Anda di halaman 1dari 17

Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL REFERAT

Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin

ABSES OTAK OTOGENIK

OLEH :
dr. FRANSINA R.S

PEMBIMBING :

dr. H.ABDUL KADIR,SpTHT (K)PhD MARS

DIBAWAKAN DALAM RANGKA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER


SPESIALIS PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG
TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2007

0
I. PENDAHULUAN

Otitis media supuratif mempunyai potensi untuk menjadi serius karena


komplikasinya yang dapat mengancam kesehatan dan dapat menyebabkan kematian.
Tendensi otitis media mendapatkan komplikasi tergantung pada kelainan patologik yang
menyebabkan otore. Biasanya komplikasi didapatkan pada pasien tipe maligna, tetapi
suatu otitis media akut atau suatu eksaserbasi akut oleh kuman virulen pada otitis media
supuratif kronik tipe benigna juga dapat menyebabkan komplikasi. (1,2)

Dulu presentase terbesar dari komplikasi otogenik terjadi pada otitis media
supuratif akut ( 52% ). Kini komplikasi tersebut kebanyakan terjadi pada otitis media
supuratif kronik ( 76% ) dan terutama berhubungan dengan kolesteatom. Prevalensi
otitis media di Asia Selatan adalah 15-20% dan 5-10% di antaranya disertai dengan
komplikasi intrakranial.(1,2,3)

Komplikasi intrakranial yang paling sering terjadi adalah meningitis (34%), abses
otak (25%) ( yaitu lobus temporal (15%), serebelum (10%) ), labirintitis (12%),
hidrosefalus otik (12%), trombosis sinus dura (10%),abses ekstradura (3%), petrositis
(3%) dan abses subdura (1%). Angka kematian akibat abses otak otogenik diperkirakan
30-40% pada era praantibiotik. Dengan kemajuan pengobatan antibiotik angka kematian
abses otak otogenik turun menjadi 5%. (1,3)

Abses otak sebagai akibat komplikasi otitis media diperkenalkan oleh Morgagni
(1668-1771). Keberhasilan penanganan abses otak pertama kali diterangkan oleh
Morand tahun 1768, dan dilanjutkan oleh sejumlah ahli bedah pada pertengahan abad
19, seperti yang dicatat oleh MacEwen yang melaporkan hasil operasi 18 dari 19 pasien
abses otak berhasil dengan baik. (4)

Selama bertahun-tahun abses otak sering dihubungkan dengan infeksi pada


telinga dan penanganan primernya dilakukan oleh ahli otologi. Pada tahun 1931 Evans
mempublikasikan hasil otopsi pasien otitis media 56% menderita abses otak.(4)

Abses otak otogenik dua kali lebih sering terjadi pada lobus temporal. Abses otak
otogenik umumnya tunggal. Bila lebih dari satu (multilokuler) dapat mengenai lobus
parietal dan lobus oksipital.(5)

Pada penelitian yang dilakukan oleh bagian THT-KL RS Pendidikan Universitas


Tribhuvan, Kathmandu, Nepal dari 699 pasien yang menderita Otitis Media Supuratif

1
Akut dengan kolesteatom didapatkan 16 pasien dengan komplikasi abses otak. Abses
otak merupakan komplikasi yang terbanyak ditemukan. (6)

Penanganan abses otak otogenik sampai saat ini masih dilakukan dengan dua
prosedur yang terpisah. Untuk fokus primer di mastoid dilakukan oleh ahli THT,
sedangkan untuk komplikasi sekunder di otak ditangani oleh ahli bedah saraf. Walaupun
ada penelitian kasus abses otak otogenik yang ditangani dengan eradikasi fokus infeksi
primer disertai eksisi dari abses otak melalui pendekatan transmastoid.(1,3)

II. ANATOMI (1,2,5,7,8)


Anatomi telinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah, dan telinga
dalam. Telinga luar terdiri atas daun telinga, liang telinga dan membran timpani.

A. Telinga Tengah ( Kavum timpani )

Kavum timpani berbentuk kubus dengan :

- dinding lateral : membran timpani, dinding tulang epitimpanum di

bagian atas, dan dinding tulang hipotimpanum di

bagian bawah.

- dinding anterior : bagian bawahnya adalah kanalis karotikus.Di atas

kanalis terdapat muara tuba eustachius dan otot

tensor timpani.

- dinding inferior : vena jugularis ( bulbus jugularis ). Dibagian

superolateral menjadi sinus sigmoid dan lebih ke

tengah menjadi sinus transversus.

- dinding posterior : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis

- dinding superior : tegmen timpani yang berbatasan dengan fossa

kranii media.

- dinding medial : berturut-turut dari atas ke bawah kanalis

semisirkularis horizontal, kanalis fasialis,

foramen ovale, foramen rotundum dan

promontorium. Promontorium merupakan bagian

2
yang paling menonjol pada dinding medial.

N.timpanikus berjalan melintas promontorium.

Gbr 1. Potongan frontal telinga. Dikutip dari kepustakaan 13

Gbr 2.Skema diafragmatika dari bentuk dan bangunan disekitar telinga


tengah. Dikutip dari kepustakaan 8

3
Di dalam kavum timpani terdapat 3 buah tulang pendengaran yaitu malleus, inkus dan
stapes yang menghubungkan membran timpani ke foramen ovale. Selain itu terdapat
skutum yaitu lempeng tulang yang membatasi epitimpanum dengan sel mastoid. Jadi
merupakan bagian dinding lateral kavum timpani. Skutum relatif lebih cepat tererosi oleh
kolesteatoma. Terdapat pula rongga Prussak atau resesus membran timpani anterior
merupakan resesus di telinga tengah, dibatasi di sebelah lateral oleh pars flaksida
membran timpani, di sebelah superior oleh skutum dan ligamentum maleus lateralis, di
sebelah inferior oleh prosesus brevis maleus dan di sebelah medial oleh manubrium
maleus. Kolesteatoma primer biasanya dimulai di daerah ini.

Mukosa kavum timpani berepitel kuboid tak bersilia. Pada daerah


mesotimpanum mukosa ini kaya akan sel goblet dan kelenjar musin. Pada bagian
membran timpani mukosanya berepitel selapis gepeng, sedangkan pada tuba
Eustachius mukosanya dilapisi oleh epitel berlapis semu yang mengandung silia, sel
goblet, sel basal serta sel endokrin.

Gbr 3. Osikel telinga tengah. Dari kepustakaan 7

4
B. Vaskularisasi Kavum timpani
Vaskularisasi kavum timpani berasal dari cabang-cabang kecil a.karotis eksterna.
Cabang-cabang pembuluh darah kecil tersebut adalah

1. A. timpani anterior yang merupakan cabang a.maksilaris yang masuk ke telinga


tengah melalui fissura petrotimpani. Memberi perdarahan pada bagian anterior
kavum timpani termasuk mukosa membran timpani.

2. A. timpani posterior yang merupakan cabang stilomastoid. Dapat berasal dari


a.aurikularis posterior atau a.oksipital. A.timpani posterior masuk ke kavum timpani
bersama korda timpani lalu memberi vaskularisasi pada bagian posterior kavum
timpani.

3. A. petrosus superfisialis dan a. timpani superior yang merupakan cabang-cabang a.


meningea media yang masuk ke kavum timpani masing-masing melalui lubang kecil
di tegmen timpani dan melalui fissura petroskuamosa, lalu memberi vaskularisasi
bagian superior kavum timpani.

4. A. timpani inferior yang berasal dari cabang ascendens a. karotis eksterna yang
masuk ke kavum timpani melalui kanalikulus timpani bersama dengan cabang
timpani n.IX lalu memberi vaskularisasi terutama bagian inferior kavum timpani.

5. A. karotikotimpani merupakan satu-satunya cabang yang berasal dari a.karotis


interna, masuk ke kavum timpani dengan menembus lamina tulang tipis yang
membatasi kanalis karotikus dengan telinga tengah.

Aliran vena berjalan seiring dengan arterinya untuk bermuara pada sinus
petrosus superior dan pleksus pterigoideus

C. Innervasi Kavum timpani


Persarafan sensoris kavum timpani terutama berasal dari pleksus timpani yang
terletak di mukosa yang melapisi promontorium. Pleksus itu berasal dari cabang timpani
n.glossofaringeus (N.Jacobson). Kavum timpani juga mendapat persarafan simpatis
yang berasal dari pleksus saraf simpatis karotis interna. Persarafan simpatis terutama
berfungsi pada vaskularisasi dan mempunyai efek vasokonstriksi.

Di dalam kavum timpani terletak pars horisontal N.VII, yang berjalan dari
ganglion genikulatum ke kanalis semisirkularis horisontalis, sepanjang 8-11mm. N.VII ini
terletak di sebelah postero-superior foramen ovale, melintas di posterior prosesus
kokleariformis. Kemudian berjalan di dalam kanalis fallopii yang biasanya berdinding

5
tulang, tetapi pada sebagian kecil tidak berdinding tulang melainkan langsung diliputi
mukosa. Kemungkinan ini harus selalu diantisipasi pada operasi telinga tengah untuk
mencegah cedera.

Gbr 4. Persarafan sensoris kavum timpani dan sekitarnya.Dari kepustakaan 7

III. ETIOLOGI (1,4,5,9)


Sejumlah kuman patogen diduga sebagai penyebab terjadinya abses otak
otogenik. Berbagai organisme telah diisolasi pada sepertiga sampai seperdua kasus
abses otak otogenik. Kuman yang paling sering ditemukan adalah kuman anaerob
coccus gram positif (Peptococcus, Peptostreptococcus). Juga dapat ditemukan kuman
aerob coccus gram positif dan basil gram negatif (Streptococcus sp, Staphylococcus sp,
dan Proteus sp).

IV. PATOGENESIS (1,2,4,5,9)


Komplikasi otitis media terjadi apabila sawar (barier) pertahanan telinga tengah
yang normal dilewati, sehingga memungkinkan infeksi menjalar ke struktur di sekitarnya.
Pertahanan pertama ialah mukosa kavum timpani yang menyerupai mukosa saluran
napas yang mampu melokalisasi dan mengatasi infeksi. Bila sawar ini runtuh, masih ada
sawar kedua yaitu dinding tulang kavum timpani dan sel mastoid. Bila sawar ini masih
runtuh, maka struktur lunak di sekitarnya akan tertekan.

Perjalanan komplikasi infeksi telinga tengah ke intrakranial harus melewati tiga


macam lintasan : (1) dari kavum timpani ke duramater, (2) menembus duramater, (3)
masuk ke jaringan otak. Walaupun cara penyebaran hematogen kadang-kadang
dilaporkan, komplikasi hampir selalu terjadi akibat perluasan langsung dari telinga

6
tengah atau mastoid. Akibatnya terjadi komplikasi otogenik di fossa kranii media atau
posterior.

1. Penyebaran dari kavum timpani ke duramater.


Area invasi infeksi ditentukan oleh banyak faktor. Luas dan jalannya
pneumatisasi mastoid, lokasi dan luasnya area erosi oleh kolesteatom, area yang
terkena oleh infeksi mastoid sebelumnya, letak kerusakan oleh operasi sebelumnya,
dan melalui garis fraktur tulang temporal. Bila infeksi supuratif meluas ke daerah
sekitarnya terjadi reaksi pertahanan lokal berupa pembentukan abses yang
terlokalisasi. Perluasan menembus tegmen akan meenyebabkan abses ekstradura
fossa kranii media, sedangkan perluasan menembus dinding posterior os temporal
dapat menghasilkan abses ekstradura atau abses perisinus.

2. Penyebaran menembus duramater


Bila infeksi mencapai dura akan menyebabkan pakimeningitis. Dura sangat
resisten terhadap penyebaran infeksi.Dura akan menebal, hiperemis dan lebih melekat
ke tulang. Jaringan granulasi terbentuk pada dura yang terpapar, dan ruang subdura
yang berdekatan mengalami obliterasi. Apabila pertahanan pertama untuk mencegah
penyebaran infeksi gagal karena terjadi nekrosis dura, terjadilah invasi ke ruang
subdura. Walaupun biasanya ruangan ini telah terobliterasi oleh proses inflamasi,
kadang-kadang terjadi juga empiema yang dapat meluas, bahkan dapat sampai ke
hemisfer kontralateral.

Infeksi pada dura dan ruang subdura merangsang reaksi piarakhnoid


menimbulkan meningitis serosa. Usaha untuk melokalisasi lesi biasanya menghasilkan
kista arakhnoid, terutama di daerah fossa kranii posterior. Bila abses dura, subdura,
arakhnoid pecah menyebabkan meningitis difus mendadak. Meningitis sering terjadi
tanpa didahului oleh pembentukan abses. Hal tersebut terutama terjadi akibat virulensi
kuman yang tinggi atau pada daya tahan tubuh yang sangat menurun.

3. Penyebaran ke jaringan otak


Penyebaran ke jaringan otak berupa pembentukan abses, biasanya terjadi pada
daerah di antara ventrikel dan permukaan korteks atau di tengah lobulus serebellum.

7
Cairan penyebaran infeksi ke jaringan otak dapat terjadi akibat tromboflebitis, atau
perluasan infeksi ke ruang Virchow-Robin yang terletak di daerah vaskuler subkorteks.

Penetrasi infeksi ke dalam otak yang meyebabkan terjadinya abses otak dimulai
pada daerah subkortikal white matter. Penetrasi ini awalnya sebagai periflebitis atau
tromboflebitis dari vena-vena pada daerah dura yang berdekatan dengan abses
ekstradural atau intradural menghasilkan inflamasi perivaskuler sepanjang dura dengan
permukaan otak yang kaya jaringan venous dan kemudian meluas ke dalam sulcus
otak.

Ada empat tahap pembentukan abses otak :

- Tahap pertama mula-mula terjdi ensefalitis pada daerah white matter disertai
edema dan kadang-kadang terlihat bakteri pada pemeriksaan mikroskopik dan terdapat
kelemahan pada jaringan otak.

- Tahap kedua terbentuknya abses otak adalah lokalisasi (kapsul) pada daerah
ensefalitis dengan dikelilingi kapiler-kapiler yang berdelatasi dan infiltrasi sel di
sekitarnya. Dengan terjadinya kapsul maka ensefalitis akan mereda dan masuk pada
periode istirahat.

- Tahap ketiga kapsul abses dapat mengalami perkapuran tetapi abses secara
aktif membesar. Pada saat ini daerah ensefalitis diliputi oleh pus dan debris nekrotik. Di
sekitar pus terbentuk jaringan granulasi dan pada bagian luar jaringan granulasi
dibentuk jaringan fibrous. Pada bagian tengah kavitas diisi dengan pus yang
menyebabkan abses yang sepertinya tidak dapat didrainase. Enzim-enzim yang
dilepaskan oleh lekosit polimorfonuklear menekan nekrosis dan mencernakan
proteolitik ; terbentuk daerah –daerah baru dari edema dan ensefalitis mendahului
pembentukan jaringan granulasi dan fibrous yang baru. Ini merupakan abses yang
berlanjut.

Abses lobus temporal umumnya meluas dari korteks serebri ke ventrikel, membentuk
kavitas berbentuk buah pir. Jika ekspansinya cepat, ensefalitis yang berlanjut menjadi
lebih berat dan berkembang menjadi abses multilokuler.

Abses serebellar biasanya berbentuk ovoid atau ireguler dan jarang menjadi sangat
besar, awalnya terjadi secara relatif yang terbatas pada ruang fossa kranii posterior.
Bila sangat besar dapat menekan pusat pernapasan.

8
- Tahap keempat , terjadi ruptur dari abses sehingga pus masuk ke dalam ventrikel
atau ruang subarachnoid menyebabkan meningitis yang berakibat fatal.

Gbr 5. Skema komplikasi otitis media. Dikutip dari kepustakaan 5

V. GEJALA KLINIK (1,4,5,9,10,11,12)


Gejala awal dari abses otak, terjadi ensefalitis yang berlangsung beberapa hari
dan umumnya ringan. Sensasi rasa dingin diikuti dengan peningkatan suhu tubuh
secara nyata selama beberapa hari, sering digambarkan adanya invasi ke otak. Sering
disertai sakit kepala, mual, muntah yang proyektil. Pasien terlihat apati, mengantuk dan
iritabel. Tidak ada perubahan neurologik. Biasanya terdapat reaksi meningitis berupa
kaku kuduk dan peningkatan sel dan protein pada cairan serebrospinal tapi tidak
ditemukan organisme dan kadar gula normal.

Pada stadium dua atau masa laten gejalanya minimal atau tidak ada. Bila
gejalanya ada pasien terlihat malaise, kurang nafsu makan, lemah, sakit kepala yang
intermiten, peningkatan temperatur. Tidak didapatkan gejala neurologik dan jumlah sel
dalam cairan serebrospinal berkurang atau normal. Stadium ini berlangsung selama
10hari sampai beberapa minggu.

Pada stadium ketiga manifestasi dari perluasan abses menyebabkan penekanan


pada serebrum yang lebih dikarenakan adanya edema dan ensefalitis disekitar abses.
Gejalanya berfluktuasi. Ada dua gejala dan tanda pada stadium ini yaitu, peninggian
tekanan intrakranial dan penekanan lokal pada pusat-pusat abses.

9
Gejala-gejala peninggian tekanan intrakranial biasanya berat dan menyebabkan
sakit kepala, muntah yang proyektil. Denyut nadi menjadi lambat oleh karena
penekanan pada n.vagus di batang otak. Suhu tubuh dapat meningkat, normal atau
subnormal. Apati dan rasa lemah diikuti dengan disorientasi.

Tanda-tanda peningkatan intrakranial adanya papiledema. Jumlah sel dan


protein cairan serebrospinal meningkat. Jika absesnya masuk ke dalam ventrikel atau
pada permukaan otak, cairan serebrospinal akan menunjukkan suatu meningitis.

Gejala dan tanda pengkatan tekanan intrakranial lebih konstan dan menetap
pada abses serebellar daripada abses temporal oleh karena abses serebellar terbatas
pada fossa kranii posterior.Gejala dan tanda klinik lokal atau fokal dari abses otak terjadi
lambat dan kurang konstan dibandingkan dengan gejala peningkatan intrakranial.
Seperti gejala peningkatan intrakranial, gejala fokal juga lebih menekankan pada
daerah-daerah yang berdekatan dengan ensefalitis di sekitar abses dibanding absesnya
sendiri. Gejala paling konstan dari abses temporal adalah afasia pada sisi yang
dominan. Abses temporal pada sisi mana saja akan dapat menyebabkan hemianopsia
homonim akibat interferensi pada percabangan optikus. Penyebaran ke arah atas dari
lobus temporal mula-mula akan menyebabkan paralisis fasial upper motor neuron kontra
lateral yang bila progresif terus menyebabkan paralisis anggota sendi atas dan akhirnya
paralisis anggota gerak bawah. Gejala paling konstan dari abses serebellar adalah
ataxia pada sisi yang sama dengan abses. Paling sering terlihat pada daerah lengan
dan tangan. Juga didapatkan hipotonia muskular dan kelemahan tanpa paralisis.
nistagmus serebellar adalah nistagmus spontan, lambat. Nistagmus dapat horisontal,
biasanya dengan komponen cepat ke arah yang sakit atau vertikal yang merupakan
tanda pasti perluasan ke intrakranial.

Pada stadium terminasi, kesadaran makin menurun dari sopor sampai koma dan
akhirnya meninggal.

VI. DIAGNOSIS (1,2,4,5,9,10,11,12)


Diagnosis terutama dibuat berdasarkan anamnesis dengan bantuan pemeriksaan
tertentu. Diduga suatu abses otak bila pasien datang dengan otitis media supuratif
kronik disertai kolesteatom. Disertai dengan perasaan dingin diikuti dengan demam
yang ringan dan sakit kepala. Kemudian masuk periode laten dengan gejala dan tanda

10
peningkatan intrakranial. Jika masuk pada gejala dan tanda fokal maka hampir pasti
suatu abses otak.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah :

1. Pemeriksaan laboratorium : didapatkan lekosit yang meningkat. Tapi pemeriksaan


ini tidak spesifik karena didapatkan pula 40% penderita dengan abses otak lekositnya
normal atau sedikit meningkat.

2. Pemeriksaan pungsi lumbal : biasanya menunjukkan peninggian tekanan, protein


dan hitung sel. Tetapi dapat pula nilainya normal. Pemeriksaan ini harus dilakukan
kecuali bila terdapat peninggian tekanan intrakranial.

3. Pemeriksaan CT Scan : merupakan pemeriksaan standar untuk mendiagnosis abses


otak. CT Scan dengan kontras terlihat piogenik sebagai suatu area dengan penurunan
densitas dan dikelilingi oleh daerah yang berbentuk cincin dengan densitas yang tinggi,
halus, dengan dinding kolagen yang tipis.

4. Pemeriksaan elektroensefalografi : pemeriksaan ini untuk menolong letak abses


apakah abses lobus temporl atau abses serebellar. Juga sangat penting untuk
menunjukkan suatu kelainan fokal. Tetapi EEG yang normal tidak menyingkirkan adanya
suatu abses otak.

5. Pemeriksaan angiografi intrakranial : dilakukan dengan injeksi dari Thorotrast ke


dalam arteri carotis. Ini mungkin menolong untuk mendiagnosis dan menentukan
lokalisasi dari abses dengan terlihatnya perpindahan arteri serebral yang melebar.

6. Pemeriksaan MRI : dapat menentukan stadium awal adanya abses otak oleh karena
kontras berada diantara daerah edema dan mengelilingi otak. Juga lebih akurat untuk

11
perluasan daerah ekstraparenkim dengan terlihatnya hiperdensitas daerah
intraventrikuler dan periventrikuler.

VII. PENATALAKSANAAN
Strategi penatalaksanaan pasien dengan abses otak bergantung pada beberapa faktor
penting. Di antaranya lesi yang terlihat dari hasil CT Scan atau MRI, lokasi lesi, jumlah
lesi dan gejala klinik.(1,4)

Penatalaksanaan abses otak ada dua yaitu pemberian medikamentosa dan operatif.

A. Medikamentosa (1,4,5,9,11,12)

Terapi primer dari abses otak adalah pemberian antibiotik spektrum luas dengan
dosis tinggi secara parenteral. Harus diberikan segera setelah diagnosis abses otak
ditegakkan sambil menunggu hasil kultur. Metronidasol digunakan untuk organisme
anaerob. Untuk organisme gram positif digunakan penicillin atau vancomycin. Untuk
organisme gram negatif digunakan cephalosporin generasi ketiga seperti ceftizoxime
dan cefotaxime. Ada beberapa alternatif pemberian antibiotik yaitu 1) Penicillin G dan
kloramfenikol dengan atau tanpa gentamisin, 2) cefotaxime dan metronidasol, 3)
penicillin G, metronidasol dan trimetoprim-sulfametoksasol.

Pemberian penicillin G 1-2 juta unit tiap 6 jam sampai suhu tubuh menjadi
normal. Rosenblum dkk melaporkan bahwa abses dengan diameter < 1,7 cm
memberikan respon terhadap antibiotik. Bila sudah > 2,5 cm tidak memberikan respon

12
lagi terhadap penggunaan antibiotik. Drainase abses dilakukan apabila diameter abses
> 3,0 cm.

Kortikosteroid diberikan untuk menurunkan tekanan intrakranial pada pasien yang koma
dan keadaan umum yang memburuk dengan cepat.

B. Operatif (1,4,5,9,10,11,12)

Terapi bedah idealnya dilakukan pada stadium dini. Hal yang ikut menentukan
keputusan diambilnya tindakan bedah atau tidak adalah diagnosis, kondisi pasien, dan
respons pasien terhadap pengobatan antibiotik.

Dari bagian bedah saraf untuk abses soliter jika masih stadium awal dilakukan
aspirasi dengan kanula Scoville. Jika tidak berhasil maka diberikan terapi antibiotik
spektrum luas kemudian dilakukan CT Scan ulang untuk mengetahui apakah sudah
dapat dilakukan tindakan kraniotomi, melakukan aspirasi dan mengeluarkan abses
seluruhnya. Pemberian antibiotik setelah pembedahan ada yang menganjurkan 4-6
minggu atau 2-4 minggu.

Untuk abses multipel, dilakukan eksisi abses, aspirasi dan dilakukan kultur.
Diberikan antibiotik spektrum luas sampai didapatkan hasil kultur. Diberikan minimum 6-
8 minggu. Dari bagian THT dilakukan mastoidektomi radikal. Tindakan ini harus dapat
menjamin eradikasi seluruh jaringan patologik di mastoid. Seluruh jalan yang mungkin
digunakan untuk penyebaran infeksi dibuka dan dieksplorasi.

Pemeriksaan CT Scan atau MRI dilakukan seminggu setelah operasi atau bila
keadaan pasien memburuk untuk melihat apakah ada pembesaran abses. Tindakan
operatif dapat dilakukan bersama dengan bagian bedah saraf, tetapi dapat ditunda bila
keadaan pasien belum stabil.

VIII. KOMPLIKASI

Komplikasi yang paling ditakutkan pada abses otak adalah herniasi, ruptur abses
ke dalam ventrikel dan ruang subaraknoid. (4,5,11,12)

13
IX. PROGNOSIS

Prognosis abses otak bervariasi. Dilaporkan angka kematian akibat abses otak
28%-66%. Tetapi adapula yang melaporkan bahwa kematian akibat abses otak menurun
dari 40%-60% menjadi 30%-50% pada awal diperkenalkannya penisilin. Saat ini
dilaporkan sudah menurun menjadi kurang dari 10%. (4,5,11,12)

X. KESIMPULAN

Komplikasi dari otitis media supuratif kronik terutama akibat kolesteatom. Abses
otak otogenik merupakan komplikasi otitis media yang sering terjadi setelah meningitis.
Perjalanan komplikasi infeksi telinga tengah ke intrakranial harus melewati tiga macam
lintasan : (1) dari kavum timpani ke duramater, (2) menembus duramater, (3) masuk ke
jaringan otak.

Gejala klinik dari abses otak otogenik pada stadium awal ringan. Pada stadium
ketiga terdapat tanda peninggian intrakranial dan penekanan lokal pada pusat-pusat
abses. Pada stadium terminasi kesadaran makin menurun dan akhirnya pasien
meninggal dunia.

Pemeriksaan CT Scan : merupakan pemeriksaan standar untuk mendiagnosis


abses otak. CT Scan dengan kontras terlihat piogenik sebagai suatu area dengan
penurunan densitas dan dikelilingi oleh daerah yang berbentuk cincin dengan densitas
yang tinggi, halus, dengan dinding kolagen yang tipis. Pemeriksaan MRI : dapat
menentukan stadium awal adanya abses otak oleh karena kontras berada diantara
daerah edema dan mengelilingi otak. Juga lebih akurat untuk perluasan daerah
ekstraparenkim dengan terlihatnya hiperdensitas daerah intraventrikuler dan
periventrikuler.

Penatalaksanaan abses otak otogenik ada dua yaitu medikamentosa dan


operatif. Tindakan operatif dapat dilakukan bersama dengan bedah saraf tapi dapat
ditunda bila keadaan belum stabil. Komplikasi yang paling ditakutkan pada abses otak
adalah herniasi, ruptur abses ke dalam ventrikel dan ruang subaraknoid. Angka
kematian abses otak saat ini sudah menurun menjadi kurang dari 10%.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ. Komplikasi Penyakit Telinga. Dalam : Penyakit Telinga, Hidung,


Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 13. Jilid 2, Alih bahasa : Staf Ahli THT RSCM/FK-
UI. Jakarta : Binarupa Aksara, 1997 : 432-42.

2. Helmi. Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronis dan Mastoiditis. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi 4. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI,
2000 : 62-72.

3. Razzaq A.A, Jooma R, Ahmed S. Trans-Mastoid Approach to Otogenic Brain


Abscess. Vol 56, No. 3, J Pak Med Assoc, March 2006, Section : 132-35.

4. Harris, Jeffrey P, Darrow, David H, Complications of Chronic Otitis Media. In :


Surgery of the Ear and Temporal Bone, Editors Nadol JB, Schuknecht HF, Raven
Press, New York,1993 : 171-82

5. Shambaugh EG. Meningeal Complication of Otitis Media. In : Surgery of the Ear.


Philadelphia : WB Saunders Company, 1967 : 305-10.

6. Thapa N, Shrivastav RP. Intracranial Complications of Chronic Suppurative Otitis


Media, Attico-antral Type : Experience at TUTH. In : www.@yahoo.com. 2004,pp :
36-8

7. Helmi, Otitis Media Supuratif Kronis, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2005.

8. Liston SL, Duvall AJ. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Telinga. Dalam : Boies Buku
Ajar Penyakit THT, Edisi 6, Alih bahasa : Wijaya C. Jakarta : EGC, 1997 : 31-3.

9. Dhingra PL. Diseases of Ear, Nose and Throat, 2nd edition, B.I Churchill Livingstone,
New Delhi, 2002 : 78-88

10. Neely JG. Intratemporal and Intracranial Complications of Otitis Media. In : Head &
Neck Surgery Otolaryngology, Vol IIA, 2 nd edition, Editors Byron J Bailey, Lippincott-
Raven, New York, 1998 : 2016-20.

11. Loftus CM, Biller J. Brain Abscess. In : Principles of Neurosurgery, Editors


Rengachary SS, Wilkins RH, Wolfe Publishing, 1994 : 2-8.

15
12. Youmans JR. Cerebral Abscess. In : Neurological Surgery, Vol.5, 4th edition, W.B.
Saunders Company, 1995 : 3205-13.

13. Frank Netter, Atlas Anatomy

16

Anda mungkin juga menyukai