Anda di halaman 1dari 165

BAGI DOKTER UMUM

tentang
PENATALAKSANAAN KASUS GANGGUAN JIWA
DI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA (FKTP)

DIREKTORAT BINA KESEHATAN JIWA


DIREKTORAT JENDERAL BINA UPAYA KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
2015
DAFTAR ISI

Hal.

MI.1. Deteksi Dini Masalah Kesehatan Jiwa………………………………………… 1


MI.2. Wawancara Psikiatrik……………………………………………………………. 13
MI.3. Gangguan Anxietas…………………………………………………………....... 24
MI.4. Gangguan Depresi………………………………………………………………. 36
MI.5. Gangguan Psikotik………………………………………………………………. 58
MI.6. Gangguan Perkembangan dan Gangguan Perilaku pada Anak……………. 72
MI.7. Gangguan Demensia pada Lansia…………………………………………….. 89
MI.8. Penatalaksanaan Kegawatdaruratan Psikiatrik………………………………. 113
MI.9. Pelaksanaan Sistem Rujukan…………………………………………………... 143
MI.10. Pencatatan dan Pelaporan …………………………………………………… 159
MATERI INTI 1
DETEKSI DINI MASALAH KESEHATAN JIWA

I. DESKRIPSI SINGKAT
Deteksi adalah langkah awal yang penting yang akan membawa orang yang sakit
mendapatkan pertolongan medis. Semakin cepat suatu penyakit, dalam hal ini
gangguan/penyakit jiwa, terdeteksi akan semakin cepat proses diagnosis didapatnya dan
semakin cepat pula pengobatan dapat dilakukan sehingga diharapkan akan memotong
perjalanan penyakit dan mencegah hendaya dan disabilitas.

Idealnya proses deteksi (dini) dapat dilakukan oleh setiap orang, artinya masyarakat paham
akan tanda-tanda awal gangguan jiwa, atau lebih luas lagi masalah kesehatan jiwa,
sehingga manakala masyarakat mendapati gejala-gejala awal tersebut mereka akan
memeriksakan diri ke dokter. Proses deteksi dapat juga dilakukan oleh para kader
kesehatan (jiwa) dan petugas kesehatan.

Dokter, memegang peranan penting dalam deteksi dini, posisi mereka strategis, karena
dengan mengenali adanya tanda dan gejala gangguan jiwa pada pasien yang datang
kepadanya akan membuat mereka menangkap kemungkinan adanya gangguan jiwa dan
melakukan pemeriksaan psikiatrik untuk menetapkan adakah gangguan jiwa yang dapat
terdiagnosis.

Modul ini membahas tentang prinsip umum layanan kesehatan jiwa, proses deteksi dini dan
tindak lanjutnya.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


A. Tujuan Pembelajaran Umum :
Setelah mempelajari materi ini, peserta mampu melakukan deteksi dini masalah
kesehatan jiwa.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu :
1. Menjelaskan prinsip umum layanan kesehatan jiwa
2. Menjelaskan pengertian dan fungsi deteksi dini masalah kesehatan jiwa
3. Melakukan deteksi dini masalah kesehatan jiwa serta tindak lanjutnya sesuai
prosedur

1
III. POKOK BAHASAN
Pokok bahasan pada modul ini adalah:
Pokok bahasan A : Prinsip umum layanan kesehatan jiwa
Pokok bahasan B : Pengertian dan fungsi deteksi dini masalah kesehatan jiwa
Pokok bahasan C : Prosedur melakukan deteksi dini masalah kesehatan jiwa dan tindak
lanjutnya

IV. METODE
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran adalah :
A. Ceramah, tanya jawab
B. Curah pendapat
C. Studi kasus
D. Bermain peran
E. Praktik lapangan

V. MEDIA DAN ALAT BANTU


Media dan alat bantu yang digunakan dalam pembelajaran adalah :
1. LCD Projector dan Laptop
2. Laser pointer
3. Bahan tayang (slide ppt)
4. Flipchart/ papan tulis
5. Spidol
6. Lembar kerja
7. Panduan praktik lapangan

VI. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN


Agar proses pembelajaran dapat berhasil secara efektif, maka perlu disusun langkah-
langkah sebagai berikut:
A. Langkah 1 : Penyiapan proses pembelajaran
1. Kegiatan Fasilitator
a. Fasilitator memulai kegiatan dengan melakukan bina suasana di kelas
b. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat.
c. Menyampaikan ruang lingkup bahasan dan tujuan pembelajaran
2. Kegiatan Peserta
a. Mempersiapkan diri dan alat tulis yang diperlukan
b. Mengikuti permainan
c. Mengemukakan pendapat atas pertanyaan fasilitator

2
d. Mendengar dan mencatat hal-hal yang dianggap penting
e. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator bila ada hal-hal yang belum jelas
dan perlu diklarifikasi.

B. Langkah 2 : Penyampaian materi pembelajaran


1. Kegiatan Fasilitator
a. Menyampaikan Pokok Bahasan A sampai dengan C secara garis besar
dalam waktu yang singkat
b. Memberikan kesempatan kepada peserta untuk menanyakan hal-hal yang
kurang jelas
c. Memberikan jawaban jika ada pertanyaan yang diajukan peserta
d. Menyimpulkan materi bersama peserta
2. Kegiatan Peserta
a. Mendengar, mencatat dan menyimpulkan hal-hal yang dianggap penting
b. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator sesuai dengan kesempatan yang
diberikan
c. Memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan fasilitator.

C. Langkah 3 : Praktik laboratorium di kelas


1. Kegiatan Fasilitator
2. Membagi peserta ke dalam kelompok kecil (Tiap kelompok: 6 – 8 orang)
3. Menjelaskan kepada peserta tentang latihan yang akan dilakukan
4. Memberikan penugasan kepada peserta untuk membaca latihan-latihan yang
ada di modul untuk didiskusikan dalam kelompok kemudian dipresentasikan
5. Meminta kelompok lain untuk menanggapi
6. Menyimpulkan hasil diskusi
2. Kegiatan peserta
a. Mendengar, mencatat penjelasan fasilitator
b. Mendiskusikan penugasan yang diberikan fasilitator bersama anggota
kelompok
c. Mempresentasikan hasil diskusi
d. Menanggapi hasil presentasi yang disampaikan kelompok lain
e. Mencatat hal-hal penting

3
VII. URAIAN MATERI
POKOK BAHASAN A.
Prinsip umum layanan kesehatan jiwa

Dalam melakukan pelayanan kesehatan jiwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Komunikasi dengan pasien dan keluarga (carers)
2. Pemeriksaan (assessment)
3. Tatalaksana dan monitoring
4. Penggerakan dan penyediaan dukungan sosial
5. Perlindungan terhadap hak asasi
6. Perhatikan kesehatan secara umum

Dalam berkomunikasi dengan pasien dan keluarga, beberapa hal berikut akan
memperlancar dan mempermudah komunikasi yang dilakukan:
• Upayakan selalu komunikasi yang jelas, empatik, dan sensitif terhadap usia, jenis
kelamin, kultur, dan perbedaan bahasa.
• Selalu bersikap ramah, menghargai, dan tidak menghakimi.
• Gunakan bahasa yang sederhana dan jelas.
• Berikan respons yang sensitif dan sesuai terhadap keterbukaan informasi dari pasien
yang bersifat pribadi dan sulit diungkapkan (seperti penyerangan seksual atau
menyakiti diri sendiri)..
• Berikan informasi tentang status kesehatannya dalam bahasa yang mereka pahami.
• Tanyakan pemahaman orang tersebut terhadap kondisinya.

Pemeriksaan yang dilakukan meliputi:


• Mengambil riwayat medis, riwayat keluhan saat ini, riwayat dahulu, dan riwayat
keluarga yang relevan.
• Menilai kondisi fisik umum.
• Menilai, menatalaksanai atau meruju semua kondisi medis yang menyertai.
• Menilai problem psikososial, masa lalu dan yang saat ini terjadi

Tatalaksana dan monitoring


• Jelaskan hasil pemeriksaan dan diagnosis yang didapatkan serta hal-hal pokok
tentang gangguan yang diderita
• Jelaskan pentingnya terapi, serta kesiapan pasien dan keluarga untuk berpartisipasi
dalam perawatan.

4
• Jelaskan tujuan terapi dan buat rencana terapi dengan menghargai pilihan mereka
dalam terapi
• Pikirkan rencana untuk keberlanjutan terapi dan lakukan pemantauan melalui
komunikasi.
• Informasikan lama terapi yang diharapkan, kemungkinan efek samping dari
intervensi, pilihan tatalaksana alternatif lainnya, pentingnya kepatuhan terhadap
terapi, dan kemungkinan prognosis.
• Jawab pertanyaan dan kekhawatiran tentang terapi, komunikasikan harapan yang
realistik, misalnya untuk fungsi yang lebih baik dan pemulihan.
• Monitor hasil terapi, interaksi obat, efek samping
• Fasilitasi rujukan ke spesialis, bila tersedia dan dibutuhkan.
• Usahakan untuk menghubungkan orang tersebut ke dukungan masyarakat, bila ada
• Dalam pemantauan, nilai kembali pemahaman pasien terhadap penyakitnya, terapi,
dan kepatuhan terhadap terapi, koreksi jika ada kesalahan.
• Ajarkan kepada pasien dan keluarga untuk memantau gejala-gejala dan terangkan
kapan mereka harus mencari bantuan secepatnya.
• Catat aspek penting interaksi pasien dengan keluarga maupun orang lain.
• Gunakan sumber daya di keluarga dan masyarakat untuk pasien yang tidak patuh
terhadap terapi.
• Pemantauan lebih sering dilakukan untuk ibu hamil dan menyusui, serta pada orang
dengan usia lanjut
• Pastikan bahwa mereka diberikan tatalaksana secara menyeluruh, fisik dan jiwa.

Penggerakan dan Penyediaan Dukungan Sosial


• Libatkan keluarga atau pelaku rawat lainnya dalam melakukan perawatan.
• Dorong keterlibatan keluarga dalam kelompok swabantu dan dukungan keluarga, bila
tersedia.
• Identifikasi dan gerakkan sumber daya sosial dan dukungan sosial yang mungkin di
area lokal, contoh: anak dan remaja -- koordinasikan dengan sekolah

Perlindungan terhadap hak asasi


• Berikan layanan dengan menghargai martabat, sensitif, sesuai dengan kultur, bebas
dari diskriminasi.
• Beri perhatian khusus pada isu kerahasiaan dan privasi
• Pastikan pasien memahami tatalaksana yang diusulkan dan memberikan
persetujuan terhadap tatalaksana tersebut.

5
• Libatkan anak-anak dan remaja dalam pengambilan keputusan sesuai kapasitas
perkembangan mereka, beri mereka kesempatan untuk mendiskusikan secara
pribadi hal-hal yang menjadi kekhawatiran.

Perhatikan kesehatan secara umum


• Beri saran tentang aktivitas fisik dan pemeliharaan berat badan yang sehat.
• Edukasi tentang bahaya penggunaan alkohol.
• Dorong penghentian penggunaan tembakau dan zat lainnya.
• Sediakan pendidikan tentang perilaku berisiko lainnya (contoh: seks bebas).
• Adakan pemeriksaan kesehatan fisik secara reguler.
• Persiapkan orang dengan perubahan perkembangan hidup, seperti
pubertas/menopause atau pensiun, berikan dukungan yang diperlukan.
• Diskusikan perencanaan untuk hamil dan metode kontrasepsi dengan perempuan di
usia reproduksi.

POKOK BAHASAN B
Pengertian dan fungsi deteksi dini masalah kesehatan jiwa

Deteksi merupakan tahap awal dari rangkaian proses penatalaksanaan penyakit, termasuk
gangguan jiwa. Ini adalah langkah sebelum dilakukannya proses diagnosis, yang membawa
seorang petugas medis untuk memutuskan melanjutkan ke tahap berikut yaitu proses
diagnosis.

Dalam pendekatan kesehatan masyarakat menggunakan prinsip pencegahan, deteksi dini


(early detection) dan pengobatan segera (prompt treatment) merupakan prinsip pencegahan
sekunder (secondary prevention). Prinsip ini menjamin terlaksananya pengobatan atau
penatalaksanaan penyakit sedini mungkin sehingga mencegah terjadinya konsekuensi yang
lebih buruk, seperti bertambah parahnya penyakit, terjadinya penyulit dan kecacatan.

Seyogyanya setiap pasien yang datang didekati dengan prinsip holistik, memperhitungkan
kemungkinan terjadinya semua penyakit, serta melakukan pemeriksaan status penyakit
dalam, neurologik dan psikiatrik.

Apabila tidak memungkinkan untuk melakukan penapisan dan pemeriksaan psikiatrik pada
seluruh pasien, maka perhatian terutama harus ditujukan kepada beberapa kelompok pasien
yang berisiko tinggi, yaitu:
1. Pasien dengan penyakit fisik kronis (infeksi & non-infeksi)

6
2. Pasien dengan keluhan fisik yang diduga ada hubungannya dengan masalah
kejiwaan (keluhan fisik timbul/memberat jika ada masalah psikis)
3. Keluhan fisik beraneka ragam/berganti-ganti, gangguan fisik/kelainan organik (-)
4. Pasien yang mengalami pengalaman hidup yang ekstrem (trauma psikologis, stress
yang berat, kehilangan)
5. Pasien dengan disabilitas

Penapisan/skrining selain oleh dokter dapat dilakukan juga oleh perawat, bahkan deteksi
dapat dilakukan oleh kader kesehatan jiwa. Sedangkan diagnosis medik, intervensi
farmakologis, rujukan dilakukan oleh dokter. Intervensi psikososial dapat dilakukan oleh
dokter dan/atau perawat.

POKOK BAHASAN C.
Cara Melakukan Deteksi Dini Gangguan Jiwa dan Tindak Lanjutnya

Biasanya deteksi dapat dilakukan oleh awam, kader kesehatan/kesehatan jiwa, perawat dan
dokter. Bedanya, setelah terdeteksi dokter dapat langsung melanjutkan ke proses
pemeriksaan dan diagnosis.

Untuk memudahkan mengingat, dapat digunakan Tabel Utama mhGAP-IG yang


menyediakan informasi tentang presentasi yang umum dari beberapa gangguan jiwa.

Tabel 1. Presentasi Umum Beberapa Gangguan Jiwa (diambil dari WHO mhGAP-IG Master
Chart)
Gangguan yang
Presentasi Umum
Harus Diperiksa

 Energi rendah; kelelahan, masalah tidur atau nafsu makan


 Suasana perasaan sedih atau cemas yang menetap; mudah
tersinggung
 Rendahnya minat atau kenikmatan dalam aktivitas yang DEPRESI
seharusnya menarik dan dapat dinikmati
 Gejala ganda tanpa sebab fisik (seperti nyeri, palpitasi)
 Kesulitan untuk bekerja, bersekolah, menjalankan pekerjaan
rumah, aktivitas sosial yang biasanya dilakukan

7
Gangguan yang
Presentasi Umum
Harus Diperiksa

 Perilaku abnormal atau disorganisasi (contoh: pembicaraan


inkoheren atau tidak relevan, penampilan yang tidak lazim,
tidak rapi, perawatan diri buruk)
 Delusi/waham (kecurigaan atau keyakinan yang jelas keliru dan
dipertahankan)
 Halusinasi (mendengar suara atau melihat sesuatu yang tidak
nyata) PSIKOSIS

 Mengabaikan tanggung jawab yang biasa dikerjakan terkait


dengan pekerjaan, sekolah, rumah tangga, dan aktivitas sosial
-----------------------------------------------------------------------------------------
 Gejala manik (beberapa hari merasakan kebahagiaan yang
abnormal, terlalu bersemangat, banyak bicara, sangat mudah
tersinggung, tidak tidur, perilaku tidak bisa tenang)

 Keterlambatan perkembangan: lebih lambat belajar dibandingkan


anak-anak seusianya dalam hal: tersenyum, duduk, berdiri,
berjalan, bicara/komunikasi, dan area perkembangan lainnya GANGGUAN
seperti membaca dan menulis PERKEMBANGAN
 Abnormalitas dalam berkomunikasi: perilaku yang terbatas,
berulang
 Kesulitan untuk melakukan aktivitas normal harian sesuai usianya

 Kesulitan dalam memusatkan perhatian yang berlebihan


dan kelinglungan, berhenti mengerjakan tugas sebelum
selesai secara berulang, dan berpindah ke aktivitas lainnya
 Aktivitas berlebihan: berlarian, kesulitan untuk duduk
tenang, banyak bicara atau gelisah
 Impulsivitas yang berlebihan: sering melakukan sesuatu GANGGUAN
tanpa berpikir lebih dahulu PERILAKU
 Perilaku mengganggu yang berulang dan berlanjut
(sepertiTemper tantrum yang tidak biasanya dan berat,
perilaku kejam, ketidakpatuhan yang menetap dan berat,
mencuri)
 Perilaku atau hubungan dengan teman sebaya yang tiba-tiba
berubah, termasuk menarik dari dan kemarahan

8
Gangguan yang
Presentasi Umum
Harus Diperiksa

 Penurunan atau masalah dengan memori (kepikunan yang


berat) dan orientasi (kesadaran akan waktu, tempat, dan orang)
 Problem suasana perasaan atau perilaku seperti apati (terlihat
tidak tertarik) atau mudah marah (iritabel) DEMENSIA
 Kehilangan kontrol emosional – mudah kecewa, irtabel, atau
mudah menangis
 Kesulitan melakukan pekerjaan, rumah tangga atau aktivitas
sosial yang biasa

 Terlihat dalam pengaruh alkohol (contoh tercium bau alKohol,


tampak terintoksikasi, mabuk)
 Datang dengan cedera GANGGUAN
 Gejala somatik terkait penggunaan alcohol (contoh PENYALAHGUNAAN
insomnia, kelelahan, anorexia, mual, muntah, dispepsia, ALKOHOL
diare, sakit kepala)
 Kesulitan melakukan pekerjaan, sekolah, rumah tangga atau
aktivitas sosial yang biasa

 Terlihat dalam pengaruh zat (contoh energi rendah, agitasi,


gelisah, bicara mengguman (slurred speech)
 Tanda-tanda penggunaan zat (tanda injeksi, infeksi kulit, GANGGUAN
tampilan yang tidak terperlihara) PENYALAHGUNAAN
 Meminta resep obat-obat sedatif (obat tidur, opioid) ZAT
 Kesulitan finansial atau problem legal terkait tindakan kriminal
 Kesulitan melakukan pekerjaan, sekolah, rumah tangga atau
aktivitas sosial yang biasa

 Pikiran, rencana, atau tindakan menyakiti diri sendiri atau bunuh


diri yang dimiliki saat ini MENYAKITI DIRI/
BUNUH DIRI
 Riwayat pikiran, rencana, atau tindakan menyakiti diri sendiri
atau bunuh diri
Catatan:
Gangguan Perkembangan mencakup Retardasi Mental dan Autisme, sedangkan Gangguan
Perilaku mencakup Gangguan Hiperkinetik (Gangguan Pemusatan Perhatian) dan
Gangguan Tingkah Laku.

9
Sebagai kerangka berpikir, untuk memperjelas proses deteksi dan diagnosis gangguan jiwa,
dapat digunakan bagan di bawah ini.

Gambar 1. Skema proses deteksi dan diagnosis gangguan jiwa di Puskesmas (Modifikasi
Metode Dua Menit)

Keluhan utama dapat berupa:

1. Keluhan Fisik (F)


 Keluhan mengenai kondisi fisik dan tidak jelas berlatar belakang mental emosional
 Biasanya membutuhkan terapi farmakologik.
 Contoh: panas, batuk, pilek, mencret, muntah, borok, luka, perdarahan dan lain-lain

2. Keluhan Psikosomatik (PS)


 Keluhan fisik/jasmani yang diduga berkaitan dengan masalah kejiwaan (mental
emosional).
 Contoh: berdebar-debar, tengkuk pegal, tekanan darah tinggis (gejala
kardiovaskular), uluhati perih; kembung, gangguan pencernaan (gejala
gastrointestinal); sesak napas, mengik (gejala respiratorius); gatal, eksim (gejala
dermatologi); encok, pegal-pegal, kejang, sakit kepala (gejala muskuloskeletal);
gangguan haid, keringat dingin disertai debar-debar (gejala hormonal-endokrin)

10
3. Keluhan Mental Emosional (ME)
 Keluhan yang berkaitan dengan masalah kejiwaan (alam perasaan, pikiran dan
perilaku).
 Contoh: mengamuk, bicara melantur, mendengar bisikan, melihat bayangan iblis,
telanjang di depan umum (gejala psikotik); cemas / takut tanpa sebab yang jelas,
gelisah, panik, pikiran dan/atau perilaku yang berulang (gejala neurotik/cemas);
murung, tak bergairah, putus asa, ide kematian (gejala depresi); penyalahgunaan
atau ketergantungan terhadap narkoba (gangguan penggunaan zat psikoaktif); ayan,
bengong, kejang-kejang (epilepsi); gejala pada anak-anak dan remaja seperti
kesulitan belajar, tak bisa mengikuti pelajaran di sekolah, (retardasi mental), atau
gangguan perkembangan., atau gejala psikotik pada anak seperti gejala autisme
pada kanak, hiperaktivitas, gangguan pemusatan perhatian dan sebagainya

Apabila pasien termasuk dalam kelompok yang berisiko gangguan jiwa, seperti disebutkan
di atas, maka dilakukan skrining dengan tiga pertanyaan:
1. Selama dua minggu terakhir bagaimana perasaan Bapak/Ibu?
2. Apakah Bapak/Ibu kehilangan minat atau rasa senang terhadap hal-hal yang dulunya
dinikmati?
3. Apakah Bapak/Ibu merasa tenaganya berkurang atau lelah sepanjang waktu?

Apabila pasien kurang paham dengan pertanyaan pertama dapat digunakan alternatif
pertanyaan:
Perasaan apa yang paling banyak Bapak/Ibu rasakan selama dua minggu terakhir,
apakah senang/gembira, sedih, cemas/kawatir, takut, atau marah?

 Jika pertanyaan pertama dijawab bahwa yang dirasakan selama dua minggu terakhir
adalah cemas atau was-was atau kawatir, maka hasil skriningnya positif untuk anxietas
dan dilanjutkan dengan pemeriksaan diagnostik.

 Jika pertanyaan pertama dijawab bahwa yang dirasakan selama dua minggu terakhir
adalah sedih/murung/tidak bahagia dan salah satu dari dua pertanyaan berikutnya
dijawab “Ya”, atau dua dari tiga pertanyaan penyaring tersebut positif, maka terindikasi
untuk depresi. Proses selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan untuk memastikan
ada atau tidaknya gangguan depresi.

11
Terkadang diperlukan kalimat peralihan sebelum menanyakan 3 pertanyaan skrining
tersebut di atas untuk membuat perpindahan topik lebih halus. Terutama perpindahan ke
topik yang sangat berbeda dari sebelumnya. Misalnya, setelah mendiskusikan masalah fisik
dan hendak beralih memeriksa status mental, atau untuk mengintroduksi topik yang sensitif.

Contoh kalimat peralihan:


1. Sekarang saya perlu memeriksa tentang apa yang dialami dan perasaan
ibu/bapak/saudara. Bagaimana perasaan ibu/bapak/saudara selama dua minggu
terakhir?
2. Apakah keluhan-keluhan yang baru kita bicarakan tadi berhubungan dengan kondisi
perasaan ibu/bapak/saudara? Bagaimana…
3. Pada banyak orang, keluhan-keluhan seperti yang ibu/bapak/saudara alami ini terkait
erat dengan suasana pikiran dan perasaan. Bagaimana…. Dst.

Tindak lanjut
Setelah terdeteksi kemungkinan adanya satu atau lebih gangguan jiwa, maka selanjutnya
dilakukan proses diagnostik dengan wawancara psikiatrik dan pemeriksaan tambahan lain,
mengacu pada kriteria diagnostik dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia (PPDGJ) atau International Classification of Diseases (ICD) untuk masing-
masing penyakit/gangguan jiwa.

VIII. REFERENSI

1. Departemen Kesehatan RI (1993). Pedoman Penggolongan dan Diagnosis


Gangguan Jiwa III (PPDGJ III). Jakarta, Depkes RI.
2. Dan Hidayat (2004) Metode Dua Menit (Revisi 2004).
3. Maramis A (2014) Skrining untuk Diagnosis di Poliklinik/Puskesmas.

4. Semple D et al. (2005) Oxford Handbook of Psychiatry. Oxford, Oxford University


Press.
5. World Health Organization (2010). mhGAP Intervention Guide for mental,
neurological and substance use disorders in non-specialized health settings.
Geneva: World Health Organization.

12
MATERI INTI 2.
WAWANCARA PSIKIATRIK

I. DESKRIPSI SINGKAT
Gangguan psikiatrik seringkali luput dalam perhatian kita saat berhadapan dengan pasien
di Puskesmas. Untuk itu diperlukan kemampuan khusus dalam melakukan pemeriksaan
awal sehingga masalah-masalah yang berkaitan dengan kesehatan jiwa dapat terdeteksi
dengan lebih baik dan kita dapat memberikan penatalaksanaan yang komprehensif dan
paripurna. Modul ini akan menguraikan mengenai wawancara psikiatrik di fasilitas
kesehatan tingkat pertama.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


A. Tujuan Pembelajaran Umum:
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu melakukan wawancara psikiatrik
pada pasien di FKTP.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus:
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu:
1. Menjelaskan pengertian dan prosedur wawancara psikiatrik
2. Melakukan wawancara psikiatrik

III. POKOK BAHASAN


Pokok bahasan pada modul ini adalah :
Pokok bahasan A: Pengertian dan Prosedur Wawancara Psikiatrik
Pokok Bahasan B: Teknik Melakukan Wawancara Psikiatrik

IV. METODE
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran adalah :
A. Ceramah, tanya jawab
B. Curah pendapat
C. Pemutaran video
D. Bermain peran
E. Praktik lapangan

V. MEDIA DAN ALAT BANTU


Media dan alat bantu yang digunakan dalam pembelajaran adalah :
A. Liquid Crystal Display (LCD) Projector dan Laptop
B. Laser pointer

13
C. Spidol
D. Slide presentasi
E. Lembar diskusi (Flip chart)
F. Video wawancara
G. Panduan bermain peran
H. Skenario bermain peran
I. Panduan praktik lapangan

VI. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PERMBELAJARAN


Agar proses pembelajaran dapat berhasil secara efektif, maka perlu disusun langkah-
langkah sebagai berikut :
A. Langkah 1 : Penyiapan proses pembelajaran
1. Kegiatan Fasilitator
a. Fasilitator memulai kegiatan dengan melakukan bina suasana di kelas
b. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat.
c. Agar peserta siap mengikuti pembelajaran, maka fasilitator memulai dengan
menciptakan suasana yang santai dan rileks melalui permainanmembina
rapport. Kegiatannya sebagai berikut :
1) Peserta dibagi menjadi kelompok kecil yang terdiri dari 4 orang yang tidak
saling mengenal sebelumnya.
2) Masing-masing peserta diminta untuk mencari data pribadi sebanyak-
banyak dari setiap anggota kelompoknya.
3) Selanjutnya setiap peserta diminta untuk menceritakan data pribadi salah
seorang anggota kelompoknya (tidak boleh sama) yang kemudian akan
dicek kebenarannya dengan yang bersangkutan
d. Menggali pendapat peserta (persepsi) tentang apa yang baru saja dimainkan
dengan metode brainstorming.
e. Menyampaikan ruang lingkup bahasan dan tujuan pembelajaran
2. Kegiatan Peserta
a. Mempersiapkan diri dan alat tulis yang diperlukan
b. Mengikuti permainan
c. Mengemukakan pendapat atas pertanyaan fasilitator
d. Mendengar dan mencatat hal-hal yang dianggap penting
e. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator bila ada hal-hal yang belum jelas
dan perlu diklarifikasi.

B. Langkah 2 : Penyampaian materi pembelajaran

14
1. Kegiatan Fasilitator
a. Menyampaikan Pokok Bahasan secara garis besar dalam waktu yang singkat
b. Memberikan kesempatan kepada peserta untuk menanyakan hal-hal yang
kurang jelas
c. Memberikan jawaban jika ada pertanyaan yang diajukan peserta
d. Menyimpulkan materi bersama peserta
2. Kegiatan Peserta
a. Mendengar, mencatat dan menyimpulkan hal-hal yang dianggap penting
b. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator sesuai dengan kesempatan yang
diberikan
c. Memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan fasilitator.

C. Langkah 3 : Praktik wawancara di kelas


1. Kegiatan Fasilitator
a. Membagi peserta kedalam kelompok kecil (1 kelp : 3 orang)
b. Menjelaskan kepada peserta tentang latihan yang akan dilakukan
c. Memberikan penugasan kepada peserta untuk membaca kasus yang telah
dipersiapkan dan menentukan siapa yang akan berperan menjadi pasien, dokter,
dan pengamat.
d. Melakukan kegiatan bermain peran selama 15 menit
e. Meminta peserta yang berperan untuk menceritakan perasaannya saat bermain
peran
f. Meminta pengamat untuk memberikan pendapatnya mengenai peran yang
dilakukan oleh masing-masing peserta
g. Meminta kelompok bersama-sama menyimpulkan langkah wawancara apa saja
yang sudah dilakukan
h. Meminta kelompok lain memberikan pendapatnya mengenai kegiatan bermain
peran dan hasil diskusi kelompok lain

2. Kegiatan peserta
a. Mendengar, mencatat penjelasan fasilitator
b. Mendiskusikan penugasan yang diberikan fasilitator bersama anggota kelompok
c. Melakukan kegiatan bermain peran dan mendiskusikannya
d. Menemukan psikopatologi yang ada pada pasien yang diperankan
e. Menanggapi kegiatan bermain peran dan diskusi yang disampaikan kelompok
lain
f. Mencatat hal-hal penting

15
VII. URAIAN MATERI
POKOK BAHASAN A. PENGERTIAN DAN PROSEDUR WAWANCARA PSIKIATRIK
1. Pengertian Wawancara Psikiatrik
Wawancara psikiatrik adalah suatu bentuk wawancara yang dilakukan oleh dokter
kepada pasien dengan tujuan untuk memperoleh data atau sekumpulan gejala yang
akan digunakan untuk menetapkan diagnosis dan rencana tatalaksana bagi pasien.
Selain sebagai alat bantu diagnostik, pada wawancara psikiatrik yang baik juga terdapat
komponen terapi. Dalam berelasi dengan pasien selama wawancara, seorang dokter
dengan bahasa verbal maupun non verbal dapat sekaligus memberikan dukungan,
menunjukkan penerimaan dan empati yang akan membuat pasien merasa lebih
nyaman. Dengan kata lain, wawancara psikiatri merupakan perangkat utama yang
diperlukan dalam melakukan penelusuran riwayat perjalanan penyakit (anamnesis),
gejala dan tanda gangguan psikiatrik (pemeriksaan status mental), menetapkan
diagnosis, merencanakan terapi, menentukan prognosis, dan juga sebagai alat untuk
memberikan terapi atau intervensi non-farmakologis (psikoterapi) bagi pasien dengan
problem psikiatrik.

2. Prosedur Wawancara Psikiatrik


Secara umum, wawancara psikiatrik dibagi menjadi tiga tahapan:
a. Membuka Wawancara:
Fase ini merupakan fase awal dari sebuah wawancara psikiatrik. Di fase ini
dilakukan penelusuran identitas pasien, membina rapport dan mempersiapkan
pasien untuk wawancara yang sesungguhnya. Sampaikan juga kepada pasien
bahwa semua hal yang dibicarakan dalam sesi ini bersifat rahasia sehingga pasien
dapat bebas menceritakan apapun.

b. Isi Wawancara (wawancara yang sesungguhnya):


Pada bagian ini tanyakan keluhan utama yang membawa pasien datang berobat,
kapan dan bagaimana awalnya, perjalanan penyakit dan hal-hal yang memperparah
atau meringankan. Apakah pasien banyak mengeluhkan masalah fisik (lebih dari
tiga) yang tidak cocok dengan pola penyakit apapun. Apakah ada riwayat
penggunaan obat atau zat lain. Bagaimana kepercayaan pasien terhadap
penyakitnya, adakah kecurigaan ke arah supranatural atau keyakinan kultural
tertentu. Tanyakan pula riwayat gangguan jiwa sebelumnya, riwayat penyakit
medis, serta peristiwa kehidupan, misalnya berduka, pengangguran, pindah rumah,
masalah dalam perkawinan atau pekerjaan. Buat daftar sumber dukungan sosial

16
bagi pasien; keluarga, teman, lingkungan, agama, dll. Dalam hal ini, isi wawancara
mirip seperti anamnesis untuk penyakit fisik.

Akan tetapi, dalam wawancara psikiatrik juga dilakukan penelusuran mengenai


riwayat perkembangan, kehidupan sosial dan sistem keluarga pasien. Semua
peristiwa kehidupan yang bermakna pada pasien perlu ditelusuri, termasuk tahap-
tahap perkembangan (mulai bicara, berdiri, berjalan, apakah ada kecemasan
perpisahan saat pertama masuk sekolah, pergaulan di sekolah, dll). Selain itu, pada
bagian ini juga dilakukan pemeriksaan status mental. Kita perlu memastikan dan
mengonfirmasi gejala pada pasien. Apabila pasien mengatakan mendengar suara-
suara, kita perlu memastikan apakah suara tersebut tanpa sumber, apakah hanya
pasien sendiri yang dapat mendengar, kapan biasanya suara-suara tersebut
muncul, dan apa reaksi pasien terhadap suara-suara tersebut. Demikian pula bila
pasien memiliki keyakinan tertentu, untuk memastikan apakah itu suatu waham kita
bisa minta pasien menjelaskan lebih lanjut mengenai keyakinannya tersebut.

Contoh pertanyaan untuk mendeteksi gangguan jiwa di fasilitas kesehatan primer:


 Apakah Anda mengalami kesulitan tidur di malam hari?
 Apakah Anda merasa seolah tidak tertarik untuk melakukan kegiatan yang
biasa Anda lakukan?
 Apakah Anda merasa sedih akhir-akhir ini?
 Apakah Anda merasa takut terhadap apapun?

c. Menutup Wawancara:
Saat mengakhiri wawancara, buatlah simpulan singkat hasil wawancara dan selipkan
kalimat suportif bagi pasien. Bantu pasien untuk melihat sisi lain dari
permasalahannya sehingga ia merasa lebih baik. Berikan penjelasan tentang
kemungkinan diagnosis dan rencana terapi. Berikan pasien kesempatan untuk
bertanya mengenai hal-hal yang masih kurang jelas dan akhiri wawancara dengan
membuat janji temu untuk pertemuan berikutnya bila diperlukan.

POKOK BAHASAN B. TEKNIK WAWANCARA PSIKIATRIK


1. Membina Rapport
Rapport adalah interaksi antara pasien dengan pewawancara yang di dalamnya
terdapat rasa percaya (trust) dan pengertian (understanding). Pewawancara perlu
memahami bahwa saat pertama kali menemui pewawancara, pasien sering

17
mengalami rasa khawatir, gugup, takut, bahkan bingung, sehingga sulit untuk
mengungkapkan permasalahan. Untuk membantu pasien agar dapat menceritakan
permasalahan yang dialaminya, pewawancara perlu menumbuhkan rasa percaya
pasien kepada pewawancara, memahami permasalahan tersebut, sehingga pasien
merasa dimengerti dan “diterima”.
Berikut ini adalah langkah-langkah dalam membina rapport:
1. Membuat suasana yang nyaman bagi pasien dan pewawancara
2. Menemukan hal-hal yang menyebabkan penderitaan pasien, dan memperlihatkan
kepedulian
3. Menunjukkan keahlian
4. Membangun sikap kepemimpinan (sebagai dokter dan terapis)
5. Menyeimbangkan peran sebagai pendengar yang berempati, seorang ahli, dan
sebagaiterapis.

1. Membuat suasana yang nyaman bagi pasien dan pewawancara


Wawancara dibuka dengan dengan percakapan dasar dan ringan, bertujuan untuk
lebih mengenal atau dekat dengan pasien. Lingkungan sebaiknya nyaman, tidak
bising dan tidak banyak intervensi. Pewawancara lebih banyak menjadi pendengar
yang efektif. Teknik awal membangun suasana yang nyaman bagi pasien:
a. Memberi salam, bersalaman, sambil tersenyum
b. Pewawancara memperkenalkan diri
c. Menanyakan nama pasien serta bagaimana sebaiknya pewawancara
memanggilpasien.
d. Dapat dilanjutkan dengan pertanyaan ringan (cth: bagaimana perjalanan
pasiensampai ke tempat pewawancara)
e. Menjelaskan secara singkat tujuan wawancara dan minta kesediaan pasien
untukmemberikan informasi
f. Pewawancara menanyakan identitas pasien (usia, tempat tinggal, asal,
pekerjaan,pendidikan, dan status pernikahan).

Untuk mendapatkan hasil yang optimal dari proses wawancara, perlu menerapkan
teknik mendengar yang efektif, seperti:
 Duduk berhadapan dan agak membungkuk ke arah pasien, membuat
kontakmata
 Rileks dan sikap terbuka, hangat dan empatik, memberi perhatian sepenuhnya
 Suara lembut, tidak memotong pembicaraan

18
 Tidak menghakimi, tidak memberi penilaian

2.Menemukan hal-hal yang menyebabkan penderitaan pasien dan memperlihatkan


kepedulian
• Dapat digunakan pertanyaan-pertanyaan, seperti :
- Apa yang sedang mengganggu Anda?
- Apa yang saat ini Anda rasakan?
- Apa yang bisa saya bantu? Dapatkah Anda menceritakan?
• Fase awal wawancara seringkali penting untuk membiarkan pasien melakukan
ventilasi terhadap keluhannya dengan bebas. Deteksi kemungkinan adanya
depresi, kecemasan, atau kemarahan.
- Jika pasien terlihat cemas, berikan dukungan kepada pasien, cth: “saya mengerti
bahwa hal ini mungkin sangat sulit diceritakan..terutama jika Anda baru pertama
kali datang…”

3. Tunjukkan keahlian
• Buat pasien memahami bahwa tidak hanya pasien sendiri yang menghadapi
masalah seperti sekarang.
• Sampaikan pada pasien bahwa terapis familiar dengan masalah ini – tunjukkan
pengetahuan yang dimiliki terapis.
• Bicarakan hal-hal yang diragukan oleh pasien tentang kemampuan terapis,
bersama dengan keluarga atau teman yang mengantar pasien dengan
profesional.
• Bangkitkan semangat pasien akan masa depannya.

4. Bangun sikap kepemimpinan (sebagai dokter dan terapis)


Kemampuan memotivasi dan mengarahkan pasien, tunjukkan ketertarikan untuk
membantu kesembuhan pasien.

5. Seimbangkan peran sebagai pendengar yang berempati, seorang ahli, dan sebagai
terapis.
Dalam melakukan wawancara psikiatri, kita harus dapat menyeimbangkan peran,
kapan harus menjadi pendengar yang berempati, seseorang yang ahli dengan
keilmuannya, dan sebagai terapis yang mengobati pasien.

19
2. Merespons dengan Empati
Empati adalah kemampuan untuk dapat memahami apa yang dirasakan oleh pasien,
bagaimana jika berada dalam posisi tersebut, namun tetap sebagai pihak yang
berdiri di luar masalah, sehingga tetap dapat bersikap objektif. Dapat jatuh dalam
simpati, bila terlarut dalam situasi yang dihadapi orang tersebut, lalu gagal bersikap
objektif. Simpati merupakan hal yang harus dihindari. Empati berkaitan dengan
kepedulian, pemahaman, serta sikap menghargai atau menghormati. Bersikaplah
apa adanya, jangan dibuat-buat, karena pasien akan dapat merasakan kepedulian
yang palsu. Respons terapis bisa berupa:
• Memperlihatkan kepedulian kita melalui bahasa tubuh
• Mempertahankan kontak mata, sesekali mengangguk, menampilkan ekspresi
yang sesuai, dll.
• Ekspresi verbal singkat dapat memperlihatkan bahwa kita menghargai dan
memahami. Contoh : “oh ya…, mmm…, saya mengerti…”
“Saya dapat melihat bagaimana hal tersebut mengganggu Anda..”
“Hal tersebut pasti membuat Anda tidak nyaman..”
Kesalahan yang sering dilakukan:
• Mendengar sambil menulis atau kerja lain, pandangan menerawang
• Tidak sabar, menyela/interupsi, berargumentasi
• Banyak bicara atau menasehati, berbasa-basi
• Terlalu cepat menyimpulkan

3. Observasi perilaku nonverbal (intonasi suara, gaya bicara, ekspresi wajah pasien)
Selama wawancara awal telah dimulai observasi kondisi dan perilakunonverbal
pasien. Komunikasi atau perilaku nonverbal yang dimaksud diantaranya:
 Ekspresi wajah: tatapan mata, kerut dahi, alis, hidung dan kesesuaian
ekspresi wajah
 Suara: nada, intonasi, jeda kata, cara bicara
 Sikap tubuh: cara bersikap, gerakan tubuh, tangan, kaki
 Reaksi fisiologis: wajah merah/pucat, berkeringat, napas tersengal, pupil mata
melebar
 Penampilan: cara berpakaian, sikap dalam duduk dan berdiri

4. Beri kesempatan untuk berbicara dengan bebas


Biarkan pasien memilih sendiri topik pembicaraan. Ikuti alur pembicaraan pasien,
namun tetap kendalikan wawancara agar tidak melenceng dari tujuan. Gunakan

20
kombinasi pertanyaan terbuka dan tertutup secara tepat. Sedapat mungkin
bicaralah lebih sedikit dari pasien, kecuali saat membuat simpulan.

Strategi Mendapatkan Informasi


• Teknik pertanyaan terbuka (open-ended questions) di awal wawancara akan
membuat pasien menceritakan masalahnya dengan kata-kata pasien sendiri.
Pertanyaan yang membantu di antaranya adalah:
“Bagaimana saya dapat membantu Anda?”
“Apa yang bisa saya bantu?”
“Masalah apa yang membawa Anda ke sini?”
“Darimana sebaiknya kita mulai?”
• Untuk menelusuri kata kunci atau menanyakan hal yang spesifik, detil-detil yang
dibutuhkan untuk diagnosis, pertanyaan terbuka dapat dikombinasikan dengan
beberapa pertanyaan tertutup (close-ended questions). Contoh:
D : Sudah berapa lama Anda mengalami keluhan sulit tidur?
P : 2 minggu
D : Berapa lama waktu yang Anda butuhkan untuk bisa tertidur belakangan ini?
P : Kadang-kadang satu jam, kadang 3 jam, kadang saya tidak bisa tidur
sama sekali sepanjang malam.
D : Apakah Anda pernah terbangun sangat awal dan tidak bisa tidur lagi?
P : Tidak

• Memulai topik baru dengan pertanyaan terbuka yang luas; lanjutkan dengan
memfokuskan pada satu topik target; akhiri dengan serial pertanyaan yang semakin
menyempit, sesekali tertutup – tipe ya/tidak.
• Jika ingin menghindari pertanyaan tertutup, gunakan pertanyaan terbuka yang tajam
dan fokus. Contoh:
“Apakah Anda mengalami sulit tidur?” (jawaban yang muncul adalah: ya atau tidak)
lebih baik bertanya:
“Apa yang terjadi saat Anda mencoba tidur?”
• Pendekatan yang baik adalah dengan mengkombinasikan keduanya, dari pertanyaan
luas ke pertanyaan yang terfokus dan tajam.

Beberapa teknik wawancara lainnya:


• Teknik Klarifikasi
“Anda merasa sedih. Kapan waktu Anda merasa paling sedih?”
• Teknik Fasilitasi

21
“lalu..” “apa yang terjadi kemudian?”
• Teknik Silence
terkadang pasien membutuhkan waktu untuk menangis, membutuhkan waktuuntuk
bercerita dalam kondisi yang mendukung
• Teknik Dukungan Positif
“Saya sangat menghargai Anda menceritakan kepada saya bahwa Anda berhenti
meminum obat. Dapatkah Anda memberitahukan kepada saya, apa masalahnya?

Wawancara psikiatrik dalam kondisi khusus


a. Resistensi
• Resistensi: pasien yang secara sadar menghindari pembicaraan tentang suatu topik.
Contoh: “Saya tidak mau membicarakan tentang hal itu sekarang.”
“Saya tidak mau membahas hal ini dengan Anda.”
• Resistensi tidak langsung: pasien berusaha mengalihkan perhatian pewawancara
dari suatu topik, menjawab pertanyaan secara singkat atau tidak menjawab sama
sekali, atau mengalihkan pembicaraan, ekspresi wajahnya menunjukkan
ketidaktertarikan, atau berhenti sebelum menjawab.
Jika terjadi resistensi, maka ekspresikanlah penerimaan, jangan memaksa. Ubahlah fokus
pembicaraan dan tunda topik sebelumnya

b. Wawancara Saat Emergensi


• Waktu terbatas
• Fokus pada keluhan saat ini dan alasan dibawa ke fasilitas kesehatan (IGD)
• Alloanamnesis pada keluarga, teman, atau bahkan polisi yang membawa pasien
• Wawancara: pertanyaan langsung pada intinya, namun tetap tenang dan tidak
“mengancam” pasien. Pewawancara tampak mengendalikan situasi, secara
meyakinkan akan melindungi pasien dari kemungkinan melukai diri sendiri maupun
dari orang lain.

22
Daftar Tilik Bermain Peran

No. Butir Penilaian Ya Tidak


1. Memberikan salam, bersalaman, tersenyum
2. Perkenalan diri, membina Rapport
3. Menanyakan keluhan dan gejala untuk memahami
4. Membantu pasien untuk mengungkapkan apa yang
dirasakan (verbal-non verbal) untuk mendapatkan
informasi
5. Melakukan respons empati dan penentraman
6. Simpulan singkat hasil wawancara
7. Penjelasan rencana terapi
8. Menyediakan kesempatan untuk bertanya

VIII. REFERENSI

1. Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua, Balai Penerbit FKUI, 2013


2. Pedoman Diagnosis PPDGJ III, Depkes RI
3. Othmer E, Othmer SC. The clinical interview using DSM-IV. Volume1:Fundamentals.
Washington: American Psychiatric Press Inc., 1994.
4. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s synopsis of psychiatry. 9th ed Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins, 2003.
5. Patel V. Ketika tidak ada psikiater: Buku panduan kesehatan jiwa. CBM International.
2009

23
MATERI INTI 3.
GANGGUAN ANXIETAS

I. DESKRIPSI SINGKAT
Gangguan Anxietas atau Kecemasan termasuk salah satu gangguan yang paling sering
ditemui di masyarakat. Seringkali datang dalam bentuk berbagai keluhan somatik (fisik)
sehingga sulit untuk dikenali secara cepat dan mengakibatkan keterlambatan tatalaksana
secara tepat.Yang termasuk Gangguan Anxietas antara lain:
• Gangguan Anxietas Fobik
• Gangguan Anxietas Lainnya
o Gangguan Panik
o Gangguan Anxietas Menyeluruh
o Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi
• Gangguan Obsesif-Kompulsif
• Reaksi terhadap Stres Berat dan Gangguan Penyesuaian
o Reaksi Stres Akut
o Gangguan Stres Pasca Trauma
o Gangguan Penyesuaian
• Gangguan Disosiatif (Konversi)
• Gangguan Somatoform
o Gangguan Somatisasi

Modul ini hanya akan membahas terutama tentang gangguan cemas menyeluruh, gangguan
panik, gangguan campuran anxietas dan depresi, dan gangguan somatisasi, mulai dari
pengenalan gejala, penegakan diagnosis, penatalaksanaan, hingga melakukan rujukan
kasus di FKTP.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


A. Tujuan Pembelajaran Umum:
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu melakukan penegakan diagnosis
dan penatalaksanaan gangguan anxietas.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus:
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu :
1. Memahami definisi, masalah, penyebab, macam dan dampak dari gangguan
anxietas
2. Melakukan pengenalan gejala dan penegakan diagnosis gangguan anxietas
3. Melakukan penatalaksanaan gangguan anxietas

24
4. Melakukan rujukan kasus gangguan anxietas

III. POKOK BAHASAN

Pokok bahasan pada modul ini adalah:


Pokok bahasan A: Definisi, masalah, penyebab, macam dan dampak dari gangguan
anxietas
Pokok bahasan B: Pengenalan gejala dan penegakan diagnosis gangguan anxietas
Pokok bahasan C: Penatalaksanaan gangguan anxietas
Pokok bahasan D: Rujukan kasus gangguan anxietas

IV. METODE

Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran adalah :


a. Ceramah, tanya jawab
b. Curah pendapat
c. Studi kasus
d. Bermain peran
e. Praktik lapangan

V. MEDIA DAN ALAT BANTU


Media dan alat bantu yang digunakan dalam pembelajaran adalah :
a. LCD Projector dan Laptop
b. Laser pointer
c. Bahan tayang (slide ppt)
d. Flipchart/ papan tulis
e. Spidol
f. Panduan bermain peran
g. Skenario bermain peran
h. Lembar kerja studi kasus
i. Form evaluasi penampilan klinis
j. Panduan praktik lapangan

VI. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN

Agar proses pembelajaran dapat berhasil secara efektif, maka perlu disusun langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Langkah 1: Penyiapan proses pembelajaran
1. Kegiatan Fasilitator
 Fasilitator memulai kegiatan dengan melakukan bina suasana di kelas

25
 Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat
 Menyampaikan ruang lingkup bahasan dan tujuan pembelajaran
2. Kegiatan Peserta
 Mempersiapkan diri dan alat tulis yang diperlukan
 Mengikuti permainan
 Mengemukakan pendapat atas pertanyaan fasilitator
 Mendengar dan mencatat hal-hal yang dianggap penting
 Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator bila ada hal-hal yang belum jelas
dan perlu diklarifikasi.

2. Langkah 2: Penyampaian materi pembelajaran


1. Kegiatan Fasilitator
a. Menyampaikan Pokok Bahasan A sampai dengan D secara garis besar
dalam waktu yang singkat
b. Memberikan kesempatan kepada peserta untuk menanyakan hal-hal yang
kurang jelas
c. Memberikan jawaban jika ada pertanyaan yang diajukan peserta
d. Menyimpulkan materi bersama peserta

2. Kegiatan Peserta
a. Mendengar, mencatat dan menyimpulkan hal-hal yang dianggap penting
b. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator sesuai dengan kesempatan yang
diberikan
c. Memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan fasilitator.

3. Langkah 3: Praktik di kelas


1. Kegiatan Fasilitator
 Membagi peserta ke dalam kelompok kecil (tiap kelompok: 5 – 8 orang)
 Menjelaskan kepada peserta tentang latihan yang akan dilakukan
 Memberikan penugasan kepada peserta untuk membaca latihan-latihan yang
ada di modul untuk didiskusikan dalam kelompok kemudian
dipresentasikan/dilakukan bermain peran
 Meminta kelompok lain untuk menanggapi
 Menyimpulkan hasil diskusi
2. Kegiatan peserta
 Mendengar, mencatat penjelasan fasilitator
 Mendiskusikan penugasan yang diberikan fasilitator bersama anggota
kelompok

26
 Mempresentasikan hasil diskusi/melakukan bermain peran
 Menanggapi hasil presentasi yang disampaikan kelompok lain
 Mencatat hal-hal penting

VII. URAIAN MATERI


Pokok Bahasan A:
DEFINISI, MASALAH, PENYEBAB, MACAM DAN DAMPAK DARI GANGGUAN
ANXIETAS

Setiap orang dapat mengalami anxietas atau kecemasan yang normal apabila menghadapi
stimulus lingkungan atau stres sehari-hari, agar bergerak dan melakukan sesuatu. Anxietas
tersebut berupa suatu perasaan yang tidak nyaman, khawatir, disertai dengan gejala-gejala
otonom seperti sakit kepala, perspirasi, palpitasi, rasa tidak enak perut, atau kegelisahan
motorik. Namun tidak semuanya akan mengalami Gangguan Anxietas, jika dapat
beradaptasi dengan stres tersebut.Anxietas yang menetap dalam waktu lama, tidak mereda,
atau intensitas yang kuat, berulang dan mengganggu fungsi sehari-hari maka ini menjadi
tanda dari Gangguan Anxietas.

Gangguan anxietas merupakan salah satu gangguan jiwa yang paling sering ditemui. The
National Comorbidity Study melaporkan bahwa 1 di antara 4 orang memenuhi kriteria
diagnosis untuk paling tidak salah satu gangguan anxietas, dengan rata-rata prevalensi 1
tahunnya adalah 17,7%. Wanita lebih sering mengalami anxietasdengan prevalensi seumur
hidup sebesar 30,5% sementara pada pria sebesar 19,2%.Kelompok usia dengan prevalensi
tertinggi adalah 30-44 tahun, dan rata-rata onset gangguan pertama kali adalah usia 11
tahun. Data nasional Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013
untuk gangguan mental emosional (gejala depresi dan cemas) yang dideteksi pada
penduduk usia ≥15 tahun atau lebih, dialami oleh 6% penduduk atau lebih dari 14 juta jiwa.
Komorbiditas gangguan anxietas dengan gangguan psikiatrik lainnya sangat tinggi. Yang
paling sering adalah komorbiditas dengan gangguan depresi. Dari berbagai studi prevalensi
seumur hidup komorbiditas depresi dan cemas bahkan lebih dari 50%, lebih jelasnya seperti
tersebut berikut ini:
- Komorbiditas gangguan anxietas sosial dengan depresi 34-70%
- Komorbiditas gangguan stres pascatrauma dengan depresi 48%
- Komorbiditas gangguan panik dengan depresi 60-65%
- Komorbiditas dengan gangguan cemas menyeluruh dengan depresi 8-39%
- Komorbiditas gangguan obsesif kompulsif dengan depresi 67%

27
Penyebab terjadinya gangguan anxietasmerupakan kombinasi faktor biologis, psikologis dan
sosial, baik internal maupun ekternal. Faktor internal antara lain disposisi keluarga (genetik),
hiperaktivitas sistem noradrenergik, penyakit medis (contoh: hipertiroid, stroke, tumor
intrakranial), kepribadian (dependen, anankastik, cemas menghindar), pengalaman buruk
masa lalu, sedangkan faktor eksternal seperti stresor kehidupan dan penggunaan obat
terlarang/alkohol. Banyak obat (contoh: agonis adrenergik, kortikosteroid, antihipertensi,
bronkodilator) dapat menyebabkan palpitasi atau tremor dan gelisah, tetapi harus dibedakan
dengan diagnosis gangguan anxietas dalam pemeriksaan klinis, sebab gangguan anxietas
harus memenuhi kriteria diagnosis tertentu.

Pengaruh faktor psikologik termasuk anxietas terhadap faktor fisik antara lain:
1. sebagai penyebab atau pencetus penyakit fisik (asma, kolitis ulserativa)
2. menyebabkan kebiasaan tak sehat (makan berlebihan, merokok, minum alkohol
berlebihan)
3. mengakibatkan perubahan hormonal, imunologik, atau neurofisiologik yang
berkontribusi dalam mencetuskan atau mempengaruhi proses patologik fisik
4. mempengaruhi persepsi akan keparahan gejala
5. menentukan apakah seseorang akan mencari pertolongan dokter atau
mempengaruhi peran serta pasien dalam pengobatan.

Apabila gangguan anxietas tidak dikenali dan tidak ditata laksana akan menimbulkan
morbiditas/angka kesakitan yang besar, penggunaan layanan kesehatan yang tidak perlu,
dan timbulnya hendaya fungsi sehari-hari. Penelitian-penelitian terbaru juga menemukan
bahwa gangguan anxietas yang kronik akan meningkatkan risiko gangguan fisik, sebagai
contoh: meningkatnya risiko kematian pada penderita gangguan jantung. Pada berbagai
kondisi gangguan medis umum, lama rawat inap pada pasien yang mengalami gangguan
anxietas rata-rata lebih panjang 4-12 hari dibandingkan pasien tanpa gangguan anxietas.

Sementara itu, agak berbeda dengan istilah “psikosomatik” yang sering dikaitkan dengan
gangguan anxietas, yang menggambarkan sekelompok penyakit fisik yang (sebagian besar)
penyebabnya adalah faktor psikologik, saat ini tidak digunakan lagi. Psikosomatik adalah
studi sistematik terhadap faktor psikologik pada proses penyakit fisik. Diagnosis yang
dimaksud dengan psikosomatik dalam PPDGJ-III adalah F54. Faktor Psikologis dan Perilaku
yang Berhubungan dengan Gangguan atau Penyakit YDK. Jika memenuhi kriteria diagnosis
lain seperti gangguan anxietas atau depresi, maka diagnosis komorbid tersebut juga harus
tercantum. Menurut Franz Alexander, ada 7 penyakit yang terkait dengan “psikosomatik” ini,

28
yaitu: hipertensi, asma bronkial, neurodermatitis, ulkus peptikum, kolitis ulserativa, reumatoid
artritis dan tirotoksikosis.

Pokok Bahasan B:
PENGENALAN GEJALA DAN PENEGAKAN DIAGNOSIS GANGGUAN ANXIETAS
I. Gejala dan Tanda Gangguan Anxietas
Gejala dan tanda gangguan anxietas diperoleh dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Gejala dan tanda gangguan anxietassecara umumterdiri dari:
(1). komponen psikologik (kognitif, perilaku dan emosi), dan
(2). komponen fisik yaitu keluhan terhadap sistem jantung, pernafasan, neurologi,
muskuloskeletal, gastrointestinal dll.
Biasanya pasien datang berobat dengan keluhan fisik yang dikemukakan terlebih dahulu.

Tanda dan gejala yang sering dialami adalah sebagai berikut:


Komponen Psikologik Komponen Fisik
1. Kognitif: Berkeringat
- berfokus pada apa yang menjadi Gemetar
perhatiannya, lapang persepsi Jantung berdebar
menyempit, tidak mampu menerima Nafas pendek
rangsang luar Nadi dan tekanan darah naik
Mulut kering
2. Perilaku dan emosi: Diare/konstipasi
Mual/rasa tidak enak di lambung
- Khawatir, cemas, panik Nyeri perut/dada
- Tegang, perasaan tidak aman Kepala terasa ringan
- Bicara berlebihan dan cepat Pusing
- Gerakan tersentak-sentak Rasa tercekik
- Takut hilang kendali, takut mati, takut Ketegangan otot
menjadi gila Rasa baal/mati rasa, rasa kesemutan
- Rasa akan pingsan Sulit tidur

II. Kriteria Diagnosis Beberapa Gangguan Anxietas


1. Gangguan Anxietas Menyeluruh
Gejala-gejala biasanya multipel dan mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
(a). Ketegangan mental berupa kecemasan dan rasa khawatir, sulit berkonsentrasi;
(b). Ketegangan fisik/motorik antara lain gelisah, gemetar, tidak dapat relaks,
ketegangan otot, sakit kepala;
(c). Overaktivitas otonom: palpitasi, berkeringat, sesak nafas, kepala terasa ringan,
keluhan epigastrik, mulut kering, pusing.
Gejala anxietas atau kecemasan pada gangguan anxietas menyeluruh ini sebagai gejala
primer yang berlangsung hampir setiap hari untuk minimal beberapa minggu, tidak

29
terbatas pada kondisi tertentu. Seringkali berkaitan dengan adanya stres lingkungan
yang kronis.

2. Gangguan Panik
a) Serangan anxietas berat atau ketakutan yang tidak dapat dijelaskan, berulang, timbul
mendadak, menghebat dengan cepat dan sering hanya berlangsung beberapa menit
saja.
b) Sering disertai gejala fisik: palpitasi, sesak atau nyeri dada, nafas pendek,
berkeringat, perasaan seperti tercekik, pusing, perasaan tidak nyata, takut hilang
kendali, takut akan mati atau menjadi gila.
c) Untuk diagnosis, harus ditemukan adanya beberapa kali serangan anxietas berat
dalam masa waktu kira-kira 1 bulan; pada keadaan-keadaan yang sebenarnya
secara objektif tidak ada bahaya, tidak terbatas pada situasi tertentu, dengan
keadaan yang relatif bebas dari gejala anxietas dalam periode antara serangan-
serangan panik.

Tidak jarang pasien yang mengalami serangan panik mendatangi instalasi gawat darurat
karena keluhan fisik yang hebat, mengira sedang mengalami gangguan jantung. Pasien
dengan gangguan panik juga seringkali ketakutan akan kesendirian atau untuk pergi ke
tempat-tempat umum, dan ketakutan yang menetap akan kemungkinan mengalami
serangan lagi (anxietas antisipatorik).

3. Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi


Gangguan yang ditandai oleh adanya gejala-gejala anxietas dan depresi bersama-sama,
dan masing-masing gejala tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk
dapat ditegakkannya suatu diagnosis tersendiri. Untuk gejala anxietas, beberapa gejala
autonomik harus ditemukan, walaupun tidak terus menerus, di samping rasa cemas atau
khawatir berlebihan.

Gejala-gejala anxietas antara lain:


 Kecemasan atau khawatir berlebihan, sulit berkonsentrasi
 Ketegangan motorik: gelisah, sakit kepala, gemetaran, tegang, tidak dapat santai
 Aktivitas autonomik berlebihan: palpitasi, berkeringat berlebihan, sesak nafas, mulut
kering,pusing, keluhan lambung, diare.
Gejala-gejala depresi antara lain:
 Suasana perasaan sedih/murung.

30
 Kehilangan minat/menurunnya semangat dalam melakukan aktivitas
 Mudah lelah
 Gangguan tidur
 Konsentrasi menurun
 Gangguan pola makan
 Kepercayaan diri yang berkurang
 Pesimistis
 Rasa tidak berguna/rasa bersalah

4. Gangguan Somatisasi
Gangguan somatisasi memerlukan kriteria semua hal berikut:
a) Banyak keluhan fisik yang bermacam-macam, berulang, tidak dapat dijelaskan atas
dasar adanya kelainan fisik (tidak ditemukan adanya kelainan fisik), dan telah
berlangsung sedikitnya selama 2 tahun;
b) Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada
kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya;
c) Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang berkaitan
dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari perilakunya.

Perbedaan yang jelas antara somatisasi dengan kondisi psikologik yang mempengaruhi
kondisi medis umum adalah pada somatisasi tidak ditemukan adanya kelainan fisik
meskipun keluhan fisik banyak dan sering berulang.

31
III. Langkah-langkah Penegakan Diagnosis Gangguan Anxietas:
a. Langkah 1: Dari keluhan fisik yang diutarakan, singkirkan adanya penyakit organik
dan penyalahgunaan zat, melalui anamnesis, pemeriksaan fisik maupun
pemeriksaan penunjang (bila perlu).
b. Langkah 2: Nilai komponen fisik dan psikologik (kognitif maupun perilaku dan
emosional)
c. Langkah 3: Nilai gejala dan tanda spesifik dari beberapa kriteria diagnosis gangguan
ansietas
d. Langkah 4: Singkirkan adanya depresi, terutama tanyakan 3 gejala utama:
sedih/murung, hilang minat dan semangat, mudah lelah/hilang energi.
e. Langkah 5: Singkirkan adanya psikotik, terutama tanyakan gejala halusinasi dan
waham.

Pokok Bahasan C:
PENATALAKSANAAN GANGGUAN ANXIETAS
Penatalaksanaan gangguan anxietas ada 2, yaitu melalui Intervensi Psikososial dan
Intervensi Farmakologis. Berikut ini adalah intervensi yang dapat dilakukan di FKTP:
I. Intervensi Psikososial
• Lakukan konseling dalam komunikasi terapeutik, dorong pasien untuk
mengekspresikan pikiran dan perasaan, tentang gejala dan riwayat gejala
• Beri penjelasan adanya pengaruh antara faktor fisik dan psikologis, termasuk
bagaimana faktor perilaku, psikologik dan emosi berpengaruh mengeksaserbasi
gejala somatik yang mempunyai dasar fisiologik.
• Bicarakan dan sepakati rencana pengobatan dan tindak lanjut, bagaimana
menghadapi gejala, dan dorong untuk kembali ke aktivitas normal.
• Ajarkan teknik relaksasi (teknik nafas lambat).
Dalam keadaan panik atau cemas, maka bernafas akan lebih cepat. Belajar
mengendalikan pernafasan dengan bernafas lambat akan membantu kita merasa
lebih tenang dan rileks.
• Anjurkan untuk berolah raga teratur atau melakukan aktivitas yang disenangi serta
menerapkan perilaku hidup sehat.
• Ajarkan untuk selalu berpikir positif dan manajemen stres dengan baik.
• Gangguan anxietas kadang-kadang memerlukan terapi yang cukup lama, diperlukan
dukungan keluarga untuk memantau agar pasien melaksanakan saran terapi dengan
benar.
• Perhatian khusus pada gangguan panik; beri saran untuk melakukan langkah-
langkah berikut jika terjadi serangan panik:

32
o Tetap tinggal di tempat hingga serangan berlalu
o Pusatkan perhatian untuk mengendalikan gangguan anxietas, bukan pada
gejala fisik
o Bernafas dengan lambat dan rileks. Hiperventilasi akan semakin menambah
anxietasnya.

Relaksasi dan Teknik Nafas Lambat


1. Bernafas dalam, lambat, tenang dari perut.
2. Duduklah dengan nyaman dan punggung tegak
3. Tarik nafas melalui hidung dan hitung sampai 3 dengan perlahan
4. Tahan nafas hingga hitungan 3 dengan perlahan
5. Hembuskan nafas melalui mulut dan hitung hingga 3 dengan perlahan,
lepaskan sebanyak mungkin udara saat mengontraksi otot perut, dan
katakana rileks.
6. Tarik nafas kembali, ulangi dari awal hingga merasa rileks
7. Berlatihlah 2 x 5-10 menit setiap hari walaupun tidak sedang cemas,
berlatih hingga terbiasa mengendalikan cemas dan merasa nyaman

• Perhatian khusus pada gangguan somatisasi:


o jangan resepkan anti depresan atau anti cemas (benzodiazepin) dan jangan
memberikan suntikan atau tatalaksana yang tidak perlu seperti vitamin. Selain
efek samping, pertimbangkan bahwa tindakan ini dapat memerkuat “peran
sakit” yang pasien mainkan.
o Tawarkan untuk bicara secara pribadi dan tanyakan tentang stresor saat
ini.Ungkapkan bahwa keluhan tersebut nyata dan perlu diturunkan rasa tidak
nyaman akibatnya, meskipun hasil pemeriksaan menunjukkan tidak adanya
penyakit yang serius/berbahaya
o Minta pasien untuk menjelaskan gejala somatik yang dialami dan perasaan
yang dialami, mencoba membuka wawasan adanya hubungan keduanya
o Dukung keberlanjutan (atau secara bertahap kembali) pada aktivitas normal
o Minta pasien untuk kembali datang bila gejala memburuk. Bila semua upaya
yang dilakukan kurang membantu– konsultasikan ke spesialis.

II. Intervensi Farmakologis:


Pemberian farmakoterapi untuk gangguan anxietas yang dapat diberikan di FKTP antara
lain: (1). Golongan antidepresan yang memiliki sifat antianxietas, (2). Golongan
antianxietas itu sendiri: benzodiazepin.

33
• Antidepresan memiliki efek sebagai anti anxietas, terdapat bukti yang baik bahwa
antidepresan terutama trisiklik dosis rendah cukup efektif. Dosis dapat dinaikkan
secara bertahap apabila tidak ada perubahan yang signifikan setelah 2-3 minggu:
fluoksetin 1x10-20 mg/hari atau sertralin 1x25-50 mg/hari atau amitriptilin 1x12,5-50
mg/hari. Catatan: amitriptilin tidak boleh diberikan pada pasien dengan penyakit
jantung, dan pemberian berhati-hati untuk pasien lansia karena efek hipotensi
ortostastik (dimulai dengan dosis minimal efektif).
• Pasien yang mendapatkan fluoksetin/sertralin dengan gejala kecemasan yang lebih
dominan dan/atau dengan gejala insomnia dapat diberikan kombinasi dengan
antianxietas benzodiazepin. Obat-obatan antianxietas jenis benzodiazepin antara
lain: diazepam 1-2 x 2-5 mg atau lorazepam 1-2x0,5-1 mg atau klobazam 1-2 x 5-10
mg.
• Setelah kira-kira 2-4 minggu benzodiazepin dapat mulai ditappering-off perlahan
(kurang dari 25% dosis sebelumnya tiap 2 minggu), sementara antidepresan
diteruskan hingga 4-6 bulan sebelum di tappering-off. Yang harus dilakukan adalah
psikoedukasi bahwa saat penurunan dosis obat benzodiazepin mungkin dapat terjadi
sedikit perasaan tidak nyaman, biasanya dalam 2-3 hari akan kembali seperti biasa,
perlu melalui fase adaptasi pada penurununan obat.
• Efek samping benzodiazepin termasuk sedasi dan efek pada kognitif dan psikomotor.
Pada penggunaan jangka panjang, dapat berhubungan dengan masalah
ketergantungan dan lepas obat. Hati-hati potensi penyalahgunaan pada
benzodiazepin.

Pokok Bahasan D:
RUJUKAN KASUS GANGGUAN ANXIETAS
Pasien dapat dirujuk apabila:
• Gejala menetap, tidak ada perbaikan yang signifikan dalam 2 bulan terapi
• Gejala progresif dan makin bertambah berat
• Diperlukan tambahan psikoterapi kognitif dan perilaku sehubungan dengan
gangguan yang sudah berlangsung lama (kronis), adanya kepribadian premorbid
tertentu, atau adanya komorbiditas gangguan psikiatrik lain
• Konfirmasi diagnosis atau meminta second opinion
• Keterbatasan ketersediaan obat

34
REFERENSI

1. Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa (2011) Buku Pedoman Pelayanan


Kesehatan Jiwa di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dasar.Jakarta: Direktorat Bina
Pelayanan Kesehatan Jiwa, Kementerian Kesehatan RI.
2. Departemen Kesehatan RI (1993). Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa III (PPDGJ III). Jakarta, Depkes RI.
3. World Health Organization (2009) Pharmacological treatment of mental disorders in
primary health care. Geneva: World Health Organization.
4. World Health Organization (2010). mhGAP Intervention Guide for mental, neurological
and substance use disorders in non-specialized health settings. Geneva: World Health
Organization.
5. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s synopsis of psychiatry. 9th ed Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins, 2003.
6. Maramis M., Konginan A., Karimah A. Tatalaksana gangguan mental untuk dokter
pelayanan primer. Surabaya: Departemen/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unair/RSUD
Dr. Soetomo, 2015.

35
MATERI INTI 4.
GANGGUAN DEPRESI

I. DESKRIPSI SINGKAT
Depresi merupakan salah satu gangguan suasana perasaan, saat penderita mengalami
suasana perasaan yang tertekan, sedih, kehilangan minat dan tidak dapat menikmati
apapun serta semangat yang turun yang dapat menyebabkan terganggunya aktivitas sampai
paling tidak 2 minggu. Banyak orang dengan depresi juga disertai gejala kecemasan dan
gejala somatik (keluhan fisik) yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.

Modul ini terutama memfokuskan pada depresi sedang-berat, yang merupakan kasus yang
sering ditemui di masyarakat dan membutuhkan intervensi karena menimbulkan gangguan
fungsi dan tugas sehari-hari serta dapat menyebabkan dampak yang berat jika tidak segera
ditatalaksana, seperti tindakan bunuh diri.

III. TUJUAN PEMBELAJARAN


A. Tujuan Pembelajaran Umum:
Setelah mempelajari materi ini, peserta mampu melakukan penegakan diagnosis, dan
penatalaksanaangangguan depresi.

B. Tujuan Pembelajaran Khusus:


Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu :
1. Memahami definisi, masalah, penyebab, macam dan dampak dari gangguan
depresi
2. Melakukan pengenalan gejaladan penegakan diagnosis gangguan depresi
3. Melakukan penatalaksanaan gangguan anxietas
4. Melakukan rujukan kasus gangguan depresi

IV. POKOK BAHASAN


Pokok bahasan pada modul ini adalah:
Pokok bahasan A: Definisi, masalah, penyebab, macam dan dampak dari gangguan
depresi
Pokok bahasan B: Pengenalan gejala dan penegakan diagnosis gangguan depresi
Pokok bahasan C: Penatalaksanaan gangguan depresi
Pokok bahasan D: Rujukan kasus gangguan depresi

36
V. METODE
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran adalah :
a. Ceramah, tanya jawab
b. Curah pendapat
c. Studi kasus
d. Bermain peran
e. Praktik lapangan

VI. MEDIA DAN ALAT BANTU


Media dan alat bantu yang digunakan dalam pembelajaran adalah :
a. LCD Projector dan Laptop
b. Laser pointer
c. Bahan tayang (slide ppt)
d. Flipchart/ papan tulis
e. Spidol
f. Panduan bermain peran
g. Skenario bermain peran
h. Lembar kerja studi kasus
i. Form evaluasi penampilan klinis
j. Panduan praktik lapangan

VII. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN


Agar proses pembelajaran dapat berhasil secara efektif, maka perlu disusun langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Langkah 1: Penyiapan proses pembelajaran
1. Kegiatan Fasilitator
 Fasilitator memulai kegiatan dengan melakukan bina suasana di kelas
 Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat
 Menyampaikan ruang lingkup bahasan dan tujuan pembelajaran
2. Kegiatan Peserta
 Mempersiapkan diri dan alat tulis yang diperlukan
 Mengikuti permainan
 Mengemukakan pendapat atas pertanyaan fasilitator
 Mendengar dan mencatat hal-hal yang dianggap penting
 Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator bila ada hal-hal yang belum jelas
dan perlu diklarifikasi.

37
2. Langkah 2: Penyampaian materi pembelajaran
1. Kegiatan Fasilitator
a. Menyampaikan Pokok Bahasan A sampai dengan D secara garis besar
dalam waktu yang singkat
b. Memberikan kesempatan kepada peserta untuk menanyakan hal-hal yang
kurang jelas
c. Memberikan jawaban jika ada pertanyaan yang diajukan peserta
d. Menyimpulkan materi bersama peserta
2. Kegiatan Peserta
a. Mendengar, mencatat dan menyimpulkan hal-hal yang dianggap penting
b. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator sesuai dengan kesempatan yang
diberikan
c. Memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan fasilitator.

3. Langkah 3 : Praktik di kelas


1. Kegiatan Fasilitator
 Membagi peserta ke dalam kelompok kecil (tiap kelompok: 5 – 8 orang)
 Menjelaskan kepada peserta tentang latihan yang akan dilakukan
 Memberikan penugasan kepada peserta untuk membaca latihan-latihan yang
ada di modul untuk didiskusikan dalam kelompok kemudian
dipresentasikan/dilakukan bermain peran
 Meminta kelompok lain untuk menanggapi
 Menyimpulkan hasil diskusi
2. Kegiatan peserta
 Mendengar, mencatat penjelasan fasilitator
 Mendiskusikan penugasan yang diberikan fasilitator bersama anggota
kelompok
 Mempresentasikan hasil diskusi/melakukan bermain peran
 Menanggapi hasil presentasi yang disampaikan kelompok lain
 Mencatat hal-hal penting

VIII. URAIAN MATERI


Pokok Bahasan A:
DEFINISI, MASALAH, PENYEBAB, MACAM DAN DAMPAK DARI GANGGUAN DEPRESI

Depresi adalah gangguan suasana perasaan, yang terutama ditandai dengan adanya
perasaan yang sedih/murung, kehilangan minat, tidak bertenaga dan mudah lelah. Gejala
tambahan pada gangguan depresi di antaranya konsentrasi dan perhatian berkurang,

38
gangguan pola makan, adanya gagasan atau perbuatan membahayakan diri/ bunuh diri,
gangguan tidur, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, pandangan masa depan yang
suram dan pesimistis, perasaan tidak berguna/ rasa bersalah dan sedih/murung setiap
waktu.

Data nasional Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 untuk
gangguan mental emosional (gejala depresi dan cemas) yang dideteksi pada penduduk usia
≥15 tahun atau lebih, dialami oleh 6% penduduk atau lebih dari 14 juta jiwa. Menurut WHO,
depresi terdapat pada sekitar 20% pasien di layanan primer, baik sebagai diagnosis sendiri
maupun komorbid dengan diagnosis fisiknya. Gangguan jiwa dan penyakit fisik akan saling
mempengaruhi secara timbal balik. Berdasarkan Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas)
tahun 2004, terdapat hubungan yang bermakna antara depresi dengan penyakit kronis
(penyakit jantung, asma, artritis) di masyarakat, dan penyakit jantung memiliki hubungan
yang terkuat (Idaiani S, Bisara D, 2009).

Depresi sendiri berada pada peringkat ke-3 sebagai penyebab beban akibat penyakit
berdasarkan DALYs (disability adjusted life years) pada tahun 2004, diestimasikan menjadi
peringkat ke-2 pada tahun 2020, dan akan menjadi peringkat ke-1 pada tahun 2030 (Global
Burden of Disease 2004 Update, World Bank & WHO 2008). Di Indonesia saat ini depresi
menempati peringkat ke-8 penyebab beban utama akibat penyakit berdasarkan DALY’s
(disability-adjusted life year), sedangkan usia terbanyak yang dipengaruhi adalah usia
produktif antara 15-45 tahun (The Global Burden of Disease Study, 2010).

Penyebab terjadinya gangguan depresi merupakan kombinasi faktor internal dan ekternal.
Faktor internal antara lain disposisi keluarga (genetik), penyakit medis, kepribadian,
pengalaman buruk masa lalu, sedangkan faktor eksternal seperti stresor kehidupan dan
penggunaan obat terlarang/alkohol.
Beberapa proses penyakit fisik secara langsung akan mempengaruhi otak dan menimbulkan
perubahan zat kimia yang mengakibatkan depresi, selain bahwa penyakit kronis
menyebabkan depresi akibat beban psikologis dan disabilitas.

Faktor risiko yaitu faktor yang menyebabkan seseorang rentan terhadap gangguan depresi
meliputi:
a. Faktor Biologik: genetik, perubahan neurotransmitter/neuroendokrin, perubahan
struktur otak, vascular risk factors, penyakit/kelemahan fisik (kondisi medik kronik
&kondisi terminal)

39
b. Faktor Psikologik: tipe kepribadian (dependen, perfeksionis, introvert), relasi
interpersonal (disharmoni keluarga)

Faktor pencetusyaitu faktor yang langsung menyebabkan seseorang mengalami gangguan


depresi meliputi:
a. Peristiwa kehidupan: berduka, perpisahan, kehilangan orang yang di cintai,
kesulitan ekonomi, perubahan situasi, misalnya pindah rumah.
b. Stres Kronis: disfungsi kehidupan berkeluarga
c. Penggunaan obat-obatan tertentu: antihipertensi, pemblok H2, kontrasepsi oral,
kortikosteroid, antireumatik.

Namun demikian adapulaFaktor Pelindungterhadap gangguan depresi, antara lain:


a. Adanya dukungan sosial: kekerabatan, kehidupan religius
b. Mekanisme koping yang sehat: mudah beradaptasi dengan lingkungan,
kepribadian yang matur
c. Pola hidup sehat : gizi seimbang, olah raga, hidup teratur

Dampak Gangguan Depresi


Apabila depresi tidak dikenali apa yang akan terjadi? Menurut adaptasi dari: Stahl SM.
Essential Psychopharmacology, 1996, dampak depresi terhadap kesehatan dan fungsi
adalah:
a. Mortalitas
 Depresi adalah faktor utama untuk kematian akibat bunuh diri
 Kecelakaan fatal akibat konsentrasi dan perhatian terganggu
 Kematian akibat penyakit yang terkait atau yang diakibatkan
(misalnyapenyalahgunaan alkohol)
b. Morbiditas
Percobaan bunuh diri, kecelakaan, menyebabkan penyakit/somatisasi, kehilangan
pekerjaan, gagal di sekolah/karir dan penyalahgunaan alkohol/zat
c. Biaya Sosial
Disfungsi keluarga, mangkir kerja/sekolah, produktivitas berkurang, cedera terkait
pekerjaan, kualitas pekerjaan buruk

Depresi berhubungan dengan faktor-faktor risiko penyakit kronis dan gaya hidup (merokok,
pola makan dll) yang memperburuk kesehatan fisik. Selain itu depresi diketahui memiliki
beberapa efek biologis yang secara langsung mempengaruhi fisik. Depresi yang timbul

40
bersamaan dengan penyakit fisik akan mempengaruhi upaya terapi dan hasil
penatalaksanaan kesehatan, misalnya: mempengaruhi kepatuhan terapi dan perubahan
perilaku yang direkomendasikan dokter dan memperlambat pencarian pertolongan medis.

PREVALENSI DEPRESI & KOMORBIDITAS

 Penyakit Saraf : 37,5%


 Penyakit Jantung : 34,6%
 Penyakit Paru Kronik : 30,9%
 Kanker : 30,3%
 Artritis : 25,3%
 Diabetes Mellitus : 22,7%
 Hipertensi : 22,4%

Lieh Mak F., Depression in Gen Practice, Hongkong, 1995

Depresi juga sering disertai dengan kecemasan. Komorbiditas depresi dan cemas bahkan
lebih dari 50% (Kessler RC, et al. Arch Gen Psychiatry. 1994;51:8-19).

Pokok bahasan B:
PENGENALAN GEJALA DAN PENEGAKAN DIAGNOSIS GANGGUAN DEPRESI

Menurut Mitchel PB (1998), Depresi yang ditemui di praktik umum sering bersamaan dengan
gangguan fisik, atau mungkin datang dengan keluhan fisik dan bukan keluhan
psikologik.Menurut Katon W et al (1982):
a. Pasien medik yang juga menderita gangguan mental lazimnya datang dengan keluhan:
- kelelahan
- insomnia
- nyeri
- gejala gastrointestinal atau
- gejala somatik lain
 Bukan mengatakan:
- “saya depresi” atau
- “ada yang tidak beres dengan mental saya”

Pasien dicurigai mengalami depresi apabila:


• Gejala yang banyak dan kabur (misalnya gastro-intestinal,kardiovaskular, neurologis)
• Kelelahan atau gangguan tidur
• Nyeri kronik (misalnya nyeri punggung, nyeri kepala)
• Penyalahgunaan zat (alkohol atau obat-obatan)

41
• Dua atau lebih penyakit kronik
• Kehilangan minat terhadap aktivitas seksual
• Umur lanjut
• Obesitas
• Kerabat tingkat pertama dengan riwayat depresi
• Lingkungan rumah yang miskin, kesulitan keuangan
• Perubahan hidup yang besar
• Kehamilan atau pasca persalinan
• Terisolasi dari pergaulan sosial

GEJALA SOMATIK PADA PASIEN


DEPRESI

 Kelelahan : 86%
 Insomnia : 79%
 Mual : 51%
 Dispnea : 38%
 Palpitasi : 38%
 Nyeri punggung : 36%
 Diare : 29%
 Nyeri kepala : 28%
 Nyeri dada : 27%
 Gejala seksual : 23%
 Nyeri ekstremitas : 20%
 Pusing : 19%
 Nyeri perut : 18%
 Tinitus : 18%
 Nyeri sendi : 16%

Nakao et al. Psychopatology, 2001.

Depresi memiliki gejala-gejala utama dan gejala-gejala tambahan. Gejala-gejala utama


depresi adalah:
1. Sedih dan murung (hampir setiap waktu dalam sehari, hampir setiap hari).
2. Kehilangan minat dan kesenangan pada kegiatan yang sebelumnya dirasa
menyenangkan.
3. Tidak bertenaga dan mudah lelah sehingga aktivitas menurun.

Gejala-gejala tambahan depresi yaitu:


1. Menurunnya konsentrasi dan perhatian
2. Menurunnya harga diri dan kepercayaan diri
3. Rasa bersalah dan rasa tidak berguna
4. Pandangan terhadap masa depan yang suram dan pesimistis

42
5. Gangguan tidur
6. Gangguan pola makan/nafsu makan
7. Berpikir tentang kematian, melukai diri atau bunuh diri

Kriteria Diagnosis Depresi Sedang - Berat yaitu:


1. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 gejala utama
2. Sekurangnya-kurangnya 3 dari 7 gejala tambahan
3. Berlangsung minimal selama 2 minggu
4. Adanya gangguan fungsi/kesulitan nyata dalam melakukan aktivitas sosial,
sekolah/pekerjaan dan urusan rumah tangga.

Belajar Kasus Depresi


Ny. SB, 45 tahun. Mengeluhkan sakit kepala, kelelahan, dan nyeri otot serta punggung yang
terjadi dalam 1 bulan terakhir.Ny. SB juga mengeluhkan rasa mual berulang.Tidur lebih
banyak dari biasanya, mudah jatuh tidur, terbangun diri hari dengan rasa lelah yang sangat.

• Data/gejala apa sajakah yang ditemukan?


• Apa saja kemungkinan-kemungkinan penyebab/penyakit yang dialami?

i. Keluhan fisik (contoh: sakit kepala) yang merupakan gejala penyerta depresi sering
menyulitkan pemeriksaan depresi, sebab justru diutarakan pertama kali oleh pasien.
Maka perlu dilakukan pemeriksaan apakah keluhan tersebut diakibatkan oleh kondisi
medis atau psikologis (depresi). Melalui wawancara psikiatrik, klinisi perlu menilai lebih
dalam keluhan fisik pasien, seperti: awitan, frekuensi (hilang timbul atau terus menerus),
intensitas, lokasi serta keluhan memberat/timbul dalam kondisi apa. Kemudian perlu
ditanyakan apa saja yang dilakukan untuk menghilangkan keluhan tersebut, diantaranya
penggunaan obat-obatan, penggunaan napza, dan apakah dengan konsumsi obat
tersebut keluhan membaik atau tidak. Klinisi perlu menyingkirkan kemungkinan adanya
penyakit fisik/organik (melalui wawancara maupun pemeriksaan fisik dan penunjang).

Akhir-akhir ini Ny. SB semakin mengalami kesulitan untuk menjalankan aktivitas yang
selama ini Ia lakukan (membersihkan rumah, menyiapkan makanan, mencuci pakaian). Ia
tidak mampu untuk bangun dan menyiapkan kebutuhan anak-anak di pagi hari.Suami juga
melaporkan bahwa Ny. SB seringkali mudah tersinggung dan sangat mudah marah.

• Tambahan gejala apa saja yang ditemukan?


• Keterangan tambahan apalagi yang diperlukan?

43
• Gangguan jiwa apa yang mungkin dialami?

Setelah itu tanyakan keluhan lain yang dialami pasien, tanyakan gejala-gejala depresi, baik
gejala utama maupun gejala tambahan. Jika keluhan fisik diutarakan pertama kali, tanyakan
gejala depresi dimulai dari keluhan yang berhubungan dengan fisiknya, misalnya: mudah
lelah dan aktivitas yang menurun. Setelah itu tanyakan gejala lainnya. Jangan lupa untuk
menilai adanya ide bunuh diri, kekuatan dari ide tersebut, kemampuan pasien
mengendalikan ide bunuh diri tersebut.

Ny. SB menyatakan bahwa ia merasa sedih terus menerus, menghindari aktivitas yang dulu
Ia sukai dan nikmati bersama teman-teman – “tidak ada yang membuat saya merasa
senang sekarang”. Berhenti makan dan kehilangan berat-badan yang bermakna. Selama
proses wawancara, ia bergerak dan berbicara sangat lambat.Ia sering menyatakan bahwa ia
tidak berguna, ibu yang jahat karena tidak menjaga anak-anak dan suaminya dengan baik.
Berharap tidur dan tidak pernah bangun lagi.

• Gejala-gejala apa saja yang membuat kita berpikir bahwa Ny. SB mengalami
Gangguan Depresi? Ingat kembali gejala-gejala depresi.

ii. Untuk menegakkan diagnosis gangguan depresi dan tata laksana yang sesuai, kita perlu
menyingkirkan adanya psikotik dan mania. Perlu dibedakan pula apakah pasien dalam
masa berkabung (2 bulan), karena pada masa berkabung ada fase-fase untuk
beradaptasi sehingga di tahap awal cukup diberikan intervensi psikososial, belum perlu
diberikan antidepresan. Jika berlanjut, dan intensitas gejala cukup berat maka perlu
diberikan tata laksana yang sesuai.

44
Untuk memudahkan penegakan diagnosis depresi, berikut ini adalah langkah-langkah dalam
menilai dan menegakkan diagnosis depresi sedang - berat.

Penting:
Langkah-langkah menilai dan menegakkan diagnosis Gangguan Depresi Sedang -
Berat:
• Langkah1: menyingkirkan kemungkinan penyakit organik dan penyalahgunaan zat
• Langkah 2: menilai 2 dari 3 gejala utama depresi
• Langkah 3: menilai minimal 3 dari 7 gejala tambahan depresi
• Langkah 4: berlangsung minimal 2 minggu
• Langkah 5: menilai adanya gangguan fungsi
• Langkah 6: menyingkirkan adanya psikotik dan mania
• Langkah 7: menyingkirkan adanya gejala tambahan (seperti ide bunuh diri, penyakit
fisik yang menyertai/memperburuk)

 Pengingat: Gangguan Bipolar


Tanyakan riwayat sebelumnya, apakah ada gejala-gejala berikut dalam 1 minggu
terakhir(atau pernah dinyatakan mengalami gangguan manik):
a. Peningkatan suasana perasaan (mood) yang meningkat, ekspansif (meluap-luap),
atau iritabel (mudah marah/tersinggung)
b. Peningkatan aktivitas, gelisah, sangat bersemangat
c. Bicara sangat banyak dan aktif, ada flight of ideas
d.Hilangnya kendali sosial yang normal
e. Penurunan kebutuhan tidur
f. Percaya diri berlebih, rasa kebesaran (grandiosity)
g. Perhatian mudah teralih
h. Peningkatan libido seksual

Perhatian: Jika ada Gangguan Bipolar maka:


• Tatalaksana sesuai dengan tatalaksana Gangguan Bipolar (mulailah terapi dengan
mood stabilizer)
• Jika pasien Gangguan Bipolar tersebut saat ini sedang mengalami depresi – perlu
diperhatikan bahwa antidepresan dapat memicu timbulnya gejala manik,
pertimbangkan pemberian tambahan obat mood stabilizer dan monitor gejala. Segera
rujuk.

45
 Pengingat: Gangguan Psikotik
Ditemukan gejala:
a. Halusinasi
b. Waham
c. Bicara kacau, tidak dimengerti, irrelevant
d. Menarik diri, agitasi, disorganisasi perilaku, stupor
Merupakan gejala utama (pada Gangguan Psikotik); atau gejala tambahan (pada
Gangguan Depresi dengan Ciri Psikotik).

Perhatian dalam pemberian terapi jika ada gejala psikotik:


• Perlu dikombinasikan antara pemberian antidepresan dan antipsikotik
• Konsultasikan ke spesialis

 Pengingat: Penyakit fisik yang mungkin menyertai:


Pasien depresi mungkin saja disertai oleh penyakit fisik seperti: vaskular (stroke,
hipertensi),infeksi, trauma, autoimun, metabolik endokrin, neoplasma, degeneratif,
kongenital danherediter.

Perhatian dalam pemberian terapi jika ada penyakit fisik yang menyertai:
• Berikan tatalaksana pada kedua gangguan – fisik maupun mental
• Gangguan Depresi dapat memengaruhi kepatuhan dan ketaatan terhadap pengobatan

 Pengingat: Depresi pada Kehamilan atau Saat Menyusui


Depresi pada perempuan usia produktif sering terjadi saat perinatal. Depresi pasca
persalinan dialami oleh lebih dari 10% perempuan. Depresi pasca persalinan
berlangsung 1-4 bulan pasca melahirkan, meskipun ada yang berlanjut hingga 1 tahun,
sehingga berisiko untuk keselamatan ibu dan bayi. Jika tidak ditatalaksana dengan baik
akan berdampak negatif bagi tumbuh kembang bayi.
Penggunaan antidepresan selama kehamilan dan menyusui sebaiknya dihindari. Jika
memang dengan intervensi psikososial dirasakan tidak cukup efektif, dapat diberikan
antidepresan dosis kecil, ¼ hingga ½ dosis pada trimester ke 2 dan ke 3. Hindari
penggunaan antidepresan yang bekerja panjang (seperti golongan SSRI). Rujuk ke
spesialis bila upaya maksimal yang dilakukan dirasakan kurang membantu.

 Pengingat: Depresi pada anak dan remaja


Anak dan remaja juga rentan terhadap depresi. Gejala yang sering tampak pada
kelompok usia ini diantaranya:

46
• Keluhan-keluhan somatik
• Prestasi disekolah menurun
• Menarik diri dari pergaulan atau aktivitas sosial
• Berat badan bertambah atau menurun dengan drastis
• Agresi, agitasi atau iritabilitas (mudah marah)
• Konsumsi berlebih: rokok, alkohol dan narkoba

Apabila terdapat gejala depresi pada anak dan remaja:


• Lakukan juga pemeriksaan status mental pada orang tua.
• Ada tidaknya kemungkinan perlakuan salah atau kekerasan pada anak di rumah
maupun sekolah

Jika lebih muda dari 12 tahun:


» JANGAN memberikan resep obat antidepresan.
» Tawarkan tidak lanjut rutin.

Jika 12 tahun atau lebih tua:


» JANGAN pertimbangkan penggunaan antidepresan sebagai pengobatan tahap pertama.
» Edukasi mengenai kesehatan jiwa.
» Tangani penyebab stressor psikososial.
» Jika ada, pertimbangkan psikoterapi interpersonal (IPT – Interpersonal Therapy) atau
terapi perilaku kognitif (CBT- Cognitive Behavioral Therapy), aktivasi perilaku.
» Jika ada, pertimbangkan tatalaksana tambahan: program aktivitas fisik yang terstruktur,
training relaksasi atau tatalaksana pemecahan masalah.
» Saat intervensi psikososial terbukti tidak efektif, pertimbangkan fluoxetine (tapi bukan
SSRIatau TCA lain).
» Tawarkan tindak lanjut rutin .

 Pengingat: Depresi pada lansia


• Depresi pada lansia 1–2 %, depresi pada lansia yang ada di RS atau institusi lain
sampai dengan 40%
• Gejala kurang jelas;
- Keluhan tidur
- Nafsu makan ↓
- Berat badan ↓
- Apatis, anergi
- Penarikan diri

47
• Risiko penurunan fungsi fisik meningkat

Pokok bahasan C:
PENATALAKSANAAN GANGGUAN DEPRESI

Penatalaksanaan gangguan depresi bertujuan untuk pemulihan pasien dengan


mengurangi/menghilangkan gejala, mengembalikan peran dan fungsi, mengurangi risiko
kekambuhan, mengurangi risiko disabilitas/mortalitas, dan kualitas hidup yang baik.
Pemulihan tersebut tergantung dari beberapa faktor, antara lain:
 Predisposisi genetik
 Kepribadian pramorbid
 Dukungan psikososial dari lingkungan
 Keberadaan stresor psikososial
 Komorbiditas dengan penyakit lain
 Jenis dan beratnya depresi, dan
 Manajemen pengobatan

Penatalaksanaan gangguan depresi yang dapat dilakukan di FKTP ada 2, yaitu Intervensi
Psikososial dan Intervensi Farmakologis.
I. Intervensi Psikososial
Intervensi psikososial antara lain adalah psikoedukasi, penilaian dan tata laksana stresor
psikososial, pengembangan jaringan sosial, membentuk program aktivitas fisik dan
pemantauan regular secara berkala.
 Psikoedukasi
Tujuan utama psikoedukasi adalah untuk menginformasikan dan memberikan
edukasi kepada pasien dan keluarga tentang gejala depresi bahwa:
• Depresi merupakan masalah yang lazim dan dapat terjadi pada semua orang
• Depresi bukanlah kelemahan atau kemalasan, penderita sebenarnya berusaha
untuk mengatasinya. Orang yang mengalami depresi cenderung memiliki pikiran
negatif yang tidak realistik tentang diri, tentang hidup, dan tentang masa depan.
Hal-hal tersebut adalah gejala dari depresinya.
• Tatalaksana efektif adalah mungkin. Tatalaksana memerlukan waktu beberapa
minggu untuk menurunkan gejala depresi.
• Ketaatan pada pengobatan adalah hal penting
Hal-hal yang perlu ditekankan:

48
• Pentingnya melanjutkan aktivitas sederhana yang biasanya menarik atau yang
dapat menciptakan rasa nyaman dan membangun rasa percaya diri, meskipun
saat ini mungkin terasa tidak menarik.
• Manfaat aktivitas fisik dan sosial
• Pentingnya mencoba untuk mempertahankan siklus tidur yang teratur (pergi tidur
di jam yang sama, jumlah jam tidur sama, hindari tidur terlalu banyak)
• Dorong penderita untuk melawan rasa pesimis dan pikiran mengkritik diri sendiri
• Mengenali pikiran untuk melukai diri atau bunuh diri – segera mencari
pertolongan ke fasyankes
• Pada usia lanjut, penting untuk melanjutkan terapi terhadap masalah fisik yang
selama ini dialami
b. Penilaian dan tata laksana stresor psikososial
• Beri kesempatan untuk bicara, sebisa mungkin di tempat yang terjaga privasinya.
Tanyakan pemahaman pribadi tentang sebab gejala yang dialami
• Tanyakan tentang stresor psikososial saat ini dan kemungkinan cara
penyelesaian masalah dari stresor psikososial itu atau jika ada kesulitan
membina relasi, dapat mencari bantuan layanan di komunitas yang tersedia
• Nilai dan tatalaksana situasi apa pun terkait perlakuan salah, perilaku kekerasan
(KDRT), dan penelantaran (anak atau usia lanjut). Kontak sumber daya legal dan
komunitas, sesuai kebutuhan.
• Konsentrasi pada langkah kecil yang spesifik yang dapat diambil oleh penderita
untuk mengurangi atau mengatasi masalah tersebut, hindari pengambilan
keputusan atau perubahan hidup yang besar, saat kondisi belum stabil.
• Identifikasi anggota keluarga yang mendukung dan libatkan mereka sebanyak
mungkin, sesuai kebutuhan.

Pada anak dan remaja:


• Nilai dan tatalaksana masalah mental, neurologis, dan penyalahgunaan zat
(terutama depresi) pada orang tua
• Nilai stresor psikososial pada orang tua dan tatalaksana termasuk dengan
bantuan layanan/sumber-sumber yang ada di komunitas
• Nilai dan tatalaksana perlakuan salah, eksklusi atau perundungan (bullying)
• Jika ada masalah performa sekolah, diskusikan dengan guru tentang bagaimana
mendukung para murid
• Sediakan pelatihan keterampilan pola asuh yang sesuai budaya

49
c. Pengembangan jaringan sosial
• Identifikasi aktivitas sosial sebelumnya, yang jika dimulai kembali, akan
berpotensi memberikan dukungan psikososial langsung atau tidak langsung
(pertemuan keluarga, jalan-jalan bersama teman, mengunjungi tetangga, aktivitas
sosial di tempat kerja, aktivitas di masyarakat)
• Bangun kekuatan dan kemampuan orang tersebut dan berdayakan secara aktif
untuk kembali ke aktivitas sosial sebelumnya sebisa mungkin

d. Membentuk program aktivitas fisik


• Pembentukan aktivitas fisik dengan durasi sedang (45 menit) 3 kali per minggu
• Gali dengan orang tersebut aktivitas fisik apa yang diinginkan dan dukung untuk
secara bertahap memulainya, contoh mulai dari 5 menit aktivitas fisik

e. Pemantauan reguler secara berkala


• Kontrol secara berkala (misalnya di klinik, per telepon, atau melalui kunjungan
rumah)
• Nilai perkembangan (sebagai contoh setiap 4 minggu)

II. Intervensi Farmakologis


A. Jenis-jenis Antidepresan:
1. Antidepresan Trisiklik (TCA)
Amitriptilin, Klomipramin, Imipramin.
2. SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors)
Fluoksetin, Sertralin, Citalopram, Fluvoksamin.
3. SNRI (Serotonin-Norepinefrin Reuptake Inhibitors) dan NaSSA (Noradrenergic
and Specific Serotonergic Antidepressants)
Venlafaksin, Duloksetin, Mirtazapin.

B. Informasi yang perlu diberikan kepada pasien tentang antidepresan:


1. Antidepresan harus diminum setiap hari. Lanjutkan minum obat sekalipun pasien
telah merasa lebih baik.
2. Antidepresan baru memiliki efek untuk depresi 2-4 minggu sejak dimulainya
terapi, dan dapat memanjang pada usia lanjut. Efek lain seperti sedasi (pada
TCA) dan peningkatan energi dapat terjadi lebih cepat.
3. Terdapat beberapa potensi efek samping, misalnya:
 SSRI: mual, sakit kepala, tremor
 TCA: mengantuk, lemas, pusing, mulut kering, konstipasi, kesulitan berkemih,

50
dan pandangan kabur
Efek samping ini bersifat individual, ringan dan biasanya menghilang dalam 7-10
hari. Antidepresan selanjutnya justru akan memerbaiki fungsi kognitif.
4. Tentang penghentian obat.
 Sebaiknya diminum sekitar 6 bulan–1 tahun terutama pada pasien episode
pertama.
 Antidepresan tidak menimbulkan ketergantungan. Ada beberapa pasien
yang mengeluhkan adanya rasa tidak enak saat menghentikan terapi
terutama pada antidepresan yang berefek pendek seperti amitriptilin.
Gejala tersebut biasanya ringan dan akan sembuh dengan sendirinya,
namun dapat terasa lebih berat terutama bila distop secara langsung.
 Harus berkonsultasi dengan dokter sebelum menghentikan obat

C. Pemilihan antidepresan
 Pilih antidepresan dari formularium nasional yang berlaku
 Pertimbangkan pola gejala, efek samping, dan riwayat pengobatan sebelumnya
 Untuk kondisi komorbiditas, pertimbangkan potensi penyakit akibat obat atau
interaksi obat
 Mengkombinasikan antidepresan dengan medikasi psikotropik lain memerlukan
pengawasan dari spesialis

Perhatian:
• Orang dengan ide bunuh diri
• Pilihan pertama: SSRI
• Pantau secara berkala (misalnya 1 kali seminggu)
• Pastikan untuk tidak memberikan obat berlebihan (misalnya hanya untuk 1
minggu)
• Remaja ≥ 12 tahun
• Jika intervensi psikososial terbukti tidak efektif, pertimbangkan fluoksetin
(bukan SSRI lain atau TCA).
• Sedapat mungkin, konsultasikan dengan spesialis jika merawat remaja
dengan fluoksetin.
• Pantau remaja yang menggunakan fluoksetin secara teratur (idealnya sekali
seminggu) untuk memantau kemunculan ide bunuh diri selama bulan pertama
tatalaksana. Katakan pada remaja dan orangtuanya mengenai meningkatnya
risiko munculnya ide bunuh diri dan bahwa mereka harus segera
menghubungi jika mereka mendapati ciri tersebut muncul lagi.

51
• Usia lanjut
• TCA harus dihindari, sedapat mungkin. SSRI adalah pilihan pertama.
• Pantau efek samping secara hati-hati, khususnya efek samping dari TCA.
• Pertimbangkan meningkatnya risiko interaksi obat dan berikan waktu yang
cukup panjang untuk respon (minimal 6 – 12 minggu sebelum
mempertimbangkan bahwa pengobatan tidak efektif, dan 12 minggu jika ada
respons parsial dalam periode ini).
• Pasien dengan penyakit kardiovaskular
• SSRI adalah pilihan pertama.
• JANGAN meresepkan TCA bagi orang yang memiliki risiko aritmia jantung yang
serius atau yang baru mengalami infark miokard.
• Dalam semua kasus kardiovaskular, ukur tekanan darah sebelum meresepkan
TCA dan observasi apakah orang tersebut mengalami hipotensi ortostatik begitu
penggunaan TCA dimulai.

Hal-hal yang harus dipantau:


• Gejala mania  SEGERA STOP pemberian antidepresan dan nilai serta tatalaksana
gejala mania (gangguan bipolar)
• Akatisia (rasa tidak bisa diam, tidak bisa duduk tenang)  berikan diazepam 5 – 10
mg untuk 1 minggu atau ubah ke TCA
• Ketaatan pengobatan  jika ada ketidaktaatan pengobatan, tanyakan penyebabnya,
berikan edukasi kembali, dan mencari kemungkinan solusi
• Respons yang inadekuat (gejala tidak ada perubahan atau memburuk dalam 4
minggu pengobatan), evaluasi:
(1). Diagnosis (termasuk komorbiditas);
(2). Apakah obat diminum secara teratur;
(3). Apakah dosis kurang memadai sehingga perlu ditingkatkan dalam 4-6 minggu;
(4).Tidak ada respons  pertimbangkan intervensi psikososial lain atau antidepresan
jenis lain. Selalu berhati-hati saat pergantian dari satu antidepresan ke
antidepresanlain, yaitu dengan cara: hentikan dahulu obat yang pertama; biarkan
ada jarak beberapa hari jika memungkinkan secara klinis; mulai dengan obat
kedua. Jikapergantian ini adalah dari fluoksetin ke TCA, jarak waktu ini harus lebih
lama.Contohnya, seminggu. Jika masih tidak ada respons, konsultasikan
kepadaspesialis.

Penghentian penggunaan obat-obatan antidepresan


» Pertimbangkan penghentianobat-obatan antidepresan jika penderita (a) tidak
menunjukkan atau hanya menunjukkan gejala-gejala depresi yang minimal selama 9

52
- 12 bulan dan (b) telah mampu untuk menjalankan rutinitas harian selama jangka
waktu tersebut.
» Proses penghentiansebagai berikut:
 Diskusikan terlebih dahulu dengan penderita mengenai penghentian
tatalaksana.
 Untuk TCA dan sebagian besar SSRI (tapi lebih cepat untuk fluoksetin): Kurangi
dosis secara bertahap (tiap 1-2 minggu) selama paling tidak jangka waktu 4
minggu; beberapa orang membutuhkan jangka waktu yang lebih lama.
 Ingatkan penderita mengenai kemungkinan timbulnya gejala-gejala penghentian
obat saat menghentikan atau mengurangi dosis, dan bahwa gejala-gejala
tersebut biasanya ringan dan terbatas tapi dalam kasus tertentu bisa menjadi
berat, khususnya jika pengobatan dihentikan secara mendadak.
 Beritahukan mengenai gejala awal kambuh lagi (mis. perubahan pada tidur atau
selera makan selama lebih dari 3 hari) dan kapan harus datang untuk tindak
lanjut rutin.
» Pantau dan tatalaksana gejala penghentian obat antidepresan(gejala umum: pusing,
kesemutan, cemas, iritabilitas,kelelahan, sakit kepala, mual, masalah tidur)
- Gejala ringan: tenangkan penderita sambil tetap pantau gejala-gejala yang
timbul.
- Gejala berat: perkenalkan ulang antidepresan dalam dosis yang efektif dan
kurangi secara bertahap.
- Konsultasikan dengan spesialisjika gejala terus berlanjut.
» Pantau kekambuhan (gejala depresi yang muncul kembali selama penghentian obat
antidepresan): resepkan antidepresan yang sama dengan dosis yang efektif
sebelumnya jika gejala-gejalanya muncul kembali, lanjutkan hingga 12 bulan ke
depan.

FLUOKSETIN
Efek samping yang berat (ini jarang terjadi)
» ditandai akathisia (kegelisahan atau ketidakmampuan untuk duduk diam);
» pendarahan yang tidak normal pada mereka yang secara rutin mengkonsumsi aspirin
dan obat-obatan non-steroid anti inflamasi lainnya.

Efek samping yang umum (kebanyakan efek samping menghilang setelah beberapa hari;
tidak ada yang permanen)

53
» gelisah, gugup, insomnia, anoreksia dan gangguan-gangguan gastrointestinal, sakit
kepala, disfungsi seksual (reversibel).

Hati-hati: risiko menginduksi mania pada orang dengan gangguan bipolar.


Waktu untuk merespon setelah inisiasi dosis yang memadai: 4 – 6 minggu.

Menentukan dosis fluoksetin pada orang dewasa yang sehat


» Mulai pengobatan dengan 20 mg per hari (untuk mengurangi risiko efek samping
yang dapat mengurangi kepatuhan, seseorang bisa mulai dengan 10 mg (sekali
sehari dan ditingkatkan menjadi 20 mg jika pengobatan dapat ditoleransi oleh
penderita).
» Jika tidak ada respon selama 4 – 6 minggu atau respon parsial dalam 6 minggu,
naikkan dosis sebanyak 20 mg (dosis maksimal adalah 60 mg) sesuai dengan tingkat
toleransi penderita dan gejala respons.

Menentukan dosis fluoksetin pada remaja


» Mulai pengobatan dengan 10 mg sekali sehari dan tingkatkan menjadi 20 mg setelah
1 – 2 minggu (dosis maksimal adalah 20 mg).
» Jika tidak ada respon dalam 6 – 12 minggu atau respon parsial dalam 12 minggu,
konsultasikan dengan spesialis.

Menentukan dosis fluoksetin pada orang berusia lanjut atau sakit secara medis
» Mulai pengobatan dengan tablet 10 mg sekali sehari atau 20 mg selang sehari sekali
selama 1 – 2 minggu dan kemudian naikkan menjadi 20 mg jika bisa ditoleransi.
» Sebaiknya obat diminum setelah makan.
» Jika tidak ada respon selama 6 – 12 minggu atau respon parsial dalam 12 minggu,
naikkan dosis secara bertahap (dosis maksimal 60 mg).
» Naikkan dosis secara lebih pelan dan bertahap daripada pada orang dewasa yang
sehat.

AMITRIPTILIN
Efek samping (ini jarang terjadi)
» Aritmia jantung

Efek samping yang berat (kebanyakan efek samping menghilang setelah beberapa hari;
tidak ada yang permanen).

54
» hipotensi ortostatik (berisiko jatuh), mulut kering, konstipasi, sulit BAK, pusing,
pandangan kabur dan efeksedasi.

Hati-hati
» risiko terjadi pergantian menjadi mania, khususnya pada orang dengan gangguan
bipolar;
» terganggunya kemampuan untuk melakukan tugas-tugas tertentu yang
membutuhkan keterampilan (mis. menyetir) – ambil langkah pencegahan sampai
terbiasa dengan pengobatan;
» risiko menyakiti diri sendiri (sampai mematikan jika overdosis);
» kurang efektif dan lebih berefek sedasi berat jika diberikan kepada pengguna tetap
alkohol.

Waktu untuk terjadinya respon setelah dimulainya dosis yang memadai


» 4 – 6 minggu (gejala-gejala terkait rasa sakit dan tidur cenderung membaik dalam
beberapa hari).

Memberikan dosis amitriptilin kepada orang dewasa yang sehat


» Mulai pengobatan dengan memberikan 25 mg pada jam tidur.
» Naikkan sebanyak 25 mg setiap 1 – 2 minggu, dengan tujuan mencapai 75 - 100 mg
dalam 4 – 6 minggu, tergantung respon dan tingkat toleransi.
» Jika tidak ada respon dalam 4 – 6 minggu atau hanya respon parsial dalam 6
minggu, naikkan dosis secara bertahap (dosis maksimal adalah 200 mg) dalam dosis
yang terpisah (atau dosis tunggal sendiri pada malam hari).

Memberikan dosis amitriptilin kepada orang berusia lanjut atau sakit secara medis
» Mulai dengan 12,5 mg pada waktu tidur.
» Naikkan sebanyak12,5 - 25 mg per minggu, bertujuan untuk mencapai target dosis
50 – 75 mg dalam waktu 4 – 6 minggu.
» Jika tidak ada respon dalam 6 – 12 minggu atau hanya respon parsial dalam 12
minggu, naikkan dosis secara bertahap (dosis maksimal 100 mg) dalam dosis yang
terpisah.
» Pantau hipotensi ortostatik

55
Pokok bahasan D:
RUJUKAN KASUS GANGGUAN DEPRESI

Kapan merujuk pasien dengan gangguan depresi?


 Jika pasien menunjukkan gejala-gejala psikosis, mania atau pikiran bunuh diri yang
kuat (telah memiliki rencana, kurang dapat mengendalikan pikiran bunuh diri
tersebut, faktor protektif minimal – misalnya keluarga kurang suportif, faktor risiko
besar – misalnya riwayat tindakan bunuh diri sebelumnya)
 Jika tidak berespons terhadap satu atau dua pengobatan yang adekuat; atau gejala
memburuk
 Konsultasi diagnosis
 Komorbiditas dengan gangguan psikiatrik lain, misalnya penyalahgunaan zat
 Jika perlu tindakan spesialistik: psikoterapi,ECT dan rawat inap

Persiapan pasien untuk rujukan:


 Tekankan pada aspek konsultasi(minta pendapat ahli)
 Berikan pengertian bahwa konsultasi lazim dilakukan dan sering membawa
keberhasilan pengobatan
 Koreksi anggapan keliru/stigma
 Garisbawahi hubungan dengan kolega
 Tekankan peranan dokter pelayanan primer/dokter keluarga

Isi surat rujukan:


 Diagnosis atau perkiraan diagnosis
 Alasan rujukan
 Derajat kedaruratan
 Obat-obatan (dosis dan lama penggunaan) dan pengobatan lain yang telah diberikan

REFERENSI

1. Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa (2011) Buku Pedoman Pelayanan


Kesehatan Jiwa di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dasar.Jakarta: Direktorat Bina
Pelayanan Kesehatan Jiwa, Kementerian Kesehatan RI.
2. Departemen Kesehatan RI (1993). Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa III (PPDGJ III). Jakarta, Depkes RI.

56
3. World Health Organization (2009) Pharmacological treatment of mental disorders in
primary health care. Geneva: World health Organization.
4. World Health Organization (2010). mhGAP Intervention Guide for mental,
neurological and substance use disorders in non-specialized health settings. Geneva:
World Health Organization.
5. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s synopsis of psychiatry. 9th ed
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2003.

57
MATERI INTI 5.
GANGGUAN PSIKOTIK

I. DESKRIPSI SINGKAT
Psikosis adalah kondisi mental/jiwa saat realitas menjadi sangat terdistorsi yang berakibat
pada timbulnya gejala seperti waham, halusinasi dan gangguan pikiran. Orang dengan
skizofrenia atau gangguan psikotik lainnya tidak hanya menderita gejala psikosis, tetapi juga
gejala lain seperti psikomotor yang abnormal, gangguan mood/afek, defisit kognitif, dan
perilaku yang kacau. Modul ini membahas tentang berbagai gejala gangguan psikotik,
bagaimana melakukan diagnosis dan diagnosis banding, serta penatalaksanaan gangguan
psikotik yang berupa intervensi farmakologik dan intervensi psikososial.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


A. Tujuan Pembelajaran Umum :
Setelah mempelajari materi ini, peserta mampu melakukan penegakan diagnosis dan
penatalaksanaan gangguan psikotik.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu :
1. Memahami definisi, masalah, penyebab, macam dan dampak dari gangguan
psikotik
2. Melakukan pengenalan gejala, identifikasi kasus, dan diagnosis gangguan
psikotik
3. Melakukan penatalaksanaan gangguan psikotik
4. Melakukan rujukan kasus

III. POKOK BAHASAN


Pokok bahasan pada modul ini adalah:
Pokok bahasan A: Definisi, masalah, penyebab, macam dan dampak dari gangguan
psikotik
Pokok bahasan B: Pengenalan gejala, identifikasi kasus, dan diagnosis gangguan psikotik
Pokok bahasan C: Penatalaksanaan gangguan psikotik
Pokok bahasan D: Rujukan kasus gangguan psikotik

IV. METODE
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran adalah :
a. Ceramah, tanya jawab
b. Curah pendapat
c. Studi kasus

58
d. Bermain peran
e. Praktik lapangan

V. MEDIA DAN ALAT BANTU


Media dan alat bantu yang digunakan dalam pembelajaran adalah :
a. LCD Projector dan Laptop
b. Laser pointer
c. Bahan tayang (slide ppt)
d. Flipchart/ papan tulis
e. Spidol
f. Panduan bermain peran
g. Skenario bermain peran
h. Lembar kerja studi kasus
i. Form evaluasi penampilan klinis
j. Panduan praktik lapangan

VI. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN

Agar proses pembelajaran dapat berhasil secara efektif, maka perlu disusun langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Langkah 1: Penyiapan proses pembelajaran
1. Kegiatan Fasilitator
 Fasilitator memulai kegiatan dengan melakukan bina suasana di kelas
 Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat
 Menyampaikan ruang lingkup bahasan dan tujuan pembelajaran
2. Kegiatan Peserta
 Mempersiapkan diri dan alat tulis yang diperlukan
 Mengikuti permainan
 Mengemukakan pendapat atas pertanyaan fasilitator
 Mendengar dan mencatat hal-hal yang dianggap penting
 Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator bila ada hal-hal yang belum jelas
dan perlu diklarifikasi.

3. Langkah 2: Penyampaian materi pembelajaran


1. Kegiatan Fasilitator
a. Menyampaikan Pokok Bahasan A sampai dengan D secara garis besar
dalam waktu yang singkat

59
b. Memberikan kesempatan kepada peserta untuk menanyakan hal-hal yang
kurang jelas
c. Memberikan jawaban jika ada pertanyaan yang diajukan peserta
d. Menyimpulkan materi bersama peserta
2. Kegiatan Peserta
a. Mendengar, mencatat dan menyimpulkan hal-hal yang dianggap penting
b. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator sesuai dengan kesempatan yang
diberikan
c. Memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan fasilitator.

4. Langkah 3: Praktik di kelas


1. Kegiatan Fasilitator
 Membagi peserta ke dalam kelompok kecil (tiap kelompok: 5 – 8 orang)
 Menjelaskan kepada peserta tentang latihan yang akan dilakukan
 Memberikan penugasan kepada peserta untuk membaca latihan-latihan yang
ada di modul untuk didiskusikan dalam kelompok kemudian
dipresentasikan/dilakukan bermain peran
 Meminta kelompok lain untuk menanggapi
 Menyimpulkan hasil diskusi
2. Kegiatan peserta
 Mendengar, mencatat penjelasan fasilitator
 Mendiskusikan penugasan yang diberikan fasilitator bersama anggota
kelompok
 Mempresentasikan hasil diskusi/melakukan bermain peran
 Menanggapi hasil presentasi yang disampaikan kelompok lain
 Mencatat hal-hal penting

VII. URAIAN MATERI

POKOK BAHASAN A:DEFINISI, MASALAH, PENYEBAB, MACAM DAN DAMPAK DARI


GANGGUAN PSIKOTIK

Psikosis adalah kondisi mental/jiwa saat realitas menjadi sangat terdistorsi yang berakibat
pada timbulnya gejala seperti waham/delusi (keyakinan yang salah yang dipertahankan),
halusinasi (persepsi sensorik tanpa adanya sumber rangsangan) dan gangguan pikiran.

Sindrom ini dapat diakibatkan oleh berbagai kondisi, termasuk gangguan psikiatri
(skizofrenia dan gangguan terkait), gangguan medik (trauma fisik, epilepsi lobus temporalis,

60
demensia, penyakit neurologik dan endokrin, kelainan metabolik) dan gangguan
penyalahgunaan zat (terutama amfetamin dan halusinogen)

Psikosis sering kali mulai terjadi pada usia 15 – 25 tahun, laki-laki sering mengalaminya
lebih awal. Awitannya dapat mendadak ataupun perlahan-lahan. Psikosis Akut adalah
psikosis yang terjadi kurang dari 3 bulan atau perburukan gejala psikosis yang sudah ada,
dapat merupakan episode pertama atau kekambuhan. Seringkali didapati fase pre-psikotik
yang ditandai oleh munculnya gejala negative yang kemudian diikuti oleh gejala positif yang
jelas. Jika lebih dari 3 bulan maka disebut Psikosis Kronis.

Perjalanan penyakit pada sebagian orang akan relatif stabil, namun sebagian lagi akan
mengalami perburukan yang progresif yang mengakibatkan disabilitas yang makin lama
makin berat.

Ada 3 kemungkinan luaran klinis:


a. orang tersebut pulih sepenuhnya atau pulih sebagian dengan beberapa gejala
tertinggal;
b. orang tersebut pulih tetapi terdapat beberapa episode berikutnya (relaps/kambuh); dan
c. gejala berlanjut sampai 3 bulan atau lebih (psikosis kronik).

Penyebab psikosis dapat bermacam-macam dan biasanya tidak ada faktor tunggal.
Beberapa faktor yang berkontribusi antara lain faktor genetik (tidak pernah 100%, berkisar
antara 5% pada orang tua sampai 45% pada saudara kembar identik dari orang dengan
skizofrenia), faktor neurotransmiter, faktor kepribadian dan faktor stresor kehidupan.

Dampak gangguan psikotik sangat luas, mulai dari beban ekonomi yang langsung akibat
biaya pengobatan dan biaya lain (misalnya biaya transport), biaya yang tidak langsung
(misalnya kehilangan pencaharian, menurunnya produktivitas), maupun biaya yang tidak
terlihat seperti beban psikologis dan sosial (akibat rasa malu, stigma dan diskriminasi).

Perjalanan penyakit yang kronis dengan banyak episode kekambuhan serta terjadinya
peristiwa-peristiwa kekerasan mengakibatkan timbulnya berbagai perlakuan salah serta
pelanggaran HAM yang diterima oleh orang dengan gangguan psikosis, misalnya
penelantaran dan pemasungan.

Untuk memperkirakan jumlah penderita gangguan psikotik di wilayah kerja kita, dapat
digunakan hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 yang mendapatkan prevalensi gangguan jiwa
berat (skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya) sebesar 1,7 per seribu; dan

61
mengalikannya dengan jumlah penduduk total. Sebenarnya ada data untuk tiap provinsi dan
kabupaten jika ingin menghitung dengan lebih akurat.

POKOK BAHASAN B. PENGENALAN GEJALA, IDENTIFIKASI KASUS, DAN


DIAGNOSIS GANGGUAN PSIKOTIK

Orang dengan psikosis dapat menunjukkan gejala-gejala seperti distorsi pikiran dan
persepsi, emosi yang tidak patut atau rentangnya sempit, pembicaraan yang inkoheren atau
irelevan, halusinasi, waham/delusi, kecurigaan berlebihan dan tak berdasar. Dapat terlihat
abnormalitas perilaku yang berat, seperti perilaku disorganisasi, agitasi, eksitasi, dan
inaktivitas/overaktivitas, juga gangguan emosi, seperti apati atau diskoneksitas antara emosi
yang di utarakan dengan afek yang diobservasi (seperti ekspresi wajah dan bahasa tubuh).
Salah satu pembagian gejala psikotik yang sangat beragam itu adalah dengan
mengelompokkan menjadi dua, Gejala Negatif dan Gejala Positif (Tabel …)

Gejala Negatif Gejala Positif

 Emosi yang mendatar  Halusinasi, distorsi persepsi


 Tidak adanya motivasi dan energi  Waham, distorsi pikiran
 Kehilangan minat dan kesenangan  Pembicaraan yang terdisorganisasi.
dalam aktivitas Kesulitan dalam mempertahankan
 Interaksi sosial berkurang percakapan dan/atau tetap fokus
pada suatu topik
 Perilaku terdisorganisasi. Perilaku
yang tidak biasa dan aneh serta
kesulitan dalam merencanakan dan
menyelesaikan aktivitas

Gejala positif pada umumnya akan berespon lebih baik terhadap pengobatan antipsikotik
dibandingkan dengan gejala negatif.

Pasien biasanya datang ke puskesmas dengan diantar oleh satu atau lebih anggota
keluarga atau masyarakat. Sering kali tidak mudah untuk menjalin komunikasi dengan
pasien tersebut. Dia dapat berperilaku kacau bahkan agresif, jalan pikirannya tidak mudah
dipahami, menolak untuk berbicara, merasa tidak sakit dan tidak perlu mendapat
pengobatan. Dalam hal ini petugas kesehatan harus tetap tenang dan menerapkan metoda
wawancara yang telah dibahas sebelum ini serta memperhatikan aspek keselamatan semua
pihak.
Upayakan selalu untuk tetap mengutamakan pasien, keterangan dari pengantar atau
keluarga akan memberi tambahan maskan yang berarti.

62
Meskipun kuat dugaan bahwa pasien yang dating menderita psikosis, tetapi penegakkan
diagnosis tetap harus dilakukan dengan benar. Pertama-tama diperiksa apakah didapati
tanda-tanda psikosis, seperti:
 Pembicaraan yang inkoheren atau irelevan
 Delusi/waham
o Kecurigaan atau keyakinan yang jelas keliru dan dipertahankan
o Keyakinan bahwa pikirannya dimasukkan dari luar atau tersiar
 Halusinasi
o Mendengar suara atau melihat sesuatu yang tidak nyata
 Perilaku menarik diri, agitasi atau disorganisasi
o Contoh: diam saja tidak mau merespon, marah-marah dan beringas, penampilan
yang tidak lazim, tidak rapi, perawatan diri buruk
 Mengabaikan tanggung jawab yang biasa dikerjakan terkait dengan pekerjaan, sekolah,
rumah tangga, dan aktivitas sosial

Setelah ditetapkan bahwa pasien tersebut mengalami psikosis, maka diperiksa selanjutnya
untuk menjawab pertanyaan: apakah pasien menderita psikosis akut atau kronis, apakah
pasien mengalami episode manik akut dan apakah ada kondisi penyerta yang dialami
pasien.

Tanyakan kepada pasien atau pelaku rawat:


a. Kapan episode ini dimulai
b. Adakah episode sebelumnya
c. Detil tatalaksana sebelumnya atau saat ini

Jika episode ini merupakan:


1. Episode yang pertama, atau
2. Kekambuhan dari episode psikotik, atau
3. Perburukan gejala psikosis sebelumnya
maka, episode ini adalah Episode Psikotik Akut.

Singkirkan kemungkinan penyebab gejala psikosis akibat:


1. Intoksikasi atau putus zat alkohol atau Napza
2. Delirium akibat kondisi medik akut, seperti malaria serebral, infeksi sistemik/sepsis,
cedera kepala.
Apabila gejala psikosis telah dialami selama lebih dari 3 bulan, maka ini adalah Psikosis
Kronis.

63
Selanjutnya perlu ditetapkan apakah episode psikosis ini bukan Episode Manik Akut
dengan memeriksa apakah didapatkan:
1. Selama periode beberapa hari terjadi mood yang meningkat (gembira berlebihan)
atau iritabel (mudah marah); tenaga dan aktivitas yang berlebihan; bicara berlebihan;
dan kurang hati-hati atau sembrono.
2. Riwayat sebelumnya pernah mengalami depresi, atau penurunan tenaga dan
aktivitas.
Jika ini adalah Episode Manik Akut maka kemungkinan pasien tersebut menderita
Gangguan Bipolar dan harus dilakukan tatalaksana yang sesuai.

Periksa juga apakah ada kondisi penyerta, seperti:


1. Gangguan penggunaan zat dan alkohol
2. Mencederai diri atau bunuh diri
3. Demensia
4. Penyakit fisik seperti strok, diabetes, hipertensi, HIV/AIDS, malaria, atau obat-obatan
(misalnya steroid)
Jika ada kondisi penyerta, maka harus ditangani keduanya, baik psikosisnya maupun
kondisi yang menyertai tersebut.

Pada pasien perempuan usia subur:


1. Jika dalam keadaan hamil, bekerja sama dengan kesehatan ibu jika ada, untuk
penatalaksanaan bersama
2. Jelaskan risiko bagi ibu dan bayi, termasuk risiko komplikasi obstetrik dan
kekambuhan psikosisnya, apabila obat diganti atau dihentikan
3. Perempuan dengan psikosis yang berencana untuk mengandung, dalam keadaan
hamil, atau menyusui, sebaiknya diobati dengan dosis rendah haloperidol atau
klorpromazin.
4. Hindari penggunaan antipsikotik depot.

Rencana Penatalaksanaan
1. Intervensi psikososial
2. Intervensi farmakologik

POKOK BAHASAN C. INTERVENSI PSIKOSOSIAL DAN INTERVENSI FARMAKOLOGIK


GANGGUAN PSIKOTIK
Intervensi Psikososial
1. Psikoedukasi
 Pesan untuk orang dengan psikosis:

64
o Tiap orang punya kemampuan untuk pulih;
o Sedapat mungkin tetap melanjutkan aktivitas sosial, pendidikan, dan
pekerjaan yang biasanya dilakukan;
o Pengobatan yang baik akan mengurangi penderitaan dan masalah akibat
penyakitnya;
o Penting untuk minum obat secara teratur;
o Tiap orang berhak untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan yang
berhubungan dengan pengobatannya;
o Penting untuk menjaga kesehatan (dengan diet sehat, tetap aktif secara fisik,
mempertahankan kebersihan diri)
o Bicarakan dengan dokter apabila ada keluhan atau pertanyaan tentang
penyakit dan pengobatannya.

 Pesan tambahan untuk keluarga dari orang dengan gangguan psikotik:


o Orang dengan psikosis mungkin mengalami keadaan berikut:
 mendengar suara-suara yang tidak didengar orang lain
 secara kukuh menyakini sesuatu yang salah
 sering tidak menyadari bila dirinya sakit
 kadang menjadi bersikap bermusuhan
 mungkin memiliki kesulitan untuk pulih atau berfungsi dalam
lingkungan hidup atau lingkungan kerja yang penuh stres.
o Penting untuk bisa mengenali tanda-tanda kambuhnya/memburuknya gejala-
gejala dan apabila terjadi perlu penilaian/pemeriksaan ulang.
o Selalu berusaha melibatkan orang dengan psikosis dalam aktivitas keluarga
dan aktivitas sosial lainnya.
o Hindari melakukan kritik yang terus menerus atau keras atau bersikap kasar
terhadap anggota keluarga yang mengalami gangguan psikosis.
o Orang dengan psikosis sering didiskriminasi meskipun seharusnya mereka
menikmati hak yang sama dengan semua orang
o Sangat baik apabilaorang dengan psikosis memiliki pekerjaan atau kesibukan
yang berarti.
o Lebih baik jika individu tinggal bersama keluarga atau anggota masyarakat di
lingkungan yang mendukung di luar lingkup rumah sakit. Perawatan di rumah
sakit dalam waktu yang lama sebaiknya dihindari.

2. Fasilitasi Rehabilitasi di Komunitas


 Koordinasikan intervensi dengan staf kesehatan dan dengan sejawat yang bekerja di
layanan sosial, termasuk organisasi yang bergerak di bidang disabilitas.

65
 Fasilitasi hubungan dengan sumber-sumber di bidang kesehatan dan sosial demi
terpenuhinya kebutuhan fisik, mental dan sosial keluarga.
 Dorong secara aktif orang dengan psikosis untuk mencoba kembali aktivitas sosial,
edukasional, dan okupasional yang sesuai dan disarankan oleh anggota keluarga.
 Fasilitasi keterlibatan kembali dalam aktivitas ekonomi dan sosial, termasuk
dukungan pekerjaan yang sesuai dengan konteks sosial dan budaya.
 Orang dengan psikosis sering kali didiskriminasi, oleh karenanya penting untuk
mengatasi pandangan negatif baik internal maupun eksternal dan bekerja untuk
mencapai kemungkinan kualitas hidup terbaik.
 Bekerja sama dengan agen-agen lokal untuk menggali kemungkinan-kemungkinan
kerja dan pendidikan, berdasarkan kebutuhan dan tingkat keterampilan orang
tersebut.
 Jika diperlukan dan tersedia, pikirkan kemungkinan adanya dukungan
perumahan/bantuan hidup.
 Pertimbangkan secara matang kapasitas fungsional dan kebutuhan akan dukungan
dalam rangka memberikan petunjuk dan memfasilitasi pengurusan perumahan yang
optimal
 Pertimbangkan hak asasi orang tersebut.

3. Tindak Lanjut
 Orang dengan psikosis diminta untuk datang kontrol secara teratur.
 Kontrol awal sebaiknya sesering mungkin, bahkan setiap hari, sampai gejala akutnya
mulai berespons dengan pengobatan. Setelah gejala-gejala menunjukkan respons,
kontrol satu kali sebulan atau satu kali dalam 3 bulan dapat direkomendasikan sesuai
dengan kebutuhan klinis dan faktor-faktor yang mungkin laksana seperti ketersediaan
staf, jarak dari klinik, dll.
 Pelihara harapan dan optimisme yang realistis selama terapi.
 Di setiap kontrol, lakukan penilaian gejala, efek samping obat dan ketaatan terhadap
pengobatan. Ketidaktaatan terhadap pengobatan umum terjadi dan pelibatan pelaku
rawat adalah penting dalam periode tersebut.
 Nilai dan kelola kondisi medis penyerta.
 Nilai kebutuhan akan intervensi psikososial di setiap kunjungan kontrol

Intervensi Farmakologik
1. Memulai medikasi antipsikotik
 Untuk mengontrol gejala-gejala psikotik akut secara tepat, sebaiknya memulai terapi
antipsikotik secepatnya sesudah penilaian.
 Pertimbangkan terapi intramuskular akut jika terapi oral tidak mungkin dilaksanakan.

66
 JANGAN meresepkan injeksi depo/jangka panjang untuk mengontrol gejala-gejala
psikotik akut secara tepat.
 Resepkan 1 antipsikotik dalam 1 waktu (monoterapi)
 “Start low, go slow”: Mulai dengan dosis rendah yang ada dalam kisaran terapeutik
(lihat tabel medikasi antipsikotik untuk detilnya) dan naikkan dosis secara perlahan
hingga mencapai dosis efektif terendah, untuk tujuan menurunkan risiko efek
samping.
 Coba melakukan terapi pada dosis optimum sedikitnya 4 – 6 minggu sebelum
mempertimbangkan bahwa obat tersebut tidak efektif.
 Haloperidol atau Klorpromazin oral sebaiknya ditawarkan secara rutin pada orang
dengan gangguan psikotik.

Haloperidol Klorpromazin Flufenazin


depo/kerja
panjang
Dosis Awal 1,5 – 3 mg 50 – 75 mg 12,5 mg
Dosis Efektif Tipikal 3 – 20 mg/hari 75 – 300 mg/hari* 12,5 – 100 mg,
(mg) setiap 2 – 5
minggu
Cara Pemberian Oral/intramuskular Oral Injeksi
(untuk psikosis akut) intramuskular
dalam di area
gluteal
Efek samping bermakna
Sedasi + +++ +
Kencing tersendat + ++ +
Hipotensi ortostatik + +++ +
Efek samping +++ + +++
ekstrapiramidal**
Sindrom Neuroleptik Jarang Jarang Jarang
Maligna***
Tardive + + +
dyskinesia****
Perubahan EKG + + +
Kontraindikasi Kesadaran menurun, Kesadaran menurun, Anak-anak,
depresi sumsum depresi sumsum kesadaran
tulang, tulang, menurun,
faeokromositoma, faeokromositoma parkinsonisme,
porfiria, gangguan di aterosklerosis
basal ganglia serebral yang
nyata
* Dosis lebih hingga mencapai 1 g mungkin diperlukan pada kasus-kasus yang berat.
** Gejala-gejala Ekstrapiramidal di antaranya reaksi distonia akut, tics, tremor, rigiditas otot dan roda
gerigi (cogwheel).
***Sindroma Neuroleptik Maligna merupakan gangguan yang jarang tapi berpotensi mengancam
nyawa. Ditandai dengan kekakuan otot, peningkatan suhu tubuh dan tekanan darah.
**** Tardive dyskinesia adalah efek samping jangka panjang dari medikasi antipsikotik yang ditandai

67
oleh gerakan-gerakan otot yang involunter, khususnya wajah, tangan, dan dada.

2. Monitoring seseorang dalam terapi antipsikotik


 Jika respons tidak adekuat pada lebih dari satu antipsikotik, menggunakan
satu jenis medikasi pada durasi waktu dan dosis yang adekuat:
o Kaji ulang diagnosis (dan kemungkinan diagnosis komorbid).
o Singkirkan psikosis yang diakibatkan oleh alkohol atau penyalahgunaan zat
psikoaktif (meskipun sudah disingkirkan sejak awal).
o Pastikan kesetiaan pengobatan; pertimbangkan injeksi antipsikotik depo/kerja
panjang untuk memperbaiki kesetiaan.
o Pertimbangkan untuk menaikkan medikasi saat ini atau menggantinya
dengan medikasi lain.
o Pertimbangkan antipsikotik generasi kedua (dengan pengecualian pada
klozapin), jika harga dan ketersediaannya tidak terbatas, sebagai alternatif
untuk haloperidol atau klorpromazin.
o Pertimbangkan klozapin bagi mereka yang tidak berespons pada antipsikotik
lain meskipun dalam durasi waktu dan dosis yang adekuat. Klozapin mungkin
dipertimbangkan oleh penyedia layanan kesehatan non-spesialistik di bawah
supervisi profesional kesehatan jiwa. Hal ini sebaiknya dipertimbangkan bila
monitoring laboratorium rutin tersedia, karena adanya risiko agranulositosis
yang mengancam nyawa
 Jika efek samping ekstrapiramidal (seperti parkinsonism atau distonia) terjadi:
o Turunkan dosis antipsikotik, dan
o Pertimbangkan untuk mengganti ke antipsikotik lain (contoh mengganti dari
haloperidol ke klorpromazin).
o Pertimbangkan pemberian antikolinergik untuk penggunaan jangka pendek
jika strategi tersebut gagal atau efek samping ekstrapiramidal akut, hebat,
atau mengakibatkan disabilitas.

 Medikasi Antikolinergik:
o Triheksifenidil (Benzhexol) digunakan dengan dosis 4 – 12 mg per hari.
Efek samping meliputi sedasi, kebingungan, dan gangguan memori, terutama
pada usia lanjut. Efek samping yang jarang meliputi glaukoma sudut tertutup,
miasthenia gravis, obstruksi gastrointestinal.
o Jika terjadi distonia atau parkinsonisme yang berat dipertimbangkan
pemberian injeksi difenhidramin (antihistamin dengan efek antikolinergik yang
kuat) atau sulfas atropin.
o Hindari pemberian rutin obat antikolinergik sebagai profilaksis.

68
3. Menghentikan medikasi antipsikotik
 Untuk psikosis akut, lanjutkan terapi antipsikotik hingga 12 bulan setelah remisi
total.
 Untuk orang dengan psikosis kronik, pertimbangkan penghentian tatalaksana jika
orang tersebut stabil untuk beberapa tahun, titik beratkan pada risiko kekambuhan
setelah penghentian di samping kemungkinan efek samping medikasi,
pertimbangkan pilihan pasien melalui konsultasi dengan keluarga.
 Jika memungkinkan, KONSUL KE SPESIALIS terkait keputusan penghentian
medikasi antipsikotik.
 Beberapa Obat Antipsikotik yang tersedia:

Antipsikotik Dosis Rentang Sindrom Anti- Sedasi Hipotensi


ekivalen dosis Ekstra kolinergik ortostatik
(mg) (mg/hari) Piramidal
Klorpromazin 100 200 – 800 ++ ++ +++ +++
Tioridazin 100 150 – 800 + +++ +++ +++
Flufenazin 2 0,5 – 40 +++ + + +
Perfenazin 10 8 – 64 +++ + + +
Trifluoperazin 5 2 – 40 +++ + + +
Haloperidol 2 2 – 20 +++ + + +
Pimozid 2 2 – 10 +++ + + +
Klozapin 50 200 – 900 0/+ +++ +++ +++
Olanzapin 5 5 – 20 0/+ +/++ + +
Quetiapin 75 150 – 600 0/+ 0/+ + +
Risperidon 2 1–6 0/+* 0/+ + +
Aripiprazol 5 – 30 0/+ 0/+ + +
++++ = sangat tinggi; +++ = tinggi; ++ = sedang; + = ringan; 0 = tidak signifikan
* Tergantung dosis; lebih besar pada dosis >6 mg/hari

4.Injeksi depot antipsikotik

 Yang tersedia adalah:


1. Haloperidol dekanoat cairan injeksi 50 mg/ml
2. Flufenazin dekanoat cairan injeksi 25 mg/ml
 Indikasi penggunaan injeksi depot antipsikotik adalah:
1. Kepatuhan minum obat oral yang rendah
2. Gagal berespon terhadap obat antipsikotik oral
3. Gangguan memori atau faktor lain yang menghambat untuk minum obat secara
teratur

69
4. Kebutuhan klinis untuk menjamin kepatuhan pasien.
 Karena sifatnya depot, maka penyerapan obat injeksi ini sangat lambat, kadar
puncak baru tercapai setelah injeksi kelima. Demikian pula penurunan kadar setelah
pengurangan dosis atau penghentian obat akan berlangsung lambat.
 Injeksi depot antipsikotik tidak boleh digunakan pada kasus akut dan
kegawatdaruratan, karena kadar puncak plasma tidak dapat dicapai dalam waktu
yang singkat, sedangkan itu diperlukan untuk mengontrol agitasi atau
kedaruratannya.

POKOK BAHASAN D. RUJUKAN KASUS GANGGUAN PSIKOTIK


 Rujukan bukan hanya berarti mengirimkan pasien untuk mendapatkan penatalaksanaan
dari pihak lain (spesialis ataupun non-spesialis), tetapi juga termasuk konsultasi atau
bertanya kepada yang lebih ahli
 Indikasi untuk merujuk kasus antara lain:
1. Kegawatdaruratan: perilaku kekerasan dan agitasi yang tidak teratasi, efek
samping yang berat
2. Resistensi pengobatan: tidak berespon adekuat terhadap percobaan dua
jenis antipsikotik dalam dosis dan lama pemberian yang tepat
 Konsultasi spesialis, jika tersedia, dianjurkan untuk kasus:
1. Penderita wanita yang hamil atau menyusui
2. Penghentian pengobatan
3. Episode pertama
4. Jika terjadi keraguan dalam diagnosis dan penatalaksanaan
 Dalam surat rujukan hendaknya disertakan informasi yang cukup lengkap untuk
menjamin kesinambungan layanan:
 Riwayat singkat penyakit/kondisi sekarang
 Hasil pemeriksaan dan diagnosis
 Masalah yang dihadapi
 Penatalaksanaan yang telah dilakukan
 Tujuan rujukan

VIII. REFERENSI

1. Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa (2011)Buku Pedoman Pelayanan Kesehatan


Jiwa di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dasar.Jakarta: Direktorat Bina Pelayanan
Kesehatan Jiwa, Kementerian Kesehatan RI.

70
2. Departemen Kesehatan RI (1993). Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa III (PPDGJ III). Jakarta, Depkes RI.
3. Semple D et al. (2005) Oxford Handbook of Psychiatry. Oxford, Oxford University Press.
4. World Health Organization (2009) Pharmacological treatment of mental disorders in
primary health care. Geneva: World health Organization.
5. World Health Organization (2010). mhGAP Intervention Guide for mental, neurological
and substance use disorders in non-specialized health settings. Geneva: World Health
Organization.

71
MATERI INTI6

GANGGUAN PERKEMBANGAN DAN PERILAKU PADA ANAK

I. DESKRIPSI SINGKAT

Gangguan perkembangan meliputigangguan-gangguan seperti disabilitas


intelektual/retardasi mental,gangguan perkembangan pervasif (menetap) termasuk autisme.
Gangguan-gangguan ini umumnya mulai muncul pada masa anak-anak, kerusakan atau
keterlambatan dalam fungsi-fungsi terkait maturasisistem saraf pusat, dan merupakan
keadaan yang lebih tetap sifatnya. Selain kemunculannya pada masa anak-anak, gangguan
perkembangan ini cenderung berlanjut sampai dewasa. Orang dengan gangguan
perkembangan lebih rentan terhadap penyakit fisik dan memerlukan perhatian tambahan
dari penyedia layanan kesehatan. Sedangkan “Gangguan Perilaku” adalah suatu istilah yang
memayungi gangguan-gangguan spesifik, seperti gangguan hiperkinetik atau attention
deficit hyperactivity disorder (ADHD) atau gangguan-gangguan perilaku lainnya. Gejala-
gejala gangguan perilaku dalam derajat yang bervariasi sangat umum ditemui di
masyarakat. Untuk beberapa anak dengan gangguan perilaku, masalah ini bisa berlanjut
hingga mereka dewasa jika tidak segera diintervensi.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


A. Tujuan Pembelajaran Umum:
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu melakukan penegakan diagnosis
danpenatalaksanaanmasalah anak dengan Gangguan Perkembangan dan Gangguan
Perilaku.

B. Tujuan Pembelajaran Khusus:


1. Mampu mengindentifikasi gangguan perkembangan dan gangguan perilaku
2. Mampu mendiagnosis gangguan perkembangan dan gangguan perilaku
3. Mampu memberikan intervensi psikososial
4. Mampu memberikan intervensi farmakologis dengan supervisi spesialis (psikiater)

III. POKOK BAHASAN


1. Tahap perkembangan anak
2. Gangguan perkembangan
3. Tata-laksana gangguan perkembangan

72
IV. METODE
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran adalah :
A. Ceramah, tanya jawab
B. Curah pendapat
C. Studi kasus
D. Praktik lapangan

V.MEDIA DAN ALAT BANTU


Media dan alat bantu yang digunakan dalam pembelajaran adalah :

a. LCD Projector dan Laptop


b. Laser pointer
c. Bahan tayang (slide ppt)
d. Flipchart/ papan tulis
e. Spidol
f. Lembar kerja studi kasus
g. Form evaluasi penampilan klinis
h. Panduan praktik lapangan

VI. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN


Langkah 1: Penyiapan proses pembelajaran
1. Kegiatan Fasilitator
a. Fasilitator memulai kegiatan dengan melakukan bina suasana di kelas
b. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat.
c. Menggali pendapat peserta tentang gangguan perkembangan yang mereka
ketahui dan temui sebelumnya
d. Menyampaikan ruang lingkup dan tujuan pembelajaran
2. Kegiatan Peserta
a. Mempersiapkan diri dan alat tulis yang diperlukan
b. Mengikuti permainan
c. Mengemukakan pendapat atas pertanyaan fasilitator
d. Mendengar dan mencatat hal-hal yang dianggap penting
e. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator bila ada hal-hal yang belum jelas dan
perlu diklarifikasi.

Langkah 2 : Penyampaian materi pembelajaran

1. Kegiatan Fasilitator

73
a. Menyampaikan Pokok Bahasan 1 sampai dengan 3 secara garis besar dalam
waktu yang singkat
b. Memberikan kesempatan kepada peserta untuk menanyakan hal-hal yang kurang
jelas
c. Memberikan jawaban jika ada pertanyaan yang diajukan peserta
d. Menyimpulkan materi bersama peserta
2. Kegiatan Peserta
a. Mendengar, mencatat dan menyimpulkan hal-hal yang dianggap penting
b. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator sesuai dengan kesempatan yang
diberikan
c. Memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan fasilitator.

Langkah 3 : Studi kasus

1. Kegiatan Fasilitator
a. Membagi peserta kedalam kelompok kecil (1 kelompok : 6-7 orang)
b. Menjelaskan kepada peserta tentang latihan yang akan dilakukan
c. Memberikan penugasan kepada peserta untuk membaca kasus dan pertanyaan
yang akan didiskusikan dalam kelompok kemudian dipresentasikan
d. Meminta masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi
kelompoknya
e. Meminta kelompok lain untuk menanggapi
f. Menyimpulkan hasil diskusi
2. Kegiatan peserta
a. Mendengar, mencatat penjelasan fasilitator
b. Mendiskusikan penugasan yang diberikan fasilitator bersama anggota kelompok
c. Mempresentasikan hasil diskusi
d. Menanggapi hasil presentasi yang disampaikan kelompok lain
e. Mencatat hal-hal penting

74
VII. URAIAN MATERI
TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN ANAK
Untuk menilai tahapan perkembangan anak dapat dilihat dari aspek perkembangan
motorik kasar, motorik halus, bahasa, personal sosial, emosional dan kognitif. Jika kita
berhadapan dengan seorang anak yang dicurigai mengalami gangguan perkembangan,
maka kita perlu melakukan pemeriksaan pada anak apakah perkembangannya saat ini
sesuai dengan anak-anak seusianya. Cara yang paling mudah adalah membandingkan
dengan perkembangan saudara atau anak lain yang tumbuh kembangnya normal. Atau
dapat menggunakan patokan perkembangan anak yang ada dalam modul tumbuh kembang.

Contoh berikut untuk perkembangan motorik kasar, motorik halus, bahasa dan kognitif anak:
Perkembangan Motorik Kasar
Tengkurap 4 bulan
Terlentang dan tengkurap 5 bulan
Duduk ditopang 5 bulan
Duduk tanpa ditopang 6 bulan
Merayap 7 bulan
Duduk sendiri 8 bulan
Merangkak 8 bulan
Rambatan 9 bulan
Berjalan 12 bulan
Berjalan mundur 14 bulan
Berlari 16 bulan
Berjalan naik tangga 20 bulan
Melompat 27 bulan
Perkembangan motorik halus
Telapak tangan terbuka 3 bulan
Menyatukan kedua tangan 4 bulan
Memindahkan benda antara kedua tangan 5 bulan
Meraih unilateral 6 bulan
Mengambil benda kecil dengan jari 9-11 bulan
Minum dari gelas sendiri/menggunakan sendok 12 bulan
Mencoret 12 bulan
Meniru membuat garis 15 bulan
Menyusun 2 kubus 15 bulan
Menyusun 3 kubus 16 bulan
Membuat garis spontan 18 bulan
Membuat garis horisontal dan vertikal 25-27 bulan
Meniru membuat lingkaran 30 bulan
Membuat lingkaran tanpa melihat contoh 3 tahun
Perkembangan Berbahasa
Reaksi terhadap suara 0,5 bulan
Senyum sosial 5 minggu
Mengeluarkan suara “aguu-aguu..” 2 bulan
Menggumam 6 bulan
Mengucapkan “dada-dada..” 8 bulan
Kata pertama yang benar 11 bulan
Kata kedua yang benar 12 bulan
Kata baru 4-6 kata 12-15 bulan
Menguasai 7-20 kata 16-17 bulan
Menguasai 50 kata, kalimat pertama (2 kata) 18-30 bulan

75
Kalimat terdiri dari 3 kata 2-3 tahun
Perbendaharaan sampai 14000 kata, menyebut 3 kata sifat, kegunaan benda, 3-5 tahun
bicara sebagian/seluruhnya dimengerti, menyebut 4 warna, menyebut jenis
kegiatan
Pengertian bahasa yang lebih kompleks, ucapan dan nada sudah lebih jelas dan 6 tahun
bulat

Perkembangan kognitif anak dan karakteristiknya:


Usia Tahap Karakteristik
0-2 tahun Sensorimotor Kecerdasan diperoleh dari
aktivitas motorik dan sensorik
2-7 tahun Pre-operasional Mulai mampu memahami simbol,
melakukan aktivitas mental tetapi
belum terorganisir, tidak
sistematik, tidak beraturan,
sering tidak logis
Contoh: seekor anjing memiliki 4
kaki dan kuda memiliki 4 kaki,
maka anjing adalah kuda
(kesimpulan transduktif)
7-11 tahun Konkret-operasional Mampu menyelesaikan masalah
dengan pengalaman yang
sifatnya konkret.
11 tahun ke atas Formal-operasional Mampu berpikir abstrak,
sistematis, menarik kesimpulan
dari hipotesis

GANGGUAN PERKEMBANGAN

Gangguan perkembangan dapat terdiri dari gangguan-gangguan berikut:


 Disabilitas intelektual/retardasi mental
 Gangguan perkembangan pervasif (menetap) termasuk autisme.
 Perkembangan yang terlambat: lambat dalam belajar dibandingkan anak-anak
seusianya dalam aktivitas seperti tersenyum, duduk, berdiri, berjalan,
bicara/komunikasi, dan area perkembangan lainnya seperti membaca dan menulis
 Ketidaknormalan dalam komunikasi serta perilaku yang terbatas dan berulang
 Kesulitan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari yang sesuai dengan usianya

76
Disabilitas
litas Intelektual/Retardasi Mental
Disabilitas intelektual atau retardasi mental ditandai dengan gangguan pada
beberapa area perkembangan seperti kognitif, bahasa, motorik, dan sosial, selama periode
perkembangan. Kemampuan intelektual yang rendah menurunkan
menurunkan kemampuan anak untuk
beradaptasi terhadap tuntutan-tuntutan
tuntutan dalam kegiatan sehari-hari
sehari hari pasien. Tes Intelligence
Quotient (IQ) dapat menjadi petunjuk tingkat kemampuan intelegensi atau kecerdasan
seseorang, apabila ada tenaga psikolog yang berkompetensi untuk melakukan tes IQ.
Prevalensi disabilitas intelektual adalah 1-3
1 3 % dari populasi umum. Penyebabnya
bersifat multifaktorial, dapat disebabkan oleh ada gangguan selama kehamilan, setelah lahir,
ataupun penyebab yang tidak diketahui. Penyebab yang berkaitan
berkaitan dengan kondisi selama
kehamilan misalnya gangguan genetik atau kromosom, infeksi, radiasi, trauma, penggunaan
alkohol atau zat psikoaktif lain selama kehamilan, toksin, nutrisi ibu hamil, atau kelainan
bawaan yang dapat dialami oleh janin. Faktor sekitar
sekitar kelahiran anak yang mungkin
berkontribusi antara lain trauma lahir, prematuritas dan infeksi. Pasca kelahiran anak juga
terdapat risiko lain yang dapat berkaitan seperti infeksi, toksin, nutrisi dan faktor psikososial
keluarga.
Algoritma penilaian ada atau tidaknya gangguan perkembangan pada anak:

77
Klasifikasi Disabilitas Intelektual atau Retardasi Mental (RM):

Disabilitas Intelektual atau Retardasi Mental Ringan


RM ringan merupakan 85% dari populasi orang dengan RM. Orang dengan RM Ringan
hampir sama dengan individu yang tidak RM namun tampak lambat dan butuh bantuan
dalam menyelesaikan masalah hidup dan tugas-tugas.
tugas tugas. RM ringan biasanya baru tampak
ketika memasuki sekolah formal. Orang dengan RM Ringan bisa mencapai sekolah kelas VI
SD dan beberapa hingga tamat SMA. Orang dengan RM ringan saat dewasa dapat bekerja,
menikah, berkeluarga. Apabila dilakukan tes IQ, nilai berkisar antara 55 – 70.

Disabilitas Intelektual atau Retardasi Mental Sedang


RM sedang merupakan 10 % dari populasi orang dengan RM.
RM. RM Sedang sudah dapat
didiagnosis pada saat usia pra sekolah. Orang dengan RM Sedang memiliki ffungsi
kecerdasan di bawah anak seusianya.
seusianya. RM Sedang hanya bisa memiliki kemampuan
akademis setara SD kelas II – III.
III Orang dengan RM sedang sering disertai masalah emosi
dan perilaku dan memerlukan pelayanan pendidikan yang khusus. Orang dengan RM
Sedang dapat
apat dilatih untuk melakukan hal-hal
hal yang bersifat keterampilan.. Apabila dilakukan
tes IQ, nilai berkisar antara 40 – 55.

Disabilitas Intelektual atau Retardasi


tardasi Mental Berat
RM berat merupakan 3 – 4% dari populasi orang dengan RM. Orang dengan RM Berat
sering memiliki
emiliki lebih dari 1 gangguan organik yang menyebabkan keterlambatannya dan
memiliki masalah emosi dan perilaku yang cukup besar. Orang dengan RM Berat
memerlukan supervisi yang ketat & pelayanan khusus sepanjang hidup antara lain : belajar

78
tugas yang sederhana untuk bina diri dan melakukan pekerjaan keterampilan. Apabila
dilakukan tes IQ, nilai berkisar antara: 25 – 40.

Disabilitas Intelektual atau Retardasi Mental Sangat Berat


RM Sangat Berat merupakan 1 – 2% dari populasi orang dengan RM. Orang dengan RM
Sangat Berat sering memiliki lebih dari 1 gangguan organik yang menyebabkan
keterlambatannya. Orang dengan RM Sangat Berat memiliki masalah emosi dan perilaku
berat dan mengalami gangguan fungsi motorik dan sensorik sejak awal masa kanak. Orang
dengan RM Sangat Berat memerlukan latihan yang ekstensif untuk melakukan bina diri
yang sangat mendasar (makan, BAB dan BAK) dan memerlukan supervisi total dan
perawatan sepanjang hidupnya.
Apabila dilakukan tes IQ, nilainya kurang dari 25.

Beberapa gangguan fisik atau mental yang sering menyertai disabilitas intelektual, antara
lain:
 Epilepsi
 Gangguan perilaku seperti: hiperaktivitas, impulsivitas, perilaku menyakiti diri sendiri,
agresif, menentang
 Gangguan mood : depresi
 Gangguan cemas: cemas perpisahan, gangguan obsesif kompulsif, gangguan panik,
gangguan cemas menyeluruh
 Gangguan makan:menolak makan, pica (memakan bahan-bahan yang bukan
makanan)
 Gangguan mental organik oleh karena kondisi medis umum
 Gangguan psikotik
 Gangguan mood sering ditemukan pada anak RM karena terdapat gangguan belajar,
kesulitan dalam bergaul dan berinteraksi sosial dan kepercayaan diri yang kurang
 Keluhan yang muncul dapat berupa : mudah untuk menangis, mudah marah, sulit
tidur, agitasi, mood yang labil, sulit bergauldengan anak seusianya.

Gangguan perkembangan pervasif atau gangguan spektrum autisme

Anak yang mengalami gangguan perkembangan pervasif atau gangguan spektrum autisme
adalah biasanya memiliki hambatan dalam perilaku sosial, komunikasi dan bahasa; memiliki
rentang minat dan aktivitas yang terbatas dan dilakukan secara berulang-ulang. Gangguan-
gangguan tersebut dimulai pada masa bayi atau kanak awal. Biasanya, namun tidak selalu,
juga dapat disertai dengan disabilitas intelektual.

79
Gambaran klinis anak yang mengalami gangguan perkembangan pervasif atau gangguan
spektrum autisme:
 Hendaya kualitatif dalam interaksi sosial
 Gangguan komunikasi verbal, non verbal dan bermain
 Aktivitas dan minat yang terbatas
 Perilaku stereotipik (berulang-ulang dan tidak spesifik, tidak ada maksud yang jelas)
 Emosi yang sering tidak stabil
 Respon berlebih atau kekurangan terhadap beberapa stimuli sensorik
 Gejala-gejala perilaku lain yang terkait (seperti hiper/hipo-kinesis, agresi, tantrum,
melukai diri, rentang perhatian pendek, kurangnya kemampuan untuk berfokus pada
tugas, insomnia, masalah makan)

Faktor etiologi
Sampai saat ini penyebab pasti gangguan autisme masih belum diketahui. Faktor yang
berperan antara lain:
 Genetik
 Biologis
 Imunologis
 Perinatal: infeksi, komplikasi kehamilan dan kelahiran
 Neuroanatomis
 Biokimia
 Psikososial dan keluarga

TATA LAKSANA GANGGUAN PERKEMBANGAN


Pendekatan psikoedukasi pada keluarga sangat penting dalam tata laksana Gangguan
Perkembangan agar keluarga dapat menerima anak apa adanya dan memberikan
perawatan dan dukungan yang optimal bagi anak.
Hal-hal yang perlu dijelaskan pada orang tua atau keluarga:
 Pelajari apa yang membuat anak senang; apa yang memicu timbulnya perilaku
bermasalah dan apa yang dapat mencegahnya; potensi apa yang dimiliki anak
 Memahami bahwa anak dengan gangguan perkembangan sering mengalami
kesulitan dalam situasi baru
 Buat jadwal yang teratur untuk aktivitas harian seperti makan, bermain, belajar dan
tidur.
 Libatkan anak dalam kegiatan sederhana sehari-hari
 Upayakan sedapat mungkin agar anak dapat tetap bersekolah
 Pantau kebersihan diri dan latih anak untuk dapat melakukannya

80
 Beri penghargaan/hadiah untuk setiap perilaku baik yang dilakukan anak dan tidak
memberikan penghargaan/hadiah untuk perilaku yang bermasalah
 Lindungi anak dari kemungkinan perilaku kekerasan
 Berkomunikasi dan berbagi informasi dengan orang tua lain yang memiliki anak
dengan masalah yang sama
 Kontak pihak sekolah dengan persetujuan anak tersebut dan orang tua, kemudian
berikan saran sederhana seperti:
 Minta agar anak dapat duduk di barisan depan kelas
 Beri anak waktu tambahan dalam memahami dan mengerjakan tugas
 Membagi tugas yang panjang dan kompleks menjadi beberapa bagian yang lebih
sederhana
 Memantau adanya kemungkinan perilaku yang tidak wajar atau kekerasan dari
teman sebaya dan ambil langkah yang sesuai untuk menghentikan hal tersebut.
 Berikan dukungan untuk mengantisipasi situasi sulit dalam hidup.
 Fasilitasi dan berkolaborasi dengan layanan rehabilitasi berbasis komunitas.
 Bantu untuk melindungi hak asasi anak dan keluarga
 Berikan dukungan pada pelaku rawat
 Rujuk ke spesialis, jika tersedia, untuk pemeriksaan lebih lanjut.
 Pantau secara teratur
 Pendekatan psikofarmaka dapat diberikan untuk membantu mengatasi perilaku
pasien yang maladaptif

GANGGUAN PERILAKU
Beberapa jenis gangguan perilaku pada anak dan remaja, antara lain:
• Gangguan dalam atensi yang berat dan tidak mampu untuk fokus, berhenti
mengerjakan tugas secara berulang-ulang sebelum menyelesaikannya dan pindah
mengerjakan tugas lainnya
• Aktivitas berlebihan yang berat: lari-lari berputar yang tidak bisa dikontrol, sulit untuk
dapat duduk diam, bicara terus atau bergerak terus
• Impulsivitas yang berlebihan: melakukan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu
• Perilaku berulang dan mengganggu yang lain (temper tantrums yang sering dan
berat, perilaku yang kejam, tidak patuh yang berat, mencuri)
• Perubahan yang tiba-tiba dalam perilaku atau hubungan dengan teman sebaya
termasuk kemarahan dan penarikan diri

81
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) merupakan gangguan dengan
gejala:
 Gangguan atensi yang berat dan tidak mampu untuk fokus, berhenti mengerjakan
tugas secara berulang-ulang sebelum menyelesaikannya dan pindah mengerjakan
tugas lainnya.
 Aktivitas berlebihan yang berat: lari-lari berputar yang tidak bisa dikontrol, sulit untuk
dapat duduk diam, bicara terus atau bergerak terus.
 Impulsivitas yang berlebihan: melakukan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu,
perilaku berulang dan mengganggu yang lain (temper tantrums yang sering dan
berat, perilaku yang kejam, tidak patuh yang berat, mencuri)
 Perubahan yang tiba-tiba dalam perilaku atau hubungan dengan teman sebaya
termasuk kemarahan dan penarikan diri.

Gejala-gejala GPPH ini pada umumnya telah timbul sebelum anak berusia 12 tahun.
Walaupun demikian, biasanya orang tua dari anak dengan GPPH baru membawa
anaknya ke ruang konsultasi saat anak mulai bersekolah secara formal, oleh karena
pada saat ini mereka dituntut untuk mampu mengontrol perilaku mereka dan mengikuti
peraturan yang berlaku di sekolah. Keluhan yang sering disampailkan adalah anak
nakal, tidak kenal takut, berjalan-jalan di dalam kelas, seringkali berbicara dengan
kawannya pada saat pelajaran berlangsung, dsb. Pada anak yang berusia kurang dari 4
tahun, kondisi ini seringkali sulit dibedakan apakah anak menderita gangguan ini atau
merupakan suatu hal yang wajar sesuai dengan tingkat perkembangannya. Namun pada
anak dengan GPPH, gejala yang muncul tampak lebih sering dan intensitasnya lebih
beratjika dibandingkan dengan anak lain dengan taraf perkembangan yang sama.

Epidemiologi
Prevalensinya di seluruh dunia diperkirakan berkisar antara 2 – 9.5 % dari anak-anak usia
sekolah. Anak laki-laki dikatakan memiliki insidensi yang lebih tinggi untuk mengalami
gangguan ini dibandingkan dengan anak perempuan, dengan rasio 3-4 : 1. Remaja dan
dewasa lebih sedikit dibandingkan dengan anak sekolah dasar

Etiologi
Sampai saat ini belum ditemukan penyebab pasti dari GPPH. Dari berbagai penelitian yang
telah dilakukan dikatakan adanya keterlibatan dari
 faktor genetik
 struktur anatomi

82
 neurokimia otak
dalam terjadinya GPPH.
Komorbiditas
Anak dengan GPPH mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami
 gangguan belajar
 gangguan cemas
 gangguan mood
 gangguan penggunaan zat
dibanding dengan populasi umum

Gangguan Perilaku Lainnya


Perilaku disosial, agresif, atau menentang yang berulang dan menetap, seperti:
 Berkelahi atau menggangguanak-anak lain yang berlebihan
 Kejam terhadap binatang atau orang lain
 Merusak barang-barang
 Bermain api
 Mencuri
 Berulang-ulang berbohong
 Bolos dari sekolah
 Kabur dari rumah
 Sering mengalami temper tantrum yang berat
 Perilaku provokatif yang menyimpang
 Terus menerus tidak patuh atau menentang

Untuk memutuskan adanya gangguan perilaku lainnya sebaiknya juga memperhitungkan


tingkat perkembangan anak atau remaja dan durasi problem perilaku tersebut (sedikitnya 6
bulan)

83
84
TATA LAKSANA GANGGUAN PERILAKU
Terdapat beberapa tatalaksana gangguan perilaku, antara lain:

 Psikoedukasi keluarga
 Pertimbangkan pelatihan keterampilan bagi keluarga, bila tersedia
 Hubungi guru (jika anak bersekolah dan setelah mendapatkan persetujuan dari anak
dan orangtua),
), berikan saran dan perencanaan kebutuhan pendidikan khusus.
 Antisipasi adanya perubahan kehidupan yang besar (seperti pubertas, mulai
bersekolah, atau kelahiran saudara kandung) dan aturlah dukungan personal dan
sosial.
Psikoedukasi keluarga
 Menerima anak apa adanya dan memberikan perawatan dan dukungan yang optimal
bagi anak
 Konsisten dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan anak
 Beri penghargaan pada perilaku baik yang dilakukan anak dan hindari konfrontasi
langsung dengan anak
 Mulai modifikasi perilaku dengan berfokus pada beberapa perilaku bermasalah yang
jelas terlihat dan yang mungkin dilakukan anak
 Beri instruksi yang singkat dan jelas serta tekankan
tekankan secara tegas pada anak untuk
melakukannya
 Jangan pernah menggunakan kata-kata
kata kata atau tindakan kekerasan pada anak. Lebih
banyak menekankan pada penghargaan daripada hukuman, misalnya tunda/tidak

85
memberikan penghargaan atau hadiah (contoh melakukan aktivitas yang
menyenangkan bagi anak) setelah anak berperilaku tidak sesuai.
 Sebagai pengganti hukuman, dapat menggunakan “time out” yang singkat dan jelas,
yaitu memisahkan sementara anak dari lingkungan yang menyenangkan baginya
sebagai bagian dari usaha memodifikasi perilaku
 Jangan lupa untuk membahas hal ini setelah anak tenang

TATA LAKSANA GANGGUAN PERILAKU


Tatalaksana yang dapat dilakukan untuk menghadapi anak dengan gangguan perilaku
antara lain:
 Psikoedukasi keluarga
 Pertimbangkan pelatihan keterampilan bagi keluarga, bila tersedia
 Hubungi guru (jika anak bersekolah dan setelah mendapatkan persetujuan dari anak
dan orangtua), berikan saran dan perencanaan kebutuhan pendidikan khusus.
 Antisipasi adanya perubahan kehidupan yang besar (seperti pubertas, mulai
bersekolah, atau kelahiran saudara kandung) dan aturlah dukungan personal dan
sosial.
 Pertimbangkan intervensi psikososial seperti terapi kognitif perilaku dan pelatihan
keterampilan sosial sesuai dengan ketersediaan.
 Nilai dampak pada pelaku rawat akibat dari gangguan perilaku dan tawarkan
dukungan terhadap kebutuhan personal, sosial, dan kesehatan jiwa.
 Pertimbangkan pemberian methylphenidate hanya pada kondisi-kondisi yang sesuai
dengan gangguan hiperkinetik.

Psikoedukasi keluarga
Beberapa cara psikoedukasi keluarga yang dapat dilakukan untuk menghadapi anak dengan
gangguan perilaku antara lain:
 Menerima anak apa adanya dan memberikan perawatan dan dukungan yang optimal
bagi anak
 Konsisten dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan anak
 Beri penghargaan pada perilaku baik yang dilakukan anak dan hindari konfrontasi
langsung dengan anak
 Mulai modifikasi perilaku dengan berfokus pada beberapa perilaku bermasalah yang
jelas terlihat dan yang mungkin dilakukan anak
 Beri instruksi yang singkat dan jelas serta tekankan secara tegas pada anak untuk
melakukannya

86
 Jangan pernah menggunakan kata-kata atau tindakan kekerasan pada anak. Lebih
banyak menekankan pada penghargaan daripada hukuman, misalnya tunda/tidak
memberikan penghargaan atau hadiah (contoh melakukan aktivitas yang
menyenangkan bagi anak) setelah anak berperilaku tidak sesuai.
 Sebagai pengganti hukuman, dapat menggunakan “time out” yang singkat dan jelas,
yaitu memisahkan sementara anak dari lingkungan yang menyenangkan baginya
sebagai bagian dari usaha memodifikasi perilaku
 Jangan lupa untuk membahas hal ini setelah anak tenang
 Kontak pihak sekolah dengan persetujuan anak tersebut dan orang tua, kemudian
berikan saran sederhana seperti:
 Minta agar anak dapat duduk di barisan depan kelas
 Beri anak waktu tambahan dalam memahami dan mengerjakan tugas
 Membagi tugas yang panjang dan kompleks menjadi beberapa bagian yang
lebih sederhana
 Memantau adanya kemungkinan perilaku yang tidak wajar atau kekerasan
dari teman sebaya dan ambil langkah yang sesuai untuk menghentikan hal
tersebut.
 Beri dukungan pada keluarga dan nilai dampak psikososial masalah anak bagi
keluarga

Tatalaksana obat
Terdapat beberapa prinsip dalam penggunaan obat dalam tatalaksana GPPH, antara lain:
 Konsultasikan ke spesialis untuk kemungkinan penggunaan obat untuk mengatasi
gangguan perilaku
 Penggunaan obat golongan methylphenidate bagi anak dengan GPPH harus dengan
supervisi spesialis (psikiater)
 Gunakan obat hanya sebagai bagian dari rencana tatalaksana menyeluruh yang
melibatkan intervensi psikologis, perilaku dan edukasional

Methylphenidate
Penggunaan obat ini dibatasi pada beberapa negara. Ada beberapa hal yang harus dinilai
sebelum menggunakan methylphenidate, antara lain:
 Fungsi jantung dan pembuluh darah, karena metilphenidate tidak boleh digunakan
pada anak dengan penyakit jantung dan pembuluh darah
 Berat dan tinggi badan
 Risiko penyalahgunaan obat

87
 Penyakit medis yang menyertai (misal penggunaannya perlu berhati-hati pada anak
dengan epilepsi)
 Gangguan mental yang lain (dapat menambah gejala cemasa dan kontra indikasi
pada gangguan psikosis)
Sediaan obat methylphenidate yaitu tablet immediate release(10 mg) dan tablet extended
release(18 mg, 20 mg, 36 mg). Penggunaan awal 5mg tablet immediate release (satu atau
dua kali sehari di pagi dan siang hari) dan bisa ditingkatkan perlahan-lahan dalam 4-6
minggu dengan dosis maksimal 1mg/kgBB/hari, dibagi dua dosis. Penggunaan tablet tablet
extended release satu kali sehari di pagi hari. Efek samping yang sering terjadi antara lain:
insomnia, nafsu makan menurun, anxietas, perubahan mood. Efek samping lain yang
mungkin timbul, namun jarang: nyeri perut, pusing, mual, muntah, tic. Perlu konsultasikan ke
spesialis untuk penggunaan obat methylphenidate.

REFERENSI

1. World Health Organization. mhGAP Intervention Guide: for mental, neurological and
substance use disorders in non-specialized health settings. Geneva: World Health
Organization, 2010.
2. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI. Pedoman
diagnosis dan penatalaksanaan gangguan mental emosional anak usia 6 tahun ke
bawah. Jakarta: Depkes RI, 2005.
3. Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa, Kementerian Kesehatan RI. Pedoman
Pelayanan Kesehatan Jiwa di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dasar Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI, 2011
4. Buku Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas
5. Kaplan and Sadock Comprehensive Textbook of Psychiatry, 2007.

88
MATERI INTI 7.
GANGGUAN DEMENSIA PADA LANSIA

I. DESKRIPSI SINGKAT
Modul ini akan mempelajari materi bagaimana melakukan pemeriksaan, menegakkan
diagnosis, melakukan intervensi serta rujukan kasus demensia. Metode yang digunakan
dalam modul ini meliputi ceramah, tanya jawab, diskusi kasus, bermain peran dan praktik
lapangan.

II.TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu melakukan penegakan diagnosis
dan penatalaksanaan gangguan demensia.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mengikuti sesi atau materi ini peserta mampu:
1. Memahami definisi, masalah, penyebab, macam dan dampak dari gangguan demensia
2. Melakukan pengenalan gejala, identifikasi kasus, dan diagnosis gangguan demensia
3. Melakukan penatalaksanaan gangguan demensia
4. Melakukan rujukan kasus

III. POKOK BAHASAN


Pokok bahasan pada modul ini adalah:
A. Identifikasi dan diagnosis
1. Teori, gejala klinis dan diagnosis Demensia
2. Demensia dan Penyulit (BPSD & Delirium)
B. Manajemen
1. Intervensi psikososial dan farmakologis pada Demensia
2. Melakukan rujukan kasus

IV. METODE

Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran adalah :


A. Ceramah, tanya jawab
B. Curah pendapat
C. Bermain peran
D. Praktik lapangan

89
V. MEDIA DAN ALAT BANTU

Media dan alat bantu yang digunakan dalam pembelajaran adalah :

a. LCD Projector dan Laptop


b. Laser pointer
c. Bahan tayang (slide ppt)
d. Flipchart/ papan tulis
e. Spidol
f. Panduan bermain peran
g. Skenario bermain peran
h. Lembar kerja studi kasus
i. Form evaluasi penampilan klinis
j. Panduan praktik lapangan

VI. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN

Agar proses pembelajaran dapat berhasil secara efektif, maka perlu disusun langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Langkah 1: Penyiapan proses pembelajaran
1. Kegiatan Fasilitator
 Fasilitator memulai kegiatan dengan melakukan bina suasana di kelas
 Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat
 Menyampaikan ruang lingkup bahasan dan tujuan pembelajaran
2. Kegiatan Peserta
 Mempersiapkan diri dan alat tulis yang diperlukan
 Mengikuti permainan
 Mengemukakan pendapat atas pertanyaan fasilitator
 Mendengar dan mencatat hal-hal yang dianggap penting
 Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator bila ada hal-hal yang belum jelas
dan perlu diklarifikasi.

2. Langkah 2: Penyampaian materi pembelajaran


1. Kegiatan Fasilitator
a. Menyampaikan Pokok Bahasan A sampai dengan D secara garis besar
dalam waktu yang singkat
b. Memberikan kesempatan kepada peserta untuk menanyakan hal-hal yang
kurang jelas
c. Memberikan jawaban jika ada pertanyaan yang diajukan peserta
d. Menyimpulkan materi bersama peserta

90
2. Kegiatan Peserta
a. Mendengar, mencatat dan menyimpulkan hal-hal yang dianggap penting
b. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator sesuai dengan kesempatan
yang diberikan
c. Memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan fasilitator.

3. Langkah 3: Praktik di kelas


1. Kegiatan Fasilitator
 Membagi peserta ke dalam kelompok kecil (tiap kelompok: 5 – 8 orang)
 Menjelaskan kepada peserta tentang latihan yang akan dilakukan
 Memberikan penugasan kepada peserta untuk membaca latihan-latihan yang
ada di modul untuk didiskusikan dalam kelompok kemudian
dipresentasikan/dilakukan bermain peran
 Meminta kelompok lain untuk menanggapi
 Menyimpulkan hasil diskusi
2. Kegiatan peserta
 Mendengar, mencatat penjelasan fasilitator
 Mendiskusikan penugasan yang diberikan fasilitator bersama anggota
kelompok
 Mempresentasikan hasil diskusi/melakukan bermain peran
 Menanggapi hasil presentasi yang disampaikan kelompok lain
 Mencatat hal-hal penting

VII. URAIAN MATERI

DEMENSIA

I. Definisi & Diagnosis

Demensia adalah kondisi kemunduran mental yang berlangsung terus menerus,


progresif (makin lama makin buruk), meliputi penurunan daya ingat kemunduran kemahiran
berbahasa, kemunduran intelektual, perubahan perilaku dan fungsi – fungsi otak lainnya
sehingga mengganggu aktifitas sehari – hari.

Bertentangan dengan pendapat umum, demensia bukan bagian dari proses penuaan
normal yang akan dialami oleh semua lansia, melainkan merupakan suatu penyakit.
Demensia dapat terjadi pada Lanjut Usia karena penyakit Alzheimer, stroke berulang,
trauma kepala, dan gangguan faal tubuh (hormonal, nutrisi, defisiensi vitamin) alkohol dan

91
lain – lain. Dua jenis demensia yang tersering terjadi adalah demensia tipeAlzheimer dan
demensia vaskuler (pasca "Stroke").

Penyakit Alzheimer merupakan penyebab tersering demensia pada usia tua (50 – 60%
dari seluruh demensia). Prevalensi Alzheimer meningkat seiring dengan meningkatnya usia
(> 65 tahun 3 – 5 %, > 85 tahun 50%); dapat muncul pada usia 40 – 60 tahun (10%)  ada
riwayat pada keluarga (genetik autosomal dominan). Rasio wanita : pria = 2 : 1. Alzheimer
bersifatmultifaktorial, dapat disebabkan interaksi faktor genetik dan lingkungan. Beberapa
hal yang ditengarai menjadi faktor risiko adalah: peningkatan usia, riwayat keluarga, wanita,
pendidikan yang rendah, riwayat cedera kepala.

Demensia vaskular merupakan penyebab kedua tersering setelah penyakit Alzheimer.


Prevalensi bervariasi: 1,5 % pada usia70 – 75 tahun dan 15% pada usia > 80 tahun.
Demensia vaskular lebih sering mengenai laki-laki. Sedangkan faktor risikonya meliputi
hipertensi, diabetes, riwayat TIA dan penyakit jantung.Gangguan kognitif dapat terjadi
karena infark serebral, anoksia atau perdarahan. Gejala yang timbul bervariasi, bergantung
letak lesi.

Pada demensia dapat dijumpai Sindrom ABC, yaitu gangguan pada aktivitas hidup
sehari-hari (Activities of daily living), gangguan psikologis dan perilaku (Behavioural and
Psychological Symptoms of Dementia, BPSD) sebagai kondisi penyulit yang akan dijelaskan
kemudian, dan hendaya fungsi kognitif (Cognitive deficits).

Hendaya kognitif yang dijumpai pada demensia berupa:

 Amnesia-Defisit Memori

Manifestasi awal gangguan memori dapat terlihat sebagai kesulitan mempelajari


informasi baru. Pada fase yang lebih lanjut, memori jangka panjang juga dapat
terganggu.

 Afasia

Berupa gangguan atau hilangnya kemampuan untuk menulis atau berbicara, yang dapat
bermanifestasi sebagai kesulitan untuk mencari kata atau afasia nominal dan afasia
reseptif atau kesulitan untuk mengerti pembicaraan.

 Apraksia

Merupakan suatu kondisi hilang atau berkurangnya kemampuan untuk melakukan


gerakan motorik terkoordinasi meskipun tidak ada kerusakan saraf, misalnya untuk

92
memakai pakaian, menyuapkan makanan ke mulut, dll.Apraksia merupakan penyebab
utama hilangnya kemandirian pasien.

 Agnosia

Merupakan suatu kegagalan mengenali stimulus sensori secara akurat walaupun tidak
ada defisit sensori. Dapat berupa agnosia visual, yang berakibat terjadinya
penyalahgunaan obyek yang digunakan sehari-hari; atau prosopagnosia
(ketidakmampuan untuk mengenali wajah, termasuk keluarga dan teman dekat).

 Gangguan Fungsi Eksekutif

Fungsi eksekutif merupakan kemampuan untuk merencanakan dan melakukan pekerjaan


yang kompleks. Defisit fungsi eksekutif terlihat pada kelainan yang mempengaruhi lobus
frontal.

Hendaya kognitif tersebut dapat diperiksa menggunakan instrumen AMT & MMSE.
Namun kedua instrument tersebut tidak dapat mendeteksi gangguan pada fungsi eksekutif,
yang dapat diperiksa menggunakan Clock Drawing Test atau uji menggambar jam.

Penurunan aktivitas harian

Untuk menegakkan diagnosis demensia, selain penurunan fungsi kognitif diperlukan pula
bukti bahwa terjadi penurunan aktivitas harian yang mengganggu fungsi sosial maupun
pekerjaan. Hal ini dapat diperiksa menggunakan Instrumental ADL dari Lawton yang
mengukur kemampuan untuk bepergian sendiri, berbelanja, memasak, menggunakan
telepon serta mengelola keuangan; atau dengan Basic ADL dari Barthel yang mengukur
kemampuan yang lebih mendasar seperti untuk naik turun tangga, makan, mandi, buang air
besar / kecil, dan berpakaian.

Instrumen Pemeriksaan (terlampir):


 AMT (Abbreviated Mental Test-Uji mental singkat)
 MMSE (Mini Mental State Examination)
 ADL (Activities of Daily Living)
 IADL (Instrumental Activities of Daily Living)

93
Algoritma Diagnosis

Masalah daya ingat, orientasi, berbicara, berbahasa, kesulitan melakukan aktivitas

Tanyakan pada individu/pelaku rawat:

Sejak kapan & usia saat awitan?

Perburukan gejala&hendaya?

Awitan mendadak atau bertahap?

Apakah awitan terkait dengan cedera kepala, pingsan atau stroke?


Lakukan pemeriksaan AMT/MMSE & ADL/IADL

Gambaran atipikal:
•Jika terdapat hendaya •Jika awitan mendadak •Awitan <60 tahun
dan durasi singkat
dalam tes kognitif &
fungsional •Jika gangguan lebih •Hipotiroidisme
•Telah berlangsung 6 sering di malam hari •Penyakit
bulan •ada perubahan kardiovaskular
kesadaran •Riwayat ISK / HIV
•ada disorientasi •Riwayat cedera
kepala / stroke
DEMENSIA DELIRIUM RUJUK

PEDOMAN DIAGNOSTIK DEMENSIA (PPDGJ-III)

 Penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir yang sampai mengganggu
kegiatan harian seseorang (mandi, berpakaian)

 Tidak ada gangguan kesadaran

 Gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling sedikit 6 bulan

F00 DEMENSIA PADA PENYAKIT ALZHEIMER

 Terdapat gejala Demensia

 Awitan bertahap (insidious onset) dengan deteriorasi lambat

94
 Tidak ada bukti klinis atau temuan dari pemeriksaan khusus yang menyatakan
bahwa kondisi mental itu dapat disebabkan oleh penyakit otak atau sistemik lain
yang dapat menimbulkan demensia

 Tidak ada serangan apopleptik mendadak atau gejala neurologik kerusakan otak
fokal seperti hemiparesis, hilangnya daya sensorik, defek lapang pandang maya dan
inkoordinasi yang terjadi dalam masa dini dari gangguan itu

F01 DEMENSIA VASKULAR

 Terdapatnya gejala demensia

 Hendaya fungsi kognitif biasanya tidak merata

 Tilikan dan daya nilai relatif tetap baik

 Awitan mendadak atau deteriorasi yang bertahap, disertai adanya gejala neurologis
fokal

 Ada riwayat stroke

 Adanya faktor risiko multipel untuk penyakit serebrovaskular

II. Penyulit (Delirium, BPSD)

Suatu kebingungan akut yang ditandai dengan disorientasi, bicara ngelantur, gelisah, sulit
mengalihkan perhatian, ketakutan dan lain-lain yang disebabkan oleh gangguan
metabolisme di otak akibat gangguan metabolik/ infeksi/ trauma kepala/ efek samping obat
dan sebagainya.

Delirium dan demensia sering terjadi bersamaan. Umumnya pasien dengan demensia
lebih rentan untuk mengalami delirium. Sebaliknya, delirium yang tak tertangani atau
berlangsung berkepanjangan dapat berlanjut menjadi demensia.

Terdapat sejumlah faktor predisposisi/risiko dan presipitasi/pemicu bagi timbulnya


delirium. Yang termasuk faktor predisposisiadalah adanya gangguan kognitif (demensia)
sebelumnya, adanya gangguan pada panca indera/sensorik (gangguan pendengaran,
penglihatan, dsb), malnutrisi, penggunaan alkohol, riwayatdelirium sebelumnya, adanya
gangguan sistemik (hipertensi, kadar Natrium, glukosa, bilirubin, atau rasio Ureum/Creatinin
yang abnormal). Sementara faktor presipitasi meliputi adanya kelainan pada susunan saraf
pusat (kejang, trauma, tumor, stroke), gangguan metabolik (elektrolit, hipoglikemi), sistemik

95
(infeksi, dehidrasi), konsumsi obat (antibiotik, antikolinergik), atau terjadi perubahan
lingkungan (mis. pindah ke rumah anak, dirawat di RS, dll).

Delirium perlu dicurigai jika terdapat perubahan status mental mendadak dan berfluktuasi
(dalam hitungan hari sampai minggu), gangguan lebih sering di malam hari dan berkaitan
dengan hendaya kesadaran bila ada disorientasi terhadap waktu / tempat. Bila hal in terjadi,
lakukan pemeriksaan dengan CAM (Confusion Assessment Method) untuk memastikan
adanya delirium, kenali penyebab (faktor predisposisi dan presipitasi), lakukanpenanganan
penyebab se-optimal mungkindan/atau rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap.

BPSD

Gejala Perilaku dan Psikologis pada Demensia (Behavioural and Psychological


Symptoms of Dementia, BPSD) menurut Konsensus IPA (International Psychogeriatric
Association) 1999 didefinisikan sebagai gejala gangguan persepsi, isi pikir, mood atau
perilaku yang sering terjadi pada pasien dengan demensia. Mega et al (1996) menyatakan
bahwa 90% pasien demensia akan mengalami BPSD yang cukup parah sehingga dianggap
sebagai masalah pada suatu waktu dalam perjalanan penyakitnya. Studi pada lansia dengan
demensia yang tinggal di komunitas melaporkan sekurangnya 61% mengalami BPSD dan
sepertiga merupakan gejala sedang sampai berat (Lyketsos et al 2000). Gejala tersering
adalah agitasi (75%), wandering (60%), depresi (50%), psikosis (30%), dan kekerasan
(20%). BPSD dapat menjadi sumber penderitaan/burnout bagi pelaku rawat.

BPSD-Kelompok Gejala

Gambaran BPSD yang berbeda muncul pada tahapan penyakit yang berbeda pula.
Gejala afektif cenderung terjadi pada fase awal penyakit (Reisberg et al., 1989; Rubin et al.,
1988). Sementara gejala agitasi dan psikotik sering dijumpai pada pasien dengan hendaya
kognitif sedang; namun akan menurun pada tahap lanjut demensia, kemungkinan
disebabkan oleh deteriorasi kondisi fisik & neurologis pasien(Tariot and Blazina, 1994).
Sebagian besar BPSD cenderung memuncak sebelum tahap lanjut demensia. Beberapa
BPSD menetap lebih lama dibanding yang lain, seperti wandering dan agitasi yang dapat
berlangsung hingga 2 tahun lebih (Devanand).

Anxietas

Manifestasi umum anxietas pada demensia adalah ‘sindrom Godot’. Pasien dengan
sindrom ini akan bertanya berulang-ulang tentang suatu hal—akibat defisit kognitif dan
ketidak mampuan menyalurkan kapasitas berpikir yang tersisa secara produktif. Hal ini
dapat menjengkelkan keluarga dan pelaku rawat (Reisberg et al., 1986). Gejala

96
anxietaslain yang menjadi karakteristik pasien demensia adalah ketakutan ditinggalkan,
yang dapat tampak segera setelah pelaku rawat pergi ke ruangan lain atau
diekspresikan sebagai permintaan untuk tidak ditinggalkan sendirian. Rasa takut ini
dapat mencapai proporsi fobia karena anxietasnya tidak sebanding dengan bahaya riil.
Pasien juga dapat mengembangkan fobia lain, seperti takut akan keramaian, bepergian,
gelap, atau aktivitas seperti mandi.

Depresi

Munculnya depresi pada demensia biasanya berkaitan dengan faktor lingkungan dan
psikososial. Gejala depresi pada pasien demensia sering berfluktuasi. Pasien lebih
menunjukkan keluhan mengasihani diri, sensitivitas terhadap penolakan, anhedonia dan
gangguan psikomotor dibanding pasien depresi non-demensia. Sekitar 11-23% pasien
yang awalnya didiagnosis depresi ‘pseudodemensia’ atau ‘demensia reversibel’ akan
berubah menjadi demensia ireversibel tiap tahun. Depresi mayor pada demensia
berkaitan dengan peningkatan angka mortalitas, namun tidak ada akselerasi penurunan
kognitif.

Psikosis

Psikosis pada demensia dapat dianggap sebagai BPSD bila diketahui tidak ada riwayat
gangguan psikotik sebelum awitan demensia. Gambarannya sangat berbeda dari
psikosis pada skizofrenia karena adanya faktor neurokimiawi dan psikologis spesifik
pada demensia. Waham yang bizzare jarang ada, halusinasi biasanya bersifat visual, ide
suisidal aktif juga jarang dijumpai. Gejalanya meliputi:

o Misidentifikasi
Tidak seperti halusinasi yang terjadi tanpa stimulus eksternal, misidentifikasi
merupakan mispersepsi dari stimuli eksternal yang dielaborasi menjadi suatu
keyakinan dengan intensitas waham. Terdapat empat tipe utama:

o Kehadiran orang lain di rumah pasien


o Misidentifikasi diri sendiri (tidak mengenali pantulan wajah di cermin)
o Misidentifikasi orang lain
o Misidentifikasi peristiwa di televisi (pasien membayangkan peristiwa
tersebut terjadi di ruang tiga dimensi yang nyata)
o Halusinasi
Halusinasi visual paling sering dijumpai (mencapai 30% dari pasien dengan
demensia) dan biasanya terdapat pada demensia sedang (Sweater, 1994).

97
Terdapat hubungan antara mispersepsi visual dan halusinasi pada pasien
dengan hendaya kognitif sedang. Mereka dengan agnosia visual (kesulitan
mengenali wajah atau obyek) mungkin mengalami masalah dengan sensitivitas
kontras cahaya sehingga batas antara gelap dan terang menjadi kabur. Oleh
karena itu pemeriksaan fungsi visual dan auditorik menjadi bagian esensial
pengkajian pasien demensia dengan halusinasi.

o Waham
Waham merupakan faktor risiko untuk agresi fisik, setidaknya berdasarkan hasil
studi Deutsch et al (1991) dan Gilley et al (1997). Terdapat lima jenis waham
yang lazim terjadi pada demensia, yaitu:

1. Orang mencuri barangnya


Penjelasan logisnya adalah pasien demensia tidak dapat mengingat lokasi
persis barang-barang di rumahnya. Bila wahamnya berat, pasien meyakini
ada orang yang masuk ke rumahnya untuk menyembunyikan atau mencuri
barang.

2. Rumah yang ditinggali bukan rumahnya


Bisa juga diklasifikasikan sebagai misidentifikasi. Kontributor utama terhadap
keyakinan ini adalah bahwa pasien tidak mengingat atau mengenali
rumahnya sendiri. Waham ini dapat sangat menetap sehingga pasien
mencoba pergi dari rumah untuk ‘pulang’. Akibatnya adalah wandering.

3. Pasangan (atau pelaku rawat) adalah seorang penyamar.


Juga termasuk misidentifikasi, atau disebut sebagai fenomena Capgras.
Pasangan atau pelaku rawat dianggap sebagai orang lain yang menyamar,
dan bukan orang yang sebenarnya. Hal ini dapat membuat kesal
pasangan/pelaku rawat yang sudah kecewa karena tidak dikenali sehingga
memicu kemarahan atau kekerasan.

4. Pengabaian
Orang dengan demensia kerap meyakini bahwa dirinya diabaikan, atau bila
dirawat inap, ia membayangkan ada konspirasi untuk menyingkirkannya.
Meski fungsi intelektual menurun seiring progresivitas demensia, pasien
masih memiliki sedikit tilikan terhadap kondisinya. Kesadaran bahwa dirinya
menjadi beban mungkin menjelaskan waham ini.

98
5. Ketidaksetiaan/cemburu
Terkadang pasien dengan demensia meyakini pasangannya tidak setia—baik
secara seksual maupun emosional. Keyakinan ini juga dapat meluas ke
pelaku rawat lain.

Agitasi

Demensia tidak dengan sendirinya menyebabkan agitasi. Faktor medis, psikologis,


lingkungan dan kepribadian premorbid terbukti memengaruhi timbulnya agitasi. Sebagian
besar perilaku agitasi mengisyaratkan rasa tidak nyaman dan tidak puas. Alasan
terjadinya agitasi perlu diidentifikasi sehingga intervensi sosial, lingkungan, perilaku atau
medis dapat dilakukan untuk meredakan gejala. Tidak semua agitasi memerlukan
intervensi medis, namun studi oleh Marx et al. (1990) menyatakan bahwa agitasi
merupakan faktor risiko untuk jatuh.

Agitasi terbagi menjadi empat bagian, yaitu perilaku fisik non-agresif (mondar-mandir,
wandering, menyembunyikan barang, menanggalkan pakaian sembarangan), perilaku
verbal non-agresif (negativisme, mengeluh, interupsi, terus menerus bertanya atau
menyuruh), agresi fisik (memukul, mendorong, menggigit, meludah), dan agresi verbal
(berteriak, memaki, ledakan kemarahan). Perilaku fisik non-agresif terlihat pada pasien
dengan hendaya fungsional sedang sampai berat, sementara perilaku verbal non-agresif
lebih sering teramati pada wanita dengan demensia dan depresi, kondisi kesehatan
buruk disertai nyeri kronis, hendaya kognitif ringan sampai sedang dan relasi sosial yang
buruk. Agresi fisik dan verbal cenderung lebih sering terjadi pada pasien demensia
dengan relasi sosial yang buruk. Agresi fisik tipikal untuk pasien pria dengan hendaya
kognitif berat dan sering dikaitkan dengan adanya waham, sementara agresi verbal
berkaitan dengan depresi dan masalah kesehatan.

Wandering

Merupakan salah satu masalah perilaku paling menyulitkan yang sering menyertai
demensia—terutama dalam hal beban yang ditimpakan pada pelaku rawat—juga penyebab
tersering rujukan ke layanan psikiatrik. Terdapat beberapa tipe perilaku yang tercakup dalam
wandering (Hope dan Fairburn, 1990):

o Mengecek (berulang kali menanyakan keberadaan pelaku rawat)


o Mengekor atau mengintai (mengikuti pelaku rawat ke mana saja secara berlebihan)
o Pottering atau rooting (berjalan keliling rumah atau berkebun, mencoba mengerjakan
tugas tapi tidak efektif, cth., mencuci, membersihkan, menyiangi).

99
o Berjalan tanpa tujuan atau menuju tujuan yang tidak tepat, berjalan di malam hari
o Berulang kali mencoba meninggalkan rumah atau keluyuran di luar rumah

Sindrom Disinhibisi

Disinhibisi adalah dampak dari instabilitas dan impulsivitas emosi serta daya nilai dan
tilikan yang buruk. Ekspresinya berupa ledakan kemarahan, membuka pakaian di depan
umum atau berkendara dalam keadaan mabuk. Hal ini dapat mengakibatkan konsekuensi
serius, misalnya memicu tidak kekerasan, kesulitan ekonomi dan sosial, bahkan
membahayakan nyawa.

Sebagian besar BPSD dapat dipahami bila kita melihat secara sistematis ‘alasan di balik
perilaku tersebut’. Untuk itu, kita harus memahami penyakit dan orang yang hidup dengan
demensia. Dalam mengkaji berbagai faktor yang berperan pada timbulnya BPSD, dapat
digunakan akronim PIECES, yaitu:

o P-Physicalfaktor fisik, mencakup:


o Obat: penggunaan antikolinergik, benzodiazepin, alkohol, obat bebas
o Penyakit: penyakit fisik yang diderita pasien; hipoksia, nyeri, infeksi
o Delirium: tipe hipoaktif atau hiperaktif. Bila tidak terdeteksi dapat
menyebabkan 30% mortalitas
o Kebutuhan dasar: hidrasi, berkemih, defekasi, tidur
o I-Intellectualhendaya kognitif (amnesia, agnosia, afasia, agnosia, apraksia,
hendaya fungsi eksekutif)
o E-Emotion kemunculan atau reaktivasi gangguan psikiatrik: anxietas, iritabilitas,
gangguan penyesuaian, depresi, trauma masa lalu, hingga waham dan halusinasi
o C-Capabilities kemampuan yang sudah menurun dan yang masih tersisa
o E-Environment struktur lingkungan (desain, pencahayaan, suhu, tingkat
kebisingan), suasana, familiaritas.
o S-Social riwayat hidup, strategi koping, interaksi dengan pelaku rawat, relasi
dengan keluarga, jejaring sosial.

III. Tatalaksana Demensia& Penyulit

PENATALAKSANAAN DEMENSIA

 Secara umum, ada 3 tipe penanganan demensia:

100
 Modifikasi faktor resiko yang memperlambat atau memperbaiki penyebab reversibel
yang menyebabkan demensia

 Tatalaksana gejala kognitif demensia

 Tatalaksana gejala dan perilaku lain yang dapat memperburuk demensia (BPSD)

Modifikasi faktor risiko:

 Kontrol:

 DM

 HT

 Dislipidemia

 Aktivitas fisik

 Stimulasi kognitif—games, kuis, TTS, catur

Tatalaksana gejala kognitif—intervensi farmakologik:

 Jangan berikan inhibitor asetilkolinesterase (cth., donepezil, galantamine dan


rivastigmine) atau memantine secara rutin untuk semua kasus demensia.

 Pertimbangkan pemberiannya hanya pada setting yang memungkinkan diagnosis


spesifik Penyakit Alzheimer ditegakkan DAN tersedia dukungan dan supervisi adekuat
oleh spesialis serta pemantauan efek samping oleh pelaku rawat.

Tatalaksana gejala kognitif demensia—intervensi psikososial:

Prinsip: Dukung independensi, fungsi dan mobilitas

Umum:

 Rencanakan aktivitas hidup sehari-hari sedemikian rupa sehingga memaksimalkan


aktivitas independen, meningkatkan fungsi, membantu adaptasi dan
mengembangkan keterampilan, serta meminimalisasi kebutuhan akan bantuan

 Bantu menghubungkan dengan sumber sosial yang tersedia.

Spesifik:

 Bantu untuk mengenal barang milik pribadinya

101
 Bantu untuk mengenal waktu dengan menggunakan jam besar, kalender harian

 Bantu untuk dapat menyebutkan namanya dan anggota keluarga terdekat

 Bantu untuk mengenal lingkungan sekitar

 Beri pujian jika dapat menjawab dengan benar

 Bicara dengan kalimat sederhana dan jelas (satu atau dua tahap saja), bila perlu
gunakan isyarat atau sentuhan lembut

 Observasi kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari

 Bantu untuk memilih aktivitas yang dapat dilakukannya

 Bantu melakukan kegiatan yang telah dipilihnya

 Beri pujian jika dapat melakukan kegiatannya

 Tanyakan perasaan jika mampu melakukan kegiatannya

 Buat bersama pasien jadual kegiatan sehari-hari sesuai kemampuan pasien

BPSD– Prinsip Terapi :

 Manajemen perilaku atau manipulasi situasi merupakan strategi awal untuk BPSD
ringan sampai sedang

 Intervensi farmakologis dapat digunakan bila gejala berat, mengganggu,


membahayakan dan tidak merespons strategi non-farmakologis

 Lakukan informed consent untuk tiap tindakan/obat yang diberikan

 Fiksasi merupakan pilihan terakhir

Terapi non-farmakologis BPSD

 Modifikasi lingkungan:

 Mengurangi kebisingan,atur pencahayaan, ventilasidan suhu yang nyaman,

 Tempat tinggal familiar, perabot tidak banyak berubah tempat, hindari pola
kompleks

 Perhatikan faktor keamanan—hindari undakan, kaca, genangan air, barang


berserakan

102
 Kamar mandi mudah dijangkau, pintu tidak terkunci, lantai tidak licin

 Tambahkan hand-rails atau ramps dan beri tanda lokasi penting (cth. kamar
mandi, kamar tidur)

 Musik, aromaterapi, tanaman/hewan peliharaan

 Stimulasi sensorik Hindari stimulasi berlebihan atau terlalu sedikit

 Koreksi defisit sensorik dengan alat yang tepat

 Masase/pemijatan, olahraga

Teknik manajemen BPSD sesuai perilaku target

 Wandering batasi akses, kenakan tanda pengenal, atau ciptakan lingkungan yang
aman bagi pasien untuk wandering di dalam/sekitar rumah

 Disorientasi  beri petunjuk waktu (jendela, jam, kalender) yang jelas, mengulang
informasi tempat dan orang yg baru dijumpai

 BAK/BAB sembarangan  latihan ke kamar mandi 1 jam sekali, nyalakan lampu


kamar mandi

 Disinhibisi seksual  kenakan pakaian yang nyaman tapi sulit dilepas sendiri; bila
tidak mungkin diberi pengertian sediakan tempat yang aman bagi pasien namun
tidak mengganggu orang

 Agitasi/agresi  pastikan kebutuhan dasar terpenuhi, lindungi keamanan pasien, diri


sendiri dan orang di sekitar, lakukan persuasi serta komunikasi non-verbal (stimulasi
sensorik atau alihkan perhatian)

 Gangguan tidur  beri aktivitas dan batasi tidur siang, cukup pajanan sinar matahari,
perhatikan higiene tidur

Terapi farmakologis BPSD

Hal yang perlu diperhatikan sebelum memberi terapi farmakologis:

o Harus ada indikasi dan target perilaku yang jelas—depresi, halusinasi, waham,
agitasi
o Pilih obat yang dengan efek samping minimal dan efikasi maksimal
o Pertimbangkan peningkatan kerentanan terhadap efek simpang obat serta
penurunan fungsi ginjal dan hati terkait usia

103
o Pertimbangkan risiko vs manfaat pemberian obat
o Gunakan dosis efektif minimal dan hanya untuk durasi tertentu. Mulai dengan
memberikan haloperidol 0.5 mg per oral, atau i.m. bila perlu

o Hindari pemberian haloperidol i.v.& diazepam.


o Monitor efek samping dan respons

Perilaku yang berespons terhadap obat: Perilaku yang tidak responsif terhadap obat:

o Agresi fisik & verbal o Wandering tanpa tujuan


o Cemas, gelisah o BAK/BAB sembarangan
o Sedih, menangis, tidak nafsu makan o Berpakaian/menanggalkan pakaian
o Menarik diri, apatis sembarangan
o Gangguan tidur o Perilaku perseverasi yang mengganggu
o Wandering disertai agitasi/agresi o Menyembunyikan/menimbun barang
o Perilaku seksual yang tidak pada o Memakan yang bukan makanan
tempatnya dan disertai agitasi
o Waham dan halusinasi

VIII.REFERENSI

1. World Health Organization. mhGAP Intervention Guide: for mental, neurological and
substance use disorders in non-specialized health settings. Geneva: World Health
Organization, 2010.
2. A.D.E.P.T – A Dementia Education Physician Teaching Program for Family
Physicians’, Janssen-Ortho
3. Bpsd slide kit educational pack. Available at www.ipa-online.org

104
LAMPIRAN

Daftar Tilik Bermain Peran

No Butir penilaian Ya Tidak

1.. Tenaga kesehatan mampu membina rapport dengan pasien dan keluarga:
a. Mengucapkan salam
b. Berkenalan dengan pasien dan keluarga
c. Membuat kontrak pertemuan dengan jelas (waktu,topik, tempat)

2. Tenaga kesehatan melakukan penentraman


3. Tenaga kesehatan memberikan penjelasan dengan bahasa yang mudah
dipahami
4. Tenaga kesehatan memberikan tindakan secara tepat dengan memperhatikan
prinsip peka budaya
5. Tenaga kesehatan menghargai pasien dan keluarganya
6.. Tenaga kesehatan mengevaluasi pemahaman pasien dan keluarga terhadap
tindakan yang telah diberikan
7. Tenaga kesehatan meyampaikan tindak lanjut terapi selama di rumah kepada
pasien dan keluarga
8. Tenaga kesehatan membuat kontrak pertemuan berikut dengan pasien dan
keluarga secara jelas (waktu, topik, tempat)

105
AMT (Abbreviated Mental Test, Uji Mental Singkat)

No. Pertanyaan Jawaban Skor

1. Umur .......... tahun Benar/Salah

2. Waktu / jam sekarang .......... .......... Benar/Salah

3. Alamat tempat tinggal .......... Benar/Salah

4. Tahun sekarang .......... Benar/Salah

5. Saat ini berada di mana .......... Benar/Salah

6. Mengenali orang lain di ruangan Benar/Salah

7. Tahun kemerdekaan RI .......... Benar/Salah

8. Nama Presiden RI .......... Benar/Salah

9. Tahun kelahiran anak terakhir pasien Benar/Salah

10. Menghitung terbalik (20 s/d 1) .......... Benar/Salah

Skor AMT (beri skor 1 untuk tiap jawaban benar): Total:

0-3: Gangguan ingatan berat

4-7: Gangguan ingatan sedang

8-10: Normal

Perasaan hati (afeksi) Baik/Sedih/Cemas

106
Mini Mental State Examination
Nama pasien : ………… Nama pemeriksa : ……………
Usia : ………… Tanggal : …………..
Pendidikan : ………… Waktu : …………..

Skor Max Skor Ps Pertanyaan Ket

5 Sekarang (hari), (tanggal), (bulan), (tahun) berapa Orientasi


dan (musim)apa ?

5 Sekarang kita berada di mana? Orientasi


(tempat/jalan), (nomor/lantai), (kota), (kabupaten),
(propinsi)
3  Sebutkan nama 3 buah benda, mis. bola, Registrasi
kursi, buku (1 detik untuk setiap benda) dan
minta lansia mengulang ke-3ke nama benda
tersebut
5  Lakukan pengurangan 7 dari 100 sebanyak 5 Atensi
kali. (93, 86, 79, 72, 65) dan
 ATAU eja terbalik ”DUNIA" dari akhir ke awal kalkulasi
(A-I-NN-U-D).
3  Tanyakan kembali nama ke-3 ke benda yang Mengingat
telah disebutkan di atas
 Beri nilai 1 untuk setiap jawaban benar
9  Perlihatkan 2 benda lalu minta pasien Bahasa
menyebutkan namanya (nilai 2)
 Ulangi kalimat berikut: “Tanpa Jika Dan Atau
Tapi” (nilai 1)
 Laksanakan 3 perintah ini: “Pegang selembar
kertas dengan tangan kanan, lipat menjadi 2
dan letakkanlah di meja!” (nilai 3)
 Baca dan laksanakan perintah berikut:
“Pejamkan mata anda!” (nilai 1)
 Tulislah sebuah kalimat (nilai 1)
Tirulah gambar di bawah ini (nilai 1)

Interpretasi skor MMSE


 25-30 Normal
 21-24 Hendaya kognitif ringan
 14-20 Hendaya kognitif sedang
 <13 Hendaya kognitif berat
*pertimbangkan usia dan lama pendidikan

107
Aktivitas Hidup Harian (ADL) Barthel

JENIS KEGIATAN skor

Mengendalikan rangsang pembuangan tinja

Mengendalikan rangsang berkemih

Membersihkan diri

Menggunakan jamban

Makan

Berubah sikap dari berbaring ke duduk

Berpindah / berjalan

Memakai baju

Naik turun tangga

Mandi

TOTAL

Skoring & interpretasi ADL

 Untuk tiap poin beri skor:

 0  tidak mampu/bergantung pd orang lain

 1  membutuhkan bantuan

 2  mandiri

 Interpretasi:

 18-20 mandiri

 13-17 ketergantungan ringan

 9-12 ketergantungan sedang

 <8 ketergantungan berat

108
IADL (INSTRUMENTAL ACTIVITY OF DAILY LIVING)

Pedoman menilai ketergantungan pada bantuan untuk aktivitas :


0: tidak perlu bantuan/ mandiri
1: sedikit membutuhkan bantuan
2: banyak membutuhkan bantuan / ketergantungan penuh

Ketergantungan
No Aktivitas 0 1 2
0 1 2
1 Menggunakan telepon
0 1 2
2 Bepergian sendiri dengan bis, kereta atau taksi
0 1 2
3 Belanja bahan makanan dan pakaian
0 1 2
4 Menyediakan makanan/ tata meja
0 1 2
5 Melakukan pekerjaan rumah tangga
0 1 2
6 Minum obat sendiri
0 1 2
7 Mengatur keuangan sendiri

Total skor IADL


Sumber: Katz S, Akpom CA. Index of Independence in ADL. MedCare 1976;14:116-18

109
CAM (CONFUSION ASSESSMENT METHOD)

Awitan Akut

1) Apakah terdapat bukti perubahan status mental akut dari kondisi dasar pasien?

_____YA _____TIDAK _____TIDAK PASTI _____TIDAK DAPAT DITERAPKAN

Inatensi

2)

a. Apakah pasien mengalami kesulitan memusatkan perhatian (contoh, mudah teralih


atau sulit mengikuti pembicaraan)?

_____ Tidak tampak sama sekali selama wawancara

_____ Tampak pada wawancara, dalam bentuk ringan

_____ Tampak pada wawancara, dalam bentuk berat

_____ Tidak pasti

b. (Jika ada atau abnormal) Apakah perilaku ini berfluktuasi selama wawancara
(cenderung hilang timbul atau meningkat dan menurun keparahannya)?

_____ YA

_____ TIDAK

_____ TIDAK PASTI

_____ TIDAK DAPAT DITERAPKAN

c. (Jika ada atau abnormal) Jelaskan perilaku tersebut.

_________________________________________________________________

_________________________________________________________________

Disorganisasi Proses Pikir

3) Apakah proses pikir pasien mengalami disorganisasi atau inkoheren, seperti meracau
atau bicara tidak nyambung, alir pikir tidak logis, atau beralih dari satu subyek ke subyek
lain tanpa dapat diramalkan?

_____YA _____TIDAK _____ TIDAK PASTI _____ TIDAK DAPAT DITERAPKAN

110
Perubahan Tingkat Kesadaran

4) Secara Keseluruhan, bagaimana tingkat kesadaran pasien?

_____Alert (normal)

_____Vigilant (hyperalert, sangat sensitif terhadap stimulus lingkungan, mudah terkejut)

_____Lethargic (mengantuk, mudah dibangunkan)

_____Stupor (sulit dibangunkan)

_____Koma (tidak dapat dibangunkan)

_____Tidak pasti

Disorientasi

5) Apakah pasien mengalami disorientasi saat wawancara, seperti merasa di tempat lain,
tidur di bed yang salah, atau salah memperkirakan waktu?

_____YA _____TIDAK _____ TIDAK PASTI _____ TIDAK DAPAT DITERAPKAN

Hendaya Memori

6) Apakah pasien menunjukkan masalah memori selama wawancara, seperti ketidak


mampuan mengingat peristiwa di rumah sakit atau sulit mengingat instruksi?

_____YA _____TIDAK _____ TIDAK PASTI _____ TIDAK DAPAT DITERAPKAN

Gangguan Persepsi

7) Apakah terdapat bukti pasien mengalami gangguan persepsi, seperti halusinasi,

ilusi, atau misinterpretasi (contoh, menganggap suatu benda bergerak padahal tidak)?

_____YA _____TIDAK _____ TIDAK PASTI _____ TIDAK DAPAT DITERAPKAN

Agitasi Psikomotor

8)

a. Selama wawancara, apakah pasien menunjukkan peningkatan aktivitas motorik,


seperti gelisah, mencabut sprei, mengetuk-ngetuk jari, atau sering berganti posisi?

_____YA _____TIDAK _____ TIDAK PASTI _____ TIDAK DAPAT DITERAPKAN

111
b. Selama wawancara, apakah pasien menunjukkan penurunan aktivitas motorik, seperti
gerakan melambat, pandangan kosong, bertahan pada satu posisi dalam waktu lama,
atau bergerak sangat pelan?

_____YA _____TIDAK _____ TIDAK PASTI _____ TIDAK DAPAT DITERAPKAN

Perubahan Siklus Tidur-Bangun

9) Apakah terdapat bukti pasien mengalami gangguan siklus tidur-bangun, seperti


mengantuk berlebihan di siang hari disertai insomnia malam hari?

_____YA _____TIDAK _____ TIDAK PASTI _____ TIDAK DAPAT DITERAPKAN

INTERPRETASI CAM

Untuk hasil positif pada CAM yang mengindikasikan adanya delirium, pasien harus
menunjukkan:

 1) Adanya awitan akut dan perjalanan berfluktuasi

 DAN

 2) Inatensi

 DISERTAI

 3) Disorganisasi proses pikir

 ATAU

 4) Perubahan tingkat kesadaran

112
MATERI INTI 8.

KEGAWATDARURATAN PSIKIATRIK

I. DESKRIPSI SINGKAT
Kegawatdaruratan psikiatrik adalah suatu kondisi yang ditandai oleh adanya gangguan
pada pikiran, perasaan dan perilaku seseorang yang memerlukan perhatian dan
intervensi terapeutik segera. Termasuk di dalamnya kondisi yang berhubungan dengan
gaduh gelisah dan percobaan bunuh diri. Modul ini akan menguraikan mengenai
tatalaksana kegawatdaruratan psikiatri mulai dari pengenalan gejala, penegakan
diagnosis, menyusun rencana intervensi, hingga melakukan rujukan kasus.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


A. Tujuan Pembelajaran Umum :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu melakukan tatalaksana pada pasien
dengan kegawatdaruratan psikiatri.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu:
1. Melakukan pengenalan gejala dan identifikasi kondisi kegawatdaruratan psikiatri
2. Membuat diagnosis kegawatdaruratan psikiatri sesuai dengan algoritma
diagnosis kegawatdaruratan psikiatri
3. Mengenal strategi umum penatalaksanaan kondisi kegawatdaruratan psikiatri
4. Memberikan intervensi farmakologis dan non farmakologis pada pasien dengan
kegawatdaruratan psikiatri
5. Mampu melakukan rujukan kasus

III. POKOK BAHASAN


Pokok bahasan pada modul ini adalah :
Pokok bahasan A : Alur diagnosis kegawatdaruratan psikiatri
Pokok bahasan B : Strategi umum penanganan pasien kegawatdaruratan psikiatri
Pokok bahasan C : Tatalaksana

IV. METODE
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran adalah :
A. Ceramah, tanya jawab
B. Curah pendapat

113
C. Studi kasus
D. Bermain peran
E. Praktik lapangan

V. MEDIA DAN ALAT BANTU

Media dan alat bantu yang digunakan dalam pembelajaran adalah :


A. Liquid Crystal Display (LCD) Projector dan Laptop
B. Laser pointer
C. Spidol
D. Slide presentasi
E. Lembar diskusi (Flip chart)
F. Spidol
G. Panduan bermain peran
H. Skenario bermain peran
I. Lembar kerja studi kasus
J. Panduan praktik lapangan
K. Form evaluasi penampilan klinis

VI. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN

Agar proses pembelajaran dapat berhasil secara efektif, maka perlu disusun langkah-
langkah sebagai berikut :
A. Langkah 1 : Penyiapan proses pembelajaran
1. Kegiatan Fasilitator
a. Fasilitator memulai kegiatan dengan melakukan bina suasana di kelas
b. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat.
c. Fasilitator mempresentasikan kondisi kegawatdaruratan psikiatri untuk stimulus
curah pendapat tentang pengenalan kondisi kegawatdaruratan psikiatri, strategi
umum penanganan kagawatdaruratan psikiatri dan penatalaksanaan
d. Menyampaikan ruang lingkup bahasan dan tujuan pembelajaran
2. Kegiatan Peserta
a. Mempersiapkan diri dan alat tulis yang diperlukan
b. Mengemukakan pendapat atas pertanyaan fasilitator
c. Mendengar dan mencatat hal-hal yang dianggap penting
d. Melakukan permainan peran

114
e. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator bila ada hal-hal yang belum jelas dan
perlu diklarifikasi.

B. Langkah 2 : Penyampaian materi pembelajaran


1. Kegiatan Fasilitator
a. Menyampaikan Pokok Bahasan 1 sampai dengan 3 secara garis besar dalam
waktu yang singkat
b. Memberikan kesempatan kepada peserta untuk menanyakan hal-hal yang kurang
jelas
c. Memberikan jawaban jika ada pertanyaan yang diajukan peserta
d. Menyimpulkan materi bersama peserta
2. Kegiatan Peserta
a. Mendengar, mencatat dan menyimpulkan hal-hal yang dianggap penting
b. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator sesuai dengan kesempatan yang
diberikan
c. Memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan fasilitator.

C. Langkah 3 : Praktik laboratorium di kelas


1. Kegiatan Fasilitator
a. Membagi peserta kedalam kelompok kecil (1 kelp : 6-7 orang)
b. Menjelaskan kepada peserta tentang latihan yang akan dilakukan
c. Memberikan penugasan kepada peserta untuk membaca kasus yang akan
didiskusikan dalam kelompok kemudian di presentasikan
d. Meminta kelompok lain untuk menanggapi
e. Menyimpulkan hasil diskusi
2. Kegiatan peserta
a. Mendengar, mencatat penjelasan fasilitator
b. Mendiskusikan penugasan yang diberikan fasilitator bersama anggota kelompok
dan melakukan presentasi
c. Menanggapi hasil presentasi yang disampaikan kelompok lain
d. Mencatat hal-hal penting

115
VII. URAIAN MATERI

POKOK BAHASAN A. ALUR DIAGNOSIS KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

1. Pengertian kegawatdaruratan psikiatri


Kegawatdaruratan psikiatri adalah suatu kondisi yang ditandai oleh adanya gangguan
pada pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang yang memerlukan perhatian dan
intervensi terapeutik segera. Termasuk di dalamnya kondisi yang berhubungan dengan
gaduh gelisah (agitasi, agresif, dan perilaku kekerasan) dan percobaan bunuh diri.
Kondisi ini dapat terjadi di dalam atau di luar gedung layanan kesehatan.
Kegawatdaruratan psikiatri termasuk :

 Agitasi: merupakan perilaku patologis yang ditandai dengan adanya peningkatan


aktivitas verbal atau motorik yang tak bertujuan
 Agresif: dapat berbentuk agresi verbal atau fisik terhadap benda atau seseorang
 Kekerasan (violence): merupakan bentuk agresi fisik oleh seseorang yang
bertujuan melukai orang lain
 Percobaan Bunuh diri: segala bentuk tindakan yang secara sadar dilakukan oleh
pasien untuk dengan segera mengakhiri kehidupannya.

Pasien dapat datang dengan :


- aktivitas motorik yang berlebihan, tidak sesuai dan tidak bertujuan
- Menyerang
- Kontrol impuls yang buruk
- Postur tegang dan condong ke depan
- Merusak lingkungan
- Kontak mata melotot
- Ketakutan dan/atau anxietas yang berat
- Iritabilitas yang dapat meningkat intensitasnya menjadi perilaku yang
mengancam
- Ketidakmampuan untuk menganalisis situasi dengan baik
- Isi pembicaraan berlebihan dan bersifat menghina
- Tekanan suara keras dan menuntut
- Marah-marah
- Dendam
- Merasa tidak aman

116
2. Algoritma diagnosis kondisi kegawatdaruratan psikiatri
Apabila menemukan kasus/pasien dengan kondisi kegawatdaruratan psikiatri, dibuat
alur pikir untuk menentukan diagnosis secara cepat, dan memisahkan pasien yang
memerlukan penanganan segera. Diagnosis dibuat secara hierarkis, dimulai dari
diagnosis gangguan jiwa akibat penyakit organik yang mengancam nyawa hingga
ditegakkan gangguan jiwa lainnya.

Alur diagnosis pasien dengan kondisi kegawatdaruratan psikiatri adalah sebagai berikut:

Pada pasien dengan kondisi kegawatdaruratan psikiatri, yaitu gaduh gelisah dan
percobaan bunuh diri, pertama kita selalu pikirkan apakah kondisi tersebut disebabkan
atau berkaitan dengan: (1). delirium, (2). demensia, (3). penyalahgunaan napza, (4).
gangguan psikotik, (5). efek samping obat yang berat, atau (6). agitasi pada
anxietas/depresi. Satu per satu penyebab/keterkaitan tersebut disingkirkan hingga
mendapatkan diagnosis kerja secara cepat.

117
1. DELIRIUM
A. Pengertian Delirium
Delirium didefinisikan sebagai gangguan kesadaran, atensi, kognitif, dan persepsi
yang merupakan sebuah sindrom psikiatri umum yang sering menyebabkan
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Delirium merupakan sebuah
sindrom neuropsikiatrik dengan onset akut, ditandai dengan gangguan kesadaran
yang fluktuatif, gangguan atensi, gangguan kognitif, gangguan persepsi, dan
bersifat reversibel. Delirium juga merupakan gangguan dari sistem saraf pusat
yang mengancam nyawa namun juga bersifat reversibel dan ditandai oleh
penurunan akut dalam tingkat kesadaran dan kognitif, gangguan pada atensi,
gangguan persepsi, aktivitas psikomotor abnormal, dan gangguan dalam siklus
tidur. Pada gangguan delirium juga teradapat gangguan orientasi waktu, orang
dan tempat.

B. Frekuensi
Di luar Indonesia, delirium memiliki angka prevalens 10-30% dari seluruh pasien
yang dirawat di rumah sakit, dimana pada populasi pasien lanjut usia didapati 10-
15% dengan delirium pada saat masuk rawat dan 10-40% mengalami delirium
saat dirawat di rumah sakit.Sedangkan di Unit Gawat Darurat didapati angka
kejadian delirium 12-50% dengan lebih dari 60% tidak dikenali oleh sistem
kesehatan.

C. Faktor Risiko
Faktor risiko untuk delirium dibedakan menjadi faktor predisposisi dan faktor
presipitasi.Faktor predisposisi adalah hal-hal yang mempermudah terjadinya
delirium pada seseorang, sedangkan faktor presipitasi adalah hal-hal yang
mencetuskan atau mempercepat timbulnya delirium pada seseorang. Faktor
predisposisi delirium terdiri dari :

- Usia lanjut
- Demensia
- Polifarmasi
- Gangguan penglihatan/pendengaran
- Dehidrasi
- Gangguan ginjal kronik
- Gangguan neurologis
- Gangguan fungsional/disabilitas fisik

118
Faktor presipitasi atau pencetus delirium terdiri dari :

- efek samping obat (antikolinergik)


- intoksikasi atau gejala putus penggunaan napza
- infeksi
- trauma kepala
- gangguan metabolik; dehidrasi, gangguan elektrolit, malnutrisi, ensefalopati
hepatikum/uremikum
- gangguan vaskular ; stroke, gagal jantung, hipovolemia, aritmia
- gangguan endokrin
Pengenalan terhadap faktor predisposisi maupun faktor presipitasi delirium dapat
mempermudah klinisi untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko tinggi delirium
sehingga intervensi pada faktor presipitasi yang dapat dimodifikasi dan intervensi
pada faktor predisposisi dapat bermanfaat untuk mencegah terjadinya delirium,
menurunkan angka kejadian delirium di masa yang akan datang dan
menurunkan morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh delirium.

D. Tanda dan Gejala


1. Perubahan kesadaran yang bersifat fluktuatif dalam satu hari (biasanya
memberat pada malam hari)
2. Gangguan pemusatan, pertahanan dan pengalihan perhatian
3. Gangguan orientasi waktu, ruang dan bila berat disertai gangguan orientasi
orang
4. Halusinasi, biasanya visual (lihat) atau olfaktorik (penciuman)
5. Hiperaktivitas atau hipoaktivitas motorik
6. Gangguan siklus tidur
7. Inkoherensi
8. Onset akut
9. Adanya penyakit fisik

2. KEGAWATDARURATAN NAPZA
Napza adalah setiap bahan kimia /zat yang bila masuk ke dalam tubuh akan
mempengaruhi fungsi tubuh secara fisik dan psikologis. Napza berdasarkan efek
yang ditimbulkannya dapat dibagi menjadi:

Depresan Stimulan Halusinogen


Alkohol Amfetamin LSD

119
Benzodiazepin Metamfetamin PCP
Opioid Kokain Kanabis (dosis tinggi)
Solven Magic mushrooms
Kanabis (dosis rendah)

Napza dengan cara kerja sebagai depresan akan memperlambat atau menekan
sistem syaraf pusat dan pesan yang dikirim ke otak. Juga memperlambat detak
jantung dan pernafasan. Efek depresan dapat memberikan gejala sebagai berikut:

Efek yang ringan antara lain:


• Perasaan tenang dan sejahtera
• Perasaan gembira yang berlebihan (euforia)
• Perasaan rileks

Efek yang lebih serius antara lain:


• Bicara cadel
• Jalan sempoyongan
• Mual
• Muntah

Napza yang memiliki efek stimulan akan mempercepat atau merangsang kerja
sistem susunan syaraf pusat dan pesan ke dan dari otak. Stimulan juga
meningkatkan detak jantung, tekanan darah dan suhu tubuh dan sering membuat
orang lebih sadar dan waspada. Efek yang dapat ditimbulkan dapat bermanifestasi
sebagai:

Efek yang ringan dapat berupa:


• Hilang nafsu makan
• Tidak bisa tidur
• Banyak bicara
• gelisah

Efek yang lebih serius antara lain:


• Agresi
• Panik
• Cemas
• Sakit kepala
• Paranoia

120
Napza yang memiliki efek halusinogen akan mempengaruhi persepsi orang yang
menyebabkannya melihat atau mendengar sesuatu secara terdistorsi.

Halusinogen akan memiliki efek sebagai berikut:

• Tekanan darah meningkat


• Detak jantung meningkat
• Hilang nafsu makan
• Kram perut
• Banyak bicara dan tertawa
• Aktivitas meningkat
• Panik
• Dilatasi pupil
• Distorsi waktu dan ruang

3. GANGGUAN PSIKOTIK
Pasien dengan kegawatdaruratan psikotik datang dengan :
• Agitasi psikomotor yang progresif – meningkatnya aktivitas motorik yang tidak
bertujuan secara progresif, mondar mandir, disertai dengan rasa kecemasan.
• Agresivitas verbal – marah-marah tanpa sebab yang jelas, mengancam.
• Agresivitas fisik, perilaku kekerasan (violence) – memukul/menyerang orang
lain, merusak/melempar barang.
• Halusinasi, terutama halusinasi dengar. Pasien dapat tampak berbicara kepada
“seseorang” yang tidak dilihat keberadaannya oleh orang lain. Risiko perilaku
kekerasan semakin mengancam jika halusinasi dengar berupa command
hallucination atau halusinasi perintah, yang mengendalikan/memerintahkan
pasien untuk melakukan perilaku kekerasan tersebut.
• Waham, terutama wahamkejar yang kuat, disertai sikap bermusuhan (paranoid),
waham kendali, waham pengaruh, dan waham kebesaran.

4. BUNUH DIRI
A. Jenis perilaku bunuh diri
Jenis perilaku bunuh diri antara lain :
1) Ancaman bunuh diri, yaitu perilaku seseorang untuk melakukan bunuh diri
apabila keinginan atau harapannya tidak terpenuhi
2) Isyarat atau gelagat yaitu bentuk perilaku bunuh diri yang diwujudkan dalam
bentuk perubahan tingkah laku atau kebiasaan yang tidak biasa kemudian
dilanjutkan dengan percobaan bunuh diri

121
3) Percobaan bunuh diri, yaitu perilaku bunuh diri dalam bentuk percobaan
mencederai diri sendiri dengan berbagai cara. Cara yang digunakan
bermacam-macam, meminum racun serangga, menembak diri, gantung diri,
terjun dari ketinggian dan sebagainya.

B. Tanda dan gejala


Pasien dengan risiko dan tindakan bunuh diri mungkin datang dengan :

• Ancaman untuk melukai atau bunuh diri


• Mencari jalan untuk bunuh diri misalnya mencari akses ke obat-obatan,
senjata, atau cara lainnya
• Bicara atau menulis sesuatu tentang kematian, sekarat, atau bunuh diri
Pasien mungkin datang dengan tanda-tanda fisik, pikiran, perasaan, dan perilaku.
 Tanda fisik
Tanda-tanda fisik yang dapat diidentifikasi diantaranya :
- Tidak memedulikan penampilan diri
- Kehilangan hasrat seksual
- Gangguan tidur
- Kehilangan nafsu makan, berat badan
- Keluhan kesehatan fisik

 Tanda pikiran
Tanda-tanda pikiran bahwa seseorang berada dalam risiko atau tindakan
bunuh diri diantaranya apabila pasien mengatakan hal-hal sebagai berikut :
- “Saya tidak membutuhkan apa-apa lagi”
- “Saya tidak bisa berbuat apapun yang baik”
- “Saya tidak bisa berpikir benar”
- “ Saya berharap saya mati”
- “ Segalanya akan lebih baik tanpa saya “
- “ Semua masalah akan berakhir secepatnya”
- “Tidak ada yang dapat menolong saya”

 Tanda perasaan
Tanda-tanda perasaan yang dapat diidentifikasi sebagai risiko bunuh diri
antara lain :
- Putus asa
- Marah

122
- Rasa bersalah
- Tidak berarti
- Kesepian
- Sedih
- Tidak ada harapan
- Tidak tertolong
 Tanda perilaku
Tanda-tanda perilaku yang dapat dilihat pada pasiendengan risiko dan
tindakan bunuh diri diantaranya :
- Menarik diri
- Tidak tertarik dengan hal-hal yang dulu disukai
- Penyalahgunaan alkohol atau zat
- Perilaku yang tidak menentu
- Perubahan perilaku drastis
- Impulsif
- Mutilasi diri
- Mengembalikan semua barang-barang, mengubah surat wasiat,
menitipkan hal-hal yang dicintai

POKOK BAHASAN B. STRATEGI UMUM PENANGANAN PASIEN DENGAN


KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

STRATEGI UMUM
 Lakukan penilaian adanya bahaya melukai/menyakiti diri sendiri maupun orang lain.
 Dapat dilakukan di dalam maupun di luar gedung layanan kesehatan.
 Penting untuk memperhatikan keselamatan staf, anggota tim dan keselamatan pasien
 Jangan menolong sendiri, minimal 4 orang dalam 1 tim
 Cegah perlukaan
 Cek benda-benda berbahaya yang mungkin disembunyikan seperti senjata, gunting,
pisau atau benda berbahaya lainnya.
 Menyadari bahwa semua pasien memiliki potensi untuk melakukan kekerasan.

MODIFIKASI LINGKUNGAN
 Ciptakan lingkungan dengan kebisingan minimal atau rangsangan minimal untuk
mengurangi kecemasan pasien.

123
 Pencahayaan ruangan cukup untuk mengurangi ilusi dan mispersepsi lingkungan yang
dapat meningkatkan risiko perilaku kekerasan atau agresif.
 Ciptakan lingkungan yang aman dan tidak mengancam.

PRINSIP WAWANCARA
 Lakukan pengkajian pada area yang tertutup (privasi). Privasi merupakan bagian
penting untuk membentuk interaksi yang terapeutik, tetapi bagaimanapun harus
tetap memperhatikan keamanan pribadi. Berbicara dengan pasien di daerah terbuka,
dilakukan terutama jika pasien berada di bawah pengaruh obat (mabuk) atau gangguan
kognitif; ini dilakukan untuk mempertahankan keamanan petugas. Tentu saja, ketika
pasien secara mental stabil, privasi sangat penting dalam proses pengumpulan data
dan memungkinkan petugas kesehatan untuk memperoleh informasi.
 Ciptakan hubungan terapeutik, diawali dengan mengucapkan salam dan
memperkenalkan diri.
 Yakinkan bahwa pasien berada di tempat yang aman, tenaga kesehatan akan
melindungi pasien dari dari kemungkinan melukai diri maupun orang lain.
 Apabila pasien gaduh gelisah dengan membawa senjata tajam, maka yakinkan pasien
berada dalam keadaan aman dan secara perlahan diminta untuk meletakkan
senjatanya.
 Lakukan komunikasi terapeutik:
a. Bicara dengan tenang ajak pasien untuk tenang
b. Vokal jelas dan nada suara tegas
c. Intonasi rendah
d. Gerakan tidak tergesa-gesa
e. Pertahankan posisi tubuh
f. Hargai dan bicarakan dengan sopan pendapat pasien yang berbeda meskipun hal
tersebut adalah waham atau halusinasinya
 Selama melakukan pengkajian awal, kumpulkan sebanyak mungkin informasi tentang
riwayat pasien (baik saat ini maupun riwayat sebelumnya), yang dapat dilakukan
dengan berdiskusi dengan pihak yang merujuk, anggota keluarga
(allo/heteroanamnesis) dan pasien sendiri (autoanamnesis).
 Pertanyaan difokuskan pada keluhan saat ini menggunakan kalimat pendek dan mudah
dipahami.
 Lakukan wawancara dengan tetap memperhatikan keselamatan petugas dan pasien
dengan memperhatikan jarak yang aman 2-3 langkah dari pasien

124
 Gunakan diagram alur berpikir di atas (algoritma utama) untuk menyingkirkan masalah
terkait penyakit fisik dan ketergantungan zat/alkohol yang mungkin mengancam nyawa
atau pertimbangkan gangguan jiwa lainnya baik psikotik maupun non-psikotik (depresi,
anxietas, dll).
 Identifikasi kemungkinan penyebab
a. Kondisi organik (demam, kejang/epilepsi, trauma kepala, keganasan, kesadaran
yang menurun, kepikunan progresif pada orang tua), dan penggunaan zat
psikoaktif dan alkohol.
b. Kondisi mental, ada atau tidaknya gangguan jiwa (gangguan psikotik, gangguan
suasana perasaan (mood), gangguan anxietas, gangguan kepribadian)
 Kaji riwayat penyakit dan riwayat pengobatan medis dan psikiatrik sebelumnya
 Nilai juga derajat fungsi, berat ringannya gejala psikiatri, adanya penyakit penyerta
(komorbiditas), kualitas dan ketersediaan sistem pendukung serta sumber bantuan
lainnya.

A. EVALUASI DAN DIAGNOSIS KEGAWATDARURATAN DELIRIUM


Penilaian

1. Pada pasien yang mengalami perubahan mendadak dalam fungsi fisik (penurunan
mobilitas, perubahan nafsu makan, sulit tidur, gelisah), kognitif (bingung, sulit
konsentrasi, respons lambat), persepsi (halusinasi visual atau auditorik), dan
perilaku sosial (tidak kooperatif), cek apakah ada faktor risiko predisposisi delirium.
2. Lakukan pemeriksaan fisik (status generalis, status neurologis) yang cermat serta
lakukan pemeriksaan darah lengkap, analisis gas darah dan elektrolit, kimia darah
(glukosa sewaktu, tes fungsi hati, fungsi ginjal), urinalisis, EKG, dan foto toraks
untuk menyingkirkan faktor presipitasi delirium.
3. Untuk membantu menegakkan diagnosis delirium dapat digunakan instrumen CAM
(Confusion Assessment Method).
4. Mengingat sifat delirium yang fluktuatif, sebaiknya pemeriksaan dilakukan
serial/beberapa kali dengan memperhitungkan variasi diurnal dan info dari berbagai
sumber (keluarga, perawat, dll).

Pemeriksaan fisik
a. Riwayat penyakit medik: pemeriksaan fisik terutama kesadaran dan tanda vital
serta pemeriksaan neurologis
b. Riwayat penggunaan obat, zat psikoaktif, dan alkohol
c. Riwayat penyakit psikiatrik: pemeriksaan status mental dan riwayat psikososial

125
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan seperti: darah perifer lengkap, urinalisa
lengkap, elektrolit, gula darah, fungsi hati, fungsi ginjal, radiologi, dan EKG (jika
tersedia, terutama pada pasien berusia di atas 40 tahun).

B. PENILAIAN KEGAWATDARURATAN NAPZA


1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada pasien dan orang yang mengantarnya. Anamnesis
meliputi tanda dan gejala yang ada, waktu timbul gejala, perilaku yang menyertai,
intensitas dan frekuensi gejala, gejala yang mengarah pada gangguan organik,
misalnya demam, kejang dan trauma. Pada anamnesis juga ditanyakan penggunaan
Napza: jenis, lama penggunaan, toleransi dosis, gejala putus zat, pengobatan untuk
penggunaan Napza sebelumnya.

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan fisik secara menyeluruh

3. Pemeriksaan status mental


Perasaan, pikiran dan perilaku

4. Pemeriksaan penunjang
- Darah lengkap

- Tes urin untuk Napza

- SGOT/SGPT

- Ureum/Creatinin

C. PENILAIAN GAWAT DARURAT PSIKOTIK


Penilaian

1. Wawancara
 Lakukan prinsip wawancara seperti pada prinsip wawancara psikiatrik
 Wawancara pada pasien dengan waham kejar dan paranoid yang kuat: tetap
hargai dan sopan dalam wawancara, tetap jaga dalam suasana yang formal.
Kalimat singkat dan mudah dipahami, kendalikan situasi, bersikap tenang
namun tegas. Yakinkan bahwa ia berada di tempat yang aman, tenaga
kesehatan akan melindungi pasien dari kemungkinan melukai diri sendiri
maupun dari orang lain.

126
 Jaga keamanan diri pewawancara
 Singkirkan kemungkinan penyebab organik dan penyalahgunaan napza.

2. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


• Lakukan pemeriksaan fisik dan penunjang sesuai pemeriksaan
kegawatdaruratan psikiatrik pada pasien gaduh gelisah pada BAB II (halaman 5)
• Singkirkan kemungkinan penyebab organik dan penyalahgunaan napza.

D. PENILAIAN KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI : BUNUH DIRI


Penilaian

Pada saat awal menghadapi gawat darurat bunuh diri maka lakukan penilaian kondisi
pasien dengan:
1. Lakukan wawancara untuk mengkaji kemungkinan penyebab
a. Penyakit fisik seperti epilepsi, tumor, penyakit Alzheimer, multiple sklerosis,
trauma, keganasan terutama di kepala dan leher, penyakit autoimun,
penyakit ginjal, sindroma nyeri kronik dan HIV/AIDS
b. Riwayat Gangguan Jiwa dan Komorbiditas Gangguan Jiwa
Pikiran dan perilaku bunuh diri seringkali ditemukan pada seseorang dengan
gangguan jiwa, terutama Gangguan Depresi, Gangguan Bipolar, Skizofrenia,
Gangguan Stres Pasca Trauma, Anxietas, Gangguan Penyalahgunaan Zat,
dan Gangguan Kepribadian seperti Gangguan Kepribadian Antisosial dan
Gangguan Kepribadian Ambang

2. Lakukan wawancara untuk mengkaji faktor risiko dan faktor protektif


 Faktor risiko :
- Adanya ide, rencana, dan akses ke alat-alat saat ini
- Riwayat percobaan bunuh diri atau melukai diri sendiri
- Riwayat keluarga dengan bunuh diri
- Penyalahgunaan alkohol/ zat psikoaktif
- Riwayat gangguan jiwa saat ini atau sebelumnya
- Baru pulang dari perawatan di rawatan psikiatri
- Impulsivitas dan kontrol diri yang rendah
- Keputusasaan
- Kehilangan – fisik, keuangan, personal
- Masalah yang berkepanjangan
- Riwayat perlakukan salah dan kekerasan (fisik, seksual, emosional)

127
- Kondisi akut seperti dipermalukan, rasa putus asa, rasa bersalah dan malu
- Masalah komorbiditas kesehatan, terutama yang saling memperberat atau
diagnosis baru
- Umur (usia lanjut dan dewasa muda), jenis kelamin (laki-laki), tidak menikah,
hidup sendiri
- Homo seksual
 Faktor protektif :
- Dukungan sosial yang positif
- Spiritualitas
- Tanggungjawab pada keluarga, aset ekonomi
- Memiliki anak atau hamil
- Kepuasan hidup
- Memiliki kemampuan membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak
- Memiliki ketrampilan menyelesaikan masalah
- Hubungan terapeutik yang positif
- Memiliki hobi, aktivitas rekreasional

Cara menanyakan kepada pasien diantaranya:


 Saya menghargai betapa tidak mudahnya problem itu bagi anda saat ini.
Beberapa pasien saya dengan problem serupa mengatakan kepada saya
bahwa mereka berpikir untuk mengakhiri hidup. Apakah anda juga pernah
memikirkan hal serupa?
Atau :
- Apakah anda merasa putus asa dengan kondisi saat ini atau masa depan?
- Jika ya,
- Pernahkan anda berpikir untuk mengakhiri hidup?
- Jika ya,
- Kapan anda memiliki pikiran tersebut? Dan apakah anda memiliki rencana
untuk melakukannya?
- Apakah anda pernah mencoba melakukannya?

3. Lakukan pemeriksaan fisik untuk mencari kemungkinan tanda-tanda:


a. sayatan pada pergelangan tangan.
b. luka tusuk di dada atau abdomen
c. luka tembak
d. jejas bekas gantung diri

128
e. luka memar akibat jatuh atau membentur benda keras
f. bau muntah racun serangga
g. tanda-tanda Intoksikasi obat-obatan tertentu

POKOK BAHASAN C. TATALAKSANA UMUM KEDARURATAN PSIKIATRI

Hal-hal yang perlu dilakukan dalam menghadapi pasien dengan kegawatdaruratan


psikiatri :

 Berpikir dan bersikap kritis, selalu sadar bahwa kedaruratan bisa muncul di mana dan
kapan saja.
 Tetap tenang
 Perlu kontrol terhadap perasaan bingung, aneh, atau depresi
 Bersikap suportif
 Jaga jarak aman, termasuk bila diperlukan lakukan fiksasi
 Tawarkan pilihan, contoh apakah pasien mau mengontrol dirinya, minum obat, atau
dibantu dengan menggunakan fiksasi
 Tegaskan bahwa perilaku kekerasan tidak dapat ditolerir dan yakinkan bahwa pasien
akan aman
 Lakukan dokumentasi terhadap hal-hal yang dilakukan terhadap pasien maupun keluarga

Hal-hal yang harus dihindari dalam menghadapi pasien dengan kegawatdaruratan psikiatri :
 Mengancam
 Menertawakan pasien saat melakukan wawancara
 Merasa tidak adekuat ataupun sangat tidak pasti
 Merasa terancam
 Sering menghakimi
 Marah terhadap keluarga yang membawa

Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien dengan kegawatdaruratan psikiatri :


Pemeriksaan fisik dan neurologik – Tanda Vital utama
Pemeriksaan status mental
Pemeriksaan penunjang bila diperlukan dan tersedia, terutama pada pasien yang berusia di
atas 40 tahun (skrining toksikologi, EKG, rontgen, laboratorium)

129
Penanganan pasien dengan kegawatdaruratan psikiatri dilakukan oleh tim
kegawatdaruratan, yang terdiri dari :
a.Tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan, dll)
b. Tenaga keamanan (satpam, hansip, pamong praja, keamanan desa, dll) yang telah dilatih
untuk melakukan manajemen gaduh gelisah
c. Tokoh masyarakat (Lurah/Kepala Desa, RT, RW, tokoh agama, tokoh wanita) yang telah
dilatih untuk melakukan manajemen gaduh gelisah

ALAT DAN OBAT KEGAWATDARURATAN


Alat dan obat kegawatdaruratan dapat disiapkan dalam kotak untuk kegawatdaruratan
psikiatri. Setiap jenis obat, hendaknya memiliki tempat terpisah dengan keterangan nama
obat dan tanggalkadaluarsa obat tersebut. Kotak akan berisi alat-alat dan obat-obat sebagai
berikut:

Alat-alat:
a. Alat fiksasi fisik untuk tangan dan kaki yang aman
Alat fiksasi fisik dapat dibuat dari bahan atau kain yang kuat tetapi halus seperti kain
blacu dengan ukuran manset panjang 40 cm x lebar 20 cm x tinggi 0.5 cm. Memiliki 2 tali
pengikat, 1 tali pengikat digunakan untuk mengikat manset, tali lainnya yang lebih kokoh
digunakan untuk mengikat ke tempat tidur. Alat fiksasi disiapkan empat buah, masing-
masing untuk dua untuk lengan dan dua untuk tungkai.
b. Jaket fiksasi yang dipergunakan untuk pasien dengan hiperaktivitas motorik
c. Alat injeksi – spuit 3 cc

A. Alat fiksasi kaki dan tangan B. Jaket fiksasi

Sediaan obat-obatan:
1. Obat oral
a. Haloperidol tablet 0,5 mg, 1,5 mg, dan 5 mg
b. Clorpromazine tablet 25 mg, 100 mg
c. Risperidone tablet 2 mg
d. Diazepam tablet 2 mg, 5 mg

130
e. Lorazepam 2 mg
f. Propanolol 10 mg, 40 mg

2. Obat injeksi
a. Haloperidol injeksi 5 mg (kerja singkat).
Catatan: Haloperidol decanoas (depo, kerja panjang) bukan untuk kegawatdaruratan.
b. Diazepam injeksi 10 mg
c. Chlorpromazine injeksi 25 mg
d. Sulfas Atropin injeksi
e. Diphenhidramin injeksi

TATALAKSANA GADUH GELISAH SECARA UMUM


Algoritma penatalaksanaan gaduh gelisah

Manajemen Penatalaksanaan Gaduh Gelisah


A. Lakukan prinsip penatalaksanaan seperti Bab I. Kegawatdaruratan Psikiatri (strategi
umum, modifikasi lingkungan)

131
B. Tawarkan untuk mengontrol kondisi gaduh gelisah dengan pemberian medikasi oral
seperti Haloperidol 2 x 2,5 mg (untuk pasien yang baru pertama kali minum obat
antipsikotik) atau 2 x 5 mg atau lebih disesuaikan dosis yang pernah efektif
sebelumnya (untuk pasien yang pernah mendapatkan antipsikotik). Terapi oral dapat
diberikan tunggal atau menggunakan kombinasi diazepam tablet 2 - 5 mg atau
lorazepam 1 – 2 mg untuk membantu pasien merasa tenang (dan bukan untuk tidur)
agar evaluasi dapat dilakukan.
Untuk pasien usia 6-18 tahun Haloperidol dapat diberikan dengan dosis 2 x 0,5-2,5
mg.
Klorpromazine bisa diberikan dengan dosis 100 – 300 mg

C. Bila terapi oral ditolak atau gagal, dapat diberikan injeksi tunggal Haloperidol 2,5 - 10
mg (I.M.) yang dapat diulang setiap 30 menit hingga mencapai dosis maksimal 30 mg
ATAU Diazepam injeksi 10 mg (I.V. lebih baik, dapat diberikan I.M. bila I.V sulit
dilakukan, kontraindikasi pada penurunan kesadaran) yang dapat diulang setiap 30
menit hingga mencapai dosis maksimal 20 mg. Kombinasi keduanya dapat diberikan
bila kondisi gaduh gelisah pasien sangat berat. Perhatikan tanda-tanda efek samping
pemberian haloperidol. Untuk pasien usia 6 – 12 tahun Haloperidol injeksi dapat
diberikan dengan dosis awal 1- 2,5 mg. Sementara pasien usia 12- 18 tahun dapat
menggunakan Haloperidol injeksi dengan dosis 2,5 - 5 mg. Dosis ini dapat diulang
setiap 30 menit sampai dengan dosis maksimal 10 mg per hari.

D. Bila pasien sulit untuk ditenangkan untuk pemberian injeksi, dapat dilakukan tindakan
pengikatan fisik (restraint) dengan tujuan untuk membantu pasien mengendalikan
diri, menjaga keselamatan pasien, dan memudahkan pemberian obat.

E. Setelah kondisi pasien tenang, lakukan pemeriksaan yang diperlukan. Observasi


pasien setiap 15 menit sekali, catat adanya peningkatan atau penurunan perilaku
(terkait dengan perilaku, verbal, emosi, dan fisik)

Pelaksanaan pembatasan gerak/pengekangan fisik (restraint):


 Lakukan informed consent secara lisan dan tuliskan di dalam status pasien.
Jelaskan tindakan yang akan dilakukan, bukan sebagai hukuman tapi untuk
mengamankan pasien, orang lain dan lingkungan dari perilaku pasien yang tidak
terkontrol.
 Siapkan ruang isolasi/alat pengikat (restraint) yang aman – Lihat gambar di Bab I.

132
 Lakukan kontrak/kesepakatan untuk mengontrol perilakunya.
 Pilih alat pengikat yang aman dan nyaman, terbuat dari bahan katun.
 Pengikatan dilakukan oleh min. 4 orang; satu orang memegang kepala pasien, 2
orang memegang ekstremitas atas dan 1 orang memegang ekstremitas bawah.
 Pengikatan dilakukan ditempat tidur bukan di sisi tempat tidur dengan posisi
terlentang, kedua kaki lurus, satu lengan di samping badan, satu lengan ke arah
kepala.
 Ikatan sebaiknya tidak terlalu kencang, juga tidak longgar untuk mencegah cedera.
 Beri bantal di daerah kepala.
 Lakukan observasi pengekangan setiap 30 menit. Hal-hal yang perlu diobservasi:
o tanda-tanda vital
o tanda-tanda cedera yang berhubungan dengan proses pengikatan
o nutrisi dan hidrasi
o sirkulasi dan rentang gerak ekstremitas (kuat lemahnya ikatan)
o higiene dan eliminasi
o status fisik dan psikologis
o kesiapan klien untuk dilepaskan dari pengikatan, termasuk tanda vital
 Lakukan perawatan pada daerah pengikatan, pantau kondisi kulit yang diikat
(warna, temperatur, sensasi), lakukan latihan gerak pada tungkai yang diikat
secara bergantian setiap 2 jam, lakukan perubahan posisi pengikatan.
 Libatkan dan latih pasien untuk mengontrol perilaku sebelum ikatan dibuka secara
bertahap.
 Kurangi pengekangan secara bertahap, misalnya: ikatan dibuka satu persatu
secara bertahap dimulai dari pergelangan tangan yang tidak dominan, dilanjutkan
pergelangan tangan lainnya, selanjutnya jika pasien tidak menunjukkan perilaku
agresif lepaskan pengekangan pada pergelangan tangan kanan dan terakhir
tangan kiri.
 Jika klien sudah mulai dapat mengontrol perilakunya, maka pasien sudah dapat
dicoba untuk berinteraksi tanpa pengikatan dengan terlebih dahulu membuat
kesepakatan yaitu jika kembali perilakunya tidak terkontrol maka pasien akan
diisolasi/dilakukan pengikatan kembali.

133
Tindak Lanjut dan Rujukan
Lakukan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki layanan psikiatri atau RS
Jiwa, bagi pasien dengan perilaku kekerasan yang tidak teratasi di puskesmas.

A. TATALAKSANA KEGAWATDARURATAN DELIRIUM


1. Atasi kondisi medis yang diduga mencetuskan delirium.
2. Bila pasien gelisah hingga membahayakan diri/orang lain atau mengganggu jalannya
pengobatan, berikan obat antipsikotik dosis rendah per oral, yaitu Haloperidol 0,5 mg
tiap 4 – 6 jam, dapat ditingkatkan sampai maksimal 10 mg per hari. Untuk lansia
dosis maksimal 3 mg per hari.
3. Pada agitasi berat atau kondisi yang tidak memungkinkan pemberian per oral dapat
diberikan injeksi Haloperidol 2,5 mg IM, dapat diulang setelah 30 menit. Dosis
maksimal dewasa 10 mg per hari. Dosis maksimal lansia 5 mg per hari. Hindari
pemberian benzodiazepin (kecuali pada delirium yang disebabkan oleh penggunaan
alkohol).
4. Setelah gaduh gelisah teratasi dan pasien stabil, segera rujuk ke RS untuk
penanganan lanjut.

B. TATALAKSANA INTOKSIKASI DAN PUTUS ZAT AKIBAT PENGGUNAAN NAPZA


PSIKOFARMAKA
I. Tatalaksana Intoksikasi
Tatalaksana Umum
Penanganan kondisi medik umum
Monitoring vital sign
Evaluasi tingkat kesadaran, serta jalan nafas pasien
 Observasi tanda vital setiap 15 menit selama 4 jam
 Evaluasi perlunya pemberian oksigen
 Pasien dipuasakan untuk menghindari aspirasi

134
Tatalaksana Khusus
Terapi Intoksikasi Opioid:
 Nalokson 0,2-0,4 mg (1 cc) atau 0,01 mg /kg berat badan IV, IM, atau
subkutan, bila belum berhasil dapat diulang sesudah 3-10 menit
sampai 2-3 kali dan pasien dipantau selama 24 jam
 Apabila tidak ada nalokson maka diberikan terapi simptomatik,
apabila pasien gelisah maka dapat diberikan antipsikotik secara oral
atau suntikan (lihat bab gaduh gelisah)
 Mengatasi penyulit sesuai dengan kondisi klinis
 Bila kondisi fisik membutuhkan perawatan intensif maka dirujuk ke
rumah sakit

Terapi Intoksikasi Kokain dan Amfetamin:


 Bila suhu naik kompres dengan air hangat
 Untuk mencegah kejang berikan diazepam 10-30 mg per
oral/parenteral diulang 15-20 menit
 Bila ada gejala psikotik berikan haloperidol 3 x 2.5-5 mg
 Bila terjadi takikardi berikan propanolol 10-20 mg

Terapi Intoksikasi Kanabis:


 Ciptakan suasana yang tenang
 Ajak bicara tentang apa yang dialami
 Jelaskan kondisi ini bersifat sementara dan dalam waktu 4-8 jam
akan menghilang
 Diazepam 10-30 mg per oral atau parenteral, diulang setiap jam bila
diperlukan (hati-hati depresi pernafasan, dosis maksimal pemberian
diazepam parenteral adalah 20 mg/hari)
 Apabila gejala psikotik menonjol maka dapat diberikan haloperidol 1-
2 mg peroral

Terapi Intoksikasi Alkohol:


 Kondisi Hipoglikemi maka berikan 50 ml Dextrose 40%
 Injeksi Thiamine 100 mg IV untuk profilaksis terjadinya Wernicke
Encephalopathy

135
 Apabila pasien gelisah maka dapat diberikan antipsikotik, haloperidol 5
mg IM, yang dapat diulang per 30 menit, sampai dosis maksimal 30
mg/hari
 Apabila kesadaran menurun maka rujuk pasien ke rumah sakit

Terapi Intoksikasi Sedatif-Hipnotik:


Diperlukan terapi kombinasi yang bertujuan :
 Mengurangi efek obat dalam tubuh
 Mengurangi absorbsi obat lebih lanjut
 Mencegah komplikasi jangka panjang

Langkah I : Mengurangi efek Sedatif-Hipnotik:


 Pemberian Flumazenil (Antagonis Benzodiazepine, apabila ada): 1
mg IV selama 1-3 menit
 Tindakan suportif termasuk :
-Pertahankan jalan nafas, berikan pernafasan buatan bila diperlukan
-Perbaiki gangguan elektrolit bila ada
 Diuresis dapat berikan Furosemide atau Manitol untuk mengeluarkan
obat

Langkah II : Mengurangi absorbsi lebih lanjut:


 Rangsang muntah, bila baru terjadi pemakaian.

Langkah III : Mencegah komplikasi:


 Perhatikan tanda-tanda vital, periksa kemungkinan adanya depresi
pernafasan, aspirasi dan edema paru
 Bila pasien ada usaha bunuh diri, maka harus ditempatkan di tempat
khusus dengan pengawasan yang ketat
 Rujuk pasien ke Rumah Sakit apabila dibutuhkan perawatan intensif

Terapi Intoksikasi Halusinogen:


 Lingkungan yang nyaman
 Jelaskan efek yang ditimbulkan obat-obat tersebut dan efek tersebut
akan menghilang seiring dengan bertambahnya waktu
 Pemberian antianxietasyaitu Diazepam 10-30 mg oral atau Lorazepam 1-
2 mg oral

136
Terapi Intoksikasi Inhalansia:
 Pertahankan Oksigenasi
 Simptomatik
 Pasien dengan gangguan neurologik bermakna, misalnya neuropati atau
persistent ataxia, harus mendapatkan evaluasi formal dan observasi ketat,
sehingga pasien harus dirujuk

II. Tatalaksana Putus Zat


Tatalaksana Umum
Penanganan kondisi medik umum
Monitoring vital sign

Terapi Putus Zat Opioid:


 Terapi simptomatik dengan menggunakan analgetik bila ada rasa
nyeri, atau bila pasien gelisah maka dapat diberikan golongan
benzodiazepin, diazepam 3 x 5 mg (per oral) atau antipsikotik dosis
rendah haloperidol 2 x 2-5 mg (per oral)
 Apabila pasien sangat gelisah maka dapat diberikan suntikan (sesuai
dengan bab gaduh gelisah)

Terapi Putus Kokain, Amfetamin Atau Zat Yang Menyerupai:


 Tempatkan pada suasana tenang
 Diberikan benzodiazepin seperti diazepam 3 x 5 mg untuk tidur

Terapi Putus Alkohol:


 Atasi kondisi gelisah dengan golongan Benzodiazepin (diazepam 5
mg IM atau IV yang dapat diulang tiap 30 menit sampai dosis
maksimal 20 mg/hari)
 Bila ada kejang akibat putus zat maka atasi dengan Benzodiazepine
(Diazepam 5 mg yang disuntikan IV secara perlahan)
 Dapat juga diberikan Thiamine 100 mg ditambah 4 mg Magnesium
Sulfat dalam 1 liter 5% Dextrose/normal saline selama 1-2 jam
 Bila terjadi Delirium Tremensharus dirujuk

NON PSIKOFARMAKA
Tips perawatan pasien dengan penyalahgunaan Napza
1. Komunikasi terapeutik

137
● Bicara dengan tenang

● Gunakan kalimat singkat dan jelas

2. Jika ditemukan gejala putus zat maka hindarkan pasien dari stimulus lingkungan yang
berlebihan seperti pencahayaan yang terlalu terang atau lingkungan yang berisik
3. Berikan edukasi mengenai kondisi pasien secara jelas dan singkat
4. Persuasi pasien untuk tidak gelisah
5. Edukasi pasien dan keluarga untuk melanjutkan pengobatan untuk masalah
penyalahgunaan Napza di institusi yang terkait
6. Psikoterapi suportif dengan memberikan pujian bagi pasien apabila ia bersikap tenang
7. Observasi adanya tanda-tanda risiko bunuh diri pada pasien

C. PENATALAKSANAAN KEGAWATDARURATAN PSIKOTIK


Lakukan manajemen penatalaksanaan pasien gaduh gelisah secara umum. Berikut ini
algoritma penatalaksanaan gaduh gelisah pada pasien psikotik:

ALGORITMA PENATALAKSANAAN

AGRESIVITAS DAN PERILAKU KEKERASAN PADA PASIEN PSIKOTIK

Lakukan manajemen umum kegawatdaruratan psikiatrik pada pasien gaduh gelisah –


sesuai BAB II.Seklusi atau pengikatan hanya dilakukan bilausaha lainnya tidak berhasil

Singkirkan kemungkinan penyebab organik/fisik dan penyalahgunaan napza/alkohol

Bila pasien kooperatif dan bersedia, berikan per oral:


• Haloperidol 2 – 3 x 2,5 - 5 mg. Max 15 mg/hari, atau
• Chlorpromazine 100 mg. Max 400 mg/hari.
Untuk haloperidol (tidak untuk chlorpromazine) dapat dikombinasikan dengan
lorazepam 1 – 2 mg (max 6 mg/hari) atau diazepam 5 mg (max 30 mg/hari)
Untuk pasien usia 6-18 tahun: Haloperidol 2 x 0,5 – 2,5 mg. Max 10 mg/hari

Bila pasien tidak kooperatif/tidak bersedia per oral, atau gagal, berikan injeksi I.M. jangka
pendek (short acting):
• Haloperidol injeksi 5 mg i.m (short acting). pemberian diulang setelah 30 menit. Max
30 mg/hari.
• Chlorpromazine injeksi 25 - 50 mg i.m, pemberian dapat diulang setelah 1 - 4 jam. Max
200 mg/hari.
Untuk haloperidol (tidak untuk chlorpromazine) dapat dikombinasikan dengan diazepam 10 mg
i.m dalam spuit terpisah, untuk meningkatkan efektivitas dan mengurangi jumlah dosis yang
diperlukan. Dosis max diazepam: 20 mg.
Dosis anak dan remaja: 138
Pasien usia 12- 18 tahun dapat menggunakan Haloperidol injeksi dengan dosis 2,5 - 5 mg. Dosis
ini dapat diulang setiap 30 menit sampai dengan dosis maksimal 10 mg per hari.
Jika kondisi telah teratasi maka pasien cukup stabil untuk dirujuk ke RS atau
dikembalikan kepada obat oral; jika kondisi tidak membaik atau terjadi perburukan
– segera RUJUK

D. PENATALAKSANAAN KEGAWATDARURATAN BUNUH DIRI


Penatalaksanaan gawat darurat bunuh diri dimulai dari penilaian bentuk perilaku bunuh
diri, apakah berupa ancaman/isyarat saja atau ancaman/isyarat disertai dengan
percobaan bunuh diri. Bila yang ditemukan dalam bentuk ancaman/isyarat saja maka
penatalaksanaannya adalah Manajemen Risiko Bunuh Diri. Apabila yang ditemukan
adalah percobaan bunuh diri maka penatalaksanaannya adalah penatalaksanaan
manajemen kondisi fisik (penanganan cedera atau keracunannya), baru setelah
kondisinya fisiknya aman dilanjutkan dengan manajemen risiko bunuh diri (Lihat algoritma
berikut):

Pasien Ancaman/Isyarat Pasien Percobaan Bunuh Diri


Bunuh Diri

Tanda-tanda Tanda-tanda
Pencederaan Fisik Intoksikasi

Manajemen Risiko Bunuh Diri Manajemen Kondisi Fisik

1. Tindakan yang Harus Dilakukan dan yang Harus Dihindari


Tindakan yang Harus Dilakukan Tindakan yang Harus Dihindari
a. Waspada – kenali faktor risiko dan a. Menantang untuk melakukan tindakan
tanda penting bunuh diri
b. Bertindak – singkirkan alat-alat yang b. Terlihat terpukul atau terkejut
dapat dipergunakan untuk melukai diri c. Bertanya “Kenapa” karena hal ini akan
seperti obat-obatan, pembasmi memicu terpikirnya alasan untuk mati dan
serangga, tali, senjata api, alkohol, dan seakan membenarkan pilihan tersebut
zat psikoaktif lain d. Menghakimi – mendebat tentang bunuh
c. Terbuka – bicarakan secara terbuka diri itu salah atau benar, perasaan itu baik

139
tentang hal-hal yang dikuatirkan dan atau buruk, memberi kuliah tentang nilai-
pikiran bunuh diri nilai kehidupan
d. Menyediakan diri – tunjukan minat, e. Menjanjikan untuk menjadikan hal ini
pengertian, dan dukungan rahasia, karena bila situasi darurat terjadi,
e. Mau mendengarkan – ijinkan untuk kita wajib mengontak keluarga atau orang
mengekpresikan perasaannya, terima, terdekat pasien untuk melakukan upaya
dan sabar pengamanan pertama
f. Harapan – tawarkan harapan yang f. Pemberian antidepresan terutama
merupakan alternatif yang tersedia golongan tipikal seperti amitriptilin
namun jangan pastikan bahwa alternatif sebaiknya dihindari pada fase-fase awal
itu akan mengubah segalanya. risiko bunuh diri karena dapat
g. Jejaring bantuan – dapatkan kerjasama memperbesar risiko percobaan bunuh diri
dan bantuan profesional kesehatan jiwa
secepat mungkin

2. Meningkatkan durasi kontak untuk mencegah aksi percobaan bunuh diri

Manajemen Risiko Bunuh Diri


Prioritas pertama dalam penanganan kasus kedaruratan akibat bunuh diri adalah
menyelamatkan nyawa pasien. Manajemen kondisi bunuh diri bisa terjadi di puskesmas atau
saat keluarga/pasien menghubungi petugas puskesmas di tempat kejadian. Dalam keadaan
seperti itu maka satu petugas Puskesmas tetap berkomunikasi dengan pasien/keluarga,
sementara ada tim darurat yang datang ke tempat kejadian.

3. Tindakan-tindakan Khusus
Mereka yang telah merencanakan bunuh • Perlu untuk dirawat
diri saat ini • Menyingkirkan alat-alat
• Membina hubungan terus dengan pasien
dan kontak sumber dukungan terdekat

Mereka yang tampak gelisah dan sulit Lakukan manajemen gaduh gelisah seperti
mengendalikan diri yang tercantum pada Bab 2.

Mereka yang memiliki rasa nyeri dan sesak Bantu untuk mengurangi rasa nyeri dan
sesak.

Mereka yang dengan perilaku bunuh diri Lindungi dari bahaya seperti yang dulu
sebelumnya pernah dilakukan.

Mereka yang memiliki gangguan jiwa Hubungkan ke layanan kesehatan jiwa

140
4. Manajemen untuk mencegah percobaan bunuh diri berikutnya
Apabila pasien dengan percobaan bunuh diri sudah stabil kondisi baik fisik maupun
mentalnya, maka tindakan berikutnya adalah untuk memastikan keadaan pasien
aman. Langkah-langkah yang dapat dilakukan:
1) Awasi, jangan biarkan pasien sendirian. Selama 24 jam sebaiknya pasien
termonitor oleh keluarga/tenaga kesehatan
2) Simpan benda-benda yang dapat digunakan untuk bunuh diri seperti benda
tajam, tali, ikat pinggang, racun serangga.
3) Apabila pasien minum obat-obatan psikiatri, pastikan obat benar-benar diminum
dan dalam jumlah yang sesuai.
4) Buat kontrak dengan pasien bahwa ia tidak akan melakukan tindakan bunuh diri
dalam jangka waktu tertentu, misalnya sampai dengan pertemuan berikutnya,
atau akan menghubungi tenaga kesehatan apabila muncul keinginan untuk
bunuh diri. Pada saat pasien berobat lagi, buat kontrak lagi, demikian
seterusnya.
5) Tegakkan hubungan saling percaya dengan pasien
6) Jangan menghakimi perilaku pasien.
7) Tingkatkan harga diri pasien dengan memberikan kesempatan pasien
menceritakan aspek positif dirinya, menyusun rencana jangka pendek dan
memberikan kesempatan pasien untuk melaksanakan rencananya dengan
sukses.
8) Kerahkan dukungan keluarga/orang terdekat. Edukasi keluarga atau orang
terdekat agar memberikan dukungan kepada pasien.
9) Ajak pasien untuk mengenali potensi penyelesaian masalah yang selama ini
efektif dan memperkenalkan cara-cara penyelesaian masalah lain yang mungkin
lebih baik.

Tindak Lanjut/Rujukan
Apabila pasien tidak memiliki keluarga atau keluarga tidak mampu merawat pasien di
rumah maka pasien perlu dilakukan hospitalisasi. Perlu diinformasikan apa yang
akan dilakukan di tempat rujukan, misalnya kemungkinan pemberian obat,
psikoterapi, termasuk perawatan lanjutan dari risiko akibat tindakan percobaan
bunuh diri.

141
REFERENSI :

1. Kaplan HI, Sadock BJ. Substance Abuse. Synopsis of Psychiatry, Behavioral


Sciences/Clinical Psychiatry, 8th edition, Lippincott Williams and Wilkins, Baltimore, 1998.
2. American Psychiatry Asscociation. Diagnostic and Stastical Manual of mental Disorders.
Fourth Edition. Washington, DC. American Psychiatry Asscociation, 1994.
3. Elvira S, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
4. Kaplan HI, Sadock BJ. Substance Abuse. Synopsis of Psychiatry, Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry, 8th edition, Lippincott Williams and Wilkins, baltimore, 1998
5. Ries R, Fiellin D, Miller S. Priciples of Addiction Medicine, 4th edition, Lippincott Williams
and Wilkins, baltimore, 2003
6. Buku Saku Kegawatdarutan Psikiatri, Depkes
7. Stuart G.W. Principles and Practice of Psychiatric Nursing. 9th Ed. Louis, Missouri. 2009
8. Kaplan H.I, Sadock B.J. Emergency Psychiatry. Philadelphia. Lippincot, Williams and
Wilkins. 1994.
9. Varcarolis & Halter. Essentials of psychiatric mental health nursing. Philadelphia: W.B
Saunders Co; 2009.

142
MATERI INTI 9.
PELAKSANAAN SISTEM RUJUKAN

I. DESKRIPSI SINGKAT
.
Sistem Rujukan pelayanan kesehatan adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang
mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik
baik vertikal maupun horizontal yang wajib dilaksanakan oleh peserta jaminan kesehatan
atau asuransi kesehatan sosial, dan seluruh fasilitas kesehatan.

Sistem rujukan yang efektif menjamin hubungan yang baik diantara semua tingkat sistem
kesehatan dan membantu masyarakat untuk mendapatkan pelayanan sedekat mungkin
dengan lingkungan tempat tinggalnya. Sistem rujukan juga membantu pemanfaatan
sumberdaya rumah sakit dan pelayanan primer secara efektif.

Sistem rujukan yang baik dapat membantu memastikan :

- klien mendapatkan pelayanan yang optimal pada tingkat pelayanan kesehatan yang
sesuai dan tidak memerlukan pembiayaan yang tidak perlu
- fasilitas rumah sakit digunakan secara optimal dan cost-efektif
- klien yang membutuhkan pelayanan spesialistik dapat mengakses pelayanan pada
waktu yang tepat
- meningkatnya pemanfaatan dan kualitas pelayanan di pelayanan primer.

Modul ini akan menguraikan mengenai tatacara merujuk pasien dan rujukan balik mulai dari
pengertian rujukan berjenjang dan rujuk balik, ketentuan umum rujukan dan rujuk balik, dan
ruang lingkup rujukan dan rujuk balik.

I. TUJUAN PEMBELAJARAN
a. Tujuan Pembelajaran Umum :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu melakukan rujukan pasien secara
berjenjang baik vertikal maupun horizontal dan menerima pasien rujuk balik.
b. Tujuan Pembelajaran Khusus :
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu:
1. Menerima dan menatalaksana pasien rujuk balik
2. Melakukan rujukan pasien secara berjenjang
3. Melakukan komunikasi dengan pemberi pelayanan kesehatan tingkat dua dan tiga

143
II.POKOK BAHASAN
Pokok bahasan pada modul ini adalah :
Pokok bahasan A : Pengertian sistem rujukan dan rujuk balik
Pokok bahasan B : Ketentuan umum rujukan dan rujuk balik
Pokok bahasan C : Ruang lingkup dan tata cara rujukan dan rujuk balik

III.METODE
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran adalah :
1. Ceramah, tanya jawab
2. Curah pendapat
3. Diskusi kelompok

IV.MEDIA DAN ALAT BANTU

Media dan alat bantu yang digunakan dalam pembelajaran adalah :


1. Liquid Crystal Display (LCD) Projector dan Laptop
2. Laser pointer
3. Spidol
4. Slide presentasi
5. Lembar diskusi (Flip chart)
6. Spidol
7. Panduan latihan

V. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN


Agar proses pembelajaran dapat berhasil secara efektif, maka perlu disusun langkah-
langkah sebagai berikut :
Langkah 1 : Penyiapan proses pembelajaran
 Kegiatan Fasilitator
a) Fasilitator memulai kegiatan dengan melakukan bina suasana di kelas
b) Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat.
c) Fasilitator mempresentasikan materi tentang sistem rujukan dan rujuk balik
untuk stimulus curah pendapat
d) Menyampaikan ruang lingkup bahasan dan tujuan pembelajaran

144
 Kegiatan Peserta
a) Mempersiapkan diri dan alat tulis yang diperlukan
b) Mengemukakan pendapat atas pertanyaan fasilitator
c) Mendengar dan mencatat hal-hal yang dianggap penting
d) Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator bila ada hal-hal yang belum
jelas dan perlu diklarifikasi.

Langkah 2 : Penyampaian materi pembelajaran


 Kegiatan Fasilitator
a) Menyampaikan Pokok Bahasan 1 sampai dengan 3 secara garis besar
dalam waktu yang singkat
b) Memberikan kesempatan kepada peserta untuk menanyakan hal-hal yang
kurang jelas
c) Memberikan jawaban jika ada pertanyaan yang diajukan peserta
d) Menyimpulkan materi bersama peserta

 Kegiatan Peserta
a) Mendengar, mencatat dan menyimpulkan hal-hal yang dianggap penting
b) Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator sesuai dengan kesempatan
yang diberikan
c) Memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan fasilitator.

VI. URAIAN MATERI

POKOK BAHASAN A. PENGERTIAN SISTEM RUJUKAN DAN RUJUK BALIK


1. Pengertian sistem rujukan
Definisi sistem rujukan kesehatan jiwa adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan
jiwa yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan
secara timbal balik baik secara parsial, vertikal maupun horizontal agar pasien
mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa seoptimal mungkin.
Sistem Rujukan pelayanan kesehatan adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan
yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara
timbal balik baik vertikal maupun horizontal yang wajib dilaksanakan oleh peserta
jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosialdan seluruh fasilitas kesehatan.
Pelayanan Rujuk balik adalah Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada penderita di
Fasilitas Kesehatan atas rekomendasi/rujukan dari Dokter Spesialis/Sub Spesialis yang

145
merawat.

Sistem rujukan dibuat untuk memberikan kemudahan kepada pasien dalam


mendapatkan pelayanan kesehatan, meningkatkan akses pelayanan kesehatan dan
memberikan pelayanan kesehatan secara efektif dan efisien.

Komponen-komponen dalam sistem rujukan adalah :


a. sistem kesehatan
Dalam sistem rujukan, sangat penting mempertimbangkan hubungan diantara
pemberi layanan kesehatan.Semua tingkat pemberi layanan kesehatan, termasuk
pelayanan primer harus berfungsi dengan optimal. Termasuk didalamnya adalah :
o mempunyai peran, tanggungjawab dan keterbatasan yang jelas
o mempunyai protokol /standar pelayanan untuk tiap-tiap tingkat pelayanan
o mempunyai perencanaan sistem komunikasi dan transport yang sesuai.
Sistem rujukan akan berjalan efektif jika semua pemberi layanan kesehatan
mengikuti aturan rujukan yang tepat, merujuk secara sesuai dan mengikuti protokol
penatalaksanaan.

b. fasilitas yang merujuk


- pada saat pasien datang ke fasilitas pelayanan kesehatan, maka dilakukan
assessment, mengumpulkan informasi yang relevan dan memberikan
penatalaksanaan yang mungkin /mampu dilakukan di fasilitas tersebut. Pada
kondisi kegawatdaruratan, petugas kesehatan harus mengutamakan fungsi-fungsi
vital pasien dan meminimalisir risiko kerusakan yang timbul.
- petugas membuat keputusan untuk merujuk pasien setelah mengumpulkan
danmenganalisis informasi yang relevan dengan mengacu pada protokol/prosedur
pelayanan.

c. tatacara rujukan
hal-hal yang penting dalam merujuk pasien diantaranya :
- Surat rujukan. Surat rujukan harus dibuat dalam bentuk baku, yang memuat
ringkasan kondisi pasien, penatalaksanaan yang telah diberikan, dan alasan
khusus mengapa merujuk pasien. Dalam surat rujukan tersebut juga disertakan
tempat tujuan rujukan.
- Bila diperlukan, dapat dilakukan komunikasi dengan fasilitas penerima rujukan.
Pada kondisi gawat darurat, petugas dari fasilitas yang merujuk menyertai pasien
selama perjalanan ke fasilitas penerima rujukan.

146
d. fasilitas penerima rujukan
Fasilitas penerima rujukan harus memastikan bahwa pasien akan menerima
pelayanan yang berkualitas sesuai standar pelayanan. Apabila pasien telah
mendapatkan penatalaksanaan dan berada dalam kondisi stabil, maka rujukan balik
ke fasilitas yang merujuk perlu segera direncanakan.Dalam membuat rujukan balik,
disertakan informasi-informasi tentang pemeriksaan khusus yang telah dilakukan,
diagnosis dan penatalaksanaan yang dilakukan, dan instruksi penatalaksanaan yang
bisa dilakukan di fasilitas perujuk. Fasilitas penerima rujukan juga bisa memberikan
feedback kepada perujuk tentang tatacara merujuk, sehingga bisa meningkatkan
kualitas rujukan selanjutnya.

e. supervisi dan peningkatan kompetensi SDM


Petugas/pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan harus selalu melakukan monitoring
rujukan yang dilakukan/diterima secara rutin. Kasus-kasus yang dilakukan rujukan
dilakukan evaluasi sebagai berikut :
 identifikasi apakah rujukan sudah sesuai indikasi
 identifikasi apakah kasus yang dirujuk sebenarnya bisa ditangani di fasilitas
perujuk
 follow up kasus yang dirujuk
Monitoring dan evaluasi dilakukan bersama diantara fasilitas perujuk dan penerima
rujukan secara berkala.

Untuk penyakit-penyakit kronis seperti gangguan jiwa (Skizofrenia) diperlukan


penanganan jangka panjang, yang meliputi :

- penanganan fase akut :


fokus terapi adalah untuk menghilangkan gejala psikotik, berlangsung selama 4-8
minggu
- penanganan fase stabilisasi
merupakan fase penatalaksanaan setelah fase akut teratasi. Fokus terapi pada
konsolidasi pencapaian terapeutik, dengandosis obat sama dengan fase akut. Fase
stabilisasi berlangsung selama sedikitnya enam bulan setelah pulihnya gejala akut
- penanganan fase rumatan
pada fase ini penyakit dalam keadaan remisi, dengan target terapi mencegah
kekambuhan dan memperbaiki derajad fungsi.

147
Prinsip Dasar Tatalaksana Skizofrenia di FKTP yaitu:

Fase Akut: untuk mengendalikan gejala, 
mencegah perilaku yang berisiko bagi diri
maupun orang lain
, dan meningkatkan pemahaman keluarga tentang gangguan
skizofrenia.

 Menurunkan gejala-gejala terutama terkait dengan kondisi gaduh gelisah secepat


mungkin
 Menyusun rencana terapi jangka pendek dan panjang
 Meningkatkan dukungan dari keluarga dan tenaga kesehatan


Fase Stabilitasi: untuk mencapai remisi


 Memfasilitasi pengurangan gejala secara terus menerus dan mempercepat
proses pencapaian remisi sempurna.


 Meningkatkan pemahaman pasien dan keluarga tentang penyakit, mengapa


pasien dapat mengalami hal ini, manajemen penyakit ini untuk menimbulkan rasa
percaya bahwa kondisi ini dapat dikontrol

 Menjaga ketaatan terhadap program terapi dan mencegah kambuh 


Fase Rumatan: terapi ditujukan untuk mencegah kekambuhan, mencegah perilaku yang
merugikan serta meningkatkan kepercayaan diri dan keterampilan sosial untuk memperbaiki
derajat fungsi pasien dan membatasi disabilitas :

 Mencegah kekambuhan dan perawatan kembali

 Mengoptimalkan fungsi, memberdayakan pasien dan keluarga untuk mencapai


proses pemulihan dan hidup mandiri di masyarakat 


 Membatasi dan mencegah disabilitas lebih lanjut melalui rehabilitasi sederhana


berbasis masyarakat.

POKOK BAHASAN B.KETENTUAN UMUM SISTEM RUJUKAN DAN RUJUKAN BALIK

Penyelenggaraan pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas, wajib melakukan sistem


rujukan apabila diperlukan dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pelayanan kesehatan jiwadi Puskesmas meliputi pelayanan kesehatan
perorangan dan dan pelayanan kesehatan masyarakat.

148
Pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari 3 (tiga) tingkatan yaitu:
a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama : merupakan pelayanan kesehatan dasar yang
diberikan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama
b. Pelayanan kesehatan tingkat kedua : merupakan 
pelayanan kesehatan spesialistik
yang dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang menggunakan
pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik.
c. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga : merupakan pelayanan kesehatan sub
spesialistik yang dilakukan oleh dokter sub spesialis atau dokter gigi sub spesialis
yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub spesialistik
SIstem rujukan berjenjang :
Pelayanan rujukan pada pasien jiwa terbagi atas rujukan internal (parsial) dan
eksternal(horisontal dan vertikal).
Rujukan Partial adalah pengiriman pasien ke pemberi pelayanan kesehatan lain
dalam rangka menegakkan diagnosis atau pemberian terapi, yang merupakan satu
rangkaian perawatan pasien di fasilitas kesehatan tersebut.
Rujukan horizontal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan dalam
satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan
yang sifatnya sementara atau menetap.
Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan yang
berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke tingkat
pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya. Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan
yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan yang lebih tinggi dilakukan apabila:
1. Pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau subspesialistik;
2. Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/ atau ketenagaan.
Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke tingkatan pelayanan yang
lebih rendah dilakukan apabila :
1. Permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan
yang lebih rendah sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya;
2. Kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama atau kedua lebih baik dalam
menangani pasien tersebut;
3. Pasien membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani oleh tingkatan
pelayanan kesehatan yang lebih rendah dan untuk alasan kemudahan, efisiensi dan
pelayanan jangka panjang; dan/atau

149
4. Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pasien karena keterbatasan sarana, prasarana, peralatan dan/atau ketenagaan.
Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai kebutuhan
medis, yaitu:
1. Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama oleh fasilitas kesehatan tingkat
pertama
2. Jika diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien dapat dirujuk ke
fasilitas kesehatan tingkat kedua
3. Pelayanan kesehatan tingkat kedua di faskes sekunder hanya dapat diberikan atas
rujukan dari faskes primer.
4. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga di faskes tersier hanya dapat diberikan atas
rujukan dari faskes sekunder dan faskes primer.
5. Pelayanan kesehatan di faskes primer yang dapat dirujuk langsung ke faskes tersier
hanya untuk kasus yang sudah ditegakkan diagnosis dan rencana terapinya,
merupakan pelayanan berulang dan hanya tersedia di faskes tersier.
Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan dalam kondisi:
1. Terjadi keadaan gawat darurat psikiatri ataupun kondisi kegawat daruratan mengikuti
ketentuan yang berlaku yakni bencana. Kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat dan atau Pemerintah Daerah
2. Kekhususan permasalahan kesehatan pasien;
3. Kasus yang sudah ditegakkan rencana terapinya dan terapi tersebut hanya dapat
dilakukan di fasilitas kesehatan lanjutan
4. Pertimbangan geografis; dan
5. Pertimbangan ketersediaan fasilitas
Dalam menjalankan pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan tingkat pertama dan
tingkat lanjutan wajib melakukan sistem rujukan dengan mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.Pelayanan rujukan dapat dilakukan secara
horizontal maupun vertikal.

Rujukan horizontal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan dalam
satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau
ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap.

Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan yang
berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke
tingkat pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya.

150
SIstem rujuk balik

Pelayanan Rujuk balik adalah Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada penderita di
Fasilitas Kesehatan atas rekomendasi/rujukan dari Dokter Spesialis/Sub Spesialis Jiwa
yang merawat. Rujuk balik dilakukan berdasarkan pertimbangan klinis medis oleh Dokter
spesialis/Sub Spesialis Jiwa bahwa kondisi pasien memungkinkan untuk ditangani di fasilitas
tingkat pertama dalam hal ini Puskesmas. Dokter di Puskesmas dapat menindak lanjuti
pengelolaan pasien dengan memberikan obat-obat jiwa yang tersedia di Puskesmas.
Pelayanan rujuk balik adalah pelayanan kesehatan yang diberikan kepada penderita di
fasilitas kesehatan atas rekomendasi/ rujukan dari Dokter Spesialis/ Sub Spesialis yang
merawat.Pelayanan rujuk balik umumnya diberikan kepada penderita penyakit kronis
dengan kondisi stabil dan masih memerlukan pengobatan atau asuhan keperawatan jangka
panjang yang dilaksanakan di fasilitas kesehatan tingkat pertama atas rekomendasi/ rujukan
dari Dokter Spesialis/ Sub Spesialis yang merawat.

Manfaat rujuk balik :

1. Bagi Peserta

a. Meningkatkan kemudahan akses pelayanan kesehatan


b. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang mencakup akses promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif
c. Meningkatkan hubungan dokter dengan pasien dalam konteks pelayanan holistik
d. Memudahkan untuk mendapatkan obat yang diperlukan

151
2. Bagi Faskes Tingkat Pertama

a. Meningkatkan fungsi Faskes selaku Gate Keeper dari aspek pelayanan


komprehensif dalam pembiayaan yang rasional
b. Meningkatkan kompetensi penanganan medik berbasis kajian ilmiah terkini (evidence
based) melalui bimbingan organisasi/dokter spesialis
c. Meningkatkan fungsi pengawasan pengobatan

3. Bagi Faskes Rujukan Tingkat Lanjutan

a. Mengurangi waktu tunggu pasien di poli RS


b. Meningkatkan kualitas pelayanan spesialistik di 
Rumah Sakit
c. Meningkatkan fungsi spesialis sebagai 
koordinator dan konsultan manajemen
penyakit

Rujukan kasus pada pasien dengan Skizofrenia :

Tujuan rujukan Skizofrenia adalah :

a. Melakukan deteksi dini, identifikasi komorbiditas dan efek samping antipsikotik


melalui rujukan rutin
b. Mencegah perburukan komorbiditas dan pencegahan kekambuhan pada penderita
skizofrenia melalui rujukan urgent.
c. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penderita Skizofrenia yang mengalami
penyulit akut yang mengancam jiwa atau orang lainbila tidak segera diberikan
perawatan yang tepat di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan melalui rujukan
emergency.
d. Memberikan kemudahan akses, efisiensi dan pelayanan berkelanjutan yang
komprehensif dalam jangka panjang serta mencegah fragmentasi pelayanan
kesehatan bagi penderita Skizofrenia melalui rujuk balik.

POKOK BAHASAN C. RUANG LINGKUP DAN TATACARA RUJUKAN DAN RUJUK


BALIK

Persetujuan Tindakan Medis dan Penjelasan kepada Pasien dan Keluarga.


Rujukan harus mendapatkan persetujuan dari pasien dan/atau keluarganya. Persetujuan
sebagaimana dimaksud di atas diberikan setelah pasien dan/atau keluarganya
mendapatkan penjelasan dari tenaga kesehatan yang berwenang. Peran keluarga menjadi

152
sangat penting mengingat sebagian pasien jiwa memiliki gangguan dalam tilikan diri
sehingga mereka tidak menyadari akan kondisinya. Penjelasan yang diberikan sekurang-
kurangnya meliputi:
1. diagnosis dan terapi dan/atau tindakan medis yang diperlukan;
2. alasan dan tujuan dilakukan rujukan;
3. risiko yang dapat timbul apabila rujukan tidak dilakukan;
4. transportasi rujukan; dan
5. risiko atau penyulit yang dapat timbul selama dalam perjalanan

Hal-hal yang Perlu diperhatikan sebelum Merujuk Pasien Jiwa


Perujuk sebelum melakukan rujukan perlu:
1. melakukan pertolongan pertama dan/atau tindakan stabilisasi kondisipasien sesuai
indikasi medis serta sesuai dengan kemampuan untuktujuan keselamatan pasien
selama pelaksanaan rujukan;
2. melakukan komunikasi dengan penerima rujukan dan memastikan bahwapenerima
rujukan dapat menerima pasien dalam hal keadaan pasiengawat darurat; dan
3. membuat surat pengantar rujukan untuk disampaikan kepada penerima rujukan
Surat pengantar rujukan sekurang-kurangnya memuat:
1. identitas pasien;
2. hasil pemeriksaan (anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaanpenunjang) yang
telah dilakukan;
3. diagnosis kerja;
4. terapi dan/atau tindakan yang telah diberikan;
5. tujuan rujukan; dan
6. nama dan tanda tangan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan.
Kewajiban Penerima Rujukan Pasien Jiwa
Penerima rujukan jiwa berkewajiban menginformasikan mengenai ketersediaan sarana
dan prasarana serta kompetensi dan ketersediaan tenaga kesehatan; dan memberikan
pertimbangan medis atas kondisi pasien.

Dasar pertimbangan rujukan pasien


1. Pasien yang dirujuk harus melalui rujukan berjenjang jika ingin akan mendapat
pelayanan yang sesuaikecuali dalam kondisi tertentu yaitu kondisi gawat darurat,
bencana, kekhususan permasalahan pasien, pertimbangan geografis, dan
pertimbangan ketersediaan fasilitas.

153
2. Atas pertimbangan geografis dan keselamatan pasien tidak memungkinkan untuk
dilakukan rujukan dalam satu kabupaten, maka diperbolehkan rujukan lintas
kabupaten.
3. Setelah dilakukan rujukan berjenjang dan mendapat penanganan yang susuai dapat
dikembalikan atau ditindak lanjuti di tempat pelayanan kesehatan sebelumnya.

Tatacara pelaksanaan sIstem rujukan berjenjang :


1. Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai kebutuhan
medis, yaitu:
a. Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama oleh fasilitas kesehatan tingkat
pertama
b. Jika diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien dapat dirujuk ke
fasilitas kesehatan tingkat kedua
c. Pelayanan kesehatan tingkat kedua di faskes sekunder hanya dapat diberikan atas
rujukan dari faskes primer.
d. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga di faskes tersier hanya dapat diberikan atas
rujukan dari faskes sekunder dan faskes primer.
2. Pelayanan kesehatan di faskes primer yang dapat dirujuk langsung ke faskes tersier
hanya untuk kasus yang sudah ditegakkan diagnosis dan rencana terapinya, merupakan
pelayanan berulang dan hanya tersedia di faskes tersier.
3. Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan dalam kondisi:
a. terjadi keadaan gawat darurat; 
Kondisi kegawatdaruratan mengikuti
ketentuanyang berlaku
b. bencana; Kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah
Daerah
c. kekhususan permasalahan kesehatan pasien; 
untuk kasus yang sudah ditegakkan
rencana terapinya dan terapi tersebut hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan
lanjutan
d. pertimbangan geografis; dan
e. pertimbangan ketersediaan fasilitas

4. Pelayanan oleh bidan dan perawat


a. Dalam keadaan tertentu, bidan atau perawat dapat memberikan pelayanan kesehatan
tingkat pertama sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter gigi
pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama kecuali alam kondisi gawat darurat dan

154
kekhususan permasalahan kesehatan pasien, yaitu kondisi di luar kompetensi dokter
dan/atau dokter gigi pemberipelayanan kesehatan tingkat pertama.

5. Rujukan Parsial
a. Rujukan parsial adalah pengiriman pasien atau 
spesimen ke pemberi pelayanan
kesehatan lain dalam rangka menegakkan diagnosis atau pemberian terapi, yang
merupakan satu rangkaian perawatan pasien di Faskes tersebut.
b. Rujukan parsial dapat berupa:

1)pengiriman pasien untuk dilakukan pemeriksaan penunjang atau tindakan

2) pengiriman spesimen untuk pemeriksaan penunjang
c. Apabila pasien tersebut adalah pasien rujukan 
parsial, maka penjaminan pasien
dilakukan oleh fasilitas kesehatan perujuk.

Ruang lingkup program rujuk balik :

1. Jenis penyakit
Jenis penyakit yang bisa dialihkan pelayanannya dari Dokter Spesialis/Subspesialis
ke pemberi pelayanan pertama adalah penyakit kronis yang bersifat stabil, yaitu :
a. Diabetus Mellitus
b. Hipertensi
c. Jantung
d. Asma
e. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
f. Epilepsy
g. Schizophrenia
h. Stroke
i. Sistemic Lupus Erythematosus (SLE)

2. Penderita yang berhak memperoleh layanan rujuk balik adalah penderita dengan
diagnosa penyakit kronis yang telah ditetapkan dalam kondisi terkontrol /stabil oleh
Dokter Spesialis/ Subspesialis dan telah mendaftarkan diri untuk menjadi peserta
rujuk balik.

Rujukan pada pasien dengan gangguan jiwa berat (Skizofrenia)

155
Kriteria skizofrenia yang dirujuk dari Fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama ke
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut adalah :

a. Rujukan rutin

Penderita Skizofrenia setiap tahunnya minimal 3-4 kali mendapatkan rujukan rutin ke FKRTL
untuk menjalani evaluasi medis secara rutin dalam rangka deteksi dini komorbiditas atau
komplikasi.Rujukan ini bersifat konsultasi dan pemeriksaan penunjang.

Yang termasuk rujukan rutin adalah :

- pasien yang memerlukan pemeriksaan laboratorium/pemeriksaan khusus yang


tidak tersedia di fasilitas pelayanan pertama, yang berhubungan dengan risiko
pemakaian obat antipsikotik jangka panjang (pemeriksaan fungsi liver, fungsi ginjal,
EKG, pemeriksaan untuk mendeteksi agranulositosis, pemeriksaan mata/katarak
dan glaukoma, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan neurokognitif).

Diberikan pada penderita gangguan Skizofrenia dengan komorbiditas yang mengganggu


fungsi sehari-hari dan cenderung mengalami penurunan fungsi secara cepat dan bersifat
irreversible (Skizofrenia dengan epilepsi, skizofrenia yang tidak responsif dengan
pengobatan yang tersedia, skizofrenia dengan penyalahgunaan zat, diagnosis tidak
pasti, skizofrenia yang berkaitan dengan proses hukum, skizofrenia dengan komorbiditas
gangguan psikiatrik lainnya, penilaian kebutuhan rehabilitasi psikososial )

b. Rujukan Emergency
Rujukan emergency diberikan pada penderita Skizofrenia yang mengalami kondisi akut
yang mengancam jiwa atau orang lainsehingga memerlukan perawatan intensif di rumah
sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang memadai sehingga mampu menurunkan
angka mobiditas dan mortalitas yang tinggi (Sindrom neuroleptik maligna, indikasi bunuh
diri, indikasi perilaku kekerasan yang tidak dapat dikendalikan dengan pemberian obat
yang ada, kondisi medis umum berat, EPS berat yang tidak teratasi, gaduh gelisah berat
yang tidak tertangani di fasilitas tingkat pertama, kekambuhan karena kesinambungan
obat yang tidak terjamin).

Tata cara rujuk balik :

- Dokter spesialis/subspesialis melakukan evaluasi kondisi pasien. Apabila kondisi pasien


dalam keadaan stabil dan memungkinkan untuk ditatalaksana di pelayanan primer, dokter

156
membuat surat rujuk balik dengan mencantumkan diagnosis dan penatalaksanaan yang
dilakukan.
- Dokter faskes pertama menerima rujukan dan melakukan penatalaksanaan terhadap
pasien, sesuai rujuk balik yang diberikan oleh Dokter Spesialis/Subspesialis.
- Pelayanan oleh dokter faskes pertama dilakukan selama 3 bulan
- Setelah 3 bulan, peserta dapat dirujuk kembali oleh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama ke
Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan untuk dilakukan evaluasi oleh dokter
spesialis/sub-spesialis.

Pada saat kondisi peserta tidak stabil, peserta dapat 
dirujuk kembali ke dokter
Spesialis/Sub Spesialis sebelum 3 bulan dan menyertakan keterangan medis
dan/atau hasil pemeriksaan klinis dari dokter Faskes Tingkat Pertama yang
menyatakan kondisi pasien tidak stabil atau mengalami gejala/tanda- tanda yang
mengindikasikan perburukan dan perlu penatalaksanaan oleh Dokter Spesialis/Sub
Spesialis.

- Apabila hasil evaluasi kondisi peserta dinyatakan masih terkontrol/stabil oleh dokter
spesialis/sub- spesialis, maka pelayanan program rujuk balik dapat dilanjutkan kembali

Program rujuk balik untuk pasien dengan gangguan jiwa berat (Skizofrenia) adalah :
a. Rujukan rutin :
 bila pemeriksaan rutin tidak ada kelainan
 bila onset lebih dari lima tahun dan dapat diberikan rekomendasi latihan kognitif
sederhana
b. Rujukan urgent
 Bila serangan kejang dan gejala perilaku emosi sudah teratasi
 Bila skizofrenia sudah mengalami remisi
 Bila kondisi intoksikasi atau putus zat teratasi
 Bila terdiagnosis pasti skizofrenia tanpa penyulit
 Bila komorbiditas sudah stabil
 Bila target remediasi kognitif tercapai
 Bila sudah ditentukan rencana rehabilitasi lanjutan
c. Rujukan emergensi
 Bila sindrom neuroleptic maligna sudah teratasi
 Indikasi bunuh diri sudah tidak ada atau mampu dikendalikan
 Bila perilaku kekerasan minimal atau bisa dikendalikan
 EPS teratasi

157
 Gaduh gelisah tertangani

VIII. REFERENSI

1. Pedoman sistem rujukan nasional tahun 2012.

158
Materi Inti 10.
PENCATATAN DAN PELAPORAN

I.DESKRIPSI SINGKAT
Puskesmas merupakan ujung tombak sumber data kesehatan. Pencatatan dan pelaporan
pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas merupakan suatu alat untuk memantau kegiatan
pelayanan kesehatan jiwa, baik bagi kepentingan pasien yang bersangkutan, maupun bagi
petugas kesehatan yang melayani serta pihak perencana dan penyusun kebijakan.
Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas juga merupakan fondasi dari data
kesehatan. Sehingga diharapkan terciptanya sebuah informasi yang akurat, representatif
dan reliable yang dapat dijadikan pedoman dalam penyusunan perencanaan kesehatan.
Setiap program akan menghasilkan data. Data yang dihasilkan perlu dicatat, dianalisis dan
dibuat laporan. Data yang disajikan adalah informasi tentang pelaksanaan progam dan
perkembangan masalah kesehatan masyarakat. Informasi yang ada perlu dibahas,
dikoordinasikan, diintegrasikan agar menjadi pengetahuan bagi semua staf puskesmas.
Pencatatan dan pelaporan pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas masihmenggunakan
sistem yang beragam. Di antaranya ada yang masih menggunakan SP2TP yaitu suatu
sistem pencatatan dan pelaporan terpadu di puskesmas yang tadinya seragam untuk
seluruh Puskesmas di Indonesia,namun tidak sedikit yang telah menggunakan ICD-10

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

Pencatatan dan pelaporan pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas merupakan suatu alat
untuk memantau kegiatan pelayanan kesehatan jiwa, baik bagi kepentingan pasien yang
bersangkutan, maupun bagi petugas kesehatan yang melayani serta pihak perencana dan
penyusun kebijakan.
Tujuan dibuatnya standar pencatatan dan pelaporan ini adalah
1. Memberikan acuan tentang pencatatan dan pelaporan sesuai kebutuhan puskesmas
maupun dinas kesehatan.
2. Memberikan informasi kepada pihak terkait untuk dapat mempergunakannya sebagai
pertimbangan dalam menentukan kebijakan

III. POKOK BAHASAN

Pokok bahasan pada modul ini adalah :


Pokok bahasan A : Pencatatan
Pokok bahasan B : Pelaporan

159
Pokok bahasan C :Teknis dan Prosedur Pencatatan dan Pelaporan
Pokok bahasan D : Isi Pencatatan dan Pelaporan
Pokok bahasan E: Petunjuk Pengisisan Form Pencatatan dan Pelaporan

IV. METODE
1. Ceramah, tanya jawab
2. Curah pendapat
3. Diskusi kelompok

V. MEDIA DAN ALAT BANTU


Media dan alat bantu yang digunakan dalam pembelajaran adalah :
1. Liquid Crystal Display (LCD) Projector dan Laptop
2. Laser pointer
3. Spidol
4. Slide presentasi
5. Lembar diskusi (Flip chart)
6. Spidol
7. Panduan latihan

V. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN

Agar proses pembelajaran dapat berhasil secara efektif, maka perlu disusun langkah-
langkah sebagai berikut :
Langkah 1 : Penyiapan proses pembelajaran
a. Kegiatan Fasilitator
1. Fasilitator memulai kegiatan dengan melakukan bina suasana di kelas
2. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat.
3. Fasilitator mempresentasikan materi tentang pencatatan dan pelaporan
untuk stimulus curah pendapat
4. Menyampaikan ruang lingkup bahasan dan tujuan pembelajaran
b. Kegiatan Peserta
1. Mempersiapkan diri dan alat tulis yang diperlukan
2. Mengemukakan pendapat atas pertanyaan fasilitator
3. Mendengar dan mencatat hal-hal yang dianggap penting
4. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator bila ada hal-hal yang belum jelas
dan perlu diklarifikasi.

160
Langkah 2 : Penyampaian materi pembelajaran
a. Kegiatan Fasilitator
1. Menyampaikan Pokok Bahasan 1 sampai dengan 5 secara garis besar
dalam waktu yang singkat
2. Memberikan kesempatan kepada peserta untuk menanyakan hal-hal
yang kurang jelas
3. Memberikan jawaban jika ada pertanyaan yang diajukan peserta
4. Menyimpulkan materi bersama peserta

b. Kegiatan Peserta
1. Mendengar, mencatat dan menyimpulkan hal-hal yang dianggap penting
2. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator sesuai dengan kesempatan
yang diberikan
3. Memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan fasilitator.

VII.URAIAN MATERI
POKOK BAHASAN A. PENCATATAN
1. Pengertian Pencatatan
Pencatatan adalah cara yang dilakukan oleh petugas kesehatan untuk
mencatat data yang penting mengenai pelayanan tersebut dan selanjutnya disimpan
sebagai arsip di Puskesmas.

2. Jenis-jenis pencatatan dalam pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas


a. Kartu rawat jalan: untuk mencatat data mengenai pasien. Termasuk pula kartu
rawat jalan di luar gedung puskesmas.
b. Pencatatan harian rutin: untuk mencatat data pasien yang dikumpulkan selama
sehari.

POKOK BAHASAN B. PELAPORAN


Pengertian Pelaporan
Pelaporan adalah mekanisme yang digunakan oleh petugas kesehatan untuk melaporkan
kegiatan pelayanan yang dilakukannya kepada instansi yang lebih tinggi (dalam hal ini
dinas kesehatan kabupaten/kota).

161
POKOK BAHASAN C. TEKNIS DAN PROSEDUR PENCATATAN DAN PELAPORAN
Pencatatan melibatkan petugas pendaftaran, dokter, psikolog, perawat dan petugas
khusus pencatatan dan pelaporan. Dalam pelaksanaannya bisa menyesuaikan situasi dan
kondisi di lapangan. Namun secara umum dapat digambarkan dalam diagram alur berikut
ini:
1. Pasien mendaftar ke petugas pendaftaran.
2. Petugas akan melakukan pencatatan dalam buku register pendaftaran atau langsung
di input ke sistem informasi puskesmas.
3. Kemudian petugas akan menyampaikan form rekam medis kepada dokter.
4. Dokter mencatat data anamnesa, pemeriksaan fisik, diagnosa dan terapi dalam rekam
medis.
5. Apabila pasien diperiksa oleh psikolog, bidan ataupun perawat terlebih dahulu dan
dilakukan dignosa oleh petugas selain dokter,maka pencantuman diagnosa harus
dalam supervisi dokter.
6. Petugas akan memasukkan data yang ditulis oleh dokter tersebut ke dalam buku
register harian.
7. Berdasarkan register harian, petugas akan memasukkan data tersebut dalam sistem
informasi puskesmas dalam format LB
8. Data tersebut disajikan dalam SP2TP untuk kemudian disampaikan ke dinas
kesehatan sebagai bentuk pelaporan.
Catatan: Apabila tersedia Sistem Informasi Puskesmas, pencatatan dan pelaporan
dimungkinkan diakomodir dalam suatu sistem terpadu.

POKOK BAHASAN D. ISI PENCATATAN DAN PELAPORAN


Dalam form pencatatan dan pelaporan secara umum berisi: nomer, kode ICD-10, jenis
penyakit, klasifikasi usia, jenis kelamin, kasus baru atau lama. Khusus untuk kolom
diagnosa dicantumkan beberapa diagnosa utama, diagnosa rincian dari diagnosa
tambahan yang sering ditemui di dalam praktek layanan primer. Berikut ini adalah dignosa
utama adalah diagnosa yang direkomendasikan dalam Sistem Pencatatan dan Pelaporan
Terpadu (SP2TP)
1. Gangguan Mental Organik (F00#)
2. Insomnia (F51)
3. Gangguan Depresi (F32#)
4. Gangguan Anxietas (cemas) (F40#)
5. Skizofrenia dan Gangguan Psikotik Lainnya (F20#)
6. Gangguan Perkembangan dan Tingkah Laku (F80-90#)

162
7. Gangguan Penyalahguna NAPZA (F10#)
8. Percobaan Tindakan Bunuh Diri (X84)

POKOK BAHASAN E. PETUNJUK PENGISIAN FORM PENCATATAN DAN


PELAPORAN
1. Tulislah nomer, kode ICD-10, diagnosa, umur, jenis kelamin termasuk kasus baru dan
lama. Kolom IC-10 dan Diagnosa biasanya sudah terformat secara otomatis
2. Dalam menuliskan diagnosa dapat dituliskan dalam diagnosa utama dan atau
dimasukkan dalam diagnosa rincian.
3. Perekapan total mengacu pada diagnosa utama kecuali apabila diagnosa utama tidak
dicantumkan.
4. Pengisian diagnosa tambahan dapat dituliskan secara langsung ke kolom yang
tersedia.

VIII.REFERENSI

1. Sistem pencatatan dan pelaporan tingkat puskesmas tahun 2012

163

Anda mungkin juga menyukai