKG pra rumah sakit dan pemberitahuan ke rumah sakit rujukan akan menurunkan
angka kematian sebesar 32% bila dilakukan IKP primer dan 24% bila dilakukan terapi fibrinolisis.
3, 4

Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau
keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak
kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan keputusan
terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien
yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik
untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial
dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sadapan secara kontinu harus dilakukan
untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior,
EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.3, 4
Pemeriksaan EKG merupakan pemeriksaan penunjang yang penting pada diagnosis SKA
untuk menentukan tatalaksana selanjutnya. Berdasarkan gambaran EKG, pasien SKA dapat
diklasifikasikan :
1. Elevasi segmen ST atau Left bundle branch block (LBBB) baru/dianggap baru.
Didapatkan gambaran elevasi segmen ST minimal di dua sadapan yang berhubungan.
2. Depresi segmen ST atau inversi gelombang T yang dinamis pada saat pasien mengeluh
nyeri dada. 3, 4

Serum Cardiac Biomarkers


Pemeriksaan laboratorium untuk menilai adanya tanda nekrosis miokard seperti CK-MB,
Troponin T dan I, serta Mioglobin dipakai untuk menegakkan diagnosis SKA. Troponin lebih
dipilih karena lebih sensitive dari pada CKMB. Troponin berguna untuk diagnosis, stratifikasi
risiko, dan menentukan prognosis. Troponin yang meningkat akan meningkatkan risiko kematian.

3
Pada pasien SKA dengan ST elevasi, reperfusi tidak boleh ditunda hanya untuk menunggu enzim
jantung. 3, 4
Mioglobin merupakan suatu protein yang dilepaskan dari sel miokard yang mengalami
kerusakan, dapat meningkat setelah jam-jam awal terjadinya infark dan menacpai puncak pada
jam 1 s/d 4 dan tetap tinggi sampai 24 jam. 3, 4
CKMB merupakan isoenzim dari creatinin kinase, dengan konsentrasi terbesar terdapat
pada miokardium. Dalam jumlah kecil CKMB dapat dijumpai di otot rangka, usus kecil atau
diaphragm. Mulai meningkat 3 jam setelah infark dan mencapai puncak 12-14 jam. CKMB akan
mulai menghilang dalam darah 48-72 jam setelah infark. 3, 4
Troponin mengatur interaksi kerja aktin dan myosin dalam otot jantung dan lebih spesifik
dari CK-MB. Ada dua bentuk yaitu Troponin T dan I. Enzim ini mulai meningkat pada jam 3
hingga 12 jam setelah onset iskemik dan mencapai puncak pada 12 -24 jam serta masih tetap tinggi
sampai hari ke 8-21 (Trop T) dan 7-14 (Trop I). Peningkatan enzim ini menjadi bukti adanya
nekrosis miokard dan menunjukkan prognosis yang buruk pada SKA. Pengukuran enzim jantung
Troponin bersama dengan pemeriksaan EKG secara serial merupakan bagian dari evaluasi pasien
dengan tanda dan gejala yang mencurigai adanya SKA. 3, 4
Pada pedoman 2015 penggunaan biomarkers high sensitive-cardiac Troponin I (hs-cTnI)
dan high sensitive-cardiac Troponin T (hs-cTnT) dianjurkan bila tersedia, mengingat biomarker
ini lebih sensitive untuk mendeteksi adanya nekrosis miokard lebih awal. Deteksi peningkatan
troponi (Tn) diatas nilai percentile 99 batas atas, sangat sensitive dan spesifik menunjukkan adanya
nekrosis miokard. Ambang batas deteksi untuk hs-cTnI 0,006 ng/dl sedangkan untuk hs-cTnT
0,005 ng/ml. 2
Hasil pengukuran hs-cTnI dengan nilai kurang dari percentile 99 pada jam 0 dan jam ke 2
bersama dengan nilai stratifikasi risiko klinis yang rendah (TIMI Skor 0 atau 1) memprediksi
angkat kejadian major adverse cardiac event (MACE) dalam 30 hari kurang dari 1%. 2
Bila tidak tersedia pemeriksaan hs-cTnI atau hs-cTnT, pemeriksaan troponin T atau
troponin I yang negative saat datang dan antara 3 sampai 6 jam dari onset iskemik dapat digunakan
bersamaan dengan stratifikasi risiko yang sangat rendah (TIMI skor 0, low risk Vancouver rule,
North American chest pain score 0, dan usia <50tahun atau HEART Score risiko rendah) dapat
2
memprediksi kurang dari 1 % MACE dalam 30 hari.

4
Gambar 1. Grafik Biomarker Jantung 2

Diagnosis Kerja & Diagnosis Banding


Diagnosis Kerja
Diagnosis SKA berdasarkan keluhan khas angina. Terkadang pasien tidak ada keluhan
angina namun sesak napas atau keluhan lain yang tidak khas seperti nyeri epigastrik atau sinkope
yang disebut angina equivalent. Hal ini diikuti perubahan EKG dan atau perubahan enzim jantung.
2

Diagnosis infark miokard akut dengan elevasi segmen ST ditegakkan berdasarkan


anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi segmen ST lebih dari 2 mm,
minimal pada 2 sadapan prekordial yang berdampingan atau lebih dari 1 mm pada 2 sadapan
ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat dapat memperkuat
diagnosis, namun keputusan untuk memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil
pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksanan infark miokard akut, prinsip utama
penatalaksanaan adalah time is muscle.6

Diagnosis Banding
Terdapat beberapa diagnosis banding yang berkaitan dengan keluhan nyeri dada kiri yang
menjalar ke lengan kiri yang dirasakan oleh pasien. Beberapa diagnosis banding yang dapat
diperhatikan sebagai berikut.2

5
Angina Pektoris Tidak Stabil
Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan America Heart Association
(AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) ialah apakah
iskemia yang ditimbulkan cukup berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada miokardium,
sehingga adanya petanda kerusakan miokardium dapat diperiksa. Diagnosis angina tak stabil bila
pasien memiliki keluhan iskemia, sedangkan tidak ada kenaikan troponin maupun CK-MB, dengan
ataupun tanpa perubahan EKG untuk iskemia, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi
segmen ST yang sebentar atau adanya gelombang T yang negatif. Karena kenaikan enzim biasanya
dalam waktu 12 jam, maka pada tahap awal serangan angina tak stabil seringkali tidak bisa
dibedakan dengan NSTEMI.1
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang
bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama,
mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat
disertai keluhan sesak napas, mual, sampai muntah, kadang-kadang disertai dengan adanya
keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas.1
Pada pemeriksaan EKG terdapat adanya depresi dari segmen ST yang baru menunjukan
kemungkinan adanya iskemia akut. Gelombang T negatif juga salah satu tanda dari iskemia atau
NSTEMI. Perubahan gelombang ST dan T yang non spesifik seperti depresi segmen ST kurang
dari 0,5 mm dan gelombang T yang negatif kurang dari 2 mm tidak spesifik untuk iskemia dan
dapat disebabkan karena hal lain. Pada angina tak stabil terdapat kemungkinan 4 % memiliki
gambaran EKG yang normal.1

Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi Segmen ST (NSTEMI)


NSTEMI dan angina pektoris tak stabil diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan
kemiripan patofisiologi dan gambaran klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya
tidak berbeda. NSTEMI dapat ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis seperti angina
pektoris tak stabil tetapi menunjukan bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan
biomarker jantung.1
Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri dada, yang menjadi salah satu gejala
yang paling sering didapatkan pada pasien yang datang ke IGD.Nyeri dada dengan lokasi khas
substernal atau kadangkala di epigastrium dengan ciri seperti diperas, seperti diikat, rasa penuh

6
dan tertekan menjadi presentasi gejala yang sering ditemukkan pada NSTEMI. Analisis
berdasarkan gambaran klinis menunjukan bahwa mereka yang memiliki gejala dengan onset baru
angina berat memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki nyeri pada
waktu istirahat. Walaupun gejala khas rasa tidak enak di dada iskemia pada NSTEMI telah
diketahui dengan baik, gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di
lengan, epigastrium, bahu atas, dan leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada
pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun.1
Penilaian klinis dan EKG merupakan parameter utama dalam pengenalan dan penilaian
risiko NSTEMI. Gambaran EKG secara spesifik dapat menunjukan deviasi segmen ST merupakan
hal yang penting yang menentukan risiko pada pasien. Pada Thrombolysis in Myocardial (TIMI),
adanya depresi segmen ST baru sebanyak 0,05 mV merupakan prediktor outcome yang buruk.1

Infark Miokard dengan Elevasi ST


Etiologi
STEMI, pada kebanyakan kasus, disebabkan oleh oklusi akut arteri koroner akibat
thrombosis intrakoroner yang berkepanjangan akibat rupturnya plak aterosklerotik pada dinding
koroner epikardial. Namun penyebab lain yang lebih jarang, yaitu karena vasospasme yang lama,
aliran darah ke jantung yang inadekuat (hipotensi), atau kebutuhan akan metabolisme yang
berlebihan. Penyebab yang jauh lebih jarang adalah oklusi emboli, vaskulitis, diseksi pada aortic
root atau arteri koronaria, hingga aortitis. Kokain juga merupakan penyebab terjadinya infark,
yang harus dipertimbangkan pada pasien yang masih muda tanpa adanya faktor resiko.7,8

Epidemiologi
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara
maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan lebih dari separuh kematian
terjadi sebelum pasien mencapai Rumah Sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30%
dalam 2 dekade terakhir, sekitar 1 di antara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal,
meninggal dalam tahun pertama setelah IMA.1
Di Amerika Serikat, sekitar 650.000 pasien mengalami IMA pertama kali dan 450.000
pasien mengalami IMA yang rekuren setiap tahunnya. Mortalitas pun meningkat empat kali lipat
pada pasien dengan usia di atas 75 tahun jika dibandingkan dengan pasien usia muda.5

7
Patofisiologi
STEMI biasanya terjadi ketika aliran darah koroner menurun tiba-tiba setelah terjadinya
oklusi trombotik pada arteri koronaria yang sebelumnya terdapat aterosklerosis. STEMI tidak
terjadi jika adanya stenosis arteri koronaria berat yang berkembang lambat, karena berkembangnya
banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika thrombus arteri koroner terjadi secara cepat
pada lokasi terjadinya jejas pada pembuluh darah. Jejas ini terjadi/terbentuk karena beberapa faktor
seperti merokok, hipertensi, dan penumpukan lemak. Pada kebanyakan kasus, STEMI terjadi
ketika permukaan dari plak aterosklerotik mengalami gangguan, sehingga menyebabkan isi dari
plak tersebut masuk ke dalam peredaran darah dan mendukung untuk terjadinya trombogenesis
baik lokal maupun sistemik, sehingga terbentuklah trombus mural pada bagian plak yang
mengalami ruptur, sehingga arteri koroner yang terlibat mengalami penyumbatan. Pemeriksaan
histologi menemukan bahwa plak koroner yang mudah ruptur adalah plak yang dindingnya
mengandung banyak lemak dan fibrous cap yang tipis. Setelah fase awal di mana trombosit
membentuk lapisan trombosit monolayer pada bagian plak yang ruptur, berbagai agonis seperti
kolagen, ADP, epinefrin, serotonin, menambah aktivasi trombosit. Setelah stimulasi trombosit
oleh agonis tadi, terjadilah pelepasan tromboksan A2, yang merupakan vasokonstriktor lokal poten,
terjadi juga aktivasi trombosit lebih lanjut, hingga perkembangan yang berpotensi melawan
terjadinya fibrinolisis.5
Selain terjadinya pembentukan tromboksan A2, aktivasi trombosit karena agonis tadi juga
mencetuskan terjadinya perubahan komformasi dari reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Sekali terubah
menjadi bentuk aktifnya, maka reseptor ini memiliki afinitas tinggi terhadap sekuens asam amino
pada protein adesif yang larut air (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWB) dan fibrinogen.
Karena keduanya merupakan molekul yang multivalent, keduanya dapat mengikat dua trombosit
secara langsung, sehingga terjadilah cross-linking pada trombosit dan agregrasi trombosit.5
Kaskade koagulasi terus teraktivasi atas pajanan tissue factor dalam sel endotelial yang
mengalami kerusakan pada tempat terjadinya ruptur plak tadi. Faktor VII dan X juga diaktivasi,
sehingga menyebabkan terjadinya konversi protrombin menjadi trombin, yang akan mengkonversi
fibrinogen menjadi fibrin. Selanjutkan kaskade pembekuan darah terus terjadi sehingga arteri
koronaria sendiri mengalami penyumbatan akibat trombus yang mengandung agregasi trombosit
dan benang-benang fibrin.5

8
Pada beberapa kasus, STEMI dapat terjadi karena oklusi koronaria yang disebabkan oleh
emboli koroner, kelainan kongenital, spasme koroner, dan berbagai penyakit sistemik lainnya yang
kebanyakan adalah penyakit inflamasi. Besarnya gangguan yang terjadi pada jantung karena oklusi
pembuluh darah koroner tergantung kepada: (1) daerah yang diperdarahi oleh arteri koroner
tersebut, (2) apakah sumbatan tersebut menyumbat total aliran darah atau tidak, (3) durasi
terjadinya oklusi koroner, (4) jumlah darah yang disuplai oleh pembuluh darah kolateral kepada
jaringan yang terkena, (5) kebutuhan miokardium akan oksigen karena terjadi kehilangan suplai
oksigen tiba-tiba, (6) faktor endogen yang dapat memproduksi zat untuk melisis secara cepat dan
spontan terhadap trombus tersebut, (7) apakah perfusi miokard yang mengalami infark cukup
adekuat atau tidak ketika aliran darah sudah kembali normal pada arteri koroner yang mengalami
sumbatan tadi.5
Pasien yang beresiko tinggi mengalami STEMI adalah mereka yang memiliki banyak
faktor resiko terjadinya aterosklerosis dan mereka dengan angina tidak stabil. Kondisi lain yang
cukup jarang terjadi adalah hiperkoagulabilitas, penyakit kolagen vaskular, penyalahgunaan
kokain, dan trombi intrakardial atau massa yang dapat menyebabkan emboli koroner.5

Gejala Klinis
Pada sepertiga kasus, faktor-faktor pencetus terjadi lebih dulu sebelum terjadi STEMI,
seperti olahraga yang berlebihan dan stres emosional. Meskipun STEMI dapat terjadi pada waktu
kapanpun, siang maupun malam, namun ternyata irama sirkadian dapat cukup mempengaruhi,
dapat terjadi serangan pada beberapa jam setelah bangun tidur.5
Nyeri, merupakan keluhan utama pasien yang mengalami STEMI. Tipe nyeri adalah nyeri
dalam dan viseral. Sifat nyeri biasanya dijelaskan sebagai nyeri yang berat, seperti tertindih dan
teremas, meskipun kadang-kadang dapat dijelaskan juga sebagai rasa tertusuk dan terbakar. Sifat-
sifat tersebut cukup mirip dengan karakteristik nyeri pada angina pectoris, namun biasanya STEMI
muncul pada saat istirahat, lebih berat, dan nyeri bertahan cukup lama. Biasanya nyeri melibatkan
bagian sentral dada atau epigastrium, dan menjalar menuju lengan. Tempat penjalaran lain yang
cukup jarang adalah abdomen, punggung, rahang bawah, dan leher. Lokasi tersering terdapatnya
nyeri biasanya di bawah xiphoid dan epigastrium, dan pasien biasanya menolak jika dikatakan
sebagai serangan jantung karena lebih dikira sebagai gangguan pencernaan. Selain nyeri, biasanya
diikuti dengan adanya kelelahan/kelemahan, berkeringat banyak, nausea, vomiting, gelisah, dan

9
rasa akan meninggal dalam waktu dekat. Nyeri dapat muncul saat istirahat, namun jika nyeri
muncul saat aktivitas, biasanya tidak mereda dengan penghentian aktivitas, berbeda dengan pada
angina pektoris.5

Komplikasi
SKA dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi yang paling sering adalah
gangguan irama dan gangguan pompa jantung. Gangguan irama dapat bersifat fatal bila
menyebabkan henti jantung, misalnya pada VF atau VT tanpa nadi. Komplikasi gangguan pompa
jantung dapat menyebabkan gagal jantung akut. Komplikasi gagal jantung pada SKA dengan
infark miokard (dengan peningkatan enzim jantung) diklasifikasikan dalam Klasifikasi Killip. 2, 3

Sinus bradikardi dan blockade jantung


Sinus bradikardi sering terjadi dalam beberapa jam awal IMA-EST, terutama pada infark
inferior. Sinus bradikardi seringkali tida memerlukan pengobatan namun bila disertai hipotensi
berat perlu diberikan atropine. Bila gagal dengan atropine, dapat dipertimbangkan penggunaan
pacing sementara. Hindari penggunaan agen yang memperlambat konduksi AV seperti penyekat
beta, digitalis, verapamil, atau amiodaron. Pada AV block derajat dua tipe II (mobitz II) dan blok
total merupakan indikasi pemasangan electrode pacing, apalagi bila bradikardi disertai hipotensi.
Tabel 1. Klasifikasi Killip
Kelas Killip Mortalitas RS (%)
I Tidak ada komplikasi 6
II Gagal jantung, ronki, S3, tanda bendungan paru 17
III Edema paru 38
IV Syok kardiogenik 81

Penatalaksanaan
Secara umum tatalaksana STEMI dan NSTEMI hampir sama, baik pra rumah sakit maupun
saat di rumah sakit. Perbedaan terdapat pada strategi terapi reperfusi, dimana STEMI lebih
ditekankan untuk segera melakukan reperfusi, baik dengan medikamentosa (fibrinolisis) atau
intervensi IKP. 6

10
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada,
penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik
dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA.6

Tatalaksana Awal
Tatalaksana awal pada pasien STEMI dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana pra rumah sakit
dan tatalaksana di ruang emergensi.2

Gambar 2. Tatalaksana Iskemik Total 2

1. Tatalaksana Pra Rumah Sakit


Tindakan-tindakan pra rumah sakit dilakukan oleh Emergency Medical Service (Layanan
Gawat Darurat) sebelum pasien tiba dirumah sakit, biasanya dilakukan di dalam ambulans. Bila
dicurigai SKA, segera lakukan pemeriksaan EKG 12 sadapan dan berikan pemberitahuan ke RS
bila ada rencana untuk dilakukan tindakan fibrinolisis atau IKP Primer.

11
Pemeriksaan EKG dengan pembacaan oleh mesin computer tanpa konfirmasi dengan
dokter atau petugas medis terlatih tidak dianjurkan mengingat tingginya hasil pembacaan positif
palsu.
Tindakan yang dilakukan pada layanan gawat darurat adalah:
 Monitoring, dan amankan ABC. Persiapkan diri untuk melakukan RJP dan
defibrilasi
 Berikan aspirin dan pertimbangkan oksigen, nitrogliserin, dan morfin jika
diperlukan.
 Pemeriksaan EKG 12-sadapan dan interpretasi. Jika ada ST elevasi, informasikan
rumah sakit, catat waktu onset dan kontak pertama dengan tim medis.
 Lakukan pemberitahuan ke RS utnuk melakukan persiapan penerimaan pasien
dengan SKA.
 Bila akan diberikan fibrinolitik pra rumah sakit, lakukan check list terapi
fibrinolitik. 2
Aspirin dapat diberikan sesegera mungkin pada pasien dengan kecurigaan SKA sehingga
dapat diberikan pra rumah sakit secara dikunyah dengan dosis 160-325 mg. Sebelum memberikan
aspirin pastikan tidak terdapat alergi aspirin pada pasien. 2

Sebagian besar kematian di luar RS pada STEMI biasanya disebabkan adanya fibrilasi
ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala, dan lebih dari
separuh terjadi pada satu jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana prahospital pada pasien
yang dicurigai STEMI antara lain:5
1. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
2. Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi
3. Transportasi pasien ke RS yang mempunyai fasilitas serta staf medis dokter dan perawat
yang terlatih
4. Melakukan terapi reperfusi

2. Tatalaksana Awal Rumah Sakit


Di ruang gawat darurat dilakukan dua kelompok tindakan secara simultan, yaitu penilaian
awal dan tatalaksana umum awal.

12
Penilaian awal di IGD (<10 menit) 2
 Cek tanda vital, evaluasi saturasi oksigen
 Pasang akses intravena
 Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang singkat dan terarah
 Lengkapi checklist fibrinolitik, cek kontraindikasi
 Lakukan pemeriksaan enzim jantung, elektrolit, dan pembekuan darah.
 Pemeriksaan foto toraks portable (<30menit setelah pasien sampai di IGD)
Tatalaksana awal di IGD 2
 Segera berikan Oksigen 4L/menit dengan kanul nasal bila didapatkan dispnea,
hipoksemua dan tanda gagal jantung atau saturasi O2 < 90%
 Berikan Aspirin (non enteric coated) 160-325 mg dikunyah ( bila pra rumah sakit
belum diberikan).
 Nitrogliserin / nitrat sublingual atau spray atau intravena
 Morfin IV jika nyeri dada tidak berkurang dengan nitrogliserin/nitrat.
 Berikan Clopigrel 300-600 mg.

Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:


mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi
reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di RS dan menghindari
pemulangan cepat pasien dengan STEMI.5

Tatalaksana Umum

Oksigen
Indikasi terapi oksigen adalah pada kondisi pasien dengan nyeri dada menetap atau
berulang atau hemodinamik tidak stabil, pasien dengan tanda bendungan paru ( gagal jantung
akut), dan pasien dengan saturasi oksigen <90%.2

Aspirin dan NSAID


Aspirin dapat menurunkan reoklusi koroner dan berulangnya kejadian iskemik setelah
terapi fibrinolitik. Penggunaan aspirin supostoria dapat dilakukan pada pasien dengan mual,

13
muntah atau ulkus peptic, atau gangguan pada saluran perncernaan atas. Dosis pemeliharaan 75-
100mg/hari. 2
Obat NSAID baik yang selektif maupun nonselektif tidak boleh diberikan pada SKA
selama di RS karena dapat meningkatkan risiko kematian, reinfark, gagal jantung, hipertensi, gagal
jantung dan rupture miokard. 2

Nitrogliserin
Tablet nitrogliserin sublingual dapat diberikan sampai 3 kali dengan interval 3-5 menit jika
tidak terdapat kontraindikasi. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hemodinamik
tidak stabil yaitu tekanan darah sistolik <90 mmHg atau >= 30 mmHg lebih rendah dari
pemeriksaan tekanan darah awal (jika dilakukan), bradikardia <50 x/menit atau takikardia
>100x/menit tanpa adanya gagal jantung, dan adanya infark ventrikel kanan. Nitrogliserin adalah
venodilator dan penggunaannya harus hati-hati pada keadaan pasien yang menggunakan obat
penghambat fosfodiesterasi dalam watu <24 jam (48 jam pada tadalafil). 2

Analgetik
Untuk mengurangi nyeri dada pada SKA dapat menggunakan morfin. Pemberian morfin
dilakukan jika pemberian nitrogliserin sublingual atau semrot tidak respon. Morfin merupakan
pengobatan yang cukup penting pada SKA karena menimbulkan efek analgesic pada SSP yang
dapat mengurangi aktivasi neurohumoral dan menyebabkan pelepasan katekolamin dan
menyebabkan venodilatasi yang akan mengurangi beban ventrikel kiri dan mengurangi kebutuhan
oksigen. Menurunkan tahanan vascular sistemik, sehingga mengurangi afterload ventrikel kiri dan
membantu redistribusi volume darah pada edema paru akut. Morfin biasanya sangat efektif, namun
jika tidak berespon dengan morfin dapat diberikan penyekat beta intravena. 2

Terapi Reperfusi & Terapi Farmakologis


Terapi reperfusi dini dapat memperpendek lamanya oklusi koroner, meminimalkan derajat
disfungsi dan dilatasi ventrikel, dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang
menjadi pump failure. Reperfusi farmakologis juga dapat dilakukan dengan menggunakan
fibrinolysis seperti streptokinase, tissue plasminogen activator, reteplase, dan tenekteplase.Terapi
farmakologis dapat menggunakan obat-obat antitrombotik, penyekat beta, dan ACE inhibitor.

14
Dianjurkan target LDL dibawah 70 mg/dL atau reduksi minimal 50%, jika kadar awal 70-135
mg/dL dengan pemberian Artovastatin dengan dosis 20-40 mg/hari atau Rosuvastatin dengan dosis
10-20mg/hari.

Tabel 2. Kontraindikasi Absolut dan Relatif Fibrinolitik 3

Tabel 3. Dosis Terapi Fibrinolitik 3

15
Tatalaksana Jangka Panjang setelah Pulih STEMI
 Kendalikan faktor risiko hipertensi, dm, rokok
 Aspirin dosis rendah 75-100mg
 DAPT sampai 12 bulan
 Beta blocker pasien gagal ginjal / disfungsi ventrikel kiri
 Statin intensitas tinggi
 ACE-inhibitor diindikasikan sejak 24 jam pasien dengan gagal ginjal, disfungsi sistolik
ventrikel kiri, dm, infark anterior (alternatif ARB)
 Antagonis aldosteron jika EF <=40%

16
Prognosis
Prognosis STEMI bergantung kepada seberapa cepat ditanganinya STEMI/pemberian
terapi reperfusi, karena lamanya penanganan dapat menyebabkan komplikasi lebih cepat terjadi,
sehingga meningkatkan tingkat mortalitas pasien.5

C. Kesimpulan
STEMI terjadi karena adanya ruptur plak aterosklerosis pada arteri koronaria yang
menyebabkan agregasi trombosit, sehingga menyumbat aliran darah dan menyebabkan jaringan
jantung yang diperdarahi mengalami kekurangan oksigen hingga infark. Gejala khasnya
merupakan nyeri dada kiri yang menjalar hingga lengan dan leher, namun ketikda beristirahat tidak
menunjukkan adanya perbaikan, dan nyeri bertahan lebih dari 30 menit.

17
Daftar Pustaka

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: InternaPublishing; 2009. h. 1741-54.
2. Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut ACLS Indonesia Edisi 2018.
3. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut – Perhimpunan dokter spesialis
kardiovaskular Indonesia Tahun 2018.
4. 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-Elevation Myocardial Infarction -
American College of Cardiology Foundation/ American Heart Association Practice
Guidelines.
5. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s principles
of internal medicine. 18thed Vol II. Philadelphia: The McGraw-Hill Companies; 2012. p.
1817-8; 2021-4.
6. 2015 ACC/AHA/SCAI Focused Update on Primary Percutaneous Coronary Intervention
for Patients With ST-Elevation Myocardial Infarction - American Society of Interventional
Cardiology.
7. McPhee SJ, Papadakis MA. Current medical diagnosis & treatment. USA: The McGrawHill
Companies; 2013. p. 365.
8. Dharma SD. Pedoman praktis sistematika interpretasi EKG. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2009. h. 78.

18

Anda mungkin juga menyukai