Anda di halaman 1dari 48

MATERI KULIAH

Ilmu Kesehatan Anak


KEJANG DEMAM PADA ANAK
DAN RDS

By:
Budi Suharno, S.Kp., M.Kes

POLTEKKES KEMENKES MALANG


JURUAN KEBIDANAN
KEJANG DEMAM PADA ANAK
PRODI D-IV KEBIDANAN MALANG
TAHUN 2016
A. Pendahuluan
Kejang demam merupakan kejang yang sering terjadi
pada saat seorang bayi atau anak mengalami demam
tanpa infeksi sistem saraf pusat. Kejang demam biasanya
terjadi pada awal demam. Anak akan terlihat aneh untuk
beberapa saat, kemudian kaku, kelojotan dan memutar
matanya. Anak tidak responsif untuk beberapa waktu,
napas akan terganggu, dan kulit akan tampak lebih gelap
dari biasanya. Setelah kejang, anak akan segera normal
kembali. Insiden terjadinya kejang demam terutama pada
golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3 %
dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah
menderita kejang demam. Kejang demam lebih sering
didapatkan pada laki-laki daripada perempuan. Hal
tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan
maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan laki-laki.
(ME. Sumijati, 2000;72-73)
Berdasarkan laporan dari daftar diagnosa dari
lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo
Surabaya didapatkan data adanya peningkatan insiden
kejang demam. Pada tahun 1999 ditemukan pasien kejang
demam sebanyak 83 orang dan tidak didapatkan angka
kematian (0 %). Pada tahun 2000 ditemukan pasien
kejang demam 132 orang dan tidak didapatkan angka
kematian (0 %). Dari data di atas menunjukkan adanya
peningkatan insiden kejadian sebesar 37%.
Kejang biasanya berakhir kurang dari 1 menit, tetapi
walaupun jarang dapat terjadi selama lebih dari 15
menit.Komplikasi yang dapat ditimbulkan yaitu kerusakan
otak, dan retardasi mental, penatalaksanaannya yaitu
dengan segera diberikan diezepam intravena,
membebaskan jalan nafas, oksigenasi secukupnya,
menurunkan panas bila demam atau hipereaksi dengan
kompres seluruh tubuh, memberikan cairan yang cukup
bila kejang berlangsung cukup lama (> 10 menit).

2
B. Konsep Dasar
1. Pengertian
 Kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi
atau anak yang biasanya terjadi antara umur 3
bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam
tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi
intrakranial atau penyebab tertentu (Mansjoer,
2000)
 Demam adalah meningkatnya temperatur tubuh
secara abnormal lebih dari 37,5oC, merupakan
respon tubuh terhadap kuman, bakteri dan virus
penyebab penyakit yang masuk ke dalam tubuh
(Suriadi, 2001).
 Kejang adalah perubahan fungsi otak mendadak dan
sementara sebagai akibat dari aktivitas neoronal
yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang
berlebihan (Betz, 2002).
Gangguan kejang merupakan sindrom kronis
dimana disfungsi neurologis pada jaringan serebral
menghasilkan episode paraksosmal berulang
(kejang) gangguan perilaku, suasana hati, sensasi,
persepsi, gerakan dan tonus otot (Carpenito, 2000).
 Kejang (konvulsi) merupakan akibat dari
pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel
saraf korteks serebral yang ditandai dengan
serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran
ringan, aktivitas motorik dan/atau gangguan
fenomena sensori (Doengoes, 2000).
 Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada
suhu badan yang tinggi. Suhu badan ini disebabkan
oleh kelainan ekstrakranial (Lumbantobing, 1995).
 Kejang demam adalah bangkitan kejang yang
terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu mencapai
>380C). kejang demam dapat terjadi karena proses
intracranial maupun ekstrakranial. Kejang demam
terjadi pada 2-4% populasi anak berumur 6 bulan

3
sampai dengan 5 tahun (Amid dan Hardhi, NANDA
NIC-NOC, 2013).
 Menurut Marvin A. Fishman (2007), kejang demam
terjadi pada 2-4% anak usia di bawah 6tahun.
Kriteria diagnostik mencakup: kejang pertama yang
dialami oleh anak berkaitan dengan suhu yang lebih
tinggi dari pada 38°C; anak berusia kurang dari
6tahun; tidak ada tanda infeksi atau peradangan
susunan saraf pusat; anak tidak menderita
gangguan metabolik sistemik akut. Kejang demam
bersifat dependen-usia, biasanya terjadi pada anak
berusia antara 9 dan 20 bulan; kejang jarang
dimulai sebelum usia 6 bulan.

2. Etiologi
Menurut Randle John (1999) kejang demam dapat
disebabkan oleh:
a. Demam tinggi.
Demam dapat disebabkan oleh karena tonsilitis,
faringitis, otitis media, gastroentritis, bronkitis,
bronchopneumonia, morbili, varisela,demam
berdarah, dan lain-lain.
b. Efek produk toksik dari mikroorganisme (kuman dan
otak) terhadap otak.
c. Respon alergi atau keadaan imun yang abnormal.
d. Perubahan cairan dan elektrolit.
e. Faktor predispisisi kejang deman, antara lain:
1) § Riwayat keluarga dengan kejang biasanya
positif, mencapai 60% kasus. Diturunkan secara
dominan, tapi gejala yang muncul tidak lengkap.
2) § Angka kejadian adanya latar belakang
kelainan masa pre-natal dan perinatal tinggi
3) § Angka kejadian adanya kelainan neurologis
minor sebelumnya juga tinggi, tapi kelainan
neurologis berat biasanya jarang terjadi.

4
Penyebab kejang demam belum dapat dipastikan.
Pada sebagian besar anak, tingginya suhu tubuh, bukan
kecepatan kenaikan suhu tubuh, menjadi faktor
pencetus serangan kejang demam. Biasanya suhu
demam lebih dari 38°C dan terjadi saat suhu tubuh
naik dan bukan pada saat setelah terjadinya kenaikan
suhu yang lama. (Dona L.Wong, 2008).
Penyebab kejang mencakup faktor-faktor perinatal,
malformasi otak kogenital, faktor genetik, penyakit
infeksi (ensefalitis, meningitis), penyakit demam,
gangguan metabolisme, trauma, neuplasma toksin,
sirkulasi, dan penyakit degeneratif sususnan syaraf.
Kejang disebut ideopatik bila tidak dapat ditemukan
penyebabnya.(Cecily L. Betz dan A.sowden, 2002)
Kondisi yang dapat menyebabkan kejang demam
antara lain; infeksi yang mengenai jaringan
ekstrakranial seperti tonsilitis, otitis, media akut,
bronkitis. (Riyadi dan sujono, 2009).

3. Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui
proses oksidasi dipecah menjadi CO2dan air. Sel
dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan
dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik.
Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat
dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat
sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit
lainnya, kecuali ion klorida (Cl–). Akibatnya konsentrasi
ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+
rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan
sebalikya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion
di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan
potensial membran yang disebut potensial membran
dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K
ATP-ase yang terdapat pada permukaan

5
sel.Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah
oleh :
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
b. Rangsangan yang datang mendadak misalnya
mekanisme, kimiawi atau aliran listrik dari
sekitarnya
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena
penyakit atau keturunan

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan


mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15 %
dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh
tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya
15 %. Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat
mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan
dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium
maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan
listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya
sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke
membran sel sekitarnya dengan bantuan
“neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang demam
yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya
disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan
energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan
oleh metabolisme anerobik, hipotensi artenal disertai
denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh
meningkat yang disebabkan makin meningkatnya
aktifitas otot dan mengakibatkan metabolisme otak
meningkat.

6
Gambar: Bagan Patofisiologi Kejang Demam

4. Klasifikasi Kejang Demam


Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau
perubahan tonus badan dan tungkai dapat
diklasifikasikan menjadi 2 bagian yaitu; kejang parsial
sederhana dan kejang parsial kompleks.
a. Kejang parsial sederhana
Kesadaran tidak terganggu dapat mencakup satu
atau dua hal sebagai berikut;
1) Tanda-tanda motoris; kedutan pada wajah,
tangan atau salah satu sisi tubuh; umumnya
gerakan setiap kejang sama
7
2) Tanda atau gejala otonomik; muntah,
berkeringat, muka merah, dilatasi pupil.
3) Gejala sematosensoris atau sensoris khusus;
mendengar musik, merasa seakan jatuh dari
udara, parestesia.
4) Gejala psikik; dejavu, rasa takut, visi panoramik.

b. Kejang parsial kompleks


Terdapat gangguan kesadaran, walaupun pada
awalnya sebagai kejang parsial simpleks. Dapat
mencangkup otomatisme atau gerakan otomatik;
mengecap0ecapkan bibir, mengunyah, gerakan
mencongkel yang berulang-ulang pada tangan, dan
gerakan tangan lainnya. Dapat tanpa otomatisme
tatapan terpaku. (Cecily L.Betz dan Linda A.Sowden,
2002)

5. Manifestasi Klinis
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam
pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan
sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, klonik,
fokal, atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri.
Setelah kejang berhenti, anak tidak memberi reaksi
apapun sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau
menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit
neurologis. Kejang dapat diikuti oleh hemiparesis
sementara (Hemiparesis Toddler) yang berlangsung
beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral
yang lama diikuti oleh hemiparesis yang menetap.
Bangkitan kejang yang berlangsung lama sering terjadi
pada kejang demam yang pertama.
Durasi kejang bervariasi, dapat berlangsung
beberapa menit sampai lebih dari 30 menit, tergantung
pada jenis kejang demam tersebut. Sedangkan
frekuensinya dapat kurang dari 4 kali dalam 1 tahun
sampai lebih dari 2 kali sehari. Pada kejang demam

8
kompleks, frekuensi dapat sampai lebih dari 4 kali
sehari dan kejangnya berlangsung lebih dari 30 menit.
Gejalanya berupa:
a. Demam (terutama demam tinggi atau kenaikan
suhu tubuh yang tejradi secara tiba-tiba)
b. Pingsan yang berlangsung selama 30 detik-5 menit
(hampir selalu terjadi pada anak-anak yang
mengalami kejang demam)
c. Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot
menyeluruh yang biasanya berlangsung selama 10-
20 detik)
d. Gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang
kuat dan berirama, biasanya berlangsung selama 1-
2 menit)
e. Lidah atau pipinya tergigit
f. Gigi atau rahangnya terkatup rapat
g. Inkontinensia (mengompol)
h. Gangguan pernafasan
i. Apneu (henti nafas)
j. Kulitnya kebiruan
k. Setelah mengalami kejang, biasanya:
l. Akan kembali sadar dalam waktu beberapa menit
atau tertidur selama 1 jam atau lebih
m. Terjadi amnesia (tidak ingat apa yang telah terjadi)-
sakit kepala
n. Mengantuk
o. Linglung (sementara dan sifatnya ringan

6. Komplikasi
Menurut Lumbantobing ( 1995: 31) Dan Staff Pengajar
Ilmu Kesehatan Anak FKUI (1985: 849-850).Komplikasi
kejang demam umumnya berlangsung lebih dari 15
menit yaitu :
a. Kerusakan otak
Terjadi melalui mekanisme eksitotoksik neuron saraf
yang aktif sewaktu kejang melepaskan glutamat

9
yang mengikat resptor MMDA ( M Metyl D Asparate )
yang mengakibatkan ion kalsium dapat masuk ke
sel otak yang merusak sel neuoran secara
irreversible.
b. Retardasi mental
Dapat terjadi karena deficit neurolgis pada demam
neonatus.

7. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada
pasien dengan kejang demam adalah meliputi:
a. Elektro encephalograft (EEG)
Untuk pemeriksaan ini dirasa kurang mempunyai
nilai prognostik. EEG abnormal tidak dapat
digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya
epilepsi atau kejang demam yang berulang
dikemudian hari. Saat ini pemeriksaan EEG tidak
lagi dianjurkan untuk pasien kejang demam yang
sederhana. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak
dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi
sumber infeksi.

b. Pemeriksaan cairan cerebrospinal


Hal ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
adanya meningitis, terutama pada pasien kejang
demam yang pertama. Pada bayi yang masih kecil
seringkali gejala meningitis tidak jelas sehingga
harus dilakukan lumbal pungsi pada bayi yang
berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan untuk
yang berumur kurang dari 18 bulan.

c. Darah
1) Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan
predisposisi kejang (N < 200 mq/dl)

10
2) BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi
kejang dan merupakan indikasi nepro toksik
akibat dari pemberian obat.
3) Elektrolit :
 K, Na Ketidakseimbangan elektrolit
merupakan predisposisi kejang
 Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
 Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )

d. Cairan Cerebo Spinal : Mendeteksi tekanan


abnormal dari CCS tanda infeksi, pendarahan
penyebab kejang.

e. Skull Ray :Untuk mengidentifikasi adanya proses


desak ruang dan adanya lesi.

f. Tansiluminasi : Suatu cara yang dikerjakan pada


bayi dengan UUB masih terbuka (di bawah 2 tahun)
di kamar gelap dengan lampu khusus untuk
transiluminasi kepala.

6. Penaktalaksanaan Medis
a. Pengobatan
1) Pengobatan fase akut
Obat yang paling cepat menghentikan kejang
demam adalah diazepam yang diberikan melalui
interavena atau indra vectal.
 Dosis awal : 0,3 – 0,5 mg/kg/dosis IV
(perlahan-lahan).
 Bila kejang belum berhenti dapat diulang
dengan dosis yang sama setelah 20 menit.
2) Turunkan panas
 Anti piretika : parasetamol / salisilat 10
mg/kg/dosis.
 Kompres air PAM / Os

11
3) Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaan cairan serebro spiral dilakukan
untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis,
terutama pada pasien kejang demam yang
pertama, walaupun demikian kebanyakan dokter
melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus
yang dicurigai sebagai meningitis, misalnya bila
aga gejala meningitis atau bila kejang demam
berlangsung lama.
4) Pengobatan profilaksis
Pengobatan ini ada dalam cara : profilaksis
intermitten / saat demam dan profilaksis terus
menerus dengan antikanulsa setiap hari. Untuk
profilaksis intermitten diberikan diazepim secara
oral dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/hgBB/hari.

Berikut adalah tabel dosis diazepam yang diberikan


:
Terapi awal dengan diazepam
Usia Dosis IV (infus) Dosis per
(0.2mg/kg) rektal
(0.5mg/kg)
< 1 tahun 1–2 mg 2.5–5 mg
1–5 tahun 3 mg 7.5 mg
5–10 tahun 5 mg 10 mg
> 10 years 5–10 mg 10–15 mg

5) Penanganan sportif
 Bebaskan jalan napas
 Beri zat asam
 Jaga keseimbangan cairan dan elektrolit
 Pertahankan tekanan darah

12
b. Pencegahan
1) Pencegahan berkala (intermitten) untuk kejang
demam sederhana. Beri diazepam dan
antipiretika pada penyakit-penyakit yang disertai
d emam.
2) Pencegahan kontinu untuk kejang demam
komplikata.
Dapat digunakan :
– Feno : 5-7 mg/kg/24 jam dibagi
barbital : 3 dosis
– Fenitoin : 2-8 mg/kg/24 jam dibagi
– Klonazepam 2-3 dosis
(indikasi khusus)

c. Penanganan Umum Saat Kejang


1) Jangan panik berlebihan.
2) Jangan masukkan sendok atau jari ke mulut.
3) Jangan memberi obat melalui mulut saat anak
masih kejang atau masih belum sadar.
4) Letakkan anak dalam posisi miring, buka
celananya kemudian berikan diazepam melalui
anus dengan dosis yang Sama.
5) Bila masih kejang, diazepam dapat diulang lagi
setelah 5 menit, sambil membawa anak ke
rumah sakit.
6) Bila anak demam tinggi, usahakan untuk
menurunkan suhu tubuh anak anda dengan
mengkompres tubuh anak dengan air hangat
atau air biasa, lalu berikan penurun demam bila
ia sudah sadar.
7) Jangan mencoba untuk menahan gerakan-
gerakan anak pada saat kejang, berusahalah
untuk tetap tenang.
8) Kejang akan berhenti dengan sendirinya. Amati
berapa lama anak anda kejang.

13
9) Ukurlah suhu tubuh anak anda pada saat itu, hal
ini bisa menjadi pegangan anda untuk
mengetahui pada suhu tubuh berapa anak anda
akan mengalami kejang.
10) Hubungi petugas kesehatan jika kejang
berlangsung lebih lama dari 10 menit.
11) Jika kejang telah berhenti, segeralah ke dokter
untuk mencari penyebab dan mengobati demam.

d. Penanganan Kejang Demam Saat Di Rumah Sakit


1) Memastikan jalan napas anak tidak tersumbat
2) Pemberian oksigen melalui face mask
3) Pemberian diazepam 0,5 mg/kg berat badan per
rektal (melalui anus) atau jika telah terpasang
selang infus 0,2 mg/kg per infus
4) Pengawasan tanda-tanda depresi pernapasan
5) Sebagian sumber menganjurkan pemeriksaan
kadar gula darah untuk meneliti kemungkinan
hipoglikemia. Namun sumber lain hanya
menganjurkan pemeriksaan ini pada anak yang
mengalami kejang cukup lama atau keadaan
pasca kejang (mengantuk, lemas) yang
berkelanjutan .

Jika kejang masih berlanjut :


 Pemberian diazepam 0,2 mg/kg per infus
diulangi. Jika belum terpasang selang infus,
0,5 mg/kg per rektal
 Pengawasan tanda-tanda depresi pernapasan
 Jika kejang masih berlanjut :
 Pemberian fenobarbital 20-30 mg/kg per infus
dalam 30 menit atau fenitoin 15-20 mg/kg per
infus dalam 30 menit.
 Pemberian fenitoin hendaknya disertai dengan
monitor EKG (rekam jantung).

14
 Jika kejang masih berlanjut, diperlukan
penanganan lebih lanjut di ruang perawatan
intensif dengan thiopentone dan alat bantu
pernapasan.
 Pemberian obat-obatan jangka panjang untuk
mencegah berulangnya kejang demam jarang
sekali dibutuhkan dan hanya dapat diresepkan
setelah pemeriksaan teliti oleh spesialis
 Beberapa obat yang digunakan dalam
penanganan jangka panjang adalah sebagai
berikut.
 Antipiretik Antipiretik tidak mencegah kejang
demam . Penelitian menunjukkan tidak ada
perbedaan dalam pencegahan berulangnya
kejang demam antara pemberian
asetaminofen setiap 4 jam dengan pemberian
asetaminofen secara sporadis. Demikian pula
dengan ibuprofen.
 Diazepam . Pemberian diazepam per oral atau
per rektal secara intermiten (berkala) saat
onset demam dapat merupakan pilihan pada
anak dengan risiko tinggi berulangnya kejang
demam yang berat . Edukasi orang tua
merupakan syarat penting dalam pilihan ini.
Efek samping yang dilaporkan antara lain
ataksia (gerakan tak beraturan), letargi
(lemas, sama sekali tidak aktif), dan rewel.
Pemberian diazepam juga tidak selalu efektif
karena kejang dapat terjadi pada onset
demam sebelum diazepam sempat diberikan .
Efek sedasi (menenangkan) diazepam juga
dikhawatirkan dapat menutupi gejala yang
lebih berbahaya, seperti infeksi sistem saraf
pusat.
 Profilaksis (obat pencegahan) berkelanjutan.
Efektivitas profilaksis dengan fenobarbital

15
hanya minimal, dan risiko efek sampingnya
(hiperaktivitas, hipersensitivitas) melampaui
keuntungan yang mungkin diperoleh .
Profilaksis dengan carbamazepine atau fenitoin
tidak terbukti efektif untuk mencegah
berulangnya kejang demam. Asam valproat
dapat mencegah berulangnya kejang demam,
namun efek samping berupa hepatotoksisitas
(kerusakan hati, terutama pada anak berusia
 Dari berbagai penelitian tersebut, satu-satunya
yang dapat dipertimbangkan sebagai
profilaksis berulangnya kejang demam
hanyalah pemberian diazepam secara berkala
pada saat onset demam, dengan dibekali
edukasi yang cukup pada orang tua. Dan tidak
ada terapi yang dapat meniadakan risiko
epilepsi di masa yang akan datang .

16
RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (RDS)

A. LATAR BELAKANG
Periode setelah lahir merupakan awal kehidupan yang
tidak menyenangkan bagi bayi. Hal itu disebabkan oleh
lingkungan kehidupan sebelumnya (intrauterus) dengan
kehidupan sekarang ( ekstrauterus ) yang sangat berbeda.
Bayi yang dilahirkan prematur ataupun bayi yang
dilahirkan dengan penyulit/komplikasi, tentu proses
adaptasi kehidupan tersebut menjadi lebih sulit untuk
dilaluinya. Bahkan sering kali menjadi pemicu timbulnya
komplikasi lain yang menyebabkan bayi tersebut tidak
mampu melanjutkan kehidupan ke fase berikutnya
(meninggal). Bayi seperti ini yang disebut dengan istilah
bayi resiko tinggi.(surasmi,dkk.2003)
Salah satu dari bayi resiko tinggi adalah bayi dengan
sindroma gawat nafas (SGN/RDS). Respiratory Distress
Syndrome ( RDS ) didapatkan sekitar 5 -10% pada bayi
kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-1500
gram (lemons et al,2001). Angka kejadian berhubungan
dengan umur gestasi dan berat badan. (www.google.com)
Persentase kejadian menurut usia kehamilan adalah
60-80% terjadi pada bayi yang lahir dengan usia
kehamilan kurang dari 28 minggu; 15-30% pada bayi
antara 32-36 minggu dan jarang sekali ditemukan pada
bayi yang cukup bulan. Insiden pada bayi prematur kulit
putih lebih tinggi dari pada kulit hitam dan lebih sering
terjadi pada bayi laki-laki dari pada perempuan
(nelson,1999). Selain itu kenaikan frekuensi juga sering
terjadi pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita
gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan,
misalnya ibu menderita penyakit diabetes, hipertensi,
hipotensi, seksio serta perdarahan antepartum. (
surasmi,dkk.2003 )
Namun seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, bayi resiko tinggi ( SGN )

17
dapat hidup dengan baik tanpa mengalami cacat. Hal ini
terjadi jika ia dirawat di ruang perawatan intensif
neonatus, dengan tenaga perawat yang memiliki
spesialisasi kealihan di bidang tersebut.

B. PENGERTIAN
Sindrom gawat nafas (respiratory distress syndroma,RDS)
adalah:
 RDS Adalah gangguan pernafasan yang sering terjadi
pada bayi premature dengan tanda-tanda takipnue
(>60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara kamar,
yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam
kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik. Tanda-
tanda klinik sesuai dengan besarnya bayi, berat
penyakit, adanya infeksi dan ada tidaknya shunting
darah melalui PDA (Stark 1986).
 Sindrom gawat napas (RDS) (juga dikenal sebagai
idiopathic respiratory distress syndrome) adalah
sekumpulan temuan klinis, radiologis, dan histologis
yang terjadi terutama akibat ketidakmaturan paru
dengan unit pernapasan yang kecil dan sulit
mengembang dan tidak menyisakan udara diantara
usaha napas. Istilah-istilah Hyaline Membrane Disease
(HMD) sering kali digunakan saling bertukar dengan
RDS (Bobak, 2005).
 Respiratory Distress Syndrome adalah penyakit yang
disebabkan oleh ketidakmaturan dari sel tipe II dan
ketidakmampuan sel tersebut untuk menghasilkan
surfaktan yang memadai. (Dot Stables, 2005).
 Kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau
hiperpnea dengan frekuensi pernafasan besar 60 x/i,
sianosis, merintih waktu ekspirasi dan retraksi didaerah
epigastrium, suprosternal, interkostal pada saat
inspirasi ( Ngatisyah.2005 hal 23 )
 Kumpulan gejala yang terdiri dari frekuensi nafas bayi
lebih dari 60x/i atau kurang dari 30x/i dan mungkin

18
menunjukan satu atau lebih dari gejala tambahan
gangguan nafas sebagai berikut:
a. Bayi dengan sianosis sentral ( biru pada lidah dan
bibir )
b. Ada tarikan dinding dada
c. Merintih
d. Apnea ( nafas berhenti lebih dari 20 detik ) (
PONED, 2004 )
 Istilah yang digunakan untuk disfungsi pernafasan pada
neonatus ( Surasmi, asrining,dkk. 2003 hal 70 )
 Gangguan ini merupakan penyakit yang berhubungan
dengan perkembangan maturitas paru ( Whalley dan
wong, 1995 )
 Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria
RDS bila didapatkan sesak nafas berat (dyspnea ),
frekuensi nafas meningkat (tachypnea ), sianosis yang
menetap dengan terapi oksigen, penurunan daya
pengembangan paru,adanya gambaran infiltrat alveolar
yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis,
kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan
adanya hyaline membran pada saat otopsi (
www.google.com )
 Menurut Murray et.al (1988) disebut RDS apabila
ditemukan adanya kerosakan paru secara langsung dan
tidak langsung, kerosakan paru ringan sampai sedang
atau kerosakan yang berat dan adanya disfungsi organ
non pulmonar. ( www.google.com )
 Menurut Bernard et.al (1994) apabila onset akut, ada
infiltrat bilateral pada foto thorak, tekanan arteri
pulmonal =18mmHg dan tidak ada bukti secara klinik
adanya hipertensi atrium kiri, adanya kerosakan paru
akut dengan PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan
300, adanya sindrom gawat napas akut yang ditandai
PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan 200, menyokong
suatu RDS ( www.google.com )

19
C. ETIOLOGI
1. Kelainan paru: pneumonia
2. Kelainan jantung: penyakit jantung bawaan, disfungsi
miokardium
3. Kelainan susunan syaraf pusat akibat: Aspiksia,
perdarahan otak
4. Kelainan metabolik: hipoglikemia, asidosis metabolik
5. Kelainan bedah: pneumotoraks, fistel trakheoesofageal,
hernia diafragmatika
6. Kelainan lain: sindrom Aspirasi mekonium, penyakit
membran hialin
7. Bila menurut masa gestasi penyebab gangguan nafas
adalah
8. Pada bayi kurang bulan
a. penyakit membran hialin
b. b.pneumonia
c. asfiksia
d. d.kelainan atau malformasi kongenital
9. Pada bayi cukup bulan
a. Sindrom Aspirasi Mekonium
b. pneumonia
c. asidosis
d. kelainan atau malformasi kongenital
10.Gangguan traktus respiratorius:
a. Hyaline Membrane Disease(HMD),
b. Berhubungan dengan kurangnya masa gestasi ( bayi
prematur )
c. Transient Tachypnoe of the Newborn(TTN),
d. Paru-paru terisi cairan, sering terjadi pada bayi
caesar karena dadanya tidak mengalami kompresi
oleh jalan lahir sehingga menghambat pengeluaran
cairan dari dalam paru.
e. Infeksi(Pneumonia),
f. Sindroma Aspirasi,
g. Hipoplasia Paru,
h. Hipertensi pulmonal,

20
i. Kelainan kongenital(Choanal Atresia, Hernia
Diafragmatika, Pierre- robin syndrome),
j. Pleural Effusion,
k. Kelumpuhan saraf frenikus,
11.Luar traktus respiratoris:
Kelainan jantung kongenital, kelainan metabolik, darah
dan SSP

D. PATOFISIOLOGI
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada
bayi prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga
kesulitan berkembang, pengembangan kurang sempurna
kerana dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan
kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan
kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku.
Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru
sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun
25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting
intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat,
hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik.
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90%
fosfolipid dan 10% protein , lipoprotein ini berfungsi
menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar
alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-
paru nampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan
seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan
tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang.
Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga
udara bahagian distal menyebabkan edema interstisial dan
kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan
desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus
alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya
defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang
progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan
keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada
endothelial dan epithelial sel jalan pernafasan bagian distal

21
sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang
berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli
dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir.
Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk
pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini
adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami
sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan
chorioamnionitis sering berlanjut menjadi
Bronchopulmonal Displasia (BPD).

E. MANIFESTASI KLINIS
Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini
sangat dipengaruhi oleh tingkat maturitas paru. Semakin
rendah berat badan dan usia kehamilan, semakin berat
gejala klinis yang ditujukan.

Menurut Surasmi, dkk (2003) tanda dan gejala yang


muncul adalah sebagai berikut :
1. Takhipneu (> 60 kali/menit)
2. Pernafasan dangkal
3. Mendengkur
4. Sianosis
5. Pucat
6. Kelelahan
7. Apneu dan pernafasan tidak teratur
8. Penurunan suhu tubuh
9. Retraksi suprasternal dan substernal
10.Pernafasan cuping hidung

F. KLASIFIKASI
Secara klinis gangguan nafas dibedakan menjadi 3
kelompok, yaitu:
1. Gangguan nafas berat
2. Gangguan nafas sedang
3. Gangguan nafas ringan

22
Tabel 1. Klasifikasi Gangguan Nafas

Klasifikasi Frekuensi Gejala tambahan


nafas
Dengan sianosis
sentral dan tarikan
dinding dada atau
merintih saat
ekspirasi
60 kali/ menit Dengan sianosis
Gangguan
90 kali/ menit sentral atau tarikan
nafas berat
dinding dada atau
merintih saat
ekspirasi
Dengan atau tanpa
gejala lain dari
gangguan nafas
Dengan tarikan
dinding dada atau
merintih saat
60-90 kali/ ekspirasi tetapi tanpa
Gangguan
menit sianosis sentral
nafas sedang
> 90 kali/ menit Tanpa tarikan dinding
dada atau merintih
saat ekspirasi atau
sianosis sentral
Tanpa tarikan dinding
Gangguan 60-90 kali/ dada atau merintih
nafas ringan menit saat ekspirasi atau
sianosis sentral

23
Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe :

0 1 2
Frekuensi < 60
60-80 /menit  80 x/menit
Nafas x/menit
Tidak
Retraksi
Retraksi ada Retraksi berat
ringan
retraksi
Sianosis Sianosis
Tidak
Sianosis hilang menetapwalau
sianosis
dengan O2 diberi O2
Penurunan
Udara
Air Entry ringan udara
masuk
masuk
Dapat
Tidak didengar Dapat didengar
Merintih
merintih dengan tanpa alat bantu
stetoskop

Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe :


Skor < 4 gangguan pernafasan ringan
Skor 4 – 6 gangguan pernafasan sedang
Ancaman gagal nafas
Skor > 7 (pemeriksaan gas darah harus
dilakukan)

G. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan takhipneu (>
60 kali/menit), pernafasan mendengkur, retraksi
subkostal/interkostal, pernafasan cuping hidung, sianosis
dan pucat, hipotonus, apneu, gerakan tubuh berirama,
sulit bernafas dan sentakan dagu. Pada awalnya suara
nafas mungkin normal kemudian dengan menurunnya
pertukaran udara, nafas menjadi parau dan pernapasan
dalam.
24
Pengkajian fisik pada bayi dan anak dengan kegawatan
pernafasan dapat dilihat dari penilaian fungsi respirasi dan
penilaian fungsi kardiovaskuler.
Penilaian fungsi respirasi meliputi:
1. Frekuensi nafas
Takhipneu adalah manifestasi awal distress pernafasan
pada bayi. Takhipneu tanpa tanda lain berupa distress
pernafasan merupakan usaha kompensasi terhadap
terjadinya asidosis metabolik seperti pada syok, diare,
dehidrasi, ketoasidosis, diabetikum, keracunan salisilat,
dan insufisiensi ginjal kronik. Frekuensi nafas yang
sangat lambat dan ireguler sering terjadi pada
hipotermi, kelelahan dan depresi SSP yang merupakan
tanda memburuknya keadaan klinik.
2. Mekanika usaha pernafasan
Meningkatnya usaha nafas ditandai dengan respirasi
cuping hidung, retraksi dinding dada, yang sering
dijumpai pada obtruksi jalan nafas dan penyakit
alveolar. Anggukan kepala ke atas, merintih, stridor
dan ekspansi memanjang menandakan terjadi
gangguan mekanik usaha pernafasan.
3. Warna kulit/membran mukosa
Pada keadaan perfusi dan hipoksemia, warna kulit
tubuh terlihat berbercak (mottled), tangan dan kaki
terlihat kelabu, pucat dan teraba dingin.

Penilaian fungsi kardiovaskuler meliputi:


1. Frekuensi jantung dan tekanan darah
Adanya sinus tachikardi merupakan respon umum
adanya stress, ansietas, nyeri, demam, hiperkapnia,
dan atau kelainan fungsi jantung.
2. Kualitas nadi
Pemeriksaan kualitas nadi sangat penting untuk
mengetahui volume dan aliran sirkulasi perifer nadi
yang tidak adekwat dan tidak teraba pada satu sisi
menandakan berkurangnya aliran darah atau

25
tersumbatnya aliran darah pada daerah tersebut.
Perfusi kulit kulit yang memburuk dapat dilihat dengan
adanya bercak, pucat dan sianosis. Pemeriksaan pada
pengisian kapiler dapat dilakukan dengan cara:
a. Nail Bed Pressure ( tekan pada kuku)
b. Blancing Skin Test, caranya yaitu dengan
meninggikan sedikit ekstremitas dibandingkan
jantung kemudian tekan telapak tangan atau kaki
tersebut selama 5 detik, biasanya tampak
kepucatan. Selanjutnya tekanan dilepaskan pucat
akan menghilang 2-3 detik.
3. Perfusi pada otak dan respirasi
Gangguan fungsi serebral awalnya adalah gaduh
gelisah diselingi agitasi dan letargi. Pada iskemia otak
mendadak selain terjadi penurunan kesadaran juga
terjadi kelemahan otot, kejang dan dilatasi pupil.

Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik meliputi pemeriksaan darah, urine,
dan glukosa darah ( untuk mengetahui hipoglikemia ). Kalsim
serum ( untuk menentukan hipokalsemia ), analisis gas darah
arteri dengan PaO2 kurang dari 50 mmHg dan PCO2 diatas 60
mmHg, peningkatan kadar kalium darah, pemeriksaan sinar-X
menunjukkan adanya atelektasis, lesitin/spingomielin rasio 2
:1 mengindikasikan bahwa paru sudah matur, pemeriksaan
dekstrostik dan fosfatidigliserol meningkat pada usia
kehamilan 33 minggu.

H. PENATALAKSANAAN
Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan Surasmi,dkk
(2003) tindakan untuk mengatasi masalah kegawatan
pernafasan meliputi :
1. Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekwat.
2. Mempertahankan keseimbangan asam basa.
3. Mempertahankan suhu lingkungan netral.
4. Mempertahankan perfusi jaringan adekwat.

26
5. Mencegah hipotermia.
6. Mempertahankan cairan dan elektrolit adekwat.
Penatalaksanaan secara umum :
a. Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi,
yang paling sering dan bila bayi tidak dalam keadaan
dehidrasi berikan infus dektrosa 5 %
 Pantau selalu tanda vital
 Jaga patensi jalan nafas
 Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)
b. Jika bayi mengalami apneu
 Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang
diperlukan
 Lakukan penilaian lanjut
c. Bila terjadi kejang potong kejang
d. Segera periksa kadar gula darah
e. Pemberian nutrisi adekuat
Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen
lanjut sesuai dengan kemungkinan penyebab dan jenis atau
derajat gangguan nafas. Menajemen spesifik atau menajemen
lanjut:

Gangguan nafas ringan


Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas
ringan pada waktu lahir tanpa gejala-gejala lain disebut
“Transient Tacypnea of the Newborn” (TTN). Terutama terjadi
setelah bedah sesar. Biasanya kondisi tersebut akan membaik
dan sembuh sendiri tanpa pengobatan. Meskipun demikian,
pada beberapa kasus. Gangguan napas ringan merupakan
tanda awal dari infeksi sistemik.

Gangguan nafas sedang


1. Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter
nasal, bila masih sesak dapat diberikan o2 4-5 liter/menit
dengan sungkup
2. Bayi jangan diberi minukm

27
3. Jika ada tanda berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan
gentamisin) untuk terapi kemungkinan besar sepsis.
 Suhu aksiler <> 39˚C
 Air ketuban bercampur mekonium
 Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat
atau ketuban pecah dini (> 18 jam)
4. Bila suhu aksiler 34- 36,5 ˚C atau 37,5-39˚C tangani
untuk masalah suhu abnormal dan nilai ulang setelah 2
jam:
 Bila suhu masih belum stabil atau gangguan nafas
belum ada perbaikan, berikan antibiotika untuk terapi
kemungkinan besar seposis
 Jika suhu normal, teruskan amati bayi. Apabila suhu
kembali abnormal ulangi tahapan tersebut diatas.
5. Bila tidak ada tanda-tanda kearah sepsis, nilai kembali
bayi setelah 2 jam
6. Apabila bayi tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda
perburukan setelah 2 jam, terapi untuk kemungkinan
besar sepsis
7. Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda perbaikan
kurangai terapi o2secara bertahap . Pasang pipa lambung,
berikan ASI peras setiap 2 jam. Jika tidak dapat menyusu,
berikan ASI peras dengan memakai salah satu cara
pemberian minum
8. Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik
dihentikan. Bila bayi kembali tampak kemerahan tanpa
pemberian O2 selama 3 hari, minumbaik dan tak ada
alasan bayi tatap tinggal di Rumah Sakit bayi dapat
dipulangkan

Gangguan nafas ringan


1. Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam
berikutnya.
2. Bila dalam pengamatan ganguan nafas memburuk atau
timbul gejala sepsis lainnya. Terapi untuk kemungkinan

28
kesar sepsis dan tangani gangguan nafas sedang dan dan
segera dirujuk di rumah sakit rujukan.
3. Berikan ASI bila bayi mampu mengisap. Bila tidak berikan
ASI peras dengan menggunakan salah satu cara alternatif
pemberian minuman.
4. Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada perbaikan
gangguan napas. Hentikan pemberian O2 jika frekuensi
napas antara 30-60 kali/menit.

Penatalaksanaan medis:
Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit
RDS adalah:
1. Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
2. Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan
menurunkan caiaran paru
3. Fenobarbital
4. Vitamin E menurunkan produksi radikalbebas oksigen
5. Metilksantin ( teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea
dan untuk pemberhentian dari pemakaian ventilasi
mekanik. (cusson,1992)
Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima
penggunaan dalam pengobatan RDS adalah pemberian
surfaktan eksogen ( derifat dari sumber alami misalnya
manusia, didapat dari cairan amnion atau paru sapi, tetapi
bisa juga berbentuk surfaktan buatan )

I. KOMPLIKASI
Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi :24
1. Ruptur alveoli : Bila dicurigai terjadi kebocoran
udara ( pneumothorak, pneumomediastinum,
pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada
bayi dengan RDS yang tiba2 memburuk dengan gejala
klinis hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya
asidosis yang menetap.
2. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan
penderita yang memburuk dan adanya perubahan

29
jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat
timbul karena tindakan invasiv seperti pemasangan
jarum vena, kateter, dan alat2 respirasi.
3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia
periventrikular : perdarahan intraventrikuler terjadi
pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi
terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
4. PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan
merupakan komplikasi bayi dengan RDS terutama
pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya.

Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh


toksisitas oksigen, tekanan yang tinggi dalam paru,
memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen yang
menuju ke otak dan organ lain.

Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :


1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan
penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian
oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36
minggu.
2. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan
tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan
ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan
defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat
dengan menurunnya masa gestasi.
3. Retinopathy prematur
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70%
bayi yang berhubungan dengan masa gestasi,
adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya
infeksi.

J. PERAN BIDAN
Setiap bayi dengan gangguan pernafasan memerlukan
penangan secara umum berupa :
1. Pemberian oksigen dengan aliran sedang.

30
2. Bila frekuensi pernafasan kurang dari 30 kali per menit,
harus diobservasi ketat.
3. Bila kurang dari 20 kali per menit setiap saat resusitasi
bayi dengan menggunakan balon sungkup (Alat Balon-
Sungkup Alat kantong-sungkup terdiri atas sebuah
kantong yang terhubungkan dengan sebuah sungkup).
4. Bila apnu :
 Stimulasi bayi untuk bernafas dengan menggosok-
gosok punggung bayi selama 10 detik.
 Bila belum mulai bernafas resusitasi bayi dengan
menggunakan balon dan sungkup.
5. Indikasi penggunaan balon dan sungkup adalah apnu
atau megap-megap, frekuensi jantung kurang dari 100
kali per menit dan sianosis sentral persisten walaupun
diberi aliran oksigen bebas 100%. Periksa kadar
glukosa darah bila kurang dari 45 g/dl, segera terapi
sebagai hipoglikemi.
6. Bila didapatkan tanda-tanda lainya misalnya: kesulitan
minum, BBLR, tada-tanda kejang, sepsis dan lain-lain,
usahakan menentukan penyebab gangguan nafas ini
sambil meneruskan pemberian oksigennya.

K. TINDAKAN PENCEGAHAN
Tindakan pencegahan yang harus dilakukan untuk
mencegah komplikasi pada bayi resiko tinggi adalah
mencegah terjadinya kelahiran prematur, mencegah
tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi
medis, melaksanakan manajemen yang tepat terhadap
kehamilan dan kelahiran bayi resiko tinggi, dan pada
penatalaksanaan kelahiran dengan usia kehamilan 32
minggu atau kurang dianjurkan memberi dexametason
atau betametason 48-72 jam sebelum persalinan.
Pemberian glukortikoid juga dianjurkan karana berfungsi
meningkatkan perkembangan paru janin.

L. TERAPI SURFAKTAN

31
Surfaktan
Suatu bahan senyawa kimia yang memiliki sifat
permukaan aktif. Surfaktan pada paru manusia
merupakan senyawa lipoprotein dengan komposisi
yang kompleks dengan variasi berbeda sedikit diantara
spesies mamalia. Senyawa ini terdiri dari fosfolipid
(hampir 90% bagian), berupa Dipalmitoyl-
phosphatidylcholine (DPPC) yang juga disebut lesitin,
dan protein surfaktan sebagai SPA, SPB, SPC dan SPD
(10% bagian). DPPC murni tidak dapat bekerja
dengan baik sebagai surfaktan pada suhu normal
badan 37°C, diperlukan fosfolipid lain (mis. fosfatidil-
gliserol) dan juga memerlukan protein surfaktan untuk
mencapai air liquid-interface dan untuk penyebarannya
keseluruh permukaan.
Surfaktan dibuat oleh sel alveolus tipe II yang
mulai tumbuh pada gestasi 22-24 minggu dan mulai
mengeluarkan keaktifan pada gestasi 24-26
minggu,yang mulai berfungsi pada masa gestasi 32-36
minggu. Produksi surfaktan pada janin dikontrol oleh
kortisol melalui reseptor kortisol yang terdapat pada sel
alveolus type II. Produksi surfaktan dapat dipercepat lebih
dini dengan meningkatnya pengeluaran kortisol janin
yang disebabkan oleh stres, atau oleh pengobatan
deksamethason yang diberikan pada ibu yang diduga
akan melahirkan bayi dengan defisiensi surfaktan.
Karena paru-paru janin berhubungan dengan cairan
amnion, maka jumlah fosfolipid dalam cairan amnion
dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok
ukur kematangan paru, dengan cara menghitung rasio
lesitin/sfingomielin dari cairan amnion. Sfingomielin
adalah fosfolipid yang berasal dari jaringan tubuh
lainnya kecuali paru-paru. Jumlah lesitin meningkat
dengan bertambahnya gestasi, sedangkan sfingomielin
jumlahnya menetap. Rasio L/S

32
biasanya 1:1 pada gestasi 31-32 minggu, dan menjadi 2:1
pada gestasi 35 minggu.
Rasio L/S 2:1 atau lebih dianggap fungsi paru telah
matang sempurna, rasio 1,5-1,9 sejumlah 50% akan
menjadi RDS, dan rasio kurang dari 1,5 sejumlah
73% akan
menjadi RDS. Bila radius alveolus mengecil, surfaktan
yang memiliki sifat permukaan alveolus, dengan
demikian mencegah kolapsnya alveolus pada waktu
ekspirasi. Kurangnya surfaktan adalah penyebab
terjadinya atelektasis secara progresif dan
menyebabkan meningkatnya distres pernafasan pada
24-48 jam pasca lahir.

Fungsi Surfaktan
Pada tahun 1929 Von Neegard menyatakan
bahwa tegangan permukaan paru lebih rendah dari cairan
biologi normal karena menemukan adanya perbedaan
elastisitas pada paru-paru yang terisi udara dan terisi
larutan garam ( saline ). Disebutkan juga bahwa
tegangan permukaan adalah lebih penting dari
kekuatan elastisitas jaringan untuk kekuatan penarikan
paru pada saat mengembang. Tegangan permukaan
antara air-udara alveoli memberikan kekuatan
penarikan melawan pengembangan paru. Hukum
Laplace menyatakan bahwa perbedaan tekanan antara
ruang udara dan lapisan ( DP) tergantung hanya pada
tegangan permukaan (T) dan jarak dari alveoli ( DP
= 2T /r). Kekuatan sebesar 70 dynes/cm2
menghasilkan hubungan antara cairan – udara dalam
alveoli dan dengan cepat akan menyebabkan kolapsnya
alveoli dan kegagalan nafas jika tidak berlawanan.12
Pada tahun 1950, Clements dan Pattle secara
independen mendemonstrasikan adanya ekstrak paru
yang dapat menurunkan atau mengurangi tegangan

33
permukaan fosfolipid paru. Beberapa tahun berikutnya
yaitu pada tahun 1959 Avery
dan Mead menyatakan bahwa RDS pada bayi
prematur disebabkan adanya defisiensi bahan aktif
permukaan paru yang disebut surfaktan paru.
Surfaktan merupakan suatu komplek material
yang menutupi permukaan alveoli
paru, yang mengandung lapisan fosfolipid heterogen
dan menghasilkan selaput fosfolipid cair, yang dapat
menurunkan tegangan permukaan antara air-udara
dengan harga mendekati nol, memastikan bahwa ruang
alveoli tetap terbuka selama siklus respirasi dan
mempertahankan volume residual paru pada saat
akhir ekspirasi. Rendahnya tegangan permukaan juga
memastikan bahwa jaringan aliran cairan adalah dari
ruang alveoli ke dalam intersisial. Kebocoran surfaktan
menyebabkan akumulasi cairan ke dalam ruang
alveoli. Surfaktan juga berperan dalam meningkatkan
klirens mukosiliar dan mengeluarkan bahan particulate
dari paru.
Setelah beberapa percobaan dengan pemberian
surfaktan aerosol pada bayi-bayi
RDS tidak berhasil , dilakukan percobaan pemberian
surfaktan secara intratrakeal pada bayi hewan
prematur. Pada tahun 1980 Fujiwara dkk melakukan
uji klinik pemberian preparat surfaktan dari ekstrak
paru sapi (Surfaktan TA) pada 10 bayi dengan RDS
berat. Penelitian secara randomized controlled trials
dengan sampel kecil pada tahun 1985 dengan
memberikan preparat surfaktan dari lavas alveoli sapi atau
cairan amnion manusia memberikan hasil yang signifikan
terhadap penurunan angka kejadian pneumothorax dan
angka kematian . Penelitian-penelitian yang dilakukan
di berbagai pusat penelitian pada tahun 1989
menyatakan tentang keberhasilan tentang menurunnya
angka kematian dan komplikasi dari RDS di amerika.

34
Pada tahun 1990 telah disetujui penggunaan surfaktan
sintetik untuk terapi RDS di amerika, dan tahun 1991
disetujui penggunaan terapi surfaktan dari binatang.

Komposisi Surfaktan Paru


Surfaktan paru merupakan komplek lipoprotein
yang disintesa dan disekresi oleh sel alveolar tipe II dan
Clara sel di saluran napas pada lapisan epithel.
Surfaktan paru merupakan senyawa komplek yang
komposisinya hampir 90% adalah lipid dan 10% protein.
Secara keseluruhan komposisi lipid dan fosfolipid dari
surfaktan diisolasi dari bermacam-macam spesies
binatang yang komposisinya hampir sama. Pada
manusia phosphatidylcholine mengandung hampir
80% total lipid, yang separuhnya adalah
dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), 8% lipid netral,
dan 12% protein dimana sekitar separuhnya
merupakan protein spesifik surfaktan dan sisanya
protein dari plasma atau jaringan paru. Fosfolipid
surfaktan terdiri dari 60% campuran saturated
phosphatidylcholine yang 80% mengandung
dipalmitoylphosphatidylcholine, 25% campuran
unsaturated phosphatidylcholine, dan 15%
phosphatidylglycerol dan phosphatidylinositol dan
sejumlah kecil phosphatidylserine,
phosphatidylethanolamine ,sphingomyeline, dan
glycolipid.(dikutip dari Dobbs, 1989; Van Golde, 1988;
Wright and Clements, 1987).
Fosfolipid saturasi ini merupakan komponen
penting untuk menurunkan tegangan
permukaan antara udara dan cairan pada alveolus untuk
mencegah kolaps saluran napas pada waktu ekspirasi.
Pada tahun 1973 menurut King dkk,dan Possmayer,
1988 terdapat 4 macam protein spesifik surfaktan
dengan struktur dan fungsi yang berbeda. Keempat

35
macam protein tersebut adalah SP-A, SP-B, SP-C
dan SP-D.
Protein tersebut didapat dari cairan lavage bronkoalveoli (
BALF) dan dengan tehnik ultrasentrifugasi serta pemberian
pelarut organik kaya lemak, dapat dipisahkan dan
dibedakan menjadi dua golongan yaitu hydrofobik dengan
berat molekul rendah SP-B dan SP-C, sedangkan SP-A dan
SP-D merupakan hidrofilik dengan berat molekul
tinggi.12,31,38 4.3. Sintesa dan Sekresi Surfaktan
Surfaktan paru disintesa dalam sel alveoli type II, satu dari
dua sel yang ada dalam epithel alveoli. Surfaktan fosfolipid
terbugkus dengan surfaktan protein B dan C dalam
lamelar bodies yang disekresi dalam rongga udara
dengan cara eksositosis ( gambar 1 ). Secara
ekstraseluler, fosfolipid dan lamelar bodies berinteraksi
dengan SP-A dan kalsium untuk membentuk tubular
myelin yang merupakan bentukan suatu bahan kaya
lemak dari lapisan tipis fosfolipid yang terdiri dari lapisan
tunggal dan lapisan ganda yang dihasilkan antara
permukaan udara-air. Lapisan tipis monomolekuler
menurunkan kekuatan tegangan permukaan yang
cenderung mambuat kolapnya paru. Dalam kondisi
normal, sebagian besar surfaktan berada dalam rongga
alveoli yang merupakan bentuk fungsional aktif dalam
jumlah besar ( large aggregates (LA), dengan sisa
yang ditemukan dalam bentuk kantong surfaktan kecil
atau dalam jumlah kecil (small aggregrates (LA) yang
mengandung bahan degradasi. Surfaktan dibersihkan
dengan pengambilan kembali oleh sel type II, kemudian
keduanya akan mengalami degradasi oleh marofag alveoli
dan sebagian kecil berada dalam saluran pernapasan dan
melintasi barier epithel-endothel.12,25,38,42,43
Lebih dari 40 tahun yang lalu, banyak penelitian
yang dilakukan untuk mengenali peranan surfaktan
dalam menurunkan tegangan permukaan antara udara-
cairan dan perjalanan penyakit RDS pada bayi

36
prematur. Gejala defisiensi surfaktan ditandai adanya
atelektasis, kolaps alveoli, dan hipoksemia. Pemberian
secara intratrakeal surfaktan eksogen yang merupakan
campuran SP-B, SP-C, dan fosfolipid merupakan kriteria
standard untuk terapi bayi dengan RDS . Campuran
surfaktan ini bekerja dengan cepat untuk meningkatkan
pengembangan dan volume paru, dengan hasil
menurunnya kebutuhan oksigen dan ventilasi tekanan
positip. Keefektifan terapi surfaktan kemungkinan
disebabkan karena menurunnya tegangan permukaan dan
pengambilan kembali partikel surfaktan dari epitel
saluran napas. Penggunaan terapi surfaktan dalam
jangka panjang dapat menurunkan angka kesakitan
dan angka kematian tetapi kurang signifikan untuk
barotrauma dan penyakit paru kronik.25,38
Jenis Surfaktan
Terdapat 2 jenis surfaktan , yaitu :
1. Surfaktan natural atau asli, yang berasal dari
manusia, didapatkan dari cairan amnion sewaktu
seksio sesar dari ibu dengan kehamilan cukup bulan
2. Surfaktan eksogen barasal dari sintetik dan biologik
 Surfaktan eksogen sintetik terdiri dari campuran
Dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC),hexadecanol,
dan tyloxapol yaitu Exosurf dan Pulmactant (
ALEC) dibuat dari DPPC 70% dan Phospha-
tidylglycerol 30%, kedua surfaktan tersebut
tidak lama di pasarkan di amerika dan eropa.2,5
Ada 2 jenis surfaktan sintetis yang sedang
dikembangkan yaitu KL4 (sinapultide) dan rSPC (
Venticute), belum pernah ada penelitian tentang
keduanya untuk digunakan pada bayi premature.
 Surfaktan eksogen semi sintetik, berasal dari
campuran surfaktan paru anak sapi dengan
dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), tripalmitin,
dan palmitic misalnya Surfactant TA, Survanta

37
 Surfaktan eksogen biologik yaitu surfaktan yang
diambil dari paru anak sapi atau babi, misalnya
Infasurf, Alveofact, BLES, sedangkan yang
diambil dari paru babi adalah Curosurf
Saat ini ada 2 jenis surfaktan di indonesia yaitu :
 Exosurf neonatal yang dibuat secara sintetik
dari DPPC , hexadecanol, dan tyloxapol.
 Surfanta dibuat dari paru anak sapi, dan
mengandung protein, kelebihan surfanta biologi
dibanding sintetik terletak di protein.

Pemberian Surfaktan Pada Bayi Prematur Dengan


Respiratory Distress Syndrome
Pemberian surfaktan merupakan salah satu terapi rutin
yang diberikan pada bayi prematur dengan RDS. Sampai saat
ini ada dua pilihan terapi surfaktan, yaitu natural surfaktan
yang berasal dari hewan dan surfaktan sintetik bebas protein,
dimana surfaktan natural secara klinik lebih efektif. Adanya
perkembangan di bidang genetik dan biokimia, maka
dikembangkan secara aktif surfaktan sintetik.
Surfaktan paru merupakan pilihan terapi pada neonatus
dengan RDS sejak awal tahun 1990 (Halliday,1997), dan
merupakan campuran antara fosfolipid, lipid netral, dan
protein yang berfungsi menurunkan tegangan permukaan
pada air-tissue interface . Semua surfaktan derifat
binatang mengalami berbagai proses untuk mengeluarkan
SP-A dan SP-D, menurunkan SP-B dan SP-C, dan
merubah fosfolipid sehingga berbeda dengan surfaktan
binatang (Bernhard et al, 2000).29,30
Human surfaktan dibuat dari 100ml cairan amnion
yang bersih (tidak mengandung mekonium dan darah)
yang diambil pada proses sectio sesar dan dapat
menghasilkan 1 gram surfaktan (Robertson,1987). Karena
proses pembuatannya yang sulit dan adanya resiko blood
borne viruses maka penggunaanya sangat terbatas.Hasil
dari studi meta analisis dengan Randomised Control Trial

38
(Soll,2003) menunjukkan bahwa hampir 40% menurunkan
angka kematian dan 30-70% menurunkan insiden
pneumothorax pada RDS, akan tetapi surfaktan yang
diberikan pada komplikasi prematur ( chronic lung
disease, patent ductus arteriosus , retinopathy premature
) memberikan efek yang tidak memuaskan.
Semua golongan surfaktan secara in vitro menurunkan
tegangan permukaan, terutama terdapat pada surfaktan
kombinasi protein, dapat menurunkan pemakaian
kebutuhan oksigen dan ventilator dengan cepat. Pada suatu
studi meta analisis yang membandingkan antara
penggunaan surfaktan derifat binatang dengan
surfaktan sintetik bebas protein pada 5500 bayi yang
terdaftar dalam 16 penelitian random, 11 penelitian
memberikan hasil yang signifikan bahwa surfaktan derifat
binatang lebih banyak menurunkan angka kematian dan
pneumothorak dibandingkan dengan surfaktan sintetik
bebas protein (Soll and Blanco, 2003).
Golongan derifat binatang yang sering digunakan pada
meta-analisis adalah Survanta. Beberapa studi
membandingkan efektifitas antara surfaktan derifat
binatang, dan yang sering dibandingkan pada golongan
ini adalah Survanta dan Curosurf . Penelitian di Inggris oleh
Speer dkk (1995) yang membandingkan terapi Survanta dosis
100 mg/kg dan Curosurf dosis 200 mg/kg, pada bayi
dengan RDS yang diberi terapi Curosurf 200 mg/kg
memberikan hasil perbaikan gas darah dalam waktu 24
jam. Penelitian lain oleh Ramanathan dkk (2000) dengan
dosis Curosurf 100 mg/kg dan 200 mg/kg dibandingkan
dengan Survanta dosis 100mg/kg dengan parameter
perbaikan gas darah menghasilkan perbaikan yang
lebih baik dan cepat pada terapi Corosurf dengan kedua
dosis tersebut, tetapi pada penelitian ini tidak didapatkan
data yang lengkap pada jurnalnya. Data tentang
penggunaan terapi surfaktan sintetik masih terbatas. Pada
penelitian pendahuluan yang dilakukan Sinha dkk,2003

39
secara randomised trial antara Surfaxin dan Curosurf
menunjukkan rata-rata angka kesakitan dan kematian
yang sama diantara kedua obat tersebut, akan tetapi
penelitian ini banyak dikritik sehingga dihentikan lebih
awal oleh Badan Penelitian setelah lama mendapatkan
pasien dan sampai saat ini studi tentang kedua obat
tersebut masih kesulitan memperoleh pasien.

Dosis dan Cara Pemberian Surfaktan


Dosis yang digunakan bervariasi antara 100mg/kg sampai
200mg/kg. Dengan dosis 100mg/kg sudah dapat
memberikan oksigenasi dan ventilasi yang baik, dan
menurunkan angka kematian neonatus dibandingkan
dosis kecil, tapi dosis yang lebih besar dari 100mg/kg
tidak memberikan keuntungan tambahan. Membaiknya
oksigenasi dan ventilasi lebih cepat dengan dosis
200mg/kg dibandingkan dosis 100mg/kg,tetapi pada
penelitian yang dilakukan pada babi dengan RDS
berhubungan dengan meningkatnya perubahan aliran
sistemik dan aliran darah ke otak ( dikutip dari
Moen,dkk 1998 ). Saat ini dosis optimum surfaktan yang
digunakan adalah 100mg/kg.29
Sampai saat ini surfaktan diberikan secara injeksi bolus
intratrakeal, karena diharapkan dapat menyebarkan
sampai saluran napas bagian bawah. Penyebaran
surfaktan kurang baik pada lobus bawah sehingga dapat
menyebabkan penyebaran yang kurang homogen
(Oetomo,dkk 1990). Dengan pemberian secara bolus
dapat mempengaruhi tekanan darah pulmonar dan sistemik
secara fluktuatif (Wagner,dkk 1996). Pemberian secara
perlahan-lahan dapat mengurangi hal tersebut tapi dapat
menyebabkan inhomogen yang lebih besar dan
memberikan respon yang kurang baik (Segerer,dkk 1996).
Menurut Henry,dkk 1996 pemberian surfaktan secara
nebulasi mempunyai beberapa efek samping pada jantung
dan pernapasan tetapi kurang dari 15% dosis ini akan

40
sampai ke paru-paru. Berggren,dkk 2000 mengatakan
bahwa pemberian secara nebulasi pada neonatus kurang
bermanfaat.
Cosmi,dkk 1997 mengusulkan pemberian secara intra
amnion akan tetapi tehnik tersebut sulit karena harus
memasukkan catheter pada nares anterior fetus dengan
bantuan USG dan penggunaan aminophilline pada ibu hamil
tidak dianjurkan.33
Pemberian secara injeksi bolus merupakan methode yang
optimal, beberapa kelompok melakukan studi tentang
variasi dari methode ini. Zola,dkk 1993 menyatakan
bahwa pemberian survanta 2ml/kg sebanyak dua kali
menyebabkan terjadinya reflux up endotracheal tube
dibandingkan pemberian 1ml/kg sebanyak empat kali tapi
pemberiannya membutuhkan waktu yang lebih lama. Menurut
Valls-i-Soler dkk,1997 pemberian surfaktan via lubang
samping endotracheal tube tidak menurunkan kejadian
bradikardi dan atau hipoksia, tapi menurut Valls-i-Soller
dkk,1998 kedua lubang endotrakeal tube dapat
digunakan. Perbaikan oksigenasi yang cepat karena
pengaktifan alveoli dan peningkatan functional residual
capacity (FRC). Menurut Vender dkk, 1994 continuous
capacity airway pressure (CPAP) juga meningkatkan FRC
dan penggunaan lebih awal dengan atau tanpa surfaktan
menurunkan kebutuhan pemakaian ventilasi selanjutnya.33
Percobaan awal yang dilakukan oleh Ten Centre Study
Group,1987 dengan variasi dosis interval 1 jam, sedangkan
dosis interval 12 jam telah dilakukan oleh Speer,dkk
1992 dan dengan kriteria apakah bayi tetap memakai
ventilasi dengan oksigen sesuai dengan kebutuhannya
untuk memutuskan apakah bayi tersebut akan menerima
dosis tambahan. Meskipun jadwal pemberian dosis
ditingkatkan, beberapa surfaktan eksogen memakai interfal
dosis setiap 12 jam. Perbaikan klinis tergantung dari dosis
terapi masing-masing individu, dimana menurut
Kattwinkel, dkk 2000 menyatakan bahwa bayi dengan

41
ventilasi ringan dan RDS tanpa komplikasi diberikan
terapi tanpa menggunakan dosis tambahan, sedangkan
Figueras Aloy, dkk 2001 menyatakan bahwa pada kasus
yang berat, perbaikan klinis tergantung pada dosis
tambahan yang diberikan sejak awal.29
Surfaktan eksogen mempunyai dosis dengan variasi
volume yang berbeda, Curosurf dengan dosis 100 mg/kg
volumenya 1,25 ml sedangkan survanta dengan dosis 100
mg/kg dengan volume 4 ml. Dalam praktek,Curosurf
lebih mudah diberikan sedangkan Survanta diberikan
dengan dosis terbagi. Menurut van der Bleek dkk, 1993
bahwa volume yang besar penyebarannya lebih homogen.
Surfaktan diberikan secara intratrakeal melalui
endotrakeal tube (ETT) dengan bantuan NG tube. Cateter
(NG tube) dapat dimasukkan tanpa melepas ventilator
dengan melalui lubang penghisap sekret pada ETT.
Sebagai alternatif, NGT dapat dimasukkan dengan
terlebih dahulu melepas dengan cepat sambugan antara
ETT dengan slang ventilator.
Dosis diberikan secara terbagi menjadi 4 dosis supaya
pemberiannya homogen sampai ke lobus paru bagian
bawah. Setiap seperempat dosis diberikan dengan posisi
yang berbeda. Sebelum surfaktan dimasukkan ke dalam ETT
melalui NGT pastikan bahwa ETT berada pada posisi yang
benar dan ventilator di atur pada kecepatan 60x/menit,
waktu inspirasi 0,5 detik, dan FiO21,0. ETT dilepaskan
dari ventilator dan kemudian :
1. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5°-10° ke bawah
kepala menoleh ke kanan, masukkan surfaktan
seperempat dosis pertama melalui NGT selama 2-3
detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi
manual untuk mencegah sianosis selama 30 detik,
2. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5°-10° ke bawah
kepala menoleh ke kiri, masukkan surfaktan seperempat
dosis kedua melalui NGT selama 2-3 detik setelah

42
itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi manual untuk
mencegah sianosis selama 30 detik,
3. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5°-10° ke atas
kepala menoleh ke kanan, masukkan surfaktan
seperempat dosis ketiga melalui NGT selama 2-3 detik
setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi manual
untuk mencegah sianosis selama 30 detik,
4. Kepala dan badan bayi dimiringkan 5°-10° ke atas
kepala menoleh ke kiri, masukkan surfaktan
seperempat dosis keempat melalui NGT selama 2-3
detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi
manual untuk mencegah sianosis selama 30 detik.

43
Pemberian dosis dapat diulang sebanyak 4x dengan
interval 6 jam dan diberikan dalam 48 jam pertama
setelah lahir.

Profilaksis surfaktan dan terapi


Berdasarkan penelitian,surfaktan merupakan terapi
yang penting dalam menurunkan angka kematian dan
angka kesakitan bayi prematur. Sampai saat ini masih
ada perbedaan pendapat tentang waktu pemberian
surfaktan, apakah segera setelah lahir (pada bayi
prematur) atau setelah ada gejala Respiratory Distress
Syndrome . Alasan yang dikemukakan sehubungan
dengan pemberian profilaksis berhubungan dengan
epithel paru pada bayi prematur akan mengalami
kerusakan dalam beberapa menit setelah pemberian
ventilasi. Hal ini menyebabkan kebocoran protein pada
permukaan sehingga mengganggu fungsi surfaktan.
Beberapa 24 penelitian dengan binatang menyebutkan
bahwa terapi surfaktan yang diberikan segera setelah
lahir akan menurunkan derajat beratnya RDS dan
kerusakan jalan napas, meningkatkan gas darah,
fungsi paru dan kelangsungan hidup. Beberapa
percoban klinik menunjukkan bahwa terapi surfaktan
untuk bayi prematur sangat bermanfaat dan aman.
Sepuluh pusat penelitian dari ALEC menggunakan
surfaktan sebagai terapi profilaksis, dan disebutkan terjadi
penurunan insiden RDS sebanyak
30% dibandingkan kontrol dan menurunkan angka
kematian sebasar 48% tanpa efek samping.33
Tidak mungkin bisa memprediksi bayi prematur yang
akan terkena RDS atau tidak sehingga sejauh ini terapi
surfaktan masih sangat bermanfaat. Rendahnya masa
gestasi merupakan penyebab meningkatnya RDS,
tetapi pada bayi dengan masa gestasi yang lebih tua
dapat juga beresiko terkena RDS dan komplikasinya.

44
Beberapa alasan yang dikemukakan tentang tidak
diberikannya surfaktan pada saat bayi prematur lahir
(sebagai profilaksis) karena dianggap memberikan
surfaktan yang tidak perlu pada beberapa bayi yang
tidak terkena RDS , disamping itu harganya mahal
sehingga sebaiknya digunakan bila memang benar
diperlukan.
Beberapa uji coba klinik menyatakan bahwa
pemberian surfaktan dini mungkin dapat
membahayakan sehingga hanya diberikan pada RDS
yang berat. Ada juga yang berpendapat bahwa
pemberian surfaktan segera setelah bayi prematur
lahir dapat mempengaruhi resusitasi dan stabilisasi bayi.
Bila pemberian surfaktan sama efektifnya jika diberikan
beberapa jam setelah lahir, maka pemberian surfaktan dini
yaitu segera setelah lahir menjadi tidak relevan.33
Cochrane meta analysis ( Soll and Morley, 2003 )
menyatakan bahwa yang disebut terapi profilaksis bila
surfaktan diberikan pada waktu pertolongan pertama
pada bayi prematur yang baru lahir melalui endotrakheal
tube. Sedangkan sebagai terapi bila surfaktan diberikan
beberapa jam setelah lahir atau setelah ada gejala
RDS . Pemberian surfaktan profilaksis dapat
menurunkan angka kematian, dan pneumothorax tetapi
mempunyai efek yang ringan pada komplikasi yang
lain pada bayi prematur. Yost dan Soll, 2003
menyatakan bahwa ada data yang menunjang tentang
pemberian awal (profilaksis) lebih baik daripada
pemberian yang lebih lambat. Beberapa uji klinik
memberikan informasi yang berbeda tentang pengaruh
pemberian dua surfaktan dalam hal oksigenasi, ventilasi,
dan beratnya gejala RDS.
Semua uji coba menunjukkan perbaikan dalam
pertukaran gas, dan beratnya RDS
dengan menggunakan surfaktan profilaksis. Dunn dkk,
menyebutkan bahwa terjadi

45
perbaikan yang signifikan dalam pertukaran gas pada
kelompok terapi profilaksis dalam 24-48 jam
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kendig dkk,
menyatakan bahwa bayi yang diberi terapi profilaksis
membutuhkan tambahan oksigen yang lebih rendah
dan bantuan ventilasi dalam 72 jam pertama serta
didapatkan RDS yang tidak berat. Egberts dkk,
menyatakan bahwa terapi surfaktan pada saat lahir
berhubungan dengan oksigenasi yang baik dalam 6
jam, meningkatnya tcPO2 : FIO2 dari rasio 39,7 ke 28,1
dan 41% membaik pada kelompok dengan terapi dini.
Kelompok terapi profilaksis menerima oksigen > 40%
dalam jangka pendek. Ada penurunan insiden dari RDS
berat. Kattwinkel dkk, menunjukkan bahwa surfaktan
profilaksis berhubungan dengan rendahnya angka
kejadian RDS sedang, terutama pada bayi dengan
masa gestasi kurang dari 30 minggu. Disamping itu
dapat menurunkan pemakaian oksigen dan ventilasi
yang cenderung berlebihan pada beberapa hari
pertama setelah lahir, menurunkan tekanan jalan
napas rata-rata lebih dari 48 jam pertama untuk bayi
dengan ventilasi dan beberapa bayi membutuhkan
tambahan oksigen sampai 28 hari. Walti dkk,
menyatakan bahwa dalam 3-72 jam setelah lahir,
kelompok profilaksis mempunyai pH tinggi, dan rasio
PaO2: FIO2 serta rasio a: ApO2 tinggi dan menurunnya
FIO2, begitu juga dengan frekuensi pernapasan, peak
inspiratory pressure, dan mean airway pressure.
Menurut Bevilacqua dkk, FIO2 maksimum turun selama
28 hari pertama pada bayi yang diberi profilaksis
dibandingkan kelompok kontrol. Tidak ada satupun dalam
uji klinik pemberian surfaktan profilaksis yang
memberikan efek merugikan pada saat pemberian
maupun sesudahnya 22,33.
Pada penelitian yang dilakukan oleh kelompok studi
penelitian neonatus di Texas tentang keberhasilan dan

46
keselamatan pemberian surfaktan dini terhadap 132
bayi RDS ringan sampai sedang dengan berat = 1250
gram, masa gestasi = 36 minggu, usia postnatal 4-24
jam . Dalam peneltian ini disebutkan bahwa tanpa
pemberian surfaktan dini, didapatkan hanya 43% bayi RDS
yang memakai ventilasi, dan dalam waktu singkat yaitu 31
jam. Secara keseluruhan disebutkan bahwa pemberian
rutin yang direncanakan pada bayi prematur, tidak
direkomendasikan.

DAFTAR PUSTAKA
Betz Cecily L, Sowden Linda A. 2002. Buku Saku Keperawatan
Pediatri. Jakarta : EGC
Bobak, Lowdermik. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas
Edisi 4. Jakarta : EGC
FKUI .1985. Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. Jakarta: EGC
Fishman, Marvin A. 2007. Buku Ajar Pediatri, volume 3 edisi
20. Jakarta:EGC
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan: Difinisi
Dan Klasifikasi 2012-2014/Editor,T. Heather Herdman;
Alih Bahasa, Made Suwarwati Dan Nike Budhi Subekti.
Jakarta: EGC
Huda, Nuratif dan Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan
Keperawatan Berdasarkan Diagnosa NANDA NIC-NOC.
Jakarta: Media Action.
Ladewig, patricia, dkk. 2006.Buku Saku Asuhan Keperawatan
Ibu Bayi Baru Lahir Edisi 5.Jakarta: EGC
Leifer, Gloria. 2007. Introduction to maternity & pediatric
nursing. Saunders Elsevier : St. Louis Missouri
Lumbantobing SM, .1995. Penatalaksanaan Mutakhir Kejang
Pada Anak. Jakarta: Gaya Baru
Lynda Juall C, 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi
Keperawatan. Penerjemah Monica Ester. Jakarta: EGC

47
Manuaba, Ida Bagus Gde. Ilmu Kebidanan, Penyakit
Kandungan dan KB untuk Pendidikan Bidan. Jakarta:
EGC
Mansjoer, A dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta :
FKUI
Marilyn E. Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan.
Penerjemah Kariasa I Made. Jakarta: EGC
Matondang, Corry S. 2000. Diagnosis Fisis Pada Anak. Edisi ke
2. Jakarta: PT. Sagung Seto
Ngatisyah.2005.Perawatan Anak Sakit Edisi 2.Jakarta: EGC
Pelatihan PONED Komponen Neonatal 28-30 Oktober 2004)
Prwawirohardjo, Sarwano. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka
Rendle John. 1999. Ikhtisar Penyakit Anak. Edisi ke 6.
Jakarta: Binapura Aksara
Riyadi dan Sujono, 2009. Buku Saku Pediatri. Jakarta: EGC
Santosa NI. 1989. Perawatan I (Dasar-Dasar Keperawatan).
Jakarta: Depkes RI
Santosa NI, 1993. Asuhan Kesehatan Dalam Konteks
Keluarga. Jakarta: Depkes RI
Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC
Suharso Darto. 2000. Pedoman Diagnosis dan Terapi.
Surabaya: F.K. Universitas Airlangga
Sumijati M.E, dkk. 2000. Asuhan Keperawatan Pada Kasus
Penyakit Yang Lazim Terjadi Pada Anak. Surabaya:
PERKANI
Wahidiyat Iskandar. 1985. Ilmu Kesehatan Anak Edisi
2. Jakarta: PERKANI
Wong, D.L,dkk. 2008. Pedoman Klinik Keperawatan Pediatrik.
Jakarta. Buku Kedokteran

48

Anda mungkin juga menyukai