PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
2.2 ETIOLOGI
2
Siklus Hidup dan Morfologi Toxoplasmosis
Toxoplasma gondii hidup dalam 3 bentuk: thachyzoite, tissue cyst (yang
mengandung bradyzoites) dan oocyst ( yang mengandung sporozoites). Bentuk
akhir dari parasit diproduksi selama siklus seksual pada usus halus dari kucing.
Kucing merupakan pejamu definitif dari T gondii. Siklus hidup aseksual terjadi
pada pejamu perantara, (termasuk manusia). Dimulai dengan tertelannya tissue
cyst atau oocyst diikuti oleh terinfeksinya epitel usus halus oleh bradyzoites atau
sporozoites secara berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites,
organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau limfatik.
Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts dan mencapai jaringan perifer.
Bentuk ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi untuk
menetap pada otak, myocardium, paru, otot skeletal dan retina. Tissue cyst ada
dalam daging, tapi dapat dirusak dengan pemanasan sampai 67oC, didinginkan
sampai –20 C atau oleh iradiasi gamma. Siklus seksual entero-epithelial dengan
bentuk oocyst hidup pada kucing yang akan menjadi infeksius setelah tertelan
daging yang mengandung tissue cyst. Ekskresi oocysts berakhir selama 7-20 hari
dan jarang berulang. Oocyst menjadi infeksius setelah diekskresikan dan terjadi
sporulasi. Lamanya proses ini tergantung dari kondisi lingkungan, tapi biasanya 2-
3 hari setelah diekskresi. Oocysts menjadi infeksius di lingkungan selama lebih
dari 1 tahun.
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau
domba yang mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang
terkontaminasi atau kontak langsung dengan feces kucing. Selain itu dapat terjadi
transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi
akut pada individu yang imunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia
dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. yang
akan mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di otak.
Tissue cyst menjadi ruptur dan melepaskan invasive tropozoit (takizoit). Takisoit
ini akan menghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis.
3
KUCING (Pejamu Definif
Trofozoit
Takizoit
2.3 PATOMEKANISME
4
Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada
penderita HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat menyerang sistem saraf yang
membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf. Mekanisme bagaimana HIV
menginduksi infeksi oportunistik seperti toxoplasmosis sangat kompleks. Ini
meliputi deplesi dari sel T CD4; kegagalan produksi IL-2, IL-12, dan IFN-
gamma; kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang terinfeksi
HIV menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-gamma secara in vitro dan
penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadap T gondii. Hal ini
memainkan peranan yang penting dari perkembangan toxoplasmosis dihubungkan
dengan infeksi HIV. Ensefalitis toxolasma biasanya terjadi pada penderita yang
terinfeksi virus HIV dengan CD4 T sel < 100/mL. Ensefalitis toxoplasma ditandai
dengan onset yang subakut. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa defisit
neurologis fokal (69%), nyeri kepala (55%), bingung / kacau (52%), dan kejang
(29%)
Pada suatu studi didapatkan adanya tanda cerebral global dengan
perubahan status mental pada 75 % kasus, adanya defisit neurologis pada 70%
kasus, Nyeri kepala pada 50 % kasus, demam pada 45 % kasus dan kejang pada
30 % kasus. Defisit neurologis yang biasanya terjadi adalah kelemahan motorik
dan gangguan bicara. Bisa juga terdapat abnormalitas saraf otak, gangguan
penglihatan, gangguan sensorik, disfungsi serebelum, meningismus, movement
disorders dan menifestasi neuropsikiatri.
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi
prediktor untuk validasi kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien
dengan CD4 < 200 sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat
tinggi.
5
2.4 GEJALA KLINIS
6
Kelainan pada bayi dan anak-anak akibat infeksi pada ibu selama
kehamilan trimester pertama, dapat berupa kerusakan yang sangat berat sehingga
terjadi abortus atau lahir mati, atau bayi dilahirkan dengan kelainan seperti
ensefalomielitis, hidrosefalus, kalsifikasi serebral dan korioretinitis. Pada bayi
prematur, gejala klinis lebih berat dari anak yang lahir cukup bulan, dapat disertai
hepatosplenomegali, ikterus, limfadenopati, kelainan susunan saraf pusat dan lesi
mata.
Keterlibatan batang otak bisa menghasilkan lesi saraf cranial dan pasien
akan mempamerkan disfungsi serebral seperti disorientasi, kesadaran menurun,
lelah atau koma. Pengibatan medulla spinalis akan menghasilkan gangguan
motorik dan sensorik bagi beberapa anggota badan serta kantung kemih atau
kesakitan fokal.
7
Pada pemeriksaan serologi didapatkan seropositif dari anti-T gondii IgG
dan IgM. Pemeriksaan yang sudah menjadi standar emas untuk mendeteksi titer
IgG dan IgM T gondii yang biasa dilakukan adalah dengan Sabin-Feldman dye
test, tapi pemeriksaan ini tidak tersedia di Indonesia. Deteksi antibodi juga dapat
dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA), agglutinasi, atau enzyme
linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2
bulan setelah infeksi kemudian bertahan seumur hidup. Anti bodi IgM hilang
dalam beberapa minggu setelah infeksi.
8
Pada kebanyakan pasien imunodefisiensi dengan toxoplasmosis cerebral,
CT scan menunjukkan gambaran beberapa lesi otak bilateral. Studi pencitraan
biasanya menunjukkan beberapa lesi terletak di wilayah korteks serebral,
corticomedullary junction, atau ganglia basal. Meskipun begitu, lesi tunggal juga
kadang-kadang muncul pada penderita toxoplasmosis cerebral. Karakteristik
toxoplasmosis cerebral adalah asimetris, yang memberi gambarn abses cincin
dengan kedua CT dan MRI. CT scan tanpa kontras dapat memperlihatkan lesi
hipodens dalam otak yang mungkin keliru pada lesi otak fokal tipe lain, namun,
CT Scan ulang dengan kontras akan memperlihatkan lesi otak dengan gambaran
khas ring enhancement dan disertai edema vasogenik pada jaringan sekitarnya.
9
2.6 PENATALAKSANAAN
10
Efek samping pirimetamin ialah timbulnya bercak-bercak merah yang
mana dengan efek samping ini menyebabkan pasien tidak mahu meneruskan
pengobatannya. Keadaan ini bisa ditangani dengan pemberian antihistamin secara
bersamaan. Sulfadiazin juga bisa menyebabkan nefropati karena Kristal. Pada
pasien yang kritikal, yang tidak bisa mengambil obat secara oral,
trimethoprim(TPM) intravena 10mg/kg setiap hari bersama sulfamethoxazole
(SMX) 50mg/kg setiap hari dapat diberikan.
Terapi akut harus lebih dari tiga minggu dan bisa 6 minggu jika bisa
ditoleransi. Lebih panjang terapi akut diperlukan pada pasien dengan gejala klinis
yang berat dan ada bukti terinfeksi pada foto radiologi. Hampir 65% hingga 90%
pasien memberi respon terhadap terapi dengan pirimetamin, leucovorin dan
sulfadiazine. Perbaikan klinis secara mendadak dapat dilihat setelah memulai
terapi yang benar pada toksoplasmosis serebral akut. Selepas beberapa hari, 3.5%
pasien menunjukkan perbaikan neurologis dan 9.1% menunjukkan perbaikan
neurologis setelah hari ke empat belas. Perbaikan pada foto radiologi bisa dilihat
pada minggu ketiga terapi. Pada pasien yang tidak respon terhadap terapi dalam
jangka waktu 10 hingga 14 hari, biopsi haruslah dilakukan untuk menyingkirkan
penyakit limfoma. Terapi kortikosteroid bisa diberikan pada pasien dengan
kondisi klinis yang memburuk dalam waktu 48jam atau pasien yang pada foto
radiologinya terdapat perubahan garis tengah (midline shift) tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Dexametasone (4mg setiap 6jam) paling sering
diberikan dan diturunkan dosisnya setelah beberapa hari. Penggunaan steroid pada
pasien HIV-AIDS haruslah hati-hati karena obat ini bisa melindungi infeksi-
infeksi oportunistik yang lain. Antikonvulsan dapat diberikan pada pasien yang
kejang tapi tidak direkomendasi untuk penggunaan rutin.
11
Terapi pemeliharaan dilanjutkan untuk menghindari kekambuhan. Pasien-
pasien yang tidak mendapat terapi pemeliharaan selepas mendapat terapi akut
sering terjadi kekambuhan. Pasien harus mendapat terapi profilaksis sekunder
yaitu dengan terapi pemeliharaan selama 6 minggu setelah terapi fase akut.
Regimen terapi pemeliharaan sama dengan terapi akut, cuma dosisnya lebih
rendah dan paling minimal tapi memberikan hasil yang efektif.
Diagnosa banding utama lesi otak fokal pada pasien dengan HIV adalah
limfoma CNS primer dan serebral toxoplasmik. Pada toxoplasma gondii
seropositif, pasien HIV dengan jumlah CD4 T-sel <100µl, yang tidak menerima
anti toxoplasma gondii profilaksis, adanya lesi multipel dan berat memberatkan
kasus ke diagnose toxoplasmosis serebral. Pada pasien dengan terapi profilaksis,
atau mereka dengan lesi satu, diagnose banding bisa dengan limfoma CNS, abses
jamur, mikobakteri atau penyakit sitomegalovirus atau sarcoma Kaposi selain dari
toxoplasmosis serebral. Ketiadaan anti toxoplasmosis gondii IgG dalam serum
menghalangi diagnose dari toxoplasmosis serebral. Selain itu, toxoplasmosis
serebral bisa juga didiagnosa banding dengan metastasis serebral dan penyakit
infeksi lain sepertituberculosis CNS, cryptococcosis CNS, abscesses bacterial dan
neurocysticercosis.
2.8 PROGNOSIS
12
2.9 PENCEGAHAN
Non farmakologi
Farmakologi
13
BAB III
KESIMPULAN
Toxoplasmosis cerebral adalah penyakit infeksi pada otak oleh parasit yang
disebabkan oleh Toxoplasma gondii yang dapat juga menimbulkan radang pada
kulit, kelenjar getah bening, jantung, paru, mata, dan selaput otak.
14