Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

World Health Organitation (WHO), menekankan kesehatan sebagai suatu keadaan

sejahtera yang positif bukan sekedar keadaan tanpa penyakit. Orang yang dinyatakan

memiliki jiwa yang sehat apabila mampu mengendalikan diri dalam menghadapi stressor

di lingkungan sekitar dengan selalu berpikir positif dalam keselarasan tanpa adanya

tekanan fisik dan psikologis, baik secara internal maupun eksternal yang mengarah pada

kesetabilan emosional (Hidayat,2011). Saat ini gangguan jiwa diidentifikasi dan

ditangani sebagai masalah medis. Terdapat berbagai sumber-sumber setressor yang dapat

mengakibatkan terjadinya berbagai masalah kesehatan jiwa, baik yang berat maupun

yang ringan (Kelliat,2009).

Kesehatan jiwa adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan dari kesehatan atau

bagian integral dan merupakan unsur utama dalam menunjang terwujudnya kualitas

hidup manusia. Gangguan jiwa dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu gangguan jiwa

ringan (Neurosa) dan gangguan jiwa berat (Psikosis). Psikosis ada dua jenis yaitu

psikosis organik, dimana didapatkan kelainan pada otak dan psikosis fungsion tidak

terdapat kelainan pada otak. Psikosis salah satu bentuk gangguan jiwa merupakan ketidak

mampuan untuk berkomunikasi atau menggali realitas yang menimbulkan kesukaran

dalam kemampuan seseorang berperan sebagaimana mestinya dalam kehidupan sehari-

hari (Andayani,2012).
Kesehatan jiwa merupakan pengendalian diri dalam menghadapi stresor di

lingkungan sekitar dengan selalu berpikir positif dalam keseluruhan tanpa adanya

tekananfisik dan psikologis, baik secara internal maupun eksternal yang mengarah pada

kestabilan emosional yang mengganggu kesehatan jiwa atau juga yang disebut dengan

skizofrenia (Nasir dan Muhith, 2011).

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang paling banyak terjadi, gejalanya

ditandai dengan adanya distorsi realita, disorganisasi kepribadian yang parah, serta

ketidakmampuan individu berinteraksi dengan kehidupan sehari-hari, hampir 1 %

penduduk dunia mengalami skizofrenia dalam hidup mereka, ditemukan terbanyak pada

usia 15-35, dan dari 1000 orang dewasa 7 diantaranya mengalami skizofrenia (Elvira &

Hadisukanto,2010). Sementara hasil analisis terbaru yang dilakukan oleh World Health

Organization (WHO,2013) menunjukkan terdapat sekitar 450 juta orang menderita

gangguan neuropsikiatri, termasuk skizofrenia.

Berdasarkan dari hasil Data Riset Kesehatan Dasar di Indonesia pada tahun 2018

untuk pasien gangguan jiwa atau Skizofrenia didapatkan hasil sebanyak 6,7 % dimana

terjadi peningkatan dari tahun 2013 yang didapatkan hasil sebanyak 0,17%, (Riskesdas).

Sedangkan untuk data Sumatera Barat pada tahun 2018 didapatkan hasil 9,1% pada

pasien Skizofrenia. Berdasarkan data yang di peroleh dari Puskesmas Guguk Panjang

jumlah pasien yang mengalami skizofrenia pada tahun 2019 adalah sebanyak 37 orang.

Pasien skizofrenia mengalami penurunan pada aktivitas sehari-hari karena

kehilangan motivasi dan apatis berarti kehilangan energi dan minat dalam hidup. Hal ini

membuat pasien menjadi orang yang malas, mereka tidak bisa melakukan hal-hal yang lain

selain tidur dan makan (Yosep, 2009, h 219).


Keadaan apatis pada skizofrenia menyebabkan terganggunya aktifitas rutin sehari-

hari seperti mandi, menyisir rambut, gosok gigi dan tidak mempedulikan kerapian diri

atau berpakaian/berdandan secara eksentrik (Ibrahim, 2009,h 28). Kemandirian dalam

aktivitas kehidupan sehari hari seperti mandi, makan, berpakaian, dan toiletingyang

terganggu menyebabkan penurunan kemandirian perawatan diri pada pasien skizofrenia

(Retno, 2018).

Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami

kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan diri

secara mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian atau berhias, makan, BAB dan BAK

(toileting). Kebersihan diri sangat dipengaruhi oleh nilai individu dan kebiasaan. Oleh

karena itu, personal hygiene sangat perlu diterapkan, mengingat banyak manfaat yang

ada untuk pencegahan segala penyakit yang bisa ditimbulkan (Fitria,N,2009). Personal

hygiene adalah perawatan diri dimana seseorang merawat fungsi-fungsi tertentu seperti

mandi, toileting, kebersihan tubuh secara umum dan bersih (Anggriana T.W,2010).

Keterbatasan perawatan diri biasanya diakibatkan oleh karena tingkatan stressor

yang tinggi dan berat serta sulit ditangani oleh klien. Sehingga dirinya tidak mau

mengurus atau merawat dirinya sendiri dalam hal mandi, berpakaian, berhias, makan,

maupun buang air kecil dan buang air besar (Khaeriyah, Sujarwo, & Supriyadi, 2013).

Orem mendefinisikan perawatan diri sebagai kegiatan-kegiatan, yaitu individu memulai

dan melaksanakannya untuk diri sendiri, dalam hal mempertahankan kehidupan,

kesehatan, dan kesejahteraan (Orem 1991) dalam Susanti,H (2010).

Personal hygiene sangat tergantung pada pribadi masing-masing yaitu nilai

individu dan kebiasaan untuk mengembangkannya. Kehidupan sehari-hari yang


beraturan, menjaga kebersihan tubuh, makanan yang sehat, banyak menghirup udara

segar, olahraga, istirahat cukup, merupakan syarat utama dan perlu mendapat perhatian

(Nuning,2009). Pemeliharaan personal hygiene berarti tindakan memelihara kebersihan

dan kesehatan diri seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikisnya. Seseorang

dikatakan memiliki personal hygiene baik apabila, orang tersebut dapat menjaga

kebersihan tubuhnya yang meliputi kebersihan kulit, gigi dan mulut, rambut, mata,

hidung, dan telinga, kaki dan kuku, genitalia, serta kebersihan dan kerapihan pakaiannya

(Arif,2008).

Berdasarkan survey awal yang telah dilakukan pada tanggal 5 Juli 2019, gejala

yang tampak diantaranya : badan klien bau, gigi klien kuning, klien jarang mengganti

pakaian, dan jarang mandi. Gejala tersebut menunjukkan bahwa terganggunya aktifitas

kebersihan diri dan berhias pada pasien. Berdasarkan fenomena diatas, maka penulis

merasa tertarik untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan aktivitas mandiri personal

hygiene terhadap kemandirian merawat diri pada pasien defisit perawatan diri dengan

skizofrenia di Wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang tahun 2019.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan masalah “Bagaimana

pelaksanaan aktivitas mandiri personal hygiene terhadap kemandirian merawat diri pada

pasien defisit perawatan diri dengan skizofrenia di Wilayah kerja Puskesmas Guguk

Panjang tahun 2019?”


C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Penulis dapat mengetahui pengaruh aktivitas mandiri personal hygiene terhadap

kemandirian merawat diri pada pasien defisit perawatan diri dengan skizofrenia di

Wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang tahun 2019

2. Tujuan Khusus

a. Melakukan pengkajian sampai dengan evaluasi pada Tn.Y dengan defisit

perawatan diri dengan skizofrenia di Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang

tahun 2019

b. Memahami konsep tentang asuhan keperawatan jiwa pada Tn.Y dengan defisit

perawatan diri dengan skizofrenia di Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang

tahun 2019

c. Menerapkan evidence based (aktivitas mandiri personal hygiene) pada Tn.Y

dengan defisit perwatan diri dengan skizofrenia di Wilayah Kerja Puskesmas

Guguk Panjang tahun 2019

d. Membandingkan asuhan keperawatan jiwa antara teoritis dengan kasus pada Tn.Y

dengan defisit perawatan diri dengan skizofrenia di Wilayah Kerja Puskesmas

Guguk Panjang tahun 2019

e. Mendokumentasikan asuhan keperawatan pada Tn.Y dengan defisit perawatan

diri dengan skizofrenia di Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang tahun 2019
D. Manfaat Penulisan

1. Bagi Pasien

Terapi token ekonomi dapat meningkatkan kesadara klien tentang pentingnya

kebersihan diri

2. Bagi Perawat Dalam Tenaga Kesehatan

KIA-N ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi perawat dalam

memberikan intervensi keperawatan pada pasien skizofrenia, guna untuk

meningkatkan defisit perawatan diri. Menjadi salah satu acuan bagi perawat untuk

meningkatkan kualitas asuhan keperawatan jiwa dengan dengan melakukan asuhan

keperawatan jiwa secara mandiri sehingga diharapkan dapat meningkatkan

kebersihan diri pada pasien skizofrenia.

3. Bagi Penulis

Hasil karya ilmiah ini menjadi bahan dasar untuk peneliti selanjutnya yang berkaitan

dengan asuhan keperawatan jiwa pasien skizofrenia.

4. Bagi Puskesmas

Bahan panduan dan rujukan bagi puskesmas tentang tindakan pemberian asuhan

keperawatan jiwa pada pasien skizofrenia sehingga puskesmas dapat menerapkan

tentang tindakan keperawatan pada pasien skizofrenia.

Anda mungkin juga menyukai