Anda di halaman 1dari 409

Optimalisasi Peran Sains & Teknologi untuk Mewujudkan Smart City

Editor:Nurmala Pangaribuan,Inggit Winarni, Mohamad Toha, Sri Utami


Penelaah: Sri Harijati, Ida Malati Sadjati, Sri Kurniati Handayani, Nurul Huda, Agnes
Puspitasari Sudarmo, Hurip Pratomo, Diki, Anak Agung Made Sastrawan Putra, Sri
Listyarini, Lina Warlina, Ernik Yuliana, Pramono Sidi, Tengku Eduard Azwar Sinar,
Bambang Deliyanto, Tina Ratnawati, Sitta Alief Farihati, Sumartono, Susi Sulistiana,
Diarsi Eka Yani, Ludivica Endang Setijorini, Elizabeth Novi Kusumaningrum, Ribut
Alam Malau, Agung Prabowo

ISBN: 978-602-392-155-3
e-ISBN: 978-602-392-158-4
Perancang Cover dan Ilustrasi: Faisal Zamil
Penata Letak : Nono Suwarno
Gambar : Dokumentasi UT dan Foto Google

Penerbit:
Universitas Terbuka
Jalan Cabe Raya, Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Selatan - 15418
Banten – Indonesia
Telp.: (021) 7490941 (hunting); Fax.: (021) 7490147
Laman: www.ut.ac.id.
Edisi kesatu
Cetakan pertama, Oktober2017

2017 oleh Universitas Terbuka


Hak cipta dilindungi Undang-Undang ada pada Penerbit Universitas Terbuka
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi

Buku ini dibawah lisensi *Creative commons* Atribut Nonkomersial


Tanpa turunan 3.0 oleh Universitas Terbuka, Indonesia.
Kondisi lisesi dapat dilihat pada Http: //creative commons.or.id/

Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Optimalisasi peran sains & teknologi untuk mewujudkan smart city/BNBB/ editor
Nurmala Pangaribuan [et al.]. – Cet. 1; ed. 1--. Tangerang Selatan: Universitas
Terbuka, 2017. (407hal: 21 cm).
Termasuk daftar referensi.
ISBN: 978-602-392-155-3e-ISBN:978-602-392-158-4

1. sains dan teknologi 2. smart city


1. Pangaribuan, Nurmala [et al.]
600—ddc23 201700055
PENGANTAR DEKAN FMIPA

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Terbuka


(FMIPA UT) kembali menyelenggarakan Seminar Nasional pada 12
Oktober 2017. Pada tahun 2017, forum ilmiah tahunan ini memilih
tema “Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan
Smart City”. Bersamaan dengan penyelenggaraan Semnas, FMIPA UT
juga meluncurkan buku dengan judul yang sama dengan tema
Semnas. Pemilihan tema didasari oleh kebutuhan membantu
mewujudkan Smart City atau kota cerdas, yaitu kota atau kawasan
yang dikelola secara cerdas dalam penggunaan sumberdayanya. Kota
cerdas adalah kota, kawasan, dan lingkungan yang memberikan rasa
aman, nyaman, dan ramah bagi penghuninya secara berkelanjutan.

Buku dengan judul “Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk


Mewujudkan Smart City” ini ditulis oleh para dosen FMIPA UT sebagai
sumbangan gagasan, pemikiran, hasil kajian, dan hasil penelitian
tentang berbagai hal terkait dengan upaya mewujudkan kota,
kawasan, dan lingkungan yang aman, nyaman, ramah secara
berkelanjutan tersebut. Ragam isi dan sudut pandang penulis buku ini
mencerminkan ragam bidang ilmu dan bidang kajian para dosen
FMIPA UT; antara lain bidang ilmu Biologi, Ilmu Teknologi Pangan,
Agribisnis, Perencanaan Wilayah dan Kota, Statistika, serta
Matematika. Ragam kajian penulis yang beragam dan dikemas secara
terpadu semoga dapat memberikan sumbangan pemikiran yang
bermanfaat dalam upaya mewujudkan kota cerdas.

Dukungan pimpinan UT pada semua lapisan menjadi penyemangat


kami dalam mewujudkan buku ini. Ucapan terimakasih khususnya
kami sampaikan kepada Rektor UT dan para Pembantu Rektor UT atas
segala bentuk dukungannya kepada FMIPA UT dalam mewujudkan
buku ini. Buku ini juga terwujud atas komitmen yang luar biasa dari
Tim Buku yang terdiri atas para Penulis, Pereviu, Editor, serta Layouter
dan Desainer. Tim telah bekerja cerdas, tidak mengenal lelah, tidak
memikirkan waktu, dan tetap penuh semangat untuk menuntaskan
buku ini. Terimakasih yang tidak terhingga dan penghargaaan yang
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City i
setinggi-tingginya kami sampaikan kepada para penulis materi,
pereviu materi dan editor sehingga berhasil membuahkan karya
akademik yang isinya dapat dipertanggungjawabkan; serta kepada
para layouter dan desainer dari P2M2 UT yang telah mengemas buku
ini sehingga berpenampilan menarik. Terakhir, ucapan terima kasih
dan penghargaan kami sampaikan juga kepada semua pihak yang
tidak dapat disebut satu per satu atas bantuannya telah mendukung
terwujudnya buku ini. Semangat, kerjasama, kerja keras, dan kerja
cerdas telah membuahkan karya akademik ini. Kami yakin pengalaman
yang diperoleh dari pengembangan buku ini dapat menjadi bekal
yang akan menjadi pemantik (trigger) bagi hadirnya karya-karya
akademik lainnya dari dosen FMIPA UT. Kami sadar, tulisan ini masih
sangat minim jika diukur kontribusinya dalam mewujudkan kota
cerdas. Namun, kami berharap tulisan karya dosen-dosen FMIPA UT
ini dapat memberi manfaat dan menginspirasi pembaca untuk ikut
perduli dan berupaya melakukan pengelolaan sumberdaya yang makin
terbatas ini dalam menciptakan kota, kawasan, dan lingkungan yang
aman, nyaman, dan ramah secara berkelanjutan.

Tangerang Selatan, 12 Oktober 2017


Dekan FMIPA UT

ii Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


DAFTAR ISI
PENGANTAR DEKAN FMIPA …………………………………………….…… i
DAFTAR ISI ........................………………………………………………… iii
DAFTAR TABEL ..………………………………………………………………… v
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………………… vii
DAFTAR GRAFIK ………………………………………………………………….. xi

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan


Smart City
Tim Editor ....................................................................................... 1
Smart Education dan Smart City
Ida Malati Sadjati .......................................................................... 11
Reintroduksi Spesies Fauna ke Hidupan Alami Liar
Budi Prasetyo……............................................................................ 35
Menjinakkan Gambut untuk Pertanian
Nurmala Pangaribuan…................................................................. 61
Pengelolaan Ekowisata Bahari di Kawasan Konservasi Perairan
Taman Nasional Karimunjawa. 89
Ernik Yuliana...................................................................................
Pengembangan Kapasitas Nelayan Menuju Perikanan
Tangkap Berkelanjutan
Rinda Noviyanti.............................................................................. 117
Model Green Building di Indonesia Berbasis Konsep Kualitas
Dmaic Six Sigma
Sri Enny Triwidiastuti..................................................................... 141
Peranan Kimia Hijau (Green Chemistry) dalam Mendukung
Tercapainya Kota Cerdas (Smart City) Suatu Tinjauan Pustaka
Dina Mustafa……………………………..…………………………………………….. 167
Meningkatkan Water Resilience untuk Menunjang Smart City
Agus Susanto.................................................................................. 189
Ketersediaan Air Bersih untuk Kesehatan: Kasus Dalam
Pencegahan Diare pada Anak
Sri Utami & Sri Kurniati Handayani............................................... 211

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City iii
Pemanfaatan Tanaman Obat untuk Pencegahan dan
Pengobatan Penyakit Degeneratif
Mutimanda Dwisatyadini.............................................................. 237
Penggunaan Sel Punca Untuk Terapi Sel Jantung
Diki & Soraya Habibi...................................................................... 271
Smart City Mandiri Pangan
Ariyanti Hartari............................................................................... 295
Pemanfaatan Ilmu Aktuaria Dalam Mewujudkan Jaminan Risiko
Banjirdi Dalam Konsep Smart City
Pramono Sidi.................................................................................. 315
Implementasi e-Government untuk Mendorong Pelayanan
Publik Yang Terintegrasi di Indonesia
Vita Elysia, Ake Wihadanto, Sumartono...................................... 353

DAFTAR RIWAYAT HIDUP 381

iv Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


DAFTAR TABEL

Reintroduksi Spesies Fauna Ke Hidupan Alami Liar


Budi Prasetyo
Tabel 1. Jenis-jenis Fauna yang Menjadi Jenis Prioritas
Konservasi Nasional.................................................... 41
Tabel 2. Kenaikan Individu pada 14 Jenis Prioritas Nasional …… 44

Menjinakkan Gambut untuk Pertanian


Nurmala Pangaribuan
Tabel 1. Pemanfaatan gambut berdasarkan ketebalan lapisan
bawah gambut dan hidrologi..................................... 66
Tabel 2. Sifat Beberapa Varietas Tanaman Padi di Lahan
Gambut...................................................................... 79

Pengelolaan Ekowisata Bahari di Kawasan Konservasi Perairan


Taman Nasional Karimunjawa
Ernik Yuliana
Tabel 1. Pembagian zona di TNKJ 93
Tabel 2. Definisi dan peruntukan setiap zona di TNKJ 94
Tabel 3. Kondisi fisika kimia perairan TNKJ 100
Tabel 4. Persentase Tutupan Karang Keras, Karang Lunak,
Komponen Abiotik, dan Lainnya 101

Model Green Building di Indonesia Berbasis Konsep Kualitas


Dmaic Six Sigma
Sri Enny Triwidiastuti
Tabel 1. Contoh Satuan Alat Ukur Greenship pada Tahap
Desain 153

Meningkatkan Water Resilience untuk Menunjang Smart City


Agus Susanto
Tabel 1. Ukuran Sumur Resapan Berdasarkan tipe rumah
Beserta Alternatifnya 205

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City v


Ketersediaan Air Bersih untuk Kesehatan: Kasus Dalam
Pencegahan Diare Pada Anak
Sri Utami & Sri Kurniati Handayani
Tabel 1. Persyaratan Kualitas Air Bersih 219
Tabel 2. Persentase Rumah Tangga dengan Sumber Air Bersih
yang Layak menurut Provinsi Tahun 2012-2015 222

vi Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


DAFTAR GAMBAR

Menjinakkan Gambut Untuk Pertanian


Nurmala Pangaribuan
Gambar 1. Pengelolaan Lahan Gambut di Ulin Kalimantan
Selatan..................................................................... 62
Gambar 2. Lahan Gambut Terbakar, Ketebalan >1m ................ 71
Gambar 3. Usahatani sayuran di lahan gambut wilayah
Kalimantan Selatan.................................................. 75

Pengelolaan Ekowisata Bahari di Kawasan Konservasi Perairan


Taman Nasional Karimunjawa
Ernik Yuliana
Gambar 1. Kepulauan Karimunjawa dan Zonasinya………………………………………… 93
Gambar 2. Salah satu pantai di Karimunjawa............................. 98
Gambar 3. Perairan Karimunjawa.............................................. 99
Gambar 4. Kelimpahan lima famili utama ikan karang pada
2010 dan 2013......................................................... 102
Gambar 5. Ekosistem mangrove di Pulau Kemujan.................... 105
Gambar 6. Tutupan karang (%) periode 2006-2013 ………………… 108

Model Green Building di Indonesia Berbasis Konsep Kualitas


Dmaic Six Sigma
Sri Enny Triwidiastuti
Gambar 1. Bangunan Hijau di Jakarta 155
Gambar 2. Model Konsep Six Sigma 160

Meningkatkan Water Resilience untuk Menunjang Smart City


Agus Susanto
Gambar 1. Integrasi Pembangunan Perkotaan yang
Berkelanjutan dan Pengelolaan Air Perkotaan yang
Berkelanjutan 195
Gambar 2. Salah Satu Model Smart City 198

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City vii
Gambar 3. Jalan Menuju Water Smart City untuk mendukung
Smart City 200
Gambar 4. Retention Pound Dearah Perkotaan 202
Gambar 5. Detention Pound Daerah Perkotaan 203
Gambar 6. Penampang Sungai dan Posisi Pengembangan
Dam Parit yang Letaknya di Hulu DAS 203
Gambar 7. Salah Satu Cara Penampungan Air Hujan (PAH)
Lewat Atap 204

Pemanfaatan Tanaman Obat untuk Pencegahan dan


Pengobatan Penyakit Degeneratif
Mutimanda Dwisatyadini
Gambar 1. Sosialisasi oleh Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo
dengan pergerak Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga (PKK) 249
Gambar 2. Hasil Hidroponik dan Apotik Hidup di beberapa
rumah Warga RT 011, RW. 003, Kalisari, Pasar
Rebo, Jakarta Timur 249

Penggunaan Sel Punca Untuk Terapi Sel Jantung


Diki & Soraya Habibi
Gambar 1. Diagram Alat Sensor Internet of Bio-Nano Things
dan Contoh Sebuah Sel Mahluk Hidup 274
Gambar 2. Perbedaan Kemampuan Regenerasi Sel Jantung
Neonatus dan Sel Jantung Tikus Dewasa 278
Gambar 3. Contoh Penerapan IBNT dalam Tubuh Manusia 285

Smart City Mandiri Pangan


Ariyanti Hartari
Gambar 1. Unsur Ketahanan Pangan dan Indikatornya 298
Gambar 2. Fungsi Pertanian Kota 305

viii Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Implementasi E-Government untuk Mendorong Pelayanan
Publik Yang Terintegrasi di Indonesia
Vita Elysia, Ake Wihadanto, Sumartono
Gambar 1. Berbagai Aplikasi yang Dikembangkan oleh
Pemerintah Kota Bandung 371
Gambar 2. Tahapan Pengembangan Smart City 376

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City ix


x Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
DAFTAR GRAFIK

Pemanfaatan Tanaman Obat untuk Pencegahan dan


Pengobatan Penyakit Degeneratif
Mutimanda Dwisatyadini
Grafik 1. Penyakit degeneratif yang diderita warga Rt 011, Rw
003, Kalisari, Jakarta Timur. 250
Grafik 2. Data Deskriptif Usia Warga Rt 011, Rw 003, Kalisari,
Jakarta Timur, yang Menderita Penyakit Degeneratif. 251
Grafik 3. Data Deskriptif Jenis Kelamin Warga Rt 011, Rw 003,
Kalisari, Jakarta Timur, yang Menderita Penyakit
Degeneratif. 252
Grafik 4. Pendidikan warga Rt 011, Rw 003, Kalisari, Jakarta
Timur, yang Menderita Penyakit Degeneratif. 253
Grafik 5. Pengetahuan warga Rt 011, Rw 003, Kalisari, Jakarta
Timur, yang Menderita Penyakit Degeneratif Terhadap
Tanaman Obat Keluarga. 254
Grafik 6. Sumber Informasi yang didapatkan warga RT 011,
Kalisari, Jakarta Timur, yang Menderita Penyakit
Degeneratif Mengenai Tanaman Obat Keluarga. 255
Grafik 7.Jenis Tanaman Obat Keluarga (TOGA) yang digunakan
warga RT 011, Kalisari, Jakarta Timur, yang Menderita
Penyakit Degeneratif Mengenai Tanaman Obat
Keluarga. 256

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City xi


xii Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
OPTIMALISASI PERAN SAINS DAN TEKNOLOGI UNTUK
MEWUJUDKAN SMART CITY

Tim Editor

Kualitas hidup yang baik, menyenangkan dan membahagiakan


adalah dambaan semua orang. Salah satunya dapat difasilitasi dengan
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang tepat guna.
Pemanfaatan teknologi tepat guna ini menjadi dambaan manusia
perkotaan untuk mewujudkan kota sebagai tempat yang nyaman huni
dan sehat. Sebagaimana diketahui, sebagian besar (56,7%) penduduk
Indonesia saat ini hidup di perkotaan dan angka ini akan mencapai
60.0% pada tahun 2025 (Badan Pusat Statistik, 2017). Mereka
dihadapkan pada beragam permasalahan perkotaan yang
mengganggu kualitas hidup dan kehidupan, yang muncul akibat
keberadaan lingkungan yang padat, kumuh, tidak terawat;
transportasi yang padat dan tidak beraturan; lingkungan sosial yang
kurang aman dan kondusif; serta situasi eknonomi yang tidak
menentu. Berbagai masalah ini apabila dibiarkan dan tidak ditangani
dengan baik akan berdampak pada kualitas hidup sehat dalam arti
luas. Bagaimana cara mewujudkan kualitas hidup di perkotaan yang
layak huni, nyaman, dan sehat? Konsep smart city merupakan salah

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 1


satu alternatif solusi yang dapat dicoba untuk dapat diimplementasi
dalam merintis dan mewujudkan kualitas hidup perkotaan yang layak
huni, nyaman, dan sehat.
Smart city (kota cerdas) adalah kota yang masyarakatnya mampu
mengelola sumber daya dengan efisien, dalam arti “mampu
memaksimalkan investasi sumberdaya manusia, transportasi, dan
infrastruktur teknologi informasi untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan kenyamanan hidup” (Caragliu, Del, & Nijkamp, 2009).
Smart city memiliki enam karakteristik, yaitu smart economy, smart
mobility, smart environment, smart people, smart living, dan smart
governance (Albino, Berardi, and Dangelico, 2015). Smart economy
adalah pengembangan ekonomi kota yang berorientasi pada upaya
untuk menyejahterakan masyarakat melalui upaya meningkatkan
kegiatan-kegiatan kewirausahaan, membangun dan meningkatkan
semangat produktifitas, melakukan dan meningkatkan upaya-upaya
promosi produk-produk lokal, dan melakukan inovasi budaya terkait
dengan e-commerce dan e-bussinesss. Smart mobility terkait dengan
upaya perbaikan dan peningkatan kualitas infrastruktur, yang lebih
menekankan pada aspek aksesibilitas transportasi berbasis
telekomunikasi dan informatika sebagai faktor utama untuk
meningkatkan efisiensi dan daya saing sebuah kota. Smart living
terkait dengan paradigma yang mengacu pada efisiensi, efektvitas,
dan kepraktisan dalam gaya hidup. Smart people adalah infrastruktur
sosial yang terdiri atas modal intelektual dan modal sosial yang sangat
diperlukan smart city karena mereka memiliki kemampuan belajar
sepanjang hayat, bersikap plural secara sosial dan etnis, fleksibel,
kreatif, berfikiran terbuka, dan selalu terlibat dan berpartisipasi dalam
kegiatan kemasyarakatan (Nam and Pardo, 2011). Smart governance
atau tata kelola pemerintahan yang cerdas merupakan komponen
smart city yang sangat penting karena merupakan muara inisiatif
kebijakan pengembagan smart city. Aspek-aspek esensial dalam smart
govenance antara lain adalah keterlibatan publik dalam pengambilan
keputusan dan transparansi pemerintahan serta ketersediaan layanan
publik (Ministry of Environment, Sustainable, Development, and
Disaster, and Beach Management, 2015). Menurut Prihadi (2016)

2 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


standar smart city yang sedang dikembangkan di Indonesia mengacu
pada standar internasional tersebut.
Sebagai wujud kepedulian FMIPA UT dalam mengoptimalkan
peran sains dan teknologi, khususnya untuk mewujudkan smart city,
para dosen menampilkan tulisan yang relevan dengan konsep smart
city tersebut. Buku ini merupakan kontribusi hasil eksplorasi pemikiran
para penulis dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Terbuka (UT) yang terkait dengan elemen-elemen smart
city. Dalam kaitannya dengan tema Seminar “Optimalisasi Peran Sains
dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City“, berbagai aspek yang
berhubungan dengan upaya untuk mewujudkan smart city tercermin
dalam judul-judul bab buku ini.
Secara umun, isi buku ini menggambarkan adanya berbagai sudut
pandang dalam membangun smart city. Sudut pandang yang pertama
adalah pengembangan prasarana dan sumberdaya alam. Dalam sudut
pandang ini, topik yang dibahas adalah penerapan ilmu aktuaria dalam
pencegahan banjir, pengembangan lahan gambut, kemandirian
pangan, ekowisata perairan, penyediaan air bersih, water resilience
(ketahanan air), reintroduksi satwa liar, model bangunan hijau, dan
green chemistry (kimia hijau). Sudut pandang kedua adalah
pengembangan kesehatan. Beberapa tulisan yang termasuk dalam
sudut pandang ini adalah penggunaan sel punca untuk terapi sel
jantung dan pemanfaatan tanaman obat untuk menjaga dan
meningkatkan kesehatan masyarakat. Selain itu, ada juga pembahasan
smart city terkait dengan pengembangan sistem. Sudut pandang ini
berupa implementasi smart government, smart education, dan
pengembangan kapasitas nelayan dalam smart city.
Tulisan Ida Malati Sadjati, Smart Education dan Smart City,
membahas tentang upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam bidang
pendidikan untuk mendukung terciptanya smart city. Penulis
menawarkan konsep smart education, yaitu program pendidikan yang
memanfaatkan keterampilan abad ke-21 dalam proses
pembelajarannya; yaitu proses pendidikan yang mengintegrasikan
aspek kehidupan sebagai sumber belajar (learning sources), materi
belajar (learning material), dan tujuan pembelajaran (learning
objectives); sehingga proses pembelajaran menjadi “lebih hidup”,

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 3


bermakna dan kontekstual dengan lingkungannya. Pada tataran
praktis, penulis menggarisbawahi perlu adanya perubahan “mindset”
dari para pengambil kebijakan di bidang pendidikan, para pengelola
pendidikan, para guru, para siswa, dan para orang tua serta
masyarakat umum terhadap adanya pergeseran paradigma
pendidikan ini.
Dalam perspektif smart environment, smart city juga memerlukan
adanya hidupan liar yang mendukung kelestarian alam. Adanya
hidupan liar, khususnya hewan, membantu menjaga kestabilan
ekosistem dan berfungsi menjaga keindahan kota. Velpuri & Pidugu
(2015) mengemukakan pentingnya keragaman hayati atau
biodiversitas di lingkungan kota. Adanya biodiversitas ini berguna
dalam berbagai hal, misalnya penyediaan sumber air, fungsi rekreasi,
maupun dalam penyediaan sumberdaya biologi. Tulisan Budi Prasetyo
menjelaskan bahwa reintroduksi hewan liar di lingkungan kota dapat
dilakukan untuk memajukan ekosistem kota.
Tidak hanya di dalam wilayah kota saja, suatu smart city perlu
didukung ekosistem penyangga yang menjamin kesehatan lingkungan
kota. Disamping itu, suatu smart city harus mempertimbangkan
dampak aktivitasnya bagi kelestarian lingkungan di luar wilayah kota
itu. Tulisan Nurmala Pangaribuan tentang pengolahan lahan gambut
menjelaskan fungsi pertanian lahan gambut yang berada di luar
wilayah kota. Pemanfaatan lahan gambut perlu memperhatikan
dampaknya, seperti pembakaran untuk mengolah lahan. Hal ini dapat
mengakibatkan polusi udara akibat asap dari pembakaran.
Pengelolaan lahan gambut yang tidak tepat juga dapat menambah
emisi gas rumah kaca, sehingga merusak kelestarian lingkungan,
termasuk di wilayah perkotaan yang berlokasi jauh dari lahan gambut
tersebut. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menjinakkan lahan
gambut ini agar tercipta lingkungan yang sehat, bebas polusi, dan
polutan (smart environment) adalah dengan melakukan konservasi
dan optimalisasi pemanfaatan lahan gambut yang dilakukan melalui
penyiapan lahan, pengelolaan air, pemilihan komoditas, dan
pengaturan pola tanam sesuai dengan karakteristik dan
penyebarannya.

4 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


Di sisi lain, aktivitas manusia juga dapat memberikan pengaruh
terhadap perwujudan smart city, terutama aktivitas yang berdampak
langsung dan merusak lingkungan. Untuk daerah pantai misalnya,
perlu ada perhatian atas pengaruh polutan dan aktivitas manusia bagi
kelestarian obyek wisata bahari. Partisipasi masyarakat sangat penting
untuk keberhasilan suatu lokasi pariwisata (Idajati, Pamungkas, dan
Kukinul, 2015). Ernik Yuliana menulis tentang pemanfaatan wilayah
ekowisata di Karimun Jawa. Penulis menjelaskan perlunya
pemahaman atau kesadaran para wisatawan yang datang terhadap
kelestarian pesisir dan laut, serta konsep ekowisata. Sementara itu,
perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries) mulai dijadikan agenda
dunia pada tahun 1995 dan dicapai melalui pengelolaan perikanan
yang tepat dan efektif. Kondisi tersebut umumnya ditandai dengan
meningkatnya kualitas hidup dan kesejahteraan manusianya (smart
living) serta juga terjaganya kelestarian sumber daya ikan dan
kesehatan ekosistemnya (smart environment). Nelayan merupakan
salah satu aktor utama dalam perikanan tangkap. Kapasitas nelayan
dipengaruhi oleh keterampilan mereka dalam melakukan operasi
penangkapan ikan. Tulisan Rinda Noviyanti ini menjelaskan tentang
perumusan strategi yang perlu dilakukan untuk terwujudnya kapasitas
nelayan yang dapat menunjang pengelolaan perikanan tangkap
berkelanjutan, seperti pengembangan kemitraan dan pengembangan
sarana prasarana pendidikan formal dan non-formal, peningkatan
manajemen usaha, peningkatan profesionalisme SDM, serta
peningkatan sistem kontrol dan sistem jual-beli.
Masih dalam konteks smart environment, buku ini juga mengulas
tentang permodelan green building, green chemistry, ketahanan dan
ketersediaan air. Green building merupakan suatu konsep yang
mengutamakan perencanaan, konstruksi, dan pengelolaan bangunan
yang hemat energi yang menjamin kesehatan penghuninya.
Bangunan yang sehat bagi penghuninya sangat penting karena
menurut WHO, 30% bangunan di dunia mengalami masalah dalam
kualitas udaranya. Artikel yang ditulis oleh Sri Enny Triwidiastuti
menjelaskan penerapan konsep DMAIC Six Sigma untuk perancangan
green building. Sedangkan dalam perspektif green chemistry, proses
pengolahan zat-zat kimia secara efektif dan aman merupakan salah

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 5


satu alternatif yang dapat diterapkan dalam suatu smart city. Artikel
yang ditulis oleh Dina Mustafa dalam buku ini memaparkan peranan
kimia hijau dalam mendukung tercapainya kota cerdas. Keuntungan
dari penerapan kimia hijau adalah manajemen perkotaan menjadi
lebih berkelanjutan dengan pemanfaatan energi lebih efisien dan
pemanfaatan anggaran menjadi lebih efektif. Hal-hal yang disoroti
dalam kimia hijau dalam tulisan ini meliputi, infrastruktur,
transportasi, energi, limbah, konsumsi bahan mentah, dan sistem
pengelolaan air. Berkaitan dengan pengelolaan air, ketahanan dan
ketersediaan air menjadi salah satu komponen vital yang merupakan
parameter pencapaian keberhasilan smart environment. Untuk
mencapai ketahanan air, Agus Susanto dalam tulisannya menjelaskan
bahwa prinsip yang digunakan adalah ketersediaan (availability),
aksesibilitas (accessibility), berkelanjutan (sustainability), dan
keamanan (security). Konsep pengembangan water resilience merujuk
pada konsep Smart Water City. Konsep ini mencakup penyediaan
sumber air, drainase, pengolahan air limbah, dan daur ulang air.
Di sisi lain, krisis air bersih masih menjadi permasalahan global,
termasuk di perkotaan Indonesia. Rendahnya ketersediaan air bersih
memberikan dampak buruk pada semua sektor terutama di sektor
kesehatan. Tulisan Sri Utami dan Sri Kurniati dalam buku ini akan
mengkaji tentang pentingnya ketersediaan air bersih untuk kesehatan,
khususnya dalam kasus pencegahan diare pada anak. Keberadaan
inovasi teknologi modern seperti grey water bio rotasi, desalinasi air
laut ataupun sistem reverse osmosis diharapkan mampu menjadi
alternatif solusi permasalahan air bersih dan sehat di perkotaan.
Smart living yang merupakan salah satu dimensi dari smart city,
dapat diwujudkan dalam bentuk peningkatan kualitas kesehatan baik
yang bersifat preventif dan kuratif. Dampak dari pertumbuhan kota
yang besar berisiko membuat mayarakat rentan terhadap penyakit
degeneratif. Tulisan Mutimanda Dwisatyadini dalam buku ini
membahas pemanfaatan tanaman obat untuk mengatasi penyakit
degeneratif. Penggunaan tanaman obat sudah disosialisasikan oleh
pemerintah dalam program Primary Health Care dan Smart
Government. Tanaman obat yang ada di sekitar warga, yang dapat
ditanam di pekarangan diharapkan dapat dengan mudah

6 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


dimanfaatkan sebagai pengobatan alternative. Secara spesifik tulisan
ini berisi paparan tentang persentase penyakit yang diderita
masyarakat di Jakarta Timur, persentase tanaman obat yang
digunakan warga untuk mengobati penyakit yang diderita, penyediaan
fasilitas kesehatan yang menyediakan informasi tentang layanan obat,
dan upaya mengubah pola pikir mayarakat perkotaan dalam
memanfaatkan tanaman obat (smart living) untuk mengatasi penyakit
degeneratif.
Berkaitan dengan penyakit degeneratif, infark jantung
diperkirakan menjadi penyebab kematian terbesar di dunia pada
tahun 2030. Salah satu alternatif pengobatan infark jantung adalah
dengan sel punca (smart healthcare/smart living). Sel punca
merupakan sel yang menyerupai sel embrio dalam tubuh manusia
dewasa, yang dapat meregenerasi sel tubuh yang sudah rusak. Tulisan
Diki dan Soraya Habibi menggambarkan upaya penggunaan teknologi
informasi, terutama yang berbasis internet of things (IoT) dalam
menunjang penelitian tentang penggunaan sel punca untuk
mengganti jaringan jantung yang rusak. Internet of Things berarti
peralatan sensor elektronik yang terkoneksi satu sama lain melalui
internet dan dapat berhubungan secara otonom satu sama lain.
Untuk menjaga kualitas hidup di perkotaan, peran pangan juga
perlu mendapat perhatian. Ariyanti Hartari membahas kemandirian
pangan dalam persepektif smart city. Tulisannya mengupas tentang
kewajiban negara mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan
pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan
bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga
perseorangan yaitu dengan memanfaatkan sumber daya,
kelembagaan, dan budaya lokal. Pertanian kota (urban agriculture)
merupakan salah satu solusi yang ditawarkan untuk membangun
ketahanan dan kemandirian pangan masyarakat perkotaan, baik
secara kuantitas, kualitas, dan keberlanjutannya. Pertanian kota dapat
dilakukan secara vertikal maupun horisontal, di lingkungan perkotaan
maupun pinggiran kota, di sektor pertanian, perikanan, peternakan
maupun sinergi ketiganya.
Selain komponen-komponen di atas, penerapan ilmu aktuaria
juga menjadi salah satu solusi alternatif pendukung dalam pencapaian

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 7


smart city. Pembuatan model untuk penjaminan risiko banjir bagi
penduduk yang tinggal di perkotaan merupakan salah satu contohnya.
Tulisan Pramono Sidi mengkaji penggunaan ilmu aktuaria yang dapat
membantu penjaminan risiko terjadinya bencana ini. Tulisan tentang
model untuk penjaminan risiko banjir ini diawali dengan pemahaman
konsep risiko dan asuransi, kemudian menampilkan permodelan
matematika berdasarkan Muskingum (Hendri & Inra, 2007). Metode
Muskingum digunakan untuk memperkirakan potensi terjadinya banjir
berdasarkan data pengukuran debit pada bagian hulu dan hilir sungai
pada waktu bersamaan. Pemodelan matematika juga digunakan untuk
menganalisis model evaluasi premi asuransi terhadap risiko kerusakan
bangunan akibat banjir. Dengan adanya kepastian jaminan melalui
penerapan ilmu aktuaria ini, masyarakat diharapkan merasa aman
dalam menjalani kehidupan.
Terakhir, buku ini juga mengkaji peran penting keterlibatan
pemerintah dalam pencapaian smart city. Implementasi konsep e-
government untuk mendorong pelayanan publik yang terintegrasi di
Indonesia merupakan topik yang ditulis oleh Vita Elysia, Ake
Wihadanto, dan Sumartono. Isi tulisan ini mengenai pengertian dan
manfaat e-government. Penulis menjelaskan tahapan dan kriteria
dalam pengembangan e-government serta memberikan contoh
berupa studi kasus e-government di Bandung dan Surabaya. Adanya
berbagai perspektif dalam buku ini, terutama berkaitan dengan peran
sains dan teknologi, diharapkan mampu mengoptimalkan pencapaian
smart city khususnya di perkotaan Indonesia.

8 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


DAFTAR PUSTAKA

Albino, V., Berardi, U. and Dangelico, R.M. (2015). Smart cities:


definitions, dimensions, performance, and initiatives. Journal of
Urban Technology, 22 (1), pp. 3-21.

Badan Pusat Statistik (2017). Persentase penduduk daerah perkotaan


menurut provinsi, 2010-2035. Diakses tanggal 04 Oktober 2017,
dari https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1276.

Caragliu, A., Del, B. C., & Nijkamp, P. (2009). Smart cities in Europe.
Amsterdam: Vrije Universiteit, Faculty of Economics and Business
Administration.

Hendri, A., & Inra, M. S. (2007). Pemodelan penlusuran banjir dengan


Metode Muskinghum. Paper. Riau: Lembaga Penelitian Universitas
Riau.

Idajati, H., Pamungkas, A., & Vely, K. S. (2016). The Level of


participation in mangrove ecotourism development, Wonorejo
Surabaya. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 227, 515-520.

Ministry of Environment, Sustainable Development, and Disaster and


Beach Management (2015). Environmental guideline for smart
cities. Diakses tanggal 04 Oktober 2017, dari
http://www.investmauritius.com/media/302490/Environmental-
Guideline-for-smart-citiesdocx-July-2015.pdf

Nam, T. & Pardo, T. A. (2011). Conceptualizing smart city with


dimensions of technology,people, and institutions. The
Proceedings of the 12th Annual International Conference on
Digital Government. Albany, NY: Research Center for Technology
in Government University at Albany, State University of New York.

Prihadi, S. D. (2016). Mencari standar definisi smart city. Diakses


tanggal 6 September 2017, dari

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 9


https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20161130134019-185-
176347/mencari-standar-definisi-smart-city/.

Velpuri, M. & Pidugu, A. (2015). Enabling smart and sustainable cities


through realestate and city biodiversity indices. FIG Working week
2015. Paper presented at From the Wisdom of the Ages to the
Challenges of the Modern World, Sofia, Bulgaria, 17-21 May 2015.

10 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


SMART EDUCATION DAN SMART CITY

Ida Malati Sadjati

PENDAHULUAN

Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sangat


berpengaruh dalam kehidupan kita, terutama telah mengubah cara
kita bekerja, belajar dan membangun relasi sosial. Dalam bidang
pekerjaan, TIK telah banyak membantu kita dalam mengambil
keputusan bersama, berbagi informasi, berkolaborasi, dan melakukan
inovasi. Hal ini menyebabkan pekerjaan dapat dilakukan dengan cepat
dan efisien. Konsekwensi logisnya adalah para pekerja masa kini
dituntut tidak saja memahami pekerjaan yang harus dilakukannya,
tetapi juga terampil menggunakan TIK dan menguasai kompetensi-
kompetensi tersebut di atas. Sehingga, sekarang ini indikator
kesuksesan seseorang dilihat dari kemampuannya dalam
berkomunikasi, berbagi informasi dan pengetahuan, dan
menggunakan informasi yang tepat dalam memecahkan masalah yang
kompleks; kemampuan beradaptasi dan berinovasi dalam menanggapi

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 11


tantangan baru dan perubahan keadaan, serta memanfaatkan dan
memperluas kekuatan teknologi untuk penciptaan pengetahuan baru
(Pacific Policy Research Center, 2010). Sebagaimana kita ketahui,
industri berbasis manufaktur yang semula bersifat padat karya telah
bergeser menjadi industri jasa yang digerakkan oleh informasi,
pengetahuan dan inovasi. Jenis pekerjaan juga telah bergeser dari
industri manufaktur ke pekerjaaan berbasis layanan, terutama layanan
informasi. Hal ini menyebabkan pekerja masa kini perlu memiliki
keterampilan yang dapat mempersiapkan mereka memasuki dunia
kerja berbasis layanan dan pengetahuan (IBM, 2012). Dengan
demikian, agar para pekerja dapat bertahan di dunia kerja yang
semakin bersaing, maka mereka perlu menyesuaikan dan
meningkatkan keterampilan dan kompetensi bekerjanya dengan
tuntutan jaman sekarang. Jika sebelumnya, mereka cukup memiliki
pengetahuan dan keterampilan terbatas untuk menyelesaikan
pekerjaan yang dapat dilakukannya seorang diri, sekarang hal tersebut
tidak cukup. Karakteristik pekerjaan sekarang lebih bersifat
kolaboratif. Keterampilan menggunakan TIK, salah satunya, menjadi
kompetensi yang penting dikuasai para pekerja, karena untuk
menyelesaikan pekerjaan diperlukan data, informasi dan
berkomunikasi dengan pihak terkait lainnya. Tanpa menggunakan TIK,
sulit semua kebutuhan data, informasi, dan komunikasi, dapat
diperoleh dengan segera. Akibatnya, penyelesaian pekerjaan akan
terhambat.
Dalam kehidupan sehari-hari, pemanfaatan TIK untuk
meningkatkan efektivitas dan efisiensi hidup manusia di perkotaan
telah banyak dipraktekkan, salah satunya melalui pengembangan
konsep kota cerdas (smart city). Smart city adalah tempat di mana
orang ingin hidup, bekerja, berkreasi, dan bermain dengan nyaman
dan aman (IBI, 2017). Dalam smart city, TIK dimanfaatkan untuk
meningkatkan daya saing ekonomi dan kualitas hidup penghuninya,
meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya, dan menjaga
kelestarian lingkungan. Sebagai contoh, TIK dimanfaatkan untuk
mengoptimalkan mobilitas manusia dan manajemen jaringan
berdasarkan kondisi real-time; merancang kamar rumah sakit yang
mengedepankan upaya percepatan pemulihan pasien dan

12 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


pengurangan penularan penyakit; mengoptimalkan pengoperasian
infrastruktur penting untuk menganalisis permintaan energi dan
prakiraan cuaca.
Pada hakikatnya, ketersediaan dan kualitas infrastruktur TIK bukan
satu-satunya karakteristik smart city. Hal lain yang lebih penting dari
TIK adalah peran manusia (smart people) dan pendidikan dalam
pembangunan perkotaan. Smart people, dalam hal ini adalah mereka
yang memiliki kemampuan belajar sepanjang hayat, bersikap plural
secara sosial dan etnis, fleksibel, kreatif, berpikiran terbuka, dan selalu
terlibat dan berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan (Nam &
Pardo, 2011). Sebagai warga negara, smart people sebetulnya
merupakan subjek terpenting dari smart city, namun mereka sering
diabaikan. Oleh karenanya, keberhasilan membangun smart city tidak
boleh hanya dinilai dari kesuksesan dalam memanfaatkan TIK untuk
pembangunan infrastruktur, tetapi perlu dilihat bagaimana teknologi
tersebut bermanfaat sebanyak-banyaknya untuk kepentingan publik
(Dameri, 2013).
Smart city menghargai kemampuan warganya untuk belajar,
beradaptasi, dan berinovasi. Hal ini dapat dilakukan melalui
penyediaan layanan pendidikan cerdas (smart education). Konsep
smart education memainkan peran penting dalam meningkatkan
kinerja fisik kota, sementara pada saat yang sama juga
mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) masa kini untuk hidup di
dunia yang semakin kompleks dan semakin berorientasi pada
teknologi masa depan. Mempersiapkan SDM dengan kompetensi dan
kualifikasi seperti itu tidaklah mudah dan sederhana, karena
menyangkut perbaikan dan peningkatan berbagai aspek pendidikan
yang sangat kompleks, yang terkait satu sama lain.
Pada tataran mikro, untuk membekali para SDM dengan
keterampilan baru dibutuhkan strategi/metode pembelajaran baru.
Oleh karenanya, diperlukan upaya pembenahan sistem pendidikan
yang komprehensif, terutama melakukan pergeseran paradigma
pendidikan, dari konsep pendidikan yang pada umumnya
menitikberatkan pada penguasaan pengetahuan sebanyak-banyaknya,
ke konsep pendidikan abad 21, yang menekankan pada kemampuan
berpikir kritis, kemampuan bekerja sama dalam tim, kemampuan

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 13


menggunakan TIK sebagai alat kerja, dan kemampuan hidup bersama
di dunia yang semakin kompetitif (Griffin, Mc.Graw, & Core, 2012).
Melakukan pergerseran paradigma pendidikan semacam ini tidaklah
mudah dan sederhana, karena dibutuhkan perubahan pola berpikir
dan pola bertindak dari semua pihak terkait, seperti pengambil
kebijakan di bidang pendidikan, para guru, para siswa, para pengelola
pendidikan, dan masyarakat. Oleh karenanya, agar konsep smart
education dapat diimplementasikan, khususnya di Indonesia, maka
secara makro perlu dilakukan penataan sistem pendidikan yang
sistematis dan komprehensif, dari mulai pendidikan dasar, pendidikan
menengah, sampai dengan pendidikan tinggi. Pada tataran mikro,
perlu juga dilakukan penataan proses pendidikan, terutama proses
pembelajaran, dari yang semula hanya menekankan pada penguasaan
pengetahuan sebanyak-banyaknya oleh siswa; yang ditandai dengan
waktu mengajar guru yang banyak untuk ceramah; menjadi proses
pembelajaran yang lebih mengaktifkan siswa untuk mencari dan
menemukan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta
memecahkan masalah serta membangun pengetahuan secara aktif.

SMART EDUCATION

Abad ke-21 menuntut keterampilan dan kompetensi dari orang-


orang agar dapat hidup secara efektif, baik di kala bekerja maupun di
kala senggang. Smart education perlu dirancang, dikembangkan, dan
diimplementasikan agar dapat memfasilitasi pengembangan SDM di
smart city. Konsep smart education didefinisikan secara beragam oleh
berbagai pihak, tergantung dari maksud dan tujuan masing-masing.
Gunawan (2013) mengajukan konsep SMART Education sebagai
akronim dari Socio-Multicultural-Art-Reality-Technology. Dalam
konteks ini, SMART Education merupakan konsep dan gagasan
mengenai integrasi aspek kehidupan sebagai sumber belajar (learning
sources), materi belajar (learning material), dan tujuan pembelajaran
(learning objectives). Melalui implementasi konsep SMART Education
ini, para siswa diharapkan mampu menjadi subjek sekaligus objek
pendidikan. Mereka dijamin untuk bebas berpikir dan bereksplorasi
terhadap lingkungan dimana dia hidup dan menjalani kehidupan.

14 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


Dengan demikian, melalui SMART Education yang dilaksanakan
dengan baik diharapkan setiap orang menjadi individu yang
bermanfaat bagi kehidupan dan menjadi individu yang berusaha terus
belajar dan menggali potensi untuk kehidupan yang lebih baik.
Disamping itu, lingkungan sosial, multikultural, kesenian, realita dan
teknologi yang dikemas sedemikian rupa diharapkan dapat menjadi
bahan bakar yang dapat digunakan untuk meningkatkan performa
pendidikan di masa datang, dimana dunia telah bergeser menjadi
dunia tanpa batas, cyberworld, networkinglife, dan conectingworld.
Pemerintah Korea juga menggunakan istilah SMART Education. Di
Korea, SMART merujuk pada self-directed (terkait dengan kemampuan
mengarahkan diri sendiri dalam belajar), interest (terkait dengan
minat dan motivasi dalam belajar), adaptif (terkait dengan bakat dan
kemampuan dalam menyesuaikan diri), enriched learning resources
(terkait dengan pemanfaatan bahan pembelajaran yang kaya
informasi) dan technology utilization (terkait dengan pemanfaatan
TIK) (Kim, Cho, & Lee, 2012). Pada tataran praktisnya, SMART
Education di Korea ini merupakan sistem pendidikan yang dirancang
untuk memperkuat kemampuan siswa abad ke-21 dengan
menawarkan solusi pembelajaran cerdas sesuai tuntutan keadaan,
yang bertujuan menjadi inovasi sistem pendidikan termasuk
lingkungan, metode, dan evaluasi pendidikan. Di sisi lain, Rothman
(2007) seorang pakar pendidikan berpendapat bahwa smart education
merupakan sistem pendidikan yang lincah, adaptif, dan efisien karena
mampu memfasilitasi dan memberikan dukungan yang beragam
kepada kelompok siswa yang beragam pula kebutuhannya.
Jika ditarik benang merahnya dari beberapa konsep smart
education di atas, maka smart education dapat diartikan sebagai
program pendidikan yang memanfaatkan keterampilan abad ke-21
dalam proses pembelajarannya; proses pendidikan yang
mengintegrasikan aspek kehidupan sebagai sumber belajar (learning
sources), materi belajar (learning material), dan tujuan pembelajaran
(learning objectives); sehingga proses pembelajaran menjadi “lebih
hidup”, bermakna dan kontekstual dengan lingkungannya; serta
merupakan suatu inovasi sistem pendidikan yang komprehensif,
meliputi inovasi terhadap lingkungan, metode dan evaluasi

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 15


pendidikannya. Dengan demikian, melalui smart education diharapkan
mampu diciptakan sistem pendidikan “kekinian”, yang mampu
menghantar SDM menjadi manusia yang terdidik dan terampil dalam
mencipta, berbagi, menyebarkan dan memanfaatkan pengetahuan
secara efektif. Disamping itu, melalui smart education juga diharapkan
dapat dihasilkan SDM yang memiliki kemampuan belajar sepanjang
hayat (life-long learners), yang mampu berkontribusi secara positip
bagi kehidupan, menjadi pebelajar abad ke-21 yang cerdas dan
terampil menyesuaikan diri; serta menjadi SDM yang memiliki
keterampilan global berkualitas tinggi (Batagan & Boja, 2012), yang
tentunya sangat dibutuhkan untuk membangun smart city.

KETERAMPILAN ABAD 21 (21ST CENTURY SKILLS)

Dunia ilmu pengetahuan, bisnis dan organisasi sosial sama-sama


membutuhkan orang-orang yang memiliki “keahlian dan kompetensi
abad kedua puluh satu” (OECD dalam Noweski et al., 2012). Namun,
dalam prakteknya “keahlian dan kompetensi abad kedua puluh satu”
diartikan beragam oleh berbagai institusi (Dede, 2009). The
Organization for Economic Cooperation and Development/OECD
mengidentifikasi karakteristik pendidikan abad ke-21 ke dalam empat
kemampuan, yaitu cara berpikir, alat bekerja, cara kerja, dan cara
hidup di dunia (Ananiadou & Claro, 2009). Partnership for 21 st Century
Learning; di lain pihak, mengusulkan sebuah kerangka kerja untuk
pembelajaran abad ke-21, yaitu bahwa siswa kelas 12 harus
menguasai pengetahuan dan keterampilan yang mencakup subjek dan
tema kunci abad ke-21; keterampilan belajar dan inovasi;
keterampilan memanfaatkan teknologi, informasi, dan media; serta
keterampilan hidup dan berkarir. Institusi lainnya, yaitu The North
Central Regional Education Laboratory/NCREL mengidentifikasi
keterampilan abad ke-21 yang mencakup melek digital (digital
literacy), pemikiran inventif (inventive thinking), komunikasi efektif
dan produktivitas tinggi (high and effective communication and
productivity) (Burkhardt et al., 2003). Di samping itu, beberapa penulis
memberikan pengertian yang lebih konseptual tentang keterampilan
abad 21 ini. Misalnya, Wagner (2011) dalam bukunya yang berjudul

16 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


The Achievement Global Gap mengidentifikasi tujuh keterampilan
abad 21 yang diperlukan siswa masa kini untuk bertahan hidup dalam
karir, kuliah, dan sebagai warga negara, yaitu keterampilan berpikir
kritis dan pemecahan masalah, kolaborasi, adaptasi, inisiatif dan
wiraswasta, komunikasif, akses dan analisis informasi, serta rasa ingin
tahu dan imajinasi. Sementara Daniel Pink, seorang penulis dan
pengamat politik Amerika Serikat, melalui bukunya “A Whole New
Mind” menjelaskan enam kemampuan penting yang perlu dikuasai
oleh para profesional masa kini untuk sukses di abad 21, yaitu
kemampuan mendeteksi pola dan peluang, mencipta keindahan
artistik dan emosional, meramu gagasan yang tampaknya tidak terkait
menjadi sesuatu yang baru, empati dengan orang lain dan memahami
seluk beluk interaksi antar manusia, sukacita dalam diri dan
menularkannya pada orang lain, serta merentangkannya dalam
mengejar tujuan dan makna. Terakhir, Howard Gardner (2008),
seorang profesor dari Harvard, dalam bukunya “Five Minds for
Futures” menjelaskan kemampuan kognitif spesifik yang akan dicari
dan dibutuhkan para pemimpin masa depan, yaitu pikiran terkait
dengan disiplin, sintesa, mencipta, kehormatan, dan etika.
Dengan beragamnya indikator dari konsep keterampilan abad 21
di atas, sangat masuk akal jika sampai saat ini para pendidik masih
kebingungan mengimplementasikan konsep tersebut pada tataran
praktis di kelas-kelas mereka. Jika membaca sejarahnya, gerakan 21st
Century Skills ini telah berlangsung selama lebih dari satu dekade.
Sepuluh tahun yang lalu, misalnya, National Education Association
(NEA) di Amerika Serikat membantu mendirikan Partnership for 21st
Century Skills (P21) dan memfasilitasi pengembangan "Kerangka
Pembelajaran Abad 21" yang menyoroti 18 keterampilan yang
berbeda. Keterlibatan NEA sejak awal dalam pengembangan konsep
dan kerangka pembelajaran abad 21 ini, membuatnya empati
terhadap kesulitan para pendidik dalam mengimplementasikan
konsep keterampilan abad 21 tersebut dalam praktek pembelajaran
sehari-hari. Oleh karenanya, NEA berusaha mengidentifikasi aspek-
aspek penting dan utama dari keterampilan abad 21. Hal ini dilakukan
dengan cara melakukan jajak pendapat kepada semua pemangku
kepentingan dan instansi terkait. Akhirnya diperoleh kesepakatan

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 17


tentang keterampilan khusus dan paling penting dalam pendidikan
abad 21 yang perlu dikuasai siswa masa kini, yang dikenal dengan
sebutan "Empat C”, yaitu Critical Thinking and Problem Solving
(berpikir kritis dan memecahkan masalah), Communication
(komunikasi), Collaboration (kolaborasi), dan Creativity and Innovation
(kreativitas dan inovasi). Hal ini dikuatkan pula oleh Ondrashek (2017)
yang merangkum keterampilan abad 21 sebagai kemampuan
kolaborasi (collaboration), melek digital (digital literacy), berpikir kritis
(critical thinking) dan kemampuan memecahkan masalah (problem
solving); serta oleh Binkley et al.; Dede; Mishra dan Kereluik dalam
Voogt, Erstad, Dede, dan Mishra (2013) yang menyatakan bahwa
terdapat konsensus tentang kompetensi abad 21 yang dianggap kritis,
yang sangat penting untuk hidup dan berkontribusi pada masyarakat
kita saat ini, yaitu kemampuan kolaborasi, komunikasi, melek digital,
kewarganegaraan, pemecahan masalah, pemikiran kritis, kreativitas,
dan produktivitas. Dengan demikian, dari paparan di atas dapat
disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis dan memecahkan
masalah; berkomunikasi; berkolaborasi; dan kreativitas serta inovasi;
merupakan karakteristik utama dari keterampilan abad 21 yang perlu
dimiliki SDM masa kini. Keterampilan-keterampilan tersebut sangat
dibutuhkan oleh jenis pekerjaan masa kini yang menekankan pada
pelayanan jasa.

PEMBELAJARAN KETERAMPILAN ABAD 21

Keterkaitan antara kemampuan berpikir kritis dan proses


pendidikan sangatlah jelas. Seseorang tidak dapat belajar dengan baik
tanpa mampu berpikir dengan baik. Kemampuan berpikir kritis bukan
hanya berkontribusi pada kesuksesan karir seseorang, tapi juga kunci
sukses belajar di pendidikan tinggi dan smart city. Oleh karenanya,
membekali siswa menjadi smart people, yang mampu berpikir kritis
dan memecahkan masalah secara efektif dalam proses pembelajaran,
sangatlah penting. Mengajarkan berpikir kritis kepada siswa bukan
berarti kita hanya memberi mereka alat tetapi membantu mereka
menemukan cara berpikir di luar media yang biasa mereka gunakan.
Memberi siswa pemahaman tentang bagaimana memahami statistik,

18 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


misalnya, memungkinkan mereka menafsirkan data tentang berita,
mencari bias dari berita-berita tersebut, dan mengeksplorasi
bagaimana data digunakan untuk mendukung pendapat yang mungkin
benar, atau mungkin salah. Secara praktis, indikator kemampuan
berpikir kritis yang perlu dikuasai siswa masa kini meliputi
kemampuan memberikan alasan secara efektif, berpikir secara sistem,
mengemukakan pendapat dan terampil mengambil keputusan, serta
mampu memecahkan masalah.
Dalam hal komunikasi, siswa tidak hanya dituntut untuk terampil
menyampaikan informasi atau data secara lisan dan tertulis, tetapi
mereka pun harus mampu menganalisa dan mengolah informasi yang
berlimpah secara efektif. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara
mengajari mereka memilah dan memilih antara sumber informasi
yang akurat dengan yang tidak, dan menentukan bagaimana informasi
tersebut dimanfaatkan secara efektif. Mengekspresikan pikiran
dengan jelas, mengartikulasikan pendapat dengan cerdik,
menyampaikan arahan secara koheren, dan memotivasi orang,
merupakan keterampilan-keterampilan komunikasi yang dibutuhkan
siswa masa kini dan selalu dinilai di dunia kerja dan di masyarakat.
Para siswa perlu menguasai keterampilan berkomunikasi seperti itu
jika ingin menjadi smart people yang mampu “survive” di dunia kerja
yang sangat kompetitif, yang merupakan salah satu ciri dari smart city.
Berikut beberapa cara pembelajaran keterampilan komunikasi yang
efektif bagi para siswa yang ditawarkan Crockett (2017), yaitu a) ajak
siswa menonton film yang memodelkan keterampilan bercakap-cakap;
b) ajak siswa mendengarkan dan menyimak cara seseorang
mengucapkan kata-kata dalam frasa yang berbeda, melalui audiobook,
misalnya; c) tugaskan siswa belajar kelompok dan presentasi; belajar
kelompok mempertajam kemampuan siswa berkomunikasi lisan dan
tulisan, serta memberi kesempatan kepada siswa untuk mengasah
keterampilannya beradu pendapat dengan teman-temannya secara
bergiliran, sementara presentasi melatih para siswa untuk berani
tampil berbicara di depan umum dan mengemukakan buah pikirannya
secara sistematis; d) ajukan pertanyaan terbuka; hal ini memberikan
kesempatan kepada siswa untuk memberikan jawaban secara lisan
dengan demikian kemampuan komunikasi lisannya dapat diasah.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 19


Disamping itu, kemampuan menjawab pertanyaan secara lisan sangat
penting dalam diskusi dan menunjukkan pada siswa bahwa ada
banyak cara untuk memahami dan menjawab sebuah pertanyaan,
atau menyanggah suatu pendapat; e) berikan tugas dan aktivitas yang
menumbuhkan pemikiran kritis; hal ini dapat dilakukan secara verbal
atau melalui tugas tertulis yang memberi siswa kesempatan untuk
menjawab pertanyaan secara kreatif dengan menggunakan kata-kata
dan ungkapan mereka sendiri; f) minta siswa melakukan refleksi
terhadap proses pembelajaran komunikasi yang telah dilakukannya;
merekam cara siswa membaca atau sekelompok siswa berpresentasi,
merupakan metode yang sangat baik untuk menilai kekuatan dan
kelemahan keterampilan komunikasi mereka; beri kesempatan siswa
untuk mengkritik cara berkomunikasi siswa lainnya, dengan demikian
mereka terbiasa menerima kritik yang membangun; dan g) pilih waktu
belajar yang tepat untuk belajar komunikasi, misalnya jika seorang
siswa menjawab pertanyaan dengan cara yang rumit, coba minta
mereka mengulangi kata-kata mereka, atau jika ditemukan kata asing
dalam buku pelajaran, berhenti sejenak, lalu minta siswa mencari arti
kata tesebut dalam kamus. Jika dirangkum, maka indikator
keterampilan komunikasi yang perlu dikuasai siswa masa kini,
sebagaimana yang dituntut oleh perusahaan-perusahaan, lembaga-
lembaga pemerintah dan swasta dalam smart city meliputi
mendengar secara efektif untuk menguraikan makna, pengetahuan,
nilai, sikap, dan niat; menggunakan komunikasi untuk berbagai tujuan,
misalnya untuk menginformasikan, menginstruksikan, memotivasi,
dan membujuk; menggunakan beragam media dan teknologi, dan
mampu menilai efektivitas dan dampak dari komunikasi yang
dilakukan; serta mampu berkomunikasi secara efektif dalam beragam
lingkungan.
Kolaborasi adalah keterampilan lainnya yang perlu dikuasai siswa
masa kini karena hal tersebut nantinya melekat dengan sifat
pekerjaan yang banyak dituntut oleh smart city. Lima puluh tahun
yang lalu, banyak pekerjaan yang dapat dilakukan seorang diri, tapi
tidak sekarang. Pada umumnya, sekarang ini pekerjaan dikerjakan
oleh tim, dan kolaborasi dianggap sebagai keterampilan yang penting
untuk dimiliki oleh siapa pun untuk mampu bekerja dalam tim.

20 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


Kolaborasi adalah kemampuan bekerja secara efektif dan penuh rasa
hormat dalam tim yang beragam. Kolaborasi akan berjalan dengan
baik dan efektif jika kelompok orang yang terlibat di dalamnya
bersikap fleksibel, saling membantu, bersedia kompromi untuk
mencapai tujuan bersama, dan sepakat atas tanggung jawab dan
kontribusi masing-masing individu dalam menyelesaikan pekerjaan.
Keterampilan abad 21 terakhir yang perlu dikuasai siswa agar
dapat berkiprah secara optimal dalam pekerjaan yang pada ujung-
ujungnya berkontribusi positip terhadap pembangunan smart city
adalah kreativitas dan inovasi. Pada hakikatnya ke dua kata tersebut
tak asing di telinga kita, namun tidak semua orang dapat menjelaskan
indikator dari kreativitas atau inovasi tersebut. Torrance dalam Craft
(2001) melihat kreativitas sebagai kemampuan seseorang dalam
melakukan penginderaan masalah, pencarian alternatif solusi,
pengajuan hipotesis, pengujian dan evaluasi, serta pengkomunikasian
hasilnya kepada orang lain. Sedangkan Vernon (1984) berpendapat
bahwa kreativitas merupakan kapasitas seseorang untuk
menghasilkan atau menata ulang wawasan, ide, temuan atau benda
seni yang asli, yang diterima oleh para ahli sebagai ilmu pengetahuan,
estetika, sosial, dan atau bernilai teknologi. Di lain pihak, Piirto (2011)
memberikan ciri-ciri tentang orang kreatif, yaitu yang memiliki disiplin
diri dan motivasi tinggi ketika berkarya; terbuka terhadap
pengalaman; berani mengambil risiko; toleran terhadap
ketidakjelasan; dan percaya pada kelompok. Trilling dan Fadel dalam
Kivunja (2014) menjelaskan cara mengajarkan berpikir kritis kepada
siswa, yaitu dengan mendorong siswa melakukan penalaran induktif
dan deduktif, berpikir secara sistem, dan mengajari mereka
melakukan penilaian, melalui kegiatan analisis, interpretasi, refleksi
dan evaluasi. Dari beberapa penjelasan tentang kreativitas di atas,
konsep kreativitas yang paling jelas indikatornya dalam arti dapat
diamati secara kasat mata adalah konsep kreativitas yang
dikemukakan oleh Piirto. Disamping itu, dalam kehidupan kita sehari-
hari juga kita sering melihat bahwa orang dikatakan “kreatif” jika
orang tersebut banyak menghasilkan karya, baik karya akademik,
karya seni, atau karya-karya lainnya yang membuat orang tercengang,
terkagum-kagum, atau bahkan tidak percaya, karena pada umumnya

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 21


karya yang dihasilkannya tidak terpikirkan sebelumnya oleh orang
kebanyakan.
Lalu, bagaimana caranya mendorong siswa untuk memiliki
keterampilan inovasi yang juga sangat diperlukan dalam membangun
smart city? Keterampilan belajar dan berinovasi telah diakui sebagai
keterampilan yang dapat membedakan siswa yang siap dan siswa yang
tidak siap dalam menghadapi kehidupan dan lingkungan kerja yang
terus bertambah musykil. Kreativitas dan keterampilan inovasi terlihat
dalam kemampuan siswa menunjukkan orisinalitas dan temuan dalam
karya, selain kemampuan mengembangkan dan mengomunikasikan
gagasan baru kepada orang lain. Indikator lain dari keterampilan
kreativitas dan inovasi diantaranya sikap terbuka dan tanggap
terhadap perspektif baru yang beragam, serta memanfaatkan gagasan
kreatif guna membuat kontribusi yang berguna bagi ranah yang
tempat inovasi itu terjadi. Pembelajaran inovatif diharapkan mampu
membuat siswa yang mempunyai kapasitas berpikir kritis dan terampil
dalam memecahkan masalah. Selain itu, pembelajaran yang inovatif
tercermin dari hasil yang diperlihatkan siswa yang komunikatif dan
kolaboratif seperti tercermin dalam kemampuannya
mengartikulasikan pikiran dan gagasan secara jelas dan efektif melalui
tuturan dan tulisan. Begitu juga siswa dengan karakteristik ini dapat
menunjukkan kemampuan untuk bekerja secara efektif dengan tim
yang beraneka, fleksibel dan terampil berkompromi dalam mencapai
tujuan bersama.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, perkembangan TIK, selain
mengubah jenis dan sifat pekerjaan, juga mengubah cara orang hidup,
cara orang bekerja, cara orang berpikir, dan cara orang menggunakan
alat dalam bekerja. Hal ini membutuhkan sistem pendidikan baru yang
sesuai dengan perubahan tersebut (Griffin, Mc.Graw, & Core, 2012).
Pendapat ini didukung oleh Rotherham dan Willingham (2010) yang
menyatakan bahwa jika mengharap SDM sesuai tuntutan abad 21,
maka ada tiga hal yang perlu dibenahi pada sistem pendidikan, yaitu
kurikulum, proses pembelajaran, dan proses penilaian hasil belajar.
Terkait kurikulum, terdapat dua misconceptions yang perlu dibenahi.
Pertama, pemahaman yang kurang tepat bahwa keterampilan berpikir
dan pengetahuan merupakan dua hal yang terpisah. Pada hakikatnya,

22 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


keduanya saling terkait dan saling melengkapi dalam proses
belajarnya. Kedua, pemahaman bahwa dengan memberi siswa
pengalaman sebanyak-banyaknya pada saat belajar kelompok, maka
keterampilan mengarahkan diri sendiri, berkolaborasi, belajar kreatif
dan inovasi; akan tumbuh dengan sendirinya. Dalam praktiknya,
mendapat pengalaman berlainan dengan mempraktekkan langsung.
Pengalaman hanya mengajari siswa keterampilan tertentu saja,
sementara praktik, selain mengalami, juga memberi kesempatan
kepada siswa untuk mengamati apa saja yang masih kurang dalam
melakukan keterampilan tersebut, lalu merumuskan strategi untuk
memperbaikinya. Disamping itu, pada umumnya ketika melakukan
praktik, guru akan memberikan umpan balik, sementara ketika
memberi siswa pengalaman, guru jarang memberi umpan balik.
Dengan demikian, keterampilan-keterampilan tersebut di atas perlu
diajarkan kepada SDM dengan sungguh-sungguh melalui konsep
smart education dalam smart city. Hal ini sangat penting, agar mereka
menjadi modal intelektual dan modal sosial yang kompeten, yang siap
bekerja dan berpartisipasi secara positif dalam membangun kotanya.
Selanjutnya, pada tataran praktis dan mikro, salah satu perubahan
yang terjadi pada proses pembelajaran abad 21 adalah terjadinya
pergeseran paradigma pendidikan, khususnya pembelajaran, dari
konsep mengajar (instruction) ke konsep belajar (learning). Dalam
konsep mengajar, guru menjadi aktor utama dalam mentransfer ilmu
pengetahuan sebanyak-banyak kepada peserta didik, sementara
dalam konsep belajar, proses pembelajaran diartikan sebagai proses
transformasi melalui penciptaan lingkungan belajar yang
memungkinkan peserta didik melakukan penemuan dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Proses pembelajaran abad 21 juga
ditandai dengan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student
centered learning/SCL). SCL adalah sebuah disiplin yang melibatkan
interaksi tim siswa yang mengalami pembelajaran kreatif untuk
digunakan di dunia nyata (Thornburg, 1995); tujuan sistem (sekolah)
harus memenuhi tujuan siswa (Harmon & Hirumi, 1996); dan pelajar
memiliki beberapa kontrol dalam jenis instruksi yang diberikan.
Weimer dalam Wright (2011) menyatakan bahwa terjadi pergeseran
peran guru dan siswa dalam SCL. Pada pembelajaran yang berpusat

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 23


pada guru (Teacher Centered Learning/TCL), guru berperan sebagai
"satu-satunya pemeran utama di kelas” (sage on the stage), lalu dalam
SCL bergeser menjadi "pemandu siswa dalam proses pembelajaran”
(guide on the side) (Overby, 2011). Dalam SCL, guru memandang siswa
sebagai pencari pengetahuan yang perlu dibimbing dalam perjalanan
pengembaraan intelektualnya, bukan sebagai saluran kosong yang
siap diisi dengan informasi sebanyak-banyaknya. Weimer juga
menyatakan dengan tegas bahwa siswa perlu dilibatkan secara aktif
dalam proses pembelajaran, salah satunya dengan mengajak mereka
belajar “melakukan” (learning by doing). Misalnya, siswa terlibat
dalam presentasi materi perkuliahan, belajar antar sesamanya ketika
menanggapi ajakan guru untuk memberi contoh, menerapkan konsep,
atau membuat ringkasan, dan siswa mempunyai pengalaman belajar
yang nyata ketika mereka ambil bagian dalam sesi pemecahan
masalah. Dengan melibatkan siswa secara aktif dalam proses
pembelajaran, memberikan kesempatan kepada guru untuk
mengklarifikasi tingkat pemahaman siswa terhadap materi
pembelajaran yang telah dibahas, serta guru dapat membantu
membimbing para siswa dalam membuat keterkaitan antar materi
secara bermakna. Berikutnya, dalam SCL tanggung jawab belajar
secara alami beralih kepada siswa, bukan semata tanggung jawab
guru. Oleh karenanya, siswa perlu diingatkan dan disadarkan tentang
tanggung jawabnya ini. Di sisi lain, peran guru bergeser dari instruktur
menjadi fasiltator pembelajaran. Sebagai fasilitator, tugas guru adalah
mengelola proses pembelajaran, mengarahkan siswa dalam belajar,
dan menunjukkan sumber-sumber belajar yang diperlukan siswa.
Di lapangan, perubahan proses pembelajaran dari yang semula
berpusat kepada guru menjadi berpusat pada siswa, tidaklah mudah
dan sederhana. Perlu upaya “pembiasaan” perubahan paradigma ini,
baik kepada guru, siswa, pengelola sekolah, maupun orang tua siswa.
Contohnya, bila sebelumnya dengan konsep belajar berpusat pada
guru, guru menyiapkan bahan pembelajaran, lalu masuk ke kelas,
langsung presentasi dan ceramah. Siswa-siswanya hanya duduk manis,
mendengarkan, mencatat. Sesekali gurunya bertanya dan siswanya
menjawab. Pembelajaran cenderung satu arah dari gurunya saja,
siswa pasif hanya menerima saja materi yang diberikan gurunya.

24 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


Sebaliknya, dengan konsep belajar yang berpusat pada siswa, peran
guru berubah, yakni harus menyiapkan bahan-bahan pembelajaran,
tidak saja dalam bentuk materi untuk presentasi, tetapi yang lebih
penting lagi bahan-bahan untuk curah pendapat, diskusi, tanya jawab,
bahkan mungkin untuk simulasi, bermain peran, yang diperlukan
untuk mengaktifkan siswanya melakukan “inquiry”, “discovery” dan
“problem solving”dalam proses pembelajaran. Untuk mengubah tugas
guru yang semula hanya menyiapkan bahan presentasi lalu mengajar
dengan ceramah saja, kemudian menjadi fasilitator pembelajaran
dengan tugas yang lebih banyak dan berat, ternyata tidak mudah
karena perlu waktu, perlu pelatihan, perlu kebijakan yang mendukung,
dan perlu ada kemauan dari semua pihak terkait untuk berubah. Itu
baru satu sisi di pihak guru, belum lagi siswanya juga perlu disiapkan
dengan metode pembelajaran baru tsb. Demikian pun para pengambil
kebijakan di bidang pendidikan dan para pengelola sekolah perlu
diberi tahu tentang konsekwensi dari perubahan paradigma
pembelajaran ini, karena mereka bertanggung jawab mengatur
pembiayaan dan menyediakan sarana prasarana pembelajaran yang
sesuai, personalia yang akan mengelola masalah pendidikan dan
administrasinya, serta yang menjadi pelaksana di lapangan tentang
perubahan paradigma pembelajaran ini.
Secara teoritis, pelaksanaan SCL idealnya ditandai dengan hal-hal
berikut: guru dan siswa secara aktif bersama-sama membangun
pengetahuan; guru lebih berperan sebagai fasilitator, yang
membimbing siswa belajar, bukan sekedar pemberi informasi; belajar
bukan sekedar penguasaan materi pelajaran, tetapi lebih diarahkan
kepada pengembangan karakter siswa agar menjadi pebelajar
sepanjang hayat (life-long learners); proses pembelajaran difasilitasi
dengan menggunakan multimedia; belajar dan evaluasinya dilakukan
secara bertahap dan terintegrasi; belajar merupakan proses
pengembangan pengetahuan dan jawaban salah terhadap suatu
pertanyaan dianggap sebagai bagian dari belajar; proses belajar lebih
kolaboratif, kooperatif, dan suportif; proses belajar dapat dilakukan
dimana dan kapanpun; belajar diarahkan pada pencapaian
kompetensi siswa melalui proses pencarian (inquiry), penemuan
(discovery), dan pemecahan masalah (problem solving); belajar

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 25


diarahkan pada cara siswa memanfaatkan beragam sumber belajar,
dan proses pembelajaran cenderung menggunakan pendekatan
interdisiplin. Dengan karakteristik SCL seperti itu, maka peran yang
harus dilakukan guru dalam pembelajaran SCL adalah memahami
tujuan/kompetensi pembelajaran; menyediakan dan memberikan
beragam pengalaman belajar yang sesuai dengan tuntutan
kompetensi; menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif dan
menyenangkan; mengecek perkembangan belajar siswa secara
pribadi; mendorong siswa untuk berpikir kritis, kreatif dan memiliki
kemampuan memecahkan masalah; serta menjelaskan norma, aturan,
standar, sistem nilai, etika dan etiket yang berkaitan dengan mata
pelajarannya.
Implementasi SCL berimplikasi pada guru dan institusi. Implikasi
SCL terhadap guru di antaranya adalah selain harus memperhatikan
perkembangan bidang ilmunya, guru juga harus selalu membuka diri
terhadap perbaikan dan peningkatan mutu pembelajaran yang
dilaksanakannya; guru merupakan perancang pembelajaran yang
secara terus menerus harus melakukan penilaian dan pencarian
informasi untuk meningkatkan mutu pembelajarannya; guru juga
secara terus menerus harus melakukan bimbingan, arahan, dan
penilaian terhadap kegiatan belajar siswanya. Untuk itu, harus
memastikan bahwa perencanaan dan keputusan pelaksanaan
pembelajaran dibuat untuk memberi dampak terhadap belajar siswa;
guru harus memimpin didalam menentukan capaian belajar siswa dan
memilih cara terbaik agar capaian itu dapat diperoleh oleh lulusan;
dan guru harus membuat belajar para siswanya sebagai prioritas.
Bagi institusi, implikasi SCL antara lain adalah misi institusi harus
diletakkan pada belajar daripada mengajar siswa; institusi harus
bertanggung jawab terhadap proses belajar siswa; memberikan
dukungan dan meningkatkan mutu belajar siswa harus menjadi
pekerjaan semua orang dan harus mengarahkan pada pengambilan
keputusan di sekolah; dan efektivitas institusi harus dievaluasi
berdasarkan capaian belajar siswanya bukan hanya sekedar dari
pemanfaatan sumberdaya dan proses pembelajarannya saja.
Diskusi kelompok kecil (small-group discussion), bermain peran
dan simulasi (role-play and simulation), studi kasus (case study),

26 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


belajar menemukan (discovery learning), belajar mandiri (self-directed
learning), belajar kooperatif (cooperative learning), belajar kolaboratif
(collaborative learning), pembelajaran kontekstual (contextual
instruction), belajar berbasis proyek (project-based learning), dan
belajar berbasis masalah (problem-based learning) adalah beberapa
strategi dan metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam SCL.
Hal ini perlu terus menerus dilatihkan kepada para guru dan siswa,
agar secara bertahap mereka terbiasa dan terampil terlibat dalam
proses pembelajaran aktif seperti itu. Berikut salah satu contoh dari
kelebihan pembelajaran berbasis proyek dan berbasis masalah, yang
menuntut guru dan siswa melakukan proses pembelajaran secara aktif
sebagaimana disampaikan oleh Linda Darling-Hammond, dalam karya
terbarunya, Powerful Learning – What Do We Know about Teaching
for Understanding (2015). Hasil penelitiannya tentang pembelajaran
berbasis proyek dan berbasis masalah mengilustrasikan manfaat yang
signifikan bagi siswa yang bekerja sama dalam kegiatan belajar
dibandingkan dengan siswa yang bekerja sendiri. Sebuah temuan
penelitian tambahan menunjukkan bahwa siswa yang mengalami
kesulitan dengan kelas/pembelajaran teks/ceramah, secara signifikan
mendapat manfaat dari pengalaman belajar berbasis proyek yang
lebih selaras dengan gaya belajar dan preferensi mereka (Baron et al.,
2008). Sementara pembelajaran berbasis masalah merupakan sebuah
bentuk pembelajaran berbasis proyek, yang memungkinkan guru
untuk mengembangkan masalah dunia nyata yang kompleks dengan
menggunakan pendekatan studi kasus dan fokus pada siswa. Kapan
siswa bekerja dalam kelompok kecil untuk meneliti dan mengajukan
solusi untuk masalah, keduanya bersifat kolaboratif dalam lingkungan
multifaset yang tercipta. Dalam lingkungan ini, siswa bisa menjelajah
beberapa solusi dan praktik terbaik untuk menangani proyek. Studi
dan meta-studi terhadap penelitian pembelajaran berbasis masalah
telah menemukan bahwa untuk pembelajaran faktual, pembelajaran
berbasis masalah memiliki dampak yang sama dengan metode
pembelajaran tradisional, namun belajar berbasis masalah melebihi
metode pembelajaran tradisional ketika keterampilan seperti berpikir
kritis, komunikasi, kolaborasi, dan penerapan pengetahuan pada
situasi dunia nyata diukur (Baron et al., 2008).

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 27


Dengan bergesernya strategi dan metode pembelajaran abad 21
dari TCL ke SCL, maka sistem dan prosedur penilaian hasil
belajarnyapun berubah. Pada proses pembelajaran yang sangat
berpusat pada guru, di mana metode ceramah, diskusi, dan
demonstrasi menjadi ciri utamanya, maka proses penilaian hasil
belajar yang sering dilakukan adalah dengan tes. Tes ini dapat berupa
pilihan ganda atau uraian. Proses penilaian hasil belajar seperti ini
memang dominan untuk mengukur tingkat pemahaman siswa
terhadap pengetahuan yang telah dipelajarinya. Namun dengan
bergesernya proses pembelajaran menjadi lebih berpusat pada siswa
dan menggunakan strategi dan metode pembelajaran yang beraneka
ragam, maka proses penilaian hasil belajarnya pun lebih menggunakan
alternative assessment dibanding standardized assessment.
Alternative assessment adalah pemanfaatan pendekatan non-
tradisional untuk memberi penilaian kinerja atau hasil belajar siswa.
Non-tradisional artinya penilaian hasil belajar tidak dilakukan dengan
pengukuran yang menggunakan kertas dan pensil (paper and pencil
test), tetapi menggunakan authentic assessment, asesmen kinerja,
dan asesmen portofolio. Cara penilaian seperti ini didukung oleh Teori
Fleksibilitas Kognitif (Spiro, 1990) yang mengatakan bahwa belajar
merupakan suatu kegiatan yang kompleks dan tidak terstruktur;
kemampuan diperoleh secara spontan oleh siswa dengan cara
melakukan restrukturisasi pengetahuan yang telah dimiliki, guna
merespon perubahan atau kenyataan dan tuntutan yang dihadapi;
dan proses belajar tidak pernah berakhir, yaitu merupakan proses
penyesuaian terhadap situasi yang berubah-ubah (learning is context-
dependent).

PENUTUP

Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) bukan satu-satunya


faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan smart city,
karena tanpa peran manusia dan pendidikan, keunggulan dan
kemanfaatan TIK tidak mungkin dapat optimal dalam pembangunan
perkotaan. Warga kota yang cerdas (smart people) perlu dipersiapkan
dengan baik agar dapat berkiprah dalam membangun smart city. Hal

28 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


tersebut dapat dilakukan melalui penyediaan layanan pendidikan
cerdas (smart education). Smart education memainkan peran penting
dalam meningkatkan kinerja fisik kota, sementara pada saat yang
sama juga mempersiapkan siswa masa kini untuk hidup di dunia yang
semakin kompleks dan semakin berorientasi pada teknologi masa
depan.
Smart education merupakan sistem pendidikan yang lincah,
adaptif, dan efisien, karena mampu memfasilitasi dan memberikan
dukungan beragam kepada kelompok siswa yang beragam
kebutuhannya serta program pendidikan yang memanfaatkan
keterampilan abad ke-21 dalam proses pembelajarannya; proses
pendidikan yang mengintegrasikan aspek kehidupan sebagai sumber
belajar (learning sources), materi belajar (learning material), dan
tujuan pembelajaran (learning objectives). Smart education juga
merupakan suatu inovasi sistem pendidikan yang komprehensif
meliputi inovasi terhadap lingkungan, metode, dan evaluasi
pendidikannya.
Keterampilan abad 21 yang merupakan salah satu ciri dari smart
education perlu dikuasai siswa masa kini. Keterampilan abad 21
tersebut dikenal dengan sebutan "Empat C”, yaitu Critical Thinking
and Problem Solving (berpikir kritis dan memecahkan masalah ),
Communication (komunikasi), Collaboration (kolaborasi), dan
Creativity and Innovation (kreativitas dan inovasi), dan hal ini dapat
disampaikan atau diajarkan kepada para siswa salah satunya melalui
pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered
learning/SCL). SCL adalah sebuah disiplin yang melibatkan interaksi
tim siswa yang mengalami pembelajaran kreatif untuk digunakan di
dunia nyata; kebalikan dari "berpusat pada guru"; tujuan sistem
(sekolah) harus memenuhi tujuan siswa; siswa sebagai "mitra" dengan
guru dalam pendidikan; "peserta didik mengendalikan pembelajaran",
pelajar memiliki beberapa kontrol dalam jenis instruksi yang diberikan.
Implementasi SCL berimplikasi pada guru dan institusi. Implikasi
SCL terhadap guru pada dasarnya adalah guru harus melakukan
perbaikan secara berkesinambungan dalam hal perkembangan bidang
ilmunya, mutu pembelajaran; pembimbingan, pemberian arahan, dan
penilaian terhadap kegiatan belajar siswanya. Intinya, guru harus

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 29


memastikan belajar para siswanya sebagai prioritas. Bagi institusi,
implikasi SCL antara lain adalah misi institusi harus diletakkan pada
belajar dari pada mengajar siswa; institusi harus bertanggung jawab
terhadap proses belajar siswa; memberikan dukungan dan
meningkatkan mutu belajar siswa harus menjadi pekerjaan semua
orang dan harus mengarahkan pada pengambilan keputusan di
sekolah; dan efektivitas institusi harus dievaluasi berdasarkan capaian
belajar siswanya bukan hanya sekedar dari pemanfaatan sumberdaya
dan proses pembelajarannya saja.
Pada akhirnya, melalui smart education diharapkan mampu
dibangun SDM, yaitu smart people yang terdidik dan terampil dalam
mencipta, berbagi, menyebarkan, serta mampu memanfaatkan
pengetahuan dan keterampilan secara efektif; smart people yang
memiliki kemampuan belajar sepanjang hayat (life-long learners),
smart people yang bermanfaat bagi kehidupan; pebelajar abad ke-21
yang cerdas dan dapat menyesuaikan diri; serta smart people
penghuni smart city yang memiliki keterampilan global berkualitas
tinggi.

30 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


DAFTAR PUSTAKA

Ananiadou, K. & Claro, M. (2009). 21st century skills and competences


for new millennium learners in OECD countries. OECD Education
Working Papers, No. 41. OECD Publishing.

Barron, B., & Darling-Hammond, L. (2008). Teaching for Meaningful


Learning: A Review of Research on Inquiry-Based and Cooperative
Learning. Book Excerpt. George Lucas Educational Foundation.

Bătăgan, L. & Boja, C. (2012). Smart solutions for educational systems -


case study. Procedia - Social and Behavioral Sciences 46 (2012 )
4834 – 4838.

Burkhardt, G., Monsour, M., Valdez, G., Gunn, C., Dawson, M., Lemke,
C., Coughlin, E., Thadani, V., & Martin, C. (2003). enGauge 21st
century skills: Literacy in the digital age. Naperville, IL: NCREL.

Crockett, L. W. (2017). 8 methods for effectively improving student


communication skills. Global digital citizen foundation.

Dameri, R. P. (2013). Searching for smart city definition: a


comprehensive proposal. International Journal of Computers &
Technology, 11(5), 2544-2551.

Darling-Hammond, L. (2006). Constructing 21st-century teacher


education. Journal of Teacher Education, 57(3), 300-314.

Darling-Hammond, L., Barron, B., Pearson, P. D., Schoenfeld, A. H.,


Stage, E. K., Zimmerman, T. D., & Tilson, J. L. (2015). Powerful
learning: What we know about teaching for understanding. John
Wiley & Sons.

Dede, C. (2009). Comparing Frameworks for “21st Century Skills.


Boston: Harvard Graduate School of Education.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 31


Gardner, H. (2008). The five minds for the future. Schools, 5(1/2), 17-
24.

Giffinger, R., Fertner, C., Kramar, H., Kalasek, R., Pichler-Milanovi, N.,
& Meijers, E. (2007). Smart cities: Ranking of European medium-
sized cities. Vienna, Austria: Centre of Regional Science (SRF),
Vienna University of Technology. Retrieved from
http://www.smartcities.
eu/download/smart_cities_final_report.pdf.

Giffinger, R., & Gudrun, H. (2010). Smart cities ranking: An effective


instrument for the positioning of cities? ACE: Architecture, City
and Environment, 4(12), 7-25. Retrieved from
http://upcommons.upc.edu/revistes/bitstream/2099/8550/7/A
CE_12_SA_10.pdf.

Griffith, P., McGaw, B., & Care, E. (ed.) (2012). Assessment and
teaching of 21st century skills. Springer Science+Business Media
B.V.

Gunawan, A. (2013). Tinjauan socio-multicultural-art-reality-


technology “SMART” . Disampaikan dalam Diskusi Sains
Yogyakarta.

Harmon, S. W., & Hirumi, A. (1996). A systemic approach to the


integration of interactive distance learning into education and
training. Journal of Education for Business, 71(5), 267-271.

IBI (2017). Defining of the cities of tomorrow. Retrieved from


http://www.ibigroup.com/new-smart-cities-landing-
page/introduction-smart-cities

IBM (2012).Smarter education: Building the foundations of economic


succes. Somers, NY: IBM Corporation.

32 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


Jerald, C. D. (2009). Defining a 21st century education. Center for
Public education, 16.

Kim, T., Cho, J. Y. & Lee, B. G. (2012 ). Evolution to smart learning in


public education: A case study of Korean public education. Seoul,
Korea: Korea Communications Agency.

Kivunja, C. (2014). Do you want your students to be job-ready with


21st century skills? Change pedagogies: A pedagogical paradigm
shift from Vygotskyian social constructivism to critical thinking,
problem solving and Siemens’ digital connectivism. International
Journal of Higher Education, 3(3), 81.

Nam, T. & Pardo, T. A. (2011). Conceptualizing smart city with


dimensions of technology,people, and institutions. The
Proceedings of the 12th Annual International Conference on
Digital Government. Albany, NY: Research Center for Technology
in Government University at Albany, State University of New York

National Education Association. (2012). Preparing 21st century


students for a global society: An educator’s guide to the “four Cs”.
Alexandria, VA: National Education Association.

Noweski, C., Scheer, A., Bu¨ ttner, N., von Thienen, J., Erdmann, J., &
Meinel, C. (2012). Towards a paradigm shift in education practice:
Developing twenty-first century skills with design thinking.
Potsdam, Germany: Hasso-Plattner-Institute,

Ondrashek, N. (2017). 21st century learning. Orange City:


Northwestern College.

Overby, K. (2011) "Student-Centered Learning," ESSAI: Vol. 9, Article


32. Retrieved from http://dc.cod.edu/essai/vol9/iss1/32

Pacific Policy Research Center (2010). 21st Century Skills for Students
and Teachers.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 33


Honolulu: Kamehameha Schools Research & Evaluation Division.
Partnership for 21st Century Skills (2008). 21st Century skills,
education & competitiveness. A Resource and Policy Guide.
Pearlman, B. (2006) Designing new learning environments to support
21st century skills, chapter 6. 21 st Century Skills.
Piirto, J. (2011). Creativity for 21st century skills. How to embed
creativity into the curriculum. Rotterdam , Netherland: Sense
Publishers
Rotherham, A. J. & Willingham, D.T. (2010). “21ST century skills”-not
new but a worthy challenge. American Educators.
Rotherham, A. J., & Willingham, D. T. (2010). “21st-Century” Skills.
American Educator, 17.
Rothman, R. (2007). Building ‘smart education system’. Retrieved from
http://www.edweek.org/ew/articles/2007/08/01/44rothman.h26.
html
Seo, J. (2012). SMART education in Korea: Digital textbook initiative.
Spiro, R. J., & Jehng, J. C. (1990). Cognitive flexibility and hypertext:
Theory and technology for the nonlinear and multidimensional
traversal of complex subject matter. Cognition, Education, and
Multimedia: Exploring Ideas in High Technology, 205, 163-205.
Thornburg, D. (1995). Student-centered learning. Electronic Learning,
14(7), 18-19.
Voogt, J, Erstad, O., Dede, C., & Mishra, P. (2013). Challenges to
learning and schooling in the digital networked world of the 21st
century. Journal of Computer Assisted Learning, 29, 403–413.
Zu, Z. T., Yu, M. H., & Riezebos, P. (2016). A research framework of
education. Smart Learning Environment. Springer Open.

34 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


REINTRODUKSI SPESIES FAUNA KE HIDUPAN
ALAMI LIAR

Budi Prasetyo

PENDAHULUAN

Pada abad modern ini, Pemerintah Indonesia (kabupaten, kota,


provinsi, dan pemerintah pusat) seringkali menerbitkan peraturan
perundangan untuk melindungi spesies dan habitat di daerahnya dari
ancaman kepunahan maupun kerusakan oleh manusia. Berbagai bentuk
pelanggaran hukum secara sadar maupun tidak, terjadi dalam kehidupan
sosial masyarakat Indonesia, baik masyarakat yang tinggal di pedesaan
maupun di perkotaan dan dilakukan oleh yang berpendidikan tinggi
sampai yang tidak berpendidikan. Di samping itu, upaya penegakan
hukum terhadap para pelaku kejahatan satwa liar yang dilindungi terlalu
lemah pula, kondisi tersebut tercermin dari rendahnya hukuman yang
diberikan bagi para pelaku kejahatan, sehingga tidak memberikan efek
jera dan berpotensi untuk terulangnya kembali pelanggaran yang sama
(Widodo, 2007).
Perilaku masyarakat perkotaan untuk mengurangi beban psikologis
yang ditimbulkan oleh kompetisi bisnis yang berat dan beban stress (Allen
et al., 2001) akibat keruwetan transportasi dalam kota setiap hari, salah
satunya dengan memelihara hewan-hewan unik, langka, indah fisik

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 35


ataupun suara, dan mahal, meskipun untuk mendapatkannya dilakukan
dengan tidak benar secara prosedural. Fenomena ini diperkuat dengan
adanya pemberitaan di televisi telah ditangkap oleh aparat keamanan
beberapa masyarakat yang mengekspor anakan penyu belimbing (tukik),
Dermochelys coriacea secara ilegal. Walaupun secara hukum hewan
tersebut termasuk spesies dilindungi dan untuk keperluan ekspor harus
dilengkapi dengan dokumen perizinan dari Kementerian Kelautan dan
Perikanan. Contoh lain beberapa warga gemar memelihara hewan-hewan
yang status konservasinya termasuk spesies langka bahkan terancam
punah tanpa dilengkapi dengan dokumen resmi, misalnya memelihara
burung Curik Bali (Leucopsar rothschildii), Kakatua jambul-kuning
(Cacatua sulphurea), Trulek Jawa (Vanellus macropterus), dan burung
Sikatan-biru Rueck dari Sumatera Utara (Cyornis rueckii). Kondisi demikian
sangatlah memprihatinkan terutama bagi kalangan peneliti maupun
pemangku kepentingan seperti para ahli biologi konservasi, praktisi
konservasi, dan LSM yang bergerak di bidang konservasi untuk ikut serta
membenahi dan mencarikan solusinya (Nyhus et al., 2003)
Eksploitasi hewan-hewan langka terus terjadi, sehingga upaya keras
untuk penanggulangan ancaman kepunahan hewan langka harus
dilakukan. Tujuan penulisan adalah menjelaskan kepada publik program-
progam pembentukan populasi baru khususnya reintroduksi untuk hewan
yang status konservasinya telah terancam punah dan menghimbau
kepada semua pihak agar lebih peduli kepada kelestarian
keanekaragaman hayati Indonesia.
Beragam pendekatan dan metode untuk menyelamatkan berbagai
spesies dari kepunahan telah dilakukan oleh para ahli biologi konservasi.
Salah satunya, dengan mengupayakan dan mendorong pembentukan dan
peningkatan populasi, baik spesies liar maupun separuh liar, khususnya
untuk spesies-spesies yang berstatus langka dan terancam punah (Bowles
& Whelan, 1994).

KEKAYAAN BIOTA INDONESIA

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki mega


diversitas spesies hayati dan merupakan mega center biodiversitas dunia.
Kekayaan biodiversitas Indonesia sebanding dengan Negara Brasil yang
memiliki luasan daratan lebih dari 5 kali besarnya (Mac Kinnon, 1992;

36 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


Indrawan et al., 2012). Pada saat ini, telah tercatat keanekaragaman jenis
flora sebagai berikut: 1.500 jenis alga, 80.000 jenis tumbuhan berspora
berupa jamur, 595 jenis lumut kerak, 2.197 jenis paku-pakuan, dan
30.000-40.000 jenis tumbuhan berbiji. Sementara itu, data diversitas
faunanya terdapat 8.157 spesies vertebrata (mamalia, burung, herpeto-
fauna, dan ikan) dan 1.900 spesies kupu-kupu (Widjaja et al., 2014). Di
samping itu, karena keunikan geologi Indonesia menyebabkan tingginya
endemisitas flora, fauna, dan mikroba. Indonesia memiliki endemisitas
tertinggi di dunia untuk beberapa kelompok fauna, di antaranya 270 jenis
mamalia, 386 jenis burung, 328 jenis reptil, 204 jenis amphibian, dan 280
jenis ikan (Widjaja et al., 2014).
Indonesia sebagai negara dengan mega biodiversitas perlu terus
disosialisasikan, karena secara realitas sumber daya hayati ini telah
memberikan basis kehidupan yang sangat diperlukan dan bermanfaat
bagi Bangsa Indonesia maupun dunia. Ketimpangan hubungan antara
manusia dengan lingkungan berdampak pada terjadinya kerusakan
habitat. Kerusakan habitat, baik secara langsung maupun tidak,
berpengaruh terhadap penurunan populasi dan punahnya berbagai jenis
biota. Pengurangan populasi katak genus Rana yang berhabitat di
persawahan akibat perburuan untuk konsumsi dan cemaran kimiawi
perairan habitat tempat bertelurnya telah meningkatkan populasi hama
pertanian seperti wereng dan lalat penghisap penular penyakit tanaman
(Pratomo, 2004). Selain karena rusaknya habitat, kehilangan jenis biota
juga disebabkan oleh pengaruh masuknya jenis asing invasif,
pencemaran, eksploitasi yang berlebihan, dan perubahan iklim (Widjaja
et al., 2014). Sementara ini menjadi semakin jelas bahwa hilangnya
keanekaragaman hayati cenderung mengurangi produktivitas dan
ketahanan ekosistem secara keseluruhan, dan bukti semakin kuat bahwa
dalam memelihara proses ekosistem ganda membutuhkan sejumlah
besar spesies (Naeem et al., 2009).
Spesies-spesies yang sementara ini hanya hidup di penangkaran
diupayakan agar dapat kembali memainkan peranannya dalam ekologi
dan evolusi pada komunitas biologi. Apabila dibandingkan dengan
populasi tangkaran yang hidup dengan kondisi terbatas, maka populasi-
populasi alami liar dipastikan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam
menghadapi berbagai bencana yang disebabkan oleh manusia, misalnya
epidemi dan peperangan. Risiko kepunahan yang akan terjadi pun

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 37


diharapkan relatif lebih kecil apabila terjadi peningkatan jumlah dan
ukuran populasi suatu spesies.
Reintroduksi memiliki makna yang sempit dalam suatu studi evaluasi
terhadap program ini, yaitu sebagai suatu kegiatan melepaskan hewan
yang lahir dalam penangkaran dan dikembalikan pada wilayah sebaran
alaminya. Di era pembangunan yang mengutamakan ekonomi hijau, dan
selaras dengan program Suistanable Development Goals (SDGs) yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dengan
mengurangi resiko kerusakan terhadap lingkungan, maka kekayaan biota
Indonesia merupakan sumber yang berpotensi untuk lebih dikembangkan
dan digali manfaatnya (Beck et al., 1994; Meijaard, 2001; IUCN/SSR,
2013). Pemahaman yang sangat mendasar terhadap keberagaman
program edukasi tentang pentingnya pemanfaatan beragam fauna secara
bijak dan berkelanjutan, dapat diwujudkan di dalam kurikulum pendidikan
untuk seluruh strata pendidikan di Indonesia, sehingga harapan untuk
tetap terjaganya kelestarian hewan-hewan yang status konservasinya
mengkhawatirkan akan berubah menjadi berisiko rendah.

EKSPLOITASI FAUNA SECARA BERLEBIHAN

Pada saat ini eksploitasi berlebihan yang dilakukan oleh manusia


diprediksi telah mengancam sepertiga jumlah mamalia dan burung yang
status konservasinya genting dan rentan kepunahan (Hilton-Taylor, 2000).
Keberadaan manusia agar tetap bertahan hidup perlu adanya bahan
makanan, dan untuk mendapatkannya dilakukan dengan cara berburu,
memanen, serta mengambil sumber daya alam hayati lainnya. Selama
populasi manusia masih sedikit dan selama pemanfaatan sumber daya
alam masih menggunakan metode sederhana/tradisional maka manusia
secara kontinyu dapat berburu hewan dan memanen tumbuhan di
lingkungan alam sekitarnya. Namun semakin bertambahnya populasi
manusia, pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan meningkat
pesat, didukung pula cara-cara pemanenan yang semakin efisien, begitu
pula dengan kemajuan teknologi di bidang persenjataan maupun
perkapalan, menjadikan karakter manusia berubah drastis sehingga di
beberapa daerah nyaris menghabiskan hewan-hewan besar dari berbagai
komunitas biologi (Indrawan et al., 2012; Angulo & Courchamp, 2009).

38 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


Pada banyak daerah di dunia, daging hewan liar (bushmeat)
merupakan sumber protein yang sangat penting bagi pertumbuhan
manusia. Menurunnya populasi hewan akibat perburuan hewan secara
intensif dikenal dengan istilah krisis bushmeat, hal tersebut menjadi
perhatian paling utama bagi para pejabat pengambil kebijakan terkait di
bidang wildlife di Indonesia. Berikut beberapa solusi penyelesaian
masalah bushmeat di antaranya dengan pembatasan penjualan dan
pengangkutan bushmeat, pembatasan penjualan senjata api dan amunisi,
penutupan akses jalan menuju jalur penebangan kayu, perluasan
perlindungan bagi spesies kunci yang terancam punah, pembentukan
cagar alam yang melarang adanya perburuan, dan menyediakan alternatif
sumber protein untuk mengurangi permintaan bushmeat (Robinson et
al., 1999).
Di Indonesia, perdagangan bushmeat jarang ditemukan, namun
aktivitas ini berlangsung cukup intensif di beberapa daerah bagian utara
Pulau Sulawesi (Lee, 1999). Tidak kurang dari 27 spesies satwa diketahui
bahwa diburu untuk dijadikan bahan makanan, termasuk berbagai
mamalia endemik dan terancam punah seperti kuskus kerdil (Strigocuscus
celebensis), tiga spesies monyet endemik Sulawesi yakni Macaca hecki,
M. nigra, dan M. nigrescens, Anoa (Bubalus spp.), dan babirusa
(Babyrousa babyrussa). Keberadaan daging satwa-satwa liar tersebut
merupakan makanan penting (menu tradisional) bagi penduduk
setempat. Barangkali permasalahan ini tidak akan terlalu besar bila
perburuan dilakukan pada tingkat subsistensi, dan bila kepadatan
penduduk yang mengkonsumsinya tidak tinggi. Realitanya, bushmeat
tersebut telah memasuki ekonomi pasar, dan telah menjadi komoditas
perdagangan yang sesungguhnya, sehingga penangkapan pun semakin
meluas dan mencapai daerah Gorontalo bahkan sampai wilayah Sulawesi
Tengah (Lee, 1999).
Adakalanya informasi data eksploitasi beberapa jenis hewan tidak
begitu jelas jumlahnya sehingga sulit untuk memprediksi besaran
populasi di habitatnya seperti yang terjadi pada katak dan curik/jalak Bali.
Perdagangan lengan katak di seluruh dunia, setiap tahun Indonesia
mengekspor lengan katak sekitar 94-235 juta katak ke beberapa negara
Eropa Barat untuk dikonsumsi sebagai makanan mewah. Tidak ada
informasi bagaimana pengambilan yang intensif ini memberikan
dampaknya pada populasi katak, ekologi hutan, dan pertanian. Tidaklah

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 39


mengherankan, nama spesies katak dalam label pengiriman seringkali
salah, sehingga menambah kesulitan untuk memperhitungkan seberapa
besar masalahnya (Veith et al., 2000).
Contoh tentang perburuan dan perambahan curik Bali atau burung
jalak Bali (Leucopsar rothschildi) oleh manusia hingga menyebabkan
status konservasi spesies ini termasuk dalam kategori ‘kritis’ menurut
IUCN dan Birdlife International (Shannaz et al., 1995). Curik Bali
ditemukan oleh seorang biolog, Erwin Stresemann secara kebetulan pada
tahun 1911. Burung endemik Pulau Bali tersebut memiliki habitat di
daerah hutan musim dan komunitas padang rumput-akasia. Pada zaman
dahulu, curik dapat dijumpai di sepertiga bagian Pulau Bali, namun kini
hanya terdapat di Taman Nasional Bali Barat, dan di ujung barat laut
Pulau Bali. Bahkan menurut informasi penduduk setempat sekitar tahun
1960-an sebaran curik Bali mencapai ujung bagian barat dan ujung barat
daya Pulau Bali bagian barat. Namun, pada pertengahan tahun 1980-an,
sebaran jenis ini telah menyusut, dari sekitar 300 km persegi pada saat
ditemukan pertama kali hingga sekitar 60 km persegi pada pertengahan
tahun 1980-an. Menurut Jepson et al. (1997), pada pertengahan tahun
1990-an burung tersebut ditemukan berbiak hanya di lokasi yang luasnya
sekitar 2,5-3 km persegi di Teluk Kelor dan Teluk Brimbun. Penurunan
yang sangat drastis terhadap populasi burung yang tergolong paling
langka serta terancam punah ini, lebih disebabkan oleh penebangan
hutan di masa lampau dan tingginya intensitas perburuan secara liar
(ilegal) untuk diperdagangkan sebagai satwa peliharaan (Indrawan et al.,
2012).
Pada umumnya masyarakat tradisional memiliki aturan-aturan
tertentu untuk mencegah terjadinya eksploitasi sumber daya alam hayati
secara berlebihan. Beberapa contoh yang dapat digunakan sebagai
rujukan pembanding bagi masyarakat Indonesia antara lain: izin
memanen suatu spesies tertentu dikontrol dengan ketat dan larangan
melakukan perburuan atau pemanenan pun diberlakukan pada daerah-
daerah tertentu. Terkadang ada pula larangan untuk mengambil betina,
anak-anak hewan atau hewan yang masih kecil ukuran tubuhnya.
Beragam aturan tersebut memungkinkan masyarakat tradisional
memanfaatkan sumber daya milik bersama dalam jangka panjang dan
secara berkelanjutan (Indrawan et al., 2012).

40 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


PRIORITAS KONSERVASI NASIONAL

Biologi konservasi merupakan ilmu lintas-disiplin yang dikembangkan


untuk menghadapi berbagai tantangan demi melindungi spesies dan
ekosistem. Terdapat tiga tujuan konservasi yaitu pertama, menyelidiki
dampak manusia terhadap keberadaan dan kelangsungan hidup spesies,
komunitas, dan ekosistem; kedua, mengembangkan pendekatan praktis
untuk mencegah kepunahan spesies, menjaga variasi genetik dalam
spesies, serta melindungi dan memperbaiki komunitas biologi dan fungsi
ekosistem terkait; dan ketiga, mempelajari serta mendokumentasi
seluruh aspek keanekaragaman hayati di bumi (Wilson, 1992).
Informasi berharga tentang jenis biota yang dikoleksi dan bagaimana
keadaan habitatnya pada saat sekarang merupakan hal yang sangat
diperlukan, dengan demikian untuk mengetahui status konservasi suatu
spesies langka perlu dilakukan upaya sensus di lapangan, selanjutnya
secara berkala dilakukan pemantauan populasi-populasi dari spesies
tersebut. Adapun untuk memperkirakan ukuran populasi, perlu
diterapkan metode sensus dengan cara mendata semua individu yang
ada. Berikut disajikan data beberapa jenis fauna yang status
konservasinya menjadi jenis prioritas konservasi berskala nasional
(Tabel 1).

Tabel 1. Jenis-jenis Fauna yang Menjadi Jenis Prioritas Konservasi


Nasional

Status P erlindungan
No Jenis Nama Ilmiah P P 7 th
CITES IUCN
1999
1 Harimau Sumatra Panthera tigris Dilindungi I EN
sumatrae
2 Gajah Sumatra Elephans maximus Dilindungi I EN
3 Badak Jawa Rhinoceros sondaicus Dilindungi I CR
4 Banteng Bos javanicus Dilindungi I EN
5 Owa Jawa Hylobates moloch Dilindungi I EN
6 Orangutan Pongo pygmaeus Dilindungi I EN
Kalimantan
7 Bekantan Nasalis larvatus Dilindungi I EN

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 41


8 Komodo Varanus komodoensis Dilindungi I VU
9 Curik Bali Leucopsar rothschildi Dilindungi I CR
10 Bluwok Nycteria cinerea Dilindungi I EN
11 Surili Jawa Presbitys comata Dilindungi I EN
12 Bilou Hylobates klosii Dilindungi Non EN
13 Cendrawasih Paradisaea rubra Dilindungi Non NT
14 Siamang Symphalangus Tidak Non EN
syndactylus
Sumber: Kementerian Kehutanan Republik Indonesia (2008).

Keterangan:
EN : Endangered (genting)
CR : Critically endangered (kritis)
VU : Vulnerable (rentan)
NT : Near Threatened (nyaris atau mendekati terancam punah)
IUCN : International Union Conservation for Nature
CITES : Convention on International Trade in Endangered Species.

Pembuatan kategori keterancaman akan membantu menarik


perhatian para pihak terhadap spesies yang langka dan terancam punah,
serta memudahkan upaya memprioritaskan perlindungan spesies dan
keanekaragaman hayati pada umumnya, baik pada tingkat nasional
maupun internasional. Pada tingkat internasional, daftar dan
perlindungan spesies terancam punah diatur melalui kesepakatan
internasional seperti CITES. Spesies terancam punah akan didaftarkan
dalam Red Data Book dan Red List.
CITES dibentuk tahun 1973 berpusat di Swiss, perjanjian ini telah
diratifikasi oleh lebih dari 150 negara (Saterson, 2001). Indonesia
meratifikasi CITES pada tahun 1978 melalui Keputusan Presiden No.43.
Tugas CITES secara umum adalah menyusun daftar (dikenal sebagai
Appendix atau lampiran) spesies perdagangan yang dipantau. Negara-
negara anggota CITES telah menyetujui untuk membatasi perdagangan
dan eksploitasi yang merusak dari spesies tersebut. Appendix I terdiri atas
827 spesies hewan dan tumbuhan yang dilarang untuk diperdagangkan.
Appendix II terdiri atas sekitar 4.400 spesies hewan dan 28.000 spesies
tumbuhan yang perdagangannya diatur dan dipantau (Indrawan et al.,
2012).

42 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


Apabila merujuk pada paparan Tabel 1 tekanan terhadap
keanekaragaman fauna di Indonesia semakin tinggi. Hal ini disebabkan
oleh adanya peningkatan populasi manusia, bencana alam, perubahan
iklim, dan kegiatan antropogenik lainnya, sehingga berdampak pada
berbagai perubahan lingkungan, yang secara langsung berpengaruh
terhadap status konservasi beberapa fauna unik yang langka mengalami
gradasi menurun menuju status genting (endangered).
Berdasarkan IUCN Red Data List tahun 2013, jumlah flora dan fauna
Indonesia tercatat sebanyak 6.906 jenis yang terdiri atas 1.172 jenis flora
dan 5.734 fauna. Jumlah tersebut lebih besar daripada yang sudah
tercatat pada tahun 2011, yaitu sebanyak 755 jenis flora dan 4.640 fauna
(Widjaja et al., 2011). Jumlah fauna yang punah ada dua jenis, yaitu
Coryphomys buehleri dari ordo Rodentia dan Macrobrachium
leptodactylus dari ordo Decapoda (Widjaja et al., 2014). Fauna Indonesia
yang memiliki status konservasi dalam IUCN berasal dari 18 kelas, yaitu
kelompok ikan Actinopterygii, Chondrichthyes dan Sarcopterygii;
kelompok terumbu karang dan ubur-ubur: Anthozoa dan Hydrozoa;
kelompok Moluska: Bivalvia, Cephalopoda, dan Gastropoda; kelompok
udang-udangan: Malacostraca dan Maxillopoda; Aves (burung); Amfibi;
Reptilia; Mamalia; Holothuroidea (Echinodermata/timun laut); Insecta
(serangga), Merostomata (belangkas); dan Polychaeta (cacing) (Widjaja et
al., 2014).
Tantangan yang sangat realitis adalah bagaimana upaya konservasi
dapat menekan laju kepunahan spesies dengan kemampuan sumber daya
manusia dan dana yang sangat terbatas. Terdapat tiga kriteria dalam
menetapkan prioritas untuk konservasi, yakni pertama, kekhasan, suatu
komunitas hayati diberi prioritas yang lebih tinggi bagi konservasi bila
memiliki lebih banyak spesies langka dan endemik. Suatu spesies dapat
bernilai lebih tinggi apabila secara taksonomis bersifat unik; kedua,
keterancaman, spesies yang menghadapi ancaman kepunahan
membutuhkan penanganan lebih dibandingkan spesies yang tidak
terancam kepunahan (Root et al., 2003); ketiga, kegunaan, spesies yang
memiliki kegunaan nyata atau berpotensi bagi manusia seperti gandum
dan kerabatnya perlu diberikan prioritas konservasi lebih tinggi
dibandingkan spesies yang tidak memiliki kegunaan langsung bagi
manusia.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 43


Berdasarkan ketiga kriteria tersebut pemerintah telah menetapkan
arah dan strategi pelestarian berbagai jenis biota, terutama pada jenis-
jenis yang dilindungi dan terancam punah melalui Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis
Konservasi Spesies Nasional 2008-2018. Peraturan tersebut mencakup
strategi konservasi jenis-jenis prioritas untuk kelompok flora dan fauna.
Penerapan strategi konservasi dilakukan secara bertahap dengan target
capaian kenaikan persentase populasi jenis yang diprioritaskan (Widjaja
et al., 2014). Pada saat ini, target pemerintah untuk kenaikan jumlah jenis
difokuskan pada 14 jenis fauna prioritas sebagaimana tercantum dalam
Tabel 2.

Tabel 2. Kenaikan Individu pada 14 Jenis Prioritas Nasional

Rata-rata % Rata-rata % Rata-rata %


Nama Jenis Target kenaikan per kenaikan per kenaikan per
jenis 2 0 1 1 jenis 2 0 1 2 jenis 2 0 1 3
Banteng 23,88 8,02 13,97
Badak Jawa -27,08 6,25 20,83
Harimau Sumatra 10,74 28,15 19,48
Gajah Sumatra 0,19 1,315 -8,42
Babirusa 4,62 20,24 26,01
Anoa 0,37 19,51 22,67
Owa Jawa 0,58 1,75 2,33
Orangutan 1,07 1,81 -26,44
Bekantan 105,48 126,18 286,86
Komodo 34,15 39,10 52,61
Curik Bali 17,85 11,90 -4,76
Maleo 4,53 72,02 103,14
Elang Jawa 5,00 39,28 59,44
Kakatua Kecil 10,10 78,07 84,95
Jambul Kuning
Rata-rata 13,68 32,40 46,62
Peningkatan (%)
Sumber : Widjaja et al., (2014)

44 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


PROGRAM REINTRODUKSI FAUNA

Terdapat tiga pendekatan utama bagi pembentukan populasi baru


untuk jenis tumbuhan maupun hewan, yakni a) program penambahan
(augmentation), b) program introduksi, dan c) program reintroduksi
(Supriatna, 2008). Program reintroduksi fauna yang penting untuk
dilakukan dijelaskan di bawah ini:

1. Program Penambahan (Augmentation) Populasi


Merupakan upaya melepas individu baru ke suatu populasi untuk
meningkatkan ukuran populasi tersebut maupun kumpulan gennya.
Individu yang dilepas tersebut dapat berupa hasil dari penangkapan
maupun penangkaran. Salah satu contoh program penambahan populasi
tersebut melalui pendekatan headstarting, yakni dengan cara
membesarkan hewan dalam penangkaran hingga melewati masa
mudanya yang relatif dalam kondisi berbahaya dan kemudian hewan
tersebut dilepaskan kembali ke alam bebas (Supriatna, 2008). Misalnya
bayi penyu yang dipelihara selama masa mudanya selanjutnya setelah
melewati masa tersebut bayi penyu dilepas ke alam bebas. Di negara
Indonesia contoh-contoh penambahan populasi dapat dilihat antara lain
di Taman-taman Nasional Kepulauan Seribu dan Alas Purwo. Program
headstarting juga dilakukan untuk burung Maleo (Macrocephalon maleo)
di Cagar Alam Panua, Gorontalo.

2. Program Introduksi
Yaitu mencakup pemindahan satwa dan tumbuhan ke daerah di luar
sebaran alaminya. Pendekatan demikian perlu dilakukan apabila lokasi
alami tempat asal spesies telah mengalami kerusakan, sehingga spesies
tersebut tidak akan mampu untuk bertahan hidup (Supriatna, 2008).
Program introduksi mungkin dapat dilaksanakan apabila faktor penyebab
penurunan populasi tidak dapat dihambat lagi sehingga tidak mungkin
lagi dilakukan program reintroduksi spesies. Kemungkinan program
introduksi dapat dilakukan apabila ketika lingkungan di daerah sebaran
suatu spesies telah mengalami degradasi sehingga menyulitkan
keberlangsungan hidup spesies tersebut. Program introduksi spesies ke
lokasi baru harus dilakukan dengan penuh ketelitian dan sangat berhati-
hati. Hal ini perlu dicermati karena risiko dari introduksi adalah spesies

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 45


tersebut dapat merusak ekosistemnya yang baru ataupun mengganggu
populasi setempat yang sedang terancam kepunahan. Lebih lanjut,
diperlukan upaya khusus untuk menjaga agar individu-individu yang
dilepas tidak membawa ataupun terinfeksi penyakit yang dapat ditularkan
ke populasi alam.

3. Program Reintroduksi
Merupakan upaya melepaskan hewan hasil penangkaran maupun
tangkapan ke daerah sebaran asal yang pernah mengalami kepunahan
spesies tersebut. Tujuan utama program reintroduksi adalah untuk
menciptakan populasi baru di lingkungan asalnya dan memperbaiki
ekosistem yang mangalami kerusakan (Supriatna, 2008). Contoh, pada
tahun 1995 dilaksanakan pelepasan serigala abu-abu ke Taman Nasional
Yellowstone, Amerika Serikat, dengan tujuan untuk mengembalikan
keseimbangan antara pemangsa dan herbivor yang pernah terbentuk
sebelum daerah tersebut dipengaruhi campur tangan manusia (Smith et
al., 2003; Soule et al., 2003). Seringkali, untuk menjamin adaptasi genetik
pada suatu lokasi, individu-individu hewan dilepas di tempat mana
mereka dan induk mereka tertangkap. Terkadang individu-individu
tersebut dapat dipindahkan dan dilepas ke lokasi perlindungan lain dalam
kisaran geografis alaminya. Reintroduksi tersebut dilakukan bila populasi
tersebut menghadapi ancaman baru di lokasi asalnya, atau bila terjadi
rintangan fisik yang secara alami maupun buatan akan mengganggu
kemampuan spesies itu untuk menyebar secara alami.
Upaya-upaya pembentukan populasi tersebut hanya dapat bekerja
dengan efektif jika berbagai faktor penyebab penurunan populasi
alaminya telah diketahui, dimusnahkan, atau sekurang-kurangnya
dikendalikan (Tutin et al., 2001). Contoh dapat dipelajari pada
penyelamatan burung Kakapo (Strigops habroptilus) di Selandia Baru.
Burung Kakapo merupakan sejenis burung nuri bertubuh besar yang
hidup di lantai hutan, tidak bisa terbang, dan telah punah dari daratan
atau pulau utamanya yaitu Selandia Baru. Penyebab utama
kepunahannya karena pemangsaan oleh satwa karnivora yang berasal
dari luar habitat alaminya seperti kucing, “weasel”, “stoat”, dan “ferret”
(Merton, 2006).
Pembentukan populasi baru bagi burung Kakapo menemui kendala
karena luasnya kawasan pulau utama sehingga untuk menyingkirkan

46 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


pemangsa yang diintroduksi dari seluruh kawasan dirasakan sangat sulit.
Berbagai alternatif penyelesaian ditawarkan dan akhirnya disetujui, yakni
dengan menempatkan Kakapo dalam pulau-pulau kecil yang tidak
memiliki pemangsa. Pada tahun 1975 ditemukan tiga pulau kecil yang
relatif aman dari predator mamalia, dan pulau-pulau tersebut sesuai
sebagai habitat burung Kakapo. Secara komprehensif dilakukan upaya
perlindungan dan pengelolaan Kakapo di dalam habitat alaminya ini
selama kurang lebih 30 tahun. Tujuan pengelolaan tersebut meliputi:
memaksimalkan kelangsungan hidup telur dan anakan yang dihasilkan
secara alami, meningkatkan frekuensi berbiak pada Kakapo, dan
mengelola keanekaragaman genetik untuk mengatasi masalah fekunditas
dan penetasan yang rendah (Merton, 2006).
Sistem pengelolaan burung Kakapo akhirnya membuahkan hasil sejak
dinyatakan statusnya kritis pada tahun 1990-an. Semenjak tahun 1995,
jumlah burung Kakapo telah meningkat hingga 68% dan kini terdapat 86
individu yang bertahan hidup di alam (Merton, 2006). Kunci utama
keberhasilan pembentukan populasi baru ini adalah menempatkan
spesies tersebut pada habitat sesuai yang belum dihuni, atau bahkan
menciptakan habitat yang baru sama sekali.

PERSYARATAN KEBERHASILAN PROGRAM REINTRODUKSI

Program-program yang berorientasi pada pembentukan populasi


baru merupakan hal yang cukup sulit dan memerlukan biaya besar,
karena pada kegiatan tersebut diperlukan komitmen penuh untuk kurun
waktu yang relatif lama. Contoh, program untuk menangkap,
membesarkan, memantau, dan melepas spesies langka seperti burung
Condor dari California, “Peregrine falcon”, dan “Black footed ferrets” di
Amerika Serikat, dan juga Orangutan di Sumatera dan Kalimantan telah
menelan biaya jutaan dolar dan waktu kerja bertahun-tahun.
Keputusan memulai program reintroduksi seringkali membangkitkan
emosi masyarakat luas, bahkan di Amerika Serikat sekalipun, program-
program demikian sering mendapat kritikan karena dianggap
menghamburkan uang jutaan dolar AS hanya untuk beberapa ekor
burung yang jelek. Sementara alasan yang lain adalah keberadaan hewan
tersebut tidak diperlukan lagi karena di tempat lain sudah banyak
misalnya untuk kasus perlindungan serigala; dianggap program tersebut

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 47


selalu tidak berhasil karena setelah hewan dilepas kondisinya banyak
yang mati; ada lagi yang beranggapan bahwa program tersebut dinilai
tidak etis karena dengan menangkap hewan selanjutnya dipelihara di
kebun binatang merupakan kegiatan yang tidak baik jika dibandingkan
hewan tersebut dibiarkan hidup bebas dan tenang. Sebagai jawaban
terhadap semua kritik tersebut yakni gabungan antara program
reintroduksi dengan program penangkaran merupakan harapan terbaik
untuk melestarikan spesies, baik yang hampir punah di alam maupun
yang sedang mengalami penurunan drastis, meskipun program
reintroduksi tidak selalu tepat untuk penyelamatan suatu spesies yang
berstatus terancam.
Tantangan terpenting dalam program reintroduksi adalah adanya
peranan masyarakat lokal di dalamnya, karena bagaimanapun masyarakat
memiliki kepentingan terhadap keberhasilan penyelamatan suatu spesies.
Keterlibatan langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat sangatlah
penting bagi setiap upaya konservasi. Suatu program harus dapat
dijelaskan kepada masyarakat setempat agar mereka mau mendukung,
atau setidaknya bersedia menerima program tersebut (Milton et al.,
1999). Pemberian insentif sebagai bagian dari program kepada
masyarakat akan lebih sering membuahkan hasil dibandingkan dengan
penegakan aturan dan hukum secara kaku. Contoh program reintroduksi
serigala di Wyoming, Amerika Serikat, pemberian insentif berupa
pembayaran tunai secara langsung kepada pemilik peternakan yang
kehilangan satwanya. Sementara untuk mempertahankan dukungan
masyarakat terhadap program tersebut, sejumlah kecil serigala yang
kerap menyerang ternak masyarakat terpaksa tetap dibunuh (Nyhus et
al., 2003).
Persyaratan lain agar program reintroduksi, augmentasi, dan
introduksi dapat berhasil maka perlu dipelajari dan dipertimbangkan
organisasi sosial serta perilaku dari hewan yang akan dilepaskan (Festa -
Bianchet & Apollonio, 2003). Secara naluri hewani, hewan-hewan sosial
yang hidup dan dibesarkan di alam seperti mamalia dan beberapa jenis
burung akan belajar menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan sesama
hewan lainnya agar tetap bertahan hidup. Termasuk di dalamnya
kemampuan bersosialisasi dalam mencari makanan bersama, menyadari
adanya bahaya, menemukan pasangan hidupnya, membesarkan anak,
dan melakukan perpindahan. Menurut McPhee (2003), pada umumnya

48 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


hewan-hewan yang dibesarkan di dalam penangkaran belum tentu
memiliki keahlian-keahlian sosial tersebut. Oleh karena itu, untuk
mengatasi masalah sosialisasi tersebut, sebelum dan sesudah dilepaskan
ke lingkungan di alam bebas, mamalia dan burung-burung dalam
penangkaran membutuhkan pelatihan termasuk diantaranya juga
menghindari pemangsa (Curio, 1996).
Pada program reintroduksi juga diperlukan pemantauan dan
perawatan khusus selama proses pelepasan atau sesegera mungkin
setelah pelepasan terutama untuk beberapa spesies satwa. Pelepasan
secara bertahap dan dipantau atau didampingi manusia dikenal sebagai
soft release (Kleiman, 1999). Barangkali sebelum mereka dapat hidup
mandiri maka hewan-hewan tersebut perlu diberikan makanan dan
tempat berlindung pada lokasi pelepasannya. Proses kegiatan ini bersifat
sementara agar mereka dapat mengenali daerah pelepasan dengan baik
dan mandiri secara perlahan (Castro et al., 2003).
Program pemantauan merupakan unsur penting untuk melihat
apakah upaya pembentukan spesies baru dengan berbagai tujuannya
dapat tercapai (Hughes et al., 2003). Bahkan dampak yang lebih besar
dari program reintroduksi juga perlu diketahui, dengan demikian
diharapkan para ilmuwan dan para peneliti juga harus memantau
komponen penting lainnya dalam ekosistem. Contoh, ketika pemangsa
dimasukkan ke dalam suatu ekosistem, secara langsung keberadaannya
akan berpengaruh terhadap spesies pesaingnya dan spesies mangsa,
namun secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap tutupan
vegetasi (Berger et al., 2001). Seperti yang terjadi di Amerika Serikat,
suatu program reintroduksi populasi berang-berang yang mendapat
dukungan dari masyarakat umum, namun kecaman dan kritik keras
datang dari para nelayan karena menurunkan populasi ikan dan udang
(Fanshawe et al., 2003).
Keberhasilan suatu program reintroduksi memiliki nilai pendidikan
tersendiri. Di Timur Tengah dan Afrika, hasil penangkaran ‘Arabian Oryx’
(Oryx leucoryx) telah berhasil direintroduksikan ke daerah-daerah padang
pasir yang sebelumnya pernah dihuni oleh mereka. Seperti di negara
Oman program reintroduksi ‘oryx’ merupakan hal penting karena
merupakan lambang negara, serta menjadi sumber pekerjaan bagi
masyarakat setempat Bedouin sebagai pelaksana program (Stanley-Price,
1989).

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 49


DISKUSI

Pada saat kualitas lingkungan mengalami penurunan maka


keberadaan ekosistem akan terdegradasi sehingga berdampak pada
terancamnya kelestarian sumber daya alam hayati dan diketahui secara
pasti bahwa hampir setiap hari telah terjadi degradasi lingkungan,
terutama pada ekosistem pulau kecil, hutan pamah, dan pegunungan
tinggi. Permasalahan mendasar yang menjadi penyebabnya adalah
tingginya laju pertumbuhan penduduk, kemiskinan, deforestasi,
kebakaran hutan dan lahan, degradasi dan fragmentasi habitat,
pengambilan yang berlebihan, persebaran jenis-jenis invasif,
pencemaran, serta perubahan iklim (Widjaja et al., 2014). Di samping itu,
permasalahan besar juga terjadi di Indonesia yang memiliki skala
kepentingan cukup tinggi adalah eksploitasi secara berlebihan terhadap
sumber daya alam hayati termasuk di dalamnya berbagai fauna bernilai
ekonomi tinggi dan eksotik sehingga dikhawatirkan akan mengancam
status konservasinya maupun keberlanjutan produksinya pada masa yang
akan datang.
Program reintroduksi satwa terancam punah yang sedang dilakukan
pemerintah pada saat ini adalah rehabilitasi dan pelepas-liaran Orangutan
(Pongo pygmaeus) ke habitat alaminya. Sebetulnya program
pengembalian Orangutan ke habitatnya sudah dilakukan sejak tahun
1980-an baik yang ada di Sumatera maupun Kalimantan, terutama dari
hasil program rehabilitasi. Bahkan pada tahun 1990 program rehabilitasi
dan reintroduksi Orangutan sudah dimodifikasi berdasarkan pengalaman
dan kebutuhan yang dipelajari sebelumnya, sehingga dilakukan melalui
beberapa tahapan sebagai berikut: 1) penyitaan satwa peliharaan, 2)
karantina dan pemeriksaan kesehatan, 3) kandang sosialisasi yang
dilengkapi pengayaan (enrichment), 4) sosialisasi alam di lingkungan
hutan, 5) pelepasliaran (release), 6) tetap dilakukan pemantauan setelah
dilepasliarkan (Rijksen & Meijaard, 1999). Terdapat 5 faktor penentu
keberhasilan yang teridentifikasi berhubungan atau berpengaruh pada
keberhasilan proses reintroduksi orangutan, yaitu umur, jenis kelamin,
perlakuan yang diberikan, riwayat hidup (latar belakang), dan lama proses
tahapan yang dilalui orangutan (Santosa et al., 2012)
Pada saat sekarang program rehabilitasi dan reintroduksi Orangutan
menghadapi berbagai kendala di antaranya, pertama risiko penularan

50 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


penyakit baik berasal dari satwa yang dilepas ke populasi alami maupun
berasal dari interaksi manusia dengan satwa peliharaan ke populasi
alaminya. Kedua, biaya untuk rehabilitasi Orangutan sangat tinggi apabila
menggunakan prosedur resmi terstandar dapat mencapai US$
195/bulan/Orangutan. Ketiga, tingkat keberhasilan pelepasan sulit untuk
diketahui. Data yang ada dari Kalimantan menunjukkan bahwa satwa
lepasan mengalami tingkat mortalitas yang tinggi setelah pelepasan, baik
satwa tersebut dari generasi pertama yakni satwa yang lahir di alam
namun sempat dipelihara manusia maupun generasi kedua yaitu satwa
yang lahir di pusat-pusat rehabilitasi (Singleton et al., 2004). Ditegaskan
pula oleh Carel van Schaik (1996), bahwa bagaimanapun daya tampung
hutan tropika humida dataran rendah sebagai habitat alami Orangutan
akan terbatas dan bahkan menyempit akibat pembalakan yang
berlangsung terus menerus, sehingga pelepasliaran ke kawasan
dilindungi-pun tidak dapat menjamin penghentian laju kepunahan.
Berdasarkan hal tersebut serta pertimbangan kendala dan biaya
maka perlu dipertanyakan kembali apakah upaya reintroduksi Orangutan
masih perlu dilanjutkan? Sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut perlu
dipertimbangkan beberapa hal, pertama melalui berbagai kasus bahwa
Orangutan seringkali telah menjadi sorotan ranah informasi utama media
masa yang memiliki peranan penting sebagai perlambang penegakan
hukum, di samping bernilai tinggi sebagai perwakilan pendidikan
pelestarian spesies dan habitat hutan tropika humida di Indonesia. Kedua,
pelepasan akan tetap diperlukan bila manusia ingin mengembalikan
harkat individu (kualitas hidup) Orangutan yang dipelihara, dan pusat-
pusat rehabilitasi itu sendiri memberikan kesempatan yang baik untuk
mempelajari perilaku Orangutan (Singleton et al., 2004).
Bukan hal baru lagi bahwa penanganan penyelamatan Orangutan di
Indonesia telah lama dilakukan melalui kerjasama antara pemerintah
dengan organisasi WWF, namun begitu ketercapaian program konservasi
hewan tersebut terkesan lambat bahkan mengkhawatirkan untuk
keberhasilannya. Penulis memberikan sumbangan pemikiran sebagai
berikut:
1) Keberadaan hutan tropika humida dataran rendah sebagai habitat
alami Orangutan merupakan sumber permasalahan utama yang
harus dijaga serius dan dilestarikan keutuhan ekosistemnya oleh
pemerintah dalam hal ini Kementerian KLH dan Kehutanan.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 51


Komitmen pemerintah tersebut dapat diwujudkan melalui beberapa
tindakan, seperti mengoptimalkan pengawasan hutan agar tidak
terulang kembali pembalakan liar melalui pencitraan satelit,
penggunaan drone, mengoptimalkan kerja polisi kehutanan agar
lebih profesional, memberikan sanksi yang tegas dan maksimal
terhadap pelaku illegal logging agar mampu memberikan efek jera
supaya tidak terulang kembali kegiatan serupa.
2) Figur menteri KLH dan Kehutanan sebagai leader untuk keberhasilan
program konservasi Orangutan diharapkan memiliki komitmen serius
terhadap kelestarian primata tersebut melalui tindakan seperti turun
langsung atau kunjungan kerja rutin ke tempat-tempat pemantauan
keamanan wilayah hutan lewat pencitraan satelit atau penggunaan
alat drone, namun adakalanya perlu juga turun kerja langsung ke
lapangan untuk memotivasi kerja para polisi hutan agar lebih
bertanggungjawab dan professional akan tugas-tugas yang
diembannya.
3) Dalam penanganan beberapa kasus pembalakan liar secara hukum
maupun pemeliharaan Orangutan secara illegal oleh masyarakat,
diharapkan menteri KLH dan Kehutanan memberikan perhatian
khusus agar sanksi hukum yang diterapkan merupakan hukuman
maksimal yang harus diberikan kepada pelanggar.
4) Apabila menteri KLH dan Kehutanan seringkali melakukan kunjungan
kerja langsung ke lapangan diharapkan mampu membangun etos
kerja jajaran staf dibawahnya untuk lebih profesional. Staf yang
berkarya akan diapresiasi melalui kenaikan pangkat atau tunjangan
lainnya, sebaliknya yang tidak produktif akan diusulkan untuk
mengikuti pelatihan-pelatihan atau dimutasikan. Berbasis pada
peningkatan etos kerja para stafnya, besar kemungkinan kerjasama
pelestarian Orangutan dangan WWF semakin terukur
keberhasilannya.
5) Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) untuk wilayah
Kalimantan atau Sumatera yang merupakan kepanjangan tangan
menteri KLH dan Kehutanan diharapkan memiliki komitmen yang
serius pula dalam penyelamatan satwa primata ini. Sudah selayaknya
Kepala Balai lebih mengutamakan kemampuan membangun
kerjasama dan mengevaluasi program-program pelestarian

52 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


Orangutan yang telah dilakukan dengan WWF agar diperoleh kinerja
yang sinergi dan profesional.

Kesan lambatnya penanganan program reintroduksi Orangutan


tercermin pada Tabel 2, data pada tahun 2013 menunjukkan prosentase
rara-rata kenaikan populasi Orangutan malah menurun sebesar -26,44%.
Pada hal secara harfiah, makna penyelamatan Orangutan tidak lain juga
penyelamatan manusia, karena keberadaan Orangutan dalam ekosistem
hutan berfungsi sebagai penyebar biji-biji tanaman dari hasil kegiatan
mencari dan mengunyah makanan. Aktivitas tidur Orangutan menjadikan
tutupan kanopi hutan terbuka sehingga sebaran biji-biji di lantai dasar
hutan mampu tumbuh sampai menjadi pohon. Proses fotosintesis yang
terjadi pada vegetasi hutan mampu menyerap karbondioksida di udara
dan menghasilkan oksigen yang diperlukan oleh manusia. Begitupula
struktur komunitas hutan yang terjaga dengan baik akan mampu
mengatur tatanan air bersih di lingkungan sekitarnya yang pada akhirnya
untuk keperluan manusia.
Beberapa upaya lain untuk membangun pemahaman akan
kepedulian dan pentingnya keberadaan Orangutan kepada masyarakat
Indonesia dapat dilakukan dengan beragam cara pendekatan edukasi,
salah satu di antaranya melalui perlombaan fotografi berskala nasional,
berhadiah tropi dan uang jutaan rupiah dengan tema yang erat kaitannya
terhadap dukungan eksistensi Orangutan. Sebagai daya tarik agar
kekuatan lomba fotografi tersebut gaungnya senusantara, sebaiknya
tempat penyelenggaraan dilakukan di Jakarta, kekuatan promosi
diupayakan lewat media televisi dengan frekuensi penayangan
berkategori sering, dapat pula lewat penyebaran leaflet di kampus-
kampus mahasiswa ataupun sekolah-sekolah tingkat menengah, juga
dapat lewat beragam media sosial online, dan dimungkinkan pula lewat
media surat kabar. Hak cipta seluruh hasil karya foto menjadi hak milik
panitia dan didokumetasikan untuk keperluan keberlanjutan kegiatan
seperti penyelenggaraan pameran foto tentang eksistensi Orangutan.
Bentuk edukasi yang diharapkan dari penyelenggaraan lomba fotografi
tersebut kepada masyarakat agar tumbuh perasaan kasih sayang dan
peduli terhadap satwa Orangutan, yakni berupa pemberian hadiah tropi
berbentuk Orangutan kepada para pemenang, pemberian kaos
bergambar Orangutan kepada seluruh peserta yang hadir, dan memuat

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 53


hasil karya fotografi para juara dalam media surat kabar yang beroplah
nasional. Beragam bentuk apresiasi tersebut setidaknya mampu menjadi
suatu kenangan yang membekas di pikiran masyarakat untuk berempati
terhadap kondisi Orangutan yang status konservasinya kritis (Critically
Endangered).
Pendekatan edukasi pada level anak-anak SD, SLTP, dan SLTA agar
peduli dan kasih terhadap Orangutan yang status konservasinya kritis
dilakukan melalui penyuluhan tentang pengenalan karakter Orangutan,
pentingnya keberadaan Orangutan dalam ekosistem hutan, status
konservasinya, program konservasi yang telah dilakukan oleh pemerintah,
dan pada saat ini kondisi program konservasi tersebut sudah sampai
dimana. Kegiatan edukasi lainnya pada tingkatan anak-anak SD dapat juga
berbentuk lomba menggambar berhadiah piagam dan boneka Orangutan
dengan tema lestarikan Orangutan, atau berbentuk mendongeng
(berceritera) tentang pentingnya melestarikan Orangutan dan agar lebih
menarik ceritanya maka perlu dihadirkan pendongeng profesional.
Seluruh rangkaian pelaksanaan kegiatan tersebut agar lebih menghayati
tentang pentingnya peran Orangutan dalam ekosistem hutan sebaiknya
dilaksanakan tepat pada hari Orangutan sedunia yang diperingati setiap
tanggal 19 Agustus.
Pendekatan edukasi pada masyarakat sekitar habitat Orangutan,
pusat-pusat rehabilitasi, dan kamp-kamp tempat pelestarian Orangutan
agar masyarakat tersebut tidak memanfaatkannya maka perlu dibekali
pemahaman akan pentingnya keberadaan Orangutan dalam ekosistem
hutan dan pengenalan beragam karakter Orangutan sehingga
menginspirasi untuk lebih menyayangi daripada melukai. Beberapa
informasi penting tentang Orangutan tersebut disampaikan melalui
penyuluhan secara rutin. Di samping itu, agar semakin peduli dan
menyayangi satwa tersebut, sebaiknya masyarakat dilibatkan secara aktif
dalam beberapa kegiatan positif berkaitan dengan Orangutan baik dalam
bentuk penelitian ataupun pemandu wisata, sehingga secara tidak
langsung masyarakat juga akan mendapat tambahan finansial ekonomi.

54 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


PENUTUP

Mengacu pada permasalahan dan penjelasan di atas, maka sudah


merupakan kewajiban bagi pemerintah (Kementerian KLH dan
Kehutanan) untuk terus membangun dan memfasilitasi para ahli dan
praktisi biologi konservasi untuk bekerja sama dengan masyarakat lokal,
pihak swasta yang berkepentingan, LSM terkait, pemerintah daerah
setempat pada beberapa bidang konservasi antara lain pengelolaan,
pelepas-liaran hewan, dan evaluasi program konservasi. Di samping itu,
upaya meningkatkan kepedulian seluruh lapisan masyarakat perkotaan
dan pedesaan terhadap kelestarian fauna perlu terus dibina dan
digalakkan, kepedulian ini berdampak positif bagi aspek lain pada
kehidupan masyarakat yaitu, aspek sosial ekonomi, budaya, dan
sumberdaya alam.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 55


DAFTAR PUSTAKA

Allen, K., Shykoff, B.E., Izzo, Jr, J.L. (2001). Pet ownership, but not ACE
inhibitor therapy, blunts home blood pressure responses to
mental stress. Hypertension, 38, 815-820.

Angulo. E. & Courchamp, F. (2009). Rare species are valued big time.
Plos One, 4 (4), e5215.

Beck, B.B., Rapport, L.G., Stanley Price, M.R., & Wilson, A.C. (1994).
Reintroduction of captive-born animals. In P.J. Olney, G.M. Mace,
A.T.C. Feistner (eds). Creative Conservation: Interactive
Management of Wild and Captive Animals. London: Chapman and
Hall.

Berger, J, Stacey, P.B., Bellis, L., & Johnson, M.P. (2001). A mammalian
predator-prey imbalance: Grizzly bear and wolf extinction affect
Neotropical migrants. Ecological Applications, 11, 947-960.

Bowles, M.L. & Whelan, C.J. (1994). Restoration of endangered


species: conceptual issues, planning and implementation.
Cambridge: Cambridge University Press.

Carel van Schaik, P. (1996). Social evolution in primates: the role of


ecological factors and male behaviour. Proceedings of the British
Academy, 88, 9–31.

Castro, I., Brunton, D.H., Mason, K.M., Ebert, B., & Griffith, R. (2003).
Life history traits and food supplemantation affect productivity in
a translocated population of the endangered Hihi (Stritchbird,
Notiomystic cincta). Biological Conservation 114, 271-280.

Curio, E. (1996). Conservation needs ethology. Trends in Ecology and


Evolution, 11, 260-263.

56 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


Fanshawe, S., Vanblaricom, G.R., & Shelly, A.A. (2003). Restored top
carnivores as detriments to the performance of marine protected
areas intended for fishery sustainability: A case study with red
abalones and sea otters. Conservation Biology, 17, 273-283.

Festa-Bianchet, M. & Apollonio, M. (eds). (2003). Animal behavior and


wildlife conservation. Washington DC: Island Press.

Hilton-Taylor, C. (compiler). (2000). 2000 IUCN red list of threatened


species. Switzerland: IUCN/SSC, Gland.

Hughes, J., Goudkamp, K., Hurwood, D., Hancock, M., & Bunn, S.
(2003). Translocation causes extinction of a local population of
ther freshwater shrimp Paratya australiensis. Conservation
Biology, 17, 1007-1012.

Indrawan, M., Primack, R.B., & Supriatna, J. (2012). Biologi konservasi.


Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

IUCN/SSC (2013). Guidelines for reintroductions and other


conservation translocations. Version 1.0. Gland, Switzerland: IUCN
Species Survival Commission, viiii + 57 pp.

Jepson, P., van Balen, S., Soehartono, T.R., & Mardiastuti, A. (1997).
Species recovery plan: Bali Starling. Bogor: PHPA-Birlife
International-Indonesia Programme.

Kementerian Kehutanan Republik Indonesia (2008). Peraturan Menteri


Kehutanan Nomor: P. 57/Menhut-II/2008. Jakarta: Kementerian
Kehutanan Republik Indonesia.

Kleiman, D.G. (1999). Reintroduction of captive mammals for


conservation. BioScince, 39, 152-161.

Lee, R. (1999). Market hunting pressures in North Sulawesi, Indonesia.


Tropical Biodiversity, 6 (1&2), 145-160.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 57


Mac Kinnon, K. (1992). Nature’s treasurehouse-the wildlife of
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

McPhee, M.E. (2003). Generations in captivity increases behavioral


variance: Conciderations for captive breeding and reintroduction
programs. Biological Conservation, 115, 71-77.

Meijaard, E., Rijksen, D.H., & Kartikasari, N.S. (2001). Di ambang


kepunahan-kondisi Orangutan liar di awal Abad ke-21. Jakarta
(ID): The Gibbon Foundation Indonesia.

Merton, D.V. (2006). The Kakapo: highlights and lessons learned from
six decades of applied conservation. Journal of Ornithology, 147
(5) Suppl., 4.

Milton, S.J., Bond, W.J., DuPleiss, M.A., Gibs, D., Hilton-Taylor, C., &
Linder, H.P. (1999). A protocol for plant conservation by
translocation in threatened lowlands fynbos. Conservation Biology
13, 735-743.

Nyhus, P., Fischer, H., Madden, F., Osofsky, S. (2003). Taking the bite
out of wildlife damage: The challenges of wildlife compensation
schemes. Conservation in Practice, 4(2), 37-40.

Pratomo, H. (2004). Keanekaragaman serangga hama di persawahan


sebagai makanan Kodok Rana sp. (Proceeding, Seminar Nasional
Biologi "Peran Biosistematika dalam Menunjang Pemanfaatan
Keanekaragaman Hayati") Program Studi Biologi FMIPA-ITS.

Robinson, J.G., Redford, K.H., & Bennet, E.L. (1999). Wildlife harvest in
logged tropical forests. Science, 284, 595-596.

Root, K.V., Akcaykaya, H.R., & Ginzburg, L. (2003). A multispecies


approach to ecological valuation and consevation. Conservation
Biology, 17(1), 196-206.

58 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


Tutin, C.E.G., Ancrenaz, M., Paredes, J., Vaches-Vallas, M., Vidal, C.,
Goosens, B, et al. (2001). Conservation biology framework for the
release of wild-born orphaned chimpanzees into the Conkouti
Reserve, Congo. Conservation Biology, 15, 1247-1257.

Santosa, Y., Julius, P.S., Dones, R., Dede, A.R. (2012). Faktor–faktor
penentu keberhasilan pelepasliaran Orangutan Sumatera (Pongo
Abelii) di Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Jurnal Ilmu Pertanian
Indonesia (JIPI), 17 (3), 186191.

Saterson, K. (2001). Government legislation and regulation. In S.A.


Levin (ed.). Encyclopedia of Biodiversity, vol.3. Sandiago: CA.
Academic Press.

Shannaz, J., Jepson, P., & Rudyanto (1995). Burung-burung terancam


punah di Indonesia. Bogor: PHPA-Birdlife Indonesia Programme.

Singleton, I., Wich, S.A., Husson, S., Stephens, S., Atmoko, S.S.U.,
Leighton, M., Rosen, N., Trayilor-Holzer, K., Lacy, R., & Byers, O.
(2004). Final report Orangutan population and habitat viability
assessment, 15-18 January 2004. Jakarta.

Smith, D.W., Peterson, R.O., & Houston, D.B. (2003). Yellowstone after
wolves. BioScience, 53, 330-340.

Soule, M.E., Estes, J.A., Berger, J., & Martinez del Rio, C. (2003).
Ecological effectivenees: Conservation goals for interactive
species. Conservation Biology, 17, 1238-1250.

Stanley-Price, M.R. (1989). Animal Re-introductions: The Arabian Oryx


in Oman. Cambridge: Cambridge University Press.

Supriatna, J. (2008). Melestarikan alam Indonesia. Jakarta: Yayasan


Pustaka Obor Indonesia.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 59


Veith, M., Kosuch, J., Feldmann, R., Martens, H., Seitz, A. (2000). A test
for correct species declaration of frog legs imports from Indonesia
into the European Union. Biodiversity and Conservation, 9, 333-
341.

Widjaja, E.A., Maryanto, I., Wowor, D., Marwoto, R.M., Hadiati, R.K.,
Riyanto, A., Mumpuni, Irham, M., Hartini, S., Dwibadra, D.,
Purwaningsih, E., Dewi, K., Sutrisno, H., & Rofik, M. (2011). Status
Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor: Puslit Biologi-LIPI.

Widjaja, E.A., Rahayuningsih, Y., Rahajoe, J.S., Ubaidillah, R., Maryanto,


I., Walujo, E.B., & Semiadi, G. (2014). Kekinian keanekaragaman
hayati Indonesia 2014. Jakarta: LIPI Press.

Widodo, W. (2007). Profil dan persepsi para pedagang burung


terhadap perdagangan Burung Perkici Pelangi (Trichoglossus
haematodus) dan upaya pelestariannya. Berkala Penelitian Hayati,
13, 67 – 72.

Wilson, E.O. (1992). The diversity of life. UK: The Belknap Press of
Harvard University Press, Cambridge, MA.

60 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


MENJINAKK AN GAMBUT UNTUK PERTANIAN

Nurmala Pangaribuan

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki lahan gambut yang sangat luas, yaitu 10% luas
daratan Indonesia, berkisar 21 juta hektar. Lahan gambut salah satu
sumber daya alam yang sangat penting dan berperan penting dalam
perekonomian negara, diantaranya berupa ketersediaan berbagai
produk hutan kayu maupun non-kayu. Di samping itu lahan gambut
memberikan berbagai jasa lingkungan yang sangat penting bagi
kehidupan masyarakat, diantaranya berupa pasokan air, pengendalian
banjir, penyimpanan karbon, dan habitat bagi keanekaragaman hayati
yang potensial dan unik.
Lahan gambut merupakan lahan yang berasal dari bentukan
gambut beserta vegetasi yang terdapat di atasnya, terbentuk di
daerah yang topografinya rendah, bercurah hujan tinggi atau di
daerah yang suhunya sangat rendah. Tanah gambut mempunyai
kandungan bahan organik yang tinggi (>12% C/karbon) dan kedalaman
gambut minimum 50 cm. Tanah gambut diklasifikasikan sebagai
Histosol yang mengandung bahan organik lebih dari 30 persen dengan
ketebalan 40 cm atau lebih, di bagian 80 cm teratas profil tanah.
Sebagai sumberdaya alam, gambut memiliki kegunaan untuk budidaya

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 61


tanaman pertanian maupun kehutanan, sebagai aquakultur, dapat
digunakan sebagai bahan bakar, media pembibitan, ameliorasi tanah,
dan untuk menyerap zat pencemar lingkungan (Osaki, 2016).
Lahan gambut yang terlantar (bongkor), akibat kebakaran, lahan
tidak dapat diberdayakan/ditanami, dan cenderung semakin luas. Hal
ini disebabkan lahan gambut yang terbakar, permukaan lahan tidak
rata, mengalami subsiden (amblasan). Sudradjat (2006) melaporkan
laju amblasan 0,36 cm/bulan pada tanah gambut Saprik di Barambai,
Kalimantan Selatan selama 12-21 bulan setelah reklamasi, sedang
untuk gambut Saprik di Talio, Kalimantan Tengah lajunya 0,178
cm/bulan, dan bahan gambut Hemik Saprik 0,9 cm/bulan. Demikian
juga pada lokasi yang sama penurunan muka lahan di Desa Babat Raya
dan Kolam Kanan Kecamatan Barambai, Kalimantan Selatan mencapai
antara 75-100 cm dalam masa 18 tahun. Pengelolaan lahan gambut di
Ulin Kalimantan Selatan terdapat pada Gambar 1.

Sumber: Tim Sintesis Kebijakan (2008)

Gambar 1. Pengelolaan Lahan Gambut di Ulin Kalimantan Selatan

Sayangnya, kegiatan pembangunan yang tidak terkendali acapkali


menimbulkan dampak yang buruk bagi lahan gambut, dan pada
akhirnya berimbas pula pada kehidupan masyarakat lokal yang
hidupnya bergantung pada keberadaan lahan gambut. Pada tahun
2004-2011 (selama 7 tahun) lahan gambut di Sumatera berkurang
10,7%, di Kalimantan berkurang 17,2%, dan di Papua berkurang
28,8%. Lahan gambut dapat menyusut atau bahkan hilang, disebabkan

62 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


oleh pemanfaatan lahan gambut secara intensif tanpa
mempertimbangkan kaidah konservasi tanah dan air (Naskah Peta
Gambut Indonesia, 2011).
Berdasar sifat dari bahan gambut, hasil pengalaman,
pembelajaran dalam pengelolaan lahan gambut, maka pengembangan
lahan gambut Indonesia ke depan dituntut menerapkan beberapa
kunci pokok pengelolaan yang meliputi aspek legal yang mendukung
pengelolaan lahan gambut dengan restorasi gambut. Melalui berbagai
tindakan seperti rewetting, revegetasi, species adjustment,
penyesuaian zonasi. Tindakan rewetting meliputi pengelolaan air,
penataan ruang berdasarkan satuan sistem hidrologi gambut sebagai
wilayah fungsional ekosistem gambut.
Penyusutan lahan gambut di Indonesia, umumnya disebabkan
oleh pemanfaatan lahan gambut yang dikelola secara intensif tanpa
mempertimbangkan kaidah konservasi tanah dan air. Pada bagian lain,
pemanfaaatan hasil penelitian, pengembangan tanaman yang sesuai
dengan karakteristik lahan gambut merupakan upaya revegetasi yang
mudah, murah, dan ramah lingkungan. Pendekatan pengembangan
berdasarkan karakteristik bahan tanah mineral di bawah lapisan
gambut, peningkatan stabilitas, dan penurunan sifat toksik bahan
gambut.
Kondisi dan sifat lahan gambut yang marginal, rapuh, maka dalam
pengembangannya perlu kehati-hatian, keseriusan, dan pengetahuan
yang cukup. Kesalahan dalam reklamasi, pengelolaan lahan
mengakibatkan kerusakan lingkungan gambut yang permanen yang
tidak dapat balik (irreversible). Tulisan ini juga akan mengupas hal
yang harus menjadi perhatian semua pihak bila akan memanfaatkan
gambut untuk pertanian.

LAHAN GAMBUT

1. Gambut Tropika di Indonesia


Lahan gambut tropika yang terdapat di Indonesia dicirikan oleh
biodiversitas (keragaman hayati) yang khas dengan kekayaan
keragaman flora dan fauna, fungsi hidrologisnya, yakni dapat
menyimpan air tawar dalam jumlah yang sangat besar, satu juta lahan

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 63


gambut tropika setebal 2 m ditaksir dapat menyimpan 1,2 juta m 3,
gambut tropika bersifat rapuh (fragile) karena dengan pembukaan
lahan dan drainase (reklamasi) akan mengalami pengamblesan
(subsidence), percepatan peruraian dan resiko pengerutan tak balik
(irreversible) serta rentan terhadap bahaya erosi, sifatnya yang praktis
tidak terbarukan karena membutuhkan waktu 5000-10.000 tahun
untuk pembentukannya sampai mencapai ketebalan maksimum
sekitar 20 m (Osaki, 2016).
Gambut dengan sifat-sifat fisika dan kimia tanah yang khas,
tergenang, pada kondisi alamiah, dan sangat berbeda dengan sifat
tanah mineral. Berdasarkan ketebalan lapisan gambut, gambut terbagi
dalam lapisan dangkal dengan tebal lapisan < 50 cm, sedang dengan
tebal lapisan 50-100 cm, dan gambut dalam dengan tebal lapisan >
200 cm (Limin, 2006).
Pada saat ini para ilmuwan dan penentu kebijakan di Indonesia
tidak lagi berpandangan bahwa “pemanfaatan gambut” harus dimulai
dari pembukaan lahan dengan tebas, tebang, yang kemudian
dilakukan penanaman komoditi tertentu. Berdasarkan fakta di
lapangan, pembukaan hutan rawa gambut untuk pertanian
menimbulkan masalah lingkungan dan menyulitkan kehidupan
masyarakat di sekitarnya. Pengalihan fungsi hutan rawa gambut pasti
akan diikuti dengan perubahan ekosistem yang sangat cepat, dan
akhirnya meningkatnya intensitas malapetaka bagi manusia. Salah
satu yang terbesar adalah kebakaran gambut, yang umumnya terjadi
oleh kekeliruan teknologi pemanfaatan dan pemaksaan terhadap
karakteristik gambut. Pada tahun 2014 dan 2015, kebakaran lahan
gambut sangat luas dan menimbulkan kerugian ekonomi yang
diperkirakan mencapai Rp. 200 trilyun lebih. Kebakaran ini diperbesar
oleh adanya fenomena el-Nino dengan musim kemarau yang tidak
normal. Pembukaan lahan gambut untuk kebun sawit mengakibatkan
lahan gambut dan hutan terbakar. Kebakaran gambut juga terjadi
karena kegagalan usaha pemadaman api, jika terlambat dilakukan,
apinya telah jauh masuk ke lapisan dalam gambut, akan sulit untuk
dipadamkan. Api yang terdapat di dalam lapisan dalam gambut
(ground fire) yang berada di bawah permukaan sangat sulit diketahui
sebarannya karena tidak dapat dilihat dari permukaan. Kesulitan

64 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


pemadaman api karena dibutuhkan air dalam jumlah besar dan
kadang kala akses menuju lokasi kebakaran sangat berat. Pemadaman
api di lahan gambut yang kebakarannya sudah parah/meluas hanya
dapat ditanggulangi secara alami oleh air hujan yang deras (Gambut
Indonesia Luas dan Mudah Terbakar, 2016).
Kegagalan pemanfaatan gambut disebabkan oleh tidak mematuhi
aturan dan tidak mempertimbangkan kriteria dalam pemanfaatannya.
Pemanfaatan lahan gambut selama ini hanya didasarkan pada
KEPPRES No. 32 Tahun 1990, yang menyatakan bahwa ketebalan
gambut lebih dari tiga (3) meter diperuntukkan bagi konservasi atau
untuk kehutanan, dan kurang dari tiga (3) meter dapat dijadikan
kawasan produksi. Peraturan ini tampaknya harus ditinjau kembali.
Limin (2006) menyatakan bahwa KEPPRES No.23/1990, tidak
berdasarkan hasil riset dan fakta lapangan. Pemanfaatan gambut
harus mempertimbangkan aspek budaya masyarakat yang harus
dipertahankan, dan kelangsungan sumber daya gambut (kesulitan
restorasi lahan gambut yang rusak), sehingga segera meninjau
kembali peraturan ini agar kerusakan hebat pada lahan gambut yang
tersisa dapat dieliminir.

2. Kriteria Pemanfaatan Gambut


Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian harus mengikuti
berbagai aturan. Salah satu yang terutama adalah membuat saluran
drainase atau kanal, sebagai upaya untuk menyesuaikan kondisi air
lahan. Pada gambut pantai di daerah pasang surut, pembuatan
drainase atau kanal ditujukan untuk menyalurkan air ke bagian dalam
(beberapa kilometer dari tepi sungai atau laut). Pada gambut
pedalaman, tanpa membuat saluran drainase atau kanal, banyak
dijumpai jenis pohon asli setempat seperti ramin, meranti rawa,
jelutung, gemor. Tanaman-tanaman ini dapat tumbuh dalam kondisi
jenuh air, daerah yang dominan basah. Efek pembuatan drainase
dapat menyebabkan penurunan air tanah dan permukaan gambut. Di
Kalampangan Kalimantan Tengah, penurunan permukaan lahan
gambut paling sedikit 1-3 cm tiap tahun, diikuti dengan perubahan
suhu dan kelembaban di lapisan gambut dekat permukaan, sehingga
mempercepat proses pelapukan. Pelapukan bahan organik,

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 65


menghasilkan hara bagi tanaman dan asam-asam organik, yang bila
dalam persentase tinggi dapat menyebabkan keracunan bagi
tanaman. Pemanfaatan gambut berdasarkan ketebalan lapisan
gambut dan hidrologi terdapat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pemanfaatan gambut berdasarkan ketebalan lapisan bawah


gambut dan hidrologi

N o Ketebalan (cm ) La pis a n ba wa h Hi drol og i Peruntuka n


1. ≤ 50 Mineral liat tidak bermasalah padi, palawija
Pasir/granit bermasalah konservasi
2. 50-100 Mineral liat tidak bermasalah padi, palawija, tanaman
perkebunan
Pasir/granit bemasalah konservasi
3. 100-200 Mineral liat tidak bermasalah tanaman perkebunan
Pasir/granit bermasalah konservasi
4. >200 Mineral liat/ bermasalah konservasi
pasir/granit
Sumber: Limin (2006)

3. Kerusakan Gambut
Pemanfaatan gambut dimulai dari eksploitasi lahan hutan rawa
berlebih, pembukaan lahan untuk transmigran dan sebagainya telah
menyebabkan kemiskinan luar biasa bagi masyarakat lokal. Sebagai
contoh usaha tradisional perkayuan, perikanan oleh masyarakat lokal
seperti suku Dayak di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, yang
diandalkan sebagai penopang ekonomi secara berkelanjutan, menjadi
rusak hingga hilang atau tidak lagi produktif seperti sebelumnya. Ganti
rugi terhadap kerugian usahatani masyarakat sesungguhnya bukan
suatu penyelesaian yang mampu menjamin kestabilan ekonomi rumah
tangga masyarakat, karena nilai jangka panjang kegiatan produksi
masyarakat yang telah dan akan dilakukan secara turun-temurun tidak
akan tergantikan.
Perubahan ekosistem menyebabkan kemiskinan penduduk lokal
Kalimantan Tengah. Pembukaan lahan gambut tidak
mempertimbangkan pengetahuan lokal (local knowledge) yang lebih

66 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


ramah terhadap lingkungan. Pada awalnya masyarakat Kalimantan
Tengah khususnya, hanya terbatas memanfaatkan gambut tipis
(disebut”petakluwau”) yang terdapat di belakang tanggul sungai.
Pembuatan “handel” (kanal berdimensi kecil) tersebut dilakukan
berdasarkan kemampuan air masuk ke daerah bagian dalam sebagai
akibat dorongan air laut. Oleh karena itu “handel” yang dibuat
masyarakat hanya berdimensi kecil, yaitu sempit (1-2 m), dangkal (1-2
m), dan pendek (0,5-2,0 km). Pada saat ini semua sistem tersebut
tidak dapat berfungsi karena adanya bangunan kanal yang berlebih,
yaitu berukuran sangat panjang, lebar, dan dalam. Limin (2006)
menyatakan bahwa kegagalan memanfaatkan gambut dan lahan
basah di Kalimantan Tengah khususnya, ditunjukkan oleh adanya
tindakan yang terlanjur merusak lingkungan. Peningkatan luas lahan
usaha dari teknologi “handel” ke sistem kanal berdimensi besar
merupakan suatu kekeliruan.
Kerusakan gambut dapat terjadi oleh berbagai perlakuan, seperti
sistem kanalisasi dengan membuat berbagai saluran untuk
mengeringkan gambut, yang berdampak pada kebakaran lahan, emisi
gas rumah kaca. Kerusakan gambut juga terjadi karena budidaya yang
tidak mengikuti karakteristik lahan gambut yang menyebabkan
subsidence, banjir, dan kehilangan biodiversity, sehingga berdampak
negatif bagi ekosistem gambut. Konservasi dan optimalisasi
pemanfaatan lahan rawa gambut perlu disesuaikan dengan
karakteristik dan penyebarannya.
Pada tahun 2015 luas lahan gambut yang terbakar mencapai 1
juta hektar. Kebakaran hutan dan lahan tersebar di kawasan hutan
maupun non kawasan hutan yang belum berizin, di areal perusahaan,
dan lahan masyarakat. Dari luas kebakaran hutan, 56% berada di luar
kawasan konsesi, 20% di konsesi perkebunan sawit, 16% di konsesi
Hutan Tanaman Industri (HTI), dan 8% di konsesi Hak Pengusahaan
Hutan (HPH). Pola pembakaran lahan gambut di areal izin ada 3 pola,
yaitu: a). faktor okupasi, b). faktor penjalaran api dari kawasan open
acces, dan c). keterbukaan akses.
Kebakaran gambut menimbulkan asap yang berdampak luas dan
menyebabkan puluhan jiwa korban, ratusan ribu penduduk dari
sekitar 6 (enam) propinsi mengalami penyakit gangguan ISPA, dan

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 67


kerugian ekonomi USD 20 M. Restorasi gambut menjadi keharusan
untuk mengembalikan fungsi ekosistem gambut. Restorasi gambut
melalui kegiatan rewetting, revegetasi, species adjustment, dan
penyesuaian zonasi. Restorasi memerlukan sinergi dari para pihak,
melibatkan masyarakat dalam program adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim, untuk bersama-sama berperan aktif menjaga
kesinambungan ekosistem lahan gambut yang komperehensif.

4. Persyaratan Pengelolaan Gambut


a. Tatanan ekosistem
Mempertahankan lahan gambut sebagai habitat ratusan species
tanaman merupakan suatu kebijakan yang sangat tepat. Kawasan
gambut sebagai habitat berbagai jenis pohon, bagi masyarakat lokal
mempunyai fungsi ekonomi sebagai penghasil produk kayu dan non
kayu, karena hutan rawa gambut memiliki jenis pohon bernilai
ekonomis tinggi. Pada lahan gambut dijumpai populasi berbagai jenis
pohon bernilai ekonomis tinggi dan jenis pohon yang dilindungi.
Beberapa diantaranya berdiameter ≥ 20cm, rata-rata 21 pohon/ha
dengan volume rata-rata 30,94m3/ha. Populasi terbesar adalah jenis
ramin (Gonystylus bancanus Kurz), mencapai 67,83%. Fungsi ekologi
hutan rawa gambut sebagai pengendali suhu, kelembaban udara, dan
hidrologi kawasan akan tetap berlangsung sebagai konsekuensi dari
ekosistemnya tidak berubah.
Pengentasan kemiskinan di daerah lahan gambut harus dimulai
dari upaya (1) pemulihan ekosistem gambut dan (2) pencegahan
perusakan gambut. Ke dua hal tersebut harus dilakukan berdasarkan
karakteristik gambut dan masalah yang sedang terjadi di lapangan.
Pengembangan usahatani tanpa didahului pemulihan ekosistem, akan
memperpanjang penderitaan masyarakat dan kerusakan lingkungan
semakin meluas. Dari pengalaman sejak tahun 1997, dimana setiap
tahun selalu terjadi kebakaran lahan gambut, dan bila terjadi
kebakaran lahan gambut selalu mengalami kesulitan pencegahan dan
penanggulangannya, maka merupakan tindakan aman jika gambut
tebal tidak dikelola untuk pertanian. Artinya, ‘gambut dalam’ dibiarkan
bersuksesi alami, dengan demikian peluang terjadi kebakaran
berkurang dan kabut asap tidak akan terulang. Semua pihak terkait

68 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


harus berupaya untuk mempertahankan dan memulihkan lahan
gambut, agar tetap menjadi habitat flora dan fauna yang telah adaptif.
Pengelolaan lahan gambut yang berwawasan lingkungan sangat
perlu dilakukan mengingat lahan gambut merupakan salah satu lahan
untuk masa depan. Sabiham et al. (2010) melaporkan bahwa kunci
pokok penggunaan gambut berkelanjutan, meliputi: (1) Legal aspek
yang mendukung pengelolaan lahan gambut, (2) Penataan ruang
berdasarkan satuan sistem hidrologi, (3) Pengelolaan air yang
memadai sesuai tipe luapan dan hidro topografi, (4) Pendekatan
pengembangan berdasarkan karakteristik tanah mineral di bawah
lapisan gambut, (5) Peningkatan stabilitas dan penurunan sifat toksik
lahan gambut. Selain itu dalam pengelolaan lahan gambut (6) haruslah
didukung dengan teknologi budidaya spesifik lokasi dan ketersediaan
lembaga pendukung.
Lahan gambut dapat menyusut atau bahkan hilang, sehingga
diperlukan pemantauan lahan gambut secara periodik. Penyusutan
lahan gambut di Indonesia, umumnya disebabkan oleh pemanfaatan
lahan gambut dan dikelola secara intensif tanpa mempertimbangan
kaidah konservasi tanah dan air. Di Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi
Sumatera Barat, hasil pemantauan dengan menggunakan citra satelit
perbandingan di tahun 1990-an dan tahun 2000-an, sejak pembukaan
lahan untuk permukiman transmigrasi Silaut, lahan rawa gambut
berkurang lebih dari 50% (Rajagukguk, 2014).

b. Status hidrologi
Penataan ekosistem gambut yang sudah terganggu, rusak,
berubah, dan tergradasi harus dimulai dari program pemulihan status
hidrologi kawasan gambut. Kerusakan hutan rawa gambut berawal
dari perubahan status hidrologi akibat kanal liar dan kanal program
pemerintah. Hasil penelitian membuktikan bahwa sistem kanal yang
berlebihan, menyebabkan proses kekeringan menjadi lebih cepat dan
hamparan gambut terbakar setiap musim kemarau. Pembuatan
saluran drainase atau kanal-kanal melintasi lapisan gambut tebal,
tampaknya akan berdampak negatif jangka panjang. Salah satu contoh
adalah Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar yang mulai
dibangun tahun 1996, dengan program kanalisasi yang mencincang

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 69


habis hamparan gambut diantara 4 sungai besar, yaitu Sabangau,
Kahayan, Kapuas, dan Barito yang mengubah drastis neraca air pada
daerah aliran sungai (DAS) tersebut, sehingga kawasan eks PLG
merupakan penghasil asap terbesar di Kalimantan Tengah. Selain itu,
kerugian besar telah diderita oleh masyarakat asli setempat akibat
perubahan ekosistem, karena usaha tradisional yang telah diandalkan
sebagai sumber pendapatan tetap mengalami penurunan
produktivitas hingga hilang (tidak dapat diusahakan lagi).
Mencegah kerusakan lahan gambut yang semakin parah
disarankan agar kanal-kanal yang melintasi lapisan gambut tebal dan
berhubungan langsung dengan sungai besar harus ditutup. CIMTROP
Universitas Palangka Raya bekerja sama dengan Helsinki University
dan beberapa universitas yang tergabung dalam Restorpeat Project
dan Hokkaido University, membuktikan bahwa upaya pemulihan
hidrologi kawasan gambut dengan penutupan kanal, ternyata mampu
menahan air tanah tidak terkuras selama musim kemarau (Limin,
2006). Dam berfungsi sebagai penahan air, pada titik tertentu,
perbedaan kedalaman air tanah sebelum dan sesudah pembangunan
dam mencapai 151cm. Kebakaran hutan rawa gambut tidak hanya
memusnahkan ratusan spesies tumbuhan, tetapi akan terjadi
kehilangan lapisan gambut dan meningkatkan konsentrasi CO2 ke
atmosfir (Takahashi, Adi, dan Limin, 2016). Gambar 2 menunjukkan
lahan gambut terbakar dengan ketebalan lebih dari satu meter.
Terkait dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
isu karbon yang telah mendunia, maka saatnya bagi pemerintah
memberi tanggung jawab penuh bagi masyarakat kecil dengan
kompensasi yang jelas untuk mempertahankan potensi hutan rawa
gambut.

70 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


Sumber: Takahashi (2016)

Gambar 2. Lahan Gambut Terbakar, Ketebalan >1m

c. Pengelolaan air
Pengelolaan air pada lahan gambut pada prinsipnya adalah
pengaturan kelebihan air sesuai dengan kebutuhan tanaman yang
dibudidayakan. Tanah gambut mempunyai kemampuan menyimpan
air yang besar dan tergantung tingkat kematangan gambut. Salah satu
sistem yang diterapkan untuk pengelolaan air di lahan gambut adalah
sistem drainase terkendali. Pada dasarnya sistem ini untuk mengatur
air secara terkendali mulai dari tanggul yang dipasang bangunan
pengendali (kontrol) agar dasar saluran relatif datar dan bangunan
pengendali kedua sebelum air keluar dari lahan menuju ke sungai
untuk mengendalikan elevasi. Bila aliran air keluar tidak akan drastis
maka sistem drainase tersebut dapat mengendalikan overdrained dan
mencegah kekeringan yang akhirnya mempertahankan kondisi lahan
tetap terpenuhi keperluan airnya.
Ukuran bangunan pengendali, terutama lebar saluran, tergantung
komoditas yang diusahakan, misalnya untuk tanaman padi
memerlukan kondisi lahan tetap tergenang sehingga memerlukan
lebar saluran relatif sempit agar aliran muka air relatif terkendali, dan
untuk tanaman perkebunan memerlukan kedalaman muka air tanah

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 71


relatif dalam sehingga perlu dikendalikan sesuai dengan kedalaman
zona perakarannya. Pengelolaan air diperlukan karena, kondisi alami
dan restorasi terutama kegiatan konservasi air agar dapat
mengurangi/menghilangkan kelebihan air permukaan (drainase) dan
air di bawah permukaan terutama untuk pertanian, dan untuk
pencegahan kebakaran dengan pengendalian muka air tanah, dan
mengatur kebutuhan air untuk tanaman yang diusahakan
(dibudidayakan) pada lahan gambut.

d. Metode dan strategi untuk memadamkan kebakaran


Metode dan strategi untuk memadamkan kebakaran lahan
gambut harus efektif dan efisien. Teknik yang diterapkan khususnya
pada lahan gambut adalah Sekat Bakar Diairi (Metode KATIR). Metode
ini lebih tepat untuk memadamkan kebakaran di dalam hutan yang
sulit dijangkau oleh mobil pemadam, dan tidak tersedia air di
permukaan. Metode lain yang direkomendasikan adalah
menggunakan Bom Air Plastik (BOMTIK). Metode ini lebih ditekankan
untuk gerakan massal. BOMTIK dapat dibuat dengan menggunakan
limbah air cucian dan dibungkus plastik gula. BOMTIK juga
direkomendasikan untuk mengantisipasi kebakaran pemukiman atau
pertokoan, yaitu dengan cara menyediakan 100 atau lebih BOMTIK
setiap toko, rumah, dan perkantoran. Strategi pelaksanaannya adalah,
(1) Anggota harus menginap di sekitar lokasi kebakaran, dengan
demikian, kegiatan pemadaman dapat dilakukan nonstop siang dan
malam selama 24 jam, (2) Mengupayakan air tanah sebagai sumber
air penyemprotan. Pada saat musim kemarau panjang, air tidak
tersedia di permukaan, danau, kanal, parit, dan sungai seluruhnya
kering. Air yang ada dijumpai pada kanal, parit, dan sungai, umumnya
tidak cukup untuk mendukung upaya pemadaman. Untuk mengatasi
kesulitan air adalah dengan membuat sumur bor. Berdasarkan
pengalaman, pada kedalaman 12-18meter di bawah lapisan gambut,
tersedia sumber air yang cukup untuk mengoperasional mesin pompa
24 jam nonstop setiap hari, (3) Ada kelembagaan resmi yang memiliki
pengalaman pemadaman kebakaran hutan dan lahan oleh kelompok-
kelompok pemadaman kebakaran lahan dan hutan, seperti Tim Serbu
Api (TSA), yayasan yang dibina oleh pemerintah (Gambut Indonesia

72 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


Luas dan Mudah Terbakar, 2016). Kini saatnya pemerintah memberi
kepercayaan penuh kepada masyarakat, agar sepenuhnya dapat
menjaga kesinambungan lahan gambut.

5. Lahan Gambut untuk Pertanian


a. Kendala gambut untuk pertanian
Pengembangan lahan gambut untuk pertanian menghadapi
banyak kendala, antara lain: (1) tingkat kesuburan tanah rendah, pH
tanah masam, kandungan unsur hara NPK relatif rendah, dan miskin
unsur mikro Cu, Bo, Mn, dan Zn; (2) penurunan permukaan tanah
yang besar setelah didrainase; (3) daya tahan (bearing capacity)
rendah sehingga tanaman pohon dapat tumbang; dan (4) sifat
mengerut tak balik, yang dapat menurunkan daya retensi air dan
membuatnya peka erosi. Sehubungan dengan hal itu, pemanfaatan
lahan gambut untuk pertanian pada awalnya memerlukan investasi
yang besar.
Pemanfaatan hutan rawa gambut untuk pengembangan pertanian
tanaman pangan2 atau perkebunan menghadapi kendala, terutama
dalam mengelola dan mempertahankan produktivitas lahan.
Keberhasilan pengembangan lahan gambut di suatu wilayah tidak
menjamin bahwa di tempat lain akan berhasil pula. Pemanfaatan
lahan yang tidak cermat dan tidak sesuai dengan karakteristiknya
dapat merusak keseimbangan ekologis wilayah kawasan gambut yang
rusak, berkurang, atau hilang oleh kebakaran sehingga akan
menurunkan kualitas lingkungan, bahkan menyebabkan banjir pada
musim hujan serta 2kekeringan dan kebakaran pada musim kemarau.
Pembuatan saluran untuk mengatasi 4 banjir, pengeluaran air kadang
kala berdampak pada pengeringan lahan pertanian sekitarnya
sehingga tidak produktif, dan akhirnya menjadi lahan tidur, dan
mudah terbakar.
Gambut memiliki nilai konservasi yang sangat tinggi, cadangan
karbon, dan biodiversitas yang penting untuk kenyamanan lingkungan
dan kehidupan satwa. Jika ekosistemnya terganggu maka intensitas
dan frekuensi bencana alam akan makin sering terjadi, bahkan lahan
gambut tidak hanya dapat menjadi sumber karbon monoksida (CO),

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 73


tetapi juga efek rumah kaca lainnya, seperti metana (CH) dan nitro
oksida (NO).
Gambut memiliki kesuburan yang rendah, oleh adanya lapisan
tanah bawah yang berupa pasir kuarsa. Pada bagian lain, gambut
terbentuk dari vegetasi hutan yang miskin unsur hara. Lahan gambut
memegang peranan penting dalam hidrologi suatu daerah rawa.
Gambut memiliki daya menahan air yang besar, yaitu 300-800% dari
bobotnya, sehingga daya lepas airnya juga besar. Sifat ini sangat
penting diketahui agar dapat dipertahankan sebagai daerah
konservasi air, terlebih bila pada bagian hilirnya terdapat kota-kota
pantai seperti Pontianak, Banjarmasin, Balikpapan, dan Samarinda.

b. Potensi lahan gambut untuk pertanian


Pengembangan pertanian dipengaruhi oleh kesuburan alami
gambut dan tingkat manajemen usahatani yang diterapkan.
Produktivitas usahatani lahan gambut pada tingkat petani, dengan
input rendah sampai sedang, berbeda dengan produktivitas lahan
gambut dengan tingkat manajemen tinggi yang biasanya diterapkan
oleh swasta atau perusahaan besar. Pembuatan saluran drainase,
pengelolaan air, peningkatan kesuburan, dan produktivitas
merupakan masalah utama yang harus diatasi. Kualitas air sungai
(besar) yang membawa muatan sedimen dari daerah belakangnya
(hinterland) yang beragam, sehingga kualitas kesuburan tanah gambut
juga berbeda-beda. Hal ini juga menjadi penyebab mengapa
keberhasilan pengembangan lahan gambut di suatu wilayah tidak
menjadi jaminan bahwa di tempat lain akan berhasil pula.
Gambut yang paling potensial untuk pertanian adalah gambut
dangkal (0,5-1 m) sampai sedang (1-2 m), yang terletak pada bagian
pinggiran kubah. Wilayah ini umumnya masih merupakan gambut
topogen yang banyak bercampur dengan bahan tanah mineral. Makin
tebal (dalam) gambut, makin kurang potensinya untuk pertanian.
Gambut dalam (lebih dari 3 m) umumnya miskin hara, dan sebaiknya
tidak dibuka atau dimanfaatkan untuk pertanian, karena
permasalahan yang cukup berat dalam mengelola dan
mempertahankan produktivitasnya.

74 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


Berbagai jenis tanaman dapat tumbuh pada lahan gambut.
Komoditas pertanian yang dapat diusahakan di lahan gambut antara
lain adalah tanaman pangan (padi, jagung, sorgum, ubi kayu, ubi jalar,
talas), tanaman palawija dan sayuran (kedelai, kacang tanah, kacang
tunggak, terung, mentimun, kacang panjang, cabai), tanaman buah-
buahan (nenas, pisang, lidah buaya, buah naga, rambutan, mangga,
petai, jengkol, jambu mete), tanaman perkebunan (tebu, kelapa sawit,
kelapa, kakao, kopi, cengkeh, kapok, rami, rosela, karet, sagu), serta
bambu. Nenas, jagung, ubi kayu, dan talas tumbuh sangat baik pada
tanah gambut dengan pemupukan dan pengapuran. Gambar 3
menunjukkan usahatani sayuran di lahan gambut.

Sumber: Balai Penelitian Tanah Balai Besar Litbang Sumber Daya


Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Kementrian Pertanian (2011)

Gambar 3. Usahatani sayuran di lahan gambut wilayah


Kalimantan Selatan

Hasil studi menunjukkan, antara petani etnis Banjar (penduduk


lokal) dengan petani etnis Jawa (transmigran) mempunyai tanggap
yang berbeda dalam usaha menjinakkan kendala-kendala lahan dalam
budidaya tanaman di lahan gambut. Pada tahun awal kedatangan
petani transmigrasi masih kurang mengenal tentang lahan gambut.
Hal ini karena mereka umumnya berasal dari lahan kering yang jauh
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 75
berbeda keadaannya dengan lahan rawa. Selain itu, orientasi
usahatani yang mereka terapkan adalah semata-mata tanaman
pangan sehingga sistem tebas-bakar merupakan usaha yang paling
dominan dalam menjinakkan lahan. Kenyataan juga menunjukan
bahwa dengan dibakar maka diperoleh pertumbuhan dan hasil
tanaman (seperti jagung, padi, dan lainnya) yang lebih baik. Sistem
tebas-bakar juga dimaksudkan untuk dapat lebih hemat dan cepat
dalam penyiapan lahan sehingga dapat menepati waktu tanam
dengan intensitas tanam 2-3 kali setahun.
Pemanfaatan lahan gambut bagi etnis Banjar diprioritaskan untuk
tanaman perkebunan, seperti karet, kelapa, dan sebagainya. Tanaman
pangan umumnya padi lokal hanya sebagai sisipan. Pada desa-desa
sepanjang Anjir Serapat (Desa Gandaria dan sekitarnya) setelah terjadi
kebakaran besar-besaran tahun 1927 maka sebagian besar kebun
karet rakyat dijadikan persawahan. Namun dalam budidaya petani
lokal berbeda dengan yang diterapkan para petani transmigran,
mereka hanya mengenal sistem tanam pindah dengan pengolahan
tanah minimum (dengan tajak) dan sistem pengembalian jerami
tanaman (tebas-puntalampar) secara berkesinambungan. Selain itu
intensitas tanam setahun sekali karena padi lokal (photoperiod
sensitive) yang berumur panjang antara 8-11 bulan. Sistem ini
menunjukkan sistem recycling hara yang cukup baik (Yuliani, 2013).
Pada bagian lain, hasil penelitian Suwondo et al., (2010),
melaporkan bahwa persepsi petani mengenai lahan gambut cukup
baik, karena 82% responden mengetahui tentang karakteristik lahan
gambut tentang klasifikasi lahan gambut, ciri lahan gambut yang
cocok untuk pertanian, perbedaan dari segi kesuburan, tanaman yang
dapat diusahakan, pemasalahan yang dihadapi, dan cara
mengatasinya. Persepsi seseorang dipengaruhi oleh faktor personal
dan faktor situasionalnya dan suatu inovasi akan diadopsi oleh petani
apabila petani mempunyai persepsi yang baik terhadap inovasi
tersebut. Persepsi yang keliru dapat terjadi karena kurang tepatnya
pengetahuan atau pengertian terhadap objek persepsi. Secara teoritis
persepsi petani tentang lahan dan degradasi yang mungkin terjadi
mempengaruhi perilaku mereka dalam mengusahakan lahan. Pada
keadaan musim kemarau panjang hampir semua lahan gambut

76 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


termasuk di UPT Pangkoh Kalimantan Tengah terbakar secara besar-
besaran. Apabila tidak terjadi kemarau panjang petani yang sadar
melakukan pembakaran terbatas atau terkendali. Di Desa Siantan Hulu
Kalimantan Barat, petani membakar lahan gambut terkendala pada
tempat tertentu dan hasil pembakaran diperjualbelikan sebagai pupuk
tanaman sayuran. Menurut petani lokal Banjar, Melayu, maupun
transmigran mempunyai kesamaan pendapat yang menyatakan
bahwa lapisan atas berupa gambut harus dipertahankan antara 15 cm
(petani lokal) dan 25-50 cm (petani transmigran) (Noorginayuwati et
al., 2006).

1) Padi Sawah
Lahan gambut yang sesuai untuk padi sawah adalah tanah
bergambut (tebal lapisan gambut 20-50 cm) dan gambut dangkal
(0,5-1,0 m). Padi kurang sesuai pada gambut sedang (1-2 m).
Lahan gambut dengan ketebalan lebih dari 2 m tidak sesuai untuk
padi, tanaman tidak dapat membentuk gabah karena kahat unsur
mikro, khususnya Cu.
Pada lahan gambut dengan sifat fisik dan kimia tanah yang khusus,
sistem persawahan, menjadi pilihan yang tepat dan aman. Sistem
sawah akan membuat tanah tetap dalam keadaan reduksi dan
pada keadaan ini pirit tetap stabil di dalam tanah sehingga tidak
membahayakan bagi tanaman padi (Limin, 2006). Pemilihan
varietas yang sesuai, pengelolaan air, dan pemanfaatan vegetasi
alami merupakan kunci utama dalam memperoleh hasil yang
optimal dan berkesinambungan. Sebagian besar petani
menggunakan padi varietas lokal. Di Kalimantan Selatan terdapat
lebih dari 100 jenis padi lokal. Pola ini mendukung terlaksananya
pengelolaan dan konservasi air.
Pengaturan pola tanam dan pola usahatani merupakan alternatif
yang dapat diterapkan untuk meningkatkan intensitas
pertanaman dan memperpendek masa bera. Pola usahatani yang
diterapkan petani dapat berupa monokultur seperti padi-bera,
padi unggul-padi lokal, padi+palawija/sayuran, sayuran+palawija,
sayuran-sayuran, dan disesuaikan dengan tipologi gambut. Agar
pengembangan lahan gambut tetap menjamin kelestarian

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 77


sumberdaya alam, sistem usahatani di lahan gambut hendaknya
didasarkan kepada sistem usahatani terpadu yang bertitik tolak
kepada pemanfaatan hubungan sinergik antar subsistem. Sistem
usahatani terpadu yang cocok dikembangkan adalah sistem
usahatani berbasis tanaman pangan dan komoditas andalan
(Alihamsyah, et al., 2000). Sistem usahatani berbasis tanaman
pangan ditujukan untuk menjamin keamanan pangan petani,
sedangkan sistem usahatani berbasis komoditas andalan dapat
dikembangkan dalam skala luas dalam perspektif pengembangan
sistem dan usaha agribisnis.
Penggunaan lahan yang bertopografi datar untuk tanaman pangan
lahan kering dapat menggunakan sistem surjan. Lahan secara
bersamaan dimanfaatkan untuk padi sawah (pada tabukan) dan
tanaman lahan kering (pada pematang). Tujuan utamanya adalah
untuk memanfaatkan lahan secara optimal melalui pengelolaan
air yang tepat. Pengembangan surjan memberikan keuntungan
komparatif berupa: (1) produksi lebih stabil, terutama untuk
tanaman padi; (2) pengelolaan tanah dan pemeliharaan tanaman
lebih murah; (3) intensitas tanaman lebih tinggi; dan (4)
kemungkinan diversifikasi lebih besar. Pembuatan surjan harus
memperhatikan beberapa faktor, yaitu kedalaman lapisan pirit,
tipe luapan air, ketebalan gambut, dan peruntukan lahan atau
jenis komoditas yang akan dikembangkan. Panen padi di lahan
gambut sebaiknya menggunakan alat panen yang tepat. Petani
lebih baik menggunakan arit dari pada ani-ani. Menggunakan ani-
ani saat panen, akan meninggalkan jerami panjang dan tinggi di
petakan sawah, dapat memicu kebakaran saat kemarau (Tim
Sintesis Kebijakan, 2008). Sifat beberapa varietas tanaman padi di
lahan gambut tertera pada Tabel 2.

78 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


Tabel 2. Sifat Beberapa Varietas Tanaman Padi di Lahan Gambut

U m ur Potens i
Ra s a
No V a ri eta s Tanaman Ha s i l Resistensi Terhadap
na s i
( ha ri ) ( Ton/ha)
1. Cisadane Cisaraung 135 4-7 Pulen Wck1, Bh
2. IR-42 125 4-7 Pulen Wck1, Bh
3. IR-64 135 4-7 Pulen Wck1,2; pH rendah
4. Kapuas 115 4-7 Pulen Wck1,2; Su; Kr; Wh
5. Lematang 125 4-7 Pulen Wck1,2;
Pera Bh;Kb;BI;pHrendah
6. Way Seputih 130 4-7 Pera Wck1,2; Kb
Pulen
Sumber: Chairunas (2008)

Keterangan:
Wck=Wereng coklat; Su = Biotipe1, 2Sumatera Utara
Kb = Keracunan besi; Wh =Wereng hijau
Kr = Kerdil rumput; Bl = Blas
Bh = Bakteri hawar daun

2) Tanaman Palawija dan Hortikultura


Lahan rawa gambut yang sesuai, potensial untuk tanaman pangan
semusim (annual crops) adalah gambut dangkal (0,5-1 m) sampai
sedang (1-2 m) yang terletak pada bagian pinggiran kubah.
Pengelolaan air perlu diperhatikan agar air tanah tidak turun
terlalu dalam dan turun secara drastis, serta mencegah terjadinya
gejala kering tak balik, penurunan permukaan gambut yang
berlebihan dan oksidasi lapisan yang mengandung bahan sulfidik
(pirit). Wilayah ini umumnya masih merupakan gambut topogen
yang banyak bercampur dengan bahan tanah mineral. Makin
tebal, dalam gambut, makin kurang potensinya untuk pertanian.
Gambut dalam > 3 m umumnya miskin hara, dan sebaiknya tidak
dibuka atau dimanfaatkan untuk pertanian, karena permasalahan
yang cukup berat dalam mengelola dan mempertahankan
produktivitasnya.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 79


Pada lahan gambut, sistem usahatani terpadu yang cocok
dikembangkan adalah sistem usahatani berbasis tanaman pangan
dan komoditas andalan (Alihamsyah et al., 2000). Sistem ini akan
menjamin keamanan pangan petani sedangkan sistem usahatani
berbasis komoditas andalan dapat dikembangkan dalam skala luas
dalam perspektif pengembangan sistem dan usaha agribisnis.
Edukasi petani menjadi keharusan, terutama untuk konservasi
lahan gambut, agar produktivitas lahan gambut dapat
dipertahankan. Pengelolaan lahan gambut dengan sistem
usahatani berbasis tanaman palawija dan hortikultura dapat
dikelola dan dikembangkan dengan menggunakan teknologi
budidaya, pengelolaan air, peningkatan kesuburan, dan
pembuatan saluran drainase. Dalam pengelolaan dan
pengembangannya tetap menjamin kelestarian sumberdaya alam.
Komoditas pertanian yang dapat diusahakan di lahan gambut
antara lain adalah tanaman pangan (padi, jagung, sorgum, ubi
kayu, ubi jalar, talas, tanaman palawija, dan sayuran (kedelai,
kacang tanah, kacang tunggak, terung, mentimun, kacang
panjang, cabai), tanaman buah-buahan, nenas, pisang, nangka,
jeruk, rambutan, mangga, petai, jengkol, dan jambu mete.

3) Tanaman Tahunan/Perkebunan
Lahan rawa gambut yang sesuai untuk tanaman tahunan dan
perkebunan adalah yang memiliki ketebalan gambut 2-3 m.
Beberapa tanaman yang dapat tumbuh baik adalah, karet, kelapa
sawit, kopi, kakao, rami, dan sagu, tebu, kelapa, cengkih, rami,
rosela, sagu, tanaman hutan, meranti, gelam, dan bambu.
Sebelum penanaman harus dilakukan pemadatan lahan dengan
menggunakan alat berat. Menggunakan pengairan sistem
drainase yang tepat. Tanaman perkebunan, seperti kelapa sawit,
masih dapat dikembangkan pada lahan rawa gambut yang tidak
terlalu dalam bila disertai dengan pengelolaan air dan pemberian
amelioran (senyawa pembenah tanah). Kesuburan tanah dapat
dipertahankan dengan menggunakan pupuk makro dan mikro.
Tanaman perkebunan dan industri dapat tumbuh di lahan gambut
dengan ketebalan 1-3 m. Seperti pada tanaman semusim,

80 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


pengelolaan air pada tanaman perkebunan perlu diperhatikan
dengan seksama. Pengeluaran air secara berlebihan akan
menyebabkan gambut menjadi kering dan berpotensi mudah
terbakar. Pada tanaman karet, untuk menjaga keseimbangan
ekologis, kedalaman saluran drainase disarankan sekitar 20 cm
dan untuk tanaman kelapa sawit maksimal 80 cm. Pada lahan
rawa gambut dengan ketebalan lebih dari 3 m, tanpa input dan
manajemen tingkat tinggi, tanaman tidak produktif. Pemanfaatan
lahan gambut dalam, lebih dari 3 m, untuk pengembangan
pertanian menghadapi berbagai kendala, terutama pada tingkat
manajemen rendah sampai sedang. Pertumbuhan tanaman
terganggu karena kesuburan tanah rendah dan kahat unsur hara
mikro, di samping kesulitan dalam mendesain saluran drainase.
Edukasi petani untuk tidak melakukan pembakaran dalam
penyiapan lahan menjadi keharusan, karena pembakaran untuk
penyiapan lahan sering kali lepas kendali sehingga api menjalar ke
wilayah kubah gambut dan menimbulkan kebakaran hebat. Di
samping itu, drainase yang berlebihan juga menyebabkan gambut
menjadi kekeringan dan mudah terbakar pada musim kemarau.
Pengelolaan lahan rawa gambut perlu menerapkan pendekatan
konservasi, yang meliputi perlindungan, pengawetan, dan
peningkatan fungsi dan manfaat. Oleh karena itu, berdasarkan
fungsinya, wilayah rawa dibedakan ke dalam: (1) kawasan lindung,
kawasan gambut sangat dalam, lebih dari 3 m; (2) kawasan
pengawetan, kawasan suaka alam adalah kawasan yang memiliki
ekosistem yang khas dan merupakan habitat alami bagi fauna atau
flora tertentu yang langka serta untuk melindungi
keanekaragaman hayati. Kawasan ini diusulkan untuk
dipertahankan tetap seperti aslinya atau dipreservasi dengan
status sebagai kawasan non-budidaya; dan (3) kawasan reklamasi
untuk peningkatan fungsi dan manfaat. Kawasan lindung dan
pengawetan disebut juga kawasan non budidaya, sedangkan
kawasan reklamasi disebut kawasan budidaya.

Lahan gambut, terutama gambut dalam di sekitar suatu hutan


suaka alam mendapat prioritas untuk dijadikan kawasan preservasi.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 81


Demi pengamanan kawasan preservasi ditetapkan antara dua sungai
dengan batas-batas alami yang jelas, walau di dalamnya terdapat juga
lahan nongambut dan ketebalan gambut kurang dari 3m. Peraturan
Pemerintah No. 27 Tahun 1991 bertujuan mengatur ekosistem lahan
rawa gambut sebagai kawasan tampung hujan dan sumber air.
Sebagai sumber air, gambut pedalaman sangat menentukan keadaan
air daerah pinggiran atau hilirnya. Oleh karena itu, rawa di hulu sungai
atau rawa pedalaman perlu dipertahankan sebagai kawasan non
budidaya, yang berfungsi sebagai kawasan penampung hujan dan
merupakan “danau” sumber air bagi daerah pertanian di sekitarnya.
Kawasan penampung hujan sebaiknya berada pada lahan gambut.
Gambut memiliki daya menahan air yang tinggi, 300-800%
bobotnya, sehingga daya lepas airnya juga besar. Gambut dalam (lebih
dari 3 m), telah dinyatakan sebagai kawasan non budidaya dengan
luas minimal 1/3 dari luas total lahan gambut di wilayah daerah aliran
sungai tersebut. Banjir merupakan kendala yang perlu diatasi,
terutama dalam pengelolaan rawa lebak. Rawa lebak dalam dapat
dimanfaatkan sebagai penampung luapan banjir.

GAMBUT YANG SMART ECOSYSTEM

Pada lahan gambut, tanaman hutan yang bernilai ekonomis


seperti meranti dan gelam dapat tumbuh dan berkembang dengan
baik, oleh karenanya “Wise Use of Tropical Peatland” hendaknya tidak
lagi harus dipaksa untuk melakukan ‘perubahan besar’, yang justru
mengakibatkan munculnya permasalahan baru yang berdampak
negatif bagi manusia dan lingkungan. Aturan pemanfaatan lahan
gambut pada KEPPRES No. 32 Tahun 1990, yang antara lain
menyatakan gambut dengan ketebalan kurang dari tiga (3) meter
dapat dijadikan kawasan produksi, tidak layak dipertahankan dan
harus diganti. Peraturan Pemerintah No. 71/2014, yang mengatur
pengelolaan gambut berbasis pada ‘Kesatuan Hidrologis Gambut’
(KHG), dapat digunakan sebagai acuan.
Konservasi lahan dalam usahatani selain berhubungan dengan
persepsi petani juga memiliki kaitan dengan kondisi dan situasi
usahatani. Perilaku petani pada dasarnya sebagai produk dari konteks

82 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


lingkungannya, dalam hal ini adalah kendala yang harus dihadapi
dalam usahatani di lahan gambut. Kendala usahatani meliputi aspek
agrofisik lahan dengan daya dukung yang rendah, aspek lingkungan
dengan tingkat pencemaran dan pemasaman dari kemungkinan
teroksidasinya pirit cukup tinggi, termasuk teknologi budidaya yang
diterapkan, dan aspek sosial ekonomi petani yang kurang mendukung.
Persepsi petani terhadap lahan gambut sangat terbatas, sehingga
usaha-usaha konservasi untuk mempertahankan produktivitas lahan
gambut juga terbatas. Dalam hubungannya dengan konservasi lahan,
penerapan teknik budidaya dalam penyiapan lahan dengan sistem
tebas-bakar sebagian besar masih dianut oleh petani. Abu sisa
pembakaran dari gambut yang praktis diperoleh dari lapisan atas
lahan dianggap merupakan bahan pupuk penyubur tanah, namun
lambat laun tanpa pengendalian akan mengakibatkan terkurasnya
lapisan atas (organik) yang penting dalam mempertahankan tingkat
kesuburan lahan. Di tambah lagi dengan minimnya pengetahuan
petani dalam hal teknologi budidaya, bahan tanam, pola tanam,
pemilihan alat panen, dan lain-lain. Sebagai contoh petani etnis Banjar
di Desa Suryakanta, Sakalagun Kalimantan Selatan, menggunakan padi
lokal yang rendah intensitas pertanaman, lahan diberakan relatif lama,
sehingga resiko terbakar tinggi saat musim kemarau.
Gambut perlu dikonservasi, sebab eksploitasi gambut
dikhawatirkan akan menyebabkan gambut lepas dari dasar
dudukannya karena gaya isostasi. Lahan gambut sebenarnya
merupakan sebuah rakit besar yang terbuat dari batang kayu, dahan
kayu, daun tumbuh-tumbuhan yang mengapung dalam air. Sebagai
ilustrasi, gambut dengan ketebalan sembilan meter, tigameter
daripadanya berada di atas muka air tanah di permukaan. Bila lahan
gambut di permukaan ini dipanen, ditambang, terbakar, maka sisa
gambut di bawah permukaan yang setebal enam meter akan
terangkat ke atas akibat gaya isostasi hidrostatik. Dari enam meter
gambut yang terangkat ini, setebal dua meter akan berada di atas
muka air, dan sisanya setebal empat meter akan terlepas dari dasar
tanah yang sangat membahayakan untuk pertambangan dan kegiatan
lainnya. Lahan gambut yang dikelola tanpa penyusunan dan

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 83


penetapan rencana yang jelas akan menyebabkan gambut menjadi
kering dan mudah terbakar (Las, Nugroho, dan Hidayat, 2016).
Pengembangan lahan gambut untuk pertanian berarti menjadikan
lahan gambut sebagai lahan produktif yang dapat menghasilkan atau
memproduksi bahan pangan padi, palawija, sayuran, hortikultura,
perkebunan karet, kelapa, kelapa sawit atau sejenisnya. Pada bagian
lain lahan gambut mempunyai beberapa masalah dalam
pemanfaatannya untuk pertanian yaitu: ketebalan/kedalaman
gambut; sifat kering tidak dapat balik (irreversible drying); kemasaman
tanah yang tinggi (pH rendah); rendahnya tingkat kesuburan, dan
pengaturan tata air. Masalah lahan gambut dapat diatasi dengan
mengikuti berbagai strategi yaitu penyiapan lahan, pengelolaan air,
pemilihan komoditas, dan pengaturan pola tanam, yang mengikuti
karakteristik lahan gambut (Yuliani, 2013, Pangaribuan, 2015).
Pengembangan lahan gambut menjadi penting, termasuk memadu
serasikan antara kepentingan ekologis dan sosial-ekonomi masyarakat
yang berdampak positif, dan berkontribusi secara global.

PENUTUP

Lahan gambut merupakan lahan masa depan yang potensial, bila


dikelola dengan tepat. Oleh karenanya diperlukan kesamaan persepsi
antara petani dan pengambil kebijakan dalam melakukan penataan
dan pemanfaatan lahan gambut. Pada 2016 Pemerintah membentuk
Badan Restorasi Gambut (BRG) melalui Peraturan Presiden Nomor 1
Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut. Pembentukan BRG
dalam rangka percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian
fungsi hidrologis lahan gambut akibat kebakaran secara khusus,
sistematis, terarah, terpadu, dan menyeluruh (restorasi ekosistem
gambut) (Ishlah, 2016). Saat ini BRG memprioritaskan Kabupaten
Pulang Pisau-Kalimantan Tengah, Kabupaten Musi Banyuasin,
Kabupaten Ogan Komering Ilir-Sumatera Selatan, dan Kabupaten
Kepulauan Meranti-Riau. Dukungan pemerintah dan masyarakat
secara bersama-sama diharapkan membawa dampak positif, untuk
menahan perubahan iklim dan menunjang perekonomian masyarakat
setempat (Gambut Indonesia Luas dan Mudah Terbakar, 2016).

84 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


DAFTAR PUSTAKA

Alihamsyah, T., E.E. Ananto, H. Supriadi, I.G. Ismail, dan D.E. Sianturi.
(2000). Dwi Windu Penelitian Lahan rawa: Mendukung Pertanian
Masa Depan. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa
Terpadu-ISDP. Bogor: Badan Litbang Pertanian.

Balai Penelitian Tanah Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan


Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Kementerian Pertanian. (2011). Pengelolaan dan Konservasi Lahan
Gambut.

Chairuinas, Yardha, A. Yusuf. A., Firdaus, Tamrin, Mohammad. N. A.


(2008). Rakitan Teknologi Budidaya Padi di Lahan Gambut.
Retrieved from http://nad.litbang.pertanian.go.id

Gambut Indonesia Luas dan Mudah Terbakar. (2016). Majalah Geologi


Populer. Retrieved from
http://geomagz.geologi.esdm.go.id/gambut-indonesia

Ishlah, T. (2016). Bentang Lahan Gambut: Kebakaran Dan Sejarah Tata


Kelolanya Di Indonesia. Pusat Sumber Daya Mineral Batubara dan
Panas Bumi, Badan Geologi, KESDM.

Las, I, K. Nugroho, dan A. Hidayat. (2016). Strategi Pemanfaatan Lahan


Gambut Untuk Pengembangan Pertanian Berkelanjutan. J.
Pengembangan Inovasi Pertanian. 2(4): 295-298.

Limin, S.H. (2006). Pemanfaatan Gambut dan Permasalahannya.


Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Centre for
International Cooperation in Management of Tropical Peatland
(CIMTROP) Universitas Palangkaraya.

Naskah Peta Gambut Indonesia. (2011). Retrieved from


http://bbsdlp.litbang.pertanian.go.id.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 85


Noorginayuwati, A. Rafiq, Yanti R, Mohammad, A, Jumberi. (2006).
Penggalian Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Lahan Lebak untuk
Pertanian di Kalimantan. Dalam Kearifan Budaya Lokal Lahan
Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian Banjarbaru.
Kalimantan Selatan.
Osaki, M., Nobuyuki, T. (2016). Tropical Peatland Ecosystems.
Research Faculty of Agriculture Hokkaido University Sapporo-
Japan. Springer Tokyo. Heidelberg New York. Dordrecht London
Springer Japan.

Pangaribuan, N. (2015). Beberapa Sifat Kimia Tanah dan Pertumbuhan


serta Hasil Tanaman Kedelai (Glicine max L. Merr) pada Histosol
Akibat Aplikasi Mikroorganisme Indigenous dan Pembenah Tanah.
Desertasi. Fakultas Pasca Sarjana UNPAD. Bandung.

Radjagukguk, B. (2014). Panduan pengelolaan lahan gambut untuk


pertanian berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forestsand
Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia
Programme dan Wild life Habitat Canada. Bogor. Indonesia.

Sudrajat, D.J. (2016). Karakteristik Benih Gelam (Meulaleca


leucadendra): Tingkat Kemasakan, Morfologi, Perkecambahan dan
Daya Simpan Benih. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Perbenihan Tanaman Hutan. Bogor. Indonesia. Jurnal Perbenihan
Tanaman Hutan Vol. 4 No. 2, Desember: 125-138p-ISSN: 2354-
8568.

Sabiham, Suwondo, S. Sumardjo, dan Bambang P. (2010). Analisis


Lingkungan Biofisik Lahan Gambut Pada Perkebunan Kelapa Sawit.
J. Hidrolitan. Vol. 1:3. 20-28.

Tim Sintesis Kebijakan. (2008). Pemanfaatan dan Konservasi Ekosistem


Lahan Rawa Gambut di Kalimantan. J. Pengembangan Inovasi
Pertanian 1 (2).

86 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


Takahashi, H., Adi, J., Limin, S.H. (2016). Compact Fire Fighting System
for Villages and Water Resources for Fire Fighting in Peatland Area
of Central Kalimantan. Springer Tokyo. Heidelberg New York.
Dordrecht London Springer Japan.

Yuliani, N. (2013). Teknologi Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk


Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP).
Kalimantan Selatan.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 87


88 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
PENGELOL AAN EKOWISATA BAHARI
DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN
TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

Ernik Yuliana

PENDAHULUAN

UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam


Hayati dan Ekosistemnya membagi kawasan konservasi menjadi
beberapa jenis pengelolaan, salah satunya adalah taman nasional.
Taman Nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang
dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Pemanfaatan taman
nasional di antaranya adalah untuk kegiatan: 1) penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan; 2) pendidikan dan peningkatan
kesadartahuan konservasi alam; 3) penyimpanan dan/atau
penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan
angin serta wisata alam; 4) pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar; 5)
pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya; dan
6) pemanfaatan tradisional. Pemanfaatan tradisional dapat berupa
kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional,

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 89


serta perburuan tradisional terbatas untuk spesies yang tidak
dilindungi.
Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) merupakan salah satu
kawasan konservasi yang ada di Indonesia, tepatnya di Kabupaten
Jepara. TNKJ memiliki keanekaragaman genera karang yang cukup
tinggi, 72 genera karang dari 19 famili. Acropora dan Porites
merupakan genera karang yang mendominasi di keseluruhan gugusan
terumbu dengan berbagai bentuk pertumbuhan (Muttaqin et al.,
2013). Ikan karang yang teridentifikasi ada 16 famili, terdiri atas:
Acanthuridae, Balistidae, Caesionidae, Chaetodontidae, Haemulidae,
Labridae, Lethrinidae, Lutjanidae, Mullidae, Nemipteridae,
Pomacanthidae, Pomacentridae, Scaridae, Serranidae, Siganidae, dan
Tetradontidae. Pomacentridae merupakan famili ikan karang yang
mempunyai proporsi kelimpahan terbesar (60,46%) dari total
kelimpahan ikan karang. Spesies yang banyak ditemukan dari famili
Pomacentridae adalah Abudefduf vaigiensis, Chromis viridis,
Amphiprion akallopisos, Plectroglyphidodon lacrymatus, Dischostodus
prosopo-taenia, Pomacentrus philippinus, dan Pomacentrus coelestis
(BTNKJ, 2010; 2013a). Kelompok ikan Pomacentridae berukuran kecil,
memiliki warna yang sangat menarik sehingga sering dijadikan ikan
hias pada akuarium (Balai Taman Nasional Karimunjawa [BTNKJ,
2012a; Yuliana et al., 2017).
Kekayaan jenis terumbu karang dan sumber daya ikan tersebut
menarik para wisatawan (dalam dan luar negeri) untuk mengunjungi
TNKJ. Menurut data kompas.com (2016), jumlah wisatawan yang
berkunjung ke TNKJ tercatat 2.000 orang/minggu. Jumlah tersebut
sungguh menggembirakan untuk meningkatkan pendapatan
Pemerintah Daerah Kabupaten Jepara. Namun, TNKJ adalah kawasan
konservasi yang mempunyai tujuan utama melindungi
keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Oleh karena itu,
peningkatan jumlah wisawatan perlu diatur agar tidak menyimpang
dari tujuan konservasi.
Minat terhadap pariwisata alam saat ini bergeser ke konsep
ekowisata yang menghubungkan antara perjalanan wisata alam yang
memiliki visi dan misi konservasi dan kecintaan lingkungan. Hal ini
dapat terjadi karena keuntungan finansial yang didapat dari biaya

90 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


perjalanan wisata digunakan juga untuk kebutuhan konservasi alam
serta perbaikan kesejahteraan penduduk lokal. Di sisi lain, konsep
ekowisata juga diarahkan untuk mempertahankan kebudayaan lokal.
Pergeseran konsep kepariwisataan dunia ke model ekowisata antara
lain disebabkan karena kejenuhan wisatawan untuk mengunjungi
objek wisata buatan (Satria, 2009).
Dengan pergeseran minat pariwisata dan keanekaragaman hayati
yang dimiliki oleh TNKJ, maka TNKJ mempunyai peluang untuk
mengembangkan ekowisata bahari sebagai salah satu unggulan
pendapatan lokal Kabupaten Jepara. Namun, mengingat TNKJ adalah
kawasan konservasi laut, maka para wisatawan yang mengunjungi
TNKJ haruslah wisatawan yang mempunyai minat khusus terhadap
kelestarian alam dan konservasi. Minat khusus tersebut tercermin dari
pengetahuan dan pemahaman wisatawan terhadap kelestarian alam.
Dengan kata lain, wisatawan di TNKJ hendaknya adalah wisatawan
yang “cerdas” yaitu wisatawan yang mempunyai kesadaran akan
kelestarian alam pesisir dan laut; misalnya wisatawan tidak merusak
ekosistem terumbu karang ketika melakukan snorkeling atau diving
atau tidak membuang sampah sembarangan ketika menikmati
keindahan ekosistem mangrove.
Edukasi kepada wisatawan agar memiliki kesadaran terhadap
kelestarian ekosistem terumbu karang adalah tugas para pemangku
kepentingan di TNKJ. Otoritas pengelola TNKJ, dalam hal ini Balai
Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ) dapat bekerja sama dengan
Pemerintah Daerah Kabupaten Jepara untuk melakukan edukasi
tersebut, dengan melibatkan para guide pariwisata. Sebelum
melakukan kegiatan wisata bahari, dalam jangka pendek wisatawan
perlu dibekali dengan pemahaman terhadap kelestarian terumbu
karang.
Oleh karena itu, diperlukan kajian tentang pengelolaan ekowisata
bahari di TNKJ sebagai wilayah kawasan konservasi perairan. Tulisan
ini bermaksud menjelaskan beberapa hal terkait pengelolaan
ekowisata bahari di TNKJ, yang meliputi: TNKJ sebagai kawasan
konservasi, ekowisata bahari dan pengelolaannya, serta rekomendasi
untuk pengelolaan ekowisata bahari di TNKJ. Setelah membaca tulisan
ini, para pembaca diharapkan dapat bersikap “cerdas” artinya

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 91


mempunyai pemahaman tentang ekowisata bahari, sehingga tumbuh
kesadaran untuk melestarikan alam pesisir dan laut terutama di dalam
kawasan konservasi. Dengan demikian, tidak akan terjadi tindakan
merusak ekosistem pesisir dan laut ketika melakukan ekowisata
bahari.

A. PENGELOLAAN TNKJ SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI

Kinerja keberhasilan suatu kawasan konservasi laut dapat diukur


dari tiga sudut pandang yaitu ekologi, ekonomi, dan sosial. Beberapa
variabel ekologi yang dapat diukur di antaranya adalah: a)
keanekaragaman spesies, b) tutupan karang, (d) kondisi perairan.
Variabel ekonomi yang dapat diukur di antaranya adalah (a) biaya
pengelolaan, (b) jumlah kunjungan dan pengeluaran kasar secara
langsung terkait dengan kawasan konservasi, (c) perubahan dalam
upaya penangkapan ikan. Kemudian variabel sosial yang dapat diukur
di antaranya adalah (a) persepsi masyarakat, (b) frekuensi pertemuan
antara masyarakat dan pengelola kawasan konservasi laut (Pelletier et
al., 2005).
Pengelolaan kawasan konservasi TNKJ dilakukan oleh BTNKJ
dengan menerapkan sistem zonasi. Kawasan TNKJ dibagi menjadi
sembilan zona (Tabel 1 dan Gambar 1) yang memiliki fungsi dan
peruntukan berbeda, yang tertuang dalam Keputusan Dirjen
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. SK 28/IV/Set /2012
(BTNKJ 2017). Definisi dan peruntukan setiap zona disajikan pada
Tabel 2, yang menjelaskan aktivitas-aktivitas yang boleh dilakukan dan
dilarang di setiap zona. Informasi pada Tabel 2 dapat menjadi acuan
bagi pemanfaat TNKJ agar tidak terjadi pelanggaran zonasi. BTNKJ
bekerja sama dengan instansi lain dan kelompok masyarakat, dalam
bentuk pengawasan kolaboratif yang diharapkan efektif dalam
mencapai tujuan (Rees et al., 2013). Keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan kawasan konservasi merupakan hal yang penting, bukan
hanya tugas otoritas pengelola (Osmond et al., 2010). Di satu sisi, para
pemangku kepentingan di TNKJ beraktivitas untuk menjaga kawasan
konservasi, tetapi di sisi lain mereka beraktivitas untuk memenuhi
kebutuhannya. Terutama para nelayan, kesadaran terhadap zonasi

92 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


masih rendah karena lebih mementingkan hasil tangkapan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari (Yuliana et al., 2016).

Tabel 1. Pembagian zona di TNKJ

Zona Luas (ha) %


Inti 444,63 0,40
Rimba 1.451,77 1,30
Perlindungan bahari 2.599,77 2,33
Pemanfaatan darat 55,99 0,05
Pemanfaatan wisata bahari 2.733,74 2,45
Budidaya bahari 1.370,73 1,23
Religi, budaya, dan sejarah 0,86 0,001
Rehabilitasi 68,33 0,06
Tradisional perikanan 102.899,25 92,18
Jumlah 111.625,00 100,00
Sumber: BTNKJ (2014)

Sumber: Yuliana (2016)

Gambar 1. Kepulauan Karimunjawa dan Zonasinya

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 93


Zona pemanfaatan wisata bahari memiliki area 2,45% dari total
area TNKJ. Di zona inilah kegiatan ekowisata bahari dilakukan. Zona-
zona yang lain harus dimanfaatkan sebagaimana peruntukannya.
Keberadaan zona-zona di kawasan konservasi perairan mempunyai
hubungan yang sangat erat. Oleh karena itu, pemanfaatan suatu zona
akan berdampak terhadap zona lainnya. Meskipun zona pemanfaatan
bahari diperuntukkan bagi kegiatan pariwisata namun aktivitasnya
harus dikontrol dengan ketat.

Tabel 2. Definisi dan peruntukan setiap zona di TNKJ

No. Zona Definisi dan Peruntukan


1 Inti Zona yang mutlak harus dilindungi berfungsi untuk
perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan
fauna khas beserta habitatnya yang peka terhadap
gangguan dan perubahan, sumber plasma nutfah
dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk
kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya.
Kegiatan yang diperbolehkan adalah kegiatan
perlindungan dan pengamanan, inventarisasi dan
monitoring sumber daya, pendidikan, penelitian
dan/atau penunjang budidaya. Masyarakat akan
menjaga dan mematuhi zona inti dan tidak
memasuki kawasan zona inti dan memanfaatkan
sumber daya yang ada di dalam zona inti.
2 Rimba Zona bagi kegiatan pengawetan dan pemanfaatan
3 Perlin- sumber daya alam dan lingkungan alam bagi
dungan kepentingan penelitian, pendidikan konservasi,
bahari wisata terbatas, habitat satwa migran dan
menunjang budidaya serta mendukung zona inti.
Kegiatan yang dilakukan adalah perlindungan dan
pengamanan; inventarisasi dan monitoring sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya; pengembangan
penelitian, pendidikan, wisata alam terbatas,
pemanfaatan jasa lingkungan dan kegiatan

94 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


No. Zona Definisi dan Peruntukan
penunjang budidaya; pembinaan habitat dan
populasi dalam rangka peningkatan keberadaan
populasi hidupan liar; pembangunan sarana dan
prasarana sepanjang untuk kepentingan penelitian,
pendidikan, dan wisata alam terbatas
4 Peman- Zona yang dikembangkan untuk kepentingan
faatan kegiatan wisata alam baik bahari maupun wisata
darat alam lainnya, rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan,
5 Peman- penelitian dan pengembangan yang menunjang
faatan pemanfaatan, kegiatan penunjang budidaya.
wisata Kegiatan yang diperbolehkan adalah kegiatan
bahari perlindungan dan pengamanan; inventarisasi dan
monitoring sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya; penelitian dan pengembangan
pendidikan dan penunjang budidaya;
pengembangan potensi dan daya tarik wisata alam;
pembinaan habitat dan populasi; pengusahaan
pariwisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan;
pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan,
penelitian, pendidikan, wisata alam dan
pemanfaatan jasa lingkungan.
6 Budidaya Zona yang diperuntukkan mendukung kepentingan
bahari budidaya perikanan seperti budidaya rumput laut,
karamba jaring apung dan sebagainya oleh
masyarakat setempat dengan tetap memperhatikan
aspek konservasi. Kegiatan yang diperbolehkan
adalah budidaya rumput laut, karamba jaring apung
dan sebagainya.
7 Religi, Zona yang diperuntukan melindungi nilai-nilai hasil
budaya, karya budaya, sejarah, arkeologi, maupun
dan keagamaan, sebagai wahana penelitian, pendidikan
sejarah dan wisata alam sejarah, arkeologi, dan religius.
Kegiatan yang diperbolehkan adalah perlindungan
dan pengamanan; pemanfaatan wisata alam,
penelitian, pendidikan dan religi, upacara adat atau

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 95


No. Zona Definisi dan Peruntukan
upacara keagamaan; pemeliharaan situs budaya
dan sejarah serta keberlangsungan upacara ritual
keagamaan/adat yang ada.
8 Rehabili- Zona yang diperuntukkan bagi kepentingan
tasi pemulihan kondisi ekosistem terumbu karang yang
telah mengalami kerusakan ≥ 75%. Kegiatan yang
diperbolehkan adalah kegiatan rehabilitasi guna
pemulihan ekosistem di zona ini dan kegiatan
monitoring hasil pelaksanaan rehabilitasi; kegiatan
pendidikan, penelitian, pengembangan pendidikan
dan penunjang budidaya; pembinaan habitat dan
populasi
9 Tradisio- Zona yang diperuntukkan bagi kepentingan
nal pemanfaatan perikanan yang sudah berlangsung
perikanan turun-temurun oleh masyarakat setempat secara
lestari dengan menggunakan sarana prasarana
penangkapan yang ramah lingkungan.
Kegiatan yang diperbolehkan adalah perlindungan
dan pengamanan; inventarisasi dan monitoring
potensi jenis yang dimanfaatkan masyarakat;
pembinaan habitat dan populasi; penelitian dan
pengembangan; aktivitas pemanfaatan perikanan
menggunakan sarana prasarana penangkapan yang
ramah lingkungan.
Sumber: BTNKJ (2017)

Zona-zona yang ada di TNKJ ditentukan berdasarkan kondisi


perairan dan indikator ekologis lainnya, menuju pemanfaatan sumber
daya perairan yang berkelanjutan. Menurut Yulianda et al., (2010),
keuntungan yang dapat diambil oleh otoritas pengelola kawasan
konservasi dengan menerapkan sistem zonasi adalah: a)
memungkinkan mengontrol secara selektif berbagai aktivitas di
tempat-tempat yang berbeda, termasuk perlindungan yang ketat dan
berbagai level pemanfaatan; b) menentukan zona inti konservasi yang
mempunyai keanekaragaman sangat tinggi, habitat kritis spesies yang

96 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


terancam, dan area penelitian khusus; c) memisahkan kegiatan
pariwisata yang tidak sesuai untuk menambah kenyamanan dan
keamanan dari berbagai tujuan yang berbeda; d) memungkinkan area
yang rusak untuk dipisahkan kemudian dipulihkan. Peruntukan zona-
zona tersebut seharusnya dipatuhi oleh para pemanfaat perairan
TNKJ. Namun, rata-rata tingkat kepatuhan masyarakat lokal terhadap
zonasi belum sesuai harapan, misalnya kepatuhan terhadap zona inti
dan perlindungan pada tahun 2015 adalah 78,56% (Yuliana et al.,
2016), menurun dibandingkan dengan tingkat kepatuhan tahun 2009-
2010 yaitu 84,87% (BTNKJ, 2013b). Penurunan tersebut dapat
disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah rendahnya
kesadaran masyarakat akan konservasi sumber daya pesisir dan laut,
pengawasan yang belum optimal dari BTNKJ dan masyarakat, serta
tanda batas zona yang tidak jelas (Yuliana et al., 2016). Dampak
penurunan tingkat kepatuhan masyarakat lokal juga dapat
menyebabkan degradasi lingkungan dan sumber daya perairan.
Diharapkan ke depannya, tingkat kepatuhan masyarakat lokal
terhadap zonasi dapat mencapai 100%. Untuk mencapai hal tersebut,
BTNKJ telah berupaya untuk memberikan penyuluhan kepada
masyarakat lokal tentang zonasi dan peruntukannya melalui beberapa
media, di antaranya adalah media cetak, spanduk, lagu yang dibagikan
dalam bentuk compact disk (CD), dan pertemuan langsung dengan
masyarakat melalui anjangsana.

B. EKOWISATA BAHARI

1. Pengertian Ekowisata Bahari


Seiring dengan kemajuan bidang pariwisata di tanah air, ekowisata
menjadi salah satu pilihan masyarakat. Ekowisata adalah suatu bentuk
wisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian/konservasi alam,
memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan
budaya bagi masyarakat setempat. Atas dasar pengertian ini, bentuk
ekowisata pada dasarnya merupakan bentuk gerakan konservasi yang
dilakukan oleh masyarakat (Fandeli & Mukhlison, 2000).
Ekowisata menitikberatkan pada tiga hal utama yaitu:
keberlangsungan alam atau ekologi, memberikan manfaat ekonomi,

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 97


dan secara psikologis dapat diterima dalam kehidupan sosial
masyarakat. Jadi, kegiatan ekowisata secara langsung memberi akses
kepada semua orang untuk melihat, mengetahui, dan menikmati
pengalaman alam, intelektual dan budaya masyarakat lokal (Satria,
2009). Berdasarkan definisi tersebut, maka ekowisata bahari dapat
diartikan sebagai suatu bentuk wisata dengan memanfaatkan kawasan
perairan laut dan sekitarnya dengan bertanggung jawab terhadap
kelestarian lingkungan laut dan budaya lokal, serta memberi manfaat
ekonomi terhadap masyarakat pesisir. Gambar 2 dan 3 menyajikan
kondisi keindahan pantai dan perairan Karimunjawa.

Gambar 2. Salah satu pantai di Karimunjawa

98 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City


Gambar 3. Perairan Karimunjawa

Berbeda dengan pariwisata alam biasa, ekowisata bahari


menuntut para wisatawan untuk bersikap “cerdas” terhadap alam,
yaitu memiliki kesadaran/pemahaman terhadap kelestarian alam
pesisir dan laut. Ekowisata bahari disediakan untuk wisatawan yang
mempunyai pemahaman baik tentang konservasi. Paling tidak,
wisatawan harus mempunyai kemampuan berenang agar aktivitasnya
di zona pariwisata bahari tidak menginjak karang sebagai tempat
istirahat. Para pemandu wisata harus mengarahkan wisatawan untuk
bertindak arif terhadap alam perairan, dengan cara membekali
mereka dengan pengetahuan konservasi sebelum wisatawan
melakukan aktivitas snorkeling atau diving.

2. Kondisi Ekologi TNKJ sebagai Modal Ekowisata Bahari


Pemanfaatan kawasan perairan harus disesuaikan dengan potensi
yang dimiliki sehingga pengelolaannya lebih optimal dan terukur.
Begitu juga dengan pemanfaatan suatau kawasan perairan harus
disesuaikan dengan kondisi atau potensi yang dimilikinya (Bato et al.,
2013). Pemanfaatan TNKJ sebagai wilayah ekowisata bahari
disesuaikan dengan kondisi alam TNKJ yang kaya akan
keanekaragaman hayati perairan.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 99


Salah satu kekayaan TNKJ adalah terumbu karang yang
mempunyai keanekaragaman tinggi. Terumbu karang tersebut
merupakan habitat bagi ikan-ikan karang. Keindahan terumbu karang
dan keanekaragaman ikan karang merupakan daya tarik tersendiri
bagi wisatawan. Pertumbuhan karang dipengaruhi oleh faktor fisika
dan kimia perairan, di antaranya adalah kedalaman, suhu, dan
salinitas (Aldyza et al., 2015; Yuliana, 2016). Kondisi fisika dan kimia
perairan TNKJ disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kondisi fisika kimia perairan TNKJ

Kadar Kadar
Salinitas Kecerahan Kekeruhan
Lokasi pH N total PO 4
(‰) (m) (mg/L)
(g/L) (g/L)
Nirwana 30,0 7,0 15 1,77 18,900 0,070
Pulau 29,0 7,0 12 3,06 14,567 0,055
Batu
Geleang 29,0 7,0 15 1,28 18,515 0,041
Taka 31,0 7,0 10 0,50 18,161 0,033
Malang
Tanjung 30,0 7,0 13 1,10 18,087 0,045
Bomang
Rata-rata 29,8 7,0 13 1,54 17,650 0,049
Sumber: Yuliana (2016); Yuliana et al. (2017)

Analisis kondisi fisika kimia perairan didasarkan pada Keputusan


Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang Baku
Mutu Air Laut untuk Biota Laut. Salinitas air laut di TNKJ adalah
29,80‰, berada di bawah baku mutu 33-34‰. Kecerahan sesuai
dengan baku mutu (> 5 m), yaitu 13 m; pH juga pada kondisi netral,
sesuai baku mutu (Yuliana, 2016). Kekeruhan perairan adalah 1,54
mg/L sesuai dengan baku mutu (< 5 mg/L). Secara umum, kondisi
perairan di TNKJ sangat menunjang kegiatan ekowisata bahari. Kondisi
perairan yang jernih dan sesuai dengan baku mutu perairan untuk
biota laut sangat penting bagi sumber daya perairan, sehingga dapat

100 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
menciptakan keindahan terumbu karang yang menjadi daya tarik para
wisatawan.
Hasil analisis persentase tutupan karang keras, karang lunak,
komponen abiotik, dan lainnya disajikan pada Tabel 4. Rata-rata
tutupan karang keras di TNKJ pada tahun 2015 adalah 44,7% (Yuliana,
2016; Yuliana et al., 2017). Persentase tersebut termasuk dalam
kondisi sedang (Aldyza et al., 2015). Persentase tutupan karang
menunjukkan sebaran terumbu karang yang hidup di suatu area.
Tutupan karang dalam kondisi sedang artinya hamparan karang yang
menempati area TNKJ belum mencapai kondisi baik. Padahal, terumbu
karang adalah habitat bagi kehidupan ikan karang. Semakin baik
kondisi tutupan karang di suatu area, maka kelimpahan ikan karang
semakin tinggi. Untuk ukuran kawasan konservasi perairan,
diharapkan pada waktu mendatang persentase tutupan karang di
TNKJ meningkat ke kondisi baik (>50%), agar dapat meningkatkan
kelimpahan sumber daya ikan karang.

Tabel 4. Persentase Tutupan Karang Keras, Karang Lunak, Komponen


Abiotik, dan Lainnya

Stasiun K arang K arang Abiotik Lainnya Total


Zona
P engamatan K eras (%) Lunak (%) (%) (%) (%)
Nirwana Tradisional 35,45 1,20 62,70 0,65 100
perikanan
Pulau Batu Tradisional 58,35 0,40 41,25 0 100
perikanan
Geleang Perlindungan 38,60 2,15 59,25 0 100
Taka Inti 65,65 0,50 33,85 0 100
Malang
Tanjung Inti 40,45 3,35 55,30 0,90 100
Bomang
Rata-rata 44,70 1,52 50,47 0,31 -
Sumber: Yuliana (2016)

Sumber daya ikan karang di TNKJ didominasi oleh jenis-jenis ikan


hias dari famili Pomacentridae yang dilarang untuk ditangkap. Jenis-

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 101
jenis ikan hias inilah yang menjadi daya tarik wisatawan disamping
keanekaragaman terumbu karang. Para wisatawan di TNKJ biasanya
melakukan snorkeling dan diving untuk menikmati keindahan terumbu
karang dan jenis-jenis ikan karang. Kelimpahan lima ikan karang tahun
2010 dan 2013 disajikan pada Gambar 4.

Sumber data: BTNKJ (2010); BTNKJ (2013a)

Gambar 4. Kelimpahan Lima Famili Utama Ikan Karang


pada 2010 dan 2013

Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa famili Pomacentridae dan


Caesionidae mengalami peningkatan kelimpahan dari tahun 2010 ke
2013. Di TNKJ spesies yang banyak ditemukan dari famili
Pomacentridae adalah Abudefduf vaigiensis, Chromis viridis,
Amphiprion akallopisos, Plectroglyphidodon lacrymatus, Dischostodus
prosopo-taenia, Pomacentrus philippinus, dan Pomacentrus coelestis
(BTNKJ 2012a). Kelompok ikan Pomacentridae berukuran kecil,
memiliki warna yang sangat menarik sehingga sering dijadikan ikan
hias pada akuarium (Yuliana, 2016). Famili Caesionidae di TNKJ
didominasi oleh jenis ikan konsumsi. Jenis ikan yang termasuk famili
Caesionidae yang tercatat di TNKJ adalah Caesio cuning, C. teres, C.
xanthonota, C. caerulaurea, Pterocaesio digramma, P. lativittata, P.
tessellata, P. tile (Wildlife Conservation Society [WCS], 2014; Yuliana
2016). Beberapa jenis ikan dari famili Caesionidae merupakan ikan

102 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
konsumsi yang menjadi hasil tangkapan utama nelayan di TNKJ, yaitu
ikan ekor kuning (Caesio cuning, Caesio teres) dan ikan pisang-pisang
(Caesio caerulaurea). Peningkatan kelimpahan dari tahun 2010 ke
2013 untuk famili Pomacentridae berkaitan dengan larangan
penangkapan ikan hias di TNKJ. Hampir semua anggota famili
Pomacentridae adalah jenis ikan karang. Untuk famili Caesionidae,
peningkatan kelimpahan terkait dengan semakin berkurangnya
penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing).
Famili Haemulidae, Scaridae, dan Chaetodontidae mengalami
penurunan kelimpahan dari tahun 2010 ke 2013. Jenis-jenis ikan dari
famili Haemulidae yang ditemukan di TNKJ adalah Plectorhinchus
chaetodonoides, P. lessonii, P. flavomaculatus (WCS, 2014; Yuliana,
2016). Famili Haemulidae ini didominasi oleh jenis ikan hias. Dari
famili Scaridae ada jenis ikan Cetoscarus bicolor, Chlorurus bleekeri,
Ch. bowersi, Ch. microrhinos, Ch. sordidus, Scarus chameleon, S.
dimidiatus, S. flavipectoralis, S. ghobban, S. globiceps, S. niger, S.
oviceps, S. prasiognathos, S. rivulatus, S. schlegeli, S. spinus, Scarus sp.,
Hipposcarus harid, H. longiceps, Bolbometopon muricatum (WCS,
2014; Yuliana, 2016). Beberapa jenis ikan dari famili Scaridae
merupakan ikan konsumsi yang banyak ditangkap oleh nelayan,
dengan nama lokal ikan kakatua atau ikan ijo (Chorurus Microrhinos)
yang banyak dikonsumsi oleh wisatawan dalam bentuk ikan bakar. Hal
tersebut membuat kelimpahan ikan dari famili Scaridae mengalami
penurunan. Dari famili Chaetodontidae ada jenis ikan Chelmon
rostratus (WCS, 2014; Yuliana, 2016), yang merupakan ikan hias.
Kebijakan pelarangan penangkapan ikan hias sangat menunjang
kegiatan ekowisata bahari di TNKJ. Kebijakan tersebut diterapkan
dengan penerapan denda yang cukup tinggi bagi nelayan yang
menangkap ikan hias. Sebagian besar nelayan mematuhi kebijakan
tersebut, karena mereka peduli terhadap keragaman jenis ikan hias di
TNKJ sebagai salah satu aset kekayaan perairan Karimunjawa untuk
menarik wisatawan datang ke Karimunjawa.
Selain keindahan terumbu karang dan jenis-jenis ikan karang,
wisatawan juga dapat menikmati keindahan ekosistem mangrove yang
tumbuh secara alami. Kawasan hutan TNKJ mencakup kawasan hutan
hujan tropis dataran rendah di Pulau Karimunjawa seluas 1.285,50 ha

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 103
(Nababan et al., 2010) dan kawasan hutan mangrove seluas 396,4 ha
yang masuk dalam pengelolaan TNKJ di zona rimba/perlindungan.
Tercatat 25 jenis mangrove sejati tumbuh di TNKJ (BTNKJ, 2012b).
Ekosistem mangrove di Pulau Kemujan dan Karimunjawa sangat unik,
karena ketiadaan sumber pasokan air tawar yang besar. Pulau ini tidak
memiliki sungai besar atau yang agak besar, sehingga ekosistem
mangrove yang ada bergantung kepada aliran parit-parit atau saluran,
yang umumnya pendek dan terutama mengalirkan air di musim hujan.
Wilayah ini diketahui tidak memiliki cekungan air tanah (non-CAT),
sehingga sumber daya air tawar di pulau ini sepenuhnya bergantung
kepada aliran air permukaan (Winata et al., 2017).
Hasil pengamatan pada dua jalur dan 16 plot di tracking mangrove
di Pulau Kemujan, ditemukan 730 individu dengan 13 spesies pada
tingkat pohon, yaitu Aegiceras corniculatum, Avicennia marina,
Bruguiera cylindrica, B. gymnorrhiza, Ceripos tagal, Exoecaria
agallocha, Lumnitzera littorea, L. racemosa, Rhizophora stylosa, R.
apiculata, R. mucronata, Scyphiphora hydrophyllacea, Soneratia alba.
Pada tingkat pancang, ditemukan enam spesies yaitu: Avicennia
marina, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal, Excoecaria agallocha,
Rhizophora apiculata, R. mucronata. Pada tingkat semai ditemukan
empat spesies, yaitu Ceriops tagal, Excoecaria agallocha, Rhizophora
apiculata, R. mucronata. Pada tingkat semai, pancang, dan pohon,
jumlah spesies terbanyak adalah Ceriops tagal (Winata et al., 2017).
Keanekaragaman jenis mangrove tersebut dan permudaan alaminya
menjadi modal keberlangsungan ekowisata bahari di TNKJ. Keindahan
ekosistem mangrove di Pulau Kemujan disajikan pada Gambar 5.
Regenerasi (permudaan alami) vegetasi mangrove dilihat dari
perbandingannya pada tingkat semai, pancang, dan pohon. Semai
adalah permudaan mulai dari kecambah sampai anakan pohon hingga
tinggi mendekati 1,5 m; pancang adalah anakan pohon dengan tinggi
1,5 m sampai dengan pohon muda yang mempunyai diameter setinggi
dada (DBH) kurang dari 10 cm; pohon adalah mangrove yang
mempunyai DBH 10 cm atau lebih. Kerapatan permudaan alami di
tracking mangrove Pulau Kemujan, berturut-turut adalah 69.843,75
individu dan 3.975 individu per hektar untuk tingkat semai dan
pancang. Kerapatan tersebut adalah mencukupi, bahkan berlebihan,

104 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
untuk menjamin regenerasi hutan mangrove. Akan tetapi jika ditinjau
dari keanekaragaman jenisnya, masih kurang memadai untuk
menjamin keberlanjutan regenerasi jenis-jenis mangrove. Pada tingkat
pohon ditemukan 10 spesies dengan 124 individu. Pada tingkat
pancang ditemukan enam spesies dengan 159 individu, sedangkan
pada tingkat semai ditemukan empat spesies dengan 447 individu.
Sebanyak enam spesies pada tingkat pohon tidak memiliki permudaan
alami (semai dan pancang), sementara dua spesies yang lain lagi yang
tercatat pada tingkat pancang juga tidak memiliki permudaan alami
dalam bentuk semai (Winata et al., 2017).

Gambar 5. Ekosistem mangrove di Pulau Kemujan

Kondisi keanekaragaman dan kelestarian jenis mangrove tersebut


merupakan modal ekologis tersendiri bagi ekowisata bahari di TNKJ.
Ekosistem mangrove mempunyai konektivitas dengan ekosistem
lainnya di perairan termasuk terumbu karang. Kelestarian ekosistem
mangrove akan berdampak terhadap ekosistem terumbu karang,
begitu pula sebaliknya. Pengelolaan pariwisata di tracking mangrove

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 105
Pulau Kemujan sudah cukup bagus, sangat minim sampah yang
dibuang oleh wisatawan ke dalam wilayah mangrove.

3. Pengelolaan Ekowisata Bahari di TNKJ


Sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Jawa Tengah, kawasan
TNKJ telah menerima kunjungan wisatawan domestik dan wisatawan
mancanegara. Pada tahun 2016, jumlah pengunjung ke kawasan TNKJ
berjumlah 7.202 orang. Berdasarkan asal pengunjung secara umum
terdapat 7.074 pengunjung domestik dan 128 pengunjung
mancanegara. Berdasarkan tujuan kunjungan, terdapat 971 kunjungan
untuk pendidikan dan penelitian, 6.220 untuk rekreasi, dan 11 untuk
tujuan lain-lain (BTNKJ, 2017).
Masyarakat yang tinggal dan menetap di pulau-pulau di dalam
TNKJ sebagian besar mencari nafkah sebagai nelayan dan pemandu
wisata; selebihnya adalah petani, buruh, pedagang, dan PNS serta
pensiunan. Para nelayan yang libur laut karena cuaca tidak
memungkinkan (misalnya ombak besar), beralih profesi menjadi
pemandu wisata atau menyewakan perahu mereka kepada para
wisatawan. Masyarakat ini terdiri atas berbagai suku bangsa, di
antaranya Jawa, Madura, Makassar, Bugis, Mandar, Bajau, dan Buton.
Mayarakat lokal TNKJ ini menetap jauh sebelum Karimunjawa
ditetapkan sebagai taman nasional. Menurut BTNKJ (2017) penduduk
Kepulauan Karimunjawa jumlahnya mencapai 8.842 jiwa, tersebar di
lima pulau yaitu Pulau Karimunjawa, Kemujan, Genting, Parang dan
Nyamuk. Kehidupan masyarakat ini sangat tergantung dari sumber
daya alam kepulauan tersebut.
Peningkatan jumlah wisatawan memerlukan sinergi antara
lembaga-lembaga yang terkait dengan pengelolaan kawasan
konservasi dan aktivitas perikanan, serta masyarakat lokal sebagai
penghuni tetap pulau-pulau di kawasan TNKJ. Pelaksanaan kebijakan
pengembangan program pariwisata masal dengan pendekatan
ekowisata di TNKJ, diproses dengan tahap dan prosedur yang telah
ditentukan. Kecamatan Karimunjawa, Dinas Pariwisata, dan BTNKJ
bersama masyarakat berperan penting dalam upaya-upaya
pemeliharaan ekosistem. Pelaksanaan kebijakan tersebut
dikoordinasikan secara bersama, dan dijalankan sesuai dengan

106 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
keputusan dan kesepakatan dari berbagai pihak yang terlibat (PPP
Karimunjawa, 2014).
Pada kenyataannya proses pelaksanaan kebijakan tak selalu
berjalan sesuai harapan. Permasalahan yang utama adalah kurangnya
koordinasi antar lembaga pemerintah sebagai pelaksana kebijakan.
Salah satu contohnya adalah peningkatan kunjungan wisatawan ke
TNKJ tidak dibarengi dengan pendidikan publik yang komprehensif
tentang kelestarian ekosistem dan sumber daya ikan. Berdasarkan
hasil wawancara dengan beberapa guide wisata, beberapa wisatawan
yang tidak pandai berenang terpaksa menginjak karang ketika
melakukan snorkeling. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan
sinergi peraturan antar-lembaga yang terkait dengan pengelolaan
pariwata, perikanan, dan kawasan konservasi (Yuliana, 2016).
Sebenarnya, peraturan dari BTNKJ relatif lengkap untuk
menghadapi meningkatnya wisatawan yang datang ke Karimunjawa,
misalnya dengan meningkatkan biaya masuk ke BTNKJ. Tujuannya
adalah untuk membatasi wisatawan dan menyediakan dana cadangan
untuk pengelolaan kawasan konservasi TNKJ. Namun, pelaksanaan
peraturan kenaikan biaya masuk tersebut mengalami kendala,
terutama dari pemilik hotel dan home stay. Mereka khawatir akan
terjadi penurunan jumlah wisatawan jika biaya masuk dinaikkan, dan
akhirnya akan mengurangi pendapatan. Oleh karena itu, dibutuhkan
sosialisasi yang intensif untuk menerapkan peraturan kenaikan biaya
masuk dan alasannya (Yuliana, 2016).
Kegagalan upaya untuk meningkatkan biaya masuk menunjukkan
bahwa kegiatan pariwisata belum terkelola dengan baik. Hal tersebut
terjadi karena tidak ada dukungan dari lembaga pemerintah lainnya
(di luar BTNKJ), terutama Dinas Pariwisata Kabupaten Jepara.
Akhirnya, saat ini jumlah wisatawan yang datang semakin tidak
terkendali, dan merupakan ancaman bagi kesehatan ekosistem
terumbu karang.
Berdasarkan data dari WCS (2014), telah terjadi penurunan
tutupan karang pada periode 2016-2013 (Gambar 6) di zona
pariwisata dan tradisional perikanan. Penurunan tersebut diduga
akibat meningkatnya aktivitas pariwisata dan penangkapan ikan.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 107
Penangkapan ikan juga terjadi di zona pariwisata, yang ikut
berkontribusi terhadap penurunan tutupan karang (Yuliana, 2016).

Sumber data: WCS (2014)

Gambar 6. Tutupan karang (%) periode 2006 -2013

Berdasarkan tren tutupan karang pada Gambar 6, dapat


disarankan bahwa perlu adanya pengendalian kegiatan pariwisata
bahari di TNKJ agar tutupan karang tidak mengalami degradasi.
Pengendalian tersebut dapat berupa edukasi wisatawan, agar tidak
ada kunjungan wisatawan yang tidak mempunyai kesadaran terhadap
kelestarian lingkungan pesisir dan laut.

C. REKOMENDASI KEBIJAKAN UNTUK PENGELOLA KAWASAN


KONSERVASI

1. Pengelolaan Pesisir Terpadu


Wilayah pesisir merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan oleh
berbagai sektor, misalnya perikanan, pariwisata, industri, dan sektor

108 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
lainnya. Oleh karena itu, pesisir harus dikelola secara terpadu agar
tidak terjadi benturan kepentingan antara sektor yang satu dengan
sektor lainnya. Pengelolaan pesisir secara terpadu memiliki pengertian
bahwa pengelolaan sumber daya alam dan jasa lingkungan dilakukan
melalui pengelolaan secara menyeluruh (Yulianda et al., 2010).
Pariwasata merupakan salah satu sektor di wilayah pesisir yang harus
dikelola secara terpadu dengan sektor lainnya. Menurut Thia-Eng
(2006), prinsip-prinsip pengelolaan pesisir terpadu meliputi: 1)
pengelolaan berbasis ekosistem; 2) integrasi dan koordinasi; 3)
pengelolaan adaptif.
Prinsip pertama, pengelolaan berbasis ekosistem dilakukan
dengan memandang suatu area sebagai suatu kesatuan, yang terdiri
atas aspek ekologi, sosial, dan ekonomi. Ketiga aspek tersebut
dipandang sebagai kesatuan sistem sosial ekologis. Sistem sosial
ekologis didefinisikan sebagai sistem ekologis yang dipengaruhi oleh
satu atau lebih sistem sosial. Dalam hal ini, sistem ekologisnya adalah
TNKJ, yang dipengaruhi dan mempengaruhi sistem sosial di dalamnya.
Implementasinya, upaya konservasi ekosistem harus dapat
mengeliminasi kemiskinan masyarakat. Hal itu merupakan konektivitas
sosial-ekologi yang utama (Adrianto, 2013). Kegiatan ekowisata bahari
di TNKJ tidak dapat dipisahkan dari kegiatan perikanan, industri,
transportasi, dan yang lainnya. Semuanya harus dipandang sebagai
satu ekosistem.
Prinsip kedua, integrasi dan koordinasi merupakan hal penting
untuk mencapai pengelolaan pesisir terpadu. Integrasi dan koordinasi
dilakukan pada beberapa sektor secara vertikal, di antaranya adalah
pemerintah, swasta, LSM, nelayan, dan pihak lain dalam mengelola
perikanan. Integrasi juga terjadi antara lingkungan perairan (habitat),
tata kelola (kelembagaan), dan sosial. Integrasi dan koordinasi harus
menjamin adanya keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan
wilayah pesisir dan laut yang mencakup empat aspek, yaitu:
keterpaduan wilayah ekologis; keterpaduan sektor; keterpaduan
disiplin ilmu; dan keterpaduan pemangku kepentingan (Yulianda et al.,
2010).
Prinsip ketiga, pengelolaan ekowisata bahari dilakukan dengan
penyesuaian-penyesuaian berdasarkan fakta yang terjadi. Konsep

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 109
pengelolaan yang sudah digariskan dapat berubah jika ada fakta
kejadian yang menuntut perubahan pengelolaan. Jadi, pengelolaan
tidak bersifat kaku. Misalnya: (1) penerapan bea masuk untuk
wisatawan yang mengunjungi TNKJ, yang sebelumnya tidak dikenakan
bea masuk, (2) edukasi wisatawan yang mulai diperlukan, dan lain-
lain.
Penerapan pengelolaan pesisir terpadu harus dilakukan secara
resmi oleh Pemerintah Pusat dan Daerah dengan melalui serangkaian
tahap yang berbentuk siklus kebijakan, yang dimulai dengan: a)
identifikasi isu; b) persiapan program; c) adopsi program atau
persetujuan dan pendanaan; d) implementasi atau pelaksanaan; 5)
pemantauan (monitoring) dan evaluasi. Setiap tahap dalam siklus
kebijakan tersebut saling terkait dan mendukung, namun mekanisme
proses dari satu lokasi dengan lokasi lainnya tergantung pada
kebutuhan dan kondisi setempat (Yulianda et al., 2010). Penerapan
pengelolaan pesisir terpadu belum diterapkan secara menyeluruh di
Indonesia. Hanya beberapa pemerintah daerah yang sudah
menerapkannya, sebagian besarnya belum. Hal ini menjadi “pekerjaan
rumah” bagi otoritas pengelola pesisir dan para pemangku
kepentingan, termasuk Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah dan
Kabupaten Jepara. TNKJ berada di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 711 yang sedang menunggu
implementasi Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) termasuk rencana
pengelolaan pesisir terpadu.

2. Edukasi Masyarakat
Bennett dan Dearden (2014) menyatakan bahwa keberhasilan
daerah konservasi dipengaruhi oleh keterlibatan masyarakat lokal dan
tata kelolanya. Oleh karena itu pemahaman masyarakat tentang
konservasi dan pemanfaatannya sangat diperlukan. Pihak yang sangat
berhubungan dengan kegiatan ekowisata bahari di TNKJ adalah para
pemandu wisata. Mereka yang berhubungan langsung dengan para
wisatawan dan mengarahkannya dalam kegiatan pariwisata. Pemandu
wisata harus dibekali dengan pengetahuan dan pemahaman tentang
pemanfaatan kawasan konservasi perairan dan konservasi sumber
daya perairan. Dengan demikian, pemandu wisata dapat

110 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
mendampingi wisatawan dalam melakukan kegiatan pariwisata
dengan benar.
Selain pemandu wisata, wisatawan yang berkunjung ke TNKJ juga
harus dibekali dengan pemahaman tentang perbedaan ekowisata
bahari dengan pariwisata pada umumnya. Kegiatan ekowisata bahari
mengharuskan wisatawan mempunyai minat khusus terhadap
pelestarian alam. Jika kesadaran tersebut sudah dimiliki oleh
wisatawan, maka kegiatan ekowisata bahari tidak dikhawatirkan dapat
merusak lingkungan kawasan konservasi perairan. Pengawasan oleh
otoritas pengelola juga tidak terlalu berat karena kesadaran tersebut
dapat menjamin para wisatawan tidak melanggar aturan yang sudah
ditetapkan. Bagaimanapun juga, kawasan konservasi di darat berbeda
dengan di perairan laut (Yun Lu et al., 2014). Pengawasan kawasan
konservasi di perairan laut lebih sulit dilakukan karena sifat perairan
laut yang dinamis. Pengawasan kolaboratif (Rees et al., 2013) antara
BTNKJ dan masyarakat dapat dilakukan jika kesadaran masyarakat
tentang konservasi sudah baik.

D. PENUTUP

TNKJ sebagai salah satu kawasan konservasi mempunyai


keanekaragaman hayati yang tinggi terutama terumbu karang dan
ikan karang. Keanekaragaman tersebut harus dilindungi untuk
menjaga keberlanjutan ekosistem. Keindahan terumbu karang dan
ikan karang merupakan modal utama untuk menarik wisatawan
berkunjung ke TNKJ.
Saat ini TNKJ merupakan salah satu destinasi wisata di Kabupaten
Jepara. Pengelola TNKJ utamanya dilakukan oleh BTNKJ dengan
melibatkan para pemangku kepentingan (pemerintah daerah, guide
wisata, agen wisata, lembaga swadaya masyarakat, masyarakat
Karimunjawa). Pengelolaan pariwisata di TNKJ belum dilakukan secara
maksimal terutama dalam koordinasi dengan instansi terkait. Perlu
upaya peningkatan koordinasi antarinstansi terkait.
Untuk mencapai kelestarian ekosistem, TNKJ perlu dikelola
dengan konsep pengelolaan pesisir terpadu dengan mamandang TNKJ
sebagai satu-kesatuan ekosistem. Pariwisata dianggap salah satu

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 111
bagian dari ekosistem yang di dalamnya ada kegiatan-kegiatan lain.
Semua kegiatan tersebut harus sinergi menuju kepada satu tujuan
yaitu keberlanjutan ekosistem dan pengentasan kemiskinan
masyarakat pesisir. Edukasi masyarakat (pemandu wisata dan
wisatawan) juga diperlukan untuk membangun kesadaran mereka
tentang konservasi. Dengan edukasi tersebut, diharapakan kegiatan
pariwisata di TNKJ tidak dikhawatirkan merusak lingkungan perairan di
TNKJ. Lebih jauh, kawasan konservasi TNKJ menjadi kawasan yang
dikelola dengan baik dan terjaga kelestariannya serta dapat dinikmati
keberadaannya dan keindahannya oleh masyarakat lokal maupun
wisatawan.

112 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
DAFTAR PUSTAKA

Adrianto, L. (2013). Konsep dan aplikasi teori tata kelola sumber daya
(resource governance) dalam pengelolaan ekosistem terumbu
karang. In V. Nikijuluw, L. Adrianto, N. Januarini (Ed), Coral
Governance (pp. 21-60). Bogor: IPB Press.

Aldyza, N., Sarong, M.A., Rizal, S. (2015). Monitoring of hard coral


covers and zonation of marine conservation area of Tuan Island,
Aceh Besar District, Indonesia. AACL Bioflux, 8 (5), 640-647.

Asdhiana, I.M. (2016). Setiap minggu Karimunjawa dikunjungi 2.000


wisatawan.
http://travel.kompas.com/read/2016/01/12/120500027/Setiap.M
inggu.Karimunjawa.Dikunjungi.2.000.Wisatawan (Diakses pada 29
September 2017).

Bato, M., Yulianda, F., Fahrudin, A. (2013). Kajian manfaat kawasan


konservasi perairan bagi pengembangan ekowisata bahari: Studi
kasus di kawasan konservasi perairan Nusa Penida, Bali. Depik, 2
(2), 104-113.

Bennett, N.J., & Dearden, P. (2014). Why local people do not support
conservation: Community perceptions of marine protected area
livelihood impacts, governance and management in Thailand.
Marine Policy, 44, 107-116.

BTNKJ. (2010). Laporan monitoring terumbu karang. Semarang:


BTNKJ.

BTNKJ. (2012a). Panduan identifikasi jenis ikan karang di Karimunjawa.


Semarang: BTNKJ.

BTNKJ. (2012b). Jenis-jenis mangrove TN Karimunjawa. Semarang:


BTNKJ.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 113
BTNKJ. (2013a). Laporan monitoring terumbu karang. Semarang:
BTNKJ.

BTNKJ. (2013b). Laporan pelaksanaan kegiatan monitoring kepatuhan


nelayan terhadap zonasi SPTN Wilayah II Karimunjawa. Semarang:
BTNKJ.

BTNKJ. (2017). Statistik Karimunjawa 2016. Semarang: BTNKJ.

Fandeli, C., & Mukhlison. (2000). Pengusahaan ekowisata. Yogyakarta:


Fakultas Kehutanan UGM.

Muttaqin, E., Pardede, S., Tarigan, S.A.R., Sadewa, S. (2013). Laporan


teknis monitoring ekosistem terumbu karang Taman Nasional
Karimunjawa 2013 (Monitoring Fase 6). Bogor: Wildlife
Conservation Society - Indonesia Program.

Nababan, M. G., Munasik, Yulianto, I., Kartawijaya, T., Prasetia, R.,


Ardiwijaya, R. L., Pardede, S. T., Sulisyati, R., Mulyadi, Syaifudin, Y.
(2010). Status ekosistem di Taman Nasional Karimunjawa 2010.
Bogor: WCS - Indonesia Program.

Osmond, M., Airame, S., Caldwell, M., Day, J. (2010). Lessons for
marine conservation planning: A comparison of three marine
protected area planning processes. Ocean & Coastal
Management, 53, 41–51.

Pelletier, D., Garcia-Charton, J.A., Ferraris, J., David, G., Thebaud, O.,
Letourneur, Y., Claudet, J., Amand, M., Kulbicki, M., Galzin, R.
(2005). Designing indicators of assessing the effects of marine
potected areas on coral reef ecosystems: A multidisciplinary
standpoint. Aquatic Living Resources, 18, 15-33.

Pelabuhan Perikanan Pantai [PPP] Karimunjawa. (2014). Laporan


tahunan Pelabuhan Perikanan Pantai Karimunjawa tahun 2014 .
Karimunjawa: PPP Karimunjawa.

114 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Rees, S.E., Rodwell, L.D., Searle, S., Bell, A. (2013). Identifying the
issues and options for managing the social impacts of Marine
Protected Areas on a small fishing community. Fisheries Research,
146, 51-58.

Satria, D. (2009). Strategi pengembangan ekowisata berbasis ekonomi


lokal dalam rangka program pengentasan kemiskinan di wilayah
Kabupaten Malang. Journal of Indonesian Applied Economics, 3
(1), 37-47.

Thia-Eng, C. (2006). The dynamics of integrated coastal management:


Practical applications in the sustainable coastal development in
East Asia. Manila: PEMSEA.

WCS. (2014). Karimunjawa fish landing and ecological data [Tidak


dipublikasikan].

Winata, A., Yuliana, E., Rusdiyanto, E. (2017). Diversity and natural


regeneration of mangrove vegetation in the tracking area on
Kemujan Island Karimunjawa National Park, Indonesia. AES Bioflux,
9 (2), 109-119.

UU No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati


dan Ekosistemnya.

Yuliana, E. (2016). Pengelolaan perikanan karang dengan pendekatan


ekosistem (Kasus: Taman Nasional Karimunjawa). Disertasi. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.

Yuliana, E., Boer, M., Fahrudin, A., Kamal, M.M., Pardede, S.T. (2016).
The effectiveness of the zoning system in the management of reef
fisheries in the marine protected area of Karimunjawa National
Park, Indonesia. AACL Bioflux, 9 (3), 483-493.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 115
Yuliana, E., Boer, M., Fahrudin, A., Kamal, M.M. (2017). Biodiversitas
ikan karang di Taman Nasional Karimunjawa. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis, 9 (1), 29-43.

Yulianda, F., Fahrudin, A., Hutabarat, A.A., Harteti, S., Kusharjani, Kang,
H.S. (2010). Pengelolaan Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Bogor:
Pusdiklat Kehutanan – Departemen Kehutanan RI dan SECEM
Korea International Cooperation Agency.

Yun Lu, S., Shen, C.H., Chiau, W.Y. (2014). Zoning strategies for marine
protected areas in Taiwan: Case study of Gueishan Island in Yilan
County, Taiwan. Marine Policy, 48, 21-29.

116 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
PENGEMBAN G AN KAPASITAS NELAYAN MENUJU
PERIKANAN TANGKAP BERKELANJ U TAN

Rinda Noviyanti

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan


luas wilayah laut yang dapat dikelola sebesar 5,8 juta km 2 yang
memiliki keanekaragaman sumber daya kelautan dan perikanan yang
sangat besar. Berdasarkan hasil Kajian Komisi Nasional Pengkajian
Sumber Daya Ikan (SDI), potensi lestari sumber daya hayati ikan (SDHI)
di perairan laut Indonesia adalah sebesar 9,9 juta ton per tahun yang
tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI) (Kepmen-KP/47/2016).
Dalam kondisi potensi SDI yang besar, sementara sistem
pemanfaatan sumber daya di dalam negeri yang belum baik,
menjadikan kondisi pemanfaatan SDI belum optimum. Kondisi armada
yang masih didominasi oleh kapal-kapal kecil, perdagangan ikan yang
kurang menguntungkan nelayan dan penegakan hukum yang belum
baik, mengakibatkan pemanfaatan SDI tersebut belum mampu
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 117
meningkatkan kesejahteraan nelayan lokal (Kusumastanto dan Yudi,
2012).
Sarana dan prasarana penangkapan yang memadai, sumber daya
manusia dalam hal ini nelayan tangkap yang memiliki kapasitas yang
mampu bersaing di era globalisasi, merupakan hal yang harus kita
usahakan. Keadaan itu akan menempatkan nelayan sebagai pelaku
strategis dalam pembangunan perikanan berkelanjutan di Indonesia.
Sudah saatnya, program-program Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) memberikan porsi yang lebih pada program
pendidikan dan pelatihan untuk pengembangan kapasitas nelayan
secara terencana, terukur, dan berkesinambungan.
Tujuan penulisan artikel ini adalah merumuskan strategi yang
perlu dilakukan untuk terwujudnya kapasitas nelayan yang dapat
menunjang pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan.

PEMBANGUNAN DAN KEBIJAKAN PERIKANAN TANGKAP


BERKELANJUTAN

1. Konsep Pembangunan Perikanan Tangkap Berkelanjutan


Konsep pembangunan berkelanjutan muncul dari kesadaran
lingkungan dan kecemasan akan makin merosotnya kemampuan bumi
untuk menyangga kehidupan. Pembangunan berkelanjutan ini
tentunya mencakup semua sektor pembangunan, termasuk di
dalamnya adalah sektor perikanan. Istilah perikanan berkelanjutan
(sustainable fisheries) mulai dijadikan agenda dunia pada tahun 1995
dengan merumuskan konsep pembangunan perikanan berkelanjutan
oleh Food and Agriculture Organization (FAO) dengan menyusun
dokumen Kode Etik Perikanan yang Bertanggung Jawab atau Code of
Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) (FAO, 1995). Aktivitas
perikanan yang berkelanjutan dapat dicapai melalui pengelolaan
perikanan yang tepat dan efektif, yang umumnya ditandai dengan
meningkatnya kualitas hidup dan kesejahteraan manusianya serta juga
terjaganya kelestarian SDI dan kesehatan ekosistemnya.
Selanjutnya, Charles (2001) dalam paradigmanya tentang
Sustainable Fisheries System, mengemukakan bahwa pembangunan

118 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
perikanan yang berkelanjutan harus dapat mengakomodasi empat
aspek utama yang mencakup dari hulu hingga hilir, yakni:
a. Keberlanjutan ekologi (ecological sustainability): memelihara
keberlanjutan stok/biomassa SDI sehingga pemanfaatannya tidak
melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan
kualitas ekosistemnya.
b. Keberlanjutan sosio-ekonomi (socioeconomic sustainability):
memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan para pelaku usaha
perikanan dengan mempertahankan atau mencapai tingkat
kesejahteraan masyarakat yang layak.
c. Keberlanjutan komunitas (community sustainability): menjaga
keberlanjutan lingkungan komunitas atau masyarakat perikanan
yang kondusif dan sinergis dengan menegakkan aturan atau
kesepakatan bersama yang tegas dan efektif.
d. Keberlanjutan kelembagaan (institutional sustainability): menjaga
keberlanjutan tata kelola yang baik, adil, dan bersih melalui
kelembagaan yang efisien dan efektif guna mengintegrasikan atau
memadukan tiga aspek utama lainnya (keberlanjutan ekologi,
keberlanjutan sosio-ekonomi, dan keberlanjutan masyarakat).

Salah satu lembaga yang terkait dengan pelaksanaan perikanan


berkelanjutan, Marine Stewardship Council, mendefinisikan perikanan
berkelanjutan sebagai salah satu cara memproduksi ikan yang
dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat berlangsung terus menerus
pada tingkat yang wajar dengan mempertimbangkan kesehatan
ekologi, meminimalkan efek samping yang mengganggu
keanekaragaman, struktur, dan fungsi ekosistem, serta dikelola dan
dioperasikan secara adil dan bertanggung jawab, sesuai dengan
hukum dan peraturan lokal, nasional dan internasional untuk
memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan generasi masa depan
(Deere, 1999). Sementara itu, Hilborn (2005) menyatakan bahwa
definisi perikanan berkelanjutan adalah: aktivitas perikanan yang
dapat mempertahankan keberlangsungan hasil produksi dalam jangka
panjang, dengan menjaga keseimbangan ekosistem antar generasi,
dan memelihara sistem biologi, sosial, dan ekonomi guna menjaga
kesehatan ekosistem manusia dan ekosistem laut.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 119
Dengan demikian, dalam melaksanakan pembangunan perikanan
berkelanjutan tidak lepas dari memadukan tujuan dari tiga unsur
utamanya, yakni dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial. Pertama,
tujuan pembangunan perikanan secara ekonomis dianggap
berkelanjutan, jika sektor perikanan tersebut mampu menghasilkan
produk ikan secara berkesinambungan (on continuing basis),
memberikan kesejahteraan finansial bagi para pelakunya, dan
memberikan sumbangan devisa serta pajak yang signifikan bagi
negara. Kedua, tujuan pembangunan perikanan dikatakan secara
ekologis berkelanjutan, manakala basis ketersediaan stok ikan dapat
dipelihara secara stabil, tidak terjadi eksploitasi berlebihan, dan tidak
terjadi pembuangan limbah yang melampaui kapasitas asimilasi
lingkungan yang dapat mengakibatkan kondisi tercemar. Ketiga,
tujuan pembangunan perikanan dianggap secara sosial berkelanjutan,
apabila kebutuhan dasar (pangan, sandang, kesehatan, dan
pendidikan) seluruh penduduknya terpenuhi; terjadi distribusi
pendapatan dan kesempatan berusaha secara adil; ada kesetaraan
gender (gender equity), dan minim atau tidak ada konflik sosial.

2. Pengembangan Kapasitas Nelayan


Pengembangan kapasitas (capacity building) didefinisikan sebagai
peningkatan kompetensi individu, lembaga-lembaga sektor publik,
sektor swasta, organisasi masyarakat sipil dan masyarakat lokal yang
terlibat dalam kegiatan secara berkelanjutan yang berdampak positif
terhadap pembangunan seperti pengentasan kemiskinan, peningkatan
kualitas pemerintahan maupun memenuhi Millenium Development
Goals (MDGs) (Hope, 2009). Secara umum tujuan pengembangan
kapasitas tentu agar individu, organisasi, maupun sistem yang ada
dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan
dari individu maupun organisasi tersebut. Soeprapto (2010)
menjelaskan untuk melakukan pengembangan kapasitas dilaksanakan
dalam tiga tingkatan yang harus dilaksanakan secara efektif dan
berkesinambungan yaitu: 1) Tingkatan sistem, yang berhubungan
dengan pengaturan yang mendukung pencapaian tujuan kebijakan
tertentu; 2) Tingkatan institusional, seperti struktur organisasi, proses
pengambilan keputusan, prosedur pekerjaan, pengaturan sarana dan

120 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
prasarana, hubungan dan jaringan organisasi; 3) Tingkatan individual,
antara ketrampilan individu dan persyaratannya, pengetahuan,
tingkah laku, pengelompokan pekerjaan dan motivasi pekerjaan di
dalam organisasi.
Nelayan tangkap merupakan tingkat individual bagian terpenting
dalam kegiatan perikanan dalam pengembangan kapasitas. Sebagai
sebuah komunitas, nelayan memiliki beberapa karakteristik yang
berbeda dengan komunitas lainnya yang melakukan aktivitas di pesisir
dan laut untuk keberlangsungan hidup serta memiliki sifat tradisional
dengan alat tangkap sederhana baik tanpa maupun dengan motor
(Indarti dan Dwiyadi, 2013). Dalam hal ini Pollnac (1988) telah
menguraikan bahwa untuk menjadi seorang nelayan umumnya tidak
memperhatikan faktor pendidikan formal, melainkan fisik yang kuat
untuk melakukan pekerjaan berat.
Penelitian Anwas (2009) menyatakan bahwa pendidikan formal
bisa meningkatkan kompetensi apabila kurikulum dan proses
pembelajarannya sesuai dengan tuntutan pekerjaan individu yang
bersangkutan. Upaya peningkatan kompetensi hanya bisa dilakukan
melalui proses belajar. Belajar di sini dalam arti luas, tidak terbatas
pada pendidikan formal saja melainkan juga informal (Anwas 2013).
Rogers (1983) menyatakan bahwa nelayan sebagai manusia
mempunyai potensi alami untuk belajar. Mengacu pada dua pendapat
tersebut maka untuk mencapai keberhasilan, manusia harus berusaha
untuk meningkatkan kapasitasnya melalui bekerja dan belajar.
Proses pembelajaran dapat membuat nelayan bertumbuh dan
berkembang sehingga mampu menjadi mandiri. Kemampuan belajar
seseorang tidak saja ditentukan oleh potensi yang mereka miliki atau
dari faktor internal, tetapi juga ditentukan oleh faktor eksternal.
Terbentuknya pribadi seseorang dipengaruhi oleh lingkungannya, baik
lingkungan vertikal (genetika, tradisi) maupun lingkungan horizontal
(geografik, fisik, sosial). Perilaku manusia akan terbentuk tidak saja
secara alami, tetapi juga karena faktor lingkungan keluarga maupun
masyarakat secara umum (Ndara 1990).
Noviyanti (2015) menuliskan bahwa indikator kunci pada
pengembangan kapasitas diri nelayan adalah pengetahuan,
kompetensi, mental, komitmen dan pemahaman peraturan-

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 121
perundangan yang dapat menjadi landasan pengembangan program-
program pemberdayaan masyarakat nelayan yang bersifat bottom-up.
Penelitian Noviyanti (2017) lainnya menunjukkan bahwa dalam model
struktural, aspek keterampilan berpengaruh nyata terhadap aspek
kompetensi nelayan, sedangkan aspek pengetahuan dan aspek sikap
diri tidak berpengaruh nyata terhadap aspek kompetensi secara
langsung. Sehingga dapat dikatakan bahwa kapasitas diri nelayan
dipengaruhi oleh keterampilan mereka dalam melakukan operasi
penangkapan ikan.

3. Kebijakan Perikanan 2010 – 2015 yang terkait dengan


Pengembangan Kapasitas Nelayan Tangkap
Pembangunan perikanan tangkap yang dikelola Ditjen Perikanan
Tangkap (DJPT) pada periode 2010-2015 dijabarkan dalam enam
kegiatan, yaitu: (1) Pengelolaan SDI, (2) Pembinaan dan
pengembangan kapal perikanan, alat penangkap ikan, dan
pengawakan kapal perikanan, (3) Pengembangan, pembangunan, dan
pengelolaan pelabuhan perikanan, (4) Pelayanan usaha perikanan
tangkap yang efisien, tertib, dan berkelanjutan, (5) Pengembangan
usaha penangkapan ikan dan pemberdayaan nelayan skala kecil, dan
(6) Peningkatan dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis
lainnya. Keenam kinerja kegiatan DJPT tersebut disesuaikan dengan
empat tujuan utama pilar pembangunan nasional, yaitu pro growth,
pro environment, pro poor, dan pro job.

EKONOMI (PRO-GROWTH)

1. Investasi Usaha Perikanan Tangkap Terpadu


Dalam rangka mendorong pengembangan ekonomi nasional,
khususnya di bidang perikanan tangkap, telah dilakukan
pengembangan investasi secara terpadu. Sampai dengan tahun 2014
realisasi investasi terpadu mencapai Rp 9,99 trilyun. Sebagian besar
realisasi investasi terkonsentrasi di wilayah Indonesia Bagian Tengah
(Bali, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, dan Maluku) dan Indonesia
Bagian Timur (Papua dan Papua Barat), yakni sebesar Rp 8,01 trilyun
atau mencapai 81% dari total realisasi investasi. Adapun provinsi yang

122 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
menjadi tujuan investasi adalah Sulawesi Utara, Maluku, DKI Jakarta,
dan Bali, dengan realisasi investasi mencapai Rp 7,23 trilyun atau
72,80 % dari total realisasi investasi (DJPT, 2015).

2. Minapolitan Perikanan Tangkap


Minapolitan merupakan konsep pembangunan kelautan dan
perikanan berbasis manajemen ekonomi kawasan dengan tujuan
untuk: 1) Meningkatkan produksi, produktivitas, dan kualitas produk
perikanan, 2) Meningkatkan pendapatan nelayan, pembudidaya ikan,
pengusaha dan pengolah ikan yang adil dan merata, dan 3)
Mengembangkan pusat pertumbuhan ekonomi daerah.
Pengembangan kawasan minapolitan didukung oleh
kementerian/lembaga terkait, antara lain Kementerian Pekerjaan
Umum. Kawasan minapolitan perikanan tangkap yang telah berhasil
dibangun diantaranya di kabupaten Cilacap dan kabupaten Gorontalo
Utara.

3. Penghapusan Retribusi Perikanan


Dalam upaya meningkatkan efisiensi usaha perikanan tangkap,
DJPT mendorong agar Pemerintah Daerah bersedia menghapus
retribusi perikanan di daerah yang dinilai memberatkan nelayan dan
pelaku usaha. Berkaitan dengan hal ini, dari 18 provinsi dan 103
kabupaten/kota yang teridentifikasi memungut retribusi perikanan,
setidaknya terdapat empat provinsi dan tujuh kabupaten/kota yang
telah menghapuskan retribusi perikanan, yaitu: Gorontalo, Sulawesi
Utara, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Cilacap, Luwu Utara, Langsa,
Bireuen, Buleleng, Tidore Kepulauan, dan Kaur.

4. Pengelolaan Prasarana Perikanan Tangkap


Pengelolaan nelayan tangkap belum memperlihatkan capaian
perubahan kapasitas nelayan kecil, tradisional, dan nelayan buruh
yang bertransformasi menjadi pelaku usaha penangkapan ikan yang
lebih maju. Jumlah kapal penangkap ikan di laut pada tahun 2010
mencapai 570.827 unit dan menjadi 623.970 unit pada tahun 2014.
Dari sisi komposisi, armada perikanan nasional masih didominasi oleh
armada perikanan skala kecil (perahu tanpa motor, perahu motor

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 123
tempel, dan kapal motor di bawah 30 GT) yang mencapai 99%,
sedangkan sisanya adalah kapal motor berukuran di atas 30 GT.
Meskipun ada usaha bantuan berupa 878 unit kapal Inka Mina
berukuran di atas 30 GT, namun belum signifikan dengan mayoritas
nelayan kecil (5 GT ke bawah) yaitu sekitar 2,4 juta (89%) (KKP, 2014).

LINGKUNGAN (PRO ENVIRONMENT)


Untuk program-program yang pro environment, lebih kepada
penerapan kebijakan pengelolaan sumber daya hayati ikan (SDHI) di
seluruh perairan nusantara wilayah pengelolaan perikanan (WPP).

1. Pemulihan Stok dan Habitat Sumber Daya Ikan (SDI)


Salah satu upaya yang dilakukan untuk menjaga stok SDI agar
tidak menurun adalah melalui pemulihan stok dan habitat SDI. Untuk
memulihkan SDI, DJPT melakukan penebaran benih ikan-ikan asli
terutama di perairan umum daratan (danau). Pada periode 2010-2014
telah dilakukan penebaran ikan sebanyak 2,13 juta benih. Sementara
itu upaya pemulihan habitat sumber daya ikan (SDI) dilakukan melalui
pembangunan reservaat atau suaka perikanan di perairan umum
daratan dan pembangunan rumah ikan di laut teritorial dan perairan
kepulauan. Pada periode 2010-2014 telah dilakukan pengembangan
reservaat di tiga lokasi (Danau Tempe, Danau Toba, dan Danau Ulak
Lia) serta pengembangan rumah ikan sejumlah 185 unit di 18 provinsi.

2. Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan


Untuk mendukung upaya pengelolaan SDI di setiap WPP-NRI
secara lestari dan berkelanjutan, telah disusun rencana pengelolaan
perikanan (RPP). RPP menjadi pedoman utama dalam pengelolaan SDI
selama lima tahun sejak diterbitkan Peraturan Menteri terkait dengan
RPP. Terkait dengan hal tersebut, DJPT telah menyusun RPP untuk
beberapa lokasi perairan dan jenis ikan. Selama periode 2010 - 2014
telah dilakukan penyusunan dokumen RPP di perairan pedalaman, RPP
di WPP-NRI serta RPP menurut jenis ikan. Selanjutnya selama periode
2010-2014, terdapat dua produk hukum yang dikeluarkan terkait
dengan RPP ini yaitu (i) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia Nomor PER.29/MEN/2012 tentang Pedoman

124 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan di Bidang Penangkapan
Ikan, dan (ii) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 54/KEPMEN-KP/2014 tentang Rencana Pengelolaan
Perikanan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia
718 (Laut Arafuru dan Laut Timor). Selain itu pada bulan Agustus 2015
telah terbit Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 107/KEPMEN-KP/2015 tentang rencana pengelolaan
perikanan tuna, cakalang dan tongkol.

SOSIAL (PRO POOR)


Permodalan merupakan faktor penting untuk mendukung
pengembangan skala dan kapasitas usaha nelayan untuk mencapai
tingkat efisiensi tertentu sebagai unit usaha yang menguntungkan.
Terkait permodalan, terdapat persoalan klasik yang dihadapi nelayan,
antara lain dukungan pihak perbankan dan lembaga keuangan lainnya
yang belum optimal karena usaha penangkapan ikan dinilai berisiko
tinggi. Masalah lainnya, persyaratan agunan yang memberatkan
nelayan dan ketiadaan pihak yang bersedia memberikan jaminan
apabila nelayan tidak bisa mengembalikan pinjaman.
Faktor-faktor di atas menyebabkan nelayan memanfaatkan jasa
para pelepas uang untuk memperoleh pinjaman dengan proses yang
lebih cepat dan mudah, meskipun dengan bunga yang tinggi.
Akibatnya nelayan tidak bisa lepas dari ketergantungan terhadap para
pelepas uang dan terjebak dalam jeratan utang yang tidak
berkesudahan. Untuk mengatasi persoalan tersebut, DJPT telah
melakukan berbagai upaya agar nelayan dapat mengakses
permodalan dari sumber-sumber permodalan, antara lain (DJPT,
2015):
(1) Sertifikasi Hak Atas Tanah (SeHAT) Nelayan dilaksanakan atas
kerjasama DJPT dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN)
sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Kerjasama tanggal 15
November 2007. SeHAT nelayan dilaksanakan sebagai upaya
untuk meningkatkan status formal dan nilai aset tanah nelayan.
Selain itu, melalui kepastian kepemilikan aset tanah, nelayan pun
diharapkan akan semakin mudah mengakses permodalan dari
perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Dengan agunan

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 125
sertifikat tersebut, telah terverifikasi setidaknya 2.192 nelayan
dapat mengakses kredit perbankan dengan nilai mencapai Rp 29,7
milyar.
(2) Penyaluran permodalan melalui jasa pegadaian di pelabuhan
perikanan. Skema kredit yang disediakan oleh Perum Pegadaian
mudah diakses oleh nelayan, dengan proses yang cepat dan waktu
yang singkat. Sampai dengan akhir tahun 2014 telah tersedia
kantor cabang layanan jasa Pegadaian di delapan lokasi yakni:
Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap (Jawa Tengah), PPS
Kendari (Sulawesi Tenggara), Pelabuhan Perikanan Nusantara
(PPN) Palabuhanratu (Jawa Barat), PPN Pekalongan (Jawa Tengah),
PPN Ternate (Maluku Utara), Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP)
Tegalsari (JawaTengah), Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP)
Blanakan (Jawa Barat), dan PPP Paotere (Sulawesi Selatan).
Realisasi penyaluran kredit gadai untuk nelayan di seluruh lokasi
tersebut pada periode 2010-2014 mencapai Rp 203 milyar.
(3) Penyaluran permodalan melalui KUR dan KKP-E. Kredit Usaha
Rakyat (KUR) bidang kelautan dan perikanan merupakan kredit
yang disalurkan kepada pelaku usaha perikanan melalui bank
pelaksana yang ditunjuk Pemerintah. Kredit tersebut ditujukan
untuk membiayai kegiatan usaha mikro, kecil, menengah (UMKM)
dan koperasi perikanan yang feasible namun belum bankable di
bidang perikanan tangkap. Kredit yang disediakan berupa kredit
modal kerja dan kredit investasi dengan plafon antara Rp 20 juta –
Rp 1 milyar. Realisasi outstanding penyaluran KUR untuk bidang
perikanan tahun 2010-2014 mencapai Rp 432 milyar. Kredit
Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) untuk sub bidang perikanan
tangkap merupakan kredit untuk pelaku usaha perikanan tangkap
baik perorangan maupun badan usaha (KUB/Koperasi Perikanan),
digunakan untuk pembiayaan kegiatan operasional penangkapan
ikan, pengadaan atau peremajaan peralatan, mesin dan sarana
penunjang yang mendukung usaha penangkapan ikan, serta untuk
pembiayaan pengadaan pangan (khusus untuk koperasi). Besarnya
plafon kredit Rp. 100 juta untuk perorangan dan Rp 500 juta
untuk KUB/Koperasi. Realisasi outstanding penyaluran KKP-E
bidang perikanan tahun 2010-2014 sebesar Rp 83,18 milyar.

126 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
(4) Asuransi kapal perikanan untuk penjaminan kredit. Fasilitasi
asuransi kapal perikanan dilakukan dengan pola banker’s clause
(kerjasama asuransi-perbankan), dengan tujuan untuk: (a)
memberikan kekuatan hukum atas kepemilikan hak atas kapal
perikanan melalui buku kapal perikanan, (b) memfasilitasi aset
kapal kayu nelayan agar dapat digunakan sebagai agunan melalui
program asuransi kapal nelayan, dan (c) memberikan jaminan
penggantian kerugian terhadap risiko kecelakaan kapal perikanan
(total loss). Saat ini asuransi kapal mencakup kapal ukuran ≥ 10 GT
yang dapat dijadikan alternatif tambahan bagi usaha penangkapan
ikan dalam mengakses permodalan dengan memanfaatkan kapal
perikanan sebagai agunan. Fasilitasi asuransi kapal setidaknya
telah dilaksanakan di 4 kabupaten/kota. Kapal telah diasuransikan
dan mendapatkan penjaminan untuk mengakses permodalan dari
perban-kan dengan nilai pertanggungan sebesar Rp 19,5 milyar.
(5) Pengembangan Usaha Mina Perdesaan (PUMP) Perikanan Tangkap
dimaksudkan untuk meningkatkan usaha dan memberdayakan
nelayan. PUMP diberikan dalam bentuk stimulus bantuan
langsung masyarakat (BLM), dimana setiap KUB penerima dapat
memanfaatkan dana tunai sebesar Rp 100 juta untuk mendukung
kegiatan usaha penangkapan ikan, antara lain untuk: (a)
Pengadaan dan perbaikan sarana penangkapan (perahu, mesin,
bahan alat penangkapan ikan, alat bantu penangkapan ikan); (b)
Dukungan biaya operasional seperti bensin, solar, minyak tanah,
pelumas, dan es; (c) Perbengkelan nelayan; dan (d) Asuransi.
(6) Perlindungan sosial bagi nelayan. Usaha penangkapan ikan
merupakan jenis pekerjaan yang memiliki risiko tinggi. Oleh
karena itu peningkatan perlindungan sosial bagi nelayan menjadi
sangat penting untuk memberikan jaminan dan kepastian
perlindungan sosial bagi nelayan dan keluarganya.
Salah satu upaya yang ditempuh untuk meningkatkan
perlindungan sosial nelayan melalui bimbingan teknis
perlindungan dan keselamatan kerja bagi nelayan. Upaya lainnya
dilakukan melalui fasilitasi asuransi bagi nelayan di seluruh
provinsi. Upaya ini juga memberikan dukungan terhadap

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 127
implementasi Inpres Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan
Nelayan.
(7) Kelembagaan usaha perikanan tangkap skala kecil. Kelompok
Usaha Bersama (KUB) merupakan salah satu wadah kelembagaan
nelayan dalam menjalankan usahanya secara berkelompok.
Namun demikian, belum semua KUB tumbuh dan berkembang
menjadi KUB yang mandiri dan bankable. Untuk itu, dilakukan
upaya-upaya untuk meningkatkan jumlah KUB yang mandiri,
untuk selanjutnya didorong menjadi KUB yang bankable, dengan
mengembangkan kelembagaan usaha menjadi koperasi berbadan
hukum. Pada tahap akhir, KUB mandiri tersebut difasilitasi untuk
menjalin kemitraan usaha dengan para pelaku usaha perikanan
skala menengah dan besar, misalnya dalam hal penyediaan bahan
baku untuk industri pengolahan hasil perikanan. Sampai dengan
tahun 2014, jumlah KUB perikanan tangkap tercatat sebanyak
22.852 KUB. Sebanyak 2.533 KUB telah masuk kategori KUB
Mandiri.
(8) Peningkatan Kehidupan Nelayan (PKN) merupakan salah satu
upaya perluasan dan percepatan dan Perluasan Program Pro
Rakyat yang diputuskan dalam pada Sidang Kabinet tanggal 13
Februari 2011. PKN dilaksanakan secara lintas
kementerian/lembaga, kegiatannya ditujukan untuk individu
nelayan, kelompok nelayan, serta perbaikan sarana dan
prasarana. Pada periode 2011-2014, PKN telah dilaksanakan di
422 lokasi. Untuk individu nelayan kegiatannya antara lain:
Sertifikasi Hak atas Tanah Nelayan (KKP), peralatan rantai dingin
(KKP), rumah sangat murah (Kemenpera), listrik murah (Kemen
ESDM), bantuan operasional sekolah (BOS) dan beasiswa anak
nelayan (Kemendikbud), pelatihan Basic Safety Training (BST)
untuk nelayan (Kemenhub), dan layanan kesehatan (Kemenkes).
Untuk kelompok nelayan kegiatannya antara lain: bantuan kapal
perikanan (KKP), pengembangan usaha mina pedesaan (KKP),
konversi BBM ke gas (KKP dan Kemen ESDM), pendampingan pada
kelompok (KKP), dan usaha rumput laut (Kemen PDT dan BUMN).

128 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
UPAYA PENYERAPAN TENAGA KERJA (PRO JOB)

1. Lapangan Kerja
Usaha perikanan tangkap mampu menyediakan lapangan kerja
bagi para nelayan. Jumlah nelayan pada tahun 2014 mencapai
2.667.440 orang, terdiri atas nelayan di laut sebanyak 2.186.900 orang
dan di perairan umum daratan sebanyak 480.540 orang (DJPT, 2015).
Selain nelayan, banyak tenaga kerja yang terserap dari usaha
pendukung perikanan tangkap, seperti galangan kapal, perbengkelan,
pembuatan dan penyediaan bahan dan alat penangkapan ikan,
perdagangan kebutuhan logistik melaut, perdagangan ikan,
pengolahan hasil perikanan, dan berbagai usaha terkait lainnya.

2. Kartu Nelayan
Pemberian identitas profesi bagi nelayan melalui Kartu Nelayan
dilakukan untuk meningkatkan pembinaan terhadap nelayan sekaligus
melindungi profesi nelayan. Selain itu, manfaat yang diperoleh dari
pengembangan kartu nelayan adalah untuk menginventarisasi jumlah
nelayan secara pasti yang dapat dimanfaatkan untuk optimalisasi
proses pembinaan, terutama terkait dengan penentuan target dan
sasaran program/kegiatan pemberdayaan nelayan.
Pada tahun 2010-2014 telah didistribusikan 595.844 kartu nelayan
di seluruh provinsi, dengan rincian 3.811 kartu pada tahun 2010,
104.661 kartu (2011), 167.655 kartu (2012), 215.354 kartu (2013), dan
104.353 kartu (2014) (DJPT, 2015).

3. Diversifikasi Usaha
Diversifikasi usaha dimaksudkan agar nelayan dan keluarganya
memperoleh penghasilan tambahan selain kegiatan usaha
penangkapan ikan. Kegiatan tersebut difokuskan bagi para wanita
nelayan agar mampu mengembangkan usaha ekonomi produktif yang
berkelanjutan, misalnya: usaha pengolahan, perdagangan, kerajinan
tangan, dan usaha lainnya.
DJPT memberikan dukungan untuk diversifikasi usaha melalui
berbagai kegiatan antara lain bimbingan teknis pengembangan

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 129
diversifikasi usaha, pelatihan kewirausahaan, fasilitasi permodalan
usaha, fasilitasi sarana penunjang kegiatan usaha, dan lain-lain.
Berdasarkan hasil kegiatan program DJPT tahun 2010-2014 belum
ada program kegiatan yang secara khusus memfokuskan pada
peningkatan kapasitas nelayan kecil, tradisional, dan nelayan buruh
secara jelas, terstruktur, terukur dan berkesinambungan dalam jangka
waktu yang panjang. Baik ditinjau dari segi anggaran, tujuan dan
sasarannya, materi pelatihan, jangka waktu, maupun
kelembagaannya.

ISU DAN PERMASALAHAN

1. Perikanan Tangkap Berkelanjutan


Permasalahan utama yang dihadapi perikanan tangkap yang
berkelanjutan di Indonesia secara umum adalah sebagai berikut (DJPT,
2015).

a. Permasalahan illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing


Kegiatan IUU fishing tidak hanya dilakukan oleh oleh kapal-kapal
ikan berbendera asing saja, tetapi juga dilakukan oleh kapal-kapal ikan
nasional. Hal ini tercemin dengan masih rendahnya tingkat kepatuhan
kapal-kapal ikan nasional akan aturan main dalam pengelolaan SDI,
seperti tidak patuhnya kapal-kapal ikan nasional dalam menggunakan
VMS (vessel monitoring system) dan pelaporan logbook hasil
tangkapannya. Selain itu, juga masih ada nelayan ataupun pengusaha
perikanan tangkap yang menggunakan jenis-jenis alat tangkap yang
destructive (merusak) atau bahan-bahan yang berbahaya dalam
kegiatan operasi penangkapan ikannya.
Masih maraknya kegiatan IUU fishing di Indonesia ini, secara nyata
telah menimbulkan kerugian yang tidak sedikit, baik dari sisi ekonomi,
sosial maupun lingkungan, sehingga aktivitas ini dapat dinyatakan
sebagai kendala utama bagi Indonesia dalam mewujudkan perikanan
tangkap yang berkelanjutan. Sebagai gambaran, bahwa kerugian
Indonesia akibat kegiatan illegal fishing di Laut Arafura saja mencapai
40 triliun rupiah per tahun.

130 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Kemudian, untuk kerugian dari aktivitas unreported fishing
(penangkapan ikan yang tidak dilaporkan), walaupun belum ada
laporan perkiraan besaran nilai kerugiannya, namun diperkirakan juga
relatif besar akibat berdampak negatif pada lingkungan, utamanya
dalam hal pendataan ikan hasil tangkapan. Diperkirakan masih cukup
banyak hasil tangkapan yang tidak dilaporkan, salah satu akibatnya
adalah terjadi bias informasi tentang status SDI di suatu perairan, yang
pada akhirnya akan mengakibatkan aktivitas penangkapan ikan yang
terlalu intensif atau berlebih, yang dalam jangka panjang tentu akan
menurunkan SDI itu sendiri, dikarenakan tidak ada kesempatan ikan
melakukan recovery stok populasinya. Selanjutnya, untuk unregulated
fishing (penangkapan ikan yang tidak diatur), perkiraan besaran nilai
kerugiannya juga relatif besar akibat berdampak negative pada
lingkungan, walaupun belum ada laporan terkait hal tersebut. Salah
satu akibat penggunaan jenis alat-alat tangkap ikan yang tidak diatur
adalah tingginya hasil tangkapan by catch (hasil tangkapan sampingan
yang tidak dimanfaatkan) dan/atau juvenile (anak-anak ikan), karena
alat-alat penangkapan ikannya yang tidak/kurang selektif. Masalah
IUU fishing menjadi masalah utama dan rumit yang dihadapi sub-
sektor perikanan tangkap hingga kini.

b. Permasalahan padat tangkap di perairan pantai


Permasalahan padat tangkap dalam sub-sektor perikanan tangkap
hampir terjadi di semua perairan pantai Indonesia, padahal Indonesia
memiliki perairan laut yang sangat luas. Hal ini terjadi, karena
sebagian besar armada penangkapan ikan nasional didominasi oleh
ukuran kapal ikan 5 GT (gross ton) kebawah, yakni sebesar 89%. Kapal
penangkap ikan yang berukuran 5 GT kebawah umumnya hanya
mampu beroperasi di perairan pantai atau di perairan teritorial (di
bawah 12 mil). Dengan demikian, sebagian besar armada
penangkapan ikan di Indonesia banyak terkonsentrasi di perairan
pantai yang terbatas, baik luasan maupun SDI-nya. Apalagi, kapal ikan
berukuran kecil ini, yang merupakan kewenangan daerah
kabupaten/kota belum diatur dan dikelola dengan baik dan relatif
masih bersifat “open access”, sehingga jumlah peningkatan
armadanya menjadi tidak terkendali, terutama di daerah-daerah

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 131
perairan pantai yang dekat dengan konsentrasi padat penduduk.
Akibatnya tentu sangat berdampak pada keberadaan dan
keberlanjutan SDI di perairan pantai.

c. Pengawasan yang masih lemah


Regulasi yang telah dibuat oleh Pemerintah tentunya harus
diimbangi dengan pengawasan yang efektif. Pengawasan bukan hanya
diperuntukkan bagi para pelaku illegal fishing semata, namun juga
bagi pelanggar dari setiap aturan atau kesepakatan terkait perikanan
berkelanjutan yang telah dibuat. Dalam melaksanakan pengawasan
ini, Pemerintah juga harus menggandeng masyarakat dan pelaku
usaha perikanan untuk bersama-sama mengawasi aktivitas perikanan
yang berjalan dan kondisi lingkungan lautnya guna mewujudkan
aktivitas perikanan yang berkelanjutan.

2. Kapasitas Nelayan Perikanan Tangkap


Berdasarkan data survei sosial dan ekonomi nasional 2013 Badan
Pusat Statistik yang diolah, diketahui bahwa ada 2,2% rumah tangga di
Indonesia yang memiliki kepala rumah tangga berprofesi sebagai
nelayan. Jumlahnya sekitar 1,4 juta kepala rumah tangga. Jika rata-
rata jumlah anggota rumah tangga di Indonesia sekitar empat orang,
maka ada sekitar 5,6 juta penduduk Indonesia yang kehidupannya
bergantung kepada kepala rumah tangga yang berprofesi sebagai
nelayan. Para nelayan kurang beruntung ditinjau dari aspek
pendidikan, dengan hampir 70% nelayan berpendidikan sekolah dasar
ke bawah dan hanya sekitar 1,3% yang berpendidikan tinggi. Hal ini
menjadi tantangan, program-program pemerintah yang fokus pada
pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan kapasitas nelayan agar
mereka dapat bertransformasi menjadi nelayan yang memiliki
standarisasi kompetensi yang baik.
Noviyanti (2015) menyatakan bahwa permasalahan khusus terkait
kapasitas nelayan tangkap sebagai faktor internal adalah ada 89%
nelayan yang mayoritas kehidupannya miskin, tingkat pendidikan dan
keterampilan rendah, penggunaan teknologi penangkapan yang
sederhana, akses informasi dan modal sangat terbatas. Demikian juga
keberadaan pelaku usaha perikanan dan unit-unit usahanya (Koperasi

132 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
dan KUB), sebagian besar belum memiliki pengetahuan yang cukup
tentang usaha perikanan yang berkelanjutan dan juga belum memiliki
skala usaha yang layak.
Selain itu, program-program pemerintah yang telah bergulir
seperti kredit investasi kecil (KIK), kredit modal kerja permanen
(KMKP), pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP), dan
pengembangan usaha mina pedesaaan-perikanan tangakp (PUMP-PT)
yang terkait dengan program pemberdayaan masyarakat nelayan dan
pesisir belum mampu mengangkat mereka secara signifikan menjadi
nelayan baik dari sisi tingkat kesejahteraan yang mapan maupun
tingkat pendidikannya. Lebih dari 75%, masyarakat nelayan di
Indonesia masih memiliki tingkat pendidikan rendah atau Sekolah
Dasar (Dahuri, 2002; Noviyanti, 2015).
Isu dan permasalahan tersebut menjadi suatu tantangan
bagaimana pemerintah dalam hal ini KKP, dapat membuat kebijakan
untuk program pemberdayaan dan pengembangan kapasitas nelayan.
Mengacu pada isi UU Nomor 7 Tahun 2016, pemerintah diharapkan
membuat kebijakan turunan khusus untuk program peningkatan
kapasitas nelayan secara terstruktur, jelas, terukur, dan
berkesinambungan. Dengan adanya program yang fokus dan khusus
tersebut diharapkan nelayan bertransformasi menjadi nelayan yang
handal dan bersaing di era globalisasi serta mampu terlibat dalam
usaha penangkapan perikanan yang berkelanjutan.

ANALISIS DAN STRATEGI PENINGKATAN KAPASITAS NELAYAN

Pada kajian ini analisis kesenjangan difokuskan pada aspek sosial-


ekonomi dan kelembagaan pada tingkat individu, kelompok, dan
tenaga pendidik/penyuluh dan manajemen organisasi Koperasi/KUB.
Strategi merupakan pendekatan secara keseluruhan yang berkaitan
dengan pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah
aktivitas dalam kurun waktu tertentu yang didukung oleh kebijakan
sebagai payung hukum yang tetap agar strategi yang diterapkan dapat
tercapai. Rumusan strategi dan kebijakan yang tepat dapat
menghasilkan luaran dan sasaran bagi pengembangan kapasitas

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 133
nelayan yang dapat mendukung pembangunan dan pengelolaan
perikanan tangkap secara berkelanjutan.
Hasil analisis kesenjangan, strategi dan kebijakan, luaran dan
sasaran, dan pemangku kepentingan (stakeholder) terkait untuk
peningkatan kapasitas nelayan, dijelaskan sebagai berikut.

1. Aspek Sosial-Ekonomi
a. Kesenjangan peningkatan kapasitas nelayan
1) Mayoritas nelayan kecil (< 5 GT)
2) Tingkat Pendidikan rendah (> 70% tingkat SD)
3) Manajemen usaha lemah, keterampilan yang minim, dan
tingkat kesejahteraan rendah
4) Keterbatasan tenaga penyuluh perikanan yang profesional
baik kuantitas maupun kualitas
5) Program khusus pengembangan kapasitas nelayan belum
diadakan secara terstruktur dan berkesinambungan.
b. Strategi dan Kebijakan
1) Pengembangan kemitraan antara nelayan tangkap kecil (anak
asuh) dengan kelompok UMKM dan industri perikanan
menengah atas (induk asuh) yang saling menguntungkan dan
dapat meningkatkan kapasitas serta kesejahteraan nelayan
kecil.
2) Pengembangan program khusus untuk peningkatan faktor
internal kapasitas nelayan.
3) Alokasi anggaran khusus secara berkesinambungan baik dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau
Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk
pengembangan kapasitas nelayan dan tenaga penyuluh
lapangan.
4) Pengembangan pusat-pusat sarana dan prasarana pendidikan
formal dan non-formal khusus bidang Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi Kelautan dan Perikanan (IPTEK-KP) yang memadai
untuk meningkatkan standarisasi kompetensi kapasitas
nelayan baik yang sudah lama maupun generasi muda.

134 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
c. Luaran dan Sasaran yang diharapkan
1) Kemitraan yang saling menguntungkan antara pelaku usaha
perikanan dengan nelayan sebagi mitra usaha
2) Nelayan sejahtera/handal dan penyuluh yang profesional,
pemahaman dan partisipasi dalam konsep usaha perikanan
yang berkelanjutan meningkat
3) Program pendidikan untuk peningkatan kapasitas nelayan
yang tepat guna, dan berkesinambungan
4) Kapasitas kompetensi nelayan meningkat

d. Pemangku Kepentingan (Stakeholder)


Para pemangku kepentingan yang dapat dilibatkan dalam program
khusus pengembangan kapasitas nelayan kecil antara lain adalah KKP
(DJPT), Kementerian Terkait (BUMN, Industri dan Perdagangan,
Koperasi, Ristek/Dikti, Keuangan), Perguruan Tinggi, Sekolah Kejuruan,
Lembaga Swadaya Masyarakat (World Wildlife Fund (WWF),
Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), Non-profit), Pelaku
Usaha Perikanan, kelompok Nelayan (Kecil, Tradisional, dan Nelayan
Buruh), dan Tenaga Penyuluh Perikanan.

2. Aspek Kelembagaan
A. Kesenjangan Kapasitas
1) Peran kelembagaan koperasi dan Kelompok Usaha Bersama
(KUB) masih lemah baik modal, manajemen usaha dan sebagai
sarana pemberdayaan nelayan
2) Peran pelabuhan perikanan belum optimal dalam manajemen
pasar, sistem jual beli produksi perikanan dan distribusi ikan
(stabilitas harga, sarana, dan prasarana pendukung)
3) Akses permodalan dan informasi ke lembaga keuangan bagi
nelayan kecil masih sulit

B. Strategi dan Kebijakan


1) Peningkatan manajemen usaha dan permodalan Koperasi dan
KUB perikanan yang lebih profesional, mapan dan mandiri
2) Peningkatan kualitas dan kapasitas diri anggota pengurus baik
koperasi maupun KUB Perikanan

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 135
3) Pengembangan manajemen dan mekanisme pasar yang
transparan dan akuntabel
4) Peningkatan dan kemudahan akses permodalan ke lembaga
keuangan
5) Kontrol dan peningkatkan sistem jual-beli dan harga hasil
tangkap ikan oleh nelayan secara transparan

C. Luaran dan Sasaran yang diharapkan


1) Sistem pengelolaan Koperasi dan KUB yang lebih profesional
dan memberikan manfaat sebagai sarana pemberdayaan
masyarakat nelayan
2) Pengurus yang profesional dan anggota yang mapan dan
mandiri
3) Sistem jual-beli yang transparan melalui UPT PP/TPI
4) Kemudahan nelayan kecil mendapat akses modal dan
informasi usaha perikanan

D. Pemangku Kepentingan (Stakeholder)


Secara umum pemangku kepentingan pada analisis aspek
kelembagaan antara lain KKP, Kementerian Terkait, UPT Pelabuhan
Perikanan/TPI, dan Lembaga keuangan.

PENUTUP

Kesimpulan dari hasil kajian ini adalah dari enam program utama
kegiatan DJPT-KKP periode 2010-2015, lebih diprioritaskan pada
pengembangan, pengelolaan dan pembangunan usaha, sarana dan
prasarana, dan kelembagaan, belum memprioritaskan program secara
khusus untuk meningkatkan kapasitas nelayan tradisional dan kecil.
Fakta dan data menunjukan mayoritas nelayan Indonesia lebih
dari 80% masih didominasi oleh nelayan kecil yang memiliki armada
tangkap tradisonal dengan bobot < 5 GT dengan tingkat kesejahteraan
masih rendah. Formulasi strategi yang perlu dilakukan untuk
terwujudnya kapasitas nelayan yang dapat menunjang pengelolaan
perikanan tangkap berkelanjutan untuk aspek sosial-ekonomi adalah
pengembangan kemitraan antara nelayan tangkap kecil (anak asuh)

136 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
dengan kelompok UMKM dan industri perikanan menengah atas,
pengembangan pusat-pusat sarana dan prasarana pendidikan formal-
non-formal sebagai standarisasi kompetensi nelayan baik yang lama
maupun generasi muda. Untuk aspek kelembagaan strategi yang
dilakukan adalah: peningkatan manajemen usaha dan permodalan
Koperasi dan KUB perikanan yang lebih profesional, mapan dan
mandiri; peningkatan kualitas dan kapasitas diri anggota pengurus
baik koperasi maupun KUB; pengembangan manajemen dan
mekanisme pasar yang transparan dan akuntable; peningkatan dan
kemudahan akses permodalan ke lembaga keuangan; serta kontrol
dan peningkatkan sistem jual-beli dan harga hasil tangkap ikan oleh
nelayan secara transparan.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 137
DAFTAR PUSTAKA

Anwas, O.M. (2009). Pemanfaatan Media dalam Pengembangan


Kompetensi Penyuluhan Pertanian. Disertasi: Program Studi Ilmu
Penyuluhan Pembangunan, Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat Pascasarjana IPB Bogor.

Anwas, O.M. (2013). Pemberdayaan Masyarakat di Era Global.


Bandung:Oxford. 370 p.

Dahuri, R. (2002). Kebijakan dan Program Pengembangan SDM


Kelautan dan Perikanan. Makalah disampaikan Pada Rakerwil
HIMAPIKANI, Bogor, 2 Maret 2002. Jakarta: Departemen Kelautan
dan Perikanan RI.

Deere, C.L. (1999). Eco-Labelling and Sustainable Fisheries. IUCN:


Washington, D.C. and FAO: Rome.

DJPT. (2015). Rencana Strategis Direktorat Jenderal Perikanan


Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2015-2019.
DJPT-KKP. 132 hal.

FAO. (1995). Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome, FAO.


1995. 41p.

Hilborn, R. 2005 "Are Sustainable Fisheries Achievable?" Chapter 15,


pp. 247–259. Marine Conservation Biology: The Science of
Maintaining the Sea's Biodiversity.

Hope, KR. 2009. Capacity development for good governance in


developing countries: some lessons from the field. International
journal of public administration, 32 (8).

Indiarti, I. &Dwiyadi, S.W. (2013). Metode Pemberdayaan Masyarakat


Pesisir Melalui Penguatan Kelembagaan di Wilayah Pesisir Kota

138 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Semarang. Jurnal Manajemen dan Bisnis BENEFIT. Volume 17.
Nomor 1. Juni 2013. Halaman 75-88.

Kusumastanto, T. &Yudi, W. (2012). Pembinaan Nelayan Sebagai


Ujung Tombak Pembangunan Perikanan Nasional. Manuskrip pada
Majalah Ilmiah WAWASAN TRIDHARMA. Agustus 2012.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) (2014). Laporan Statistik


Perikanan Tangkap Tahun 2012. Jakarta.

Ndara, T. (1990). Pembangunan Masyarakat: Mempersiapkan


Masyarakat Tinggal Landas. Jakarta: Rineka Cipta.

Noviyanti, R. (2015). Pengembangan Kapasitas Nelayan Tangkap di


PPN Palabuhanratu. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor. 123p.

Noviyanti, R. (2017). Faktor–Faktor yang Berpengaruh Terhadap


Kompetensi Nelayan di Teluk Banten Menuju Perikanan Tangkap
Berkelanjutan. Makalah untuk jurnal Marine Fisheries. IPB Bogor.

Pollnac, R. B. (1988). Karakteristik Sosial dan Budaya dalam


Pengembangan Perikanan Berskala Kecil. Mengutamakan Manusia
di dalam Pembangunan, dalam Michael. M. Carnea (ed). Jakarta:
UI-Press.

Rogers, E.M. (1983). Diffution of Innovation (Edisi ke-3) New York: The
Free Press A Division Of Macmillan Publishing Co.,Inc.

Soeprapto, R. (2010). The Capacity Building for Local Government


Toward Good Governance. Word Bank.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 139
140 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
MODEL GREEN BUILDING DI INDONESIA
BERBASIS KONSEP KUALITAS DMAIC SIX SIGMA

Sri Enny Triwidiastuti

PENDAHULUAN

Berdasarkan laporan yang dipublikasikan oleh Perserikatan Bangsa


Bangsa (United Nations), berjudul ‘Buildings and Climate Change’
menyatakan bahwa 30% sampai 40% energi dipergunakan untuk
bangunan. Konsep Bangunan Hijau (Green Building) dirancang dengan
mempertimbangkan lingkungan dan krisis energi yang sedang
berlangsung saat ini. Gedung-gedung dirancang, dibangun, dan
dioperasikan sedemikian rupa sehingga dampaknya terhadap
lingkungan minimal dan sesuai dengan tujuan penghematan energi.
Bangunan Hijau dirancang supaya dapat mengefisiensikan pemakaian
energi alami, berkelanjutan dan terbarukan untuk gedung komersial
maupun gedung hunian serta meminimalisir kerusakan lingkungan
sekitar. Bangunan Hijau ini merupakan bagian dari program
pembangunan lingkungan yang komprehensif menuju pembangunan
komunitas berkelanjutan beserta infrastuktur urban berkelanjutan.
Pelaksanaan Bangunan Hijau ini dapat menggalang momentum untuk
mewujudkan strategi korporasi yang menyatukan konsep ramah
lingkungan pada strategi bisnis, sasaran dasar dan corporate

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 141
citizenship, serta meningkatkan kualitas udara dan mengurangi biaya
energi yang menghasilkan keuntungan signifikan untuk semua orang.
Pemerintah Indonesia terus melakukan sosialisasi terhadap upaya-
upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, tetapi tidak semua
lapisan masyarakat mengetahui dan memahami kedua hal tersebut.
Salah satu akibat minimnya adaptasi terhadap perubahan iklim adalah
Sick Building Syndrome (SBS) pada beberapa bangunan di Indonesia.
SBS adalah situasi dimana para penghuni gedung atau bangunan
mengalami masalah kesehatan dan ketidaknyamanan karena waktu
yang dihabiskan dalam bangunan. Faktor utama terjadinya SBS adalah
polusi udara atau masalah pada kualitas udara, yang biasanya
disebabkan oleh buruknya ventilasi udara atau cahaya, emisi ozon dari
mesin fotokopi, polusi dari perabot dan panel kayu, asap rokok, dan
lain sebagainya. SBS secara tidak langsung akan mempengaruhi
produktivitas seluruh penghuni gedung atau bangunan apabila
dibiarkan terus menerus. Sudah banyak gedung yang terjangkit SBS di
Indonesia, antara lain terdapat pada kota-kota besar di Indonesia
seperti Jakarta, Denpasar, Surabaya, Medan, Bandung, dan Makassar.
Menurut World Health Organization (WHO), diperkirakan sekitar 30
persen seluruh bangunan atau gedung yang ada di dunia memiliki
permasalahan terkait kualitas udara dalam ruangan (Kilbert, 2016).
Bentuk solusi yang menjadi pilihan adalah dengan menerapkan
konsep Arsitektur Hijau (Green Architecture), atau Bangunan Hijau
yang kini sudah dijalankan oleh pemerintah Indonesia.
Untuk mewujudkan bangunan/gedung yang sehat, aman, dan
nyaman secara berkelanjutan, dilakukan telaah pustaka tentang
bangunan hijau berbasis konsep kualitas berkelanjutan DMAIC Six
Sigma untuk suatu wilayah perkotaan di Indonesia. Pembahasan pada
kasus ini, yaitu upaya mengurangi laju SBS dan diharapkan dapat
meningkatkan kualitas kesehatan untuk penghuni gedung kantor di
DKI Jakarta. Metode yang dipilih adalah Six Sigma tradisional (DMAIC),
karena proses menuju gedung yang sehat sudah diukur dengan
peringkat greenship (Greenship Rating) dan kegiatan pengukuran
sudah dilakukan pada beberapa gedung di DKI Jakarta. Pengukuran
greenship juga sudah dilakukan di kota-kota besar di Indonesia, yaitu
untuk bangunan terbangun (existing building) dan sudah tersertifikasi

142 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
contohnya di BSD Tangerang, untuk bangunan baru yang sudah
tersertifikasi diantaranya di Jimbaran Bali, Bogor; sedangkan untuk
bangunan baru yang sedang proses sertifikasi diantaranya di
Yogyakarta (UGM) dan Pekanbaru.

ARSITEKTUR HIJAU (GREEN ARCHITECTURE)

Arsitektur Hijau adalah suatu pendekatan perencanaan bangunan


yang berusaha untuk meminimalisasi berbagai pengaruh yang
membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan. Elemen-elemen
yang terdapat di dalam Arsitektur Hijau yang berkelanjutan adalah
lansekap, interior, yang menjadi satu kesatuan dalam segi
arsitekturnya. Dalam contoh kecil, Arsitektur Hijau dapat juga
diterapkan di sekitar lingkungan kita. Yang paling ideal adalah
menerapkan komposisi 60 : 40 antara bangunan rumah dan lahan
hijau, membuat atap dan dinding dengan konsep roof garden dan
green wall. Dinding bukan sekadar beton atau batu alam, melainkan
dapat ditumbuhi tanaman merambat. Tujuan utama dari green
architecture adalah menciptakan eco design, arsitektur ramah
lingkungan, arsitektur alami, dan pembangunan berkelanjutan.
Arsitektur Hijau juga dapat diterapkan dengan meningkatkan efisiensi
pemakaian energi, air, dan pemakaian bahan-bahan yang mereduksi
dampak bangunan terhadap kesehatan. Perancangan Arsitektur Hijau
meliputi tata letak, konstruksi, operasi, dan pemeliharaan bangunan.
Konsep ini sekarang mulai dikembangkan oleh berbagai pihak menjadi
Bangunan Hijau.

BANGUNAN HIJAU (GREEN BUILDING)

Bangunan Hijau adalah bangunan yang cerdas mengelola


konsumsi energi dan kenyamanan huniannya. Saat ini menjadi konsep
berbagai fasilitas pelayanan umum pemerintahan, kesehatan,
pendidikan, rekreasi, maupun properti pribadi. Konsep yang
mengutamakan perencanaan, konstruksi, dan pengelolaan bangunan
yang hemat energi ini dapat diwujudkan melalui sistem otomasi
bangunan yang terintegrasi (intelligent & integrated building

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 143
automation systems). Sistem otomasi ini mengaktifkan jaringan sistem
tata udara, pencahayaan, akustika dan utilitas bangunan, sesuai
tingkat hunian dan aktivitas di dalamnya. Elemen dalam sistem ini
meliputi sensor, sistem komunikasi data modular, pengontrol yang
mengoperasikan perangkat utilitas bangunan, serta melaporkan
tingkat konsumsi energi. Sistem otomasi ini dapat menghemat biaya
energi dan pemeliharaan gedung secara signifikan setiap tahun.
Untuk mengurangi pemakaian energi, digunakan jendela yang
seefisien mungkin dan insulasi pada dinding, plafon atau tempat
masuknya aliran udara ke dalam bangunan gedung. Strategi lain yang
dapat dilakukan adalah dengan mendesain bangunan surya pasif.
Penempatan jendela yang efektif (pencahayaan) dapat memberikan
cahaya lebih alami dan mengurangi kebutuhan penerangan listrik di
siang hari. Berikut beberapa manfaat terhadap lingkungan apabila
kita menerapkan konsep Bangunan Hijau:
1. bangunan lebih awet dan tahan lama, dengan perawatan minimal,
2. efisiensi energi menyebabkan pembiayaan rutin lebih efektif,
3. bangunan lebih nyaman untuk ditinggali,
4. penghuni mendapatkan kualitas hidup yang lebih sehat,
5. ikut berperan serta dalam kepedulian lingkungan.

Efisiensi energi pada Bangunan Hijau merupakan salah satu


bentuk respon masyarakat dunia akan perubahan iklim. Penerapan ini
mempromosikan bahwa perbaikan perilaku (dan teknologi) terhadap
bangunan tempat aktivitas hidup dapat menyumbangkan banyak
pengurangan pemanasan global. Dalam hal ini bangunan/gedung
adalah penghasil terbesar (lebih dari 30%) emisi global karbon
dioksida (CO2), salah satu penyebab utama pemanasan global. Saat ini
Amerika, Eropa, Kanada dan Jepang berkontribusi terhadap sebagian
besar emisi gas rumah kaca. Pertumbuhan penduduk di Cina, India,
Asia Tenggara, Brazil, dan Rusia menyebabkan emisi CO 2 bertambah
dengan cepat. Pembangunan infrastruktur dan industri di Indonesia
juga meningkatkan kontribusi CO 2 secara signifikan. Hal ini akan
memperburuk kondisi lingkungan Indonesia umumnya, dan kondisi
lingkungan global.

144 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Bangunan Hijau dapat diartikan sebagai sebuah bangunan yang
memberikan solusi untuk keharmonisan hunian dan lingkungan,
menggunakan material alami yang tidak merusak lingkungan,
menggunakan sumber daya berkelanjutan dan terbarukan, biaya
pemeliharaan yang optimal (Sinha, 2009). Penggunaan material alami
yang tidak merusak lingkungan atau produk hijau (green product)
menurut Sinha (2009) adalah:
1. Produk yang dibuat dengan isi sampah limbah, daur ulang, atau
sampah pertanian.
Lebih baik menggunakan kembali sebuah produk daripada
menghasilkan yang baru. Contoh bahan daur ulang pasca industri
adalah batu bata, millwork, framing kayu, perlengkapan pipa air
(plumbing fixture), terak biji besi yang digunakan untuk membuat
mineral isolasi wol, hasil proses semen yang berupa partikel debu
semen (fly ash) digunakan untuk membuat skrap beton, dan
Polyvinyl Chloride (PVC) dari pembuatan pipa digunakan untuk
membuat asesoris pipa air. Fitur penting dari produk hijau adalah
material daur ulang. Contohnya, minyak jeruk yang merupakan
produk limbah dari ekstraksi jus jeruk dan lemon dapat digunakan
sebagai produk hijau.
2. Produk yang menghemat Sumber Daya Alam.
Yaitu produk yang menggunakan lebih sedikit pemakaian bahan
daripada produk standar, produk yang sangat tahan lama dan
karena itu tidak sering memerlukan penggantian. Produk tersebut
antara lain produk yang terbuat dari kayu bersertifikasi FSC, dan
produk buatan yang berasal dari sumber daya cepat terbarukan
seperti clip dry wall yang memungkinkan penghapusan kancing
sudut, jendela dari fiberglass dan material batu kali, produk yang
memiliki daya tahan yang luar biasa atau perawatan rendah.
3. Produk yang menghindari emisi beracun atau lainnya.
Produk yang alami atau minimal olahan dapat disebut hijau
apabila penggunaan energinya rendah dan risiko pelepasan
kimiawi selama proses pembuatannya rendah. Contohnya produk
kayu, pertanian atau tanaman non-pertanian, dan produk mineral
seperti batu alam. Beberapa produk dibuat dengan meminimalkan
bahan yang mengandung senyawa toksik, unsur perantara, atau

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 145
produk sampingan, misalnya lampu neon dengan kadar merkuri
rendah, PVC dan material penghambat api yang sudah dilapisi
brom (brominated fire retardants). Ada pula material bangunan
yang lain, seperti produk bangunan yang diobati dengan asam
borat, paving berpori yang menyerap air hujan ke dalam tanah
dengan volume air lebih besar dari pada paving beton, sistem atap
hijau yang menghasilkan pelepasan oksigen ke udara lebih besar
dari pada atap beton, dan daur ulang air bekas pakai di dalam
gedung untuk mengurangi pembuangan air limbah. Sedangkan
contoh sistem produk hijau adalah sistem umpan yang
menghilangkan kebutuhan akan aplikasi pestisida berbasis luas.
4. Produk yang hemat energi atau air.
Komponen bangunan yang mengurangi pemanasan global dan
mengurangi beban bangunan struktural, misalnya Insulated Panels
(SIPs), Insulated Concrete Forms (ICFs), Autoclaved Blok Aerated
Concrete (AAC), dan jendela dari bahan kaca dengan performa
tinggi. Selain itu peralatan yang dipergunakan dalam gedung dan
bangunan hunian seperti pemanas air tenaga surya, sistem
fotovoltaik, dan turbin angin adalah beberapa produk yang
memungkinkan kita untuk menggunakan energi terbarukan dan
bukan bahan bakar fosil. Beberapa produk seperti sistem
tangkapan air hujan, toilet hijau, dan pancuran berfungsi sebagai
perlengkapan yang menghemat air.
5. Produk yang berkontribusi pada lingkungan yang sehat.
Produk yang berkontribusi pada lingkungan yang sehat adalah
produk yang tidak melepaskan polutan signifikan ke dalam
bangunan, seperti cat dengan tingkat Volatile Organic Compound
(VOC) rendah, atau perekat dan produk dengan emisi sangat
rendah (seperti non formaldehida yang terdapat pada produk
kayu). Produk lain seperti material insulasi (pencegah panas) yang
minim polutan juga digunakan dalam ruang. Ada pula saringan
udara untuk sirkulasi yang digunakan untuk melindungi masuknya
udara kotor atau serat insulasi ke dalam sistem saluran udara.
Penggunaan sistem Track-off yang diletakkan di pintu masuk
dimaksudkan untuk membantu menyingkirkan polutan dari
sepatu. Sistem ini dilapisi duct board untuk mencegah

146 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
penumpahan serat dan membantu mengendalikan pertumbuhan
jamur. Contoh lainnya adalah alat penangkapan Linoleum untuk
mencegah pertumbuhan mikroba karena oksidasi asam linoleat.
Untuk menjaga supaya udara dalam gedung tetap sehat, terdapat
produk yang dapat mengurangi polutan dalam ruangan seperti
produk ventilasi tertentu, filter, peralatan mitigasi radon. Selain
itu ada produk seperti detektor karbon monoksida (CO), untuk
mendeteksi kadar CO dalam ruangan, alat uji timbal yang mungkin
terdapat dalam cat di dalam ruangan. Secara keseluruhan alat uji
kualitas udara (IAQ) adalah produk yang mengingatkan penghuni
tentang ancaman kesehatan di dalam gedung. Produk hijau
memungkinkan kita untuk membawa cahaya matahari ke dalam
sebuah bangunan, termasuk skylight tubular, skylight komersial
khusus, dan sistem pencahayaan fiber optic, pencahayaan sistem
spektrum penuh, dan panel langit-langit yang reflektif.

MENGAPA BANGUNAN HIJAU

Konsep Bangunan Hijau pada dasarnya bertujuan untuk


menghemat pemakaian energi pada bangunan bertingkat komersial
secara umum. Pada skala nasional, pemerintah mendorong pemilik
bangunan komersial untuk menggunakan bangunan yang ramah
lingkungan, menghemat energi untuk mendukung program Bangunan
Hijau. Strategi Bangunan Hijau dapat dicapai dari lima tahapan Go
Green (Armstrong, 2008), diantaranya adalah:
1. Mengurangi konsumsi sumber daya (energi dan air).
2. Mengurangi limbah dan melakukan upaya daur ulang.
3. Material bangunan (meniadakan material berbahaya, memilih
material yang ramah lingkungan, mempergunakan material yang
tidak menyebabkan lubang pada ozon).
4. Lingkungan di dalam bangunan (kualitas udara, suhu ruang,
pemeliharaan AC dan saluran udara).
5. Kepedulian penghuni/pemakai bangunan (komunikasi antara
pemilik dan penghuni/pemakai bangunan). Komunikasi ini sangat
penting sebagai upaya mengurangi dampak lingkungan yang
bersifat negatif. Sebagai contoh, apabila pemilik bangunan akan

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 147
mengubah sistem AC atau pembuangan limbah, pemilik bangunan
harus dikomunikasikan dengan penghuni/pemakai terlebih
dahulu, supaya hasilnya efektif.

LEMBAGA BANGUNAN HIJAU INDONESIA

Lembaga Bangunan Hijau (Green Building Council/GBC) Indonesia


adalah lembaga mandiri (non government) dan nirlaba (non-profit)
yang berkomitmen penuh terhadap pendidikan masyarakat dalam
mengaplikasikan praktik terbaik lingkungan dan memfasilitasi
transformasi industri bangunan global yang berkelanjutan. GBC
Indonesia didirikan pada tahun 2009 dan diselenggarakan dengan
sinergi di antara para pemangku kepentingan, meliputi: pemerintah,
kalangan industri sektor bangunan dan properti, profesional bidang
jasa konstruksi, institusi pendidikan dan penelitian. Lembaga ini
merupakan anggota dari Lembaga Bangunan Hijau Dunia (World
Green Building Council/WGBC) yang berpusat di Toronto, Kanada.
Salah satu program lembaga ini adalah menyelenggarakan kegiatan
Sertifikasi Bangunan Hijau di Indonesia berdasarkan perangkat
penilaian khas Indonesia yang disebut Greenship (Redaksi Butaru,
n.d.). Melalui lembaga ini pemerintah menyatakan dukungannya
untuk menyehatkan kembali kondisi gedung-gedung di perkotaan dari
penyakit SBS.

SISTEM PERINGKAT BANGUNAN HIJAU (GREENSHIP)

Sistem peringkat bangunan hijau atau greenship dipergunakan


sebagai perangkat penilaian. Sistem ini menggunakan kriteria
penilaian yang berdasarkan standar lokal baku mutu. Standar tersebut
adalah Undang-Undang (UU), Keputusan Presiden (Keppres), Instruksi
Presiden (Inpres), Peraturan Menteri (Permen), Keputusan Menteri
(Kepmen), dan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Beberapa peraturan yang menjadi acuan dalam pembuatan
Greenship adalah:

148 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
1. Peraturan Menteri PU 30/PRT/M/2006 mengenai Pedoman Teknis
Fasilitas dan Aksessibilitas pada Bangunan Gedung dan
Lingkungan.
2. Peraturan Menteri PU No. 5/PRT/M/2008 mengenai Ruang
Terbuka Hijau (RTH) B/277/Dep.III/LH/01/2009.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2002
tentang Bangunan Gedung UU RI No. 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang.
4. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
5. Keputusan DNA (Designated National Authority) dalam B-
277/Dep.III/LH/01/2009.
6. Keputusan Menteri No. 112 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air
Kotor Domestik.
7. Permen PU No. 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan
Teknis Bangunan Gedung.
8. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002.
9. UU No. 18 Tahun 2008.

Sistem peringkat (rating) adalah suatu alat berisi butir-butir dari


aspek penilaian yang disebut rating dan setiap butir rating mempunyai
nilai (credit point). Apabila suatu bangunan berhasil melaksanakan
butir rating, maka bangunan itu akan mendapatkan poin nilai dari
butir tersebut. Bila jumlah semua poin nilai yang berhasil dikumpulkan
mencapai suatu jumlah yang ditentukan, maka bangunan tersebut
dapat disertifikasi untuk tingkat sertifikasi tertentu. Namun sebelum
mencapai tahap penilaian rating terlebih dahulu dilakukan pengkajian
bangunan untuk pemenuhan persyaratan awal penilaian (eligibilitas).
Sistem Rating Greenship dipersiapkan dan disusun oleh Lembaga
Bangunan Hijau (GBC) Indonesia untuk menentukan apakah suatu
bangunan dapat dinyatakan layak bersertifikat "bangunan hijau" atau
belum. Greenship bersifat khas Indonesia seperti halnya perangkat
penilaian di setiap negara yang selalu mengakomodasi kepentingan
lokal setempat. Program sertifikasi diselenggarakan oleh Komisi Rating
Lembaga Bangunan Hijau Indonesia secara kredibel, akuntabel dan
penuh integritas (GBC Indonesia, 2017). Setiap negara yang sudah

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 149
mengikuti gerakan bangunan hijau mempunyai sistem rating masing-
masing, sebagai contoh Amerika Serikat (LEED), Singapura (Green
Mark), Australia dengan Green Star, dan sebagainya.
Greenship sebagai sebuah sistem rating terbagi atas enam aspek
yang terdiri dari (GBC Indonesia, 2017):
1. Tepat Guna Lahan (Appropriate Site Development/ASD).
2. Efisiensi Energi & Refrigeran (Energy Efficiency & Refrigerant/EER).
3. Konservasi Air (Water Conservation/WAC).
4. Sumber dan Siklus Material (Material Resources & Cycle/MRC).
5. Kualitas Udara dan Kenyamanan Udara (Indoor Air Health &
Comfort/IHC).
6. Manajemen Lingkungan Bangunan (Building & Enviroment
Management).

Masing-masing aspek terdiri atas beberapa rating yang


mengandung kredit, masing-masing memiliki muatan nilai tertentu
dan akan diolah untuk menentukan penilaian. Poin nilai memuat
standar-standar baku dan rekomendasi untuk pencapaian standar
tersebut.
Greenship meliputi 5 hal berikut ini (GBC Indonesia, 2017):
1. Bangunan lama/ terbangun; greenship untuk gedung terbangun
digunakan untuk bangunan gedung yang telah lama beroperasi
minimal satu tahun setelah gedung selesai dibangun. Penerapan
green building pada gedung terbangun banyak terkait dengan
manajemen operasional dan pemeliharaan gedung.
2. Bangunan baru; penerapan konsep bangunan hijau pada gedung
baru banyak terkait dengan desain dan perencanaan bangunan.
Tim proyek memiliki kesempatan berkreasi dan berinovasi untuk
menciptakan green building yang menyeluruh. Adapun jenis
proyek yang dapat masuk ke dalam bangunan baru greenship,
yaitu:
a. Gedung baru pada lahan kosong.
b. Aktivitas renovasi sebesar minimal 90% bobot pekerjaan
mekanikal elektrikal atau pekerjaan struktur, pada lahan yang
telah dibangun.

150 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
c. Gedung baru pada lahan dalam suatu kawasan terpadu.
Proses penilaian dilakukan mulai dari desain hingga
pelaksanaan konstruksi selesai.
3. Interior space; ruang interior hijau memungkinkan kita untuk
bernapas, memberi pemandangan keluar bangunan dan
pencahayaan alami membuat kita lebih sehat dan produktif.
Lingkup penilaian meliputi aktivitas fit out, kebijakan pihak
manajemen, serta pengelolaan oleh pihak manajemen setelah
aktivitas di dalamnya mulai beroperasi. Greenship ruang interior
dapat digunakan oleh:
a. tim proyek yang tidak mempunyai kontrol pada keseluruhan
gedung untuk membuat ruang di dalam gedung yang lebih
sehat dan nyaman,
b. pada sebagian atau keseluruhan ruangan di dalam gedung,
c. diikuti oleh proses kegiatan fit out.
4. Rumah hunian: penerapan bangunan hijau pada gedung
terbangun banyak terkait dengan manajemen operasional dan
pemeliharaan gedung. Rumah ramah lingkungan adalah rumah
yang bijak dalam menggunakan lahan, efisien dan efektif dalam
penggunaan energi, air, dan sumber daya; serta sehat dan aman
bagi penghuni rumah. Keberlanjutan dari rumah ramah
lingkungan harus disertai dengan perilaku ramah lingkungan oleh
penghuninya. Jenis rumah yang dapat dilakukan penilaian
meliputi:
a. Rumah tunggal (single landed), yaitu rumah hunian tunggal
yang terbangun melekat di atas tanah.
b. Desain rumah baru, rumah terbangun (existing), dan rumah
terbangun yang ditata kembali (redevelopment).

Kita dapat melakukan penilaian mandiri (self assessment) untuk


mengetahui apakah rumah atau design rumah kita termasuk
green building atau tidak. Link dapat diakses secara gratis pada
www.greenshiphomes.org (greenshiphomes, 2017).

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 151
5. Lingkungan/kawasan; merupakan perangkat penilaian yang
membantu mewujudkan kawasan yang berkelanjutan dan ramah
bagi penggunanya, dengan lingkup lebih luas dari skala bangunan;
melihat interaksi antara bangunan, alam, dan manusia. Konsep
keberlanjutan dalam kawasan sangat ditentukan oleh kondisi
kawasan, bangunan, dan manusia di dalamnya. Pengembangan
kawasan merupakan investasi jangka panjang untuk kelanjutan
kehidupan masyarakat di dalamnya. Dapat digunakan untuk
penilaian perumahan, daerah pusat bisnis (Central Bussiness
District/CBD), kawasan industri baik skala kecil atau besar.

152 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Tabel 1. Contoh Satuan Alat Ukur Greenship pada Tahap Desain

Sumber: GBC Indonesia (2011)

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 153
BANGUNAN HIJAU DI JAKARTA

Melalui sistem sertifikasi peringkat hijau (Greenship) diharapkan


seluruh bangunan-bangunan di kota besar di Indonesia sudah bebas
dari SBS dengan bukti kepemilikan sertifikat. Bangunan-bangunan
pemerintah khususnya di wilayah DKI Jakarta, sudah banyak yang
mempunyai kriteria “Memenuhi Persyaratan Greenship” dan
diharapkan seluruh bangunan pemerintah dan bangunan lainnya di
seluruh provinsi di Indonesia juga memenuhi kriteria tersebut.
Gedung baru Kementerian PU dan Kantor DPRD DKI Jakarta adalah
sebagian dari gedung-gedung negara yang telah mendapatkan
sertifikat Greenship. Gubernur DKI Jakarta telah mengeluarkan
peraturan yang tertuang di dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta
nomor 38 tahun 2012 tentang Bangunan Gedung Hijau. Yang
membanggakan adalah dengan Pergub tahun 2012 ini, Jakarta
menjadi kota pertama di Asia Pasifik yang mewajibkan pembangunan
gedung ramah lingkungan. Terkait dengan Pergub. DKI Jakarta
tersebut, terhitung sejak tanggal 23 April 2013 semua bangunan di
Jakarta harus memenuhi persyaratan bangunan hijau, baik bangunan
baru maupun bangunan lama (abouturban, 2016). Data yang
didapatkan dari manajemen Lembaga Bangunan Hijau Indonesia
(GBCI) menyebutkan bahwa tahun 2016, 98% gedung di Jakarta
merupakan bangunan eksisting dan 2% merupakan bangunan baru.
Gedung yang bersertifikat bangunan hijau baru 14 gedung. Berikut ini
adalah contoh green building di kota Jakarta yaitu: Pertamina Energy
Tower, Gedung Kementerian PU, Menara BCA PT. Grand Indonesia,
Gedung Sampoerna Strategic Square PT. Buana Sakti, Gedung Mina
Bahari IV kompleks Kementerian Kelautan dan Perikanan. Diharapkan
pada tahun yang akan datang kota-kota di Indonesia menjadi kota
hijau di dunia, seperti Vancouver di Kanada, Malmo di Swedia, Curitiba
di Brazil, Portland di Amerika Serikat, dan Reykjavik di Islandia.

154 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Sumber: Majalah Techno Konstruksi (2012)

Gambar 1. Bangunan Hijau di Jakarta

MODEL DAN PERMODELAN SISTEM

Model adalah rencana, representasi, atau deskripsi yang


menjelaskan suatu obyek, sistem atau konsep yang sering kali berupa
penyederhanaan atau idealisasi. Bentuknya dapat berupa model fisik
(maket, prototype), model citra (gambar, komputerisasi, grafis, dan
lain-lain) atau rumus matematis. Dalam pemodelan, model akan
dirancang sebagai suatu penggambaran operasi dari suatu sistem
nyata secara ideal dengan tujuan untuk menjelaskan atau
menunjukkan hubungan-hubungan penting yang terkait (Ackoff,
1962).
Prinsip-prinsip dasar pengembangan model adalah sebagai
berikut:
a. Elaborasi: model dimulai dari yang sederhana sampai didapatkan
model yang representatif.
b. Analogi: pengembangan menggunakan prisip-prinsip dan teori
yang sudah dikenal luas.
c. Dinamis: pengembangannya ada kemungkinan untuk bisa diulang.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 155
Taksonomi model atau klasifikasi model terdiri dari delapan yaitu:
1. Berdasarkan fungsinya, model dibedakan menjadi 3 jenis: model
deskriptif, model prediktif, dan model normatif.
2. Berdasarkan strukturnya model dibedakan menjadi 3 jenis:
a. Model ikonik, yaitu model yang menirukan sistem aslinya, tapi
dalam suatu skala tertentu. Contoh: model pesawat.
b. Model analog, yaitu suatu model yang menirukan sistem
aslinya dengan hanya mengambil beberapa karakteristik
utama dan menggambarkannya dengan benda atau sitstem
lain secara analog. Contoh: aliran lalu lintas di jalan
dianalogkan dengan aliran air dalam sistem pipa.
c. Model simbolis, yaitu suatu model yang menggambarkan
sistem yang ditinjau dengan simbol-simbol biasanya dengan
simbol-simbol matematik. Dalam hal ini sistem diwakili oleh
variabel - variabel dari karakteristik sistem yang ditinjau.
3. Berdasarkan referensi waktu terdapat 2 jenis model: yaitu model
statis dan model dinamis.
4. Berdasarkan referensi kepastian dibedakan menjadi 4 jenis
model: model deterministik, model probabilistik, model konflik,
dan model tak pasti (uncertainly).
5. Berdasarkan tingkat generalitas ada 2 jenis model: yaitu model
umum dan model khusus.
6. Berdasarkan acuan lingkungan ada 2 jenis model: yaitu model
terbuka dan model tertutup.
7. Berdasarkan derajat kuantifikasi adalah model kualitatif (model
mental dan model verbal), dan model kuantitatif (model statistik,
model optimasi, model heuristik, dan model simulasi) yang
menggambarkan mutu.
8. Berdasarkan dimensi ada 2 jenis model yaitu model dua dimensi
dan model tiga dimensi.

Sedangkan sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri dari


komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk
memudahkan aliran informasi, materi atau energi untuk mencapai
suatu tujuan.

156 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Permodelan sistem adalah suatu bentuk penyederhanaan dari
beberapa elemen dan komponen yang sangat kompleks untuk
memudahkan pemahaman pembaca dari seluruh informasi yang
dibutuhkan.
Karakteristik permodelan sistem adalah:
1. Dibuat dalam bentuk grafis dan tambahan narasi berupa
penjelasan ringkas.
2. Dapat diamati dengan pola top down dan partitioned (sebagian).
3. Memenuhi persyaratan minimal redundancy.
4. Dapat merepresentasikan tingkah laku sistem dengan cara yang
transparan.

Dengan karakteristik permodelan tersebut, model dapat dibuat


dalam bentuk grafis atau bergambar dan dilengkapi dengan
keterangan gambar atau grafis sehingga dapat memudahkan
pembaca. Alur dari proses model tersebut dapat dilihat dan diamati,
memenuhi syarat minimal redundancy dan dapat merepresentasikan
proses dari suatu sistem yang mudah dipahami.
Prinsip permodelan adalah:
1. Memilih model apa yang akan digunakan, bagaimana masalah dan
solusinya.
2. Setiap model dapat dinyatakan dalam tingkatan yang berbeda.
3. Model terbaik adalah model yang berhubungan atau menyatakan
realitas.
4. Tidak ada model tunggal yang cukup baik, sehingga setiap sistem
yang baik memiliki serangkaian model kecil yang independen

Prinsip permodelan sistem tidak terlalu menitikberatkan pada


bentuk model tertentu yang akan merancang sebuah sistem. Bentuk
model ini bebas, dapat menggunakan apa saja sesuai keinginan kita,
contohnya berupa gambar, prototipe dan narasi, gabungan kedua
atau ketiganya. Model yang baik harus dapat merepresentasikan
visualisasi bentuk sistem yang diinginkan, karena sistem akhir yang
akan dibuat harus dapat diturunkan berdasarkan hasil model tersebut
(Triwidiastuti, 2010) .

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 157
KONSEP SIX SIGMA DAN PENGEMBANGANNYA

Salah satu program pengendalian kualitas yang terukur secara


statistik adalah Six Sigma, karena sasaran program ini adalah
menghasilkan produk dengan spesifikasi tertentu dengan cara
menjaga variabilitas selama proses produksi berlangsung. Variabilitas
yang diperkenankan sebesar 3,4 Defects Per Million Opportunities
(DPMO), yaitu 0,027% produk tidak layak, baik untuk upper control
limit (UCL) maupun lower control limit (LCL). Pada awalnya hanya
terdapat satu istilah, yaitu Six Sigma. Seiring berjalannya waktu,
terdapat beberapa istilah dalam pengertian Six Sigma karena
kebutuhan yang semakin kompleks, antara lain DMAIC (define,
measure, analyse, improve), DMADV (define, measure, analyse, design
and verify), CDOC (conceptualize, design, optimize, control), DMADOV
(define, measure, analyze, design, optimize, verify). Selama ini Six
Sigma sudah diterapkan pada manajemen kualitas di bidang industri.
Disamping itu sudah diterapkan secara luas di bidang jasa (service),
diantaranya: layanan service delivery, layanan medis dan rumah sakit,
layanan perbankan, customer value creation, layanan IT. DMADV atau
Design For Six Sigma (DFSS) sudah diteliti pada layanan pendidikan
tinggi (Triwidiastuti, 2010). Apabila dibandingkan dengan metode
peningkatan kualitas yang lain DFSS merupakan metode yang
menyeluruh, bertahap, dan lebih rinci. DFSS dapat diterapkan dan
merupakan bagian dari program manajemen kualitas dan program
pengembangan produk yang meliputi: perencanaan kualitas,
pengendalian kualitas, peningkatan kualitas dan jaminan kualitas.
DFSS ini juga terkadang sering disamakan dengan DMADV. Berbeda
dengan DMAIC Six Sigma tradisional, DFSS atau DMADV berjuang
untuk menghasilkan sebuah proses yang sebelumnya tidak ada atau
ketika suatu proses yang sudah ada dianggap tidak memadai dan
harus diganti. DFSS menargetkan untuk membuat sebuah proses yang
mengoptimalkan terciptanya sebuah efisiensi dengan metode Six
Sigma ke dalam proses sebelum implementasi. DFSS tidak seperti Six
Sigma tradisional yang melakukan improvement berkelanjutan setelah
proses tersebut terjadi (Triwidiastuti, 2010).

158 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Tulisan ini membahas tentang permodelan bangunan hijau
berbasis konsep kualitas berkelanjutan Six Sigma untuk suatu wilayah
perkotaan di Indonesia. Metode yang dipilih adalah Six Sigma
tradisional (DMAIC), karena proses menuju gedung yang sehat sudah
diukur dengan Greenship Rating dan kegiatan pengukuran sudah
dilakukan pada beberapa gedung di DKI Jakarta. Penulis belum
menemukan bukti bahwa proses pengukuran saat ini dianggap tidak
memadai dan harus diganti. Selain itu, kasus ini tidak memerlukan
desain atau rancangan awal alat ukur, karena pada saat pengamatan
sudah ada alat ukur yang bekerja dengan baik. Dengan demikian,
dapat dirancang model DMAIC Six Sigma untuk mengurangi laju SBS
dan diharapkan dapat meningkatkan kualitas kesehatan untuk
penghuni gedung kantor di DKI Jakarta.

MODEL KONSEP SIX SIGMA UNTUK BANGUNAN HIJAU

Sistem pengukuran greenship yang dilakukan untuk menghindari


SBS dan mengukur kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan
penghuni gedung, dapat dipergunakan dengan metode Six Sigma.
Model Konsep Six Sigma untuk pengukuran bangunan hijau dapat
dilihat pada Gambar 2 sebagai berikut:

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 159
Gambar 2. Model Konsep Six Sigma

Penjabaran masing-masing tahapan pada Gambar 2. di atas


adalah:
1. Pendefinisian (Define), adalah mencari dan menentukan kriteria,
variabel/atribut yang berpengaruh. Sebagai contoh adalah
variabel rating pada alat ukur greenship. Variabel indikator yang
diukur adalah tepat guna lahan, efisiensi energi dan refrigeran,
konservasi air, sumber dan siklus material, kualitas udara dan
kenyamanan hunian. Masing-masing variabel tersebut dirinci
dalam beberapa variabel yang dapat diukur secara kuantitatif,
sehingga dapat menghitung peringkatnya.
2. Pengukuran (Measure), dapat dijabarkan menjadi dua langkah
yaitu:
a. mencari hubungan dan tingkat keeratan hubungan masing-
masing variabel/atribut.
b. menghitung bobot variabel/atribut masing-masing.

160 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Langkah mencari hubungan dan keeratan hubungan antar
beberapa variabel/atribut ini dilakukan dengan analisis statistik
kuantitatif dengan mempertimbangkan: sebab akibat, baik positif
maupun negatif, tipe hubungan antar variabel (simetris, asimetris
atau timbal balik). Sedangkan menghitung bobot dapat dilakukan
dengan analisis statistik kuantitatif (analisis faktor, analisis kluster,
dan lain-lain) maupun analisis kualitatif (penskoran/skala likert,
analisis cut off point, brain storming, dan lain-lain). Untuk
perhitungan kuantitatif dipergunakan analisis yang faktor
konfirmatori. Analisis faktor ini adalah serangkaian langkah
mengidentifikasi adanya hubungan antarvariabel penyusun faktor
atau dimensi dengan faktor yang terbentuk, dengan
menggunakan pengujian koefisien korelasi antar faktor dengan
komponen pembentuknya.
3. Analisis (Analyze)
a. Memetakan hubungan masing-masing variabel/atribut
tersebut. Pemetaan dilakukan setelah mengetahui hubungan
antar variabel dan mengukur keeratan hubungan masing-
masing variabel satu dengan yang lain (path analysis).
Hasilnya adalah gambaran hubungan, keeratan antar variabel
dengan dicantumkan masing-masing bobot kepentingan
(peringkat/rating)nya.
b. Mengukur seberapa kuat/lemah pengaruh variabel/atribut
satu sama lain. Dari beberapa variabel yang terukur, dapat
diindentifikasi variabel mana yang paling berpengaruh dan
variabel mana yang paling lemah dalam perhitungan
penentuan variabel greenship untuk analisis kesehatan
gedung.
c. Membangun model konseptual. Dari hasil identifikasi variabel,
hubungan antar variabel dan bobot variabel yang paling kuat
dan paling lemah dapat dibuat pemetaan hubungan satu
variabel dengan variabel yang lain.
d. Membangun model matematis. Dari model konseptual yang
telah terbangun, dihitung keeratan, hubungan dan
bobot/peringkat masing-masing variabel dengan perhitungan
matematis sehingga menghasilkan sebuah model matematis.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 161
4. Perbaikan (Improvement)
Model yang sudah berjalan disempurnakan supaya berfungsi
dengan baik workability dan accessability-nya. Alat ukur greenship
yang telah terbentuk dari beberapa variabel, dipergunakan untuk
mengukur tingkat kesehatan dan kenyamanan penghuni, dengan
acuan Model konseptual dan model matematis yang telah
terbentuk. Apabila alat ukur greenship telah dipergunakan secara
kontinu dan beberapa waktu untuk pencegahan SBS, dan hasilnya
adalah penurunan tingkat SBS, maka alat ukur dapat dikatakan
memenuhi fungsinya. Apabila tingkat SBS tidak menurun setelah
pengukuran greenship, maka komponen greenship yang ada
dalam gedung perlu dievaluasi dan diperbaiki kualitasnya sehingga
dapat mengurangi SBS. Langkah berikutnya adalah mengevaluasi
alat ukur, apakah sudah dapat mengukur dengan baik dan benar
kemudian memperbaiki alat ukur tersebut apabila terdapat
ketidaksesuaian.
5. Pengawasan (Controlling).
Baik model konseptual, maupun model matematis dan alat ukur
yang sudah berjalan dimonitor dan dievaluasi terus menerus setiap
tahun. Apabila menunjukkan ketidaksesuaian, harus diperbaiki
secara kontinu, sehingga target gedung yang bebas SBS akan
tercapai.

CONTOH TAHAPAN SOLUSI MENUJU GEDUNG YANG BEBAS SBS

Penerapan konsep green building yang mendukung kesejahteraan


pekerja dan produktifitas kerja dilakukan oleh Jones Lang LaSalle
(Anonymous, 2011). Perusahaan ini menganalisis perspektif
keberlanjutan efek dari kualitas udara dalam ruangan, cahaya alami,
kenyamanan termal dan fitur lingkungan bangunan lainnya pada
produktivitas di tempat kerja secara global. Hasilnya adalah:
1. Kualitas udara dalam ruangan
a. memungkinkan individu melakukan kontrol tingkat kualitas
udara dalam ruangan dan ventilasi,
b. menghindari penempatan printer dan mesin fotokopi di dekat
meja kerja untuk meminimalkan polusi debu toner,

162 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
c. menggunakan perlengkapan pembersih bebas kimia,
d. memasang dinding dan penutup lantai dengan emisi rendah,
e. melakukan pemantauan kualitas udara secara teratur.
2. Cahaya dalam ruangan
a. mengatur pencahayaan ruangan yang optimal dengan
mempergunakan lampu, memasang tirai dengan corak yang
dapat mengurangi silau matahari,
b. menghindari silau pada layar komputer dari pencahayaan
jendela kantor.
3. Kenyamanan termal dengan memberi wewenang pada individu
pekerja atas suhu tempat dan lingkungan kerja, jika mungkin
secara berkala memantau tingkat suhu udara.
4. Akses ke tampilan luar dan ruang eksternal
a. merancang tata letak tempat kerja yang terbuka untuk
memaksimalkan akses ke pandangan luar,
b. memberikan akses untuk staf ke ruang eksternal untuk
digunakan sebagai tempat istirahat dan ruang kolaborasi.
5. Akustik
a. memantau tingkat kebisingan printer dan mesin fotokopi,
b. menyediakan area kerja yang terpisah untuk mengakomodasi
berbagai tingkat kebisingan, seperti area yang sepi, ruang
pertemuan dan lounge.
6. Ergonomi
a. mendidik karyawan tentang praktik ergonomi yang tepat,
b. mempergunakan peralatan yang dapat mengurangi gangguan
muskuloskeletal.

PENUTUP

Model Bangunan Hijau (green building) Six Sigma adalah


mengukur sejauh mana pencapaian tujuan bangunan hijau supaya
bebas SBS dengan alat ukur greenship. Ketercapaian tingkat bangunan
hijau yang sehat, aman, dan nyaman bagi penghuninya diukur
kualitasnya secara berkelanjutan dengan model Six Sigma yaitu
melalui serangkaian tahapan DMAIC. Yang perlu dilakukan adalah
pengurangan polusi, pemantauan pencahayaan, suara dan suhu udara

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 163
di lingkungan kerja, tersedianya ruang istirahat yang nyaman dan
peralatan kerja yang ergonomis untuk mencapai target gedung yang
bebas SBS.

164 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
DAFTAR PUSTAKA

Ackoff, R. (1962). Scientific method, optimizing applied reasearch


decisions. New York: Wiley and Sons.

Anonymous (2011). PR Newswire New York Tanggal 13 Juli 2011.


Diakses tanggal 20 Agustus 2017, dari www.prnewswire.com .

Armstrong, B. (2008). Green building strategies. Manitoba Business,


30 (2), ABI/INFORM Complete pg.14.

Abouturban (2016). Eksistensi green building di Kota Jakarta. Diakses


tanggal 20 Agustus 2017, dari http://www.abouturban.com/2016
/05/28/mahakarya-arsitek-tadao-ando-2/.

GBC Indonesia (2017). Rating tools. Diakses tanggal 22 Mei 2017, dari
http://www.gbcindonesia.org/greenship.

Greenshiphomes (2017). Greenship Homes Ver 1.0. Diakses tanggal 27


Mei 2017, dari www.greenshiphomes.org.

GBC Indonesia (2011). Greenship Existing Building Version 1.0


Ringkasan Tolak Ukur. Green Building Council Indonesia.

Kilbert, C.J. (2016). Sustainable construction: green building design


and delivery. Diakses dari https://books.google.co.id/books?hl=
en&lr=&id=2xgWCgAAQBAJ&oi=fnd&pg=PR15&dq=Green+Buildin
g+A+Sustainable+Concepts

Majalah Techno Konstruksi (2012). Infrastruktur outlook 2012. Diakses


tanggal 03 Oktober 2017 dari
http://majalahtechnokonstruksi.blogspot.co.id/2012/01/no-44-
edisi-januari-2012.html.

Redaksi Butaru (n.d). Green building a sustainable consept for


construction development in Indonesia. Diakses dari

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 165
http://tataruang.atr-bpn.go.id/Bulletin/upload/data_artikel/Green
%20Building%20A%20Sustainable%20Consept%20for%20Constru
ction%20Development%20in%20Indonesia.pdf.

Sinha, R. (2009). The green building, a step toward to sustainable


architecture. The IUP Journal of Infrastructure, VII (2): p91.

Triwidiastuti, S.E. (2010). Tinjauan metodelogi antara analisis


kapabilitas proses multivariat dengan metode grafis dan Six Sigma
untuk pengukuran kualitas layanan pada pendidikan tinggi.
Proceeding Seminar Nasional Matematika Universitas
Parahyangan, 2 Oktober 2010.

166 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
PERANAN KIMIA HIJAU (GREEN CHEMISTRY)
DALAM MENDUKU NG TERCAPAIN Y A KOTA
CERDAS
(SMART CITY) SUATU TINJAUAN PUSTAKA

Dina Mustafa

PENDAHULUAN

Visi Kota Cerdas/Smart City, adalah perkotaan masa depan, yang


dikembangkan agar memiliki lingkungan yang aman, terjamin, hijau
serta efisien. Semua sistem dan strukturnya – baik sumberdaya listrik
dan gas, air, transportasi dan sebagainya dirancang, dibangun, dan
dikelola dengan memanfaatkan kemajuan di bidang materi
terintegrasi, sensor, elektronik, dan jejaring yang dihubungkan dengan
sistem komputer untuk database, pelacakan, dan algoritma untuk
pengambilan keputusan (Calvillo, Sanchez-Miralles, & Viilar, 2016).
Untuk mewujudkan hal ini diperlukan penelitian dan teknologi dari
berbagai bidang seperti Fisika, Kimia, Biologi, Matematika, Ilmu
Komputer, serta Teknik-teknik Sistem, Mekanika, Elektronika dan Sipil
(Woinaroschy, 2016).
Konsep kota cerdas diperkenalkan untuk mengusahakan
tersedianya kehidupan perkotaan yang baik bagi penduduknya melalui

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 167
pengelolaan optimal berbagai sumberdaya yang diperlukan. Konsep
kota cerdas merupakan proses kegiatan yang dilakukan untuk
membuat perkotaan menjadi nyaman untuk kehidupan penduduknya
dan siap menghadapi berbagai tantangan yang mungkin muncul.
Tahun 2008 para walikota di Eropa telah menyepakati kebijakan-
kebijakan pembangunan kota berkelanjutan, yaitu mencapai tujuan
20-20-20 (20% reduksi gas buang/emisi, 20% energi terbarukan, dan
20% peningkatan efisiensi energi) pada tahun 2020 (Woinasroschy,
2016).
Kota cerdas digambarkan dengan atribut kecerdasan dalam hal
bangunan, infrastruktur, teknologi, energi, mobilitas, penduduk,
administrasi, dan pendidikan (Albino, Berardi, & Dangelico, 2015).
Atribut-atribut itu secara terintegrasi diterapkan dalam mengelola
sumberdaya, mengendalikan tingkat polusi, dan mengalokasikan
energi. Sebagai penggiat pengembangan ekonomi terutama pada
industri moderen seperti elektronik, teknologi informasi, bio dan
nanoteknologi, yang memainkan peran penting pada struktur dan
pengelolaan kota cerdas, industri kimia yang menerapkan prinsip
Kimia Hijau dapat memainkan peranan penting pada evolusi
berkelanjutan kota cerdas.
Untuk Indonesia, standar kota cerdas sedang dikembangkan, yang
didasarkan pada standar internasional (Prihadi, 2016). Smart City atau
kota cerdas memiliki 6 (enam) indikator yaitu smart governance,
pemerintahan transparan, informatif, dan responsif; smart economy,
menumbuhkan produktivitas dengan kewirausahaan dan semangat
inovasi; smart people, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan
fasilitas hidup layak; smart mobility, penyediaan sistem transportasi
dan infrastruktur; smart environment, manajemen sumber daya alam
yang ramah lingkungan; dan smart living, mewujudkan kota sehat dan
layak huni. Menurut Guru Besar Sekolah Teknik Elektro dan
Informatika (STEI) ITB, Suhono Harso Supangkat, yang juga adalah
inisiator kota cerdas di Indonesia, kota-kota besar di Indonesia sedang
berusaha mencapai standar kota cerdas, yang saat ini baru tercapai
pada level 60 (Prihadi, 2016). Belum sempurnanya kota cerdas di
Indonesia, menurut beliau, karena belum adanya sumber daya
manusia yang mencukupi yang menguasai berbagai teknologi

168 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
pengeloaan kota cerdas dan belum adanya satu kesatuan soal standar
nasional pengelolaan kota cerdas (Prihadi, 2016).
Dari total 514 kabupaten atau kota di Indonesia, ada 50 yang
ditargetkan oleh Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional
(Wantiknas) dapat memenuhi kriteria kota cerdas (Windhi, 2016).
Pemerintah juga menunjuk lima universitas untuk membuat kriteria
nasional dan melakukan sosialisai mengenai kota cerdas ini.
Enam kriteria yang telah didefinisikan sebelumnya juga menjadi
pertimbangan tim Wantiknas ini. Indonesia telah mencanangkan
kriteria kota cerdas dengan menerbitkan Perpres Nomor 96 tahun
2014, yang mermuat Rencana Pita Lebar Indonesia atau RPI, yang
diharapkan dapat bermanfaat, terjangkau, dan memberdayakan
warga kota (Windhi, 2016). Indonesia telah merencanakan
tercapainya prinsip kota cerdas yang layak huni, aman dan nyaman
pada 2025, tercapainya kota hijau dan ketahanan terhadap perubahan
iklim dan kejadian bencana pada 2035, dan terciptanya kota cerdas
yang berdaya saing dan berbasis teknologi pada 2045 (Barus, 2017).
Peranan Ilmu dan Teknologi Kimia dalam pembentukan kota
cerdas, antara lain, dengan diperkenalkannya konsep Kimia
Hijau/Green Chemistry untuk pengelolaan pembangunan
berkelanjutan.Kimia Hijau/Green Chemistry, yang berfokus pada
produksi dan teknologi penerapan Ilmu Kimia yang ramah lingkungan,
diperkenalkan pada awal 1990-an (Anastas & Warner, 1998). Kimia
hijau ini merupakan pendekatan untuk mengatasi masalah lingkungan
baik dari segi bahan kimia yang dihasilkan, proses, ataupun tahapan
reaksi yang digunakan. Konsep ini menegaskan tentang suatu metode
yang didasarkan pada pengurangan penggunaan dan pembuatan
bahan kimia berbahaya baik itu dari segi perancangan maupun proses.
Bahaya bahan kimia yang dimaksudkan dalam konsep Kimia Hijau ini
meliputi berbagai ancaman terhadap kesehatan manusia dan
lingkungan, termasuk toksisitas, bahaya fisik, perubahan iklim global,
dan penipisan sumber daya alam.
Anastas dan Warner (1998) menguraikan tentang konsep Kimia
Hijau sebagai gabungan dari 12 prinsip. Prinsip pertama
menggambarkan ide dasar dari Kimia Hijau, yaitu pencegahan. Prinsip
pertama ini menegaskan bahwa pencegahan limbah lebih diutamakan

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 169
daripada perlakuan terhadap limbah. Selanjutnya prinsip pertama ini
diikuti oleh prinsip-prinsip berikutnya yang memandu pelaksanaan
prinsip pertama. Prinsip-prinsip Kimia Hijau yang dapat diterapkan
untuk pembentukan dan pengelolaan kota cerdas, adalah atom
economy, penghindaran toksisitas, pemanfaatan solven dan media
lainnya dengan konsumsi energi seminimal mungkin, pemanfaatan
bahan mentah dari sumber terbarukan, serta penguraian produk kimia
menjadi zat-zat nontoksik sederhana yang ramah lingkungan (Dhage,
2013).
Definisi aspek pengelolaan kota cerdas adalah terdiri dari sistem
pengelolaan air, infrastruktur, transportasi, energi, pengelolaan
limbah, dan konsumsi bahan mentah (Albino, Berardi, & Dangelico,
2015). Dengan demikian Ilmu dan teknologi Kimia, melalui pendekatan
kimia hijau dapat membuat aspek-aspek ini dikembangkan dan
dikelola dengan lebih berkelanjutan, yaitu dengan menerapkan
efisiensi energi dan anggaran yang lebih efektif dan pemanfaatan
materi yang ramah lingkungan. Selanjutnya uraian dalam artikel ini
akan membahas peranan Ilmu dan Teknologi Kimia Hijau pada-pada
masing-masing aspek yang membangun kota cerdas.

PEMBAHASAN

1. Sistem Pengelolaan Air


Di sebagian kota-kota besar di Indonesia, pengelolaan air bersih,
badan air, serta air limbah masih belum sempurna. Banyak penduduk
kota yang tidak punya akses kepada air bersih dan sistem sanitasi
standar yang sehat. Sebenarnya Indonesia berkelimpahan air, namun
sayangnya pengelolaan air masih belum sistematis. Indonesia,
bersama lima negara lain, yaitu Brazil, Cina,Kanada, Kolombia, dan
Rusia, menguasai 50% cadangan air tawar dunia (Andang, 2011).
Namun demikian, data Bank Dunia menunjukkan, 1 dari 2 orang
Indonesia tidak mendapatkan akses air bersih dan 50 ribu anak
indoensia meninggal karena kurangnya air bersih. Terbatasnya akses
kepada air bersih karena tidak sistematisnya tata kelola daerah aliran
sungai/DAS dan pencemaran badan air air oleh kegiatan
pertambangan, antara lain emas, yang menimbulkan pencemaran

170 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
logam berat merkuri, dan oleh kegiatan industri yang membuang air
limbah ke badan air tanpa menghilangkan zat polutan yang
terkandung dalam air limbah berbagai industri itu. Masyarakat yang
bermukim di pinggiran sungai juga membuang limbah rumah tangga
mereka ke badan air (sungai atau air tanah).
Masalah air makin diperumit karena adanya masalah privatisasi air
yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan air minum dalam
kemasan (AMDK) yang menguasai mata air sebagai sumber air
perusahaan (Andang, 2011). Air yang mengalir di sungai-sungai di
perkotaan sudah sangat tercemar dengan berbagai limbah sehingga
airnya berwarna kehitaman. Penyedotan air tanah oleh penduduk dan
oleh industri sertagedung-gedung juga menyebabkan menurunnya
ketersediaan dan kualitas air tanah, terutama kota yang dekat dengan
laut.
Pemerintah Indonesia sudah mengusahakan perbaikan akses
terhadap air bersih dan sanitasi (International Bank for Reconstruction
and Development/The World Bank, 2015). Sejak 2011 sekitar 55%
penduduk Indonesia memiliki akses kepada perbaikan pelayanan
penyediaan air bersih dan 56% penduduk pada perbaikan pelayanan
sanitasi. Ini merupakan peningkatan sebanyak 17% untuk
ketersediaan air bersih dan 31% untuk ketersediaan sanitasi yang
memadai sejak tahun 1993. Pemerintah terus berusaha untuk
mencapai tujuan penyediaan air bersih dan sanitasi yang memadai
bagi seluruh penduduk Indonesia pada tahun 2019.
Selanjutnya ada hubungan yang erat antara pengelolaan air dan
kebutuhan energi, yaitu air diperlukan untuk menghasilkan energi
seperti pada pembangkit listrik tenaga air, dan air memerlukan jumlah
energi yang besar untuk sistem penyediaan dan distribusinya. Masalah
diperberat dengan masih dimanfaatkannya sistem perlakuan terhadap
air limbah yang tidak ramah lingkungan. Lebih jauh lagi, dengan
berkembangnya Konsep Ekonomi Hijau, menyebabkan makin
meningkatnya kebutuhan akan air untuk menghidupi hijauan. Konsep
ekonomi hijau muncul karena kepedulian untuk mengurangi
ketergantungan pada fossil-based economy, untuk energi,
transportasi, produksi materi dan berbagai zat kimia (Eickhout, 2012).

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 171
Sehubungan dengan pemanfaatan air, kota-kota di Eropa mulai
mengurangi konsumsi air pribadi, meningkatkan efisiensi air pada
proses irigasi, mengurangi keperluan akan air pada berbagai proses
pada semua industri, mengurangi air yang hilang saat
pendistribusiannya, dan mengurangi energi yang digunakan pada
sektor perairan. Inovasi-inovasi juga dikembangkan untuk mendaur
ulang air yang telah dimanfaatkan (grey water), mengenalkan proses-
proses yang menerapkan pengurangan konsumsi air di dunia industri
dan teknik-teknik baru seperti penyaringan dengan sistem nanofiltrasi
(Woinaroschy, 2016). Keahlian di bidang industri kimia akan
bermanfaat mendapatkan solusi-solusi pengolahan dan daur ulang air
buangan dan pemenuhan konsumsi air 24 jam/hari dan 7 hari/minggu
yang berkelanjutan yang merupakan solusi yang layak secara ekonomi.
Untuk mendapatkan air bersih untuk skala perkotaan, peranan
teknologi membran penyaring air, yang digabungkan dengan dengan
teknologi nanofiltrasi (NF) dan reverse osmosis (RO) menjadi sangat
penting.Teknologi pembuatan membran tentu menerapkan prinsip-
prinsip kimia hijau, seperti pencegahan terhadap polusi lingkungan
oleh hasil buangan pembuatan membran tersebut.
Secara komersial membran yang tersedia adalah berbasis pada
poliamida aromatik yang dibentuk menjadi Thin Film Composite (TFC).
Namun demikian membran yang berasal dari senyawa ini memiliki
kekurangan antara lain daya tahan rendah terhadap pembusukan,
stabilitas rendah terhadap pengaruh zat kimia dan panas, dan
toleransi rendah terhadap klorin. Untuk mengatasi hal ini Chaoyi
(2010) mengembangkan membran untuk RO dan NF. Membran
pertama memiliki karakteristik tahan terhadap solven (zat pelarut) dan
bermuatan positif. Daya tahan terhadap solven ini dikembangkan
dengan melakukan cross-linking terhadap membran poliimida
menggunakan polietileninimina, sehingga menghasilkan membran
yang tahan terhadap hampir semua pelarut organik. Membran ini juga
bermuatan positif karena adanya gugus amina yang tersisa di
permukaannya, yang berdampak kemampuannya untuk
menghilangkan secara selektif logam berat multivalensi dengan
efisiensi tinggi (95%).

172 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Membran untuk RO dan NF diharapkan memiliki karakter anti
pembusukan, karena pembusukan pada permukaan membran akan
berdampak pada kebutuhan energi yang lebih tinggi, waktu untuk
membersihkan sehingga membran jadi tidak berfungsi sementara, dan
menurunkan umur produktif membran. Untuk pencegahan terhadap
pembusukan maka Chaoyi (2010) juga mengembangkan sistem
membran baru dengan menggunakan teknik pelapisan untuk
memodifikasi sifat-sifat permukaan membran untuk menghindari
adsorpsi zat-zat pembusuk seperti humic acid. Satu lapisan dari
polimer yang larut dalam air seperti polivinil alcohol (PVA), poliakrilic
acid (PAA), polivinil sulfat (PVS) atau sulfonated poli (eter-eter-keton)
diadsorbsikan ke permukaan membran yang bermuatan positif.
Membran yang dihasilkan memiliki permukaan yang halus dan
bermuatan hampir netral dan menunjukkan daya tahan terhadap
pembusukan yang lebih baik daripada membran NF yang bermuatan
positif dan membran yang tersedia secara komersial yang bermuatan
negatif, NTR-7450. Lebih jauh lagi membran yang dimodifikasi ini
memiliki efisiensi tinggi untuk menghilangkan ion-ion multivalensi
(95% untuk kation maupun anion). Dengan demikian pelapisan anti
pembusukan ini sangat baik digunakan untuk penurunan kesadahan
air, untuk desalinasi air, dan perlakuan terhadap air limbah pada
proses membran bioreactor (MBR).
Selanjutnya ada teknologi pengembangan membran RO yang
tahan panas. Membran RO yang tersedia secara komersial tidak dapat
digunakan pada temperatur lebih tinggi dari 45 0 C karena
menggunakan senyawa polisulfonat yang sering membatasi
pemanfaatan membran tersebut untuk industri. Untuk mengatasi hal
ini Chaoyi (2010) berhasilpula mengembangkan poliimida sebagai
substrat membran untuk RO yang stabil pada lingkungan panas karena
daya tahan terhadap panas tinggi. Membran yang merupakan
komposit poliamida berbasis poliimida menunjukkan kinerja desalinasi
yang sebanding dengan membran TFC yang tersedia secara komersial,
dengan kelebihan utama kestabilan pada lingkungan panas tinggi. Saat
diujicoba dengan menaikkan temperatur dari 250 o C sampai dengan
950o C, water flux meningkat 5 – 6 kali, dan penghilangan garam
berhasil dipertahankan konstan. Membran ini dapat menjadi solusi

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 173
unik bagi desalinasi air panas dan layak untuk digunakan
meningkatkan produktivitas air dengan meningkatkan temperature
operasional tanpa mengurangi kemampuan penyaringan garam.
Selain mengatasi perolehan air bersih dengan menerapkan
teknologi membran untuk NF dan RO, sebaiknya diusahakan untuk
penerapan 4 Rs untuk mengembangkan sistem pengurangan
pemakaian air (reduce), penggunaan kembali air untuk berbagai
keperluan sekaligus (reuse), mendaur ulang buangan air bersih
(recycle), dan pengisian kembali air tanah (recharge) (Joga, 2008).
Sistem pengolahan air dalam rumah tangga ini mengolah air limbah
bersih dengan cara mendaur ulang air buangan sehari-hari yang
berasal dari air cuci tangan, peralatan makan dan minum, kendaraan,
dan bersuci diri, maupun air limbah yaitu air buangan dari kamar
mandi, sehingga dapat digunakan kembali yang dapat untuk mencuci
kendaraan, membilas kloset, dan menyirami taman. Sistem
pengolahan air ini termasuk juga membuat sumur resapan air (1 x 1 x
2 meter) dan lubang biopori (10 sentimeter x 1 meter) sesuai
kebutuhan untuk menangkap air hujan
Selain menerapkan biopori untuk menangkap air hujan, juga ada
teknologi penjernihan air sederhana. Untuk menjernihkan air sehingga
tidak ada partikel halus dalam air, dapat dilakukan penyaringan
dengan melewatkan air itu pada sistem penyaringan yang berisi
karbon aktif dari arang, ijuk, pasir dan kerikil. Arang dapat menyerap
bakteri sehingga dapat sebagai sanitasi. Jika air sangat keruh dapat
ditambah kaporit dalam dosis kecil. Bahan-bahan penjernih air itu
harus secara berkala dibersihkan.
Ide pemanfaatan membran dengan teknologi NF dan FO,
penerapan 4 Rs, dan biopori dicoba disatukan dalam pendekatan
kolaborasi antar keahlian, yaitu: Teknik Lingkungan, Teknik Industri,
dan Biologi, Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya, dengan
menawarkan konsep Surabaya Underground Aqua Project (Nurdin
dkk, 2015). Inti gagasan ini adalah sebuah inovasi teknologi
pengelolaan air berskala kota yang menggunakan prinsip water recycle
untuk menciptakan keberlanjutan lingkungan sebagai salah satu
prinsip pengelolaan air. Prinsip water recycle yaitu pengelolaan air di
dalam kota dilakukan dengan mengolah kembali campuran air limbah

174 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
dan air hujan untuk kemudian menjadi air minum sehingga akan
tercipta kondisi lingkungan yang berkelanjutan. Perencanaan
Surabaya Underground Aqua Projectmembedakan antara
perencanaan instalasi dan jaringan distribusinya. Bagian instalasi
terbagi atas dua area, yaitu 1) area pengolahan air limbah dan air
hujan dan 2) area pengolahan air baku untuk air minum. Sementara
itu, untuk bagian jaringan terbagi atas dua jaringan perpipaan, yaitu 1)
Sistem penyediaan air minum dan 2) Sistem penyaluran air limbah dan
air hujan. Seluruh instalasi dan jaringannya berada di bawah tanah.
Sistem ini nantinya menerapkan membran untuk mendapatkan air
berstandar air minum (Nurdin dkk, 2015).

2. Infrastruktur
Setelah penerapan Kimia Hijau dalam sistem pengelolaan air, akan
diuraikan mengenai penerapan pada perolehan materi untuk
infrastruktur. Dalam pengembangan infrastruktur industri konstruksi
dan pelapisan/pengecatan telah maju pesat beberapa tahun
belakangan ini. Pemanfaatan energi dalam bangunan secara global
menyumbang hampir 40% konsumsi energi dan memunculkan emisi
karbon dioksida sebanyak 36% dari total emisi karbondioksida yang
terkait dengan konsumsi energi menurut Intergovernmental Panel on
Climate Change (Woinaroschy, 2016). Di Uni Emirat Arab, energi dari
pendingin ruang memunculkan 65-70% konsumsi listrik. Ada sejumlah
solusi yang terkait dengan kimia, untuk membangun efisiensi energi
pada bangunan guna mendukung konsep smart cities. Solusi itu,
antara lain, dengan pemanfaatan (Bax, Cruxent, & Komornicki, 2013)
adalah:
a. cat pelapis interior yang mempunyai daya pantul tinggi (High
Reflectance Indoor Coatings): memantulkan cahaya lebih baik dari
cat normal dan memaksimalkan rasa ruang yang lebih luas dan
cahaya yang lebih terang, sehingga mengurangi biaya
pencahayaan buatan;
b. cat pelapis eksterior yang memiliki daya pantul tinggi dan tahan
terhadap cuaca (High Reflectance and Durable Outdoor Coatings),
yang bila diterapkan pada atap dan dinding akan memantulkan
radiasi sinar matahari sehingga mengurangi suhu atap dan

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 175
dinding, yang selanjutnya menyebabkan penghematan energi
yang signifikan untuk pendinginan ruang;
c. busa pelapis untuk isolasi yang berkinerja tinggi dan panel isolasi
vakum, untuk mengatasi cuaca dingin, yang bila diadopsi dapat
mengurangi biaya energi pemanasan dari 30% sampai 80% saat
musim dingin; dan
d. phase change materials (PCM), yaitu materials yang
memungkinkan dinding dan langit-langit bangunan menyerap dan
menyimpan panas berlebih di siang hari dan membuangnya di
malam hari, sehingga memoderasi suhu bangunan agar lebih
menyenangkan dan nyaman sepanjang hari.

Saat ini sudah dipasarkan materi dari PCM yang mudah terurai di
lingkungan dan bersumber dari bahan alami seperti minyak sawit,
minyak inti sawit, minyak lobak, minyak kelapa, dan minyak kedelai
(PureTemp). Bahan-bahan ini tidak beracun, tidak mudah terbakar dan
bila dikemas dengan benar tidak akan teroksidasi dan menjadi tengik,
dan akan stabil selama beberapa dekade. Bahan PCM yang berupa
lemak dan minyak terhidrogenasi sepenuhnya dapat stabil selama
beberapa dekade (PureTemp, 2017).
Seperti industri pembuatan PCM, banyak industri lain di bidang
kimia juga telah mempromosikan berbagai usaha perbaikan untuk
bahan-bahan bangunan dan telah memasarkannya. Dengan peran
positif dari pemerintah pusat dan daerah maka adopsi dari bahan-
bahan bangunan yang ramah lingkungan dan yang mendukung konsep
hemat energi dapat digalakkan.
Industri kimia juga berhasil merekayasa bahan-bahan bangunan
hasil olahan bahan alam dan bahan daur ulang yang lebih ringan dan
ramah lingkungan daripada beton, antara lain:
a. timbercrete, dibentuk dari pemadatan campuran bubuk gergaji
dan semen, ringan sehingga proses transportasi lebih murah, dan
mengurangi sampah bubuk gergaji;
b. ashcrete, berasal dari abuterbang yang merupakan produk
sampingan hasil pembakaran batubara;

176 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
c. ferrock, merupakan hasil riset daur ulang barang-barang bekas
seperti debu baja dari industri baja, yang mempu menyerap dan
menahan gas CO2;
d. plastik daur ulang, yaitu bahan bangunan yang di dalamnya
mengandung plastik daur ulang dan sampah, yang berdampak
pada berkurangnya emisi gas rumah kaca dan pengurangan
sampah; dan
e. hempcrete, yaitu beton yang terbuat dari serta tanaman hemp,
yang mudah tumbuh cepat di alam, yang dicampur kapur dan
semen untuk membentuk bahan mirip beton yang kuat namun
ringan, sehingga mudah diangkut (Kosasih, 2016).

Untuk cat dan pelapis permukaan yang ramah lingkungan dan


sehat umumnya ditandai dengan rendahnya kandungan volatile
organic compound (zat organik yang mudah menguap), dan pasti tidak
boleh mengandung timbal dan merkuri dan tidak mengeluarkan bau
yang menusuk hidung (Kardha, 2009). Cat yang ramah dan sehat
biasanya menggunakan pelarut air bukan petroleum.

3. Transportasi
Pengembangan kota cerdas melibatkan peningkatan persentase
penggunaan angkutan umum untuk tujuan efisiensi energi yang lebih
besar, norma keselamatan yang lebih tinggi dan emisi gas buang yang
lebih rendah, juga, sangat diharapkan untuk mengurangi berat
kendaraan angkutan umum (Woinaroschy, 2016). Alat transport yang
ramah lingkungan antara lain sepeda biasa dan sepeda listrik, mobil
listrik, dan mobil hibrida. Saat ini, berbagai macam polimer komposit
tersedia untuk bahan karoseri dan interior kendaraan umum yang
lebih ringan. Teknik pembobotan ringan menggunakan busa
kepadatan rendah yang tahan terhadap berbagai jenis cuaca, fluktuasi
suhu, variasi tingkat kelembaban. Selanjutnya, dengan pemanfaatan
materi elastomer secara khusus - getaran dapat dikurangi dan kita
dapat mengaktifkan transportasi bebas kebisingan. Telah
dikembangkan materi fibre-reinforced plastic (FRP) yang berpotensi
untuk berkinerja baik melebihi baik baja maupun alumunium,
meskipun saat ini para produser baja dan alumunium telah berhasil

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 177
memproduksi karoseri mobil yang jauh lebih ringan (Cefic, 2011).
Materi-materi FRP belum dapat bersaing secara ekonomis dengan
baja dan alumunium sebagai karoseri kendaraan. Masih banyak riset
yang harus dilakukan untuk mencari komposit untuk eksterior
kendaraan transportasi yang lebih ramah lingkungan (Woinaroschy,
2016).
Untuk interior kendaraan transportasi telah lama memanfaatkan
composit yang dinamakan elastomer yang berupa materi polimer
plastik yang mudah dibentuk untuk insulasi pada kabel listrik dan
pengeras suara dalam kendaraan. Zat ini tahan gores, tahan korosi
akibat zat kimia, dan tahan terhadap air baik kelembaban atau saat
terendam (Elastomer, 2015).

4. Energi
Ada beberapa cara yang didukung oleh Ilmu Kimia untuk
mengurangi konsumsi energi di kota cerdas. Karena adanya advokasi
untuk memanfaatkan bahan bangunan hemat energi maka
pemanfaatan materi poliuretan sebagaiinsulasi yang sangat baik
digunakan dalam produksi panel prefabrikasi untuk industri
konstruksi, untuk dinding pendingin pada gudang atau box kendaraan
pembawa materi yang harus beku/dingin, dan pembentuk kayu
imitasi. Poliuretan juga menawarkan kekuatan struktural yang sangat
baik, daya tahan dan adhesi sebagai bahan laminasi dan liner, yang
merupakan elemen struktural yang melekat pada produk akhir. Materi
ini dapat menahan panas atau dingin agar tidak masuk atau ke luar,
juga membuat ruang jadi kedap suara (Sullivan, 2006).
Selanjutnya ada cara untuk penghematan energi yang dapat
dilakukan, yaitu dengan menerapkan golongan materi yang berperan
sebagai cairan pemindah panas menerapkan teknologi khusus untuk
mencapai kombinasi optimal antara stabilitas, efisiensi dan ekonomi.
Materi ini merupakan campuran beberapa materi, misalnya cairan
Dowtherm G, yang dibuat oleh Dow Chemical Company, tersusun dari
semyawa di dan tri aril, yang secara luas digunakan oleh pengusaha
ritel penyimpanan dingin di seluruh dunia (Dow, 1997). Fluida ini
menawarkan penggantian yang stabil dari gas pendingin sehingga
menghindari polusi.

178 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Dengan telah dikembangkannya materi untuk bahan bangunan
yang dapat menunjang penghematan penggunaan energi, maka
konsumsi energi alternatif menjadi pertimbangan saat membangun
ruang rumah atau gedung dan ini merupakan langkah logis, dengan
demikian digunakan panel surya untuk menghasilkan energi listrik
alternatif. Panel surya secara tradisional menggunakan komponen
etilen vinil asetat, yang harganya mahal, dan tidak mudah didapat
(Woinaroschy, 2016). Hal ini menjadi penghalang bagi meluasnya
penggunaan energi matahari sebagai alternatif sumber daya listrik.
Namun, para ilmuwan telah mampu menciptakan alternatif yang
efektif yang menawarkan kinerja superior, sekaligus meningkatkan
efisiensi biaya secara signifikan (Bagher, et al., 2015). Materi tersebut
antara lain polysilicone dan monocrystalline silicone, atau versi yang
lebih murah yaitu a morphous Silicon, yaitu silikon yang tidak
berbentuk kristal, jenis yang paling banyak digunakan sebagai materi
untuk panel surya untuk rumah dan gedung. Ada technologi panel
surya yang disebut sebagai buried contact solar cell yang merupakan
logam berlapis yang dipendam dalam alur pembentuk laser. Efisiensi
dari panel surya ini adalah 25% lebih tinggi daripada panel surya yang
berbentuk lempengan dengan lapisan tipis zat pembentuk listrik.
Adapula panel surya yang dibuat dari kombinasi bahan organik dan
anorganik yang dinamakan biohybrid solar cell yang masih dalam taraf
penelitian

5. Pengelolaan Limbah
Industri kimia dapat menawarkan solusi yang kredibel untuk
masalah pengolahan limbah pada kota cerdas. Pabrik pengolahan
limbah dapat dibangun, yaitu yang dapat menggunakan perlakuan
tersier lanjutan melalui teknologi ultrafiltrasi dan reverse osmosis,
dapat beroperasi sepanjang waktu untuk menggunakan kembali air
limbah dan menghemat sejumlah besar air setiap hari (Woinaroschy,
2016). Air hasil perlakuan kemudian dapat dimanfaatkan untuk
kegiatan lain seperti pendinginan AC, penyiraman toilet, hortikultura,
konstruksi, dan lain-lain. Salah satu cara pengolahan air limbah sudah
diuraikan pada bagian sistem pengelolaan air (Nurdin dkk, 2015)

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 179
Selain pengelolaan limbah cair, konsep ramah lingkungan dewasa
ini juga telah merambah ke dunia sanitasi, yang termasuk pada
pengelolaan limbah pada rumah tangga (Maharani, 2015). Ilmu dan
teknologi Kimia berhasil menciptakan bahan fiberglass untuk septik
tank dan penyaring biologis, serta cairan desinfektan yang ramah
lingkungan.Kesemuanya ini diterapkan pada septik tank dengan
penyaring biologis (biological filter septic tank), yang dirancang
dengan teknologi khusus untuk tidak mencemari lingkungan, memiliki
sistem penguraian secara bertahap, dilengkapi dengan sistem
desinfektan, hemat lahan, antibocor atau tidak rembes, tahan korosi,
pemasangan mudah dan cepat, serta tidak membutuhkan perawatan
khusus.Kotoran diproses untuk penguraian secara biologis dan
filterisasi secara bertahap melalui tiga kompartemen (Septic tank
Biotech). Media kontak yang dirancang khusus dan sistem desinfektan
sarana pencuci hama yang digunakan sesuai kebutuhan membuat
buangan limbah kotoran tidak menyebabkan pencemaran pada air
tanah dan lingkungan. Kelebihan septik tank jenis ini dibandingkan
dengan septic tank konvensional: hasil buangan sesuai standar BPLHD
dan digunakan lagi sebagai air bersih level 3, pemasangan praktis dan
mudah, tidak membutuhkan perawatan khusus, mengguna-
kan biological ball dan bio filter, tidak mudah penuh, hemat lahan
galian, tidak mencemari sumber air tanah dan dapat di tanam
berdekatan dengan sumur.
Selanjutnya Prasetyono (2017), menjelaskan ide pengelolaan
limbah, yaitu penggabungan “dua” teknologi untuk pengelolaan
limbah sampah bagi kota besar Indonesia. Teknologi itu adalah,
pertama disebut sebagai teknologi reaktor “fermentasi kontinyu”
untuk sampah organik karena lebih ramah lingkungan (green), zero
waste, sebab tidak ada proses pembakaran secara langsung. Gas
metana yang dihasilkan dapat langsung digunakan sebagai bahan
bakar “methane engine” untuk menghasilkan listrik atau gas untuk
memasak di dapur. Teknologi ini juga akan menghasilkan pupuk
kompos berkualitas tinggi.Teknologi yang kedua adalah teknologi
gasifikasi yang mampu mengolah jenis sampah anorganik, seperti
teknologi pirolysis. Jadi pasangan teknologi fermentasi kontinyu dan
teknologi pirolysis adalah “pasangan” teknologi yang sangat tepat

180 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
untuk diterapkan di kota besar/modern karena sifatnya yang saling
mengisi, sehingga keduanya akan dapat memenuhi harapan sebagai
teknologi “Green and Zero Waste”.
Untuk pengelolaan limbah padat juga dapat diterapkan
pemisahan limbah (waste segregation), yaitu dengan penyediaan
empat kantong pembuangan sampah untuk jenis limbah organik, kaca
atau keramik, kertas dan plastik yang akan mempermudah pengumpul
limbah untuk mentransfer sampah ke tempat daur ulang. Ada pula ide
membuat lokasi pembuangan sampah menjadi pembangkit energi
listrik dan gas dengan system hybrid yang mengintegrasikan beberapa
pembangkit seperti turbin angin, sel surya dan energi yang berasal
dari gas metana yang dihasilkan dari sampah. Tempat pembuangan
sampah ini dapat dijadikan lokasi wisata energi untuk pembelajaran
generasi muda dan anak-anak.

6. Konsumsi Bahan Mentah


Kota pintar adalah konsumen besar dari banyak bahan baku.
Masyarakat modern bergantung pada berbagai bahan baku, termasuk
hasil industri mineral dan logam yang digunakan dalam aplikasi
teknologi tinggi yang mendukung gaya hidup dan infrastruktur. Tapi
banyak dari bahan baku ini tidak mudah didapat atau harus melalui
proses yang rumit, membutuhkan banyak energi dan kadang-kadang
menghasilkan limbah yang berbahaya saat proses produksi atau
proses eliminasinya. Bumi ini adalah sumber daya yang pada dasarnya
terbatas: kita hanya memiliki satu planet untuk hidup (Royal Society of
Chemistry, 2009; Woinaroschy, 2016).
Dengan meningkatnya populasi dunia yang diikuti oleh
pertumbuhan urbanisasi dan industrialisasi di negara berkembang,
maka ketersediaan beberapa bahan baku menjadi sangat penting. Hal
ini dapat membawa dampak ekonomi dan sosial pada masyarakat kita
karena pasokan bahan baku kemungkinan dapat berkurang dan
teknologi tertentu tidak lagi layak karena tidak ramah lingkungan atau
tidak hemat energi. Selain itu ekstraksi dan pengolahan beberapa
bahan baku memiliki dampak lingkungan yang signifikan.
Empat strategi solusi berkelanjutan dapat berkontribusi untuk
meningkatkan keamanan pasokan untuk bahan baku inidi masa

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 181
depan. Kegiatan ini secara kolektif dikenal sebagai '4Rs' yaitu:
reduce/kurangi – kurangi penggunaan bahan untuk menghasilkan efek
produk yang sama; reuse/gunakan kembali – memulihkan material
untuk menghasilkan efek yang sama berulang kali, recycle/daur ulang
untuk memulihkan material untuk diproses kembali tanpa kehilangan
nilainya, replace/ganti-ganti dengan material, proses, teknologi atau
model bisnis yang memberikan efek yang sama atau lebih baik
(Woinaroschy, 2016).
Setiap solusi baru juga harus mengurangi dampak lingkungan
secara keseluruhan dan aman bagi pengguna dan konsumen. Semua
solusi ini memerlukan kimia yang berkelanjutan untuk mencapainya
dan akan berkontribusi pada kepastian pasokan bahan baku pada
jangka menengah hingga jangka panjang. Solusi ini juga akan
meningkatkan efisiensi sumber daya dan mengembangkan area bisnis
baru misalnya proses daur ulang yang canggih. Industri kimia sedang
mengembangkan teknologi baru untuk ekstraksi bahan baku yang
lebih efisien dan sehingga dicapai penggunaan dan daur ulang bahan
yang paling efisien. Solusi itu juga berbentuk pengembangan bahan
pengganti dan teknologi alternatif untuk sektor industri dan sektor
lain. Kota cerdas harus, secara bersamaan dan drastis, memperbaiki
sumber daya dan meningkatkan efisiensi energi,serta sekaligus secara
drastis mengurangi dampak lingkungan dari berbagai kegiatan
pengelolaan kota. Kita semua perlu "berbuat lebih banyak - dan lebih
baik - dengan sumber daya yang lebih sedikit" dan kimia akan menjadi
alat utama untuk ini (Royal Society of Chemistry, 2009).
Cara Ilmu dan Teknologi Kimia mencapai pengembangan kota
cerdas adalah dengan menemukan konsep dan bahan baru yang harus
dikembangkan untuk energi (sumber, penyimpanan, dan efisiensi)
dalam pembangunan berkelanjutan dan mobilitas perkotaan. Bahan
baru yang diperlukan untuk kehidupan cerdas harus memiliki memiliki
sifat baru untuk dimanfaatkan pada teknologi lingkungan seperti
sistem pemanas dan pendingin dengan efisiensi tinggi, transportasi
perkotaan, dan pengelolaan air. Lebih khusus lagi diperlukan teknologi
yang dengan mudah dan efektif memperbaiki efisiensi energi dari
sistem pada perumahan atau gedung yang sudah ada.

182 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Pada sistem perumahan atau gedung yang sudah ada, maka
sektor konstruksi dan transportasi merupakan sektor penting dalam
mencapai kota cerdas. Sistem yang digerakkan oleh proses kimia
berperan aktif untuk meningkatkan keberlanjutan pada bidang
konstruksi dan transportasi. Bahan yang dibuat oleh industri kimia
yang inovatif seperti insulasi, perekat dan sealants berperan penting
dalam proses konstruksi (Bax, et al., 2013). Kimia adalah kunci bagi
sistem energi baru dan produksimaterial baru yang ringan yang dapat
mengubah mobilitas perkotaan dan teknologi sekitar yang dapat
memerangi polusi.

PENUTUP

Artikel ini meninjau cara mencapai kota cerdas dari sisi Ilmu dan
Teknologi Kimia, dengan memperhatikan sistem pengelolaan air yang
menerapkan teknologi membran untuk nanofiltrasi dan reverse
osmosis untuk segi kimia dan penerapan biopori untuk segi fisika.
Selanjutnya dibahas mengenai pembuatan dan pemanfaatan materi
untuk infrastruktur seperti cat interior dan exterior yang memiliki daya
pantul tinggi dan rendah kandungan volatile organic compound, busa
dan phase change material pelapis dinding sehingga dapat
menghemat energi untuk pendinginan atau pemanasan ruang. Untuk
bahan bangunan ramah lingkungan juga diusulkan bahan dari alam
seperti timbercrete dan hempcrete, disamping bahan daur ulang
seperti ashcrete, ferrock, dan plastik daur ulang.
Kemudian dibahas mengenai peranan Ilmu Kimia dalam
pengembangan interior dan eksterior alat transportasi yang ramah
lingkungan, antara lain mengurangi bobot kendaraan dengan
mengurangi penggunaan baja dan menggantikannya dengan fibre-
reinforced plastic, serta pemanfaatan elastomer untuk pelapis interior
kendaraan yang dapat berindak sebagai insulasiterhadap kebisingan
dan cuaca.
Setelah itu dibahas cara mengurangi konsumsi energi untuk ruang
dengan memanfaatkan insulasi dari poliuretan, cairan pemindah
panas yang menggantikan gas pendingin yang berbahaya bagi
lingkungan seperti freon, serta materi untuk membuat solar sel untuk

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 183
sumber listrik alternatif. Untuk pengelolaan limbah diusulkan untuk
melakukan kombinasi antara teknologi reaktor fermentasi kontinyu
untuk sampah organik yang dapat menghasilkan gas metana yang
dapat digunakan untuk pembakaran sampah pada teknologi gasifikasi
atau pirolisis, sehingga kombinasi teknologi ini sejauh mungkin
mencapai green and zero waste.
Strategi konsumsi bahan mentah yang dianjurkan agar tidak ada
sampah yang mengotori lingkungan dan menjamin keberlangsungan
pasokan materi bahan baku adalah 4Rs, reduce, reuse, recycle, dan
replace.Prinsip Kimia Hijau juga diterapkan pada pembuatan dan
pengolahan bahan mentah berdasarkan prinsip kimia hijau yang
berkelanjutan.
Agar ramah lingkungan, kompetitif secara ekonomi dan tetap
menarik untuk ditinggali, kota cerdas perlu mengurangi total konsumsi
energi, meningkatkan penggunaan energi terbarukan, menyesuaikan
infrastruktur fisik dan komunikasi, menemukan solusi untuk masalah
mobilitas dalam kota - khususnya mobilitas pribadi - dan memperbaiki
kondisi pendidikan dan kerja.

184 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
DAFTAR PUSTAKA

Albino, V., Berardi, U., and Dangelico, R. M. (2015). Smart cities:


definitions, dimensions, performance, and initiatives. Journal of
Urban Technology, 22 (1), 3–21.

Anastas, P. T., and Warner,J. C. (1998) Green chemistry: theory and


practice Eds. Oxford University Press: Oxford, UK.

Andang, I. S. (2011). Tantangan pengelolaan air di kota (Dimuat di


majalah Warta Konsumen). Diunduh dari http://ylki.or.id/
2011/09/tantangan-pengelolaan-air-di-kota/ pada 6 September
2017

Anonimous (2017). Elastomer. Diunduh dari http://www.wisegeek.


com/what-are-elastomers.htm pada 20 Juni 2017

Bagher, A. M., Vahid, M., Mahmoud, A., Mohsen, M. (2015). Types of


solar cells and application. American Journal of Optics and
Photonics. 3 (5), 94-113.

Barus, H. (2017). Pemerintah dorong penerapan konsep smart city.


Diunduh dari http://www.industry.co.id/read/8809/pemerintah-
dorong-penerapan-konsep-smart-city pada 6 September 2017

Bax, L., Cruxent, J., Komornicki, J. (2013). Innovative chemistry for


energy eficiency of building in smart cities. Brussel-Belgia:
SusChem - European Technology Platform for Sustainable
Chemistry. Diunduh dari www.suschem.org/files/library/
Publications / CEEBSC.pdf pada 20 Juni 2017

Calvillo, C.F., Sanchez-Miralles, A., and Villar, J. (2016). Energy


management and planning in smart cities. Renewable and
Sustainable Energy Reviews, 55, 273-287

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 185
Chaoyi, B. (2010). Design of advanced reverse osmosis and
nanofiltration membranes for water purification – A Dissertation
(Submitted for the degree of Doctor of Philosophy in Materials
Science and Engineering in the Graduate College of theUniversity
of Illinois at Urbana-Champaign, Urbana, Illinois.

Cefic - The European Chemical Industry Council. (2011). Tomorrow


starts with chemistry: innovation for sustainable, smart, and
inclusive Europe. Brussel: Belgia. Diunduh dari www.suschem.org/
files/.../Tomorrow-starts-with-Chemistry.pd...pada 20 Agustus
2017

Dhage, S. D. (2013). Applications of green chemistry principles in every


day life. International Journal of Research in Pharmacy and
Chemistry. Retrieved from http://www.ijrpc.com/files/01-346.pdf
16/03/2016

Dow (1997). Dowtherm G heat transfer fluid (Product technical data).


Diunduh dari http://msdssearch.dow.com/Published Literature
DOWCOM/dh_0032/0901b803800325da.pdf?filepath=/heattrans
/pdfs/noreg/176-01353.pdf&fromPage=GetDoc pada 20 Juni 2017

Eickhout, B. (2012). A Strategy for a bio-based economy, Based on A


study by Jonna Gjaltema and Femke de Jong. This report was
published for the Greens/EFA Group by The Green European
Foundation – Brussels, Belgium. Diunduh dari http://gef.eu/wp-
content/uploads/2017/01/A_strategy_for_a_bio-based_economy
.pdf pada 20 Juni 2017

Innovation for a sustainable, smart and inclusive Europe. www.


suschem.org/files/.../Tomorrow-starts-with-Chemistry.pd..
Retrieved 8/5/2017

International Bank for Reconstruction and Development-The World


Bank. (2015). Water supply and sanitation in Indonesia turning
finance into service for the future (Service Delivery Assesment).

186 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Diunduh dari https://www.wsp.org/sites/wsp.org/files/ publi-
cations/WSP-Indonesia-WSS-Turning-Finance-into-Service-for-
the-Future.pdf pada 20 juni 2017

Jenis septic tank yang sebaiknya anda pilih untuk rumah minimalis
anda. Diunduh dari http://www.diminimalis.com/jenis-septic-
tank/ pada 20 Juni 2017

Joga, N. (2008). Bangunan hijau, hemat dan ramah lingkungan.


Kompas.com - 29/05/2008, Diunduh dari http://nasional.
kompas.com/read/2008/05/29/14062635/ bangunan.hijau.hemat
.dan.ramah.lingkunganpada 27 Juni 2017

Kardha, M. M. (2009). Ini lho, cara pilih cat yang aman. Diunduh dari
Kompas.com - 07/09/2009 http://properti.kompas.com/read/
2009/09/07/08393813/ini.lho.cara.pilih.cat.yang.aman pada 20
Agustus 2017.

Kosasih, D. (2016). Sebelas macam bahan bangunan yang lebih hijau


dibanding beton. 22 Juli 2016, Diunduh dari http://www.
greeners.co/ide-inovasi11-macam-bahan-bangunan-lebih-hijau-
dibanding-beton/11/ pada 5 Agustus 2017

Maharani, D. (2015). Menurunkan penyakit dengan limbah ramah


lingkungan. http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/12/ me-
nurunkan-penyakit-dengan-limbah-ramah-lingkungan. Diunduh
pada 20 Agustus 2017

Nurdin, F. A., Mulia, G. J. T., Rosyidah, B., Ishar, M., & Munir, M.
(2015). Surabaya underground aqua project - Konsep pengelolaan
air minum, air limbah, dan air hujan perkotaan di bawah tanah
sebagai solusi permasalahan air di kota besar. Diunduh dari
artikel.dikti.go.id/index.php/PKMGT /article/download/493/493
pada 6 September 2017

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 187
Prasetyono, A. P. (2017). Mengolah sampah perkotaan. Diunduh dari
http://www.dikti.go.id/mengolah-sampah-perkotaan/ pada 20
Juni 2017,

Prihadi, S. D. (2016). Mencari standar definisi smart city. Diunduh dari


https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20161130134019-185-
176347/mencari-standar-definisi-smart-city/ pada 6 September
2017

PureTemp. (2017). Entropy solutions, global authority on phase


change material. Diunduh dari http://www.puretemp.com
/stories/understanding-pcms, pada 28 Juni 2017.

Royal Society of Chemistry. (2009). Chemistry for tomorrow’s world: A


road map for chemical sciences. Diunduh dari http://www.
rsc.org/globalassets/04-campaigning-outreach/tackling-the-
worlds-challenges/roadmap.pdf pada 20 Juni 2017

Septic Tank Biotech: Sanitasi ramah lingkungan untuk rumah anda.


Diunduh dari http://www.diminimalis.com/septic-tank-biotech/
pada 20 juni 2017

Sullivan, Ed. (2006). Polyurethane wall insulation slashes energy costs


and presents important structural possibilities. Diunduh dari
http://www.awci.org/cd/pdfs/0106_d.pdf

Windhi. (2016). Ini kriteria standar smart city Indonesia. Diunduh dari
http://www.centroone.com/News/Detail/2016/12/16/13645/ini-
kriteria-standar-smart-city-indonesia- pada 6 September 2017

Woinaroschy, A. (2016). Smart cities will need chemistry. Scientific


Bulletin of the “Petru Maior”. University of Tîrgu Mures, 13 (XXX)
(1), 2016.

188 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
MENINGKATKAN WATER RESILIENCE UNTUK
MENUNJAN G SMART CITY

Agus Susanto

PENDAHULUAN

Membicarakan mengenai smart city, tidak hanya sekedar


membicarakan sebuah kota yang mengandalkan kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi (ICT) yang didukung oleh jaringan
infrastruktur internet yang kuat, tetapi kota yang mampu menggali
potensi lokal dan memaksimalkan sumber daya kota. Smart city
menggambarkan warga yang mampu mengatasi masalah ekonomi
dengan cerdas (smart economy). Smart city didukung oleh pusat
bisnis, industri dan jasa yang ramah lingkungan, serta dapat
memaksimalkan sumber daya alam yang terbatas, seperti: air, lahan,
pertambangan, dan energi fosil, sehingga tumbuh perekonomian yang
berkelanjutan (green economy).
Salah satu indikator utama dalam smart city adalah smart
environment. Dalam sub indikator smart invironment terdapat smart
water and waste water management (Supangkat, 2016). Air
merupakan barang ultra esensial bagi kelangsungan makhluk hidup di
suatu kota. Tanpa air makhluk hidup tidak mungkin bisa bertahan, dan

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 189
bahkan semua makhluk hidup terbuat dari air sebagaimana tercantum
dalam kitab suci Al Qur’an surat Al-Anbiya (21) ayat (30) yang artinya:
“... Dan kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari air, mengapakah
mereka tidak beriman?”.
Hingga saat ini masyarakat secara umum masih memandang air
hanya sebagai komoditas sosial yaitu sebagai kebutuhan hidup dan
bukan sebagai komoditas ekonomi. Ada dua alasan yang mendorong
masyarakat memandang air sebagai komoditas ekonomi, yaitu: 1). air
merupakan barang yang dapat mendukung kegiatan ekonomi, seperti
industrialisasi dan pertanian, dan 2). masyarakat sering tanpa
kesulitan untuk dapat memperoleh air yang dapat didayagunakan
(Siradj, 1992).
Selain itu, air merupakan kunci pembangunan perkotaan yang
berkelanjutan dan pilar kesehatan masyarakat serta kesejahteraan
sosial (WHO, 2012). Air dan sanitasi lingkungan yang tidak memadai
akan mengancam kesehatan manusia dan lingkungan. Air memiliki
multi fungsi, antara lain: sebagai fungsi sosial, ekonomi, dan
lingkungan yang dibutuhkan untuk mendukung proses produksi dan
berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi serta pengurangan
kemiskinan perkotaan. Dengan berbagai fungsi tersebut, apabila tidak
ada perubahan paradigma dalam pengelolaan air, maka akan terjadi
ketidak-amanan dan ketidaknyamanan lingkungan perkotaan yang
menyebabkan degradasi lingkungan dan sosial ekonomi, sehingga
tujuan smart city tidak tercapai.
Di perkotaan, air menghadapi berbagai tekanan sebagai akibat
dari meningkatnya kebutuhan air, pola urbanisasi yang cepat,
pertumbuhan penduduk yang tinggi, dan meningkatnya risiko
perubahan iklim (Leeuwen Van Dan & Dieperink, 2015 dalam Mulyana
dan Suganda, 2017). Perubahan iklim diharapkan dapat memberikan
konsekuensi signifikan bagi sistem air perkotaan. Akan tetapi dengan
perubahan iklim justru mengakibatkan perubahan pola hujan yang
sering terjadi akhir-akhir ini, yaitu hujan dengan intensitas tinggi
namun mempunyai durasi yang pendek. Kondisi ini akan
mempengaruhi ketersediaan air, kualitas air, dan akses air, serta risiko
banjir. Sebaliknya jika terjadi musim kering yang panjang akan
mengakibatkan kelangkaan sumber air baik dari potensi maupun

190 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
akses. Untuk itu, infrastruktur air perkotaan perlu diadaptasi agar
dapat mengatasi kondisi perubahan iklim dan hidrologi yang baru. Di
lain pihak, ada yang menyatakan bahwa krisis air di perkotaan tidak
hanya terkait dengan rekayasa air, tetapi diakibatkan juga oleh
kegagalan tata kelola air (Mulyana dan Suganda, 2017). Tata kelola air
merupakan rangkaian sistem politik, sosial, ekonomi, administrasi dan
kelembagaan untuk mengembangkan dan mengelola sumber daya air
serta penyampaian layanan air pada berbagai tingkat masyarakat,
sehingga isu air di perkotaan dapat digunakan sebagai alat untuk
mengembangkan solusi terpadu.
Dengan berbagai isu yang merupakan tekanan baik sosial maupun
ekologis di perkotaan terhadap sumber daya air, ditambah dengan
gaya hidup (life style) masyarakat perkotaan yang mengarah ke
konsumtif, dampaknya adalah kebutuhan air di perkotaan menjadi
meningkat. Di sisi lain, ketahanan air di Indonesia masih sangat rendah
bila dibandingkan dengan negara-negara lain, yaitu hanya sebesar 63
m3/kapita/tahun, sedangkan yang ideal adalah 1.600 m 3/kapita/tahun
(Kementerian PUPR, 2016). Untuk itu, pemerintah melalui program
kerjanya yaitu Nawacita yang dituangkan dalam Nawacita ke 7 (tujuh)
yang berbunyi: “Pemerintah mewujudkan kemandirian ekonomi
dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik
dengan prioritas pembangunan yakni peningkatan kedaulatan pangan
dan peningkatan water resilience (ketahanan air)”. Dalam tulisan ini
akan dianalisis bagaimana meningkatkan resiliensi sumberdaya air di
perkotaan untuk menunjang indikator-indikator yang ada dalam Smart
City. Tujuan yang ingin dicapai adalah agar dapat meningkatkan
pasokan air bagi masyarakat, industri dan pertanian serta untuk
mengurangi risiko banjir. Untuk meningkatkan pasokan air, target
utama adalah memperbaiki infrastruktur alami seperti: ekosistem
hutan, ekosistem sungai, dan infrastruktur buatan seperti: embung,
bendungan, jaringan irigasi, jaringan drainase, dengan memfokuskan
pada empat hal yakni: ketersediaan (availability), aksesibilitas
(accessibility), berkelanjutan (sustainability), dan keamanan (security).

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 191
BAHAN DAN METODOLOGI

Makalah ini ditulis berdasarkan desk study (studi literatur) untuk


mengembangkan baseline awal tentang ketahanan (resilience) air
perkotaan dari berbagai tekanan sosio-ekologis untuk menuju water
smart city dalam menunjang program smart city. Sebagian besar data
dan informasi yang digunakan dalam artikel ini berasal dari sumber
data sekunder, seperti: ulasan literatur, jurnal, data statistik, laporan
proyek, laporan tahunan institusi, dan lain-lain.

KEDUDUKAN WATER SMART CITY DALAM SMART CITY

Di Indonesia, sumber daya air melimpah tetapi tidak merata di


seluruh nusantara. Hal ini disebabkan oleh adanya iklim Munsoon.
Iklim Munsoon dapat menyebabkan banjir di musim hujan dan
kekurangan air di musim kemarau. Di samping itu, perubahan iklim
cenderung meningkatkan tekanan pada sumber daya air melalui pola
curah hujan yang berubah-ubah dan peristiwa cuaca ekstrim,
ditambah lagi dengan kapasitas penyimpanan air yang rendah,
sehingga mengakibatkan ketersediaan air tanah berkurang. Kondisi
seperti ini disebabkan oleh degradasi lahan daerah aliran sungai (DAS)
serta kondisi infrastruktur sumber daya air (irigasi dan air bersih) yang
buruk merupakan penyebab ketahanan air (water resilience) di
Indonesia sangat rendah (63%). Selain itu, diakibatkan juga oleh
kualitas air akibat limbah domestik, pembuangan limbah padat, dan
limbah industri yang tidak diolah dan langsung dibuang ke perairan
juga berpengaruh besar terhadap water resilience, karena water
resilience disamping kuantitas air juga kualitasnya.
Paradigma masa lalu dalam kaitannya dengan sumber daya air
perencanaan kota dirancang untuk mengalirkan air hujan dan air
limbah secepatnya ke luar kota agar kota terhindar dari banjir. Namun
pada kenyataannya untuk memperoleh sumber air bersih diperoleh
dari air sungai dan air tanah yang didapatkan dari luar kota. Paradigma
tersebut sejak tahun 2000an berubah seiring dengan urbanisasi yang
cukup tinggi ± 1.6% (untuk Indonesia), dan perubahan iklim yang
mengakibatkan pola hujan berubah-ubah yaitu hujan dengan

192 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
intensitas tinggi tetapi durasinya pendek. Kondisi ini mengakibatkan
banjir dan tanah longsor di perkotaan. Sebaliknya di musim kemarau
terjadi kekeringan, sehingga paradigmanya sekarang berubah menjadi
“kota diasumsikan sebagai daerah tangkapan air hujan, dimana air
hujan ditahan selama mungkin agar masuk ke dalam tanah untuk
mensuplai air tanah, dan baru dilepaskan secara pelan-pelan ke
saluran pembuang”. Paradigma ini disebut water smart city.
Water smart city adalah suatu metode di mana sumber air dijaga
agar berkelanjutan sehingga memungkinkan generasi masyarakat
perkotaan di masa yang akan datang dapat memiliki akses untuk
mengelola air di wilayah perkotaan dengan infrastruktur
pendukungnya sehingga dapat bertahan dan berfungsi meskipun ada
tekanan dari iklim yang lebih ekstrem (Hattum, et al. 2016).
Pendekatan yang digunakan dalam water smart city adalah integrasi
perencanaan kota dengan siklus air perkotaan agar supaya kegiatan
ekonomi dan bisnis dapat berjalan dengan baik sehingga
kesejahteraan masyarakat perkotaan lebih terjamin. Adapun
tujuannya adalah untuk meminimalkan dampak hidrologi
pembangunan perkotaan terhadap lingkungan sekitar. Konsepnya
meliputi: integrasi air hujan, air tanah, pengelolaan air limbah, dan
pasokan air untuk mengatasi tantangan masyarakat terkait dengan
perubahan iklim, efisiensi sumber daya dan peralihan energi, dalam
rangka untuk meminimalkan degradasi lingkungan dan meningkatkan
daya guna infrastruktur perkotaan. Pendekatan lainnya adalah dengan
mengembangkan strategi integratif untuk keberlanjutan dimensi
ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, sesuai dengan konsep
pembangunan yang berkelanjutan.
Integrasi pembangunan perkotaan dan pengelolaan air perkotaan
yang berkelanjutan dalam pelaksanaan smart city didukung oleh water
smart city yang merupakan perpaduan antara 3 (tiga) komponen/pilar
utama yang saling berinteraksi. Komponen tersebut yaitu (a)
keberlanjutan ketersediaan air, (b) pengurangan dan pengolahan air
limbah, dan (c) pengurangan dan pengolahan air permukaan.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 193
Interaksi antara ketiga komponen utama tersebut adalah:
a. Interaksi antara keberlanjutan ketersediaan air dengan
pengurangan dan pengolahan air limbah (grey water). Hasilnya
adalah efisiensi atau pengurangan penggunaan sumber air,
sehingga limbah yang ditimbulkan juga berkurang. Limbah (grey
water) tersebut kemudian dimanfaatkan kembali (reuse), serta
didaur ulang kembali agar menjadi air baku air bersih.
b. Interaksi antara keberlanjutan ketersediaan air dengan
pengurangan dan pengolahan limpasan air permukaan. Hasilnya
adalah pengurangan (reduce) penggunaan air permukaan. Karena
penggunaan air permukaan yang efisien, maka terdapat sisa
limpasan permukaan yang sedikit pula. Sisa limpasan air
permukaan yang terbuang tersebut ditampung kembali dan
dimanfaatkan untuk penunjang kegiatan ekonomi masyarakat
perkotaan sehingga tidak ada limbah limpasan air permukaan.
Interaksi antara pengurangan dan pengolahan air limbah dengan
pengurangan dan pengolahan air permukaan. Hasilnya adalah sisa
air limpasan yang tidak dipakai dan limbah domestik (grey water)
diproses atau diolah menjadi sumber air baku air bersih dengan
teknologi yang ramah lingkungan (green technology). Secara
agramatis, integrasi pembangunan perkotaan yang berkelanjutan
dengan pengelolaan air perkotaan yang berkelanjutan dalam
pelaksanaan smart city disajikan dalam Gambar 1.

194 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Keberlanjutan
ketersediaan air

Efisiensi + daur
Daur ulang
ulang air limbah
air hujan &
limpasan air + grey
permukaan water
Water Smart
City

Pengurangan & Pengurangan &


Mengurangi limbah
pengolahan pengolahan air
dan limpasan
limpasan air limbah
denagn infrastruktur
permukaan hijau

Sumber: modifikasi dari Hattum et al. (2016)

Gambar 1. Integrasi Pembangunan Perkotaan yang Berkelanjutan dan


Pengelolaan Air Perkotaan yang Berkelanjutan

Selanjutnya, Wong and Brown (2009) mendiskripsikan integrasi


pembangunan perkotaan dan pengelolaan air yang berkelanjutan
melalui 3 (tiga) pilar, yaitu:

1. Kota sebagai Daerah Tangkapan Air


Sebuah kota memiliki sumber air yang beragam yang selama ini
dialirkan secara langsung dialirkan, tetapi dalam konsep ini sumber air
perkotaan tersebut dialirkan melalui infrastruktur yang terpusat dan
terpadu serta terdesentralisasi pada skala yang berbeda. Oleh karena

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 195
itu, kota dapat diberikan fleksibilitas untuk mengakses sumber-
sumber air tersebut, dengan tujuan untuk menekan biaya lingkungan,
sosial, dan ekonomi.

2. Kota Menyediakan Jasa Ekosistem dan Meningkatkan Daya


Tampung
Konsep yang digunakan dalam jasa ekosistem untuk peningkatan
daya tampung adalah dengan mengintegrasikan kawasan perkotaan
dengan infrastruktur yang ramah lingkungan (green infrastructure).
Konsep ini merupakan solusi berbasis sumber daya alam yang dapat
membantu dalam pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan.
Pilar ini berkontribusi pada produksi pangan lokal, mendukung
keanekaragaman hayati, dan mengurangi emisi gas rumah kaca, yaitu
dengan jalan semua kegiatan ekonomi berbasis ekosistem, seperti
kegiatan wisata yang berwawasan lingkungan (ecoturism). Solusi
pengelolaan air berbasis sumber daya alam bermanaat untuk:
a. Melindungi dan meningkatkan sistem air alami dalam
perkembangan perkotaan.
b. Mengintegrasikan perlakuan air hujan ke dalam kawasan
perkotaan dengan menggabungkan beberapa infrastruktur
penggunaan air.
c. Melindungi kualitas air buangan dari pembangunan perkotaan
dengan cara mengolah air buangan tersebut terlebih dahulu
sebelum dilepas ke saluran pembuang.
d. Mengurangi limpasan (run off) dan debit puncak dari
perkembangan perkotaan dengan menerapkan konsep
minimalisasi kerusakan kawasan perkotaan yaitu dengan
menerapkan konsep zonasi (zona lindung dan zona budidaya).
e. Menerapkan kegiatan terpadu untuk meminimalisir banjir,
kekeringan, dan mitigasi bencana lainnya.
f. Meminimalkan biaya pengembangan infrastruktur drainase yaitu
dengan konsep green infrastructure, karena hal ini akan
mempunyai nilai tambah tersendiri.

196 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
3. Kota terdiri dari Komunitas dan Institusi Smart Water
Konsep yang ditawarkan adalah masyarakat menjalani gaya hidup
berkelanjutan secara ekologis dan sadar akan keseimbangan dan
ketegangan (konflik) yang terus berlanjut antara konsumsi dan
konservasi, industri dan kapasitas profesional untuk berinovasi dan
beradaptasi sebagai praktisi yang reflektif. Disampig itu, konsep ini
juga didukung oleh kebijakan pemerintah yang memfasilitasi evolusi
adaptif terhadap water sensitive city (ketahanan air perkotaan) yang
sedang berlangsung yaitu dengan melibatan semua pemangku
kepentingan agar water smart city dapat diwujudkan.

HUBUNGAN WATER RESILIENCE, WATER SMART CITY, DAN SMART


CITY

Supangkat (2016) dalam bukunya “Tantangan dan Peluang


Pembangunan Smart City”, mendefinisikan smart city sebagai “kota
yang mengetahui permasalahan yang ada di dalamnya (sensing),
memahami kondisi permasalahan tersebut (understanding), dan dapat
mengatur (acting) berbagai sumber daya yang ada untuk digunakan
secara efektif dan efisien dengan tujuan untuk memaksimalkan
pelayanan kepada warga masyarakat perkotaan. Konsep yang
dikembangkan adalah suatu konsep yang dimulai dari Desa Cerdas,
Kecamatan Cerdas, Kabupaten Cerdas, dan Kota Cerdas. Dengan
demikian, Supangkat (2016) membagi smart city ke dalam 3 (tiga)
indikator utama, yaitu: (1) Smart Economy, (2) Smart Society, dan (3)
Smart Environment. Selain itu, terdapat 3 (tiga) indikator pendukung
yang merupakan interaksi antar indikator utama, yaitu: (a) interaksi
antara Smart Economy dengan Smart Society menghasilkan indikator
pendukung Smart Information Communication and Technology (ICT),
(b) interaksi antara Smart Society dengan Smart Environment
menghasilkan indikator pendukung Smart Governance, dan (c)
interaksi antara Smart Environment dengan Smart Economy
menghasilkan indikator pendukung Smart People.
Untuk mempermudah dalam implementasinya, maka masing-
masing indikator mempunyai sub indikator, yaitu:

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 197
1. Smart economy mempunyai sub indikator: smart economy, smart
education, smart resources management, dan smart industry.
2. Smart society mempunyai sub indikator yang terdiri dari: smart
health, smart public service, smart social digital, dan smart safe
and security, dan
3. Smart environment mempunyai sub indikator yang meliputi: smart
energy, smart environment, smart public space, dan smart water
and waste management.

Secara diagramatis Model Smart City disajikan dalam Gambar 2.

Sumber: Supangkat (2016)

Gambar 2 . Salah Satu Model Smart City

JALAN MENUJU WATER SMART CITY UNTUK MENUNJANG SMART


CITY

Dalam perspektif sumber daya air, smart city adalah suatu konsep
yang digunakan untuk menjawab pertanyaan bagaimana semua
indikator atau sub indikator dalam smart city tersebut dapat dilayani

198 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
oleh air. Untuk itu dikembangkan konsep water smart city. Untuk
menuju water smart city dalam rangka menunjang Smart City terdapat
6 (enam) tahapan atau langkah yang harus dilalui yang dimodifikasi
dari Konsep Australian Sensitive Water City, yaitu:
1. Terpenuhi suplai air perkotaan (Ws).
Suplai air perkotaan diperoleh dari PDAM, air tanah bagi
masyarakat dalam kota, sedangkan bagi masyarakat pinggiran
kebutuhan air bersih selain dari air tanah juga diperoleh dengan
air permukaan dan air hujan melalui tampungan air atap.
2. Pengolahan limbah perkotaan (Wc).
Limbah perkotaan yang terdiri dari limbah domestik dan non
domestik (grey water) hanya kota-kota besar yang sudah
melakukannya yang dikelola oleh swasta, seperti kawasan Bumi
Derpong Damai (BSD), Alam Sutera di Tangerang Selatan, Kelapa
Gading di Jakarta, Delta Mas di Bekasi, dan lain-lain.
3. Pengelolaan drainase perkotaan (Dc).
Drainase perkotaan dalam hal ini adalah saluran pengendali banjir.
Air hujan yang jatuh di perkotaan ditahan dahulu jangan cepat
dibuang ke saluran pembuang yaitu melalui embung atau kolam
konservasi (retention pound) yang berfungsi selain untuk
pengendali banjir juga sebagai tandon air.
4. Pengelolaan saluran alami perkotaan (Dn).
Saluran alami perkotaan, meliputi sungai, parit, alur sungai, dan
lain-lain, dengan jalan memperlebar bantaran sungai di berbagai
tempat secara selektif di sepanjang sungai.
5. Recycle water (Rw).
Dalam recycle water berupa limbah industri. Limbah industri
didaur ulang untuk menjadi bahan baku air pada proses industri.
6. Water Resilience (ketahanan air) (Wr).
Ketahanan air merupakan penjumlahan dari suplai air perkotaan
(Ws), limbah perkotaan (Wc), drainase perkotaan (Dc), saluran
alami perkotaan (Dn), dan recycle water (Rw), sehingga dapat
dirumuskan menjadi: water resilience yang merupakan fungsi dari
Ws, Wc, Dc, Dn dan Rw), atau:

Wr = f (Ws, Wc, Dc, Dn, Rw)

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 199
Konsep water resilience ini sudah dikembangkan di Australia
(Monash University) sejak tahun 2010 dengan nama water sensitive
city.
Secara umum, untuk jalan menuju water smart city dapat
dikembangkan pada kota-kota yang sudah maju karena infrastruktur
airnya sudah lebih baik, yang digambarkan dalam garis putus-putus
(Gambar 3). Untuk kota-kota yang masih dalam tahap perkembangan
baru dapat memenuhinya pada 3 (tiga) tahapan, yaitu suplai air
perkotaan (Ws), pengelolaan limbah perkotaan (grey water) (Wc), dan
manajemen saluran pengendali banjir (Dc) yang digambarkan dalam
garis penuh. Apabila water resilience tercapai, maka jalan menuju
water smart city akan tercapai juga, yang akhirnya smart city dari
perspektif sumber daya air akan tercapai juga. Semua indikator dalam
smart city yang memerlukan air akan terlayani dengan baik. Secara
garis besar jalan menuju water smart city untuk menunjang smart city
disajikan dalam Gambar 3 berikut.

Eksisting Direncanakan

Sumber: Modifikasi dari Wong and Brown (2009)

Gambar 3. Jalan Menuju Water Smart City untuk mendukung Smart City

200 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
UPAYA PENINGKATAN WATER RESILIENCE

Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa untuk mencapai water


smart city, maka water resilience harus terpenuhi dahulu, karena
water resilience sama dengan water smart city. Untuk mencapai water
resilience harus melalui 5 tahapan yaitu: (1) ketersediaan supaly air
perkotaan, (2) pengolahan limbah domestik (grey water), (3)
treatment saluran pengendali banjir perkotaan, (4) pengelolaan
saluran alami perkotaan (sungai, parit, dan lain-lain), dan (5)
pengolahan air limbah. Untuk meningkatkan water resilience dalam
rangka menunjang smart city kaitannya dengan water smart city dapat
dipisahkan menjadi 2 (dua) bagian yaitu:
1. Restorasi kapasitas saluran drainase alami perkotaan, yang
meliputi:
a. Retention pound atau kolam konservasi, yaitu: kolam yang
dapat dibuat dengan memanfaatkan daerah-daerah dengan
topografi rendah, daerah bekas galian (pasir, tambang,
material lainnya) atau secara ekstra dibuat dengan menggali
suatu areal atau bagian tertentu di kawasan permukiman,
pertanian, dan perkebunan. Bentuk fisik berupa embung, situ,
dan lain-lain. Fungsi dari retention pound adalah sebagai
pengendali banjir dan ketersediaan air. Secara detail retention
pound disajikan dalam Gambar 4.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 201
Sumber: Sawiyo (2010)

Gambar 4 . Retention Pound Daerah Perkotaan

b. Detention pound, yaitu kolam konservasi yang dibuat di


pinggir sungai, dengan cara memperlebar bantaran sungai di
berbagai tempat secara selektif di sepanjang sungai.
Fungsinya adalah untuk mengurangi volume air sungai agar
tidak terjadi banjir, dan ketersediaan air. Bagi kota yang
terletak di bagian hulu (up stream) daerah aliran sungai (DAS),
detention pound dapat dilaksanakan dengan dam parit
(channel resevoir). Detention pound dengan dam parit ini
sudah dilaksanakan di Sub DAS Cibogo, pada DAS Ciliwung
Hulu (Sawiyo, 2010). Secara detail detention pound dan dam
parit disajikan dalam Gambar 5 dan 6.

202 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Sumber: Sawiyo (2010)

Gambar 5 . Detention Pound Daerah Perkotaan

Sumber: Sawiyo (2010)

Gambar 6. Penampang Sungai dan Posisi Pengembangan Dam Parit


yang Letaknya di Hulu DAS

c. Penampungan air hujan (PAH) melalui tampungan atap,


yaitu air hujan yang jatuh pada rumah kemudian dialirkan
melalui talang, selanjutnya ditampung dalam bak
penampung yang bisa dibuat dari bahan inert, beton
bertulang, fiberglass, atau stainless steel (Gambar 7). Air
hasil tampungan tersebut dimanfaatkan pada musim

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 203
kering dan hanya untuk minum dan memasak, sedangkan
untuk kebutuhan air lainnya seperti air permukaan
(sungai, embung, setu, dan lainnya). Metode ini dilakukan
pada daerah-daerah yang curah hujannya kecil seperti di
wilayah Indonesia Timur (NTT, Papua, dan Maluku).

Sumber: Harsoyo (2010)

Gambar 7. Salah Satu Cara Penampungan Air Hujan (PAH) Lewat Atap

d. Sumur resapan. Metode sumur resapan hampir sama dengan


tampungan air hujan (PAH) lewat atap. Perbedaannya adalah
setelah air hujan dari talang tidak ditampung di bak penampung,
tetapi dialirkan (dimasukkan) ke dalam tanah. Fungsinya adalah
untuk mensuplai atau sebagai imbuhan air tanah.

Berdasarkan hasil penelitan Susanto dan Suhardianto (2005),


ukuran sumur resapan di daerah perumahan Reni Jaya, Kota
Tangerang Selatan yang didasari pada luas atap rumah, curah
hujan, dan laju infiltrasi. Hasil perhitungan disajikan dalam Tabel 1.

204 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Tabel 1. Ukuran Sumur Resapan Berdasarkan tipe rumah Beserta
Alternatifnya

Ukuran Sumur Resapan


Tipe Rumah Diameter (X c m) n K edalaman (Y-Z c m)*
Alternatif I Alternatif II Alternatif III
Tipe 21/60
 Asli 80 – (65 + 15) 90 – (50 + 10)
 Renovasi 90 – (140 + 30) 100 – (115 + 25) 110 – (100 + 20)

Tipe 36/100
 Asli 80 – (105 + 25) 90 – (85 + 20) 100 – (70 + 15)
 Renovasi 110 – (155 + 35) 120 – (130 + 300 130 – (110 + 25)
Tipe 56/110
 Asli 90 – (125 + 25) 100 – (100 + 20) 110 – (85 + 20)
 Renovasi 120 – (145 + 30) 130 – (120 + 25) 140 – (105 + 25)
Tipe 70/120
 Asli 100 – (130 + 30) 110 – (110 + 25) 120 – (90 + 20)
 Renovasi 120 – (155 + 35) 130 – (135 + 30) 140 – (120 +25)
Sumber: Susanto dan Suhardianto (2005)
Keterangan: *) = Y adalah kedalaman sumur tanpa isi, dan Z
kedalaman sumur dengan isi (ijuk/geo tekstile)

e. Biopori. Metode biopori ini sudah dikembangkan oleh Institut


Pertanian Bogor (IPB), yaitu dengan membuat lubang pada lahan
dengan diameter 20 cm (memakai hand auger hole, atau alat yang
lain) dengan kedalaman ± 0.5-1.0 meter yang dapat dilakukan di
pekarangan rumah atau perkebunan dan areal yang lain (hutan
kota, taman, dan lainnya) dengan interval 10 meter. Fungsi
biopori adalah untuk mensuplai (imbuhan) ketersediaan air tanah
dangkal (unconfined aquifer) atau akuifer bebas, dan pengendali
banjir.
f. Menjaga kualitas air, yaitu dengan cara menjaga atau
memproteksi sumber air yang digunakan sebagai sumber air baku
air bersih (air permukaan bisa air sungai, embung, situ, danau, dan
air tanah) dari polutan.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 205
g. Pengelolaan air yang adaptif. Pengelolaan model ini merupakan
pengelolaan air dengan mengantisipasi ramalan cuaca jangka
panjang akibat perubahan iklim yang akhir-akhir ini terjadi,
tujuannya adalah untuk meningkatkan kapasitas penyimpanan air
bak air permukaan maupun air tanah (Hattum et al. 2016).

2. Memutus siklus air perkotaan


a. Optimalisasi pemanfaatan air dari PDAM
Optimalisasi PDAM dapat dilakukan dengan jalan memperluas
layanan jaringan suplai PDAM, dimana yang dahulu
layanannya 60% ditingkatkan menjadi 80%, demikian
seterusnya. Satu hal yang perlu dicatat adalah air baku PDAM.
Air baku PDAM adalah air permukaan (sungai, dam, atau situ)
bukan air tanah. Tujuan dari perluasan layanan PDAM adalah
agar: (1) masyarakat perkotaan dalam memenuhi kebutuhan
akan air bersih tidak dengan mengekstrak (memakai) air
tanah, tetapi dengan memakai PDAM, karena air tanah dapat
diibaratkan sebagai uang di Bank yang dapat dijadikan
cadangan pada saat curah hujan berlebih, dan dimanfaatkan
pada saat curah hujan menurun akibat musim kemarau.
Namun apabila cadangan air tanah habis karena terdeplesi,
maka akan berakibat bencana yang akan ditimbulkan seperti
penurunan muka air tanah (ground water level), dan bahkan
dapat menimbulkan penurunan muka tanah, seperti yang
terjadi di kota-kota besar di Indonesia (Jakarta, Semarang,
Surabaya). Kondisi seperti ini akan menimbulkan biaya yang
sangat tinggi. Berdasarkan ilmu ekonomi terdapat kaitan
antara air tanah dengan ilmu ekonomi yang dikenal istilah
ground water diamond paradoks atau paradok air tanah dan
berlian, dimana air tanah yang begitu esensial dinilai begitu
murah sementara mutiara yang hanya sebatas perhiasan
dinilai sangat mahal (Fauzi, 2006).
b. Reduce water use
Reduce water use atau efisiensi penggunaan air, hal ini bisa
dilakukan pada masyarakat perkotaan yang biasa
menggunakan air dalam 1 hari 150-200 lt/orang/hari (untuk

206 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
kota Metropolitan), dan 120-150 lt/orang/hari (untuk kota
besar), dan untuk kota kecil 90-120 lt/orang/hari (Kimpraswil,
2003) dikurangi menjadi 80% dari standar pemakaiannya.
Demikian juga untuk penggunaan air di hotel dan fasilitas
sosial lainnya.
c. Reuse Water
Pemanfaatan air kembali dari limbah domestik (grey water).
Metode yang digunakan adalah sistem komunal, limbah
rumah tangga dari beberapa rumah ditampung dalam satu
bak penampung dengan sistem perpipaan menggunakan
tenaga grafitasi. Limbah domestik tersebut dapat digunakan
kembali tanpa diolah (treatment) terlebih dahulu, sebagai
contoh, grey water digunakan untuk menyirami tanaman,
karena grey water kandungan unsur kimianya (unsur Cl) tinggi,
sehingga bagus untuk kesuburan tanaman.
c. Water treatment
Water treatment (water recycling) adalah pemanfaatan
kembali air limbah industri menjadi bahan baku penunjang
proses industri, yaitu air limbah beberapa industri yang
berada dalam kawasan industri ditampung dalam satu kolam
(IPAL) (komunal), kemudian limbah tersebut diolah, bisa
dengan kimiawi maupun biologi. Setelah melalui proses
pengolahan di IPAL, hasilnya dijadikan air baku dalam
penunjang proses industri, seperti untuk mencuci peralatan
industri, dan lain sebagainya, tetapi bukan sebagai air baku
industri.

PENUTUP

Terjadi perubahan paradigma dalam perencanaan kota kaitannya


dengan sumber daya air, yaitu: kota diasumsikan sebagai daerah
tangkapan air hujan, dimana air hujan ditahan selama mungkin agar
masuk ke dalam tanah untuk mensuplai air tanah, dan baru dilepaskan
secara perlahan ke saluran pembuang. Paradigma ini disebut water
smart city.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 207
Kedudukan water resilience di dalam jalan menuju Water Smart
City terletak pada Water Sensitive City (langkah ke enam dalam Water
Smart City). Langkah-langkah untuk menuju Water Smart City dalam
menunjang Smart City ada 6 (enam) langkah, yaitu: (1) terpenuhi
suplai air perkotaan yang meliputi PDAM, air tanah, dan sungai; (2)
pengolahan limbah perkotaan (grey water), yang meliputi:
pengelolaan limbah domestik dan non domestik; (3) pengelolaan
drainase perkotaan yang terdiri dari: pengelolaan saluran pengendali
banjir; (4) pengelolaan saluran alami perkotaan (sungai, parit, alur
sungai); (5) recycle water, yang meliputi limbah perkotaan yang terdiri
dari limbah domestik dan industri; dan (6) Sensitive Water City yang
meliputi water resilience yang berguna untuk keberlanjutan inter
generasi.
Upaya peningkatan water resilience untuk menunjang Smart City
dapat digolongkan menjadi 2 (dua), yaitu: (a) restorasi kapasitas
saluran drainase alami perkotaan, yang terdiri dari: retention pound
atau kolam konservasi, detention pound (kolam konservasi yang
dibuat di bantaran sungai) untuk wilayah kota di hilir DAS, sedangkan
untuk wilayah hulu dengan dam parit (channel conservation),
panampungan air hujan (PAH) melalui tampungan atap, sumur
resapan, biopori, menjaga kualitas air, dan pengelolaan air yang
adaptif; serta (b) memutus siklus air perkotaan, yaitu dengan jalan:
optimalisasi pemanfaatan air PDAM, reduse water use, reuse water,
dan treatment water (recycling water).

208 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil).


(2003). Standar Penggunaan Air Bersih. Ditjen Cipta Karya.
Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Jakarta.

Fauzi, A. (2006). Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Teori dan


Aplikasi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Harsoyo. B., 2010, Teknik Pemanenan air hujan (rain water harvesting)
sebagai alternatif upaya penyelamatan sumberdaya air di Jakarta.
Jurnal Sain dan Teknologi modifikasi cuaca Vol 10 No. 2; 29-39

Hattum. Tim Van, Maaike Blauw, Marina Bergen Jensen, and Karianne
de Bruin. (2016). Towards Water Smart Cities, Climate Adaptation
is a huge Opportuny to Inprove the Quality of Life in Cities.
University of Research, Wageningen.

Kementerian PUPR. (2016). Ketahanan Air Indonesia Dinilai Masih


Rendah, https://kumparan.com/angga-sukmawijaya/ketahanan-
air-indonesia-dinilai-masih-rendah, diakses 14/05/17.

Mulyana W. dan Emirhadi Suganda. (2017). Water Governance for


Urban Resilience Analysis of Key Factors and the Role of
Stakeholders in Metropolitan Area. The Indonesian Journal of
Planning and Development, Vol 2 No 1, February, 11-18. Journal
Homepage: http://ejournal2.undip.ac.id/index.php/ijpd,
http://dx.doi.org/10.14710/ijpd.2.1.11-18.

Sawiyo. (2010). Petunjuk Teknis. Pengembangan Teknologi Alternatif


Panen Hujan Untuk Efisiensi Air dan Pengurangan Resiko Banjir.
Satuan Kerja Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
ISBN : 987-602-9065-00-8.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 209
Siradj, M. (1992). Metodologi Prakiraan Dampak pada air tanah.
Seminar Nasional Metodologi Prakiraan Dampak dalam AMDAL,
Bogor: PPLH-LP-IPB dan BK-PSL dan Bappedal.

Supangkat, S.S. (2016). Tantangan dan Peluang pembangunan Smart


City, Smart City and Community Innovation Centre ITB,
jababekaexpo_2016.pdt.12/05/2017.

Susanto, A dan Anang Suhardianto. (2005). Penentuan Sumur Resapan


Berdasarkan Luas Rumah, Curah Hujan dan Infiltrasi (Studi Kasus
di Komplek Perumahan Reni Jaya, Pamulang, Banten). Jurnal
Matematik, Sain dan Teknologi, Vol 6 No, 1, Maret, hal 38-48.

Wong, T.H.F. and Brown, R.R. (2009). The water sensitive city:
principles for practice. Water Science and Technology, 60(3),
pp.673-682.

World Health Organization (WHO). (2012). UN-water global annual


assessment of sanitation and drinking-water (GLAAS) 2012 report:
The challenge of extending and sustaining services. Retrieved
from http://www.un.org/waterforlifedecade/pdf/glaas_report_
2012_eng.pdf.

210 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
KETERSEDIAAN AIR BERSIH UNTUK KESEHATAN: KASUS
DALAM PENCEGAHAN DIARE PADA ANAK

Sri Utami & Sri Kurniati Handayani

PENDAHULUAN

Di era sekarang ini smart city menjadi salah satu parameter


keberhasilan suatu kota, yaitu sebagai kota yang mampu mengontrol
dan mengintegrasi semua infrastruktur termasuk dalam menciptakan
lingkungan yang cerdas. Lingkungan cerdas (smart environment)
didefinisikan sebagai lingkungan yang dapat memberikan
kenyamanan, keberlanjutan sumber daya, keindahan fisik maupun
non fisik, visual maupun tidak, bagi masyarakat dan publik (Antariksa,
2017). Pengembangan kualitas dan kuantitas air bersih merupakan
salah satu pengembangan infrastruktur lingkungan yang perlu
mendapat perhatian. Selain karena merupakan salah satu sumber
daya yang vital, air juga merupakan penyebab utama masalah-
masalah lingkungan yang dialami oleh penduduk, terutama yang
tinggal di daerah perkotaan. Bahkan ketersediaan air, terutama air
bersih, menjadi salah satu penentu kualitas hidup suatu masyarakat.
Saat ini dunia telah mengalami krisis air bersih. Jumlah air bersih
di dunia hanya 1% yang dapat dikonsumsi. Dari 1% air bersih yang
tersedia tersebut, tidak semuanya dapat dengan mudah diakses oleh

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 211
masyarakat. Data WHO 2015 menemukan bahwa 663 juta penduduk
masih kesulitan dalam mengakses air bersih (Rochmi, 2016). Berkaitan
dengan krisis air ini, diramalkan pada tahun 2025 nanti hampir dua
pertiga penduduk dunia akan tinggal di daerah-daerah yang
mengalami kekurangan air (Unesco, 2017). Ramalan itu dilansir World
Water Assesment Programme (WWAP), bentukan United Nation
Educational, Scientific, and Cultural Organization (Unesco). Terkait
Indonesia, pada tahun 2012 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) mencatat Indonesia menduduki peringkat terburuk dalam
pelayanan ketersediaan air bersih dan layak konsumsi se-Asia
Tenggara (Rochmi, 2016). Bahkan Direktur Pemukiman dan
Perumahan Kementerian PPN (Bappenas) memperkirakan bahwa
Indonesia juga akan mengalami krisis air. Hal ini karena melihat
ketersediaan air bersih melalui jumlah sungai yang mengalirkan air
bersih terbatas, sedangkan cadangan air tanah (green water) di
Indonesia hanya tersisa di dua tempat yakni Papua dan Kalimantan.
Indonesia juga diprediksi bahwa akan ada 321 juta penduduk yang
kesulitan mendapatkan air bersih. Sebab permintaan air bersih naik
sebesar 1,33 kali, berbanding terbalik dengan jumlah penduduk yang
kekurangan air (Rochmi, 2016).
Di sisi lain, kabar baik datang dari laporan Badan Pusat Statistik
(BPS) tahun 2016. BPS mencatat bahwa saat ini Indonesia telah
mengalami peningkatan yang cukup signifikan terkait persentase
rumah tangga dengan sumber air minum bersih yang layak, yaitu dari
41,39% pada tahun 2012 menjadi 72,55% pada tahun 2015 (Badan
Pusat Statistik, 2016). Namun jika dibandingkan dengan tujuan
Sustainable Development Goals (SDGs), capain tersebut masih belum
mencapai target. Per 2030 dalam milestone SDGs, setiap negara
diharapkan telah mampu mewujudkan 100% akses air minum layak
untuk penduduknya. Indonesia meletakkan target pencapaiannya
lebih awal yaitu akhir tahun 2019 sebagaimana amanat Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2016 (Portal
Sanitasi Indonesia, 2015). Walaupun capaian belum 100%, ini
merupakan capaian yang cukup baik mengingat permasalahan sanitasi
dan air dikategorikan sebagai sektor yang sulit untuk mencapai target.
Faktor ekonomi, faktor wilayah geografis, dan faktor ketersediaan

212 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
sumber air teridentifikasi sebagai faktor penyebab kesulitan akses air
bersih tersebut (Rochmi, 2016).
Rendahnya ketersediaan air bersih memberikan dampak buruk
pada semua sektor, termasuk kesehatan. Disebutkan bahwa tanpa
akses air minum yang higienis mengakibatkan 3.800 anak meninggal
tiap hari oleh penyakit. Penyakit kolera, kurap, kudis, diare/disentri,
atau thypus adalah sebagian kecil dari penyakit yang mungkin timbul
jika air kotor tetap dikonsumsi (Untung, 2008). Bahkan ditemukan
bahwa sanitasi dan perilaku kebersihan yang buruk serta air minum
yang tidak aman berkontribusi terhadap 88% kematian anak akibat
diare di seluruh dunia (Unicef Indonesia, 2012). Di Indonesia, insiden
penyakit diare dilaporkan mengalami peningkatan dari 301/1000
penduduk pada tahun 2000 naik menjadi 411/1000 penduduk pada
tahun 2010. Bahkan Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering
terjadi, dengan case fatality rate (CFR) yang masih tinggi (Depkes RI,
2011). Risiko kematian ini dapat dicegah melalui penurunan faktor
lingkungan yang beresiko, yaitu dengan penyediaan air bersih,
sanitasi, dan kebersihan (Chola, Michalow, Tugendhaft, & Hofman,
2015) seperti yang dicanangkan oleh UNICEF dan WHO. Tujuannya
adalah untuk menghambat transmisi kuman patogen penyebab diare
dari lingkungan ke tubuh manusia.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan arti pentingnya
ketersediaan air bersih bagi kehidupan. Tulisan ini akan mengkaji
tentang pentingnya ketersediaan air bersih untuk kesehatan,
khususnya untuk kasus pencegahan diare pada anak. Jika suatu kota
dapat mencapai 100% akses air bersih, tidak hanya keberhasilan
dalam menciptakan lingkungan cerdas melalui infrastruktur perairan,
namun juga keberhasilan dalam meningkatkan kualitas kehidupan
melalui penurunan kejadian penyakit diare pada anak. Bahkan
tercapaianya akses air minum yang sehat juga menjadi salah satu
indikator bahwa kota tersebut adalah kota layak anak (Widiyanto &
Rijanta, 2012).

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 213
BAHAN DAN METODOLOGI

Tulisan ini merupakan hasil studi literatur yang mengkaji peran


pentingnya ketersediaan air bersih bagi kesehatan untuk mendukung
tercapainya smart living dalam smart city. Hasil studi literatur ini
mencakup bahasan tentang kondisi pencemaran air di Indonesia,
kondisi ketersediaan air bersih di Indonesia, peran air bersih sebagai
upaya pencegahan diare pada anak, serta beberapa alternatif
teknologi untuk mendukung ketersediaan air bersih di Indonesia.
Sebagian besar data dan informasi yang digunakan dalam tulisan ini
berasal dari sumber data sekunder berupa jurnal, data statistik,
laporan organisasi terkait, laporan tahunan institusi, peraturan
pemerintah, dan literatur pendukung lainnya.

PEMBAHASAN

Tulisan ini membahas tentang beberapa komponen yang


berkaitan dengan pencemaran air, ketersediaan air bersih dalam
mendukung smart city, air bersih sebagai upaya pencegahan diare
pada anak, serta teknologi penyediaan air bersih.

Pencemaran Air
Kualitas air sungai di Indonesia sebagian besar berada pada status
tercemar. Pencemaran air didefinisikan sebagai masuknya atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke
dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai
dengan peruntukannya (PP RI, 2001). Direktorat Jenderal
Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan bahwa di tahun
2015 hampir 68% mutu air sungai di 33 provinsi di Indonesia dalam
status tercemar berat. Angka ini mengalami penurunan jika
dibandingkan pencemaran di tahun 2014 yang mencapai 79%.
Walaupun mengalami penurunan, namun persentasenya masih
tergolong tinggi, terutama di sungai-sungai yang terletak di wilayah
regional Sumatera (68%), Jawa (68%), Kalimantan (65%), dan Bali Nusa

214 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Tenggara (64%). Sedangkan di wilayah regional Indonesia Timur
seperti Sulawesi dan Papua relatif lebih kecil, yaitu 51% (Wendyartaka,
2016).
Terkait penentuan status air sungai tercemar atau tidak, terdapat
tujuh parameter yang digunakan untuk menghitung indeks kualitas air
yang dianggap mewakili kondisi riil kualitas air sungai. Tujuh
parameter tersebut meliputi: 1) Total Suspended Solid (TSS) adalah
residu dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran
partikel maksimal 2,0 µm, yang konsentrasinya dapat digunakan untuk
indikator tingkat sedimentasi. 2) Dissolved Oxygen (DO) untuk
mengukur banyaknya oksigen yang terkandung dalam air, yang
diindikasikan memiliki tingkat pencemaran tinggi jika air memiliki DO
rendah. 3) Biochemical Oxygen Demand (BOD) menunjukkan jumlah
oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan
senyawa organik pada kondisi aerobik. 4) Chemical Oxygen Demand
(COD) digunakan untuk pengukuran jumlah senyawa organik dalam air
yang setara dengan kebutuhan jumlah oksigen untuk mengoksidasi
senyawa organik secara kimiawi. 5) Total Phosfat (T-P) menunjukkan
keberadaan senyawa organik seperti protein, urea, dan hasil proses
penguraian. 6) Fecal Coli menunjukkan keberadaan mikroorganisme
yang umumnya terdapat pada limbah domestik dalam jumlah banyak
seperti coliform, fecal coli, dan salmonella, dan 7) Total Coli sebagai
indikator adanya pencemaran yang disebabkan oleh tinja manusia
(Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015).
Banyak faktor yang menjadi penyebab pencemaran air, namun
limbah domestik atau rumah tangga seperti kotoran manusia, limbah
cucian piring dan baju, kotoran hewan, dan pupuk dari perkebunan
dan peternakan teridentifikasi sebagai sumber utama pencemaran
(Whitten, Soeriaatmadja, & Afiff, 1999; Wendyartaka, 2016). Limbah
rumah tangga berupa feses dan urin berperan dalam meningkatkan
kadar fecal coli atau bakteri E. coli dalam air yang merupakan sumber
berbagai penyakit. Bahkan dilaporkan bahwa di kota-kota besar
seperti Jakarta dan Yogyakarta, kandungan E. coli di sungai maupun air
sumur penduduk melebihi ambang batas normal (Wendyartaka,
2016). Di sisi lain, pencemaran oleh limbah industri juga tidak dapat
diabaikan. Pencemaran ini diperkirakan memberi kontribusi rata-rata

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 215
25-50%. Penelitian di Surabaya menemukan bahwa limbah domestik
tidak berpengaruh signifikan dalam meningkatkan pencemaran
sungai, namun kondisi air di hulu yang banyak dipengaruhi limbah
industri justru sebagai faktor yang paling berkontribusi terhadap
pencemaran air di sungai Surabaya (Nugroho, Masduqi, & Widjanarko
Otok, 2014).
Kondisi pencemaran di sebagian besar sungai di perkotaan
Indonesia perlu mendapat perhatian, mengingat banyaknya sungai di
daerah perkotaan Indonesia yang dijadikan sebagai sumber air baku
untuk keperluan air minum. Bahkan secara global ditemukan bahwa
minimal 1,8 milyar penduduk minum air dari sumber yang
terkontaminasi feses (WHO, 2016). Hal ini tentunya akan memberikan
dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat yang
mengonsumsinya. Ada banyak penyakit yang disebabkan oleh
pencemaran air, dengan resiko terbesar menjangkit mereka yang
memiliki sistem imun lemah seperti bayi, anak, wanita hamil, dan
lansia. Bahkan WHO (2015) menyebutkan bahwa dari 133 penyakit,
diperhitungkan terdapat 101 yang mempunyai hubungan yang
signifikan dengan lingkungan, diantaranya berkaitan dengan air yang
tidak aman. Adapun beberapa penyakit yang paling sering berjangkit
karena air yang terkontaminasi antara lain sebagai berikut (WHO,
2016).

1. Diare
Diare adalah salah satu penyakit paling umum akibat bakteri dan
parasit yang berada di air tercemar. Diare mengakibatkan feses
encer/cair yang menyebabkan penderitanya mengalami dehidrasi,
bahkan kematian pada anak dan balita. Sejumlah 842 ribu penduduk
diperkirakan meninggal setiap tahunnya karena diare akibat konsumsi
air minum yang tidak aman (WHO, 2016).

2. Kolera
Penyebabnya adalah bakteri Vibrio cholerae yang masuk melalui
air atau makanan yang terkontaminasi oleh feses orang yang
mengidap penyakit ini. Anda juga dapat terjangkit kolera jika Anda
mencuci bahan makanan dengan air yang terkontaminasi. Gejalanya

216 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
diantaranya adalah diare dengan warna putih keruh, muntah, kram
perut, dan sakit kepala.

3. Dysentri
Dysentri disebabkan bakteri jenis dysentery baccilus yang masuk
dalam mulut melalui air atau makanan yang tercemar (Said, 1999).
Tanda dan gejala disentri termasuk demam, muntah, sakit perut, diare
berdarah, dan berlendir parah.

4. Hepatitis A
Penyebabnya adalah virus hepatitis A yang menyerang hati.
Biasanya menyebar melalui konsumsi air atau makanan yang
terkontaminasi feses, atau melalui kontak langsung dengan feses dari
pengidap. Gejalanya antara lain rasa mual, pusing disertai demam,
rasa lemas di seluruh tubuh, dan gejala spesifiknya berupa
pembengkakan liver dan timbul gejala sakit kuning.

5. Typhoid
Penyebabnya adalah jenis bacillus typhus yang masuk melalui
mulut dan menjangkit pada struktur lympha pada bagian bawah usus
halus, kemudian masuk ke aliran darah dan terbawa ke organ-organ
internal sehingga gejala muncul pada seluruh tubuh. Penularan dapat
terjadi karena infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang ada di dalam
tinja penderita melalui air minum, makanan, atau kontak langsung.

6. Polio
Penyebabnya adalah poliovirus yang masuk melalui mulut dan
menginfeksi seluruh struktur tubuh dan menjalar melalui simpul saraf
lokal yang menyerang sistem saraf pusat dan menyebabkan
kelumpuhan. Gejalanya berupa demam, meriang, sakit tenggorokan,
pusing, dan terjadi kejang mulut. Polio menyebar melalui feses dari
pengidap penyakit dan penularan dapat melalui air minum atau
makanan yang terkontaminasi.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 217
Ketersediaan Air Bersih Dalam Mendukung Smart City
Air bersih merupakan salah satu kebutuhan vital di masyarakat.
Air dibutuhkan dalam berbagai kepentingan mulai dari irigasi,
pertanian, kehutanan, industri, pariwisata, air minum, dan masih
banyak lagi kegiatan yang dapat memanfaatkan air. Permasalahan
yang terjadi adalah kualitas air permukaan yang semakin menurun
akibat limbah, baik limbah domestik maupun industri. Hal ini
berdampak pada terbatasnya ketersediaan air bersih, yang bahkan
dapat dikatakan saat ini dunia berada pada kondisi krisis air bersih.
Dengan demikian, tersedianya air bersih di setiap wilayah menjadi
suatu hal yang sangat penting sehingga kebutuhan masyarakat
terhadap air bersih dapat terpenuhi.
Jika dilihat dari segi infrastruktur suatu wilayah itu sendiri,
ketersediaan air bersih juga merupakan salah satu komponen yang
layak menjadi fokus perhatian. Terutama di daerah perkotaan dengan
jumlah penduduk yang padat. Ketercapaian suatu kota terhadap 100%
akses air bersih dapat mengindikasikan keberhasilan kota tersebut
dalam menangani permasalahan lingkungan. Sementara itu,
menangani permasalahan lingkungan merupakan salah satu dimensi
penting untuk mewujudkan smart city. Smart city dalam kajian
Assessing Smart city Initiatives for The Mediteranean Region
(ASCIMER) diartikan sebagai sebuah konsep daerah yang
menghubungkan kepentingan manusia, kehidupan sosial dan
infrastruktur terintegrasi menjadi kesatuan. Tujuannya adalah untuk
mengatasi permasalahan-permasalahan publik agar mencapai
pembangunan berkelanjutan dan dapat meningkatkan kualitas hidup
warganya (Okezone Finance, 2016).

Persyaratan Air Bersih


Kualitas air secara umum menunjukkan mutu atau kondisi air yang
dikaitkan dengan suatu keperluan tertentu. Air bersih, air minum, air
kolam renang, ataupun air pemandian umum memiliki indikator
kualitas yang berbeda-beda, namun tulisan ini difokuskan pada
pembahasan air bersih. Air bersih adalah air yang digunakan untuk
keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan
dan dapat diminum apabila telah dimasak. Berdasarkan Peraturan

218 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Menteri Kesehatan Nomor 416/MEN.KES/PER/IX/1990 disebutkan
bahwa air bersih harus memenuhi persyaratan yang dikelompokkan
secara fisika, kimia, mikrobiologis, dan radiologis seperti berikut ini.

Tabel 1. Persyaratan Kualitas Air Bersih

K adar
No P arameter Satuan K eterangan
Maksimum
1. Persyaratan Fisika
a. Bau - - Tidak Berbau
b. Jumlah zat padat Mg/L 1000 -
terlarut (TDS)
c. Kekeruhan Skala NTU 5 -
d. Rasa - - Tidak Berasa
0
e. Suhu 0 C Suhu udara -
0
±3 C
f. Warna Skala TCU 15 -
2. Persyaratan Kimia
a. Kimia Anorganik
Air raksa mg/L 0,001
Arsan mg/L 0,05
Besi mg/L 1,0
Flourida mg/L 1,5
Kadmium mg/L 0,005
Kesadanan (CaC03) mg/L 500
Klorida mg/L 600
Kronium, valensi 6 mg/L 0,05
Mangan mg/L 0,5
Nitrat, sebagai N mg/L 10
Nitrit, sebagai N mg/L 1,0
pH mg/L 0,05
Salenium mg/L 0,01
Seng mg/L 15
Sianida mg/L 0,1
Sulfat mg/L 400
Timbal mg/L 0,05

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 219
K adar
No P arameter Satuan K eterangan
Maksimum
b. Kimia Organik
Aldrin dan dieldrin mg/L 0,0007
Benzene mg/L 0,01
Benzo (a) pyrene mg/L 0,00001
Chloroform (total isomer) mg/L 0,007
Chloroform mg/L 0,03
2,4-D mg/L 0,10
DDT mg/L 0,03
Detergen mg/L 0,5
1,2-Dichloroethene mg/L 0,01
1,1- Dichloroethene mg/L 0,0003
Heptachlor dan heptaclor mg/L 0,003
epoxide
Hexachlorobenzena mg/L 0,00001
Gamma-HCH (Lindane) mg/L 0,004
Methoxychlor mg/L 0,10
Pentachloropenol mg/L 0,01
Pestisida total mg/L 0,10
2,4,6-trichorophenol mg/L 0,01
Zat organik (Kmn04) mg/L 10
3. Persyaratan Mikrobiologis
a. Total Koliform (MPN) Jumlah per 0 Bukan air
100 ml pipaan
b. Koliform tinja belum Jumlah per 0 Bukan air
diperiksa 100 ml pipaan
4. Persyaratan Radiologis
a. Aktivitas Alpha (Gross Bg/L 0,1
Alpha activity)
b. Aktivitas Beta (Gross Bg/L 1,0
Beta activity)
Sumber: Kemenkes RI. (1990)

Berdasarkan Tabel 1 di atas jelas menunjukkan adanya batas


kadar maksimum suatu zat dalam air sehingga air aman untuk

220 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
dikonsumsi. Apabila air dengan kandungan bahan kimia yang berlebih
tetap dikonsumsi akan menimbulkan gejala keracunan yang akan
nampak setelah bertahun-tahun mengonsumsinya.

Air Bersih di Indonesia


Dalam kondisi alami, sebagian besar air hujan meresap ke dalam
tanah sehingga hanya sebagian kecil yang mengalir langsung ke dalam
sungai. Semakin banyaknya pendirian bangunan, berdampak pada
berkurangnya jumlah air yang mengalir melalui bawah tanah. Kondisi
ini diperburuk oleh pengambilan air melalui sumur-sumur yang lebih
dalam karena persaingan untuk mendapatkan sumber air (Whitten,
Soeriaatmadja, & Afiff, 1999). Banyak faktor yang mempengaruhi
ketersediaan daya air. Penyebab permasalahannya adalah terkait
penyimpanan dan distribusinya ke daerah-daerah kota atau pinggiran
kota. Menurut UNESCO (1978) dalam Engineer Weekly (2016), volume
total air dunia sebesar ± 1,8 milyar kilometer kubik, dan sekitar 11 juta
meter kubik air tawar berada di permukaan dan dalam tanah.
Diketahui pula bahwa jumlah air tawar kira-kira hanya 2,6% air di bumi
dan hampir semuanya tertahan sebagai salju, glasier, dan air tanah.
Hanya 0,007% berada di danau, 0,005% di dalam tanah yang lembab,
dan 0,0001% di dalam sungai (Whitten, Soeriaatmadja, & Afiff, 1999).
Pada tahun 2000, data dari Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) melaporkan bahwa ketersediaan air permukaan
hanya cukup untuk memenuhi sekitar 23% kebutuhan penduduk.
Terkait air bersih, saat ini dilaporkan bahwa jumlah air bersih di
dunia hanya 1% yang dapat dikonsumsi dan tidak semuanya dapat
diakses dengan mudah oleh masyarakat. Organisasi kesehatan dunia
menemukan bahwa di tahun 2015, terdapat 663 juta penduduk masih
kesulitan dalam mengakses air bersih (Rochmi, 2016). Bahkan
diramalkan pada tahun 2025 nanti hampir dua pertiga penduduk
dunia akan tinggal di daerah-daerah yang mengalami kekurangan air
(Unesco, 2017). Kondisi inilah mengapa disebut bahwa dunia saat ini
mengalami krisis air bersih, termasuk Indonesia. Bahkan kondisi defisit
air bersih sudah dilaporkan di Jawa dan Bali sejak tahun 1995
(Whitten, Soeriaatmadja, & Afiff, 1999). Status krisis air bersih ini
didasarkan pada kajian bahwa jumlah sungai yang mengalirkan air

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 221
bersih di Indonesia terbatas, sedangkan cadangan air tanah (green
water) di Indonesia hanya tersisa di dua tempat yakni Papua dan
Kalimantan. Selain itu, Indonesia juga dikategorikan memiliki
pelayanan ketersediaan air bersih dan layak konsumsi yang buruk di
Asia-Tenggara, bahkan diprediksikan akan ada 321 juta penduduk
yang kesulitan mendapatkan air bersih karena adanya peningkatan
permintaan air bersih sebesar 1,33 kali yang berbanding terbalik
dengan jumlah penduduk yang kekurangan air (Rochmi, 2016).
Environmental performance index juga menunjukkan bahwa di tahun
2016, Indonesia menduduki peringkat ke-128 terkait sumber air dan
peringkat ke 104 terkait air bersih dan sanitasi se Asia Tenggara
(Engineer Weekly, 2016). Secara lebih spesifik, capaian rumah tangga
dengan sumber air bersih yang layak berdasarkan provinsi disajikan
pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Persentase Rumah Tangga dengan Sumber Air Bersih yang


Layak menurut Provinsi Tahun 2012 -2015

Provinsi 2012 2013 2014 2015


Aceh 26,65 27,80 26,02 64,19
Sumatera Utara 40,06 39,52 36,54 73,39
Sumatera Barat 34,63 31,88 29,30 71,12
Riau 36,27 37,43 33,96 82,24
Jambi 45,16 42,00 41,90 67,27
Sumatera Selatan 43,89 46,17 45,43 69,80
Bengkulu 26,76 25,48 24,03 43,85
Lampung 36,41 40,28 35,36 57,79
Kepulauan Bangka 28,25 24,15 22,18 80,52
Belitung
Kepulauan Riau 18,32 15,71 15,38 88,34
DKI Jakarta 23,18 22,48 21,00 93,68
Jawa Barat 31,43 30,71 29,40 68,38
Jawa Tengah 54,92 53,51 53,25 73,91
DI Yogyakarta 58,23 60,01 55,30 81,10
Jawa Timur 52,28 53,58 50,97 75,89
Banten 21,63 20,20 18,14 69,66

222 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Provinsi 2012 2013 2014 2015
Bali 52,54 50,60 48,66 91,09
Nusa Tenggara Barat 44,01 45,68 47,86 70,66
Nusa Tenggara Timur 50,44 48,33 47,26 62,39
Kalimantan Barat 50,37 52,87 49,46 72,91
Kalimantan Tengah 33,81 33,22 30,76 64,58
Kalimantan Selatan 46,39 46,38 44,49 68,63
Kalimantan Timur 31,81 32,02 29,08 89,52
Kalimantan Utara - - - 89,17
Sulawesi Utara 39,95 31,93 30,73 75,05
Sulawesi Tengah 42,47 40,03 38,15 62,61
Sulawesi Selatan 44,40 43,62 41,70 73,12
Sulawesi Tenggara 50,44 52,13 49,34 78,17
Gorontalo 37,58 36,70 35,48 67,49
Sulawesi Barat 33,60 31,85 29,97 54,68
Maluku 48,67 44,76 45,56 64,55
Maluku Utara 47,11 42,63 40,89 59,89
Papua Barat 38,13 39,08 36,93 72,95
Papua 25,40 29,52 29,49 52,72
Indonesia 41,39 41,09 39,31 72,55
Sumber: Badan Pusat Statistik (2016)

Berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik tersebut, dapat


diketahui bahwa persentase rumah tangga dengan sumber air bersih
di Indonesia pada tahun 2015 yaitu ±73% dengan capaian tertinggi di
daerah Jakarta (93,7%) dan Bali (91,1%), sedangkan capaian terendah
di daerah Bengkulu (43,9%) dan Papua (52,7%). Capaian air bersih di
tahun 2015 ini mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun 2012
(41%). Semenjak adanya Millenium Development Goals pada tahun
2000, akses air minum yang sehat menjadi salah satu tujuannya.
Berbagai upaya dilakukan untuk mencapai target yang diharapkan.
Capaian ini menjadi salah satu bukti keberhasilan dari berbagai
strategi yang dilakukan pemerintah Indonesia selama ini, baik dalam
penyediaan air bersih maupun pemberdayaan masyarakat melalui
perubahan perilaku higienis (Badan Pusat Statistik, 2015). Namun jika
dibandingkan dengan capaian di beberapa negara tetangga, capaian

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 223
akses air bersih di Indonesia ini masih tergolong rendah. Menurut the
Economist World Figures in Pocket 2016, negara yang sudah sukses
dengan akses air bersih yaitu Singapura (100%), Korea (100%),
Malaysia (99,6%), Brazil (97,5%), Thailand (95,8%), Vietnam (95%),
India (92,6%), China (91,9%), dan Philipina (91,8%) (Engineer Weekly,
2016). Untuk itu, masih dibutuhkan upaya keras dari semua pihak
terutama dinas-dinas terkait untuk meningkatkan persentase akses
terhadap air bersih dari 73% menuju 100% yang dapat menjangkau
penduduk di tahun 2019 sesuai dengan RPJMN 2015-2016.

Air Bersih sebagai Upaya Pencegahan Diare pada Anak


Ketersediaan air bersih mempunyai peran besar dalam penurunan
kejadian diare terutama pada anak, bahkan juga disebutkan
ketersediaan air bersih ini memberikan kontribusi pada penurunan
angka kematian pada anak akibat diare. Hal ini menunjukkan bahwa
peningkatan akses air bersih tidak hanya berperan dalam menciptakan
smart environment, namun juga berperan dalam pencapaian smart
living yaitu mampu menunjang kesehatan masyarakat. Smart
environment dan smart living merupakan dua dari enam komponen
penting untuk mewujudkan smart city.
Penyakit diare masih menjadi permasalahan kesehatan
masyarakat di negara berkembang, karena morbiditas dan
mortalitasnya yang masih tinggi. Penyakit diare disebutkan sebagai
penyebab utama kedua dari kematian anak di bawah usia 5 tahun.
Secara global, hampir 1.7 milyar kasus diare pada anak terjadi setiap
tahunnya (WHO, 2017). WHO juga melaporkan bahwa setiap
tahunnya diare membunuh sekitar 525.000 anak di bawah lima tahun.
Laporan tersebut juga didukung laporan Unicef yang menyatakan
bahwa 1.400 anak di bawah lima tahun meninggal setiap harinya
karena penyakit diare terkait dengan kurangnya air bersih dan sanitasi
serta kebersihan yang memadai (Engineer Weekly, 2016). Di Indonesia
sendiri, laporan insiden diare cenderung naik. Pada tahun 2010,
incidence rate (IR) penyakit Diare dilaporkan 411/1000 penduduk, naik
jika dibandingkan IR tahun 2000 yaitu 301/1000 penduduk (Depkes RI,
2011). Hasil Survei Morbiditas Diare tahun 2012 menyebutkan bahwa
angka kesakitan nasional diare sebesar 214/1000 penduduk

224 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
(Kemenkes RI, 2015). Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering
terjadi, dengan case fatality rate (CFR) yang masih tinggi. Pada tahun
2015 terjadi 18 kali KLB Diare yang tersebar di 11 provinsi, 18
kabupaten/kota, dengan jumlah penderita 1.213 orang dan kematian
30 orang (CFR 2,47%) (Kemenkes RI, 2015). CFR pada KLB tahun 2015
tersebut juga cenderung meningkat dibandingkan CFR tahun 2010
yaitu 1,74 % (Depkes RI, 2011).
Menurut World Health Organization (WHO), diare didefinisikan
sebagai suatu penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan
konsistensi tinja yang lembek sampai mencair dan bertambahnya
frekuensi buang air besar yang lebih dari biasa, yaitu tiga kali atau
lebih dalam sehari. Diare biasanya merupakan bagian dari gejala
infeksi saluran intestinal, yang dapat disebabkan oleh berbagai jenis
bakteri, virus, atau organisme parasit. Infeksi ini disebarkan melalui
kontaminasi makanan ataupun minuman, atau dari orang ke orang
(WHO, 2017). Riset kesehatan dasar yang dilakukan oleh Dinas
Kesehatan RI menunjukkan bahwa angka diare pada anak-anak dari
rumah tangga yang menggunakan sumur terbuka untuk air minum
tercatat 34% lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak dari rumah
tangga yang menggunakan air ledeng. Selain itu, angka diare lebih
tinggi sebesar 66% pada anak-anak dari keluarga yang melakukan
buang air besar di sungai atau selokan dibandingkan mereka pada
rumah tangga dengan fasilitas toilet pribadi dan septik tank (Depkes
RI, 2011).
Manajemen sanitasi dan air yang tidak adekuat di perkotaan serta
adanya limbah industri dan pertanian menjadikan air minum dari
jutaan penduduk terkontaminasi. WHO (2015) memperkirakan bahwa
dari semua kasus diare dapat disebabkan karena air minum yang tidak
adekuat (34%), sanitasi (19%), dan hygiene (20%) (Permatasari &
Sinuraya, 2016). Oleh karena itu disebutkan bahwa area intervensi
yang secara signifikan dapat mencegah kejadian diare adalah melalui
ketersediaan air yang layak, serta sanitasi dan higiene yang memadai
(WHO, 2016; Pruss-Ustun, dkk., 2016). WHO juga menambahkan
bahwa kematian dari 361.000 anak di bawah usia lima tahun setiap
tahunnya dapat dihindari jika keberadaan faktor risikonya dapat
(WHO, 2016). Sehingga melalui suplai air bersih yang sehat,

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 225
penurunan angka penderita penyakit khususnya penyakit yang
berhubungan dengan air termasuk diare, diharapkan dapat tercapai.
Banyak penelitian yang sudah membuktikan korelasi antara
lingkungan terutama terkait ketersediaan air bersih terhadap kejadian
diare. Penelitian Chandra, Hadi, dan Yulianty (2013) menemukan
bahwa penggunaan sarana air bersih yang tidak memenuhi syarat
sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada anak
balita sebesar 2,47 kali dibandingkan dengan keluarga yang
menggunakan sarana air bersih yang memenuhi syarat sanitasi. Hasil
yang sama juga ditemukan pada penelitian Siregar, Chahaya, & Naria
(2016) bahwa ada hubungan yang signifikan antara sarana air bersih
yang tidak memenuhi syarat, jamban keluarga yang tidak memenuhi
syarat, pembuangan air limbah yang tidak memenuhi syarat, dan
pembuangan sampah yang tidak memenuhi syarat dengan kejadian
diare pada anak. Terkait efektifitas air bersih terhadap penurunan
kejadian diare, penelitian Freeman et al. (2014) dan Wolf et al. (2014)
menemukan bahwa intervensi berupa peningkatan kualitas air minum
mampu menurunkan risiko kejadian diare secara efektif sebesar 45%.
Penelitian-penelitian tersebut cukup memberikan dasar kuat bahwa
ketersediaan air bersih merupakan infrastruktur yang layak menjadi
perhatian utama, tidak hanya memberikan kenyamanan lingkungan
dalam bentuk smart environment, namun juga mampu memberikan
kontribusi terhadap kualitas hidup masyarakat yang lebih baik melalui
kesehatan (smart living).

Teknologi Penyediaan Air Bersih


Konsep smart city dirancang untuk membantu berbagai hal
kegiatan masyarakat terutama dalam upaya mengelola sumber daya
yang ada dengan efisien, termasuk pengelolaan ketersediaan air
bersih. Selain sebagai upaya pencapaian smart environment,
ketersediaan air bersih juga terbukti efektif dalam mengurangi beban
penyakit karena faktor lingkungan, khususnya kejadian diare pada
anak. Mengingat kondisinya yang sudah mencapai krisis,
pengembangan ketersediaan air bersih perlu dilakukan secara
berkelanjutan agar dapat dialirkan kepada seluruh lapisan masyarakat
dan mendistribusikannya secara merata. Selain itu yang perlu

226 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
ditargetkan terutama akses pada orang miskin, seperti diketahui
bahwa sebagian besar yang tidak memiliki akses terhadap air yang
aman adalah penduduk miskin (Engineer Weekly, 2016).
Pasokan air selalu menjadi kendala utama penyediaan air bersih di
Indonesia. Sebagian besar PDAM mengandalkan air baku dari air
sungai untuk memasok air ke rumah tangga dan industri. Padahal
kualitas air sungai telah mengalami penurunan dari tahun ke tahun
akibat kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Terlebih lagi kondisi
perkotaan dengan kepadatan penduduk yang berlebihan, kurangnya
ruang, dan dekatnya jarak sumber air menjadikannya tidak cukup
hanya dengan penerapan teknologi sederhana. Di sisi lain,
penggunaan air tanah harus dihindari untuk tetap menjaga
keseimbangan air darat dengan air laut. Untuk itu dibutuhkan inovasi
teknologi modern dengan menggunakan air permukaan (air sungai, air
limbah, atau air laut) yang dapat memberikan solusi produksi air
bersih dalam jangka panjang yang dapat diterapkan di perkotaan.
Berikut beberapa teknologi modern yang diharapkan dapat menjadi
solusi kelangkaan air bersih saat ini.

1. Grey water bio Rotasi


Grey water adalah air limbah yang berasal dari aktivitas domestik
masyarakat (KM-ITB, 2014). Instalasi pengolahan air limbah grey water
bio rotasi ini terdiri dari sistem bio filter dan taman sanitasi dengan
resirkulasi yang dapat mengolah air limbah rumah tangga untuk
digunakan kembali menjadi air bersih (Engineer Weekly, 2016).
Teknologi ini menjadi salah satu teknologi tepat guna untuk
penyediaan air bersih mengingat 60-85% dari penggunaan air bersih,
75%-nya menjadi grey water (KM-ITB, 2014). Penelitian Luvita,
Sugiarto, dan Wijonarko (2015) melakukan pengolahan grey water
melalui reaksi kimia dengan menggunakan teknologi oksidasi dan
filtrasi di daerah Jakarta Timur. Setelah diproses dengan
menggunakan teknologi oksidasi, maka grey water yang dihasilkan
mengalami penurunan kandungan organik, ammonia, padatan
terlarut, dan BOD sehingga sesuai dengan standar baku mutu air
bersih. Di Indonesia, teknologi ini sudah diterapkan di beberapa

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 227
perusahaan untuk memenuhi kebutuhan internal perusahaan (PAM
Jaya, 2015).

2. Teknologi Desalinasi Air laut


Teknologi ini mengubah air laut menjadi air bersih yang siap
digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tahapan
desalinasi air laut meliputi pengambilan air laut, pengolahan awal,
proses pemisahan garam, dan pengolahan akhir. Pengolahan awal
dilakukan untuk membersihkan air laut dari bahan pengotor seperti
molekul makro dan mikro (Wrzesniewski & Harrison, 2017). Kemudian
dilakukan proses penyisihan garam, dapat berbasis panas (Multistage
flash distillation system), dan berbasis membran (Reverse osmosis
system). Penambahan mineral dilakukan pada tahap pengolahan akhir
agar dihasilkan produk air bersih dengan kualitas air minum (Engineer
Weekly, 2016; Wrzesniewski & Harrison, 2017). Negara yang telah
lama menggunakan teknologi ini adalah Arab Saudi, Bahrain, dan
Kuwait. Teknologi ini sangat mungkin diterapkan di Indonesia
mengingat Indonesia memiliki sumber daya air laut yang luas. Kendala
utamanya adalah Indonesia belum memiliki aturan mengenai
pengelolaan air laut sebagai air baku (PAM Jaya, 2015).

3. Metode Reverse Osmosis (RO)


Pengolahan air dengan metode reverse osmosis adalah suatu
sistem pengolahan air dari air yang mempunyai konsentrasi tinggi
melalui membran semipermiabel menjadi air yang mempunyai
konsentrasi rendah dikarenakan adanya tekanan osmosis. Metode ini
merupakan metode penyaringan yang dapat menyaring berbagai
molekul besar dan ion-ion dari suatu larutan dengan cara memberi
tekanan pada larutan ketika larutan itu berada di salah satu sisi
membran seleksi (lapisan penyaring). Proses tersebut menjadikan zat
terlarut terendap di lapisan yang dialiri tekanan sehingga zat pelarut
murni dapat mengalir ke lapisan berikutnya. Pengolahan air dengan
menggunakan teknologi ini banyak diaplikasikan pada pengolahan air
asin menjadi air bersih (desalinasi), pemurnian air kotor menjadi air
bersih, ataupun pemurnian air limbah menjadi air bersih (Engineer
Weekly, 2016).

228 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Teknologi RO ini merupakan teknologi yang lebih baru
dibandingkan desalinasi air laut. Desalinasi yang menggunakan sistem
RO lebih kompleks jika dibandingkan sistem RO untuk memurnikan air
tawar. Dalam proses desalinasi, setelah tahap pre-treatment maka air
laut disalurkan ke membran RO yang bertekanan 55 dan 85 bar. Air
yang ke luar berupa air tawar dan air berkadar garam tinggi (brine
water), untuk selanjutnya air tawar dialirkan ke tahapan post
treatment untuk diolah sesuai standar yang diinginkan. Desalinasi
dengan teknologi RO ini dianggap yang paling rendah konsumsi daya
listriknya diantara sistem desalinasi lainnya (TSM, 2012). Amerika,
Jepang, Israel, Singapura, dan Sanyol merupakan negara-negara yang
telah memanfaatkan teknologi ini untuk memproduksi air bersih
(Engineer Weekly, 2016).
Selain dengan kecanggihan teknologi, upaya preventif juga harus
terus digalakkan agar permasalahan air ini tidak berkelanjutan.
Mengingat banyaknya sungai di area perkotaan Indonesia yang
dijadikan sumber air minum, maka kualitas air sungai perlu dikelola
dengan baik. Upaya ini dapat ditempuh dengan cara peningkatan
sosialisasi agar masyarakat dan industri tidak membuang limbah cair
maupun sampah ke air permukaan sehingga tidak memperburuk
kondisi pencemaran air. Peningkatan sosialisasi ini dimaksudkan agar
dapat meningkatkan kepedulian masyarakat dalam memperbaiki
sektor air dan lingkungan khususnya di perkotaan besar di Indonesia,
terlebih jika dapat menyasar komunitas ahli. Sebuah penelitian
menemukan bahwa kepedulian komunitas ahli seperti ahli ekonomi,
ahli lingkungan, engineer sungai, dan ahli perencanaan wilayah kota
terhadap kualitas air sungai lebih tinggi dibandingkan aspek lainnya
(Komariah & Matsumoto, 2016; Mahyudin, Soemarno, & Prayogo,
2015). Penggunaan air secara efisien juga menjadi faktor penting lain
untuk mengatasi permasalahan air ini (Parikesit, 2017). Selain itu hal
penting lain yang tidak dapat diabaikan dalam peningkatan kualitas air
adalah adanya kebijakan pengendalian pencemaran dari penegak
hukum yang disertai pembinaan dan pengawasan terhadap air sungai
(Mahyudin, Soemarno, & Prayogo, 2015; Rosiana, Handayani, &
Qomariah, 2016).

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 229
PENUTUP

Air bersih merupakan salah satu kebutuhan vital di masyarakat.


Namun saat ini dapat dikatakan bahwa krisis air bersih menjadi
permasalahan di banyak negara berkembang, termasuk di Indonesia.
Terlebih lagi yang terjadi di perkotaan dengan kepadatan penduduk
yang tinggi dan memiliki jarak sumber air yang tidak memadai.
Rendahnya ketersediaan air bersih ini memberikan dampak buruk
pada semua sektor, terutama bagi kesehatan. Penyakit diare diketahui
sebagai penyakit yang mempunyai hubungan signifikan dengan
lingkungan, dan menjadi penyebab utama kedua dari kematian anak
di bawah usia 5 tahun yang masih menjadi permasalahan global.
Beberapa penelitian menunjukkan efektifitas peningkatan kualitas air
terhadap penurunan kejadian diare. Hal ini menunjukkan bahwa
ketersediaan air bersih tidak hanya berperan dalam pencapaian smart
environment namun juga berperan dalam pencapaian smart living
melalui peningkatan kualitas kesehatan.
Smart environment dan smart living merupakan dua dari enam
dimensi pokok dalam pencapaian smart city. Konsep smart city
dirancang untuk membantu berbagai hal kegiatan masyarakat
terutama dalam upaya mengelola sumber daya yang ada secara
efisien, termasuk dalam penyediaan air bersih. Di tengah
permasalahan pencemaran air sungai yang kompleks dan dihindarinya
eksploitasi air tanah secara terus menerus, maka dibutuhkan inovasi
teknologi yang mampu memenuhi kebutuhan air bersih di masyarakat
dalam jangka panjang. Grey water bio rotasi, desalinasi air laut,
ataupun sistem reverse osmosis merupakan beberapa teknologi
modern yang diharapkan mampu memberikan solusi dalam
permasalahan air bersih ini. Selain itu, upaya pengembangan teknologi
tersebut juga harus diimbangai dengan peningkatan kesadaran
masyarakat agar dapat memanfaatkan air bersih secara efisien.
Kerjasama antara berbagai sektor yang didukung adanya kebijakan
lingkungan juga menjadi kunci sukses penyelesaian masalah ini.
Sehingga diharapkan di akhir tahun 2019 setiap orang di Indonesia
memiliki akses air bersih, termasuk pada orang miskin.

230 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
DAFTAR PUSTAKA

Antariksa, S. (2017). ‘Smart city, menuju Kota kita yang dinamis dan
smart’- Kota yang menjadi Impian Masyarakat. Diakses tanggal 3
Mei 2017, dari https://www.academia.edu/26144112/
_Smart_City_Menuju_Kota_Kita_Yang_Dnamis_dan_Smart_Kota_
Yang_Menjadi_Impian_Masyarakat.

Badan Pusat Statistik (2015). Mewujudkan aksesibilitas air minum dan


sanitasi yang aman dan berkelanjutan bagi semua. Jakarta: Badan
Pusat Statistik.

Badan Pusat Statistik (2016). Perkembangan beberapa indikator


utama sosial-ekonomi Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Chandra Y, Hadi MC, dan Yulianty AE. (2013). Hubungan antara


keadaan sanitasi sarana air bersih dengan kejadian diare pada
balita di desa Denbantas Tabanan tahun 2013. Jurnal Kesehatan
Lingkungan, 4(1):112-117.

Chola L, Michalow J, Tugendhaft A, and Hofman K. (2015). Reducing


diarrhoea deaths in South Africa: costs and effects of scaling up
essential interventions to prevent and treat diarrhoea in under-
five children. BMC Public Health, 15(394):1-10.

Depkes RI. (2011). Situasi diare di Indonesia. Jakarta: Departemen


Kesehatan Indonesia.

Engineer Weekly. (2016). Mengelola air bersih. Diakses tanggal 3 Mei


2017, dari http://pii.or.id.

Freeman, MC, Stocks, ME, Cumming O, Jeandron A, Higgins JP, Wolf J,


Pruss-Ustun A, Bonjour, S, Hunter PR, Fewtrell L, Curtis V. (2014).
Hygiene and helath: systematic review of handwashing practises
worlwide and update of helath effets. Trop Med Int Health, 19 (8):
906-916.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 231
Kemenkes RI. (1990). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
416/MEN.KES/PER/IX/1990 Tentang Syarat-Syarat dan
Pengawasan Kualitas Air. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Kemenkes RI. (2015). Profil kesehatan Indonesia tahun 2015. Jakarta:


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2015). Statistik


Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2014.
Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan.

KM-ITB. (2014). Apa itu GreyWater?. Diakses tanggal 17 April 2017,


dari https://km.itb.ac.id/apa-itu-grey-water/.

Komariah, I. & Matsumoto, T. (2016). Investigation on the Expert


Communities Awareness of the Urban River Water Quality, Case
Study of Sugutamu River, Indonesia. Journal Sampurasun:
Interdisciplinary Studies for Cultural Heritage, 2 (1), p.115.

Luvita, V., Sugiarto, A.T., & Wijonarko, S. (2015). Pengolahan grey


water menjadi air bersih menggunakan ozonasi dan filtrasi carbon
aktif. Publikasi ilmiah PPI-KIM, LIPI-14059: 235-242.

Mahyudin, Soemarno, & Prayogo. (2015). Analisis Kualitas Air Dan


Strategi Pengendalian Pencemaran Air Sungai Metro di Kota
Kepanjen Kabupaten Malang. J-PAL, 6 (2): 105-114.

Nugroho, AR., Masduqi, A., & Widjanarko Otok, B. (2014). Aplikasi


Partial Least Square Structural Equation Modelling untuk Menilai
Faktor Pencemar Air Kali Surabaya. Jurnal Purifikasi, 14 (2): 136-
148.

Okezone Finance. (2016). Mengenal Konsep Wilayah Smart city.


Diakses tanggal 28 April 2017, dari

232 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
http://economy.okezone.com/read/2016/03/22/470/1342503/m
engenal-konsep-wilayah-smart-city.

PAM Jaya. (2015). BUMN usulkan solusi penanganan krisis air bersih.
Diakses tanggal 27 September 2017, dari
http://www.pamjaya.co.id/detail//328/this-bumn-proposed-
clean-water-crisis-solution.

Parikesit, Husodo T., Okubo S., Herwanto T., Badri, I., Gunawan, R.,
Megantara, E.N., Muhammad, D., Takeuchi, K. (2017). Urban-rural
interrrelations in water resource management: Problems and
factors affecting the sustainability of the drinking water supply in
the city of Bandung, Indonesia. Sustainable Landscape Planning in
Selected Urban Regions. DOI 10.1007/978-4-431-56445-4_15.

Permatasari, AC & Sinuraya, RK. (2016). Perbaikan Sanitasi, Higienitas,


dan Ketersediaan Air Bersih dalam Pencegahan Diare. Farmaka, 4
(4): 1-16.

PP RI. (2001). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82


Tahun 2001 tentang Pengelolaan kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air. Diakses tanggal 31 Juli 2017, dari
http://pelayanan.jakarta.go.id/download/regulasi/peraturan-
pemerintah-nomor-82-tahun-2001-tentang-pengelolaan-kualitas-
air-dan-pengendalian-pencemaran-air.pdf.

Portal Sanitasi Indonesia. (2015). Sanitasi dan Sustainable


Development Goals (SDGs). Diakses tanggal 26 September 2017,
dari http://www.sanitasi.or.id/?p=709.

Pruss-ustun, A., dkk. (2016). Preventing diseases through healthy


environments. A global asessment of the burden of disease from
environmental risks. Switzerland: World Health Organization.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 233
Rosiana M., R., Handayani, FS., & Qomariah, S. (2016). Strategi
Pengendalian Pencemaran Air Sungai Pepe. E-Jurnal Matriks
Teknik Sipil: 562-569.

Rochmi, MN. (2016). Akses air bersih masih jauh dari target. Diakses
dari https://beritagar.id/artikel/editorial/hapuskan-perda-
penyebab-ekonomi-biaya-tinggi.

Said, N.I. (1999). Kesehatan Masyarakat dan Teknologi Pengolahan Air.


Diakses 29 Maret 2017, dari
http://www.kelair.bppt.go.id/Publikasi/BukuKesmas/BAB1.pdf.

Siregar W, Chahaya I, & Naria E. (2016). Hubungan sanitasi lingkungan


dan personal hygiene ibu dengan kejadian diare pada balita di
lingkungan pintu angin Kelurahan Sibolga Hilir Kecamatan Sibolga
Utara Kota Sibolga Tahun 2016. Laporan Penelitian Universitas
Sumatera Utara. Diakses 31 Juli 2017, dari
http://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/.

TSM. (2012). Sea water RO Indonesia-RO air laut- desalinasi


pengolahan air laut menjadi air minum dan air bersih. Diakses
tanggal 25 September 2017, dari
http://www.tsm.or.id/products/sea-water-ro-indonesia-ro-air-
lautdesalinasi-pengolahan-air-laut-menjadi-air-minum-dan-air-
bersih.

Untung, O. (2008). Menjernihkan air kotor. Jakarta: Pustaka


Pembangunan Swadaya Nusantara.

Unicef Indonesia. (2012). Ringkasan Kajian: Air Bersih, Sanitasi, &


Kebersihan. Diakses tanggal 02 Juli 2017, dari
https://www.unicef.org/indonesia/id/A8_-
_B_Ringkasan_Kajian_Air_Bersih.pdf.

Unesco. (2017). Global Climate Change. Diakses tanggal 28 April 2017,


dari www.unesco.org.

234 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
WHO. (2015). The Global Health Observatory. Diakses tanggal 28 April
2017, dari http://www.who.int/gho/en/.

WHO. (2016). Drinking-water. Diakses tanggal 28 April 2017,dari


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs391/en/.

WHO. (2017). Diarrhoeal Disease. Diakses tanggal 4 Mei 2017, dari


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/ fs330/en/.

Whitten, T., Soeriaatmadja, RE., & Afiff, SA. (1999). Ekologi Jawa dan
Bali. Alih bahasa oleh Kartikasari, S.N, Utami, T.B, & Widyantoro,
A. Jakarta: Prenhallindo.

Wendyartaka, A. (2016). Air Sungai di Indonesia Tercemar Berat.


Diakses tanggal 29 Maret 2017, dari http://print.kompas.com.

Wolf J, Pruss-Ustun A, Cumming O, Bartram J, Bonjour S, Caincross S,


Clasen T, Colford JM Jr, Curtis V, De France J, Fewtrell L, Freeman
MC, Gordon B, Hunter PR, Jeandron A, Johnston RB, Mausezahl D,
Mathers C, Neira M, Higgins JP. (2014). Assessing the impact of
drinking water and sanitation on diarrhoeal disease in low- and
middle-income settings: systematic review and meta-regression.
Trop Med Int Health, 19 (8): 928-942.

Widiyanto, D. & Rijanta, R. (2012). Lingkungan kota layak anak (child-


friendly city) berdasarkan Persepsi Orangtua di Kota Yogyakarta.
Jurnal Bumi Lestari, 12 (2): 211-216.

Wrzesniewski, M. & Harrison, E. (2017). Reverse osmosis desalination:


The solution to water scarcity. University of Pittsburgh, Swanson
School of Engineering.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 235
236 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
PEMANFAATAN TANAMAN OBAT UNTUK
PENCEGAH AN DAN PENGO BATAN PENYAKIT
DEGENERATIF

Mutimanda Dwisatyadini

PENDAHULUAN

Di Indonesia saat ini terjadi transisi epidemiologi yang


menyebabkan terjadinya pergeseran pola penyakit, yaitu adanya
peningkatan penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif adalah
penyakit tidak menular yang berlangsung kronis karena kemunduran
fungsi organ tubuh akibat proses penuaan, seperti penyakit jantung,
hipertensi, diabetes, kegemukan dan lainnya (Handajani et al., 2010).
Beberapa jenis penyakit degeneratif menjadi peringkat 10 besar
penyakit tidak menular yang menyebabkan masyarakat Indonesia
harus berobat rawat jalan atau rawat inap di beberapa rumah sakit.
Terdapat tiga jenis penyakit degeneratif yang paling banyak diderita
oleh masyarakat Indonesia. Pada tahun 2009 sebesar 2,43%
masyarakat harus dirawat inap, karena penyakit jantung dan tahun
2010 sebesar 2,71%. Sedangkan pada tahun 2009 masyarakat yang

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 237
berobat di rawat jalan menderita hipertensi sebesar 2,44% dan tahun
2010 sebesar 2,36%, sedangkan masyarakat yang menderita penyakit
diabetes mellitus dan dirawat inap tahun 2009 sebesar 3,93% dan
tahun 2010 sebesar 3,81% (Kemenkes, 2013).
Untuk mengatasi masalah penyakit degeneratif, pemerintah
Indonesia menetapkan kebijakan dalam upaya peningkatan pelayanan
kesehatan. Sistem Kesehatan Nasional adalah suatu tatanan yang
mencerminkan upaya bangsa Indonesia untuk meningkatkan
kemampuan mencapai derajat kesehatan yang optimal sebagai
perwujudan kesejahteraan umum. Primary Health Care (PHC)
merupakan suatu strategi yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia
untuk mencapai kesehatan semua masyarakat. Salah satu unsur
penting dalam Primary Health Care (PHC) adalah penerapan teknologi
tepat guna dan peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat
dalam menunjang pembangunan kesehatan berdasarkan Primary
Health Care (PHC) adalah berbentuk upaya pengobatan tradisional
(Badan Pusat Statistik, 2008). Selain itu, peningkatan penyelenggaraan
pembangunan Sistem Kesehatan Nasional yang merupakan
penjabaran pola pembangunan nasional dan sebagai petunjuk
pelaksanaan pembangunan dibidang kesehatan, telah ditetapkan
dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No.131/Menkes/SK/II/2004.
Pemerintah juga menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan RI
No. 381/Menkes/SK/III/2007 dalam salah satu subsistem dari Sistem
Kesehatan Nasional. Dalam keputusan Menkes tersebut, disebutkan
bahwa pengembangan dan peningkatan penelitian uji klinis
pemanfaatan obat tradisional ditujukan agar diperoleh obat
tradisional yang bermutu tinggi, aman, memiliki khasiat nyata yang
teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas, baik digunakan
sendiri maupun dalam pelayanan kesehatan formal. Selain itu
pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9
Tahun 2016 tentang upaya pengembangan kesehatan melalui asuhan
mandiri pemanfaatan tanaman obat keluarga dan ketrampilan
budidaya dan pengolahannya. Asuhan mandiri kesehatan tradisional
adalah upaya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta
mencegah dan mengatasi gangguan kesehatan ringan oleh individu,

238 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
keluarga, kelompok, dan masyarakat dengan memanfaatkan tanaman
obat keluarga dan keterampilan dalam memanfaatkannya.
Mengubah kesadaran, pola pikir dan gaya hidup masyarakat
memerlukan adanya sosialisasi. Pemerintah melalui kementerian
kesehatan secara terus-menerus mensosialisasikan tanaman obat
keluarga (TOGA) dan memotivasi masyarakat agar menanam tanaman
obat-obatan. Bekerja sama dengan Dinas Kesehatan dan Pembina
Kesejahteraan Keluarga (PKK) di masing-masing kabupaten di
Indonesia, sosialisasi TOGA terus dilakukan baik melalui pelatihan-
pelatihan hingga pengadaan lomba Desa atau Kota Pelaksana Terbaik
Kegiatan Pemanfaatan Hasil TOGA hingga tingkat nasional. Salah satu
kota yang berhasil menjuarai lomba Desa atau Kota Pelaksanaan
Terbaik Kegiatan Pemanfaatan Hasil TOGA tingkat nasional yang
diadakan oleh PKK Pusat adalah Kota Karang Anyar (Aini, 2017). Tiga
tahap keberhasilan sosialisasi pemanfaatan tanaman obat keluarga
yang dilakukan oleh Tim Pergerak PKK, yakni persiapan, pelaksanaan
serta evaluasi dan monitoring (Susanto, 2017).
Keberhasilan sosialisasi dapat meningkatkan minat masyarakat
dalam memanfaatkan pengobatan tradisional. Hal itu dikarenakan
masyarakat merasa pengobatan tradisional tersebut berasal dari
bahan alami yang lebih murah dan bahan bakunya lebih mudah
didapatkan Nursiyah (2013). Selain itu, kearifan lokal masyarakat pada
komunitas tertentu memungkinkan pemanfaatan obat-obat
tradisional (Situmorang & Harianja, 2014). Menurut Katno (2009)
beralihnya masyarakat kepada obat tradisional karena hargalebih
murah, bahan lebih mudah didapatkan bila ditanam sendiri, dan
umumnya satu tanaman memiliki efek farmakologi lebih dari satu
sehingga bermanfaat untuk pengobatan penyakit degeneratif dan
metabolik.
Penelitian Effendi (2013) juga menunjukkan bahwa ada manfaat
pengobatan tradisional yang dilakukan masyarakat untuk berobat dan
terapi kesehatannya. Adapun faktor yang melatarbelakangi
masyarakat menggunakan pelayanan pengobatan tradisional yang
disediakan di puskesmas, dikarenakan obatnya berasal dari herbal dan
teknik pengobatannya alami, sehingga efek sampingnya kecil dan
biaya pengobatan lebih murah daripada pengobatan modern. Efek

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 239
dari pengobatan tradisonal yang dirasakan oleh masyarakat yaitu
penyakit yang diderita sembuh dan cocok dengan obat yang diberikan
oleh pengobatan tradisional yang disediakan oleh puskesmas. Semua
jenis tanaman obat memang mengandung senyawa kimia alami, yang
memiliki efek farmakologis dan aktivitas penting sampai berpotensi
sebagai agen anti penyakit degeneratif (Rahmawati et al., 2012).
Pengobatan tradisional yang berasal dari tanaman merupakan
manifestasi dari partisipasi aktif masyarakat dalam menyelesaikan
problematika kesehatan dan telah diakui peranannya oleh berbagai
bangsa dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. World
Health Organization (WHO) merekomendasi penggunaan obat
tradisional termasuk obat herbal dalam pemeliharaan kesehatan
masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk
kronis, penyakit degeneratif dan kanker (Agustina, 2016). Selain
tanaman obat digunakan untuk pengobatan penyakit degeneratif di
kota Samarinda mulai adanya upaya membangun ketahanan dan
kemandirian pangan terutama obat pada skala rumah tangga
dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia
diantaranya melalui pemanfaatan perkarangan (Sumarmiyati &
Rahayu, 2015). Masyarakat Indonesia secara turun temurun telah
memanfaatkan keunggulan tanaman obat untuk mengobati penyakit
degeneratif. Saat ini masyarakat perkotaan telah menyadari
pemanfaatan tanaman obat untuk mengobati penyakit degeneratif
yang diderita baik oleh dirinya sendiri dan keluarga. Terdapat
beberapa jenis tanaman obat yang dapat bermanfaat untuk
pencegahan dan pengobatan penyakit degeneratif, seperti kayu manis
yang mengandung senyawa antioksidan yang dapat mencegah
penyakit degeneratif seperti kanker, jantung koroner, hipertensi dan
diabetes (Biofarmaka IPB, 2015).
Pemanfaatan tanaman obat sendiri di perkotaan telah terlaksana
melalui penerapan program pemerintah (Smart Government), yang
mensosialisasikan pemanfaatan lahan pekarangan sebagai media
untuk budidaya tanaman obat, sehingga masyarakat diperkotaan
dapat lebih merasakan manfaat dari tanaman obat (Smart Living).
Terlihat pada keberhasilan sosialisasi pemerintah yang dilakukan oleh
Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo dengan pergerak PKK Rt 011, Rw

240 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
003, Kalisari, Pasar Rebo, Jakarta Timur, yang mana telah berhasil
mensosialisasikan pemanfaatan tanaman obat keluarga (TOGA),
sehingga masyarakat yang tinggal pada Rt 011, Rw 003, Kalisari, Pasar
Rebo dapat memanfaatkan keunggulan tanaman obat untuk
mengobati penyakit degeneratif dalam keluarganya yang tertulis pada
buku ini. Pembahasan mengenai Smart Government dan Smart Living
dapat dilihat lebih lanjut pada tulisan dalam buku ini.

Kesehatan Keluarga Versus Penyakit Degeneratif


Penyakit degeneratif menyebabkan kematian terbesar di dunia,
bahkan di Indonesia terjadi peningkatan penyakit kronis degeneratif
tiap tahunnya (Handajani et al., 2010). Terdapat beberapa teori
tentang proses timbulnya penyakit degeneratif, diantaranya adalah
teori genetika, teori tear and wear, teori crosslink, teori lingkungan
dan teori radikal bebas (Sutrisna, 2013). Penyakit degeneratif
merupakan penyakit yang sulit untuk diperbaiki yang ditandai dengan
degeneratif (kemunduran fungsi) sel dan organ tubuh yang
dipengaruhi gaya hidup (Notoatmojo, 2007). Manifestasi klinis dari
degeneratif sel dapat menyerang semua organ tubuh. Manifestasi
pada sistem musculoskeletal bisa berupa osteoporosis. Manifestasi
pada sistem neurosensori berupa prebiop maupun katarak senilis.
Manifestasi pada sistem endokrin bisa berupa diabetes mellitus. Pada
sistem kardiovaskular dapat menyebabkan penyakit jantung koroner,
acute miocard infarc. Pada sistem saraf manifestasi klinis degeneratif
sel dapat berupa demensia, parkinson, delirium, stroke, transien
iskemik attack (TIA). Selain itu degeneratif selluler dapat
menyebabkan terjadinya benigna prostat hyperplasia (BPH) (Sutrisna,
2013).
Penyebab terjadinya penyakit degeneratif menurut teori genetika,
teori tear and wear,serta teori crosslink penyebab terjadinya penyakit
degeneratif diawali peningkatan akumulasi sampah metabolik dalam
sel yang berakibat pada gangguan sintesis DNA. Gangguan ini dapat
menyebabkan resiko mutasi sel, degenerasi sel dan kerusakan sel.
Menurut teori lingkungan diawali kebiasaan yang tidak sehat seperti
merokok, mengkonsumsi minuman alkohol, pola makan yang tidak
sehat, aktifitas fisik yang kurang, dan pencemaran lingkungan (radikal

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 241
bebas) dan stress oksidatif yang dapat merusak tubuh. Menurut teori
radikal bebas diawali perubahan degenersi seluler akibat radikalbebas
yang berlebih masuk ke dalam tubuh (Sutrisna, 2013). Penelitian
Handajani et al. (2010) menyatakan penyebab penyakit degeneratif
adalah aktivitas fisik yang kurang, obesitas, tingkat stress yang tinggi,
dan faktor usia yang dapat menyebabkan kelainan miokardium dan
aterosklerosis yang mengakibatkan insufiensi aliran darah koroner dan
peningkatan tekanan darah (hipertensi), kondisi tersebut merupakan
proses degeneratif. Penyebab penyakit degeneratif lainnya yaitu
diabetes mellitus yang juga dapat menyebabkan kematian.

Program Pemerintah Mengenai Tanaman Obat


Obat tradisional telah diterima secara luas di negara-negara yang
tergolong berpenghasilan rendah sampai sedang. Bahkan di beberapa
negara berkembang obat tradisional telah dimanfaatkan dalam
pelayanan kesehatan terutama dalam pelayanan kesehatan strata
pertama. Dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang
kesehatan disebutkan bahwa obat tradisional adalah bahan atau
ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, hewan, mineral,
sediaan sarian (galenik), dapat digunakan secara turun temurun untuk
pengobatan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 131/MENKES/SK/II/2004, mengenai Sistem
Kesehatan Nasional (SKN) disebutkan bahwa pengembangan dan
peningkatan obat tradisional ditujukan agar diperoleh obat tradisional
yang bermutu tinggi, aman, memiliki khasiat nyata yang teruji secara
ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas, baik untuk pengobatan sendiri
oleh masyarakat maupun digunakan dalam pelayanan kesehatan
formal.
Dengan kebijakan yang dibuat pemerintah tersebut diharapkan
terjadi pengembangan dan peningkatan produksi pada industri obat
tradisional sebagai bagian integral dari pertumbuhan ekonomi
nasional yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 381/MENKES/SK/III/2007. Selain itu
pemerintah juga mengharapkan pengobatan komplementer alternatif
dilakukan sebagai upaya pelayanan yang berkesinambungan untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat mulai dari peningkatan

242 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan
penyakit (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) yang mana telah
ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1109/Menkes/Per/IX/2007.
Dalam mendukung pemanfaatan tanaman obat untuk
meningkatkan kesehatan pada masyarakat Indonesia, pemerintah juga
menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2016
mengenai upaya pengembangan kesehatan melalui asuhan mandiri
pemanfaatan tanaman obat keluarga dan ketrampilan budidaya serta
pengolahannya. Asuhan mandiri kesehatan tradisional adalah upaya
untuk mencegah, memelihara, meningkatkan kesehatan, dan
mengatasi gangguan kesehatan ringan yang dialami individu, keluarga,
maupun kelompok, serta masyarakat dengan memanfaatkan tanaman
obat keluarga dan keterampilan dalam mengelolannya. Pemanfaatan
tanaman obat dalam keluarga di masyarakat Indonesia diharapkan
dapat membantu pemerintah dalam meningkatkan kesehatan.

Tumbuhan Berkhasiat Obat; Tanaman Obat; Apotik Hidup


Lingkungan merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari
manusia. Lingkungan banyak memberikan manfaat bagi manusia.
Pemanfaatan perkarangan adalah bagian dari pemanfaatan
sumberdaya alam dan lingkungan yang memberikan manfaat bagi
manusia (Nurmayulis & Hermita, 2015). Dalam pemanfaatan
perkarangan, manusia dapat memelihara tumbuhan liar ataupun
tanaman yang sengaja di tanam (budidaya). Hal tersebut dikarenakan
tumbuhan atau tanaman memiliki peran dalam ekosistem, antara lain
dalam siklus hara, pengurangan erosi, peningkatan infiltrasi, sebagai
sumber plasma nutfah, sebagai sumber obat-obatan, sebagai sumber
pakan ternak dan satwa hutan, serta manfaat lainnya (Abdiyani, 2008
dalam Hadi et al., 2015).
Kajian tentanginteraksi antara masyarakat dengan lingkungan
alamnya dipelajari dalam ilmu Etnobotani. Etnobotani dapat diartikan
sebagai bentuk penelitian ilmiah murni yang menggunakan
pengalaman pengetahuan tradisional dalam memajukan dan
meningkatkan kualitas hidup, tidak hanya bagi manusia tetapi juga
kualitas lingkungan (Suryadharma, 2008). Kajian etnobotani

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 243
menekankan pada keterkaitan antara budaya masyarakat dengan
sumberdaya tumbuhan, baik secara langsung maupun tidak langsung
(Setiawan & Qiptiyah, 2013). Pemahaman tentang Etnobotani
berguna agar masyakarat dapat mempertahankan kearifan lokal yang
dimilikinya dalam pemanfaatan tumbuhan atau tanaman
diperkarangan rumah.
Pengetahuan masyarakat lokal dalam memanfaatkan sumber daya
tumbuhan akan sangat membantu menjaga kelestarian
keanekaragaman hayati dan usaha domestikasi tanaman obat (Kandari
et al., 2012). Pengetahuan masyarakat dalam memanfaatkan sumber
daya tumbuhan dapat dilihat melalui apotik hidup. Apotik hidup
merupakan istilah penggunaan lahan yang ditanami tumbuhan yang
berkhasiat untuk obat secara tradisional (Syarif et al., 2011).
Pekarangan merupakan lahan terbuka yang terdapat disekitar
lingkungan rumah tinggal. Pekarangan rumah merupakan tempat yang
sangat tepat untuk melaksanakan apotik hidup untuk tanaman
berkhasiat obat (Nurmayulis & Hermita, 2015).
Tumbuhan atau tanaman obat tradisional merupakan tanaman
yang dapat dipergunakan sebagai obat, baik yang disengaja ditanam
(budidaya) maupun tanaman yang tumbuh secara liar (Nursiyah,
2013). Tanaman dimanfaatkan oleh masyarakat untuk diramu dan
disajikan sebagai obat guna penyembuhan penyakit. Obat tradisional
adalah ramuan obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang
berkhasiat obat (Hajawinata et al., 2015). Penggunaan tanaman obat
atau jamu sebagai obat tradisional diharapkan dapat digunakan
sebagai pengobatan komplementer alternatif yang bisa disandingkan
dengan pengobatan konvesional (modern) yang sudah berkembang
dan telah lama dipakai pada fasilitas pelayanan kesehatan (Ahmad,
2012). Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah melalui puskesmas
pada masyarakat perkotaan diharapkan dapat mepertahankan
kearifan lokal interaksi masyarakat dengan lingkungan alamnya
(Etnobotani), seperti membuat apotik hidup, sehingga meningkatkan
kualitas hidup masyarakat di perkotaan dan kualitas lingkungannya
(Suryadarma, 2008).

244 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Pemanfaatan Tanaman Obat oleh Masyarakat Indonesia
Pengetahuan masyarakat tentang pemanfaatan tanaman sebagai
obat sebagian besar hanya sebatas pengetahuan turun temurun
sebagai bentuk interaksi antara masyarakat dengan lingkungannya
khususnya tumbuhan (etnobotani) (Atmojo, 2015). Saat ini tanaman
obat atau tanaman herbal telah banyak digunakan dalam bidang
medis atau kesehatan. Masyarakat sekarang ini lebih memilih untuk
menggunakan produk yang berasal dari alam dengan alasan
keamanan. Tanaman obat atau yang dikenal dengan tanaman herbal
secara umum dapat diartikan semua jenis tanaman yang mengandung
senyawa kimia alami yang memiliki efek farmakologis dan bioaktivitas
penting terhadap penyakit infeksi sampai penyakit degeneratif
(Suryanto & Setiawan, 2013).
Bangsa Indonesia mengenal jamu dan Tanaman Obat Keluarga
(TOGA) (Suryanto & Setiawan, 2013). Setiap daerah memiliki sistem
pemanfaatan tumbuhan yang khas dan berbeda dengan daerah
lainnya. Sistem pemanfaatan ini berkaitan dengan keanekaragaman
tumbuhan di masing-masing daerah. Pemanfaatan tanaman obat di
kota Bogor sudah dimasukan dalam program pembinaan
kesejahteraan keluarga, sedangkan di kota Karang Anyar, Gianyar, dan
Sumenep dimasukan dalam program ekonomi dan program tanaman
obat yang berasal dari tanaman hias (Sari et al., 2015). Pendekatan
penduduk lokal terhadap manajemen pemanfaatan ekosistem alam
merupakan model jangka panjang dalam menopang kebutuhan hidup
manusia. Selain itu, manajemen sumber daya alam tradisional mampu
mempertegas hubungan antara sistem konservasi dengan
pemanfaatan keanekaragaman hayati (Kandowangko et al., 2011).
Masyarakat mengenal jamu sebagai bentuk pemanfaatan
tanaman obat. Jamu meliputi segala bahan alam yang diolah atau
diracik, menurut cara tradisional manfaat dari jamu sendiri adalah
untuk memperkuat badan manusia, mencegah penyakit atau
menyembuhkan manusia yang menderita penyakit. Biasanya jamu
digunakan dalam pengobatan komplementer alternatif yaitu
pengobatan non konvensional yang bertujuan untuk upaya preventif,
promotif, dan kuratif dalam meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat perkotaan dan pedesaan (Ahmad,2012). Ada beberapa

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 245
cara pengunaan tanaman obat. Tanaman obat yang diolah dengan
direbus (jamu godok) telah banyak digunakan untuk pengobatan,
karena manfaatnya sudah dirasakan dan efek samping yang ringan,
serta mudah didapatkan. Cara pemanfaatan lainnya secara turun
temurun yang dilakukan oleh masyarakat dengan dimakan langsung
(dilalap), direbus, dibuat teh, di jus (Hadi et al., 2015). Hal ini karena
masyarakat meyakini bahwa tanaman obat yang mengandung
senyawa kimia alami, memiliki efek farmakologis dan bioaktivitas yang
penting terhadap penyakit infeksi sampai penyakit degeneratif. Saat
ini informasi mengenai klinik dan fasilitas pelayanan kesehatan
menyediakan tanaman obat sudah banyak terutama di puskesmas
(Ahmad, 2012).

Tanaman Obat yang Bermanfaat Mengatasi Penyakit Degeneratif


Beberapa jenis tanaman obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat
Indonesia, antara lain: kunyit, temu lawak, kencur, jahe, lengkuas,
salam, pace, pyanghong, kumis kucing, soka, belimbing, sirih, meniran,
kecubung, kemlandingan, kangkung lumut, kunir putih, kayu manis,
pegagan, alang-alang, dan tapak dara putih (Syarif et al., 2011).
Masyarakat secara turun temurun telah memanfaatkan keunggulan
tanaman obat untuk mengobati penyakit degeneratif. Selain
tumbuhan tersebut tumbuhan obat tradisional Indonesia yang
memiliki aktivitas sebagai antioksidan adalah sambiloto (Andrographis
paniculata Ness.). Pengujian antioksidan dari ekstrak etanol akar, kulit
batang dan daun sambiloto dilakukan mengunakan metode Linoleat-
Tiosianat dengan vitamin E sebagai kontrol positif. Warna yang
terbentuk diukur secara spektrofotometri pada  479 nm. Tiga ekstrak
dengan daya antioksidan terbesar terdapat pada ekstrak akar dengan
konsentrasi 0,25% sebesar 79,37%, ekstrak kulit batang dengan
konsentrasi 0,5% memiliki daya antioksidan 75,93%, dan ekstrak daun
memiliki daya antioksidan sebesar 76,63%, sedangkan vitamin E
memiliki daya antioksidan 75,37% (Wardatun, 2011). Selain itu
terdapat salah satu tumbuhan obat tradisional Indonesia yakni Sirih
(Piper betle L.). sirih merupakan tumbuhan merambat dengan bentuk
daun menyerupai jantung dan berwarna hijau. Minyak atsiri yang
terkandung dalam sirih dimanfaatkan masyarakat suku Madura

246 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
tepatnya di kota Sumenep untuk obat anti jamur, anti bakteri, dan anti
oksidan, yang dapat menyembuhkan penyakit asam urat, jantung,
nyeri otot dan persendian, serta stroke (Ningtias et al., 2014).
Tumbuhan lain adalah binahong. penelitian Fitriyah et al., (2013)
menyatakan tanaman binahong (Anredera cordifolia) adalah tanaman
obat potensial yang dapat mengatasi berbagai jenis penyakit. Bagian
tanaman binahong yang bermanfaat sebagai obat pada umumnya
adalah daun.

Cara Budidaya Tanaman Obat


Masyarakat memanfaatkan tanaman obat untuk kebutuhan
sehari-hari dalam mengobati suatu penyakit. Masyarakat
mendapatkan tanaman obat dengan cara mencarinya di pekarangan
rumah atau hutan berupa tanaman liar atau membeli di pasar.
Demikian saat ini sudah banyak masyarakat yang
membudidayakannya dengan berbagai cara, antara lain dengan sistem
agroforestry yaitu suatu sistem pengelolaan lahan yang ditawarkan
untuk mengatasi masalah yang timbul akibat alih guna lahan dan
untuk mengatasi masalah pangan hingga kesehatan. Sistem
agroforestri pada budidaya tanaman obat membutuhkan curah hujan
yang cukup dengan distribusi yang merata. Ketersediaan air
merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan budidaya tanaman
obat. Agroforestri banyak diadopsi oleh petani di Indonesia, karena
merupakan teknik penggunaan lahan yang sempit (pekarangan) dan
tegalan (lahan kering) (Kusumedi & Jariyah, 2010). Pemanfaatan
pekarangan sebagai sarana budidaya tanaman obat (tanaman obat
keluarga) yang sudah lama dilakukan oleh masyarakat.
Di wilayah perkotaan yang terbatas akan lahan (pekarangan),
serta kesibukan masyarakatnya, cara yang tepat untuk budidaya
tanaman berkhasiat obat adalah dengan cara hidroponik atau
akuaponik (Martono et al., 2017). Hidroponik merupakan metode
bercocok tanam dengan menggunakan media tanam selain tanah,
seperti batu apung, kerikil, pasir, sabut kelapa, potongan kayu atau
busa (Roidah, 2014). Keberhasilan budidaya hidroponik ditentukan
pada medium tanam yang digunakan serta larutan nutrisi yang
diberikan. Larutan nutrisi yang digunakan pada hidroponik harus

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 247
mengandung unsur hara makro dan mikro, seperti pupuk organik cair
(super bionik) (Silvina & Syafrinal, 2008). Cara bercocok tanam secara
hidroponik menguntungkan dari kualitas dan kuantitas hasil
pertaniannya, serta memaksimalkan lahan pertanian (Roidah, 2014)
Masyarakat di kota Salatiga melakukan budidaya tanaman secara
akuaponik, tahelarung, dan fermenter pupuk cair organik cocok untuk
sarana budidaya tanaman obat pada masyarakat perkotaan yang
memiliki keterbatasan lahan dan waktu perawatan (Martono et al.,
2017). Akuaponik merupakan sistem resirkulasi air yang telah
digunakan dalam budidaya ikan untuk di alirkan kembali ke tanaman
herbal. Dalam akuaponik air menjadi media budidaya ikan digunakan
sebagai sumber nutrisi pada pemeliharaan tanaman, sedangkan
tanaman berfungsi sebagai biofilter untuk air (Setijaningsih et al.,
2015). Selain hidroponik dan akuaponik, masyarakat yang tinggal di
perkotaan yang memiliki sedikit perkarangan dapat melakukan
budidaya tanaman obat keluarga dengan teknik apotik hidup. Apotik
hidup adalah pemanfaatan lahan yang ditanami tumbuhan berkhasiat
obat (Syarif et al., 2011). Cara yang tepat untuk masyarakat perkotaan
dalam memanfaatkan pekarangan rumah untuk budidaya tanaman
obat adalah secara hidroponik, akuaponik dan apotik hidup.

Studi Pemanfaatan Tanaman Berkhasiat Obat untuk Pencegahan


dan Pengobatan Penyakit Degeneratif dalam Keluarga Warga Rt.
011, Rw. 003, Kalisari, Jakarta Timur.

Studi kasus dilaksanakan di RT 011, RW. 003, Kalisari, Jakarta


Timur. Tujuan penelitian untuk mengetahui pemahaman masyakarat
di RT 011, RW. 003, Kalisari, Jakarta Timur setelah diberi sosialisasi
mengenai cara budidaya tanaman obat keluarga (TOGA). Penelitian ini
juga bertujuan mengetahui keberhasilan sosialisasi yang dilakukan
oleh pemerintah melalui puskesmas, mengenai pemanfaatan lahan
pekarangan sebagai media untuk budidaya tanaman obat oleh
masyarakat di RT 011, RW. 003, Kalisari, Jakarta Timur. Pengumpulan
data dengan menggunakan kuesioner. Responden berjumlah 30 orang
yang menderita penyakit degeneratif.

248 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Sumber : Data Primer (2017)

Gambar 1 . Sosialisasi oleh Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo dengan


pergerak Pembinaan K esejahteraan Keluarga (PKK)

Seminggu setelah sosialisasi pengumpulan data dengan kuesioner


dan juga observasi keberhasilan masyarakat memanfaatkan tanaman
obat baik dengan budidaya hidroponik dan apotik hidup yang dapat
dilihat pada Gambar 2.

Sumber : Data Primer (2017)

Gambar 2. Hasil Hidroponik dan Apotik Hidup di beberapa rumah


Warga RT 011, RW. 003, Kalisari, Pasar Rebo, Jakarta Timur
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 249
Hasil analisis data deskritif responden Warga RT 011, Kalisari,
Jakarta Timur dan pembahasannya dapat dilihat dari beberapa grafik
dibawah ini.

Sumber : Data Primer (2017)

Grafik 1. Penyakit degeneratif yang diderita warga Rt 011, Rw 003,


Kalisari, Jakarta Timur.

Penyakit yang diderita responden sebesar 20% (6 dari 30


responden) menderita Hipertensi, sebesar 16,7% (5 dari 30
responden) menderita Diabetes Melitus, 10% (3 dari 30 responden)
menderita Stroke. Sebesar 10% (3 dari 30 responden) menderita
Rematik, 6,7% (2 dari 30 responden) menderita Penyakit Jantung
Koroner (PJK), 6,7% (2 dari 30 responden) Gagal Ginjal Kronik (GGK),
6,7% (2 dari 30 responden) Tumor, Kanker, 6,7% (2 dari 30
responden) Asam Urat, dan 6,7% (2 dari 30 responden) menderita
Sirosis Hepatis, 3,3% (1 dari 30 responden) menderita Penyakit Paru
Obstruksi Kronik (PPOK). Penelitian Kartidjo et al. (2014) menunjukkan
rerata jenis penyakit degeneratif pada pasien kunjungan rawat jalan
RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung adalah Hipertensi 2,38%, Diabetes
Melitus 11,9%, Artitis Gout 2,38%, Kanker servik dan ovarium 4,76%,
sirosis hepatis 2,38% (Grafik 1). Penelitian Widowati et al. (2014)
rerata paling tinggi penyakit degeneratif yang diderita oleh
masyarakat di 12 propinsi di Indonesia adalah Diabetes Melitus 97
responden dari 114 responden, Hipertensi 96 responden dari 11 4
responden, Hiperlipidemia 93 responden dari 114 responden, Artitis

250 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
91 responden dari 114 responden, Hiperurisemia 87 responden dari
114 responden, Obesitas 85 responden dari 114 responden. Dari hasil
penelitian diatas terlihat kesamaan penyakit degeneratif yang banyak
diderita oleh masyakarat baik yang di rawat jalan RSUP dr Hasan
Sadikin Bandung, ataupun masyarakat di 12 propinsi di Indonesia,
serta penyakit degeneratif yang terdapat pada masyarakat di RT 011,
RW 003, Kalisari, Pasar Rebo, Jakarta Timur terdiri dari penyakit
Hipertensi, Diabetes Melitus, Artritis rematoid (asam urat), dan
kanker.

Sumber : Data Primer (2017)

Grafik 2. Data Deskriptif Usia Warga Rt 011, Rw 003, Kalisari, Jakarta


Timur, yang Menderita Penyakit Degeneratif.

Usia warga yang menderita penyakit degeneratif 27% (8 dari 30


responden) pada usia 17-30 tahun, 40% (12 dari 30 responden) pada
usia 31-50 tahun, 33% (10 dari 30 responden) pada usia lebih dari 51
tahun (Grafik 2). Dari grafik diatas terlihat 40% usia 31-50 tahun
responden telah menderita penyakit degeneratif. Pergeseran pola
hidup pada masyarakat perkotaan, sehingga menyebabkan terjadinya
pergeseran pola penyakit. Pada warga RT 005, Tanah Kalikedinding,
Surabaya sebesar 22% menderita penyakit degeneratif pada usia 46-
50 tahun. Sebesar 20 % pada usia 41-45 tahun, sebesar 16% pada usia
36-40 tahun, sebesar 12% pada usia 31-35 tahun (Widyasari, 2017).
Hasil ini didukung juga oleh penelitian Handajani et al., (2010) yang
menunjukkan bahwa hasil analisis, warga tingkat ekonomi miskin dan
menengah lebih berisiko terjadi kematian penyakit degeneratif
Endocrin, Nutritional, and Metabolic Disease (ENMD) dan Disease of

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 251
Circulatory System (DCS) dibandingkan tingkat ekonomi kaya.
Sedangkan populasi dengan kelompok umur 45-54 tahun lebih
berisiko terjadi kematian penyakit degeneratif Disease of Circulatory
System (DCS) dibandingkan umur ≥ 33 tahun. Dari hasil analisis
disimpulkan bahwa rerata pada usia 31-50 tahun berisiko terkena
penyakit degeneratif.

Sumber : Data Primer (2017)

Grafik 3. Data Deskriptif Jenis Kelamin Warga Rt 011, Rw 003, Kalisari,


Jakarta Timur, yang Menderita Penyakit Degeneratif.

Dilihat dari kelompok jenis kelamin perempuan, ternyata lebih


berisiko untuk mengidap penyakit degeneratif 60% (18 dari 30
responden), seperti diabetes, hipertensi, dan lainnya dibandingkan
laki-laki sebesar 40% (12 dari 30 responden). Data dari Kementerian
Kesehatan (2012) menyatakan ada perbedaan yang signifikan
presentase kasus pasien rawat inap jenis kelamin laki-laki sebesar 49%
dan perempuan sebesar 51% yang menderita penyakit tidak menular
(penyakit degeneratif). Serta ada perbedaan yang terlalu signifikan
jenis kelamin laki-laki sebesar 45% dan perempuan sebesar 55% yang
menderita penyakit degeneratif. Dari data ini diketahui bahwa wanita
jauh lebih berisiko dari pada laki-laki untuk menderita penyakit
degeneratif (Kartidjo et al., 2014).

252 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Sumber : Data Primer (2017)

Grafik 4. Pendidikan warga Rt 011, Rw 003, Kalisari, Jakarta Timur, yang


Menderita Penyakit Degeneratif.

Pendidikan 70% (21 dari 30 responden) adalah Sekolah Menengah


Atas (SMA), pendidikan 30% (7 dari 30 responden) adalah perguruan
tinggi (PT), pendidikan 7% (2 dari 30 responden) adalah Sekolah Dasar
(SD). Terlihat bahwa warga Rt. 011, Kalisari, Jakarta Timur, menilai
pentingnya pendidikan formal dalam hidup. Hasil tersebut didukung
oleh penelitian Oktaviani (2015) yang menyatakan mayoritas
pendidikan penduduk Desa Ciherang yang membudidayakan tanaman
obat adalah SMA. Penelitian Kartidjo et al. (2014) menunjukkan
tingkat pendidikan pasien yang menggunakan tanaman obat untuk
penyakit degeneratif pada kunjungan rawat jalan RSUP dr. Hasan
Sadikin Bandung adalah SLTA sebesar 76% (32 responden dari 40
responden). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan
dapat meningkatkan pengetahuan seseorang mengenai pencegahan
dan pengobatan kesehatan diri mereka masing-masing.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 253
60

50

40 baik
30
sedang
20
kurang baik
10

0
frekuensi presentase

Sumber : Data Primer (2017)

Grafik 5. Pengetahuan warga Rt 011, Rw 003, Kalisari, Jakarta Timur,


yang Menderita Penyakit Degeneratif Terhadap Tanaman Obat
Keluarga.

Pengetahuan responden di Kalisari setelah memperoleh sosialisasi


dari puskesmas mengenai tanaman obat keluarga (TOGA) dengan
tingkat pengetahuan baik sebesar 53% (16 dari 30 responden), 43%
(13 dari 30 responden) berpengetahuan sedang, 4% (1 dari 30
responden) berpengetahuan kurang baik (Grafik 5). Berdasarkan
penelitian Ikaditya, (2016) tingkat pengetahuan masyarakat di
Kelurahan Sukahurip Kecamatan Tamansari Kota Tasikmalaya kategori
baik sebanyak 76,7%, kategori cukup sebanyak 13,3%, dan kategori
sangat baik sebanyak 10%. Penelitian Ahdani, (2014) menunjukkan 69
orang warga masyarakat Rt 02, Rw 02, Desa Maron, Kecamatan
Kauman, Kabupaten Ponorogo, sebanyak 28 responden (40,6%)
mempunyai pengetahuan baik, sebanyak 24 responden (34,8%)
berpengetahuan cukup, dan sebanyak 17 responden (24,6%)
berpengetahuan kurang dalam mengetahui pemanfaatan tanaman
obat keluarga bagi kesehatan. Hasil di atas menunjukkan bahwa
masyarakat Indonesia berpengetahuan baik mengenai pemanfaatan
tanaman obat keluarga untuk kesehatan.

254 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
60
Penyuluh
50 Puskesmas/Tim
40 Kesehatan
Media Infromasi
30
20
10 Nenek Moyang

0
Frekuensi Presentase

Sumber: Data Primer (2017)

Grafik 6. Sumber Informasi yang didapatkan warga RT 011, Kalisari,


Jakarta Timur, yang Menderita Penyakit Degeneratif Mengenai
Tanaman Obat Keluarga.

Informasi yang didapatkan mengenai tanaman obat keluarga


(TOGA) melalui penyuluhan Puskesmas atau Tim Kesehatan sebesar
53% (16 dari 30 responden), Informasi mengenai tanaman obat
keluarga (TOGA) melalui media informasi sebesar 33% (10 dari 30
responden), Informasi mengenai tanaman obat keluarga (TOGA)
melalui turun temurun dari nenek moyang sebesar 14% (4 dari 30
responden). Menurut penelitian Karo-Karo, (2010) informasi
pengetahuan mengenai tanaman obat keluarga (TOGA) tidak hanya
didapat dari warisan keluarga dan membaca, tetapi dapat ditingkatkan
dengan adanya pujian dan jalinan kerja, baik dengan Dinas Kesehatan
atau teman seprofesi. Penelitian Sari et al. (2015) menunjukkan
sumber informasi yang didapat masyarakat dari binaan Dinas
Pertanian dan aparat desa untuk menggunakan tanaman obat
keluarga (TOGA), selain itu sumber informasi diwariskan dari tradisi
orang tua, dan saran serta pantauan dari Dinas Kesehatan. Penelitian
Aini, (2017) peranan Tim Penggerak Pembinaan Kesejateraan Keluarga
(PKK) Desa Ngunut melakukan usaha sosialisasi kepada masyarakat
untuk melakukan pemanfaatan tanaman obat keluarga (TOGA). Dari
data diatas disimpulkan bahwa sumber informasi yang didapat
masyarakat di Indonesia mengenai pemanfaatan tanaman obat
keluarga (TOGA) tidak hanya didapat dari warisan tradisi orang tua
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 255
(nenek moyang), tetapi juga dari peranan dan pantauan penting dari
pemerintah seperti Dinas Pertanian, Dinas Kesehatan, Puskesmas,
aparat desa, dan Tim Penggerakan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga
(PKK), serta teman seprofesi sangat berguna dalam penggerakan
masyarakat dalam memanfaatkan tanaman obat keluarga (TOGA).

Mentimun
10 Bawang Putih
Daun Insulin
8 Daun Sirsak
Semua Jenis Kunyit
6 Temu mangga
akar alang-alang
4 mahkota dewa
Jahe

2 Daun sirih
Belimbing Wuluh

0 Kumis Kucing
Frekuensi Presentase Kayu Manis

Sumber : Data Primer (2017)

Grafik 7. Jenis Tanaman Obat Keluarga (TOGA) yang digunakan warga


RT 011, Kalisari, Jakarta Timur, yang Menderita Penyakit Degeneratif
Mengenai Tanaman Obat Keluarga .

Jenis tanaman obat keluarga (TOGA) yang digunakan oleh


masyarakat di Kalisari menunjukkan sebesar 10% (3 dari 30
responden) memanfaatkan mentimun, 10% (3 dari 30 responden)
memanfaatkan bawang putih, 10% (3 dari 30 responden)
memanfaatkan daun seledri, 10% (3 dari 30 responden)
memanfaatkan daun insulin, 10% (3 dari 30 responden)
memanfaatkan daun sirsak, 10% (3 dari 30 responden) memanfaatkan
semua jenis kunyit. Sebesar 6,7% (2 dari 30 responden)
memanfaatkan temu mangga, 6,7% (2 dari 30 responden)
memanfaatkan akar alang-alang, 6,7% (2 dari 30 responden)
memanfaatkan mahkota dewa, 6,7% (2 dari 30 responden)
memanfaatkan Jahe. Sebesar 3,3% (1 dari 30 responden)
memanfaatkan daun sirih, 3,3% (1 dari 30 responden) memanfaatkan
belimbing wuluh, 3,3% (1 dari 30 responden) memanfaatkan kumis

256 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
kucing, 3,3% (1 dari 30 responden) memanfaatkan kayu manis.
Menurut penelitian Hikmat et al. (2011) sebanyak 15 spesies
tumbuhan obat yang potensial dikembangkan untuk mengobati
penyakit yang diderita masyarakat Kampung Gungung Leutik dan
Pabuaran Sawah Bogor, meliputi : sambiloto, meniran, takokak,
pegagan, temulawak, jahe, jeruk nipis, binahong, mahkota dewa,
rosella, pule pandak, sangitan, sirih, brotowali, dan kenikir. Penelitian
Widyawati & Rizal, (2015) menyebutkan jenis tanaman obat
tradisional yang terdapat dipekarangan masyarakat perkotaan dan
dapat direkomendasikan menjadi tanaman obat keluarga karena
memiliki khasiat antara lain Kunyit, Temu lawak, Kencur, Jahe,
Lengkuas, Daun Salam, Mengkudu, Kumis kucing, Mahkota dewa,
Soka, Melati, Pepaya, Cocor bebek, Jambu biji, Belimbing buah, Sirih,
Pare, Jeruk nipis, Katuk, Kunir putih, Lidah buaya, Alang-alang,
Belimbing wuluh, Temu giring, Ubi jalar, dan Beluntas. Dari data dapat
terlihat rerata tanaman yang digunakan untuk pengobatan penyakit
degeneratif Mahkota dewa, Jahe, Sirih, Kunyit Kuning, Kunir atau
Kunyit putih, Alang-alang.
Hasil uji komparatif didapatkan hubungan yang signifikan antara
usia responden terhadap informasi yang didapat mengenai manfaat,
cara mengelola, cara mendapatkan, dan cara budidaya tanaman obat
keluarga (TOGA). Daya tangkap dan pola pikir seseorang dapat
berkembang berdasarkan bertambahnya usia, sehingga pengetahuan
yang diperolehnya semangkin membaik (Yuliana et al. 2013). Usia
secara signifikan berpengaruh terhadap penggunaan pengobatan
tradisional (Jennifer & Saptutyningsih, 2015). Penelitian Yatias, (2015)
menunjukan hubungan yang signifikan antara usia responden yang
lebih tua dalam penggunaan tumbuhan obat, karena sudah percaya
dan terbiasa untuk menggunakan. Pengetahuan masyarakat tentang
pemanfaatan tanaman sebagai obat hanya sebatas pengetahuan
turun temurun sebagai bentuk interaksi antara masyarakat dengan
lingkungannya khususnya tumbuhan (etnobotani) (Atmojo, 2015).
Bertambahnya usia dan pengalaman dalam penggunaan tanaman
obat memang membuat seseorang semangkin membaik
pengetahuannya dan percaya bila tanaman obat dapat mengobati
penyakit degeneratif.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 257
Hasil uji juga menunjukkan hubungan yang signifikan antara jenis
kelamin responden terhadap penyakit degeneratif yang diderita, jenis
tanaman obat keluarga (TOGA) yang dimanfaatkan, dan cara
budidayanya. Didukung penelitian Wahyuni, (2010) menyatakan ada
hubungan signifikan jenis kelamin perempuan memiliki
kecenderungan 1,39 kali menderita penyakit degeneratif (diabetes
melitus) dibanding laki-laki. Penelitian Jennifer & Saptutyningsih,
(2015) menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara jenis
kelamin dengan penggunaan obat tradisional. Serta penelitian Yatias,
(2015) menunjukan hubungan yang signifikan antara jenis kelamin
terhadap mengelola atau membudidayakan tumbuhan obat baik di
kebun atau di halaman rumah. Jenis kelamin perempuan memang
lebih berisiko terkena penyakit degeneratif, sehingga perempuan jauh
lebih banyak memanfaatkan tanaman obat dalam pengobatan
penyakitnya.
Hasil itu menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara
pendidikan responden terhadap penyakit degeneratif yang diderita,
informasi yang didapat mengenai manfaat, dan cara budidaya
tanaman obat keluarga (TOGA). Tingkat pendidikan tinggi responden
dapat mencegah penyakit degeneratif sebanyak 0,22 kali dengan
memanfaatkan pelayanan kesehatan non medis (pemanfaatan TOGA)
dari pada keluarga yang memiliki pendidikan rendah (Yuliana et al.
2013). Penelitian Yatias, (2015) menunjukan hubungan yang signifikan
antara pendidikan responden dengan pemanfaatan tumbuhan obat.
Pendidikan seseorang sangat berpengaruh kepada pemahaman,
pengetahuannya dan aplikasi pembudidayaan tanaman obat keluarga.
Pendidikan yang tinggi membuat masyarakat dapat lebih
menerapkan smart living dalam pemanfaatan tanaman obat di
perkotaan telah terlaksana melalui penerapan program pemerintah
(Smart Government) yang memanfaatkan lahan pekarangan sebagai
media untuk budidaya tanaman obat. Terlihat pada keberhasilan
sosialisasi pemerintah yang dilakukan oleh Puskesmas Kecamatan
Pasar Rebo dengan pergerak PKK Rt 011, Rw 003, Kalisari, Pasar Rebo,
Jakarta Timur, terlihat dari ada hubungan yang signifikan antara
penyakit degeneratif yang diderita dan informasi yang didapat
mengenai manfaat, cara mengelola, cara mendapatkan, dan jenis

258 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
tanaman obat keluarga (TOGA) yang dimanfaatkan. Pemanfaatan
tanaman obat yang dikenal dengan jamu. Jamu meliputi segala bahan
alam yang diolah atau diracik, menurut cara tradisional untuk
memperkuat badan manusia, mencegah penyakit atau
menyembuhkan manusia yang menderita penyakit. Biasanya jamu
digunakan dalam pengobatan komplementer alternatif yaitu
pengobatan non konvensional yang bertujuan untuk upaya preventif,
promotif, dan kuratif dalam meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat perkotaan dan pedesaan (Ahmad,2012). Penelitian
Sudewa et al. (2014) yang menyatakan ada pengaruh konsumsi buah
mahkota dewa terhadap penurunan tekanan darah pada penderita
hipertensi, sehingga buah mahkota dewa dapat dijadikan sebagai
alternatif obat herbal untuk menurunkan tekanan darah tinggi.
Masyarakat Indonesia yang hidup diperkotaan kini telah mulai banyak
memanfaatkan tanaman obat keluarga untuk mengatasi penyakit
degeneratif yang mereka derita.
Terdapat hubungan yang signifikan antara informasi yang didapat
mengenai manfaat tanaman obat keluarga (TOGA) terhadap jenis
tanaman obat keluarga (TOGA) yang dimanfaatkan, cara
mendapatkannya, cara mengelolanya, dan cara budidayanya. ada
hubungan signifikan antara pengetahuan dan sikap yang dimiliki
masyarakat dengan penggunaan obat herbal pada pasien hipertensi
(Astuti, 2016). Pemanfaatan pengobatan tradisional mulai dilakukan
masyarakat. Adapun faktor yang melatarbelakangi teknik
pengobatannya alami, efek sampingnya kecil, biaya pengobatan lebih
murah daripada pengobatan modern (Effendi, 2013). Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1109/Menkes/Per/IX/2007 menyatakan pengobatan komplementer
alternatif dilakukan sebagai upaya pelayanan yang berkesinambungan
untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat mulai dari
peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),
penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif).
Pemerintah telah menerapkan dan mensosialisasikan informasi
mengenai pemanfaatan tanaman obat keluarga sebagai alternatif
peningkatan kesehatan masyarakat Indonesia.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 259
Hasil uji komparatif juga menunjukkan ada hubungan yang
signifikan antara cara mendapatkan tanaman obat keluarga (TOGA)
terhadap cara budidaya dan cara mengelola tanaman obat keluarga
(TOGA. Serta menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara cara
budidaya tanaman obat keluarga (TOGA) terhadap cara mengelola
tanaman obat keluarga (TOGA). Setiap daerah memiliki sistem
pemanfaatan tumbuhan yang khas dan berbeda dengan daerah
lainnya. Sistem pemanfaatan ini berkaitan dengan keanekaragaman
tumbuhan di masing-masing daerah. Pendekatan penduduk lokal
terhadap manajemen pemanfaatan ekosistem alam merupakan model
jangka panjang dalam menopang kebutuhan hidup manusia. Selain
itu, manajemen sumber daya alam tradisional mampu mempertegas
hubungan antara sistem konservasi dengan pemanfaatan
keanekaragaman hayati (Kandowangko et al., 2011).
Contoh Smart Living masyarakat perkotaan terlihat pada
pemanfaatan tanaman obat di kota Bogor sudah dimasukan dalam
program pembinaan kesejahteraan keluarga, sedangkan di kota
Karang Anyar, Gianyar, dan Sumenep dimasukan dalam program
ekonomi dan program tanaman obat yang berasal dari tanaman hias
(Sari et al. 2015). Dari penelitian terlihat bahwa konsep Smart Living
melalui pemanfaatan tanaman obat oleh warga RT 011, RW 003,
Kalisari, Pasar Rebo, Jakarta Timur, telah terlaksana melalui penerapan
program pemerintah (Smart Government) yang menganjurkan
pemanfaatan lahan pekarangan sebagai media untuk budidaya
tanaman obat. Fasilitas pelayanan kesehatan dapat menyediakan
informasi mengenai tanaman obat, sehingga pola pikir masyarakat
perkotaan dapat berubah untuk memanfaatkan tanaman obat
(Ahmad, 2012). Kemudahan masyarakat dalam mengolah tanaman
obat dengan direbus (jamu godok) banyak digunakan dan dirasakan
efek sampingnya ringan. Cara pemanfaatan lainnya dengan dimakan
langsung (dilalap), dibuat teh, di jus dan diambil sari patinya (dibuat
Jamu) (Hadi et al., 2015). Tanaman obat diperoleh masyarakat dengan
cara budidaya, membelinya di pasar, dan mengambil tanaman liar.

260 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
PENUTUP
Dari studi kasus dapat ditarik kesimpulan penyakit degeneratif
yang banyak diderita oleh masyakarat Indonesia adalah Hipertensi dan
Diabetes Melitus. Masyarakat Indonesia khususnya warga Rt. 011, Rw.
003, Kalisari, Jakarta Timur memiliki pengetahuan baik mengenai
pemanfaatan tanaman obat keluarga untuk kesehatannya. Adapun hal
tersebut dipengaruhi dari sumber informasi yang didapat masyarakat
di Indonesia khususnya warga Rt. 011, Rw. 003, Kalisari, Jakarta Timur
mengenai pemanfaatan tanaman obat keluarga (TOGA) tidak hanya
dari warisan tradisi orang tua (nenek moyang), tetapi juga dari
peranan sosialisasi dan pantauan dari pemerintah seperti Dinas
Pertanian, Dinas Kesehatan, Puskesmas, aparat desa, dan Tim
Penggerak PKK, serta teman seprofesi yang sangat berguna dalam
penggerakan masyarakat dalam memanfaatkan tanaman obat
keluarga (TOGA).
Keberhasilan penerapan program pemerintah (Smart
Government) mengenai pemanfaatan lahan pekarangan sebagai
media untuk budidaya tanaman obat. adanya fasilitas pelayanan
kesehatan dapat menyediakan informasi mengenai tanaman obat,
sehingga pola pikir masyarakat perkotaan dapat berubah untuk
memanfaatkan tanaman obatn (Smart Living). Persentase jenis
tanaman berkhasiat obat yang digunakan untuk pengobatan penyakit
degeneratif. Hasil studi kasus di Jakarta Timur menunjukkan penyakit
yang diderita responden sebesar 20% (6 dari 30 responden)
menderita Hipertensi, sebesar 16,7% (5 dari 30 responden) menderita
Diabetes Melitus, 10% (3 dari 30 responden) menderita Stroke.
Sebesar 10% (3 dari 30 responden) menderita Rematik, 6,7% (2 dari
30 responden) menderita Penyakit Jantung Koroner (PJK), 6,7% (2 dari
30 responden) Gagal Ginjal Kronik (GGK), 6,7% (2 dari 30 responden)
Tumor, Kanker, 6,7% (2 dari 30 responden) Asam Urat, dan 6,7% (2
dari 30 responden) menderita Sirosis Hepatis, 3,3% (1 dari 30
responden) menderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). Hasil
menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara penyakit
degeneratif yang diderita responden terhadap informasi yang didapat
mengenai manfaat, cara mengelola, cara mendapatkan, dan jenis
tanaman obat keluarga (TOGA) yang dimanfaatkan. Informasi yang

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 261
disampaikan oleh puskesmas dapat meningkatkan pengetahuan
responden mengenai kesesuaian jenis tanaman obat dengan penyakit
degeneratif yang diderita, serta cara mengelola, dan cara
mendapatkan tanaman obat.
Responden yang menderita penyakit degeneratif sebesar 40% (12
dari 30 responden) pada usia 31-50 tahun. Hasil menunjukkan ada
hubungan yang signifikan antara usia responden terhadap informasi
yang didapat mengenai manfaat, cara mengelola, cara mendapatkan,
dan cara budidaya tanaman obat keluarga (TOGA). Bertambahnya usia
dan pengalaman dalam penggunaan tanaman obat memang
membuat seseorang semangkin membaik pengetahuannya dan
percaya bila tanaman obat dapat mengobati penyakit degeneratif.
Mayoritas responden wanita menderita penyakit degeneratif sebesar
60% (18 dari 30 responden). Hasil menunjukkan ada hubungan yang
signifikan antara jenis kelamin responden terhadap penyakit
degeneratif yang diderita, jenis tanaman obat keluarga (TOGA) yang
dimanfaatkan, dan cara budidayanya.
Pendidikan responden adalah SMA sebesar Pendidikan 70% (21
dari 30 responden). Hasil menunjukkan ada hubungan yang signifikan
antara pendidikan responden terhadap penyakit degeneratif yang
diderita, informasi yang didapat mengenai manfaat, dan cara
budidaya tanaman obat keluarga (TOGA). Pendidikan seseorang
sangat berpengaruh kepada pemahaman, pengetahuannya dan
aplikasi pembudidayaan tanaman obat keluarga. Informasi yang di
dapat dari penyuluhan Puskesmas atau Tim Kesehatan mengenai
tanaman obat keluarga (TOGA) melalui sebesar 53% (16 dari 30
responden). Hasil studi kasus terdapat hubungan yang signifikan
antara informasi yang didapat mengenai manfaat tanaman obat
keluarga (TOGA) terhadap jenis tanaman obat keluarga (TOGA) yang
dimanfaatkan, cara mendapatkannya, cara mengelolanya, dan cara
budidayanya. Penaran sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah
(Smart Goverment) melalui puskesmas, membuat pola pikir
masyarakat perkotaan dapat berubah untuk memanfaatkan tanaman
obat (Smart Living) untuk mengatasi penyakit degeneratif yang
mereka dan keluarga derita.

262 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Pendidikan responden yang didukung oleh informasi yang
diberikan oleh puekesmas melalui sosialisasi, membuat responden
memiliki pengetahuan yang baik sebesar 53% (16 dari 30 responden)
untuk memahami sosialisasi yang diberikan pemerintah melalui
puskesmas, yang didukung dengan jawaban responden yang
mengatakan bahwa informasi yang didapatkan mengenai tanaman
obat keluarga (TOGA) melalui penyuluhan Puskesmas atau Tim
Kesehatan sebesar 53% (16 dari 30 responden). Jenis tanaman obat
keluarga (TOGA) yang digunakan oleh masyarakat di Kalisari yaitu
sebesar 10% (3 dari 30 responden) memanfaatkan mentimun, 10% (3
dari 30 responden) memanfaatkan bawang putih, 10% (3 dari 30
responden) memanfaatkan daun seledri, 10% (3 dari 30 responden)
memanfaatkan daun insulin, 10% (3 dari 30 responden)
memanfaatkan daun sirsak, 10% (3 dari 30 responden) memanfaatkan
semua jenis kunyit. Sebesar 6,7% (2 dari 30 responden)
memanfaatkan temu mangga, 6,7% (2 dari 30 responden)
memanfaatkan akar alang-alang, 6,7% (2 dari 30 responden)
memanfaatkan mahkota dewa, 6,7% (2 dari 30 responden)
memanfaatkan Jahe. Sebesar 3,3% (1 dari 30 responden)
memanfaatkan daun sirih, 3,3% (1 dari 30 responden) memanfaatkan
belimbing wuluh, 3,3% (1 dari 30 responden) memanfaatkan kumis
kucing, 3,3% (1 dari 30 responden) memanfaatkan kayu manis.
Hasil ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara cara
mendapatkan tanaman obat keluarga (TOGA) terhadap cara budidaya
dan cara mengelola tanaman obat keluarga (TOGA). Serta
menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara cara budidaya
tanaman obat keluarga (TOGA) terhadap cara mengelola tanaman
obat keluarga (TOGA). Tanaman obat diperoleh masyarakat dengan
cara budidaya, membelinya di pasar, dan mengambil tanaman liar.
Tanaman obat juga di kelola untuk dikonsumsi dengan bermacam-
macam cara sesuai selera dan kebiasaan masyarakat di Indonesia
sesuai dengan daerah masing-masing. Cara membudidayakan
tanaman obat dengan hidroponik, aquaponik, dan apotik hidup dapat
di terapkan pada masyarakat perkotaan, sehingga masyarakat
perkotaan dapat merasakan manfaat dari tanaman obat.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 263
DAFTAR PUSTAKA

Abdiyani, S., 2008. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Bawah


Berkhasiat Obat di Dataran Tinggi Dieng. Jurnal Penelitian Hutan
dan Konservasi Alam 5(1):79-92

Agustina Setiawati. (2016). "The inhibition of Typhonium flagelliforme


Lodd. Blume leaf extract on COX-2 expression of WiDr colon
cancer cells" 6, 3, February Elsevier Nomor: 2221-1691, DOI:
10.1016/j.apjtb.2015.12.012. Asian Pasific Journal of Tropical
Biomedicine.

Ahdani, S. (2014). Gambaran Pengetahuan Masyarakat Tentang


Tanaman Obat Keluarga (TOGA) Bagi Kesehatan Di RT 02 RW 02
Desa Maron Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo. Ponorogo :
Universitas Muhamadiyah Ponorogo.

Ahmad, A.F. (2012). Analisis Penggunaan Jamu Untuk Pengobatan


Pada Pasien Di Klinik Saintifikasi Jamu Hortus Medicus
Tawangmangu. Depok : Universitas Indonesia.

Aini, L.N. (2017). Analisis Deskriptif Kualitatif tentang Proses


Komunikasi dalam Sosialisasi Tim Penggerak PKK Desa Ngunut
Mengenai Pemanfaatan TOGA kepada Masyarakat di Desa
Ngunut, Kecamatan Jumantono, Kabupaten Karanganyar.
Surakarta : Universitas Sebelas Maret.

Astuti, A. (2016). Tiga Faktor Penggunaan Obat Herbal Hipertyensi di


Kota Jambi. Journal Endurance, Vol. 1, No. 2, Hal. 81-87.

Atmojo, E.S. (2015). Pengenalan Etnobotani Pemanfaatan Tanaman


Sebagai Obat Kepada Masyarakat Desa Cabak Jiken Kabupaten
Blora. Yogyakarta : FKIP-Universitas PGRI Yogyakarta.

Badan Pusat Statistik-Statistics Indonesia (BPS), (2008). National


Family Planning Coordinating Board, Ministry of Health, ORC

264 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Macro. Indonesia Demographic and Health Survey 2007.
Calverton, Maryland: BPS and ORC Macro. Indonesia: Badan Pusat
Statistik-Statistics Indonesia.

Biofarmaka IPB. (2015). Tanaman Obat. Bogor: Pusat Studi Biofarmaka

Effendi, M. (2013). Pemanfaatan Sistem Pengobatan Tradisional


(Battra) di Puskesmas. Surabaya: FISP-UNAIR.

Fitriyah, N., Purwa, M.K., Alfiyanto, A.M., Mulyadi., Wahuningsih, N.,


Kismanto, J. (2013). Obat Herbal Antibakteri Ala Tanaman
Binahong. Jurnal KesMaDaSka. Surakarta: STIKes Kusuma Husada
Surakarta.

Hadi, E.E.W., Widyastuti, S.M., & Wahyuono, S. (2015).


Keanekaragaman dan Pemanfaatan Tumbuhan Bawah Pada
Sistem Agroforestri di Perbukitan Menoreh, Kabupaten Progo.
Jurnal Manusia dan Lingkungan, 23 (2), 206-215.

Handajani, A., Roosihermatie, B,. Maryani, H. (2010). Faktor-Faktor


yang Berhubungan dengan Pola Kematian Pada Penyakit
Degeneratif di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Vol.
13. No. 1. Jakarta: Badan Litbangkes Kemenkes RI.

Harjawinata, M.B., Hardhienata, S., & Qur’ania, A. (2015). Aplikasi


Pencocokan Jenis Tanaman Obat Berdasarkan Penyakit Berbasis
WEB. Bogor: UNPAK.

Hikmat, A., Zuhud, E.A.M., Siswoyo., Sandra, E., Sari, R.K. (2011).
Revitalisasi Konservasi Tumbuhan Obat Keluarga (TOGA) Guna
Meningkatkan Kesehatan dan Ekonomi Keluarga Mandiri di Desa
Contoh Lingkar Kampus IPB Darmaga Bogor. Bogor: IPB.

Jennifer, H dan Saptutyningsih. (2015). Preferensi Individu Terhadap


Pengobatan Tradisional di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Studi
Pembangunan, 16 (1), 26-41.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 265
Ikaditya, L. (2016). Hubungan Karakteristik Umur dan Tingkat
Pendidikan Terhadap Pengetahuan Tentang Tanaman Obata
Keluarga (TOGA). Jurnal Keshatan Bakti Tunas Husada. 16(1),
Tasikmalaya : Poltekes Kemenkes Tasikmalaya.

Kandari, L.S., Phondani, P.C., Payal, K.C. Rao, K.S. & Maikhuri, R.K.
(2012). Etnobotani Study toward Conservation of Medicinal and
Aromatic Plant in Upper Catchments of Dhauli Ganga in the
Central Himalaya. Jurnal of Mountain Science, 9, 286-296.

Kandowangko, N., Solang, M., & Ahmad, J. (2011). Kajian Etnobotani


Tumbuhan Obat oleh Masyarakat Kabupaten Bonebolango
Provinsi Gorontalo. Laporan Penelitian Etnobotani Tanaman Obat.
Jurusan Biologi FMIPA. Universitas Negri Gorontalo. Gorontalo:
Universitas Negri Gorontalo.

Karo-karo, U. (2010). Pemanfaatan Tanaman Obat Keluarga di


Kelurahan Tanah 600, Medan. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional, 4(5).

Katno, P.S. (2009). Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman Obat dan
Obat Tradisional. Balai Penelititan Obat Tawngmangu. Fakultas
Farmasi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta: Fakultas Farmasi
UGM.

Kartidjo. P., Puspadewi, R., Sutarna., Purnamasari, N. (2014). Evaluasi


Penggunaan Obat Penyakit Degeneratif Di Poliklinik Spesialis
Rawat Jalan Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung.
Kartika Jurnal Ilmiah Farmasi. 2. (1). 35-44.

Kementerian Kesehatan. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


9 Tahun 2016. Jakarta: Kementerian Kesehatan.

Kementerian Kesehatan. (2013). Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di


Indonesia. Jakarta: Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan.
Kemenenterian Kesehatan RI.

266 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Kementerian Kesehatan (2012). Penyakit Tidak Menular. Buletin
Jendela Data dan Informasi Kesehatan. Jakarta: Kementerian
Kesehatan.

Keputusan Menteri Kesehatan (2007). Keputusan Menteri Kesehatan


RI No. 381/Menkes/SK/III/2007. Jakarta: Keputusan Menteri
Kesehatan.

Kementerian Kesehatan (2007). Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 1109/Menkes/Per/IX/2007. Jakarta:
Kementerian Kesehatan.

Keputusan Menteri Kesehatan (2004). Keputusan Menteri Kesehatan


RI No.131/Menkes/SK/II/2004. Jakarta: Keputusan Menteri
Kesehatan.

Kusumedi, P. dan Jariyah, N.A., 2010. Analisis Finansial Pengelolaan


Agroforestri Dengan Pola Sengon Kapulaga di Desa Tirip,
Kecamatan Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo. Jurnal Penelitian
Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 7(2):93-100.

Martono, Y., Setiawan, A. (2017). SABDA TOGA (Sarana Budidaya


Tanaman Obat Keluarga) Daerah Perkotaan di RT 04 dan 06 RW 07
Kelurahan Tegalrejo Kota Salatiga. Jurnal Pengabdian Masyarakat
Indonesia, 1(1), 1-5.

Ningtias, F.A., Asyiah, N.I., Pujiastuti. (2014). Manfaat Daun Sirih (Piper
betle L). Sebagai Obat tradisional Penyakit Dalam di Kecamatan
Kalianget Kabupaten Sumenep Madura. Jember: Universitas
Jember.

Notoatmodjo, Soekidjo (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku,


Jakarta: Rineka Cipta.

Nursiyah. (2013). Studi Deskriptif Tanaman Obat Tradisional Yang


Digunakan Orangtua Untuk Kesehatan Anak Usia Dini di Gugus

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 267
Melati Kecamatan Kalikajar Kabupaten Wonosobo. Semarang:
UNNES.

Nurmayulis & Hermita, N. (2015). Potensi Tumbuhan Obat Dalam


Upaya Pemanfaatan Lahan Pekarangan Oleh Masyarakat Desa
Cimenteng Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Jurnal
Agrologia, 4(1), 1-7.

Oktaviani, F.S. (2015). Persepsi Masyarakat Terhadap Peran Dan


Kepentingan Tokoh Dalam Penyebaran Pengetahuan Tanaman
Obat. Bogor: IPB.

Rahmawati, U., Suryani, E., Mukhlason, A. (2012). Pengembangan


Repository Pengetahuan Berbasis Ontologi untuk Tanaman Obat
Indonesia, Jurnal Teknik POMITS, 1 (1), 1-6.

Roidah, I.S. (2014). Pemanfaatan Lahan Dengan Menggunakan Sistem


Hidroponik. Jurnal Universitas Tulungagung Bonorowo, 1(2).

Sari, I.D., Yuniar,Y., Siahaan,S., Riswati., Syaripuddin, M. (2015). Tradisi


Masyarakat dalam Penanaman dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat
Lekat di Pekarangan. Jurnal Kefarmasian Indonesia, 5(2).

Setiawan, H & Qiptiyah, M. (2013). Kajian Etnobotani Masyarakat Adat


Suku Moronene di Taman Nasional Rawa AOPA Watumohai.
Sulawasi Selatan : Balai Penelitian Kehutanan Makasar.

Silvina, F &Syafrinal. (2008). Penggunaan Berbagai Medium Tanam


dan Konsentrasi Pupuk Organik Cair pada Pertumbuhan dan
Produksi Mentimun Jepang (Cucumis sativus) Secara Hidroponik.
Jurnal SAGU. 7(1), 7-12.

Setijaningsih, L & Suryaningrum, L.H. (2015). Pemanfaatan Limbah


Budidaya Ikan Lele (Clarias batrachus) Untuk Ikan Nila
(Oreochromis niloticus) Dengan Sistem Resirkulasi. Jurnal Ilmu-
Ilmu Hayati. 14(3).

268 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Situmorang, R.O.P & Harianja, A. H. (2014). Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Kearifan Lokal Pemanfaatan Obat-Obatan
Tradisional Oleh Etnik Karo. Sumatera Utara: Balai Penelitian Aek
Nauli.

Sudewa, I.W.B., Ismato, Y.A., Rompas, S. (2014). Pengaruh Buah


Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap Penurunan
Tekanan Darah pada Penderita Hipertensi di Desa Werdhi Agung
Kecamatan Dumoga Tengah Kabupaten Bolaang Mongondow.
Manado: UNSRAT.

Suryadharma, I. (2008). Diktat Kuliah Etnobotani. Jurusan Pendidikan


Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Yogyakarta: UNY.

Sumarmiyati, Rahayu, P.W.S. (2015). Potensi Pengembangan Tanaman


Obat Lokal Skala Rumah Tangga Untuk Mendukung Kemandirian
Pangan dan Obat di Samarinda, Kalimantan Timur.
ProsSemNasMasBiodivIndon, 1(2), 330-336.

Susanto, A. (2017). Komunikasi Dalam Sosialisasi Tanaman Obat


Keluarga (TOGA) di Kecamatan Margadana. Jurnal Para Pemikir,
6(1).

Sutisna, E.M. (2013). Penyakit Degeneratif. Surakarta: Universitas


Muhammadiyah Surakarta.

Syarif, P., Suryotomo, B., Soeprapto, H. (2011). Diskripsi dan Manfaat


Tanaman Obat di Pedesaan, Sebagai Upaya Pemberdayaan Apotik
Hidup (Studi Kasus di Kecamatan Wonokerto). Pekalongan:
Universitas Pekalongan.

Wahyuni, S. (2010). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penyakit


Diabetes Melitus (DM) Daerah Perkotaan Di Indonesia Tahun
2007. Jakarta: UIN.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 269
Wardatun, S. (2011). Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Akar,
Kulit Batang, dan Daun Tanaman Sambiloto (Andrographis
paniculata Ness.) dengan Metode Lonoleat-Tiosianat. Bogor:
UNPAK.

Widyawati, A.T., Rizal.M. (2015). Upaya pemberdayaan apotik hidup di


perkotaan melalui deskripsi dan manfaat tanaman obat.
Prossiding Sem Nas Masyarakat Biodiversitas Indonesia, 1(8),
1890-1895.

Widyasari, N. (2017). Hubungan Karakteristik Responden Dengan


Risiko Diabetes Melitus Dan Dislipidemia Kelurahan Tanah
Kalikeding. Jawa Timur: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.

Widyawati, A & Rizal. M. (2015). Upaya Pemberdayaan Apotik Hidup


di Perkotaan Melalui Deskripsi Dan Manfaat Tanaman Obat.
Surakarta: UNS.

Yatias, E.A. (2015). Etnobotani Tumbuhan Obat Di Desa Neglasari


Kecamatan Nyalindung Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat.
Jakarta: UIN.

Yuliana, P., Dewi, A.P., Hasneli, Y. (2013). Hubungan Karakteristik


Keluarga dan Jenis Penyakit terhadap Pemanfaatan Pelayanan
Kesehatan. Riau: UNRI.

270 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
PENGGUNAAN SEL PUNCA UNTUK TERAPI SEL JANTUNG

Diki & Soraya Habibi

PENDAHULUAN

Salah satu penyakit yang menyebabkan kematian adalah penyakit


jantung, khususnya infark jantung. Penderita penyakit jantung di
Amerika Serikat mencapai sedikitnya 5,1 juta orang dan diperkirakan
akan meningkat sampai 25 % pada tahun 2030 (Libonati, 2015). Selain
itu, penyakit jantung adalah penyebab kematian paling banyak pada
orang dewasa dan penyakit non infeksi paling banyak pada anak-anak
(Libonati, 2015). Bahkan jumlah orang yang menderita gangguan
jantung mencapai 80 juta orang di Amerika Serikat. Diperkirakan
bahwa penyakit jantung merupakan akan menjadi penyakit yang
menyebabkan kematian terbanyak di dunia pada tahun 2020 (Aguire
et al., 2013).
Dewasa ini, salah satu upaya peningkatan kesehatan adalah
melalui penerapan konsep smart city. Tulisan ini bermaksud
menjelaskan penerapan konsep smart city dalam pengobatan
penyakit jantung melalui teknologi sel punca. Secara khusus, konsep

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 271
smart city dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai penerapan
perangkat yang berbasis teknologi informasi.
Penggunaan teknologi teknologi informasi, misalnya yang adalah
inti dari konsep smart city untuk peningkatan kualitas kesehatan
masyarakat perkotaan. World Health Organization menerapkan
adanya konsep healthy city, yaitu kota yang selalu menciptakan dan
meningkatkan kondisi fisik dan sosial yang memungkinkan orang
untuk saling mendukung sesama. Konsep healthy city juga
menekankan pentingnya investasi dalam penyediaan infrastruktur
teknologi informasi (Boulos & Shorbaji, 2014). Dengan demikian,
konsep smart city bertujuan untuk meningkatkan pelayanan
kesehatan melalui penggunaan teknologi informasi
Penggunaan teknologi informasi dalam smart city dapat
menunjang teknologi bar seperti sel punca. Menurut Walls (2010),
penggunaan smart system (sistem cerdas) meliputi peralatan sensor
yang terkoneksi internet. Peralatan sensor tersebut memiliki ciri
penting seperti dapat dipersonalisasi (Solanas et al., 2014). Sifat ini
sangat penting karena penggunaan sel punca memiliki kekhususan
dalam hal asal selnya dan pengaruh sifat imunitas yang berbeda pada
tiap orang. Penggunaan sistem cerdas dapat membantu penelitian
tentang sel punca, karena sistem ini dapat menghubungkan berbagai
lokasi penelitian (Lee et al., 2016).
Sel punca merupakan sel yang menyerupai sel embrio dalam
tubuh manusia dewasa. Sel ini dapat digunakan dalam pengobatan,
termasuk dalam melakukan terapi gen. Sel punca dapat mengganti
atau meregenerasi sel tubuh yang sudah rusak (NAS, 2009). Dalam
pengobatan penyakit infark jantung, sel punca digunakan untuk
meregenerasi sel jantung yang rusak.

KONSEP SMART CITY DI BIDANG KESEHATAN

Adanya teknologi komputer yang terkoneksi internet


memungkinkan pemantauan kesehatan secara jarak jauh atau disebut
telemedicine. Lee et al., (2016) menyampaikan tentang penggunaan
telemedicine di Singapura. Pusat kesehatan menggunakan perangkat
seperti smart watches (jam tangan cerdas) dan c (pakaian cerdas).

272 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Peralatan ini terhubung melalui internet ke pusat kesehatan. Dengan
demikian, data kesehatan pengguna perangkat ini seperti tekanan
darah, detak jantung, dan suhu tubuh dapat langsung terkirim ke
pusat kesehatan dari tempat tinggal atau tempat bekerja. Data
tersebut merupakan sebagian data yang berguna dalam memantau
tingkat kesehatan jantung.
Penggunaan sensor yang terhubung ke internet juga dapat
digunakan untuk memantau keadaan tubuh bagian dalam seorang
pasien dan membuat keputusan tentang pengobatan pasien. Akyildiz
et al., (2015) menggunakan biosensor yang terhubung dengan
internet. Berbeda dengan Lee et al ., (2016), konsep penggunaan
biosensor oleh Akyildiz et al., lebih mengutamakan kemampuan
perangkat cerdas itu untuk melakukatindakan pemberian obat.
Konsep Akyildiz ini didasarkan pada Internet of Things (IoT).
Internet of Things berarti adanya berbagai peralatan (sensor,
peralatan elektronik) yang terkoneksi satu sama lain melalui internet
dan dapat berhubungan secara otonom satu sama lain (Akyildiz et al,
2015; De Farias, Pirmez, Costa, De Farias, F. M. , 2017). Menurut
Akriyildiz et al., penggunaan IoT adalah dalam pengamatan
lingkungan, komunikasi antar mesin, dan smart city.
Perkembangan dalam bidang nanoteknologi menyebabkan
terciptanya peralatan sensor berukuran sangat kecil. Ukuran peralatan
itu adalah sekitar beberapa ratus nanometer. Menurut De Farias et
al., (2017), perlatan seperti ini disebut nanomachines. Peralatan
nanomachines seperti ini adalah bagian dari Internet of Nano Things
(INT) (Akyildiz et al., 2015).
Penggunaan IoT berkembang ke arah penggunaan peralatan yang
kecil, tersembunyi, dan nonintrusive untuk mengamati proses biologis
dalam tubuh manusia. Perkembangan ini dinamakan Internet of Bio-
Nano Things (IBNT). Contoh penggunaan IBNT adalah alat sensor
berukuran sangat kecil yang berada di dalam tubuh pasien, yang dapat
dilihat pada Gambar 1 (Akyildiz et al., 2015).

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 273
Sumber: Akyildiz et al. (2015)

Gambar 1. Diagram Alat Sensor Internet of Bio-Nano Things dan Contoh


Sebuah Sel Mahluk Hidup .

Satu model IBNT diperlihatkan oleh Akyildiz et al., (2015) dengan


membandigkan sebuah perangkat IBNT dengan sebuah model sel.
Model itu terdiri atas unit kontrol, unit memori, unit proses, unit
tenaga, unit komunikasi. Kesemua unit itu terkait dengan masing-
masing organel sel. Unit kontrol adalah bagian dari IoT yang
berhubungan dengan inti sel, khususnya pada bagian DNA. DNA
adalah komponen sel yang berisi basis data bagi sel dan mengatur
aktivitas sel. Maka bagian yang relevan dengan DNA pada IoT adalah
softwarenya.
Adanya perkembangan IBNT dapat membantu dokter dan peneliti
dalam mengamati perkembangan suatu percobaan tentang sel punca
dalam mengatasi kerusakan jaringan jantung. Sensor yang digunakan
dapat mendeteksi kadar zat kimia tertentu yang menjadi acuan bagi
keberahasilan atau kegagalan sel punca berdiferensiasi. Adanya
koneksi antara sensor tersebut dengan internet akan sangat
membantu kecepatan peneliti dan dokter untuk mendapatkan hasil
yang akurat dan cepat. Akyildiz et. al (2015) menyebutkan contoh
bahwa pertukaran ion Ca2+ sebagai fenomena yang dapat diamati
dengan IBNT.
Menurut Farias et al., (2017), masih terdapat tantangan dalam
pelaksanaan IBNT. Tantangan tersebut berupa tesedianya
274 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
infrastruktur komunikasi yang handal dan terkoneksi dengan internet.
Sejauh ini, belum ada penggunaan IBNT untuk memantau penggunaan
sel punca dalam regenerasi sel jantung melalui sel punca. Untuk itu
perlu ada tulisan mengenai sejauh mana IBNT dapat membantu dalam
penggunaan sel punca untuk mengobati kerusakan sel jantung.

PENYAKIT INFARK JANTUNG

Penyakit infark jantung atau myocardiac infarction (MI)


disebabkan karena kerusakan pada otot jantung. Kerusakan itu terjadi
karena berhentinya aliran oksigen ke jaringan otot ventrikel. Penyebab
terhentinya aliran oksigen adalah sumbatan pada pembuluh darah
arteri (Aguire et al., 2013). Sumbatan itu dapat disebabkan oleh sel
darah putih, lemak, atau kolesterol. Adanya penyumbatan itu
menyebabkan jantung tidak mendapatkan pasokan darah. Akibatnya,
jaringan jantung akan mati. Matinya jaringan itu bersifat permanen
yang diiringi kematian otot jantung. Karena itu, kerusakan otot
jantung merupakan penyakit yang mematikan (Gerbin & Murry, 2015).
Jaringan otot jantung memiliki daya regenerasi yang terbatas.
Menurut Aguire et al., (2013), jantung pada mamalia dewasa dianggap
sebagai organ yang selnya sudah berhenti dari aktivitas differensiasi.
Kematian pada penderita penyakit MI disebabkan karena kematian sel
pada jaringan jantung mengganggu kerja jantung. Padahal sel otot
jantung tidak dapat mengalami regenerasi.

POTENSI REGENERASI SEL OTOT JANTUNG MENGGUNAKAN SEL


PUNCA

Tulisan ini membahas kemungkinan adanya regenerasi otot


jantung dengan sel punca. Adanya kemampuan regenerasi sel otot
jantung dapat membantu penyembuhan penderita MI. Sejumlah
penelitian menunjukkan adanya kemungkinan melakukan regenerasi
sel untuk membentuk jaringan baru (Gnecchi, 2012).
Peluang adanya regenerasi sel otot jantung diamati oleh Beltrami
et al., (2001). Penelitian Beltrami dkk. adalah mengamati tingkatan
mitosis pada sel myosit pasien yang menderita penyakit MI. Penelitian

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 275
Beltrami dilakukan dengan mengamati adanya antigen Ki-67. Adanya
antigen ini merupakan ciri adanya mitosis sel. Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa 4 % dari myocite mengalami mitosis di dekat
lokasi jaringan yang terkena MI. Di jaringan yang jauh dari lokasi MI,
mitosis berlangsung sebesar 1 %.
Adanya peristiwa mitosis pada sel myosit menunjukkan bahwa sel
jantung dapat mengalami diferensiasi. Proses diferensiasi ini dapat
membantu pemulihan pasien MI yang mengalami kerusakan jaringan
akibat matinya sel yang tidak mendapat oksigen.

PENGERTIAN SEL PUNCA

Sel punca merupakan sel yang akan membentuk berbagai sel


tubuh manusia. Sel punca adalah sel bersifat embrionik. Sel punca
memiliki kemampuan berdifirensiasi menjadi sel tubuh yang berbeda
jenisnya. Kemampuan berdiferensiasi itu berbeda-beda pada tiap jenis
sel. a tiga macam kemampuan sel untuk berdiferensiasi. Ketiga
kemampuan itu adalah totipotensi, pluripotensi, dan multipotensi.
Kemampuan berdiferensiasi pada jenis totipotensi ini adalah yang
paling luas. Totipotensi adalah sifat untuk berdiferensiasi memjadi
satu mahluk hidup utuh. Sifat ini dimiliki oleh zigot pada tahap morula
(Li et al, 2017). Sifat diferensiasi yang lebih terbatas adalah
pluripotensi. Sifat ini dimiliki sel punca embrio pada tahap blastula. Sel
punca jenis ini dapat berdiferensiasi menjadi endoderm, mesoderm,
dan ektoderm (Li et al., 2017). Sifat diferensiasi ketiga, yaitu
multipotensi bersifat lebih terbatas dari kedua kemampuan
diferensiasi lainnya. Sifat multipotensi dimiliki oleh stem sel dewasa.
Sel punca dewasa berjumlah sedikit di dalam jaringan yang sudah
berdiferensiasi. Sel punca dewasa berperan dalam pemeliharaan
jaringan. Sel stem dewasa hanya membentuk sel yang sejenis,
misalnya sel yang ada dalam satu sistem organ tertentu (Li et al.,
2017).
Ada dua jenis sel punca dari asal mulanya. Yang pertama adalah
embryonic stem cell (ESC) yang berasal dari jaringan sel embrio pada
tahap blastosis. Pada manusia, tikus, dan primata, embrio pada tahap
ini merupakan bola yang terdiri atas 100 sel (Alam, Ishfaq, & Kanam,

276 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
2016). Sel punca jenis ini memiliki sifat pluripoten dan kemampuan
regenerasi yang luas (Bajada, 2008). Kemampuan pluripoten sel punca
embrio dapat berguna bagi penyembuhan kerusakan jantung. Sel
punca embrio dapat dikultur hingga beberapa generasi. Kemampuan
untuk dikultur ini memudahkan dalam penelitian untuk penggunaan
sel tersebut bagi penyakit jantung. Sel punca embrio juga dapat
menghasilkan cardiac progenitor cell (Alam, Ishfaq, & Kanam, 2016).
Cardiac progenitor cell merupakan salah satu jenis sel punca yang
dapat membantu terbentuknya sel cardiomyocite pada jantung. Alam,
Ishfaq, & Kanam juga menyebutkan kemungkinan penggunaan sel
punca embrio untuk mengatasi penyakit infark jantung, walaupun
masih perlu penelitian lebih lanjut.
Jenis kedua adalah non embryonic stem cell ( non-ESC) menurut
Bajada (2008), atau adult stem cell (Alam, Ishfaq, & Kanam, 2016). Sel
ini adalah sel yang belum mengalami diferensiasi dalam tubuh
dewasa. Bila terjadi kerusakan atau kematian sel, maka sel stem akan
mengganti sel di sekitarnya itu. Sel punca jenis non ESC memiliki sifat
multipoten (Bajada, 2008). Ada beberapa asal sel punca non embrio.
Sumber tersebut adalah dari cairan amnion, sumsum tulang,
pembuluh darah, dan otot rangka. Sel punca tersebut umumnya
bersifat dorman. Apabila terjadi luka atau kerusakan jaringan, barulah
sel punca tersebut menjadi aktif dan mengganti sel yang rusak di
sekitarnya. (Alam, Ishfaq, & Kanam, 2016).

PENGGUNAAN SEL PUNCA UNTUK TERAPI

Transplantasi jantung mulai dirintis pada tahun 1960an. Akan


tetapi, walaupun telah dilakukan 100 kali transplantasi di seluruh
dunia, tingkat keberhasilannya masih rendah. Hanya seperempat
pasien dapat bertahan selama beberapa bulan (Garbern & Lee, 2013).
Selain rendahnya tingkat keberhasilan transplantasi jantung,
penyediaan jaringan jantung dari transplantasi tidak memenuhi
kebutuhan Hal ini menunjukkan adanya cara baru untuk mengatasi
infark jantung, selain dengan transplantasi jantung.
Saat ini diketahui bahwa jaringan jantung memiliki populasi sel
punca yang dapat membantu regenerasi sel jantung (Alam, Ishfaq, &

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 277
Khanam, 2016; Berlo, 2014). Sebagai contoh, sel jantung tikus yang
baru yang baru lahir memiliki kemampuan differensiasi, walaupun
hanya 1%. Kemampuan ini berkurang pada sel jantung tikus dewasa
(Aguire et al., 2013). Perbedaan ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Menurut Bergman (2009), 20% sel otot jantung mengalami regenerasi
pada anak umur 4 tahun. Pada orang dewasa berumur 50 tahun, 69%
sel otot jantungnya sudah mengalami regenerasi sejak lahir.

Sumber: Aguire et al. (2013)

Gambar 2. Perbedaan Kemampuan Regenerasi Sel Jantung Neonatus


dan Sel Jantung Tikus Dewasa .

Aguire et al., menjelaskan bahwa terdapat peristiwa dediferensiasi


dan proliferasi berperan penting dalam regenerasi sel jantung. Ada
tiga tipe regenerasi sel jantung dari sel punca. Yang pertama adalah
cardiac progenitor cell (CPC). Sel ini terdapat pada embrio sel jantung.
Tipe kedua adalah terbentuknya sel baru pada jantung setelah lahir.
Tipe ketiga pada salamander dan tikus yang baru lahir, adalah
terbentuknya jaringan myocardium setelah adanya luka (Garbern &
Lee, 2013).
Sel CPC berasal dari sel pendahulu di bagian mesoderm. Faktor
yang perlu diteliti adalah sinyal yang dapat memulai dan
menghentikan pertumbuhan sel. Adanya teknologi IBNT dapat
membantu ahli dalam memonitor perkembangan sel CPC yang
disuntikkan ke tubuh pasien. Hal ini membantu agar peneliti mudah

278 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
mendapat data mengenai sel CPC yang telah disuntikkan ke tubuh
pasien secara lebih cepat dan terhubung melalui sistem internet.
Tipe kedua pembentukan sel jantung memiliki laju pertumbuhan
hanya 1% pertahun (Garbern & Lee, 2013). Penelitian Kajstura et. al
menunjukkan bahwa terdapat pertumbuhan sel jantung baru. Pada
usia 25 tahun, laju pertumbuhan sel baru adalah 1,5 %. Namun
pertumbuhan itu makin berkurang sejalan dengan pertambahan umur
Kajstura et al., (2012).
Tipe ketiga regenerasi sel jantung dibuktikan dengan
ditemukannya faktor transkripsi Gata-4. Kelemahan dari tipe ini adalah
bahwa kemampuan regenerasi ini menghilang pada usia 7 hari setelah
kelahiran (Garbern & Lee, 2013). Menurut Aguire et al., (2014),
apabila terjadi luka pada jantung, akan terjadi respons regeneratif
yang bersifat endogen. Tapi kemampuan regenerasi ini terbatas dan
hanya terjadi pada daerah peri-infarc (Senyo, et al., 2013).

SUMBER TERJADINYA REGENERASI MYOCARDYOCITE

Ada dua teori mengenai asal terjadinya regenerasi myocardyocite.


Yang pertama adalah adanya sel punca yang tumbuh menjadi
myocardiocite. Yang kedua adalah adanya sel myocardiocyte dewasa
yang kembali mengalami mitosis. Belum ada bukti yang menunjukkan
bahwa salah satu teori adalah yang lebih kuat (Garbern & Lee, 2013).
Ada beberapa jenis sel punca yang dapat digunakan untuk
membentuk sel otot jantung. Jenis sel punca tersebut antara lain
yaitu: 1. Mesenchimal stem cell (MSC), 2. Embryionic Stem Cell (ESC),
3. Induced pluripotent stem cell (IPSC), 4. skeletal myoblast, 5. bone
marrow-derived stem cel, 6. cardiac progenitor cell, 7. Cardiac stem
cell (Konoplyannikov, 2016; Garbern & Lee, 2013).

1. Mesenchimal Stem Cell


Mesenchimal stem cell (MSC) adalah sel punca yang berasal dari
berbagai sumber seperti sumsum tulang, jaringan lemak, dan darah
tepi. Sel ini mudah direproduksi dalam kultur sel. Sel MSC juga dapat
berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel, seperti sel lemak,
osteoblas, kondrosit, (Konoplyannikov, 2016). Menurut Gerbin &

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 279
Murry (2015), konsentrasi sel MSC adalah 0,01% dari isolasi sel punca
yang ada di sumsum tulang.
Satu contoh penelitian mengenai diferensiasi MSC adalah Makino,
et al., (1999) yang menggunakan perlakuan 5-azacitydine pada MSC
yang berasal dari tulang rawan tikus. Hasilnya adalah 30% sel
mengalami diferensiasi menjadi cardiomyocite. Percobaan yang
dilakukan Wang , Jiang, & Ma (2006). juga menunjukkan bahwa selain
berdiferensiasi menjadi cardiomyocite, sel MSC juga membentuk sel
otot polos dan sel endotel. Adanya kedua jenis sel ini juga membantu
perbaikan fungsi jantung.
Kelebihan lain dari MSC adalah dapat membantu proses
angiogenesis, yaitu terbentuknya pembuluh darah baru. Pembentukan
pembuluh darah itu didorong oleh pengeluaran hepatocyte growth
factor (HGF) dan Angiopoeitin (Ang-1). (Konnopyannikov i., , 2016).
Sebaliknya, Gerbin dan Murry (2015) menyatakan bahwa pada
umumnya tidak ada manfaat penggunaan MSC secara jangka panjang.
Manfaat yang ada adalah pengurangan daerah yang mengalami luka,
tetapi tidak ada perbaikan fungsis sistolik. Sel punca MSC yang
ditransplantasikan akan mati dalam waktu beberapa minggu
kemudian.

2. Embryonic Stem Cell (ESC)


ESC berasal dari bagian dalam massa sel bagian dalam blastosis.
ESC memiliki sifat totipotensi, yaitu dapat berdiferensiasi menjadi
berbagai tipe sel, termasuk mejadi sel otot jantung (Konoplyannikov,
2016). Kelebihan penggunaan ESC adalah kemampuannya untuk
berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel, termasih cardionyocite
(Hartman et al., 2016).
Penelitian mengenai ESC diawali oleh Thomson et al., (1998) yang
mengisolasi ESC dari blastosis manusia. Laflamme et. al (2007)
melakukan eksperimen untuk menghasilkan sel otot jantung dari
populasi sel ESC yang diberi zat activin A dan bone morgphogenic
faktor 4. Tohyama et al., (2013) dapat menghasilkan 99% kemurnian
sel otot jantung dari perubahan ESC. Pengujian kemurnian oleh
Tohyama et al., itu adalah dengan mengukur kadar metabolisme
glukosa dan laktat. Menurut Xue et al., (2005), sel ESC manusia yang

280 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
sudah berdiferensiasi menjadi sel otot jantung ditransplantasi pada
tikus. Sel tersebut dapat bergabung dengan sel jantung tikus itu dan
dapat berinteraksi secara fungsional dengan sel inangnya. Menurut
Garbern & Lee (2013), belum ada percobaan penggunaan ESC pada
manusia. Percobaan baru dilakukan pada tikus dan kera Rhesus.
Satu masalah dalam penggunaan ESC adalah mendapatkan jumlah
yang banyak dan tingkat kemurnian yang tinggi. Pada awalnya,
mendapatkan sel ESC dalam jumlah besar dan tingkat kemurnian
tinggi masih sulit. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, ada beberapa
metode yang digunakan, misalnyaa dengan penggunaan cara kultur
tertentu, modifikasi genetik, atau pemberian zat kimia dan biologi
tertentu (Duelen & Sampaolesi, 2017).
Walaupun ada sisi positifnya, ada juga sisi negatif dalam
penggunaan sel ESC. Penggunaan sel ESC secara etika masih
diragukan, karena sel ini didapat dari jaringan embrio manusia. Selain
itu, penggunaan ESC dapat menyebabkan timbulnya tumor, danreaksi
imunitas (Duelen & Sampaolesi, 2017; Garbern & Lee, 2013;
Konoplyannikov, 2016).

3. Induced Pluripotent Stem Cell


Induced Pluripotent Stem Cell (IPSC) menurut Yamanaka (2007)
berasal dari sel somatik diploid dewasa. Menurut Takahashi et al
(2007), sel ini dapat berasal dari berbagai jaringan tubuh. Sel tersebut
berubah menjadi sel punca dengan pemberian faktor transkripsi
seperti Oct3/4, Sox2, Klf4 dan c-Myc. Seperti ESC, sel punca jenis ini
juga memiliki sifat totipotensi. Takahashhi et al., (2007) dan Yu et al.,
(2007) menghasilkan IPSC dari sel fibroblas manusia. Nelson et al.,
(2009) menggunakan sel punca jenis ini untuk memperbaiki jaringan
jantung tikus dan menunjukkan hasil yang baik, yaitu dapat
mengembalikan fungsi jantung.
Penggunaan sel IPSC juga memiliki kelemahan seperti rendahnya
efisiensi proses pembuatan sel ini dan hasil diferensiasinya dapat
menjadi beberapa jenis sel yang bukan sel otot jantung. Selain itu, ada
juga resiko terjadinya sel tumor atau terjadinya reaksi penolakan
(Konoplyannikov, 2016; Yoshida & Yamanaka, 2011).

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 281
Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya tumor akibat
transplantasi sel IPSC, terdapat kemungkinan penggunaan biosensor
seperti dalam penelitian IBNT. Yea et al., (2016) melakukan
penghitungan sel IPSC yang masih memiliki sifat pluripoten dan belum
terdiferensiasi berdasarkan sifat elektrokimia.
Adanya penemuan faktor transkripsi (OCT3/4, KLF4, SOX2 and
MYC) membantu perubahan sel somatik dewasa menjadi sel yang
bersifat pluripoten (Li, 2017).

4. Skeletal Myoblast
Skeletal myoblast merupakan jenis sel pertama yang digunakan
dalam pengobatan sel jantung (Garbern & Lee, 2013). Kelebihan jenis
sel ini adalah tidak adanya resiko etis maupun imunologis
(Konoplyannikov, et al., 2016). Kelemahan penggunaan sel skeletal
myoblast adalah terjadinya arrythmia (Konoplyannikov et al, 2016;).
Penggunaan sel skeletal myoblast mulai menurun pada saat ini
(Garbern & Lee, 2013).

5. Cardiac Progenitor Cell (CPC)


Cardiac Progenitor Cell (CPC) memiliki kemampuan untuk
berdiferensiasi pada usia dewasa (Le & Chong, 2016). CPC terdapat di
berbagai bagian jantung seperti atrium, ventrikel, epikardium dan
perikardium. Dalam keadaan normal, sel CPC berada dalam keadaan
tidak aktif. Apabila terdapat luka, maka CPC dapat menjadi aktif dan
berdiferensiasi menjadi sel cardiomyocite dan sel pembuluh darah (Le
& Chong, 2016; Garbern & Lee, 2013). Selain membantu tertentuknya
cardiomyocite yang baru, CPC ikut membantu pembentukan sel
vaskuler, sehingga terbentuk pembuluh darah baru di jantung yang
terkena infark (Le & Chong, 2016).

6. Cardiac Stem Cell (CSC)


Cardiac stem cell merupakan sel punca yang didapat dari sel otot
jantung dewasa Hsieh et al., (2007). Adanya CSC menunjukkan bahwa
sel otot jantung memiliki kemampuan regenerasi. Sel CSC memiliki
kelebihan berupa autolog, yaitu didapat dari tubuh individu itu sendiri.

282 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Sifat autolog ini menguntungkan karena mengurangi resiko
penolakan. (Hsiao & Carr, 2013).
Penelitian mengenai penggunaan CSC menunjukkan bahwa CSC
dapat membantu pemulihan jaringan otot jantung pada tikus. Sel CSC
disuntikkan ke jaringan miokardium di sekitar terjadinya sel mati
akibat penyumbatan permanen. Sel tersebut pindah ke bagian yang
mati dan menggantikan bagian yang mati. Adanya sel CSC
memperbaiki fungsi jantung pada tikus. Sel CSC juga memperbaiki sel
endotel dan sel otot polos (Bearzi et al., 2007; Dawn et al., 2005).
Ada beberapa jenis CSC berdasarkan marker atau penanda yang
dihasilkannya. Satu jenis CSC disebut c-kit+ CSC yang menghasilkan
tirosin kinase berupa c-kit. (Hsiao & Carr, 2013). Sel c-kit+ CSC dapat
membentuk sel cardiomyocite dan pembuluh darah pada tikus (Dawn
et al., 2005). Jenis CSC berikutnya adalah Sca-1 yang menghasilkan
antigen Stem Cell Antigen-1. (Hsiao & Carr, 2013). Ada beberapa
masalah dalam penggunaan CSC yang belum teratasi. Masalah
tersebut adalah dosis penggunaan sel punca, waktu untuk
transplantasi sel, dan pengaruh umur pasien (Hsiao & Carr, 2013).

7. Bone-Marrow Derived Stem Cell (BMSC)


BMSC merupakan kumpulan sel yang tidak homogen. BMSC terdiri
atas sel yang berasal dari hematopoetic stem cell dan yang berasal
dari endothelial stem cell (Konoplyannikov et al., 2016).
Penggunaan BMSC menunjukkkan prospek yang baik. Menurut
Clifford (2011), penelitian atas 1765 pasien myocardial infark
menunjukkan bahwa penggunaan BMSC tidak menunjukkkan
perbedaan signifikans dalam tingkat kematian, dibandingkan
pengobatan dengan metode yang sudah umum dilakukan.
Gerbin & Murry (2015) juga menjelaskan penerapan bone
marrow-derived stem cell. Satu penelitian pada tahun 2002
menggunakan satu jenis BMSC yaitu bone marrow mono-nuclear cell
(BMNNC). Dalam penelitian ini, sel BMNSC diambil dari pasien. Sel itu
disuntikkan ke jaringan arteri yang mengalami infark. Setelah diamati
selama enam bulan, terdapat perbaikan yang signifikans pada
ventrikel kiri jantung, dibandingkan kelompok kontrol.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 283
RESIKO PENGGUNAAN SEL PUNCA

Kubin et al., (2010) menyebutkan bahwa dalam jangka panjang,


dedifirensiasi sel cardiomyocite akan menyebabkan terjadinya
hipertofi. Hipertrofi ini nantinya akan berlanjut menjadi kegagalan
jantung.
Adanya diferensiasi sel punca yang menyimpang juga dapat
membahayakan pasien. Srivasta & Ivey (2006) menyatakan pentingnya
penelitian lanjutan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya
penyimpangan diferensiasi. Terbentuknya sel baru yang bukan
merupakan sel myocardiocite, dapat membahayakan keselamatan
pasien yang menjalani terapi ini.

Penggunaan teknologi smart system yang menunjang penggunaan


sel punca dalam mengobati gangguan jantung
Walls (2010) menjelaskan bahwa penggunaan teknologi dapat
membantu penerapan sel punca dalam bidang kesehatan. Adanya
teknologi yang tergolong dalam smart system dapat membantu dalam
membuat keputusan. Contohnya adalah alat diagnostik yang bersifat
ex-vivo dan in-vivo. Hal ini penting, mengingat penelitian sel punca
pada pengobatan penyakit jantung banyak menggunakan data yang
didapat baik secara in-vivo maupun ex-vivo. Pendapat Walls dapat
diterapkan dengan penggunaan peralatan smart system, seperti IBNT
yang dilakukan oleh Akyildiz et. al (2015) pada Gambar 3.
Penggunaan sel punca juga merupakan bagian dari sistem
pengobatan secara integratif yang dimaksudkan oleh Walls (2001)
mengenai smart system. Sebagai contoh, pengobatan dengan sel
punca perlu memperhitungkan resiko penolakan secara imunitas
(Konoplyannikov et al., 2016). Selain itu, penggunaan sel punca dapat
dihambat oleh reaksi penolakan dari sistem kekebalan tubuh. Karena
itu, Srivasta & Ivey (2006) menyarankan adanya penelitian untuk
memasukkan material genetik dari sel pasien ke dalam sel punca yang
bukan bersifat autolog, atau bukan dari tubuh pasien itu sendiri.
Dengan demikian, reaksi penolakan terhadap sel punca akan
dikurangi.

284 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Sumber: Akyildiz et al. (2015)

Gambar 3. Contoh Penerapan IBNT dalam Tubuh Manusia

STIMULASI BIOKIMIA

Stimulasi biokimia pada kultur microdevice dilakukan dengan


memberikan zat biokimia tertentu kepada populasi sel punca, agar
berdiferensiasi menjadi sel tertentu yang diinginkan.
Satu contoh stimulasi biokimia untuk diferensiasi menjadi
cardiomyocite adalah studi yang dilakukan oleh Wan et al., (2011). Sel
yang digunakan adalah embryonic stem cell (ESC) tikus. Sel tersebut
dikultur dalam media yang mengandung BMP-2 (suatu faktor tumbuh
untuk sel jantung) selama 4 hari. Pengukuran atas terjadinya
diferensiasi sel ESC menjadi cardiomyocite dilakukan berdasarkan
ekspresi zat α-MHC, suatu penanda bagi terbentuknya sel
cardiomyocite. Setelah kultur selama 48-72 jam, akan terbentuk
cardiomyocite dalam kultur.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 285
PENUTUP

Penggunaan sel punca untuk regenerasi sel cardomyocite merupakan


cara baru untuk mengatasi penyakit infark jantung. Penggunaan sel
punca bermaksud untuk mengganti sel jantung yang mati atau rusak.
Penggunaan sel punca untuk mengatasi infark jantung mempunyai
nilai potensi tinggi. Walaupun demikian masih perlu penelitian lebih
banyak dan ada kendala antara lain: etika, jumlah sel jantung yang
dihasilkan, reaksi antigen-antibodi, hipertrofi, dan hilangnya sel punca
di dalam tubuh. Metode IoT dan IBNT yang berbasis teknologi
informasi sedang dikaji untuk mengamati fsiologis dan biokimia sel
punca di dalam proses terapi infark jantung.

286 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
DAFTAR PUSTAKA

Aguirre, A., Sancho-Martinez, I., & Belmonte, J. C. I. (2013).


Reprogramming toward heart regeneration: stem cells and
beyond. Cell stem cell, 12(3), 275-284.

Alam, M.A., Ishfaq, M.F., Khanam, B. (2016). Is Cardiac Stem Cell


Therapy a New Horizon of Heart Regeneration: Literature Review.
Mol Biol 5: 159.American Heart Association in Heart Disease and
Stroke Statistics—2004 Update 11–14. American Heart
Association, Dallas, Texas, 2004.

Akyildiz, I. F., Pierobon, M., Balasubramaniam, S., & Koucheryavy, Y.


(2015). The internet of bio-nano things. IEEE Communications
Magazine, 53(3), 32-40.

Bajada, S. (2008). Stem Cells in Regenerative MedicineTopics in Tissue


Engineering, Vol. 4. Eds. N Ashammakhi, R Reis, & F Chiellini.

Beltrami, A. P., Barlucchi, L., Torella, D., Baker, M., Limana, F.,
Chimenti, S., Kasahara H., , M., Rota , , E Musso , E., Urbanek , K.,
Leri, A.,Kajstura, J., Nadal-Ginard, B., Anversa, P. (2003). Adult
cardiac stem cells are multipotent and support myocardial
regeneration. Cell, 114 (6), 763-776.

Bergmann, O., Bhardwaj, R. D., Bernard, S., Zdunek, S., Barnabé-


Heider, F., Walsh, S., Zupicich, J., Alkass, K., Buchholz, B. A., Druid
H., Jovinge, S., & Jovinge, S. (2009). Evidence for cardiomyocyte
renewal in humans. Science, 324 (5923), 98-102.

Bearzi, C., Rota, M., Hosoda, T., Tillmanns, J., Nascimbene, A., De
Angelis, A , Yasuzawa-Amano, S., Trofimova I., Siggins, R.W., , Le
Capitaine, N., Cascapera, S., Beltrami , A.P., D'Alessandro, D.A.,
Zias, E., Quaini, F., Urbanek, K., Michler, R. E., Bolli, R., Kajstura, J.,
Leri, A., and Anversa, P. (2007). Human cardiac stem cells.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 287
Proceedings of the National Academy of Sciences, 104 (35), 14068-
14073.

Boulos, M. N. K., & Al-Shorbaji, N. M. (2014). On the Internet of


Things, smart cities and the WHO Healthy Cities. International
journal of health geographics, 13(1), 10.

Clifford, D. M., Fisher, S. A., Brunskill, S. J., Doree, C., Mathur, A., Watt,
S., & Martin-Rendon, E. (2012). Stem cell treatment for acute
myocardial infarction. Cochrane Database Syst Rev, 2(2).

Dawn B, Stein A. B, Urbanek K., Rota, M., Whang, B., Rastaldo, R.,
Torella D. Xian-Liang T,* Rezazadeh A.,, Kajstura J., Leri A., Hunt,
G., Varma, J., . Prabhu, S. D., Anversa, P., & Boll, R. (2005)
Cardiac stem cells delivered intravascularly traverse the vessel
barrier, regenerate infarcted myocardium, and improve cardiac
function. Proc Natl Acad Sci USA 2005;102:3766–71.

De Farias, C. , Pirmez, L., Costa, G. M. O., De Farias, F. M. (2017)


Internet of Bionano-Things: Perspective and Future Directions. ,
International Journal of Biosensors & Bioelectronics, 3 (1).

Duelen, R., & Sampaolesi, M. (2017). Stem Cell Technology in Cardiac


Regeneration: A Pluripotent Stem Cell Promise. EBioMedicine.

Eulalio, A., Mano, M., Dal Ferro, M., Zentilin, L., Sinagra, G., Zacchigna,
S., and Giacca, M. (2012). Functional screening identifies miRNAs
inducing cardiac regeneration. Nature, 492, 376–381.

Garbern, J. C., & Lee, R. T. (2013). Cardiac stem cell therapy and the
promise of heart regeneration. Cell stem cell, 12(6), 689-698.

Gerbin, K. A., & Murry, C. E. (2015). The winding road to regenerating


the human heart. Cardiovascular Pathology, 24(3), 133-140.

288 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Gnecchi, M., Danieli, P., & Cervio, E. (2012). Mesenchymal stem cell
therapy for heart disease. Vascular pharmacology, 57(1), 48-55.

Hartman, M. E., Dai, D. F., & Laflamme, M. A. (2016). Human


pluripotent stem cells: prospects and challenges as a source of
cardiomyocytes for in vitro modeling and cell-based cardiac
repair. Advanced drug delivery reviews, 96, 3-17.

Hsiao, L. C., & Carr, C. A. (2013). Endogenous cardiac stem cell therapy
for ischemic heart failure. J Clin Exp Cardiol, 11, 007.

Hsieh, P. C., Segers, V. F., Davis, M. E., MacGillivray, C., Gannon, J.,
Molkentin, J. D., & Lee, R. T. (2007). Evidence from a genetic fate-
mapping study that stem cells refresh adult mammalian
cardiomyocytes after injury. Nature medicine, 13(8), 970.

Jastrzebska, E., Tomecka, E., & Jesion, I. (2016). Heart-on-a-chip based


on stem cell biology. Biosensors and Bioelectronics, 75, 67-81.

Konoplyannikov, M., Kalsin, V., Averyanov, A. and Troitsky, A. (2016)


Stem Cell Therapy of IschemicHeart Disease. J. Biomedical Science
and Engineering, 9, 191-215. http://dx.doi.org/10.4236/jbise.
2016.94015

Kubin, T., Po¨ ling, J., Kostin, S., Gajawada, P., Hein, S., Rees, W.,
Wietelmann,A., Tanaka, M., Lo¨ rchner, H., Schimanski, S., et al.
(2011). Oncostatin M isa major mediator of cardiomyocyte
dedifferentiation and remodeling. Cell Stem Cell 9, 420–432.

Laflamme, M.A., Chen, K.Y., Naumova, A.V., Muskheli, V., Fugate, J.A.,
Dupras, S.K., Reinecke, H., Xu, C., Hassanipour, M., Police, S., et al.
(2007). Cardiomyocytes derived from human embryonic stem
cells in pro-survival factors enhance function of infarcted rat
hearts. Nat. Biotechnol. 25 , 1015–1024.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 289
Le, T. Y. L., & Chong, J. J. H. (2016). Cardiac progenitor cells for heart
repair. Cell death discovery, 2.

Lee, S. K., Kwon, H. R., Cho, H., Kim, J., & Lee, D. (2016). International
Case Studies of Smart Cities: Singapore, Republic of Singapore.
Inter-American Development Bank.

Libonati, J. S. (2015). Exercise and Stem Cell Therapeutics for the


Infarcted Heart. International Journal of Sports and Exercise
Medicine. 1(1).

Li, M, Cascino, P., Ummarino, S., Di Ruscio, A. 2017). Application of


Induced Pluripotent Stem Cell Technology to the Study of
Hematological Diseases. Cells, 6(1).

Makino, S., Fukuda, K., Miyoshi, S., Konishi, F., Kodama, H., Pan, J. , ,
Sano, M., Takahashi,T., Hori,S., Abe, H., Hata, J., Umezawa A.,
Ogawa, S. & Hata, J. I. (1999). Cardiomyocytes can be generated
from marrow stromal cells in vitro. Journal of Clinical
Investigation, 103(5), 697.

Michler, R. E., Bolli, R., Kajstura, R., Leri, A., and Anversa, P., &
Cascapera, S. (2007). Human cardiac stem cells. Proceedings of the
National Academy of Sciences, 104(35), 14068-14073.

National Academy of Sciences (2009). Understanding Stem Cells: An


Overview of the Science and Issues from the National Academies.

Nelson, T. J., Martinez-Fernandez, A., Yamada, S., Ikeda, Y., Perez-


Terzic, C., & Terzic, A. (2010). Induced pluripotent stem cells:
advances to applications. Stem cells and cloning: advances and
applications, 3, 29.

Porrello, E.R., Mahmoud, A.I., Simpson, E., Johnson, B.A., Grinsfelder,


D., Canseco, D., Mammen, P.P., Rothermel, B.A., Olson, E.N., and
Sadek, H.A. (2013). Regulation of neonatal and adult mammalian

290 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
heart regeneration by the miR-15 family. Proc. Natl. Acad. Sci. USA
110, 187–192.

Senyo, S.E., Steinhauser, M.L., Pizzimenti, C.L., Yang, V.K., Cai, L.,
Wang, M., Wu, T.-D., Guerquin-Kern, J.-L., Lechene, C.P., and Lee,
R.T. (2013). Mammalian heart renewal by pre-existing
cardiomyocytes. Nature 493, 433–436.

Srivastava, D., & Ivey, K. N. (2006). Potential of stem-cell-based


therapies for heart disease. Nature, 441(7097), 1097.

Smart, N., Bollini, S., Dube´ , K.N., Vieira, J.M., Zhou, B., Davidson, S.,
Yellon,D., Riegler, J., Price, A.N., Lythgoe, M.F., et al. (2011). De
novo cardiomyocytesfrom within the activated adult heart after
injury. Nature 474, 640–644.

Solanas, A., Patsakis, C., Conti, M., Vlachos, I. S., Ramos, V., Falcone, F.,
Postolache O., Pérez-Martínez, P. A., Di Pietro, R., Perrea, D. N., &
Martinez-Balleste, A. (2014). Smart health: a context-aware health
paradigm within smart cities. IEEE Communications Magazine,
52(8), 74-81.

Takahashi, K, Tanabe, K., Ohnuki, M, Narita, M., Ichisaka, T.,


Tomoda,K., Yamanaka, S. (2007). Induction of Pluripotent Stem
Cells from Adult Human Fibroblasts by Defined. Factors, Cell
(2007), doi:10.1016/j.cell.2007.11.01.

Tohyama, S., Hattori, F., Sano, M., Hishiki, T., Nagahata, Y., Matsuura,
T., Hisayuki Hashimoto H., Suzuki, T. Yamashita, H., Yusuke Satoh,
Y, Egashira, T., Seki, T., Naoto Muraoka, N., Yamakawa, H.,Ohgino,
Y.,Tanaka, T., Yoichi, M., Yuasa, S.,Fukuda, K., & Egashira, T.
(2013). Distinct metabolic flow enables large-scale purification of
mouse and human pluripotent stem cell-derived cardiomyocytes.
Cell stem cell, 12(1), 127-137.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 291
Thomson, J.A., Itskovitz-Eldor, J., Shapiro, S.S., Waknitz, M.A.,
Swiergiel, J.J., Marshall, V.S., and Jones, J.M. (1998). Embryonic
stem cell lines derived from human blastocysts.
Science. 282, 1145-1147

Walls, J. (2010). Healthcare Smart Systems. European Technology


Platform on Smart Systems Integration. Brussel, 2010.

Wan, C. R., Chung, S., & Kamm, R. D. (2011). Differentiation of


embryonic stem cells into cardiomyocytes in a compliant
microfluidic system. Annals of biomedical engineering, 39 (6),
1840-1847.

Wang T, Xu Z, Jiang W, Ma A. (2006). Cell-to-cell contact induces


mesenchymal stem cell to differentiate into cardiomyocyte and
smooth muscle cell. International Journal of Cardiology. 2006;109
(1):74–81.

Xue, T., Cho, H. C., Akar, F. G., Tsang, S. Y., Jones, S. P., Marbán, E.,
Gordon F. Tomaselli, G. F. & Li, R. A. (2005). Functional integration
of electrically active cardiac derivatives from genetically
engineered human embryonic stem cells with quiescent recipient
ventricular cardiomyocytes. Circulation, 111(1), 11-20.

Yamanaka, S. (2012). Induced pluripotent stem cells: past, present,


and future. Cell stem cell, 10(6), 678-684.

Yea, C. H., Jeong, H. C., Moon, S. H., Lee, M. O., Kim, K. J., Choi, J. W.,
& Cha, H. J. (2016). In situ label-free quantification of human
pluripotent stem cells with electrochemical potential.
Biomaterials, 75, 250-259.

Yoshida, Y., & Yamanaka, S. (2017). Induced Pluripotent Stem Cells 10


Years Later. Circulation Research, 120(12), 1958-1968.

292 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Yu, J., Vodyanik, M. A., Smuga-Otto, K., Antosiewicz-Bourget, J., Frane,
J. L., Tian, S., Nie, J., Jonsdottir, G. A., Ruotti, V., Stewart, R.,
Slukvin, I. I., & Thomson J.A. (2007). Induced pluripotent stem cell
lines derived from human somatic cells. science, 318(5858), 1917-
1920.

Zhou, B., Ma, Q., Rajagopal, S., Wu, S.M., Domian, I., Rivera-Feliciano,
J.,Jiang, D., von Gise, A., Ikeda, S., Chien, K.R., and Pu, W.T. (2008).
Epicardialprogenitors contribute to the cardiomyocyte lineage in
the developing heart.Nature 454, 109–113.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 293
294 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
SMART CITY MANDIRI PANGAN

Ariyanti Hartari

PENDAHULUAN

Smart environment dan smart living merupakan dua dari enam


karakteristik smart city. Smart environment terkait antara lain dengan
pemanfaatan lahan dengan bijak, efisiensi energi dan pemanfaatan
energi terbarukan; sementara smart living terkait antara lain dengan
kualitas kesehatan dan keamanan individu (Yusiardi, 2015).
Kemandirian pangan, baik bagi masyarakat perkotaan maupun
perdesaan, merupakan hal yang sangat penting. Hal ini salah satunya
dapat dilakukan melalui pertanian perkotaan yang dilakukan baik
secara horizontal maupun vertikal. Bila hal ini dilakukan secara sadar
dan terampil oleh masyarakat perkotaan dan perdesaan dan hasilnya
bermanfaat, baik dari segi pemanfaatan lahan secara efektif dan
efisien, maupun peningkatan kualitas kesehatan dan keamanan
individu masyarakat, maka pertanian perkotaan merupakan salah satu
solusi dalam meningkatkan ketahanan pangan yang sangat dibutuhkan
oleh smart city.
Pangan merupakan hak azazi dan kebutuhan pokok manusia. Hal
ini didasari oleh Universal Declaration of Human Right (1984) dan The
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 295
International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (1966)
yang menyatakan bahwa “everyone should have an adequate standard
of living, including adequate food, cloothing, and housing and that the
fundamental right to freedom from hunger and malnutrition ”.
Millenium Development Goals (MDGs) menegaskan pula bahwa pada
tahun 2015 setiap negara, termasuk Indonesia, bersepakat untuk
menurunkan kemiskinan dan kelaparan hingga 50%. Oleh sebab itu,
industri disektor pangan, baik pada skala rumah tangga, menengah,
maupun besar, akan terus tumbuh secara alami dalam rangka
memenuhi kebutuhan pokok manusia yang populasinya selalu
meningkat. Kondisi ini merupakan salah satu karakteristik dari smart
city yang perlu diantisipasi. Berbekal keanekaragaman bahan baku
pangan yang dimiliki, memungkinkan masyarakat Indonesia
mengembangkan beragam produk pangan yang khas dan unik sesuai
potensi daerah masing-masing.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
mengamanatkan bahwa negara berkewajiban mewujudkan
ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang
cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat
nasional maupun lokal hingga perseorangan secara merata di seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketersediaan,
keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan tsb juga harus ada
sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan,
dan budaya lokal. Untuk mewujudkan amanat Undang-undang
tersebut, disusunlah Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (PPJMN) 2015-2019 yang memprioritaskan peningkatan
kedaulatan pangan melalui (1) pemantapan ketahanan pangan
menuju kemandirian pangan dengan peningkatan produksi pangan
pokok; (2) stabilisasi harga pangan; (3) perbaikan kualitas konsumsi
pangan dan gizi masyarakat; (4) mitigasi gangguan terhadap
ketahanan pangan; dan (5) peningkatan kesejahteraan pelaku usaha
pangan. Pencapaian ketahanan pangan yang mantap merupakan
wahana penguatan stabilitas ekonomi dan politik, dan jaminan
ketersediaan pangan dengan harga yang terjangkau, serta perwujudan
komitmen bangsa untuk ikut serta mewujudkan tujuan pembangunan

296 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
global (Millennium Development Goals/MDGs) dalam menurunkan
kemiskinan dan kelaparan (Renstra BKP Kementan 2015-2019).
Sesuai dengan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan,
ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi
negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam,
bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan
agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat,
aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Ketahanan pangan menurut
FAO (1997) merupakan situasi semua rumah tangga mempunyai akses
baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh
anggota keluarganya dan rumah tangga tersebut tidak beresiko
mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Hampir serupa dengan
FAO, USAID (1992) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi
ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses secara fisik dan
ekonomi untuk memperoleh kebutuhan konsumsinya untuk hidup
sehat dan produktif. Sedangkan menurut FIVIMS (2005), ketahanan
pangan merupakan kondisi ketika semua orang pada segala waktu
baik secara fisik, sosial, dan ekonomi memiliki akses pada pangan yang
cukup, aman, dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dan
sesuai dengan seleranya (food preferences) demi kehidupan yang aktif
dan sehat. Dari definisi-definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa ketahanan pangan memiliki 4 unsur yaitu :
1. Pangan tersedia setiap saat untuk tingkat individu dan rumah
tangga (food availability/suppy);
2. Pangan dapat diakses, baik secara fisik, ekonomi, dan sosial, setiap
saat (access to supplies);
3. Orientasi ketahanan pangan adalah untuk pemenuhan gizi (food
utilization);
4. Tujuan ketahanan pangan adalah terwujudnya hidup yang sehat
dan produktif (food sustainability).

Indikator masing-masing unsur ketahanan pangan tersebut di


atas ditampilkan secara sistematis pada Gambar 1 berikut (Hariyadi,
2002).

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 297
Sumber: Hariyadi (2002)

Gambar 1. Unsur Ketahanan Pangan dan Indikatornya

Tercapainya ketahanan pangan di Indonesia berkaitan erat


dengan kebijakan pemerintah, struktur politik dan ekonomi yang tepat
untuk mendukung terciptanya ketahanan pangan yang mengakar
kuat, serta kondisi lingkungan, baik alam, sosial, dan budaya, teknologi
dan sumberdaya manusia. Hal ini dikarenakan masalah ketahanan
pangan merupakan permasalahan lintas sektoral dan menjadi
tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Selain
itu, jumlah penduduk Indonesia yang besar dan tersebar memerlukan
penanganan ketahanan pangan yang terpadu. Hal ini dapat dilakukan
secara sinergis antar unit/instansi terkait dengan memanfaatkan
keunggulan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk saling
berkoordinasi, berkomunikasi dan berkolaborasi dalam menangani
masalah ketahanan pangan ini. Pemanfaatan TIK dalam meningkatkan
kualitas kinerja suatu unit/instansi merupakan salah satu ciri dari
smart city.Tantangan perwujudan ketahanan pangan di Indonesia
tidak hanya terkendala berbagai permasalahan dari dalam diri sendiri
(dalam negeri), tetapi juga perubahan kondisi global. Perubahan-
perubahan tersebut antara lain lonjakan harga pangan internasional,

298 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
“keegoisan” negara-negara di dunia yang semakin mementingkan
kebutuhannya sendiri, terjadinya tren persaingan penggunaan
komoditas pertanian untuk sektor pangan, pakan, dan energi,
terjadinya resesi global, dan serbuan pangan asing (“westernisasi
diet”) yang menjadi penyebab terjadinya gizi lebih serta peningkatan
ketergantungan terhadap impor pangan, baik dalam bentuk bahan
baku maupun produk jadi atau setengah jadi.

KETAHANAN PANGAN MASYARAKAT PERKOTAAN

Pertumbuhan penduduk dan meningkatnya urbanisasi


merupakan tantangan di masa depan dan merupakan tantangan bagi
smart city. Nugent (2000) memperkirakan pada tahun 2025, sebanyak
65% penduduk dunia tinggal di kota. Peningkatan jumlah penduduk
yang tinggal di perkotaan ini akan menimbulkan permasalahan-
permasalahan terkait infrastruktur publik, tempat tinggal, tenaga
kerja, kerawanan pangan, lingkungan dan sanitasi. Permasalahan-
permasalahan tersebut disebabkan oleh keterbatasan lahan, alih
fungsi lahan, dan tata kelola perkotaan yang tidak terencana sejak
awal.
Alih fungsi lahan pertanian menjadi lokasi pemukiman/tempat
tinggal, tempat usaha, industri, dan perkantoran berdampak pada
penurunan luas lahan pertanian untuk menghasilkan komoditas
pertanian atau bahan baku pangan. Alih fungsi lahan berdampak pula
pada peningkatan jumlah masyarakat miskin perkotaan. Hal ini karena
terjadi pergeseran peran dari pemilik tanah, yang mendapatkan
penghasilan dari komoditas pertanian, menjadi pekerja penggarap
atau bahkan pengangguran karena mereka umumnya tidak memiliki
keterampilan atau keahlian selain bercocok tanam. Kondisi ini
merupakan titik awal terjadinya kerawanan pangan.
Kerawanan pangan merupakan suatu kondisi ketidakcukupan
pangan yang dialami daerah, masyarakat, atau rumah tangga pada
waktu tertentu untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi
pertumbuhan dan kesehatan masyarakat (Dewan Ketahanan Pangan,
2006). Kerawanan pangan yang dialami masyarakat perkotaan terkait
erat dengan ketersediaan pangan, ketidakmampuan rumah tangga

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 299
miskin di perkotaan untuk mengakses pangan yang aman, dalam
jumlah cukup, dan berkualitas. Di sisi lain, terjadi gizi lebih pada
anggota masyarakat perkotaan kelompok produktif yang mampu
mengakses pangan dengan baik, secara kualitas maupun kuantitas.
Dampak dari kerawanan pangan dan kekurangan gizi dapat terjadi
pada semua umur, baik orang tua, dewasa, anak-anak, bayi maupun
ibu hamil (Ariningsih dan Rachman, 2008). Hasil Pemantauan Status
Gizi (PSG) tahun 2015 di 496 kabupaten/kota dengan melibatkan lebih
kurang 165.000 balita sebagai sampel memberikan hasil 3,8% balita
mengalami gizi buruk. Persentase ini mengalami penurunan
dibandingkan hasil PSG 2013 yaitu 4,7% balita mengalami gizi buruk.
Dari 496 Kab/kota yang dianalisis, sebanyak 404 Kab/Kota mempunyai
permasalahan gizi yang bersifat Akut-Kronis; 20 Kab/Kota mempunyai
permasalahan gizi yang bersifat Kronis; 63 Kab/Kota mempunyai
permasalahan gizi yang bersifat Akut; dan 9 Kab/Kota yang tidak
ditemukan masalah gizi. Ke sembilan Kab/Kota yang tidak ditemukan
masalah gizi tersebut, adalah:
1) Kab. Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan;
2) Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan;
3) Kab. Mukomuko, Bengkulu;
4) Kota Bengkulu, Bengkulu;
5) Kab. Belitung Timur, Bangka Belitung;
6) Kota Semarang, Jawa Tengah;
7) Kota Tabanan, Bali;
8) Kota Tomohon, Sulawesi Utara; dan
9) Kota Depok, Jawa Barat.

Upaya perbaikan gizi dilakukan melalui intervensi spesifik dan


sensitif. Kelompok sasaran intervensi spesifik adalah kelompok 1000
Hari Pertama Kehidupan (HPK) meliputi ibu hamil, ibu menyusui, dan
anak usia 0 – 23 bulan. Kegiatan yang termasuk dalam intervensi
spesifik antara lain imunisasi, pemberian makanan tambahan bagi ibu
hamil (PMT Bumil), PMT Balita, dan monitoring pertumbuhan Balita di
Posyandu. Kelompok sasaran intervensi sensitif adalah masyarakat
umum dengan kegiatan pembangunan non kesehatan seperti
penyediaan air bersih, kegiatan penanggulangan kemiskinan dan

300 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
kesetaraan gender (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2016).
Persediaan pangan yang cukup secara nasional ataupun regional
tidak menjamin terwujudnya ketahanan pangan di tingkat rumah
tangga atau individu. Hasil penelitian Saliem et al., (2001)
menunjukkan bahwa walaupun ketahanan pangan di tingkat regional
(provinsi) termasuk kelompok tahan pangan terjamin, namun di
provinsi yang bersangkutan masih ditemukan rumah tangga yang
tergolong rawan pangan dengan proporsi relatif tinggi. Provinsi D.I.
Yogyakarta sebagai contohnya, pada tahun 2014 mengalami surplus
dalam hal ketersediaan pangan dan penurunan angka kemiskinan,
namun angka penderita gizi buruknya mengalami peningkatan hingga
mencapai 0,51 persen dengan sebaran Kabupaten Kulonprogo 0,81%,
Kota Yogyakarta 0,69%, Kabupaten Gunung Kidul 0,53%, Kabupaten
Sleman 0,4%, dan Kabupaten Bantul 0,38% (Putra, 2016).
Ketersediaan dan akses terhadap pangan yang mencukupi di
perkotaan tidak menjamin terwujudnya ketahanan pangan pada aspek
pemenuhan gizi. Jumlah dan akses terhadap pangan yang tersedia
setiap saat bagi masyarakat perkotaan memicu terjadinya kondisi gizi
lebih. Berat badan lebih dan obesitas merupakan contoh gizi lebih.
Berdasarkan hasil Riskesdas 2013 (Balitbangkes, 2013), rata-rata
prevalensi status gizi penduduk dewasa (usia > 18 tahun) yang
mengalami obesitas secara nasional yaitu 14,76%. Rata-rata nasional
ini lebih tinggi daripada yang mengalami berat badan lebih yaitu
11,48%. Prevalensi obesitas penduduk laki-laki dan perempuan
dewasa pada Riskesdas 2013 mengalami kenaikan dibandingkan hasil
Riskesdas tahun 2007 dan 2010. Prevalensi penduduk laki-laki dewasa
obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7%, lebih tinggi dari tahun
2007 (13,9%) dan tahun 2010 (7,8%). Prevalensi obesitas perempuan
dewasa (>18 tahun) pada tahun 2013 sebesar 32,9%, naik 18,1% dari
tahun 2007 (13,9%) dan 17,5 persen dari tahun 2010 (15,5%).
Masyarakat perkotaan cenderung mengalami permasalahan gizi
secara bersamaan yaitu gizi lebih (berat badan lebih dan obesitas) dan
kurang gizi (kekurangan energi kalori/protein) atau gizi buruk secara
bersamaan, bahkan dalam lingkungan keluarga yang sama. Hal ini
disebabkan pola makan yang tidak sehat meliputi makan dalam

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 301
porsi/jumlah yang berlebih, rendahnya konsumsi buah dan sayur, dan
tingginya konsumsi garam, gula, serta lemak.
Joint FAO/WHO Expert Consultation on diet, nutrition and the
prevention of chronic diseases merekomendasikan asupan minimum
400 gram buah dan sayur per hari (tidak termasuk kentang dan umbi-
umbian yang mengandung pati) untuk pencegahan penyakit kronis
seperti jantung, kanker, diabetes dan obesitas, sekaligus sebagai
upaya pencegahan kekurangan zat gizi mikro. Jumlah konsumsi buah
dan sayur yang cukup akan memberikan asupan yang memadai bagi
serat ke dalam tubuh. Berdasarkan data Pusdatin Kemenkes RI (2017),
rata-rata konsumsi sayur-sayuran masyarakat perkotaan sebesar
3,01% dari pengeluaran perkapitanya, dan 2,05% untuk buah-buahan.
Masyarakat perkotaan mengalokasikan 44,57% pendapatannya
untuk mengonsumsi makanan, dan 15,22% dari konsumsi makanan
tersebut adalah kelompok makanan dan minuman jadi (Pusdatin
Kemenkes RI, 2017), yang merupakan makanan dan minuman dengan
kadar gula, garam, dan lemak tinggi.
Perubahan pola makan masyarakat perkotaan akibat peningkatan
industrialisasi, urbanisasi, dan mekanisasi, turut berperan terhadap
kejadian double burden pada masyarakat perkotaan. Tersedianya
berbagai fasilitas pesan antar dalam jaringan (pesan antar online)
berkontribusi terhadap kurangnya aktivitas fisik masyarakat
perkotaan. Masyarakat perkotaan dapat dengan mudah memenuhi
kebutuhan pangannya melalui aplikasi di perangkat komunikasinya
(gadget) tanpa harus meninggalkan tempat tinggal atau tempat
kerjanya. Di sisi lain, kehadiran fasilitas pesan antar dalam jaringan
mampu menambah lapangan pekerjaan dan menggerakkan
perekonomian masyarakat.
Perubahan/pergeseran pola komunikasi antar anggota keluarga
dari komunikasi verbal/komunikasi secara langsung menjadi
komunikasi tak langsung yang difasilitasi perangkat (gadget) turut
berkontribusi terhadap kurangnya aktivitas fisik masyarakat
perkotaan. Pengguna gadget kimi lebih sering menghabiskan
waktunya dengan gadgetnya sendiri. Masing-masing anggota keluarga
menjalin komunikasi melalui gadget masing-masing, bahkan ketika
mereka duduk bersama di satu ruang atau tempat yang sama. Hal ini

302 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
mengakibatkan berkurangnya interaksi sosial antar anggota keluarga,
seperti bercengkerama, mengobrol bersama, berolahraga bersama.
Penggunaan gadget dalam keluarga mempengaruhi keseluruhan
interaksi sosial dalam keluarga tersebut. Interaksi yang bisanya
dilakukan antara orang tua dan anak sebagai bentuk pengasuhan dan
komunikasi untuk menciptakan kekukuhan keluarga akan terganggu.
Hal ini dikarenakan keluarga merupakan kesatuan sistem yang utuh,
apabila salah satu anggota keluarga mengalami kesulitan dalam
melakukan interaksi secara langsung, secara sadar atau tidak sadar
akan mengurangi atau menyebabkan perubahan pola interaksi
sosialnya (Lestari, Riana, Taftarzani, 2015).
Selanjutnya, kurangnya aktivitas fisik masyarakat perkotaan juga
merupakan dampak dari keterbatasan lahan, meningkatkanya jarak
tempuh dari satu tempat ke tempat lain akibat kepadatan jalan,
terfasilitasinya pemenuhan semua kebutuhan melalui gadget, dan
keterbatasan fasilitas umum/ruang terbuka publik untuk beraktivitas
fisik disekitar pemukiman, seperti taman, jogging track, lapangan.
Keterbatasan lahan pemukiman mengakibatkan ukuran lahan tempat
tinggal semakin sempit, sehingga ketersediaan ruang untuk bergerak
atau beraktivitas fisik di lingkungan sekitar rumah menjadi berkurang.
Pengembang perumahan saat ini juga menawarkan hunian dalam
kluster-kluster kecil yang lengkap dengan fasilitas keamanan dan
jaringan internet namun tidak dilengkapi dengan fasilitas umum atau
ruang terbuka publik. Hal ini didukung dengan kurangnya fasilitas
aktivitas fisik yang aman dan nyaman di lingkungan sekitar
pemukiman. Meningkatnya waktu tempuh masyarakat perkotaan dari
tempat tinggal ke lokasi pekerjaan, menjadikan masyarakat perkotaan
lebih banyak menghabiskan waktu akhir pekannya untuk beristirahat
di rumah daripada untuk beraktivitas fisik di luar rumah.
Hunian yang dilengkapi dengan fasilitas keamanan dan jaringan
internet merupakan salah satu implementasi ciri hunian di smart city
yang memudahkan dan memberikan rasa aman. Fasilitas internet yang
tersedia setiap saat memudahkan penghuninya untuk berkomunikasi
secara maya dengan sesama anggota komunitas, memenuhi semua
kebutuhan melalui gadget yang dimiliki, tak terkecuali kebutuhan
pangan melalui fasilitas pesan antar. Hal ini semakin mengurangi

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 303
aktivitas fisik masyarakat perkotaan. Secara bertahap dalam jangka
panjang, akan terbentuk penyeragaman selera dan preferensi pangan
masyarakat perkotaan karena variasi pangan yang ditawarkan melalui
fasilitas pesan antar akan relatif/cenderung sama, dan merupakan
jenis pangan yang tinggi kalori, kadar gula, dan garam.

PERTANIAN KOTA DAN KETAHANAN PANGAN MASYARAKAT


PERKOTAAN DI TINGKAT RUMAH TANGGA

Pertanian kota (Urban Agriculture) didefinisikan sebagai


usahatani, pengolahan, dan ditribusi dari berbagai komoditas pangan,
termasuk sayuran dan peternakan di dalam atau pinggir kota di
daerah perkotaan. Studi tentang pertanian kota saat ini terus
berkembang sebagai salah satu solusi berbagai permasalahan terkait
ketahanan pangan, banjir, penurunan panas kota, efisiensi energi,
kualitas udara, perubahan iklim, hilangnya habitat, dan pencegahan
kejahatan (Mazeereuw, 2005).
Berdasarkan Urban Agriculture Network, diperkirakan 800 juta
orang terlibat dalam pertanian kota di dunia; 200 juta memproduksi
untuk dijual ke pasar; dan 150 juta orang yang bekerja secara penuh.
Pada tahun 1993 sampai 2005, pertanian kota dapat meningkatkan
pangsa produksi pangan di dunia dari 15% ke 33%, pangsa untuk
buah-buahan, daging, ikan, dan susu dari 33% menjadi 50%, dan
jumlah petani kota dari 200 menjadi 400 juta (Baumgartner dan
Belevi ,2007). Fungsi pertanian kota yang telah diidentifikasi oleh
Mazeereuw (2005) dalam Hanani (2009) ditampilkan pada Gambar 2.

304 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Gambar 2. Fungsi Pertanian Kota

Studi/penelitian yang dilakukan Alice dan Foeken (1996) di kota


Nairobi, Kenya menunjukkan bahwa pertanian kota yang
diimplementasikan di kota Nairobi mampu meningkatkan asupan
energi petani kota (5,5%) dan petani kota binaan (19,23%)
dibandingkan anggota masyarakat yang bukan pelaku pertanian kota.
Demikian pula dengan asupan protein, petani kota dan petani kota
binaan mengalami peningkatan asupan protein sebesar 1,64% dan
8,2% (secara berurutan). Balita di lingkungan masyarakat petani kota
binaan yang mengalami gizi kurang lebih rendah 3,57% dibandingkan
balita di lingkungan masyarakat yang tidak berpartisipasi dalam
kegiatan pertanian kota. Masyarakat yang mengimplementasikan
pertanian kota di kota Nairobi tidak memiliki balita yang mengalami
gizi buruk.
Di Amerika Utara, Food Security Coalition (CFSC) mempunyai
komisi yang memanfaatkan pertanian kota sebagai instrumen untuk
meningkatkan akses pangan yang segar, terjangkau dan bergizi, dalam
rangka mengurangi kerawanan pangan (Brown dan Carter 2003).
Studi/penelitian Pinderhughes (2004) menunjukkan bahwa pertanian
kota mampu mengurangi kemiskinan, kerawanan pangan, dan
merupakan solusi masalah sampah organik. Penelitian yang dilakukan
Rhoden dan Steele di Philadelphia dalam Pinderhughes (2004) yang
memanfaatkan pekarangan sebagai salah satu bentuk pertanian kota

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 305
mampu menghemat pengeluaran pangan rata-rata sebesar $150
setiap musim penanaman.
Di Indonesia, pertanian kota dapat dilakukan di taman-taman atau
lahan fasilitas umum di lingkungan pemukiman/perumahan,
pekarangan rumah atau memanfaatkan sisa lahan atau ruang di atas
saluran air didepan rumah yang diberi penutup. Pertanian kota dapat
menggunakan media tanah atau air, dan dapat dilakukan baik secara
horisontal maupun vertikal. Model ketahanan pangan dan optimalisasi
pemanfaatan lahan pekarangan berbasis rumah tangga dikenal
dengan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Program ini sebagai
upaya memaksimalkan lahan pekarangan sebagai sumber gizi dan
nutrisi, terutama produk-produk untuk ternak unggas, akuakultur,
hortikultura, pangan alternatif dan tanaman obat keluarga (TOGA).
Hal ini sejalan dengan konsep smart environment dalam smart city
yang menekankan pada pemanfaatan lahan secara bijak dan efisien.
Komoditas pertanian yang dapat ditanam pada pertanian kota
antara lain sayur-sayuran dengan masa tanam yang relatif pendek
seperti bayam, kangkung, sayuran andewi, phokcoy, sawi, selada,
maupun buah-buahan seperti tomat, cabai, terong, labu siam,
gambas, melon, timun suri, tanaman obat keluarga, tanaman rempah
bumbu seperti jahe, kunyit, daun jeruk purut, lengkuas, daun padan,
dan lain-lain. Pengembangan pertanian kota untuk komoditas cabai
sesungguhnya sangat menguntungkan bagi rumah tangga. Hal ini
dikarenakan cabai merupakan komoditas yang dibutuhkan setiap hari,
namun dalam jumlah yang tidak banyak. Apabila satu rumah tangga
membudidayakan sekitar 3 – 4 tanaman cabai dalam polybag atau
pot, hasil panennya mencukupi untuk kebutuhan keluarga tersebut,
sehingga mengurangi biaya pembelian cabai dan mengurangi dampak
kenaikan harga cabai pada masa-masa tertentu. Penelitian yang
dilakukan Sutanto memberikan hasil rendemen sayuran andewi yang
lebih tinggi jika dibudidayakan secara vertikultur menggunakan
hidroponik dibandingkan dengan vertikultur menggunakan media
tanah dalam polibag.
Rumah tangga yang memiliki kolam ikan, baik ikan hias maupun
ikan konsumsi, dapat mengembangkan aquaponik sebagai salah satu
bentuk pertanian kota di tingkat rumah tangga. Melalui teknik

306 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
aquaponik ini, rumah tangga mendapatkan keuntungan ganda yaitu
mengurangi frekuensi pembersihan air kolam dan mendapatkan
komoditas aquaponik (sumber pangan hewani dan atau nabati) untuk
kebutuhan konsumsi rumah tangga. Frekuensi pembersihan air kolam
berkurang karena air dari kolam disirkulasi dan disegarkan melalui
akar-akar tanaman yang dibudidayakan secara aquaponik.
Implementasi pertanian kota di tingkat rumah tangga melalui
pemanfaatan pekarangan atau halaman rumah tinggal baik secara
vertikal maupun horisontal, yang merupakan salah satu implementasi
dari konsep smart environment, diharapkan mampu membantu
memenuhi kebutuhan pangan keluarga terutama kebutuhan buah,
sayur, rempah-rempah yang dijadikan bumbu sehari–hari seperti jahe,
kunyit, kencur, daun jeruk purut, daun pandan, lengkuas; menjadi
alternatif diversifikasi pangan keluarga sehingga dalam jangka panjang
mampu mengurangi tingkat konsumsi rumah tangga untuk komoditas
yang rutin dibutuhkan dalam jumlah kecil.
Hasil penelitian Rizal dan Fiana (2015) di kota Balikpapan yang
diikuti oleh 30 rumah tangga dengan strata pekarangan 36 m 2 – 90m2,
yang membudidayakan tanaman beragam (polikultur) menggunakan
kombinasi teknik vertikultur, gantung, tempel, tegak, rak, pot/polibag,
dan tanam langsung, mampu menghasilkan komoditas yang dapat
memenuhi kebutuhan pangan keluarganya. Hasil panen yang
diperoleh mampu menghemat pengeluaran keluarga sebesar Rp
100.000,00 – Rp 200.000,00 dan meningkatkan konsumsi sayuran
dalam keluarga sehingga dapat terpenuhi kebutuhan pangan dan gizi
serta mewujudkan lingkungan hijau yang bersih dan sehat. Hal ini juga
sejalan dengan implementasi konsep smart living dalam smart city
yang menekankan pada kondisi kualitas kesehatan masyarakat dan
keamanan individu.

SINERGI BERSAMA MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN


MASYARAKAT PERKOTAAN DI TINGKAT RUMAH TANGGA

Kerangka ketahanan pangan masyarakat perkotaan dengan ke


empat unsurnya dapat terwujud jika terjalin sinergi positif antara
masyarakat perkotaan sebagai target sasaran ketahanan pangan,

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 307
pemerintah sebagai pengambil kebijakan, akademisi sebagai motor
penggerak inovasi dan teknologi, dan industri (bahan baku/bahan
setengah jadi/produk jadi/jasa).
Ketahanan pangan masyarakat perkotaan perlu dimulai dari diri
masyarakat perkotaan itu sendiri sebagai target sasaran ketahanan
pangan. Perlu ditumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pangan yang
aman, sehat, enak, dan cukup secara kuantitas untuk kebutuhannya,
serta kesadaran bahwa ketersediaan pangan terbatas sehingga
memerlukan kontribusi dan peran masyarakat perkotaan agar bijak
dalam konsumsi pangan. Kesadaran dan contoh baik untuk
berpartisipasi membudidayakan komoditas pangan seperti sayur-
sayuran dan buah-buahan di tingkat rumah tangga juga perlu
ditumbuhkan dalam rangka menjaga ketersediaan pangan di tingkat
rumah tangga. Kesadaran ini diharapkan mampu membentuk pola
pikir dan perilaku cerdas masyarakat perkotaan dalam konsumsi
pangannya, sehingga tidak semata-mata membeli pangan untuk
memuaskan mata dan selera namun lebih diutamakan untuk
memenuhi kebutuhan gizi dalam rangka hidup yang aktif dan sehat.
Pemerintah daerah (kota/kabupaten, provinsi, dan pusat) saling
bersinergi mengembangkan kebijakan dan menyosialiasikan program-
program yang mendorong masyarakat perkotaan (dan perdesaan)
untuk berswasembada pangan dimulai tingkat rumah tangga.
Pemerintah menyediakan saluran-saluran pemasaran dan distribusi
komoditas hasil budidaya masyarakat yang mampu menjamin
kepastian harga dan kualitas. Pemerintah menyediakan insentif bagi
industri mikro/rumah tangga, kecil, dan menengah yang mampu
memanfaatkan dan mengolah potensi lokal (bahan baku pangan lokal)
sehingga menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap produk
pangan lokal.
Akademisi melalui berbagai aktivitas penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat diharapkan mampu memberikan edukasi kepada
masyarakat tentang ketahanan pangan di tingkat rumah tangga
sehingga dapat mengurangi atau menekan kejadian gizi buruk, gizi
kurang, dan gizi lebih. Sosialisasi dan implementasi pertanian kota di
tingkat rumah tangga, salah satunya melalui program Kawasan Rumah
Pangan Lestari, perlu digalakkan, dipantau/dimonioring, dan

308 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
dibudayakan, terutama untuk komoditas-komoditas yang menjadi
kebutuhan rutin rumah tangga, seperti cabai, tomat, sayur-sayuran
daun, sehingga rumah tangga mampu memenuhi kebutuhannya
sendiri dan menumbuhkan mekanisme cadangan pangan keluarga.
Pemerintah dan akademisi bersinergi melakukan pengawasan
terhadap produk-produk hasil olahan masyarakat dan industri pangan
terutama terkait aspek keamanan pangan. Pemerintah menyediakan
saluran komunikasi yang mudah diakses dan dilacak agar masyarakat
dan akademisi dapat menyampaikan laporan, saran, keluhan, dan
perbaikan terhadap sistem pengawasan keamanan pangan di
perkotaan.
Sosialisasi dan implementasi tentang keamanan pangan segar dan
olahan, bahan tambahan pangan, proses pengolahan pangan yang
baik, sanitasi dan higiene produksi pangan di lingkungan rumah tangga
perlu dilakukan secara berkesinambungan hingga menumbuhkan
kesadaran dan mampu mengubah pola pikir, perilaku, dan pola
konsumsi masyarakat perkotaan. Sosialisasi dan pendampingan
terhadap industri pengolahan pangan terutama industri mikro/rumah
tangga, kecil, dan menengah terkait aspek sanitasi dan higiene,
keamanan bahan baku, pengolahan dan penggunaan BTP,
pengemasan, kontinuitas produksi, dan penjaminan mutu.
Ketaatan, komitmen, dan konsistensi industri pangan, skala
mikro/rumah tangga, kecil, menengah, dan besar, untuk
menghasilkan produk pangan yang aman, sehat, enak, dan seoptimal
mungkin menggunakan bahan baku/potensi lokal perlu terus
ditumbuhkan dan diupayakan. Kolaborasi hasil-hasil penelitian di
bidang teknologi pangan dapat terus diwujudkan melalui mekanisme
scale up sehingga dalam jangka panjang akan menjadi salah satu
produk unggulan dan kebanggaan masyarakat, serta mampu
menggerakkan perekonomian.
Terbentuknya jejaring informasi dan pemasaran yang informatif,
mudah diakses, dan terpercaya tentang potensi dan lokasi sumber
pangan lokal akan sangat membantu masyarakat perkotaan dan
industri untuk menghasilkan produk pangan unggulan yang
bersumber pada potensi lokal. Kondisi akan menurunkan

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 309
ketergantungan industri dan masyarakat perkotaan terhadap impor
bahan baku pangan.

PENUTUP

Smart environment dan smart living merupakan dua dari enam


karakteristik smart city. Smart environment terkait antara lain dengan
pemanfaatan lahan dengan bijak, efisiensi energi dan pemanfaatan
energi terbarukan; sementara smart living terkait antara lain dengan
kualitas kesehatan dan keamanan individu. Terbentuknya ketahanan
pangan melalui keterpenuhan pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan/individu, yang tercermin dari tersedianya pangan yang
cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi,
merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif,
dan produktif secara berkelanjutan merupakan salah satu komponen
terwujudnya smart living.
Ketahanan pangan masyarakat perkotaan tidak semata-mata
terwujud melalui swasembada pangan, namun merupakan sinergi atas
ketersediaan pangan (secara kuantitas dan kualitas), akses pangan,
kesesuaian kuantitas, kualitas, dan keragaman pangan berdasarkan
kebutuhan gizi masing-masing individu untuk kelangsungan hidup
anggota masyarakat perkotaan yang sehat dan aktif. Kesadaran
tentang keterbatasan persediaan pangan, pola konsumsi pangan yang
bijak, pemanfaatan teknologi dan informasi komunikasi yang tepat
untuk akses pangan, upaya bersama menjaga ketersediaan pangan
melalui pertanian perkotaan di tingkat rumah tangga perlu terus
ditumbuhkan dan diimplementasikan pada masyarakat perkotaan.
Pemerintah dan akademisi berkolaborasi merumuskan,
mengimplementasikan, memonitoring, dan mengevaluasi berbagai
program kerja untuk mewujudkan masyarakat perkotaan yang tahan
dan mandiri pangan di smart city.
Membangun komitmen dan konsistensi industri pangan, skala
mikro/rumah tangga, kecil, menengah, dan besar, untuk
menghasilkan produk pangan yang aman, sehat, enak, dan seoptimal
mungkin menggunakan bahan baku/potensi lokal. Pemerintah,

310 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
akademisi, masyarakat perkotaan dan industri pangan membentuk
jejaring informasi dan pemasaran yang informatif, mudah diakses, dan
terpercaya tentang potensi dan lokasi sumber pangan lokal akan
sangat membantu masyarakat perkotaan dan industri untuk
menghasilkan produk pangan unggulan yang bersumber pada potensi
lokal.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 311
DAFTAR PUSTAKA

Alice, M. and Foeken. D. (1996). Urban Agriculture, Food Security and


Nutrition in Low Income Areas of The City of Nairobi, Kenya.
African Urban Quarterly, 1996 11 (2 and 3) pp 170-179 © by
African Urban Quarterly Ltd.

Ariningsih, Ening dan Rachman, Handewi P.S. (2008). Strategi


Peningkatan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Rawan Pangan .
Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 6 No. 3, September
2008 : 239 – 255, http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.
php/akp/article/view/4314/3649
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2013).
Baumgartner, N. and Belevi. H. (2007). A Systematic Overview of
Urban Agriculture in Developing Countries. AWAG – Swiss Federal
Institute for Environmental Science & Technology.SANDEC – Dept.
of Water & Sanitation in Developing Countries
Brown, K.H. and Carter, A. (2003). Urban Agriculture & Community
Food Security in the U.S: Farming from the City Center to the
Urban Fringe. Primer prepared by Community Food Security
Coalition’s North American Urban Agriculture Committee.
http://www.foodsecurity.org/PrimerCFSCUAC.pdf.

Dewan Ketahanan Pangan. (2006). Kebijakan Umum Ketahanan


Pangan 2006 – 2009. Jakarta

Hanani, N. (2009). Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota.


http://nuhfil.lecture.ub.ac.id/files/2009/02/pertanian-kota-
ketahanan-pangan-nuhfil-journal.doc, diakses 9 September 2017

Hariyadi, P. (2002). Penguatan Industri Penghasil Nilai Tambah


Berbasis Potensi Lokal Peranan Teknologi Pangan untuk
Kemandirian Pangan. PANGAN, Volume 19 No. 4, Desember

312 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
2010:295-301, http://seafast.ipb.ac.id/publication/journal/
20101204-Penguatan-Industri-Penghasil-Nilai-Tambah.pdf
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Tahun 2015,
Pemantauan Status Gizi Dilakukan di Seluruh Kabupaten/Kota di
Indonesia. http://www.depkes.go.id/pdf.php?id=16032200005,
diakses pada 15 September 2017
Kementerian Pertanian. (2015). Rencana Strategis Kementerian
Pertanian Tahun 2015 - 2019, Biro Perencanaan, Sektretariat
Jenderal, Jakarta, http://bkp.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/
file/Renstra_BKP_2015-2019_1(1).pdf
Lestari, I., Riana, A.W., & Taftarzani, B.M. (2015). Pengaruh Gadget
pada Interaksi Sosial dalam Keluarga. Prosiding KS : Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat Volume 2, No. 2:147 – 300
Mazeereuw. (2005). Urban Agriculture Report. Region Waterloo.
Public Healt
Nugent, R. (2000). The impact of urban agriculture on the household
and local economies, In: Growing cities, growing food (Ed.: N.
Bakker, M. Dubbeling, S. Gündel, U. Sabel-Koschella and H. de
Zeeuw), DSA, Eurasburg, 76-97
Pinderhughes, R. (2004). Alternative Urban Futures: Planning for
Sustainable Development in Cities Throughout the World. Lanham,
Boulder, New York, Toronto, Oxford: Rowman & Littleield
Publishers.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. (2017). Data dan
Informasi Profil Kesehatan Indonesia 2016. Jakarta.
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/lain-
lain/Data%20dan%20Informasi%20Kesehatan%20Profil%20Keseh
atan%20Indonesia%202016%20-%20%20smaller%20size%20-
%20web.pdf, diakses 27 September 2017

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 313
Putra, Y.M.P. (2016). Angka Gizi Buruk di DIY Masih Tinggi. Antara.
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-
nasional/16/03/18/nasional/daerah/16/05/09/o6x0ds284-angka-
gizi-buruk-di-diy-masih-tinggi diakses 17 September 2017
Saliem, H.P., Purwoto, A., Hardono, G.S., Purwantini, T.B., Supriyatna,
Y., Marisa, Y. dan Waluyo. (2005). Manajemen Ketahanan Pangan
Era Otonomi Daerah dan Perum Bulog. Jakarta: PSEKP-Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

United Nations. (1984). Universal Declarationn of Human Rights,


http://www.ohchr.org/EN/UDHR/Documents/UDHR_Translations/
eng.pdf, diakses pada 31/08/2017
Yusiardi, P. (2015). Pengertian dan Manfaat dari Smart City.
http://purwo-unsada.blogspot.co.id/2015/12/pengertian-dan-
manfaat-dari-smart-city.html, diakses 3 Oktober 2017

314 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
PEMANFAATAN ILMU AKTUARIA DALAM
MEWUJUDK AN JAMINAN RISIKO BANJIR DI
DALAM KONSEP SMART CITY

Pramono Sidi

PENDAHULUAN

Smart City atau Kota Pintar direncanakan dengan menggunakan


model referensi untuk menentukan konsep tata letak kota yang
cerdas dan berkarakter. Kota Pintar ini pada intinya memiliki enam
dimensi yaitu ekonomi yang cerdas, mobilitas cerdas, lingkungan
pintar, individu yang cerdas, cerdas dalam hidup dan akhirnya
pemerintahan yang cerdas pula. Konsep Kota Pintar dapat digunakan
juga untuk mengevaluasi kemampuan perencanaan kota yang inovatif.
Setiap wilayah yang merupakan Kota Pintar sudah seharusnya
mempunyai infrastruktur yang bisa menjamin dan melayani
penduduknya terhadap segala jenis risiko.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 315
Penjaminan Risiko (Asuransi)
Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar istilah ‘risiko’.
Berbagai macam risiko, seperti risiko kebakaran, kecelakaan
berkendaraan di jalan, risiko terkena atau terdampak banjir di musim
hujan dan sebagainya, dapat menyebabkan kita menanggung kerugian
jika tidak cermat dalam mengantisipasi risiko-risiko tersebut sejak
awal. Oleh karena di dalam menjalankan kegiatan hidupnya manusia
akan selalu berhadapan dengan risiko, maka risiko menjadi sesuatu
yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Selanjutnya,
bagaimana pengertian risiko dalam asuransi?
Risiko (bahasa Inggris: "risk") merupakan dasar dari asuransi dan
oleh karena itu sebelum mempelajari asuransi secara detail perlu lebih
dulu dipahami arti dari risiko. Pengertian ‘risiko’ dalam asuransi adalah
“ketidakpastian akan terjadinya suatu peristiwa yang dapat
menimbulkan kerugian ekonomis (uncertainty of loss).
Definisi yang lebih sederhana diberikan oleh Kron (2005). Risiko
didefinisikan sebagai kombinasi dari probabilitas terjadinya peristiwa
tertentu dan probabilitas timbulnya kerusakan yang menimbulkan
kerugian jika peristiwa tersebut terjadi (Kron, 2005). Definisi
sederhana ini mengandung dua unsur yaitu: ketidakpastian
(uncertainty) dan kerugian (loss). Kerugian yang dimaksudkan dalam
definisi ini adalah kerugian daIam arti finansial (financial risk), artinya
kerugian tersebut dapat diukur secara finansial atau dinilai dengan
uang. Dalam artikel ini, risiko yang akan dibahas adalah risiko terhadap
banjir.
Asuransi merupakan transaksi pertanggungan yang melibatkan
dua pihak, yaitu tertanggung dan penanggung. Pihak penanggung
menjamin pihak tertanggung, bahwa tertanggung akan mendapatkan
penggantian terhadap suatu kerugian yang mungkin akan dideritanya,
sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula belum tentu akan
terjadi atau yang semula belum dapat ditentukan saat/kapan
terjadinya. Sebagai kontraprestasinya, pihak tertanggung diwajibkan
membayar sejumlah uang kepada pihak penanggung, yang besarnya
sekian persen dari besarnya pertanggungan. Sejumlah uang yang
dibayarkan oleh pihak tertanggung kepada penanggung disebut
“premi”.

316 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Ditilik dari berbagai sudut pandang, maka asuransi mempunyai
tujuan dan teknik pemecahan yang bermacam-macam. Dari segi
ekonomi, maka asuransi bertujuan mengurangi ketidakpastian hasil
usaha yang dilakukan oleh seseorang atau perusahaan dalam rangka
memenuhi kebutuhan atau mencapai tujuan. Dari segi hukum, tujuan
asuransi adalah memindahkan risiko yang dihadapi oleh suatu objek
atau suatu kegiatan bisnis kepada pihak lain. Dari segi tata niaga,
asuransi bertujuan membagi risiko yang dihadapi kepada semua
peserta program asuransi. Dari segi kemasyarakatan, asuransi
bertujuan menanggung kerugian secara bersama-sama antar semua
peserta program asuransi. Sementara itu, dari segi matematis, tujuan
asuransi adalah meramalkan besarnya probabilitas terjadinya risiko,
dan hasil ramalan tersebut dipakai sebagai dasar untuk
membagi/menyebar risiko kepada semua/sekelompok peserta
program asuransi. Hal ini dilakukan dengan menghitung besarnya
kemungkinan (probabilitas) dengan menggunakan Teori Kemungkinan
(Probability Theory), yang dilakukan oleh aktuaris maupun
underwriter.
Karakteristik dan representasi teoritis dari risiko dapat disajikan
dalam bentuk model stokastik dengan efek yang bersifat tetap dan
acak. Penanganan risiko dalam matematika dan aktuaria dilakukan
dengan cara membangun model parametrik untuk distribusi
banyaknya (besarnya) klaim. Harga premi yang berbasis pada biaya
risiko individu merupakan prinsip penentuan (perhitungan) tingkat
harga premi secara aktuaria. Harga premi yang dikenakan kepada
pemegang polis (tertanggung) merupakan perkiraan biaya masa
depan yang terkait dengan besarnya klaim yang akan ditanggung
perusahaan asuransi (pihak penanggung).
Pendekatan premi murni mendefinisikan harga polis asuransi
sebagai rasio dari estimasi semua biaya klaim waktu ke depan -yang
disiapkan untuk membayar kerugian yang dicakup dalam polis
asuransi- terhadap eksposur risiko, ditambah dengan beberapa biaya
tambahan, seperti biaya administrasi. Penentuan tingkat harga premi
asuransi kerugian didasarkan pada distribusi frekuensi klaim dan
distribusi kerugian. Frekuensi klaim didefinisikan sebagai banyaknya
klaim yang terjadi per unit eksposur yang diterima (Norberg, 2007).

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 317
Banjir
Banjir memiliki dua arti yaitu meluapnya air sungai disebabkan
oleh debit air yang melebihi daya tampung sungai pada keadaan curah
hujan tinggi, dan arti kedua adalah banjir merupakan genangan pada
daerah datar yang biasanya tidak tergenang (Suherlan, 2001).
Bencana banjir bisa juga merupakan aspek interaksi antara manusia
dengan alam yang timbul dari proses aktifitas manusia yang mencoba
menggunakan alam yang bermanfaat dan menghindari alam yang
merugikan (Suwardi, 1999).
Banjir dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi apabila
dikelompokkan akan didapatkan tiga faktor yang berpengaruh
tehadap banjir, yaitu unsur meteorologi, karakteristik fisik Daerah
Aliran Sungai (DAS), dan manusia. Unsur meteorologi yang
berpengaruh pada timbulnya banjir adalah intensitas, distribusi,
frekuensi, dan lamanya hujan berlangsung. Karakteristik DAS yang
berpengaruh terhadap terjadinya banjir adalah luas DAS, kemiringan
lahan, ketinggian, dan kadar air tanah. Pengaruh perubahan lahan
terhadap perubahan karakteristik aliran sungai berkaitan dengan
berubahnya areal konservasi dapat menurunkan kemampuan tanah
dalam menahan air. Hal tersebut dapat memperbesar peluang
terjadinya aliran permukaan dan erosi. Sedangkan unsur manusia
berperan pada percepatan perubahan penggunaan lahan seperti
hutan belukar yang lebat.
Dalam skala perkotaan, faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya banjir adalah:
1. Topografi. Kelandaian lahan sangat mempengaruhi timbulnya
banjir terutama pada lokasi dengan topografi datar dan
kemiringan rendah, seperti pada kota-kota pantai. Hal ini
menyebabkan kota-kota pantai memiliki potensi atau peluang
terjadinya banjir yang besar disamping ketersediaan saluran
drainase yang kurang memadai, baik saluran utama maupun
saluran yang lebih kecil.
2. Areal terbangun. Luasnya areal terbangun di kawasan perkotaan
akibat tingkat pembangunan fisik yang tinggi, berdampak pada
bidang peresapan tanah yang semakin mengecil.

318 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
3. Kondisi saluran drainase. Saluran drainase yang tidak memadai
akibat kurangnya pemeliharaan, dan rendahnya kesadaran
penduduk untuk membuang sampah pada tempatnya
menyebabkan terjadinya pendangkalan (Utomo, 2004).

Banjir karena luapan sungai adalah bencana alam yang paling


sering terjadi dan menimbulkan dampak kerusakan yang secara
finansial sangat mahal. Banjir akibat luapan sungai memberi dampak
luas pada sebagian besar negara-negara di dunia secara
teratur/periodik (UNISDR, 2011; IPCC, 2012). Selama beberapa dekade
terakhir, kerusakan ekonomi akibat banjir telah meningkat di sebagian
besar wilayah. Beberapa penelitian menyatakan bahwa sebagian
besar peningkatan ini dapat dikaitkan dengan pertumbuhan populasi
dan peningkatan taraf hidup di daerah rawan banjir (Barredo, 2009;
Bouwer et al., 2010; Kreft, 2011; UNISDR, 2011; Barredo et al., 2012).
Bencana alam khususnya banjir, frekuensi dan besarnya
meningkat. Oleh karena itu, biaya untuk mitigasi dan
kompensasinyapun menjadi meningkat (Munich Re [MR], 2001). Studi
tentang peristiwa banjir yang sudah sering terjadi menunjukkan
bahwa mayoritas kerugian timbul di daerah perkotaan, akibat
gangguan struktur, besarnya biaya bisnis yang macet dan kegagalan
infrastruktur (Environment Agency, 2010; Asian Development Bank
and World Bank, 2010). Instansi pemerintah, perusahaan asuransi dan
lembaga penelitian di banyak negara berkembang menggunakan
model kerusakan karena banjir untuk menilai dampak ekonomi akibat
banjir. Estimasi potensi terhadap kerusakan akibat banjir digunakan
untuk perencanaan penggunaan lahan, pemetaan risiko banjir, dan
analisis investasi biaya keuntungan yang dibutuhkan dalam
penanggulangan banjir (Charnwood Borough Council2003).
Kerusakan akibat banjir dapat dibagi menjadi empat jenis:
kerusakan yang berwujud langsung (misalnya kerusakan fisik akibat
kontak dengan air), berwujud tidak langsung (misalnya hilangnya
produksi dan pendapatan), tidak berwujud langsung (misalnya
hilangnya nyawa) dan tidak berwujud tidak langsung (misalnya
trauma). Metodologi dalam makalah ini hanya menyoroti aspek yang

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 319
berkaitan dengan estimasi kerusakan yang nyata (berwujud) dan
langsung.
Estimasi kerusakan akibat banjir yang berwujud langsung adalah
proses yang kompleks, melibatkan sejumlah besar faktor-faktor
hidrologi dan sosial ekonomi. Struktur, input dan output dari model
kerusakan spesifik dijelaskan tidak hanya oleh data yang tersedia,
tetapi juga oleh sifat-sifat model. Sebagai contoh, sementara
perusahaan asuransi membuat model perkiraan kerusakan yang
diasuransikan, instansi pemerintah dan akademisi lebih tertarik pada
penilaian yang akurat dari total besarnya kerugian ekonomis. Semua
model kerusakan yang dibangun didefinisikan berdasarkan tingkat
generalisasi, tetapi dengan tingkat signifikansi di antara model yang
bervariasi.
Hampir dalam semua model, faktor penentu ekspektasi kerusakan
yang digunakan saat ini adalah kedalaman banjir, tapi kadang-kadang
dilengkapi dengan parameter lain seperti kecepatan arus air, durasi,
pencemaran air, pencegahan dan peringatan dini (Messner et al.,
2007). Saat ini telah dikembangkan beberapa model multi-parameter
baru yang konseptual (Nicholas et al., 2001) atau dikembangkan (dan
divalidasi) untuk daerah yang spesifik, misalnya untuk Jepang (Zhai et
al., 2005) atau FLEMO untuk Jerman (Kreibich et al., 2010).
Namun, metode untuk estimasi kerusakan banjir yang paling
umum dan diterima secara internasional masih menggunakan metode
yang menerapkan fungsi-fungsi kedalaman-kerusakan (Smith & Ward.,
1988; Kelman & Spence, 2004; Meyer & Messner, 2005; Merz et al.,
2010; Green et al., 2011). Fungsi-fungsi kedalaman-kerusakan
tersebut menggambarkan hubungan antara kedalaman banjir dan
kerusakan moneter yang terjadi. Fungsi kedalaman banjir diketahui
memberikan ekspektasi kerugian terhadap properti yang spesifik atau
terhadap jenis penggunaan lahan, baik dalam persentase nilai aset
(fungsi relatif) atau langsung dalam syarat-syarat finansial (fungsi
absolut).
Terdapat tingkat ketidakpastian yang signifikan yang digambarkan
dalam bentuk kurva kerusakan, nilai aset dan kerangka metodologi
(Merz et al., 2004). Perbedaan dalam kerangka metodologi pada
model-model kerusakan banjir, misalnya dalam skala spasial

320 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
(berdasarkan objek vs daerah), jenis fungsi-kerusakan (fungsi absolut
vs relatif), kelas/kelompok kerusakan, berdasarkan biaya (biaya
pengganti vs biaya terdepresiasi) dan termasuk sejumlah karakteristik
hidrologi. Sementara beberapa model kerusakan ada yang dibangun
dengan menggunakan data kerusakan empiris, dan metode/model
lain yang didasarkan pada penilaian ahli dikombinasi dengan skenario
genangan buatan.
Pada umumnya dampak banjir dapat bersifat langsung maupun
tidak langsung. Dampak langsung relatif lebih mudah diprediksi
daripada dampak tidak langsung. Dampak yang dialami oleh daerah
perkotaan yang didominasi permukiman penduduk akan berbeda
dengan dampak yang dialami daerah perdesaan yang didominasi oleh
areal pertanian (Priyadarshinee et al., 2015).
Banjir juga merupakan bencana yang relatif paling banyak
menimbulkan kerugian. Kerugian yang ditimbulkan oleh banjir,
terutama kerugian tidak langsung. Banjir yang menerjang suatu
kawasan dapat membuat rumah menjadi berantakan, sehingga
menimbulkan kerugian (Karamouz et al., 2009). Penanganan kerugian
akibat banjir secara menyeluruh dan berkelanjutan menjadi tugas
serta tanggungjawab semua pihak, baik instansi teknis maupun
lembaga lain yang terkait serta masyarakat.
Untuk melakukan pemulihan perumahan dengan pembangunan
kembali, pemerintah dan organisasi kemanusiaan memang sudah
memberikan bantuan biaya. Namun, biaya yang diberikan oleh
pemerintah dan organisasi kemanusiaan tidak sepenuhnya dapat
mencukupi semua biaya pembangunan rumah yang diperlukan
(Jonkman et al., 2008; Paudel et al., 2013). Untuk itu, kesadaran
masyarakat dalam mengantisipasi penyediaan dana untuk mengatasi
biaya pembangunan kembali rumahnya yang rusak akibat banjir perlu
terus ditingkatkan, baik di wilayah perdesaan maupun kota (Sagala et
al., 2014).
Salah satu alternatif antisipasi penyediaan dana yang dapat
ditempuh adalah dengan cara menjadi peserta asuransi kerugian
banjir. Asuransi merupakan mekanisme untuk menghadapi risiko dan
memungkinkan kegiatan seperti pembayaran konpensasi yang
dijanjikan dapat dilakukan. Mekanisme dalam manajemen asuransi

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 321
mensyaratkan bahwa mekanisme tersebut dapat dijalankan setelah
bencana terjadi (Kousky & Shabman, 2014; Landry & Jahan-Parvar,
2009). Memang produk asuransi kerugian banjir ini sudah banyak
ditawarkan, dan sebagian masyarakat di kota/daerah yang terdampak
banjir sudah pula menjadi peserta asuransi tersebut. Ketika bencana
banjir terjadi, korban dapat mengklaim pembayaran keuangan untuk
mengganti dan membangun kembali rumah mereka yang hancur.
Selanjutnya, suatu hal yang perlu dilakukan oleh perusahaan
asuransi adalah secara periodik mengevaluasi perhitungan penetapan
besarnya premi. Hal ini penting dilakukan agar dapat dijaga
keseimbangan finansial antara peserta asuransi dengan perusahaan
penjaminan (Paudel et al., 2013). Artinya, besarnya premi tidak
memberatkan peserta asuransi, dan perusahaan asuransi juga tidak
mengalami kerugian akibat sejumlah klaim yang diajukan (Ermolieva
et al., 2013; Jongejan & Vrijling, 2009).

Perlindungan Terhadap Risiko Bencana Banjir


Dampak sistem bumi terhadap manusia sekarang ini begitu luas
sehingga sulit untuk mencari lokasi yang tidak dipengaruhi oleh
interaksi antara proses sistem bumi, manusia dan alam (Palmer et al.,
2004; Vorosmarty et al., 2004; Barnosky et al., 2012; Rockstrom et al.,
2009). Para ahli berpendapat bahwa dampak yang dialami manusia
sekarang begitu meluas. Setidaknya tiga dari sembilan batas planet
kini telah berubah, yaitu yang berkaitan dengan perubahan iklim,
hilangnya keanekaragaman hayati dan siklus nitrogen dan fosfor.
Dampak manusia yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk
serta hubungannya dengan konsumsi sumber daya, transformasi
habitat dan fragmentasi, konsumsi energi dan produksi serta dampak
yang terkait dengan bumi dan proses atmosfer mendefinisikan batas-
batas planet bumi sebagai ruang operasi yang aman bagi kemanusiaan
dikaitkan dengan proses biofisik dalam sistem bumi (Barnosky et al.,
2012; Rockstrom et al. 2009).
Dalam upaya mengatasi permasalahan akibat terjadinya banjir,
ada beberapa cara yang dapat dilakukan, salah satunya mengetahui
sebab-sebab terjadinya banjir dan daerah sasaran banjir, yang
tergantung pada karakteristik klimatologi, hidrologi, dan kondisi fisik

322 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
wilayah. Salah satu disiplin ilmu yang sangat berpengaruh dalam
penanggulangan masalah banjir adalah dengan bantuan aplikasi
Sistem Informasi Geografis (SIG) yang diterapkan untuk identifikasi
dan pemetaan kawasan berpotensi banjir (Purnama, 2008).
Upaya-upaya untuk mengatasi banjir telah dilakukan antara lain
dengan melakukan pengerukan sedimen, merehabilitasi tanggul
sungai untuk menambah kapasitas daya tampung debit sungai,
peningkatan kemampuan meresapnya air hujan dari setiap
penggunaan lahan baik daerah hulu maupun hilir, dan menghindari
daerah rawan banjir atau bantaran sungai sebagai tempat
pemukiman.
Setiap terjadi banjir, pemerintah dan beberapa organisasi sosial
selalu memberikan bantuan dana untuk perbaikan bangunan. Tetapi
bantuan yang diberikan sangatlah terbatas, sehingga tidak dapat
mencakup seluruh biaya kerugian, apalagi jika terjadi hilangnya nyawa
dalam musibah banjir. Disini, kehadiran produk asuransi untuk
menjamin risiko kerugian harta benda dan hilangnya nyawa sangatlah
penting.
Dalam perkembangannya, pola atau gaya hidup masyarakat
perkotaan di Indonesia saat ini sudah mulai berubah, yaitu menuju
pada kesadaran bahwa hidup manusia selalu mengandung risiko.
Besar kecilnya risiko tergantung dari perilaku manusia itu sendiri.
Salah satu yang terlihat signifikan adalah kesadaran masyarakat
tentang bagaimana masyarakat meminimalkan risiko yang dianggap
penting agar dapat menjalani kehidupan yang lebih baik (Sidi, 2016).
Disinilah peranan ilmu aktuaria dalam mewujudkan sistem
pertanggungan atau jaminan terhadap risiko, khususnya pada risiko
banjir.
Perlindungan terhadap bencana banjir membutuhkan koordinasi
yang terencana. Di negara maju, penanganan bencana banjir diatur
oleh suatu program yang dibuat oleh pemerintah yaitu Program
Asuransi Banjir. Program Asuransi Banjir dari pemerintah ini saling
bersubsidi dengan program asuransi banjir yang tersedia bagi pemilik
real estate atau rumah dan pemilik mobil yang terletak di daerah
bahaya banjir, sejauh komunitas peserta program asuransi banjir turut

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 323
berpartisipasi dalam Program Asuransi Banjir yang digagas
pemerintah.
Program Asuransi Banjir membutuhkan pemerintah sebagai badan
pengatur (regulator) keuangan dan pembuat peraturan asuransi
banjir. Aksi Perlindungan Bencana Banjir mengadopsi peraturan yang
telah dibuat pemerintah, dan melarang lembaga pemberi pinjaman
swasta untuk turut serta melakukan pengaturan (regulasi) –mulai dari
pembuatan, peningkatan, perluasan atau pembaharuan pinjaman
dengan cara meningkatkan jaminan real estate atau rumah,
meningkatkan jaminan mobil yang terletak atau berada di daerah
bahaya banjir- kepada komunitas yang berpartisipasi dalam Program
Asuransi Banjir, kecuali pihak properti memberikan pinjaman yang
aman yang di dalamnya mencakupi asuransi banjir.
Program Asuransi Banjir didisain untuk meningkatkan partisipasi
warga negara dalam Program Asuransi Banjir, dan meningkatkan
kepatuhan warga negara terhadap pemenuhan persyaratan asuransi
banjir sehingga keikutsertaan dalam program ini membantu
memberikan dana tambahan kepada Dana Asuransi Banjir dalam
rangka mengurangi beban keuangan dampak korban banjir.
Program Asuransi Banjir mempunyai dua bentuk yang berbeda,
yaitu program darurat dan program regular. Program Darurat Banjir
diperuntukkan bagi komunitas yang pertama kali masuk dalam
Program Asuransi Banjir. Program ini adalah program interim yang
menyediakan tingkat asuransi banjir yang lebih rendah pada struktur
yang memenuhi syarat untuk disubsidi. Dalam program ini dikeluarkan
peta daerah bahaya banjir yang menetapkan batas-batas bahaya
banjir untuk menentukan apakah properti berlokasi di daerah dataran
banjir. Selanjutnya, suatu komunitas yang telah menjadi anggota
Program Darurat Banjir akan diterima di Program Reguler setelah
melengkapi persyaratan khusus. Program Reguler menyediakan
cakupan asuransi penuh untuk struktur yang memenuhi syarat dan
memerlukan tambahan tanggung jawab manajemen banjir bagi
masyarakat.
Untuk masuk dalam Program Reguler, suatu komunitas akan
diteliti dan dipelajari secara rinci, serta apabila telah dinyatakan
lengkap akan langsung masuk dalam Program Reguler. Selanjutnya,

324 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
peta tingkat asuransi banjir untuk wilayah segera dikeluarkan oleh
Pemangku Daerah Bahaya Banjir. Peta pada Program Reguler
menggambarkan masyarakat disertai tingkat bahaya dari peluang
banjir, serta mencakup identifikasi wilayah yang lebih spesifik
dibandingkan peta batas bahaya banjir yang digunakan pada Program
Darurat Banjir. Peta tersebut juga menunjukkan dasar peningkatan
banjir yang menggambarkan kedalaman atau ketinggian banjir.
Program Asuransi Banjir meng-cover (mencakupi, melingkupi)
properti perumahan yang terletak atau berada di daerah yang
memiliki bahaya banjir khusus. Pada umumnya setiap struktur yang
diasuransikan memberlakukan polis asuransi yang terpisah, meskipun
Daerah Bahaya Banjir tidak memberikan pertimbangan khusus untuk
beberapa bangunan non hunian. Berikut jenis struktur yang
memenuhi syarat untuk cakupan Program Asuransi Banjir:
a. bangunan perumahan, industri, komersial, dan pertanian dengan
struktur berdinding dan beratap, dan yang terutama berdiri atas
tanah,
b. bangunan berkonstruksi dengan pinjaman pembangunan
digunakan untuk membangun dan melakukan perbaikan
bangunan di atas tanah, dan dalam hal ini asuransi dibeli dengan
mengikuti konstruksi bangunan baru,
c. kondominium, dan
d. cakupan asuransi banjir juga disediakan untuk properti pribadi dan
peraturan asuransi lain untuk real property. Properti yang
diasuransikan kondisinya harus memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan dalam peraturan asuransi

Struktur-struktur yang tidak memenuhi syarat untuk Program


Asuransi Banjir adalah:
a. tanah kosong, jembatan, bendungan dan jalan,
b. tenda untuk kemah,
c. bus atau van,
d. seluruh isi bangunan di dalam atau di atas air, dan
e. bangunan baru.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 325
Skema kompensasi yang efektif untuk penanganan bencana banjir
disiapkan agar dapat memperbaiki dampak banjir. Pasar asuransi di
negara-negara Masyarakat Eropa ditata dengan berbagai aturan, dan
skema kompensasi kerugian banjir tersebut berbeda-beda untuk
masing-masing negara (Schwarze & Wagner, 2009). Perbedaan ini
sebagian muncul dari adanya beragam pandangan tentang peran
asuransi swasta atau sektor publik yang harus bermain pada
kompensasi kerugian bencana alam, dan juga mungkin dipengaruhi
oleh perbedaan karakteristik dari risiko banjir yang dihadapi oleh
masing-masing negara (Bouwer et al., 2007).
Sebuah kendala yang mungkin akan menghambat sistem asuransi
banjir berfungsi dengan baik adalah keberadaan individu-individu
tidak "memainkan peran" dalam sistem asuransi tersebut dan
membeli asuransi. Beberapa studi menunjukkan bahwa dalam
praktiknya banyak individu tidak berfikir secara rasional dalam
menimbang antara biaya asuransi (premi) yang harus
dikeluarkan/dibayarkan dengan besarnya manfaat yang akan
diperoleh sehingga dapat mengurangi tingkat risiko.
Ekspektasi asuransi dalam mengurangi tingkat risiko telah
diasumsikan dalam teori utilitas yang merupakan salah satu teori
dalam ekonomi tradisional tentang pengambilan keputusan individual
di bawah tekanan risiko (Kunreuther, 1973; Kunreuther & Pauly, 2004;
Krantz & Kunreuther, 2007). Fakta di negara maju seperti Amerika
Serikat tidak sejalan dengan teori utilitas ini.
Contoh ketidakmampuan masyarakat Amerika Serikat berpikir
rasional adalah banyaknya pemilik rumah di negara tersebut yang
tidak membeli asuransi banjir, bahkan untuk membeli premi atas
ekspektasi kerugian yang sudah di depan mata, atau bahkan dalam
beberapa kasus preminya disubsidi (Dixon et al., 2006). Fakta tersebut
bertentangan dengan ekspektasi teori utilitas yang memprediksi
bahwa individu akan meminimalkan risiko dengan membeli premi
asuransi banjir. Dengan demikian, banyak orang yang mengabaikan
peluang mengurangi risiko terhadap bencana banjir. Penelitian-
penelitian lain menyimpulkan bahwa banyak juga orang yang terlalu
melebih-lebihkan dengan berpendapat bahwa peluang mengurangi
risiko banjir dengan membeli asuransi atas banjir justru berdampak

326 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
tinggi dalam menambah kerugian bagi pembeli polis asuransi, apalagi
jika preminya jauh di atas kerugian yang diperkirakan (Botzen et al.,
2009;. Laury et al., 2009).
Untuk mengevaluasi program pinjaman dan asuransi, digunakan
data nilai properti yang dikumpulkan oleh Survei Properti Residensial
dan Komersial (Robillard, 1975). Setiap properti yang digunakan untuk
penelitian diklasifikasikan menurut ukuran dan kondisi bangunan, nilai
perabot interior, dan ada atau tidaknya ruang bawah tanah. Dengan
data dan informasi tahap-tahap kerusakan, dimungkinkan untuk
memperkirakan potensi kerusakan berdasarkan nilai tunai aktual dari
setiap properti.

Pemodelan Matematika
Pemodelan Matematika merupakan salah satu tahap dari
pemecahan masalah matematika. Model merupakan simplifikasi atau
penyederhanaan fenomena-fenomena nyata dalam bentuk
matematika. Model matematika yang dihasilkan, dapat berupa bentuk
persamaan, pertidaksamaan, sistem persamaan atau lainnya terdiri
atas sekumpulan lambang yang disebut variabel atau besaran yang
kemudian di dalamnya digunakan operasi matematika seperti tambah,
kali, kurang, atau bagi. Dengan prinsip-prinsip matematika tersebut,
dapat dilihat apakah model yang dihasilkan telah sesuai dengan
rumusan sebagaimana formulasi masalah nyata yang dihadapi.
Hubungan antara komponen-komponen dalam suatu masalah yang
dirumuskan dalam suatu persamaan matematik yang memuat
komponen-komponen itu sebagai variabelnya, dinamakan model
matematik, dan proses untuk memperoleh model dari suatu masalah
dikatakan pemodelan matematika.
Ada beberapa model matematika yang akan diperkenalkan oleh
penulis dalam kaitannya dengan kemampuan model tersebut
mengatasi masalah banjir, seperti yang akan dijelaskan secara singkat
berikut ini.
Pengendalian banjir dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
metode struktur dan non-struktur. Metode struktur secara garis besar
dapat dilakukan dengan cara perbaikan, pengaturan sistem sungai dan
mendirikan bangunan pengendali banjir. Sedangkan metode non-

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 327
struktur dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya adalah
dengan melakukan prediksi potensi terjadinya banjir, dan ini bisa
menggunakan suatu pemodelan matematika.
Penggunaan model matematika dapat untuk mengurangi
kesalahan dan mengefisienkan waktu dalam proses perhitungannya.
Salah satu model yang sangat terkenal, yang dapat digunakan untuk
melakukan prediksi potensi terjadinya banjir adalah model
Muskinghum (Hendri & Inra, 2007). Model Muskinghum termasuk
model yang cukup akurat dalam memperkirakan debit banjir dengan
tingkat kesalahan 14 persen, dan kesalahan prediksi waktu debit
puncak rata-rata 0,16 jam (Hendri & Inra, 2007).
Prinsip dasar penyeselesaian perhitungan banjir dengan metode
Muskinghum adalah kelengkapan data pengukuran debit pada bagian
hulu dan hilir sungai yang didapatkan pada waktu bersamaan.
Pengukuran ini sangat penting untuk mendapatkan nilai tampungan
yang terjadi pada penampang sungai yang ditinjau. Nilai ini yang akan
digunakan untuk menentukan besar faktor pembobot x dan koefisien
tampungan k (Arifiani, 2008).
Pada umumnya, perhitungan dalam penelusuran banjir melalui
palung sungai secara manual sukar untuk diselesaikan dalam waktu
singkat, karena waktu t harus dibagi menjadi periode-periode Δt
yang lebih kecil. Periode waktu tersebut dinamakan periode
penelusuran (routing period), dan memerlukan penyelesaian dengan
model numerik untuk menghasilkan nilai yang lebih valid (Hendri &
Inra, 2007).
Penggunaan metode Muskinghum dalam penelusuran banjir
dilakukan dengan asumsi bahwa:
(a) tidak ada anak sungai yang masuk ke dalam bagian memanjang
dari palung sungai yang diobservasi, dan
(b) pertambahan dan berkurangnya air karena curah hujan, aliran
masuk dan keluar air tanah, serta evaporasi, dianggap tidak ada.

Dalam model ini, untuk bagian sungai yang memanjang, waktu


tempuh t dibagi menjadi periode-periode penelusuran Δt yang lebih
kecil, sehingga selama periode penelusuran t , puncak kejadian
banjir tidak dapat menutup bagian memanjang sungai secara

328 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
menyeluruh. Selanjutnya, secara umum persamaan kontinuitas yang
digunakan dalam penelusuran banjir adalah:

dS
= I-Q (1)
dt

dengan I adalah debit air yang masuk ke dalam permulaan bagian


memanjang palung sungai yang diobservasi dengan satuan m3 / s ; Q
adalah debit yang keluar dari akhir bagian memanjang palung sungai
yang diobservasi dengan satuan m3 / s ; dS adalah perubahan
besarnya daya tampung (storage) dalam bagian panjang palung sungai
yang diobservasi dengan satuan m 3 ; dan dt adalah periode
penelusuran dengan satuan detik, menit, jam atau hari.
Jika periode penelusuran diubah dari dt menjadi t , maka
persamaan-persamaan yang digunakan adalah:
I I Q  Q2
I  1 2 dan Q  1 (2)
2 2
Karena dS  S2  S1 , maka persamaan (1) dapat dinyatakan
sebagai
I  I Q  Q2
dS  S2  S1  1 2  1 (3)
2 2
dengan I1 debit air masuk pada saat permulaan periode
penelusuran, dan I2 debit air masuk pada saat akhir periode
penelusuran. Besarnya I1 dan I2 dapat diketahui dari pengukuran
dengan hidrograf debit air masuk. Besarnya Q1 dan S1 diketahui dari
periode, sedangkan Q2 dan S2 belum diketahui ukurannya sehingga
memerlukan pengukuran.
Menurut Hendri dan Inra (2007), hubungan antara S dan Q pada
palung sungai dapat dinyatakan dengan

S  k xI  1  x  Q (4)

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 329
dengan k konstanta dan x bobot (weight) yang besarnya 0  x  1
(biasanya x  0,5 ); dan dalam banyak hal nilai x besarnya kira-kira
0,3. Menurut Hendri dan Inra (2007), untuk sungai-sungai yang terjadi
karena bentukan alam maka besarnya x adalah 0,2  x  0,3 .
Semakin curam kemiringan sungai, semakin besar nilai x , dan pada
kasus tertentu x dapat bernilai negatif. Jika S berdimensi volume,
I dan Q berdimensi debit air, maka k harus berdimensi waktu (detik,
menit, jam atau hari).
Berdasarkan persamaan (4), dapat dibuat persamaan-persamaan
sebagai berikut:
S1  k xI1  1  x  Q1  (5)
S2  k xI2  1  x Q2  (6)

Selanjutnya, berdasarkan persamaan-persamaan (2), (3), (5) dan


(6) dapat dibentuk persamaan sebagai berikut:
Q2  c0I0  c1I1  c2I2 Q1 (7)
dengan
kx  0,5t
c0  (8)
k  kx  0,5t
kx  0,5t
c1  (9)
k  kx  0,5t
k  kx  0,5t
c2  (10)
k  kx  0,5t
dan memenuhi
c0  c1  c2  1 (11)

Konstanta k dan bobot x harus ditentukan secara empiris dari


pengamatan debit air masuk dan keluar dalam waktu bersamaan.
Analisis statistika yang sering dimanfaatkan untuk melihat
hubungan antara dua variabel atau lebih yang saling berkorelasi dalam
suatu DAS adalah analisis regresi (Asdak, 2010). Ada beberapa cara
untuk menentukan seberapa jauh model matematis yang berupa
analisis regresi sederhana mampu menjelaskan data yang ada. Sesuai

330 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
atau tidaknya model matematis tersebut dengan data yang digunakan
dapat ditunjukkan dengan mengukur besarnya nilai r 2 yang disebut
koefisien determinasi (coefficient of determination). Koefisien
determinasi dalam statistika dapat diinterpretasikan sebagai proporsi
dari variasi yang ada dalam nilai y yang dijelaskan oleh model
persamaan regresi. Dengan kata lain, koefisien determinasi
menunjukkan seberapa jauh kesalahan dalam memperkirakan
besarnya nilai y dapat direduksi dengan menggunakan informasi yang
dimiliki variabel x . Model persamaan regresi dianggap sempurna
apabila nilai r 2  1 . Sebaliknya, apabila variasi yang ada pada nilai y
tidak ada yang bisa dijelaskan oleh model persamaan regresi yang
diajukan, maka nilai r 2  0 . Dengan demikian, model persamaan
regresi dikatakan semakin baik apabila besarnya r 2 mendekati 1
(Asdak, 2010).
Secara matematis, besarnya koefisien determinasi dihitung
dengan rumus yang diberikan pada persamaan (12) berikut ini:
  x   y  
2

   xi yi  
i i

 n 
r2   
(12)
      
  xi 2   i    yi 2   i 

2 2
x y
 n  n 
  
2
dengan r = koefisien determinasi, n = jumlah data, dan xi , yi = data
pengamatan lapangan.
Selain koefisien determinasi, terdapat koefeisien korelasi yang
dapat menunjukkan kuatnya hubungan antara dua variabel, misalnya
fluktuasi debit dengan curah hujan atau tataguna lahan. Kedua
variabel ini mempunyai hubungan sebab-akibat. Koefisien korelasi
merupakan ukuran kuantitatif untuk menunjukkan “kuat”nya
hubungan antara kedua variabel tersebut. Meskipun demikian, fakta
lapangan menunjukkan bahwa fluktuasi debit aliran yang berkorelasi
dengan presipitasi atau tataguna lahan tidak selalu memberikan
implikasi bahwa setiap perubahan pola presipitasi atau tataguna lahan
akan selalu mengakibatkan terjadinya perubahan debit aliran (Asdak,

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 331
2010). Selain menggunakan model regresi linier sederhana, kerugian
material yang diakibatkan oleh banjir dapat dievaluasi dengan
menggunakan model regresi linear ganda.
Pemodelan matematika juga digunakan untuk menganalisis model
evaluasi premi asuransi terhadap risiko kerusakan bangunan akibat
banjir. Misalkan F adalah himpunan variabel acak non-negatif yang
didefinisikan pada ruang probabilitas  , K , P  . Variabel acak F
disebut sebagai risiko yang dihadapi oleh penanggung (insurer), dalam
hal ini adalah perusahaan asuransi. Misalkan pula H adalah fungsi
yang dijadikan sebagai dasar perhitungan premi, artinya fungsi
H merupakan pemetaan dari himpunan F yang nilai-nilainya berada
dalam himpunan bilangan real non-negatif. Dalam hal ini, fungsi H
menyatakan suatu nilai dari variabel risiko, yaitu premi asuransi.
Fungsi H memiliki sifat-sifat dasar sebagai berikut (Mircea et al.,
2008):
a. independensi, artinya bahwa H  X  hanya bergantung pada fungsi
distribusi kumulatif dari variabel acak X ,
b. risiko beban (loading risk), artinya H  X   E  X  , untuk setiap
X  F , dengan E  X  adalah nilai ekspektasi dari variabel acak X ,
c. kerugian maksimum (maximum loss), artinya bahwa
H  X   H sup X  , untuk setiap X  F , sehingga besar premi
tidak melebihi nilai perhitungan dasar untuk kemungkinan
besarnya kerugian,
d. translasi invarian, artinya H  X  a   H  X   a , untuk setiap X  F
dan untuk setiap a  0 ,
e. skala invarian atau homogenitas derajat satu (homogenity of
degree one), yang menyatakan H bX   bH  X  , untuk setiap
X  F dan untuk setiap b  0 ,
f. kemonotonan (monotony), artinya jika X    Y   , untuk setiap
  , maka H  X   H Y  ,
g. kedominanan stokastik tingkat pertama (the first order stochastic
dominance), berarti jika SX  X   SY t  , untuk setiap t  0 , maka

332 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
H  X   H Y  , dengan SX  t   Pr  X  t  merupakan fungsi
survival.
h. kekontinyuan (continuity), artinya lim H max  X  a;0   H  X  ,
a 0

dan lim H max  X , a   H  X  .


a 

Selanjutnya, untuk perhitungan premi dapat dilakukan dengan


menggunakan beberapa metode pendekatan. Mengacu pada Mircea
et al. (2008), perhitungan besarnya nilai ekpektasi premi dapat
dilakukan dengan menggunakan persamaan (13):

H  X   1    E  X  ,   0 (13)

Sedangkan besarnya nilai variansi premi dapat dihitung dengan


menggunakan persamaan:
H  X   E  X    Var  X  ,   0 (14)

Dengan demikian, besarnya nilai standar deviasi premi dihitung


menggunakan persamaan:
H  X   E  X   Var  X  ,   0 (15)
Selain perhitungan besar premi dengan persamaan ((13), (14), dan
(15)), terdapat metode perhitungan premi lainnya seperti metode
Esscher (persamaan(16)), pendekatan proportional hazard
(persamaan (17)), model Wang (persamaan (19)), model Swiss
(persamaan (20)), dan model Dutch (persamaan (21)).
Perhitungan besar premi dengan metode Esscher dilakukan
dengan menggunakan persamaan (16) berikut ini:

E  X  e X 
H  X    X  (16)
E e 

Berdasarkan pendekatan proportional hazard, premi merupakan


fungsi yang berbentuk:

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 333

H  X     S X t   dt , 0  c  1
c
(17)
0

dengan S X  t  fungsi survival.

Selanjutnya, dalam prinsip kesetaraan, utilitas u dinyatakan pada


persamaan (18):

u w   E u w  X  H  (18)

dimana u   adalah fungsi utilitas (tidak menurun dan cembung) dari


penanggung, dan w adalah cadangan (endowment) awal. Prinsip ini
didasarkan pada asumsi bahwa H adalah premi minimum yang
bersedia diterima penanggung untuk menutupi risiko yang diajukan
oleh tertanggung. Ruas kanan persamaan (18) merupakan nilai
ekspektasi dari utilitas asuransi dalam kasus penanggung menerima
untuk risiko X dan premi H .
Perhitungan premi menurut model Wang disajikan pada
persamaan (19) berikut ini:

H  X    g  Sx t   dt (19)
0

dengan g :  0,1   0,1 adalah fungsi naik dan cembung.

Sedangkan, perhitungan premi model Swiss diberikan pada


persamaan (20):
E u  X  pH   u 1  p H  (20)

dengan fungsi u   mempunyai karakteristik suatu fungsi utilitas,


yaitu tak-turun dan cembung, serta parameter p   0,1 .
Selanjutnya, perhitungan premi model Dutch dinyatakan pada
persamaan (21) sebagai:

334 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
H  X   E  X     E  X    E  X   ,   0 dan 0    1 (21)

Variabel acak X mempunyai berbagai penafsiran, seperti jumlah


kerugian, ukuran kompensasi kerusakan, indeks kompensasi (yaitu
rasio antara jumlah penggantian klaim dan nilai pertanggungan).
Dalam model Dutch, dipertimbangkan risiko bencana yang terjadi
pada setiap tahun j . Selanjutnya, untuk keperluan perhitungan
digunakan notasi berikut ini:
 j premi satuan (biasanya untuk tertanggung 1 satuan moneter)
untuk tahun j .
Rc  j  cadangan provisi yang diakumulasikan hingga tahun j ,
digunakan untuk meng-cover risiko kerusakan terhadap
bangunan akibat banjir.
 bagian yang dihitung dari premi, untuk menambah cadangan
dana.
u0 cadangan awal (endowment).
 kuota risiko yang digunakan (diambil) pada reasuransi.
c proporsi dari premi yang diterima (kontan) dalam tahun
j yang diberikan untuk pembayaran konpensasi.
Nj banyaknya kontrak asuransi dalam tahun j .
Vj nilai rataan dari suatu kontrak, dalam tahun j .
nj banyaknya klaim reimbursements yang diberikan (offered)
dalam tahun j .
vj nilai ekspektasi dari suatu pembayaran konpensasi.

dengan jumlah uang semuanya dinyatakan dalam unit moneter


(monetary unit) yang sama.
Selanjutnya, evaluasi perhitungan premi dilakukan menggunakan
persamaan (22) berikut (Mircea et al., 2008):

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 335
(1   k )  nk  vk  Rc (k)  (1   k )  c  Nk Vk k
k n
1
 
j  k 1
j  N j Vj . j  (1   j ) 
(1  i) j k 1
(22)

k 1
dengan Rc (k)  u0    j  N j Vj  j  (1   j )  (1  i)k  j 1 dan i tingkat
j 1
bunga tahunan.
Program bantuan alternatif telah dievaluasi dengan
membandingkan biaya penyediaan bantuan bencana untuk korban
banjir sehingga rasio tersebut setara antara swasta dan pemerintah.
Biaya swasta untuk individu dapat diukur secara langsung melalui
biaya premi asuransi yang dibayar individu. Sedangkan biaya
pemerintah timbul ketika dimunculkan subsidi untuk mengurangi
premi yang dibayar oleh individu, dengan ketentuan biaya asuransinya
dikalkulasi berdasarkan perhitungan aktuaria. Manfaat bagi individu
tergantung pada tingkat penggantian nantinya terhadap kerugian
karena banjir.
Pinjaman tidaklah sama dengan asuransi "murni" karena pada
pinjaman tidak ada beban sebelum kerugian. Program pinjaman tidak
mengurangi ketidakpastian kerugian yang dialami, tetapi hanya
mengurangi besarnya biaya yang dikeluarkan untuk kerugian yang
tidak terjadi. Pelaksanaan program pinjaman memungkinkan individu
untuk menggeser beban kerugian kepada pemerintah pada saat
bencana, dan dengan demikian asumsinya menunda ulang kerugian
sampai pembayaran pinjaman kembali.
Evaluasi program pinjaman terpusat pada biaya pengembalian
yang didiskon atas dasar pembayaran tahunan, seperti yang
dinyatakan dalam model matematika pada persamaan (23) berikut ini.

 i  N 1 
C *   LN       (23)
 1  1  i    k 1 1  r  
N k

dengan N adalah masa jatuh tempo, i adalah tingkat pinjaman


kredit, r adalah biaya pinjaman individu, dan LN adalah jumlah

336 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
pokok pinjaman sama dengan jumlah kerugian yang terjadi (Selby,
1968).
Jika i  r maka nilai sekarang dari biaya pengembalian sama
dengan pokok pinjaman. Dalam kasus pasar modal yang tidak
sempurna, maka i  r , artinya nilai sekarang biaya pinjaman kurang
dari pokok pinjaman awal. Perbedaan ini (subsidi implisit)
memungkinkan pinjaman berfungsi sebagai alternatif untuk asuransi
banjir.
Pengembalian modal bersih dari bantuan hibah diketahui tetap,
sedang manfaat dari program pinjaman ditentukan oleh perbedaan
antara suku bunga kredit aktual dengan biaya pinjaman secara
individu [lihat persamaan (27)].
Jika suku bunga kredit sama dengan biaya pinjaman pemerintah,
maka manfaat pinjaman ini diberikan tanpa biaya eksplisit terhadap
pemerintah. Hal ini serupa dengan subsidi pinjaman yang terbentuk
oleh penghapusan ketidakekuitasan yang terjadi di pasar uang. Jika
suku bunga kredit ditetapkan di bawah biaya pinjaman berdasar
aturan pemerintah, secara eksplisit tetap ada biaya yang
diakibatkannya.
Tingkat subsidi tambahan mengharuskan pemerintah membayar
perbedaan biaya yaitu antara biaya tahunan peminjam pada suku
bunga kredit aktual  i  dengan jumlah peminjam yang akan dibayar
dengan tingkat bunga dari pemerintah, yang didefinisikan oleh  g  .
Diskon selama masa pinjaman sebagai biaya subsidi pinjaman
pemerintah ini secara matematis dapat dinyatakan dengan persamaan
(24) sebagai berikut:

  i  N 1  
SG  LN 1     
k  (24)
  1  1  i    k 1 1  g   
N

Bentuk subsidi kedua yang terlibat dalam program pinjaman


adalah pengurangan kewajiban pajak untuk kerugian korban dan
pembayaran bunga. Jika individu memiliki tarif pajak efektif  t  , unsur
kerugian korban secara sederhana dinyatakan dengan
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 337
SCL   LN t  (25)

dengan LN adalah jumlah kerugian yang tidak diganti, seperti dugaan


sebelumnya. Nilai sekarang dari pajak untuk pembayaran bunga
pinjaman dihitung dengan menggunakan model persamaan
matematis (26) sebagai berikut

N  1   1  i   N  k 1   1 
SIP   LN  t  i      (26)
k 1  1   1  i 
  1  g  
N k

dengan besaran dalam tanda kurung pertama adalah proporsi saldo
pinjaman dalam periode dan diskonto dihitung pada suku bunga
pinjaman yang lebih rendah g untuk menjamin evaluasi subsidi yang
sama baik oleh pemerintah maupun individu. Dengan demikian, total
nilai transfer subsidi pajak menjadi

 N 
1  1  i 
 N  k 1
  1  
ST   LN  t  1   i     
k 
(27)
k 1  1   1  i    1  g   
N
 

Bentuk subsidi yang ketiga melibatkan bantuan hibah pemerintah


untuk mengurangi jumlah modal terhadap pengembalian.
Ketersediaan hibah bantuan tersebut umumnya bervariasi sesuai
dengan keprihatinan tentang besar dan keparahan terhadap kerugian
bencana.
Secara keseluruhan, biaya program pinjaman kepada individu
ditentukan oleh tingkat bunga pinjaman, biaya pinjaman individu, dan
tarif pajak individu. Model matematis untuk menyatakan biaya ini
diberikan pada persamaan (28) sebagai berikut (Rettger & Boisvert,
1978).

C   C *  ST (7d) (28)

338 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Faktor-faktor serupa yang menentukan biaya program pinjaman
kepada pemerintah dapat dihitung dengan menggunakan model
matematis (29) sebagai berikut

S  SG  ST (29)

Namun, jika bantuan hibah tersedia, dasar perhitungan biaya


pinjaman adalah  LN  F  , dengan perubahan yang mempengaruhi
baik biaya dari program pinjaman individu dan pemerintah.
Evaluasi langsung dari program-program alternatif ini adalah sulit
karena kerusakan banjir bervariasi dari tahun ke tahun dan tidak dapat
diprediksi dengan pasti. Oleh karena itu, perkiraan empiris biaya
program dan penggantian ditentukan dengan menggunakan model
simulasi. Beberapa metode pendekatan tersebut di atas digunakan
untuk menghitung dan mengevaluasi premi dalam studi kasus-studi
kasus yang membahas tentang premi asuransi banjir. Masih banyak
model-model matematik yang digunakan untuk mengevaluasi tingkat
kerugian karena banjir.

Masalah Penjaminan Risiko terhadap Banjir di Indonesia


Dalam buku Catastrophe! The 100 Greatest Disasters of All Time
karya Stephen J. Spignesi, dua bencana di Indonesia masuk peringkat
ke-22 dan 30. Letusan Gunung Tambora di Sumbawa tahun 1815
merenggut 150.000 jiwa dan menurunkan suhu bumi. Adapun letusan
Gunung Krakatau tahun 1883 menelan 36.000 nyawa. Jika buku
tersebut disusun setelah tsunami Aceh, bencana yang merenggut
nyawa sekitar 300.000 jiwa itu akan bertengger di posisi ke-18.
Pada tanggal 27 Mei 2006 gempa meluluhlantakkan Yogyakarta
dan sekitarnya. Info yang dirilis oleh website Satuan Koordinasi
Pelaksana (Satkorlak) per 27 Juni 2006, terdapat 5.778 korban tewas
dan 37.883 luka. Sebanyak 612.000 lebih rumah dan fasilitas umum
rusak. Kerugian material diperkirakan Rp 29,2 triliun. Sejak tsunami
Aceh pada akhir 2004 hingga saat ini, setidaknya terjadi lima bencana
besar, seperti longsor di TPA Leuwigajah, gempa Nias, gempa
Yogyakarta, lumpur panas Sidoarjo, dan banjir di Sinjai dan sekitarnya.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 339
Perbincangan mengenai gempa bumi dan tsunami di wilayah
selatan Pulau Jawa dan dampak negatifnya serta kesulitan yang
dihadapi pemerintah dalam menolong rakyatnya masih terus
dilakukan. Data korban jiwa dan harta benda belum selesai dihimpun.
Entah berapa lagi korban manusia dan harta benda yang tertelan
peristiwa itu. Dari aspek geografis, klimatologis, dan geologis,
Indonesia berada di bawah ancaman bencana alam. Berada di antara
dua benua dan dua samudra, serta puluhan gunung api aktif,
Indonesia sangat rawan tanah longsor, badai, dan letusan gunung
berapi. Belum lagi ancaman banjir dan kekeringan.
Posisi Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga lempeng
benua, yaitu lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik, menjadikan
wilayah Indonesia termasuk dalam Pacific Ring of Fire yang bisa
menimbulkan gempa dahsyat. Dari aspek demografis, besarnya
populasi dapat memicu bencana kerusuhan atau bencana akibat ulah
manusia (man made disaster). Atas dasar itulah Rancangan Undang-
Undang Penanggulangan Bencana (RUUPB) diusulkan DPR.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana direncanakan meliputi
empat bidang, yaitu pengurangan risiko bencana, penanganan
tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi, serta penatakelolaan
bencana. RUUPB didesain untuk menggeser cara pandang respons
darurat yang berorientasikan jangka pendek menuju ke arah
manajemen risiko bencana (catastrophe risk management) yang lebih
menjamin keberlangsungannya (sustainability).Namun sayang, RUUPB
sama sekali tidak menyinggung aspek asuransi.
Sebagai salah satu teknik pengelolaan risiko, tak perlu disangsikan
bahwa asuransi dapat berkontribusi pada tahap mitigasi risiko
bencana, tahap rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Pada
tahapan mitigasi risiko, perusahaan asuransi bisa berpartisipasi
sebagai pihak yang memberikan edukasi kepada masyarakat
mengenai cara-cara memperkecil kerugian akibat bencana. Dalam
kasus bencana alam, beberapa jenis asuransi bisa memberikan ganti
rugi, dengan frekuensi tersering dimulai dari asuransi harta benda,
asuransi kendaraan bermotor, asuransi kecelakaan diri, asuransi jiwa,
atau asuransi kesehatan.

340 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Asuransi harta benda yang diperluas dengan jaminan risiko gempa
bumi, rusaknya bangunan akibat gempa bumi atau tsunami bisa
mendapatkan penggantian dari perusahaan asuransi. Juga tersedia
asuransi bencana, seperti banjir, tanah longsor, letusan gunung
berapi, atau bahkan kerusuhan sosial, yang selalu inheren dengan
bencana adalah korban manusia. Asuransi kecelakaan diri bisa
memberikan penggantian biaya pengobatan atau memberi santunan
cacat. Jika korban tewas, asuransi jiwa akan memberikan santunan
kepada ahli waris. Bencana juga selalu menimbulkan pengungsi yang
sering kali rentan terserang penyakit, maka disinilah pentingnya
asuransi kesehatan. Pengungsi bisa berobat ke rumah sakit dengan
biaya ditanggung perusahaan asuransi.
Pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, setiap terjadi bencana,
pemerintah selalu mengambil/menggunakan dana APBN untuk
rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk Yogyakarta dan sekitarnya,
pemerintah menggelontorkan sedikitnya Rp 6 triliun, dan PBB pun
membantu lebih dari 80 juta dollar AS. Pada situasi ini, perusahaan
asuransi bisa berkontribusisi lebih banyak. Biaya rekonstruksi dan
rehabilitasi dalam bentuk pembangunan rumah atau fasilitas umum
tidak semuanya akan menjadi tanggungan pemerintah.
Melalui RUUPB, pemerintah bisa menstimulus, bahkan bila perlu
mewajibkan masyarakat (secara bertahap) agar mengasuransikan
harta benda dan jiwanya. Sebagian masyarakat kita masih berpikir
asuransi adalah nomor kesekian dalam prioritas hidupnya. Apalagi
masyarakat menengah ke bawah yang masih lebih fokus pada
pemenuhan kebutuhan dasarnya.
Saat terjadi bencana, Departemen Sosial mengambil peran yang
pertama adalah mengoordinasi evakuasi korban dan bantuan sosial,
dan kedua, memfungsikan jaminan sosial yang menjamin asuransi jiwa
dan asuransi kesehatan. Adapun untuk kerusakan aset tidak tersedia
jaminan sosial, oleh karena itu diperlukan asuransi wajib. Subsidi
pembangunan rumah dari pemerintah pascabencana hanya bersifat
jangka pendek. Idealnya, pemerintah membuat skema asuransi wajib
untuk risiko bencana yang merupakan perluasan dari asuransi
kebakaran.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 341
Beberapa negara berkembang seperti Turki, Iran, dan China telah
mempunyai asuransi wajib. Di Turki misalnya, pemerintah mewajibkan
asuransi gempa bumi pada rumah, ruko, maupun apartemen melalui
The Turkish Catastrophic Pool. Untuk kasus ini, pada tahun 2000
ditetapkan limit harga pertanggungan sebesar 50.000 dollar AS,
dengan premi tahunan sebesar 47 dollar AS.
Dalam setiap bencana, persentase klaim asuransi hanya sebagian
kecil dari total kerugian. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di
Amerika Serikat, yang masyarakatnya sadar berasuransi (insurance
minded), tidak semua mengasuransikan rumahnya terhadap ancaman
bencana. Hasil riset National Hurrican Survival Initiative yang dirilis 16
Mei 2006 menyatakan, sepertiga rumah di wilayah rentan badai tidak
ada asuransinya.
Hal yang sama terjadi di Jepang. Gempa bumi yang mengguncang
Kobe pada Januari 1995 menghancurkan 100.000 bangunan dan 6.500
orang tewas dengan kerugian material lebih dari 110 miliar dollar AS.
Klaim asuransi “hanya” 6 juta dollar AS atau kurang dari 5 persen
bangunan yang diasuransikan.
Dimasukkannya aspek asuransi dalam RUUPB akan memberikan
banyak manfaat bagi korban bencana, pemerintah, dan industri
asuransi. Dorongan berasuransi oleh pemerintah akan meningkatkan
kesadaran masyarakat Indonesia. Efeknya, pertumbuhan industri
asuransi di Indonesia semakin baik.
Tahap awal, yang paling mendesak adalah asuransi bencana
terhadap rumah tinggal. Selanjutnya melangkah pada asuransi
kecelakaan diri, asuransi jiwa, dan seterusnya. Asosiasi asuransi
(umum dan jiwa) hendaknya berinisiatif untuk mengajukan usulan
konkret semacam Catastrophe Risk Management kepada pemerintah
yang antara lain untuk mengetahui besar kecilnya risiko suatu daerah
terhadap bencana tertentu, serta cara penanggulangan risiko
katastropik dengan memanfaatkan metodologi manajemen risiko.
Bank Dunia juga telah mengirim utusannya ke Indonesia untuk
membicarakan asuransi bencana ini, dan siap memberikan asistensi.
Pemerintah Indonesia tengah mengupayakan untuk
mengeluarkan aturan terkait asuransi bencana alam seperti banjir. Hal
itu dilakukan untuk mengantisipasi kerugian dan mencegah

342 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
ketidakpastian akibat bencana. Namun, sampai sekarang masih
berbentuk format, dan karena belum ada bentuk yang resmi, maka
belum menjadi aturan.Tetapi, pada intinya adalah daripada
mengandalkan dana cadangan yang jumlahnya terlalu kecil sedangkan
bencana yang terjadi menimbulkan kerugian yang besar, lebih baik
mengambil amannya saja, yaitu menggunakan asuransi sebagai
sesuatu yang lebih pasti (Brojonegoro, 2013).

PENUTUP

Uraian diatas menjelaskan peranan ilmu aktuaria, khususnya


menyangkut penjaminan risiko penduduk/warga kota/daerah
terhadap bencana banjir. Dimulai dengan sepintas penjelasan tentang
Kota Pintar (Smart City), dipaparkan enam dimensi yang mendukung
suatu kota/daerah disebut sebagai Kota Pintar.
Berkaitan dengan pengertian penjaminan terhadap segala macam
risiko bagi masyarakat yang bertempat tinggal di kota pintar,
penulisan difokuskan pada penjaminan terhadap risiko banjir, yang
dimasukkan dalam risiko bencana alam.
Untuk mengantisipasi kerugian dan mencegah ketidakpastian
akibat bencana, maka perlu dibuat asuransi khusus bencana alam,
lebih spesifik disebut sebagai asuransi banjir. Meskipun peserta
asuransi ini harus membayar premi lebih mahal, namun asuransi
bencana justru lebih membantu karena bisa meringankan beban jika
suatu saat terjadi bencana.
Sebagai masukan kepada pembaca, mengkutip pernyataan dari
Stefan Koeberle, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia;
Kornelius Simanjuntak, Ketua Dewan Asuransi Indonesia; dan P. S.
Srinivas, Ekonom Keuangan Utama Bank Dunia di Indonesia, bahwa
kejadian-kejadian tak terduga dalam hidup seperti jatuh sakit,
kecelakaan, kehilangan pekerjaan, gagal panen, atau kematian,
memiliki dampak besar bagi siapapun, namun dampak dari kejadian-
kejadian tersebut jauh lebih parah bagi rumah tangga berpendapatan
rendah. Maka dari itu, sangat penting halnya bagi keluarga miskin
untuk dapat mendukung diri mereka sendiri dan memitigasi risiko-
risiko tersebut, tanpa beban keuangan tambahan.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 343
Untuk itu, Indonesia sudah saatnya perlu mengembangkan
produk-produk asuransi yang berbiaya premi rendah, yang kemudian
disebut dengan Asuransi Mikro (Micro Insurance). Bursa asuransi
mikro adalah kesempatan bagi para pemangku kepentingan di
Indonesia untuk belajar dari pengalaman internasional dalam
menyediakan perlindungan bagi masyarakat miskin dari sisi
keuangannya. Penting halnya agar solusi asuransi mikro untuk
Indonesia muncul dari negara ini, oleh karena itu bursa ini juga
memberikan ruang bagi para pelaku industri di tingkat akar rumput
untuk menunjukkan inovasi mereka.
Asuransi mikro bagi kelompok keluarga berpendapatan rendah
berpotensi untuk menstimulasi industri asuransi dalam menciptakan
produk-produk yang inovatif dan kompetitif. Hal ini juga akan
memberikan alternatif bagi pemerintah untuk membayarkan Bantuan
Langsung Tunai bagi masyarakat miskin dengan lebih efisien. Asuransi
Mikro adalah salah satu komponen kunci bagi keuangan secara
inklusif, dan Bank Dunia akan membantu pengembangan inisiatif ini
serta membagi pengetahuan dan pengalaman international bagi
Indonesia.
Penulisan lanjutan tentang Asuransi Mikro akan dilaksanakan pada
kegiatan penulisan Buku Wisuda Mahasiswa Universitas Terbuka
tahun 2018.

344 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
DAFTAR PUSTAKA

Arifiani, N. (2008). Kajian debit banjir pada Daerah Aliran Sungai


Tulang Bawang dengan metode kinematis Muskinghum. Skripsi
Fakultas Teknik, Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Asdak, C. (2010). Hidrologi dan pengelolaan daerah aliran sungai.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Asian Development Bank & The World Bank. (2010). Pakistan floods
2010: Preliminary damage and needs assessment. Islamabad:
Asian Development Bank.

Barnosky, A. D., Hadly, E. A., Basompte, J., Berlow, E. L., Brown, J. H.,
Fortelius, M., Getz, W. M., Harte, J., Hastings, A., Marquet, P. A.,
Martinez, N. D., Mooers, A., Roopnarine, P., Vermeij, G., Williams,
J. W., Gillespie, R., Kitzes, J. U., Marshall, C., Matzke, N., Mindell,
D. P., Revilla, E., & Smith, A. B. (2012). Approaching a state shift in
Earth’s biosphere. Nature, 486, 52–58. http://dx.doi:
10.1038/nature11018.

Barredo, J. I. (2009). Normalised flood losses in Europe: 1970 –2006.


Nat. Hazards Earth Syst. Sci., 97–104.
http://dx.doi:10.5194/nhess-9-972009.

Barredo, J. I., Saur´i, D., & Llasat, M. C. (2012). Assessing trends


ininsured losses from floods in Spain 1971–2008. Nat. Hazards
Earth Syst. Sci., 1723–1729. http://dx. doi:10.5194/nhess-12-
17232012.

Botzen, W. J. W., Aerts, J. C. J. H., & van den Bergh, J. C. J. M. (2009).


Willingness of homeowners to mitigate climate risk through
insurance. Ecol. Econom., 68, 2265–2277.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 345
Bouwer, L. M., Bubeck, P., & Aerts, J. C. J. H. (2010). Changes in
futureflood risk due to climate and development in a Dutch polder
area. Global Environ. Chang., 463–471.

Bouwer, L. M., Huitema, D., & Aerts, J. C. J. H. (2007). Adaptive flood


management: The role of insurance and compensation in Europe.
Report of the NeWater Project. Institute for Environmental
Studies, VU University Amsterdam.

Brojonegoro, B. (2013). Seminar Protokol Manajemen Krisis: Tameng


Ketahanan Lembaga Keuangan Nasional Terhadap Ancaman Krisis
Ekonomi. Tanggal 30 Januari 2013, di Ball Room Hotel Crowne
Plaza Jakarta. Warta Ekonomi Event

Charnwood Borough Council. (2003). Anstey flood allevation scheme:


Project appraisal report. Loughborough: Borough of Charnwood.

Dixon, L., Clancy, N., Seabury, S. A., & Overton, A. (2006). The National
flood insurance program’s market penetration rate: Estimates and
policy implications. Washington, DC: American Institutes for
Research.

Environment Agency. (2010). The costs of the summer 2007 floods in


England. Bristol: Environment Agency.

Ermolieva, T., Filatova, T., Ermoliev, Y., Obersteiner, M., de Bruijn, K.


M., & Jeuken, A. (2013). Flood catastrophe model for designing
optimal flood insurance program: Estimating location specific
premiums in the Netherlands. International Institute for Applied
Systems Analysis, 2361, Schlossplatz 1, Laxenburg, Austria.

Green, C. H., Viavattene, C., & Thompson, P. (2011). Guidance for


assessing flood losses: CONHAZ report. Flood Hazard Research
Centre – Middlesex University, Middlesex.

346 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Hendri, A., & Inra, M. S. (2007). Pemodelan penlusuran banjir dengan
Metode Muskinghum. Paper. Lembaga Penelitian Universitas Riau,
Riau.

Intergovernmental Panel on Climate Change. (2012). Managing the


risks of extreme events and disasters to advance climate change
adaptation: A special report of working groups I and II of the
intergovernmental panel on climate change. Field, C. B., Barros, V.,
Stocker, T. F., Qin, D., Dokken, D. J., Ebi, K. L., Mastrandrea, M. D.,
Mach, K. J., Plattner, G. K., Allen, S. K., Tignor, M., and Midgley, P.
M. (Eds). Cambridge and New York: Cambridge University Press.

Jongejan, R. B., & Vrijling, J. K. (2009). The optimization of system


safety: Rationality, Insurance, and Optimal Protection. In Martorell
et al. (Eds.), Safety, reliability and risk analysis: Theory, methods
and applications. © 2009 Taylor & Francis Group, London, ISBN
978-0-415-48513-5.

Jonkman, S.N., Bočkarjova, M., Kok, M., & Bernardini, P. (2008).


Integrated hydrodynamic and economic modelling of flood
damage in the Netherlands. Ecologi Economics, 66, 77 – 90.
Retrieved from http://www.elsevier.com/locate/ecolecon.

Karamouz, M., Imani, M., Ahmadi, A., & Moridi, A. (2009). Optimal
flood management options with probabilistic optimization: A case
study. Iranian Journal of Science & Technology, Transaction B,
Engineering, 33(B1), 109-121.

Kelman, I. and Spence, R. (2004). An overview of flood actions on


buildings. Eng. Geol., 73, 297–309.

Kousky, C., & Shabman, L. (2014). Pricing flood insurance: How and
why the NFIP differs from a private insurance company. Discussion
Papers. October 2014, RFF DP 14-37.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 347
Krantz, D. H. & Kunreuther, H. C. (2007). Goals and plans in decision
making. Judgment Decision Making, 2, 137–168.

Kreft, M. (2011). Quantifying the impacts of climate related natural


disasters in Australia and New Zealand. Wellington: Munich Re.

Kreibich, H., Seifert, I., Merz, B., & Thieken, A. H. (2010). Development
of FLEMOcs: A new model for the estimation of flood losses in
companies. Hydrological Sciences Journal, J. Sci. Hydrol., 55, 1302–
1314.

Kron, W. (2005). Flood risk, hazard, exposure and vulnerability.


International Water Resources Association, 58–68.

Kunreuther, H. (1973). Recovery from natural disasters: Insurance or


federal aid. Washington, DC. American Enterprise Institute for
Public Policy Analysis.

Kunreuther, H. C. & Pauly, M. (2004). Neglecting disaster: Why don’t


people insure against large losses? J. Risk Uncertain, 28, 5–21.

Landry, C. E., & Jahan-Parvar, M. R. (2009). Flood insurance coverage


in the coastal zone. Journal of Risk and Insurance. October 2009.
Department of Economics working paper ecu0804. Revise and
resubmit – 2nd round, Journal of Risk and Insurance

Laury, S. K., Morgen-McInnes, M., & Swarthout, J. T. (2009). Insurance


decisions for low- probability losses. J. Risk Uncertain, 39, 17–44.

Merz, B., Kreibich, H., Schwarze, R., & Thieken, A. (2010). Review
article “Assessment of economic flood damage”. Nat. Hazards
Earth Syst. Sci., 10, 1697–1724. http://dx.doi:10.5194/nhess-10-
16972010.

Merz, B., Kreibich, H., Thieken, A., & Schmidtke, R. (2004). Estimation
uncertainty of direct monetary flood damage to buildings. Nat.

348 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Hazards Earth Syst. Sci., 4, 153–163. http://dx. doi:10.5194/nhess-
4-1532004.

Messner, F., Pennning-Rowsell, E. C., Green, C., Meyer, V., Tunstall, S.


M., & van der Veen, A. (2007). Evaluating flood damages:
Guidance and recommendations on principles and methods.
Wallingford, UK: FLOODsite.

Meyer, V. & Messner, F. (2005). National flood damage evaluation


methods: A review of applied methods in England, the
Netherlands, the Czech Republic and Germany.
Umweltforschungszentrum Leipzig-Halle, Leipzig: Department of
Economics (42 – 44). UFZ-Discussion Papers.

Mircea, I., Serban, R., & Covrig, M. (2008). On some evaluation


methods of insurance premiums for catastrophic risks. Working
Paper. International Conference on Applied Economics – ICOAE
2008.

Munich Re. (2001). Annual Review: Natural Catastrophes 2000.


Retrieved from http://munichre.com.

Nicholas, J., Holt, G. D., & Proverbs, D. (2001). Towards standardizing


the assessment of flood damaged properties in the UK. Struct.
Survey, 19, 163–172.

Norberg, R. (2007). Actuarial modelling of claim counts: risk


classification, credibility and bonus-malus systems. West Sussex:
John Wiley & Sons Ltd.

Palmer, M., Bernhardt, E., Chornesky, E., Collins, S., Dobson, A., Duke,
C., Gold, B., Jacobson, R., Kingsland, S., Kranz, R., Mappin, M.,
Martinez, M. L., Micheli, F., Morse, J., Pace, M., Pascual, M.,
Palumbi, S., Reichman, O. J., Simons, A., Townsend, A., & Turner,
M. (2004). Ecology for a crowded planet. Science, 304, 1251–
1252.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 349
Paudel, Y., Botzen, W. J. W., , and J. C. J. H. Aerts, J. C. J. H. (2013).
Estimation of insurance premiums for coverage against natural
disaster risk: an application of Bayesian Inference. Natural
Hazards and Earth System Sciences, 13, 737–754. Retrieved from
http://www.nat-hazards-earth-syst-sci.net/13/737/2013.

Priyadarshinee, K. I., Sahoo, & Mallick, C. (2015). Flood prediction and


prevention through Wireless Sensor Networking (WSN): A survey.
International Journal of Computer Applications, 113(9), Volume
113 – No. 9(0975 – 8887).

Purnama, A. (2008). Pemetaan kawasan rawan banjir di Daerah Aliran


Sungai Cisadane menggunakan Sistem Informasi Geografis.
(Skripsi). Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rettger, M. J., & Boisvert, R. N. (1978). Economics of federal flood


insurance and loan programs. Bull. Agr. Econ, 6(2), Vol. 6, No. 2,
Cornell University.

Robillard, P. D. A. (1975). PartiaI flood reduction program for


Binghamton. New York. Deps. Agr. Econ. and Agr. Eng.,Cornell
University.

Rockstrom, J., Steffen, W., Noone, K., Persson, A., Chapin III, F. S.,
Lambin, E. F., Lenton, T. M., Scheffer, M., Folke, C., Schellnhuber,
H. J., Nykvist, B., de Wit, C. A., Hughes, T., van der Leeuw, S.,
Rodhe, H., Sorlin, S., Snyder, P. K., Costanza, R., Svedin, U.,
Falkenmark, M., Karlberg, L., Corell, R. W., Fabry, V. J., Hansen, J.,
Walker, B., Liverman, D., Richardson, K., Crutzen, P., & Foley, J. A.
(2009). A safe operating space for humanity. Science, 461, 472–
475.

Sagala, S., Wimbardana, R., & Dodon (2014). Adaptasi non struktural
penduduk penghuni permukiman padat terhadap bencana banjir:
Studi Kasus Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung.

350 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Resilience Developmment Initiative Indonesia. Working Paper No.
5 | February 2014 Series.

Schwarze, R. & Wagner, G. G. (2009). Natural hazards insurance in


Europe: Tailored responses to climate change needed. Working
Papers in Economics and Statistics 2009-06. University of
Innsbruck. Retrieved from
http://www.uibk.ac.at/fakultaeten/volkswirtschaftund
statistik/forschung/ wopec/repec/inn/wpaper/2009-06.pdf.

Selby, S. (1968). Standard Mathematical Tables. Cleveland, Ohio:


Chemical Rubber Co.

Sidi, P. (2016). Penerapan ilmu matematika dalam perlindungan


kehidupan terhadap risiko. Dalam Buku Wisuda Universitas
Terbuka: Peran Matematika, Sains, dan Teknologi dalam
Mendukung Gaya Hidup Perkotaan (Urban Life) yang Berkualitas.
Mohammad Toha, et al. (Eds)., Edisi Kesatu. (hal. 243-270).
Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka.

Smith, K., & Ward, R. (1988). Floods: Physical processes and human
impacts. Chichester: John Wiley and Sons.

Spignesi, Stephen, J. Catastrophe! The 100 Greatest Disasters of All


Time

Suherlan, E. (2001). Zonasi tingkat kerentanan banjir Kabupaten


Bandung (Skripsi). Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Suwardi. (1999). Identifikasi dan pemetaan kawasan rawan banjir di


sebagian Kotamadya Semarang dengan menggunakan sistem
informasi geografis (Tesis). Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 351
UNISDR (2011). Global Assessment Report on Disaster Risk Reduction
– Revealing risk, redefining development, United Nations, Geneva.

Utomo, W. Y. (2004). Pemetaan Kawasan Berpotensi Banjir di DAS


Kaligarang Semarang dengan Menggunakan Sistem Informasi
Geografis. (Skripsi). Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Vorosmarty, C., Lettenmaier, D., Leveque, C., Meybeck, M., PahlWostl,


C., Alcamo, J., Cosgrove, W., Grassl, H., Hoff, H., Kabat, P.,
Lansigan, F., Lawford, R., and Naiman, R. (2004). Humans
transforming the global water system. EOS, 85, 509–520.

Zhai, G., Fukuzono, T., & Ikeda, S. (2005). Modeling flood damage:
case of Tokai Flood 2000. J. Am. Water Resour. Assoc., 41, 77–92.

352 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
IMPLEMENTASI E-GOVERNM E N T UNTUK
MENDORONG PELAYAN AN PUBLIK YANG
TERINTEGR ASI DI INDONESIA

Vit a Elysia, Ake Wihadant o , Sum ar t ono

PENDAHULUAN

Teknologi merupakan salah satu bentuk dari perkembangan


jaman. Bahkan pada abad ini, penggunaan teknologi semakin meluas
di seluruh dunia dan seluruh lapisan masyarakat. Salah satu teknologi
yang paling berkembang adalah teknologi yang berbasis web atau
yang akrab disebut dengan internet. Kehadiran teknologi internet di
tengah masyarakat mampu memenuhi kebutuhan akan informasi
dengan sangat cepat, tepat, dan akurat. Selain itu, hal-hal yang dahulu
dikerjakan secara manual dan membutuhkan waktu yang lama, kini
dengan bantuan teknologi internet dan sistem komputerisasi yang
canggih menjadikan pekerjaan-pekerjaan tersebut dapat diselesaikan
dalam waktu yang singkat. Sistem on-line atau daringpun (dalam
jaringan) semakin populer, termasuk di Indonesia.
Teknologi internet saat ini sudah dimanfaatkan diberbagai bidang,
baik dibidang bisnis, pemerintahan, kesehatan, pendidikan dan lain

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 353
sebagainya. Dibidang pemerintahan, pemanfaatan teknologi internet
dikenal dengan sebutan electronic government atau e-government.
Secara sederhana, e-government atau pemerintahan digital adalah
kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan
dukungan teknologi informasi dalam memberikan layanan kepada
masyarakat (Hasibuan dan Santoso, 2005). Pentingnya e-government
ini antara lain (1) mendorong pemerintahan yang responsif terhadap
kebutuhan dan aspirasi masyarakat; (2) mendorong sisi pemanfaatan
dari keterbukaan informasi; dan (3) mendorong tingkat partisipasi
publik didalam sistem penyelenggaraan pemerintahan.
Di Indonesia, inovasi e-government sudah diinisiasi sejak beberapa
tahun belakangan ini. Selain adanya kebutuhan, baik pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah akan sebuah sistem yang
terintegrasi, pengembangan e-government di Indonesia didukung oleh
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 tentang
Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-government dan
didukung pula oleh regulasi yang terkait seperti Undang-Undang No.
14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, serta Peraturan
Pemerintah No. 61 tahun 2010 tentang Implementasi Undang-Undang
Keterbukaan Informasi Publik.
Selain itu, sejalan dengan semangat reformasi birokrasi di
Indonesia, e-government semakin berperan dalam meningkatkan
kualitas pelayanan publik serta membantu proses penyampaian
informasi secara lebih efektif kepada masyarakat. Perlu disadari dan
dipahami bahwa sesuai amanat UUD 1945 Pasal 18 Ayat (2) dan Pasal
34 ayat (3), maka peningkatan pelayanan publik (public service) harus
mendapatkan perhatian utama dari pemerintah, karena pelayanan
publik merupakan hak-hak sosial dasar dari masyarakat (social rights)
ataupun hak yang mendasar (fundamental rights).
Tulisan ini membahas hal-hal mendasar dari e-government
beserta contoh penerapannya di dua kota di Indonesia, yaitu Surabaya
dan Bandung. Surabaya dan Bandung termasuk kota-kota yang telah
terlebih dahulu atau menjadi pilot project dalam menerapkan sistem
e-government. Implementasi e-government dari kedua kota ini dapat
dikaji untuk dijadikan contoh atau benchmarking penerapan e-
government bagi daerah-daerah lain di Indonesia. Pada akhirnya

354 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
implementasi yang baik dari e-government akan mendukung
perwujudan smart government (pemerintah cerdas) menuju
pencapaian smart city (kota cerdas).

RUANG LINGKUP E-GOVERNMENT

Menurut Indrajit (2002), apabila dilihat dari sejarahnya, konsep e-


government berkembang karena adanya tiga pemicu utama, yaitu:
1. Era globalisasi yang datang lebih cepat dari yang diperkirakan
telah membuat isu-isu semacam demokratisasi, hak asasi
manusia, hukum, transparansi, korupsi, civil society, good
corporate governance, perdagangan bebas, pasar Terbuka, dan
lain sebagainya menjadi hal-hal utama yang harus diperhatikan
oleh setiap bangsa jika yang bersangkutan tidak ingin disingkirkan
dari pergaulan dunia. Dalam format ini, pemerintah harus
mengadakan reposisi terhadap perannya di dalam sebuah negara,
dari yang bersifat internal dan fokus terhadap kebutuhan dalam
negeri, menjadi lebih berorientasi ke eksternal dan fokus kepada
bagaimana memposisikan masyarakat dan negaranya di dalam
sebuah pergaulan global.
2. Kemajuan teknologi informasi (komputer dan telekomunikasi)
terjadi sedemikian pesatnya sehingga data, informasi dan
pengetahuan dapat diciptakan dengan teramat sangat cepat dan
dapat segera disebarkan ke seluruh lapisan masyarakat di
berbagai belahan dunia dalam hitungan detik.
3. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat di dunia tidak
terlepas dari semakin membaiknya kinerja industri swasta dalam
melakukan kegiatan ekonominya. Kedekatan antara masyarakat
(sebagai pelanggan) dengan pelaku ekonomi (pedagang, investor,
perusahaan dan lain-lain) telah membuat terbentuknya sebuah
standar pelayanan yang semakin membaik dari waktu ke waktu.

Ketiga aspek di atas menyebabkan terjadinya tekanan dari


masyarakat yang menginginkan pemerintah memperbaiki kinerjanya
secara signifikan dengan cara memanfaatkan teknologi informasi dan

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 355
komunikasi yang ada. Inisiasi pemerintah elektronik e-governmentpun
kemudian terus dikembangkan untuk menjawab tuntutan tersebut.
Pada dasarnya e-government merupakan penggunaan teknologi
informasi yang dapat meningkatkan hubungan antara pemerintah
dengan pihak-pihak yang lain. Setidaknya terdapat empat klasifikasi
hubungan bentuk baru dari penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi ini (Indrajit, 2002; Aprianty, 2016):

1. Government to Citizens (G-to-C)


Aplikasi e-government dalam tipe G-to-C ini merupakan aplikasi
yang paling umum, dimana pemerintah membangun dan menerapkan
berbagai portofolio teknologi informasi untuk berinteraksi dengan
masyarakat.

2. Government to Business (G-to-B)


Tipe G-to-B adalah bentuk penyediaan pelayanan informasi bagi
kalangan bisnis. Kalangan bisnis semacam perusahaan swasta
membutuhkan data dan informasi dari pemerintah. Selain itu,
interaksi antara kalangan bisnis dengan lembaga pemerintahan juga
berkaitan dengan hak dan kewajiban dari kalangan bisnis tersebut
sebagai entity yang berorientasi profit.

3. Government to Government (G-to-G)


Aplikasi e-government juga diperlukan dalam berinteraksi antara
satu pemerintah dengan pemerintah lainnya (government to
government) untuk memperlancar kerjasama, baik antar negara atau
kerjasama antar entiti-entiti negara dalam melakukan hal-hal yang
berkaitan dengan administrasi perdagangan, proses-proses politik,
mekanisme hubungan sosial dan budaya, dan lain sebagainya.

4. Government to Employees (G-to-E)


Tipe aplikasi G-to-E diperuntukkan secara internal bagi para staf di
instansi pemerintahan.

356 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
TUJUAN E-GOVERNMENT

Ketika pemerintah telah berkomitmen mengembangkan good


governance atau ketatapemerintahan yang baik, maka pelayanan
publik menjadi salah satu titik strategis yang harus mendapat
perhatian khusus. Terdapat beberapa pertimbangan terkait hal
tersebut (Dwiyanto, 2005):
1. Pelayanan publik adalah ranah dimana negara berinteraksi secara
intensif dengan warganya.
2. Pelayanan publik merupakan ranah dimana berbagai aspek good
governance dapat diartikulasikan secara relatif lebih mudah.
3. Pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur
ketatapemerintahan.

Pada intinya, pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan


publik yang merata kepada seluruh warganya. Perlu disadari bahwa
masyarakat menuntut adanya pelayanan publik yang memenuhi
kepentingan masyarakat luas di seluruh wilayah negara, dapat
diandalkan dan terpercaya, serta mudah dijangkau secara interaktif
(Haryatmoko, 2016). Selain itu, masyarakat juga menginginkan agar
aspirasi mereka didengar oleh pemerintah sehingga pemerintahpun
harus memfasilitasi partisipasi dan dialog publik didalam perumusan
kebijakan negara. Untuk menjawab tantangan tersebut, baik
pemerintah pusat maupun daerah harus mampu membentuk dimensi
baru ke dalam organisasi, sistem manajemen, dan proses kerjanya
yang salah satunya dapat dilaksanakan melalui proses transformasi
menuju e-government.
Melalui proses transformasi menuju era e-government tersebut,
pemerintah dapat mengoptimasikan penggunaan dan pemanfaatan
kemajuan teknologi informasi untuk mengurangi sekat-sekat
organisasi birokrasi, serta sekaligus membentuk jaringan sistem
manajemen dan proses kerja yang memungkinkan instansi-instansi
pemerintah bekerja secara terpadu untuk menyederhanakan akses ke
semua informasi dan pelayanan publik. Dengan demikian, seluruh
lembaga pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan pihak-pihak

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 357
berkepentingan lainnya dapat setiap saat memanfaatkan informasi
dan layanan pemerintah secara optimal.
Pengembangan e-government merupakan salah satu upaya untuk
meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif dan efisien.
Dengan kata lain, melalui pengembangan e-government dilakukan
penataan sistem manajemen dan proses kerja di lingkungan
pemerintah dengan mengoptimasikan pemanfaatan teknologi
informasi dan komunikasi.
Pemanfaatan teknologi informasi tersebut mencakup 2 (dua)
aktivitas yang berkaitan yaitu (Tochija, 2007):
1. Pengolahan data, pengelolaan informasi, sistem manajemen dan
proses kerja secara elektronis;
2. Pemanfaatan kemajuan teknologi informasi agar pelayanan publik
dapat diakses secara mudah dan murah oleh masyarakat di
seluruh wilayah negara.

Untuk melaksanakan maksud tersebut, berdasarkan Instruksi


Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan
dan Strategi Nasional Pengembangan e-government, pengembangan
e-government diarahkan untuk mencapai 4 (empat) tujuan, yaitu:
1. Pembentukan jaringan informasi dan transaksi pelayanan publik
yang memiliki kualitas dan lingkup yang dapat memuaskan
masyarakat luas serta dapat terjangkau di seluruh wilayah
Indonesia pada setiap saat tidak dibatasi oleh sekat waktu dan
dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.
2. Pembentukan hubungan interaktif dengan dunia usaha untuk
meningkatkan perkembangan perekonomian nasional dan
memperkuat kemampuan menghadapi perubahan dan persaingan
perdagangan internasional.
3. Pembentukan mekanisme dan saluran komunikasi dengan
lembaga-lembaga negara serta penyediaan fasilitas dialog publik
bagi masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam perumusan
kebijakan negara.
4. Pembentukan sistem manajemen dan proses kerja yang
transparan dan efisien serta memperlancar transaksi dan layanan
antar lembaga pemerintah dan pemerintah daerah otonom.

358 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Sedangkan berdasarkan “The e-government Handbook for
Developing Countries” oleh Center for Democracy and Technology dan
InfoDev (2002), disebutkan bahwa proses implementasi e-government
terbagi menjadi 3 (tiga) tahapan, dimana harus dilakukan secara
berurutan, tetapi masing-masing tahapan tersebut menjelaskan
mengenai tujuan dari e-government. Tahapan tersebut antara lain:
1. Tahap pertama adalah publish atau mempublikasi yaitu tahapan
yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk
tujuan memperluas akses terhadap informasi pemerintah.
Misalnya dengan cara pembuatan situs informasi di setiap
lembaga, penyiapan sumber daya manusia, sosialisasi situs
informasi baik untuk internal maupun untuk publik, serta
penyiapan sarana akses yang mudah.
2. Tahap kedua, adalah interact atau berinteraksi yang bertujuan
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Hal ini
misalnya dilakukan dengan cara pembuatan situs yang interaktif
dengan masyarakat, serta adanya interaksi yang terhubung
dengan lembaga lain.
3. Tahap ketiga adalah transact atau bertransaksi, dimana e-
government sudah bertujuan untuk menyediakan layanan
pemerintah secara on-line yang mampu meningkatkan kualitas
layanan pemerintah. Misalnya dengan cara pembuatan situs
transaksi pelayanan publik yang baik, serta interoperabilitas
aplikasi maupun data dengan lembaga lain.

MANFAAT E-GOVERNMENT

Implementasi e-government memiliki banyak manfaat khususnya


dalam menunjang efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan publik.
Manfaat-manfaat tersebut diantaranya adalah (Dash & Pani, 2016):

1. Mengurangi Biaya
Memberikan pelayanan secara on-line atau dalam jaringan dapat
secara signifikan mengurangi total biaya administrasi, relasi, dan
interaksi yang dikeluarkan pemerintah maupun stakeholdernya
dibandingkan pelayanan secara manual.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 359
2. Mendukung Perkembangan Ekonomi
Teknologi dapat memudahkan pemerintahan dalam menciptakan
iklim bisnis yang positif dengan menyederhanakan tahapan
administrasi atau mengurangi birokrasi. Selain itu, terdapat dampak
langsung terhadap ekonomi, misalnya seperti dalam e-procurement
atau proses lelang secara elektronik dimana menciptakan kompetisi
yang lebih luas dan lebih banyak peserta.

3. Memperkuat Transparansi dan Akuntabilitas


Implementasi e-government dapat meningkatkan transparansi,
kontrol, dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dalam
rangka penerapan konsep Good Corporate Governance. e-government
membantu meningkatkan transparansi dalam proses pengambilan
keputusan dengan penyediaan informasi serta pelacakan dalam
jaringan (on-line tracking) yang mudah diakses oleh masyarakat.

4. Meningkatkan Pelayanan bagi Masyarakat


e-Government dapat memberikan layanan yang lebih baik pada
masyarakat dimana informasi dari pemerintah dapat dicari atau
diperoleh tanpa harus secara fisik datang ke kantor-kantor
pemerintahan. Bahan-bahan informasi tersebut tersedia dalam 24 jam
sehari dan tujuh hari dalam seminggu tanpa harus bergantung pada
jam operasional kantor-kantor pemerintah.

5. Memberdayakan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat dilaksanakan melalui informasi yang
mudah diperoleh yang kemudian memungkinkan masyarakat dan
pihak-pihak lain sebagai mitra pemerintah terlibat dalam proses
pengambilan keputusan atau kebijakan publik secara merata dan
demokratis.
Dengan dikembangkannya e-government ini, akses informasi pada
pemerintahpun menjadi terbuka lebar bagi semua lapisan masyarakat.
Oleh karenanya apabila diimplementasikan dengan tepat maka secara
signifikan dapat memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat tersebut.
Mengingat banyaknya manfaat dari sistem e-government ini,
implementasinya haruslah dilaksanakan sesegera mungkin, tanpa

360 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
ditunda-tunda. Selain itu, sistem ini perlu dibangun dengan
kepemimpinan yang baik dan kerangka pengembangan yang holistik,
sehingga memberikan keunggulan kompetitif secara nasional.

TAHAPAN DALAM MEMBANGUN E-GOVERNMENT

Dalam pengembangan aplikasi e-government, Hasibuan dan


Santoso (2005), menyatakan bahwa terdapat beberapa tingkatan atau
tahapan dalam pengembangannya, dimana semakin tinggi
tingkatannya, semakin kompleks permasalahan yang akan dihadapi.
Lima tingkatan yang dimaksud antara lain:
1. Tingkatan pertama atau tingkatan yang paling awal. Tingkatan ini
yang disebut dengan e-government untuk menunjukkan citra
pemerintah yang baik dan menyembunyikan kompleksitas yang
ada di dalamnya. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai
website atau situs dengan tampilan menarik pada hampir semua
institusi pemerintah. Pada dasarnya, e-government pada tingkat
awal ini masih bersifat menginformasikan tentang apa dan siapa
yang berada di dalam institusi tersebut. Dengan kata lain,
informasi yang diberikan kepada masyarakat luas tersebut masih
bersifat satu arah. Kondisi e-government yang masih berada pada
tahap awal ini belum bisa digunakan untuk membentuk suatu
pemerintahan dengan prinsip good governance (ketatapemerintahan
yang baik).
2. Tingkat kedua dari e-government, mulai ditandai dengan adanya
transaksi dan interaksi secara on-line antara suatu institusi
pemerintah dengan masyarakat. Misalnya, masyarakat tidak perlu
lagi antri membayar tagihan listrik, memperpanjang KTP, dan lain-
lain. Semuanya bisa dilakukan secara on-line. Usaha ke arah ini
sudah mulai dilakukan oleh beberapa institusi di pusat maupun di
daerah. Komunikasi dua-arah antara institusi pemerintah dengan
masyarakat sudah mulai terjalin secara on-line. Sekiranya e-
government yang berada pada level kedua dijalankan dengan
sungguh-sungguh, maka masalah good governance sudah mulai
dapat diwujudkan. Adanya biaya-biaya tersembunyi dalam setiap
urusan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 361
Mengemudi (SIM), Kartu Keluarga (KK), dan lain-lain, akan dapat
dihilangkan. Hal ini bisa terjadi karena para aparat pemerintah
tidak lagi bersinggungan dengan pelanggan secara langsung dalam
mekanisme pembayaran. Pelanggan dapat langsung mengisi
formulir yang diperlukan dan menunjukkan bukti transfer
pembayaran.
3. Level ketiga dari e-government, memerlukan kerja sama
(kolaborasi) secara on-line antar beberapa institusi dan
masyarakat. Misalnya apabila masyarakat sudah bisa mengurus
perpanjangan KTP-nya secara on-line, selanjutnya mereka tidak
perlu lagi melampirkan KTP-nya untuk mengurus paspor atau
membuat SIM. Dalam hal ini perlu kerjasama antara kantor
kelurahan yang mengeluarkan KTP dengan kantor imigrasi yang
mengeluarkan paspor atau kantor polisi yang mengurus SIM.
Mungkin di Indonesia hal ini belum terwujud, tetapi pembicaraan
ke arah sana sudah banyak beredar. Manfaat yang sangat terasa
pada level ini adalah waktu pemrosesan dokumen yang relatif
lebih singkat dibanding secara manual, dan pada akhirnya akan
meningkatkan produktifitas dan kualitas layanan. Peran
intermediaries (perantara) yang biasanya sebagai sumber
ketidakefisienan, pada level tiga ini sudah semakin hilang,
sehingga masyarakat dapat melakukan transaksi setransparan
mungkin. Sekiranya level tiga ini diimplementasikan di kalangan
institusi pemerintah, ketidakefisienan sudah tidak punya ruang
lagi untuk berkembang.
4. Level keempat dari e-government sudah semakin kompleks. bukan
hanya memerlukan kerjasama antar institusi dan masyarakat,
tetapi juga menyangkut arsitektur teknis yang semakin kompleks.
Dalam level 4 ini, seseorang bisa mengganti informasi yang
menyangkut dirinya hanya dengan satu-klik, dan pergantian
tersebut secara otomatis berlaku untuk setiap institusi
pemerintah yang terkait. Misalnya, seseorang yang pindah alamat,
dia cukup mengganti alamatnya tersebut dari suatu database milik
pemerintahan yang besar, dan secara otomatis KTP, SIM, paspor
dan lain-lainnya dapat terbaharui. Di beberapa negara Eropa
sudah mulai menerapkan hal ini, dimana mereka hanya

362 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
mengumpulkan cukup sekali saja informasi mengenai
masyarakatnya.
5. Level kelima, dimana pemerintah sudah memberikan informasi
yang terpaket (packaged) sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dalam hal ini, pemerintah sudah bisa memberikan apa yang
disebut dengan “information-push” yang berorientasi kepada
masyarakat. Masyarakat benar-benar seperti raja yang dilayani
oleh pemerintah. Apa yang menjadi kebutuhan masyarakat, e-
government pada level lima ini bisa menyediakannya.

Lebih lanjut, terkait tahapan dalam membangun e-government,


berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2003
tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government,
salah satu strategi dalam pengembangan e-government adalah
melaksanakan pengembangan secara sistematik melalui tahapan yang
realistis dan terukur. Hal ini bertujuan agar pengembangan tersebut
dapat dipahami dan diikuti oleh semua pihak.
Sedangkan menurut Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor
3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan
e-Government, disebutkan bahwa berdasarkan sifat transaksi
informasi dan pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah
melalui jaringan informasi, pengembangan e-government dapat
dilaksanakan melalui 4 (empat) tingkatan sebagai berikut:
1. Tingkat 1 - Persiapan yang meliputi:
a. Pembuatan situs informasi di setiap lembaga;
b. Penyiapan sumber daya manusia (SDM);
c. Penyiapan sarana akses yang mudah misalnya menyediakan
sarana Multipurpose Community Center, Warnet, SME-Center,
dan lain-lain;
d. Sosialisasi situs informasi baik untuk internal maupun untuk
publik.
2. Tingkat 2 - Pematangan yang meliputi:
a. Pembuatan situs informasi publik interaktif;
b. Pembuatan antar muka keterhubungan dengan lembaga lain;
3. Tingkat 3 - Pemantapan yang meliputi:
a. Pembuatan situs transaksi pelayanan publik;

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 363
b. Pembuatan interoperabilitas aplikasi maupun data dengan
lembaga lain.
4. Tingkat 4 - Pemanfaatan yang meliputi:
a. Pembuatan aplikasi untuk pelayanan yang bersifat G2G, G2B
dan G2C yang terintegrasi.

Situs-situs yang dikelola baik oleh pemerintah pusat maupun


pemerintah daerah harus terus berupaya menaikkan tingkatan situs
menuju ke tingkat 4. Upaya tersebut tentunya harus dengan
dukungan yang memadai supaya tidak mengalami kegagalan dan
berdampak pada pemborosan dan hilangnya kepercayaan masyarakat.
Dukungan yang dimaksud antara lain dukungan sistem manajemen,
proses kerja, dan transaksi informasi antar instansi.

KRITERIA-KRITERIA DALAM PENGEMBANGAN E-GOVERNMENT

Saat ini telah banyak instansi pemerintah di Indonesia, baik


pemerintah pusat maupun daerah yang mengembangkan pelayanan
publik dengan sistem e-government melalui jaringan komunikasi dan
informasi dalam bentuk situs web. Lebih lanjut, terdapat sejumlah
kriteria yang ditetapkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi
Republik Indonesia (Kemenkominfo) dalam buku panduan
penyelenggaraan situs web pemerintah daerah (Sosiawan, 2015).
Kriteria yang diberikan dalam Panduan Penyelenggaraan Situs
Pemerintah Daerah (Kemenkominfo, 2003) merupakan gambaran ciri-
ciri kunci bentuk dasar situs web pemerintah daerah yang terdiri atas:
1. Fungsi, aksesibilitas, dan kegunaan. Isi informasi situs web
pemerintah daerah berorientasi pada keperluan masyarakat, yaitu
menyediakan informasi dan pelayanan yang diinginkan oleh
masyarakat. Pada kriteria ini ditekankan adanya anti diskriminasi
bagi pengguna, artinya bahwa situs web pemerintah daerah dapat
dibuka tanpa membedakan fasilitas dan kemampuan komputer
yang dimiliki oleh pengguna. Disain situs web pemerintah daerah
adalah profesional, menarik, dan berguna. Berita atau artikel yang
ditujukan kepada masyarakat sebaiknya disajikan secara jelas dan
mudah dimengerti.

364 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
2. Bekerja sama. Situs web pemerintah daerah harus saling
bekerjasama untuk menyatukan visi dan misi pemerintah. Semua
dokumen pemerintah yang penting harus memiliki URL (Uniform
Resource Locator) yang tetap, sehingga mesin pencari (search
engine) dapat menghubungkan kepada informasi yang diinginkan
secara langsung.
3. Isi yang efektif. Masyarakat sebagai pengguna harus mengetahui
bahwa informasi tertentu akan tersedia pada situs-situs
pemerintah daerah manapun. Pengguna memiliki hak untuk
mengharapkan isi dari suatu situs web pemerintah daerah adalah
data yang terbaru dan tepat, serta mengharapkan berita dan
materi baru selalu diketengahkan.
4. Komunikasi dua arah. Komunikasi yang disediakan pada situs web
pemerintah daerah dalam bentuk dua arah (interaktif). Situs web
pemerintah daerah harus memberikan kesempatan bagi
pengguna untuk menghubungi pihak-pihak berwenang,
menjelaskan pandangan mereka, atau membuat daftar
pertanyaan mereka sendiri.

PELUANG DAN TANTANGAN DALAM PENGEMBANGAN E-GOVERNMENT

Setiap perubahan, walaupun untuk sesuatu yang lebih baik,


berpotensi menimbulkan berbagai reaksi. Apalagi jika perubahan yang
diterapkan di sektor pemerintah tentu jauh memiliki tantangan yang
lebih kompleks. Oleh karenanya, perubahan atau pembaharuan di
sektor pemerintah ini jelas sangat membutuhkan upaya yang keras
dan konsisten (Astuti, 2005).
Implementasi e-government sebagai suatu inovasi di kalangan
organisasi pemerintah mensyaratkan adanya manajemen perubahan
(change management) yang tepat agar implementasinya dapat
berjalan dengan sukses. Hal ini dikarenakan dengan menerapkan e-
government berarti juga melakukan serangkaian perubahan budaya
(cultural change) dari pendekatan tradisional ke manajemen serta dari
era sebelum teknologi informasi dan komunikasi menuju era
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat
canggih (Riley, 2002).

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 365
Lebih lanjut, terdapat tiga jenis tantangan dalam penerapan e-
government, yakni yang bersifat tangible, intangible dan very
intangible (Huseini dalam Muluk, 2001). Tantangan yang termasuk
tangible diantaranya adalah keterbatasan sarana dan prasarana fisik
jaringan telekomunikasi dan listrik. Sedangkan tantangan yang berifat
intangible misalnya tantangan keuangan atau finansial untuk
mendanai implementasi e-government dan keterbatasan sumber daya
manusia untuk pengelolaannya. Sementara yang tergolong tantangan
yang bersifat very intangible adalah keberanian pejabat pemerintah
daerah untuk menerapkan e-government berikut penerapan berbagai
tindakan sebagai konsekuensi yang harus dilakukan.
Namun, banyaknya kendala dan tantangan dalam implemetasi e-
government sebenarnya dapat diatasi sepanjang ada niatan kuat
(good will) pemerintah untuk menerapkan sistem tersebut agar dapat
berjalan dengan baik. Selain itu, masyarakat terutama di negara-
negara sedang berkembang akan dengan cepat berevolusi menuju
masyarakat digital (digital society) yang ditandai dengan beberapa hal
sebagai berikut: meningkatnya jumlah masyarakat yang menggunaan
komputer, turunnya biaya komunikasi, kemudahan dalam pemakaian
dan mengakses berita-berita hangat menjadi suatu kebutuhan,
meningkatnya telecommuting, meningkatnya aktivitas ekonomi global,
dan sebagainya (Campo, et.al.,2002). Peluang-peluang ini dapat
menjadi faktor penguat dalam implementasi e-government.

IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT DI KOTA SURABAYA DAN BANDUNG

Pemerintah Kota Surabaya dan Pemerintah Kota Bandung


merupakan dua contoh pemerintah kota atau pemerintah daerah di
Indonesia yang gencar menerapkan e-government. Berbagai
penghargaanpun telah diterima oleh kedua kota ini. Berikut adalah
gambaran implementasi e-government oleh pemerintah Kota
Surabaya dan Pemerintah Kota Bandung.

1. Surabaya
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya telah merintis penerapan e-
government sejak tahun 2002. e-Government pada Pemerintah Kota

366 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Surabaya dikelompokkan menjadi dua, yakni dalam hal pengelolaan
keuangan daerah dan e-government untuk pelayanan publik (Dinas
Komunikasi dan Informatika Kota Surabaya, 2017).
Dalam hal penerapan e-government untuk pengelolaan keuangan
daerah oleh Pemerintah Kota Surabaya, terdapat beberapa layanan e-
government yang telah dikembangkan di lingkungan Pemerintah Kota
Surabaya antara lain:
a. e-Budgeting. Untuk menyusun sistem anggaran dilakukan dengan
e-budgeting dengan cara mencantumkan berapa besar biaya dan
kebutuhan di masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) dengan acuan menggunakan Standar Nasional Indonesia
(SNI). Setiap dinas harus menggunakan e-budgeting dalam
mengusulkan anggaran.
b. e-Project. Perencanaan proyek dilakukan menggunakan e-project
planning. Dalam e-project planning dicantumkan bagaimana
pengerjaan proyeknya beserta jadualnya. Walikota kemudian
membuat kontrak kinerja dengan kepala dinas.
c. e-Procurement. Apabila nilai proyek lebih dari Rp 100 juta maka
otomatis masuk ke dalam sistem e-procurement karena harus
melalui mekanisme lelang. Dalam e-procurement terdapat jadual
dan tahapan pelaksanaan lelang. Pelaksanaan e-procurement ini
diatur lebih lanjut dalam Keputusan Presiden No. 4 Tahun 2015
tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden No. 54
Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang
mencantumkan sistem lelang elektronik (e-procurement).
d. e-Delivery. Sistem e-delivery ini untuk membantu proses
pencairan dana proyek. Dalam e-delivery tercantum kontrak yang
disepakati bersama-sama antara penyedia jasa dan pelaksana
yang sudah disiapkan standar kontraknya. Misalnya terkait termin
pembayaran. Secara otomatis pihak dinas akan menghitung sesuai
e-project planning dan melalui e-delivery akan diketahui mana
yang sudah dicairkan dan mana yang belum dicairkan.
e. e-Controlling. Sistem e-controlling ini untuk mengetahui progress
fisik masing-masing kegiatan setiap bulan, apakah sesuai e-project
planning dan e-delivery atau tidak. Semua dikontrol setiap bulan
melalui e-controlling.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 367
f. e-Performance. Di akhir tahun ada e-performance, yakni
penghitungan dan penilaian kinerja masing-masing dinas. Melalui
e-performance ini, maka akan dapat dibandingkan kinerja masing-
masing dinas antara pelaksanaan dan realisasi sehingga akan
terlihat capaian kinerjanya.

Selain itu, Pemerintah Kota Surabaya juga melakukan penerapan


e-government untuk pelayanan masyarakat. Aplikasi yang
berhubungan dengan masyarakat meliputi e-sapawarga, e-perijinan,
e-musrenbang, dan pengaduan secara elektronik.
a. e-Sapawarga. Untuk mendukung e-sapawarga, Pemerintah Kota
Surabaya memberikan fasilitas internet gratis bagi seluruh RT-RW,
sehingga seluruh program bisa diakses oleh warga kota Surabaya.
b. e-Perijinan. Perijinan untuk SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan)
dan IUJK (Izin Usaha Jasa Konstruksi) diberikan secara gratis
melalui e-perijinan. Penduduk Surabaya cukup mengentri data
secara on-line kemudian diverifikasi, apakah dia benar warga
Surabaya atau bukan. Kalau benar penduduk Surabaya maka izin
dikeluarkan dan setelah selesai diantarkan ke rumah oleh aparat
kelurahan.
c. e-Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan).
Dengan adanya jaringan internet yang bisa diakses seluruh
masyarakat Surabaya, setiap awal tahun masyarakat dapat
mengajukan usulan proyek, misalnya untuk pelatihan pembibitan
lele, pembangunan jalan akses ke makam, lampu penerangan
jalan, pembangunan perpustakaan, dan lain-lain melalui e-
musrenbang untuk dimasukkan dalam program pembangunan
tahun berikutnya.

Lebih lanjut, menurut hasil kajian Farid (2015), terdapat beberapa


faktor yang mendukung penerapan e-government oleh Pemerintah
Kota Surabaya, diantaranya:
a. Kondisi politis (political environment) yang bertipe top down.
Kebijakan penerapan e-government berasal dari pimpinan atau
pemerintah yang dalam hal ini adalah Wali Kota Surabaya Tri
Rismaharini. Kebijakan tersebut kemudian diimplementasikan

368 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
oleh Dinas Komunikasi dan Informasi Kota Surabaya yang
melibatkan kerja sama berbagai SKPD terkait.
b. Kepemimpinan (leadership) dalam penerapan e-government di
Kota Surabaya sudah cukup baik. Hal tersebut dibuktikan dengan
kemampuan para pimpinan tiap SKPD terkait yang saling
berkoordinasi, demikian juga dengan staf-staf SKPD Semuanya
terjadi komunikasi dan koordinasi yang baik antara pimpinan dan
staf maupun antar SKPD terkait dalam implementasi sistem ini.
c. Perencanaan (planning) yang baik dalam penerapan e-
government Kota Surabaya. Hal tersebut ditunjukkan dengan
adanya dukungan dalam bentuk pengembangan sistem dari
sistem manual menuju sistem berbasis online, dan kecakapan dari
seluruh pegawai dalam melayani masyarakat. Semua SKPD yang
terkait bersama-sama merencanakan perbaikan sistem dan
pelayanan dengan jalan melakukan rapat koordinasi setiap
minggu bahkan setiap dibutuhkan.
d. Pihak-pihak yang terlibat (stakeholders) dalam penerapan e-
government Kota Surabaya sudah memiliki komitmen yang tinggi
untuk menjalin komunikasi dan kerjasama yang baik. Stakeholders
di sini meliputi semua pihak baik pimpinan maupun staf di semua
SKPD yang terlibat yang setidaknya terdiri atas delapan SKPD.
Demikian juga kerja sama antara SKPD dan masyarakat.
e. Partisipasi masyarakat (participation) termasuk pula investor yang
memanfaatkan sistem pelayanan melalui e-government semakin
membaik dengan semakin banyaknya masyarakat yang tahu dan
memanfaatkan sistem tersebut.
f. Transparansi (transparancy/visibility) dalam penerapan e-
government Kota Surabaya sudah mampu diwujudkan untuk
dimuat dalam portal informasi dan komunikasi yang dapat diakses
24 jam.

Penerapan dan pengembangan e-government yang dilakukan oleh


Pemerintah Kota Surabaya mendapat apresiasi dari pemerintah pusat.
Bahkan pengembangan sistem e-government tersebut dijadikan
sebagai pembanding sistem pemerintahan elektronik nasional. Selain
itu, majunya perkembangan dalam menerapkan sistem tata kelola

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 369
pelayanan berbasis teknologi yang diterapkan Pemerintah Kota
Surabaya akan diadopsi pemerintah daerah se-Indonesia (Pemerintah
Daerah se-Indonesia Adopsi Sistem e-Government Pemkot Surabaya,
2016). Kondisi politis, kepemimpinan, perencanaan, partisipasi
masyarakat, dan transparansi adalah faktor-faktor yang mendorong
keberhasilan implementasi e-government oleh Pemerintah Kota
Surabaya.

2. Bandung
Bandung merupakan salah satu kota yang sangat gencar dalam
mengembangkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi
dalam mengimplementasikan e-government. Pengembangan e-
government oleh pemerintah kota Bandung mencakup:
a. Manajemen internal dan pemerintahan. Dengan menggunakan
teknologi informasi dan komunikasi, pemerintah kota Bandung
memberikan beberapa konsep yang menjadi kunci dalam
penerapan e-government yaitu penyediaan fasilitas pengelolaan
data, penyediaan fasilitas monitoring untuk pimpinan, fasilitas
teknologi komunikasi dengan seluruh SKPD.
b. Pelayanan Publik. Dalam hal pelayanan publik, pemerintahan kota
Bandung menyediakan beberapa layanan sebagai berikut: fasilitas
layanan teknologi informasi dan komunikasi yang terjangkau
untuk masyarakat, penyediaan informasi yang cepat untuk
masyarakat, dan peningkatan kualitas ekonomi masyarakat
melalui berbagai aplikasi dalam sistem e-government. Lebih
lanjut, terkait implementasi e-government ini, pemerintah kota
Bandung menerapkan konsep open government dalam
ketatapemerintahannya. Konsep layanan pemerintahan untuk
masyarakat mengedepankan asas keterbukaan. Dengan konsep
transparansi ini, pemerintah Kota Bandung menyediakan layanan
berbasis teknologi informasi dan komunikasi dimana masyarakat
bisa memantau berbagai aktivitas terkait pelayanan publik.
Pelayanan ini terkait dengan seluruh kegiatan yang dilakukan
pemerintah kota Bandung melalui SKPD-SKPD didalamnya.
Termasuk dalam komponen open government ini adalah open
communication dimana pemerintah kota Bandung termasuk

370 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
walikota Bandung menyediakan wadah sebagai jalur komunikasi
khusus dengan warga. Hal ini memungkinkan warga kota Bandung
dapat berkomunikasi langsung dengan walikota dan jajarannya.
Jalur komunikasi ini dilakukan melalui portal khusus ataupun
media sosial seperti twitter.

Beberapa layanan yang telah dikembangkan oleh Pemerintah Kota


Bandung terkait e-government diantaranya:
a. Layanan lapor.ukp.go.id, sebagai media untuk pelaporan
masyarakat terhadap kinerja pemerintahan.
b. Layanan Bandung government official twitter sebagai media
komunikasi terbuka antara pemerintah kota Bandung (termasuk
walikota) dengan warga Bandung.
c. Layanan portal tanya jawab Bandung , sebagai media komunikasi
dan diskusi tentang kota Bandung.
d. Layanan Bandung open apps, sebagai penyedia aplikasi penunjang
layanan, komunikasi dan transaksi untuk akses melalui smart
phone.

Sumber: Dinas Komunikasi dan informatika Kota Bandung (2017)


Gambar 1. Berbagai aplikasi yang dikembangkan oleh Pemerintah Kota
Bandung

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 371
Penerapan konsep e-government oleh Pemerintah Kota Bandung
ini memiliki kelebihan yaitu, diantaranya bahwa permasalahan kota
mulai dari kemacetan, penumpukan sampah, jalan rusak, keadaan
kontur tanah suatu daerah, dan lain sebagainya dapat secara langsung
atau real time diketahui dan dicari solusi terbaiknya dengan cepat.
Selain itu, masyarakatnya bisa saling terhubung, serta pemerintah
dapat memiliki kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur
kehidupan warganya dengan bantuan Informasi dan Teknologi.
Selain itu, Kota Bandung yang sejak awal memiliki potensi
perekonomian di bidang jasa dan merupakan pusat bakat dibidang
kreatif serta teknologi informasi dan komunikasi menjadi modal
mempunyai kawasan internet yang stabil di pemerintah kota,
sambungan internet yang murah di kawasan strategis, serta
meningkatnya komunikasi tanpa kertas (paperless).

E-GOVERNMENT SEBAGAI BAGIAN DARI SMART GOVERNMENT


(PEMERINTAH CERDAS) UNTUK MENDUKUNG PERWUJUDAN
SMART CITY (KOTA CERDAS)

Dalam perjalanannya, kota terus tumbuh dari berbagai sudut


pandang baik populasi, ekonomi, sosial, budaya dan teknologi. Hal ini
menuntut adanya pola pengelolaan serta manajemen kota yang lebih
inovatif. Smart city atau kota cerdas muncul sebagai alternatif konsep
instrumen yang inovatif dan mulai diterapkan pada kota-kota besar di
seluruh dunia.
Smart city merupakan sebuah fenomena yang dalam beberapa
tahun kemunculannya kian populer di seluruh dunia. Berkembang
dalam bentuk proyek, kajian studi maupun telah diterapkan sebagai
aplikasi yang terintegrasi. Membuat sebuah kota untuk semakin
cerdas adalah sebuah kewajiban dan tidak dapat ditentang
keberadaannya. Beberapa negarapun mengembangkan smart city
sesuai dengan kemampuan dan keinginannya dalam mengembangkan
konsep ini. Para peneliti, baik dari kalangan pendidikan atau komersil
juga berlomba terus mengembangkan dan memperbaiki konsep ini.
Hasilnya konsep smart city dapat didefiniskan secara luas, bahkan

372 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
dapat dikatakan tidak ada definsi yang benar-benar tepat atau absolut
untuk mewakili konsep smart city.
Caragliu (2009) menyatakan bahwa sebuah kota dikatakan smart
atau cerdas ketika telah mampu memaksimalkan investasi terhadap
sumber daya manusia, transportasi dan infrasrtuktur teknologi
informasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
meningkatkan tingkat kenyamanan hidup dan lingkungan melalui tata
kelola yang baik. Sedangkan Abdoulev (2011), mendefiniskan smart
city sebagai sebuah kota yang menggabungkan konsep digital, natural
dan sosial sehingga terbentuknya peningkatan ekonomi, infrastruktur
kota yang baik, lingkungan yang bersahabat transportasi dan
kehidupan yang nyaman.
Terkait definisi tersebut, Abdoulev (2011) kemudian menyebutkan
bahwa Smart City tersusun atas 5 (lima) parameter yang masing-
masing memiliki indikator, yaitu:

No Parameter Indikator
1 Smart 1. Proses demokrasi dan inklusi.
governance 2. Administrasi tatakelola pemerintahan yang
saling terkoneksi serta terintegrasi.
3. Peningkatan akses terhadap layanan.
2 Smart 1. Peningkatan pola edukasi.
people 2. Pengontrolan pembelajaran melalui Remote
e-Education Solution.
3. Masyarakat dengan informasi yang lebih
baik.
3 Smart 1. Lingkungan dikelola secara sustainable
environment (berkelanjutan).
2. Mengurangi penggunaan energi melalui
inovasi teknologi, konservasi energi dan
daur ulang material.
4 Smart 1. Sistem transportasi yang cerdas dan efisien.
mobility 2. Memanfaatkan dan mengefisienkan jaringan
untuk pergerakan kendaraan, orang, dan
barang untuk mengurangi kemacetan.
3. Penerapan perilaku social yang baru atau
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 373
No Parameter Indikator
“new social attitude” seperti sharing
(berbagi) kendaraan, opsi sepeda sebagai
alternatif pengganti penggunaan mobil, dan
lain-lain.
5 Smart 1. Regional/global kompetisi.
economy 2. Akses broadband untuk seluruh masyarakat
dalam rangka meningkatkan peluang B2B
3. Lokasi yang independen, membantu
mengelola populasi dalam suatu area.
4. Transaksi elektronis proses bisnis dalam
semua bidang (e-banking, e-shopping, e-
auctation, dan lain-lain).
6 Smart living 1. High quality atau kualitas yang tinggi pada
akses terhadap layanan kesehatan (e-
health, remote health monitoring).
2. Manajemen electronic health record (rekam
medis elektronik).
3. Otomasi rumah, rumah cerdas dan layanan
smart building (bangunan yang cerdas).
4. Akses terhadap layanan berbagai jenis
layanan sosial.

Dari berbagai sudut pandang yang muncul tersebut, masing-


masing kota akan menerapkan sesuai dengan permasalahan, rencana
pengembangan ataupun kemampuan finansial dari kota tersebut.
Seiring dengan berkembangnya smart city semakin banyak pula
vendor, para peneliti dan akademisi yang melakukan pengembangan
terhadap smart city. Beberapa vendor diantaranya adalah IBM,
Alcatel, Siemens, Cisco dan lain sebagainya.
Lebih lanjut, Rick Robinson mengembangan tujuh tahapan menuju
smart city, muatan dari masing-masing tahapan tersebut serta
tantangan apabila suatu kota di Indonesia ingin mengembangkan
adalah sebagai berikut: (Sutriadi, 2017).
1. Batasan. Pada tahap ini perlu didefinisikan seperti apa batasan
dari suatu kota cerdas yang dituju dan hendak dijadikan sebagai
374 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
fokus pengembangannya. Pada tahapan awal ini perlu dirumuskan
apakah kota cerdas merupakan upaya untuk mengoptimalkan
fungsi suatu kota sesuai dengan besaran serta fungsi dan
peranannya, ataukah untuk menargetkan suatu kota menjadi
suatu kawasaan strategis ataupun sebagai pusat pertumbuhan
yang dipercepat ataupun diakselerasi pembangunan.
2. Pelaku. Menentukan siapakah pelaku yang menjadi ujung tombak
dan siapa saja pendukungnya (baik pemerintah tingkat pusat.
Provinsi, maupun kabupaten kota), swasta, masyarakat serta
kalangan akademisi di universitas.
3. Pendekatan. Pendekatan seperti apa yang akan digunakan, serta
bagaimana penstrukturan dari pendekatan tersebut serta
persyaratan apa saja dalam menggunakan ataupun
mengembangkan pendekatan tersebut.
4. Prioritas. Mengembangkan kerangka kebijakan yang
berkesesuaian denga kebijakan pembangunan daerah, sistem
perencanaan pembangunan nasional, sistem pembiayaan
pembangunan, pelayanan publik secara prima, pelestarian
lingkungan, informasi dan transaksi elektronik, serta prinsip
kebebasan informasi untuk publik.
5. Petajalan (roadmap). Merumuskan petajalan (roadmap) dari suatu
smart city yang akan dikembangkan, bagaimana posisi petajalan
tersebut terhadap strategi nasional tata kelola dan
pengembangan perkotaan nasional, dan bagaimana indikator
capaian serta tema dari masing-masing fase pengembangan
6. Pembiayaan. Merumuskan biaya yang dibutuhkan serta sumber
pembiayaannya dan tata aturan berperan serta bagi para pelaku
di luar pemerintah apabila ingin mengembangkan proses
kerjasama (konsep public private partnership) untuk
pengembangan kota cerdas ini.
7. Proses swa rencana. Membuka peluang untuk mengembangkan
proses swa keberlanjutan yang lebih cerdas melalui keterlibatan
aktif masyarakar sebagai bagian penting dari perencanaan menuju
smartcity.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 375
Sumber: Robinson 2015 (dalam Sutriadi 2017)

Gambar 2 . Tahapan Pengembangan Smart City

Ide kota pintar alias smart city sudah didengung-dengungkan oleh


berbagai kalangan termasuk di Indonesia tersebut sering pula
dikaitkan atau bahkan disamakan dengan konsep e-government.
Menurut Nonot Harsono selaku Komisioner Badan Regulasi
Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dalam Liputan6.com (Smart City dan
e-Government Apa Bedanya?, 2015), masih banyak orang yang menilai
smart city itu sama dengan e-government, padahal keduanya berupa
konsep yang berbeda. Smart city merupakan konsep pemanfaatan
teknologi komunikasi dan informasi untuk semua sektor yang lebih
luas dari sekedar e-government. Lebih lanjut Nonot menilai penerapan
smart city didasarkan pada pertimbangan antara kebutuhan dan
kelayakan atau tingkat urgensi smart city di setiap daerah, sedangkan
penerapan e-government lebih bergantung pada keputusan pimpinan

376 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
daerah. Dapat dikatakan pula bahwa e-government merupakan bagian
dari smart government atau pemerintahan yang cerdas, dimana
pemerintah yang cerdas merupakan komponen penting yang akan
mendukung tercapainya smart city secara lebih menyeluruh. Meski
begitu, dalam usaha untuk membangun smart city yang juga
mencakup e-government didalamnya, keduanya sangat membutuhkan
dukungan jaringan broadband yang memadai. Kalau tanpa dukungan
broadband yang bagus, sulit bagi pemerintah daerah mau
menerapkan smart city ataupun e-government sekalipun.

PENUTUP

e-Government atau pemerintahan digital pada intinya merupakan


kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan
dukungan teknologi informasi dan komunikasi yang utamanya dalam
rangka memberikan layanan kepada masyarakat secara lebih efektif.
Di Indonesia, inovasi e-government sudah diinisiasi oleh banyak
pemerintah daerah sejak beberapa tahun belakangan. Penerapan e-
government ini, sejalan dengan semangat reformasi birokrasi di
Indonesia, semakin berperan dalam meningkatkan kualitas pelayanan
publik serta membantu proses penyampaian informasi secara lebih
efektif kepada masyarakat. Berbagai upaya tentunya harus terus
dilakukan untuk dapat semakin meningkatkan kualitas implementasi
e-government. Pencapaian e-government juga akan sekaligus
merupakan salah satu perwujudan smart government atau
pemerintahan yang cerdas, dimana pemerintah cerdas merupakan
komponen penting yang akan mendukung tercapainya smart city
secara lebih menyeluruh.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 377
DAFTAR PUSTAKA

Abdoulev A. (2011). A smart world: a development model for


intelegent cities. The 11 th International Conference on Computer
and Information Technology.

Aprianty, D.R. (2016). Penerapan kebijakan e-government dalam


peningkatan mutu pelayanan publik di kantor Kecamatan
Sambutan Kota Samarinda. ejournal.ip.fisip-unmul.ac.id Vol 4
Nomor 4: 1589-1602.

Astuti, Sri Yuni Woro. (2005). Peluang dan tantangan penerapan e-


governance dalam konteks otonomi daerah.
www.journal.unair.ac.id/filerPDF/05-Yuni.pdf

Campo, Salvatore Schiavo and Pachampet Sundaram. (2002). To serve


and to preserve: improving public administration in a competitive
world. Asean Development Bank.

Caragliu, A., de Bo, C., and Nijkamp, P. 2009. Smart cities in Europe. 3rd
Central European Conference in Regional Science.

Center for Democracy and Technology (CDT) and InfoDev. (2002). “E-
government Handbook: Part 1 -The Three Phases of E-
government”, http://www.cdt.org/egov/handbook/part1.shtml,
[online], diakses pada 15 Maret 2017.

Dash, Satyabrata & Subhendu Kumar Pani. (2016). e-Governance


paradigm using cloud infrastructure: benefits and challenges.
Procedia Computer Science 85 (2016) 843-855.

Dwiyanto, Agus. (2005). Mewujudkan good governance melalui


pelayanan publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Bandung.


http://www.bandung.go.id/ (diakses pada pada 30 Juni 2017).

378 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Surabaya.
http://www.surabaya.go.id/ver5/ (diakses pada 30 Juni 2017).

Farid, Miftakhul. (2015). Implementasi electronic government melalui


Surabaya Single Window di Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap
Kota Surabaya. Publika Vol 3, No 5

Haryatmoko. (2016). Akuntabilitas pelayanan publik: etika publik,


dasar membangun integritas dan profesionalitas. Prosiding
Seminar.

Hasibuan, ZA dan Santoso, HB. (2005). Standardisasi aplikasi e-


government untuk instansi pemerintah. Prosiding Konferensi
Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia. ITB, 3-4
Mei 2005.

Indrajit, Richardus Eko. (2002). Electronic government: strategi


pembangunan dan pengembangan sistem pelayanan publik
berbasis teknologi digital. Yogyakarta: Penerbit ANDI.

Kementerian Komunikasi dan Informasi. (2003). Panduan


Penyelenggaraan Situs Pemerintah Daerah.

Muluk, M.R. Khairul. (2001). Lokalisasi dan Globalisasi: tantangan dan


peluang Digitalisasi Pemerintah Daerah, Bisnis dan Birokrasi:
Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol.IX/2/Mei/2001.

Pemerintah Daerah se-Indonesia Adopsi Sistem e-Government Pemkot


Surabaya. (2016). http://surabaya.tribunnews.com/2016/09/28
/pemerintah -daerah-se-indonesia-adopsi-sistem-e-government-
pemkot-surabaya (diakses pada 30 Juni 2017).

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 379
Republik Indonesia, (2003). Intruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengembangan E-government.

Republik Indonesia. (2015). Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2015


tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden No 54
Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Riley, Thomas B. (2002). Change Management, E-Governance, and


The Relationship to E-government. Commenwealth Centre for
Electronic Governance.

Sosiawan, Edwi Arief. (2015). Evaluasi Implementasi E-government


pada Situs Web Pemerintah Daerah di Indonesia: Perspektif
Content dan Manajemen. Open Journal System.
https://ojs.uajy.ac.id/index.php/jbi/article/download/461/497
diakses pada 30 Juni 2017.

Sutriadi, Ridwan. (2017). Persperktif Perencanaan: Smart City: Inovasi,


Kota Komunikatif dan Kota Berkeadilan. Bandung: CV Nur Ridwan.

Surabaya akan jadi Model e-Goverrnment Nasional. (2012).


(http://www.tribunnews.com/nasional/2012/01/09/surabaya-
akan-jadi-model-e-goverment-nasional (diakses pada 30 Juni
2017).

Smart City dan e-Government Apa Bedanya? (2015).


http://tekno.liputan6.com/read/2213171/smart-city-dan-e-
government-apa-bedanya (diakses pada 12 Agustus 2017).

Tochija, Itoc. (2007). Kebijakan E-government dalam Meningkatkan


Pelayanan Publik.

380 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

drh. Ida Malati Sadjati, M.Ed., lahir di


Sukabumi 8 Agustus 1959. Pendidikan
sarjana strata 1nya adalah Dokter Hewan
yang diperoleh dari Institut Pertanian Bogor
(IPB) pada tahun 1984; dan Gelar Master of
Education (M.Ed.) diperoleh dari Simon
Fraser University, Burnaby, Vancouver,
Canada, pada tahun 1989 dengan beasiswa
CIDA. Dari tahun 1986 s.d. 2000 ditugaskan
di Pusat Antar Universitas - Universitas
Terbuka (PAU-UT), mulai sebagai staf, Sekretaris Administrasi, sampai
dengan Sekretaris Akademik. Dari tahun 2001 sampai dengan 2009
ditugaskan sebagai Kepala PAU-UT selama dua periode. Pada tahun
2009 kembali aktif bertugas sebagai dosen di FMIPA dan pada tahun
2013 s.d. 2017 mendapat tugas sebagai PD 1 FMIPA-UT. Mata kuliah
yang menjadi ampuan adalah Nutrisi Makanan Ternak, Budidaya
Ternak Perah, Pengolahan Hasil Ternak, Manajemen Pelatihan dan
Psikologi Belajar Mengajar. Bidang kajian yang diminati meliputi
pengembangan kurikulum; proses pembelajaran jarak jauh; teori
belajar; pengembangan perangkat pembelajaran jarak jauh; gaya
belajar mahasiswa; dan hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan
jarak jauh.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 381
Drs. Budi Prasetyo, MSi., lahir di
Madiun 28 Desember 1959.
Pendidikan Strata 1 Biologi
diperoleh dari Fakultas Biologi UGM
pada tahun 1987; gelar Master
Sains di bidang Biologi diperoleh
dari Institut Pertanian Bogor (IPB)
pada tahun 2006 dan saat ini
sedang menempuh program Doktor
bidang Biologi di IPB. Mata kuliah yang menjadi ampuan penulis untuk
pembelajaran mahasiswa Program S1 Biologi FMIPA Universitas
Terbuka terdiri atas Ekologi Hutan Tropis, Ekologi Tumbuhan, Ekologi
Gulma, Dasar-dasar Konservasi, Taksonomi Tumbuhan Tinggi, dan
Taksonomi Tumbuhan Rendah. Beberapa publikasi ilmiah telah penulis
hasilkan baik berupa artikel jurnal, artikel seminar, maupun artikel
dalam buku. Aktif dalam mengikuti seminar-seminar di bidang Biologi
serta terlibat sebagai anggota pada organisasi profesi seperti PBI
(Perhimpunan Biologi Indonesia), PTTI (Penggalang Taksonomi
Tumbuhan Indonesia), dan Michoina. Penulis saat ini berprofesi
sebagai dosen di Program Studi Biologi FMIPA UT dan berikut alamat
email korespondensi: budi-p@ecampus.ut.ac.id

Dr. Ir. Nurmala Pangaribuan, M.S.,


lahir di Medan 26 April 1962.
Pendidikan Sarjana Strata 1 Agronomi
diperoleh dari Universitas Sumatera
Utara (USU) pada tahun 1980; Gelar
Master Sains di bidang Budidaya
Pertanian diperoleh dari Institut
Pertanian Bogor (IPB), pada tahun 1991
dengan beasiswa TMPD; dan pendidikan
terakhir meraih gelar Doktor di bidang Agroteknologi diperoleh dari
Universitas Padjadjaran Bandung (UNPAD), pada tahun 2015 dengan
Beasiswa BPPS. Mata kuliah yang menjadi ampuan adalah Budidaya
Tanaman Perkebunan Utama, Konservasi Sumber Daya Pertanian,
Pemanfaatan Limbah Pertanian, untuk Program Sarjana S1,

382 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Universitas Terbuka. Publikasi yang telah dilakukan berupa artikel
jurnal yang telah diterbitkan baik di tingkat nasional maupun
internasional. Menulis modul Pengantar Ilmu Pertanian (PIP), untuk
mahasiswa S1 Agribisnis Universitas Terbuka. Bidang penelitian yang
ditekuni adalah budidaya tanaman, kesuburan tanah, dan nutrisi
tanaman. Penulis dapat dihubungi pada email
nurmala@ecampus.ut.ac.id.

Dr. Ernik Yuliana, S.Pi, MT. dilahirkan di


Lumajang (Jawa Timur) sebagai anak pertama
dari dua bersaudara pada 15 Juli 1972. Gelar
Sarjana Perikanan diperoleh dari Program
Studi Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas
Perikanan, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada
1995. Gelar Magister Teknik diperoleh dari
Jurusan Teknik Lingkungan, Institut Teknologi
Bandung (ITB) pada 1999 dengan Beasiswa
University Research for Graduate Education
(URGE) dari Bank Dunia. Pendidikan doktor
ditempuh di Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan
Lautan IPB pada 2013-2016 dengan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana
Dalam Negeri (BPPDN) Kemenristekdikti. Memperoleh kesempatan
mengikuti short course Ecosystem Approach to Fisheries di
Wageningen, Belanda dibiayai oleh Centre for Development Innovation
Wageningen University, 20 September – 9 Oktober 2015. Mengajar di
Program Studi Agribisnis Fakultas MIPA dan Program Magister
Manajemen Perikanan Universitas Terbuka (UT), dan mendapat tugas
tambahan sebagai Staf Ahli Pembantu Rektor I UT Bidang
Pengembangan Layanan Akademik, Inovasi, dan Akreditasi sejak 1
Februari 2017. Mata kuliah ampuan adalah Konservasi Sumber Daya
Perairan, Keteknikan Budidaya Ikan, Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Laut, Legalitas Hukum Kelautan dan Perikanan. Mendapat
penghargaan sebagai Pegawai Berkinerja Terbaik I Tahun 2009 FMIPA
UT dan Dosen Berprestasi Terbaik III Tahun 2009 UT. Diseminasi hasil
penelitian yang telah dilakukan adalah menjadi penyaji makalah di The
7th World Fisheries Congress Busan, Korea Selatan pada 23-27 Mei
Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 383
2016 dibiayai oleh Direktorat Pengelolaan Kekayaan Intelektual;
Kemristekdikti dan juga menjadi pemakalah di The Japanese Society
for Fisheries Science (JSFS) International Symposium di Tokyo, Jepang
pada 22-24 September 2017 dibiayai oleh UT. Publikasi artikel di jurnal
internasional tahun 2016 adalah di Aquaculture, Aquarium,
Conservation & Legislation (AACL) Bioflux 9 (3): 483-497. Publikasi
artikel di jurnal nasional terakreditasi tahun 2016 adalah di Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia 22 (1): 1-17, dan tahun 2017 di Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis 9 (1): 29-43.

Dr. Ir. Rinda Noviyanti, M.Si., lahir di


Jakarta pada tanggal 3 November 1966
sebagai putri ke-4 dari 6 bersaudara.
Pendidikan sarjana Strata 1 Perikanan
diperoleh dari Institut Pertanian Bogor
(IPB) pada tahun 1991; Gelar Master of
Science di bidang Teknologi Kelautan
diperoleh dari Institut Pertanian Bogor
(IPB), pada tahun 2006 dengan beasiswa
BPPS; dan pendidikan terakhir meraih
gelar Doktor di bidang Sistem dan
Pemodelan Perikanan Tangkap diperoleh
dari Institut Pertanian Bogor (IPB), pada tahun 2016 dengan Beasiswa
dari Universitas Terbuka (UT). Mendapat penghargaan sebagai dosen
berprestasi pertama pada tahun 2010. Mata pengajaran yang menjadi
ampuan adalah Sistem Budidaya Ikan, Inovasi Teknologi Perikanan,
dan konservasi Sumber Daya Perairan pada Program Studi Agribisnis
untuk Program Sarjana S1, Universitas Terbuka. Untuk Program Studi
S2 Manajemen Perikanan, mata kuliah ampuannya adalah Metode
Penangkapan Ikan, Manajemen Sumber Daya Perikanan, dan Sistem
Budidaya Ikan. Publikasi yang telah dilakukan berupa artikel jurnal
yang telah diterbitkan baik di tingkat nasional maupun internasional,
demikian juga makalah yang dipresentasikan baik pada tingkat
nasional maupun internasional. Bidang penelitian yang ditekuni adalah
Manajemen Perikanan Tangkap dan Sosial Ekonomi Perikanan. Dr.
Rinda terlibat sebagai anggota dari Forum Komunikasi Kemitraan

384 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Perikanan Tangkap (FK2PT). Penulis dapat dihubungi pada alamat
email rinda@ecampus.ut.ac.id.

Sri Enny Triwidiastuti, Ir., M.T., lahir di


Surabaya, 11 Juli 1958, menyelesaikan S1
Hidrologi, Teknik Sipil, di Fakultas Teknik Sipil
dan Perencanaan, Institut Teknologi 10
November Surabaya, pada tahun 1982.
Pendidikan S2 Teknik Industri ditempuh di
Institut Teknologi Bandung, di Bandung pada
tahun 1992-1994. Program doktoral bidang
Teknik Industri pernah ditempuh di Institut
Teknologi Bandung dengan kajian Kapabilitas Proses menghasilkan
temuan Indeks Kapabilitas Proses. Penulis pernah bekerja di PT
Indrakarya Persero pada tahun 1982, di PT. Semen Gresik Persero,
Litbang pada tahun 1982 - 1986 dan tahun 1989 sampai saat ini
sebagai tenaga pengajar di Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Terbuka (FMIPA UT). Mata kuliah yang
diampu adalah Statistika Pengawasan Kualitas, Metode Statistika Non
Parametrik, Metode Sampling, Demografi dan Metodologi Penelitian.
Saat ini, penulis sedang mendapat tugas tambahan sebagai Ketua
Jurusan Statistika FMIPA UT. Minat penelitian yang ditekuni adalah
permodelan matematis, kapabilitas proses pada pengendalian kualitas
baik barang maupun jasa. Berbagai seminar nasional dan internasional
pernah diikuti, serta publikasi ilmiah telah pula dilakukan dalam skala
nasional dan internasional, baik berupa prosiding maupun artikel
jurnal. Penulis juga mengembangkan Buku Materi Pokok (BMP) untuk
mata kuliah Metodologi Penelitian dan Metode Statistika Non
Parametrik untuk mahasiswa S1 FMIPA-UT. Pelatihan profesional yang
pernah diikuti antara lain Learning Analytics dalam Tutorial On Line
(2016), Office Mix untuk Tutorial On Line (2015), Audit internal untuk
ISO 9001 (2013). Penulis dapat dihubungi pada nomor 08161833357
dan email srienny@ecampus.ut.ac.id.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 385
Dra. Dina Mustafa, M.Sc., lahir di
Jakarta pada 11 Maret 1956, menempuh
S1 di Jurusan Kimia FMIPA, Universitas
Indonesia. Program magister di bidang
Instructional Design, Development and
Evaluation ditempuh di School of
Education – Syracuse University –
Syracuse - New York, dan memperoleh
Certificate of Advance Study di bidang
yang sama di Florida State University. Penulis berperan sebagai
pengajar Kimia di FMIPA, Pendidikan Kimia di PMIPA FKIP, dan
pengajar Bahasa Inggris Mata Kuliah Dasar Umum di UT. Pernah
menjadi Manajer Penelitian dan Pengembangan di Southeast Asia
Minister Of Education Organization, Open learning Center
(SEAMOLEC) untuk bidang Pengembangan Integrasi Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK) pada Pembelajaran di Perguruan
Tinggi (2005 – 2012). Hal ini yang mengembangkan minatnya pada
pengembangan kurikulum dan pemanfaatan TIK pada sistem
pendidikan jarak jauh umumnya, dan bidang Matematika dan Sains
pada khususnya, serta bidang Kimia Lingkungan/Kimia Hijau. Penulis
menjadi anggota Association for Educational Communication and
Technology dan Ikatan Profesi Teknologi Pendidikan Indonesia (IPTPI)
sejak 2012, dapat dihubungi pada email
dinamustafa@ecampus.ut.ac.id.

Drs. Agus Susanto, M.Si., lahir di Pati


27 Juni 1957. Pendidikan Sarjana Strata
1 Geografi dengan kekhususan
Hidrologi diperoleh dari Universitas
Gadjahmada (UGM) pada tahun 1985;
Gelar Master of Science di bidang
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan diperoleh dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun
2011, candidat Doktor di bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Mata pengajaran yang
menjadi ampuan adalah Pengeloaan sumberdaya air, Audit

386 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Lingkungan, Ekonomi Lingkungan, Sistem Pelaporan Lingkungan, dan
Studio Perencanaan Wilayah pada Program Studi Perencanaan
Wilayah dan Kota (PWK) untuk Program Sarjana S1, Universitas
Terbuka. Publikasi yang telah dilakukan berupa artikel jurnal yang
telah diterbitkan baik di tingkat nasional maupun internasional.
Menulis modul untuk mahasiswa S1 PWK Universitas Terbuka dengan
judul: Pengelolaan Sumberdaya Air, Audit Lingkungan, dan Sistem
Pelaporan Lingkungan. Terlibat aktif di Ikatan Geografi Universitas
Gadjahmada (IGEGAMA),

Sri Utami, S.ST., M.Kes., lahir di Banyuwangi


02 Desember 1987. Pendidikan Diploma III
Kebidanan dan Diploma IV Bidan Pendidik
diperoleh dari Universitas Kadiri di Kediri
pada tahun 2010. Gelar Magister Kesehatan
diperoleh dari Universitas Udayana pada
tahun 2015. Penulis pernah mendapatkan
penghargaan sebagai mahasiswa kesehatan
terbaik pada tahun 2010. Pengalaman bekerja sebagai dosen
didapatkan di Akademi Kebidanan Bina Husada Jember pada tahun
2010-2013 dan di Stikes Husada Jombang Program Khusus di
Bondowoso pada tahun 2012-2013. Pada tahun 2014, penulis terpilih
sebagai penerima beasiswa Field Research Training Program (FRTP),
kolaborasi The Kirby Institute, UNSW Australia dengan Universitas
Udayana. Tulisan berjudul “Mortality among people living with HIV on
antiretroviral treatment in Bali, Indonesia: Incidence and predictors”
terpilih dalam presentasi oral di Australasian HIV & AIDS Conference
2015 di Brisbane Australia, dan terbit dalam International Journal of
STD & AIDS. Presentasi oral tentang pembelajaran jarak jauh juga
pernah diikuti di Asian Association of Open Universities Conference
2017. Penulis juga menjadi reviewer pada Archieve of Community
Health, Indonesian Jurnal of Public Health, serta menjadi anggota dari
Ikatan Bidan Indonesia (IBI). Saat ini penulis bertugas sebagai dosen di
Prodi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
(FMIPA) Universitas Terbuka, dengan mata kuliah yang diampu adalah
Genetika, Fisiologi Hewan, Biologi Umum, dan Prinsip Teknik Pangan.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 387
Bidang minat penelitian meliputi HIV/AIDS, gizi, dan genetika. Penulis
dapat dihubungi pada email sri-utami@ecampus.ut.ac.id.

Dra. Sri Kurniati Handayani M.Si., lahir di Jakarta


pada 3 April 1958. Pendidikan Strata 1 Biologi
diperoleh dari Institut Teknologi Bandung pada
tahun 1984. Pada tahun 2001 memperoleh gelar
Master of Science dalam bidang Komunikasi
Pembangunan Pertanian dan Pedesaan di Institut
Pertanian Bogor. Sejak Desember 1985 bekerja
sebagai staf akademik pada Program Studi Biologi
FMIPA Universitas Terbuka (UT). Saat ini, selain mengampu mata
kuliah di bidang Biologi Dasar juga mendapat tugas tambahan sebagai
Pembantu Dekan II FMIPA-UT. Selain itu, pernah memimpin Pusat
Produksi Bahan Ajar Non Cetak UT. Penulis dapat dihubungi pada
alamat email skurniati@ecampus.ut.ac.id.

Mutimanda Dwisatyadini, S.Kep., Ns., M.Kep.,


lahir di Jakarta 16 Januari 1988. Pendidikan
sarjana Strata 1 Keperawatan diperoleh dari
Binawan Institut of Health Sciences pada tahun
2009. Profesi Ners diperoleh dari Binawan
Institut of Health Sciences pada tahun 2010.
Gelar Magister Keperawatan Peminatan
Manajemen Keperawatan dari Universitas
Indonesia, pada tahun 2014 dengan beasiswa unggulan. Sekarang
penulis menjabat sebagai Staff Pendidik di Program Studi Biologi
Universitas Terbuka. Riwayat penelaah penulisan modul keperawatan
gerontik yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun
2016. Mata Kuliah yang menjadi ampuan Ilmu Alamiah Dasar,
Hidrobiologi, Mikrobiologi pada Program Studi S1 Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Terbuka.
Publikasi yang telah dilakukan berupa jurnal dan artikel untuk nasional
dan internasional. Bidang penelitian yang ditekuni adalah kesehatan
masyarakat, keperawatan, sistem informasi keperawatan. Terlibat
sebagai anggota Persatuan Perawat Nasional Indonesia dan anggota

388 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Himpunan Perawat Manajer Indonesia. Penulis dapat dihubungi pada
email mutimanda@ecampus.ut.ac.id

Diki, SSi, MEd, PhD, lahir di Tasikmalaya, 15


April 1969. Pendidikan S1 diselesaikan pada
tahun 1988 di Jurusan Biologi FMIPA
Universitas Padjadjaran, Bandung.
Pendidikan S2 ditempuh di Faculty of
Education and Social Work, University of
Sydney, Australia pada tahun 2007, dengan
beasiswa dari Ausaid. Pendidikan S3 di
School of Educational Studies, Claremont Graduate University,
Amerika Serikat, pada tahun 2015. Pendidikan S3 ini dibiayai dengan
beasiswa dari World Bank dalam program Japan Indonesia Presidential
Scholarship. Saat ini bertugas sebagai dosen di Program Studi Biologi,
FMIPA Universitas Terbuka di Tangerang Selatan. Saat ini menulis
modul untuk matakuliah Hortikultura. Alamat email adalah
diki.nian@gmail.com.

Soraya Habibi, S.Si., M.Si., lahir di Mojokerto, 09


Mei 1978. Pendidikan S1 Biologi diselesaikan di
Universitas Negeri Surabaya dan Pendidikan S2
Biologi Reproduksi di Universitas Brawijaya. Saat
ini bertugas sebagai Koordinator Registrasi dan
Pengujian di UPBJJ-UT Malang. Mata kuliah
ampuan meliputi Pencemaran Lingkungan dan
Struktur Hewan. Penulis dapat dihubungi pada
alamat email soraya@ecampus.ut.ac.id .

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 389
Ariyanti Hartari, S.T.P., M.Si., lahir di Malang, 23
Desember 1978, menyelesaikan S1 Teknologi Hasil
Pertanian di Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Brawijaya Malang pada tahun 2001.
Pendidikan S2 Ilmu Pangan ditempuh di IPB tahun
2002-2005. Sekarang, penulis menjabat sebagai
Ketua Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Terbuka. Mata kuliah yang menjadi
ampuan adalah Pengantar Teknologi Pangan, Teknologi Pengolahan
Pangan, Satuan Operasi Industri Pangan, Ekonomi Teknik, Ekonomi
Pangan, Penanganan dan Pengolahan Hasil Peternakan pada Program
Studi Ilmu dan Teknologi Pangan untuk Program Sarjana S1,
Universitas Terbuka. Materi bahan ajar yang pernah dikembangkan
antara lain Buku Materi Pokok Praktikum Prinsip Teknik Pangan dan
Penanganan dan Pengolahan Hasil Ternak (ed 2). Penulis dapat
dihubungi pada nomor 081314674839 dan email
ariyanti@ecampus.ut.ac.id.

Drs. Pramono Sidi, M.Si., lahir di Solo,


17 Juni 1953. Pendidikan sarjana Strata 1
Matematika diperoleh di Jurusan
Matematika Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu
Alam, Universitas Indonesia (FIPA-UI
sekarang FMIPA-UI) pada tahun 1984.
Gelar Magister di bidang Aktuaria
diperoleh dari Departemen Matematika, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung (FMIPA-ITB) pada
tahun 2001. Bekerja sebagai dosen di Program Studi Matematika,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Terbuka
(FMIPA-UT), dari tahun 1986 hingga sekarang. Pernah menjabat Ketua
Jurusan Matematika (1993-1995), Pembantu Dekan I FMIPA UT (1995-
1998). Saat ini mata kuliah yang menjadi ampuan utama adalah
Matematika Finansial dan Matematika Aktuaria. Penulis
mengembangkan Buku Materi Pokok untuk mahasiswa Program Studi
Matematika dengan judul Matematika Finansial bersama Drs. Ribut

390 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Alam Malau, M.Si, dosen statistika pada Program Studi Statistika
FMIPA-UT, diterbitkan oleh Penerbit Universitas Terbuka tahun 2005,
serta buku referensi untuk mahasiswa Pascasarjana Program
Pendidikan Matematika Universitas Terbuka dengan judul Permulaan
Matematika dalam Peradaban Bangsa-Bangsa: Kontribusi Budaya
Jawa dalam Matematika bersama dengan Agung Prabowo, S.Si, M.Si,
dosen Matematika pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Jenderal Soedirman (FMIPA-UNSOED), diterbitkan
oleh Penerbit Universitas Jenderal Soedirman pada tahun 2014. Saat
ini penulis aktif di organisasi profesi Indonesian Mathematics Society
(Indo MS) sebagai anggota dan di Indonesian Operation Research
Association (IORA) sebagai scientific committee. Penulis dapat
dihubungi pada email pram@ecampus.ut.ac.id.

Vita Elysia, S.T., M.Sc., lahir di Magelang 29


Mei 1986. Pendidikan sarjana diperoleh dari
Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota
(PWK), Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta pada tahun 2008. Gelar Master of
Science (M.Sc) diperoleh dari Institute for
Housing and Urban Development Studies,
Erasmus University Rotterdam (EUR) Belanda
di bidang Manajemen Perkotaan pada Tahun 2010. Mengawali karir
akademiknya sebagai peneliti pada Pusat Studi Perencanaan dan
Pembangunan Regional (PSPPR) Universitas Gadjah Mada, kemudian
pernah menjadi dosen pada Program Studi Perencanaan Wilayah dan
Kota, Universitas Esa Unggul dan Universitas Trisakti. Saat ini menjadi
dosen pada Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas
Terbuka (UT). Mata kuliah yang diampu adalah Perencanaan Wilayah,
Hukum dan Administrasi Perencanaan, Pembiayaan Pembangunan,
dan Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Menulis Buku
Materi Pokok (BMP) untuk mahasiswa S1 PWK UT dengan judul:
Analisis Lokasi dan Pola Keruangan, Perencanaan Tapak, dan
Pembangunan yang Bertumpu pada Komunitas.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 391
Dr. Ake Wihadanto, S.E., M.T, lahir di
Jakarta 12 Maret 1974, memperoleh gelar
S1 (Sarjana Ekonomi/S.E.) dari Jurusan Ilmu
Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP)
Universitas Pasundan (1998) dengan
mengambil peminatan bidang Ekonomi
Industri. Kemudian gelar S2 (Magister
Teknik) diperoleh dari Program Studi
Perencanaan Wilayah dan Kota dengan
bidang peminatan Perencanaan Pengembangan Wilayah Perdesaan di
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
(SAPPK), Institut Teknologi Bandung ITB (2005). Sejak tahun 2017
menyelesaikan studi S3 (Doktor) di Program Studi Perencanaan
Wilayah dan Pedesaan – Fakultas Ekonomi Manajemen IPB dengan
bidang kajian penataan kawasan kumuh (slum area) dan penyesuaian
ulang lahan (land readjustment). Bekerja sebagai dosen PNS di
Fakultas Ekonomi Universitas Terbuka sejak tahun 2005 dengan mata
kuliah ampuan adalah ekonomi makro-mikro, ekonomi regional,
ekonomi perkotaan, metode penelitian dan perencanaan
pembangunan. Selain itu penulis juga menjadi dosen untuk mata
kuliah pengembangan lahan, studio perencanaan wilayah dan kota,
pembiayaan pembangunan dan perumahan dan permukiman. Penulis
pernah menjadi Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas
Ekonomi UT pada tahun 2008-2010. Selain menjadi tutor dan dosen,
penulis juga aktif melakukan penelitian baik di lingkungan Universitas
Terbuka maupun sebagai konsultan perencanaan (penataan ruang).
Bidang minat yang ditekuni adalah pengembangan wilayah perdesaan,
perencanaan kota, migrasi & remittances, ekonomi regional dan
industri, penataan ulang lahan (land readjustment) dan pembelajaran
e-learning.

392 Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City
Drs. Sumartono, M.Si., lahir di Kulon
Progo, 3 Maret 1958. Pendidikan
sarjana Strata 1 Geografi
Kependudukan dan Demografi
diperoleh dari Universitas Gadjah
Mada (UGM) pada tahun 1983. Gelar
Magister Sains di bidang Sosiologi
Perdesaan diperoleh dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun
2012. Sejak tahun 1989 ditugaskan oleh pimpinan Universitas Terbuka
(UT) sebagai staf dosen FMIPA yang diperbantukan di Pusat Pengujian
UT. Tahun 1996/1997 oleh pimpinan UT diberikan tugas tambahan
sebagai pengelola lembaga pendidikan (YPII) yang membawahi jenjang
pendidikan dari tingkat TK, SD, SMP dan SMA. Sejak tahun 2012
sebagai staf dosen pada Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota
(PWK) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA)
Universitas Terbuka. Mata pelajaran yang menjadi ampuan antara lain
mata kuliah Kependudukan, Dasar-dasar Geografi, Analisis Lokasi dan
Penataan Ruang, Perencanaan Transportasi dan Ekonomi Wilayah dan
Kota. Publikasi artikel pada jurnal tingkat nasional seperti pada Jurnal
Matematika Sains dan Teknologi (UT) dan Jurnal Sosial Budaya, Jurnal
Predestinasi yang diterbitkan olen Universitas Negeri Makasar. Bidang
penelitian yang ditekuni adalah bidang kependudukan terutama untuk
tema yang terkait dengan migrasi penduduk. Salah satu hasil
penelitiannya berjudul “Proses Pengambilan Keputusan dan Adaptasi
Migran Sirkuler di Kecamatan Pamulang Kota Tangerang Selatan ”.
Penulis dapat dihubungi pada email sumartono@ecampus.ut.ac.id.

Optimalisasi Peran Sains dan Teknologi untuk Mewujudkan Smart City 393

Anda mungkin juga menyukai