MANAJEMEN PEMERINTAHAN PUSAT
(PENGANGGARAN DAN REALISASI ANGGARAN)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENGAWASAN
BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN
2014
Manajemen Pemerintahan Pusat
Dikeluarkan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP
dalam rangka Diklat Fungsional Auditor – Diklat Pembentukan Auditor Terampil dan Ahli
Edisi Pertama : 2014
Penyusun : Imam Yunarto, Ak. M.Acc.
Narasumber : Suhartanto, Ak., M.M.
Pereviu : Priyono Dwi Nugroho, Ak., M.Si., M.M.
Penyunting : Sisca Yulindrasari, Ak., M.Si.
Penata Letak : Didik Hartadi, S.E.
Pusdiklatwas BPKP
Jl. Beringin II, Pandansari, Ciawi, Bogor 16720
Telp. (0251) 8249001 ‐ 8249003
Fax. (0251) 8248986 ‐ 8248987
Email : pusdiklat@bpkp.go.id
Website : http://pusdiklatwas.bpkp.go.id
e‐Learning : http://lms.bpkp.go.id
Dilarang keras mengutip, menjiplak, atau menggandakan sebagian atau
seluruh isi modul ini, serta memperjualbelikan tanpa izin tertulis dari
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP.
Kata Pengantar
Peran dan fungsi aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) dalam rangka membantu
manajemen untuk mencapai tujuan organisasi dilaksanakan melalui pemberian jaminan
(assurance activities) dan layanan konsultansi (consulting activities) sesuai standar, sehingga
memberikan perbaikan efisiensi dan efektivitas atas tata kelola, manajemen risiko, dan
pengendalian intern organisasi. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah mengatur bahwa pelaksanaan audit intern di
lingkungan instansi pemerintah dilaksanakan oleh pejabat yang mempunyai tugas
melaksanakan pengawasan yang telah memenuhi syarat kompetensi keahlian sebagai auditor.
Hal tersebut selaras dengan komitmen pemerintah untuk mewujudkan pemerintahan yang
transparan dan akuntabel serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme pada berbagai aspek
pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan yang dituangkan dalam Undang‐
Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Untuk menjaga tingkat profesionalisme aparat pengawasan, salah satu medianya adalah
pendidikan dan pelatihan (diklat) sertifikasi auditor yang bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, dan perubahan sikap/perilaku auditor pada tingkat kompetensi
tertentu sesuai dengan perannya sesuai dengan keputusan bersama Kepala Pusat Pembinaan
Jabatan Fungsional Auditor dan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Nomor KEP‐82/JF/1/2014 dan Nomor KEP‐
168/DL/2/2014 tentang Kurikulum Pendidikan dan Pelatihan Fungsional Auditor.
Guna mencapai tujuan di atas, sarana diklat berupa modul dan bahan ajar perlu disajikan
dengan sebaik mungkin. Evaluasi terhadap modul perlu dilakukan secara terus menerus untuk
menilai relevansi substansi modul terhadap perubahan lingkungan yang terjadi. Modul ini
ditujukan untuk memutakhirkan substansi modul agar sesuai dengan perkembangan profesi
auditor, dan dapat menjadi referensi yang lebih berguna bagi para peserta diklat sertifikasi
auditor.
Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
kontribusi atas terwujudnya modul ini.
Ciawi, 30 April 2014
Kepala Pusdiklat Pengawasan BPKP
Nurdin, Ak., M.B.A.
A. LATAR BELAKANG
Dalam sejarah, pembentukan negara senantiasa akan disertai dengan penetapan tujuan
bernegara tidak terkecuali NKRI. Undang‐undang Dasar 1945 dengan jelas telah
mengamanatkan tujuan negara RepubIik Indonesia, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian dan keadilan sosial. Tujuan bernegara tersebut menjadi acuan bagi penyelenggara
negara/pemerintah dalam menjalanakan tugas dan fungsinya dalam pembangunan.
Sebagai suatu proses, pelaksanaan tugas dan fungsi pembangunan oleh pemerintah tidak
terlepas dari aspek manajemen yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing),
penggerakan (actuating), dan pengawasan (controlling). Aspek manajemen tersebut dijabarkan
dalam berbagai peraturan perundangan dalam sistem administrasi untuk mendukung
pencapaian tujuan bernegara di atas.
Dalam manajemen pemerintahan, pelaksanaan suatu tugas dan fungsi senantiasa diikuti dengan
pendanaannya atau dikenal dengan prinsip money follows function, di mana pengalokasian
anggaran untuk mendanai suatu kegiatan didasarkan pada tugas dan fungsi dari masing‐masing
unit organisasi sesuai dengan amanat undang‐undang. Dengan demikian pemahaman terhadap
proses manajemen pemerintahan selalu akan beriringan antara aspek kinerja yang menjadi
sasaran pembangunan dengan aspek keuangan sebagai pendukungnya.
Sebagai bagian dari organisasi pemerintahan, Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
berperan mengawal pelaksanaan manajemen pemerintahan agar memenuhi karakteristik good
governance, yaitu transparan, akuntabel, adil, wajar, demokratis, partisipatif, dan responsif.
Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut, APIP di lingkungan pemerintah pusat harus memiliki
kompetensi yang memadai tentang manajemen pemerintahan. Dengan kompetensi tersebut
diharapkan APIP dapat melaksanakan tugas dengan lebih baik dan hasil pengawasannya bisa
lebih terarah serta dapat memberi manfaat bagi manajemen dalam rangka meningkatkan
kualitas pelaksanaan manajemen pemerintahan.
B. KOMPETENSI DASAR
Setelah mempelajari modul ini peserta diklat diharapkan mampu mengidentifikasi titik‐titik
kritis pada pelaksanaan tata kelola sektor publik sesuai ketentuan yang berlaku.
C. INDIKATOR KEBERHASILAN
Setelah mengikuti proses pembelajaran modul ini, peserta diklat diharapkan:
1. Memiliki pengetahuan mengenai prinsip‐prinsip akuntabilitas sektor publik (1.16)
2. Memiliki pengetahuan mengenai prinsip‐prinsip pengukuran kinerja (1.17)
3. Memiliki pengetahuan mengenai sistem akuntansi keuangan pemerintah pusat (6.5)
6. Memiliki pengetahuan mengenai dampak audit internal terhadap tata kelola sektor publik
(1.6)
7. Mampu mengidentifikasi secara kritis elemen‐elemen tata kelola organisasi (1.19)
D. SISTEMATIKA MODUL
Modul ini menguraikan manajemen pemerintahan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi
pembangunan untuk mewujudkan tujuan bernegara. Pembahasan dalam modul ini mengikuti
fungsi manajemen yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penggerakan
(actuating), dan pengawasan (controlling). Pada setiap fungsi manajemen yang dibahas
dikaitkan mekanisme perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban pada aspek kinerja
maupun keuangannya. Topik yang dibahas mencakup perencanaan dan penganggaran,
pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian, dan pertanggungjawaban, serta pemeriksaan
pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran.
Bab l Pendahuluan
Bab II Konsepsi Good Governance dan Pengelolaan Keuangan Negara
Bab lll Perencanaan dan Penganggaran
Bab ini menguraikan mekanisme perencanaan dan penganggaran.
Bab IV Pengorganisasian
Bab ini akan menguraikan pengorganisasian pelaksanaan tugas dan fungsi, pengelolaan
keuangan, dan waktu kegiatan.
Bab V Pelaksanaan APBN
Bab VI Pelaporan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara
Bab ini menguraikan pelaporan kinerja, pelaporan keuangan, dan pelaporan lainnya.
Bab VII Audit Internal
Bab ini menguraikan konsepsi audit internal sebagai bentuk pengendalian serta
dampaknya terhadap tata kelola sektor publik.
Bab VIII Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
Bab ini akan menguraikan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara yang mencakup lingkup pemeriksaan, pelaksanaan pemeriksaan,
serta hasil pemeriksaan dan tindak lanjut.
E. METODE PEMBELAJARAN
Metode pemelajaran yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran adalah:
1. Ceramah
3. Latihan
~
A. KONSEPSI MANAJEMEN PEMERINTAHAN PUSAT
1. Tujuan Bernegara dan Penyelenggaraan Negara
a. melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
b. memajukan kesejahteraan umum,
c. mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
a. Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang‐undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap
kebijakan Penyelenggara Negara.
c. Asas Kepentingan Umum adalah yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan
cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
d. Asas Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan dan rahasia negara.
g. Asas Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‐undangan yang berlaku.
2. Manajemen Pemerintahan
a. SPPN mewakili fungsi perencanaan, yang merupakan satu kesatuan tata cara
perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana‐rencana pembangunan
dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur
penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah. Ketentuan
mengenai SPPN diatur dalam Undang‐Undang Nomor 25 Tahun 2004.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik pengertian manajemen pemerintahan sebagai
proses pengelolaan penyelenggaraan pemerintahan yang mencakup perencanaan
pemerintahan, pengorganisasian atau kelembagaan pemerintahan dan penggunaan
sumber‐sumber daya dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan. Aspek‐aspek
dalam manajemen pemerintahan secara umum mencakup:
a. perencanaan pemerintahan,
b. pengorganisasian kelembagaan pemerintahan,
d. pengawasan penyelenggaraan pemerintahan.
1. Revolusi Manajemen Sektor Publik
Dalam mekanisme dan pola hubungan ini akuntabilitas yang ada tidak hanya mengalir dari
bawah ke atas, dalam arti pegawai secara hirarkis mempertanggungjawabkan kegiatan
yang dilakukannya kepada pejabat di atasnya, namun pertanggungjawaban juga dilakukan
2. Pergeseran Paradigma New Public Management (NPM) ke Governance
Orientasi “privatisasi” yang terdapat pada NPM tidak berarti bahwa peran pemerintah
berkurang, namun tetap terwujud dengan munculnya peranan pengaturan (regulations)
terhadap keterlibatan sektor swasta dan juga dengan mengelola respon yang efektif
terhadap tuntuntan sosial dan ekonomi masyarakat. World Bank (1997) menyebutkan
bahwa meskipun terjadi kecenderungan “privatisasi” terhadap berbagai kegiatan
pemerintah, hal ini tidak berarti bahwa peran pemerintah menjadi berkurang. Peran
pemerintah masih sangat penting/dominan dalam manajemen pembangunan. Peran
pemerintah mungkin akan berkurang dalam memberikan arahan dan petunjuk dari pusat
pemerintahan. Akan tetapi, pemerintah masih tetap bertanggung jawab terhadap
perancangan dan pelaksanaan kebijakan publik, terutama yang berkaitan dengan
transformasi ekonomi, pengurangan kemiskinan, peningkatan kinerja sektor pertanian,
ketenagakerjaan, fasilitas sosial dan umum, serta pengelolaan lingkungan hidup.
Hal lain yang mendukung bahwa peran pemerintah masih sangat dibutuhkan dalam
pelayanan publik adalah kenyataan bahwa prinsip ekonomi dan efisiensi tidak selalu dapat
diterapkan pada semua aktivitas pemerintah (misalnya fasilitas sosial dan fasilitas umum).
Pemerintahan yang modern tidak hanya mencakup efisiensi dan peningkatan
keekonomisan, tetapi juga merupakan hubungan akuntabilitas antara negara dengan
warga negara, di mana warga negara tidak diberlakukan hanya sebagai konsumen tapi
juga sebagai warga negara yang memiliki hak untuk mendapatkan jaminan atas kebutuhan
dasar dan menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab atas berbagai kebijakan yang
dilakukan. Hal ini merupakan perubahan pandangan dalam manajemen publik dari
penekanan pada hubungan antara negara dengan pasar ke hubungan antara negara
dengan warga negaranya. Pandangan ini dikenal dengan governance (kepemerintahan)
yang diartikan oleh UNDP sebagai:
“… the exercise of political, economic and administrative authority in the
management of a country’s affairs at all level…comprises the complex mechanisms,
processes and institutions through which citizens and groups articulate their
interests, mediate their differences and exercise legal rights and obligations” (UNDP,
1995).
Konsep ini lebih luas dari fungsi dan kapasitas sektor publik, akan tetapi konsep ini
berkaitan dengan manajemen proses pembangunan yang melibatkan pemerintah, swasta,
dan masyarakat. Hubungan semua pihak ini bukan merupakan kerangka kegiatan yang
terpisah melainkan dalam kerangka keterpaduan dan kerja sama yang harmonis untuk
pencapaian tujuan dan kepentingan bersama. Tujuan interaksi sosial‐politik‐ekonomi
dalam pengertian ini adalah tercapainya suatu keseimbangan dan sinergi dalam
pemenuhan kebutuhan dan kepentingan masing‐masing institusi dalam satu keselarasan
dan keseimbangan.
3. Karakteristik Good Governance (GG)
Masing‐masing karakteristik dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut.
b. Akuntabel, di mana semua pihak (baik pemerintah, swasta dan masyarakat) harus
mampu memberikan pertanggungjawaban atas mandat yang diberikan kepadanya
untuk para stakeholders. Secara umum organisasi atau institusi harus akuntabel
kepada mereka yang terpengaruh dengan keputusan atau aktivitas yang mereka
lakukan.
f. Partisipatif, yaitu terdapat jaminan kesamaan hak bagi setiap individu dalam
pengambilan keputusan (baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan).
Dalam kaitannya dengan partisipasi ini, terdapat tuntutan agar pemerintah
meningkatkan fungsi kontrol terhadap manajemen pemerintah dan pembangunan
dengan melibatkan organisasi non‐pemerintah. Peran organisasi non‐pemerintah
sangat penting dalam konteks ini karena diyakini organisasi ini memiliki kontak yang
lebih baik dengan masyarakat miskin, memiliki hubungan yang baik dengan daerah
pedalaman dan pedesaan, mampu menyediakan metode alternatif pelayanan publik
dengan harga yang murah dan sebagai mediator dalam menyampaikan berbagai
pandangan dan kebutuhan masyarakat.
g. Tanggap/peka/responsif, yang berarti bahwa dalam melaksanakan kepemerintahan
semua institusi dan proses yang dilaksanakan pemerintah harus melayani semua
stakeholders secara tepat, baik dan dalam waktu yang tepat (tanggap terhadap
kemauan masyarakat).
Berdasarkan konsep di atas, dapat dilihat bahwa good governance mempunyai tujuan
yang lebih besar dari sekedar manajemen yang efisien dan penggunaan sumber daya yang
ekonomis. Good governance adalah strategi untuk menciptakan institusi masyarakat yang
4. Konsep Akuntabilitas
Good governance tidak hanya terkait dengan efisiensi dan ekonomis, tapi juga berkaitan
dengan akuntabilitas berbagai penyelenggaraan kepentingan publik kepada
stakeholder‐nya. Ide dasar dari akuntabilitas adalah kemampuan seseorang atau
organisasi atau penerima amanat untuk memberikan jawaban kepada pihak yang
memberikan amanat atau mandat tersebut. Semua unit organisasi, apakah dipilih atau
ditunjuk, dikatakan akuntabel ketika mereka mampu menjelaskan dan
mempertanggungjawabkan semua tindakan/kegiatan yang mereka lakukan, dan
menerima sanksi untuk tindakan yang tidak layak atau tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Konsep dan aplikasi akuntabilitas sebenarnya sudah ada namun seiring dengan perubahan
lingkungan tuntutan akuntabilitas menjadi semakin besar. Secara garis besar terdapat
empat model akuntabilitas yang perkembangannya lebih banyak dipengaruhi karena
perubahan tuntutan dan kebutuhan masyarakat.
a. Model Tradisional Westminster
Model ini menyebutkan bahwa garis pertanggungjawaban akuntabilitas adalah dari
bawah ke atas (hierakhis), dan garis kewenangan (otoritas) dari atas ke bawah atau
akuntabilitas ministerial.
Model akuntabilitas ini sesuai dengan konsep birokrasi yang diterapkan oleh Max
Weber sehingga disebut juga sebagai administrative accountability. Dalam konsep
ini, setiap individu memberikan pertanggungjawaban terhadap suatu tugas spesifik
yang diterima kepada atasannya secara hirarkis. Hal ini dilakukan sebagai bentuk
kontrol atasan terhadap kinerja bawahan.
1) ide pertanggungjawaban yang menekankan pada penjelasan dan pembenaran
atas suatu tindakan dianggap tidak cukup digunakan untuk melihat kinerja
suatu tindakan;
2) hubungan dalam pertanggungjawaban yang bersifat interpersonal;
3) kontrol yang bersifat top‐down.
b. Model Tradisional yang Dikembangkan (upward, inward dan outward)
Model ini merupakan jawaban terhadap adanya beberapa kelemahan dalam model
tradisional Westminster. Dengan berbagai kelemahan tersebut dan tuntutan global
terhadap transparansi dan kejujuran organisasi pemerintah, maka dikembangkan
konsep pertanggungjawaban akuntabilitas yang tidak hanya dari bawah ke atas,
tetapi juga bersifat ke dalam (perorangan) dan ke luar (masyarakat). Untuk
mendukung akuntabilitas internal dan eksternal ini, pendukung konsep ini
menyarankan diciptakannya berbagai mekanisme dan sistem akuntabilitas seperti
pengembangan jaminan kebebasan mendapatkan informasi dan pembentukan
berbagai lembaga independen yang bertujuan untuk mengontrol kinerja sektor
publik seperti ombudsman dan lembaga peradilan yang kuat.
c. Model Stone
1) kontrol dari parlemen (DPR),
2) managerialism,
3) pengadilan/lembaga semi peradilan,
4) perwakilan masyarakat,
5) pasar (konsumen‐pengusaha).
d. Model Jaringan Kerja (Jaringan yang Kompleks)
Para pihak yang terkait satu dengan yang lain membentuk suatu jaringan kerja yang
kompleks dan saling memberikan kontribusi dan informasi. Model ini menekankan
Selain model akuntabilitas yang menekankan pada cara dan institusi pendukung
dalam pelaksanaan akuntabilitas, terdapat faktor lain yang penting, yaitu
mekanisme akuntabilitas. Pengembangan mekanisme akuntabilitas diarahkan untuk
meningkatkan:
a. kejelasan tugas dan peran,
b. hasil akhir yang spesifik,
c. proses yang transparan,
d. ukuran keberhasilan kinerja, dan
e. konsultasi dan inspeksi publik.
Mekanisme akuntabilitas juga meliputi beberapa aspek, yaitu siapa yang harus melakukan
akuntabilitas, kepada siapa akuntabilitas ini dilakukan, untuk apa akuntabilitas dilakukan,
dan bagaimana proses akuntabilitas dilaksanakan. Mekanisme akuntabilitas ini sangat
bervariasi dan sangat ditentukan oleh keputusan atau aktivitas yang dilakukan suatu
organisasi mengikat organisasi secara internal atau mengikat secara eksternal.
Kepada siapa kita harus bertanggung jawab, tergantung pada siapa yang memberi kita
mandat dan seberapa besar berbagai tindakan yang kita lakukan mempengaruhi orang
lain. Pertanggungjawaban dapat diberikan kepada masyarakat (pelanggan), pemerintah
pusat dan daerah (termasuk dalam hal ini presiden, menteri, bupati/walikota, gubernur,
pejabat struktural dalam birokrasi pemerintah), organisasi kemasyarakatan/NGOs,
organisasi pemerintah lainnya misalnya BUMN, dan lembaga penilai organisasi publik yang
diatur dalam undang‐undang.
Mulgan, Richard (2003) dalam bukunya “Holding Power to Account”, membuat matriks
mekanisme akuntabilitas pemerintah. Contoh dari matriks yang dikembangkan adalah
sebagaimana Tabel 2.1 berikut.
Prosesnya
Mekanisme Siapa Kepada Siapa Untuk Apa Bagaimana
Bagaimana
Pemilu Parpol Pemilih Kinerja Kampanye Diskusi
Individu secara total Parpol Amandemen
(yang dipilih)
Media Pemerintah Wartawan Kinerja Laporan pers Informasi
Birokrasi Publik secara Wawancara Diskusi
umum
Laporan dari
Keputusan informan
khusus
Akses publik Birokrasi Publik Kebijakan Prosedur Informasi
secara umum pengaduan Diskusi
langsung Keputusan Prosedur (bukan FOI)
khusus FOI Amandemen
Anggaran (bukan FOI)
dasar
Catatan: FOI = freedom of information
5. Kebijakan Akuntabilitas di Indonesia
Pengembangan kebijakan akuntabilitas di Indonesia dipicu oleh dua hal penting, yaitu:
pertama, adanya tuntutan internal (masyarakat Indonesia) antara lain agar sektor publik
semakin transparan dan mampu mempertanggungjawabkan atas berbagai kebijakan dan
tindakan yang dilakukan yang ditujukan untuk menyelesaikan dan memenuhi tuntutan
publik. Kedua, adalah tuntutan perubahan dalam lingkungan global dalam hal manajemen
sektor publik misalnya tuntutan Good Governance dan Performance Management.
Kebijakan akuntabilitas di Indonesia dimulai sejak dikeluarkannya TAP MPR RI Nomor
XI/MPR/1998 dan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari KKN. Dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 disebutkan salah satu asas
penyelenggaraan kepemerintahan yang baik yaitu asas akuntabilitas. Asas akuntabilitas di
sini diartikan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara
harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi negara sesuai dengan ketentuan perundang‐undangan yang berlaku.
Dalam tataran praktis, terdapat Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah sebagai wujud nyata penerapan akuntabilitas di
PP Nomor 8 Tahun 2006 Pasal 2 ‐ 3 telah menegaskan kewajiban penyusunan dan
penyajian laporan keuangan maupun laporan kinerja dalam rangka pertanggungjawaban
pelaksanaan APBN/ APBD bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, kementerian
negara/lembaga, dan Bendahara Umum Negara.
C. KONSEPSI KEUANGAN NEGARA DAN PENGELOLAANNYA
1. Keuangan Negara
a. Pengertian
Undang‐undang Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) mendefenisikan keuangan
negara sebagai “semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,
serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.
1) Hakikat keuangan negara, yaitu hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang. Pembentukan pemerintahan negara menimbulkan hak dan
kewajiban negara (yang dapat dinilai dengan uang) antara negara dengan
rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang meliputi:
2) Keuangan negara dapat berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan
milik negara. Keuangan negara dapat berupa penerimaan dan pengeluaran
uang negara/daerah maupun segala bentuk kekayaan yang berbentuk barang
(aset) yang dapat dijadikan milik negara.
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara adalah dari sisi
objek, subjek, proses, dan tujuan.
1) Dari sisi objek
Keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter,
dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik
berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara.
2) Dari sisi subjek
Keuangan negara meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut di atas yang
dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat/Daerah, Perusahaan
Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
3) Dari sisi proses
4) Dari sisi tujuan
Keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan, dan hubungan hukum
yang terkait dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana
tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.
c. Ruang Lingkup Keuangan Negara
Sesuai Pasal 2 Undang‐undang Nomor 17 Tahun 2003, keuangan negara meliputi:
4) kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain
berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak‐hak lain yang dapat
dinilai dengan uang. Termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
negara/ perusahaan daerah;
2. Pengelolaan Keuangan Negara
a. Ruang Lingkup
1) pengertian dan ruang lingkup keuangan negara,
2) asas‐asas umum pengelolaan keuangan negara,
5) susunan APBN dan APBD,
6) ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan APBD,
b. Bidang Pengelolaan Keuangan Negara
Bidang pengelolaan keuangan negara dapat dikelompokkan dalam tiga sub bidang
pengelolaan, yaitu subbidang pengelolaan fiskal, subbidang pengelolaan moneter,
dan subbidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
c. Hubungan Keuangan antara Pemerintah dan Lembaga‐Lembaga Infra/Supranasional
Karena kegiatan pengelolaan keuangan negara bersifat kompleks, UU Nomor 17
tahun 2003 mengatur ketentuan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah
pusat dan lembaga‐lembaga infra/supranasional, yang sebagai berikut.
2) Pemerintah Daerah (Pasal 22)
3) Pemerintah Asing dan Badan/Lembaga Asing (Pasal 23)
d. Asas Pengelolaan Keuangan Negara
Kewajiban pengelolaan keuangan negara dinyatakan dalam UU Nomor 17 Tahun
2003 pasal 3 ayat (1), bahwa setiap penyelenggara negara wajib mengelola
keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang‐undangan, efisien,
ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa
keadilan dan kepatutan.
Asas pokok tersebut dijabarkan ke dalam asas‐asas umum, baik asas‐asas yang telah
lama dikenal (seperti, asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas
spesialitas) maupun asas‐asas baru sebagai pencerminan penerapan kaidah‐kaidah
yang baik (best practices) dalam pengelolaan keuangan negara. Asas‐asas tersebut
adalah sebagai berikut:
9) asas pemeriksaan keuangan, dilakukan oleh badan pemeriksa yang bebas dan
mandiri, dengan memberi kewenangan yang lebih besar pada Badan
Pemeriksa Keuangan untuk melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan
keuangan negara secara aktif dan independen.
a. Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara
Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 6 ayat 1 Presiden selaku kepala
pemerintahan memegang kekuasaan umum pengelolaan keuangan negara, sebagai
bagian dari kekuasaan pemerintahan. Penyelenggaraan kekuasaan tersebut
dilaksanakan sebagai berikut.
1) Sebagian kekuasaan “dikuasakan kepada menteri keuangan”, selaku pengelola
fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang
dipisahkan. Menteri Keuangan sebagai pembantu presiden dalam bidang
keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO), yaitu sebagai
seorang manajer keuangan negara pemerintah Republik Indonesia.
Kekuasaan presiden tersebut tidak termasuk kewenangan di bidang moneter, antara
lain mengeluarkan dan mengedarkan uang yang pelaksanaannya diatur dengan
undang‐undang. Untuk mencapai kestabilan nilai rupiah, tugas menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran dilakukan oleh bank sentral.
b. Kewenangan Pengelolaan Keuangan Negara
1) Kewenangan yang bersifat umum, meliputi kewenangan untuk:
a) menetapkan Arah dan Kebijakan Umum (AKU);
b) menetapkan strategi dan prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain:
• pedoman pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN,
• gaji dan tunjangan,
• pedoman pengelolaan penerimaan negara.
2) Kewenangan yang bersifat khusus, meliputi kewenangan membuat keputusan/
kebijakan teknis terkait pengelolaan APBN, antara lain menetapkan:
a) keputusan sidang kabinet di bidang pengelolaan APBN,
b) keputusan rincian APBN,
c) keputusan dana perimbangan, dan
d) penghapusan aset dan piutang negara.
c. Pelimpahan Kewenangan Pengelolaan Keuangan Negara
1) Tugas Menteri/Pimpinan Lembaga
f) mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
2) Tugas Menteri Keuangan
a) menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro;
b) menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN;
c) mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;
d) melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan;
f) melaksanakan fungsi bendahara umum negara;
h) melaksanakan tugas‐tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan
ketentuan undang‐undang.
2) penerimaan daerah;
3) pengeluaran daerah;
4) kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat
berharga, piutang, barang, serta hak‐hak lain yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah.
Penyerahan kekuasaan tersebut dilaksanakan dengan pengalokasian sebagian dana
APBN kepada daerah dalam bentuk dana perimbangan, sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam undang‐undang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dengan daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Dana perimbangan tersebut terdiri atas:
1) Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum (selanjutnya disebut DAU) adalah dana yang bersumber
dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antar‐daerah untuk mendanai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Jumlah alokasi DAU untuk suatu daerah didasarkan atas dasar celah fiskal dan
alokasi dasar dari masing‐masing daerah.
• Alokasi dasar berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.
• Rumus DAU :
DAU = Celah Fiskal + Alokasi Dasar
DAU = (Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal) + Jumlah gaji PNS Daerah
DAU = (Kebutuhan Fiskal ‐ (PAD + Dana Bagi Hasil) + Jumlah Gaji PNS Daerah
2) Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana Alokasi Khusus (selanjutnya disebut DAK) adalah dana yang bersumber
dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan
tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan
daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, sesuai dengan fungsi yang telah
ditetapkan dalam APBN.
3) Dana Bagi Hasil (DBH)
Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu yang
bersumber dari:
• Pajak, terdiri atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan
atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25
dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, serta cukai hasil
tembakau.
• Sumber daya alam, terdiri atas minyak dan gas bumi, kehutanan,
pertambangan umum, perikanan, pertambangan panas bumi, dan hasil
cukai.
4) Dana Otonomi Khusus
• Dana Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat dan Dana Tambahan
Infrastruktur dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Papua
Barat. Dana transfer ini dialokasikan berdasarkan UU Nomor 35 Tahun
2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan
atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua menjadi undang‐undang.
• Dana Otonomi Khusus Aceh. Dana transfer ini dialokasikan berdasarkan
UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
• Tunjangan Profesi Guru PNS Daerah
• Dana Tambahan Penghasilan Guru PNS Daerah
• Dana Insentif Daerah
• Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi
• Bantuan Operasional Sekolah
e. Pengurusan Umum/Pengurusan Administrasi
1) Otorisator
Otorisasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
b) Otorisasi bersifat sempit/khusus.
Otorisasi bersifat sempit/khusus adalah otorisasi yang mempunyai akibat
langsung terhadap penerimaan dan/atau pengeluaran negara. Contoh
otorisasi khusus adalah surat keputusan pengangkatan pegawai, surat
keputusan penunjukan bendahara, surat keputusan pensiun, dan
sebagainya.
2) Ordonator
Sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 Pasal 7 ayat (1),
kewenangan pengurusan khusus atau pengurusan kebendaharaan (comptable)
dipegang oleh menteri keuangan, sebagaimana disebutkan: “Menteri Keuangan
adalah Bendahara Umum Negara (BUN)”.
Tugas kebendaharaan yang dilaksanakan BUN meliputi:
1) menetapkan kebijakan dan pedoman pelaksanaan anggaran negara;
2) mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;
3) melakukan pengendalian pelaksanaan anggaran negara;
4) menetapkan sistem penerimaan dan pengeluaran kas negara;
5) menunjuk bank dan/atau lembaga keuangan lainnya dalam rangka
6) pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran anggaran negara;
8) menyimpan uang negara;
9) menempatkan uang negara dan mengelola/menatausahakan investasi;
10) melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat Pengguna Anggaran
atas beban rekening kas umum negara;
11) melakukan pinjaman dan memberikan jaminan atas nama pemerintah;
12) memberikan pinjaman atas nama pemerintah;
13) melakukan pengelolaan utang dan piutang negara;
16) menetapkan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan negara;
17) menyajikan informasi keuangan negara;
19) menentukan nilai tukar mata uang asing terhadap rupiah dalam rangka
pembayaran pajak;
20) menunjuk pejabat Kuasa Bendahara Umum Negara.
Selaku BUN, menteri keuangan mengangkat kuasa BUN untuk melaksanakan tugas
kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran dalam wilayah kerja yang
ditetapkan. Tugas kebendaharaan yang dimaksud meliputi kegiatan menerima,
menyimpan, membayar atau menyerahkan, menatausahakan, dan
mempertanggung‐jawabkan uang dan surat berharga yang berada dalam
pengelolaannya, termasuk melakukan pengendalian pelaksanaan anggaran negara.
Kuasa BUN berkewajiban:
2) melakukan pembayaran tagihan pihak ketiga sebagai pengeluaran anggaran.
Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan bendahara, yaitu:
2) bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran adalah pejabat fungsional
dan tidak boleh dirangkap oleh Kuasa Pengguna Anggaran atau Kuasa BUN;
3) bendahara penerimaan/pengeluaran dilarang melakukan, baik secara langsung
maupun tidak langsung, kegiatan perdagangan, pekerjaan pemborongan dan
penjualan jasa, atau bertindak sebagai penjamin atas kegiatan/
pekerjaan/penjualan tersebut;
~
Gambar 3.1 Siklus APBN
Dari lima tahapan dalam siklus tersebut, pemerintah menjalankan tiga tahapan yaitu
perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. Dalam tahapan perencanaan terdapat
fungsi perencanaan itu sendiri, pengorganisasian, dan pengendalian dengan tujuan
mendapatkan hasil perencanaan yang optimal berdasarkan sumber daya yang dimiliki. Pada
tahapan pelaksanaan terdapat fungsi pengorganisasian, penggerakan pelaksanaan, dan
pengendalian dengan tujuan terlaksananya rencana yang telah ditetapkan secara optimal
A. PERENCANAAN
Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui
urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Berdasarkan Undang‐
Undang Nomor 25 Tahun 2004 ditetapkan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)
yang merupakan satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan
rencana‐rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang
dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah
dalam rangka menjamin tercapainya tujuan dalam bernegara.
SPPN diselenggarakan dalam rangka mencapai tujuan sebagai berikut.
1. Menjamin adanya koordinasi di antara pelaku pembangunan, baik di tingkat pusat,
hubungan antara pusat dengan daerah maupun hubungan antar daerah.
4. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat.
5. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan
berkelanjutan.
Adapun cakupan SPPN sebagaimana Tabel 3.1 berikut.
Penanggung Jawab
No Dokumen Jangka Waktu Pengesahan
Penyusunan
1. RPJP Nasional Panjang (periode 20 Presiden dibantu Undang‐Undang
tahun) Menteri PPN/Kepala (oleh DPR)
BAPPENAS
2. RPJM Nasional Menengah (periode 5 Presiden Peraturan Presiden
tahun)
3. Renstra – K/L Menteri / Pimpinan Peraturan Menteri
Lembaga
4. RKP Pendek (periode 1 Presiden Peraturan Presiden
tahun)
5. Renja – K/L Menteri / Pimpinan Peraturan Menteri
Lembaga
1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)
RPJP adalah dokumen perencanaan untuk periode dua puluh tahun. Saat ini Pemerintah
sedang menjalankan RPJP Nasional untuk periode tahun 2005 sampai dengan 2025. RPJP
Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan negara Indonesia
yang tercantum dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu
untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial
dalam bentuk rumusan visi, misi dan arah pembangunan nasional.
Proses penyusunan RPJP dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan seluruh unsur
pelaku pembangunan. Penyusunan RPJP dilakukan dalam 4 tahap, yaitu:
c. penyusunan rancangan akhir RPJP, di mana seluruh masukan dan komitmen hasil
Musrenbang menjadi masukan utama penyempurnaan rancangan; dan
RPJP Nasional Tahun 2005 – 2025 ditetapkan berdasarkan Undang‐Undang Nomor 17
Tahun 2007, yang disusun dalam tata urut sebagai berikut.
• Bab I Pendahuluan
• Bab II Kondisi Umum
• Bab III Visi dan Misi Pembangunan Nasional Tahun 2005–2025
• Bab IV Arah, Tahapan, dan Prioritas Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005–2025
• Bab V Penutup
Visi pembangunan nasional tahun 2005 – 2025 adalah “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil
dan Makmur”. Dalam mewujudkan visi pembangunan nasional tersebut ditempuh delapan
misi pembangunan nasional sebagai berikut:
• mewujudkan bangsa yang berdaya saing;
• mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum;
• mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu;
• mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan;
• mewujudkan Indonesia asri dan lestari;
• mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan
berbasiskan kepentingan nasional;
• mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional.
RPJM adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun. RPJM Nasional
merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala negara terpilih yang wajib
disusun dalam waktu tiga bulan setelah dilantik. Dalam penyusunannya, RPJM Nasional
harus berpedoman pada RPJP nasional, yang memuat strategi pembangunan nasional,
kebijakan umum, program baik di dalam maupun lintas kementerian/lembaga, dalam satu
maupun lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro. Termasuk di dalamnya adalah
arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka
pendanaan yang bersifat indikatif.
Tahapan penyusunan RPJM adalah sebagai berikut.
a. Penyiapan rancangan awal RPJM Nasional oleh Kementerian Perencanaan/Bappenas
sebagai lembaga yang bertanggung jawab mengkoordinasikan perencanaan
pembangunan secara nasional.
RPJM merupakan produk perencanaan yang dibuat presiden selaku kepala pemerintahan
dalam periode jabatan selama lima tahun. RPJM Nasional tahun 2010 sampai dengan 2014
ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010. RPJMN 2010‐2014
merupakan tahap kedua dari pelaksanaan RPJPN 2005‐2025. RPJMN 2010‐2014 ini
selanjutnya menjadi pedoman bagi kementerian/lembaga dalam menyusun Rencana
Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra‐K/L) dan menjadi bahan pertimbangan
pemerintah daerah dalam menyusun/menyesuaikan rencana pembangunan daerahnya
masing‐masing dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan nasional.
RPJMN 2010‐2014 disusun dalam tiga buku yang merupakan satu kesatuan yang utuh
dengan masing‐masing memuat hal‐hal sebagai berikut:
• Buku I memuat strategi, kebijakan umum, dan kerangka ekonomi makro yang
merupakan penjabaran dari Visi, Misi, dan Program Aksi serta sebelas prioritas
pembangunan nasional dari Presiden‐Wakil Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono‐
Boediono dengan visi: “Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan
Berkeadilan.”
• Buku III memuat rencana pembangunan kewilayahan yang disusun dengan tema:
“Memperkuat Sinergi Antara Pusat dan Daerah dan Antardaerah” dalam rangka
mewujudkan visi pembangunan nasional yang tercantum dalam Buku I.
3. Rencana Pembangunan Tahunan/Rencana Kerja Pemerintah (RKP)
Tahapan penyusunan RKP adalah sebagai berikut.
a. Penyiapan rancangan awal RKP sebagai penjabaran RPJM Nasional.
b. Penyiapan rancangan Renja‐KL sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan
mengacu kepada rancangan awal RKP.
d. Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang).
1) Penyusunan rancangan akhir rencana kerja berdasarkan hasil Musrenbang.
2) Penetapan RKP dalam bentuk peraturan presiden.
RKP Tahun 2014 telah ditetapkan pada tanggal 17 Mei 2013 dengan Peraturan Presiden
Nomor 39 Tahun 2013, yang merupakan penjabaran dari RPJM Nasional Tahun 2010‐2014.
RKP Tahun 2014 memuat Rancangan Kerangka Ekonomi Makro tahun 2014, serta
prioritas pembangunan, rencana kerja dan pendanaannya, dengan Visi Indonesia tahun
2014 yaitu “Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan”. Adapun tema
pembangunan nasional yaitu Tahun 2014 adalah “Memantapkan Perekonomian Nasional
Bagi Peningkatan Kesejahteraan Rakyat yang Berkeadilan”.
RKP 2014 terdiri atas 3 (tiga) buku yaitu:
a. Buku I tentang Prioritas Pembangunan dan Kerangka Ekonomi Makro,
b. Buku II tentang Prioritas Pembangunan Bidang, dan
c. Buku III tentang Rencana Pembangunan Berdimensi Kewilayahan.
Sasaran Utama Pembangunan Nasional 2010‐2014 yang harus dicapai pada tahun 2014
adalah sebagai berikut.
4. Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra K/L)
Tahapan penyusunan renstra K/L adalah sebagai berikut.
a. Mempelajari visi, misi, dan program kepala negara terpilih terhadap tugas dan fungsi
kementerian/lembaga yang dipimpinnya. Dalam hal ini menteri/kepala lembaga
mengkaji implikasi visi, misi, dan program presiden terpilih terhadap tugas pokok
dan fungsi K/L yang dipimpinnya dalam bentuk:
1) memberikan penilaian keterkaitan visi, misi, dan program dalam Renstra K/L
pada periode lalu;
3) membuat kesimpulan.
b. Menyusun Rancangan Renstra K/L dengan berpedoman pada Rancangan Awal RPJM
Nasional.
B. PENGANGGARAN
1. Pengertian
John F. Due dalam ”Government Finance and Economic Analysis” mendefinisikan anggaran
negara (state budget) sebagai berikut.
“A budget, in the general sense of the term, is a financial plan for a spesific period of
time. A government budget therefore, is a statement of proposed expenditures and
expected revenues for the coming period, together with data of actual expenditures
and revenues for current and past period”.
Pada intinya, anggaran merupakan rencana keuangan untuk kurun waktu tertentu.
Anggaran negara merupakan rencana pendapatan dan belanja untuk periode tahun
berikutnya dan dilengkapi dengan realisasi untuk periode saat ini dan periode
sebelumnya.
Menurut Wildavsky (1975), anggaran adalah catatan masa lalu, rencana masa depan,
mekanisme pengalokasian sumber daya, metode untuk pertumbuhan, alat penyaluran
pendapatan, mekanisme untuk negosiasi, harapan‐aspirasi‐strategi organisasi, satu bentuk
kekuatan kontrol, dan alat atau jaringan komunikasi.
2. Prinsip‐prinsip Penganggaran
Secara umum, prinsip‐prinsip penganggaran adalah sebagai berikut.
a. Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran
APBN harus dapat menyajikan informasi yang jelas mengenai tujuan, sasaran, hasil
dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu progam dan kegiatan yang
dianggarkan.
b. Disiplin Anggaran
Penyusunan anggaran hendaknya dilakukan berlandaskan asas efisiensi, tepat guna,
tepat waktu, dan dapat dipertanggungjawabkan. Pendapatan yang direncanakan
merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap
sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan pada setiap pos/pasal
merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja. Penganggaran pengeluaran harus
didukung dengan adanya kepastian tersedia penerimaan dalam jumlah yang cukup
dan tidak dibenarkan melaksanakan progam dan kegiatan yang belum/tidak tersedia
anggarannya.
c. Keadilan Anggaran
d. Efisiensi dan Efektivitas Anggaran
Dana yang tersedia harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan
peningkatan dan kesejahteraan yang maksimal untuk kepentingan masyarakat.
3. Hubungan dokumen perencanaan dengan penganggaran
Hubungan dokumen perencanaan dengan penganggaran dapat dilihat pada Gambar 3.1
berikut.
Gambar 3.2 Keterkaitan Perencanaan dan Penganggaran
APBN memiliki kerangka waktu tahunan yang sepadan dengan dokumen perencanaan
RKP. Penganggaran terkait dengan dengan proses penentuan jumlah alokasi dana untuk
tiap‐tiap program dan kegiatan yang telah ditetapkan dalam dokumen perencanaan RKP.
Dengan demikian RKP merupakan arah penyusunan APBN.
4. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN terdiri
a. Fungsi APBN
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat (4) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, APBN memiliki fungsi‐fungsi sebagai berikut.
2) Fungsi perencanaan, yaitu APBN merupakan pedoman bagi manajemen dalam
merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
6) Fungsi stabilisasi, yaitu APBN harus menjadi alat untuk memelihara dan
mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
b. Pendekatan dalam Penyusunan APBN
Penyusunan APBN menggunakan tiga pendekatan sebagai berikut:
1) Pendekatan Penganggaran Terpadu (Unified Budgeting).
Dalam kaitan dengan menghitung biaya input dan menaksir kinerja program
sangat penting untuk melihat secara bersama‐sama biaya secara keseluruhan,
baik yang bersifat investasi maupun biaya yang bersifat operasional.
Memadukan (unifying) anggaran sangat penting untuk memastikan bahwa
investasi dan biaya operasional yang berulang (recurrent) dipertimbangkan
secara simultan pada saat‐saat pengambilan keputusan dalam siklus
penganggaran.
2) Pendekatan Penganggaran Berbasis Kinerja (ABK).
3) Pendekatan Penganggaran dengan Perspektif Jangka Menengah (PPJM).
Dengan memusatkan perhatian pada kebijakan‐kebijakan yang dapat dibiayai,
diharapkan dapat tercapainya disiplin fiskal, yang merupakan kunci bagi
tingkat kepastian ketersediaan sumber daya untuk membiayai kebijakan‐
kebijakan prioritas. Sebagai konsekuensi dari menempuh proses penganggaran
dengan perspektif jangka menengah secara disiplin, manajemen mendapatkan
imbalan dalam bentuk keleluasaan pada tahap implementasi dalam kerangka
kinerja yang dijaga dengan ketat.
c. Mekanisme Penyusunan APBN
UU APBN 5
4
Dewan Perwakilan Rakyat
Usulan
Anggaran
RKA
UU‐APBN R‐APBN
1 2
Kementerian Teknis
8
7
Pokok Kebijakan Kebijakan Umum
Fiskal & Kerangka & Prioritas
Ekon. Makro Anggaran
Surat
Edaran
Kementerian Keuangan
3
6 Usulan
Anggaran
Penjelasan proses penyusunan APBN dapat dijelaskan sebagai berikut:
2) Dengan mengacu pada kebijakan umum dan prioritas anggaran, kementerian
teknis/lembaga menyusun RKA‐K/L yang selanjutnya dibahas dengan DPR.
Hasil pembahasan RKA‐K/L menjadi usulan anggaran yang akan diproses lebih
lanjut oleh kementerian teknis sebagai usulan anggaran K/L yang disampaikan
kepada Menteri Keuangan.
d. Struktur APBN
Struktur APBN merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan, belanja, dan
pembiayaan.
1) Pendapatan
2) Belanja
3) Pembiayaan
a) Pembiayaan dalam negeri
(1) Perbankan dalam negeri
(a) Penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman
(b) Saldo Anggaran Lebih (SAL)
(a) Hasil pengelolaan aset
(b) Surat berharga negara neto
(d) Dana investasi Pemerintah
(e) Dana pengembangan pendidikan nasional
(f) Kewajiban penjaminan
(g) Cadangan
b) Pembiayaan luar negeri
(1) Penarikan pinjaman luar negeri bruto
(2) Penerusan pinjaman
(3) Pembayaran cicilan pokok utang luar negeri
Contoh APBN Tahun 2014 ditetapkan berdasarkan Undang‐Undang Nomor 23
Tahun 2013, dengan ringkasan sebagai berikut.
e. Klasifikasi APBN
Klasifikasi belanja menurut fungsi terdiri dari:
1) pelayanan umum, 7) kesehatan,
2) ketertiban dan keamanan, 8) pariwisata dan budaya,
3) pertahanan, 9) agama,
4) ekonomi, 10) pendidikan, dan
5) lingkungan hidup, 11) perlindungan sosial.
6) perumahan dan fasilitas umum,
Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan rencana kerja
masing‐masing kementerian/lembaga.
1) belanja pegawai, 5) subsidi,
2) belanja barang dan jasa, 6) hibah,
3) belanja modal, 7) bantuan sosial, dan
4) bunga, 8) belanja lainnya.
f. Siklus Anggaran
Gambar 3.4 Kerangka Waktu Siklus APBN
Penjelasan kerangka waktu siklus APBN di atas adalah sebagai berikut:
1) Perencanaan dan Penganggaran
2) Penetapan APBN
Pembahasan RAPBN di DPR dilaksanakan dari bulan Agustus sampai dengan
Oktober. Sehubungan dengan pembahasan RAPBN ini, DPR mempunyai hak
budget yaitu hak untuk menyetujui anggaran. Dalam hal DPR tidak setuju
dengan RAPBN yang diajukan oleh pemerintah, DPR dapat mengajukan usulan
perubahan atau menolaknya, namun DPR tidak berwenang untuk mengubah
dan mengajukan usulan RAPBN. Apabila DPR tetap tidak menyetujuinya maka
3) Pelaksanaan APBN
5) Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN
~
A. PENGORGANISASIAN PELAKSANAAN TUGAS DAN FUNGSI
Pengorganisasian merupakan proses pengaturan sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan
yang diinginkan dengan memperhatikan lingkungan yang ada. Dalam rangka mewujudkan
tujuan bernegara UUD 1945 telah menetapkan kelembagaan negara dengan peran dan
kewenangannya serta menetapkan pola hubungan di antara lembaga tersebut. Di bidang
keuangan negara, peran dan kewenangan lembaga tersebut dipertegas melalui UU Nomor 17
Tahun 2003, UU Nomor 1 Tahun 2004, dan Nomor 15 Tahun 2004.
1. Lembaga Negara
Lembaga negara merupakan perangkat dalam sistem pemerintahan di Indonesia yang
menganut paham pembagian kekuasaan (bukan pemisahan kekuasaan). Sesuai paham
pembagian kekuasaan tersebut, lembaga negara dikelompokkan kedalam tiga kelompok
yaitu legeslatif, eksekutif dan yudikatif. Berikut ini susunan lembaga negara sesudah
Amandemen UUD 1945.
Gambar 4.1 Struktur Kelembagaan Negara
UUD 1945
Legislatif:
Eksekutif: Yudikatif: Inspektif
MPR, DPR, DPD Presiden & Wapres MK, MA, KY BPK
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga tinggi negara. Susunan
MPR terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum. Sebelum
adanya amandemen UUD 1945, MPR merupakan lembaga tertinggi negara.
Keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan Presiden. Sebelum reformasi,
MPR terdiri atas anggota DPR, utusan daerah, dan utusan golongan, menurut
aturan yang ditetapkan undang‐undang. Jumlah anggota MPR periode 2009–
2014 adalah 692 orang yang terdiri atas 560 Anggota DPR dan 132 anggota
DPD. Masa jabatan anggota MPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan
pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Tugas dan wewenang MPR adalah sebagai berikut :
a) Mengubah dan menetapkan Undang‐Undang Dasar;
b) Melantik presiden dan wakil presiden berdasarkan hasil pemilihan umum
dalam sidang paripurna MPR;
c) Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk
memberhentikan presiden dan atau wakil presiden dalam masa
jabatannya setelah presiden dan atau wakil presiden diberi kesempatan
untuk menyampaikan penjelasan di dalam sidang paripurna MPR;
e) Memilih wakil presiden dari dua calon yang diajukan presiden apabila
terjadi kekosongan jabatan wakil presiden dalam masa jabatannya,
selambat‐lambatnya dalam waktu enam puluh hari.
2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum (pemilu) yang
dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum (sejak 2004). DPR merupakan
lembaga yang menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti
aspirasi rakyat Indonesia. Jumlah anggota DPR, yaitu 550 orang. Keanggotaan
DPR diresmikan dengan keputusan presiden. Anggota DPR berkedudukan di
Jakarta.
Tugas dan wewenang DPR adalah sebagai berikut:
3) Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terdiri atas wakil‐wakil daerah provinsi yang
dipilih melalui pemilihan umum. Anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan
sebanyak empat orang. Jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih dari 1/3
jumlah anggota DPR.
Tugas dan wewenang DPD adalah sebagai berikut.
c) Memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang‐undang
APBN dan rancangan undang‐undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama.
b. Lembaga Eksekutif
1) bidang politik luar negeri,
2) pertahanan dan keamanan,
3) peradilan,
4) moneter dan fiskal,
5) agama, serta
6) kewenangan bidang lain
c. Lembaga Yudikatif
Lembaga yudikatif adalah lembaga yang memegang kekuasaan di bidang kehakiman.
Lembaga ini bebas dari campur tangan siapa pun. Lembaga yudikatif juga yang
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Lembaga
yudikatif terdiri atas :
1) Mahkamah Agung (MA)
Mahkamah Agung (MA) adalah badan yang melakukan kekuasaan kehakiman.
Susunan Mahkamah Agung terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera,
dan seorang sekretaris. Pimpinan dan hakim anggota Mahkamah Agung adalah
Hakim Agung. Jika masalah hukum tidak selesai di pengadilan negeri dan
pengadilan tinggi, masalah tersebut dapat diselesaikan di Mahkamah Agung.
2) Mahkamah Konstitusi (MK)
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk:
c) memutus pembubaran partai politik;
d) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
3) Komisi Yudisial (KY)
a) Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR, dan
d. Lembaga Inspektif ‐ Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Adapun anggota BPK berjumlah sembilan orang yang terdiri atas seorang ketua,
wakil ketua, dan tujuh orang anggota. Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan
memperhatikan pertimbangan DPD dan disahkan oleh presiden. Pemimpin BPK
dipilih dari dan oleh anggota BPK. Anggota BPK memegang jabatan selama
lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
1) Memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
2. Lembaga Pemerintahan
a. Presiden
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut undang‐
undang dasar. Dalam melakukan kewajibannya, presiden dibantu oleh satu orang
wakil presiden. Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat. Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum
sebelum pemilihan umum. Presiden memiliki tugas yang besar demi kemajuan
bangsa. Berikut ini yang termasuk tugas‐tugas presiden.
1) Presiden berhak mengajukan rancangan undang‐undang.
1) Memberi grasi atau pengurangan masa hukuman bagi narapidana.
3) Memberikan abolisi atau penghapusan suatu tuntutan pidana
4) Memberikan rehabilitasi atau pemulihan nama baik seseorang
5) Menetapkan hakim agung
6) Menetapkan hakim konstitusi
Presiden mempunyai kewenangan yang lain di antaranya sebagai berikut.
1) Mengangkat duta dan konsul.
Duta adalah orang yang mewakili suatu negara di negara lain. Konsul adalah
orang yang mewakili suatu negara di kota negara lain. Konsul berada di bawah
kedutaan besar.
2) Menerima penempatan duta negara lain.
Presiden, selain sebagai kepala pemerintahan, juga berperan sebagai kepala negara
dan panglima tertinggi angkatan bersenjata. Sebagai kepala negara,
presiden memiliki kekuasaan membuat perjanjian dengan negara lain dengan
persetujuan DPR. Presiden juga dapat memberikan tanda jasa, gelar, dan tanda
b. Wakil Presiden
1) Melaksanakan tugas teknis pemerintahan sehari‐hari
c. Kabinet
Kabinet adalah suatu badan yang terdiri dari pejabat pemerintah senior/level tinggi,
biasanya mewakili cabang eksekutif. Kabinet dapat pula disebut sebagai dewan
menteri, dewan eksekutif, atau komite eksekutif, penyebutan ini tergantung pada
sistem pemerintahannya dan diketuai oleh presiden atau perdana menteri sebagai
pimpinan kabinet.
Di Indonesia kabinet dipimpin oleh presiden dengan anggota terdiri dari para
menteri yang memimpin kementerian. Kementerian merupakan badan pelaksana
pemerintah yang dibagi menurut bidang‐bidangnya masing‐masing, misalnya,
menteri perhubungan, menteri perdagangan, dan sebagainya. Pada pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode 2009‐2014 dibentuk `Kabinet
Indonesia Bersatu II`. Sesuai ketentuan Undang‐undang Nomor 39 Tahun 2008
tentang Kementerian Negara, jumlah kementerian tetap 34, terdiri atas 3 menteri
koordinator, 1 orang sekretaris negara, dan 30 orang menteri yang memimpin
kementerian.
1) Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)
2) Badan Intelejen Negara (BIN)
3) Badan Kepegawaian Negara (BKN)
4) Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
5) Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
6) Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL)
7) Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG)
8) Badan Narkotika Nasional (BNN)
9) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
10) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
12) Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
13) Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
14) Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi
15) Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN)
16) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
17) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
18) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
19) Badan Pertanahan Nasional (BPN)
20) Badan Pusat Statistik (BPS)
21) Badan SAR Nasional (BASARNAS)
23) Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN)
24) Badan Urusan Logistik (BULOG)
25) Komisi Pemilhan Umum (KPU)
26) Lembaga Administrasi Negara (LAN)
27) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
28) Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANNAS)
29) Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN)
30) Lembaga Sandi Negara (LEMSANEG)
31) Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PERPUSNAS)
e. Kejaksaan
Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung. Jaksa Agung dipilih langsung oleh presiden.
Karena itu jaksa agung bertanggung jawab terhadap presiden. Lembaga kejaksaan
adalah lembaga yang bertugas mengajukan tuntutan di muka pengadilan terhadap
para pelaku kejahatan.
f. Badan Ekstra Struktural
1) Dewan Ekonomi Nasional (DEN)
2) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD)
3) Badan Pertimbangan Kepegawaian (Bapek)
4) Badan Pelaksana APEC
6) Lembaga Sensor Film (LSF)
7) Tim Pengembangan Industri Hankam
8) Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI)
9) Komite Olimpiade Indonesia (KOI)
10) Komite Nasional Keamanan Transportasi (KNKT)
11) Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia
12) Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres)
g. Badan Independen
Badan independen adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah pusat, namun
bekerja secara independen.
1) Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSI)
2) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
3) Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
4) Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT)
5) Komisi Ombudsman Nasional (KON)
6) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
7) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
8) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
9) Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
h. Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara RI (Polri)
TNI dipimpin oleh seorang panglima. Panglima TNI dipilih oleh presiden dengan
persetujuan DPR. TNI dibagi menjadi 3 angkatan, yaitu angkatan darat, angkatan
udara, dan angkatan laut. Setiap angkatan dipimpin oleh seorang kepala staff. TNI
bertugas menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari
B. PENGORGANISASIAN PENGELOLAAN KEUANGAN
Sistem administrasi keuangan negara, sesuai dengan UUD 1945, UU Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
mengatur hubungan antara DPR (legislatif), Presiden (eksekutif), dan BPK (inspektif), termasuk
hubungan antar lembaga/unit organisasi di dalam pemerintahan (eksekutif).
Gambar 4.2 Hubungan Lembaga Kepresidenan, DPR, dan BPK
dalam Pengelolaan Keuangan Negara
Di dalam pemerintahan dilakukan pemisahan fungsi pengelolaan keuangan negara yaitu pejabat
pengelola keuangan negara yaitu Menteri Keuangan selaku manajer keuangan negara dan
Bendahara Umum Negara (BUN) dan pimpinan kementerian/lembaga selaku pengguna
anggaran. Organisasi dan kewenangan dalam pengelolaan keuangan negara dapat dilihat pada
gambar berikut.
Gambar 4.3 Lingkup Kewenangan Kemneterian Teknis dan Kementerian Keuangan
Anggaran secara teknis dilaksanakan oleh kementerian dan lembaga terkait di mana menteri/
pimpinan lembaga ditetapkan sebagai pengguna anggaran (PA)/pengguna barang(PB).
Menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran berwenang menetapkan para pejabat di
lingkungannya yang ditunjuk sebagai:
1. kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang (KPA/KPB);
4. pejabat yang bertugas melakukan pengujian dan perintah pembayaran;
Struktur organisasi pengelolaan keuangan pada K/L (PA) yang ideal menurut UU Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara divisualisasikan pada gambar berikut.
Gambar 4.4 Struktur Organisasi Pengelola Keuangan Negara
Contoh variasi pejabat yang bisa ditetapkan sebagai pejabat pengelolan keuangan pada
organisasi kementerian antara lain sebagai berikut.
C. PENGORGANISASIAN WAKTU KEGIATAN
3. Menentukan metode/cara yang sesuai;
4. Membuat kegiatan lebih terorganisir dengan mengetahui kapan kegiatan harus dimulai
dan kapan diselesaikan sehingga proses dan hasil kegiatan lebih optimal.
Dengan penerapan SPPN dan pelaksanaan penganggaran sesuai ketentuan dalam peraturan
perundangan di bidang keuangan negara, bisa dikatakan semua kegiatan/program yang akan
dilaksanakan unit pemerintahan telah ditetapkan target kinerja dan dialokasikan anggarannya.
Untuk itu perlu dibuat suatu kerangka kerja dan waktu yang jelas dan terukur yang menjadi
acuan pelaksana dalam merealisasikan rencana kegiatan yang telah ditetapkan. Berdasarkan
Permenkeu Nomor 190/PMK.05/2012, salah satu tugas dan wewenang KPK adalah menyusun
jadwal waktu pelaksanaan kegiatan termasuk rencana penarikan dananya. Setiap kegiatan yang
direncanakan perlu dibuatkan kerangka acuan kerja (KAK) yang memuat:
1. Uraian mengenai apa (what) pengertian dan apa keluaran (output) yang akan dicapai dari
kegiatan.
2. Mengapa (why) kegiatan tersebut perlu dilaksanakan dalam hubungan dengan tugas dan
fungsi dan sasaran program yang hendak dicapai.
3. Siapa (who) personil/tim/satker yang bertanggung jawab melaksanakan dalam pencapaian
keluaran (output) dan siapa yang akan menerima manfaat dari kegiatan.
4. Kapan (when) kegiatan dimulai dan selesai, berapa lama (how long) waktu yang
dibutuhkan dalam menyelesaikan kegiatan. Untuk mengorganisasikan waktu kegiatan
dapat digunakan Tabel 4.1 sebagai berikut.
Tabel 4.2 Format Jadwal Kegiatan
1. Kegiatan 1
2. Kegiatan 2
3. Kegiatan 3
4. Kegiatan 4
Catatan: m = minggu
6. Bagaimana (how) kegiatan tersebut dilaksanakan.
7. Berapa perkiraan (how much) biaya yang dibutuhkan.
~
Gambar 5.1 Siklus Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat K/L
A. PERSIAPAN
Pada saat Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) disetujui oleh DPR dan
ditetapkan sebagai Undang‐Undang APBN berarti tahap kedua siklus anggaran telah selesai.
Berikutnya tahap ketiga yaitu tahap pelaksanaan anggaran (APBN) yang merupakan
kewenangan presiden selaku kepala pemerintah untuk melaksanakan seluruh kebijakan yang
telah tertuang dalam undang‐undang tersebut. Untuk itu sejalan dengan pemberian peran
kepada para menteri/kepala lembaga selaku chief operational officer, presiden
mendistribusikan anggaran yang telah disetujui dalam APBN tersebut kepada
kementerian/lembaga dengan menerbitkan peraturan presiden mengenai rincian APBN. Dengan
demikian pelaksanaan anggaran selanjutnya merupakan domain dari kementerian/lembaga
selaku pengguna anggaran.
Pada awal pelaksanaan anggaran dilakukan persiapan sebagai berikut:
1. Penetapan Pejabat Pengelola Anggaran
Pada awal tahun anggaran, langkah pertama yang harus dilakukan dalam tahap
pelaksanaan anggaran meliputi penetapan pejabat pengelola anggaran, mengikuti struktur
organisasi sebagaimana diuraikan pada Bab IV. Pejabat pengelola keuangan meliputi
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Bendahara yang ditetapkan oleh Pengguna Anggaran
(PA) serta Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Pejabat Penguji Surat Perintah
2. Penerbitan dan Pengesahan Dokumen Pelaksanaan Anggaran
a. Konsepsi DIPA
DIPA merupakan suatu daftar isian yang memuat uraian sasaran yang hendak
dicapai, fungsi, program dan rincian kegiatan, rencana penarikan dana tiap‐tiap
bulan dalam satu tahun serta pendapatan yang diperkirakan oleh
kementerian/lembaga. DIPA yang lengkap memuat uraian fungsi/subfungsi,
program, hasil (outcome), indikator kinerja utama (IKU) program, kegiatan, indikator
kinerja kegiatan (IKK), keluaran (output), jenis belanja, alokasi anggaran dan rencana
penarikan dana serta perkiraan penerimaan per bulan kementerian
negara/lembaga. Dengan demikian dokumen DIPA yang lengkap terdiri sebagai
berikut.
Surat Pengesahan DIPA Pengesahan DIPA yang ditandatangani Dirjen
Perbendaharaan atau Kepala Kanwil DJPB atas nama
Menteri Keuangan.
DIPA halaman I (umum) Memuat informasi yang bersifat umum dari setiap satuan
kerja tentang rincian fungsi, program dan sasaran serta
indikator keluaran untuk masing‐masing kegiatan.
DIPA halaman II Memuat informasi setiap satuan kerja tentang uraian
kegiatan/subkegiatan, volume keluaran yang hendak
dicapai serta alokasi dana pada masing‐masing belanja
yang dicerminkan dalam mata anggaran keluaran.
Informasi alokasi dana per jenis belanja berdasarkan
sumber dana untuk tiap‐tiap satker, baik untuk DIPA
kementerian negara/lembaga maupun DIPA BA BUN.
DIPA halaman III Memuat informasi tentang rencana penarikan dana dan
penerimaan negara bukan pajak yang menjadi tanggung
Selanjutnya informasi yang terdapat dalam DIPA dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Struktur Penganggaran
Anggaran yang telah disetujui oleh DPR dirinci dalam unit organisasi, fungsi,
program, kegiatan dan jenis belanja.
a) Organisasi dan Bagian Anggaran
Bagian anggaran merupakan klasifikasi anggaran berdasarkan organisasi
antara lain menurut kementerian negara/lembaga.
b) Fungsi dan Subfungsi
Subfungsi merupakan penjabaran fungsi yang terinci ke dalam beberapa
kategori. Penggunaan fungsi dan subfungsi disesuaikan dengan tugas
pokok dan fungsi masing‐masing kementerian negara/lembaga.
c) Program
Contoh penetapan organisasi dan bagian anggara, fungsi dan subfungsi, serta,
program pada DIPA BPKP (Pusat) Tahun Anggaran 2013 adalah sebagai berikut:
Struktur
No Uraian
Penganggaran
1. Bagian Anggaran 089 BPKP
2. Organisasi 089.01 BPKP
3. Fungsi 01 Pelayanan Umum
4. Subfungsi 0101 Lembaga Eksekutif, Masalah Keuangan dan
Fiskal, serta Urusan Luar Negeri
5. Program 01 Program Dukungan Manajemen dan
Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya.
02 Program Peningkatan Sarana dan Prasarana
Aparatur Negara
03 Program Pengawasan Intern Akuntabilitas
Keuangan Negara dan Pembinaan
Penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah
d) Kegiatan dan Subkegiatan
Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau
beberapa satuan kerja sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur
Contoh:
Kegiatan diklat aparatur negara dengan subkegiatan:
pengembangan kurikulum diklat dengan keluaran jumlah modul.
e) Jenis Belanja
Jenis belanja adalah klasifikasi ekonomi dalam standar statistik keuangan
pemerintah. Klasifikasi anggaran menurut jenis belanja dibagi dalam
delapan kategori sebagai berikut.
Belanja ini antara lain digunakan untuk gaji dan tunjangan, uang
makan, asuransi kesehatan, honorarium, vakasi, lembur dan
kontribusi sosial.
(7) Hibah merupakan belanja pemerintah pusat dalam bentuk transfer
uang/barang kepada pemerintah negara lain, organisasi
internasional, BUMN/D, dan pemerintah daerah yang bersifat
sukarela, tidak wajib, tidak mengikat, dan tidak perlu dibayar
kembali serta tidak terus menerus. Dilakukan dengan naskah
perjanjian antara pemberi dan penerima hibah dengan pengalihan
hak dalam bentuk uang, barang, atau jasa. Termasuk dalam belanja
hibah adalah pinjaman dan/atau hibah luar negeri yang terus
dihibahkan ke daerah.
(8) Belanja Lain‐lain yaitu pengeluaran negara untuk pembayaran atas
kewajiban pemerintah yang tidak masuk ke dalam jenis belanja
pada huruf (1) sampai dengan huruf (7) tersebut di atas, bersifat
mendesak dan tidak dapat diprediksi sebelumnya. Belanja lain‐lain
dipergunakan antara lain Belanja Lain‐lain Dana Cadangan dan
Risiko Fiskal, Belanja Lain‐lain Lembaga Non Kementerian.
2) Lokasi
1) DIPA Kementerian Negara/Lembaga dapat dikategorikan menjadi berikut.
a) DIPA Satker Pusat/Kantor Pusat (KP)
DIPA Satker Pusat/Kantor Pusat (KP) adalah DIPA yang dikelola oleh
satker kantor pusat dan atau satker pusat suatu kementerian
negara/lembaga, termasuk di dalamnya DIPA satker badan layanan
umum (BLU), dan DIPA satker non vertikal tertentu (SNVT).
b) DIPA Satker Vertikal/Kantor Daerah (KD)
DIPA Satker Vertikal/Kantor Daerah (KD) adalah DIPA yang dikelola oleh
kantor/instansi vertikal kementerian negara/lembaga di daerah
termasuk di dalamnya untuk DIPA satker BLU.
c) DIPA Dana Dekonsentrasi (DK)
d) DIPA Tugas Pembantuan (TP)
e) DIPA Urusan Bersama (UB)
2) DIPA Bendahara Umum Negara (DIPA‐BUN)
DIPA Bendahara Umum Negara (DIPA‐BUN) adalah DIPA yang memuat rincian
penggunaan anggaran yang bersumber dari Bagian Anggaran Bendahara
Umum Negara (BA‐BUN) yang dikelola Menteri Keuangan selaku Pengguna
Anggaran. Terdiri atas pengelolaan:
a) Utang Pemerintah;
b) Hibah;
c) Investasi Pemerintah;
d) Penerusan Pinjaman;
e) Transfer ke Daerah;
f) Belanja Subsidi;
g) Belanja Lain‐lain;
h) Transaksi Khusus.
DIPA BUN disusun dan ditetapkan oleh Pembantu Pengguna Anggaran (PPA)
yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Menteri Keuangan selaku PA.
c. Prosedur Penyelesaian DIPA
1) Dokumen Penyusunan DIPA
a) Keputusan Presiden mengenai rincian APBN.
b) RKA‐KL yang telah ditelaah dan ditetapkan oleh Dirjen Anggaran.
d) Bagan Akun Standar
e) Daftar Nominatif Anggaran (DNA)
Penyusunan DIPA menggunakan Aplikasi RKAKL‐DIPA. Sumber data yang
digunakan dalam penyusunan DIPA berasal dari analisis data komputer
(ADK) atas RKAKL yang telah ditetapkan oleh DJA dan tidak dapat
dilakukan perubahan/revisi, kecuali apabila terdapat kesalahan kode
kabupaten/kota, kode kewenangan, dan kode kantor bayar.
2) Prosedur Penyelesaian DIPA
a) Menteri Keuangan memberitahukan kepada menteri/pimpinan lembaga
untuk menyampaikan DIPA kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan
setelah diterimanya SP RKAKL.
e) Satker Kantor Pusat di luar DKI Jakarta dan DIPA satker pusat yang
berada di daerah,
d. Rencana Pendapatan
1) tiga digit pertama merupakan kelompok pendapatan;
2) lima digit pertama merupakan sub kelompok pendapatan;
3) enam digit merupakan mata anggaran penerimaan (MAP).
Contoh: pendapatan jasa catatan sipil dengan kode 423154, penjelasannya sebagai
berikut:
kelompok pendapatan 423 untuk PNBP lainnya;
subkelompok pendapatan 42315 untuk pendapatan jasa II;
MAP 423154 untuk pendapatan jasa catatan sipil.
Pencantuman angka rencana penarikan dana pada halaman III DIPA didasarkan pada
rencana kerja bulanan satker sesuai dengan kebutuhan riil. Berkenaan dengan hal
tersebut, kiranya perlu diperhatikan hal sebagai berikut.
2) Untuk belanja selain belanja pegawai, pencantuman rencana penarikan sesuai
rencana penarikan/pembayaran dalam rangka pelaksanaan kegiatan yang
meliputi rencana penarikan uang persediaan (UP) dan rencana penarikan
pembayaran langsung (LS) setiap bulan.
f. Penetapan DIPA dan Surat Pengesahan DIPA
Pengesahan DIPA merupakan penetapan oleh BUN atas DIPA yang disusun oleh
PA/KPA dan memuat pernyataan bahwa rencana kerja dan anggaran pada DIPA
berkenaan tersedia dananya dalam APBN dan menjadi dasar pembayaran/pencairan
dana atas beban APBN.
1) Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan selaku Kuasa
Bendahara Umum Negara, untuk DIPA satker kantor pusat yang berlokasi di
DKI Jakarta dan DIPA Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara;
g. DIPA Sementara
Jika KPA belum menyampaikan DIPA sampai dengan batas waktu yang ditentukan,
maka:
2) DIPA Sementara tidak perlu ditandatangani PA/KPA;
4) Apabila DIPA telah diterima dari PA/KPA setelah DIPA Sementara diterbitkan,
maka dilakukan validasi dan pengesahan revisi pertama DIPA bersangkutan.
h. Revisi DIPA
DIPA yang telah disahkan oleh DJPBN/Kepala Kanwil DJPBN apabila diperlukan dapat
direvisi oleh satker yang bersangkutan.
c) perubahan/ralat karena kesalahan administrasi.
Selain itu revisi DIPA juga dapat dilakukan dalam hal:
a) terjadi perubahan APBN tahun anggaran berjalan;
c) instruksi presiden mengenai penghematan anggaran; dan/atau
d) kebijakan pemerintah lainnya.
2) Revisi anggaran dapat dilakukan sepanjang tidak mengakibatkan pengurangan
alokasi anggaran terhadap:
c) pembayaran berbagai tunggakan;
d) paket pekerjaan yang bersifat multiyears;
i. Penerbitan petunjuk pelaksanaan
B. MEKANISME PELAKSANAAN PENDAPATAN
UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa pendapatan negara
merupakan hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Salah
satu hak pemerintah pusat adalah menggali sumber‐sumber penerimaan bagi negara untuk
membiayai berbagai belanja/pengeluaran negara yang berkaitan dengan kegiatan
penyelenggaraan pemerintahan. Berdasarkan struktur APBN, pendapatan negara terdiri atas
penerimaan perpajakan, penerimaan bukan pajak, dan hibah.
Penerimaan perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri dari penerimaan
pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Penerimaan perpajakan dalam
negeri meliputi semua penerimaan negara yang berasal dari pajak penghasilan, pajak
pertambahan nilai barang/jasa dan pajak penjualan atas barang mewah, bea materai.
Sedangkan pajak perdagangan internasional merupakan semua penerimaan negara yang
berasal dari bea masuk dan pajak/pungutan ekspor.
Pelaksanaan anggaran pendapatan yang berasal dari penerimaan perpajakan merupakan
kewenangan dan tugas Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN).
Penerimaan uang negara dari perpajakan wajib disetorkan oleh wajib pajak dan atau wajib
pungut ke kas negara pada bank pemerintah atau lembaga lain yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.
a. Sistem pemungutan self assessment.
Sistem penerimaan perpajakan dengan mekanisme ini mengatur wajib pajak untuk
menghitung pajaknya sendiri, kemudian menyetornya ke kas negara dan
melaporkannya dalam laporan surat pemberitahuan pajak (SPT).
d. Menteri Keuangan c.q. Dirjen Pajak wajib memberikan nomor identitas tunggal
kepada masing‐masing kementerian/lembaga, pemerintah daerah, kantor/satuan
kerja, proyek/bagian proyek, dan BUMN/D.
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
Penerimaan negara bukan pajak memiliki arti dan peran yang sangat penting dalam
pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan nasional, oleh
karenanya diperlukan langkah‐langkah pengadministrasian yang efisien agar penerimaan
tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal.
a. Pengertian PNBP
Penerimaan negara bukan pajak adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang
tidak berasal dari penerimaan perpajakan dan hibah.
b. Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
a) penerimaan hasil penjualan barang/kekayaan negara,
b) penerimaan hasil penyewaan barang/kekayaan negara,
c) penerimaan hasil penyimpanan uang negara (jasa giro/bunga),
d) penerimaan ganti rugi atas kerugian negara (tuntutan ganti rugi dan
tuntutan perbendaharaan),
e) penerimaan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemerintah,
f) penerimaan pengembalian belanja tahun anggaran lalu.
2) PNBP Fungsional
Menurut Undang‐Undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara
Bukan Pajak jenis ‐ jenis PNBP fungsional meliputi:
a) Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah.
b) Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam.
f) Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah.
g) Penerimaan lainnya yang diatur dalam undang ‐ undang tersendiri.
Penetapan tarif atas jenis PNBP memperhatikan:
1) dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya;
3) penerimaan negara bukan pajak yang bersangkutan;
4) aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat.
1) ditetapkan oleh instansi pemerintah; atau
2) dihitung sendiri oleh wajib bayar.
PNBP terutang menjadi kadaluwarsa setelah sepuluh tahun terhitung sejak saat
terutangnya penerimaan negara bukan pajak yang bersangkutan. Ketentuan
kadaluwarsa tertunda apabila wajib bayar melakukan tindak pidana di bidang
penerimaan negara bukan pajak.
c. Pelaporan Rencana dan Realisasi Penerimaan PNBP
Instansi yang mengelola PNBP wajib menyampaikan laporan rencana dan realisasi
penerimaan secara periodik, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun
2004 tentang Tata Cara Penyampaian Rencana dan Laporan Realisasi Penerimaan
Negara Bukan Pajak.
a) Revisi rencana PNBP tahun yang akan datang, disampaikan paling lambat
tanggal 5 Agustus tahun anggaran yang bersangkutan.
6) Pejabat instansi pemerintah yang tidak/terlambat menyampaikan rencana dan
laporan realisasi PNBP, dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan
perundang‐undangan yang berlaku.
Seluruh PNBP dikelola dalam sistem anggaran pendapatan dan belanja negara,
melalui dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA) masing‐masing
kementerian/lembaga. Pengelolaan PNBP tersebut diatur dengan ketentuan sebagai
berikut.
4) Instansi pemerintah yang ditunjuk wajib menyampaikan rencana dan laporan
realisasi PNBP secara tertulis dan berkala kepada menteri keuangan.
e. Penggunaan Sebagian Dana PNBP
Pada dasarnya, seluruh PNBP wajib disetor langsung secepatnya ke kas negara.
Namun demikian, untuk beberapa kegiatan tertentu sebagian dana dari jenis
penerimaan negara bukan pajak dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang
berkaitan dengan jenis penerimaan negara bukan pajak tersebut oleh instansi yang
bersangkutan. Penggunaan sebagian dana PNBP tersebut dapat dilakukan setelah
memeroleh persetujuan dari menteri keuangan.
Kegiatan yang dapat menggunakan sebagian dana PNBP meliputi:
1) penelitian dan pengembangan teknologi;
2) pelayanan kesehatan;
4) penegakan hukum;
5) pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu;
6) pelestarian sumber daya alam.
Proses permohonan untuk menggunakan sebagian dana PNBP diatur dalam PP
Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tatacara Penggunaan PNBP yang bersumber dari
kegiatan tertentu sebagai berikut.
a) tujuan penggunaan dana penerimaan negara bukan pajak;
c) jenis penerimaan negara bukan pajak beserta tarif yang berlaku;
d) laporan realisasi dan perkiraan tahun anggaran berjalan serta perkiraan
untuk dua tahun anggaran mendatang.
b) investasi, termasuk peningkatan kualitas sumber daya manusia.
7) Saldo lebih dari sebagian dana PNBP, pada akhir tahun anggaran wajib disetor
seluruhnya ke kas negara.
8) Pembiayaan sebagian dana PNBP yang telah disediakan dalam suatu dokumen
anggaran dan belum dilaksanakan atau belum diselesaikan dalam tahun
anggaran yang bersangkutan dapat dicantumkan pada dokumen anggaran
tahun berikutnya melalui revisi anggaran.
9) Pimpinan instansi pemerintah yang bersangkutan setiap awal tahun anggaran
menetapkan:
a) atasan langsung bendaharawan penerima/pengguna;
b) bendaharawan penerima;
c) bendaharawan pengguna.
10) Kewajiban penyusunan laporan
Ketentuan pemeriksaan antara lain sebagai berikut.
b) laporan dari pihak ketiga; atau
c) permintaan wajib bayar atas kelebihan pembayaran PNBP.
5) Jika wajib bayar kurang membayar jumlah PNBP yang terutang sebagaimana
hasil pemeriksaan, wajib bayar yang bersangkutan wajib melunasi
kekurangannya dan ditambah sanksi berupa denda administrasi sebesar 2%
sebulan untuk paling lama 24 bulan dari jumlah kekurangan tersebut.
6) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap wajib bayar untuk jenis
PNBP terdapat kelebihan pembayaran jumlah PNBP yang terutang, jumlah
kelebihan tersebut diperhitungkan sebagai pembayaran dimuka atas jumlah
PNBP yang terutang wajib bayar yang bersangkutan pada periode berikutnya.
7) Dalam hal terjadi pengakhiran kegiatan usaha wajib bayar, maka jumlah
kelebihan pembayaran PNBP dikembalikan kepada wajib bayar selambat‐
lambatnya satu bulan sejak dikeluarkan ketetapan kelebihan pembayaran.
g. PNBP Melalui Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK BLU)
Pada prinsipnya setiap penerimaan negara harus disetorkan ke Kas Negara atau
tidak diperkenankan untuk digunakan secara langsung untuk mendanai kegiatan.
Pada beberapa organisasi pemerintah yang memiliki fungsi pelayanan langsung
kepada masyarakat ketentuan tersebut cukup merepotkan karena pendanaan
kegiatan menjadi tidak fleksibel yang pada gilirannya dapat mengganggu aktivitas
pelayanan. Untuk mengatasi masalah tersebut, sesuai PP Nomor 23 Tahun 2005,
oraganisasi pemerintah dimungkinkan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum (PPK BLU).
1) Penetapan BLU
a) penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum;
c) pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau
pelayanan kepada masyarakat.
Persyaratan teknis terpenuhi apabila:
a) kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak dikelola dan
ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU sebagaimana
direkomendasikan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai
dengan kewenangannya; dan
b) pola tata kelola;
c) rencana strategis bisnis;
e) standar pelayanan minimum; dan
Proses penetapan PPK‐BLU adalah sebagai berikut.
2) Pencabutan Penerapan PPKBLU
Penerapan PPK‐BLU berakhir bila:
3) Fleksibilitas BLU
Seluruh pendapatan operasional BLU adalah PNBP. Pendapatan tersebut dapat
digunakan langsung, sesuai Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA)‐nya tanpa
Pada Satker PPK BLU Penuh dapat menggunakan PNBP yang diterimanya untuk
mendanai kegiatan Satker dengan ambang batas penggunaan untuk belanja
melampaui Rencana Bisnis dan Anggara (RBA) maksimal sebesar persentase
kelebihan realisasi dari target penerimaan. Penggunaan tersebut
dipertanggungjawabkan ke KPPN dengan mengajukan SPM Pengesahan.
Dalam hal realisasi belanja melampaui anggaran belanjanya (dengan
memperhatikan ambang batas), pada akhir tahun dilakukan revisi DIPA untuk
mengesahkan pengeluaran/belanja tersebut
Pada Satker PPK BLU Bertahap dapat menggunakan PNBP yang diterimanya
untuk mendanai kegiatan Satker sebesar persentase yang disetujui Menteri
Keuangan. Dari jumlah yang disetujui penggunaannya tersebut sebagian
diantaranya (persentase sesuai ketetapan sebagai BLU) boleh digunakan
secara langsung tanpa disetorkan terlebih dahulu ke Kas Negara. Sedangkan
selebihnya wajib disetorkan ke Kas Negara dan bisa digunakan kembali oleh
Satker dengan mekansime pencairan PNBP. Mekanisme penggunaan sebagian
PNBP untuk mendanai kegiatan Satker mengikuti ketentuan belanja yang
berlaku.
Contoh:
3. Penerimaan Hibah (Hibah)
Penerimaan hibah adalah semua penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau
devisa yang dirupiahkan, rupiah, maupun dalam bentuk barang, jasa, dan surat berharga
yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali dan yang tidak
mengikat, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Hibah merupakan bagian dari pendapatan dalam APBN yang diterima pemerintah dalam
bentuk uang tunai, uang untuk membiayai kegiatan, barang/jasa, dan surat berharga.
a. Uang tunai, penerimannya disetorkan langsung ke Rekening Kas Umum Negara atau
rekening yang ditentukan oleh menteri keuangan.
d. Surat berharga, dicatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat yang dinilai
dengan mata uang rupiah berdasarkan nilai nominal yang disepakati pada saat serah
terima oleh pemberi hibah dan pemerintah.
Penerimaan hibah menurut jenisnya terdiri atas:
a. Hibah dalam negeri, yaitu hibah yang bersumber dari dalam negeri berasal dari:
1) lembaga keuangan dalam negeri;
2) lembaga non keuangan dalam negeri;
3) pemerintah daerah;
4) perusahaan asing yang berdomisili dan melakukan kegiatan di wilayah Negara
Republik Indonesia;
5) lembaga lainnya; dan
6) perorangan.
b. Hibah luar negeri, yaitu hibah yang bersumber dari luar negeri berasal dari:
1) negara asing;
2) lembaga di bawah Perserikatan Bangsa‐Bangsa;
3) lembaga multilateral;
4) lembaga keuangan asing;
5) lembaga non keuangan asing;
6) lembaga keuangan nasional yang berdomisili dan melakukan kegiatan usaha di
luar wilayah Negara Republik Indonesia;
7) perorangan.
Tata cara penarikan dana hibah yang bersumber dari luar negeri dibahas lebih lanjut pada
butir E. PROSES PEMBIAYAAN mengenai pinjaman/hibah luar negeri.
a. Pembukuan
Hal‐hal yang diperhatikan dalam pembukuan oleh bendahara yaitu:
Setiap transaksi harus segera dicatat dalam BKU sebelum dibukuan dalam
buku‐buku pembantu dan pengawasan anggaran.
PA/KPA dapat menentukan buku‐buku bantu/register selain BKU.
Pembukuan dilaksanakan berdasarkan asas bruto.
KPA melaksanakan pemeriksaan kas sekurang‐kurangnya satu kali dalam satu
bulan dalam rangka pengawasan penatausahaan kas dan ketertiban
pembukuan.
Buku, catatan dan dokumen lain yang menjadi dasar perhitungan PNBP wajib
disimpan selama sepuluh tahun. Terhadap instansi pemerintah yang ditunjuk
atas permintaan menteri untuk menagih, memungut dan menyetorkan PNBP
juga dapat diperiksa khusus oleh instansi yang berwenang.
DIPA yang telah mendapat pengesahan.
SPM‐UP/SPM‐TUP/SPM‐GUP/SPM‐LS yang telah diterbitkan SP2D
Kwitansi/dokumen pembayaran atas uang yang bersumber dari UP atau LS‐
Bendahara
Faktur pajak atas potongan uang yang bersumber dari UP atau LS‐Bendahara
SBS/bukti penerimaan Bendahara Penerimaan
Bendahara penerimaan wajib menyusun LPJ Bendahara atas uang yang dikelolanya
secara bulanan. LPJ tersebut dibuat berdasarkan pembukuan yang diselenggarakan
bendahara yang telah diperiksa dan direkonsiliasi oleh KPA atau pejabat yang
bertugas melakukan pemungutan penerimaan negara. LPJ Bendahara Penerimaan
dituangkan sebagaimana Format 1b Lampiran VIII Peraturan Menteri Keuangan
Nomor PER‐3/PB/2014.
b. Penatausahaan
Penatausahaan penerimaan negara perlu dilakukan secara cepat, tepat, dan efisien
agar menghasilkan laporan yang dapat dipertanggungjawabkan. Penatasusahaan
penerimaan melibatkan BUN (Kuasa BUN), Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib
Setor/Bendahara Penerimaan, dan bank persepsi/kantor pos yang ditunjuk. Untuk
menunjang kegiatan penatusahaan tersebut digunakan suatu sistem penerimaan
negara yang terpadu yang dikenal dengan Modul Penerimaan Negara (MPN).
MPN adalah modul penerimaan yang memuat serangkaian prosedur mulai dari
penerimaan, penyetoran, pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai
dengan pelaporan yang berhubungan dengan penerimaan negara dan merupakan
bagian dari Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (Peraturan Menteri
Keuangan Nomor PER‐02/PMK.05/2007).
c. Akuntansi
Dokumen sumber sebagai dasar pencatatan realisasi penerimaan negara antara lain
meliputi Surat Setoran Pajak (SSP), Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP), Surat Setoran
Pabean, Cukai, dan Pajak (SSPCP), Surat Tanda Bukti Setor (STBS), dan Surat Setoran
Pengembalian Belanja (SSBP) dan Bukti Penerimaan Negara (BPN) yang diterbitkan
oleh Bank Persepsi/Devisa Persepsi/Pos Persepsi dan/atau KPPN.
Beberapa ketentuan akuntansi terkait penerimaan yaitu sebagai berikut:
Penerimaan negara diakui pada saat diterima pada Rekening Kas Negara
(dibuktikan dengan NTPN).
Pembahasan lebih lanjut mengenai akuntansi terkait SAI dan Pelaporan Keuangan
pada BAB VI PELAPORAN PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN
NEGARA.
C. MEKANISME PELAKSANAAN BELANJA
1. Pedoman Pelaksanaan Anggaran Belanja
Anggaran belanja negara adalah semua pengeluaran negara yang digunakan untuk
membiayai belanja pemerintah pusat dan belanja untuk daerah. Belanja pemerintah pusat
dikelompokkan menurut organisasi/bagian anggaran, fungsi, dan jenis belanja. Belanja
daerah adalah semua pengeluaran untuk membiayai dana perimbangan serta dana
otonomi khusus dan penyesuaian. Dana perimbangan adalah semua pengeluaran negara
yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi, yang terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana
alokasi khusus.
Pelaksanaan anggaran belanja diwujudkan melalui pembayaran atas realisasi belanja dari
rekening kas umum negara (KUN) kepada pihak III yang secara visual dapat dilihat pada
Gambar 5.1 berikut.
Pada prinsipnya semua pengeluaran negara dilakukan secara giral (lalu lintas perbankan)
atas beban rekening kas negara/kas umum negara melalui transfer dana atau
pemindahbukuan dana antar rekening bank (mekanisme LS), termasuk membayar tagihan
pihak ketiga yang dilakukan oleh kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga.
Dengan demikian, penyaluran dana APBN kepada yang berhak dilakukan transfer dana
atau pemindahbukuan dana langsung dari rekening kas negara/kas umum negara ke
rekening yang berhak pada bank. Pengecualian diberikan untuk pembelian atau
pengadaan barang/jasa keperluan kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga yang
nilainya kecil‐kecil sampai dengan Rp50.000.000,00 dapat dibayar melalui uang
persediaan yang dikelola bendahara pengeluaran/bendahara pengeluaran pembantu
(BPP).
2. Penyelesaian Tagihan Negara/Pengeluaran Negara
Penyelesaian tagihan segera dilakukan setelah diwujudkannya komitmen yang ditunjukkan
dari prestasi kerja serta adanya tagihan dari penyedia barang/jasa. Berdasarkan tagihan
tersebut, PPK mengajukan SPP (Surat Permintaan Pembayaran) yang selanjutnya diuji oleh
PPSPM (Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar). Apabila telah memnuhi
persyaratan dan ketentuan yang berlaku, selanjutnya PPSPM menerbitkan SPM untuk
Gambar 5.3 Mekanisme Penyelesaian Tagihan/Pengeluaran Negara
a. Pembuatan Komitmen
Bentuk perjanjian/kontrak untuk pengadaan barang/jasa sampai dengan batas
nilai tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‐undangan dapat
berupa bukti‐bukti pembelian/pembayaran. Ketentuan mengenai batas nilai
tertentu tersebut mengikuti ketentuan dalam peraturan perundang‐undangan
mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 70 Tahun 2012 tanggal 1 Agustus 2012 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah, dinyatakan bahwa tanda bukti perjanjian terdiri
sebagaimana berikut ini.
c) Surat Perintah Kerja (SPK) digunakan untuk pengadaan barang/pekerjaan
konstruksi/jasa lainnya dengan nilai sampai dengan Rp200.000.000,00
dan jasa konsultasi dengan nilai sampai dengan Rp50.000.000,00.
d) Surat perjanjian/kontrak, digunakan untuk pengadaan barang/pekerjaan
konstruksi/jasa lainnya dengan nilai di atas Rp200.000.000,00 dan jasa
konsultasi dengan nilai di atas Rp50.000.000,00.
2) Pembuatan Komitmen dalam bentuk Penetapan Keputusan
a) pelaksanaan belanja pegawai;
b) pelaksanaan perjalanan dinas yang dilaksanakan secara swakelola;
Penetapan keputusan tersebut dilakukan oleh pejabat yang berwenang sesuai
ketentuan peraturan perundang‐undangan yang berlaku.
b. Pencatatan Komitmen oleh PPK dan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
1) Data Perjanjian/Kontrak
a) nama dan kode satker serta uraian fungsi/subfungsi, program, kegiatan,
output, dan akun yang digunakan;
b) nomor surat pengesahan dan tanggal DIPA;
g) ketentuan sanksi apabila terjadi wanprestasi;
i) cara pembayaran dan rencana pelaksanaan pembayaran:
(1) sekaligus (misal, sebesar total nilai kontrak Rp280 juta pada bulan
berakhirnya kontrak September 2014); atau
(2) secara bertahap (misal, tahap I Rp80 juta pada bulan pertama
kontrak, tahap II Rp100 juta pada pertengahan kontrak, dan tahap
III Rp100 juta pada bulan berakhirnya kontrak).
Selanjutnya, data perjanjian/kontrak beserta ADK‐nya tersebut disampaikan ke
KPPN secara langsung atau melalui e‐mail. Alokasi dana yang sudah tercatat
dan terikat dengan perjanjian/kontrak tersebut tidak dapat digunakan lagi
untuk kebutuhan lain.
a) pihak yang berhak menerima pembayaran;
b) nilai pembayaran; dan
c) jadwal pembayaran.
Untuk keperluan belanja pegawai pada satker, dalam hal terdapat perubahan
data pegawai berupa penetapan keputusan yang mengakibatkan pengeluaran
negara untuk pelaksanaan belanja pegawai, Petugas Pengelola Administrasi
Belanja Pegawai (PPABP) mencatat perubahan data pegawai tersebut ke
dalam suatu sistem yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Perubahan data pegawai dimaksud terkait dengan:
a) pengangkatan/pemberhentian sebagai calon pegawai negeri;
b) pengangkatan/pemberhentian sebagai pegawai negeri;
c) kenaikan/penurunan pangkat;
d) kenaikan/penurunan gaji berkala;
e) pengangkatan/pemberhentian dalam jabatan;
f) mutasi pindah ke satker lain;
g) pegawai baru karena mutasi pindah;
h) perubahan data keluarga;
i) data utang kepada negara; dan/atau
j) pengenaan sanksi kepegawaian.
Setelah dilakukan pencatatan perubahan data pegawai, satker menyampaikan
Daftar Perubahan Data Pegawai yang telah disahkan PPSPM beserta ADK‐nya
kepada KPPN paling lambat bersamaan dengan pengajuan SPM Belanja
Pegawai. Daftar perubahan data pegawai dimaksud bukan merupakan
lampiran dari SPM Belanja Pegawai. Daftar tersebut digunakan dalam rangka
pemutakhiran data antara KPPN dengan satker untuk pembayaran belanja
pegawai dan untuk menguji kesesuaian dengan tagihan.
c. Mekanisme Penyelesaian Tagihan dan Penerbitan SPP
1) Pengajuan Tagihan
Khusus untuk pembayaran komitmen berupa perjanjian/kontrak dalam rangka
pengadaan barang/jasa berlaku ketentuan sebagai berikut.
a) Pembayaran tidak boleh dilakukan sebelum barang/jasa diterima.
b) Dalam hal pengadaan barang/jasa yang karena sifatnya harus dilakukan
pembayaran terlebih dahulu, pembayaran atas beban APBN dapat
dilakukan sebelum barang/jasa diterima setelah terlebih dahulu
penyedia barang/jasa menyampaikan jaminan atas pembayaran yang
akan dilakukan. Nilai jaminan tersebut minimal sama dengan nilai
pembayaran atas beban APBN tersebut.
Pembayaran tagihan kepada pihak ketiga/penyedia barang/jasa, dilaksanakan
berdasarkan bukti‐bukti yang sah yang meliputi:
a) bukti perjanjian/kontrak,
c) berita acara penyelesaian pekerjaan,
d) berita acara serah terima pekerjaan/barang,
e) bukti penyelesaian pekerjaan lainnya sesuai ketentuan,
f) berita acara pembayaran,
g) kuitansi yang telah ditandatangani oleh penyedia barang/jasa dan PPK,
a) surat keputusan,
b) surat tugas/surat perjalanan dinas,
c) daftar penerima pembayaran, dan/atau
d) dokumen pendukung lainnya sesuai ketentuan.
2) Norma Waktu Pengajuan Tagihan
Dalam hal lima hari kerja setelah timbulnya hak tagih kepada negara penerima
hak belum mengajukan surat tagihan, PPK harus segera memberitahukan
secara tertulis kepada penerima hak untuk mengajukan tagihan. Apabila
belum mengajukan tagihan, penerima hak pada saat mengajukan tagihan
harus memberikan penjelasan secara tertulis kepada PPK atas keterlambatan
pengajuan tagihan tersebut.
Dalam hal PPK menolak/mengembalikan tagihan karena dokumen pendukung
tagihan tidak lengkap dan benar, PPK harus menyatakan secara tertulis alasan
3) Mekanisme Penerbitan SPP‐LS
a) Pembayaran Gaji Induk
Pembayaran gaji induk dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai
berikut:
(1) Daftar Gaji, Rekapitulasi Daftar Gaji, dan Halaman Luar Daftar Gaji
yang ditandatangani oleh PPABP, Bendahara Pengeluaran, dan
KPA/PPK;
(2) Daftar Perubahan Data Pegawai yang ditandatangani PPABP;
(3) Daftar Perubahan Potongan;
(5) fotokopi dokumen pendukung perubahan data pegawai yang telah
dilegalisasi oleh kepala satker/pejabat yang berwenang meliputi
surat keputusan (SK) terkait dengan pengangkatan Calon Pegawai
Negeri, SK Pegawai Negeri, SK Kenaikan Pangkat, Surat
Pemberitahuan Kenaikan Gaji Berkala, SK Mutasi Pegawai, SK
Menduduki Jabatan, Surat Pernyataan Melaksanakan Tugas, Surat
atau Akta terkait dengan anggota keluarga yang mendapat
tunjangan, Surat Keterangan Penghentian Pembayaran (SKPP), dan
surat keputusan yang mengakibatkan penurunan gaji, serta SK
Pemberian Uang Tunggu sesuai peruntukannya;
(6) ADK terkait dengan perubahan data pegawai;
(8) surat setoran Pajak Penghasilan Pasal 21.
b) Penerbitan SPP‐LS untuk pembayaran non belanja pegawai
(1) Pembayaran honorarium dilengkapi dengan dokumen pendukung,
meliputi:
surat keputusan yang terdapat pernyataan bahwa biaya yang
timbul akibat penerbitan surat keputusan dimaksud
dibebankan pada DIPA;
(2) Untuk pembayaran perjalanan dinas diatur sebagai berikut.
Perjalanan dinas jabatan yang sudah dilaksanakan, dilampiri:
- daftar nominatif perjalanan dinas; dan
Daftar nominatif sebagaimana dimaksud pada angka (1) dan
(2) ditandatangani oleh PPK yang memuat paling kurang
informasi mengenai pihak yang melaksanakan perjalanan
dinas (nama, pangkat/golongan), tujuan, tanggal
keberangkatan, lama perjalanan dinas, dan biaya yang
diperlukan untuk masing‐masing pejabat.
(3) Penerbitan SPP‐LS untuk pembayaran pengadaan barang/jasa atas
beban belanja barang, belanja modal, belanja bantuan sosial, dan
belanja lain‐lain dilengkapi dengan dokumen/bukti pengeluaran
yang sah sebagaimana dijelaskan dalam pengajuan tagihan.
Norma waktu penyelesaian SPP‐LS diatur sebagai berikut.
(2) SPP‐LS untuk pembayaran gaji induk/bulanan diterbitkan oleh PPK
dan disampaikan kepada PPSPM paling lambat tanggal 5 sebelum
a) belanja barang;
b) belanja modal; dan
c) belanja lain‐lain.
Bendahara pengeluaran/BPP melakukan penggantian (revolving) UP yang telah
digunakan sepanjang dana yang dapat dibayarkan dengan UP masih tersedia
dalam DIPA. Penggantian UP tersebut dilakukan apabila UP telah digunakan
Kepala KPPN menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA, dalam hal dua
bulan sejak SP2D‐UP/SP2D‐GUP diterbitkan belum dilakukan pengajuan
penggantian UP. Apabila dalam satu bulan sejak disampaikan surat
pemberitahuan belum dilakukan pengajuan penggantian UP, Kepala KPPN
memotong UP sebesar 25%. Pemotongan dana UP dilakukan dengan cara,
Kepala KPPN menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA untuk
memperhitungkan potongan UP dalam SPM dan/atau menyetorkan ke kas
negara. Ketentuan ini berlaku SP2DGUP selanjutnya.
a) Rp50.000.000,00 untuk pagu jenis belanja yang bisa dibayarkan melalui
UP sampai dengan Rp900.000.000,00;
b) Rp100.000.000,00 untuk pagu jenis belanja yang bisa dibayarkan melalui
UP di atas Rp900.000.000,00 sampai dengan Rp2.400.000.000,00;
c) Rp200.000.000,00 untuk pagu jenis belanja yang bisa dibayarkan melalui
UP di atas Rp2.400.000.000,00 sampai dengan Rp6.000.000.000,00 atau
d) Rp500.000.000,00 untuk pagu jenis belanja yang bisa dibayarkan melalui
UP di atas Rp6.000.000.000,00.
a) frekuensi penggantian UP tahun yang lalu lebih dari rata‐rata satu kali
dalam satu bulan selama satu tahun; dan
5) Tambahan Uang Persediaan (TUP)
KPA dapat mengajukan TUP kepada Kepala KPPN dalam hal sisa UP pada
bendahara pengeluaran tidak cukup tersedia untuk membiayai kegiatan yang
sifatnya mendesak/tidak dapat ditunda, dengan ketentuan:
KPA mengajukan permintaan TUP kepada Kepala KPPN selaku Kuasa BUN
disertai dengan:
a) rincian rencana penggunaan TUP; dan
c) TUP sebelumnya sudah dipertanggungjawabkan seluruhnya; dan
d) TUP sebelumnya yang tidak digunakan telah disetor ke kas negara.
6) Mekanisme Penerbitan SPP‐UP/GUP/GUP NIHIL
a) meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh PPK;
b) pemeriksaan kebenaran atas hak tagih, meliputi:
(1) pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran,
(2) nilai tagihan yang harus dibayar,
(3) jadwal waktu pembayaran, dan
(4) menguji ketersediaan dana yang bersangkutan;
d) pemeriksaan dan pengujian ketepatan penggunaan kode mata anggaran
pengeluaran (akun 6 digit).
a) rencana pelaksanaan kegiatan/pembayaran;
b) rincian kebutuhan dana;
Atas dasar rencana pelaksanaan kegiatan/pembayaran dan rincian kebutuhan
dana dimaksud, bendahara pengeluaran/BPP melakukan pengujian
ketersediaan dananya. Penerima uang muka kerja harus
mempertanggungjawabkan uang muka kerja sesuai batas waktu
pertanggungjawaban penggunaan uang muka kerja dengan bukti pengeluaran.
Bendahara pengeluaran/BPP melakukan pembayaran atas tagihan dalam SPBy
apabila telah memenuhi persyaratan. Dalam hal tidak memenuhi persyaratan
untuk dibayarkan, bendahara pengeluaran/BPP harus menolak SPBy yang
diajukan.
a) Daftar Rincian Permintaan Pembayaran;
b) bukti pengeluaran; dan
c) SSP yang telah dikonfirmasi KPPN.
Dalam pengajuan SPP‐GUP, untuk perjanjian/kontrak beserta faktur pajaknya
dilampirkan untuk nilai transaksi yang harus menggunakan perjanjian/kontrak
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang‐undangan mengenai
pengadaan barang/jasa pemerintah. SPP‐GUP disampaikan kepada PPSPM
paling lambat lima hari kerja setelah bukti‐bukti pendukung diterima secara
lengkap dan benar.
Sisa dana dalam DIPA yang dapat dilakukan pembayaran dengan UP minimal
sama dengan nilai UP yang dikelola oleh bendahara pengeluaran. Dalam hal
pengisian kembali UP akan mengakibatkan sisa dana dalam DIPA yang dapat
dilakukan pembayaran dengan UP lebih kecil dari UP yang dikelola bendahara
pengeluaran:
b) selisih antara sisa dana dalam DIPA yang dapat dilakukan pembayaran
dengan UP dan UP yang dikelola Bendahara Pengeluaran dibukukan/
diperhitungkan sebagai potongan Penerimaan Pengembalian UP.
a) sisa dana pada DIPA yang dapat dibayarkan dengan UP minimal sama
dengan besaran UP yang diberikan;
b) sebagai pertanggungjawaban UP yang dilakukan pada akhir tahun; atau
c) UP tidak diperlukan lagi.
7) Mekanisme Penerbitan SPP‐TUP/PTUP
PPK menerbitkan SPP‐TUP dan dilengkapi dengan dokumen meliputi:
b) surat pernyataan dari KPA/PPK; dan
SPP‐TUP diterbitkan oleh PPK dan disampaikan kepada PPSPM paling lambat
dua hari kerja setelah diterimanya persetujuan TUP dari Kepala KPPN. Untuk
mengesahkan/ mempertanggungjawabkan TUP, PPK menerbitkan SPP‐PTUP.
SPP‐PTUP disampaikan kepada PPSPM paling lambat lima hari kerja sebelum
batas akhir pertanggungjawaban TUP.
d. Mekanisme Pengujian SPP dan Penerbitan SPM
1) Pengujian SPP
Pejabat Penandatangan SPM (PPSPM) melakukan pemeriksaan dan pengujian
SPP beserta dokumen pendukung yang disampaikan oleh PPK. Pemeriksaan
dan pengujian SPP beserta dokumen pendukung SPP meliputi:
a) kelengkapan dokumen pendukung SPP;
d) ketersediaan pagu sesuai BAS pada SPP dengan DIPA/POK/Rencana Kerja
Anggaran satker;
e) kebenaran formal dokumen/surat keputusan yang menjadi persyaratan/
kelengkapan pembayaran belanja pegawai;
(1) bukti perjanjian/kontrak;
(3) Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan;
(4) Berita Acara Serah Terima Pekerjaan/Barang;
(5) bukti penyelesaian pekerjaan lainnya sesuai ketentuan;
(6) Berita Acara Pembayaran;
(8) faktur pajak beserta surat setoran pajak (SSP) yang telah
ditandatangani oleh wajib pajak/bendahara pengeluaran;
(11) surat keputusan;
(12) surat tugas/surat perjalanan dinas;
(13) daftar penerima pembayaran; dan/atau
(14) dokumen pendukung lainnya sesuai ketentuan.
2) Penerbitan dan Penandatanganan SPM
a) keamanan data pada aplikasi SPM;
b) kebenaran SPM dan kesesuaian antara data pada SPM dengan ADK SPM;
dan
c) penggunaan Personal Identification Number (PIN) pada ADK SPM.
a) SPP‐UP/TUP diselesaikan paling lambat dua hari kerja;
b) SPP‐GUP diselesaikan paling lambat empat hari kerja;
c) SPP‐PTUP diselesaikan paling lambat tiga hari kerja; dan
d) SPP‐LS diselesaikan paling lambat lima hari kerja.
Dalam hal PPSPM menolak/mengembalikan SPP karena dokumen pendukung
tagihan tidak lengkap dan benar, maka PPSPM harus menyatakan secara
tertulis alasan penolakan/pengembalian tersebut paling lambat dua hari kerja
setelah diterimanya SPP.
3) Penyampaian SPM ke KPPN
a) SPM‐UP dilampiri surat pernyataan dari KPA;
b) SPM‐TUP dilampiri surat persetujuan pemberian TUP dari Kepala KPPN;
atau
c) SPM‐LS dilampiri surat setoran pajak (SSP) dan/atau bukti setor lainnya,
dan/atau daftar nominatif untuk yang lebih dari satu penerima.
e) SPM‐GUP/GUP Nihil dan SPM‐PTUP tidak memerlukan lampiran.
a) PPSPM menyampaikan SPM kepada KPPN paling lambat dua hari kerja
setelah SPM diterbitkan.
b) Khusus untuk SPM‐LS pembayaran gaji induk disampaikan kepada KPPN
paling lambat tanggal 15 sebelum bulan pembayaran. Dalam hal tanggal
15 merupakan hari libur atau hari yang dinyatakan libur, penyampaian
SPM‐LS untuk pembayaran gaji induk kepada KPPN dilakukan paling
lambat satu hari kerja sebelum tanggal 15, dikecualikan untuk satker
yang kondisi geografis dan transportasinya sulit, dengan
memperhitungkan waktu yang dapat dipertanggungjawabkan.
Penyampaian SPM kepada KPPN dilakukan oleh petugas pengantar SPM yang
sah dan ditetapkan oleh KPA dengan ketentuan sebagai berikut.
c) dalam hal SPM tidak dapat disampaikan secara langsung ke KPPN,
penyampaian SPM beserta dokumen pendukung dan ADK SPM dapat
melalui kantor pos/jasa pengiriman resmi dan terlebih dahulu KPA
menyampaikan konfirmasi/pemberitahuan kepada Kepala KPPN.
e. Mekanisme Penerbitan SP2D
Pengujian SPM oleh KPPN SPM yang diajukan ke KPPN digunakan sebagai dasar
penerbitan SP2D. Dalam pencairan anggaran belanja negara, KPPN melakukan
penelitian dan pengujian atas SPM yang disampaikan oleh PPSPM.
KPPN melakukan penelitian SPM meliputi:
a) meneliti kelengkapan dokumen pendukung SPM dan,
b) meneliti kebenaran SPM.
Dalam meneliti kebenaran SPM dilakukan meliputi:
b) memeriksa cara penulisan/pengisian jumlah angka dan huruf pada SPM;
dan
c) memeriksa kebenaran penulisan dalam SPM, tidak boleh terdapat cacat
dalam penulisan.
2) Pengujian SPM
KPPN melakukan pengujian SPM meliputi:
a) menguji kebenaran perhitungan angka atas beban APBN yang tercantum
dalam SPM berupa pengujian kebenaran jumlah belanja/pengeluaran
dikurangi dengan jumlah potongan/penerimaan dengan jumlah bersih
dalam SPM;
d) menguji persyaratan pencairan dana yang meliputi:
(1) menguji SPM UP berupa besaran UP yang dapat diberikan
(2) menguji SPM TUP meliputi kesesuaian jumlah uang yang diajukan
pada SPM TUP dengan jumlah uang yang disetujui Kepala KPPN;
(4) menguji SPM GUP meliputi batas minimal revolving dari UP yang
dikelola dan ketentuan terkait penggunaan dan
pertanggungjawaban UP;
(5) menguji SPM LS Non Belanja Pegawai berupa kesesuaian data
perjanjian/kontrak pada SPM LS dengan data perjanjian/kontrak
yang tercantum dalam Kartu Pengawasan Kontrak KPPN; dan
(6) menguji SPM LS Belanja Pegawai sesuai dengan prosedur standar
operasional yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Perbendaharaan.
Dalam pengujian SPM‐UP, jika terdapat UP tahun anggaran sebelumnya belum
dipertanggungjawabkan, juga dilakukan pengujian yang meliputi:
b) kesesuaian jumlah potongan UP pada SPM UP dengan sisa UP tahun
anggaran yang sebelumnya;
KPPN menerbitkan SP2D jika penelitian dan pengujian telah memenuhi syarat.
Dalam hal hasil penelitian dan pengujian tidak memenuhi syarat, Kepala KPPN
mengembalikan SPM beserta dokumen pendukung secara tertulis. KPPN tidak
dapat menerbitkan SP2D apabila satker belum mengirimkan:
a) data perjanjian/kontrak beserta ADK untuk pembayaran melalui SPM‐LS
kepada pihak ketiga; atau
Atas dasar perbaikan atau ralat SPM dimaksud, Kepala KPPN menyampaikan
ralat SP2D kepada bank operasional. Tata cara penyelesaian pencairan dana
dengan mekanisme retur SP2D diatur oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Setiap keterlanjuran setoran ke kas negara dan/atau kelebihan penerimaan negara
dapat dimintakan pengembaliannya. Permintaan pengembalian dapat dilakukan
berdasarkan surat‐surat bukti setoran yang sah. Pembayaran pengembalian
keterlanjuran setoran dan/atau kelebihan penerimaan negara harus diperhitungkan
terlebih dahulu dengan utang pada negara. Pembayaran pengembalian dilaksanakan
berdasarkan mekanisme yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.
g. Pembayaran Tagihan yang Bersumber dari Penggunaan PNBP
Pembayaran tagihan atas beban belanja negara yang bersumber dari penggunaan
PNBP, dilakukan sebagai berikut.
1) Satker pengguna PNBP menggunakan PNBP sesuai dengan jenis PNBP dan
batas tertinggi PNBP yang dapat digunakan sesuai yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.
2) Batas tertinggi PNBP yang dapat digunakan sebagaimana dimaksud pada huruf
a merupakan maksimum pencairan dana yang dapat dilakukan oleh Satker
berkenaan.
3) Satker dapat menggunakan PNBP sebagaimana dimaksud pada huruf a setelah
PNBP disetor ke kas negara berdasarkan konfirmasi dari KPPN.
4) Dalam hal PNBP yang ditetapkan penggunaannya secara terpusat, pembayaran
dilakukan berdasarkan Pagu Pencairan sesuai Surat Edaran/Peraturan Direktur
Jenderal Perbendaharaan.
6) Dalam hal realisasi PNBP melampaui target dalam DIPA, penambahan pagu
dalam DIPA dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan c.q
Direktur Jenderal Anggaran.
Satker pengguna PNBP dapat diberikan UP sebesar 20% dari realisasi PNBP yang
dapat digunakan sesuai pagu PNBP dalam DIPA maksimum sebesar
Dalam hal UP tidak mencukupi dapat mengajukan TUP sebesar kebutuhan riil selama
satu bulan dengan memerhatikan batas maksimum pencairan (MP). Pembayaran
UP/TUP untuk satker pengguna PNBP dilakukan terpisah dari UP/TUP yang berasal
dari rupiah murni.
Satker pengguna PNBP yang belum memperoleh maksimum pencairan (MP) dana
PNBP dapat diberikan UP sebesar maksimal 1/12 dari pagu dana PNBP pada DIPA,
maksimal sebesar Rp200.000.000,00. Ketentuan ini dapat dilakukan untuk pengguna
PNBP dengan ketentuan:
1) yang telah memperoleh maksimum pencairan (MP) dana PNBP namun belum
mencapai 1/12 dari pagu dana PNBP pada DIPA; atau
2) yang belum memperoleh pagu pencairan.
Penyesuaian besaran UP dapat dilakukan terhadap satker pengguna PNBP yang
telah memperoleh maksimum pencairan (MP) dana PNBP melebihi UP yang telah
diberikan. Penggantian UP atas PNBP dilakukan setelah satker pengguna PNBP
memperoleh maksimum pencairan (MP) dana PNBP paling sedikit sebesar UP yang
diberikan.
Dana yang berasal dari PNBP dapat dicairkan maksimal sesuai formula sebagai
berikut.
MP = (PPP x JS) – JPS
MP : maksimum pencairan
PPP : proporsi pagu pengeluaran terhadap pendapatan sesuai dengan yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
JS : Jumlah setoran
JPS : jumlah pencairan dana sebelumnya sampai dengan SPM terakhir
yang diterbitkan
Tata cara penerbitan dan pengujian SPP dan SPM‐UP/ TUP/PTUP/GUP/GUP Nihil/LS
dari dana yang bersumber dari PNBP mengacu pada mekanisme dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 190 Tahun 2012.
1) bukti setor PNBP yang telah dikonfirmasi oleh KPPN;
2) Daftar Perhitungan Jumlah Maksimum Pencairan (MP) dibuat sesuai format.
KPPN melakukan penelitian terhadap kebenaran perhitungan dalam Daftar
Perhitungan Jumlah Maksimum Pencairan (MP).
1) Perjanjian/kontrak dalam valas tidak dapat dikonversi ke dalam rupiah.
2) Pengajuan SPM disampaikan kepada KPPN Khusus Jakarta VI.
3) Penerbitan SPP‐UP/TUP, SPM‐UP/TUP, dan SP2D‐UP/TUP menjadi beban dana
rupiah murni.
Dalam hal terjadi penguatan nilai tukar (kurs) rupiah terhadap valas yang
menyebabkan alokasi dana rupiah pada DIPA melampaui sisa pinjaman dan/atau
hibah luar negeri, sebelum dilakukan penerbitan SPP, satker harus melakukan
perhitungan dan/atau konfirmasi kepada executing agency agar tidak terjadi
pembayaran yang melampaui sisa pinjaman dan/atau hibah luar negeri berkenaan.
Pengeluaran atas SP2D dengan sumber dana dari pinjaman dan/atau hibah luar
negeri yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam dokumen
perjanjian pinjaman dan/atau hibah luar negeri, atau pengeluaran setelah pinjaman
dan/atau hibah luar negeri dinyatakan closing date dikategorikan sebagai
pengeluaran ineligible. Atas pengeluaran yang dikategorikan ineligible tersebut,
Direktur Jenderal Perbendaharaan menyampaikan surat pemberitahuan kepada
pimpinan kementerian negara/lembaga dengan tembusan kepada Direktur Jenderal
Anggaran.
Penggantian atas pengeluaran yang dikategorikan ineligible menjadi tanggung jawab
kementerian negara/lembaga yang bersangkutan dan harus diperhitungkan dalam
revisi DIPA tahun anggaran berjalan atau dibebankan dalam DIPA tahun anggaran
berikutnya.
i. Koreksi/Ralat, Pembatalan SPP, SPM dan SP2D
Koreksi/ralat SPP, SPM, dan SP2D hanya dapat dilakukan sepanjang tidak
mengakibatkan berikut.
1) perubahan jumlah uang pada SPP, SPM dan SP2D;
2) sisa pagu anggaran pada DIPA/POK menjadi minus; atau
3) perubahan kode bagian anggaran, eselon I, dan satker.
Dalam hal diperlukan perubahan kode bagian anggaran, eselon I, dan satker
sebagaimana dimaksud pada huruf c di atas, hal itu dapat dilakukan dengan terlebih
2) pencantuman kode pada SPM yang meliputi kode jenis SPM, cara bayar, tahun
anggaran, jenis pembayaran, sifat pembayaran, sumber dana, cara penarikan,
nomor register; atau
3) koreksi/ralat penulisan nomor dan nama rekening, nama bank yang tercantum
pada SPP, SPM dan SP2D beserta dokumen pendukungnya yang disebabkan
terjadinya kegagalan transfer dana (retur).
Koreksi/ralat SPM dan ADK SPM hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan
koreksi/ralat SPM dan ADK SPM secara tertulis dari PPK. Koreksi/ralat kode mata
anggaran pengeluaran (akun 6 digit) pada ADK SPM dapat dilakukan berdasarkan
permintaan koreksi/ralat ADK SPM secara tertulis dari PPK sepanjang tidak
mengubah SPM. Koreksi/ralat SP2D hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan
koreksi SP2D secara tertulis dari PPSPM dengan disertai SPM dan ADK yang telah
diperbaiki.
Pembatalan SPP hanya dapat dilakukan oleh PPK sepanjang SP2D belum diterbitkan.
Pembatalan SPM hanya dapat dilakukan oleh PPSPM secara tertulis sepanjang SP2D
belum diterbitkan. Dalam hal SP2D telah diterbitkan dan belum mendebet kas
negara, pembatalan SPM dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan Direktur
Jenderal Perbendaharaan atau pejabat yang ditunjuk.
Koreksi SP2D atau daftar nominatif untuk penerima lebih dari satu rekening hanya
dapat dilakukan oleh Kepala KPPN berdasarkan permintaan KPA. Pembatalan SP2D
tidak dapat dilakukan dalam hal SP2D telah mendebet rekening kas negara.
j. Pelaksanaan Pembayaran pada Akhir Tahun Anggaran
Dalam kondisi akhir tahun anggaran, batas terakhir pembayaran atas beban APBN
dapat dilakukan sebelum tanggal terakhir pada akhir tahun. Penetapan batas
k. Pelaporan Realisasi Anggaran
Dalam penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN diperlukan data
realisasi APBN, arus kas, neraca, dan catatan atas laporan keuangan. Untuk
keperluan tersebut maka:
3. Pokok‐Pokok Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
a. Prinsip Dasar, Kebijakan Umum, Etika, dan Ruang Lingkup Pengadaan Barang/Jasa
1) Prinsip‐Prinsip Dasar
Gambar 5.5 Prinsip Pengadaan Barang/Jasa
c) Pemanfaatan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup
secara arif, sarana/prasarana penelitian dan pengembangan dalam
negeri.
f) Pengadaan barang/jasa di dalam wilayah NKRI.
3) Etika Dalam Pengadaan Barang/Jasa
PPK, penyedia barang/jasa dan para pihak yang terlibat harus memenuhi etika:
a) melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab;
4) Ruang Lingkup dan Pembiayaan Pengadaan
Ruang lingkup pengadaan barang/jasa pemerintah mencakup:
b) Pengadaan barang/jasa yang dananya bersumber dari APBN/D termasuk
yang sebagian/seluruh dananya dibiayai dari pinjaman/hibah dalam
negeri.
d) biaya lainnya untuk mendukung pengadaan barang/jasa.
Selain itu K/L/D/I dapat:
b. Pokok‐Pokok Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa
1) Para Pihak dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
a) Organisasi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Organisasi pengadaan barang/jasa melalui penyedia terdiri atas:
(1) Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.
(2) Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
(3) Unit Layanan Pengadaan/Pejabat Pengadaan
(4) Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan.
Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan ditetapkan oleh PA/KPA.
Seadangkan organisasi pengadaan barang/jasa melalui swakelola terdiri
atas:
(1) Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran;
(2) Pejabat Pembuat Komitmen; dan
(3) Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan.
b) Wewenang dan Tugas Para Pihak
Wewenang dan tugas para pihak dalam PBJ telah memerhatikan prinsip
pengendalian dalam tata kelola kepemerintahan yang baik, karena
PA/KPA sebagai perencana umum, PPK sebagai manajer kegiatan,
ULP/pejabat pengadaan sebagai pelaksana pemilihan penyedia
barang/jasa yang mandiri, dan panitia/pejabat penerima pengadaan
2) Perencanaan Umum Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
a) mengindentifikasi kebutuhan barang/jasa yang diperlukan K/L/D/I;
b) menyusun dan menetapkan rencana anggaran pengadaan
c) menetapkan kebijakan umum tentang:
(1) pemaketan pekerjaan;
(2) cara pengadaan barang/jasa; dan
(3) pengorganisasian pengadaan barang/jasa;
d) menyusun kerangka acuan kerja (KAK).
3) Pelaksanaan Pemilihan Mendahului Tahun Anggaran
Pada pelelangan/seleksi sebelum tahun anggaran:
b) Pengumuman mencantumkan kondisi DIPA/DPA belum ditetapkan.
4) Cara Pengadaan Barang/Jasa
Pengadaan barang/jasa pemerintah dapat dilaksanakan melalui swakelola dan
pemilihan penyedia barang/jasa yang mencakup barang, pekerjaan konstruksi,
jasa konsultasi, dan jasa lainnya sebagaimana Gambar 5.5 berikut.
Gambar 5.6 Cara Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Penanggung Jawab Anggaran
Swakelola Instansi Pemerintah Lain
Kelompok Masyarakat
P BJ
Barang
Jasa Konsultasi
Jasa Lainnya
a) Pengadaan Barang/Jasa dengan cara Swakelola
Pekerjaan dengan cara swakelola meliputi kegiatan berikut:
(3) segi besaran, sifat, lokasi atau pembiayaannya tidak diminati oleh
penyedia barang/jasa;
(5) diklat, kursus, penataran, seminar, lokakarya, atau penyuluhan;
(6) proyek percontohan (pilot project) yang bersifat khusus;
(8) bersifat rahasia bagi K/L/D/I terkait;
(9) industri kreatif, inovatif dan budaya dalam negeri;
(10) penelitian dan pengembangan dalam negeri;
(11) pengembangan industri pertahanan, industri alutsista dan industri
almatsus dalam negeri.
b) Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia
(2) Pekerjaan konstruksi adalah seluruh pekerjaan yang berhubungan
dengan pelaksanaan konstruksi bangunan atau pembuatan wujud
fisik lainnya.
(3) Jasa lainnya adalah jasa yang membutuhkan kemampuan tertentu
yang mengutamakan keterampilan (skillware) dalam suatu sistem
tata kelola yang telah dikenal luas di dunia usaha untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan dan/atau penyediaan jasa selain
jasa konsultasi, pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan pengadaan
barang.
(4) Jasa konsultasi adalah jasa layanan profesional yang membutuhkan
keahlian tertentu diberbagai bidang keilmuan yang mengutamakan
adanya olah pikir (brainware).
5) Metode pemilihan penyedia
a) Pemilihan penyedia barang dengan:
(1) pelelangan umum dan pelelangan sederhana;
(2) pelelangan terbatas;
(3) penunjukan langsung;
(4) pengadaan langsung; atau
(5) kontes (untuk industri kreatif, inovatif dan budaya dalam negeri).
(1) pelelangan umum dan pelelangan sederhana;
(2) penunjukan langsung;
(3) pengadaan langsung; atau
c) Pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi dengan :
(1) pelelangan umum;
(2) pelelangan terbatas;
(3) pemilihan langsung;
(4) penunjukan langsung; atau
(5) pengadaan langsung.
d) Pemilihan penyedia jasa konsultansi
(a) seleksi umum;
(b) seleksi terbatas;
(c) penunjukan langsung; atau
(d) pengadaan langsung.
6) Spesifikasi Teknis, Harga Perkiraan Sendiri (HPS), dan Rancangan Jenis Kontrak
Spesifikasi teknis, HPS, dan rancangan jenis kontrak ditetapkan oleh PPK,
sebelum pelaksanaan pemilihan penyedia barang/jasa.
a) Spesifikasi Teknis
b) HPS
HPS barang/jasa disusun berdasarkan masukan dari tim pendukung dan
menetapkannya paling lama 28 hari kerja sebelum batas akhir
pemasukan penawaran atau paling lama 28 hari kerja sebelum batas
akhir pemasukan penawaran ditambah dengan waktu lamanya proses
prakualifikasi untuk pemilihan dengan prakualifikasi. Kecuali untuk
pemilihan penyedia barang/jasa lainnya dengan kontes/sayembara.
(1) biaya satuan dari Badan Pusat Statistik (BPS);
(2) biaya satuan dari asosiasi terkait dan sumber data lain yang dapat
dipertanggungjawabkan;
(6) hasil perbandingan dengan kontrak sejenis instansi/pihak lain;
(7) perkiraan perhitungan biaya oleh konsultan perencana;
(8) norma indeks; dan/atau
(9) informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
HPS digunakan sebagai:
(1) alat untuk menilai kewajaran penawaran termasuk rinciannya;
(2) dasar penetapan batas tertinggi penawaran yang sah dan jaminan
pelaksanaan bagi nilai penawaran di bawah 80% nilai total HPS.
c) Rancangan Kontrak dan Penetapan Jenis Kontrak
7) Metode Penilaian Kualifikasi
a) jasa konsultasi (badan usaha);
b) barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang bersifat kompleks melalui
pelelangan umum atau penunjukan langsung, kecuali untuk penunjukan
langsung keadaan darurat.
a) pelelangan umum, kecuali untuk pekerjaan kompleks;
b) pelelangan sederhana/pemilihan langsung; dan
c) jasa konsultasi perorangan.
a) meminta penyedia barang/jasa mengisi formulir kualifikasi; dan
8) Penetapan Penyedia Barang/Jasa dan Jenis Kontrak
a) Penetapan Penyedia Barang/Jasa
Terhadap hasil pemilihan, peserta dapat mengajukan sanggahan tertulis
kepada ULP dan ditembuskan kepada PPK, PA/KPA dan APIP K/L/D/I
apabila menemukan: penyimpangan atas ketentuan dan prosedur;
rekayasa yang mengakibatkan persaingan tidak sehat; dan
penyalahgunaan wewenang oleh ULP/pejabat lainnya.
(2) sanggahan peserta terhadap hasil prakualifikasi ternyata benar;
(5) harga penawaran terendah terkoreksi untuk kontrak harga satuan
dan kontrak gabungan lebih tinggi dari HPS;
(6) seluruh harga penawaran yang masuk untuk kontrak lumpsum di
atas HPS;
(7) sanggahan hasil pelelangan dari peserta ternyata benar;
(8) calon pemenang dan calon pemenang cadangan 1 dan 2, setelah
dievaluasi dengan sengaja tidak hadir dalam klarifikasi dan
pembuktian kualifikasi.
b) Bukti Perjanjian
Tanda bukti perjanjian pengadaan barang/jasa menggunakan:
a. Pembukuan
Bendahara wajib menyelenggarakan pembukuan terhadap seluruh penerimaan dan
pengeluaran dalam rangka pelaksanaan anggaran satuan kerja yang berada di
bawah pengelolaannya. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER‐
3/PB/2014, pembukuan bendahara terdiri dari Buku Kas Umum (BKU), buku
pembantu, dan Buku Pengawasan Anggaran. Buku pembantu bendahara
pengeluaran sekurang‐kurangnya terdiri atas Buku Pembantu Kas, Buku Pembantu
UP/TUP, Buku Pembantu LS Bendahara, Buku Pembantu Pajak dan Buku Pembantu
Lain‐lain.
Pembukuan tersebut dilakukan dengan aplikasi yang dibuat dan dibangun oleh
Kementerian Keuangan cq. Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Dalam hal aplikasi
tersebut tidak dapat digunakan, bendahara dapat menyelenggarakan pembukuan
secara manual.
Hal‐hal yang diperhatikan dalam pembukuan oleh bendahara yaitu:
Setiap transaksi harus segera dicatat dalam BKU sebelum dibukukan dalam
buku‐buku pembantu dan pengawasan anggaran.
PA/KPA dapat menentukan buku‐buku bantu/register selain BKU.
Pembukuan dilaksanakan berdasarkan asas bruto.
KPA melaksanakan pemeriksaan kas sekurang‐kurangnya satu kali dalam satu
bulan dalam rangka pengawasan penatausahaan kas dan ketertiban
pembukuan.
DIPA yang telah mendapat pengesahan.
SPM‐UP/SPM‐TUP/SPM‐GUP/SPM‐LS yang telah diterbitkan SP2D
Kwitansi/dokumen pembayaran atas uang yang bersumber dari UP atau LS‐
Bendahara
Faktur pajak atas potongan uang yang bersumber dari UP atau LS‐Bendahara
Bendahara wajib menyusun LPJ Bendahara atas uang yang dikelolanya secara
bulanan. LPJ tersebut dibuat berdasarkan pembukuan yang diselenggarakan
bendahara yang telah diperiksa dan direkonsiliasi oleh KPA. LPJ Bendahara
Pengeluaran dituangkan sebagaimana Format Lampiran IX Peraturan Menteri
Keuangan Nomor PER‐3/PB/2014.
b. Akuntansi
Pembahasan lebih lanjut mengenai akuntansi terkait SAI dan Pelaporan Keuangan
pada BAB VI PELAPORAN PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN
NEGARA.
1. Kewajiban Perpajakan
a. Kewajiban mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
di kantor pelayanan pajak yang sesuai dengan lokasi kedudukannya. Selama masih
melaksanakan pengelolaan anggaran negara NPWP bendahara ini tetap berlaku.
NPWP atas nama bendahara ini akan dilakukan penghapusan jika terjadi:
1) perubahan organisasi yang mengakibatkan nama unit instansinya berubah;
2) proyek/kegiatan telah berakhir (selesai).
b. Kewajiban untuk menyetorkan penerimaan pajak yang dipungut/dipotong pada saat
dan tempat sesuai dengan ketentuan umum perpajakan yang berlaku.
Sanksi perpajakan meliputi sanksi administrasi dan sanksi pidana sebagai berikut.
a. Sanksi administrasi, berupa denda yaitu:
1) denda sebesar Rp100.000,00 jika terlambat menyampaikan SPT Masa PPh dan
Rp500.000,00 untuk SPT Masa PPN sesuai waktu yang telah ditentukan yaitu
20 hari setelah masa pajak berakhir;
Pada sejumlah pelanggaran, sanksi denda ini akan ditambah dengan sanksi pidana.
Pelanggaran yang juga dikenai sanksi pidana ini adalah pelanggaran yang sifatnya
alpa atau disengaja.
b. Sanksi administrasi berupa pengenaan bunga sebesar 2% per bulan dihitung dari
tanggal jatuh tempo pembayaran s.d. tanggal pembayaran atas pembayaran atau
penyetoran pajak yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyetoran.
c. Sanksi administrasi berupa kenaikan pajak terutang. Dilihat dari bentuknya, sanksi
administrasi berupa kenaikan adalah sanksi yang cukup memberatkan bagi wajib
pajak, karena dengan pengenaan sanksi ini jumlah pajak yang harus dibayar bisa
menjadi berlipat ganda. Sanksi berupa kenaikan pada dasarnya dihitung dengan
angka persentase tertentu dari jumlah pajak yang tidak/kurang dibayar. Jika dilihat
dari penyebabnya, sanksi kenaikan biasanya dikenakan karena wajib pajak yang
tidak memberikan informasi‐informasi yang dibutuhkan dalam menghitung jumlah
pajak terutang.
e. Sanksi pidana berupa kurungan paling singkat enam bulan dan paling lama enam
tahun. Denda paling sedikit dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
bayar dan paling banyak empat kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
bayar bagi wajib pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPT atau
menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan dapat
merugikan negara, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
3. Kewajiban Pemotongan dan Pemungutan Pajak Pusat
Jenis Pajak / Ketentuan
Uraian Tarif
Terkait
a. PPh Pasal 21 Pemotongan atas penghasilan yang dibayarkan kepada orang
• PP 80/2010 pribadi sehubungan dengan pekerjaan jabatan, jasa & kegiatan.
• PMK 262/2010 Tarif: progresif 5 % – 30%
• Perdirjan PJ 57/2009
b. PPh Pasal 4 (2) Pemotongan atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan jasa
tertentu dan sumber tertentu (jasa konstruksi, sewa
tanah/bangunan, pengalihan hak atas tanah/bangunan, hadiah
undian, dan lainnya).
Tarif:
1. Jasa Konstruksi‐Pelaksanaan
• Jasa pelaksanaan memiliki kualifikasi usaha kecil 2%
• Tidak memiliki kualifikasi usaha 4%
• Memiliki kualifikasi usaha menengah atau besar 3%
2. Jasa Konstruksi‐Perencanaan
• Memiliki kualifikasi usaha 4%
• Tidak `memiliki kualifikasi usaha 6%
3. Transaksi pengalihan hak atas tanah/bangunan 5% x nilai
pengalihan bruto.
4. Penyewaan tanah/bangunan 10% x nilai sewa bruto
c. PPh Pasal 22 Pemungutan atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan
• KMK 563/2003 dengan pembelian barang.
• PMK 154/2010 Tarif: 1,5% nilai pembelian (di atas Rp2.000.000).
a. Bendahara Pemotong Pph Pasal 21/26
1) Pengertian PPh Pasal 21/26
Pengertian PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk
apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang
diterima oleh WP orang pribadi dalam negeri. PPh Pasal 26 adalah pajak atas
penghasilan berupa dividen, bunga termasuk premium, diskonto, premi swap
dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, royalti, sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, imbalan
sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan,
pensiun dan pembayaran berkala lainnya yang diterima oleh wajib pajak luar
negeri selain bentuk usaha tetap.
a) pegawai;
Bendahara wajib memotong PPh Pasal 21 atas penghasilan bruto berikut ini.
(1) gaji dan tunjangan lain bersifat tetap yang diterima PNS/TNI/
POLRI;
(2) gaji kehormatan dan tunjangan lain atau imbalan tetap sejenis
yang diterima pejabat negara;
(3) uang pensiun dan tunjangan lain bersifat tetap yang diterima
pensiunan termasuk janda/duda dan/atau anak‐anaknya.
(1) upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau
upah‐upah yang dibayar secara bulanan;
Secara ringkas, PPh Pasal 21/26 yang wajib dilakukan pemotongan oleh
bendahara pemerintah dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 5.7 PPh Pasal 21/26 yang Wajib Dipotong Bendahara
a) Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 dan 26
(1) Penghasilan Kena Pajak (PKP)
(a) Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI, dan Pensiunan
iuran pensiun bagi pejabat/pegawai aktif;
(2) Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dihitung dengan ketentuan:
Jumlah PTKP (Rp)
Jumlah WP Kawin
Tanggungan WP Tidak Kawin WP Kawin Penghasilan Istri
Digabung
0 tanggungan 24.300.000,00 26.325.000,00 50.625.000,00
1 tanggungan 26.325.000,00 28.350.000,00 52.650.000,00
2 tanggungan 28.350.000,00 30.375.000,00 54.675.000,00
3 tanggungan 30.375.000,00 32.400.000,00 56.700.000,00
(4) 50% dari jumlah penghasilan bruto
b) Pengenaan tarif dan cara menghitung PPh Pasal 21/26.
(1) Tarif PPh Pasal 21 yang diterapkan atas PKP berdasarkan Pasal 17
UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir diubah dengan UU
Nomor 36 Tahun 2008 sebagai berikut.
Lapisan PKP Tarif Pajak
• PKP = penghasilan bruto – biaya jabatan/biaya pensiun – PTKP
• PPh 21 = tarif Pasal 17 x PKP
Catatan: PPh 21 ini ditanggung oleh pemerintah
• Golongan IV = tarif 15% x penghasilan bruto (PPh Final)
• Golongan III = tarif 5 % x penghasilan bruto (PPh Final)
• Golongan I/II = tidak dikenakan PPh 21
(4) Bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang menerima
penghasilan berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan,
upah borongan dan uang saku harian berikut ini.
(b) Upah harian/mingguan/borongan melebihi Rp200.000/hari:
• PPh 21 = tarif 5% x (upah harian – Rp200.000,00).
(d) Upah harian/mingguan/borongan, bila dibayar bulanan:
(5) Tarif berdasarkan Pasal 17 UU PPh diterapkan atas jumlah
kumulatif dari:
• yang bersangkutan telah memiliki NPWP
• tidak memperoleh penghasilan lain.
(b) 50% dari jumlah penghasilan bruto yang diterima tenaga ahli
(pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris,
penilai, aktuaris).
(6) Tarif 20% bersifat final atas penghasilan bruto yang diterima
sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi
(WP luar negeri) mengacu pada ketentuan persetujuan
penghindaran pajak berganda yang berlaku antara RI dengan
negara WP luar negeri (PPh Pasal 26).
3) Tata cara pemotongan, penyetoran dan pelaporan Pasal 21 dan 26
a) Tata cara Pemotongan
(3) Dalam hal terjadi kelebihan penyetoran PPh Pasal 21 dan/atau 26
yang terutang pada suatu bulan, kelebihan tersebut dapat
diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 dan/atau 26 yang terutang
pada bulan berikutnya melalui SPP masa PPh Pasal 21 dan/atau 26.
b) Tata cara penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21/ 26.
(2) PPh Pasal 21 yang terutang bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota
TNI/POLRI yang Pphnya ditanggung pemerintah, bendahara cukup
melaporkan perhitungan PPh Pasal 21 yang terutang dalam daftar
gaji kepada KPPN.
(3) Bendahara melaporkan PPh Pasal 21 yang terutang sekalipun nihil
dengan menggunakan SPT Masa selambat‐lambatnya tanggal 20
bulan takwin berikutnya. Apabila tanggal 20 jatuh pada hari libur,
pelaporan dilakukan pada hari kerja berikutnya.
b. Bendahara Pemotong PPh Pasal 22
1) Pengertian PPh Pasal 22
PPh Pasal 22 adalah pajak penghasilan yang salah satu objeknya
dipungut/dipotong sehubungan dengan pembayaran atas pembelian barang
oleh Direktorat Jenderal Anggaran dan bendahara pemerintah pusat maupun
daerah. PPh Pasal 22 dikenakan atas keuntungan penjual/rekanan dan
diperlakukan oleh yang bersangkutan sebagai kredit pajak. Oleh karena itu PPh
Pasal 22 dilarang membebani harga pembelian barang yang dibiayai oleh
APBN/APBD.
c) vaksin polio dalam rangka program PIN (Pekan Imunisasi Nasional);
d) buku‐buku pelajaran umum, kitab suci dan buku‐buku pelajaran agama;
e) barang/peralatan/perlengkapan militer untuk keperluan hankam;
h) pembayaran untuk pembelian barang terkait penggunaan dana bantuan
operasional sekolah (BOS).
2) Saat Pemungutan, Tarif dan Cara Menghitung PPh Pasal 22
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dipungut pada saat pembayaran atas
pembelian barang kepada rekanan yang dibiayai dari APBN/APBD dengan tarif
1,5% x harga beli.
3) Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 22
a) Tata cara Pemotongan/Pemungutan dan Penyetoran PPh Pasal 22
(1) PPh Pasal 22 dipungut pada setiap pelaksanaan pembayaran oleh
KPPN atau bendahara atas penyerahan barang oleh wajib pajak
(rekanan).
(3) Penyetoran dilakukan ke bank persepsi atau kantor pos dengan
menggunakan SSP yang telah diisi oleh dan atas nama rekanan
serta ditandatangani oleh bendahara. Dalam hal pemungutan PPh
Pasal 22 dilakukan KPPN, SSP juga diisi oleh dan atas nama rekanan
serta ditanda tangani oleh bendahara. Dalam hal rekanan belum
memiliki NPWP dikenakan denda kenaikan 100% dari jumlah PPh
Pasal 22 yang dipungut.
b) Tata Cara Pelaporan Potongan PPh Pasal 22
(3) Apabila hari ke‐14 jatuh pada hari libur, maka pelaporan dilakukan
pada hari kerja berikutnya.
c. Bendahara Pemotong Pph Pasal 23/26
1) Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23
PPh Pasal 23 adalah pajak atas penghasilan dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan
kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Pihak yang dikenakan
pemotongan PPh Pasal 23 adalah WP dalam negeri dan badan usaha tetap
(BUT) tanpa mengenal batasan nilai pengadaan seperti pada PPh Pasal 22. PPh
Pasal 23 dikenakan atas pembayaran terkait pengadaan jasa, sewa, bunga,
deviden, royalti dan hadiah sedangkan PPh Pasal 22 atas pembelian barang.
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 antara lain berikut ini.
c) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, selain
sewa atas tanah dan atau bangunan.
Pengecualian objek pemotongan PPh Pasal 23 antara lain:
• penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank
• sisa hasil usaha koperasi yang dibagikan kepada anggotanya.
2) Saat Pemungutan, Tarif dan Cara Menghitung PPh Pasal 23
Gambar 5.8 Tarif dan Dasar Pemotongan PPh Pasal 23
Tarif PPh Pasal 23 sebagai berikut.
b) 2% x penghasilan bruto tidak termasuk PPN atas sewa dan penghasilan
lain sehubungan dengan penggunaan harta (kecuali sewa tanah
dan/atau bangunan) serta jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi,
jasa konsultan dan jasa lain selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Dalam hal WP yang menerima penghasilan tidak memiliki NPWP tarif
pemotongan PPh Pasal 23 dinaikkan lebih tinggi 100%.
3) Pengertian PPh Pasal 26
PPh Pasal 26 dikenakan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia dan
diterima oleh WP luar negeri (badan dan orang pribadi) selain bentuk usaha
tetap (BUT).
4) Saat Pemungutan, Tarif dan Cara Menghitung PPh Pasal 26
PPh Pasal 26 dipungut pada saat pembayaran atas pembelian jasa baik oleh
KPPN maupun bendahara dan didukung bukti pemotongan.
Tarif PPh Pasal 26 yang dipungut oleh bendahara pemerintah: 20% x
penghasilan bruto dan bersifat final, kecuali bila ada Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B), maka tarif PPh Pasal 26 disesuaikan
dengan ketentuan yang berlaku dalam P3B tersebut.
5) Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 23/26 berikut ini.
a) PPh Pasal 23/26 yang dipungut oleh bendahara pemerintah dijumlahkan
dalam satu bulan takwim dan harus disetorkan ke bank persepsi/kantor
d. Bendahara Pemotong PPN dan PPn‐BM
1) Pengertian PPN dan PPnBM
Gambar 5.9 Pengertian PPN dan PPnBM
DI
DALAM
a) Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang kena pajak (BKP)
dan jasa kena pajak (JKP) di dalam daerah pabean.
BKP adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa
barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud
yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN.
(3) Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah
makan, warung, dan sejenisnya, tidak termasuk makanan dan
minuman yang diserahkan oleh jasa boga atau catering.
(4) Uang, emas batangan, dan surat‐surat berharga.
2) Saat Pemungutan, Tarif dan Cara Pemungutan PPN dan PPn BM
a) Saat Pemungutan
Pemungutan PPN dan atau PPn‐BM oleh bendahara dilakukan pada saat
pembayaran kepada rekanan pemerintah, dengan cara pemotongan
b) Tarif PPN dan PPn‐BM
Tarif PPN merupakan tarif tunggal sebesar 10% (berdasarkan peraturan
pemerintah dapat diubah serendah‐rendahnya 5% dan setinggi‐tingginya
15%). Sementara tarif PPn‐BM yang berlaku sekarang ini paling rendah
10 % dan paling tinggi sebesar 200%.
c) Dasar Pemungutan
Dalam jumlah pembayaran oleh pemungut pajak tersebut, termasuk PPN
dan PPn‐BM yang terutang tanpa memerhatikan apakah dalam kontrak
menyebutkan ketentuan pemungutan PPN dan atau PPn‐BM maupun
tidak.
3) Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPN dan PPn‐BM
a) PKP rekanan wajib menerbitkan faktur PPN dan SSP (khusus SSP
ditandatangani bendahara) pada saat menagih kepada bendahara baik
untuk sebagian maupun seluruh nilai kontrak/SPK pada saat
pembayaran. Apabila atas penyerahan BKP terutang PPn‐BM, PKP
rekanan mencantumkan jumlahnya pada faktur PPN.
b) PPN/PPn‐BM yang dipungut oleh bendahara pemerintah harus disetor ke
bank persepsi atau kantor pos dengan menggunakan SSP yang telah diisi
oleh dan atas nama rekanan serta ditandatangani bendahara paling
lambat tujuh hari setelah berakhirnya bulan pembayaran.
E. PROSES PEMBIAYAAN
Menurut Undang‐Undang Nomor 17 tahun 2003, pembiayaan adalah setiap penerimaan yang
perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun
anggaran yang bersangkutan maupun tahun‐tahun anggaran berikutnya. Dalam konteks
anggaran pembiayaan dilakukan dalam rangka menutupi defisit anggaran yang terjadi.
Pembiayaan anggaran dilakukan melalui utang dan nonutang. Pembiayaan utang dilakukan
melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) serta penarikan pinjaman luar negeri dan
dalam negeri. Sedangkan pembiayaan nonutang dilakukan melalui perbankan dan
nonperbankan dalam negeri.
Berdasarkan penjelasan Pasal 12 (3) Undang‐Undang Nomor 17 tahun 2003 defisit anggaran
(yang menjadi objek pembiayaan) dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Sedangkan jumlah pinjaman (untuk menutup defisit anggaran) dibatasi maksimal 60% dari PDB.
Pembahasan mengenai pembiayan pada modul ini dibatasi pada pinjaman yang bersumber dari
pinjaman luar negeri.
1. Pengertian dan Prinsip‐Prinsip Pinjaman/Hibah Luar Negeri
Pinjaman luar negeri adalah setiap pembiayaan melalui utang yang diperoleh pemerintah
dari pemberi pinjaman luar negeri yang diikat oleh suatu perjanjian pinjaman dan tidak
berbentuk surat berharga negara, yang harus dibayar kembali dengan persyaratan
tertentu.
Tata cara pengadaan serta cara penerusan pinjaman luar negeri diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri
dan Penerimaan Hibah. Kesepakatan tertulis mengenai pinjaman antara Pemerintah dan
Pemberi Pinjaman Luar Negeri dituangkan dalam Perjanjian Pinjaman Luar Negeri.
Pinjaman luar negeri harus memenuhi prinsip:
a. transparan;
b. akuntabel;
c. efisien dan efektif;
d. kehati‐hatian;
e. tidak disertai ikatan politik; dan
f. tidak memiliki muatan yang dapat mengganggu stabilitas keamanan negara.
2. Sumber dan Penggunaan Pinjaman Luar Negeri
Pinjaman luar negeri dapat bersumber dari:
a. Kreditor multilateral
b. Kreditor bilateral
Kreditor bilateral adalah pemerintah negara asing atau lembaga yang ditunjuk oleh
pemerintah negara asing atau lembaga yang bertindak untuk pemerintah negara
asing yang memberi pinjaman kepada pemerintah.
Kreditor swasta asing adalah lembaga keuangan asing, lembaga keuangan nasional,
dan lembaga non keuangan asing yang berdomisili dan melakukan kegiatan usaha di
luar wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan pinjaman kepada
pemerintah berdasarkan perjanjian pinjaman tanpa jaminan dari lembaga penjamin
kredit ekspor.
d. Lembaga penjamin kredit ekspor
Lembaga penjamin kredit ekspor adalah lembaga yang ditunjuk negara asing untuk
memberikan jaminan, asuransi, pinjaman langsung, subsidi bunga, dan bantuan
keuangan untuk meningkatkan ekspor negara yang bersangkutan atau bagian
terbesar dari dana tersebut dipergunakan untuk membeli barang/jasa dari negara
bersangkutan yang berdomisili dan melakukan kegiatan usaha di luar wilayah
Negara Republik Indonesia.
Pinjaman Luar Negeri menurut jenisnya terdiri atas:
a. Pinjaman tunai, yaitu pinjaman tunai adalah pinjaman luar negeri dalam bentuk
devisa dan/atau rupiah yang digunakan untuk pembiayaan defisit APBN dan
pengelolaan portofolio utang, dan
b. Pinjaman Kegiatan, yaitu pinjaman kegiatan adalah pinjaman luar negeri yang
digunakan untuk membiayai kegiatan tertentu.
Penggunaan pinjaman luar negeri yaitu untuk:
a. membiayai defisit APBN;
b. membiayai kegiatan prioritas kementerian/lembaga;
c. mengelola portofolio utang.
d. diteruspinjamkan kepada pemerintah daerah;
e. diteruspinjamkan kepada BUMN; dan/atau
Penyaluran dana pinjaman luar negeri dilakukan oleh KPPN Khusus Jakarta VI dan KPPN
Khusus Banda Aceh, dengan prosedur sebagai berikut.
a. Rupiah Murni Porsi Government of Indonesia (GoI)
Pembayaran ini dilakukan sebagai pendamping porsi PHLN, baik dalam bentuk
rupiah maupun valuta asing, sesuai perjanjian pinjamannya. Sumber dana rupiah
porsi GoI berasal dari APBN.
Pencairan dananya menggunakan SP2D porsi GoI. Adapun mekanisme pembayaran
GoI adalah sebagai berikut.
1) Satker mengajukan SPM kepada KPPN Khusus Jakarta VI disertai dokumen
pendukung yang diperlukan.
3) KPPN Khusus Jakarta VI menerbitkan SP2D porsi GoI dan dikirim ke Bank
Indonesia (BI)/bank operasional (BO).
4) BI/BO melakukan pembayaran ke rekening pihak ketiga.
b. Pembukaan Letter of Credit (L/C)
Mekanisme pembayarannya adalah sebagai berikut.
1) L/C dengan Pembayaran Langsung
c) Pemberi PHLN melakukan pembayaran pada bank koresponden dan juga
mengirimkan debet advice (DA)/nota debet pada BI.
d) BI membuat nota disposisi L/C dan nota debet dan mengirimkan ke
DJPBN (KPPN Khusus).
e) Berdasarkan nota disposisi dan nota debet BI, KPPN Khusus menerbitkan
surat perintah pembukuan/pengesahan (SP3) dan disampaikan kepada
satker dalam rangka sistem akuntansi instansi (SAI) sebagai bahan
pembukuan realisasi PHLN dalam APBN.
2) L/C melalui Rekening Khusus
c) BI mengirimkan nota disposisi L/C kepada DJPBN (KPPN Khusus Jakarta
VI).
c. Pembayaran Langsung (Direct Payment)
1) Satker mengajukan APD ke KPPN Khusus Jakarta VI dilengkapi dokumen yang
diperlukan.
3) PPHLN melakukan pembayaran kepada rekening rekanan dan menyampaikan
debit advice/notice of disbursement (NoD) kepada KPPN Khusus.
d. Pembiayaan Pendahuluan
Pembiayaan pendahuluan dilakukan untuk aplikasi penarikan dana (APD) Loan yang
digunakan untuk pembayaran kembali biaya‐biaya yang telah dikeluarkan oleh
BUMN. Dengan APD ini PPHLN mengganti kembali dana yang telah digunakan pada
rekening BUMN yang bersangkutan.
1) Satker mengajukan APD reimbursement ke KPPN Khusus Jakarta VI atas
pembiayaan pendahuluan yang telah dilaksanakan.
3) PPHLN mengirimkan debet advice (DA)/notice of disbursement (NoD) ke KPPN
Khusus.
e. Rekening Khusus
Rekening khusus adalah rekening yang dibuka untuk menampung sementara dana
pinjaman/hibah. Rekening ini merupakan revolving account dimana PPHLN
melakukan pembayaran di muka (initial deposit) ke rekening khusus di Bank
Indonesia atau bank pemerintah lain yang ditunjuk menteri keuangan.
1) Satker mengajukan SPM‐RK kepada KPPN Khusus Jakarta VI disertai dokumen
pendukung.
3) KPPN Khusus menerbitkan SP2D‐RK dan dikirim ke BI.
4) BI melakukan pembayaran kepada rekening pihak ketiga.
f. Kredit Ekspor
Mekanisme kredit ekspor adalah sebagai berikut.
1) Letter of Credit (L/C)
Berdasarkan SPM dari satker, KPPN Khusus Jakarta VI menerbitkan SP2D
(biasanya uang muka 15%). Untuk porsi PHLN (sisanya) mekanisme
pembayaran sama dengan prosedur L/C.
2) Pembayaran Langsung
Berdasarkan SPM dari satker, KPPN Khusus Jakarta VI menerbitkan SP2D
(biasanya uang muka 15%). Untuk porsi PHLN (sisanya) mekanisme
pembayaran sama dengan prosedur pembayaran langsung.
g. Penerusan Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PHLN)
Pinjaman luar negeri yang dihibahkan dituangkan dalam Perjanjian Hibah Pinjaman
Luar Negeri. Perjanjian ini ditandatangani oleh menteri atau pejabat yang diberi
kuasa dan gubernur, bupati/walikota. Perjanjian Penerusan Pinjaman Luar Negeri
dan Perjanjian Hibah Pinjaman Luar Negeri memuat paling sedikit:
jumlah;
peruntukan;
hak dan kewajiban; dan
Hibah yang bersumber dari luar negeri yang diterushibahkan kepada pemerintah
daerah dituangkan dalam perjanjian penerusan hibah yang ditandatangani oleh
menteri atau pejabat yang diberi kuasa dan gubernur atau bupati/walikota, serta
wajib dicatat dalam APBN dan APBD.
Hibah yang bersumber dari luar negeri yang dipinjamkan kepada BUMN dituangkan
dalam perjanjian pinjaman hibah yang ditandatangani oleh menteri atau pejabat
yang diberi kuasa dan gubernur, bupati/walikota, atau direksi BUMN. Sedangkan
hibah dan/atau pinjaman hibah kepada badan usaha milik daerah dilakukan melalui
pemerintah daerah.
h. Pelaksanaan Belanja Dengan Dana Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PHLN)
1) Pencantuman PHLN dalam DIPA
Oleh karena ketentuan penarikan PHLN berbeda antara yang satu dengan yang
lain, maka untuk pencantuman PHLN dalam DIPA harus memerhatikan
ketentuan‐ketentuan yang diatur dalam loan agreement. Hal itu untuk
menghindari kesalahan dalam pencantuman dana yang dapat menyebabkan
kesalahan pembayaran.
2) Syarat Pencantuman PHLN dalam DIPA
a) Status Loan yang Jelas
Dana PHLN harus memiliki status yang jelas, dalam arti naskah perjanjian
pinjaman/hibah luar negeri (NPP/HLN) berkenaan sudah ditandatangani
dan dinyatakan efektif serta telah diberi kode register PHLN.
c) Alokasi Dana
Untuk mengalokasikan dana PHLN dalam DIPA perlu diperhatikan hal‐hal
sebagai berikut.
(1) Jenis kegiatan/pekerjaan yang akan dibiayai harus terdapat dalam
uraian kategori dalam NPP/HLN.
(3) Porsi dana PHLN sesuai kategori yang telah ditetapkan dalam
NPP/HLN.
(4) Khusus PHLN yang penarikannya melalui tata cara L/C, perlu
diperhatikan nilai kontrak pekerjaan secara keseluruhan.
d) Biaya Administrasi Kegiatan
e) Satuan Harga
b) Bagi DIPA yang memiliki pinjaman dan hibah luar negeri dengan dana
pendamping, maka loan dan dana pendamping hanya disediakan untuk
keperluan satu tahun anggaran, dan apabila kegiatan/pekerjaannya
harus diselesaikan beberapa tahun (multi years contract) maka
kekurangan dana disediakan pada DIPA tahun berikutnya.
c) Jika dana pendamping berasal dari luar APBN, seperti pemda (APBD),
BUMN atau dari kontribusi masyarakat, dan sebagainya, maka
pencantuman dana pendamping dimaksud dalam DIPA cukup dilakukan
dengan memberi kode yang telah ditentukan dalam aplikasi DIPA.
(1) perencanaan pembiayaan yang matang;
4) Pengadaan Barang/Jasa dengan PHLN
Pengadaan barang dan jasa dengan sumber dana PHLN, selain harus
memerhatikan syarat yang ditentukan oleh pemberi pinjaman/hibah, juga
harus mengikuti ketentuan sebagai berikut.
b) Perjanjian/kontrak yang dibiayai sebagian atau seluruhnya dengan PHLN
untuk masa lebih dari satu tahun anggaran tidak memerlukan
persetujuan menteri keuangan.
d) Perjanjian/kontrak dalam bentuk valuta asing tidak dapat diubah dalam
bentuk rupiah dan sebaliknya kontrak dalam bentuk rupiah tidak dapat
diubah dalam bentuk valuta asing.
h) Pengecualian terhadap ketentuan mata uang yang digunakan (d, e, f)
harus mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan RI c.q. Direktur
Jenderal Anggaran.
Untuk menghindari terjadinya kegiatan‐kegiatan yang tidak memenuhi syarat
(in‐eligible), maka isi dari loanagreement (NPPHLN) dan staff appraisal report
(SAR) harus dipahami, terutama mengenai:
a) porsi beban loan untuk masing‐masing kegiatan/kategori;
b) kegiatan‐kegiatan yang dapat dibiayai loan;
c) tanggal closing date;
d) lokasi sasaran/cakupan kegiatan;
e) ketentuan loan lainnya jika ada (cara pembayaran, dan sebagainya).
i. Pencairan Anggaran Belanja Dari Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PHLN)
Uraian berikut ini sangat bersifat umum dan lebih menekankan pada mekanisme
pembayaran uang persediaan untuk SP2D‐PHLN, sedangkan mengenai persyaratan
pembayaran atas suatu pinjaman pengaturannya ditetapkan oleh donor serta
aturan‐aturan khusus lainnya, KPPN, dan pihak lain yang terkait.
Penyediaan dana uang persediaan untuk dana yang berasal dari pinjaman luar
negeri diatur sebagai berikut.
1) Pembayaran oleh KPPN KCBI
Pembayaran oleh KPPN yang berkedudukan di kota yang sama dengan Kantor
Cabang Bank Indonesia (KCBI) dan pemegang rekening kas negara pada KCBI
yang bersangkutan.
Pembayaran oleh KPPN yang di tempat kedudukannya tidak terdapat KCBI.
Pada prinsipnya ketentuan pembebanan oleh KPPN KCBI maupun KPPN
non‐KCBI adalah sama.
F. PENGELOLAAN ASET DAN UTANG
Aset merupakan sumber daya yang mutlak diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Aset merupakan sumber daya ekonomi yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh pemerintah sebagai
akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan
diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur
dalam satuan uang, termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan
jasa bagi masyarakat umum dan sumber‐sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan
budaya.
Pengertian aset seperti tersebut di atas mencerminkan bahwa ruang lingkup aset pemerintah
sangatlah luas. Aset pemerintah dapat diklasifikasikan sebagai aset keuangan dan aset
nonkeuangan. Aset keuangan mencakup kas, piutang, dan investasi. Aset nonkeuangan ada
yang dapat diidentifikasi dan ada yang tidak dapat diidentifikasi. Aset nonkeuangan yang dapat
diidentifikasi berupa aset berwujud dan aset tidak berwujud. Aset berwujud berupa persediaan
dan aset tetap, yang dalam peraturan perundang‐undangan lebih dikenal dengan nama Barang
Milik Negara (BMN). Aset yang tidak teridentifikasi dapat berupa sumber daya alam dan sumber
daya manusia. Bagan aset pemerintah dapat dilihat pada gambar berikut.
Kas & Setara
Kas
Investasi
Aset Persediaan
Pemerintah Berwujud
Dapat Aset Tetap
Diidentifikasi Tidak
Berwujud
Aset
Non‐Keuangan SDA
Tidak Dapat
SDM
Diidentifikasi
Dll.
Bagian berikut ini menguraikan tentang pengelolaan unsur‐unsur aset pemerintah, baik aset
keuangan maupun nonkeuangan.
1. Pengelolaan Kas
Pengelolaan kas terutama bertujuan untuk dapat melaksanakan anggaran secara efisien
serta melakukan manajemen sumber daya keuangan yang baik. Pengelolaan kas yang baik
dapat menghasilkan pengendalian pengeluaran secara efisien, meminimumkan biaya
pinjaman, dan memaksimumkan hasil yang diperoleh dari penempatan kas. Hal ini
dilakukan melalui:
a. perencanaan kas (cash planning) dan perencanaan kebutuhan kas (cash forecasting);
b. memperpendek waktu yang diperlukan untuk penagihan dan pembayaran dilakukan
secara tepat waktu (float management);
c. manajemen rekening bank dengan melakukan pemusatan saldo kas (Treasury Single
Account/TSA);
e. penempatan saldo kas yang belum digunakan dalam bentuk setara kas atau
penanaman sementara (temporary investment).
Pengelolaan kas dilakukan untuk memelihara ketersedian kas pada level yang ideal. Dalam
hal terjadi kekurangan kas, Bendahara Umum Negara dapat melakukan pinjaman baik dari
dalam maupun luar negeri dan/atau menjual atau menerbitkan Surat Utang Negara,
dan/atau menjual surat berharga lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang‐
undangan.
Sebaliknya, dalam hal terjadi kelebihan kas, Bendahara Umum Negara setelah
berkoordinasi dengan Gubernur Bank Sentral dapat menempatkan Uang Negara pada
rekening di Bank Sentral/Bank Umum yang menghasilkan bunga/jasa giro dengan tingkat
bunga yang berlaku. Penempatan Uang Negara pada Bank Umum dilakukan dengan
memastikan bahwa Bendahara Umum Negara dapat menarik uang tersebut sebagian atau
seluruhnya ke Rekening Kas Umum Negara pada saat diperlukan. Kelebihan kas juga dapat
digunakan untuk pembelian kembali Surat Utang Negara (SUN).
Pada dasarnya, pemerintah harus dapat menjamin ketersediaan dana yang diperlukan
secara tepat waktu dan aman dalam rangka pelaksanaan anggaran. Agar kas tersedia pada
saat diperlukan maka perlu adanya rencana penarikan dana dan rencana penerimaan dari
pengguna anggaran. Dari rencana ini dapat disusun anggaran kas sehingga dapat diketahui
jumlah arus masuk dan arus keluar kas untuk suatu periode serta surplus/defisit kas yang
terjadi. Berdasarkan informasi demikian maka Bendahara Umum Negara dapat mengatur
penempatan saldo kas yang menganggur serta menerapkan strategi pinjaman untuk
menutup defisit kas.
Dalam kaitan manjemen kas, berdasarkan ketentuan UU Nomor 1 Tahun 2004 Satker
diharuskan mencantumkan rencana penarikan dana dan perkiraan penerimaan pada
dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA halaman 3) dalam format bulanan. Rencana
tersebut menjadi bagian dari revisi DIPA pada saat terjadi perubahan (updating) rencana
penarikan dana dan perkiraan penerimaan. Hal ini untuk mengantisipasi kebutuhan
penyediaan dana secara tepat waktu dan aman dalam pelaksanaan anggaran.
Piutang merupakan hak pemerintah untuk menagih pada pihak lain. Piutang ini dapat
terjadi karena hubungan perdata, seperti adanya jual beli atau pinjam‐meminjam, namun
bisa juga terjadi karena ketentuan perundang‐undangan, seperti piutang pajak. Dalam
undang‐undang diatur bahwa kementerian/lembaga yang mempunyai piutang wajib
mengupayakan penerimaannya kembali secara tepat waktu. Dalam hal terdapat piutang
tak tertagih penyelesaiannya dilakukan sesuai dengan peraturan perundang‐undangan.
Dalam rangka menjaga agar piutang dapat diterima kembali secara tepat waktu,
kementerian/ lembaga dituntut untuk mengatur berbagai hal yang terkait dengan piutang
secara seksama. Hal‐hal seperti perencanaan, pemberian pinjaman atau penjualan secara
kredit atau penerbitan surat ketetapan, pencatatan, pelaporan, penilaian, penagihan, dan
penghapusan piutang harus diatur secara tegas. Pengendalian intern harus tercermin dan
melekat sejak proses terjadinya piutang sampai dengan berakhirnya piutang karena
pembayaran atau penghapusan.
Piutang pemerintah jenis tertentu, seperti piutang pajak, mempunyai hak mendahului.
Penyelesaian piutang yang terjadi karena hubungan keperdataan dapat dilakukan melalui
perdamaian kecuali untuk piutang yang penyelesaiannya diatur sendiri dalam undang‐
undang. Dalam hal terdapat piutang tak tertagih dapat dihapuskan secara mutlak atau
bersyarat dari pembukuan. Kewenangan penyelesaian piutang bermasalah/penghapusan
piutang adalah sebagai berikut:
Tabel 5.1 Kewenangan Penyelesaian Piutang Bermasalah/ Penghapusan Piutang
Penyelesaian Piutang Bermasalah/
No Nilai Piutang
Penghapusan Piutang
1. ≤10 miliar Menteri Keuangan
2. > 10 miliar – 100 miliar Presiden
3. > 100 miliar Presiden dengan persetujuan DPR
3. Pengelolaan Utang
Selain ada utang yang berasal dari pinjaman, pemerintah juga bisa mempunyai utang
karena kegiatan operasional atau utang Perhitungan Pihak Ketiga (PFK). Utang operasional
antara lain timbul sehubungan dengan adanya pengadaan barang/jasa yang telah diterima
tetapi pada akhir tahun anggaran belum dibayar. Dengan demikian, utang yang berasal
dari kegiatan operasional ini dapat terjadi di kementerian negara/lembaga. Utang PFK
timbul karena adanya uang yang dipungut oleh pemerintah untuk kepentingan pihak lain
dan belum disampaikan kepada pihak tersebut. Terhadap utang‐utang ini, pengguna
anggaran atau kuasa pengguna anggaran juga wajib menatausahakan dan melaporkannya
dalam laporan keuangan. Pengguna anggaran atau kuasanya berkewajiban mengelola
utang dalam kepengurusannya dan menguji setiap klaim sebelum memerintahkan
pembayaran atas beban anggaran negara.
Utang dibayar secara tepat waktu sesuai dengan ketentuan. Hak tagih atas utang sebagai
beban negara kedaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo,
kecuali ditetapkan lain dalam undang‐undang. Kedaluwarsa ini akan tertunda jika pihak
yang berpiutang mengajukan tagihan kepada negara sebelum berakhirnya masa
kedaluwarsa. Ketentuan kedaluwarsa ini tidak berlaku untuk pembayaran bunga dan
pokok utang yang timbul karena pinjaman.
Persediaan adalah aset lancar dalam bentuk barang atau perlengkapan yang dimaksudkan
untuk mendukung kegiatan operasional pemerintah, dan barang‐barang yang
dimaksudkan untuk dijual dan/atau diserahkan dalam rangka pelayanan kepada
masyarakat.
Secara umum persediaan merupakan aset yang berwujud yang meliputi:
b. Bahan atau perlengkapan (supplies) yang digunakan dalam proses produksi;
c. Barang dalam proses produksi yang dimaksudkan untuk dijual atau diserahkan
kepada masyarakat;
d. Barang yang disimpan untuk dijual atau diserahkan kepada masyarakat dalam
rangka kegiatan pemerintahan.
e. Barang atau perlengkapan yang dibeli dan disimpan untuk digunakan, misalnya:
barang habis pakai seperti alat tulis kantor
barang tak habis pakai seperti komponen peralatan dan pipa
barang bekas pakai seperti komponen bekas
Begitu juga apabila persediaan terlalu sedikit akan menimbulkan biaya akibat kekurangan
persediaan yang biasa disebut stock out cost seperti: mahalnya harga karena membeli
dalam jumlah kecil dan mendesak serta terganggunya pelayanan kepada masyarakat.
5. Pengelolaan Investasi
Pemerintah dapat melakukan investasi karena berbagai alasan, antara lain memanfaatkan
surplus anggaran untuk memperoleh pendapatan atau memanfaatkan dana yang belum
digunakan dalam bentuk investasi jangka pendek dalam rangka manajemen kas. Investasi
jangka pendek yang dilakukan pemerintah harus memenuhi karakteristik dapat segera
dicairkan, ditujukan dalam rangka manajemen kas, dan berisiko rendah.
Investasi jangka panjang dapat berupa investasi permanen dan investasi nonpermanen.
Investasi ini dapat dilakukan oleh pemerintah melalui pasar modal atau investasi langsung
pada bidang usaha tertentu. Investasi melalui pasar modal dapat dilakukan dengan
membeli saham atau surat utang. Investasi yang dilakukan oleh pemerintah tidak semata‐
Investasi permanen merupakan investasi jangka panjang yang dimaksudkan untuk dimiliki
secara berkelanjutan, misalnya penyertaan modal pemerintah pada BUMN. Investasi
nonpermanen adalah investasi jangka panjang yang dimaksudkan untuk dimiliki secara
tidak berkelanjutan. Dengan demikian investasi nonpermanen ini dimaksudkan akan
dicairkan kembali suatu saat, misalnya dana bergulir.
6. Pengelolaan Barang Milik Negara (BMN)
BMN mencakup semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal
dari perolehan lainnya yang sah. Perolehan BMN antara lain dapat dilakukan melalui
pembelian, pembangunan, pertukaran, kerja sama, hibah/sumbangan, dan perolehan
berdasarkan peraturan perundangan/putusan pengadilan (rampasan).
Apabila pemindahtanganan ini dilakukan dengan penjualan maka harus dilakukan dengan
lelang. Dengan pengaturan demikian diharapkan pengelolaan barang dapat dilakukan
dengan lebih efisien.
Pengamanan barang milik negara merupakan salah satu sasaran pengendalian intern, baik
dari aspek fisik, administrasi, maupun hukum. Oleh karena itu, tanah dan bangunan harus
dilengkapi dengan bukti kepemilikan dan ditatausahakan dengan tertib. Tanah harus
disertifikatkan atas nama Pemerintah RI. Tanah dan bangunan yang tidak lagi digunakan
untuk menjalankan tugas dan fungsi pemerintahan wajib dikembalikan kepada Menteri
Keuangan. BMN tidak diperkenankan untuk digadaikan atau digunakan sebagai jaminan
dan tidak boleh diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran utang. Di samping itu,
BMN atau barang pihak lain yang dikuasai negara yang diperlukan untuk penyelenggaraan
tugas pemerintahan tidak dapat disita.
Pengelolaan BMN mengacu pada ketentuan perundangan antara lain sebagai berikut:
a. PP Nomor 6 Tahun 2006 jo. PP Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah;
c. PMK Nomor 120/PMK.06/2007 tentang Penatausahaan BMN.
1. Ketentuan Pidana dan Sanksi Administrasi
Sebagai konsekuensi dari pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara, baik dalam
Undang‐Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang‐Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, maupun Undang‐Undang Nomor
15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara,
diatur mengenai ketentuan pidana, sanksi administratif, dan ganti rugi yang berlaku bagi
menteri/pimpinan lembaga serta pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga
yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam
undang‐undang. Hal yang sama juga diberlakukan terhadap para bendahara yang dalam
pengurusan uang/barang yang menjadi tanggung jawabnya telah melakukan perbuatan
melawan hukum yang berakibat merugikan keuangan negara.
Dalam Undang‐Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, hal mengenai
ketentuan pidana, sanksi administrasi, dan ganti rugi diantaranya diatur dalam pasal 34
dan 35 sebagai berikut.
a. Menteri/pimpinan lembaga yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang
telah ditetapkan dalam undang‐undang tentang APBN diancam dengan pidana
penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang‐undang. Kebijakan dimaksud
tercermin pada manfaat/hasil yang harus dicapai dengan pelaksanaan fungsi dan
program kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
d. Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum
atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan
keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud.
e. Setiap bendahara bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian keuangan negara
yang berada dalam pengurusannya.
2. Pejabat yang Berhak Mengenakan Sanksi
Dalam hal pejabat yang melakukan kerugian negara adalah menteri/pimpinan lembaga,
surat keputusan pembebanan penggantian kerugian sementara dimaksud diterbitkan oleh
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Dalam hal pejabat yang melakukan
kerugian negara adalah Menteri Keuangan, surat keputusan pembebanan penggantian
kerugian sementara dimaksud diterbitkan oleh Presiden.
Pengenaan ganti kerugian negara terhadap bendahara ditetapkan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan. Apabila dalam pemeriksaan kerugian negara ditemukan unsur pidana, Badan
Pemeriksa Keuangan menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan perundang‐undangan
yang berlaku yaitu menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut beserta bukti‐buktinya
kepada instasi yang berwenang. Pengenaan ganti kerugian negara terhadap pegawai
negeri bukan bendahara ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga. Tata cara tuntutan
ganti kerugian negara diatur dengan peraturan pemerintah.
3. Penyelesaian Kerugian Negara
a. Setiap kerugian negara yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau
kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan
perundangan‐undangan yang berlaku. Kerugian negara dapat terjadi karena
pelanggaran hukum atau kelalaian pejabat negara atau pegawai negeri bukan
b. Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena
perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan
kepadanya secara langsung merugikan keuangan negara wajib mengganti kerugian
tersebut.
Tata cara pengenaan ganti rugi berbeda antara pegawai negeri bukan bendahara dengan
bendahara, sebagaimana diuraikan sebagai berikut.
a. Pengenaan Ganti Rugi Terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara
Pengenaan ganti rugi terhadap pegawai negeri bukan bendahara ditetapkan oleh
menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota. Tata cara tuntutan ganti
kerugian negara/daerah diatur dengan peraturan pemerintah, yang sampai saat
modul ini selesai disusun peraturan pemerintah tersebut belum ada. Pokok‐pokok
yang telah diatur dalam Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 2004 adalah sebagai
berikut.
1) Setiap kerugian negara wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau kepala
kantor kepada menteri/pimpinan lembaga dan diberitahukan kepada BPK
selambat‐lambatnya tujuh hari kerja setelah kerugian negara itu diketahui.
3) Jika Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak tidak mungkin diperoleh atau
tidak dapat menjamin pengembalian kerugian negara, menteri/pimpinan
lembaga yang bersangkutan segera menetapkan Surat Keputusan
Pembebanan Penggantian Kerugian Sementara yang ditujukan kepada yang
bersangkutan. Surat keputusan dimaksud mempunyai kekuatan hukum untuk
pelaksanaan sita jaminan (conservatoir beslaag).
b. Pengenaan Ganti Rugi Terhadap Bendahara
Dalam Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara pasal
62 dinyatakan bahwa pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara
ditetapkan oleh BPK dan apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan unsur
pidana, BPK menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan perundang‐undangan
yang berlaku, yaitu menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut beserta bukti‐
buktinya kepada instansi yang berwenang.
5) Tata cara penyelesaian ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada huruf d) di
atas berlaku pula bagi pengelola perusahaan umum dan perusahaan perseroan
yang seluruh atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh Negara Republik
Indonesia, sepanjang tidak diatur dalam undang‐undang tersendiri.
4. Ketentuan Lain yang Berkaitan Pengenaan Ganti Kerugian Negara
Di samping ketentuan‐ketentuan pokok tersebut di atas, ada beberapa ketentuan lain
yang berlaku umum baik untuk pengenaan ganti kerugian negara bagi pejabat negara dan
pegawai negeri bukan bendahara, maupun untuk bendahara/pengelola perbendaharaan
negara, yaitu sebagai berikut.
a. Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, dan pejabat lain yang telah
ditetapkan untuk mengganti kerugian negara dapat dikenai sanksi administratif dan
atau sanksi pidana. Putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi.
b. Kewajiban bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain untuk
membayar ganti rugi, menjadi kadaluwarsa jika dalam waktu lima tahun sejak
c. Dalam hal bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang
dikenai tuntutan ganti kerugian negara berada dalam pengampuan, melarikan diri,
atau meninggal dunia, penuntutan dan penagihan terhadapnya beralih kepada
pengampu yang memperoleh hak/ahli waris, terbatas pada kekayaan yang dikelola
atau diperolehnya, yang berasal dari bendahara, pegawai negeri bukan bendahara
atau pejabat lain yang bersangkutan.
d. Tanggung jawab pengampu yang memperoleh hak/ahli waris untuk membayar ganti
kerugian negara dimaksud menjadi hapus apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak
keputusan pengadilan yang menetapkan pengampuan kepada bendahara, pegawai
negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan, atau sejak
bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan
diketahui melarikan diri atau meninggal dunia, pengampu/yang memperoleh
hak/ahli waris tidak diberi tahu oleh pejabat yang berwenang mengenai adanya
kerugian negara.
Melalui surat edaran tersebut, MenPAN mengharapkan perhatian dan bantuan dari pihak‐
pihak yang disebutkan di atas agar meningkatkan kerja sama dan dukungan upaya‐upaya
penanganan perkara korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Kerja sama dan
dukungan tersebut dilakukan melalui mekanisme sebagai berikut.
a. Segera memberikan izin pemeriksaan terhadap pejabat atau pegawai baik sebagai
saksi atau sebagai tersangka, jika memang izin tersebut diperlukan sesuai peraturan
perundang‐undangan.
b. Memberhentikan sementara dari jabatannya, terhadap pejabat yang terlibat perkara
korupsi, berstatus sebagai tersangka/terdakwa, dan dilakukan penahanan oleh
aparat penegak hukum, sampai dengan adanya keputusan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap (inkracht) dari pengadilan atau resmi dinyatakan dihentikan
proses hukumnya oleh aparat penegak hukum.
d. Memulihkan nama baik dan dapat menempatkan kembali pada jabatan yang
semestinya terhadap pejabat/pegawai yang tidak terbukti melakukan tindak pidana
korupsi dan tidak terdapat pelanggaran terhadap disiplin pegawai negeri sipil.
Pelaporan merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting di dalam tata kelola
pemerintahan. Kegiatan ini dilakukan untuk memberikan informasi yang cepat, tepat, dan
akurat kepada pemangku kepentingan sebagai bahan pengambilan keputusan sesuai dengan
kondisi yang terjadi serta penentuan kebijakan yang relevan.
Pelaporan juga merupakan sarana akuntabilitas penyelenggara negara kepada masyarakat, baik
akuntabilitas keuangan (financial accountability) maupun akuntabilitas kinerja (performance
accountability). Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 8
tahun 2006 yang menyebutkan bahwa dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan
APBN/APBD, setiap entitas pelaporan wajib menyusun dan menyajikan laporan keuangan dan
laporan kinerja. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa Pemerintah tidak hanya dituntut untuk
mempertanggungjawabkan pengelolaan uang yang dipungut dari rakyat tetapi juga dituntut
untuk mempertanggungjawabkan hasil‐hasil yang dicapai atas kegiatan pembangunan yang
didanai dari uang tersebut.
A. PELAPORAN KINERJA
Laporan kinerja adalah ikhtisar yang menjelaskan secara ringkas dan lengkap tentang capaian
kinerja yang disusun berdasarkan rencana kerja yang ditetapkan dalam rangka pelaksanaan
APBN. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan
dan Kinerja Instansi Pemerintah, iInformasi tentang realisasi kinerja disajikan secara bersanding
dengan kinerja yang direncanakan dan dianggarkan sebagaimana tercantum dalam Rencana
Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga untuk tahun anggaran yang bersangkutan.
1. Pengukuran Kinerja
Pengukuran Kinerja adalah proses kegiatan yang sistematis dan berkesinambungan untuk
menilai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan program,
kebijakan, sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam mewujudkan visi, misi, dan
strategi instansi pemerintah. Pengukuran kinerja merupakan hasil dari suatu penilaian
(assessment) yang sistematik dan didasarkan pada kelompok indikator kinerja kegiatan
yang berupa indikator‐indikator masukan, keluaran, hasil, manfaat, dan dampak. Dalam
pengukuran kinerja dilakukan pula analisis akuntabilitas kinerja yang menggambarkan
keterkaitan pencapaian kinerja kegiatan dengan program dan kebijakan dalam rangka
mewujudkan sasaran, tujuan, visi, dan misi sebagaimana ditetapkan dalam rencana
strategis.
b. Pengembangan ukuran yang relevan.
c. Pelaporan formal atas hasil.
d. Penggunaan informasi.
Pengukuran adalah aktivitas pembandingan antara sesuatu dengan alat ukurnya. Oleh
karena itu, instrumen penting dalam pengukuran adalah alat ukurnya sendiri. Alat ukur
kinerja adalah ukuran kinerja (performance measures) atau jika tidak ada alat ukur yang
lebih akurat cukup menggunakan indikator kinerja (performance indicators). Oleh
karenanya, kadang‐kadang istilah ukuran kinerja dan indikator kinerja menjadi sinomim
yang sangat dekat.
Pengukuran kinerja di lingkungan instansi pemerintah dilakukan sesuai dengan peran,
tugas dan fungsi masing‐masing instansi pemerintah, sehingga lebih mengandalkan pada
pengukuran keberhasilan instansi pemerintah yang dilakukan secara berjenjang dari
tingkatan unit kerja sampai pada tingkatan tertinggi organisasi suatu instansi. Oleh karena
itu, diperlukan berbagai indikator kinerja di berbagai tingkatan. Misalnya indikator kinerja
yang digunakan untuk mengukur kinerja pelaksanaan kegiatan. Dengan indikator itu
diharapkan pengelola kegiatan, atasan dan pihak luar dapat mengukur keberhasilan
pelaksanaan kegiatan tersebut.
Untuk mengatasi berbagai kerumitan pengukuran di berbagai tingkatan dan agregasinya
untuk mengambil simpulan, seringkali digunakan beberapa indikator kinerja utama.
Indikator kinerja utama (IKU) ini dipilih di antara berbagai indikator yang paling dapat
mewakili dan menggambarkan apa yang diukur.
Pengukuran kinerja di berbagai tingkatan dilakukan dengan mengacu pada dokumen
perencanaan kinerja, penganggaran dan perjanjian kinerja. Berbagai tingkatan itu
mempunyai tugas pokok dan fungsi dan tanggung jawab masing‐masing yang berbeda
antara satu tingkatan dengan tingkatan yang lain.
a. entitas akuntabilitas kinerja satuan kerja atau Eselon II pada Instansi Pemerintah
Pusat;
b. entitas akuntabilitas kinerja unit organisasi Eselon I;
c. entitas akuntabilitas kinerja kementerian negara/lembaga;
d. entitas akuntabilitas kinerja SKPD;
e. entitas akuntabilitas kinerja Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota.
2. Evaluasi Kinerja
Evaluasi atau analisis adalah proses untuk mengurai suatu kondisi sehingga diperoleh
pemahaman yang lebih mendalam. Analisis merupakan kebalikan dari sintesis, yaitu
proses untuk menyatukan kondisi, ide, atau objek menjadi sesuatu yang baru secara
keseluruhan. Oleh karena itu, analisis kinerja paling tidak dilakukan dengan cara
melakukan analisis adanya beda kinerja (performance gap analysis), yaitu melihat beda
(gap) antara yang sudah direncanakan dengan realisasinya atau kenyataannya. Jika
terdapat gap yang besar, maka perlu diteliti sebab‐sebabnya berikut berbagai informasi
kendala dan hambatan termasuk usulan tindakan‐tindakan apa yang diperlukan untuk
memperbaiki kondisi tersebut. Keseluruhan hasil analisis kinerja selanjutnya dituangkan
dalam pelaporan akuntabilitas kinerja.
Dalam sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (SAKIP) analisis kinerja dilakukan
terhadap kinerja instansi pemerintah sesuai dengan entitas akuntabilitas kinerja dengan
memanfatkan hasil dari aktivitas pengukuran kinerja yang telah dilakukan.
Pengukuran kinerja di tingkat unit kerja organisasi eselon I, sebaiknya meliputi pelaporan
sasaran strategis unit kerja tersebut dan juga kinerja pelaksanaan kegiatan atau output
unit di bawahnya. Sedangkan unit kerja eselon II, mengukur dan melaporkan berbagai
output pada unitnya beserta sub‐sub output‐nya.
Berikut disajikan ilustrasi pengukuran kinerja di berbagai tingkatan baik untuk pemerintah
pusat maupun pemerintah provinsi/kabupaten/kota:
Jumlah Anggaran Tahun ...........: Rp....................... (c)
Realisasi Pagu Anggaran Tahun ...........: Rp....................... (d)
Petunjuk Pengisian:
a. Header (a) diisi dengan kode dan nama K/L;
b. Header (b) diisi dengan tahun anggaran;
c. Kolom (1) diisi dengan sasaran strategis K/L sesuai dengan dokumen Penetapan
Kinerja;
d. Kolom (2) diisi dengan indikator kinerja sasaran strategis dari K/L sesuai dengan
dokumen Penetapan Kinerja;
e. Kolom (3) diisi dengan angka target yang akan dicapai untuk setiap indikator kinerja
sesuai dengan dokumen Penetapan Kinerja;
f. Kolom (4) diisi dengan Realisasi dari masing‐masing indikator kinerja;
g. Kolom (5) diisi dengan persentase pencapaian target dari masing‐masing indikator
kinerja;
h. Kolom (6) diisi dengan nama program yang digunakan untuk pencapaian sasaran
strategis organisasi sesuai dengan dokumen Penetapan Kinerja;
i. Kolom (7) diisi dengan pagu anggaran program;
j. Kolom (8) diisi dengan realisasi anggaran;
k. Kolom (9) diisi dengan persentase realisasi anggaran (realisasi/pagu x 100%);
l. Footer (c) diisi total jumlah/nilai pagu anggaran yang direncanakan untuk mencapai
sasaran strategis;
m. Footer (d) diisi total jumlah/nilai realisasi anggaran yang digunakan untuk mencapai
sasaran strategis.
Jumlah Anggaran Tahun ...........: Rp....................... (c)
Realisasi Pagu Anggaran Tahun ...........: Rp....................... (d)
Petunjuk Pengisian:
1. Header (a) diisi dengan kode dan nama unit organisasi Eselon I/Satker mandiri;
2. Header (b) diisi dengan tahun anggaran;
3. Kolom (1) diisi dengan sasaran strategis unit organisasi Eselon I sesuai dengan
dokumen Penetapan Kinerja;
4. Kolom (2) diisi dengan indikator kinerja sasaran strategis dari unit organisasi Eselon
I/Satker mandiri sesuai dengan dokumen Penetapan Kinerja;
5. Kolom (3) diisi dengan angka target yang akan dicapai untuk setiap indikator kinerja
sesuai dengan dokumen Penetapan Kinerja;
6. Kolom (4) diisi dengan realisasi dari masing‐masing indikator kinerja;
7. Kolom (5) diisi dengan persentase pencapaian target dari masing‐masing indikator
kinerja (realisasi/target x 100%);
8. Footer (c) diisi total jumlah/nilai pagu anggaran yang direncanakan untuk mencapai
sasaran strategis;
9. Footer (d) diisi total jumlah/nilai realisasi anggaran yang digunakan untuk mencapai
sasaran strategis.
Salah satu bentuk laporan kinerja yang digunakan dalam sektor publik di Indonesia adalah
LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah). LAKIP dipakai sebagai media
akuntabilitas bagi instansi pemerintah yang dibuat tahunan berisi pertanggungjawaban
kinerja suatu instansi dalam mencapai tujuan/sasaran strategis.
a. Prinsip‐Prinsip Penyusunan LAKIP
Penyusunan LAKIP harus mengikuti prinsip‐prinsip yang lazim, yaitu laporan harus
disusun secara jujur, objektif, dan transparan. Disamping itu, perlu pula diperhatikan
prinsip‐prinsip lain, seperti :
2) Prinsip pengecualian, yang dilaporkan adalah hal‐hal yang penting dan relevan
bagi pengambilan keputusan dan pertanggungjawaban instansi yang
bersangkutan. Misalnya hal‐hal yang menonjol baik keberhasilan maupun
kegagalan, perbedaan‐perbedaan antara realisasi dengan
sasaran/standar/rencana/budget, penyimpangan‐penyimpangan dari rencana
karena alasan tertentu, dan sebagainya.
5) Prinsip manfaat, yaitu manfaat laporan harus lebih besar dari pada biaya
penyusunannya.
b. Sistematika LAKIP
Sesuai Permen PAN dan RB Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan
Penetapan Kinerja dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah,
sistematika LAKIP adalah sebagai berikut :
Ikhtisar Eksekutif
Bab I Pendahuluan
Dalam bab ini diuraikan mengenai gambaran umum organisasi yang
melaporkan dan sekilas pengantar lainnya.
Bab II Perencanaan dan Perjanjian Kinerja
Dalam bab ini diikhtisarkan beberapa hal penting dalam perencanaan dan
perjanjian kinerja (dokumen penetapan kinerja).
Bab III Akuntabilitas Kinerja
Dalam bab ini diuraikan pencapaian sasaran‐sasaran organisasi pelapor,
dengan pengungkapan dan penyajian dari hasil pengukuran kinerja.
Bab IV Penutup
Lampiran‐lampiran
c. Kewajiban Penyusunan LAKIP
Pada dasarnya, instansi yang wajib menyusun laporan akuntabilitas kinerja adalah:
1) Kementerian/Lembaga;
2) Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota;
3) Unit Organisasi Eselon I pada Kementerian/Lembaga;
5) Unit kerja mandiri, yaitu unit kerja yang mengelola anggaran tersendiri
dan/atau unit yang ditentukan oleh pimpinan instansi masing‐masing.
2) Laporan Akuntabilitas Kinerja tingkat unit organisasi eselon I dan unit kerja
mandiri pada Kementerian/Lembaga disampaikan kepada Menteri/Pimpinan
Lembaga.
B. PELAPORAN KEUANGAN
1. Konsepsi
Gambar pola pertanggungjawaban tersebut disajikan sebagai berikut.
Gambar 6.1 Hubungan Kontrak Prinsipal – Agen: Solusi
Laporan keuangan pemerintah yang disampaikan melalaui RUU Pertanggungjawaban atas
Pelaksanaan APBN adalah laporan keuangan yang telah diaudit BPK RI. Laporan keuangan
ini paling lambat disampaikan ke DPR pada akhir bulan Juni tahun berikutnya. Laporan
keuangan dilampiri dengan Laporan Kinerja dan Laporan Keuangan Badan Usaha Milik
Negara dan badan lainnya. Laporan keuangan disertai dengan Surat Pernyataan Tanggung
jawab atau Statement of Responsibility (SOR).
2. Peranan dan Tujuan Laporan Keuangan
Laporan keuangan disusun untuk menyediakan informasi yang relevan mengenai posisi
keuangan dan seluruh transaksi yang dilakukan oleh suatu entitas pelaporan selama satu
periode pelaporan. Laporan keuangan terutama digunakan untuk mengetahui nilai
sumber daya ekonomi yang dimanfaatkan untuk melaksanakan kegiatan operasional
pemerintahan, menilai kondisi keuangan, mengevaluasi efektivitas dan efisiensi suatu
entitas pelaporan, dan membantu menentukan ketaatannya terhadap peraturan
perundang‐undangan.
a. Akuntabilitas
b. Manajemen
Membantu para pengguna untuk mengevaluasi pelaksanaan kegiatan suatu entitas
pelaporan dalam periode pelaporan sehingga memudahkan fungsi perencanaan,
pengelolaan dan pengendalian atas seluruh aset, kewajiban, dan ekuitas pemerintah
untuk kepentingan masyarakat.
c. Transparansi
d. Keseimbangan Antargenerasi (intergenerational equity)
e. Evaluasi Kinerja
Mengevaluasi kinerja entitas pelaporan, terutama dalam penggunaan sumber daya
ekonomi yang dikelola pemerintah untuk mencapai kinerja yang direncanakan.
d. menyediakan informasi mengenai ketaatan realisasi terhadap anggarannya;
e. menyediakan informasi mengenai cara entitas pelaporan mendanai aktivitasnya dan
memenuhi kebutuhan kasnya;
Laporan keuangan untuk tujuan umum juga mempunyai peranan prediktif dan prospektif,
menyediakan informasi yang berguna untuk memprediksi besarnya sumber daya yang
dibutuhkan untuk operasi yang berkelanjutan, sumber daya yang dihasilkan dari operasi
yang berkelanjutan, serta risiko dan ketidakpastian yang terkait. Pelaporan keuangan juga
menyajikan informasi bagi pengguna mengenai:
a. indikasi apakah sumber daya telah diperoleh dan digunakan sesuai dengan
anggaran; dan
Untuk memenuhi tujuan umum ini, laporan keuangan menyediakan informasi mengenai
entitas pelaporan dalam hal: aset; kewajiban; ekuitas; pendapatan‐LRA; belanja; transfer;
pembiayaan; saldo anggaran lebih pendapatan‐LO (laporan operasional); beban; dan arus
kas.
3. Periode Pelaporan
a. alasan penggunaan metode pelaporan tidak 1 (satu) tahun; dan
b. fakta bahwa jumlah‐jumlah komparatif untuk laporan tertentu seperti arus kas dan
catatan‐catatan terkait tidak dapat diperbandingkan.
Sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, batas waktu
penyampaian laporan keuangan sebagai laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN
selambat‐lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran. Dengan
demikian, kegunaan laporan keuangan tersebut berkurang bilamana laporan tidak
tersedia bagi pengguna dalam suatu periode tertentu setelah tanggal pelaporan. Faktor‐
faktor yang dihadapi seperti kompleksitas operasi suatu entitas pelaporan bukan
merupakan alasan yang cukup atas kegagalan pelaporan yang tepat waktu.
Selain laporan keuangan tahunan, setiap entitas pelaporan juga diwajibkan menyusun
laporan keuangan interim, yaitu setidak‐tidaknya setiap semester sebagaimana
4. Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP)
Laporan keuangan disusun dan disajikan sesuai dengan SAP. Dengan demikian sistem
akuntansi yang digunakan untuk menghasilkan laporan keuangan juga harus dibangun
sesuai dengan SAP.
SAP merupakan pedoman umum dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan.
Kesesuaian dengan SAP mencerminkan tingkatan akuntabilitas dan transparansi dalam
pengelolaan keuangan negara. Oleh karena itu, penyusunan dan penyajian laporan
keuangan yang sesuai dengan SAP merupakan salah satu kriteria bagi BPK RI dalam
memberikan opini atas kewajaran penyajian laporan keuangan.
Berdasarkan Undang‐Undang Nomor 17 Tahun 2003 dan Undang‐Undang Nomor 1 Tahun
2004, SAP disusun oleh Komite Standar Akuntansi Pemerintah (KSAP). KSAP merupakan
suatu komite yang independen dengan komite kerja beranggotakan 9 orang. KSAP telah
mengeluarkan SAP yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005
yang sudah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010.
Berdasarkan PP Nomor 71 Tahun 2010, mulai tahun 2015 SAP berbasis akrual sudah harus
diterapkan dalam penyelenggaraan SAPP. SAP Berbasis Akrual adalah SAP yang mengakui
pendapatan, beban, aset, utang, dan ekuitas dalam pelaporan finansial berbasis akrual,
serta mengakui pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam pelaporan pelaksanaan
anggaran berdasarkan basis yang ditetapkan dalam APBN/APBD.
5. Sistem Akuntansi Pemerintahan Pusat (SAPP)
SAPP diperlukan untuk mencapai tiga tujuan. Pertama, untuk menetapkan prosedur yang
harus diikuti oleh pihak‐pihak yang terkait sehingga jelas pembagian kerja dan tanggung
jawab diantara mereka. Kedua, untuk terselenggarakannya pengendalian intern untuk
menghindari terjadinya penyelewengan. Ketiga, untuk menghasilkan laporan keuangan
sebagai bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan di mana jenis dan isinya
diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang SAP.
Akuntansi Pemerintahan pada dasarnya merupakan akuntansi anggaran. Oleh karena itu
sistem akuntansi yang baik seharusnya terintegrasi dengan sistem anggaran. Apabila hal
ini dijalankan maka akan terdapat konsistensi dalam perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, akuntansi dan pertanggungjawaban anggaran.
Berikut ini diuraikan dasar hukum penyelenggaraan, ruang lingkup, tujuan, ciri‐ciri pokok,
kerangka umum, dan klasifikasi SAPP.
a. Dasar Hukum Penyelenggaraan SAPP
1) Undang‐Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara:
2) Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
b. Ruang Lingkup SAPP
SAPP berlaku untuk seluruh unit organisasi Pemerintah Pusat dan unit akuntansi
pada Pemerintah Daerah dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dan/atau Tugas
Pembantuan serta pelaksanaan anggaran pembiayaan dan perhitungan.
c. Tujuan SAPP
Sistem SAPP bertujuan untuk:
d. Ciri‐ciri Pokok SAPP
1) Basis Akuntansi
Sesuai dengan amanah Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 2004 dan yang telah
ditetapkan standarnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010
tentang SAP, maka basis akuntansi yang diselenggarakan pemerintah pusat
adalah akrual. Basis akrual mengakui pendapatan, beban, aset, utang, dan
ekuitas dalam pelaporan finansial berbasis akrual, serta mengakui pendapatan,
belanja, dan pembiayaan dalam pelaporan pelaksanaan anggaran berdasarkan
basis yang ditetapkan dalam APBN/APBD.
2) Sistem Pembukuan Berpasangan
3) Dana Tunggal
5) Bagan Perkiraan Standar
SAPP menggunakan perkiraan standar yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
yang berlaku untuk tujuan penganggaran maupun akuntansi.
6) Standar Akuntansi
e. Kerangka Umum SAPP
Komponen laporan keuangan yang dihasilkan dari SAPP terdiri dari laporan
pelaksanaan anggaran dan laporan finansial, sebagaimana pada Gambar 6.2 berikut.
1) Laporan Realisasi Anggaran (LRA)
2) Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (SAL)
3) Neraca
Neraca adalah laporan keuangan yang mencerminkan posisi keuangan entitas,
yaitu menginformasikan nilai dan jenis aset, kewajiban dan ekuitas.
memberikan informasi tentang sumber daya ekonomi dan kewajiban entitas
Aset merupakan sumber daya yang dikuasai oleh perusahaan sebagai akibat
dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi di masa depan
diharapkan akan diperoleh entitas. Kewajiban merupakan utang perusahaan
masa kini yg timbul dari peristiwa masa lalu, penyelesaiannya diharapkan
mengakibatkan arus keluar dari sumber daya yang mengandung manfaat
ekonomi. Sedangkan ekuitas adalah hak residual atas aset perusahaan setelah
dikurangi kewajiban.
4) Laporan Operasional (LO)
5) Laporan Arus Kas
Laporan Arus Kas adalah laporan yang menyajikan informasi penerimaan dan
pengeluaran kas. Laporan arus kas memberikan informasi untuk:
a) Menilai pengaruh suatu aktivitas terhadap posisi kas dan setara kas.
Laporan Arus Kas hanya dibuat oleh entitas yang mempunyai fungsi
perbendaharaan umum.
Laporan Perubahan Ekuitas menyajikan sekurang‐kurangnya pos‐pos berikut:
a) Ekuitas awal
b) Surplus/defisit‐LO pada periode bersangkutan
d) Ekuitas akhir;
Di samping itu, suatu entitas pelaporan menyajikan rincian lebih lanjut dari
unsur‐unsur yang terdapat dalam Laporan Perubahan Ekuitas dalam Catatan
atas Laporan Keuangan.
7) Catatan atas Laporan Keuangan
SAPP terdiri dari:
1) Sistem Akuntansi Pusat (SiAP)
a) Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN);
b) Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan (Kanwil Ditjen PBN); dan
c) Kantor Pusat Ditjen Perbendaharaan.
2) Sistem Akuntansi Instansi (SAI)
Unit Akuntansi Keuangan terdiri dari:
a) Unit Akuntansi Pengguna Anggaran (UAPA);
b) Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran – Eselon1 (UAPPA‐E1);
c) Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran – Wilayah (UAPPA‐W);
d) Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran (UAKPA).
a) Unit Akuntansi Pengguna Barang (UAPB);
b) Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Barang – Eselon1 (UAPPB‐E1);
c) Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Barang – Wilayah (UAPPB‐W); dan
d) Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Barang (UAKPB).
3) Ouput Laporan Keuangan SAPP
Laporan‐laporan keuangan yang dihasilkan dari SAPP adalah sebagai berikut.
Tabel 6.3 Output Laporan Keuangan SAPP
Pelaporan Finansial • Pimpinan Eselon‐I
• Menteri/Pimpinan Lembaga
a. Pengertian Reviu
Ruang lingkup reviu adalah sebatas penelaahan laporan keuangan dan catatan
akuntansi. Sementara itu sasaran reviu adalah untuk memperoleh keyakinan bahwa
laporan keuangan entitas pelaporan telah disusun dan disajikan sesuai dengan
Standar Akuntansi Pemerintahan. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan
nomor 44/PMK.07/2006, Pasal 1 ayat (1) mengatakan bahwa reviu adalah prosedur
penelusuran angka‐angka dalam laporan keuangan, permintaan keterangan,dan
analitik yang harus menjadi dasar memadai bagi Aparat Pengawas Intern untuk
memberi keyakinan terbatas bahwa tidak ada modifikasi material yang harus
dilakukan atas laporan keuangan agar laporan keuangan tersebut sesuai dengan
Standar Akuntansi Pemerintahan.
c. Unit yang Mereviu Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga
Sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang
Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah dan Peraturan Pemerintah
Nomor 60 Tahun 2008 Pasal 57 ayat 1 serta Pasal 32 ayat (4) sampai dengan (6),
Aparat Pengawasan Intern kementerian negara/lembaga melakukan reviu atas
laporan keuangan kementerian negara/lembaga yang bersangkutan. PMK
171/PMK.05/2007 juga menyebutkan bahwa laporan keuangan kementerian/
lembaga yang telah direkonsiliasi dengan Ditjen PBN cq. Direktorat APK akan direviu
oleh Aparat Pengawasan Intern kementerian negara/lembaga. Selanjutnya dalam
Perdirjen Perbendaharaan Nomor 44/PB/2006 pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa
Aparat Pengawasan Intern kementerian negara/lembaga wajib melakukan reviu atas
laporan keuangan. Berdasarkan berbagai peraturan di atas dapat disimpulkan bahwa
pihak yang wajib melakukan reviu laporan keuangan adalah Aparat Pengawas Intern
kementerian negara/lembaga. Apabila kementerian negara/lembaga belum memiliki
Aparat Pengawasan Intern, Sekretaris Jenderal/pejabat yang setingkat pada
kementerian negara/lembaga menunjuk beberapa orang pejabat di luar biro/bidang
keuangan untuk melakukan reviu atas laporan keuangan (Perdirjen Perbendaharaan
Nomor 44/PB/2006, Pasal 2 ayat 2).
Pengertian laporan keuangan yang direviu termasuk laporan keuangan dari Dana
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan sebagaimana disebutkan dalam PMK
248/PMK.07/2010.
Sesuai dengan amanah Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 pasal 57
Menteri Keuangan telah menetapkan PMK Nomor 41/PMK.09/2010 tentang Standar
Reviu atas Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga. Standar Reviu atas
laporan keuangan kementerian negara/lembaga, yang selanjutnya disebut Standar
Reviu, adalah prasyarat yang diperlukan oleh aparat pengawasan intern
kementerian negara/lembaga untuk menjalankan dan mengevaluasi pelaksanaan
reviu atas laporan keuangan kementerian negara/lembaga.
Standar tersebut di atas bertujuan untuk:
1) memberikan prinsip‐prinsip dasar yang diperlukan dalam praktek reviu;
3) menetapkan dasar‐dasar untuk mengevaluasi pelaksanaan reviu; dan
e. Langkah‐Langkah Mereviu Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga
Dilihat dari waktu pelaksanaan, reviu atas laporan keuangan dilakukan secara paralel
dengan pelaksanaan anggaran dan penyusunan laporan keuangan kementerian
negara/lembaga. Yang dimaksud paralel adalah reviu dilakukan sepanjang
pelaksanaan anggaran dan tidak menunggu laporan keuangan kementerian/lembaga
selesai disusun. Kebijakan ini diambil karena terbatasnya waktu yang tersedia bagi
kementerian/lembaga untuk menyusun dan menyampaikan laporan keuangan ke
Menteri Keuangan.
Untuk mencapai tujuan reviu sebagaimana telah dibahas pada bagian di atas,
apabila pereviu menemukan kelemahan dalam penyelenggaraan akuntansi dan/atau
kesalahan dalam penyajian laporan keuangan, maka pereviu bersama‐sama dengan
unit akuntansi harus segera melakukan perbaikan dan/atau koreksi atas kelemahan
dan atau kesalahan tersebut secara berjenjang.
Terdapat beberapa langkah reviu yaitu:
2) lakukan uji petik atas transaksi belanja dan pastikan bahwa setiap transaksi
tersebut telah didukung dokumen pengeluaran yang sah, melalui penelusuran
ke dokumen Surat Perintah Membayar (SPM) dan Surat Perintah Pencairan
Dana (SP2D);
5) pastikan bahwa setiap belanja modal telah dicatat dalam jurnal korolari dan
menambah aset tetap, dengan melakukan penelusuran dokumen SPM dan
SP2D ke jurnalnya.
Untuk mencapai efektivitas reviu atas laporan keuangan, pereviu harus memiliki
kompetensi tertentu. Sesuai dengan tujuan reviu, tim reviu secara kolektif
seharusnya memiliki kompetensi sebagai berikut:
1) menguasai Standar Akuntansi Pemerintahan;
3) memahami proses bisnis atau kegiatan pokok unit akuntansi yang direviu;
4) menguasai dasar‐dasar audit;
5) mengusasi teknik komunikasi;
6) memahami analisis basis data.
g. Laporan Reviu Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga
Hasil reviu dituangkan dalam Pernyataan Telah Direviu dan sesuai dengan Perdirjen
Perbendaharaan nomor 44/PB/2006 pasal 3 ayat (3). Pernyataan Telah Direviu
ditandatangani oleh aparat pengawasan intern kementerian negara/lembaga.
Selanjutnya, sesuai dengan pasal 4 ayat (1) Pernyataan Telah Direviu merupakan
salah satu dokumen pendukung untuk penyusunan Statement of Responsibility
(Pernyataan Tanggung Jawab) oleh menteri/pimpinan lembaga. Pasal 4 ayat (2)
menyatakan bahwa laporan keuangan kementerian negara/lembaga yang
disampaikan kepada Menteri Keuangan disertai dengan Pernyataan Tanggung Jawab
yang ditandatangani oleh menteri/pimpinan lembaga dan Pernyataan Telah Direviu
yang ditandatangani oleh aparat pengawasan intern kementerian negara/lembaga.
Laporan hasil evaluasi pelaksanaan Renja‐KL Disampaikan setiap tahun kepada Menteri
PPN.
Tabel 6.4 Formulir Laporan Pelaksanaan Program Prioritas Pembangunan Nasional –
Kementerian/Lembaga/Instansi
Periode :
Unit Organisasi :
Ukuran
Penanggung Instansi Kreteria Ukuran %
Kegiatan Keberhasilan B- Ket
Jawab Terkait Keberhasilan Keberhasilan Capai
...
1 2 3 4 5 6 7 8
Tabel 6.5 Formulir Laporan Realisasi Rencana Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi – K/L/I
Periode :
Unit Organisasi :
Ukuran
Penanggung Instansi Kreteria Ukuran %
Aksi Keberhasilan B- Ket
Jawab Terkait Keberhasilan Keberhasilan Capai
...
1 2 3 4 5 6 7 8
4. LPJ Bendahara
LPJ Bendahara adalah laporan yang dibuat oleh Bendahara Penerimaan/Pengeluaran atas
uang/surat berharga yang dikelolanya sebagai pertanggungjawaban pengelolaan uang,
memenuhi ketentuan Dirjen Perbendaharaan Nomor PER‐3/PB/2014 tentang Petunjuk
Teknis Penatausahaan, Pembukuan, dan Pertanggungjawaban Bendahara pada Satuan
Kerja Pengelola APBN serta Verifikasi Laporan Pertanggungjawaban Bendahara. LPJ
Bendahara disusun secara bulanan, berdasarkan BKU, buku‐buku pembantu, dan Buku
Pengawasan Anggaran yang telah diperiksa dan direkonsiliasi oleh KPA/PPK atas nama
KPA.
A. KONSEPSI AUDIT INTERNAL
1. Pengertian
Definisi audit intern menurut The Institute of Internal Auditor atau IIA adalah kegiatan
pemastian (assurance) dan konsultasi yang independen dan objektif yang dirancang untuk
menambah nilai dan meningkatkan operasi organisasi. Audit internal membantu
organisasi mencapai tujuannya melalui pendekatan yang sistematik dan teratur untuk
mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas proses manajemen risiko, pengendalian, dan
tata kelola.
Sesuai dengan definisi audit internal di atas, maka kegiatan utama audit intern adalah
pemberian jasa assurance (pemastian) dan consultancy (konsultasi). Perbandingan antara
jasa assurance dan consultancy adalah sebagai berikut:
Tabel 7.1 Perbandingan Jasa Assurance dan Jasa Pemastian
Di sektor publik/pemerintah, audit intern merupakan fungsi manajemen yang penting
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Melalui audit intern dapat diketahui apakah suatu
instansi pemerintah telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsinya
secara efektif dan efisien, serta sesuai dengan ketentuan, rencana, dan kebijakan yang
telah ditetapkan. Selain itu, audit intern atas penyelenggaraan pemerintahan diperlukan
untuk mendorong terwujudnya good governance dan clean government serta mendukung
penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efisien, transparan, akuntabel serta bersih
dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Auditor intern pemerintah harus mampu merespons secara aktif berbagai permasalahan
dan perubahan yang terjadi, baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial melalui
program dan kegiatan pengawasan. Selain itu, pelaksanaan audit intern diarahkan pada
Audit intern di lingkungan pemerintah Indonesia dilakukan oleh APIP. Pengertian APIP
menurut Permenpan Nomor PER/05/M.PAN/03/2008 tentang Standar Audit Aparat
Pengawasan Intern Pemerintah adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mempunyai
jabatan fungsional auditor dan/atau pihak lain yang diberi tugas, wewenang, tanggung
jawab dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang melaksanakan pengawasan
pada instansi pemerintah untuk dan atas nama APIP.
Pengertian auditor intern bisa merujuk pada individu yang melakukan audit maupun
institusi yang memerintahkannya. Dalam struktur pemerintahan Indonesia, institusi atau
unit kerja yang berperan sebagai internal auditor pemerintah (APIP) terdiri atas Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal Kementerian, unit
pengawasan pada Lembaga Pemerintah Non‐Kementerian (LPNK) dan lembaga negara,
dan Inspektorat Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Sedangkan unit kerja yang diaudit atau auditan, menurut Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/05/M.PAN/03/2008 adalah orang/instansi
pemerintah yang diaudit oleh APIP. Dalam pengertian umum, auditan adalah pihak yang
melaksanakan dan bertanggung jawab atas hal yang dinilai oleh auditor.
Dengan demikian auditan adalah seluruh instansi pemerintahan. Pengertian instansi di sini
mencakup semua tingkatan satuan organisasi dalam pemerintahan. Sebagai contoh,
auditan bisa berupa pemerintah pusat (kementerian/lembaga), pemerintah daerah
(provinsi, kabupaten/kota), departemen, direktorat jenderal, unit pelaksanan teknis, dinas
di provinsi/kabupaten/kota, atau pelaksana kegiatan pada suatu dinas tertentu.
Tata cara pengawasan pelaksanaan rencana pembangunan yang dilakukan oleh Pimpinan
Kementerian/Lembaga/SKPD dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang‐undangan.
2. Jenis Audit Internal
Sebagaimana ditetapkan dalam PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP, APIP melakukan
pengawasan intern melalui:
Audit adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi bukti yang dilakukan
secara independen, objektif dan profesional berdasarkan standar audit, untuk
menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, efektifitas, efisiensi, dan keandalan
informasi pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah.
b. Reviu
Reviu adalah penelaahan ulang bukti‐bukti suatu kegiatan untuk memastikan bahwa
kegiatan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, standar, rencana,
atau norma yang telah ditetapkan.
c. Evaluasi
d. Pemantauan
e. Kegiatan Pengawasan Lainnya
Kegiatan pengawasan lainnya antara lain berupa sosialisasi mengenai pengawasan,
pendidikan dan pelatihan pengawasan, pembimbingan dan konsultansi, pengelolaan
hasil pengawasan, dan pemaparan hasil pengawasan. Kegiatan pengawasan lainnya
lebih banyak bersifat konsultasi.
B. DAMPAK DARI AUDIT INTERNAL TERHADAP TATA KELOLA SEKTOR PUBLIK
Sesuai Standar Internasional untuk Praktik Profesional Audit Internal, lingkup aktivitas audit
internal di antaranya adalah tata kelola (governance). Pada Standar 2110 yang mengatur
tentang tata kelola disebutkan bahwa aktivitas audit internal harus menilai dan membuat
rekomendasi yang sesuai untuk memperbaiki proses tata kelola organisasi dalam rangka
pemenuhan tujuan‐tujuan sebagai berikut:
2. Memastikan manajemen dan akuntabilitas kinerja organisasi yang efektif.
3. Mengkomunikasikan informasi risiko dan pengendalian pada area‐area yang terkait di
dalam organisasi.
Peran audit internal sebagaimana tercantum dalam definisi Internal audit meliputi pula
tanggung jawab untuk mengevaluasi dan memperbaiki proses tata kelola sebagai bagian dari
fungsi pemastian (assurance).
~
Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara merupakan bagian dari siklus
APBN sebelum disyahkannya pertanggungjawaban pengeloaan keuangan negara menjadi
undang‐undang. Melalui pemeriksaan yang dilaksanakan oleh BPK tersebut, pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara yang diasersi oleh pemerintah melalui laporan keuangan akan
dinilai kewajarannya.
Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara
independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai
kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara. Pemeriksaan keuangan negara dilakukan oleh BPK yang
meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab
keuangan negara.
A. LINGKUP PEMERIKSAAN
Dalam pola hubungan antara pemerintah sebagai agen dan DPR sebagai wakil dari prinsipal,
terdapat ketidakseimbangan pemilikkan informasi. Lembaga perwakilan tidak mempunyai
Sebagaimana telah ditetapkan dalam UUD RI Tahun 1945, pemeriksaan yang menjadi tugas BPK
meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan dan pemeriksaan atas tanggung jawab
keuangan negara. Pemeriksaan tersebut mencakup seluruh unsur keuangan negara. Oleh
karena itu, kepada BPK diberikan kewenangan untuk melakukan 3 (tiga) jenis pemeriksaan
yaitu: pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
1. Pemeriksaan Keuangan
a. kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan;
b. kecukupan pengungkapan;
c. kepatuhan terhadap peraturan perundang‐undangan; dan
d. efektivitas sistem pengendalian intern.
Penilaian atas empat kriteria di atas akan menentukan pemberian opini terhadap laporan
keuangan yang meliputi lima jenis sebagai berikut:
b. wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelas,
c. wajar dengan pengecualian (qualified opinion),
d. tidak wajar (adversed opinion), dan
e. pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion).
Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) diberikan jika pos‐pos laporan keuangan tidak
mengandung salah saji material dan laporan keuangan secara keseluruhan disajikan
secara wajar. Opini WTP dengan paragraf penjelas diberikan apabila terdapat
permasalahan yang belum dapat dituntaskan tetapi tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap kewajaran laporan keuangan. Opini wajar dengan pengecualian jika terdapat
pos‐pos tertentu dalam laporan keuangan mengandung salah saji secara material namun
secara keseluruhan tidak mengganggu kewajaran laporan keuangan. Opini tidak wajar
diberikan jika pos‐pos laporan keuangan mengandung salah saji material sehingga laporan
keuangan secara keseluruhan tidak wajar. Opini disclaimer diberikan jika pemeriksa tidak
dapat memperoleh keyakinan atas kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan
keuangan.
2. Pemeriksaan Kinerja
Pemeriksaan kinerja sering juga disebut value for money audit. Pemeriksaan kinerja
adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan atas efektivitas.
Pemeriksaan ini lazim dilakukan oleh aparat pengawasan intern untuk kepentingan jajaran
manajemen. Namun demikian UUD RI Tahun 1945 juga mengamanatkan kepada BPK
untuk melakukan pemeriksaan kinerja, terutama untuk mengidentifikasi area‐area yang
potensial untuk peningkatan kinerja yang menjadi perhatian lembaga perwakilan.
Policy Goals
Program Objectives
Effectiveness
Efficiency
Adapun bagi pemerintah, pemeriksaan kinerja ini dimaksudkan untuk mengarahkan agar
sumber daya yang tersedia dimanfaatkan secara efisien dan efektif untuk pelayanan
kepada masyarakat.
3. Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu
Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan
khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam
pemeriksaan ini adalah pemeriksaan atas hal‐hal lain yang bersifat keuangan, pemeriksaan
atas sistem pengendalian intern, dan pemeriksaan investigatif.
Hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah kesimpulan. Dalam hal pemeriksaan
investigatif, apabila diketemukan adanya indikasi tindak pidana atau tindakan yang
membawa dampak pada kerugian negara, BPK segera melaporkannya kepada instansi
yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang‐undangan.
Dalam pelaksanaan pemeriksaan, BPK dapat memanfaatkan informasi dari berbagai pihak yang
kompeten dan terkait, seperti hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah,
masukan dari lembaga legislatif, serta informasi dari pihak lain yang andal. Dalam pelaksanaan
pemeriksaan, BPK dapat memanfaatkan anggaran serta sumber daya yang dimiliki secara
mandiri dan akuntabel. Dengan mekanisme yang demikian diharapkan BPK dapat memfokuskan
pemeriksaannya pada hal‐hal yang menjadi perhatian lembaga legislatif serta pada berbagai hal
yang berdampak pada kewajaran penyajian laporan keuangan, efisiensi, dan efektivitas program
dan kegiatan.
Selama menjalankan pemeriksaan, BPK dapat mengakses data yang diperlukan, meminta
informasi dari orang‐orang terkait, memperoleh bukti dokumen, wawancara, maupun bukti fisik
untuk mendukung hasil pemeriksaannya, termasuk melakukan penyegelan tempat
penyimpanan uang, barang, atau dokumen jika dipandang perlu.
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang ditetapkan dengan Peraturan Ketua BPK
Nomor 1 Tahun 2007 mengamanatkan bahwa pemeriksaan harus dilaksanakan oleh pemeriksa
yang kompeten. Apabila BPK tidak mempunyai tenaga ahli pada bidang tertentu, sementara
keahlian ini diperlukan, maka BPK dapat menggunakan bantuan tenaga ahli dari luar BPK.
Di dalam Undang‐Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara, diatur secara khusus mengenai ketentuan pidana pada pasal
24 sampai pasal 26 dengan materi pokok sebagai berikut.
Pelanggaran
No Subjek Ancaman Pidana Maksimal
(dengan sengaja)
1. Setiap orang tidak menjalankan kewajiban penjara satu tahun enam bulan
menyerahkan dokumen dan/atau dan/atau denda Rp500.000.000,00
menolak memberikan keterangan
yang diperlukan untuk kepentingan
kelancaran pemeriksaan
2. Setiap orang mencegah, menghalangi, dan/atau penjara satu tahun enam bulan
menggagalkan pelaksanaan dan/atau denda Rp500.000.000,00
pemeriksaan
3. Setiap orang menolak pemanggilan yang penjara satu tahun enam bulan
dilakukan oleh BPK tanpa dan/atau denda Rp500.000.000,00
menyampaikan alasan penolakan
secara tertulis
4. Setiap orang memalsukan atau membuat palsu penjara tiga tahun dan/atau denda
dokumen yang diserahkan Rp1.000.000.000,00
5. Setiap mempergunakan dokumen yang penjara tiga tahun dan/atau denda
pemeriksa diperoleh dalam pelaksanaan tugas Rp1.000.000.000,00
pemeriksaan melampaui batas
kewenangannya
6. Setiap menyalahgunakan kewenangannya penjara satu tahun dan paling lama
pemeriksa sehubungan dengan kedudukan lima tahun dan/atau denda setinggi‐
dan/atau tugas pemeriksaan tingginya Rp1.000.000.000,00
7. Setiap tidak melaporkan temuan penjara satu tahun enam bulan
pemeriksa pemeriksaan yang mengandung dan/atau denda paling banyak
unsur pidana yang diperolehnya Rp500.000.000,00
pada waktu melakukan pemeriksaan
8. Setiap orang tidak memenuhi kewajiban untuk penjara satu tahun enam bulan
menindaklanjuti rekomendasi yang dan/atau denda paling banyak
disampaikan dalam laporan hasil Rp500.000.000,00
pemeriksaan
a. Tata cara penyelesaian ganti kerugian negara selambat‐lambatnya satu tahun setelah
berlakunya Undang‐Undang Nomor 15 Tahun 2004.
C. HASIL PEMERIKSAAN DAN TINDAK LANJUT
Hasil pemeriksaan BPK dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) segera setelah
berakhirnya pemeriksaan. LHP ini disampaikan kepada lembaga legislatif sesuai dengan
kewenangannya. Pada saat yang bersamaan, LHP ini juga disampaikan kepada presiden/
gubernur/bupati/walikota untuk ditindaklanjuti. Hasil pemeriksaan BPK akan digunakan oleh
pemerintah untuk melakukan koreksi atau penyesuaian‐penyesuaian yang diperlukan. Di
samping itu, pemerintah berkewajiban menyampaikan tanggapan atas temuan hasil
pemeriksaan. Tanggapan ini wajib dimuat dalam LHP. Dengan dimuatnya tanggapan ini maka
pengguna dapat memperoleh informasi secara berimbang dari pemeriksa dan dari objek yang
diperiksa (auditee).
BPK wajib menyusun ikhtisar hasil pemeriksaan yang dilakukan selama 1 (satu) semester.
Ikhtisar ini disampaikan kepada lembaga legislatif sesuai dengan kewenangannya dan kepada
presiden serta gubernur/bupati/walikota yang bersangkutan agar memperoleh informasi secara
menyeluruh tentang hasil pemeriksaan.
Hasil pemeriksaan yang telah disampaikan kepada lembaga legislatif berarti telah
dipertanggungjawabkan kepada publik. Oleh karena itu, terhadap hasil pemeriksaan tersebut
dinyatakan terbuka untuk umum, sehingga dapat diakses oleh masyarakat. Selanjutnya,
Pemerintah berkewajiban melaksanakan tindak lanjut atas rekomendasi BPK. Di sisi lain, BPK
wajib memantau perkembangan pelaksanaan tindak lanjut tersebut serta menginformasikannya
kepada lembaga legislatif terkait.
~
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. 2000. Manajemen Pemerintahan Baru.
Goedhart C. 1981. Garis‐Garis Besar Ilmu Keuangan Negara. Ratmoko, penerjemah. Jakarta:
Penerbit Jembatan.
George R. Terry, 2000. Prinsip‐Prinsip Manajemen. (edisi bahasa Indonesia). PT Bumi Aksara:
Bandung.
Hadi, M. 1981. Administrasi Keuangan RI. Jakarta.
Inpres Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Presiden Nomor 53 Tahun 2010 tentang Perubahan Kedua atas Kepres Nomor 42
Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN.
Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi, Modul Penyusunan LAKIP, 2010.
Kementerian Dalam Negeri dan Lembaga Administrasi Negara, Modul Diklat Teknis Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah, 2007.
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Rencana Strategis Tahun 2008 – 2011.
Lembaga Administrasi Negara (LAN), Modul Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah,
Edisi Kedua, 2004, Jakarta.
Leonard D., Goodstein, Timothy M., Nolan, and J. William Pfelffer. Applied Strategic Planning.
McGrraw‐Hill, Inc.
Mardiasmo. 2004. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Mulgan, Richard., Holding Power to Account, Palgrave, 2003, New York.
_________, Nomor 134 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembayaran dalam Pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang
Negara/Daerah.
_________, Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tatacara Pengadan Pinjaman dan atau Penerimaan
Hibah serta Penerimaan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.
_________, Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah.
_________, Nomor 21 Tahun 2004 (diperbaiki dengan Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun
2010) tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga.
_________, Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif APBN dan APBD
serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
_________, Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU).
_________, Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tatacara Penyusunan Rencana Pembangunan
Nasional.
_________, Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
_________, Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).
_________, Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.
_________, Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga.
_________, Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan
Penerimaan Hibah.
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) Periode 2010 ‐ 2014.
_________, Nomor 39 Tahun 2013 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2014.
_________, Nomor 54 Tahun 2010, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 70 Tahun 2012, tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
_________, Nomor 164 Tahun 2011 tentang Petunjuk Penyusunan dan Pengesahan Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran.
_________, Nomor 49 Tahun 2012 tentang Tata Cara Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2012.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011, tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah.
Pusdiklatwas BPKP. 2010. Modul Pedoman Pelaksanaan Anggaran I dan II.
Peraturan Menpan Nomor 29 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja dan
Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
_________, Nomor 9 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Penetapan Indikator Kinerja Utama
di Lingkungan Instansi Pemerintah.
_________, Nomor 20 Tahun 2008 tentang Petunjuk Penyusunan Indikator Kinerja Utama.
Pusdiklatwas BPKP, Modul Akuntabilitas Instansi Pemerintah, Edisi Kelima, 2007.
Rasul, Sjahruddin. 2003. Pengintegrasian Sistem Akuntabilitas Kinerja dan Anggaran Dalam
Perspektif UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Jakarta: PNRI.
Robert S. Kaplan & David P. Norton. 2000. Balanced Scorecard. Jakara: Penerbit Erlangga.
Simatupang, Dian Puji N. 2005. Determinasi Kebijakan Anggaran Negara Indonesia, Studi Yuridis.
Jakarta: Papas Sinar Sinanti.
Soeria Atmadja, Arifin P. 1986. Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Jakarta: PT.
Gramedia.
Sulaiman, Anwar H. 2000. Manajemen Aset Daerah.Jakarta: STIA‐LAN.
Sultan Syah, Mahendra. 2004. Manajemen Proyek Kiat Sukses Mengelola Proyek. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Surat Edaran Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara RI Nomor: SE/03/M.PAN/4/2007
tentang Perlakuan Terhadap Pejabat yang Terlibat Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Stone, Bruce., Administrative Accountability in The “Westminster” Democraties: Towards a New
Conceptual Framework, 1995.
Undang‐Undang Dasar RI 1945 (setelah amandemen keempat).
Undang‐Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Undang‐Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
(SPPN).
Undang‐Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang‐Undang RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Undang‐Undang RI Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Undang‐Undang RI Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara.
Undang‐Undang RI Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP) Nasional.
Undang‐Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 (jo. Undang‐Undang Nomor 20 Tahun 2000) tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang‐Undang RI Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Undang‐Undang RI Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
Undang‐Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Undang‐Undang Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu.
Undang‐Undang Nomor 6 Tahun 1983, sebagaimana diubah dengan Undang‐Undang Nomor 16
Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Undang‐Undang Nomor 8 Tahun 1983, sebagaimana diubah dengan Undang‐Undang Nomor 42
Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai.
Undang‐Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang APBN Tahun Anggaran 2014.
Widjaja Tunggal, Amin. 2000. Coso‐Based Auditing. Harvarindo.
World Bank, World Development Report (Summary), World Bank, 1997, Washington D.C.
Yani, Ahmad. 2004. Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia.
Jakarta: Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT Raja Grafindo Persada.
http://abusyadza.wordpress.com/2008/05/07/gambaran‐umum‐sistem‐akuntansi‐pemerintah‐
pusat/, diakses tanggal 23 Maret 2013 pukul 23.00.
http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/352249‐utang‐indonesia‐tertinggi‐kedua‐di‐asean,
diakses tanggal 26 Maret 2013 pukul 21.00.
http://massweeto.blogspot.com/2012/06/rencana‐kerja‐pemerintah‐rkp‐2013.html, diakses
tanggal 25 Maret 2013 pukul 21.00.
http://www.bappenas.go.id/get‐file‐server/node/10430/, diakses tanggal 21 Maret 2013 pukul
19.00.
http://www.bppk.depkeu.go.id/.../743_AW‐3‐..., diakses tanggal 20 Maret 2013 pukul 20.00.
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/01/18/2/123886/Setengah‐Penunggak‐
Piutang‐Negara‐Obligor‐Eks‐BPPN, diakses tanggal 26 Maret 2013 pukul 21.00.