a. Mukosa mulut
Sisa obat yang tertinggal dengan atau diaplikasikan langsung
pada mukosa mulut terutama dapat menyebabkan inflamasi atau
ulserasi; perlu juga diingat kemungkinan terjadi alergi. Tablet
asetosal diijinkan untuk dilarutkan dalam sulkus untuk mengatasi
sakit gigi dapat membuat titik putih yang kemudian menjadi ulkus.
Zat tambahan, terutama minyak-minyak esensial, dapat
menyebabkan kulit sensitif, tetapi pembengkakan mukosa yang
terjadi biasanya tidak terlalu nyata. Pasien yang diberi obat
sitotoksik mudah sekali terserang ulkus terutama pada mukosa oral,
misalnya metotreksat. Obat-obat lain yang menyebabkan ulkus
meliputi emas, nikorandil, AINS, pankreatin, penisilamin, dan
proguanil. Kaptopril (dan penghambat ACE lainnya) dapat
menyebabkan stomatitis. Berbagai bentuk eritema (termasuk
sindrom Steven-Johnson) dapat terjadi setelah penggunaan
bermacam-macam obat, seperti antibakteri, golongan sulfonamid,
dan antikonvulsan; mukosa mulut dapat terjadi ulserasi yang
meluas, dengan lesi pada kulit dengan karakter khusus. Lesi mulut
pada toxic epidermal necrolysis (Lyell’s sindrom) telah dilaporkan
terjadi pada obat-obat. Erupsi lisenoid dikaitkan dengan penggunaan
AINS, metildopa, klorokuin, antidiabetik oral, diuretik tiazid, dan
emas. Kandidiasis dapat memperburuk pengobatan dengan
antibakteri dan immunosuppresan dan merupakan efek samping
kadang terjadi pada pemberian kortikosteroid inhaler.
d. Kelenjar Ludah
Umumnya efek obat berakibat pada kelenjar ludah yaitu
mengurangi aliran (xerostomia). Pasien dengan mulut kering yang
menetap mungkin higienitas mulutnya kurang; hal ini dapat
berkembang menjadi karies gigi, dan infeksi pada mulut. (terutama
kandidiasis). Penggunaan yang berlebihan dari diuretik dapat juga
mengakibatkan xerostomia. Banyak obat yang mengakibatkan
xerostomia, terutama antimuskarinik (antikolinergik), antidepresan
(termasuk antidepresan trisiklik, dan selective serotonin re-uptake
inhibitors), baklofen, bupropion, klonidin, opioid, dan tizanidin.
Beberapa obat (seperti klozapin, neostigmin) dapat meningkatkan
produksi ludah tetapi hal ini jarang terjadi, kecuali jika pasien
mengalami kesulitan menelan,Rasa sakit pada kelenjar ludah telah
dilaporkan pada pemberian beberapa antihipertensi (seperti:
klonidin, metildopa) dan alkaloid vinka. Bengkak pada kelenjar ludah
dapat diakibatkan oleh Iodida, obat antitiroid, fenotiazin, ritodrin dan
sulfonamid.
e. Pengecap
Sensasi rasa dapat berkurang ketajamannya atau berubah.
Obat yang mengakibatkan sensasi rasa meliputi amiodaron, kaptopril
(dan penghambat ACE lain), karbimazol, emas, griseofulvin, garam
litium, metronidazol, penisilamin, penindion, propafenon, terbinafin,
dan zopiklon.
a. Makanan
b. Suplemen diet
c. Alkohol
Alkohol mempengaruhi proses tubuh dan berinteraksi dengan
banyak obat. Alkohol adalah obat yang dapat berinteraksi dengan
hampir setiap obat, terutama antidepresan dan obat lain yang
mempengaruhi otak dan sistem saraf. Misalnya, mengambil alkohol
dengan metronidazole dapat menyebabkan flushing, sakit kepala,
jantung berdebar, mual dan vomiting.
1. Identitas Pasien
Tata laksana gizi dimulai dengan cara melakukan identifikasi kepada
pegawai. Apa saja sih yang harus ada di data identitas ? nah
biasanya yang harus ada adalah nama , usia, jenis kelamin, berat
badan (BB), tinggi badan (TB), IMT, BB ideal, pekerjaan, agama,
pendidikan, alamat.
2. Data Subyektif
Biasanya hal ini berkaitan dengan keluhan-keluhan pasien terhadap
gejala suatu penyakit yang diderita, atau keluhan terhadap akibat
pengobatan (entah itu pada saat pengobatan maupun pasca
pengobatan). Misalnya, seorang pasien Diabetes Mellitus mengeluh
sering merasa mual, pusing, cepat haus, lemas, dan sebagainya.
Atau misalnya pasien kanker mengeluh mengalami mual dan tidak
nafsu makan setelah dilakukan kemoterapi.
3. Riwayat Diet Pasien
Hal ini berkaitan dengan pola makan pasien sebelum dirawat
dirumah sakit. Setidaknya kita melakukan anamnesa tentang
kebiasaan pasien makan, makanan kesukaannya, frekuensi makan
perhari, selingan atau cemilan yang biasa dikonsumsi, dan yang
tidak kalah penting adalah melakukan recall makan sehari sebelum
pasien dirawat.
4. Data Obyektif
Data ini merupakan data yang diperoleh dengan cara melakukan
pengukuran terhadap pasien yang meliputi ABCD ( Antropometri,
Biokimia, Clinic, Dietary History) dan hal terkait pasien.
Antropometri (BB, TB, IMT, BB ideal (BBI), lingkar lengan atas
(LILA)<,lingkar perut, klinis (Monitor Tanda-Tanda Vital –TTV),
Terapi obat yang diberikan oleh dokter, terapi infuse, pemeriksaan
lain yang dilakukan (misalnya, pemeriksaan radiologi pulmo), dan
perkembangan diet selama perawatan (misalnya hari pertama diet
cair, lunak, dan sebagainya).
5. Data Laboratoruim
Namanya juga data laboratorim, sudah pasti data yang biasanya
didapat pada pengukuran yang dilakukan di laboratorium. Apa
saja ? Misalnya, kadar gula darah, kadar kolestrol darah, kadar
hemoglobin (Hb), kadar LDL, HDL< kadar ureum, dsb.
6. Assessment
Assessment adalah penilaian seorang ahli gizi terhadap kondisi
pasien. Yaitu tentang data subyektif, riwayat penyakitnya, status
gizi, kondisi pasien berdasarakan data objektif (ABCD) dalam
kalimat singkat.
7. Analisis
Berupa pembahasan tentang status gizi pasien ( baik pada saat
sebelum perawatan, saat perawatan, maupun setelah perawatan),
identifikasi etiologi, patalogi, penyakit yang diderita oleh pasien,
kedua hal ini nantinya digunakan sebagai dasar penentuan
kebutuhan zat gizi (tentu tidak melupakan keterkaitan / interaksi
dengan obat dan / atau terapi infuse yang diberikan serta
kemampuan makan pasien)
8. Penatalaksanaan
Hal ini berkaitan dengan tata laksana medis (oleh dokter dan
praktisi kesehatan) serta tata laksana diet yang diberikan sebagai
pendukung penatalaksanaan medis.
9. Evaluasi Diet
Evaluasi merupakan bagian yang sangat penting dalam tata laksana
diet. Mengapa? Karena hal ini merupakan salah satu bentuk
penilaian tingkat keberhasilan tatalaksana diet sebagai pendukung
tata laksana medis yang diberikan. Evaluasi diet dimulai dari
penilaian ketersediaan zat gizi dari menu rumah sakit, intake dari
rumah sakit (dan luar rumah sakit , misalnya oleh-oleh dari
pengunjung), kemudian yang paling penting adalah perhitungan
tingkat kecukupan zat gizi serta kondisi pasien.
b. Nyeri Somatik
1) Diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang menyebabkan
pelepasan zat kimia dari sel yang cedera dan memediasi
inflamasi dan nyeri melalui nosiseptor kulit
2) Karakteristik: onset cepat, terlokalisasi dengan baik, dan
nyeri bersifat tujuan, menusuk, atau seperti ditikam
3) Contoh: nyeri akibat laserasi, sprain, fraktur, dislokasi
c. Nyeri Visceral:
1) Nosiseptor visceral lebih setikit dibandingkan somatic,
sehingga jika tersitmulasi akan menimbulkan nyeri yang
kurang bisa dilokalisasi, bersifat difus, tumpul, seperti ditekan
benda berat
2) Penyebab: iskema atau nekrosis, inflamasi, peregangan
ligament, spasme otot polos, distensi organ berongga atau
lumen
3) Biasanya disertai dengan gejala otonom, seperti mual,
muntah, hipotensi, bradikardia, berkeringat
d. Nyeri Neoropatik
1) Berasal dari cedera jaringan saraf.
2) Sifat nyeri: rasa terbakar, nyeri menjalar , kesemutan,
alodinia ( nyeri saat disentuh ), hiperalgesia
3) Gejala nyeri biasanya dialami pada bagian distal dari tempat
cedera (sementara pada nyeri nosiseptif, nyeri dialami pada
tempat cederanya )
4) Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes,
multiple sclerosis, herniasi diskus, aids, pasien yang
menjalani kemoterapi atau radioterapi.
5) Oains efektif untuk nyeri ringan-sedang , opioid efektif
untuk nyeri sedang-berat.
6) Mulailah dengan pemberian oains atau opioid lemah
( langkah 1 dan 2) dengan pemberian intrmiten ( pro re
nata-prn ) apioid kuat yang disesuaikan dengan kebutuhan
pasien.
7) Jika langka 1 dan 2 kurang efektif atau nyeri menjadi
sedang-berat, dapat ditingkatkan menjadi langka 3 ( ganti
dengan opioid kuat dan prn analgesic dalam kurun waktu
24 jam setelah langka 1).
8) Penggunaan apioid harus dititrasi. Opioid standar yang
sering digunakan adalah morfin, kodein.
9) Jika pasien memiliki kontraindikasi absolute oains, dapat
diberikan opioid ringan.
10) Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati, lakukan
pengurangan dosis secara bertahap :
a) Intravena: antikonvulsan, ketamine, OAINS, opioid
b) Oral : antikonvulsan, antidepresan, antihistamin,
anxiolytic, kortikosteroid, anestesi local, OAINS, opioid,
tramadol
c) Rectal (supositoria): parasetamol, aspirin, opiod,
fenotazin
d) Topical: lidokain patch, EMLA
e) Subkutan : Anestesi local.
2. Follow-up atau asessment ulang
a. Asessment ulang sebaiknya dilakukan dengan interval yang
teratur, Panduan umum :
b. Pencegahan
1) Edukasi Pasien :
a) Berikan infomasi mengenai kondisi dan penyakit pasien,
serta tatalaksananya.
b) Diskusikan tujuan dari manajemen nyeri dan manfaatnya
untuk pasien.
c) Beritahukan bahwa pasien dapat mengubungan tim
medis jika memiliki pertanyaan atau ingin berkonsultasi
mengenai kondisinya.
d) Pasien dan keluarga ikut dilibatkan dalam menyusun
manajemen nyeri ( termasuk penjadwalan medikasi,
pemilihan analgesik, dan jadwal kontrol ).
3. Kepatuhan pasien dalam menjalani manajemen nyeri dengan baik
a. Medikasi saat pasien pulang
1) Pasien dipulangkan segera setelah nyeri dapat teratasi dan
dapat beraktivitas seperti biasa atau normal.
2) Pemilihan medikasi analgesik bergantung pada kondisi pasien.
4. Manajemen Nyeri Kronik
a. Lakukan penilaian nyeri:
1) Anamnesis dan pemeriksaan fisik (karakteristik nyeri, riwayat
manajemen nyeri sebelumya)
2) Pemeriksaan penunjang : radiologi
3) Penilaian fungsional:
a) Nilai aktvitas hidup dasar (ADL), identifikasi
kecatatan atau disabilitas
b) Buatan tujuan fungsional spesifik dan rencana perawatan
pasien
c) Nilai efektifitas rencana perawatan dan manajemen
pengobatan
b. Tentukan mekanisme nyeri:
1) Manajemen bergantung pada jenis atau klasifikasi nyerinya
2) Pasien sering mengalami > 1 jenis nyeri
3) Terbagi menjadi 4 jenis :
(1) Nyeri neuropatik:
(a) Disebabkan oleh kerusakan atau disfungsi sistem
somatosensorik
(b) Contoh: neuropati DM, neuralgia trigeminal, neuralgia
pasca-herpetik
(c) Karakteristik: nyeri persisten, rasa terbakar, terdapat
penjalaran nyeri sesuai dengan persarafannya, baal,
kesemutan, alodinia
(d) Fibromyalgia: gatal, kaku, dan nyeri yang
difus pada musculoskeletal (bahu, ekstremitas), nyeri
berlangsung selama >3 bulan.
Operasi.
4) Penilaian lainnya:
2. Nyeri otot
3. Nyeri inflamasi
1) Ice
a) Es harus diterapkan segera setelah cedera.
b) Untuk mencegah luka bakar es, kerusakan jaringan dan
kelumpuhan saraf, tidak diterapkan es langsung ke
kulit.
c) Serpihan es dalam handuk yang lembab tampaknya
merupakan praktek terbaik, disusul oleh es dalam
kantong plastik, dan kemudian pack gel beku.
d) Durasi paling efektif tampaknya dalam aplikasi berulang
dari 10 menit.
e) Cryotherapy merupakan kontraindikasi pada orang tua,
penderita diabetes, dan mereka yang menderita sindrom
Raynaud, penyakit pembuluh darah perifer atau anemia
sel sickle.
1) Compression
a) Selalu menerapkan kompresi secara merata, arah dari
distal ke proksimal.
b) Kompresi harus diterapkan sesegera mungkin setelah
cedera dan terus berlanjut selama 72 jam pertama.
c) Kompresi menggunakan legging elastis (atau setara)
tidak harus diterapkan dalam posisi berbaring, atau
terkait dengan elevasi.
d) Lepas dan menerapkan kembali jika tekanan merata dan
konstan tidak dipertahankan. Kompresi dapat
dilanjutkan dengan cryotherapy - penggunaan dengan es
dan ketika melepaskan es terapkan kembali materi
kompresi kering.
e) Kompresi intermiten dapat diterapkan (30 menit setiap
hari pada kompresi 60mmHg, 30 detik on, 30 detik off)
selain kompresi selama 5 hari pertama.
f) Daerah distal harus diperiksa segera setelah aplikasi
kompresi untuk tanda-tanda sirkulasi berkurang (dingin,
pucat) dan secara teratur selama pengobatan.
1) Elevation
a) Tinggikan bagian yang cedera di atas level jantung
sesegera mungkin setelah cedera dan kemudian
semaksimal mungkin selama 72 jam pertama setelah
cedera.
b) Pastikan bahwa bagian ditinggikan secara memadai
didukung (misalnya bantal, sling).
c) Hindari menempatkan ekstremitas dalam posisi
tergantung segera setelah elevasi karena 'Rebound
fenomena' akan cenderung meningkatkan edema.
d) jika ekstremitas dapat dipertahankan pada elevasi, tidak
diterapkan kompresi secara bersamaan.
1. H = Heat (seperti ; sauna, spa, hot water bottle, hot shower, heat
rubs etc. yang dapat meningkatkan pendarahan)