PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana yang di maksud dengan defenisi BPH?
1.2.2 Bagaimana etiologi dari BPH?
1.2.3 Bagimana patofisiologi dari BPH?
1.2.4 Bagaimana tanda dan gejala dari BPH?
1.2.5 Bagimana pemeriksaan diagnostik dari BPH?
1.2.6 Bagaimana komplikasi yang di sebabkan oleh BPH?
1.2.7 Bagimana penanganan dan prognosis dari BPH?
1.2.8 Bagaimana proses keperawatan BPH?
2
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) disebut juga Nodular Hyperplasia, Benign
Prostatic Hyperplastic atau Benign enlargement of the prostate (BEP) merujuk pada
peningkatan ukuran prostat pada laki-laki usia pertengan dan lanjut usia (Suharyanto &
Madjid, 2008)
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar dan jaringan
seluler kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan endokrin berkenaan
dengan proses penuaan. Prostat adalah kelenjar yang berlapis kapsula dengan berat
kira-kira 20 gram, berada di sekeliling uretra dan di bawah leher kandung kemih pada
pria. Hyperplasia dari kelenjar prostat dan sel-sel epitel mengakibatkan prostat menjadi
besar. Bila terjadi pembesaran lobus pada bagian tengah kelenjar prostat akan menekan
uretra dan uretra akan menyempit (Suharyanto & Madjid, 2008).
2.2 ETIOLOGI
Menurut Purnomo 2005 dalam Muttaqin dan Sari (2012), penyebab BPH belum
diketahui secara pasti, namun beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia
prostate erat kaitannya dengan peningkatan kadar Dihydrotestosteron (DHT) dan
proses penuaan.
Hipotesis lain yang diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia prostat,
yaitu sebagai berikut.
1. Dihydrotestosteron, peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen
menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi.
2. Ketidakseimbangan hormon estrogen-testosteron. Pada proses penuaan pria
terjadi peningkatan hormone estrogen dan penurunan hormone testosterone
yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3
3. Interaksi stroma epitel. Peningkatan epidermal growth factor atau fibroblast
growth factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan
hiperplasi stroma dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati. Estrogen yang meningkat menyebabkan
peningkatan lama hidup stroma dan epitel kelenjar prostat.
5. Teori sel stem. Sel stem yang meningkat mengakibatkan poliferasi sel
transit.
2.3 PATOFISIOLOGI
Umumnya gangguan ini terjadi setelah usia pertengahan akibat perubahan
normal. Bagian paling dalam prostat membesar dengan terbentuknya adenoma yang
terbesar. Pembesaran ini mendesak jaringan prostat yang normal ke arah tepi dan juga
menyempitkan uretra (Suharyanto & Madjid, 2008).
Jika prostat membesar, maka akan meluas ke atas (kandung kemih) sehingga
pada bagian dalam akan mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran
urine (Muttaqin dan Sari, 2012).
Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi
terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dan kandung kemih berkontraksi
lebih kuat agar dapat memompa urin keluar. Kontraksi yang terus menerus
menyebabkan perubahn anatomi dari kandung kemih yang berupa: hipertropi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, dan divertikel kandung kemih (Muttaqin dan
Sari, 2012).
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian kandung kemih
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat
menimbulkan aliran balik urin dari kandung kemih ke ureter atau terjadi refluks
vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal (Muttaqin dan Sari,
2012).
4
2.4 TANDA DAN GEJALA
a. Poliuria (sering buang air kemih), karena kandung kemih hanya mampu
mengeluarkan sedikit air kemih.
b. Aliran air kemih menjadi terhambat, karena terjadi penyempitan uretra.
c. Hematuria (air kemih mengandung darah), akibat kongesti basis kandung kemih.
d. Retensi urin.
e. Hidronefrosis dan kegagalan ginjal, terjadi akibat tekanan balik melewati ureter ke
ginjal.
f. Terdapat gejala obstruksi meliputi hesistensi, intermitten, pengeluaran urin yang
tidak tuntas, aliran urin yang buruk, dan retensi urin.
g. Terdapat gejala iritasi meliputi sering berkemih terutama di malam hari (nokturia),
dan urgency (dorongan ingin berkemih).
5
2.6 KOMPLIKASI
a. Retensi urin akut dan involusi kontraksi kandung kemih.
b. Refluks kandung kemih, hidroureter, dan hidronefrosis.
c. Gross hematuria dan urineary tract infection (UTI).
6
prostatectomy) atau RPP, atau melalui kandung kemih (suprapubic prostatectomy)
atau SPP. Diindikasikan apabila massa prostat lebih dari 60 gram.
- Laparoscopy prostatectomy, suatu laparoscopi atau empat insisi kecil dibuat di
abdomen dan seluruh prostat dikeluarkan secara hati-hati dimana saraf-saraf lebih
mudah rusak dengan teknik retropubic atau suprapubic.
- Robotic – assisted prostatectomy, pembedahan dengan bantuan robot. Tangan-
tangan robot laparoscopy dikendalikan oleh seorang ahli bedah.
- Radical perineal prostatectomy, insisi dibuat pada perineum di tengah-tengah
antara rectum dan skrotum, dan kemudian prostat dikeluarkan.
- Radical retropubic prostatectomy, insisi yang dibuat di abdomen bawah, dan
kemudian prostat dikeluarkan (diangkat) melalui belakang tulang pubis
(retropubic).
- TransUrethral electrovaporization of the prostate (TVP).
- TransUrethral pasmakinetic vaporization prostatectomy (TUVP).
- Laser TURP.
- Visual laser ablation (VLAP).
- TransUrethral microwave thermoteraphy (TUMT).
- Transurethral needle ablation (TUNA).
7
- Keluhan sangat ingin miksi dan keluhan rasa sakit sewaktu miksi mulai
dirasakan.
- Pengaruh gangguan miksi pada respons psikologis dan perencanaan
pembedahan.
Pada pengkajian sering didapatkan adanya kecemasan, gangguan konsep diri
(gambaran diri) yang merupakan respons dari adanya penyakit dan rencana untuk
dilakukan pembedahan.
Pemeriksaan fisik
- Nadi dapat meningkat pada keadaan kesakitan, pada retensi urine akut,
dehidrasi sampai syok pada retensi urine, serta urosepsis sampai syok septic.
- Penis dan uretra juga diperiksa untuk mendeteksi kemungkinan stenosis
meatus, stiktur uretra, batu uretra, karsinoma, maupun fimosis.
- Pemeriksaan pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis.
- Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan teknik bimanual untuk mengetahui
adanya hidronefrosis dan pyelonefrosis. Pada daerah supra-simfisis keadaan
retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballottement dank lien akan
terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual
urine.
- Rectal touch/ pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi
sistem persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat.
b. Diagnosa Keperawatan
- Gangguan pemenuhan eliminasi urine berhubungan dengan retensi urine,
obstruksi uretra sekunder dari pembesaran prostat, respons pascabedah.
- Nyeri berhubungan dengan retensi urine akut.
- Risiko infeksi berhubungan dengan penggunaan kateter urine dan / retensi
urine.
8
c. Intervensi Keperawatan
1) Gangguan pemenuhan eliminasi urine b.d. retensi urine, obstruksi uretra
sekunder dari pembesaran prostat, respons pascabedah.
- Kaji pola berkemih dan catat produksi urine tiap 1 jam, khususnya selama
irigasi kandung kemih
- Menghindari minum banyak dalam waktu singkat, menghindari alkohol dan
diuretik.
- Kolaborasi pemeberian obat penghambat adrenergic α dan tindakan trans
uretral reseksi prostat.
2) Nyeri berhubungan dengan retensi urine akut.
- Periksa suhu tiap 4 jam dan laporkan jika diatas 38,5◦
- Catat karakteristik urine , jika keruh dan bau busuk laporkan ke dokter
- Bila terpasang kateter pertahankan sistem drainase tertutup
- Gunakan teknik steril untuk kateterisasi intermitten selama perawatan di
rumah sakit.
- Pantau abdomen atau kadung terhadap adanya distensi.
3) Risiko infeksi berhubungan dengan penggunaan kateter urine dan / retensi
urine.
- Kaji sifat , intensitas , lokasi, lama, dan faktor pencetus dan penghalang
nyeri.
- Bantu klien pada posisi yang nyaman; berikan rendam duduk dan
pencucian perianal dengan air hangat; ajarkan teknik relaksasi.
- Beritahu dokter jika nyeri tidak berkurang atau meningkat.
9
BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar dan jaringan
selular kelenjar prostat. Penyebab pasti dari BPH ini belum diketahui tetapi BPH
berhubungan dengan perubahan endokrin karena proses penuaan. Benign Prostatic
Hyperplasia (BPH) biasanya terjadi pada laki-laki.
Jika tidak ditangani dengan baik, BPH dapat mengalami komlikasi seperti
retensi urin, involusi kontraksi kandung kemih, refluks kandung kemih.
Beberapa diagnosa keperawatan yang bisa diangkat dari BPH adalah gangguan
pemenuhan eliminasi urine b.d. retensi urine, obstruksi uretra sekunder dari pembesaran
prostat, respons pascabedah, nyeri berhubungan dengan retensi urine akut, risiko infeksi
berhubungan dengan penggunaan kateter urine dan / retensi urine.
3.2 SARAN
Dalam pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien dengan Benign Prostatic
Hyperplasia (BPH) kita dapat memahami konsep teori dan mampu menerapkan proses
keperawatan secara tepat.
10
DAFTAR PUSTAKA
Aprina, dkk. 2017. Relaksasi Progresif terhadap Intensitas Nyeri Post Operasi BPH
(Benigna Prostat Hyperplasia). [Online]. Jurnal Kesehatan, Volume VIII, Nomor 2,
hlm 289-295.
Haryanto, Heru, Tori Rihiantoro. 2016. Disfungsi Ereksi pada Penderita Benign Prostate
Hyperplasia (BPH) di Rumah Sakit Kota Bandar Lampung. [Online]. Jurnal
Keperawatan, Volume XII, No. 2 ISSN 1907 -0357[286].
Muttaqin, Arif, Kumala Sari. 2012. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta: Salemba Medika
Purwanto, Hadi. 2016. Keperawatan Medikal Bedah II. [Online]. Tersedia:
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2016/Keperawatan-
Medikal-Bedah-II-Komprehensif.pdf
Suharyanto, Toto, Abdul Madjid. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Trans Info Medika
11