Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
OLEH :
dr. FRANSINA R.S
PEMBIMBING :
0
I. PENDAHULUAN
Dulu presentase terbesar dari komplikasi otogenik terjadi pada otitis media
supuratif akut ( 52% ). Kini komplikasi tersebut kebanyakan terjadi pada otitis media
supuratif kronik ( 76% ) dan terutama berhubungan dengan kolesteatom. Prevalensi
otitis media di Asia Selatan adalah 15-20% dan 5-10% di antaranya disertai dengan
komplikasi intrakranial.(1,2,3)
Komplikasi intrakranial yang paling sering terjadi adalah meningitis (34%), abses
otak (25%) ( yaitu lobus temporal (15%), serebelum (10%) ), labirintitis (12%),
hidrosefalus otik (12%), trombosis sinus dura (10%),abses ekstradura (3%), petrositis
(3%) dan abses subdura (1%). Angka kematian akibat abses otak otogenik diperkirakan
30-40% pada era praantibiotik. Dengan kemajuan pengobatan antibiotik angka kematian
abses otak otogenik turun menjadi 5%. (1,3)
Abses otak sebagai akibat komplikasi otitis media diperkenalkan oleh Morgagni
(1668-1771). Keberhasilan penanganan abses otak pertama kali diterangkan oleh
Morand tahun 1768, dan dilanjutkan oleh sejumlah ahli bedah pada pertengahan abad
19, seperti yang dicatat oleh MacEwen yang melaporkan hasil operasi 18 dari 19 pasien
abses otak berhasil dengan baik. (4)
Abses otak otogenik dua kali lebih sering terjadi pada lobus temporal. Abses otak
otogenik umumnya tunggal. Bila lebih dari satu (multilokuler) dapat mengenai lobus
parietal dan lobus oksipital.(5)
1
Akut dengan kolesteatom didapatkan 16 pasien dengan komplikasi abses otak. Abses
otak merupakan komplikasi yang terbanyak ditemukan. (6)
Penanganan abses otak otogenik sampai saat ini masih dilakukan dengan dua
prosedur yang terpisah. Untuk fokus primer di mastoid dilakukan oleh ahli THT,
sedangkan untuk komplikasi sekunder di otak ditangani oleh ahli bedah saraf. Walaupun
ada penelitian kasus abses otak otogenik yang ditangani dengan eradikasi fokus infeksi
primer disertai eksisi dari abses otak melalui pendekatan transmastoid.(1,3)
bagian bawah.
tensor timpani.
kranii media.
2
yang paling menonjol pada dinding medial.
3
Di dalam kavum timpani terdapat 3 buah tulang pendengaran yaitu malleus, inkus dan
stapes yang menghubungkan membran timpani ke foramen ovale. Selain itu terdapat
skutum yaitu lempeng tulang yang membatasi epitimpanum dengan sel mastoid. Jadi
merupakan bagian dinding lateral kavum timpani. Skutum relatif lebih cepat tererosi oleh
kolesteatoma. Terdapat pula rongga Prussak atau resesus membran timpani anterior
merupakan resesus di telinga tengah, dibatasi di sebelah lateral oleh pars flaksida
membran timpani, di sebelah superior oleh skutum dan ligamentum maleus lateralis, di
sebelah inferior oleh prosesus brevis maleus dan di sebelah medial oleh manubrium
maleus. Kolesteatoma primer biasanya dimulai di daerah ini.
4
B. Vaskularisasi Kavum timpani
Vaskularisasi kavum timpani berasal dari cabang-cabang kecil a.karotis eksterna.
Cabang-cabang pembuluh darah kecil tersebut adalah
4. A. timpani inferior yang berasal dari cabang ascendens a. karotis eksterna yang
masuk ke kavum timpani melalui kanalikulus timpani bersama dengan cabang
timpani n.IX lalu memberi vaskularisasi terutama bagian inferior kavum timpani.
Aliran vena berjalan seiring dengan arterinya untuk bermuara pada sinus
petrosus superior dan pleksus pterigoideus
Di dalam kavum timpani terletak pars horisontal N.VII, yang berjalan dari
ganglion genikulatum ke kanalis semisirkularis horisontalis, sepanjang 8-11mm. N.VII ini
terletak di sebelah postero-superior foramen ovale, melintas di posterior prosesus
kokleariformis. Kemudian berjalan di dalam kanalis fallopii yang biasanya berdinding
5
tulang, tetapi pada sebagian kecil tidak berdinding tulang melainkan langsung diliputi
mukosa. Kemungkinan ini harus selalu diantisipasi pada operasi telinga tengah untuk
mencegah cedera.
6
tengah atau mastoid. Akibatnya terjadi komplikasi otogenik di fossa kranii media atau
posterior.
7
Cairan penyebaran infeksi ke jaringan otak dapat terjadi akibat tromboflebitis, atau
perluasan infeksi ke ruang Virchow-Robin yang terletak di daerah vaskuler subkorteks.
Penetrasi infeksi ke dalam otak yang meyebabkan terjadinya abses otak dimulai
pada daerah subkortikal white matter. Penetrasi ini awalnya sebagai periflebitis atau
tromboflebitis dari vena-vena pada daerah dura yang berdekatan dengan abses
ekstradural atau intradural menghasilkan inflamasi perivaskuler sepanjang dura dengan
permukaan otak yang kaya jaringan venous dan kemudian meluas ke dalam sulcus
otak.
- Tahap pertama mula-mula terjdi ensefalitis pada daerah white matter disertai
edema dan kadang-kadang terlihat bakteri pada pemeriksaan mikroskopik dan terdapat
kelemahan pada jaringan otak.
- Tahap kedua terbentuknya abses otak adalah lokalisasi (kapsul) pada daerah
ensefalitis dengan dikelilingi kapiler-kapiler yang berdelatasi dan infiltrasi sel di
sekitarnya. Dengan terjadinya kapsul maka ensefalitis akan mereda dan masuk pada
periode istirahat.
- Tahap ketiga kapsul abses dapat mengalami perkapuran tetapi abses secara
aktif membesar. Pada saat ini daerah ensefalitis diliputi oleh pus dan debris nekrotik. Di
sekitar pus terbentuk jaringan granulasi dan pada bagian luar jaringan granulasi
dibentuk jaringan fibrous. Pada bagian tengah kavitas diisi dengan pus yang
menyebabkan abses yang sepertinya tidak dapat didrainase. Enzim-enzim yang
dilepaskan oleh lekosit polimorfonuklear menekan nekrosis dan mencernakan
proteolitik ; terbentuk daerah –daerah baru dari edema dan ensefalitis mendahului
pembentukan jaringan granulasi dan fibrous yang baru. Ini merupakan abses yang
berlanjut.
Abses lobus temporal umumnya meluas dari korteks serebri ke ventrikel, membentuk
kavitas berbentuk buah pir. Jika ekspansinya cepat, ensefalitis yang berlanjut menjadi
lebih berat dan berkembang menjadi abses multilokuler.
Abses serebellar biasanya berbentuk ovoid atau ireguler dan jarang menjadi sangat
besar, awalnya terjadi secara relatif yang terbatas pada ruang fossa kranii posterior.
Bila sangat besar dapat menekan pusat pernapasan.
8
- Tahap keempat , terjadi ruptur dari abses sehingga pus masuk ke dalam ventrikel
atau ruang subarachnoid menyebabkan meningitis yang berakibat fatal.
Pada stadium dua atau masa laten gejalanya minimal atau tidak ada. Bila
gejalanya ada pasien terlihat malaise, kurang nafsu makan, lemah, sakit kepala yang
intermiten, peningkatan temperatur. Tidak didapatkan gejala neurologik dan jumlah sel
dalam cairan serebrospinal berkurang atau normal. Stadium ini berlangsung selama
10hari sampai beberapa minggu.
9
Gejala-gejala peninggian tekanan intrakranial biasanya berat dan menyebabkan
sakit kepala, muntah yang proyektil. Denyut nadi menjadi lambat oleh karena
penekanan pada n.vagus di batang otak. Suhu tubuh dapat meningkat, normal atau
subnormal. Apati dan rasa lemah diikuti dengan disorientasi.
Gejala dan tanda pengkatan tekanan intrakranial lebih konstan dan menetap
pada abses serebellar daripada abses temporal oleh karena abses serebellar terbatas
pada fossa kranii posterior.Gejala dan tanda klinik lokal atau fokal dari abses otak terjadi
lambat dan kurang konstan dibandingkan dengan gejala peningkatan intrakranial.
Seperti gejala peningkatan intrakranial, gejala fokal juga lebih menekankan pada
daerah-daerah yang berdekatan dengan ensefalitis di sekitar abses dibanding absesnya
sendiri. Gejala paling konstan dari abses temporal adalah afasia pada sisi yang
dominan. Abses temporal pada sisi mana saja akan dapat menyebabkan hemianopsia
homonim akibat interferensi pada percabangan optikus. Penyebaran ke arah atas dari
lobus temporal mula-mula akan menyebabkan paralisis fasial upper motor neuron kontra
lateral yang bila progresif terus menyebabkan paralisis anggota sendi atas dan akhirnya
paralisis anggota gerak bawah. Gejala paling konstan dari abses serebellar adalah
ataxia pada sisi yang sama dengan abses. Paling sering terlihat pada daerah lengan
dan tangan. Juga didapatkan hipotonia muskular dan kelemahan tanpa paralisis.
nistagmus serebellar adalah nistagmus spontan, lambat. Nistagmus dapat horisontal,
biasanya dengan komponen cepat ke arah yang sakit atau vertikal yang merupakan
tanda pasti perluasan ke intrakranial.
Pada stadium terminasi, kesadaran makin menurun dari sopor sampai koma dan
akhirnya meninggal.
10
peningkatan intrakranial. Jika masuk pada gejala dan tanda fokal maka hampir pasti
suatu abses otak.
6. Pemeriksaan MRI : dapat menentukan stadium awal adanya abses otak oleh karena
kontras berada diantara daerah edema dan mengelilingi otak. Juga lebih akurat untuk
11
perluasan daerah ekstraparenkim dengan terlihatnya hiperdensitas daerah
intraventrikuler dan periventrikuler.
VII. PENATALAKSANAAN
Strategi penatalaksanaan pasien dengan abses otak bergantung pada beberapa faktor
penting. Di antaranya lesi yang terlihat dari hasil CT Scan atau MRI, lokasi lesi, jumlah
lesi dan gejala klinik.(1,4)
Penatalaksanaan abses otak ada dua yaitu pemberian medikamentosa dan operatif.
A. Medikamentosa (1,4,5,9,11,12)
Terapi primer dari abses otak adalah pemberian antibiotik spektrum luas dengan
dosis tinggi secara parenteral. Harus diberikan segera setelah diagnosis abses otak
ditegakkan sambil menunggu hasil kultur. Metronidasol digunakan untuk organisme
anaerob. Untuk organisme gram positif digunakan penicillin atau vancomycin. Untuk
organisme gram negatif digunakan cephalosporin generasi ketiga seperti ceftizoxime
dan cefotaxime. Ada beberapa alternatif pemberian antibiotik yaitu 1) Penicillin G dan
kloramfenikol dengan atau tanpa gentamisin, 2) cefotaxime dan metronidasol, 3)
penicillin G, metronidasol dan trimetoprim-sulfametoksasol.
Pemberian penicillin G 1-2 juta unit tiap 6 jam sampai suhu tubuh menjadi
normal. Rosenblum dkk melaporkan bahwa abses dengan diameter < 1,7 cm
memberikan respon terhadap antibiotik. Bila sudah > 2,5 cm tidak memberikan respon
12
lagi terhadap penggunaan antibiotik. Drainase abses dilakukan apabila diameter abses
> 3,0 cm.
Kortikosteroid diberikan untuk menurunkan tekanan intrakranial pada pasien yang koma
dan keadaan umum yang memburuk dengan cepat.
B. Operatif (1,4,5,9,10,11,12)
Terapi bedah idealnya dilakukan pada stadium dini. Hal yang ikut menentukan
keputusan diambilnya tindakan bedah atau tidak adalah diagnosis, kondisi pasien, dan
respons pasien terhadap pengobatan antibiotik.
Dari bagian bedah saraf untuk abses soliter jika masih stadium awal dilakukan
aspirasi dengan kanula Scoville. Jika tidak berhasil maka diberikan terapi antibiotik
spektrum luas kemudian dilakukan CT Scan ulang untuk mengetahui apakah sudah
dapat dilakukan tindakan kraniotomi, melakukan aspirasi dan mengeluarkan abses
seluruhnya. Pemberian antibiotik setelah pembedahan ada yang menganjurkan 4-6
minggu atau 2-4 minggu.
Untuk abses multipel, dilakukan eksisi abses, aspirasi dan dilakukan kultur.
Diberikan antibiotik spektrum luas sampai didapatkan hasil kultur. Diberikan minimum 6-
8 minggu. Dari bagian THT dilakukan mastoidektomi radikal. Tindakan ini harus dapat
menjamin eradikasi seluruh jaringan patologik di mastoid. Seluruh jalan yang mungkin
digunakan untuk penyebaran infeksi dibuka dan dieksplorasi.
Pemeriksaan CT Scan atau MRI dilakukan seminggu setelah operasi atau bila
keadaan pasien memburuk untuk melihat apakah ada pembesaran abses. Tindakan
operatif dapat dilakukan bersama dengan bagian bedah saraf, tetapi dapat ditunda bila
keadaan pasien belum stabil.
VIII. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling ditakutkan pada abses otak adalah herniasi, ruptur abses
ke dalam ventrikel dan ruang subaraknoid. (4,5,11,12)
13
IX. PROGNOSIS
Prognosis abses otak bervariasi. Dilaporkan angka kematian akibat abses otak
28%-66%. Tetapi adapula yang melaporkan bahwa kematian akibat abses otak menurun
dari 40%-60% menjadi 30%-50% pada awal diperkenalkannya penisilin. Saat ini
dilaporkan sudah menurun menjadi kurang dari 10%. (4,5,11,12)
X. KESIMPULAN
Komplikasi dari otitis media supuratif kronik terutama akibat kolesteatom. Abses
otak otogenik merupakan komplikasi otitis media yang sering terjadi setelah meningitis.
Perjalanan komplikasi infeksi telinga tengah ke intrakranial harus melewati tiga macam
lintasan : (1) dari kavum timpani ke duramater, (2) menembus duramater, (3) masuk ke
jaringan otak.
Gejala klinik dari abses otak otogenik pada stadium awal ringan. Pada stadium
ketiga terdapat tanda peninggian intrakranial dan penekanan lokal pada pusat-pusat
abses. Pada stadium terminasi kesadaran makin menurun dan akhirnya pasien
meninggal dunia.
14
DAFTAR PUSTAKA
2. Helmi. Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronis dan Mastoiditis. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi 4. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI,
2000 : 62-72.
7. Helmi, Otitis Media Supuratif Kronis, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2005.
8. Liston SL, Duvall AJ. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Telinga. Dalam : Boies Buku
Ajar Penyakit THT, Edisi 6, Alih bahasa : Wijaya C. Jakarta : EGC, 1997 : 31-3.
9. Dhingra PL. Diseases of Ear, Nose and Throat, 2nd edition, B.I Churchill Livingstone,
New Delhi, 2002 : 78-88
10. Neely JG. Intratemporal and Intracranial Complications of Otitis Media. In : Head &
Neck Surgery Otolaryngology, Vol IIA, 2 nd edition, Editors Byron J Bailey, Lippincott-
Raven, New York, 1998 : 2016-20.
15
12. Youmans JR. Cerebral Abscess. In : Neurological Surgery, Vol.5, 4th edition, W.B.
Saunders Company, 1995 : 3205-13.
16