PENDAHULUAN
Sindrom Down merupakan salah satu kelainan genetik yang sering terjadi pada
bayi baru lahir. Prevalensi kejadian bayi lahir dengan sindrom Down adalah 1 dari 800
kelahiran. Ini adalah penyebab utama kerusakan kognitif. Sindrom Down terkait
dengan ketidakmampuan belajar ringan sampai sedang, perkembangan terhambat, ciri
wajah dan otot yang khas pada masa bayi.
Sindrom Down dinamai setelah dokter Langdon Down, yang pada tahun 1866
pertama menggambarkan sindrom sebagai gangguan. Meskipun dokter Down
membuat beberapa pengamatan penting tentang sindrom Down, ia melakukan tidak
benar mengidentifikasi apa yang menyebabkan gangguan. Sampai tahun 1959 bahwa
para ilmuwan menemukan asal-usul genetik sindrom Down.
Berdasarkan penelitian awal yang dilakukan, di Amerika Serikat terdapat lebih
dari 400,000 orang menderita sindrom Down, dengan jumlah kelahiran bayi yang
mendapat sindroma tersebut mencapai 3,400 bayi dalam setahun. Banyak individu
dengan sindrom Down juga memiliki penyakit jantung, leukemia, penyakit Alzheimer,
masalah gastro-intestinal, dan masalah kesehatan lainnya. Gejala sindrom Down
berkisar dari ringan sampai berat.
1
BAB II
PEMBAHASAN
DEFINISI
EPIDEMIOLOGI
2
ETIOLOGI
1. Adanya virus/infeksi
2. Radiasi
3. Penuaan sel telur, pengaruh terhadap kualitas sel telur menjadi kurang baik dan pada
saat terjadi pembuahan oleh spermatozoa, sel telur akan mengalami kesalahan dalam
pembelahan.
5. Umur ibu. Wanita dengan usia lebih dari 35 tahun lebih berisiko melahirkan bayi
dengan sindrom Down dibandingkan dengan ibu usia muda (kurang dari 35 tahun).
Angka kejadian sindrom Down dengan usia ibu 35 tahun, sebesar 1 dalam 400
kelahiran. Sedangkan ibu dengan umur kurang dari 30 tahun, sebesar kurang dari 1
dalam 1000 kelahiran. Perubahan endokrin, seperti meningkatnya sekresi androgen,
menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estradiol sistemik,
perubahan konsentrasi reseptor hormon, dan hormon LH (Luteinizing Hormone) dan
FSH (Follicular Stimulating Hormone) yang secara tiba-tiba meningkat pada saat
sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya
nondisjunction.
3
Selain nondisjunction, penyebab lain dari sindrom Down adalah anaphase lag.
Yaitu, kegagalan dari kromosom atau kromatid untuk bergabung ke salah satu nukleus
anak yang terbentuk pada pembelahan sel, sebagai akibat dari terlambatnya
perpindahan/pergerakan selama anafase. Kromosom yang tidak masuk ke nukleus sel
anak akan menghilang. Ini dapat terjadi pada saat meiosis ataupun mitosis.
KLASIFIKASI
Terdapat tiga tipe sindrom Down yaitu trisomi 21 reguler, translokasi dan
mosaik. Tipe pertama adalah trisomi 21 reguler. Kesemua sel dalam tubuh akan
mempunyai tiga kromosom 21. Sembilan puluh empat persen dari semua kasus
sindrom Down adalah dari tipe ini (Lancet, 2003).
Tipe yang kedua adalah translokasi. Pada tipe ini, kromosom 21 akan
berkombinasi dengan kromosom yang lain. Seringnya salah satu orang tua yang
menjadi karier kromosom yang ditranslokasi ini tidak menunjukkan karakter penderita
sindrom Down. Tipe ini merupakan 4% dari total kasus (Lancet, 2003)
Tipe ketiga adalah mosaik. Bagi tipe ini, hanya sel yang tertentu saja yang
mempunyai kelebihan kromosom 21. Dua persen adalah penderita tipe mosaik ini dan
biasanya kondisi si penderita lebih ringan. (Lancet, 2003).
PATOFISIOLOGI
Pada sel-sel yang tidak membelah, DNA ditemukan hampir diseluruh bagian
dalam nukleus. Walaupun dengan mikroskop, molekul DNA tidak dapat lolos sebagai
struktur tersendiri, tetapi hanya sebagai bagian dari bahan dalam nukleus yang diwarnai
dengan jelas. Sewaktu sel mulai membelah, bahan tersebut mulai mengatur dirinya
untuk membentuk untaian kromosom. Kromosom ini mengandung banyak molekul
DNA yang tersusun dalam urutan tertentu.
4
kromosom seks. Wanita memiliki 2 kromosom X, dan pria memiliki 1 kromosom X
dan 1 kromosom Y dalam setiap sel. Dalam terminologi standar, seorang wanita normal
ditandai dengan 46 XX, seorang pria normal ditandai dengan 46 XY. Kromosom yang
terbentuk pada setiap individu berasal dari kedua orangtua dalam porsi yang sama.
Ovum dan sperma normal masing-masing mengandung 23 kromosom, merupakan
susunan haploid, sehingga pembuahan menghasilkan zigot yang tersusun diploid dari
23 pasang yang homolog.
Pada Down syndrome trisomi 21, dapat terjadi tidak hanya pada meiosis pada
waktu pembentukan gamet, tetapi juga pada mitosis awal dalam perkembangan zigot,
walaupun kejadian yang lebih sering terjadi adalah kejadian yang pertama. Oosit
primer yang terhenti perkembangannya saat profase pada meiosis I stasioner pada tahap
tersebut sampai terjadi ovulasi, yang jaraknya dapat mencapai hingga 40 sampai 45
tahun. Diantara waktu tersebut, oosit mungkin mengalami disposisi. non-disjunction.
Pada kasus Down syndrome, dalam meiosis I menghasilkan ovum yang mengandung
dua buah autosom 21, dan apabila dibuahi oleh spermatozoa normal yang membawa
autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi 21.
Non-disjunction hanya ditemukan terjadi pada oogenesis, sementara tidak
pernah ada non-disjunction dalam spermatogenesis, karena spermatogenesis terjadi
setiap hari dan tidak ada waktu penundaan spermatogenesis seperti halnya pada
5
oogenesis. Akibat dari adanya trisomi 21 dalam zigot, kromosom penderita Down
syndrome jenis ini mempunyai 47 kromosom (47,XX,+21 atau 47,XY,+21).
6
perbandingan fenotip 2 normal : 1 Down syndrome. (Suryo, 2005). Pada Down
syndrome translokasi, susunan kromosom tidak sesuai dengan susunan kromosom
normal. Jumlah kromosom tetap 46, tetapi karena terdapat bagian tambahan dari
kromosom ke-21, anak akan memiliki fitur Down syndrome.6
Kromosom 21 yang lebih akan memberi efek ke semua sistem organ dan
menyebabkan perubahan sekuensi spektrum fenotip. Hal ini dapat menyebabkan
komplikasi yang mengancam nyawa, dan perubahan proses hidup yang signifikan
secara klinis. Sindrom Down akan menurunkan survival prenatal dan meningkatkan
morbiditas prenatal dan postnatal. Anak – anak yang terkena biasanya mengalami
keterlambatan pertumbuhan fisik, maturasi, pertumbuhan tulang dan pertumbuhan gigi
yang lambat.
7
penyebab peningkatan kasus Diabetes Mellitus pada penderita Sindrom Down
(Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).
Anak – anak yang menderita sindrom Down lebih rentan menderita leukemia,
seperti Transient Myeloproliferative Disorder dan Acute Megakaryocytic Leukemia.
Hampir keseluruhan anak yang menderita sindrom Down yang mendapat leukemia
terjadi akibat mutasi hematopoietic transcription factor gene yaitu GATA1. Leukemia
pada anak – anak dengan sindrom Down terjadi akibat mutasi yaitu trisomi 21, mutasi
GATA1, dan mutasi ketiga yang berupa proses perubahan genetik yang belum
diketahui pasti (Lange BJ,1998).
MANIFESTASI KLINIS
Anak dengan sindroma Down pada umumya memiliki berat badan lahir yang
kurang dari normal. Diperkirakan 20% kasus mempunyai berat badan lahir 2500 gr
atau kurang. Secara fenotip karakteristik yang terdapat pada bayi dengan sindroma
Down yaitu:
Kepala Wajah Ekstremitas
- Fisura palpebralis - Peningkatan jaringan - Jarak yang lebar
yang oblique sekitar leher antara jari kaki I dan II
- Sutura sagitalis yang - Bentuk palatum yang - plantar crease” jari
terpisah abnormal kaki I dan II
- Oksiput yang datar - Tulang Hidung - Hiperfleksibilitas
hypoplasia - “single palmar
- Bercak Brushfield crease”
pada mata - Tangan yang pendek
- Bentuk atau struktur dan lebar
telinga abnormal - Hipotonia
- Mulut terbuka
- Lidah terjulur
- Lekukan epikantus
8
- Jarak pupil yang lebar
9
Gambar 4. Penampakan klinis tangan anak dengan Sindroma Down.
Selain beberapa tampilan dari anak dengan sindroma Down terdapat juga
kelainan klinis antara lain: 9,11,12
Cacat jantung bawaan, cacat jantung kongenital yang umum (40 - 50%) jantung
bawaan yang paling sering endocardial cushion defect (43%), ventricular
septal defect (32%), secundum atrial septal defect (10%), tetralogy Fallot cacat
septum atrium (6%), dan isolated patent ductus arteriosus (4%), lesions pada
patent ductus arteriosus (16%) dan pulmonic stenosis (9%). Sekitar 70% dari
semua endocardial cushion defects terkait dengan sindroma Down.
Obstructive sleep apnoea syndrome, terjadi ketika aliran udara inspirasi dari
saluran udara bagian atas ke paru-paru yang terhambat untuk 10 detik atau lebih
sehingga sering mengakibatkan hypoxemia or hypercarbia.
Wheezing airway disorders
Congenital defek pada gastrointestinal tract
Coeliac disease
Obesity dan bertubuh pendek selama remaja
Transient myeloproliferative disorder
Thyroid disorders, yaitu hipotiroidism
Atlanto-axial instability,
Anomali saluran kemih
10
Masalah kulit seperti Atopik eksim, Seborrhoeic eczema, Alopecia areata,
Vitiligo Syringomas, Perforans elastosis serpiginosa, Onychomycosis, Tinea
corporis, Anetoderma, Folliculitis, Chelitis, Keratosis pilaris, Psoriasis , Cutis
marmorata⁄ivedo reticularis, Xerosis, hyperkeratosis Palmar atau hiperkeratosis
plantar
Behaviour problems, spontanitas alami, kehangatan, ceria, kelembutan dan
kesabaran sebagai karakteristik toleransi. Beberapa pasien menunjukkan
kecemasan dan keras kepala.
Psychiatric disorder, Prevalensi dari 17.6% gangguan kejiwaan di kalangan
anak-anak dan di antara orang dewasa adalah 27,1%. Anak-anak dan remaja
berada pada risiko tinggi untuk autisme, attention deficit hyperactivity disorder
dan conduct disorder. Obsessive-compulsive disorder, Tourette syndrome,
gangguan depresi, dan dapat terjadi selama transisi dari remaja sampai dewasa.
Gangguan Kejang 5-10 %, yaitu umumnya kejang infantil pada bayi,
sedangkan-kejang tonik klonik umumnya diamati pada pasien yang lebih tua.
11
Gambar (5). Tanda & gejala sindrom Down
DIAGNOSIS
Pada anamnesis riwayat penyakit paling sering didapatkan dari orang tua atau
pengasuh, dengan perhatian khusus pada kehamilan ibu, persalinan, kelahiran, riwayat
keluarga retardasi mental, dan gangguan herediter. Selain itu, sebagai bagian riwayat
penyakit, klinisi sebaiknya menilai latar belakang sosiokultural pasien, iklim emosional
di rumah, dan fungsi intelektual pasien.
Pada pemeriksaan fisik berbagai bagian tubuh mungkin memiliki karakteristik
tertentu yang sering ditemukan pada orang dengan retardasi mental seperti sindroma
Down ini dan kemungkinan memiliki penyebab pranatal. Pemeriksaan fisik pasien
dengan sindroma Down dapat dilihat dari gambaran klinis fisik pasien yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Skrining
Terdapat dua tipe uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi bayi sindrom
Down. Pertama adalah uji skrining yang terdiri daripada blood test dan/atau sonogram.
Uji kedua adalah uji diagnostik yang dapat memberi hasil pasti apakah bayi yang
dikandung menderita sindrom Down atau tidak (American College of Nurse-
Midwives, 2005).
Pada sonogram, tehnik pemeriksaan yang digunakan adalah Nuchal
Translucency (NT test). Ujian ini dilakukan pada minggu 11 – 14 kehamilan. Apa yang
diuji adalah jumlah cairan di bawah kulit pada belakang leher janin. Tujuh daripada
sepulah bayi dengan sindrom Down
dapat dikenal pasti dengan tehnik ini (American College of NurseMidwives, 2005).
Hasil uji sonogram akan dibandingkan dengan uji darah. Pada darah ibu hamil
yang disuspek bayinya sindrom Down, apa yang diperhatikan adalah plasma protein-
A dan hormon human chorionic gonadotropin (HCG). Hasil yang tidak normal menjadi
indikasi bahwa mungkin adanya kelainan pada bayi yang dikandung (Mayo Foundation
for Medical Education and Research (MFMER), 2011).
12
b. Amniocentesis
Amniocentesis dilakukan dengan mengambil sampel air ketuban yang
kemudiannya diuji untuk menganalisa kromosom janin. Amniosentesis merupakan
pemeriksaan yang berguna untuk diagnosis berbagai kelainan kromososm bayi
terutama sindroma Down, di mana dengan mengambil sejumlah kecil cairan amniotik
dari ruang amnion secara transabdominal antara usia kehamilan 14-16 minggu.
Amniosentesis dianjurkan untuk semua wanita hamil di atas usia 35 tahun. Risiko
keguguran adalah 1 per 200 kehamilan.
e. Pemeriksaan sitogenik
Diagnosis klinis harus dikonfirmasikan dengan studi sitogenetika. Karyotyping
sangat penting untuk menentukan risiko kekambuhan. Dalam translokasi sindrom
Down, karyotyping dari orang tua dan kerabat lainnya diperlukan untuk konseling
genetik yang tepat. 10
13
Gambar (6). Karyotipe G-banded menunjukkan trisomi 21 (47,XY,+21)10
14
g. Ekokardiografi
Tes ini harus dilakukan pada semua bayi dengan sindroma Down untuk
mengidentifikasi penyakit jantung bawaan, terlepas dari temuan pada pemeriksaan
fisik. 10
h. Skeletal Radiografi
Kelainan kraniofasial termasuk brachycephalic microcephaly, hypoplastic facial bones
dan sinuses. Tes ini diperlukan untuk mengukur jarak atlantodens dan untuk
menyingkirkan atlantoaxial instabilitas pada umur 3 tahun. Radiografi juga digunakan
sebelum anesthesia diberikan jika terdapat tanda-tanda spinal cord compression.
Penurunan sudut iliac dan acetabular juga dapat ditemukan pada bayi baru lahir.10
15
clubfeet,
diantara
jari tangan
terdapat selaput,
kelainan jantung
& kelainan
saluran
kemihkelamin
Trisomi 13 1 dari Kelebihan Kelainan otak & Yang bertahan
(Sindroma 5.000 bayi kromosom mata yg berat, hidup
Patau) baru lahir 13 celah bibir/celah sampai lebih dari
langit-langit, 1
kelainan tahun, kurang
jantung, dari
kelainan saluran 20%;
kemih-kelamin keterbelakangan
& kelainan mental yg terjadi
bentuk telinga sangat berat
PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif untuk
mengatasi kelainan ini. Pada tahap perkembangannya penderita Down syndrom juga
dapat mengalami kemunduran dari sistim tubuhnya. Dengan demikian penderita harus
mendapatkan support maupun informasi yang cukup serta kemudahan dalam
menggunakan sarana atau fasilitas yang sesuai berkaitan dengan kemunduran
perkembangan baik fisik maupun mentalnya.
16
MEDIKAMENTOSA
NON MEDIKAMENTOSA
1. Fisio Terapi.
Penanganan fisioterapi menggunakan tahap perkembangan motorik
kasar untuk mencapai manfaat yang maksimal dan menguntungkan
untuk tahap perkembangan yang berkelanjutan.
Fisioterapi pada Down Syndrom adalah membantu anak belajar untuk
menggerakkan tubuhnya seperti duduk dan berjalan dengan
cara/gerakan yang tepat (appropriate ways). Misalkan saja hypotonia
pada anak dengan Down Syndrome dapat menyebabkan pasien
berjalan dengan cara yang salah yang dapat mengganggu posturnya,
hal ini disebut sebagai kompensasi.
Tanpa fisioterapi sebagian banyak anak dengan Down Syndrome
menyesuaikan gerakannya untuk mengkompensasi otot lemah yang
dimilikinya, sehingga selanjutnya akan timbul nyeri atau salah postur.
Dapat dilakukan seminggu sekali
2. Terapi Bicara. Suatu terapi yang di perlukan untuk anak DS yang mengalami
keterlambatan bicara dan pemahaman kosakata.
3. Terapi Okupasi. Melatih anak dalam hal kemandirian, kognitif/pemahaman,
kemampuan sensorik dan motoriknya. Kemandirian diberikan kerena pada dasarnya
anak DS tergantung pada orang lain atau bahkan terlalu acuh sehingga beraktifitas tanpa
ada komunikasi dan tidak memperdulikan orang lain. Terapi ini membantu anak
mengembangkan kekuatan dan koordinasi dengan atau tanpa menggunakan alat.
17
4. Terapi Sensori Integrasi. Sensori Integrasi adalah ketidakmampuan mengolah
rangsangan / sensori yang diterima. Terapi ini diberikan bagi anak DS yang
mengalami gangguan integrasi sensori misalnya pengendalian sikap tubuh,
motorik kasar, motorik halus dll. Dengan terapi ini anak diajarkan melakukan
aktivitas dengan terarah sehingga kemampuan otak akan meningkat.
PROGNOSIS
18
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas
Nama :
Tanggal lahir :
Jenis kelamin :
BBL :
PB :
Alamat :
Ayah:
- Nama :
- Usia :
- Pekerjaan :
- Pendidikan:
Ibu
- Nama :
- Usia :
- Pekerjaan :
- Pendidikan:
Keluhan Utama:
RPS:
Riwayat Persalinan
19
Pemeriksaan Fisik
Kesan Umum Gerak tangis lemah, tampak sesak, tampak sakit berat
Tanda-tanda Vital :
- HR : 148 kali/menit
- RR : 65 kali/menit
- Suhu : 36.9°C
Antropometri:
- Panjang Badan : 42 cm
- Lingkar kepala : 31 cm
- Lingkar Dada : 28 cm
- Lingkar abdomen : 26 cm
Sistem Neurologis
- Aktifitas : Diam
– Kesadaran : Letargis
- Pupil : Isokor
- Sutura : Normal
20
- Tonus : Hipotoni
- Kejang : (-)
Sistem Pernafasan :
Down score :
21
o Total :5
Sistem cardiovaskular:
- Perkusi : batas jantung kanan pada ICS IV linea parasternal dextra , batas jantung
kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Sistem gastrointestinal:
- Anus : ada
22
Pemeriksaan Laboratorium :
Hitung Jenis
Serologi
23
DAFTAR PUSTAKA
24
11. Saharso D. Sindroma Down. 2006. Available at
http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt
&filepdf=0&pdf=&html=061214-irky208.htm. Accessed on June 6th 2013.
12. Lyle R. Down syndrome. 2004. Available at
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15510164. Accessed on June 6th 2013.
13. Sadock, Benjamin J., Sadock, Virginia A. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis. Ed. 2. Jakarta: EGC, 2010:563.
14. Shin, M., Besser, Lilah M., Kucik, James E., Lu, C., Siffel, C., Correa, A. et al.
2009.
15. Prevalence of Down Syndrome Among Children and Adolescents in 10 Regions
of the United States. Official Journal of the American Academic of Pediatrics.
124:1565-1571.
16. Sindrom Down. Available at :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31669/4/Chapter%20II.pdf.
Accessed on June 8th 2013.
25