Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Derajat kesehatan masyarakat Indonesia dinilai dengan menggunakan
beberapa indikator berupa angka mortalitas, status gizi, dan mordibitas. Kondisi
mortalitas salah satunya digambarkan dengan angka kematian nayi (AKB).
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2012 didapatkan
AKB secara global sebanyak 35 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan di Indonesia
sebanyak 32 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini dinilai belum mencapai target
pemerintahan dalam pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) tahun
2015 yaitu sebanyak 23 per 1.000 kelahiran hidup.
Mayoritas kematian bayi terjadi pada neonatus dengan peneybab terbayak
adalah asfiksia 27%, prematuritas dan BBLR 29%, masalah nutrisi 10%, tetanus
10%, kelainan hematologi 6%, infeksi 5%, dan lainnya 13%. Kelainan hematologi
salah satunya berupa perdarahan intrakranial. Perdarahan intrakranial
didefinisikan sebagai akumulasi darah patologis yang terjadi di otak dan
diklasifikasi berdasarkan lokasi perdarahan yaitu perdarahan epidural, subdural,
subaraknoid, intraventrikulerdan intrasebral.
Perdarahan intrakranial pada bayi merupakan masalah klinis penting
karena berkaitan degan tingginya angka kejadian, yang seringkali disertai dengan
tingginya angka kejadian, yang sering kali disertai dengan gejala sisa neurologis
serius atau bahkan kematian.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian dari hemoragi intrakranial?
2. Bagaimana penyebab hemoragi intrakranial?
3. Apa saja klasifikasi pada hemoragi intrakranial?
4. Bagaimana hemoragi intrakranial terjadi?
5. Apa saja pemeriksaan penunjang hemoragi intrakranial?
6. Apa penatalaksaan hemoragi intrakranial?
7. Bagaimana konsep dasar askep pada hemoragi intrakranial?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum:
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Keperawatan Maternitas

1.3.2 Tujuan Khusus:


Adapun tujuan penulisannya adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian dari hemoragi intrakranial
2. Untuk mengetahui penyebab hemoragi intrakranial
3. Untuk mengetahui klasifikasi pada hemoragi intrakranial
4. Untuk mengetahui bagaimana hemoragi intrakranial terjadi
5. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang untuk hemoragi
intrakranial
6. Untuk mengetahui penatalaksaan perawat yang tepat pada hemoragi
intrakranial
7. Untuk mengetahui konsep dasar askep pada hemoragi intrakranial
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Perdarahan intrakranial adalah perdarahan (patologis) yang terjadi di
dalam kranium, yang mungkin ekstradural, subdural, subaraknoid, atau serebral
(parenkimatosa). Perdarahan intrakranial dapat terjadi pada semua umur dan juga
akibat trauma kepala seperti kapitis,tumor otak dan lain-lain. 8-13% ICH menjadi
penyebab terjadinya stroke dan kelainan dengan spectrum yang luas. Bila
dibandingkan dengan stroke iskemik atau perdarahan subaraknoid, ICH umumnya
lebih banyak mengakibatkan kematian atau cacat mayor. ICH yang disertai
dengan edema akan mengganggu atau mengkompresi jaringan otak sekitarnya,
menyebabkan disfungsi neurologis. Perpindahan substansi parenkim otak dapat
menyebabkan peningkatan ICP dan sindrom herniasi yang berpotensi fatal.

2.2 Etiologi
Bermacam-macam penyebab terjadinya perdarahan spontan pada otak dan
umumnya multifaktorial. Berbagai bentuk kelainan kongenital dan yang diperoleh
pada penyakit kardiovaskuler merupakan mekanisme penyebab yang paling
sering, tapi struktur yang mirip dapat juga terjadi akibat komplikasi tumor otak
primer dan sekunder, peradangan dan penyakit autoimmune, trauma, atau
manifestasi penyakit sistemik yang menyebabkan hipertensi atau koagulopathy.
Perdarahan otak juga dapat terjadi karena terapi trombolitik pada miokard infark
dan cerebral infark. Oleh karena faktor-faktor penyebabnya heterogen,
pengobatannya khusus dan intervensi penyesuaiannya harus hati-hati terhadap
masing-masing individu.
Penyebab yang paling sering dari perdarahan non-trauma adalah hipertensi,
dimana terjadi perubahan-perubahan patologi, seperti micro-aneurysma,
lipohyalinosis, terutama pada arteri-arteri kecil, lemahnya dinding pembuluh
darah dan cenderung pecah.
Penyebab perdarahan dalam otak yang non hipertensi antara lain:
- Kelainan pembuluh darah yang kecil seperti angioma, biasanya lokasi
perdarahannya lobar. Umumnya terjadi pada usia muda. Lokasi perdarahan
biasanya superfisial.
- Obat-obat symptomatik. Perdarahan dalam otak berhubungan dengan
penggunaan amphetamine. Penggunaan obat ini kebanyakan secara intra
vena, juga dilaporkan dengan intra nasal atau oral. Lokasi perdarahan
kebanyakan luas. Efeknya karena tekanan darah meninggi (50% dari kasus)
atau perubahan histologis pembuluh darah seperti arteritis, mirip, periarteritis
nodosa. Ini oleh karena efek toksik dari obat tersebut. Pada angiography
dijumpai multiple area dari fokal arteri stenosis atau konstriksi dengan ukuran
sedang pada arteri besar intra kranial. Ini bersifat reversible dan akan hilang
dengan berhentinya penyalah gunaan obat ini.
- Cerebral amyloid angiopathy atau congophilic angiopathy merupakan
bentuk yang unik dan pada angiography khas adanya penumpukan/deposit
amyloid pada bagian media dan adventitia dengan ukuran sedang dan kecil
dari arteri cortical dan leptomeningeal. Deposit pada dinding arteri cenderung
menyebabkan penyumbatan pada lumen arteri karena penebalan dasar
membran, fragmentasi dari lamina interna elastik dan hilangnya sel-sel
endothel. Juga terjadi nekrosis fibrinoid pada pembuluh darah. Keadaan ini
tidak berhubungan dengan amyloidosis vascular sistemik. Cerebral amyloid
angiopathy berhubungan dengan dementia senilis yang progressive. Biasanya
terjadi pada usia yang lebih lanjut dan jarang berhubungan dengan hipertensi.
- Tumor intrakranial (jarang terjadi perdarahan pada tumor otak; dijumpai
sekitar 6-10%). Yang paling sering menimbulkan perdarahan yaitu tumor
ganas, baik primer ataupun metastase; jarang pada meningioma atau
oligodendroma. Tumor ganas primer pada otak yang paling sering
menimbulkan perdarahan yaitu glioblastoma multiform, lokasi perdarahan
umumnya deep cortical seperti basal ganglia, corpus callosum. Tumor
metastase yang paling sering menimbulkan perdarahan yaitu tumor sel
germinal, sekitar 60% dan lokasi perdarahan umumnya sucortical.
- Anti koagulan. Pemakaian obat oral antikoagulan yang lama dengan
warfarin sering menyebabkan perdarahan otak; dijumpai sekitar 9% dari
kasus. Resiko terjadinya perdarahan dengan pemakaian antikoagulan oral
dalam jangka panjang, 8-11 kali dibandingkan dengan yang tidak
menggunakan obat tersebut pada usia yang sama. Lokasi perdarahan paling
sering pada serebellum. Mekanisme terjadinya perdarahan ini masih belum
diketahui.
- Agen fibrinolitik. Ini termasuk Streptokinase, Urokinase dan tissue type
plasminogen aktivator (tPA) yang digunakan dalam pengobatan coronary,
arteri dan venous trombosis. Kemampuan obat-obat ini yaitu menghancurkan
klot dan relatif menurunkan tingkatan sistemik hipofibrinogenemia, sehingga
sangat ideal dalam pengobatan trombosis akut. Komplikasi utama, walaupun
jarang, adalah perdarahan intraserebral. Dijumpai 0,4%-1,3% penderita
dengan miokard infark yang diobati dengan tPA. Perdarahan yang cenderung
terjadi setelah pemberian tPA 40% sewaktu dalam pemberian infus, 25%
terjadai dalam 24 jam setelah pemberian. 70-90% lokasi perdarahan lobar,
30% perdarahannya multiple dan mortality 40-65%. Mekanisme terjadinya
perdarahan ini masih belum diketahui.
- Vaskulitis. Vaskulitis serebri dapat menyebabkan penyumbatan arteri dan
infark serebri, serta jarang menimbulkan perdarahan intraserebral. Proses
radang umumnya terjadi dalam lapisan media dan adventitia, serta pada
pembuluh darah arteri dan vena dengan ukuran kecil dan sedang. Biasanya
berhubungan dengan pembentukan mikroaneurysma. Gejalanya sakit kepala
kronis, penurunan kesadaran atau kognitif yang progresif, kejang-kejang,
infark serebri yang recurrent. Diagnosanya berupa limpositik CSF pleocytosis
dengan protein yang tinggi. Lokasi perdarahan umumnya lobar.

2.3 Klasifikasi
1. Perdarahan subdural
Perdarahan subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh trauma kapitis
walaupun mungkin traumanya tak berarti (trauma pada orang tua) sehingga tidak
terungkap oleh anamnesis. Yang sering berdarah ialah “bridging veins”, karena
tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik pada otak. Perdarahan subdural paling
sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah
temporal sesuai dengan bridging veins. Karena perdarahan subdural sering oleh
perdarahan vena, maka darah yang terkumpul berjumlah hanya 100 sampai 200 cc
saja.
Keluhan bisa timbul langsung setelah hematom subdural terjadi atau jauh
setelah mengidap trauma kapitis. Masa tanpa keluhan itu dinamakan “latent
interval” dan bisa berlangsung berminggu-minggu sampai lebih dari dua tahun.
Namun demikian latent interval itu bukannya berarti bahwa si penderita sama
sekali bebas dari keluhan. Sebenarnya dalam latent interval kebanyakan penderita
hematoma subdural mengeluh tentang sakit kepala atau pening. Tetapi apabila
disamping itu timbul gejala-gejala yang mencerminkan adanya proses
peningkatan ICP, baru pada saat itulah terhitung mula tibanya manifestasi
hematom subdural. Gejala-gejala tersebut bias berupa kesadaran yang menurun,
”organic brain syndrome”, hemiparesis ringan, hemihipestesia, adakalanya
epilepsy fokal dengan adanya tanda-tanda papiledema.
2. Perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa hematom hanya
berupa perdarahan kecil-kecil saja. Perdarahan semacam itu sering terdapat di
lobus frontalis dan temporalis. Yang tersebut belakangan berkorelasi dengan
dampak pada oksiput dan yang pertama berasosiasi dengan pukulan dari samping.
Kebanyakan perdarahan dari intra lobus temporalis justru ditemmukan pada sisi
lateral.
Jika penderita dengan perdarahan intra serebral luput dari kematian,
perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan kavitasi.
Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi neurologic sesuai dengan fungsi
bagian otak yang terkena.
3. Perdarahan epidural
Akibat trauma krapitis tengkorak bisa retak. Fraktur yang paling ringan ialah
fraktur linear. Jika gaya destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang berupa
bintang (stelatum), atau fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya menusuk
ke dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak
(laserasio).
Pada perdarahan epidural akibat pecahnya arteri dengan atau tanpa fraktur
linear ataupun stelata, manifestasi neurologic akan terjadi beberapa jam setelah
trauma kapitis. Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran yang menurun secara
progresif. Pupil pada sisi perdarahan pertama-tama sempit, tetapi kemudian
menjadi lebar dan tidak bereaksi terhadap penyinaran cahaya. Inilah tanda bahwa
herniasi tentorial sudah parah. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya,
mencerminkan tahap-tahap disfungsi retrokaudal batang otak. Pada tahap
kesadaran sebelun stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparesis atau seranagan
epilepsi fokal. Hanya dekompresi yang bisa menyelamatkan keadaan.

2.4 Patofisiologi
Perdarahan ini berhubungan dengan luasnya kerusakan jaringan otak. Massa
perdarahan menyebabkan destruksi dan kompresi langsung terhadap jaringan otak
sekitarnya. Volume perdarahan menyebabkan tekanan dalam otak meninggi dan
mempunyai efek terhadap perfusi jaringan otak serta drainage pembuluh darah.
Perubahan pembuluh darah ini lebih nyata/berat pada daerah perdarahan karena
efek mekanik langsung menyebabkan iskhemik dan buruknya perfusi sehingga
terjadi kerusakan sel-sel otak.
Volume perdarahan merupakan hal yang paling menentukan dari hasil
akhirnya. Hal lain yang paling menentukan yaitu status neurologis dan volume
darah didalam ventrikel. Volume darah lebih dari 60 ml, mortalitasnya 93% bila
lokasinya deep subcortical dan 71 % bila lokasinya lobarsuperfisial. Untuk
perdarahan cerebellum, bila volumenya 30-60 ml, 75% fatal; pada perdarahan
didaerah pons lebih dari 5ml, fatal. Bagaimanapun kerusakan jaringan otak dan
perubahan-perubahan karena perdarahan didalam otak tidak statis. Volume
hematome selalu progressive. Dalam satu jam setelah kejadian, volume darah
akan bertambah pada 25% penderita; sekitar 10% dari semua penderita
volumenya bertambah setelah 20 jam. Pada CT Scan tampak daerah hipodense
disekitar hematome, ini disebabkan karena extravasasi serum dari hematome
tersebut.

2.5 Epidemiologi
 Frekuensi
Di Amerika, insiden ICH 12-15/100.000 penduduk, termasuk 350/100.000
kejadian hypertensive hemorage pada orang dewasa. Secara keseluruhan
insiden ICH menurun sejak 1950. Insiden ini lebih tinggi di Asia.
 Mortalitas/morbiditas
Setiap tahun terdapat lebih dari 20.000 orang di Amerika meninggal
karena ICH. Tingkat mortalitas ICH pada 30 hari adalah 44%. Perdarahan
batang otak memiliki tingkat mortalitas 75% dalam 24 jam.
 Ras
Tingkat insidensi tinggi pada populasi dengan frekuensi hipertensi tinggi,
termasuk Afrika Amerika. Insidensi ICH juga tinggi di Cina, Jepang dan
populasi Asia lainnya, hal ini mungkin disebabkan karena factor
lingkungan (spt. diet kaya minyak ikan) dan/faktor genetik.
 Gender
Berdasarkan hasil penelitian, insiden ICH lebih banyak pada pria.
Cerebral amyloid angiopathy mungkin lebih banyak ditemukan pada
wanita.
Penggunaan phenylpropanolamine banyak dikaitkan dengan insiden ICH
pada wanita muda.
 Usia
Insiden ICH meningkat pada individu yang berusia lebih dari 55 tahun dan
menjadi 2 kali lipat tiap decade hingga berusia 80 tahun. Risiko relative
ICH >7x pada individu yang berusia lebih dari 70 tahun.

2.6 Faktor Resiko


Perokok, peminum alkohol, kadar serum kolesterol juga mempengaruhi
terjadinya perdarahan otak. Resiko perdarahan 2,5 kali lebih tinggi pada perokok.
Resiko perdarahan bertambah pada peminum alkohol. Serum kolesterol yang
rendah dibawah 160mg/dl, berhubungan dengan meningkatnya resiko perdarahan
pada laki-laki Jepang. Sedangkan pemakaian Aspirin dengan terjadinya
perdarahan dalam otak masih kontroversi. Dalam penelitian dimana penggunaan
Aspirin dosis rendah (325mg/hari) terhadap plasebo pada pencegahan primer
penyakit jantung, diperoleh hasil signifikan bertambah resiko perdarahan pada
group Aspirin.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perdarahan dalam otak merupakan suatu kelainan yang menyebabkan
ketidak mampuan yang berat terhadap penderita dan mempunyai mortality yang
tinggi. Ini berhubungan dengan efek massa darah itu sendiri. Tindakan
dekompresi dan evakuasi hematoma sangat efektif dengan arti mengurangi massa
dengan cepat dan kemungkinan besar terjadi perbaikan. Manfaat dan komplikasi
dari prosedure ini sendiri belum dipelajari secara cukup adequat untuk
memberikan suatu kesimpulan terhadap kegunaan suatu operasi.

3.2 Saran
Adapun saran yang dapat kami berikan adalah dengan kita telah
mengetahui apa itu penyakit ruptur uteri, kita dapat lebih menjaga lagi kesehatan
kita yaitu dengan selalu menjaga lingkungan dan kesehatan diri kita sendiri
supaya kita sebagai orang tua dan bayi kita sehat, mengingat bahwa penyakit ini
adalah penyakit yang sangat berbahaya dan angka kematiannya cukup tinggi.

Anda mungkin juga menyukai