ISBN: 978-602-392-155-3
e-ISBN: 978-602-392-158-4
Perancang Cover dan Ilustrasi: Faisal Zamil
Penata Letak : Nono Suwarno
Gambar : Dokumentasi UT dan Foto Google
Penerbit:
Universitas Terbuka
Jalan Cabe Raya, Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Selatan - 15418
Banten – Indonesia
Telp.: (021) 7490941 (hunting); Fax.: (021) 7490147
Laman: www.ut.ac.id.
Edisi kesatu
Cetakan pertama, Oktober2017
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City iii
Pemanfaatan Tanaman Obat untuk Pencegahan dan
Pengobatan Penyakit Degeneratif
Mutimanda Dwisatyadini.............................................................. 237
Penggunaan Sel Punca Untuk Terapi Sel Jantung
Diki & Soraya Habibi...................................................................... 271
Smart City Mandiri Pangan
Ariyanti Hartari............................................................................... 295
Pemanfaatan Ilmu Aktuaria Dalam Mewujudkan Jaminan Risiko
Banjirdi Dalam Konsep Smart City
Pramono Sidi.................................................................................. 315
Implementasi e-Government untuk Mendorong Pelayanan
Publik Yang Terintegrasi di Indonesia
Vita Elysia, Ake Wihadanto, Sumartono...................................... 353
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City vii
Gambar 3. Jalan Menuju Water Smart City untuk mendukung
Smart City 200
Gambar 4. Retention Pound Dearah Perkotaan 202
Gambar 5. Detention Pound Daerah Perkotaan 203
Gambar 6. Penampang Sungai dan Posisi Pengembangan
Dam Parit yang Letaknya di Hulu DAS 203
Gambar 7. Salah Satu Cara Penampungan Air Hujan (PAH)
Lewat Atap 204
viii Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Implementasi E-Government untuk Mendorong Pelayanan
Publik Yang Terintegrasi di Indonesia
Vita Elysia, Ake Wihadanto, Sumartono
Gambar 1. Berbagai Aplikasi yang Dikembangkan oleh
Pemerintah Kota Bandung 371
Gambar 2. Tahapan Pengembangan Smart City 376
Tim Editor
Caragliu, A., Del, B. C., & Nijkamp, P. (2009). Smart cities in Europe.
Amsterdam: Vrije Universiteit, Faculty of Economics and Business
Administration.
PENDAHULUAN
SMART EDUCATION
PENUTUP
Burkhardt, G., Monsour, M., Valdez, G., Gunn, C., Dawson, M., Lemke,
C., Coughlin, E., Thadani, V., & Martin, C. (2003). enGauge 21st
century skills: Literacy in the digital age. Naperville, IL: NCREL.
Giffinger, R., Fertner, C., Kramar, H., Kalasek, R., Pichler-Milanovi, N.,
& Meijers, E. (2007). Smart cities: Ranking of European medium-
sized cities. Vienna, Austria: Centre of Regional Science (SRF),
Vienna University of Technology. Retrieved from
http://www.smartcities.
eu/download/smart_cities_final_report.pdf.
Griffith, P., McGaw, B., & Care, E. (ed.) (2012). Assessment and
teaching of 21st century skills. Springer Science+Business Media
B.V.
Noweski, C., Scheer, A., Bu¨ ttner, N., von Thienen, J., Erdmann, J., &
Meinel, C. (2012). Towards a paradigm shift in education practice:
Developing twenty-first century skills with design thinking.
Potsdam, Germany: Hasso-Plattner-Institute,
Pacific Policy Research Center (2010). 21st Century Skills for Students
and Teachers.
Budi Prasetyo
PENDAHULUAN
Status P erlindungan
No Jenis Nama Ilmiah P P 7 th
CITES IUCN
1999
1 Harimau Sumatra Panthera tigris Dilindungi I EN
sumatrae
2 Gajah Sumatra Elephans maximus Dilindungi I EN
3 Badak Jawa Rhinoceros sondaicus Dilindungi I CR
4 Banteng Bos javanicus Dilindungi I EN
5 Owa Jawa Hylobates moloch Dilindungi I EN
6 Orangutan Pongo pygmaeus Dilindungi I EN
Kalimantan
7 Bekantan Nasalis larvatus Dilindungi I EN
Keterangan:
EN : Endangered (genting)
CR : Critically endangered (kritis)
VU : Vulnerable (rentan)
NT : Near Threatened (nyaris atau mendekati terancam punah)
IUCN : International Union Conservation for Nature
CITES : Convention on International Trade in Endangered Species.
2. Program Introduksi
Yaitu mencakup pemindahan satwa dan tumbuhan ke daerah di luar
sebaran alaminya. Pendekatan demikian perlu dilakukan apabila lokasi
alami tempat asal spesies telah mengalami kerusakan, sehingga spesies
tersebut tidak akan mampu untuk bertahan hidup (Supriatna, 2008).
Program introduksi mungkin dapat dilaksanakan apabila faktor penyebab
penurunan populasi tidak dapat dihambat lagi sehingga tidak mungkin
lagi dilakukan program reintroduksi spesies. Kemungkinan program
introduksi dapat dilakukan apabila ketika lingkungan di daerah sebaran
suatu spesies telah mengalami degradasi sehingga menyulitkan
keberlangsungan hidup spesies tersebut. Program introduksi spesies ke
lokasi baru harus dilakukan dengan penuh ketelitian dan sangat berhati-
hati. Hal ini perlu dicermati karena risiko dari introduksi adalah spesies
3. Program Reintroduksi
Merupakan upaya melepaskan hewan hasil penangkaran maupun
tangkapan ke daerah sebaran asal yang pernah mengalami kepunahan
spesies tersebut. Tujuan utama program reintroduksi adalah untuk
menciptakan populasi baru di lingkungan asalnya dan memperbaiki
ekosistem yang mangalami kerusakan (Supriatna, 2008). Contoh, pada
tahun 1995 dilaksanakan pelepasan serigala abu-abu ke Taman Nasional
Yellowstone, Amerika Serikat, dengan tujuan untuk mengembalikan
keseimbangan antara pemangsa dan herbivor yang pernah terbentuk
sebelum daerah tersebut dipengaruhi campur tangan manusia (Smith et
al., 2003; Soule et al., 2003). Seringkali, untuk menjamin adaptasi genetik
pada suatu lokasi, individu-individu hewan dilepas di tempat mana
mereka dan induk mereka tertangkap. Terkadang individu-individu
tersebut dapat dipindahkan dan dilepas ke lokasi perlindungan lain dalam
kisaran geografis alaminya. Reintroduksi tersebut dilakukan bila populasi
tersebut menghadapi ancaman baru di lokasi asalnya, atau bila terjadi
rintangan fisik yang secara alami maupun buatan akan mengganggu
kemampuan spesies itu untuk menyebar secara alami.
Upaya-upaya pembentukan populasi tersebut hanya dapat bekerja
dengan efektif jika berbagai faktor penyebab penurunan populasi
alaminya telah diketahui, dimusnahkan, atau sekurang-kurangnya
dikendalikan (Tutin et al., 2001). Contoh dapat dipelajari pada
penyelamatan burung Kakapo (Strigops habroptilus) di Selandia Baru.
Burung Kakapo merupakan sejenis burung nuri bertubuh besar yang
hidup di lantai hutan, tidak bisa terbang, dan telah punah dari daratan
atau pulau utamanya yaitu Selandia Baru. Penyebab utama
kepunahannya karena pemangsaan oleh satwa karnivora yang berasal
dari luar habitat alaminya seperti kucing, “weasel”, “stoat”, dan “ferret”
(Merton, 2006).
Pembentukan populasi baru bagi burung Kakapo menemui kendala
karena luasnya kawasan pulau utama sehingga untuk menyingkirkan
Allen, K., Shykoff, B.E., Izzo, Jr, J.L. (2001). Pet ownership, but not ACE
inhibitor therapy, blunts home blood pressure responses to
mental stress. Hypertension, 38, 815-820.
Angulo. E. & Courchamp, F. (2009). Rare species are valued big time.
Plos One, 4 (4), e5215.
Beck, B.B., Rapport, L.G., Stanley Price, M.R., & Wilson, A.C. (1994).
Reintroduction of captive-born animals. In P.J. Olney, G.M. Mace,
A.T.C. Feistner (eds). Creative Conservation: Interactive
Management of Wild and Captive Animals. London: Chapman and
Hall.
Berger, J, Stacey, P.B., Bellis, L., & Johnson, M.P. (2001). A mammalian
predator-prey imbalance: Grizzly bear and wolf extinction affect
Neotropical migrants. Ecological Applications, 11, 947-960.
Castro, I., Brunton, D.H., Mason, K.M., Ebert, B., & Griffith, R. (2003).
Life history traits and food supplemantation affect productivity in
a translocated population of the endangered Hihi (Stritchbird,
Notiomystic cincta). Biological Conservation 114, 271-280.
Hughes, J., Goudkamp, K., Hurwood, D., Hancock, M., & Bunn, S.
(2003). Translocation causes extinction of a local population of
ther freshwater shrimp Paratya australiensis. Conservation
Biology, 17, 1007-1012.
Jepson, P., van Balen, S., Soehartono, T.R., & Mardiastuti, A. (1997).
Species recovery plan: Bali Starling. Bogor: PHPA-Birlife
International-Indonesia Programme.
Merton, D.V. (2006). The Kakapo: highlights and lessons learned from
six decades of applied conservation. Journal of Ornithology, 147
(5) Suppl., 4.
Milton, S.J., Bond, W.J., DuPleiss, M.A., Gibs, D., Hilton-Taylor, C., &
Linder, H.P. (1999). A protocol for plant conservation by
translocation in threatened lowlands fynbos. Conservation Biology
13, 735-743.
Nyhus, P., Fischer, H., Madden, F., Osofsky, S. (2003). Taking the bite
out of wildlife damage: The challenges of wildlife compensation
schemes. Conservation in Practice, 4(2), 37-40.
Robinson, J.G., Redford, K.H., & Bennet, E.L. (1999). Wildlife harvest in
logged tropical forests. Science, 284, 595-596.
Santosa, Y., Julius, P.S., Dones, R., Dede, A.R. (2012). Faktor–faktor
penentu keberhasilan pelepasliaran Orangutan Sumatera (Pongo
Abelii) di Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Jurnal Ilmu Pertanian
Indonesia (JIPI), 17 (3), 186191.
Singleton, I., Wich, S.A., Husson, S., Stephens, S., Atmoko, S.S.U.,
Leighton, M., Rosen, N., Trayilor-Holzer, K., Lacy, R., & Byers, O.
(2004). Final report Orangutan population and habitat viability
assessment, 15-18 January 2004. Jakarta.
Smith, D.W., Peterson, R.O., & Houston, D.B. (2003). Yellowstone after
wolves. BioScience, 53, 330-340.
Soule, M.E., Estes, J.A., Berger, J., & Martinez del Rio, C. (2003).
Ecological effectivenees: Conservation goals for interactive
species. Conservation Biology, 17, 1238-1250.
Widjaja, E.A., Maryanto, I., Wowor, D., Marwoto, R.M., Hadiati, R.K.,
Riyanto, A., Mumpuni, Irham, M., Hartini, S., Dwibadra, D.,
Purwaningsih, E., Dewi, K., Sutrisno, H., & Rofik, M. (2011). Status
Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor: Puslit Biologi-LIPI.
Wilson, E.O. (1992). The diversity of life. UK: The Belknap Press of
Harvard University Press, Cambridge, MA.
Nurmala Pangaribuan
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki lahan gambut yang sangat luas, yaitu 10% luas
daratan Indonesia, berkisar 21 juta hektar. Lahan gambut salah satu
sumber daya alam yang sangat penting dan berperan penting dalam
perekonomian negara, diantaranya berupa ketersediaan berbagai
produk hutan kayu maupun non-kayu. Di samping itu lahan gambut
memberikan berbagai jasa lingkungan yang sangat penting bagi
kehidupan masyarakat, diantaranya berupa pasokan air, pengendalian
banjir, penyimpanan karbon, dan habitat bagi keanekaragaman hayati
yang potensial dan unik.
Lahan gambut merupakan lahan yang berasal dari bentukan
gambut beserta vegetasi yang terdapat di atasnya, terbentuk di
daerah yang topografinya rendah, bercurah hujan tinggi atau di
daerah yang suhunya sangat rendah. Tanah gambut mempunyai
kandungan bahan organik yang tinggi (>12% C/karbon) dan kedalaman
gambut minimum 50 cm. Tanah gambut diklasifikasikan sebagai
Histosol yang mengandung bahan organik lebih dari 30 persen dengan
ketebalan 40 cm atau lebih, di bagian 80 cm teratas profil tanah.
Sebagai sumberdaya alam, gambut memiliki kegunaan untuk budidaya
LAHAN GAMBUT
3. Kerusakan Gambut
Pemanfaatan gambut dimulai dari eksploitasi lahan hutan rawa
berlebih, pembukaan lahan untuk transmigran dan sebagainya telah
menyebabkan kemiskinan luar biasa bagi masyarakat lokal. Sebagai
contoh usaha tradisional perkayuan, perikanan oleh masyarakat lokal
seperti suku Dayak di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, yang
diandalkan sebagai penopang ekonomi secara berkelanjutan, menjadi
rusak hingga hilang atau tidak lagi produktif seperti sebelumnya. Ganti
rugi terhadap kerugian usahatani masyarakat sesungguhnya bukan
suatu penyelesaian yang mampu menjamin kestabilan ekonomi rumah
tangga masyarakat, karena nilai jangka panjang kegiatan produksi
masyarakat yang telah dan akan dilakukan secara turun-temurun tidak
akan tergantikan.
Perubahan ekosistem menyebabkan kemiskinan penduduk lokal
Kalimantan Tengah. Pembukaan lahan gambut tidak
mempertimbangkan pengetahuan lokal (local knowledge) yang lebih
b. Status hidrologi
Penataan ekosistem gambut yang sudah terganggu, rusak,
berubah, dan tergradasi harus dimulai dari program pemulihan status
hidrologi kawasan gambut. Kerusakan hutan rawa gambut berawal
dari perubahan status hidrologi akibat kanal liar dan kanal program
pemerintah. Hasil penelitian membuktikan bahwa sistem kanal yang
berlebihan, menyebabkan proses kekeringan menjadi lebih cepat dan
hamparan gambut terbakar setiap musim kemarau. Pembuatan
saluran drainase atau kanal-kanal melintasi lapisan gambut tebal,
tampaknya akan berdampak negatif jangka panjang. Salah satu contoh
adalah Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar yang mulai
dibangun tahun 1996, dengan program kanalisasi yang mencincang
c. Pengelolaan air
Pengelolaan air pada lahan gambut pada prinsipnya adalah
pengaturan kelebihan air sesuai dengan kebutuhan tanaman yang
dibudidayakan. Tanah gambut mempunyai kemampuan menyimpan
air yang besar dan tergantung tingkat kematangan gambut. Salah satu
sistem yang diterapkan untuk pengelolaan air di lahan gambut adalah
sistem drainase terkendali. Pada dasarnya sistem ini untuk mengatur
air secara terkendali mulai dari tanggul yang dipasang bangunan
pengendali (kontrol) agar dasar saluran relatif datar dan bangunan
pengendali kedua sebelum air keluar dari lahan menuju ke sungai
untuk mengendalikan elevasi. Bila aliran air keluar tidak akan drastis
maka sistem drainase tersebut dapat mengendalikan overdrained dan
mencegah kekeringan yang akhirnya mempertahankan kondisi lahan
tetap terpenuhi keperluan airnya.
Ukuran bangunan pengendali, terutama lebar saluran, tergantung
komoditas yang diusahakan, misalnya untuk tanaman padi
memerlukan kondisi lahan tetap tergenang sehingga memerlukan
lebar saluran relatif sempit agar aliran muka air relatif terkendali, dan
untuk tanaman perkebunan memerlukan kedalaman muka air tanah
1) Padi Sawah
Lahan gambut yang sesuai untuk padi sawah adalah tanah
bergambut (tebal lapisan gambut 20-50 cm) dan gambut dangkal
(0,5-1,0 m). Padi kurang sesuai pada gambut sedang (1-2 m).
Lahan gambut dengan ketebalan lebih dari 2 m tidak sesuai untuk
padi, tanaman tidak dapat membentuk gabah karena kahat unsur
mikro, khususnya Cu.
Pada lahan gambut dengan sifat fisik dan kimia tanah yang khusus,
sistem persawahan, menjadi pilihan yang tepat dan aman. Sistem
sawah akan membuat tanah tetap dalam keadaan reduksi dan
pada keadaan ini pirit tetap stabil di dalam tanah sehingga tidak
membahayakan bagi tanaman padi (Limin, 2006). Pemilihan
varietas yang sesuai, pengelolaan air, dan pemanfaatan vegetasi
alami merupakan kunci utama dalam memperoleh hasil yang
optimal dan berkesinambungan. Sebagian besar petani
menggunakan padi varietas lokal. Di Kalimantan Selatan terdapat
lebih dari 100 jenis padi lokal. Pola ini mendukung terlaksananya
pengelolaan dan konservasi air.
Pengaturan pola tanam dan pola usahatani merupakan alternatif
yang dapat diterapkan untuk meningkatkan intensitas
pertanaman dan memperpendek masa bera. Pola usahatani yang
diterapkan petani dapat berupa monokultur seperti padi-bera,
padi unggul-padi lokal, padi+palawija/sayuran, sayuran+palawija,
sayuran-sayuran, dan disesuaikan dengan tipologi gambut. Agar
pengembangan lahan gambut tetap menjamin kelestarian
U m ur Potens i
Ra s a
No V a ri eta s Tanaman Ha s i l Resistensi Terhadap
na s i
( ha ri ) ( Ton/ha)
1. Cisadane Cisaraung 135 4-7 Pulen Wck1, Bh
2. IR-42 125 4-7 Pulen Wck1, Bh
3. IR-64 135 4-7 Pulen Wck1,2; pH rendah
4. Kapuas 115 4-7 Pulen Wck1,2; Su; Kr; Wh
5. Lematang 125 4-7 Pulen Wck1,2;
Pera Bh;Kb;BI;pHrendah
6. Way Seputih 130 4-7 Pera Wck1,2; Kb
Pulen
Sumber: Chairunas (2008)
Keterangan:
Wck=Wereng coklat; Su = Biotipe1, 2Sumatera Utara
Kb = Keracunan besi; Wh =Wereng hijau
Kr = Kerdil rumput; Bl = Blas
Bh = Bakteri hawar daun
3) Tanaman Tahunan/Perkebunan
Lahan rawa gambut yang sesuai untuk tanaman tahunan dan
perkebunan adalah yang memiliki ketebalan gambut 2-3 m.
Beberapa tanaman yang dapat tumbuh baik adalah, karet, kelapa
sawit, kopi, kakao, rami, dan sagu, tebu, kelapa, cengkih, rami,
rosela, sagu, tanaman hutan, meranti, gelam, dan bambu.
Sebelum penanaman harus dilakukan pemadatan lahan dengan
menggunakan alat berat. Menggunakan pengairan sistem
drainase yang tepat. Tanaman perkebunan, seperti kelapa sawit,
masih dapat dikembangkan pada lahan rawa gambut yang tidak
terlalu dalam bila disertai dengan pengelolaan air dan pemberian
amelioran (senyawa pembenah tanah). Kesuburan tanah dapat
dipertahankan dengan menggunakan pupuk makro dan mikro.
Tanaman perkebunan dan industri dapat tumbuh di lahan gambut
dengan ketebalan 1-3 m. Seperti pada tanaman semusim,
PENUTUP
Alihamsyah, T., E.E. Ananto, H. Supriadi, I.G. Ismail, dan D.E. Sianturi.
(2000). Dwi Windu Penelitian Lahan rawa: Mendukung Pertanian
Masa Depan. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa
Terpadu-ISDP. Bogor: Badan Litbang Pertanian.
Ernik Yuliana
PENDAHULUAN
B. EKOWISATA BAHARI
Kadar Kadar
Salinitas Kecerahan Kekeruhan
Lokasi pH N total PO 4
(‰) (m) (mg/L)
(g/L) (g/L)
Nirwana 30,0 7,0 15 1,77 18,900 0,070
Pulau 29,0 7,0 12 3,06 14,567 0,055
Batu
Geleang 29,0 7,0 15 1,28 18,515 0,041
Taka 31,0 7,0 10 0,50 18,161 0,033
Malang
Tanjung 30,0 7,0 13 1,10 18,087 0,045
Bomang
Rata-rata 29,8 7,0 13 1,54 17,650 0,049
Sumber: Yuliana (2016); Yuliana et al. (2017)
100 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
menciptakan keindahan terumbu karang yang menjadi daya tarik para
wisatawan.
Hasil analisis persentase tutupan karang keras, karang lunak,
komponen abiotik, dan lainnya disajikan pada Tabel 4. Rata-rata
tutupan karang keras di TNKJ pada tahun 2015 adalah 44,7% (Yuliana,
2016; Yuliana et al., 2017). Persentase tersebut termasuk dalam
kondisi sedang (Aldyza et al., 2015). Persentase tutupan karang
menunjukkan sebaran terumbu karang yang hidup di suatu area.
Tutupan karang dalam kondisi sedang artinya hamparan karang yang
menempati area TNKJ belum mencapai kondisi baik. Padahal, terumbu
karang adalah habitat bagi kehidupan ikan karang. Semakin baik
kondisi tutupan karang di suatu area, maka kelimpahan ikan karang
semakin tinggi. Untuk ukuran kawasan konservasi perairan,
diharapkan pada waktu mendatang persentase tutupan karang di
TNKJ meningkat ke kondisi baik (>50%), agar dapat meningkatkan
kelimpahan sumber daya ikan karang.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 101
jenis ikan hias inilah yang menjadi daya tarik wisatawan disamping
keanekaragaman terumbu karang. Para wisatawan di TNKJ biasanya
melakukan snorkeling dan diving untuk menikmati keindahan terumbu
karang dan jenis-jenis ikan karang. Kelimpahan lima ikan karang tahun
2010 dan 2013 disajikan pada Gambar 4.
102 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
konsumsi yang menjadi hasil tangkapan utama nelayan di TNKJ, yaitu
ikan ekor kuning (Caesio cuning, Caesio teres) dan ikan pisang-pisang
(Caesio caerulaurea). Peningkatan kelimpahan dari tahun 2010 ke
2013 untuk famili Pomacentridae berkaitan dengan larangan
penangkapan ikan hias di TNKJ. Hampir semua anggota famili
Pomacentridae adalah jenis ikan karang. Untuk famili Caesionidae,
peningkatan kelimpahan terkait dengan semakin berkurangnya
penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing).
Famili Haemulidae, Scaridae, dan Chaetodontidae mengalami
penurunan kelimpahan dari tahun 2010 ke 2013. Jenis-jenis ikan dari
famili Haemulidae yang ditemukan di TNKJ adalah Plectorhinchus
chaetodonoides, P. lessonii, P. flavomaculatus (WCS, 2014; Yuliana,
2016). Famili Haemulidae ini didominasi oleh jenis ikan hias. Dari
famili Scaridae ada jenis ikan Cetoscarus bicolor, Chlorurus bleekeri,
Ch. bowersi, Ch. microrhinos, Ch. sordidus, Scarus chameleon, S.
dimidiatus, S. flavipectoralis, S. ghobban, S. globiceps, S. niger, S.
oviceps, S. prasiognathos, S. rivulatus, S. schlegeli, S. spinus, Scarus sp.,
Hipposcarus harid, H. longiceps, Bolbometopon muricatum (WCS,
2014; Yuliana, 2016). Beberapa jenis ikan dari famili Scaridae
merupakan ikan konsumsi yang banyak ditangkap oleh nelayan,
dengan nama lokal ikan kakatua atau ikan ijo (Chorurus Microrhinos)
yang banyak dikonsumsi oleh wisatawan dalam bentuk ikan bakar. Hal
tersebut membuat kelimpahan ikan dari famili Scaridae mengalami
penurunan. Dari famili Chaetodontidae ada jenis ikan Chelmon
rostratus (WCS, 2014; Yuliana, 2016), yang merupakan ikan hias.
Kebijakan pelarangan penangkapan ikan hias sangat menunjang
kegiatan ekowisata bahari di TNKJ. Kebijakan tersebut diterapkan
dengan penerapan denda yang cukup tinggi bagi nelayan yang
menangkap ikan hias. Sebagian besar nelayan mematuhi kebijakan
tersebut, karena mereka peduli terhadap keragaman jenis ikan hias di
TNKJ sebagai salah satu aset kekayaan perairan Karimunjawa untuk
menarik wisatawan datang ke Karimunjawa.
Selain keindahan terumbu karang dan jenis-jenis ikan karang,
wisatawan juga dapat menikmati keindahan ekosistem mangrove yang
tumbuh secara alami. Kawasan hutan TNKJ mencakup kawasan hutan
hujan tropis dataran rendah di Pulau Karimunjawa seluas 1.285,50 ha
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 103
(Nababan et al., 2010) dan kawasan hutan mangrove seluas 396,4 ha
yang masuk dalam pengelolaan TNKJ di zona rimba/perlindungan.
Tercatat 25 jenis mangrove sejati tumbuh di TNKJ (BTNKJ, 2012b).
Ekosistem mangrove di Pulau Kemujan dan Karimunjawa sangat unik,
karena ketiadaan sumber pasokan air tawar yang besar. Pulau ini tidak
memiliki sungai besar atau yang agak besar, sehingga ekosistem
mangrove yang ada bergantung kepada aliran parit-parit atau saluran,
yang umumnya pendek dan terutama mengalirkan air di musim hujan.
Wilayah ini diketahui tidak memiliki cekungan air tanah (non-CAT),
sehingga sumber daya air tawar di pulau ini sepenuhnya bergantung
kepada aliran air permukaan (Winata et al., 2017).
Hasil pengamatan pada dua jalur dan 16 plot di tracking mangrove
di Pulau Kemujan, ditemukan 730 individu dengan 13 spesies pada
tingkat pohon, yaitu Aegiceras corniculatum, Avicennia marina,
Bruguiera cylindrica, B. gymnorrhiza, Ceripos tagal, Exoecaria
agallocha, Lumnitzera littorea, L. racemosa, Rhizophora stylosa, R.
apiculata, R. mucronata, Scyphiphora hydrophyllacea, Soneratia alba.
Pada tingkat pancang, ditemukan enam spesies yaitu: Avicennia
marina, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal, Excoecaria agallocha,
Rhizophora apiculata, R. mucronata. Pada tingkat semai ditemukan
empat spesies, yaitu Ceriops tagal, Excoecaria agallocha, Rhizophora
apiculata, R. mucronata. Pada tingkat semai, pancang, dan pohon,
jumlah spesies terbanyak adalah Ceriops tagal (Winata et al., 2017).
Keanekaragaman jenis mangrove tersebut dan permudaan alaminya
menjadi modal keberlangsungan ekowisata bahari di TNKJ. Keindahan
ekosistem mangrove di Pulau Kemujan disajikan pada Gambar 5.
Regenerasi (permudaan alami) vegetasi mangrove dilihat dari
perbandingannya pada tingkat semai, pancang, dan pohon. Semai
adalah permudaan mulai dari kecambah sampai anakan pohon hingga
tinggi mendekati 1,5 m; pancang adalah anakan pohon dengan tinggi
1,5 m sampai dengan pohon muda yang mempunyai diameter setinggi
dada (DBH) kurang dari 10 cm; pohon adalah mangrove yang
mempunyai DBH 10 cm atau lebih. Kerapatan permudaan alami di
tracking mangrove Pulau Kemujan, berturut-turut adalah 69.843,75
individu dan 3.975 individu per hektar untuk tingkat semai dan
pancang. Kerapatan tersebut adalah mencukupi, bahkan berlebihan,
104 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
untuk menjamin regenerasi hutan mangrove. Akan tetapi jika ditinjau
dari keanekaragaman jenisnya, masih kurang memadai untuk
menjamin keberlanjutan regenerasi jenis-jenis mangrove. Pada tingkat
pohon ditemukan 10 spesies dengan 124 individu. Pada tingkat
pancang ditemukan enam spesies dengan 159 individu, sedangkan
pada tingkat semai ditemukan empat spesies dengan 447 individu.
Sebanyak enam spesies pada tingkat pohon tidak memiliki permudaan
alami (semai dan pancang), sementara dua spesies yang lain lagi yang
tercatat pada tingkat pancang juga tidak memiliki permudaan alami
dalam bentuk semai (Winata et al., 2017).
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 105
Pulau Kemujan sudah cukup bagus, sangat minim sampah yang
dibuang oleh wisatawan ke dalam wilayah mangrove.
106 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
keputusan dan kesepakatan dari berbagai pihak yang terlibat (PPP
Karimunjawa, 2014).
Pada kenyataannya proses pelaksanaan kebijakan tak selalu
berjalan sesuai harapan. Permasalahan yang utama adalah kurangnya
koordinasi antar lembaga pemerintah sebagai pelaksana kebijakan.
Salah satu contohnya adalah peningkatan kunjungan wisatawan ke
TNKJ tidak dibarengi dengan pendidikan publik yang komprehensif
tentang kelestarian ekosistem dan sumber daya ikan. Berdasarkan
hasil wawancara dengan beberapa guide wisata, beberapa wisatawan
yang tidak pandai berenang terpaksa menginjak karang ketika
melakukan snorkeling. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan
sinergi peraturan antar-lembaga yang terkait dengan pengelolaan
pariwata, perikanan, dan kawasan konservasi (Yuliana, 2016).
Sebenarnya, peraturan dari BTNKJ relatif lengkap untuk
menghadapi meningkatnya wisatawan yang datang ke Karimunjawa,
misalnya dengan meningkatkan biaya masuk ke BTNKJ. Tujuannya
adalah untuk membatasi wisatawan dan menyediakan dana cadangan
untuk pengelolaan kawasan konservasi TNKJ. Namun, pelaksanaan
peraturan kenaikan biaya masuk tersebut mengalami kendala,
terutama dari pemilik hotel dan home stay. Mereka khawatir akan
terjadi penurunan jumlah wisatawan jika biaya masuk dinaikkan, dan
akhirnya akan mengurangi pendapatan. Oleh karena itu, dibutuhkan
sosialisasi yang intensif untuk menerapkan peraturan kenaikan biaya
masuk dan alasannya (Yuliana, 2016).
Kegagalan upaya untuk meningkatkan biaya masuk menunjukkan
bahwa kegiatan pariwisata belum terkelola dengan baik. Hal tersebut
terjadi karena tidak ada dukungan dari lembaga pemerintah lainnya
(di luar BTNKJ), terutama Dinas Pariwisata Kabupaten Jepara.
Akhirnya, saat ini jumlah wisatawan yang datang semakin tidak
terkendali, dan merupakan ancaman bagi kesehatan ekosistem
terumbu karang.
Berdasarkan data dari WCS (2014), telah terjadi penurunan
tutupan karang pada periode 2016-2013 (Gambar 6) di zona
pariwisata dan tradisional perikanan. Penurunan tersebut diduga
akibat meningkatnya aktivitas pariwisata dan penangkapan ikan.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 107
Penangkapan ikan juga terjadi di zona pariwisata, yang ikut
berkontribusi terhadap penurunan tutupan karang (Yuliana, 2016).
108 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
lainnya. Oleh karena itu, pesisir harus dikelola secara terpadu agar
tidak terjadi benturan kepentingan antara sektor yang satu dengan
sektor lainnya. Pengelolaan pesisir secara terpadu memiliki pengertian
bahwa pengelolaan sumber daya alam dan jasa lingkungan dilakukan
melalui pengelolaan secara menyeluruh (Yulianda et al., 2010).
Pariwasata merupakan salah satu sektor di wilayah pesisir yang harus
dikelola secara terpadu dengan sektor lainnya. Menurut Thia-Eng
(2006), prinsip-prinsip pengelolaan pesisir terpadu meliputi: 1)
pengelolaan berbasis ekosistem; 2) integrasi dan koordinasi; 3)
pengelolaan adaptif.
Prinsip pertama, pengelolaan berbasis ekosistem dilakukan
dengan memandang suatu area sebagai suatu kesatuan, yang terdiri
atas aspek ekologi, sosial, dan ekonomi. Ketiga aspek tersebut
dipandang sebagai kesatuan sistem sosial ekologis. Sistem sosial
ekologis didefinisikan sebagai sistem ekologis yang dipengaruhi oleh
satu atau lebih sistem sosial. Dalam hal ini, sistem ekologisnya adalah
TNKJ, yang dipengaruhi dan mempengaruhi sistem sosial di dalamnya.
Implementasinya, upaya konservasi ekosistem harus dapat
mengeliminasi kemiskinan masyarakat. Hal itu merupakan konektivitas
sosial-ekologi yang utama (Adrianto, 2013). Kegiatan ekowisata bahari
di TNKJ tidak dapat dipisahkan dari kegiatan perikanan, industri,
transportasi, dan yang lainnya. Semuanya harus dipandang sebagai
satu ekosistem.
Prinsip kedua, integrasi dan koordinasi merupakan hal penting
untuk mencapai pengelolaan pesisir terpadu. Integrasi dan koordinasi
dilakukan pada beberapa sektor secara vertikal, di antaranya adalah
pemerintah, swasta, LSM, nelayan, dan pihak lain dalam mengelola
perikanan. Integrasi juga terjadi antara lingkungan perairan (habitat),
tata kelola (kelembagaan), dan sosial. Integrasi dan koordinasi harus
menjamin adanya keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan
wilayah pesisir dan laut yang mencakup empat aspek, yaitu:
keterpaduan wilayah ekologis; keterpaduan sektor; keterpaduan
disiplin ilmu; dan keterpaduan pemangku kepentingan (Yulianda et al.,
2010).
Prinsip ketiga, pengelolaan ekowisata bahari dilakukan dengan
penyesuaian-penyesuaian berdasarkan fakta yang terjadi. Konsep
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 109
pengelolaan yang sudah digariskan dapat berubah jika ada fakta
kejadian yang menuntut perubahan pengelolaan. Jadi, pengelolaan
tidak bersifat kaku. Misalnya: (1) penerapan bea masuk untuk
wisatawan yang mengunjungi TNKJ, yang sebelumnya tidak dikenakan
bea masuk, (2) edukasi wisatawan yang mulai diperlukan, dan lain-
lain.
Penerapan pengelolaan pesisir terpadu harus dilakukan secara
resmi oleh Pemerintah Pusat dan Daerah dengan melalui serangkaian
tahap yang berbentuk siklus kebijakan, yang dimulai dengan: a)
identifikasi isu; b) persiapan program; c) adopsi program atau
persetujuan dan pendanaan; d) implementasi atau pelaksanaan; 5)
pemantauan (monitoring) dan evaluasi. Setiap tahap dalam siklus
kebijakan tersebut saling terkait dan mendukung, namun mekanisme
proses dari satu lokasi dengan lokasi lainnya tergantung pada
kebutuhan dan kondisi setempat (Yulianda et al., 2010). Penerapan
pengelolaan pesisir terpadu belum diterapkan secara menyeluruh di
Indonesia. Hanya beberapa pemerintah daerah yang sudah
menerapkannya, sebagian besarnya belum. Hal ini menjadi “pekerjaan
rumah” bagi otoritas pengelola pesisir dan para pemangku
kepentingan, termasuk Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah dan
Kabupaten Jepara. TNKJ berada di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 711 yang sedang menunggu
implementasi Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) termasuk rencana
pengelolaan pesisir terpadu.
2. Edukasi Masyarakat
Bennett dan Dearden (2014) menyatakan bahwa keberhasilan
daerah konservasi dipengaruhi oleh keterlibatan masyarakat lokal dan
tata kelolanya. Oleh karena itu pemahaman masyarakat tentang
konservasi dan pemanfaatannya sangat diperlukan. Pihak yang sangat
berhubungan dengan kegiatan ekowisata bahari di TNKJ adalah para
pemandu wisata. Mereka yang berhubungan langsung dengan para
wisatawan dan mengarahkannya dalam kegiatan pariwisata. Pemandu
wisata harus dibekali dengan pengetahuan dan pemahaman tentang
pemanfaatan kawasan konservasi perairan dan konservasi sumber
daya perairan. Dengan demikian, pemandu wisata dapat
110 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
mendampingi wisatawan dalam melakukan kegiatan pariwisata
dengan benar.
Selain pemandu wisata, wisatawan yang berkunjung ke TNKJ juga
harus dibekali dengan pemahaman tentang perbedaan ekowisata
bahari dengan pariwisata pada umumnya. Kegiatan ekowisata bahari
mengharuskan wisatawan mempunyai minat khusus terhadap
pelestarian alam. Jika kesadaran tersebut sudah dimiliki oleh
wisatawan, maka kegiatan ekowisata bahari tidak dikhawatirkan dapat
merusak lingkungan kawasan konservasi perairan. Pengawasan oleh
otoritas pengelola juga tidak terlalu berat karena kesadaran tersebut
dapat menjamin para wisatawan tidak melanggar aturan yang sudah
ditetapkan. Bagaimanapun juga, kawasan konservasi di darat berbeda
dengan di perairan laut (Yun Lu et al., 2014). Pengawasan kawasan
konservasi di perairan laut lebih sulit dilakukan karena sifat perairan
laut yang dinamis. Pengawasan kolaboratif (Rees et al., 2013) antara
BTNKJ dan masyarakat dapat dilakukan jika kesadaran masyarakat
tentang konservasi sudah baik.
D. PENUTUP
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 111
bagian dari ekosistem yang di dalamnya ada kegiatan-kegiatan lain.
Semua kegiatan tersebut harus sinergi menuju kepada satu tujuan
yaitu keberlanjutan ekosistem dan pengentasan kemiskinan
masyarakat pesisir. Edukasi masyarakat (pemandu wisata dan
wisatawan) juga diperlukan untuk membangun kesadaran mereka
tentang konservasi. Dengan edukasi tersebut, diharapakan kegiatan
pariwisata di TNKJ tidak dikhawatirkan merusak lingkungan perairan di
TNKJ. Lebih jauh, kawasan konservasi TNKJ menjadi kawasan yang
dikelola dengan baik dan terjaga kelestariannya serta dapat dinikmati
keberadaannya dan keindahannya oleh masyarakat lokal maupun
wisatawan.
112 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto, L. (2013). Konsep dan aplikasi teori tata kelola sumber daya
(resource governance) dalam pengelolaan ekosistem terumbu
karang. In V. Nikijuluw, L. Adrianto, N. Januarini (Ed), Coral
Governance (pp. 21-60). Bogor: IPB Press.
Bennett, N.J., & Dearden, P. (2014). Why local people do not support
conservation: Community perceptions of marine protected area
livelihood impacts, governance and management in Thailand.
Marine Policy, 44, 107-116.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 113
BTNKJ. (2013a). Laporan monitoring terumbu karang. Semarang:
BTNKJ.
Osmond, M., Airame, S., Caldwell, M., Day, J. (2010). Lessons for
marine conservation planning: A comparison of three marine
protected area planning processes. Ocean & Coastal
Management, 53, 41–51.
Pelletier, D., Garcia-Charton, J.A., Ferraris, J., David, G., Thebaud, O.,
Letourneur, Y., Claudet, J., Amand, M., Kulbicki, M., Galzin, R.
(2005). Designing indicators of assessing the effects of marine
potected areas on coral reef ecosystems: A multidisciplinary
standpoint. Aquatic Living Resources, 18, 15-33.
114 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Rees, S.E., Rodwell, L.D., Searle, S., Bell, A. (2013). Identifying the
issues and options for managing the social impacts of Marine
Protected Areas on a small fishing community. Fisheries Research,
146, 51-58.
Yuliana, E., Boer, M., Fahrudin, A., Kamal, M.M., Pardede, S.T. (2016).
The effectiveness of the zoning system in the management of reef
fisheries in the marine protected area of Karimunjawa National
Park, Indonesia. AACL Bioflux, 9 (3), 483-493.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 115
Yuliana, E., Boer, M., Fahrudin, A., Kamal, M.M. (2017). Biodiversitas
ikan karang di Taman Nasional Karimunjawa. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis, 9 (1), 29-43.
Yulianda, F., Fahrudin, A., Hutabarat, A.A., Harteti, S., Kusharjani, Kang,
H.S. (2010). Pengelolaan Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Bogor:
Pusdiklat Kehutanan – Departemen Kehutanan RI dan SECEM
Korea International Cooperation Agency.
Yun Lu, S., Shen, C.H., Chiau, W.Y. (2014). Zoning strategies for marine
protected areas in Taiwan: Case study of Gueishan Island in Yilan
County, Taiwan. Marine Policy, 48, 21-29.
116 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
PENGEMBAN G AN KAPASITAS NELAYAN MENUJU
PERIKANAN TANGKAP BERKELANJ U TAN
Rinda Noviyanti
PENDAHULUAN
118 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
perikanan yang berkelanjutan harus dapat mengakomodasi empat
aspek utama yang mencakup dari hulu hingga hilir, yakni:
a. Keberlanjutan ekologi (ecological sustainability): memelihara
keberlanjutan stok/biomassa SDI sehingga pemanfaatannya tidak
melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan
kualitas ekosistemnya.
b. Keberlanjutan sosio-ekonomi (socioeconomic sustainability):
memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan para pelaku usaha
perikanan dengan mempertahankan atau mencapai tingkat
kesejahteraan masyarakat yang layak.
c. Keberlanjutan komunitas (community sustainability): menjaga
keberlanjutan lingkungan komunitas atau masyarakat perikanan
yang kondusif dan sinergis dengan menegakkan aturan atau
kesepakatan bersama yang tegas dan efektif.
d. Keberlanjutan kelembagaan (institutional sustainability): menjaga
keberlanjutan tata kelola yang baik, adil, dan bersih melalui
kelembagaan yang efisien dan efektif guna mengintegrasikan atau
memadukan tiga aspek utama lainnya (keberlanjutan ekologi,
keberlanjutan sosio-ekonomi, dan keberlanjutan masyarakat).
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 119
Dengan demikian, dalam melaksanakan pembangunan perikanan
berkelanjutan tidak lepas dari memadukan tujuan dari tiga unsur
utamanya, yakni dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial. Pertama,
tujuan pembangunan perikanan secara ekonomis dianggap
berkelanjutan, jika sektor perikanan tersebut mampu menghasilkan
produk ikan secara berkesinambungan (on continuing basis),
memberikan kesejahteraan finansial bagi para pelakunya, dan
memberikan sumbangan devisa serta pajak yang signifikan bagi
negara. Kedua, tujuan pembangunan perikanan dikatakan secara
ekologis berkelanjutan, manakala basis ketersediaan stok ikan dapat
dipelihara secara stabil, tidak terjadi eksploitasi berlebihan, dan tidak
terjadi pembuangan limbah yang melampaui kapasitas asimilasi
lingkungan yang dapat mengakibatkan kondisi tercemar. Ketiga,
tujuan pembangunan perikanan dianggap secara sosial berkelanjutan,
apabila kebutuhan dasar (pangan, sandang, kesehatan, dan
pendidikan) seluruh penduduknya terpenuhi; terjadi distribusi
pendapatan dan kesempatan berusaha secara adil; ada kesetaraan
gender (gender equity), dan minim atau tidak ada konflik sosial.
120 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
prasarana, hubungan dan jaringan organisasi; 3) Tingkatan individual,
antara ketrampilan individu dan persyaratannya, pengetahuan,
tingkah laku, pengelompokan pekerjaan dan motivasi pekerjaan di
dalam organisasi.
Nelayan tangkap merupakan tingkat individual bagian terpenting
dalam kegiatan perikanan dalam pengembangan kapasitas. Sebagai
sebuah komunitas, nelayan memiliki beberapa karakteristik yang
berbeda dengan komunitas lainnya yang melakukan aktivitas di pesisir
dan laut untuk keberlangsungan hidup serta memiliki sifat tradisional
dengan alat tangkap sederhana baik tanpa maupun dengan motor
(Indarti dan Dwiyadi, 2013). Dalam hal ini Pollnac (1988) telah
menguraikan bahwa untuk menjadi seorang nelayan umumnya tidak
memperhatikan faktor pendidikan formal, melainkan fisik yang kuat
untuk melakukan pekerjaan berat.
Penelitian Anwas (2009) menyatakan bahwa pendidikan formal
bisa meningkatkan kompetensi apabila kurikulum dan proses
pembelajarannya sesuai dengan tuntutan pekerjaan individu yang
bersangkutan. Upaya peningkatan kompetensi hanya bisa dilakukan
melalui proses belajar. Belajar di sini dalam arti luas, tidak terbatas
pada pendidikan formal saja melainkan juga informal (Anwas 2013).
Rogers (1983) menyatakan bahwa nelayan sebagai manusia
mempunyai potensi alami untuk belajar. Mengacu pada dua pendapat
tersebut maka untuk mencapai keberhasilan, manusia harus berusaha
untuk meningkatkan kapasitasnya melalui bekerja dan belajar.
Proses pembelajaran dapat membuat nelayan bertumbuh dan
berkembang sehingga mampu menjadi mandiri. Kemampuan belajar
seseorang tidak saja ditentukan oleh potensi yang mereka miliki atau
dari faktor internal, tetapi juga ditentukan oleh faktor eksternal.
Terbentuknya pribadi seseorang dipengaruhi oleh lingkungannya, baik
lingkungan vertikal (genetika, tradisi) maupun lingkungan horizontal
(geografik, fisik, sosial). Perilaku manusia akan terbentuk tidak saja
secara alami, tetapi juga karena faktor lingkungan keluarga maupun
masyarakat secara umum (Ndara 1990).
Noviyanti (2015) menuliskan bahwa indikator kunci pada
pengembangan kapasitas diri nelayan adalah pengetahuan,
kompetensi, mental, komitmen dan pemahaman peraturan-
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 121
perundangan yang dapat menjadi landasan pengembangan program-
program pemberdayaan masyarakat nelayan yang bersifat bottom-up.
Penelitian Noviyanti (2017) lainnya menunjukkan bahwa dalam model
struktural, aspek keterampilan berpengaruh nyata terhadap aspek
kompetensi nelayan, sedangkan aspek pengetahuan dan aspek sikap
diri tidak berpengaruh nyata terhadap aspek kompetensi secara
langsung. Sehingga dapat dikatakan bahwa kapasitas diri nelayan
dipengaruhi oleh keterampilan mereka dalam melakukan operasi
penangkapan ikan.
EKONOMI (PRO-GROWTH)
122 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
menjadi tujuan investasi adalah Sulawesi Utara, Maluku, DKI Jakarta,
dan Bali, dengan realisasi investasi mencapai Rp 7,23 trilyun atau
72,80 % dari total realisasi investasi (DJPT, 2015).
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 123
tempel, dan kapal motor di bawah 30 GT) yang mencapai 99%,
sedangkan sisanya adalah kapal motor berukuran di atas 30 GT.
Meskipun ada usaha bantuan berupa 878 unit kapal Inka Mina
berukuran di atas 30 GT, namun belum signifikan dengan mayoritas
nelayan kecil (5 GT ke bawah) yaitu sekitar 2,4 juta (89%) (KKP, 2014).
124 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan di Bidang Penangkapan
Ikan, dan (ii) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 54/KEPMEN-KP/2014 tentang Rencana Pengelolaan
Perikanan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia
718 (Laut Arafuru dan Laut Timor). Selain itu pada bulan Agustus 2015
telah terbit Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 107/KEPMEN-KP/2015 tentang rencana pengelolaan
perikanan tuna, cakalang dan tongkol.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 125
sertifikat tersebut, telah terverifikasi setidaknya 2.192 nelayan
dapat mengakses kredit perbankan dengan nilai mencapai Rp 29,7
milyar.
(2) Penyaluran permodalan melalui jasa pegadaian di pelabuhan
perikanan. Skema kredit yang disediakan oleh Perum Pegadaian
mudah diakses oleh nelayan, dengan proses yang cepat dan waktu
yang singkat. Sampai dengan akhir tahun 2014 telah tersedia
kantor cabang layanan jasa Pegadaian di delapan lokasi yakni:
Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap (Jawa Tengah), PPS
Kendari (Sulawesi Tenggara), Pelabuhan Perikanan Nusantara
(PPN) Palabuhanratu (Jawa Barat), PPN Pekalongan (Jawa Tengah),
PPN Ternate (Maluku Utara), Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP)
Tegalsari (JawaTengah), Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP)
Blanakan (Jawa Barat), dan PPP Paotere (Sulawesi Selatan).
Realisasi penyaluran kredit gadai untuk nelayan di seluruh lokasi
tersebut pada periode 2010-2014 mencapai Rp 203 milyar.
(3) Penyaluran permodalan melalui KUR dan KKP-E. Kredit Usaha
Rakyat (KUR) bidang kelautan dan perikanan merupakan kredit
yang disalurkan kepada pelaku usaha perikanan melalui bank
pelaksana yang ditunjuk Pemerintah. Kredit tersebut ditujukan
untuk membiayai kegiatan usaha mikro, kecil, menengah (UMKM)
dan koperasi perikanan yang feasible namun belum bankable di
bidang perikanan tangkap. Kredit yang disediakan berupa kredit
modal kerja dan kredit investasi dengan plafon antara Rp 20 juta –
Rp 1 milyar. Realisasi outstanding penyaluran KUR untuk bidang
perikanan tahun 2010-2014 mencapai Rp 432 milyar. Kredit
Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) untuk sub bidang perikanan
tangkap merupakan kredit untuk pelaku usaha perikanan tangkap
baik perorangan maupun badan usaha (KUB/Koperasi Perikanan),
digunakan untuk pembiayaan kegiatan operasional penangkapan
ikan, pengadaan atau peremajaan peralatan, mesin dan sarana
penunjang yang mendukung usaha penangkapan ikan, serta untuk
pembiayaan pengadaan pangan (khusus untuk koperasi). Besarnya
plafon kredit Rp. 100 juta untuk perorangan dan Rp 500 juta
untuk KUB/Koperasi. Realisasi outstanding penyaluran KKP-E
bidang perikanan tahun 2010-2014 sebesar Rp 83,18 milyar.
126 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
(4) Asuransi kapal perikanan untuk penjaminan kredit. Fasilitasi
asuransi kapal perikanan dilakukan dengan pola banker’s clause
(kerjasama asuransi-perbankan), dengan tujuan untuk: (a)
memberikan kekuatan hukum atas kepemilikan hak atas kapal
perikanan melalui buku kapal perikanan, (b) memfasilitasi aset
kapal kayu nelayan agar dapat digunakan sebagai agunan melalui
program asuransi kapal nelayan, dan (c) memberikan jaminan
penggantian kerugian terhadap risiko kecelakaan kapal perikanan
(total loss). Saat ini asuransi kapal mencakup kapal ukuran ≥ 10 GT
yang dapat dijadikan alternatif tambahan bagi usaha penangkapan
ikan dalam mengakses permodalan dengan memanfaatkan kapal
perikanan sebagai agunan. Fasilitasi asuransi kapal setidaknya
telah dilaksanakan di 4 kabupaten/kota. Kapal telah diasuransikan
dan mendapatkan penjaminan untuk mengakses permodalan dari
perban-kan dengan nilai pertanggungan sebesar Rp 19,5 milyar.
(5) Pengembangan Usaha Mina Perdesaan (PUMP) Perikanan Tangkap
dimaksudkan untuk meningkatkan usaha dan memberdayakan
nelayan. PUMP diberikan dalam bentuk stimulus bantuan
langsung masyarakat (BLM), dimana setiap KUB penerima dapat
memanfaatkan dana tunai sebesar Rp 100 juta untuk mendukung
kegiatan usaha penangkapan ikan, antara lain untuk: (a)
Pengadaan dan perbaikan sarana penangkapan (perahu, mesin,
bahan alat penangkapan ikan, alat bantu penangkapan ikan); (b)
Dukungan biaya operasional seperti bensin, solar, minyak tanah,
pelumas, dan es; (c) Perbengkelan nelayan; dan (d) Asuransi.
(6) Perlindungan sosial bagi nelayan. Usaha penangkapan ikan
merupakan jenis pekerjaan yang memiliki risiko tinggi. Oleh
karena itu peningkatan perlindungan sosial bagi nelayan menjadi
sangat penting untuk memberikan jaminan dan kepastian
perlindungan sosial bagi nelayan dan keluarganya.
Salah satu upaya yang ditempuh untuk meningkatkan
perlindungan sosial nelayan melalui bimbingan teknis
perlindungan dan keselamatan kerja bagi nelayan. Upaya lainnya
dilakukan melalui fasilitasi asuransi bagi nelayan di seluruh
provinsi. Upaya ini juga memberikan dukungan terhadap
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 127
implementasi Inpres Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan
Nelayan.
(7) Kelembagaan usaha perikanan tangkap skala kecil. Kelompok
Usaha Bersama (KUB) merupakan salah satu wadah kelembagaan
nelayan dalam menjalankan usahanya secara berkelompok.
Namun demikian, belum semua KUB tumbuh dan berkembang
menjadi KUB yang mandiri dan bankable. Untuk itu, dilakukan
upaya-upaya untuk meningkatkan jumlah KUB yang mandiri,
untuk selanjutnya didorong menjadi KUB yang bankable, dengan
mengembangkan kelembagaan usaha menjadi koperasi berbadan
hukum. Pada tahap akhir, KUB mandiri tersebut difasilitasi untuk
menjalin kemitraan usaha dengan para pelaku usaha perikanan
skala menengah dan besar, misalnya dalam hal penyediaan bahan
baku untuk industri pengolahan hasil perikanan. Sampai dengan
tahun 2014, jumlah KUB perikanan tangkap tercatat sebanyak
22.852 KUB. Sebanyak 2.533 KUB telah masuk kategori KUB
Mandiri.
(8) Peningkatan Kehidupan Nelayan (PKN) merupakan salah satu
upaya perluasan dan percepatan dan Perluasan Program Pro
Rakyat yang diputuskan dalam pada Sidang Kabinet tanggal 13
Februari 2011. PKN dilaksanakan secara lintas
kementerian/lembaga, kegiatannya ditujukan untuk individu
nelayan, kelompok nelayan, serta perbaikan sarana dan
prasarana. Pada periode 2011-2014, PKN telah dilaksanakan di
422 lokasi. Untuk individu nelayan kegiatannya antara lain:
Sertifikasi Hak atas Tanah Nelayan (KKP), peralatan rantai dingin
(KKP), rumah sangat murah (Kemenpera), listrik murah (Kemen
ESDM), bantuan operasional sekolah (BOS) dan beasiswa anak
nelayan (Kemendikbud), pelatihan Basic Safety Training (BST)
untuk nelayan (Kemenhub), dan layanan kesehatan (Kemenkes).
Untuk kelompok nelayan kegiatannya antara lain: bantuan kapal
perikanan (KKP), pengembangan usaha mina pedesaan (KKP),
konversi BBM ke gas (KKP dan Kemen ESDM), pendampingan pada
kelompok (KKP), dan usaha rumput laut (Kemen PDT dan BUMN).
128 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
UPAYA PENYERAPAN TENAGA KERJA (PRO JOB)
1. Lapangan Kerja
Usaha perikanan tangkap mampu menyediakan lapangan kerja
bagi para nelayan. Jumlah nelayan pada tahun 2014 mencapai
2.667.440 orang, terdiri atas nelayan di laut sebanyak 2.186.900 orang
dan di perairan umum daratan sebanyak 480.540 orang (DJPT, 2015).
Selain nelayan, banyak tenaga kerja yang terserap dari usaha
pendukung perikanan tangkap, seperti galangan kapal, perbengkelan,
pembuatan dan penyediaan bahan dan alat penangkapan ikan,
perdagangan kebutuhan logistik melaut, perdagangan ikan,
pengolahan hasil perikanan, dan berbagai usaha terkait lainnya.
2. Kartu Nelayan
Pemberian identitas profesi bagi nelayan melalui Kartu Nelayan
dilakukan untuk meningkatkan pembinaan terhadap nelayan sekaligus
melindungi profesi nelayan. Selain itu, manfaat yang diperoleh dari
pengembangan kartu nelayan adalah untuk menginventarisasi jumlah
nelayan secara pasti yang dapat dimanfaatkan untuk optimalisasi
proses pembinaan, terutama terkait dengan penentuan target dan
sasaran program/kegiatan pemberdayaan nelayan.
Pada tahun 2010-2014 telah didistribusikan 595.844 kartu nelayan
di seluruh provinsi, dengan rincian 3.811 kartu pada tahun 2010,
104.661 kartu (2011), 167.655 kartu (2012), 215.354 kartu (2013), dan
104.353 kartu (2014) (DJPT, 2015).
3. Diversifikasi Usaha
Diversifikasi usaha dimaksudkan agar nelayan dan keluarganya
memperoleh penghasilan tambahan selain kegiatan usaha
penangkapan ikan. Kegiatan tersebut difokuskan bagi para wanita
nelayan agar mampu mengembangkan usaha ekonomi produktif yang
berkelanjutan, misalnya: usaha pengolahan, perdagangan, kerajinan
tangan, dan usaha lainnya.
DJPT memberikan dukungan untuk diversifikasi usaha melalui
berbagai kegiatan antara lain bimbingan teknis pengembangan
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 129
diversifikasi usaha, pelatihan kewirausahaan, fasilitasi permodalan
usaha, fasilitasi sarana penunjang kegiatan usaha, dan lain-lain.
Berdasarkan hasil kegiatan program DJPT tahun 2010-2014 belum
ada program kegiatan yang secara khusus memfokuskan pada
peningkatan kapasitas nelayan kecil, tradisional, dan nelayan buruh
secara jelas, terstruktur, terukur dan berkesinambungan dalam jangka
waktu yang panjang. Baik ditinjau dari segi anggaran, tujuan dan
sasarannya, materi pelatihan, jangka waktu, maupun
kelembagaannya.
130 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Kemudian, untuk kerugian dari aktivitas unreported fishing
(penangkapan ikan yang tidak dilaporkan), walaupun belum ada
laporan perkiraan besaran nilai kerugiannya, namun diperkirakan juga
relatif besar akibat berdampak negatif pada lingkungan, utamanya
dalam hal pendataan ikan hasil tangkapan. Diperkirakan masih cukup
banyak hasil tangkapan yang tidak dilaporkan, salah satu akibatnya
adalah terjadi bias informasi tentang status SDI di suatu perairan, yang
pada akhirnya akan mengakibatkan aktivitas penangkapan ikan yang
terlalu intensif atau berlebih, yang dalam jangka panjang tentu akan
menurunkan SDI itu sendiri, dikarenakan tidak ada kesempatan ikan
melakukan recovery stok populasinya. Selanjutnya, untuk unregulated
fishing (penangkapan ikan yang tidak diatur), perkiraan besaran nilai
kerugiannya juga relatif besar akibat berdampak negative pada
lingkungan, walaupun belum ada laporan terkait hal tersebut. Salah
satu akibat penggunaan jenis alat-alat tangkap ikan yang tidak diatur
adalah tingginya hasil tangkapan by catch (hasil tangkapan sampingan
yang tidak dimanfaatkan) dan/atau juvenile (anak-anak ikan), karena
alat-alat penangkapan ikannya yang tidak/kurang selektif. Masalah
IUU fishing menjadi masalah utama dan rumit yang dihadapi sub-
sektor perikanan tangkap hingga kini.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 131
perairan pantai yang dekat dengan konsentrasi padat penduduk.
Akibatnya tentu sangat berdampak pada keberadaan dan
keberlanjutan SDI di perairan pantai.
132 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
dan KUB), sebagian besar belum memiliki pengetahuan yang cukup
tentang usaha perikanan yang berkelanjutan dan juga belum memiliki
skala usaha yang layak.
Selain itu, program-program pemerintah yang telah bergulir
seperti kredit investasi kecil (KIK), kredit modal kerja permanen
(KMKP), pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP), dan
pengembangan usaha mina pedesaaan-perikanan tangakp (PUMP-PT)
yang terkait dengan program pemberdayaan masyarakat nelayan dan
pesisir belum mampu mengangkat mereka secara signifikan menjadi
nelayan baik dari sisi tingkat kesejahteraan yang mapan maupun
tingkat pendidikannya. Lebih dari 75%, masyarakat nelayan di
Indonesia masih memiliki tingkat pendidikan rendah atau Sekolah
Dasar (Dahuri, 2002; Noviyanti, 2015).
Isu dan permasalahan tersebut menjadi suatu tantangan
bagaimana pemerintah dalam hal ini KKP, dapat membuat kebijakan
untuk program pemberdayaan dan pengembangan kapasitas nelayan.
Mengacu pada isi UU Nomor 7 Tahun 2016, pemerintah diharapkan
membuat kebijakan turunan khusus untuk program peningkatan
kapasitas nelayan secara terstruktur, jelas, terukur, dan
berkesinambungan. Dengan adanya program yang fokus dan khusus
tersebut diharapkan nelayan bertransformasi menjadi nelayan yang
handal dan bersaing di era globalisasi serta mampu terlibat dalam
usaha penangkapan perikanan yang berkelanjutan.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 133
nelayan yang dapat mendukung pembangunan dan pengelolaan
perikanan tangkap secara berkelanjutan.
Hasil analisis kesenjangan, strategi dan kebijakan, luaran dan
sasaran, dan pemangku kepentingan (stakeholder) terkait untuk
peningkatan kapasitas nelayan, dijelaskan sebagai berikut.
1. Aspek Sosial-Ekonomi
a. Kesenjangan peningkatan kapasitas nelayan
1) Mayoritas nelayan kecil (< 5 GT)
2) Tingkat Pendidikan rendah (> 70% tingkat SD)
3) Manajemen usaha lemah, keterampilan yang minim, dan
tingkat kesejahteraan rendah
4) Keterbatasan tenaga penyuluh perikanan yang profesional
baik kuantitas maupun kualitas
5) Program khusus pengembangan kapasitas nelayan belum
diadakan secara terstruktur dan berkesinambungan.
b. Strategi dan Kebijakan
1) Pengembangan kemitraan antara nelayan tangkap kecil (anak
asuh) dengan kelompok UMKM dan industri perikanan
menengah atas (induk asuh) yang saling menguntungkan dan
dapat meningkatkan kapasitas serta kesejahteraan nelayan
kecil.
2) Pengembangan program khusus untuk peningkatan faktor
internal kapasitas nelayan.
3) Alokasi anggaran khusus secara berkesinambungan baik dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau
Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk
pengembangan kapasitas nelayan dan tenaga penyuluh
lapangan.
4) Pengembangan pusat-pusat sarana dan prasarana pendidikan
formal dan non-formal khusus bidang Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi Kelautan dan Perikanan (IPTEK-KP) yang memadai
untuk meningkatkan standarisasi kompetensi kapasitas
nelayan baik yang sudah lama maupun generasi muda.
134 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
c. Luaran dan Sasaran yang diharapkan
1) Kemitraan yang saling menguntungkan antara pelaku usaha
perikanan dengan nelayan sebagi mitra usaha
2) Nelayan sejahtera/handal dan penyuluh yang profesional,
pemahaman dan partisipasi dalam konsep usaha perikanan
yang berkelanjutan meningkat
3) Program pendidikan untuk peningkatan kapasitas nelayan
yang tepat guna, dan berkesinambungan
4) Kapasitas kompetensi nelayan meningkat
2. Aspek Kelembagaan
A. Kesenjangan Kapasitas
1) Peran kelembagaan koperasi dan Kelompok Usaha Bersama
(KUB) masih lemah baik modal, manajemen usaha dan sebagai
sarana pemberdayaan nelayan
2) Peran pelabuhan perikanan belum optimal dalam manajemen
pasar, sistem jual beli produksi perikanan dan distribusi ikan
(stabilitas harga, sarana, dan prasarana pendukung)
3) Akses permodalan dan informasi ke lembaga keuangan bagi
nelayan kecil masih sulit
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 135
3) Pengembangan manajemen dan mekanisme pasar yang
transparan dan akuntabel
4) Peningkatan dan kemudahan akses permodalan ke lembaga
keuangan
5) Kontrol dan peningkatkan sistem jual-beli dan harga hasil
tangkap ikan oleh nelayan secara transparan
PENUTUP
Kesimpulan dari hasil kajian ini adalah dari enam program utama
kegiatan DJPT-KKP periode 2010-2015, lebih diprioritaskan pada
pengembangan, pengelolaan dan pembangunan usaha, sarana dan
prasarana, dan kelembagaan, belum memprioritaskan program secara
khusus untuk meningkatkan kapasitas nelayan tradisional dan kecil.
Fakta dan data menunjukan mayoritas nelayan Indonesia lebih
dari 80% masih didominasi oleh nelayan kecil yang memiliki armada
tangkap tradisonal dengan bobot < 5 GT dengan tingkat kesejahteraan
masih rendah. Formulasi strategi yang perlu dilakukan untuk
terwujudnya kapasitas nelayan yang dapat menunjang pengelolaan
perikanan tangkap berkelanjutan untuk aspek sosial-ekonomi adalah
pengembangan kemitraan antara nelayan tangkap kecil (anak asuh)
136 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
dengan kelompok UMKM dan industri perikanan menengah atas,
pengembangan pusat-pusat sarana dan prasarana pendidikan formal-
non-formal sebagai standarisasi kompetensi nelayan baik yang lama
maupun generasi muda. Untuk aspek kelembagaan strategi yang
dilakukan adalah: peningkatan manajemen usaha dan permodalan
Koperasi dan KUB perikanan yang lebih profesional, mapan dan
mandiri; peningkatan kualitas dan kapasitas diri anggota pengurus
baik koperasi maupun KUB; pengembangan manajemen dan
mekanisme pasar yang transparan dan akuntable; peningkatan dan
kemudahan akses permodalan ke lembaga keuangan; serta kontrol
dan peningkatkan sistem jual-beli dan harga hasil tangkap ikan oleh
nelayan secara transparan.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 137
DAFTAR PUSTAKA
138 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Semarang. Jurnal Manajemen dan Bisnis BENEFIT. Volume 17.
Nomor 1. Juni 2013. Halaman 75-88.
Rogers, E.M. (1983). Diffution of Innovation (Edisi ke-3) New York: The
Free Press A Division Of Macmillan Publishing Co.,Inc.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 139
140 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
MODEL GREEN BUILDING DI INDONESIA
BERBASIS KONSEP KUALITAS DMAIC SIX SIGMA
PENDAHULUAN
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 141
citizenship, serta meningkatkan kualitas udara dan mengurangi biaya
energi yang menghasilkan keuntungan signifikan untuk semua orang.
Pemerintah Indonesia terus melakukan sosialisasi terhadap upaya-
upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, tetapi tidak semua
lapisan masyarakat mengetahui dan memahami kedua hal tersebut.
Salah satu akibat minimnya adaptasi terhadap perubahan iklim adalah
Sick Building Syndrome (SBS) pada beberapa bangunan di Indonesia.
SBS adalah situasi dimana para penghuni gedung atau bangunan
mengalami masalah kesehatan dan ketidaknyamanan karena waktu
yang dihabiskan dalam bangunan. Faktor utama terjadinya SBS adalah
polusi udara atau masalah pada kualitas udara, yang biasanya
disebabkan oleh buruknya ventilasi udara atau cahaya, emisi ozon dari
mesin fotokopi, polusi dari perabot dan panel kayu, asap rokok, dan
lain sebagainya. SBS secara tidak langsung akan mempengaruhi
produktivitas seluruh penghuni gedung atau bangunan apabila
dibiarkan terus menerus. Sudah banyak gedung yang terjangkit SBS di
Indonesia, antara lain terdapat pada kota-kota besar di Indonesia
seperti Jakarta, Denpasar, Surabaya, Medan, Bandung, dan Makassar.
Menurut World Health Organization (WHO), diperkirakan sekitar 30
persen seluruh bangunan atau gedung yang ada di dunia memiliki
permasalahan terkait kualitas udara dalam ruangan (Kilbert, 2016).
Bentuk solusi yang menjadi pilihan adalah dengan menerapkan
konsep Arsitektur Hijau (Green Architecture), atau Bangunan Hijau
yang kini sudah dijalankan oleh pemerintah Indonesia.
Untuk mewujudkan bangunan/gedung yang sehat, aman, dan
nyaman secara berkelanjutan, dilakukan telaah pustaka tentang
bangunan hijau berbasis konsep kualitas berkelanjutan DMAIC Six
Sigma untuk suatu wilayah perkotaan di Indonesia. Pembahasan pada
kasus ini, yaitu upaya mengurangi laju SBS dan diharapkan dapat
meningkatkan kualitas kesehatan untuk penghuni gedung kantor di
DKI Jakarta. Metode yang dipilih adalah Six Sigma tradisional (DMAIC),
karena proses menuju gedung yang sehat sudah diukur dengan
peringkat greenship (Greenship Rating) dan kegiatan pengukuran
sudah dilakukan pada beberapa gedung di DKI Jakarta. Pengukuran
greenship juga sudah dilakukan di kota-kota besar di Indonesia, yaitu
untuk bangunan terbangun (existing building) dan sudah tersertifikasi
142 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
contohnya di BSD Tangerang, untuk bangunan baru yang sudah
tersertifikasi diantaranya di Jimbaran Bali, Bogor; sedangkan untuk
bangunan baru yang sedang proses sertifikasi diantaranya di
Yogyakarta (UGM) dan Pekanbaru.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 143
automation systems). Sistem otomasi ini mengaktifkan jaringan sistem
tata udara, pencahayaan, akustika dan utilitas bangunan, sesuai
tingkat hunian dan aktivitas di dalamnya. Elemen dalam sistem ini
meliputi sensor, sistem komunikasi data modular, pengontrol yang
mengoperasikan perangkat utilitas bangunan, serta melaporkan
tingkat konsumsi energi. Sistem otomasi ini dapat menghemat biaya
energi dan pemeliharaan gedung secara signifikan setiap tahun.
Untuk mengurangi pemakaian energi, digunakan jendela yang
seefisien mungkin dan insulasi pada dinding, plafon atau tempat
masuknya aliran udara ke dalam bangunan gedung. Strategi lain yang
dapat dilakukan adalah dengan mendesain bangunan surya pasif.
Penempatan jendela yang efektif (pencahayaan) dapat memberikan
cahaya lebih alami dan mengurangi kebutuhan penerangan listrik di
siang hari. Berikut beberapa manfaat terhadap lingkungan apabila
kita menerapkan konsep Bangunan Hijau:
1. bangunan lebih awet dan tahan lama, dengan perawatan minimal,
2. efisiensi energi menyebabkan pembiayaan rutin lebih efektif,
3. bangunan lebih nyaman untuk ditinggali,
4. penghuni mendapatkan kualitas hidup yang lebih sehat,
5. ikut berperan serta dalam kepedulian lingkungan.
144 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Bangunan Hijau dapat diartikan sebagai sebuah bangunan yang
memberikan solusi untuk keharmonisan hunian dan lingkungan,
menggunakan material alami yang tidak merusak lingkungan,
menggunakan sumber daya berkelanjutan dan terbarukan, biaya
pemeliharaan yang optimal (Sinha, 2009). Penggunaan material alami
yang tidak merusak lingkungan atau produk hijau (green product)
menurut Sinha (2009) adalah:
1. Produk yang dibuat dengan isi sampah limbah, daur ulang, atau
sampah pertanian.
Lebih baik menggunakan kembali sebuah produk daripada
menghasilkan yang baru. Contoh bahan daur ulang pasca industri
adalah batu bata, millwork, framing kayu, perlengkapan pipa air
(plumbing fixture), terak biji besi yang digunakan untuk membuat
mineral isolasi wol, hasil proses semen yang berupa partikel debu
semen (fly ash) digunakan untuk membuat skrap beton, dan
Polyvinyl Chloride (PVC) dari pembuatan pipa digunakan untuk
membuat asesoris pipa air. Fitur penting dari produk hijau adalah
material daur ulang. Contohnya, minyak jeruk yang merupakan
produk limbah dari ekstraksi jus jeruk dan lemon dapat digunakan
sebagai produk hijau.
2. Produk yang menghemat Sumber Daya Alam.
Yaitu produk yang menggunakan lebih sedikit pemakaian bahan
daripada produk standar, produk yang sangat tahan lama dan
karena itu tidak sering memerlukan penggantian. Produk tersebut
antara lain produk yang terbuat dari kayu bersertifikasi FSC, dan
produk buatan yang berasal dari sumber daya cepat terbarukan
seperti clip dry wall yang memungkinkan penghapusan kancing
sudut, jendela dari fiberglass dan material batu kali, produk yang
memiliki daya tahan yang luar biasa atau perawatan rendah.
3. Produk yang menghindari emisi beracun atau lainnya.
Produk yang alami atau minimal olahan dapat disebut hijau
apabila penggunaan energinya rendah dan risiko pelepasan
kimiawi selama proses pembuatannya rendah. Contohnya produk
kayu, pertanian atau tanaman non-pertanian, dan produk mineral
seperti batu alam. Beberapa produk dibuat dengan meminimalkan
bahan yang mengandung senyawa toksik, unsur perantara, atau
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 145
produk sampingan, misalnya lampu neon dengan kadar merkuri
rendah, PVC dan material penghambat api yang sudah dilapisi
brom (brominated fire retardants). Ada pula material bangunan
yang lain, seperti produk bangunan yang diobati dengan asam
borat, paving berpori yang menyerap air hujan ke dalam tanah
dengan volume air lebih besar dari pada paving beton, sistem atap
hijau yang menghasilkan pelepasan oksigen ke udara lebih besar
dari pada atap beton, dan daur ulang air bekas pakai di dalam
gedung untuk mengurangi pembuangan air limbah. Sedangkan
contoh sistem produk hijau adalah sistem umpan yang
menghilangkan kebutuhan akan aplikasi pestisida berbasis luas.
4. Produk yang hemat energi atau air.
Komponen bangunan yang mengurangi pemanasan global dan
mengurangi beban bangunan struktural, misalnya Insulated Panels
(SIPs), Insulated Concrete Forms (ICFs), Autoclaved Blok Aerated
Concrete (AAC), dan jendela dari bahan kaca dengan performa
tinggi. Selain itu peralatan yang dipergunakan dalam gedung dan
bangunan hunian seperti pemanas air tenaga surya, sistem
fotovoltaik, dan turbin angin adalah beberapa produk yang
memungkinkan kita untuk menggunakan energi terbarukan dan
bukan bahan bakar fosil. Beberapa produk seperti sistem
tangkapan air hujan, toilet hijau, dan pancuran berfungsi sebagai
perlengkapan yang menghemat air.
5. Produk yang berkontribusi pada lingkungan yang sehat.
Produk yang berkontribusi pada lingkungan yang sehat adalah
produk yang tidak melepaskan polutan signifikan ke dalam
bangunan, seperti cat dengan tingkat Volatile Organic Compound
(VOC) rendah, atau perekat dan produk dengan emisi sangat
rendah (seperti non formaldehida yang terdapat pada produk
kayu). Produk lain seperti material insulasi (pencegah panas) yang
minim polutan juga digunakan dalam ruang. Ada pula saringan
udara untuk sirkulasi yang digunakan untuk melindungi masuknya
udara kotor atau serat insulasi ke dalam sistem saluran udara.
Penggunaan sistem Track-off yang diletakkan di pintu masuk
dimaksudkan untuk membantu menyingkirkan polutan dari
sepatu. Sistem ini dilapisi duct board untuk mencegah
146 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
penumpahan serat dan membantu mengendalikan pertumbuhan
jamur. Contoh lainnya adalah alat penangkapan Linoleum untuk
mencegah pertumbuhan mikroba karena oksidasi asam linoleat.
Untuk menjaga supaya udara dalam gedung tetap sehat, terdapat
produk yang dapat mengurangi polutan dalam ruangan seperti
produk ventilasi tertentu, filter, peralatan mitigasi radon. Selain
itu ada produk seperti detektor karbon monoksida (CO), untuk
mendeteksi kadar CO dalam ruangan, alat uji timbal yang mungkin
terdapat dalam cat di dalam ruangan. Secara keseluruhan alat uji
kualitas udara (IAQ) adalah produk yang mengingatkan penghuni
tentang ancaman kesehatan di dalam gedung. Produk hijau
memungkinkan kita untuk membawa cahaya matahari ke dalam
sebuah bangunan, termasuk skylight tubular, skylight komersial
khusus, dan sistem pencahayaan fiber optic, pencahayaan sistem
spektrum penuh, dan panel langit-langit yang reflektif.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 147
mengubah sistem AC atau pembuangan limbah, pemilik bangunan
harus dikomunikasikan dengan penghuni/pemakai terlebih
dahulu, supaya hasilnya efektif.
148 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
1. Peraturan Menteri PU 30/PRT/M/2006 mengenai Pedoman Teknis
Fasilitas dan Aksessibilitas pada Bangunan Gedung dan
Lingkungan.
2. Peraturan Menteri PU No. 5/PRT/M/2008 mengenai Ruang
Terbuka Hijau (RTH) B/277/Dep.III/LH/01/2009.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2002
tentang Bangunan Gedung UU RI No. 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang.
4. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
5. Keputusan DNA (Designated National Authority) dalam B-
277/Dep.III/LH/01/2009.
6. Keputusan Menteri No. 112 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air
Kotor Domestik.
7. Permen PU No. 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan
Teknis Bangunan Gedung.
8. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002.
9. UU No. 18 Tahun 2008.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 149
mengikuti gerakan bangunan hijau mempunyai sistem rating masing-
masing, sebagai contoh Amerika Serikat (LEED), Singapura (Green
Mark), Australia dengan Green Star, dan sebagainya.
Greenship sebagai sebuah sistem rating terbagi atas enam aspek
yang terdiri dari (GBC Indonesia, 2017):
1. Tepat Guna Lahan (Appropriate Site Development/ASD).
2. Efisiensi Energi & Refrigeran (Energy Efficiency & Refrigerant/EER).
3. Konservasi Air (Water Conservation/WAC).
4. Sumber dan Siklus Material (Material Resources & Cycle/MRC).
5. Kualitas Udara dan Kenyamanan Udara (Indoor Air Health &
Comfort/IHC).
6. Manajemen Lingkungan Bangunan (Building & Enviroment
Management).
150 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
c. Gedung baru pada lahan dalam suatu kawasan terpadu.
Proses penilaian dilakukan mulai dari desain hingga
pelaksanaan konstruksi selesai.
3. Interior space; ruang interior hijau memungkinkan kita untuk
bernapas, memberi pemandangan keluar bangunan dan
pencahayaan alami membuat kita lebih sehat dan produktif.
Lingkup penilaian meliputi aktivitas fit out, kebijakan pihak
manajemen, serta pengelolaan oleh pihak manajemen setelah
aktivitas di dalamnya mulai beroperasi. Greenship ruang interior
dapat digunakan oleh:
a. tim proyek yang tidak mempunyai kontrol pada keseluruhan
gedung untuk membuat ruang di dalam gedung yang lebih
sehat dan nyaman,
b. pada sebagian atau keseluruhan ruangan di dalam gedung,
c. diikuti oleh proses kegiatan fit out.
4. Rumah hunian: penerapan bangunan hijau pada gedung
terbangun banyak terkait dengan manajemen operasional dan
pemeliharaan gedung. Rumah ramah lingkungan adalah rumah
yang bijak dalam menggunakan lahan, efisien dan efektif dalam
penggunaan energi, air, dan sumber daya; serta sehat dan aman
bagi penghuni rumah. Keberlanjutan dari rumah ramah
lingkungan harus disertai dengan perilaku ramah lingkungan oleh
penghuninya. Jenis rumah yang dapat dilakukan penilaian
meliputi:
a. Rumah tunggal (single landed), yaitu rumah hunian tunggal
yang terbangun melekat di atas tanah.
b. Desain rumah baru, rumah terbangun (existing), dan rumah
terbangun yang ditata kembali (redevelopment).
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 151
5. Lingkungan/kawasan; merupakan perangkat penilaian yang
membantu mewujudkan kawasan yang berkelanjutan dan ramah
bagi penggunanya, dengan lingkup lebih luas dari skala bangunan;
melihat interaksi antara bangunan, alam, dan manusia. Konsep
keberlanjutan dalam kawasan sangat ditentukan oleh kondisi
kawasan, bangunan, dan manusia di dalamnya. Pengembangan
kawasan merupakan investasi jangka panjang untuk kelanjutan
kehidupan masyarakat di dalamnya. Dapat digunakan untuk
penilaian perumahan, daerah pusat bisnis (Central Bussiness
District/CBD), kawasan industri baik skala kecil atau besar.
152 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Tabel 1. Contoh Satuan Alat Ukur Greenship pada Tahap Desain
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 153
BANGUNAN HIJAU DI JAKARTA
154 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Sumber: Majalah Techno Konstruksi (2012)
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 155
Taksonomi model atau klasifikasi model terdiri dari delapan yaitu:
1. Berdasarkan fungsinya, model dibedakan menjadi 3 jenis: model
deskriptif, model prediktif, dan model normatif.
2. Berdasarkan strukturnya model dibedakan menjadi 3 jenis:
a. Model ikonik, yaitu model yang menirukan sistem aslinya, tapi
dalam suatu skala tertentu. Contoh: model pesawat.
b. Model analog, yaitu suatu model yang menirukan sistem
aslinya dengan hanya mengambil beberapa karakteristik
utama dan menggambarkannya dengan benda atau sitstem
lain secara analog. Contoh: aliran lalu lintas di jalan
dianalogkan dengan aliran air dalam sistem pipa.
c. Model simbolis, yaitu suatu model yang menggambarkan
sistem yang ditinjau dengan simbol-simbol biasanya dengan
simbol-simbol matematik. Dalam hal ini sistem diwakili oleh
variabel - variabel dari karakteristik sistem yang ditinjau.
3. Berdasarkan referensi waktu terdapat 2 jenis model: yaitu model
statis dan model dinamis.
4. Berdasarkan referensi kepastian dibedakan menjadi 4 jenis
model: model deterministik, model probabilistik, model konflik,
dan model tak pasti (uncertainly).
5. Berdasarkan tingkat generalitas ada 2 jenis model: yaitu model
umum dan model khusus.
6. Berdasarkan acuan lingkungan ada 2 jenis model: yaitu model
terbuka dan model tertutup.
7. Berdasarkan derajat kuantifikasi adalah model kualitatif (model
mental dan model verbal), dan model kuantitatif (model statistik,
model optimasi, model heuristik, dan model simulasi) yang
menggambarkan mutu.
8. Berdasarkan dimensi ada 2 jenis model yaitu model dua dimensi
dan model tiga dimensi.
156 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Permodelan sistem adalah suatu bentuk penyederhanaan dari
beberapa elemen dan komponen yang sangat kompleks untuk
memudahkan pemahaman pembaca dari seluruh informasi yang
dibutuhkan.
Karakteristik permodelan sistem adalah:
1. Dibuat dalam bentuk grafis dan tambahan narasi berupa
penjelasan ringkas.
2. Dapat diamati dengan pola top down dan partitioned (sebagian).
3. Memenuhi persyaratan minimal redundancy.
4. Dapat merepresentasikan tingkah laku sistem dengan cara yang
transparan.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 157
KONSEP SIX SIGMA DAN PENGEMBANGANNYA
158 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Tulisan ini membahas tentang permodelan bangunan hijau
berbasis konsep kualitas berkelanjutan Six Sigma untuk suatu wilayah
perkotaan di Indonesia. Metode yang dipilih adalah Six Sigma
tradisional (DMAIC), karena proses menuju gedung yang sehat sudah
diukur dengan Greenship Rating dan kegiatan pengukuran sudah
dilakukan pada beberapa gedung di DKI Jakarta. Penulis belum
menemukan bukti bahwa proses pengukuran saat ini dianggap tidak
memadai dan harus diganti. Selain itu, kasus ini tidak memerlukan
desain atau rancangan awal alat ukur, karena pada saat pengamatan
sudah ada alat ukur yang bekerja dengan baik. Dengan demikian,
dapat dirancang model DMAIC Six Sigma untuk mengurangi laju SBS
dan diharapkan dapat meningkatkan kualitas kesehatan untuk
penghuni gedung kantor di DKI Jakarta.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 159
Gambar 2. Model Konsep Six Sigma
160 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Langkah mencari hubungan dan keeratan hubungan antar
beberapa variabel/atribut ini dilakukan dengan analisis statistik
kuantitatif dengan mempertimbangkan: sebab akibat, baik positif
maupun negatif, tipe hubungan antar variabel (simetris, asimetris
atau timbal balik). Sedangkan menghitung bobot dapat dilakukan
dengan analisis statistik kuantitatif (analisis faktor, analisis kluster,
dan lain-lain) maupun analisis kualitatif (penskoran/skala likert,
analisis cut off point, brain storming, dan lain-lain). Untuk
perhitungan kuantitatif dipergunakan analisis yang faktor
konfirmatori. Analisis faktor ini adalah serangkaian langkah
mengidentifikasi adanya hubungan antarvariabel penyusun faktor
atau dimensi dengan faktor yang terbentuk, dengan
menggunakan pengujian koefisien korelasi antar faktor dengan
komponen pembentuknya.
3. Analisis (Analyze)
a. Memetakan hubungan masing-masing variabel/atribut
tersebut. Pemetaan dilakukan setelah mengetahui hubungan
antar variabel dan mengukur keeratan hubungan masing-
masing variabel satu dengan yang lain (path analysis).
Hasilnya adalah gambaran hubungan, keeratan antar variabel
dengan dicantumkan masing-masing bobot kepentingan
(peringkat/rating)nya.
b. Mengukur seberapa kuat/lemah pengaruh variabel/atribut
satu sama lain. Dari beberapa variabel yang terukur, dapat
diindentifikasi variabel mana yang paling berpengaruh dan
variabel mana yang paling lemah dalam perhitungan
penentuan variabel greenship untuk analisis kesehatan
gedung.
c. Membangun model konseptual. Dari hasil identifikasi variabel,
hubungan antar variabel dan bobot variabel yang paling kuat
dan paling lemah dapat dibuat pemetaan hubungan satu
variabel dengan variabel yang lain.
d. Membangun model matematis. Dari model konseptual yang
telah terbangun, dihitung keeratan, hubungan dan
bobot/peringkat masing-masing variabel dengan perhitungan
matematis sehingga menghasilkan sebuah model matematis.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 161
4. Perbaikan (Improvement)
Model yang sudah berjalan disempurnakan supaya berfungsi
dengan baik workability dan accessability-nya. Alat ukur greenship
yang telah terbentuk dari beberapa variabel, dipergunakan untuk
mengukur tingkat kesehatan dan kenyamanan penghuni, dengan
acuan Model konseptual dan model matematis yang telah
terbentuk. Apabila alat ukur greenship telah dipergunakan secara
kontinu dan beberapa waktu untuk pencegahan SBS, dan hasilnya
adalah penurunan tingkat SBS, maka alat ukur dapat dikatakan
memenuhi fungsinya. Apabila tingkat SBS tidak menurun setelah
pengukuran greenship, maka komponen greenship yang ada
dalam gedung perlu dievaluasi dan diperbaiki kualitasnya sehingga
dapat mengurangi SBS. Langkah berikutnya adalah mengevaluasi
alat ukur, apakah sudah dapat mengukur dengan baik dan benar
kemudian memperbaiki alat ukur tersebut apabila terdapat
ketidaksesuaian.
5. Pengawasan (Controlling).
Baik model konseptual, maupun model matematis dan alat ukur
yang sudah berjalan dimonitor dan dievaluasi terus menerus setiap
tahun. Apabila menunjukkan ketidaksesuaian, harus diperbaiki
secara kontinu, sehingga target gedung yang bebas SBS akan
tercapai.
162 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
c. menggunakan perlengkapan pembersih bebas kimia,
d. memasang dinding dan penutup lantai dengan emisi rendah,
e. melakukan pemantauan kualitas udara secara teratur.
2. Cahaya dalam ruangan
a. mengatur pencahayaan ruangan yang optimal dengan
mempergunakan lampu, memasang tirai dengan corak yang
dapat mengurangi silau matahari,
b. menghindari silau pada layar komputer dari pencahayaan
jendela kantor.
3. Kenyamanan termal dengan memberi wewenang pada individu
pekerja atas suhu tempat dan lingkungan kerja, jika mungkin
secara berkala memantau tingkat suhu udara.
4. Akses ke tampilan luar dan ruang eksternal
a. merancang tata letak tempat kerja yang terbuka untuk
memaksimalkan akses ke pandangan luar,
b. memberikan akses untuk staf ke ruang eksternal untuk
digunakan sebagai tempat istirahat dan ruang kolaborasi.
5. Akustik
a. memantau tingkat kebisingan printer dan mesin fotokopi,
b. menyediakan area kerja yang terpisah untuk mengakomodasi
berbagai tingkat kebisingan, seperti area yang sepi, ruang
pertemuan dan lounge.
6. Ergonomi
a. mendidik karyawan tentang praktik ergonomi yang tepat,
b. mempergunakan peralatan yang dapat mengurangi gangguan
muskuloskeletal.
PENUTUP
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 163
di lingkungan kerja, tersedianya ruang istirahat yang nyaman dan
peralatan kerja yang ergonomis untuk mencapai target gedung yang
bebas SBS.
164 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
DAFTAR PUSTAKA
GBC Indonesia (2017). Rating tools. Diakses tanggal 22 Mei 2017, dari
http://www.gbcindonesia.org/greenship.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 165
http://tataruang.atr-bpn.go.id/Bulletin/upload/data_artikel/Green
%20Building%20A%20Sustainable%20Consept%20for%20Constru
ction%20Development%20in%20Indonesia.pdf.
166 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
PERANAN KIMIA HIJAU (GREEN CHEMISTRY)
DALAM MENDUKU NG TERCAPAIN Y A KOTA
CERDAS
(SMART CITY) SUATU TINJAUAN PUSTAKA
Dina Mustafa
PENDAHULUAN
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 167
pengelolaan optimal berbagai sumberdaya yang diperlukan. Konsep
kota cerdas merupakan proses kegiatan yang dilakukan untuk
membuat perkotaan menjadi nyaman untuk kehidupan penduduknya
dan siap menghadapi berbagai tantangan yang mungkin muncul.
Tahun 2008 para walikota di Eropa telah menyepakati kebijakan-
kebijakan pembangunan kota berkelanjutan, yaitu mencapai tujuan
20-20-20 (20% reduksi gas buang/emisi, 20% energi terbarukan, dan
20% peningkatan efisiensi energi) pada tahun 2020 (Woinasroschy,
2016).
Kota cerdas digambarkan dengan atribut kecerdasan dalam hal
bangunan, infrastruktur, teknologi, energi, mobilitas, penduduk,
administrasi, dan pendidikan (Albino, Berardi, & Dangelico, 2015).
Atribut-atribut itu secara terintegrasi diterapkan dalam mengelola
sumberdaya, mengendalikan tingkat polusi, dan mengalokasikan
energi. Sebagai penggiat pengembangan ekonomi terutama pada
industri moderen seperti elektronik, teknologi informasi, bio dan
nanoteknologi, yang memainkan peran penting pada struktur dan
pengelolaan kota cerdas, industri kimia yang menerapkan prinsip
Kimia Hijau dapat memainkan peranan penting pada evolusi
berkelanjutan kota cerdas.
Untuk Indonesia, standar kota cerdas sedang dikembangkan, yang
didasarkan pada standar internasional (Prihadi, 2016). Smart City atau
kota cerdas memiliki 6 (enam) indikator yaitu smart governance,
pemerintahan transparan, informatif, dan responsif; smart economy,
menumbuhkan produktivitas dengan kewirausahaan dan semangat
inovasi; smart people, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan
fasilitas hidup layak; smart mobility, penyediaan sistem transportasi
dan infrastruktur; smart environment, manajemen sumber daya alam
yang ramah lingkungan; dan smart living, mewujudkan kota sehat dan
layak huni. Menurut Guru Besar Sekolah Teknik Elektro dan
Informatika (STEI) ITB, Suhono Harso Supangkat, yang juga adalah
inisiator kota cerdas di Indonesia, kota-kota besar di Indonesia sedang
berusaha mencapai standar kota cerdas, yang saat ini baru tercapai
pada level 60 (Prihadi, 2016). Belum sempurnanya kota cerdas di
Indonesia, menurut beliau, karena belum adanya sumber daya
manusia yang mencukupi yang menguasai berbagai teknologi
168 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
pengeloaan kota cerdas dan belum adanya satu kesatuan soal standar
nasional pengelolaan kota cerdas (Prihadi, 2016).
Dari total 514 kabupaten atau kota di Indonesia, ada 50 yang
ditargetkan oleh Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional
(Wantiknas) dapat memenuhi kriteria kota cerdas (Windhi, 2016).
Pemerintah juga menunjuk lima universitas untuk membuat kriteria
nasional dan melakukan sosialisai mengenai kota cerdas ini.
Enam kriteria yang telah didefinisikan sebelumnya juga menjadi
pertimbangan tim Wantiknas ini. Indonesia telah mencanangkan
kriteria kota cerdas dengan menerbitkan Perpres Nomor 96 tahun
2014, yang mermuat Rencana Pita Lebar Indonesia atau RPI, yang
diharapkan dapat bermanfaat, terjangkau, dan memberdayakan
warga kota (Windhi, 2016). Indonesia telah merencanakan
tercapainya prinsip kota cerdas yang layak huni, aman dan nyaman
pada 2025, tercapainya kota hijau dan ketahanan terhadap perubahan
iklim dan kejadian bencana pada 2035, dan terciptanya kota cerdas
yang berdaya saing dan berbasis teknologi pada 2045 (Barus, 2017).
Peranan Ilmu dan Teknologi Kimia dalam pembentukan kota
cerdas, antara lain, dengan diperkenalkannya konsep Kimia
Hijau/Green Chemistry untuk pengelolaan pembangunan
berkelanjutan.Kimia Hijau/Green Chemistry, yang berfokus pada
produksi dan teknologi penerapan Ilmu Kimia yang ramah lingkungan,
diperkenalkan pada awal 1990-an (Anastas & Warner, 1998). Kimia
hijau ini merupakan pendekatan untuk mengatasi masalah lingkungan
baik dari segi bahan kimia yang dihasilkan, proses, ataupun tahapan
reaksi yang digunakan. Konsep ini menegaskan tentang suatu metode
yang didasarkan pada pengurangan penggunaan dan pembuatan
bahan kimia berbahaya baik itu dari segi perancangan maupun proses.
Bahaya bahan kimia yang dimaksudkan dalam konsep Kimia Hijau ini
meliputi berbagai ancaman terhadap kesehatan manusia dan
lingkungan, termasuk toksisitas, bahaya fisik, perubahan iklim global,
dan penipisan sumber daya alam.
Anastas dan Warner (1998) menguraikan tentang konsep Kimia
Hijau sebagai gabungan dari 12 prinsip. Prinsip pertama
menggambarkan ide dasar dari Kimia Hijau, yaitu pencegahan. Prinsip
pertama ini menegaskan bahwa pencegahan limbah lebih diutamakan
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 169
daripada perlakuan terhadap limbah. Selanjutnya prinsip pertama ini
diikuti oleh prinsip-prinsip berikutnya yang memandu pelaksanaan
prinsip pertama. Prinsip-prinsip Kimia Hijau yang dapat diterapkan
untuk pembentukan dan pengelolaan kota cerdas, adalah atom
economy, penghindaran toksisitas, pemanfaatan solven dan media
lainnya dengan konsumsi energi seminimal mungkin, pemanfaatan
bahan mentah dari sumber terbarukan, serta penguraian produk kimia
menjadi zat-zat nontoksik sederhana yang ramah lingkungan (Dhage,
2013).
Definisi aspek pengelolaan kota cerdas adalah terdiri dari sistem
pengelolaan air, infrastruktur, transportasi, energi, pengelolaan
limbah, dan konsumsi bahan mentah (Albino, Berardi, & Dangelico,
2015). Dengan demikian Ilmu dan teknologi Kimia, melalui pendekatan
kimia hijau dapat membuat aspek-aspek ini dikembangkan dan
dikelola dengan lebih berkelanjutan, yaitu dengan menerapkan
efisiensi energi dan anggaran yang lebih efektif dan pemanfaatan
materi yang ramah lingkungan. Selanjutnya uraian dalam artikel ini
akan membahas peranan Ilmu dan Teknologi Kimia Hijau pada-pada
masing-masing aspek yang membangun kota cerdas.
PEMBAHASAN
170 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
logam berat merkuri, dan oleh kegiatan industri yang membuang air
limbah ke badan air tanpa menghilangkan zat polutan yang
terkandung dalam air limbah berbagai industri itu. Masyarakat yang
bermukim di pinggiran sungai juga membuang limbah rumah tangga
mereka ke badan air (sungai atau air tanah).
Masalah air makin diperumit karena adanya masalah privatisasi air
yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan air minum dalam
kemasan (AMDK) yang menguasai mata air sebagai sumber air
perusahaan (Andang, 2011). Air yang mengalir di sungai-sungai di
perkotaan sudah sangat tercemar dengan berbagai limbah sehingga
airnya berwarna kehitaman. Penyedotan air tanah oleh penduduk dan
oleh industri sertagedung-gedung juga menyebabkan menurunnya
ketersediaan dan kualitas air tanah, terutama kota yang dekat dengan
laut.
Pemerintah Indonesia sudah mengusahakan perbaikan akses
terhadap air bersih dan sanitasi (International Bank for Reconstruction
and Development/The World Bank, 2015). Sejak 2011 sekitar 55%
penduduk Indonesia memiliki akses kepada perbaikan pelayanan
penyediaan air bersih dan 56% penduduk pada perbaikan pelayanan
sanitasi. Ini merupakan peningkatan sebanyak 17% untuk
ketersediaan air bersih dan 31% untuk ketersediaan sanitasi yang
memadai sejak tahun 1993. Pemerintah terus berusaha untuk
mencapai tujuan penyediaan air bersih dan sanitasi yang memadai
bagi seluruh penduduk Indonesia pada tahun 2019.
Selanjutnya ada hubungan yang erat antara pengelolaan air dan
kebutuhan energi, yaitu air diperlukan untuk menghasilkan energi
seperti pada pembangkit listrik tenaga air, dan air memerlukan jumlah
energi yang besar untuk sistem penyediaan dan distribusinya. Masalah
diperberat dengan masih dimanfaatkannya sistem perlakuan terhadap
air limbah yang tidak ramah lingkungan. Lebih jauh lagi, dengan
berkembangnya Konsep Ekonomi Hijau, menyebabkan makin
meningkatnya kebutuhan akan air untuk menghidupi hijauan. Konsep
ekonomi hijau muncul karena kepedulian untuk mengurangi
ketergantungan pada fossil-based economy, untuk energi,
transportasi, produksi materi dan berbagai zat kimia (Eickhout, 2012).
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 171
Sehubungan dengan pemanfaatan air, kota-kota di Eropa mulai
mengurangi konsumsi air pribadi, meningkatkan efisiensi air pada
proses irigasi, mengurangi keperluan akan air pada berbagai proses
pada semua industri, mengurangi air yang hilang saat
pendistribusiannya, dan mengurangi energi yang digunakan pada
sektor perairan. Inovasi-inovasi juga dikembangkan untuk mendaur
ulang air yang telah dimanfaatkan (grey water), mengenalkan proses-
proses yang menerapkan pengurangan konsumsi air di dunia industri
dan teknik-teknik baru seperti penyaringan dengan sistem nanofiltrasi
(Woinaroschy, 2016). Keahlian di bidang industri kimia akan
bermanfaat mendapatkan solusi-solusi pengolahan dan daur ulang air
buangan dan pemenuhan konsumsi air 24 jam/hari dan 7 hari/minggu
yang berkelanjutan yang merupakan solusi yang layak secara ekonomi.
Untuk mendapatkan air bersih untuk skala perkotaan, peranan
teknologi membran penyaring air, yang digabungkan dengan dengan
teknologi nanofiltrasi (NF) dan reverse osmosis (RO) menjadi sangat
penting.Teknologi pembuatan membran tentu menerapkan prinsip-
prinsip kimia hijau, seperti pencegahan terhadap polusi lingkungan
oleh hasil buangan pembuatan membran tersebut.
Secara komersial membran yang tersedia adalah berbasis pada
poliamida aromatik yang dibentuk menjadi Thin Film Composite (TFC).
Namun demikian membran yang berasal dari senyawa ini memiliki
kekurangan antara lain daya tahan rendah terhadap pembusukan,
stabilitas rendah terhadap pengaruh zat kimia dan panas, dan
toleransi rendah terhadap klorin. Untuk mengatasi hal ini Chaoyi
(2010) mengembangkan membran untuk RO dan NF. Membran
pertama memiliki karakteristik tahan terhadap solven (zat pelarut) dan
bermuatan positif. Daya tahan terhadap solven ini dikembangkan
dengan melakukan cross-linking terhadap membran poliimida
menggunakan polietileninimina, sehingga menghasilkan membran
yang tahan terhadap hampir semua pelarut organik. Membran ini juga
bermuatan positif karena adanya gugus amina yang tersisa di
permukaannya, yang berdampak kemampuannya untuk
menghilangkan secara selektif logam berat multivalensi dengan
efisiensi tinggi (95%).
172 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Membran untuk RO dan NF diharapkan memiliki karakter anti
pembusukan, karena pembusukan pada permukaan membran akan
berdampak pada kebutuhan energi yang lebih tinggi, waktu untuk
membersihkan sehingga membran jadi tidak berfungsi sementara, dan
menurunkan umur produktif membran. Untuk pencegahan terhadap
pembusukan maka Chaoyi (2010) juga mengembangkan sistem
membran baru dengan menggunakan teknik pelapisan untuk
memodifikasi sifat-sifat permukaan membran untuk menghindari
adsorpsi zat-zat pembusuk seperti humic acid. Satu lapisan dari
polimer yang larut dalam air seperti polivinil alcohol (PVA), poliakrilic
acid (PAA), polivinil sulfat (PVS) atau sulfonated poli (eter-eter-keton)
diadsorbsikan ke permukaan membran yang bermuatan positif.
Membran yang dihasilkan memiliki permukaan yang halus dan
bermuatan hampir netral dan menunjukkan daya tahan terhadap
pembusukan yang lebih baik daripada membran NF yang bermuatan
positif dan membran yang tersedia secara komersial yang bermuatan
negatif, NTR-7450. Lebih jauh lagi membran yang dimodifikasi ini
memiliki efisiensi tinggi untuk menghilangkan ion-ion multivalensi
(95% untuk kation maupun anion). Dengan demikian pelapisan anti
pembusukan ini sangat baik digunakan untuk penurunan kesadahan
air, untuk desalinasi air, dan perlakuan terhadap air limbah pada
proses membran bioreactor (MBR).
Selanjutnya ada teknologi pengembangan membran RO yang
tahan panas. Membran RO yang tersedia secara komersial tidak dapat
digunakan pada temperatur lebih tinggi dari 45 0 C karena
menggunakan senyawa polisulfonat yang sering membatasi
pemanfaatan membran tersebut untuk industri. Untuk mengatasi hal
ini Chaoyi (2010) berhasilpula mengembangkan poliimida sebagai
substrat membran untuk RO yang stabil pada lingkungan panas karena
daya tahan terhadap panas tinggi. Membran yang merupakan
komposit poliamida berbasis poliimida menunjukkan kinerja desalinasi
yang sebanding dengan membran TFC yang tersedia secara komersial,
dengan kelebihan utama kestabilan pada lingkungan panas tinggi. Saat
diujicoba dengan menaikkan temperatur dari 250 o C sampai dengan
950o C, water flux meningkat 5 – 6 kali, dan penghilangan garam
berhasil dipertahankan konstan. Membran ini dapat menjadi solusi
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 173
unik bagi desalinasi air panas dan layak untuk digunakan
meningkatkan produktivitas air dengan meningkatkan temperature
operasional tanpa mengurangi kemampuan penyaringan garam.
Selain mengatasi perolehan air bersih dengan menerapkan
teknologi membran untuk NF dan RO, sebaiknya diusahakan untuk
penerapan 4 Rs untuk mengembangkan sistem pengurangan
pemakaian air (reduce), penggunaan kembali air untuk berbagai
keperluan sekaligus (reuse), mendaur ulang buangan air bersih
(recycle), dan pengisian kembali air tanah (recharge) (Joga, 2008).
Sistem pengolahan air dalam rumah tangga ini mengolah air limbah
bersih dengan cara mendaur ulang air buangan sehari-hari yang
berasal dari air cuci tangan, peralatan makan dan minum, kendaraan,
dan bersuci diri, maupun air limbah yaitu air buangan dari kamar
mandi, sehingga dapat digunakan kembali yang dapat untuk mencuci
kendaraan, membilas kloset, dan menyirami taman. Sistem
pengolahan air ini termasuk juga membuat sumur resapan air (1 x 1 x
2 meter) dan lubang biopori (10 sentimeter x 1 meter) sesuai
kebutuhan untuk menangkap air hujan
Selain menerapkan biopori untuk menangkap air hujan, juga ada
teknologi penjernihan air sederhana. Untuk menjernihkan air sehingga
tidak ada partikel halus dalam air, dapat dilakukan penyaringan
dengan melewatkan air itu pada sistem penyaringan yang berisi
karbon aktif dari arang, ijuk, pasir dan kerikil. Arang dapat menyerap
bakteri sehingga dapat sebagai sanitasi. Jika air sangat keruh dapat
ditambah kaporit dalam dosis kecil. Bahan-bahan penjernih air itu
harus secara berkala dibersihkan.
Ide pemanfaatan membran dengan teknologi NF dan FO,
penerapan 4 Rs, dan biopori dicoba disatukan dalam pendekatan
kolaborasi antar keahlian, yaitu: Teknik Lingkungan, Teknik Industri,
dan Biologi, Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya, dengan
menawarkan konsep Surabaya Underground Aqua Project (Nurdin
dkk, 2015). Inti gagasan ini adalah sebuah inovasi teknologi
pengelolaan air berskala kota yang menggunakan prinsip water recycle
untuk menciptakan keberlanjutan lingkungan sebagai salah satu
prinsip pengelolaan air. Prinsip water recycle yaitu pengelolaan air di
dalam kota dilakukan dengan mengolah kembali campuran air limbah
174 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
dan air hujan untuk kemudian menjadi air minum sehingga akan
tercipta kondisi lingkungan yang berkelanjutan. Perencanaan
Surabaya Underground Aqua Projectmembedakan antara
perencanaan instalasi dan jaringan distribusinya. Bagian instalasi
terbagi atas dua area, yaitu 1) area pengolahan air limbah dan air
hujan dan 2) area pengolahan air baku untuk air minum. Sementara
itu, untuk bagian jaringan terbagi atas dua jaringan perpipaan, yaitu 1)
Sistem penyediaan air minum dan 2) Sistem penyaluran air limbah dan
air hujan. Seluruh instalasi dan jaringannya berada di bawah tanah.
Sistem ini nantinya menerapkan membran untuk mendapatkan air
berstandar air minum (Nurdin dkk, 2015).
2. Infrastruktur
Setelah penerapan Kimia Hijau dalam sistem pengelolaan air, akan
diuraikan mengenai penerapan pada perolehan materi untuk
infrastruktur. Dalam pengembangan infrastruktur industri konstruksi
dan pelapisan/pengecatan telah maju pesat beberapa tahun
belakangan ini. Pemanfaatan energi dalam bangunan secara global
menyumbang hampir 40% konsumsi energi dan memunculkan emisi
karbon dioksida sebanyak 36% dari total emisi karbondioksida yang
terkait dengan konsumsi energi menurut Intergovernmental Panel on
Climate Change (Woinaroschy, 2016). Di Uni Emirat Arab, energi dari
pendingin ruang memunculkan 65-70% konsumsi listrik. Ada sejumlah
solusi yang terkait dengan kimia, untuk membangun efisiensi energi
pada bangunan guna mendukung konsep smart cities. Solusi itu,
antara lain, dengan pemanfaatan (Bax, Cruxent, & Komornicki, 2013)
adalah:
a. cat pelapis interior yang mempunyai daya pantul tinggi (High
Reflectance Indoor Coatings): memantulkan cahaya lebih baik dari
cat normal dan memaksimalkan rasa ruang yang lebih luas dan
cahaya yang lebih terang, sehingga mengurangi biaya
pencahayaan buatan;
b. cat pelapis eksterior yang memiliki daya pantul tinggi dan tahan
terhadap cuaca (High Reflectance and Durable Outdoor Coatings),
yang bila diterapkan pada atap dan dinding akan memantulkan
radiasi sinar matahari sehingga mengurangi suhu atap dan
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 175
dinding, yang selanjutnya menyebabkan penghematan energi
yang signifikan untuk pendinginan ruang;
c. busa pelapis untuk isolasi yang berkinerja tinggi dan panel isolasi
vakum, untuk mengatasi cuaca dingin, yang bila diadopsi dapat
mengurangi biaya energi pemanasan dari 30% sampai 80% saat
musim dingin; dan
d. phase change materials (PCM), yaitu materials yang
memungkinkan dinding dan langit-langit bangunan menyerap dan
menyimpan panas berlebih di siang hari dan membuangnya di
malam hari, sehingga memoderasi suhu bangunan agar lebih
menyenangkan dan nyaman sepanjang hari.
Saat ini sudah dipasarkan materi dari PCM yang mudah terurai di
lingkungan dan bersumber dari bahan alami seperti minyak sawit,
minyak inti sawit, minyak lobak, minyak kelapa, dan minyak kedelai
(PureTemp). Bahan-bahan ini tidak beracun, tidak mudah terbakar dan
bila dikemas dengan benar tidak akan teroksidasi dan menjadi tengik,
dan akan stabil selama beberapa dekade. Bahan PCM yang berupa
lemak dan minyak terhidrogenasi sepenuhnya dapat stabil selama
beberapa dekade (PureTemp, 2017).
Seperti industri pembuatan PCM, banyak industri lain di bidang
kimia juga telah mempromosikan berbagai usaha perbaikan untuk
bahan-bahan bangunan dan telah memasarkannya. Dengan peran
positif dari pemerintah pusat dan daerah maka adopsi dari bahan-
bahan bangunan yang ramah lingkungan dan yang mendukung konsep
hemat energi dapat digalakkan.
Industri kimia juga berhasil merekayasa bahan-bahan bangunan
hasil olahan bahan alam dan bahan daur ulang yang lebih ringan dan
ramah lingkungan daripada beton, antara lain:
a. timbercrete, dibentuk dari pemadatan campuran bubuk gergaji
dan semen, ringan sehingga proses transportasi lebih murah, dan
mengurangi sampah bubuk gergaji;
b. ashcrete, berasal dari abuterbang yang merupakan produk
sampingan hasil pembakaran batubara;
176 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
c. ferrock, merupakan hasil riset daur ulang barang-barang bekas
seperti debu baja dari industri baja, yang mempu menyerap dan
menahan gas CO2;
d. plastik daur ulang, yaitu bahan bangunan yang di dalamnya
mengandung plastik daur ulang dan sampah, yang berdampak
pada berkurangnya emisi gas rumah kaca dan pengurangan
sampah; dan
e. hempcrete, yaitu beton yang terbuat dari serta tanaman hemp,
yang mudah tumbuh cepat di alam, yang dicampur kapur dan
semen untuk membentuk bahan mirip beton yang kuat namun
ringan, sehingga mudah diangkut (Kosasih, 2016).
3. Transportasi
Pengembangan kota cerdas melibatkan peningkatan persentase
penggunaan angkutan umum untuk tujuan efisiensi energi yang lebih
besar, norma keselamatan yang lebih tinggi dan emisi gas buang yang
lebih rendah, juga, sangat diharapkan untuk mengurangi berat
kendaraan angkutan umum (Woinaroschy, 2016). Alat transport yang
ramah lingkungan antara lain sepeda biasa dan sepeda listrik, mobil
listrik, dan mobil hibrida. Saat ini, berbagai macam polimer komposit
tersedia untuk bahan karoseri dan interior kendaraan umum yang
lebih ringan. Teknik pembobotan ringan menggunakan busa
kepadatan rendah yang tahan terhadap berbagai jenis cuaca, fluktuasi
suhu, variasi tingkat kelembaban. Selanjutnya, dengan pemanfaatan
materi elastomer secara khusus - getaran dapat dikurangi dan kita
dapat mengaktifkan transportasi bebas kebisingan. Telah
dikembangkan materi fibre-reinforced plastic (FRP) yang berpotensi
untuk berkinerja baik melebihi baik baja maupun alumunium,
meskipun saat ini para produser baja dan alumunium telah berhasil
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 177
memproduksi karoseri mobil yang jauh lebih ringan (Cefic, 2011).
Materi-materi FRP belum dapat bersaing secara ekonomis dengan
baja dan alumunium sebagai karoseri kendaraan. Masih banyak riset
yang harus dilakukan untuk mencari komposit untuk eksterior
kendaraan transportasi yang lebih ramah lingkungan (Woinaroschy,
2016).
Untuk interior kendaraan transportasi telah lama memanfaatkan
composit yang dinamakan elastomer yang berupa materi polimer
plastik yang mudah dibentuk untuk insulasi pada kabel listrik dan
pengeras suara dalam kendaraan. Zat ini tahan gores, tahan korosi
akibat zat kimia, dan tahan terhadap air baik kelembaban atau saat
terendam (Elastomer, 2015).
4. Energi
Ada beberapa cara yang didukung oleh Ilmu Kimia untuk
mengurangi konsumsi energi di kota cerdas. Karena adanya advokasi
untuk memanfaatkan bahan bangunan hemat energi maka
pemanfaatan materi poliuretan sebagaiinsulasi yang sangat baik
digunakan dalam produksi panel prefabrikasi untuk industri
konstruksi, untuk dinding pendingin pada gudang atau box kendaraan
pembawa materi yang harus beku/dingin, dan pembentuk kayu
imitasi. Poliuretan juga menawarkan kekuatan struktural yang sangat
baik, daya tahan dan adhesi sebagai bahan laminasi dan liner, yang
merupakan elemen struktural yang melekat pada produk akhir. Materi
ini dapat menahan panas atau dingin agar tidak masuk atau ke luar,
juga membuat ruang jadi kedap suara (Sullivan, 2006).
Selanjutnya ada cara untuk penghematan energi yang dapat
dilakukan, yaitu dengan menerapkan golongan materi yang berperan
sebagai cairan pemindah panas menerapkan teknologi khusus untuk
mencapai kombinasi optimal antara stabilitas, efisiensi dan ekonomi.
Materi ini merupakan campuran beberapa materi, misalnya cairan
Dowtherm G, yang dibuat oleh Dow Chemical Company, tersusun dari
semyawa di dan tri aril, yang secara luas digunakan oleh pengusaha
ritel penyimpanan dingin di seluruh dunia (Dow, 1997). Fluida ini
menawarkan penggantian yang stabil dari gas pendingin sehingga
menghindari polusi.
178 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Dengan telah dikembangkannya materi untuk bahan bangunan
yang dapat menunjang penghematan penggunaan energi, maka
konsumsi energi alternatif menjadi pertimbangan saat membangun
ruang rumah atau gedung dan ini merupakan langkah logis, dengan
demikian digunakan panel surya untuk menghasilkan energi listrik
alternatif. Panel surya secara tradisional menggunakan komponen
etilen vinil asetat, yang harganya mahal, dan tidak mudah didapat
(Woinaroschy, 2016). Hal ini menjadi penghalang bagi meluasnya
penggunaan energi matahari sebagai alternatif sumber daya listrik.
Namun, para ilmuwan telah mampu menciptakan alternatif yang
efektif yang menawarkan kinerja superior, sekaligus meningkatkan
efisiensi biaya secara signifikan (Bagher, et al., 2015). Materi tersebut
antara lain polysilicone dan monocrystalline silicone, atau versi yang
lebih murah yaitu a morphous Silicon, yaitu silikon yang tidak
berbentuk kristal, jenis yang paling banyak digunakan sebagai materi
untuk panel surya untuk rumah dan gedung. Ada technologi panel
surya yang disebut sebagai buried contact solar cell yang merupakan
logam berlapis yang dipendam dalam alur pembentuk laser. Efisiensi
dari panel surya ini adalah 25% lebih tinggi daripada panel surya yang
berbentuk lempengan dengan lapisan tipis zat pembentuk listrik.
Adapula panel surya yang dibuat dari kombinasi bahan organik dan
anorganik yang dinamakan biohybrid solar cell yang masih dalam taraf
penelitian
5. Pengelolaan Limbah
Industri kimia dapat menawarkan solusi yang kredibel untuk
masalah pengolahan limbah pada kota cerdas. Pabrik pengolahan
limbah dapat dibangun, yaitu yang dapat menggunakan perlakuan
tersier lanjutan melalui teknologi ultrafiltrasi dan reverse osmosis,
dapat beroperasi sepanjang waktu untuk menggunakan kembali air
limbah dan menghemat sejumlah besar air setiap hari (Woinaroschy,
2016). Air hasil perlakuan kemudian dapat dimanfaatkan untuk
kegiatan lain seperti pendinginan AC, penyiraman toilet, hortikultura,
konstruksi, dan lain-lain. Salah satu cara pengolahan air limbah sudah
diuraikan pada bagian sistem pengelolaan air (Nurdin dkk, 2015)
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 179
Selain pengelolaan limbah cair, konsep ramah lingkungan dewasa
ini juga telah merambah ke dunia sanitasi, yang termasuk pada
pengelolaan limbah pada rumah tangga (Maharani, 2015). Ilmu dan
teknologi Kimia berhasil menciptakan bahan fiberglass untuk septik
tank dan penyaring biologis, serta cairan desinfektan yang ramah
lingkungan.Kesemuanya ini diterapkan pada septik tank dengan
penyaring biologis (biological filter septic tank), yang dirancang
dengan teknologi khusus untuk tidak mencemari lingkungan, memiliki
sistem penguraian secara bertahap, dilengkapi dengan sistem
desinfektan, hemat lahan, antibocor atau tidak rembes, tahan korosi,
pemasangan mudah dan cepat, serta tidak membutuhkan perawatan
khusus.Kotoran diproses untuk penguraian secara biologis dan
filterisasi secara bertahap melalui tiga kompartemen (Septic tank
Biotech). Media kontak yang dirancang khusus dan sistem desinfektan
sarana pencuci hama yang digunakan sesuai kebutuhan membuat
buangan limbah kotoran tidak menyebabkan pencemaran pada air
tanah dan lingkungan. Kelebihan septik tank jenis ini dibandingkan
dengan septic tank konvensional: hasil buangan sesuai standar BPLHD
dan digunakan lagi sebagai air bersih level 3, pemasangan praktis dan
mudah, tidak membutuhkan perawatan khusus, mengguna-
kan biological ball dan bio filter, tidak mudah penuh, hemat lahan
galian, tidak mencemari sumber air tanah dan dapat di tanam
berdekatan dengan sumur.
Selanjutnya Prasetyono (2017), menjelaskan ide pengelolaan
limbah, yaitu penggabungan “dua” teknologi untuk pengelolaan
limbah sampah bagi kota besar Indonesia. Teknologi itu adalah,
pertama disebut sebagai teknologi reaktor “fermentasi kontinyu”
untuk sampah organik karena lebih ramah lingkungan (green), zero
waste, sebab tidak ada proses pembakaran secara langsung. Gas
metana yang dihasilkan dapat langsung digunakan sebagai bahan
bakar “methane engine” untuk menghasilkan listrik atau gas untuk
memasak di dapur. Teknologi ini juga akan menghasilkan pupuk
kompos berkualitas tinggi.Teknologi yang kedua adalah teknologi
gasifikasi yang mampu mengolah jenis sampah anorganik, seperti
teknologi pirolysis. Jadi pasangan teknologi fermentasi kontinyu dan
teknologi pirolysis adalah “pasangan” teknologi yang sangat tepat
180 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
untuk diterapkan di kota besar/modern karena sifatnya yang saling
mengisi, sehingga keduanya akan dapat memenuhi harapan sebagai
teknologi “Green and Zero Waste”.
Untuk pengelolaan limbah padat juga dapat diterapkan
pemisahan limbah (waste segregation), yaitu dengan penyediaan
empat kantong pembuangan sampah untuk jenis limbah organik, kaca
atau keramik, kertas dan plastik yang akan mempermudah pengumpul
limbah untuk mentransfer sampah ke tempat daur ulang. Ada pula ide
membuat lokasi pembuangan sampah menjadi pembangkit energi
listrik dan gas dengan system hybrid yang mengintegrasikan beberapa
pembangkit seperti turbin angin, sel surya dan energi yang berasal
dari gas metana yang dihasilkan dari sampah. Tempat pembuangan
sampah ini dapat dijadikan lokasi wisata energi untuk pembelajaran
generasi muda dan anak-anak.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 181
depan. Kegiatan ini secara kolektif dikenal sebagai '4Rs' yaitu:
reduce/kurangi – kurangi penggunaan bahan untuk menghasilkan efek
produk yang sama; reuse/gunakan kembali – memulihkan material
untuk menghasilkan efek yang sama berulang kali, recycle/daur ulang
untuk memulihkan material untuk diproses kembali tanpa kehilangan
nilainya, replace/ganti-ganti dengan material, proses, teknologi atau
model bisnis yang memberikan efek yang sama atau lebih baik
(Woinaroschy, 2016).
Setiap solusi baru juga harus mengurangi dampak lingkungan
secara keseluruhan dan aman bagi pengguna dan konsumen. Semua
solusi ini memerlukan kimia yang berkelanjutan untuk mencapainya
dan akan berkontribusi pada kepastian pasokan bahan baku pada
jangka menengah hingga jangka panjang. Solusi ini juga akan
meningkatkan efisiensi sumber daya dan mengembangkan area bisnis
baru misalnya proses daur ulang yang canggih. Industri kimia sedang
mengembangkan teknologi baru untuk ekstraksi bahan baku yang
lebih efisien dan sehingga dicapai penggunaan dan daur ulang bahan
yang paling efisien. Solusi itu juga berbentuk pengembangan bahan
pengganti dan teknologi alternatif untuk sektor industri dan sektor
lain. Kota cerdas harus, secara bersamaan dan drastis, memperbaiki
sumber daya dan meningkatkan efisiensi energi,serta sekaligus secara
drastis mengurangi dampak lingkungan dari berbagai kegiatan
pengelolaan kota. Kita semua perlu "berbuat lebih banyak - dan lebih
baik - dengan sumber daya yang lebih sedikit" dan kimia akan menjadi
alat utama untuk ini (Royal Society of Chemistry, 2009).
Cara Ilmu dan Teknologi Kimia mencapai pengembangan kota
cerdas adalah dengan menemukan konsep dan bahan baru yang harus
dikembangkan untuk energi (sumber, penyimpanan, dan efisiensi)
dalam pembangunan berkelanjutan dan mobilitas perkotaan. Bahan
baru yang diperlukan untuk kehidupan cerdas harus memiliki memiliki
sifat baru untuk dimanfaatkan pada teknologi lingkungan seperti
sistem pemanas dan pendingin dengan efisiensi tinggi, transportasi
perkotaan, dan pengelolaan air. Lebih khusus lagi diperlukan teknologi
yang dengan mudah dan efektif memperbaiki efisiensi energi dari
sistem pada perumahan atau gedung yang sudah ada.
182 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Pada sistem perumahan atau gedung yang sudah ada, maka
sektor konstruksi dan transportasi merupakan sektor penting dalam
mencapai kota cerdas. Sistem yang digerakkan oleh proses kimia
berperan aktif untuk meningkatkan keberlanjutan pada bidang
konstruksi dan transportasi. Bahan yang dibuat oleh industri kimia
yang inovatif seperti insulasi, perekat dan sealants berperan penting
dalam proses konstruksi (Bax, et al., 2013). Kimia adalah kunci bagi
sistem energi baru dan produksimaterial baru yang ringan yang dapat
mengubah mobilitas perkotaan dan teknologi sekitar yang dapat
memerangi polusi.
PENUTUP
Artikel ini meninjau cara mencapai kota cerdas dari sisi Ilmu dan
Teknologi Kimia, dengan memperhatikan sistem pengelolaan air yang
menerapkan teknologi membran untuk nanofiltrasi dan reverse
osmosis untuk segi kimia dan penerapan biopori untuk segi fisika.
Selanjutnya dibahas mengenai pembuatan dan pemanfaatan materi
untuk infrastruktur seperti cat interior dan exterior yang memiliki daya
pantul tinggi dan rendah kandungan volatile organic compound, busa
dan phase change material pelapis dinding sehingga dapat
menghemat energi untuk pendinginan atau pemanasan ruang. Untuk
bahan bangunan ramah lingkungan juga diusulkan bahan dari alam
seperti timbercrete dan hempcrete, disamping bahan daur ulang
seperti ashcrete, ferrock, dan plastik daur ulang.
Kemudian dibahas mengenai peranan Ilmu Kimia dalam
pengembangan interior dan eksterior alat transportasi yang ramah
lingkungan, antara lain mengurangi bobot kendaraan dengan
mengurangi penggunaan baja dan menggantikannya dengan fibre-
reinforced plastic, serta pemanfaatan elastomer untuk pelapis interior
kendaraan yang dapat berindak sebagai insulasiterhadap kebisingan
dan cuaca.
Setelah itu dibahas cara mengurangi konsumsi energi untuk ruang
dengan memanfaatkan insulasi dari poliuretan, cairan pemindah
panas yang menggantikan gas pendingin yang berbahaya bagi
lingkungan seperti freon, serta materi untuk membuat solar sel untuk
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 183
sumber listrik alternatif. Untuk pengelolaan limbah diusulkan untuk
melakukan kombinasi antara teknologi reaktor fermentasi kontinyu
untuk sampah organik yang dapat menghasilkan gas metana yang
dapat digunakan untuk pembakaran sampah pada teknologi gasifikasi
atau pirolisis, sehingga kombinasi teknologi ini sejauh mungkin
mencapai green and zero waste.
Strategi konsumsi bahan mentah yang dianjurkan agar tidak ada
sampah yang mengotori lingkungan dan menjamin keberlangsungan
pasokan materi bahan baku adalah 4Rs, reduce, reuse, recycle, dan
replace.Prinsip Kimia Hijau juga diterapkan pada pembuatan dan
pengolahan bahan mentah berdasarkan prinsip kimia hijau yang
berkelanjutan.
Agar ramah lingkungan, kompetitif secara ekonomi dan tetap
menarik untuk ditinggali, kota cerdas perlu mengurangi total konsumsi
energi, meningkatkan penggunaan energi terbarukan, menyesuaikan
infrastruktur fisik dan komunikasi, menemukan solusi untuk masalah
mobilitas dalam kota - khususnya mobilitas pribadi - dan memperbaiki
kondisi pendidikan dan kerja.
184 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
DAFTAR PUSTAKA
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 185
Chaoyi, B. (2010). Design of advanced reverse osmosis and
nanofiltration membranes for water purification – A Dissertation
(Submitted for the degree of Doctor of Philosophy in Materials
Science and Engineering in the Graduate College of theUniversity
of Illinois at Urbana-Champaign, Urbana, Illinois.
186 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Diunduh dari https://www.wsp.org/sites/wsp.org/files/ publi-
cations/WSP-Indonesia-WSS-Turning-Finance-into-Service-for-
the-Future.pdf pada 20 juni 2017
Jenis septic tank yang sebaiknya anda pilih untuk rumah minimalis
anda. Diunduh dari http://www.diminimalis.com/jenis-septic-
tank/ pada 20 Juni 2017
Kardha, M. M. (2009). Ini lho, cara pilih cat yang aman. Diunduh dari
Kompas.com - 07/09/2009 http://properti.kompas.com/read/
2009/09/07/08393813/ini.lho.cara.pilih.cat.yang.aman pada 20
Agustus 2017.
Nurdin, F. A., Mulia, G. J. T., Rosyidah, B., Ishar, M., & Munir, M.
(2015). Surabaya underground aqua project - Konsep pengelolaan
air minum, air limbah, dan air hujan perkotaan di bawah tanah
sebagai solusi permasalahan air di kota besar. Diunduh dari
artikel.dikti.go.id/index.php/PKMGT /article/download/493/493
pada 6 September 2017
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 187
Prasetyono, A. P. (2017). Mengolah sampah perkotaan. Diunduh dari
http://www.dikti.go.id/mengolah-sampah-perkotaan/ pada 20
Juni 2017,
Windhi. (2016). Ini kriteria standar smart city Indonesia. Diunduh dari
http://www.centroone.com/News/Detail/2016/12/16/13645/ini-
kriteria-standar-smart-city-indonesia- pada 6 September 2017
188 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
MENINGKATKAN WATER RESILIENCE UNTUK
MENUNJAN G SMART CITY
Agus Susanto
PENDAHULUAN
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 189
bahkan semua makhluk hidup terbuat dari air sebagaimana tercantum
dalam kitab suci Al Qur’an surat Al-Anbiya (21) ayat (30) yang artinya:
“... Dan kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari air, mengapakah
mereka tidak beriman?”.
Hingga saat ini masyarakat secara umum masih memandang air
hanya sebagai komoditas sosial yaitu sebagai kebutuhan hidup dan
bukan sebagai komoditas ekonomi. Ada dua alasan yang mendorong
masyarakat memandang air sebagai komoditas ekonomi, yaitu: 1). air
merupakan barang yang dapat mendukung kegiatan ekonomi, seperti
industrialisasi dan pertanian, dan 2). masyarakat sering tanpa
kesulitan untuk dapat memperoleh air yang dapat didayagunakan
(Siradj, 1992).
Selain itu, air merupakan kunci pembangunan perkotaan yang
berkelanjutan dan pilar kesehatan masyarakat serta kesejahteraan
sosial (WHO, 2012). Air dan sanitasi lingkungan yang tidak memadai
akan mengancam kesehatan manusia dan lingkungan. Air memiliki
multi fungsi, antara lain: sebagai fungsi sosial, ekonomi, dan
lingkungan yang dibutuhkan untuk mendukung proses produksi dan
berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi serta pengurangan
kemiskinan perkotaan. Dengan berbagai fungsi tersebut, apabila tidak
ada perubahan paradigma dalam pengelolaan air, maka akan terjadi
ketidak-amanan dan ketidaknyamanan lingkungan perkotaan yang
menyebabkan degradasi lingkungan dan sosial ekonomi, sehingga
tujuan smart city tidak tercapai.
Di perkotaan, air menghadapi berbagai tekanan sebagai akibat
dari meningkatnya kebutuhan air, pola urbanisasi yang cepat,
pertumbuhan penduduk yang tinggi, dan meningkatnya risiko
perubahan iklim (Leeuwen Van Dan & Dieperink, 2015 dalam Mulyana
dan Suganda, 2017). Perubahan iklim diharapkan dapat memberikan
konsekuensi signifikan bagi sistem air perkotaan. Akan tetapi dengan
perubahan iklim justru mengakibatkan perubahan pola hujan yang
sering terjadi akhir-akhir ini, yaitu hujan dengan intensitas tinggi
namun mempunyai durasi yang pendek. Kondisi ini akan
mempengaruhi ketersediaan air, kualitas air, dan akses air, serta risiko
banjir. Sebaliknya jika terjadi musim kering yang panjang akan
mengakibatkan kelangkaan sumber air baik dari potensi maupun
190 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
akses. Untuk itu, infrastruktur air perkotaan perlu diadaptasi agar
dapat mengatasi kondisi perubahan iklim dan hidrologi yang baru. Di
lain pihak, ada yang menyatakan bahwa krisis air di perkotaan tidak
hanya terkait dengan rekayasa air, tetapi diakibatkan juga oleh
kegagalan tata kelola air (Mulyana dan Suganda, 2017). Tata kelola air
merupakan rangkaian sistem politik, sosial, ekonomi, administrasi dan
kelembagaan untuk mengembangkan dan mengelola sumber daya air
serta penyampaian layanan air pada berbagai tingkat masyarakat,
sehingga isu air di perkotaan dapat digunakan sebagai alat untuk
mengembangkan solusi terpadu.
Dengan berbagai isu yang merupakan tekanan baik sosial maupun
ekologis di perkotaan terhadap sumber daya air, ditambah dengan
gaya hidup (life style) masyarakat perkotaan yang mengarah ke
konsumtif, dampaknya adalah kebutuhan air di perkotaan menjadi
meningkat. Di sisi lain, ketahanan air di Indonesia masih sangat rendah
bila dibandingkan dengan negara-negara lain, yaitu hanya sebesar 63
m3/kapita/tahun, sedangkan yang ideal adalah 1.600 m 3/kapita/tahun
(Kementerian PUPR, 2016). Untuk itu, pemerintah melalui program
kerjanya yaitu Nawacita yang dituangkan dalam Nawacita ke 7 (tujuh)
yang berbunyi: “Pemerintah mewujudkan kemandirian ekonomi
dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik
dengan prioritas pembangunan yakni peningkatan kedaulatan pangan
dan peningkatan water resilience (ketahanan air)”. Dalam tulisan ini
akan dianalisis bagaimana meningkatkan resiliensi sumberdaya air di
perkotaan untuk menunjang indikator-indikator yang ada dalam Smart
City. Tujuan yang ingin dicapai adalah agar dapat meningkatkan
pasokan air bagi masyarakat, industri dan pertanian serta untuk
mengurangi risiko banjir. Untuk meningkatkan pasokan air, target
utama adalah memperbaiki infrastruktur alami seperti: ekosistem
hutan, ekosistem sungai, dan infrastruktur buatan seperti: embung,
bendungan, jaringan irigasi, jaringan drainase, dengan memfokuskan
pada empat hal yakni: ketersediaan (availability), aksesibilitas
(accessibility), berkelanjutan (sustainability), dan keamanan (security).
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 191
BAHAN DAN METODOLOGI
192 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
intensitas tinggi tetapi durasinya pendek. Kondisi ini mengakibatkan
banjir dan tanah longsor di perkotaan. Sebaliknya di musim kemarau
terjadi kekeringan, sehingga paradigmanya sekarang berubah menjadi
“kota diasumsikan sebagai daerah tangkapan air hujan, dimana air
hujan ditahan selama mungkin agar masuk ke dalam tanah untuk
mensuplai air tanah, dan baru dilepaskan secara pelan-pelan ke
saluran pembuang”. Paradigma ini disebut water smart city.
Water smart city adalah suatu metode di mana sumber air dijaga
agar berkelanjutan sehingga memungkinkan generasi masyarakat
perkotaan di masa yang akan datang dapat memiliki akses untuk
mengelola air di wilayah perkotaan dengan infrastruktur
pendukungnya sehingga dapat bertahan dan berfungsi meskipun ada
tekanan dari iklim yang lebih ekstrem (Hattum, et al. 2016).
Pendekatan yang digunakan dalam water smart city adalah integrasi
perencanaan kota dengan siklus air perkotaan agar supaya kegiatan
ekonomi dan bisnis dapat berjalan dengan baik sehingga
kesejahteraan masyarakat perkotaan lebih terjamin. Adapun
tujuannya adalah untuk meminimalkan dampak hidrologi
pembangunan perkotaan terhadap lingkungan sekitar. Konsepnya
meliputi: integrasi air hujan, air tanah, pengelolaan air limbah, dan
pasokan air untuk mengatasi tantangan masyarakat terkait dengan
perubahan iklim, efisiensi sumber daya dan peralihan energi, dalam
rangka untuk meminimalkan degradasi lingkungan dan meningkatkan
daya guna infrastruktur perkotaan. Pendekatan lainnya adalah dengan
mengembangkan strategi integratif untuk keberlanjutan dimensi
ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, sesuai dengan konsep
pembangunan yang berkelanjutan.
Integrasi pembangunan perkotaan dan pengelolaan air perkotaan
yang berkelanjutan dalam pelaksanaan smart city didukung oleh water
smart city yang merupakan perpaduan antara 3 (tiga) komponen/pilar
utama yang saling berinteraksi. Komponen tersebut yaitu (a)
keberlanjutan ketersediaan air, (b) pengurangan dan pengolahan air
limbah, dan (c) pengurangan dan pengolahan air permukaan.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 193
Interaksi antara ketiga komponen utama tersebut adalah:
a. Interaksi antara keberlanjutan ketersediaan air dengan
pengurangan dan pengolahan air limbah (grey water). Hasilnya
adalah efisiensi atau pengurangan penggunaan sumber air,
sehingga limbah yang ditimbulkan juga berkurang. Limbah (grey
water) tersebut kemudian dimanfaatkan kembali (reuse), serta
didaur ulang kembali agar menjadi air baku air bersih.
b. Interaksi antara keberlanjutan ketersediaan air dengan
pengurangan dan pengolahan limpasan air permukaan. Hasilnya
adalah pengurangan (reduce) penggunaan air permukaan. Karena
penggunaan air permukaan yang efisien, maka terdapat sisa
limpasan permukaan yang sedikit pula. Sisa limpasan air
permukaan yang terbuang tersebut ditampung kembali dan
dimanfaatkan untuk penunjang kegiatan ekonomi masyarakat
perkotaan sehingga tidak ada limbah limpasan air permukaan.
Interaksi antara pengurangan dan pengolahan air limbah dengan
pengurangan dan pengolahan air permukaan. Hasilnya adalah sisa
air limpasan yang tidak dipakai dan limbah domestik (grey water)
diproses atau diolah menjadi sumber air baku air bersih dengan
teknologi yang ramah lingkungan (green technology). Secara
agramatis, integrasi pembangunan perkotaan yang berkelanjutan
dengan pengelolaan air perkotaan yang berkelanjutan dalam
pelaksanaan smart city disajikan dalam Gambar 1.
194 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Keberlanjutan
ketersediaan air
Efisiensi + daur
Daur ulang
ulang air limbah
air hujan &
limpasan air + grey
permukaan water
Water Smart
City
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 195
itu, kota dapat diberikan fleksibilitas untuk mengakses sumber-
sumber air tersebut, dengan tujuan untuk menekan biaya lingkungan,
sosial, dan ekonomi.
196 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
3. Kota terdiri dari Komunitas dan Institusi Smart Water
Konsep yang ditawarkan adalah masyarakat menjalani gaya hidup
berkelanjutan secara ekologis dan sadar akan keseimbangan dan
ketegangan (konflik) yang terus berlanjut antara konsumsi dan
konservasi, industri dan kapasitas profesional untuk berinovasi dan
beradaptasi sebagai praktisi yang reflektif. Disampig itu, konsep ini
juga didukung oleh kebijakan pemerintah yang memfasilitasi evolusi
adaptif terhadap water sensitive city (ketahanan air perkotaan) yang
sedang berlangsung yaitu dengan melibatan semua pemangku
kepentingan agar water smart city dapat diwujudkan.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 197
1. Smart economy mempunyai sub indikator: smart economy, smart
education, smart resources management, dan smart industry.
2. Smart society mempunyai sub indikator yang terdiri dari: smart
health, smart public service, smart social digital, dan smart safe
and security, dan
3. Smart environment mempunyai sub indikator yang meliputi: smart
energy, smart environment, smart public space, dan smart water
and waste management.
Dalam perspektif sumber daya air, smart city adalah suatu konsep
yang digunakan untuk menjawab pertanyaan bagaimana semua
indikator atau sub indikator dalam smart city tersebut dapat dilayani
198 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
oleh air. Untuk itu dikembangkan konsep water smart city. Untuk
menuju water smart city dalam rangka menunjang Smart City terdapat
6 (enam) tahapan atau langkah yang harus dilalui yang dimodifikasi
dari Konsep Australian Sensitive Water City, yaitu:
1. Terpenuhi suplai air perkotaan (Ws).
Suplai air perkotaan diperoleh dari PDAM, air tanah bagi
masyarakat dalam kota, sedangkan bagi masyarakat pinggiran
kebutuhan air bersih selain dari air tanah juga diperoleh dengan
air permukaan dan air hujan melalui tampungan air atap.
2. Pengolahan limbah perkotaan (Wc).
Limbah perkotaan yang terdiri dari limbah domestik dan non
domestik (grey water) hanya kota-kota besar yang sudah
melakukannya yang dikelola oleh swasta, seperti kawasan Bumi
Derpong Damai (BSD), Alam Sutera di Tangerang Selatan, Kelapa
Gading di Jakarta, Delta Mas di Bekasi, dan lain-lain.
3. Pengelolaan drainase perkotaan (Dc).
Drainase perkotaan dalam hal ini adalah saluran pengendali banjir.
Air hujan yang jatuh di perkotaan ditahan dahulu jangan cepat
dibuang ke saluran pembuang yaitu melalui embung atau kolam
konservasi (retention pound) yang berfungsi selain untuk
pengendali banjir juga sebagai tandon air.
4. Pengelolaan saluran alami perkotaan (Dn).
Saluran alami perkotaan, meliputi sungai, parit, alur sungai, dan
lain-lain, dengan jalan memperlebar bantaran sungai di berbagai
tempat secara selektif di sepanjang sungai.
5. Recycle water (Rw).
Dalam recycle water berupa limbah industri. Limbah industri
didaur ulang untuk menjadi bahan baku air pada proses industri.
6. Water Resilience (ketahanan air) (Wr).
Ketahanan air merupakan penjumlahan dari suplai air perkotaan
(Ws), limbah perkotaan (Wc), drainase perkotaan (Dc), saluran
alami perkotaan (Dn), dan recycle water (Rw), sehingga dapat
dirumuskan menjadi: water resilience yang merupakan fungsi dari
Ws, Wc, Dc, Dn dan Rw), atau:
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 199
Konsep water resilience ini sudah dikembangkan di Australia
(Monash University) sejak tahun 2010 dengan nama water sensitive
city.
Secara umum, untuk jalan menuju water smart city dapat
dikembangkan pada kota-kota yang sudah maju karena infrastruktur
airnya sudah lebih baik, yang digambarkan dalam garis putus-putus
(Gambar 3). Untuk kota-kota yang masih dalam tahap perkembangan
baru dapat memenuhinya pada 3 (tiga) tahapan, yaitu suplai air
perkotaan (Ws), pengelolaan limbah perkotaan (grey water) (Wc), dan
manajemen saluran pengendali banjir (Dc) yang digambarkan dalam
garis penuh. Apabila water resilience tercapai, maka jalan menuju
water smart city akan tercapai juga, yang akhirnya smart city dari
perspektif sumber daya air akan tercapai juga. Semua indikator dalam
smart city yang memerlukan air akan terlayani dengan baik. Secara
garis besar jalan menuju water smart city untuk menunjang smart city
disajikan dalam Gambar 3 berikut.
Eksisting Direncanakan
Gambar 3. Jalan Menuju Water Smart City untuk mendukung Smart City
200 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
UPAYA PENINGKATAN WATER RESILIENCE
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 201
Sumber: Sawiyo (2010)
202 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Sumber: Sawiyo (2010)
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 203
kering dan hanya untuk minum dan memasak, sedangkan
untuk kebutuhan air lainnya seperti air permukaan
(sungai, embung, setu, dan lainnya). Metode ini dilakukan
pada daerah-daerah yang curah hujannya kecil seperti di
wilayah Indonesia Timur (NTT, Papua, dan Maluku).
Gambar 7. Salah Satu Cara Penampungan Air Hujan (PAH) Lewat Atap
204 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Tabel 1. Ukuran Sumur Resapan Berdasarkan tipe rumah Beserta
Alternatifnya
Tipe 36/100
Asli 80 – (105 + 25) 90 – (85 + 20) 100 – (70 + 15)
Renovasi 110 – (155 + 35) 120 – (130 + 300 130 – (110 + 25)
Tipe 56/110
Asli 90 – (125 + 25) 100 – (100 + 20) 110 – (85 + 20)
Renovasi 120 – (145 + 30) 130 – (120 + 25) 140 – (105 + 25)
Tipe 70/120
Asli 100 – (130 + 30) 110 – (110 + 25) 120 – (90 + 20)
Renovasi 120 – (155 + 35) 130 – (135 + 30) 140 – (120 +25)
Sumber: Susanto dan Suhardianto (2005)
Keterangan: *) = Y adalah kedalaman sumur tanpa isi, dan Z
kedalaman sumur dengan isi (ijuk/geo tekstile)
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 205
g. Pengelolaan air yang adaptif. Pengelolaan model ini merupakan
pengelolaan air dengan mengantisipasi ramalan cuaca jangka
panjang akibat perubahan iklim yang akhir-akhir ini terjadi,
tujuannya adalah untuk meningkatkan kapasitas penyimpanan air
bak air permukaan maupun air tanah (Hattum et al. 2016).
206 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
kota Metropolitan), dan 120-150 lt/orang/hari (untuk kota
besar), dan untuk kota kecil 90-120 lt/orang/hari (Kimpraswil,
2003) dikurangi menjadi 80% dari standar pemakaiannya.
Demikian juga untuk penggunaan air di hotel dan fasilitas
sosial lainnya.
c. Reuse Water
Pemanfaatan air kembali dari limbah domestik (grey water).
Metode yang digunakan adalah sistem komunal, limbah
rumah tangga dari beberapa rumah ditampung dalam satu
bak penampung dengan sistem perpipaan menggunakan
tenaga grafitasi. Limbah domestik tersebut dapat digunakan
kembali tanpa diolah (treatment) terlebih dahulu, sebagai
contoh, grey water digunakan untuk menyirami tanaman,
karena grey water kandungan unsur kimianya (unsur Cl) tinggi,
sehingga bagus untuk kesuburan tanaman.
c. Water treatment
Water treatment (water recycling) adalah pemanfaatan
kembali air limbah industri menjadi bahan baku penunjang
proses industri, yaitu air limbah beberapa industri yang
berada dalam kawasan industri ditampung dalam satu kolam
(IPAL) (komunal), kemudian limbah tersebut diolah, bisa
dengan kimiawi maupun biologi. Setelah melalui proses
pengolahan di IPAL, hasilnya dijadikan air baku dalam
penunjang proses industri, seperti untuk mencuci peralatan
industri, dan lain sebagainya, tetapi bukan sebagai air baku
industri.
PENUTUP
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 207
Kedudukan water resilience di dalam jalan menuju Water Smart
City terletak pada Water Sensitive City (langkah ke enam dalam Water
Smart City). Langkah-langkah untuk menuju Water Smart City dalam
menunjang Smart City ada 6 (enam) langkah, yaitu: (1) terpenuhi
suplai air perkotaan yang meliputi PDAM, air tanah, dan sungai; (2)
pengolahan limbah perkotaan (grey water), yang meliputi:
pengelolaan limbah domestik dan non domestik; (3) pengelolaan
drainase perkotaan yang terdiri dari: pengelolaan saluran pengendali
banjir; (4) pengelolaan saluran alami perkotaan (sungai, parit, alur
sungai); (5) recycle water, yang meliputi limbah perkotaan yang terdiri
dari limbah domestik dan industri; dan (6) Sensitive Water City yang
meliputi water resilience yang berguna untuk keberlanjutan inter
generasi.
Upaya peningkatan water resilience untuk menunjang Smart City
dapat digolongkan menjadi 2 (dua), yaitu: (a) restorasi kapasitas
saluran drainase alami perkotaan, yang terdiri dari: retention pound
atau kolam konservasi, detention pound (kolam konservasi yang
dibuat di bantaran sungai) untuk wilayah kota di hilir DAS, sedangkan
untuk wilayah hulu dengan dam parit (channel conservation),
panampungan air hujan (PAH) melalui tampungan atap, sumur
resapan, biopori, menjaga kualitas air, dan pengelolaan air yang
adaptif; serta (b) memutus siklus air perkotaan, yaitu dengan jalan:
optimalisasi pemanfaatan air PDAM, reduse water use, reuse water,
dan treatment water (recycling water).
208 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
DAFTAR PUSTAKA
Harsoyo. B., 2010, Teknik Pemanenan air hujan (rain water harvesting)
sebagai alternatif upaya penyelamatan sumberdaya air di Jakarta.
Jurnal Sain dan Teknologi modifikasi cuaca Vol 10 No. 2; 29-39
Hattum. Tim Van, Maaike Blauw, Marina Bergen Jensen, and Karianne
de Bruin. (2016). Towards Water Smart Cities, Climate Adaptation
is a huge Opportuny to Inprove the Quality of Life in Cities.
University of Research, Wageningen.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 209
Siradj, M. (1992). Metodologi Prakiraan Dampak pada air tanah.
Seminar Nasional Metodologi Prakiraan Dampak dalam AMDAL,
Bogor: PPLH-LP-IPB dan BK-PSL dan Bappedal.
Wong, T.H.F. and Brown, R.R. (2009). The water sensitive city:
principles for practice. Water Science and Technology, 60(3),
pp.673-682.
210 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
KETERSEDIAAN AIR BERSIH UNTUK KESEHATAN: KASUS
DALAM PENCEGAHAN DIARE PADA ANAK
PENDAHULUAN
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 211
masyarakat. Data WHO 2015 menemukan bahwa 663 juta penduduk
masih kesulitan dalam mengakses air bersih (Rochmi, 2016). Berkaitan
dengan krisis air ini, diramalkan pada tahun 2025 nanti hampir dua
pertiga penduduk dunia akan tinggal di daerah-daerah yang
mengalami kekurangan air (Unesco, 2017). Ramalan itu dilansir World
Water Assesment Programme (WWAP), bentukan United Nation
Educational, Scientific, and Cultural Organization (Unesco). Terkait
Indonesia, pada tahun 2012 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) mencatat Indonesia menduduki peringkat terburuk dalam
pelayanan ketersediaan air bersih dan layak konsumsi se-Asia
Tenggara (Rochmi, 2016). Bahkan Direktur Pemukiman dan
Perumahan Kementerian PPN (Bappenas) memperkirakan bahwa
Indonesia juga akan mengalami krisis air. Hal ini karena melihat
ketersediaan air bersih melalui jumlah sungai yang mengalirkan air
bersih terbatas, sedangkan cadangan air tanah (green water) di
Indonesia hanya tersisa di dua tempat yakni Papua dan Kalimantan.
Indonesia juga diprediksi bahwa akan ada 321 juta penduduk yang
kesulitan mendapatkan air bersih. Sebab permintaan air bersih naik
sebesar 1,33 kali, berbanding terbalik dengan jumlah penduduk yang
kekurangan air (Rochmi, 2016).
Di sisi lain, kabar baik datang dari laporan Badan Pusat Statistik
(BPS) tahun 2016. BPS mencatat bahwa saat ini Indonesia telah
mengalami peningkatan yang cukup signifikan terkait persentase
rumah tangga dengan sumber air minum bersih yang layak, yaitu dari
41,39% pada tahun 2012 menjadi 72,55% pada tahun 2015 (Badan
Pusat Statistik, 2016). Namun jika dibandingkan dengan tujuan
Sustainable Development Goals (SDGs), capain tersebut masih belum
mencapai target. Per 2030 dalam milestone SDGs, setiap negara
diharapkan telah mampu mewujudkan 100% akses air minum layak
untuk penduduknya. Indonesia meletakkan target pencapaiannya
lebih awal yaitu akhir tahun 2019 sebagaimana amanat Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2016 (Portal
Sanitasi Indonesia, 2015). Walaupun capaian belum 100%, ini
merupakan capaian yang cukup baik mengingat permasalahan sanitasi
dan air dikategorikan sebagai sektor yang sulit untuk mencapai target.
Faktor ekonomi, faktor wilayah geografis, dan faktor ketersediaan
212 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
sumber air teridentifikasi sebagai faktor penyebab kesulitan akses air
bersih tersebut (Rochmi, 2016).
Rendahnya ketersediaan air bersih memberikan dampak buruk
pada semua sektor, termasuk kesehatan. Disebutkan bahwa tanpa
akses air minum yang higienis mengakibatkan 3.800 anak meninggal
tiap hari oleh penyakit. Penyakit kolera, kurap, kudis, diare/disentri,
atau thypus adalah sebagian kecil dari penyakit yang mungkin timbul
jika air kotor tetap dikonsumsi (Untung, 2008). Bahkan ditemukan
bahwa sanitasi dan perilaku kebersihan yang buruk serta air minum
yang tidak aman berkontribusi terhadap 88% kematian anak akibat
diare di seluruh dunia (Unicef Indonesia, 2012). Di Indonesia, insiden
penyakit diare dilaporkan mengalami peningkatan dari 301/1000
penduduk pada tahun 2000 naik menjadi 411/1000 penduduk pada
tahun 2010. Bahkan Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering
terjadi, dengan case fatality rate (CFR) yang masih tinggi (Depkes RI,
2011). Risiko kematian ini dapat dicegah melalui penurunan faktor
lingkungan yang beresiko, yaitu dengan penyediaan air bersih,
sanitasi, dan kebersihan (Chola, Michalow, Tugendhaft, & Hofman,
2015) seperti yang dicanangkan oleh UNICEF dan WHO. Tujuannya
adalah untuk menghambat transmisi kuman patogen penyebab diare
dari lingkungan ke tubuh manusia.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan arti pentingnya
ketersediaan air bersih bagi kehidupan. Tulisan ini akan mengkaji
tentang pentingnya ketersediaan air bersih untuk kesehatan,
khususnya untuk kasus pencegahan diare pada anak. Jika suatu kota
dapat mencapai 100% akses air bersih, tidak hanya keberhasilan
dalam menciptakan lingkungan cerdas melalui infrastruktur perairan,
namun juga keberhasilan dalam meningkatkan kualitas kehidupan
melalui penurunan kejadian penyakit diare pada anak. Bahkan
tercapaianya akses air minum yang sehat juga menjadi salah satu
indikator bahwa kota tersebut adalah kota layak anak (Widiyanto &
Rijanta, 2012).
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 213
BAHAN DAN METODOLOGI
PEMBAHASAN
Pencemaran Air
Kualitas air sungai di Indonesia sebagian besar berada pada status
tercemar. Pencemaran air didefinisikan sebagai masuknya atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke
dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai
dengan peruntukannya (PP RI, 2001). Direktorat Jenderal
Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan bahwa di tahun
2015 hampir 68% mutu air sungai di 33 provinsi di Indonesia dalam
status tercemar berat. Angka ini mengalami penurunan jika
dibandingkan pencemaran di tahun 2014 yang mencapai 79%.
Walaupun mengalami penurunan, namun persentasenya masih
tergolong tinggi, terutama di sungai-sungai yang terletak di wilayah
regional Sumatera (68%), Jawa (68%), Kalimantan (65%), dan Bali Nusa
214 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Tenggara (64%). Sedangkan di wilayah regional Indonesia Timur
seperti Sulawesi dan Papua relatif lebih kecil, yaitu 51% (Wendyartaka,
2016).
Terkait penentuan status air sungai tercemar atau tidak, terdapat
tujuh parameter yang digunakan untuk menghitung indeks kualitas air
yang dianggap mewakili kondisi riil kualitas air sungai. Tujuh
parameter tersebut meliputi: 1) Total Suspended Solid (TSS) adalah
residu dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran
partikel maksimal 2,0 µm, yang konsentrasinya dapat digunakan untuk
indikator tingkat sedimentasi. 2) Dissolved Oxygen (DO) untuk
mengukur banyaknya oksigen yang terkandung dalam air, yang
diindikasikan memiliki tingkat pencemaran tinggi jika air memiliki DO
rendah. 3) Biochemical Oxygen Demand (BOD) menunjukkan jumlah
oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan
senyawa organik pada kondisi aerobik. 4) Chemical Oxygen Demand
(COD) digunakan untuk pengukuran jumlah senyawa organik dalam air
yang setara dengan kebutuhan jumlah oksigen untuk mengoksidasi
senyawa organik secara kimiawi. 5) Total Phosfat (T-P) menunjukkan
keberadaan senyawa organik seperti protein, urea, dan hasil proses
penguraian. 6) Fecal Coli menunjukkan keberadaan mikroorganisme
yang umumnya terdapat pada limbah domestik dalam jumlah banyak
seperti coliform, fecal coli, dan salmonella, dan 7) Total Coli sebagai
indikator adanya pencemaran yang disebabkan oleh tinja manusia
(Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015).
Banyak faktor yang menjadi penyebab pencemaran air, namun
limbah domestik atau rumah tangga seperti kotoran manusia, limbah
cucian piring dan baju, kotoran hewan, dan pupuk dari perkebunan
dan peternakan teridentifikasi sebagai sumber utama pencemaran
(Whitten, Soeriaatmadja, & Afiff, 1999; Wendyartaka, 2016). Limbah
rumah tangga berupa feses dan urin berperan dalam meningkatkan
kadar fecal coli atau bakteri E. coli dalam air yang merupakan sumber
berbagai penyakit. Bahkan dilaporkan bahwa di kota-kota besar
seperti Jakarta dan Yogyakarta, kandungan E. coli di sungai maupun air
sumur penduduk melebihi ambang batas normal (Wendyartaka,
2016). Di sisi lain, pencemaran oleh limbah industri juga tidak dapat
diabaikan. Pencemaran ini diperkirakan memberi kontribusi rata-rata
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 215
25-50%. Penelitian di Surabaya menemukan bahwa limbah domestik
tidak berpengaruh signifikan dalam meningkatkan pencemaran
sungai, namun kondisi air di hulu yang banyak dipengaruhi limbah
industri justru sebagai faktor yang paling berkontribusi terhadap
pencemaran air di sungai Surabaya (Nugroho, Masduqi, & Widjanarko
Otok, 2014).
Kondisi pencemaran di sebagian besar sungai di perkotaan
Indonesia perlu mendapat perhatian, mengingat banyaknya sungai di
daerah perkotaan Indonesia yang dijadikan sebagai sumber air baku
untuk keperluan air minum. Bahkan secara global ditemukan bahwa
minimal 1,8 milyar penduduk minum air dari sumber yang
terkontaminasi feses (WHO, 2016). Hal ini tentunya akan memberikan
dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat yang
mengonsumsinya. Ada banyak penyakit yang disebabkan oleh
pencemaran air, dengan resiko terbesar menjangkit mereka yang
memiliki sistem imun lemah seperti bayi, anak, wanita hamil, dan
lansia. Bahkan WHO (2015) menyebutkan bahwa dari 133 penyakit,
diperhitungkan terdapat 101 yang mempunyai hubungan yang
signifikan dengan lingkungan, diantaranya berkaitan dengan air yang
tidak aman. Adapun beberapa penyakit yang paling sering berjangkit
karena air yang terkontaminasi antara lain sebagai berikut (WHO,
2016).
1. Diare
Diare adalah salah satu penyakit paling umum akibat bakteri dan
parasit yang berada di air tercemar. Diare mengakibatkan feses
encer/cair yang menyebabkan penderitanya mengalami dehidrasi,
bahkan kematian pada anak dan balita. Sejumlah 842 ribu penduduk
diperkirakan meninggal setiap tahunnya karena diare akibat konsumsi
air minum yang tidak aman (WHO, 2016).
2. Kolera
Penyebabnya adalah bakteri Vibrio cholerae yang masuk melalui
air atau makanan yang terkontaminasi oleh feses orang yang
mengidap penyakit ini. Anda juga dapat terjangkit kolera jika Anda
mencuci bahan makanan dengan air yang terkontaminasi. Gejalanya
216 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
diantaranya adalah diare dengan warna putih keruh, muntah, kram
perut, dan sakit kepala.
3. Dysentri
Dysentri disebabkan bakteri jenis dysentery baccilus yang masuk
dalam mulut melalui air atau makanan yang tercemar (Said, 1999).
Tanda dan gejala disentri termasuk demam, muntah, sakit perut, diare
berdarah, dan berlendir parah.
4. Hepatitis A
Penyebabnya adalah virus hepatitis A yang menyerang hati.
Biasanya menyebar melalui konsumsi air atau makanan yang
terkontaminasi feses, atau melalui kontak langsung dengan feses dari
pengidap. Gejalanya antara lain rasa mual, pusing disertai demam,
rasa lemas di seluruh tubuh, dan gejala spesifiknya berupa
pembengkakan liver dan timbul gejala sakit kuning.
5. Typhoid
Penyebabnya adalah jenis bacillus typhus yang masuk melalui
mulut dan menjangkit pada struktur lympha pada bagian bawah usus
halus, kemudian masuk ke aliran darah dan terbawa ke organ-organ
internal sehingga gejala muncul pada seluruh tubuh. Penularan dapat
terjadi karena infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang ada di dalam
tinja penderita melalui air minum, makanan, atau kontak langsung.
6. Polio
Penyebabnya adalah poliovirus yang masuk melalui mulut dan
menginfeksi seluruh struktur tubuh dan menjalar melalui simpul saraf
lokal yang menyerang sistem saraf pusat dan menyebabkan
kelumpuhan. Gejalanya berupa demam, meriang, sakit tenggorokan,
pusing, dan terjadi kejang mulut. Polio menyebar melalui feses dari
pengidap penyakit dan penularan dapat melalui air minum atau
makanan yang terkontaminasi.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 217
Ketersediaan Air Bersih Dalam Mendukung Smart City
Air bersih merupakan salah satu kebutuhan vital di masyarakat.
Air dibutuhkan dalam berbagai kepentingan mulai dari irigasi,
pertanian, kehutanan, industri, pariwisata, air minum, dan masih
banyak lagi kegiatan yang dapat memanfaatkan air. Permasalahan
yang terjadi adalah kualitas air permukaan yang semakin menurun
akibat limbah, baik limbah domestik maupun industri. Hal ini
berdampak pada terbatasnya ketersediaan air bersih, yang bahkan
dapat dikatakan saat ini dunia berada pada kondisi krisis air bersih.
Dengan demikian, tersedianya air bersih di setiap wilayah menjadi
suatu hal yang sangat penting sehingga kebutuhan masyarakat
terhadap air bersih dapat terpenuhi.
Jika dilihat dari segi infrastruktur suatu wilayah itu sendiri,
ketersediaan air bersih juga merupakan salah satu komponen yang
layak menjadi fokus perhatian. Terutama di daerah perkotaan dengan
jumlah penduduk yang padat. Ketercapaian suatu kota terhadap 100%
akses air bersih dapat mengindikasikan keberhasilan kota tersebut
dalam menangani permasalahan lingkungan. Sementara itu,
menangani permasalahan lingkungan merupakan salah satu dimensi
penting untuk mewujudkan smart city. Smart city dalam kajian
Assessing Smart city Initiatives for The Mediteranean Region
(ASCIMER) diartikan sebagai sebuah konsep daerah yang
menghubungkan kepentingan manusia, kehidupan sosial dan
infrastruktur terintegrasi menjadi kesatuan. Tujuannya adalah untuk
mengatasi permasalahan-permasalahan publik agar mencapai
pembangunan berkelanjutan dan dapat meningkatkan kualitas hidup
warganya (Okezone Finance, 2016).
218 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Menteri Kesehatan Nomor 416/MEN.KES/PER/IX/1990 disebutkan
bahwa air bersih harus memenuhi persyaratan yang dikelompokkan
secara fisika, kimia, mikrobiologis, dan radiologis seperti berikut ini.
K adar
No P arameter Satuan K eterangan
Maksimum
1. Persyaratan Fisika
a. Bau - - Tidak Berbau
b. Jumlah zat padat Mg/L 1000 -
terlarut (TDS)
c. Kekeruhan Skala NTU 5 -
d. Rasa - - Tidak Berasa
0
e. Suhu 0 C Suhu udara -
0
±3 C
f. Warna Skala TCU 15 -
2. Persyaratan Kimia
a. Kimia Anorganik
Air raksa mg/L 0,001
Arsan mg/L 0,05
Besi mg/L 1,0
Flourida mg/L 1,5
Kadmium mg/L 0,005
Kesadanan (CaC03) mg/L 500
Klorida mg/L 600
Kronium, valensi 6 mg/L 0,05
Mangan mg/L 0,5
Nitrat, sebagai N mg/L 10
Nitrit, sebagai N mg/L 1,0
pH mg/L 0,05
Salenium mg/L 0,01
Seng mg/L 15
Sianida mg/L 0,1
Sulfat mg/L 400
Timbal mg/L 0,05
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 219
K adar
No P arameter Satuan K eterangan
Maksimum
b. Kimia Organik
Aldrin dan dieldrin mg/L 0,0007
Benzene mg/L 0,01
Benzo (a) pyrene mg/L 0,00001
Chloroform (total isomer) mg/L 0,007
Chloroform mg/L 0,03
2,4-D mg/L 0,10
DDT mg/L 0,03
Detergen mg/L 0,5
1,2-Dichloroethene mg/L 0,01
1,1- Dichloroethene mg/L 0,0003
Heptachlor dan heptaclor mg/L 0,003
epoxide
Hexachlorobenzena mg/L 0,00001
Gamma-HCH (Lindane) mg/L 0,004
Methoxychlor mg/L 0,10
Pentachloropenol mg/L 0,01
Pestisida total mg/L 0,10
2,4,6-trichorophenol mg/L 0,01
Zat organik (Kmn04) mg/L 10
3. Persyaratan Mikrobiologis
a. Total Koliform (MPN) Jumlah per 0 Bukan air
100 ml pipaan
b. Koliform tinja belum Jumlah per 0 Bukan air
diperiksa 100 ml pipaan
4. Persyaratan Radiologis
a. Aktivitas Alpha (Gross Bg/L 0,1
Alpha activity)
b. Aktivitas Beta (Gross Bg/L 1,0
Beta activity)
Sumber: Kemenkes RI. (1990)
220 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
dikonsumsi. Apabila air dengan kandungan bahan kimia yang berlebih
tetap dikonsumsi akan menimbulkan gejala keracunan yang akan
nampak setelah bertahun-tahun mengonsumsinya.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 221
bersih di Indonesia terbatas, sedangkan cadangan air tanah (green
water) di Indonesia hanya tersisa di dua tempat yakni Papua dan
Kalimantan. Selain itu, Indonesia juga dikategorikan memiliki
pelayanan ketersediaan air bersih dan layak konsumsi yang buruk di
Asia-Tenggara, bahkan diprediksikan akan ada 321 juta penduduk
yang kesulitan mendapatkan air bersih karena adanya peningkatan
permintaan air bersih sebesar 1,33 kali yang berbanding terbalik
dengan jumlah penduduk yang kekurangan air (Rochmi, 2016).
Environmental performance index juga menunjukkan bahwa di tahun
2016, Indonesia menduduki peringkat ke-128 terkait sumber air dan
peringkat ke 104 terkait air bersih dan sanitasi se Asia Tenggara
(Engineer Weekly, 2016). Secara lebih spesifik, capaian rumah tangga
dengan sumber air bersih yang layak berdasarkan provinsi disajikan
pada Tabel 2 berikut ini.
222 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Provinsi 2012 2013 2014 2015
Bali 52,54 50,60 48,66 91,09
Nusa Tenggara Barat 44,01 45,68 47,86 70,66
Nusa Tenggara Timur 50,44 48,33 47,26 62,39
Kalimantan Barat 50,37 52,87 49,46 72,91
Kalimantan Tengah 33,81 33,22 30,76 64,58
Kalimantan Selatan 46,39 46,38 44,49 68,63
Kalimantan Timur 31,81 32,02 29,08 89,52
Kalimantan Utara - - - 89,17
Sulawesi Utara 39,95 31,93 30,73 75,05
Sulawesi Tengah 42,47 40,03 38,15 62,61
Sulawesi Selatan 44,40 43,62 41,70 73,12
Sulawesi Tenggara 50,44 52,13 49,34 78,17
Gorontalo 37,58 36,70 35,48 67,49
Sulawesi Barat 33,60 31,85 29,97 54,68
Maluku 48,67 44,76 45,56 64,55
Maluku Utara 47,11 42,63 40,89 59,89
Papua Barat 38,13 39,08 36,93 72,95
Papua 25,40 29,52 29,49 52,72
Indonesia 41,39 41,09 39,31 72,55
Sumber: Badan Pusat Statistik (2016)
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 223
akses air bersih di Indonesia ini masih tergolong rendah. Menurut the
Economist World Figures in Pocket 2016, negara yang sudah sukses
dengan akses air bersih yaitu Singapura (100%), Korea (100%),
Malaysia (99,6%), Brazil (97,5%), Thailand (95,8%), Vietnam (95%),
India (92,6%), China (91,9%), dan Philipina (91,8%) (Engineer Weekly,
2016). Untuk itu, masih dibutuhkan upaya keras dari semua pihak
terutama dinas-dinas terkait untuk meningkatkan persentase akses
terhadap air bersih dari 73% menuju 100% yang dapat menjangkau
penduduk di tahun 2019 sesuai dengan RPJMN 2015-2016.
224 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
(Kemenkes RI, 2015). Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering
terjadi, dengan case fatality rate (CFR) yang masih tinggi. Pada tahun
2015 terjadi 18 kali KLB Diare yang tersebar di 11 provinsi, 18
kabupaten/kota, dengan jumlah penderita 1.213 orang dan kematian
30 orang (CFR 2,47%) (Kemenkes RI, 2015). CFR pada KLB tahun 2015
tersebut juga cenderung meningkat dibandingkan CFR tahun 2010
yaitu 1,74 % (Depkes RI, 2011).
Menurut World Health Organization (WHO), diare didefinisikan
sebagai suatu penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan
konsistensi tinja yang lembek sampai mencair dan bertambahnya
frekuensi buang air besar yang lebih dari biasa, yaitu tiga kali atau
lebih dalam sehari. Diare biasanya merupakan bagian dari gejala
infeksi saluran intestinal, yang dapat disebabkan oleh berbagai jenis
bakteri, virus, atau organisme parasit. Infeksi ini disebarkan melalui
kontaminasi makanan ataupun minuman, atau dari orang ke orang
(WHO, 2017). Riset kesehatan dasar yang dilakukan oleh Dinas
Kesehatan RI menunjukkan bahwa angka diare pada anak-anak dari
rumah tangga yang menggunakan sumur terbuka untuk air minum
tercatat 34% lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak dari rumah
tangga yang menggunakan air ledeng. Selain itu, angka diare lebih
tinggi sebesar 66% pada anak-anak dari keluarga yang melakukan
buang air besar di sungai atau selokan dibandingkan mereka pada
rumah tangga dengan fasilitas toilet pribadi dan septik tank (Depkes
RI, 2011).
Manajemen sanitasi dan air yang tidak adekuat di perkotaan serta
adanya limbah industri dan pertanian menjadikan air minum dari
jutaan penduduk terkontaminasi. WHO (2015) memperkirakan bahwa
dari semua kasus diare dapat disebabkan karena air minum yang tidak
adekuat (34%), sanitasi (19%), dan hygiene (20%) (Permatasari &
Sinuraya, 2016). Oleh karena itu disebutkan bahwa area intervensi
yang secara signifikan dapat mencegah kejadian diare adalah melalui
ketersediaan air yang layak, serta sanitasi dan higiene yang memadai
(WHO, 2016; Pruss-Ustun, dkk., 2016). WHO juga menambahkan
bahwa kematian dari 361.000 anak di bawah usia lima tahun setiap
tahunnya dapat dihindari jika keberadaan faktor risikonya dapat
(WHO, 2016). Sehingga melalui suplai air bersih yang sehat,
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 225
penurunan angka penderita penyakit khususnya penyakit yang
berhubungan dengan air termasuk diare, diharapkan dapat tercapai.
Banyak penelitian yang sudah membuktikan korelasi antara
lingkungan terutama terkait ketersediaan air bersih terhadap kejadian
diare. Penelitian Chandra, Hadi, dan Yulianty (2013) menemukan
bahwa penggunaan sarana air bersih yang tidak memenuhi syarat
sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada anak
balita sebesar 2,47 kali dibandingkan dengan keluarga yang
menggunakan sarana air bersih yang memenuhi syarat sanitasi. Hasil
yang sama juga ditemukan pada penelitian Siregar, Chahaya, & Naria
(2016) bahwa ada hubungan yang signifikan antara sarana air bersih
yang tidak memenuhi syarat, jamban keluarga yang tidak memenuhi
syarat, pembuangan air limbah yang tidak memenuhi syarat, dan
pembuangan sampah yang tidak memenuhi syarat dengan kejadian
diare pada anak. Terkait efektifitas air bersih terhadap penurunan
kejadian diare, penelitian Freeman et al. (2014) dan Wolf et al. (2014)
menemukan bahwa intervensi berupa peningkatan kualitas air minum
mampu menurunkan risiko kejadian diare secara efektif sebesar 45%.
Penelitian-penelitian tersebut cukup memberikan dasar kuat bahwa
ketersediaan air bersih merupakan infrastruktur yang layak menjadi
perhatian utama, tidak hanya memberikan kenyamanan lingkungan
dalam bentuk smart environment, namun juga mampu memberikan
kontribusi terhadap kualitas hidup masyarakat yang lebih baik melalui
kesehatan (smart living).
226 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
ditargetkan terutama akses pada orang miskin, seperti diketahui
bahwa sebagian besar yang tidak memiliki akses terhadap air yang
aman adalah penduduk miskin (Engineer Weekly, 2016).
Pasokan air selalu menjadi kendala utama penyediaan air bersih di
Indonesia. Sebagian besar PDAM mengandalkan air baku dari air
sungai untuk memasok air ke rumah tangga dan industri. Padahal
kualitas air sungai telah mengalami penurunan dari tahun ke tahun
akibat kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Terlebih lagi kondisi
perkotaan dengan kepadatan penduduk yang berlebihan, kurangnya
ruang, dan dekatnya jarak sumber air menjadikannya tidak cukup
hanya dengan penerapan teknologi sederhana. Di sisi lain,
penggunaan air tanah harus dihindari untuk tetap menjaga
keseimbangan air darat dengan air laut. Untuk itu dibutuhkan inovasi
teknologi modern dengan menggunakan air permukaan (air sungai, air
limbah, atau air laut) yang dapat memberikan solusi produksi air
bersih dalam jangka panjang yang dapat diterapkan di perkotaan.
Berikut beberapa teknologi modern yang diharapkan dapat menjadi
solusi kelangkaan air bersih saat ini.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 227
perusahaan untuk memenuhi kebutuhan internal perusahaan (PAM
Jaya, 2015).
228 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Teknologi RO ini merupakan teknologi yang lebih baru
dibandingkan desalinasi air laut. Desalinasi yang menggunakan sistem
RO lebih kompleks jika dibandingkan sistem RO untuk memurnikan air
tawar. Dalam proses desalinasi, setelah tahap pre-treatment maka air
laut disalurkan ke membran RO yang bertekanan 55 dan 85 bar. Air
yang ke luar berupa air tawar dan air berkadar garam tinggi (brine
water), untuk selanjutnya air tawar dialirkan ke tahapan post
treatment untuk diolah sesuai standar yang diinginkan. Desalinasi
dengan teknologi RO ini dianggap yang paling rendah konsumsi daya
listriknya diantara sistem desalinasi lainnya (TSM, 2012). Amerika,
Jepang, Israel, Singapura, dan Sanyol merupakan negara-negara yang
telah memanfaatkan teknologi ini untuk memproduksi air bersih
(Engineer Weekly, 2016).
Selain dengan kecanggihan teknologi, upaya preventif juga harus
terus digalakkan agar permasalahan air ini tidak berkelanjutan.
Mengingat banyaknya sungai di area perkotaan Indonesia yang
dijadikan sumber air minum, maka kualitas air sungai perlu dikelola
dengan baik. Upaya ini dapat ditempuh dengan cara peningkatan
sosialisasi agar masyarakat dan industri tidak membuang limbah cair
maupun sampah ke air permukaan sehingga tidak memperburuk
kondisi pencemaran air. Peningkatan sosialisasi ini dimaksudkan agar
dapat meningkatkan kepedulian masyarakat dalam memperbaiki
sektor air dan lingkungan khususnya di perkotaan besar di Indonesia,
terlebih jika dapat menyasar komunitas ahli. Sebuah penelitian
menemukan bahwa kepedulian komunitas ahli seperti ahli ekonomi,
ahli lingkungan, engineer sungai, dan ahli perencanaan wilayah kota
terhadap kualitas air sungai lebih tinggi dibandingkan aspek lainnya
(Komariah & Matsumoto, 2016; Mahyudin, Soemarno, & Prayogo,
2015). Penggunaan air secara efisien juga menjadi faktor penting lain
untuk mengatasi permasalahan air ini (Parikesit, 2017). Selain itu hal
penting lain yang tidak dapat diabaikan dalam peningkatan kualitas air
adalah adanya kebijakan pengendalian pencemaran dari penegak
hukum yang disertai pembinaan dan pengawasan terhadap air sungai
(Mahyudin, Soemarno, & Prayogo, 2015; Rosiana, Handayani, &
Qomariah, 2016).
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 229
PENUTUP
230 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
DAFTAR PUSTAKA
Antariksa, S. (2017). ‘Smart city, menuju Kota kita yang dinamis dan
smart’- Kota yang menjadi Impian Masyarakat. Diakses tanggal 3
Mei 2017, dari https://www.academia.edu/26144112/
_Smart_City_Menuju_Kota_Kita_Yang_Dnamis_dan_Smart_Kota_
Yang_Menjadi_Impian_Masyarakat.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 231
Kemenkes RI. (1990). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
416/MEN.KES/PER/IX/1990 Tentang Syarat-Syarat dan
Pengawasan Kualitas Air. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
232 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
http://economy.okezone.com/read/2016/03/22/470/1342503/m
engenal-konsep-wilayah-smart-city.
PAM Jaya. (2015). BUMN usulkan solusi penanganan krisis air bersih.
Diakses tanggal 27 September 2017, dari
http://www.pamjaya.co.id/detail//328/this-bumn-proposed-
clean-water-crisis-solution.
Parikesit, Husodo T., Okubo S., Herwanto T., Badri, I., Gunawan, R.,
Megantara, E.N., Muhammad, D., Takeuchi, K. (2017). Urban-rural
interrrelations in water resource management: Problems and
factors affecting the sustainability of the drinking water supply in
the city of Bandung, Indonesia. Sustainable Landscape Planning in
Selected Urban Regions. DOI 10.1007/978-4-431-56445-4_15.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 233
Rosiana M., R., Handayani, FS., & Qomariah, S. (2016). Strategi
Pengendalian Pencemaran Air Sungai Pepe. E-Jurnal Matriks
Teknik Sipil: 562-569.
Rochmi, MN. (2016). Akses air bersih masih jauh dari target. Diakses
dari https://beritagar.id/artikel/editorial/hapuskan-perda-
penyebab-ekonomi-biaya-tinggi.
234 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
WHO. (2015). The Global Health Observatory. Diakses tanggal 28 April
2017, dari http://www.who.int/gho/en/.
Whitten, T., Soeriaatmadja, RE., & Afiff, SA. (1999). Ekologi Jawa dan
Bali. Alih bahasa oleh Kartikasari, S.N, Utami, T.B, & Widyantoro,
A. Jakarta: Prenhallindo.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 235
236 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
PEMANFAATAN TANAMAN OBAT UNTUK
PENCEGAH AN DAN PENGO BATAN PENYAKIT
DEGENERATIF
Mutimanda Dwisatyadini
PENDAHULUAN
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 237
berobat di rawat jalan menderita hipertensi sebesar 2,44% dan tahun
2010 sebesar 2,36%, sedangkan masyarakat yang menderita penyakit
diabetes mellitus dan dirawat inap tahun 2009 sebesar 3,93% dan
tahun 2010 sebesar 3,81% (Kemenkes, 2013).
Untuk mengatasi masalah penyakit degeneratif, pemerintah
Indonesia menetapkan kebijakan dalam upaya peningkatan pelayanan
kesehatan. Sistem Kesehatan Nasional adalah suatu tatanan yang
mencerminkan upaya bangsa Indonesia untuk meningkatkan
kemampuan mencapai derajat kesehatan yang optimal sebagai
perwujudan kesejahteraan umum. Primary Health Care (PHC)
merupakan suatu strategi yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia
untuk mencapai kesehatan semua masyarakat. Salah satu unsur
penting dalam Primary Health Care (PHC) adalah penerapan teknologi
tepat guna dan peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat
dalam menunjang pembangunan kesehatan berdasarkan Primary
Health Care (PHC) adalah berbentuk upaya pengobatan tradisional
(Badan Pusat Statistik, 2008). Selain itu, peningkatan penyelenggaraan
pembangunan Sistem Kesehatan Nasional yang merupakan
penjabaran pola pembangunan nasional dan sebagai petunjuk
pelaksanaan pembangunan dibidang kesehatan, telah ditetapkan
dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No.131/Menkes/SK/II/2004.
Pemerintah juga menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan RI
No. 381/Menkes/SK/III/2007 dalam salah satu subsistem dari Sistem
Kesehatan Nasional. Dalam keputusan Menkes tersebut, disebutkan
bahwa pengembangan dan peningkatan penelitian uji klinis
pemanfaatan obat tradisional ditujukan agar diperoleh obat
tradisional yang bermutu tinggi, aman, memiliki khasiat nyata yang
teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas, baik digunakan
sendiri maupun dalam pelayanan kesehatan formal. Selain itu
pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9
Tahun 2016 tentang upaya pengembangan kesehatan melalui asuhan
mandiri pemanfaatan tanaman obat keluarga dan ketrampilan
budidaya dan pengolahannya. Asuhan mandiri kesehatan tradisional
adalah upaya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta
mencegah dan mengatasi gangguan kesehatan ringan oleh individu,
238 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
keluarga, kelompok, dan masyarakat dengan memanfaatkan tanaman
obat keluarga dan keterampilan dalam memanfaatkannya.
Mengubah kesadaran, pola pikir dan gaya hidup masyarakat
memerlukan adanya sosialisasi. Pemerintah melalui kementerian
kesehatan secara terus-menerus mensosialisasikan tanaman obat
keluarga (TOGA) dan memotivasi masyarakat agar menanam tanaman
obat-obatan. Bekerja sama dengan Dinas Kesehatan dan Pembina
Kesejahteraan Keluarga (PKK) di masing-masing kabupaten di
Indonesia, sosialisasi TOGA terus dilakukan baik melalui pelatihan-
pelatihan hingga pengadaan lomba Desa atau Kota Pelaksana Terbaik
Kegiatan Pemanfaatan Hasil TOGA hingga tingkat nasional. Salah satu
kota yang berhasil menjuarai lomba Desa atau Kota Pelaksanaan
Terbaik Kegiatan Pemanfaatan Hasil TOGA tingkat nasional yang
diadakan oleh PKK Pusat adalah Kota Karang Anyar (Aini, 2017). Tiga
tahap keberhasilan sosialisasi pemanfaatan tanaman obat keluarga
yang dilakukan oleh Tim Pergerak PKK, yakni persiapan, pelaksanaan
serta evaluasi dan monitoring (Susanto, 2017).
Keberhasilan sosialisasi dapat meningkatkan minat masyarakat
dalam memanfaatkan pengobatan tradisional. Hal itu dikarenakan
masyarakat merasa pengobatan tradisional tersebut berasal dari
bahan alami yang lebih murah dan bahan bakunya lebih mudah
didapatkan Nursiyah (2013). Selain itu, kearifan lokal masyarakat pada
komunitas tertentu memungkinkan pemanfaatan obat-obat
tradisional (Situmorang & Harianja, 2014). Menurut Katno (2009)
beralihnya masyarakat kepada obat tradisional karena hargalebih
murah, bahan lebih mudah didapatkan bila ditanam sendiri, dan
umumnya satu tanaman memiliki efek farmakologi lebih dari satu
sehingga bermanfaat untuk pengobatan penyakit degeneratif dan
metabolik.
Penelitian Effendi (2013) juga menunjukkan bahwa ada manfaat
pengobatan tradisional yang dilakukan masyarakat untuk berobat dan
terapi kesehatannya. Adapun faktor yang melatarbelakangi
masyarakat menggunakan pelayanan pengobatan tradisional yang
disediakan di puskesmas, dikarenakan obatnya berasal dari herbal dan
teknik pengobatannya alami, sehingga efek sampingnya kecil dan
biaya pengobatan lebih murah daripada pengobatan modern. Efek
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 239
dari pengobatan tradisonal yang dirasakan oleh masyarakat yaitu
penyakit yang diderita sembuh dan cocok dengan obat yang diberikan
oleh pengobatan tradisional yang disediakan oleh puskesmas. Semua
jenis tanaman obat memang mengandung senyawa kimia alami, yang
memiliki efek farmakologis dan aktivitas penting sampai berpotensi
sebagai agen anti penyakit degeneratif (Rahmawati et al., 2012).
Pengobatan tradisional yang berasal dari tanaman merupakan
manifestasi dari partisipasi aktif masyarakat dalam menyelesaikan
problematika kesehatan dan telah diakui peranannya oleh berbagai
bangsa dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. World
Health Organization (WHO) merekomendasi penggunaan obat
tradisional termasuk obat herbal dalam pemeliharaan kesehatan
masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk
kronis, penyakit degeneratif dan kanker (Agustina, 2016). Selain
tanaman obat digunakan untuk pengobatan penyakit degeneratif di
kota Samarinda mulai adanya upaya membangun ketahanan dan
kemandirian pangan terutama obat pada skala rumah tangga
dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia
diantaranya melalui pemanfaatan perkarangan (Sumarmiyati &
Rahayu, 2015). Masyarakat Indonesia secara turun temurun telah
memanfaatkan keunggulan tanaman obat untuk mengobati penyakit
degeneratif. Saat ini masyarakat perkotaan telah menyadari
pemanfaatan tanaman obat untuk mengobati penyakit degeneratif
yang diderita baik oleh dirinya sendiri dan keluarga. Terdapat
beberapa jenis tanaman obat yang dapat bermanfaat untuk
pencegahan dan pengobatan penyakit degeneratif, seperti kayu manis
yang mengandung senyawa antioksidan yang dapat mencegah
penyakit degeneratif seperti kanker, jantung koroner, hipertensi dan
diabetes (Biofarmaka IPB, 2015).
Pemanfaatan tanaman obat sendiri di perkotaan telah terlaksana
melalui penerapan program pemerintah (Smart Government), yang
mensosialisasikan pemanfaatan lahan pekarangan sebagai media
untuk budidaya tanaman obat, sehingga masyarakat diperkotaan
dapat lebih merasakan manfaat dari tanaman obat (Smart Living).
Terlihat pada keberhasilan sosialisasi pemerintah yang dilakukan oleh
Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo dengan pergerak PKK Rt 011, Rw
240 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
003, Kalisari, Pasar Rebo, Jakarta Timur, yang mana telah berhasil
mensosialisasikan pemanfaatan tanaman obat keluarga (TOGA),
sehingga masyarakat yang tinggal pada Rt 011, Rw 003, Kalisari, Pasar
Rebo dapat memanfaatkan keunggulan tanaman obat untuk
mengobati penyakit degeneratif dalam keluarganya yang tertulis pada
buku ini. Pembahasan mengenai Smart Government dan Smart Living
dapat dilihat lebih lanjut pada tulisan dalam buku ini.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 241
bebas) dan stress oksidatif yang dapat merusak tubuh. Menurut teori
radikal bebas diawali perubahan degenersi seluler akibat radikalbebas
yang berlebih masuk ke dalam tubuh (Sutrisna, 2013). Penelitian
Handajani et al. (2010) menyatakan penyebab penyakit degeneratif
adalah aktivitas fisik yang kurang, obesitas, tingkat stress yang tinggi,
dan faktor usia yang dapat menyebabkan kelainan miokardium dan
aterosklerosis yang mengakibatkan insufiensi aliran darah koroner dan
peningkatan tekanan darah (hipertensi), kondisi tersebut merupakan
proses degeneratif. Penyebab penyakit degeneratif lainnya yaitu
diabetes mellitus yang juga dapat menyebabkan kematian.
242 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan
penyakit (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) yang mana telah
ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1109/Menkes/Per/IX/2007.
Dalam mendukung pemanfaatan tanaman obat untuk
meningkatkan kesehatan pada masyarakat Indonesia, pemerintah juga
menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2016
mengenai upaya pengembangan kesehatan melalui asuhan mandiri
pemanfaatan tanaman obat keluarga dan ketrampilan budidaya serta
pengolahannya. Asuhan mandiri kesehatan tradisional adalah upaya
untuk mencegah, memelihara, meningkatkan kesehatan, dan
mengatasi gangguan kesehatan ringan yang dialami individu, keluarga,
maupun kelompok, serta masyarakat dengan memanfaatkan tanaman
obat keluarga dan keterampilan dalam mengelolannya. Pemanfaatan
tanaman obat dalam keluarga di masyarakat Indonesia diharapkan
dapat membantu pemerintah dalam meningkatkan kesehatan.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 243
menekankan pada keterkaitan antara budaya masyarakat dengan
sumberdaya tumbuhan, baik secara langsung maupun tidak langsung
(Setiawan & Qiptiyah, 2013). Pemahaman tentang Etnobotani
berguna agar masyakarat dapat mempertahankan kearifan lokal yang
dimilikinya dalam pemanfaatan tumbuhan atau tanaman
diperkarangan rumah.
Pengetahuan masyarakat lokal dalam memanfaatkan sumber daya
tumbuhan akan sangat membantu menjaga kelestarian
keanekaragaman hayati dan usaha domestikasi tanaman obat (Kandari
et al., 2012). Pengetahuan masyarakat dalam memanfaatkan sumber
daya tumbuhan dapat dilihat melalui apotik hidup. Apotik hidup
merupakan istilah penggunaan lahan yang ditanami tumbuhan yang
berkhasiat untuk obat secara tradisional (Syarif et al., 2011).
Pekarangan merupakan lahan terbuka yang terdapat disekitar
lingkungan rumah tinggal. Pekarangan rumah merupakan tempat yang
sangat tepat untuk melaksanakan apotik hidup untuk tanaman
berkhasiat obat (Nurmayulis & Hermita, 2015).
Tumbuhan atau tanaman obat tradisional merupakan tanaman
yang dapat dipergunakan sebagai obat, baik yang disengaja ditanam
(budidaya) maupun tanaman yang tumbuh secara liar (Nursiyah,
2013). Tanaman dimanfaatkan oleh masyarakat untuk diramu dan
disajikan sebagai obat guna penyembuhan penyakit. Obat tradisional
adalah ramuan obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang
berkhasiat obat (Hajawinata et al., 2015). Penggunaan tanaman obat
atau jamu sebagai obat tradisional diharapkan dapat digunakan
sebagai pengobatan komplementer alternatif yang bisa disandingkan
dengan pengobatan konvesional (modern) yang sudah berkembang
dan telah lama dipakai pada fasilitas pelayanan kesehatan (Ahmad,
2012). Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah melalui puskesmas
pada masyarakat perkotaan diharapkan dapat mepertahankan
kearifan lokal interaksi masyarakat dengan lingkungan alamnya
(Etnobotani), seperti membuat apotik hidup, sehingga meningkatkan
kualitas hidup masyarakat di perkotaan dan kualitas lingkungannya
(Suryadarma, 2008).
244 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Pemanfaatan Tanaman Obat oleh Masyarakat Indonesia
Pengetahuan masyarakat tentang pemanfaatan tanaman sebagai
obat sebagian besar hanya sebatas pengetahuan turun temurun
sebagai bentuk interaksi antara masyarakat dengan lingkungannya
khususnya tumbuhan (etnobotani) (Atmojo, 2015). Saat ini tanaman
obat atau tanaman herbal telah banyak digunakan dalam bidang
medis atau kesehatan. Masyarakat sekarang ini lebih memilih untuk
menggunakan produk yang berasal dari alam dengan alasan
keamanan. Tanaman obat atau yang dikenal dengan tanaman herbal
secara umum dapat diartikan semua jenis tanaman yang mengandung
senyawa kimia alami yang memiliki efek farmakologis dan bioaktivitas
penting terhadap penyakit infeksi sampai penyakit degeneratif
(Suryanto & Setiawan, 2013).
Bangsa Indonesia mengenal jamu dan Tanaman Obat Keluarga
(TOGA) (Suryanto & Setiawan, 2013). Setiap daerah memiliki sistem
pemanfaatan tumbuhan yang khas dan berbeda dengan daerah
lainnya. Sistem pemanfaatan ini berkaitan dengan keanekaragaman
tumbuhan di masing-masing daerah. Pemanfaatan tanaman obat di
kota Bogor sudah dimasukan dalam program pembinaan
kesejahteraan keluarga, sedangkan di kota Karang Anyar, Gianyar, dan
Sumenep dimasukan dalam program ekonomi dan program tanaman
obat yang berasal dari tanaman hias (Sari et al., 2015). Pendekatan
penduduk lokal terhadap manajemen pemanfaatan ekosistem alam
merupakan model jangka panjang dalam menopang kebutuhan hidup
manusia. Selain itu, manajemen sumber daya alam tradisional mampu
mempertegas hubungan antara sistem konservasi dengan
pemanfaatan keanekaragaman hayati (Kandowangko et al., 2011).
Masyarakat mengenal jamu sebagai bentuk pemanfaatan
tanaman obat. Jamu meliputi segala bahan alam yang diolah atau
diracik, menurut cara tradisional manfaat dari jamu sendiri adalah
untuk memperkuat badan manusia, mencegah penyakit atau
menyembuhkan manusia yang menderita penyakit. Biasanya jamu
digunakan dalam pengobatan komplementer alternatif yaitu
pengobatan non konvensional yang bertujuan untuk upaya preventif,
promotif, dan kuratif dalam meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat perkotaan dan pedesaan (Ahmad,2012). Ada beberapa
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 245
cara pengunaan tanaman obat. Tanaman obat yang diolah dengan
direbus (jamu godok) telah banyak digunakan untuk pengobatan,
karena manfaatnya sudah dirasakan dan efek samping yang ringan,
serta mudah didapatkan. Cara pemanfaatan lainnya secara turun
temurun yang dilakukan oleh masyarakat dengan dimakan langsung
(dilalap), direbus, dibuat teh, di jus (Hadi et al., 2015). Hal ini karena
masyarakat meyakini bahwa tanaman obat yang mengandung
senyawa kimia alami, memiliki efek farmakologis dan bioaktivitas yang
penting terhadap penyakit infeksi sampai penyakit degeneratif. Saat
ini informasi mengenai klinik dan fasilitas pelayanan kesehatan
menyediakan tanaman obat sudah banyak terutama di puskesmas
(Ahmad, 2012).
246 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
tepatnya di kota Sumenep untuk obat anti jamur, anti bakteri, dan anti
oksidan, yang dapat menyembuhkan penyakit asam urat, jantung,
nyeri otot dan persendian, serta stroke (Ningtias et al., 2014).
Tumbuhan lain adalah binahong. penelitian Fitriyah et al., (2013)
menyatakan tanaman binahong (Anredera cordifolia) adalah tanaman
obat potensial yang dapat mengatasi berbagai jenis penyakit. Bagian
tanaman binahong yang bermanfaat sebagai obat pada umumnya
adalah daun.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 247
mengandung unsur hara makro dan mikro, seperti pupuk organik cair
(super bionik) (Silvina & Syafrinal, 2008). Cara bercocok tanam secara
hidroponik menguntungkan dari kualitas dan kuantitas hasil
pertaniannya, serta memaksimalkan lahan pertanian (Roidah, 2014)
Masyarakat di kota Salatiga melakukan budidaya tanaman secara
akuaponik, tahelarung, dan fermenter pupuk cair organik cocok untuk
sarana budidaya tanaman obat pada masyarakat perkotaan yang
memiliki keterbatasan lahan dan waktu perawatan (Martono et al.,
2017). Akuaponik merupakan sistem resirkulasi air yang telah
digunakan dalam budidaya ikan untuk di alirkan kembali ke tanaman
herbal. Dalam akuaponik air menjadi media budidaya ikan digunakan
sebagai sumber nutrisi pada pemeliharaan tanaman, sedangkan
tanaman berfungsi sebagai biofilter untuk air (Setijaningsih et al.,
2015). Selain hidroponik dan akuaponik, masyarakat yang tinggal di
perkotaan yang memiliki sedikit perkarangan dapat melakukan
budidaya tanaman obat keluarga dengan teknik apotik hidup. Apotik
hidup adalah pemanfaatan lahan yang ditanami tumbuhan berkhasiat
obat (Syarif et al., 2011). Cara yang tepat untuk masyarakat perkotaan
dalam memanfaatkan pekarangan rumah untuk budidaya tanaman
obat adalah secara hidroponik, akuaponik dan apotik hidup.
248 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Sumber : Data Primer (2017)
250 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
91 responden dari 114 responden, Hiperurisemia 87 responden dari
114 responden, Obesitas 85 responden dari 114 responden. Dari hasil
penelitian diatas terlihat kesamaan penyakit degeneratif yang banyak
diderita oleh masyakarat baik yang di rawat jalan RSUP dr Hasan
Sadikin Bandung, ataupun masyarakat di 12 propinsi di Indonesia,
serta penyakit degeneratif yang terdapat pada masyarakat di RT 011,
RW 003, Kalisari, Pasar Rebo, Jakarta Timur terdiri dari penyakit
Hipertensi, Diabetes Melitus, Artritis rematoid (asam urat), dan
kanker.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 251
Circulatory System (DCS) dibandingkan tingkat ekonomi kaya.
Sedangkan populasi dengan kelompok umur 45-54 tahun lebih
berisiko terjadi kematian penyakit degeneratif Disease of Circulatory
System (DCS) dibandingkan umur ≥ 33 tahun. Dari hasil analisis
disimpulkan bahwa rerata pada usia 31-50 tahun berisiko terkena
penyakit degeneratif.
252 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Sumber : Data Primer (2017)
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 253
60
50
40 baik
30
sedang
20
kurang baik
10
0
frekuensi presentase
254 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
60
Penyuluh
50 Puskesmas/Tim
40 Kesehatan
Media Infromasi
30
20
10 Nenek Moyang
0
Frekuensi Presentase
Mentimun
10 Bawang Putih
Daun Insulin
8 Daun Sirsak
Semua Jenis Kunyit
6 Temu mangga
akar alang-alang
4 mahkota dewa
Jahe
2 Daun sirih
Belimbing Wuluh
0 Kumis Kucing
Frekuensi Presentase Kayu Manis
256 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
kucing, 3,3% (1 dari 30 responden) memanfaatkan kayu manis.
Menurut penelitian Hikmat et al. (2011) sebanyak 15 spesies
tumbuhan obat yang potensial dikembangkan untuk mengobati
penyakit yang diderita masyarakat Kampung Gungung Leutik dan
Pabuaran Sawah Bogor, meliputi : sambiloto, meniran, takokak,
pegagan, temulawak, jahe, jeruk nipis, binahong, mahkota dewa,
rosella, pule pandak, sangitan, sirih, brotowali, dan kenikir. Penelitian
Widyawati & Rizal, (2015) menyebutkan jenis tanaman obat
tradisional yang terdapat dipekarangan masyarakat perkotaan dan
dapat direkomendasikan menjadi tanaman obat keluarga karena
memiliki khasiat antara lain Kunyit, Temu lawak, Kencur, Jahe,
Lengkuas, Daun Salam, Mengkudu, Kumis kucing, Mahkota dewa,
Soka, Melati, Pepaya, Cocor bebek, Jambu biji, Belimbing buah, Sirih,
Pare, Jeruk nipis, Katuk, Kunir putih, Lidah buaya, Alang-alang,
Belimbing wuluh, Temu giring, Ubi jalar, dan Beluntas. Dari data dapat
terlihat rerata tanaman yang digunakan untuk pengobatan penyakit
degeneratif Mahkota dewa, Jahe, Sirih, Kunyit Kuning, Kunir atau
Kunyit putih, Alang-alang.
Hasil uji komparatif didapatkan hubungan yang signifikan antara
usia responden terhadap informasi yang didapat mengenai manfaat,
cara mengelola, cara mendapatkan, dan cara budidaya tanaman obat
keluarga (TOGA). Daya tangkap dan pola pikir seseorang dapat
berkembang berdasarkan bertambahnya usia, sehingga pengetahuan
yang diperolehnya semangkin membaik (Yuliana et al. 2013). Usia
secara signifikan berpengaruh terhadap penggunaan pengobatan
tradisional (Jennifer & Saptutyningsih, 2015). Penelitian Yatias, (2015)
menunjukan hubungan yang signifikan antara usia responden yang
lebih tua dalam penggunaan tumbuhan obat, karena sudah percaya
dan terbiasa untuk menggunakan. Pengetahuan masyarakat tentang
pemanfaatan tanaman sebagai obat hanya sebatas pengetahuan
turun temurun sebagai bentuk interaksi antara masyarakat dengan
lingkungannya khususnya tumbuhan (etnobotani) (Atmojo, 2015).
Bertambahnya usia dan pengalaman dalam penggunaan tanaman
obat memang membuat seseorang semangkin membaik
pengetahuannya dan percaya bila tanaman obat dapat mengobati
penyakit degeneratif.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 257
Hasil uji juga menunjukkan hubungan yang signifikan antara jenis
kelamin responden terhadap penyakit degeneratif yang diderita, jenis
tanaman obat keluarga (TOGA) yang dimanfaatkan, dan cara
budidayanya. Didukung penelitian Wahyuni, (2010) menyatakan ada
hubungan signifikan jenis kelamin perempuan memiliki
kecenderungan 1,39 kali menderita penyakit degeneratif (diabetes
melitus) dibanding laki-laki. Penelitian Jennifer & Saptutyningsih,
(2015) menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara jenis
kelamin dengan penggunaan obat tradisional. Serta penelitian Yatias,
(2015) menunjukan hubungan yang signifikan antara jenis kelamin
terhadap mengelola atau membudidayakan tumbuhan obat baik di
kebun atau di halaman rumah. Jenis kelamin perempuan memang
lebih berisiko terkena penyakit degeneratif, sehingga perempuan jauh
lebih banyak memanfaatkan tanaman obat dalam pengobatan
penyakitnya.
Hasil itu menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara
pendidikan responden terhadap penyakit degeneratif yang diderita,
informasi yang didapat mengenai manfaat, dan cara budidaya
tanaman obat keluarga (TOGA). Tingkat pendidikan tinggi responden
dapat mencegah penyakit degeneratif sebanyak 0,22 kali dengan
memanfaatkan pelayanan kesehatan non medis (pemanfaatan TOGA)
dari pada keluarga yang memiliki pendidikan rendah (Yuliana et al.
2013). Penelitian Yatias, (2015) menunjukan hubungan yang signifikan
antara pendidikan responden dengan pemanfaatan tumbuhan obat.
Pendidikan seseorang sangat berpengaruh kepada pemahaman,
pengetahuannya dan aplikasi pembudidayaan tanaman obat keluarga.
Pendidikan yang tinggi membuat masyarakat dapat lebih
menerapkan smart living dalam pemanfaatan tanaman obat di
perkotaan telah terlaksana melalui penerapan program pemerintah
(Smart Government) yang memanfaatkan lahan pekarangan sebagai
media untuk budidaya tanaman obat. Terlihat pada keberhasilan
sosialisasi pemerintah yang dilakukan oleh Puskesmas Kecamatan
Pasar Rebo dengan pergerak PKK Rt 011, Rw 003, Kalisari, Pasar Rebo,
Jakarta Timur, terlihat dari ada hubungan yang signifikan antara
penyakit degeneratif yang diderita dan informasi yang didapat
mengenai manfaat, cara mengelola, cara mendapatkan, dan jenis
258 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
tanaman obat keluarga (TOGA) yang dimanfaatkan. Pemanfaatan
tanaman obat yang dikenal dengan jamu. Jamu meliputi segala bahan
alam yang diolah atau diracik, menurut cara tradisional untuk
memperkuat badan manusia, mencegah penyakit atau
menyembuhkan manusia yang menderita penyakit. Biasanya jamu
digunakan dalam pengobatan komplementer alternatif yaitu
pengobatan non konvensional yang bertujuan untuk upaya preventif,
promotif, dan kuratif dalam meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat perkotaan dan pedesaan (Ahmad,2012). Penelitian
Sudewa et al. (2014) yang menyatakan ada pengaruh konsumsi buah
mahkota dewa terhadap penurunan tekanan darah pada penderita
hipertensi, sehingga buah mahkota dewa dapat dijadikan sebagai
alternatif obat herbal untuk menurunkan tekanan darah tinggi.
Masyarakat Indonesia yang hidup diperkotaan kini telah mulai banyak
memanfaatkan tanaman obat keluarga untuk mengatasi penyakit
degeneratif yang mereka derita.
Terdapat hubungan yang signifikan antara informasi yang didapat
mengenai manfaat tanaman obat keluarga (TOGA) terhadap jenis
tanaman obat keluarga (TOGA) yang dimanfaatkan, cara
mendapatkannya, cara mengelolanya, dan cara budidayanya. ada
hubungan signifikan antara pengetahuan dan sikap yang dimiliki
masyarakat dengan penggunaan obat herbal pada pasien hipertensi
(Astuti, 2016). Pemanfaatan pengobatan tradisional mulai dilakukan
masyarakat. Adapun faktor yang melatarbelakangi teknik
pengobatannya alami, efek sampingnya kecil, biaya pengobatan lebih
murah daripada pengobatan modern (Effendi, 2013). Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1109/Menkes/Per/IX/2007 menyatakan pengobatan komplementer
alternatif dilakukan sebagai upaya pelayanan yang berkesinambungan
untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat mulai dari
peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),
penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif).
Pemerintah telah menerapkan dan mensosialisasikan informasi
mengenai pemanfaatan tanaman obat keluarga sebagai alternatif
peningkatan kesehatan masyarakat Indonesia.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 259
Hasil uji komparatif juga menunjukkan ada hubungan yang
signifikan antara cara mendapatkan tanaman obat keluarga (TOGA)
terhadap cara budidaya dan cara mengelola tanaman obat keluarga
(TOGA. Serta menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara cara
budidaya tanaman obat keluarga (TOGA) terhadap cara mengelola
tanaman obat keluarga (TOGA). Setiap daerah memiliki sistem
pemanfaatan tumbuhan yang khas dan berbeda dengan daerah
lainnya. Sistem pemanfaatan ini berkaitan dengan keanekaragaman
tumbuhan di masing-masing daerah. Pendekatan penduduk lokal
terhadap manajemen pemanfaatan ekosistem alam merupakan model
jangka panjang dalam menopang kebutuhan hidup manusia. Selain
itu, manajemen sumber daya alam tradisional mampu mempertegas
hubungan antara sistem konservasi dengan pemanfaatan
keanekaragaman hayati (Kandowangko et al., 2011).
Contoh Smart Living masyarakat perkotaan terlihat pada
pemanfaatan tanaman obat di kota Bogor sudah dimasukan dalam
program pembinaan kesejahteraan keluarga, sedangkan di kota
Karang Anyar, Gianyar, dan Sumenep dimasukan dalam program
ekonomi dan program tanaman obat yang berasal dari tanaman hias
(Sari et al. 2015). Dari penelitian terlihat bahwa konsep Smart Living
melalui pemanfaatan tanaman obat oleh warga RT 011, RW 003,
Kalisari, Pasar Rebo, Jakarta Timur, telah terlaksana melalui penerapan
program pemerintah (Smart Government) yang menganjurkan
pemanfaatan lahan pekarangan sebagai media untuk budidaya
tanaman obat. Fasilitas pelayanan kesehatan dapat menyediakan
informasi mengenai tanaman obat, sehingga pola pikir masyarakat
perkotaan dapat berubah untuk memanfaatkan tanaman obat
(Ahmad, 2012). Kemudahan masyarakat dalam mengolah tanaman
obat dengan direbus (jamu godok) banyak digunakan dan dirasakan
efek sampingnya ringan. Cara pemanfaatan lainnya dengan dimakan
langsung (dilalap), dibuat teh, di jus dan diambil sari patinya (dibuat
Jamu) (Hadi et al., 2015). Tanaman obat diperoleh masyarakat dengan
cara budidaya, membelinya di pasar, dan mengambil tanaman liar.
260 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
PENUTUP
Dari studi kasus dapat ditarik kesimpulan penyakit degeneratif
yang banyak diderita oleh masyakarat Indonesia adalah Hipertensi dan
Diabetes Melitus. Masyarakat Indonesia khususnya warga Rt. 011, Rw.
003, Kalisari, Jakarta Timur memiliki pengetahuan baik mengenai
pemanfaatan tanaman obat keluarga untuk kesehatannya. Adapun hal
tersebut dipengaruhi dari sumber informasi yang didapat masyarakat
di Indonesia khususnya warga Rt. 011, Rw. 003, Kalisari, Jakarta Timur
mengenai pemanfaatan tanaman obat keluarga (TOGA) tidak hanya
dari warisan tradisi orang tua (nenek moyang), tetapi juga dari
peranan sosialisasi dan pantauan dari pemerintah seperti Dinas
Pertanian, Dinas Kesehatan, Puskesmas, aparat desa, dan Tim
Penggerak PKK, serta teman seprofesi yang sangat berguna dalam
penggerakan masyarakat dalam memanfaatkan tanaman obat
keluarga (TOGA).
Keberhasilan penerapan program pemerintah (Smart
Government) mengenai pemanfaatan lahan pekarangan sebagai
media untuk budidaya tanaman obat. adanya fasilitas pelayanan
kesehatan dapat menyediakan informasi mengenai tanaman obat,
sehingga pola pikir masyarakat perkotaan dapat berubah untuk
memanfaatkan tanaman obatn (Smart Living). Persentase jenis
tanaman berkhasiat obat yang digunakan untuk pengobatan penyakit
degeneratif. Hasil studi kasus di Jakarta Timur menunjukkan penyakit
yang diderita responden sebesar 20% (6 dari 30 responden)
menderita Hipertensi, sebesar 16,7% (5 dari 30 responden) menderita
Diabetes Melitus, 10% (3 dari 30 responden) menderita Stroke.
Sebesar 10% (3 dari 30 responden) menderita Rematik, 6,7% (2 dari
30 responden) menderita Penyakit Jantung Koroner (PJK), 6,7% (2 dari
30 responden) Gagal Ginjal Kronik (GGK), 6,7% (2 dari 30 responden)
Tumor, Kanker, 6,7% (2 dari 30 responden) Asam Urat, dan 6,7% (2
dari 30 responden) menderita Sirosis Hepatis, 3,3% (1 dari 30
responden) menderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). Hasil
menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara penyakit
degeneratif yang diderita responden terhadap informasi yang didapat
mengenai manfaat, cara mengelola, cara mendapatkan, dan jenis
tanaman obat keluarga (TOGA) yang dimanfaatkan. Informasi yang
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 261
disampaikan oleh puskesmas dapat meningkatkan pengetahuan
responden mengenai kesesuaian jenis tanaman obat dengan penyakit
degeneratif yang diderita, serta cara mengelola, dan cara
mendapatkan tanaman obat.
Responden yang menderita penyakit degeneratif sebesar 40% (12
dari 30 responden) pada usia 31-50 tahun. Hasil menunjukkan ada
hubungan yang signifikan antara usia responden terhadap informasi
yang didapat mengenai manfaat, cara mengelola, cara mendapatkan,
dan cara budidaya tanaman obat keluarga (TOGA). Bertambahnya usia
dan pengalaman dalam penggunaan tanaman obat memang
membuat seseorang semangkin membaik pengetahuannya dan
percaya bila tanaman obat dapat mengobati penyakit degeneratif.
Mayoritas responden wanita menderita penyakit degeneratif sebesar
60% (18 dari 30 responden). Hasil menunjukkan ada hubungan yang
signifikan antara jenis kelamin responden terhadap penyakit
degeneratif yang diderita, jenis tanaman obat keluarga (TOGA) yang
dimanfaatkan, dan cara budidayanya.
Pendidikan responden adalah SMA sebesar Pendidikan 70% (21
dari 30 responden). Hasil menunjukkan ada hubungan yang signifikan
antara pendidikan responden terhadap penyakit degeneratif yang
diderita, informasi yang didapat mengenai manfaat, dan cara
budidaya tanaman obat keluarga (TOGA). Pendidikan seseorang
sangat berpengaruh kepada pemahaman, pengetahuannya dan
aplikasi pembudidayaan tanaman obat keluarga. Informasi yang di
dapat dari penyuluhan Puskesmas atau Tim Kesehatan mengenai
tanaman obat keluarga (TOGA) melalui sebesar 53% (16 dari 30
responden). Hasil studi kasus terdapat hubungan yang signifikan
antara informasi yang didapat mengenai manfaat tanaman obat
keluarga (TOGA) terhadap jenis tanaman obat keluarga (TOGA) yang
dimanfaatkan, cara mendapatkannya, cara mengelolanya, dan cara
budidayanya. Penaran sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah
(Smart Goverment) melalui puskesmas, membuat pola pikir
masyarakat perkotaan dapat berubah untuk memanfaatkan tanaman
obat (Smart Living) untuk mengatasi penyakit degeneratif yang
mereka dan keluarga derita.
262 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Pendidikan responden yang didukung oleh informasi yang
diberikan oleh puekesmas melalui sosialisasi, membuat responden
memiliki pengetahuan yang baik sebesar 53% (16 dari 30 responden)
untuk memahami sosialisasi yang diberikan pemerintah melalui
puskesmas, yang didukung dengan jawaban responden yang
mengatakan bahwa informasi yang didapatkan mengenai tanaman
obat keluarga (TOGA) melalui penyuluhan Puskesmas atau Tim
Kesehatan sebesar 53% (16 dari 30 responden). Jenis tanaman obat
keluarga (TOGA) yang digunakan oleh masyarakat di Kalisari yaitu
sebesar 10% (3 dari 30 responden) memanfaatkan mentimun, 10% (3
dari 30 responden) memanfaatkan bawang putih, 10% (3 dari 30
responden) memanfaatkan daun seledri, 10% (3 dari 30 responden)
memanfaatkan daun insulin, 10% (3 dari 30 responden)
memanfaatkan daun sirsak, 10% (3 dari 30 responden) memanfaatkan
semua jenis kunyit. Sebesar 6,7% (2 dari 30 responden)
memanfaatkan temu mangga, 6,7% (2 dari 30 responden)
memanfaatkan akar alang-alang, 6,7% (2 dari 30 responden)
memanfaatkan mahkota dewa, 6,7% (2 dari 30 responden)
memanfaatkan Jahe. Sebesar 3,3% (1 dari 30 responden)
memanfaatkan daun sirih, 3,3% (1 dari 30 responden) memanfaatkan
belimbing wuluh, 3,3% (1 dari 30 responden) memanfaatkan kumis
kucing, 3,3% (1 dari 30 responden) memanfaatkan kayu manis.
Hasil ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara cara
mendapatkan tanaman obat keluarga (TOGA) terhadap cara budidaya
dan cara mengelola tanaman obat keluarga (TOGA). Serta
menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara cara budidaya
tanaman obat keluarga (TOGA) terhadap cara mengelola tanaman
obat keluarga (TOGA). Tanaman obat diperoleh masyarakat dengan
cara budidaya, membelinya di pasar, dan mengambil tanaman liar.
Tanaman obat juga di kelola untuk dikonsumsi dengan bermacam-
macam cara sesuai selera dan kebiasaan masyarakat di Indonesia
sesuai dengan daerah masing-masing. Cara membudidayakan
tanaman obat dengan hidroponik, aquaponik, dan apotik hidup dapat
di terapkan pada masyarakat perkotaan, sehingga masyarakat
perkotaan dapat merasakan manfaat dari tanaman obat.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 263
DAFTAR PUSTAKA
264 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Macro. Indonesia Demographic and Health Survey 2007.
Calverton, Maryland: BPS and ORC Macro. Indonesia: Badan Pusat
Statistik-Statistics Indonesia.
Hikmat, A., Zuhud, E.A.M., Siswoyo., Sandra, E., Sari, R.K. (2011).
Revitalisasi Konservasi Tumbuhan Obat Keluarga (TOGA) Guna
Meningkatkan Kesehatan dan Ekonomi Keluarga Mandiri di Desa
Contoh Lingkar Kampus IPB Darmaga Bogor. Bogor: IPB.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 265
Ikaditya, L. (2016). Hubungan Karakteristik Umur dan Tingkat
Pendidikan Terhadap Pengetahuan Tentang Tanaman Obata
Keluarga (TOGA). Jurnal Keshatan Bakti Tunas Husada. 16(1),
Tasikmalaya : Poltekes Kemenkes Tasikmalaya.
Kandari, L.S., Phondani, P.C., Payal, K.C. Rao, K.S. & Maikhuri, R.K.
(2012). Etnobotani Study toward Conservation of Medicinal and
Aromatic Plant in Upper Catchments of Dhauli Ganga in the
Central Himalaya. Jurnal of Mountain Science, 9, 286-296.
Katno, P.S. (2009). Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman Obat dan
Obat Tradisional. Balai Penelititan Obat Tawngmangu. Fakultas
Farmasi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta: Fakultas Farmasi
UGM.
266 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Kementerian Kesehatan (2012). Penyakit Tidak Menular. Buletin
Jendela Data dan Informasi Kesehatan. Jakarta: Kementerian
Kesehatan.
Ningtias, F.A., Asyiah, N.I., Pujiastuti. (2014). Manfaat Daun Sirih (Piper
betle L). Sebagai Obat tradisional Penyakit Dalam di Kecamatan
Kalianget Kabupaten Sumenep Madura. Jember: Universitas
Jember.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 267
Melati Kecamatan Kalikajar Kabupaten Wonosobo. Semarang:
UNNES.
268 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Situmorang, R.O.P & Harianja, A. H. (2014). Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Kearifan Lokal Pemanfaatan Obat-Obatan
Tradisional Oleh Etnik Karo. Sumatera Utara: Balai Penelitian Aek
Nauli.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 269
Wardatun, S. (2011). Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Akar,
Kulit Batang, dan Daun Tanaman Sambiloto (Andrographis
paniculata Ness.) dengan Metode Lonoleat-Tiosianat. Bogor:
UNPAK.
270 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
PENGGUNAAN SEL PUNCA UNTUK TERAPI SEL JANTUNG
PENDAHULUAN
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 271
smart city dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai penerapan
perangkat yang berbasis teknologi informasi.
Penggunaan teknologi teknologi informasi, misalnya yang adalah
inti dari konsep smart city untuk peningkatan kualitas kesehatan
masyarakat perkotaan. World Health Organization menerapkan
adanya konsep healthy city, yaitu kota yang selalu menciptakan dan
meningkatkan kondisi fisik dan sosial yang memungkinkan orang
untuk saling mendukung sesama. Konsep healthy city juga
menekankan pentingnya investasi dalam penyediaan infrastruktur
teknologi informasi (Boulos & Shorbaji, 2014). Dengan demikian,
konsep smart city bertujuan untuk meningkatkan pelayanan
kesehatan melalui penggunaan teknologi informasi
Penggunaan teknologi informasi dalam smart city dapat
menunjang teknologi bar seperti sel punca. Menurut Walls (2010),
penggunaan smart system (sistem cerdas) meliputi peralatan sensor
yang terkoneksi internet. Peralatan sensor tersebut memiliki ciri
penting seperti dapat dipersonalisasi (Solanas et al., 2014). Sifat ini
sangat penting karena penggunaan sel punca memiliki kekhususan
dalam hal asal selnya dan pengaruh sifat imunitas yang berbeda pada
tiap orang. Penggunaan sistem cerdas dapat membantu penelitian
tentang sel punca, karena sistem ini dapat menghubungkan berbagai
lokasi penelitian (Lee et al., 2016).
Sel punca merupakan sel yang menyerupai sel embrio dalam
tubuh manusia dewasa. Sel ini dapat digunakan dalam pengobatan,
termasuk dalam melakukan terapi gen. Sel punca dapat mengganti
atau meregenerasi sel tubuh yang sudah rusak (NAS, 2009). Dalam
pengobatan penyakit infark jantung, sel punca digunakan untuk
meregenerasi sel jantung yang rusak.
272 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Peralatan ini terhubung melalui internet ke pusat kesehatan. Dengan
demikian, data kesehatan pengguna perangkat ini seperti tekanan
darah, detak jantung, dan suhu tubuh dapat langsung terkirim ke
pusat kesehatan dari tempat tinggal atau tempat bekerja. Data
tersebut merupakan sebagian data yang berguna dalam memantau
tingkat kesehatan jantung.
Penggunaan sensor yang terhubung ke internet juga dapat
digunakan untuk memantau keadaan tubuh bagian dalam seorang
pasien dan membuat keputusan tentang pengobatan pasien. Akyildiz
et al., (2015) menggunakan biosensor yang terhubung dengan
internet. Berbeda dengan Lee et al ., (2016), konsep penggunaan
biosensor oleh Akyildiz et al., lebih mengutamakan kemampuan
perangkat cerdas itu untuk melakukatindakan pemberian obat.
Konsep Akyildiz ini didasarkan pada Internet of Things (IoT).
Internet of Things berarti adanya berbagai peralatan (sensor,
peralatan elektronik) yang terkoneksi satu sama lain melalui internet
dan dapat berhubungan secara otonom satu sama lain (Akyildiz et al,
2015; De Farias, Pirmez, Costa, De Farias, F. M. , 2017). Menurut
Akriyildiz et al., penggunaan IoT adalah dalam pengamatan
lingkungan, komunikasi antar mesin, dan smart city.
Perkembangan dalam bidang nanoteknologi menyebabkan
terciptanya peralatan sensor berukuran sangat kecil. Ukuran peralatan
itu adalah sekitar beberapa ratus nanometer. Menurut De Farias et
al., (2017), perlatan seperti ini disebut nanomachines. Peralatan
nanomachines seperti ini adalah bagian dari Internet of Nano Things
(INT) (Akyildiz et al., 2015).
Penggunaan IoT berkembang ke arah penggunaan peralatan yang
kecil, tersembunyi, dan nonintrusive untuk mengamati proses biologis
dalam tubuh manusia. Perkembangan ini dinamakan Internet of Bio-
Nano Things (IBNT). Contoh penggunaan IBNT adalah alat sensor
berukuran sangat kecil yang berada di dalam tubuh pasien, yang dapat
dilihat pada Gambar 1 (Akyildiz et al., 2015).
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 273
Sumber: Akyildiz et al. (2015)
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 275
Beltrami dilakukan dengan mengamati adanya antigen Ki-67. Adanya
antigen ini merupakan ciri adanya mitosis sel. Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa 4 % dari myocite mengalami mitosis di dekat
lokasi jaringan yang terkena MI. Di jaringan yang jauh dari lokasi MI,
mitosis berlangsung sebesar 1 %.
Adanya peristiwa mitosis pada sel myosit menunjukkan bahwa sel
jantung dapat mengalami diferensiasi. Proses diferensiasi ini dapat
membantu pemulihan pasien MI yang mengalami kerusakan jaringan
akibat matinya sel yang tidak mendapat oksigen.
276 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
2016). Sel punca jenis ini memiliki sifat pluripoten dan kemampuan
regenerasi yang luas (Bajada, 2008). Kemampuan pluripoten sel punca
embrio dapat berguna bagi penyembuhan kerusakan jantung. Sel
punca embrio dapat dikultur hingga beberapa generasi. Kemampuan
untuk dikultur ini memudahkan dalam penelitian untuk penggunaan
sel tersebut bagi penyakit jantung. Sel punca embrio juga dapat
menghasilkan cardiac progenitor cell (Alam, Ishfaq, & Kanam, 2016).
Cardiac progenitor cell merupakan salah satu jenis sel punca yang
dapat membantu terbentuknya sel cardiomyocite pada jantung. Alam,
Ishfaq, & Kanam juga menyebutkan kemungkinan penggunaan sel
punca embrio untuk mengatasi penyakit infark jantung, walaupun
masih perlu penelitian lebih lanjut.
Jenis kedua adalah non embryonic stem cell ( non-ESC) menurut
Bajada (2008), atau adult stem cell (Alam, Ishfaq, & Kanam, 2016). Sel
ini adalah sel yang belum mengalami diferensiasi dalam tubuh
dewasa. Bila terjadi kerusakan atau kematian sel, maka sel stem akan
mengganti sel di sekitarnya itu. Sel punca jenis non ESC memiliki sifat
multipoten (Bajada, 2008). Ada beberapa asal sel punca non embrio.
Sumber tersebut adalah dari cairan amnion, sumsum tulang,
pembuluh darah, dan otot rangka. Sel punca tersebut umumnya
bersifat dorman. Apabila terjadi luka atau kerusakan jaringan, barulah
sel punca tersebut menjadi aktif dan mengganti sel yang rusak di
sekitarnya. (Alam, Ishfaq, & Kanam, 2016).
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 277
Khanam, 2016; Berlo, 2014). Sebagai contoh, sel jantung tikus yang
baru yang baru lahir memiliki kemampuan differensiasi, walaupun
hanya 1%. Kemampuan ini berkurang pada sel jantung tikus dewasa
(Aguire et al., 2013). Perbedaan ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Menurut Bergman (2009), 20% sel otot jantung mengalami regenerasi
pada anak umur 4 tahun. Pada orang dewasa berumur 50 tahun, 69%
sel otot jantungnya sudah mengalami regenerasi sejak lahir.
278 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
mendapat data mengenai sel CPC yang telah disuntikkan ke tubuh
pasien secara lebih cepat dan terhubung melalui sistem internet.
Tipe kedua pembentukan sel jantung memiliki laju pertumbuhan
hanya 1% pertahun (Garbern & Lee, 2013). Penelitian Kajstura et. al
menunjukkan bahwa terdapat pertumbuhan sel jantung baru. Pada
usia 25 tahun, laju pertumbuhan sel baru adalah 1,5 %. Namun
pertumbuhan itu makin berkurang sejalan dengan pertambahan umur
Kajstura et al., (2012).
Tipe ketiga regenerasi sel jantung dibuktikan dengan
ditemukannya faktor transkripsi Gata-4. Kelemahan dari tipe ini adalah
bahwa kemampuan regenerasi ini menghilang pada usia 7 hari setelah
kelahiran (Garbern & Lee, 2013). Menurut Aguire et al., (2014),
apabila terjadi luka pada jantung, akan terjadi respons regeneratif
yang bersifat endogen. Tapi kemampuan regenerasi ini terbatas dan
hanya terjadi pada daerah peri-infarc (Senyo, et al., 2013).
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 279
Murry (2015), konsentrasi sel MSC adalah 0,01% dari isolasi sel punca
yang ada di sumsum tulang.
Satu contoh penelitian mengenai diferensiasi MSC adalah Makino,
et al., (1999) yang menggunakan perlakuan 5-azacitydine pada MSC
yang berasal dari tulang rawan tikus. Hasilnya adalah 30% sel
mengalami diferensiasi menjadi cardiomyocite. Percobaan yang
dilakukan Wang , Jiang, & Ma (2006). juga menunjukkan bahwa selain
berdiferensiasi menjadi cardiomyocite, sel MSC juga membentuk sel
otot polos dan sel endotel. Adanya kedua jenis sel ini juga membantu
perbaikan fungsi jantung.
Kelebihan lain dari MSC adalah dapat membantu proses
angiogenesis, yaitu terbentuknya pembuluh darah baru. Pembentukan
pembuluh darah itu didorong oleh pengeluaran hepatocyte growth
factor (HGF) dan Angiopoeitin (Ang-1). (Konnopyannikov i., , 2016).
Sebaliknya, Gerbin dan Murry (2015) menyatakan bahwa pada
umumnya tidak ada manfaat penggunaan MSC secara jangka panjang.
Manfaat yang ada adalah pengurangan daerah yang mengalami luka,
tetapi tidak ada perbaikan fungsis sistolik. Sel punca MSC yang
ditransplantasikan akan mati dalam waktu beberapa minggu
kemudian.
280 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
sudah berdiferensiasi menjadi sel otot jantung ditransplantasi pada
tikus. Sel tersebut dapat bergabung dengan sel jantung tikus itu dan
dapat berinteraksi secara fungsional dengan sel inangnya. Menurut
Garbern & Lee (2013), belum ada percobaan penggunaan ESC pada
manusia. Percobaan baru dilakukan pada tikus dan kera Rhesus.
Satu masalah dalam penggunaan ESC adalah mendapatkan jumlah
yang banyak dan tingkat kemurnian yang tinggi. Pada awalnya,
mendapatkan sel ESC dalam jumlah besar dan tingkat kemurnian
tinggi masih sulit. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, ada beberapa
metode yang digunakan, misalnyaa dengan penggunaan cara kultur
tertentu, modifikasi genetik, atau pemberian zat kimia dan biologi
tertentu (Duelen & Sampaolesi, 2017).
Walaupun ada sisi positifnya, ada juga sisi negatif dalam
penggunaan sel ESC. Penggunaan sel ESC secara etika masih
diragukan, karena sel ini didapat dari jaringan embrio manusia. Selain
itu, penggunaan ESC dapat menyebabkan timbulnya tumor, danreaksi
imunitas (Duelen & Sampaolesi, 2017; Garbern & Lee, 2013;
Konoplyannikov, 2016).
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 281
Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya tumor akibat
transplantasi sel IPSC, terdapat kemungkinan penggunaan biosensor
seperti dalam penelitian IBNT. Yea et al., (2016) melakukan
penghitungan sel IPSC yang masih memiliki sifat pluripoten dan belum
terdiferensiasi berdasarkan sifat elektrokimia.
Adanya penemuan faktor transkripsi (OCT3/4, KLF4, SOX2 and
MYC) membantu perubahan sel somatik dewasa menjadi sel yang
bersifat pluripoten (Li, 2017).
4. Skeletal Myoblast
Skeletal myoblast merupakan jenis sel pertama yang digunakan
dalam pengobatan sel jantung (Garbern & Lee, 2013). Kelebihan jenis
sel ini adalah tidak adanya resiko etis maupun imunologis
(Konoplyannikov, et al., 2016). Kelemahan penggunaan sel skeletal
myoblast adalah terjadinya arrythmia (Konoplyannikov et al, 2016;).
Penggunaan sel skeletal myoblast mulai menurun pada saat ini
(Garbern & Lee, 2013).
282 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Sifat autolog ini menguntungkan karena mengurangi resiko
penolakan. (Hsiao & Carr, 2013).
Penelitian mengenai penggunaan CSC menunjukkan bahwa CSC
dapat membantu pemulihan jaringan otot jantung pada tikus. Sel CSC
disuntikkan ke jaringan miokardium di sekitar terjadinya sel mati
akibat penyumbatan permanen. Sel tersebut pindah ke bagian yang
mati dan menggantikan bagian yang mati. Adanya sel CSC
memperbaiki fungsi jantung pada tikus. Sel CSC juga memperbaiki sel
endotel dan sel otot polos (Bearzi et al., 2007; Dawn et al., 2005).
Ada beberapa jenis CSC berdasarkan marker atau penanda yang
dihasilkannya. Satu jenis CSC disebut c-kit+ CSC yang menghasilkan
tirosin kinase berupa c-kit. (Hsiao & Carr, 2013). Sel c-kit+ CSC dapat
membentuk sel cardiomyocite dan pembuluh darah pada tikus (Dawn
et al., 2005). Jenis CSC berikutnya adalah Sca-1 yang menghasilkan
antigen Stem Cell Antigen-1. (Hsiao & Carr, 2013). Ada beberapa
masalah dalam penggunaan CSC yang belum teratasi. Masalah
tersebut adalah dosis penggunaan sel punca, waktu untuk
transplantasi sel, dan pengaruh umur pasien (Hsiao & Carr, 2013).
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 283
RESIKO PENGGUNAAN SEL PUNCA
284 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Sumber: Akyildiz et al. (2015)
STIMULASI BIOKIMIA
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 285
PENUTUP
286 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
DAFTAR PUSTAKA
Beltrami, A. P., Barlucchi, L., Torella, D., Baker, M., Limana, F.,
Chimenti, S., Kasahara H., , M., Rota , , E Musso , E., Urbanek , K.,
Leri, A.,Kajstura, J., Nadal-Ginard, B., Anversa, P. (2003). Adult
cardiac stem cells are multipotent and support myocardial
regeneration. Cell, 114 (6), 763-776.
Bearzi, C., Rota, M., Hosoda, T., Tillmanns, J., Nascimbene, A., De
Angelis, A , Yasuzawa-Amano, S., Trofimova I., Siggins, R.W., , Le
Capitaine, N., Cascapera, S., Beltrami , A.P., D'Alessandro, D.A.,
Zias, E., Quaini, F., Urbanek, K., Michler, R. E., Bolli, R., Kajstura, J.,
Leri, A., and Anversa, P. (2007). Human cardiac stem cells.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 287
Proceedings of the National Academy of Sciences, 104 (35), 14068-
14073.
Clifford, D. M., Fisher, S. A., Brunskill, S. J., Doree, C., Mathur, A., Watt,
S., & Martin-Rendon, E. (2012). Stem cell treatment for acute
myocardial infarction. Cochrane Database Syst Rev, 2(2).
Dawn B, Stein A. B, Urbanek K., Rota, M., Whang, B., Rastaldo, R.,
Torella D. Xian-Liang T,* Rezazadeh A.,, Kajstura J., Leri A., Hunt,
G., Varma, J., . Prabhu, S. D., Anversa, P., & Boll, R. (2005)
Cardiac stem cells delivered intravascularly traverse the vessel
barrier, regenerate infarcted myocardium, and improve cardiac
function. Proc Natl Acad Sci USA 2005;102:3766–71.
Eulalio, A., Mano, M., Dal Ferro, M., Zentilin, L., Sinagra, G., Zacchigna,
S., and Giacca, M. (2012). Functional screening identifies miRNAs
inducing cardiac regeneration. Nature, 492, 376–381.
Garbern, J. C., & Lee, R. T. (2013). Cardiac stem cell therapy and the
promise of heart regeneration. Cell stem cell, 12(6), 689-698.
288 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Gnecchi, M., Danieli, P., & Cervio, E. (2012). Mesenchymal stem cell
therapy for heart disease. Vascular pharmacology, 57(1), 48-55.
Hsiao, L. C., & Carr, C. A. (2013). Endogenous cardiac stem cell therapy
for ischemic heart failure. J Clin Exp Cardiol, 11, 007.
Hsieh, P. C., Segers, V. F., Davis, M. E., MacGillivray, C., Gannon, J.,
Molkentin, J. D., & Lee, R. T. (2007). Evidence from a genetic fate-
mapping study that stem cells refresh adult mammalian
cardiomyocytes after injury. Nature medicine, 13(8), 970.
Kubin, T., Po¨ ling, J., Kostin, S., Gajawada, P., Hein, S., Rees, W.,
Wietelmann,A., Tanaka, M., Lo¨ rchner, H., Schimanski, S., et al.
(2011). Oncostatin M isa major mediator of cardiomyocyte
dedifferentiation and remodeling. Cell Stem Cell 9, 420–432.
Laflamme, M.A., Chen, K.Y., Naumova, A.V., Muskheli, V., Fugate, J.A.,
Dupras, S.K., Reinecke, H., Xu, C., Hassanipour, M., Police, S., et al.
(2007). Cardiomyocytes derived from human embryonic stem
cells in pro-survival factors enhance function of infarcted rat
hearts. Nat. Biotechnol. 25 , 1015–1024.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 289
Le, T. Y. L., & Chong, J. J. H. (2016). Cardiac progenitor cells for heart
repair. Cell death discovery, 2.
Lee, S. K., Kwon, H. R., Cho, H., Kim, J., & Lee, D. (2016). International
Case Studies of Smart Cities: Singapore, Republic of Singapore.
Inter-American Development Bank.
Makino, S., Fukuda, K., Miyoshi, S., Konishi, F., Kodama, H., Pan, J. , ,
Sano, M., Takahashi,T., Hori,S., Abe, H., Hata, J., Umezawa A.,
Ogawa, S. & Hata, J. I. (1999). Cardiomyocytes can be generated
from marrow stromal cells in vitro. Journal of Clinical
Investigation, 103(5), 697.
Michler, R. E., Bolli, R., Kajstura, R., Leri, A., and Anversa, P., &
Cascapera, S. (2007). Human cardiac stem cells. Proceedings of the
National Academy of Sciences, 104(35), 14068-14073.
290 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
heart regeneration by the miR-15 family. Proc. Natl. Acad. Sci. USA
110, 187–192.
Senyo, S.E., Steinhauser, M.L., Pizzimenti, C.L., Yang, V.K., Cai, L.,
Wang, M., Wu, T.-D., Guerquin-Kern, J.-L., Lechene, C.P., and Lee,
R.T. (2013). Mammalian heart renewal by pre-existing
cardiomyocytes. Nature 493, 433–436.
Smart, N., Bollini, S., Dube´ , K.N., Vieira, J.M., Zhou, B., Davidson, S.,
Yellon,D., Riegler, J., Price, A.N., Lythgoe, M.F., et al. (2011). De
novo cardiomyocytesfrom within the activated adult heart after
injury. Nature 474, 640–644.
Solanas, A., Patsakis, C., Conti, M., Vlachos, I. S., Ramos, V., Falcone, F.,
Postolache O., Pérez-Martínez, P. A., Di Pietro, R., Perrea, D. N., &
Martinez-Balleste, A. (2014). Smart health: a context-aware health
paradigm within smart cities. IEEE Communications Magazine,
52(8), 74-81.
Tohyama, S., Hattori, F., Sano, M., Hishiki, T., Nagahata, Y., Matsuura,
T., Hisayuki Hashimoto H., Suzuki, T. Yamashita, H., Yusuke Satoh,
Y, Egashira, T., Seki, T., Naoto Muraoka, N., Yamakawa, H.,Ohgino,
Y.,Tanaka, T., Yoichi, M., Yuasa, S.,Fukuda, K., & Egashira, T.
(2013). Distinct metabolic flow enables large-scale purification of
mouse and human pluripotent stem cell-derived cardiomyocytes.
Cell stem cell, 12(1), 127-137.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 291
Thomson, J.A., Itskovitz-Eldor, J., Shapiro, S.S., Waknitz, M.A.,
Swiergiel, J.J., Marshall, V.S., and Jones, J.M. (1998). Embryonic
stem cell lines derived from human blastocysts.
Science. 282, 1145-1147
Xue, T., Cho, H. C., Akar, F. G., Tsang, S. Y., Jones, S. P., Marbán, E.,
Gordon F. Tomaselli, G. F. & Li, R. A. (2005). Functional integration
of electrically active cardiac derivatives from genetically
engineered human embryonic stem cells with quiescent recipient
ventricular cardiomyocytes. Circulation, 111(1), 11-20.
Yea, C. H., Jeong, H. C., Moon, S. H., Lee, M. O., Kim, K. J., Choi, J. W.,
& Cha, H. J. (2016). In situ label-free quantification of human
pluripotent stem cells with electrochemical potential.
Biomaterials, 75, 250-259.
292 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Yu, J., Vodyanik, M. A., Smuga-Otto, K., Antosiewicz-Bourget, J., Frane,
J. L., Tian, S., Nie, J., Jonsdottir, G. A., Ruotti, V., Stewart, R.,
Slukvin, I. I., & Thomson J.A. (2007). Induced pluripotent stem cell
lines derived from human somatic cells. science, 318(5858), 1917-
1920.
Zhou, B., Ma, Q., Rajagopal, S., Wu, S.M., Domian, I., Rivera-Feliciano,
J.,Jiang, D., von Gise, A., Ikeda, S., Chien, K.R., and Pu, W.T. (2008).
Epicardialprogenitors contribute to the cardiomyocyte lineage in
the developing heart.Nature 454, 109–113.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 293
294 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
SMART CITY MANDIRI PANGAN
Ariyanti Hartari
PENDAHULUAN
296 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
global (Millennium Development Goals/MDGs) dalam menurunkan
kemiskinan dan kelaparan (Renstra BKP Kementan 2015-2019).
Sesuai dengan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan,
ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi
negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam,
bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan
agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat,
aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Ketahanan pangan menurut
FAO (1997) merupakan situasi semua rumah tangga mempunyai akses
baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh
anggota keluarganya dan rumah tangga tersebut tidak beresiko
mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Hampir serupa dengan
FAO, USAID (1992) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi
ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses secara fisik dan
ekonomi untuk memperoleh kebutuhan konsumsinya untuk hidup
sehat dan produktif. Sedangkan menurut FIVIMS (2005), ketahanan
pangan merupakan kondisi ketika semua orang pada segala waktu
baik secara fisik, sosial, dan ekonomi memiliki akses pada pangan yang
cukup, aman, dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dan
sesuai dengan seleranya (food preferences) demi kehidupan yang aktif
dan sehat. Dari definisi-definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa ketahanan pangan memiliki 4 unsur yaitu :
1. Pangan tersedia setiap saat untuk tingkat individu dan rumah
tangga (food availability/suppy);
2. Pangan dapat diakses, baik secara fisik, ekonomi, dan sosial, setiap
saat (access to supplies);
3. Orientasi ketahanan pangan adalah untuk pemenuhan gizi (food
utilization);
4. Tujuan ketahanan pangan adalah terwujudnya hidup yang sehat
dan produktif (food sustainability).
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 297
Sumber: Hariyadi (2002)
298 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
“keegoisan” negara-negara di dunia yang semakin mementingkan
kebutuhannya sendiri, terjadinya tren persaingan penggunaan
komoditas pertanian untuk sektor pangan, pakan, dan energi,
terjadinya resesi global, dan serbuan pangan asing (“westernisasi
diet”) yang menjadi penyebab terjadinya gizi lebih serta peningkatan
ketergantungan terhadap impor pangan, baik dalam bentuk bahan
baku maupun produk jadi atau setengah jadi.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 299
miskin di perkotaan untuk mengakses pangan yang aman, dalam
jumlah cukup, dan berkualitas. Di sisi lain, terjadi gizi lebih pada
anggota masyarakat perkotaan kelompok produktif yang mampu
mengakses pangan dengan baik, secara kualitas maupun kuantitas.
Dampak dari kerawanan pangan dan kekurangan gizi dapat terjadi
pada semua umur, baik orang tua, dewasa, anak-anak, bayi maupun
ibu hamil (Ariningsih dan Rachman, 2008). Hasil Pemantauan Status
Gizi (PSG) tahun 2015 di 496 kabupaten/kota dengan melibatkan lebih
kurang 165.000 balita sebagai sampel memberikan hasil 3,8% balita
mengalami gizi buruk. Persentase ini mengalami penurunan
dibandingkan hasil PSG 2013 yaitu 4,7% balita mengalami gizi buruk.
Dari 496 Kab/kota yang dianalisis, sebanyak 404 Kab/Kota mempunyai
permasalahan gizi yang bersifat Akut-Kronis; 20 Kab/Kota mempunyai
permasalahan gizi yang bersifat Kronis; 63 Kab/Kota mempunyai
permasalahan gizi yang bersifat Akut; dan 9 Kab/Kota yang tidak
ditemukan masalah gizi. Ke sembilan Kab/Kota yang tidak ditemukan
masalah gizi tersebut, adalah:
1) Kab. Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan;
2) Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan;
3) Kab. Mukomuko, Bengkulu;
4) Kota Bengkulu, Bengkulu;
5) Kab. Belitung Timur, Bangka Belitung;
6) Kota Semarang, Jawa Tengah;
7) Kota Tabanan, Bali;
8) Kota Tomohon, Sulawesi Utara; dan
9) Kota Depok, Jawa Barat.
300 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
kesetaraan gender (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2016).
Persediaan pangan yang cukup secara nasional ataupun regional
tidak menjamin terwujudnya ketahanan pangan di tingkat rumah
tangga atau individu. Hasil penelitian Saliem et al., (2001)
menunjukkan bahwa walaupun ketahanan pangan di tingkat regional
(provinsi) termasuk kelompok tahan pangan terjamin, namun di
provinsi yang bersangkutan masih ditemukan rumah tangga yang
tergolong rawan pangan dengan proporsi relatif tinggi. Provinsi D.I.
Yogyakarta sebagai contohnya, pada tahun 2014 mengalami surplus
dalam hal ketersediaan pangan dan penurunan angka kemiskinan,
namun angka penderita gizi buruknya mengalami peningkatan hingga
mencapai 0,51 persen dengan sebaran Kabupaten Kulonprogo 0,81%,
Kota Yogyakarta 0,69%, Kabupaten Gunung Kidul 0,53%, Kabupaten
Sleman 0,4%, dan Kabupaten Bantul 0,38% (Putra, 2016).
Ketersediaan dan akses terhadap pangan yang mencukupi di
perkotaan tidak menjamin terwujudnya ketahanan pangan pada aspek
pemenuhan gizi. Jumlah dan akses terhadap pangan yang tersedia
setiap saat bagi masyarakat perkotaan memicu terjadinya kondisi gizi
lebih. Berat badan lebih dan obesitas merupakan contoh gizi lebih.
Berdasarkan hasil Riskesdas 2013 (Balitbangkes, 2013), rata-rata
prevalensi status gizi penduduk dewasa (usia > 18 tahun) yang
mengalami obesitas secara nasional yaitu 14,76%. Rata-rata nasional
ini lebih tinggi daripada yang mengalami berat badan lebih yaitu
11,48%. Prevalensi obesitas penduduk laki-laki dan perempuan
dewasa pada Riskesdas 2013 mengalami kenaikan dibandingkan hasil
Riskesdas tahun 2007 dan 2010. Prevalensi penduduk laki-laki dewasa
obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7%, lebih tinggi dari tahun
2007 (13,9%) dan tahun 2010 (7,8%). Prevalensi obesitas perempuan
dewasa (>18 tahun) pada tahun 2013 sebesar 32,9%, naik 18,1% dari
tahun 2007 (13,9%) dan 17,5 persen dari tahun 2010 (15,5%).
Masyarakat perkotaan cenderung mengalami permasalahan gizi
secara bersamaan yaitu gizi lebih (berat badan lebih dan obesitas) dan
kurang gizi (kekurangan energi kalori/protein) atau gizi buruk secara
bersamaan, bahkan dalam lingkungan keluarga yang sama. Hal ini
disebabkan pola makan yang tidak sehat meliputi makan dalam
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 301
porsi/jumlah yang berlebih, rendahnya konsumsi buah dan sayur, dan
tingginya konsumsi garam, gula, serta lemak.
Joint FAO/WHO Expert Consultation on diet, nutrition and the
prevention of chronic diseases merekomendasikan asupan minimum
400 gram buah dan sayur per hari (tidak termasuk kentang dan umbi-
umbian yang mengandung pati) untuk pencegahan penyakit kronis
seperti jantung, kanker, diabetes dan obesitas, sekaligus sebagai
upaya pencegahan kekurangan zat gizi mikro. Jumlah konsumsi buah
dan sayur yang cukup akan memberikan asupan yang memadai bagi
serat ke dalam tubuh. Berdasarkan data Pusdatin Kemenkes RI (2017),
rata-rata konsumsi sayur-sayuran masyarakat perkotaan sebesar
3,01% dari pengeluaran perkapitanya, dan 2,05% untuk buah-buahan.
Masyarakat perkotaan mengalokasikan 44,57% pendapatannya
untuk mengonsumsi makanan, dan 15,22% dari konsumsi makanan
tersebut adalah kelompok makanan dan minuman jadi (Pusdatin
Kemenkes RI, 2017), yang merupakan makanan dan minuman dengan
kadar gula, garam, dan lemak tinggi.
Perubahan pola makan masyarakat perkotaan akibat peningkatan
industrialisasi, urbanisasi, dan mekanisasi, turut berperan terhadap
kejadian double burden pada masyarakat perkotaan. Tersedianya
berbagai fasilitas pesan antar dalam jaringan (pesan antar online)
berkontribusi terhadap kurangnya aktivitas fisik masyarakat
perkotaan. Masyarakat perkotaan dapat dengan mudah memenuhi
kebutuhan pangannya melalui aplikasi di perangkat komunikasinya
(gadget) tanpa harus meninggalkan tempat tinggal atau tempat
kerjanya. Di sisi lain, kehadiran fasilitas pesan antar dalam jaringan
mampu menambah lapangan pekerjaan dan menggerakkan
perekonomian masyarakat.
Perubahan/pergeseran pola komunikasi antar anggota keluarga
dari komunikasi verbal/komunikasi secara langsung menjadi
komunikasi tak langsung yang difasilitasi perangkat (gadget) turut
berkontribusi terhadap kurangnya aktivitas fisik masyarakat
perkotaan. Pengguna gadget kimi lebih sering menghabiskan
waktunya dengan gadgetnya sendiri. Masing-masing anggota keluarga
menjalin komunikasi melalui gadget masing-masing, bahkan ketika
mereka duduk bersama di satu ruang atau tempat yang sama. Hal ini
302 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
mengakibatkan berkurangnya interaksi sosial antar anggota keluarga,
seperti bercengkerama, mengobrol bersama, berolahraga bersama.
Penggunaan gadget dalam keluarga mempengaruhi keseluruhan
interaksi sosial dalam keluarga tersebut. Interaksi yang bisanya
dilakukan antara orang tua dan anak sebagai bentuk pengasuhan dan
komunikasi untuk menciptakan kekukuhan keluarga akan terganggu.
Hal ini dikarenakan keluarga merupakan kesatuan sistem yang utuh,
apabila salah satu anggota keluarga mengalami kesulitan dalam
melakukan interaksi secara langsung, secara sadar atau tidak sadar
akan mengurangi atau menyebabkan perubahan pola interaksi
sosialnya (Lestari, Riana, Taftarzani, 2015).
Selanjutnya, kurangnya aktivitas fisik masyarakat perkotaan juga
merupakan dampak dari keterbatasan lahan, meningkatkanya jarak
tempuh dari satu tempat ke tempat lain akibat kepadatan jalan,
terfasilitasinya pemenuhan semua kebutuhan melalui gadget, dan
keterbatasan fasilitas umum/ruang terbuka publik untuk beraktivitas
fisik disekitar pemukiman, seperti taman, jogging track, lapangan.
Keterbatasan lahan pemukiman mengakibatkan ukuran lahan tempat
tinggal semakin sempit, sehingga ketersediaan ruang untuk bergerak
atau beraktivitas fisik di lingkungan sekitar rumah menjadi berkurang.
Pengembang perumahan saat ini juga menawarkan hunian dalam
kluster-kluster kecil yang lengkap dengan fasilitas keamanan dan
jaringan internet namun tidak dilengkapi dengan fasilitas umum atau
ruang terbuka publik. Hal ini didukung dengan kurangnya fasilitas
aktivitas fisik yang aman dan nyaman di lingkungan sekitar
pemukiman. Meningkatnya waktu tempuh masyarakat perkotaan dari
tempat tinggal ke lokasi pekerjaan, menjadikan masyarakat perkotaan
lebih banyak menghabiskan waktu akhir pekannya untuk beristirahat
di rumah daripada untuk beraktivitas fisik di luar rumah.
Hunian yang dilengkapi dengan fasilitas keamanan dan jaringan
internet merupakan salah satu implementasi ciri hunian di smart city
yang memudahkan dan memberikan rasa aman. Fasilitas internet yang
tersedia setiap saat memudahkan penghuninya untuk berkomunikasi
secara maya dengan sesama anggota komunitas, memenuhi semua
kebutuhan melalui gadget yang dimiliki, tak terkecuali kebutuhan
pangan melalui fasilitas pesan antar. Hal ini semakin mengurangi
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 303
aktivitas fisik masyarakat perkotaan. Secara bertahap dalam jangka
panjang, akan terbentuk penyeragaman selera dan preferensi pangan
masyarakat perkotaan karena variasi pangan yang ditawarkan melalui
fasilitas pesan antar akan relatif/cenderung sama, dan merupakan
jenis pangan yang tinggi kalori, kadar gula, dan garam.
304 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Gambar 2. Fungsi Pertanian Kota
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 305
mampu menghemat pengeluaran pangan rata-rata sebesar $150
setiap musim penanaman.
Di Indonesia, pertanian kota dapat dilakukan di taman-taman atau
lahan fasilitas umum di lingkungan pemukiman/perumahan,
pekarangan rumah atau memanfaatkan sisa lahan atau ruang di atas
saluran air didepan rumah yang diberi penutup. Pertanian kota dapat
menggunakan media tanah atau air, dan dapat dilakukan baik secara
horisontal maupun vertikal. Model ketahanan pangan dan optimalisasi
pemanfaatan lahan pekarangan berbasis rumah tangga dikenal
dengan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Program ini sebagai
upaya memaksimalkan lahan pekarangan sebagai sumber gizi dan
nutrisi, terutama produk-produk untuk ternak unggas, akuakultur,
hortikultura, pangan alternatif dan tanaman obat keluarga (TOGA).
Hal ini sejalan dengan konsep smart environment dalam smart city
yang menekankan pada pemanfaatan lahan secara bijak dan efisien.
Komoditas pertanian yang dapat ditanam pada pertanian kota
antara lain sayur-sayuran dengan masa tanam yang relatif pendek
seperti bayam, kangkung, sayuran andewi, phokcoy, sawi, selada,
maupun buah-buahan seperti tomat, cabai, terong, labu siam,
gambas, melon, timun suri, tanaman obat keluarga, tanaman rempah
bumbu seperti jahe, kunyit, daun jeruk purut, lengkuas, daun padan,
dan lain-lain. Pengembangan pertanian kota untuk komoditas cabai
sesungguhnya sangat menguntungkan bagi rumah tangga. Hal ini
dikarenakan cabai merupakan komoditas yang dibutuhkan setiap hari,
namun dalam jumlah yang tidak banyak. Apabila satu rumah tangga
membudidayakan sekitar 3 – 4 tanaman cabai dalam polybag atau
pot, hasil panennya mencukupi untuk kebutuhan keluarga tersebut,
sehingga mengurangi biaya pembelian cabai dan mengurangi dampak
kenaikan harga cabai pada masa-masa tertentu. Penelitian yang
dilakukan Sutanto memberikan hasil rendemen sayuran andewi yang
lebih tinggi jika dibudidayakan secara vertikultur menggunakan
hidroponik dibandingkan dengan vertikultur menggunakan media
tanah dalam polibag.
Rumah tangga yang memiliki kolam ikan, baik ikan hias maupun
ikan konsumsi, dapat mengembangkan aquaponik sebagai salah satu
bentuk pertanian kota di tingkat rumah tangga. Melalui teknik
306 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
aquaponik ini, rumah tangga mendapatkan keuntungan ganda yaitu
mengurangi frekuensi pembersihan air kolam dan mendapatkan
komoditas aquaponik (sumber pangan hewani dan atau nabati) untuk
kebutuhan konsumsi rumah tangga. Frekuensi pembersihan air kolam
berkurang karena air dari kolam disirkulasi dan disegarkan melalui
akar-akar tanaman yang dibudidayakan secara aquaponik.
Implementasi pertanian kota di tingkat rumah tangga melalui
pemanfaatan pekarangan atau halaman rumah tinggal baik secara
vertikal maupun horisontal, yang merupakan salah satu implementasi
dari konsep smart environment, diharapkan mampu membantu
memenuhi kebutuhan pangan keluarga terutama kebutuhan buah,
sayur, rempah-rempah yang dijadikan bumbu sehari–hari seperti jahe,
kunyit, kencur, daun jeruk purut, daun pandan, lengkuas; menjadi
alternatif diversifikasi pangan keluarga sehingga dalam jangka panjang
mampu mengurangi tingkat konsumsi rumah tangga untuk komoditas
yang rutin dibutuhkan dalam jumlah kecil.
Hasil penelitian Rizal dan Fiana (2015) di kota Balikpapan yang
diikuti oleh 30 rumah tangga dengan strata pekarangan 36 m 2 – 90m2,
yang membudidayakan tanaman beragam (polikultur) menggunakan
kombinasi teknik vertikultur, gantung, tempel, tegak, rak, pot/polibag,
dan tanam langsung, mampu menghasilkan komoditas yang dapat
memenuhi kebutuhan pangan keluarganya. Hasil panen yang
diperoleh mampu menghemat pengeluaran keluarga sebesar Rp
100.000,00 – Rp 200.000,00 dan meningkatkan konsumsi sayuran
dalam keluarga sehingga dapat terpenuhi kebutuhan pangan dan gizi
serta mewujudkan lingkungan hijau yang bersih dan sehat. Hal ini juga
sejalan dengan implementasi konsep smart living dalam smart city
yang menekankan pada kondisi kualitas kesehatan masyarakat dan
keamanan individu.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 307
pemerintah sebagai pengambil kebijakan, akademisi sebagai motor
penggerak inovasi dan teknologi, dan industri (bahan baku/bahan
setengah jadi/produk jadi/jasa).
Ketahanan pangan masyarakat perkotaan perlu dimulai dari diri
masyarakat perkotaan itu sendiri sebagai target sasaran ketahanan
pangan. Perlu ditumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pangan yang
aman, sehat, enak, dan cukup secara kuantitas untuk kebutuhannya,
serta kesadaran bahwa ketersediaan pangan terbatas sehingga
memerlukan kontribusi dan peran masyarakat perkotaan agar bijak
dalam konsumsi pangan. Kesadaran dan contoh baik untuk
berpartisipasi membudidayakan komoditas pangan seperti sayur-
sayuran dan buah-buahan di tingkat rumah tangga juga perlu
ditumbuhkan dalam rangka menjaga ketersediaan pangan di tingkat
rumah tangga. Kesadaran ini diharapkan mampu membentuk pola
pikir dan perilaku cerdas masyarakat perkotaan dalam konsumsi
pangannya, sehingga tidak semata-mata membeli pangan untuk
memuaskan mata dan selera namun lebih diutamakan untuk
memenuhi kebutuhan gizi dalam rangka hidup yang aktif dan sehat.
Pemerintah daerah (kota/kabupaten, provinsi, dan pusat) saling
bersinergi mengembangkan kebijakan dan menyosialiasikan program-
program yang mendorong masyarakat perkotaan (dan perdesaan)
untuk berswasembada pangan dimulai tingkat rumah tangga.
Pemerintah menyediakan saluran-saluran pemasaran dan distribusi
komoditas hasil budidaya masyarakat yang mampu menjamin
kepastian harga dan kualitas. Pemerintah menyediakan insentif bagi
industri mikro/rumah tangga, kecil, dan menengah yang mampu
memanfaatkan dan mengolah potensi lokal (bahan baku pangan lokal)
sehingga menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap produk
pangan lokal.
Akademisi melalui berbagai aktivitas penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat diharapkan mampu memberikan edukasi kepada
masyarakat tentang ketahanan pangan di tingkat rumah tangga
sehingga dapat mengurangi atau menekan kejadian gizi buruk, gizi
kurang, dan gizi lebih. Sosialisasi dan implementasi pertanian kota di
tingkat rumah tangga, salah satunya melalui program Kawasan Rumah
Pangan Lestari, perlu digalakkan, dipantau/dimonioring, dan
308 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
dibudayakan, terutama untuk komoditas-komoditas yang menjadi
kebutuhan rutin rumah tangga, seperti cabai, tomat, sayur-sayuran
daun, sehingga rumah tangga mampu memenuhi kebutuhannya
sendiri dan menumbuhkan mekanisme cadangan pangan keluarga.
Pemerintah dan akademisi bersinergi melakukan pengawasan
terhadap produk-produk hasil olahan masyarakat dan industri pangan
terutama terkait aspek keamanan pangan. Pemerintah menyediakan
saluran komunikasi yang mudah diakses dan dilacak agar masyarakat
dan akademisi dapat menyampaikan laporan, saran, keluhan, dan
perbaikan terhadap sistem pengawasan keamanan pangan di
perkotaan.
Sosialisasi dan implementasi tentang keamanan pangan segar dan
olahan, bahan tambahan pangan, proses pengolahan pangan yang
baik, sanitasi dan higiene produksi pangan di lingkungan rumah tangga
perlu dilakukan secara berkesinambungan hingga menumbuhkan
kesadaran dan mampu mengubah pola pikir, perilaku, dan pola
konsumsi masyarakat perkotaan. Sosialisasi dan pendampingan
terhadap industri pengolahan pangan terutama industri mikro/rumah
tangga, kecil, dan menengah terkait aspek sanitasi dan higiene,
keamanan bahan baku, pengolahan dan penggunaan BTP,
pengemasan, kontinuitas produksi, dan penjaminan mutu.
Ketaatan, komitmen, dan konsistensi industri pangan, skala
mikro/rumah tangga, kecil, menengah, dan besar, untuk
menghasilkan produk pangan yang aman, sehat, enak, dan seoptimal
mungkin menggunakan bahan baku/potensi lokal perlu terus
ditumbuhkan dan diupayakan. Kolaborasi hasil-hasil penelitian di
bidang teknologi pangan dapat terus diwujudkan melalui mekanisme
scale up sehingga dalam jangka panjang akan menjadi salah satu
produk unggulan dan kebanggaan masyarakat, serta mampu
menggerakkan perekonomian.
Terbentuknya jejaring informasi dan pemasaran yang informatif,
mudah diakses, dan terpercaya tentang potensi dan lokasi sumber
pangan lokal akan sangat membantu masyarakat perkotaan dan
industri untuk menghasilkan produk pangan unggulan yang
bersumber pada potensi lokal. Kondisi akan menurunkan
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 309
ketergantungan industri dan masyarakat perkotaan terhadap impor
bahan baku pangan.
PENUTUP
310 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
akademisi, masyarakat perkotaan dan industri pangan membentuk
jejaring informasi dan pemasaran yang informatif, mudah diakses, dan
terpercaya tentang potensi dan lokasi sumber pangan lokal akan
sangat membantu masyarakat perkotaan dan industri untuk
menghasilkan produk pangan unggulan yang bersumber pada potensi
lokal.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 311
DAFTAR PUSTAKA
312 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
2010:295-301, http://seafast.ipb.ac.id/publication/journal/
20101204-Penguatan-Industri-Penghasil-Nilai-Tambah.pdf
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Tahun 2015,
Pemantauan Status Gizi Dilakukan di Seluruh Kabupaten/Kota di
Indonesia. http://www.depkes.go.id/pdf.php?id=16032200005,
diakses pada 15 September 2017
Kementerian Pertanian. (2015). Rencana Strategis Kementerian
Pertanian Tahun 2015 - 2019, Biro Perencanaan, Sektretariat
Jenderal, Jakarta, http://bkp.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/
file/Renstra_BKP_2015-2019_1(1).pdf
Lestari, I., Riana, A.W., & Taftarzani, B.M. (2015). Pengaruh Gadget
pada Interaksi Sosial dalam Keluarga. Prosiding KS : Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat Volume 2, No. 2:147 – 300
Mazeereuw. (2005). Urban Agriculture Report. Region Waterloo.
Public Healt
Nugent, R. (2000). The impact of urban agriculture on the household
and local economies, In: Growing cities, growing food (Ed.: N.
Bakker, M. Dubbeling, S. Gündel, U. Sabel-Koschella and H. de
Zeeuw), DSA, Eurasburg, 76-97
Pinderhughes, R. (2004). Alternative Urban Futures: Planning for
Sustainable Development in Cities Throughout the World. Lanham,
Boulder, New York, Toronto, Oxford: Rowman & Littleield
Publishers.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. (2017). Data dan
Informasi Profil Kesehatan Indonesia 2016. Jakarta.
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/lain-
lain/Data%20dan%20Informasi%20Kesehatan%20Profil%20Keseh
atan%20Indonesia%202016%20-%20%20smaller%20size%20-
%20web.pdf, diakses 27 September 2017
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 313
Putra, Y.M.P. (2016). Angka Gizi Buruk di DIY Masih Tinggi. Antara.
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-
nasional/16/03/18/nasional/daerah/16/05/09/o6x0ds284-angka-
gizi-buruk-di-diy-masih-tinggi diakses 17 September 2017
Saliem, H.P., Purwoto, A., Hardono, G.S., Purwantini, T.B., Supriyatna,
Y., Marisa, Y. dan Waluyo. (2005). Manajemen Ketahanan Pangan
Era Otonomi Daerah dan Perum Bulog. Jakarta: PSEKP-Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
314 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
PEMANFAATAN ILMU AKTUARIA DALAM
MEWUJUDK AN JAMINAN RISIKO BANJIR DI
DALAM KONSEP SMART CITY
Pramono Sidi
PENDAHULUAN
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 315
Penjaminan Risiko (Asuransi)
Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar istilah ‘risiko’.
Berbagai macam risiko, seperti risiko kebakaran, kecelakaan
berkendaraan di jalan, risiko terkena atau terdampak banjir di musim
hujan dan sebagainya, dapat menyebabkan kita menanggung kerugian
jika tidak cermat dalam mengantisipasi risiko-risiko tersebut sejak
awal. Oleh karena di dalam menjalankan kegiatan hidupnya manusia
akan selalu berhadapan dengan risiko, maka risiko menjadi sesuatu
yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Selanjutnya,
bagaimana pengertian risiko dalam asuransi?
Risiko (bahasa Inggris: "risk") merupakan dasar dari asuransi dan
oleh karena itu sebelum mempelajari asuransi secara detail perlu lebih
dulu dipahami arti dari risiko. Pengertian ‘risiko’ dalam asuransi adalah
“ketidakpastian akan terjadinya suatu peristiwa yang dapat
menimbulkan kerugian ekonomis (uncertainty of loss).
Definisi yang lebih sederhana diberikan oleh Kron (2005). Risiko
didefinisikan sebagai kombinasi dari probabilitas terjadinya peristiwa
tertentu dan probabilitas timbulnya kerusakan yang menimbulkan
kerugian jika peristiwa tersebut terjadi (Kron, 2005). Definisi
sederhana ini mengandung dua unsur yaitu: ketidakpastian
(uncertainty) dan kerugian (loss). Kerugian yang dimaksudkan dalam
definisi ini adalah kerugian daIam arti finansial (financial risk), artinya
kerugian tersebut dapat diukur secara finansial atau dinilai dengan
uang. Dalam artikel ini, risiko yang akan dibahas adalah risiko terhadap
banjir.
Asuransi merupakan transaksi pertanggungan yang melibatkan
dua pihak, yaitu tertanggung dan penanggung. Pihak penanggung
menjamin pihak tertanggung, bahwa tertanggung akan mendapatkan
penggantian terhadap suatu kerugian yang mungkin akan dideritanya,
sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula belum tentu akan
terjadi atau yang semula belum dapat ditentukan saat/kapan
terjadinya. Sebagai kontraprestasinya, pihak tertanggung diwajibkan
membayar sejumlah uang kepada pihak penanggung, yang besarnya
sekian persen dari besarnya pertanggungan. Sejumlah uang yang
dibayarkan oleh pihak tertanggung kepada penanggung disebut
“premi”.
316 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Ditilik dari berbagai sudut pandang, maka asuransi mempunyai
tujuan dan teknik pemecahan yang bermacam-macam. Dari segi
ekonomi, maka asuransi bertujuan mengurangi ketidakpastian hasil
usaha yang dilakukan oleh seseorang atau perusahaan dalam rangka
memenuhi kebutuhan atau mencapai tujuan. Dari segi hukum, tujuan
asuransi adalah memindahkan risiko yang dihadapi oleh suatu objek
atau suatu kegiatan bisnis kepada pihak lain. Dari segi tata niaga,
asuransi bertujuan membagi risiko yang dihadapi kepada semua
peserta program asuransi. Dari segi kemasyarakatan, asuransi
bertujuan menanggung kerugian secara bersama-sama antar semua
peserta program asuransi. Sementara itu, dari segi matematis, tujuan
asuransi adalah meramalkan besarnya probabilitas terjadinya risiko,
dan hasil ramalan tersebut dipakai sebagai dasar untuk
membagi/menyebar risiko kepada semua/sekelompok peserta
program asuransi. Hal ini dilakukan dengan menghitung besarnya
kemungkinan (probabilitas) dengan menggunakan Teori Kemungkinan
(Probability Theory), yang dilakukan oleh aktuaris maupun
underwriter.
Karakteristik dan representasi teoritis dari risiko dapat disajikan
dalam bentuk model stokastik dengan efek yang bersifat tetap dan
acak. Penanganan risiko dalam matematika dan aktuaria dilakukan
dengan cara membangun model parametrik untuk distribusi
banyaknya (besarnya) klaim. Harga premi yang berbasis pada biaya
risiko individu merupakan prinsip penentuan (perhitungan) tingkat
harga premi secara aktuaria. Harga premi yang dikenakan kepada
pemegang polis (tertanggung) merupakan perkiraan biaya masa
depan yang terkait dengan besarnya klaim yang akan ditanggung
perusahaan asuransi (pihak penanggung).
Pendekatan premi murni mendefinisikan harga polis asuransi
sebagai rasio dari estimasi semua biaya klaim waktu ke depan -yang
disiapkan untuk membayar kerugian yang dicakup dalam polis
asuransi- terhadap eksposur risiko, ditambah dengan beberapa biaya
tambahan, seperti biaya administrasi. Penentuan tingkat harga premi
asuransi kerugian didasarkan pada distribusi frekuensi klaim dan
distribusi kerugian. Frekuensi klaim didefinisikan sebagai banyaknya
klaim yang terjadi per unit eksposur yang diterima (Norberg, 2007).
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 317
Banjir
Banjir memiliki dua arti yaitu meluapnya air sungai disebabkan
oleh debit air yang melebihi daya tampung sungai pada keadaan curah
hujan tinggi, dan arti kedua adalah banjir merupakan genangan pada
daerah datar yang biasanya tidak tergenang (Suherlan, 2001).
Bencana banjir bisa juga merupakan aspek interaksi antara manusia
dengan alam yang timbul dari proses aktifitas manusia yang mencoba
menggunakan alam yang bermanfaat dan menghindari alam yang
merugikan (Suwardi, 1999).
Banjir dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi apabila
dikelompokkan akan didapatkan tiga faktor yang berpengaruh
tehadap banjir, yaitu unsur meteorologi, karakteristik fisik Daerah
Aliran Sungai (DAS), dan manusia. Unsur meteorologi yang
berpengaruh pada timbulnya banjir adalah intensitas, distribusi,
frekuensi, dan lamanya hujan berlangsung. Karakteristik DAS yang
berpengaruh terhadap terjadinya banjir adalah luas DAS, kemiringan
lahan, ketinggian, dan kadar air tanah. Pengaruh perubahan lahan
terhadap perubahan karakteristik aliran sungai berkaitan dengan
berubahnya areal konservasi dapat menurunkan kemampuan tanah
dalam menahan air. Hal tersebut dapat memperbesar peluang
terjadinya aliran permukaan dan erosi. Sedangkan unsur manusia
berperan pada percepatan perubahan penggunaan lahan seperti
hutan belukar yang lebat.
Dalam skala perkotaan, faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya banjir adalah:
1. Topografi. Kelandaian lahan sangat mempengaruhi timbulnya
banjir terutama pada lokasi dengan topografi datar dan
kemiringan rendah, seperti pada kota-kota pantai. Hal ini
menyebabkan kota-kota pantai memiliki potensi atau peluang
terjadinya banjir yang besar disamping ketersediaan saluran
drainase yang kurang memadai, baik saluran utama maupun
saluran yang lebih kecil.
2. Areal terbangun. Luasnya areal terbangun di kawasan perkotaan
akibat tingkat pembangunan fisik yang tinggi, berdampak pada
bidang peresapan tanah yang semakin mengecil.
318 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
3. Kondisi saluran drainase. Saluran drainase yang tidak memadai
akibat kurangnya pemeliharaan, dan rendahnya kesadaran
penduduk untuk membuang sampah pada tempatnya
menyebabkan terjadinya pendangkalan (Utomo, 2004).
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 319
berkaitan dengan estimasi kerusakan yang nyata (berwujud) dan
langsung.
Estimasi kerusakan akibat banjir yang berwujud langsung adalah
proses yang kompleks, melibatkan sejumlah besar faktor-faktor
hidrologi dan sosial ekonomi. Struktur, input dan output dari model
kerusakan spesifik dijelaskan tidak hanya oleh data yang tersedia,
tetapi juga oleh sifat-sifat model. Sebagai contoh, sementara
perusahaan asuransi membuat model perkiraan kerusakan yang
diasuransikan, instansi pemerintah dan akademisi lebih tertarik pada
penilaian yang akurat dari total besarnya kerugian ekonomis. Semua
model kerusakan yang dibangun didefinisikan berdasarkan tingkat
generalisasi, tetapi dengan tingkat signifikansi di antara model yang
bervariasi.
Hampir dalam semua model, faktor penentu ekspektasi kerusakan
yang digunakan saat ini adalah kedalaman banjir, tapi kadang-kadang
dilengkapi dengan parameter lain seperti kecepatan arus air, durasi,
pencemaran air, pencegahan dan peringatan dini (Messner et al.,
2007). Saat ini telah dikembangkan beberapa model multi-parameter
baru yang konseptual (Nicholas et al., 2001) atau dikembangkan (dan
divalidasi) untuk daerah yang spesifik, misalnya untuk Jepang (Zhai et
al., 2005) atau FLEMO untuk Jerman (Kreibich et al., 2010).
Namun, metode untuk estimasi kerusakan banjir yang paling
umum dan diterima secara internasional masih menggunakan metode
yang menerapkan fungsi-fungsi kedalaman-kerusakan (Smith & Ward.,
1988; Kelman & Spence, 2004; Meyer & Messner, 2005; Merz et al.,
2010; Green et al., 2011). Fungsi-fungsi kedalaman-kerusakan
tersebut menggambarkan hubungan antara kedalaman banjir dan
kerusakan moneter yang terjadi. Fungsi kedalaman banjir diketahui
memberikan ekspektasi kerugian terhadap properti yang spesifik atau
terhadap jenis penggunaan lahan, baik dalam persentase nilai aset
(fungsi relatif) atau langsung dalam syarat-syarat finansial (fungsi
absolut).
Terdapat tingkat ketidakpastian yang signifikan yang digambarkan
dalam bentuk kurva kerusakan, nilai aset dan kerangka metodologi
(Merz et al., 2004). Perbedaan dalam kerangka metodologi pada
model-model kerusakan banjir, misalnya dalam skala spasial
320 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
(berdasarkan objek vs daerah), jenis fungsi-kerusakan (fungsi absolut
vs relatif), kelas/kelompok kerusakan, berdasarkan biaya (biaya
pengganti vs biaya terdepresiasi) dan termasuk sejumlah karakteristik
hidrologi. Sementara beberapa model kerusakan ada yang dibangun
dengan menggunakan data kerusakan empiris, dan metode/model
lain yang didasarkan pada penilaian ahli dikombinasi dengan skenario
genangan buatan.
Pada umumnya dampak banjir dapat bersifat langsung maupun
tidak langsung. Dampak langsung relatif lebih mudah diprediksi
daripada dampak tidak langsung. Dampak yang dialami oleh daerah
perkotaan yang didominasi permukiman penduduk akan berbeda
dengan dampak yang dialami daerah perdesaan yang didominasi oleh
areal pertanian (Priyadarshinee et al., 2015).
Banjir juga merupakan bencana yang relatif paling banyak
menimbulkan kerugian. Kerugian yang ditimbulkan oleh banjir,
terutama kerugian tidak langsung. Banjir yang menerjang suatu
kawasan dapat membuat rumah menjadi berantakan, sehingga
menimbulkan kerugian (Karamouz et al., 2009). Penanganan kerugian
akibat banjir secara menyeluruh dan berkelanjutan menjadi tugas
serta tanggungjawab semua pihak, baik instansi teknis maupun
lembaga lain yang terkait serta masyarakat.
Untuk melakukan pemulihan perumahan dengan pembangunan
kembali, pemerintah dan organisasi kemanusiaan memang sudah
memberikan bantuan biaya. Namun, biaya yang diberikan oleh
pemerintah dan organisasi kemanusiaan tidak sepenuhnya dapat
mencukupi semua biaya pembangunan rumah yang diperlukan
(Jonkman et al., 2008; Paudel et al., 2013). Untuk itu, kesadaran
masyarakat dalam mengantisipasi penyediaan dana untuk mengatasi
biaya pembangunan kembali rumahnya yang rusak akibat banjir perlu
terus ditingkatkan, baik di wilayah perdesaan maupun kota (Sagala et
al., 2014).
Salah satu alternatif antisipasi penyediaan dana yang dapat
ditempuh adalah dengan cara menjadi peserta asuransi kerugian
banjir. Asuransi merupakan mekanisme untuk menghadapi risiko dan
memungkinkan kegiatan seperti pembayaran konpensasi yang
dijanjikan dapat dilakukan. Mekanisme dalam manajemen asuransi
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 321
mensyaratkan bahwa mekanisme tersebut dapat dijalankan setelah
bencana terjadi (Kousky & Shabman, 2014; Landry & Jahan-Parvar,
2009). Memang produk asuransi kerugian banjir ini sudah banyak
ditawarkan, dan sebagian masyarakat di kota/daerah yang terdampak
banjir sudah pula menjadi peserta asuransi tersebut. Ketika bencana
banjir terjadi, korban dapat mengklaim pembayaran keuangan untuk
mengganti dan membangun kembali rumah mereka yang hancur.
Selanjutnya, suatu hal yang perlu dilakukan oleh perusahaan
asuransi adalah secara periodik mengevaluasi perhitungan penetapan
besarnya premi. Hal ini penting dilakukan agar dapat dijaga
keseimbangan finansial antara peserta asuransi dengan perusahaan
penjaminan (Paudel et al., 2013). Artinya, besarnya premi tidak
memberatkan peserta asuransi, dan perusahaan asuransi juga tidak
mengalami kerugian akibat sejumlah klaim yang diajukan (Ermolieva
et al., 2013; Jongejan & Vrijling, 2009).
322 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
wilayah. Salah satu disiplin ilmu yang sangat berpengaruh dalam
penanggulangan masalah banjir adalah dengan bantuan aplikasi
Sistem Informasi Geografis (SIG) yang diterapkan untuk identifikasi
dan pemetaan kawasan berpotensi banjir (Purnama, 2008).
Upaya-upaya untuk mengatasi banjir telah dilakukan antara lain
dengan melakukan pengerukan sedimen, merehabilitasi tanggul
sungai untuk menambah kapasitas daya tampung debit sungai,
peningkatan kemampuan meresapnya air hujan dari setiap
penggunaan lahan baik daerah hulu maupun hilir, dan menghindari
daerah rawan banjir atau bantaran sungai sebagai tempat
pemukiman.
Setiap terjadi banjir, pemerintah dan beberapa organisasi sosial
selalu memberikan bantuan dana untuk perbaikan bangunan. Tetapi
bantuan yang diberikan sangatlah terbatas, sehingga tidak dapat
mencakup seluruh biaya kerugian, apalagi jika terjadi hilangnya nyawa
dalam musibah banjir. Disini, kehadiran produk asuransi untuk
menjamin risiko kerugian harta benda dan hilangnya nyawa sangatlah
penting.
Dalam perkembangannya, pola atau gaya hidup masyarakat
perkotaan di Indonesia saat ini sudah mulai berubah, yaitu menuju
pada kesadaran bahwa hidup manusia selalu mengandung risiko.
Besar kecilnya risiko tergantung dari perilaku manusia itu sendiri.
Salah satu yang terlihat signifikan adalah kesadaran masyarakat
tentang bagaimana masyarakat meminimalkan risiko yang dianggap
penting agar dapat menjalani kehidupan yang lebih baik (Sidi, 2016).
Disinilah peranan ilmu aktuaria dalam mewujudkan sistem
pertanggungan atau jaminan terhadap risiko, khususnya pada risiko
banjir.
Perlindungan terhadap bencana banjir membutuhkan koordinasi
yang terencana. Di negara maju, penanganan bencana banjir diatur
oleh suatu program yang dibuat oleh pemerintah yaitu Program
Asuransi Banjir. Program Asuransi Banjir dari pemerintah ini saling
bersubsidi dengan program asuransi banjir yang tersedia bagi pemilik
real estate atau rumah dan pemilik mobil yang terletak di daerah
bahaya banjir, sejauh komunitas peserta program asuransi banjir turut
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 323
berpartisipasi dalam Program Asuransi Banjir yang digagas
pemerintah.
Program Asuransi Banjir membutuhkan pemerintah sebagai badan
pengatur (regulator) keuangan dan pembuat peraturan asuransi
banjir. Aksi Perlindungan Bencana Banjir mengadopsi peraturan yang
telah dibuat pemerintah, dan melarang lembaga pemberi pinjaman
swasta untuk turut serta melakukan pengaturan (regulasi) –mulai dari
pembuatan, peningkatan, perluasan atau pembaharuan pinjaman
dengan cara meningkatkan jaminan real estate atau rumah,
meningkatkan jaminan mobil yang terletak atau berada di daerah
bahaya banjir- kepada komunitas yang berpartisipasi dalam Program
Asuransi Banjir, kecuali pihak properti memberikan pinjaman yang
aman yang di dalamnya mencakupi asuransi banjir.
Program Asuransi Banjir didisain untuk meningkatkan partisipasi
warga negara dalam Program Asuransi Banjir, dan meningkatkan
kepatuhan warga negara terhadap pemenuhan persyaratan asuransi
banjir sehingga keikutsertaan dalam program ini membantu
memberikan dana tambahan kepada Dana Asuransi Banjir dalam
rangka mengurangi beban keuangan dampak korban banjir.
Program Asuransi Banjir mempunyai dua bentuk yang berbeda,
yaitu program darurat dan program regular. Program Darurat Banjir
diperuntukkan bagi komunitas yang pertama kali masuk dalam
Program Asuransi Banjir. Program ini adalah program interim yang
menyediakan tingkat asuransi banjir yang lebih rendah pada struktur
yang memenuhi syarat untuk disubsidi. Dalam program ini dikeluarkan
peta daerah bahaya banjir yang menetapkan batas-batas bahaya
banjir untuk menentukan apakah properti berlokasi di daerah dataran
banjir. Selanjutnya, suatu komunitas yang telah menjadi anggota
Program Darurat Banjir akan diterima di Program Reguler setelah
melengkapi persyaratan khusus. Program Reguler menyediakan
cakupan asuransi penuh untuk struktur yang memenuhi syarat dan
memerlukan tambahan tanggung jawab manajemen banjir bagi
masyarakat.
Untuk masuk dalam Program Reguler, suatu komunitas akan
diteliti dan dipelajari secara rinci, serta apabila telah dinyatakan
lengkap akan langsung masuk dalam Program Reguler. Selanjutnya,
324 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
peta tingkat asuransi banjir untuk wilayah segera dikeluarkan oleh
Pemangku Daerah Bahaya Banjir. Peta pada Program Reguler
menggambarkan masyarakat disertai tingkat bahaya dari peluang
banjir, serta mencakup identifikasi wilayah yang lebih spesifik
dibandingkan peta batas bahaya banjir yang digunakan pada Program
Darurat Banjir. Peta tersebut juga menunjukkan dasar peningkatan
banjir yang menggambarkan kedalaman atau ketinggian banjir.
Program Asuransi Banjir meng-cover (mencakupi, melingkupi)
properti perumahan yang terletak atau berada di daerah yang
memiliki bahaya banjir khusus. Pada umumnya setiap struktur yang
diasuransikan memberlakukan polis asuransi yang terpisah, meskipun
Daerah Bahaya Banjir tidak memberikan pertimbangan khusus untuk
beberapa bangunan non hunian. Berikut jenis struktur yang
memenuhi syarat untuk cakupan Program Asuransi Banjir:
a. bangunan perumahan, industri, komersial, dan pertanian dengan
struktur berdinding dan beratap, dan yang terutama berdiri atas
tanah,
b. bangunan berkonstruksi dengan pinjaman pembangunan
digunakan untuk membangun dan melakukan perbaikan
bangunan di atas tanah, dan dalam hal ini asuransi dibeli dengan
mengikuti konstruksi bangunan baru,
c. kondominium, dan
d. cakupan asuransi banjir juga disediakan untuk properti pribadi dan
peraturan asuransi lain untuk real property. Properti yang
diasuransikan kondisinya harus memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan dalam peraturan asuransi
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 325
Skema kompensasi yang efektif untuk penanganan bencana banjir
disiapkan agar dapat memperbaiki dampak banjir. Pasar asuransi di
negara-negara Masyarakat Eropa ditata dengan berbagai aturan, dan
skema kompensasi kerugian banjir tersebut berbeda-beda untuk
masing-masing negara (Schwarze & Wagner, 2009). Perbedaan ini
sebagian muncul dari adanya beragam pandangan tentang peran
asuransi swasta atau sektor publik yang harus bermain pada
kompensasi kerugian bencana alam, dan juga mungkin dipengaruhi
oleh perbedaan karakteristik dari risiko banjir yang dihadapi oleh
masing-masing negara (Bouwer et al., 2007).
Sebuah kendala yang mungkin akan menghambat sistem asuransi
banjir berfungsi dengan baik adalah keberadaan individu-individu
tidak "memainkan peran" dalam sistem asuransi tersebut dan
membeli asuransi. Beberapa studi menunjukkan bahwa dalam
praktiknya banyak individu tidak berfikir secara rasional dalam
menimbang antara biaya asuransi (premi) yang harus
dikeluarkan/dibayarkan dengan besarnya manfaat yang akan
diperoleh sehingga dapat mengurangi tingkat risiko.
Ekspektasi asuransi dalam mengurangi tingkat risiko telah
diasumsikan dalam teori utilitas yang merupakan salah satu teori
dalam ekonomi tradisional tentang pengambilan keputusan individual
di bawah tekanan risiko (Kunreuther, 1973; Kunreuther & Pauly, 2004;
Krantz & Kunreuther, 2007). Fakta di negara maju seperti Amerika
Serikat tidak sejalan dengan teori utilitas ini.
Contoh ketidakmampuan masyarakat Amerika Serikat berpikir
rasional adalah banyaknya pemilik rumah di negara tersebut yang
tidak membeli asuransi banjir, bahkan untuk membeli premi atas
ekspektasi kerugian yang sudah di depan mata, atau bahkan dalam
beberapa kasus preminya disubsidi (Dixon et al., 2006). Fakta tersebut
bertentangan dengan ekspektasi teori utilitas yang memprediksi
bahwa individu akan meminimalkan risiko dengan membeli premi
asuransi banjir. Dengan demikian, banyak orang yang mengabaikan
peluang mengurangi risiko terhadap bencana banjir. Penelitian-
penelitian lain menyimpulkan bahwa banyak juga orang yang terlalu
melebih-lebihkan dengan berpendapat bahwa peluang mengurangi
risiko banjir dengan membeli asuransi atas banjir justru berdampak
326 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
tinggi dalam menambah kerugian bagi pembeli polis asuransi, apalagi
jika preminya jauh di atas kerugian yang diperkirakan (Botzen et al.,
2009;. Laury et al., 2009).
Untuk mengevaluasi program pinjaman dan asuransi, digunakan
data nilai properti yang dikumpulkan oleh Survei Properti Residensial
dan Komersial (Robillard, 1975). Setiap properti yang digunakan untuk
penelitian diklasifikasikan menurut ukuran dan kondisi bangunan, nilai
perabot interior, dan ada atau tidaknya ruang bawah tanah. Dengan
data dan informasi tahap-tahap kerusakan, dimungkinkan untuk
memperkirakan potensi kerusakan berdasarkan nilai tunai aktual dari
setiap properti.
Pemodelan Matematika
Pemodelan Matematika merupakan salah satu tahap dari
pemecahan masalah matematika. Model merupakan simplifikasi atau
penyederhanaan fenomena-fenomena nyata dalam bentuk
matematika. Model matematika yang dihasilkan, dapat berupa bentuk
persamaan, pertidaksamaan, sistem persamaan atau lainnya terdiri
atas sekumpulan lambang yang disebut variabel atau besaran yang
kemudian di dalamnya digunakan operasi matematika seperti tambah,
kali, kurang, atau bagi. Dengan prinsip-prinsip matematika tersebut,
dapat dilihat apakah model yang dihasilkan telah sesuai dengan
rumusan sebagaimana formulasi masalah nyata yang dihadapi.
Hubungan antara komponen-komponen dalam suatu masalah yang
dirumuskan dalam suatu persamaan matematik yang memuat
komponen-komponen itu sebagai variabelnya, dinamakan model
matematik, dan proses untuk memperoleh model dari suatu masalah
dikatakan pemodelan matematika.
Ada beberapa model matematika yang akan diperkenalkan oleh
penulis dalam kaitannya dengan kemampuan model tersebut
mengatasi masalah banjir, seperti yang akan dijelaskan secara singkat
berikut ini.
Pengendalian banjir dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
metode struktur dan non-struktur. Metode struktur secara garis besar
dapat dilakukan dengan cara perbaikan, pengaturan sistem sungai dan
mendirikan bangunan pengendali banjir. Sedangkan metode non-
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 327
struktur dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya adalah
dengan melakukan prediksi potensi terjadinya banjir, dan ini bisa
menggunakan suatu pemodelan matematika.
Penggunaan model matematika dapat untuk mengurangi
kesalahan dan mengefisienkan waktu dalam proses perhitungannya.
Salah satu model yang sangat terkenal, yang dapat digunakan untuk
melakukan prediksi potensi terjadinya banjir adalah model
Muskinghum (Hendri & Inra, 2007). Model Muskinghum termasuk
model yang cukup akurat dalam memperkirakan debit banjir dengan
tingkat kesalahan 14 persen, dan kesalahan prediksi waktu debit
puncak rata-rata 0,16 jam (Hendri & Inra, 2007).
Prinsip dasar penyeselesaian perhitungan banjir dengan metode
Muskinghum adalah kelengkapan data pengukuran debit pada bagian
hulu dan hilir sungai yang didapatkan pada waktu bersamaan.
Pengukuran ini sangat penting untuk mendapatkan nilai tampungan
yang terjadi pada penampang sungai yang ditinjau. Nilai ini yang akan
digunakan untuk menentukan besar faktor pembobot x dan koefisien
tampungan k (Arifiani, 2008).
Pada umumnya, perhitungan dalam penelusuran banjir melalui
palung sungai secara manual sukar untuk diselesaikan dalam waktu
singkat, karena waktu t harus dibagi menjadi periode-periode Δt
yang lebih kecil. Periode waktu tersebut dinamakan periode
penelusuran (routing period), dan memerlukan penyelesaian dengan
model numerik untuk menghasilkan nilai yang lebih valid (Hendri &
Inra, 2007).
Penggunaan metode Muskinghum dalam penelusuran banjir
dilakukan dengan asumsi bahwa:
(a) tidak ada anak sungai yang masuk ke dalam bagian memanjang
dari palung sungai yang diobservasi, dan
(b) pertambahan dan berkurangnya air karena curah hujan, aliran
masuk dan keluar air tanah, serta evaporasi, dianggap tidak ada.
328 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
menyeluruh. Selanjutnya, secara umum persamaan kontinuitas yang
digunakan dalam penelusuran banjir adalah:
dS
= I-Q (1)
dt
S k xI 1 x Q (4)
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 329
dengan k konstanta dan x bobot (weight) yang besarnya 0 x 1
(biasanya x 0,5 ); dan dalam banyak hal nilai x besarnya kira-kira
0,3. Menurut Hendri dan Inra (2007), untuk sungai-sungai yang terjadi
karena bentukan alam maka besarnya x adalah 0,2 x 0,3 .
Semakin curam kemiringan sungai, semakin besar nilai x , dan pada
kasus tertentu x dapat bernilai negatif. Jika S berdimensi volume,
I dan Q berdimensi debit air, maka k harus berdimensi waktu (detik,
menit, jam atau hari).
Berdasarkan persamaan (4), dapat dibuat persamaan-persamaan
sebagai berikut:
S1 k xI1 1 x Q1 (5)
S2 k xI2 1 x Q2 (6)
330 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
atau tidaknya model matematis tersebut dengan data yang digunakan
dapat ditunjukkan dengan mengukur besarnya nilai r 2 yang disebut
koefisien determinasi (coefficient of determination). Koefisien
determinasi dalam statistika dapat diinterpretasikan sebagai proporsi
dari variasi yang ada dalam nilai y yang dijelaskan oleh model
persamaan regresi. Dengan kata lain, koefisien determinasi
menunjukkan seberapa jauh kesalahan dalam memperkirakan
besarnya nilai y dapat direduksi dengan menggunakan informasi yang
dimiliki variabel x . Model persamaan regresi dianggap sempurna
apabila nilai r 2 1 . Sebaliknya, apabila variasi yang ada pada nilai y
tidak ada yang bisa dijelaskan oleh model persamaan regresi yang
diajukan, maka nilai r 2 0 . Dengan demikian, model persamaan
regresi dikatakan semakin baik apabila besarnya r 2 mendekati 1
(Asdak, 2010).
Secara matematis, besarnya koefisien determinasi dihitung
dengan rumus yang diberikan pada persamaan (12) berikut ini:
x y
2
xi yi
i i
n
r2
(12)
xi 2 i yi 2 i
2 2
x y
n n
2
dengan r = koefisien determinasi, n = jumlah data, dan xi , yi = data
pengamatan lapangan.
Selain koefisien determinasi, terdapat koefeisien korelasi yang
dapat menunjukkan kuatnya hubungan antara dua variabel, misalnya
fluktuasi debit dengan curah hujan atau tataguna lahan. Kedua
variabel ini mempunyai hubungan sebab-akibat. Koefisien korelasi
merupakan ukuran kuantitatif untuk menunjukkan “kuat”nya
hubungan antara kedua variabel tersebut. Meskipun demikian, fakta
lapangan menunjukkan bahwa fluktuasi debit aliran yang berkorelasi
dengan presipitasi atau tataguna lahan tidak selalu memberikan
implikasi bahwa setiap perubahan pola presipitasi atau tataguna lahan
akan selalu mengakibatkan terjadinya perubahan debit aliran (Asdak,
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 331
2010). Selain menggunakan model regresi linier sederhana, kerugian
material yang diakibatkan oleh banjir dapat dievaluasi dengan
menggunakan model regresi linear ganda.
Pemodelan matematika juga digunakan untuk menganalisis model
evaluasi premi asuransi terhadap risiko kerusakan bangunan akibat
banjir. Misalkan F adalah himpunan variabel acak non-negatif yang
didefinisikan pada ruang probabilitas , K , P . Variabel acak F
disebut sebagai risiko yang dihadapi oleh penanggung (insurer), dalam
hal ini adalah perusahaan asuransi. Misalkan pula H adalah fungsi
yang dijadikan sebagai dasar perhitungan premi, artinya fungsi
H merupakan pemetaan dari himpunan F yang nilai-nilainya berada
dalam himpunan bilangan real non-negatif. Dalam hal ini, fungsi H
menyatakan suatu nilai dari variabel risiko, yaitu premi asuransi.
Fungsi H memiliki sifat-sifat dasar sebagai berikut (Mircea et al.,
2008):
a. independensi, artinya bahwa H X hanya bergantung pada fungsi
distribusi kumulatif dari variabel acak X ,
b. risiko beban (loading risk), artinya H X E X , untuk setiap
X F , dengan E X adalah nilai ekspektasi dari variabel acak X ,
c. kerugian maksimum (maximum loss), artinya bahwa
H X H sup X , untuk setiap X F , sehingga besar premi
tidak melebihi nilai perhitungan dasar untuk kemungkinan
besarnya kerugian,
d. translasi invarian, artinya H X a H X a , untuk setiap X F
dan untuk setiap a 0 ,
e. skala invarian atau homogenitas derajat satu (homogenity of
degree one), yang menyatakan H bX bH X , untuk setiap
X F dan untuk setiap b 0 ,
f. kemonotonan (monotony), artinya jika X Y , untuk setiap
, maka H X H Y ,
g. kedominanan stokastik tingkat pertama (the first order stochastic
dominance), berarti jika SX X SY t , untuk setiap t 0 , maka
332 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
H X H Y , dengan SX t Pr X t merupakan fungsi
survival.
h. kekontinyuan (continuity), artinya lim H max X a;0 H X ,
a 0
H X 1 E X , 0 (13)
E X e X
H X X (16)
E e
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 333
H X S X t dt , 0 c 1
c
(17)
0
334 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
H X E X E X E X , 0 dan 0 1 (21)
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 335
(1 k ) nk vk Rc (k) (1 k ) c Nk Vk k
k n
1
j k 1
j N j Vj . j (1 j )
(1 i) j k 1
(22)
k 1
dengan Rc (k) u0 j N j Vj j (1 j ) (1 i)k j 1 dan i tingkat
j 1
bunga tahunan.
Program bantuan alternatif telah dievaluasi dengan
membandingkan biaya penyediaan bantuan bencana untuk korban
banjir sehingga rasio tersebut setara antara swasta dan pemerintah.
Biaya swasta untuk individu dapat diukur secara langsung melalui
biaya premi asuransi yang dibayar individu. Sedangkan biaya
pemerintah timbul ketika dimunculkan subsidi untuk mengurangi
premi yang dibayar oleh individu, dengan ketentuan biaya asuransinya
dikalkulasi berdasarkan perhitungan aktuaria. Manfaat bagi individu
tergantung pada tingkat penggantian nantinya terhadap kerugian
karena banjir.
Pinjaman tidaklah sama dengan asuransi "murni" karena pada
pinjaman tidak ada beban sebelum kerugian. Program pinjaman tidak
mengurangi ketidakpastian kerugian yang dialami, tetapi hanya
mengurangi besarnya biaya yang dikeluarkan untuk kerugian yang
tidak terjadi. Pelaksanaan program pinjaman memungkinkan individu
untuk menggeser beban kerugian kepada pemerintah pada saat
bencana, dan dengan demikian asumsinya menunda ulang kerugian
sampai pembayaran pinjaman kembali.
Evaluasi program pinjaman terpusat pada biaya pengembalian
yang didiskon atas dasar pembayaran tahunan, seperti yang
dinyatakan dalam model matematika pada persamaan (23) berikut ini.
i N 1
C * LN (23)
1 1 i k 1 1 r
N k
336 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
pokok pinjaman sama dengan jumlah kerugian yang terjadi (Selby,
1968).
Jika i r maka nilai sekarang dari biaya pengembalian sama
dengan pokok pinjaman. Dalam kasus pasar modal yang tidak
sempurna, maka i r , artinya nilai sekarang biaya pinjaman kurang
dari pokok pinjaman awal. Perbedaan ini (subsidi implisit)
memungkinkan pinjaman berfungsi sebagai alternatif untuk asuransi
banjir.
Pengembalian modal bersih dari bantuan hibah diketahui tetap,
sedang manfaat dari program pinjaman ditentukan oleh perbedaan
antara suku bunga kredit aktual dengan biaya pinjaman secara
individu [lihat persamaan (27)].
Jika suku bunga kredit sama dengan biaya pinjaman pemerintah,
maka manfaat pinjaman ini diberikan tanpa biaya eksplisit terhadap
pemerintah. Hal ini serupa dengan subsidi pinjaman yang terbentuk
oleh penghapusan ketidakekuitasan yang terjadi di pasar uang. Jika
suku bunga kredit ditetapkan di bawah biaya pinjaman berdasar
aturan pemerintah, secara eksplisit tetap ada biaya yang
diakibatkannya.
Tingkat subsidi tambahan mengharuskan pemerintah membayar
perbedaan biaya yaitu antara biaya tahunan peminjam pada suku
bunga kredit aktual i dengan jumlah peminjam yang akan dibayar
dengan tingkat bunga dari pemerintah, yang didefinisikan oleh g .
Diskon selama masa pinjaman sebagai biaya subsidi pinjaman
pemerintah ini secara matematis dapat dinyatakan dengan persamaan
(24) sebagai berikut:
i N 1
SG LN 1
k (24)
1 1 i k 1 1 g
N
N 1 1 i N k 1 1
SIP LN t i (26)
k 1 1 1 i
1 g
N k
dengan besaran dalam tanda kurung pertama adalah proporsi saldo
pinjaman dalam periode dan diskonto dihitung pada suku bunga
pinjaman yang lebih rendah g untuk menjamin evaluasi subsidi yang
sama baik oleh pemerintah maupun individu. Dengan demikian, total
nilai transfer subsidi pajak menjadi
N
1 1 i
N k 1
1
ST LN t 1 i
k
(27)
k 1 1 1 i 1 g
N
C C * ST (7d) (28)
338 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Faktor-faktor serupa yang menentukan biaya program pinjaman
kepada pemerintah dapat dihitung dengan menggunakan model
matematis (29) sebagai berikut
S SG ST (29)
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 339
Perbincangan mengenai gempa bumi dan tsunami di wilayah
selatan Pulau Jawa dan dampak negatifnya serta kesulitan yang
dihadapi pemerintah dalam menolong rakyatnya masih terus
dilakukan. Data korban jiwa dan harta benda belum selesai dihimpun.
Entah berapa lagi korban manusia dan harta benda yang tertelan
peristiwa itu. Dari aspek geografis, klimatologis, dan geologis,
Indonesia berada di bawah ancaman bencana alam. Berada di antara
dua benua dan dua samudra, serta puluhan gunung api aktif,
Indonesia sangat rawan tanah longsor, badai, dan letusan gunung
berapi. Belum lagi ancaman banjir dan kekeringan.
Posisi Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga lempeng
benua, yaitu lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik, menjadikan
wilayah Indonesia termasuk dalam Pacific Ring of Fire yang bisa
menimbulkan gempa dahsyat. Dari aspek demografis, besarnya
populasi dapat memicu bencana kerusuhan atau bencana akibat ulah
manusia (man made disaster). Atas dasar itulah Rancangan Undang-
Undang Penanggulangan Bencana (RUUPB) diusulkan DPR.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana direncanakan meliputi
empat bidang, yaitu pengurangan risiko bencana, penanganan
tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi, serta penatakelolaan
bencana. RUUPB didesain untuk menggeser cara pandang respons
darurat yang berorientasikan jangka pendek menuju ke arah
manajemen risiko bencana (catastrophe risk management) yang lebih
menjamin keberlangsungannya (sustainability).Namun sayang, RUUPB
sama sekali tidak menyinggung aspek asuransi.
Sebagai salah satu teknik pengelolaan risiko, tak perlu disangsikan
bahwa asuransi dapat berkontribusi pada tahap mitigasi risiko
bencana, tahap rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Pada
tahapan mitigasi risiko, perusahaan asuransi bisa berpartisipasi
sebagai pihak yang memberikan edukasi kepada masyarakat
mengenai cara-cara memperkecil kerugian akibat bencana. Dalam
kasus bencana alam, beberapa jenis asuransi bisa memberikan ganti
rugi, dengan frekuensi tersering dimulai dari asuransi harta benda,
asuransi kendaraan bermotor, asuransi kecelakaan diri, asuransi jiwa,
atau asuransi kesehatan.
340 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Asuransi harta benda yang diperluas dengan jaminan risiko gempa
bumi, rusaknya bangunan akibat gempa bumi atau tsunami bisa
mendapatkan penggantian dari perusahaan asuransi. Juga tersedia
asuransi bencana, seperti banjir, tanah longsor, letusan gunung
berapi, atau bahkan kerusuhan sosial, yang selalu inheren dengan
bencana adalah korban manusia. Asuransi kecelakaan diri bisa
memberikan penggantian biaya pengobatan atau memberi santunan
cacat. Jika korban tewas, asuransi jiwa akan memberikan santunan
kepada ahli waris. Bencana juga selalu menimbulkan pengungsi yang
sering kali rentan terserang penyakit, maka disinilah pentingnya
asuransi kesehatan. Pengungsi bisa berobat ke rumah sakit dengan
biaya ditanggung perusahaan asuransi.
Pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, setiap terjadi bencana,
pemerintah selalu mengambil/menggunakan dana APBN untuk
rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk Yogyakarta dan sekitarnya,
pemerintah menggelontorkan sedikitnya Rp 6 triliun, dan PBB pun
membantu lebih dari 80 juta dollar AS. Pada situasi ini, perusahaan
asuransi bisa berkontribusisi lebih banyak. Biaya rekonstruksi dan
rehabilitasi dalam bentuk pembangunan rumah atau fasilitas umum
tidak semuanya akan menjadi tanggungan pemerintah.
Melalui RUUPB, pemerintah bisa menstimulus, bahkan bila perlu
mewajibkan masyarakat (secara bertahap) agar mengasuransikan
harta benda dan jiwanya. Sebagian masyarakat kita masih berpikir
asuransi adalah nomor kesekian dalam prioritas hidupnya. Apalagi
masyarakat menengah ke bawah yang masih lebih fokus pada
pemenuhan kebutuhan dasarnya.
Saat terjadi bencana, Departemen Sosial mengambil peran yang
pertama adalah mengoordinasi evakuasi korban dan bantuan sosial,
dan kedua, memfungsikan jaminan sosial yang menjamin asuransi jiwa
dan asuransi kesehatan. Adapun untuk kerusakan aset tidak tersedia
jaminan sosial, oleh karena itu diperlukan asuransi wajib. Subsidi
pembangunan rumah dari pemerintah pascabencana hanya bersifat
jangka pendek. Idealnya, pemerintah membuat skema asuransi wajib
untuk risiko bencana yang merupakan perluasan dari asuransi
kebakaran.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 341
Beberapa negara berkembang seperti Turki, Iran, dan China telah
mempunyai asuransi wajib. Di Turki misalnya, pemerintah mewajibkan
asuransi gempa bumi pada rumah, ruko, maupun apartemen melalui
The Turkish Catastrophic Pool. Untuk kasus ini, pada tahun 2000
ditetapkan limit harga pertanggungan sebesar 50.000 dollar AS,
dengan premi tahunan sebesar 47 dollar AS.
Dalam setiap bencana, persentase klaim asuransi hanya sebagian
kecil dari total kerugian. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di
Amerika Serikat, yang masyarakatnya sadar berasuransi (insurance
minded), tidak semua mengasuransikan rumahnya terhadap ancaman
bencana. Hasil riset National Hurrican Survival Initiative yang dirilis 16
Mei 2006 menyatakan, sepertiga rumah di wilayah rentan badai tidak
ada asuransinya.
Hal yang sama terjadi di Jepang. Gempa bumi yang mengguncang
Kobe pada Januari 1995 menghancurkan 100.000 bangunan dan 6.500
orang tewas dengan kerugian material lebih dari 110 miliar dollar AS.
Klaim asuransi “hanya” 6 juta dollar AS atau kurang dari 5 persen
bangunan yang diasuransikan.
Dimasukkannya aspek asuransi dalam RUUPB akan memberikan
banyak manfaat bagi korban bencana, pemerintah, dan industri
asuransi. Dorongan berasuransi oleh pemerintah akan meningkatkan
kesadaran masyarakat Indonesia. Efeknya, pertumbuhan industri
asuransi di Indonesia semakin baik.
Tahap awal, yang paling mendesak adalah asuransi bencana
terhadap rumah tinggal. Selanjutnya melangkah pada asuransi
kecelakaan diri, asuransi jiwa, dan seterusnya. Asosiasi asuransi
(umum dan jiwa) hendaknya berinisiatif untuk mengajukan usulan
konkret semacam Catastrophe Risk Management kepada pemerintah
yang antara lain untuk mengetahui besar kecilnya risiko suatu daerah
terhadap bencana tertentu, serta cara penanggulangan risiko
katastropik dengan memanfaatkan metodologi manajemen risiko.
Bank Dunia juga telah mengirim utusannya ke Indonesia untuk
membicarakan asuransi bencana ini, dan siap memberikan asistensi.
Pemerintah Indonesia tengah mengupayakan untuk
mengeluarkan aturan terkait asuransi bencana alam seperti banjir. Hal
itu dilakukan untuk mengantisipasi kerugian dan mencegah
342 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
ketidakpastian akibat bencana. Namun, sampai sekarang masih
berbentuk format, dan karena belum ada bentuk yang resmi, maka
belum menjadi aturan.Tetapi, pada intinya adalah daripada
mengandalkan dana cadangan yang jumlahnya terlalu kecil sedangkan
bencana yang terjadi menimbulkan kerugian yang besar, lebih baik
mengambil amannya saja, yaitu menggunakan asuransi sebagai
sesuatu yang lebih pasti (Brojonegoro, 2013).
PENUTUP
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 343
Untuk itu, Indonesia sudah saatnya perlu mengembangkan
produk-produk asuransi yang berbiaya premi rendah, yang kemudian
disebut dengan Asuransi Mikro (Micro Insurance). Bursa asuransi
mikro adalah kesempatan bagi para pemangku kepentingan di
Indonesia untuk belajar dari pengalaman internasional dalam
menyediakan perlindungan bagi masyarakat miskin dari sisi
keuangannya. Penting halnya agar solusi asuransi mikro untuk
Indonesia muncul dari negara ini, oleh karena itu bursa ini juga
memberikan ruang bagi para pelaku industri di tingkat akar rumput
untuk menunjukkan inovasi mereka.
Asuransi mikro bagi kelompok keluarga berpendapatan rendah
berpotensi untuk menstimulasi industri asuransi dalam menciptakan
produk-produk yang inovatif dan kompetitif. Hal ini juga akan
memberikan alternatif bagi pemerintah untuk membayarkan Bantuan
Langsung Tunai bagi masyarakat miskin dengan lebih efisien. Asuransi
Mikro adalah salah satu komponen kunci bagi keuangan secara
inklusif, dan Bank Dunia akan membantu pengembangan inisiatif ini
serta membagi pengetahuan dan pengalaman international bagi
Indonesia.
Penulisan lanjutan tentang Asuransi Mikro akan dilaksanakan pada
kegiatan penulisan Buku Wisuda Mahasiswa Universitas Terbuka
tahun 2018.
344 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
DAFTAR PUSTAKA
Asian Development Bank & The World Bank. (2010). Pakistan floods
2010: Preliminary damage and needs assessment. Islamabad:
Asian Development Bank.
Barnosky, A. D., Hadly, E. A., Basompte, J., Berlow, E. L., Brown, J. H.,
Fortelius, M., Getz, W. M., Harte, J., Hastings, A., Marquet, P. A.,
Martinez, N. D., Mooers, A., Roopnarine, P., Vermeij, G., Williams,
J. W., Gillespie, R., Kitzes, J. U., Marshall, C., Matzke, N., Mindell,
D. P., Revilla, E., & Smith, A. B. (2012). Approaching a state shift in
Earth’s biosphere. Nature, 486, 52–58. http://dx.doi:
10.1038/nature11018.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 345
Bouwer, L. M., Bubeck, P., & Aerts, J. C. J. H. (2010). Changes in
futureflood risk due to climate and development in a Dutch polder
area. Global Environ. Chang., 463–471.
Dixon, L., Clancy, N., Seabury, S. A., & Overton, A. (2006). The National
flood insurance program’s market penetration rate: Estimates and
policy implications. Washington, DC: American Institutes for
Research.
346 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Hendri, A., & Inra, M. S. (2007). Pemodelan penlusuran banjir dengan
Metode Muskinghum. Paper. Lembaga Penelitian Universitas Riau,
Riau.
Karamouz, M., Imani, M., Ahmadi, A., & Moridi, A. (2009). Optimal
flood management options with probabilistic optimization: A case
study. Iranian Journal of Science & Technology, Transaction B,
Engineering, 33(B1), 109-121.
Kousky, C., & Shabman, L. (2014). Pricing flood insurance: How and
why the NFIP differs from a private insurance company. Discussion
Papers. October 2014, RFF DP 14-37.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 347
Krantz, D. H. & Kunreuther, H. C. (2007). Goals and plans in decision
making. Judgment Decision Making, 2, 137–168.
Kreibich, H., Seifert, I., Merz, B., & Thieken, A. H. (2010). Development
of FLEMOcs: A new model for the estimation of flood losses in
companies. Hydrological Sciences Journal, J. Sci. Hydrol., 55, 1302–
1314.
Merz, B., Kreibich, H., Schwarze, R., & Thieken, A. (2010). Review
article “Assessment of economic flood damage”. Nat. Hazards
Earth Syst. Sci., 10, 1697–1724. http://dx.doi:10.5194/nhess-10-
16972010.
Merz, B., Kreibich, H., Thieken, A., & Schmidtke, R. (2004). Estimation
uncertainty of direct monetary flood damage to buildings. Nat.
348 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Hazards Earth Syst. Sci., 4, 153–163. http://dx. doi:10.5194/nhess-
4-1532004.
Palmer, M., Bernhardt, E., Chornesky, E., Collins, S., Dobson, A., Duke,
C., Gold, B., Jacobson, R., Kingsland, S., Kranz, R., Mappin, M.,
Martinez, M. L., Micheli, F., Morse, J., Pace, M., Pascual, M.,
Palumbi, S., Reichman, O. J., Simons, A., Townsend, A., & Turner,
M. (2004). Ecology for a crowded planet. Science, 304, 1251–
1252.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 349
Paudel, Y., Botzen, W. J. W., , and J. C. J. H. Aerts, J. C. J. H. (2013).
Estimation of insurance premiums for coverage against natural
disaster risk: an application of Bayesian Inference. Natural
Hazards and Earth System Sciences, 13, 737–754. Retrieved from
http://www.nat-hazards-earth-syst-sci.net/13/737/2013.
Rockstrom, J., Steffen, W., Noone, K., Persson, A., Chapin III, F. S.,
Lambin, E. F., Lenton, T. M., Scheffer, M., Folke, C., Schellnhuber,
H. J., Nykvist, B., de Wit, C. A., Hughes, T., van der Leeuw, S.,
Rodhe, H., Sorlin, S., Snyder, P. K., Costanza, R., Svedin, U.,
Falkenmark, M., Karlberg, L., Corell, R. W., Fabry, V. J., Hansen, J.,
Walker, B., Liverman, D., Richardson, K., Crutzen, P., & Foley, J. A.
(2009). A safe operating space for humanity. Science, 461, 472–
475.
Sagala, S., Wimbardana, R., & Dodon (2014). Adaptasi non struktural
penduduk penghuni permukiman padat terhadap bencana banjir:
Studi Kasus Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung.
350 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Resilience Developmment Initiative Indonesia. Working Paper No.
5 | February 2014 Series.
Smith, K., & Ward, R. (1988). Floods: Physical processes and human
impacts. Chichester: John Wiley and Sons.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 351
UNISDR (2011). Global Assessment Report on Disaster Risk Reduction
– Revealing risk, redefining development, United Nations, Geneva.
Zhai, G., Fukuzono, T., & Ikeda, S. (2005). Modeling flood damage:
case of Tokai Flood 2000. J. Am. Water Resour. Assoc., 41, 77–92.
352 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
IMPLEMENTASI E-GOVERNM E N T UNTUK
MENDORONG PELAYAN AN PUBLIK YANG
TERINTEGR ASI DI INDONESIA
PENDAHULUAN
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 353
sebagainya. Dibidang pemerintahan, pemanfaatan teknologi internet
dikenal dengan sebutan electronic government atau e-government.
Secara sederhana, e-government atau pemerintahan digital adalah
kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan
dukungan teknologi informasi dalam memberikan layanan kepada
masyarakat (Hasibuan dan Santoso, 2005). Pentingnya e-government
ini antara lain (1) mendorong pemerintahan yang responsif terhadap
kebutuhan dan aspirasi masyarakat; (2) mendorong sisi pemanfaatan
dari keterbukaan informasi; dan (3) mendorong tingkat partisipasi
publik didalam sistem penyelenggaraan pemerintahan.
Di Indonesia, inovasi e-government sudah diinisiasi sejak beberapa
tahun belakangan ini. Selain adanya kebutuhan, baik pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah akan sebuah sistem yang
terintegrasi, pengembangan e-government di Indonesia didukung oleh
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 tentang
Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-government dan
didukung pula oleh regulasi yang terkait seperti Undang-Undang No.
14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, serta Peraturan
Pemerintah No. 61 tahun 2010 tentang Implementasi Undang-Undang
Keterbukaan Informasi Publik.
Selain itu, sejalan dengan semangat reformasi birokrasi di
Indonesia, e-government semakin berperan dalam meningkatkan
kualitas pelayanan publik serta membantu proses penyampaian
informasi secara lebih efektif kepada masyarakat. Perlu disadari dan
dipahami bahwa sesuai amanat UUD 1945 Pasal 18 Ayat (2) dan Pasal
34 ayat (3), maka peningkatan pelayanan publik (public service) harus
mendapatkan perhatian utama dari pemerintah, karena pelayanan
publik merupakan hak-hak sosial dasar dari masyarakat (social rights)
ataupun hak yang mendasar (fundamental rights).
Tulisan ini membahas hal-hal mendasar dari e-government
beserta contoh penerapannya di dua kota di Indonesia, yaitu Surabaya
dan Bandung. Surabaya dan Bandung termasuk kota-kota yang telah
terlebih dahulu atau menjadi pilot project dalam menerapkan sistem
e-government. Implementasi e-government dari kedua kota ini dapat
dikaji untuk dijadikan contoh atau benchmarking penerapan e-
government bagi daerah-daerah lain di Indonesia. Pada akhirnya
354 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
implementasi yang baik dari e-government akan mendukung
perwujudan smart government (pemerintah cerdas) menuju
pencapaian smart city (kota cerdas).
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 355
komunikasi yang ada. Inisiasi pemerintah elektronik e-governmentpun
kemudian terus dikembangkan untuk menjawab tuntutan tersebut.
Pada dasarnya e-government merupakan penggunaan teknologi
informasi yang dapat meningkatkan hubungan antara pemerintah
dengan pihak-pihak yang lain. Setidaknya terdapat empat klasifikasi
hubungan bentuk baru dari penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi ini (Indrajit, 2002; Aprianty, 2016):
356 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
TUJUAN E-GOVERNMENT
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 357
berkepentingan lainnya dapat setiap saat memanfaatkan informasi
dan layanan pemerintah secara optimal.
Pengembangan e-government merupakan salah satu upaya untuk
meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif dan efisien.
Dengan kata lain, melalui pengembangan e-government dilakukan
penataan sistem manajemen dan proses kerja di lingkungan
pemerintah dengan mengoptimasikan pemanfaatan teknologi
informasi dan komunikasi.
Pemanfaatan teknologi informasi tersebut mencakup 2 (dua)
aktivitas yang berkaitan yaitu (Tochija, 2007):
1. Pengolahan data, pengelolaan informasi, sistem manajemen dan
proses kerja secara elektronis;
2. Pemanfaatan kemajuan teknologi informasi agar pelayanan publik
dapat diakses secara mudah dan murah oleh masyarakat di
seluruh wilayah negara.
358 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Sedangkan berdasarkan “The e-government Handbook for
Developing Countries” oleh Center for Democracy and Technology dan
InfoDev (2002), disebutkan bahwa proses implementasi e-government
terbagi menjadi 3 (tiga) tahapan, dimana harus dilakukan secara
berurutan, tetapi masing-masing tahapan tersebut menjelaskan
mengenai tujuan dari e-government. Tahapan tersebut antara lain:
1. Tahap pertama adalah publish atau mempublikasi yaitu tahapan
yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk
tujuan memperluas akses terhadap informasi pemerintah.
Misalnya dengan cara pembuatan situs informasi di setiap
lembaga, penyiapan sumber daya manusia, sosialisasi situs
informasi baik untuk internal maupun untuk publik, serta
penyiapan sarana akses yang mudah.
2. Tahap kedua, adalah interact atau berinteraksi yang bertujuan
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Hal ini
misalnya dilakukan dengan cara pembuatan situs yang interaktif
dengan masyarakat, serta adanya interaksi yang terhubung
dengan lembaga lain.
3. Tahap ketiga adalah transact atau bertransaksi, dimana e-
government sudah bertujuan untuk menyediakan layanan
pemerintah secara on-line yang mampu meningkatkan kualitas
layanan pemerintah. Misalnya dengan cara pembuatan situs
transaksi pelayanan publik yang baik, serta interoperabilitas
aplikasi maupun data dengan lembaga lain.
MANFAAT E-GOVERNMENT
1. Mengurangi Biaya
Memberikan pelayanan secara on-line atau dalam jaringan dapat
secara signifikan mengurangi total biaya administrasi, relasi, dan
interaksi yang dikeluarkan pemerintah maupun stakeholdernya
dibandingkan pelayanan secara manual.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 359
2. Mendukung Perkembangan Ekonomi
Teknologi dapat memudahkan pemerintahan dalam menciptakan
iklim bisnis yang positif dengan menyederhanakan tahapan
administrasi atau mengurangi birokrasi. Selain itu, terdapat dampak
langsung terhadap ekonomi, misalnya seperti dalam e-procurement
atau proses lelang secara elektronik dimana menciptakan kompetisi
yang lebih luas dan lebih banyak peserta.
5. Memberdayakan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat dilaksanakan melalui informasi yang
mudah diperoleh yang kemudian memungkinkan masyarakat dan
pihak-pihak lain sebagai mitra pemerintah terlibat dalam proses
pengambilan keputusan atau kebijakan publik secara merata dan
demokratis.
Dengan dikembangkannya e-government ini, akses informasi pada
pemerintahpun menjadi terbuka lebar bagi semua lapisan masyarakat.
Oleh karenanya apabila diimplementasikan dengan tepat maka secara
signifikan dapat memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat tersebut.
Mengingat banyaknya manfaat dari sistem e-government ini,
implementasinya haruslah dilaksanakan sesegera mungkin, tanpa
360 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
ditunda-tunda. Selain itu, sistem ini perlu dibangun dengan
kepemimpinan yang baik dan kerangka pengembangan yang holistik,
sehingga memberikan keunggulan kompetitif secara nasional.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 361
Mengemudi (SIM), Kartu Keluarga (KK), dan lain-lain, akan dapat
dihilangkan. Hal ini bisa terjadi karena para aparat pemerintah
tidak lagi bersinggungan dengan pelanggan secara langsung dalam
mekanisme pembayaran. Pelanggan dapat langsung mengisi
formulir yang diperlukan dan menunjukkan bukti transfer
pembayaran.
3. Level ketiga dari e-government, memerlukan kerja sama
(kolaborasi) secara on-line antar beberapa institusi dan
masyarakat. Misalnya apabila masyarakat sudah bisa mengurus
perpanjangan KTP-nya secara on-line, selanjutnya mereka tidak
perlu lagi melampirkan KTP-nya untuk mengurus paspor atau
membuat SIM. Dalam hal ini perlu kerjasama antara kantor
kelurahan yang mengeluarkan KTP dengan kantor imigrasi yang
mengeluarkan paspor atau kantor polisi yang mengurus SIM.
Mungkin di Indonesia hal ini belum terwujud, tetapi pembicaraan
ke arah sana sudah banyak beredar. Manfaat yang sangat terasa
pada level ini adalah waktu pemrosesan dokumen yang relatif
lebih singkat dibanding secara manual, dan pada akhirnya akan
meningkatkan produktifitas dan kualitas layanan. Peran
intermediaries (perantara) yang biasanya sebagai sumber
ketidakefisienan, pada level tiga ini sudah semakin hilang,
sehingga masyarakat dapat melakukan transaksi setransparan
mungkin. Sekiranya level tiga ini diimplementasikan di kalangan
institusi pemerintah, ketidakefisienan sudah tidak punya ruang
lagi untuk berkembang.
4. Level keempat dari e-government sudah semakin kompleks. bukan
hanya memerlukan kerjasama antar institusi dan masyarakat,
tetapi juga menyangkut arsitektur teknis yang semakin kompleks.
Dalam level 4 ini, seseorang bisa mengganti informasi yang
menyangkut dirinya hanya dengan satu-klik, dan pergantian
tersebut secara otomatis berlaku untuk setiap institusi
pemerintah yang terkait. Misalnya, seseorang yang pindah alamat,
dia cukup mengganti alamatnya tersebut dari suatu database milik
pemerintahan yang besar, dan secara otomatis KTP, SIM, paspor
dan lain-lainnya dapat terbaharui. Di beberapa negara Eropa
sudah mulai menerapkan hal ini, dimana mereka hanya
362 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
mengumpulkan cukup sekali saja informasi mengenai
masyarakatnya.
5. Level kelima, dimana pemerintah sudah memberikan informasi
yang terpaket (packaged) sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dalam hal ini, pemerintah sudah bisa memberikan apa yang
disebut dengan “information-push” yang berorientasi kepada
masyarakat. Masyarakat benar-benar seperti raja yang dilayani
oleh pemerintah. Apa yang menjadi kebutuhan masyarakat, e-
government pada level lima ini bisa menyediakannya.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 363
b. Pembuatan interoperabilitas aplikasi maupun data dengan
lembaga lain.
4. Tingkat 4 - Pemanfaatan yang meliputi:
a. Pembuatan aplikasi untuk pelayanan yang bersifat G2G, G2B
dan G2C yang terintegrasi.
364 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
2. Bekerja sama. Situs web pemerintah daerah harus saling
bekerjasama untuk menyatukan visi dan misi pemerintah. Semua
dokumen pemerintah yang penting harus memiliki URL (Uniform
Resource Locator) yang tetap, sehingga mesin pencari (search
engine) dapat menghubungkan kepada informasi yang diinginkan
secara langsung.
3. Isi yang efektif. Masyarakat sebagai pengguna harus mengetahui
bahwa informasi tertentu akan tersedia pada situs-situs
pemerintah daerah manapun. Pengguna memiliki hak untuk
mengharapkan isi dari suatu situs web pemerintah daerah adalah
data yang terbaru dan tepat, serta mengharapkan berita dan
materi baru selalu diketengahkan.
4. Komunikasi dua arah. Komunikasi yang disediakan pada situs web
pemerintah daerah dalam bentuk dua arah (interaktif). Situs web
pemerintah daerah harus memberikan kesempatan bagi
pengguna untuk menghubungi pihak-pihak berwenang,
menjelaskan pandangan mereka, atau membuat daftar
pertanyaan mereka sendiri.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 365
Lebih lanjut, terdapat tiga jenis tantangan dalam penerapan e-
government, yakni yang bersifat tangible, intangible dan very
intangible (Huseini dalam Muluk, 2001). Tantangan yang termasuk
tangible diantaranya adalah keterbatasan sarana dan prasarana fisik
jaringan telekomunikasi dan listrik. Sedangkan tantangan yang berifat
intangible misalnya tantangan keuangan atau finansial untuk
mendanai implementasi e-government dan keterbatasan sumber daya
manusia untuk pengelolaannya. Sementara yang tergolong tantangan
yang bersifat very intangible adalah keberanian pejabat pemerintah
daerah untuk menerapkan e-government berikut penerapan berbagai
tindakan sebagai konsekuensi yang harus dilakukan.
Namun, banyaknya kendala dan tantangan dalam implemetasi e-
government sebenarnya dapat diatasi sepanjang ada niatan kuat
(good will) pemerintah untuk menerapkan sistem tersebut agar dapat
berjalan dengan baik. Selain itu, masyarakat terutama di negara-
negara sedang berkembang akan dengan cepat berevolusi menuju
masyarakat digital (digital society) yang ditandai dengan beberapa hal
sebagai berikut: meningkatnya jumlah masyarakat yang menggunaan
komputer, turunnya biaya komunikasi, kemudahan dalam pemakaian
dan mengakses berita-berita hangat menjadi suatu kebutuhan,
meningkatnya telecommuting, meningkatnya aktivitas ekonomi global,
dan sebagainya (Campo, et.al.,2002). Peluang-peluang ini dapat
menjadi faktor penguat dalam implementasi e-government.
1. Surabaya
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya telah merintis penerapan e-
government sejak tahun 2002. e-Government pada Pemerintah Kota
366 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Surabaya dikelompokkan menjadi dua, yakni dalam hal pengelolaan
keuangan daerah dan e-government untuk pelayanan publik (Dinas
Komunikasi dan Informatika Kota Surabaya, 2017).
Dalam hal penerapan e-government untuk pengelolaan keuangan
daerah oleh Pemerintah Kota Surabaya, terdapat beberapa layanan e-
government yang telah dikembangkan di lingkungan Pemerintah Kota
Surabaya antara lain:
a. e-Budgeting. Untuk menyusun sistem anggaran dilakukan dengan
e-budgeting dengan cara mencantumkan berapa besar biaya dan
kebutuhan di masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) dengan acuan menggunakan Standar Nasional Indonesia
(SNI). Setiap dinas harus menggunakan e-budgeting dalam
mengusulkan anggaran.
b. e-Project. Perencanaan proyek dilakukan menggunakan e-project
planning. Dalam e-project planning dicantumkan bagaimana
pengerjaan proyeknya beserta jadualnya. Walikota kemudian
membuat kontrak kinerja dengan kepala dinas.
c. e-Procurement. Apabila nilai proyek lebih dari Rp 100 juta maka
otomatis masuk ke dalam sistem e-procurement karena harus
melalui mekanisme lelang. Dalam e-procurement terdapat jadual
dan tahapan pelaksanaan lelang. Pelaksanaan e-procurement ini
diatur lebih lanjut dalam Keputusan Presiden No. 4 Tahun 2015
tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden No. 54
Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang
mencantumkan sistem lelang elektronik (e-procurement).
d. e-Delivery. Sistem e-delivery ini untuk membantu proses
pencairan dana proyek. Dalam e-delivery tercantum kontrak yang
disepakati bersama-sama antara penyedia jasa dan pelaksana
yang sudah disiapkan standar kontraknya. Misalnya terkait termin
pembayaran. Secara otomatis pihak dinas akan menghitung sesuai
e-project planning dan melalui e-delivery akan diketahui mana
yang sudah dicairkan dan mana yang belum dicairkan.
e. e-Controlling. Sistem e-controlling ini untuk mengetahui progress
fisik masing-masing kegiatan setiap bulan, apakah sesuai e-project
planning dan e-delivery atau tidak. Semua dikontrol setiap bulan
melalui e-controlling.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 367
f. e-Performance. Di akhir tahun ada e-performance, yakni
penghitungan dan penilaian kinerja masing-masing dinas. Melalui
e-performance ini, maka akan dapat dibandingkan kinerja masing-
masing dinas antara pelaksanaan dan realisasi sehingga akan
terlihat capaian kinerjanya.
368 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
oleh Dinas Komunikasi dan Informasi Kota Surabaya yang
melibatkan kerja sama berbagai SKPD terkait.
b. Kepemimpinan (leadership) dalam penerapan e-government di
Kota Surabaya sudah cukup baik. Hal tersebut dibuktikan dengan
kemampuan para pimpinan tiap SKPD terkait yang saling
berkoordinasi, demikian juga dengan staf-staf SKPD Semuanya
terjadi komunikasi dan koordinasi yang baik antara pimpinan dan
staf maupun antar SKPD terkait dalam implementasi sistem ini.
c. Perencanaan (planning) yang baik dalam penerapan e-
government Kota Surabaya. Hal tersebut ditunjukkan dengan
adanya dukungan dalam bentuk pengembangan sistem dari
sistem manual menuju sistem berbasis online, dan kecakapan dari
seluruh pegawai dalam melayani masyarakat. Semua SKPD yang
terkait bersama-sama merencanakan perbaikan sistem dan
pelayanan dengan jalan melakukan rapat koordinasi setiap
minggu bahkan setiap dibutuhkan.
d. Pihak-pihak yang terlibat (stakeholders) dalam penerapan e-
government Kota Surabaya sudah memiliki komitmen yang tinggi
untuk menjalin komunikasi dan kerjasama yang baik. Stakeholders
di sini meliputi semua pihak baik pimpinan maupun staf di semua
SKPD yang terlibat yang setidaknya terdiri atas delapan SKPD.
Demikian juga kerja sama antara SKPD dan masyarakat.
e. Partisipasi masyarakat (participation) termasuk pula investor yang
memanfaatkan sistem pelayanan melalui e-government semakin
membaik dengan semakin banyaknya masyarakat yang tahu dan
memanfaatkan sistem tersebut.
f. Transparansi (transparancy/visibility) dalam penerapan e-
government Kota Surabaya sudah mampu diwujudkan untuk
dimuat dalam portal informasi dan komunikasi yang dapat diakses
24 jam.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 369
pelayanan berbasis teknologi yang diterapkan Pemerintah Kota
Surabaya akan diadopsi pemerintah daerah se-Indonesia (Pemerintah
Daerah se-Indonesia Adopsi Sistem e-Government Pemkot Surabaya,
2016). Kondisi politis, kepemimpinan, perencanaan, partisipasi
masyarakat, dan transparansi adalah faktor-faktor yang mendorong
keberhasilan implementasi e-government oleh Pemerintah Kota
Surabaya.
2. Bandung
Bandung merupakan salah satu kota yang sangat gencar dalam
mengembangkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi
dalam mengimplementasikan e-government. Pengembangan e-
government oleh pemerintah kota Bandung mencakup:
a. Manajemen internal dan pemerintahan. Dengan menggunakan
teknologi informasi dan komunikasi, pemerintah kota Bandung
memberikan beberapa konsep yang menjadi kunci dalam
penerapan e-government yaitu penyediaan fasilitas pengelolaan
data, penyediaan fasilitas monitoring untuk pimpinan, fasilitas
teknologi komunikasi dengan seluruh SKPD.
b. Pelayanan Publik. Dalam hal pelayanan publik, pemerintahan kota
Bandung menyediakan beberapa layanan sebagai berikut: fasilitas
layanan teknologi informasi dan komunikasi yang terjangkau
untuk masyarakat, penyediaan informasi yang cepat untuk
masyarakat, dan peningkatan kualitas ekonomi masyarakat
melalui berbagai aplikasi dalam sistem e-government. Lebih
lanjut, terkait implementasi e-government ini, pemerintah kota
Bandung menerapkan konsep open government dalam
ketatapemerintahannya. Konsep layanan pemerintahan untuk
masyarakat mengedepankan asas keterbukaan. Dengan konsep
transparansi ini, pemerintah Kota Bandung menyediakan layanan
berbasis teknologi informasi dan komunikasi dimana masyarakat
bisa memantau berbagai aktivitas terkait pelayanan publik.
Pelayanan ini terkait dengan seluruh kegiatan yang dilakukan
pemerintah kota Bandung melalui SKPD-SKPD didalamnya.
Termasuk dalam komponen open government ini adalah open
communication dimana pemerintah kota Bandung termasuk
370 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
walikota Bandung menyediakan wadah sebagai jalur komunikasi
khusus dengan warga. Hal ini memungkinkan warga kota Bandung
dapat berkomunikasi langsung dengan walikota dan jajarannya.
Jalur komunikasi ini dilakukan melalui portal khusus ataupun
media sosial seperti twitter.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 371
Penerapan konsep e-government oleh Pemerintah Kota Bandung
ini memiliki kelebihan yaitu, diantaranya bahwa permasalahan kota
mulai dari kemacetan, penumpukan sampah, jalan rusak, keadaan
kontur tanah suatu daerah, dan lain sebagainya dapat secara langsung
atau real time diketahui dan dicari solusi terbaiknya dengan cepat.
Selain itu, masyarakatnya bisa saling terhubung, serta pemerintah
dapat memiliki kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur
kehidupan warganya dengan bantuan Informasi dan Teknologi.
Selain itu, Kota Bandung yang sejak awal memiliki potensi
perekonomian di bidang jasa dan merupakan pusat bakat dibidang
kreatif serta teknologi informasi dan komunikasi menjadi modal
mempunyai kawasan internet yang stabil di pemerintah kota,
sambungan internet yang murah di kawasan strategis, serta
meningkatnya komunikasi tanpa kertas (paperless).
372 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
dapat dikatakan tidak ada definsi yang benar-benar tepat atau absolut
untuk mewakili konsep smart city.
Caragliu (2009) menyatakan bahwa sebuah kota dikatakan smart
atau cerdas ketika telah mampu memaksimalkan investasi terhadap
sumber daya manusia, transportasi dan infrasrtuktur teknologi
informasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
meningkatkan tingkat kenyamanan hidup dan lingkungan melalui tata
kelola yang baik. Sedangkan Abdoulev (2011), mendefiniskan smart
city sebagai sebuah kota yang menggabungkan konsep digital, natural
dan sosial sehingga terbentuknya peningkatan ekonomi, infrastruktur
kota yang baik, lingkungan yang bersahabat transportasi dan
kehidupan yang nyaman.
Terkait definisi tersebut, Abdoulev (2011) kemudian menyebutkan
bahwa Smart City tersusun atas 5 (lima) parameter yang masing-
masing memiliki indikator, yaitu:
No Parameter Indikator
1 Smart 1. Proses demokrasi dan inklusi.
governance 2. Administrasi tatakelola pemerintahan yang
saling terkoneksi serta terintegrasi.
3. Peningkatan akses terhadap layanan.
2 Smart 1. Peningkatan pola edukasi.
people 2. Pengontrolan pembelajaran melalui Remote
e-Education Solution.
3. Masyarakat dengan informasi yang lebih
baik.
3 Smart 1. Lingkungan dikelola secara sustainable
environment (berkelanjutan).
2. Mengurangi penggunaan energi melalui
inovasi teknologi, konservasi energi dan
daur ulang material.
4 Smart 1. Sistem transportasi yang cerdas dan efisien.
mobility 2. Memanfaatkan dan mengefisienkan jaringan
untuk pergerakan kendaraan, orang, dan
barang untuk mengurangi kemacetan.
3. Penerapan perilaku social yang baru atau
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 373
No Parameter Indikator
“new social attitude” seperti sharing
(berbagi) kendaraan, opsi sepeda sebagai
alternatif pengganti penggunaan mobil, dan
lain-lain.
5 Smart 1. Regional/global kompetisi.
economy 2. Akses broadband untuk seluruh masyarakat
dalam rangka meningkatkan peluang B2B
3. Lokasi yang independen, membantu
mengelola populasi dalam suatu area.
4. Transaksi elektronis proses bisnis dalam
semua bidang (e-banking, e-shopping, e-
auctation, dan lain-lain).
6 Smart living 1. High quality atau kualitas yang tinggi pada
akses terhadap layanan kesehatan (e-
health, remote health monitoring).
2. Manajemen electronic health record (rekam
medis elektronik).
3. Otomasi rumah, rumah cerdas dan layanan
smart building (bangunan yang cerdas).
4. Akses terhadap layanan berbagai jenis
layanan sosial.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 375
Sumber: Robinson 2015 (dalam Sutriadi 2017)
376 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
daerah. Dapat dikatakan pula bahwa e-government merupakan bagian
dari smart government atau pemerintahan yang cerdas, dimana
pemerintah yang cerdas merupakan komponen penting yang akan
mendukung tercapainya smart city secara lebih menyeluruh. Meski
begitu, dalam usaha untuk membangun smart city yang juga
mencakup e-government didalamnya, keduanya sangat membutuhkan
dukungan jaringan broadband yang memadai. Kalau tanpa dukungan
broadband yang bagus, sulit bagi pemerintah daerah mau
menerapkan smart city ataupun e-government sekalipun.
PENUTUP
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 377
DAFTAR PUSTAKA
Caragliu, A., de Bo, C., and Nijkamp, P. 2009. Smart cities in Europe. 3rd
Central European Conference in Regional Science.
Center for Democracy and Technology (CDT) and InfoDev. (2002). “E-
government Handbook: Part 1 -The Three Phases of E-
government”, http://www.cdt.org/egov/handbook/part1.shtml,
[online], diakses pada 15 Maret 2017.
378 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Surabaya.
http://www.surabaya.go.id/ver5/ (diakses pada 30 Juni 2017).
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 379
Republik Indonesia, (2003). Intruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengembangan E-government.
380 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 381
Drs. Budi Prasetyo, MSi., lahir di
Madiun 28 Desember 1959.
Pendidikan Strata 1 Biologi
diperoleh dari Fakultas Biologi UGM
pada tahun 1987; gelar Master
Sains di bidang Biologi diperoleh
dari Institut Pertanian Bogor (IPB)
pada tahun 2006 dan saat ini
sedang menempuh program Doktor
bidang Biologi di IPB. Mata kuliah yang menjadi ampuan penulis untuk
pembelajaran mahasiswa Program S1 Biologi FMIPA Universitas
Terbuka terdiri atas Ekologi Hutan Tropis, Ekologi Tumbuhan, Ekologi
Gulma, Dasar-dasar Konservasi, Taksonomi Tumbuhan Tinggi, dan
Taksonomi Tumbuhan Rendah. Beberapa publikasi ilmiah telah penulis
hasilkan baik berupa artikel jurnal, artikel seminar, maupun artikel
dalam buku. Aktif dalam mengikuti seminar-seminar di bidang Biologi
serta terlibat sebagai anggota pada organisasi profesi seperti PBI
(Perhimpunan Biologi Indonesia), PTTI (Penggalang Taksonomi
Tumbuhan Indonesia), dan Michoina. Penulis saat ini berprofesi
sebagai dosen di Program Studi Biologi FMIPA UT dan berikut alamat
email korespondensi: budi-p@ecampus.ut.ac.id
382 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Universitas Terbuka. Publikasi yang telah dilakukan berupa artikel
jurnal yang telah diterbitkan baik di tingkat nasional maupun
internasional. Menulis modul Pengantar Ilmu Pertanian (PIP), untuk
mahasiswa S1 Agribisnis Universitas Terbuka. Bidang penelitian yang
ditekuni adalah budidaya tanaman, kesuburan tanah, dan nutrisi
tanaman. Penulis dapat dihubungi pada email
nurmala@ecampus.ut.ac.id.
384 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Perikanan Tangkap (FK2PT). Penulis dapat dihubungi pada alamat
email rinda@ecampus.ut.ac.id.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 385
Dra. Dina Mustafa, M.Sc., lahir di
Jakarta pada 11 Maret 1956, menempuh
S1 di Jurusan Kimia FMIPA, Universitas
Indonesia. Program magister di bidang
Instructional Design, Development and
Evaluation ditempuh di School of
Education – Syracuse University –
Syracuse - New York, dan memperoleh
Certificate of Advance Study di bidang
yang sama di Florida State University. Penulis berperan sebagai
pengajar Kimia di FMIPA, Pendidikan Kimia di PMIPA FKIP, dan
pengajar Bahasa Inggris Mata Kuliah Dasar Umum di UT. Pernah
menjadi Manajer Penelitian dan Pengembangan di Southeast Asia
Minister Of Education Organization, Open learning Center
(SEAMOLEC) untuk bidang Pengembangan Integrasi Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK) pada Pembelajaran di Perguruan
Tinggi (2005 – 2012). Hal ini yang mengembangkan minatnya pada
pengembangan kurikulum dan pemanfaatan TIK pada sistem
pendidikan jarak jauh umumnya, dan bidang Matematika dan Sains
pada khususnya, serta bidang Kimia Lingkungan/Kimia Hijau. Penulis
menjadi anggota Association for Educational Communication and
Technology dan Ikatan Profesi Teknologi Pendidikan Indonesia (IPTPI)
sejak 2012, dapat dihubungi pada email
dinamustafa@ecampus.ut.ac.id.
386 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Lingkungan, Ekonomi Lingkungan, Sistem Pelaporan Lingkungan, dan
Studio Perencanaan Wilayah pada Program Studi Perencanaan
Wilayah dan Kota (PWK) untuk Program Sarjana S1, Universitas
Terbuka. Publikasi yang telah dilakukan berupa artikel jurnal yang
telah diterbitkan baik di tingkat nasional maupun internasional.
Menulis modul untuk mahasiswa S1 PWK Universitas Terbuka dengan
judul: Pengelolaan Sumberdaya Air, Audit Lingkungan, dan Sistem
Pelaporan Lingkungan. Terlibat aktif di Ikatan Geografi Universitas
Gadjahmada (IGEGAMA),
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 387
Bidang minat penelitian meliputi HIV/AIDS, gizi, dan genetika. Penulis
dapat dihubungi pada email sri-utami@ecampus.ut.ac.id.
388 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Himpunan Perawat Manajer Indonesia. Penulis dapat dihubungi pada
email mutimanda@ecampus.ut.ac.id
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 389
Ariyanti Hartari, S.T.P., M.Si., lahir di Malang, 23
Desember 1978, menyelesaikan S1 Teknologi Hasil
Pertanian di Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Brawijaya Malang pada tahun 2001.
Pendidikan S2 Ilmu Pangan ditempuh di IPB tahun
2002-2005. Sekarang, penulis menjabat sebagai
Ketua Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Terbuka. Mata kuliah yang menjadi
ampuan adalah Pengantar Teknologi Pangan, Teknologi Pengolahan
Pangan, Satuan Operasi Industri Pangan, Ekonomi Teknik, Ekonomi
Pangan, Penanganan dan Pengolahan Hasil Peternakan pada Program
Studi Ilmu dan Teknologi Pangan untuk Program Sarjana S1,
Universitas Terbuka. Materi bahan ajar yang pernah dikembangkan
antara lain Buku Materi Pokok Praktikum Prinsip Teknik Pangan dan
Penanganan dan Pengolahan Hasil Ternak (ed 2). Penulis dapat
dihubungi pada nomor 081314674839 dan email
ariyanti@ecampus.ut.ac.id.
390 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Alam Malau, M.Si, dosen statistika pada Program Studi Statistika
FMIPA-UT, diterbitkan oleh Penerbit Universitas Terbuka tahun 2005,
serta buku referensi untuk mahasiswa Pascasarjana Program
Pendidikan Matematika Universitas Terbuka dengan judul Permulaan
Matematika dalam Peradaban Bangsa-Bangsa: Kontribusi Budaya
Jawa dalam Matematika bersama dengan Agung Prabowo, S.Si, M.Si,
dosen Matematika pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Jenderal Soedirman (FMIPA-UNSOED), diterbitkan
oleh Penerbit Universitas Jenderal Soedirman pada tahun 2014. Saat
ini penulis aktif di organisasi profesi Indonesian Mathematics Society
(Indo MS) sebagai anggota dan di Indonesian Operation Research
Association (IORA) sebagai scientific committee. Penulis dapat
dihubungi pada email pram@ecampus.ut.ac.id.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 391
Dr. Ake Wihadanto, S.E., M.T, lahir di
Jakarta 12 Maret 1974, memperoleh gelar
S1 (Sarjana Ekonomi/S.E.) dari Jurusan Ilmu
Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP)
Universitas Pasundan (1998) dengan
mengambil peminatan bidang Ekonomi
Industri. Kemudian gelar S2 (Magister
Teknik) diperoleh dari Program Studi
Perencanaan Wilayah dan Kota dengan
bidang peminatan Perencanaan Pengembangan Wilayah Perdesaan di
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
(SAPPK), Institut Teknologi Bandung ITB (2005). Sejak tahun 2017
menyelesaikan studi S3 (Doktor) di Program Studi Perencanaan
Wilayah dan Pedesaan – Fakultas Ekonomi Manajemen IPB dengan
bidang kajian penataan kawasan kumuh (slum area) dan penyesuaian
ulang lahan (land readjustment). Bekerja sebagai dosen PNS di
Fakultas Ekonomi Universitas Terbuka sejak tahun 2005 dengan mata
kuliah ampuan adalah ekonomi makro-mikro, ekonomi regional,
ekonomi perkotaan, metode penelitian dan perencanaan
pembangunan. Selain itu penulis juga menjadi dosen untuk mata
kuliah pengembangan lahan, studio perencanaan wilayah dan kota,
pembiayaan pembangunan dan perumahan dan permukiman. Penulis
pernah menjadi Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas
Ekonomi UT pada tahun 2008-2010. Selain menjadi tutor dan dosen,
penulis juga aktif melakukan penelitian baik di lingkungan Universitas
Terbuka maupun sebagai konsultan perencanaan (penataan ruang).
Bidang minat yang ditekuni adalah pengembangan wilayah perdesaan,
perencanaan kota, migrasi & remittances, ekonomi regional dan
industri, penataan ulang lahan (land readjustment) dan pembelajaran
e-learning.
392 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Drs. Sumartono, M.Si., lahir di Kulon
Progo, 3 Maret 1958. Pendidikan
sarjana Strata 1 Geografi
Kependudukan dan Demografi
diperoleh dari Universitas Gadjah
Mada (UGM) pada tahun 1983. Gelar
Magister Sains di bidang Sosiologi
Perdesaan diperoleh dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun
2012. Sejak tahun 1989 ditugaskan oleh pimpinan Universitas Terbuka
(UT) sebagai staf dosen FMIPA yang diperbantukan di Pusat Pengujian
UT. Tahun 1996/1997 oleh pimpinan UT diberikan tugas tambahan
sebagai pengelola lembaga pendidikan (YPII) yang membawahi jenjang
pendidikan dari tingkat TK, SD, SMP dan SMA. Sejak tahun 2012
sebagai staf dosen pada Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota
(PWK) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA)
Universitas Terbuka. Mata pelajaran yang menjadi ampuan antara lain
mata kuliah Kependudukan, Dasar-dasar Geografi, Analisis Lokasi dan
Penataan Ruang, Perencanaan Transportasi dan Ekonomi Wilayah dan
Kota. Publikasi artikel pada jurnal tingkat nasional seperti pada Jurnal
Matematika Sains dan Teknologi (UT) dan Jurnal Sosial Budaya, Jurnal
Predestinasi yang diterbitkan olen Universitas Negeri Makasar. Bidang
penelitian yang ditekuni adalah bidang kependudukan terutama untuk
tema yang terkait dengan migrasi penduduk. Salah satu hasil
penelitiannya berjudul “Proses Pengambilan Keputusan dan Adaptasi
Migran Sirkuler di Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan ”.
Penulis dapat dihubungi pada email sumartono@ecampus.ut.ac.id.
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 393