Anda di halaman 1dari 3

Fogging

Pelaku
1. Wahyu tukang sol sepatu
2. Raban Pesuruh di balai desa
3. Bi Acih Pedagang di warung
4. Atin Pelajar SMP, anak Bi Acih
5. Hasan Mantri kesehatan

ADEGAN 1
PANGGUNG MENGGAMBARKAN SUASANA WARUNG BI ACIH PADA
SUATU SIANG. JAM DINDING DI WARUNG ITU CUKUP TERLIHAT JELAS
MENUNJUKAN WAKTU PUKUL 13.07. DIDEPAN WARUNG DEKAT TIANG
TERONGGOK PIKULAN SOL SEPATU MILIK WAHYU. WAHYU SENDIRI SEDANG
SIBUK MENGUNYAH GORENGAN PISANG. SEMENTARA RABAN SEDANG
MENIUPI KOPI YANG DIHIDANGKAN BI ACIH. SEDANGKAN ATIN, YANG MASIH
BERSERAGAM SEKOLAH SEDANG MENCUCI GELAS DAN PIRING KOTOR DI
SAMPING WARUNG. BI ACIH SEDANG MENGGORENG PISANG.

Wahyu : (Mulutnya masih disesaki kunyahan goreng pisang). “Jadi, selanjutnya


bagaimana kalau begitu?”

Raban : (Mengaduk-aduk kopinya dengan sendok. Agak malas menjawab) “Ya.


Nggak tahulah. Tapi denger-denger, Senin besok akan dimusyahwarahkan lagi.”

Bi Acih : (Tanpa menghentikan pekerjaannya, menoleh sebentar). “Wah, penduduknya


keburu banyak yang mati kalo begitu. Masalah kecil saja musyawarahnya harus beberapa
kali.”

Atin : (Membawa piring dan gelasyang sudah selesai dicuci, lalu berhenti di
samping ibunya). “Tadi di sekolah Atin sudah ada yang dipulangkan karena sakit. Katanya
sih, kena DBD.”

Raban : “Ya, gak tahu, itu urusan Pak Lurah, Tin.” (Menyeruput kopi) “Sayakan,
cuma pesuruh. Maunya kita memang ingin serba cepat, tapi urusan para pejabat, kan tidak
sesederhana itu.” (Kepada Wahyu) “Betul, kan?”

Wahyu : (Tersenyum menyindir) “Ya, memang. Apalagi ini urusan nyawa, Kang!
Kalau aparatnya gesit, tentu gak begini. Cuma ngurus pengasapan nyamuk saja perlu
musyawarah berhari-hari.” (Atin Keluar panggung arah Kanan)

ADEGAN 2
Bi Acih : “Di kampung Jongos saja sudah disemprot kemarin.”

Raban : “Lain, Bi. Desa mereka kan, pake iuran dari masyarakat. Jadi dananya bukan
dari kas desa.”

Bi Acih : “Aih-aih, kamu ini, bagaimana, Ban? Kampung kita juga iuran. Kalau gak
salah, Pak RT yang nagihin dua minggu lalu.”

Raban : (Mengambil pisang) “Ya, gak tahulah, kalau begitu.”


Wahyu : “Kang Raban ini pegawai desa, tapi gak tahu. Jangan-jangan Kang Raban
tidak ikut iuran, ya?”

Bi Acih ; “Ya, nggaklah”


(Raban tersenyum malu)

ADEGAN 3
HASAN TAMPAKNYA SUDAH DATANG DENGAN PAKAIAN DINASNYA. DIA
TAMPAKNYA SUDAH BIASA MAMPIR DI WARUNG BI ACIH.
Raban : (Girang melihat kedatangan Hasan) “Nah, Pak Hasan, nih, mengerti
masalahnya. Kamu boleh tanya lebih banyak kepada beliau.”

Hasan : (Duduk disamping Raban) “Apa, sih?” (tersenyum) “Minum saja belum,
sudah dituduh mengerti. Coba Mas Raban ceritakan dulu, apa persoalannya?”

Wahyu : “Aku yang ngomong!” (sambil mengibah posisi duduknya) “Di beberapa
kampung sudah banyak yang terkena demam berdarah, Pak.”

Hasan : (Hanya melirik dan tersenyum.Perhatiannya segera beralih kepada Bi Acih)


“Tolong buat es teh manis, Bi”

Wahyu : (Tidak terpengaruh untuk melanjutkan pembicaraan) “ Beberapa minggu


lalu Pak RT memberitahukan bahwa pengasapan di kampung kita ini akan dilaksanakan
sekarang, tapi, kata Kang Raban, belum bisa dilakukan. Nah, kenapa tuh, Pak?”

Hasan : (Menerima segelas teh manis dari Bi Acih) “O, begitu. Mungkin belum ada
biayanya?”

Bi Acih : “Sudah Pak Mantri malah sudah lama”

Hasan : “Ya mungkin, peralatannya yang belum ada. Kalaupun ada, mungkin belum
giliran kita karena keterbatasan peralatan, atau karena prosedur.”

ADEGAN 3
ATIN DATANG SUDAH BERGANTI PAKAIAN.
Hasan : “Lagi pula masalah demam berdarah tidak akan selesai dan teratasi hanya
dengan fogging. Masih banyak hal yang dapat kita lakukan bersama.”

Atin : “Betul Pak Mantri. Kata Pak Guru juga ada cara lain yang dapat kita lakukan,
yaitu 3M, menguras, mengubur, menutup barang-barang yang menampung air.”

Hasan : “Tuh, kalau sekolah begitu. Biar masih anak-anak, sudah banyak tahu.”

Raban : “Benar, ya. Saya menyesal dulu nakal, jadi SD aja gak tamat. Nasibnya, ya,
begini ... jadi tukang sapu kantor desa.”

Wahyu : “Sama, saya juga Cuma jadi tukang sol.”


Hasan : “Tapi, ingat! Menyesal kemudian tiada guna. Jadi tidak perlu kita menyesali
nasib berkepanjangan. Sekarang syukuri saja yang sudah ada. Barang siapa yang pandai
bersyukur, niscaya Allah melipatgandakan kenikmatannya.”

SEMUA MENGANGGUK-ANGGUK PUAS DAN MENGERTI. HASAN MEMINUM


TEH MANISNYA.
Bi Acih : “Pak Hasan belum menerangkan alasan fogging di kampung kita belum
dilakukan.”

Hasan : “Pertama, mungkin biaya belum ada. Kalau sudah ada, kedua, mungkin
peralatan terbatas. Ketiga, prosedur atau strategi pengasapan mengharuskan kampung ini di
tunda penyemprotannya.”

Wahyu : (Heran sampai mulutnya agak menganga) “Maksud Pak Hasan, mm .. apa
tuh, tadi yang terakhir? Mmm...” (memejamkan mata mengingat-ingat)

Atin : “Prosedur dan strategi?”

Wahyu : (Girang) “Nah, itu! Produser dan apa tadi?”

Raban : “Energi!” (yakin) “Duh, payah, nyebutnya aja gak bisa!”

Atin : (Tersenyum bersama Hasan, dan Bi Acih) “Bukan, Bang! Tapi Prosedur dan
strategi.”

Hasan : “Begini,” (memindahkan letak gelasnya) “Prosedur artinya aturan atau


petunjuk tatacara melakunnya. Sedangkan strategi itu taktik agar pengasapan benar-benar
efektif artinya berhasil dengan baik.”

Wahyu : (kepada Raban) “Mengerti, gak?”

Raban : “Ala, seperti kamu mengerti saja.” (Melanjutkan minumnya)

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai