Anda di halaman 1dari 8

Abses Peritonsil

Pendahuluan
Abses peritonsil adalah salah satu dari abses leher dalam yang paling sering ditemukan,
infeksi umum terjadi pada daerah kepal a dan leher, berjumlah sekitar 30% dari abses jaringan
lunak kepala dan leher, dengan insidensi sekitar 1 banding 10.000. Abses leher dalam merupakan
salah satu penyakit infeksi yang mengancam jiwa dengan morbiditas dan mortalitas berkisar
antara 1,6 – 40%. Pada abses peritonsil ditemukan kumpulan pus yang berlokasi antara kapsul
fibrosa tonsil palatina dan muskulus konstriktor faringeal superior.1,2
Studi yang dilakukan oleh Johnson menggunakan Sampel Departemen Darurat Nasional
2012, Sampel Rawat Inap Nasional (Nasional) 2012, dan Database Penerimaan Nasional 2013
memperkirakan jumlah kunjungan departemen darurat di Amerika Serikat untuk abses peritonsil
menjadi 62.787, dengan jumlah perkiraan penerimaan rawat inap dan pendaftaran kembali untuk
kondisi masing-masing adalah 15.095 dan 267. Delapan puluh persen pasien gawat darurat
dipulangkan ke rumah setelah menerima terapi non-operatif, sementara 50% pasien yang dirawat
di rumah sakit dirawat dengan pembedahan. Pada penelitian di seluruh dunia dilaporkan insidens
abses peritonsil sekitar 10-37 per 100.000 orang. Di Amerika dilaporkan 30 kasus per 100 orang
per tahun.1,2

Anatomi Tonsil
Tonsil palatina adalah sepasang organ limfoid yang terletak di antara lipatan palatoglosal
(pilar anterior) dan lipatan palatofaringeus (pilar posterior), disebut fossa tonsilaris (Gambar 1).
Tonsil dikelilingi oleh kapsul tipis yang memisahkannya dari muskulus konstriktor faringeus
superior dan muskulus konstriktor faringeus bagian tengah. Pilar anterior dan posterior
membentuk bagian depan dan belakang ruangan peritonsil. Bagian atas ruangan ini dibatasi oleh
torus tubarius, di bagian bawah dibatasi oleh sinus piriforis. Ruangan peritonsil diisi oleh
jaringan ikat longgar, infeksi yang berat dapat dengan cepat membentuk pus. Inflamasi dan
proses supuratif dapat meluas dan mengenai palatum mole, dinding lateral faring, dan jarang
sekali ke basis lidah.2
Faring dibagi menjadi nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Nasofaring adalah bagian
dari faring yang terletak di atas palatum mole, orofaring adalah bagian yang terletak di antara
palatum molle dan tulang hyoid, sedangkan laringofaring bagian dari faring yang meluas dari
tulang hyoid sampai ke batas bawah kartilago krikoid. Orofaring terbuka ke rongga mulut pada
pilar anterior faring. Palatum mole merupakan suatu muskular yang terdiri dari jaringan fibrosa
dilapisi oleh mukosa. Bentuk seperti kerucut yang terletak di sentral disebut uvula (Gambar 1).2
Plika triangularis (tonsilaris) merupakan lipatan mukosa tipis, yang menutupi pilar anterior
dan sebagian permukaan anterior tonsil. Plika semilunaris (supratonsil) adalah lipatan sebelah
atas dari mukosa yang mempersatukan kedua pilar. Fossa supratonsil merupakan celah yang
ukurannya bervariasi yang terletak di atas tonsil di antara pilar anterior dan posterior. Tonsil
terdiri dari sejumlah penonjolan yang bulat atau melingkar seperti kripta yang mengandung
jaringan limfoid, dan di sekelilingnya terdapat jaringan ikat. Di tengah kripta terdapat muara
kelenjar mukus (Gambar 1). Tonsil dan adenoid merupakan bagian terpenting cincin waldeyer.2

Gambar 1. Anatomi Tonsil2

Definisi
Abses peritonsil atau quinsy adalah kumpulan pus antara kapsul tonsil, otot konstriktor
faring superior dan otot palatofaringeus dan merupakan infeksi leher dalam yang paling sering
ditemukan. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di anatra fasia leher dalam
sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorok dan
sekitarnya.2,3

Etiologi
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat dari komplikasi tonsillitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama
dengan kuman penyebab tonsillitis yaitu dapat disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob
maupun anaerob.1-3
Organisme yang paling sering menyebabkan abses peritonsil adalah Streptococcus
pyogenes (Grup A Beta-hemolitik streptococcus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus
influenza. Sedangkan organisme anaerob yang dapat menyebabkan abses peritonsil yaitu
Fusobacterium, Prevatella, Porphyromonas, dan Peptostreptococcus sp. Pada kebanyakan
kasus, abses pertonsil disebkan oleh kombinasi organisme aerob dan anaerob. Selain itu, virus
yang dapat menyebabkan absen peritonsil antara lain Epstein-Barr, adenovirus, influenza A dan
B, herpes simpleks, dan parainfluenza.1-3

Epidemiologi
Seperti yang telah disebutkan diatas, abses peritonsil merupakan jenis abses leher dalam
yang paling sering terjadi. Abses peritonsil biasanya ditemukan pada orang dewasa dan dewasa
muda, sekalipun dapat terjadi juga pada anak-anak.1
Studi yang dilakukan oleh Johnson menggunakan Sampel Departemen Darurat Nasional
2012, Sampel Rawat Inap Nasional (Nasional) 2012, dan Database Penerimaan Nasional 2013
memperkirakan jumlah kunjungan departemen darurat di Amerika Serikat untuk abses peritonsil
menjadi 62.787, dengan jumlah perkiraan penerimaan rawat inap dan pendaftaran kembali untuk
kondisi masing-masing adalah 15.095 dan 267. Delapan puluh persen pasien gawat darurat
dipulangkan ke rumah setelah menerima terapi non-operatif, sementara 50% pasien yang dirawat
di rumah sakit dirawat dengan pembedahan. Pada penelitian diseluruh dunia dilaporkan insidens
abses peritonsil ditemukan 10-37 per 100.000 orang. Di Amerika dilaporkan 30 kasus per 100
orang per tahun, 45.000 kasus baru per tahun.1-4

Patofisiologi
Patologi abses peritonsil belum diketahui penyebab pastinya, namun dari banyak teori
yang diterima adalah kemajuan (progression) dari episode tonsillitis eksudatif pertama menjadi
peritonsilitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang sebenarnya. Abses peritonsil terjadi
di Ruang Potensial Peritonsil yang terletak diantara pilar anterior tonsil, pilar posterior tonsil,
tonsil palatina, dan m.superior pharyngeal constrictor. Abses peritonsil biasanya merupakan
komplikasi dari akut tonsilitis berulang atau yang tidak ditangani secara tepat sehingga infeksi
menyebar ke daerah sekitar tonsil (peritonsilar) dan juga Kelenjar Weber. Akibat dari
penyebaran tersebut, palatum mole terlihat membengkak.4-7
Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena
itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga
tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk dibagian inferior
namun jarang.7
Perjalanan penyakit ini dapat terbagi menjadi beberapa tahapan atau stadium. Pada stadium
awal (stadium infiltrat) palatum mole tampak pembengkakan dan hiperemis. Selanjutnya akan
terjadi supurasi yang mengakibatkan daerah tersebut menjadi lunak. Pembengkakan dari palatum
mole juga menyebabkan uvula dan tonsil terdorong ke arah kontralateral.7
Peradangan yang terus terjadi juga dapat menginfeksi m.pterigoid interna sehingga
menimbulkan trismus. Jika Kelenjar Weber juga ikut terinfeksi, dapat terjadi selulitis. Infeksi
yang terus berlangsung dapat mengakibatkan nekrosis jaringan dan terbentuknya kumpulan pus
atau abses di Kelenjar Weber. Abses yang terbentuk dapat pecah secara spontan dan
memungkinkan terjadinya aspirasi ke paru.7

Gejala dan Tanda


Pasien umumnya datang dengan riwayat sakit tenggorokan dan demam selama 4-5 hari,
dengan gejala tambahan odinofagia (nyeri saat menelan), otalgia (nyeri telinga) unilateral pada
sisi yang sama dengan odiofagia, muntah, foetor ex ore (mulut berbau), hipersalivasi, “hot potato
voice” yaitu perubahan suara yang khas pada abses peritonsil, trismus (sulit membuka mulut),
serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.8

Gambar 2. Abses Peritonsil8


Diagnosis
Diagnosis utama abses peritonsilar adalah berdasarkan pemeriksaan fisik. Pada
pemeriksaan fisik akan ditemukan palatum mole yang tampak membengkak, menonjol kedepan,
dan teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Pembengkakan ,
hiperemis, dan dislokasi dari tonsil ke arah media dan inferior, serta dapat juga ditemukan
adanya detritus pada tonsil. Pungsi dari abses dan insisi juga dapat dilakukan untuk konfirmasi
dari diagnosis.7-8

Gambar 3 . Drainase pada Abses Peritonsil7

Diagnosis Banding
Secara umum, manifestasi klinis berupa nyeri tenggorok, demam yang disertai terbatasnya
gerakan membuka mulut dan leher merupakan keluhan umum dari semua penyakit abses leher
dalam. Secara klinis, abses peritonsil dapat dibedakan dengan penyakit abses leher dalam
lainnya, seperti abses retrofaring, abses parafaring, abses submandibula dan angina ludovici.3
Abses retrofaring, gejala dan tanda utama berupa rasa nyeri dan sukar menelan. Pada
dinding belakang faring terdapat benjolan yang bersifat unilateral. Mukosa terlihat bengkak dan
hiperemis. Penyebab berupa infeksi saluran nafas atas dan trauma dinding belakang faring oleh
benda asing seperti tulang ikan atau tindakan klinis, seperti adenoidektomi, intubasi endotrakea,
dan endoskopi, dan tuberculosis vertebra servikalis bagian atas.3
Abses parafaring, gejala dan tanda utama berupa trismus, indurasi atau pembengkakan di
sekitar angulus mandibular, demam tinggi, dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga
menonjol ke arah medial. Penyebab secara langsung berupa infeksi akibat tusukan jarum pada
tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah
terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis (muskulus konstriktor faring superior) yang
memisahkan ruang parafaring dari fossa tonsilaris. Penyebab lain berupa proses supurasi kelenjar
limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid, dan vertebra
servikal. Penjalaran infeksi berasal dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.3
Abses submandibula, terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah
mandibular dan atau di bawah lidah, mungkin dapat disertai fluktuasi. Trismus sering ditemukan.
Penyebabnya berupa infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau kelenjar limfa
submandibular, oleh kuman aerob dan anaerob.3
Angina ludovici, terdapat nyeri tenggorok dan leher, disertai pembengkakan di daerah
submandibula. Dasar mulut membengkak dan lidah terdorong ke atas belakang, sehingga
menimbulkan sesak nafas, karena sumbatan jalan nafas. Penyebab tersering berasal dari gigi atau
dasar mulut, oleh kuman aerob dan anaerob.3

Tatalaksana
Tatalaksana stadium awal atau stadium infiltrasi diberikan antibiotik (penisilin atau
klindamisin), obat-obatan simptomatik, serta kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin
pada leher.6
Bila sudah ditemukan abses, dapat dilakukan pungsi kemudian insisi untuk mengeluarkan
nanah pada daerah abses. Tempat insisi ialah pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar
uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit.6
Gambar 6. Lokasi insisi pada daerah abses6

Prosedur emergency tonsillectomy sebenarnya kurang dijadikan pilihan sebagai terapi


utama karena dibutuhkan anestesi secara general, dan kemungkinan terjadinya post-operative
hemorrhage. Namun demikian pada pasien yang sudah diterapi dengan drainase abses, resiko
terjadinya abses peritonsil yang berulang masih tinggi. Oleh karena itu dianjurkan untuk
dilakukan tonsilektomi 2-3 bulan setelah menderita abses peritonsil.7
Tonsilektomi yang dilakukan bersama-sama dengan tindakan drainase abses disebut
tonsilektomi a’chaud. Bila dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses disebut tonsilektomi
a’tiede. Bila dilakukan 4-6 minggu setela drainase abses disebut tonsilektomi a’froid.6,7
Pada umumnya tonsilektomi dilakukan 2-3 minggu setelah drainase abses, saat infeksi
sudah tenang.6

Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada abses peritonsil adalah ; Abses yang pecah
secara spontan dan dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru, dan piemia (septikemia).
Dapat juga terjadi penjalaran infeksi dari Ruang Potensial Peritonsillar menuju Ruang Potensial
Retrofaringeal sehingga mengakibatkan infeksi pada mediastinum. Selain itu, bila terjadi
penjalaran infeksi ke daerah intrakranial, dapat menyebabkan trombus sinus kavernosus,
meningitis, dan abses otak.6,9
Daftar Pustaka
1. Johson RF. Emergency department visits, hospitalizations, and readmissions of patients
with a peritonsillar abscess. Laryngoscope; 2017. 127 Suppl 5:S1-S9.
2. Marbun EM. Diagnosis, Tata laksana dan komplikasi abses peritonsil. J Kedokt Meditek.
2016; 20(60): 42-7.
3. Bhat VS, Anupama A. Role of needle aspiration in the management of peritonsillar
abscess. Sch.J.App.Med Sci. 2016;4(7E): 2600-2.
4. Gupta R, Mittal M. A clinical and epidemiological study on peritonsillar abscess in
tertiary health center. International Journal of Medical Science and Public Health. 2017;
6(3):521-3.
5. Lee YJ, Jeong YM, Lee HS, Hwang SH. Efficacy of corticosteroids in the treatment of
perironsillar abscess: a meta-analysis. Clinical and Experimental Otorhinolaryngology.
2016; 9(2): 89-97.
6. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor. Buku ajar
ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 7. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.
2017:p. 202
7. Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi VII. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2017.
8. Raharjo SP. Penatalaksanaan Angina Ludwig. Jurnal Dexa Media. 2014; Vol.21.
9. Abshirini H, Alavi SM, Rekabi H, Ghazipur A, Shabab M. Predisposing factors for the
complications of deep neck infection. The Iranian J of otorhinolaryngol 2015;22 (60):
139-45.

Anda mungkin juga menyukai