Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS BLOK ELEKTIF

PERAN HUKUM SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR YANG


MEMPENGARUHI PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN
NAPZA DI INDONESIA

Disusun oleh:
SALMA NARA FADHILLA
1102015212

Kelompok I

Bidang Kepeminatan Drug Abuse

Pembimbing : dr. Lilian Batubara, M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2018/2019
ABSTRAK
Pendahuluan: Prevalensi penyalahgunaan Narkoba di Indonesia Tahun 2017 sebesar 1,77%.
NAPZA di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika,
dengan sanksi pidana maupun rehabilitasi, namun masalah tindak pidana kejahatan ini belum tuntas.
Tujuan laporan kasus ini untuk mengetahui dan mempelajari peran hukum sebagai salah satu faktor
yang mempengaruhi penyalahgunaan dan peredaran NAPZA.
Deskripsi Kasus: Tn. D, 22 tahun merupakan pengguna dan pengedar NAPZA yang sudah 7 kali
direhabilitasi dan 2 kali terjerat kasus kriminal. Tahun 2017, Tn. D ditangkap polisi saat
menyerahkan 3 Kg sabu-sabu kepada pembeli, namun karena menyuap petinggi hukum, dalam
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) hanya tertulis 1 gram sabu-sabu dan mendapatkan hukuman yang
lebih ringan. Selama di dalam lapas, Tn.D masih dapat berjualan NAPZA. Tn. D mengaku tidak
ingin berhenti menjadi pengedar.
Diskusi: UU No. 35 Tahun 2009 mengklasifikasi pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika
menjadi 2, pengguna dan bukan pengguna. Jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku adalah
pidana penjara, pidana seumur hidup, sampai pidana mati, yang ditambah dengan pidana denda.
Banyak bandar dan pengedar narkotika yang tertangkap dan mendapat sanksi berat, tetapi tidak
menimbulkan efek jera bagi pelaku lain. Peredaran narkoba juga dapat terjadi di rutan maupun lapas
dengan cara menyuap sipir. Penyebab peredaran NAPZA marak terjadi di rutan dan lapas
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, pengguna yang sudah jelas, penempatan narapidana
kasus narkoba dengan narapidana non-narkoba dalam satu sel, dan ketidakseimbangan jumlah antara
petugas dengan napi.
Kesimpulan: Upaya diterapkannya Undang-Undang No 35 Tahun 2009 dinilai sudah tegas dan
memberikan efek jera, namun tindak pidana narkotika masih tinggi. Aparat penegak hukum yang
dapat disuap dan bekerja sama dengan para kartel narkotika, menjadi salah satu unsur yang
menyebabkan penyalahgunaan narkotika masih tetap tinggi di Indonesia.

Kata kunci: UU Narkotika, hukum bagi pengedar Narkotika

ABSTRACT
Introduction: The prevalence of drug abuse in Indonesia in 2017 is 1.77%. Drug in Indonesia has
been regulated in Law Number 35 year 2009 about Narcotics, with criminal and rehabilitation
sanctions, but the problem of this crime is not yet complete. The purpose of this case report is to
know and learn about the role of law as one of the factors that influence drug abuse and circulation.
Case Description: Mr. D, 22 years old is a drug user and distributor who has been rehabilitated 7
times and has been caught in two criminal cases. In 2017, Mr. D was arrested by the police when he
handed over 3 kg of shabu-shabu to the buyer, but because he bribed legal officials, in the Minutes
of Examination (BAP) only 1 gram of shabu-shabu was written and received a lighter sentence.
While in prison, Tn.D can still sell drugs. Mr. D claimed he did not want to stop being a dealer.
Discussion: Law Number 35 year 2009 classified 2 criminal offenders of narcotics abuse, users and
non-users. The types of crimes that can be imposed on the perpetrators are imprisonment, life
sentence, and capital punishment, which is added to criminal penalties. Many drug dealers are caught
and severely sanctioned, but do not cause deterrent effects for other actors. Drug trafficking can also
occur in detention centers and prisons by bribing guards. The causes of drug circulation in prisons
are obvious users, placement of prisoners of drug cases with non-drug prisoners in one cell, and an
imbalance in numbers between officers and prisoners.
Conclusion: Efforts to implement Law Number 35 year 2009 are considered to be firm and provide
a deterrent effect, but narcotics crime is still high. Law enforcement officials who can be bribed and
cooperate with narcotics cartels, are one of the elements that causes narcotics abuse to remain high
in Indonesia.

Keywords: Narcotics Law, law for drug dealers

1
PENDAHULUAN
NAPZA merupakan akronim dari Narkoba, Psikotropika dan Zat Adiktif
lainnya, yang lebih umum dikenal dikalangan masyarakat sebagai Narkoba. Di
Indonesia, Narkotika sudah pada level yang mengkhawatirkan dan dapat
mengancam keamanan dan kedaulatan negara (Arief DM dan Gultom E, 2013).
Menurut Badan Narkotika Nasional (2017), angka prevalensi penyalahgunaan
Narkoba di Indonesia Tahun 2017 sebesar 1,77%, dengan 3.376.115 pengguna
berada pada kelompok usia 10-59 Tahun.
Hukum yang mengatur tentang NAPZA di Indonesia yaitu Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 35 tahun
2009 tentang Narkotika, dengan sanksi pidana maupun rehabilitasi, namun masalah
tindak pidana kejahatan ini belum dapat diselesaikan dengan tuntas (Hariyanto BP,
2018). Menurut Rahmanto TY (2017), sanksi pidana penjara pada kasus
penyalahgunaan NAPZA dinilai berdampak pada maraknya peredaran narkoba
yang melibatkan tahanan atau penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang
dimanfaatkan oleh pengedar untuk memperluas peredarannya. Sedangkan menurut
Hartanto W (2017), dikatakan bahwa hak untuk direhabilitasi membuat banyak
generasi muda memakai narkotika dikarenakan penegakan hukum di Indonesia
tidak tegas dan tidak memberikan efek jera.
Pada laporan kasus ini disajikan kasus penyalahgunaan NAPZA yang sudah
berulang kali rehabilitasi yang diperoleh dari wawancara dengan salah satu pasien
yang pernah menjadi pengguna dan pengedar NAPZA dan sedang menjalani tahap
rehabilitasi untuk ke tujuh kalinya di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta.
Laporan kasus ini bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari peran hukum
sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi penyalahgunaan dan peredaran
NAPZA.

DESKRIPSI KASUS
Tn. D berusia 22 tahun merupakan anak kedua dari 4 bersaudara, dengan
kedua orangtua yang telah bercerai sejak ia kelas 3 SMP. Anak pertama tinggal
dengan ayah kandung yang bekerja di Pelayaran Haliburton, sedangkan Tn. D dan
kedua adiknya tinggal bersama ibu kandungnya yang berprofesi sebagai manager

2
asuransi. Ibu Tn. D telah menikah lagi, namun Tn. D mengaku tidak memiliki
masalah dengan ayah tirinya yang berprofesi sebagai tentara. Hubungan dengan
ayah kandung dan kakak masih baik meskipun hanya dapat bertemu satu tahun
sekali. Ayah Tn.D memiliki riwayat sebagai seorang pemabuk, yang membuat
Tn.D mulai mencoba minuman beralkohol dan merokok sejak kelas 1 SMP.
Menurut keterangan Tn.D, tidak ada tindak kekerasan dalam keluarganya. Tn. D
telah menyelesaikan Pendidikan terakhirnya di STM Budi Utomo.
Tn. D mulai mengenal NAPZA melalui lingkungan pergaulan sekolah SMP.
Didasari oleh rasa penasaran, Tn. D mulai menggunakan NAPZA sejak tahun 2009.
Jenis NAPZA yang pertama kali digunakan adalah Putaw. Sejak saat itu Tn. D
mulai mencoba golongan NAPZA yang lain seperti sabu, obat depresi (Riklona),
Dumolid, Alprazolam, ganja, kokain, dan heroin. Tn. D mengaku mendapatkan
NAPZA tersebut dari pengedar yang ia temui di sekitar Sunter, sedangkan untuk
obat-obatan seperti Riklona, Dumolid, dan Alprazolam didapatkan dari rekannya
yang bersekolah di bidang farmasi. Untuk memenuhi kebutuhan penggunaan
NAPZAnya, Tn. D pernah sampai menggadaikan mobil pribadinya. Didasari oleh
besarnya pengeluaran perbulan yang dapat mencapai Rp 40 juta/bulan, Tn. D
akhirnya memutuskan untuk menjadi pengedar NAPZA saat masih duduk di
bangku SMA.
Tn. D pernah memutuskan untuk berhenti menggunakan NAPZA selama 2
bulan, namun tetap menjadi pengedar NAPZA. Setelah berhenti selama 2 bulan,
pada tahun 2017, Tn. D tertangkap tangan saat menyerahkan 3 Kg sabu kepada
pembeli. Namun dalam dakwaan di persidangan disebutkan bahwa Tn. D hanya
membawa 1 gram sabu. Menurut kesaksiannya, hal ini dapat terjadi karena ia
menyuap para petinggi hukum untuk meringankan hukumannya dan menghabiskan
dana sekitar 1,5 miliar rupiah. Sebelumnya, Tn. D sudah pernah ditangkap polisi
sebanyak 2 kali untuk kasus pembunuhan berencana, namun di bebaskan dengan
tebusan dari orangtuanya. Kasus pertama yang menjeratnya saat ia duduk di kelas
2 SMP, akibat membunuh temannya yang sering membully dirinya dengan cara
menusukkan pulpen ke tenggorokan korban, dibebaskan dengan jaminan orangtua.
Kasus kedua merupakan pembunuhan berencana yang dilakukan Tn. D kepada

3
pacar adiknya beserta rekannya dengan menggunakan senjata api sekaligus terjerat
hukum akibat diketahui mengonsumsi NAPZA. Kasus kedua ini menyebabkan 3
orang tewas dari pihak pacar adik Tn.D, dan satu orang koma dari pihak Tn.D. Pada
kasus ini Tn.D mendapat sanksi 1 tahun penjara (lebih ringan dari tuntutan jaksa
penuntut umum yaitu 3 tahun penjara) karena terjerat pasal 340 KUHP, tetapi untuk
penggunaan NAPZA beliau tidak dipidana melainkan di rehabilitasi dengan tebusan
dari keluarga. Hal ini menyebabkan Tn.D harus mengikuti Ujian Nasional tingkat
SMP di dalam lapas.
Tn. D menghabiskan 7 bulan masa tahanan di rutan Cipinang terkait kasus
ketiga yaitu penyalahgunaan dan pengedaran NAPZA. Di dalam rutan Cipinang,
Tn.D mengaku kembali menggunakan NAPZA jenis sabu, bahkan mengedarkan
NAPZA dengan menyuap sipir. Setelah 7 bulan di rutan Cipinang, Tn.D
dipindahkan ke Rumah Sakit Ketergantungan Obat untuk menjalani rehabilitasi.
Tn. D telah menjalani proses rehabilitasi di RSKO selama 4 bulan, dan menurut
pengakuannya, selama itu pula bandar narkoba telah menghubunginya dan
memintanya kembali bergabung menjadi pengedar.
Tn.D mengaku sulit berhenti dari aktivitasnya menjadi pengedar narkoba
bukan karena diancam, namun karena pengalamannya yang telah beberapa kali
berhadapan dengan hukum membuatnya mengambil kesimpulan bahwa hukum
negara masih belum cukup tegas, selain itu mudahnya aparatur negara disuap untuk
meringankan hukumannya, dan mudahnya akses berjualan NAPZA bahkan di rutan
sekalipun. Tn. D juga mengakui bahwa ia bahagia menjadi pengedar karena
mendapat penghasilan yang mampu mencapai 100 juta/bulan. Tn. D mengaku lebih
memilih hukuman penjara daripada rehabilitasi di RSKO karena menurut
penuturannya, di RSKO tidak memungkinkan ia untuk melanjutkan bisnis NAPZA
tersebut. Tn. D juga menuturkan bahwa dirinya memiliki keinginan untuk sembuh
tetapi tidak untuk berhenti menjadi pengedar NAPZA.

DISKUSI
1. Golongan NAPZA yang Digunakan Oleh Tn.D
Pada kasus Tn.D, beliau mengaku merokok dan minum-minuman beralkohol
serta mulai menggunakan beberapa jenis NAPZA yaitu putaw, sabu, obat depresi

4
(Riklona), Dumolid, Alprazolam, ganja, kokain, dan heroin sejak SMP dan
berlangsung hingga tahun 2017.
Menurut UU RI No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika menyebutkan bahwa:
a. Narkotika
Narkotika adalah suatu zat atau obat yang berasal dari tanaman maupun
bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang menyebabkan
penurunan dan perubahan kesadaran, mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri
serta dapat menimbulkan ketergantungan secara fisik maupun psikologik.
Narkotika terbagi menjadi 3 (tiga) golongan seperti yang tercantum
dalam pasal 6 ayat 1 serta lampiran UU No. 35 Tahun 2009 berikut:
1) Narkotika Golongan I, termasuk di dalamnya adalah narkotika yang paling
berbahaya. Daya adiktifnya sangat tinggi. Golongan ini digunakan untuk
penelitian dan ilmu pengetahuan. Contoh: ganja, heroin, kokain, desmorfina,
opium, dan sabu-sabu (Metamfetamina).
2) Narkotika Golongan II adalah narkotika yang memiliki daya adiktif kuat,
tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: petidin,
benzetidin, morfina, fentanyl dan betametadol
3) Narkotika Golongan III adalah narkotika yang memiliki daya adiktif ringan,
tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh: kodein dan
buprenorfin.
b. Psikotropika
Psikotropika adalah setiap bahan baik alami ataupun buatan bukan
Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif mempunyai pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental
dan perilaku.
Psikotropika terbagi menjadi 4 (empat) golongan seperti yang tercantum
pada pasal 2 ayat 2 serta lampiran UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika,
sebagai berikut:
1) Psikotropika golongan I, adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta

5
mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh: MDMA, LSD, STP, dan ekstasi.
2) Psikotropika golongan II, adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan
Contoh: amfetamin, metamfetamin, dan metakualon.
3) Psikotropika golongan III, adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh: lumibal, buprenorsina, dan fleenitrazepam.
4) Psikotropika golongan IV, adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma
ketergantungan. Contoh: nitrazepam (BK, mogadon, dumolid) dan diazepam.
c. Zat Adiktif yaitu bahan lain yang bukan Narkotika atau Psikotropika yang
merupakan inhalasi yang penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan.
1) Rokok
2) Kelompok alkohol dan minuman lain yang memabukkan dan menimbulkan
ketagihan.
3) Thiner dan zat lainnya, seperti lem kayu, penghapus cair dan aseton, cat,
bensin yang bila dihirup akan dapat memabukkan. (Alifia, 2008)
Berdasarkan UU tersebut, Tn.D telah menggunakan narkotika golongan I
yaitu ganja, heroin, sabu-sabu, kokain dan putaw, psikotropika golongan IV yaitu
Dumolid, Riklona, dan Alprazolam, serta menggunakan zat adiktif lain yaitu rokok
dan minuman beralkohol.
Dalam penuturan Tn.D, beliau mengaku mendapatkan obat-obatan seperti
Dumolid, Riklona, dan Alprazolam dari temannya yang bersekolah di bidang
Farmasi, yang membuat Tn.D maupun rekannya tersebut telah melakukan
penyalahgunaan obat-obatan tersebut. Berdasarkan Hawari (2000) penyalahgunaan
NAPZA merupakan pemakaian obat-obatan untuk sendiri tanpa indikasi medik,
tanpa petunjuk atau resep dokter, baik secara teratur atau berkala sekurang-

6
kurangnya selama satu bulan. Pada penyalahgunaan ini cenderung terjadi toleransi
tubuh yaitu kecenderungan menambah dosis obat untuk mendapat khasiat yang
sama setelah pemakaian berulang. Disamping itu menyebabkan sindroma putus
obat (withdrawal) apabila pemakaian dihentikan.
Untuk kepemilikan obat-obatan psikotropika tersebut baik Tn. D maupun
rekannya tidak memiliki izin maupun resep dokter. Hal ini membuat Tn. D dan
rekannya dapat dijerat dengan pasal 62 UU No. 5 Tahun 1997 terkait kepemilikan
psikotropika tanpa hak dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

2. Hukum Terkait Kasus Kriminal Pertama dan Kedua yang Menjerat Tn.D
Kasus kriminal pertama yang menjerat Tn. D, merupakan kasus pembunuhan
yang ia lakukan dengan menusukkan pulpen ke tenggorokan seseorang yang sering
mem-bully dirinya, sehingga ia dijerat pasal 340 KUHP. Untuk kasus pembunuhan
tersebut, Tn.D dibebaskan karena masih dibawah umur, dan dianggap tidak bisa
dijerat dengan pasal 340 KUHP. Hal ini dikarenakan barang bukti berupa pulpen
yang digunakan Tn. D untuk menusuk leher korban, tidak cukup sebagai bukti
adanya rencana pembunuhan yang dilakukan oleh Tn. D. Tetapi untuk kasus kedua,
yang mengakibatkan 3 orang tewas dari pihak lawan Tn.D, dan 1 orang koma dari
pihak Tn.D, Tn. D tetap menjalani masa hukuman penjara 1 tahun dikarenakan
terjerat pasal 340 KUHP, dan mengakibatkan ia harus mengikuti ujian nasional di
dalam lapas. Hukuman yang dijalani oleh Tn.D lebih ringan dari tuntutan jaksa
yaitu 3 tahun. Menurut Tn.D, hal ini dapat terjadi karena bantuan dari tebusan dan
jaminan orangtuanya.
Hal ini sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur
mengenai pembunuhan berencana yaitu Pasal 340 KUHP sebagai berikut: “Barang
siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain,
diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh
tahun”.
Pada kasus kriminal kedua yang menjerat Tn. D, selain terjerat pasal 340
KUHP, beliau juga didapati menggunakan narkotika jenis sabu, namun dibebaskan

7
dengan tebusan. Dalam hal ini Tn. D dapat terjerat oleh hukum seperti yang diatur
dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai berikut:
Pasal 127
(1) Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116.
(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah
Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 128
(1) Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang
tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut
pidana.
Namun sesuai dengan UU No. 35 Tahun 2009 tersebut, Tn. D dapat bebas
karena jaminan keluarganya dan mengikuti rehabilitasi untuk pertama kalinya. Tn.
D juga dibebaskan dari sanksi pidana terkait penyalahgunaan narkotika dan
dialihkan untuk mengikuti rehabilitasi karena usianya yang saat itu masih dibawah
umur dan dianggap sebagai korban penyalahgunaan NAPZA sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 127 ayat 3 UU No. 35 tahun 2009.
Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak
dimana anak adalah orang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 12 (dua

8
belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum
pernah kawin. Dalam hal korban Anak, perlindungan yang diberikan oleh
pemerintah kepada anak yang dalam situasi darurat adalah perlindungan khusus
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak yang berbunyi:
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak.
(2) Perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan kepada:
a. Anak dalam situasi darurat;
b. Anak yang berhadapan dengan hukum;
c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
f. Anak yang menjadi korban pornografi;
g. Anak dengan HIV/AIDS;
h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/ atau perdagangan;
i. Anak korban Kekerasan fisik dan/atau psikis;
j. Anak korban kejahatan seksual;
k. Anak korban jaringan terorisme;
l. Anak Penyandang Disabilitas;
m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran;
n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan
o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan
kondisi Orang Tuanya.
Pasal 59A Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak berbunyi:
“Perlindungan Khusus bagi Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1)
dilakukan melalui upaya:

9
a. Penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik,
psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya;
b. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;
c. Pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari Keluarga tidak mampu;
dan
d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa meskipun anak penyalahgunaan
Narkotika melakukan kejahatan Narkotika dan obat-obat terlarang, tetap anak
tersebut harus dilindungi dan dilakukan rehabilitasi yang dilakukan oleh BNN
(Hartanto W, 2017).

3. Hukuman Bagi Tn. D Sebagai Pengedar Napza berdasarkan UU No. 35


Tahun 2009 tentang Narkotika
Menurut Pamungkas AP (2017), ketika seseorang telah menjadi pecandu
narkoba, maka demi untuk mendapatkan narkoba meskipun dengan harga yang
mahal pasti akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya, termasuk dengan
cara ilegal. Hal ini terbukti pada kasus Tn.D. Menurut penuturannya, narkotika
jenis putaw, heroin, ganja, kokain, dan sabu-sabu yang beliau dapatkan dari
pengedar dapat menghabiskan biaya hingga Rp 40 juta/bulan. Hal ini membuat
Tn.D semakin terjerumus dan memutuskan untuk menjadi pengedar obat-obatan
terlarang tersebut.
Berdasarkan pengakuan Tn. D, beliau sulit berhenti dari aktivitasnya menjadi
pengedar narkoba karena pengalamannya yang telah beberapa kali berhadapan
dengan hukum. Hal ini membuatnya mengambil kesimpulan bahwa hukum negara
masih belum cukup tegas, selain itu mudahnya aparatur negara disuap untuk
meringankan hukumannya, dan mudahnya akses berjualan NAPZA bahkan di rutan
sekalipun membuatnya semakin tidak ingin berhenti menjadi pengedar NAPZA.
Pada kasus Tn. D, beliau tertangkap tangan menyerahkan 3 Kg sabu kepada
pembeli namun saat persidangan hanya tertera 1 gram sabu pada Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) sehingga beliau hanya dihukum 7 bulan penjara di LP Cipinang
dan dilanjutkan 4 bulan rehabilitasi di RSKO. Berdasarkan literatur, peraturan yang

10
mengatur mengenai sanksi bagi pengedar maupun pengguna NAPZA telah
tercantum dalam UU No. 35 Tahun 2009 (Hartanto W, 2017).
Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika (selanjutnya
disebut UU Narkotika 2009), pada dasarnya mengklasifikasi pelaku tindak pidana
(delict) penyalahgunaan narkotika menjadi 2 (dua), yaitu: pelaku tindak pidana
yang berstatus sebagai pengguna (pasal 116, 121 dan 127) dan bukan pengguna
narkotika (pasal 112, 113, 114, 119 dan 129), untuk status pengguna narkotika
dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua), yaitu pengguna untuk diberikan kepada orang
lain (pasal 116 dan 121) dan pengguna narkotika untuk dirinya adalah penggunaan
narkotika yang dilakukan oleh seeorang tanpa melalui pengawasan dokter. Jika
orang yang bersangkutan kemudian menderita ketergantungan maka ia harus
menjalani rehabilitasi, baik secara medis maupun sosial, dan pengobatan serta
rehabilitasinya akan diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana, sedangkan,
pelaku tindak pidana narkotika yang berstatus sebagai bukan pengguna diklasifikasi
lagi menjadi 4 (empat), yaitu: pemilik (pasal 111 dan 112), pengolah (pasal 113),
pembawa dan pengantar (pasal 114 dan 119), dan pengedar (pasal 129) (Mustaqilla
S, 2017).
Yang dimaksud sebagai pemilik adalah orang yang menanam, memelihara,
mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai dengan tanpa
hak dan melawan hukum. Yang dimaksud sebagai pengolah adalah orang
memproduksi, mengolah mengekstrasi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan
narkotika dengan tanpa hak dan melawan hukum secara individual atau melakukan
secara terorganisasi. Yang di kualifikasi sebagai pembawa/pengantar (kurir) adalah
orang yang membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika dengan
tanpa hak dan melawan hukum secara individual atau secara teroganisasi.
Sedangkan, yang dimaksud pengedar adalah orang mengimpor, pengekspor,
menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjadi pembeli, menyerahkan,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli. Atau menukar narkotika dengan tanpa
hak dan melawan hukum secara individual maupun secara terorganisasi
(Sumarwoto, 2014).

11
Jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku delik penyalahgunaan
narkotika adalah pidana penjara, pidana seumur hidup, sampai pidana mati, yang
secara kumulatif ditambah dengan pidana denda (Sumarwoto, 2014).
Bentuk rumusan sanksi pidana dalam UU Narkotika dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
a. Dalam bentuk tunggal (penjara atau denda saja)
b. Dalam bentuk alternatif (pilihan antara denda atau penjara)
c. Dalam bentuk komulatif (penjara dan denda)
d. Dalam bentuk kombinasi/campuran (penjara dan/atau denda) (Hartanto W,
2017).
Jika dalam Pasal 10 KUHP menentukan jenis-jenis pidana terdiri dari:
a. Pidana Pokok berupa pidana mati, pidana penjara, kurungan, dan denda.
b. Pidana Tambahan:
1. Pencabutan hak-hak tertentu,
2. Perampasan barang-barang tertentu,
3. Pengumuman putusan hakim.

Tabel 1. Sanksi Pidana Bagi Pengedar dan Pengguna Narkotika menurut


UU No. 35 Tahun 2009
Pasal Bunyi
111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam,
memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12
(dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I
dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang
pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
112 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I
bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4

12
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
113 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram
atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan
tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
114 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan
untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau
menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram
atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan
tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana
mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling
singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
115 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa,
mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan

13
paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau
mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram
atau melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima)
gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
116 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan
Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan
Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain
mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).
117 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai,
menyediakan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
118 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan
II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada

14
ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
119 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan
untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan
II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
120 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa,
mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau
mentransito Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
121 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan
Narkotika Golongan II tehadap orang lain atau memberikan
Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain
mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda

15
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).
122 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai,
menyediakan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
123 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan
III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
124 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan
untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan
III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
125 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa,
mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

16
(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau
mentransito Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
126 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan
Narkotika Golongan III tehadap orang lain atau memberikan
Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal penggunaan Narkotika tehadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain
mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
129 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) setiap orang yang tanpa hak
atau melawan hukum:
a. memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor
Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
b. memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
c. menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor
Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
d. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor
Narkotika untuk pembuatan Narkotika.
Sejalan dengan ketentuan Pasal 10 KUHP, maka jenis-jenis pidana dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang dirumuskan adalah
4 (empat) jenis pidana pokok, yaitu Pidana mati, pidana penjara, denda serta
kurungan, sehingga sepanjang tidak ditentukan lain dalam UU No.35 Tahun 2009
tentang Narkotika, maka aturan pemidanaan berlaku pemidanaan dalam KUHP,
sebaliknya apabila ditentukan tersendiri dalam UU No.35 Tahun 2009, maka
diberlakukan aturan pemidanaan dalam Undang-Undang Narkotika, sebagai contoh
ketentuan Pasal 148 yang berbunyi:

17
“Apabila putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam undang-undang ini
tidak dapat dibayar dan pelaku tindak pidana narkotika dan tindak pidana precursor
narkotika, pelaku dijatuhi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun sebagai
pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar” (Sujono AR dan Daniel B, 2011).
Selain menerapkan Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
pemerintah juga memperkuat aturan hukum tersebut melalui Peraturan Pemerintah
No 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Tidak
hanya itu, pemerintah juga mengeluarkan Instruksi Presiden No 12 Tahun 2011
tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba tahun 2011-2015
sebagai bentuk komitmen bersama seluruh komponen masyarakat, bangsa dan
negara. Terakhir adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 21
Tahun 2013 tentang Fasilitasi Pencegahan dan Penyalahgunaan Narkotika, yang
didalamnya melibatkan peran serta dari gubernur/bupati/walikota (Pamungkas AP,
2017).
Kejahatan narkoba merupakan kejahatan International (International Crime),
kejahatan yang terorganisir (Organize Crime), mempunyai jaringan yang luas,
mempunyai dukungan dana yang besar dan sudah menggunakan teknologi yang
canggih (Soedjono A, 2000). Dalam banyak kasus terakhir, banyak bandar dan
pengedar narkotika yang tertangkap dan mendapat sanksi berat, tetapi hal ini
sepertinya tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku lain, bahkan ada
kecenderungan untuk memperluas daerah operasinya (O.C. Kaligis, et al, 2012).
Pada kasus yang ketiga, seharusnya Tn.D dijerat hukum karena melanggar
pasal 114 ayat 2 dengan ancaman hukuman pidana mati, pidana penjara seumur
hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)) ditambah 1/3 (sepertiga).
Namun dengan mengeluarkan dana yang lebih sedikit dibanding tuntutan jaksa,
yaitu hanya sebesar 1,5 miliar rupiah untuk menyuap petinggi hukum, Tn.D
berhasil mengubah BAP nya menjadi hanya 1 gram sabu dan dihukum 7 bulan

18
penjara. Tn. D juga menuturkan, bahwa ia diancam pidana mati jika didapati sekali
lagi menjual obat-obatan tersebut, namun beliau mengaku tidak takut dan tetap
tidak ingin berhenti.

4. Faktor yang Mempengaruhi Peredaran Napza di dalam Lapas dan Studi


Kasus Fredy Budiman
Selama tujuh bulan berada didalam lapas Cipinang, Tn D mengaku masih
melanjutkan bisnis perdagangan NAPZA dengan cara menyuap sipir. Hal ini
membuktikan bahwa meskipun telah memiliki aturan hukum yang jelas tentang
narkoba, peredaran narkoba di Indonesia masih terjadi. Di tengah banyaknya upaya
hukum yang berusaha ditegakkan oleh aparat penegak hukum di Indonesia terkait
penanganan terhadap peredaran narkoba, tetapi masih terdapat beberapa hambatan
yang harus dihadapi. Beberapa hambatan tersebut antara lain dibutuhkan alokasi
dana yang besar untuk mengungkap kasus dan mengejar pelaku yang tersebar di
beberapa negara, dikarenakan mobilitas pelaku yang tinggi. Selain itu semakin
canggihnya modus yang digunakan oleh pelaku dalam proses penyelundupan
maupun pengedaran narkoba juga membutuhkan kerja keras serta kerja sama dari
seluruh lapisan masyarakat (Pamungkas AP, 2017).
Peredaran narkoba sudah menyebar luas hampir ke seluruh lapisan
masyarakat. Sudah bukan rahasia lagi jika peredaran narkoba pun tetap dapat terjadi
di rutan maupun lapas. Ironisnya, seseorang yang berada di dalam penjara
terkadang justru mampu mengendalikan peredaran narkoba di luar penjara. Di
dalam lapas, seorang napi penyalahguna mudah memperoleh narkoba dari sesama
napi yang menjadi pengedar atau bandar, teman, pasangan, maupun keluarga yang
menjenguk, ataupun oknum petugas lapas (BNN, 2014).
Peredaran gelap narkoba yang terjadi di lembaga pemasyarakatan (lapas)
maupun rumah tahanan negara (rutan) tetap marak meskipun hukuman mati telah
dilaksanakan. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional
(BNN) sekitar 60 persen peredaran narkoba di Indonesia dilakukan dari balik lapas
maupun rutan (Suhayati, 2015). Terdapat beberapa cara yang dilakukan oleh pelaku
dalam melakukan transaksi narkoba, antara lain yaitu face to face, transaksi melalui

19
kurir, pembelian langsung ke lokasi peredaran narkoba, sistem tempel (sistem
tanam ranjau), serta sistem lempar lembing. Sedangkan cara yang lazim digunakan
oleh pelaku dalam mengendalikan narkoba dari dalam lapas adalah dengan cara
sistem lempar lembing dan sistem tanam ranjau melalui kurir (BNN, 2014).
Penyuapan sipir penjara untuk menjalankan bisnis obat-obatan terlarang tidak
hanya dilakukan oleh Tn.D. Hal yang serupa pernah disampaikan oleh tersangka
bandar narkotika yaitu Freddy Budiman. Dikutip dari nasional.tempo.co Freddy
mengaku bahwa selama beberapa tahun bekerja sebagai penyelundup, ia terhitung
menyetor Rp 450 miliar ke BNN dan Rp 90 miliar ke pejabat tertentu di Mabes
Polri. Freddy bahkan pernah difasilitasi mobil TNI bintang dua dari Medan menuju
Jakarta. Jenderal tersebut menyetir mobil bersama Freddy dengan kondisi bagian
belakang penuh narkoba. Namun dikarenakan minimnya bukti dan saksi kunci dari
penyuapan tersebut telah dihukum mati, kasus tersebut sulit dipecahkan.
Seperti halnya Tn.D, Freddy juga pernah melanjutkan bisnis obat-obatan
tersebut di dalam lapas. Freddy mengubah sel tahanannya di LP Cipinang menjadi
pabrik pembuatan pil ekstasi dengan bahan baku dan perkakas yang didapatkan dari
luar melalui sipir penjara yang telah disuap. Freddy juga pernah dipindahkan ke
lapas Nusakambangan, namun kembali berhasil menjalankan bisnis obat-obatan
tersebut. Dikutip dari news.detik.com ada 3 orang oknum yang terlibat membantu
bisnis Freddy Budiman dari dalam lapas, 1 orang di Cipinang dan 2 orang lainnya
di Nusakambangan. Ketiga orang tersebut mendapat sanksi berupa pencopotan dan
diperiksa lebih lanjut oleh Ditjen PAS. Freddy terjerat hukum karena melanggar
pasal 114 ayat 2 jo pasal 132 ayat 1 UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang
pada akhirnya membawanya pada pidana mati.
Menurut Kepala BNN Komjen Pol. Anang Iskandar, penyebab peredaran
narkoba marak terjadi di rutan dan lapas disebabkan oleh beberapa faktor antara
lain pertama, para pengedar menganggap penjara merupakan tempat bisnis narkoba
yang menggiurkan sebab para penggunanya sudah jelas. Salah satu modusnya yaitu
pengedar lama menjerat para pengguna narkoba di dalam lapas dengan memberikan
bantuan uang kepada pengguna. Setelah bebas, pengguna tersebut direkrut menjadi
bawahan pengedar yang masih berada di dalam lapas karena jeratan hutang. Kedua,

20
penempatan narapidana kasus narkoba dengan narapidana non-narkoba dalam satu
sel, sehingga mempermudah transaksi dan memperluas jaringan peredaran narkoba
di dalam lapas. Berdasarkan data Ditjenpas Kementerian Hukum dan HAM per 1
April 2013, jumlah napi di Indonesia diperkirakan berjumlah 155.125 orang, dan
30% diantaranya adalah narapidana kasus narkoba. Ketiga yaitu kurangnya kontrol
atau pengawasan dari petugas lapas terhadap peredaran narkoba di lapas (Suhayati,
2015). Hal ini juga disebabkan oleh ketidakseimbangan antara petugas yang
tersedia dengan banyaknya jumlah napi yang ada.

5. Hukuman Mati Bagi Narapidana kasus Narkotika di Indonesia dan Studi


Kasus di Singapura, Filipina dan Saudi Arabia
Hukuman mati bagi pelaku pidana narkoba adalah salah satu hukuman yang
masih diterapkan di Indonesia di samping beberapa jenis hukuman lain. Hukuman
mati merupakan salah satu hukuman yang mengancam pengedar NAPZA yang
memproduksi, mengimpor, mengekspor, menyalurkan, menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau
menerima Narkotika Golongan I yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1
(satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan
tanaman beratnya 5 (lima) gram, seperti pada Pasal 113 ayat 2 dan Pasal 114 ayat
2.
Meskipun kontroversial, hukuman mati di Negara ini bukanlah hukuman
yang dilarang. Merujuk Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, ancaman
hukuman mati diakui secara legal. Selain itu Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika juga menyebut hukuman mati dijatuhkan kepada produsen
dan pengedar narkoba. Lebih jauh, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya
berpendapat hukuman mati dilindungi oleh konstitusi dan tidak bertentangan
dengan UUD 1945. Karena itu, dalam pandangan sosiologi hukum, khususnya teori
pilihan rasional, sikap dan tindakan masyarakat Indonesia memilih menerapkan
hukuman mati bagi pelaku tindak pidana narkoba dapat dibenarkan, sekalipun di
negara lain pidana mati tersebut sudah ditiadakan atau dihapuskan (Syahruddin H,
2003).

21
Dikutip dari internasional.kompas.com, hukuman pidana mati dinilai sebagai
hukuman yang paling tegas dan menimbulkan efek jera. Dikutip dari laman tirto.id,
pada 18 Januari 2015, rezim Jokowi untuk kali pertama melakukan eksekusi mati
kepada terpidana narkoba. Eksekusi 18 Januari 2015 adalah tahap pertama dari tiga
tahap eksekusi sepanjang 2015-2016. Dikutip dari liputan6.com, eksekusi mati
jilid I dilakukan terhadap Andrew Chan dan Myuran Sukumaran (WN Australia
anggota Bali Nine), Raheem Agbaje Salami, Sylvester Obiekwe Nwolise, Okwudili
Oyatanze (WN Nigeria), Martin Anderson (Ghana), Rodrigo Galarte (Brasil) dan
Zainal Abidin (Indonesia). Jilid II, sebanyak enam terpidana mati, yakni, Ang Kiem
Soei (WN Belanda), Marco Archer (Brasil), Daniel Enemuo (Nigeria), Namaona
Denis (Malawi), Rani Andriani (Indonesia) dan Tran Bich Hanh (Vietnam). Jilid
III (29 Juli 2016), sebanyak empat terpidana mati, Freddy Budiman (WN
Indonesia), Seck Osmane (Nigeria), Humprey Jefferson Ejike (Nigeria) dan
Michael Titus Igweh (Nigeria), yang menjalani eksekusi mati. Pada tahun 2017
tidak dilaksanakan eksekusi mati dikarenakan faktor yuridis. Sedangkan di tahun
2018, dijadwalkan untuk pelaksaan eksekusi mati jilid IV.
Pihak yang tidak mendukung pelaksanaan eksekusi mati, seperti dikutip dari
laman amnestyindonesia.org, berdasarkan Badan Narkotika Nasional (BNN)
menunjukkan bahwa jumlah kasus narkoba telah meningkat dalam beberapa tahun
terakhir, bahkan ketika pemerintah telah mengambil garis keras dengan
mengeksekusi terpidana karena kejahatan narkoba. Pada Juli 2016, Indonesia
mengeksekusi 4 orang, semuanya dihukum karena narkoba. Sementara itu pada
bulan Desember, BNN mengumumkan bahwa jumlah kasus narkoba meningkat
menjadi 807 pada tahun 2016 dari 638 kasus pada tahun 2015, tahun di saat 14
orang dieksekusi di Kepulauan Nusa Kambangan di Jawa Tengah. Terdapat
beberapa negara yang merubah ketentuan mengenai syarat seorang terdakwa dapat
dipidana mati terkait kasus narkotika, sebagai berikut:
a. Iran mengamandemen UU Anti-Narkotika, meningkatkan jumlah obat yang
diperlukan untuk dapat dijadikan dasar pengenaan hukuman mati, dengan efek
yang berpotensi retroaktif.

22
b. Dewan Rakyat Malaysia mengadopsi amandemen tentang Undang-Undang
Obat Berbahaya, 1952, yang merilis beberapa kebijakan atau keringanan
hukum terkait kasus perdagangan narkoba, khususnya mereka yang bekerja
sama dengan penegak hukum.
Sedangkan menurut hasil survei nasional Indo Barometer yang dikutip dari
pikiran-rakyat.com (yang diselenggarakan pada tanggal 15-25 Maret 2015),
mayoritas publik di Indonesia, yakni sekitar 84,1 persen menyatakan setuju dengan
hukuman mati bagi para pengedar narkoba. “Bagi mereka yang setuju, alasan yang
banyak diungkap adalah bahwa narkoba merusak generasi muda (60,8%), dan dapat
menyebabkan efek jera (23,7%),” demikian tutur Qodari. Dikutip dari
cnnindonesia.com, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menegaskan
hukuman mati diperlukan untuk memerangi narkoba. Ia mencontohkan sejumlah
negara yang menerapkan hukuman serupa. "Negara lain seperti Malaysia dan
Singapura juga melakukan itu (eksekusi mati). Terbukti kasus narkoba di sana tidak
ada," kata dia.
Dikutip dari news.detik.com, hukuman narkotika di Singapura adalah
dihukum gantung, dan tegas. Pada tahun 2015 otoritas Singapura mengeksekusi
mati tiga terpidana atas kasus penyalahgunaan narkoba. Dan pada tahun 2016,
Singapura kembali mengeksekusi 2 orang terpidana kasus penyalahgunaan narkoba
yaitu WN Nigeria Chijioke Stephen Obioha (38) dan WN Malaysia, Devendran
Supramaniam (31). Berdasarkan survey yang dilakukan oleh nationmaster.com,
Singapura menduduki peringkat ke 161 dari 161 negara untuk penggunaan ganja
atau sekitar 0,004% di tahun 2004, dan peringkat ke 127 dari 127 negara untung
penggunaan opium atau sekitar 0,004% di tahun yang sama.
Selain Singapura, hukuman mati masih tetap dilakukan di beberapa negara
lain, diantaranya adalah Filipina dan Saudi Arabia.
a. Filipina
Dikutip dari internasional.kompas.com, Presiden Filipina Rodrigo
Duterte mengeluarkan perintah tembak di tempat bagi tersangka pengedar
narkotika. Presiden Rodrigo Duterte juga menyerukan warga sipil agar ikut
membunuh pengedar dan pecandu narkoba, "Lakukan sendiri jika anda punya

23
senjata. Anda mendapat dukungan penuh dari saya," tukasnya. Baru sebulan
berkuasa 400 tersangka pengedar dan pengguna narkoba tewas, sebagian besar
karena baku tembak dengan polisi. Sementara lebih dari 4.400 tersangka
ditahan. Situasi ini ternyata membuat "ngeri" para pengedar dan pengguna
narkoba sehingga sekitar 500.000 orang memilih menyerahkan diri kepada
polisi. Di antara mereka yang menyerah karena takut ditembak mati adalah tiga
orang wali kota dan seorang mantan wali kota yang berasal dari provinsi
Maguindanao, wilayah selatan Filipina.
b. Saudi Arabia
Prevalensi pengguna NAPZA di Saudi Arabia tercatat berjumlah 0,01
persen dari keseluruhan populasi (WHO, 2010). Dikutip dari muslim.or.id, di
Saudi Arabia, untuk pengedar obat terlarang, keputusan Majelis Kibar Ulama
untuk pelaku telah diterbitkan pada keputusan no. 85, tertanggal 11 Dzulqa’dah
1401. Di sana dinyatakan:
“Orang yang mengedarkan narkoba, baik dengan membuat sendiri atau
impor dari luar, baik dengan jual-beli, atau diberikan cuma-cuma, atau bentuk
penyebaran lainnya, maka untuk pelanggaran yang dilakukan pertama, dia
dihukum ta’zir yang keras, baik dipenjara, dihukum cambuk, atau disita
hartanya, atau diberikan semua hukuman tersebut, sesuai keputusan
Mahkamah. Kemudian jika mengedarkan lagi, dia diberi hukuman yang bisa
menghindarkan masyarakat dari kejahatannya, meskipun harus dengan
hukuman mati. Karena perbuatannya ini, dia termasuk orang yang merusak di
muka bumi dan potensi berbuat maksiat telah melekat dalam dirinya.”

6. Hukum Penyalahgunaan NAPZA menurut Pandangan Islam


Dalam Islam, narkotika dan obat-obatan terlarang (Narkoba) merupakan
benda-benda yang dapat menghilangkan akal pikiran yang hukumnya haram.
Narkoba dalam agama Islam dihukumi dengan menggunakan metode qiyas
(analogy) yang dipersamakan dengan khamer (minuman keras) dan jelas haram.
(Sumarwoto, 2014). Sebab salah satu ‘illat diharamkannya benda itu adalah
memabukkan sebagaimana disebutkan dalam hadist nabi: “Setiap yang
memabukkan adalah khamr dan setiap khamr adalah haram.” (Sabiq S, 1984).

24
Karena barang itu adalah barang yang di sukai oleh syetan, mengakibatkan
kehilangan akal serta menurunkan akhlaq dan moralitas bahkan dapat memalingkan
dari Sang Pencipta Allah SWT (Sumarwoto, 2014).
Dalam Al Quran tidak ada ayat yang secara tegas membahas tentang sanksi
atau hukuman bagi pemakai narkoba, tetapi tedapat adanya larangan meminum
khamr. Hal ini dapat dilihat dalam Al Quran Surah al-maidah (5: 90-91).

ٌ ْ‫اب َو ْاْل َ ْز ََل ُم ِرج‬


َ ‫س ِم ْن‬
‫ع َم ِل‬ ُ ‫ص‬َ ‫ِين آ َمنُوا ِإنَّ َما ا ْل َخ ْم ُر َوا ْل َم ْيس ُِر َو ْاْل َ ْن‬َ ‫ يَا أَيُّ َها الَّذ‬90
َ ‫ان فَاجْ تَنِبُوهُ لَعَلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُح‬
‫ون‬ ِ ‫ط‬ َ ‫ش ْي‬
َّ ‫ال‬
‫ضا َء فِي ا ْل َخ ْم ِر َوا ْل َم ْيس ِِر‬
َ ‫َاوةَ َوا ْلبَ ْغ‬ َ ‫طا ُن أ َ ْن يُوقِ َع بَ ْينَ ُك ُم ا ْلعَد‬
َ ‫ش ْي‬
َّ ‫إِنَّ َما يُ ِري ُد ال‬
91‫ون‬َ ‫ص ََل ِة ۖ فَ َه ْل أ َ ْنت ُ ْم ُم ْنت َ ُه‬
َّ ‫َّللاِ َوع َِن ال‬َّ ‫ص َّد ُك ْم ع َْن ِذك ِْر‬
ُ َ‫َوي‬
Artinya: “(90) Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan. (91) Sesungguhnya syaitan itu
bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu
lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari
mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan
pekerjaan itu).” (QS. Al-Maidah (5) : 90-91)
Sedangkan mayoritas ulama setuju bahwa hukum penggunaan NAPZA
adalah hukuman ta’zir, selain karena alasan bahwa narkoba tidak ada dalam
hukuman hadd ada juga alasan seperti yang tertera dalam salah satu ulasan kitab
I’anatut Ṭalibin karya Sayyid Abū Bakar Muhammad Syatha al-Dimyati
menyatakan: “Diluar pembahasan minuman juga diharamkan pula benda padat
yang tidak di hadd melainkan di ta’zir walaupun itu diharamkan dan
memabukkan.” (Sayyid Abū Bakar Muhammad Syatha al-Dimyati, tanpa tahun).
Namun berbeda dengan pendapat Ibnu Taimiyyah, Ia mengatakan bahwa
pengguna narkoba bukan lagi dita’zir, namun harus dihadd yaitu dijilid dengan
alasan narkoba lebih besar pengaruhnya daripada khamr. Didalam kitabnya,
alSiyāsah al-Syar’iyyah fi Islahi al-Ra’i wa al-Ra’iyyah, ia mengatakan: “Ganja
yang terbuat dari daun ganja hukumnya haram, maka (hukumannya) dijilid bagi
siapa saja yang menggunakanya seperti halnya bagi peminum khamr, karena ganja
tersebut bahayanya lebih besar daripada khamr diantaranya adalah merusak akal

25
dan tubuh, sehingga menjadikan seorang laki-laki stress, gila dan kerusakan
lainnya.”
Ibnu Tamiyah menjelaskan tentang keburukan benda-benda yang
memabukkan, temasuk dalam hal ini NAPZA, orang-orang yang memakainya
termasuk golongan yang dimurkai Allah swt, Rasul-Nya, dan kaum muslimin
(Sabiq S, 1984).
Bagi orang yang melanggar dan menganggapnya halal dikenakan hukuman
mati sebagai orang murtad. Jika orang itu tidak bertaubat dan tidak mau
meninggalkan kebiasaan itu, maka ia tidak disembahyangkan dan tidak boleh
dimakamkan bersama pekuburan orang-orang Islam (Sabiq S, 1984).
Ulama fikih sepakat bahwa hukum pemakai narkoba berbentuk deraan.
Ulama hanya berbeda pendapat tentang jumlah deraan. Penganut Mazhab Hanafi
dan Maliki mengatakan 80 kali dera, sedangkan Imam Syafi’I menyatakan 40 kali
dera (Ahmad Hanafi, 1967).
Imam Ahmad mengatakan terdapat dua riwayat, salah satu riwayat itu adalah
80 pukulan, ia sepakat dengan mengikuti Imam Hanafi dan Maliki. Dasarnya adalah
ijmak sahabat. Bahwa Umar pernah mengadakan musyawarah dengan masyarakat
mengenai hukuman peminum khamr. Pada waktu itu Abdurrahman bin ‘Auf
mengatakan bahwa minuman yang dimaksud harus disamakan dengan hukuman
teringan dalam bab hukuman yakni 80 kali pukulan (Ahmad Hanafi, 1967).
Riwayat lain menyatakan 40 pukulan, yang dipegang oleh Abu Bakar dan
Imam Syafi’i. Didasarkan pada saat Rasulullah dihadapkan kepada seseorang yang
meminum khamar, orang itu dipukul oleh beliau sebanyak 40 kali. Keadaan itu
berlangsung/berulang sebanyak 4 kali, dan mencabut hukuman mati orang itu
(Ahmad Hanafi, 1967).
Meskipun hukuman yang pernah dilakukan oleh Nabi sebanyak 40 pukulan,
kemudian Umar mempertinggi hukuman itu menjadi 80 kali cambukan. Dengan
harapan agar kebiasaan negative itu betul-betul hilang di masyarakat. Sebagaimana
penjelasan Anas ra, sebagai berikut

26
َ ‫ش ْعبَةُ قَال‬
َ‫س ِمعْتُ قَتَا َدة‬ ُ ‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد ْبنُ بَش ٍَّار َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد ْب ُن َج ْعفَ ٍر َح َّدثَنَا‬
‫ب ا ْل َخ ْم َر‬ َ ‫سلَّ َم أَنَّهُ أ ُ ِت َي ِب َر ُج ٍل قَ ْد ش َِر‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ ‫ِث ع َْن أَنَ ٍس ع َْن النَّ ِبي‬ ُ ‫يُ َحد‬
‫اس‬َ َّ‫َار الن‬ َ ‫ستَش‬ ْ ‫ع َم ُر ا‬
ُ ‫َان‬ َ ‫ين َو َف َعلَهُ أَبُو َبك ٍْر َف َل َّما ك‬ َ ‫ض َر َبهُ ِب َج ِري َدت َ ْي ِن نَحْ َو ْاْل َ ْر َب ِع‬
َ ‫َف‬
َ ‫ع َم ُر قَا َل أَبُو ِعي‬
‫سى‬ ُ ‫ين فَأ َ َم َر ِب ِه‬ ِ ‫ف َكأ َ َخ‬
َ ِ‫ف ا ْل ُحدُو ِد ث َ َمان‬ ٍ ‫الرحْ َم ِن ْب ُن ع َْو‬ َ ‫فَقَا َل‬
َّ ‫ع ْب ُد‬
‫ب‬ ْ َ ‫علَى َهذَا ِع ْن َد أ َ ْه ِل ا ْل ِع ْل ِم ِم ْن أ‬
ِ ‫ص َحا‬ َ ‫ص ِحي ٌح َوا ْلعَ َم ُل‬ َ ‫س ٌن‬ َ ‫ِيث َح‬ ٌ ‫ِيث أَنَ ٍس َحد‬
ُ ‫َحد‬
َ ُ‫ان ث َ َمان‬
‫ون‬ ِ ‫سك َْر‬َّ ‫غ ْي ِر ِه ْم أ َ َّن َح َّد ال‬
َ ‫سلَّ َم َو‬
َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ ‫النَّ ِبي‬
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Basysyar], telah
menceritakan kepada kami [Muhammad bin Ja'far] telah menceritakan
kepada kami [Syu'bah] ia berkata; Aku mendengar [Qatadah] menceritakan
dari [Anas] dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau didatangi
seseorang yang telah meminum khamr, lalu beliau memukulnya dengan dua
pelepah kurma sebanyak empat puluh kali, dilakukan juga oleh Abu Bakr.
Ketika Umar bermusyawarah dengan orang-orang, maka Abdurarhman bin
Auf berkata; Seperti hukuman paling ringan yaitu delapan puluh kali. Maka
Umar memerintahkannya. Abu Isa berkata; Hadits Anas adalah hadits hasan
shahih, dan menjadi pedoman amal menurut para ulama dari kalangan sahabat
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan selain mereka bahwa hukuman orang
yang mabuk adalah delapan puluh kali.” (HR. Tirmidzi Nomor 1363)
Ketentuan hukum seberat itu dimaksudkan agar umat Islam tidak menjadikan
konsumsi benda-benda yang memabukkan itu sebagai kebiasaan. Dan pelakunya
menjadi jera untuk tidak mengulanginya kembali. Mengonsumsi minuman keras
juga akan mengganggu kesehatan akal dan pikiran (Rosyada D, 1993). Padahal
memelihara akal adalah salah satu tujuan syariat Islam (Hasan H, 2012).
Hukuman mati pada penyalahguna NAPZA juga dilandaskan oleh hadist
berikut:

‫ث ع َْن‬ ِ ‫ب ع َْن ا ْل َح ِار‬ َ ‫ش ْيبَةَ َح َّدثَنَا‬


ٍ ْ‫شبَابَةُ ع َْن ا ْب ِن أَبِي ِذئ‬ َ ‫َح َّدثَنَا أَبُو بَك ِْر ْب ُن أَبِي‬
َ ‫سلَّ َم ِإذَا‬
‫س ِك َر‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫سلَ َم َة ع َْن أَ ِبي ُه َر ْي َرةَ قَا َل قَا َل َر‬
َ ‫أ َ ِبي‬
‫الرا ِب َع ِة فَ ِإ ْن عَا َد‬
َّ ‫فَاجْ ِلدُوهُ فَ ِإ ْن عَا َد فَاجْ ِلدُوهُ فَ ِإ ْن عَا َد فَاجْ ِلدُوهُ ث ُ َّم قَا َل ِفي‬
ُ‫عنُقَه‬ ْ ‫فَا‬
ُ ‫ض ِربُوا‬
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar bin Abu Syaibah],
telah menceritakan kepada kami [Syababah] dari [Ibnu Abu Dzi'b] dari [Al
Harits] dari [Abu Salamah] dari [Abu Hurairah], ia berkata; "Rasulullah

27
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila seseorang mabuk, maka
kalian harus menghukumnya dengan hukuman dera, Apabila ia
mengulanginya, maka kalian harus menghukum dera kembali. Dan apabila
mengulangi lagi, maka kalian harus menghukumnya dengan hukuman dera
kembali. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda pada yang ke
empat kalinya: 'Apabila ia mengulanginya lagi, tebaslah lehernya.”
Menurut Hasan S (2012), hukuman yang harus diberikan kepada pengguna
atau pengedar narkoba adalah hukuman mati dengan harapan bahwa kecenderungan
masyarakat terhadap narkoba dapat berangsur-angsur berkurang. Sebab narkoba
adalah induk dari segala kejahatan. Pada saat orang menggunakan narkoba
kemudian mabuk, akan menyebabkan pelakunya melakukan kejahatan lain, seperti
membunuh, mencuri, dan memperkosa.

KESIMPULAN
Penyalahgunaan narkotika sudah melibatkan banyak unsur. Para kartel
narkotika sangat berperan dalam tingginya peredaran narkotika di Indonesia. Upaya
penegakan hukum di Indonesia sudah jelas, dengan diterapkannya Undang-Undang
No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada
pelaku delik penyalahgunaan narkotika adalah pidana penjara, pidana seumur
hidup, sampai pidana mati, yang secara kumulatif ditambah dengan pidana denda.
Hukuman penjara dan hukuman mati dinilai sudah tegas dan memberikan efek jera,
namun tindak pidana narkotika masih tinggi. Hal ini bukan disebabkan oleh hukum
yang lemah atau tidak memberikan efek jera, tetapi dikarenakan masih adanya
aparat penegak hukum yang menyalahgunakan wewenangnya dan bekerjasama
dengan kartel narkotika untuk menjual dan menjaga para kartel narkotika tersebut.
Penegakkan hukum yang bisa disuap dan sangat lemah, menjadi salah satu unsur
yang menyebabkan penyalahgunaan narkotika masih tetap tinggi di Indonesia.

SARAN
Dikarenakan salah satu faktor tingginya angka penyalahgunaan narkotika di
Indonesia adalah peredaran NAPZA dari lapas dan di dalam lapas, maka saran yang
dapat diberikan oleh penulis:
1. Memisahkan sel antara narapidana kasus narkoba dan bukan narkoba.

28
2. Menambah jumlah sipir yang mengawasi sehingga mampu mengawasi secara
lebih menyeluruh.
3. Meningkatkan transparansi pengusutan kasus oknum yang disuap oleh
pengedar narkoba kepada public.
4. Memberlakukan hukuman bagi aparat penegak hukum yang disuap oleh
pengedar NAPZA, setara dengan hukuman bagi pengedar.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis berterima kasih kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan nikmat-
Nya laporan kasus ini dapat diselesaikan oleh penulis. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada DR. Drh. Hj. Titiek Djannatun dan dr. Hj. RW. Susilowati,
M.kes selaku koordinator penyusun dan koordinator pelaksana blok elektif FK
YARSI tahun ajaran 2018/2019; dr. Nasruddin Noor, Sp.KJ selaku dosen
pengampu bidang kepeminatan drug abuse blok elektif FK YARSI tahun ajaran
2018/2019; dr. Lilian Batubara, M.Kes selaku dosen pembimbing penulis; Ibu Lika
selalu koordinator lapangan bidang pendidikan dan pelatihan RSKO Jakarta dan
meninjau kasus-kasus ketergantungan obat; serta residen yang bersedia
diwawancarai.

29
DAFTAR PUSTAKA

A.R. Sujono dan Bony Daniel. 2011. Komentar dan pembahasan Undang-Undang
No. 35 Tahun 2009. Hal 214
Adzkia A. 2015. Menkumham: Hukuman Mati Perlu untuk Perangi Narkoba.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150120175207-12-
26034/menkumham-hukuman-mati-perlu-untuk-perangi-narkoba (Diakses
pada 20 November 2018 pukul 19.10 WIB).
Alifia, U. 2008. Apa Itu Narkotika dan Napza. Semarang: PT Bengawan Ilmu (hal.
25).
Alquran Al-karim dan terjemahnya. Departemen Agama Republik Indonesia.
Al-Shan’ani, Muhammad bin Ismail al-Kahlani. Tanpa tahun. Subul al-Salam.
Bandung: Dahlan.
Anonim. 2015. Ada Oknum Sipir yang Bantu Freddy Budiman, Dirjen PAS: Kami
Tindak Lanjuti. https://news.detik.com/berita/d-2887513/ada-oknum-sipir-
yang-bantu-freddy-budiman-dirjen-pas-kami-tindak-lanjuti (Diakses pada 17
November 2018 pukul 21.25 WIB)
Anonim. 2016. Beredar, Pengakuan Freddy Budiman Setor Rp 450 M ke BNN.
https://nasional.tempo.co/read/791753/beredar-pengakuan-freddy-budiman-
setor-rp-450-m-ke-bnn (Diakses pada 17 November 2018 pukul 20.43 WIB)
Anonim. 2018. Saudi Arabia Crime Stats. https://www.nationmaster.com/country-
info/profiles/Saudi-Arabia/Crime (Diakses pada 17 November 2018 pukul
20.40 WIB).
Anonim. Takut Ditembak Mati, 500.000 Pengedar dan Pengguna Narkoba di
Filipina Menyerah. https://internasional.kompas.com/read/2016/08/05/
21304401/takut.ditembak.mati.500.000.pengedar.dan.pengguna.narkoba.di.f
ilipina.menyerah (Diakses pada 20 November 2018 Pukul 19.20 WIB).
Arief DM dan Gultom E. 2013. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada (hal. 101).

30
Bahraen R. 2013. Hukuman Mati Bagi Pengedar Narkoba.
https://muslim.or.id/11553-hukuman-mati-bagi-pengedar-narkoba.html
BNN. 2014. Laporan Akhir Survei Nasional Perkembangan Penyalahguna
Narkoba Tahun Anggaran 2014. BNN
BNN. 2017. Buku Hasil LIT 2017.http://www.bnn.go.id/_multimedia/document/
20180508/BUKU_HASIL_LIT_2017.pdf (Diakses pada 17 November 2018
pukul 20.00 WIB).
Defianti I. 2018. Apa Kabar Eksekusi Mati Jilid IV? Ini Kata Jaksa Agung.
https://www.liputan6.com/news/read/3412829/apa-kabar-eksekusi-mati-
jilid-iv-ini-kata-jaksa-agung. (Diakses pada 20 November 2018 pukul 20.59
WIB).
Faisal M. 2018. Eksekusi Mati Zaman Jokowi dan Ironi Hak Asasi Manusia.
https://tirto.id/eksekusi-mati-zaman-jokowi-dan-ironi-hak-asasi-manusia-
cDhX. (Diakses pada 20 November 2018 pukul 20.57 WIB).
Hanafi A. 1967. Asas-asas hukum pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hariyanto BP. 2018. Pencegahan Dan Pemberantasan Peredaran Narkoba Di
Indonesia. Jurnal Daulat Hukum Vol. 1. No. 1 Maret 2018 ISSN: 2614-560X
Hartanto W. 2017. Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Narkotika dan Obat-
Obat Terlarang dalam Era Perdagangan Bebas Internasional yang Berdampak
pada Keamanan dan Kedaulatan Negara. Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 14
N0. 01 - Maret 2017 : 1 – 16.
Hasan H. 2012. Ancaman Pidana Islam Terhadap Penyalahgunaan Narkoba. Al-
daulah Vol.1 No.1. (hal: 149 – 155).
Hawari, D. 2000. Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Aditif. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Umum Universitas Indonesia.
http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2015/04/27/325117/rakyat-setuju-
hukum-mati-bagipengedar-narkoba
https://tafsirq.com/hadits/tirmidzi/1363 (Diakses pada 18 November 2018 pukul
16.00 WIB)
Humanrights. 2018. Moratorium Hukuman Mati Pada 2018 Bisa Dicapai.
https://www.amnestyindonesia.org/moratorium-hukuman-mati-pada-2018-
bisa-dicapai (Diakses pada 20 November 2018 pukul 20.50 WIB)
Ibnu Taimiyyah. 661. al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Islahi al-Ra’i wa al-Ra’iyyah.
Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah. (h. 98.)
Movanita, ANK. 2017. BNN: Hampir 50 Persen Pengedar dan Bandar Kendalikan
Narkoba dari Lapas. https://nasional.kompas.com/read/2017/03/25/
19264581/bnn.hampir.50.persen.pengedar.dan.bandar.kendalikan.narkoba.d
ari.lapas (Diakses pada 17 November 2018 pukul 21.00 WIB)
Mustaqilla S. 2017. Bahaya Narkoba (Kajian Hukum Islam Dan Hukum Positif).
jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/dustur/article/download/1190/889

31
O.C. Kaligis & Associates. 2012. Narkoba dan Peradilannya di Indonesia,
Reformasi Hukum Pidana Melalui Perundangan dan Peradilan. Bandung:
Alumni. (hlm. 260).
Pamungkas AP. 2017. Peran ASEANAPOL dalam Pemberantasan Peredaran
Narkoba di Indonesia. Journal of International Relations, Volume 3, Nomor
2, Tahun 2017, 91-99
Rahmanto. 2017. Kepastian Hukum Bagi Pengguna Penyalahgunaan Narkotika:
Studi Kasus di Provinsi Jawa Timur. Jurnal Penelitian Hukum DE JURE,
Volume 17, Nomor 2, Juni 2017. (Hal. 265 – 28).
Rosyada D. 1993. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Sabiq S. 1984. Fiqh al-sunnah, diterjemahkan oleh Muhammad Nabhan Husain
dengan judul Fiqh Sunnah. Bandung: PT. al-Ma’arif.
Sayyid Abū Bakar Muhammad Syatha al-Dimyati. Tanpa tahun. I’anah al-Ṭalibin
Juz IV. Beirut Lebanon: Dārul Kutūb Ilmiyah. (h. 283)
Soedjono A. 2000. Patologi Sosial. Bandung: Alumni. (hal. 41).
Suhayati, M. 2015. Info Singkat Hukum. Retrieved November 18, 2018 from
Penegakan Hukum peredaran Narkoba di Lapas dan Rutan: 99
Sumarwoto. 2014. Penyalahgunaan Narkoba Menurut Hukum Positif dan Hukum
Islam. http://www.unsa.ac.id/ejournal/index.php/prosedingunsa/article/view
/92/88
Syahruddin Husein. 2003. Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia.
http://library.usu.ac.id/download/fh/pid-syahruddin.pdf
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Wadrianto GK. 2017. Catat Rekor, Arab Saudi Gelar 6 Eksekusi Mati dalam
Sehari. https://internasional.kompas.com/read/2017/07/11/20285721/catat-
rekor-arab-saudi-gelar-6-eksekusi-mati-dalam-sehari (Diakses pada 17
November 2018 pukul 20.15 WIB).
WHO. 2010. ATLAS of Substance Use Disorders Resources for the Prevention and
Treatment of Substance Use Disorders (SUD).

32

Anda mungkin juga menyukai