Manajemen Pemerintahan Daerah
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENGAWASAN
BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN
2014
Manajemen Pemerintahan Daerah
Dikeluarkan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP
dalam rangka Diklat Fungsional Auditor – Diklat Pembentukan Auditor Terampil dan Ahli
Edisi Pertama : Tahun 2014
Penyusun : Dwijo Warsito, Ak.
Narasumber : Agus Tri Prasetyo, Ak., M.E.
Pereviu : Suhartanto, Ak., M.M.
Editor : Riri Lestari, Ak.
Penata Letak : Didik Hartadi, S.E.
Pusdiklatwas BPKP
Jl. Beringin II, Pandansari, Ciawi, Bogor 16720
Telp. (0251) 8249001 ‐ 8249003
Fax. (0251) 8248986 ‐ 8248987
Email : pusdiklat@bpkp.go.id
Website : http://pusdiklatwas.bpkp.go.id
e‐Learning : http://lms.bpkp.go.id
Dilarang keras mengutip, menjiplak, atau menggandakan sebagian atau
seluruh isi modul ini, serta memperjualbelikan tanpa izin tertulis dari
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP.
Kata Pengantar
Peran dan fungsi aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) dalam rangka membantu
manajemen untuk mencapai tujuan organisasi dilaksanakan melalui pemberian jaminan
(assurance activities) dan layanan konsultansi (consulting activities) sesuai standar, sehingga
memberikan perbaikan efisiensi dan efektivitas atas tata kelola, manajemen risiko, dan
pengendalian intern organisasi. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah mengatur bahwa pelaksanaan audit intern di
lingkungan instansi pemerintah dilaksanakan oleh pejabat yang mempunyai tugas
melaksanakan pengawasan yang telah memenuhi syarat kompetensi keahlian sebagai auditor.
Hal tersebut selaras dengan komitmen pemerintah untuk mewujudkan pemerintahan yang
transparan dan akuntabel serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme pada berbagai aspek
pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan yang dituangkan dalam Undang‐
Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Untuk menjaga tingkat profesionalisme aparat pengawasan, salah satu medianya adalah
pendidikan dan pelatihan (diklat) sertifikasi auditor yang bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, dan perubahan sikap/perilaku auditor pada tingkat kompetensi
tertentu sesuai dengan perannya sesuai dengan keputusan bersama Kepala Pusat Pembinaan
Jabatan Fungsional Auditor dan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Nomor KEP‐82/JF/1/2014 dan Nomor KEP‐
168/DL/2/2014 tentang Kurikulum Pendidikan dan Pelatihan Fungsional Auditor.
Guna mencapai tujuan di atas, sarana diklat berupa modul dan bahan ajar perlu disajikan
dengan sebaik mungkin. Evaluasi terhadap modul perlu dilakukan secara terus menerus untuk
menilai relevansi substansi modul terhadap perubahan lingkungan yang terjadi. Modul ini
ditujukan untuk memutakhirkan substansi modul agar sesuai dengan perkembangan profesi
auditor, dan dapat menjadi referensi yang lebih berguna bagi para peserta diklat sertifikasi
auditor.
Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
kontribusi atas terwujudnya modul ini.
Ciawi, 30 April 2014
Kepala Pusdiklat Pengawasan BPKP
Nurdin, Ak., M.B.A.
Kata Pengantar .................................................................................................................................. i
Daftar Isi .................................................................................................................................... i
Daftar Gambar dan Tabel ................................................................................................................ iii
Bab I PENDAHULUAN .................................................................................................................. 1
A. Latar Belakang .......................................................................................................... 1
B. Kompetensi Dasar .................................................................................................... 1
C. Indikator Keberhasilan ............................................................................................. 1
D. Sistematika Modul ................................................................................................... 2
E. Metode Pembelajaran ............................................................................................. 3
Bab II PERENCANAAN ................................................................................................................... 5
A. Good Governance dan Akuntabilitas ....................................................................... 6
B. Perencanaan Kinerja .............................................................................................. 13
C. Penganggaran ........................................................................................................ 31
Bab III PENGORGANISASIAN ........................................................................................................ 57
A. Pengorganisasian Pelaksanaan Tugas dan Fungsi ................................................. 57
B. Pengelolaan Keuangan Daerah .............................................................................. 62
C. Penjadwalan Pelaksanaan Program/Kegiatan ....................................................... 73
Bab IV PELAKSANAAN APBD ........................................................................................................ 77
A. Pendapatan Daerah ............................................................................................... 77
B. Belanja Daerah ..................................................................................................... 110
C. Pembiayaan Daerah ............................................................................................. 138
D. Manajemen Kas ................................................................................................... 145
Bab V PERTANGGUNGJAWABAN .............................................................................................. 149
A. Pelaporan Keuangan ............................................................................................ 149
B. Pelaporan Kinerja ................................................................................................. 163
C. Pelaporan Lainnya ................................................................................................ 171
Bab VI PENGAWASAN ................................................................................................................ 181
A. Peran Aparatur Pengawasan Intern Pemerintah ................................................. 181
B. Pemeriksaan oleh BPK ......................................................................................... 189
C. Tuntutan Kerugian Negara/Daerah ..................................................................... 192
A. LATAR BELAKANG
Keberhasilan suatu organisasi, baik swasta maupun pemerintah, umumnya ditentukan oleh cara
pengelolaan kegiatan yang baik, yang dimulai dari perencanaan hingga pengendalian dan
evaluasi. Di dalam pasal 1 PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,
dinyatakan bahwa pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan
keuangan daerah. Aktivitas perencanaan dan penganggaran merupakan tahapan paling krusial
dan kompleks dibandingkan dengan aktivitas lainnya. Auditor mutlak perlu memahami fungsi‐
fungsi ini untuk menunjang tugas‐tugasnya.
B. KOMPETENSI DASAR
Setelah mengikuti mata diklat ini peserta diharapkan mampu mengidentifikasi titik‐titik kritis
pada pelaksanaan tata kelola sektor publik sesuai ketentuan yang berlaku.
C. INDIKATOR KEBERHASILAN
Setelah mengikuti proses pembelajaran, peserta diklat diharapkan mampu:
1. menjelaskan mengenai prinsip‐prinsip akuntabilitas sektor publik;
2. menjelaskan prinsip‐prinsip pengukuran kinerja;
3. menjelaskan sistem akuntansi keuangan pemerintah daerah;
4. menjelaskan kerangka kerja keuangan pemerintah pusat maupun daerah, seperti proses
penganggaran, proses pengeluaran, proses reviu keuangan, manajemen kas, strategi
investasi, dll;
6. menjelaskan dampak audit internal terhadap tata kelola sektor publik;
7. mampu mengidentifikasi secara kritis elemen‐elemen tata kelola organisasi.
D. SISTEMATIKA MODUL
Bab I Pendahuluan
Pada bab ini, peserta mendapatkan informasi tentang latar belakang penyusunan
modul, tujuan pembelajaran umum, tujuan pembelajaran khusus, deskripsi singkat
struktur modul, dan metodologi pembelajaran.
Bab II Perencanaan
Bab ini menjelaskan mengenai akuntabilitas, perencanaan kinerja, dan perencanaan
anggaran.
Bab III Pengorganisasian
Bab IV Pelaksanaan
Bab ini menjelaskan APBD yaitu pendapatan daerah, belanja daerah, pembiayaan,
dan manajemen kas.
Bab V Pertanggungjawaban
Bab ini menjelaskan pelaporan keuangan, pelaporan kinerja, dan pelaporan lainnya.
Bab VI Pertanggungjawaban
Bab ini menjelaskan peran aparat pengawasan intern pemerintah dan tuntutan
kerugian negara/daerah.
a. Ceramah
Widyaiswara/instruktur menjelaskan konsep‐konsep manajemen pemerintahan daerah.
b. Diskusi dan Tanya Jawab
c. Latihan
Istilah perencanaan dan penganggaran dapat didefinisikan secara terpisah. Perencanaan adalah
proses menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan
memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Sedangkan penganggaran merupakan bagian
dari proses perencanaan, yang meliputi langkah‐langkah pengalokasian sumber daya keuangan
untuk mencapai tujuan‐tujuan yang ditetapkan.
Hubungan dokumen perencanaan dengan penganggaran dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2.1 Keterkaitan Perencanaan dan Penganggaran
Konsep dan sistem administrasi publik yang kaku, struktural/hirarkis, dan birokratis telah
ditinggalkan dan, sebagai gantinya, dikembangkan konsep manajemen publik yang fleksibel dan
berorientasi pasar. Perubahan ini tidak sederhana karena mengubah peran pemerintah dalam
masyarakat dan hubungan antara pemerintah dengan masyarakatnya.
Birokrat dan pemerintah bukan lagi satu‐satunya provider barang dan jasa masyarakat,
organisasi swasta diberikan tempat sebagai mitra pemerintah dalam menyediakan berbagai
kebutuhan publik. Pemerintah berperan sebagai fasilitator kebutuhan masyarakatnya melalui
subsidi, pengaturan perundang‐undangan, dan pengaturan kontrak. Keterbukaan pemerintah
juga ditekankan, yang ditunjukkan dengan diadopsinya berbagai prinsip dan sistem manajemen
sektor swasta ke dalam sektor publik untuk memperbaiki kinerja birokrasi.
Pemerintahan yang modern tidak hanya mencakup efisiensi dan peningkatan keekonomisan,
tetapi juga berupa hubungan akuntabilitas dengan warga negaranya, di mana warga negara
tidak diperlakukan hanya sebagai konsumen tapi juga memiliki hak untuk mendapatkan jaminan
atas kebutuhan dasar dan menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab atas berbagai
kebijakan yang dilakukan. Pandangan ini dikenal dengan governance.
Governance atau kepemerintahan yang baik diartikan oleh UNDP sebagai:
“… the exercise of political, economic, and administrative authority in the management of
a country’s affairs at all level…comprises the complex mechanisms, processes, and
institutions through which citizens and groups articulate their interests, mediate their
differences and exercise legal rights and obligations” (UNDP, 1995).
Artinya, governance meliputi berbagai kewenangan baik kewenangan politik, ekonomi, dan
administrasi yang berinteraksi satu dengan lainnya. Hubungan ini mencakup hubungan yang
komplek antar berbagai kewenangan dalam semua level pemerintahan dalam bentuk
mekanisme, proses, dan pembentukan institusi di mana masyarakat dan kelompok masyarakat
Konsep ini lebih luas dari fungsi dan kapasitas sektor publik, karena berkaitan dengan
manajemen proses pembangunan yang melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Hubungan semua pihak ini bukan merupakan kerangka kegiatan yang terpisah melainkan dalam
keterpaduan dan kerja sama yang harmonis untuk pencapaian tujuan dan kepentingan bersama.
Tujuan bersama, dalam pengertian ini, adalah tercapainya suatu keseimbangan dan sinergi
dalam pemenuhan kebutuhan dan kepentingan masing‐masing institusi dalam satu keselarasan
dan keseimbangan.
1. Karakteristik Good Governance
b. Akuntabel, di mana semua pihak (baik pemerintah, swasta, dan masyarakat) harus
mampu memberikan pertanggungjawaban atas mandat yang diberikan kepadanya.
Secara umum organisasi atau institusi harus akuntabel kepada mereka yang
terpengaruh oleh keputusan atau aktivitas yang dilakukan institusi.
c. Adil, dalam arti terdapat jaminan bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
dan kesempatan yang sama dalam menjalankan kehidupan. Sifat adil ini diperoleh
dari aspek ekonomi, sosial, dan politik. Adil juga berarti terdapat jaminan akan
kesejahteraan di mana semua anggota masyarakat merasa bahwa mereka memiliki
hak dan tidak merasa diasingkan dari kehidupan bermasyarakat.
e. Demokratis, dalam arti terdapat jaminan kebebasan bagi setiap individu untuk
berpendapat/mengeluarkan pendapat serta ikut dalam kegiatan pemilihan umum
yang bebas, langsung, dan jujur.
f. Partisipatif, dalam arti terdapat jaminan kesamaan hak bagi setiap individu dalam
pengambilan keputusan (baik secara langsung maupun melalui lembaga
perwakilan). Dalam kaitannya dengan partisipasi ini, terdapat tuntutan agar
pemerintah meningkatkan fungsi kontrol terhadap manajemen pemerintah dan
pembangunan dengan melibatkan organisasi non‐pemerintah. Peran organisasi non‐
pemerintah sangat penting karena diyakini organisasi ini memiliki kontak yang lebih
baik dengan masyarakat miskin, memiliki hubungan yang baik dengan daerah
pedalaman dan pedesaan, mampu menyediakan metode alternatif pelayanan publik
dengan harga yang murah dan sebagai mediator dalam menyampaikan berbagai
pandangan dan kebutuhan masyarakat.
g. Tanggap/peka/responsif, yang berarti bahwa dalam melaksanakan kepemerintahan
semua institusi dan proses yang dilaksanakan pemerintah harus melayani semua
stakeholders secara tepat, baik, dan dalam waktu yang tepat (tanggap terhadap
kemauan masyarakat).
Good governance mempunyai tujuan yang lebih besar dari sekedar manajemen yang
efisien dan penggunaan sumber daya yang ekonomis. Good governance adalah strategi
untuk menciptakan institusi masyarakat yang kuat, dan juga untuk membuat
pemerintah/publik sektor semakin terbuka, responsif, akuntabel, dan demokratis. Di
samping itu, konsep good governance jika dikembangkan akan menciptakan modern
governance (baik good national governance maupun good local governance) yang handal,
yang tidak hanya menekankan aktivitasnya dalam kerangka efisiensi tetapi juga
akuntabilitas di mata publik. Tidak kalah penting, good governance sangat berperan dalam
pencegahan dan pemberantasan praktik‐praktik KKN. Hal ini berarti bahwa adanya good
governance membuat penyalahgunaan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi dapat
dihindarkan semaksimal mungkin.
Ide dasar dari akuntabilitas adalah kemampuan seseorang atau organisasi atau penerima
amanat untuk memberikan jawaban kepada pihak yang memberikan amanat atau mandat
tersebut. Semua unit organisasi, baik dipilih atau ditunjuk, dikatakan akuntabel ketika
mereka mampu menjelaskan dan mempertanggungjawabkan semua tindakan/kegiatan
yang mereka lakukan, dan menerima sanksi untuk tindakan yang tidak layak (tidak dapat
dipertanggungjawabkan).
Selain model akuntabilitas yang menekankan pada cara dan institusi pendukung dalam
pelaksanaan akuntabilitas, terdapat faktor lain yang penting, yaitu mekanisme
akuntablitas. Pengembangan mekanisme akuntabilitas diarahkan untuk meningkatkan:
a. kejelasan tugas dan peran,
b. hasil akhir yang spesifik,
c. proses yang transparan,
d. ukuran keberhasilan kinerja,
e. konsultasi dan inspeksi publik.
Mekanisme akuntabilitas meliputi beberapa aspek, yaitu siapa yang harus melakukan
akuntabilitas, kepada siapa akuntabilitas ini dilakukan, untuk apa akuntabilitas dilakukan,
dan bagaimana proses akuntabilitas dilaksanakan. Mekanisme akuntabilitas ini bervariasi
dan ditentukan oleh keputusan atau aktivitas yang dilakukan suatu organisasi, mengikat
organisasi secara internal atau mengikat secara eksternal.
Kepada siapa kita harus bertanggung jawab, tergantung pada siapa yang memberi mandat
dan seberapa besar berbagai tindakan yang kita lakukan memengaruhi orang lain.
Pertanggungjawaban dapat diberikan kepada masyarakat (pelanggan), pemerintah pusat
dan daerah (termasuk dalam hal ini presiden, menteri, bupati, walikota, gubernur, pejabat
struktural dalam birokrasi pemerintah), organisasi kemasyarakatan/NGOs, organisasi
pemerintah lainnya misalnya BUMN, dan lembaga penilai organisasi publik yang diatur
dalam undang‐undang.
Mulgan, Richard (2003) dalam Holding Power to Account, membuat matriks mekanisme
akuntabilitas pemerintah. Contoh dari matriks yang dikembangkan adalah sebagai berikut.
3. Kebijakan Akuntabilitas di Indonesia
Pengembangan kebijakan akuntabilitas di Indonesia disebabkan oleh dua hal penting,
yaitu: pertama, adanya tuntutan internal dari masyarakat Indonesia, antara lain agar
sektor publik semakin transparan dan mampu mempertanggungjawabkan berbagai
kebijakan dan tindakan yang dilakukan yang ditujukan untuk menyelesaikan dan
memenuhi tuntutan publik. Kedua, adanya tuntutan perubahan dalam lingkungan global
dalam hal manajemen sektor publik seperti tuntutan good governance dan performance
management.
Kebijakan akuntabilitas di Indonesia dimulai sejak dikeluarkannya TAP MPR RI Nomor
XI/MPR/1998 dan dan UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan
Bebas dari KKN. Di dalamnya disebutkan bahwa asas penyelenggaraan kepemerintahan
yang baik meliputi:
a. Asas kepastian hukum.
b. Asas tertib penyelenggaraan negara.
c. Asas kepentingan umum.
d. Asas keterbukaan.
f. Asas profesionalistas.
g. Asas akuntabilitas.
Asas akuntabilitas diartikan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan
penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan perundang‐undangan
yang berlaku.
Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
merupakan wujud nyata penerapan akuntabilitas di Indonesia. Inpres ini mendefinisikan
akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (AKIP) sebagai pertanggungjawaban keberhasilan
atau kegagalan misi dan visi instansi pemerintah dalam mencapai tujuan dan sasaran yang
telah ditetapkan melalui seperangkat indikator kinerja. Dalam konteks AKIP ini, instansi
pemerintah diharapkan dapat menyediakan informasi kinerja yang dapat dipahami dan
digunakan sebagai alat ukur keberhasilan ataupun kegagalan pencapaian tujuan dan
sasaran tersebut. Inpres Nomor 7 Tahun 1999 dijabarkan lebih lanjut dalam Keputusan
Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 589/IX/6/Y/99 tentang Pedoman Pelaporan
Akuntabilitas Instansi pemerintah. Pada tahun 2003, pedoman tersebut diperbaiki dengan
Keputusan Kepala LAN Nomor 239/IX/6/8/2003 tentang Perbaikan Pedoman Pelaporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Adapun kebijakan lain yang terkait dengan sistem AKIP di Indonesia adalah:
a. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang‐undang ini mewajibkan
adanya integrasi dari sistem akuntabilitas kinerja dan sistem penganggaran serta
penerapan anggaran berbasis kinerja pada seluruh instansi pemerintah.
c. UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam UU ini
disebutkan bahwa sistem perencanaan pembangunan nasional terdiri atas
perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh
d. Inpres No. 5/2004 berkaitan dengan penyusunan penetapan kinerja sebagai upaya
peningkatan kualitas penerapan sistem AKIP selama ini.
f. Inpres nomor 4 Tahun 2011 Tentang Percepatan Peningkatan Kualitas Akuntabilitas
Keuangan Negara yang mengamanatkan Kepala BPKP untuk melaksanakan (1)
asistensi kepada kementerian/lembaga/ pemerintah daerah untuk meningkatkan
pemahaman bagi pejabat pemerintah pusat/daerah dalam pengelolaan keuangan
negara/daerah, meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang‐undangan,
dan meningkatkan kualitas laporan keuangan dan tata kelola, (2) evaluasi terhadap
penyerapan anggaran kementerian/lembaga/pemerintah daerah, dan memberikan
rekomendasi langkah‐langkah strategis percepatan penyerapan anggaran, dan (3)
audit tujuan tertentu terhadap program‐program strategis nasional yang mendapat
perhatian publik dan menjadi isu terkini, dan (4) rencana aksi yang jelas, tepat, dan
terjadwal dalam mendorong penyelenggaraan SPIP pada setiap
kementerian/lembaga/pemerintah daerah.
Sebagai suatu sistem, SAKIP terdiri dari komponen‐komponen yang merupakan satu
kesatuan, yakni perencanaan kinerja, pengukuran dan evaluasi kinerja, serta pelaporan
kinerja. Komponen dalam SAKIP menceminkan semua proses yang ada dalam manajemen
kinerja.
Sistem AKIP harus dapat menggambarkan kinerja instansi pemerintah yang sebenarnya,
secara jelas (berdasar data yang tepat dan akurat), dan transparan kepada publik dan
pihak‐pihak yang berkepentingan/stakeholders, mengenai kemampuan (keberhasilan atau
kegagalan) setiap pimpinan instansi pemerintah/unit kerja dalam melaksanakan misi,
a. percepatan reformasi birokrasi;
c. pencegahan terjadinya KKN;
d. pengelolaan dana dan sumber daya lainnya agar efisien dan efektif;
g. kreativitas, produktivitas, sensitivitas, disiplin, dan tanggung jawab aparatur negara.
B. PERENCANAAN KINERJA
Perencanaan strategis merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh instansi pemerintah
agar mampu menjawab tuntutan lingkungan strategis lokal, nasional, dan global. Dengan
pendekatan perencanaan strategis yang jelas, instansi pemerintah dapat menyelaraskan visi dan
misinya dengan potensi, peluang, dan kendala yang dihadapi dalam upaya peningkatan
kinerjanya. Instrumen atau alat‐alat lain yang digunakan untuk mewujudkan perencanaan
strategis ke dalam realitas dan melakukan langkah operasional adalah melakukan pengelolaan
(manajemen) berbasis kinerja.
Skema mengenai siklus manajemen berbasis kinerja dapat dilihat pada gambar berikut.
Sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah merupakan suatu tatanan, instrumen, dan
metode pertanggungjawaban yang dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2.3 Siklus Akuntabilitas Kinerja Instansi pemerintah
• Dimulai dari penyusunan perencanaan strategis (Renstra) yang meliputi penetapan visi,
misi, tujuan dan sasaran, serta strategi yang akan digunakan untuk mencapai tujuan dan
sasaran yang ditetapkan.
• Perencanaan strategis ini kemudian dijabarkan dalam perencanaan kinerja tahunan yang
dibuat setiap tahun. Rencana kinerja ini mengungkapkan seluruh target kinerja yang ingin
dicapai (output/outcome) dari seluruh sasaran strategis dalam tahun yang bersangkutan
serta strategi untuk mencapainya. Rencana kinerja ini merupakan tolok ukur yang akan
digunakan dalam penilaian kinerja penyelenggaraan pemerintah untuk suatu periode
tertentu.
• Setiap tahun juga disusun dokumen penetapan kinerja atau kontrak kinerja, yang berisikan
sasaran berupa outcome dan output yang harus dicapai dalam periode satu tahun
anggaran.
• Setelah rencana kinerja ditetapkan, tahap selanjutnya adalah pengukuran kinerja. Dalam
melaksanakan kegiatan, dilakukan pengumpulan dan pencatatan data kinerja. Data kinerja
tersebut merupakan capaian kinerja yang dinyatakan dalam satuan indikator kinerja.
Dengan diperlukannya data kinerja yang akan digunakan untuk pengukuran kinerja, maka
instansi pemerintah perlu mengembangkan sistem pengumpulan data kinerja, yaitu
tatanan, instrumen, dan metode pengumpulan data kinerja.
• Pada akhir suatu periode, capaian kinerja tersebut dilaporkan kepada pihak yang
berkepentingan atau yang meminta dalam bentuk Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah (LAKIP).
• Tahap terakhir, informasi yang termuat dalam LAKIP tersebut dimanfaatkan bagi
perbaikan kinerja instansi secara berkesinambungan.
Menurut Peraturan pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata cara
Penyusunan, Pengendalian, dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah,
perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan‐tahapan
kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan di dalamnya, guna
pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu
tertentu.
Perencanaan daerah disusun dalam spektrum jangka panjang (20 tahun) yang disebut
RPJPD (rencana pembangunan jangka panjang daerah); jangka menengah (5 tahun) yang
disebut RPJMD (rencana pembangunan jangka menengah daerah); dan jangka pendek
(satu tahun) yang disebut RKPD (rencana kerja pembangunan daerah).
RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu pada RKP, memuat
rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja, dan
pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh
dengan mendorong partisipasi masyarakat.
Rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) merupakan salah satu bagian dari proses
untuk menuju masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan. RPJP nasional merupakan
penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum
dalam Pembukaan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam
bentuk visi, misi, dan arah pembangunan nasional. Demikian pula rencana pembangunan
jangka panjang (RPJP) daerah memuat visi, misi, dan arah pembangunan daerah yang
mengacu pada RPJP nasional.
Penyusunan RPJP dilakukan melalui urutan :
Gambar 2.4 Alur Proses Penyusunan RPJP
RPJP daerah merupakan dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk periode dua
puluh tahun, yang selanjutnya akan digunakan sebagai acuan dalam menyusun rencana
pembangunan jangka menengah (RPJM) daerah untuk setiap jangka waktu 5 (lima)
tahunan. Dokumen perencanaan tersebut bersifat makro yang memuat visi, misi, dan arah
pembangunan jangka panjang daerah. Proses penyusunannya dilakukan secara partisipatif
dengan melibatkan seluruh unsur pelaku pembangunan. Sistematika penulisan RPJPD,
paling sedikit mencakup pendahuluan, gambaran umum kondisi daerah, analisis isu‐isu
strategis, visi dan misi daerah, arah kebijakan, dan kaidah pelaksanaan.
3. Perencanaan Jangka Menengah
Sesuai UU Nomor 25 Tahun 2004, RPJM daerah merupakan penjabaran dari visi, misi, dan
program kepala daerah yang penyusunannya berpedoman pada RPJP daerah dan
memerhatikan RPJM nasional, memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi
pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program satuan kerja perangkat daerah,
lintas satuan kerja perangkat daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana‐
rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
Perencanaan strategis juga memberikan arah sekaligus menentukan apa yang ingin
dihasilkan, apa yang ingin dicapai, dan apa yang ingin diubah. Dengan demikian, proses
perencanaan strategis yang menghasilkan dokumen rencana strategis (Renstra) akan
dapat digunakan dalam mengukur akuntabilitas kinerja sebuah entitas.
Proses penyusunan rencana strategis organisasi yang berorientasi kepada hasil yang ingin
dicapai selama kurun waktu tertentu (biasanya 3‐5 tahun) dilakukan dengan
memperhitungkan potensi, peluang dan kendala yang ada atau mungkin timbul. Analisis
terhadap lingkungan organisasi baik internal maupun eksternal merupakan langkah yang
sangat penting dalam memperhitungkan kekuatan (strengths), kelemahan (weakness),
peluang (opportunities), dan tantangan/kendala (threats). Analisis terhadap unsur‐unsur
tersebut sangat penting dan merupakan dasar bagi perwujudan visi dan misi serta strategi
instansi pemerintah.
b. Where are we now? Analisis organisasi tentang nilai‐nilai luhur yang dimiliki,
kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan kendala organisasi (SWOT analysis) serta
tugas pokok dan fungsi utama organisasi yang menunjukkan alasan utama
keberadaan organisasi (misi).
c. How do we get there? Merupakan langkah‐langkah strategis yang dilakukan oleh
organisasi dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Langkah‐
langkah ini biasanya dituangkan dalam kebijakan, program, dan kegiatan organisasi.
d. How do we measure our progress? Berkaitan dengan cara organisasi menetapkan
ukuran‐ukuran keberhasilan pelaksanaan misi dalam mencapai tujuan dan sasaran
organisasi. Karenanya, setiap tujuan dan sasaran yang ditetapkan harus dapat
terukur dengan seperangkat indikator kinerja yang idealnya merupakan indikator
kinerja outcome atau setidaknya output.
Komponen Renstra dalam SAKIP meliputi: (1) pernyataan visi dan misi; (2) perumusan
tujuan dan sasaran beserta indikator kinerja; (3) uraian tentang cara mencapai tujuan dan
sasaran (strategi) yang dijabarkan kedalam kebijakan dan program. Uraian secara singkat
mengenai analisis strategis (analisis SWOT), visi, misi, tujuan, sasaran, strategi mencapai
tujuan dan sasaran adalah sebagai berikut.
a. Analisis Strategi
Atas dasar pencermatan lingkungan strategis atau analisis lingkungan maka disusun
faktor‐faktor kunci keberhasilan (ctritical success factors/CSFs). CSFs dapat
didefinisikan sebagai aspek‐aspek tertentu yang dapat menunjukkan keberhasilan
suatu organisasi. Aspek‐aspek ini harus sesuai dengan apa yang ingin dicapai oleh
organisasi. Pemimpin adalah sumber utama dalam proses identifikasi CSFs ini,
meskipun sumber lain dari dalam organisasi maupun dari luar organisasi juga dapat
dimanfaatkan. Kepemimpinan memegang kontrol utama karena mereka yang akan
mengarahkan dan menggerakkan organisasi, sehingga berbagai keputusan tentang
arah dan apa yang ingin dicapai organisasi merupakan bentuk komitmen dari
seorang pemimpin.
Dalam penyusunan strategi, hasil CSFs dianalisis sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan organisasi. Analisis diarahkan pada penilaian lingkungan organisasi
melalui proses analisis lingkungan organisasi, yang meliputi kondisi, situasi, keadaan,
peristiwa, dan pengaruh‐pengaruh di dalam dan di sekeliling organisasi yang
berdampak pada kehidupan organisasi berupa kekuatan internal, kelemahan
internal, peluang eksternal, dan tantangan eksternal. Beberapa metode bisa
digunakan untuk melakukan analisis dan salah satu yang dapat digunakan adalah
analisis SWOT (strenghts, weakness, opportunities, threats).
b. Visi
Visi adalah pernyataan yang diucapkan atau ditulis hari ini, yang merupakan proses
manajemen saat ini yang menjangkau ke depan. Visi merupakan bayangan
Visi harus mampu memberikan gambaran tentang area kerja suatu organisasi
berupa pernyataan yang merupakan sarana untuk:
1) mengomunikasikan alasan keberadaan organisasi dalam arti tujuan dan tugas
pokok,
2) memperlihatkan framework hubungan antara organisasi dengan stakeholders
(sumber daya manusia organisasi, konsumen, dan pihak lain yang terkait),
c. Misi
Visi yang telah kita peroleh harus diterjemahkan ke dalam panduan yang lebih
pragmatis dan konkret yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengembangan
strategi dan aktivitas dalam organisasi. Untuk itu dibutuhkan misi. Pernyataan dalam
misi lebih tajam dan lebih rinci jika dibandingkan dengan visi. Misi adalah sesuatu
yang harus diemban oleh organisasi sebagai penjabaran dari visi. Misi adalah
pernyataan mengenai hal‐hal yang harus dilaksanakan oleh organisasi bagi pihak‐
pihak yang berkepentingan. Pernyataan misi mencerminkan segala sesuatu
penjelasan tentang tindakan, produk, atau pelayanan yang ditawarkan untuk
memenuhi kebutuhan atau menyelesaikan permasalahan masyarakat.
d. Tujuan
Tujuan adalah sesuatu yang harus dicapai atau dihasilkan dalam jangka waktu
tertentu (biasanya antara 1‐5 tahun). Acuan dalam pengembangan tujuan adalah
pernyataan visi dan misi serta didasarkan pada analisis strategis. Dalam kerangka
pikir manajemen strategis, tujuan tidak harus merupakan target‐target yang bersifat
Kriteria penyusunan tujuan antara lain adalah sebagai berikut.
1) Tujuan harus serasi dan mengklarifikasi visi dan misi.
2) Pencapaian tujuan berkontribusi dalam mencapai visi dan misi.
3) Tujuan sesuai dengan hasil analisis strategis dan isu‐isu strategis yang
berkembang.
6) Tujuan harus dapat mengatasi kesenjangan antara tingkat pelayanan saat ini
dengan yang diinginkan.
7) Tujuan menggambarkan hasil yang diinginkan (kondisi yang diinginkan).
9) Tujuan harus menantang, namun realistik dan dapat dicapai.
Sasaran adalah hasil yang akan dicapai secara nyata oleh organisasi, gambaran hal
yang ingin diwujudkan organisasi melalui tindakan‐tindakan guna mencapai tujuan.
Fokus sasaran adalah aksi, yaitu kegiatan yang bersifat spesifik, terinci, dapat diukur,
dan jelas periode waktunya (lebih pendek dari tujuan). Penyusunan sasaran sangat
penting untuk dilakukan karena merupakan tonggak dalam penyusunan strategi.
Bentuk dari sasaran adalah pernyataan tugas‐tugas yang harus diselesaikan dalam
jangka waktu tertentu (biasanya bersifat jangka pendek). Dengan demikian,
karateristik yang harus dipenuhi dalam penyusunan sasaran adalah SMART (specific,
measurable, aggressive and attainable, result‐oriented, tmebound), dengan
penjelasan sebagai berikut:
2) Measurable, sasaran harus dapat diukur. Sasaran tersebut merupakan standar
yang dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan kinerja organisasi. Dimensi
yang dapat diukur antara lain dimensi kuantitas, kualitas, waktu, tempat,
anggaran, maupun penanggung gugat.
3) Aggressive and attainable, sasaran harus jelas, menantang, dan dapat dicapai
atau diwujudkan.
5) Timebound, sasaran harus memiliki jangka waktu yang jelas dan jangka
pendek.
f. Strategi (Cara Mencapai Tujuan dan Sasaran)
Setelah menetapkan apa dan kapan sasaran yang akan dicapai, langkah selanjutnya
adalah menentukan bagaimana hal tersebut dicapai atau menentukan strategi.
Strategi berkaitan dengan hal‐hal berikut.
2) Bagaimana organisasi akan memberikan perhatian pada pelanggan?
3) Bagaimana organisasi akan memperbaiki kinerja pelayanan?
4) Bagaimana organisasi akan melaksanakan misinya?
Strategi bisa mengalami perubahan setiap saat sesuai dengan lingkungan yang
mempengaruhinya. Strategi tidak bersifat statis melainkan dinamis. Strategi atau
cara mencapai tujuan dan sasaran dituangkan dalam kebijakan dan program dalam
kurun waktu 5 (lima) tahun. Jabaran dari strategi adalah kebijakan dan program.
Kebijakan adalah ketentuan‐ketentuan yang telah ditetapkan oleh yang berwenang
untuk dijadikan pedoman, pegangan, atau petunjuk dalam pengembangan ataupun
pelaksanaan program/kegiatan guna tercapainya kelancaran dan keterpaduan dalam
perwujudan sasaran, tujuan, serta visi dan misi instansi pemerintah.
Agar strategi dapat diterapkan dengan baik perlu komitmen pimpinan puncak,
terutama dalam menentukan kebijakan organisasi. Hal ini terjadi karena
keberhasilan program sangat erat kaitannya dengan kebijakan instansi. Dalam
rangka itu perlu diidentifikasi pula keterkaitan antara kebijakan yang telah
ditetapkan dengan program dan kegiatan sebelum diimplementasikan. Kebijakan
tersebut perlu dikaji terlebih dahulu untuk meyakinkan apakah kebijakan yang telah
ditetapkan benar‐benar dapat dilaksanakan.
g. Dokumen Renstra
Dalam Modul SAKIP Lembaga Administrasi Negara (2004) disajikan formulir untuk
mempermudah pembuatan renstra. Formulir ini memperlihatkan keterkaitan visi,
misi, tujuan, sasaran, kebijakan, dan program.
4. Perencanaan Kinerja Tahunan
Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 2004, dokumen rencana kerja pemerintah daerah
(RKPD) merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu pada RKP, memuat
Untuk tingkat SKPD, rencana pembangunan tahunan satuan kerja perangkat daerah, yang
selanjutnya disebut rencana kerja satuan kerja perangkat daerah (Renja‐SKPD), adalah
dokumen perencanaan untuk periode 1 (satu) tahun.
Dari modul SAKIP (LAN,2004) dan Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 29 Tahun 2010
tentang Pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja dan Laporan Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah dirumuskan dokumen perencanaan kinerja tahunan adalah rencana
kinerja tahunan dan penetapan kinerja.
a. Rencana Kinerja Tahunan
Rencana kinerja antara lain berisi informasi mengenai:
1) Sasaran, indikator kinerja, dan target yang akan dicapai pada periode yang
bersangkutan.
2) Program yang akan dilaksanakan.
3) Kegiatan, indikator kinerja, dan target yang diharapkan dalam suatu kegiatan.
Informasi tersebut dituangkan dalam bentuk formulir rencana kinerja tahunan (RKT).
Rencana Kinerja Tahunan
Tahun : ..........
Instansi : ..........
Sasaran Kegiatan
Rencana Rencana
Indikator Tingkat Program Indikator Tingkat Ket.
Uraian Uraian Satuan
Kinerja Capaian Kinerja Capaian
(Target) (Target)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sebagai perbandingan, formulir RKT berdasarkan Permenpan Nomor 29 Tahun 2010
tentang Pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja dan Pelaporan Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah Untuk Tingkat Kementerian/Lembaga/Pemerintah
Provinsi/Pemerintah Kabupaten dan Kota, Unit Organisasi Eselon I Kementerian/
Lembaga dan SKPD, Serta Unit Kerja Mandiri dapat dilihat dalam Lampiran 1 dan 2.
b. Penetapan Kinerja/Perjanjian Kinerja (Kontrak Kinerja)
Tingkat capaian kinerja tertentu ini membutuhkan beberapa informasi, antara lain:
1) sasaran strategis organisasi atau kondisi yang ingin diwujudkan organisasi;
2) output (hasil kegiatan) dan atau outcome (hasil program);
4) perkiraan realistis tentang tingkat capaian.
1) memantau dan mengendalikan pencapaian kinerja organisasi;
3) menilai keberhasilan organisasi.
Contoh formulir penetapan kinerja dapat dilihat di Lampiran 3, 4,5, dan 6.
c. Penentuan Indikator Kinerja Utama
Dalam kaitannya dengan penerapan perjanjian kinerja atau kontrak kinerja atau
dokumen penetapan kinerja (PK), yang perlu juga diperhatikan adalah penggunaan
IKU (indikator kinerja utama) yang menjadi ukuran keberhasilan unit‐unit atau
entitas organisasi tertentu. Ukuran‐ukuran atau indikator‐indikator keberhasilan ini
haruslah termasuk yang diperjanjikan di dalam dokumen perjanjian kinerja. Selain
itu dalam janji tentang pencapaian target IKU tersebut juga dapat disertakan
indikator output atau outcome yang sangat membantu dalam menjelaskan
gambaran keberhasilan yang diungkapkan. Berikut ini dijelaskan mengenai cara
penyusunan IKU pada masing‐masing dokumen perencanaan kinerja.
1) Penentuan IKU pada Penyusunan Renstra
Pedoman penyusunan dan pelaporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah
yang disusun oleh LAN (Lembaga Administrasi Negara) memuat petunjuk
menentukan target pencapaian sasaran dengan menentukan rencana capaian
indikator pencapaian sasaran.
2) Penentuan IKU pada Penyusunan RKT
Walaupun tidak ada kewajiban dalam penyusunan RKA‐KL untuk menetapkan
target hasil program, sebaiknya indikator keberhasilan program yang berupa
hasil program maupun indikator lainnya sudah ditentukan. Perbaikan‐
perbaikan dalam perencanaan, terutama pada penyusunan RKT, seharusnya
juga menjadi perhatian instansi pemerintah seperti dianjurkan pada buku
pedoman penyusunan dan pelaporan akuntabilitas kinerja instansi
pemerintah.
3) Penentuan IKU pada Penyusunan PK
Dokumen penetapan kinerja, berdasarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2004, harus
disusun oleh setiap instansi pemerintah sebagai perwujudan komitmen
instansi dalam mencapai sasaran dan tujuan yang diinginkan. Indikator kinerja
dan target‐target output maupun outcome sudah harus dicantumkan di dalam
dokumen ini.
Sinergi dan koordinasi antar satuan kerja atau antar unit organisasi sangat
penting untuk mewujudkan hasil‐hasil program. Pada penyusunan dokumen
penetapan kinerja (performance agreement) yang terpenting adalah
pencantuman target hasil (outcome) dan target‐target keluaran (output).
d. Hubungan Indikator Kinerja Utama dengan Indikator Kinerja Kunci
Dengan dilakukannya evaluasi ini, maka setiap daerah didorong untuk melaporkan
berbagai capaian kinerja setiap urusan yang dilaksanakannya sesuai dengan
indikator kinerja kunci yang ditetapkan oleh pusat. Selanjutnya capaian setiap
indikator kinerja kunci ini akan dituangkan dalam berbagai laporan pelaksanaan
pemerintahan daerah yang disampaikan kepada pusat, terutama dalam laporan
pelaksanaan pemerintahan daerah (LPPD).
Indikator kinerja utama (IKU) dan indikator kinerja kunci (IKK) bukan merupakan
suatu pertentangan, namun lebih kepada fokus penilaian manajemen. IKK
ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini melalui Kementerian Dalam Negeri untuk
setiap urusan yang dilaksanakan oleh setiap daerah. IKK disusun dan ditetapkan
pemerintah berdasarkan standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan oleh
kementerian/lembaga teknis terkait. Di sisi lain, IKU disusun dan ditetapkan sendiri
oleh setiap organisasi dalam rangka mengukur keberhasilan organisasi secara
menyeluruh dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi. IKU disusun dan
ditetapkan tidak didasarkan atas pelaksanaan standar pelayanan minimal semata,
C. PENGANGGARAN
1. Pengertian Anggaran
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat APBD adalah rencana
keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (UU No. 17 Tahun 2003 Pasal 1 Butir 8 tentang Keuangan Negara).
APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam satu tahun anggaran.
Pemungutan semua penerimaan daerah bertujuan untuk memenuhi target yang
ditetapkan dalam APBD. Demikian pula semua pengeluaran daerah dan ikatan yang
membebani daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan
sasaran yang ditetapkan dalam APBD. Karena merupakan dasar pengelolaan keuangan
daerah, maka APBD menjadi dasar pula bagi kegiatan pengendalian, pemeriksaan, dan
pengawasan keuangan daerah.
Tahun anggaran APBD sama dengan tahun anggaran APBN yaitu mulai 1 Januari dan
berakhir tanggal 31 Desember tahun yang bersangkutan. Sehingga pengelolaan,
pengendalian, dan pengawasan keuangan daerah dapat dilaksanakan berdasarkan
kerangka waktu tersebut.
APBD disusun dengan pendekatan kinerja yaitu suatu sistem anggaran yang
mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya
atau input yang ditetapkan. Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD
merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat tercapai untuk setiap
sumber pendapatan. Pendapatan dapat direalisasikan melebihi jumlah anggaran yang
telah ditetapkan. Berkaitan dengan belanja, jumlah belanja yang dianggarkan merupakan
batas tertinggi untuk setiap jenis belanja. Jadi, realisasi belanja tidak boleh melebihi
2. Fungsi Anggaran Daerah
Fungsi APBN/APBD sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2003
tentang keuangan negara, yaitu:
a. Fungsi Otorisasi
APBD merupakan dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun
yang bersangkutan.
b. Fungsi Perencanaan
c. Fungsi Pengawasan
d. Fungsi Alokasi
e. Fungsi Distribusi
APBD harus memerhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
f. Fungsi Stabilisasi
Prinsip‐prinsip dasar (asas) yang berlaku di bidang pengelolaan APBD berlaku juga dalam
pengelolaan anggaran negara/daerah, sebagaimana bunyi penjelasan dalam Undang‐
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang‐Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yaitu:
a. Kesatuan
b. Universalitas
Asas ini mengharuskan setiap transaksi keuangan ditampilkan secara utuh dalam
dokumen anggaran.
c. Tahunan
Asas ini membatasi masa berlakunya anggaran untuk satu tahun tertentu.
d. Spesialitas
Asas ini mewajibkan kredit anggaran yang disediakan terinci secara jelas
peruntukannya.
e. Akrual
Asas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani untuk pengeluaran
yang seharusnya dibayar, atau menguntungkan anggaran untuk penerimaan yang
seharusnya diterima, walaupun sebenarnya belum dibayar atau belum diterima
pada kas.
f. Kas
Asas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani pada saat terjadi
pengeluaran/ penerimaan uang dari/ke kas daerah.
4. Pendekatan dalam Penyusunan Anggaran
a. Pendekatan Penganggaran Terpadu
Penyusunan anggaran dilakukan dengan mengintegrasikan proses perencanaan dan
penganggaran di lingkungan SKPD untuk menghasilkan dokumen rencana kerja,
tanpa ada dikotomi antara anggaran belanja rutin dan anggaran belanja
pembangunan. Dengan demikian, penganggaran menjadi lebih terarah karena
dikaitkan langsung dengan perencanaan program/kegiatan.
Dalam kaitan dengan menghitung biaya input dan menaksir kinerja program, penting
untuk melihat secara bersama‐sama biaya secara keseluruhan, baik yang bersifat
investasi maupun biaya yang bersifat operasional. Memadukan (unifying) anggaran
sangat penting untuk memastikan bahwa investasi dan biaya operasional yang
berulang (recurrent) dipertimbangkan secara simultan pada saat‐saat pengambilan
keputusan dalam siklus penganggaran.
b. Pendekatan Penganggaran Berbasis Kinerja
Penyusunan anggaran berorientasi pada pencapaian keluaran dan hasil yang terukur
(kinerja). Di samping itu, dalam merealisasikan suatu anggaran untuk membiayai
program/kegiatan harus memperhatikan prinsip efisiensi dan efektivitas. Efisien
diukur dengan membandingkan antara input (misalnya dana) yang digunakan
dengan keluaran (output) yang diperoleh. Sedangkan efektivitas diukur dengan
menilai apakah keluaran dapat berfungsi sebagaimana diharapkan sehingga
mendatangkan hasil (outcome) yang diinginkan. Dengan demikian, dalam anggaran
berbasis kinerja, tujuan dan indikator kinerja dari suatu program/kegiatan harus
ditentukan dengan jelas dan terukur untuk mendukung perbaikan efisiensi dan
c. Pendekatan Penganggaran dengan Perspektif Jangka Menengah
Dengan melakukan proyeksi jangka menengah, ketidakpastian di masa yang akan
datang dalam penyediaan dana dapat dikurangi sehingga pembiayaan pelaksanaan
berbagai inisiatif kebijakan baru dalam penganggaran tahunan tetap dimungkinkan.
Namun pada saat yang sama harus dihitung pula implikasi kebijakan baru tersebut
dalam konteks keberlanjutan fiskal dalam jangka menengah (medium term fiskal
sustainability). Cara ini memberikan peluang kepada SKPD dan PPKD untuk
melakukan analisis apakah perlu melakukan perubahan terhadap kebijakan yang
ada, termasuk menghentikan program‐program yang tidak efektif, agar kebijakan‐
kebijakan baru dapat diakomodasikan.
5. Struktur APBD
Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari:
a. pendapatan daerah,
b. belanja daerah,
c. pembiayaan.
6. Siklus Anggaran
a. Penyusunan dan penetapan APBD;
b. Pelaksanaan dan penatausahaan APBD;
c. Pelaporan dan pertanggungjawaban APBD.
Penyusunan APBD berpedoman pada rencana kerja pemerintah daerah dalam rangka
mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara. APBD,
perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan
dengan peraturan daerah. Dalam menyusun APBD, penganggaran pengeluaran harus
didukung oleh adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup.
Pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah yang dianggarkan dalam APBD harus
berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang‐undangan dan dianggarkan secara
bruto dalam APBD.
7. Penyusunan Rancangan APBD
Pemerintah daerah perlu menyusun APBD untuk menjamin kecukupan dana dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahannya. Karena itu, perlu diperhatikan kesesuaian
antara kewenangan pemerintahan dan sumber pendanaannya. Pengaturannya adalah
sebagai berikut.
Seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah baik dalam bentuk uang,
barang, dan/atau jasa pada tahun anggaran yang berkenaan harus dianggarkan dalam
APBD. Penganggaran penerimaan dan pengeluaran APBD harus memiliki dasar hukum
penganggaran. Anggaran belanja daerah diprioritaskan untuk melaksanakan kewajiban
pemerintah daerah sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang‐undangan.
Diagram alur perencanaan dan penyusunan APBD dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2.7 Alur Perencanaan dan Penyusunan APBD
RPJMD RPJMN
Nota
Kesepahaman
DPRD dan KDH
Pedoman
RKA Penyusunan
RKA SKPD
Tim
Anggaran
Pemerintah
Daerah
Ranperda APBD
Penyusunan APBD berpedoman pada rencana kerja pemerintah daerah. Karena itu
kegiatan pertama dalam penyusunan APBD adalah penyusunan rencana kerja
pemerintah daerah (RKPD). Pemerintah daerah menyusun RKPD yang merupakan
penjabaran dari rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD), dengan
menggunakan bahan dari Renja SKPD untuk jangka waktu satu tahun yang mengacu
kepada rencana kerja pemerintah pusat.
Penyusunan RKPD diselesaikan paling lambat akhir bulan Mei sebelum tahun
anggaran berkenaan. RKPD ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.
b. Kebijakan Umum APBD, Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara
Kepala daerah menyusun rancangan KUA dan rancangan PPAS berdasarkan RKPD
dan pedoman penyusunan APBD yang ditetapkan menteri dalam negeri setiap
tahun. Pedoman yang ditetapkan menteri dalam negeri tersebut memuat antara
lain:
1) pokok‐pokok kebijakan yang memuat sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah;
2) prinsip dan kebijakan penyusunan APBD tahun anggaran berkenaan;
3) teknis penyusunan APBD;
4) hal‐hal khusus lainnya.
Dalam menyusun rancangan KUA, kepala daerah dibantu oleh tim anggaran
pemerintah daerah (TAPD) yang dipimpin oleh sekretaris daerah. Rancangan KUA
yang telah disusun, disampaikan oleh sekretaris daerah selaku koordinator
pengelola keuangan daerah kepada kepala daerah, paling lambat pada awal bulan
Juni.
Rancangan KUA dan rancangan PPAS disampaikan kepala daerah kepada DPRD
paling lambat pertengahan bulan Juni tahun anggaran berjalan, untuk dibahas dalam
pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya.
Rancangan PPAS disusun dengan tahapan sebagai berikut:
1) menentukan skala prioritas pembangunan daerah;
Pembahasan rancangan PPAS dilakukan oleh TAPD bersama panitia anggaran DPRD
paling lambat minggu kedua bulan Juli tahun anggaran berjalan. Rancangan PPAS
yang telah dibahas selanjutnya disepakati menjadi PPA paling lambat akhir bulan Juli
tahun anggaran berjalan.
KUA serta PPA yang telah disepakati, masing‐masing dituangkan ke dalam nota
kesepakatan yang ditandatangani bersama antara kepala daerah dengan pimpinan
c. Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran SKPD
Berdasarkan nota kesepakatan yang berisi KUA dan PPAS, TAPD menyiapkan
rancangan surat edaran kepala daerah tentang pedoman penyusunan RKA SKPD
sebagai acuan kepala SKPD dalam menyusun RKA‐SKPD. Rancangan surat edaran
kepala daerah tentang pedoman penyusunan RKA‐SKPD mencakup:
2) sinkronisasi program dan kegiatan antar SKPD dengan kinerja SKPD berkenaan
sesuai dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan;
3) batas waktu penyampaian RKA‐SKPD kepada PPKD;
4) hal‐hal lainnya yang perlu mendapatkan perhatian dari SKPD terkait dengan
prinsip‐prinsip peningkatan efisiensi, efektivitas, transparansi, dan
akuntabilitas penyusunan anggaran dalam rangka pencapaian prestasi kerja;
5) dokumen sebagai lampiran meliputi KUA, PPA, kode rekening APBD, format
RKA‐SKPD, analisis standar belanja, dan standar satuan harga.
Penyusunan RKA‐SKPD berdasarkan prestasi kerja memerhatikan hal berikut.
1) Indikator Kinerja
Indikator kinerja adalah ukuran keberhasilan yang akan dicapai dari program
dan kegiatan yang direncanakan.
2) Capaian atau Target Kinerja
Capaian kinerja merupakan ukuran prestasi kerja yang akan dicapai, berwujud
kualitas, kuantitas, efisiensi, dan efektivitas pelaksanaan dari setiap program
dan kegiatan.
Analisis standar belanja merupakan penilaian kewajaran atas beban kerja dan
biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan.
4) Standar Satuan Harga
Standar satuan harga merupakan harga satuan setiap unit barang/jasa yang
berlaku di suatu daerah, yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.
5) Standar Pelayanan Minimal
Standar pelayanan minimal merupakan tolok ukur kinerja dalam menentukan
capaian jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah.
Sementara itu, pada SKPKD disusun RKA‐SKPD dan RKA‐PPKD. RKA‐SKPD memuat
program/kegiatan, sedangkan RKA PPKD digunakan untuk menampung:
1) pendapatan yang berasal dari dana perimbangan dan pendapatan hibah;
3) penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan daerah.
d. Penyiapan Raperda APBD
Jika dalam hal hasil pembahasan RKA‐SKPD terdapat ketidaksesuaian, kepala SKPD
melakukan penyempurnaan. RKA‐SKPD yang telah disempurnakan oleh kepala SKPD
disampaikan kepada PPKD sebagai bahan penyusunan rancangan peraturan daerah
tentang APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD.
Rancangan peraturan daerah tentang APBD dilengkapi dengan lampiran yang terdiri
dari:
1) ringkasan APBD;
2) ringkasan APBD menurut urusan pemerintahan daerah dan organisasi;
6) daftar jumlah pegawai per golongan dan per jabatan;
7) daftar piutang daerah;
8) daftar penyertaan modal (investasi) daerah;
9) daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset tetap daerah;
10) daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset lain‐lain;
11) daftar kegiatan‐kegiatan tahun anggaran sebelumnya yang belum diselesaikan
dan dianggarkan kembali dalam tahun anggaran ini;
12) daftar dana cadangan daerah;
13) daftar pinjaman daerah.
1) ringkasan penjabaran APBD;
2) penjabaran APBD menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, program,
kegiatan, kelompok, jenis, objek, rincian objek pendapatan, belanja, dan
pembiayaan.
1) untuk pendapatan mencakup dasar hukum;
2) untuk belanja mencakup lokasi kegiatan dan belanja yang bersifat khusus
dan/atau sudah diarahkan penggunaannya. Sumber pendanaannya
dicantumkan dalam kolom penjelasan;
3) untuk pembiayaan mencakup dasar hukum, sumber penerimaan pembiayaan
untuk kelompok penerimaan pembiayaan, dan tujuan pengeluaran
pembiayaan untuk kelompok pengeluaran pembiayaan.
Rancangan peraturan daerah tentang APBD yang telah disusun oleh PPKD
disampaikan kepada kepala daerah. Selanjutnya rancangan peraturan daerah
tentang APBD sebelum disampaikan kepada DPRD disosialisasikan kepada
masyarakat. Sosialisasi rancangan peraturan daerah tentang APBD tersebut bersifat
memberikan informasi mengenai hak dan kewajiban pemerintah daerah serta
masyarakat dalam pelaksanaan APBD tahun anggaran yang direncanakan.
e. Penyampaian dan Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD
Penyampaian rancangan peraturan daerah tersebut disertai dengan nota keuangan.
Penetapan agenda pembahasan rancangan peraturan daerah tentang APBD untuk
mendapatkan persetujuan bersama, disesuaikan dengan tata tertib DPRD masing‐
masing daerah. Pembahasan rancangan peraturan daerah tersebut berpedoman
pada KUA serta PPA yang telah disepakati bersama antara pemerintah daerah dan
DPRD. Dalam hal DPRD memerlukan tambahan penjelasan terkait dengan
pembahasan program dan kegiatan tertentu, dapat meminta RKA‐SKPD berkenaan
kepada kepala daerah.
Apabila sampai batas waktu 1 bulan sebelum tahun anggaran berkenaan DPRD tidak
menetapkan persetujuan terhadap rancangan peraturan daerah APBD, maka kepala
daerah melaksanakan pengeluaran setinggi‐tingginya sebesar angka APBD tahun
anggaran sebelumnya. Pengeluaran tersebut diprioritaskan untuk belanja yang
bersifat mengikat dan belanja yang bersifat wajib. Belanja yang bersifat mengikat
merupakan belanja yang dibutuhkan secara terus menerus dan harus dialokasikan
oleh pemerintah daerah dalam jumlah yang cukup untuk keperluan tahun anggaran
yang bersangkutan, seperti belanja pegawai, belanja barang dan jasa. Sedangkan
belanja yang bersifat wajib adalah belanja untuk menjaminnya kelangsungan
pemenuhan pendanaan pelayanan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan,
dan/atau melaksanakan kewajiban kepada pihak ketiga.
Dalam hal kepala daerah dan/atau pimpinan DPRD berhalangan tetap, maka pejabat
yang ditunjuk dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang selaku penjabat/
pelaksana tugas kepala daerah dan/atau selaku pimpinan sementara DPRD yang
menandatangani persetujuan bersama.
Apabila dalam batas waktu 30 hari kerja Mendagri/gubernur tidak mengesahkan
rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD, kepala daerah menetapkan
rancangan peraturan dimaksud menjadi peraturan kepala daerah.
Khusus untuk pengeluaran, diatur bahwa pelampauan batas tertinggi dari jumlah
pengeluaran hanya diperkenankan apabila ada kebijakan pemerintah untuk
kenaikan gaji dan tunjangan PNS, penyediaan dana pendamping atas program dan
kegiatan yang ditetapkan oleh pemerintah, serta bagi hasil pajak daerah dan
retribusi daerah yang ditetapkan dalam undang‐undang.
Rancangan peraturan daerah provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama
DPRD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD, sebelum
ditetapkan oleh gubernur, paling lama tiga hari kerja disampaikan terlebih dahulu
kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi.
Penyampaian rancangan disertai dengan:
2) KUA dan PPA yang disepakati antara kepala daerah dan pimpinan DPRD;
4) nota keuangan dan pidato kepala daerah perihal penyampaian pengantar nota
keuangan pada sidang DPRD.
Hasil evaluasi dituangkan dalam keputusan Menteri Dalam Negeri dan disampaikan
kepada gubernur paling lama 15 hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan
dimaksud. Apabila Mendagri menyatakan hasil evaluasi sudah sesuai dengan
kepentingan umum dan peraturan perundang‐undangan yang lebih tinggi, gubernur
menetapkan rancangan dimaksud menjadi peraturan daerah dan peraturan
gubernur.
Pembatalan peraturan daerah dan peraturan gubernur serta pernyataan berlakunya
pagu APBD tahun sebelumnya ditetapkan dengan peraturan menteri dalam negeri.
Membuat
RanperGub
Ranperda APBD sebesar pagu Pengesahan Perda APBD
Tidak Setuju
APBD tahun MDN
sebelumnya
(15 hr)
Dibahas Gubernur
antara menetapkan
DPRD
DPRD & Perda &
KDH PerKDH
RanperGub
Penjabaran Penyempurnaan
Setuju Melewati (17 hr)
APBD Tidak sesuai UU
batas waktu
Tidak
disempurnakan
Penyampaian
Ranperda APBD MDN Hasil Evaluasi
(3 hr) (15 hr)
MDN
membatalkan ,
berlaku pagu
APBD tahun
Sesuai UU
sebelumnya
Keputusan pimpinan DPRD bersifat final dan dilaporkan pada sidang paripurna
berikutnya, yakni setelah sidang paripurna pengambilan keputusan bersama
terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD.
Keputusan pimpinan DPRD disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri bagi APBD
provinsi dan kepada gubernur bagi APBD kabupaten/kota paling lama tiga hari kerja
setelah keputusan tersebut ditetapkan. Dalam hal pimpinan DPRD berhalangan
tetap, maka pejabat yang ditunjuk dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
selaku pimpinan sementara DPRD yang menandatangani keputusan pimpinan DPRD.
g. Penetapan Peraturan Daerah tentang APBD
Penetapan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah
tentang penjabaran APBD dilakukan paling lambat tanggal 31 Desember tahun
anggaran sebelumnya.
Dalam hal kepala daerah berhalangan tetap, maka pejabat yang ditunjuk dan
ditetapkan oleh pejabat yang berwenang selaku penjabat/pelaksana tugas kepala
daerah yang menetapkan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala
daerah tentang penjabaran APBD.
Rancangan DPA SKPD tersebut memuat rincian tentang sasaran yang hendak
dicapai, program dan kegiatan yang direncanakan, anggaran yang tersedia untuk
mencapai sasaran tersebut, rencana penarikan dana dari tiap SKPD, serta
pendapatan yang diperkirakan.
DPA juga menginformasikan lokasi, sumber dana, dan jumlah anggaran pelaksanaan
kegiatan khusus kelompok belanja langsung, yaitu dengan memberikan informasi
alamat pelaksanaan kegiatan, asal sumber dana, dan jumlah anggaran.
Berikut ini bagan arus pengesahan rancangan DPA‐SKPD.
i. Anggaran Kas Pemerintah Daerah dan SKPD
Anggaran kas berperan sangat penting dalam pengelolaan keuangan daerah untuk
menjamin ketersediaan dana pada saat dibutuhkan, sehingga pelaksanaan
program/kegiatan dapat berjalan lancar sesuai dengan jadwal pelaksanaan dan
target kinerja. Anggaran kas menggambarkan rencana penerimaan dan pengeluaran
selama satu periode anggaran (mulai 1 Januari s.d. 31 Desember). Anggaran kas
dibuat oleh PPKD selaku bendahara umum daerah (BUD) dan SKPD. Oleh karena
SKPD merupakan bagian dari pemda, maka agregasi dari anggaran kas seluruh SKPD
akan menjadi anggaran kas pemda.
Langkah‐langkah Teknis Penyusunan Anggaran Kas:
1) Kepala SKPD dibantu bendahara pengeluaran dan atau bendahara penerimaan
menyusun rancangan anggaran kas berdasarkan rancangan DPA‐SKPD,
2) PPKD mengotorisasi rancangan DPA‐SKPD dan rancangan anggaran kas SKPD,
kemudian diserahkan kepada TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah). TAPD
bersama seluruh kepala SKPD memverifikasi rancangan anggaran kas dengan
rancangan DPA‐SKPD dan RKA‐SKPD, berdasarkan perkada penjabaran APBD,
paling lambat 15 hari kerja sejak ditetapkan perkada penjabaran.
j. Perubahan APBD
1) perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA;
4) keadaan darurat;
5) keadaan luar biasa.
2) tidak diharapkan terjadi secara berulang;
3) berada di luar kendali dan pengaruh pemerintah daerah;
4) memiliki dampak yang signifikan terhadap anggaran dalam rangka pemulihan
yang disebabkan oleh keadaan darurat.
Pendanaan keadaan darurat yang belum tersedia anggarannya dapat menggunakan
belanja tidak terduga. Dalam hal belanja tidak terduga tidak mencukupi dapat
dilakukan dengan cara: menggunakan dana dari hasil penjadwalan ulang capaian
target kinerja program dan kegiatan lainnya dalam tahun anggaran berjalan;
dan/atau memanfaatkan uang kas yang tersedia.
Selain itu, pemerintah daerah juga dapat melakukan pengeluaran yang belum
tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan
APBD bagi belanja untuk keperluan mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam
peraturan daerah tentang APBD.
Perubahan APBD hanya dapat dilakukan satu kali dalam satu tahun anggaran,
kecuali dalam keadaan luar biasa. Keadaan luar biasa tersebut adalah keadaan yang
menyebabkan estimasi penerimaan dan/atau pengeluaran dalam APBD mengalami
kenaikan atau penurunan lebih besar dari 50%.
Paling lama tujuh hari setelah keputusan pembatalan, kepala daerah wajib
memberhentikan pelaksanaan peraturan daerah tentang perubahan APBD dan
selanjutnya kepala daerah bersama DPRD mencabut peraturan daerah dimaksud.
Pencabutan peraturan daerah tersebut dilakukan dengan peraturan daerah.
8. Anggaran Berbasis Kinerja
Anggaran berbasis kinerja di Indonesia telah diperkenalkan dalam Undang‐Undang Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 19 point (2) UU tersebut menetapkan:
“Rencana kerja satuan kerja perangkat daerah disusun dengan pendekatan berdasarkan
prestasi kerja yang akan dicapai.”
Disimpulkan dari uraian di atas, APBD adalah:
“rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama
oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah yang
berupa pedoman tindakan yang akan dilaksanakan pemerintah meliputi rencana
pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan yang diukur dalam satuan rupiah,
yang disusun menurut klasifikasi tertentu secara sistematis untuk satu periode.”
Keluaran (output) adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh kegiatan yang dilaksanakan
untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan program dan kebijakan.
Hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran dari
kegiatan‐kegiatan dalam suatu program.
Jadi anggaran berbasis kinerja adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang
disusun berdasarkan keluaran/hasil dari kegiatan/program dengan kuantitas dan kualitas
yang terukur.
input dana
Rasio Efisiensi =
output program/kegiatan
Misal, kinerja output program wajib belajar 9 tahun adalah sebanyak 1.500 siswa
menyelesaikan pendidikan pada tahun anggaran 2012/2013 dan 2.000 siswa pada tahun
anggaran 2013/2014, dengan menggunakan dana program masing‐masing sebesar
Rp1.000.000.000 dan Rp1.500.000.000, maka rasio efisiensi masing‐masing sebesar:
Rp1.000.000.000
Rasio Efisiensi 2012/2013 = = 667.000 rupiah/siswa
1.500 siswa
Rp1.500.000.000
Rasio Efisiensi 2013/2014 = = 750.000 rupiah/siswa
2.000 siswa
Dengan asumsi nilai rupiah konstan (tidak terjadi inflasi), maka program wajib belajar
tahun 2012/2013 lebih efisien dari tahun 2013/2014.
Manfaat lain dari penganggaran berbasis kinerja adalah dapat diketahuinya nilai rata‐rata
per unit output. Jika nilai rata‐rata per unit output diketahui, maka penganggaran untuk
suatu periode tahun anggaran dapat ditetapkan secara lebih akurat. Misal, nilai rata‐rata
per unit program wajib belajar 9 tahun adalah Rp600.000 per siswa, jika siswa tahun
2014/2015 sebanyak 2.200 orang, maka anggaran program yang harus disediakan adalah
sebesar Rp1.320.000.000.
Secara umum, anggaran berbasis kinerja dapat digunakan untuk mengukur efisiensi suatu
program/kegiatan, sehingga pimpinan instansi dapat menentukan langkah‐langkah
pengendaliannya. Di samping itu, data kuantitatif nilai rata‐rata per unit program/
kegiatan dapat digunakan untuk penghitungan nilai wajar suatu program/kegiatan. Jadi,
pengumpulan dan pengolahan data kuantitatif atas anggaran berbasis kinerja akan
membantu pimpinan dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan evaluasi
progam/kegiatan instansi.
a. kepemimpinan dan komitmen dari seluruh komponen organisasi;
b. fokus penyempurnaan administrasi secara terus menerus;
c. sumber daya yang cukup untuk usaha penyempurnaan tersebut (uang, waktu, dan
orang);
d. penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) yang jelas;
e. keinginan yang kuat untuk berhasil.
~
A. PENGORGANISASIAN PELAKSANAAN TUGAS DAN FUNGSI
1. Pengertian Pemerintah Daerah
Gubernur sebagai kepala daerah provinsi berfungsi pula selaku wakil pemerintah di
daerah dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali
pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata pemerintahan kabupaten
dan kota.
2. Kewenangan Pemerintah Daerah
Urusan yang menjadi kewenangan daerah meliputi urusan wajib dan urusan pilihan.
Urusan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar
seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana
lingkungan dasar; sedangkan urusan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi
unggulan dan kekhasan daerah.
a. Kewenangan Pemerintah Provinsi
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan
urusan dalam skala provinsi yang meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas
kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh
kabupaten/kota ; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang‐undangan.
b. Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan;
l. pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang‐undangan.
3. Kelembagaan Pemerintah Daerah
Sesuai PP Nomor 41 Tahun 2007 perangkat daerah provinsi adalah unsur pembantu
kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari
sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. Menurut
PP ini juga perangkat daerah kabupaten/kota adalah unsur pembantu kepala daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari sekretariat daerah,
sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan.
Dalam rangka menata organisasi yang efisien, efektif, dan rasional pemerintah daerah
harus memerhatikan kebutuhan dan kemampuan daerah masing‐masing serta adanya
koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplifikasi serta komunikasi kelembagaan antara
pusat dan daerah.
Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah
menetapkan kriteria untuk menentukan jumlah besaran organisasi perangkat daerah
masing‐masing pemerintah daerah dengan variabel jumlah penduduk, luas wilayah dan
jumlah APBD, yang kemudian ditetapkan pembobotan masing‐masing variabel yaitu 40%
(empat puluh persen) untuk variabel jumlah penduduk, 35% (tiga puluh lima persen)
untuk variabel luas wilayah, dan 25% (dua puluh lima persen) untuk variabel jumlah APBD,
serta menetapkan variabel tersebut dalam beberapa kelas interval. Demikian juga
mengenai jumlah susunan organisasi disesuaikan dengan beban tugas masing‐masing
perangkat daerah.
1. Pengertian Keuangan Daerah
Pengertian keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam penjelasan pasal 156 ayat 1
Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai
berikut :
“Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai
dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik
daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.
Sementara dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Perubahan Kedua Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dinyatakan bahwa:
“Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk di
dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban
daerah tersebut.”
Berdasarkan pengertian tersebut unsur pokok keuangan daerah terdiri atas:
• Hak Daerah
yang dapat dinilai dengan uang
• Kewajiban Daerah
• Kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban tersebut.
Hak daerah dalam rangka keuangan daerah adalah segala hak yang melekat pada daerah
sesuai dengan peraturan perundang‐undangan yang digunakan dalam usaha pemerintah
daerah mengisi kas daerah.
Hak daerah meliputi antara lain:
a. hak menarik pajak dan retribusi daerah (UU No. 28 Tahun 2009),
b. hak mengadakan pinjaman (UU No. 33 Tahun 2004),
c. hak untuk memperoleh dana perimbangan dari pusat (UU No. 33 Tahun 2004).
a. melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
b. memajukan kesejahteraan umum,
c. mencerdaskan kehidupan bangsa,
d. ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
2. Hubungan Keuangan Daerah dengan Keuangan Negara
Pasal 1 UUD 1945 menetapkan negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk
republik. Selanjutnya dalam UUD 1945 Pasal 18 beserta penjelasannya menyatakan bahwa
daerah Indonesia terbagi dalam daerah yang bersifat otonom atau bersifat daerah
administrasi.
Setiap penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah
dalam rangka desentralisasi dan dekonsentrasi disertai dengan pengalihan sumber daya
manusia dan sarana serta pengalokasian anggaran yang diperlukan untuk kelancaran
Dari ketiga jenis pelimpahan wewenang tersebut, hanya pelimpahan wewenang dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi saja yang merupakan sumber keuangan daerah melalui
alokasi dana perimbangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan
alokasi dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam rangka
dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak merupakan sumber penerimaan APBD,
diadministrasikan dan dipertanggungjawabkan secara terpisah dari administrasi keuangan
dalam pembiayaan pelaksanaan desentralisasi.
3. Pengelola Keuangan Daerah
a. Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah (Koordinator PKD)
b. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD)
c. Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang (PPA/PB)
d. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK)
e. Pejabat Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
f. Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran.
Struktur pejabat pengelola keuangan daerah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2005 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 185 ayat 4
dapat dilihat pada gambar.
KEPALA DAERAH
(Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah)
SEKRETARIS DAERAH
(Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah)
PENGGUNA ANGGARAN PPKD selaku BUD
(Kepala SKPD) (Kepala BPKAD)
Bendahara Kuasa PA
Kuasa BUD
PPTK PPK‐SKPD
Berikut ini adalah uraian tugas para pejabat pengelola keuangan daerah tersebut.
a. Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah
1) menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja
daerah (APBD);
2) menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang daerah;
3) menetapkan kuasa pengguna anggaran/pengguna barang;
4) menetapkan bendahara penerimaan dan/atau bendahara pengeluaran;
5) menetapkan pejabat yang bertugas memungut penerimaan daerah;
6) menetapkan pejabat yang bertugas mengelola utang dan piutang daerah;
7) menetapkan pejabat yang bertugas mengelola barang milik daerah;
1) Sekretaris Daerah selaku koordinator pengelola keuangan daerah (KPKD)
b. Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah
1) penyusunan dan pelaksanaan kebijakan APBD;
2) penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan barang daerah;
3) penyusunan rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD;
1) memimpin TAPD (tim anggaran pemerintah daerah),
2) menyiapkan pedoman pelaksanaan APBD,
3) menyiapkan pedoman pengelolaan barang daerah,
c. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah
Kepala SKPKD selaku PPKD mempunyai tugas:
1) menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan keuangan daerah,
2) menyusun rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD,
3) melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan
peraturan daerah,
4) melaksanakan fungsi bendahara umum daerah (BUD),
6) melaksanakan tugas lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh kepala
daerah.
PPKD dalam melaksanakan fungsinya selaku BUD berwenang:
1) menyusun kebijakan dan pedoman pelaksanaan APBD;
2) mengesahkan DPA‐SKPD/DPPA‐SKPD;
3) melakukan pengendalian pelaksanaan APBD;
4) memberikan petunjuk teknis pelaksanaan sistem penerimaan dan pengeluaran
kas daerah;
6) menetapkan surat penyediaan dana (SPD);
8) melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah;
9) menyajikan informasi keuangan daerah;
10) melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta penghapusan barang
milik daerah.
PPKD selaku BUD menunjuk pejabat di lingkungan satuan kerja pengelola keuangan
daerah selaku kuasa bendahara umum daerah (Kuasa BUD). PPKD
mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada kepala daerah melalui
sekretaris daerah. Penunjukan kuasa BUD oleh PPKD ditetapkan dengan keputusan
kepala daerah. Kuasa BUD mempunyai tugas:
1) menyiapkan anggaran kas;
2) menyiapkan SPD;
3) menerbitkan surat perintah pencairan dana (SP2D);
4) menyimpan seluruh bukti asli kepemilikan kekayaan daerah;
6) mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan APBD;
7) menyimpan uang daerah;
9) melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat pengguna anggaran
atas beban rekening kas umum daerah;
10) melaksanakan pemberian pinjaman atas nama pemerintah daerah;
11) melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah;
12) melakukan penagihan piutang daerah.
PPKD dapat melimpahkan kepada pejabat lainnya di lingkungan SKPKD untuk
melaksanakan tugas‐tugas berikut:
1) menyusun rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD;
2) mengendalikan pelaksanaan APBD;
3) memungut pajak daerah;
5) melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah;
6) menyajikan informasi keuangan daerah;
7) melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta penghapusan barang
milik daerah.
d. Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
1) menyusun rencana kerja dan anggaran SKPD (RKA‐SKPD);
2) menyusun dokumen pelaksanaan anggaran SKPD (DPA‐SKPD);
4) melaksanakan anggaran SKPD yang dipimpinnya;
5) menguji tagihan dan memerintahkan pembayaran;
6) memungut penerimaan bukan pajak;
8) menandatangani surat perintah membayar (SPM);
11) menyusun dan menyampaikan laporan keuangan SKPD yang dipimpinnya;
12) mengawasi pelaksanaan anggaran SKPD yang dipimpinnya;
Pejabat pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan
tugasnya kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah.
Pelimpahan sebagian kewenangan tersebut meliputi:
2) melaksanakan anggaran unit kerja yang dipimpinnya;
3) melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran;
5) menandatangani SPM‐LS dan SPM‐TU;
6) mengawasi pelaksanaan anggaran unit kerja yang dipimpinnya;
Pengguna Anggaran/Barang
(Kepala SKPD)
e. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan SKPD
PPA/PB dan KPA/KPB dalam melaksanakan program dan kegiatan menunjuk pejabat
pada unit kerja SKPD selaku pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK). Penunjukan
pejabat tersebut berdasarkan pertimbangan kompetensi jabatan, anggaran
kegiatan, beban kerja, lokasi, dan/atau rentang kendali, dan pertimbangan objektif
lainnya.
1) mengendalikan pelaksanaan kegiatan;
2) melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan;
Kepala SKPD menetapkan pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan
pada SKPD sebagai pejabat penatausaha keuangan SKPD (PPK‐SKPD) yang
mempunyai tugas:
3) melakukan verifikasi SPP;
4) menyiapkan SPM;
5) melakukan verifikasi harian atas penerimaan;
6) melaksanakan akuntansi SKPD;
7) menyiapkan laporan keuangan SKPD.
g. Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran
Kepala daerah atas usul PPKD menetapkan bendahara penerimaan dan bendahara
pengeluaran untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan
anggaran pada SKPD. Bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran tersebut
adalah pejabat fungsional. Bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran baik
secara langsung maupun tidak langsung dilarang melakukan kegiatan perdagangan,
pekerjaan pemborongan dan penjualan jasa atau bertindak sebagai penjamin atas
kegiatan/ pekerjaan/penjualan, serta membuka rekening/giro pos atau menyimpan
uang pada suatu bank atau lembaga keuangan lainnya atas nama pribadi.
Bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran secara fungsional bertanggung
jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada PPKD selaku BUD.
C. PENJADWALAN PELAKSANAAN PROGRAM/KEGIATAN
Dalam praktik, baik pada pemerintah maupun pemerintah daerah, sering kita temui
pelaksanaan kegiatan yang seiring dengan penyerapan anggaran menumpuk pada akhir tahun
anggaran. Salah satu penyebabnya adalah karena kurang cermatnya manajemen dalam
menyusun jadwal pelaksanaan program dan kegiatan. Oleh sebab itu penyusunan kerangka
acuan kerja (KAK) merupakan hal yang sangat penting, sebab dalam KAK akan diperoleh
gambaran mengenai :
1. Uraian mengenai apa (what) pengertian dan apa keluaran (output) yang akan dicapai dari
kegiatan.
2. Mengapa (why) kegiatan tersebut perlu dilaksanakan dalam hubungan dengan tugas dan
fungsi dan sasaran program yang hendak dicapai.
3. Siapa (who) personil/tim/satker yang bertanggung jawab melaksanakan dalam pencapaian
keluaran (output) dan siapa yang akan menerima manfaat dari kegiatan.
4. Kapan (when) kegiatan dimulai dan selesai, berapa lama (how long) waktu yang
dibutuhkan dalam menyelesaikan kegiatan.
5. Di mana (where) kegiatan tersebut akan dilaksanakan.
6. Bagaimana (how) kegiatan tersebut dilaksanakan.
7. Berapa perkiraan (how much) biaya yang dibutuhkan.
Dari komponen KAK di atas, penjadwalan yang berisi kapan suatu kegiatan akan dimulai dan
kapan akan selesai merupakan hal yang penting untuk dilakukan penyelarasan baik antar
kegiatan dalam satu SKPD maupun seluruh kegiatan dari pemerintah daerah. Hal ini terkait juga
dengan alokasi kebutuhan sumber daya, baik keuangan maupun manusia. Suatu kegiatan yang
Contoh berikut ini merupakan penjadwalan dari kegiatan pada sebuah SKPD:
Tahapan dan Waktu Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Sekolah Lapang Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Pertanian (SL‐PPHP) Dinas Pertanian Kabupaten “Berencana”.
1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan terdiri dari: rapat, penunjukan tim penyusun pedoman, survey IML dan
AKL.
2. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan akan dilakukan penyusunan buku pedoman, PL‐1, PL‐2, Diklat PU,
dan bimbingan lanjutan dan pengawalan teknis kepada kelompok penerima bantuan dana
TP.
3. Tahap Pembuatan Laporan
Tahap akhir dari satu kegiatan adalah pembuataan laporan seluruh tahapan yang telah
dilaksanakan mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi.
JADWAL KEGIATAN
Secara rinci jadwal pelaksanaan kegiatan adalah sebagai berikut :
Bulan /Tahun 2014
No. Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Penyusunan
Pedoman/Petunjuk
SL‐PPHP
Persiapan
Pelaksanaan
Pelaporan
2 IML dan AKL
Persiapan
Pelaksanaan
Pelaporan
WAKTU PENCAPAIAN KELUARAN
Waktu untuk menyelesaikan kegiatan SL‐PPHP selama 10 bulan
~
A. PENDAPATAN DAERAH
Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang‐Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah,
menetapkan bahwa penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas
pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang
melalui rekening kas umum daerah yang menambah ekuitas dana lancar dan merupakan hak
pemerintah daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah.
Pada hakikatnya pendapatan daerah secara langsung diperoleh dari mekanisme pajak dan
retribusi daerah atau pungutan lainnya yang dibebankan kepada masyarakat. Dasar hukum
pemungutan pajak dan retribusi daerah antara lain:
• Undang‐Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang berlaku
sejak 1 Januari 2010, menggantikan Undang‐Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang
Perubahan atas Undang‐Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Dan Retribusi
Daerah
• Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
• Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
Keadilan atau kewajaran dalam perpajakan terkait dengan prinsip kewajaran horisontal dan
kewajaran vertikal. Prinsip kewajaran horisontal mempersyaratkan bahwa masyarakat dalam
posisi yang sama harus diperlakukan sama. Sedangkan prinsip kewajaran vertikal dilandasi pada
konsep kemampuan wajib pajak/retribusi untuk membayar, artinya bagi masyarakat
berkemampuan membayar tinggi akan dibebankan pajak/retribusi yang tinggi pula. Sudah
barang tentu untuk menyeimbangkan kedua prinsip tersebut pemerintah daerah dapat
menerapkan kebijakan diskriminasi tarif yang rasional untuk menghilangkan rasa ketidakadilan.
Selain itu dalam konteks belanja, pemerintah daerah harus mengalokasikan belanja daerah
secara adil dan merata agar dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi,
khususnya dalam pengelolaan pelayanan umum. Sehubungan dengan hal itu, pendapatan
daerah yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan terukur secara rasional yang dapat
dicapai untuk setiap sumber pendapatan.
Pendapatan daerah bersumber dari:
1. Pendapatan asli daerah (PAD), yaitu pendapatan yang diperoleh dan dipungut oleh
pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang‐
undangan meliputi:
a. pajak daerah;
b. retribusi daerah, termasuk hasil jasa pelayanan badan layanan umum daerah;
c. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, antara lain bagian laba
BUMN/BUMD, hasil kerja sama dengan pihak ketiga;
d. PAD lain‐lain yang sah.
2. Dana perimbangan bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan ke pemerintah
daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi:
b. dana alokasi umum;
c. dana alokasi khusus.
3. Pendapatan daerah lainnya yang sah terdiri dari:
a. hibah;
b. dana darurat;
c. dana bagi hasil dari provinsi dan pemerintah daerah lainnya;
d. dana penyesuaian dan otonomi khusus;
e. bantuan keuangan dari provinsi atau pemerintah daerah lainnya.
1. Jenis‐Jenis Pendapatan Daerah
a. Pendapatan Asli Daerah
1) Pajak Daerah
a) Pajak dipungut oleh pemerintah baik pusat maupun daerah berdasarkan
peraturan perundang‐undangan.
Pajak daerah menurut UU No. 28 Tahun 2009 terbagi menjadi pajak provinsi
dan pajak kabupaten/kota.
a) Pajak Provinsi, meliputi:
(1) Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
(2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN‐KB)
(3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB‐KB)
(4) Pajak Air Permukaan
(5) Pajak Rokok.
(1) PKB dan BBN‐KB:
• 70%: bagian pemerintah provinsi
• 30%: bagian pemerintah kab./kota
• 30%: bagian pemerintah provinsi
• 70%: bagian pemerintah kab./kota
(3) Pajak Rokok:
• 30%: bagian pemerintah provinsi
• 70%: bagian pemerintah kabupaten/kota
(4) Pajak Air Permukaan:
• 50%: bagian pemerintah provinsi
• 50%: bagian pemerintah kabupaten/kota
Khusus untuk penerimaan pajak air permukaan dari sumber air yang
berada hanya pada satu wilayah kabupaten/kota, hasil penerimaannya
diserahkan kepada kabupaten/kota yang bersangkutan sebesar 80%.
b) Pajak Kabupaten/Kota, meliputi:
(1) Pajak Hotel (PH)
(2) Pajak Restoran (PR)
(3) Pajak Hiburan (PHi)
(4) Pajak Reklame (PRek)
(5) Pajak Penerangan Jalan (PPJ)
(6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
(7) Pajak Parkir
(8) Pajak Air Tanah
(9) Pajak Sarang Burung Walet
(10) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
(11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Jenis pajak di atas dapat tidak dipungut apabila potensinya kurang memadai
dan/atau disesuaikan dengan kebijakan daerah yang ditetapkan dengan
peraturan daerah.
Pelaksanaan pajak daerah diatur berdasarkan ketentuan sebagai berikut.
a) Pajak ditetapkan dengan peraturan daerah (perda).
b) Peraturan daerah tentang pajak tidak dapat berlaku surut.
(1) nama, objek, dan subjek pajak;
(2) dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;
(3) wilayah pemungutan;
(4) masa pajak;
(5) penetapan;
(6) tata cara pembayaran dan penagihan;
(7) kedaluwarsa;
(8) sanksi administrasi;
(9) tanggal mulai berlakunya.
(1) pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal‐
hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya;
(3) asas timbal balik.
Tata cara pemungutan pajak daerah:
a) Pungutan pajak daerah tidak dapat diborongkan dan seluruh proses
kegiatan pemungutan pajak tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga.
d) Wajib pajak memenuhi kewajiban pajak yang dibayar sendiri dengan
menggunakan surat pemberitahuan pajak daerah (SPTPD), surat
ketetapan pajak daerah kurang bayar (SKPDKB), dan atau surat
ketetapan pajak daerah kurang bayar tambahan (SKPDKBT).
f) Dalam jangka waktu lima tahun sesudah terutangnya pajak,
(1) kepala daerah dapat menerbitkan:
(a) SKPDKB apabila:
• berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak
terutang tidak atau kurang dibayar;
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam surat ketetapan
pajak daerah kurang bayar (SKPDKB) dikenakan sanksi administrasi
berupa bunga 2% sebulan, dihitung dari pajak yang kurang atau
sanksi administrasi berupa biaya dihitung dari pajak yang kurang
atau terlambat dibayar paling lama 24 bulan.
(3) Sanksi administrasi di atas dihitung sejak saat terutangnya pajak
sampai dengan terbitnya SKPDKB.
g) Surat tagihan pajak daerah (STPD) diterbitkan kepala daerah dalam hal
terjadi:
(1) pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar.
(4) SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo
pembayaran dikenakan sanksi administrasi sebesar 2% sebulan dan
ditagih melalui STPD.
Tata cara pembayaran dan penagihan:
d) Tata cara pembayaran/penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan
penundaan pajak diatur dengan keputusan kepala daerah.
a) Pengajuan Keberatan
(a) SKPD;
(b) SKPDKB;
(c) SKPDKBT;
(d) SKPDLB;
(e) SKPDN; dan
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama tiga
bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan, atau tanggal
pemungutan, kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan bukti
bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di
luar kekuasaannya.
(5) Kepala daerah dalam jangka waktu paling lama dua belas bulan
sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan
atas keberatan yang diajukan. Apabila dalam batas waktu tersebut
di atas telah lewat dan kepala daerah tidak memberi keputusan,
maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
b) Pengajuan Banding
b) Keputusan kepala daerah dapat berupa:
(2) pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang keliru.
2) Retribusi Daerah
Retribusi adalah pembayaran wajib oleh rakyat atas jasa tertentu yang
diberikan oleh pemerintah daerah kepada penduduknya secara perorangan.
Jasa adalah upaya pelayanan oleh pemerintah daerah yang menyebabkan
barang, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya dan dapat dinikmati oleh orang
pribadi atau badan. Jasa tersebut bersifat langsung, artinya hanya mereka
yang membayar retribusi yang dapat menikmati balas jasa (kontra prestasi)
dari pemerintah daerah.
b) hasil penerimaan retribusi harus masuk ke kas daerah;
e) sanksi ekonomis, yaitu apabila orang pribadi atau badan tidak membayar
retribusi, maka mereka tidak akan memperoleh jasa layanan yang
disediakan oleh pemerintah daerah.
Retribusi daerah menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 dapat dikelompokkan
sebagai berikut.
a) Retribusi jasa umum, yaitu retribusi atas jasa pelayanan yang disediakan
oleh pemerintah daerah untuk kepentingan dan kemanfaatan umum
serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Adapun jenis‐jenis
retribusi jasa umum terdiri atas retribusi:
(1) pelayanan kesehatan;
(2) pelayanan sampah/kebersihan;
(3) penggantian biaya cetak KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan akta
catatan sipil;
(4) pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat;
(5) pelayanan parkir di tepi jalan umum;
(6) pelayanan pasar;
(7) pengujian kendaraan bermotor;
(8) pemeriksaan alat pemadam kebakaran;
(9) penggantian biaya cetak peta;
(10) penyediaan dan/atau penyedotan kakus;
(11) pengolahan limbah cair;
(12) pelayanan tera/tera ulang;
(13) pelayanan pendidikan;
(14) pengendalian menara telekomunikasi.
(1) pemakaian kekayaan daerah;
(2) pasar grosir dan/atau pertokoan;
(3) tempat pelelangan;
(4) terminal;
(5) tempat khusus parkir;
(6) tempat penginapan/pesanggrahan/vila;
(7) rumah potong hewan;
(8) pelayanan kepelabuhanan;
(9) tempat rekreasi dan olah raga;
(10) penyeberangan di air;
(11) penjualan produksi usaha daerah.
(1) izin mendirikan bangunan (IMB)
(2) izin tempat penjualan minuman beralkohol
(3) izin gangguan (HO = Hoereg Ordonantie)
(4) izin trayek,
(5) izin usaha perikanan.
c) Untuk retribusi perizinan tertentu ditetapkan berdasarkan pada tujuan
untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian
izin tersebut.
a) Retribusi ditetapkan dengan peraturan daerah.
b) Peraturan daerah tentang retribusi tidak dapat berlaku surut.
(1) nama, objek, dan subjek retribusi;
(2) golongan retribusi;
(3) cara mengukur tingkat penggunaan jasa yang bersangkutan;
(5) struktur dan besarnya tarif retribusi;
(6) wilayah pemungutan;
(8) sanksi administratif;
(9) penagihan;
(10) penghapusan piutang retribusi yang kedaluwarsa,
(11) tanggal mulai berlakunya.
(1) masa retribusi;
(2) pemberian keringanan, pengurangan, dan pembebasan dalam hal‐
hal tertentu atas pokok retribusi dan/atau sanksinya;
(3) tata cara penghapusan piutang retribusi yang kedaluwarsa.
Besaran tarif retribusi yang terutang dihitung berdasarkan:
a) Tingkat penggunaan jasa
Tata cara pemungutan retribusi daerah:
b) Dalam hal wajib retribusi tertentu tidak membayar tepat waktu atau
kurang membayar, maka dikenakan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% sebulan dari retribusi yang terutang yang tidak atau kurang
dibayar dan ditagih dengan menggunakan STRD.
Pengajuan Keberatan
c) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama dua bulan
sejak tanggal SKRD diterbitkan, kecuali apabila wajib retribusi dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena
keadaan di luar kekuasaannya.
e) Kepala daerah dalam jangka waktu paling lama enam bulan sejak tanggal
surat keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan
yang diajukan. Apabila dalam batas waktu tersebut telah dilewati dan
kepala daerah tidak memberi suatu keputusan, maka keberatan yang
diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
b) Kepala daerah dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak
diterimanya permohonan kelebihan pembayaran pajak harus
memberikan keputusan.
c) Kepala daerah dalam jangka waktu paling lama enam bulan sejak
diterimanya permohonan kelebihan pembayaran retribusi harus sudah
dapat memberikan keputusan mengenai hal tersebut.
d) Apabila jangka waktu di atas telah terlampaui dan kepala daerah tidak
memberikan suatu keputusan, maka permohonan pengembalian
pembayaran pajak atau retribusi dianggap dikabulkan dan
SKPDLB/SKRDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama satu
bulan.
e) Apabila wajib pajak atau wajib retribusi mempunyai utang pajak atau
utang retribusi lainnya, maka atas kelebihan pembayaran pajak atau
h) Tata cara pengembalian pembayaran pajak atau retribusi diatur dengan
peraturan daerah.
Kedaluwarsa penagihan pajak daerah dan retribusi daerah
a) Hak untuk melakukan penagihan pajak dan retribusi daerah kedaluwarsa
setelah melampaui jangka waktu lima tahun sejak saat terutang pajak
dan retribusi, kecuali bila wajib pajak/retribusi melakukan tindak pidana
di bidang perpajakan/retribusi daerah.
Pedoman tata cara penghapusan piutang pajak dan retribusi daerah yang
kedaluwarsa diatur dengan peraturan pemerintah.
3) Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
Salah satu sumber pendapatan asli daerah adalah hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan yang terdiri atas bagian laba BUMD dan hasil kerja
sama dengan pihak ketiga. Jumlah rencana PAD yang dianggarkan dari
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan harus mencerminkan
c) bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau
kelompok usaha masyarakat.
4) PAD Lain‐lain yang Sah
a) hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan
b) jasa giro
c) pendapatan bunga
d) penerimaan atas tuntutan kerugian daerah
f) keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing
g) pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan
h) pendapatan denda pajak
i) pendapatan denda retribusi
j) pendapatan hasil eksekusi atas jaminan
k) pendapatan dari pengembalian
l) fasilitas sosial dan fasilitas umum
m) pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
n) pendapatan dari BLUD.
b. Dana Perimbangan
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi.
Dana perimbangan terdiri atas:
1) dana bagi hasil (DBH) pajak dan bukan pajak;
2) dana alokasi umum (DAU);
3) dana alokasi khusus (DAK).
Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dibagi kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu. Pengaturan
DBH dalam Undang‐Undang Nomor 33 Tahun 2004 merupakan penyelarasan
Undang‐Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang‐Undang
Nomor 36 Tahun 2008. Dalam undang‐undang ini dimuat pengaturan
mengenai bagi hasil penerimaan pajak penghasilan (PPh) pasal 25/29 wajib
pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21, serta sektor pertambangan
panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Undang‐Undang Nomor 27 Tahun
2003 tentang Panas Bumi. Selain itu, dana reboisasi yang semula termasuk
bagian dari DAK dialihkan menjadi DBH.
Bagi hasil pajak dan bukan pajak meliputi: bagian daerah dari pajak dan
penerimaan dari sumber daya alam.
a) Bagian daerah dari pajak penghasilan:
(1) Bagian daerah dari penerimaan PPh pasal 25/29 dan PPh Pasal 21
adalah sebesar 20%.
(2) Bagian daerah dari dana bagi hasil dari penerimaan PPh pasal 25
dan 29 di atas, dibagi dengan imbangan 60% untuk kabupaten/
kota dan 40% untuk provinsi.
b) Bagian daerah dari penerimaan sumber daya alam:
(2) Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor kehutanan:
(a) penerimaan iuran hak pengusahaan hutan (IHPH);
(b) penerimaan provisi sumber daya hutan (PSDH).
(a) 16% untuk daerah provinsi yang bersangkutan
(b) 64% untuk daerah kabupaten/kota penghasil.
(4) Bagian daerah dari penerimaan negara PSDH dibagi:
(a) 16% untuk daerah provinsi yang bersangkutan
(b) 32% untuk daerah kabupaten/kota penghasil
(6) Bagian daerah dari penerimaan negara iuran tetap (land rent)
dibagi dengan rincian:
(a) 16% untuk daerah provinsi yang bersangkutan;
(b) 32% untuk daerah kabupaten/kota penghasil;
(a) penerimaan pungutan pengusahaan perikanan;
(b) penerimaan pungutan hasil perikanan.
(10) Penerimaan negara dari pertambangan minyak bumi dan gas alam
terdiri atas:
(a) penerimaan negara dari pertambangan minyak bumi dengan
imbangan 84,5% untuk pemerintah pusat dan 15,5% untuk
pemerintah daerah,
(a) 3% untuk provinsi yang bersangkutan;
(b) 6% untuk kabupaten/kota penghasil;
(12) Bagian daerah dari pertambangan gas alam dibagi dengan rincian
sebagai berikut:
(b) 12% untuk kabupaten/kota penghasil;
(c) 12% untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang ber‐
sangkutan yang dibagikan dengan porsi yang sama besar.
(13) Dana bagi hasil pertambangan minyak dan gas bumi sebesar 0,5%
(setengah persen) digunakan untuk menambah anggaran
pendidikan dasar, yaitu:
(a) 0,1% dibagi ke provinsi yang bersangkutan;
(b) 0.2% dibagi ke kabupaten/kota penghasil;
(c) 0,2% dibagi ke seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut.
2) Dana Alokasi Umum (DAU)
DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai
kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Tujuan
dari pemberian dana alokasi umum adalah pemerataan dengan
memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah
penduduk, dan tingkat pendapatan. Termasuk dalam pengertian tersebut
adalah jaminan kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam
rangka penyediaan pelayanan dasar kepada masyarakat.
Besarnya DAU untuk setiap tahun anggaran ditetapkan sebesar 26% dari
penerimaan dalam negeri yang berasal dari pajak dan bukan pajak pada APBN,
setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada
daerah. Selanjutnya DAU dialokasikan ke daerah dengan imbangan provinsi
sebesar 10% dan kabupaten/kota 90%.
Misalnya:
Jumlah penerimaan negara dari pajak dan bukan pajak dalam APBN sebesar
Rp260 trilyun dan jumlah alokasi bagi hasil adalah Rp30 trilyun maka:
26% x (Rp260 trilyun – Rp30 trilyun) = Rp59,8 trilyun
• Jumlah DAU untuk seluruh provinsi adalah:
10% x Rp59,8 trilyun = Rp5,98 trilyun
• Jumlah DAU untuk seluruh kabupaten/kota adalah:
90% x Rp59,8 trilyun = Rp53,82 trilyun
Sesuai dengan PP Nomor 84 Tahun 2001, dana alokasi umum baik untuk
daerah provinsi maupun untuk daerah kabupaten/kota dapat dinyatakan
dengan rumus sebagai berikut:
Jumlah dana Bobot daerah ybs
DAU untuk suatu
= alokasi umum x Jumlah bobot dari seluruh
daerah tertentu
untuk daerah daerah
Bobot daerah yang bersangkutan ditetapkan berdasarkan dua faktor:
• kebutuhan wilayah otonomi daerah (kebutuhan fiskal daerah),
• potensi ekonomi daerah (kapasitas fiskal daerah).
Rumusan kebutuhan wilayah otonomi daerah adalah:
α1 Indeks Penduduk +
Kebutuhan
Pengeluaran α2 Indeks Luas Wilayah +
Wilayah Otonomi = x
daerah rata‐rata α3 Indeks Kemiskinan Relatif +
Daerah
α4 Indeks Harga
Bobot α1, α2, α3, α4 ditentukan melalui perhitungan ekonometri (regresi
sederhana) atau secara proporsional. Rincian lebih lanjut akan dijelaskan
berikut.
Rumusan pengeluaran daerah rata‐rata adalah sebagai berikut.
Pengeluaran daerah Jumlah pengeluaran seluruh daerah
=
rata‐rata Jumlah daerah
Potensi ekonomi daerah dihitung berdasarkan rumus:
Potensi Ekonomi Daerah = PAD + PBB + BPHTB + BHSDA + PPh
PAD : Pendapatan Asli Daerah
PBB : Pajak Bumi dan Bangunan
BPHTB : Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
BHSDA : Bagi Hasil dari Sumber Daya Alam
PPh : Pajak Penghasilan
Tata cara penyaluran DAU adalah seperti di bawah ini.
3) Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana alokasi khusus berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk
membantu membiayai kebutuhan khusus/tertentu yaitu:
b) kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas potensi nasional.
Secara ringkas rincian pembagian antara pemerintah pusat dan daerah sesuai
dengan Undang‐Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ditetapkan
sebagai berikut.
4) Bagi Hasil dari Provinsi
a) pajak kendaraan bermotor;
b) bea balik nama kendaraan bermotor;
c) pajak bahan bakar kendaraan bermotor;
d) pajak air permukaan.
c. Pendapatan Daerah Lainnya yang Sah
1) Dana darurat yang diterima dari pemerintah dan bantuan uang dan barang
dari badan/lembaga tertentu untuk menanggulangi bencana alam yang
disalurkan melalui pemerintah daerah.
2. Mekanisme Pelaksanaan Pendapatan Daerah
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 pasal 187, 188, 189 mengatur tata
cara penerimaan daerah yang dikelola oleh bendahara penerimaan. Setiap SKPD yang
ditunjuk wajib mengintensifkan pemungutan atau penerimaan pendapatan daerah dan
dilarang memungut selain dari yang ditetapkan dalam peraturan daerah. Penerimaan
SKPD dilarang digunakan langsung untuk membiayai belanja daerah, kecuali ditentukan
lain oleh perda. Penerimaan SKPD berupa uang atau cek harus disetorkan ke rekening kas
umum daerah paling lama satu hari kerja. Bagi daerah dengan kondisi geografis sulit
dijangkau komunikasi dan transportasi sehingga melebihi batas waktu penyetoran, hal itu
akan ditetapkan dalam peraturan kepala daerah. Seluruh penerimaan daerah harus
disetorkan ke rekening kas umum daerah pada bank pemerintah yang ditunjuk.
a. Penerimaan Pendapatan Daerah pada Bendahara Penerimaan
1) SKP (surat ketetapan pajak) daerah dari PPKD dan SKR (surat ketetapan
retribusi) daerah dari PA diterima oleh bendahara sebagai dasar verifikasi
serta diterima oleh wajib pajak/retribusi daerah (WPD/ WRD) sebagai dasar
pembayaran.
b. Penerimaan Pendapatan Daerah Pada Bendahara Penerimaan Pembantu
1) PPKD menyerahkan SKPD kepada pengguna anggaran dan bersama SKR daerah
yang diterbikannya diteruskan kepada bendahara penerimaan pembantu
sebagai dasar verifikasi serta diserahkan kepada WPD/ WRD sebagai dasar
pembayaran.
3) Bendahara penerimaan pembantu membuat STS dan menyetorkan uang yang
diterimanya bersama dengan STS. STS yang telah diotorisasi oleh bank
diterima kembali sebagai dasar pembukuan selanjut‐nya diteruskan ke BUD.
1 P A menyerahkan SKP
SKP/SKR Daerah Daerah/
kepada WP/WR dan
Bendahara SKP Daerah/ SKP Daerah/
Penerimaan. SKR SKR
2 WP/WR
membayarkan uang Uang Uang
kepada KasDa
sejumlah yang
tertera di SKP/SKR
Daerah.
Nota
3 Kas Daerah Kredit
menerbitkan Slip Slip Setoran/Bukti
Setoran/Bukti Lain Lain yang Sah
yang Sah dan Nota
Kredit.
Nota
4 Kas Daerah Kredit
menyerahkan Slip
Setoran/Bukti Lain Slip Setoran/Bukti
yang Sah kepada Lain yang Sah
WP/WR dan Nota
Kredit kepada BUD.
5 WP/Retribusi
menyerahkan Slip
Setoran/Bukti Lain Slip Setoran/Bukti
yang Sah kepada Lain yg Sah
Bendahara
Penerimaan.
Kepala daerah dapat menunjuk bank, badan/lembaga keuangan dan atau kantor pos
yang bertugas melaksanakan sebagian tugas bendahara penerimaan. bank, badan/
lembaga keuangan dan atau kantor pos menyetor seluruh uang yang diterimanya ke
rekening kas umum daerah paling lama satu hari kerja sejak uang kas diterima dan
mempertanggungjawabkannya kepada kepala daerah melalui BUD.
Mekanisme penerimaan pendapatan daerah sebagai berikut:
3) Bendahara penerimaan akan menerima slip setoran/bukti lain yang sah dari
WPD/WRD atau mendapatkan salinannya dari bank (tergantung mekanisme
yang berlaku) sebagai dasar pembukuan.
d. Penatausahaan dan Pertanggungjawaban Pendapatan Daerah
Bendahara penerimaan wajib menatausahakan seluruh dokumen/bukti penerimaan
dan penyetoran pendapatan daerah yang menjadi tanggung jawabnya ke dalam
buku kas umum penerimaan, buku pembantu (rincian objek penerimaan), dan buku
rekapitulasi penerimaan harian. Apabila SKPD memiliki bendahara penerimaan
pembantu, maka dokumen/bukti dicatat ke dalam buku kas umum penerimaan
pembantu dan buku rekapitulasi penerimaan harian pembantu) dan dibuatkan SPJ
penerimaan pembantu yang diserahkan kepada bendahara penerimaan. Selanjutnya
SPJ tersebut diverifikasi, dievaluasi, dianalisis, dikonsolidasikan sebagai bahan
penyusunan peranggungjawaban penerimaan .
Bendahara penerimaan membuat laporan SPJ penerimaan guna diserahkan kepada
PPK‐SKPD paling lambat tanggal 7 bulan berikut‐nya untuk diverifikasi, dievaluasi,
dan dianalisis.
BUD melakukan verifikasi, evaluasi, dan analisis atas SPJ penerimaan dalam rangka
rekonsiliasi penerimaan yang mekanismenya diatur dalam peraturan kepala daerah.
B. BELANJA DAERAH
Dalam pasal 18 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, disebutkan:
1. Pengeluaran daerah terdiri dari belanja daerah dan pengeluaran pembiayaan daerah.
2. Belanja daerah merupakan perkiraan beban pengeluaran daerah yang dialokasikan secara
adil dan merata agar relatif dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa
diskriminasi, khususnya dalam pemberian pelayanan umum.
3. Pengeluaran pembiayaan adalah semua pengeluaran yang akan diterima kembali baik
pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun‐tahun anggaran berikutnya.
1. Jenis‐Jenis Belanja Daerah
Berdasarkan Pasal 24 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, belanja daerah dapat dirinci
menurut:
• urusan pemerintahan daerah;
• organisasi;
• program dan kegiatan;
• kelompok;
• jenis;
• objek dan rincian objek belanja.
Belanja daerah digunakan untuk mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota, terdiri dari:
1) urusan wajib;
2) urusan pilihan;
Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat diwujudkan melalui prestasi kerja dalam
pencapaian standar pelayanan minimal sesuai dengan peraturan perundang‐
undangan.
Klasifikasi belanja menurut urusan wajib, mencakup:
1) pendidikan;
2) kesehatan;
3) pekerjaan umum;
4) perumahan rakyat;
5) penataan ruang;
6) perencanaan pembangunan;
7) perhubungan;
8) lingkungan hidup;
9) pertanahan;
10) kependudukan dan catatan sipil;
12) keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
13) sosial;
14) tenaga kerja;
15) koperasi dan usaha kecil dan menengah;
16) penanaman modal;
17) kebudayaan;
18) pemuda dan olah raga;
19) kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
21) ketahanan pangan;
22) pemberdayaan masyarakat dan desa;
23) statistik;
24) kearsipan;
25) komunikasi dan informatika;
26) perpustakaan.
Klasifikasi belanja menurut urusan pilihan, terdiri atas:
1) pertanian;
2) kehutanan;
3) energi dan sumber daya mineral;
4) pariwisata;
5) kelautan dan perikanan;
6) perdagangan;
7) perindustrian;
8) transmigrasi.
b. Organisasi
Klasifikasi belanja menurut organisasi, disesuaikan dengan susunan organisasi pada
masing‐masing pemerintah daerah. Contoh klasifikasi belanja dapat dilihat pada
lampiran 7.
c. Klasifikasi Program dan Kegiatan
d. Klasifikasi Kelompok
Klasifikasi belanja menurut kelompok dirinci dalam kelompok belanja langsung dan
kelompok belanja tidak langsung.
1) Belanja Langsung
Belanja langsung dibagi menurut jenis belanja, yaitu:
a) belanja pegawai;
b) belanja barang dan jasa;
c) belanja modal.
Belanja tidak langsung adalah belanja yang tidak dipengaruhi secara langsung
oleh adanya program/kegiatan. Keberadaan anggaran belanja ini bukan
merupakan konsekuensi ada atau tidaknya program/kegiatan. Belanja ini
digunakan secara periodik (umumnya bulanan) dalam rangka koordinasi
penyelenggaraan tugas pemerintahan yang bersifat umum dan digunakan
secara bersama‐sama dalam pelaksanaan program/kegiatan.
Dalam perhitungan ASB (analisis standar belanja), belanja tidak langsung harus
dialokasikan pada setiap program/kegiatan tahun anggaran yang
bersangkutan. Program/kegiatan yang memperoleh alokasi belanja tidak
langsung adalah program atau kegiatan non investasi.
ASB merupakan hasil penjumlahan belanja langsung setiap program/kegiatan
dengan belanja tidak langsung yang dialokasikan pada program/kegiatan
tersebut, yang selanjutnya digunakan sebagai standar untuk menilai
program/kegiatan unit kerja.
Belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja terdiri atas:
a) belanja pegawai;
b) bunga;
c) subsidi;
d) hibah;
e) bantuan sosial;
f) belanja bagi hasil;
g) bantuan keuangan;
h) belanja tidak terduga.
Pada lampiran IV PP 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP),
belanja diklasifikasikan menurut ekonomi (jenis belanja, organisasi, dan fungsi).
Contoh klasifikasi belanja menurut jenis belanja adalah sebagai berikut.
1) Belanja Operasi
• Belanja Pegawai
• Belanja Barang
• Bunga
• Subsidi
• Hibah
• Bantuan Sosial
2) Belanja Modal
• Belanja Aset Tetap
• Belanja Aset Lainnya
3) Belanja Lain‐lain/Tak Terduga
2) Belanja Modal
Sesuai definisi dalam pernyataan SAP Nomor 2, yang dimaksud dengan belanja
modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset
lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja
Modal meliputi antara lain: belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan
bangunan, peralatan, dan aset tidak berwujud.
3) Belanja Tidak Tersangka
Sesuai definisi dalam pernyataan SAP Nomor 2, yang dimaksud dengan belanja
tidak tersangka adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya
tidak biasa dan tidak diharapkan berulang. Yang termasuk belanja tidak
tersangka antara lain: penanggulangan bencana alam, bencana sosial, atau
pengeluaran lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan
kewenangan pemerintahan daerah.
Yang dimaksud dengan pengeluaran lainnya yang sangat diperlukan adalah:
01 pelayanan umum
02 pertahanan
03 ketertiban dan ketenteraman
04 ekonomi
05 lingkungan hidup
06 perumahan dan fasilitas umum
08 keluarga berencana
09 pariwisata dan budaya
10 pendidikan
11 perlindungan sosial
(Sumber : Lampiran A.VI Permendagri 13/ 2006)
2. Mekanisme Pelaksanaan Belanja Daerah
a. Dasar Hukum Pelaksanaan Anggaran Belanja Daerah
Dasar hukum pelaksanaan belanja daerah antara lain:
• Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, yang diubah dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah
• Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah
b. Asas Umum dan Prinsip Pelaksanaan Anggaran Belanja Daerah
Asas umum menetapkan keuangan daerah harus dikelola secara tertib, taat pada
peraturan perundang‐undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan
bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat
untuk masyarakat.
Prinsip‐prinsip pelaksanaan anggaran belanja daerah antara lain:
1) Setiap pengeluaran belanja atas beban APBD harus didukung oleh bukti yang
lengkap dan sah (disahkan oleh pejabat yang ber wenang dan bertanggung
jawab atas kebenaran material).
2) Pengeluaran kas atas beban APBD tidak dapat dibayar sebelum rancangan
perda APBD ditetapkan dan diarsipkan dalam lembar‐an daerah, kecuali untuk
belanja mengikat dan belanja wajib.
4) Pengeluaran anggaran belanja tidak terduga untuk mendanai tanggap darurat,
penanggulangan bencana alam dan bencana sosial, termasuk pengembalian
kelebihan penerimaan daerah tahun‐tahun sebelumnya yang telah ditutup
ditetapkan dalam peraturan kepala daerah. Khusus untuk belanja tanggap
darurat diusulkan oleh instansi/lembaga terkait setelah mempertimbang‐kan
efisiensi, efektivitas, serta menghindari tumpang tindih pen‐danaan dari APBN.
Pemimpin instansi/lembaga penerima dana tanggap darurat wajib
mempertanggungjawabkan dan melapor‐kan penggunaannya kepada kepala
daerah.
c. Pelaksanaan Anggaran Belanja Daerah
1) Menyusun Anggaran Kas
Adapun tahap penyusunannya adalah sebagai berikut:
c) TAPD menyerahkan rancangan anggaran kas SKPD hasil verifikasi kepada
PPKD untuk disahkan menjadi anggaran kas pemerintah daerah sebagai
dasar penyediaan dana.
Faktor‐faktor yang memengaruhi anggaran kas pemda antara lain:
a) sumber penerimaan;
c) musim;
d) penentuan jadwal kegiatan ada kalanya tergantung pada musim, seperti
untuk kesehatan (pancaroba), pendidikan (ujian nasional), pertanian
(kemarau/hujan), tranportasi (cuaca) dan sebagainya;
e) keterkaitan dengan kegiatan/anggaran tahun lalu;
g) urgensi kegiatan diluar keadaan luar biasa atau darurat; ada kalanya
pelaksanaan suatu kegiatan didahulukan/diprioritaskan karena kepala
daerah yang baru dituntut merealisasikan janji kampanyenya.
Anggaran kas merupakan patokan pencairan dana oleh SKPD. Kepala SKPD
sebagai pengguna anggaran berwenang mencairkan dana maksimal sebesar
anggaran kas yang telah disetujui bendahara umum daerah, yang memuat
skedul pelaksanaan kegiatan beserta kebutuhan dananya secara kronologis
dengan maksud sebagai berikut.
a) Besaran uang persediaan maksimal sama dengan jumlah pagu anggaran
kas per bulan/triwulan/semester.
b) Pengajuan surat permintaan pembayaran‐uang persediaan (SPP‐UP) dan
surat perintah membayar‐uang persediaan (SPM‐UP) tidak
diperkenankan melampaui pagu anggaran kas per bulan/triwulan/
semester.
c) Apabila pengajuan surat pemerintah membayar‐tambah uang (SPM‐TU)
terpaksa melampaui pagu anggaran kas, maka seharusnya diatur lebih
lanjut dalam peraturan kepala daerah (perkada), misalnya kriteria
pengajuan SPM‐TU dan mekanisme pertanggungjawabannya. Meskipun
hal itu telah dijelaskan dalam Permendagri Nomor 13/2006 namun
masih multitafsir, sehingga diperlukan ketegasan aturan agar SKPD tidak
ragu‐ragu.
a) Skedul rencana pelaksanaan program/kegiatan yang sistematis dan logis
tidak tersedia.
c) Ketiadaan standar belanja, program, dan kegiatan.
d) Standar harga barang dan jasa (SHBJ) dan analisis standar belanja (ASB),
kalaupun ada, kadang tidak dapat dimanfaatkan secara optimal, karena:
(1) standar tidak sesuai dengan kebutuhan,
(2) terlalu sulit untuk dipahami dan diaplikasikan, dan
2) Penyediaan Dana
Tahapan penerbitan SPD:
c) PPKD menyerahkan SPD kepada PA/KPA
a) Surat Permintaan Pembayaran Uang Persediaan (SPP‐UP).
b) Surat Permintaan Pembayaran Ganti Uang Persediaan (SPP‐GU).
c) Surat Permintaan Pembayaran Tambahan Uang Persediaan (SPP TU).
d) Surat Permintaan Pembayaran Langsung (SPP‐LS).
4) Perintah Membayar
5) Pencairan Dana
Kuasa BUD meneliti kelengkapan dokumen SPM yang diajukan oleh pengguna
anggaran/kuasa pengguna anggaran agar pengeluaran yang diajukan tidak
melampaui pagu dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan
perundang‐undangan. Jika dokumen SPM dinyatakan lengkap, kuasa BUD
menerbitkan surat perintah pencairan dana (SP2D). Penerbitan SP2D paling
lama dua hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan SPM. Jika dokumen
SPM dinyatakan tidak lengkap, kuasa BUD menolak menerbitkan SP2D.
Penolakan penerbitan SP2D paling lama satu hari kerja terhitung sejak
diterimanya pengajuan SPM.
6) Pertanggungjawaban Penggunaan Dana
Bendahara pengeluaran secara administratif wajib mempertanggungjawabkan
penggunaan uang persediaan/ganti uang persediaan/tambah uang persediaan
kepada kepala SKPD melalui PPK‐SKPD paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya. Hal ini dilaksanakan dengan menutup buku kas umum setiap bulan
dengan sepengetahuan dan persetujuan pengguna anggaran/kuasa pengguna
anggaran. Selanjutnya bendahara pengeluaran menyusun laporan
pertanggungjawaban penggunaan uang persediaan.
3. Mekanisme Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah membutuhkan barang/jasa untuk meningkatkan pelayanan publik atas dasar
pemikiran logis dan sistematis, mengikuti prinsip dan etika yang berlaku, berdasarkan
metode dan proses pengadaan yang baku. Pelaksanaan pengadaan barang/jasa
pemerintah yang sebagian atau seluruhnya dibiayai APBN/APBD diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, yang terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012.
a. Prinsip Dasar
Gambar 4.2 Prinsip Pengadaan Barang/Jasa
Efisien
Terbuka Efektif
PRINSIP
Transparan PENGADAAN Bersaing
Adil/Tdk diskriminatif Akuntabel
3) Pemanfaatan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup
secara arif, sarana/prasarana penelitian dan pengembangan dalam
negeri.
6) Pengadaan barang/jasa di dalam wilayah NKRI.
c. Etika Dalam Pengadaan Barang/Jasa
PPK, penyedia barang/jasa dan para pihak yang terlibat harus memenuhi etika:
1) melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab;
d. Ruang Lingkup dan Pembiayaan Pengadaan
Pengadaan barang/jasa pemerintah mencakup:
1) Pengadaan barang/jasa di lingkungan kementerian/lembaga/pemerintah
daerah/instansi (K/L/D/I), Bank Indonesia, badan hukum milik negara
dan badan usaha milik negara/ daerah yang sebagian/seluruhnya
dibiayai APBN/D.
2) Pengadaan barang/jasa yang dananya bersumber dari APBN/D termasuk
yang sebagian/seluruh dananya dibiayai dari pinjaman/hibah dalam
negeri.
3) biaya penggandaan dokumen pengadaan barang/jasa; dan
4) biaya lainnya untuk mendukung pengadaan barang/jasa.
e. Pokok‐Pokok Kebijakan Pengadaan barang dan Jasa
1) Para Pihak dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
a) Organisasi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Organisasi pengadaan barang/jasa melalui penyedia terdiri atas:
(1) Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.
(2) Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
PPK merupakan pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA untuk
melaksanakan pengadaan barang/jasa. PPK dilarang
mengadakan ikatan perjanjian atau menandatangani kontrak
dengan penyedia barang/jasa apabila belum tersedia
anggaran atau tidak cukup tersedia anggaran yang dapat
mengakibatkan dilampauinya batas anggaran yang tersedia
untuk kegiatan yang dibiayai dari APBN/APBD.
ULP berjumlah gasal beranggotakan paling kurang tiga orang
dan dapat ditambah sesuai dengan kompleksitas pekerjaan.
ULP ditetapkan sesuai dengan kebutuhan paling kurang
terdiri atas: kepala, sekretariat, staf pendukung, dan
kelompok kerja.
(4) Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan.
Organisasi pengadaan barang/jasa melalui swakelola terdiri atas:
(1) Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran;
(2) Pejabat Pembuat Komitmen; dan
(3) Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan.
b) Wewenang dan Tugas Para Pihak
2) Perencanaan Umum Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Rencana umum pengadaan barang/jasa meliputi kegiatan‐kegiatan:
a) mengindentifikasi kebutuhan barang/jasa yang diperlukan K/L/D/I;
b) menyusun dan menetapkan rencana anggaran pengadaan
c) menetapkan kebijakan umum tentang:
(1) pemaketan pekerjaan;
(2) cara pengadaan barang/jasa; dan
(3) pengorganisasian pengadaan barang/jasa;
d) menyusun kerangka acuan kerja (KAK).
3) Pelaksanaan Pemilihan Mendahului Tahun Anggaran
Untuk pengadaan yang bersumber dari APBD dapat diumumkan setelah
rencana keuangan tahunan pemerintah daerah dibahas dan disetujui
bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD.
• setelah rencana kerja dan anggaran K/L/I disetujui oleh DPR
untuk pengadaan yang bersumber dari APBN.
b) Pengumuman mencantumkan kondisi DIPA/DPA belum ditetapkan.
4) Metode Pemilihan Penyedia Barang/Jasa
SWAKELOLA INSTANSI PEMERINTAH LAIN
KELOMPOK MASYARAKAT
PBJ
BARANG
PEKERJAAN KONSTRUKSI
PENYEDIA B/J
JASA KONSULTASI
JASA LAINNYA
Pekerjaan dengan cara swakelola meliputi kegiatan berikut:
(3) segi besaran, sifat, lokasi atau pembiayaannya tidak diminati
oleh penyedia barang/jasa;
(4) secara rinci tidak dapat dihitung/ditentukan terlebih dahulu,
karena akan menimbulkan ketidakpastian dan risiko yang
besar;
(6) proyek percontohan (pilot project) yang bersifat khusus;
(8) bersifat rahasia bagi K/L/D/I terkait;
(9) industri kreatif, inovatif dan budaya dalam negeri;
(10) penelitian dan pengembangan dalam negeri;
(1) Pemilihan penyedia barang dengan:
(a) pelelangan umum dan pelelangan sederhana;
(b) pelelangan terbatas;
(c) penunjukan langsung;
(d) pengadaan langsung; atau
(2) Pemilihan penyedia jasa lainnya dengan:
(a) pelelangan umum dan pelelangan sederhana;
(b) penunjukan langsung;
(c) pengadaan langsung; atau
(d) sayembara (untuk industri kreatif, inovatif, dan budaya
dalam negeri).
(3) Pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi dengan :
(a) pelelangan umum;
(b) pelelangan terbatas;
(c) pemilihan langsung;
(d) penunjukan langsung; atau
(e) pengadaan langsung.
a) biaya satuan dari Badan Pusat Statistik (BPS);
b) biaya satuan dari asosiasi terkait dan sumber data lain yang dapat
dipertanggungjawabkan;
f) hasil perbandingan dengan kontrak sejenis instansi/pihak lain;
g) perkiraan perhitungan biaya oleh konsultan perencana (engineer’s
estimate);
h) norma indeks; dan/atau
i) informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
HPS disusun dengan memperhitungkan keuntungan dan biaya overhead
yang dianggap wajar. Nilai total HPS bersifat terbuka dan ULP/pejabat
HPS digunakan sebagai:
a) alat untuk menilai kewajaran penawaran termasuk rinciannya;
b) dasar penetapan batas tertinggi penawaran yang sah dan jaminan
pelaksanaan bagi nilai penawaran di bawah 80% nilai total HPS.
6) Metode Penilaian Kualifikasi
a) jasa konsultasi;
a) pelelangan umum, kecuali untuk pekerjaan kompleks;
b) pelelangan sederhana/pemilihan langsung; dan
c) jasa konsultasi perorangan.
a) meminta penyedia barang/jasa mengisi formulir kualifikasi; dan
a) Penetapan Penyedia Barang/Jasa
(1) Sanggahan
(a) penyimpangan atas ketentuan dan prosedur;
(b) rekayasa yang mengakibatkan persaingan tidak sehat;
dan
(c) penyalahgunaan wewenang oleh ULP/pejabat lainnya.
(2) Pelelangan/Pemilihan/Seleksi Gagal
(c) tidak ada penawaran yang lulus evaluasi penawaran;
(h) calon pemenang dan calon pemenang cadangan 1 dan
2, setelah dievaluasi dengan sengaja tidak hadir dalam
klarifikasi dan pembuktian kualifikasi.
b) Bukti Perjanjian
Tanda bukti perjanjian pengadaan barang/jasa menggunakan:
1. Penerimaan Pembiayaan
Pembiayaan (financing) menurut Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 dalam
lampiran II PSAP (Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah) Nomor 2, adalah “seluruh
transaksi keuangan pemerintah, baik penerimaan maupun pengeluaran, yang perlu
dibayar atau akan diterima kembali, yang dalam penganggaran pemerintah terutama
dimaksudkan untuk menutup defisit dan atau memanfaatkan surplus anggaran.”
Penerimaan pembiayaan antara lain berasal dari pinjaman dan hasil divestasi. Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah, mengklasifikasikan pinjaman
daerah dalam bentuk:
a. pinjaman jangka pendek;
b. pinjaman jangka menengah;
c. pinjaman jangka panjang.
Pinjaman jangka pendek merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu kurang atau
sama dengan satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang
meliputi pokok pinjaman, bunga dan biaya lain seluruhnya harus dilunasi dalam tahun
anggaran yang bersangkutan. Pinjaman ini hanya dipergunakan untuk menutup
kekurangan arus kas pada tahun anggaran yang bersangkutan.
Pinjaman jangka menengah merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari
satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok
pinjaman, bunga dan biaya lain harus dalam jangka waktu yang tidak melebihi sisa masa
jabatan kepala daerah yang bersangkutan. Pinjaman ini dipergunakan untuk membiayai
penyediaan layanan umum yang tidak menghasilkan penerimaan.
Pinjaman jangka panjang merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu
tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok
pinjaman, bunga dan biaya lain harus pada tahun‐tahun anggaran berikutnya sesuai
dengan persyaratan perjanjian pinjaman tersebut. Pinjaman ini dipergunakan untuk
membiayai proyek investasi yang menghasilkan penerimaan.
a. Sisa lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya (SiLPA)
b. Pencairan Dana Cadangan
c. Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, digunakan antara lain untuk
menganggarkan hasil penjualan perusahaan milik daerah/BUMD dan penjualan aset
milik pemerintah daerah yang dikerjasamakan dengan pihak III, atau hasil divestasi
penyertaan modal pemerintah daerah.
d. Penerimaan Pinjaman Daerah
1) Sumber Pinjaman Daerah
Pinjaman dapat berasal dari dalam negeri atau luar negeri. Pinjaman dalam
negeri dapat diperoleh dari pemerintah pusat, lembaga keuangan bank dan
nonbank, masyarakat, dan sumber lainnya. Sedangkan pinjaman dari luar
negeri dapat berupa pinjaman bilateral atau multilateral. Pinjaman daerah
dapat dibedakan menjadi pinjaman jangka panjang dan jangka pendek.
Pinjaman jangka panjang hanya dapat digunakan untuk membiayai
pembangunan prasarana yang merupakan aset daerah dan dapat
menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman, serta
memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat. Pinjaman jangka panjang
tidak dapat digunakan untuk membiayai belanja administrasi umum serta
belanja operasional dan pemeliharaan. Selain itu daerah dapat melakukan
2) Persyaratan Pinjaman Daerah
a) Pinjaman jangka panjang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut.
(1) Jumlah kumulatif pokok pinjaman daerah yang wajib dibayar tidak
melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun
sebelumnya.
(3) Jumlah maksimum pinjaman jangka panjang adalah 1/6 dari jumlah
belanja APBD tahun anggaran yang berjalan.
(2) Pelunasan pinjaman jangka pendek wajib diselesaikan dalam tahun
anggaran yang berjalan.
3) Batas Maksimum Jangka Waktu Pinjaman Daerah
4) Larangan Penjaminan
a) Daerah dilarang membuat perjanjian yang menjamin pinjaman pihak lain
dan mengakibatkan beban atas keuangan daerah.
b) Barang milik daerah yang digunakan untuk melayani kepentingan umum
tidak dapat dijadikan jaminan dalam memperoleh pinjaman daerah.
5) Prosedur Pinjaman Daerah
a) Setiap pinjaman daerah dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari
DPRD.
6) Pembayaran Kembali Pinjaman Daerah
b) Dalam hal daerah tidak memenuhi kewajiban pembayaran atas pinjaman
daerah dari pemerintah pusat, maka pemerintah pusat
memperhitungkan kewajiban tersebut dengan DAU kepada daerah yang
bersangkutan.
c) Dalam hal daerah tidak memenuhi kewajiban pembayaran atas pinjaman
daerah yang bersumber dari luar negeri, maka kewajiban tersebut
diselesaikan sesuai perjanjian pinjaman.
7) Pembukuan dan Pelaporan
f. Penerimaan Piutang Daerah
Penerimaan piutang digunakan untuk menganggarkan penerimaan yang bersumber
dari pelunasan piutang pihak ketiga, seperti penerimaan piutang daerah dari
pendapatan daerah, pemerintah, pemerintah daerah lain, bank, lembaga keuangan
bukan bank, dan penerimaan piutang lainnya.
g. Penerimaan Kembali Penyertaan Modal (Investasi) Daerah
2. Pengeluaran Pembiayaan Daerah
a. Pembentukan Dana Cadangan
Pemerintah daerah dapat membentuk dana cadangan guna mendanai kegiatan yang
penyediaan dananya tidak dapat sekaligus/sepenuhnya dibebankan dalam tahun
anggaran. Pembentukan dana cadangan tersebut ditetapkan dengan peraturan
daerah.
b. Investasi Pemerintah Daerah
Investasi permanen adalah investasi jangka panjang dengan tujuan untuk dimiliki
secara berkelanjutan tanpa ada niat untuk diperjualbelikan atau ditarik kembali.
Misalnya: kerjasama daerah dengan pihak ketiga dalam bentuk penggunausahaan/
pemanfaatan aset daerah, penyertaan modal daerah pada BUMD dan/atau badan
usaha lainnya.
Investasi non permanen adalah investasi jangka panjang yang bertujuan untuk
dimiliki secara tidak berkelanjutan atau ada niat untuk diperjualbelikan atau ditarik
kembali. Misalnya: pembelian obligasi atau surat utang jangka panjang, dana
bantuan bergulir dari pemerintah daerah kepada kelompok masyarakat, pemberian
fasilitas pendanaan kepada usaha mikro dan menengah.
Investasi pemerintah daerah dapat dianggarkan apabila jumlah yang akan disertakan
dalam tahun anggaran berkenaan telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang
penyertaan modal dengan berpedoman pada peraturan Menteri Dalam Negeri.
Pembayaran pokok utang digunakan untuk menganggarkan pembayaran kewajiban
atas pokok utang yang dihitung berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek,
jangka menengah, dan jangka panjang.
d. Pemberian Pinjaman Daerah
D. MANAJEMEN KAS
Manajemen kas adalah pengelolaan kas suatu entitas yang efektif dan efisien dengan cara
semaksimal mungkin menggunakan kas/sumberdaya likuiditas lainnya yang dimiliki untuk
mencapai tujuan organisasi.
Penerapan prinsip‐prinsip manajemen kas yang baik oleh pemerintah diharapkan mampu
mengurangi hambatan‐hambatan dalam aliran kas pemerintah baik dari sisi pengeluaran
maupun penerimaan. Selain itu proses pembayaran kepada rekanan pemerintah atau pihak‐
pihak lain dapat lebih lancar, sehingga mendukung upaya percepatan penyerapan anggaran.
Demikian pula proses penerimaan negara dalam upaya penyediaan dana.
Sasaran yang ingin dicapai dalam manajemen kas adalah:
1. Manajemen Likuiditas
Salah satu sasaran penting penerapan manajemen kas adalah memastikan daerah
memiliki kas yang cukup untuk menyelesaikan semua kewajiban yang jatuh tempo.
Manajemen likuiditas sangat penting untuk menghindari cash mismatch. Cash mismatch
Sejak awal tahun penyelenggaraan pemerintah telah aktif. Beban gaji dan penyediaan
dana untuk kegiatan semua unit organisasi (uang persediaan) harus segera dibayarkan, di
sisi lain penerimaan daerah baru saja dimulai. Pada awal tahun biasanya dana yang
dimiliki pemerintah daerah yang berasal dari pendapatan daerah tidak cukup untuk
menutupi pengeluaran. Oleh karena itu, pemerintah harus mampu mencari alternatif
pembiayaan yang paling efisien untuk menutup kekurangan dana tersebut, agar kegiatan
pembangunan tidak terhambat.
Pada awal tahun kekurangan kas pemerintah sedikit teratasi karena biasanya penyerapan
anggaran berjalan cukup lambat. Satuan kerja belum beroperasi penuh dan kegiatan
pengadaan barang/jasa masih dalam proses sehingga pencairan anggaranpun masih
rendah. Namun, ketika penerimaan pajak mulai mengalir masuk pemerintah mengalami
kelebihan likuiditas. Ketidaksamaan antara waktu penerimaan dan pengeluaran kas
pemerintah dapat diatasi dengan suatu manajemen likuiditas yang mampu mengantisipasi
kekurangan maupun kelebihan kas.
Berikut ini tindakan yang dilakukan untuk mendukung fungsi manajemen likuiditas.
a. Memantau penerimaan dan pengeluaran kas daerah
• Penerimaan kas seluruhnya harus segera disetor ke kas daerah.
b. Mengantisipasi kemungkinan kekurangan/kelebihan kas
• Kekurangan kas dapat berdampak menghambat pelaksanaan anggaran satker‐
satker dan pembangunan daerah pada umumnya.
2. Minimalisasi Kas Menganggur (Idle Cash)
Meskipun kasus kelebihan kas tidak mengakibatkan dampak seburuk kekurangan kas pada
pembangunan, kelebihan kas harus dijaga pada tingkat yang minimal. Tingkat kas minimal
tersebut dikenal sebagai buffer cash yang merupakan cadangan kas untuk berjaga‐jaga,
bila terjadi pengeluaran kas mendadak atau penerimaan kas yang gagal. Jumlah cadangan
kas yang sengaja dibiarkan menganggur tersebut dapat ditentukan dengan berbagai
metode, namun secara prinsip kas menganggur tidak baik.
Kas menganggur tidak memberikan keuntungan balik (return) kepada pemerintah. Oleh
karena itu setiap kas yang belum digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintah daerah
perlu dikumpulkan dan diinvestasikan.
~
A. PELAPORAN KEUANGAN
1. Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah
Gambar 5.1 Bagan Umum Sistem Akuntansi Keuangan Daerah
a. Masukan (Input) Sistem Akuntansi
1) Media pencatat data. Transaksi yang terjadi harus segera dicatat. Data‐data
yang harus dicatat adalah data‐data yang relevan dengan kebutuhan informasi
3) Media komunikasi dan otorisasi. Dokumen sumber menjadi media komunikasi
karena digunakan oleh berbagai pihak yang terkait dengan transaksi. Sebagai
contoh, dokumen SP2D mengomunikasikan kepada pihak bank tentang jumlah
uang yang harus dibayarkan dan kepada siapa. Dokumen sumber menjadi
media otorisasi, karena persetujuan seorang otorisator dinyatakan dengan
penandatanganan dokumen sumber. Sebagai contoh, Kepala SKPD
menyatakan persetujuan pengeluaran biaya perjalanan dinas dengan
penandatanganan daftar rincian biaya dan surat perintah perjalanan dinas
(SPPD).
b. Proses Akuntansi
Dokumen
Laporan
Sumber
Keuangan
Skema pada gambar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut.
c. Keluaran (Output) Sistem Akuntansi
d. Hasil (Outcome) Sistem Akuntansi
2. Standar Akuntansi Pemerintah
Standar akuntansi pemerintahan (SAP), sebagaimana diatur dalam PP 71 Tahun 2010,
adalah prinsip‐prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan menyajikan
laporan keuangan pemerintah. SAP dinyatakan dalam bentuk pernyataan standar
akuntansi pemerintahan, yang selanjutnya disebut PSAP. PSAP terdiri dari:
• PSAP Nomor 01 tentang Penyajian Laporan Keuangan;
• PSAP Nomor 02 tentang Laporan Realisasi Anggaran Berbasis Kas;
• PSAP Nomor 03 tentang Laporan Arus Kas;
• PSAP Nomor 04 tentang Catatan atas Laporan Keuangan;
• PSAP Nomor 05 tentang Akuntansi Persediaan;
• PSAP Nomor 06 tentang Akuntansi Investasi;
• PSAP Nomor 07 tentang Akuntansi Aset Tetap;
• PSAP Nomor 09 tentang Akuntansi Kewajiban;
• PSAP Nomor 11 tentang Laporan Keuangan Konsolidasi;
• PSAP Nomor 12 tentang Laporan Operasional.
Undang‐Undang Nomor 17/2003 Pasal 36 ayat (1) menyatakan ketentuan mengenai
pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual dilaksanakan
selambat‐lambatnya dalam 5 (lima) tahun. Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 2004 pasal 70
ayat (2) juga menyatakan ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan
dan belanja berbasis akrual dilaksanakan selambat‐lambatnya tahun anggaran 2008.
Berdasarkan hal tersebut maka SAP Akrual dikembangkan dari SAP yang ditetapkan dalam
PP 24/2005 dengan mengacu pada International Public Sector Accounting Standards
(IPSAS) dan memerhatikan peraturan perundangan serta kondisi Indonesia.
Pada tahun 2010 telah diterbitkan PP Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintah. Pertimbangan pengembangan SAP berdasarkan pada PP 24/2005 adalah
sebagai berikut:
• SAP yang ditetapkan dengan PP 24/2005 berbasis kas menuju akrual sebagian besar
telah mengacu pada praktik akuntansi berbasis akrual,
• Para pengguna yang sudah terbiasa dengan SAP PP 24/2005 dapat melihat
kesinambungannya.
Lingkup pengaturan PP Nomor 71 Tahun 2010 mencakup:
a. SAP berbasis akrual dan SAP berbasis kas menuju akrual.
b. SAP berbasis akrual terdapat pada Lampiran I dan berlaku sejak tanggal ditetapkan
dan dapat segera diterapkan oleh setiap entitas.
c. SAP berbasis kas menuju akrual pada Lampiran II berlaku selama masa transisi bagi
entitas yang belum siap untuk menerapkan SAP berbasis akrual.
a. Penerapan SAP berbasis akrual dapat dilaksanakan secara bertahap dari penerapan
SAP berbasis kas menuju akrual menjadi penerapan SAP berbasis akrual.
b. Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan SAP berbasis akrual secara bertahap
pada pemerintah pusat diatur dengan peraturan Menteri Keuangan.
c. Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan SAP berbasis akrual secara bertahap
pada pemerintah daerah diatur dengan peraturan Menteri Dalam Negeri.
3. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Laporan keuangan disusun untuk menyediakan informasi yang relevan mengenai posisi
keuangan dan seluruh transaksi yang dilakukan oleh suatu entitas pelaporan selama satu
periode pelaporan. Laporan keuangan terutama digunakan untuk mengetahui nilai
sumber daya ekonomi yang dimanfaatkan untuk melaksanakan kegiatan operasional
pemerintahan, menilai kondisi keuangan, mengevaluasi efektivitas dan efisiensi suatu
entitas pelaporan, dan membantu menentukan ketaatannya terhadap peraturan
perundang‐undangan.
a. Laporan Realisasi Semester Pertama Anggaran Pendapatan dan Belanja
Pejabat pengguna anggaran menyampaikan laporan tersebut kepada PPKD sebagai
dasar penyusunan laporan realisasi semester pertama APBD, paling lama 10 hari
kerja setelah semester pertama tahun anggaran berkenaan berakhir. Selanjutnya
PPKD menyusun laporan realisasi semester pertama APBD dengan cara
menggabungkan seluruh laporan realisasi semester pertama anggaran pendapatan
dan belanja SKPD, paling lambat minggu kedua bulan Juli dan disampaikan kepada
sekretaris daerah.
b. Laporan Tahunan
Laporan tahunan terdiri dari laporan keuangan yang disusun oleh SKPD dan laporan
keuangan pemerintah daerah yang disusun oleh PPKD.
1) Laporan Keuangan SKPD
• Laporan Realisasi Anggaran SKPD;
• Neraca SKPD; dan
• Catatan atas Laporan Keuangan SKPD.
Laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD disusun dan disajikan sesuai
dengan standar akuntansi pemerintahan.
a) Pendapatan, adalah penerimaan bendahara umum negara/ daerah atau
oleh entitas pemerintah lainnya yang menambah ekuitas dana lancar
dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak
pemerintah dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah.
b) Kewajiban adalah utang yang timbul dari peristiwa masa lalu yang
penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi
pemerintah.
c) Ekuitas dana adalah kekayaan bersih pemerintah yang merupakan selisih
antara aset dan kewajiban pemerintah.
c) Menyajikan informasi tentang dasar penyusunan laporan keuangan dan
kebijakan‐kebijakan akuntansi yang dipilih untuk diterapkan atas
transaksi‐transaksi dan kejadian‐kejadian penting lainnya;
f) Menyediakan informasi tambahan yang diperlukan untuk penyajian yang
wajar, yang tidak disajikan pada lembar muka laporan keuangan.
Kepala SKPD selaku pengguna anggaran menyusun laporan keuangan tersebut
sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan APBD pada satuan kerja perangkat
daerah yang bersangkutan dan menyampaikannya kepada kepala daerah
melalui PPKD paling lambat dua bulan setelah tahun anggaran berakhir.
a) Laporan Realisasi Anggaran,
b) Neraca,
c) Laporan Arus Kas, yaitu laporan yang menyajikan arus kas dari aktivitas
operasi, arus kas dari aktivitas investasi aset non keuangan, arus kas dari
aktivitas pembiayaan, dan arus kas dari aktivitas non anggaran yang
diperbandingkan dengan periode sebelumnya.
d) Catatan atas Laporan Keuangan.
Laporan keuangan tahunan pemerintah daerah/satuan kerja perangkat daerah
harus disertai dengan pernyataan tanggung jawab yang ditandatangani oleh
gubernur/bupati /walikota/kepala SKPD. Surat pernyataan tanggung jawab
tersebut memuat pernyataan bahwa pengelolaan APBD telah diselenggarakan
berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai dan akuntansi
keuangan telah diselenggarakan sesuai dengan SAP.
4) Laporan Keuangan Sesuai dengan PP 71 Tahun 2010
Unsur Laporan keuangan berdasarkan PP 71 Tahun 2010 antara lain :
a) Laporan Realisasi Anggaran (LRA)
b) Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (SAL), tingkat SKPD tidak perlu
menyusun.
Pada laporan perubahan saldo anggaran lebih, pos‐pos berikut disajikan
secara komparatif dengan periode sebelumnya:
• Saldo anggaran lebih awal;
• Penggunaan saldo anggaran lebih;
• Sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran tahun berjalan;
• Koreksi kesalahan pembukuan tahun sebelumnya;
• Lain‐lain;
• Saldo anggaran lebih akhir.
• Pendapatan‐LO dari kegiatan operasional;
• Beban dari kegiatan operasional ;
• Surplus/defisit dari kegiatan non operasional, bila ada;
• Pos luar biasa, bila ada;
• Surplus/defisit‐LO
d) Laporan Arus Kas (LAK), tingkat SKPD tidak perlu menyusun.
e) Laporan Perubahan Ekuitas
• Ekuitas awal;
• Surplus/defisit‐LO pada periode bersangkutan;
• Ekuitas akhir.
f) Catatan atas laporan keuangan (Calk)
c. Penetapan Raperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD
Persetujuan bersama oleh DPRD paling lama satu bulan terhitung sejak rancangan
peraturan daerah diterima.
Apabila menteri dalam negeri menyatakan hasil evaluasi sudah sesuai dengan
kepentingan umum dan peraturan perundang‐undangan yang lebih tinggi, gubernur
menetapkan rancangan peraturan daerah dan rancangan peraturan gubernur
menjadi peraturan daerah dan peraturan gubernur.
Menurut Undang‐Undang Nomor 17 Tahun 2003, pada rancangan undang‐undang atau
peraturan daerah tentang laporan keuangan pemerintah pusat/daerah disertakan atau
dilampirkan informasi tambahan mengenai kinerja instansi pemerintah, yakni prestasi yang
berhasil dicapai oleh pengguna anggaran sehubungan dengan anggaran yang telah digunakan.
Laporan Kinerja adalah ikhtisar yang menjelaskan secara ringkas dan lengkap tentang capaian
kinerja yang disusun berdasarkan rencana kerja yang ditetapkan dalam rangka pelaksanaan
APBN/APBD. Sesuai dengan peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan
Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, informasi tentang realisasi kinerja disajikan secara
bersanding dengan kinerja yang direncanakan dan dianggarkan sebagaimana tercantum dalam
rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah/pemerintah
pusat/daerah untuk tahun anggaran yang bersangkutan.
1. Pengolahan Data Kinerja
a. Pengukuran Kinerja
Menurut pedoman penyusunan pelaporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah,
pengukuran kinerja digunakan sebagai dasar untuk menilai keberhasilan/kegagalan
pelaksanaan kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan
dalam rangka mewujudkan visi dan misi instansi pemerintah. Pengukuran dimaksud
merupakan hasil dari suatu penilaian (assessment) yang sistematik dan didasarkan
pada kelompok indikator kinerja kegiatan yang berupa indikator‐indikator masukan,
keluaran, hasil, manfaat, dan dampak.
1) Perencanaan dan penetapan tujuan.
2) Pengembangan ukuran yang relevan.
3) Pelaporan formal atas hasil.
4) Penggunaan informasi.
Pengukuran kinerja di berbagai tingkatan dilakukan dengan mengacu pada dokumen
perencanaan kinerja, penganggaran, dan perjanjian kinerja. Berbagai tingkatan itu
mempunyai tugas pokok, fungsi, dan tanggung jawab masing‐masing yang berbeda
antara satu tingkatan dengan tingkatan yang lain.
Tingkatan entitas akuntabilitas itu dapat dikategorikan sebagai berikut:
1) entitas akuntabilitas kinerja satuan kerja atau eselon II pada instansi
pemerintah pusat;
2) entitas akuntabilitas kinerja unit organisasi eselon I;
3) entitas akuntabilitas kinerja kementerian negara/lembaga;
4) entitas akuntabilitas kinerja SKPD;
5) entitas akuntabilitas kinerja pemerintah provinsi/kabupaten/kota.
Berikut disajikan formulir instrumen pengukuran kinerja.
Laporan kinerja sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor 08 Tahun 2006 dihasilkan
dari suatu sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah yang diselenggarakan
oleh masing‐masing entitas pelaporan dan/atau entitas akuntansi. Sistem
akuntabilitas kinerja instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dikembangkan
secara terintegrasi dengan sistem perencanaan, sistem penganggaran, sistem
perbendaharaan, dan sistem akuntansi pemerintahan.
2. Laporan Kinerja
Salah satu bentuk laporan kinerja yang digunakan sebagai media akuntabilitas bagi
instansi pemerintah adalah LAKIP. Laporan akuntabilitas kinerja adalah laporan kinerja
tahunan yang berisi pertanggung jawaban kinerja suatu instansi dalam mencapai
tujuan/sasaran strategis instansi.
a. Prinsip‐Prinsip Penyusunan LAKIP
Penyusunan LAKIP mengikuti prinsip‐prinsip yang lazim, yaitu laporan harus disusun
secara jujur, objektif, dan transparan. Di samping itu, perlu pula diperhatikan
prinsip‐prinsip lain, seperti:
2) Prinsip pengecualian, yang dilaporkan adalah hal‐hal yang penting dan relevan
bagi pengambilan keputusan dan pertanggungjawaban instansi yang
bersangkutan. Misalnya hal‐hal yang menonjol baik keberhasilan maupun
kegagalan, perbedaan‐perbedaan antara realisasi dengan sasaran/standar/
rencana/budget, penyimpangan‐penyimpangan dari rencana karena alasan
tertentu, dan sebagainya.
5) Prinsip manfaat, yaitu manfaat laporan harus lebih besar dibanding biaya
penyusunannya.
Perlu pula diperhatikan beberapa ciri laporan yang baik seperti relevan, tepat waktu,
dapat dipercaya/diandalkan, mudah dimengerti (jelas dan cermat), dalam bentuk
yang menarik (tegas dan konsisten, tidak kontradiktif antar bagian), berdaya banding
tinggi, berdaya uji (verifiable), lengkap, netral, padat, dan terstandarisasi (untuk
yang rutin).
b. Sistematika LAKIP
Sesuai Permen PAN dan RB Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan
Penetapan Kinerja dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah,
sistematika LAKIP adalah sebagai berikut:
• Executive summary (Ikhtisar Eksekutif)
• Bab IV Penutup
• Lampiran‐lampiran
Instansi yang wajib menyusun laporan akuntabilitas kinerja adalah:
1) Kementerian/lembaga;
2) Pemerintah provinsi/kabupaten/kota;
3) Unit organisasi eselon I pada kementerian/lembaga;
4) Satuan kerja perangkat daerah;
5) Unit kerja mandiri, yaitu unit kerja yang mengelola anggaran tersendiri dan/
atau unit yang ditentukan oleh pimpinan instansi masing‐masing.
Jangka waktu penyampaian LAKIP untuk instansi pemerintah pusat diatur sebagai
berikut.
2) Tingkat unit organisasi eselon I dan unit kerja mandiri pada kementerian/
lembaga disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga.
3) Tingkat unit organisasi eselon I dan unit kerja mandiri pada kementerian/
lembaga sebagaimana dimaksud pada butir 2 di atas diatur tersendiri oleh
menteri/pimpinan lembaga.
3) Tingkat SKPD dan unit kerja mandiri sebagaimana dimaksud pada butir 2 di
atas diatur tersendiri oleh gubernur/ bupati/ walikota.
Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan
kewenangan kepada pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dengan memerhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan, serta keragaman daerah dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 27 menyebutkan bahwa kepala daerah dan wakil
kepala daerah, sesuai dengan kewenangannya, mempunyai kewajiban untuk memberikan
laporan:
1. Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (LPPD)
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 03 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban
Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat daerah, dan Informasi Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat, sistematika LPPD adalah
sebagai berikut:
Kata Pengantar ……………. (maksimum 2 halaman)
BAB I PENDAHULUAN
A. Dasar Hukum (dijelaskan undang‐undang tentang pembentukan daerah yang
bersangkutan)
B. Gambaran Umum Daerah
1. Kondisi Geografis Daerah; batas administrasi daerah, luas wilayah,
topografis dan hal lain yang dianggap perlu
2. Gambaran Umum Demografis; jumlah penduduk, komposisi penduduk
menurut jenis kelamin, struktur usia, jenis pekerjaan, dan pendidikan
3. Kondisi Ekonomi;
a. Potensi Unggulan Daerah
b. Pertumbuhan Ekonomi/PDRB (tiga tahun terakhir)
BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)
A. Visi dan Misi
B. Strategi dan Arah Kebijakan Daerah
C. Prioritas daerah
BAB III URUSAN DESENTRALISASI
A. Prioritas Urusan Wajib Yang Dilaksanakan
1. Program dan Kegiatan
2. Tingkat Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (dalam hal SPM belum
ada, didasarkan atas pencapaian program dan kegiatan)
3. Satuan Kerja Perangkat Daerah Penyelenggara Urusan Wajib
4. Jumlah Pegawai, Kualifikasi Pendidikan, Pangkat dan Golongan, Jumlah
Pejabat Struktural dan Fungsional
5. Alokasi Dan Realisasi Anggaran
6. Proses Perencanaan Pembangunan
7. Kondisi Sarana dan Prasarana Yang Digunakan (lengkap, kurang,
mencukupi atau lainnya)
8. Permasalahan dan Solusi
9. Hal Lain Yang Dianggap Perlu Untuk Dilaporkan
B. Tugas Pembantuan Yang Diberikan
1. Dasar Hukum
2. Urusan Pemerintahan Yang Ditugaspembantuankan kepada Kabupaten/
Kota Dan Desa Untuk Provinsi atau Kepada Desa ntuk Kabupaten/Kota
3. Sumber dan Jumlah Anggaran
4. Sarana dan Prasarana
B. Kerjasama Daerah Dengan Pihak Ketiga
1. Mitra yang Diajak Kerjasama
2. Dasar Hukum
3. Bidang Kerjasama
4. Nama Kegiatan
5. Satuan Kerja Perangkat Daerah Penyelenggara Kerjasama Daerah Dengan
Pihak Ketiga
6. Jumlah Pegawai, Kualifikasi Pendidikan, Pangkat dan Golongan
7. Sumber dan Jumlah Anggaran
8. Jangka Waktu Kerjasama
9. Hasil (output) dari Kerjasama
10. Permasalahan dan Solusi
11. Hal Lain yang Dianggap Perlu Untuk Dilaporkan
C. Koordinasi Dengan Instansi Vertikal Di Daerah
1. Forum Koordinasi
2. Materi Koordinasi
3. Instansi Vertikal Yang Terlibat
4. Sumber dan Jumlah Anggaran
D. Pembinaan Batas Wilayah
1. Sengketa Batas Wilayah Desa/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/ Kota
dan Provinsi (apabila ada)
2. Solusi Yang Dilakukan Dan Tingkat Penyelesaian (selesai, belum selesai,
atau perlu tindak lanjut)
3. Satuan Kerja Perangkat Daerah Penyelenggara Pembinaan Batas Wilayah
4. Jumlah Pegawai, Kualifikasi Pendidikan, Pangkat dan Golongan
E. Pencegahan dan Penanggulangan Bencana
1. Bencana yang Terjadi dan Penanggulangannya
2. Status Bencana (Nasional, Regional/Provinsi atau Lokal/Kabupaten/ Kota)
3. Sumber dan Jumlah Anggaran
4. Antisipasi Daerah Dalam Menghadapi Kemungkinan Bencana
5. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang Menangani Bencana
6. Jumlah Pegawai, Kualifikasi Pendidikan, Pangkat, dan Golongan
7. Kelembagaan yang Khusus Dibentuk Menangani Bencana (apabila ada)
8. Potensi Bencana yang Diperkirakan Terjadi
F. Pengelolaan Kawasan Khusus
1. Jenis Kawasan Khusus
2. Status Kepemilikan Kawasan Khusus (pusat, daerah, BUMN, swasta dan
atau kerjasama) dan Dasar Hukum Penetapannya
3. Sumber Anggaran
4. Permasalahan Yang Dihadapi
5. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang Menangani Kawasan Khusus
6. Jumlah Pegawai, Kualifikasi Pendidikan, Pangkat dan Golongan
2. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban
Sistematika LKPJ sesuai dengan PP Nomor 03 Tahun 2007 adalah sebagai berikut.
BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH
A. Visi dan Misi
B. Strategi dan Arah Kebijakan Daerah (sesuai RPJMD)
C. Prioritas Daerah
BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
A. Pengelolaan Pendapatan Daerah
1. Intensifikasi dan Ekstensifikasi Pendapatan Daerah
2. Target dan Realisasi Pendapatan
3. Permasalahan Dan Solusi
B. Pengelolaan Belanja Daerah
1. Kebijakan Umum Keuangan Daerah
2. Target Dan Realisasi Belanja
3. Permaslahan Dan Solusi
BAB IV PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH
A. Urusan Wajib Yang Dilaksanakan
1. Program dan Kegiatan
2. Realisasi Pelaksanaan Program Dan Kegiatan
3. Permasalahan dan Solusi
BAB V PENYELENGGARAAN TUGAS PEMBANTUAN
A. Tugas Pembantuan Yang Diterima
1. Dasar Hukum
2. Instansi Pemberi Tugas Pembantuan
3. Satuan Kerja Perangkat Daerah Yang Melaksanakan
4. Program Dan Kegiatan Yang Diterima Dan Pelaksanaannya
5. Sumber Dan Jumlah Anggaran
6. Permasalahan Dan Solusi
B. Tugas Pembantuan Yang Diberikan
1. Dasar Hukum
2. Urusan Pemerintahan Yang Ditugaspembantuankan Kepada Kabupaten/
Kota Dan Desa Untuk Provinsi Atau Kepada Desa Untuk Kabupaten/Kota
3. Sumber Dan Jumlah Anggaran
4. Sarana dan Prasarana
BAB VI PENYELENGGARARAAN TUGAS UMUM PEMERINTAHAN
A. Kerjasama Antar Daerah
1. Kebijakan dan Kegiatan
2. Realisasi Pelaksanaan Kegiatan
3. Permasalahan dan Solusi
B. Kerjasama Daerah dengan Pihak Ketiga
1. Kebijakan dan Kegiatan
2. Realisasi Pelaksanaan Kegiatan
3. Permasalahan dan Solusi
C. Koordinasi Dengan Instansi Vertikal di Daerah
1. Kebijakan dan Kegiatan
2. Realisasi Pelaksanaan Kegiatan
3. Permasalahan dan Solusi
BAB VII PENUTUP
~
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah (SPIP) dijelaskan bahwa pengawasan intern adalah seluruh proses kegiatan audit,
reviu, pemantauan, evaluasi, dan kegiatan pengawasan lainnya berupa asistensi, sosialisasi dan
konsultansi terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan
keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang
telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan
kepemerintahan yang baik.
A. PERAN APARATUR PENGAWASAN INTERN PEMERINTAH
Aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) adalah instansi pemerintah yang dibentuk dengan
tugas melaksanakan pengawasan intern di lingkungan pemerintah pusat dan/atau pemerintah
daerah, terdiri atas Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), inspektorat
jenderal kementerian, inspektorat/unit pengawasan intern pada kementerian negara,
inspektorat utama/inspektorat lembaga pemerintah non kementerian, inspektorat/unit
pengawasan intern pada kesekretariatan lembaga tinggi negara dan lembaga negara,
inspektorat provinsi/kabupaten/kota, dan unit pengawasan intern pada badan hukum
pemerintah lainnya sesuai dengan peraturan perundang‐undangan.
Bagi manajemen, APIP adalah kebutuhan. Semakin kompleksnya tugas dan fungsi yang diemban
oleh instansi pemerintah, sulit bagi pimpinan unit (manajemen) untuk melaksanakan
pengawasan secara langsung terhadap seluruh aktivitas organisasi, sehingga diperlukan unit
pengawasan intern yang diperankan oleh APIP.
Peran dan kontribusi APIP terhadap manajemen tersurat dalam Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 60 Tahun 2008, di mana unsur‐unsur SPIP meliputi:
Agar tujuan organisasi tercapai, para pimpinan instansi harus menciptakan dan
memelihara lingkungan dalam organisasi yang menetapkan perilaku posistif dan dukungan
terhadap pengendalian manajemen dan kesadaran para pimpinan instansi. Lingkungan
pengendalian menentukan mutu pengendalian intern, karena merupakan cerminan sikap
semua pihak yang terkait dengan organisasi terhadap pentingnya pengendalian dan
organisasi itu sendiri
2. Penilaian Risiko
Untuk memberikan jaminan memadai akan tercapainya tujuan organisasi, para pimpinan
instansi harus melaksanakan penilaian risiko manajemen. Penilaian risiko ini merupakan
upaya untuk meminimalkan kekeliruan dan ketidakberesan dalam pelaksanaan kegiatan
dan fungsi organisasi. Ketika para pimpinan instansi dapat menilai risiko‐risiko yang
dihadapi, maka perancangan dan implementasi prosedur pengendalian dan pengelolaan
risiko dapat dilaksanakan dengan baik.
3. Kegiatan Pengendalian
Aktivitas pengendalian adalah kebijakan, prosedur, teknik, dan mekanisme yang memberi
arah pada para pimpinan dan membantu mereka meyakini bahwa tindakan‐tindakan yang
perlu telah dilakukan untuk mengantisipasi risiko.
4. Informasi dan Komunikasi
Pengelolaan instansi akan lebih baik, jika pihak‐pihak yang terkait dengan organisasi dapat
berkomunikasi dan saling berbagi informasi melalui sistem komunikasi dan informasi
akuntansi yang memadai. Para pimpinan instansi dan pihak‐pihak ekstern juga dapat
memperoleh informasi yang relevan dan handal bagi kebutuhan pengambilan keputusan,
sehingga instansi dapat dikelola dengan baik.
5. Pemantauan Pengendalian Intern
Sistem pengendalian intern memiliki sifat dinamis, karena itu efektifitas dan efisiensinya
harus dipantau. APIP bertanggung jawab atas pelaksanaan pemantauan ini.
1. memberikan keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas
pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah;
3. memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan tugas dan fungsi
instansi pemerintah.
Menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota bertanggung jawab atas efektifitas
penyelenggaraan SPIP di lingkungan masing‐masing. Untuk memperkuat dan menunjang
efektifitas tersebut dilakukan:
1. pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah termasuk
akuntabilitas keuangan negara.
2. pembinaan penyelenggaraan SPIP.
Pengawasan intern di atas dilaksanakan oleh aparatur pengawasan intern pemerintah dengan
cara:
1. Audit
Audit adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara
independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar audit, untuk menilai
kebenaran, kecermatan, kredibilitas, efektivitas, efisiensi, dan keandalan informasi
pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah.
Audit yang dilaksanakan oleh APIP antara lain meliputi:
a. Audit keuangan, terdiri dari:
2) Audit terhadap aspek keuangan tertentu (audit atas laporan keuangan bukan
untuk memberikan opini), adalah audit atas aspek tertentu pengelolaan
keuangan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atas dana yang
dibiayai oleh APBN/APBD dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai
bahwa pengelolaan keuangan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur
yang telah ditetapkan sebagaimana ketentuan yang berlaku. Contohnya antara
lain:
a) Audit atas bagian dari laporan keuangan/informasi keuangan;
b) Audit atas laporan pendapatan dan biaya;
c) Audit atas laporan penerimaan dan pengeluaran kas;
d) Audit atas laporan aktiva tetap, permintaan anggaran;
e) Audit pengelolaan keuangan dana dekonsentrasi;
f) Audit keuangan lainnya.
b. Audit kinerja, adalah audit atas pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah
yang terdiri atas audit aspek ekonomi, efisiensi, dan efektivitas, serta ketaatan pada
peraturan. Contoh:
1) Audit dengan sasaran ekonomis, efisiensi, dan efektivitas, serta ketaatan pada
peraturan;
2) Post audit dengan sasaran ekonomis, efisiensi, dan efektivitas, serta ketaatan
pada peraturan;
3) Audit kinerja atas penyusunan dan pelaksanaan anggaran;
4) Audit kinerja atas penerimaan, penyaluran, dan penggunaan dana;
5) Audit kinerja atas pengelolaan aset dan kewajiban;
6) Audit operasional; dan
7) Audit akuntabilitas.
1) Audit ketaatan (compliance audit);
2) Audit investigatif;
3) Audit atas tindak kecurangan/fraud audit;
4) Audit atas kegiatan melawan hukum/illegal act audit;
5) Mengumpulkan data dan/atau informasi intelijen;
7) Memproses penyelesaian TP/TGR;
8) Melakukan audit atas berbagai indikasi pemborosan;
12) Pemeriksaan dan pengecekan atas pengaduan kasus dugaan penyimpangan;
13) Audit atas pengelolaan aset;
14) Memberikan kesaksian dalam peradilan kasus hasil pengawasan non keuangan
seperti kasus perceraian, indisipliner pegawai, dan kasus perselingkuhan;
15) Audit atas kepegawaian;
16) Mengkaji sistem pengendalian manajemen objek pengawasan;
17) Pengendalian intern terhadap ketaatan hukum dan peraturan atas proses
tender, akuntansi, hibah, bantuan, dan kontrak;
18) Audit ketaatan atas hukum dan peraturan;
19) Audit komprehensif atas aspek pengelolaan keuangan, kepegawaian, dan aset;
21) Audit klaim;
22) Pemeriksaan serentak;
23) Audit lingkungan;
24) Audit sosial: audit bantuan kegiatan (seperti, bantuan langsung tunai/BLT);
25) Audit khusus dalam rangka serah terima jabatan (sertijab)/alih jabatan;
26) Pemeriksaan dalam rangka berakhirnya masa jabatan kepala daerah;
27) Audit atas catatan‐catatan akuntansi intern (internal accounting records);
30) Audit teknologi informasi;
31) Audit dengan tujuan tertentu berdasarkan permintaan instansi tertentu;
32) Audit yang bertujuan untuk memberikan pendapat atas pengendalian intern
organisasi auditi (an Opinion on the Internal Control in the Charity);
33) Audit atas pinjaman/hibah luar negeri (PHLN);
34) Pemeriksaan pelaksanaan kebijakan;
35) Pemeriksaan dokumen legalisasi data;
36) Pemeriksaan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), seperti visa on arrival;
37) Audit untuk tujuan tertentu lainnya, seperti: telaah staf atas penelaahan
usulan hukuman disiplin, pelarian napi, keberatan hukuman disiplin, dugaan
KKN, penyalahgunaan wewenang.
Reviu adalah penelaahan ulang bukti‐bukti suatu kegiatan untuk memastikan bahwa
kegiatan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, standar, rencana, atau
norma yang telah ditetapkan. Contoh kegiatan reviu yang dilaksanakan oleh oleh APIP
antara lain:
a. Reviu atas laporan keuangan;
b. Reviu atas sistem pengendalian intern pemerintah (SPIP);
c. Reviu atas rencana kegiatan dan anggaran (RKA);
d. Reviu atas usulan revisi yang mengubah plafon anggaran;
e. Reviu atas aspek keuangan tertentu;
f. Reviu aspek kinerja tertentu;
g. Reviu periodik atas pengelolaan keuangan;
h. Reviu atas aspek tertentu penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan;
i. Reviu atas hasil kajian pengawasan tertentu.
3. Evaluasi
Evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan hasil/prestasi suatu kegiatan dengan
standar, rencana, atau norma yang telah ditetapkan, dan menentukan faktor‐faktor yang
memengaruhi keberhasilan atau kegagalan suatu kegiatan dalam mencapai tujuan.
Contoh kegiatan evaluasi yang dilaksanakan oleh APIP antara lain:
a. Evaluasi dan penilaian atas efektivitas proses tata kelola;
b. Evaluasi dan penilaian atas efektivitas manajemen risiko;
c. Evaluasi dan penilaian atas efektivitas penerapan sistem pengendalian intern;
d. Evaluasi atas efektivitas suatu program;
e. Evaluasi kelembagaan;
f. Evaluasi kebijakan;
g. Evaluasi strategi pelaksanaan kegiatan;
h. Evaluasi akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (AKIP).
Pemantauan adalah proses penilaian kemajuan suatu program/kegiatan dalam mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Contoh kegiatan pemantauan yang dilaksanakan oleh APIP
antara lain:
a. Pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan;
b. Pemantauan terhadap pelaksanaan kebijakan;
c. Pemantauan realisasi penyerapan anggaran;
d. Pemantauan capaian kinerja instansi pemerintah;
e. Pemantauan dana dekonsentrasi;
f. Pemantauan persidangan perkara pidana.
5. Kegiatan Pengawasan Lainnya
Kegiatan pengawasan lainnya dan kegiatan yang tidak memberikan penjaminan kualitas,
antara lain konsultansi, sosialisasi, dan asistensi. Contoh:
a. Melaksanakan penyuluhan/sosialisasi di bidang pengawasan;
b. Memberikan konsultansi di bidang pengawasan;
c. Melaksanakan bimbingan teknis/asistensi/pendampingan di bidang pengawasan;
d. Melaksanakan bantuan teknis di bidang pengawasan;
e. Melaksanakan pemetaan/mapping di bidang pengawasan;
f. Melaksanakan penugasan penelitian di bidang pengawasan;
h. Pengujian terhadap laporan berkala dan/atau sewaktu‐waktu dari unit/satuan kerja;
i. Inventarisasi fisik;
j. Cek fisik;
k. Mengumpulkan data dan/atau informasi intelijen non keuangan;
l. Mengkaji aspek tertentu di bidang pengawasan;
n. Memaparkan hasil audit (yang merupakan kegiatan tersendiri bukan bagian dari
penugasan audit);
o. Menyusun modul diklat, soal ujian, dan mengoreksi hasil ujian di bidang
pengawasan;
p. Penatausahaan persediaan/asset;
q. Pengawasan terpadu peningkatan mutu sekolah;
r. Pengawalan: tes pengadaan CPNS, gerakan nasional (Gernas);
s. Pembahasan sebab terjadinya penyimpangan;
t. Penyempurnaan/pengembangan database auditor;
u. Pengawasan dan pendampingan ujian tertulis dalam proses pengadaan CPNS;
v. Sosialisasi penerapan SPIP;
w. Pembinaan di bidang pengawasan terhadap Satker/SKPD; dan
x. Menyusun dan memutakhirkan data audit universe.
B. PEMERIKSAAN OLEH BPK
Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan daerah merupakan bagian dari siklus
APBD sebelum disahkannya pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah menjadi
peraturan daerah. Melalui pemeriksaan yang dilaksanakan oleh BPK, pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan daerah yang diasersi oleh pemerintah daerah melalui laporan keuangan
pemerintah daerah akan dinilai kewajarannya.
Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara
independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai
kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara.
Ketentuan tentang pemeriksaan oleh BPK diatur dalam Undang‐Undang Nomor 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Tanggung Jawab dan Pengelolaan Keuangan Negara. Sedangkan ketentuan
tentang Badan Pemeriksa Keuangan sebagai institusi pemeriksa diatur dalam Undang‐Undang
Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
1. Pemeriksaan Keuangan
a. kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan;
b. kecukupan pengungkapan;
c. kepatuhan terhadap peraturan perundang‐undangan; dan
d. efektivitas sistem pengendalian intern.
Penilaian atas empat kriteria di atas akan menentukan pemberian opini terhadap laporan
keuangan yang meliputi lima jenis sebagai berikut:
a. wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion),
b. wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelas,
c. wajar dengan pengecualian (qualified opinion),
d. tidak wajar (adversed opinion), dan
e. pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion).
Opini wajar tanpa pengecualian (WTP) diberikan jika pos‐pos laporan keuangan tidak
mengandung salah saji material dan laporan keuangan secara keseluruhan disajikan
secara wajar. Opini WTP dengan paragraf penjelas diberikan apabila terdapat
permasalahan yang belum dapat dituntaskan,tetapi tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap kewajaran laporan keuangan. Opini wajar dengan pengecualian jika terdapat
pos‐pos tertentu dalam laporan keuangan mengandung salah saji secara material, namun
secara keseluruhan tidak mengganggu kewajaran laporan keuangan. Opini tidak wajar
2. Pemeriksaan Kinerja
Pemeriksaan kinerja sering juga disebut value for money audit. Pemeriksaan kinerja
adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi, efisiensi, serta efektivitas. Pemeriksaan ini lazim
dilakukan oleh aparat pengawasan intern untuk kepentingan jajaran manajemen. Namun
demikian UUD RI Tahun 1945 juga mengamanatkan kepada BPK untuk melakukan
pemeriksaan kinerja, terutama untuk mengidentifikasi area‐area yang potensial untuk
peningkatan kinerja yang menjadi perhatian lembaga perwakilan.
3. Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu
Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan
khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam
pemeriksaan ini adalah pemeriksaan atas hal‐hal lain yang bersifat keuangan, pemeriksaan
atas sistem pengendalian intern, dan pemeriksaan investigatif.
Hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah kesimpulan. Dalam hal pemeriksaan
investigatif, apabila diketemukan adanya indikasi tindak pidana atau tindakan yang
membawa dampak pada kerugian negara, BPK segera melaporkannya kepada instansi
yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang‐undangan.
Dari hasil pengawasan oleh APIP maupun pemeriksaan oleh auditor eksternal misalnya Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), mungkin terdapat temuan yang merugikan daerah.
1. Pengertian
a. Merugikan
b. Kerugian Daerah
c. Sifat dan Bentuk Kerugian Daerah
1) Ditinjau Dari Pelakunya
a) Bendahara, yang melakukan perbuatan:
(5) menerima dan menyimpan uang palsu,
(6) korupsi, penyelewengan, penggelapan,
(7) kecurian, penodongan, perampokan, dan/atau kolusi,
(9) penyalahgunaan wewenang/jabatan,
b) Pegawai negeri bukan bendahara, yang melakukan perbuatan:
(1) korupsi, penyelewengan, penggelapan,
(2) penyalahgunaan wewenang dan jabatan,
(3) pencurian dan penipuan,
(4) merusak, menghilangkan barang inventaris milik daerah,
(5) menaikkan harga, mengubah kualitas/mutu,
c) Pihak ketiga, karena melakukan perbuatan:
(1) tidak menepati janji/kontrak (wanprestasi),
2) Ditinjau Dari Sebabnya
a) Perbuatan manusia yang disebabkan karena:
(1) kesengajaan,
(2) kelalaian, kealpaan, kesalahan,
(3) di luar kemampuan si pelaku.
b) Karena kejadian alam:
(1) bencana alam seperti gempa bumi, tanah longsor, banjir dan
kebakaran,
(2) proses alamiah seperti membusuk, mencair, menyusut, menguap,
mengurai dan dimakan rayap.
3) Ditinjau Dari Waktu Terjadinya Kerugian Daerah
Tinjauan dari waktu di sini dimaksudkan untuk memastikan apakah suatu
peristiwa kerugian negara/daerah masih dapat dilakukan penuntutan atau
tidak, baik terhadap bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pihak
ketiga.
a) Lima tahun sejak diketahuinya kerugian tersebut.
d. Penyelesaian Kerugian Daerah
Penyelesaian kerugian daerah adalah sebagai berikut.
2) Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena
perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan
kepadanya secara langsung merugikan negara, wajib menggantikan kerugian
tersebut.
3) Setiap pimpinan kementerian negara/lembaga/kepala satuan kerja perangkat
daerah (SKPD) dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi, setelah
mengetahui bahwa dalam kementerian negara/lembaga/SKPD yang
bersangkutan terjadi kerugian akibat perbuatan dari pihak manapun.
4) Setiap kerugian daerah wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau oleh kepala
SKPD kepada gubernur/bupati/walikota dan diberitahukan kepada BPK
selambat‐lambatnya tujuh hari kerja setelah kerugian daerah itu diketahui.
5) Segera setelah kerugian daerah diketahui, kepada bendahara, pegawai negeri
bukan bendahara, atau pejabat lain yang sungguh melanggar hukum dapat
segera dimintakan surat pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa
6) Jika surat keterangan tanggung jawab mutlak (SKTJM) tidak mungkin diperoleh
atau tidak dapat menjamin pengembalian kerugian daerah, maka
gubernur/bupati/walikota yang bersangkutan segera mengeluarkan surat
keputusan pembebanan penggantian kerugian sementara kepada yang
bersangkutan.
9) Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang telah
ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenakan sanksi
administratif dan/atau sanksi pidana. Putusan pidana tidak membebaskan dari
tuntutan ganti rugi.
e. Pengenaan Ganti Kerugian Negara/Daerah
Pengenaan ganti kerugian daerah terhadap bendahara adalah sebagai berikut.
Tata cara tuntutan ganti kerugian negara/daerah maupun pengenaan ganti kerugian
negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain diatur
dengan peraturan pemerintah yang merupakan petunjuk pelaksanaan ketiga paket
undang‐undang di atas. Ketentuan tersebut diharapkan dapat digunakan oleh pihak‐
pihak yang terkait dalam menangani dan menyelesaikan kerugian negara/daerah
yang semakin hari semakin bertambah besar, sehingga dapat diantisipasi terjadinya
kerugian daerah, dicegah penyelesaian kerugian daerah yang berlarut‐larut, serta
dipercepat proses pemulihan kerugian daerah maupun diperkecil terjadinya
kerugian daerah.
2. Tata cara Penyelesaian Kerugian Daerah
a. Melalui Upaya Damai
c. Melalui Tuntutan Ganti Rugi
Tuntutan ganti rugi baru dapat dilakukan apabila:
1) adanya perbuatan melanggar hukum, kesalahan, atau kelalaian pegawai negeri
termasuk melalaikan kewajibannya yang berhubungan dengan pelaksanaan
fungsi atau status dalam jabatannya,
Apabila pembebanan ganti rugi telah diterbitkan, kepala daerah melakukan eksekusi
keputusan dimaksud dan membantu proses pelaksanaan penyelesaiannya.
Apabila pelaku kerugian daerah ternyata ingkar janji (wanprestasi), maka daerah
dapat menagih secara paksa melalui badan/instansi penagih yang berwenang
setelah diputuskan kepala daerah bahwa tagihan akan/telah macet.
3. Tuntutan Perbendaharaan (TP)
Tuntutan perbendaharaan adalah suatu tata cara perhitungan terhadap bendahara, jika
dalam pengurusannya terdapat kekurangan perbendaharaan dan kepada bendahara yang
bersangkutan diharuskan mengganti kerugian.
Tuntutan ini berlaku untuk bendahara yang dalam hal ini adalah seseorang yang
ditugaskan untuk menerima, menyimpan, dan membayar atau menyerahkan uang daerah,
surat‐surat berharga, dan barang milik daerah, serta bertanggung‐jawab kepada kepala
daerah. Yang merupakan objek dari penuntutan ini adalah adanya kekurangan
perbendaharaan yang pada dasarnya merupakan selisih kurang antara saldo buku kas
dengan saldo fisik kas.
a. Upaya Damai
5) Apabila terdapat kekurangan dari hasil penjualan barang jaminan seperti yang
dimaksud di atas, maka kekurangan tersebut tetap menjadi kewajiban
bendahara yang bersangkutan. Sebaliknya apabila terdapat kelebihan dari
hasil penjualan barang jaminan, maka akan dikembalikan kepada bendahara
yang bersangkutan.
b. Tuntutan Perbendaharaan Biasa
2) Bendahara bertanggung jawab atas kekurangan perbendaharaan yang terjadi
dalam pengurusannya, kecuali apabila ia dapat memberikan pembuktian
bahwa ia bebas dari kesalahan atau kelalaian atas kekurangan
perbendaharaan tersebut.
3) Apabila dalam pemeriksaan oleh bawasda terhadap bendahara terbukti bahwa
kekurangan perbendaharaan tersebut dilakukan oleh beberapa pegawai atau
atasan langsung, maka kepada yang bersangkutan dikenakan tanggung jawab
renteng sesuai dengan bobot keterlibatan dan tanggung jawabnya, urutan
inisiatif dan kelalaian atau kesalahannya.
4) Proses tuntutan perbendaharaan dimulai dengan suatu pemberitahuan tertulis
dari kepala daerah kepada pihak yang akan dituntut, dengan menyebutkan:
c) sebab‐sebab serta alasan penuntutan dilakukan
8) Keputusan pembebanan tetap dilaksanakan meskipun yang bersangkutan naik
banding.
1) Apabila seorang bendahara meninggal dunia, melarikan diri atau berada di
bawah pengampuan dan lalai membuat perhitungan setelah ditegur tiga kali
berturut‐turut, maka pada kesempatan pertama atasan langsung atas nama
kepala daerah melakukan tindakan pengamanan untuk menjamin kepentingan
daerah berupa.
a) Buku kas dan semua buku bendahara diberi garis penutup.
b) Semua uang, surat dan barang berharga, surat‐surat bukti maupun buku‐
buku disimpan/dimasukkan ke dalam lemari besi dan disegel. Tindakan‐
tindakan di atas harus dituangkan dalam berita acara penyegelan dan
disaksikan oleh ahli waris (bagi yang meninggal dunia), keluarga dekat
(bagi yang melarikan diri) atau pengampu/kurator (dalam hal bendahara
berada di bawah pengampuan).
2) Atas dasar laporan atasan langsung, kepala daerah menunjuk pegawai (atas
saran majelis pertimbangan) yang ditugaskan untuk membuat perhitungan ex‐
officio. Biaya pembuatan perhitungan ex‐officio dibebankan kepada bendahara
yang bersangkutan, ahli waris atau pengampunya. Besarnya biaya pembuatan
perhitungan ex‐officio ditetapkan oleh kepala daerah.
3) Hasil perhitungan ex‐officio 1 eksemplar diberikan kepada pengampu atau ahli
waris atau bendahara yang tidak membuat perhitungan dan dalam batas
waktu 14 hari diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan.
1) Kepala daerah menerbitkan surat keputusan pencatatan jika proses tuntutan
perbendaharaan belum dapat dilaksanakan karena:
a) bendaharawan meninggal dunia tanpa ada ahli waris yang diketahui;
b) ada ahli waris tetapi tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya;
c) bendaharawan melarikan diri dan tidak diketahui alamatnya.
3) Pencatatan yang telah dilakukan sewaktu‐waktu dapat ditagih apabila:
a) yang bersangkutan diketahui alamatnya,
b) ahli waris dapat dimintakan pertanggungjawabannya,
c) upaya penyetoran ke kas daerah berhasil ditarik dari kas negara.
4. Tuntutan Ganti Rugi (TGR)
Tuntutan ganti rugi adalah suatu proses tuntutan terhadap pegawai dalam kedudukannya
bukan sebagai bendahara, dengan tujuan menuntut penggantian kerugian disebabkan
oleh perbuatannya melanggar hukum dan/atau melalaikan kewajibannya atau tidak
melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya, sehingga daerah baik secara
langsung maupun tidak langsung menderita kerugian.
Yang termasuk dalam klasifikasi pegawai disini adalah:
a. pegawai daerah
b. pegawai negeri/pegawai daerah yang diperbantukan/dipekerjakan
c. pegawai perusahaan daerah
d. pekerja daerah
e. ABRI/purnawirawan ABRI yang dikaryakan/dipekerjakan pada daerah.
Adapun langkah‐langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan TGR ini adalah upaya damai,
tuntutan ganti rugi biasa, dan pencatatan.
b. Tuntutan Ganti Rugi Biasa
4) Pelaksanaan TGR sebagai akibat perbuatan melanggar hukum atau melalaikan
kewajiban yang dipersalahkan kepadanya dan/atau tidak menjalankan
kewajiban sebagaimana mestinya diserahkan penyelesaiannya melalui tim
majelis pertimbangan.
5) Proses tuntutan ganti rugi dimulai dengan suatu pemberitahuan tertulis dari
kepala daerah kepada pegawai negeri yang bersangkutan, dengan
menyebutkan:
a) identitas pelaku
b) jumlah kerugian yang diderita daerah yang harus diganti
c) sebab‐sebab serta alasan penuntutan dilakukan
6) Apabila pegawai yang diharuskan mengganti kerugian dalam waktu 14 hari
tidak mengajukan keberatan/pembelaan diri atau telah mengajukan
pembelaan diri tetapi tidak dapat membebaskannya sama sekali dari
kesalahan/kelalaian, kepala daerah menetapkan surat keputusan
pembebanan.
8) Keputusan pembebanan ganti rugi tersebut pelaksanaannya dapat dilakukan
dengan cara memotong gaji dan penghasilan lainnya yang bersangkutan,
memberi izin untuk mengangsur dan melunasinya selambat‐lambatnya selama
10) Keputusan tingkat banding dari pejabat yang berwenang dapat berupa
memperkuat atau membatalkan surat keputusan pembebanan, atau
menambah/mengurangi besarnya jumlah kerugian yang harus dibayar oleh
yang bersangkutan.
c. Pencatatan
1) Pegawai negeri yang meninggal dunia tanpa ahli waris atau melarikan diri tidak
diketahui alamatnya, dalam pencatatan wajib dikenakan TGR berdasarkan
keputusan kepala daerah tentang pencatatan TGR setelah mendapat
pertimbangan majelis.
2) Bagi pegawai yang melarikan diri, TGR tetap dilakukan terhadap ahli warisnya
dengan memperhatikan harta peninggalan yang dihasilkan dari perbuatan
yang menyebabkan kerugian daerah tersebut.
3) Dengan diterbitkannya surat keputusan pencatatan, kasus yang bersangkutan
dikeluarkan dari administrasi pembukuan.
d. Penyelesaian Kerugian Barang Daerah
2) Penggantian kerugian dalam bentuk barang dilakukan khusus terhadap barang
bergerak berupa kendaraan bermotor roda empat dan roda dua yang umur
pembeliannya satu sampai tiga tahun.
4) Nilai taksiran jumlah harga benda yang akan diganti rugi dalam bentuk uang
maupun barang ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
5. Penatausahaan TP/TGR
a. Kedaluwarsa TP/TGR
1) Tuntutan Perbendaharaan (TP)
b) TP khusus terhadap ahli waris atau yang berhak lainnya dinyatakan
kedaluwarsa (lewat waktu) apabila jangka waktu tiga tahun telah
berakhir setelah:
(1) meninggalnya bendahara tanpa adanya pemberitahuan,
(2) jangka waktu untuk mengajukan keberatan berakhir, sedangkan
surat keputusan pembebanan tidak pernah ditetapkan.
2) Tuntutan Ganti Rugi Biasa
TGR dinyatakan kedaluwarsa setelah lewat lima tahun sejak akhir tahun
kerugian daerah diketahui atau setelah delapan tahun sejak akhir tahun
dimana kerugian tersebut terjadi/perbuatan tersebut dilakukan.
a) Apabila perbuatan/kelalaian dilakukan dalam tahun 1990 dan diketahui
tahun 1991, maka kerugian keuangan daerah tersebut mengalami
kedaluwarsa 5 tahun sesudah tahun 1991 atau akhir tahun anggaran
1996/1997. Tetapi apabila baru diketahui dalam tahun 1994 maka
kerugian daerah tersebut mengalami kedaluwarsa 8 tahun sesudah
tahun 1990 atau akhir tahun anggaran 1998/1999 dan bukan 5 tahun
sesudah tahun anggaran 1994/1995 atau akhir tahun anggaran
1999/2000. Selanjutnya apabila kerugian daerah akibat dari
perbuatan/kelalaian berturut‐turut, waktu 8 tahun tersebut dimulai
pada akhir tahun perbuatan/kelalaian yang terakhir dilakukan. Dalam
menentukan besarnya kerugian daerah dihitung kerugian daerah yang
terjadi 8 tahun sebelum tahun penggantian kerugian daerah dibebankan.
b. Penghapusan
Apabila bendahara/pegawai ataupun ahli waris/keluarga terdekat/ pengampu
yang berdasarkan keputusan kepala daerah diwajibkan mengganti kerugian tidak
mampu membayar ganti rugi, maka yang bersangkutan harus mengajukan
permohonan secara tertulis kepada kepala daerah untuk penghapusan atas
kewajibannya. Berdasarkan permohonan tersebut kepala daerah memerintahkan
majelis pertimbangan untuk melakukan penelitian. Apabila ternyata yang
bersangkutan memang tidak mampu, maka setelah mendapat persetujuan dari
DPRD, selanjutnya kepala daerah dengan surat keputusan dapat menghapuskan
TP/TGR baik sebagian ataupun seluruhnya.
Berdasarkan pertimbangan efisiensi, maka kerugian daerah yang bernilai sampai
dengan Rp10.000.000,00 dapat diproses penghapusannya bersamaan dengan
penetapan peraturan daerah tentang perhitungan APBD tahun anggaran yang
berkenaan.
c. Pembebasan
Dalam hal bendahara atau pegawai bukan bendahara meninggal dunia tanpa ahli
waris atau tidak layak untuk ditagih, yang berdasarkan surat keputusan kepala
daerah diwajibkan mengganti kerugian daerah, maka majelis pertimbangan
memohon secara tertulis kepada kepala daerah yang bersangkutan untuk
membebaskan sebagian/seluruh kewajiban yang harus dipenuhi, dengan terlebih
dahulu mendapatkan persetujuan dari DPRD dan Menteri Dalam Negeri.
d. Penyetoran
Khusus penyetoran kerugian daerah yang berasal dari badan usaha milik daerah
(BUMD), setelah diterima kas daerah segera dipindahbukukan ke rekening BUMD
yang bersangkutan.
f. Lain‐Lain
Kerugian daerah yang tidak dapat diselesaikan oleh pemerintah daerah dapat
diserahkan penyelesaiannya melalui badan peradilan dengan mengajukan gugatan
perdata. Apabila proses melalui badan peradilan ini tidak terselesaikan, maka
permasalahan dikembalikan kepada daerah dan penyelesaiannya dapat dilakukan
dengan cara pencatatan atau penghentian/penghapusan.
g. Majelis Pertimbangan
Adapun susunan majelis pertimbangan adalah sebagai berikut.
Ketua : Sekwilda
Wakil Ketua I : Kepala Bawasda Provinsi
Wakil Ketua II : Asisten Administrasi dan Umum
Sekretaris : Kepala Biro Keuangan
Anggota : a. Kepala Biro Perlengkapan
b. Kepala Biro Hukum
c. Kepala Biro Kepegawaian
2) Tingkat Kabupaten/Kota
Ketua : Sekwilda
Wakil Ketua I : Kepala Bawasda Kabupaten/Kota
Wakil Ketua II : Asisten Sekwilda Bidang Keuangan, Barang dan Kepegawaian
Sekretaris : Kepala Bagian Keuangan
Anggota : a. Kepala Bagian Perlengkapan
b. Kepala Bagian Hukum
c. Kepala Bagian Kepegawaian
Tugas pokok dari majelis pertimbangan adalah sebagai berikut.
2) Memroses dan melaksanakan eksekusi TP/TGR.
4) Menyiapkan laporan kepala daerah mengenai perkembangan penyelesaian
kasus kerugian daerah secara periodik kepada Menteri Dalam Negeri cq.
Direktur Jenderal PUOD, tembusan kepada BPK, Sekretariat Jenderal dan
Inspektorat Jenderal Departemen Dalam Negeri.
2) Anggota sekretariat majelis melakukan:
a) penelitian kelengkapan berkas laporan dan pencatatan serta penomoran
berkas laporan oleh staf administrasi,
b) pembahasan laporan oleh tim pembahas yang dipimpin oleh ketua
tim pembahas yang ditunjuk oleh kepala sekretariat.
3) Kepala sekretariat menyampaikan laporan kepada sekretaris majelis.
8) Kepala sekretariat menyampaikan (setelah terlebih dahulu dicatat dalam buku
register) surat keputusan kepala daerah kepada bendahara/pegawai yang
bersangkutan melalui kepala unit/satuan kerja.
~
LAMPIRAN
Petunjuk Pengisian:
1. Header (a) diiisi nama pemerintah provinsi/kabupaten/kota.
2. Header (b) diisi dengan tahun anggaran.
4. Kolom (2) diisi dengan indikator kinerja atas sasaran strategis dari kementerian/lembaga/
pemerintah provinsi/kabupaten/kota dalam kolom (1).
5. Kolom (3) diisi dengan angka target dari masing‐masing indikator kinerja sasaran strategis.
FORMULIR RENCANA KINERJA TAHUNAN
TINGKAT UNIT SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH (SKPD)
SKPD : (a)
Tahun : (b)
Sasaran Strategis Indikator Kinerja Target
1 2 3
Petunjuk Pengisian:
1. Header (a) diiisi nama SKPD.
2. Header (b) diisi dengan tahun anggaran.
3. Kolom (1) diisi dengan sasaran strategis unit organisasi eselon kementerian/lembaga/
SKPD sesuai dengan dokumen rencana perencanaan jangka menengah.
4. Kolom (2) diisi dengan indikator kinerja atas sasaran strategis dari unit organisasi eselon
kementerian/lembaga/SKPD dalam kolom (1).
5. Kolom (3) diisi dengan angka target dari masing‐masing indikator kinerja sasaran.
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA . . . .
RINGKASAN APBD MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN ORGANISASI
TAHUN ANGGARAN . . . .
Belanja
Kode Urusan Pemerintahan Daerah Pendapatan Tdk Jumlah
Langsung
Langsung Belanja
1 2 3 4 5 6
1 URUSAN WAJIB
1 01 Pendidikan
1 01 01 Dinas Pendidikan
1 01 02 Kantor Perpustakaan Daerah
1 01 03 Dst....
1 02 Kesehatan
1 02 01 Dinas Kesehatan
1 02 02 Rumah Sakit Umum Daerah
1 02 03 Rumah Sakit Jiwa
1 02 04 Rumah Sakit Paru‐paru
1 02 05 Rumah Sakit Ketergantungan Obat
1 02 06 Dst....
1 03 Pekerjaan Umum
1 03 01 Dinas Pekerjaan Umum
1 03 02 Dinas Bina Marga
1 03 03 Dinas Pengairan
1 03 04 Dinas Pengawasan Bangunan dan
Tata Kota
1 03 05 Dinas Cipta Karya
1 03 06 Dst...
1 04 Perumahan
1 04 01 Dinas Pemukiman
1 04 02 Dinas Pemadam Kebakaran
1 04 03 Dinas Pemakaman
1 04 04 Dst......
PEMBIAYAAN
Kode Urusan Pemerintahan Daerah Pembiayaan SILPA TAB
Penerimaan Pengeluaran
Netto
1 2 3 4 5 = 3 ‐ 4 6
20 Pemerintahan Umum
01 Sekretariat Daerah/ PPKD
....., tanggal.............20xx
Gubernur/Bupati/ Walikota
(tanda tangan )
(nama lengkap)
Inpres Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1997.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : KEP/135/M.PAN/9/2004 tentang
Pedoman umum Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Peraturan Menpan Nomor 29 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja dan
Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Peraturan Menpan Nomor 9 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Penetapan Indikator Kinerja
Utama di Lingkungan Instansi Pemerintah.
Peraturan Menpan Nomor 20 Tahun 2008 tentang Petunjuk Penyusunan Indikator Kinerja
Utama.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1997 tentang Tuntutan Ganti Rugi dan Tuntutan
Perbendaharaan Keuangan dan Barang Daerah.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Presiden Nomor 70 Tahun 2012, tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau
Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi
Pemerintah.
Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 tentang Badan Layanan Umum.
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah.
Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2005 tentang Hibah Kepada Daerah.
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif APBN dan
APBD.
Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.
Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
Undang‐Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Undang‐Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Undang‐Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab
Keuangan Negara.
Undang‐Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Undang‐Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Undang‐Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah.
Undang‐Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Undang‐Undang No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
Undang‐Undang No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Undang‐Undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Susilo, Djoko. 2005. Good Governance Melalui Implementasi SAKIP. Jakarta: Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara.
Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi. 2010. Modul Penyusunan LAKIP.
Kementerian Dalam Negeri dan Lembaga Administrasi Negara. 2007. Modul Diklat Teknis
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Lembaga Administrasi Negara dan BPKP. 2000. Akuntabilitas dan Good Governance. Jakarta.
Lembaga Administrasi Negara (LAN). 2004. Modul Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah. Edisi Kedua. Jakarta.
Pusdiklatwas BPKP. 2005. Modul Anggaran Berbasis Kinerja.
Pusdiklatwas BPKP. 2011. Modul Akuntabilitas Instansi Pemerintah. Edisi Keenam.
Pusdiklatwas BPKP. 2009. Modul Sistem Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah. Edisi Pertama.
Pusdiklatwas BPKP. 2011. Modul Sistem Administrasi Keuangan Daerah II . Edisi Ketujuh.
Pusdiklatwas BPKP. 2011. Modul Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Edisi
Pertama.
Pusdiklatwas BPKP. 2010. Modul Penatausahaan Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan. Edisi
Pertama.
~