Anda di halaman 1dari 30

MATERI EDUKASI

1. Pedoman untuk penggunaan obat yang aman dan efektif


2. Potensi Efek Samping Obat Menurut Pionas( Pelayanan Informasi
Obat Nasional) Bpom
3. Interaksi Obat Antar Obat
4. Interaksi Obat dan Makanan
5. Penggunaan Alat Medis
6. Diet dan Nutrisi
7. Manajemen Nyeri
8. Teknik Fisioterapi

A. Pedoman Untuk Penggunaan Obat Yang Aman Dan Efektif


Berbagai hal yang tidak boleh dilakukan pasien tertera dibawah ini,
yaitu Jangan :
1. Menekan dokter untuk menulis obat yang dalam
pertimbangannya, obat itu tidak saudara perlukan
2. Menggunakan obat resep atas kemauan sendiri atau atas
nasihat teman dan tetangga karena gejalanya adalah “persis
seperti mereka”
3. Memberikan oabat yang ditulis untuk saudara kepada orang lain
tanpa petunjuk dokter
4. Mengubah dosis atau waktu dari setiap obat tanpa nasihat
dokter (kecuali, apabila obat kelihatannya menyebabkan efek
merugikan).
5. Meneruskan penggunaan suatu obat yang saudara rasakan
penyebab efek merugikan, sampai saudara dapat menghubungi
dokter untuk penjelasan.
6. Menggunakan obat apa saja (obat resep atau nonresep) sewaktu
hamil atau menyusui bayi sampai saudara diyakinkan dokter
bahwa oabat itu tidak ada efek membahayakan akan terjadi
pada ibu atau anak.
7. Menggunakan obat lebih banyak dari pada yang benar-benar
diperlukan. (makin banyak jumlah oabat yang digunakan
serentak, makin besar kemungkinan efek merugikan)
8. Menyembunyikan informasi penting kepada dokter tentang
pengalaman obat terdahulu. Dokter perlu mengetahui
manfaat dan efek obat yang tidak dikehendakai yang saudara
alami pada waktu yang lewat
9. Menggunakan obat dalam gelap. Identifikasi setiap dosis obat
dengan berhati-hati dalam terang yang cukup untuk
memastikan bahwa saudara menggunakan obat yang
dimaksudkan.
10. Menempatkan obat pada meja samping tempat tidur. Obat
penggunaan darurat, seperti nitrogliserin adalah suatu
perkecualian. Dianjurkan hanya satu macam obat, demikian
pada meja samping tempat tidur untuk digunakan selama
malam hari.Beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu :
a. Mengetahui nama (dan ejaan yang benar) oabat yang
saudara gunakan dianjurkan agar mengetahui nama
dagang dan nama generic
b. Membaca etiket kemasan dari semua obat nonresep
agar mengetahui kandungan sediaan obat.
c. Mengikuti instruksi dokter sedekat mungkin
berkenaan dengan jadwal dosis.
d. Beritahu dokter jika perlu untuk membuat
perubahan besar dalam rutinitas pengobatan
saudara.
e. Kocok sepenuhnya semua suspense cairan obat
untuk memastikan kebersamaan distribusi
kandungannya.
f. Menggunakan alat ukur baku untuk pemberian obat
cair melalui mulut. sendok teh rumah tangga
sangat berbeda dalam ukuran
g. Mengikuti instruksi dokter tentang peraturan diet
dan tindakan pengobatan lain yang ditujukan untuk
memperbesar kerja obat yang tertulis. Hal ini
memungkinkan pencapaian efek obat yang
diinginkan dengan dosis yang lebih kecil ( suatu
contoh biasa, ialah pengurangan penggunaan garam
selam pengobatan hipertensi).
h. Beritahu dokter tentang semua obat yan ditulis
untuk saudara oleh dokter lain.
i. Konsultasikan kepada dokter tentang obat nonresep
yang saudara gunakan berdasarkan gagasan
saudara sendiri bersama obat yang ditulis bagi
saudara.
j. Beritahu dokter anestesiologis, dokter bedah, dan
dokter gigi tentan semua obat yang digunakan
sebelum pembedahan.
k. Beri tahu dokter jika saudara akan hamil sewaktu
saudara menggunakan obat dari sumber mana saja.
l. Simpan rekaman tertulis dari semua obat (dan
vaksin) yang menyebabkan saudara alergi atau
mengalami efek merugikan. Hal ini perlu dibuat
untuk tiap anggota keluarga, terutama usia lanjut
dan orang yang lemah.
m. Simpan rekaman tertulis dari semua obat (dan
vaksin) yang menyebabkan anak saudara menjadi
alergi atau mengalami suatu reaksi merugikan.
11. Beritahu dokter saudara tentang semua alergi yang diketahui
atau dicurigai, terutama alergi terhadap obat. Pastiakn bahwa
informasi ini termasuk dalam rekaman medic saudara. ( individu
yang alergi, empat kali lebih cenderung terhadap reaksi obat
daripada orang yang bebas alergi.Beritahu dokter segera jika
saudara merasa mengalami lewat dosis, efek samping atau suatu
efek merugikan suatu obat.
12. Tetapkan, jika aman menyetir mobil, mengoperasikan mesin atau
melakukan kegiatan membahayakan, sewaktu menggunakan obat
yang ditulis.
13. Tetapkan, jika aman meminum minuman beralkohol sewaktu
menggunakan obat yang ditulis.
14. Tetapkan, jika mkanan, minuman tertentu atau obat lain yang
harus dihindari sewaktu menggunakan oabat yang ditulis.
15. Turuti semua perjanjian untuk pemeriksaan lebih lanjut, guna
menetapkan efek obat dan jalannya penyakit saudara.
16. Tanya penjelasan dari setiap butir yang membingungkan atau
sulit untuk dimengerti, pada waktu oabat diulis atau kemudian
jika saudara lupa. Minta informasi tertulis jika memungkinkan.
17. Musnahkan semua oabta resep yang kadaluarsa. Hal ini akan
mencegah penggunaan obat yang telah rusak bersamaan dengan
waktu.
18. Simpan semua obat dari jangkauan anak-anak guna mencegah
kecelakaan keracunan.

B. Potensi Efek Samping Obat Menurut Pionas( Pelayanan Informasi


Obat Nasional) Bpom
Pemantauan keamanan penggunaan obat dilakukan melalui program
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) karena beberapa jenis efek samping
yang tidak terdeteksi pada tahap pengembangan obat dapat timbul setelah
penggunaan obat secara luas pada jangka waktu lama. Di Indonesia,
Program MESO dimulai sejak tahun 1975, dan dicanangkan pada tahun
1981. Tujuan utama program MESO Nasional ini adalah mendeteksi sedini
mungkin setiap kemungkinan timbulnya efek obat yang tidak diinginkan
yang terjadi di Indonesia, untuk mencegah kejadian efek samping serupa
secara luas. Dengan pelaksanaan MESO diharapkan akan diperoleh
informasi baru mengenai efek samping obat (ESO), tingkat kegawatan serta
frekuensi kejadiannya, sehingga dapat segera dilakukan tindak lanjut yang
diperlukan.

Secara fungsional pusat MESO Nasional berada di Badan Pengawas


Obat dan Makanan (Badan POM).Untuk pelaksanaan MESO, dibentuk
Panitia MESO Nasional yang bertugas untuk menilai laporan ESO yang
diterima, menganalisis data hasil evaluasi, dan memberikan rekomendasi
tindak lanjut yang perlu dilakukan. Dalam penyelenggaraan MESO, Pusat
MESO Nasional bekerjasama dengan WHO Collaborating Center for
International Drug Monitoring. Dalam kerjasama ini, Pusat MESO Nasional
secara teratur menerima informasi mengenai MESO dari WHO dan juga
memberikan masukan kepada WHO. Formulir laporan MESO tersedia di
Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT, Badan
Pengawas Obat dan Makanan. Selain MESO, Badan POM juga memonitor
efek samping obat tradisional; efek samping suplemen makanan dan efek
samping kosmetik dengan menggunakan Formulir Monitoring Efek Samping
Obat Tradisional MESOT), Formulir Monitoring Efek Samping Suplemen
Makanan (MESOSM) dan Formulir Monitoring Efek Samping Kosmetik
(MESK) Formulir laporan monitoring kategori produk tersebut di atas dapat
diperoleh Direktorat Penilaian Obat Tradisional, Suplemen Makanan dan
Kosmetik, Badan Pengawas Obat dan Makanan.
1. Efek Samping Obat Pada Mulut
Kelainan pada mulut yang diinduksi obat mungkin disebabkan oleh
tindakan lokal pada mulut atau efek sistemik yang dapat menyebabkan
perubahan pada mulut. Untuk efek sistemik tersebut, rujukan segera
ke dokter mungkin diperlukan.

a. Mukosa mulut
Sisa obat yang tertinggal dengan atau diaplikasikan langsung
pada mukosa mulut terutama dapat menyebabkan inflamasi atau
ulserasi; perlu juga diingat kemungkinan terjadi alergi. Tablet
asetosal diijinkan untuk dilarutkan dalam sulkus untuk mengatasi
sakit gigi dapat membuat titik putih yang kemudian menjadi ulkus.
Zat tambahan, terutama minyak-minyak esensial, dapat
menyebabkan kulit sensitif, tetapi pembengkakan mukosa yang
terjadi biasanya tidak terlalu nyata. Pasien yang diberi obat
sitotoksik mudah sekali terserang ulkus terutama pada mukosa oral,
misalnya metotreksat. Obat-obat lain yang menyebabkan ulkus
meliputi emas, nikorandil, AINS, pankreatin, penisilamin, dan
proguanil. Kaptopril (dan penghambat ACE lainnya) dapat
menyebabkan stomatitis. Berbagai bentuk eritema (termasuk
sindrom Steven-Johnson) dapat terjadi setelah penggunaan
bermacam-macam obat, seperti antibakteri, golongan sulfonamid,
dan antikonvulsan; mukosa mulut dapat terjadi ulserasi yang
meluas, dengan lesi pada kulit dengan karakter khusus. Lesi mulut
pada toxic epidermal necrolysis (Lyell’s sindrom) telah dilaporkan
terjadi pada obat-obat. Erupsi lisenoid dikaitkan dengan penggunaan
AINS, metildopa, klorokuin, antidiabetik oral, diuretik tiazid, dan
emas. Kandidiasis dapat memperburuk pengobatan dengan
antibakteri dan immunosuppresan dan merupakan efek samping
kadang terjadi pada pemberian kortikosteroid inhaler.

b. Gigi dan Rahang


Noda coklat pada gigi sering terjadi setelah penggunaan obat
cuci mulut klorheksidin, semprot atau gel, tetapi dengan mudah
dihilangkan dengan polishing. Larutan garam besi dapat
menyebabkan pewarnaan hitam pada email gigi. Pewarnaan
permukaan gigi dilaporkan jarang pada penggunaan suspensi co-
amoksiklav.
Pewarnaan yang menetap pada gigi umumnya disebabkan oleh
tetrasiklin. Tetrasiklin mempengaruhi gigi jika diberikan pada saat
sekitar 4 bulan dalam kandungan sampai usia 12 tahun. Semua
tetrasiklin dapat menyebabkan noda yang menetap, pewarnaan yang
mengganggu penampilan, warna berkisar dari kuning hingga abu-
abu. Fluor yang tertelan dalam jumlah berlebihan dapat
menyebabkan florosis dental yang disertai bintik putih pada enamel
dan hipoplasia atau lubang. Suplementasi fluor kadang dapat
menyebabkan bintik putih ringan jika diberikan dosis yang terlalu
besar pada usia anak. Perhitungkan juga jumlah fluor yang
terkandung dalam air minum. Ostenonekrosis pada rahang telah
dilaporkan pada pasien yang mendapat bisfosfonat secara intravena,
tetapi jarang bila digunakan dengan cara oral. Pada pembedahan gigi
selama dan sesudah pengobatan, jika mungkin bifosfonat harus
dihindari. Lihat juga bab tentang bifosfonat.
c. Periodontium
Pertumbuhan gingival yang terlalu cepat (gingival hyperplasia)
merupakan efek samping dari fenitoin dan kadang-kadang akibat
siklosporin atau nifedipin (dan beberapa antagonis kalsium lain).
Trombositopenia mungkin berkaitan dengan obat dan dapat
menyebabkan perdarahan pada daerah gusi, yang mungkin secara
spontan atau akibat dari trauma ringan (seperti sikat gigi).

d. Kelenjar Ludah
Umumnya efek obat berakibat pada kelenjar ludah yaitu
mengurangi aliran (xerostomia). Pasien dengan mulut kering yang
menetap mungkin higienitas mulutnya kurang; hal ini dapat
berkembang menjadi karies gigi, dan infeksi pada mulut. (terutama
kandidiasis). Penggunaan yang berlebihan dari diuretik dapat juga
mengakibatkan xerostomia. Banyak obat yang mengakibatkan
xerostomia, terutama antimuskarinik (antikolinergik), antidepresan
(termasuk antidepresan trisiklik, dan selective serotonin re-uptake
inhibitors), baklofen, bupropion, klonidin, opioid, dan tizanidin.
Beberapa obat (seperti klozapin, neostigmin) dapat meningkatkan
produksi ludah tetapi hal ini jarang terjadi, kecuali jika pasien
mengalami kesulitan menelan,Rasa sakit pada kelenjar ludah telah
dilaporkan pada pemberian beberapa antihipertensi (seperti:
klonidin, metildopa) dan alkaloid vinka. Bengkak pada kelenjar ludah
dapat diakibatkan oleh Iodida, obat antitiroid, fenotiazin, ritodrin dan
sulfonamid.

e. Pengecap
Sensasi rasa dapat berkurang ketajamannya atau berubah.
Obat yang mengakibatkan sensasi rasa meliputi amiodaron, kaptopril
(dan penghambat ACE lain), karbimazol, emas, griseofulvin, garam
litium, metronidazol, penisilamin, penindion, propafenon, terbinafin,
dan zopiklon.

C. Interaksi Obat Antar Obat


1. Interaksi antar obat dengan obat lain
Interaksi antar obat dengan obat yang lain dapat berakibat
menguntungkan atau merugikan. Interaksi yang menguntungkan,
Misalnya :
a. Penicillin dengan probenesit: probenesit menghambat sekresi
penicillin di tubuli ginjal sehingga meningkatkan kadar penicillin
dalam plasma dan dengan demikian meningkatkan efektifitas
dalam terapi gonore.
b. Kombinasi obat anti hipertensi: meningkatkan efektifitas dan
mengurangi efek samping.
c. Kombinasi obat anti kanker: juga meningkatkan efektifitas dan
mengurangi efek samping.
d. kombinasi obat anti tuberculosis: memperlambat timbulnya
resistansi kuman terhadap obat.
e. antagonisme efek toksik obat oleh antidotnya masing-masing.

Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat


meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektifitas obat yang
berinteraksi, jadi terutama bila menyangkut obat dengan batas
keamanan yang sempit, misalnya glikosida jantung, antikoagulan,
dan obat-obat sitotastik. Demikian juga interaksi yang menyangkut
obat-obat yang biasa digunakan atau yang sering diberikan bersama
tentu lebih penting daripada obat yang dipakai sekali-kali.

2. Faktor-faktor penunjang interaksi obat


Insidens interaksi obat yang penting dalam klinik sukar
diperkirakan karena :
a. Dokumentasinya masih sangat kurang;
b. Seringkali lolos dari pengamatan karena kurangnya pengetahuan
para dokter akan mekanisme dan kemungkinan terjadinya
interaksi obat sehingga interaksi obat berupa peningkatan
toksisitas seringkali dianggap sebagai reaksi idiosinkrasi
terhadap salah satu obat sedangkan interaksi berupa penurunan
efektifitas seringkali diduga akibat bertambahnya keparahan
penyakit; selain itu, terlalu banyak obat yang saling berinteraksi
sehingga sulit untuk diingat; Kejadian atau keparahan interaksi
dipengaruhi oleh variasi individual (populasi tertentu lebih peka
misalnya berpenyakit parah, adanya perbedaan kapasitas
metabolisme antar individu ), penyakit tertentu ( terutama
penyakit hati yang parah), dan faktor- faktor lain ( dosis besar,
obat ditelan bersama-sama, pemberian kronik).

3. Hal yang perlu diperhatikan pada interaksi obat


a. Tidak semua obat yang berinteraksi signifikan secara klinik
b. Interaksi tidak selamanya merugikan.
c. Jika dua obat berinteraksi tidak berarti tidak boleh diberikan
d. Interaksi tidak hanya untuk terapi yang berbeda tetapi kadang
untuk mengobati penyakit yang sama.
e. Interaksi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pengobatan.

4. Guna interaksi obat, diantaranya yaitu :


a. Meningkatkan kerja dari obat. Contoh : sulfametoksasol,
analgetik dan kafein
b. Mnegurangi efek samping. Contoh : anestetika dan adrenalin
c. Memperluas spektrum. Contoh : kombinasi antiinfeksi
d. Memperpanjang kerja obat. Contoh :Probenesid dan penisilin.

D. Interaksi Obat dan Makanan

Interaksi antara makanan dan obat-obatan dapat memiliki


pengaruh besar pada keberhasilan terapi obat. Ada obat yang
penyerapannya terganggu dengan adanya makanan dan ada juga yang
terbantu dengan adanya makanan. Hal ini akan menetukan kapan
sebaiknya obat diminum, sebelum atau sesudah makan. Yang
dimaksud dengan sebelum makan adalah keadaan ketika perut dalam
keadaan kosong. Sedangkan sesudah makan adalah keadaan saat perut
masih berisi makanan dan tidak boleh lebih dari dua jam. Jika obat
diberi dua jam setelah makan, makanan sudah diserap dan diolah,
sehingga kondisi ini disamakan dengan keadaan sebelum makan.

1. Interaksi Obat Dan Makanan

Beberapa makanan jika dikonsumsi bersamaan dengan beberapa


obat, dapat mempengaruhi bioavailabilitas, farmakokinetik,
farmakodinamik dan afikasi obat. Efektivitas beberapa terapi obat
bergantung pada status gizi individu. Ada atau tidaknya makanan
dalam saluran cerana atau dalam sistem fisiologi tubuh (seperti dalam
darah) dapat meningkatkan atau menurunkan laju absorpsi dan
metabolisme obat. Penggunaan obat berpengaruh secara signifikan
pada metabolisme dan bioavailabilitas makanan serta nutrisi dalam
tubuh. Obat dapat mengubah persepsi rasa, absorpsi dan metabolisme
makanan. Hal ini menyebabkan perubahan pada status nutrisi
seseorang seperti deplesi mineral, vitamin dari sistem digesti, atau
gangguan berat badan. Makanan yang mengandung zat aktif dapat
berinteraksi terhadap obat tertentu sehingga menghasilkan efek
samping. Apoteker dapat memberikan informasi dari interaksi tersebut
kepada pasien. Makanan atau nutrisi yang dimaksud terdiri dari
makanan, suplemen diet, dan alkohol. Dengan mengkonsumsi beberapa
zat ini dapat mengubah efek dari obat.

a. Makanan

Obat dan makanan yang digunakan secara peroral diserap


melalui usus kecil. Adanya makanan pada saluran cerna dapat
mengurangi penyerapan dari obat. Untuk menghindarinya, obat
diberikan satu jam sebelum makan atau dua jam setelah makan.
Diet serat juga mempengaruhi penyerapan obat. Pektin dan serat
larut lainnya memperlambat penyerapan acetaminophen, yang
digunakan sebagai obat penghilang rasa sakit.

b. Suplemen diet

Terdiri dari produk yang mengandung vitamin, mineral, herbal


atau asam amino. Suplemen diatur sebagai makanan bukan sebagai
obat sehingga tidak diuji sebagai komprehensif. Suplemen dapat
berinteraksi dengan beberapa obat. Pasien yang sedang
mengkonsumsi makanan suplemen harus menginformasikan kepada
dokter dan apoteker untuk memghindari interaksi anatar obat dan
makanan. Teofilin adalah obat diberikan untuk mengobati asma
mengandung xanthines, yang juga ditemukan dalam teh, kopi,
cokelat dan sumber-sumber kafein. Mengkonsumsi kafein bersamaan
dengan teofilin dapat meningkatkan risiko toksik pada obat.

c. Alkohol
Alkohol mempengaruhi proses tubuh dan berinteraksi dengan
banyak obat. Alkohol adalah obat yang dapat berinteraksi dengan
hampir setiap obat, terutama antidepresan dan obat lain yang
mempengaruhi otak dan sistem saraf. Misalnya, mengambil alkohol
dengan metronidazole dapat menyebabkan flushing, sakit kepala,
jantung berdebar, mual dan vomiting.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat interaksi antara makanan


dan obat
Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain: dosis, usia, dan
kondisi pasien. Waktu makan dan obat juga dapat mempengaruhi
interaksi makanan dan obat, seperti tidak mengkonsumsi susu
bersamaan dengan obat tetracycline. Tetracyclin dapat berikatan
dengan senyawakalsium membentuk senyawa yang tidak dapat
diserap oleh tubuh, sehingga dapat mengurangi efek dari tetracyclin.
3. Pengaruh interaksi obat dan makanan
Tidak semua obat dipengaruhi oleh makanan, tapi obat-
obatan dapat dipengaruhi oleh makanan dan waktu. Misalnya,
mengambil beberapa obat pada saat yang sama dengan makanan
dapat mempengaruhi penyerapan obat. Makanan dapat menunda
atau mengurangi penyerapan obat. Inilah sebabnya mengapa
beberapa obat-obatan harus diambil pada kosong perut. Di sisi lain,
beberapa obat lebih mudah ditoleransi saat diambil dengan
makanan. Pasien selalu disarankan untuk menanyakan pada dokter
atau apoteker apakah obat dikonsumsi sebelum atau seudah makan.
Berikut ini adalah beberapa contoh waktu pemberian obat antibiotik
dan kontraindikasinya.

Antibiotik Efek dan pencegahan


Cephalosporins, penicillin Tidak digunakan bersamaan dengan
produk yang mengandung kalsium dan
suplemen.

Diberikan sebelum makan untuk


mempercepat absorpsi obat
Erythromycin Tidak digunakan bersamaan dengan jus
atau wine, karena dapat menurunkan
efek dari obat.
Sulfonamides Meningkatkan defisiensi vitamin B12.

Diberikan sesudah makan.


Tetracycline Tidak digunakan bersamaan dengan
produk yang mengandung kaslium.

Diberikan satu jam sebelum makan atau


dua jam setelah makan.

E. Keamanan Dan Efektivitas Penggunaan Peralatan Medis Pada Pasien / Keluarga

NAMA ALAT METODE EDUKASI


WARMER Ceramah - Adalah suatu alat yang digunakan
BABY BOX (Demonstrasi untuk menghangatkan bayi baru
(INCUBATOR) ) lahir dengan caesar
- Pada alat ini lengkap semua
pengaturan panas yang dibutuhkan
bayi dan ada alat pengaturan jalan
nafas/ pengaturan udara yang
diperlukan bayi tersebut
- Alat ini mempunyai pintu dari atas
dan dari samping untuk
mempertahankan agar tidak
sembarangan masuk ruangan
incubator, agar tercegah dari
infeksi dari luar
- Jadi apda keluarga perlu kami
beritahukan bahwa bayinya aman
dan nyaman dirawat disana
- Dikeluarkan sampai ada tanda –
tanda dapat hidup di luar alat
tersebut

NEBULIZER Ceramah − Adalah alat yang digunakan untuk


(Demonstrasi memberikan obat inhalasi dengan
) cara inhalasi uap dengan tujuan
melonggarkan saluran pernafasan
karena sekretyang menumpuk pada
saluran pernafasan bagian atas
− Alat ini lengkap dengan mesin
memakai tombol di kontakkan ke
aliran listrik
− Mempunyai tempat memberikan
obat yang akan diberikan secara
inhalasi
− Pemakaian dengan cara
meletkatkan masker / sungkup/ ke
lokasi saluran pernafasan atau
hidung pasien kemudian pasien
diminta tarik nafas biasa, berbaring
setengah duduk
− Diberhentikan bila obat sudah
habis

SPIROMETRI Ceramah - Alat yang berfungsi untuk


(Demonstrasi mengukur tekanana darah pasien
) - Alat ini 1 set terdiri dari tabung
kaca dan berisi air raksa
- Mempunyai pompa dan manset
unntuk memompa sampai melewati
standar normat TD
- Standar tabung mempunyai saluran
ke manset yang di rekatkan ke
lengan atas
- Secrup pompa manset diturunkan
sambil mendengarkan sampai
dimana detak tekanan terdengar
kuat dan hilang
- Pemeriksaan dilakukan terhadap
pasien dalam kondisi tenang
Suction Ceramah - Adalah suatu alat yang digunakan
(Demonstrasi untuk menghisap cairan dalam
) tubuh secara perlahan – lahan
- Alat ini mempunyai set 1 botol
pengukur hasil isapan selang
pengisap, yang dimasukkan
kelokasi tubuh yang perlu diambil
cairannya
- Alat ini mempunyai saluran
sambungan kontak ke listrik
- Kegunaan penyedotan cairan untuk
membantu proses penyembuhan
dan teraphy selanjutnya
ELECTRO Ceramah - Adalah alat monitoring pekerjaan
CARDIO (Demonstrasi jantung seorang pasien dan
GRAM ) berhubungan dengan tekanan darah
dan temperature pasien
- Alat ini mempunyai tombol –
tombol yang diletakkan ke kostae
dada dan ke dua kaki pasien
- Mempunyai mesin peekam kerja
kontraksi jantung sehingga dapat
menyimpulkan kondisi jantung
- Selama proses perekaman pasien
diminta tenang
- Adalah suatu alat berbentuk selang
berukuran atau kanul yang
mempunyai pintu penutupnya
- Alat ini digunakan untuk
pemberian makanan pasien yang
boleh makan melalui oral
- Pemasangan alat ini melalui lubang
hidung sampai masuk ke lambung
pasien
- Pada waktu pemasangan alat
tersebut diminta pasien
menengadah dan bila selang terasa
di tenggorokan sudah sampai
pasien harus berusaha menelan
agar selang tersebut tepat ke
lambung
- Kemudian bila sudah sampai di test
dengancara menghisap pakai spuit
dari lobang permukaan kanul, bila
cairan dari lambung ada keluar
tampak di selangbagian luar berarti
sudah tepat
KATETERISASI Ceramah - Kateter adalah suatu selang/ kanul
(Demonstrasi yang mempunyai lobang
) permukaan pada ujun kanul
mempunyai 2 lobang pada ujung
dan samping
- Kegunaannya untuk mengeluarkan
air kencing / urine dari kantong
kemih.
- Digunakan pada pasien yang tidak
bisa mengeluarkan kencing secara
norrnal dan untuk proses
penyembuhan
- Untuk mengetahui berapa yang
keluar apakah sesuai dengan yang
masuk
-
INFUSE SET / Ceramah - Adalaah alat untuk memasukan
TRANSFUSE (Demonstrasi cairan atau darah dan obat – obat
SET ) ke tubuh pasien
- Alat ini selang yang mempunyai
tabung untuk mengukur tetesan
dan ujungnya mempunyai lobang
saluran yang disambungkan
dengan selang jarum abocath ke
tubuh
- Alat ini ditusukan masuk ke vena
sebagai saluran cairan dan obat
yang diberikan harus melalui
suntikkan
- Alat ini mempunyai abtas
pemakaian tidak boleh lebih 3 x 24
jam, harus diganti
TABUNG - Adalah alat yang digunakan untuk
OXYGEN menyalurkan oxygen ke dalam
DENGAN tubuh pasien yang mengalami
REGULATOR kekurangan oxygen
- Alat ini mempunyai selang dan
ujung terbuka disambungkan ke
sungkup. Alat ini mempunyai
alatpengukur berapa kebutuhan
oxygen yang harus diberikan
- Selain alat pengukur jumlah
oxygen yang diberikan juga tabung
pelembab oxygen yang disalurkan
berupa cairan
- Maka oxygen yang disalurkan
tidak bisa langsung mengalir ke
tubuh pasien namun harus
dilembabkan dulu baru dialirkan
melalui selang penghubung ke
permukaan saluran pernapasan luar
pasien yaitu lobang hidung pasien
-
SELANG Ceramah - Adalah alat untuk mengeluarkan
DRAINAGE (Demonstrasi cairan luka operasi dari tubuh
) - Selang ini dimasukan di lokasi
tubuh pasien yang di operasi di
heacting sederhana dan ujungnya
mempunyai penampungan yang
mempunyai ukuran
- Alat ini dipakai beberapa kali
sampai pengeluaran cairan suadh
tidak ada lagi
- Fungsinya membentuk proses
penyembuhan
F. Diet dan Nutrisi
Edukasi diet dan nutrisi yang disampaikan dietesien / ahli gizi atau
dokter gizi atau tim terapi gizi dilakukan untuk memberikan atau
meningkatkan pengetahuan gizi mengenai diet yang dijalankan. Tata
laksana diet klinis biasanya menggunakan rumus ADIME
( Assessment, Diagnose, Intervention, Monitoring and Evaluating )
yang diperlukan untuk mengetahui Internship Dietetik (ID) di rumah
sakit. Laporan ID yang diinginkan adalah sebagai berikut :

1. Identitas Pasien
Tata laksana gizi dimulai dengan cara melakukan identifikasi kepada
pegawai. Apa saja sih yang harus ada di data identitas ? nah
biasanya yang harus ada adalah nama , usia, jenis kelamin, berat
badan (BB), tinggi badan (TB), IMT, BB ideal, pekerjaan, agama,
pendidikan, alamat.
2. Data Subyektif
Biasanya hal ini berkaitan dengan keluhan-keluhan pasien terhadap
gejala suatu penyakit yang diderita, atau keluhan terhadap akibat
pengobatan (entah itu pada saat pengobatan maupun pasca
pengobatan). Misalnya, seorang pasien Diabetes Mellitus mengeluh
sering merasa mual, pusing, cepat haus, lemas, dan sebagainya.
Atau misalnya pasien kanker mengeluh mengalami mual dan tidak
nafsu makan setelah dilakukan kemoterapi.
3. Riwayat Diet Pasien
Hal ini berkaitan dengan pola makan pasien sebelum dirawat
dirumah sakit. Setidaknya kita melakukan anamnesa tentang
kebiasaan pasien makan, makanan kesukaannya, frekuensi makan
perhari, selingan atau cemilan yang biasa dikonsumsi, dan yang
tidak kalah penting adalah melakukan recall makan sehari sebelum
pasien dirawat.
4. Data Obyektif
Data ini merupakan data yang diperoleh dengan cara melakukan
pengukuran terhadap pasien yang meliputi ABCD ( Antropometri,
Biokimia, Clinic, Dietary History) dan hal terkait pasien.
Antropometri (BB, TB, IMT, BB ideal (BBI), lingkar lengan atas
(LILA)<,lingkar perut, klinis (Monitor Tanda-Tanda Vital –TTV),
Terapi obat yang diberikan oleh dokter, terapi infuse, pemeriksaan
lain yang dilakukan (misalnya, pemeriksaan radiologi pulmo), dan
perkembangan diet selama perawatan (misalnya hari pertama diet
cair, lunak, dan sebagainya).
5. Data Laboratoruim
Namanya juga data laboratorim, sudah pasti data yang biasanya
didapat pada pengukuran yang dilakukan di laboratorium. Apa
saja ? Misalnya, kadar gula darah, kadar kolestrol darah, kadar
hemoglobin (Hb), kadar LDL, HDL< kadar ureum, dsb.
6. Assessment
Assessment adalah penilaian seorang ahli gizi terhadap kondisi
pasien. Yaitu tentang data subyektif, riwayat penyakitnya, status
gizi, kondisi pasien berdasarakan data objektif (ABCD) dalam
kalimat singkat.
7. Analisis
Berupa pembahasan tentang status gizi pasien ( baik pada saat
sebelum perawatan, saat perawatan, maupun setelah perawatan),
identifikasi etiologi, patalogi, penyakit yang diderita oleh pasien,
kedua hal ini nantinya digunakan sebagai dasar penentuan
kebutuhan zat gizi (tentu tidak melupakan keterkaitan / interaksi
dengan obat dan / atau terapi infuse yang diberikan serta
kemampuan makan pasien)

8. Penatalaksanaan
Hal ini berkaitan dengan tata laksana medis (oleh dokter dan
praktisi kesehatan) serta tata laksana diet yang diberikan sebagai
pendukung penatalaksanaan medis.
9. Evaluasi Diet
Evaluasi merupakan bagian yang sangat penting dalam tata laksana
diet. Mengapa? Karena hal ini merupakan salah satu bentuk
penilaian tingkat keberhasilan tatalaksana diet sebagai pendukung
tata laksana medis yang diberikan. Evaluasi diet dimulai dari
penilaian ketersediaan zat gizi dari menu rumah sakit, intake dari
rumah sakit (dan luar rumah sakit , misalnya oleh-oleh dari
pengunjung), kemudian yang paling penting adalah perhitungan
tingkat kecukupan zat gizi serta kondisi pasien.

10. Asuhan Gizi


Asuhan Gizi yaitu saran menu yang disampaikan oleh seorang ahli
gizi terhadap pasien guna untuk memaksimalkan asupan gizi
pasien. Misalnya, pemberian porsi makan kecil dengan frekuensi
sering, makanan mengandung sedikit lemak, makanan disajikan
dingin atau suhu ruang untuk mempermudah proses makan, dan
sebaginya. Hal ini, jangan lupa direalisasikan dalam daftar menu
makan sehari ( tentu harus dengan dicantumkan kandungan
gizinya).
G. Manajemen Nyeri

1. Manajemen Nyeri Dengan Farmakologi

a. Manajemen Nyeri Akut


1) Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi <6 minggu
2) Lakukan asesmen nyeri: mulai dari anamnesis hingga
pemeriksaan penunjang
3) Tentukan mekanisme nyeri

b. Nyeri Somatik
1) Diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang menyebabkan
pelepasan zat kimia dari sel yang cedera dan memediasi
inflamasi dan nyeri melalui nosiseptor kulit
2) Karakteristik: onset cepat, terlokalisasi dengan baik, dan
nyeri bersifat tujuan, menusuk, atau seperti ditikam
3) Contoh: nyeri akibat laserasi, sprain, fraktur, dislokasi

c. Nyeri Visceral:
1) Nosiseptor visceral lebih setikit dibandingkan somatic,
sehingga jika tersitmulasi akan menimbulkan nyeri yang
kurang bisa dilokalisasi, bersifat difus, tumpul, seperti ditekan
benda berat
2) Penyebab: iskema atau nekrosis, inflamasi, peregangan
ligament, spasme otot polos, distensi organ berongga atau
lumen
3) Biasanya disertai dengan gejala otonom, seperti mual,
muntah, hipotensi, bradikardia, berkeringat

d. Nyeri Neoropatik
1) Berasal dari cedera jaringan saraf.
2) Sifat nyeri: rasa terbakar, nyeri menjalar , kesemutan,
alodinia ( nyeri saat disentuh ), hiperalgesia
3) Gejala nyeri biasanya dialami pada bagian distal dari tempat
cedera (sementara pada nyeri nosiseptif, nyeri dialami pada
tempat cederanya )
4) Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes,
multiple sclerosis, herniasi diskus, aids, pasien yang
menjalani kemoterapi atau radioterapi.
5) Oains efektif untuk nyeri ringan-sedang , opioid efektif
untuk nyeri sedang-berat.
6) Mulailah dengan pemberian oains atau opioid lemah
( langkah 1 dan 2) dengan pemberian intrmiten ( pro re
nata-prn ) apioid kuat yang disesuaikan dengan kebutuhan
pasien.
7) Jika langka 1 dan 2 kurang efektif atau nyeri menjadi
sedang-berat, dapat ditingkatkan menjadi langka 3 ( ganti
dengan opioid kuat dan prn analgesic dalam kurun waktu
24 jam setelah langka 1).
8) Penggunaan apioid harus dititrasi. Opioid standar yang
sering digunakan adalah morfin, kodein.
9) Jika pasien memiliki kontraindikasi absolute oains, dapat
diberikan opioid ringan.
10) Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati, lakukan
pengurangan dosis secara bertahap :
a) Intravena: antikonvulsan, ketamine, OAINS, opioid
b) Oral : antikonvulsan, antidepresan, antihistamin,
anxiolytic, kortikosteroid, anestesi local, OAINS, opioid,
tramadol
c) Rectal (supositoria): parasetamol, aspirin, opiod,
fenotazin
d) Topical: lidokain patch, EMLA
e) Subkutan : Anestesi local.
2. Follow-up atau asessment ulang
a. Asessment ulang sebaiknya dilakukan dengan interval yang
teratur, Panduan umum :

1) Pemberian parenteral: 30 menit

2) Pemberian oral : 60 menit

3) Intervensi non – farmakologi : 30-60 menit

b. Pencegahan

1) Edukasi Pasien :
a) Berikan infomasi mengenai kondisi dan penyakit pasien,
serta tatalaksananya.
b) Diskusikan tujuan dari manajemen nyeri dan manfaatnya
untuk pasien.
c) Beritahukan bahwa pasien dapat mengubungan tim
medis jika memiliki pertanyaan atau ingin berkonsultasi
mengenai kondisinya.
d) Pasien dan keluarga ikut dilibatkan dalam menyusun
manajemen nyeri ( termasuk penjadwalan medikasi,
pemilihan analgesik, dan jadwal kontrol ).
3. Kepatuhan pasien dalam menjalani manajemen nyeri dengan baik
a. Medikasi saat pasien pulang
1) Pasien dipulangkan segera setelah nyeri dapat teratasi dan
dapat beraktivitas seperti biasa atau normal.
2) Pemilihan medikasi analgesik bergantung pada kondisi pasien.
4. Manajemen Nyeri Kronik
a. Lakukan penilaian nyeri:
1) Anamnesis dan pemeriksaan fisik (karakteristik nyeri, riwayat
manajemen nyeri sebelumya)
2) Pemeriksaan penunjang : radiologi
3) Penilaian fungsional:
a) Nilai aktvitas hidup dasar (ADL), identifikasi
kecatatan atau disabilitas
b) Buatan tujuan fungsional spesifik dan rencana perawatan
pasien
c) Nilai efektifitas rencana perawatan dan manajemen
pengobatan
b. Tentukan mekanisme nyeri:
1) Manajemen bergantung pada jenis atau klasifikasi nyerinya
2) Pasien sering mengalami > 1 jenis nyeri
3) Terbagi menjadi 4 jenis :
(1) Nyeri neuropatik:
(a) Disebabkan oleh kerusakan atau disfungsi sistem
somatosensorik
(b) Contoh: neuropati DM, neuralgia trigeminal, neuralgia
pasca-herpetik
(c) Karakteristik: nyeri persisten, rasa terbakar, terdapat
penjalaran nyeri sesuai dengan persarafannya, baal,
kesemutan, alodinia
(d) Fibromyalgia: gatal, kaku, dan nyeri yang
difus pada musculoskeletal (bahu, ekstremitas), nyeri
berlangsung selama >3 bulan.

(2) Nyeri otot: tersering adalah nyeri miofasial

(a) Mengenai otot leher, bahu, lengan, punggung bawah,


panggul, dan ekstremitas bawah
(b) Nyeri dirasakan akibat disfungsi pada I/lebih jenis otot,
berakibat kelemahan, keterbatasan gerak
(c) muncul akibat aktivitas pekerjaan yang repetitive
(d) Tatalaksana: mengembalikan fungsi otot dengan
fisioterapi, identifikasi dan manajemen faktor yang
memperberat (postur, gerakan repetitive, faktor
pekerjaan)

(3) Nyeri inflamasi (dikenal juga dengan istilah nyeri nosiseptif)

Contoh: arthritis, infeksi,cedera jaringan (luka),nyeri pasca-

Operasi.

Karakteristik : Pembengkakan, kemerahan, panas pada

tempat nyeri. Terdapat riwayat cedera atau luka.

Tatalaksana : Manajemen proses inflamasi dengan antibiotic

atau antirematik, OAINS, kortikosteroid.

(4) Nyeri mekanis atau kompresi

(a) Diperberat dengan aktinitas, dan nyeri berkurang dengan


istirahat.
(b) Contoh: nyeri penggung dan leher (berkaitan dengan
strain/
Sprain ligament atau otot), degenerasi diskus,
osteoporosis dengan fraktur kompresi, fraktur.
(c) Merupakan nyeri nosiseptif Tatalaksana : beberapa
memerlukan dekompresi atau stabilisasi.
5) Nyeri kronik : nyeri yang persistem atau berlangsung > 6
minggu.

4) Penilaian lainnya:

(a) Penilaian psikologi: nilai apakah pasien mempunyai masalah


psikiatri (depresi, cemas, riwayat penyalahgunaan obat-obatan,
riwayat penganiayaan secara seksual/fisik.verbal, gangguan tidur)

(b) Masalah pekerjaan dan disabilitasi

(c) yang mempengaruhi:

(1) Kebiasaan akan postur leher dan kepala yang buruk

(2) Penyakit lain yang memperburuk atau memicu nyeri kronik


pasien

(d) Hambatan terhadap tatalaksana:

(1) Hambatan komunikasi atau bahasa


(2) Faktor financial
(3) Rendahnya motivasi dan jarak yang jauh terhadap
fasilitas kesehatan
(4) Keputusan pasien yang buruk
(5) Kurangnya dukungan dari keluarga dan tema

5) Manajemen nyeri kronik:

(a) Prinsip level I:

(1) Buatan rencana perawatan tertulis secara komprehensif (buat


tujuan,perbaiki tidur, tingkatkan fisik, manajemen stress, kurangi
nyeri)
(2) Pasien harus berpartisipasi dalam program latihan
untuk meningkatkan fungsi
(3) Dokter dapat mempertimbangkan pendekatan perilaku
kognitif dengan resorasi fungsi untuk membantu mengurangi nyeri
dan peningkatan fungsi:
(4) Beritahukan kepada pasien bahwa nyeri kronik adalah masalah
yang rumit dan kompleks. Tatalaksana sering mencakup
manajemen stress, latihan fisik, terapi relaksasi, dan sebagainya
(5) Beritahukan pasien bahwa focus dokter adalah manajemen
nyerinya
(6) Ajakan pasien untuk berpartisipasi aktif dalam manajemen nyeri iv.
medikasi nyeri yang teratur dan terkontrol
(7) Jadwalkan control pasien secara rutin, jangan biarkan
penjadwalan untuk control dipengaruhi oleh peningkatan level nyeri
pasien
(8) Bekerjasama dengan keluarga untuk memberikan dukungan
kepala pasien
(9) Bantulah pasien agar dapat kembali bekerja secara bertahap
(10) Atasi keengganan pasien untuk bergerak karena takut nyeri

6) Manajemen psikososial (atasi depresi, kecemasan, ketakutan pasien)


Manajemen level I :
Menggunakan pendekatan standar dalam penatalaksanaan nyeri kronik
termasuk farmakologi, intenvensi, non-farmakologi, dan tetapi pelengkap
atau tambahan.
a) Nyeri Neuropatik
Atasi penyebab yang mendasari timbulnya nyeri
1) Kontrol gula darah pada pasien DM
2) Pembedahan, kemoterapi, radioterapi untuk pasien tumor
dengan kompresi saraf
3) Kontrol infeksi (antibiotik)
4) Terapi simptomatik:
5) Antidepresan trisiklik (amitriptilin)
a) Antikonvulsan: gabapentin,karbamazepin
b) Control topice (lidocaine patch 5% krim anestesi
c) OAINS, kortikosteroid, opioid
d) Anestesi regional: blok simpatik, blok epidural atau
intratekal, infus epidural atau intratekal
e) Terapi berbasis-stimulasi: akupuntur, alat bantu, stimulasi
spinal, pijat
f) Rehabilitasi fisik: bidai, manipulasi, alat bantu, latihan
mobilisasi, metode ergonomic
g) Terapi lainnya: hypnosis, terapi relaksasi (mengurangi tegangan
otot dan tolerensi terhadap nyeri.

2. Nyeri otot

a. Lakukan skrining terhadap patologi medis yang serius, faktor


psikososial yang dapat menghambat pemulihan
b. Berikan program latihan secara bertahap, dimulai dari latihan
dasar /awal dan ditingkatkan secara bertahap
c. Rehabilitasi fisik:
1. Fitness: angka beban bertahap, kardiovaskular,
fleksibilitas, keseimbangan
2. Mekanik
3. Pijat, terapi akuatik
d. Manajemen perilaku
1. Stress atau depresi
2. Teknik relaksasi
3. Perilaku kognitif
4. Keterangantungan obat
5. Manajemen amarah
e. Terapi obat:
1. Analgesik dan sedasi
2. Antidepressant
3. Opioid jarang dibutuhkan

3. Nyeri inflamasi

a. Kontrol inflamasi dan atasi penyebabnya


b. Obat anti-inflamasi utama: OAINS, kortikosteroid

4. Nyeri mekanis atau kompresi

a. Penyebab yang sering tumor atau kista yang menimbulkan kompresi


pada struktur yang sensitif dengan nyeri, dislokasi, fraktur
b. Penanganan efektif: dekompresi dengan pembedahan atau stabilisasi,
bidai, alat bantu
c. Medikamentosa kurang efektif. Opioid digunakan untuk mengatasi
nyeri saat terapi lain diaplikasikan.
H. Teknik Fisioterapi
Fisioterapis adalah tenaga kesehatan profesional yang bekerja
untuk manusia segala umur yang bertujuan untuk memelihara,
meningkatkan kesehatan, mengembalikan fungsi dan
ketergantungan bila individu mendapatkan kekurangan gangguan
kemampuan atau masalah yang disebabkan kerusakan fisik, psykis
dan lain sebagainya.
1. Proses Fisioterapi
a) Assesment ( Pengkajian )
b) Diagnose ( Diagnosa )
c) Planning ( Perencanaan )
d) Intervention ( Pelaksanaan )
e) Evaluation ( Evaluasi )

Penyelenggara pelayanan fisioterapi seyogyanya menjadikan


komunikasi dan edukasi kepada pasien dan keluarganya,
profesional lain terkait, serta masyarakat, sebagai bagian dari proses
pelayanan fisioterapi berkualitas yang berfokus pada pasien.

2. Edukasi Fisioterapi dalam bentuk home program yaitu sebagai


berikut :
a. Home program manajemen fisioterapi pada kasus spondylosis,
spondylolisthesis lumbal dan osteoporosis, yaitu :
1) Perhatikan posisi tubuh pada saat bekerja dan jangan
terlalu lama berada pada posisi yang sama.
2) Untuk yang berusia diatas 40 tahun, berhati-hatilah
terhadap gerakan yang dapat membebani tulang
belakang/ gerakan membungkuk
3) Dilarang keras mengangkat benda-benda berat, berada
pada posisi jongkok, membungkuk, atau duduk dikursi
yang terlalu rendah.
4) Jangan terlalu capek dan stress.
5) Disarankan berolahraga renang.
6) Duduklah dengan posisi punggung tegak.
b. Implikasi Biomekanik Fase Inflamasi pada fraktur, PRICE
yaitu:
1) Protect
a) Proteksi harus diaplikasikan selama fase awal proses
penyembuhan.
b) Durasi ditentukan oleh tingkat nyeri dan tingkat cedera.
Studi menunjukkan bahwa dengan derajat kedua
(moderat) cedera membutuhkan 3-5 hari proteksi,
derajat pertama (ringan) cedera memerlukan waktu yang
lebih singkat, dan derajat ketiga (parah) lebih lama lagi.
c) Mode aplikasi proteksi tergantung lokasi dan sifat
cedera.

2) Rest or relative rest


a) Segera setelah cedera
b) Stress pada jaringan yang cedea seharusnya dihindari
selama fase inflamasi, saat tensile strength jaringan yang
cedera menurun di fase ini
c) Satu sampai lima hari, tergantung tingkat cedera
d) mobilisasi dini pada awalnya harus menghindari stres
berlebihan pada jaringan penyembuhan.
e) Kontraksi isometrik bisa dilakukan
f) Aktivitas umumnya harus dikurangi untuk menghindari
peningkatan laju metabolisme dan menghasilkan
peningkatan aliran darah.

1) Ice
a) Es harus diterapkan segera setelah cedera.
b) Untuk mencegah luka bakar es, kerusakan jaringan dan
kelumpuhan saraf, tidak diterapkan es langsung ke
kulit.
c) Serpihan es dalam handuk yang lembab tampaknya
merupakan praktek terbaik, disusul oleh es dalam
kantong plastik, dan kemudian pack gel beku.
d) Durasi paling efektif tampaknya dalam aplikasi berulang
dari 10 menit.
e) Cryotherapy merupakan kontraindikasi pada orang tua,
penderita diabetes, dan mereka yang menderita sindrom
Raynaud, penyakit pembuluh darah perifer atau anemia
sel sickle.
1) Compression
a) Selalu menerapkan kompresi secara merata, arah dari
distal ke proksimal.
b) Kompresi harus diterapkan sesegera mungkin setelah
cedera dan terus berlanjut selama 72 jam pertama.
c) Kompresi menggunakan legging elastis (atau setara)
tidak harus diterapkan dalam posisi berbaring, atau
terkait dengan elevasi.
d) Lepas dan menerapkan kembali jika tekanan merata dan
konstan tidak dipertahankan. Kompresi dapat
dilanjutkan dengan cryotherapy - penggunaan dengan es
dan ketika melepaskan es terapkan kembali materi
kompresi kering.
e) Kompresi intermiten dapat diterapkan (30 menit setiap
hari pada kompresi 60mmHg, 30 detik on, 30 detik off)
selain kompresi selama 5 hari pertama.
f) Daerah distal harus diperiksa segera setelah aplikasi
kompresi untuk tanda-tanda sirkulasi berkurang (dingin,
pucat) dan secara teratur selama pengobatan.

1) Elevation
a) Tinggikan bagian yang cedera di atas level jantung
sesegera mungkin setelah cedera dan kemudian
semaksimal mungkin selama 72 jam pertama setelah
cedera.
b) Pastikan bahwa bagian ditinggikan secara memadai
didukung (misalnya bantal, sling).
c) Hindari menempatkan ekstremitas dalam posisi
tergantung segera setelah elevasi karena 'Rebound
fenomena' akan cenderung meningkatkan edema.
d) jika ekstremitas dapat dipertahankan pada elevasi, tidak
diterapkan kompresi secara bersamaan.

Mobilisasi awal diperlukan tapi harus sangat hati-hati untuk


menghindari memicu kerusakan jaringan yang lebih parah.
c. No HARM factors, yaitu :
48 – 72 jam pertama

1. H = Heat (seperti ; sauna, spa, hot water bottle, hot shower, heat
rubs etc. yang dapat meningkatkan pendarahan)

2. A = Alcohol (meningkatkan swelling)

3. R = Running (atau latihan / exercise terlalu cepat

bias memperparah cedera )

4. M = Massage (meningkatkan pendarahan dan swelling)

d. A4 penghambat proses penyembuhan


a) ATTITUDE ( sikap pasien yang tidak mengikuti prinsip dan
prosedur rehabilitasi )
b) ABILITY TO NUTRIFY (asupan nutrisi yang kontradiktif
terhadap penyembuhan)
c) AGE (usia muda lebih cepat proses healingnya)
d) ACTIVITY (tidak ada aktivitas ataukah aktivitas yang
berlebihan)

Anda mungkin juga menyukai