Anda di halaman 1dari 13

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN BEBERAPA SOFTWARE PERPUSTAKAAN

A. Sejarah Perkembangan Software


1. Era Pioneer
Pada Era Pioneer bentuk software komputer pada awalnya adalah sambungan-
sambungan kabel ke antar bagian dalam computer, cara dalam mengakses komputer
adalah menggunakan punched card yaitu kartu yang di lubangi. Penggunaan komputer
dengan sebuah program yang digunakan untuk sebuah mesin tertentu dan untuk tujuan
tertentu. di era software komputer merupakan satu kesatuan dengan sebuah hardware
computer.
2. Era Stabil
Pada Era software komputer yang dijalankan bukan lagi satu-satu, tapi sudah
banyak proses yang di lakukan secara bersamaan (multi tasking). Software
Komputer pada era stabil ini juga mampu menyelesaikan banyak pengguna (multi
user) dan secara cepat/langsung (real time). juga mulai di kenal sistem basis data, yang
memisahkan antara program dan data.
3. Era Mikro
Pada Era Mikro ini software komputer dapat dibedakan menjadi beberapa
bagian yaitu Software Sistem (Windows, Linux, Machintos, dll), Software Aplikasi
(Ms.Office, OpenOffice, dll) dan Languange Software/Bahasa Pemograman
(assembler, visual basic, delphi dan lain sebagainya).
4. Era Modern
Pada Era Modern ini software komputer tidak hanya untuk sebuah komputer
tetapi sebuah handphone pun telah di lengkapi dengan sebuah software sistem seperti
Android, Symbian, dll. Tingkat kecerdasan yang ditunjukkan oleh software komputer
pun semakin meningkat, selain permasalahan teknis, software komputer sekarang juga
mulai bisa mengenal suara dan gambar.

B. Sejarah Software - Software di Perpustakaan


1. Open Source
a. Senayan Library Management System (SLiMS)
Sejarah Senayan Library Management System (SLiMS)Senayan, atau
lengkapnya Senayan Library Management System (SLiMS), adalah perangkat
lunak sistem manajemen perpustakaan (library management system) sumber
terbuka yang dilisensikan di bawah GPL v3. Aplikasi web yang dikembangkan oleh
tim dari Pusat Informasi dan Humas Departemen Pendidikan Nasional Republik
Indonesia ini dibangun dengan menggunakan PHP, basis data MySQL, dan
pengontrol versi Git. Pada tahun 2009, Senayan memenangi INAICTA 2009 untuk
kategori open source.
Senayan pertamakali digunakan di Perpustakaan Departemen Pendidikan
Nasional. Pengembangan Senayan dilakukan oleh SDC (Senayan Developers
Community). Di koordinir oleh Hendro Wicaksono, dengan Programmer Arie
Nugraha, Wardiyono. Sementara dokumentasi dikerjakan oleh Purwoko, Sulfan
Zayd, M Rasyid Ridho, Arif Syamsudin. Pada Januari 2012, developer SLiMS
bertambah 2 orang, yaitu: Indra Sutriadi Pipii (GOrontalo) dan Eddy Subratha
(Jogjakarta). Selain itu, ada pula programmer Tobias Zeumer
(tzeumer@verweisungsform.de), dan Jhon Urrego Felipe Mejia
(ingenierofelipeurrego@gmail.com). Situs resmi SLiMS, saat ini ada di
http://slims.web.id
Menurut Hendro Wicaksono dan Arie Nugraha, anggota tim pengembang
Senayan, program manajemen perpustakaan ini pertama kali dikembangkan pada
November 2006. Waktu itu, para pengelola Perpustakaan Departemen Pendidikan
Nasional di Jakarta tengah kebingungan karena program manajemen perpustakaan
Alice habis masa pakainya. Alice adalah perangkat lunak bikinan Softlink
sumbangan Pusat Kebudayaan Inggris, British Council.
Departemen tak memiliki anggaran untuk memperpanjang masa pakai Alice.
Selain itu, Alice adalah produk tidak bebas (proprietary) yang serba tertutup. Staf
perpustakaan sulit mempelajari program tersebut. Alice bahkan tak dapat dipasang
di server atau komputer lain, sehingga tidak dapat didistribusikan ke perpustakaan
di lingkungan departemen tersebut.
Hendro lantas mengusulkan ke Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat,
yang memayungi perpustakaan di departemen itu, untuk membuat program baru
sebagai pengganti Alice. ”Karena awalnya dikembangkan dengan uang negara,
harus bisa diperoleh secara bebas oleh masyarakat,” katanya.
Software baru itu kemudian dikembangkan dengan General Public License,
sistem perizinan yang lazim digunakan dalam perangkat lunak berbasis sumber
terbuka. Perizinan ini mensyaratkan agar software tersebut harus dapat digunakan,
dipelajari, diubah, dan didistribusikan ke pihak lain secara bebas.
Pada awalnya Hendro dan Arie Nugraha, pustakawan lain di sana, mencari
perangkat lunak yang sudah jadi, tapi terbentur sejumlah masalah. Beberapa peranti
lunak, seperti PHP MyLibrary dan OpenBiblio, ternyata kurang serius menerapkan
prinsip pengembangan aplikasi dan basis data. Dalam basis data yang bagus,
misalnya, tabel pengarang dan buku harus terpisah. ”Nah, software yang ada waktu
itu menggabungkan keduanya, sehingga tabel itu jadi lebih rumit karena memuat
data pengarang 1, pengarang 2, dan seterusnya,” kata Hendro.
Teknologi yang digunakan dalam software itu pun umumnya memakai bahasa
pemrograman Perl dan C++ yang relatif lebih sulit dipelajari oleh para pustakawan
departemen yang tak punya latar belakang ilmu teknologi informasi. Selain itu,
beberapa perangkat lunak tersebut sudah tidak aktif atau lama sekali tidak muncul
versi terbarunya.
Dengan berbagai pertimbangan itu, mereka memutuskan membuat perangkat
lunak yang baru sama sekali dengan memanfaatkan bahasa pemrograman PHP dan
basis data MySQL, yang mereka pelajari secara otodidak. ”Kami semua berlatar
belakang pustakawan. Kebetulan kami suka pada teknologi informasi dan sama-
sama mempelajarinya,” kata Arie.
Karena awalnya dikembangkan di perpustakaan yang berlokasi di kawasan
Senayan dan nama itu dirasa cocok dan punya nilai pasar yang bagus, aplikasi
sistem perpustakaan itu pun dinamai seperti tempat kelahirannya.
Senayan berukuran kecil dan sangat mudah dipasang di komputer, baik yang
memakai sistem operasi Linux maupun Windows. ”Besar seluruh file program,
termasuk program Linux, kurang dari 1 gigabita,” kata Arie saat menjaga gerai
Senayan di pameran Global Conference on Open Source di Hotel Shangri-La
Jakarta, 27 Oktober lalu.
Meski dibangun di atas platform GNU/Linux, Senayan bisa berjalan hampir di
semua sistem operasi komputer, termasuk Windows dan Unix. Untuk memudahkan
interaktivitas pengguna, aplikasi ini juga memakai teknologi AJAX (Asynchronous
JavaScript and XML) untuk tampilannya di peramban. Beberapa software
bersumber terbuka lain juga dipasang di Senayan untuk memperkaya fiturnya,
seperti genbarcode untuk pembuatan barcode, PhpThumb untuk menampilkan
gambar, dan tinyMCE untuk penyuntingan teks berbasis web.
Yang terpenting, Senayan dirancang sesuai dengan standar pengelolaan koleksi
perpustakaan, misalkan standar pendeskripsian katalog berdasarkan ISBD yang
juga sesuai dengan aturan pengatalogan Anglo-American Cataloging Rules. Standar
ini umum dipakai di seluruh dunia. ”Karena yang mengembangkan adalah para
pustakawan, kami berani menjamin bahwa aplikasi ini sesuai dengan standar yang
dibutuhkan pustakawan di dalam dunia kerjanya,” kata Hendro.
Untuk mengembangkan Senayan, Hendro dan Arie mengajak anggota di
mailing list ISIS (ics-isis@yahoogroups.com) kelompok diskusi para pustakawan
pengguna perangkat lunak manajemen perpustakaan milik UNESCO—bergabung.
Beberapa pustakawan lain menanggapi rencana mereka, bahkan turut membantu
mengembangkan peranti lunak itu.
Jadilah Senayan versi beta yang hanya beredar di kalangan pustakawan di
kelompok diskusi itu. Merekalah yang menguji dan kemudian memperbaiki bolong-
bolong dalam program tersebut. Akhirnya, setelah program itu dirasa cukup stabil,
Senayan dirilis ke publik pada November 2007, bertepatan dengan ulang tahun
Perpustakaan Departemen Pendidikan Nasional yang ketiga.
Sebenarnya Senayan belum sempurna saat itu, tapi Hendro merasa bahwa
program ini harus segera digunakan, terutama agar pustakawan di kantornya
terbiasa dengan program baru ini dan mempercepat migrasi dari Alice. ”Semula
kami pakai program Senayan dan Alice secara bersamaan, tapi ketika pengunjung
sedang ramai, para pustakawan cenderung memakai Alice. Akhirnya kami matikan
Alice sama sekali, dan mereka terpaksa hanya memakai Senayan,” kata Hendro.
Seperti yang mereka perkirakan sebelumnya, beberapa kegagalan terjadi ketika
program itu dijalankan. Arie, yang bertugas menjaga kelancaran migrasi itu,
mendapat keluhan bertubi-tubi dari para pengguna dan harus langsung memperbaiki
program itu. ”Bugs (gangguan pada program) memang masih banyak pada program
awal ini,” kata Arie, yang kini menjadi dosen teknologi informasi di almamaternya,
Universitas Indonesia.
Tiga bulan berikutnya, Hendro mengundang beberapa pustakawan yang aktif di
mailing list ISIS untuk menghadiri Senayan Developer’s Day—acara perekrutan
tenaga pengembang program itu. Dari acara tersebut, terpilihlah empat nama:
Purwoko, pustakawan Fakultas Geologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta;
Wardiyono, programer sebuah organisasi lingkungan; Sulfan Zayd, pustakawan di
Sekolah Mentari; dan Arif Syamsudin, pustakawan di Sekolah Internasional Stella
Maris.
Selama tiga hari para pustakawan terpilih itu berkumpul dan berkonsentrasi
dalam penambahan fitur, perbaikan, dan pembaruan dokumen Senayan. Hasilnya,
mereka meluncurkan Senayan versi yang lebih stabil dan dokumen program. Maret
tahun berikutnya mereka berkumpul kembali dengan kegiatan yang sama.
Belakangan, mereka mendapat bantuan dari Tobias Zeumer, programer di
Jerman. Zeumer mengganti program multibahasa Senayan dengan PHP Gettext,
standar program multibahasa di lingkungan peranti lunak sistem terbuka. ”Dia
peduli pada pengembangan Senayan dan salah satunya adalah menambahkan fitur
bahasa Jerman pada Senayan,” kata Hendro.
Selain terus memperkaya Senayan, tim pengembang terus membuat paket
program untuk memudahkan pemasangan. Paket yang disebut Portable Senayan
(psenayan) ini berisi program Senayan, Apache (program untuk server), PHP, dan
MySQL. Pengguna tinggal mengopi, mengekstrak, dan langsung menggunakannya
pada komputer atau server masing-masing.
Ketika dirilis pertama kali, Senayan baru diunduh 704 kali. Angka ini melonjak
menjadi 6.000 kali lebih pada Desember 2007 dan 11 ribu lebih Januari 2008.
Adapun pada Oktober lalu program itu sudah diunduh hampir 27 ribu kali. Dengan
demikian, total sudah 250 ribu kali lebih program itu diunduh.
Karena dapat diunduh secara bebas, Hendro dan kawan-kawan tak tahu persis
berapa banyak pengguna aplikasi ini. Tapi sedikitnya ada sekitar 218 perpustakaan
dan lembaga lain yang mengaku memakai Senayan, seperti Pusat Studi Jepang UI,
Perpustakaan Kedokteran Tropis UGM, Sekolah Indonesia-Kairo di Mesir,
Perpustakaan Indonesian Visual Art Archive, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta,
Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta, Rumah Sakit M.H. Thamrin
Cileungsi, Institut Bisnis dan Informatika Indonesia, serta Perpustakaan Umum
Kabupaten Pekalongan.
Senayan kini sudah berkembang jauh. Ia tak hanya menampilkan data buku, tapi
juga dapat menampilkan gambar, suara, buku elektronik, dan bahkan video. Hendro
dan timnya juga sedang mengembangkan agar setiap server pengguna Senayan
dapat saling ”bicara”, sehingga nanti dapat dibangun sebuah gerbang pencarian data
buku dalam jaringan yang dapat menelusuri semua katalog. ”Nanti akan ada sebuah
gerbang agar pencarian buku cukup melalui satu situs saja,” kata Arie.

b. Sejarah Perkembangan Athenaum Light


Athenaeum Light merupakan sebuah perangkat lunak sistem otomasi
perpustakan versi freeware untuk mengelola data (Buku dan dokumen lain) yang
diproduksi oleh Sumware Consulting. Athenaeum Light yang pertama kali di rilis
adalah versi 5.0 pada tahun 2000, versi berikutnya yang di rilis adalah versi 6.0 pada
tahun 2004 dan kemudian versi yang terbaru saat ini adalah versi 8.5. Athenaeum
light 8.5 ini dikembangkan dari athenaeum light 6 yang merupakan bagian dari
aplikasi athenaeum 6 pro yang dibuat oleh sumware consulting NZ dari perusahaan
aplikasi di New Zeland.
Kata “athenaeum”, berasal dari bahasa Yunani, yang artinya perpustakaan atau
reading room (ruang baca). Selanjutnya kata ini digunakan oleh Sumware
Consulting yang berkedudukan di New Zealand untuk nama produk perangkat
lunak yang mereka rilis. Sumware Consulting telah berdiri sejak tahun 1992
bersamaan dengan peluncuran produk pertama untuk solusi perpustakaan yang
bernama “That Book is SumWare”. Mereka mengkhususkan diri pada
pengembangan dan pelatihan pangkalan data (training database), dengan fokus
secara ekslusif pada produk Filemaker untuk Windows dan Macintosh.
Beberapa produk yang mereka kembangkan antara lain, Athenaeum Pro,
Athenaeum Express, dan Athenaeum Light. Produk-produk tersebut merupakan
perangkat lunak sistem otomasi perpustakaan untuk perpustakaan sekolah maupun
korporat. Athenaeum dibangun dari Software Database Filemaker Pro 6.0
(www.filemaker.com). Sebuah perangkat lunak untuk mengelola data dengan
operasi yang sangat mudah dan sederhana. Kemudahan yang diberikan Filemaker
telah menobatkannya sebagai software yang “paling mudah” digunakan, versi
majalah PC World 2004.
Kemudahannya pula yang memberi peluang pada banyak orang (non-
programer) mampu untuk memodifikasi bahkan membuat sendiri sebuah aplikasi
yang sesuai dengan kebutuhan. Athenaeum versi Light merupakan Athenaeum
dengan fitur-fitur yang telah dibatasi (limited features) dibandingkan dengan versi
yang lebih lengkap yaitu Athenaeum Pro dan Express yang sifatnya berbayar
(proprietary). Sekalipun aplikasi ini gratis dan sekedar potongan perangkat lunak
untuk tujuan promosi perangkat lunak versi berbayarnya (Athenaeum Pro dan
Athenaeum Express) namun fasilitas yang ada sangat menarik untuk dipakai
sebagai salah satu perangkat lunak penunjang sistem otomasi perpustakaan, fasilitas
paling menarik pada Athenaeum Light adalah fasilitas dapat dimodifikasi dan
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan perpustakaan masing-masing.
Selain menyuguhkan fasilitas untuk mengemas pangkalan data buku
(collections), aplikasi ini juga menyediakan fasilitas untuk melakukan peminjaman
dan membuat laporan. Fasilitas lain seperti seperti pembuatan label, barcode,
statistik dan stock opname juga disediakan. Hal ini menjadi nilai tambah tersendiri
yang jarang dijumpai pada aplikasi gratisan lain. Athenaeum Light 6.0 dibangun
dengan menggunakan DBMS Filemaker yang awalnya khusus (native) untuk
Macintosh (Apple Mac) baru kemudian Windows. Untuk menjalankannya,
dibutuhkan komputer dengan spesifikasi minimal.
Athenaeum Light 6.0, bersifat gratis (freeware) dikemas secara open script dan
disajikan dalam bentuk portable, artinya code atau formula di dalamnya tidak
ditutup oleh pembuatnya. Hal ini memungkinkan para pemakainya untuk
memperbaiki, memodifikasi tampilan, field, ruas, bahasa serta relasi data sesuai
kebutuhan masing-masing. Meskipun Athenaeum Light sekedar potongan
perangkat lunak untuk tujuan promosi, namun fasilitas yang ada sangat menarik
untuk dipakai sebagai salah satu otomasi perpustakaan, terlebih adanya fasilitas
untuk bebas memodifikasi dan mengembangkan Athenaeum Light sesuai dengan
kebutuhan masing-masing pengguna. (Wahono, dkk ; 2006)
Sejak diperkenalkan kepada komunitas perpustakaan tahun 2005, perangkat
lunak Athenaeum Light 6.0 telah mulai banyak digunakan oleh berbagai kalangan.
Mulai dari Perpustakaan Pribadi, Taman Bacaan, Perpustakaan Komunitas,
Perpustakaan Masjid, Perpustakaan Sekolah, Perpustakaan Umum, hingga
Perpustakaan Perusahaan dan Perpustakaan Perguruan Tinggi. Penyebaran secara
informal dari tangan ke tangan telah membuat Athenaeum Light mulai dikenal
sebagai aplikasi yang mudah dijalankan, gratis dan openscript, sehingga terbuka
untuk dikembangkan.
Jumlah pemakai Athenaeum Light terus bertambah, saat ini tercatat lebih dari
30 perpustakaan telah menggunakan Athenaeum Light sebagai solusi otomasi
perpustakaan secara sederhana, dengan penyebaran wilayah mulai dari Aceh,
Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang
(http://kali.openlib.org). Athenaeum light 8.5 V1 beta 2 merupakan aplikasi yang
dikembangkan oleh Komunitas Athenaeum Light Indonesia (KALI). Perangkat
lunak ini dibangun dengan perangkat lunak DBMS Filemaker 8.5 Profesional
Advance.
Hal utama yang ditambahkan pada perangkat ini terletak pada kemampuan
menyimpan data sampai delapan Terrabyte (8TB) atau setara dengan 8000 GB
(Gigabyte) dan kestabilannya jika dibandingkan dengan versi New Festive. Selain
itu pada perangkat lunak ini juga tertanam kemampuan Web Live, yakni fasilitas
menelusuri dunia maya (internet) dalam kerangka Athenaeum Light 8.5.
Kebutuhan akan pengembangan jaringan, penambahan modul yang belum
tersedia, serta dukungan terhadap segala kebutuhan teknis dan pengembangan
Athenaeum di Indonesia, menumbuhkan gagasan untuk membentuk sebuah
komunitas. Komunitas tersebut dimaksudkan sebagai wadah bersama untuk saling
belajar, bersinergi, dan menjalin hubungan dengan berbagai organisasi
kepustakawanan di Indonesia, mendorong para pengguna dan pengembang
Athenaeum Light di Indonesia mendirikan KALI (Komunitas Athenaeum Light
Indonesia).

c. Sejarah Ganesha Digital Library


Tidak adanya infrastruktur atau sistem yang mengelola ilmu pengetahuan secara
mudah dan efektif, membuat sumber-sumber ilmu tersebut tidak terkelola dengan
baik dan sulit untuk mengetahui, mencari, dan memanfaatkannya. Diperlukan biaya,
waktu, dan tenaga yang cukup besar untuk mempelajari sebuah ilmu. Hal demikian
diharapkan tidak lagi terjadi setelah semua ilmu pengetahuan tersebut ada dalam
bentuk digital, tersaji menurut subjeknya, dan lengkap dengan full teks, atau
multimedia. Dengan cara yang mudah dan efektif, seseorang bisa menemukan apa
yang dia cari, sehingga proses penciptaan ilmu pengetahuan baru akan lebih cepat
dan mudah. Melalui jaringan Internet, seorang mahasiswa sudah dapat mengetahui,
mencari, mengambil, dan mempelajari ilmu pengetahuan.
Agar situasi diatas terjadi, Knowledge Management Reseach Group (KMRG)
bersama Computer Network Research Group (CNRG) dan Perputakaan Pusat ITB
sejak tahun 1998 mencoba mengembangkan teknologi digital library atau
perpustakaan digital. Di luar negeri, teknologi ini sudah cukup lama berkembang.
Bahkan di Amerika, pengembangan perpustakaan digital dianggap merupakan
tantangan dan kebutuhan bangsa Amerika. Jutaan dolar biaya dikeluarkan agar
perpustakaan digital benar-benar nyata dan memberi manfaat dan kemudahan bagi
masyarakatnya.
KMRG mengembangkan teknologi ini dengan mengadopsi teknologi-teknologi
yang sudah ada di internet, sehingga waktu dan biaya yang dibutuhkan murah. Hal
ini penting, karena tidak ada satu pun sumber pendanaan untuk mengembangkan
perpustakaan digital di ITB. Mahasiswa ITB dan sebagian alumni yang menjadi
peneliti di CNRG bergabung membentuk KMRG agar tujuan diatas tercapai.
Setelah melalui beberapa revisi, akhirnya perpustakaan digital ITB yang
bernama Ganesha Digital Library (GDL) ini mencapai versi 3, dan siap diluncurkan
pada 2 Oktober 2000. Peluncuran ini dimaksudkan agar civitas ITB dan masyarakat
mengetahui apa itu perpustakaan digital, mengapa perlu dibangun, dan bagaimana
realisasi di lingkungannya. Filosofi yang mendasari dibangun GDL adalah, bahwa
adanya kewajiban berbagi ilmu pengetahuan.
Ganesha Digital Library atau GDL adalah alat untuk mengelola dan
mendistribusikan koleksi digital dengan menggunakan web berbasis teknologi. Hal
ini dikembangkan oleh KMRG ITB sejak tahun 2000 dan telah banyak digunakan
untuk jaringan IndonesiaDLN. Sekarang ini, lebih dari 40 lembaga telah bergabung
dengan jaringan, dan sekitar 90 node telah terdaftar. Jumlah itu diperkirakan akan
meningkat sejak melepas dari versi 4.0 GDL. Versi ini mendukung Jaringan
Networks (Neons) model topologi. Versi terakhir dari GDL adalah GDL4.2.
Perkembangan ini didukung oleh dana dari INHERENT-DIKTI. Dan sekarang,
KMRG harus tetap digunakan dan dipelihara. GDL 4.2 dikembangkan dengan
menggunakan standar pengembangan aplikasi (analisis, desain, implementasi,
pengujian).
Kode mengadopsi konsep berorientasi objek, sehingga orang lain pengembang
dapat menggunakan kembali kelas untuk mengembangkan aplikasi mereka dengan
lingkungan sendiri. Hal-hal lain di GDL4.2 adalah dukungan untuk mengubah tema
easilly. Fitur yang paling mungkin sama. Perbedaan utama adalah bahwa GDL 4.2
mencoba untuk mengadopsi standar Web2.0, mereka adalah RSS dan folksonomy.
Dengan perpustakaan digital salah satunya dalam bentuk GDL setiap orang
dapat mempublikasikan tulisannya kapanpun, tanpa perantara orang lain, seperti
editor journal, surat kabar, penerbit buku yang mungkin akan menolak tulisannya
karena cara penulissannya kurang baik. Tetapi dalam perpustakaan digital,
semuanya akan diterima. Cukup dengan membuka akses ke internet lewat jaringan
dalam kampus atau warnet, membuka situs GDL di http://digital.lib.itb.ac.id,
mengisi kode akses, lalu meng-upload (mengirim) karyanya dalam bentuk digital
ke server GDL.
Selanjutnya server GDL akan mengelola karya-karya berisi ilmu pengetahuan
tersebut dan menyajikannya kepada pengguna lain. GDL dapat menampung ilmu
pengetahuan dalam format elektronik apapun. Antara lain, teks, suara, gambar, peta,
maupun video. Berbagai ilmu pengetahuan dalam format teks dapat diambil
(download) dari server GDL, dibaca di layar komputer atau dicetak di kertas.
Pengguna GDL juga dapat belajar bahasa inggris dengan mendengarkan suara dari
komputer yang terhubung ke server GDL bagian multimedia suara.
Selain itu juga bisa mendengarkan ceramah, khutbah, seminar, dll yang pernah
diadakan sebelumnya. Video dokumentasi sejarah yang penting, atau yang berisi
kurikulum pelajaran tertentu juga dapat dilihat dari komputer yang terhubung ke
GDL bagian multimedia video.
Dengan berbagai keuntungan GDL maka user bisa belajar berbagai ilmu
pengetahuan yang sudah dikelola dalam GDL secara digital. User dapat
melakukannya kapanpun, dimanapun tanpa dibatasi oleh jam buka perpustakaan
atau jarak yang jauh dari ITB. Selain memanfaatkan user juga bisa berbagi ilmu
pengetahuan dengan mudah. Dengan mengirim ilmu pengetahuan dalam bentuk
digital ke server GDL, maka karya user siap dimanfaatkan oleh orang lain.
Selain disediakan dalam media online yang dapat diakses melalui internet, ilmu
pengetahuan dalam GDL juga disimpan dalam CD-ROM, sehingga akan lebih
mudah penyebarannya, hingga ke daerah pelosok yang sulit mendapatkan akses
tetapi ada sebuah komputer yang dilengkapi CD-ROM. Jika dilengkapi dengan
multimedia, maka user dapat pula mendengarkan suara dan melihat video dalam
CD-ROM tersebut, sama persis dengan yang ada di server GDL.
Di tingkat nasional, kini dimulai upaya pembicaraan tentang pembangunan
perpustakaan digital nasional. KMRG ITB dan PP ITB mengundang perwakilan
beberapa perguruan tinggi dan institusi yang berminat dalam pengembangan
perpustakaan digital, untuk mengadakan meeting pada tanggal 3-4 Oktober 2000 di
Lembang. Meeting tersebut untuk membahas segala aspek yang diperlukan bagi
sebuah jaringan perpustakaan digital, seperti standard interoperability
metadata/informasi, protokol komunikasi antar server, bentuk kerjasama, dan isu-
isu lain seperti copyright dan plagiarisme.
IDLN merupakan suatu jaringan perpustakaan digital di Indonesia yang
memiliki misi untuk mengelola ilmu pengetahuan bangsa Indonesia dengan cara
yang mudah, murah dan bisa diikuti oleh siapapun, juga untuk membudayakan
tradisi knowledge sharing menuju terciptanya masyarakat madani berbasis ilmu
pengetahuan. Diharapkan melalui IDLN, dapat dihasilkan standard bersama yang
menjadi acuan institusi dalam mengembangkan digital library masing-masing. GDL
juga akan mengikuti standard tersebut.

d. Sejarah WIN ISIS


Winisis adalah CDS/ISIS yang berjalan pada sistem operasi Windows dan saat
ini sudah mencapai versi 1.5. dan sudah banyak digunakan oleh banyak
perpustakaan. Sedangkan ISISMarc adalah software antarmuka untuk entri data
bagi basisdata CDS/ISIS yang bekerja pada sistem operasi Windows. ISISMarc ini
dibuat dengan tujuan untuk menggantikan modul entri data standar versi Winisis
dan dibuat atas kerjasama antara Library of Congress (USA) dengan Kementrian
Pendidikan Argentina.
Winisis merupakan hasil pengembangan dari CDS/ISIS (Computerized
Documentation Services/Integrated Sets of Information Systems) versi windows
adalah perangkat lunak sistem penyimpanan dan temukembali informasi
Information Storage and Retrieval System) yang dirancang khusus untuk
komputerisasi pengelolaan database non-numerik terstruktur. Winisis juga bisa
menampilkan teks lengkap pustaka kelabu. Winisis atau CDS/ISIS Versi Windows
adalah suatu program yang dapat digunakan untuk mengelola basis data. Program
ini secara khusus dibuat untuk digunakan pada perpustakaan, pusat-pusat informasi
dan dokumentasi serta kearsipan. Program ini dapat diperoleh secara gratis dari
UNESCO. Jadi bukan merupakan program komersial, dimana kita harus membeli
untuk dapat menggunakannya.

e. Sejarah KOHA
Koha adalah satu sistem perpustakaan bersepadu (ILS) dan adalah sumber
terbuka pertama ILS. Koha telah dicipta pada 1999 oleh Katipo Communications
untuk HorowhenuaLibrary Trust di New Zealand. Pemasangan pertama telah
dihidupkan pada Januari 2000. Pada tahun 2001, Paul Poulain (Marseille, France)
memulakan dengan menambah ciri-ciri baru kepada Koha, sokongan yang paling
signifikan untuk berbagai bahasa. Koha telah diterjemahkan dari pada Inggerisnya
yang asal kepada bahasa Arab yang Perancis, Cina dan beberapa bahasa-bahasa lain.
menyokong rekod-rekod antara bangsa dan mengkatalog piawaian MARC dan
Z39.50 yang mana telah ditambah oleh Paul Poulain pada 2002. tajaan untuk
sokongan MARC dan Z39.50 menerima oleh Nelsonville Public Library. Pada 2005,
sebuah syarikat tempatan Ohio, LibLime, telah membangunkan untuk sokongan
Koha dan mereka telah menambah ciri-ciri baru, termasuklah menambah sokongan
untuk Zebra, satu kelajuan tinggi pangkalan data mengikut konteks yang telah
bertambah secara mendadak kelajuan carian dalam Koha serta meningkat
kebolehskalaan sistem itu (membolehkah kini menampung berpuluh-puluh juta
rekod bibliografi). Tambahan bagi integrasi Zebra telah ditaja oleh Crawford
County Federated Library System.

2. Komersil
a. NCI BookMan
NCI BookMan adalah image software yang dibuat untuk membantu pustakawan
dalam mengolah dan mengelola perpustakaan. Software ini dilengkapi dengan
aplikasi web sehingga memungkinkan pustakawan untuk penelusuran via internet.
Selain itu, software NCI bookman didesign dan dikembangkan dengan fasilitas
untuk memberikan kemudahan, kecepatan dan keakuratan proses administrasi
perpustakaan. Softawe NCI bookman telah dikembangkan selama 10 tahun dan
telah digunakan lebih dari 100 perpustakaan.

b. IBRA advance
IBRA advance adalah software perpustakaan yang bersifat komersial yang
dapat digunakan untuk mengelola hampir semua jenis koleksi bahan pustaka secara
terintegrasi. Software ini dikembangkan oleh Tim TLSS. Design system IBRA
antara lain WEB Base programing, Sistem client-server, dapat berjalan di semua
sistem operasi, Sistem Barcode, dan Tampilan yang user-friendly.
c. Athenaeum Pro
Athenaeum Pro adalah software perpustakaan yang dirancang untuk sekolah
dan organisasi. Kelebihan software ini adalah manajemen katalog, utilitas analisis,
kontrol sirkulasi yang kuat dengan mengesampingkan opsional untuk administrasi,
serta analisis peminjaman dan item katalog. Software ini dibuat dengan FileMaker
Pro 8,5 dan dapat berjalan diatas platform Macintosh OS X 10.3.9, Windows 2000
dan Windows XP.

Anda mungkin juga menyukai