Makalah Aljabar Linear Kelompok 6
Makalah Aljabar Linear Kelompok 6
Makalah Aljabar Linear Kelompok 6
Disusun Oleh:
JAKARTA
2011
Aljabar Linear Elementer
KATA PENGANTAR
ْ من
الر ِح ْي ِم ِ الر ْح
َّللاِ ه
س ِم ه
ْ ِ ِب
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wata’ala, karena berkat
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Aljabar Linear Elementer”.
Makalah ini merupakan rangkuman dari buku “Aljabar Linear Elementer” karya Howard
Anton. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Aljabar Linear Elementer.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk
pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Penyusun
BAB I – PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG .....................................................................................
1.2 TUJUAN ..........................................................................................................
1.3 METODE PENULISAN .....................................................................
1.2 TUJUAN
Makalah ini dibuat dengan tujuan utama untuk memenuhi tugas mata kuliah Aljabar Linear
Elementer, yang diberikan oleh dosen kami Ibu Musriana, S. Pd. Dan tujuan berikutnya adalah
sebagai sumber informasi yang kami harapkan bermanfaat dan dapat menambah wawasan para
pembaca makalah ini.
Dalam metode ini penulis membaca buku-buku yang berkaitan dengan penulisan makalah ini, selain
itu penulis juga mencari sumber-sumber dari internet.
Contoh :
2 x1 3x2 4
3x1 4 x2 5
2 3 4
[ ]
3 4 5
1. Konsisten
Solusi Tunggal
Solusi Banyak
g1 =2x−3y=6
𝑔2 =3𝑥+𝑦=4
𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑟𝑠𝑎𝑚𝑎𝑎𝑛=𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑏𝑒𝑙
𝑚 = 𝑛
g1 = 2x - 3y = 6
g2 = 2x – 3y =6
m < n
𝑔1 = 2𝑥 − 3𝑦 = 6
𝑔2 = 2𝑥 − 3𝑦 = 8
0 = −2
0 = Konstanta
Pada bagian ini kita akan memberikan prosedur yang sistematik untuk memecahkan sistem-
sistem persamaan linear; prosedur tersebut didasarkan kepada gagasan untuk mereduksi matriks yang
diperbesar menjadi bentuk yang cukup sederhana sehingga sistem persamaan tersebut dapat
dipecahkan dengan memeriksa sistem tersebut.
1 0 0 1
[0 1 0 2]
0 0 1 3
Matriks di atas adalah contoh matriks yang dinyatakan dalam bentuk eselon baris terreduksi
(reduced row-echelon form). Supaya berbentuk seperti ini, maka matriks tersebut harus mempunyai
sifat-sifat berikut.
1. Jika baris tidak terdiri seluruhnya dari nol, maka bilangan taknol pertama dalam baris tersebut
adalah 1. (Kita namakan 1 utama).
2. Jika terdapat baris yang seluruhnya terdiri dari nol, maka semua baris seperti itu
dikelompokkan bersama-sama di bawah matriks.
Matriks yang memiliki sifat-sifar 1,2 dan 3 dapat dikatakan dalam bentuk eselon baris (row-
echelon form).
Berikut ini adalah beberapa contoh matriks dalam bentuk seselon baris terreduksi.
1 0 0 4 1 0 0 0 1 −2 0 1
0 0
[0 1 0 7 ] [0 1 0] [ 0 0 0 1 3] [ ]
0 0 0 0 0 0 0
0 0 1 −1 0 0 1 0 0 0 0 0
1 2 3 9 1 1 0 0 1 2 6 0
[ 0 1 5 6] [ 0 1 0] [0 0 1 2 0]
0 0 1 2 0 0 0 0 0 0 0 1
Tidak sukar untuk memantau apabila matriks dalam bentuk eselon baris harus mempunyai nol di
bawah setiap 1 utama. Bertentangan dengan hal ini, matriks dalam bentuk eselon baris terreduksi
harus mempunyai nol di atas dan di bawah masing-masing 1 utama.
Prosedur untuk meredusi matriks menjadi bentuk eselon baris terreduksi dinamakan eliminasi
Gauss-Jordan, sedangkan untuk mereduksi matriks menjadi bentuk eselon baris dinamakan eliminasi
Gauss.
Contoh 1:
1 3 −2 0 2 0 0
[2 6 −5 −2 4 −3 −1]
0 0 5 10 0 15 5
2 6 0 8 4 18 6
Dengan menambahkan -2 kali baris pertama pada baris kedua dan keempat maka akan mendapatkan
1 3 −2 0 2 0 0
[0 0 −1 −2 0 −3 −1]
0 0 5 10 0 15 5
0 0 4 8 0 18 6
Dengan mengalikan dengan -1 dan kemudian menambahkan -5 kali baris kedua kepada baris ketiga
dan -4 kali baris kedua kepada baris keempat maka akan memberikan
1 3 −2 0 2 0 0
[0 0 1 2 0 3 1]
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 6 2
Dengan mempertukarkan baris ketiga dengan baris keempat dan kemudian mengalikan baris ketiga
dari matriks yang dihasilkan dengan 1/6 maka akan memberikan bentuk eselon baris
1 3 −2 0 2 0 0
[0 0 1 2 0 3 11 ]
0 0 0 0 0 1 3
0 0 0 0 0 0 0
Dengan menambahkan -3 kali baris ketiga pada baris kedua dan kemudian menambahkan 2 kali baris
kedua dari matriks yang dihasilkan pada baris pertama maka akan menghasilkan bentuk eselon baris
terreduksi
1 3 −2 0 2 0 0
[0 0 1 2 0 0 01 ]
0 0 0 0 0 1 3
0 0 0 0 0 0 0
x3 + 2x4 =0
1
x6 =3
x3 = – 2x4
1
x6 = 3
Jika kita menetapkan nilai-nilai sebarang r, s, dan t berurutan untuk x2, x4, dan x5, maka himpunan
pemecahan tersebut diberikan oleh rumus-rumus
1
x1 = – 3r – 4s – 2t , x2 = r , x3 = – 2s , x4 = s , x5 = t , x6 = 3
Terkadang lebih mudah memecahkan sistem persamaan linear dengan menggunakan eliminasi
Gauss untuk mengubah matriks yang diperbesar menjadi ke dalam bentuk eselon baris tanpa
meneruskannya ke bentuk eselon baris terreduksi. Bila hal ini dilakukan, maka sistem persamaan-
persamaan yang bersesuaian dapat dipecahkan dengan sebuah cara yang dinamakan substitusi balik
(back-substitution). Kita akan melukiskan metode ini dengan menggunakan sistem persamaan-
persamaan pada contoh 1.
Dari perhitungan dalam contoh 1, bentuk eselon baris dari matriks yang diperbesar tersebut adalah
1 3 −2 0 2 0 0
[0 0 1 2 0 0 01 ]
0 0 0 0 0 1 3
0 0 0 0 0 0 0
x3 + 2x4 + 3x6 =1
1
x6 =3
Langkah 1.
x3 = 1 – 2x4 – 3x6
1
x6 =
3
Langkah 2.
Mulailah dengan persamaan bawah dan bekerjalah ke arah atas, substitusikan secara
keseluruhan masing-masing persamaan ke dalam semua persamaan yang di atasnya.
1
Dengan mensubstitusikan x6 = 3 ke dalam persamaan kedua maka akan menghasilkan
x3 = – 2x4
1
x6 = 3
x3 = – 2x4
1
x6 = 3
Langkah 3.
Jika kita menetapkan nilai-nilai sebarang r, s, dan t berurutan untuk x2, x4, dan x5, maka himpunan
pemecahan tersebut diberikan oleh rumus-rumus
1
x1 = – 3r – 4s – 2t , x2 = r , x3 = – 2s , x4 = s , x5 = t , x6 = 3
Sebuah sistem persamaan-persamaan linier dikatakan homogen jika semua suku konstan sama
dengan nol; yakni sistem tersebut mempunyai bentuk
: : : :
Tiap-tiap sistem persamaan linier homogen adalah sistem yang konsisten, karena x1 = 0, x2 =
0,….., xn = 0 selalu merupakan pemecahan. Pemecahan terebut, dinamakan pemecahan trivial (trivial
solution); jika ada pemecahan lain, maka pemecahan tersebut dinamakan pemecahan taktrivial
(nontrivial solution).
Karena sistem persamaan linier homogen harus konsisten, maka terdapat satu pemecahan atau
tak terhingga banyaknya pemecahan. Karena salah satu di antara pemecahan ini adalah pemecahan
trivial, maka kita dapat membuat pernyataan berikut.
Untuk sistem persamaan-persamaan linier homogeny, maka persis salah satu di antara
pernyataan berikut benar.
Terdapat satu kasus yang sistem homogennya dipastikan mempunyai pemecahan tak trivial ;
yakni, jika sistem tersebut melibatkan lebih banyak bilangan tak diketahui dari banyaknya persamaan.
Untuk melihat mengapa hanya demikian, tinjaulah contoh berikut dari empat persamaan dengan lima
bilangan tak diketahui.
Contoh :
2X + 2X2 – X3 + X5 =0
-X1 – X2 + 2X3 – X4 + X5 = 0
X3 + X4 + X5 =0
Dengan mereduksi matriks ii menjadi bentuk eselon baris tereduksi, maka kita dapatkan
1 1 0 0 1 0
[0 0 1 0 1 0]
0 0 0 1 0 0
0 0 0 0 0 0
X1 + X2 + X5 = 0
X3 + X5 = 0
X4 = 0
X1 = -X2 – X5
X3 = -X5
X4 = 0
X1 = -s – t, X2 = s, X3 = -t , X4 = 0, X5 = t
Matriks
Matriks adalah susunan segi empat siku-siku dari bilangan-bilangan. Bilangan-bilangan dalam
susunan tersebut dinamakan entri dalam matriks.
Operasi Matriks
1. Penjumlahan :
Definisi : jika A dan B adalah sebarang dua matriks yang ukurannya sama, maka jumlah A +
B adalah matriks yang di peroleh dengan menambahkan bersama-sama entri yang bersesuaian
dalam kedua matriks tersebut. Matriks-matriks yang ukurannya berbeda tidak dapat di
tambahkan.
𝑎 𝑏 𝑒 𝑓
A =[ ] , B =[ ]
𝑐 𝑑 𝑔 ℎ
𝑎 𝑏 𝑒 𝑓 𝑎+𝑒 𝑏+𝑓
A+B=[ ]+[ ] =[ ]
𝑐 𝑑 𝑔 ℎ 𝑐+𝑔 𝑑+ℎ
1 3 4
1 3 3 4
Contoh : A = [ ],B=[ ] , C = [2 3 1]
4 5 1 3
3 4 5
4 7
A+B=[ ]
5 8
Sedangkan A + C dan B + C tidak di definisikan.
2. Perkalian dengan konstanta
Definisi : Jka A adalah suatu matriks dan c adalah scalar, maka hasil kali cA adalah matriks
yang diperoleh dengan mengalikan masing=masing entri dari A oleh c.
𝑎 𝑏 𝑐𝑎
𝑐𝑏
c[ ]=[ ]
𝑐 𝑑 𝑐𝑐
𝑐𝑑
1 3 4 2 6 8
Contoh : A = [2 3 1] , maka 2A = [4 6 2]
3 4 5 6 8 10
3. Perkalian, dengan syarat Am x n Bn x o = Cm x o
Definisi : Jika A adalah matriks m x r dan B matriks r x n, maka hasil kali AB adalah matriks
m x n yang entri- entrinya ditentukan sebagai berikut. Untuk mencari entri dalam baris I dan
kolom j dari AB, pilihlah baris i dari matriks A dan kolom j dari matriks B. Kalikanlah entri-
entri yang bersesuaian dari baris dan kolom tersebut bersama-sama dan kemudian
tambahkanlah hasil kali yang dihasilkan.
𝑎 𝑏 𝑒
A=[ ], B = [𝑓 ]
𝑐 𝑑
𝑎 𝑏 𝑒 𝑎𝑒 + 𝑏𝑓
AB = [ ] [𝑓 ]= [ ]
𝑐 𝑑 𝑐𝑒 + 𝑑𝑓
1 3 3
Contoh : A = [ ],B=[ ]
4 5 2
9
AB = [ ]
22
Walaupun banyak dari aturan-aturan ilmu hitung bilangan riil berlaku juga untuk matriks,
namun terdapat beberapa pengecualian. Salah satu dari pengecualian yang terpenting terjadi dalam
perkalian matriks. Untuk bilangan-bilangan rill a dan b, kita selalu mempunyai ab = bayang sering
dinamakan hukum komutatif untuk perkalian. Akan tetapi, untuk matriks-matriks, maka AB dan BA
tidak perlu sama.
Contoh 20
Tinjaulah matriks-matriks
1 0 1 2
A B
2 3 3 0
1 2 3 6
AB BA
11 4 3 0
Jadi, AB ≠ BA
1 2 4 3 1 0
B C
A 3 4 2 1 2 3
0 1
Kemudian
1 2 1 2
AB 3 4 3 4
0 1 0 1
4 3
2 1
Sehingga
8 5 18 15
1 0
( AB)C 20 13 46 39
2 1
2 3
4 3
Sebaliknya
4 3 1 0 10 9
BC
2 1 2 3 4 3
1 2 18 15
10 9
A(BC ) 3 4 46 39
3
0 1
4
4 3
(a) A+0=0+A=A
(b) A–A=0
(c) 0 – A = -A
(d) A0 = 0; 0A = 0
Teorema 4. Setiap sistem persamaan linear tidak mempunyai pemecahan, persis satu
pemecahan, atau tak terhingga banyaknya pemecahan.
Bukti. Jika AX = B adalah sistem persamaan linear, maka persis satu dari antara berikut akan benar:
(a) sistem tersebut tidak mempunyai pemecahan, (b) sistem tersebut mempunyai persis satu
pemecahan, atau (c) sistem tersebut mempunyai lebih dari satu pemecahan. Bukti tersebut akan
lengkap jika kita dapat memperlihatkan bahwa sistem tersebut mempunyai takhingga banyaknya
pemecahan dalam kasus (c).
Contoh 23
a1 a1 2 a13
Tinjaulah matriks A 1
a 21 a2 2 a 2 3
Maka
1 0 0
a1 a12 a13 a11 a12 a13
AI 3 1 A
a2 3 a a2 3
0 1 0
a 21 a2 2
0 0 1 21
a2 2
Definisi. Jika A adalah matriks kuadrat, dan jika kita dapat mencari matriks B sehingga
AB = BA = I, maka A dikatakan dapat dibalik (invertible) dan B dinamakan invers
(inverse) dari A.
Matriks
3 5 2 5
B adalah invers dari A
1 2 1 3
karena
2 5 3 5 1 0
AB I
1 3 1 2 0 1
dan
3 5 2 5 1 0
BA I
1 2 1 3 0 1
Bukti. Karena B adalah invers A, maka BA = I. Dengan mengalikan kedua ruas dari sebelah kanan
dengan C maka akan memberikan (BA)C = IC = I. Tetapi (BA)C = B(AC) = BI = B, sehingga B = C.
Contoh 26
Jika ad – bc ≠ 0, maka
d b
1 d b ad bc ad bc
A 1
ad bc c a
c a
ad bc ad bc
Teorema 6. Jika A dan B adalah matriks-matriks yang dapat dibalik dan yang
ukurannya sama, maka
Sebuah hasil kali matriks yang dapat dibalik selalu dapat dibalik, dan invers hasil kali
tersebut adalah hasil kali invers dalam urutan yang terbalik
1
A 1 ) = AIA 1 = AA 1 = I. Demikian juga (B 1 A 1 )(AB) = I.
Contoh 27
Tinjaulah matriks-matriks
1 2 3 2 7 6
A B AB
1 3 2 2 9 8
Dengan menerapkan rumus yang diberikan dalam contoh 25, kita dapatkan
3 2
1 1 1 4 3
A B 1 AB 1
1 1 3 9 7
1
2 2 2
Maka, (AB)-1 = B-1A -1 seperti yang dijamin oleh Teorema 6.
Definisi. Jika A adalah sebuah matriks kuadrat, maka kita mendefinisikan pangkat-
pangkat bilangan bulat tak negative A menjadi
A0 = 1 An = AA….A (n > 0)
Factor n
Akan tetapi, jika A dapat dibalik, maka kita mendefinisikan pangkat bilangan bulat
negative menjadi
Teorema berikut, yang kita nyatakan tanpa bukti, menunjukkan bahwa hukum-hukum yang
sudah dikenal dari eksponen adalah shahih.
Teorema 7. Jika A adalah matriks kuadrat dan r serta s adalah bilangan bulat, maka
Bukti.
1 1 1 1
(kA) A = kAA 1 k AA 1 1I I
k k k
1 1 1
Demikian juga A (kA) = I sehingga kA dapat dibalik dan (kA)-1 = A 1 .
k k
Kita simpulkan bagian ini dengan sebuah Teorema yang menyenaraikan sifat-sifat utama dari
operasi transpose.
Teorema 9. Jika ukuran matriks seperti operasi yang diberikan dapat dilakukan,
maka
a. (At)t = A
b. (A+B)t = At + Bt
c. (kA)t = kAt , dimana k adalah sebarang scalar.
d. (AB)t = Bt At
Transpose sebuah hasil kali matriks sama dengan hasil kali transposnya dalam
urutan kebalikannya.
Dibawah ini kita daftarkan matriks elementer dan operasi-operasi yang menghasilkannya.
1 0 0 0
0 1 0 3 1 0 0
1 0 0 0 1
(i) 0 3 (ii) (iii) 0 1 0 (iv) 0 1 0
0 0
0 1
0 0 1 0 0 1
0 1 0 0
Operasi baris pada I yang menghasilkan E Operasi baris pada E yang menghasilkan I
Kalikanlah baris I dengan c ≠ 0. Kalikanlah baris I dengan 1⁄𝑐
Pertukarkan baris I dan baris j. Pertukarkan baris i dan baris j.
Tambahkan c kali baris I ke baris j. Tambahkan – c kali baris i ke baris j.
Operasi-operasi d ruas kanan dari tabel ini dinamakan operasi invers dari operasi-operasi yang
bersesuaian di ruas kiri.
Teorema 11 : Setiap matriks elementer dapat dibalik, dan inversnya adalah juga
matriks elementer.
Bukti. Jika E adalah matriks elementer, maka E dihasilkan dari peragaan operasi baris pada I.
Misalnya Eo adalah matriks yang dihasilkan bila invers operasi ini diterapkan pada I. Baris invers
akan saling meniadakan efek satu sama lain, maka diperoleh
A I = I A-1
Contoh :
Jawab :
1 0 2 1 0 0
A I= [2 −1 3 0 1 0] Baris ke 2 dikurang 2 kali baris pertama dan baris ke
4 1 8 0 0 1 3 dikurang 4 kali baris pertama untuk mendapatkan
nol.
1 0 2 1 0 0
= [0 −1 −1 −2 1 0]
0 1 0 −4 0 1 Baris ke 2 ditukar baris
ke3.
1 0 2 1 0 0
Baris ke 3 dikalikan – baris ke 3, untuk
[
= 0 1 0 −4 0 1]
0 −1 −1 −2 1 0 mendapatkan 1 utama.
1 0 2 1 0 0
Baris ke 3 dikurangi baris ke 2 untuk
= [0 1 0 −4 0 1]
0 1 1 2 −1 0 mendapatkan nol.
1 0 2 1 0 0
= [0 1 0 −4 0 1]
0 0 1 6 −1 −1
I A-1
Teorema 13 : Jika A adalah matriks n x n yang dapat dibalik,maka untuk setiap matriks B yang
berukuran n x 1, sistem persamaan AX = B mempunyai persis satu pecahan, yakni, X = A-1 B.
𝐵
AX = B → X = 𝐴 → I . B = B
A . 𝐴⏟−1 . 𝐵 = B
A. X = B
X.A=B
X...?
Jawab:
B.I=B
𝐵 . 𝐴−1 . A = B
⏟
X .A = B
X = B . A-1
DETERMINAN
Dalam bagian ini kita memulai pengkajian fungsi bernilai rill dari sebuah peubah matriks, yakni
fungsi yang mengasosiasikan sebuah bilangan riil 𝑓(𝑥) dengan sebuah matriks 𝑋. Sebelum kita
mampu mendefinisikan fungsi determinan, maka kita perlu menetapkan beberapa hasil yang
menyangkut permutasi.
Contoh :
Ada enam permutasi yang berbeda dari himpunan bilangan-bilangan bulat {1, 2, 3}. Permutasi-
permutasi ini adalah
Salah satu metode yang mudah secara sistematis mendaftarkan permutasi-permutasi adalah
dengan menggunakan pohon permutasi (permutation tree).
Contoh :
1 2 3
2 3 1 3 1 2
3 1 2 1
3 2
Untuk menyatakan permutasi umum dari himpunan {1, 2, … , 𝑛}, maka kita akan menuliskan
(𝑗1 , 𝑗2, … , 𝑗𝑛 ). Disini, 𝑗1 adalah bilangan bulat pertama dalam permutasian, 𝑗2 adalah bilangan bulat
kedua, dan seterusnya. Sebuah invers (inversion) dikatakan terjadi dalam permutasi (𝑗1, 𝑗2 , … , 𝑗𝑛 ) jika
1) Carilah banyaknya bilangan bulat yang lebih kecil dari 𝑗1 dan yang membawa 𝑗1 dalam
mutasi tersebut.
2) Carilah banyaknya bilangan bulat yang lebih kecil dari 𝑗2 dan yang membawa 𝑗2 dalam
mutasi tersebut.
Teruskanlah proses penghitungan ini untuk 𝑗3 , … , 𝑗𝑛−1 . Jumlah bilangan-bilangan ini akan sama
dengan jumlah invers seluruhnya dalam permutasi tersebut.
Contoh :
a) (3, 4, 1, 5, 2)
b) (4, 2, 5, 3, 1)
Jawab:
Definisi : sebuah permutasi dinamakan genap (even) jika jumlah invers seluruhnya adalah
sebuah bilangan bulat yang genap dan dinamakan ganjil (odd) jika jumlah invers
seluruhnya adalah sebuah bilangan bulat yang ganjil.
Contoh :
Tabel berikut mengklasifikasikan berbagai permutasi dari {1, 2, 3} sebagai genap atau ganjil.
Dengan mengalikan entri-entri pada panah yang mengarah ke kanan dan mengurangkan hasil kali
entri-entri pada panah yang mengarah ke kiri.
Contoh 6
Hitunglah determinan-determinan dari :
3 1
A. = [ ]
4 −2
1 2 3
B. = [−4 5 6]
7 −8 9
*Perhatian bahwa metode/cara yang digunakan pada contoh 5 dan 6 tidak berlaku determinan
matriks 4 x 4 atau untuk matriks yang lebih tinggi.
Matriks kuadrat kita namakan segitiga atas (upper triangular) jika semua entri di bawah
diagonal utama adalah nol. Begitu juga matriks kuadrat kita namakan segitiga bawah (lower
triangular), jika semua entri di atas diagonal utama adalah nol. Sebuah matriks baik yang merupakan
segitiga atas maupun segitiga bawah kita namakan segitiga (triangular).
Contoh:
𝑎11 0 0 0
𝑎21 𝑎22 0 0
[𝑎 𝑎32 𝑎33 0 ]
31
𝑎41 𝑎42 𝑎43 𝑎44
Teorema 2 : jika A adalah matriks segitiga 𝑛 × 𝑛, maka det (A) adalah hasil kali
entri-entri pada diagonal utama; yakni det (A) = 𝑎11 𝑎22 … 𝑎𝑛𝑛 .
Contoh:
1 −2 0
[0 1 −1] = 1 . 1 . 7 = 7
0 0 7
a) Jika 𝐴′ adalah matriks yang dihasilkan bila baris tunggal A dikalikan oleh konstanta k,
maka det(𝐴)′ = k det(A).
b) Jika 𝐴′ adalah matriks yang dihasilkan bila dua baris A dipertukarkan, maka det(𝐴′ ) = -
det(A).
c) Jika 𝐴′ adalah matriks yang dihasilkan bila kelipatan satu baris A ditambahkan pada baris
lain, maka det(𝐴′ ) = det(A).
1 2 3
A = [0 1 4] = - 2
1 2 1
= 4 . (-2)
= -8
0 1 4 1 2 3
𝐴2 = [1 2 3] 𝑏1 ditukar 𝑏2 = − [0 1 4]
Karena pertukaran antar baris
1 2 1 1 2 1 maka dikali −.
= - (-2)
=2
= -2
Contoh :
1 3 −2 4
6 −4 8] 𝑏2 − 2𝑏1
A = [2
3 9 1 5
1 1 4 8
1 3 −2 4
Det (A) = [0 0 0 0]
3 9 1 5
1 1 4 8
Kita tidak memerlukan reduksi selanjutnya karena dari Teorema 1 kita peroleh bahwa det (A) =
0. Dari contoh ini seharusnya sudah jelas bahwa bila matriks kuadrat mempunyai dua baris yang
terdiri dari bilangan nol dengan menambahkan kelipatan yang sesuai dari salah satu baris ini pada
baris yang satu lagi. Jadi, jika matriks kuadrat mempunyai dua baris yang sebanding, maka
determinannya sama dengan nol.
−1 4
[ ] Karena baris pertama dan kedua sebanding yaitu 1 : 2 maka det (A) = 0.
−2 8
Teorema 4. Juka A adalah sembarang matiks kuadrat, maka det (A) =det (At).
Pernyataan. Karena hasil ini, maka hampir tiap-tiap teorema mengenai determinan yang
mengandung perkataan baris dalam pernyataannya akan benar juga bila perkataan “kolom”
disubstitusikan untuk “baris”. Untuk membuktikan pernyataan kolom, kita hanya perlu mentranspos
(memindahkan) matriks yang di tinjau untuk mengubah pernyataan kolom tersebut pada pernyataan
baris, dan kemudian menerapkan hasil yang bersesuaian yang sudah kita ketahui untuk baris.
Contoh
1 0 0 3
A = [2 7 0 6]
0 6 3 0
7 3 1 −5
Determinan ini dapat di hitung seperti sebelumunya dengan menggunakan operasi baris
elementer untuk mereduksi A pada bentuk eelon baris. Sebaliknya, kita dapat menaruh A pada bentuk
segitiga bawah dalam satu langkah dengan menambahkan -3 kali kolom pertama pada kolom keempat
untuk mendapatkan
1 0 0 0
Det (A) = det [2 7 0 0 ] =(1)(7)(3)(-26)= -546
0 6 3 0
7 3 1 −26
Contoh ini menunjukkan bahwa selalu merupakan hal yang bijaksana untuk memperhatikan operasi
kolom yang tepat yang akan meringkaskan perhitungan tersebut.
Misalkan A dan B adalah matriks-matriks n x n dan k adalah sebarang skalar. Kita karang meninjau
hubungan yang mungkin di antara det(A), det(B), dan
det(kA) = kn det(A)
Contoh
1 7 5 1 7 5 1 7 5
3 = det 2 0 3 + det 2 0 3
det
2 0
1 0 4 1 7 (1) 1 4 7 0 1 1
Teorema 6. Jika A dan B adalah matriks kuadrat yang ukurannya sama, maka
det(AB) = det(A)det(B)
Contoh
Tinjaulah matriks-matriks
3 1 1 3 2 17
A B AB
2 1 5 8 3 14
Kita peroleh det(A) det(B) = (1) (-23) = -23. Sebaliknya dengan perhitungan langsung maka det(AB)
= -23, sehingga det(AB) = det(A) det(B).
Teorema 7. Sebuah matriks A kuadrat dapat di balik jika dan hanya jika det(A) 0
Contoh
1 2 3
A 1 0 1
2 4 6
Pada bagian ini kita meninjau sebuah metode untuk mengitung determinan yang berguna untuk
perhitungan yang menggunakan tangan dan secara teoritis penting penggunaannya. Sebagai
konsekuensi dari kerja kita di sini, kita akan mendapatkan rumus untuk invers dari matriks yang dapat
dibalik dan juga akan mendapatkan rumus untuk pemecahan sistem-sistem persamaan linear tertentu
yang dinyatakan dalam determinan.
Definisi : Jika A adalah matriks kuadrat, maka minor entri aij dinyatakan oleh Mij dan
didefinisikan menjadi determinan submatriks yang tetap setelah baris ke i dan kolom ke j dicoret
dari A. Bilangan (-1)i + jMij dinyatakan oleh Cij dan dinamakan kofaktor entri aij.
Contoh :
Misalkan
3 1 −4
𝐴 = [2 5 6]
1 4 8
3 1 −4
5 6
𝑀11 |2 5 6 |=| | = 16
4 8
1 4 8
3 1 −4
3 −4
𝑀32 |2 5 6 | = | | = 26
2 6
1 4 8
Perhatikan bahwa kofaktor dan minor elemen aij hanya berbeda dalam tandanya, yakni, Cij = ± Mij.
Cara cepat untuk menentukan apakah penggunaan tanda + atau tanda – merupakan kenyataan bahwa
penggunaan tanda yang menghubungkan Cij dan Mij berada dalam baris ke i dan kolom ke j dari
susunan
+ − + − + ⋯
− + − + − ⋯
+ − + − + ⋯
− + − + − ⋯
[⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ]
Misalnya, C11 = M11, C21 = – M21, C12 = – M12, C22 = M22, dan seterusnya.
det(𝐴) = 𝑎11 𝑎22 𝑎33 + 𝑎12 𝑎23 𝑎31 + 𝑎13 𝑎21 𝑎32 – 𝑎13 𝑎22 𝑎31 – 𝑎12 𝑎21 𝑎33 – 𝑎11 𝑎23 𝑎32
det(𝐴) = 𝑎11 (𝑎22 𝑎33 − 𝑎23 𝑎32 ) + 𝑎21 (𝑎13 𝑎32 − 𝑎12 𝑎33 ) + 𝑎31 (𝑎12 𝑎23 – 𝑎13 𝑎22 )
Karena pernyataan-pernyataan dalam kurung tidak lain adalah kofaktor-kofaktor C11, C21 dan C31,
maka kita peroleh
Persamaan di atas memperlihatkan bahwa determinan A dapat dihitung dengan mengalikan entri-entri
pada kolom pertama A dengan kofaktor-kofaktornya dan menambahkan hasil kalinya. Metode
menghitung det(A) ini dinamakan ekspansi kofaktor sepanjang kolom pertama A.
Contoh :
Misalkan
3 1 0
𝐴 = [−2 −4 3 ]
5 4 −2
−4 3 1 0 1 0
det(𝐴) = 3 | | − (−2) | |+ 5| |
4 −2 4 −2 −4 3
Perhatikan bahwa dalam setiap persamaan semua entri dan kofaktor berasal dari baris atau kolom
yang sama. Persamaan ini dinamakan ekspansi-ekspansi kofaktor det(A).
Hasil-hasil yang baru saja kita berikan untuk matriks 3 x 3 membentuk kasus khusus dari teorema
umum berikut, yang kita nyatakan tanpa memberikan buktinya.
Teorema 8.
Determinan matriks A yang berukuran n x n dapat dihitung dengan mengalikan entri-entri dalam
suatu baris (atau kolom) dengan kofaktor-kofaktornya dan menambahkan hasil-hasil kali yang
dihasilkan; yakni untuk setiap 1 ≤ i ≤ n dan 1 ≤ j ≤ n
Jika matriks A adalah sebarang matriks n x n dan Cij adalah kofaktor aij, maka matriks
Dinamakan matriks kofaktor A. Transpos matriks ini dinamakan adjoin A dan dinyatakan dengan
adj(A).
Teorema 9.
Jika AX = B adalah sistem yang terdiri dari n persamaan linear dalam n bilangan
takdiketahui sehingga det(A) ≠ 0, maka sistem tersebut mempunyai pemecahan yan unik.
Pemecahan ini adalah
det(𝐴1 ) det(𝐴2 ) det(𝐴n )
𝑥1 = , 𝑥2 = ,… , 𝑥𝑛 =
det(𝐴) det(𝐴) det(𝐴)
dimana Aj adalah matriks yang kita dapatkan dengan mengganti entri-entri dalam kolom ke j
dari A dengan entri-entri dalam matriks
𝑏1
𝑏2
𝐵=[ ]
⋮
𝑏𝑛
u
A adalah titik awal (intial point)
Vektor Ekivalen
B u ekivalen v
D
u
v Apabila arah dan panjangnya sama.
A
C Jadi u = v
Penjumlahan Vektor
v v+w=w+v
w w
v
Vektor Nol
0 +v=v+0=v
Vektor Negatif
u
v + (-v) = 0 -u
Pengurangan Vektor
v – w = v + (-w)
v
v-w
-w w
u = (u1, u2)
v = (v1, v2)
Penjumlahan
Contoh:
Jawab:
= (1 + 7, -2 + 6)
= (8, 4)
Contoh:
Jawab:
u – v = (7, 6) – (3, 2)
= (7 – 3, 6 – 2)
= (4, 4)
z
P (-2, 3, 4)
Teorema 1. Jika u, v, dan w adalah vector-vektor di ruang-2 atau ruang-3 dan k serta l adalah
scalar, maka hubungan berikut akan berlaku.
Panjang sebuah vector v sering dinamakan norma v dan dinyatakan dengan ‖𝑣‖. Jelaslah dari teorema
phytagoras bahwa norma vector v = (v1, v2) di ruang-2 adalah
Misalkan v = (v1, v2, v3) adalah vector ruang-3. Dengan menggunakan gambar 3.16 dan dua
penerapan phytagoras, maka kita dapatkan
x R Gambar 3.16
Jika P1 x1 , y1 , z1 dan P2 x2 , y 2 , z 2 adalah dua titik di ruang-3, maka jarak d diantara kedua titik
tersebut adalah norma vector P1P2 , karena
p1 p2 x2 x1 , y2 y1 , z 2 z1
d x2 x1 2 y 2 y1 2 z 2 z1 2
Pada bagian ini kita perkenalkan semacam perkalian vektor di ruang-2 dan ruang-3. Sifat-sifat
ilmu hitung perkalian ini akan ditentukan dan beberapa penerapannya akan diberikan.
Misalnya u dan v adalah dua vektor taknol di ruang-2 dan ruang-3,dan anggaplah vektor-vektor
ini telah dilokasikan sehingga titik awalnya berimpit. Yang kita artikan dengan sudut di antara u
dan v, dengan sudut θ yang ditentukan oleh u dan v yang memenuhi 0 ≤ θ ≤ π
u
θ
u θ
θ v
u
v v
Definisi : Jika u dan v adalah vektor-vektor di ruang-2 atau ruang-3 dan θ adalah sudut di antara u
dan v, maka hasil kali titik (dot product) atau hasil kali dalam Euclidis (Euclidean inner product) u
• v didefinisikan oleh
Misalkan u = (u1, u2, u3) dan v = (v1, v2, v3) adalah dua vektor taknol. Jika, seperti pada gambar
dibawah, θ adalah sudut di antara u dan v, maka hukum cosinus menghasilkan
2
z
⃗⃗⃗⃗⃗ ‖ = ‖𝐮‖2 + ‖𝐯‖2 − 2‖𝐮‖‖𝐯‖ cos 𝜃
‖𝑃𝑄
P (u1, u2,
u u3)
θ Q (v1, v2,
v y
v3)
x
x
Karena ⃗⃗⃗⃗⃗
𝑃𝑄 = v – u, maka dapat kita tuliskan kembali sebagai
1
‖𝐮‖‖𝐯‖ cos 𝜃 = (‖𝐮‖2 + ‖𝐯‖2 − ‖𝐯 − 𝐮‖2 )
2
1
𝐮 • 𝐯 = (‖𝐮‖2 + ‖𝐯‖2 − ‖𝐯 − 𝐮‖2 )
2
Dengan mensubstitusikan
dan
𝐮 • 𝐯 = 𝑢1 𝑣1 + 𝑢2 𝑣2 + 𝑢3 𝑣3
Jika u = (u1, u2) dan v = (v1, v2) adalah dua vektor di ruang-2, maka rumus yang bersesuaian adalah
𝐮 • 𝐯 = 𝑢1 𝑣1 + 𝑢2 𝑣2
Jika u dan v adalah vektor taknol, maka rumus di atas dapat kita tulis
𝐮•𝐯
cos 𝜃 =
‖𝐮‖‖𝐯‖
Teorema berikut ini memperlihatkan bagaimana hasil kali titik dapat digunakan untuk
mendapatkan informasi mengenai sudut diantara dua vektor; teorema ini juga menghasilkan hubungan
penting di antara norma dan hasil kali titik.
Teorema 2
Vektor tegaklurus disebut juga vektor ortogonal. Pada teorema di atas, dua vektor taknol
adalah tegaklurus jika dan hanya jika hasil kali titiknya adalah nol. Jika kita sepakat menganggap u
dan v agar tegaklurus maka salah satu atau kedua vektor ini haruslah 0, karenanya kita dapat
Teorema 3
Jika u, v dan w adalah vektor-vektor di ruang-2 atau ruang-3 dan k adalah skalar, maka
a) u•v=v•u
b) u • (v + w) = u • v + u • w
c) k(u • v) = (ku) • v = u • (kv)
d) v • v > 0 jika v ≠ 0 dan v • v = 0 jika v = 0
Jika u dan a ditempatkan sedemikian rupa maka titik awalnya akan menempati titik Q, kita
dapat menguraikan vektor u sebagai berikut.
w2 u u u w2
w2
Q w1 a Q a w1 a
w1 Q
Turunkanlah garis tegaklurus dari atas u ke garis yang melalui a, dan bentuklah vektor w1 dari
Q ke alas garis yang tegaklurus tersebut. Bentuk selanjutnya akan menjadi
w2 = u – w1
Sebagaimana ditunjukkan pada gambar di atas, vektor w1 sejajar dengan a, vektor w2 tegaklurus
dengan a, dan
w1 + w2 = w1 + (u – w1) = u
Vektor w1 tersebut kita namakan proyeksi ortogonal u pada a atau kadang-kadang kita
namakan komponen vektor u sepanjang a. Hal ini kita nyatakan dengan
proyau
w2 = u – proyau
Jika u dan a adalah vektor-vektor di ruang-2 atau ruang-3 dan jika a ≠ 0, maka
𝐮•𝐚
proy𝐚 𝐮 = ‖𝐚‖𝟐 𝐚 (komponen vektor u sepanjang a)
𝐮•𝐚
𝐮 − proy𝐚 𝐮 = 𝐮 − ‖𝐚‖𝟐 𝐚 (komponen vektor u yang ortogonal terhadap a)
Bukti :
Misalkan w1 = proyau dan w2 = u – proyau. Karena w1 sejajar dengan a, maka kita harus
mengalikan skalar a, sehingga kita dapat menuliskan dalam bentuk w1 = ka. Jadi
u = w1 + w2 = ka + w2
Dengan mengambil hasil kali titik dari kedua sisi dengan a maupun dengan menggunakan
teorema 2 dan 3 akan menghasilkan
𝐮 • 𝐚 = (𝑘𝐚 + 𝐰2 ) • 𝐚 = 𝑘‖𝐚‖2 + 𝐰2 • 𝐚
𝐮•𝐚
𝑘=
‖𝐚‖2
𝐮•𝐚
proy𝐚 𝐮 = 𝐚
‖𝐚‖𝟐
Sebuah rumus untuk panjang komponen vektor u sepanjang a dapat kita peroleh dengan
menuliskan
𝐮•𝐚
‖proy𝐚 𝐮‖ = ‖‖𝐚‖𝟐 𝐚‖
𝐮•𝐚 𝐮•𝐚
= |‖𝐚‖𝟐| ‖𝐚‖ (karena ‖𝐚‖𝟐 adalah sebuah skalar)
|𝐮•𝐚|
= ‖𝐚‖𝟐 ‖𝐚‖ (karena ‖𝐚‖𝟐 > 0)
menghasilkan
|𝐮 • 𝐚|
‖proy𝐚 𝐮‖ =
‖𝐚‖
‖proy𝐚 𝐮‖ = ‖𝐮‖|cos θ|
Kemudian rumus untuk menghitung jarak antara titik dan garis adalah
|𝑎𝑥0 + 𝑏𝑦0 + 𝑐|
𝐷=
√𝑎2 + 𝑏 2
u x v = (𝒖𝟐 𝒗𝟑 − 𝒖𝟑 𝒗𝟐 , 𝒖𝟑 𝒗𝟏 − 𝒖𝟏 𝒗𝟑 , 𝒖𝟏 𝒗𝟐 − 𝒖𝟐 𝒗𝟏 )
Terdapat pola pada rumus di atas yang berguna untuk diingat. Jika di bentuk matriks 2 x 3.
𝑢1 𝑢2 𝑢3
[𝑣 𝑣2 𝑣3 ]
1
Di mana entri baris pertama adalah komponen factor pertama u dan entri baris kedua adalah
komponen factor v, maka determinan dalam komponen pertama u x v didapatkan dengan mencoret
kolom pertama matriks tersebut, determinan dalam komponen kedua kita dapatkan dengan mencoret
kolom kedua dari matriks tersebut, sedangkan determinan dalam komponen ketiga kita dapatkan
dengan mencoret kolom ketiga dari matriks tersebut.
Contoh 1
Jawab
1 2 −2
[ ]
3 0 1
2 −2 1 −2 1 2
u x v = (| |,−| |,| |)
0 1 3 1 3 0
= (2, -7, 6)
a. u . (u x v) = 0 (u x v orthogonal ke u)
b. v . (u x v) = 0 (u x v orthogonal ke v)
c. ll u x v ll2 = ll u ll ll v ll2 – (u . v)2 (identitas lagrange)
Teorema 6. Jika u, v dan w adalah sebarang vektor di ruang-3 dan k adalah sebarang
scalar, maka :
a. u x v = - (v x u)
b. u x (v + w) = (u x v) + (u x w)
c. (u + v) x w = (u x w) + v x w)
d. k(u x v) = (ku) x v = u x (kv)
e. ux0=0xu
f. uxu=0
Misalkan :
Setiap vector v = (v1, v2, v3) di ruang ke-3 dapat di ungkapkan dengan i, j, dan k, karenanya kita dapat
menuliskan
(0, 0, 1)
k dan dari gambar ini di dapat :
j
0 0 1 0 1 0
i y i x j = (| |,−| |,| |) = (0, 0, 1) = k
(0, 1, 0) 1 0 0 0 0 1
(1, 0, 0)
x
jika u dan v adalah vector-vektor taknol di ruang-3, maka
norma u x v mempunyai tafsiran geometric yang berguna. Identitas Lagrange, yang diberikan dalam
teorema 5, menyatakan bahwa :
jika menyatakan sudut di antara u dan v, maka u . v = ll u ll ll v ll cos , sehingga dapat kita
tuliskan kembali :
Bila n=2 atau 3, maka kita biasanya menggunakan istilah pasangan terorde dan tripel terorde
dan bukannya tupelo-2-terorde dan tupelo-3-terorde. Bila n=1, setiap tupel-n-terorde terdiri dari satu
bilangan riil, sehingga R1 dapat ditinjau sebagai himpunan bilangan riil. Kita biasanya menuliskan R
dan bukannya R1 untuk himpunan ini.
dan jika k adalah sebarang scalar, maka perkalian scalar ku didefinisikan oleh
ku = (ku1, ku2,…..kun)
a) U + v = v + u
b) U + (v + w) = (u + v) + w
c) U + 0 = 0 + u = u
d) U + (-u) = 0, yakni u – u = 0
e) K (lu) = (kl) u
f) K(u + v) = ku + kv
g) (k + l)u = ku + lu
h) 1u = u
Definisi. Jika u = (u1,u2,…..,un) dan v = (v1,v2,….,vn) adalah sebarang vector pada Rn, maka
hasil kali dalam euclidis (Euclidean inner product) u . v kita definisikan dengan
Contoh
Teorema 2. Jika u, v, dan w adalah vector pada Rn dan k adalah sebarang scalar, maka :
a) u . v = v . u
b) (u + v) . w = u . w + v . w
c) (ku) . v = k(u + v
d) v . v ≥ 0. Selanjutnya, v . v = 0 jika dan hanya jika v = 0
Contoh
Teorema 2 membolehkan kita melakukan perhitungan dengan hasil kali dalm euclidis yang
sangat merip dengan cara kita melakukan perhitungan hasil kali ilmu hitung biasa.
Misalnya,
(3u + 2v) . (4u + v) = (3u) . (4u + v) + (2v) . (4u + v)
Berdasarkan analogi dengan rumus-rumus yang sudah kita kenal baik R2maupun R3, kita definisikan
norma euclidis (atau panjang euclidis) vector u = (u1,u2,…..,un) pada Rn menurut
Demikian juga jarak euclidis diantara titik u = (u1,u2,…..,un) dan titik v = (v1,v2,….,vn) pada Rn
didefinisikan oleh
Contoh 3
vtu = u . v
−1 5
3 −4
𝑢 = [ ] 𝑑𝑎𝑛 𝑣 = [ ]
5 7
7 0
Maka,
−1
𝑡
𝑢 . 𝑣 = 𝑣 𝑢 = [5 −4 7 0] [ 3 ] = [18] = 18
5
7
Definisi. Misalkan V sebarang himpunan benda yang dua operasinya kita definisikan, yakni
penambahan dan perkalian dengan scalar (bilangan riil). Penambahan tersebut kita pahami untuk
mengasosiasikan sebuah aturan dengan setiap pasang benda u dan v dalam V, yang mengandung
elemen u + v, yang kita namakan jumlah u dan v; dengan perkalian scalar kita artikan aturan untuk
mengasosiasikannya baik untuk setiap scalar k maupun setiap benda u pada V yang mengandung
elemen ku, yang dinamakan perkalian scalar (scalar multiple) u oleh k. jika aksioma-aksioma berikut
dipenuhi oleh semua benda u, v, w pada V dan oleh semua scalar k dan l, maka kita namakan V
sebuah ruang vector (vector space) dan benda – benda pada V kita namakan vector :
Teorema 3. Misalkan V adalah sebuah ruang vector, u sebuah vector pada V, dan k sebuah
skalar, maka:
a) 0u = 0
b) K0 = 0
c) (-1)u = -u
d) Jika ku = 0, maka k = 0 atau u = 0
5.3 SUB-RUANG
Definisi : Subhimpunan W dari sebuah ruang vector V dinamakan subruang (subspace) V jika
W itu sendiri adalah ruang vector di bawah penambahan dan perkalian scalar yang didefinisikan pada
V.
Teorema 4
Jika w adalah himpunan dari satu atau lebih vector dari sebuah ruang vector V, maka w adalah
subruang dari V jika dan hanya jika kondisi-kondisi berikut berlaku.
Contoh
Perlihatkanlah bahwa himpunan W dari semua matriks 2x2 yang mempunyai bilangan nol pada
diagonal utamanya adalah subruang dari ruang vector M22 dari semua matriks 2x2 .
Pemecahan. Misalkan
0 𝑎12
𝐴=[ ]
𝑎21 0
Adalah sebarang dua matriks pada matriks pada W dan k adalah sebarang scalar. Maka
Contoh
Tinjaulah vector-vektor u = (1, 2, -1) dan v = (6, 4, 2) di R3. Perlihatkan bahwa w = (9, 2, 7) adalah
kombinasi linear u dan v serta bahwa w’ = (4, -1, 8) bukanlah kombinasi linear u dan v.
Pemecahan. Supaya w merupakan kombinasi linear u dan v, harus ada scalar k1 dan k2 hingga w = k1
u + k2 v ; yakni (4,-1, 8)=k1(1, 2, -1)+k2(6, 4, 2)
k1 + 6k2 = 4
2k1 + 4k2 = -1
-k1 + 2k2 = 8
System persamaan – persamaan ini tidak konsisten. Sehingga tidak ada scalar-skalar seperti itu.
Sebagai konsekuensinya, maka w’ bukanlah kombinasi linear u dan v.
Definisi. Jika v1, v2,…,vr adalah vector – vector pada ruang vector V dan jika masing – masing
vector pada V dapat dinyatakan sebagai kombinasi linear v1, v2,…,vr maka kita mengatakan bahwa
vetor – vector ini merentang V.
Contoh
Vector-vektor i = (1, 0, 0), j = (0, 1, 0) dan k = (0, 0, 1) merentang R3 karena setiap vector (a, b, c)
pada R3 dapat kita tuliskan sebagai
(a, b, c) = ai + bj + ck
Contoh
Tentukan apakah v1 = (1, 1, 2), v2 = (1, 0, 1), dan v3 = (2, 1, 3) merentang R3.
Pemecahan. Kita harus menentukan apakah sebarang vector b = (b1, b2, b3) pada R3 dapat dinyatakan
sebagai kombinasi linear
b = k1 v1 + k2 v2 + k3 v3
Dapat juga k1 + k2 + 2 k3 = b1
k1 + k3 = b2
2k1 + k2 + 3k3 = b3
Menurut bagian a dan bagian d dari teorema 15, maka system ini akan konsisten untuk semua nilai b 1,
b2, dan b3 jika dan hanya matriks koefisien – koefisien dapat dibalik.
1 1 2
A = [1 0 1]
2 1 3
Tetapi det (A) = 0, sehingga A tidak dapat dibalik, dan sebagai konsekuensinya, maka v1, v2, v3 tidak
merentang R3.
Definisi. Jika S = 𝑆 = {𝑣1, 𝑣2,…, 𝑣𝑟 } adalah himpunan vector, maka persamaan vector
k1 v1 + k2 v2 + … + kr vr = 0
K1 = 0, k2 = 0,….., kr = 0
Jika ini adalah satu-satunya pemecahan, maka S kita namakan himpunan bebas linier (linearly
independen). Jika ada pemecahan lain, maka S kita namakan himpunan tak-bebas linier (linier
dependent).
Himpunan vector-vektor 𝑆 = {𝑣1, 𝑣2 , 𝑣3 }, dimana v1= (2, -1, 0, 3), v2 = (1, 2, 5, -1), dan v3 = (7, -1, 5,
8) adalah himpunan tak bebas linier, karena 3v1 + v2 – v3 = 0.
Contoh :
Tinjaulah vektor-vektor i = (1, 0, 0), j = (0, 1, 0) dan k = (0, 0, 1) pada R3. Ruas komponen persamaan
vector
K1 i + k2 j + k3 k = 0
Jadi , K1 = 0, k2 = 0 dan k3 = 0; sehingga himpunan S = (i, j, k) bebas linier. Uraian serupa dapat
digunakan untuk memperlihatkan bahwa vector-vector e1 = (0, 0, 0, … , 1), e2 = (0, 1, 0, 0, …, 0), …
,en = (0, 0, 0, …,0) membentuk himpunan bebas linier pada Rn.
(a) Takbebas linier jika dan hanya jika paling tidak satu diantara vector S dapat
dinyatakan sebagai kombinasi linier dari vector S lainnya.
(b) Bebas linier jika dan hanya jika tidk ada vector S yang dapat dinyatakan
sebagai kombinasi linier dalam vector S lainnya.
Teorema 7.
(a) Jika sebuah himpunan mengandung vector nol, maka himpunan itu takbebas
linier
(b) Sebuah himpunan yang mempunyai persis dua vector takbebas linier jika dan
hanya jika salah satu dari vector itu adalah perkalian dari scalar lainnya
Z Z
V2
V1 V1
y
y
V2
x
x
Z
(b)
(a) V1
V2
x (C)
Gambar 4.6 (a) takbebas linier, (b) takbebas linier, (C) bebas linier
Teorema 8. Misalkan 𝑆 = {𝑣1, 𝑣2 , … , 𝑣𝑟 } adalah himpunan vector-vektor pada Rn jika r > n, maka S
takbebas linier.
PENUTUP
Saran
Alangkah baiknya kita mengenal Matematika dulu sebelum kita menganggap Matematika itu
sulit, karena bila kita telah mengenal Matematika dengan baik dan menikmati bagaimana Matematika
itu bekerja akan terasa bahwa Matematika itu tidaklah seburuk apa yang kita pikirkan.
Situs Internet:
www.google.com
www.wikipedia.com