Anda di halaman 1dari 80

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut World Health Organisation (WHO), lanjut usia (lansia)

adalah seseorang yang telah memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia

merupakan kelompok umur pada manusia yang telah memasuki tahapan

akhir dari fase kehidupannya. Di seluruh dunia pada tahun 2015 ada

901.000.000 orang berusia 60 tahun atau lebih, yang terdiri atas 12

persen dari jumlah populasi global. Pada tahun 2015 dan 2030, jumlah

orang berusia 60 tahun atau lebih diproyeksikan akan tumbuh sekitar 56

persen, dari 901 juta menjadi 1.4 milyar, dan pada tahun 2050 populasi

lansia diproyeksikkan lebih dari 2 kali lipat di tahun 2015, yaitu

mencapai 2.1 milyar (United Nations, 2015).

Proporsi populasi yang berusia lebih dari 60 tahun (lansia) dari

tahun ke tahun terus bertambah. Berdasarkan sensus penduduk pada

tahun 2010, jumlah lanjut usia di Indonesia yaitu 18,1 juta jiwa (7,6%

dari total penduduk). Pada tahun 2014, jumlah penduduk lanjut usia di

Indonesia menjadi 18,781 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun 2025,

jumlahnya akan mancapai 36 juta jiwa (Depkes RI, 2015).

Peningkatan jumlah lansia ini ditemukan dibeberapa provinsi di

Indonesia. Suatu wilayah disebut berstruktur tua jika persentase lanjut

usianya lebih dari 7%. Provinsi yang memiliki jumlah lansia terbanyak

secara berturut-turut diantaranya adalah DI Yogyakarta (13,4%), Jawa

Tengah (11,8%), dan Jawa Timur (11,5%). Sedangkan Sumatera Barat


2

berada diurutan ke tujuh dengan persentase sebesar 8,8% (BPS, 2013).

Sehingga Sumatera Barat disebut wilayah berstruktur tua karena memiliki

persentase lansia lebih dari 7%. Jumlah penduduk di Sumatera Barat

5.079.451 jiwa dan dari jumlah tersebut yaitu sekitar 424.895 jiwa adalah

penduduk lansia (Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Barat, 2014).


Data dari Dinas Kesehatan Kota Bukittinggi (2017) tercatat jumlah

penduduk Kota Bukittinggi sebanyak 126.804 jiwa dan 9.786 (15,41%)

diantaranya adalah penduduk dengan usia diatas 60 tahun. Dari 7

Puskesmas yang ada di Kota Bukittinggi, tercatat bahwa Puskesmas

Guguk Panjang merupakan Puskesmas yang tertinggi jumlah lansianya,

yaitu terdapat 2.193 lansia dan diikuti dengan Puskesmas Tigo Baleh

sebanyak 2.184, Puskesmas Tangah Sawah sebanyak 1.449 lansia,

Puskesmas Mandi Angin sebanyak 1.340 orang lansia, Puskesmas Nilam

Sari sebanyak 1.115 orang lansia, Puskesmas Mandi Angin Plus sebanyak

1.057 orang lansia, dan Puskesmas Gulai Bancah sebanyak 448 orang

lansia.
Meningkatnya populasi usia lanjut juga menimbulkan peningkatan

jumlah penduduk dengan penyakit degeneratif seperti demensia

(Suriastini dkk, 2016). Prevalensi gangguan demensia menjadi semakin

tinggi dengan bertambahnya usia manusia, yang paling sering timbul

berupa penyakit alzheimer pada lansia, yang diikuti oleh demensia

(Laking, 2011).

Demensia adalah istilah umum yang digunakan untuk

menggambarkan kerusakan fungsi kognitif global yang biasanya bersifat

progresif dan memengaruhi aktivitas okupasi yang normal juga aktivitas


3

kehidupan sehari-hari (Stanley, 2006). Demensia merupakan penyakit

degeneratif otak dan diketahui mempengaruhi memori, kognitif karena

kematian prematur sel – sel dalam ganglia basalis, kehilangan sel di

korteks, daerah yang berkaitan dengan berfikir, memori, persepsi, dan

kurangnya neurotransmitter dalam otak (Kimberly, 2011).

Di seluruh dunia jumlah orang yang hidup dengan demensia pada

tahun 2015 diperkirakan mencapai 47.470.000, mencapai 75.630.000

pada tahun 2030 dan 135.460.000 pada tahun 2050. Tiga puluh tujuh

persen dari orang yang hidup dengan demensia hidup di negara-negara

berpenghasilan tinggi, enam puluh persen hidup di negara-negara rendah

dan menengah (WHO, 2015). Alzheimer’s Disease International (ADI)

memperkirakan Indonesia memiliki jumlah penderita demensia sebesar

1,2 juta jiwa dan masuk dalam 10 negara dengan demensia tertinggi di

dunia dan di Asia Tenggara pada 2015 (Priherdityo, 2016).


Menurut Alzheimer’s Indonesia Scientific Committee Prevalensi

Demensia lanjut usia umur 60 tahun atau lebih di DI Yogyakarta

mencapai 20.1%. Semakin meningkatnya umur maka tingkat prevalensi

demensia juga meningkat. Pada umur 60 tahun 1 dari 10 lanjut usia DI

Yogyakarta mengalami demensia. Memasuki usia 70an tahun 2 dari 10

lanjut usia yang terkena demensia. Ketika memasuki usia 80an tahun 4-5

dari 10 lanjut usia yang terkena demensia dan akhirnya saat memasuki

usia 90an tahun 7 dari 10 lanjut usia mengalami demensia. Jika

dibandingkan dengan prevalensi pada tingkat global prevalensi demensia

di DI Yogyakarta jauh lebih tinggi (Suriastini, dkk 2016).


4

Demensia ditandai dengan penurunan kemampuan fungsi kognitif

(fungsi berpikir otak) yang berdampak signifikan pada kehidupan sehari-

hari. Hilangnya kemampuan memori, perhatian, bahasa, perencanaan,

penilaian, keterampilan spasial dan keterampilan sosial (Farrow &

Kathryn, 2013).
Penurunan kemampuan fungsi kognitif pada lansia berasosiasi

secara signifikan dengan peningkatan depresi dan memiliki dampak

terhadap penurunan kualitas hidup seorang lansia. Lansia yang

mengalami perubahan fungsi kognitif lebih banyak kehilangan hubungan

dengan orang lain, bahkan dengan keluarganya sendiri dan tidak mampu

melakukan aktivitas sehari-hari (Surprenant & Neath, 2007). Demensia

apabila tidak ditangani segera maka akan berlanjut ke tahap yang lebih

parah yaitu akan menyebabkan kematian, karena pada tahap akhir

penderita demensia akan mengalami halusinasi berat yang bisa

menyebabkan penderitanya bunuh diri (Devi, 2014). Dan demensia

merupakan penyebab kematian ke-4 setelah penyakit jantung, kanker dan

stroke (Francina, 2007).

Beberapa faktor resiko yang berkaitan dengan demensia adalah

aktivitas fisik, aktivitas kognitif, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,

riwayat penyakit (hipertensi, Diabetes millitus) dan riwayat demensia

keluarga (Lumbantobing, 2006). Aktivitas fisik memiliki dampak positif

yang signifikan pada kesehatan otak dan merupakan faktor yang sangat

berpengaruh terhadap penurunan demensia setelah faktor pendidikan.

Dengan peningkatan 10% aktivitas fisik berpotensi mencegah sekitar

380.000 kasus demensia (Baumgart, 2015). Aktivitas fisik juga mencegah


5

penyakit kardiovaskular yang merupakan faktor resiko penyebab

demensia seperti Hipertensi, DM, penyakit jantung. Orang-orang yang

melakukan aktivitas fisik secara teratur rata-rata memiliki otak sehat,

memori yang lebih baik, perencanaan yang lebih efisien dan

keterampilan berpikir lainnya, dan lebih sedikit kesempatan

mengembangkan demensia.

Aktivitas fisik secara teratur juga dapat mengurangi tingkat

penurunan kognitif pada orang dengan gangguan kognitif ringan atau

demensia. Beberapa studi program aktivitas fisik untuk orang-orang

dengan demensia telah menunjukkan perbaikan dalam fungsi kognitif atau

penurunan lebih lambat dalam kemampuan kognitif (Farrow & Kathryn,

2013). Pada lansia yang melakukan aktivitas melibatkan fungsi kognitif

dapat menurunkan resiko demensia (Verghese, dkk 2003).


Pendidikan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap

penurunan kejadian demensia, dengan peningkatan 10% pendididikan

akan menurunkan angka kejadian demensia sebesar 534.000 kasus

(Baumgart, 2015). Pendidikan mampu mengkompensasi semua tipe

neurodegenerative dan gangguan vaskular, dan juga mempengaruhi berat

otak. Orang yang berpendidikan lebih lanjut, memiliki berat otak yang

lebih dan mampu menghadapi perbaikan kognitif serta neurodegenerative

dibandingkan orang yang berpendidikan rendah (Larasati, 2013).

Demensia juga berkaitan dengan umur dan jenis kelamin.

Beberapa yang berisiko terkena Demensia adalah orang lanjut usia (lebih

dari 60 tahun) (Kemenkes RI, 2014). Beberapa penelitian menunjukkan

semakin meningkatnya usia semakin tinggi pula resiko terjadinya


6

demensia (Chen, dkk, 2009). Wanita lebih mungkin untuk

mengembangkan penyakit Demensia dari pada pria. Bahkan fakta bahwa

perempuan hidup rata-rata lebih lama. Pada tahun 2014, wanita

menyumbang 62% dari orang yang berusia lebih dari 80 tahun. Jumlah

penderita demensia wanita 4 kali lebih banyak dibandingkan pria

(Rasmara, 2016).

Telah dikemukakan bahwa penyakit Demensia pada wanita terkait

dengan kurangnya hormon estrogen setelah menopause (Lewellyn, 2016).

Estrogen telah dilaporkan memiliki efek menguntungkan pada otak,

bertindak sebagai faktor pelindung dalam Alzheimer Demensia melalui

kemampuannya untuk meningkatkan pertumbuhan, kelangsungan hidup

dan aktivitas neuron (Scerri, 2014).


Seseorang yang memiliki riwayat keluarga demensia, memiliki

risiko lebih tinggi terkena sendiri dibandingkan dengan orang yang tidak

memiliki riwayat demensia dalam keluarga mereka. Terdapat kerentanan

gen bahwa mewarisi dari orang tua yang meningkatkan risiko

mengembangkan demensia. Beberapa orang dengan gen kerentanan akan

mengembangkan demensia (Alzheimer’s Australia, 2015).


Berdasarkan penelitian sebelumnya dilakukan oleh Mega Nurul

Laili, dkk (2015) dengan judul Hubungan Aktifitas Fisik dan Aktifitas

Kognitif terhadap Kejadian Demensia pada Lansia Kecamatan Boja

menyatakan ada hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan

kejadian demensia pada lansia, dimana dari 98 responden diperoleh lansia

yang memiliki aktivitas fisik rendah 58,2% (57 orang) mengalami

demensia 64,9% (37 orang), dan aktivitas tinggi 41,8% (41 orang) tidak
7

mengalami demensia 27% (14 orang). Jadi pada penelitian tersebut dapat

disimpulkan bahwa semakin rendah aktivitas fisik pada lansia maka

semakin tinggi angka kejadian dimensia pada lansia.


Penelitian lain yang dilakukan oleh Evina Yudhanti (2016) dengan

judul Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Demensia pada Lansia

di Balai Pelayanan Sosial Tresna Werda Yogyakarta Unit Budi Luhur

terdapat hubungan aktivitas fisik dengan kejadian demensia pada lansia,

dimana dari 37 responden diperoleh lansia yang memiliki aktivitas fisik

baik 21,6% (8 orang) tidak mengalami demensia 10,8% (4 orang),

demensia ringan 5,4% (2 orang), demensia sedang 5,4% (2 orang). Lansia

yang memiliki aktivitas fisik sedang sebesar 56,8% (21 orang) tidak

mengalami demensia 8,1% (3 orang), demensia ringan 16,2% (6 orang),

demensia sedang 21,6% (8 orang), dan demensia berat 10,8% (4 orang).

Dan lansia yang memiliki aktivitas fisik buruk sebesar 21,6% (8 orang)

mengalami demensia sedang 2,7% (1 orang), demensia berat 18,9% (7

orang). Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa semakin baik

aktivitas fisik semakin rendah angka kejadian demensia pada lansia.


Penelitian yang dilakukan oleh Raden Siti Mariam, dkk (2013)

dengan judul Hubungan Tingkat Pendidikan dan Activity Daily Living

dengan Demensia pada Lanjut Usia di Panti Werdha bahwa terdapat

hubungan antara tingkat pendidikan dengan demensia, diketahui bahwa

dari 120 responden lansia dimana berpendidikan rendah 80,8% (97 orang)

mengalami demensia 33% (32 orang) dan berpendidikan tinggi 19,2% (23

orang) mengalami demensia 4,3% (1 orang). Dari penelitian tersebut


8

dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan semakin

rendah angka kejadian demensia pada lansia.


Penelitian lain yang dilakukan oleh Novia Khasanah (2012) dengan

judul Hubungan antara Tingkat Pendidikan Kejadian Penurunan Daya

Ingat pada Lansia terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat

pendidikan dengan kejadian demensia pada lansia, dimana dari 32

responden lansia diperoleh berpendidikan SD 56% (10 orang) tidak

mengalami demensia 6%(1 orang), demensia ringan 22% (4 orang),

demensia sedang 50% (9 orang), demensia berat 22% (4 orang).

Berpendidikan SMP 19% (6 orang) mengalami tidak demensia 67% (4

orang), demensia ringan 33% (2 orang). Tamatan SMA 9% (3 orang)

mengalami demensia ringan 100% (3 orang), dan lansia yang tamatan

perguruan tinggi 16% (5 orang) tidak mengalami demensia 100% (5

orang). Jadi berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa

semakin rendah tingkat pendidikan semakin tinggi angka kejadian

demensia pada lansia.


Penelitian yang dilakukan oleh Genevieve, dkk (2015) dengan

judul Gender and Incidence of Dementia in the Framingham Heart Study

from mid-adult Life bahwa terdapat kasus insiden demensia yang terjadi

pada 7901 responden, diantaranya 54,84% wanita mengalami demensia.

Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa perempuan lebih banyak

mengalami demensia dari pada laki-laki.


Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan peneliti

dengan wawancara menggunakan kuesioner MMSE (Mini Mental State

Examination) kepada 10 orang lansia di wilayah kerja Puskesmas Guguk

Panjang yaitu didapatkan 50% (5 orang) mengalami demensia ringan


9

yang terdiri dari 4 orang perempuan dan 1 orang laki-laki, 1 orang tamat

SD, 2 orang tamat SMP, 2 orang tamatan SMA. Selanjutnya 20% (2

orang) mengalami demensia berat yang terdiri dari jenis kelamin

perempuan dan 1 orang tidak tamat SD, 1 orang tamatan SMP. Dan 30%

(3 orang) lansia tidak mengalami demensia yang terdiri 1 orang

perempuan tamatan SMA dan 2 orang laki-laki tamatan SMA dan

perguruan tinggi. Dari 50% mengalami demensia rata-rata mempunyai

kebiasaan aktivitas fisik seperti mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan

mengurus cucu dan 20% yang mengalami demensia berat hanya berdiam

diri di rumah, jarang bersosialisasi dengan orang lain. Sedangkan 30%

yang tidak mengalami demensia melakukan aktivitas fisik seperti

berkebun dan menanam tanaman, mengendarai kendaraan, jalan pagi di

sekitar tempat tinggal dan aktif dalam kegiatan sosial.


Berdasarkan hasil wawancara dan obervasi dan melihat hasil

penelitian sebelumnya diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti

“Hubungan Aktivitas Fisik, Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin

dengan Kejadian Demensia pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas

Guguk Panjang Kota Bukittinggi 2017”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah pada

penelitian ini apakah ada hubungan antara aktivitas fisik, tingkat

pendidikan dan jenis kelamin dengan kejadian demensia.


C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
10

Untuk mengetahui hubungan antara aktivitas fisik, tingkat

pendidikan dan jenis kelamin dengan kejadian demensia pada lansia di

Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi.


2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui angka kejadian demensia pada lansia di Wilayah

Kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi


b. Mengetahui gambaran aktivitas fisik pada lansia di Wilayah Kerja

Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi


c. Mengetahui gambaran tingkat pendidikan lansia di Wilayah Kerja

Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi


d. Mengetahui gambaran jenis kelamin lansia di Wilayah Kerja

Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi


e. Mengetahui hubungan aktivitas fisik dengan kejadian demensia

pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota

Bukittinggi
f. Mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan kejadian

demensia pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang

Kota Bukittinggi
g. Mengetahui hubungan jenis kelamin dengan kejadian demensia

pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota

Bukittinggi.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Lansia
Dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman pentingnya aktivitas

fisik untuk peningkatan fungsi kognitif dan juga memberikan

informasi dan edukasi pada lansia untuk mempertahankan daya ingat

dan fungsi kognitif.


2. Bagi Dinas Kesehatan
Meningkatkan pelayanan kesehatan atau keperawatan dengan

melakukan upaya pencegahan demensia pada lanjut usia sehingga

dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan pelayanan kesehatan.


11

3. Bagi Puskesmas
Hasil pebelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan acuan untuk

memberikan pendidikan kesehatan dan informasi kepada lansia, serta

mengadakan program kesehatan pada lansia dengan meningkatkan

aktivitas fisik dan aktivitas kognitif untuk meningkatkan fungsi

kognitif pada lansia.


4. Bagi Institusi Pendidikan StiKes Yarsi Bukittinggi
Dapat digunakan untuk menambah khasanah ilmu keperawatan

gerontologi dan bahan pelajaran bagi pendidikan dalam proses belajar

mengajar serta dapat menjadi bahan acuan yang dapat dikembangkan

pada penelitian selanjutnya.


5. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar, menambah

wawasan dan informasi dan sebagai rujukan bagi peneliti selanjutnya

untuk melakukan penelitian selanjutnya dengan variabel yang berbeda

yang belum diteliti oleh peneliti sebelumnya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
12

A. Demensia
1. Pengertian Demensia
Demensia adalah himpunan gejala penurunan fungsi

intelektual, umumnya ditandai terganggunya minimal tiga fungsi

yakni bahasa, memori, visuospasial, dan emosional (Hutapea, 2005).

Pikun (demensia) adalah kemunduran kognitif yang sedemikian

beratnya sehingga mengganggu aktifitas hidup sehari-hari dan

aktivitas sosial. Kemunduran kogitif pada demensia biasanya di awali

dengan kemunduran memori/daya ingat (pelupa) (Nugroho, 2008).


Demensia didefenisikan sebagai sindrom kerusakan intelektual

persisten yang didapat, yang disertai gangguan fungsi pada berbagai

area otak yang mengatur aktivitas mental, seperti memori, bahasa,

keterampilan, visual-spasial, emosi atau kepribadian dan kognisi

(Townsend, 2010).
Demensia adalah keadaan dimana seseorang mengalami

penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir, dan penurunan

kemampuan tersebut menimbulkan gangguan terhadap fungsi

kehidupan sehari-sehari (Aspiani, 2014).


Peneliti menyimpulkan demensia adalah penurunan fungsi

kognitif yang mempengaruhi memori, berpikir, bahasa, penilaian dan

perilaku sehingga mengganggu aktivitas hidup sehari-hari dan

aktivitas sosial.
2. Etiologi
Menurut Townsend (2009) demensia disebabkan oleh beberapa

penyakit sebagai berikut :


a. Panyakit Alzheimer
Penyebab pasti penyakit Alzheimer tidak ketahui, tetapi beberapa

teori telah diajukan, seperti penurunan asetilkolin otak, akumulasi

alumunium diotak, perubahan sistem imun, trauma kepala dan


13

faktor genetik. Perubahan patologis pada otak meliputi atrofi,

pembesaran ventrikel, serta timbul banyak plak dan gumpalan

neurofibril.
b. Demensia Vaskular
Jenis demensia ini disebabkan penyakit serebrovaskular yang

signifikan. Klien mengalami keadaann yang sama dengan stroke

ringan akibat hipertensi arteri atau emboli atau trombi serebri yang

merusak banyak area otak.


c. Penyakit HIV
Disfungsi imun akibat penyakit HIV dapat menyebabkan infeksi

otak karena organisme lain. HIV juga tampak secara langsung

menyebabkan demensia.
d. Demensia akibat taruma kepala
Terjadi sebagai akibat patofisiologi langsung trauma kepala.

Derajat dan kerusakan jenis kognitif dan gangguan perilaku

bergantung pada lokasi dan luas cedera otak. Ketika demensia

terjadi dalam konteks cedera tunggal, demensia ini biasanya stabil

bukan progresif. Akan tetapi cedera kepala yang berulang

(misalnya akibat bertinju) dapat menimbulkan demensia progresif


e. Penyakit Parkinson
Penyakit Parkinson disebabkan oleh kehilangan neuron pada

ganglia basalis. Demensia dilaporkan terjadi pada sekitar 20%

sampai 60% penderita penyakit Parkinson dan ditandai dengan

kelambatan kognitif dan motorik, kerusakan memori, dan

gangguan fungsi eksekutif.


f. Penyakit Huntington
Penyakit ini diturunkan melalui gen dominan menurut sistem

pewarisan Mendel. Kerusakan terjadi di area ganglia basal dan

korteks serebri.
g. Penyakit Pick
14

Patologi terjadi akibat atrofi lobus frontal dan temporal otak.

Gejala sangat menyerupai demensia pada penyakit Alzheimer.


h. Penyakit Creutzfeld-Jakob
Bentuk demensia ini disebabkan virus yang dapat ditularkan.

Manifestasi klinis penyakit ini khas sindrom demensia, dengan

perjalanan penyakit luar biasa cepat. Penderita meninggal dalam

satu tahun.
i. Akibat Zat
Jenis demensia ini berkaitan dengan efek menetap zat tertentu,

seperti alkohol, inhalan, sedatif, hipnotik, ansiolitik, obat lain, dan

toksin pada lingkungan.


3. Faktor Resiko
Beberapa faktor resiko yang berhubungan demensia menurut

Splaine (2012), Baumgart, dkk (2015) dan Lewellyn (2016) adalah

aktivitas fisik, pendidikan, jenis kelamin, umur, merokok, konsumsi

alkohol, genetik, dan faktor kardiovaskular.


a. Aktivitas fisik
Beberapa studi menunjukkan hubungan antara aktivitas

fisik dan pengembangan dan perkembangan demensia. Temuan ini

menunjukkan bahwa aktivitas fisik dapat berhubungan dengan

penurunan risiko demensia alzheimer atau demensia vaskular di

kemudian hari. Bahkan kegiatan ringan, seperti berjalan kaki, yang

ditemukan menjadi pelindung. Aktivitas fisik dianggap mampu

meningkatkan fungsi kognitif dengan meningkatkan fungsi

kardiovaskular, perfusi serebral dan merangsang neurogenesis

(Splaine, 2012)
Aktivitas fisik adalah salah satu faktor risiko gaya hidup

terkuat untuk mengembangkan demensia. Hal ini juga terkait erat

dengan peningkatan risiko penyakit jantung, stroke dan diabetes


15

tipe 2. Efek kardiovaskular dan metabolisme menjadi tidak aktif

sudah dikenal, tetapi aktivitas fisik juga memiliki efek langsung

pada struktur dan fungsi otak (Lewellyn, 2016).


Pada latihan atau aktivitas fisik beberapa sistem molekul

yang dapat berperan dalam hal yang bermanfaat pada otak. Faktor

– faktor neurotropik kebanyakan yang berperan dalam efek yang

bermanfaat tersebut. Faktor neurotrofik itu terutama Brain-derived

neurotropic factor (BDNF), karena dapat meningkatkan ketahanan

dan pertumbuhan beberapa tipe dari neuron. BDNF berperan

sebagai mediator utama dari efikasi sinaptik, penghubungan sel

saraf, plastisitas sel saraf dan memediasi manfaat jangka panjang

dari exercise terhadap otak. Proses-proses ini penting untuk

menghambat hipertrofi jaringan otak yang dapat menyebabkan

degenerasi neuronal yang berdampak terhadap kognitif dan

demensia (Cotman, 2004).


Melakukan aktivitas fisik dapat meningkatkan atensi dan

motivasi dengan cara meningkatkan kadar dopamine dan

norepinefrin. Selain itu adalah meningkatkan aktivitas

neurotransmitter, memperbaiki aliran darah, dan memicu produksi

faktor pertumbuhan otak. Dengan demikian, aktivitas fisik ini

menyiapkan sel saraf untuk terhubung lebih mudah dan lebih kuat.

Aktivitas fisik dapat meningkatkan aliran darah ke otak sehingga

pembuluh darah terstimulasi dan akses otak untuk mendapatkan

energi dan oksigen meningkat .


Meningkatkannya aliran darah ke otak menyebabkan

stimulasi ke suatu area otak yang membantu pembentukan memori.


16

Selain itu, meningkatnya serotonin, dopamine, dan BDNF akibat

suatu aktivitas fisik akan memperkuat ikatan antar sel saraf. BDNF

(brain derived nerve factor) bertanggung jawab atas pembentukan

dan daya tahan saraf terhadap kerusakan dan stres yang banyak

ditemukan di daerah hipokampus (Ratey, 2009).


Aktivitas fisik yang bermanfaat untuk kesehatan lanjut usia

sebaiknya memenuhi kriteria FITT (frequency, intensity, time,

type). Frekuensi adalah seberapa sering aktivitas dilakukan dan

berapa hari dalam seminggu. Intensitas adalah seberapa keras suatu

aktivitas dilakukan. Biasanya diklasifikasikan menjadi intensitas

rendah, sedang dan tinggi, waktu mengacu pada durasi, seberapa

lama suatu aktivitas dilakukan dalam satu pertemuan, sedangkan

jenis aktivitas adalah jenis-jenis aktivtas fisik yang dilakukan

(Ambardini, 2009).
Ada 3 tipe aktivitas fisik lanjut usia menurut Pusat Promosi

Kesehatan Departemen Kesehatan RI 2006, yaitu :


1) Ketahanan (Endurance)
Aktivitas fisik yang bersifat untuk ketahanan yang dapat

membantu kesehatan jantung, paru-paru, otot dan sistem

sirkulasi darah tetap sehat serta membuat kita lebh bertenaga.

Untuk mendapatkan ketahanan maka aktivitas fisik yang

dilakukan selama 30 menit setiap hari (4-7 hari per minggu).


Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti :
a) Berjalan kaki
b) Lari ringan
c) Aktivitas duduk (membaca, menonton televisi dan lain-lain)
d) Berkebun dan bercocok tanam

2) Kelenturan (Flexibility)
17

Aktifitas fisik yang bersifat untuk kelenturan dapat

membantu pergerakan lebih mudah, mempertahankan otot tubuh

tetap lemas (lentur) dan sendi berfungsi dengan baik. Untuk

mendapatkan kelenturan maka aktivitas fisik yang dilakukan

selama 30 menit setiap hari (4-7 hari per minggu)


Contoh beberapa kegiatan yang dapat diplih seperti :
a) Mencuci pakaian dan piring
b) Mengepel lantai
c) Menyapu
d) Menimba air
e) Membersihkan kamar mandi
3) Kekuatan Otot (Strength Muscle)
Aktivitas fisik yang bersifat untuk kekuatan dapat

membantu kerja otot tubuh dalam menahan sesuatu beban yang

diterima, tulang tetap kuat dan mempertahankan bentuk tubuh

serta membantu meningkatkan pencegahan terhadap penyakit

seperti osteoporosis. Untuk mendapatkan kelenturan maka

aktvitas fisik yang dilakukan selama 30 menit setiap hari (2-4

hari per minggu)


Contoh beberapa kegiatan yang dapat diplih seperti :
a) Naik turun tangga
b) Angkat beban/berat
c) Membawa belanjaan
d) Mengikuti kelas senam lansia 3 kali dalam seminggu
Pengukuran aktivitas fisik menggunakan Instrumen Global

Physical Activity Questionnaire (GPAQ). GPAQ merupakan

kusioner terstruktur yang didesain untuk diisi sendiri interview

yang dikembangkan oleh WHO (2010). Semua pengukuran

dikumpulan dalam kategori yang terpisah. Kusioner ini terdiri dari

16 pertanyaan, yang dikelompokkan menjadi 4 item terdiri dari


18

aktivitas bekerja, aktivitas transportasi, aktivitas

rekreasi/olahraga/fitnes dan aktivitas menetap.


Kemudian kusioner GPAQ ini dibantu dengan

menggunakan show card, yaitu kartu bergambar kegiatan yang

terdapat disetiap pertanyaan kusioner. Show card ini bertujuan

untuk membantu responden mengetahui kegiatan apa yang

dimaksudkan disetiap pertanyaan, kemudian responden harus

memilih salah satu aktivitas yang mereka gunakan pada show card

tersebut.
Untuk menganalisa data dan menilai intensitas kegiatan

fisik pada kusioner GPAQ dengan menggunakan MET (Metabolic

Equivalents). MET adalah rasio tingkat metabolisme kerja relatif

seseorang pada istirahat. 1 MET setara dengan 1 kkal/kg/jam.

Pedoman yang digunakan bahwa dibandingkan dengan duduk

tenang konsumsi kalori seseorang 4 kali lebih tinggi ketika

seseorang tersebut cukup aktif. Oleh karena itu, ketika menghitung

pengeluaran energi seseorang menggunakan GPAQ, 4 MET

digunakan untuk menghitung waktu yang dihabiskan dalam

aktivitas sedang, dan 8 MET digunakan untuk menghitung waktu

yang dihabiskan dalam aktivitas berat.


Untuk menilai aktivitas fisik dengan menggunakan kusioner

GPAQ, dinilai dengan cara :


a) Aktivitas bekerja
(1) Aktivitas bekerja berat = jumlah hari x jumlah menit x 8
(2) Aktivitas bekerja sedang = jumlah hari x jumlah menit x 4
b) Aktivitas transportasi = jumlah hari x jumlah menit x 4
c) Aktivitas rekreasi
(1) Aktivitas rekreasi berat = jumlah hari x jumlah menit x 8
(2) Aktivitas rekreasi sedang = jumlah hari x jumlah menit x 4
19

Kemudian untuk menghitung total keseluruhan aktivitas

fisik menggunakan rumus :

= jumlah intensitas pekerjaan berat + jumlah intensitas

pekerjaan sedang + jumlah intensitas aktivitas transportasi +

jumlah intensitas aktivitas rekreasi berat + jumlah intensitas

aktivitas sedang

Untuk menilai aktivitas fisik dihitung drngan skor MET

secara terpisah untuk domain individu dan sub domain. Untuk

menghitung indikator kategoris, total waktu yang dihabiskan untuk

aktivitas fisik dibagi menjadi 3 kategori yaitu rendah, sedang, dan

tinggi seperti :

a) Tinggi, apabila melakukan aktivitas fisik selama 7 hari dengan

intensitas minimal 3000 MET-menit/minggu


b) Sedang, apabila melakukan aktivitas fisik selama 5 hari dengan

intensitas minimal 600 MET-menit/minggu.


c) Rendah, apabila tidak memenuhi salah satu dari semua kriteria

yang telah disebutkan dalam kategori berat maupun sedang.


b. Pendidikan
Antara faktor-faktor risiko yang berpotensi dapat diubah,

paling konsisten tahun pendidikan formal. Orang dengan tahun

pendidikan formal yang tinggi (diukur dengan tingkat kelas

dicapai dan / atau kehadiran perguruan tinggi) lebih besar memiliki

risiko lebih rendah untuk demensia dibandingkan dengan tahun

pendidikan formal yang rendah (Baumgart et al,. 2015).


Salah satu faktor pelindung utama terhadap

pengembangan demensia di kemudian hari adalah untuk

mengembangkan ketahanan otak yang baik pada awal kehidupan


20

melalui pengembangan intelektual, biasanya disediakan oleh

pendidikan yang baik. Pendidikan telah terbukti memiliki efek

pencegahan pada demensia (Erol dkk, 2015).


Untuk menurunkan risiko terjadinya demensia diantaranya

adalah banyak melakukan aktivitas belajar yang fungsinya untuk

menjaga ketajaman daya ingat dan senantiasa mengoptimalkan

fungsi otak (Ngandu dkk, 2007). Pendidikan mampu

mengkompensasi semua tipe neurodegenerative dan gangguan

vaskular, dan juga mempengaruhi berat otak. Orang yang

berpendidikan lebih lanjut, memiliki berat otak yang lebih dan

mampu menghadapi perbaikan kognitif serta neurodegenerative

dibandingkan orang yang berpendidikan rendah (Larasati, 2013).

Untuk setiap tahun tambahan pendidikan ada penurunan 11%

dalam risiko mengembangkan demensia (Tyson, 2010).


c. Jenis kelamin
Wanita lebih mungkin untuk mengembangkan penyakit

Demensia dari pada pria. Bahkan fakta bahwa perempuan hidup

rata-rata lebih lama. Telah dikemukakan bahwa penyakit Demensia

pada wanita terkait dengan kurangnya hormon estrogen setelah

menopause (Lewellyn, 2016). Studi penelitian peran hormon seks

dan status kognitif telah menunjukkan bahwa estrogen memainkan

peran penting dalam demensia. Estrogen telah dilaporkan memiliki

efek menguntungkan pada otak, bertindak sebagai faktor pelindung

dalam Alzheimer Dimensia melalui kemampuannya untuk

meningkatkan pertumbuhan, kelangsungan hidup dan aktivitas

neuron (Scerri, 2014). Hilangnya estrogen setelah menopause dapat


21

menyebabkan defisit dalam metabolisme otak, yang dapat

mengarah ke Demensia Alzheimer (Erol dkk, 2015).


d. Umur
Usia merupakan faktor risiko yang diketahui terkuat untuk

demensia. 1 dari 20 orang dengan demensia dikembangkan pada

usia di bawah 65 tahun. Kemungkinan terkena demensia meningkat

secara signifikan seiring bertambahnya usia. Di atas usia 65, risiko

seseorang terkena penyakit Alzheimer atau demensia berlipat ganda

kira-kira setiap 5 tahun. Diperkirakan demensia mempengaruhi satu

dari 14 orang di atas 65 dan satu dari enam diatas 80 tahun

(Lewellyn, 2016).
e. Merokok

Merokok dapat munurunkan kadar antioksidan penangkap

radikal bebas dalam sirkulasi, meningkatkan respon inflamasi dan

mengarah ke aterosklerosis yang mempengaruhi permeabilitas

sawar darah otak, aliran darah otak dan metabolisme otak.

Merokok juga langsung mempengaruhi patologi demensia dengan

meningkatkan jumlah plak (Wreksoatmodjo, 2014).

Merokok memiliki efek sangat berbahaya pada jantung,

paru-paru dan sistem vaskular, termasuk pembuluh darah di otak.

Merokok secara signifikan meningkatkan risiko mengembangkan

demensia di kemudian hari, terutama penyakit Alzheimer (serta

diabetes tipe 2, stroke dan penyakit jantung) (Lewellyn, 2016).

f. Konsumsi Alkohol
Penelitian lain telah menemukan bahwa minum berlebihan

selama bertahun-tahun, atau episode reguler pesta minuman keras,


22

berhubungan dengan peningkatan risiko mengembangkan

demensia. Konsumsi alkohol yang berlebihan jangka panjang dapat

menyebabkan kerusakan otak dan menyebabkan kondisi yang

disebut demensia terkait alkohol. Hal ini juga dapat meningkatkan

risiko penyakit Alzheimer dan demensia lainnya (Alzheimer’s

Autralia, 2015)
g. Genetik
Lebih dari 20 gen telah ditemukan yang tidak secara langsung

menyebabkan demensia tetapi mempengaruhi risiko seseorang

mengembangkan itu. Misalnya, mewarisi versi tertentu (varian)

dari gen apolipoprotein E (APOE) meningkatkan risiko seseorang

terkena penyakit Alzheimer. Memiliki kerabat dekat (orangtua atau

saudara) dengan penyakit Alzheimer meningkatkan peluang

seseorang terkena penyakit Demensia sangat sedikit dibandingkan

dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat keluarga (Lewellyn,

2016).
j. Faktor Kardiovaskular
Faktor-faktor yang beresiko menyebabkan demenesia terdiri dari :
1) Diabetes

Diabetes menyebabkan gangguan sistem pembuluh darah,

termasuk otak, gangguan ini bisa menyebabkan iskemi

menghasilkan lesi subkortikal di substansi alba, silent infark,

dan atrofi yang pada MRI terlihat lebih sering dan berat

dikalangan penderita diabetes. Diabetes dikaitkan dengan resiko

demensia vaskular dibandingkan dengan dengan demensia

Alzheimer. Metabolisme Abeta dan tau-protein yang membentuk


23

plak dan kekusutan neuron di otak juga dapat dipengaruhi oleh

kadar insulin.

2) Obesitas

Berdasarkan beberapa meta-analisis, tinjauan sistematis dan

studi individu menemukan bahwa obesitas pertengahan hidup

dikaitkan dengan peningkatan resiko demensia. Mekanismenya

bisa akibat efek jaringan adiposa yang mensekresi beberapa

sitokin, hormon dan faktor pertumbuhan yang menembus sawar

darah otak mengingat jaringan adiposa diketahui merupakan

jaringan endikrin aktif. Disregulasi hormon leptin bersamaan

dengan proses penuaan dapat secara langsung mempengaruhi

degenerasi Alzheimer dengan meningkatklan deposisi Abeta di

jaringan otak.

3) Hipertensi
Tekanan darah tinggi di usia pertengahan meningkatkan

resiko demensia dikemudian hari. Tingginya tekanan sistolik di

usia pertengahan akan meningkatkan resiko aterosklerosis,

meningkatkan jumlah lesi iskemik substansia alba, juga

meningkatkan jumlah plak neuritik tangles di neokorteks dan

hipokampus serta meningkatkan atrofi hipokampus.


4) Hiperlipidemia
Tingginya kadar kolesterol bisa menyebabkan

aterosklerosis yang mengurangi aliran darah ke otak dan

mempercepat neurodegenerasi melalui pengaruhnya terhadap


24

metabolisme beta amiloid (Abeta), protein pembentuk plak yang

ditemukan berlebihan di otak.


4. Tanda dan Gejala Demensia
Menurut Townsend (2009) tanda dan gejala yang teridentifikasi pada

demensia yaitu sebagai berikut :


a. Kerusakan memori (hambatan kemampuan mempelajari informasi

baru atau mengingat kembali informasi yang dipelajari

sebelumnya)
b. Hambatan dalam mengambil keputusan, berpikir abstrak dan

kontrol impuls
c. Hambatan kemampuan berbahasa, seperti sulit menamai benda
d. Perubahan kepribadian sering terjadi
e. Hambatan kemampuan melakukan aktivitas motorik walaupun

kemampuan motorik utuh (apraksia)


f. Disorientasi waktu dan tempat
g. Mengeluyur
h. Waham sering terjadi (khususnya waham curiga)
5. Tahapan Demensia
Menurut Stanley (2006) tahapan demensia terdiri dari :
a. Tahap Awal
Hilangnya memori terbaru menyebabkan sulitnya

mendapatkan informasi baru. Terdapat kesulitan dalam hal angka,

seperti membayar tagihan, mengatur uang, dan menelpon dapat

menjadi hal yang menyulitkan. Perubahan-perubahan kepribadian

juga dapat terjadi. Orang yang tenang mulai menunjukkan ledakan

emosi dan menjadi cemas dan gelisah. Terdapat kebingungan antara

orientasi waktu dan jarak. Anomia atau kesulitan menyebutkan

nama benda juga terjadi.


b. Tahap Pertengahan
Ingatan saat ini dan ingatan masa lampau memburuk selama

demensia tahap pertengahan dan kurangnya penilaian

menyebabkan tentang kekhawatiran tentang keselamatan. Apraksia


25

atau ketidakmampuan melakukan gerakan yang bertujuan

meskipun sistem sensoris dan motoriknya utuh. Kerapian akan

memburuk, dan mulai membutuhkan arahan dan bantuan dalam

aktivitas kehidupan sehari-hari. Agnosia atau ketidakmampuan

untuk mengenali objek yag umum, inkontinensia urine juga sering

menjadi masalah pada bagian akhir tahap pertengahan ini.


Kurangnya pengendalian impuls, menurunnya ambang

stres, dan kesulitan mengenali lingkungan. Agresivitas, ansietas,

mengeluyur dan gangguan aktivitas lain, gerakan atau vokalisasi

berulang, delusi, parainoid, halusinasi dan upaya meninggalkan

tempat perawatan merupakan hal yang sering terjadi.


Terdapat juga kesulitan dengan bahasa, dapat mengalami

afasia, tidak mampu menemukan kata yang tepat, menggunakan

banyak kata tetapi biasanya hanya sedikit saja makna yang terdapat

pada pesan tersebut. Terdapat kemungkinan peningkatan tonus otot,

perubahan gaya berjalan dan keseimbangan dan gangguan persepsi

terhadap kedalaman, yang semua berperan dalam meningkatkan

resiko terjadinya jatuh.


c. Tahap Akhir
Semakin terikat dengan kursi roda atau tempat tidur. Otot-

otot semakin kaku. Memiliki tangan yang aktif dan melakukan

gerakan-gerakan berulang, menggerutu atau vokalisasi lainnya.

Kemampuan berbicara dan berbahasa mengalami gangguan yang

parah, disertai penurunan komunikasi verbal, tidak lagi mengenali

anggota keluarga. Siklus tidur-bangun juga berubah, menghabiskan

sebagian besar waktunya dengan mengantuk dan tampak menarik


26

diri secara sosial dan lebih tidak peduli terhadap lingkungan

sekitar.
6. Pengukuran Demensia
Pengukuran tingkat demensia Instrumen Penilaian Status

Mental Mini/Mini Mental State Examination (MMSE) yang

dikemukakan oleh Folstein, et al pada tahun 1975 atau Folstein tes

kusioner singkat 30-point, digunakan untuk mengetahui adanya

kerusakan kognitif. MMSE ini dilakukan dalam jangka waktu sekitar

10 menit. MMSE ini mengukur tingkat kerusakan kognitif secara

terperinci dengan nilai skor tingkat kerusakan kognitif dibagi menjadi

: (1) tidak ada gangguan kognitif (24-30), (2) gangguan kognitif

ringan (18-23) dan (3) gangguan kognitif berat (0-17).


B. Lanjut Usia
1. Pengertian Lansia
Lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang telah berusia 65

tahun keatas, baik secara fisik maupun melakukan pekerjaan atau

kegiatan yang menghasilkan barang serta jasa (potensial) maupun

yang tidak dapat melakukan aktivitas dan pekerjaan sehari-hari

sehingga tergantung pada bantuan orang lain (tidak potensial)

(Nugroho, 2008). Sedangkan menurut World Health Organisation

(WHO) lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang telah memasuki

usia 60 tahun keatas. Lansia merupakan kelompok umur pada manusia

yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya (Depkes

RI, 2013).
Dapat disimpulkan lansia adalah seseorang yang telah berusia

60 tahun keatas yang telah memasuki tahapan akhir dari fase

kehidupannya baik secara fisik dapat melakukan pekerjaan atau


27

aktivitas sehari-hari secara mandiri maupun tergantung pada bantuan

orang lain.
2. Batasan Umur Lansia
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut

usia menjadi 4 yaitu: usia pertengahan (middle age) antara 45-59

tahun, usia lanjut (elderly) antara 60-74 tahun, usia tua (old) antara

75-90 tahun dan usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun (Padila,

2013).
Batasan umur lansia yang digunakan dalam penelitian ini

menurut ketentuan WHO yaitu lansia yang berusia 60 tahun ke atas.


3. Proses Menua
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi

didalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses

sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi

dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses

alamiah, yang berarti seseorang telah melalui kehidupannya yaitu

anak, dewasa dan tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis

maupun psikologis (Padila, 2013).


WHO dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang

kesejahteraan lanjut usia pada BAB 1 Pasal 1 ayat 2 menyebutkan

bahwa umur 60 tahun adalah usia permulaan tua. Menua bukanlah

suatu penyakit, tetapi merupakan suatu proses yang berangsur-angsur

mengakibatkan perubahan yang komulatif, merupakan proses

menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari

dalam dan luar tubuh yang berakhir dengan kematian (Padila, 2013).
Teori-teori yang menjelaskan bagaimana dan mengapa penuaan

terjadi biasanya dikelompokkan kedalam dua kelompok besar, yaitu

teori biologis dan psikologis. Penelitian yang terlihat dengan jalur


28

biologi memusatkan perhatian pada indikator yang dapat dilihat

dengan jelas pada proses penuaan, banyak pada tingkat seluler,

sedangkan ahli teori psikososial mencoba untuk menjelaskan

bagaimana proses tersebut dipandang dalam kaitan dengan

kepribadian dan prilaku (Stanley and Beare, 2006).


a. Teori Biologis
Teori biologis menjelaskan proses fisik penuaan, termasuk

perubahan fungsi dan struktur, pengembangan, panjang usia dan

kematian. Perubahan-perubahan dalam tubuh termasuk

perubahan molekular dan seluler dalam sistem organ utama dan

kemampuan organ tubuh untuk berfungsi secara adekuat dan

melawan penyakit.
Teori bilogis juga menjelaskan mengapa orang mengalami

penuaan dengan cara yang berbeda dari waktu ke waktu dan

faktor apa yang mempengaruhi umur panjang, perlawanan

terhadap organisme, dan kematian atau perubahan seluler. Suatu

pemahaman tentang perspektif biologi dapat memberikan

pengetahuan pada perawat tentang faktor spesifik dihubungkan

dengan penuaan dan bagaimana orang dapat dibantu untuk

meminimalkan atau menghindari resiko dan memaksimalkan

kesehatan.
1) Teori Genetika
Teori genetika terdiri dari teori asam deoksiribonukleat

(DNA), teori ketepatan dan kesalahan, mutasi somatik dan

teori glukogen. Teori ini menyatakan bahwa proses replikasi

pada tingkatan seluler menjadi tidak teratur karena adanya

informasi tidak sesuai yang diberikan dari inti sel. Molekul


29

DNA menjadi saling bersilangan (crosslink) dengan unsur

yang lain sehingga merubah informasi genetik.


2) Teori Wear-And-Tear
Teori Wear-And-Tear (dipakai dan rusak) mengusulkan

bahwa akumulasi sampah metabolik atau zat nutrisi dapat

merusak sintesis DNA, sehingga mendorong malfungsi

molekular dan akhirnya malfungsi organ tubuh. Pendukung

teori ini percaya bahwa tubuh akan mengalami kerusakan

berdasarkan suatu jadwal.


3) Teori Imunitas
Teori imunitas menggambarkan suatu kemunduran

dalam sistem imun yang berhubungan dengan penuaan.

Ketika orang bertambah tua, pertahanan mereka terhadap

organisme asing mengalami penurunan, sehingga mereka

lebih rentan untuk menderita kanker dan infeksi.


4) Teori Neuroendokrin
Penuaan terjadi karena adanya suatu perlambatan dalam

sekresi hormon tertentu yang mempunyai suatu dampak pada

reaksi yang diatur oleh sistem saraf. Hal ini lebih jelas

ditunjukkan dalam kelenjar hipofisis tiroid, adrenal dan

reproduksi. Salah satu area neurologi yang mengalami

gangguan secara universal akibat penuaan adalah waktu

reaksi yang diperlukan untuk menerima, memproses dan

beraksi terhadap perintah. Dikenal sebagai perlambatan

tingkah laku, respon ini kadang-kadang diinterpretasikan

sebagai tindakan melawan, ketulian atau kurangnya

pengetahuan.
a. Teori Psikososial
30

Teori psikososial memusatkan perhatian pada perubahan

sikap dan perilaku yang menyertai peningkatan usia, sebagai

lawan dari implikasi biologi pada kerusakan anatomis. Perubahan

sosiologis atau non-fisik dikombinasikan dengan perubahan

psikologis.

1) Teori kepribadian
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada

lanjut usia. Teori ini menyatakan bahwa perubahan yang

terjadi pada seorang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe

personalitas yang dimilikinya. Teori ini mengemukakan

adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan lanjut usia.

Dengan demikian, pengalaman hidup seseorang pada suatu

saat merupakan gambarannya kelak pada saat ia menjadi

lanjut usia. Hal ini dapat dilihat dari gaya hidup, dan harapan

seseorang ternyata tidak berubah, walaupun ia telah lanjut

usia.
2) Teori tugas perkembangan
Tugas perkembangan adalah aktifitas dan tantangan

yang harus dipenuhi oleh seseorang pada tahap-tahap spesifik

dalam hidupnya untuk mencapai penuaan sukses. Tugas

utama lansia adalah mampu melihat kehidupan seseorang

sebagai kehidupan yang dijalani dan integritas. Pada kondisi

tidak adanya pencapaian perasaan bahwa ia telah menikmati

kehidupan yang baik, maka lansia tersebut beresiko untuk

disibukkan dengan rasa penyesalan atau putus asa.


3) Teori disangagament
31

Teori ini membahas putusnya pergaulan atau hubungan

dengan masyarakat dan kemunduran individu dengan

individu lainnya. Dengan bertambah lanjutnya usia, apalagi

ditambah dengan adanya kemiskinan, lanjut usia secara

berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan

sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya.

Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia

menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga

lanjut usia sering mengalami kehilangan ganda (triple loss)

yaitu kehilangan peran, hambatan kontak sosial dan

berkurangnya komitmen.
4) Teori aktifitas
Teori ini menyatakan bahwa lanjut usia yang sukses

adalah mereka yang aktif dan banyak ikut serta dalam

kegiatan sosial. Lanjut usia akan merasakan kepuasan bila

dapat melakukan aktifitas dan mempertahankan aktifitas

tersebut selama mungkin. Selain itu, pentingnya aktifitas

mental dan fisik yang berkesinambungan untuk mencegah

kehilangan dan pemeliharaan kesehatan sepanjang masa

kehidupan manusia.
5) Teori kontinuitas
Teori ini juga dikenal dengan teori perkembangan,

dimana teori ini menekankan pada kemampuan koping

individu sebelumnya dan kepribadian sebagai dasar untuk

memprediksi bagaimana seseorang akan dapat menyesuaikan

diri terhadap perubahan akibat penuaan. Ciri kepribadian


32

dasar dikatakan tetap tidak berubah walaupun usia lanjut.

Selanjutnya, ciri kepribadian secara khas menjadi lebih jelas

pada saat orang tersebut bertambah tua (Stanley and Beare,

2006).
4. Perubahan-Perubahan yang Terjadi Pada Lansia
Menurut Nugroho (2008) perubahan yang terjadi pada lansia

adalah sebagai berikut:


a. Perubahan-perubahan fisik
Meliputi perubahan dari tingkat sel sampai kesemua sistem

organ tubuh diantaranya sistem pernafasan, pendengaran,

penglihatan, kardiovakuler, sistem pengaturan temperatur tubuh,

sistem respirasi, muskuloskletal, gastrointestinal, genitourinaria,

endokrin dan integumen.


a. Perubahan-perubahan mental
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental yaitu

pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa, kesehatan

umum, tingkat pendidikan, keturunan (hereditas) dan lingkungan.


Sedangkan perubahan mental yang terjadi pada lansia adalah:
1) Kenangan (memori)
Kenangan jangka panjang, beberapa jam sampai beberapa

hari yang lalu dan mencakup beberapa perubahan, kenangan

jangka pendek atau seketika (0-10 menit) dan kenangan buruk

(bisa ke arah demensia).


2) Intelegentia Quotion (IQ)
IQ tidak berubah dengan informasi matematika dan

perkataan verbal. Penampilan, persepsi dan keterampilan

psikomotor berkurang. Terjadi perubahan pada daya

membayangkan karena tekanan faktor waktu.


b. Perubahan Psikososial
Nilai seseorang sering diukur melalui produktivitasnya dan

identitasnya dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila


33

mengalami pension (purnatugas), seseorang akan mengalami

kehilangan, antara lain:


1. Kehilangan finansial (pendapatan berkurang),
1. Kehilangan status (dulu mempunyai jabatan atau posisi yang

cukup tinggi, lengkap dengan semua fasilitas),


2. Kehilangan teman, kenalan atau relasi,
3. Kehilangan pekerjaan.
c. Perkembangan spiritual
1. Agama atau kepercayaan semakin terintegrasi dalam

kehidupannya,
2. Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini

terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-

hari.

C. Kerangka Teoritis

Lansia
> 60 tahun

Mengalami perubah :
 Fisik
 Psikososial
 Spiritual
 Mental

Demensia
34

Faktor resiko Demensia

1. Usia
2. Genetik
3. Jenis kelamin
4. Tingkat Pendidikan
5. Aktivitas fisik
6. Merokok
8. Alkohol
9. Faktor kardivaskular
(Splaine, 2012; Baumgart et
al, 2015; Alzheimer’s
Society, 2016).

1. Faktor Kardiovaskular

Bagan 2.1 Kerangka Teori

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah suatu hubungan atau kaitan antara

konsep-konsep atau variabel-variabel yang akan diamati (diukur) melalui

penelitian yang akan diteliti (Notoatmojo, 2012). Kerangka konsep dalam

penelitian ini terdiri dari variabel independen adalah variabel yamg

mempengaruhi variabel yang lain, dan variabel dependent adalah variabel

yang dipengaruhi oleh variabel independent (Notoatmojo, 2010). Variabel

independen pada penelitian ini adalah aktivitas fisik, tingkat pendidikan

dan jenis kelamin sedangkan variabel dependen adalah tingkat demensia.


35

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara aktivitas fisik,

tingkat pendidikan dan jenis kelamin dengan kejadian demensia pada

lansia, dapat dilihat pada tabel berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Aktivitas Fisik

Tingkat Pendidikan Demensia pada Lansia


Jenis Kelamin
Keterangan:
: Diteliti
: Hubungan

Bagan 3.1
Kerangka Konsep Hubungan Aktivitas Fisik, Tingkat Pendidikan dan Jenis
Kelamin terhadap Kejadian Demensia pada Lansia
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasional yaitu penelitian

yang diarahkan untuk menjelaskan hubungan antara dua variabel yaitu

variabel bebas dengan variabel terikat (Notoatmojo, 2002). Sedangkan

pendekatan yang digunakan adalah cross sectional yaitu rancangan

penelitian yang pengukuran atau pengamatannya dilakukkan pada saat

bersamaan (sekali waktu) antara factor resiko/paparan dengan penyakit

(Notoatmojo, 2012). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan

antara aktivitas fisik, tingkat pendidikan, jenis kelamin dengan kejadian

demensia pada lansia di wilyak kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota

Bukittinggi.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
36

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Guguk

Panjang Kota Bukittinggi pada tanggal 2 Mei - 31 Mei 2017 di

Kelurahan Bukit Cangang, Tarok Dipo, dan Pakan Kurai.


C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh lanjut usia yang

berusia 60 tahun keatas yang berada di wilayah kerja Puskesmas

Guguk Panjang Kota Bukittnggi yang berjumlah 2.193 orang lansia.

Distribusi populasi terdiri dari tiga kelurahan yaitu, Kelurahan Tarok

Dipo berjumlah 1.464 orang lansia (laki-laki 665 orang, perempuan

799 orang), Kelurahan Pakan Kurai berjumlah 526 orang (laki-laki

240 orang. perempuan 286 orang) dan Kelurahan Bukik Cangang

berjumlah 203 orang lansia (laki-laki 88 orang, perempuan 115

orang).
2. Sampel
Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini

menggunakan pendekatan non-probability sampling dengan

menggunakan metode purposive sampling, yaitu teknik penetapan

sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan

yang dikehendaki peneliti sehingga sampel tersebut dapat mewakili

karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam,

2011).
Menurut Arikunto (2006), apabila subjeknya kurang dari

seratus, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan

populasi. Tetapi jika jumlah subjek besar, dapat diambil antara 10-

15% atau 15-25% atau lebih. Penelitian ini mengambil sampel 10%

dari jumlah populasi, yaitu :


n = 10% x 2.193
37

n = 219,3
n = 219
Jadi, jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu

219,3 yang dibulatkan menjadi 219 orang. Karena populasi berada di

tiga kelurahan, maka peneliti menentukan sampel untuk masing-

masing-masing kelurahan agar seimbang, berupa kelompok cluster.

Rumus pengambilan sampelnya adalah sebagai berikut:

Kelurahan Bukit Cangang :

Kelurahan Tarok Dipo :

Kelurahan Pakan Kurai :

D. Kriteria sampel
1. Kriteria inklusi
a. Lanjut usia yang bersedia menjadi responden.
b. Lanjut usia yang berusia 60 tahun keatas
c. Lanjut usia yang dapat berkomunikasi
2. Kriteria eksklusi
a. Lanjut usia yang mengalami gangguan pendengaran (tuli).
b. Lanjut usia yang memiliki kondisi yang mempengaruhi struktur

otak seperti stroke, tumor, trauma kepala dan depresi berat


E. Definisi Operasional

Definisi Skala
Variabel Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur
Aktivitas Kegiatan Wawancara Kusioner Ordinal 1. Tinggi
fisik yang biasa Global (MET ≥
dilakukan Physical 3000 )
lansia sehari- Activity 2. Sedang
hari, yang Questionnai (MET ≥
terdiri dari re (QPAQ) 600)
38

aktivitas dan 3. Rendah


ringan, diklasifikasi (MET <
aktivitas kan 600)
sedang, dan berdasarkan
aktivitas Metabolic (GPAQ
berat energy WHO,
turnover 2010)
(METs)
Tingkat Jenjang Wawancara Kuesioner Ordinal 1. Tinggi
Pendidika Pendidikan (Perguru
n formal an
terkahir Tinggi)
responden 2. Sedang
(SMA/S
MK)
3. Rendah
(SD-
SMP)

Jenis Tanda fisik Wawancara Kuesioner Nomina 1. Laki-laki


Kelamin yang l 2. Perempua
teridentifikasi n
pada pasien
dan dibawa
sejak
dilahirkan
Demensia Demensia Wawancara Kuesioner Ordinal 1. Normal
adalah MMSE 24-30
keadaan (Mini 2. Demensi
dimana Mental a ringan
seseorang State Exam) jika skor
mengalami 18-23
penurunan 3. Demensi
kemampuan a berat
daya ingat jika skor
ingat dan 0-17
daya pikir, (Folstein,
dan 1975)
penurunan
kemampuan
tersebut
menimbulkan
gangguan
terhadap
fungsi
kehidupan
sehari-hari.
39

F. Instrumen Penelitian
1. Instrumen Aktivitas Fisik yaitu Global Physical Activity

Questionnaire (GPAQ)

Instrumen Aktivitas Fisik dalam penelitian ini menggunakan

Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ), GPAQ tidak terpaku

pada aktivitas minggu lalu, melainkan minggu minggu pada saat

bekerja penuh. Hal ini untuk menghindari kemungkinan kegiatan di

luar secara rutin, misalnya tidak beraktivitas karena mengalami luka.

Secara teori, jangka waktu yang lebih panjang lebih baik (Kristanti,

2002). GPAQ juga mudah beradaptasi dengan perbedaan budaya yang

ada di negara-negara berkembang dan jenis kegiatan yang digunakan

kusioner sesuai dengan kegiatan atau aktivitas fisik yang dilakukan

lansia (WHO, 2010).

GPAQ merupakan kusioner terstruktur yang didesain untuk

diisi sendiri interview yang dikembangkan oleh WHO (2010). Semua

pengukuran dikumpulan dalam kategori yang terpisah. Kusioner ini

terdiri dari 16 pertanyaan, yang dikelompokkan menjadi 4 item terdiri

dari aktivitas bekerja, aktivitas transportasi, aktivitas

rekreasi/olahraga/fitnes dan aktivitas menetap.


Kemudian kusioner GPAQ ini dibantu dengan menggunakan

show card, yaitu kartu bergambar kegiatan yang terdapat disetiap

pertanyaan kusioner. Show card ini bertujuan untuk membantu

responden mengetahui kegiatan apa yang dimaksudkan disetiap


40

pertanyaan, kemudian responden harus memilih salah satu aktivitas

yang mereka gunakan pada show card tersebut.


Untuk menganalisa data dan menilai intensitas kegiatan fisik

pada kusioner GPAQ dengan menggunakan MET (Metabolic

Equivalents). MET adalah rasio tingkat metabolisme kerja relatif

seseorang pada istirahat. 1 MET setara dengan 1 kkal/kg/jam.

Pedoman yang digunakan bahwa dibandingkan dengan duduk tenang

konsumsi kalori seseorang 4 kali lebih tinggi ketika seseorang tersebut

cukup aktif. Oleh karena itu, ketika menghitung pengeluaran energi

seseorang menggunakan GPAQ, 4 MET digunakan untuk menghitung

waktu yang dihabiskan dalam aktivitas sedang, dan 8 MET digunakan

untuk menghitung waktu yang dihabiskan dalam aktivitas berat.


Untuk menilai aktivitas fisik dengan menggunakan kusioner

GPAQ, dinilai dengan cara :


a) Aktivitas bekerja
(1) Aktivitas bekerja berat = jumlah hari x jumlah menit x 8
(2) Aktivitas bekerja sedang = jumlah hari x jumlah menit x 4
b) Aktivitas transportasi = jumlah hari x jumlah menit x 4
c) Aktivitas rekreasi
(1) Aktivitas rekreasi berat = jumlah hari x jumlah menit x 8
(2) Aktivitas rekreasi sedang = jumlah hari x jumlah menit x 4

Kemudian untuk menghitung total keseluruhan aktivitas fisik

menggunakan rumus :

= jumlah intensitas pekerjaan berat + jumlah intensitas pekerjaan

sedang + jumlah intensitas aktivitas transportasi + jumlah intensitas

aktivitas rekreasi berat + jumlah intensitas aktivitas sedang

Untuk menilai aktivitas fisik dihitung drngan skor MET secara

terpisah untuk domain individu dan sub domain. Untuk menghitung


41

indikator kategoris, total waktu yang dihabiskan untuk aktivitas fisik

dibagi menjadi 3 kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi seperti :

a) Tinggi, apabila melakukan aktivitas fisik selama 7 hari dengan

intensitas minimal 3000 MET-menit/minggu


b) Sedang, apabila melakukan aktivitas fisik selama 5 hari dengan

intensitas minimal 600 MET-menit/minggu.


c) Rendah, apabila tidak memenuhi salah satu dari semua kriteria yang

telah disebutkan dalam kategori berat maupun sedang.


2. Instrumen Demensia
Pengukuran tingkat demensia Instrumen Penilaian Status Mental

Mini/Mini Mental State Examination (MMSE) yang dikemukakan oleh

Folstein, et al pada tahun 1975 atau Folstein tes kusioner singkat 30-point,

digunakan untuk mengetahui adanya kerusakan kognitif. MMSE ini

dilakukan dalam jangka waktu sekitar 10 menit. MMSE ini mengukur

tingkat kerusakan kognitif secara terperinci dengan nilai skor tingkat

kerusakan kognitif dibagi menjadi : (1) Tidak ada gangguan kognitif (24-

30), (2) Gangguan kognitif ringan (18-23) dan (3) Gangguan kognitif

berat (0-17).

3. Instrumen Karakteristik Responden


Pertanyaan tentang karakteristik responden berjumlah 5

pertanyaan yang terdiri dari usia, jenis kelamin, status perkawinan,

pekerjaan dan pendidikan. Pertanyaan ini diisi oleh responden

dengan memberi tanda chek list (√) pada kotak yang telah

disediakan, kecuali untuk pertanyaan usia. Untuk pertanyaan usia

sendiri responden diminta untuk mengisi titik-titik yang telah

disediakan.
B. Etika Penelitian
42

Sebelum peneliti memulai penelitian, peneliti telah mendapatkan

izin dengan memberikan lembar persetujuan (inform consent) yang

dilengkapi dengan judul dan manfaat penelitian untuk melakukan

penelitian di wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi.

Kemudian peneliti menjelaskan kepada responden tentang judul dan

manfaat penelitian kemudian peneliti meminta persetujuan kepada

responden tersebut untuk bersedia atau tidak menjadi responden. Apabila

responden menolak, maka peneliti tidak boleh memaksa dan harus

menghormati hak-hak responden. Untuk menjaga kerahasiaan data

responden maka peneliti tidak akan mencantumkan nama responden

(anonimity) tetapi hanya akan diberikan kode pada lembar pengumpulan

data atau hasil penelitian yang akan disajikan. Kerahasiaan

(confidentiality) informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya

kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.

C. Pengumpulan, Pengolahan dan Analisa Data


1. Pengumpulan Data
Peneliti memulai proses pengumpulan data ini diawali dengan

meminta surat pengantar dari Ketua Program Studi S1 Keperawatan

STIKes Yarsi Sumbar Bukittinggi kepada Ketua Kantor Kesatuan

Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Bukittinggi untuk meminta izin

kepada kepala Dinas Kesehatan Kota bukittinggi dan dilanjutkan

kepada kepala Dinas Pukesmas terkait. Setelah semua izin didapatkan,

kemudian peneliti melihat data lansia yang ada di Kota Bukittinggi

khususnya yang ada di wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang,

kemudian dilanjutkan memilih sampel penelitian. Responden yang


43

memiliki kriteria yang telah ditentukan peneliti bisa ikut dalam

penelitian ini. Selanjutnya peneliti melakukan Informed Consent

kepada calon responden untuk menjelaskan tentang maksud dan

tujuan penelitian.
Setelah responden menyetujui dan menandatangani Informed

Consent barulah peneliti mulai mengumpulkan data mengenai

hubungan aktivitas fisik, tingkat pendidikan dan jenis kelamin

terhadap kejadian dimensia pada lansia. Untuk pengisian data,

responden diminta menjawab pertanyaan pada masing-masing item,

dan diceklis oleh peneliti sesuai dengan jawaban responden. Pada

pengumpulan data membutuhkan waktu ± 15-20 menit. Proses

pengumpulan data dalam penelitian ini dapat dilihat pada skema

berikut :

Skema 4.1 Metode Pengumpulan Data

Mendapatkan surat pengantar dari ketua Progam Studi S1


Keperawatan STIKes Yarsi Sumbar Bukittinggi untuk Kepala
Kantor Kesbangpol Kota Bukttinggi untuk melakukan penelitian

Mendapatkan izin dari Kepala Kantor Kesbangpol Kota


Bukittinggi untuk melakukan penelitian

Mendapatkan izin dari kepala Puskesmas Guguk Panjang

2. Pengolahan Data
MelihatSetelah dataditerkumpul
data lansia Puskesmaskemudian peneliti
terkait untuk melakukan
memilih sampel tabulasi
data menggunakan sistem komputerisasi menurut kriteria yang telah

Memberikan Informed Consent kepada responden

Melakukan pengumpulan data


44

ditetapkan, data diolah secara komputerisasi dengan tahapan

pengolahan sebagai berikut:


a. Memeriksa data (editing)
Pada proses ini peneliti memeriksa data hasil pengumpulan

data yang berupa daftar pertanyaan. Kegiatan ini meliputi hal-hal

berikut:
1) Perhitungan dan penjumlahan
Pada proses ini peneliti mengumpulkan semua kuesioner yang

telah diisi oleh responden dan kemudian peneliti melakukan

penghitungan dan penjumlahan, apakah jumlah kuesioner telah

sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan sebelumnya.


1) Koreksi
Peneliti melihat kelengkapan data dan keseragaman data yang

telah diisi oleh responden.


a. Memberi Kode (coding)
Untuk memudahkan pengolahan data pada penelitian ini,

maka peneliti menyederhanakan jawaban karakteristik responden

dan pertanyaan kuesioner penelitian dengan memberikan kode

angka untuk masing-masing data yang sudah diklasifikasikan.

Hasil dari pengkodean karakteristik responden adalah sebagai

berikut:
1) Usia : 1 = 60-74 Tahun
2 = 75-90 Tahun
2) Jenis Kelamin : 1 = Pria
2 = Wanita
3) Status Perkawinan : 1 = Memiliki Pasangan
2 = Tidak Memiliki Pasangan
4) Pekerjaan : 1 = Bekerja
2 = Tidak Bekerja
5) Pendidikan : 1 = Tinggi
2 = Sedang
3 = Rendah
Sedangkan untuk pengkodean berdasarkan kuesioner adalah

sebagai berikut:
1) Aktivitas Fisik : 1 = Aktivitas Fisik Tinggi
45

2 = Aktivitas Fisik Sedang


3 = Aktivitas Fisik Rendah
2) Demensia : 1 = Normal
2 = Demensia ringan
3 = Demensia berat
b. Entry
Pengolahan data dilakukan dengan cara univariat dan

bivariat, dimana data univariat untuk menampil data demografi

yang terdiri dari usia, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan,

pendidikan, aktivitas fisik, dan demensia dalam bentuk table

distribusi frekuensi dan persentase.


c. Cleaning
Pada tahap ini peneliti melakukan pengecekkan terhadap

data yang telah dimasukkan apakah terdapat kesalahan atau tidak.

Pada tahap ini tidak terjadi kesalahan dan data sudah lengkap.

2. Analisa Data
Data yang telah diolah kemudian dilakukan analisis. Analisis

data dilakukan untuk mendapatkan gambaran aktivitas fisik dengan

kejadian dimensia pada lanjut usia.


a. Analisis Univariat
Analisa univariat dilakukan dengan tujuan untuk

menjelaskan atau mendeskripsikan variabel-variabel yang diteliti

yaitu variabel independen (aktivitas fisik, tingkat pendidikan dan

jenis kelamin) dan variabel dependen (Demensia).


Analisa data yang digunakan untuk pengukuran aktivitas

fisik menggunakan instrumen Global Physical Activity

Questionaire dengan hasil aktivitas tinggi (MET ≥ 3000),

aktivitas sedang (MET ≥ 600) dan aktivitas rendah (MET ≤ 600).


46

Tingkat pendidikan diukur dengan menggunakan kusioner ceklis,

yaitu terdiri dari tingkat pendidikan rendah (SD-SMP),

pendidikan sedang (SMA), pendidikan tinggi (perguruan tinggi).

Dan jenis kelamin juga menggunakan kusioner ceklis yaitu laki-

laki dan perempuan.


Analisa univariat pada aktivitas fisik untuk mengetahui

distribusi frekuensi aktivitas fisik rendah, sedang dan tinggi yang

dilakukan lansia terhadap kejadian demensia. Sedangkan pada

tingkat pendidikan untuk mengetahui distribusi frekuensi

pendidikan rendah (SD-SMP), pendidikan menengah (SMA) dan

pendidikan tinggi (perguruan tinggi) terhadap kejadian dimensia.

Dan analisa univariat jenis kelamin juga untuk mengetahui

distribusi jenis kelamin laki-laki dan perempuan terhadap

kejadian demensia.

b. Analisis Bivariat
Analisa bivariate dilakukan untuk menganalisis hubungan

antara aktivitas fisik, tingkat pendidikan, dan jenis kelamin

dengan kejadian demensia pada lanjut usia di wilayah kerja

Puskesmas Guguk panjang Kota Bukittinggi.


Dalam penelitian ini digunakan uji chi-square dilihat pada

pearson chi-squere dengan tingkat kepercayaan 95%, pvalue

=0,05. Sehingga, jika pvalue < 0,05 maka hasil statistic disebut

bermakna, artinya ada hubungan antara variabel independen

dengan variabel dependen.


Rumus chi-squere :
47

Keterangan:
X2 = Nilai Chi-kuadrat
fe = Frekuensi yang diharapkan
f0 = Frekuensi yang diperoleh/diamati

BAB V

HASIL PENELITIAN

A. Gambara Umum Penelitian


Kota Bukittinggi terletak pada rangkaian Pegunungan Bukit

Barisan atau sekitar 90 km arah utara dari Kota Padang. Kota ini berada di

tepi Ngarai Sianok dan dikelilingi oleh dua gunung yaitu Gunung

Singgalang dan Gunung Marapi. Lokasinya pada ketinggian 909–941

meter di atas permukaan laut menjadikan Bukittinggi kota berhawa sejuk

dengan suhu berkisar antara 16.1–24.9 °C. Bukittinggi mempunyai luas

145,299 km2. Kota Bukittinggi memiliki 7 puskesmas, yaitu Puskesmas

Guguk Panjang, Tangah Sawah, Mandiangin, Nilam Sari, Gulai Bancah,

Tigo Baleh, Mandiangin Plus.


Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang

Kota Bukittinggi. Merupakan puskesmas memiliki jumlah lansia terbanyak


48

dibandingkan dengan puskesmas yang lainnya dengan jumlah 2.193 lansia.

Puskesmas Guguk Panjang terdiri dari 4 kelurahan, yaitu kelurahan Bukit

Cangang, Tarok Dipo, Pakan Kurai. Guguk Panjang adalah sebuah

kecamatan di Kota Bukittinggi. Sampel yang diambil sebanyak 219 orang

yaitu seluruh lansia yang memenuhi kriteria inklusi dan bertempat tinggal

di wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi. Metode

penelitian yang digunakan adalah metode cross sectional.

B. Hasil Analisa Univariat


Dari penelitian yang telah dilakukan pada lansia di wilayah kerja

Puskesmas Guguk Panjang terdapat data karateristik responden pada tabel

berikut :
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di
Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang
Kota Bukittinggi

Karakteristik Responden Frequency Percent


Usia
60-74 Tahun 164 74.9
75-90 Tahun 55 25.1
Jenis Kelamin
Pria 67 30.6
Wanita 152 69.4
Status Perkawinan
Memiliki Pasangan 118 53.9
Tidak Memiliki Pasangan 101 46.1
Pekerjaan
Bekerja 157 71.7
Tidak Bekerja 62 28.3
Pendidikan
Rendah 122 55.7
Sedang 63 28.8
Tinggi 34 15.5
49

Berdasarkan tabel 5.1 di atas diketahui bahwa sebagian besar

lansia berusia 60-74 tahun yaitu sebanyak 164 orang (74.9%). Lebih

dari separuh lansia berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 152

orang (69.4%). Lebih dari separuh lansia memiliki pasangan yaitu

sebanyak 118 orang (53.9%). Lebih dari separuh lansia bekerja yaitu

sebesar 157 orang (71.7%). Lebih dari separuh lansia berpendidikan

rendah yaitu sebesar 122 orang (55.7%).

1. Demensia
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Demensia pada Lansia di Wilayah
Kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi

Demensia Frequency Percent


Normal 87 39.7
Ringan 85 38.8
Berat 47 21.5
Total 219 100.0

Berdasarkan tabel 5.2 di atas diketahui bahwa dari 219 orang

lansia yang tidak mengalami demensia yaitu sebanyak 87 orang

(39.7%), dan lebih dari separuh lansia mengalami demensia yang

terdiri dari demensia ringan sebanyak 84 orang (38.8%), dan yang

mengalami demensia berat yaitu sebanyak 47 orang (21.5%).

2. Aktivitas Fisik
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Aktivitas Fisik pada Lansia
di Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi

Aktivitas Fisik Frequency Percent


Tinggi 55 25.1
Sedang 143 65.3
Rendah 21 9.6
Total 219 100.0
50

Berdasarkan tabel 5.3 di atas diketahui bahwa dari 219 orang


lansia lebih dari separuh memiliki aktivitas fisik sedang yaitu
sebanyak 143 orang (65.3%).

3. Tingkat Pendidikan
Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan pada Lansia
di Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi

Pendidikan Frequency Percent


Rendah 122 55.7
Sedang 63 28.8
Tinggi 34 15.5
Total 219 100.0

Berdasarkan tabel 5.4 di atas diketahui bahwa dari 219 orang

lansia lebih dari separuh berpendidikan rendah yaitu sebanyak 122

orang (55.7%).

C. Hasil Analisa Bivariat


1. Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Demensia pada

Lansia
Tabel 5.5
Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Demensia Pada
Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang
Kota Bukittinggi

Aktivitas Demensia
Total
P
Fisik Normal Ringan Berat Value

f % F % F % f %

Tinggi 28 50.9 26 47.3 1 1.8 55 100.0

Sedang 59 41.3 56 39.2 28 19.6 143 100.0 0.000


51

Rendah 0 0 3 14.3 18 85.7 21 100.0

Berdasarkan tabel 5.5 di atas dari 55 orang lansia diketahui

bahwa persentasi lansia yang tidak menderita demensia dengan

aktivitas tinggi yaitu sebanyak 28 orang (50.9%) dan 26 orang lansia

(47.3%) menderita demensia ringan, hanya 1 orang lansia (1.8%) yang

menderita demensia berat. Dari 143 orang jumlah lansia dengan

aktivitas sedang yang tidak mengalami demensia sebanyak 59 orang

(41.3%), 56 orang lansia (39.2%) mengalami demensia ringan dan 28

orang lansia (19,6%) mengalami demensia berat. Dan dari 21 orang

lansia dengan aktivitas rendah mengalami demensia berat sebanyak 18

orang (85.7%) dan 3 orang lansia (14.3%) mengalami demensia

ringan.
Proporsi tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi aktivitas

fisik pada lansia maka akan semakin sedikit kejadian demensia pada

lansia. Hasil analisa statistik dengan chi-square diperoleh nilai p =

0.000 sehingga p < 0.05 ho ditolak dengan artian terdapat hubungan

yang signifikan antara aktivitas fisik dengan kejadian demensia pada

lansia di wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi.


2. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Demensia pada

Lansia
Tabel 5.6
Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Demensia Pada
Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang
Kota Bukittinggi

Tingkat Demensia
Total
P
Pendidikan Normal Ringan Berat Value

f % F % f % f %
52

Tinggi 32 94.1 2 5.9 0 0 34 100.0

Sedang 32 50.8 29 46.0 2 3.2 63 100.0 0.000

Rendah 23 18.9 54 44.3 45 36.9 122 100.0

Berdasarkan tabel 5.6 di atas dari 34 orang lansia diketahui

bahwa presentasi lansia yang berpendidikan tinggi sebagian besar

tidak mengalami demensia yaitu sebanyak 32 orang (94.1%), hanya 2

orang lansia (5.9%) yang mengalami demensia ringan dan tidak ada

yang mengalami demensia berat. Kemudian dari 63 orang lansia yang

berpendidikan sedang sebanyak 32 orang (50.8%) tidak mengalami

demensia, 29 orang lansia (46.0%) mengalami demensia ringan dan 2

orang lansia (3.2%) mengalami demensia berat. Dan pada lansia yang

tingkat pendidikannya rendah, diketahui dari 122 orang lansia lebih

banyak mengalami demensia ringan yaitu sebanyak 54 orang (44.3%),

45 orang lansia (36.9%) mengalami demensia berat dan 23 orang

lansia (18.9%) tidak mengalami demensia.


Proporsi tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat

pendidikan pada lansia maka akan semakin sedikit kejadian demensia

pada lansia. Hasil analisa statistik dengan chi-square diperoleh nilai p

= 0.000 sehingga p < 0.05 ho ditolak dengan artian terdapat hubungan

yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan kejadian demensia

pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota

Bukittinggi.
53

3. Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Demensia pada

Lansia
Tabel 5.7
Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Demensia Pada
Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang
Kota Bukittinggi

Jenis Demensia
Total
P
Kelamin Normal Ringan Berat Value

F % F % f % f %

Laki-laki 28 41.8 31 46.3 8 11.9 67 100.0


0.062
Perempuan 59 38.8 54 35.5 39 25.7 152 100.0

Berdasarkan tabel 5.7 di atas dari 67 orang lansia diketahui

bahwa presentasi lansia laki-laki mengalami demensia ringan yaitu

sebanyak 31 orang (46.3%), 28 orang (41.8%) tidak mengalami

demensia dan 8 orang (11.9%) mengalami demensia berat. Dan dari

152 lansia perempuan yang tidak mengalami demensia yaitu sebanyak

59 orang (38.8%), 54 orang (35.5) mengalami demensia ringan dan 39

orang (25.7%) mengalami demensia berat.


Proporsi tersebut menunjukkan bahwa lansia yang berjenis

kelamin laki-laki lebih sedikit mengalami demensia dari pada lansia

perempuan. Hasil analisa statistik dengan chi-square diperoleh nilai p

= 0.062 sehingga p > 0.05 ho diterima dengan artian tidak terdapat

hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian demensia pada lansia

di wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi.


54

BAB VI

PEMBAHASAN

A. Analisa Univariat
1. Kejadian Demensia
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 219 lansia di Wilayah

Kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi tahun 2017 dari

tabel 5.2 menunjukan bahwa lebih dari separuh lansia mengalami

demensia, yaitu sebanyak 132 orang (60.3%) yang terdiri dari 85 orang

(38.8%) mengalami demensia ringan dan 47 orang (21.5%) mengalami

demensia berat. Dan lansia yang tidak mengalami demensia sebanyak

87 orang (39.7%).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan

oleh Maftukhah (2013), didapatkan hasil subjek terbanyak termasuk

kategori menderita gangguan kognitif ringan (41.33%) dan paling

sedikit kategori gangguan kognitif berat (28.00%). Penelitian lain yang

dilakukan oleh Laili (2015) yang menyatakan jumlah lansia yang

mengalami demensia yaitu sebanyak 51 orang (52.0%) dan yang tidak

mengalami demensia sebanyak 47 orang (48.0%).


Lumbantobing (2001) mengatakan salah satu faktor penyebab

demensia adalah umur lansia, usia lansia yang semakin tua sulit untuk

mengingat atau daya ingatannya menurun. Penuaan adalah suatu

proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk

memperbaiki diri atau mengganti diri atau mempertahankan struktur

serta fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas

(termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Seiring

pertambahan usia sel-sel tubuh banyak yang mati dan mengalami


55

degenerasi. Akibatnya terjadi gangguan fungsional dari berbagai

macam organ terutama pada system saraf. Keadaan yang biasa dialami

oleh paralansia (usia diatas 65 tahun) adalah adanya gangguan daya

ingat (memori), gangguan kecerdasan (kognitif), gangguan fungsi

gerak dan rasa, serta gangguan keseimbangan dan koordinasi. Dengan

melanjutnya usia didapatkan penurunan yang kontiniu daripada

kecepatan belajar, kecepatan memproses informasi baru dan kecepatan

bereaksi terhadap stimulus sederhana atau kompleks.


Dilihat dari kebiasaan hidup lansia seperti merokok, yaitu pada

penelitian didapatkan 24 orang lansia merokok, diantaranya 11 orang

(9.3%) mengalami demensia ringan dan 3 orang (5.2%) mengalami

demensia berat. Demensia dapat terjadi karena zat-zat yang terkandung

dalam rokok dapat mempengaruhi kerja otak. Merokok dapat

munurunkan kadar antioksidan penangkap radikal bebas dalam

sirkulasi, meningkatkan respon inflamasi dan mengarah ke

aterosklerosis yang mempengaruhi permeabilitas sawar darah otak,

aliran darah otak dan metabolisme otak. Merokok juga langsung

mempengaruhi patologi demensia dengan meningkatkan jumlah plak

(Wreksoatmodjo, 2014).
Baumgart (2015) mengatakan ada beberapa faktor lain yang

juga dapat menyebabkan terjadinya demensia yaitu genetik, konsumsi

alkohol, trauma kepala, obesitas dan riwayat penyakit seperti

hipertensi, hiperkolesterol, diabetes melitus dan jantung. Memiliki

kerabat dekat (orangtua atau saudara) dengan penyakit demensia

meningkatkan peluang seseorang terkena penyakit Demensia sangat


56

sedikit dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat

keluarga. Konsumsi alkohol yang berlebihan jangka panjang dapat

menyebabkan kerusakan otak dan menyebabkan kondisi yang disebut

demensia terkait alkohol. Hal ini juga dapat meningkatkan risiko

penyakit Alzheimer dan demensia lainnya.


Trauma kepala secara langsung mencederai struktur dan fungsi

otak, dan dapat mengakibatkan gangguan kesadaran, kognitif dan

tingkah laku. Studi kohort mendapatkan bukti kuat bahwa riwayat

cedera kepala meningkatkan risiko penurunan fungsi kognitif, risiko

demensia sesuai dengan beratnya cedera. Riwayat cedera kepala

disertai kesadaran menurun meningkatkan risiko demensia 10 kali

lipat. Sebuah studi kasuskontrol juga menunjukkan risiko demensia

meningkat dalam 10 tahun pertama setelah cedera kepala.

Mekanismenya dianggap melalui kerusakan sawar darah-otak,

peningkatan stres oksidatif dan hilangnya neuron.


Berdasarkan beberapa meta-analisis, tinjauan sistematis dan

studi individu menemukan bahwa obesitas pertengahan hidup

dikaitkan dengan peningkatan resiko demensia. Mekanismenya bisa

akibat efek jaringan adiposa yang mensekresi beberapa sitokin,

hormon dan faktor pertumbuhan yang menembus sawar darah otak

mengingat jaringan adiposa diketahui merupakan jaringan endikrin

aktif. Disregulasi hormon leptin bersamaan dengan proses penuaan

dapat secara langsung mempengaruhi degenerasi dengan

meningkatklan deposisi Abeta di jaringan otak.


Tekanan darah tinggi di usia pertengahan meningkatkan resiko

demensia dikemudian hari. Tingginya tekanan sistolik di usia


57

pertengahan akan meningkatkan resiko aterosklerosis, meningkatkan

jumlah lesi iskemik substansia alba, juga meningkatkan jumlah plak

neuritik tangles di neokorteks dan hipokampus serta meningkatkan

atrofi hipokampus. Selanjutnya hiperkolesterol, tingginya kadar

kolesterol bisa menyebabkan aterosklerosis yang mengurangi aliran

darah ke otak dan mempercepat neurodegenerasi melalui pengaruhnya

terhadap metabolisme beta amiloid (Abeta), protein pembentuk plak

yang ditemukan berlebihan di otak.


Diabetes dikaitkan dengan resiko demensia vaskular

dibandingkan dengan dengan demensia Alzheimer. Metabolisme

Abeta dan tau-protein yang membentuk plak dan kekusutan neuron di

otak juga dapat dipengaruhi oleh kadar insulin. Di kalangan usia lanjut

berpenyakit jantung, mereka yang menderita payah jantung

mempunyai fungsi kognitif lebih rendah. Riwayat payah jantung

dikaitkan dengan peningkatan risiko demensia.


Menurut peneliti, lebih dari separuh lansia mengalami

demensia disebabkan karena lansia sebagian besar lupa hari, tanggal,

bulan, sampai tahun. Lansiapun juga tidak tau nama daerah tempat

tinggalnya, kota, propinsi bahkan nama negara. Lansia juga lupa atau

tidak bisa mengingat kembali kata-kata benda yang disebutkan oleh

peneliti. Dan lansia juga sulit untuk berkosentrasi atau fokus karena

lansia tidak bisa menyelesaikan soal kalkulasi dari kuesioner dan juga

lansia sering mengulang-mengulang perkataan atau pertanyaan kepada

penilti seperti menanyakan dari mana peniliti berasal.


2. Aktivitas Fisik
58

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 219 lansia di Wilayah

Kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi tahun 2017 dari

tabel 5.3 menunjukkan bahwa lebih dari separoh lansia memiliki

aktivitas sedang yaitu sebanyak 143 orang (65.3%), diikuti aktivitas

fisik tinggi pada lansia yaitu sebanyak 55 orang (25.1%) dan lansia

yang beraktifitas fisik rendah sebanyak 21 orang (9.6%).


Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Yudhanti (2016) yang menyatakan dari 37 orang lansia yang

memiliki aktivitas fisik baik sebanyak 8 orang (21,6%), aktivitas

sedang sebanyak 21 orang (56.8%), dan lansia yang memiliki aktivitas

buruk sebanyak 8 orang (21.6%). Selain itu juga ada penelitian lain

oleh Laili (2016) menyatakan dari 98 orang lansia yang memiliki

aktivitas fisik rendah sebanyak 57 orang (58.2%) dan aktivitas tinggi

sebanyak 41 orang (41.8%).


Salah satu upaya dalam meningkatkan kesejahteraan lansia

dengan mendorong lansia agar mau dan mampu melakukan aktivitas

fisik. Menurut Potter (2005) terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi aktivitas fisik lansia yaiitu faktor umur, fungsi

psikologis dan tingkat stres. Seseorang yang pada usianya muda

memiliki kebiasaan baik dalam menjaga kesehatan, misalnya

mengkonsumsi makanan sehat serta rutin berolahrga, dan banyak

melakukan aktivitas fisik, maka pada masa tuanya tentu akan lebih

baik dan bisa produktif.


Beraktivitas fisik yang baik dan teratur akan membantu

keadaan tubuh tetap terjaga dengan baik, baik itu aktivitas aerobik

maupun aktivitas yang anaerobik. Tetapi untuk usia lanjut aktivitas


59

yang baik itu yang bersifat aerobik. Banyak sekali aktivitas aerobik

yang dianjurkan untuk diberikan kelompok lansia, agar keadaan

kebugaran dan kesegaran jasmani tubuh pada lansia tetap terjaga dan

terkendali yaitu misalnya dengan jalan kaki, jogging, melompat,

bersepeda baik yang stasioner maupun yang jalan serta senam lansia.
Menurut hasil yang didapatkan oleh peneliti di wilayah Kerja

Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi dengan wawancara

menggunakan kuesioner terdapat faktor lain yang mempengaruhi

aktivitas fisik pada lansia salah satunya faktor umur. Faktor umur

berkontribusi dalam melaksanakan aktivitas fisik. Hal ini disebabkan

oleh berbagai aspek yang salah satunya yaitu aspek akan penurunan

kekuatan pada lansia dan lansia yang mengalami perubahan-

perubahan pada kesehatan fisiknya. Perubahan fisik tersebut

diantaranya mudah jatuh, mudah lelah, nyeri pada kaki bagian bawah

dan nyeri pinggang serta nyeri punggung yang dapat mengganggu

aktivitas fisik pada lansia.


Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat

berbagai faktor yang menyebabkan responden kurang dalam

melakukan aktivitas fisik, sehingga pada penelitian peneliti

mendapatkan hasil bahwa aktivitas fisik yang banyak dilakukan oleh

lansia di wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi

yaitu aktivitas fisik sedang.


3. Tingkat Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 219 lansia di Wilayah

Kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi tahun 2017 dari

tabel 5.4 menunjukkan bahwa lebih dari separoh lansia memiliki


60

tingkat pendidikan rendah yaitu sebanyak 122 orang (55.7%), dan

lansia yang tingkat pendidikannya sedang sebanyak 63 orang (28.8%)

sedangkan lansia yang berpendidkan tinggi berjumlah 34 orang

(15.5%).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Setiawan (2012) yang menyatakan dari 27 orang lansia yang

berpendidikan rendah sebanyak 20 orang (74%), lansia yang tingkat

pendidikannya sedang sebanyak 4 orang (14.8%), dan yang tidak

sekolah berjumlah 3 orang (11.1%). Penelitian lain yang dilakukan

oleh Ulfa (2015) didapatkan hasil yaitu dari 40 orang lansia yang

berpendidikan rendah sebanyak 37 orang (92.5%) dan yang

berpendidikan tinggi sebanyak 3 orang (7.5%).


Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka diasumsikan

semakin tinggi pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuannya

(Suardi, 2012). Pendidikan mempunyai peranan yang sangat

menentukan bagi perkembangan dan kualitas diri individu (Hasbullah,

2005). Pengalaman-pengalam di dunia pendidikan, ternyata

berkorelasi positif dengan hasil skor pada tes-tes inteligensi dan tugas-

tugas pengolahan informasi (ingatan) (Verhaegen dkk, 2003).


Menurut peneliti, lebih dari separuh responden memiliki

tingkat pendidikan rendah disebabkan karena banyak dari mereka

menganggap pendidikan pada zaman mereka tidak terlalu penting.

Karena menurut mereka bersekolah ataupun tidak sekolah sama saja

akhirnya juga untuk bekerja, tidak perlu pendidikan yang tinggi untuk

mendapatkan pekerjaan. Sebagian besar lansia sudah merasa cukup

dengan terpenuhi kebutuhan sehari-harinya. Dan lansia juga


61

beranggapan pendidikan tidak hanya bisa didapatkan di sekolah saja

di kehidupan sehari-hari juga bisa mendapatkan informasi seperti

mengikuti kegiatan-kegiatan sosial, rajin membaca buku, ataupun

mendengarkan radio atau menonton televisi. Karena itu mereka

beranggapan bahwa pendidikan formal tidak terlalu penting karena

walaupun mereka tidak bersekolah informasi dan pengetahuan juga

bisa didapatkan selain disekolah.


4. Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 219 lansia di Wilayah

Kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi tahun 2017 dari

tabel 5.5 menunjukkan bahwa lansia perempuan lebih banyak dari

pada lansia laki-laki yaitu lansia perempuan terdiri dari 152 orang

(69.4%) dan lansia laki-lai yaitu berjumlah 67 orang (30.6%).


Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan

oleh Suryantoro yang menyatakan lansia perempuan terdiri dari 60

orang (66.7%) dan lansia laki-laki sebanyak 30 orang (33.3%).

Penelitian lain yang dilakukan oleh Setiawan (2014) didapatkan hasil

lansia perempuan lebiih banyak dari pada lansia laki-laki yaitu lansia

perempuan sebanyak 18 orang (66.7%) dan lansia laki-laki sebanyak 9

orang (33.3%).
Berdasarkan data Susenas (2012), penduduk lanjut usia yang

paling banyak adalah perempuan yaitu sebesar 8,2% dan laki - laki

6,9% dari jumlah populasi penduduk Indonesia. Hal ini menunjukkan

bahwa umur harapan hidup yang paling tinggi adalah perempuan.

David (2015) mengatakan hormon testosteron pada laki-laki dalam

jangka pendek membuat badan secara fisik lebih kuat, tapi dalam
62

jangka panjang memperbesar kemungkinan untuk terkena penyakit

jantung, infeksi, dan kanker yang akan menyebabkan kematian.


Menurut peneliti, responden lansia perempuan lebih banyak

dari pada lansia laki-laki karena banyak lansia perempuan yang tidak

memiliki pasangan yaitu sebanyak 85 orang (70.1%) dari 152 orang

responden lansia perempuan, disebabkan lansia laki-laki lebih dulu

meninggal atau usia lansia laki-laki lebih singkat dibandingkan

dengan usia lansia perempuan, sedangkan lansia laki-laki lebih banyak

mempunyai pasangan yaitu sebanyak 51 orang (36.1%) dari 67 orang

responden lansia laki-laki.


B. Analisa Bivariat
1. Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Demensia pada Lansia
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 219 lansia di Wilayah

Kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi tahun 2017 dari

tabel 5.6 diketahui persentase aktivitas fisik tinggi dari 55 orang lansia

paling banyak mengalami kategori normal atau tidak demensia

sebanyak 28 orang (50.9%), dan demensia ringan 26 orang (47.3%)

serta hanya 1 orang (1.8%) mengalami demensia berat.


Responden yang memiliki aktivitas sedang berjumlah 143

orang diantaranya paling banyak juga mengalami kategori normal

yaitu 59 orang (41.3%), dan diikuti dengan demensia ringan sebanyak

56 orang (39.2%) serta mengalami demensia berat sebanyak 28 orang

(19.6%). Responden yang memiliki aktivitas rendah yang berjumlah

21 orang sebagian besar mengalami demensia berat yaitu sebanyak 18

orang (85.7%) dan yang mengalami demensia ringan sebanyak 3

orang (14.3%).
63

Proporsi tersebut menunjukan bahwa semakin rendahnya

aktifitas fisik maka akan meningkatkan kejadian demensia pada lansia.

Hasil analisa statistik dengan chi-square diperoleh nilai p = 0.000

sehingga p < 0.05 yang berarti terdapat hubungan yang signifikan

antara aktivitas fisik dengan kejadian demensia pada lansia di wilayah

kerja Puskesms Guguk Panjang Kota Bukittinggi.


Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Nisa (2015), dengan hasil penelitian didapatkan persentase

aktivitas fisik baik paling banyak mengalami kategori normal atau

tidak demensia sebanyak 8 orang (40.0%). Responden yang memiliki

aktivitas fisik sedang paling banyak mengalami demensia ringan

sebanyak 14 responden (68.1%). Responden yang memiliki aktivitas

fisik rendah paling banyak mengalami demensia berat yaitu sebanyak

24 responden (70.0%). Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat

hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian demensia pada lansia.


Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian oleh Effendi

(2012) yang menyatakan ada hubungan antara aktivitas fisik dengan

kejadian demensia pada lansia. Dengan hasil penelitian didapatkan dari

43 responden diperoleh lansia yang memiliki aktivitas fisik rendah

mengalami demensia sebanyak 24 orang (55.8%), pada aktivitas

sedang tas lansia mengalami demensia sebanyak 14 orang (32.5%) dan

pada aktivitas tinggi tidak mengalami demensia sebanyak 5 orang

(11.6%).
Hasil penelitian ini sesuai dengan studi sebelumnya yang

mengatakan bahwa aktivitas fisik dapat menurunkan risiko demensia

di kemudian hari. Bahkan kegiatan ringan, seperti berjalan kaki, yang


64

ditemukan menjadi pelindung. Aktivitas fisik dianggap mampu

meningkatkan fungsi kognitif dengan meningkatkan fungsi

kardiovaskular, perfusi serebral dan merangsang neurogenesis

(Splaine, 2012).
Blaydes (2011) mengatakan bahwa aktivitas fisik berperan

dalam fungsi kognitif. Kaitannya dalam aktivitas fisik, terdapat unsur

gerak. Bergerak berfungsi untuk menyiapkan otak untuk belajar secara

optimal. Dengan bergerak, aliran darah ke otak lebih tinggi sehingga

suplai nutrisi lebih baik. Otak membutuhkan nutrisi terutama berupa

oksigen dan glukosa. Glukosa bagi otak merupakan bahan bakar

utama supaya otak dapat bekerja optimal. Setiap kali seseorang

berpikir, akan menggunakan glukosa. Kurangnya suplai oksigen ke

otak dapat menimbulkan disorientasi, bingung, kelelahan, gangguan

konsentrasi, dan masalah daya ingat.


Farrow (2013) menyatakan aktivitas fisik dapat meningkatkan

plastisitas otak, pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel-sel otak.

studi pencitraan otak telah menunjukkan bahwa orang yang

melakukan aktivitas fisik dengan intensitas sedang , dibandingkan

dengan mereka yang tidak aktif, telah meningkatkan volume otak di

daerah yang penting untuk memori, belajar, konsentrasi dan

perencanaan. Mereka juga telah meningkatkan konektivitas antara

daerah otak, dan mereka memiliki fungsi kognitif yang lebih baik. Hal

ini menunjukkan bahwa mereka memiliki sel-sel otak lebih banyak

dan lebih banyak koneksi membantu otak mereka berfungsi lebih

efektif. Hal yang biasa bagi otak menyusut sedikit saat kita bertambah
65

tua, tapi penyusutan terkait usia ini berkurang pada orang yang

melakukan aktivitas fisik secara teratur orang dewasa yang lebih tua

yang aktif secara fisik memiliki volume otak dan konektivitas khas

orang dewasa muda.


Pada latihan atau aktivitas fisik beberapa sistem molekul yang

dapat berperan dalam hal yang bermanfaat pada otak. Faktor – faktor

neurotropik kebanyakan yang berperan dalam efek yang bermanfaat

tersebut. Faktor neurotrofik itu terutama Brain-derived neurotropic

factor (BDNF), karena dapat meningkatkan ketahanan dan

pertumbuhan beberapa tipe dari neuron. BDNF berperan sebagai

mediator utama dari efikasi sinaptik, penghubungan sel saraf, plastisitas

sel saraf dan memediasi manfaat jangka panjang dari exercise terhadap

otak. Proses-proses ini penting untuk menghambat hipertrofi jaringan

otak yang dapat menyebabkan degenerasi neuronal yang berdampak

terhadap kognitif dan demensia (Cotman, 2004).


Melakukan aktivitas fisik dapat meningkatkan atensi dan

motivasi dengan cara meningkatkan kadar dopamine dan norepinefrin.

Selain itu adalah meningkatkan aktivitas neurotransmitter, memperbaiki

aliran darah, dan memicu produksi faktor pertumbuhan otak. Dengan

demikian, aktivitas fisik ini menyiapkan sel saraf untuk terhubung lebih

mudah dan lebih kuat. Aktivitas fisik dapat meningkatkan aliran darah

ke otak sehingga pembuluh darah terstimulasi dan akses otak untuk

mendapatkan energi dan oksigen meningkat .


Meningkatkannya aliran darah ke otak menyebabkan stimulasi

ke suatu area otak yang membantu pembentukan memori. Selain itu,

meningkatnya serotonin, dopamine, dan BDNF akibat suatu aktivitas


66

fisik akan memperkuat ikatan antar sel saraf. BDNF (brain derived

nerve factor) bertanggung jawab atas pembentukan dan daya tahan

saraf terhadap kerusakan dan stres yang banyak ditemukan di daerah

hipokampus yang berkaitan sengan memori (Ratey, 2009).


Dilihat dari data karakteristik pekerjaan, bahwa lebih dari

separuh responden lansia bekerja yaitu sebanyak 157 orang (71.7%).

Dengan bekerja maka secara otomatis lansia lebih banyak bergerak

sehingga akan meningkatkan aktivitas fisik pada lansia yang dapat

meningkatkan proses pembentukkan sel-sel baru pada otak sehingga

dapat mempertahankan fungsi kognitif dan daya ingat pada lansia .

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dengan

bekerja atau banyak melakukan kegiatan maka aktivtas fisik yang

dilakukan lansia juga semakin meningkat. Dan semakin tinggi aktifitas

fisik yang dilakukan lansia makan akan mengurangi angka kejadian

demensia pada lansia.

2. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Demensia pada

Lansia
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 219 lansia di Wilayah

Kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi tahun 2017 dari

tabel 5.7 menunjukan bahwa persentasi demensia pada lansia lebih

banyak terjadi pada lansia yang memiliki tingkat pendidikan rendah

(122 orang) yaitu demensia berat sebanyak 45 orang (36,9%),

demensia ringan sebanyak 54 orang (44.3%) dan yang normal atau

tidak mengalami demensia sebanyak 23 orang (18.9%)


Reponden lansia yang memiliki tingkat pendidikan sedang (63

orang) lebih banyak mengalami kategori normal atau tidak demensia


67

yaitu sebanyak 32 orang (50,8%), diikuti demensia ringan 29 orang

(46,0%) dan demensia berat 2 orang (3.2%). Kemudian responden

yang memilik tingkat pendidikan tinggi (34 orang) sebagian besar

tidak mengalami demensia yaitu sebanyak 32 orang (94.1%), hanya 2

orang (5.9%) dan tidak ada yang mengalami demensia berat.


Proporsi tersebut menunjukan bahwa semakin rendah tingkat

pendidikan akan meningkatkan kejadian demensia pada lansia. Hasil

analisa statistik dengan chi-square diperoleh nilai p = 0.000 sehingga p

< 0.05 yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat

pendidikan dengan kejadian demensia pada lansia di wilayah kerja

Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi.


Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Khasanah (2012), yang menyatakan ada hubungan antara tingkat

pendidikan dengan kejadian demensia. Dengan hasil penelitian dari 32

responden, pada tingkat pendidikan SD (18 orang) paling banyak

mengalami demensia sedang yaitu sebanyak 9 orang (50%), demensia

ringan 4 orang (22%), demensia berat 4 orang (22%) dan hanya 1

orang (6%) yang tidak demensia. Responden dengan tingkat

pendidikan SMP (6 orang) mengalami demensia ringan sebanyak 2

orang (33%) dan 4 orang (67%) tidak mengalami demensia, dan yang

berpendidikan SMA hanya mengalami demensia ringan yaitu sebanyak

3 orang (100%) kemudian lansia yang pendidikannya perguruan tinggi

tidak ada yang mengalami demensia, sebanyak 5 orang (100%) dalam

kategori normal.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Maryam (2015) yang

menyatakan ada hubungan bermakna antara tingkat pendidikan dengan


68

demensia. Dengan hasil penelitian dari 120 orang lansia, sebanyak 97

orang lansia memiliki tingkat pendidikan rendah diantaranya 32 orang

(33.3%) mengalami demensia, dan 65 orang (67%) tidak mengalami

demensia, lansia dengan tingkat pendidikan tinggi (23 orang)

mengalami demensia sebanyak 1 orang (4.3%) dan yang tidak

mengalami demensia sebanyak 22 orang (95.7%).


Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang mengatakan

bahwa salah satu faktor pelindung utama terhadap pengembangan

demensia di kemudian hari adalah untuk mengembangkan ketahanan

otak yang baik pada awal kehidupan melalui pengembangan

intelektual, biasanya disediakan oleh pendidikan yang baik.

Pendidikan telah terbukti memiliki efek pencegahan pada demensia

(Erol dkk, 2015). Baumgart, dkk (2015) menyatakan orang dengan

tahun pendidikan formal yang tinggi (diukur dengan tingkat kelas

dicapai dan / atau kehadiran perguruan tinggi) lebih besar memiliki

risiko lebih rendah untuk demensia dibandingkan dengan tahun

pendidikan formal yang rendah.


Kurangnya pendidikan merupakan faktor predisposisi

terjadinya demensia. Pendidikan mampu mengkompensasi semua tipe

neurodegenerative dan gangguan vaskular, dan juga mempengaruhi

berat otak. Orang yang berpendidikan lebih lanjut, memiliki berat otak

yang lebih dan mampu menghadapi perbaikan kognitif serta

neurodegenerative dibandingkan orang yang berpendidikan rendah

(Larasati, 2013). Para ahli berpendapat bahwa semakin sering kita

melatih otak dan menyibukkan otak kita, maka kemunduran mental


69

dapat diperlambat, dan semakin sering kita menggunakan otak akan

lebih banyak sinapsis yang dimiliki di hari tua yang dapat mencegah

terjadinya demensia (Lumbantobing, 2006). Faktor psikososial juga

mempengaruhi keparahan dan perjalanan demensia, salah satunya

adalah kemampuan intelektual seseorang. Semakin tinggi intelegensia

dan pendidikan premorbid pasien, semakin baik kemampuan pasien

untuk mengkompensasi defisit intelektual (Kaplan, 2002).


Menurut hasil peneliti yang dilakukan oleh peneliti bahwa

terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian

demensia pada lansia. Persentase yang paling tinggi mengalami

demensia yaitu pada lansia yang berpendidikan rendah. Sebagian

besar pendidikan responden tamat SD dan SMP yang tergolong

kepada pendidikan rendah yang menyebabkan tingginya kejadian

demensia, karena dengan berpendidikan rendah maka responden

hanya sedikit pengalaman dan mendapatkan informasi sehingga fungsi

kognitifnya kurang berkembang yang bisa menyebabkan demensia.


3. Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Demensia pada Lansia

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 219 lansia di Wilayah

Kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi tahun 2017 dari

tabel 5.8 menunjukkan bahwa lansia perempuan lebih banyak megalami

demensia yaitu sebanyak 93 orang (61.2%) sedangkan laki-laki

mengalami demensia sebanyak 39 orang (58.2%).

Hasil analisa statistik dengan chi-square diperoleh nilai p =

0.062 sehingga p > 0.05 yang berarti tidak ada hubungan antara tingkat
70

jenis kelamin dengan kejadian demensia pada lansia di wilayah kerja

Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi.

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian oleh Hidayati

(2012) diperoleh hasil bahwa ada sebanyak 26 lansia (48,1%) laki-laki

dengan demensia. Sedangkan diantara lansia perempuan, ada 28 lansia

(51,9%) dengan demensia. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,759,

berarti tidak ada perbedaan signifikan antara lansia laki-laki maupun

perempuan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Siti (2015) didapatkan

hasil proporsi lansia yang berjenis kelamin perempuan (29,1 %) dan

laki-laki (26,2 %) mempunyai peluang yang sama untuk demensia.

Hasil uji statistik diperoleh p value = 0,878 yang berarti tidak ada

hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan demensia.

Purnakarya (2008) mengatakan bahwa laki-laki maupun

perempuan memiliki peluang yang sama untuk mengalami demensia.

Sebuah studi Belanda telah menemukan bahwa kejadian demensia

alzheimer pada wanita lebih tinggi dibandingkan pria. Namun, tidak ada

perbedaan jenis kelamin dengan resiko demensia vaskular, yaitu

demensia yang disebabkan oleh faktor kardiovaskular. Hal ini diperkuat

berdasarkan pernyataan dari Wreksoatmojo (2014) yang mengatakan

tidak terdapat perbedaan insidensi demensia antara laki-laki dan

perempuan. Beberapa studi besar tidak menemukan perbedaan insiden

demensia alzheimer maupun demensia vaskuler dikalangan laki-laki

dan perempuan.
71

Menurut Lawellyn (2016) wanita lebih mungkin untuk

mengembangkan penyakit Demensia dari pada pria, pada wanita terkait

dengan kurangnya hormon estrogen setelah menopause yang

menyebabkan defisit dalam metabolisme otak, yang dapat mengarah ke

demensia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti tidak sesuai

dengan teori tersebut, karena didapatkan tidak ada hubungan jenis

kelamin dengan kejadian demensia pada lansia. Hal ini disebabkan oleh

beberapa faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya demensia,

yaitu salah satunya adalah faktor penyakit seperti diabetes melitus,

hipertensi, kolesterol, dan obesitas

Penelitian mendapatkan hasil di wilayah kerja Puskesmas

Guguk Panjang Bukittinggi bahwa lansia yang mengalami riwayat

penyakit tersebut yaitu sebanyak 93 orang (34.1%). Hipertensi

merupakan angka kejadian paling tinggi yaitu sebanyak 42 orang

(35.9%), hiperkolesterol 19 orang (16.2%), DM 13 orang (11.1%),

obesitas 12 orang (10.2%) dan riwayat penyakit lain 7 orang (6%).

Dari penelitian didapatkan dari 67 orang responden lansia laki-

laki, sebanyak 44 orang (65.7%) memiliki riwayat penyakit tersebut

mengalami demensia sebanyak 25 orang (56.9%). Dan dari 152

responden lansia perempuan, sebanyak 73 orang (48%) mempunyai

riwayat penyakit dan mengalami demensia sebanyak 48 orang (65.7%).

Maka dapat disimpulkan tidak adanya hubungan demensia dengan jenis

kelamin karena juga disebabkan oleh faktor resiko lain yaitu faktor

penyakit yang dilami oleh responden lansia.


72

BAB VII
PENUTUP

A. Kesimpulan
73

Berdasarkan dari kesimpulan yang di lakukan oleh peneliti tentang

hubungan aktivitas fisik, tingkat pendidikan dan jenis kelamin dengan

kejadian demensia pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang

Kota Bukittinggi tahun 2017 diperoleh kesimpulan sebagai berikut:


1. Diketahui sebagian besar lansia berusia 60-69 tahun yaitu sebanyak

164 orang (74.9%). Lebih dari saparuh lansia berjenis kelamin

perempuan yaitu sebanyak 152 orang (69.4%). Lebih dari separuh

lansia memiliki pasangan yaitu sebanyak 118 orang (53.9%).

Sebagian besar lansia bekerja yaitu sebesar 157 orang (71.7%). Lebih

dari separuh lansia berpendidikan rendah yaitu sebesar 122 orang

(55.7%).
2. Diketahui lebih dari separuh lansia mengalami demensia yaitu terdiri

dari demensia ringan sebanyak 85 orang (38.8%) dan demensia berat

sebanyak 47 orang (21.5%).


3. Diketahui lebih dari separuh lansia memiliki aktivitas fisik sedang

yaitu sebanyak 143 orang (65.3%).


4. Diketahui lebih dari separuh lansia memiliki tingkat pendidikan

rendah yaitu sebanyak 122 orang (55.7%).


5. Terdapat hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan

kejadian demensia pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Guguk

Panjang Kota Bukittinggi


6. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan

kejadian demensia pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Guguk

Panjang Kota Bukittinggi


7. Tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian

demensia pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang

Kota Bukittinggi
B. Saran
1. Bagi Petugas Puskesmas
74

Bagi petugas Puskesmas dapat memberikan penyuluhan kepada

lansia tentang pentingnya aktivitas fisik dan pendidikan kesehatan

seperti memberikan informasi-informasi serta memberikan kegiatan-

kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan fungsi kognitif lansiam

agar dapat mencegah terjadinya demensia pada lansia.


2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan informasi bagi mahasiswa tentang pentingnya

aktivitas fisik dan pendidikan dengan kejadian demensia pada lansia,

serta dapat dijadikan sebagai bahan ajar pada mata kuliah ilmu

keperawatan khususnya di bidang keperawatan gerontik.


3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan untuk melakukan penelitian dengan jumlah populasi

lebih banyak dan variabel yang mempengaruhi terjadinya demensia

pada lanjut usia tidak hanya terbatas pada aktivitas fisik, tingkat

pendidikan dan jenis kelamin. Instrumen yang digunakan tidak

terbatas pada kuesioner tetapi dapat menggabungkan antara kuesioner

dan wawancara mendalam (Mix methode). Analisa data yang

digunakan untuk penelitian berikutnya tidak hanya analisa univariat

dan bivariat saja tetapi dapat dilakukan analisa secara multivariat.


C. Keterbatasan Peneliti
1. Penelitian ini hanya menggunakan kuesioner yang dibagikan kepada

responden sehingga kesimpulan yang dapat diambil hanya

berdasarkan pada data yang dikumpulkan melalui kuesioner tersebut.


2. Kurangnya pemahaman dari responden terhadap pertanyaan-

pertanyaan dalam kuesioner sehingga jawaban yang diberikan tidak

sesuai dengan pertanyaan yang ada pada kuesioner.


75

DAFTAR PUSTAKA

Ambardini, R. L (2009). Aktivitas Fisik pada Lanjut Usia. 4 Januari 2017.


https://scholar.google.co.id/citations?user=UpnytW8AAAAJ&hl=en

Ardiansyah, M., & Khasanah, N. (2012). Hubungan antara Tingkat Pendidikan


dengan Kejadian Penurunan Daya Ingat pada Lansia. Mutiara Medika,
12(3), 150-154.

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta :


Rineka Cipta.

Aspiani, Y. R. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik, Jilid 2. Jakarta :


Trans Info Media.

Badan Pusat Statistik Sumatera Barat. (2014). Jumlah Penduduk Sumatera Barat.
Diakses tanggal 18 Januari 2017 dari http://Badan Pusat Statistik.co.id

Baumgart, dkk. (2015). Sumaary of the Evidence on Modifiable Risk Factors for
Cognitive Decline and Dementia : A Population-based Perspective.
Alzheimer’s & Dementia, 11, 718-729.
76

Chen, J. H., Lin, K.P., & Chen, Y. C. (2009). Risk Factor for Dementia. J Formos
Med Assoc, 108(10), 754-764.

Chene, G, dkk. (2015). Gender and incidence of dementia in the Framingham


Heart Study from mid-adult life. The Journal of the Alzheimer’s
Association, 11(3), 310-320.

Dinas Kesehatan Kota (DKK) Bukittinggi. (2017). Data Sasaran Program Kota
Bukittinggi. Kota Bukittinggi : DKK

Depkes RI. (2015). Pelayanan dan peningkatan Kesehatan Usia Lanjut. 5 Januari
2017. http://www.depkes.go.id/article/view/15052700010/pelayanan-dan-
peningkatan-kesehatan-usia-lanjut.html

Effendi, A. D., Mardijana, A., & Dewi, R. (2014). Hubungan antara Aktivitas
Fisik dengan Kejadian Dimensia pada Lansia di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia Jember. e-Jurnal Pustaka Kesehatan, 2(2), 332-336.

Erol, R., Brooker, D., & Peel, E. (2015). Women and Dementia. London :
Alzheimer’s Disease International.

Farrow, K., & Ellis, K. (2013). Physical Activity for Brain Health and Fighting
Dementia. 4 Januari 2017.
https://www.yourbrainmatters.org.au/sites/default/files/YBM%20Paper
%2036_webfinal_0.pdf.

Hasbullah.(2005). Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada.

Hidayati, D. F. (2012). Hubungan Aktivitas Fisik dan Aktivitas Kognitif terhadap


Kejadian Demensia pada Lansia di Kelurahan Suka Bumi Selatan 2012.

Hutapea, R. (2005). Sehat dan Ceria di Usia Senja. Jakarta : Rineka Cipta.

Kemenkes RI. (2014). Selamatkan Otak, Peduli Gangguan Demensia/Alzheimer


(Pikun). 1 Desember 2016.
77

http://padk.kemkes.go.id/news/read/index/2/4/selamatkan-otak-peduli-
gangguan-demensiaalzheimer-pikun

Khasanah, N., & Ardiansyah. M. (2012). Tingkat antara Pendidikan dengan


Kejadian Penurunan Daya Ingat pada Lansia. Mutiara Medika, (12)3, 150-
154.

Lewellyn, D. (2016). Risk Factors for Dementia. England : Alzheimer’s Society.

Maryam, R. S., Hartini, T., & Sumijatun. (2013). Hubungan Tingkat Pendidikan
dan Activity Daily Living dengan Demensia pada Lanjut Usia di Panti
Werdha. 45-55.

Mustayah., Wulandari, E. (2016). Demensia dengan Pemenuhan Kebutuhan ADL


(Activity Daily Living) pada Lansia di Desa Kalirejo Wilayah Kerja
Puskesmas Lawang-Malang. The 3rd University Research Colloquium
2016, 170-181.

Notoatmojo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Notoatmojo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Nugroho, H. W. (2008). Keperawatan Gerontik dan Geriatri (Edisi ketiga).


Jakarta: EGC

Nisa,   O.   S.   (2015).  Hubungan   antara   Tingkat   Aktifitas   Fisik   dengan   Fungsi

Kognitif pada Lanjut Usia di Desa Pucangan. 

Padila. (2013). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta : Nuha Medika

Priherdityo, E. (2016). Indonesia Lupa Catat Jumlah Penderita Demensia. CNN


Indonesia. 13 Maret 2017. http://www.cnnindonesia.com/gaya-
hidup/20160924070505-255-160792/indonesia-lupa-catat-jumlah-
penderita-demensia/
78

Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Barat. (2014). Jumlah Penduduk Sumatera


Barat. 12 Januari 2017.
http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KES_PROV
INSI_2014/03_Sumatera%20Barat_2014.pdf

Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. (2013). Gambaran


Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. 12 Desember 2016.
http://www.depkes.go.id/download.php?
file=download/pusdatin/buletin/buletin-lansia.pdf

Sari, M. N. L. P., Widodo, G. G., & Aini, F. (2016). Hubungan Aktivitas Fisik dan
Aktivitas Kognitif terhadap Kejadian Demensia pada Lansia Kecamatan
Boja. 1-10.

Saryono. (2011). Kumpulan Instrumen Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Nuha


Medika.

Scerri, C. (2014). The Curvy Side of Dementia: The Impact of Gender on


Prevalence and Caregiving. Journal of the Malta College of Pharmacy
Practice, 20, 37-39.

Setiawan, D. I., Bidjuni, H., & Karundeng, M. (2014). Hubungan Tingkat


Pendidikan dengan kejadian Demensia pada Lansia di Balai Penyantunan
Lanjut Usia Senja Cerah Paniki Kecamatan Mapanget Manando. 1-7.

Splaine, M. (2012). Policy Brief Risk Factor for Dementia. Alzheimer’s Disease
International. 6 Desember. https://www.alz.co.uk/sites/default/files/policy-
brief-risk-factors-for-dementia.pdf

Stanley, M., & Beare, P. G. (2006). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta :
EGC.

Suryantoro, D. (2012). Hubungan Tingkat Demensia dengan Tingkat Aktivitas


Dasar Sehari-hari pada Lanju Usia di Desa Krajan Gatak Sukoharjo.
79

Naskah Publikasi Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiah


Surakarta.

Suriastini, dkk. (2016). Angka Prevalensi Demensia. 13 Desember 2016.


http://surveymeter.org/site/download_research/68

Townsend, M. C. (2009). Diagnosis Keperawatan Psikiatri. Jakarta : EGC.

United Nations. (2015). World population ageing 2015. 16 Desember 2016.


http://www.un.org/en/development/desa/population/publications/pdf/agein
g/WPA2015_Highlights.pdf

Verghese, J, dkk. (2003). Leisure Activities and the Risk of Dementia in the
Elderly. The New England Journal of Medicine, 348(25), 2508-2516.

Tyson, D. (2010). Why more Education Lowers Dementia Risk. 6 Maret 2017.
http://www.cam.ac.uk/research/news/why-more-education-lowers-
dementia-risk

Wreksoatmodjo, B. R. (2014). Faktor Resiko Gangguan Kognitif. CDK-212, 41(1)

Zafirah, N. H., Wulan, A. J. (2016). Hipertensi dan Diabetes melitus sebagai


Faktor Risiko Demensia Vaskular. Majority, 5(1), 68-75. 7 Januari 2017.
http://jukeunila.com/wp-content/uploads/2016/02/14-1.pdf

World Health Organization. (2010). Global Physical Activity Surveillance. 16


Januari 2017. http://www.who.int/chp/steps/gpaq/en/

World Health Organization (WHO). (2012). Definition elderly people.


http://www.who.int/ageing

World Health Organization. (2015). The Epidemiology and Impact of Dementia.


18 Januari 2017.
http://www.who.int/mental_health/neurology/dementia/dementia_thematic
brief_epidemiology.pdf
80

Anda mungkin juga menyukai