Anda di halaman 1dari 3

Sinopsis “Karaeng Pattingalloang”

Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo pada awalnya terlibat dalam kancah
peperangan. Tetapi setelah perdamaian terjadi, keduanya menjadi kerajaan kembar,
Gowa-Tallo, dengan kesepakatan: setiap Raja Tallo harus menjadi Mangkubumi
Kerajaan Gowa. Dari kesepakatan itulah lahir idiom se’re ata ruwa karaeng(satu
abdi dua raja).
Raja Tallo, Karaeng Pattingalloang (Agustus 1600-15 September 1654)
bernama asli I Manngada’cinna Daeng Sitaba, menjadi Mangkubumi Kerajaan
Gowa pada masa pemerintahan Raja Gowa XV. Kepopulerannya sebagai seorang
cendekiawan dan negarawan yang cerdas bukan saja di Gowa dan di Tallo,
melainkan juga sampai di luar kerajaan. Beliau menulis beberapa buku tentang
ketatanegaraan, soal-soal perseroan, dan hukum-hukum pelayaran. Selain itu, dia
juga menguasai astronomi dan mahir dalam beberapa bahasa asing yaitu bahasa
Arab, Portugis, Spanyol, Denmark, dan Latin.
Keluarbiasaan Karaeng Pattingalloang tersebut menyebabkan
Bendaharawan Kerajaan Tallo, Daeng Materru’ (Sang Pemberani), bermaksud
menganugerahkan nama sandang Cikal Kemakmuran dan mengucapkan Sumpah
Setia Kebulatan Tekad para rakyat kepada pemerintahnya.
Ternyata segala sesuatunya telah dipersiapkan (direkayasa) dengan matang
oleh Sang Bendahara Kerajaan dengan langkah-langkah yang matang pula.
Pertama, dia merangkul anggota Angkatan Muda yang wakilnya sudah ada di
Dewan Bate Salapang (semacam DPR sekarang). Kedua, dalam acara tersebut
Tukajannannganga, Anrong Ta’bala’, dan Tumailalang Lolo sengaja tidak
diundang. Yang diundang hanya Penasihat Kerajaan yang bijak serta Tumailalang
Towa yang tua-renta. Ketiga, dan ini yang paling diandalkannya, kerjasama dengan
Karaeng Tunipattolo Daeng Marompa (kemanakan Karaeng Pattingalloang) yang
bencong, melalui Daeng Talekang (istrinya) yang bendaharawan
PERSIWAKARUNG (Persatuan Istri Punggawa, Istri Karaeng, dan istri Arung)
untuk memengaruhi Daeng Ngani (istri Karaeng Pattingalloang) yang Ketua
PERSIWAKARUNG. Program yang telah diproposalkan dan akan diserahkan
menjelang acara itu,ialah penambahan lapangan sholat Ied, lapangan perburuan
rusa, serta akan meminta katabelece buat menyebarkan tikar sholat Ied yang akan
dilengkapi dengan stiker sebagai tikar standar bagi seluruh penduduk.
Akan tetapi semua taktik itu secara perlahan diketahui oleh Karaeng
Pattingalloang, termasuk rahasia Anrong Ta’bala’, yang sesungguhnya juga punya
maksud serupa tapi tak sama, tapi tak seberani Daeng Materru’.
Benturan pun terjadi antara satu dengan yang lainnya, karena para pembesar
kerajaan yang sengaja tidak diundang, ternyata hadir semua atas “jasa” bisik-bisik
Suro Kerajaan. Terakhir, simbol penghargaan yang dipersiapkan oleh Daeng
Materru, dikalungkan di leher Daeng Materru’ sendiri oleh Karaeng Pattingalloang,
sementara Angkatan Muda yang baru sadar bahwa mereka ditunggangi,
mempersembahkan tari Pakkape (tari Kipas) bagi Daeng Materru’, sekaligus bagi
DM-DM MK atau Daeng Materru’- Daeng Materru’ Masa Kini.*

Unsur Intriknsik Drama “Karaeng Pattingalloang


a. Judul : Karaeng Pattingallong
b. Tema : Kerajaan
c. Alur : alur mundur . Set cerita berjalan mundur, yang mana masa kini adalah
sebuah hasil dari konflik-konflik yang terjadi pada masa lalu.
d. Tokoh cerita dan perwatakan
 Karaeng Pattingalloang : Cerdas, Bijaksana, dan berani
 Daeng Materru’ : berani dan setia
 Tukajannannganga (Panglima kerjaan) : Tegas dan Cerdas
 Anrong Ta’bala’ : Cerdas
 Tumailalang Lolo : Bijaksana
 Tumailalang Towa : Bijaksana
 Karaeng Tunipattolo : Cerdas
 Daeng Talekang ( istrinya Daeng Materru’) : Cerdas
 Daeng Ngani (istri Karaeng Pattingalloang) : Tegas dan Bijaksana
e. Latar :
 Tempat : Dalam Istana Kerajaan Tallo
 Waktu : Pagi dan siang hari
 Suasana : Menegangkan dan bahagia
f. Amanat
Amanat yang bisa diambil dari drama/teater “Karaeng
Pattingalloang” yaitu “ Jangan serakah pada tahta, harta, pujian dan
kekuasaan dan orang yang berhasil dalam bidang tugasnya, tidak perlu
diberi penghargaan dan mengharap penghargaan”
g. Laras Bahasa
Dalam cerita Karaeng Pattingalloang mengunakan diksi atau pilihan
kata dengan mencampur bahasa Indonesia dan bahasa daerah sehingga
menarik untuk ditonton dan gaya bahasa yang digunakan memungkinkan
penonton untuk dapat menilai karakter dan watak tokoh pada drama.
Seperti gaya bahasa yang dipake oleh tokoh Karaeng Tunipattolo yang
memiliki ciri khas tersendiri.
Unsur Ekstriknsik Drama “Karaeng Pattingalloang
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara
tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Secara
lebih spesifik dapat dikatakan bahwa unsur ekstrinsik berperan sebagai unsur yang
mempengaruhi bagun sebuah cerita. Oleh karena itu, unsur esktrinsik karya sastra
harus tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting.
a. Latar belakang penampilan teater “ Karaeng Pattingalloang”
Pertunjukan Teater Karaeng Pattingalloang yang sarat dengan petuah kuno
namun selaras dengan era kekinian, memukau sedikitnya seratus
pengunjung Trans Studio Theme Park Makassar di wahana teater.
Pertunjukan teater Karaéng Pattingalloang juga adalah bentuk tanggung
jawab pengelolaan kepada masyarakat untuk mengobati kerinduan akan
kisah-kisah inspiratif dan heroik dari Sulawesi Selatan.
b. Nilai pendidikan
Nilai pendidikan yang ditemukan dalam Drama Karaeng
Pattingalloang yaitu nilai pendidikan sosial seperti selain memberikan
suguhan hiburan semata kepada masyarakat, drama ini juga memberikan
pengetahuan nilai – nilai luhur yang bisa kita teladani dari kisah Karaeng
Pattingalloang.

Anda mungkin juga menyukai